STRUKTUR GENETIK POPULASI MANGGIS

advertisement
71
STRUKTUR GENETIK POPULASI MANGGIS (Garcinia
mangostana L.) INDONESIA
Abstrak
Keragaman dan struktur genetik populasi manggis (Garcinia mangostana
L.) Indonesia dipelajari menggunakan 13 primer yang terdiri dari 8 primer RAPD
(Random Amplified Polymorphysm DNA) dan 5 primer ISSR (Inter-Simple
Sequence Repeat). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap struktur
genetik empat populasi manggis Indonesia berbasis marka molekuler. Bahan
tanaman yang digunakan berasal dari 4 populasi manggis Indonesia yaitu
Purwakarta (Jawa Barat), Kerinci (Jambi), Tembilahan (Riau) dan Bulukumba
(Sulawesi Selatan). Jumlah sampel per populasi adalah sebanyak 21-33 tanaman
dengan jumlah total 106 individu. Diversitas genetik populasi diobservasi melalui
jumlah alel (Na), jumlah alel efektif, (Ne), Shannon's information indeks (I),
persentase loki polimorfik (PPL) menggunakan program GenAlex 6.2. Perbedaan
antar populasi dan dalam populasi dihitung menggunakan AMOVA pada program
yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi Purwakarta memiliki
perbedaan gemetik tertinggi dan konsisten untuk semua parameter genetik yang
diamati (Na=1.44, Ne=1.32, dan I=0.29), dan terendah pada populasi Kerinci
(Na=1.00, Ne=1.17 dan I=0.15). AMOVA menunjukkan bahwa perbedaan
genetik antar populasi sama dengan perbedaan genetik dalam populasi yaitu
masing-masing sebesar 50%. Polymorfisme DNA yang dijumpai pada sejumlah
aksesi dalam populasi mampu memberikan perbedaan genetik. Berdasarkan nilai
PhiPT ke empat populasi manggis menunjukkan perbedaan genetik yang nyata
satu sama lain pada taraf 1%. Pasangan populasi Bulukumba dan Kerinci
memiliki jarak genetik terdekat (D=0.08) dan identitas genetik tertinggi (Nei
I=0.92). Sebaliknya pasangan populasi Bulukumba dan Tembilahan menunjukkan
jarak genetik yang terjauh (D=0.16) dan identitas genetik terendah (Nei I=0.85).
Populasi Purwakarta dan Tembilahan masing-masing terbagi menjadi dua
kelompok genetik berbeda.
Kata kunci : struktur genetik, populasi, manggis, apomiksis
72
73
POPULATION GENETIC STRUCTURE OF APOMICTIC
MANGOSTEEN (Garcinia mangostana L.) IN INDONESIA
Abstract
Population genetic structure in mangosteen (Garcinia mangostana L.) was
studied using 13 primers consists of 8 Random Amplified Polymorphysm DNA
(RAPD) and 5 Inter-Simple Sequence Repeat (ISSR) primers. The objective of
this study was to study genetic structure of mangosteen populations as apomictic
plant. The total of 106 samples was collected from seven mangosteen populations
of four locations in Indonesia: Purwakarta (West Java), Kerinci (Jambi),
Tembilahan (Riau) and Bulukumba (South Sulawesi). Molecular data were
analyzed by GenAlex 6.2 program. The primers generated 132 bands of which 95
(72.2%) were polymorphic and 37 (28.8%) monomorphic. Cluster analysis
showed that the samples grouping based on their geographical origin. Genetic
diversity observed at population levels found the number of locally common
alleles (Na) ranging from 1.0 to 1.44, number of effective alleles (Ne) from 1.171
to 1.315, percentage of polymorphic loci from 30% to 62%, and Shannon’s
information index (I) from 0.154 to 0.293. The highest level of genetic diversity
within populations found in Purwakarta population (Na=1.32 ,Ne=1.32, and
I=0.28) and the lowest in Kerinci ((Na=1.00, Ne=1.17, dan I=0.15). Pairwise
populations of Kerinci and Bulukumba showed the closest genetic distance (D=
0.08) with the highest uniformity (Nei I = 0.92). In contrast, the couple of
Bulukumba and Tembilahan populations shows the furthest genetic distance (D=
0.164) with the lowest genetic uniformity (Nei I = 0.85). AMOVA showed that
genetic diversity within population equal to among populations, i.e., 50%. Each of
Purwakarta and Tembilahan populations divided into two distinct genetic groups.
Keywords : apomictic, mangosteen, population genetic structure
74
75
Pendahuluan
Keragaman genetik manggis telah cukup banyak dipelajari dan sebagian
besar diantaranya masih berbasis individu tanaman (Mansyah et al. 2003b;
Sinaga et al. 2007a; Ramage et al. 2004). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa secara individual tanaman manggis menunjukkan variasi secara genetik.
Penelitian berbasis individu dirasa belum cukup karena belum dketahui
kapasitasnya dalam memberikan gambaran tentang keragaman genetik pada
tingkat populasi. Untuk mengoptimalkan penggalian informasi tentang potensi
keragaman sumberdaya genetik manggis, perlu dilakukan penelitian yang lebih
intensif dengan menggunakan materi tanaman berbasis populasi pada daerah
sentra produksi lainnya.
Banyak informasi menyebutkan bahwa daerah Kerinci (Propinsi Jambi)
diduga merupakan daerah asal tanaman manggis karena pada daerah ini banyak
ditemukan kerabat liarnya. Tembilahan diketahui memiliki populasi manggis
dengan karakter morfologi yang khas (Mansyah et al. 2005), dan Purwakarta
merupakan sentra produksi manggis yang sangat potensial di Jawa Barat.
Sulawesi Selatan merupakan daerah yang melintasi garis Wallace dan memiliki
luas panen manggis terbesar di pulau Sulawesi (BPS 2009) serta merupakan
daerah asal dari G. celebica yang diduga sebagai progenitor manggis (Sulassih
2010).
Ahli genetika populasi telah lama mengenal bahwa keragaman genetik yang
ada pada spesies merupakan struktur bertingkat (hierarchically structured).
Perbedaan genetik mungkin terdapat antar individu didalam satu populasi, antar
populasi didalam daerah geografi yang sama, antar populasi dari daerah geografi
berbeda, dan antar seluruh daerah geografi (Holsinger & Mason-Gamer 1996).
Penelitian berbasis populasi mempunyai beberapa keuntungan diantaranya dapat
mendeteksi terjadinya percampuran genetik, menduga asal usul populasi dan
cukup akurat untuk estimasi frekuensi alel didalam tiap populasi dan antar
populasi (Palush et al. 2003). Pendekatan ini memegang peranan penting dalam
mengurangi erosi genetik dan memungkinkan untuk identifikasi varietas lokal
yang dijumpai pada daerah tertentu (Van der Hulst 2000).
76
Spesies tanaman menunjukkan variasi morfologi yang luas dan sebagian
besar diantaranya bersifat adaptif (Wright & Brandon 2005). Setiap spesies
dibatasi oleh jarak geografi dan kombinasi faktor biotik dan abiotik yang
bekerjasama mempengaruhi dinamika populasi. Studi struktur genetik populasi
bertujuan untuk mendefinisikan populasi dari suatu spesies, kuantifikasi besarnya
penyebaran antar populasi, dan memahami hubungan kekerabatannya. Perbedaan
populasi
secara
genetik
biasanya
didefinisikan berdasarkan signifikansi
heterogenitas secara statistik dalam frekuensi alel antar sampel (Tessier &
Bernatches.1999, dalam Wright & Brandon 2005).
Secara teori struktur genetik populasi kebanyakan tersedia untuk tanaman
seksual. Pengetahuan tentang struktur genetik pada populasi tanaman apomiksis
masih sangat terbatas. Ford & Richards (1985) dan van Oostrum et al (1985)
telah meneliti tentang struktur genetik populasi agamosperm obligat pada
Taraxacum dan memberikan gambaran bahwa diversitas genetiknya sangat rendah
dengan heterozigositas (H) yang tinggi dibandingkan tipe seksual. Studi genetika
populasi pada tanaman apomiksis dapat digunakan untuk menjelaskan diversitas
klonal, lokasi geografi yang menunjukkan perbedaan genetik, kuantifikasi variasi
dan hubungan antar populasi (Ellstrand & Roose 1987). Informasi ini penting
dalam strategi pengembangan untuk koleksi, dan konservasi material tanaman
sebagai sumberdaya genetik dan peningkatan pemanfaatannya.
Pemahaman struktur populasi pada beberapa daerah geografi hampir tidak
memungkinkan untuk dilakukan tanpa bantuan pendekatan genetika molekular.
Beberapa alasan diantaranya adalah bahwa data DNA polimorfisme jumlahnya
sangat
banyak,
mewakili
informasi
genotipik
yang
lengkap,
dapat
mengintergrasikan informasi dalam periode waktu yang panjang dan dapat
memberikan gambaran secara histori (Kreitman 1983). Berbagai teknik molekuler
seperti
RAPD (Random Amplified Polymorphysm DNA), AFLP (Amplified
Fragment
Length
Polymorphysm), RFLP
(Restriction
Fragment
Length
Polymorphysm), SSR (Simple Sequence Repeat) dan ISSR (Inter Simple
Sequence Repeat). Analisis RAPD telah digunakan pada studi apomiktik
Hypericum perforatum dan memberikan identifikasi perbedaan individu. Marka
ISSR sangat baik untuk individu berkerabat dekat dan dapat diaplikasikan pada
studi variasi di dalam populasi (Gonzales et al. 2005).
77
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui variasi genetik pada empat
populasi manggis di Indonesia, (2) mengungkap struktur genetik populasi
manggis sebagai tanaman yang diperbanyak secara vegetatif melalui biji
apomiktik.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Kajian Buah Tropika
(PKBT-IPB), Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, dan
Laboratorium Biologi Molekuler Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, mulai Januari 2010 sampai
Maret 2011 .
Bahan dan Alat
Materi tanaman yang digunakan adalah 106 sampel daun tanaman manggis
(Tabel 8) yang berasal dari empat populasi manggis Indonesia yaitu Kabupaten
Purwakarta (Jawa Barat), Kabupaten Kerinci (Jambi), Kabupaten Tembilahan
(Riau) dan serta Kabupaten Bulukumba (Sulawesi Selatan) (Gambar 24). Jumlah
tanaman sampel pada tiap populasi adalah sebanyak 21-33 individu. Karakteristik
umum dari lokasi pengambilan sampel disajikan Pada Tabel 9.
Tabel 8 Aksesi manggis yang digunakan untuk analisis struktur genetik populasi
No
Kode aksesi
Daerah asal (Desa/kecamatan
kabupaten/propinsi)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
TMB1
TMB2
TMB3
TMB5
TMB7
TMB8
TMB9
TMB10
TMB13
TMB14
TMB19
TMB21
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
Lingkar
batang
(cm)
108
104
85
88
103
124
104
72
117
85
92
94
78
Tabel
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
8 Lanjutan
TMB22
TMB24
TMB25
TMB26
TMB28
TMB29
TMB34
TMB35
TMB36
KRM
KRI1
KRI2
KRI3
KRI4
KRI5
KRI7
KR10
KR11
KR12
KR13
KR14
KR15
KR17
KR18
KR19
KR21
KR22
KR23
KR24
KR25
KR26
KR28
KR29
KR30
BKU5
BKU7
BKU8
BKU13
BKU14
BKU15
BKU16
BKU17
BKU19
BKU21
BKU23
BKU26
BKU27
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
P. Palas/Tembilahan Hulu/Tembilahan /Riau
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Semerap/Keliling danau/Kerinci /Jambi
Sawere/Gangking/Bulukumba /Sulsel
Sawere/Gangking/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
100
95
96
97
113
60
93
97
30
152
47
37
84
36
76
68
72
53
66
60
57
67
78
56
66
61
61
62
33
29
38
35
40
37
114
104
37
75
64
76
68
49
64
74
54
36
25
79
Tabel
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
8 Lanjutan
BKU28
BKU29
BKU30
BKU31
BKU32
BKU33
BKU34
BKU35
BKU1B
BKU2B
BKU5B
BKU9B
BKU25B
BKU26B
WPK2
WPK3
WPK4
WPK5
WPK7
WPK8
WPK9
WPK10
WPK11
WPK13
WPK15
WPK17
WPK18
WPK19
WPK20
WPK24
WPK25
WG1
WG3
WG4
WG6
WG7
WG8
WG9
WG10
WPS12
WPS14
WPS17
WPS19
WPS20
WB1
WB2
WB3
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bontomanai/Drilau Ale/Bulukumba /Sulsel
Bulo bulo/Bulukumpa/Bulukumba /Sulsel
Bulo bulo/Bulukumpa/Bulukumba /Sulsel
Bulo bulo/Bulukumpa/Bulukumba /Sulsel
Bulo bulo/Bulukumpa/Bulukumba /Sulsel
Bulo bulo/Bulukumpa/Bulukumba /Sulsel
Bulo bulo/Bulukumpa/Bulukumba /Sulsel
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek P Koneng/Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Garogek /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Pusaka Mulya /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Pusaka Mulya /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Pusaka Mulya /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Pusaka Mulya /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Pusaka Mulya /Kiara Pedes/Purwakarta/Jabar
Babakan /Wanayasa/Purwakarta/Jabar
Babakan /Wanayasa/Purwakarta/Jabar
Babakan /Wanayasa/Purwakarta/Jabar
38
53
54
55
59
49
51
35
29
30
34
33
34
40
71
62
80
63
68
62
62
67
68
77
76
60
68
64
77
69
76
120
79
81
87
100
100
89
97
63
85
85
124
78
127
105
86
80
3
1
3
2
Desa
Semerap
Danau Kerinci
Tembilahan
Kerinci
Purwakarta
Bulukumba
Gambar 24 Lokasi pengambilan sampel populasi manggis di Indonesia.
81
Tabel 9 Karakteristik umum lokasi populasi manggis.
(Desa/kecamatan
Habitat/ketinggian
kabupaten/propinsi)
Semerap,
Keliling
Jumlah
sampel
Danau, Lahan kering, berbukit / ± 875 m dpl
25
Kerinci, Jambi
Pulau Palas, Tembilahan, Riau
Wanayasa,
Kiara
Rawa pasang surut, datar/ ± 16 m dpl
Pedes, Lahan kering, datar / ± 783 m dpl
21
33
Purwakarta, Jawa Barat
Bontomanai dan Bulo-bulo, Lahan kering, datar / ± 30 m dpl
27
Bulukumba, Sulawesi Selatan
m dpl = meter diatas permukaan laut
Ekstraksi, Purifikasi, Penentuan Kuantitas DNA dan Amplifikasi
Prosedur isolasi DNA, purifikasi, penentuan kuantitas DNA, amplifikasi
sama dengan kegiatan 2. Primer yang digunakan terdiri dari 8 primer RAPD dan 5
primer ISSR seperti tercantum pada Tabel 6.
Analisis Data
Data hasil amplifikasi diskor sebagai data biner yaitu pita-pita yang dimiliki
bersama diberi skor 1 (ada) dan jika tidak diberi skor 0. Keragaman genetik
dianalisis dengan program NTSYS pc 2.1 (Rohlf 2000). Struktur genetik populasi
dianalisa menggunakan program GenAlex 6.2 (Peakall & Smouse 2006). Pada
program ini data biner marka dominan RAPD dan ISSR dapat digunakan untuk
menghitung frekuensi alel melalui asumsi seperti marka kodominan sebagai
berikut:
(1) atau ada pita mewakili genotipe AA / Aa, (0) atau tidak ada pita mewakili
genotipe aa . Frekuensi alel A=. p = 1 – q , frekuensi alel a = q = 1 − p
Frekuensi genotip aa = q2
= frekuensi pita tidak ada
= 1− frekuensi pita ada
q = √(frekuensi pita tidak ada )
82
Diversitas genetik populasi ditentukan berdasarkan parameter berikut :
1. Jumlah alel berbeda (Na), nilainya >1.
Dihitung langsung berdasarkan proporsi alel berbeda. Mewakili semua lokus
dengan jumlah pita dengan frekuensi .>5%.
2. Jumlah alel efektif (Ne), Nilainya berkisar antara 1 sampai < n alel.
Mengukur perbandingan diversitas alel antar lokus dengan distribusi frekuensi
alel yang luas. Menyediakan pendugaan jumlah frekuensi alel yang sama pada
populasi ideal dengan homozigositas setara dengan populasi aktual. Dihitung
dengan rumus: Ne= 1 / (p2 + q2)
3. Persentase lokus polimorfik (PPL): Dihitung sebagai persentase lokus
polimorfik dari seluruh lokus.
4. Shannon’s information index (I): Nilainya > 0, dihitung berdasarkan frekuensi
pita ada (p) dan tidak ada (q) dengan rumus: I = -1* (p*ln (p)+q*ln(q)).
5. Variasi Antar populasi (AP) dihitung menggunakan AMOVA pada program
GenAlex 6.2
6. Variasi dalam populasi (WP) = dihitung menggunakan AMOVA (molecular
analysis of variance)
7. PhiPT (perbedaan genetik antara pasangan populasi). Nilainya berkisar antara
-1.0 sampai 1.0. Mewakili korelasi antara individu dalam populasi, terhadap
total (analog dengan Fst ). Dihitung sebagai proporsi varians antar populasi
(VAP), terhadap total varians (VWP) pada AMOVA:
8. Jarak genetik (GD) , nilainya > 0, dihitung dengan rumus
2nxy = jumlah karakter sama
n = jumlah total karakter biner.
9. Identitas genetik (Nei’s Genetic Identity/Nei I). Nilainya 0.0 – 1.0,
untuk menentukan keseragaman genetik dengan rumus:
dihitung
83
pix dan piy = frekuensi alel ke i dalam populasi x dan y. Untuk multipel lokus ,
Jxy, Jx dan Jy dihitung dengan menjumlahkan semua loki dan alel dan dibagi
dengan jumlah lokus.
Untuk menguji apakah perbedaan genetik antara pasangan populasi (PhiPT)
berkorelasi nyata dengan jarak genetik antar populasi geografi digunakan uji F
statistik (1%). Selanjutnya kladogram dikonstruksi menggunakan metode
UPGMA dengan koeffisien Jaccard pada program Free Tree dan TreeV32.
Hasil dan Pembahasan
Polimorfisme Marka RAPD dan ISSR pada Empat Populasi Manggis
Hasil analisis PCR dari semua primer yang digunakan berupa 132 pita DNA
yang terdiri dari 95 (72.2%) pita polimorfik dan 37 (28.8%) pita monomorfik.
Jumlah pita per primer antara 5–15 pita yang terdiri dari beberapa pita yang
umum dan pita spesifik dengan ukuran antara 250 sampai 2400 bp. Produk
amplifikasi dari 8 primer RAPD dan 5 primer ISSR disajikan pada Tabel 10 dan
bagian dari analisis PCR pada Lampiran 5, 6, 7, dan 8.
Tingkat polimorfisme gabungan marka RAPD dan ISSR pada penelitian ini
(72.2%), lebih tinggi daripada analisis ISSR pada kegiatan 1 yaitu sebesar 58%.
Hasil penelitian sebelumnya menggunakan 5 primer RAPD pada 23 sampel
manggis diperoleh 42% pita polimorfis (Mansyah et al. 2003b). Hasil ini hampir
sama dengan studi menggunakan marka ISSR pada tanaman apomiksis
Psammochloa villosa (Poaceae) dengan 70.52% pita polimorfik (Li & Ge 2001)
dan marka AFLP pada Rubus alceifolius dengan 78% pita polimorfik (Amsellem
et al. 2000). Ramage et al. (2004) melaporkan 42.45% pita polimorfis pada 37
aksesi manggis dengan menggunakan teknik Randomly Amplified DNA
Fingerprinting (RAF).
84
Tabel 10 Produk amplifikasi dari 8 primer RAPD dan 5 primer ISSR pada 106
aksesi manggis
No Primer
Jumlah
Polimorfik
Monomorfik
Keterangan
pita
1
SB13
7
4
3
RAPD
2
SB19
5
2
3
RAPD
3
OPH12
8
5
3
RAPD
4
OPH13
14
9
5
RAPD
5
OPH18
12
10
2
RAPD
6
P1
15
15
0
RAPD
7
P3
7
4
3
RAPD
8
P5
13
10
3
RAPD
9
PKBT2
6
4
2
ISSR
10
PKBT3
15
13
2
ISSR
11
PKBT 7
13
11
2
ISSR
12
PKBT10
9
2
7
ISSR
13
PKBT11
8
6
2
ISSR
Jumlah
132
95 (72.2%)
37 (28.8%)
Perbedaan polimorfisme ini dapat disebabkan oleh perbedaan primer dan
materi tanaman yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan kombinasi antara
RAPD dan ISSR dengan materi tanaman berbeda dan jumlah sampel yang lebih
banyak dari penelitian sebelumnya. Fomeck 2005 (dalam Wegscheider 2009)
telah melakukan penelitian variasi klonal didalam kultivar anggur dan
mendapatkan bahwa tingkat keluasan genetik tergantung pada marka yang
diaplikasikan dan tipe sampel tanaman. Retrotransposon-based marker systems,
MSAP (methyl-sensitive amplified length polymorphism) atau ISTR (InterRetrotransposon Amplified Polymorphism) menunjukkan level polimorfisme yang
tinggi daripada AFLP. Variasi klonal yang dipelajari pada klon Pinot sering tidak
terlihat tetapi berhasil pada klon yang lain. Klon Traminer menunjukkan
perbedaan variabilitas klonal dengan kultivar yang lain (Imazio et al. 2002).
Polimorfisme dan diversitas genetik pada tanaman apomiksis merupakan
hasil dari mutasi poin meliputi insersi, delesi, inversi, non disjunction,
85
rekombinasi somatik oleh aktivitas transposon, dan mutasi atau perubahan
kromosom pada genom maternal (Richards 1997). Transposable element
diketahui sebagai gen loncat (jumping gene) yang merupakan sekuen DNA
bersifat mobil yang dijumpai pada banyak organisme hidup, baik prokaryotik
maupun eukaryotik. Gen ini
mempunyai kemampuan untuk meloncat dan
merubah lokasinya di dalam genom, serta mengamplifikasi jumlah kopinya.
Keberadaan dan aktifitasnya dapat menyebabkan mutasi dan perubahan morfologi
(Capy et al. 1998 dalam Wegscheider 2009).
Alasan lain yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa penggunaan
mikrosatelit sering menghasilkan variasi yang lebih tinggi dari marka lainnya
(Paun & Horandl 2006). Inter-simple sequence repeat (ISSR) merupakan
semiarbitrary marker yang komplemen dengan mikrosatelit dengan tingkat
polimorfisme tinggi, dan menghasilkan marka dominan (Zietkiewicz et al. 1994;
Mishra et al. 2003). SSR merupakan bagian non fungsional pada kromosom
dengan kecepatan mutasi yang lebih tinggi daripada fragmen lainnya yaitu sekitar
2.5x10-5 sampai 1x10-2 mutasi per lokus per gamet per generasi, dengan variasi
tergantung pada lokus dan organisme (Hong et al. 2006).
Pada anggur klon Pinot Noir retrotransposon terdapat dimana-mana pada
genom tanaman dan menyebabkan mutasi (Wegscheider 2009). Tingginya tingkat
polimorfisme menunjukkan perbedaan sekuen retrotransposon. Retrotransposon
ini menginduksi mutasi dan mungkin bertanggung jawab terhadap variasi klonal
antar Pinot noir, yang menyebabkan perbedaan genetik dan bahkan fenotipik.
Dalam genom tanaman retrotransposon terdapat dalam jumlah kopi yang besar
dan bervariasi. Genom kecil seperti Arabidopsis thaliana (125 Mb), mengandung
sekitar 4-8% (Kapitonov & Jurka 1999), Oryza sativa sekitar 10% (Mao et al.
2000), Zea mays kira-kira 50% (Bennetzen 2000), dan genom besar seperti
Hordeum vulgäre (5000 Mb), mengandung 70% (Vicient et al. 1999, dalam
Bennetzen 2000). Bennetzen & Kellogg (1997) mengatakan bahwa ukuran genom
berkorelasi positif dengan jumlah kopi transposon dan retrotransposon memegang
peranan penting dalam sejarah evolusi tanaman. Diperkirakan manggis juga
memiliki kopi transposon yang tinggi karena memiliki level poliploidi yang
tinggi.
86
Adanya pita-pita spesifik seperti OPH-12 1400 bp, OPH-13/2400 bp, 950 bp
dan OPH-18/1800 bp, 950 bp dan 850 bp, PKBT-3/1000 bp, PKBT-7/775 bp, dan
PKBT-2 1900 bp yang berasosiasi dengan beberapa individu populasi Tembilahan
(Lampiran 6) merupakan hal yang menarik. Tiga aksesi dengan pola pita DNA
yang unik (WPK2, WPK8, dan WPK 11) juga dijumpai dalam populasi
Purwakarta (Lampiran 7).
Analisis Kluster
Koefisien kemiripan genetik dari 106 aksesi manggis berdasarkan
kombinasi analisis RAPD dan ISSR bervariasi antara 0.82-0.99 (Gambar 25).
Tingkat kemiripan genetik keempat populasi manggis ini lebih tinggi
dibandingkan dengan penelitian menggunakan analsis RAPD (Mansyah et al
2003b) yaitu sebesar 0.75-1.0, analysis RAPD (Sinaga et al. 2008) sebesar 0.71
– 1.00), dan AFLP (Sobir et al 2009) sebesar 46-77%. Hasil ini hampir sama
dengan Ramage et al. (2004) yang memperoleh koefisien kemiripan genetik
sebesar 0.86-0.98 pada 37 aksesi manggis. Perbedaan koefisien kemiripan ini
dapat diebabkan oleh perbedaan materi tanaman yang digunakan, jumlah sampel,
jumlah primer dan tingkat polimorfisme primer yang digunakan. Nilai korelasi
antar pita adalah sebesar r=0.91 (Lampiran 9), yang menunjukkan bahwa
pengelompokan berdasarkan pita DNA sangat baik).
Pada koefisien kemiripan 0.84 analisis kluster membagi aksesi kedalam tiga
kelompok yaitu: 1) Tiga aksesi unik dari Purwakarta (kluster A); 2). Empat belas
aksesi dari Tembilahan (cluster B); 3). dan 90 aksesi lainnya (kluster C). Di
dalam kluster C, terdapat empat subkluster yang terbentuk berdasarkan lokasi
geografi yaitu Tembilahan (subkluster C1), Purwakarta (subkluster C2), Kerinci
(subkluster C3), dan Bulukumba (subkluster C4). Beberapa variasi juga terlihat
didalam tiap subkluster. Koefisien kemiripan terendah atau variasi genetik
tertinggi terlihat pada populasi Purwakarta (0.82-0.99) dan Tembilahan (0.840.99). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya genotipe dengan pola pita DNA yang
unik dibandingkan dengan individu lainnya (Lampiran 5 dan 6). Populasi
Purwakarta dan Tembilahan masing-masing terbagi menjadi dua subkluster yaitu
A dan C2 serta B dan C1.
TMB1
TMB5
TMB2
TMB13
TMB7
TMB8
TMB9
TMB10
TMB3
TMB34
TMB35
TMB36
TMB19
TMB21
TMB14
TMB24
TMB25
TMB26
TMB28
TMB29
TMB22
KR M
KR1
KR2
KR3
KR4
KR5
KR12
KR13
KR7
KR10
KR11
KR14
KR15
KR22
KR24
KR25
KR17
KR26
KR18
KR19
KR23
KR28
KR29
KR30
KR21
BKU1B
BKU5
BKU8
BKU16
BKU17
BKU33
BKU34
BKU15
BKU22
BKU27
BKU2B
BKU13
BKU35
BKU32
BKU19
BKU31
BKU21
BKU30
BKU35
BKU9B
BKU23
BKU1B
BKU7
BKU14
BKU5B
BKU25B
BKU26B
WPK3
WPK4
WPK9
WPK10
WPK5
WPK20
WPK7
WG17
WPS15
WB1
WB2
WB3
WPK13
WPK15
WG1
WG10
WG12
WG18
WG9
WPS17
WG4
WG6
WPS14
WPS20
WG3
WG7
WPK24
WPS19
WPK18
WPK19
WPK2
WPK8
WPK11
0.82
0.84
0.86
0.88
0.90
0.92
0.94
87
B
Tembilahan
C1
Tembilahan
C3 Kerinci
C4.
Bulukumba
C
C2
Purwakarta
A.Purwakarta
0.96 0.98 1.0
Gambar 25 Dendrogram 106 aksesi manggis berdasarkan 5 primer RAPD and 11
primer ISSR.
88
Secara keseluruhan, ke empat populasi manggis tersebut menunjukkan
jumlah klonal yang sangat tinggi. Hampir semua tanaman sampel (98.2%)
merupakan individu klonal. Hubungan antar populasi menunjukkan individu
klonal tersebut mengelompok berdasarkan daerah geografinya. Urutan koefisien
kemiripan populasi adalah Kerinci > Bulukumba > Purwakarta > Tembilahan
(Ganbar 25). Tingginya kemiripan genetik (0.83-1.00) serta pengelompokan
berdasarkan geografi menunjukkan bahwa tanaman manggis dibudidayakan
secara tradisional melalui perbanyakan klonal dengan menggunakan tanaman
induk dari daerah setempat.
Diversitas klonal dapat terjadi karena mutasi menghasilkan klon satelit yang
mungkin terdiri dari mutasi normal (substitusi, penyusunan kembali dan
autosegregasi) (Richards 2003). Diversitas klonal yang tinggi juga dijumpai pada
Psammochloa villosa, tanaman klonal yang diperbanyak secara cepat melalui
rizoma. Pada tanaman ini dideteksi adanya 98 klon diantara 157 individu
menggunakan 12 primer ISSR (Li & Ge 2001).
Variasi genetik pada tanaman apomiksis berasosiasi dengan tingkat ploidi
(Bhat et al. 2005). Otto (2007) menyatakan bahwa poliploidisasi adalah
penambahan set kromosom lengkap pada genom dan merupakan sumber mutasi
yang paling besar. Poliploid mengalami lebih banyak deleterious mutasi daripada
diploid. Adams & Jonathan (2005) menyatakan bahwa poliploidi merupakan
proses yang lama dan berulang, menyebabkan kehilangan gen berbeda, perubahan
genome yang cepat, dan pengaruh ekstensif terhadap ekspresi gen. Variasi genetik
pada apomiktik poliploid obligat telah dilaporkan pada Taraxacum menggunakan
isozim esterase pada rata-rata 22% progeninya. Informasi ini menggambarkan
bahwa variasi yang muncul melalui apomiksis terjadi dengan kecepatan yang
lebih besar dari mutasi (Ford & Richards 1985; Hughes & Richards 1985).
Wendel (2000) menjelaskan bahwa pada beberapa poliploid yang baru
terbentuk genomnya tidak stabil dan mengalami penyusunan kembali secara cepat
(rapid reparterning). Mansyah et al. (2008) menyatakan adanya variasi genetik
yang cukup besar antara antara pohon induk manggis dan keturunannya.
Berdasarkan hasil Analisis RAPD pada satu tanaman induk manggis dengan 18
individu keturunannya hanya 4 individu (22%) yang identik dengan induknya.
89
Empat belas tanaman lainnya (78%) berbeda secara genetik. Paun & Hörandl
(2006) melaporkan variasi alel yang ekstensif melalui mutasi di dalam keturunan
aseksual hexaploid R. carpaticola, yang merupakan sumber penting variasi klonal.
Struktur Genetik Populasi Manggis
Hasil analisis parameter genetik pada empat populasi manggis (Tabel 11)
diperoleh jumlah alel per lokus (Na) antara 1.00 sampai 1.44, jumlah alel efektif
(Ne) 1.171 sampai 1.315, Shannon information indeks (I) 0.154 sampai 0.293.
Populasi Purwakarta menunjukkan perbedaan genetik tertinggi dan konsisten untuk
semua parameter (Na=1.320, Ne=1.322, dan I=0.276), diikuti oleh Tembilahan
untuk 3 parameter (Na=1.140, Ne=1.218) dan Bulukumba untuk 2 parameter
(Na=1.160, Ne=1.214), dan yang terendah populasi Kerinci Na=1.00, Ne=1.171,
I=0.154). Perbedaan genetik populasi manggis pada penelitian ini hampir sama
dengan tanaman anggrek apomiksis Zeuxine strateumatica dengan Na, Ne, dan I
masing-masing 1.493, 1.226 dan 0.215 (Sun & Wong 2001).
Tabel 11 Hasil pengamatan parameter genetik populasi G.mangostana L
menggunakan program GenAlex 6.2 .
Popupasi
N
Na
Ne
I
PPL (%)
Tembilahan
21
1.140
1.218
0.201
40
± 0.080
± 0032
± 0.027
1.000
1.171
0.154
± 0.078
± 0.031
± 0.025
1.160
1.214
0.201
± 0.086
± 0.032
± 0.026
1.440
1.315
0.293
± 0.078
± 0.034
± 0.027
1.185
1..229±
0.212
44.50
± 0.041
0,016
± 0.013
±6.70
Kerinci
Bulukumba
Purwakarta
Rata-rata
25
27
33
30
46
62
Keterangan : N: jumlah sampel, Na: jumlah alel, Ne: jumlah alel efektif, I:
Shannon Information Index, dan PPL: persentase lokus polimorfik
90
Persentase lokus polimorfik (PPL) tertinggi juga ditunjukkan oleh populasi
Purwakarta (62%.) diikuti oleh Bulukumba (46%), Tembilahan (40%) dan Kerinci
(30%) (Tabel 11). Variasi PPL di dalam dan antar populasi dengan marka RAPD
pada tanaman apomiktik juga dijumpai pada tujuh populasi Hypericum
perforatum L. Tiga populasi mempunyai tingkat keragaman yang rendah (PPL
47.6 - 61%) dan empat populasi lainnya lebih tinggi dengan PPL 69.5 – 85.4%
(Pilepic et al. 2008). Studi pada tiga spesies anggrek dengan sistem reproduksi
berbeda menunjukkan PPL yang berbeda. Spesies Zeuxine Strateumatica dengan
reproduksi apomiksis memiliki PPL terendah (49.25%), Z. gracilis (self
compatible) 53.25% dan Eulophia sinensis (menyerbuk silang) menunjukkan PPL
tertinggi yaitu 79.38% (Sun & Wong 2001).
AMOVA pada Tabel 12 menunjukkan bahwa manggis mempunyai struktur
populasi dengan perbedaan genetik di dalam populasi yang sama besarnya dengan
perbedaan genetik antar populasi yaitu sebesar 50%, yang berarti bahwa laju
perubahan genetik didalam populasi sama dengan antar populasi AMOVA pada
Psammochloa villosa, tanaman klonal yang diperbanyak secara cepat melalui
produksi rhizoma menunjukkan variasi genetik yang besar (87.46%) antar
populasi dan hanya 12.54% antar individu dalam populasi. Faktor utama yang
bertanggung jawab terhadap tingginya perbedaan antar populasi dan rendahnya
perbedaan dalam populasi karena tanaman ini mempunyai kapasitas untuk
reproduksi seksual melalui penyerbukan sendiri (Li & Ge 2001).
Tabel 12 Hasil analisis varians molekuler (AMOVA) populasi manggis.
Sumber keragaman
db
JK
JKT
Varians Persentase
Antar Populasi
3
441.481
147.160
5.400
50%
Dalam Populasi
102
544.425
5.337
5.337
50%
Total
105
985.906
10.737
100%
db = derajat bebas, JK= Jumlah Kuadrat, JKT= Jumlah Kuadrat Tengah
Struktur genetik yang membentuk populasi dipengaruhi terutama oleh
sistem reproduksinya. Richards (1997) menjelaskan bahwa tiga model dasar
91
reproduksi yaitu outbreeding, inbreeding dan apomixis mempunyai perbedaan
konsekuensi pada genetika populasi. Sebagai contoh penelitian pada tiga spesies
anggrek menunjukkan bahwa kolonisasi pada Z. strateumatica (apomiktik)
menghasilkan perbedaan antar populasinya yang sangat tinggi (0.924)
dibandingkan dengan Z. gracilis (self compatible) yaitu 0.539 dan E. Sinensis
(menyerbuk silang) sebesar 0.653. Sangat tingginya perbedaan genetik atau
kurangnya gene flow antar populasi Z. strateumatica konsisten dengan sifat
apomiktik dan kolonisasi. Apomixis mencegah rekombinasi seksual dalam
populasi dan gene flow melalui pollen antar populasi sehingga menghasilkan
variasi genetik yang rendah dalam populasi dan variasi genetik yang tinggi antar
populasi. Pola struktur populasi pada Z. strateumatica sesuai dengan teori sistem
reproduksi dan kolonisasi (Sun & Wong 2001).
Data pada Tabel 13 memberikan informasi bahwa walaupun variasi didalam
dan antar populasi sama besarnya, tiap pasangan populasi menunjukkan
perbedaan yang nyata. Pasangan nilai diversitas genetik antar populasi (PhiPT)
dan statistik ujinya (P_value) ditampilkan pada Tabel 13. Ke enam pasangan
populasi menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0.001), yang berarti bahwa
struktur genetik tiap populasi berbeda nyata. Pasangan populasi Kerinci dan
Bulukumba menunjukkan nilai perbedaan antar populasi terendah (PhiPT=0.320)
dan pasangan populasi Bulukumba dan Tembilahan mempunyai perbedaan
genetik tertinggi tertinggi (PhiPT= 0.491).
Tabel 13 Pasangan nilai PhiPT dan uji statistik antar populasi G. mangostana .
PhiPT/Fstatistik
Tembilahan
Tembilahan
Kerinci
Bulukumba
Purwakarta
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
Kerinci
0.448**
Bulukumba
0.491**
0.320**
Purwakarta
0.435**
0.457**
0.001
0.451**
Keterangan: Angka di bawah diagonal adalah nilai PhiPT dan di atas diagonal adalah
nilai statistik uji berdasarkan 999 permutasi. * P < 0.05 ** P< 0.01
92
Analisis Filogenetik
Pohon filogenetik pada Gambar 26 dapat dijelaskan melalui pasangan jarak
genetik dan identitas genetiknya (Tabel 14). Jarak genetik adalah ukuran yang
menyatakan kedekatan hubungan genetik antara dua populasi, sedangkan identitas
genetik merupakan nilai yang menyatakan tingkat kemiripan genetik antar dua
populasi. Jarak genetik (D) antar populasi manggis pada penelitian ini berkisar
antara 0.079 – 0.164 dengan identitas genetik yang tinggi (Nei I=0.849-0.924).
Jarak genetik antara populasi manggis Bulukumba dan Kerinci (D=0.079)
merupakan yang terdekat dengan identitas genetik tertinggi (Nei I=0.924)
Sebaliknya jarak genetik antara populasi Bulukumba dan Tembilahan merupakan
yang terjauh (D=0.164) dengan identitas genetik terendah (Nei I=0.849).
Populasi Purwakarta konsisten menunjukkan tingkat perbedaan genetik
yang terbesar untuk semua parameter genetik yang diamati dan terbagi menjadi
dua kelompok genetik berbeda yaitu kelompok A dan C2. Pemisahan kedua
kelompok ini berdasarkan perbedaan pola pita DNAnya (Lampiran 7). Sumber
keragaman genetik populasi Purwakarta dapat disebabkan oleh mutasi dan adanya
percampuran genetik oleh migrasi tanaman dari daerah lain. Tiga aksesi pada
kelompok A diduga berasal dari daerah lain yang berkontribusi dalam
meningkatkan variasi genetik dalam populasi. Kedua kelompok genetik tersebut
sulit dibedakan secara morfologi.
Populasi Tembilahan terpisah kedalam 2 kluster (B dan C1) berdasarkan
pita pita spesifik (Lampiran 6) dan karakter morfologinya (Gambar 7c, 9, 13c,
16b, 18c, 20c). Populasi Tembilahan pada kluster B lebih dekat jarak genetiknya
dengan tiga genotipe unik Purwakarta (Kluster A), sedangkan populasi
Tembilahan
pada kluster C1 lebih dekat dengan populasi Purwakarta
pada
kluster C2. Populasi Tembilahan memiliki genotipe yang unik tetapi perbedaan
genetiknya lebih rendah dari Purwakarta dan Bulukumba yang dapat dilihat dari
parameter genetiknya. Populasi Tembilahan memiliki jumlah alel efektif dan PPL
yang lebih rendah daripada Purwakarta (Tabel 11). Kondisi ini berkemungkinan
disebabkan karena genotipe unik tersebut merupakan hasil introduksi dari daerah
lain ke Tembilahan. Amsellem et al. (2000) menyatakan bahwa secara teoritis
adanya kolonisasi tanaman pada daerah baru akan mengurangi diversitas genetik
populasi awal dan perbedaan genetik antar populasi.
93
B. Tembilahan
C1 Tembilahan
C2. Purwakarta
A. Purwakarta
Kerinci (C4)
Bulukumba (C3)
Gambar 26 Pohon filogenetik populasi manggis Indonesia berdasarkan 8 primer
RAPD dan 5 primer ISSR. Kelompok dengan warna yang sama
berasal dari lokasi yang sama.
Perbedaan geografi kelihatannya tidak mencerminkan jarak genetik antar
populasi. Sebagai contoh populasi Kerinci dan Bulukumba yang dipisahkan oleh
pulau dan lautan mempunyai jarak genetik yang dekat (0.079), sedangkan
populasi Kerinci dan Tembilahan dengan jarak geografi yang dekat mempunyai
jarak genetik yang relatif lebih jauh (0.151). Tidak adanya hubungan antara jarak
94
geografi dengan jarak genetik ini juga terjadi pada Gentianella germanica, species
tanaman berumur pendek dan selfcompatible dari famili Gentianaceae (Fischer &
Matthies 1998).
Tabel 14. Pasangan jarak genetik Nei (D) dan identitas genetik (Nei I) pada 4
populasi manggis
Tembilahan
Tembilahan
Kerinci
Bulukumba
Purwakarta
0.151
0.164
0.148
0.079
0.137
Kerinci
0.860
Bulukumba
0.849
0.924
Purwakarta
0.862
0.872
0.132
0.876
D (diatas diagonal) dan Nei I (dibawah diagonal)
Kladogram pada Gambar 27 menjelaskan hubungan antara populasi
berdasarkan sejarah evolusinya. Kladogram berakar pada tiga genotipe unik dari
Purwakarta (Kelompok A), diikuti oleh kelompok Tembilahan (grup B),
Tembilahan (grup C1), Purwakarta (C2), Kerinci (C3) dan Bulukumba (C4).
Konsisten dengan analisis kluster (Gambar 28) dan filogenetik (Gambar 29)
kladogram juga menghasilkan tiga kluster utama. Dua kluster utama (A dan B)
mewakili daerah dengan individu yang sangat berbeda secara genetik dengan
daerah lainnya. Kluster ke tiga (grup C) pada kladogram terdiri dari individu tiap
populasi yang mengelompok bersama sama berdasarkan daerah geografinya.
Kladogram juga memisahkan populasi Purwakarta dan Tembilahan menjadi
dua kelompok genetik berbeda. Ke dua kelompok dalam lokasi Purwakarta dan
Tembilahan tersebut tidak dipisahkan oleh habitat yang nyata dengan jarak sampel
5 m sampai 1 km, tetapi dipisahkan oleh pemilik yang berbeda. Keragaman
genetik serupa juga dijumpai pada klon ubi kayu seperti yang dilaporkan oleh
Elias et al. 2000). Petani menemukan varietas baru melalui pertukaran material
tanaman di dalam komunitas atau dengan desa lainnya. Penemuan ini
membuktikan bahwa variabilitas genetik di dalam dan antar populasi terjadi
melalui introduksi, yang ditunjukkan oleh diversitas morfologi dan molekuler.
95
BKU1B
BKU32
BKU13
BKU2B
BKU5
BKU27
BKU34
BKU26
BKU15
BKU9
BKU34
BKU33
BKU16
BKU17
BKU28
BKU35
BKU19
BKU31
BKU23
BKU9B
BKU26
BKU21
BKU30
BKU14
BKU7
BKU5B
BKU25B
BKU26B
KR 26
KR13
KR7
KR10
KR11
KR12
KR5
KR17
KR22
KR14
KR15
KR24
KR25
KR4
KR1
KRM
KR2
KR3
KR21
KR23
KR18
KR19
KR28
KR29
KR30
WPS20
WPS17
WG8
WG9
WG1
WG10
WPS12
WG4
WG5
WPS14
WPK13
WPK25
WG3
WPG7
WPK24
WPS19
WPK15
WPK20
WPK5
WPK17
WPK7
WB3
WB1
WB2
WP18
WPK19
WPK10
WPK3
WPK4
WPK9
TMB22
TMB14
TMB24
TMB25
TMB29
TMB28
TMB26
TMB21
TMB19
TMB3
TMN10
TMB9
TMB7
TMB8
TMB13
TMB2
TMB1
TMB5
TMB36
TMB34
TMB35
WPK11
WPK2
WPK8
C4
BULUKUMBA
C3
KERINCI
C
C2.
PURWAKARTA
C1
TEMBILAHAN
B.TEMBILAHAN
A.PURWAKARTA
Gambar 27 Kladogram populasi manggis yang dikonstruksi dari 8 primer RAPD
dan 5 primer ISSR.
96
Kasus ini juga terjadi pada spesies tanaman berkayu terutama yang
menyerbuk sendiri atau apomiksis yang diintroduksi oleh manusia ke daerah baru
(Husband & Barrett 1991). Diversitas genetik melalui seed dispersal telah
dilaporkan pada apomiktik Cratageous douglasii sehingga terjadi percampuran
gene pool antara populasi dan meningkatkan diversitas lokal (Van Dijk 2003).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola struktur genetik populasi
berhubungan dengan sejarah gene flow oleh penyebaran materi perbanyakan
tanaman karena aktifitas manusia (Elias et al. 2000).
Berdasarkan pohon filogenetik dan kladogram dapat disimpulkan bahwa
pembentukan populasi manggis diawali dari Tembilahan, kemudian menyebar ke
Purwakarta, Kerinci dan Bulukumba. Secara geografi populasi tersebut dipisahkan
oleh pulau dan lautan melintasi garis Wallaceae, namun tetap memungkinkan
terjadinya pertukaran material tanaman dengan perantaraan manusia. Studi
filogenetik menggunakan ITS (internal transcribed spacer region) menunjukkan
bahwa kebanyakan spesies Garcinia dari Timur garis Wallace mengelompok di
dalam spesies dari Barat. Hal ini mencerminkan penyebaran spesies melintasi
daerah biogeografi dari barat ke Timur ketika dataran dataran Sahul dan Sunda
bersatu, kira-kira 20 juta tahun yang lalu. Hipotesis ini dikuatkan oleh perkiraan
penyebaran aksesi G. rigida di Timur garis Wallace' dari nenek moyangnya di
sebelah Barat garis Wallaceae kira- kira 2l.58±2.90 juta tahun lalu (Nazre 2006)
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa spesies Garcinia
mangostana yang relatif sukar dibedakan tetap mempunyai struktur genetik
tersendiri. Hasil yang sama diketahui pada spesies tanaman endemik Astragalus
bibullatus (Fabaceae) di Tennessee Georgia. Tanaman ini mirip secara genetik
yang ditunjukkan oleh identitas genetik yang tinggi (0.976 – 0.991), variasi antar
populasi 10%, dan 28% marka polimorfik yang terbagi menjadi 2 atau 3
kelompok genetik (Baskauf & Burke 2009).
Selain mengungkapkan stuktur genetik tanaman manggis, penelitian ini juga
memberikan informasi adanya beberapa klon lokal yang merupakan sumber
keragaman genetik tanaman manggis. Keberadaan klon-klon ini merupakan
interaksi antar manusia, faktor ekologi, dan faktor budidaya, seperti yang terjadi
pada cassava (Elias et al. 2000). Purwakarta dan Tembilahan merupakan pusat
97
keragaman sumberdaya genetik manggis yang penting di Indonesia. Informasi ini
dapat digunakan untuk menyusun strategi penanganan plasma nutfah manggis dan
konservasinya.
Kesimpulan
1 Populasi manggis Indonesia mempunyai koefisien kemiripan genetik sebesar
0.82-1.00 dan terdiri dari tiga kelompok genetik yang terpisah berdasarkan
lokasi geografi.
2 Struktur genetik populasi manggis menunjukkan bahwa perbedaan genetik
antar populasi sama dengan perbedaan genetik dalam populasi yaitu sebesar
sebesar 50% yang merupakan ciri tanaman klonal dan apomiktik.
3 Semua parameter genetik populasi (jumlah alel, Shannon Information index,
dan jumlah lokus polimorfik) menunjukkan bahwa populasi Purwakarta
mempunyai perbedaan genetik tertinggi dan yang terendah pada populasi
Kerinci.
4 Hubungan antar populasi menunjukkan bahwa pasangan populasi Tembilahan
dan Bulukumba mempunyai perbedaan genetik terbesar dan identitas genetik
terendah. Sebaliknya pasangan populasi Kerinci dan Bulukumba menunjukkan
perbedaan genetik terkecil dan identitas genetik tertinggi.
5 Populasi Purwakarta dan Tembilahan masing-masing terbagi menjadi dua
kelompok genetik berbeda yang menunjukkan kedua daerah tersebut memiliki
klon lokal yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
6 Pembentukan populasi manggis diawali dari wilayah Tembilahan, kemudian
menyebar ke Purwakarta, Kerinci dan Bulukumba.
Daftar Pustaka
Adams K, Jonathan FW. 2005. Polyploidy and genome evolution in plants. Curr.
Opinion Plant Biol. 8: 135–141.
Amsellem L, Noyer JL, Bourgeois TL Hossaert-Mickey M. 2003. Comparison of
genetic diversity of the invasive weed Rubus alceifolius Poir. (Rosaceae) in
its native range and in areas of introduction, using amplified fragment
length polymorphism (AFLP) markers. Molec. Ecol. 9: 443–455
98
Baskauf CJ, Burke JM. 2009. Population Genetics of Astragalus bibullatus
(Fabaceae) Using AFLPs. J. Heredity 100(4):424–431
Bennetzen JL. 2000. Transposable element contributions to plant gene and
genome evolution. Plant Mol. Biol. 42: 251-269.
Bennetzen JL. Kellogg EA. 1997. Do plants have a one-way ticket to genomic
obesity? Plant Cell. 9: 1509-1514.
Bhat V, Dwivedi KK, Khurana JP, Sopory SK. 2005. Apomixis: An enigma with
potential applications. Curr. Sci. 89(11): 1879-1893.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Pertanian Indonesia 2009. Jakarta.
Ellstrand NC, Roose ML 1987. Patterns of genotypic diversity in clonal plant
species. A. J. Bot. 74: 121–131.
Ellias M, Panaud O, Robert T. 2000. Assessment of genetic variability in a
traditional cassava (Manihot esculenta Crantz) farming system using AFLP
markers. Heredity 85: 219-230.
Fischer M, Matthies D. 1998. RAPD variation in relation to population size and
plant fitness in the rare Gentianella Germanica (Gentianaceae) Amer. J.
Bot. 85(6): 811–819.
Ford H, Richards AJ. 1985. Isozyme variation within and between Taraxacum
agamospecies in a single locality. Heredity 55:289–291.
Gonzalez A, Wong A, Delgado-Salinas A, Papa R, Gepts P. 2005. Assessment of
Inter simple sequence repeat markers to differentiate sympatric wild and
domesticated Populations of Common Bean. Crop Sci. 45: 606–615.
Holsinger KE, Mason-Gamer RJ. 1996. Hierarchical analysis of nucleotide
diversity in geographically structured populations. Genetics 142 629-639
Hong X, Scofield DG, Lynch M. 2006. Intron size, abundance, and distribution
within untranslated regions of genes. Mol. Biol. Evol. 23:2392-404.
Hughes J, Richards AJ. 1985. Isozyme inheritance in diploid Taraxacum Hybrids.
Heredity 54:245–249.
Husband BC, Barrett SCH. 1991. Colonisation history and population genetic
structure of Eichornia paniculata in Jamaica. Heredity. 66: 287–296.
Kapitonov VV, Jurka J. 1999. Molecular paleontology of transposable elements
from Arabidopsis thaliana. Genetica. 107: 27-37.
99
Li A, Ge S. 2001. Genetic variation and clonal diversity of Psammochloa villosa
(Poaceae) detected by ISSR Markers. Ann. Bot. 87: 585-590.
Lim AL. 1984. The embryology of Garcinia mangostana L. (Clusicaeae). Garden
Bulletin Singapore. 37: 93–103.
Liu B, Wendel JF. 2003. Epigenetic phenomena and the evolution of plant
allopolyploids. Mol. Phylogenet. Evol. 29:365-379.
Mackanzie S. 2005. The Mitochondrial Genome of Higher Plants: a target for
natural adaptation. p: 78-88. In: Robert J. Henry (Ed): Plant Diversity and
Evolution: Genotypic and Phenotypic Variation in Higher Plants. CABI
Publishing, Cambridge, USA.
Mansyah E, Baihaki A, Setiamihardja R, Darsa JS, Sobir, Poerwanto R (2003b).
Analisis variabilitas genetik manggis (Garcinia mangostana L.) di Jawa dan
Sumatera Barat menggunakan teknik RAPD. Zuriat 4(1): 35-44.
Mansyah E, Prasetyo BW, Jawal MAS, Rusdianto U, Muas I. 2005. Manggis unik
dari Tembilahan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 27(2): -8.
Mansyah E, Santoso PJ, Muas I, Sobir. 2008. Evaluation of genetic diversity
between and within mangosteen (Garcinia mangostana) trees. 4th
International Symposium on Tropical and Subtropical Fruits. November 3–
7. Bogor, West Java. Indonesia (In press)
Mao L, Wood TC, Yu Y, Budiman MA, Tomkins J., Woo S, Sasinowski M.,
Presting G, Frisch D, Goff S, Dean RA, Wing RA. 2000. Rice transposable
elements: a survey of 73,000 sequence-tagged-connectors. Genome Res. 10:
982-990.
Mishra PK, Fox RTV, Culham A. 2003. Inter-simple sequence repeat and
aggressiveness analyses revealed high genetic diversity, recombination and
long-range dispersal in Fusarium culmorum. School of Plant Sciences, The
University of Reading, Whiteknights, Reading RG6 6AS, UK..
Oostrum HV,. Sterk AA, Wijsman HJW. 1985. Genetic variation in
agamospermous microspecies of Taraxacum sect. Erythrosperma and sect
obliqua. Heredity 55:223–228.
Otto SP. 2007. The evolutionary Consequences of Polyploidy. Cell. 131: 452-462
Paun O. Ho¨randl E. 2006. Evolution of Hypervariable Microsatellites in
Apomictic Polyploid Lineages of Ranunculus carpaticola: Directional Bias
at Dinucleotide Loci. Genetics 174: 387–398.
Pilepic KH, Males Z, Plazibat M. 2008. Population structure in Hypericum
perforatum. L., a hybrid apomictic plant species of medicinal importance,
100
was studied using RAPD markers. Periodicum Biologorum 110 (4): 367–
371.
Ramage CM, Sando L, Peace CP, Caroll BJ, Drew RA. 2004. Genetic diversity
revealed in the apomictic fruit species Garcinia mangostana L.
(mangosteen). Euphytica. 136(1):1-10.
Richards AJ. 1997. Plant Breeding Systems. Second Edition. Departemen of
Agricultural and Environtmental Science University of Newcastle Upon
Tyne. Chapman and Hall. London. 529 pp.
Richards AJ. 2003. Apomixis in flowering plants: an overview. Phil. Trans. R.
Soc. Lond. B (2003) 358: 1085–1093.
Sabar. 2005. Kebijakan Departemen Perdagangan di bidang ekspor buah-buahan.
Temu Pelaku Agribisnis Mangga dan Manggis. Bandung, 29-30 November
2005. 9 hal.
Sinaga S, Sobir, Poerwanto, Aswidinnoor H, Duryadi D. 2007a. Genetic
variability analysis on apomictic mangosteen (Garcinia mangostana) in
Indonesian and its close related species by using RAPD markers.
Floribunda 3(4): 77 – 83.
Sinaga S. 2008. Analisis Keanekaragaman genetik dan fenotip manggis (Garcinia
mangostana L.) dan kerabat dekatnya. Disertasi. Sekolah Pasca
sarjana.Institut Pertanian Bogor.
Sulassih. 2011. Analisis hubungan kekerabatan manggis (Garcinia mangostana l.
) menggunakan penanda morfologi, dan molekuler (ISSR) terhadap kerabat
liarnya. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 75 hal.
Sun M, Wong KC. 2001. Genetic structure of three orchid species with
constrating breeding system using RAPD and allozyme markers. Amer. J.
Bot. 88(12): 2180–2188.
Van Der Hulst RGM, Mes THM, Falque M, Stam P, Den Nijs JCM, Bachmann K
2003. Genetic structure of a population sample of apomictic dandelions.
Heredity 90: 326–335
van Dijk PJ. 2003. Ecological and evolutionary opportunities of apomixis:
insights from Taraxacum and Chondrilla Phil. Trans. R. Soc. Lond. B 358,
1113–1121.
Wegscheider E, Benjak A, Forneck A. 2009. Clonal variation in Pinot noir
revealed by S-SAP involving universal retrotransposon-based sequences
Am. J. Enol. Vitic. 60:1:104-109.
Wendel JF. 2000. Genome evolution in polyploids. Plant. Mol. Biol. 42: 225-249.
101
Wright SI, Brandon SG. 2005. Molecular Population Genetics and the Search for
Adaptive Evolution in Plants. Mol. Biol. Evol. 22(3):506–519.
Zietkiewicz E, Rafalski A, Labuda D. 1994. Genome finger printing by Simple
Sequence Repeats (SSR)-anchored polymerase chain reaction amplification.
Genomics 20: 176-183.
Download