Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 JURNAL PENELITIAN KESEHATAN SUARA FORIKES Diterbitkan oleh: FORUM ILMIAH KESEHATAN (FORIKES) Penanggungjawab: Heru Santoso Wahito Nugroho, S.Kep, Ns, M.M.Kes (Ketua Forikes) Pemimpin Redaksi: Subagyo, S.Pd, M.M.Kes Anggota Dewan Redaksi: Budi Joko Santosa, S.K.M, M.Kes H. Trimawan Heru Wijono, S.K.M, S.Ag, M.Kes H. Sukardi, S.S.T, M.Pd Agus Suryono, S.Kep, Ns, M.M.Kes (MARS) Hj. Rudiati, A.P.P, S.Pd, M.M.Kes Drs. Dwi Setiyadi, M.M Koekoeh Hardjito, S.Kep, Ns, M.Kes Heru Santoso Wahito Nugroho, S.Kep, Ns, M.M.Kes Redaksi Pelaksana: Sunarto, S.Kep, Ns, M.M.Kes Handoyo, S.S.T Suparji, S.S.T, M.Pd Tutiek Herlina, S.K.M, M.M.Kes Sekretariat: Hery Koesmantoro, S.T, M.T Ayesha Hendriana Ngestiningrum, S.S.T Sri Martini, A.Md Alamat: Jl. Cemara RT 01 RW 02 Ds./Kec. Sukorejo Ponorogo 63453 Telepon 081335251726 Jl. Raya Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Serangan, Sukorejo Ponorogo 63453 Telepon 081335718040 E-mail dan Website: Suara Forikes: [email protected] dan www.suaraforikes.webs.com Penerbitan perdana bulan Januari 2010, selanjutnya diterbitkan setiap tiga bulan Harga per-eksemplar Rp. 25.000,00 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume III Nomor 3 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Halaman 125 - 171 Juli 2012 ISSN 2086-3098 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Redaksi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes menerima artikel ilmiah dalam bidang kesehatan berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian. Artikel yang diterima adalah artikel orisinil yang belum pernah dimuat dalam media publikasi ilmiah manapun. Diharapkan artikel dilampiri dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti (jika ada 2 peneliti atau lebih). Artikel yang masuk akan dinilai oleh Dewan Redaksi yang berwenang penuh untuk menerima atau menolak artikel yang telah dinilai, dan artikel yang diterima maupun ditolak tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi berwenang pula untuk mengubah artikel yang diterima sebatas tidak akan mengubah makna dari artikel tersebut. Artikel berupa tugas akhir mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti. Artikel yang dikirim ke Dewan Redaksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Diketik dengan bentuk dan ukuran huruf Arial 12 pada kertas HVS A4 dengan margin atas dan bawah: 2,5 cm, kiri dan kanan: 2 cm. 2. Seluruh artikel maksimal berjumlah 10 halaman, berbentuk softcopy (CD, DVD atau e-mail). Isi dari artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut: 1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah. 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. 3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dicetak miring. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci, dan di bawahnya lagi dicantumkan institusi asal penulis. 4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm. 5. Bahan dan Metode ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan. 6. Hasil Penelitian dan Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah. 7. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Simpulan dan saran disajikan secara naratif. 8. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka mengacu pada Sistem Harvard, yaitu: penulis, tahun, judul buku, kota dan penerbit (untuk buku) dan penulis, tahun, judul artikel, nama jurnal (untuk jurnal). Redaksi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 EDITORIAL Salam dari Redaksi Pada penerbitan Volume III Nomor 3, bulan Juli 2012 ini, dipublikasikan hasil-hasil penelitian kesehatan karya para sejawat yang bertugas di Magetan, Bangka Belitung, Semarang, Ngawi, serta beberapa alumnus dari beberapa perguruan tinggi kesehatan. Tema-tema yang ditampilkan mencakup bidang kesehatan lingkungan, kebidanan, kesehatan anak, kesehatan masyarakat, serta keluarga berencana. Segenap tim redaksi mohon doa restu kepada Para Pembaca, semoga kiprah jurnal ini dapat memperkaya perbendaraan karya ilmiah di tanah air kita, khususnya dalam bidang kesehatan. Tidak lupa kami mengajak Para Pembaca untuk selalu mengunjungi jurnal ini melalui website www.suaraforikes.webs.com atau melihat versi ringkasnya pada website resmi Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), www.isjd.pdii.lipi.go.id. Selamat membaca dan sampai jumpa kembali pada Volume III Nomor 4 pada bulan Oktober 2012 yang akan datang. Redaksi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 DAFTAR ISI STUDI TENTANG SANITASI RUMAH DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA 125-132 DI DESA GEMARANG KECAMATAN KEDUNGGALAR KABUPATEN NGAWI Aning Gunarni, Vincentius Supriyono, Mujiono HUBUNGAN ANTARA BERAT BAYI LAHIR DENGAN KADAR BILIRUBIN 133-137 BAYI BARU LAHIR DI RUANG PERINATOLOGI RSUD DR HARJONO PONOROGO Tutiek Herlina, Suparji, Rizki Amalia HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR SUMUR GALI SECARA 138-142 BAKTERIOLOGIS DENGAN PENDERITA DIARE DI DESA MADIGONDO KECAMATAN TAKERAN KABUPATEN MAGETAN Vincentius Suprijono, Djoko Windu P. Irawan ANALISIS KINERJA PENANGGUNG JAWAB PROGRAM TB PUSKESMAS 143-151 DALAM PENEMUAN KASUS BARU TB BTA POSITIF DI PUSKESMAS KABUPATEN BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Dedek Sutinbuk, Atik, Lucia PERBEDAAN PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI USIA 5 BULAN 152-154 ANTARA YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN YANG DIBERI PASI Sulikah, Titik Istiyawati, Sukardi PENGARUH ALAT PERMAINAN EDUKATIF (APE) TERHADAP 155-157 PERKEMBANGAN ANAK USIA TODLER DI POSYANDU II DUKUH UNGWI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN MAOSPATI KABUPATEN MAGETAN Nurlailis Saadah HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN FASILITAS POSYANDU DENGAN 158-162 PARTISIPASI MASYARAKAT DI POSYANDU (Di Wilayah Kerja Puskesmas Saradan, Madiun) Nurlailis Saadah, Budi Joko Santosa, Yuni Anita Sari GAMBARAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU PESERTA 163-166 JAMPERSAL DALAM PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PASCA SALIN DI DESA KEPUHREJO KEC. TAKERAN KAB. MAGETAN TAHUN 2012 Tutiek Herlina, Suparji, Riris Sukma Pratiwi GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CAKUPAN KB 167-171 SUNTIK DI PUSKESMAS NGARIBOYO TAHUN 2011 Hery Sumasto, Nurwening Tyas W, Qomariyah Dwi Susetyo Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 STUDI TENTANG SANITASI RUMAH DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI DESA GEMARANG KECAMATAN KEDUNGGALAR KABUPATEN NGAWI Aning Gunarni*, Vincentius Supriyono**, Mujiono** ABSTRAK Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi perumahan. Gangguan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang memenuhi syarat kesehatan/fisik memungkinkan menyebabkan penyakit ISPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sanitasi rumah dan kejadian ISPA di Desa Gemarang Kecamatan Kedungalar Kabupaten Ngawi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan variabel: kejadian ISPA pada Balita, kondisi sanitasi rumah, dan faktor lingkungan fisik rumah. Besar populasi 598 balita dengan sampel 86 rumah dengan balita. Data kejadian ISPA diperoleh dari laporan Puskesmas, data kondisi sanitasi rumah dari observasi, dan data lingkungan fisik dari pengukuran langsung. Hasil penelitian adalah: lingkungan kotor (72,1%), dalam rumah kotor (65,1%), dapur tidak berlubang asap (63,9%), bahan bakar kayu (66,3%), lantai tanah (52,3%), dinding dari papan (60,5%) rumah tanpa langit-langit (47,7%), luas ventilasi <10% luas lantai (44,2%), rumah tidak padat huni (88,4%), kandang menyatu dengan rumah (59,3%), kondisi sanitasi rumah cukup (66,3%), balita sakit (16,3%), kondisi sanitasi rumah balita sakit dikategorikan baik (0%). Maka disarankan perlu peningkatan pengetahuan masyarakat tentang sanitasi rumah dengan mengikutkan kader kesehatan. Kata kunci : Sanitasi Rumah, ISPA Balita *= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya,Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Magetan **= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Magetan PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh. Perumahan yang sempit, padat, kotor dan tidak memiliki sarana air bersih yang memadai akan menyebabkan anak sering terinfeksi oleh kuman yang berasal dari tempat kotor dan akhirnya terkena berbagai penyakit menular. Rumah yang tidak cukup aliran udara bersih dan penghuninya sering menghisap asap dapur yang terkumpul dalam rumah akan mudah terkena Inspeksi Saluran Pernapasan Akut disingkat ISPA (Depkes RI, 2002). Faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit ISPA antara lain faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri atas faktor biologi, faktor fisik, dan faktor sosial. Faktor biologis berasal dari kuman/mikrobiologis penyebab infeksi. Faktor fisik berasal dari faktor lingkuangan fisik rumah yang tidak sehat yang meliputi : keberadaan lubang asap dapur, jenis bahan bakar masak, luas ventilasi rumah, kepadatan hunian rumah, suhu udara, kelembaban dalam rumah dan intensitas pencahayaan rumah. Faktor sosial yang menyangkut perilaku hidup yaitu tingkat pengetahuan keluarga tentang ISPA , tanda-tanda dan gejala, dan mencari upaya pertolongan. Sedangkan faktor intrinsik terdiri dari status gizi, pemberian ASI eksklusif, umur, kelengkapan imunisasi, jenis kelamin, status Berat Badan Lahir Rendah/ BBRL (Silalahi, 2004). Saat ini Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Kematian balita (berdasar Survey Kematian Balita tahun 2005) Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 125 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 sebagian besar karena pneumonia 23,6%. Selama ini digunakan estimasi bahwa insiden pneumonia pada kelompok umur balita di Indonesia sekitar 10-20% (Depkes RI, 2007). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Depkes RI, 2002). Dari 1897 rumah di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi, yang telah diperiksa pada tahun 2010 adalah 689 rumah (36,32%), dengan kriteria memenuhi syarat 108 rumah (15,67%) dan tidak memenuhi syarat 581 rumah (84,33%). Data Puskesmas Gemarang, menunjukkan bahwa penyakit tertinggi dari 10 besar penyakit di wilayah kerja Puskesmas Gemarang adalah penyakit ISPA. Kejadian ISPA pada balita tercatat 609 kasus pada tahun 2008, 672 kasus pada tahun 2009, dan 739 kasus pada tahun 2010. Rekapitulasi hasil penemuan penderita ISPA pada balita pada tahun 2010 di wilayah kerja Puskesmas Gemarang sebanyak 739 kasus, dari enam desa yaitu Desa Gemarang 217 kasus, Desa Kawu 121 kasus, Desa Jengrik 112 kasus, Desa Wonokerto 105 kasus, Desa Bangunrejo Kidul 95 kasus dan desa Pelang Lor 89 kasus, di Desa Gemarang menunjukkan angka tertinggi yaitu 217 kasus atau sebesar 29,36%. Upaya petugas kesehatan untuk menurunan kejadian ISPA bagi petugas sanitasi sudah melaksanakan klinik sanitasi bagi penderita ISPA, kunjungan rumah bagi penderita ISPA dan pemeriksaan rumah di wilayah kerja namun angka kesakitan ISPA pada balita masih mengalami peningkatan di wilayah kerja Puskesmas Gemarang. Tujuan 1. Menilai sanitasi rumah meliputi: 1) kebersihan lingkungan rumah, 2) kebersihan dalam rumah, 3) lubang asap dapur, 4) jenis bahan bakar masak, 5) lantai, 6) dinding, 7) langit-langit, 8) ventilasi, 9) kepadatan hunian, 10) kandang, 11) kondisi sanitasi rumah 2. Mengukur lingkungan fisik rumah meliputi: 1) suhu, 2) kelembaban, 3) pencahayaan, 4) kecepatan udara 3. Menilai kejadian ISPA 4. Menilai sanitasi rumah dan kejadian ISPA pada balita di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah deskriptif untuk menggambarkan keadaan sanitasi rumah balita penderita dan bukan penderita ISPA di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi. Variabel penelitian ini adalah: 1) kejadian ISPA pada Balita, 2) kondisi sanitasi rumah, 3) faktor lingkungan fisik rumah. Untuk variabel perilaku dan faktor individu tidak diteliti karena perilaku masyarakat desa Gemarang pada umumnya belum berperilaku bersih dan sehat, sehingga sampel penelitian tidak dibedakan antara yang sudah dan belum berperilaku hidup bersih dan sehat. Sampel harus mempunyai status gizi baik dan mempunyai berat badan lahir normal. Populasi penelitian adalah semua balita berumur 1 hari sampai 5 tahun yang ada di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi yaitu 598 balita. Besar sampel dihitung dengan formula sederhana dari Notoatmodjo (2002) yaitu: n = N 1+ N d ( ) 2 Keterangan: N = Besar populasi, n = Besar sampel, d = Tingkat kepercayaan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 126 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Hasil penghitungan besar sampel adalah 86 rumah yang ada balitanya, dengan kriteria: 1) tinggal di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi selama bulan Desember 2010 sampai Mei 2011, 2) ibu balita yang mau menjadi responden, 3) balita dengan Status Gizi baik, dilihat dari KMS, 4) Balita dengan Berat Badan Lahir Normal. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling, secara proporsional per dusun dengan hasil sebagai berikut: Dusun Jambe 17 rumah, Dusun Ngadirejo 19 rumah, Dusun Ngadiluwih 13 rumah, Dusun Sooko Sari 8 rumah, Dusun Gemarang 6 rumah, Dusun Pengkol 9 rumah, Dusun Salak 7 rumah, dan Dusun Ponjen 7 rumah. Instrumen dan teknik pengumpulan data yang diterapkan adalah sebagai berikut: 1. Data kejadian ISPA diperoleh dari data sekunder berupa laporan Puskesmas 2. Data kondisi sanitasi rumah (kebersihan lingkungan rumah, kebersihan dalam rumah, lubang asap dapur, bahan bakar, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, kepadatan hunian, dan kandang) dikumpulkan dengan observasi 3. Data lingkungan fisik didapatkan dengan pengukuran langsung, yaitu menggunakan . thermohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, lux meter untuk mengukur pencahayaan, dan anemometer untuk mengukur kecepatan udara HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Luas wilayah Desa Gemarang adalah104645 Ha yang terdiri dari tanah kering 68061 Ha dan tanah sawah 36584 Ha. Jumlah penduduk adalah 9360 jiwa (4628 laki-laki dan 4732 perempuan), dengan jumlah KK 2859. Sebagian besar penduduk berpendidikan SMP, sebagaimana tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pendidikan Tidak Sekolah Belum Sekolah Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi Jumlah Jumlah 514 598 1996 3434 2446 372 9360 Persen 5,49% 6,39% 21,33% 36,69% 26,13% 3,97% 100 % Data kejadian ISPA pada balita disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Tahun 2010 No. 1. 2. Kejadian ISPA Sakit Tidak sakit Jumlah Jumlah 14 72 86 Persen 16,3 % 83,7 % 100 % Data kondisi sanitasi rumah secara terperinci disajikan pada Tabel 3. 1. Kebersihan lingkungan rumah Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas halaman rumah sudah bersih dari sampah dan masih berdebu. Sebaiknya halaman rumah disiram dan diberi tanamantanaman yang dapat suasana bersih, nyaman, nikmat dan selalu segar. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 127 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Tabel 3. Distribusi Kondisi Sanitasi Rumah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kondisi Sanitasi Kebersihan lingkungan rumah • Kurang • Cukup • Baik Jumlah Persen 11 62 13 12,8% 72,1% 15,1% 6 56 24 7% 65,1% 27,9% 55 30 1 63,9% 34,9% 1,2% 57 0 29 66,3% 0% 33,7% 45 15 26 52,3% 17,5% 30,2% 15 52 19 17,4% 60,5% 22,1% 41 6 39 47,7% 7% 45,3% 22 38 26 25,6% 44,2% 30,2% 8 2 76 9,3% 2,3% 88,4% 27 59 31,4% 68,6% 16 3 8 59,3% 11,1% 29,6% 12 57 17 13,9% 66,3% 19,8% Kebersihan dalam rumah • Kurang • Cukup • Baik Lubang asap dapur • Kurang • Cukup • Baik Jenis bahan bakar memasak • Kayu bakar • Minyak tanah • LPG Lantai rumah • Tanah • Plesteran retak/Bata • Plesteran/Ubin/Keramik Dinding rumah • Kurang • Cukup • Baik Langit-langit rumah • Kurang • Cukup • Baik Luas ventilasi rumah • Kurang • Cukup • Baik Kepadatan hunian • Kurang • Cukup • Baik Kandang ternak • Memiliki kandang • Tidak memiliki kandang Kondisi kandang • Kurang • Cukup • Baik Kondisi sanitasi rumah • Kurang • Cukup • Baik Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 128 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Halaman rumah menggunakan tanah merah dan putih maka pada musim kemarau menghasilkan debu yang cukup banyak dan mereka jarang menyirami halaman. Debu yang berterbangan membuat udara menjadi kotor sehingga bila dihirup oleh penghuni akan menyebabkan sakit pernapasan terutama ISPA. Menurut Wong Donna (2004) penyebab dari ISPA adalah bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing lainnya. Pencetus utama ISPA adalah streptokokus dan stafilokokus, yang masuk melalui partikel udara dan melekat pada epitel hidung, kemudian masuk bronkhus dan traktus respiratorius, sehingga timbul gejala batuk, pilek, demam dan sakit kepala (www. library.upnvj.ac) 2. Kebersihan dalam rumah Masih banyak rumah yang hanya dibersihkan lantainya, tetapi jarang untuk perabotannya seperti meja, kursi, almari dll., sehingga masih berdebu, sedangkan debu dapat menyebabkan penyakit ISPA. Lantai rumah masih tanah akan menghasilkan debu yang cukup banyak dan mereka jarak menyirami sehingga rumah menjadi panas. Debu menyebabkan udara menjadi kotor, sehingga udara yang kotor akan dihirup oleh penghuni rumah maka resiko terkena penyakit ISPA. 3. Lubang asap dapur Masih banyak rumah yang tidak memiliki lubang asap dapur dan yang memiliki lubang asap dapur berupa ventilasi letaknya hanya satu sisi. Hal ini dapat menyebabkan pergantian udara dalam dapur tidak lancar, sehingga asap hasil pembakaran dan uap pada proses memasak akan mengepul dalam ruang dapur. Dapur tanpa lubang asap relatif dapat menimbulkan polusi di dalam rumah. Asap hasil pembakaran dengan konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan rusaknya mekanisme pertahan paru sehinggan akan mempermudah timbulnya ISPA pada balita (Depkes RI: 1999). 4. Jenis bahan bakar memasak Banyak rumah yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak dengan alasan murah. Kayu bakar menimbulkan polusi di dalam rumah karena banyak menghasilkan asap dan mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam rumah. Bahan bakar fosil dan bahan bakar organik umumnya tersusun dariunsur-unsur C, H, O, N, S, P, namun yang terbakar adalah C, H dan S. Bahan bakar ini menghasilkan asap yang mengandung hidrokarbon, Sulfur dioksida, karbonmonoksida, debu, amoniak yang merupakan iritan saluran pernafasan. Abu dan sisa pembakaran kayu dapat masuk ke ruangan lain sehingga udara tercemar, yang berakibat menurunnya kualitas udara dalam rumah dan mengakibatkan terjadinya ISPA pada balita. Jenis bahan bakar memasak mempengaruhi proses pembakaran dan tingkat emisi gas. Emisi pembakaran dengan kompor LPG: 5,83 ppm, kompor minyak tanah: 64,08 ppm, dan kayu bakar: 118,42 ppm. Bahan bakar biomassa menghasilkan emisi CO lebih tinggi karena reaksi pembentukan atom yang tinggi. Jenis bahan bakar juga dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban (Ferdias: 1992). 5. Lantai rumah Masih banyak rumah dengan lantai tanah. Keadaan ini tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa lantai rumah harus kedap air dan mudah dibersihkan. Dengan lantai tanah, jika lembab pada musim penghujan dan kering berdebu pada musim kemarau sehingga mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah. Mikroorganisme penyebab penyakit terutama yang menular melalui saluran pernapasan makin banyak, apabila penghuni dalam rumah tersebut semakin banyak jumlahnya (Soemirat: 2000). Lantai tanah merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan bakteri atau vektor penyakit seperti serangga yang membahayakan kesehatan. Lantai tanah berdaya serap sangat baik, sehingga pada musim kemarau menjadi kering dan menimbulkan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 129 Volume III Nomor 3, Juli 2012 6. 7. 8. 9. 10. ISSN: 2086-3098 debu. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab, mudah dibersihkan, kering serta tidak menghasilkan debu (Dirjen PPM dan PLP Depkes RI: 2000). Dinding rumah Masih banyak rumah berdinding papan. Ini tak sesuai dengan aspek rumah sehat, dengan persyaratan dinding tidak tembus pandang, dapat menahan pengaruh cuaca siang dan malam, serta kedap air (Dirjen PPM dan PLP Depkes RI: 2000). Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan udara dalam rumah menjadi lembab, sehingga menjadi pertumbuhan kuman maupun bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit bagi penghuninya. Partikel atau debu halus di dalam rumah dapat menjadi pemicu iritasi saluran pernafasan. Saluran pernafasan teriritasi menjadi media pertumbuhan bakteri maupun virus penyebab ISPA (Sanropie, Djasio: 1989). Langit-langit rumah Masih banyak rumah tanpa langit-langit sehingga lebih sulit membersihkan sarang laba-laba, padahal menurut Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat, langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Rumah tanpa langit-langit menyebabkan debu mudah masuk ke dalam rumah sehingga mudah kotor dan suhu menjadi lebih panas. Luas ventilasi rumah Masih ada rumah tanpa ventilasi dan ada juga dengan ventilasi yang kurang. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa luas penghawaan atau ventilasi alamiah minimal 10% dari luas lantai. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup baik secara alamiah atau mekanis. Fungsi dari ventilasi dalam rumah adalah membebaskan udara ruangan dari bau, asap atau debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara, sehingga pengenceran udara bersih menjadi lancar. Ventilasi juga mempengaruhi intensitas pencahayaan alami di dalam rumah. Apabila ventilasi berfungsi, maka masuknya sinar matahari ke dalam rumah tidak terhalang oleh ventilasi itu sendiri. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan menyebabkan tingginya kelembaban di dalam ruangan sehingga menjadi tempat pertumbuhan dan perkembangbiakan kuman patogen yang dapat meningkatkan resiko kejadian ISPA pada balita (Mukono: 2000). Kepadatan hunian Proporsi rumah dengan hunian tidak padat lebih besar daripada hunian padat. Untuk rumah dengan balita, menempati ruangan >10 m² perjiwa. Ini sesuai dengan keputusan Depkes RI dan UNICEF tahun 1990 bahwa seluruh rumah termasuk kamar mandi dan jamban dibagi dibagi jumlah penghuni harus lebih besar atau sama dengan 10 m² perjiwa maka dikatakan tidak padat penghuni. Rumah padat penghuni menyebabkan sirkulasi udara menjadi tidak sehat, karena penghuni yang banyak mempengaruhi kadar oksigen dalam rumah. Hal ini menyebabkan meningkatnya mikroorganisme di udara dalam rumah. Dengan demikian mikroorganisme penyebab penyakit terutama yang menular melalui saluran pernapasan makin banyak, jika penghuni rumah tersebut semakin banyak (Soemirat, 2000). Kandang ternak Masih banyak rumah yang menjadi satu dengan kandang ternak, padahal lahan mereka cukup untuk memisahkan kandang dengan rumah, dengan alasan takut jika terjadi pencurian hewan. Kotoran hewan sebagai limbah, bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan bau, pencemarana tanah serta air tanah, padahal setiap hari mereka tinggal di rumah dan menggunakan air untuk kebutuhan hidup. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 130 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Rumah Sehat bahwa limbah padat harus dikelola agar tidak minumbulkan bau, pencemaran tanah serta air tanah. 11. Kondisi sanitasi rumah Kondisi sanitasi rumah banyak yang nilainya cukup. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dan dalam rumah kurang bersih, hanya menyapu lantai tetapi tidak membersihkan perabotan, tidak memiliki lubang asap dapur, kayu sebagai bahan bakar memasak, lantai dari tanah, dinding dari papan, tanpa langit-langit rumah, luas ventilasi <10% luas lantai, dan menyatunya kandang dengan rumah. Sanitasi rumah yang tidak baik sangat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita. Rumah sehat berdasarkan Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa lantai rumah harus kedap air, langit-langit harus mudah dibersihkan, luas ventilasi 10% dari luas lantai. Tabel 4. Data Lingkungan Fisik Rumah di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Tahun 2010 No Lingkungan Fisik 1 Suhu • Tidak memenuhi syarat • Memenuhi syarat 2 Kelembaban • Tidak memenuhi syarat • Memenuhi syarat 3 Pencahayaan • Tidak memenuhi syarat • Memenuhi syarat 4 Kecepatan udara • Tidak memenuhi syarat • Memenuhi syarat Jumlah Persen 41 45 47,7% 52,3% 37 49 43% 57% 28 58 32,6% 67,4% 54 32 62,8 % 37,2 % Data lingkungan fisik rumah disajikan pada Tabel 4, yang diuraikan sebagai berikut: 1. Suhu Sebagian besar suhu udara di dalam rumah melebihi suhu nyaman terutama pada rumah dengan balita sakit ISPA. Menurut Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa suhu udara nyaman berkisar 18 °C sampai 30 °C. Suhu udara sangat tergantung pada musim. Suh u udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan rumah menjadi panas sehingga memungkinkan penghuni tidak betah tinggal berlama-lama di dalam rumah, sedangkan suhu terlalu rendah menyebabkan lembab dan dingin yang memungkinkan berkembang biaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit. Rumah dengan suhu yang tidak sesuai dapat mengakibatkan kejadian ISPA pada balita (Mukono, 2000). 2. Kelembaban Kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat lebih banyak dari pada yang memenuhi syarat, terutama rumah dengan balita penderita ISPA dengan kelembaban >70%. Ini tidak sesuai dengan Kepmenkes RI No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa kelembapan udara berkisar 40% - 70%. Virus, bakteri dan riketsia tumbuh optimal pada suhu >30°C dan kelembaban >70%, sehingga memungkinkan berkembang biak dengan cepat. Kelembaban dalam rumah dapat dipengaruhi oleh ventilasi yang tidak baik, lantai yang tidak kedap air dan menghasilkan debu. Rumah yang lembab memungkinkan untuk tikus dan kecoa membawa bakteri dan virus yang Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 131 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 dapat memicu terjadinya penyakit pernapasan dan dapat berkembang biak dalam rumah (Krieger dan Higgins, 2002). 3. Pencahayaan Sebagian besar rumah tidak memenuhi syarat pencahayaan, yang kemungkinan disebabkan kurangnya ventilasi dan tidak dibuka setiap pagi. Menurut Kepmenkes RI No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa pencahayaan alami buatan langsung maupun tak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal 60 Lux dan tidak menyilaukan. Penerangan dibagi menjadi penerngan alami dan penerangan buatan. Penerangan alami penting untuk mengurangi kelembaban udara dan membunuh kuman dan bakteri. Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam rumah melalui jendela rumah, celah maupun bagian lain rumah yang terbuka. Selain berguna untuk penerangan, sinar matahari juga mengurangi kelembaban udara, mengusir nyamuk dan serangga lainnya, serta membunuh kuman penyebab penyakit tertentu, misalnya cahaya pada panjang gelombang 4000 A sinar ultraviolet dapat membunuh bakteri. Cahaya matahari terutama yang langsung, dapat membunuh beberapa mikroorganisme penyebab penyakit menular misalnya TBC, influenza, penyakit kulit atau mata (Azwar, 1990). 4. Kecepatan udara Masih ada 37,2% rumah yang tidak memenuhi syarat kecepatan udara. Menurut Kepmenkes RI No. 826/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Rumah Sehat bahwa kecepatan udara berkisar 5–20 cm/detik. Untuk rumah yang ada balita yang sakit kecepatan udaranya sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu dari 14 rumah balita sakit hanya 3 rumah balita yang kecepatan udaranaya memenuhi syarat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kondisi sanitasi rumah: lingkungan rumah berdebu: 72,1%, dalam rumah kotor: 65,1%, tanpa lubang asap dapur: 63,9%, bahan bakar kayu: 66,3%, lantai tanah: 52,3%, dinding papan: 60,5%, rumah tanpa langit-langit: 47,7%, ventilasi kurang: 44,2%, hunian tidak padat: 88,4%, rumah balita dengan kandang menyatu dengan rumah: 59,3%, sanitasi cukup baik: 66,3%. 2. Lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat: 1) suhu: 52,3%, 2) kelembaban: 57%, 3) pencahayaan: 67,4%, 4) kecepatan udara: 37,2%. Saran Diharapkan masyarakat: 1) pada musim kemarau menyiram halaman untuk mengurangi debu, 2) tidak hanya membersihkan lantai saja tetapi juga perabotan rumah, 3) membuat lubang asap dapur, 4) menggunakan bahan bakar LPG, 5) membuat lantai kedap air, 6) membuat dinding kedap air, 7) membuat langit-langit, 8) membuat jendela dengan luas >10% luas lantai dan dibuka setiap hari, 9) membagi ruangan sesuai dengan kebutuhan, 10) memisahkan kandang dari rumah dan selalu dibersihkan. Diharapkan Puskesmas Gemarang meningkatkan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan lingkungan, khususnya tentang Penyehatan Lingkungan Pemukiman, sanitasi rumah terutama untuk pengendalian faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA dengan penyuluhan atau peningkatan pengetahuan masyarakat oleh tenaga kesehatan Puskesmas dengan mengikutkan kader kesehatan. Diharapkan para peneliti mengembangkan penelitian ini dengan menambah variabel yang berhubungan dengan ISPA. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 132 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 HUBUNGAN ANTARA BERAT BAYI LAHIR DENGAN KADAR BILIRUBIN BAYI BARU LAHIR DI RUANG PERINATOLOGI RSUD DR HARJONO PONOROGO Tutiek Herlina*, Suparji*, Rizki Amalia** ABSTRAK Angka kematian bayi baru lahir di Indonesia masih tinggi, dengan penyebab utama di antaranya ikterus neonatorum. Berat bayi lahir merupakan salah satu pencetus terjadinya ikterus neonatorum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir. Jenis penelitian ini survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian adalah bayi baru lahir spontan tanpa komplikasi sebanyak 202. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling sebanyak 135. Variabel bebas adalah berat bayi lahir dan variabel terikat adalah kadar bilirubin bayi baru lahir, yang diketahui dari data rekam medik Rumah Sakit dr. Harjono. Analisis data menggunakan uji Chi square dan contingency coefficient dengan α 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 88 berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai kadar bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%) mempunyai kadar bilirubin normal, dan 7 bayi (14,9%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal. Hasil uji Chi square adalah p=0,001 dan koefisien kontingensi= 0,543 maka disimpulkan ada hubungan yang sedang antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir. Disimpulkan bahwa berat bayi lahir berhubungan dengan kadar bilirubin, oleh karena itu disarankan agar ibu hamil memperhatikan asupan nutrisi selama hamil untuk mencegah berat bayi lahir tidak normal. Kata kunci: berat bayi lahir, kadar bilirubin *= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Prodi Kebidanan Magetan **=Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Prodi Kebidanan Magetan PENDAHULUAN Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi. Hasil SDKI tahun 2007, AKB 34 per-1000 kelahiran hidup, artinya dalam satu tahun sekitar 175.000 bayi meninggal. Penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah prematuritas, BBLR, asfiksia bayi baru lahir, tetanus neonatorum, dan ikterus pada bayi baru lahir (Martin, 2004). Faktor penyebab ikterus menurut Manuaba (2010) yaitu: 1) Faktor maternal, meliputi: ras, komplikasi kehamilan, dan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, 2) Faktor Perinatal, yaitu: trauma lahir (sefalhematom, ekimosis), infeksi (bakteri, virus, protozoa), 3). Faktor Neonatus, yaitu: prematuritas, genetik, polisitemia, obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkhohol, sulfisoxazol), rendahnya asupan ASI, berat lahir <2500 gram, hipoalbuminemia. Bahaya dari ikterus adalah terjadinya Kern ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus sriatum, talamus, nukleus, subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir di RSUD dr Harjono Ponorogo. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan cross sectional, dengan populasi bayi baru lahir spontan tanpa komplikasi sebanyak 202. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling sebanyak 135. Variabel bebas adalah berat bayi lahir dan variabel terikat adalah kadar bilirubin bayi baru lahir. Pengumpulan data menggunakan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 133 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 data sekunder dari rekam medik Rumah Sakit dr. Harjono. Analisis data menggunakan uji Chi square dan contingency coefficient dengan α 0,05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berat bayi lahir 65,2% 34,8% BB normal BB tidak normal Gambar 1. Distribusi Frekuensi Berat Bayi Lahir di Ruang Perinatologi RSUD dr. Harjono Ponorogo Bulan Desember 2011–Maret 2012 Berat bayi lahir sebagian besar (65,2%) tidak normal (Gambar 1). Berat bayi lahir tidak normal di antaranya berat lahir rendah yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi 5 (5,68%), dan berat bayi lahir lebih dari 4000 gram atau makrosemia 83 (94,32%). Menurut Supariasa (2001), berat bayi lahir merupakan ukuran antropometri yang paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat bayi lahir dipengaruhi oleh faktor penyakit kronis, lingkungan fisik dan kimia, psikologis, endokrin, sosial ekonomi, obat-obatan, genetik/herediter, dan gizi. Faktor–faktor tersebut dalam penelitian ini tidak diteliti. Calon ibu seharusnya memperhatikan kehamilan dengan memberikan nutrisi pada janin yang seimbang dan menghindari faktor-faktor yang mempengaruhi berat janin. Kadar bilirubin Bil. tidak normal 58,5% Bil. Normal 41,4% Gambar 2. Distribusi Frekuensi Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir di Ruang Perinatologi RSUD dr. Harjono Ponorogo Bulan Desember 2011–Maret 2012 Sebagian besar bayi baru lahir (58,5%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal (Gambar 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian ikterus neonatorum lebih besar dibandingkan dengan yang tidak ikterus. Menurut Ngastiyah (1997), ikterus neonatorum juga disebut hiperbilirubinemia yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. Menurut Surasmi (2003) pada bayi pemecahan sel darah merah kirakira 90 hari, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan bayi kuning. Kadar bilirubin pada bayi baru lahir dipengaruhi oleh faktor maternal meliputi ras, komplikasi kehamilan, induksi persalinan, pemberian ASI, faktor perinatal meliputi trauma lahir, infeksi, faktor neonatus meliputi prematuritas, berat bayi lahir, genetik, polisitemia, obat, dan hipoalbuminemia. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 134 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin Bayi dengan berat lahir tidak normal sebagian besar (81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, sedangkan bayi dengan berat lahir normal sebagian besar (85,1%) mempunyai kadar bilirubin normal (Tabel 1). Hasil uji statistik Chi-square adalah p = 0,000, oleh karena p < α maka HO ditolak artinya ada hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir di ruang perinatologi RSUD dr. Harjono, Ponorogo. Nilai koefisien kontingensi 0,543 berarti mempunyai hubungan yang sedang. Tabel 1. Berat Bayi Lahir dan Kadar Bilirubin di Ruang Perinatologi RSUD Dr Harjono, Ponorogo Bulan Desember 2011–Maret 2012 Berat bayi lahir Tidak normal Normal Total Kadar bilirubin Tidak normal Normal 72 (81,8%) 16 (18,2%) 7 (14,9%) 40 (85,1%) 79 (58,5%) 56 (41,5%) Total 88 (100%) 47 (100%) 135 (100%) Hasil penelitian ini memperkuat pernyataan Indriyani (2010) bahwa kadar bilirubin tidak normal merupakan salah satu penyebab peningkatan angka kematian bayi dan angka kesakitan bayi. Kondisi bayi dengan berat badan tidak normal akan meningkatkan angka kejadian kadar bilirubin tidak normal. Menurut Anwar (2008), bayi yang memiliki kadar bilirubin tidak normal terjadi dalam 1 minggu pertama kelahirannya terutama terjadi pada berat bayi lahir tidak normal/ bayi kecil (berat lahir <2500 gram) dan bayi besar (berat lahir >4000 gram) namun tidak menutup kemungkinan bahwa berat bayi normal juga beresiko terkena hiperbilirubinemia. Menurut Supariasa (2002), bayi dengan berat lahir lebih dari 4000 gram mempunyai resiko mengalami hipoglikemia yang mempengaruhi sistem kerja hati dalam pengeluaran bilirubin. Ketika bilirubin yang tidak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/100 ml, terjadi suatu keadaan yang disebut Kern ikterus. Menurut Surasmi (2003), kadar bilirubin dipengaruhi berat bayi lahir oleh karena organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronil transferase yang belum cukup jumlahnya. Ikterus merupakan keadaan normal bayi baru lahir, namun diperlukan pengamatan cermat antara ikterus fisiologis dan patologis, sehingga dampak yang dihasilkan dapat dikendalikan. Penelitian oleh Emi Yanthi di Ruang Kebidanan Mawar RSUD dr M. Yunus Bengkulu tahun 2009 menunjukkan hasil ada hubungan antara kejadian ikterus dengan berat badan bayi baru lahir. Menurut Fraser (2009), ikterus bisa dicegah agar tidak terjadi peningkatan kasus melalui pengawasan antenatal yang baik, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterik bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus, imunisasi yang baik di bangsal bayi yaitu hepatitis B pada 0-7 hari pertama dan pemberian makanan yang dini (IMD) dan pencegahan infeksi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan penelitian ini adalah: 1) sebagian besar bayi di RSUD dr Harjono Ponorogo (65,2%) mempunyai berat badan lahir tidak normal, 2) sebagian besar bayi baru lahir di RSUD dr Harjono Ponorogo (58,5%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, 3) ada hubungan yang sedang antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin di RSUD dr Harjono Ponorogo. Selanjutnya disarankan agar ibu hamil lebih memperhatikan asupan makanan selama kehamilan untuk mencegah berat bayi lahir tidak normal sehingga dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 135 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 DAFTAR PUSTAKA Anwar, 2008. Penyebab Ikterus Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir. Diakses dari www.wordpress.com (tanggal 29 April 2012) Arifin, Zaenal, 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan, Fisiologi, Teori dan Aplikasinya. Surabaya: Lentera Cendekia. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian & Kewarganegaraan. Surabaya: Bina Pustaka Tama Bagaspati. 2009. Mengenal ikterus neonatorum, bersumber dari http://www.smallcrab.com. (diakses pada 20 Maret 2012) Behrman, Kliegman Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics) edisi 15 vol 1. Jakarta: EGC. Budiarto, Eko. 2004. Metodologi penelitian kedokteran. Jakarta: EGC Depkes. R.I. 2005. Buku kesehatan Ibu dan anak. Jakarta. Dinkes Provinsi Jatim. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jatim 2010. http://dinkes. jatimprov. go.id (diakses tanggal 02 Mei 2012) Eny Retna Ambarwati, 2009. Bayi Berat Lahir Rendah. BBLR http://enyretnaambarwati. blogspot.com/2009/12/bblr.html. Artikel diakses pada tanggal 3 Juni 2010. Ester, Monica, 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC Fraser, Diane M.et al. 2009. Buku Ajar Kebidanan Myles. Edisi 14. Jakarta: EGC FKUI, 2007. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I cetakan kesebelas. Jakarta: EGC Hidayat, A. 2007, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC . 2011. Pengantar Ilmu keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba Medika. Indriyani S, Retayasa I.W, Surjono A, Suryantoro P. Percentage birth weight loss and hyperbilirubinemia during the first week of life in term newborns. Paediatr Indones. 2010; 49(3):149-54 Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta: Media Aesculapius. Manuaba, Ida, Bagus Gede. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan dan KB untuk pendidikan Bidan. Jakarta : EGC Martin CR, cloherty JP.2004 Neonatal hyperbilirubinemia.Manual of neonatal care, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Saifuddin, AB. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBP-SP. .2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBP-SP. Sugiyono. 2007. Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Supariasa, IDN, Bakri B dan Fajar, 2002, Penilaian status gizi ,EGC, Jakarta Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC Suresh GK, Clark RE. 2004. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics Tiran, Denise. 2006. Kamus Saku Bidan Edisi 10. Jakarta: EGC. . 2008. Buku acuan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar. Jakarta: JNPK-KR. WHO. 2007. Perinatal Mortality in 2005. http://www.who.int/en/(diakses 25 Maret 2012) Wijaya, Awi Muliadi, MKM. 2009. http://www.infodokterku.com/index.php ?option=com_content & view=article&id=92: kondisi- angka- kematian-neonatal- akn Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 136 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 – angka –kematian – bayi – akb – angka - kematian-balita-akbal – angka – kematian – ibu – aki – dan – penyebabnya - di indonesia&catid =40:data&Itemid=54 Yanthi, Emi (2009). Gambaran kejadian ikterus neonatorum ditinjau dari berat badan bayi baru lahir yang dirawat di ruang kebidanan (Mawar) RSUD dr M.Yunus Bengkulu tahun 2008-2009. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 137 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR SUMUR GALI SECARA BAKTERIOLOGIS DENGAN PENDERITA DIARE DI DESA MADIGONDO KECAMATAN TAKERAN KABUPATEN MAGETAN Vincentius Suprijono*, Djoko Windu P. Irawan* ABSTRAK Lebih dari 50% masyarakat masih mengandalkan sumur gali sebagai sumber air bersih atau air minum. Dari sudut kesehatan masyarakat, kondisi ini kurang menguntungkan karena sumur gali mudah mengalami pencemaran baik dari lingkungan maupun dari perilaku manusia sendiri. Sampel penelitian cross sectional ini adalah air sumur gali, sumur pompa tangan, sumur pompa elektrik, serta air sumur gali yang telah mendapatkan klorinasi. Variabel bebas penelitian adalah kandungan bakteri Coliform pada air bersih sumur gali yang diperiksa MPN golongan Coliform dan MPN golongan Colitinja, dan variabel terikat adalah kualitas bakteriologis air bersih. Data yang dikumpulkan berupa: 1) sarana fisik sumur gali, 2) kebersihan lingkungan di sekitar sumur gali. Data kualitas bakteriologis air bersih dikumpulkan melalui pemeriksaan laboratorium. Penelitian menyimpulkan bahwa angka kesakitan diare yang terjadi di Desa Madigondo ada hubungannya dengan kualitas air bersih sumur gali yang digunakan sehari-hari untuk kebutuhan hidup. Selanjutnya disarankan perlunya peningkatan program penyuluhan kepada masyarakat setempat tentang hubungan antara penyediaan air bersih dengan kejadian penyakit diare. Kata kunci: air bersih, kualitas bakteriologis, diare *= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Magetan PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya air merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan dan juga merupakan sumber dasar untuk kelangsungan hidup di atas bumi. Tubuh manusia mengandung 60–70% air dari seluruh berat badan. Bila terjadi kehilangan 20% saja dari tubuh (misalnya karena diare) dapat menyebabkan kematian (Djasio Sanropie, 1984:4). Pengalaman telah membuktikan bahwa secara epidemiologis ada keterkaitan yang erat antara masalah air bersih dengan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare dan beberapa penyakit lain. Penyakit diare ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan. Diare menyebabkan kehilangan cairan tubuh (dehidrasi) yang dapat mengakibatkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang tepat, dan beberapa etiologi diare dapat menimbulkan letupan Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kesakitan diare saat ini adalah 230–330 perseribu penduduk untuk semua golongan umur dan 1,6-2,2 episod diare setiap tahunnya untuk golongan umur balita. Angka kematian diare pada golongan umur balita adalah 4 perseribu balita (Buku Ditjen PPM dan PLP Pelaksanaan Program Diare di Puskesmas Th. 1999/2000). Hasil sensus penduduk (1990), menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang menggunakan air sistem perpipaan sebagai sumber air, baik di perkotaan maupun pedesaan meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya, namun cakupannya masih relatif kecil yaitu 33,0% perkotaan, dan 4,6% pedesaan. Lebih dari 50% masyarakat masih mengandalkan sumur gali sebagai sumber air bersih atau air minum. Dari sudut kesehatan masyarakat, kondisi ini kurang menguntungkan karena sumur gali mudah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 138 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 mengalami pencemaran baik dari lingkungan maupun dari perilaku manusia sendiri (Ditjen PPM dan PLP Depkes RI 1995:3). METODE PENELITIAN Populasi penelitian cross sectional ini adalah air bersih dari sumur gali di Desa Madigondo Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan, terdiri atas: sumur gali = 289, sumur pompa tangan = 33, dan sumur pompa elektrik = 17. Sampel ditentukan sebagai berikut: 1. Air sumur gali dengan kondisi sarana fisik serta lokasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan, angka diare lebih tinggi serta berdekatan dengan buangan limbah rumah tangga, dibanding dengan kondisi sumur yang memenuhi syarat kesehatan = 10 lokasi 2. Air sumur pompa tangan dengan sarana fisik, lokasi memenuhi syarat kesehatan dan lokasi buangan sampah jaraknya kurang lebih 11 meter, angka diare nihil = 5 lokasi 3. Air sumur pompa elektrik dengan sarana fisik serta lokasi memenuhi syarat kesehatan, angka diare nihil = 5 lokasi. 4. Pengambilan sampel tahap kedua adalah sampel setelah perlakuan, dengan klorinasi pada 10 lokasi pertama karena tidak memenuhi standar kesehatan (MPN golongan Coliform maupun MPN golongan Colitinja >2400 per 100 ml), yaitu dengan penambahan Natrium Hypochlorit dengan perbandingan liter air ditambahkan sebanyak 0,03 mg. Variabel bebas penelitian adalah kandungan bakteri Coliform pada air bersih sumur gali yang diperiksa MPN golongan Coliform dan MPN golongan Colitinja, dan variabel terikat adalah kualitas bakteriologis air bersih dari sumur gali yang diperiksa, sedangkan variabel kendali adalah jarak sumur gali-septic tank (3-5 meter), jarak sumur gali-limbah domestik (<5 meter dan menggenang). Data primer yang dikumpulkan adalah hasil pengamatan: 1) sarana fisik sumur gali, 2) kebersihan lingkungan di sekitar sumur gali. Data kualitas bakteriologis air bersih dikumpulkan melalui pemeriksaan laboratorium menurut Ditjen P2M dan PLP Depkes RI (1993). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tabel 1. Data Sampel dari Sumur Gali dengan Angka Kesakitan Diare Positif, Sarana Fisik Kurang Baik, Jarak Sumur ke Septic tank dan Limbah Domestik <5 Meter Kode 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 Jenis Sampel Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Air Bersih sumur Gali Tanggal 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 24-04-2001 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Waktu 09 10 09 25 10 30 10 50 11 15 11 35 12 05 12 25 12 40 13 05 Keterangan Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) 139 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Tabel 2. Data Sampel dari Sumur Pompa Tangan dengan Angka Kesakitan Diare Positif, Sarana Fisik Baik, Jarak Sumur ke Septic tank dan Limbah Domestik >10 Meter Kode 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 Jenis Sampel Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Air Bersih SPT Tanggal 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 25-04-2001 Waktu 09 30 10 05 10 35 10 50 11 20 11 45 12 15 12 30 13 55 14 25 Keterangan Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Tabel 3. Data Sampel dari Sumur Gali Pasca Perlakuan (Klorinasi), Sarana Fisik Kurang Baik, Jarak Sumur ke Septic tank dan Limbah Domestik <5 Meter Kode 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 Jenis Sampel Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Tanggal 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 9 Mei 2001 Waktu 09 30 09 50 10 15 10 30 10 50 11 05 11 25 11 45 12 10 12 30 Keterangan Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Angka Kesakitan Diare (+) Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Air Bersih Sumur Gali Pra Perlakuan Kode Tanggal Jenis Sampel 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Hasil Pemeriksaan MPN MPN Caliform Colitinja 2400 2400 920 1600 1200 1600 2400 2400 2400 2400 2400 2400 1600 2400 1600 2400 920 1600 1600 2400 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Jumlah Penderita Diare Semua Umur 5 2 3 5 4 4 3 4 2 3 140 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Air Bersih Sumur Pompa Tangan dan Sumur Pompa Listrik Kode Tanggal Jenis Sampel 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 26-04-2001 Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Air Bersih SPL Hasil Pemeriksaan MPN MPN Caliform Colitinja 43 0 46 2 43 0 43 0 34 0 31 0 43 0 46 2 31 0 31 0 Jumlah Penderita Diare Semua Umur 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Air Bersih Sumur Gali Pasca Perlakuan Kode Tanggal Jenis Sampel 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 10-05-2001 Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Air Bersih SG Hasil Pemeriksaan MPN MPN Caliform Colitinja 46 11 49 11 46 9 11 46 9 43 49 11 33 8 46 9 46 9 40 11 Jumlah Penderita Diare Semua Umur 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 Pembahasan Berdasarkan pengamatan dilapangan ditemukan beberapa sumur gali dengan fisik sumur tidak memenuhi syarat kesehatan serta lokasi sumur dari septic tank maupun dari buangan limbah domestik juga tidak memenuhi syarat standar kesehatan seperti telah ditetapkan oleh Ditjen PLP dan Penyehatan Air Depkes RI, karena lokasi sumur dengan tempat-tempat yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran kebanyakan <5 meter sehingga tingkat pencemaran yang terjadi dimungkinkan sangat tinggi. Jarak ideal antara sumur dengan septic tank atau limbah domestik minimal 10 meter untuk mencegah terjadinya pencemaran dari air sumur yang digunakan sebagai air bersih konsumsi. Hasil pemeriksaan kualitas air bersih sumur gali sebagai konsumsi dengan MPN Coliform maupun Colitinja tidak memenuhi standar kesehatan menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, ditunjang data Puskesmas Takeran. Dengan data MPN Coliform maupuan Colitinja diadakan perlakukan terhadap air sumur tersebut yaitu pemberian Natrium Hipokhlorit guna menurunkan MPN Coliform maupun MPN Colitinja. Sebelum dan setelah perlakuan menunjukkan adanya penurunan angka MPN Coliform dan MPN Colitinja yang sangat signifikan sehingga memenuhi syarat kesehatan atau tidak dapat menimbulkan penyakit bila dikonsumsi sebagai air bersih untu keperluan sehari-hari. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 141 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa dari 10 contoh air bersih sumur gali dengan sarana fisik tidak memenuhi standar kesehatan angka kesakitan diare tinggi menunjukkan MPN Coliform dan Colitinja tinggi, sebagai pembanding diperiksa 5 contoh air bersih sumur pompa listrik dengan jarak lokasi sumur dengan septic tank atau lokasi pembuangan limbah domestik sesuai standar kesehatan, angka kesakitan diare nihil menunjukkan hasil MPN Coliform dan MPN Colitinja sebelum perlakuan, sesudah perlakuan dan grafik angka kesakitan diare, sehingga dapat disimpulkan angka kesakitan diare yang terjadi di Desa Madigondo tersebut ada hubungannya dengan kualitas air bersih sumur gali yang digunakan sehari-hari untuk kebutuhan hidup. Berdasarkan kesimpulan, maka disarankan: 1. Perlu peningkatan program tentang penyuluhan kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya kesehatan lingkungan khususnya tentang hubungannya penyediaan air bersih dengan kejadian penyakit diare. 2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut sebagai kelanjutan dan dari penelitian ini guna mewujudkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 yaitu untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dan memperpanjang harapan hidup. DAFTAR PUSTAKA A. Tresna Sastra Wijaya. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. C. Totok Sutrisno, Eny Suciati. 1991. Tehnologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka Cipta. Dinkes Jatim. 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan P 2 Diare di Puskesmas. Program P2 Diare Surabaya: Dinkes Jatim. Direktorat Penyehatan Air. 1998. Pedoman Penyehatan Air Bagi Petugas PUSKESMAS. Jakarta: Ditjen PPM dan PLP Depkes RI. Djasio Sanropie dkk. 1983. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih. SPPH Depkes. ----------. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih, Penerbit APK–TS Depkes RI Dwidjosepoetro. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi XII. Malang: Djambatan. Hasan Sadily dkk. 1993. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Ichtiar Boruvan Hoeve, Jakarta. H. Harold Fritman H. 1986. Diagnosis Medis Berorientasikan Masalah. Jakarta : FKUI. Hening Darpito. 1994. Pedoman Pelaksanaan Pengawasa Kualitas Air Minum. Edisi I. Jawetz, Melnick & Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XX. Jakarta : KFUI. Juli Soemirat Slamet. 1997. Kesehatan Lingkungan. Bandung: Gajah Mada University Pres. R. Hening Darpito dkk. 1996. Pedoman Tehnik Perbaikan Kualitas Air Dan Pembuatan Sumur Gali. ----------. 1991. Penyehatan Air Bagi Petugas Pembinaan Kesehatan Lingkungan Dati II. Jakarta: Depkes RI. ----------. 1993. Pedoman Pelatihan Tehnis Laboratorium Pemeriksaan Bak Teriologis Air. Jakarta: Depkes RI. Soekidjo Notoatmodjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan Lingkungan. edisi I. Jakarta: Rineka Cipta. Soenarjo.1995, Buku Pedoman Bagi Para Pengelola Program Penyehatan Air, Jakarta: Ditjen PPM dan PLP Depkes RI. ----------. 1995. Penyehatan Air Dalam Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih. Srikandi Fardiaz. 2000. Polusi Air Dan Udara. Edisi I, Bogor: Kanisius Pertanian Bogor. Unus Suriawira. 1996. Mikrobiologis Air dan Dasar–Dasar Pengolahan Ruangan Secara Biologis. Bandung: Albumin Walujodjati dkk.1981. Dasar-Dasar Penyediaan Air Minum. Surabaya: SPPH. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 142 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 ANALISIS KINERJA PENANGGUNG JAWAB PROGRAM TB PUSKESMAS DALAM PENEMUAN KASUS BARU TB BTA POSITIF DI PUSKESMAS KABUPATEN BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Dedek Sutinbuk*, Atik**, Lucia** ABSTRACT Data from the health districts of Central Bangka years 2009-2011 shows that the achievement of the discovery of new cases of smear positive TB for three years 2009 34.37% 2010 41.88% 2011 37.22%. based on a preliminary survey of the problems that occur are not the focus of the program responsible for implementing the activities in the discovery of new cases. purpose of this study is to explain how the program responsible for the performance of the discovery of new cases of TB in smear-positive TB. Design of this study was a qualitative descriptive cross sectional approach. entire study population was responsible for TB programs in health centers and district Central farts sampled as many as 4 people from the selected health centers. interview data collected with the deepest (indepht interview) and data processing is then performed using the method of content analysis. Results showed that the performance of the program responsible for the discovery of new cases of TB have not been good, because it did not have integrated health counseling in their own schedules, capture suspect waiting at the health center, cases were found in the last three months is still far from the target, the responsible program will not make POA for the submission of the budget, it is good enough knowledge, perception of leadership guidance, advice and frequently asked how far the activities already carried out, the perception of the consideration received less satisfaction, perception of workload is still felt quite heavy, motivation and attitudes in charge of the program is good enough. Conclusions of this study is responsible for program performance and the factors associated with good performance for it is not fully recommended to public health in order to create a special program to enhance the discovery, made provisions in the distribution of benefits and to reduce the workload immediately provide training to other officers . while for the clinic are advised to make their own schedule in implementing the activities, increase motivation in charge of the program by way of reward, train and provide incentives to become an active cadre to cadre. Key words: the discovery of new cases, the responsible program, the performance *= STIKES Abdi Nusa Pangkalpinang, Babel **= Ilmu Kesehatan Masyarakat, PPs UNDIP, Semarang PENDAHULUAN Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millennium development goals (MDGs) pada tahun 2015.1 Berdasarkan data sekunder dari bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, untuk penemuan kasus baru TB BTA positif, hampir semua Kabupaten belum pernah mencapai target, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 143 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 hanya Kota Pangkalpinang saja yang sudah mencapai target, tetapi wilayah Kabupaten Bangka Tengah dalam pencapaian target selalu berada di urutan terendah. Penemuan kasus TB di Kabupaten Bangka Tengah selama 3 tahun terakhir belum pernah mencapai target. Pada tahun 2009, 2010 dan 2011 tercapai 34,37%, 41,88% dan 37,22%. Survei pendahuluan menunjukkan bahwa sebagian besar penanggung jawab program mengatakan penyuluhan mengenai TB jarang dilakukan dan hanya dilakukan di Posyandu, penjaringan kasus hanya menunggu pasien datang ke Puskesmas. Selain itu kinerja penanggung jawab program TB puskesmas tergolong rendah dapat juga di sebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya dukungan dari kepala puskesmas dengan bukti kepala puskesmas hanya memantau lewat laporan (tak pernah bertanya kepada petugas tentang tugas yang telah dijalankan), imbalan yang tidak sesuai dengan tanggung jawab. Semua penanggung jawab program mengatakan memiliki tugas rangkap, di satu Puskesmas penanggung jawab program merangkap sebagai petugas laboratorium, seorang penanggung jawab program mengatakan bahwa setelah diketahui ada suspek TB di wilayahnya, mereka tidak mendatangi pasien, hanya menunggu pasien datang ke puskesmas. Kerja sama lintas sektor kurang maksimal, sebagai contoh kepala desa tidak pernah mengundang penanggung jawab program ketika ada kegiatan di desa dan kerjasama dengan kader di masing-masing desa belum maksimal dengan bukti kader kadang-kadang tidak memberikan informasi apabila ada suspek TB paru. Menurut Gibson ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku dari kinerja yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai sasaran.2 Berdasarkan keadaan di atas maka perlu diteliti bagaimana kinerja penanggung jawab program TB dalam penemuan kasus baru TB BTA positif di puskesmas wilayah kerja kabupaten Bangka Tengah. METODE PENELITIAN Penelitian kualitatif ini dilakukan pada bulan Maret-April 2012 di Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Variabel penelitian ini adalah: kinerja, pengetahuan, kepemimpinan, imbalan, beban kerja, motivasi, sikap. Data diperoleh melalui indepth interview dan telaah dokumen. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode content analysis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas dalam penemuan kasus baru Terkait dengan kegiatan untuk meningkatkan penemuan kasus baru sesuai yang dikatakan informan utama dan triangulasi, semua sudah melakukan penyuluhan, menjaring suspek kunjungan rumah dan jemput bola tetapi penyuluhan hanya mengikuti jadwal Posyandu, penanggung jawab program tidak pernah membuat jadwal sendiri, menjaring suspek hanya menunggu di Puskesmas seperti petikan wawancara berikut: “Kami nunggu pasien datang ke Puskesmas bae” tetapi untuk pengisian laporan sudah lengkap karena harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan tetapi dalam bekerja mereka tidak mempunyai SOP khusus hanya mengacu ke panduan nasional dari Depkes saja. Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa kualitas merupakan aspek pada standar pekerjaan yang meliputi: ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan, tingkat kemampuan dalam bekerja, kemampuan menganalis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).3 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 144 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Menurut Penelitian Jamhariyah (2011) ada beberapa hal yang dianggap sebagai pupuk untuk menyuburkan kinerja karyawan didalam suatu organisasi, antara lain; hubungan yang saling mendukung dan saling mempercayai harus dikembangkan, organisasi dan anggotanya menetapkan sasaran-sasaran yang spesifik dan dapat diukur, ketrampilan harus dikembangkan, pengalaman anggota dalam pekerjaan harus dikembangkan agar berubah menjadi pengalaman yang positif.4 2. Kuantitas dalam penemuan kasus baru Terkait dengan temuan kasus dalam waktu tiga bulan terakhir sesuai dengan yang dikatakan informan utama dan triangulasi belum pernah tercapai target tetapi setelah kasus ditemukan mereka selalu melakukan pemantauan sampai kepada tingkat kesembuhan seperti petikan wawancara berikut: “Kami pantau lah buk...seperti misal e dalam pengobatan mereka selalu ku ingetin tuk ngambil obat. Kuantitas kinerja adalah merupakan aspek pengukuran kinerja yang meliputi : proses kerja dan kondisi pekerjaan, waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan, jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.5 Kuantitas, dinyatakan dalam bentuk jumlah output, atau persentase antara output aktual dengan output yang menjadi target. 3. Ketepatan waktu dalam penemuan kasus baru Sesuai dengan yang dikatakan informan utama dan triangulasi untuk kegiatan dalam penemuan sebagian besar mengatakan tidak pernah membuat jadwal seperti misalnya kegiatan penyuluhan penanggung jawab program hanya mengikuti jadwal posyandu tidak pernah membuat jadwal sendiri tetapi terkadang mereka juga tidak bisa mengikuti jadwal Posyandu tersebut karena banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan sehingga tidak fokus dalam pelaksanaan kegiatan penemuan tersebut seperti petikan wawancara berikut: “Dak pacak sesuai jadwal inti e dak fokus ke situ”. Mangkunegara mengemukakan, bahwa ketepatan waktu dinyatakan dalam bentuk pencapaian batas waktu yang ditentukan, jumlah unit/kegiatan yang dapat di selesaikan tepat waktu. Pada dasarnya, ukuran ketepatan waktu mengukur apakah orang melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan.3 4. Efektivitas sumber daya dalam penemuan kasus baru Efektifitas sumberdaya yaitu ketersediaan sarana prasana dalam mendukung pelaksanaan kegiatan penemuan kasus baru semua informan mengatakan sarana prasarana tersedia cukup di Puskesmas setiap penanggung jawab program telah diberikan motor dinas akan tetapi ada penanggung jawab program yang tidak berani turun lapangan sendiri dengan alasan kondisi wilayah kurang baik seperti petikan wawancara berikut: “Tersedia cukup saya di kasih motor dinas untuk turun ke lapangan tapi aku dak berani turun lapangan sendiri karena kondisi wilayah di sini tu hutan semua trus jalan nya agak jelek” sedangkan dana operasional berasal dari dana BOK tetapi penanggung jawab program tidak mau membuat POA untuk pengajuan anggaran dengan alasan urusan administrasinya ribet seperti petikan wawancara berikut: “Kita ni suka males buat pengajuan untuk dan BOK tu karena lebih ribet harus ada dokumentasi/bukti bahwa kita sudah penyuluhan seperti foto-foto, tanda tangan peserta yang hadir jadi dak kita ajukan dananya trus memang kan penyuluhan kita nebeng posyandu jadi kita dak minta dana”. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 145 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Hal ini sejalan dengan penelitian Jamhariyah (2011) yang mengatakan bahwa belum semua penanggung jawab program memanfaatkan sumber dana yang ada secara optimal, dapat dilihat dari ketersedian dana akan tetapi penanggung jawab program tidak mau membuat POA untuk pengajuan dana operasional.4 Sumber daya merupakan variabel manajemen yang penting dan yang paling banyak disebutkan sebagai variabel yang berpengaruh dalam proses pelaksanaan program. Sumber daya merupakan faktor penting untuk pelaksanaan program supaya efektif. Apabila pelaksana kekurangan sumber daya maka program tidak akan berjalan efektif. Hal ini sesuai pendapat Subarsono (2005) bahwa ketersediaan sumber daya akan berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi.6 5. Kebutuhan akan supervisi dalam penemuan kasus baru Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi supervisi dari Dinas Kesehatan dilakukan oleh wasor dan kasie P2PL rutin pertriwulan ada pemberitahuan sebelum pelaksanaan dan materi yang disampaikan adalah berupa arahan untuk mencapai target penemuan dan informasi yang terbaru tetapi selain itu mereka mengisi daftar tilik seperti petikanwawancara berikut: “Informasi baru lah buk kalo dorang habis monev di Propinsi kadang2 kasih tau cara untuk meningkatkan penemuan e cheklis juga lah” Supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah sudah sesuai dengan ketentuan yang ada seperti yang tertuang di panduan nasional dari Depkes bahwa pelaksanaan supervisi harus mempunyai persiapan seperti: penyusunan jadwal supervisi, pemberitahuan jadwal supervisi ke unit yang akan disupervisi, pengembangan daftar tilik supervisi dan penyiapan bahan-bahan yang perlu dibawa serta pada waktu supervisi. Supervisi dilakukan secara berjenjang setiap 3 bulan sekali. Tetapi pada keadaan tertentu frekuensi supervisi dapat ditambah, misalnya: pada tahap awal pelaksanaan program, bila pelatihan baru selesai dilaksanakan, bila kinerja dari suatu unit kurang baik seperti jumlah suspek yang diperiksa terlalu sedikit, jumlah pasien TB yang diobati terlalu sedikit, angka konversi dan/atau angka kesembuhan rendah, dan hasil uji silang (cross chek) pemeriksaan sediaan dahak ditemukan ada kesalahan besar atau ada 3 kesalahan kecil pada satu siklus uji silang, atau sediaan jelek ≥ 10%. Tetapi frekuensi supervisi dapat dikurangi bila kinerja petugas TB sarana pelayanan kesehatan tersebut sudah baik, namun demikian semua petugas sarana pelayanan kesehatan tetap perlu mendapat supervisi supaya motivasi petugas tetap terjaga dan dapat membantu dalam melaksanakan kegiatan.7 Hal ini sejalan dengan penelitian Jamhariyah (2011) bahwa supervisi yang efektif diperlukan suatu rencana yang rinci dan koordinasi serta terarah dan sistimatis. Supervisi perlu direncanakan dengan baik sesuai jadual dan dilakukan rutin, ada umpan balik hasil supervisi kepada bidan desa agar dapat membantu sesuai kebutuhan misalnya bila ada kekurangan dan masalah dalam pelayanan neonatus. Dengan demikian dapat berdampak terhadap peningkatan hasil cakupan pelayanan neonatus sesuai yang diharapkan.4 6. Pengaruh Hubungan Interpersonal Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi kerjasama dalam hal melakukan kegiatan penemuan sudah dilakukan dengan pihak dalam Puskesmas seperti dr. Poli, petugas lab dan pihak luar kader, bidan desa, perawat yang ada di Pustu bentuk kerjasama yang sudah dilakukan dr. Poli mendiagnosa pasien petugas lab melakukan cek dahak sedangkan yang memberikan info suspek bidan desa dan kader tetapi sering mengalami kendala dalam melakukan kerjasama ini seperti kader jarang memberikan informasi kalau ada pasien suspek di wilayah kerjanya sepertii petikan wawancara dibawah Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 146 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 ini: “kalo dg petugas lab& dr dakde kendala tapi dengan kader ni dorang ni kan dak menginformasikan ke kita kalo ade suspek mungkin karena dak dpt insentif kali ok” Pengaruh hubungan personal adalah derajat atau tingkatan kinerja mampu mengekspresikan diri, kemauan baik, itikat baik, kerjasama sesama karyawan maupun bagian sub ordinatnya.12 Dampak hubungan interpersonal adalah suatu tingkatan dimana kinerja mampu meningkatkan perasaan, penghargaan diri, keinginan, kepuasan kerja serta dapat meningkatkan kerjasama dan kekompakan.3 7. Pengetahuan dalam penemuan kasus baru Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi pengetahuan penanggung jawab program mengenai TB sudah cukup baik ini terlihat masing-masing penanggung jawab program dapat menjabarkan dengan baik pengetian TB dan tujuan penemuan kasus baru, penanggung jawab program mendapatkan pengetahuan dari pelatihan yang sudah diikuti tetapi menurut kasie P2PL selain dari pelatihan penanggung jawab program dapat memperoleh pengetahuan mengenai TB dari buku dan modul yang ada di Dinas Kesehatan sebagaimana petikan wawancara berikut: “Petugas bisa mendapatkan pengetahuan dari pelatihan ataupun modul dan buku-buku yang ada ya...banyak kok asal mereka mau aja” Menurut Notoatmodjo9 Pengetahuan adalah kemampuan intelektual responden yang mencakup pemahaman materi. Pengetahuan merupakan proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dan tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui proses pendidikan, pelatihan maupun melalui pengalaman. 8. Persepsi terhadap kepemimpinan dalam penemuan kasus baru Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama mengenai persepsi terhadap kepemimpinan dalam penemuan kasus baru TB BTA positif yang mana sebagian besar mengatakan dukungan yang diberikan kepala Puskesmas cukup baik kepala Puskesmas sering memberikan saran, pengarahan dan bertanya sejauhmana kegiatan yang sudah dilakukan penanggung jawab program sebagaimana petikan wawancara berikut: “Kapus kami ni lumayan bagus lah buk sering kasih saran, pengarahan, berbagi wawasan terkait dengan TB yang ade di wilayah kerja Puskesmas” tetapi berbeda hal nya dengan pernyataan wasor dan kasie mereka mengatakan sebagian besar kepala Puskesmas kurang peduli dengan kegiatan yang terkait dengan penemuan kasus baru karena kepala Puskesmas belum terlibat langsung seperti tidak pernah turun mendampingi penanggung jawab melakukan penyuluhan. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Umar (2002) Kepemimpinan adalah sebagai proses pengarahan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok, pendapat Janies A.F Stoner yang dikutip Umar10 selanjutnya kepemimpinan adalah sebagai proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.11 9. Persepsi terhadap imbalan dalam penemuan kasus baru Berdasarkan wawancara dengan informan utama mengenai persepsi mereka terhadap imbalan yang diterima dalam penemuan kasus baru semua mengatakan telah menerima imbalan dan imbalan yang diterima berupa uang tetapi ada satu informan yang Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 147 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 berasal dari Puskesmas dengan penemuan tertinggi yang jauh dari kota mengatakan pernah mendapatkan reward karena penemuan kasus tercapai target pada tahun 2009, terhadap imbalan yang diterima sebagian besar penanggung jawab mengatakan belum puas karena sistem pemabagian nya sebagaimana petikan wawancara berikut: “He..heee puas lah yuk tapi karena dibagi-bagi tu dak puas juga kami ni bingung sistem pembagiannya tapi kita dak mau nanya lah nanti dikira orang-orang kita ni begawe nak duit bae, pembagian e tu 40% kita 40% petugas lab dan 20% ke dr poli yang memberikan suspek ke kita itulah terkadang kita dak enak kasih ke dr nya cuma 20% sedikit kan jadi kadang kita tahan dulu sampai banyak” Imbalan merupakan kompensasi yang diterimanya atas jasa yang diberikan kepada organisasi.12 masalah imbalan dipandang sebagai salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh manajemen suatu organisasi. Sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan organisasi memperoleh, memelihara dan memperkerjakan sejumlah orang yang dengan berbagai sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi. Pemberian imbalan harus dikaitkan dengan tingkat kinerja karyawan, artinya dengan imbalan yang semakin bertambah maka akan memacu karyawan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi.12 10. Persepsi terhadap beban kerja dalam penemuan kasus baru Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi semua penanggung jawab program mempunyai tugas rangkap selain sebagai penanggung jawab program TB ada yang merangkap sebagai penanggung jawab program malaria, kusta, DBD, perawat poli dan ada juga sebagai bendahara. Beban kerja yang dirasakan sangat berat sehingga kegiatan dalam penemuan tidak bisa dikerjakan secara maksimal tetapi semua penanggung jawab program masih bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai jam kerja. Beban kerja merupakan tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban kerja berpengaruh terhadap kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Pekerja yang mempunyai beban kerja berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan memungkinan adanya inefisiensi waktu. Para manajer harus memperhatikan tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban kerja tidak hanya dipandang sebagai beban fisik akan tetapi sebagai beban kerja mental.13 11. Motivasi dalam penemuan kasus baru Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi sebagian besar penanggung jawab program termotivasi melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan penemuan kasus baru karena rasa tanggung jawab, informan yang berasal dari Puskesmas jauh dari kota mengatakan termotivasi karena akan mendapatkan reward dari Dinas Kesehatan apabila mencapai target sebagaimana petikan wawancara berikut: “kalo misal nya itu....ade reward sih dari dinas kami ni lah pernah dapet sekali trus seperti yang di Pangkalpinang tu..tercapai target semua dorang di ajak ke Jakarta” tetapi ada juga yang mengatakan kepala Puskesmas selalu memberikan motivasi berupa himbauan untuk terus mengejar target. Herzbeg dalam Danim14 mengembangkan teori motivasi dengan “model dua faktor” (two factor theory) motivasi, teori ini dikenal dengan teori motivator-higienes. Herzberg berpendapat bahwa ada faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi seseorang dalam bekerja. Termasuk faktor instrinsik adalah prestasi yang dicapai, pengakuan, dunia kerja, tanggung jawab dan kemajuan, dan yang termasuk kedalam faktor Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 148 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 ekstrinsik adalah hubungan interpersonal antar atasan dan bawahan, hubungan pribadi antar bawahan, hubungan antar pribadi dengan kelompok, tehnik supervisi, kebijakan administrasi, kondisi kerja dan kehidupan pribadi. Baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik berpengaruh besar terhadap motivasi seseorang. Salah satu tujuan paling umum penilaian kinerja karyawan di suatu perusahaan adalah untuk memotivasi kembali para karyawan untuk melakukan perbaikan-perbaikan performansi di masa-masa yang akan datang. 12. Sikap dalam penemuan kasus baru Sesuai dengan pernyataan informan utama dan triangulasi mengenai pertanyaan apakah setuju apabila kegiatan penemuan melibatkan masyarakat semua informan baik yang berasal dari Puskesmas yang dekat dengan kota maupun yang jauh mengatakan sangat setuju karena masyarakat terutama kader lebih mengetahui wilayahnya dan sebagian besar mengatakan kunci keberhasilan penemuan kasus baru memang berada di tangan penanggung jawab program kalau penanggung jawab program lebih aktif turun ke lapangan pasti akan berhasil tetapi disamping itu kerjasama dengan tim baik tim di dalam Puskesmas maupun tim yang berada di Puskesmas harus jalan juga sebagaimana petikan wawancara berikut: “eee.. aok lah tapi dak mesti juga lah ok tanpa kerjasama tim juga mungkin dak bisa berhasil” Salah satu yang mempengaruhi kinerja adalah sikap individu apabila sikap individu baik terhadap obyek tertentu, orang tertentu, atau peristiwa tertentu semakin baik maka tingkat kinerja individu semakin tinggi. Gibson mendefinisikan sikap adalah kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek dan situasi yang berhubungan dengannya.7 SIMPULAN 1. Kualitas belum sepenuhnya baik karena kegiatan untuk meningkatkan penemuan memang sudah dilakukan hanya saja cara melakukan kegiatan tersebut belum maksimal seperti kegiatan penyuluhan hanya dilakukan di Posyandu berbarengan dengan jadwal posyandu penanggung jawab program tidak mempunyai jadwal sendiri dalam pelaksanaan kegiatan, menjaring suspek kebanyakan penanggung jawab program hanya menunggu di Puskesmas. 2. Kuantitas masih belum baik terlihat dari kasus yang sudah ditemukan dalam tiga bulan terakhir untuk semua Puskesmas masih jauh dari target tetapi setelah ditemukan kasus selalu dipantau dalam hal pengobatan sampai pada tingkat kesembuhan. 3. Ketepatan waktu belum baik karena semua penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota tidak pernah membuat jadwal khusus dalam melaksanakan kegiatan akan tetapi masih bisa menyelesaikan sesuai jam kerja. 4. Efektivitas sumber daya sudah cukup baik karena sarana prasarana pendukung kegiatan sudah tersedia cukup di masing-masing Puskesmas, dana operasional berasal dari BOK hanya saja penanggung jawab program tidak mau membuat POA untuk pengajuan dana dan setiap penanggung jawab program sudah diberikan motor dinas akan tetapi ada satu orang yang tidak berani turun kelapangan sendiri dengan alasan kondisi wilayah yang dilewati melalui hutan dan sungai kecil. 5. Kebutuhan akan supervisi sudah sesuai dengan ketentuan yang tertuang di panduan nasional dari Depkes dimana supervisi sudah dilakukan rutin pertriwulan, ada pemberitahuan dan mengisi daftar tilik pada saat melakukan supervisi. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 149 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 6. Pengetahuan semua penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota sudah cukup baik penanggung jawab program mendapatkan pengetahuan dari pelatihan dan buku serta modul mengenai TB. 7. Persepsi penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota terhadap kepemimpinan kepala Puskesmas sudah cukup baik ini dibuktikan dengan pernyataan penanggung jawab program bahwa kepala Puskesmas sudah memberikan pengarahan, saran serta sering bertanya sejauhmana kegiatan yang sudah dilakukan. 8. Persepsi terhadap imbalan yang diterima, semua penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota mengatakan belum begitu puas karena sistem pembagiannya. 9. Persepsi penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota terhadap beban kerja masih dirasakan berat karena mempunyai beban kerja rangkap. 10. Sebagian besar penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota termotivasi melaksanakan kegiatan dalam penemuan kasus baru karena memiliki rasa tanggung jawab dan mendapatkan motivasi dari kepala Puskesmas berupa arahan, saran dan dukungan untuk bekerja lebih giat agar tercapai target. 11. Sikap penanggung jawab program baik yang berasal dari Puskesmas yang jauh maupun yang dekat kota dalam hal penemuan kasus baru sudah cukup baik ini dibuktikan penanggung jawab prrogram menganggap dirinya sebagai kunci keberhasilan dalam penemuan kasus baru. SARAN 1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah a. Dinas Kesehatan bersama–sama dengan pihak Puskesmas sebaiknya membuat program khusus untuk meningkatkan penemuan kasus baru seperti penyuluhan tentang TB dilakukan sendiri dibedakan dengan kegiatan posyandu agar semua lapisan masyarakat dapat lebih memahami tentang TB, cara pencegahan, dan mengatasi penularan TB b. Dinas Kesehatan melakukan koordinasi dengan pihak Puskesmas dalam hal penempatan penanggung jawab program agar disesuaikan dengan kondisi wilayah seperti misalnya wilayah yang jangkauan nya susah penanggung jawab program nya harus laki-laki karena lebih berani untuk turun kelapangan sendiri c. Dinas Kesehatan tetap melakukan supervisi ke Puskesmas pertriwulan untuk melakukan pemantauan dan pengawasan agar penanggung jawab program lebih giat bekerja untuk meningkatkan target penemuan kasus. d. Meningkatkan kerja sama dalam bentuk tertulis dengan lintas program dan sektor terkait dalam penemuan kasus baru, dan diikuti lini dibawahnya yang ada di wilayah desa. e. Dinas Kesehatan harus membuat ketentuan yang jelas dalam pembagian imbalan yang diterima penanggung jawab program dan menganggarkan juga insentif untuk kader supaya kader lebih termotivasi membantu mencari suspek. f. Dinas Kesehatan dapat melakukan analisis beban kerja untuk melihat kebutuhan tenaga yang dapat disesuaikan dengan beban pekerjaan yang ada di Puskesmas 2. Untuk Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah a. Pihak Puskesmas melakukan koordinasi atau membuat jadwal sendiri dalam hal pelaksanaan kegiatan penemuan kasus misalnya penyuluhan jangan hanya mengikuti jadwal Posyandu saja, menjaring suspek jangan hanya menunggu di Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 150 Volume III Nomor 3, Juli 2012 b. c. d. e. f. ISSN: 2086-3098 Puskesmas, dalam hal ini penanggung jawab program harus lebih aktif turun ke lapangan. Kepala Puskesmas harus memperhatikan kondisi wilayah kerja Puskesmas dan meberikan pendamping kepada penanggung jawab program apabila ada wilayah yang sulit dijangkau. Meningkatkan kerja sama dengan masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, kader dan bidan desa di wilayah kerja Puskesmas melalui kebijakan tertulis tentang kewenangan penanggung jawab program dan menghimbau untuk disosialisasikan kewenangan tersebut ke perangkat desa/masyarakat Kepala Puskesmas dapat meningkatkan motivasi penanggung jawab program dengan cara memberikan reward apabila penanggung jawab program berhasil dalam menemukan kasus baru jadi tidak hanya mendapatkan imbalan dari Dinas Kesehatan. Kepala Puskesmas hendaknya ikut terlibat langsung dalam kegiatan penemuan seperti turun lapangan mendampingi penanggung jawab program melakukan penyuluhan. Memberdayakan kader-kader dengan cara memberikan pelatihan tentang TB dan memberikan penghargaan kepada kader apabila bisa menemukan kasus baru. DAFTAR PUSTAKA 1. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2008. 2. Yaslis I. Kinerja Teori, Penilaian, Penelitian. Depok: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan 2002 3. Mangkunegara P. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Jakarta: Refika Aditaman; 2006. 4. Jamhariyah. Analisis Kinerja Bidan Desa Dalam Pelayanan Neonatus Di Wilayah Puskesmas Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Semarang: Universitas Diponegoro; 2011. 5. Sudarmanto. Kinerja Pengembangan Kompetensi SDM: Teori, Dimensi Pengukuran dan implementasi dalam organisasi. Jakarta: Pustaka Pelajar; 2009. 6. Subarsono A. Analisis Kebijakan Publik, Konsep Teori & Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2008. 7. Dirjen P2PL. Modul 6 Supervisi. Jakarta: Kemenkes; 2011. 8. Bernadin R. Human Resource Management, Second Edition. New York: Mc Graw Hill International; 1998. 9. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta 2003. 10. Umar. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Cetakan ke VII. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2002. 11. Yuki G. Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia; 2001. 12. Muchlas M. Perilaku Organisasi 1: Organizational Behaviour. Yogyakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Magister Manajemen RS Universitas Gadjah Mada; 1999. 13. Gibson, Ivancevich, Donnelly. Organisasi Prilaku, Struktur, Proses. Tanggerang: Binarupa Aksara; 2010. 14. Danim S. Motivasi Kepemimpinan & Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta; 2004. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 151 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 PERBEDAAN PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI USIA 5 BULAN ANTARA YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN YANG DIBERI PASI Sulikah*, Titik Istiyawati**, Sukardi* ABSTRAK Di Indonesia terutama di kota-kota besar terlihat trend penurunan pemberian ASI, yang dikhawatirkan akan meluas ke pedesaan. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan peningkatan berat badan bayi usia 5 bulan antara yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI. Penelitian komparatif dengan rancangan cross sectional ini meneliti sampel bayi yang diberi ASI eksklusif sebanyak 28 dan yang diberi PASI sebanyak 39, yang diambil secara proportionated sampling. Data diperoleh dari KMS, kuesioner tentang waktu pemberian makanan tambahan, dan timbangan badan. Uji hipotesis menggunakan Mann Whitney-U Test. Didapatkan hasil bahwa rerata peningkatan berat badan bayi yang diberi ASI eksklusif adalah 0,5 kg, sedangkan bayi yang diberi PASI adalah 0,34 kg. Hasil uji Mann Whitney-U adalah -3,983 dengan p=0,000 (<0,05), berarti ada perbedaan peningkatan berat badan antara bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI. Selanjutnya disarankan agar: 1) ibu memberikan ASI eksklusif, 2) tenaga kesehatan turut memberikan penyuluhan tentang pemberian ASI yang benar, 3) para peneliti melakukan penelitian lanjutan. Kata Kunci: ASI eksklusif, PASI, berat badan, bayi * = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan ** = Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi PENDAHULUAN ASI eksklusif untuk 6 bulan pertama mengurangi resiko terkena penyakit-penyakit dari lingkungan, malnutrisi, sensitisasi makanan dan alergi (Depkes PP ASI 2002). Peningkatan penggunaan ASI eksklusif adalah program prioritas. Namun bila ASI tidak keluar, ibu sakit keras/menular bisa diberikan pengganti air susu ibu (PASI). PASI adalah makanan bayi yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi sampai berumur antara 4 bulan dan 6 bulan (PD Persi, Jakarta). Di Indonesia terutama di kota-kota besar terlihat trend penurunan pemberian ASI, yang dikhawatirkan akan meluas ke pedesaan. Berdasarkan survei pendahuluan yang kami lakukan di wilayah Puskesmas Teguhan Kecamatan Paron bulan Juni 2011 terdapat 91 bayi usia 1-6 bulan, hanya 18 bayi yang diberi ASI secara eksklusif (19%) yang seharusnya 80% ASI eksklusif. Bila bayi tidak mendapat ASI bisa mendapat dampak kurang baik, antara lain tidak memperoleh zat kekebalan, sehingga mudah sakit karena bayi tidak mendapat makanan yang bergizi dan berkualitas tinggi. Hal ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan (Depkes RI 2003). Solusi yang terbaik di masyarakat adalah memotivasi keluarga untuk memberi dukungan pada ibu-ibu supaya menyusui secara eksklusif (Depkes 2002). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan peningkatan berat badan bayi usia 5 bulan antara yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI. METODE PENELITIAN Jenis ini adalah penelitian analitik komparatif, dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian adalah bayi yang diberi ASI eksklusif dan bayi yang diberi PASI di Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 152 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Puskesmas Teguhan tahun 2011. Sampel bayi yang diberi ASI eksklusif sebanyak 28 dan yang diberi PASI sebanyak 39, diambil dengan teknik proportionated sampling. Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian ASI eksklusif dan variabel terikat adalah peningkatan berat badan bayi. Instrumen pada penelitian ini adalah KMS (kartu menuju sehat), kuesioner tentang kapan pemberian makanan tambahan pada bayi, dan timbangan badan. Uji hipotesis menggunakan Independent Sample T-Test, dengan α=0,05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Semua bayi yang diberi ASI eksklusif mengalami peningkatan berat badan, dengan rerata peningkatan 0,5 kilogram. Semua bayi yang diberi PASI mengalami peningkatan berat badan dengan rerata peningkatan 0,34 kilogram. Hasil uji Kolmogorov Smirnov pada kedua kelompok adalah p=0,005 (<0,05), maka disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal, sehingga tidak memenuhi syarat uji T. Sebagai pengganti, dilakukan uji Mann Whitney-U dengan nilai -3,983 dan p=0,000 (<0,05), maka disimpulkan bahwa ada perbedaan signifikan antara peningkatan berat badan bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan berat badan balita yang diberi ASI ekslusif. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli mengemukakan bahwa ASI yang diberikan kepada bayi di bulan-bulan pertama akan memberikan keuntungan sebagai berikutantara lain: (1) ASI pertama (kolostrum) mengandung zat-zat kekebalan tubuh, (2) kebersihannya terjamin, aman dan selalu tersedia di mana dan kapan saja, (3) zat gizi yang paling lengkap dan memenuhi kebutuhan bayi, (4) sacara psikologi ASI memberikan rasa kedekatan dan kasih sayang antara ibu dan bayi. Selama 6 bulan pertama, volume ASI sekurang-kurangnya 500-700 ml/hari, 6 bulan kedua 400-600ml/hari dan 300500ml/hari setelah bayi berusia satu tahun. (Krisnatuti dkk, 1998). Terjadi pula peningkatan berat badan bayi yang diberi PASI berupa susu formula. Tetapi perlu diperhatikan bahwa susu formula tepat diberikan jika bayi berumur 4 bulan, bila memungkinkan 6 bulan. Bila produksi rendah, orang tua harus mengupayakan agar dapat memenuhi kebutuhan bayi. Dengan niat/kemauan yang tinggi, produksi ASI akan berjalan dengan lancar dan kebutuhan ASI bagi bayi dapat terpenuhi. Hasil uji hipotesis menunjukkan perbedaan peningkatan berat badan bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi PASI. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Ismail dkk. (1998), yang menyatakan bahwa kandungan gizi pada ASI jauh lebih tinggi dari susu formula, oleh karena itu agar dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, maka susu formula itu dibuat sedemikian rupa sehingga cocok untuk bayi. ASI merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan makanan bayi yang dibuat manusia. Menurut Roesli (2000) yang dimaksud dengan ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi yang hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa makanan padat seperti pisang, pepaya, susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif dianjurkan selama sekitar 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan kemudian bayi mulai diperkenalkan dengan makanan padat. ASI dapat diberikan sampai bayi berusaha 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun. Kerugian akibat pemberian PASI antara lain tidak ekonomis dan tidak praktis, bayi tidak memperoleh zat kekebalan pada ASI, sehingga meningkatkan resiko infeksi dan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 153 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 ancaman kekurangan gizi, bila diberikan tidak sesuai dengan petunjuk penggunaan PASI terancam kegemukan, mudah terserang diare dan alergi, pertumbuhan mulut, rahang dan gigi tidak baik, mengurangi hubungan kasih sayang ibu dan anak yang dapat menghambat perkembangan mental selanjutnya. KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yaitu terbukti ada perbedaan yang signifikan rata-rata peningkatan berat badan pada bayi yang diberi ASI eksklusif (0,5 kg) dan bayi yang diberi PASI (0,34 kg). Berdasarkan kesimpulan disarankan agar: 1) ibu memberikan ASI eksklusif terhadap bayinya selama 6 bulan penuh tanpa makanan tambahan lain, agar bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dan sebaiknya PASI diberikan setelah usia lebih 6 bulan, 2) tenaga kesehatan turut memberikan penyuluhan tentang pemberian ASI yang benar, sehingga diperoleh manfaat pemberian ASI yang sebesar-besarnya bagi bayi maupun ibu menyusui, 3) para peneliti melakukan penelitian lebih lanjut, tidak hanya meneliti berat badan, tetapi juga kondisi psikologis, sosial, kultural dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Arikuntoro,S.,2002, Prosedur Penelitian Sesuatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Edisi Revisi V, Rineka Cipta. Departemen Kesehatan RI. 1994. Studi KAP untuk Perencanaan Intervensi KIE Anemia Gizi. Kerjasama Depkes RI: Unicef dan IPB. ---------, 2002 Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Panduan ASI Sedunia, Jakarta ---------, 2002. Managemen laktasi, Buku panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskesmas,Jakarta Husaini, MA. 1991. Efek Perkembangan Makanan Tambahan Jangka Pendek Pada bayi Indonesia yang Rawan Gizi American Journal of Clinical Nutrition. E.Pollit, TB 169, Departement of Pediatrics, School of Medicine, University of California, Davis, CA 95616 USA Ismail. 1998, Perilaku Menyusui dan Permasalahannya pada pengunjung klinik laktasi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Jakarta Berita Kedokteran XIV (4) hal.181-186. Krisnatuti, D, Julia M., 1998, Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Cetakan III, Puspa Swara. Nursalam dan S. Pariani. 2003. Metodologi Research Keperawatan. Jakarta:EGC. Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. ---------, 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif, Makanan Pendamping Tepat dan Imunisasi Lengkap. Jakarta:PT Elex Media Komputindo ---------, 2008, Inisiasi Menyusui Dini plus ASI Eksklusif: Pustaka Bunda, Jakarta Soekidjo Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:PT Rineka Cipta. Soekirman. 1992. Tiga Kesalahan Konsepsi Gizi dalam Kaitannya dengan pembangunan Kesehatan. Seminar on poverty alleviation with sustainable agricultural and rural development in Indonesia Cisarua Soeparmanto, Paiman. 2001. Pemasyarakatan ASI Eksklusif melalui penyuluhan, Bulletin Sistem Kesehatan 1:Surabaya Tri Rahayuningsih, 2005. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Asi dengan Pemberian Kolostrum dan Asi Eksklusif Di Kelurahan Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan. Semarang. Universitas Negeri Semarang Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 154 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 PENGARUH ALAT PERMAINAN EDUKATIF (APE) TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA TODLER DI POSYANDU II DUKUH SUNGWI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN MAOSPATI KABUPATEN MAGETAN Nurlailis Saadah* ABSTRACT Stimulation is a basic ability to stimulate the activities of children so that children grow and develop optimally. Giving stimulation are more effective when attention needs children in accordance with the stages of development. Therefore the role of plaything in the provision of stimulation in children is very great, because it required a correct understanding of this issue. This study aims to analyze the influence of Educational Gaming Equipment on the development of toddler-aged children. This study uses a true experimental design study design. The study population was the toddler in Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras Kecamatan Maospati. Total sample of this study were 22 respondents in which the proportional sampling using simple random sampling technique. Data were collected with a sheet of DDST, and observation and then processed using Mc Nemar test. Based on statistical tests Mc Nemar test with a significance level of p ≤ 0.05 thus obtained p = 0.625 (≥0.05), which means that there are developmental differences between infants who were given stimulation with Educational Games Equipment and toddlers who are not given the stimulation. Key Word: Educational Gaming Equipment, development, toddler * = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan PENDAHULUAN Ketika memasuki usia bermain atau masa todler, anak membutuhkan permainan, sehingga tidak mengherankan jika masa ini identik dengan masa bermain karena perkembangan anak akan diasah sesuai dengan kebutuhannya di saat tumbuh kembang. Akan tetapi banyak orang yang menganggap masa bermain pada anak tidaklah mendapat suatu perhatian secara khusus sehingga banyak sekali orang tua yang membiarkan anak tanpa memberikan pendidikan terhadap permainan yang dimiliki anak (Aziz, 2005: 55). Dalam bermain, anak-anak membutuhkan alat bermain, baik untuk bermain sendiri maupun bermain secara kelompok. Alat bermain yang paling efektif untuk anak usia 1-3 tahun adalah jenis Alat Permainan Edukatif (APE). APE adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangannya, serta berguna untuk anak ( Ngastiyah, 2005: 14). Hasil studi pendahuluan di Posyandu II Dukuh Sungwi, Sugihwaras, Maospati, Magetan pada tanggal 18-19 Juni 2010 dari 47 anak ada 2 anak (4,2%) mengalami kesulitan bicara (gangguan perkembangan bahasa), 4 orang (8,5%) pemalu dan sulit berinteraksi dengan teman sebaya, dan 3 orang (6,3%) mengalami gangguan kognitif (motorik halus kurang terlatih dan perlu stimulasi), dan sisanya 38 orang (62%) tidak mengalami gangguan tumbuh kembang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh APE terhadap perkembangan anak usia todler. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan adalah di Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan, pada bulan Mei-Agustus 2010. Populasi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 155 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 penelitian adalah anak usia toddler di Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan yang berjumlah 47 anak. Besar sampel adalah 22 yang diambil dengan teknik simple random sampling. Variabel bebas adalah penggunaan APE yaitu sebelum dan sesudah menggunakan APE, sedangkan variabel terikat adalah perkembangan anak yaitu menetap dan meningkat. Data dikumpulkan dengan instrumen yaitu APE dan formulir DDST. Setelah data terkumpul dan terolah, selanjutnya dianalisis menggunakan Mc Nemar test. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari 22 balita yang menjadi responden 11 balita (50%) berusia 3 tahun, 6 balita (27%) berusia 2 tahun, 5 balita (23%) berusia 1 tahun. Dan dari 22 balita yang menjadi responden 11 balita (50%) berjenis kelamin laki-laki dan 11 balita (50%) berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian terhadap 11 balita di Posyandu II Dukuh Sungwi, Sugihwaras, Maospati, Magetan menunjukkan bahwa ada 8 balita (73%) mengalami perkembangan meningkat setelah diberi stimulasi APE dan 3 balita (27%) perkembangan menetap. Dari hasil penelitian terhadap 11 balita di Posyandu II Dukuh Sungwi, Sugihwaras, Maospati, Magetan pada bulan Juni-Juli 2010 menunjukkan bahwa 5 balita (64%) perkembangannya meningkat dan 6 balita (36%) perkembangan tetap. Dengan menggunakan uji statistik Mc Nemar test didapatkan p = 0,132 sehingga disimpulkan H0 ditolak yaitu ada pengaruh stimulasi menggunakan Alat Permainan Edukatif (APE) terhadap perkembangan balita usia todler. Pembahasan Dari 22 balita yang menjadi responden, sebanyak 13 balita (59%) mengalami perkembangan yang meningkat dan 9 balita (41%) menetap. Penelitian ini hanya dilakukan pada balita usia 1-3 tahun (todler) sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jacqueline D,dkk (2003) yaitu alat permainan merupakan salah satu alat untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak, anak yang banyak mendapat stimulasi akan lebih cepat berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi. Alat Permainan Edukatif (APE) yaitu alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak. Dengan menggunakan uji statistik Mc Nemar test disimpulkan bahwa ada pengaruh stimulasi menggunakan Alat Permainan Edukatif (APE) terhadap perkembangan balita usia toddler di Posyandu II Dukuh Sungwi Desa Sugihwaras Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jacqueline D (2003) yang menyatakan diperoleh hasil yang kuat intervensi ketrampilan motorik pada 3% partisipan kelompok perlakuan dengan nilai skor keterampilan psikomotor 50% dibandingkan dengan 93% partisipan kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi selama 6 bulan, dengan memperlihatkan peningkatan perkembangan dari 17% menjadi 80% untuk kelompok perlakuan dan dari 18% menjadi 24% untuk kelompok kontrol. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi menggunakan APE berpengaruh kuat terhadap perkembangan anak usia toddler. Oleh karena itu disarankan agar: 1) orang tua mempelajari mainan yang baik dan mendidik untuk anak yang berusia 1-3 tahun (todler) untuk menjadikan masa depan yang lebih baik, 2) institusi pelayanan Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 156 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 kesehatan memberikan masukan tentang pentingnya APE, sehingga dipertimbangkan program APE pada posyandu selanjutnya, 3) para peneliti melaksanakan penelitian lanjutan yang terkait dengan APE dan perkembangan anak usia toddler. DAFTAR PUSTAKA Arimurti, Ida. 2010. Masa Emas pada Anak. http//www.titikadarsih.com//(diakses tanggal 06 Mei 2010). Dr. Soetjiningsih Sp. AK, 1995. Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: EGC. Ngastiyah, 2003. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC. Handayani, Faras. 2009. Perkembangan Motorik Kasar dan Halus. http//www.AnakKita.com// (diakses tanggal 04 Mei 2010) Hidayat, A. Alimul Aziz, 2005. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta: Salemba Medika. _______, 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2003. Konsep Penerapan dan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Potter dan Perry, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Jakarta: EGC. Prof. DR. Sugiyono, 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Sari, Lucie Permana, 2007. Tesis Pengaruh Alat Permainan Edukatif terhadap Perkembangan Motorik Anak pada Taman Penitipan Anak. Medan:USU. WK. Frankenburg MDM SPH, 2004. Buku Panduan Pemantauan Perkembangan Denver II. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM. Yudianto, Andi. 2010. Perkembangan Psikososial pada Todler. http//www.tipsbayi.com// (diakses tanggal 06 Mei 2010). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 157 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN FASILITAS POSYANDU DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI POSYANDU (Di Wilayah Kerja Puskesmas Saradan, Madiun) Nurlailis Saadah*, Budi Joko Santosa*, Yuni Anita Sari** ABSTRAK Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun pada bulan Januari sampai dengan Desember 2011 partisipasi masyarakat (D/S) untuk mengikuti posyandu di Puskesmas Saradan diperoleh 70.9% dari target 80%. Masalah utama penelitian ini adalah masih banyaknya posyandu yang partisipasi masyarakatnya rendah dimungkinkan oleh faktor fasilitas posyandu yang tidak lengkap. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan fasilitas posyandu dengan partisipasi masyarakat di Posyandu di wilayah kerja puskesmas Saradan Kabupaten Madiun.. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi adalah keseluruhan posyandu yang ada di wilayah kerja puskesmas Saradan berjumlah 38 posyandu. Sampel diperoleh dengan teknik simple random sampling sebesar 35 posyandu. Variabel bebas dan variabel terikat masing-masing adalah kelengkapan fasilitas posyandu dan partisipasi masyarakat di Posyandu. Data dikumpulkan melalui observasi langsung dan studi dokumentasi. Analisis data menggunakan uji Fisher’s exact dengan α = 0,05. Posyandu dengan fasilitas lengkap sebagian besar memiliki cakupan partisipasi masyarakat yang tinggi (58,33%), sedangkan posyandu dengan fasilitas tidak lengkap sebagian besar memiliki partisipasi masyarakat yang rendah (82,61%). Hasil uji Fisher’s Exact adalah p=0,022 (p<0,05), berarti ada hubungan antara kelengkapan fasilitas dengan partisipasi masyarakat di Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar: 1) institusi pelayanan kesehatan melengkapi fasilitas posyandu, 2) tenaga kesehatan menggerakkan minat masyarakat untuk berkunjung ke Posyandu, 3) para peneliti melakukan tindak lanjut dengan sampel yang lebih besar dengan waktu yang cukup. Kata kunci: posyandu, fasilitas, partisipasi, D/S *= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan **= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya kesehatan ibu dan anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Salah satu bentuk upaya tersebut yaitu dengan diadakannya program Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu (Puskesmas Kaliwiro, 2010). Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggarakan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Kemenkes RI, 2012). Pencanangan posyandu dilakukan secara massal untuk pertama kali oleh Kepala Negara Republik Indonesia pada tahun 1986 di Yogyakarta. Pada tahun 1990, terjadi Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 158 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 perkembangan yang sangat luar biasa, yakni dengan keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Pembinaan Mutu Posyandu. Legitimasi keberadaan posyandu diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan administrasi pemerintahan. Pada kenyataannya pelaksanaan posyandu tidak dilakukan secara keseluruhan, sehingga para orang tua kurang begitu memanfaatkan adanya posyandu (Rahmadhani, 2011). Menurut Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun pada bulan Januari s/d Desember 2011, dari target partisipasi masyarakat di Posyandu (D/S) sebesar 85%, puskesmas dengan cakupan tertinggi adalah Puskesmas Klecorejo yaitu 92,13% dan yang terendah adalah Puskesmas Pilangkenceng yaitu 67,88%. Cakupan D/S Puskesmas Saradan adalah 70,9% dari target puskesmas 80%. Puskesmas Saradan membina 38 posyandu yang tersebar di tujuh desa dengan cakupan D/S masing-masing yaitu: Desa Sugihwaras= 58,6%, Desa Ngepeh= 82,7%, Desa Sidorejo= 76,5%, Desa Bongsopotro= 64,7%, Desa Pajaran= 72,2%, Desa Klangon= 87,2%, dan Desa Bandungan= 66,6%. Terlihat bahwa hanya Desa Klangon yang mencapai target RAPGM dan hanya Desa Klangon dan Desa Ngepeh yang mencapai target Puskesmas Saradan. Dari 4 posyandu di Desa Bandungan, 75% posyandu tidak memiliki fasilitas dan kader yang lengkap. Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan alat ukur tinggi rendahnya partisipasi masyarakat di Posyandu yang berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan kesehatan dasar khususnya imunisasi serta prevalensi gizi kurang. Semakin tinggi cakupan D/S maka semakin tinggi cakupan vitamin A dan cakupan imunisasi sehingga semakin rendah prevalensi gizi kurang (RAPGM, 2010-1014). Dampak dari kurang aktifnya balita datang ke Posyandu yaitu tidak terpantaunya tumbuh kembang balita, balita kurang mendapat stimulus, tidak mendapat imunisasi dasar, tidak mendapatkan vitamin A dan balita dengan status gizi buruk. Di Indonesia, menurut laporan UNICEF (2006), kasus gizi buruk menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada tahun 2004-2005. Peningkatan balita gizi buruk di Indonesia tersebut sangat mengkhawatirkan, karena dapat menyebabkan "lost generation". Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (D/S) di Posyandu maka perlu dilakukan upaya peningkatan pengetahuan orang tua mengenai pentingnya posyandu, pengadaan kegiatan penyuluhan di Posyandu, penambahan fasilitas Posyandu agar menambah daya tarik orang tua untuk datang di Posyandu. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara kelengkapan fasilitas posyandu dengan partisipasi masyarakat di Posyandu METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian cross sectional yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Saradan, Madiun, dengan populasi semua posyandu di wilayah kerja Puskesmas Saradan, Madiun berjumlah 38 posyandu. Besar sampel adalah 35 posyandu yang dipilih dengan teknik simple random sampling. Kelengkapan fasilitas posyandu adalah variabel bebas, sedangkan partisipasi masyarakat di posyandu adalah variabel terikat. Data dikumpulkan melalui observasi langsung dan studi dokumentasi. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 159 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Analisis data menggunakan uji Chi Kuadrat dengan koreksi Yates (X2) dengan taraf signifikasi (α < 0,05). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian tentang kelengkapan fasilitas posyandu dan partisipasi masyarakat di posyandu masing-masing disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Kelengkapan Fasilitas Posyandu di Wilayah Puskesmas Saradan, Madiun Kelengkapan Fasilitas Posyandu Lengkap Tidak Lengkap Jumlah Jumlah 12 23 35 Persentase 34,29 65,71 100,00 Tabel 2. Partisipasi Masyarakat di Posyandu Wilayah Puskesmas Saradan, Madiun Partisipasi Masyarakat di Posyandu Tinggi Rendah Jumlah Jumlah 11 24 35 Persentase 31,43 68,57 100,00 Tabel 3. Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas Posyandu di Wilayah Puskesmas Saradan, Madiun Kelengkapan Lengkap Fasilitas Posyandu Tidak Lengkap Total Partisipasi Masyarakat Tinggi Rendah N % n % 7 58,33 5 41,67 4 17,39 19 82,61 11 31,43 24 68,57 Total n 12 23 35 % 100,00 100,00 100,00 Dari Tabel 3 terlihat bahwa posyandu dengan fasilitas lengkap memiliki partisipasi masyarakat yang sebagian besar tinggi (58,33%), sedangkan posyandu dengan fasilitas tidak lengkap memiliki partisipasi masyarakat yang sebagian besar rendah (82,61%). Hasil uji Fisher’s Exact menunjukkan p = 0,022 (p < 0,05), maka disimpulkan ada hubungan antara kelengkapan fasilitas dengan partisipasi masyarakat di Posyandu. Pembahasan Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar posyandu memiliki fasilitas yang tidak lengkap. Jika merujuk pernyataan Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003:14), salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah kelengkapan fasilitas posyandu. Untuk di Posyandu misalnya dengan ketersediaan timbangan yang layak pakai dan alat penggantung yang aman, buku pendaftaran (registrasi), buku catatan hasil penimbangan, Kartu Menuju Sehat (KMS), buku yang berisi pedoman bagi setiap komponen kegiatan Pemantauan dan Promosi Pertumbuhan Balita (PPPB), alat-alat penyuluhan dan konseling, perlengkapan untuk pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Hal Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 160 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 ini juga sesuai dengan penelitian Abdul Hairuddin Angkat (2010) bahwa posyandu dengan fasilitas yang lengkap dapat menarik perhatian masyarakat khususnya ibu yang mempunyai anak balita sehingga dengan posyandu yang lengkap dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di Posyandu. Kurang lengkapnya fasilitas posyandu mungkin disebabkan oleh kurangnya dana dari pemerintah setempat dan kurangnya peran petugas kesehatan serta masyarakat setempat. Jika dikaitkan dengan partisipasi masyarakat di Posyandu, dengan semakin lengkap fasilitas posyandu maka semakin tinggi pula partisipasi masyarakat di Posyandu, karena fasilitas posyandu yang lengkap akan menarik perhatian masyarakat untuk datang ke posyandu dan berharap akan mendapatkan pelayanan yang maksimal. Dengan pelayanan yang maksimal, dapat ditingkatkan cakupan kesehatan dasar, khususnya imunisasi, meningkatkan cakupan vitamin A serta meningkatkan cakupan imunisasi sehingga kejadian gizi kurang menurun. Sebagian besar posyandu masih memiliki cakupan partisipasi masyarakat yang rendah. Jika merujuk pada Teori Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003:13), peranserta masyarakat dalam pemanfaatan program posyandu dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor yang memudahkan (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Abdul Hairuddin Angkat (2010) bahwa partisipasi masyarakat di Desa Penanggalang yang masuk dalam kategori tinggi sebanyak 36,1% dan yang masuk dalam kategori rendah sebanyak 63,9%. Hasil di atas menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat untuk kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan berat badan rendah. Akibatnya banyak balita yang tidak terpantau oleh petugas kesehatan ataupun kader posyandu dan memungkinkan balita tidak diketahui pertumbuhan berat badannya atau pola pertumbuhan berat badannya. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan di masyarakat. Dalam hal ini perilaku tersebut yaitu partisipasi masyarakat di Posyandu. Hal ini dapat dikaitkan dengan kelengkapan fasilitas posyandu. Dengan adanya fasilitas yang lengkap dan layak pakai maka akan menarik perhatian masyarakat untuk datang ke Posyandu sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat di Posyandu. Hasil uji Fisher’s exact menyimpulkan adanya hubungan antara kelengkapan fasilitas posyandu dengan partisipasi masyarakat di Posyandu. Hal ini sesuai dengan teori Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor pemudah (predisposing factors) meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, jumlah balita dan usia balita, faktor pemungkin (enabling factors) meliputi fasilitas posyandu dan faktor penguat (reinforcing factors) meliputi tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan. Ini juga sesuai dengan penelitian Abdul Hairuddin Angkat (2010) bahwa yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat di Posyandu yaitu termasuk kelengkapan fasilitas di Posyandu. Melihat hasil penelitian diatas dengan semakin lengkap fasilitas posyandu maka semakin tinggi partisipas masyarakat untuk datang ke Posyandu. Adanya kader yang lengkap, fasilitas yang lengkap dapat menarik perhatian masyarakat untuk datang ke Posyandu. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1) sebagian besar besar posyandu memiliki fasilitas yang tidak lengkap, 2) sebagian besar posyandu memiliki cakupan partisipasi masyarakat yang rendah, 3 ada hubungan antara kelengkapan fasilitas dengan partisipasi masyarakat di posyandu. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 161 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Berdasarkan hasil penelitian diajukan beberapa saran yaitu diharapkan: 1) institusi pelayanan kesehatan melengkapi fasilitas posyandu seperti sarana perlengkapan, paket pertolongan gizi, sarana peralatan dan sarana penyuluhan dan dukungan tenaga di Posyandu sehingga fasilitas posyandu menjadi lengkap, 2) bidan/petugas menggerakkan minat masyarakat untuk berkunjung ke Posyandu dan memperhatikan kelengkapan fasilitas posyandu agar dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di Posyandu sehingga sesuai target puskesmas Saradan, 3) para peneliti melakukan tindak lanjut dengan sampel yang lebih besar dengan waktu yang cukup sehingga hasil penelitian akan lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Ami, Marmi. 2009. Bidanku Sholihah. http://bidankusholihah.blogspot.com/ 2009/08/rumah-sehat-cantik-muslimah-ibu-dan.html. (diakses 22 Maret 2012). Angkat, Abdul Hairuddin. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Masyarakat untuk Menimbangkan Anaknya ke Posyandu di Desa Penanggalan, Kecamatan Penanggalan, Subulussalam. Karya Tulis Ilmiah, Medan: USU. Anonim. 2011. Kerangka Kerja. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerangka_kerja. (diakses 29 Maret 2012). . 2011. Tekan Gizi Buruk, Pemprov Tingkatkan Sosialisasi dan Revitalisasi Posyandu. http://www.humasprotokol.bantenprov.go.id/2011/01/tekan-gizi-burukpemprov-tingkatkan-sosialisasi-dan-revitalisasi-posyandu/. (diakses 22 Maret 2012). . 2012. Pendidikan. http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan. (diakses 28 Maret 2012). Danim, Sudarwan. 2003. Riset Keperawatan Sejarah dan Metodologi. Jakarta:EGC. http://www.bascommetro.com/2011/12/faktor-faktor-berkaitandengankunjungan.html. (diakses 28 Maret 2012). Hidayat, Aziz Alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. . 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, Sigit. 2007. Dasar-Dasar Metode Statistika. Jakarta: Grasindo. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Kaliwiro, Puskesmas. 2010. Kesehatan Ibu dan Anak. http://puskesmaskaliwiro.web.id/. (diakses 18 Maret 2012). R.I., Departemen Kesehatan. 2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Depkes. R.I., Kementerian Kesehatan. 2011. Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat (RAPGM) Tahun 2010-2014. http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/658. (diakses 19 Maret 2012). Rahmadhani. 2011. Dunia Kesehatan. http://sherlyrahmadhani.blogspot.com/2011_05_01_archive.html. (diakses 18 Maret 2012). Widjiono.2007. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo. Zulkifli . 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kunjungan Balita Di Posyandu. http://www.kti-skripsi.net/2011/10/faktor-faktor-yang-berhubungan-dengan.html (diakses 22 Maret 2012) Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 162 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 GAMBARAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU PESERTA JAMPERSAL DALAM PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PASCA SALIN DI DESA KEPUHREJO KEC. TAKERAN KAB. MAGETAN TAHUN 2012 Tutiek Herlina*, Suparji*, Riris Sukma Pratiwi** ABSTRAK Jampersal yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada awal tahun 2011 merupakan upaya untuk menjamin pelayanan kontrasepsi pasca salin (BKKBN, 2012). Ibu pasca persalinan, kesuburan dapat kembali pada hari ke-21 setelah melahirkan atau sebelum masa nifas selesai (Sudarmi, 2011). Masalahnya adalah banyak ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dalam bentuk survey. Populasi penelitian adalah semua ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan, semua dijadikan sebagai subjek penelitian. Variabel penelitian adalah faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin dengan sub variabel tingkat pengetahuan, paritas, sikap dan dukungan suami. Pengambilan data dengan kuesioner. Data diolah dan dianalisis secara deskriptif berupa distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai alat kontrasepsi pasca salin (73,02%), paritas multipara (58,73%), sikap ibu peserta Jampersal menolak dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin (63,49%), dan dukungan suami terhadap ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin tidak mendukung (66,67%). Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan memiliki tingkat pengetahuan baik, multipara, sikap menolak terhadap penggunaan alat kontrasepsi pasca salin dan suami tidak mendukung. Disarankan pada tenaga kesehatan untuk meningkatkan konseling mengenai penggunaan alat kontrasepsi pasca salin pada ibu peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan. Kata kunci: Jampersal, Alat Kontrasepsi Pasca Salin. *= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan **= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan PENDAHULUAN Pengendalian tingkat kelahiran dan jumlah penduduk dilakukan dengan pemberian pelayanan KB pasca salin yang termasuk dalam program Jaminan Persalinan (Jampersal) (Menkes, 2011). Jampersal yang diluncurkan oleh Kemenkes RI pada awal tahun 2011 adalah upaya untuk menjamin dan melindungi proses kehamilan, persalinan, pasca persalinan (nifas), pelayanan KB pasca salin, serta komplikasi yang terkait dengan kehamilan, persalinan, nifas, KB pasca salin, dan pelayanan bayi baru lahir yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (BKKBN, 2012). Bagi penerima manfaat Jampersal, diharapkan untuk mengikuti program KB pasca persalinan, sehingga program Jampersal akan sejalan dengan program KB (Menkes, 2011). Di Polindes Kepuhrejo Takeran Magetan pada bulan Juni sampai Desember 2011 yaitu dari 66 ibu peserta Jampersal, hanya 2 peserta (3,03%) yang menggunakan kontrasepsi pasca salin, dan 64 peserta (96,97%) tidak (Laporan Polindes Kepuhrejo). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 163 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Tampak bahwa banyak peserta Jampersal yang tak menggunakan kontrasepsi pasca salin. Walaupun penggunaan alat kontrasepsi pasca salin telah dijamin oleh pemerintah, tidak mengubah perilaku ibu peserta Jampersal untuk ikut dalam program. Banyak faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. Merujuk pada Teori Green dalam Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Menurut Syaifuddin (2006: U-44) pada umumnya klien pasca salin ingin menunda kehamilan berikutnya paling sedikit 2 tahun lagi, atau tidak ingin tambahan anak lagi. Dampak bila penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini rendah adalah kesalahan dalam pengaturan jarak kehamilan dan pengaturan kelahiran yang bermanfaat bagi kesehatan ibu dan anak (BKKBN, 2006: 43). METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah diskriptif yang berlokasi di Desa Kepuhrejo, Takeran, Magetan. Populasi penelitian ini adalah semua ibu peserta Jampersal yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan pada bulan Juni sampai Desember 2011 sebanyak 63 orang. Seluruh anggota populasi diteliti. Variabel penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin, yang terdiri atas beberapa subvariabel yaitu: tingkat pengetahuan, paritas, sikap dan dukungan suami kepada ibu peserta Jampersal. HASIL PENELITIAN Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai gambaran faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin di Desa Kepuhrejo Takeran Magetan menunjukkan dari 63 ibu peserta Jampersal didapatkan tingkat pengetahuan ibu mengenai alat kontrasepsi pasca salin baik sebanyak 46 orang (73,02%), dan cukup 17 orang (26,98%), multipara sebanyak 37 orang (58,73%) dan primipara 26 orang (41,27%), memiliki sikap menolak dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 40 orang (63,49%) dan menerima 23 orang (36,51%) dan tidak mendapatkan dukungan suami dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 42 orang (66,67%) dan mendapatkan dukungan suami 21 orang (33,33%). Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 46 orang (73,02%), dan cukup 17 orang (26,98%). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif oleh Notoatmodjo (2003: 122123) mempunyai 6 tingkatan, yaitu : Kesatu, Tahu (know), diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ibu peserta Jampersal mengetahui pengertian alat kontrasepsi pasca salin, manfaat, efek samping dan tujuan penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. Kedua, Memahami (comprehension), diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Ibu peserta Jampersal memiliki pemahaman yang baik mengenai pengertian alat kontrasepsi pasca salin, waktu penggunaan, kekurangan, tujuan dan efek samping penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. Ketiga, Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Ibu peserta Jampersal memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai alat kontrasepsi pasca salin, tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi pasca salin tersebut. Keempat, Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 164 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kelima, Sintesis (synthesis), yaitu kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagianbagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Keenam, Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian terhadap objek berdasarkan pada kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Namun tingkat pengetahuan tentang alat kontrasepsi pasca salin pada karya tulis ilmiah ini hanya pada tingkatan mengetahui, memahami dan aplikasi, sedangkan tingkatan analisis, sintesis dan evaluasi tidak diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan paritas multipara sebanyak 37 orang (58,73%) dan primipara 26 orang (41,27%). Menurut Wulansari dalam karya tulis ilmiah (KTI) Susilowati (2011) cocok tidaknya suatu metode kontrasepsi dapat dipengaruhi oleh paritas seorang wanita. Menurut Wiknjosastro (2007: 559) multipara lebih baik menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim dibandingkan wanita dengan paritas satu, karena angka kejadian ekspulsi pada wanita dengan paritas satu lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan program Jaminan Persalinan yang menyediakan alat kontrasepsi IUD, implant dan suntik untuk ibu peserta Jampersal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki sikap menolak terhadap penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 40 orang (63,49%) dan menerima 23 orang (36,51%). Teori Triadik tentang sikap dalam Azwar (2010: 108), sikap mengandung aspekaspek : Satu, perasaan (afektif), ibu peserta Jampersal memiliki keinginan untuk menggunakan alat kontrasepsi pasca salin, dengan ber-KB ibu tidak khawatir akan terjadi kehamilan berikutnya, tetapi menurut ibu KB dilarang oleh agama. Dua, fikiran (kognitif), ibu peserta Jampersal berpikiran bahwa penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini harus mengeluarkan biaya sehingga dinilai tidak menguntungkan dan tidak dapat mengatur ekonomi keluarga. Padahal penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini tanpa menggunakan biaya, sehingga mungkin hal ini akibat kurangnya informasi mengenai pembiayaan dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin pada ibu peserta Jampersal. Tiga, kecenderungan bertindak (konatif), ibu peserta Jampersal tidak menjadi akseptor kontrasepsi pasca salin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang tidak mendapat dukungan suami dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin sebanyak 42 orang (66,67%) dan mendapat dukungan suami 21 orang (33,33%). Menurut House dalam karya tulis ilmiah (Susilowati, 2011) terdapat empat jenis dukungan, yaitu : 1) Dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif. Atas dasar dukungan tersebut di atas, yaitu : 1) dukungan emosional, kemungkinan banyak suami tidak peduli akan kebutuhan penggunaan alat kontrasepsi pasca salin, tidak mendukung ibu menggunakan alat kontrasepsi pasca salin dari jenis apapun dan suami tidak senang ibu menggunakan alat kontrasepsi pasca salin, 2) dukungan penghargaan, banyak suami yang bekerja jauh sehingga ibu peserta Jampersal tidak mendapatkan persetujuan suami untuk menggunakan alat kontrasepsi pasca salin. Komunikasi yang kurang efektif dengan istri, sehingga tidak ada kerjasama dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. Suami lebih menganjurkan ibu untuk menunda penggunaan alat kontrasepsi sampai bayinya berumur 2 tahun. 3) dukungan instrumental, Ibu peserta Jampersal mendapatkan jaminan dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin, suami cukup memberikan dukungan kepada istri yang menjadi peserta Jampersal dalam penggunaannya, namun banyak ibu peserta Jampersal mengira penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini dengan mengeluarkan biaya. 4) dukungan informatif, suami tidak memberikan informasi apa-apa terhadap ibu peserta Jampersal mengenai penggunaan alat kontrasepsi pasca salin ini. Dukungan suami yang kurang akibat banyaknya suami yang bekerja di tempat Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 165 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 yang jauh dari rumah, sehingga suami tidak memberi informasi tentang penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. Ibu peserta Jampersal tidak mendapatkan keyakinan dari suami untuk menggunakan alat kontrasepsi pasca salin. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo memiliki tingkat pengetahuan yang baik (73,02%) tentang alat kontrasepsi pasca salin. 2. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo ber-paritas multipara (58,73%). 3. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo memiliki sikap menolak terhadap penggunaan alat (63,49%). 4. Sebagian besar peserta Jampersal di Desa Kepuhrejo tidak mendapatkan dukungan suami dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin (66,67%). Saran 1. Diharapkan masyarakat berperanaktif dalam meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. 2. Diharapkan institusi pelayanan kesehatan khususnya Polindes meningkatkan konseling penggunaan alat kontrasepsi pasca salin bagi ibu peserta Jampersal. 3. Diharapkan institusi pendidikan kebidanan menggunakan hasil penelitian ini sebagai sumber informasi dan tambahan referensi tentang gambaran faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin. 4. Diharapkan para peneliti menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan penelitian lebih lanjut tentang faktor yang mempengaruhi ibu peserta Jampersal dalam penggunaan alat kontrasepsi pasca salin bagi peneliti lain. DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifuddin. 2010. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro Intern. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Mayland, USA: BPS dan Macro Internasional. BKKBN. 2006. Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: BKKBN. Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC. Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Laporan Akseptor KB Baru Puskesmas Takeran Tahun 2011. Laporan Persalinan Polindes Kepuhrejo Takeran Tahun 2011. Menkes. 2011. Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Jakarta: Menkes RI. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dan Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. ------. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Saifuddin, AB. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sobur. 2003. Psikologi Umum Dalam Lintasan Sejarah. Bandung: CV. Pustaka Setia. Susilowati, Darti. 2011. Hubungan Antara Paritas, Pengetahuan, dan Dukungan Keluarga Dengan Pemilihan Metode Kontrasepsi. KTI. Magetan: Prodi DIII Kebidanan Magetan. Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Tridasa Printer. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 166 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CAKUPAN KB SUNTIK DI PUSKESMAS NGARIBOYO TAHUN 2011 Hery Sumasto*, Nurwening Tyas Wisnu*, Qomariyah Dwi Susetyo** ABSTRAK Cakupan KB suntik di Puskesmas Ngariboyo pada tahun 2011 mengalami penurunan dari 71,23% menjadi 56,0%, sehingga terjadi penurunan 15,23%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik di Puskesmas Ngariboyo tahun 2011. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan populasi PUS yang tidak memakai KB suntik lagi di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 sebesar 92 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi. Variabel yang digunakan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik meliputi usia, paritas, status pendidikan, ketersediaan alat, keterjangkauan tempat pelayanan dan dukungan petugas kesehatan. Pengumpulan data dengan studi dokumentasi dan wawancara terpimpin. Analisa data dengan statistik deskriptif. Penyajian data menggunakan tabel dan diagram pie. Hasil penelitian menunjukkan pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi berusia 20-30 tahun 39 orang (42,39%), >30 tahun 53 orang (57,61%), primipara 43 orang (48,91%), multipara 49 orang (51,09%), berpendidikan dasar 44 orang (48,9%), pendidikan menengah 47 orang (50%), pendidikan tinggi 1 orang (1,1%), ketersediaan alat kontrasepsi 100%, berjarak dekat 6 orang (6%), sedang 31 orang (34%), jauh 31 orang (34%), amat jauh 24 orang (26%), tidak mendukung 100%. Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pasangan usia subur tidak memakai KB suntik lagi berumur >30 tahun, multipara, berpendidikan menengah, berjarak sedang dan jauh yang menjadi alasan pasangan usia subur tidak memakai KB suntik lagi. Diharapkan dukungan petugas kesehatan terus diberikan agar menjadi peserta KB suntik yang lestari. Kata kunci : faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik *= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan **= Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan PENDAHULUAN Metode Keluarga Berencana terdiri dari berbagai macam alat dan obat. Salah satu alat kontrasepsi adalah suntik. KB suntik mempunyai kekurangan, diantaranya terjadi perubahan pada pola haid, mual, sakit kepala, penambahan berat badan, ketergantungan klien terhadap layanan kesehatan, dapat terjadi serangan jantung dan stroke (Saifudin, 2006: MK 34-35). Target pada tahun 2010 persentase pasangan usia subur (PUS) yang menjadi akseptor KB sebesar 70% (Depkes RI, 2003). Di Provinsi Jawa Timur persentase PUS yang memakai KB suntik sebesar 55,62% (Profil Kesehatan Jawa Timur, 2010). Di Kabupaten Magetan persentase pemakaian KB suntik menurun dari 62,02% menjadi 51% (Dinkes Magetan, 2011). Di Puskesmas Ngariboyo persentase pemakaian KB suntik tahun 2010 sebesar 71,23% pada tahun 2011 sebesar 56,0% sehingga terjadi penurunan 15,23% (Dinkes Magetan, 2011). Menurut Bappenas (2010) dampak jika cakupan KB rendah, pertumbuhan penduduk akan meningkat, dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi tentunya akan mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) determinan perilaku atau tindakan seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor, yakni faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai), Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 167 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 faktor pendukung (lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau saranasarana kesehatan) dan faktor yang memperkuat atau mendorong (sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain) dalam melayani kesehatan di masyarakat. Upaya melaksanakan revitalisasi KB dalam rangka pengendalian laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu kebijakan kunci untuk mencapai akses universal kesehatan reproduksi pada tahun 2012 dan dilakukan melalui serangkaian strategi antara lain: membina dan meningkatkan keluarga berencana melalui; peningkatan pembinaan kesertaan dan kemandirian ber-KB melalui 23.500 klinik KB pemerintah dan swasta yaitu dengan memberikan dukungan sarana dan prasarana klinik serta menyediakan alat/obat kontrasepsi dan pelayanan KB gratis bagi masyarakat miskin; peningkatan kapasitas sumberdaya penyelenggara KB di semua tingkatan, di 23.500 klinik yang perlu bantuan, partisipasi dan kemandirian ber-KB. Meningkatkan promosi dan pergerakan masyarakat melalui; peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait pengendalian jumlah penduduk, KB dan kesehatan reproduksi; peningkatan komitmen dan peran serta lintas sektor dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan program kependudukan dan KB (Bappenas, 2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik di Puskesmas Ngariboyo tahun 2011, meliputi umur, paritas, pendidikan, ketersediaan alat kontrasepsi, keterjangkauan tempat pelayanan, dan dukungan petugas kesehatan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi di Puskesmas Ngariboyo Magetan sejumlah 92 orang yang tersebar di 12 desa. Penelitian ini menggunakan total populasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi cakupan KB suntik meliputi usia, paritas, status pendidikan, ketersediaan alat, keterjangkauan tempat pelayanan, dan dukungan petugas kesehatan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Faktor Umur Tabel 1. Distribusi Umur Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 Umur Frekuensi Persentase (%) <20 tahun 0 0 20-30 tahun 39 42,39 >30 tahun 53 57,61 Jumlah 92 100 Sebagian besar PUS berumur >30 tahun. Menurut Hartanto (2004) usia antara 20– 30 tahun adalah periode usia paling baik untuk melahirkan dengan jumlah anak 2 orang dan jarak kelahiran 2–4 tahun. Ciri-ciri kontrasepsi yang diperlukan adalah efektivitas cukup tinggi dan reversibilitas cukup tinggi. Sedangkan usia > 30 tahun adalah periode usia mengakhiri kesuburan setelah mempunyai 2 orang anak dianjurkan untuk tidak hamil/tidak punya anak lagi, karena alasan medis atau alasan lainnya. Alasan pasangan usia subur tidak memakai KB suntik lagi ditinjau dari segi umur yaitu >30 tahun adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri kehamilan sehingga kontrasepsi yang di butuhkan adalah efektifitas sangat tinggi dan dapat dipakai jangka panjang. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 168 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Faktor Paritas Tabel 2. Distribusi Paritas Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 Paritas Frekuensi Persentase (%) Nulipara 0 0 Primipara 43 46,74 Multipara 49 53,26 Grande multi 0 0 Jumlah 92 100 Hasil penelitian menunjukkan PUS yang tidak memakai KB suntik lagi 53,26% merupakan multipara 2-5 anak, serta 46,74% adalah primipara 1 orang anak. Menurut Saifuddin (2006) pada nullipara tidak ada pembatasan apa pun dalam penggunaan metode kontrasepsi, tetapi pada kontrasepsi AKDR lebih besar manfaatnya dibanding dengan risiko yang diperkirakan, sedangkan pada multipara tak ada pembatasan penggunaan kontrasepsi apapun. PUS dengan paritas >1, memilih ganti ke metode kontrasepsi jangka panjang karena dianggap sesuai dengan tujuan KB yang diinginkan. Faktor Pendidikan Tabel 3. Distribusi Pendidikan Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 Pendidikan Frekuensi Persentase (%) Dasar 44 48 Menengah 47 51 Tinggi 1 1 Jumlah 92 100 Hasil penelitian didapatkan PUS yang tidak memakai KB suntik lagi 51% berjenjang pendidikan menengah, 48% berjenjang pendidikan dasar, serta 1% berjenjang pendidikan tinggi. Menurut SDKI (2007) secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditamatkan mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi, penggunaan alat kontrasepsi, kelahiran, kematian anak dan bayi, kesakitan, dan perilaku serta kepedulian terhadap kesehatan keluarga. Secara tidak langsung pendidikan yang ditamatkan akan berpengaruh terhadap pengetahuannya tentang metode kontrasepsi. Sehingga peserta KB mengerti metode KB yang sesuai dengan tujuan serta kondisinya. Faktor Ketersediaan Alat Tabel 4. Distribusi Ketersediaan Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 Ketersediaan Alat Tersedia Tidak Tersedia Jumlah Frekuensi 92 0 92 Persentase (%) 100 0 100 Dari hasil penelitian didapatkan 100% PUS yang tidak memakai KB suntik lagi mengatakan alat kontrasepsi (KB suntik) selalu tersedia di Puskesmas Ngariboyo. Ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (ALOKON) di tempat pelayanan KB adalah hal penting yang harus dipenuhi. Tanpa tersedia alokon, pemberian pelayanan KB tidak akan optimal (BKKBN, 2009). PUS menginginkan kontrasepsi jangka panjang yang sesuai dengan kebutuhannya. Di samping itu masyarakat lebih memilih kontrasepsi yang diberikan secara gratis di Puskesmas. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 169 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Faktor Keterjangkauan Pelayanan Tabel 5. Distribusi Keterjangkauan Pelayanan KB Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 Keterjangkauan Pelayanan Frekuensi Persentase (%) Amat Dekat 0 0 Dekat 6 6 Sedang 31 34 Jauh 31 34 Amat jauh 24 26 Jumlah 92 100 Dari hasil penelitian didapatkan pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi 34% jarak rumah ke Puskesmas berjarak sedang dan 34% berjarak jauh. Menurut Yudianto (2009) cakupan pelayanan kesehatan sangat tergantung pada keterjangkauan (jarak/waktu) masyarakat terhadap fasilitas/sarana pelayanan kesehatan. Penempatan fasilitas pelayanan kesehatan misalnya rumah sakit atau puskesmas yang tidak tepat, yang tidak mendekatkan pada permukinan masyarakat, dan atau ketidakterjangkauan karena keterbatasan transportasi memberikan implikasi pada pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh masyarakat yang tidak optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pus yang tidak memakai KB suntik lagi di sebabkan jangkauan tempat pelayanan yang masuk dalam wilayah sedang dan jauh. Transportasi umum yang jarang dan kerusakan jalan di beberapa desa menjadi alasan pasangan usia subur enggan untuk ke Puskesmas. Faktor Dukungan Petugas Kesehatan Tabel 6. Distribusi Dukungan Petugas Kesehatan Kepada Pasangan Usia Subur yang Tidak Memakai KB Suntik di Puskesmas Ngariboyo Tahun 2011 Dukungan Petugas Kesehatan Frekuensi Persentase (%) Mendukung 0 0 Tidak Mendukung 92 100 Jumlah 92 100 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh seluruh PUS yang tidak memakai KB suntik lagi 100% tidak mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk tidak memakai KB suntik lagi. Menurut Notoatmodjo (2003) dukungan petugas dalam melayani kesehatan dalam masyarakat menjadi pendorong masyarakat dalam perubahan perilaku. Pendapatan dukungan, kritik dari keluarga, teman sekerja, tokoh masyarakat, tokoh agama juga dari petugas kesehatan sendiri adalah faktor yang memperkuat (kadangkadang memperlunak) untuk terjadinya perilaku tertentu. Petugas kesehatan tidak mendukung keinginan PUS untuk tidak memakai KB suntik lagi. Sebelum menggunakan kontrasepsi, petugas kesehatan menjelaskan tentang keunggulan dan kerugian, efek samping serta indikasi penggunaaan metode kontrasepsi seluruhnya. Petugas menyerahkan keputusan pengambilan metode kontrasepsi sesuai kebutuhan dan keinginan peserta KB. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat 57,61% PUS yang tidak memakai KB suntik lagi berumur >30 tahun. PUS yang tidak memakai KB suntik lagi sebanyak 53,26% merupakan multipara. Sebanyak 51% pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi berpendidikan menengah. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 170 Volume III Nomor 3, Juli 2012 ISSN: 2086-3098 Pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi menyatakan 100% alat kontrasepsi suntik selalu tersedia. Sebanyak 34% keterjangkauan pelayanan pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi berjarak sedang dan 34% berjarak jauh. Pasangan usia subur yang tidak memakai KB suntik lagi menyatakan 100% petugas kesehatan tidak mendukung untuk tidak memakai KB suntik lagi. Saran 1. Diharapkan petugas kesehatan meningkatkan kualitas pelayanan KB suntik sehingga cakupan KB suntik terus meningkat setiap tahun agar tercapai keluarga berkualitas. 2. Diharapkan institusi pendidikan menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar penelitian lanjutan 3. Diharapkan masyarakat berperan aktif meningkatkan pengetahuan tentang KB dan mendukung penggunaan KB suntik untuk menciptakan keluarga berkualitas 4. Diharapkan para peneliti menggunakan hasil penelitian ini sebagai wacana pada penelitian selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA BPPN. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Depkes, RI. 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan pedoman penetapan Provinsi sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Depkes. Dinkes Jatim. 2011. Profil Kesehatan Jawa Timur 2010. Surabaya: Dinkes Prov. Jatim. Dinkes Magetan. 2012. Profil Kesehatan Magetan 2011. Magetan: Dinkes Magetan. Fitriana, Rizka. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Istri Pasangan Usia Subur Dalam Pemilihan Alat Kontrasepsi Hormonal di BPS Chodidjah Kecamatan Pancoran Mas Depok. Jakarta: FK UUPN “Veteran”. Hadi dan Haryono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia. Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 2. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Aksara. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sudijono, A. 2007. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Yudianto. 2009. Analisis Pola Jangkauan ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kota Depok. http://geografi-kesehatan/2009/09/analisis-pola-jangkauan-ke-fasilitas (Diakses 9 April 2012 pukul 19.00 WIB). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 171 Volume III Nomor 3, Juli 2012 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ISSN: 2086-3098 172