Perlu Antisipasi Jangka Panjang Mengatasi Masalah Perdagangan

advertisement
Perlu Antisipasi Jangka Panjang
Mengatasi Masalah Perdagangan Kopi
Masuknya perusahaan asing dalam perdagangan kopi di Lampung
telah mendesak eksistensi pedagang nasional, bahkan
mungkin petani. Pola kemitraan diyakini sebagai
langkah antisipasi yang terbaik
untuk masalah tersebut.
S
eiring dengan berlangsungnya
liberalisasi investasi, perusahaan asing pun memasuki Indonesia. Perusahaan asing tersebut masuk Indonesia dalam rangka penanaman modal asing (PMA) di ber-bagai
bidang perekonomian, di an-taranya
perdagangan kopi. Isu yang
berkembang sehubungan dengan
beroperasinya perusahaan PMA
dalam perdagangan kopi adalah
perusahaan PMA menguasai pasar
ekspor kopi Indonesia. Isu tersebut
dapat diartikan bahwa perusahaan
PMA merugikan perusahaan nasional dalam perdagangan ekspor, bahkan mungkin merugikan petani. Pada harian Bisnis Indonesia tanggal
18 Juli 2001, salah satu pengusaha
ekspor kopi menyatakan bahwa
perusahaan PMA tersebut tidak
pernah mengalami kesulitan
likuiditas dalam pembelian kopi dan
memiliki jaringan pemasaran yang
mencakup seluruh dunia. Penguasa-an
pangsa pasar yang besar dalam
perdagangan dalam negeri untuk
keperluan ekspor memungkinkan
perusahaan PMA mendikte harga.
Beroperasinya perusahaan
PMA dalam perdagangan kopi tidak
lepas dari kondisi perdagangan kopi,
selain faktor kebijakan pemerintah.
Seperti diberitakan oleh Warta Ekonomi 18 Mei 1998, perusahaan
PMA masuk Indonesia tahun 1996.
Pada waktu itu, banyak perusahaan
pengekspor kopi mengalami masalah likuiditas karena harga kopi
yang rendah. Harga rendah yang
berkepanjangan berdampak negatif
bagi petani sehingga produksi
turun. Penurunan produksi kopi
yang tajam menyebabkan harga
kopi meningkat sehingga banyak
perusahaan pengekspor nasional
tidak mampu membeli kopi petani.
Perusahaan pengekspor kopi
nasional yang mengalami masalah
likuiditas tersebut kemudian diambil
alih oleh perusahaan PMA dari
Amerika Serikat dan Jepang yang
pada tahun 2002 jumlahnya
mencapai 10 buah. Perusahaan
PMA mampu membeli kopi petani
dengan harga tinggi, yaitu kopi
arabika Rp25.000/kg dan kopi
robusta Rp16.000/kg. Sejak tahun
1998, seiring dengan merosotnya
harga kopi dunia, perusahaan PMA
disinyalir sudah mampu mengendalikan harga. Fenomena tersebut
dalam jangka pendek dapat mendesak eksistensi perusahaan pengekspor nasional dan dalam jangka
panjang akan menekan petani
sehingga sejarah “penjajahan” akan
berulang.
Dampak Kegiatan Perusahaan
PMA dalam Perdagangan Kopi
Pertama, kehadiran perusahaanperusahaan PMA diperkirakan meningkatkan persaingan pasar kopi
di Lampung. Peningkatan persaingan ini akan menentukan jumlah perusahaan pengekspor nasional yang
ada sebelum dan setelah perusahaan PMA beroperasi. Jumlah perusahaan pengekspor kopi nasional
yang aktif di Lampung menurun dari
140 buah pada tahun 1996 menjadi
75 buah tahun 2002. Sementara
itu, jumlah perusahaan pengekspor
kopi asing meningkat dari 2 buah
menjadi 6 buah pada periode yang
sama.
Penurunan jumlah perusahaan
pengekspor nasional yang aktif
disebabkan sebagian dari perusahaan menghadapi masalah likuiditas, di samping persaingan dengan
perusahaan asing. Masalah likui-ditas
disebabkan oleh tekanan har-ga kopi
internasional. Penurunan harga ini
menyebabkan petani me-nelantarkan
kebun kopi sehingga produksi
menurun.
Pada periode 1994-1996,
harga kopi membaik, tetapi tidak
dibarengi dengan kenaikan produksi
sehingga harga tetap tinggi. Pada
situasi tersebut, sebagian perusahaan pengekspor nasional tetap
tidak mampu bertahan karena
menghadapi masalah likuiditas.
Momemtum ini dimanfaatkan oleh
perusahaan asing untuk memasuki
usaha ekspor kopi di Lampung.
Pada periode 1996-2002,
harga kopi cenderung turun dan
menekan lagi sebagian perusahaan
pengekspor nasional, tetapi hal ini
tidak dialami oleh perusahaan asing.
Tekanan yang dialami oleh perusahaan pengekspor kopi nasional semakin bertambah berat dengan
adanya depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing. Pada
situasi ini, perusahaan pengekspor
asing mendapat keuntungan karena
modal utamanya berasal dari luar
negeri. Hingga tahun 1998, pengekspor kopi khususnya di Sumatera Utara dan Lampung terpuruk
sehingga banyak yang tutup. Namun sejak tahun 1998, pengekspor
nasional yang tersisa dapat bertahan hingga kini.
Kedua, perusahaan pengekspor
kopi nasional banyak mengalami
kesulitan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar yang telah dikuasai serta
menembus pasar baru di luar negeri. Beberapa perusahaan pengekspor nasional bahkan ada yang
melakukan ekspor dengan volume
kecil (100-200 ton per bulan) untuk
jenis kopi tertentu di mana perusahaan asing tidak tertarik untuk melakukannya.
Pada pemasaran lokal, perusahaan nasional ini juga mengalami kesulitan karena kekuatan
ikatan kolateral mulai kendur.
Pedagang pengumpul mulai berani
melakukan penjualan secara bebas
kepada perusahaan pengekspor
yang memberikan insentif lebih
baik. Namun, terdapat beberapa
1
Tabel 1. Komposisi volume ekspor kopi Lampung, 1995-2000.
Tahun
I
II
III
IV
V
VI
Komposisi menurut volume (%)
1995
1996
1997
1998
1999
2000
1,08
1,57
13,16
67,56
2,23
14,41
0,94
1,68
13,79
67,80
5,65
10,14
0,56
1,86
18,88
50,45
7,59
20,71
0,64
1,34
13,88
63,69
6,93
13,51
0,59
1,22
18,00
60,00
5,90
14,30
0,42
2,10
20,02
53,55
6,63
17,30
Sumber: Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan Propinsi Lampung (2002).
perusahaan nasional yang menerapkan strategi bertahan, yaitu
berperan sebagai pemasok perusahaan asing dan sebagai pengekspor.
Ketiga, kehadiran perusahaan
PMA akan meningkatkan persaingan pasar yang akan menurunkan
kemampuan pengekspor kopi
nasional. Dalam periode 19962001, pangsa volume dan nilai
ekspor kopi perusahaan pengekspor PMA terhadap keseluruhan
ekspor Lampung meningkat secara
konsisten. Pangsa volume ekspor
kopi meningkat dari 9% pada tahun
1996 menjadi 26% tahun 2001.
Pangsa nilainya meningkat dari 8%
pada tahun 1996 menjadi 42%
tahun 2001. Pangsa nilai ekspor
perusahaan asing meningkat lebih
cepat dibanding pangsa volume
ekspornya, yang mengindikasikan
perusahaan pengekspor asing menikmati harga lebih baik dibanding
perusahaan pengekspor nasional.
Keuntungan tersebut terjadi
karena pada perusahaan asing transaksi ekspor merupakan transaksi
internal perusahaan holding, yaitu
anak perusahaan di Indonesia
dengan induk perusahaan di luar
negeri. Perusahaan induk memberi
insentif kepada anak perusahaannya di Indonesia. Selain itu, pada
transaksi internal perlakuan under
price menjadi pilihan dalam rangka
penghematan devisa bagi perusahaan induk. Namun, perusahaan
PMA juga mendapat keuntungan
dari penjualan bebas.
Keempat, perusahaan PMA
membeli biji kopi dengan mutu
yang sama dengan yang dibeli perusahaan pengekspor kopi nasional.
Namun, perusahaan pengekspor
kopi nasional tergeser ke wilayah
2
produksi yang relatif jauh dari kota
Bandar Lampung, bahkan tergeser
hingga ke Sumatera Selatan. Perubahan wilayah pemasaran ini terja-di
karena semakin bebasnya petani dan/
atau pedagang pengumpul men-jual
kopi ke perusahaan pengekspor yang
memberikan insentif harga terbaik
dengan transaksi transpa-ran dan adil
tanpa adanya ikatan kolateral. Dalam
hal ini, perusahaan asing lebih baik
dibanding perusa-haan nasional
sehingga relatif tidak mengalami
masalah di berbagai wi-layah dan
segmen pemasaran kopi.
Kelima, perkembangan harga
ekspor pada dasarnya mengikuti
perkembangan harga internasional.
Harga ekspor perusahaan asing lebih tinggi dibandingkan harga ekspor perusahaan nasional, yang kemungkinan terjadi karena perusahaan asing mengekspor ke perusahaan induk. Namun, harga ekspor
yang tinggi tersebut belum tentu
ditransformasikan ke tingkat pedagang dan/atau petani.
Keenam, mutu kopi tidak berubah dengan adanya perusahaan
pengekspor kopi asing. Komposisi
kopi yang diekspor menurut mutu tidak
banyak berubah, bahkan tidak
menentu polanya. Perubahan komposisi ekspor tidak mengarah pada
mutu yang lebih baik dan terkonsentrasi pada mutu III, IV dan VI (Tabel
1). Dengan demikian, perbedaan harga ekspor yang diterima perusaha-an
asing dan nasional kecil kemungkinannya karena perbedaan mutu.
Ketujuh, adanya perubahan peran perusahaan nasional dari pengekspor menjadi pedagang pengumpul besar, menggeser peran pedagang pengumpul besar ke arah pedagang pengumpul yang lebih kecil.
Perubahan lain yang terjadi adalah
pada pelaksanaan pemasaran. Sis-tem
kolateral (pelepasan uang ke-pada
pedagang sebagai agen) yang telah
berjalan lama tidak dapat dipertahankan lagi karena tekanan
harga yang cenderung melemah
berkelanjutan. Petani menuntut
transparansi dan keadilan dalam
penentuan harga, dan pemberian
insentif oleh perusahaan pengekspor.
Harga kopi yang jatuh menyebabkan perusahaan pengekspor
nasional mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan ini berimbas pada
melemahnya sistem kolateral karena dengan adanya masalah tersebut pelepasan uang tidak dimungkinkan lagi. Dalam situasi seperti
itu, perusahaan asing menawarkan
transparansi dan keadilan dalam
penentuan harga. Penghitungan berat, susut dan taksasi mutu (kadar
air, kadar kotoran, dan lainnya) lebih terbuka dan dapat diterima oleh
pedagang dan/atau petani. Beberapa perusahaan pengekspor juga
menawarkan insentif, seperti premi
bagi mutu bagus, kepada pedagang
dan/atau petani.
Kedelapan, kehadiran perusahaan asing diperkirakan akan meningkatkan persaingan pasar (lokal
dan ekspor) kopi. Oleh karena itu,
perusahaan PMA tersebut diduga
dapat menguasai pasar bahkan
menjadi monopsonis/oligopsonis di
pasar lokal dan monopolis/oligopolis di pasar ekspor. Asosiasi Pengekspor Kopi Indonesia (AEKI) memperkirakan perusahaan asing tersebut dapat menguasai lebih dari
70% pasar kopi biji di Lampung.
Pola Kemitraan Sebagai Langkah
Antisipasi Jangka Panjang
Kiprah perusahaan pengekspor kopi
asing di Lampung perlu ditinjau dengan mengedepankan pemikiran untuk
melindungi dan member-dayakan
perusahaan nasional. Pola kemitraan
antara perusahaan asing dan pelaku
usaha kopi lainnya merupakan solusi
kelembagaan yang dapat ditawarkan.
Pola join operasi atau sistem kuota
pembe-lian/penjualan dapat dijadikan
alter-natif solusi kelembagaan kerja
sama antara perusahaan nasional dan
perusahaan asing.
Untuk mendukung penerapan
pola kemitraan di atas, SK Menteri
Perdagangan dan Perindustrian No.
11/MPP/SK/I/1996 sudah saatnya
dipelajari kembali terutama tentang
wilayah operasi perusahaan asing.
Pembatasan wilayah operasi dapat
dijadikan alternatif solusi untuk melindungi dan memberdayakan perusahaan pengekspor nasional dengan tanpa mengabaikan kepen-
tingan petani.
Kiprah perusahaan pengekspor
kopi asing di Lampung perlu juga
diarahkan agar pelaksanaan pemasaran yang dinilai lebih baik dari
pelaksanaan sebelum adanya perusahaan asing tetap dijalankan bah-kan
ditingkatkan. Perhatian terha-dap
kepentingan petani, terutama dalam
rangka meningkatkan bagian harga
yang diterima petani, perlu
dikembangkan sebagai spirit dalam
pelaksanaan pemasaran tersebut
(Bambang Dradjat) .
Untuk informasi lebih lanjut
hubungi:
Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (LRPI)
Jln. Salak No.1A
Bogor 16151
Telepon : (0251) 333088
333089
333382
Faksimile: (0251) 315985
E-mail : [email protected]
3
Download