MAKALAH DISKUSI TOPIK HIFEMA EVAN REGAR 0906508024 Narasumber: dr. Gitalisa Andayani, Sp.M DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA MARET 2013 HIFEMA Definisi Hifema didefinisikan sebagai keberadaan sel darah merah di kamera okuli anterior (anterior chamber). Apabila keberadaan sel darah merah sangat sedikit sehingga hanya terbentuk suspensi sel-sel darah merah tanpa pembentukan lapisan darah, keadaan ini disebut sebagai mikrohifema. Etiologi dan Patogenesis Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni: 1. Hifema traumatik 2. Hifema iatrogenik 3. Hifema spontan Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil, mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju.1 Trauma tumpul yang menghantam bagian depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan terjadinay penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini akan mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera oculi anterior).2 Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini dapat terjadi intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema iatrogenik. Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan kedua jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik mata depan akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun adanya gangguan hematologi. 1. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun sikatriks. Pada kondisi ini, adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti retina yang mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan mengeluarkan faktor tumbuh vaskular (misal: VEGF)2 yang oleh lapisan kaya pembuluh darah (seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah yang baru pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah mengalami ruptur maupun kebocoran. Kondis ini meningkatkan kerentanan terjadinya perdarahan bilik mata depan. 2. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada umumnya juga melibatkan neovaskularisasi3 seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama. 3. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand yang mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan faktor anti-pembekuan. Dengan demikian terjadi proses kecenderungan berdarah. 4. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti aspirin dan warfarin. Gambar 1 – Proses trauma dari arah anterior bola mata dapat mengakibatkan distorsi dimensi antero-posterior dan ekuatorial yang mengakibatkan perubahan tekanan intraokular mendadak dan menyebabkan ruptur pembuluh darah (Kanski, 2011) Salah satu literatur3 menyebutkan bahwa pada anak-anak dengan retinoblastoma, hifema merupakan 0,25% presentasi klinis dari seluruh gejala retinoblastoma. Meskipun jarang, hifema dapat menjadi salah satu tanda terjadinya kelainan intraokular khususnya pada bayi dan anak-anak tanpa riwayat trauma yang signifikan. Sebagian besar hifema yang terjadi di masyarakat merupakan hifema grade I, predisposisi pada laki-laki (sekitar 75%), serta insidens tertinggi pada usia sekolah4. 40% hifema yang terjadi terjadi perlekatan dengan stroma iris, sedangkan 10% mengalami perlekatan dengan endotel kornea. Pada umumnya hifema tanpa komplikasi dapat diresoprsi dan menghilang secara spontan dalam waktu kurang dari satu minggu (lima hingga enam hari). Gejala dan Tanda Pada umumnya pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala, fotofobia, serta menjelaskan riwayat trauma atau percideraan pada mata. Percideraan yang dikeluhkan umumnya diakibatkan oleh benda tumpul5. Tnad ayna gdapat ditemukan adalah keberadaan darah yang dapat terlihat melalui kornea. Keberadaan hifema perlu ditentukan derajatnya (berdasarkan klasifikasinya) serta warna hifema yang terbentuk. Pada komunitas khusus (seperti kaum Hispanik maupun orang kulit hitam ras Afro-Amerika perlu dieksplorasi mengenai anemia sel sabit sebab hifema pada seorang dengan sel sabit dapat menunjukkan perburukan yang cepat akibat ertirosit sabit mengoklusi trabekula dengan lebih efektif dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokular yang lebih berbahaya dan akut. Klasifikasi hifema berdasarkan severitasnya adalah sebagai berikut5: Grade Keberadaan darah di Kamera Okuli Anterior (COA) 1 Kurang dari 1/3 2 1/3 sampai ½ 3 Lebih dari ½ 4 Total (Penuh) a.k.a blackball / 8-ball hyphema Tabel 1 – Klasifikasi hifema berdasarkan derajat keparahannya Gambar 2 – Klasifikasi hifema secara skematis (Sumber: drhem.com) Pada umumnya yang perlu diwaspadai dalam menemukan kasus hifema adalah komplikasi yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya dibandingkan keberadaan darah di kamera okuli anterior itu sendiri. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah: 1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu gluakoma traumatik 2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik 3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder (2o hemorrhage) 4. Sinekia posterior 5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari sembilan hari 6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan hemosiderin pada stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total yang umumnya disertai dengan peningkatan tekanan intraokular. Corneal blood staining dapat menghilang, namun memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya. 7. Glaukoma kronik Glaukoma Traumatik2 Glaukoma traumatik dapat ditemukan 4% apabila perdarahan kurang dari setengah COA, dengan komplikasi lain mencapai 22% dan prognosis ketajaman penglihatan >6/18 berada pada angka 78%. Sementara itu pada kasus yang lebih berat, yakni perdarahan lebih dari setengah COA, glaukoma traumatik memiliki insidens yang jauh lebih tinggi, yakni 85%, dengan komplikasi lain mencapai 78% serta prognosis ketajaman penglihatan >6/18 jauh lebih rendah, yakni hanya 28%. Perjalanan glaukoma yang terjadi akibat trauma pada umumnya mengikuti pola sebagai berikut4: • • 24 jam • TIO akut • Plugging trabekula oleh eritrosit dan fibrin Hari 2-6 • • Penurunan TIO subnormal akibat berkurangnya produksi akuesuos Hari 7 dst • Kembalinya TIO ke tingkat normal (atau sedikit meningkat) Perdarahan Sekunder Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus diwaspadai pada hifema. Hal ini disebabkan 1/3 dari perdarahan sekunder justru dapat lebih berat dibandingkan hifema awal, yakni dapat mengakibatkan hifema total. Perdarahan sekunder umumnya terjadi pada hifema derajat 3 dan 4, dan secara umum terjadi pada 22% kasus hifema, dengan rentang antara 6,5% hingga 38%4. Perdarahan sekunder disebabkan oleh lisis dan retraksi dari bekuan darah dan fibrin yang telah berfungsi secara stabil untuk menyumbat pembuluh darah yang mengalami ruptur atau kebocoran. Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi buruk, dengan penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari 20/50 atau 6/15) yang mengalami perdarahan sekunder lebih buruk dibandingkan dengan yang tidak mengalami komplikas ini (79,5% vs 64%). Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan sekunder adalah: Sickel cell trait Tajam penglihatna saat presentasi <20/200 (6/60) Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti pada penderita angina pektoris) Penanganan hifema yang lebih dari dua puluh empat jam Atrofi Optik Atrofi optik merupakan keadaan akhir akibat glaukoma traumatik yang dapat terjadi pada pasien dengan hifema. Terjadinya peningkatan tekanan intraokular mengakibatkan tekanan diteruskan ke seluruh bagian mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang merupakan retina akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf. Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi optik. Pada tekanan bola mata 50 mmHg, kerusakan dapat terjadi dalam 7 hari, sedangkan pada tekanan bola mata 35 mmHg kerusakan dapat terjadi dalam 5 hari. Pada individual dengan sickle cell trait, kerusakan bahkan lebih cepat terjadi pada tekanan yang lebih rendah, mengindikasikan pentingnya penanganan segera terutama pada pasien-pasien ini. Gambar 3 – Gambaran papil atrofi, yakni berupa papil yang tampak pucat akibatnya menghilangnya serabut saraf dan pembuluh darah kapiler akibat tekanan intraokular yang meninggi. (Crouch, 2006) Gambar 4 – Gambaran corneal blood staining yang berwarna kekuningan pada kornea (Sumber: dro.hs.columbia.edu) Manajemen Penatalaksanaan hifema sangat bergantung kepada derajat hifema, komplikasi yang terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Demikian pula hal-hal inilah yang menjadi parameter dalam menentukan apakah pasien perlu dirawat atau hanya berobat jalan saja. Untuk kasus ringan, penatalaksanaan dapat meliputi terapi konservatif, seperti: 1. Membatasi aktivitas pasien 2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover 3. Melakukan elevasi kepala 30-45o. Adapun maksud dari elevasi kepala adalah untuk membuat darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan tidak menghalangi tajam penglihatan. Posisi ini juga mempermudah dalam evaluasi harian COA tentang resorpsi hifema sehingga dapat menunjukkan kemajuan pengobatan. Selain itu posisi ini merupakan posisi optimal dalam mencegah kontak sel-sel darah merah dengan korena dan trabekula Fontana. 4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif. Hal ini juga sesuai dengan poin pertama. 5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindair penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID) sebab dapat menimbulkan perdarahan dan berisiko menyebabkan perdarahan sekunder. 6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan intraokular, serta regresi hifema. Tujuan terapi sesuai dengan komplikasi yang mungkin terjadi. Untuk mengatasi peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian antiglaukoma topikal, seperti timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost (analog prostaglandin), serta brimonidin (agonis reseptor 2 tipe perifer). Kesemua agen ini bertujuan untuk mengurangi produksi akueous humor dan dapat membantu menurunkan tekanan intraokular. Apabila masih tinggi, dapat dicobakan pemberian inhibitor enzim karbonat-anhidrase (CAI) topika.. Tekanan yang belum terkontrol mengindikasikan pemberian agen lain, yakni CAI sistemik (melalui oral), yakni asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis. Hal ini terutama digunakan apabila tekanan masih di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan masih tinggi adalah pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10% 2 kali sehari atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per oral. Hal ini penting apabila tekanan intraokular tetap di atas 35 mmHg meskipun hal-hal di atas telah dicobakan pada pasien. Untuk mencegah perdarahan seknder, dapat diberikan asam aminokaproat / ACA yang merupakan agen anti-plasmin. Plasmin merupakan enzim yang melisiskan bekauan darah sehingga dapat mengakibatkan perdarahan ulang. Asam aminokaproat yang pertama kali diteliti menggunakan dosis 100 mg/kg dan diberikan setiap 4 jam (dengan maksimal 30 g setiap hari) melalui oral. Agen ini diberikan selama 5 hari dan terbukti secara klinis sangat menurunkan kejadian perdarahan sekunder, dibandingkan dengan pemberian plasebo. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa asam aminokaproat 50 mg/kg juga sama efektifnya dengan pemberian 100 mg/kg. Pemberian asam aminokaproat terutama diindikasi pada hifema dengan kurang dari 75% COA sebab pada kondisi yang lebih dari ini mencegah lisis dari bekuan darah dianggap tidak efektif dalam mencegah terjadinya perdarahan sekunder. Penelitian lanjutan juga menunjukkan pemberian asam aminokaproat secara topikal juga sama efektifnya, sehingga apabila tersedia agen topikal, agen ini lebih dianjurkan diberikan secara topikal. Steroid juga terbukti dapat menunjukkan risiko perdarahan sekunder.4 Pasien diindikasikan rawat inap jika: 1. Pasien mengalami hifema derajat Ii atau lebih, sebab berpotensi terjadinya perdarahan sekunder 2. Merupakan sickle cell trait 3. Terjadi trauma tembus okuli 4. Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan 5. Pasien yang memiliki riwayat glaukoma Dalam pasien rawat, perlu dilakukan pemantauan secar a intensif seperti tajam penglihatan, tekanan intraokular, serta resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati apakah terdapat indikasi bedah pada pasien. Pasien akan menjalani bedah apabila terdapat: 1. Corneal blood staining 2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg lebih dari 24 jam 3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal ini perlu dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior, meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal 4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4 hari atau lebih meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal 5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan intraokular lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal Prognosis Prognosis pada kasus hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam penglihatan pasien. Fungsi penglihatan harus merupakan goal dalam penatalaksanaan pasien dengan hifema. Dalam menentukan kasus hifema perlu dipertimbangkan: 1. Kerusakna struktur mata lain 2. Perdarahan sekunder 3. Komplikasi lain: glaukoma, corneal blood staining, serta atrofi optik Secara umum, hifema grade I memiliki kemungkinan 80% untuk mencapai tajam penglihatan minimal 6/12. Hifema yang lebih tinggi, yakni grade II memiliki kemungkinan 60%, sedangkan pada hifema total kemungkinan tajam penglihatan minimal 6/12 relatif rendah, yakni sekitar 35%. Lampiran Gambar Pasien dengan hifema 1 mm akibat trauma tumpul. Terdapat pula edema korneal, injeksi konjungtiva. Pasien dengan neovaskularisasi iris yang mengalami hifema spontan. Referensi 1. Sheppard JD. Hyphema. [Internet]. Updated: 2011 Mar 19, Cited: 2013 Mar 19. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview 2. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology. A systematic approach. Seventh edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011 3. Chraibi F, Bhallil S, Benatiya I, Tahri H. Hyphema revealing retinoblastoma in childhoot. A case report. Bull. Soc. Belge Ophtalmol. 2011(318): 41-3 4. Crouch Jr ER, Crouch ER. Trauma: ruptures and bleeding. In: Tasman W, Jaeger E. Duane’s ophtalmology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006 5. Oldham GW. Hyphema. [Internet]. Cited: 2013 Mar 19. Available from: http://eyewiki.aao.org/Hyphema 6. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & asbury’s general ophtalmology. 16th edition. New York: McGraw Hill; 2004