1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya konflik atau sengketa diantara para Pihak yang terlibat didalamnya. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya perbenturan kepentingan (conflict of interest) diantara para Pihak. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai emosi para Pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang kadangkadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.1 Sengketa adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari di dalam masyarakat, karena setiap individu memiliki pandangan, prinsip, dan pendapat yang berbedabeda mengenai suatu masalah yang sedang dihadapinya. Secara sederhana, sengketa merupakan salah satu produk dari masyarakat dikarenakan sengketa hanya terjadi apabila minimal ada dua individu yang terlibat. Sengketa dapat terjadi setiap saat karena akibat timbulnya keadaan yang sekilas tampak tidak berarti dan kecil sehingga terabaikan dan biasanya muncul secara tiba–tiba dan tidak disangka-sangka atau dapat terjadi tanpa diperhitungkan sebelumnya. Sejak awal kehidupan, manusia telah terlibat dengan masyarakat 1 H. Priyatna Abdurrasyid, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan Kedua, PT.Fikahati Aneska, Jakarta, hlm. 1 2 disekitarnya yang penuh dengan pertentangan dan bersamaan dengan itu sejarah hukum berlangsung secara paralel dan yang selanjutnya dimanapun dapat saja diketemukan seseorang yang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul secara adil dan tidak memihak. Bertitik tolak dari perkembangan terjadinya sengketa, sejak awal hukum mulai dikembangkan yang akhirnya seperti yang tampak kini. Hukum mulai berkembang dan terjadilah pembagian tugas di dalam usaha menerapkan hukum secara tepat dan seadil mungkin. Tampak bahwa hukum itu bukan saja melindungi yang lemah terhadap tindak tanduk dari mereka yang kuat, akan tetapi juga memberi jalan kepada yang menderita untuk memperoleh ganti rugi bilamana memang ada dasarnya dan diperlukan sesuai dengan ketentuan hukum. Segala usaha itu biasanya dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan sistem hukum kenegaraan. Bilamana seseorang terlibat dalam suatu sengketa kedengarannya kadang-kadang begitu aneh, disebabkan mereka tidak pernah memikirkan sebab musababnya atau jarang memperhatikan kemungkinannya dan baru sadar setelah terlambat.2 Terkadang terdapat faktor “gunung es” dalam perselisihan, dimana hanya sebagian kecil yang nampak dan sebagian besar tersembunyi di bawah permukaan. Ini adalah masalah khusus berkaitan dengan pertentangan yang melibatkan para Pihak yang memiliki bentuk hubungan hukum satu sama lain yang mungkin semakin memburuk setelah jangka waktu tertentu. Sehingga dalam perselisihan kemitraan masalah yang tampak dalam permukaan bukanlah masalah yang sebenarnya secara keseluruhan, yang tidak tampak mungkin jauh lebih 2 Ibid. hlm. 31 3 rumit, melibatkan perbedaan-perbedaan mendasar dan mungkin terdapat masalah tersembunyi dalam hubungan usaha atau hubungan pribadi dimana para Pihak itu sendiri tidak menyadari sepenuhnya. Masalah ini sama sekali tidak hanya terbatas pada sengketa pribadi. Permasalahan tersembunyi akan muncul pada akhirnya dalam berbagai ungkapan perbedaan pendapat. Sifat Perselisihan atau Sengketa. Perselisihan atau sengketa mungkin berhubungan dengan uang yang dapat dihitung jumlahnya atau yang melibatkan sejumlah uang yang berkisar antara beberapa rupiah (US$, EURO, dll) sampai jumlah yang besar. Atau sebagaian sengketa mungkin berkenaan dengan hak-hak, status, gaya hidup, reputasi atau aspek lain dalam kegiatan perdagangan atau tingkah laku pribadi. Perselisihan mungkin juga berhubungan dengan soal yang sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya:3 a. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-penjelasan tentang kenyataan-kenyataan data tersebut. b. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum yang terkait. c. Akibat perbedaan teknis termasuk perbedaan pendapat dari para ahli teknik dan profesionalisme dari para pihak. d. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi. 3 Ibid., hlm. 4 4 e. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya, nilai-nilai dan sikap. Dalam hubungan kemasyarakatan terkadang seseorang baik secara pribadi maupun badan, melakukan hubungan kerjasama bisnis dengan Pihak lain atau dengan beberapa Pihak dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang umumnya dituangkan secara tertulis kedalam suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat Pihak-Pihak yang terlibat didalamnya. Perjanjian atau kontrak tersebut dapat dijadikan sebagai suatu hubungan hukum antara para Pihak yang terlibat didalamnya dan sesuai dengan Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah Pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Beberapa hal yang dapat menjadi potensi terjadinya sengketa pada perjanjian atau kontrak yang memerlukan perhatian dari para pihak antara lain:4 1. Sejak awal kontrak dibuat mengandung masalah; 2. Adanya miskomunikasi yang tertuang di dalam kontrak tidak disadari sesuai dengan harapan yang diinginkan salah satu Pihak; 3. Kontrak yang dibuat kurang jelas dan tidak spesifik; 4. Terbukanya peluang masalah pada isi kontrak yang dibuat; 5. Tidak segera mengatasi awal masalah yang timbul; 4 Anita Dewi Anggraeni, 2013, Asas Itikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui Arbitrase, P.T. Alumni, Bandung. hlm. 23 5 6. Tidak adanya usaha untuk berkonsultasi atas penyebab masalah yang timbul dan untuk segera menyelesaikannya sebelum mencuatnya sengketa; dan 7. Potensi lainnya. Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah geeding atau proces. Sementara itu, penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan pandangan dari para ahli. Ada ahli yang menggunakan istilah sengketa dan ada juga yang menggunakan istilah konflik. Kedua istilah itu sering kali digunakan oleh para ahli.5 Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai. Richard L. Able melihat sengketa dari aspek ketidak cocokan atau ketidak sesuaian para Pihak tentang sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai dimaknakan sebagai sesuatu yang mempunyai harga atau berharga uang.6 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan pengertian sengketa adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi Pihak-Pihak yang bersengketa tidak dicapai secara simultan (secara serentak). Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, melihat sengketa dari perbedaan kepentingan atau tidak dicapainya kesepakatan para Pihak.7 5 Ibid., hlm. 8 Ibid. 7 Ibid. 6 6 Laura Nader dan Harry F. Todd Jr. mengartikan sengketa yaitu sebagai: 8 “keadaan bahwa sengketa tersebut dinyatakan dimuka atau dengan melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya, ia mengemukakan istilah pra sengketa dan sengketa. Pra sengketa adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. Sengketa itu sendiri adalah keadaan ketika para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut”. Sengketa atau konflik dalam masyarakat mengalami suatu proses dan melalui tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan Laura Nader dan Harry F. Todd Jr. sebagai berikut: 9 “Tahap pertama, sengketa berawal dari munculnya keluhan-keluhan (grievance) dari salah satu pihak terhadap pihak lain (individu atau kelompok) karena pihak yang mengeluh merasa haknya dilanggar, diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dan lain-lain. Kondisi awal seperti ini disebut sebagai tahapan pra konflik (pre conflict stage) yang cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic). Monadik artinya keluhan yang belum ditanggapi pihak lawan. Tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukan reaksi negatif berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan dari pihak yang pertama, kondisi ini meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict stage) sehingga konfrontasi berlangsung secara diadik (dyadic). Diadik artinya bahwa keluhan itu telah ditanggapi pihak lawan. Tahap ketiga, apabila sengketa antara pihak-pihak tersebut ditunjukan dan dibawa ke arena publik (masyarakat) dan kemudian diproses menjadi kasus perselisihan dalam institusi penyelesaian sengketa, sehingga situasinya telah meningkat menjadi sengketa (dispute stage) dan konfrontasi antara pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik (triadic). Triadik artinya bahwa perorangan atau kelompok telah terlibat secara aktif dalam ketakadilan atau ketaksesuaian.” Pengertian sengketa yang disajikan oleh para ahli mengandung kelemahankelemahan. Kelemahan itu, meliputi tidak jelasnya subjek yang bersengketa dan 8 9 Ibid., hlm. 9 Ibid., hlm. 9-10 7 objek sengketa. Oleh karena itu, pengertian sengketa yang disajikan diatas perlu disempurnakan. Sengketa adalah pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi antara Pihak yang satu dengan Pihak lainnya dan atau antara Pihak yang satu dengan berbagai Pihak yang berkaitan dengan hak yakni sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang maupun benda (untuk selanjutnya disebut dengan “Sengketa”)10. Dean G.Pruit dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori yang disebut dengan teori strategi penyelesaian sengketa. Ada 5 (lima) strategi dalam penyelesaian sengketa, yaitu:11 “Pertama, contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya. Kedua, yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Ketiga, problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis. Kelima, inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa”. Para ahli antropologi hukum juga mengemukakan pendapatnya tentang caracara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat baik dalam masyarakat modern maupun tradisional. Laura Nader dan Harry F. Todd Jr. mengemukakan 7 (tujuh) cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat, yaitu:12 1. Lumping it (membiarkan saja); 2. Avoidance (mengelak); 10 Ibid., hlm. 9 Ibid., hlm. 14 12 Ibid. 11 8 3. Coercion (paksaan); 4. Negotiation (perundingan); 5. Mediation (mediasi); 6. Arbitration (arbitrase); dan 7. Adjudication (peradilan). Ketujuh cara ini, dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) cara pilihan penyelesaian sengketa (Choice of Forum), yaitu secara tradisional, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dalam bahasa Inggris Alternative Dispute Resolution (ADR), dan pengadilan. Yang termasuk cara tradisional adalah Lumping it (membiarkan saja), Avoidance (mengelak) dan Coercion (paksaan). Ketiga cara ini tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Yang termasuk dalam penyelesaian dengan menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah Negotiation (perundingan), Mediation (mediasi) dan Arbitration (arbitrase). Ketiga cara ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan “UU Arbitrase”). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan yaitu Adjudication (peradilan) dikenal dalam hukum acara. Sengketa yang terjadi berdasarkan Perjanjian Arbitrase dalam dimintakan penyelesaian Sengketa tersebut kepada Arbiter atau Majelis Arbiter yang akan memutuskan dalam Putusan Arbitrase yang bersifat final and binding, apabila dilakukan secara sukarela. Namun apabila pihak yang dikalahkan dalam Putusan Arbitrase tersebut tidak mau melaksanakan Putusan Arbitrase dengan sukarela, maka Putusan Arbitrase tersebut dapat dilaksanakan dengan jalan Eksekusi. 9 Arbitrase tidak memiliki juru sita,oleh karena itu proses Eksekusi Putusan Arbitrase masih dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Bagaimanakah proses Eksekusi dari hasil putusan Arbitrase dan apa saja hambatan-hambatan yang dapat ditemui dalam proses Eksekusi putusan Arbitrase Nasional di Indonesia agar Putusan Arbitrase tersebut dapat di Eksekusi atau direalisasikan. Atas dasar uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hukum, untuk itu penulis mengangkat judul: ”HAMBATAN – HAMBATAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DI INDONESIA”. B. Rumusan Masalah Dalam penulisan hukum ini penulis melakukan penelitian dengan perumusan masalah dibatasi pada analisa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara atau prosedur Eksekusi, Arbitrase dan putusan-putusan pengadilan yang terkait dengan Arbitrase Nasional di Indonesia, sebagai bentuk upaya yang dapat ditempuh oleh Pihak yang tidak mau melaksanakan dengan sukarela hasil putusan Arbitrase. Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja yang dapat menjadi hambatan-hambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase? 2. Apa saja solusi yang dapat ditempuh untuk mengurangi hambatanhambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase? 10 C. Tujuan Penelitian Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat mencapai target yang dikehendaki. Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami serta menjelaskan apa saja yang dapat menjadi hambatan-hambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis apa saja solusi yang dapat ditempuh untuk mengurangi hambatan-hambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua Pihak yang bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara teoritis. 1. Manfaat dari segi teoritis yaitu untuk memperdalam konsep-konsep hukum perdata dari aspek litigasi serta dapat memperkaya khasanah literatur khususnya literatur dalam bidang Hukum Eksekusi berdasarkan putusan Arbitrase hasil dari pemilihan pilihan hukum (Choice of Law) menggunakan Arbitrase. 2. Manfaat secara praktis yakni dapat dijadikan sebagai referensi bagi para praktisi di dalam mengembangkan keilmuan dibidang Hukum Eksekusi dan Hukum Arbitrase berdasarkan Perjanjian Arbitrase. 11 E. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian hukum, penulis telah melakukan penelusuran terhadap kemungkinan judul serupa yang pernah diambil sebagai penelitian ilmiah sebelumnya. Berdasarkan penelurusan kepustakaan yang dilakukan pada beberapa perpustakaan (khususnya dilingkup perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), diketahui bahwa penelitian tentang Hambatan-Hambatan Eksekusi Atas Putusan Arbitrase pernah dilakukan oleh orang lain baik dalam bentuk Thesis maupun Skipsi yaitu: 1. Thesis yang berjudul Kajian Hukum Tentang Penerapan Klausula Arbitrase Dan Akta Kompromis Dalam Transaksi Bisnis13, masalah yang diangkat dalam Thesis ini adalah: a. Bagaimana bentuk penerapan klausula/perjanjian Arbitrase dalam perjanjian transaksi bisnis?; dan b. Bagaimana bentuk akta kompromis dalam transaksi bisnis ditinjau dari segi hukum perjanjian?. Kesimpulan dari Thesis ini berisi tentang: 1) Bentuk penerapan klausula/perjanjian Arbitrase dalam kontrak transaksi bisnis harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dicantumkan dalam salah satu ketentuan pasal dalam perjanjian pokok, atau dalam suatu perjanjian aksesor terpisah. Contoh bentuk klausula Arbitrase dalam kontrak transaksi bisnis, antara lain adalah sebagai berikut: Pasal Penyelesaian Perselisihan 13 Ferry, 2014, Kajian Hukum Tentang Penerapan Klausula Arbitrase Dan Akta Kompromis Dalam Transaksi Bisnis, Thesis, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 12 Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus seorang Arbiter yang ditunjuk oleh Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), menurut peraturan-peraturan prosedur BANI, yang keputusannya mengikat Para Pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir. 2) Bentuk Akta Kompromis dalam transaksi bisnis ditinjau dari segi hukum perjanjian adalah: a. Harus berbentuk perjanjian tertulis; b. Merupakan aksesor dari perjanjian pokok; c. Isinya bebas disepakati Para Pihak, namun tidak boleh menyimpang dari perjanjian pokok; d. Memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 9 UU Arbitrase; e. Berlaku sebagai undang-undang bagi Para Pihak yang membuatnya (asas pacta sunt servanda atau agreement must be kept). 2. Thesis yang berjudul Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase14, masalah yang diangkat dalam Thesis ini adalah: a. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan sengketa konsumen? 14 Abdul Rahman Maulana Siregar, 2015, Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase, Thesis, Program Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 b. Bagaimana perbedaan kekuatan mengikat putusan Arbitrase oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kesimpulan dari Thesis ini berisi tentang: 1) Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselesaikan secara cepat dalam tenggang waktu 21 hari kerja setelah gugatan diterima dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian sengketa konsumen. Dalam Pasal 52 butir a UUPK ditentukan bahwa penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan melalui cara konsiliasi, arbitrase atau mediasi atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak. Sengketa yang telah masuk ke BPSK sebagai pengaduan dari konsumen dan kemudian konsumen mengajukan gugatan dengan tujuan untuk diselesaikan oleh BPSK. Para pihak yang memilih penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, maka konsumen memilih arbiter dari salah satu unsur konsumen yang ada di BPSK, demikian juga pelaku usaha dengan cara yang sama. Arbiter dari konsumen dan pelaku usaha memilih arbiter dari unsur pemerintah yang akan menjadi ketua majelis dan dibantu oleh panitera. Pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan BPSK dilakukan dalam 3 hari kerja sejak gugatan konsumen diterima secara lengkap 14 dan benar telah memenuhi persyaratan. Jawaban serta alat bukti dari konsumen dan pelaku usaha disampaikan selarnbat-lambatnya pada hari ke 7 terhitung sejak dibacakannya gugatan oleh konsumen. Putusan arbitrase oleh BPSK dapat memuat sanksi administratif. Putusan BPSK wajib dilaksanakan para pihak dalam jangka waktu 7 hari setelah putusan diterirna, apabila para pihak menolak putusan BPSK maka para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Para pihak yang tidak mengajukan keberatan dianggap menerima putusan BPSK dan apabila tidak menjalankan putusan maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan. Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat tinggal konsumen yang dirugikan. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti dan yang mengandung perintah kepada suatu pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. 2) Kekuatan hukum yang diberikan berdasarkan UUPK Pasal 54 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 56 ayat (2) dan begitu juga Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 Pasal 42 ayat (1) dengan Pasal 41 ayat (3) kepada BPSK terutama dalam hal putusan boleh dikatakan sangat Iemah, disebabkan karena 15 putusan yang bersifat final dan mengikat dapat dapat dilakukan upaya hukum keberatan. Sebutan pengajuan keberatan hanya dikenal dalam UUPK dan tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di pengadilan umum, sehingga hakim dalam pengadilan negeri tempat dimana ada pengajuan keberatan atas keputusan BPSK memperoleh kesulitan untuk penafsiran apakah pengajuan keberatan tersebut semacam banding atau ditafsirkan sebagai gugatan baru, karena dalam hal ini belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana yang dimaksud dengan pengajuan keberatan atas putusan BPSK di Pengadilan Negeri. Keberatan atas putusan BPSK dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Rl Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Terhadap putusan arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 60 bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yaitu terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan. Putusan arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengikat para pihak yang terlibat secara 1angsung terhadap proses arbitrase dan pihak ketiga yang memang mempunyai klaim. Pihak ketiga diluar 16 perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses arbitrase apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. 3. Thesis yang berjudul Perlawanan Sebagai Alasan Penundaan Eksekusi Dan Sikap Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Yogyakarta15, masalah yang diangkat dalam Thesis ini adalah: a. Apakah yang menjadi alasan terjadinya perlawanan terhadap eksekusi sebagai alasan penundaan eksekusi? b. Bagaimanakah sikap Pengadilan dalam menghadapi perlawanan terhadap eksekusi? Kesimpulan dari Thesis ini berisi tentang: 1) Pada dasarnya tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pelaksanaan terhadap eksekusi meskipun terjadi suatu perlawanan terhadap eksekusi yang dalam hal ini perlawanan tersebut merupakan hak dan boleh dilakukan oleh siapa saja yang merasa mempunyai kepentingan terhadap perkara tersebut, kecuali apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan maka eksekusi dapat ditangguhkan setidak-tidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri. 15 Titin Apriani, 2014, Perlawanan Sebagai Alasan Penundaan Eksekusi Dan Sikap Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Thesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 17 Dalam hal ini tidak ada bedanya atau hampir tidak ada perbedaan yang pokok antara perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak serta perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga, hanya saja terletak pada kedudukan pihak Pelawan serta pihak yang harus ditarik sebagai Terlawan. Pada perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak (Partai Verzet) kedudukan Pelawan sejak semula sudah terlibat langsung dalam proses putusan atau penetapan, dan Pelawan berkedudukan sebagai pihak tereksekusi langsung oleh karena itu perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak ini (Partai Verzet) termasuk jenis upaya hukum gugat biasa. Sementara perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga (Derden Verzet) tidak terlibat Iangsung dalam perkara semula, atau sebelumnya tidak ikut serta dalam berperkara, akan tetapi karena pihak ketiga merasa dirugikan atas dasar hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai, hak Tanggungan, hak sewa dan lainlain, maka pihak ketiga melakukan perlawanan untuk membela haknya, oleh karena itu perlawanan semacam ini termasuk upaya hukum luar biasa. 2) Sikap Pengadilan dalam menghadapi suatu perlawanan terhadap eksekusi, baik perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak maupun perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal hakim 18 menghadapi suatu gugat perlawanan maka hakim harus bersikap objektif serta bersifat pasif. Dalam hal menghadapi suatu gugatan seperti ini memang hakim tidak boleh memihak pada salah satu pihak sehingga dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain, dengan demikian apabila ada suatu bentuk gugat perlawanan maka hakim yang ditunjuk untuk mengadili gugatan perlawanan tersebut harus diselesaikan secara kasuistis, kemudian antara perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak maupun perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut akan disidangkan seperti proses berperkara pada biasanya dan tidak terdapat suatu perbedaan antara kedua jenis perlawanan tersebut. 4. Skripsi yang berjudul Faktor-faktor penghambat eksekusi keputusan Arbitrase16, dari karya ilmiah tersebut penulis menemukan kemiripan judul namun dikarenakan penulis tidak dapat menemukan hardcopy maupun softcopy Skripsi yang dimaksud di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis tidak dapat menentukan apakah permasalahan penelitian tersebut sama ataukah berbeda dengan yang sedang diteliti dalam Thesis ini. Dari beberapa karya ilmiah sebagimana uraian diatas, penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan karya ilmiah sebelumnya, karena pada Thesis Ferry mengenai Kajian Hukum Tentang Penerapan Klausula Arbitrase Dan Akta 16 Daryono, 1996, Faktor-faktor penghambat eksekusi keputusan Arbitrase, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 19 Kompromis Dalam Transaksi Bisnis menjelaskan mengenai bentuk klausula/perjanjian Arbitrase dan bentuk akta kompromis dan tidak membahas mengenai Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase, pada Thesis Abdul Rahman Maulana Siregar mengenai Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan perbedaan kekuatan mengikat putusan Arbitrase oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dimana dalam Thesis tersebut tidak menjelaskan mengenai Eksekusi berdasarkan Putusan Arbitrase, pada Thesis Titin Apriani mengenai Perlawanan Sebagai Alasan Penundaan Eksekusi Dan Sikap Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Yogyakarta menjelaskan mengenai alasan terjadinya perlawanan terhadap eksekusi sebagai alasan penundaan eksekusi dan sikap Pengadilan dalam menghadapi perlawanan terhadap eksekusi tersebut dimana dalam Thesis tersebut tidak menjelaskan mengenai Eksekusi berdasarkan Putusan Arbitrase, pada Skripsi oleh Daryono tersebut terbit pada tahun 1996 sebelum UU Arbitrase terbit pada tahun 1999, sedangkan penelitian ini menggunakan UU Arbitrase sebagai dasar hukum penelitian ini. Berdasarkan uraian tersebut, dengan demikian penelitian ini belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya dan keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.