volume3 nomor3 - Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

advertisement
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
JURNAL PENELITIAN KESEHATAN SUARA FORIKES
Diterbitkan oleh:
FORUM ILMIAH KESEHATAN (FORIKES)
Penanggungjawab:
Heru Santoso Wahito Nugroho, S.Kep, Ns, M.M.Kes (Ketua Forikes)
Pemimpin Redaksi:
Subagyo, S.Pd, M.M.Kes
Anggota Dewan Redaksi:
Budi Joko Santosa, S.K.M, M.Kes
H. Trimawan Heru Wijono, S.K.M, S.Ag, M.Kes
H. Sukardi, S.S.T, M.Pd
Agus Suryono, S.Kep, Ns, M.M.Kes (MARS)
Hj. Rudiati, A.P.P, S.Pd, M.M.Kes
Drs. Dwi Setiyadi, M.M
Koekoeh Hardjito, S.Kep, Ns, M.Kes
Heru Santoso Wahito Nugroho, S.Kep, Ns, M.M.Kes
Redaksi Pelaksana:
Sunarto, S.Kep, Ns, M.M.Kes
Handoyo, S.S.T
Suparji, S.S.T, M.Pd
Tutiek Herlina, S.K.M, M.M.Kes
Sekretariat:
Hery Koesmantoro, S.T, M.T
Ayesha Hendriana Ngestiningrum, S.S.T
Sri Martini, A.Md
Alamat:
Jl. Cemara RT 01 RW 02 Ds./Kec. Sukorejo Ponorogo 63453
Telepon 081335251726
Jl. Raya Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Serangan, Sukorejo Ponorogo 63453
Telepon 081335718040
E-mail dan Website:
Suara Forikes: [email protected] dan www.suaraforikes.webs.com
Penerbitan perdana bulan Januari 2010, selanjutnya diterbitkan setiap tiga bulan
Harga per-eksemplar Rp. 25.000,00
Jurnal Penelitian Kesehatan
Suara Forikes
Volume
III
Nomor
3
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Halaman
125 - 171
Juli
2012
ISSN
2086-3098
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
Redaksi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes menerima artikel ilmiah dalam bidang
kesehatan berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian. Artikel yang diterima adalah
artikel orisinil yang belum pernah dimuat dalam media publikasi ilmiah manapun. Diharapkan
artikel dilampiri dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) kesepakatan urutan peneliti
yang ditandatangani oleh seluruh peneliti (jika ada 2 peneliti atau lebih). Artikel yang masuk
akan dinilai oleh Dewan Redaksi yang berwenang penuh untuk menerima atau menolak artikel
yang telah dinilai, dan artikel yang diterima maupun ditolak tidak akan dikembalikan kepada
pengirim. Dewan Redaksi berwenang pula untuk mengubah artikel yang diterima sebatas tidak
akan mengubah makna dari artikel tersebut. Artikel berupa tugas akhir mahasiswa (karya tulis
ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti.
Artikel yang dikirim ke Dewan Redaksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Diketik dengan bentuk dan ukuran huruf Arial 12 pada kertas HVS A4 dengan margin atas
dan bawah: 2,5 cm, kiri dan kanan: 2 cm.
2. Seluruh artikel maksimal berjumlah 10 halaman, berbentuk softcopy (CD, DVD atau e-mail).
Isi dari artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut:
1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari
14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah.
2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah.
3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dicetak miring. Judul abstrak
menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan
awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci, dan di
bawahnya lagi dicantumkan institusi asal penulis.
4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm.
5. Bahan dan Metode ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1
cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan.
6. Hasil Penelitian dan Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan,
paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun
gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di
atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar
dengan posisi di tengah.
7. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1
cm. Simpulan dan saran disajikan secara naratif.
8. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua
dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka mengacu pada Sistem
Harvard, yaitu: penulis, tahun, judul buku, kota dan penerbit (untuk buku) dan penulis,
tahun, judul artikel, nama jurnal (untuk jurnal).
Redaksi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
EDITORIAL
Salam dari Redaksi
Pada penerbitan Volume III Nomor 3, bulan Juli 2012 ini, dipublikasikan hasil-hasil penelitian
kesehatan karya para sejawat yang bertugas di Magetan, Bangka Belitung, Semarang, Ngawi,
serta beberapa alumnus dari beberapa perguruan tinggi kesehatan.
Tema-tema yang ditampilkan mencakup bidang kesehatan lingkungan, kebidanan, kesehatan
anak, kesehatan masyarakat, serta keluarga berencana.
Segenap tim redaksi mohon doa restu kepada Para Pembaca, semoga kiprah jurnal ini dapat
memperkaya perbendaraan karya ilmiah di tanah air kita, khususnya dalam bidang kesehatan.
Tidak lupa kami mengajak Para Pembaca untuk selalu mengunjungi jurnal ini melalui website
www.suaraforikes.webs.com atau melihat versi ringkasnya pada website resmi Pusat
Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI),
www.isjd.pdii.lipi.go.id. Selamat membaca dan sampai jumpa kembali pada Volume III Nomor
4 pada bulan Oktober 2012 yang akan datang.
Redaksi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
DAFTAR ISI
STUDI TENTANG SANITASI RUMAH DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA 125-132
DI DESA GEMARANG KECAMATAN KEDUNGGALAR KABUPATEN
NGAWI
Aning Gunarni, Vincentius Supriyono, Mujiono
HUBUNGAN ANTARA BERAT BAYI LAHIR DENGAN KADAR BILIRUBIN 133-137
BAYI BARU LAHIR DI RUANG PERINATOLOGI RSUD DR HARJONO
PONOROGO
Tutiek Herlina, Suparji, Rizki Amalia
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR SUMUR GALI SECARA 138-142
BAKTERIOLOGIS DENGAN PENDERITA DIARE DI DESA MADIGONDO
KECAMATAN TAKERAN KABUPATEN MAGETAN
Vincentius Suprijono, Djoko Windu P. Irawan
ANALISIS KINERJA PENANGGUNG JAWAB PROGRAM TB PUSKESMAS 143-151
DALAM PENEMUAN KASUS BARU TB BTA POSITIF DI PUSKESMAS
KABUPATEN BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG
Dedek Sutinbuk, Atik, Lucia
PERBEDAAN PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI USIA 5 BULAN 152-154
ANTARA YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN YANG DIBERI PASI
Sulikah, Titik Istiyawati, Sukardi
PENGARUH ALAT PERMAINAN EDUKATIF (APE) TERHADAP 155-157
PERKEMBANGAN ANAK USIA TODLER DI POSYANDU II DUKUH UNGWI
DESA SUGIHWARAS KECAMATAN MAOSPATI KABUPATEN MAGETAN
Nurlailis Saadah
HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN FASILITAS POSYANDU DENGAN 158-162
PARTISIPASI
MASYARAKAT DI POSYANDU (Di Wilayah Kerja
Puskesmas Saradan, Madiun)
Nurlailis Saadah, Budi Joko Santosa, Yuni Anita Sari
GAMBARAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU PESERTA 163-166
JAMPERSAL DALAM PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PASCA SALIN
DI DESA KEPUHREJO KEC. TAKERAN KAB. MAGETAN TAHUN 2012
Tutiek Herlina, Suparji, Riris Sukma Pratiwi
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CAKUPAN KB 167-171
SUNTIK DI PUSKESMAS NGARIBOYO TAHUN 2011
Hery Sumasto, Nurwening Tyas W, Qomariyah Dwi Susetyo
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
STUDI TENTANG SANITASI RUMAH DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA
DI DESA GEMARANG KECAMATAN KEDUNGGALAR KABUPATEN NGAWI
Aning Gunarni*, Vincentius Supriyono**, Mujiono**
ABSTRAK
Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana
sanitasi perumahan. Gangguan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang memenuhi
syarat kesehatan/fisik memungkinkan menyebabkan penyakit ISPA. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi sanitasi rumah dan kejadian ISPA di Desa
Gemarang Kecamatan Kedungalar Kabupaten Ngawi.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan variabel: kejadian ISPA pada
Balita, kondisi sanitasi rumah, dan faktor lingkungan fisik rumah. Besar populasi 598 balita
dengan sampel 86 rumah dengan balita. Data kejadian ISPA diperoleh dari laporan
Puskesmas, data kondisi sanitasi rumah dari observasi, dan data lingkungan fisik dari
pengukuran langsung.
Hasil penelitian adalah: lingkungan kotor (72,1%), dalam rumah kotor (65,1%), dapur
tidak berlubang asap (63,9%), bahan bakar kayu (66,3%), lantai tanah (52,3%), dinding
dari papan (60,5%) rumah tanpa langit-langit (47,7%), luas ventilasi <10% luas lantai
(44,2%), rumah tidak padat huni (88,4%), kandang menyatu dengan rumah (59,3%),
kondisi sanitasi rumah cukup (66,3%), balita sakit (16,3%), kondisi sanitasi rumah balita
sakit dikategorikan baik (0%). Maka disarankan perlu peningkatan pengetahuan
masyarakat tentang sanitasi rumah dengan mengikutkan kader kesehatan.
Kata kunci : Sanitasi Rumah, ISPA Balita
*= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya,Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus
Magetan
**= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Magetan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh. Perumahan
yang sempit, padat, kotor dan tidak memiliki sarana air bersih yang memadai akan
menyebabkan anak sering terinfeksi oleh kuman yang berasal dari tempat kotor dan
akhirnya terkena berbagai penyakit menular. Rumah yang tidak cukup aliran udara bersih
dan penghuninya sering menghisap asap dapur yang terkumpul dalam rumah akan mudah
terkena Inspeksi Saluran Pernapasan Akut disingkat ISPA (Depkes RI, 2002).
Faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit ISPA antara lain faktor ekstrinsik
dan intrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri atas faktor biologi, faktor fisik, dan faktor sosial.
Faktor biologis berasal dari kuman/mikrobiologis penyebab infeksi. Faktor fisik berasal dari
faktor lingkuangan fisik rumah yang tidak sehat yang meliputi : keberadaan lubang asap
dapur, jenis bahan bakar masak, luas ventilasi rumah, kepadatan hunian rumah, suhu
udara, kelembaban dalam rumah dan intensitas pencahayaan rumah. Faktor sosial yang
menyangkut perilaku hidup yaitu tingkat pengetahuan keluarga tentang ISPA , tanda-tanda
dan gejala, dan mencari upaya pertolongan. Sedangkan faktor intrinsik terdiri dari status
gizi, pemberian ASI eksklusif, umur, kelengkapan imunisasi, jenis kelamin, status Berat
Badan Lahir Rendah/ BBRL (Silalahi, 2004).
Saat ini Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia. Kematian balita (berdasar Survey Kematian Balita tahun 2005)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
125
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
sebagian besar karena pneumonia 23,6%. Selama ini digunakan estimasi bahwa insiden
pneumonia pada kelompok umur balita di Indonesia sekitar 10-20% (Depkes RI, 2007).
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak karena sistem
pertahanan tubuh anak masih rendah. Episode penyakit batuk pilek pada balita di
Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata
mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Depkes RI, 2002).
Dari 1897 rumah di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi,
yang telah diperiksa pada tahun 2010 adalah 689 rumah (36,32%), dengan kriteria
memenuhi syarat 108 rumah (15,67%) dan tidak memenuhi syarat 581 rumah (84,33%).
Data Puskesmas Gemarang, menunjukkan bahwa penyakit tertinggi dari 10 besar
penyakit di wilayah kerja Puskesmas Gemarang adalah penyakit ISPA. Kejadian ISPA
pada balita tercatat 609 kasus pada tahun 2008, 672 kasus pada tahun 2009, dan 739
kasus pada tahun 2010.
Rekapitulasi hasil penemuan penderita ISPA pada balita pada tahun 2010 di wilayah
kerja Puskesmas Gemarang sebanyak 739 kasus, dari enam desa yaitu Desa Gemarang
217 kasus, Desa Kawu 121 kasus, Desa Jengrik 112 kasus, Desa Wonokerto 105 kasus,
Desa Bangunrejo Kidul 95 kasus dan desa Pelang Lor 89 kasus, di Desa Gemarang
menunjukkan angka tertinggi yaitu 217 kasus atau sebesar 29,36%.
Upaya petugas kesehatan untuk menurunan kejadian ISPA bagi petugas sanitasi
sudah melaksanakan klinik sanitasi bagi penderita ISPA, kunjungan rumah bagi penderita
ISPA dan pemeriksaan rumah di wilayah kerja namun angka kesakitan ISPA pada balita
masih mengalami peningkatan di wilayah kerja Puskesmas Gemarang.
Tujuan
1. Menilai sanitasi rumah meliputi: 1) kebersihan lingkungan rumah, 2) kebersihan dalam
rumah, 3) lubang asap dapur, 4) jenis bahan bakar masak, 5) lantai, 6) dinding, 7)
langit-langit, 8) ventilasi, 9) kepadatan hunian, 10) kandang, 11) kondisi sanitasi rumah
2. Mengukur lingkungan fisik rumah meliputi: 1) suhu, 2) kelembaban, 3) pencahayaan, 4)
kecepatan udara
3. Menilai kejadian ISPA
4. Menilai sanitasi rumah dan kejadian ISPA pada balita di Desa Gemarang Kecamatan
Kedunggalar Kabupaten Ngawi
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah deskriptif untuk menggambarkan keadaan sanitasi rumah
balita penderita dan bukan penderita ISPA di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar
Kabupaten Ngawi. Variabel penelitian ini adalah: 1) kejadian ISPA pada Balita, 2) kondisi
sanitasi rumah, 3) faktor lingkungan fisik rumah. Untuk variabel perilaku dan faktor individu
tidak diteliti karena perilaku masyarakat desa Gemarang pada umumnya belum
berperilaku bersih dan sehat, sehingga sampel penelitian tidak dibedakan antara yang
sudah dan belum berperilaku hidup bersih dan sehat. Sampel harus mempunyai status
gizi baik dan mempunyai berat badan lahir normal.
Populasi penelitian adalah semua balita berumur 1 hari sampai 5 tahun yang ada di
Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi yaitu 598 balita. Besar
sampel dihitung dengan formula sederhana dari Notoatmodjo (2002) yaitu:
n =
N
1+ N d
( )
2
Keterangan: N = Besar populasi, n = Besar sampel, d = Tingkat kepercayaan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
126
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Hasil penghitungan besar sampel adalah 86 rumah yang ada balitanya, dengan kriteria: 1)
tinggal di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi selama bulan
Desember 2010 sampai Mei 2011, 2) ibu balita yang mau menjadi responden, 3) balita
dengan Status Gizi baik, dilihat dari KMS, 4) Balita dengan Berat Badan Lahir Normal.
Sampel diambil dengan teknik simple random sampling, secara proporsional per dusun
dengan hasil sebagai berikut: Dusun Jambe 17 rumah, Dusun Ngadirejo 19 rumah, Dusun
Ngadiluwih 13 rumah, Dusun Sooko Sari 8 rumah, Dusun Gemarang 6 rumah, Dusun
Pengkol 9 rumah, Dusun Salak 7 rumah, dan Dusun Ponjen 7 rumah.
Instrumen dan teknik pengumpulan data yang diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Data kejadian ISPA diperoleh dari data sekunder berupa laporan Puskesmas
2. Data kondisi sanitasi rumah (kebersihan lingkungan rumah, kebersihan dalam rumah,
lubang asap dapur, bahan bakar, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, kepadatan
hunian, dan kandang) dikumpulkan dengan observasi
3. Data lingkungan fisik didapatkan dengan pengukuran langsung, yaitu menggunakan .
thermohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, lux meter untuk mengukur
pencahayaan, dan anemometer untuk mengukur kecepatan udara
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Luas wilayah Desa Gemarang adalah104645 Ha yang terdiri dari tanah kering 68061
Ha dan tanah sawah 36584 Ha. Jumlah penduduk adalah 9360 jiwa (4628 laki-laki dan
4732 perempuan), dengan jumlah KK 2859. Sebagian besar penduduk berpendidikan
SMP, sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Tingkat Pendidikan Penduduk
Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Tahun 2010
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pendidikan
Tidak Sekolah
Belum Sekolah
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Atas
Perguruan Tinggi
Jumlah
Jumlah
514
598
1996
3434
2446
372
9360
Persen
5,49%
6,39%
21,33%
36,69%
26,13%
3,97%
100 %
Data kejadian ISPA pada balita disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita
di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Tahun 2010
No.
1.
2.
Kejadian ISPA
Sakit
Tidak sakit
Jumlah
Jumlah
14
72
86
Persen
16,3 %
83,7 %
100 %
Data kondisi sanitasi rumah secara terperinci disajikan pada Tabel 3.
1. Kebersihan lingkungan rumah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas halaman rumah sudah bersih dari
sampah dan masih berdebu. Sebaiknya halaman rumah disiram dan diberi tanamantanaman yang dapat suasana bersih, nyaman, nikmat dan selalu segar.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
127
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Tabel 3. Distribusi Kondisi Sanitasi Rumah
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kondisi Sanitasi
Kebersihan lingkungan rumah
• Kurang
• Cukup
• Baik
Jumlah
Persen
11
62
13
12,8%
72,1%
15,1%
6
56
24
7%
65,1%
27,9%
55
30
1
63,9%
34,9%
1,2%
57
0
29
66,3%
0%
33,7%
45
15
26
52,3%
17,5%
30,2%
15
52
19
17,4%
60,5%
22,1%
41
6
39
47,7%
7%
45,3%
22
38
26
25,6%
44,2%
30,2%
8
2
76
9,3%
2,3%
88,4%
27
59
31,4%
68,6%
16
3
8
59,3%
11,1%
29,6%
12
57
17
13,9%
66,3%
19,8%
Kebersihan dalam rumah
• Kurang
• Cukup
• Baik
Lubang asap dapur
• Kurang
• Cukup
• Baik
Jenis bahan bakar memasak
• Kayu bakar
• Minyak tanah
• LPG
Lantai rumah
• Tanah
• Plesteran retak/Bata
• Plesteran/Ubin/Keramik
Dinding rumah
• Kurang
• Cukup
• Baik
Langit-langit rumah
• Kurang
• Cukup
• Baik
Luas ventilasi rumah
• Kurang
• Cukup
• Baik
Kepadatan hunian
• Kurang
• Cukup
• Baik
Kandang ternak
• Memiliki kandang
• Tidak memiliki kandang
Kondisi kandang
• Kurang
• Cukup
• Baik
Kondisi sanitasi rumah
• Kurang
• Cukup
• Baik
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
128
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Halaman rumah menggunakan tanah merah dan putih maka pada musim kemarau
menghasilkan debu yang cukup banyak dan mereka jarang menyirami halaman. Debu
yang berterbangan membuat udara menjadi kotor sehingga bila dihirup oleh penghuni
akan menyebabkan sakit pernapasan terutama ISPA. Menurut Wong Donna (2004)
penyebab dari ISPA adalah bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing lainnya.
Pencetus utama ISPA adalah streptokokus dan stafilokokus, yang masuk melalui
partikel udara dan melekat pada epitel hidung, kemudian masuk bronkhus dan traktus
respiratorius, sehingga timbul gejala batuk, pilek, demam dan sakit kepala (www.
library.upnvj.ac)
2. Kebersihan dalam rumah
Masih banyak rumah yang hanya dibersihkan lantainya, tetapi jarang untuk
perabotannya seperti meja, kursi, almari dll., sehingga masih berdebu, sedangkan
debu dapat menyebabkan penyakit ISPA. Lantai rumah masih tanah akan
menghasilkan debu yang cukup banyak dan mereka jarak menyirami sehingga rumah
menjadi panas. Debu menyebabkan udara menjadi kotor, sehingga udara yang kotor
akan dihirup oleh penghuni rumah maka resiko terkena penyakit ISPA.
3. Lubang asap dapur
Masih banyak rumah yang tidak memiliki lubang asap dapur dan yang memiliki lubang
asap dapur berupa ventilasi letaknya hanya satu sisi. Hal ini dapat menyebabkan
pergantian udara dalam dapur tidak lancar, sehingga asap hasil pembakaran dan uap
pada proses memasak akan mengepul dalam ruang dapur. Dapur tanpa lubang asap
relatif dapat menimbulkan polusi di dalam rumah. Asap hasil pembakaran dengan
konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan rusaknya mekanisme pertahan paru
sehinggan akan mempermudah timbulnya ISPA pada balita (Depkes RI: 1999).
4. Jenis bahan bakar memasak
Banyak rumah yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak
dengan alasan murah. Kayu bakar menimbulkan polusi di dalam rumah karena
banyak menghasilkan asap dan mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam rumah.
Bahan bakar fosil dan bahan bakar organik umumnya tersusun dariunsur-unsur C, H,
O, N, S, P, namun yang terbakar adalah C, H dan S. Bahan bakar ini menghasilkan
asap yang mengandung hidrokarbon, Sulfur dioksida, karbonmonoksida, debu,
amoniak yang merupakan iritan saluran pernafasan. Abu dan sisa pembakaran kayu
dapat masuk ke ruangan lain sehingga udara tercemar, yang berakibat menurunnya
kualitas udara dalam rumah dan mengakibatkan terjadinya ISPA pada balita. Jenis
bahan bakar memasak mempengaruhi proses pembakaran dan tingkat emisi gas.
Emisi pembakaran dengan kompor LPG: 5,83 ppm, kompor minyak tanah: 64,08 ppm,
dan kayu bakar: 118,42 ppm. Bahan bakar biomassa menghasilkan emisi CO lebih
tinggi karena reaksi pembentukan atom yang tinggi. Jenis bahan bakar juga dapat
mempengaruhi suhu dan kelembaban (Ferdias: 1992).
5. Lantai rumah
Masih banyak rumah dengan lantai tanah. Keadaan ini tidak sesuai dengan
Kepmenkes RI No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat
bahwa lantai rumah harus kedap air dan mudah dibersihkan. Dengan lantai tanah, jika
lembab pada musim penghujan dan kering berdebu pada musim kemarau sehingga
mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah. Mikroorganisme penyebab penyakit
terutama yang menular melalui saluran pernapasan makin banyak, apabila penghuni
dalam rumah tersebut semakin banyak jumlahnya (Soemirat: 2000).
Lantai tanah merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan bakteri atau vektor
penyakit seperti serangga yang membahayakan kesehatan. Lantai tanah berdaya
serap sangat baik, sehingga pada musim kemarau menjadi kering dan menimbulkan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
129
Volume III Nomor 3, Juli 2012
6.
7.
8.
9.
10.
ISSN: 2086-3098
debu. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab, mudah dibersihkan, kering serta
tidak menghasilkan debu (Dirjen PPM dan PLP Depkes RI: 2000).
Dinding rumah
Masih banyak rumah berdinding papan. Ini tak sesuai dengan aspek rumah sehat,
dengan persyaratan dinding tidak tembus pandang, dapat menahan pengaruh cuaca
siang dan malam, serta kedap air (Dirjen PPM dan PLP Depkes RI: 2000). Dinding
rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan udara dalam rumah menjadi
lembab, sehingga menjadi pertumbuhan kuman maupun bakteri patogen yang dapat
menimbulkan penyakit bagi penghuninya. Partikel atau debu halus di dalam rumah
dapat menjadi pemicu iritasi saluran pernafasan. Saluran pernafasan teriritasi menjadi
media pertumbuhan bakteri maupun virus penyebab ISPA (Sanropie, Djasio: 1989).
Langit-langit rumah
Masih banyak rumah tanpa langit-langit sehingga lebih sulit membersihkan sarang
laba-laba, padahal menurut Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Rumah Sehat, langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan. Rumah tanpa langit-langit menyebabkan debu mudah masuk ke dalam
rumah sehingga mudah kotor dan suhu menjadi lebih panas.
Luas ventilasi rumah
Masih ada rumah tanpa ventilasi dan ada juga dengan ventilasi yang kurang. Hal ini
tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Rumah Sehat bahwa luas penghawaan atau ventilasi alamiah minimal 10% dari luas
lantai. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran
udara kotor dari suatu ruangan tertutup baik secara alamiah atau mekanis. Fungsi dari
ventilasi dalam rumah adalah membebaskan udara ruangan dari bau, asap atau debu
dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara, sehingga pengenceran
udara bersih menjadi lancar. Ventilasi juga mempengaruhi intensitas pencahayaan
alami di dalam rumah. Apabila ventilasi berfungsi, maka masuknya sinar matahari ke
dalam rumah tidak terhalang oleh ventilasi itu sendiri. Ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan menyebabkan tingginya kelembaban di dalam ruangan sehingga
menjadi tempat pertumbuhan dan perkembangbiakan kuman patogen yang dapat
meningkatkan resiko kejadian ISPA pada balita (Mukono: 2000).
Kepadatan hunian
Proporsi rumah dengan hunian tidak padat lebih besar daripada hunian padat. Untuk
rumah dengan balita, menempati ruangan >10 m² perjiwa. Ini sesuai dengan
keputusan Depkes RI dan UNICEF tahun 1990 bahwa seluruh rumah termasuk kamar
mandi dan jamban dibagi dibagi jumlah penghuni harus lebih besar atau sama dengan
10 m² perjiwa maka dikatakan tidak padat penghuni. Rumah padat penghuni
menyebabkan sirkulasi udara menjadi tidak sehat, karena penghuni yang banyak
mempengaruhi kadar oksigen dalam rumah. Hal ini menyebabkan meningkatnya
mikroorganisme di udara dalam rumah. Dengan demikian mikroorganisme penyebab
penyakit terutama yang menular melalui saluran pernapasan makin banyak, jika
penghuni rumah tersebut semakin banyak (Soemirat, 2000).
Kandang ternak
Masih banyak rumah yang menjadi satu dengan kandang ternak, padahal lahan
mereka cukup untuk memisahkan kandang dengan rumah, dengan alasan takut jika
terjadi pencurian hewan. Kotoran hewan sebagai limbah, bila tidak dikelola dengan
baik maka akan menimbulkan bau, pencemarana tanah serta air tanah, padahal setiap
hari mereka tinggal di rumah dan menggunakan air untuk kebutuhan hidup. Hal ini
tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
130
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Rumah Sehat bahwa limbah padat harus dikelola agar tidak minumbulkan bau,
pencemaran tanah serta air tanah.
11. Kondisi sanitasi rumah
Kondisi sanitasi rumah banyak yang nilainya cukup. Hal ini dipengaruhi oleh
lingkungan dan dalam rumah kurang bersih, hanya menyapu lantai tetapi tidak
membersihkan perabotan, tidak memiliki lubang asap dapur, kayu sebagai bahan
bakar memasak, lantai dari tanah, dinding dari papan, tanpa langit-langit rumah, luas
ventilasi <10% luas lantai, dan menyatunya kandang dengan rumah.
Sanitasi rumah yang tidak baik sangat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada
balita. Rumah sehat berdasarkan Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Rumah Sehat bahwa lantai rumah harus kedap air, langit-langit harus
mudah dibersihkan, luas ventilasi 10% dari luas lantai.
Tabel 4. Data Lingkungan Fisik Rumah
di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Tahun 2010
No
Lingkungan Fisik
1
Suhu
• Tidak memenuhi syarat
• Memenuhi syarat
2
Kelembaban
• Tidak memenuhi syarat
• Memenuhi syarat
3
Pencahayaan
• Tidak memenuhi syarat
• Memenuhi syarat
4
Kecepatan udara
• Tidak memenuhi syarat
• Memenuhi syarat
Jumlah
Persen
41
45
47,7%
52,3%
37
49
43%
57%
28
58
32,6%
67,4%
54
32
62,8 %
37,2 %
Data lingkungan fisik rumah disajikan pada Tabel 4, yang diuraikan sebagai berikut:
1. Suhu
Sebagian besar suhu udara di dalam rumah melebihi suhu nyaman terutama pada
rumah dengan balita sakit ISPA. Menurut Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa suhu udara nyaman berkisar 18 °C sampai
30 °C. Suhu udara sangat tergantung pada musim. Suh u udara yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan rumah menjadi panas sehingga memungkinkan penghuni tidak betah
tinggal berlama-lama di dalam rumah, sedangkan suhu terlalu rendah menyebabkan
lembab dan dingin yang memungkinkan berkembang biaknya kuman atau bakteri
penyebab penyakit. Rumah dengan suhu yang tidak sesuai dapat mengakibatkan
kejadian ISPA pada balita (Mukono, 2000).
2. Kelembaban
Kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat lebih banyak dari pada yang memenuhi
syarat, terutama rumah dengan balita penderita ISPA dengan kelembaban >70%. Ini
tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Rumah Sehat bahwa kelembapan udara berkisar 40% - 70%. Virus, bakteri dan riketsia
tumbuh optimal pada suhu >30°C dan kelembaban >70%, sehingga memungkinkan
berkembang biak dengan cepat. Kelembaban dalam rumah dapat dipengaruhi oleh
ventilasi yang tidak baik, lantai yang tidak kedap air dan menghasilkan debu. Rumah
yang lembab memungkinkan untuk tikus dan kecoa membawa bakteri dan virus yang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
131
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
dapat memicu terjadinya penyakit pernapasan dan dapat berkembang biak dalam
rumah (Krieger dan Higgins, 2002).
3. Pencahayaan
Sebagian besar rumah tidak memenuhi syarat pencahayaan, yang kemungkinan
disebabkan kurangnya ventilasi dan tidak dibuka setiap pagi. Menurut Kepmenkes RI
No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa pencahayaan
alami buatan langsung maupun tak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal
60 Lux dan tidak menyilaukan. Penerangan dibagi menjadi penerngan alami dan
penerangan buatan. Penerangan alami penting untuk mengurangi kelembaban udara
dan membunuh kuman dan bakteri. Penerangan alami diperoleh dengan masuknya
sinar matahari ke dalam rumah melalui jendela rumah, celah maupun bagian lain rumah
yang terbuka. Selain berguna untuk penerangan, sinar matahari juga mengurangi
kelembaban udara, mengusir nyamuk dan serangga lainnya, serta membunuh kuman
penyebab penyakit tertentu, misalnya cahaya pada panjang gelombang 4000 A sinar
ultraviolet dapat membunuh bakteri. Cahaya matahari terutama yang langsung, dapat
membunuh beberapa mikroorganisme penyebab penyakit menular misalnya TBC,
influenza, penyakit kulit atau mata (Azwar, 1990).
4. Kecepatan udara
Masih ada 37,2% rumah yang tidak memenuhi syarat kecepatan udara. Menurut
Kepmenkes RI No. 826/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa
kecepatan udara berkisar 5–20 cm/detik. Untuk rumah yang ada balita yang sakit
kecepatan udaranya sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu dari 14 rumah balita
sakit hanya 3 rumah balita yang kecepatan udaranaya memenuhi syarat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi sanitasi rumah: lingkungan rumah berdebu: 72,1%, dalam rumah kotor: 65,1%,
tanpa lubang asap dapur: 63,9%, bahan bakar kayu: 66,3%, lantai tanah: 52,3%,
dinding papan: 60,5%, rumah tanpa langit-langit: 47,7%, ventilasi kurang: 44,2%,
hunian tidak padat: 88,4%, rumah balita dengan kandang menyatu dengan rumah:
59,3%, sanitasi cukup baik: 66,3%.
2. Lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat: 1) suhu: 52,3%, 2) kelembaban: 57%,
3) pencahayaan: 67,4%, 4) kecepatan udara: 37,2%.
Saran
Diharapkan masyarakat: 1) pada musim kemarau menyiram halaman untuk
mengurangi debu, 2) tidak hanya membersihkan lantai saja tetapi juga perabotan rumah,
3) membuat lubang asap dapur, 4) menggunakan bahan bakar LPG, 5) membuat lantai
kedap air, 6) membuat dinding kedap air, 7) membuat langit-langit, 8) membuat jendela
dengan luas >10% luas lantai dan dibuka setiap hari, 9) membagi ruangan sesuai dengan
kebutuhan, 10) memisahkan kandang dari rumah dan selalu dibersihkan.
Diharapkan Puskesmas Gemarang meningkatkan pengetahuan masyarakat di
bidang kesehatan lingkungan, khususnya tentang Penyehatan Lingkungan Pemukiman,
sanitasi rumah terutama untuk pengendalian faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan
terjadinya ISPA dengan penyuluhan atau peningkatan pengetahuan masyarakat oleh
tenaga kesehatan Puskesmas dengan mengikutkan kader kesehatan.
Diharapkan para peneliti mengembangkan penelitian ini dengan menambah variabel
yang berhubungan dengan ISPA.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
132
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA BERAT BAYI LAHIR
DENGAN KADAR BILIRUBIN BAYI BARU LAHIR
DI RUANG PERINATOLOGI RSUD DR HARJONO PONOROGO
Tutiek Herlina*, Suparji*, Rizki Amalia**
ABSTRAK
Angka kematian bayi baru lahir di Indonesia masih tinggi, dengan penyebab utama di
antaranya ikterus neonatorum. Berat bayi lahir merupakan salah satu pencetus terjadinya
ikterus neonatorum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berat bayi
lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir.
Jenis penelitian ini survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi
penelitian adalah bayi baru lahir spontan tanpa komplikasi sebanyak 202. Sampel diambil
dengan teknik simple random sampling sebanyak 135. Variabel bebas adalah berat bayi
lahir dan variabel terikat adalah kadar bilirubin bayi baru lahir, yang diketahui dari data
rekam medik Rumah Sakit dr. Harjono. Analisis data menggunakan uji Chi square dan
contingency coefficient dengan α 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 88 berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi
(81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai kadar
bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%) mempunyai kadar
bilirubin normal, dan 7 bayi (14,9%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal. Hasil uji Chi
square adalah p=0,001 dan koefisien kontingensi= 0,543 maka disimpulkan ada hubungan
yang sedang antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir.
Disimpulkan bahwa berat bayi lahir berhubungan dengan kadar bilirubin, oleh karena
itu disarankan agar ibu hamil memperhatikan asupan nutrisi selama hamil untuk
mencegah berat bayi lahir tidak normal.
Kata kunci: berat bayi lahir, kadar bilirubin
*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Prodi Kebidanan Magetan
**=Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Prodi Kebidanan Magetan
PENDAHULUAN
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi. Hasil SDKI tahun
2007, AKB 34 per-1000 kelahiran hidup, artinya dalam satu tahun sekitar 175.000 bayi
meninggal. Penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah prematuritas, BBLR, asfiksia
bayi baru lahir, tetanus neonatorum, dan ikterus pada bayi baru lahir (Martin, 2004). Faktor
penyebab ikterus menurut Manuaba (2010) yaitu: 1) Faktor maternal, meliputi: ras,
komplikasi kehamilan, dan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, 2) Faktor Perinatal,
yaitu: trauma lahir (sefalhematom, ekimosis), infeksi (bakteri, virus, protozoa), 3). Faktor
Neonatus, yaitu: prematuritas, genetik, polisitemia, obat (streptomisin, kloramfenikol,
benzyl-alkhohol, sulfisoxazol), rendahnya asupan ASI, berat lahir <2500 gram,
hipoalbuminemia. Bahaya dari ikterus adalah terjadinya Kern ikterus, yaitu kerusakan otak
akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus sriatum, talamus,
nukleus, subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara berat bayi lahir dengan
kadar bilirubin bayi baru lahir di RSUD dr Harjono Ponorogo.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan cross sectional, dengan
populasi bayi baru lahir spontan tanpa komplikasi sebanyak 202. Sampel diambil dengan
teknik simple random sampling sebanyak 135. Variabel bebas adalah berat bayi lahir dan
variabel terikat adalah kadar bilirubin bayi baru lahir. Pengumpulan data menggunakan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
133
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
data sekunder dari rekam medik Rumah Sakit dr. Harjono. Analisis data menggunakan uji
Chi square dan contingency coefficient dengan α 0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berat bayi lahir
65,2%
34,8%
BB normal
BB tidak normal
Gambar 1. Distribusi Frekuensi Berat Bayi Lahir
di Ruang Perinatologi RSUD dr. Harjono Ponorogo Bulan Desember 2011–Maret 2012
Berat bayi lahir sebagian besar (65,2%) tidak normal (Gambar 1). Berat bayi lahir
tidak normal di antaranya berat lahir rendah yaitu bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi 5 (5,68%), dan berat bayi lahir
lebih dari 4000 gram atau makrosemia 83 (94,32%).
Menurut Supariasa (2001), berat bayi lahir merupakan ukuran antropometri yang
paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat bayi lahir dipengaruhi oleh
faktor penyakit kronis, lingkungan fisik dan kimia, psikologis, endokrin, sosial ekonomi,
obat-obatan, genetik/herediter, dan gizi. Faktor–faktor tersebut dalam penelitian ini tidak
diteliti. Calon ibu seharusnya memperhatikan kehamilan dengan memberikan nutrisi pada
janin yang seimbang dan menghindari faktor-faktor yang mempengaruhi berat janin.
Kadar bilirubin
Bil. tidak
normal
58,5%
Bil.
Normal
41,4%
Gambar 2. Distribusi Frekuensi Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir
di Ruang Perinatologi RSUD dr. Harjono Ponorogo Bulan Desember 2011–Maret 2012
Sebagian besar bayi baru lahir (58,5%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal
(Gambar 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian ikterus neonatorum lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak ikterus. Menurut Ngastiyah (1997), ikterus
neonatorum juga disebut hiperbilirubinemia yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning. Menurut Surasmi (2003) pada bayi pemecahan sel darah merah kirakira 90 hari, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik
untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang
menyebabkan bayi kuning. Kadar bilirubin pada bayi baru lahir dipengaruhi oleh faktor
maternal meliputi ras, komplikasi kehamilan, induksi persalinan, pemberian ASI, faktor
perinatal meliputi trauma lahir, infeksi, faktor neonatus meliputi prematuritas, berat bayi
lahir, genetik, polisitemia, obat, dan hipoalbuminemia.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
134
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin
Bayi dengan berat lahir tidak normal sebagian besar (81,8%) mempunyai kadar
bilirubin tidak normal, sedangkan bayi dengan berat lahir normal sebagian besar (85,1%)
mempunyai kadar bilirubin normal (Tabel 1). Hasil uji statistik Chi-square adalah p = 0,000,
oleh karena p < α maka HO ditolak artinya ada hubungan antara berat bayi lahir dengan
kadar bilirubin bayi baru lahir di ruang perinatologi RSUD dr. Harjono, Ponorogo. Nilai
koefisien kontingensi 0,543 berarti mempunyai hubungan yang sedang.
Tabel 1. Berat Bayi Lahir dan Kadar Bilirubin
di Ruang Perinatologi RSUD Dr Harjono, Ponorogo Bulan Desember 2011–Maret 2012
Berat bayi lahir
Tidak normal
Normal
Total
Kadar bilirubin
Tidak normal
Normal
72 (81,8%)
16 (18,2%)
7 (14,9%)
40 (85,1%)
79 (58,5%)
56 (41,5%)
Total
88 (100%)
47 (100%)
135 (100%)
Hasil penelitian ini memperkuat pernyataan Indriyani (2010) bahwa kadar bilirubin
tidak normal merupakan salah satu penyebab peningkatan angka kematian bayi dan
angka kesakitan bayi. Kondisi bayi dengan berat badan tidak normal akan meningkatkan
angka kejadian kadar bilirubin tidak normal. Menurut Anwar (2008), bayi yang memiliki
kadar bilirubin tidak normal terjadi dalam 1 minggu pertama kelahirannya terutama terjadi
pada berat bayi lahir tidak normal/ bayi kecil (berat lahir <2500 gram) dan bayi besar
(berat lahir >4000 gram) namun tidak menutup kemungkinan bahwa berat bayi normal
juga beresiko terkena hiperbilirubinemia. Menurut Supariasa (2002), bayi dengan berat
lahir lebih dari 4000 gram mempunyai resiko mengalami hipoglikemia yang mempengaruhi
sistem kerja hati dalam pengeluaran bilirubin. Ketika bilirubin yang tidak terkonjugasi pada
bayi baru lahir melampaui 20 mg/100 ml, terjadi suatu keadaan yang disebut Kern ikterus.
Menurut Surasmi (2003), kadar bilirubin dipengaruhi berat bayi lahir oleh karena
organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan
enzim glukoronil transferase yang belum cukup jumlahnya. Ikterus merupakan keadaan
normal bayi baru lahir, namun diperlukan pengamatan cermat antara ikterus fisiologis dan
patologis, sehingga dampak yang dihasilkan dapat dikendalikan. Penelitian oleh Emi
Yanthi di Ruang Kebidanan Mawar RSUD dr M. Yunus Bengkulu tahun 2009
menunjukkan hasil ada hubungan antara kejadian ikterus dengan berat badan bayi baru
lahir. Menurut Fraser (2009), ikterus bisa dicegah agar tidak terjadi peningkatan kasus
melalui pengawasan antenatal yang baik, menghindari obat-obatan yang dapat
meningkatkan ikterik bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, penggunaan fenobarbital
pada ibu 1-2 hari sebelum partus, imunisasi yang baik di bangsal bayi yaitu hepatitis B
pada 0-7 hari pertama dan pemberian makanan yang dini (IMD) dan pencegahan infeksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan penelitian ini adalah: 1) sebagian besar bayi di RSUD dr Harjono
Ponorogo (65,2%) mempunyai berat badan lahir tidak normal, 2) sebagian besar bayi baru
lahir di RSUD dr Harjono Ponorogo (58,5%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, 3)
ada hubungan yang sedang antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin di RSUD dr
Harjono Ponorogo.
Selanjutnya disarankan agar ibu hamil lebih memperhatikan asupan makanan
selama kehamilan untuk mencegah berat bayi lahir tidak normal sehingga dapat
mencegah terjadinya ikterus neonatorum.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
135
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, 2008. Penyebab Ikterus Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir. Diakses dari
www.wordpress.com (tanggal 29 April 2012)
Arifin, Zaenal, 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan, Fisiologi, Teori dan
Aplikasinya. Surabaya: Lentera Cendekia.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian & Kewarganegaraan. Surabaya: Bina
Pustaka Tama
Bagaspati.
2009.
Mengenal
ikterus
neonatorum,
bersumber
dari
http://www.smallcrab.com. (diakses pada 20 Maret 2012)
Behrman, Kliegman Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics)
edisi 15 vol 1. Jakarta: EGC.
Budiarto, Eko. 2004. Metodologi penelitian kedokteran. Jakarta: EGC
Depkes. R.I. 2005. Buku kesehatan Ibu dan anak. Jakarta.
Dinkes Provinsi Jatim. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jatim 2010. http://dinkes. jatimprov.
go.id (diakses tanggal 02 Mei 2012)
Eny Retna Ambarwati, 2009. Bayi Berat Lahir Rendah. BBLR http://enyretnaambarwati.
blogspot.com/2009/12/bblr.html. Artikel diakses pada tanggal 3 Juni 2010.
Ester, Monica, 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC
Fraser, Diane M.et al. 2009. Buku Ajar Kebidanan Myles. Edisi 14. Jakarta: EGC
FKUI, 2007. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I cetakan kesebelas. Jakarta: EGC
Hidayat, A. 2007, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC
. 2011. Pengantar Ilmu keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba Medika.
Indriyani S, Retayasa I.W, Surjono A, Suryantoro P. Percentage birth weight loss and
hyperbilirubinemia during the first week of life in term newborns. Paediatr Indones.
2010; 49(3):149-54
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta: Media Aesculapius.
Manuaba, Ida, Bagus Gede. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan dan KB untuk
pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Martin CR, cloherty JP.2004 Neonatal hyperbilirubinemia.Manual of neonatal care,
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins;
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Saifuddin, AB. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: YBP-SP.
.2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: YBP-SP.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supariasa, IDN, Bakri B dan Fajar, 2002, Penilaian status gizi ,EGC, Jakarta
Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC
Suresh GK, Clark RE. 2004. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent
kernicterus in newborn infants. Pediatrics
Tiran, Denise. 2006. Kamus Saku Bidan Edisi 10. Jakarta: EGC.
. 2008. Buku acuan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar.
Jakarta: JNPK-KR.
WHO. 2007. Perinatal Mortality in 2005. http://www.who.int/en/(diakses 25 Maret 2012)
Wijaya,
Awi
Muliadi,
MKM.
2009.
http://www.infodokterku.com/index.php
?option=com_content & view=article&id=92: kondisi- angka- kematian-neonatal- akn
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
136
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
– angka –kematian – bayi – akb – angka - kematian-balita-akbal – angka – kematian
– ibu – aki – dan – penyebabnya - di indonesia&catid =40:data&Itemid=54
Yanthi, Emi (2009). Gambaran kejadian ikterus neonatorum ditinjau dari berat badan bayi
baru lahir yang dirawat di ruang kebidanan (Mawar) RSUD dr M.Yunus Bengkulu
tahun 2008-2009.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
137
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR SUMUR GALI SECARA BAKTERIOLOGIS
DENGAN PENDERITA DIARE
DI DESA MADIGONDO KECAMATAN TAKERAN KABUPATEN MAGETAN
Vincentius Suprijono*, Djoko Windu P. Irawan*
ABSTRAK
Lebih dari 50% masyarakat masih mengandalkan sumur gali sebagai sumber air
bersih atau air minum. Dari sudut kesehatan masyarakat, kondisi ini kurang
menguntungkan karena sumur gali mudah mengalami pencemaran baik dari lingkungan
maupun dari perilaku manusia sendiri.
Sampel penelitian cross sectional ini adalah air sumur gali, sumur pompa tangan,
sumur pompa elektrik, serta air sumur gali yang telah mendapatkan klorinasi. Variabel
bebas penelitian adalah kandungan bakteri Coliform pada air bersih sumur gali yang
diperiksa MPN golongan Coliform dan MPN golongan Colitinja, dan variabel terikat adalah
kualitas bakteriologis air bersih. Data yang dikumpulkan berupa: 1) sarana fisik sumur gali,
2) kebersihan lingkungan di sekitar sumur gali. Data kualitas bakteriologis air bersih
dikumpulkan melalui pemeriksaan laboratorium.
Penelitian menyimpulkan bahwa angka kesakitan diare yang terjadi di Desa
Madigondo ada hubungannya dengan kualitas air bersih sumur gali yang digunakan
sehari-hari untuk kebutuhan hidup. Selanjutnya disarankan perlunya peningkatan program
penyuluhan kepada masyarakat setempat tentang hubungan antara penyediaan air bersih
dengan kejadian penyakit diare.
Kata kunci: air bersih, kualitas bakteriologis, diare
*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Magetan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada hakekatnya air merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan dan juga
merupakan sumber dasar untuk kelangsungan hidup di atas bumi. Tubuh manusia
mengandung 60–70% air dari seluruh berat badan. Bila terjadi kehilangan 20% saja dari
tubuh (misalnya karena diare) dapat menyebabkan kematian (Djasio Sanropie, 1984:4).
Pengalaman telah membuktikan bahwa secara epidemiologis ada keterkaitan yang
erat antara masalah air bersih dengan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan
melalui air, seperti diare dan beberapa penyakit lain. Penyakit diare ini masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, hal ini disebabkan
masih tingginya angka kesakitan. Diare menyebabkan kehilangan cairan tubuh (dehidrasi)
yang dapat mengakibatkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang tepat, dan
beberapa etiologi diare dapat menimbulkan letupan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Angka kesakitan diare saat ini adalah 230–330 perseribu penduduk untuk semua
golongan umur dan 1,6-2,2 episod diare setiap tahunnya untuk golongan umur balita.
Angka kematian diare pada golongan umur balita adalah 4 perseribu balita (Buku Ditjen
PPM dan PLP Pelaksanaan Program Diare di Puskesmas Th. 1999/2000).
Hasil sensus penduduk (1990), menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang
menggunakan air sistem perpipaan sebagai sumber air, baik di perkotaan maupun
pedesaan meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya, namun cakupannya
masih relatif kecil yaitu 33,0% perkotaan, dan 4,6% pedesaan. Lebih dari 50% masyarakat
masih mengandalkan sumur gali sebagai sumber air bersih atau air minum. Dari sudut
kesehatan masyarakat, kondisi ini kurang menguntungkan karena sumur gali mudah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
138
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
mengalami pencemaran baik dari lingkungan maupun dari perilaku manusia sendiri (Ditjen
PPM dan PLP Depkes RI 1995:3).
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian cross sectional ini adalah air bersih dari sumur gali di Desa
Madigondo Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan, terdiri atas: sumur gali = 289,
sumur pompa tangan = 33, dan sumur pompa elektrik = 17. Sampel ditentukan sebagai
berikut:
1. Air sumur gali dengan kondisi sarana fisik serta lokasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan, angka diare lebih tinggi serta berdekatan dengan buangan limbah rumah
tangga, dibanding dengan kondisi sumur yang memenuhi syarat kesehatan = 10 lokasi
2. Air sumur pompa tangan dengan sarana fisik, lokasi memenuhi syarat kesehatan dan
lokasi buangan sampah jaraknya kurang lebih 11 meter, angka diare nihil = 5 lokasi
3. Air sumur pompa elektrik dengan sarana fisik serta lokasi memenuhi syarat kesehatan,
angka diare nihil = 5 lokasi.
4. Pengambilan sampel tahap kedua adalah sampel setelah perlakuan, dengan klorinasi
pada 10 lokasi pertama karena tidak memenuhi standar kesehatan (MPN golongan
Coliform maupun MPN golongan Colitinja >2400 per 100 ml), yaitu dengan
penambahan Natrium Hypochlorit dengan perbandingan liter air ditambahkan sebanyak
0,03 mg.
Variabel bebas penelitian adalah kandungan bakteri Coliform pada air bersih sumur
gali yang diperiksa MPN golongan Coliform dan MPN golongan Colitinja, dan variabel
terikat adalah kualitas bakteriologis air bersih dari sumur gali yang diperiksa, sedangkan
variabel kendali adalah jarak sumur gali-septic tank (3-5 meter), jarak sumur gali-limbah
domestik (<5 meter dan menggenang).
Data primer yang dikumpulkan adalah hasil pengamatan: 1) sarana fisik sumur gali,
2) kebersihan lingkungan di sekitar sumur gali. Data kualitas bakteriologis air bersih
dikumpulkan melalui pemeriksaan laboratorium menurut Ditjen P2M dan PLP Depkes RI
(1993).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Tabel 1. Data Sampel dari Sumur Gali dengan Angka Kesakitan Diare Positif,
Sarana Fisik Kurang Baik, Jarak Sumur ke Septic tank dan Limbah Domestik <5 Meter
Kode
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
Jenis Sampel
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Air Bersih sumur Gali
Tanggal
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
24-04-2001
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Waktu
09 10
09 25
10 30
10 50
11 15
11 35
12 05
12 25
12 40
13 05
Keterangan
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
139
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Tabel 2. Data Sampel dari Sumur Pompa Tangan dengan Angka Kesakitan Diare Positif,
Sarana Fisik Baik, Jarak Sumur ke Septic tank dan Limbah Domestik >10 Meter
Kode
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
Jenis Sampel
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Air Bersih SPT
Tanggal
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
25-04-2001
Waktu
09 30
10 05
10 35
10 50
11 20
11 45
12 15
12 30
13 55
14 25
Keterangan
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Tabel 3. Data Sampel dari Sumur Gali Pasca Perlakuan (Klorinasi),
Sarana Fisik Kurang Baik, Jarak Sumur ke Septic tank dan Limbah Domestik <5 Meter
Kode
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
Jenis Sampel
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Tanggal
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
9 Mei 2001
Waktu
09 30
09 50
10 15
10 30
10 50
11 05
11 25
11 45
12 10
12 30
Keterangan
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Angka Kesakitan Diare (+)
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Air Bersih Sumur Gali Pra Perlakuan
Kode
Tanggal
Jenis Sampel
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Hasil Pemeriksaan
MPN
MPN
Caliform Colitinja
2400
2400
920
1600
1200
1600
2400
2400
2400
2400
2400
2400
1600
2400
1600
2400
920
1600
1600
2400
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Jumlah
Penderita Diare
Semua Umur
5
2
3
5
4
4
3
4
2
3
140
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Air Bersih
Sumur Pompa Tangan dan Sumur Pompa Listrik
Kode
Tanggal
Jenis Sampel
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
26-04-2001
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Air Bersih SPL
Hasil Pemeriksaan
MPN
MPN
Caliform Colitinja
43
0
46
2
43
0
43
0
34
0
31
0
43
0
46
2
31
0
31
0
Jumlah
Penderita Diare
Semua Umur
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Air Bersih Sumur Gali Pasca Perlakuan
Kode
Tanggal
Jenis Sampel
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
10-05-2001
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Air Bersih SG
Hasil Pemeriksaan
MPN
MPN
Caliform Colitinja
46
11
49
11
46
9
11
46
9
43
49
11
33
8
46
9
46
9
40
11
Jumlah
Penderita Diare
Semua Umur
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan dilapangan ditemukan beberapa sumur gali dengan fisik
sumur tidak memenuhi syarat kesehatan serta lokasi sumur dari septic tank maupun dari
buangan limbah domestik juga tidak memenuhi syarat standar kesehatan seperti telah
ditetapkan oleh Ditjen PLP dan Penyehatan Air Depkes RI, karena lokasi sumur dengan
tempat-tempat yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran kebanyakan <5 meter
sehingga tingkat pencemaran yang terjadi dimungkinkan sangat tinggi. Jarak ideal antara
sumur dengan septic tank atau limbah domestik minimal 10 meter untuk mencegah
terjadinya pencemaran dari air sumur yang digunakan sebagai air bersih konsumsi.
Hasil pemeriksaan kualitas air bersih sumur gali sebagai konsumsi dengan MPN
Coliform maupun Colitinja tidak memenuhi standar kesehatan menurut Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990, ditunjang data Puskesmas Takeran. Dengan data MPN Coliform
maupuan Colitinja diadakan perlakukan terhadap air sumur tersebut yaitu pemberian
Natrium Hipokhlorit guna menurunkan MPN Coliform maupun MPN Colitinja. Sebelum dan
setelah perlakuan menunjukkan adanya penurunan angka MPN Coliform dan MPN
Colitinja yang sangat signifikan sehingga memenuhi syarat kesehatan atau tidak dapat
menimbulkan penyakit bila dikonsumsi sebagai air bersih untu keperluan sehari-hari.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
141
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa dari 10 contoh air bersih sumur gali
dengan sarana fisik tidak memenuhi standar kesehatan angka kesakitan diare tinggi
menunjukkan MPN Coliform dan Colitinja tinggi, sebagai pembanding diperiksa 5 contoh
air bersih sumur pompa listrik dengan jarak lokasi sumur dengan septic tank atau lokasi
pembuangan limbah domestik sesuai standar kesehatan, angka kesakitan diare nihil
menunjukkan hasil MPN Coliform dan MPN Colitinja sebelum perlakuan, sesudah
perlakuan dan grafik angka kesakitan diare, sehingga dapat disimpulkan angka kesakitan
diare yang terjadi di Desa Madigondo tersebut ada hubungannya dengan kualitas air
bersih sumur gali yang digunakan sehari-hari untuk kebutuhan hidup.
Berdasarkan kesimpulan, maka disarankan:
1. Perlu peningkatan program tentang penyuluhan kepada masyarakat setempat
mengenai pentingnya kesehatan lingkungan khususnya tentang hubungannya
penyediaan air bersih dengan kejadian penyakit diare.
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut sebagai kelanjutan dan dari penelitian ini guna
mewujudkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 yaitu untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal dan memperpanjang harapan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
A. Tresna Sastra Wijaya. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
C. Totok Sutrisno, Eny Suciati. 1991. Tehnologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka
Cipta.
Dinkes Jatim. 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan P 2 Diare di Puskesmas. Program P2
Diare Surabaya: Dinkes Jatim.
Direktorat Penyehatan Air. 1998. Pedoman Penyehatan Air Bagi Petugas PUSKESMAS.
Jakarta: Ditjen PPM dan PLP Depkes RI.
Djasio Sanropie dkk. 1983. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih. SPPH Depkes.
----------. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih, Penerbit APK–TS Depkes RI
Dwidjosepoetro. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi XII. Malang: Djambatan.
Hasan Sadily dkk. 1993. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Ichtiar Boruvan Hoeve, Jakarta.
H. Harold Fritman H. 1986. Diagnosis Medis Berorientasikan Masalah. Jakarta : FKUI.
Hening Darpito. 1994. Pedoman Pelaksanaan Pengawasa Kualitas Air Minum. Edisi I.
Jawetz, Melnick & Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XX. Jakarta : KFUI.
Juli Soemirat Slamet. 1997. Kesehatan Lingkungan. Bandung: Gajah Mada University
Pres.
R. Hening Darpito dkk. 1996. Pedoman Tehnik Perbaikan Kualitas Air Dan Pembuatan
Sumur Gali.
----------. 1991. Penyehatan Air Bagi Petugas Pembinaan Kesehatan Lingkungan Dati II.
Jakarta: Depkes RI.
----------. 1993. Pedoman Pelatihan Tehnis Laboratorium Pemeriksaan Bak Teriologis Air.
Jakarta: Depkes RI.
Soekidjo Notoatmodjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan Lingkungan. edisi I.
Jakarta: Rineka Cipta.
Soenarjo.1995, Buku Pedoman Bagi Para Pengelola Program Penyehatan Air, Jakarta:
Ditjen PPM dan PLP Depkes RI.
----------. 1995. Penyehatan Air Dalam Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih.
Srikandi Fardiaz. 2000. Polusi Air Dan Udara. Edisi I, Bogor: Kanisius Pertanian Bogor.
Unus Suriawira. 1996. Mikrobiologis Air dan Dasar–Dasar Pengolahan Ruangan Secara
Biologis. Bandung: Albumin
Walujodjati dkk.1981. Dasar-Dasar Penyediaan Air Minum. Surabaya: SPPH.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
142
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
ANALISIS KINERJA PENANGGUNG JAWAB PROGRAM TB PUSKESMAS
DALAM PENEMUAN KASUS BARU TB BTA POSITIF
DI PUSKESMAS KABUPATEN BANGKA TENGAH
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Dedek Sutinbuk*, Atik**, Lucia**
ABSTRACT
Data from the health districts of Central Bangka years 2009-2011 shows that the
achievement of the discovery of new cases of smear positive TB for three years 2009
34.37% 2010 41.88% 2011 37.22%. based on a preliminary survey of the problems that
occur are not the focus of the program responsible for implementing the activities in the
discovery of new cases. purpose of this study is to explain how the program responsible
for the performance of the discovery of new cases of TB in smear-positive TB.
Design of this study was a qualitative descriptive cross sectional approach. entire
study population was responsible for TB programs in health centers and district Central
farts sampled as many as 4 people from the selected health centers. interview data
collected with the deepest (indepht interview) and data processing is then performed using
the method of content analysis.
Results showed that the performance of the program responsible for the discovery of
new cases of TB have not been good, because it did not have integrated health counseling
in their own schedules, capture suspect waiting at the health center, cases were found in
the last three months is still far from the target, the responsible program will not make POA
for the submission of the budget, it is good enough knowledge, perception of leadership
guidance, advice and frequently asked how far the activities already carried out, the
perception of the consideration received less satisfaction, perception of workload is still felt
quite heavy, motivation and attitudes in charge of the program is good enough.
Conclusions of this study is responsible for program performance and the factors
associated with good performance for it is not fully recommended to public health in order
to create a special program to enhance the discovery, made provisions in the distribution
of benefits and to reduce the workload immediately provide training to other officers . while
for the clinic are advised to make their own schedule in implementing the activities,
increase motivation in charge of the program by way of reward, train and provide
incentives to become an active cadre to cadre.
Key words: the discovery of new cases, the responsible program, the performance
*= STIKES Abdi Nusa Pangkalpinang, Babel
**= Ilmu Kesehatan Masyarakat, PPs UNDIP, Semarang
PENDAHULUAN
Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB
BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien
tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat
prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun
1990, dan mencapai tujuan millennium development goals (MDGs) pada tahun 2015.1
Berdasarkan data sekunder dari bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, untuk penemuan
kasus baru TB BTA positif, hampir semua Kabupaten belum pernah mencapai target,
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
143
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
hanya Kota Pangkalpinang saja yang sudah mencapai target, tetapi wilayah Kabupaten
Bangka Tengah dalam pencapaian target selalu berada di urutan terendah.
Penemuan kasus TB di Kabupaten Bangka Tengah selama 3 tahun terakhir belum
pernah mencapai target. Pada tahun 2009, 2010 dan 2011 tercapai 34,37%, 41,88% dan
37,22%. Survei pendahuluan menunjukkan bahwa sebagian besar penanggung jawab
program mengatakan penyuluhan mengenai TB jarang dilakukan dan hanya dilakukan di
Posyandu, penjaringan kasus hanya menunggu pasien datang ke Puskesmas. Selain itu
kinerja penanggung jawab program TB puskesmas tergolong rendah dapat juga di
sebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya dukungan dari kepala puskesmas dengan
bukti kepala puskesmas hanya memantau lewat laporan (tak pernah bertanya kepada
petugas tentang tugas yang telah dijalankan), imbalan yang tidak sesuai dengan tanggung
jawab. Semua penanggung jawab program mengatakan memiliki tugas rangkap, di satu
Puskesmas penanggung jawab program merangkap sebagai petugas laboratorium,
seorang penanggung jawab program mengatakan bahwa setelah diketahui ada suspek TB
di wilayahnya, mereka tidak mendatangi pasien, hanya menunggu pasien datang ke
puskesmas. Kerja sama lintas sektor kurang maksimal, sebagai contoh kepala desa tidak
pernah mengundang penanggung jawab program ketika ada kegiatan di desa dan
kerjasama dengan kader di masing-masing desa belum maksimal dengan bukti kader
kadang-kadang tidak memberikan informasi apabila ada suspek TB paru.
Menurut Gibson ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku dari kinerja
yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Perilaku yang
berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang
harus dilaksanakan untuk mencapai sasaran.2 Berdasarkan keadaan di atas maka perlu
diteliti bagaimana kinerja penanggung jawab program TB dalam penemuan kasus baru TB
BTA positif di puskesmas wilayah kerja kabupaten Bangka Tengah.
METODE PENELITIAN
Penelitian kualitatif ini dilakukan pada bulan Maret-April 2012 di Puskesmas
Kabupaten Bangka Tengah. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Variabel
penelitian ini adalah: kinerja, pengetahuan, kepemimpinan, imbalan, beban kerja, motivasi,
sikap. Data diperoleh melalui indepth interview dan telaah dokumen. Pengolahan dan
analisis data dilakukan dengan menggunakan metode content analysis.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kualitas dalam penemuan kasus baru
Terkait dengan kegiatan untuk meningkatkan penemuan kasus baru sesuai yang
dikatakan informan utama dan triangulasi, semua sudah melakukan penyuluhan, menjaring
suspek kunjungan rumah dan jemput bola tetapi penyuluhan hanya mengikuti jadwal
Posyandu, penanggung jawab program tidak pernah membuat jadwal sendiri, menjaring
suspek hanya menunggu di Puskesmas seperti petikan wawancara berikut: “Kami nunggu
pasien datang ke Puskesmas bae” tetapi untuk pengisian laporan sudah lengkap karena
harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan tetapi dalam bekerja mereka tidak mempunyai SOP
khusus hanya mengacu ke panduan nasional dari Depkes saja.
Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa kualitas merupakan aspek pada standar
pekerjaan yang meliputi: ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan, tingkat kemampuan dalam
bekerja, kemampuan menganalis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan
mesin/peralatan, dan kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).3
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
144
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Menurut Penelitian Jamhariyah (2011) ada beberapa hal yang dianggap sebagai
pupuk untuk menyuburkan kinerja karyawan didalam suatu organisasi, antara lain;
hubungan yang saling mendukung dan saling mempercayai harus dikembangkan,
organisasi dan anggotanya menetapkan sasaran-sasaran yang spesifik dan dapat diukur,
ketrampilan harus dikembangkan, pengalaman anggota dalam pekerjaan harus
dikembangkan agar berubah menjadi pengalaman yang positif.4
2. Kuantitas dalam penemuan kasus baru
Terkait dengan temuan kasus dalam waktu tiga bulan terakhir sesuai dengan yang
dikatakan informan utama dan triangulasi belum pernah tercapai target tetapi setelah kasus
ditemukan mereka selalu melakukan pemantauan sampai kepada tingkat kesembuhan
seperti petikan wawancara berikut: “Kami pantau lah buk...seperti misal e dalam
pengobatan mereka selalu ku ingetin tuk ngambil obat.
Kuantitas kinerja adalah merupakan aspek pengukuran kinerja yang meliputi : proses
kerja dan kondisi pekerjaan, waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan
pekerjaan, jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, jumlah dan jenis pemberian
pelayanan dalam bekerja.5 Kuantitas, dinyatakan dalam bentuk jumlah output, atau
persentase antara output aktual dengan output yang menjadi target.
3. Ketepatan waktu dalam penemuan kasus baru
Sesuai dengan yang dikatakan informan utama dan triangulasi untuk kegiatan dalam
penemuan sebagian besar mengatakan tidak pernah membuat jadwal seperti misalnya
kegiatan penyuluhan penanggung jawab program hanya mengikuti jadwal posyandu tidak
pernah membuat jadwal sendiri tetapi terkadang mereka juga tidak bisa mengikuti jadwal
Posyandu tersebut karena banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan sehingga tidak
fokus dalam pelaksanaan kegiatan penemuan tersebut seperti petikan wawancara berikut:
“Dak pacak sesuai jadwal inti e dak fokus ke situ”.
Mangkunegara mengemukakan, bahwa ketepatan waktu dinyatakan dalam bentuk
pencapaian batas waktu yang ditentukan, jumlah unit/kegiatan yang dapat di selesaikan
tepat waktu. Pada dasarnya, ukuran ketepatan waktu mengukur apakah orang melakukan
apa yang dikatakan akan dilakukan.3
4. Efektivitas sumber daya dalam penemuan kasus baru
Efektifitas sumberdaya yaitu ketersediaan sarana prasana dalam mendukung
pelaksanaan kegiatan penemuan kasus baru semua informan mengatakan sarana
prasarana tersedia cukup di Puskesmas setiap penanggung jawab program telah diberikan
motor dinas akan tetapi ada penanggung jawab program yang tidak berani turun lapangan
sendiri dengan alasan kondisi wilayah kurang baik seperti petikan wawancara berikut:
“Tersedia cukup saya di kasih motor dinas untuk turun ke lapangan tapi aku dak berani
turun lapangan sendiri karena kondisi wilayah di sini tu hutan semua trus jalan nya agak
jelek” sedangkan dana operasional berasal dari dana BOK tetapi penanggung jawab
program tidak mau membuat POA untuk pengajuan anggaran dengan alasan urusan
administrasinya ribet seperti petikan wawancara berikut: “Kita ni suka males buat
pengajuan untuk dan BOK tu karena lebih ribet harus ada dokumentasi/bukti bahwa kita
sudah penyuluhan seperti foto-foto, tanda tangan peserta yang hadir jadi dak kita ajukan
dananya trus memang kan penyuluhan kita nebeng posyandu jadi kita dak minta dana”.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
145
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Hal ini sejalan dengan penelitian Jamhariyah (2011) yang mengatakan bahwa belum
semua penanggung jawab program memanfaatkan sumber dana yang ada secara optimal,
dapat dilihat dari ketersedian dana akan tetapi penanggung jawab program tidak mau
membuat POA untuk pengajuan dana operasional.4
Sumber daya merupakan variabel manajemen yang penting dan yang paling banyak
disebutkan sebagai variabel yang berpengaruh dalam proses pelaksanaan program.
Sumber daya merupakan faktor penting untuk pelaksanaan program supaya efektif. Apabila
pelaksana kekurangan sumber daya maka program tidak akan berjalan efektif. Hal ini
sesuai pendapat Subarsono (2005) bahwa ketersediaan sumber daya akan berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi.6
5. Kebutuhan akan supervisi dalam penemuan kasus baru
Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi supervisi dari Dinas
Kesehatan dilakukan oleh wasor dan kasie P2PL rutin pertriwulan ada pemberitahuan
sebelum pelaksanaan dan materi yang disampaikan adalah berupa arahan untuk mencapai
target penemuan dan informasi yang terbaru tetapi selain itu mereka mengisi daftar tilik
seperti petikanwawancara berikut: “Informasi baru lah buk kalo dorang habis monev di
Propinsi kadang2 kasih tau cara untuk meningkatkan penemuan e cheklis juga lah”
Supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah sudah
sesuai dengan ketentuan yang ada seperti yang tertuang di panduan nasional dari Depkes
bahwa pelaksanaan supervisi harus mempunyai persiapan seperti: penyusunan jadwal
supervisi, pemberitahuan jadwal supervisi ke unit yang akan disupervisi, pengembangan
daftar tilik supervisi dan penyiapan bahan-bahan yang perlu dibawa serta pada waktu
supervisi. Supervisi dilakukan secara berjenjang setiap 3 bulan sekali. Tetapi pada keadaan
tertentu frekuensi supervisi dapat ditambah, misalnya: pada tahap awal pelaksanaan
program, bila pelatihan baru selesai dilaksanakan, bila kinerja dari suatu unit kurang baik
seperti jumlah suspek yang diperiksa terlalu sedikit, jumlah pasien TB yang diobati terlalu
sedikit, angka konversi dan/atau angka kesembuhan rendah, dan hasil uji silang (cross
chek) pemeriksaan sediaan dahak ditemukan ada kesalahan besar atau ada 3 kesalahan
kecil pada satu siklus uji silang, atau sediaan jelek ≥ 10%. Tetapi frekuensi supervisi dapat
dikurangi bila kinerja petugas TB sarana pelayanan kesehatan tersebut sudah baik, namun
demikian semua petugas sarana pelayanan kesehatan tetap perlu mendapat supervisi
supaya motivasi petugas tetap terjaga dan dapat membantu dalam melaksanakan
kegiatan.7 Hal ini sejalan dengan penelitian Jamhariyah (2011) bahwa supervisi yang efektif
diperlukan suatu rencana yang rinci dan koordinasi serta terarah dan sistimatis. Supervisi
perlu direncanakan dengan baik sesuai jadual dan dilakukan rutin, ada umpan balik hasil
supervisi kepada bidan desa agar dapat membantu sesuai kebutuhan misalnya bila ada
kekurangan dan masalah dalam pelayanan neonatus. Dengan demikian dapat berdampak
terhadap peningkatan hasil cakupan pelayanan neonatus sesuai yang diharapkan.4
6. Pengaruh Hubungan Interpersonal
Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi kerjasama dalam hal
melakukan kegiatan penemuan sudah dilakukan dengan pihak dalam Puskesmas seperti
dr. Poli, petugas lab dan pihak luar kader, bidan desa, perawat yang ada di Pustu bentuk
kerjasama yang sudah dilakukan dr. Poli mendiagnosa pasien petugas lab melakukan cek
dahak sedangkan yang memberikan info suspek bidan desa dan kader tetapi sering
mengalami kendala dalam melakukan kerjasama ini seperti kader jarang memberikan
informasi kalau ada pasien suspek di wilayah kerjanya sepertii petikan wawancara dibawah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
146
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
ini: “kalo dg petugas lab& dr dakde kendala tapi dengan kader ni dorang ni kan dak
menginformasikan ke kita kalo ade suspek mungkin karena dak dpt insentif kali ok”
Pengaruh hubungan personal adalah derajat atau tingkatan kinerja mampu
mengekspresikan diri, kemauan baik, itikat baik, kerjasama sesama karyawan maupun
bagian sub ordinatnya.12 Dampak hubungan interpersonal adalah suatu tingkatan dimana
kinerja mampu meningkatkan perasaan, penghargaan diri, keinginan, kepuasan kerja serta
dapat meningkatkan kerjasama dan kekompakan.3
7. Pengetahuan dalam penemuan kasus baru
Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi pengetahuan penanggung
jawab program mengenai TB sudah cukup baik ini terlihat masing-masing penanggung
jawab program dapat menjabarkan dengan baik pengetian TB dan tujuan penemuan kasus
baru, penanggung jawab program mendapatkan pengetahuan dari pelatihan yang sudah
diikuti tetapi menurut kasie P2PL selain dari pelatihan penanggung jawab program dapat
memperoleh pengetahuan mengenai TB dari buku dan modul yang ada di Dinas Kesehatan
sebagaimana petikan wawancara berikut: “Petugas bisa mendapatkan pengetahuan dari
pelatihan ataupun modul dan buku-buku yang ada ya...banyak kok asal mereka mau aja”
Menurut Notoatmodjo9 Pengetahuan adalah kemampuan intelektual responden yang
mencakup pemahaman materi. Pengetahuan merupakan proses mencari tahu, dari yang
tadinya tidak tahu menjadi tahu, dan tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari tahu
ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui proses pendidikan,
pelatihan maupun melalui pengalaman.
8. Persepsi terhadap kepemimpinan dalam penemuan kasus baru
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama mengenai persepsi terhadap
kepemimpinan dalam penemuan kasus baru TB BTA positif yang mana sebagian besar
mengatakan dukungan yang diberikan kepala Puskesmas cukup baik kepala Puskesmas
sering memberikan saran, pengarahan dan bertanya sejauhmana kegiatan yang sudah
dilakukan penanggung jawab program sebagaimana petikan wawancara berikut: “Kapus
kami ni lumayan bagus lah buk sering kasih saran, pengarahan, berbagi wawasan terkait
dengan TB yang ade di wilayah kerja Puskesmas” tetapi berbeda hal nya dengan
pernyataan wasor dan kasie mereka mengatakan sebagian besar kepala Puskesmas
kurang peduli dengan kegiatan yang terkait dengan penemuan kasus baru karena kepala
Puskesmas belum terlibat langsung seperti tidak pernah turun mendampingi penanggung
jawab melakukan penyuluhan.
Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Umar (2002) Kepemimpinan adalah sebagai
proses pengarahan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para
anggota kelompok, pendapat Janies A.F Stoner yang dikutip Umar10 selanjutnya
kepemimpinan adalah sebagai proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami
dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara
efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan
bersama.11
9. Persepsi terhadap imbalan dalam penemuan kasus baru
Berdasarkan wawancara dengan informan utama mengenai persepsi mereka
terhadap imbalan yang diterima dalam penemuan kasus baru semua mengatakan telah
menerima imbalan dan imbalan yang diterima berupa uang tetapi ada satu informan yang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
147
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
berasal dari Puskesmas dengan penemuan tertinggi yang jauh dari kota mengatakan
pernah mendapatkan reward karena penemuan kasus tercapai target pada tahun 2009,
terhadap imbalan yang diterima sebagian besar penanggung jawab mengatakan belum
puas karena sistem pemabagian nya sebagaimana petikan wawancara berikut: “He..heee
puas lah yuk tapi karena dibagi-bagi tu dak puas juga kami ni bingung sistem
pembagiannya tapi kita dak mau nanya lah nanti dikira orang-orang kita ni begawe nak duit
bae, pembagian e tu 40% kita 40% petugas lab dan 20% ke dr poli yang memberikan
suspek ke kita itulah terkadang kita dak enak kasih ke dr nya cuma 20% sedikit kan jadi
kadang kita tahan dulu sampai banyak”
Imbalan merupakan kompensasi yang diterimanya atas jasa yang diberikan kepada
organisasi.12 masalah imbalan dipandang sebagai salah satu tantangan yang harus
dihadapi oleh manajemen suatu organisasi. Sistem imbalan yang baik adalah sistem yang
mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan
organisasi memperoleh, memelihara dan memperkerjakan sejumlah orang yang dengan
berbagai sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi.
Pemberian imbalan harus dikaitkan dengan tingkat kinerja karyawan, artinya dengan
imbalan yang semakin bertambah maka akan memacu karyawan untuk mencapai tingkat
kinerja yang tinggi.12
10. Persepsi terhadap beban kerja dalam penemuan kasus baru
Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi semua penanggung jawab
program mempunyai tugas rangkap selain sebagai penanggung jawab program TB ada
yang merangkap sebagai penanggung jawab program malaria, kusta, DBD, perawat poli
dan ada juga sebagai bendahara. Beban kerja yang dirasakan sangat berat sehingga
kegiatan dalam penemuan tidak bisa dikerjakan secara maksimal tetapi semua
penanggung jawab program masih bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai jam kerja.
Beban kerja merupakan tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena
pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban kerja berpengaruh terhadap
kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Pekerja yang mempunyai beban kerja
berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan memungkinan adanya inefisiensi waktu.
Para manajer harus memperhatikan tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban kerja
tidak hanya dipandang sebagai beban fisik akan tetapi sebagai beban kerja mental.13
11. Motivasi dalam penemuan kasus baru
Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi sebagian besar
penanggung jawab program termotivasi melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan
penemuan kasus baru karena rasa tanggung jawab, informan yang berasal dari Puskesmas
jauh dari kota mengatakan termotivasi karena akan mendapatkan reward dari Dinas
Kesehatan apabila mencapai target sebagaimana petikan wawancara berikut: “kalo misal
nya itu....ade reward sih dari dinas kami ni lah pernah dapet sekali trus seperti yang di
Pangkalpinang tu..tercapai target semua dorang di ajak ke Jakarta” tetapi ada juga yang
mengatakan kepala Puskesmas selalu memberikan motivasi berupa himbauan untuk terus
mengejar target.
Herzbeg dalam Danim14 mengembangkan teori motivasi dengan “model dua faktor”
(two factor theory) motivasi, teori ini dikenal dengan teori motivator-higienes. Herzberg
berpendapat bahwa ada faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi
seseorang dalam bekerja. Termasuk faktor instrinsik adalah prestasi yang dicapai,
pengakuan, dunia kerja, tanggung jawab dan kemajuan, dan yang termasuk kedalam faktor
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
148
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
ekstrinsik adalah hubungan interpersonal antar atasan dan bawahan, hubungan pribadi
antar bawahan, hubungan antar pribadi dengan kelompok, tehnik supervisi, kebijakan
administrasi, kondisi kerja dan kehidupan pribadi. Baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik
berpengaruh besar terhadap motivasi seseorang. Salah satu tujuan paling umum penilaian
kinerja karyawan di suatu perusahaan adalah untuk memotivasi kembali para karyawan
untuk melakukan perbaikan-perbaikan performansi di masa-masa yang akan datang.
12. Sikap dalam penemuan kasus baru
Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi mengenai pertanyaan
apakah setuju apabila kegiatan penemuan melibatkan masyarakat semua informan baik
yang berasal dari Puskesmas yang dekat dengan kota maupun yang jauh mengatakan
sangat setuju karena masyarakat terutama kader lebih mengetahui wilayahnya dan
sebagian besar mengatakan kunci keberhasilan penemuan kasus baru memang berada di
tangan penanggung jawab program kalau penanggung jawab program lebih aktif turun ke
lapangan pasti akan berhasil tetapi disamping itu kerjasama dengan tim baik tim di dalam
Puskesmas maupun tim yang berada di Puskesmas harus jalan juga sebagaimana petikan
wawancara berikut: “eee.. aok lah tapi dak mesti juga lah ok tanpa kerjasama tim juga
mungkin dak bisa berhasil”
Salah satu yang mempengaruhi kinerja adalah sikap individu apabila sikap individu
baik terhadap obyek tertentu, orang tertentu, atau peristiwa tertentu semakin baik maka
tingkat kinerja individu semakin tinggi. Gibson mendefinisikan sikap adalah kesiapsiagaan
mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh
tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek dan situasi yang
berhubungan dengannya.7
SIMPULAN
1. Kualitas belum sepenuhnya baik karena kegiatan untuk meningkatkan penemuan
memang sudah dilakukan hanya saja cara melakukan kegiatan tersebut belum
maksimal seperti kegiatan penyuluhan hanya dilakukan di Posyandu berbarengan
dengan jadwal posyandu penanggung jawab program tidak mempunyai jadwal sendiri
dalam pelaksanaan kegiatan, menjaring suspek kebanyakan penanggung jawab
program hanya menunggu di Puskesmas.
2. Kuantitas masih belum baik terlihat dari kasus yang sudah ditemukan dalam tiga bulan
terakhir untuk semua Puskesmas masih jauh dari target tetapi setelah ditemukan
kasus selalu dipantau dalam hal pengobatan sampai pada tingkat kesembuhan.
3. Ketepatan waktu belum baik karena semua penanggung jawab program baik yang
berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota tidak pernah membuat
jadwal khusus dalam melaksanakan kegiatan akan tetapi masih bisa menyelesaikan
sesuai jam kerja.
4. Efektivitas sumber daya sudah cukup baik karena sarana prasarana pendukung
kegiatan sudah tersedia cukup di masing-masing Puskesmas, dana operasional
berasal dari BOK hanya saja penanggung jawab program tidak mau membuat POA
untuk pengajuan dana dan setiap penanggung jawab program sudah diberikan motor
dinas akan tetapi ada satu orang yang tidak berani turun kelapangan sendiri dengan
alasan kondisi wilayah yang dilewati melalui hutan dan sungai kecil.
5. Kebutuhan akan supervisi sudah sesuai dengan ketentuan yang tertuang di panduan
nasional dari Depkes dimana supervisi sudah dilakukan rutin pertriwulan, ada
pemberitahuan dan mengisi daftar tilik pada saat melakukan supervisi.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
149
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
6. Pengetahuan semua penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas
yang jauh maupun yang dekat kota sudah cukup baik penanggung jawab program
mendapatkan pengetahuan dari pelatihan dan buku serta modul mengenai TB.
7. Persepsi penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh
maupun yang dekat kota terhadap kepemimpinan kepala Puskesmas sudah cukup
baik ini dibuktikan dengan pernyataan penanggung jawab program bahwa kepala
Puskesmas sudah memberikan pengarahan, saran serta sering bertanya sejauhmana
kegiatan yang sudah dilakukan.
8. Persepsi terhadap imbalan yang diterima, semua penanggung jawab program baik
yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota mengatakan belum
begitu puas karena sistem pembagiannya.
9. Persepsi penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh
maupun yang dekat kota terhadap beban kerja masih dirasakan berat karena
mempunyai beban kerja rangkap.
10. Sebagian besar penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang
jauh maupun yang dekat kota termotivasi melaksanakan kegiatan dalam penemuan
kasus baru karena memiliki rasa tanggung jawab dan mendapatkan motivasi dari
kepala Puskesmas berupa arahan, saran dan dukungan untuk bekerja lebih giat agar
tercapai target.
11. Sikap penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh
maupun yang dekat kota dalam hal penemuan kasus baru sudah cukup baik ini
dibuktikan penanggung jawab prrogram menganggap dirinya sebagai kunci
keberhasilan dalam penemuan kasus baru.
SARAN
1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah
a. Dinas Kesehatan bersama–sama dengan pihak Puskesmas sebaiknya membuat
program khusus untuk meningkatkan penemuan kasus baru seperti penyuluhan
tentang TB dilakukan sendiri dibedakan dengan kegiatan posyandu agar semua
lapisan masyarakat dapat lebih memahami tentang TB, cara pencegahan, dan
mengatasi penularan TB
b. Dinas Kesehatan melakukan koordinasi dengan pihak Puskesmas dalam hal
penempatan penanggung jawab program agar disesuaikan dengan kondisi wilayah
seperti misalnya wilayah yang jangkauan nya susah penanggung jawab program
nya harus laki-laki karena lebih berani untuk turun kelapangan sendiri
c. Dinas Kesehatan tetap melakukan supervisi ke Puskesmas pertriwulan untuk
melakukan pemantauan dan pengawasan agar penanggung jawab program lebih
giat bekerja untuk meningkatkan target penemuan kasus.
d. Meningkatkan kerja sama dalam bentuk tertulis dengan lintas program dan sektor
terkait dalam penemuan kasus baru, dan diikuti lini dibawahnya yang ada di
wilayah desa.
e. Dinas Kesehatan harus membuat ketentuan yang jelas dalam pembagian imbalan
yang diterima penanggung jawab program dan menganggarkan juga insentif untuk
kader supaya kader lebih termotivasi membantu mencari suspek.
f. Dinas Kesehatan dapat melakukan analisis beban kerja untuk melihat kebutuhan
tenaga yang dapat disesuaikan dengan beban pekerjaan yang ada di Puskesmas
2. Untuk Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah
a. Pihak Puskesmas melakukan koordinasi atau membuat jadwal sendiri dalam hal
pelaksanaan kegiatan penemuan kasus misalnya penyuluhan jangan hanya
mengikuti jadwal Posyandu saja, menjaring suspek jangan hanya menunggu di
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
150
Volume III Nomor 3, Juli 2012
b.
c.
d.
e.
f.
ISSN: 2086-3098
Puskesmas, dalam hal ini penanggung jawab program harus lebih aktif turun ke
lapangan.
Kepala Puskesmas harus memperhatikan kondisi wilayah kerja Puskesmas dan
meberikan pendamping kepada penanggung jawab program apabila ada wilayah
yang sulit dijangkau.
Meningkatkan kerja sama dengan masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat,
kader dan bidan desa di wilayah kerja Puskesmas melalui kebijakan tertulis
tentang kewenangan penanggung jawab program dan menghimbau untuk
disosialisasikan kewenangan tersebut ke perangkat desa/masyarakat
Kepala Puskesmas dapat meningkatkan motivasi penanggung jawab program
dengan cara memberikan reward apabila penanggung jawab program berhasil
dalam menemukan kasus baru jadi tidak hanya mendapatkan imbalan dari Dinas
Kesehatan.
Kepala Puskesmas hendaknya ikut terlibat langsung dalam kegiatan penemuan
seperti turun lapangan mendampingi penanggung jawab program melakukan
penyuluhan.
Memberdayakan kader-kader dengan cara memberikan pelatihan tentang TB dan
memberikan penghargaan kepada kader apabila bisa menemukan kasus baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2008.
2. Yaslis I. Kinerja Teori, Penilaian, Penelitian. Depok: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
2002
3. Mangkunegara P. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Jakarta: Refika Aditaman;
2006.
4. Jamhariyah. Analisis Kinerja Bidan Desa Dalam Pelayanan Neonatus Di Wilayah
Puskesmas Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Semarang: Universitas Diponegoro;
2011.
5. Sudarmanto. Kinerja Pengembangan Kompetensi SDM: Teori, Dimensi Pengukuran
dan implementasi dalam organisasi. Jakarta: Pustaka Pelajar; 2009.
6. Subarsono A. Analisis Kebijakan Publik, Konsep Teori & Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2008.
7. Dirjen P2PL. Modul 6 Supervisi. Jakarta: Kemenkes; 2011.
8. Bernadin R. Human Resource Management, Second Edition. New York: Mc Graw Hill
International; 1998.
9. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta 2003.
10. Umar. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Cetakan ke VII. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 2002.
11. Yuki G. Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia; 2001.
12. Muchlas M. Perilaku Organisasi 1: Organizational Behaviour. Yogyakarta: Program
Pendidikan Pascasarjana Magister Manajemen RS Universitas Gadjah Mada; 1999.
13. Gibson, Ivancevich, Donnelly. Organisasi Prilaku, Struktur, Proses. Tanggerang:
Binarupa Aksara; 2010.
14. Danim S. Motivasi Kepemimpinan & Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta; 2004.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
151
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
PERBEDAAN PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI USIA 5 BULAN
ANTARA YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN YANG DIBERI PASI
Sulikah*, Titik Istiyawati**, Sukardi*
ABSTRAK
Di Indonesia terutama di kota-kota besar terlihat trend penurunan pemberian ASI,
yang dikhawatirkan akan meluas ke pedesaan. Penelitian ini bertujuan menganalisis
perbedaan peningkatan berat badan bayi usia 5 bulan antara yang diberi ASI eksklusif dan
yang diberi PASI.
Penelitian komparatif dengan rancangan cross sectional ini meneliti sampel bayi
yang diberi ASI eksklusif sebanyak 28 dan yang diberi PASI sebanyak 39, yang diambil
secara proportionated sampling. Data diperoleh dari KMS, kuesioner tentang waktu
pemberian makanan tambahan, dan timbangan badan. Uji hipotesis menggunakan Mann
Whitney-U Test.
Didapatkan hasil bahwa rerata peningkatan berat badan bayi yang diberi ASI eksklusif
adalah 0,5 kg, sedangkan bayi yang diberi PASI adalah 0,34 kg. Hasil uji Mann Whitney-U
adalah -3,983 dengan p=0,000 (<0,05), berarti ada perbedaan peningkatan berat badan
antara bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI. Selanjutnya disarankan agar: 1)
ibu memberikan ASI eksklusif, 2) tenaga kesehatan turut memberikan penyuluhan tentang
pemberian ASI yang benar, 3) para peneliti melakukan penelitian lanjutan.
Kata Kunci: ASI eksklusif, PASI, berat badan, bayi
* = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan
** = Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi
PENDAHULUAN
ASI eksklusif untuk 6 bulan pertama mengurangi resiko terkena penyakit-penyakit
dari lingkungan, malnutrisi, sensitisasi makanan dan alergi (Depkes PP ASI 2002).
Peningkatan penggunaan ASI eksklusif adalah program prioritas. Namun bila ASI tidak
keluar, ibu sakit keras/menular bisa diberikan pengganti air susu ibu (PASI). PASI adalah
makanan bayi yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan gizi bagi pertumbuhan
dan perkembangan bayi sampai berumur antara 4 bulan dan 6 bulan (PD Persi, Jakarta).
Di Indonesia terutama di kota-kota besar terlihat trend penurunan pemberian ASI,
yang dikhawatirkan akan meluas ke pedesaan. Berdasarkan survei pendahuluan yang
kami lakukan di wilayah Puskesmas Teguhan Kecamatan Paron bulan Juni 2011 terdapat
91 bayi usia 1-6 bulan, hanya 18 bayi yang diberi ASI secara eksklusif (19%) yang
seharusnya 80% ASI eksklusif.
Bila bayi tidak mendapat ASI bisa mendapat dampak kurang baik, antara lain tidak
memperoleh zat kekebalan, sehingga mudah sakit karena bayi tidak mendapat makanan
yang bergizi dan berkualitas tinggi. Hal ini akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan kecerdasan (Depkes RI 2003). Solusi yang terbaik di masyarakat adalah
memotivasi keluarga untuk memberi dukungan pada ibu-ibu supaya menyusui secara
eksklusif (Depkes 2002).
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan peningkatan berat badan bayi
usia 5 bulan antara yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI.
METODE PENELITIAN
Jenis ini adalah penelitian analitik komparatif, dengan rancangan cross sectional.
Populasi penelitian adalah bayi yang diberi ASI eksklusif dan bayi yang diberi PASI di
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
152
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Puskesmas Teguhan tahun 2011. Sampel bayi yang diberi ASI eksklusif sebanyak 28 dan
yang diberi PASI sebanyak 39, diambil dengan teknik proportionated sampling.
Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian ASI eksklusif dan variabel terikat
adalah peningkatan berat badan bayi. Instrumen pada penelitian ini adalah KMS (kartu
menuju sehat), kuesioner tentang kapan pemberian makanan tambahan pada bayi, dan
timbangan badan. Uji hipotesis menggunakan Independent Sample T-Test, dengan
α=0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Semua bayi yang diberi ASI eksklusif mengalami peningkatan berat badan, dengan
rerata peningkatan 0,5 kilogram. Semua bayi yang diberi PASI mengalami peningkatan
berat badan dengan rerata peningkatan 0,34 kilogram.
Hasil uji Kolmogorov Smirnov pada kedua kelompok adalah p=0,005 (<0,05), maka
disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal, sehingga tidak memenuhi syarat uji T.
Sebagai pengganti, dilakukan uji Mann Whitney-U dengan nilai -3,983 dan p=0,000
(<0,05), maka disimpulkan bahwa ada perbedaan signifikan antara peningkatan berat
badan bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan berat badan balita yang diberi
ASI ekslusif. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli mengemukakan bahwa ASI yang
diberikan kepada bayi di bulan-bulan pertama akan memberikan keuntungan sebagai
berikutantara lain: (1) ASI pertama (kolostrum) mengandung zat-zat kekebalan tubuh,
(2) kebersihannya terjamin, aman dan selalu tersedia di mana dan kapan saja, (3) zat gizi
yang paling lengkap dan memenuhi kebutuhan bayi, (4) sacara psikologi ASI memberikan
rasa kedekatan dan kasih sayang antara ibu dan bayi. Selama 6 bulan pertama, volume
ASI sekurang-kurangnya 500-700 ml/hari, 6 bulan kedua 400-600ml/hari dan 300500ml/hari setelah bayi berusia satu tahun. (Krisnatuti dkk, 1998).
Terjadi pula peningkatan berat badan bayi yang diberi PASI berupa susu formula.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa susu formula tepat diberikan jika bayi berumur 4 bulan,
bila memungkinkan 6 bulan. Bila produksi rendah, orang tua harus mengupayakan agar
dapat memenuhi kebutuhan bayi. Dengan niat/kemauan yang tinggi, produksi ASI akan
berjalan dengan lancar dan kebutuhan ASI bagi bayi dapat terpenuhi.
Hasil uji hipotesis menunjukkan perbedaan peningkatan berat badan bayi yang diberi
ASI eksklusif dan yang diberi PASI. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Ismail dkk.
(1998), yang menyatakan bahwa kandungan gizi pada ASI jauh lebih tinggi dari susu
formula, oleh karena itu agar dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, maka susu formula itu
dibuat sedemikian rupa sehingga cocok untuk bayi.
ASI merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai gizi
yang paling tinggi dibandingkan makanan bayi yang dibuat manusia. Menurut Roesli
(2000) yang dimaksud dengan ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah
bayi yang hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan seperti susu formula, jeruk, madu, air
teh, air putih, dan tanpa makanan padat seperti pisang, pepaya, susu, biskuit, bubur nasi,
dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif dianjurkan selama sekitar 4 bulan, tetapi bila
mungkin sampai 6 bulan kemudian bayi mulai diperkenalkan dengan makanan padat. ASI
dapat diberikan sampai bayi berusaha 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun.
Kerugian akibat pemberian PASI antara lain tidak ekonomis dan tidak praktis, bayi
tidak memperoleh zat kekebalan pada ASI, sehingga meningkatkan resiko infeksi dan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
153
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
ancaman kekurangan gizi, bila diberikan tidak sesuai dengan petunjuk penggunaan PASI
terancam kegemukan, mudah terserang diare dan alergi, pertumbuhan mulut, rahang dan
gigi tidak baik, mengurangi hubungan kasih sayang ibu dan anak yang dapat menghambat
perkembangan mental selanjutnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yaitu terbukti ada perbedaan yang
signifikan rata-rata peningkatan berat badan pada bayi yang diberi ASI eksklusif (0,5 kg)
dan bayi yang diberi PASI (0,34 kg).
Berdasarkan kesimpulan disarankan agar: 1) ibu memberikan ASI eksklusif terhadap
bayinya selama 6 bulan penuh tanpa makanan tambahan lain, agar bayi dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik, dan sebaiknya PASI diberikan setelah usia lebih 6 bulan, 2)
tenaga kesehatan turut memberikan penyuluhan tentang pemberian ASI yang benar,
sehingga diperoleh manfaat pemberian ASI yang sebesar-besarnya bagi bayi maupun ibu
menyusui, 3) para peneliti melakukan penelitian lebih lanjut, tidak hanya meneliti berat
badan, tetapi juga kondisi psikologis, sosial, kultural dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikuntoro,S.,2002, Prosedur Penelitian Sesuatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Edisi
Revisi V, Rineka Cipta.
Departemen Kesehatan RI. 1994. Studi KAP untuk Perencanaan Intervensi KIE Anemia
Gizi. Kerjasama Depkes RI: Unicef dan IPB.
---------, 2002 Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Panduan ASI Sedunia, Jakarta
---------, 2002. Managemen laktasi, Buku panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di
Puskesmas,Jakarta
Husaini, MA. 1991. Efek Perkembangan Makanan Tambahan Jangka Pendek Pada bayi
Indonesia yang Rawan Gizi American Journal of Clinical Nutrition. E.Pollit, TB 169,
Departement of Pediatrics, School of Medicine, University of California, Davis, CA
95616 USA
Ismail. 1998, Perilaku Menyusui dan Permasalahannya pada pengunjung klinik laktasi
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Jakarta Berita Kedokteran XIV (4) hal.181-186.
Krisnatuti, D, Julia M., 1998, Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Cetakan III,
Puspa Swara.
Nursalam dan S. Pariani. 2003. Metodologi Research Keperawatan. Jakarta:EGC.
Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya.
---------, 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif, Makanan Pendamping Tepat dan
Imunisasi Lengkap. Jakarta:PT Elex Media Komputindo
---------, 2008, Inisiasi Menyusui Dini plus ASI Eksklusif: Pustaka Bunda, Jakarta
Soekidjo Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Soekirman. 1992. Tiga Kesalahan Konsepsi Gizi dalam Kaitannya dengan pembangunan
Kesehatan. Seminar on poverty alleviation with sustainable agricultural and rural
development in Indonesia Cisarua
Soeparmanto, Paiman. 2001. Pemasyarakatan ASI Eksklusif melalui penyuluhan, Bulletin
Sistem Kesehatan 1:Surabaya
Tri Rahayuningsih, 2005. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Asi dengan
Pemberian Kolostrum dan Asi Eksklusif Di Kelurahan Purwoyoso Kecamatan
Ngaliyan. Semarang. Universitas Negeri Semarang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
154
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
PENGARUH ALAT PERMAINAN EDUKATIF (APE)
TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA TODLER
DI POSYANDU II DUKUH SUNGWI DESA SUGIHWARAS
KECAMATAN MAOSPATI KABUPATEN MAGETAN
Nurlailis Saadah*
ABSTRACT
Stimulation is a basic ability to stimulate the activities of children so that children grow
and develop optimally. Giving stimulation are more effective when attention needs children
in accordance with the stages of development. Therefore the role of plaything in the
provision of stimulation in children is very great, because it required a correct
understanding of this issue.
This study aims to analyze the influence of Educational Gaming Equipment on the
development of toddler-aged children. This study uses a true experimental design study
design. The study population was the toddler in Posyandu II Dukuh Sungwi Desa
Sugihwaras Kecamatan Maospati. Total sample of this study were 22 respondents in
which the proportional sampling using simple random sampling technique. Data were
collected with a sheet of DDST, and observation and then processed using Mc Nemar test.
Based on statistical tests Mc Nemar test with a significance level of p ≤ 0.05 thus
obtained p = 0.625 (≥0.05), which means that there are developmental differences
between infants who were given stimulation with Educational Games Equipment and
toddlers who are not given the stimulation.
Key Word: Educational Gaming Equipment, development, toddler
* = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
PENDAHULUAN
Ketika memasuki usia bermain atau masa todler, anak membutuhkan permainan,
sehingga tidak mengherankan jika masa ini identik dengan masa bermain karena
perkembangan anak akan diasah sesuai dengan kebutuhannya di saat tumbuh kembang.
Akan tetapi banyak orang yang menganggap masa bermain pada anak tidaklah mendapat
suatu perhatian secara khusus sehingga banyak sekali orang tua yang membiarkan anak
tanpa memberikan pendidikan terhadap permainan yang dimiliki anak (Aziz, 2005: 55).
Dalam bermain, anak-anak membutuhkan alat bermain, baik untuk bermain sendiri
maupun bermain secara kelompok. Alat bermain yang paling efektif untuk anak usia 1-3
tahun adalah jenis Alat Permainan Edukatif (APE). APE adalah alat permainan yang dapat
mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usia dan tingkat
perkembangannya, serta berguna untuk anak ( Ngastiyah, 2005: 14).
Hasil studi pendahuluan di Posyandu II Dukuh Sungwi, Sugihwaras, Maospati,
Magetan pada tanggal 18-19 Juni 2010 dari 47 anak ada 2 anak (4,2%) mengalami
kesulitan bicara (gangguan perkembangan bahasa), 4 orang (8,5%) pemalu dan sulit
berinteraksi dengan teman sebaya, dan 3 orang (6,3%) mengalami gangguan kognitif
(motorik halus kurang terlatih dan perlu stimulasi), dan sisanya 38 orang (62%) tidak
mengalami gangguan tumbuh kembang.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh APE terhadap perkembangan
anak usia todler.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan adalah di Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan, pada bulan Mei-Agustus 2010. Populasi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
155
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
penelitian adalah anak usia toddler di Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan yang berjumlah 47 anak. Besar sampel adalah
22 yang diambil dengan teknik simple random sampling. Variabel bebas adalah
penggunaan APE yaitu sebelum dan sesudah menggunakan APE, sedangkan variabel
terikat adalah perkembangan anak yaitu menetap dan meningkat. Data dikumpulkan
dengan instrumen yaitu APE dan formulir DDST. Setelah data terkumpul dan terolah,
selanjutnya dianalisis menggunakan Mc Nemar test.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari 22 balita yang menjadi responden 11 balita (50%) berusia 3 tahun, 6 balita
(27%) berusia 2 tahun, 5 balita (23%) berusia 1 tahun. Dan dari 22 balita yang menjadi
responden 11 balita (50%) berjenis kelamin laki-laki dan 11 balita (50%) berjenis kelamin
perempuan.
Hasil penelitian terhadap 11 balita di Posyandu II Dukuh Sungwi, Sugihwaras,
Maospati, Magetan menunjukkan bahwa ada 8 balita (73%) mengalami perkembangan
meningkat setelah diberi stimulasi APE dan 3 balita (27%) perkembangan menetap. Dari
hasil penelitian terhadap 11 balita di Posyandu II Dukuh Sungwi, Sugihwaras, Maospati,
Magetan pada bulan Juni-Juli 2010 menunjukkan bahwa 5 balita (64%) perkembangannya
meningkat dan 6 balita (36%) perkembangan tetap.
Dengan menggunakan uji statistik Mc Nemar test didapatkan p = 0,132 sehingga
disimpulkan H0 ditolak yaitu ada pengaruh stimulasi menggunakan Alat Permainan
Edukatif (APE) terhadap perkembangan balita usia todler.
Pembahasan
Dari 22 balita yang menjadi responden, sebanyak 13 balita (59%) mengalami
perkembangan yang meningkat dan 9 balita (41%) menetap. Penelitian ini hanya
dilakukan pada balita usia 1-3 tahun (todler) sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Jacqueline D,dkk (2003) yaitu alat permainan merupakan salah satu alat untuk
menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak, anak yang banyak mendapat
stimulasi akan lebih cepat berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak
mendapatkan stimulasi. Alat Permainan Edukatif (APE) yaitu alat permainan yang dapat
mengoptimalkan perkembangan anak.
Dengan menggunakan uji statistik Mc Nemar test disimpulkan bahwa ada pengaruh
stimulasi menggunakan Alat Permainan Edukatif (APE) terhadap perkembangan balita
usia toddler di Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jacqueline D (2003)
yang menyatakan diperoleh hasil yang kuat intervensi ketrampilan motorik pada 3%
partisipan kelompok perlakuan dengan nilai skor keterampilan psikomotor 50%
dibandingkan dengan 93% partisipan kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi
selama 6 bulan, dengan memperlihatkan peningkatan perkembangan dari 17% menjadi
80% untuk kelompok perlakuan dan dari 18% menjadi 24% untuk kelompok kontrol.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi menggunakan APE
berpengaruh kuat terhadap perkembangan anak usia toddler. Oleh karena itu disarankan
agar: 1) orang tua mempelajari mainan yang baik dan mendidik untuk anak yang berusia
1-3 tahun (todler) untuk menjadikan masa depan yang lebih baik, 2) institusi pelayanan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
156
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
kesehatan memberikan masukan tentang pentingnya APE, sehingga dipertimbangkan
program APE pada posyandu selanjutnya, 3) para peneliti melaksanakan penelitian
lanjutan yang terkait dengan APE dan perkembangan anak usia toddler.
DAFTAR PUSTAKA
Arimurti, Ida. 2010. Masa Emas pada Anak. http//www.titikadarsih.com//(diakses tanggal
06 Mei 2010).
Dr. Soetjiningsih Sp. AK, 1995. Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: EGC.
Ngastiyah, 2003. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Handayani,
Faras.
2009.
Perkembangan
Motorik
Kasar
dan
Halus.
http//www.AnakKita.com// (diakses tanggal 04 Mei 2010)
Hidayat, A. Alimul Aziz, 2005. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta:
Salemba Medika.
_______, 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursalam, 2003. Konsep Penerapan dan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Potter dan Perry, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Prof. DR. Sugiyono, 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Sari, Lucie Permana, 2007. Tesis Pengaruh Alat Permainan Edukatif terhadap
Perkembangan Motorik Anak pada Taman Penitipan Anak. Medan:USU.
WK. Frankenburg MDM SPH, 2004. Buku Panduan Pemantauan Perkembangan Denver
II. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM.
Yudianto, Andi. 2010. Perkembangan Psikososial pada Todler. http//www.tipsbayi.com//
(diakses tanggal 06 Mei 2010).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
157
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN FASILITAS POSYANDU
DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI POSYANDU
(Di Wilayah Kerja Puskesmas Saradan, Madiun)
Nurlailis Saadah*, Budi Joko Santosa*, Yuni Anita Sari**
ABSTRAK
Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun pada bulan Januari
sampai dengan Desember 2011 partisipasi masyarakat (D/S) untuk mengikuti posyandu di
Puskesmas Saradan diperoleh 70.9% dari target 80%. Masalah utama penelitian ini
adalah masih banyaknya posyandu yang partisipasi masyarakatnya rendah dimungkinkan
oleh faktor fasilitas posyandu yang tidak lengkap. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan fasilitas posyandu dengan partisipasi
masyarakat di Posyandu di wilayah kerja puskesmas Saradan Kabupaten Madiun..
Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi adalah keseluruhan
posyandu yang ada di wilayah kerja puskesmas Saradan berjumlah 38 posyandu. Sampel
diperoleh dengan teknik simple random sampling sebesar 35 posyandu. Variabel bebas
dan variabel terikat masing-masing adalah kelengkapan fasilitas posyandu dan partisipasi
masyarakat di Posyandu. Data dikumpulkan melalui observasi langsung dan studi
dokumentasi. Analisis data menggunakan uji Fisher’s exact dengan α = 0,05.
Posyandu dengan fasilitas lengkap sebagian besar memiliki cakupan partisipasi
masyarakat yang tinggi (58,33%), sedangkan posyandu dengan fasilitas tidak lengkap
sebagian besar memiliki partisipasi masyarakat yang rendah (82,61%). Hasil uji Fisher’s
Exact adalah p=0,022 (p<0,05), berarti ada hubungan antara kelengkapan fasilitas dengan
partisipasi masyarakat di Posyandu.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar: 1) institusi pelayanan kesehatan
melengkapi fasilitas posyandu, 2) tenaga kesehatan menggerakkan minat masyarakat
untuk berkunjung ke Posyandu, 3) para peneliti melakukan tindak lanjut dengan sampel
yang lebih besar dengan waktu yang cukup.
Kata kunci: posyandu, fasilitas, partisipasi, D/S
*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
**= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upaya kesehatan ibu dan anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut
pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita
serta anak prasekolah. Salah satu bentuk upaya tersebut yaitu dengan diadakannya
program Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu (Puskesmas Kaliwiro, 2010). Posyandu
merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)
yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam
penyelenggarakan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan
dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Kemenkes RI, 2012).
Pencanangan posyandu dilakukan secara massal untuk pertama kali oleh Kepala
Negara Republik Indonesia pada tahun 1986 di Yogyakarta. Pada tahun 1990, terjadi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
158
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
perkembangan yang sangat luar biasa, yakni dengan keluarnya Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) Nomor 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Pembinaan Mutu
Posyandu. Legitimasi keberadaan posyandu diperkuat kembali melalui Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain
berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya
kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan
administrasi pemerintahan. Pada kenyataannya pelaksanaan posyandu tidak dilakukan
secara keseluruhan, sehingga para orang tua kurang begitu memanfaatkan adanya
posyandu (Rahmadhani, 2011).
Menurut Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun pada bulan Januari s/d
Desember 2011, dari target partisipasi masyarakat di Posyandu (D/S) sebesar 85%,
puskesmas dengan cakupan tertinggi adalah Puskesmas Klecorejo yaitu 92,13% dan
yang terendah adalah Puskesmas Pilangkenceng yaitu 67,88%. Cakupan D/S Puskesmas
Saradan adalah 70,9% dari target puskesmas 80%. Puskesmas Saradan membina 38
posyandu yang tersebar di tujuh desa dengan cakupan D/S masing-masing yaitu: Desa
Sugihwaras= 58,6%, Desa Ngepeh= 82,7%, Desa Sidorejo= 76,5%, Desa Bongsopotro=
64,7%, Desa Pajaran= 72,2%, Desa Klangon= 87,2%, dan Desa Bandungan= 66,6%.
Terlihat bahwa hanya Desa Klangon yang mencapai target RAPGM dan hanya Desa
Klangon dan Desa Ngepeh yang mencapai target Puskesmas Saradan. Dari 4 posyandu
di Desa Bandungan, 75% posyandu tidak memiliki fasilitas dan kader yang lengkap.
Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan alat ukur tinggi
rendahnya partisipasi masyarakat di Posyandu yang berkaitan dengan cakupan pelayanan
gizi pada balita, cakupan kesehatan dasar khususnya imunisasi serta prevalensi gizi
kurang. Semakin tinggi cakupan D/S maka semakin tinggi cakupan vitamin A dan cakupan
imunisasi sehingga semakin rendah prevalensi gizi kurang (RAPGM, 2010-1014). Dampak
dari kurang aktifnya balita datang ke Posyandu yaitu tidak terpantaunya tumbuh kembang
balita, balita kurang mendapat stimulus, tidak mendapat imunisasi dasar, tidak
mendapatkan vitamin A dan balita dengan status gizi buruk. Di Indonesia, menurut laporan
UNICEF (2006), kasus gizi buruk menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada
tahun 2004-2005. Peningkatan balita gizi buruk di Indonesia tersebut sangat
mengkhawatirkan, karena dapat menyebabkan "lost generation".
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (D/S) di Posyandu maka perlu dilakukan
upaya peningkatan pengetahuan orang tua mengenai pentingnya posyandu, pengadaan
kegiatan penyuluhan di Posyandu, penambahan fasilitas Posyandu agar menambah daya
tarik orang tua untuk datang di Posyandu.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara kelengkapan fasilitas
posyandu dengan partisipasi masyarakat di Posyandu
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian cross sectional yang dilaksanakan di
wilayah kerja Puskesmas Saradan, Madiun, dengan populasi semua posyandu di wilayah
kerja Puskesmas Saradan, Madiun berjumlah 38 posyandu. Besar sampel adalah 35
posyandu yang dipilih dengan teknik simple random sampling. Kelengkapan fasilitas
posyandu adalah variabel bebas, sedangkan partisipasi masyarakat di posyandu adalah
variabel terikat. Data dikumpulkan melalui observasi langsung dan studi dokumentasi.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
159
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Analisis data menggunakan uji Chi Kuadrat dengan koreksi Yates (X2) dengan taraf
signifikasi (α < 0,05).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang kelengkapan fasilitas posyandu dan partisipasi masyarakat
di posyandu masing-masing disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Kelengkapan Fasilitas Posyandu di Wilayah Puskesmas Saradan, Madiun
Kelengkapan Fasilitas Posyandu
Lengkap
Tidak Lengkap
Jumlah
Jumlah
12
23
35
Persentase
34,29
65,71
100,00
Tabel 2. Partisipasi Masyarakat di Posyandu Wilayah Puskesmas Saradan, Madiun
Partisipasi Masyarakat di Posyandu
Tinggi
Rendah
Jumlah
Jumlah
11
24
35
Persentase
31,43
68,57
100,00
Tabel 3. Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas Posyandu di
Wilayah Puskesmas Saradan, Madiun
Kelengkapan
Lengkap
Fasilitas Posyandu Tidak Lengkap
Total
Partisipasi Masyarakat
Tinggi
Rendah
N
%
n
%
7
58,33 5 41,67
4
17,39 19 82,61
11 31,43 24 68,57
Total
n
12
23
35
%
100,00
100,00
100,00
Dari Tabel 3 terlihat bahwa posyandu dengan fasilitas lengkap memiliki partisipasi
masyarakat yang sebagian besar tinggi (58,33%), sedangkan posyandu dengan fasilitas
tidak lengkap memiliki partisipasi masyarakat yang sebagian besar rendah (82,61%).
Hasil uji Fisher’s Exact menunjukkan p = 0,022 (p < 0,05), maka disimpulkan ada
hubungan antara kelengkapan fasilitas dengan partisipasi masyarakat di Posyandu.
Pembahasan
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar posyandu memiliki fasilitas yang
tidak lengkap. Jika merujuk pernyataan Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003:14), salah
satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah kelengkapan fasilitas
posyandu. Untuk di Posyandu misalnya dengan ketersediaan timbangan yang layak pakai
dan alat penggantung yang aman, buku pendaftaran (registrasi), buku catatan hasil
penimbangan, Kartu Menuju Sehat (KMS), buku yang berisi pedoman bagi setiap
komponen kegiatan Pemantauan dan Promosi Pertumbuhan Balita (PPPB), alat-alat
penyuluhan dan konseling, perlengkapan untuk pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Hal
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
160
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
ini juga sesuai dengan penelitian Abdul Hairuddin Angkat (2010) bahwa posyandu dengan
fasilitas yang lengkap dapat menarik perhatian masyarakat khususnya ibu yang
mempunyai anak balita sehingga dengan posyandu yang lengkap dapat meningkatkan
partisipasi masyarakat di Posyandu.
Kurang lengkapnya fasilitas posyandu mungkin disebabkan oleh kurangnya dana
dari pemerintah setempat dan kurangnya peran petugas kesehatan serta masyarakat
setempat. Jika dikaitkan dengan partisipasi masyarakat di Posyandu, dengan semakin
lengkap fasilitas posyandu maka semakin tinggi pula partisipasi masyarakat di Posyandu,
karena fasilitas posyandu yang lengkap akan menarik perhatian masyarakat untuk datang
ke posyandu dan berharap akan mendapatkan pelayanan yang maksimal. Dengan
pelayanan yang maksimal, dapat ditingkatkan cakupan kesehatan dasar, khususnya
imunisasi, meningkatkan cakupan vitamin A serta meningkatkan cakupan imunisasi
sehingga kejadian gizi kurang menurun.
Sebagian besar posyandu masih memiliki cakupan partisipasi masyarakat yang
rendah. Jika merujuk pada Teori Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003:13), peranserta
masyarakat dalam pemanfaatan program posyandu dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
faktor yang memudahkan (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan
faktor penguat (reinforcing factors). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian
Abdul Hairuddin Angkat (2010) bahwa partisipasi masyarakat di Desa Penanggalang yang
masuk dalam kategori tinggi sebanyak 36,1% dan yang masuk dalam kategori rendah
sebanyak 63,9%. Hasil di atas menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat untuk kegiatan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan berat badan rendah. Akibatnya banyak
balita yang tidak terpantau oleh petugas kesehatan ataupun kader posyandu dan
memungkinkan balita tidak diketahui pertumbuhan berat badannya atau pola pertumbuhan
berat badannya.
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan di masyarakat. Dalam hal ini
perilaku tersebut yaitu partisipasi masyarakat di Posyandu. Hal ini dapat dikaitkan dengan
kelengkapan fasilitas posyandu. Dengan adanya fasilitas yang lengkap dan layak pakai
maka akan menarik perhatian masyarakat untuk datang ke Posyandu sehingga
meningkatkan partisipasi masyarakat di Posyandu.
Hasil uji Fisher’s exact menyimpulkan adanya hubungan antara kelengkapan fasilitas
posyandu dengan partisipasi masyarakat di Posyandu. Hal ini sesuai dengan teori Green
(1980) dalam Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu faktor pemudah (predisposing factors) meliputi tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, jumlah balita dan usia balita, faktor
pemungkin (enabling factors) meliputi fasilitas posyandu dan faktor penguat (reinforcing
factors) meliputi tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan. Ini juga sesuai
dengan penelitian Abdul Hairuddin Angkat (2010) bahwa yang berhubungan dengan
partisipasi masyarakat di Posyandu yaitu termasuk kelengkapan fasilitas di Posyandu.
Melihat hasil penelitian diatas dengan semakin lengkap fasilitas posyandu maka
semakin tinggi partisipas masyarakat untuk datang ke Posyandu. Adanya kader yang
lengkap, fasilitas yang lengkap dapat menarik perhatian masyarakat untuk datang ke
Posyandu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1)
sebagian besar besar posyandu memiliki fasilitas yang tidak lengkap, 2) sebagian besar
posyandu memiliki cakupan partisipasi masyarakat yang rendah, 3 ada hubungan antara
kelengkapan fasilitas dengan partisipasi masyarakat di posyandu.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
161
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Berdasarkan hasil penelitian diajukan beberapa saran yaitu diharapkan: 1) institusi
pelayanan kesehatan melengkapi fasilitas posyandu seperti sarana perlengkapan, paket
pertolongan gizi, sarana peralatan dan sarana penyuluhan dan dukungan tenaga di
Posyandu sehingga fasilitas posyandu menjadi lengkap, 2) bidan/petugas menggerakkan
minat masyarakat untuk berkunjung ke Posyandu dan memperhatikan kelengkapan
fasilitas posyandu agar dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di Posyandu sehingga
sesuai target puskesmas Saradan, 3) para peneliti melakukan tindak lanjut dengan sampel
yang lebih besar dengan waktu yang cukup sehingga hasil penelitian akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ami,
Marmi. 2009.
Bidanku Sholihah. http://bidankusholihah.blogspot.com/
2009/08/rumah-sehat-cantik-muslimah-ibu-dan.html. (diakses 22 Maret 2012).
Angkat, Abdul Hairuddin. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi
Masyarakat untuk Menimbangkan Anaknya ke Posyandu di Desa Penanggalan,
Kecamatan Penanggalan, Subulussalam. Karya Tulis Ilmiah, Medan: USU.
Anonim. 2011. Kerangka Kerja. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerangka_kerja. (diakses 29
Maret 2012).
. 2011. Tekan Gizi Buruk, Pemprov Tingkatkan Sosialisasi dan Revitalisasi
Posyandu.
http://www.humasprotokol.bantenprov.go.id/2011/01/tekan-gizi-burukpemprov-tingkatkan-sosialisasi-dan-revitalisasi-posyandu/. (diakses 22 Maret 2012).
. 2012. Pendidikan. http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan. (diakses 28 Maret
2012).
Danim, Sudarwan. 2003. Riset Keperawatan Sejarah dan Metodologi. Jakarta:EGC.
http://www.bascommetro.com/2011/12/faktor-faktor-berkaitandengankunjungan.html. (diakses 28 Maret 2012).
Hidayat, Aziz Alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, Sigit. 2007. Dasar-Dasar Metode Statistika. Jakarta: Grasindo.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Kaliwiro, Puskesmas. 2010. Kesehatan Ibu dan Anak. http://puskesmaskaliwiro.web.id/.
(diakses 18 Maret 2012).
R.I., Departemen Kesehatan. 2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Depkes.
R.I., Kementerian Kesehatan. 2011. Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat (RAPGM)
Tahun 2010-2014. http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/658. (diakses 19 Maret
2012).
Rahmadhani. 2011. Dunia Kesehatan. http://sherlyrahmadhani.blogspot.com/2011_05_01_archive.html. (diakses 18 Maret 2012).
Widjiono.2007. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Zulkifli . 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kunjungan Balita Di Posyandu.
http://www.kti-skripsi.net/2011/10/faktor-faktor-yang-berhubungan-dengan.html
(diakses 22 Maret 2012)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
162
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
GAMBARAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU PESERTA JAMPERSAL
DALAM PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PASCA SALIN
DI DESA KEPUHREJO KEC. TAKERAN KAB. MAGETAN TAHUN 2012
Tutiek Herlina*, Suparji*, Riris Sukma Pratiwi**
ABSTRAK
Jampersal yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada
awal tahun 2011 merupakan upaya untuk menjamin pelayanan kontrasepsi pasca salin
(BKKBN, 2012). Ibu pasca persalinan, kesuburan dapat kembali pada hari ke-21 setelah
melahirkan atau sebelum masa nifas selesai (Sudarmi, 2011). Masalahnya adalah banyak
ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa
Kepuhrejo Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dalam bentuk survey. Populasi penelitian adalah
semua ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di
Desa Kepuhrejo Takeran Magetan, semua dijadikan sebagai subjek penelitian. Variabel
penelitian adalah faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan
alat kontrasepsi pasca salin dengan sub variabel tingkat pengetahuan, paritas, sikap dan
dukungan suami. Pengambilan data dengan kuesioner. Data diolah dan dianalisis secara
deskriptif berupa distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat
kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan memiliki tingkat
pengetahuan baik mengenai alat kontrasepsi pasca salin (73,02%), paritas multipara
(58,73%), sikap ibu peserta Jampersal menolak dalam penggunaan alat kontrasepsi
pasca salin (63,49%), dan dukungan suami terhadap ibu peserta Jampersal dalam
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin tidak mendukung (66,67%).
Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu peserta Jampersal yang
tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan
memiliki tingkat pengetahuan baik, multipara, sikap menolak terhadap penggunaan alat
kontrasepsi pasca salin dan suami tidak mendukung. Disarankan pada tenaga kesehatan
untuk meningkatkan konseling mengenai penggunaan alat kontrasepsi pasca salin pada
ibu peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan.
Kata kunci: Jampersal, Alat Kontrasepsi Pasca Salin.
*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
**= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
PENDAHULUAN
Pengendalian tingkat kelahiran dan jumlah penduduk dilakukan dengan pemberian
pelayanan KB pasca salin yang termasuk dalam program Jaminan Persalinan (Jampersal)
(Menkes, 2011). Jampersal yang diluncurkan oleh Kemenkes RI pada awal tahun 2011
adalah upaya untuk menjamin dan melindungi proses kehamilan, persalinan, pasca
persalinan (nifas), pelayanan KB pasca salin, serta komplikasi yang terkait dengan
kehamilan, persalinan, nifas, KB pasca salin, dan pelayanan bayi baru lahir yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (BKKBN, 2012). Bagi penerima
manfaat Jampersal, diharapkan untuk mengikuti program KB pasca persalinan, sehingga
program Jampersal akan sejalan dengan program KB (Menkes, 2011).
Di Polindes Kepuhrejo Takeran Magetan pada bulan Juni sampai Desember 2011
yaitu dari 66 ibu peserta Jampersal, hanya 2 peserta (3,03%) yang menggunakan
kontrasepsi pasca salin, dan 64 peserta (96,97%) tidak (Laporan Polindes Kepuhrejo).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
163
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Tampak bahwa banyak peserta Jampersal yang tak menggunakan kontrasepsi pasca
salin. Walaupun penggunaan alat kontrasepsi pasca salin telah dijamin oleh pemerintah,
tidak mengubah perilaku ibu peserta Jampersal untuk ikut dalam program.
Banyak faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat
kontrasepsi pasca salin. Merujuk pada Teori Green dalam Notoatmodjo (2003), perilaku
seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.
Menurut Syaifuddin (2006: U-44) pada umumnya klien pasca salin ingin menunda
kehamilan berikutnya paling sedikit 2 tahun lagi, atau tidak ingin tambahan anak lagi.
Dampak bila penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini rendah adalah kesalahan dalam
pengaturan jarak kehamilan dan pengaturan kelahiran yang bermanfaat bagi kesehatan
ibu dan anak (BKKBN, 2006: 43).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah diskriptif yang berlokasi di Desa Kepuhrejo, Takeran,
Magetan. Populasi penelitian ini adalah semua ibu peserta Jampersal yang tidak
menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan pada
bulan Juni sampai Desember 2011 sebanyak 63 orang. Seluruh anggota populasi diteliti.
Variabel penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin, yang terdiri atas beberapa subvariabel yaitu:
tingkat pengetahuan, paritas, sikap dan dukungan suami kepada ibu peserta Jampersal.
HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian mengenai gambaran faktor yang mempengaruhi ibu peserta
Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran
Magetan menunjukkan dari 63 ibu peserta Jampersal didapatkan tingkat pengetahuan ibu
mengenai alat kontrasepsi pasca salin baik sebanyak 46 orang (73,02%), dan cukup 17
orang (26,98%), multipara sebanyak 37 orang (58,73%) dan primipara 26 orang (41,27%),
memiliki sikap menolak dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 40
orang (63,49%) dan menerima 23 orang (36,51%) dan tidak mendapatkan dukungan
suami dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 42 orang (66,67%) dan
mendapatkan dukungan suami 21 orang (33,33%).
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan baik
sebanyak 46 orang (73,02%), dan cukup 17 orang (26,98%).
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif oleh Notoatmodjo (2003: 122123) mempunyai 6 tingkatan, yaitu : Kesatu, Tahu (know), diartikan sebagai mengingat
materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ibu peserta Jampersal mengetahui pengertian
alat kontrasepsi pasca salin, manfaat, efek samping dan tujuan penggunaan alat
kontrasepsi pasca salin. Kedua, Memahami (comprehension), diartikan sebagai
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Ibu peserta Jampersal memiliki
pemahaman yang baik mengenai pengertian alat kontrasepsi pasca salin, waktu
penggunaan, kekurangan, tujuan dan efek samping penggunaan alat kontrasepsi pasca
salin. Ketiga, Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Ibu peserta Jampersal memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai alat kontrasepsi pasca salin, tetapi
tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin tersebut. Keempat, Analisis (analysis)
adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen,
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
164
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kelima, Sintesis (synthesis), yaitu kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagianbagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Keenam, Evaluasi (evaluation), berkaitan
dengan kemampuan melakukan penilaian terhadap objek berdasarkan pada kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Namun tingkat
pengetahuan tentang alat kontrasepsi pasca salin pada karya tulis ilmiah ini hanya pada
tingkatan mengetahui, memahami dan aplikasi, sedangkan tingkatan analisis, sintesis dan
evaluasi tidak diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan paritas multipara sebanyak 37
orang (58,73%) dan primipara 26 orang (41,27%).
Menurut Wulansari dalam karya tulis ilmiah (KTI) Susilowati (2011) cocok tidaknya
suatu metode kontrasepsi dapat dipengaruhi oleh paritas seorang wanita. Menurut
Wiknjosastro (2007: 559) multipara lebih baik menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim
dibandingkan wanita dengan paritas satu, karena angka kejadian ekspulsi pada wanita
dengan paritas satu lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan program Jaminan Persalinan yang
menyediakan alat kontrasepsi IUD, implant dan suntik untuk ibu peserta Jampersal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki sikap menolak terhadap
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 40 orang (63,49%) dan menerima 23
orang (36,51%).
Teori Triadik tentang sikap dalam Azwar (2010: 108), sikap mengandung aspekaspek : Satu, perasaan (afektif), ibu peserta Jampersal memiliki keinginan untuk
menggunakan alat kontrasepsi pasca salin, dengan ber-KB ibu tidak khawatir akan terjadi
kehamilan berikutnya, tetapi menurut ibu KB dilarang oleh agama. Dua, fikiran (kognitif),
ibu peserta Jampersal berpikiran bahwa penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini
harus mengeluarkan biaya sehingga dinilai tidak menguntungkan dan tidak dapat
mengatur ekonomi keluarga. Padahal penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini tanpa
menggunakan biaya, sehingga mungkin hal ini akibat kurangnya informasi mengenai
pembiayaan dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin pada ibu peserta Jampersal.
Tiga, kecenderungan bertindak (konatif), ibu peserta Jampersal tidak menjadi akseptor
kontrasepsi pasca salin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang tidak mendapat dukungan suami
dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 42 orang (66,67%) dan
mendapat dukungan suami 21 orang (33,33%). Menurut House dalam karya tulis ilmiah
(Susilowati, 2011) terdapat empat jenis dukungan, yaitu : 1) Dukungan emosional,
dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif. Atas dasar
dukungan tersebut di atas, yaitu : 1) dukungan emosional, kemungkinan banyak suami
tidak peduli akan kebutuhan penggunaan alat kontrasepsi pasca salin, tidak mendukung
ibu menggunakan alat kontrasepsi pasca salin dari jenis apapun dan suami tidak senang
ibu menggunakan alat kontrasepsi pasca salin, 2) dukungan penghargaan, banyak suami
yang bekerja jauh sehingga ibu peserta Jampersal tidak mendapatkan persetujuan suami
untuk menggunakan alat kontrasepsi pasca salin. Komunikasi yang kurang efektif dengan
istri, sehingga tidak ada kerjasama dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin.
Suami lebih menganjurkan ibu untuk menunda penggunaan alat kontrasepsi sampai
bayinya berumur 2 tahun. 3) dukungan instrumental, Ibu peserta Jampersal mendapatkan
jaminan dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin, suami cukup memberikan
dukungan kepada istri yang menjadi peserta Jampersal dalam penggunaannya, namun
banyak ibu peserta Jampersal mengira penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini
dengan mengeluarkan biaya. 4) dukungan informatif, suami tidak memberikan informasi
apa-apa terhadap ibu peserta Jampersal mengenai penggunaan alat kontrasepsi pasca
salin ini. Dukungan suami yang kurang akibat banyaknya suami yang bekerja di tempat
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
165
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
yang jauh dari rumah, sehingga suami tidak memberi informasi tentang penggunaan alat
kontrasepsi pasca salin. Ibu peserta Jampersal tidak mendapatkan keyakinan dari suami
untuk menggunakan alat kontrasepsi pasca salin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo memiliki tingkat pengetahuan
yang baik (73,02%) tentang alat kontrasepsi pasca salin.
2. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo ber-paritas multipara (58,73%).
3. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo memiliki sikap menolak terhadap
penggunaan alat (63,49%).
4. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo tidak mendapatkan dukungan
suami dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin (66,67%).
Saran
1. Diharapkan masyarakat berperanaktif dalam meningkatkan pengetahuan tentang
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin.
2. Diharapkan institusi pelayanan kesehatan khususnya Polindes meningkatkan konseling
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin bagi ibu peserta Jampersal.
3. Diharapkan institusi pendidikan kebidanan menggunakan hasil penelitian ini sebagai
sumber informasi dan tambahan referensi tentang gambaran faktor yang
mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin.
4. Diharapkan para peneliti menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan penelitian
lebih lanjut tentang faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam
penggunaan alat kontrasepsi pasca salin bagi peneliti lain.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 2010. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro Intern. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2007. Calverton, Mayland, USA: BPS dan Macro Internasional.
BKKBN. 2006. Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: BKKBN.
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Laporan Akseptor KB Baru Puskesmas Takeran Tahun 2011.
Laporan Persalinan Polindes Kepuhrejo Takeran Tahun 2011.
Menkes. 2011. Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Jakarta: Menkes RI.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dan Prinsip-prinsip Dasar.
Jakarta: Rineka Cipta.
------. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Saifuddin, AB. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sobur. 2003. Psikologi Umum Dalam Lintasan Sejarah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Susilowati, Darti. 2011. Hubungan Antara Paritas, Pengetahuan, dan Dukungan Keluarga
Dengan Pemilihan Metode Kontrasepsi. KTI. Magetan: Prodi DIII Kebidanan Magetan.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Tridasa Printer.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
166
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CAKUPAN KB SUNTIK
DI PUSKESMAS NGARIBOYO TAHUN 2011
Hery Sumasto*, Nurwening Tyas Wisnu*, Qomariyah Dwi Susetyo**
ABSTRAK
Cakupan KB suntik di Puskesmas Ngariboyo pada tahun 2011 mengalami
penurunan dari 71,23% menjadi 56,0%, sehingga terjadi penurunan 15,23%. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik di
Puskesmas Ngariboyo tahun 2011.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan populasi PUS yang tidak memakai KB
suntik lagi di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 sebesar 92 orang. Sampel dalam
penelitian ini adalah total populasi. Variabel yang digunakan merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi cakupan KB suntik meliputi usia, paritas, status pendidikan, ketersediaan
alat, keterjangkauan tempat pelayanan dan dukungan petugas kesehatan. Pengumpulan
data dengan studi dokumentasi dan wawancara terpimpin. Analisa data dengan statistik
deskriptif. Penyajian data menggunakan tabel dan diagram pie.
Hasil penelitian menunjukkan pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik
lagi berusia 20-30 tahun 39 orang (42,39%), >30 tahun 53 orang (57,61%), primipara 43
orang (48,91%), multipara 49 orang (51,09%), berpendidikan dasar 44 orang (48,9%),
pendidikan menengah 47 orang (50%), pendidikan tinggi 1 orang (1,1%), ketersediaan alat
kontrasepsi 100%, berjarak dekat 6 orang (6%), sedang 31 orang (34%), jauh 31 orang
(34%), amat jauh 24 orang (26%), tidak mendukung 100%.
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pasangan usia subur
tidak memakai KB suntik lagi berumur >30 tahun, multipara, berpendidikan menengah,
berjarak sedang dan jauh yang menjadi alasan pasangan usia subur tidak memakai KB
suntik lagi. Diharapkan dukungan petugas kesehatan terus diberikan agar menjadi peserta
KB suntik yang lestari.
Kata kunci : faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik
*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
**= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan
PENDAHULUAN
Metode Keluarga Berencana terdiri dari berbagai macam alat dan obat. Salah satu
alat kontrasepsi adalah suntik. KB suntik mempunyai kekurangan, diantaranya terjadi
perubahan pada pola haid, mual, sakit kepala, penambahan berat badan, ketergantungan
klien terhadap layanan kesehatan, dapat terjadi serangan jantung dan stroke (Saifudin,
2006: MK 34-35).
Target pada tahun 2010 persentase pasangan usia subur (PUS) yang menjadi
akseptor KB sebesar 70% (Depkes RI, 2003). Di Provinsi Jawa Timur persentase PUS
yang memakai KB suntik sebesar 55,62% (Profil Kesehatan Jawa Timur, 2010). Di
Kabupaten Magetan persentase pemakaian KB suntik menurun dari 62,02% menjadi 51%
(Dinkes Magetan, 2011). Di Puskesmas Ngariboyo persentase pemakaian KB suntik tahun
2010 sebesar 71,23% pada tahun 2011 sebesar 56,0% sehingga terjadi penurunan
15,23% (Dinkes Magetan, 2011).
Menurut Bappenas (2010) dampak jika cakupan KB rendah, pertumbuhan penduduk
akan meningkat, dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi tentunya akan mempersulit
usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Menurut Green (1980) dalam
Notoatmodjo (2003) determinan perilaku atau tindakan seseorang dipengaruhi oleh 3
faktor, yakni faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai),
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
167
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
faktor pendukung (lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau saranasarana kesehatan) dan faktor yang memperkuat atau mendorong (sikap dan perilaku
petugas kesehatan, atau petugas yang lain) dalam melayani kesehatan di masyarakat.
Upaya melaksanakan revitalisasi KB dalam rangka pengendalian laju pertumbuhan
penduduk merupakan salah satu kebijakan kunci untuk mencapai akses universal
kesehatan reproduksi pada tahun 2012 dan dilakukan melalui serangkaian strategi antara
lain: membina dan meningkatkan keluarga berencana melalui; peningkatan pembinaan
kesertaan dan kemandirian ber-KB melalui 23.500 klinik KB pemerintah dan swasta yaitu
dengan memberikan dukungan sarana dan prasarana klinik serta menyediakan alat/obat
kontrasepsi dan pelayanan KB gratis bagi masyarakat miskin; peningkatan kapasitas
sumberdaya penyelenggara KB di semua tingkatan, di 23.500 klinik yang perlu bantuan,
partisipasi dan kemandirian ber-KB. Meningkatkan promosi dan pergerakan masyarakat
melalui; peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait pengendalian
jumlah penduduk, KB dan kesehatan reproduksi; peningkatan komitmen dan peran serta
lintas sektor dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan program kependudukan dan
KB (Bappenas, 2010).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi
cakupan KB suntik di Puskesmas Ngariboyo tahun 2011, meliputi umur, paritas,
pendidikan, ketersediaan alat kontrasepsi, keterjangkauan tempat pelayanan, dan
dukungan petugas kesehatan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi di
Puskesmas Ngariboyo Magetan sejumlah 92 orang yang tersebar di 12 desa. Penelitian
ini menggunakan total populasi.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi cakupan KB suntik meliputi usia, paritas, status pendidikan, ketersediaan
alat, keterjangkauan tempat pelayanan, dan dukungan petugas kesehatan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Faktor Umur
Tabel 1. Distribusi Umur Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik
di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011
Umur
Frekuensi
Persentase (%)
<20 tahun
0
0
20-30 tahun
39
42,39
>30 tahun
53
57,61
Jumlah
92
100
Sebagian besar PUS berumur >30 tahun. Menurut Hartanto (2004) usia antara 20–
30 tahun adalah periode usia paling baik untuk melahirkan dengan jumlah anak 2 orang
dan jarak kelahiran 2–4 tahun. Ciri-ciri kontrasepsi yang diperlukan adalah efektivitas
cukup tinggi dan reversibilitas cukup tinggi. Sedangkan usia > 30 tahun adalah periode
usia mengakhiri kesuburan setelah mempunyai 2 orang anak dianjurkan untuk tidak
hamil/tidak punya anak lagi, karena alasan medis atau alasan lainnya. Alasan pasangan
usia subur tidak memakai KB suntik lagi ditinjau dari segi umur yaitu >30 tahun adalah
waktu yang tepat untuk mengakhiri kehamilan sehingga kontrasepsi yang di butuhkan
adalah efektifitas sangat tinggi dan dapat dipakai jangka panjang.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
168
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Faktor Paritas
Tabel 2. Distribusi Paritas Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik
di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011
Paritas
Frekuensi
Persentase (%)
Nulipara
0
0
Primipara
43
46,74
Multipara
49
53,26
Grande multi
0
0
Jumlah
92
100
Hasil penelitian menunjukkan PUS yang tidak memakai KB suntik lagi 53,26%
merupakan multipara 2-5 anak, serta 46,74% adalah primipara 1 orang anak. Menurut
Saifuddin (2006) pada nullipara tidak ada pembatasan apa pun dalam penggunaan
metode kontrasepsi, tetapi pada kontrasepsi AKDR lebih besar manfaatnya dibanding
dengan risiko yang diperkirakan, sedangkan pada multipara tak ada pembatasan
penggunaan kontrasepsi apapun. PUS dengan paritas >1, memilih ganti ke metode
kontrasepsi jangka panjang karena dianggap sesuai dengan tujuan KB yang diinginkan.
Faktor Pendidikan
Tabel 3. Distribusi Pendidikan Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik
di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011
Pendidikan
Frekuensi
Persentase (%)
Dasar
44
48
Menengah
47
51
Tinggi
1
1
Jumlah
92
100
Hasil penelitian didapatkan PUS yang tidak memakai KB suntik lagi 51% berjenjang
pendidikan menengah, 48% berjenjang pendidikan dasar, serta 1% berjenjang pendidikan
tinggi. Menurut SDKI (2007) secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan yang ditamatkan mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi,
penggunaan alat kontrasepsi, kelahiran, kematian anak dan bayi, kesakitan, dan perilaku
serta kepedulian terhadap kesehatan keluarga. Secara tidak langsung pendidikan yang
ditamatkan akan berpengaruh terhadap pengetahuannya tentang metode kontrasepsi.
Sehingga peserta KB mengerti metode KB yang sesuai dengan tujuan serta kondisinya.
Faktor Ketersediaan Alat
Tabel 4. Distribusi Ketersediaan Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011
Ketersediaan Alat
Tersedia
Tidak Tersedia
Jumlah
Frekuensi
92
0
92
Persentase (%)
100
0
100
Dari hasil penelitian didapatkan 100% PUS yang tidak memakai KB suntik lagi
mengatakan alat kontrasepsi (KB suntik) selalu tersedia di Puskesmas Ngariboyo.
Ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (ALOKON) di tempat pelayanan KB adalah
hal penting yang harus dipenuhi. Tanpa tersedia alokon, pemberian pelayanan KB tidak
akan optimal (BKKBN, 2009). PUS menginginkan kontrasepsi jangka panjang yang sesuai
dengan kebutuhannya. Di samping itu masyarakat lebih memilih kontrasepsi yang
diberikan secara gratis di Puskesmas.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
169
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Faktor Keterjangkauan Pelayanan
Tabel 5. Distribusi Keterjangkauan Pelayanan KB Suntik
di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011
Keterjangkauan Pelayanan Frekuensi
Persentase (%)
Amat Dekat
0
0
Dekat
6
6
Sedang
31
34
Jauh
31
34
Amat jauh
24
26
Jumlah
92
100
Dari hasil penelitian didapatkan pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik
lagi 34% jarak rumah ke Puskesmas berjarak sedang dan 34% berjarak jauh. Menurut
Yudianto (2009) cakupan pelayanan kesehatan sangat tergantung pada keterjangkauan
(jarak/waktu) masyarakat terhadap fasilitas/sarana pelayanan kesehatan. Penempatan
fasilitas pelayanan kesehatan misalnya rumah sakit atau puskesmas yang tidak tepat,
yang tidak mendekatkan pada permukinan masyarakat, dan atau ketidakterjangkauan
karena keterbatasan transportasi memberikan implikasi pada pemanfaatan fasilitas
pelayanan oleh masyarakat yang tidak optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pus
yang tidak memakai KB suntik lagi di sebabkan jangkauan tempat pelayanan yang masuk
dalam wilayah sedang dan jauh. Transportasi umum yang jarang dan kerusakan jalan di
beberapa desa menjadi alasan pasangan usia subur enggan untuk ke Puskesmas.
Faktor Dukungan Petugas Kesehatan
Tabel 6. Distribusi Dukungan Petugas Kesehatan Kepada Pasangan Usia Subur
yang Tidak Memakai KB Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011
Dukungan Petugas Kesehatan
Frekuensi
Persentase (%)
Mendukung
0
0
Tidak Mendukung
92
100
Jumlah
92
100
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh seluruh PUS yang tidak memakai KB suntik
lagi 100% tidak mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk tidak memakai KB
suntik lagi. Menurut Notoatmodjo (2003) dukungan petugas dalam melayani kesehatan
dalam masyarakat menjadi pendorong masyarakat dalam perubahan perilaku.
Pendapatan dukungan, kritik dari keluarga, teman sekerja, tokoh masyarakat, tokoh
agama juga dari petugas kesehatan sendiri adalah faktor yang memperkuat (kadangkadang memperlunak) untuk terjadinya perilaku tertentu.
Petugas kesehatan tidak mendukung keinginan PUS untuk tidak memakai KB suntik
lagi. Sebelum menggunakan kontrasepsi, petugas kesehatan menjelaskan tentang
keunggulan dan kerugian, efek samping serta indikasi penggunaaan metode kontrasepsi
seluruhnya. Petugas menyerahkan keputusan pengambilan metode kontrasepsi sesuai
kebutuhan dan keinginan peserta KB.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat 57,61% PUS yang tidak memakai KB suntik lagi berumur >30 tahun. PUS
yang tidak memakai KB suntik lagi sebanyak 53,26% merupakan multipara. Sebanyak
51% pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi berpendidikan menengah.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
170
Volume III Nomor 3, Juli 2012
ISSN: 2086-3098
Pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi menyatakan 100% alat
kontrasepsi suntik selalu tersedia. Sebanyak 34% keterjangkauan pelayanan pasangan
usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi berjarak sedang dan 34% berjarak jauh.
Pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi menyatakan 100% petugas
kesehatan tidak mendukung untuk tidak memakai KB suntik lagi.
Saran
1. Diharapkan petugas kesehatan meningkatkan kualitas pelayanan KB suntik sehingga
cakupan KB suntik terus meningkat setiap tahun agar tercapai keluarga berkualitas.
2. Diharapkan institusi pendidikan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar
penelitian lanjutan
3. Diharapkan masyarakat berperan aktif meningkatkan pengetahuan tentang KB dan
mendukung penggunaan KB suntik untuk menciptakan keluarga berkualitas
4. Diharapkan para peneliti menggunakan hasil penelitian ini sebagai wacana pada
penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
BPPN. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Jakarta:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Depkes, RI. 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan pedoman penetapan Provinsi sehat
dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Depkes.
Dinkes Jatim. 2011. Profil Kesehatan Jawa Timur 2010. Surabaya: Dinkes Prov. Jatim.
Dinkes Magetan. 2012. Profil Kesehatan Magetan 2011. Magetan: Dinkes Magetan.
Fitriana, Rizka. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Istri Pasangan Usia Subur
Dalam Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal di BPS Chodidjah Kecamatan Pancoran
Mas Depok. Jakarta: FK UUPN “Veteran”.
Hadi dan Haryono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 2. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Aksara.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sudijono, A. 2007. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Yudianto. 2009. Analisis Pola Jangkauan ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kota
Depok.
http://geografi-kesehatan/2009/09/analisis-pola-jangkauan-ke-fasilitas
(Diakses 9 April 2012 pukul 19.00 WIB).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
171
Volume III Nomor 3, Juli 2012
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
ISSN: 2086-3098
172
Download