komisi konstitusi ke-1

advertisement
Nomor: RISALAHDPD/KMT.1-RDPU/I/2017
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER
MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2016 – 2017
I.
KETERANGAN
1.
2.
Hari
Tanggal
:
:
Rabu
25 Januari 2017
3.
4.
5.
Waktu
Tempat
Pimpinan Rapat
:
:
:
10.38 WIB – 12.24 WIB
R.Sidang 2A
Pimpinan Rapat
1. Drs. H. Akhmad Muqowam (Ketua)
2. H. Fachrul Razi, M.IP (Wakil Ketua)
3. Benny Rhamdani (Wakil Ketua)
6.
Sekretaris Rapat
:
7.
Acara
:
Membahas RUU tentang etika penyelenggaraan negara
dengan narasumber Yudie Latief, Ph.D & H. Enceng
Shobirin Nadj
8.
Hadir
:
Orang
9.
Tidak hadir
:
Orang
II. JALANNYA RAPAT:
RAPAT DIBUKA PUKUL 10.38 WIB
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Ibu dan Bapak sekalian, kita bisa mulai?
Pak Hendry bisa kita mulai? Mohon maaf jadi, kesibukan bapak sesama pembaru
saya kira bisa dibincangkan lebih lanjut nanti, karena Kang Enceng, Kang Yudie di DPD
katanya banyak baju baju katanya, saya ga ngerti maksudnya itu apa? Sudah sampai kan.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahiim.
Alhamdulillah.
Selamat malam dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati, teman-teman Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah, yang
saya hormati narasumber kita ada Kang Enceng, Shobirin Nasmudin. Loh ini banyak
pengalaman di LP3ES, LIPI dan macam-macam lah, terus kemudian yang kedua ini Pak
Yudie Latif, Bang Yudie Latif, saya kira saya tidak mau memperkenalkan, saya tidak bisa
memperkenalkan dan saya yakin bahwa Bapak-bapak tidak sekedar mungkin kalau ada yang
belum ketemu tapi pikirannya sudah pasti ketemu. Nah itu, baik dalam buku ataupun...
Jadi oleh karena itu, Ibu Bapak sekalian, Kang Ceng, Kang Yudi, saya kira, saya
ingin kenalkan dulu teman-teman yang hadir, senior kita yang bajunya ini, tidak tahu,
kuningnya sudah mulai berubah atau tidak ini, nah itu, dulu kuningnya begini. Pak Yudie
Latif, namanya beliau ini adalah Hudarni Rani, terakhir di eksekutif adalah gubernur Bangka
Belitung, dia pendiri juga dia penikmat sekaligus, pendiri Provinsi Babel. Sebelah kirinya ini
Pak Yacob Komigi, beliau dari Papua, apakah bajunya itu sama dengan aslinya sekarang
tidak tahu juga, kok berani-beraninya biru sekarang itu. Kemudian Pak Hendri Zainuddin ini
bajunya sangat bagus, jahitannya bagus dan orang tahu model bajunya dan warna bajunya.
Yang belakang ini Pak Mawardi, Kalimantan Tengah. Pak Mawardi ini bajunya masih
cokelat, saya tidak tahu ini apakah menjadi merah atau menjadi yang lain, wallahu a'lam tapi
ada juga, ada orang, ini independent atau depend on, independent on katanya. Kemudian
sebelah kiri Nurmawati Bantilan, salam beliau dari Sulawesi Tengah. Kemudian Pak Cholid
beliau dari Yogyakarta yang punya Undang-Undang 13 tahun 2012 saya kira, keistimewaan
Yogyakarta. Kemudian sebelah saya pak Syarif beliau dari Lampung, kemudian Pak Khali
dari Gorontalo, Pak Khali ini baru PAW, kemarin baru dilantik ya menggantikan Ibu Hana
Hasanah Fadel Muhammad, satu hilang, 2 terbilang tapi banyak teman-teman yang di Komite
I itu, merasa kehilangan betul, aneh juga. Saya kira penggantinya lebih bagus, saya bilang
begitu. Kemudian belakang ini Guston, Jawa Timur, Abdul Qadir Amir Hartono, kemudian
sebelahnya Pak Ahmad Subadri dari Banten, Kang. Saya kira apakah punya kesamaan
provinsi dengan Kang Enceng, saya juga tidak tahu kemudian Pak Rizal Sirait, Sumatera
Utara.
Ibu dan Bapak sekalian, saya ingin sampaikan dulu kenapa hari ini formil ya ada..
Pertama bahwa Baleg, DPR, pemerintah, DPD, DPD di bawah pemerintah didalam Renstra
tahun 2017 itu secara kualitatif melibatkan DPD untuk beberapa RUU. Untuk tahun ini
misalnya adalah RUU tentang, provinsi pemerintahan kepulauan. Ini kita dapat SPK dari
Baleg, saya kira DPR, pemerintah dan kemudian DPD diminta untuk itu, itu menjadi ruang
kerja Komite I.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
1
Lalu yang kedua ada RUU lagi yang didalam long list adalah Undang-Undang
mengenai etika penyelenggaraan negara, Pak Yudie, ini juga diserahkan kepada DPD. Nah,
karena itu kami dari Komite I tentu menyiapkan karena sebetulnya GBH dari Senayan DNAnya itu legislatif. Kalau bicara Senayan, DNA-nya itu legaslatif bukan yang lain, mau bilang
pengawasan, mau bilang anggaran itukan memang fungsi dari Senayan tapi bahwa DNA-nya
itu legislatif. Bagaimana faktanya Pak Yudie, Bapak Ibu sekalian, jadi kalau kita bicara DNA
tersebut maka hari ini Senayan masih dis, masih drop, masih bawah karena tidak menarik,
membuat Undang-Undang itu. Ini perlu effort yang luar biasa, lebih enak kalau pengawasan,
pengawasan itu tidak ada batasan, apalagi pengawasan di DPR ya, itu gak ada batas,
semaunya saja boleh. Baca koran, Rakyat Merdeka, kok pas hari rapat, dia masuk ke agenda
rapat itu bisa. Lalu yang kedua adalah fungsi anggaran, saya kira ini yang “menarik” juga ya
sehingga menghadirkan Damayanti, ini saya kira ekses atau akses saya tidak tahu itu, dalam
anggaran itu akses Pak Yudie atau malah menjadi ekses.
Nah, dalam hal etika penyelenggaraan negara, Pak Yudie dan Pak Enceng, kami
kemarin sudah merapatkan diri dan kemudian disepakati bahwa karena ini serius menjadi
urusan Komite I, kita mencoba mencari narasumber karena outpunya adalah dua. Pertama
adalah naskah akademik, lalu yang kedua adalah Rancangan Undang-Undang, NA belum
ada, RUU juga belum ada. Jadi istilahnya, jahitan itu adalah kita baru mau beli kain, kainnya
belum ada, modelnya juga belum ada. Jadi baru mau ke toko, Pasar Baru yang penting beli
kain warna putih putihnya mau apa, kelasnya kelas apa, kualitasnya seperti apa dan
kemudian jahitan seperti apa ini belum. Karena itu beberapa yang menjadi pemikiran kami
adalah, bicara narasumber maka ada dua terutama adalah kita harapkan, para ahli, para pakar
itu bersedia, mendampingi kami sebagai tenaga ahli, betul Pak Darman ya, tenaga ahli. Kami
akan meng-hire 3 sampai 4 orang dan ini saya kira karena kerja serius ya untuk sampai
kemudian mulai dari rancangan sampai kemudian menjadi draf sampai dengan undangundang.
Lalu yang kedua tentu kami akan pilih, akan tetapkan narasumber yang realible
dengan materi ini. Nah karena itu saya sudah komunikasi dengan Kang Yudhi, saya sudah
komunikasi dengan Kang Ceng, Pak Fakhri Ali yang sedianya hari ini hadir tetapi ya katakan
saya belum bisa hadir karena memang hari ini ada acara di Paramadhina. Beberapa yang lain
saya kira Pak Sofyan Efendi, Pak Taufik Efendi, Pak Mipta Toha kemudian Mas Eko
Prasojo. Kenapa ini saya sampaikan, orang ini sebetulnya yang kalau bicara mengenai
reformasi birokrasi ini yang punya kompetensi. Pada waktu yang lalu Pak Taufik, pada tahun
2007, Menteri Menpan, reformasi birokrasi, itu saya menjadi saksi bahwa ini loh kalau
republik pelayanan baik, birokrasi baik, ini seperti ini yang harus ada.
Hari ini beberapa undang-undang sudah lahir misalnya undang-undang mengenai
pelayanan publik ombudsman. Walaupun adanya juga ombudsman itukan namanya boleh
besar tapi anggarannya kecil, gak bisa jalan. Anggaran untuk Abdi Usman jangan kemudian
akibatnya kelembagaan juga belum bagus akibatnya lagi kinerja juga belum bisa menyeluruh,
ombudsman.
Terakhir, isu mengenai pemilihan rektor, misalnya kayaknya juga mati ditangan itu.
Jadi artinya tidak ada follow up. Terus kemudian ada Undang-Undang 5 tahun 2014 yang
saya kira hari ini menariknya adalah DPR ingin me-reform undang-undang itu. UndangUndang 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Saya kalau baca dari koran, saya kenal
Saudari Wibowo, kemarin kencang betul, kinerja buruk, tidak bisa mengakomodasi K2,
harus dibubarkan. Hari ini sudah agak mundur lagi, ya perlu dipertimbangkanlah, itu ada
keputusannya didalam pansus, bagus juga ini karena KSM-nya dapat momentum.
Momentumnya itu adalah Klaten misalnya, ya Bu Sri Haryani Haryani dalam rangka
pengisian PP 18 tahun 2016 tentang SODK di kabupaten sehingga tabulasi yang dihasilkan
oleh ASN adalah 35 triliun. Ini kalau golongan I sekian, eselon I sekian, eselon II sekian,
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
2
eselon III sekian. Saya memahami betul karena undang-undang sebetulnya adalah paradigma
aparat, pegawai negeri menjadi aparatur.
Lalu yang kedua adalah kalau hubungan politik dan birokrasi, haruslah dia clear.
Undang-undang ini mencoba untuk kesana tapi ada yang terganggu, saya bupati kok tidak
bisa langsung intervensi nah ini agak terganggu. Bahkan dalam kasus ini ketika kita juga
mengundang Badan Kepegawaian Negara, Pak Enceng, Badan Kepegawaian Negara
mengirim surat kepada bupati, gubernur di Indonesia, wali kota termasuk. Kalau memang
usulan dari pemerintah daerah itu benar dan bisa menjamin, kami akan proses menjadi PNS.
Alhamdulillah gak ada yang jawab karena menjamin itu gak ada bisa menggaransi. Jadi
ruang hari ini kalau kemudian Undang-Undang 5 tahun 2014 itu kemudian di destroyer ya
saya enggak tahu lagi undang-undang apa lagi yang harus ada ini. Jadi karena itu, mungkin
ini realible bahwa kalau itu apakah perlu etika penyelenggaraan? Undang-Undang Aparatur
Sipil Negara yang mengelola 4,6 juta saja, disia-siakan begitu.
Nah, lalu yang terakhir, saya kira soal landasan konstitusi Pak. Saya kira kita sudah
punya TAP 10 tahun 1998 mengenai Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka
penyelamatan kehidupan nasional. Kemudian TAP 6 tahun 2001 Etika Kehidupan Berbangsa
yang mengisyaratkan mengaktualisasaikan etika pemerintahan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara mengacu pada cita-cita persatuan dan seterusnya.
Saya kira Kang Yudhi, ya beri kami sebuah road map ya agar mem-break down
Undang-Undang Dasar ke dalam satu peraturan perundang-undangan yang memang bisa
lebih implementatif dan bisa imperaktif saya kira itu. Kemudian juga ada TAP 8 tahun 2001
merekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN yang perlunya
membentuk peraturan perundang-undangan untuk pencegahan korupsi. Kemudian juga ada
TAP 2 tahun 2002 tentang Percepatan Mengenai Ekonomi termasuk reformasi birokrasi dan
membangun penyelenggaraan negara dan dunia usaha yang bersih dan mendesak terciptanya
penyelenggaraan negara bidang usaha dan seluruh masyarakat yang baik dan bersih.
Kemudian ada TAP 6 tahun 2002 menagamalkan pemberantasan KKN, penegakan dan
kepastian hukum dalam reformasi birokrasi dan beberapa Undang-Undang sebagai
implementasi dari itu.
Nah, Kang Yudie, saya kira TAP MPR itu, kami di Komite I berpandangan bahwa itu
bisa menjadi payung, hari ini, tidak banyak yang dijadikan payung dalam rangka membuat
undang-undang. Contoh salah satu yang juga menjadi ruang Komite I, itu RUU Pertanahan.
Itu jelas amanat dari TAP 9 tahun 2001 perlu ada RUU Pertanahan, yang lalu sudah dibahas
sekarang tidak dibahas lagi karena memang mungkin sebelah memang sedang tidak mood.
Mood-nya hari ini adalah penambahan, ini urusan Komisi II, mood-nya mungkin lagi perlu
penambahan dapil, perlu penambahan kursi, itu mood-nya hari ini seperti itu, sebelah itu, itu
yang membidangi, bidang-bidang yang berkaitan dengan pengelolaan birokrasi, etika
penyelenggara negara.
Jadi saya kira sebagai pengantar Kang Ceng, Kang Yudie saya kira mohon ini, dua
hal. Ya satu, secara pribadi dan secara komite barangkali nanti kalau Bapak Ibu juga
memberikan satu perkuatan kita perlu pakar, perlu tim ahli yang memang kuat ini, kalau
tidak, kita gak bisa bayangkan Pak tapi ada 5 tim ahli Pak, di intern DPD. Komite I ini ada
Mas Fadli di belakang, beliau doktor di Brawijaya ngajar, kemudian Mas Fendi beliau ini
adalah pengajar juga di Unjem, Universitas Jember ini, unjuk UJ, UJ sekarang ini Pak wah
singkatan itu UA apa itu, Universitas Airlangga, UB, Universitas Brawijaya, gak sekarang
UB bukan Unbraw, ada UB ada UA gak mau kalah sama Airlangga, UA. Kemudian Saudara
Sudarman, beliau dari, pengalaman jadi ketua KPU dulu, 2 periode ya Man ya? Banyak caleg
tapi dia belum bisa memilih caleg, ya banyak caleg yang laki-laki, perempuan tapi belum
bisa mencaleg yang lebih konkritnya seperti itu. Kemudian Mas Wawan, ini sudah lama jadi
tenaga ahli di Komite I saya kira, dari zaman ora enak sampai jaman enak katanya begitu, ya
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
3
enaknya di DPD apa sih Pak, kan tidak banyak Pak. Kemudian Saudara Riza, saya kira salut
dengan Kang Ceng ini dari Yogyakarta, Yogyakarta itu ya ada macam-macam, dia dari IAIN
bukan dari UIN.
Baik saya kira demikian sebagai pengantar banyak sebetulnya materi yang juga kita
berikan tapi mungkin highlight pemikiran besar grand design baik secara substansial ataupun
mengenai bentuk kerja kedepan, mohon ini, Kang Yudie dulu lah, kalau sudah ini kalau sama
pakar ini susah Pak, tapi tidak saling menghindari itu yang penting, silakan.
PEMBICARA: YUDI LATIEF, Ph.D (NARASUMBER)
Baik terima kasih Pak Ketua.
Selamat pagi.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Ya ini memang satu rancangan undang-undang yang tepat waktu jika ruang publik
kita mengalami kocar-kacir ini. Negara absen didalam robeknya simbol-simbol kebangsaan
ini kan seolah-olah tatanan kita juga semakin tidak mampu mengatasi berbagai konflik,
berbagai disinformasi, hoax dimana-mana. Jadi kita ini sekarang berada pada titik dimana,
terjadi dekadensi nalar etis dan nalar ilmiah di ruang publik. Jadi ini saya kira tepat dan
terbukti selama ini bahwa penyelesaian masalah-masalah melalui peradilan juga ga bisa. Jadi
ke depan selain ada mahkamah hukum harus ada juga mahkamah etik saya kira karena kalau
penyelesaian masalah secara hukum itu melalui pro justicia itu lama sekali. Prosedurnya
mahal dan belum tentu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu kita harus
mengembangkan mahkamah etik berdasarkan model-model restoratif justice, konsensus ya
berdasarkan nilai-nilai yang disepakati kita bersama.
Nah, kalau kita bicara tentang etika penyelenggara negara, maka ini kita berada di
wilayah pembicaraan tentang etika publik, atau etika politik, bukan etika perseorangan, tapi
ini sudah etika publik. Bukan etika di wilayah privat, tapi ini di wilayah publik. Etika
berbicara tentang kebaikan manusia sebagai manusia tapi politik bicara tentang manusia
secara keseluruhan dengan segala keragamannya. Jadi etika publik atau etika politik
berbicara tentang kebaikan manusia sebagai manusia tapi sekaligus juga kebaikan manusia
sebagai penyelenggara negara.
Orang yang baik secara individu belum tentu baik dari penyelenggara negara karena
manusia yang baik secara individu hanya akan baik, kata Aristoteles, kalau lingkungan
penyelenggara negaranya juga baik karena didalam lingkungan penyelenggara negara yang
buruk, pribadi yang baik, bisa jadi ikut buruk gitu loh. Sebaiknya didalam lingkungan
penyelenggara negara yang baik, pribadi-pribadi yang kurang baik bisa ikut, baik.
Nah, jadi disini, etika publik bicara lama tentu saja pertama melakukan pendasaran
atas kebaikan pribadi tapi kemudian atas landasan bantalan kebaikan pribadi, dia juga harus
menjadi penyelenggara negara yang baik yang tunduk pada kesepakatan nilai-nilai publik.
Meskipun nilai-nilai publik ini bisa saja didasarkan pada nilai-nilai agama tapi harus bisa
dibedakan karena didalam moral publik itu adalah wilayah konsesus, dimana semua identitas,
agama, kearifan-kearifan lokal harus punya titik temu. Jadi tidak bisa satu nilai, dari satu
wilayah privat agama tertentu misalnya langsung didiktekan pada moral publik.
Nilai moral publik adalah moral yang negosiasi, merupakan irisan bersama dari
seluruh tata nilai. Irisan bersama dari seluruh tata nilai itu dalam kehidupan publik kita
sebenarnya mengkristal dalam Pancasila, sebenarnya. Jadi sebenarnya etika penyelenggara
negara merupakan turunan dari moral pancasila, that it's itu, sebenarnya begitu. Nah, tentu
moral pancasila bisa kita turunkan dengan berbagai cara. Di zaman orde baru, kita mengenal
ada 36 butir dan lain-lain, tapi yang penting di sini yang harus kita ketahui adalah
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
4
prinsipilnya. Bagaimana sih menurunkan pancasila kedalam etika publik? Kita harus punya
kerangka atau prinsip berpikir. Nah kalau kita ingin melihat bagaimana kerangka
institusionalisasi Pancasila sebagai pejabat publik pertama kita harus melihat pokok-pokok
pikiran pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 karena pokok-pokok pikiran itu betulbetul sebenarnya memberikan direktif ya, memberikan semacam arahan tentang bagaimana
Pancasila itu harus diturunkan didalam penyelenggaraan negara.
Sayang sekali, nah sebenarnya ini, pokok pikiran ini, karena pembukaan tidak diubah
didalam amandemen, maka praktis, mestinya pokok-pokok pikirannya juga imbedit didalam
pembukaan itu. Jadi sebenarnya pembukaan itu, kalau kita lihat Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, sebagai namanya staats fundamental norm, norma dasar negara. Itu sebenarnya
secara keseluruhan bukan hanya dari alinea keempat, secara keseluruhan sebenarnya secara
bicara nilai-nilai pancasila, yang kemudian diturunkan kedalam empat pokok pikiran.
Pokok pikiran pertama adalah negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia berdasarkan persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jadi prinsip pertama adalah prinsip penyelenggara negara itu, harus
prinsispnya melindungi. Nah, perlindungan ini diarahkan kemana? Pertama melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Segenap bangsa artinya seluruh
manusianya, seluruh tumpah darah artinya wilayah. Jadi yang dilindungi bukan hanya
manusianya tapi juga wilayahnya karena yang lindungi kalau manusia saja, seumur-umur
yang dibangun tempat yang padat penduduknya saja.
DPD ini sendiri sebenarnya mengakomodasi prinsipil perlindungan atas dasar wilayah
itu. Jadi mau provinsi besar, provinsi kecil presentasinya sama. DPD betul-betul
mencerminkan perlindungan pada wilayah. Jadi etika penyelenggara negara pertama-tama
setiap penyelenggara negara harus mampu melindungi setiap warga dengan segala
keragamannya dan seluruh tumpah darah. Nah itu yang disebut dengan konsep negara
interglalistik, negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Itu yang
disebut dengan konsep negara kesatuan tapi kemudian diakhiri dengan melindungi segenap
bangsa dan berdasarkan persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, tapi
kemudian diakhiri dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yang berikutnya fungsi negara ini mewujudkan keadilan, negara keadilan. Nah,
dalam hal ini keadilan berbasis pada right, unsur-unsur hak. Hak-hak yang sifatnya individu,
hak-hak warga, dan hak-hak kolektif. Nah, Indonesia ini mengenal 3 hak, berbeda
sebenarnya dengan Declaration Independent of Human Right paling tidak pada tahap
awalnya hanya individu saja. Kecuali nanti setelah, oke, jadi keadilan di sini meliputi baik
hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial budaya. Kalau dilihat dari agensinya, meliputi
hak individu, hak warga, hak kolektif.
Misalnya di Undang-Undang Dasar kita ada hak yang sifatnya individual, misalnya
Pasal 29 bahwa tiap hak beragama berkeyakinan bagi penduduk. Jadi mau orang luar, orang
dalam dilindungi itu hak berkeyakinannya itu, itu universal. Pokoknya setiap orang yang ada
di Indonesia, mau warga negara atau tidak selama manusia hak berkeyakinannya dilindungi.
Kedua, ada hak yang sifatnya, hak warga misalnya hak bela negara, itu jelas hak
warga. Banyak lagi hak-hak lain lah, hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupkan yang
layak bagi kemanusiaan, itu hak warga, kebanyakan hak warga lah. Nah, berikutnya adalah
hak kolektif, jadi ada hak yang sifatnya kolektif, bukan hak individu. Misalnya cabangcabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara. Nah itu berarti commonwealth itu haknya hak kolektif hingga level tertentu juga ada
hak yang sifat kometarian misalnya wilayah adat dan lain-lain.
Kemudian, tadi, pada unsur jenisnya ada hak sipil, politik, hak ekonomi, sosial,
budaya. Jadi pada pokok pikiran pertama keadilan itu adalah satu dimensi yang sangat luas.
Pada pokok pikiran kedua, bunyinya adalah negara, negara ingin mewujudkan keadilan sosial
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
5
bagi seluruh rakyat Indonesia yang keduanya seperti itu. Negara mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nah, keadilan dalam konteks ini yang pikiran kedua itu lebih pada keadilan yang
sifatnya ekonomi, seperti keadilan sosial didalam Pancasila. Jadi kalau keadilan yang
pertama ini sifatnya generik termasuk hak sipil politik yang kedua ini adalah keadilan yang
sifatnya ekonomi. Jadi fungsi negara, penyelenggara negara adalah harus mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sifatnya, distributif, sifat-sifatnya
keadilan, sifatnya ekonomi, mencegah terjadinya kesenjangan sosial itu adalah yang kedua.
Yang ketiga, pokok pikiran ketiga adalah menjunjung daulat rakyat, jadi negara
berciri kedaulatan rakyat ya berdasarkan permusyawaratan perwakilan. Nah jadi di sini
secara etis pertama penyelenggara negara itu harus menjunjung daulat rakyat. Menjunjung
daulat rakyat itu esensinya adalah respect, menghormati. Jadi, misalnya, belum tentu
pemilihan langsung itu membuat penyelenggara negara respek pada rakyatnya, ini penting.
Kita sering menganggap daulat rakyat itu kalau rakyat disertakan terus menerus didalam
pemilihan langsung, masalahnya belum tentu, apakah setelah pemimpin terpilih itu
memimpin respek kepada rakyatnya atau pemimpin lebih respek pada pemodal? Nah itu, jadi
belum tentu.
Oleh karena itu didalam demokrasi utamanya adalah menjunjung daulat rakyat.
Apakah pemimpin-pemimpin terpilih lewat mekanisme pemilihan langsung itu lebih respek
kepada rakyat atau lebih respek kepada pemodal? Nah ini harus kita lihat, belum tentu tetapi,
substansinya kesana. Mekanisme politik pemilu, apapun, ujungnya harus menjunjung daulat
rakyat dan untuk itu mekanismenya harus mengutamakan dileberasi permusyawaratan,
permusyawaratan dengan khidmat kebijaksanaan artinya pertama sifatnya harus rasional
argumentatif harus inklusif, bukannya ditentukan oleh suara mayoritas saja tapi seluruhnya
harus didalam konteks ini etikanya adalah suara terbanyak hanya diperlakukan sebagai
prasyarat minimum yang harus dilengkapi dengan mendengar argumen-argumen dari
kelompok terkecil sekalipun. Tidak berorientasi jangka pendek, orientasi jangka panjang
bersifat sustainable. Bukan hanya untuk aji mumpung seperti itu.
Nah itu, etika yang ke, nanti turunan-turunan yang bisa kita jelaskan yang penting
pokok pikirannya dan pokok pikiran keempat adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. menghendaki undang-undang
yang mewajibkan para penyelenggara negara untuk menjunjung cita-cita kemanusiaan dan
cita-cita moral rakyat yang luhur. Nah, jadi disini pokok pikiran yang keempat, secara
langsung pada penyelenggara negara dituntut dua hal menjunjung cita-cita kemanusiaan dan
cita-cita moral rakyat yang luhur.
Jadi di sini dituntut ada semacam code of conduct, bagi para penyelenggara negara itu
sendiri dan untuk memenuhi prasyarat-prasyarat itu berarti nanti supaya para penyelenggara
punya prasyarat etis kemanusiaan dan moral, berarti harus ada dalam seluruh kerangka
pemilihan. Mau itu eksekutif, legislatif, yudikatif bagaimana legitimasi moral itu juga
penting, selain legitimasi yang sifatnya ekonomi atau finansial jadi orang tidak hanya
berbasis modal ekonomi, modal sosial, tapi harus punya modal moral untuk bisa memangku
jabatan pemerintahan itu. Oleh karena itu nanti turunannya bisa jadi semua orang sebelum
masuk menjadi anggota DPR atau apapun harus mengalami proses, sosialisasi terhadap
moralitas ini.
Kode-kode etik ini harus diberikan, sebelum mereka memangku jabatan-jabatan ini
sebagai prasyarat tadi, menjunjung cita-cita kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang
luhur itu. Nah itu, itu, itu sebenarnya, jadikan kerangka berpikirnya diturunkan dari 4 pokok
pikiran ini. Kalau kita perhatikan 4 pokok pikiran pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
itu berpasangan sebenarnya dengan fungsi atau misi negara. Fungsi dan misi negara ini ada
di alinea keempat juga Pembukaan Dasar Undang-Undang 1945, apa itu fungsi dan misi
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
6
negara? Didalam alinea keempat, yaitu satu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia. kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan
bangsa, keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan
sosial.
Jadi dapat kami artikan 4 pokok pikiran konstitusi itu, pembukaan itu sebenarnya
berpasangan dengan 4 misi atau fungsi negaranya. Jadi tadi, pokok pikiran pertama negara
berdasarkan negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
berdasarkan kesatuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
berpasangan dengan misi atau fungsi negara yang pertama yaitu melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Pokok pikiran kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia berpasangan dengan fungsi negara yang kedua, yaitu memajukan kesejahteraan
umum. Jadi para penyelenggara negara itu harus memajukan kesejahteraan umum. Pokok
pikiran ketiga bahwa negara itu harus menjunjung daulat rakyat berdasarkan
permusyawaratan perwakilan, apa coba pasangannya pasangannya? Pasangannya fungsi
negara ketiga adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jadi demokrasi kita ini berpasangan dengan keharusan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Artinya disini negara harus menjadi tutor, negara harus menjadi edukator, terhadap
dirinya dan masyarakatnya. Jadi negara itu punya pungsi pendidik, pendidik publik. Jadi
misalnya kalau Indonesia sekarang defisit terus cabai padahal cabai itu tidak perlu membeli,
kalau ada punya itu saja, punya ada pot, buat, saya itu tidak pernah membeli cabai. Asal taruh
bijinya nanti tumbuh jatuh lagi. Berarti selama ini kementerian pertanian pikirannya hanya
mengimpor saja itu cabai, tapi tidak mengedukasi rakyat untuk menanam cabai. Banyak hal
mengandalkan pada impor tapi tidak mengedukasi. Jadi itu hal-hal yang sepele, edukasi,
negara itu punya fungsi edukasi dan tentu untuk mengedukasi rakyat, terlebih dahulu para
penyelenggara negara harus bisa mengedukasi dirinya sendiri.
Nah, jadi itu menarik, jadi demokrasi kita ini, permusyawaratan perwakilan itu
menghendaki adanya pencerdasan rakyat, sesuai dengan fungsi ketiga. Jadi demokrasi
permusyawaratan, tidak akan bisa dijalankan tanpa ada pencerdasan rakyat makanya
misalnya kalau di Amerika ya, dulu ada perdebatan itu, antara Thomas Jefferson dan
Alexander Hamilton. Kalau Alexander Hamilton kan lebih pragmatik yang penting
pemimpin itu wakil rakyat, atau dipilihlah lewat mandat rakyat, tapi kalau, oke, kalau
Jefferson lebih pragmatik, yang penting dipilih, tapi kalau Alexander Hamilton lebih platonis
seperti kita.
Pemimpin itu penyelenggara negara itu harus punya kearifan tapi diantara keduanya
dapat titik tengah. Okelah, rakyat disertakan dalam proses-proses politik langsung tapi harus
punya minimum kecerdasan. Minimum kecerdasan itu apa? Di Amerika setiap warga negara
wajib belajar minimum sampai sekolah menengah atas diberikan secara gratis dengan
prasyarat sekolah menengah itu sebagai prasyarat minimum kecerdasan diharapkan rakyat
bisa menentukan pilihan-pilihan secara benar didalam politik. Ikut berpartisipasi secara
bertanggung jawab toh dengan prasyarat sekolah menengah pun sekarang Amerika mulai
kocar-kacir juga apalagi Indonesia dengan 70% rakyatnya masih SD kebawah dan apa lagi
sekarang Indonesia dari minat bacanya itu nomor 2 setelah Botswana dari bawah, sedangkan
penggunaan sosial medianya nomor 4 di dunia. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Minat
bacanya terendah kedua setelah Botswana, penggunaan sosial medianya nomor 4 dunia
dengan etika publik yang kocar-kacir seperti itu.
Oke, jadi, ini fungsi keempat ini mencerdaskan ini penting dan bagaimana nanti
menurunkan kedalam etika? Nah ini penting, ini menarik. Bilamana perlu nanti setiap para
penyelenggara negara, sebenarnya sudah ada sih instrumen bahwa setiap penyelenggara
secara reguler harus ikut pendidik pendidikan apa, pendidikan, inikan prasyarat umum
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
7
pendidikan tapi mungkin pendidikan itu jalannya teknis tapi pendidikan yang punya
wawasan etis juga kedepan. Jadi mungkin nanti disetiap jenjang pendidikan publik, untuk
diklat PIM, diklat Lemhanas dan lain-lain harus dimasukkan itu, aspek-aspek wawasan etis
wawasan-wawasan code of conduct dari penyelenggara negara bukan hanya yang sifatnya
teknis manajerial. Itu tadi turunannya ke situ.
Nah, yang kelima, yang keempat tadi adalah yang keempat adalah ikut melaksanakan
ketertiban. Jadi yang keempat adalah negara bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikirannya itu berpasangan dengan
fungsi kelima, fungsi keempat dari negara yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini ketertiban dan
perdamaian dunia tapi karena Indonesia juga bagian dari dunia maka sebelum menertibkan
dunia, mestinya kita harus menertibkan diri kita sendiri. Tertib hukum, tertib administrasi,
damai itu artinya mengembangkan semangat kasih sayang, toleransi, gotong royong, ciri
asih, ciri asah, ciri asuh. Nah, ini yang harus di kembangkan dalam penyelenggaraan negara,
ketertiban berdasarkan perdamaian, keadilan. Ini menjadi bantalan untuk tertib, ini tadi
bukannya tertib hukum, tertib administrasi tapi juga termasuk memberikan semacam budaya
untuk toleansi, budaya gotong royong, budaya respek, saling menghormati satu sama lain itu
imperaktif yang harus kita masukkan didalam etika penyelenggaraan negara ini.
Jadi saya kira kalau dari basis itunya seperti itu ya. Basis kerangka berpikirnya seperti
itu sudah ada, para penyelenggara negara sudah menyiapkan itu, tinggal tentu bagaimana itu
diturunkan ke dalam variabel, kedalam indikator, kedalam bentuk-bentuk hal-hal yang lain
yang secara umum sebenarnya itu budaya kita bisa belajar dari etika publik diberbagai
tempat tapi kemudian nanti kita masukan didalam sistematik berpikir yang sesuai dengan
pancasila. Karena memang tidak semua etika publik cocok dengan Pancasila, tergantung
ideologi negaranya.
Misalnya, di Perancis karena negaranya sekuler, etika publiknya yang mengatakan
kalau kamu ke ruang publik jangan pakai simbol-simbol agama. Kerudung tidak boleh, salib
tidak boleh, tentu etika publik seperti ini tidak bisa diberlakukan dalam etika publik di
Indonesia yang menganut Pancasila. Jadi kita boleh belajar etika publik dari manapun tetapi
at the end harus dicocokan dengan prinsip-prinsip Indonesia yang menganut pancasila
pancasila itu. Karena tidak semua etika publik turunkan filosofi dari negara itu ya.
Nah, kitakan, sebenarnya dalam beberapa hal mirip Amerika kita ini ya dalam hal
bahwa apa antara agama dan negara itu tidak terlalu dipisahkan tapi hanya dibedakan. Oleh
karena itu atribut agama boleh saja dipakai di ruang publik. Sebagai penyelenggara negara
kita boleh saja pakai pakaian yang menurut kita sesuai dengan agama kita tapi kemudian itu
tidak boleh diwajibkan. Dalam etika publik Indonesia nanti tidak boleh aparat negara
mewajibkan pakaian agama tertentu jadi pakaian seluruh publik. Otomatis seluruh
perundang-undangan yang mewajibkan pakaian dari satu komunitas untuk diwajibkan pada
yang lain itu tidak etis menurut Pancasila. Nah, itu ya saya kira itu, kira-kira yang bisa kita
pertimbangkan. Untuk sementara itu dulu Pak Ketua. Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih, Pak Yudie Latief.
Sebelah saya ini hadir Pak Fahrul Razi, Pak dari Aceh. Konon itu bagaimana dalam
kontek Pak Yudie ini, kemudian kabupaten Injili, bagaimana itu? Ini NKRI loh ya, negara
kesatuan, masih, bukan Negara Kok Republik Indonesia loh ini? Saya kira penting karenakan
karena bukan ya, ini momentumnya, wakil ketua ini datang, ini Aceh ini, ini giman dengan
berbagai macam relugasi yang ada disitu. Saya kira ya boleh ada 18 B Ayat (1), ayat (1) ya
mengenai asimetris demokrasi otonomi daerah itu.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
8
Pak Enceng, hadir Bu Juniwati, beliau dari Jambi. Terima kasih Bu, pakaian Ibu
warnanya bagus. Hari ini saya seleksi warna di DPD ini. Kemudian saudara Syafrudin
Atasoge. Jadi Pak Enceng, dia kalau ke Jawa sering Atagose, katanya biar dipanggil Gus
adalah dia itu sering dia menipu namanya itu. Dia itu orang NTT tapi menjajah Jawa, istrinya
orang Kartosuro tapi bukan golongannya Al Muayat itu, bukan. Saya, disebelah kira saya itu
Pak Idris, Muhammad Idris ya bersamaan Pak Idris hadir juga tadi Bu Dewi dan Bu Eni.
Kok saya ini kadang-kadang mau gak cemburu gimana, datang saja selalu
berhimpitan waktu. Ini loh Pak Idris ini luar biasa. Saya sudah duluan, Bu Dewi belakanagn
tapi Pak Idris datang, Bu Dewi ya datang sama Bu Eni ini loh. Apa maksudnya Pak? Harus
jelaskan secara berdua nanti Pak. Kang Enceng, silakan Kang.
PEMBICARA: H. ENCENG SHOBIRIN NADJ (NARASUMBER)
Ya.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati Pak Ketua Pimpinan Komite I dan yang terhormat para Anggota,
khususnya, ada bos saya itu, Ibu Yuni itu, yang pakai baju hijau itu bos saya itu dulu
dikampung. Oh ibu sudah lupa ya, jadi kalau bos lupa sama anak buah ga apa-apa bu, yang
dulu bajunya kuning sekarang hijau.
Bapak-bapak, Ibu-ibu para staf yang dan kolega saya, Pak Yudie Latief tadi. Pak Yudie
sudah banyak sekali saya kira masukannya yah dan sudah sangat terurai, luar biasa kawan
saya ini tidak menyiapkan sesuatu tapi bisa bicara panjang. Saya juga sama tidak menyiapkan
sesuatu karena kayanya informasinya ga begitu lengkap yang saya terima. Saya berpikir
kalau hari ini hanya untuk perkenalan saja begitu ya kan, kenalan dan soal apa namanya,
ngatur-ngatur jadwal, kira-kira begitu, tetapi begini saya sekilas saja muncul dibenak saya.
Saya ingin tarik kembali apa yang sudah terurai oleh Mansyur dilatif ini, ketataran
yang lebih lebih abstrak begitu, dengan satu pertanyaan Undang-Undang Etika
Penyelenggara Negara ini, tujuannya apa? Saya kira itu penting dijawab dulu, menurut saya
karena ada, ada persoalannya. Persoalan institusional yang masih menjadi problem dasar
didalam penyelenggaraan penyelenggara negara, di negara kita ini. Menurut saya persoalan
dasar yang saya maksud itu adalah bahwa secara institusional, saya kira, negara kita ini
masih didalam proses terus-menerus. Kalau istilah almarhum, Ong Kokham itu, setiap ada
perubahan politik yang dahsyat, itu apa struktur kenegaraan kita itu selalu back to square
one, itu jadi kembali ke titik nol gitu. Jadi, dari, berganti-ganti terus pergeseran didalam
konsep kenegaraan kita ini. 1945 dari kabinet presidensil, bergeser kekabinet parlementer
sampai tahun 50-an, demokrasi, yang disebut demokrasi liberal. Melalui Dekrit 5 Juli masuk
lagi ke kabinet presidensil, gitu ya masuk ke orde baru. Setelah orde baru dirombak lagi
sedemikian rupa. Jadi selalu kembali ke nol saya kira.
Nah sementara, kita sekarang berbicara soal etika, penyelenggaraan negara. Jadi soal
mengatur bagaimana, etika publik, kata Mas Yudie tadi mengatur, state aparatus supaya
state aparatus ini bisa menjalankan fungsinya sesuai dengan tata norma aturan yang
kemudian dirumuskan dari norma-norma yang bersifat normatif saja menjadi hukum positif,
kira-kira begitu. Tetapi untuk apa itu semua? Nah, saya berharap ya, ya karena ini mulai dari
nol, kata Pak Ketua, saya kira harus ada satu kajian yang serius secara filosofi mengenai
negara ini dan dalam konteks itu menurut saya undang-undang ini, kalau bicara undangundang itukan fungsinya saya kira ada dua ya. Satu mengatur yang kedua itu adalah
membatasi, sudah pasti. Berbicara soal etika sekalipun saya kira, tidak lepas dari itu
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
9
mengatur dan membatasi itu, tetapi dalam konteks yang Undang-Undang Etika
Penyelenggaraan Negara ini untuk apa?
Nah, dari segi namanya ini undang-undang, saya kira bukan undang-undang clear ya
tapi memungkin masuk didalam undang-undang yang kita sebut saja undang-undang yang
bersifat hulu ya kan begitu ya? Kalau tidak salah, karena di Indonesiakan tidak dikenal
undang-undang payung, jadi saya kira undang-undang yang adanya di hulu karena ini
mengatur semua cakupan aparatus secara keseluruhan saya kira. Nah menurut saya, pikiran
mengenai ini kita letakan didalam ini, satu bentuk negara atau institusi kenegaraan kita yang
belum mapan. Belum, bahasa inggrisnya itu belum consolidate, konsulidatif, konsulidatif itu
sudah, sudah termapankan. Jadi sudah, tidak digugat orang lagi begitu. Jadi orang di
Indonesia ini kan masih, masih saja orang harus teriak tentang NKRI harga mati, gitu karena
karena soal bentuk negara itu saja masih diperebutkan gitu. Jadi ada yang ingin khilafah, ada
yang ingin federasi, ya kan dan seterusnya dan seterusnya. Saya kira itu menunjukan.
Nah, esensi dari perebutan disekitar ini menurut para ahli karena apa? Jadi Indonesia
ini sampai hari ini, masih tetap didalam proses apa, state building, proses pematangan bentuk
negara, jadi saya kira itu state building proses state building. Jadi bukan hanya nation and
character building, tapi juga state-nya itu sendiri masih di dalam proses untuk menuju
kemapanan, gitu. Nah saya kira dalam konteks itu maka, undang-undang ini menurut saya
harus bertujuan ya, harus bertujuan, pertama dalam rangka memelihara ya, bagaimana negara
ini bisa dipelihara dengan baik, ya kan. Jadi negara ini secara institusional secara
keorganisasian bersifat sehat, tetapi lebih dari itu saya kira, undang-undang ini juga harus
secara eksplisit maupun implisit ya kan, harus memberikan konstribusi terhadap, apa,
menjamin kelangsungan dari negara itu sendiri. Saya kira itu, itu fungsi yang saya tidak tahu
apakah ini harus eksplisit atau bersifat laten, tetapi kalau misalnya tujuannya itu sebesar ini
maka, dalam rangka undang, dalam rangka penyusunan draf undang-undang ini, di dalam
penyusunan naskah akademiknya menurut saya, harus ada satu kajian filosofis yang serius.
Nah negara ini saya kira tidak main-main didirikan oleh para para para founder ya, para
pendiri negara ini, jadi penobatan Undang-undang Dasar 1945 itu saya kira, sangat filosofis
dan sangat canggih, gitu yang saya kira harus dikaji ulang lebih-lebih saya kira, perdebatan di
konstituante itu perlu dikaji ulang juga, yah untuk apa mencari pikiran-pikiran yang penting
saya kira di dalam rangka mendudukkan, undang-undang ini ya.
Nah menurut saya pikiran-pikiran yang mendasar semacam ini menjadi penting
karena yang kita rumusin ini adalah persoalan etika, begitu jadi persoalan etika. Yang kedua
saya kira produk perundang-undangan yang sudah muncul sejak zaman dulu terutama pada
zaman orde baru ini menurut saya, perlu dikaji secara lebih serius, supaya ada sinkronisasi
antara undang-undang ini dengan berbagai undang-undang yang terkait. Tadi, Pak Ketua
menyebut, sebenarnya berkaitan dengan soal aparatus negara, ini sudah ada sejumlah
undang-undang yang saya juga tidak hafal ya, ada undang-undang pelayanan publik, atau
undang-undang mengenai informasi publik, dan lain, dan lain sebagainya. Saya kira itu harus
dikaji dan diintegrasikan di dalam undang-undang ini, mau tidak mau akan seperti itu. Kalau
tidak maka, undang-undang ini dirumuskan tanpa melihat kiri kanan, gitu. jadi tidak sinkron
tidak kongkruen dengan pikiran-pikiran sudah berkembang, atau sebaliknya menurut saya,
undang-undang ini haruslah merupakan suatu penyempurnaan dari berbagai undang-undang
yang terkait dengan aturan-aturan mengenai aparatus negara ini, gitu. Nah dari situ, saya kira
baru, mungkin masuk ke apa yang disampaikan oleh Pak Yudie Latief itu. Bagaimana, state
philosophy itu diterjemahkan di dalam, di dalam pasal -pasal ya, yang semula ada normanorma, kemudian menjadi pasal -pasal yang mengatur mengenai prilaku aparatus, gitu di
dalam penyelenggaraan negara. Nah, dari saya mungkin catatannya sedikit saja, jadi saya
tidak siap untuk bicara panjang seperti Pak Yudie, saya kira mudah-mudahan ini bisa
menjadi masukan, iya begitu Pak Ketua, mohon maaf
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
10
PEMBICARA: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih Pak Enceng. saya kira, saya inget ini, satu ini, Pak Jacob mohon maaf,
ini Pak Jacob tinggal masih kecil itu selalu itu, disampaikan oleh di kampung nih, “Bu'itstu
liutammima makarimal Akhlaq” itu mulai zaman, 14, 15abad yang lalu, itu rumahnya, bahwa
tidak ada lain, saya turunan kamu itu adalah kelakuan manusia. Ini kan break down dari
misalnya adalah Pak Jacob kalau Bapak ikut saya pasti, bisa mempelajari dengan baik, iya
bahkan dari dia. Kenapa, udah jelas itu 54: 15 nah itu apa ya etika. Maka kemudian itulah,
tetapi bahwa itukan tidak boleh, saya sampaikan Pak Yudie tadi itu ini, ini pancasila Bung
bukan negara islam tapi bahwa kita mensublim, memasukan nilai-nilai budaya, agama ke
dalam positif legislasi, saya kira nggak ada soal ya. Misalnya lagi kalau kemudian kita
bicara, ten comandos, ten comandos, comandomen, saya kira juga di situ adalah, ada etika di
mana kalau anda mau menjadi orang terpilih, tentu anda adalah orang yang berkerja keras di
situ. Apa sebuah kerangka kehidupan, yang memang kemudian bahwa kenapa, orang harus
bekerja, agar bisa menjadi terpilih. Nah ini, ini, ini nilai-nilai yang ada di bagai sumber
agama yang bisa kita, jadikan. Kalau Pak Yudie, saya sampaikan ada dua, satu adalah nilainilai keagamaan, yang kedua nilai kebudayaan.
Hari ini yang tertib korupsinya, Pak Yudie ya, ya, kalau sudah bicara korupsi ini, ya
tertib banget kita ini Pak. Jadi, yah alhamdulillah misalnya, e-ktp dari projek 5,6 itu
ditertibkan 2,3 trilyun. Yang hari ini sudah orang yang jadi saksi itu 240 orang, kan
mengejutkan juga itu, yang menjadi saksi itu, tapi yang terkumpulkan baru 438 miliyar, nah
ini kan. Baik kan, jadi saya kira, ini ada beberapa yang sudah disiapkan tenaga ahli ya, bagi
yang berkaitan dengan ruang lingkup DKP, itu etika kehidupan berbangsa, kemudian juga
ada lagi juga etika kehidupan, etika penyelenggaraan negara EKN, yang saya kira
representasi sudah ada, misalnya di dalam balai Etika Penyelenggaraan Negara adalah
agenda, merupakan perengkat nilai dasar dan norma etika untuk memberikan rambu dalam
bersikap, berperilaku, dan seterusnya. Kemudian membangun penegakan nilai moral. Saya
kira Mas Yudie, Pak Enceng sudah mencoba untuk positivistik sekali bahwa, inilah ini
Pancasila, undang-undang dasar yang lain itu adalah merupakan linstranua strategis yang bisa
secara dinamis, masuk ke dalam nilai-nilai yang di dalam undang-undang 12 memang,
amarnya adalah undang-undang. Jadi undang-undang 12 tahun 2012 mengenai P3
pembentukan melalaui undang-undang itu kan, harus di situ juga.
Baik, saya kira Bapak-bapak Ibu sekalian menarik sekali hari ini. Semoga ini nanti
ada, tetap kita bisa focus, agar terlahir sebuah RUU yang mampu memberikan jawaban.
Karena makin lama kalo saya mengistilahkan lain, deltanya ini indonesia semakin lebar
sekali. Hari ini kemiskinan 28,5 juta itu yang di garis batas, yang di atasnya lebih banyak
lagi. Kalau ini pemerintah bicara 11,6 kalau tidak salah sebetulnya bisa 2 kali lipat itu,
apalagi kalo kita menggunakan misalnya parameter bank dunia, sehari 2 dollar. Nah ini
kadang-kadang antara, saya bilang di sini dengan beberapa menteri Pak, Pak Yudie, diam
saja kemiskinan turun kok, kadang lahiran lebih tinggi daripada kematian. Kenapa diam saja
pasti turun, apalagi kalau mau berkerja. Jadi saya, nggak, nggak apa ya, tidak meletakkan
berprestasi sih ngga diam saja presiden, gubernur, bupati, walikota pasti turun karena lipat
ya, lahir dan mati itu itukan lebih banyak yang lahir dari yang mati, sehingga faktor
pembaginya, ya makin, makin, makin, ruangnya makin besar.
Baik, sekalian saya ingin menawarkan, kepada Ibu dan Bapak sekalian siapa yang
memberikan respon atas ini. Kanan saya Pak Nawardi siapa lagi, cukup, kiri saya, Pak
Cholid. Ini contoh Pak walaupun, Bapak nggak begini, saya mencoba untuk tahu hati Bapak
ini. Bu Eni, ini menarik Bu Eni ini, pagi ok, saya kira kehormatan untuk Bu Eni yang
pertama.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
11
PEMBICARA: Dra. Ir. Hj. ENI SUMARNI, M.Kes. (JAWA BARAT)
Bismillahhirahmannirahim.
Assalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pimpinan yang, pimpinan rapat yang saya hormati, rekan-rekan yang senator yang
saya banggakan, Bapak narasumber Pak Yudie, sama Pak Enceng yang saya banggakan,
Berbicara tentang Etika Penyelenggaraan Negara, mungkin tadi saya sepaham dengan yang
disampaikan oleh Pak Yudie bahwa harus ada pengadilan etik ya, ya lah ini sekarang saya
justru akan meminta kepada pak Yudie yang menjadi apa landasannya nanti ya dasar hukum
kita untuk pengambilan etik karena ada landasan konstitusionalnya dan yuridisnya untuk
menegaskan bahwa nanti dari Komite I DPD RI ini mungkin mengajukan apa namanya
pengadilan etik bagi Aparatur Sipil Negara, sehingga bisa dipilah-pilah mana yang ranah etik
mana yang ranah pidana maupun perdata,. Nah itu saya tertarik dan teknisnya mungkin saya
minta penjelasan secara, karena tadi belum dijelaskan oleh Pak Yudie gambaran detailnya
mekanismenya sehingga tepat ini bahasa peri secara hek damar teori nya dan bagaimana
kami habis lainnya sehingga hal ini bisa direalisasikan tidak hanya dalam wacana begitu.
Terima kasih Pak Yudie.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PEMBICARA: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Terima kasih. Jadi kalau ada reaksi cepat, apa itu namanya. Bukan, pasukan realisasi
cepat. Yah begitulah Bu Eny, langsung bereaksi dia. Jadi langsung, saya senang sekali atas
kecepatannya mengembangkan pemikiran itu, tanggap darurat harus ada reaksi cepat pak
PRC, Pasukan Reaksi Cepat. Ya saya kira jelas sekali ini barang. Pak Nawardi silakan
PEMBICARA: H. AHMAD NAWARDI, S.Ag. (JAWA TIMUR)
Baik. Terima kasih Pak Ketua.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera buat kita semua.
Om swastiastu.
Yang saya hormati Pimpinan Komite I dan anggota Komite I, yang saya hormati yang
saya banggakan Pak Yudie latif dan Pak Enceng ya ini sebabnya di sini ada juga pak Aceng
ya mirip-mirip tapi lain orangnya. terima kasih pak Yudielatif dan Pak Enceng yang sudah
ini membuka, membuka pikiran wawasan kita tentang arti suatu Undang-undang RUU etika
ya mungkin saya tadi ada dengar pak Yudie Latif kalau boleh Pak Yudie Latif saya mau
minta buku apaya negara buku Negara Paripurna katanya, karangan Bapak itu mungkin
disitu pokok-pokok pikiran lebih banyak lagi ya kalau nggak mau gratis juga Pak saya bayar
juga mau atau teman-teman juga mau pesan gitu kan. Saya hanya begini Pak Yudie ya, kita
ini semakin banyak membuat Undang-undang kadang-kadang semakin apa ya semakin ruwet
gitu untuk dilaksanakan. Apalagi ini bicara untuk dilaksanakan etik, misalnya saja hari ini
misalnya Megawati mengatakan anda jangan berbicara tentang surga neraka, apakah kamu
pernah pergi ke surga neraka. Inikan kalau bicara agama itu ya kembali ke agama kan rukun
iman itu. Bagaimana kita mau membahas etika kayak gini kita bicara di depan umum.
Nah makanya saya bilang kalau kita bicara nanti etik dirumuskan ini kita khawatir
nanti terlalu apa ya terlalu akhirnya tidak ada satu paramater norma yang menjadi nilai-nilai
universal. Inilah yang saya mungkin kita perlu mendapat masukan-masukan dari Pak Yudie
Latif dan Pak Aceng nanti apaya membahas undang-undang ini karena saya bilang etik. Ini
sangat sulit sekali etik seorang pemimpin yang memang orangnya ngomong ceplas-ceplos
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
12
seperti Gubernur DKI, memang udah style-nya begitu suka-suka dialah misalnya dia kalau
dia bilang apa bajingan, bajingan. Padahal kalau kita apa nilai-nilai apa kearifan kita, kita
anggap ini sudah sudah terlalu kasar gitu seorang pemimpin. Nah untuk itulah saya pikir
saya sepakat memang Pak narasumber kita inikan menganut moral Pancasila, moral pancasila
salah satunya kan juga agama, sebetulnya kalau orang itu mohon maaf ya menjalani
agamanya dengan baik, keimanannya, ketaqwaannya, nilai-nilai luhur rahmatan lilalamin
misalnya seperti kami sebagai orang muslim, seharusnya itu sebenarnya bisa menjadi etika
moral di dalam mimpin ya. Jadi saya pikir ini yang kadang-kadang kita sudah ada di dalam
berbangsa dan bernegara, bagaimana kita lalu merumuskan ke undang-undang lalu untuk
mengatur, saya khawatir akhirnya undang-undang sendiri menjadi bahan kita untuk saling
apaya menjatuhkan satu dengan lain. Nah maka ini yang mungkin saya ingin mendapatkan
suatu pemikiran-pemikiran nanti ,karena ini mungkin lebih spesifik sebenarnya nanti di
dalam pembahsan undang-undang tetapi saya sudah nangkap bahwa kita sepakat pembukaan
yang terkandung di dalamnya itu adalah moral Pancasila. Jadi itu mungkin yang ingin saya
sampaikan kita share, sharing dengan para narasumber, mudah-mudahan apa yang bapak
sampaikan ini juga menjadi pemikiran kita didalam merumuskan nantinya dalam pembahsan
undang-undang lebih lanjut. Saya pikir mungkin itu dulu pak narasumber yang sampaikan
kurangi mohon maaf.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PEMBICARA: 65.52
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya lanjutkan. Pak Yudie dan Pak Enceng yang saya muliakan Indonesia ini sudah
Merdeka 71 tahun. Apa sih yang menjadi masalah pemerintahan kita ternyata hari gini kita
sudah menemukan jawabanya pemerintahan kita belum punya etika itu jawabannya jadi Pak
Cholid, silakan pertanyaan lanjutan.
PEMBICARA: Ir. H. CHOLID MAHMUD, M.T. (D.I. YOGYAKARTA)
Terima kasih Pimpinan Pak Yudie dan Pak Enceng yang saya hormati, para senator
yang terhormat antara hukum dan etika. Jadi kalau di dalam konteks Islam itu ada hukum ada
akhlak. Jadi ada banyak hal yang tidak melanggar hukum tetapi secara akhlak dia tidak tidak
pantas begitu, sehingga memang akhlak ini posisinya di atas hukum. Ada banyak hal yang
tidak melanggar hukum tetapi secar akhlak dia tidak pantas. Nah ada banyak contoh tentang
hal ini ya misalnya Pak Nawardi tadi mencontohkan ucapan-ucapan yang yang tidak sopan,
tidak patut itu, mungkin secara hukum dicari-cari juga tidak tidak ketemu pelanggarannya di
mana begitu, tetapi semua orang hatimu nuraniorang itu Pak Ketua agak memang agak
sensitif dalam hati nurani, hati nurani orang itu merasa ini sesuatu yang memang tidak tidak
pantas. Nah pertanyaannya, kira-kira undang-undang kita, undang-undang itukan hukum.
Undang-undang ini hukum, tetapi hukum ini akan membicarakan tentang etika begitu. Nah
ini positioningnya kira-kira seperti apa begitu. Nah apalagi nanti kalau persoalan etika ini,
sesuatu yang di atas karena hukum. Jadi kadang-kadang secara hukum tidak melanggar tapi
secara etika dia tidak pantas, nah sehingga diperlukan ada peradilan etis. Nah ini juga perlu
kita dudukkan kira-kira sistem peradilan etis ini gambaran gambarannya seperti apa gitu,
dalam sistem peradilan kita secara umum, di mana hukum tentang etika penyelenggaraan
negara ini bagian dari sistem hukum tetapi dia ada, ada sebuah peradilan etis yang ada di situ
ini yang pertama. Yang kedua, ada seorang ulama Ibnu Taimiyah ya dia menulis buku
tentang al siyasah al syar'iyyah fi Ishlah al ra'I wa al ra'iyah. Jadi tuntunan agama di dalam
memperbaiki penguasa dan rakyat. Jadi di situ ketika bicara penguasa, ini salah satunya
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
13
adalah prasyarat penguasa. Nah prasyarat penguasa ini dia memang tidak bicara etik secara
individual, tetapi etika sebagai penyelenggara publik. Syaratnya dua saja, yaitu “Inna khoiru
manistajarta al qowiyu al amin”, al qowi dan al amin al qowi itu Jokowi, ya alkowi itu
masalah kridibilitas, kapasitas dia untuk memiliki kemampuan menyelenggarakan negara
yang ke dua al amin itu integritas.
Nah sehingga dia tidak bicara tentang ahlaknya baik ininya dan sebagainya gitu
secara personal tetapi memang disorot secara spesifik tentang prasyarat sebagai
penyelenggara negara. Prasyarat pokok sebagai penyelenggara negara yaitu kapasitas untuk
memilih kemampuanya, alkowi dan yang kedua adalah memiliki integritas begitu. Nah saya
melihat ini sebenarnya universal artinya di bagian belahan dunia mana pun itu pasti akan
memerlukan itu bahkan ungkapan itu diambil dari satu ayat yang menceritakan tentang Jalut
dan Thalut. Jadi Goliath dan apa itu David dan Goliath. Jadi kisah tentang Jalut dan
Thalut itu ya. Nah artinya bahwa itu suatu yang universal yang saya kira ini adalah bagian
menarik menjadi salah satu topik kita di dalam kontek penyelenggara negara ini. Terima
kasih
PEMBICARA: H. AHMAD NAWARDI, S.Ag. (JAWA TIMUR)
Pak Kholid ini dari Jogja Jokowi dia punya Amin juga punya. Saya nggak ngomong
loh ya, nggak ngomong. Kalau sampai kemudian saya ngomong Pak Nawardy itu. Sampai
kemudian kalau itu ora popo kan gitu. Jadi Pak ini orang-orang Jawa, ora popo itu Pak itu
kan, di Jakarta menjadi suatu yang sepertinya mengalami sebuah pengurangan makna ora
popo, ini ora popo itu ora popo itu dalam pengertian kalau kemudian kita ada masalah berat
kita bisa menahan diri alhamdulillah ora popo. Bukan kemudian ora popo sambil nantang
jadi nggak boleh, ora popo sebuah sikap yang sifatnya adalah dia eks gitu lho, di sini menjadi
ora popo wes karu ulah gitu Pak. Jadi ini Pak Yudie ini saya ini orang Jawa kebetulan saya
menjelaskan pada orang yang bukan orang luar Jawa, barangkali bukan orang jawa. Ora
popo sekarang menjadi catching luar biasa tak hantam lo ya tak pukul, ya ora popo, hantam
gitu, tak pukul ora popo kacau ini. Itulah NKRI Pak Yudie, Pak Ketua negara kok republik
Indonesia. Silahkan Pak Badri, ini Baten itu sebuah komunitas digeneralisasikan sebagai
komunitas mana yang relatif homogen saya kira, saya kira nilai yang dimasukkan juga dari
nilai kebantenan yang unggul itu. Silahkan pak Badri
PEMBICARA: H. AHMAD SUBADRI (BANTEN)
Makasih Pimpinan, Bapak-ibu yang saya hormati, kalau tadi Pak Nawardi, Pak
Kholid juga mengangkat nilai-nilai mengambil referensi dari ajaran agama gitu, kita bicara
tadi hukum ketika itu dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Makanya di dalam Al
Qur'an juga kita diwajibkan untuk berlaku adil dan ihsan gitu. Jadi kalau adil itu
standarddnya jelas ya, bisa dinormakan nah yang ihsan inikan yang, itu untuk kita
mengetahui ini etis dan tidak etis, nabi memandu kita dengan satu kalimat pendek ya, istafti
qolbaq. Mintalah nasihat pada hatimu. Nah ini kembali kepada pembicaraan kita tentang
untuk menyusun RUU etika penyelenggara negara memang di sini saya juga termasuk yang
agak, apa namanya ya meragukan efektivitasnya bilamana RUU ini kemudian bisa menjadi
undang-undang, Sebab persoalan etika ini saya kira sudah lama sebenarnya dibicarakan dan
kemudian juga di diformalkan, seperti di setiap lembaga negara itu ada kode etik dan
kemudian ada mahkamah etik. Misalnya di DPD atau di DPR ada Badan Kehormatan atau
Majelis Kehormatan itu.
Nah ini misalnya kalau kita bicara di internal kita ini soal perilaku itu melanggar
hukum atau melanggar etika. Soal ketidakhadirannya didalam rapat misalnya. Ini kalau
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
14
dalam formal perundang-undangan atau peraturan itu kan ada berapa kali tidak ikut sidang
atau rapat itu bisa dikenakan sanksi. Ya tapi akhirnya kemudian disiasati ya, disiasati dengan
mengisi daftar hadir. Jadi walaupun fisiknya tidak ada tapi ketika ada daftar hadir akhirnya
itu tidak jadi masalah itu. Itu standard etika di lembaga yang sebut tadi misalnya DPD atau
DPR. Tapi kemudian ada juga lembaga negara misal Mahkamah Agung dia punya standard
etika yang berbeda dengan standard etika kita, begitu juga dengan misalnya di institusi
kepolisian kemudian di institusi-institusi penyelenggara negara lainnya ini ini punya
standard-standard beda. Mahkamah Konstitusi misalnya gitu, mungkin kalau kita bertemu
dengan seseorang di lapangan golf tidak jadi masalah tapi ketika hakim bertemu dengan
orang walaupun hakim itu nggak tahu bahwa sebenarnya orang itu bermasalah secara hukum
misalnya, ini juga jadi persoalan. Kalau tadi idenya memunculkan untuk membentuk
Mahkamah Etika, nah ini saya menjadi, menjadi lebih tidak paham lagi gitu. Nah ini
akhirnya setiap kita membuat perundang-undangan melahirkan jerat untuk memenjarakan
orang dan melahirkan untuk lahirnya lembaga baru, yang kemudian nanti kita belum lagi
berbicara tentang kriteria bagaimana orang yang duduk sebagai hakim etik.
Nah ini mohon pandangan dari narasumber, dengan tadi misalanya apalagi ini
sekarang kita bicara soal otonomi daerah ya. Ini mungkin tadi pak Mawardi mengambil case
soal gayanya seorang Ahok misalnya mungkin di di kelompok tertentu ya gaya seperti itu
tidak menjadi persoalan, tapi di kami misalnya di Banten ya itu bisa mejadi masalah besar.
Misalnya ketika ada Aparatur Sipil Negara, Pak Muqowam lagi sakit gigi kemudian ada
orang urus apa namanya urus sesuatu, jadi yang tidak tersenyum aja bisa jadi masalah nanti
itu. Ya anda tidak punya etika gitu, sudah tahu saya lagi sakit misalnya muka Anda ya
masem gitu ya. Misalnya tadi seorang dokter dalam melayani pasiennya kadang-kadang di
lembaga-lembaga pemerintahan inikan, ya boro-boro bisa menyelesaikan masalah gitukan,
ya kita datang saja dia pasang muka asem gitukan. Nah ini jadi nggak-nggak apa namanya
nggak dianggap menjadi sesuatu yang tidak etik. Nah ini mohon nanti bisa dipikirkan
bersama kita, ya bagaimana ini memformalkan soal etika yang yang sebenarnya itu tadi, ya
sebenarnya ini persoalan soal yang mendalam gitu ya, soal hati, yang kadang-kadang berbeda
orang ukurannya gitu. Demikian terima kasih pak pimpinan.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PEMBICARA: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Komite I ini punya etik semua. Pak pak Badri inikan baju saya, saya boleh dong pake
begini tapikan gak ini, ini soal-soal itu bukan soal rasa, tapi sudah menjadi etika umum ini
saya tidak mau menghormati kalau begini apalagi kalau kemudian turun lagi begini sambil
rapat sambil begini. Wah begitukan Bu Eni sensitif betul saya buka itu, terus pak buka, terus
langsung reaktif, orang reaktif ada dua, satu kagetan yang kedua memang karena dia suka
berlatih. Itu judoka kalau karateka begitu dipukul ‘tuk’ langsung dia kebalik, itu reflek.
Jangan coba dengan Pak Yoko, begitu kita tendang langsung dia nendang, pemain bola dia.
Jadi memang Pak structure-nya pertama ada berbagai macam sumber, lalu yang ke-2
bagiannya menjadi hukum positif. Dalam ruang-ruang yang saya kira, ada Undang-undang
Dasar, ada tap MPR, Tadi Pak Enceng, Pak Mawardi bukan Aceng sebab begitu di Bandung
disebut nama Enceng, implikasinya berbeda dengan Aceng sebenarnya kalau di Garut gitu.
Kalau Aceng itu DPD Enceng ini bukan gitu lho. Saya kira harus jelas, Enceng bukan
Aceng. Saya meluruskan kalau yang Aceng itulah yang lurus-lurus ini, nggak suka luruslurus nantinya jadi ini Aceng Fikri karena Anggota DPD Pak. Kalau Aceng, ya ini ini saya
kira in,i nah karena itu.
Kemudian Pak Enceng tadi sampaikan, bahwa beberapa undang-undang tidak ada
undang-undang yang kemudian di-breakdown ke undang-undang lain. Tapi mau
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
15
memerintahkan boleh, ya undang-undang dibidang pertanian saya kira multikultur itu adalah
amanat daripada undang-undang lain. Nah Pak Yudie, yang menarik juga di Komite I di DPR
pemerintah juga kita sepakat 560 nggak diubah tapi bahwa 560 di BAB II itu tidak bisa
terimplemtasikan secara baik, menjelaskan itu nggak bisa masyarakat karena di situ ada
berbagai edium ada ada aturan yang kemudian itu tidak bisa dipahami oleh kita-kita secara
nasional. Misalnya apa ya tanah-tanah yang ada di Jawa itu, misalnya pedrikan itu apa sih
sebetulnya, kemudian banyaklah itu di Undang-undang 560. Bengko, bengko itu kemudian di
Kalimantan jadinya kan bengkok jadinya itulah soal kata itu. Ya betul soal tulisan itu
homograf. Bekel itu pejabat desa, bekel itu perutnya yang gendutnya di atas, bekel itu
permainan anak-anak, tulisannya sama itukan. Jadi saya kira, kita mencoba untuk
menganalisasikan Pak Yudie Pak Enceng bahwa output-nya itu adalah undang-undang yang
berbagai macam. Input faktor yang prosesnya nanti kita garap bersama-sama dan output-nya
itu adalah NA, NA itu Naskah Akademik itu lho Pak Jacob bukan Nurul Arifin maksudnya,
Pikiran Pak Yakob ini kadang-kadang melenceng jauh kesana-sana. Silakan Pak Yudie
kemudian nanti Kang Enceng.
PEMBICARA: YUDIE LATIEF, Ph.D (NARASUMBER)
Iya saya kira bagusya respon dan pertanyaan-pertanyaannya. Ya jadi memang wajar
kalau ada skeptisisme semua terhadap rencana RUU ini karena begitu banyak undangundang selama ini tidak bisa ditegakkan. Tapi justru itu sebabnya, kalau kita tanya kenapa
sih hukum itu tidak bisa ditegakkan, hukum yang sudah jelas sanksinya aja tidak bisa
ditegakkan, kenapa gak bisa ditegakkan. Dimana pun hukum tidak akan bisa ditegakkan
kalau etika kita lemah, adagium-nya sebenarnya kan hukum itu harus berenang di atas
samudera etika. Kalau etikanya lemah, hukum akan sulit tegakkan. Kalau mengandalkan
aparatur penegak hukum, waduh akan berapa banyak kasus, akan berapa banyak polisi, akan
berapa banyak peradilan yang harus kita selesaikan. Jadi hukum di mana-mana tidak akan
bisa ditegakkan, lemah kalau etikanya lemah tadi itu. Kalau etikanya lemah tadi, kalau
ahlaknya itu ahlaknya lemah, dan ini memang memerlukan persoalan etika ahlak ini harus
dibudayakan sejak kecil, dididik di sekolah dan lain-lain itu.
Nah tapikan kalau kita menunggu sampai etika masyarakat kuat dan sampai itu kita
nggak perlu bikin undang-undang juga, agak aneh juga gitu, untuk itu untuk buat apa ada
DPD dan DPR itu karena tugasnya kan membuat konstitusi, dan undang-undang itu, dan
mungkin ini sebenarnyakan apalagi ini para penyelenggara negara, diharapkan para
penyelenggara negara paling tidak punya basis etis yang cukuplah atau paling tidak hukum
undang-undang ini nanti memberikan semacam prasyarat etis bagi penyelenggara negara ini
sehingga terjadi proses seleksi. Jadi penyelenggaraan menjadi teladan di dalam etika itu
sendiri.
Jadi nanti RUU ini justru mungkin menjadi semacam back bone untuk memulai
kehidupan republik yang etis dengan dimulai oleh para penyelenggara negaranya gitu lho.
Karena seperti saya katakan tadi, menurut pokok pikiran ke-empat sebenarnya pertama-tama
yang harus memiliki prasyarat etis itu para penyelenggara negara. Kadang-kadang kita
penataran salah, justru rakyat kita tatar dengan sosialisasi empat pilar macam-macam.
Padahal yang pertama-pertama harus ditatar justru para penyelenggara negaranya gitu lho.
Nah itu problematis, jadi mungkin RUU ini bisa dimulai starting point dimana kita sistem
rekruitmen apapun berorentasi menumbuhkan para penyelenggara negara yang etis itu. Nah
itu mungkin saya nggak tahu karenakan saya diundang karena untuk RUU itu alasannya kan
silakan kan Bapak sendiri bikin alasan, tapi saya membantu saja kira-kira
mengargumentasikannya itu.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
16
Nah tentu nanti ya dalam soal penegakkan ini yang saya maksud sebagai Mahakamah
Etis itu mungkin tidak harus membentuk semacam Mahkamah Konstitusi, tapi setiap undangundang kan harus ada pelanggaran atas etika kan harus ada sanksinya dong. Nah siapa yang
menegakkan sanksi etis inikan harus ada institusinya. Mungkin institusi ini tidak harus
konstitusi khusus seperti Mahkamah Konstitusi, tapi di setiap unit-unit pemerintahan mesti
ada organ yang ditunjuk untuk menegakkan sanksi etis ini, dan sanksi etis memang beda
denga tadi sanksi pidana kalau sanksi pidanakan bisa sampai ini penjara mungkin, tapi sanksi
etis inikan sumacam memberikan satu kepastian, ketika prosedur-prosedur hukum belum
dilalui, paling tidak sudah ada langkah yang bisa dilakukan sebagai satu proses professional.
Profesional supaya misalnya sekarang kasus Bupati mana nih yang kemarin terperegok gitu
Ngatingan, kalau menunggu peradilan hukum ya kan lama tapi secara etis apa pantas tidak
seorang bupati seperti itukan tidak pantas. Nah dia harus diberikan saksi etis ini dong. Nah
sambil menunggu proses pidanya sanksi etis harus diberikan nah itu saja. Nah nanti unit yang
bekerja itu tidak harus Mahkamah Konstitusi itu, tapi ada unit yang bisa bertanggung jawab
atas itu.
Nah tadi menarik ya mencontohkan soal Ahok soal Megawati, justru di sini di dalam
etika penyelenggaraan negara etika publik harus diatur misalnya, supaya para penyelenggara
negara, komunitas politik, punya namanya itu mengembangkan apa sebetulnya political
correctness dan culture correctness. Intinya political correctness jangan peryataanpernyataan yang punya implikasi merendahkan menghina warna kulit, ras, agama tertentu,
keyakinan tertentu, justru ini diatur dalam di dalam etika ini, di dalam etika penyelenggara
negara ini. Para pejabat itu nggak boleh mengemukakan satu pernyataan yang bisa
menyinggung keyakinan, keyakinan orang atau kemudian melecehkan atau
mendiskriminasikan orang atas dasar ras, atas dasar warna kulit, dan lain-lain diatur di sini
gitu. Jadi oleh karena itu nanti pejabat publik bisa menahan diri ini. Termasuk misalnya
sebenarnya itu nggak tepat misalnya kita ini sering bilang founding fathers, founding fathers,
berarti yang diakui hanya laki-laki doang dong. Kalau di Amerika ini sebetulnya political
correctness atau di negara lain sebetulnya. Mestinya perempuan itu protes dong kalau ada
para penyelenggara negara yang founding fathers, karena seolah-olah seluruh peran
perempuan dinihilkan di dalam politik Indonesia. Padahal di Aceh di mana-mana sejak dulu,
dalam konteks Indonesia modern dan Cut Nyak Din, Hetti Sundari, sumpah pemuda di
BPUPK yang merumuskan konstitusi itu ada Nyonya Sunaryo, ada Maria Ulfa mereka ikut
mendirikan. Kenapa kita meniru Amerika disebut founding fathers di Amerika wajar karena
seluruh premer konstitusinya itu laki-laki semua. Makanya di Amerika sekarang pejabat
publik susah perempuan, Hillary yang begitu pun kalah.
Nah jadi contoh-contoh seperti ini yang disebut dengan political correctness, culture
correctness itu bisa diatur di dalam etika publik ini ya. Jadi jangan menyinggung
merendahkan warna kulit, ras, keyakinan tertentu, gender specifity, ini di diatur dalam etika
publik ini. Sehingga dengan demikian ke dalam kasus-kasus seperti sekarang Ahok dan lainlain itu tidak terulang lagi, menjadi peringatan bagi penyelenggara negara lain untuk berhatihati ketika kita masuki wilayah-wilayah keyakinan. Nah di sini justru di etika publik ini kita
atur. Tadi saya bilang soal ahlak sudah. Ya jadi memang gini ya soal etika publik berbasis
pancasila ini adonan nilainya bisa bersumber daripada gagasan-gagasan etika keagamaan
masing-masing, dari adat istiadat, dari juga konsepsi-konsepsi hak-hak asasi manusia yang
sifatnya universal, tetapi kemudian nilai-nilai ini diperas, disarikan substansinya dan
kemudian menjadi moral publik yang bisa dishare diikuti ya, bisa disetujui oleh pihak-pihak
yang apa, dengan segala keragamannya di ruang public, dan percayalah sebenarnya semua
agama sebuah nilai adat istiadat apapun, sebenarnya punya pertitik temu di dalam moral
publik ini, tadi menyangkut menyangkut repilkapasitas, integritas ya. Karena kata amin, kata
amin, sendirikan satu rumpun dengan kata-kata amin satu rumpun dan kata-kata aman gitu
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
17
jadi orang beriman itu harus dapat dipercaya harus memberikan rasa aman satu akar rumput
itu. Iman, amin, aman, itu satu satu akar kata pasti ujungnya begitu, amanah kan satu akar
kata.
Ya jadi kira-kira itu betul integritas. Nah makanya etika ini memang berkaitan
dengan soal integrity. Etika berkaitan dengan integrity, apa bedanya integritas dan kejujuran.
Kalau kejujuran berani berkata benar pada orang lain kan, kalau integritas berani berkata
benar pada nuranimu sendiri. Nah kalau hukum hanya bicara tentang prasyarat-prasyarat
materialnya ada bukti-bukti yang empiriknya orang yang melanggar dan itu bisa di
manipulasi. Tapi kalau itu sudah etika sudah integriti kamu akan berbicara dengan nuranimu
sendiri. Kalua pun tidak bisa dibongkar secara hukum secara etis itu sudah salahkan. Kita
kemudian oleh karena itu nanti misalnya di berapa negara lain termasuk ada etika
penyelenggara negara, kalau ketahuan misalnya dia ini ikut kunker, di kunker di puncak pada
hari itu gitu, atau absen tapi ternyata tidak ada, itu bisa disanksi seluruh uang yang dia
peroleh itu harus dibalikkan lagi ke negara. Nah inikan soal ini tapi soal integritas dan yang
bisa kita akumulasi di dalam kode etik ini.
Nah dalam etika ini, tapi gini ya, di bawah etika itu tadi ada lagi namanya kode etik.
Kok sebenarnya kode etik sebenarnya itu di bawah etika. Kalau kode etik itu biasanya punya
kehasan setiap office itu bisa beda-beda karena itu lebih mikro lagi lebih mikro lagi. Aturanaturan berpakaian, aturan-aturan itu kode etik. Terus yang ingin saya katakan di dalam
menyusun etika moralitas ini jangan terjerembab ke dalam hal-hal yang sifatnya hanya
kesantunan saja, karena etika inikan berbicara tentang baik, bicara tentang baik buruk.
Termasuk misalnya saya kasih contoh di dalam di dalam tradisi Irlandia Utara etikanya
memang masuk ke dalam satu directive principle di dalam konstitusinya. Ada semacam gini,
penyelenggara di sana ada aturan dalam kondisi apapun para penyelenggara negara tidak
membolehkan di mana kekayaan dikuasai oleh segelintir orang. Ini etika ini bisa dirumuskan
di sini, bahwa kesenjangan sosial yang lebar di Indonesia itu justru karena perilaku
penyelenggara negara yang tidak etis. Etika di sini bukannya sekedar menata bagaimana soal
menata bagaimana soal berpakaian tapi juga di dalam policy dia di dalam kondisi apapun
tidak boleh para penyelenggara negara membiarkan ekonomi dikuasai oleh segelintir orang,
itu masukkin di etika publik ini. Sehingga nanti tidak boleh projek-projek hanya di jatuh pada
kalangan tertentu saja. Hal-hal seperti tadi itu intinya yang sepertinya dikatakan persatuan
keadilan ini harus menjadi satu pokok yang harus diartikulasikan dalam etika publik ini. Saya
kira itu saja terima kasih.
PEMBICARA: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Makasih Pak Yudie, silahkan Pak Enceng.
PEMBICARA: H. ENCENG SHOBIRIN NADJ (NARASUMBER)
Ya terima kasih. Yang khusus ke saya sebenarnya tidak banyak ya, tetapi saya dalam
kesempatan ini saya ingin streching saja Pak. Jadi karena ini produk pertamanya kan naskah
akademik. Karena itu saran kita kajian-kajian mengenai konstitusi dan perundanganundangan yang terkait dengan rencana undang-undang saya kira harus lebih serius, lebih
mendalam, lebih komprehensif, saya kira itu penting digaris bawahi sebelum kita berbicara
yang lebih konkret, soal bagaimana kita menurunkannya dalam bentuk aturan-aturan yang
lebih terurai ya. Nah undang-undang ini kan bagian dari hukum tentu saja pada akhirnya,
bukan semata-mata soal etika yang berkaitan dengan soal baik dan buruk gitu. Baik buruk ya
sebagai masalah pokok di dalam etika. Nah kalau di dalam kerangka berpikir hukum inikan
sebenarnya bagaimana kita, mentransformasikan dari kultur menjadi konten untuk orangRDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
18
orang yang ada di dalam struktur, kan begitu. Jadi kalau berbicara hukum atau kebijakan
hukum itukan ada tiga unsurnya, unsur konten, unsur struktur, dan unsur kultur.
Jadi etika ini sebenarnya dari tiga dalam bicara hukum ini kan ada di wilayah kultur
sebenarnya, karena itu sebagai sebagai hal yang ada di dalam wilayah kultur, kalau mau
dirumuskan dalam undang-undang dia harus ditransformasikan dulu ke dalam konten dari
undang-undang itu. Maka mau tidak mau saya kira persoalan baik buruk sebagai pokok soal
dari etika itu harus ditransformasikan menjadi perilaku. Saya kira perilaku aparatur, di situ
yang di sampaikan oleh Pak Kholid itu sebenarnya bukan lagi persoalan etika baik buruk itu
tadi, tetapi sudah menjadi persoalan perilaku. Disitu ada unsur Al Qowi dari Ibnu Tarmiyah
tadi ya, itu sebagai kompetensi atau kemampuan, atau biasa juga disebut sebagai
profesionalisme dan Al-Amin itu sebagai etika profesi itu integritas itu. Nah saya kira itu
semua itu harus ditransformasikan dulu ke dalam dipetakan, dipetakan sedemikian rupa
sesuai dari fungsi-fungsi di dalam yang dijalankan atau dimainkan oleh state aparatus itu,
baru saya kira dengan demikian persoalan etika penyelenggaraan negara itu, bisa dirumuskan
di dalam bentuk undang-undang karena berkaitan dengan soal mengatur perilaku aparatus
negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, ketentuan-ketentuan konstitusi yang
berlaku di negara ini, saya kira begitu. Mungkin begitu Pak Cholid saya kira. Nah sebenarnya
tidak terlalu asing persoalan ini sesungguhnya, karena kalau di dalam profesionalisme itukan
sudah biasa itu. Jadi core dari profersionalisme itukan ada paling tidak ada lima itu. Yang
pertama, soal spesialisasi dari fungsi ya, di mana orang untuk menduduki suatu posisi itu
harus memiliki disiplin spesifik tertentu, yang kedua adalah persoalan kompetensi tadi
disampaikan Pak Cholid. Jadi soal disiplin spesifik dan kompetensi ini saya kira itu
merupakan satu kesatuan ya. Yang ketiga itu adalah persoalan etos nah etos, etos kerja. Yang
ketiga, keempat adalah itu adalah persoalan etika, dan yang kelima itu adalah persoalan
network atau jaringan. Jadi di dalam kedokteran misalnya, karena dia unsurnya menjadi
unsurnya menjadi lengkap, lengkap aturan-aturan yang berkaitan dengan lima hal tadi, itu
terbiasa kalau ada mal praktek itu dia kemudian ada Mahkamah Profesi jadi untuk mengadili
apa namanya penyalahgunaan dari profesi kedokteran itu.
Nah saya kira kalau mengacu ke contoh yang semacam itu, di dalam pemerintahan
saya kira bisa juga. Apa yang disampaikan oleh Pak Yudie Latief tadi itu saya kira benar
misalnya persoalan kemiskinan itukan itu akibat saja atau ketimpangan itu akibat saja dari
perilaku aparatur yang tidak etis gitu. Nah cuman memang itu harus dideskripsi sedemikian
rupa sehingga menjadi sesuatu yang konkret, supaya perilaku aparatus itu tidak terbatasi
secara destruktif oleh undang-undang ini gitu, sehingga kesulitan menjalankan profesinya.
Jadi karena itu saya kira memang merumuskan atau mengkaji persoalan ini memang agak
harus lebih dalam dan harus lebih rinci, supaya pokok soal yang diaturnya itu menjadi jelas.
Jadi undang-undang ini tidak kabur, bahwa misalnya sanksinya itu saya kira tidak harus
berupa hukum. Hukum dalam arti seperti hukum positif pada umumnya, tetapi saya kira
kalau mungkin keluarnya sanksi-sanksi administratif bisa diterapkan secara efektif kalau
memang rumusannya itu jelas, tegas, ya elaboratif jelas dan tegas, saya kira begitu. Mungkin
gitu Pak, terima kasih ya.
PEMBICARA: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Jelas, tegas dan tidak multitafsir.
PEMBICARA: H. ENCENG SHOBIRIN NADJ (NARASUMBER)
Ya.
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
19
PEMBICARA: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Atau begini APH itukan dekat dua hal case dan cash. Aparat penegakkan hukum
itukan dekat dengan dua hal ini case, kasus dan kas. Tolong itu diambil itu cash-nya, siap
Pak, cash-nya yang diambil rupanya gitu Pak jadi. Jadi case dan cash itu memang beda tipis
Pak. Ya sama dengan begini mana jelaskan Pak Enceng. Ini da Kyai dari banten. Kami pak
Enceng ini, apa namaya dulu dia tablighnya itu di Tanjung Priok dekat Kramat Tunggak, eh
betul ya. Pas di situ kecelakaan meninggal, apa persepsi orang, ini kyai ini malam-malam
meninggal di lokalisasi apa yang terjadi katanya dia itu lewat kecelakaan meninggal itu. Kan
sudah langsung orang ya agak berpikir bahwa, ini siang jadi kyai malam bukan kyai bisabisakan begitu Kang Enceng. Akhirnya inikan persoalan perspektif. Sebetulnya ini, ini kita
tidak mau persfektif, tapi soal jelas-jelas sajalah.
Tapi memang illa rila orang Jawa, mohon maaf saya waktu kecil itu nggak boleh
makan ini lho ayam dada mentok itu lho, ayam itu loh brutu, nggak boleh orang anak kecil
itu nggak boleh mas Yudie. Ora elok makan kui, ndak elok. Elok itu suatu nilai yang tinggi
tapi nggak ada batas hukumannya tapi nggak boleh aja ndak elok ternyata saya setelah jadi
bapak memang yang enak itu di dada mentoknya itu. Yang enaknya itu dada mentoknya itu
Pak Enceng, tidak boleh buat anak-anak, karena enak buat Bapak. Nah karena itu ketika kata
ndak elok itu kita tidak berani betul. Kemudian Bu Yuni di Temanggung ini, koe nek nembe
hamil ojo kulo mati papo jeringan sapu yang sedang itu dinaikkan itu, sapu lidi. Ya siapa
yang bisa melompati sapu lidi ndak ciloko jere ni. Jadi masa antara nilai value ya value,
culture, hukum positif ini memang harus kita kaeagori secara jelas di dalam etika
penyelenggaraan ini. Tapi mas Yudie ada political correctnes ini menurut saya perlu.
Kemudian culture corrective itu perlu Pak. Ya bahasa Pak Enceng barangkali amar nahi
mankur eh mohon maaf nahi munkar. Lho, kalau sayakan salah atau sengaja saya salah
karena boleh-boleh saja gitukan. Bukan istilah baru Bapak ini pura-pura tidak tahu ini Bapak
Wakil Ketua ini. Jadi saya nggak sebut nama lho Bu, Ibu sudah pakai izin nyebut nama lagi.
Baik Kang Enceng, Kang Yudie dan Ibu-bapak sekalian. Ini setengah satu, terima kasih
sekali bisa hadir. Jadi nanti saya nanti mohon kita ketemu sebentar untuk memastikan ini, ini
peluang emas bagi kita untuk menciptakan sebuah regulasi legislasi yang tadi Mas Yudie
sampaikan tadi itu, di tengah carut-marutnya kita ini. Korupsi sebagai kebiasaan, korupsi
lebih tertib daripada masa lalu. Inikan persoalan sebetulnya. Cuma sensivitas kita perlu di
tajamkan lagi. Terima kasih Mas Yudie, terima kasih Mas Enceng Ibu dan Bapak sekalian
dengan ucapan bismillahirahmanirrahim, expert meeting saya tutup. Ini sebagai apa, sebagai
preambul eksploratif terhadap pemikiran kita semua.
Sekian, terima kasih.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
KETOK 3X
RAPAT DITUTUP PUKUL 12.24 WIB
RDPU KOMITE I DPD RI DENGAN NARASUMBER MS III TS 2016-2017
(RABU, 25 JANUARI 2017)
20
Download