Kontribusi Psikolog Muslim

advertisement
REPUBLIKA
khazanah
28
Halaman >>
Rabu > 6 Oktober 2010
Merintis Kajian
PSIKOLOGI
● Terapi Penyakit Jiwa dengan Musik
PARA SUFI DAN FILSUF
MEMBERI
SUMBANGSIH DALAM
PENGEMBANGAN
PSIKOLOGI.
Oleh Yusuf Assidiq
R
ahasia jiwa mengantarkan manusia
kepada sebuah pengetahuan. Minat yang
besar terhadap jiwa
juga berkembang di
dunia Islam. Yang
pada akhirnya, ilmu tersebut populer
dengan nama psikologi, yang berasal
dari bahasa Yunani. Psikologi
bermakna ilmu yang mempelajari
tentang jiwa.
Ilmu ini terus mengalami perkembangan. Salah satu penyebabnya
adalah para cendekiawan Muslim
yang memandang psikologi atau ilm
an-nafsiat sebagai disiplin ilmu yang
penting. Bahkan, mereka melangkah
lebih jauh dengan mengembangkan
pengetahuan tentang pengobatan
penyakit jiwa.
Tokoh Muslim legendaris Al-Kindi
dikenal sebagai psikolog Muslim
pertama. Sedangkan, At-Tabari
merupakan sosok yang merintis
penerapan psikoterapi. Bahkan,
langkah At-Tabari ini diiringi dengan
pembukaan fasilitas di rumah sakit
yang menangani psikoterapi.
Selanjutnya, keberadaan fasilitas itu
menjadi model.
Literatur psikologi Islam mengistilahkan jiwa dengan an-nafs atau arruh. Kajian ini juga mencakup hal
yang berkaitan dengan intelektual (alaql), hati (qalb), serta kehendak
(iradah). Semua itu dianggap sebagai
aspek utama pada perilaku kejiwaan
manusia dalam membentuk kualitas
diri demi mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Berbeda dengan cendekiawan
Barat, konsep psikologi yang dikembangkan umat Islam sangat menekankan hakikat ilahiyah. Seluruh
unsur kejiwaan, seperti moral, fitrah,
dan spiritualitas, harus berada pada
koridor nilai-nilai Alquran dan sunah
Nabi Muhammad SAW.
Calvin S Hall dan Gardner Lindzey
dalam bukunya Teori-teori
Psikodinamik mengatakan, berpijak
pada hal-hal yang disebutkan di atas,
sumbangsih para sufi tak bisa
dinafikan dalam pengembangan
psikologi di kalangan umat Islam.
Dalam beberapa hal, mereka telah
bertindak sebagai psikolog terapan.
Hall dan Lindzey melihat adanya
benang merah antara tasawuf dan
psikologi. “Tasawuf merupakan
dimensi esoteris, atau batiniah dalam
Islam, yang mengurai struktur jiwa,
penyakit jiwa, dan terapinya, serta
proses penyucian jiwa dan cara
menjaga kesehatan mental,” papar
mereka.
Dalam pemikiran psikologi yang
berkembang di antara kaum sufi,
dinyatakan bahwa an-nafs berada
pada tingkatan paling dasar dalam
diri manusia. Di atasnya terdapat qalb
serta ar-ruh. Ketiganya adalah
pondasi mental spiritual. Tokoh sufi
terkemuka yang berkontribusi dalam
psikologi adalah Ja’far as-Sadiq (702765).
Nama lengkapnya ialah Ja’far bin
Muhammad Muhammad as-Sadiq.
Dia lahir di Madinah, dan sangat
dihormati oleh semua kalangan.
Kepakarannya mencakup berbagai
disiplin ilmu, mulai dari ilmu agama
seperti Alquran, hadis, serta ilmu
sains, misalnya matematika, filsafat,
astronomi, kedokteran, dan kimia.
Ia memandang bahwa nafs bisa
menghadirkan sifat zalim. Sedangkan,
qalb mengarah pada unsur moderat
atau muqtasid, dan ar-ruh mengacu
pada Sang Mahakuasa (sabiq). AsSadiq menjelaskan, sifat zalim
membuat seseorang menyembah
Tuhan demi kepentingan sendiri.
Melalui unsur muqtasid, seseorang
FOTO-FOTO: MUSLIMHERITAGE.COM
mencinta Tuhan dengan hati.
Sementara itu, keberadaan sabiq
membimbing orang untuk mencurahkan seluruh hidupnya untuk
Tuhan. Konsep yang diletakkan alSadiq, diikuti oleh al-Bistami, Hakim
at-Tirmidzi, dan Ibnu Junayd.
Psikolog lainnya, al-Kharraz, lantas
menambahkan elemen baru, yakni
tab‘, atau fungsi alamiah manusia.
Kaum sufi sering menyertakan pula
aspek sirr, bagian dari jiwa yang berisi
pengalaman ruhaniah. Di sisi lain, asSadiq menuturkan bahwa aql merupakan benteng dari penyimpangan
nafs dan qalb. Dengan benteng ini,
insting rendah manusia tak akan
mampu menganggu kemurnian jiwa.
Para filsuf Muslim pun terjun
dalam pemikiran psikologi. Mereka
tentu memiliki cara pandangnya
sendiri. Dalam karyanya, mereka
menuliskan metode terapi kejiwaan
dan mental. al-Kindi, figur yang
menguasai beragam ilmu pengetahuan, merupakan salah satu aktor
penting yang mengembangkan
psikologi di kalangan filsuf.
Karya fenomenalnya berjudul First
Philosophy berisi telaah tentang
penyebab gangguan jiwa, antara lain
rasa sedih dan putus asa. Tetapi, dia
berpendapat masalah kejiwaan itu
dapat dipulihkan kembali melalui
metode terapi yang tepat. Dia juga
menggarisbawahi bahwa gangguan
jiwa bisa dialami siapapun.
Ikhwan as-Safa, kelompok persaudaraan para filsuf dan pemikir
yang ada pada abad ke-10, juga membicarakan tentang jiwa, otak, dan
pikiran. Mereka mempunyai pandangan berbeda dengan filsuf Yunani kuno,
Aristoteles, yang menempatkan hati
sebagai organ manusia paling utama.
Kontribusi Psikolog Muslim
Oleh Yusuf Assidiq
ama Ali bin Sahl Rabban at-Thabari tak bisa dilepaskan dari
perkembangan psikologi di dunia
Islam. Sebab, ia pula yang kemudian
melangkah lebih jauh sebagai pelopor
psikoterapi. Berkat dedikasi dan
jasanya, ia mendapatkan julukan sebagai pencetus terapi penyakit jiwa dari
abad pertengahan.
Harus diakui, ia memang orang yang
andal. Ia tak hanya mumpuni dalam
psikologi. Fisika, astronomi, matematika,
filsafat, dan literatur dikuasainya pula.
Pemikiran dan kontribusi yang ia lakukan
dituangkan dalam karya berjudul Firdaws
N
al-Hikmah yang disusun pada 850 M.
Secara perinci, ia menerangkan
metode paling efektif untuk pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan. Menurut
dia, penanganannya dapat dilakukan
melalui konseling, dialog, dan pendampingan. Lewat konseling, diharapkan
pasien bersedia mengungkapkan
perasaannya, penyebab masalahnya,
dan isi hatinya.
Dengan hal itu, dokter memberikan
upaya penyembuhan terbaik sehingga
pasien terlepas dari problem
kejiwaannya. At-Thabari mengungkapkan,
terdapat beberapa sifat manusia sebagai penyebab gangguan jiwa, yaitu
tamak, dengki, iri, kebencian, suka
berkhayal, dan lainnya. Tindakan
preventif adalah cara penyembuhan
paling efektif.
Selain At-Thabari, hadir pula ar-Razi.
Ia membuka ruang praktik psikologi di
rumah sakit umum Baghdad, Irak.
Sementara itu, al-Farabi memberikan
sumbangan pemikiran tentang psikologi
sosial dan studi kesadaran individu. Ibnu
Zuhr memaparkan gambaran mengenai
jenis penyakit dalam Kitab al-Iqtidha.
Pada beberapa bagian, ia membicarakan pengobatan fisik serta
nonfisik atau kejiwaan. Ibnu Sina pun
pernah meneliti topik kejiwaan untuk
melihat fungsi kesadaran serta
kepedulian manusia. ■ ed: ferry kisihandi
● Karya Ar-Razi
Ikhwan as-Safa memandang,
otaklah yang merupakan organ paling
vital. Sebab, otak bertanggung jawab
atas berfungsinya aspek persepsi
maupun pemikiran seseorang.
Sementara itu, dokter Muslim
bernama an-Naysaburi (wafat 1016 M)
menulis buku berjudul Kitab al-Uqala
al-Majanin.
Ia mencantumkan istilah mahwus
untuk pasien yang mengalami delusinasi dan halusinasi. Ia memaparkan
secara filosofis fenomena kemarahan
dan kelakuan yang kurang waras.
Menurut dia, kehidupan adalah
semacam percampuran antara unsur
yang saling berlawanan, seperti sehat
dan penyakit.
Literatur filsafat lain, yakni
Tahdzib al-Akhlaq, yang disusun Ibnu
Miskawayh (941-1030). Ia menuliskan
soal ketakutan dan kematian, serta
konsep-konsep moral. Termasuk
menekankan pada kegiatan filantropis, bisa melalui derma atau
menunaikan kewajiban zakat untuk
membersihkan harta.
Begitu pula cendekiawan legendaris
al-Ghazali (1058-1111), yang
berbicara mengenai hakikat diri serta
penyebab penderitaan atau kebahagiaan. Dia memaparkan istilah qalb
(hati), ruh, nafs (jiwa), dan aql
(intelektualitas). Al-Ghazali yang di
dunia Barat dikenal dengan nama
Algazel berkata, ada dua jenis
penyakit, yakni fisik dan spiritual.
Penyakit spiritual dinilai paling
berbahaya karena bisa menjauhkan
seseorang dari Sang Pencipta. Untuk
menangani penyakit ini, al-Ghazali
mengajukan konsep terapi
berlawanan, misalnya, ketidakacuhan
dengan pengajaran atau benci dengan
cinta. ■ ed: ferry kisihandi
Download