BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam
bentuk kerja sama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat,
maka tidak mungkin dihindari terjadinya konflik atau sengketa diantara para
Pihak yang terlibat didalamnya. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan
dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya perbenturan
kepentingan (conflict of interest) diantara para Pihak.
Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai
emosi para Pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang kadangkadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.1
Sengketa adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari di dalam masyarakat,
karena setiap individu memiliki pandangan, prinsip, dan pendapat yang berbedabeda mengenai suatu masalah yang sedang dihadapinya. Secara sederhana,
sengketa merupakan salah satu produk dari masyarakat dikarenakan sengketa
hanya terjadi apabila minimal ada dua individu yang terlibat.
Sengketa dapat terjadi setiap saat karena akibat timbulnya keadaan yang
sekilas tampak tidak berarti dan kecil sehingga terabaikan dan biasanya muncul
secara tiba–tiba dan tidak disangka-sangka atau dapat terjadi tanpa diperhitungkan
sebelumnya. Sejak awal kehidupan, manusia telah terlibat dengan masyarakat
1
H. Priyatna Abdurrasyid, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Cetakan Kedua, PT.Fikahati Aneska, Jakarta, hlm. 1
2
disekitarnya yang penuh dengan pertentangan dan bersamaan dengan itu sejarah
hukum berlangsung secara paralel dan yang selanjutnya dimanapun dapat saja
diketemukan seseorang yang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul secara adil dan tidak memihak. Bertitik tolak dari
perkembangan terjadinya sengketa, sejak awal hukum mulai dikembangkan yang
akhirnya seperti yang tampak kini. Hukum mulai berkembang dan terjadilah
pembagian tugas di dalam usaha menerapkan hukum secara tepat dan seadil
mungkin. Tampak bahwa hukum itu bukan saja melindungi yang lemah terhadap
tindak tanduk dari mereka yang kuat, akan tetapi juga memberi jalan kepada yang
menderita untuk memperoleh ganti rugi bilamana memang ada dasarnya dan
diperlukan sesuai dengan ketentuan hukum. Segala usaha itu biasanya dilakukan
melalui pengadilan sesuai dengan sistem hukum kenegaraan. Bilamana seseorang
terlibat dalam suatu sengketa kedengarannya kadang-kadang begitu aneh,
disebabkan mereka tidak pernah memikirkan sebab musababnya atau jarang
memperhatikan kemungkinannya dan baru sadar setelah terlambat.2
Terkadang terdapat faktor “gunung es” dalam perselisihan, dimana hanya
sebagian kecil yang nampak dan sebagian besar tersembunyi di
bawah
permukaan. Ini adalah masalah khusus berkaitan dengan pertentangan yang
melibatkan para Pihak yang memiliki bentuk hubungan hukum satu sama lain
yang mungkin semakin memburuk setelah jangka waktu tertentu. Sehingga dalam
perselisihan kemitraan masalah yang tampak dalam permukaan bukanlah masalah
yang sebenarnya secara keseluruhan, yang tidak tampak mungkin jauh lebih
2
Ibid. hlm. 31
3
rumit, melibatkan perbedaan-perbedaan mendasar dan mungkin terdapat masalah
tersembunyi dalam hubungan usaha atau hubungan pribadi dimana para Pihak itu
sendiri tidak menyadari sepenuhnya. Masalah ini sama sekali tidak hanya terbatas
pada sengketa pribadi. Permasalahan tersembunyi akan muncul pada akhirnya
dalam berbagai ungkapan perbedaan pendapat.
Sifat Perselisihan atau Sengketa. Perselisihan atau sengketa mungkin
berhubungan dengan uang yang dapat dihitung jumlahnya atau yang melibatkan
sejumlah uang yang berkisar antara beberapa rupiah (US$, EURO, dll) sampai
jumlah yang besar. Atau sebagaian sengketa mungkin berkenaan dengan hak-hak,
status, gaya hidup, reputasi atau aspek lain dalam kegiatan perdagangan atau
tingkah laku pribadi. Perselisihan mungkin juga berhubungan dengan soal yang
sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya:3
a. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau
dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-penjelasan
tentang kenyataan-kenyataan data tersebut.
b. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran
menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum yang terkait.
c. Akibat perbedaan teknis termasuk perbedaan pendapat dari para ahli teknik
dan profesionalisme dari para pihak.
d. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam
penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi.
3
Ibid., hlm. 4
4
e. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas,
budaya, nilai-nilai dan sikap.
Dalam hubungan kemasyarakatan terkadang seseorang baik secara pribadi
maupun badan, melakukan hubungan kerjasama bisnis dengan Pihak lain atau
dengan beberapa Pihak dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang umumnya
dituangkan secara tertulis kedalam suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat
Pihak-Pihak yang terlibat didalamnya. Perjanjian atau kontrak tersebut dapat
dijadikan sebagai suatu hubungan hukum antara para Pihak yang terlibat
didalamnya dan sesuai dengan Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah Pihak atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Beberapa hal yang dapat menjadi potensi terjadinya sengketa pada perjanjian
atau kontrak yang memerlukan perhatian dari para pihak antara lain:4
1. Sejak awal kontrak dibuat mengandung masalah;
2. Adanya miskomunikasi yang tertuang di dalam kontrak tidak disadari
sesuai dengan harapan yang diinginkan salah satu Pihak;
3. Kontrak yang dibuat kurang jelas dan tidak spesifik;
4. Terbukanya peluang masalah pada isi kontrak yang dibuat;
5. Tidak segera mengatasi awal masalah yang timbul;
4
Anita Dewi Anggraeni, 2013, Asas Itikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak
Melalui Arbitrase, P.T. Alumni, Bandung. hlm. 23
5
6. Tidak adanya usaha untuk berkonsultasi atas penyebab masalah yang
timbul dan untuk segera menyelesaikannya sebelum mencuatnya sengketa;
dan
7. Potensi lainnya.
Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute.
Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah geeding atau proces.
Sementara itu, penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan
pandangan dari para ahli. Ada ahli yang menggunakan istilah sengketa dan ada
juga yang menggunakan istilah konflik. Kedua istilah itu sering kali digunakan
oleh para ahli.5
Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah pernyataan publik
mengenai tuntutan yang tidak (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai.
Richard L. Able melihat sengketa dari aspek ketidak cocokan atau ketidak
sesuaian para Pihak tentang sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai
dimaknakan sebagai sesuatu yang mempunyai harga atau berharga uang.6
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan pengertian sengketa
adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of
interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi Pihak-Pihak yang bersengketa
tidak dicapai secara simultan (secara serentak). Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z.
Rubin, melihat sengketa dari perbedaan kepentingan atau tidak dicapainya
kesepakatan para Pihak.7
5
Ibid., hlm. 8
Ibid.
7
Ibid.
6
6
Laura Nader dan Harry F. Todd Jr. mengartikan sengketa yaitu sebagai: 8
“keadaan bahwa sengketa tersebut dinyatakan dimuka atau dengan
melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya, ia mengemukakan istilah pra
sengketa dan sengketa. Pra sengketa adalah keadaan yang mendasari rasa
tidak puas seseorang. Sengketa itu sendiri adalah keadaan ketika para
pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas
tersebut”.
Sengketa atau konflik dalam masyarakat mengalami suatu proses dan melalui
tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan Laura Nader dan Harry F. Todd Jr.
sebagai berikut: 9
“Tahap pertama, sengketa berawal dari munculnya keluhan-keluhan
(grievance) dari salah satu pihak terhadap pihak lain (individu atau
kelompok) karena pihak yang mengeluh merasa haknya dilanggar,
diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga
dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dan lain-lain. Kondisi awal
seperti ini disebut sebagai tahapan pra konflik (pre conflict stage) yang
cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic).
Monadik artinya keluhan yang belum ditanggapi pihak lawan.
Tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukan reaksi negatif
berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan dari pihak yang
pertama, kondisi ini meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik
(conflict stage) sehingga konfrontasi berlangsung secara diadik (dyadic).
Diadik artinya bahwa keluhan itu telah ditanggapi pihak lawan.
Tahap ketiga, apabila sengketa antara pihak-pihak tersebut ditunjukan dan
dibawa ke arena publik (masyarakat) dan kemudian diproses menjadi
kasus perselisihan dalam institusi penyelesaian sengketa, sehingga
situasinya telah meningkat menjadi sengketa (dispute stage) dan
konfrontasi antara pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik (triadic).
Triadik artinya bahwa perorangan atau kelompok telah terlibat secara aktif
dalam ketakadilan atau ketaksesuaian.”
Pengertian sengketa yang disajikan oleh para ahli mengandung kelemahankelemahan. Kelemahan itu, meliputi tidak jelasnya subjek yang bersengketa dan
8
9
Ibid., hlm. 9
Ibid., hlm. 9-10
7
objek sengketa. Oleh karena itu, pengertian sengketa yang disajikan diatas perlu
disempurnakan.
Sengketa adalah pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi
antara Pihak yang satu dengan Pihak lainnya dan atau antara Pihak yang satu
dengan berbagai Pihak yang berkaitan dengan hak yakni sesuatu yang bernilai,
baik itu berupa uang maupun benda (untuk selanjutnya disebut dengan
“Sengketa”)10.
Dean G.Pruit dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori yang disebut
dengan teori strategi penyelesaian sengketa. Ada 5 (lima) strategi dalam
penyelesaian sengketa, yaitu:11
“Pertama, contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu
solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya.
Kedua, yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan
bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan.
Ketiga, problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif
yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.
Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi
sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.
Kelima, inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa”.
Para ahli antropologi hukum juga mengemukakan pendapatnya tentang caracara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat baik dalam masyarakat
modern maupun tradisional. Laura Nader dan Harry F. Todd Jr. mengemukakan 7
(tujuh) cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat, yaitu:12
1. Lumping it (membiarkan saja);
2. Avoidance (mengelak);
10
Ibid., hlm. 9
Ibid., hlm. 14
12
Ibid.
11
8
3. Coercion (paksaan);
4. Negotiation (perundingan);
5. Mediation (mediasi);
6. Arbitration (arbitrase); dan
7. Adjudication (peradilan).
Ketujuh cara ini, dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) cara pilihan
penyelesaian sengketa (Choice of Forum), yaitu secara tradisional, Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) dalam bahasa Inggris Alternative Dispute
Resolution (ADR), dan pengadilan. Yang termasuk cara tradisional adalah
Lumping it (membiarkan saja), Avoidance (mengelak) dan Coercion (paksaan).
Ketiga cara ini tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Yang
termasuk dalam penyelesaian dengan menggunakan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS) adalah Negotiation (perundingan), Mediation (mediasi) dan
Arbitration (arbitrase). Ketiga cara ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya
disebut dengan “UU Arbitrase”). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan yaitu
Adjudication (peradilan) dikenal dalam hukum acara.
Sengketa yang terjadi berdasarkan Perjanjian Arbitrase dalam dimintakan
penyelesaian Sengketa tersebut kepada Arbiter atau Majelis Arbiter yang akan
memutuskan dalam Putusan Arbitrase yang bersifat final and binding, apabila
dilakukan secara sukarela. Namun apabila pihak yang dikalahkan dalam Putusan
Arbitrase tersebut tidak mau melaksanakan Putusan Arbitrase dengan sukarela,
maka Putusan Arbitrase tersebut dapat dilaksanakan dengan jalan Eksekusi.
9
Arbitrase tidak memiliki juru sita,oleh karena itu proses Eksekusi Putusan
Arbitrase masih dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Bagaimanakah proses
Eksekusi dari hasil putusan Arbitrase dan apa saja hambatan-hambatan yang dapat
ditemui dalam proses Eksekusi putusan Arbitrase Nasional di Indonesia agar
Putusan Arbitrase tersebut dapat di Eksekusi atau direalisasikan. Atas dasar uraian
di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hukum, untuk itu
penulis mengangkat judul: ”HAMBATAN – HAMBATAN DALAM EKSEKUSI
PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan hukum ini penulis melakukan penelitian dengan perumusan
masalah dibatasi pada analisa peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai tata cara atau prosedur Eksekusi, Arbitrase dan putusan-putusan
pengadilan yang terkait dengan Arbitrase Nasional di Indonesia, sebagai bentuk
upaya yang dapat ditempuh oleh Pihak yang tidak mau melaksanakan dengan
sukarela hasil putusan Arbitrase.
Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja yang dapat menjadi hambatan-hambatan dalam Eksekusi
terhadap Putusan Arbitrase?
2. Apa saja solusi yang dapat ditempuh untuk mengurangi hambatanhambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase?
10
C. Tujuan Penelitian
Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki
tujuan sehingga dapat mencapai target yang dikehendaki.
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami serta menjelaskan apa saja yang dapat
menjadi hambatan-hambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis apa saja solusi yang dapat ditempuh
untuk mengurangi hambatan-hambatan dalam Eksekusi terhadap Putusan
Arbitrase.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua Pihak yang
bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara
teoritis.
1. Manfaat dari segi teoritis yaitu untuk memperdalam konsep-konsep hukum
perdata dari aspek litigasi serta dapat memperkaya khasanah literatur
khususnya literatur dalam bidang Hukum Eksekusi berdasarkan putusan
Arbitrase hasil dari pemilihan pilihan hukum (Choice of Law)
menggunakan Arbitrase.
2. Manfaat secara praktis yakni dapat dijadikan sebagai referensi bagi para
praktisi di dalam mengembangkan keilmuan dibidang Hukum Eksekusi
dan Hukum Arbitrase berdasarkan Perjanjian Arbitrase.
11
E. Keaslian Penelitian
Sebelum melakukan penelitian hukum, penulis telah melakukan penelusuran
terhadap kemungkinan judul serupa yang pernah diambil sebagai penelitian
ilmiah sebelumnya. Berdasarkan penelurusan kepustakaan yang dilakukan
pada beberapa perpustakaan (khususnya dilingkup perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada), diketahui bahwa penelitian tentang
Hambatan-Hambatan Eksekusi Atas Putusan Arbitrase pernah dilakukan oleh
orang lain baik dalam bentuk Thesis maupun Skipsi yaitu:
1. Thesis yang berjudul Kajian Hukum Tentang Penerapan Klausula
Arbitrase Dan Akta Kompromis Dalam Transaksi Bisnis13, masalah yang
diangkat dalam Thesis ini adalah:
a. Bagaimana bentuk penerapan klausula/perjanjian Arbitrase dalam
perjanjian transaksi bisnis?; dan
b. Bagaimana bentuk akta kompromis dalam transaksi bisnis ditinjau dari
segi hukum perjanjian?.
Kesimpulan dari Thesis ini berisi tentang:
1) Bentuk penerapan klausula/perjanjian Arbitrase dalam kontrak
transaksi bisnis harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dicantumkan
dalam salah satu ketentuan pasal dalam perjanjian pokok, atau dalam
suatu perjanjian aksesor terpisah. Contoh bentuk klausula Arbitrase
dalam kontrak transaksi bisnis, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal Penyelesaian Perselisihan
13
Ferry, 2014, Kajian Hukum Tentang Penerapan Klausula Arbitrase Dan Akta
Kompromis Dalam Transaksi Bisnis, Thesis, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus seorang Arbiter yang ditunjuk oleh Ketua Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), menurut peraturan-peraturan prosedur
BANI, yang keputusannya mengikat Para Pihak yang bersengketa
sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.
2) Bentuk Akta Kompromis dalam transaksi bisnis ditinjau dari segi
hukum perjanjian adalah:
a. Harus berbentuk perjanjian tertulis;
b. Merupakan aksesor dari perjanjian pokok;
c. Isinya
bebas
disepakati
Para
Pihak,
namun
tidak
boleh
menyimpang dari perjanjian pokok;
d. Memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 9 UU Arbitrase;
e. Berlaku sebagai undang-undang bagi Para Pihak yang membuatnya
(asas pacta sunt servanda atau agreement must be kept).
2. Thesis yang berjudul Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase14,
masalah yang diangkat dalam Thesis ini adalah:
a. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
(BPSK)
dalam
menyelesaikan
sengketa
konsumen?
14
Abdul Rahman Maulana Siregar, 2015, Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase, Thesis, Program Magister
Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
b. Bagaimana perbedaan kekuatan mengikat putusan Arbitrase oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Kesimpulan dari Thesis ini berisi tentang:
1) Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselesaikan secara cepat
dalam tenggang waktu 21 hari kerja setelah gugatan diterima dan tidak
dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian
sengketa konsumen. Dalam Pasal 52 butir a UUPK ditentukan bahwa
penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan melalui cara
konsiliasi, arbitrase atau mediasi atas dasar pilihan dan persetujuan
para pihak. Sengketa yang telah masuk ke BPSK sebagai pengaduan
dari konsumen dan kemudian konsumen mengajukan gugatan dengan
tujuan untuk diselesaikan oleh BPSK.
Para pihak yang memilih penyelesaian sengketa konsumen dengan
cara arbitrase, maka konsumen memilih arbiter dari salah satu unsur
konsumen yang ada di BPSK, demikian juga pelaku usaha dengan cara
yang sama.
Arbiter dari konsumen dan pelaku usaha memilih arbiter dari unsur
pemerintah yang akan menjadi ketua majelis dan dibantu oleh panitera.
Pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan BPSK dilakukan
dalam 3 hari kerja sejak gugatan konsumen diterima secara lengkap
14
dan benar telah memenuhi persyaratan. Jawaban serta alat bukti dari
konsumen dan pelaku usaha disampaikan selarnbat-lambatnya pada
hari ke 7 terhitung sejak dibacakannya gugatan oleh konsumen.
Putusan arbitrase oleh BPSK dapat memuat sanksi administratif.
Putusan BPSK wajib dilaksanakan para pihak dalam jangka waktu 7
hari setelah putusan diterirna, apabila para pihak menolak putusan
BPSK maka para pihak dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja
setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Para pihak yang
tidak mengajukan keberatan dianggap menerima putusan BPSK dan
apabila tidak menjalankan putusan maka BPSK menyerahkan putusan
tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan.
Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan dimintakan penetapan
fiat eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat tinggal konsumen
yang dirugikan. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum pasti dan yang mengandung
perintah kepada suatu pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang.
2) Kekuatan hukum yang diberikan berdasarkan UUPK Pasal 54 ayat (3)
bertentangan dengan Pasal 56 ayat (2) dan begitu juga Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001
Pasal 42 ayat (1) dengan Pasal 41 ayat (3) kepada BPSK terutama
dalam hal putusan boleh dikatakan sangat Iemah, disebabkan karena
15
putusan yang bersifat final dan mengikat dapat dapat dilakukan upaya
hukum keberatan.
Sebutan pengajuan keberatan hanya dikenal dalam UUPK dan tidak
dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
pengadilan umum, sehingga hakim dalam pengadilan negeri tempat
dimana ada pengajuan keberatan atas keputusan BPSK memperoleh
kesulitan untuk penafsiran apakah pengajuan keberatan tersebut
semacam banding atau ditafsirkan sebagai gugatan baru, karena dalam
hal ini belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai apa
dan bagaimana yang dimaksud dengan pengajuan keberatan atas
putusan BPSK di Pengadilan Negeri. Keberatan atas putusan BPSK
dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Rl Nomor
01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan BPSK.
Terhadap putusan arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 60
bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak. Pembatalan putusan arbitrase diatur
dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yaitu terhadap putusan
arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
putusan.
Putusan arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengikat
para pihak yang terlibat secara 1angsung terhadap proses arbitrase dan
pihak ketiga yang memang mempunyai klaim. Pihak ketiga diluar
16
perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam
proses arbitrase apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan
keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta
disetujui oleh majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang
bersangkutan.
3. Thesis yang berjudul Perlawanan Sebagai Alasan Penundaan Eksekusi
Dan Sikap Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di
Pengadilan Negeri Yogyakarta15, masalah yang diangkat dalam Thesis ini
adalah:
a. Apakah yang menjadi alasan terjadinya perlawanan terhadap eksekusi
sebagai alasan penundaan eksekusi?
b. Bagaimanakah sikap Pengadilan dalam menghadapi perlawanan
terhadap eksekusi?
Kesimpulan dari Thesis ini berisi tentang:
1) Pada dasarnya tidak ada alasan untuk melakukan penundaan
pelaksanaan terhadap eksekusi meskipun terjadi suatu perlawanan
terhadap eksekusi yang dalam hal ini perlawanan tersebut merupakan
hak dan boleh dilakukan oleh siapa saja yang merasa mempunyai
kepentingan terhadap perkara tersebut, kecuali apabila segera nampak
bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan maka eksekusi dapat
ditangguhkan setidak-tidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh
Pengadilan Negeri.
15
Titin Apriani, 2014, Perlawanan Sebagai Alasan Penundaan Eksekusi Dan Sikap
Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Thesis,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
17
Dalam hal ini tidak ada bedanya atau hampir tidak ada perbedaan yang
pokok antara perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak serta
perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga, hanya saja terletak pada
kedudukan pihak Pelawan serta pihak yang harus ditarik sebagai
Terlawan.
Pada perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak (Partai Verzet)
kedudukan Pelawan sejak semula sudah terlibat langsung dalam proses
putusan atau penetapan, dan Pelawan berkedudukan sebagai pihak
tereksekusi langsung oleh karena itu perlawanan yang dilakukan oleh
salah satu pihak ini (Partai Verzet) termasuk jenis upaya hukum gugat
biasa.
Sementara perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga (Derden
Verzet) tidak terlibat Iangsung dalam perkara semula, atau sebelumnya
tidak ikut serta dalam berperkara, akan tetapi karena pihak ketiga
merasa dirugikan atas dasar hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak
guna usaha (HGU), hak pakai, hak Tanggungan, hak sewa dan lainlain, maka pihak ketiga melakukan perlawanan untuk membela
haknya, oleh karena itu perlawanan semacam ini termasuk upaya
hukum luar biasa.
2) Sikap Pengadilan dalam menghadapi suatu perlawanan terhadap
eksekusi, baik perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak
maupun perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal hakim
18
menghadapi suatu gugat perlawanan maka hakim harus bersikap
objektif serta bersifat pasif.
Dalam hal menghadapi suatu gugatan seperti ini memang hakim tidak
boleh memihak pada salah satu pihak sehingga dapat menyebabkan
kerugian bagi pihak lain, dengan demikian apabila ada suatu bentuk
gugat perlawanan maka hakim yang ditunjuk untuk mengadili gugatan
perlawanan tersebut harus diselesaikan secara kasuistis, kemudian
antara perlawanan yang dilakukan oleh salah satu pihak maupun
perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut akan
disidangkan seperti proses berperkara pada biasanya dan tidak terdapat
suatu perbedaan antara kedua jenis perlawanan tersebut.
4. Skripsi yang berjudul Faktor-faktor penghambat eksekusi keputusan
Arbitrase16, dari karya ilmiah tersebut penulis menemukan kemiripan judul
namun dikarenakan penulis tidak dapat menemukan hardcopy maupun
softcopy Skripsi yang dimaksud di Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, penulis tidak dapat menentukan apakah
permasalahan penelitian tersebut sama ataukah berbeda dengan yang
sedang diteliti dalam Thesis ini.
Dari beberapa karya ilmiah sebagimana uraian diatas, penelitian yang dilakukan
penulis berbeda dengan karya ilmiah sebelumnya, karena pada Thesis Ferry
mengenai Kajian Hukum Tentang Penerapan Klausula Arbitrase Dan Akta
16
Daryono, 1996, Faktor-faktor penghambat eksekusi keputusan Arbitrase, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
19
Kompromis
Dalam
Transaksi
Bisnis
menjelaskan
mengenai
bentuk
klausula/perjanjian Arbitrase dan bentuk akta kompromis dan tidak membahas
mengenai Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase, pada Thesis Abdul Rahman
Maulana Siregar mengenai Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase menjelaskan
mengenai penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dan perbedaan kekuatan mengikat putusan Arbitrase oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dimana dalam Thesis tersebut tidak menjelaskan mengenai Eksekusi berdasarkan
Putusan Arbitrase, pada Thesis Titin Apriani mengenai Perlawanan Sebagai
Alasan Penundaan Eksekusi Dan Sikap Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian
Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Yogyakarta menjelaskan mengenai alasan
terjadinya perlawanan terhadap eksekusi sebagai alasan penundaan eksekusi dan
sikap Pengadilan dalam menghadapi perlawanan terhadap eksekusi tersebut
dimana dalam Thesis tersebut tidak menjelaskan mengenai Eksekusi berdasarkan
Putusan Arbitrase, pada Skripsi oleh Daryono tersebut terbit pada tahun 1996
sebelum UU Arbitrase terbit pada tahun 1999, sedangkan penelitian ini
menggunakan UU Arbitrase sebagai dasar hukum penelitian ini.
Berdasarkan uraian tersebut, dengan demikian penelitian ini belum pernah
dilakukan penelitian sebelumnya dan keaslian penelitian ini dapat dipertanggung
jawabkan.
Download