The Rise of Sriwijaya Empire

advertisement
The Rise of Sriwijaya Empire
Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan
nama suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah
pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan
Sumatera Selatan dengan Lampung. Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat,
yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian
utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti
aliran sungai di daerah huluan sumatera selatan yang kemudian di kenal dengan suku
SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di
Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, Ranau,. (
Van Royen -1927 ). Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi
memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah
Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, di
daerah uluan sumatera selatan.
Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti , yang bernama JAYA
NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang
berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat
kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang
mempunyai kesaktian tinggi. Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan
SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik ( tulisan ) di negeri china yaitu kerajaan Shi Li Fo
Shih. Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670
s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan
yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di
transeleterasikan menjadi Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan
ini dalam perjalanannya menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa
Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju
tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui
Kedah terus keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain
mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil
terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat.
Dengan
Kesaktiannya ia dapat mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari,bulan,
bintang , hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini
menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan
perantara manusia dengan sang Ghaib yang diturunkan ke bhumi untuk menjaga dan
melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap kata yang diucapkannya merupakan
petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan istiadat, kebaikannya merupakan
anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau merupakan malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil
dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya
sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman
atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku
yang mendiami tiga gunung yang ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit
Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system pemerintahan Marga
yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
Kedatuan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa
kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya
merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan
perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India
ke China maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan
pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat
Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000
pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama
Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar
yang melakukan perdagangan dengan India , Melayu dan China . Pedagang dari Tiongkok
dagang ke Sriwijaya dengan membawa keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan
dengan emas, permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana
komoditas penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau
ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga ( Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan
sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga
kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat
menguasai seluruh kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda.
Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai
yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera
berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki
pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti
Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang
Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung.
Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari
sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar
dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga (
ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang
strategis di pandang dari sudut perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan
konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba).
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun
tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan
kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )
Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di
dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan
keberanian, dan kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus
menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah
palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di
mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini
adalah dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung
Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di
sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang
menjorok jauh kearah laut , kearah utara dengan jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok
kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh
Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana
sungai komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya
dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa
perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran
kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi
oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan
pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan
Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat
bangunan atau rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa
laskar Sriwijaya, untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan
Bukit.
.
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian
menguasai pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun
606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan
rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua
hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang
dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga
agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri
Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang
tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan
menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat
dimanapun dia berada janganlah hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan Zinah di situ.
Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo )
Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra
Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya
terbunuh yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah
perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap
para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang
Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga
Batu ). Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi:
- “……. kamu sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati, panglima
Besar,…….hakim pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah yang
mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan
dimakan
sumpah.
(
1-6
)”.
- “ Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami
…………orang yang tidak tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan
di
bunuh
oleh
sumpah
kutuk
ini.
(
7-8
)
“.
- “ Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami
atau menjalankan tipu muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk kepada
negara kedatuan kami maka terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh sumpah
kutuk.
(
11-12
)
“.
- “ Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah
perbatasan negara kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
- “ ……lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang
melindungi sekalian daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja
kedua, dan pangeran lain yang didudukan dengan pengangkatan menjadi datu,
kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada kami ( 19-20 )”.
Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas
pelayaran di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar
singgah di kerajaan Melayu ( Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai
timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa
singgah lagi di pelabuhan palembang. Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga
berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan
kedatuan Sriwijaya. Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju
Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu
takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah
meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja
Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja
terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang
Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh
seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat
dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui
selat Bangka . Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah
menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya
ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya
harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta
Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang
Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan
segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di
pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan,
kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa
Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan.
Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang
rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat
dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu
Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang
ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara. Pada saat inilah di nyatakan oleh
berita di neger China ( Dinasti Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian
masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus
melaksanakan perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi
di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari
Wangsa Sailendra. Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk
melanjutkan memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di
Selat Malaka dan Laut China Selatan .
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera
hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa,
dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan. Akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha
Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. Masa berikutnya, Pan Pan
dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh
Sriwijaya. Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap
atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta
Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa
sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )
SRIWIJAYA DI SWARNABHUMI……………
Sejak pertapaan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Gunung Seminung sekitar tahun 742
sebagian besar anggota pasukan dan rombongan yang mengikutinya terpecah masing-masing
mencari tempat sendiri-sendiri, ada yang kemudian mendirikan Minanga baru dan ada juga
yang lari kepulau jawa. Sementara kota Minanga sendiri menjadi mitos kota yang hilang yang
sampai sekarang menjadi suatu kawasan yang paling angker yang di namakan penduduk
sekitar menjadi SiGonong-Gonong yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang tanpa
seijin ghaib disana , siapa yang masuk ke daerah itu tanpa izin akan ikut hilang tak tampak
oleh kasat mata.( Legenda Minanga sigonong-gonong ).
Sementara itu menurut analisis Paleografi , teluk Minanga di mana sungai komering
bermuara telah mengalami pendangkalan akibat dari pengendapan lumpur dari sungai
komering. Pantai Timur di bagian sumatera selatan mengalami pendakalan 125 meter per
tahun, dimana sejak keberangkatan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga ke Mukha Upang (
Kedukan Bukit ) pada tahun 683 Masehi sampai dengan kepulangan tahun 742 Masehi Teluk
Minanga telah mendangkal sepanjang 6 kilometer. Membuat kedudukan Minanga sudah jauh
dari garis pantai timur Sumaetra , dengan posisi seperti itu maka Kerajaan Sriwijaya tidak
mungkin lagi mengawasi daerah-daerah bawahannya secara efektif, sehingga lambat laun
daerah yang ditaklukan dan diikat dengan persumpahan itu menjadi lepas berdiri sendiri.
Daerah daerah tersebut kemudian membentuk pemerintahan lokal yang berdiri sendiri,
palembang kemudian menjadi kota pelabuhan yang berdiri sendiri yang terkenal dengan
nama Swarna Bhumi , Jambi menjadi kerajaan lokal dan menjadi kota pelabuhan terbesar
pada saat itu. Sementara daerah uluan di sumatera selatan mereka membuat kelompok
masyarakat seketurunan ( kepuhyangan ) dan hidup menyebar di pedalaman sumatera selatan
yang di kenal dengan masyarakat hukum dengan azas pertalian darah ( Geneologische
Rechtgemeenschap ) Dalam masyarakat hukum dengan azas seperti ini maka kekuasaan
dengan sendirinya di pegang oleh seorang “Jurai Tua” yang di sebut Pase-lurah atau Pasirah
yang dikenal sekarang ini yang berkedudukan sebagai pemimpin ( primus inter pares ).
Kewajiban pemimpin tidak lebih dari memelihara dan mempertahankan hukum yang mereka
sepakati dan di jadikan adat bagi sesama mereka, menjaga batas – batas wilayah dan menjaga
batas-batas antara yang boleh dan yang terlarang.
Di daaerah Batanghari Komring kelompok seketurunan ini menempati daerah yang disebut “
Morga “ di kepalai oleh seorang sepuh yang berfungsi sebagai Ratu Morga dengan gelar
KAI-PATI . Di daerah Rejang kelompok seketurunan ini dinamai Petulai yang dipimpin
seorang sesepuh dengan sebutan DEPATI . ( Marga di Bumi Sriwijaya – H.M.Arlan Ismail,
SH – 2005 ). Masa inilah atau selama 218 tahun terjadi kekosongan pemerintahan di
Sriwijaya , tercatat oleh berita di negeri China, Sriwijaya tidak pernah lagi mengirim utusan
ke negeri China sejak tahun 742 Masehi ( Kronik Dinasti Tang ) sampai tahun 960 Masehi
Sementara itu di Jawa Tengah berkembang dinasti Dapunta Sailendra yang merupakan RajaRaja dari Bumi Sriwijaya yang diutus Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menaklukan
Bhumi Jawa.
Nama Dapunta Sailendra di kumandangkan dimana-dimana sementara Dapunta Hyang Sri
Jaya Naga raja Sriwijaya tetap di Puja-Puja oleh Dinasti Sailendra. Pada tahun 775 Masehi
terpahat sebuah prasasti di Ligor ( Muangthai ) menandai peresmian sebuah bangunan candi
yang terdiri beberapa bagian yang intinya adalah pujian terhadap Raja Sriwijaya yang
dikatakan laksana bulan di musim rontok yang sinarnya menyuramkan segala sinar bintang,
raja yang berkuasa gemilang dan yang paling baik di antara segenap raja dipermukaan
Bhumi, kemudian menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang memerintahkan untuk membangun
batu Trisamaya Caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Wajrapani guna di persembahkan
kepada semuaJina yang menduduki sepuluh tempat diangkasa dan memerintahkan Jayanta
membangun Stupa Trayamasi.kemudian yang terakhir menyatakan raja Wisnu dari wangsa
sailendra yang berkuasa pada masa itu kemudian di tutup dengan pujian kembali kepada raja
Sriwijaya yang dikatakan menyerupai Indra. ( Prasasti Ligor–Muangthai ).
Pangeran Balaputra Dewa merupakan putera bungsu Raja Samaragrawira dari Wangsa
Sailendra kehilangan haknya untuk memerintah negeri di Bhumi Jawa di karenakan putera
tertua adalah Pangeran Samaratungga sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak
memimpin kerajaan di Bhumi Jawa, yang kemudian Jatiningrat menikah dengan
Pramodawardhani putri Raja Samaratungga sehingga kemudian mewarisi takhta atas kerajaan
di Bhumi Jawa. Pada tahun 850 Masehi Balaputra Dewa dan pengikutnya kembali ke daerah
Sumatera Selatan untuk malakukan pertapaan di Gunung Seminung guna memperdalam ilmu
dan kesaktian. Sepanjang perjalanan di daerah uluan sumatera selatan sampai ke gunung
Seminung Balaputra Dewa di sambut baik oleh penduduk di wilayah bekas kedatuan
Sriwijaya karena Balaputra Dewa merupakan keturunan dari wangsa Sailendra Raja-Raja di
Bhumi Jawa yang berasal dari Bumi Sriwijaya yang mereka anggap sebagai titisan Jaya Naga
sang Maha Raja yang mereka Puja Puja selama ini. Pada saat selesai dari pertapaannya
Balaputra Dewa diangkat oleh para sesepuh adat yang terdiri dari pemimpin – pemimpin
kelompok Marga untuk menjadi Ratu dan kembali mempersatukan wilayah-wilayah kerajaan
Sriwijaya yang telah berdiri sendiri akibat kekosongan pemerintahan selama periode 117
tahun sejak di tinggal Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bertapa dan menghilang di Gunung
Seminung, dimana daerah-daerah itu hanya di ikat oleh sumpah setia yang mereka percayai
selama ini sebagai alat pemersatu semua rumpun suku..
Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 – 850, pemerintahan
Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada
tahun 853 Masehi.
Kemudian Balaputra Dewa dengan cepat dapat membangun kejayaan kerajaan Sriwijaya
kembali yang berpusat di Palembang dengan dukungan oleh masyarakat di bekas wilayah
Kedatuan Sriwijaya . Bahasa yang di pakai oleh kerajaan ini yaitu bahasa Sansekerta. Hal ini
yang kemudian membuat kerajaan di Jambi kawatir akan penguasaan kembali oleh dinasti
Sailendra sehingga kerajaan Jambi mengirim utusan ke negeri China pada tahun 871 untuk
mendapatkan perlindungan dari Negeri China namun hal ini berlangsung tak lama, kemudian
pasukan Balaputra Dewa dapat menguasai Jambi , adapun politik dalam negeri yang selalu
dipakai sebagai alat persatuan untuk wilayah-wilayah taklukan kerajaan ini memakai nama
Sriwijaya.
Setelah menguasai pulau sumatera sampai ke langkasuka dan keddah semakin kuatlah dinasti
Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai kerajaan maritim di pantai timur Sumatera .
Dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai
raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan
kerajaan Sriwijaya di abad yang sama. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai pengendali rute perdagangan
rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat
Palembang dan mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan
yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India. Dinasti Balaputra Dewa di Swarna
Bhumi juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung
Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Dinasti Balaputra Dewa juga berhubungan dekat
dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860 Masehi mencatat bahwa
raja Balaputra Dewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda, Pala.
Hubungan dengan dinasti Cola di India selatan di bawah pemerintahan Raja
Kesawariwarman Rajaraja pada mulanya cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi
peperangan di abad ke-11.
Pada tahun 960 Masehi Raja Sri Udayadityawarman yang merupakan keturunan dari
Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra yang pada saat itu memerintah Sriwijaya di
SwarnaBhumi mengirim utusan ke China dan mengirimkan berita telah kembali kerajaan
Sriwijaya penguasa laut China Selatan yang berada di Swarna Dwipa ( Pulau Sumatera ) dan
beribukota di Swarna Bhumi ( Palembang ) , kerajaan ini kemudian terkenal di China dengan
nama San-Fo-Tsi yang di artikan Sriwijaya di Swarna Bhumi. Pada tahun 962 datang lagi
utusan kerajaan San-Fo-Tsi di bawah dinasti Sailendra yang merupakan keturunan Raja
Balaputra Dewa ke Tiongkok berturut-turut sampai dengan tahun 1097 masehi.
Pada tahun 992 mulai terjadi peperangan antara Dinasti Sailendra di Swarna Bhumi dengan
dinasti Sanjaya penguasa Bhumi Jawa. Pada masa itu yang memerintah di Bhumi Jawa
adalah Raja Dharmawangsa dari dinasti Sanjaya sedang di San-Fo-Tsi yang memerintah
adalah Raja Sri Cudamaniwarmadewa keturunan Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra.
Kemudian Armada pasukan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dapat memukul mundur pasukan Raja
Dharmawangsa.
Kemudian pada tahun 1003 Raja Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya San-Fo-Tsi
mengirim dua orang utusan ke negeri China untuk mempersembahkan upeti pada Kaisar..
Kedua utusan ini menceritakan bahwa di negerinya telah selesai di bangun sebuah candi
Budha tempat berdoa , dan mendoakan agar Kaisar di karuniai panjang usia, kemudian kaisar
memberikan nama Candi tersebut dengan Cheng-Tien-Wan-Show dan memberikan hadiah
Lonceng untuk Candi tersebut. Pada tahun 1006 Masehi Raja Sri Cudamaniwarmadewa di
gantikan oleh penerusnya yaitu Raja Sri Marawijaya Tunggawarman dari Dinasti Sailendra
dan menghadiahkan sebuah desa sebagai persembahan kepada Budha dalam Wihara yang di
bangun oleh ayahnya Raja Sri Cudamaniwarmadewa .
Tahun 1012 Raja Kasawariwarman Rajaraja Mangkat, kemudian di gantikan putranya yang
bernama Rajendra Cola naik tahta untuk memerintah kerajaan Cola Mandala dari India
Selatan, yang kemudian membuat politik kerajaan Cola Mandala dengan San-Fo-Tsi mulai
berubah. Pada Tahun 1017 Masehi Raja Rajendra Cola mengirim Bala tentara menyerbu
Keddah yang merupakan salah satu pelabuhan yang ada di bawah Kerajaan Sriwijaya ( SanFo-Tsi ) serangan ini dapat di patahkan oleh armada-armada laut kerajaan Sriwijaya ( SanFo-Tsi).
Pada tahun 1025 Masehi Raja Marawijaya Tunggawarman di gantikan oleh
Putranya yaitu Pangeran Sangrama Wijaya Tunggawarman , pada tahun inilah permusuhan
Kerajaan Cola Mandala dengan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) mencapai puncaknya, dimana
Kerajaan Cola Mandala di pimpin oleh Raja Rajendra Cola menyerbu secara besar-besaran
terhadap wilayah Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) adapun daerah yang di serbu tersebut antara lain :
ibukota Sriwijaya (Palembang), Melayu (Jambi), Ilamuri (Lamuri –Aceh ), Manak Kawarna (
Nikobar ), Kadaram (Keddah), dan berhasil menangkap Raja Sanggrama Wijaya
Tunggawarman di daerah Keddah. Walaupun demikian kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi )
tetap berdiri yang kemudian menunjuk penerus Tahta Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) adalah Raja
Dewa Kulotungga dari dinasti Sailendra. Meskipun invasi Raja Rajendra Cola tidak berhasil
sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya ( San Fo Tsi ) yang
berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri,
sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Pada Tahun 1079 Masehi Raja Dewa Kulotungga sebagai Raja Sriwijaya ( San-Fo-Tsi )
memperbaiki Candi Tien Ching di Kota Kuang Cho dekat kanton yang merupakan tempat
suci di sebelah utara Kanton. Pada tahun 1080 Raja Dewa Kulotungga wafat dan di gantikan
oleh puterinya. Kemudian Puteri Raja Dewa Kulotungga menikah dengan salah satu
Bangsawan dari Jambi ini tercatat dalam kunjungan Puteri Raja Dewa Kulotungga pada 1097
sudah di dampingi oleh wakil dari kerajaan Chan-Pi ( Jambi ). Sebagaimana kita ketahui
masyarakat di daerah sumatera selatan mempunyai adat bahwa penerus Jurai atau dinasti itu
terletak pada anak laki-laki sebagai penerus tahta kerajaan. Sehingga kebiasaan masyarakat
sumatera selatan adalah tempat atau ibukota kerajaan mengikuti Jurai penguasa pada saat itu.
Pada masa inilah generasi dari wangsa Sailendra di Swarnabhumi berakhir. Kemudian era
selanjutnya adalah kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) berpindah pusat pemerintahannya ke
Jambi ini menunjukan bahwa penguasa pada saat itu di pimpin oleh Jurai atau dinasti Melayu
dengan gelar Mauli Warmadewa yang berasal dari kata Tamil yang berarti Mahkota RajaRaja yang menandakan identitas raja-raja dari wangsa Melayu di Jambi.
Sriwijaya di Swarnapura………………………….
Pada masa itu system pemerintahan tradisional di sumatera selatan dimana pusat
pemerintahan biasanya mengikuti tempat dimana Jurai ( Dinasti=Wangsa ) yang berkuasa itu
berasal . Kemudian raja dari Wangsa Melayu di Sriwjaya( San-Fo-Tsi ) yang terkenal
pertama adalah Pangeran Suryanarana yang bergelar Mauli Warmadewa..
Sejak Kepemimpinan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dari wangsa Melayu yang berpusat di Jambi
maka Ibukota Pemerintahan pun pindah ke Jambi yang terkenal pada saat itu dengan nama
Swarnapura. Kemudian pada masa itu nama ibukota lama ( Palembang ) berubah dari
Swarnabhumi menjadi Po-Lin-fong. Adapun masa pemerintahan Wangsa Melayu di
Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dapat mengembalikan hubungan baik dengan kerajaan Cola
Mandala dari India selatan.
Pada Tahun 1178 di bawah pemerintahan Raja Sri MahaRaja ( Srimat ) Tri Lokaya Mauli
Warmadewa kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) mengirimkan utusan nya ke negeri China yang
selama 59 tahun terhenti sejak tahun 1097 dengan membawa berita seperti tertulis dalam
Ling-Wai-Taiwa yang di beritakan oleh Cu-Ku-Fei bahwa di kepulauan Asia Tenggara
terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya ( San Fo Tsi ) dan Jawa
(Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu,
sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa
beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di
utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu Sriwijaya (
San-Fo-Tsi ) telah membawahi 15 negeri di laut selatan antara lain :
- Pong-Pong ( Pahang ),Tong Ya Nong ( Trenggano ), Ling Ya Si Kia ( Langkasuka ), Kui
Lan Tan ( Kelantan ),Fo-Lo-An ( Dungan ), Ji-Li-Tong ( Jelotong ), Tsi Len Mai ( Semang ),
Pa Ta ( Batak ), Tan Ma Ling ( Tamalingga ), Ki Lo Hi ( Grahi ), Po-Lin-Pong ( Palembang ),
Sin –To ( Sunda ), Kim-Pei ( kampe ), Lan-Ma-li ( Lamuri – Aceh ),Si-Lan ( Sailon ).
Kemudian berturut turut sejak tahun 1178 sampai dengan 1373 Masehi Sriwijaya ( San-Fo-tsi
) seperti yang di beritakan di negeri China adalah beribukota di Jambi .
Pada akhir tahun 1275 tentara Kerajaan Singosari pada masa kepemimpinan Kartanegara
mengirim utusan ke Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) untuk mengajak bersama-sama menghadapi
pasukan Kubilai Khan dari Mongol dikarenakan utusan Mongol yang bernama Meng Chi
yang di utus ke Singosari mendapat perlakuan yang memalukan bagi kerajaan Mongol
sehingga membuat Kubilai Khan marah dan bermaksud menyerang kerajaan Singosari.
Utusan Singosari mendapat penolakan dari kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) di karenakan
Sriwijaya
merupakan
sekutu
dari
Kerajaan
China.
Menghadapi kondisi Sriwijaya ( San Fo Tsi ) yang tidak mau membantu Singosari akhirnya
Singosari memutuskan untuk menyerang dengan maksud dapat merubah sikap Sriwijaya
terhadap kerajaan China. Pada saat yang sama utusan Sriwijaya ( San Fo Tsi ) meminta
bantuan ke negeri china atas serangan dari kerajaan Singosari tersebut. Dan kemudianKubilai
Khan mulai melancarkan serangan ke Singosari yang membuat pasukan Singosari yang
berada di perairan Sriwijaya yang siap untuk menyerang ditarik mundur sehingga San Fo Tsi
lepas dari cengkeraman Singosari. Setelah Singosari meninggalkan SwarnaBhumi , San Fo
Tsi tidak mampu lagi mengembalikan kebesaran seperti semula. Dan akhirnya pada tahun
1286 kerajaan San Fo Tsi dapat ditaklukan Singosari. Pada tahun 1293 dengan kematian
Jaya Katuwang, San Fo Tsi lepas dari Singosari dan kembali memperoleh kemerdekaannya.
Namun sebelum San Fo Tsi dapat menunjukan kebesarannnya kembali telah disusul dengan
adanya invasi Patih Gajah mada di bawah kerajaan Majapahit. Kemudian Majapahit
menunjuk Adityawarman untuk memeritah kerajaan Malayupura di Darmasraya ( Prasasti
Adityawarman 1347 M ).
Pada tahun 1373 datang utusan terakhir dari Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) ke Tiongkok yang
menyatakan bahwa negerinya telah terpecah menjadi 3 kerajaan :
1. Mahana Po Lin Fong (di Palembang)
2. Kerajaan Minangkabau (di Sumatera Barat)
3. Kerajaan Melayu (di Darmasraya)
Kemudian tahun selanjutnya ketiga kerajaan tersebut berturut turut mengirmkan utusannya ke
negeri china untuk memproklamirkan kerajaan mereka, pada tahun 1374 datang utusan dari
kerajaan Mahana Po-Lin-Pong ( Maharaja Palembang ), pada tahun 1375 datang utusan dari
kerajaan Minagkabau dibawah Raja Adityawarman, dan kemudian pada tahun 1376 datang
pula utusan dari kerajaan Melayu yang berkedudukan di Darmasraya.
Dengan demikian , maka berakhirlah riwayat kerajaan San Fo Tsi yang kita anggap sebagai
kelanjutan kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya ………….
Berawal di Minanga ………………
Berjaya di Palembang ……………….
Berakhir di Jambi ……………………….
( H.M. Arlan Ismail, SH – 2003 ).
Download