perubahan sosial dan pengaruhnya terhadap

advertisement
ASPEK SOSIO-POLITIK DALAM KONSTRUKSI HUKUM
IMAM MALIK BIN ANAS
Juandi
STIH Pertiba Pangkalpinang
E-mail: [email protected]
Abstrak
Teori hukum yang menjadi ciri khas dalam mazhab Maliki adalah penerimaan ijma‟ ahli
Madinah sebagai sumber hukum. Penerimaan ini membuktikan bahwa “sunnah” yang
berkembang dimasyarakat Madinah tidak bisa diabaikan sama sekali dalam praktek hukum.
Selain alasan normative, alasan sosio-politik juga mempengaruhi keputusan Imam Malik
dalam mengukuhkan otoritas ijma‟ ahli Madinah. Tulisan ini memaparkan pentingnya ijma‟
ahli Madinah sebagai sumber hukum di kalangan mazhab Maliki. Pembahasan ini penting
dalam rangka mendapat gambaran yang jelas mengenai latarbelakang historis sosio-politik
yang berpengaruh pada pembentukan sunnah sebagai sumber hukum dalam madzhab Imam
Malik. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis. Dari
hasil pembahasan diperoleh simpulan bahwa Salah satu alasan Imam Malik memegang
Sunnah penduduk Madinah adalah karena alasan politis, yaitu perpindahan kekuasaan Islam
ke luar Madinah yang cenderung melemahkan posisi penting Madinah secara politik dan
memberi perubahan secara sosial. Sebagai upaya mengukuhkan peran Madinah, imam Malik
menjadikan sunnah Nabi dan „Amal ahl al-Madīnah sebagai landasan hukum yang otoritatif.
Kata kunci : Sunnah, Ijma‟ Ahli Madinah, Sumber Hukum Islam
Abstract
The theory of law that became the hallmark of the Maliki is acceptance of the expert consensus
Medina as a source of law. This admission proves that the "sunnah" that developed in
Medina society could not be ignored altogether in the practice of law. In addition to the
normative reasons, socio-political reasons also affect decisions Malik in consolidating the
authority of Madinah expert consensus. This paper lays out the importance of the consensus
of experts as a source of law in the Medina among Maliki. Discussing this is important in
order to get a clear picture of the historical background of the socio-political influence on the
formation of the sunnah as the source of law in the madhhab of Imam Malik. The approach
used in the writing of this is historical approach. From the results of the deliberations, the
writer obtained conclusions that one of reasons Malik holds the Sunnah of the inhabitants of
Medina is due to political reasons, i.e. the transfer of the power of Islam to the outside of the
Medina that tends to undermine the important position of Medina politically and gives social
changes. To confirme the role of the Medina, imam Malik makes the sunnah and the ' Amal
ahl al-Or as an authoritative legal basis.
Keywords : Sunnah, consensus of experts in Islamic Law, the sources of the Medina
Pendahuluan
Setiap produk pemikiran apapun diyakini dipengaruh oleh lingkungan yang
mengitarinya. Tidak jarang lingkup yang mengitari suatu pemikiran berupa imbas
dari harmonisasi, ketegangan, ataupun hegemoni sistem sosial yang sudah berlaku,
-1-
tidak terkecuali produk hukum. Produk-produk ini senantiasa mengalami
perubahan beriringan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Karena,
bagaimanapun, kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum dalam setiap masa
mengalami pergeseran seiring dengan meningkatnya kebutuhannya dan kemajuankemajuan teknologi. Dalam konteks hukum Islam, tidak bisa dinafikan bahwa ia
juga mengalami perubahan sebagaimana adigium dalam hukum Islam “berubahnya
hukum karena berubah masa dan tempat” bahkan sekarang ditambah dengan
adanya perubahan metodologi sebagai perangkat pengetahuan. Wajar bila Abid alJabiri menyatakan bahwa terdapat relasi yang signifikan pada titik tertentu antara
suatu konstruk pemikiran dengan realitas sosial, sebagai respon dan dialektika
pemikiran terhdap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang
dimasyarakat.1
Dialektika pemikiran dengan fenomena sosial dalam kadar tertentu tidak
dinampakkan secara jelas, namun dalam batasan-batasan tertentu sangat nampak.
Bagi ulama-ulama klasik, mislanya, persoalan politik jarang dinampakkan sebagai
latar belakang menentukan suatu hukum, walaupun kepentingan politik sangat
nampak mengitarinya. Begitu juga dengan peristiwa-peeristiwa sosial yang
terkadang menjadi landasan perubahan suatu hukum, namun tidak dinyatakan
secara langsung. Karena keunikan hukum Islam adalah selalau melandasi aturannya
pada teks suci. Bahkan beberapa pengkaji hukum Islam menyatakan bahwa “hukum
Islam adalah ikhtisar pemikiran hukum Islam, manifestasi paling tipikal dari cara
hidup muslim, dan merupakan sari pati Islam itu sendiri.”2 Dari sini, kita dapat
melihat begitu sulit menentukan bagian-bagian hukum yang benar-benar berdiri
sendiri sebagai konstruk sosial yang terjadi pada masanya. Namun, setidaktidaknya, munculnya wacana hukum Islam antara yang berubah dan yang tetap
adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Benarlah apa yang dikemukakan
Coulsen bahwa adanya perubahan dalam substansi hukum keluaraga, pada
beberapa dekade terakhir ini, mempunyai arti sosial yang sangat dalam.3
1 Muhammad Abed al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-Arabi al-Mu‟aṣir (Beirut: Markaz Dirasah alWihdah al-Arabiyyah, 1989), h. 13
2 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo (Yogyakarta: Islamika,
2003), h. 1; Samsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam Jurnal Profetika,
Vol. 4, No.1, Januari 2002, h. 123.
3 Noel J Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila,
2001), h.. 120
-2-
Sebagaimana produk hukum, sumber-sumber hukum dalam teori hukum
Islam juga tidak jarang mengalami perkembangan. Misalnya, sumber hukum primer
al-Qur‟an dan hadis pada masa sahabat diterima apa adanya, sesuai dengan makna
literel,4 namun pada masa berikutnya kedua sumber hukum tersebut masih harus
dikembangkan dengan sumeber hukum semisal ijma, qiyas, istihsan, dan
sebagainya.5 Setidaknya hal ini menujukan bahwa legitimasi sumber hukum pun
tidak diterima jadi (taken for granted) , melainkan mengalami proses penerimaan.
Kecenderungan penerimaan ahli hukum Islam (fuqaha) terhadap sumber
hukum tertentu tidaklah hanya kebetulan belaka. Ada sejumlah landasan berfikir
untuk menerima atau mengolah suatu sumber hukum. Begitu pula ketika Imam
Malik bin Anas menerima pendapat ahli Madinah sebagai sumber hukum Islam
yang sangat diperhitungkan, tentunya ia memiliki landasan yang medasar. Bukan
hanya sekedar landasan normatif, sebagaimana keterpengaruan seseorang terhadap
lingkungannya, alasan penerimaan ini dimungkinkan juga karena faktor sosial dan
politik yang berkembang. Dengan demikian, tulisan ini melihat alasan sosial dan
politik apa yang mendorong imam Malik menjadikan „Amal ahl al-Madīnah sebagai
sumber hukum yang urgen.
Pembahasan
A. Lingkup Sosial dan Politik pada Masa Imam Anas bin Malik: Relasi Ketetapan
Sumber Hukum versus Realitas Sosial–Politik
Malik bin Anas bin Abu „Amir al-Asbahi kemungkinan besar lahir tahun 93
H di Madinah.6 Kakeknya adalah seorang tabi‟in dan eyangnya adalah sahabat Nabi.
Keluarganya berasal dari Yaman, dan pada masa hidup Nabi, mereka menetap di
4 Pengecualian mislanya apa yang telah dilakukan Umar bin Khatab dalam menyelesaikan
beberapa kasus yang cenderung keluar dari mainstrim wahyu.
5 Analogy perjelasan munculnya sumber-sumber hokum setelah al-Qur‟an dikemukakan
Fazlur Rahman dengan menggunakan logika Aristoteles. Lihat: Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa:
Ahsin Mohammad, cet ke-2 (Bandung: Pustaka, 1994), h. 90
6 Dikatakan mungkin karena terdapat perbedaan riwayat tahun kelahiran Imam Mālik ini.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Imam Mālik lahir pada tahun 90 H, dan ada yang mengatakan
tahun 93 H, 94 H, 95 H, 96 H atau 97 H. tetapi menurut Abu Zahrah pendapat yang mengatakan bahwa
beliau lahir pada tahun 93 H merupakan riwayat yang paling kuat (arjah). Muhammad Abu Zahrah,
Tārīkh al-Mażāhib al-Islamīyah (Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.), II: 176; idem, Mālik Hayātuhu wa „Asruhu,
Ārāuhu wa Fiqhuh (Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.), h. 22. Bandingkan dengan Ahmad Syurbasi, Biografi
Empat Imam Mazhab, alih bahasa Abdul Majid Alimin, cet. II (Solo: Media Insani Press, 2006), h. 125-126;
dan Abū Yazīd Abū Zaid al-„Ajamī, Al-Fuqahā' Buhūś al-'Aqīdah al-Islāmiyah: al-Mauqif wa al-Manhaj
(Mesir: Dār al-Hidāyah, t.t.), h. 128-129
-3-
Madinah.7 Malik dalam mempelajari hadis tidak melakukan pengembaraan ke
pelosok negara Islam. Hanya saja keuntungannya adalah banyak belajar hadis dari
para ulama dari penjuru wilayah Islam yang berkunjung ke Madinah. Ia dikenal
sangat ahli dalam bidang hadis dan fikih. Tentang penguasaannya dalam hadis ia
sendiri pernah mengatakan: “aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000
hadis”. Menurut banyak kesaksian para ulama semasanya maupun setelahnya
kepribadian dan keahliannnya dalam bidang hadis sudah tidak dapat diragukan
lagi.8
Menurut Azami, hubungan imam Malik secara politik dengan penguasa
sangat baik, sekalipun ia tidak menyokong mereka. Bagi imam Malik para penguasa
hanya membutuhkan nasihat.9 Dalam beberapa riwayat tentang kehidupannya, ia
pernah menolak permintaan Abu Ja‟far untuk mengajar “putra Mahkota” dan ia
meminta agar putra mahkota yang mendatangkan ilmu. Dalam relasi dengan
penguasa, pengalaman tragis yang dialaminya adalah mengalami penyiksaan fisik
atas permintaan gubernur Madinah, Ja‟far bin Sulayman, karena salah satu fatwa
beliau menentang pemerintah.10 Dalam riwayat lain dikatakan bahwa selama masa
tiga kahlifah, Ja‟far al-Mansur (131-163 H), al-Mahdi (163-173), dan Harun ar-Rasyid
(173-197 H), karya al-Muwatta‟-nya diminta untuk dijadikan kitab resmi negara,
namun beliau tolak. Melihat beberapa tragedi yang menimpa imam Malik dalam
hubungannya dengan penguasa, kita dapat menolak pernyataan Azami. Hubungan
imam Malik dengan penguasa dalam tragedi politik yang mengakibatkan dirinya
mengalami penyiksaan fisik adalah permasalahan politik. Dalam satu riwayat
dikatakan bahwa ketika ditanya mengenai sumpah orang yang dipaksa, ia
mengatakan: “sumpah itu tidak berarti”. Lalu hal ini dilaporkan kepada Ja‟far bin
Sulaiman, penguasa Madinah, paman Khalifah al-Mansur (136-148 H). Implikasi dari
pendapat hukum imam Malik ini adalah bahwa pembai‟atan kepada Ja‟far tidak
sah.11
Dari data di atas kita dapat melacak bahwa imam Malik hidup pada masa
transisi dari kekhalifaan Umayyah ke kekhalifaan Abbasiyyah. Pada periode
Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami (sejarah Pembinaan Hukum Islam), alih Bahasa:
Mohammad Zuhri (Indonesia: Daarul Ihya, tt.), h. 419
8 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa Husein
Muhammad (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm 79-80
9 Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, alih bahasa: A.Yamin (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1992), h. 132
10 Ibid., h. 133
11 al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh..., h. 81; Syurbasi, Biografi Empat Imam.., h. 156
7
-4-
Umayyah dan awal periode Abbasiyyah ini terdapat dua bentuk keagamaan Islam
dan perkembangan kultural: bentuk pertama adalah kalangan istana, dan bentuk
kedua adalah komunitas perkotaan yang heterogen. Yang disebutkan pertama, Islam
mengekspresikan identitas politik khalifah dan elit politik. Pada sisi lain, Islam
berkembang sebagai ekspresi keagamaan, moral, dan nilai-nilai sosial masyarakat
Muslim perkotaan.12 Melihat dua arus bentuk keagamaan ini, dapat dimaklumi
mengapa imam Malik harus bersikap “kaku” terhadap sumber hukum yang menjadi
rujukannya.
Di sisi lain, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa sekalipun wilayah
Madinah merupakan wilayah terpenting dalam sejarah Islam, kekuasaan Islam tidak
lagi di Madinah. Artinya secara perpolitikan Madinah sudah tidak diperhitungkan
lagi. Otoritas politik bergeser dari Madinah ke Kuffah kemudian ke Damaskus dan
kemudian belakangan berkembang ke Bagdad. Peran Madinah dalam hal ini hanya
berada pada bidang pengetahuan keislaman. Dengan adanya pergeseran kekuasaan
atau pusat pemerintahan ini, banyak atau sedikit, tentunya, berpengaruh juga pada
perubahan struktur dan perubahan masyarakat. Dan perubahan stuktur dan
perubahan masyarakat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum yang dibuat.
Hal ini dapat dilihat, misalnya bagaimana tingkat urbanisasi Kuffah dan Baqdad
telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat hukum Islam Hanafi yang
rasionalis. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa Bagdad jauh dari pusat
Hadis.13 Contoh lain adalah bagaimana perbedaan lingkungan geografis Basrah dan
Mesir telah mendorong qaul qadim dan qaul jadid bagi imam asy-Syafi‟i. Dalam
kontek Indonesia dapat dicontohkan bagaimana fatwa-fatwa keagamaan Majelis
Ulama Indonesia tahun 1975-1988, yang merupakan lembaga bentukan pemerintah,
telah melahirkan fatwa-fatwa yang beragam. Dari 22 fatwa yang keluar dari tahun
tersebut sebanyak 8 fatwa yang menunjukan adanya pengaruh kuat dari pemerintah,
11 yang bersifat netral, dan hanya 3 fatwa yang menentang kebijakan pemerintah.14
Walaupun disebutkan bahwa MUI berusaha untuk netral dalam membuat
keputusan hukum, secara grafik menunjukan bahwa fatwa yang mendukung
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, alih bahasa: Ghufron A.
Mas‟adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 124
13 Muhammad Atho‟ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach
(Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003), h. 95; idem, Membaca Gelombang
Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 107
14 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Setudi tentang
Pemikiran Hukum di Indonesia, 1975-1988, edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), h. 142-143; idem,
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 253
12
-5-
kebijakan pemerintah lebih banyak dibandingkan dengan fatwa yang melawan
kebijakan pemerintah. Dengan demikian, adanya kedekatan dengan kekuasaan atau
pemerintahan dan adanya perubahan struktur sosial sangat berpengaruh pada
keputusan hukum.
Dengan mempertimbangkan kenyataan di atas dan melihat kondisi
perpolitikan Madinah pada saat itu, wajar bila imam Malik tetap mempertahankan
eksistensi ulama Madinah bahkan masyarakat Madinah sebagai salah satu sumber
hukum Islam. Pendapat imam Malik ini adalah menjadikan konsensus ahli Madinah
sebagai bagian dari teori penemuan hukum dan menjadikan wilayah geografis
tertentu memiliki kapasitas yang bersifat melekat untuk memberikan validitas suatu
hukum dan otoritas pada produk-produk ijtihad. Tentu saja prinsip penemuan
hukum
seperti
bagaimanapun,
ini
tidak
kenyataan
dapat
ini
disetujui
menunjukan
oleh
ulama
bahwa
lainnya.15
imam
Namun,
Malik
ingin
mempertahankan eksistensi wilayah Islam yang terpenting dalam sejarah peradaban
Islam di satu sisi dan sekaligus mempertahankan eksistensi ulama Madinah yang
cenderung “terpinggirkan” setelah beralihnya kekuasaan Islam ke wilayah Kufah
dan Bagdad di sisi lain. Hanya dengan cara inilah nampaknya, secara politik hukum,
eksistensi itu dapat dipertahankan dengan baik. Dalam satu kutipan dikatakan
bahwa Syu‟aib bin Harb pernah bertanya kepada imam Malik mengapa ia tidak
meriwayatkan apapun dari orang-orang Iraq? Ia menjawab bahwa para orang
tuanya (ashlaf) tidak pernah meriwayatkan sesuatu apapun dari ulama Irak, sehingga
para pemuda Madinah juga tidak menerima apapun dari orang tua mereka.16
Walaupun imam Malik tidak mempunyai persoalan dengan ulama Basrah, Bagdad
dan Kuffah, tetapi tetap saja rasa ashabiyyah terhadap ulama Madinah sangat
menonjol dan diutamakan.
Beralih pada karya besar imam Malik dapat dilacak juga sejauh mana
pengaruh sosio-politik dalam penyusunannya. Latar belakang penyusunan alMuwatta‟, menurut beberapa versi, sebagaimana yang diungkapkan N.J.Coulsen
adalah karena faktor politik dan sosial keagamaan. Kondisi yang penuh konflik pada
masa transisi Daulah Umayyah-Abbasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar
(khawarij, Syi‟ah, keluarga Istana) yang mengancam integrasi kaum muslim.
Terjadinya perbedaan pemikiran yang berkembang pesat yang kemudian
Wael B. Hallaq, The Origines and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University
Press, 2005), h. 140
16 Abdur Rahman I.Do‟I, Shari‟ah Kodifikasi Hukum Islam (Jakarta: Rike Cipta, 1993), h. 154
15
-6-
melahirkan peluralitas yang penuh konflik.17 Versi lain mengatakan bahwa
penyusunan kitab ini didasari atas permintaan khalifah Ja‟far al-Mansur atas usulan
Muhammad ibn al-Muqaffa‟ yang prihatin dengan perbedaan fatwa dan
pertentangan yang berkembang pada saat itu. Namun, bentuk final kitab al-Muwatta‟
merupakan hasil dari pergumulan dan penyebaran imam Malik terhadap
pengetahuan tradisi Madinah selama masa hidupnya, dan kitab ini merupakan hasil
dari penyaringannya. Dalam kitab ini, imam Malik memenuhi paragrapf-paragraf
dengan ijtihadnya sendiri walaupun ia tidak henti-hentinya menyeruhkan “praktek
yang dilakukan kaum muslim di Madinah.”18 Karya imam Malik ini tentunya
berorientasi pada pengukuhan tradisi, yaitu kumpulan dari prinsip-prinsip, arahanarahan dan preseden yang telah disepakati yang mapan sebagai tradisi Madinah.19
Pengukuhan tradisi dalam ajaran usul fikih bukanlah hal yang baru karena
ditemukan prinsip al-„adah muhakkamah sebagai legitimasi kebolehan menerima
tradisi setempat sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum al-Qur‟an dan
sunnah Nabi yang terpercaya. Berutungnya, tradisi Madinah sebagaian besar, untuk
tidak mengatakan keseluruhan, merupakan kepanjangan dari tradisi yang hidup
pada masa Nabi. Dengan kata lain, tradisi masyarakat Madinah yang dipegang
sebagai sumber hukum sangat berdekatan dengan sunnah yang hidup pada masa
Nabi. Penjelasan ini akan diuraikan pada bagain selanjutnya.
Imam Malik dalam Muwatta‟-nya sering mengutip Hadis dan pendapatpendapat hukum dari sumber-sumber, menunjukan penghargaannya yang tinggi
terhadap mereka sebagai representasi dan rujukan bagi tradisi pengetahuan
Madinah serta kepercayaannya yang tuinggi terhadap tradisi tersebut. Beberapa
informasi menujukan bahwa imam Malik bergantung pada konsesnsus ahli Madinah
yang terefleksikan dalam isnad yang terdapat dalam kitab Muwatta‟.20 Alasan yang
logis mengapa imam Malik bersikukuh bersandar pada tradisi Madinah adalah
peran penting Madinah dalam sejarah pedaban Islam. Diantara peran penting
Madinah dapat dicatat: pertama, karena ia memiliki ulama, dan kedua, karena ia
memiliki keterkaitan-keterkaitan historis dengan Nabi dan para sahabat, khususnya
17 Noel J.Coulsen, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa: Hamid Ahmad (Jakarta:
P3M, 1987), h. 59
18 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin (bandung: Pustaka,
1995), 21-2
19 Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur‟an, Muwatta‟ dan Praktek Madinah, alih Bahasa:
M. Mansur, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 45.
20 Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam…, h. 21
-7-
khalifah ar-rasyidun.21 Namun, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya,
pengaruh sosial dan politik tetap dipertimbangkan sebagai pengaruh yang potensial
membentuk keyakinan dalam penetapan sumber hukum Islam berupa „Amal ahl alMadīnah.
Menurut Ahmad Amin22 keyakinan imam Malik untuk memegang hadis dan
berdalil dengan tindakan-tindakan ahl al-Madīnah merupak keistimewaan bila
dibandingkan dengan tradisi Abu Hanifah. Untuk melihat keistimewaan ini harus
ada perbandingan dalam bidang hukum tentang keputusan imam Malik dan imam
Abu Hanifah. Contohnya imam Abu Hanifah memperbolehkan memulai shalat
dengan bahasa Persi sebagai ganti Allahu Akbar dengan bahasa Arab walaupun
orang yang melakukan tersebut fasih dalam berbahasa Arab, dan hal ini tidak
disetujui imam Malik dan imam asy-Syafi‟i.23 Dalam kasus lain tentang puasa enam
hari di bulan syawal, imam Malik keberatan untuk menetapkan hukum sunnah pada
pelaksanaanya. Beliau cenderung memakruhkan melaksanakan puasa ini. AzZarqāni menjelaskan bahwa salah satu keberatan Imam Malik adalah karena Imam
Malik tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu dan fiqh di Madinah pada
masanya yang melakukan puasa ini.24 Dari sini, kita sudah mendapat gambaran
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi keputusan hukum Islam, bahkan
dalam persoalan ibadah yang cenderung sensitif. Pengaruh lingkungan dalam
menetapkan suatu hukum akan terjadi jika suatu nash masih diperselisihkan,
sedangkan bila suatu nash tidak diperselisihkan maka keadaan sekelilingnya tidak
boleh mempengaruhi pembentukan hukum. Dalam hal ini Amin menunjukan
contoh pendapat imam Abu Hanifah bahwa nasab (famili) dalam perkawinan
dianggap sekufu‟, dan oleh karena itu menurut Abu Hanifah semua suku Quraisy
sekufu‟ dan tidak semua bangsa Arab sekufu‟ dengan suku Quraisy. Seorang Mawali
(bukan Arab asli) tidak sekufu‟ dengan orang Arab, dan imam Malik mengatakan
bahwa sekufu‟ itu tidak ada kecuali dalam keyakinan. Ia mengutip hadis Rasulullah
Ibid., h. 22-23
Ahmad Amin, Fadjar Islam: MengupasPerkembangan Pemikiran di Kalangan Umat Islam Sejak
Masa Nabi S.A.W. Sampai Akhir Masa Umawy (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 321-322
23 Dalam penjelasan lain dikatakan bahwa imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafalkan
takbir boleh dilakukan dengan lafaz yang semakna dengan Allahu Akbar. Penjelasan lebih rinci dapat
dilihat dalam: Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali
Sa‟id dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), I: 270
24 Muhammad az-Zarqāni, Syarh az-Zarqāni „Alā Muwaţţa' al-Imām Mālik (Beirūt: Dār al-Kutub
al-Ilmiah, 1411 H/1990 M), II: 270-271; Muhammad bin Ismā„īl al-Kahlānī aş-Şan„ānī, Subul as-Salām
(Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), II:167
21
22
-8-
bahwa manusia itu seperti gigi sisir; tidak ada kelebihan seorang Arab atas orang
asing, keutamaan itu hanya pada ketakwaan.
B. Sunnah dan Praktek Ahl al-Madīnah sebagai Sumber Hukum
Walaupun al-Qur‟an merupakan sumber hukum yang utama di kalangan
umat Islam, namun dalam berbagai hal, tidak jarang justru sunnahlah yang megang
peran yang tak kalah pentingnya. Sebagaian peneliti-peneliti terdahulu, terutama
dari kalangan orientalis, berkesimpulan bahwa hukum Islam dibentuk melalaui
sunnah atau hadis yang baru muncul pada abad ke dua Hijriah. Sedangkan alQur‟an hanya diambil dalam kesimpulan yang sekilas saja. Dengan kata lain mereka
mengatakan bahwa pada abad pertama Hijrah hukum Islam tersebut belum ada.25
Namun, sekalipun pendapat ini janggal dan tidak didasari pada kenyataan bahwa
al-Qur‟an dipegang oleh umat Muslim awal sebagai sumber ketetapan hukum,26
kenyataan yang ada menunjukan adanya peran penting, bahkan terpenting, sunnah
atau hadis sebagai sumber hukum dalam membentuk formulasi hukum Islam.
Kenyataan ini ditunjukan oleh peran-peran ulama abad ke dua Hijriah yang
mencoba merumuskan aturan-aturan hukum yang didasari pada ketetapan sunnah,
sekalipun dengan tidak mengabaikan al-Qur‟an.
Dalam berbagai karya tulis, dapat diketahui bahwa ada dua aliran yang
berkembang pada masa awal pembentukan hukum Islam, dalam arti tersistematis,
pada abad ke dua. Kedua aliran tersebut adalah aliran rasionalis dan tradisionalis.
Aliran pertama dikatakan berkembang di wilayah Irak dan sekitarnya yang salah
satu tokoh utamanya adalah Abu Hanifah, sedangkan aliran kedua berkembang di
wilayah Madinah, Mekkah dan sekitarnya yang salah satu tokoh pentingnya adalah
Malik bin Anas. Kedua aliran ini sama-sama menjadikan sunnah sebagai sumber
hukum kedua setelah al-Qur‟an dengan porsi yang berbeda. Kalangan rasionalis
seakan-akan lebih selektif dalam menggunakan sunnah sehingga ditemukan dalam
jumlah yang terbatas. Sedangkan kalangan tradisonalis lebih banyak mengumpul
Pendapat ini disimpulkan dari Joshep schachat dalam The Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950); idem, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko
Supomo (Yogyakarta: Islamika, 2003), bagian pertama terutama h. 11-27. Lihat juga kesimpulan David
S.Power dan kritiknya terhadap pendapat ini dalam Studies in Qur‟an and Hadiś: the Formation of the
Islamic Law of inhetitance (Barkeley: University of California Press, 1986), h. 1-8 dalam primary researchnya, power mencatat beberapa kaangan yang mendukung pendapat ini antara lain: S. Vesey-Fitzgerald,
N.J.Coulsen, G.H.A.Juynboll, dan lain-lain.
26 Kritik seperti ini dilontarkan oleh: Power, Studies in Qur‟an and Hadiś…, h. 6-7; S.D.Goiten,
“The Bird-Hour of Muslim Law”, dalam Muslim World, 50,1 (1960), h. 23-29
25
-9-
sunnah sebagai penetapan hukum, bahkan sekalipun dikatakan bahwa sunnah
tersbut bersetatus lemah.
Sebelum perumusan konsep sunnah dilakukan oleh imam asy-syafi‟i,27
sunnah dipahami sebagai sebuah konsep prilaku –baik yang diterapkan kepada aksi
fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Atau juga sebuah hukum tingkah laku, baik
yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulang-ulang kali.28 Sunnah di sini
dibedakan dengan hadis. Karena hadis (secara harfiah berarti ceritera, penuturan,
dan laporan) dipahami sebagai sebuah narasi yang berisi dan bertujuan memberikan
informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui, dan juga informasi
tentang shahabat terutama shahabat senior.29 Berdasarkan bukti-bukti sejarah, kata
sunnah yang artinya “tradisi atau kebiasaan yang berlangsung secara lisan dan turun
temurun”, telah ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Sunnah tersebut mengandung
banyak hal antara lain berupa kebiasaan praktis sehari-hari, prosedur atau transaksi
tertentu, perbuatan dan aturan-aturan tertentu yang mengikat seluruh anggota
masyarakat.30 Hanya saja ketika telah terjadi sistemisasi sumber hukum Islam,
sunnah dipahami sebagai segala sesuatu dari Rasulullah dalam kapasitas sebagai
pembentuk syari‟at selain al-Qur‟an berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan
atau apapun yang layak menjadi dalil bagi hukum syar‟i.31 Dengan demikian,
sunnah dalam pengertian yang paling dasar berarti sesutu yang telah diterima dan
metradisi di kalangan masyarakat atau juga merupakan pandangan hidup dan
sesuatu yang telah dan sedang diikuti oleh masyarakat tertentu.32
Pemahaman terhadap sunnah di atas, dalam pengertian dasar, akan
menunjukan bahwa begitu besarnya pengaruh sosial dalam membentuk suatu
tradisi yang dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sumber hukum.
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan teori sosiologi hukum bahwa perubahan
27 Perumusan konsep sunnah oleh imam asy-Syafi‟I merupakan salah bentuk sintesa antara
dua aliran besar yang berkembang pada masanya. “The great synthesis” ini telah melahirkan dua
persoalan penting dalam perkembangan teori hukum Islam, yaitu munculnya teori-teori hukum dan
artikulasi teori hukum yang fundamental, dan munculnya formasi doktrin Mazhab. Hallaq, The
Origines and Evolution..., h. 122
28 Rahman, Membuka Pintu Ijtihad..., h. 1
29Rahman, Islam..., , h. 68
30 Akh. Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi
Minorotas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi,
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000, h. 337; Judith Romney Wegner, “Islamic and Talmudic
jurisprudence: the Four Roots of Islamic Law ang Their Talmudic Counterparts”, dalam The American
Journal of Legal History, vol. XXVI (1982), h. 34
31 Muhammad 'Ajaj al-Khatibi, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,
tt), h. 19
32 Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam:..., h. 338
- 10 -
sosial dapat mempengaruhi hukum, maka ada kemungkinan besar untuk
memahami bahwa ada pergeseran dalam batas-batas tertentu antara ketentuan
hukum Islam yang ada, bahkan sumber hukum Islam. Pergeseran yang dimaksud
bukan dalam pengertian peralihan tetapi dimkanai perluasan. Sehingga dalam
banyak hal kita dapat melihat, dalam pembahasan ini, bagaimana imam Malik bin
Anas mencoba untuk mempertahankan tradisi ahli Madinah („Amal ahl al-Madīnah)
sebagai sumber hukum, sekalipun mendapat kritik yang tajam dari ulama-ulama
lain semisal imam al-Lais bin Sa‟ad al-Misri.33
Fazlur Rahman mulai melihat pengertian sunnah dalam kitab Muwatta‟
imam Malik dengan menganalisa hadis yang dikutip imam Malik. Dalam
penjelasannya ia mengatakan:
Malik mengutip sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa Nabi
menjamin hak syuf‟ah (hak seseorang untuk membeli harta kekayaan bagian
partnernya dari harta yang mereka miliki bersama) kepada seseorang jika
partnernya hendak menjual bagiannya. Kemudian Malik menyatakan: “Dan
hal ini merupakan sunnah bagi kita”. Setelah itu ia mengatakan bahwa
mengenai syuf‟ah kepada seorang ahli hukum yang terkenal di Madinah,
Sa‟id bin al-Musayab pernah ditanyakan: “Adakah sunnah mengenai
syuf‟ah?” dan ia menjawab: “Ya! Tetapi syuf‟ah hanya berlaku untuk rumah
dan tanah.....”
Di sini kita harus memperhatikan perbedaan yang jelas di antara
kedua penggunaan istilah “sunnah” di dalam pernyataan-pernyataan “Dan
hal ini merupakan sunnah bagi kita” dan “Adakah sunnah mengenai
syuf‟ah?” Di dalam pertanyaan yang pertama sunnah berarti “praktek” atau
“peraktek yang dilakukan kaum Muslimin di Madinah pada masa itu”.
Tetapi pernyataan ini tidak cocok dalam pernyataan yang kedua karena
mengenai sesuatu praktek yang telah kita sepakati secara bersama kita tidak
akan bertanya: “Adakah sunnah mengenai hal ini?” Jadi dalam pernyataan
yang kedua di atas sunnah harus berarti preseden yang “otoritatif” atau
“normatif”. Tetapi preseden normatif dari siapakah sunnah tersebut? Jelas
sekali dalam hal ini yang disebut dengan sunnah adalah sunnah nabi atau
sunnah dari setiap otoritas berikutnya yang bersunber dari sunnah Nabi,
karena kami telah membuktikan bahwa praktek orang-orang Arab sebelum
kedatangan Islam tidak dapat dipandang sebagai normatif. Apabila sunnah
tersebut bersumber dari Nabi maka jelaslah mengapa Ibn al-Musayyab di
dalam jawabannya tersebut. Jadi jelaslah bahwa sunnah tersebut dapat
bersumber dari salah satu di antara para sahabat atau otoritas dari generasi
sesudah mereka walaupun sunnah tersebut tidak terpisah dari konsep
sunnah nabi secara garis besarnya. Selanjutnya, sehubungan dengan syuf‟ah
perkataan sunnah di dalam kedua pernyataan di atas secara bersama-sama
berarti (1) suatu preseden yang patut dijadikan teladan dan yang pada masa
Malik berubah menjadi (2) suatu praktek yang telah disepakati bersama.34
33
34
Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh...,h. 82
Rahman, Membuka Pintu Ijtihad..., h. 18-20
- 11 -
Penjelasan Rahman di atas menunjukan bahwa sejak awal imam Malik sudah
membedakan antara sunnah dalam pengertian literal dan sunnah dalam pengertian
teladan dari Nabi. Sekalipun tidak ada penjelasan yang pasti apakah benar imam
Malik membedakan dua pengertian seperti yang digambarkan Rahman, namun dari
penjelasan tersebut tergambar bahwa memang ada pembedaan secara substansi
antara dua term sunnah. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa sunnah yang hidup
dan terbentuk oleh tradisi kaum muslim setelah Nabi juga menjadi sunnah, namun
secara konsepsional dan secara garis besar berhubungan erat dengan sunnah Nabi.
Bagi Rahman kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum muslimin di
masa lampau sebagian besar merupakan produk kaum muslim sendiri dan unsur
kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
menjadi ijma‟ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah nabi.35 Dengan demikian
sunnah, ijtijhad dan ijma‟ memiliki kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kalau teori di atas dapat diterima, akan kita tinjau untuk meihat posisi „Amal
ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum dalam teoresasi hukum Islam imam Malik.
Seperti sudah dijelaskan pada bagain sebelumnya bahwa imam Malik menjadikan
„Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum, maka „Amal ahl al-Madīnah lebih dekat
dengan ijma‟ ulama Madinah. Namun, imam Malik menolaknya, sebab dalil ijma‟
tidak mengkhususkan „Amal ahl al-Madīnah, akan tetapi mencakup ummah (muslim
seluruhnya), demikian Ibn Khaldun. Dalam penjelasan selanjutnya Ibn Khaldun
menyatakan bahwa ijma‟ tidak lain adalah konsensus atas persoalan keagamaan
melalui ijtihad. Dan imam Malik tidak menganggap praktek ahl al-Madīnah termasuk
ke dalam pengertian ini. Dia hanya menganggap sebagai panutan suatu generasi
terhadap generasi sebelumnya melalui observasi langsung, sehingga sampai pada
pembawa syari‟at, Nabi Muhammad saw. 36
Apa yang didifinisikan Ibn Khaldun sebagai ijma‟ merupakan suatu teori
hukum yang mustahil terlaksanakan. Untuk itu, mengutip dari Hallaq, Shahsi
Hanafiyyah (w.334/955) menetapkan empat model konsensus yang secara
epistemologi dan kronologi menunjukan tingkatan yang bertingkat-tingkat.
Setidaknya ada empat model: pertama adalah konsensus Sahabat, yang dalam
perjalanannya terdiri dari dua dua jenis sub: (1) konsesnsus keseluruhan mereka
Ibid., h. 26
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), h. 568-569
35
36
- 12 -
dalam aturan yang ditetapkan secara jelas dalam sumber yang ada; dan (2)
konsensus sebagian mereka, diam sebagain mereka, dan absen dari keberatan
sisanya. (dua sub-tipe tersebut, harus dikatakan, nampak untuk membenarkan dan
merasionalisasikan bagian yang baik dari hukum Hanafiyyah yang secara original
didasarkan pada dasar praktek masyarakat Iraq dan sunnah yang diinspirasi
Sahabat.) Kedua adalah konsensus generasi berikutnya baik pada opini yang
disampaikan oleh Sahabat maupun pada seseorang yang disampaikan oleh generasi
itu sendiri. Tipe yang ketiga adalah konsensus generasi ulama ketiga, yang
menghasilkan
pengetahuan
equivalent
yang
menghasilakan
persambungan
transmisi hadis yang disebut juga hadis terkenal (masyhur), jelasnya katagori
transmisi Hanafiyyah itu berdiri antara model hadis ahad dan hadis mutawatir.
Terakhir, tipe keempat konsensus tersebut adalah konsensus generasi berikutnya
tentang satu opini yang dihubungkan dengan ulama generasi yang lebih awal (tetapi
tetap bersubjek pada perselisihannya). Tipe ini mencakup tingkatan kemungkinan
pengetahuan, sama seperti yang dihasilkan oleh laporan hadis ahad.37 Jika mengikuti
model pembagain Shahsi ini, jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan praktek ahli
Madinah dikatagorikan bagian dari ijma‟ atau konsensus.
Bagi imam Malik, keterkaitan dengan praktek ahli Madinah dan sunnah
Nabi, penduduk Madinah ditempatkan sebagai golongan yang paling tahu tentang
sunnah Rasul, nasakh dan mansukhnya. Apabila masyarakat Madinah sepakat
dengan suatu prilaku, maka kesepakatan itu lebih tinggi nilainya dibandingkan
dengan qiyas dan khabar ahad (walaupun shahih). Kalaupun bukan kesepakatan,
prilaku mayoritas dapat diperhitungkan karena kesepakatan orang banyak dalam
bentuk prilaku nilainya sama dengan priwayatan mereka.38 Dari sini, sumber hukum
berupa praktek yang disepakati oleh ahl al-Madīnah yang sebelumnya diyakini
memiliki hubungan secara garis besar ke sunnah Nabi telah berevolusi menjadi
sunnah yang hidup dalam masyarakat Madinah. Dengan demikian, kemungkinan
jika terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat yang kemudian merubah
kebiasaan hukum dalam ruang lingkup qur‟an dan sunnah Nabi, akan
mempengaruhi sunnah yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tentunya menjadi
alasan pembenar bahwa imam Malik ketika memutuskan untuk menjadikan praktek
37
38
Hallaq, The Origines and Evolution.., h. 139
Muh.Zuhri, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), h. 106
- 13 -
ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum secara tidak langsung menggunakan sunnah
dalam pengertian sunnah yang hidup dalam masyarakat (living tradition).
Dalam penjelasan lain Rahman sekali lagi menunjukan beberapa kasus yang
menunjukan latar belakang situasional yang menggambarkan perkembangan
“sunnah yang hidup”.
Pada masa Umar muncul problem sosiologis dan politis yang besar di
Madinah dan wilayah taklukan, disebabkan oleh penaklukan yang besar dan
tiba-tiba. Secara sosiologis, problem terbesar adalah semangkin
meningkatnya jumlah budak dan budak perempuan, atau tawanan laki-laki
dan perempuan. Sebagai contoh, seorang budak yang di bawah kontrak
diperbolehkan oleh tuannya untuk membeli kebebasannya dengan cara
mengangsur yang disebut mukatāb (budak yang melakukan kontrak demi
kebebasannya). Orang ini diperkirakan tidak dibawa tekanan hukum apapun
untuk memperbolehkan budaknya membeli kebebasannya. Namun, hal ini
tidak diragukan didorong oleh kebijakan negara. Bagaimanapun,
persoalannya adalah sekali seorang budak melakukan kontrak demi
kebebasannya, apakah ia bisa membayar sekaligus semua angsurannya dan
membebaskan dirinya tanpa melakukan angusran,
Malik mengatakan: “farafisah ibn Umair al-Hanafi memiliki seorang mukatāb,
farafidah menolak tawaran tersebut. Si mukatāb datang kepada Marwan yang
saat itu adalah gubernur Madinah, dan mengajukan permohonan kepadanya.
Marwan memanggil farafisah dan memerintahnya untuk menerima tawaran
tersebut namun ia kembali menolak. Marwan menegaskan bahwa uang
kontrak harus diambil dari budak tersebut dan diberikan untuk keuangan
publik, sementara kepada si budak ia mengatakan: “pergilah! Engkau bebas.”
Mengetahui hal itu farafisah mengambil uang tersebut.
Mengomentari hal tersebut Malik mengatakan: oleh karenanya, praktek kita
yang telah mapan (al-„amr: Malik menggunakan istilah al-„amr, “as-sunnah”
dan “al-„amr al-mujtama‟ „alaih” sebagai istilah yang equivalen dengan
praktek atau sunnah Madinah) adalah apa yang ketika keadaan tertentu
memungkinkan mukatāb membayar semua hutangnya, bahkan sebelum dia
berhutang, diperbolehkan untuk melakukannya dan tuannya tidak boleh
menolak...
Ada dua hal yang ditegaskan dalam kasus ini: pertama, menerangkan langkah
yang diambil oleh otoritas negara untuk memberikan hak kepada budak.
Kedua, ilustrasi nyata yang akan memperkuat kenyataan bahwa Sunnah, yaki
praktek komunitas yang hidup bukanlah karya Nabi sebagaimana klaim
doktrin fikih pasca asy-Syafi‟i, namun merupakan hasil hasil dari pemikiran
yang progresif –dan aktifitas orang-orang Islam yang mengambil keputusan.
Dalam hal ini, keputusan Marwan ibn Hakam merupakan praktek atau
sunnah.39
Contoh yang digunakan Rahman menunjukan bahwa sunnah dalam
pengertian yang sudah dikemukakan sebelumnya, secara tidak langusng, telah
39 Fazlur Rahman, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal,” alih bahasa Ahmad Baidowi, dalam
Fazlur Rahman dkk, Wacana Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002), h. 131-132
- 14 -
memberikan penalaran hukum yang lebih kontekstual pada masanya dan cenderung
mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat. Imam Malik pun dapat dikatakan
menggunakan kearifan lokal Madinah, karena terkait langsung dengan kearifan
lokal yang hidup dalam masyarakat yang dibangun Nabi, sebagai teori penemuan
hukum dalam kajian ushul fikih. Namun, sekalipun demikian, ijtihad-ijtihad yang
dikatakan Rahman sebagai hasil pemikiran yang progresif dan aktifitas orang-orang
Islam harus disepakati untuk diterima oleh masyarakat muslim Madinah.
Penerimaan ini adalah ijma‟.
Ijma‟ memainkan peran penting dalam proses integrasi masyarakat muslim.
Setidaknya sifat inheren dalam ijma‟ telah membantu memantapkan dogma dan
doktrin, dan mengamankan struktur Islam.40 Ijma‟ pada mulanya diperkenalkan
sebagai sebuah doktrin untuk mendukung struktur politik abad kedua Islam.
Kemudian munculnya golongan ulama yang merupakan perkembaangan yang
alamiyyah dan selanjutnya, karena memberikan bimbingan pada masyarakat,
mendapatkan prestis tinggi. Para ulama diakui sebagai wakil masyarakat dalam
agama dan hukum, terutama dalam menghadapi otoritas negara. Ijma‟, pada abad ke
dua dianggap sebagai kekuatan yang mengikat.41 Jika beranjak dari keyakinan awal
bahwa, walaupun masih diperdebatkan, praktek ahl al-Madīnah sebagai suatu
konsensus ulama Madinah atau masyarakat Madinah, maka dapat dianalisa lebih
jauh mengapa imam Malik menjadikan „Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum.
Beranjak dari perpindahan pusat pemerintah yang kemudian melemahkan
peran politik Madinah, praktek ahl al-Madīnah merupakan usaha imam Malik tidak
hanya untuk pelegitimasian hukum dengan alasan ketersambungannya dengan
sunnah Nabi tetapi juga cenderung merupakan reaksi politis yang berperan penting
agar ulama Madinah tetap memiliki eksistensi yang patut diperhitungkan secara
politik. Lebih dari itu, usaha untuk meligitimasi tradisi ahl al-Madīnah sebagai
sumber
hukum
merupakan
upaya
nyata
seorang
ulama
besar
untuk
mengintegrasikan masyarakat Muslim di satu sisi dan menjawab persoalan hukum
yang ada yang bersifat kontekstual pada masanya. Sehingga, analisa Coulsen
tentang penyusunan kitab al-Muwatta‟ lebih disebabkan karena persoalan sosial
dapat diterima mengingat konsep „Amal ahl al-Madīnah yang kita anggap konsensus
40
41
Ahmad Hasan, Ijma‟, alih bahasa: Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1985), h. 258
Ibid., h. 293
- 15 -
berfungsi juga sebagai alat untuk meminimalisir terjadinya disintegrasi umat Islam
pada periode transisi dari daulah Umayyah ke daulah Abbasiyyah.
Praktek
ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum dapat dilukiskan sebagai
berikut:
Sunnah
Nabi
Al-Qur’an
Sunnah
Sahabat
Aspek
sosial
Ijtihad
Ijma’
Aspek
politik
Praktek
Ahl
Madinah
Dari gambar di atas menunjukan bahwa praktek ahl al-Madīnah merupakan bagian
salah satu dari empat model ijma‟ yang memiliki hubungan kuat dengan sunnah
Nabi, sunnah otoritas setelah Nabi dari kalangan Shahabat dan juga memiliki
hubungan dengan al-Qur‟an secara garis besar. Selain itu praktek ahl al-Madīnah juga
sangat erat kaitannya dengan ijtihad. Dalam pandangan mazhab Maliki sendiri
„Amal ahl al-Madīnah ini ada 2 macam, yaitu „Amal ahl al-Madīnah yang asalnya dari
an-Naql, yang merupakan contohan dari Nabi SAW dan „Amal Ahl al-Madīnah yang
diijtihadkan oleh penduduk Madīnah.42 Dalam wilayah ijtihad inilah aspek sosial
dan politik sangat mempengaruhi keputusan hukum tertentu walaupun secara garis
besar ijtihad harus memiliki keterkaitan dengan al-Qur‟an dan sunnah Nabi. Proses
penerimaan ijtihad inilah kemudian membentuk ijma‟ dan dalam konteks Madinah
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,(Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997) h. 212-214; Muhammad Ahmad Sirāj, Al-Fiqh Al-Islamī bain An-Nazar wa At-Taţbīq
(Iskandarīyah: Dār al-Maţba'ah al-Jāmi'ah, 1997), h. 137. Menurut riwayat kebanyakan ulama, Imam
Mālik selama hidupnya tidak pernah keluar bepergian dari kota Madinah kecuali hanya untuk berhaji
ke Mekkah, sehingga dimungkinkan, hal inilah yang membuat Imam Mālik sangat bergantung sekali
kepada „amal ahl al-Madīnah ini, sebab beliau sangat kenal dan akrab sekali dengan situasi dan mobilitas
sosial penduduk Madīnah. Al-Qādi Muhammad Suwaid, Al-Mażāhib Al-Islāmiyah Al-Khamsah wa AlMażhab Al-Muwahhad (Beirut: Dār at-Taqrīb Bain al-Mażāhib al-Islāmiyah, 1995), h. 24; Muhammad
Khudari Bek, Tārikh at-Tasyrī…, h. 422-423
42
- 16 -
membentuk tradisi ahl al-Madīnah. Aspek sosial dan politik sangat menentukan
peroduk ijtihad dengan proses berkesinambungan membangun tradisi hukum yang
kontekstual pada masanya. Dengan demikian, ada kemungkinan perubahan sosial
dalam masyarakat mempengaruhi perubahan hukum.
Simpulan
Teori hukum Imam Malik tentang penggunaan „Amal ahl Madinah, sejauh ini,
merupakan contoh yang memadai dimana terjadinya kesinambungan hukum Islam
dengan realitas sosial. Tidak adanya peraktek ahl al-Madīnah menunjukan bahwa ada
keraguan terhadap suatu produk hukum, dan adanya praktek ahl al-Madīnah
menujukan bahwa tidak ada keraguan terhadap produk hukum. Praktek ahl alMadīnah sendiri dibangun atas dasar ijma‟ lokal yang kemungkinan mengandung
tradisi Nabi yang diwariskan di satu sisi dan mengandung kearifan lokal di sisi lain,
dan juga dibangun atas dasar ijtihad penduduk Madinah. Pada wilayah ijtihad inilah
pengaruh sosial dan politik masuk.
Salah satu alasan mengapa imam Malik bersih teguh memegang sunnah Nabi
dan Sunnah penduduk Madinah adalah karena alasan politis, disamping alasan
normatif, yaitu perpindahan kekuasaan Islam ke luar Madinah yang cenderung
melemahkan posisi penting Madinah secara politik dan memberi perubahan secara
sosial. Sebagai upayah mengukuhkan peran Madinah, imam Malik menjadikan
sunnah Nabi dan „Amal ahl al-Madīnah sebagai landasan hukum yang otoritatif,
walaupun bukan satu-satunya. Dengan demikian, aspek sosio-politis menyatu dalam
sumber hukum yang dibingkai dalam kerangka normatif.
Daftar Pustaka
„Ajamī, Abū Yazīd Abū Zaid al-, Al-Fuqahā' Buhūś al-'Aqīdah al-Islāmiyah: al-Mauqif
wa al-Manhaj, Mesir: Dār al-Hidāyah, t.t.
Amin, Ahmad, Fadjar Islam: MengupasPerkembangan Pemikiran di Kalangan Umat Islam
Sejak Masa Nabi S.A.W. Sampai Akhir Masa Umawy, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Anwar, Samsul, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam Jurnal
Profetika, Vol. 4, No.1, Januari 2002
Azami, Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadis, alih bahasa: A. Yamin, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1992
Bik, Hudari, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami (sejarah Pembinaan Hukum Islam), alih Bahasa:
Mohammad Zuhri,Indonesia: Daarul Ihya, tt.
Coulsen, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa: Hamid Ahmad,
Jakarta: P3M, 1987
- 17 -
Coulson, Noel J, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein,
Yogyakarta: Navila, 2001
Do‟I, Abdur Rahman I., Shari‟ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rike Cipta, 1993
Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur‟an, Muwatta‟ dan Praktek Madinah, alih
Bahasa: M. Mansur, Yogyakarta: Islamika, 2003
Goiten, S.D., “The Bird-Hour of Muslim Law”, dalam Muslim World, 50,1 (1960)
Hallaq, Wael B., The Origines and Evolution of Islamic Law, Cambridge: Cambridge
University Press, 2005
Hasan, Ahmad, Ijma‟, alih bahasa: Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1985
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali
Sa‟id dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 1989
Jabiri, Muhammad Abed al-, Isykaliyah al-Fikr al-Arabi al-Mu‟aṣir, Beirut: Markaz
Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1989
Judith Romney Wegner, “Islamic and Talmudic jurisprudence: the Four Roots of
Islamic Law ang Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of
Legal History, vol. XXVI (1982)
Khatibi, Muhammad 'Ajaj al-, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar
al-Fikr, tt.
Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, alih bahasa:
Ghufron A. Mas‟adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Maraghi, Abdullah Mustofa al-, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa
Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001
Minhaji, Akh., “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang
Posisi Minorotas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi
studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000, hlm.
337
Mudzhar, Muhammad Atho‟, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical
Approach, Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003
____________, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998
____________, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Setudi tentang Pemikiran
Hukum di Indonesia, 1975-1988, edisi dwi bahasa, Jakarta: INIS, 1993
___________, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
Power, David S., Studies in Qur‟an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of
inhetitance, Barkeley: University of California Press, 1986
Rahman, Fazlur, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal,” alih bahasa Ahmad Baidowi,
dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tirai
Wacana, 2002
____________, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka,
1994
____________, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin, bandung: Pustaka,
1995
Şan„ānī, Muhammad bin Ismā„īl al-Kahlānī aş-, Subul as-Salām , Beirūt: Dār al-Fikr,
t.t.
Schachat, Joshep, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The Clarendon
Press,1950
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo, Yogyakarta:
Islamika, 2003
- 18 -
Shiddieqy, TM. Hasbi Ash-, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997
Sirāj, Muhammad Ahmad, Al-Fiqh Al-Islamī bain An-Nazar wa AtTaţbīq,(Iskandarīyah: Dār al-Maţba'ah al-Jāmi'ah, 1997
Suwaid, Al-Qādi Muhammad, Al-Mażāhib Al-Islāmiyah Al-Khamsah wa Al-Mażhab AlMuwahhad, Beirut: Dār at-Taqrīb Bain al-Mażāhib al-Islāmiyah, 1995
Syurbasi, Ahmad, Biografi Empat Imam Mazhab, alih bahasa Abdul Majid Alimin, cet.
2, Solo: Media Insani Press, 2006
Zahrah, Muhammad Abu, Tārīkh al-Mażāhib al-Islamīyah, Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī,
t.t.
________, Mālik Hayātuhu wa „Asruhu, Ārāuhu wa Fiqhuh, Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī,
t.t.
Zarqāni, Muhammad az-, Syarh az-Zarqāni „Alā Muwaţţa' al-Imām Mālik, Beirūt: Dār
al-Kutub al-Ilmiah, 1411 H/1990 M
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintas Sejara,h(Jakarta: Raja Grafindo, 1997
- 19 -
Download