Poltak Hotradero: Intervensi Pemerintah Mendistorsi Ekonomi

advertisement
Poltak Hotradero: Intervensi Pemerintah Mendistorsi Ekonomi Indonesia
Tahun 2015 merupakan tahun berat bagi banyak kalangan pemerintah, pengusaha serta
pekerja tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Ancaman Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) menjadi semakin nyata, karena pelemahan ekonomi nasional
maupun global, nilai tukar mata uang kita Rupiah melemah tajam dan akhirnya secara
umum tingkat kesejahteraan kita berkurang. Dari sisi eksternal, devaluasi mata uang China
dan rencana Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, untuk menaikkan tingkat suku bunga
menekan perekonomian Indonesia. Selain itu, turunnya harga minyak dunia tidak membawa
berkah bagi kita, alih-alih rakyat menikmati penurunan harga BBM, ekspor komoditas
Indonesia seperti batu bara dan barang tambang lain justru melemah seirama dengan
penurunan harga minyak bumi.
Berkaca pada kondisi mutakhir perekonomian, editor pelaksana SuaraKebebasan.org
mewawancarai Poltak Hotradero (PH) dari Liberal Society, yang juga merupakan Kepala
Divisi Riset Bursa Efek Indonesia. Simak petikan wawancara Poltak Hotradero dengan
Managing Editor SuaraKebebasan.org, Muhamad Ikhsan (MI).
Terima kasih atas waktunya pak Poltak atas waktunya. Pembaca suara kebebasan
ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan perekonomian Indonesia? Bapak
yang setiap hari mengamati pasar modal, Apa karena perekonomian China melambat,
ekonomi dunia melambat sehingga perekonomian Indonesia melambat atau seperti
apa?
Sebenarnya berbicara masalah ekonomi Indonesia cukup kompleks. Lebih luas lagi bicara
mengenai ekonomi global tentu lebih kompleks lagi. Dan semakin ke sini, menang
kompleksitas ini semakin unik. Karena satu ekonomi bisa memiliki keterkaitan dengan
ekonomi negara lain. Boleh kita perhatikan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini. Untuk
ekonomi Indonesia sebenarnya perlambatan itu sudah dimulai dari tahun 2013. Tapi memang
perlambatan dari tahun 2013 itu istilahnya masih pin nine. Jadi kalau kita perhatikan kurva
pertumbuhan ekonomi Indonesia, jadi dari 2013 pertumbuhan ekonomi tiap kuartal sudah
menunjukkan perlambatan, tetapi ada beberapa kuartal seperti anomali yang naik sendiri.
Lalu turun kembali, tetapi pola penurunan itu sudah cukup jelas. Kalau ditanyakan apa yang
menjadi penyebab itu, tentu pertanyaannya akan tergantung pada komponen-komponennya.
Komponen yang paling terasa sejak 2013 itu adalah ketika surplus perdagangan kita mulai
berkurang (defisit). Hal ini berkontribusi pada keadaan dimana ketergantungan terhadap arus
modal itu menjadi lebih besar karena tadi sebenarnya dalam ekonomi dimana
perdagangannya meningkat (surplus). Hal ini berarti nilai tukar secara umum menguat kan,
Nah, tetapi saat dia mulai defisit berarti melemah tetapi sejauh investasi portofolio yang
masuk – dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) atau FDI (foreign direct investment)
atau investasi portofolio masih masuk- maka efek perlambatan dari kinerja ekspor tadi
menjadi dapat teredam. Nah impact nya jelas disini ada misalignment (ketidakselarasan)
1
antara hal tersebut. Dan yang terjadi adalah masalah yang sangat substantif tertutupi yaitu
masalah komponen terbesar dari impor Indonesia adalah minyak bumi. Dan mengapa impor
minyak bumi dapat merusak neraca perdagangan Indonesia? karena minyak buminya
disubsidi.
Jadi sebenarnya di sini, kalau misalnya sejak tahun 2013 sudah terdapat kesadaran minyak
bumi yang disubsidi ini bisa membawa masalah serius pada ekonomi Indonesia di kemudian
harinya, maka keadaannya tidak perlu separah seperti sekarang yang terjadi. Tetapi,
kesadaran itu tidak muncul karena tekanan politik dimana pada Pemerintahan sebelumnya
tidak ingin menjadi tidak populer karena harus menaikkan harga BBM, tetapi kalau kita ingat
pada tahun 2013 sangat jelas bahwa Menteri Keuangan misalnya sudah membuka pilihan
(option), subsidi tadi harusnya dibatasi tetapi kan akhirnya ditolak juga karena memang
semata-mata tidak ingin untuk tidak menjadi populer. Jadi, kalau kita perhatikan bahwa
rusaknya neraca perdagangan kita itu bisa ditelusuri berasal dari pertama adalah pos impor
minyak bumi yang besar dan bertumbuh dan kita tahu ujungnya banyak yang diselundupkan.
Dan ini juga berasal dari subsidi pemerintah, di (tahun) 2014 keadaan menjadi lebih buruk
lagi karena tadi neraca perdagangan bukan makin membaik tetapi makin melebar, tetapi kita
lihat disini ada perkembangan berikutnya yang cukup menarik bahwa mendekati akhir-akhir
tahun 2014 tiba-tiba minyak bumi turun tajam. Repotnya adalah kalau tadi defisit
perdagangan bisa terobati, ntar dulu karena ekspor terbesar kita adalah komoditas. Dan
komoditas terbesar yang diperdagangkan di dunia adalah pertama minyak bumi dan yang
kedua kopi. Jadi satu basket itu, jadi alih-alih kita menjadi baik ,malah kita menjadi lebih
buruk lagi keadaannya dan berlanjut hingga sekarang. Dan kita lihat bahwa ekonomi yang
ditopang oleh arus portofolio, yaa kini harus berdiri di kakinya sendiri. Karena kembali lagi,
seluruh dunia mengalami perlambatan ekonomi.
Kalau dikatakan China pegang peranan, pasti. Tidak mungkinlah tidak pegang peranan.
Kalau ditanya arahnya dari mana? Ya, tadi pertama China bertumbuh sangat cepat sudah
cukup lama dan kemudian di sisi lain yang terjadi adalah China merasa strategi yang mereka
gunakan selama ini, yaitu ekonomi berbasiskan ekspor tidak lagi bisa sustainable karena apa
ekonomi berbasis ekspor yang menjadi andalan China selama ini bertahun-tahun
mengandalkan pada satu hal: bagaimana caranya supaya nilai tukar Renmimbi atau Yuan ini
tetap murah supaya tetap kompetitif. Nah, konsekuensi dari ini adalah mereka melakukan
pegging atas nilai tukar. Nah jadi kalau kita lihat ekonominya bertumbuh, ekspornya
bertumbuh dan seterusnya..tetapi nilai mata uangnya tetap saja di situ karena memang
sengaja begitu. Apa sih yang menjadi konsikuensi hal ini? Konsekuensi hal ini adalah bank
sentral China mau tidak mau harus menumpuk sedemikian banyak ekses likuiditas (excess
liquidity) dengan cara membeli bonds (obligasi) Amerika Serikat trading partner nomor
satunya China. Nah, ini dilakukan terus-menerus sehingga efeknya adalah Amerika
“menikmati” keadaan tingkat suku bunga rendah dan pertumbuhan ekonomi didorong tingkat
suku bunga yang rendah tadi. Tetapi kita tahu ini kan tidak mungkin terus-menerus
berlangsung seperti itu. Jadi ya istilahnya pemerintah Amerika seperti mencetak uang out of
nothing begitu ya kemudian dibeli oleh China lama-lama ditumpuk juga.
2
Yang dikhawatirkan oleh China, kalau misalnya Amerika mau tidak mau terhadap uang
Dollar yang beredar di luar sudah cukup banyak berada di luar. Bisa terjadi sesuatu keadaan
adverse yang mengkhawatirkan Amerika Serikat bisa mengalami inflasi. Ini yang paling
ditakutkan karena China memiliki (puncaknya) cadangan devisa sekitar 3,9 Triliun Dollar
yang hampir lebih dari 90% dalam bentuk obligasi. Kita tahu musuhnya obligasi adalah
inflasi dan tidak linear maksudnya apa. Inflasinya naik 10% itu harga obligasi bisa turun
lebih dari 10%. Dengan seperti cara itu, maka boleh dikatakan China merasa tersandera oleh
Amerika. Di satu sisi, dia gak bisa membuang ke pasar karena dia punya bonds sangat besar
karena kalau dia buang ke pasar harga sudah cukup “dalam” jadi apa yang dipegang
(obligasi) juga ikut turun juga kan. Karena dia mark to market terhadap harga pasar. Di sisi
lain, tidak dibuang terancam memaksa China untuk mengalihkan ekonomi mereka dari
berbasis ekspor menjadi berbasis konsumsi. Repotnya adalah kalau berbasis ekspor bertahuntahun China sudah menjadi pabriknya seluruh dunia karena mereka memproduksi bukan
untuk dirinya sendiri kan, tetapi seluruh dunia. Jadi sudah lama memosisikan seperti itu.
Maka kapasitas yang mereka miliki juga kapasitas kelas dunia. Nah, sekarang kalau mereka
harus berubah menjadi berbasis konsumsi dan tidak mengandalkan ekspor. Berarti kapaitas
yang berlebih akan dikemanakan? Ini yang menjadi satu masalah. Masalah yang lain
berubahnya menjadi ekonomi berbasis konsumsi menuntut banyak hal terkait dengan arus
informasi, pemahaman dan lain-lain. Sebab anda tidak mungkin membangun masyarakat
berbasis konsumsi yang sehat kalau informasi tidak mengalir dengan bebas. Karena orang
(konsumen) butuh kepastian soal kualitas informasi yang mereka terima, kepastian akan
hidup, kepastian yang lain-lainnya didepan sampai orang bisa nyaman melakukan konsumsi
dalam jangka panjang. Kembali lagi rantainya panjang, tidak mungkin kita memahami
ekonomi Indonesia hanya berbasis ekonomi Indonesia saja. Tetapi ada banyak rantai yang
saling terhubung dan terkait.
Tadi sempat disebutkan juga harga minyak yang turun tajam (drop). Bagaimana
proyeksi minyak dunia dan bagaimana dampak harga minyak dunia yang terus berada
di level rendah ke depan buat (ekonomi) kita? Apa yang terjadi dengan booming
komoditas? Apakah super-cycle komoditas sudah berakhir?
Dalam sejarah ekonomi sejarah teoritis mengenai pasar ada yang disebut sebagai kondratiev
cycle. Siklus yang cukup panjang, panjangnya sekitar dua puluh tahun. Antara sepuluh
sampai dua puluh tahun ya.. Beberapa pihak menyebut sekarang yang terjadi adalah
kondrative cycle, dimana komoditas yang sudah naik terus (bullish) selama hampir lima belas
tahun atau lebih dari sepuluh tahun. Sekarang mengalami koreksi. Nah, siklus ini adalah bisa
sama panjangnya. Jadi kalau dikatakan tadi memang..apakah penurunan harga bagian dari
siklus, bisa jadi bagian dari siklus. Tapi siklus kan ada yang simetrik, asimetrik. Ini
khawatirnya sih bahwa ini akan simetrik. Bisa juga harga komoditas akan murah dalam
jangka waktu panjang. Terutama untuk minyak bumi ya. Di samping itu pasar terbesar
komoditi adalah China yang sekarang sedang menurunkan tingkat pertumbuhan ekonominya,
sehingga tidak akan mengabsorsi suplai minyak yang tetap sama. Di sisi lain, pasar-pasar lain
terfragmentasi seperti India, Indonesia, dan Meksiko belum mampu menggantikan China
3
sebagai pasar utama komoditas minyak bumi dan sebagainya. Selain ada perkembangan
teknologi baru di bidang industri minyak dan gas, yaitu teknologi fracking. Teknologi ini
mampu membuat Amerika Serikat mulai meninggalkan ketergantungannya terhadap minyak
bumi. Sementara itu, Arab Saudi terus membanjiri pasar migas agar harga minyak tidak terus
tertekan dengan teknologi baru dari Amerika Serikat itu. Di samping harga produksi minyak
Arab Saudi memang yang paling murah sehingga dapat membanjiri pasar migas dengan lebih
leluasa.
Kemudian, banyak kekhawatiran soal pelemahan Rupiah dari 12,000 menjadi 14,000.
Apakah kita akan mengulangi episode krisis moneter 1998, dari krisis moneter ke
sektor riil dimana nilai tukar Rupiah terdepresiasi tajam yang akan merembet ke
sektor riil?
Kekhawatiran itu berlebihan dan tidak pada tempatnya. Kalau kita belajar ekonomi keuangan
ada konsep time value of money. Maksudnya apa Rp.1000 sekarang beda dengan Rp.1000
yang akan datang. Jadi 13.000 tahun 1998 sama engga dengan 13.000 sekarang? Tentu saja
beda. Dahulu pendapatan per kapita Indonesia tidak sampai 1,000 USD- pakai dollar yang
dahulu lagi. Sekarang pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai 4,000 USD. Jadi
tidak bisa disamakan mentang-mentang angkanya sama lantas dibilang oh ini akan
mengulangi episode yang sama. Come On.. Maksud saya kembali tempatkan pada tempatnya
di situ. Di sisi lain, krisis ekonomi 1998 memang juga dipicu oleh sektor keuangan kita yang
memang sangat rusak serusak-rusaknya saat itu. Bisa dikatakan saat ini sektor keuangan kita
lebih sehat dan sudah mengalami perbaikan. Seluruh dunia juga sedang mengalami
pelemahan nilai tukar misalnya Malaysia, Brazil maupun Rusia. Fenomena yang sedang
terjadi memang fenomena super dollar, dimana dollarnya memang sangat kuat.
Kalau dilihat 2009 ada krisis subprime mortgage dilanjutkan pelambatan ekonomi
China dan juga dunia sepertinya gelembung (boom) dan pecah (boost) akan lebih cepat
di dunia yang saling terkoneksi dan interdependensi saat ini. Bagaimana pemikiran
Bapak soal apa yang Pemerintah bisa lakukan? Apa yang Pemerintah seharusnya tidak
lakukan?
Boom dan Boost yang terjadi kalau kita lihat sederhanya mulai dari tahun 1990-an ada
ekonomi Jepang melambat, perbankan Jepang juga harusnya melakukan penghapusbukuan
(write off) atas pinjaman mereka, tetapi tidak mereka kerjakan terpaksa mereka melakukan
pinjaman ke tempat lain. Ke tempat lain kemana? Ke Asia Tenggara. Muncul tahun 1996
boom Asia Tenggara, tahun 1997 orang mulai menyadari ada yang salah soal misalokasi
sumberdaya. Boost kriss Asia Tenggara 1997. Kemudian uang berpindah lagi ke Rusia,
Krisis lagi terjadi di tahun 1998 sebelum itu ada krisis juga Meksiko yang krisis tahun 1995.
Nah jadi 1998, 1997, 1998. Lalu 2000 ada krisis LCTM (Long Term Credit Management)
Amerika cukup menggoyang pasar juga. 2001 ada 11 September ekonomi lalu melemah, di“inject” lagi oleh Greenspan (Gubernur Bank Sentral AS) dengan suku bunga dimurahkan
kembali, bersamaan dengan itu 2001 China masuk WTO (World Trade Organization)
perdagangan internasional menjadi semakin terbuka.
4
Dari 2001 ke 2008, tingkat suku bunga terlalu murah sehingga pinjaman diberikan kepada
orang-orang yang gak layak lalu boost gelembung pecah dan berdampak ke seluruh dunia
dengan benua Eropa yang terkena dampak paling berat. Dan setelah itu mulai muncul Yunani
dan borok-boroknya. Kemudian sekarang ekonomi China melambat. Jadi, bukan krisis
siklusnya semakin pendek dan sering terjadi. Melainkan terdapat krisis-krisis besar yang
didalamnya terdapat krisis-krisis kecil terjadi. Jadi krisis dari waktu ke waktu tidak pernah
berubah, tetap terjadi dengan magnitude yang berbeda-beda tentunya.
Dari krisis ke krisis ini menyadarkan kita yang berpandangan liberal bahwa intervensi oleh
pemerintah punya kecenderungan untuk menjadi abuse, mendistorsi ekonomi secara ekstrim.
Contohnya seperti tadi pemerintah Amerika Serikat mendistorsi bahwa orang yang
seharusnya tidak layak punya rumah, jangan dibikin program untuk punya rumah, yang
akhirnya mengada-ada. Oke, muncul-lah subprime mortgage. (Contoh lain) Pemerintah yang
memang tidak layak untuk masuk Uni Eropa untuk mata uang bersama, disetujui juga Yunani
untuk bergabung. Muncul masalah seperti itu. China yang ekonomi berbasiskan ekspor,
kemudian ekonominya menjadi sangat besar tetapi nilai tukar tetap, apa bukan intervensi
pemerintah itu? Intervensi juga masalah bertambah lagi. Jadi masalah kita bertambah besar
bukan karena apa, karena intervensi Pemerintah. Jadi kita tidak pernah ketemu titik
ekuilibrium baru. Apa bukan pemerintah semua itu? Kita bicara China, Eropa, kita bicara
Amerika dan lain-lainnya.
Simak wawancara lengkapnya di sini.
5
Download