undang-undang republik indonesia nomor 2 tahun

advertisement
LAPORAN
PELAKSANAAN RISET PEMETAAN TINGKAT PARTISIPASI PEMILIH
DALAM PEMILU PADA KEHADIRAN DAN KETIDAK HADIRAN
PEMILIH DI TPS (VOTER TURN-OUT)
DI KPU KABUPATEN GARUT
PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM
(Studi Voter Turn-Out dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres Kabupaten
Garut Tahun 2009 dan 2014)
Abstrak
Penelitian ini fokus pada partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum
legislatif dan presiden khususnya melihat voter turn-out dalam di Kabupaten Garut dalam rentang tahun
2009 ke tahun 2014. Partisipasi penting untuk diteliti mengingat keberhasilan dari sebuah pemilu dapat
dilihat dari tingkat pasrtisipasi masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori partisipasi
politik dan teori pilihan rasional. Terdapat tiga rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini,
bagaimana peta kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dari tahun 2009 ke 2014 di Kabupaten Garut?
bagaimana peta penurunan angka partisipasi pemilu presiden tahun 2014 di Kabupaten Garut? dan apa
penyebab kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dan penurunan angka partisipasi pemilu presiden
dari tahun 2009 ke 2014 di Kabupaten Garut?
Adapun hasil dari penelitian ini adalah pertama, peta partisipasi pemilih dalam pileg dan pilpres di
Kabupaten Garut mengalami kenaikan dan penurunan. Kedua, upaya sosialisasi partisipasi politik yang
merupakan bagian paling penting dalam sebuah pemilihan umum. Friedmen dan Hechter melihat adanya
pengaruh lembaga sosial dalam partisipasi politik. Dalam temuan peneliti terdapat lembaga sosial yang
turut berpengaruh dalam menaik-turunkan partisipasi politik masyarakat, yakni: Kepala Desa, Calon
legislatif, PPS, dan tokoh agama. Ketiga, kedekatan emosional calon pileg dan pilpres turut
mempengaruhi partisipasi dan persepsi politik masyarakat. Keempat, rasionalitas masyarakat
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menentukan partisipasi politik. Pertimbangan ekonomi
dan politik uang menjadi salah satu motivasi dalam partisipasi politik. Namun, kedekatan calon dengan
pemilih menjadi kunci signifikan dalam pengaruhnya terhadap partisipasi politik masyarakat.
Kata kunci: Pileg, Pilpres, Partisipasi Politik, dan Pilihan Rasional,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Istilah demokrasi seolah sudah menjadi dua sejoli yang menjelma menjadi keping mata uang
yang tak terpisahkan dari sebuah konsep yang bernama negara. Perdebatan mengenai bagaimana
bentuk ideal negara dan demokrasi pun seolah pembahasannya tidak pernah lekang ditelan zaman.
Bahkan dalam kesejarahan, riak pemikiran itu lahir jauh sebelum kalender Masehi dimulai.
Socrates memulai perdebatan seru tentang cikal bakal demokrasi pada tahun 399 SM. Cikal
bakal pemikiran tersebut kemudian diteruskan oleh Plato dalam buah karyanya Republic.1 Seiring
perjalanan waktu, peneliti mencermati para filsuf sepanjang zaman saling bersahutan merespon
bagaimana demokrasi dan negara ideal itu seharusnya. Bahkan era postmodern sekarang, demokrasi
dimaknai Foucault telah menjelma menjadi sebuah fardhu ‘ain hukum internasional, yang bersanding
mesra dengan apa yang disebut Hak Asasi Manusia.2
Begitulah paparan singkat perjalanan demokrasi, seolah demokrasi tidak sesederhana
pemaknaan orang Sunda, yang mengartikulasi demokrasi sebagai adagium: denok, montok, keras, dan
berisi. Demokrasi memang “seksi”. Demokrasi menjadi rebutan semua manusia modern sekarang.
Negara-negara berlomba untuk menggapai sebuah predikat dan harapan baru: Negara Demokratis.
Gegap gempitanya terasa begitu hangat, di meja seminar, teori-teori kampus, bahkan menjadi
dagangan para NGO atau LSM sekalipun.
Laris-manisnya demokrasi menginspirasi Huntington untuk memetakan perjalanan panjang
sejarah demokrasi. Demokrasi dilahirkan oleh gejala adanya kepekaan politik yang terjadi akhir-akhir
ini di kalangan masyarakat di berbagai tempat di dunia. Huntington 3 mengamati pola perjalanan
demokrasi sekarang telah memasuki fenomena demokrasi gelombang ketiga atau global. Demokrasi
global telah terjadi di negara-negara modern. Hal ini telah menyulap perubahan praktik kenegaraan,
yang menginspirasi dan menyeret berbagai negara otoriter menjadi negara demokratis. Gelombang
demokrasi dimulai di Portugis tahun 1974 dan meluas kepada 30 negara otoriter lainnya, seperti di
Asia, Afrika, dan negara-negara Amerika Latin, yang menghancurkan sistem pemerintahan otoriter
sejak tahun 1980-an.
1
Julia Annas. 2003. Plato: A Very Short Introduction. United States: Oxford University Press Inc. hal. 20
Leonard M. Hammer. 2007. A Foucauldian approach to international law: descriptive thoughts for normative issues.
Great Britain: MPG Books Ltd. hal. 39-40. Hal senada juga dijelaskan secara detail oleh Epps, V. 2001, Book Review: ‘The
Recognition of States: Law and Practice in Debate and Evolution by Thomas D. Grant’, 95 A. J. I. L. 252; Warbrick (1997).
3
Nelson Huntington. 1994. Partisipasi Politik, di Negera Berkembang (terj.). Jakarta Rineka Cipta. Hal. 13
2
Dalam konteks negara berkembang, Liddle 4 memperkuat pernyataan Huntington tersebut
dengan berasumsi, bahwasanya kebangkitan negara-negara tersebut terjadi setelah tahun 1990-an
seperti di Indonesia, Filipina, Thailand, Taiwan, Korea Selatan, dan Pakistan. Diawali dari krisis
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan tidak lagi mendukung para pemimpinnya,
pemerintahan otoriter di negara tersebut telah digantikan dengan sistem demokrasi dan pemerintahan
berdasarkan pilihan masyarakat langsung melalui pemilu. Di samping itu, ada indikasi tentang
keinginan masyarakat untuk melibatkan diri dalam reformasi politik. Hampir dibeberapa negara
sebagai efek global tersebut bahkan ribuan pengunjuk rasa ingin menumbangkan rezim otoriter
berkuasa. Masyarakat di negara tersebut akhirnya berhasil membangun pemerintahan yang
demokratis.
Hal senada terjadi di Negara Indonesia. Ketika rezim Soeharto telah tumbang pada tahun 1998
dan diganti oleh pemerintahan baru yang lebih demokratis, maka kekuatan masyarakat
dalam kekuasaan semakin besar dalam pemerintahan. Peranan dan kekuatan masyarakat yang datang
dari lapisan bawah (people power) untuk menumbangkan pemerintahan otoriter terbukti berhasil di
banyak tempat di dunia, tak terkecuali di Indonesia5. Kekuatan masyarakat tersebut salah satunya
terdapat dalam kekuasaan masyarakat untuk menentukan siapa pemimpinnya, yang ditentukan dalam
pemilihan umum.
Pemilihan umum merupakan salah satu pilar utama dari sebuah demokrasi. Salah satu
konsepsi modern diajukan oleh Scumpeter6 yang menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum
yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi sebuah sistem politik agar dapat disebut sebagai
sebuah demokrasi. Sehingga, partisipasi politik masyarakat berkaitan erat dengan demokrasi suatu
negara.
Ciri utama negara demokratis, yakni kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, yang
melaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan, serta masa depan dan untuk
menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Anggota masyarakat secara
langsung memilih wakil-wakil yang akan duduk di lembaga pemerintahan. Dengan kata lain,
partisipasi langsung dari masyarakat yang seperti ini merupakan pengejewantahan dan
penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah dan oleh rakyat.
Hal ini membuktikan keikutsertaan masyarakat dalam berpartisipasi sangatlah penting karena
teori demokrasi menyebutkan bahwa masyarakat tersebut sangatlah mengetahui apa yang mereka
kehendaki. Hak-hak sipil dan kebebasan dihormati serta dijunjung tinggi. Tiada demokrasi tanpa
partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Partisipasi atau
keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Sehingga
4
5
6
William Liddle. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Jakarta FISIP UI. Hal. 5
Noer. 2003. Hal. 26.
Joseph Scumpeter , Capitalism, Socialism, and Democracy, New York : Harper., 1947.
tepatlah kiranya sebuah adagium pengertian demokrasi, yaitu yang berbunyi: “pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.7
Rakyat Indonesia lazimnya menyelenggarakan pemilihan umum dalam rentang waktu
teretentu untuk memilih perwakilannya di legislatif dan atau memilih presiden dan wakilnya. Konsep
politik negara kita menjadikan partai politik sebagai salah satu kendaraan dalam bentuk dari
partisipasi politik. Partisipasi politik ini merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara
demokrasi. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah
seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga, dalam hal ini partisipasi politik dapat dimaknai sebagai
aktivitas warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah.8
Dalam kajian literatur manapun, partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah
tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara umum
dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan
elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan, dan
mempengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari
masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik9.
Partisipasi politik menyoal hubungan antara kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintahan. Sehingga, partisipasi politik erat kaitannya dengan demokrasi dan legitimasi.
Partisipasi politik, demokrasi, dan legitimasi memiliki kerangka hubungan yang sangat erat.
Partisipasi politik dalam hubungannya dengan demokrasi berpengaruh pada legitimasi masyarakat
terhadap jalannya suatu pemerintahan. Dalam suatu pemilu misalnya partisipasi politik berpengaruh
terhadap legitimasi masyarakat kepada pasangan calon yang terpilih. Setiap masyarakat memiliki
preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu. Tidak
hanya itu, partisipasi politik masyarakat dalam pemilu dapat dipandang sebagai kontrol masyarakat
terhadap suatu pemerintahan. Kontrol yang diberikan beragam tergantung dengan tingkat partisipasi
politik masing-masing. Selain sebagai inti dari demokrasi, partisipasi politik juga berkaitan erat
dengan pemenuhan hak-hak politik warga negara.
Wujud dari pemenuhan hak-hak politik adalah adanya kebebasan bagi setiap warga untuk
menyatakan pendapat dan berkumpul. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
7
8
Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 43.
Samuel.P.Huntington, dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994,
hal.6.
9
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press, 1995. hlm. 56
Alat ukur untuk mengetahui partisipasi, demokratisasi, dan legitimasi warga negara Indonesia
dapat dilihat salah satunya melalui perilaku politiknya. Perilaku politik itu dapat dilihat dari berbagai
jenis yaitu melalui aktivitas dan antusiasme masyarakat mendatangi tempat pencoblosan dalam
pemilihan umum. Bentuk perilaku politik ini menjadi alat analisis untuk melihat partisipasi politik
masyarakat itu sendiri. Termasuk di dalamnya pada pemilihan legislatif dan presiden tahun 1999
sampai dengan pemilu 2014 yang lalu.
Data resmi KPU Pusat meliris bahwasanya partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai
dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar
10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara itu pada pemilu 2014, angka
partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam
sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif.
Unik memang trend negatif penurunan angka partisipasi tahun 2014, padahal secara teknis
pilpres itu lebih sederhana dan tidak serumit pileg. Namun, angka statistic menunjukkan minat
masyarakat untuk pergi ke TPS saat pilpres menurun. Berangkat dari asumsi di atas, ada beberapa
alasan yang melatarbelakangi peneliti mengambil tema tentang partisipasi politik dalam pemilu
legislatif dan pilpres Kabupaten Garut.
Pertama, memang benar adanya, telah terjadi peningkatan partisipasi politik dalam pileg dan
telah terjadi penurunan angka partisipasi dalam pilpres pada tahun 2014 dibandingkan tahun
sebelumnya.
Kedua, sejauh ini belum banyak ditemukan penelitian mengenai partisipasi politik masyarakat
di Kabupaten Garut. Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk bisa kita
jadikan bahan pembelajaran ke depan terkait penelitian yang sejenis.
Ketiga, Kabupaten Garut memiliki corak khusus perpolitikan yang sangat dinamis. Hal ini
dibuktikan dengan ritme silih bergantinya tampuk sejarah kekuasaan dalam waktu yang sangat
singkat. Kisah bupati Garut yang masuk jeruji karena urusan korupsi, kasus fenomenal
penurun-paksaan bupati karena masalah etika publik gara-gara pernikahan kilat, pengunduran-diri
wakil bupati Garut yang menjadi kasus pertama dalam sistem pilkada langsung, dll. menjadi bukti
uniknya dialektika perpolitikan Garut. Tentunya perhatian masyarakat pada dunia politik kegarutan
cukup tinggi. Situasi ini tentunya secara tidak langsung menambah cita rasa unik penelitian ini.
Berdasarkan tiga alasan yang telah dikemukakan di atas maka terdapat ruang kosong terkait
belum diketahuinya penyebab dan upaya kehadiran dan ketidakhadilan pemilih di TPS (voter
turn-out) yang terjadi pada saat pileg dan pilpres di Kabupaten Garut. tidaklah berlebihan kiranya,
jikalau peneliti tertarik untuk mengkaji penelitian ini dengan judul: Partisipasi Politik Masyarakat
dalam Pemilihan Umum (Studi Voter Turn-Out dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres di
Kabupaten Garut Tahun 2009 dan 2014).
B. Rumusan Masalah Penelitian
Mengacu pada latar belakang penelitian di atas, maka titik awal penelitian ini berangkat dari
satu pertanyaan besar: “Bagaimana Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Umum Legislatif
dan Pilpres di Kabupaten Garut Tahun 2009 dan 2014?”.
Dari permasalahan pokok di atas, diturunkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana peta kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dari tahun 2009 ke 2014 di
Kabupaten Garut?
2. Bagaimana peta penurunan angka partisipasi pemilu presiden tahun 2014 di Kabupaten Garut?
3. Apa penyebab kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dan penurunan angka partisipasi
pemilu presiden tahun 2009 dan 2014 di Kabupaten Garut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan rumusan yang akan dicapai dalam penelitian sebagai arah bagi
peneliti ketika melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan rumusan
penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peta kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dari tahun 2009 ke 2014 di
Kabupaten Garut.
2. Untuk mengetahui peta penurunan angka partisipasi pemilu presiden 2014 di Kabupaten Garut.
3. Untuk mengetahui penyebab kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dan penurunan angka
partisipasi pemilu presiden tahun 2009 dan 2014 di Kabupaten Garut.
D. Metode Penelitian
Pendekatan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran atau mix
metode kuantitatif dan kualitatif. Pada metode campuran, mengasosiasikan prosedur kerja pada
metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan data kualitatif dan sebaliknya
untuk dicapai satu analisis yang lebih komprehensif. Metode kuantitatif dimaknai berusaha mencari
generalisasi atas masalah yang diteliti. Kerangka teori pada metode kuantitatif dimaksudkan untuk
diuji kebenarannya dan dibangunnya kerangka pemikiran baru atas sebuah permasalahan. Sementara
itu pada metode kualitatif, penelitian dimaksudkan untuk mencari pemaknaan atau kedalaman atas
sebuah permasalahan. Kerangka teori berfungsi sebagai pisau analisis untuk membantu peneliti
merangkai dan memberi makna atas berbagai fakta yang ditemukan dalam penelitian.
Sumber data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian
ini merupakan data kualitatif yang diperoleh melalui interview terhadap beberapa sampel. Data
sekunder dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa dokumentasi angka dan data resmi hasil
pemilu yang terdapat di KPUD Kabupaten Garut.
Data sekunder tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui daerah dan desa
mana yang mengalami kenaikan angka secara signifikan pada pileg 2009 ke 2014 dan yang
mengalami penurunan angka secara signifikan pada pilpres dari tahun 2014. Dengan pola pengurutan
top ranking tersebut pada akhirnya didapatkan 42 desa yang memenuhi kaidah tersebut.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara yang menggunakan
panduan kuasioner terhadap 44 orang responden yakni penyelenggara pemilu tingkat desa (PPS)
sebanyak 44 orang. Pengambilan 44 orang ini didasarkan kepada asumsi minimal 10% dari jumlah
populasi desa yang berjumlah 442 desa/kelurahan se-Kabupaten Garut. 10 Disamping interview
terhadap responden, peneliti juga melakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap delapan
asisten peneliti yang melakukan wawancara dan observasi terhadap para responden. FGD ini
dilakukan untuk melakukan pendalaman terhadap semua data dan analisa, juga mengingat para asisten
peneliti ini adalah penyelenggara pemilu sehingga tidaklah berlebihan mereka memiliki wawasan,
pengetahuan, dan pengalaman sehingga menjadi bagian participant observation.
E. Kerangka Teoritis
Ada banyak basis teoritis yang bisa dijadikan sebagai landasan utama dalam penelitian
partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum ini. Mengingat keterbatasan ruang pembahasan,
peneliti hanya akan menyajikan dua grand teori yang benar-benar sangat penting dalam membantu
peneliti menggunakan pisau analisis di lapangan. Dua grand teori yang dikira peneliti cocok untuk
membedah partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum adalah teori mengenai partisipasi politik
dan teori pilihan rasional.
Urgensi teori partisipasi politik yakni untuk mengukur apa dan bagaimana keterlibatan
seseorang dalam pemilihan umum. Sedangkan teori pilihan rasional untuk mengukur apa dan
bagaimana motif, pilihan, nilai atau keyakinan seseorang dalam melakukan keterlibatan tersebut.
Kedua teori tersebut akan dijelaskan secara terpisah di bawah ini:
E. 1. Teori Partisipasi Politik
Penting kiranya dalam sub bab ini mendadar sebuah batasan yang jelas mengenai kerangka
dasar dari partisipasi politik, atau ada sebagian orang menyebutnya sebagai partisipasi demokrasi.
Partisipasi politik merupakan salah satu dari sejumlah istilah yang memiliki banyak arti, namun
biasanya istilah tersebut diterapkan pada aktivitas orang pada semua tingkat sistem politik, pemilih
10
Lihat John W. Creswell. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
California: SAGE Publications, Inc.
berpartisipasi dalam kegiatan kampanye, pemberian suara pada pemilu, berpartisipasi dalam
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Asumsi dasar partisipasi dalam demokrasi adalah orang yang paling tahu tentang apa yang
baik bagi dirinya sendiri adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan
dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga
negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidupnya dalam
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Dalam hal ini masyarakat ikut
berpartisipasi. Baik ketika dia memilih calon pemimpin atau ikut di dalam kampanye maupun partai
politik.
Dasar pemikiran akan hal tersebut selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Huntington dan
Nelson yang membatasi pengertian partisipasi politik sebagai berikut:
By political participation we mean activity by private citizens designed to influence
government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or
spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or
ineffective11.
(Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,
yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai
atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif)
Berdasarkan pendapat Huntington dan Nelson tersebut, pengertian partisipasi politik
mengandung konsekuensi terhadap penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang
lingkup definisi partisipasi politik tersebut lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi
dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat
mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan
pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks
jabatan yang diembannya.
Dalam bukunya, Political Sciology : A Critical Introduction, Keith Fauls dalam Pengantar
Sosiologi oleh Damsar, memberikan batasan partisipasi politik sebagai “Keterlibatan secara aktif dari
individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan12. Keith Davis dan W. Newstrom mengartikan
partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang
mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada pencapaian tujuan kelompok dan
bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan itu.
11
12
Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4
Keith Fauls, Political Sciology : A Critical Introduction dalam Damsar, Pengantar Sosioogi Politik 1990, hal 180.
Sedangkan partisipasi politik, menurut Herbet McClosky dapat diartikan sebagai kegiatan
sukarela dari warga masyarakat bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum13 .
Menurut Max Weber masyarakat melakukan aktivitas politik karena, pertama alasan rasional nilai,
yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok. Kedua,
alasan emosional afektif, yaitu alasan didasarkan atas kebencian atau sukarela terhadap suatu ide,
organisasi, partai atau individu. Ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan yang didasarkan atas
penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Keempat,
alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi.
Miriam Budhiardjo 14 mendefenisikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan
memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat
umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan
pejabat pemerintah atau anggota parlemen. Ramlan Surbakti mendefenisikan partisipasi politik itu
sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan.
Lebih lanjut analisis peneliti melakukan kategorisasi terhadap empat tokoh pemikir politik
yang telah memberikan batasan definisi tersebut, pada akhirnya akan menghasilkan sebuah
indikator-indikator dari apa yang disebut sebagai partisipasi politik, yang akan dijelaskan dalam grafik
di bawah ini:
Tabel 1.
Indikator Partisipasi Politik
Tokoh
Huntington dan Nelson
Herbert McClosky
Miriam Budiardjo
Ramlan Surbakti
13
Indikator Partisipasi Politiknya
1. Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan 2.
Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik 3. Dilakukan
oleh warga negara preman (biasa)
1. Berupa kegiatan-kegiatan sukarela 2. Dilakukan oleh warga
negara 3. Warga negara terlibat dalam proses-proses politik
1. Berupa kegiatan individu atau kelompok 2. Bertujuan ikut
aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau
mempenga-ruhi kebijakan publik.
1. Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik 2. Dilakukan oleh warga negara
biasa
Herbert Mc.Closky, International Encyclopaedia of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010, hal.180.
14
Miriam Budhiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT.Gramedia, 1982, hal 12.
Berdasarkan beberapa defenisi dan indikator partisipasi politik di atas, dapat dilihat bahwa
setiap partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan-kegiatan sukarela yang
nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kita ketahui bahwa yang berperan
melakukan kegiatan politik itu adalah warga negara yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan.
Dalam sistem pemerintahan, yang berwenang membuat dan melaksanakan keputusan politik adalah
pemerintah, akan tetapi masyarakat mempunyai hak untuk mempengaruhi proses pembuatan serta
pelaksanaan keputusan yang dibuat oleh pemerintahan tersebut 15. Adapun bentuk-bentuk partisipasi
warga dalam politik menurut Almond16 antara lain:
Tabel 2.
Bentuk Partisipasi Politik
Konvensional
1.
2.
3.
4.
5.
Pemberian suara
Diskusi politik
Kegiatan kampanye
Membentuk dan bergabung
dalam kelompok kepentingan
Komunikasi individual dengan
pejabat politik dan
administratif
Non-Kovensional
1.
2.
3.
4.
Pengajuan petisi
Berdemonstrasi
Konfrontasi
Mogok
5.
Tindakan kekerasan politik harta
benda(pengeboman, pembakaran)
6.
Tindakan kekerasan politik terhadap
manusia (penculikan, Pembunuhan)
Perang Gerilya dan Revolusi
7.
Milbrath dan Goel 17 membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori perilaku
dalam sebuah susunan gambar piramida. Penjelasan akan piramida tersebut menujukkan bahwa
pertama, apatis. Artinya, orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua,
spectator. Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga,
gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis
mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat.
Seseorang yang termasuk dalam gladiator dalam mereka terlibat aktif dalam politik dengan jumlah
yang sedikit namun memiliki pengaruh yang sangat besar. Sehingga posisi mereka berada paling
tinggi. Posisi berikutnya adalah spectator. Masyarakat yang ikut menggunakan hak pilihnya,
berpartisipasi dengan hanya ditunjukkan dengan memilih pada saat Pemilu. Terakhir adalah
masyarakat yang apatis yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu.
Lebih detail mengenai visualisasi piramida partisipasi politik tersebut, antara lain tergambar
dalam bagan piramida berikut ini:
15
16
17
Sudijono, Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press, 1995, hal.5-6.
Damsar Prof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010. Hal. 126
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia, 2007, hlm. 142
Tabel 3.
Piramida Partisipasi Politik
Namun secara umum, bentuk-bentuk partisipasi politik ada juga yang mengakomodir
golongan putih atau yang terkenal dengan istilah golput sebagai bagian dari demokratisasi sebuah
negara. Hal ini dapat terlihat dari kategorisasi bentuk partisipasi politik yang dipaparkan oleh
Damsar18 dalam tiga kelompok besar antara lain:
Tabel 4.
Bentuk Partisipasi Politik
Penjelasan mengenai tabel di atas, partisipasi aktif merupakan partisipasi yang berorientasi
pada proses input dan output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan
kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik,
mengajukan alternatif kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan
kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan
lain-lain. Sedangkan partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam
arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan
18
Damsar Prof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010.
pemerintah. Adapun golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap ssstem
politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan.
Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik termasuk golput menjadi
ukuran untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara. Ada banyak bentuk partisipasi politik
itu sendiri, diantaranya melalui pemberian suara (voting behavior), diskusi politik, kegiatan
kampanye, ikut dalam partai politik dan lain sebagainya. Perilaku politik masyarakat itu sendiri dapat
dilihat ketika masyarakat tersebut ikut berpartisipasi, misalnya dalam pemilu.
Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang
didasarkan pada pilihan formal dari warga Negara yang memenuhi syarat. Pada zaman modern ini
pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal; Pertama, pemilu menempati
posisi penting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator negara
demokrasi. Dhal mengatakan bahwa dua dari enam ciri lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan
oleh demokrasi skala besar adalah berkaitan dengan pemilu, yaitu para pejabat yang dipilih dan
pemilu yang bebas adil dan berkala. Ketiga, pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan
implikasi-implikasi yang luas dari pemilu, pada fase tersebut Huntington menyebut pemilu sebagai
alat serta tujuan dari demokratisasi. Pernyataan tersebut berangkat dari kenyataan tumbangnya
penguasa-penguasa otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori sendiri karena mencoba
memperbaharui legitimasi melalui pemilu.19
Rakyat membuat kontrak sosial dengan para pemimpin melalui pemilu. Pada saat pemilu
rakyat dapat memilih figur yang dapat dipercaya untuk mengisi jabatan legislatif dan eksekutif. Di
dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi syarat untuk memilih, secara bebas, dan rahasia,
menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya 20 . Oleh karena itu,
kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin sekarang bukanlah muncul karena dirinya sendiri,
melainkan titipan dari rakyat melalui pemilu.
Intinya, pemilihan umum adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara
biasa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan
cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat unutk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam
badan-badan perwakilan rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Sangat bermaknanya pemilu
bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi indikator demokratisnya suatu negara.
Berangkat dari batasan pengertian partisipasi politik dalam pemilihan umum tersebut. Pada
akhirnya penelitian ini juga tidak bisa menafikan karakteristik sosial yang terjadi dalam objek
penelitian, terkhusus Garut. Sebab pada akhirnya peneliti juga harus bisa mengiyakan ada faktor lain
yang mempengaruhi partisipasi politik ini. Studi hasil penelitian Seymour Martin Lipset, dalam
19
20
Sigit. Pamungkas, Prihal Pemilu. Yokyakarta : Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009, Hal. 3-4
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung : Fokusmedia, 2007, hal.173-174.
Political Man: the Social Bases of Politics (1960) dalam Miriam Budihardjo21 menegaskan dengan
sangat terang bahwasanya karakteristik sosial berpengaruh terhadap partisipasi politik. Karakteristik
sosial tersebut meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal,
situasi kondisi, status dan organisasi. Dengan demikian karakteristik sosial khas kegarutan, menjadi
bumbu pelengkap dalam pembahasan penelitian ini.
E. 2. Teori Pilihan Rasional
Memahami permasalahan naik turunnya partisipasi politik dengan melihatnya dari sudut
pandang pemilihan umum. Maka peneliti merasa perlu untuk menambahkan pula beberapa nukilan
dari teori pilihan rasional. Dari beberapa pemikir teori pilihan rasional tersebut, demi efisiensi ruang
pembahasan peneliti hanya akan mengulas hanya dari James. S. Coleman, Antony Downs, Friedmen,
dan Hechter.
Coleman22 memaknai teori pilihan rasional sebagai tindakan perseorangan mengarah kepada
sesuatu tujuan dan memandang tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama
dalam teori Coleman yakni aktor dan sumber daya. Aktor adalah yang memilih tindakan yang dapat
memaksimalkan kegunaan atau memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. sedangkan sumber
daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor.
Buah karya pemikiran Downs,23 pilihan rasional berkembang dalam arah yang bervariasi.
Teori pilihan rasional mengambil preferensi, keyakinan, dan strategi feasible individu sebagai
penyebab tindakan yang mereka lakukan. Varian mainstream dari pilihan rasional mengasumsikan
bahwa individu mempunyai semua kapasitas rasional, waktu, dan keterikatan emosi yang penting
untuk memilih arah tindakan baik, tak peduli betapa kompleksnya pilihan tersebut. Masalah paling
sederhana secara konseptual dalam pembuatan keputusan parametrik dalam kepastian ketika setiap
tindakan mempunyai hasil yang diketahui (sehingga tidak ada resiko atau ketidakpastian) dan
hubungan antara aksi dan akibat tak dipengaruhi oleh tindakan individu lain. Individu diasumsikan
mampu menilai hasil, maupun aksi.
Lebih lanjut Downs24 mengatakan, dalam konteks pemilihan umum orang memilih calon atau
partai politik, apabila calon atau partai tersebut dipandang dapat membantu pemilih memenuhi
kepentingan dasarnya yakni kehidupan ekonomi. Cukup dengan mempersepsikan keadaan ekonomi
dirinya (egosentrik) di bawah sebuah pemerintahan (partai atau calon) tertentu sekarang ini dibanding
sebelumnya (retrospektif), dan yang akan datang dibanding sekarang (retroospektif), dan yang akan
datang dibanding sekarang (prospektif); dan evaluasi umum seorang pemilih atas keadaan ekonomi
21
Miriam Budihardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Sebuah Bunga Rampai.
Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia. hal 10.
22
George Ritzer & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. hlm. 394
23
David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media. hlm. 82
24
Saiful Mujani,op.,cit. hlm. 33
nasional (sosiotropik) di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun sebelumnya (retospektif), dan
keadaan ekonomi nasional dibawah pemerintahan sekarang dibanding tahun-tahun yang akan datang
(prospektif).
Friedmen dan Hechter dalam teori yang disebutnya model kerangka teori pilihan rasional
memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan dan
tindakanya tertuju pada upaya mencapai tujuan itu. Teori ini memperhatikan dua hal yang
memengaruhi tindakan aktor. Yang pertama adalah keterbatasan sumber. Masing-masing aktor
memiliki sumber yang berbeda maupun akses yang berbeda terhadap sumber tersebut. Dalam
kelangkaan sumber daya terdapat gagasan mengenai biaya kesempatan. Dalam mencapai suatu tujuan,
aktor harus memperhatikan biaya yang harus dikeluarkan untuk tindakan yang terpenting. Aktor dapat
memilih tindakan untuk tidak mengejar tujuan paling bernilai jika sumber daya yang dimilikinya
diperhitungkan tidak mencapai hal tersebut. Kedua, lembaga sosial. Hambatan kelembagaan
menyediakan baik sanksi positif maupun sanksi negatif yang membantu mendorong aktor untuk
melakukan tindakan tertentu dan menghindarkan tindakan yang lain.
Lembaga sosial telah berperan besar dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat
Seperti yang diaungkapkan oleh Friedmen dan Hechter yang menjelaskan adanya kemampuan dari
lembaga sosial untuk memberikan sanksi positif dan negatif kepada masyarakat sehingga
memengaruhi masyarakat untuk menentukan ikut berpartisipasi ataukah tidak. Dari penjelasan
Friedmen dan Hecdter tersebut dalam permasalahan partisipasi politik lembaga sosial mampu
memberikan dorongan kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam politik. Berdasarkan
pengamatan peneliti, lembaga sosial yang turut berperan dalam meningkatkan partisipasi politik
masyarakat antara lain adalah penyelenggara pemilu (KPUD, PPK, PPS, dan KPPS) Partai Politik,
Media Massa, dan Ormas
BAB II
HASIL PENELITIAN
Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut teori dan hasil penelitian Seymour Martin
Lipset bahwasanya karakteristik sosial itu bisa mempengaruhi partisipasi politik. Sebelum mendadar
bagaimana partisipasi politik di Kabupaten Garut alangkah pentingnya dulu menganalisa bagaimana
karakteristik sosial alam dan manusia Garut.
Kabupaten Garut terkenal karena keindahan dan romantisme alam yang sangat mempesona.
Keelokan anugrah Tuhan tersebut menjadikan Garut sebagai tempat buruan para pemimpin dunia
dahulu. Maka tak pelak, pada waktu itu Garut diberi julukan sebagai swiss van java. Keindahan alam
Garut bahkan jauh-jauh hari sudah termaktub dalam karya sastra klasik yang dibuat oleh orang-orang
luar. Sebut saja novel Fatat Garut buah karya fenomenal dari Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Dengan sangat piawai sang penulis melukiskan kondisi alam Garut sebagai sebuah bagian permata di
kota Priangan, yang terletak di Pulau Jawa, salah satu pulau di Kepulauan Asia Pasifik. Assegaf
adalah seorang petualang yang mengelilingi dunia namun justru ia sangat tertambat hatinya kepada
Garut. Beliau menuliskan:
Seandainya Pulau Jawa yang dianugerahi oleh Allah tanah yang subur dan pemandangan
yang indah, kita umpamakan seikat cincin zamrud, maka Garut adalah pusat dari cincin itu
yang merupakan permata yang tiada bandingannya.
Begitulah Garut, konon menjadi magnet buat para pelancong penikmat alam. Namun, Garut
juga terkenal dalam percaturan politik nasional bahkan internasional dari dulu hingga sekarang.
Pepatah mengatakan sejarah itu berulang, ”L-histoire serepete”. Kebenaran pepatah ini menemukan
relevansinya saat ketika menyaksikan gejala ”politik aliran” atau ideologi politik yang pernah hidup di
zaman lampau 25 . Sejarah Garut memberikan pemahaman kepada kita, bahwasanya daerah ini
dipenuhi dinamika ”pertarungan” ideologi dan faham keagamaan tersebut. Berdiri dan aktivitas Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Garut 26 , bersebrangan dengan
lahirnya tokoh Dewan Pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yakni Sastra, yang juga berasal dari
Garut27. Dinamika pertarungan ideologi ini menjadi sangat terasa ketika Presiden Pertama Soekarno
25
Herbert Feith dan Lance Castle (eds.), Indonesian Political Thinking (1945-1965), Ithaca New York: Cornell
University Press, 1970. Memetakan “politik aliran” yang berkembang di Indonesia (1945-1965) ke dalam lima kategori; Islam,
Komunisme, Nasionalisme Radikal, Tradisional Jawa dan Sosialisme Demokrat.
26
Sedjarah Goeneong Tjoepoe, Jilid I, (Cisayong:1948), hal 1. Sebagaimana dikutip Holk H. Dengel, Kartosoewirjo
dan Darul Islam, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996. Sepak terjang Kartosoewirjo di Garut, lebih lengkapnya diulas secara
mendetail di Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. KArtosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah
Darul Islam. (Bandung, Darul Falah:1999).
27
Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. (Jakarta, Pustaka Jaya:2000). Hal. 579).
sering datang ke Garut, tepatnya di Kampung Cilame, berdebat dengan Mama Ajengan Zakaria,
mengenai Komunisme dan Islam28.
Sejarah seakan terus berulang, pertarungan ideologi juga terasa kegairahannya sampai
sekarang, terutama dalam dunia politik. Garut termasuk daerah dengan tingkat sensitivitas kekuasaan
yang sangat dinamis. Bukti akan hal tersebut di atas, antara lain: Bupati Garut (AS) yang dilengserkan
karena urusan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK. Kemudian, ada juga Bupati Garut (AF) yang
lengser justru tersandung urusan etika moral pejabat publik. Aksi massa warga Garut yang semakin
massif, pada akhirnya menyeret para pemangku kebijakan untuk menurunkan orang nomor satu di
Garut ini. Baru kali ini di Indonesia, urusan pribadi (bukan urusan hukum yang pasti) pejabat publik
menjadi batu sandungan lengsernya jabatan. Bahkan isu pernikahan sirri ini menjadi buah bibir
bahkan menjadi tag line di beberapa berita internasional.
Lengsernya AS dan AF memunculkan fenomena baru dalam dunia perpolitikan di Jawa Barat.
Sejauh pengamatan peneliti, hal ini menimbulkan ekses sampai-sampai melahirkan istilah
”digarutkeun” bagi para politisi-politisi di luar Garut. Istilah ini memiliki pengertian diturunkan paksa
oleh massa seperti yang terjadi di Garut. Istilah-istilah ini seakan menjadi semangat global baru bagi
politisi luar Garut untuk menurunkan bahkan menakut-nakuti para pemimpin lokal yang dianggap
otoriter. Sebuah gejala demokratisasi, buah dari partisipasi politik masyarakat yang teorisasinya telah
secara gamblang dibahas di segmen awal penelitian ini.
Kasus lainnya, fenomena mundurnya wakil bupati Diki Chandra, menjadi pemantik awal
kebijakan bagi lahirnya regulasi nasional berupa teknis aturan baru pengunduran-diri pejabat
bupati-wakil bupati hasil Pilkada langsung. Belum lagi, kegairahan politik di Garut terlihat pada
bejibun atau banyaknya calon pasangan bupati dan wakil bupati dari domain independen atau jalur
perorangan pada Pilkada langsung tahun 2013 silam.
Garut memang unik untuk ditilik. Sejarah memang tidak pernah bohong. Dan dengan sejarah
pula kita mengetahui bahwa Garut memiliki dinamika politik dan ideologi yang sangat hidup. Tentu
saja common sense melek politik warga Garut ini mempengaruhi pula partisipasi politik warganya
dalam memberikan atau tidak memberikan aspirasi politik pada pemilihan umum. Sehingga dapat
dikatakan memberikan atau tidak memberikannya partisipasi politik tersebut (termasuk partisipasi
masuk TPS) itu penuh kesadaran karena memiliki pengetahuan kemelek-politikan. Ternyata melihat
kondisi dan fenomena di atas, kemelek-politikan warga Garut di atas standar kabupaten lainnya di
Indonesia.
Garut terdiri dari 42 kecamatan dan terbagi ke dalam 5 Daerah Pemilihan (Dapil)pada pemilu
tahun 2009 dan 2014 . Warga Garut yang berhak untuk memberikan aspirasi politiknya yang terdapat
28
Heri Mohamad Tohari, 2012, Multiculturalism Mainstreaming at School: Research at Public High school 6 and
Public Vocational High School 3 Garut West Java. Jakarta: Kemenag RI. Hal. 423.
dalam kolom Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014
tergolong banyak, yakni berjumlah 1.769.224 orang. 29 Dan mengalami perubahan penambahan
jumlah pemilih menjadi 1.814.981 orang.30
Jika mengkaji teori Milbrath dan Goel yang terdapat dalam kerangka teori sebelumnya, para
pemilih yang ada di Kabupaten Garut tersebut sebagian besar masuk dalam kategori spectator.
Umumnya mereka sebagian besar bukan aktifis partai. Mereka hanya warga biasa yang menggunakan
hak pilihnya ketika pemilu. Setelah selesai mereka tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik apapun.
Jikalau menganalisis hasil partisipasi politik pada warga Garut yang menggunakan hak pilih
pada pemilu legislatif antara tahun 2009 dengan tahun 2014 hasilnya sangat variatif. Namun, kalau
dilihat dari total komulatif trend-nya sama dengan trend nasional yaitu mengalami kenaikan, yakni
sebesar 0.38%. Berikut ini adalah peta sebaran kecamatan-kecamatan mana saja yang mengalami
kenaikan. Dalam gambar, peta kecamatan yang berwarna hijau mengalami kenaikan, sedangkan yang
berwarna putih mengalami penurunan. Lebih jelas mengenai peta kenaikan dan penurunan angka
partisipasi pemilih pada pileg tersebut, tersaji dalam gambar berikut ini:
Gambar 5
Peta sebaran Kenaikan Partisipasi Pemilih
29
Data Resmi KPU, seperti yang tertuang dalam buku: Suara Rakyat; Menapak Jejak menuju Kursi Parlemen 2014 di
Kabupaten Garut. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Hal. 30.
30
Data Resmi KPU, seperti yang tertuang dalam buku: Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD
Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Hal. 56.
Dari gambar peta yang tersaji di atas, diperoleh sebuah gambaran, bahwa peta sebaran
kenaikan angka partisipasi pemilih pada pileg tersebut sangat tersebar secara merata. Baik itu di
bagian utara, selatan, bahkan bagian tengah Kabupaten Garut. Sehingga dapat disimpulkan, kontur
geografis yang digadang-gadang dapat mempengaruhi kenaikan atau penurunan jumlah partisipasi
politik tidak terbukti. Seperti yang diketahui, bahwasanya daerah Garut selatan dengan Garut utara
atau tengah memiliki kesulitan geografis yang berbeda. Namun, fakta sebaran peta tersebut
membuktikan kepada kita, baik di utara tengah, dan selatan, kerumitan geografis tidak mempengaruhi
kenaikan atau penurunan partisipasi tiap tahunnya.
Ada sekitar 22 kecamatan yang memiliki kenaikan angka partisipasi pemilih dalam pileg dari
tahun 2009 ke 2014. Sisanya sekitar 20 kecamatan mengalami penurunan. Taraf kenaikan angka
partisipasi pemilih dari total 22 kecamatan tersebut sangatlah bervariatif. Kenaikan yang di atas 3%
hanya 6 kecamatan. Kenaikan kisaran 1-3% berjumlah 10 kecamatan. Sedangkan sisanya mengalami
kenaikan di bawah 1%. Lebih lanjut mengenai komposisi kenaikan tingkat kecamatan tersebut tersaji
dalam grafik di bawah ini:
Grafik 6.
Kenaikan Partisipasi Pemilih Tingkat Kecamatan
Kemudian kecamatan-kecamatan mana saja yang mengalami kenaikan angka partisipasi
pemilih secara signifikan pada pileg se-Kabupaten Garut tersebut antara lain tersaji dalam 6
kecamatan terbaik dalam kenaikan partisipasi pemilih pada pileg di Kabupaten Garut, antara lain di
bawah ini:
Gambar 7.
Top Six Kenaikan Partisipasi Pemilih
Berbeda dengan pemilu legislatif yang mengalami kenaikan. Justru hal ini berlaku berbanding
terbalik dengan pemilu presiden yang terjadi di Kabupaten Garut. Setelah menganalisa data partisipasi
pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilihan presiden tahun 2014, diperoleh peta sebaran
kecamatan yang mengalami kenaikan dan penurunan. Kecamatan yang berwarna pink mengalami
jumlah penurunan angka partisipasi pemilih. Sedangkan kecamatan yang berwarna putih justru seiring
dengan pelaksanaan pilpres mengalami kenaikan pemilih. Lebih lanjut mengenai peta sebaran tersebut
terdapat dalam peta sebaran di bawah ini:
Gambar 8.
Peta sebaran Penurunan Partisipasi Pemilih di Pilpres
Analisa peneliti terhadap penurunan angka partisipasi pemilih pada pilpres tidak hanya pada
level kecamatan. Dari data yang tersaji, desa yang mengalami penurunan angka partisipasi pemilih
secara drastis terdapat di Desa Karangsari Kecamatan Pangatikan yang menembus penurunannya
sampai kepada level 27.60%.
Gambar 9.
Desa dengan Penurunan Terendah Partisipasi Politik
Pengkajian yang lebih mendetail tentang penurunan angka partisipasi ini ada banyak faktor
yang melatar belakangi. Faktor kemudahan teknis dalam mencoblos antara pileg dan pilpres tidak
turut mempengaruhi pemilih. Bahkan pilpres yang lebih mudah dalam teknis cara mencoblos justru
tidak menjadi motivasi pemilih untuk datang ke TPS.
Penurunan angka partisipasi pemilih pada pilpres di setiap daerah di Kabupaten Garut
dilatarbelakangi oleh alasan yang berbeda di setiap daerahnya. Alasan hujan menjadi alasan orang
enggan datang ke TPS pada pilpres 2014 seperti yang terjadi di Desa Jayamukti Cihurip.
Alasan utama yang menyebabkan penurunan angka partisipasi pada pilpres dan kenaikan
angka partisipasi pada pileg lebih disebabkan oleh kedekatan emosi antara calon dengan pemilih. Pada
pileg ada banyak caleg yang door to door kepada pemilih guna mengajak untuk ikut mencoblos pada
TPS. Bahkan saking merasa sudah dekatnya ikatan emosional tersebut, orang-orang yang bekerja di
luar kota bahkan di luar negeri pun sudi untuk datang ke kampung halaman guna mencoblos sanak
saudara, keluarga, tetangga, teman, atau siapapun yang menjadi jagoannya dalam pileg.
Unsur kedekatan emosi ini menjadi penting seperti yang tertuang dalam kerangka teori di
awal pembahasan. Ada sebuah fenomena menarik, yakni perkampungan di Desa Cisarua Samarang
dan Desa Cijayana Mekarmukti yang mayoritas penduduk usia produktifnya bekerja di luar kota
bahkan banyak yang bekerja di Arab Saudi, mereka dengan rela berbondong-bondong kembali mudik
ke kampung halaman layaknya lebaran, guna mencoblos caleg jagoannya.
Cara mengasah kedekatan emosi para caleg dengan pemilih pun dirasa sangat menyentuh akar
rumput. Hal inilah yang membedakan dengan pilpres. Para caleg dengan segala bentuk ajakannya,
mereka langsung melakukan sosialisasi ajakan memilih. Biasanya caleg lebih populer masuk dan
keluar pengajian untuk menyosialisasikan dirinya. Ada pula yang membagikan sembako, masuk ke
olahraga antar kampung, ketuk pintu, nempel sendiri stiker pada setiap rumah, dll. Bahkan terdapat
seorang caleg X dari partai Demokrat di Kabupaten Garut pada tahun 2014 yang memiliki gagasan
unik, dengan menggembor-gemborkan ajakan, kalau dia menang menjadi anggota dewan, maka
separo gajinya akan diberikan kepada masyarakat. Adapula para caleg yang kerjaannya
membagi-bagikan barang, seperti: kopi, kerudung, kopiah, sajadah, mukena, bahkan bra (pakaian
dalam perempuan) sekalipun di Kabupaten Garut ini. Pola inilah yang mendekatkan secara emosi
antara pemilih dengan caleg. Yang pada akhirnya motivasi untuk berangkat ke TPS-pun tumbuh
secara bergairah.
Sejauh analisa peneliti terhadap pengakuan responden, motivasi pribadi atau kelompok untuk
mendapatkan proyek, kalau jagoan calegnya menang, sangatlah kentara. Hal ini juga yang bisa
menjadi pemantik orang-orang datang ke-TPS. Disamping alasan pragmatis lainnya, seperti money
politic, orang dengan sangat bersemangat datang ke-TPS. Rasa penasaran siapa yang akan menang
dalam caleg pun menjadi daya dorong orang datang ke-TPS.
Transaksi money politic yang dilakukan pada pileg jauh lebih sengit daripada pilpres. Hal ini
memang bisa difahami, bahwasanya persaingan di pileg jauh lebih ketat daripada di pilpres. Tarif
money politic pada saat pileg bervariasi antara 20.000, 50.000, 75.000, atau 100.000. Tergantung
kepada simbol status konstituen. Kalau statusnya tokoh semakin tinggi, niscaya berbanding lurus
dengan nilai “fulusnya”. Dan sebaliknya, semakin low status, maka nilainya semakin rendah. Bahkan
peneliti menemukan ada caleg yang memberikan money politic dalam amplop, isinya hanya sebesar
5.000,- yang dibagikan di daerah perkebunan di Garut Selatan. Diakui atau tidak, potret money politic
ternyata memberikan langkah motivasi dan memperkuat “nawaitu” orang untuk datang ke-TPS.
Peran lembaga sosial dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat seperti yang
diamanatkan oleh teori Friedman dan Hecdter pun berbeda tampilannya antara di pileg dan pilpres.
Sosialisasi pileg lebih gencar daripada pilpres. Hal ini diakui oleh semua responden yang diteliti.
Organisasi penyelenggara pemilu seperti PPS seakan sudah kehabisan tenaga untuk melakukan
sosialisasi dan ajakan pilpres. Mata rantai pemilihan yang panjang pada penyelenggaraan pemilu
tahun 2013-2014 dimulai dari pemilihan Gubernur Jawa Barat, Pilkada Garut putaran I, Pilkada Garut
putaran 2, Pileg, dan terakhir adalah Pilpres, menjadi kambing hitam kebosanan sosialisasi pilpres ini.
Di setiap pemilihan tersebut hampir mayoritas PPS komposisinya tidak berubah. Sehingga
ada adagium populis di masyarakat: “Apapun pemilihannya, anggota PPS-nya tetap itu-itu juga”.
Walau sebenarnya sekarang sudah ada regulasi yang mengantisipasi akan hal tersebut dengan
membatasi penyelenggara pemilu sampai level bawah, hanya menjabat dua periode. Kejenuhan para
penyelenggara pemilu ini, diperparah dengan anggapan bahwa untuk pilpres teknis pencoblosannya
mudah, sehingga tidak perlu bersusah-susah untuk melakukan sosialisasi. Jikalaupun ada sosialisasi
itu hanya ceremonial dan alakadarnya. Ditambah lagi paketan capres dan cawapres 2014 hanya ada
dua pasangan. “Anak kecil saja sudah pada tahu melihat di TV, apalagi pemilih yang pasti sudah
masuk kategori dewasa”, demikian anggapan para responden sebagai penyelenggara pemilu di level
yang paling bawah.
Rona kejenuhan pun tertambat pula pada beberapa pemilih. Berbeda dengan pileg, pilpres
seakan menjadi sepi peminat. Pengakuan salah satu responden di Desa Ciwangi Limbangan, pilpres
2014 terasa jenuh. Bayangkan ada banyak aktivitas pemilihan umum yang harus dilakoni sebelum
pada saat pilpres 2014. Diantaranya pemilihan Gubernur Jawa Barat, Pilkada Garut putaran I, Pilkada
Garut putaran 2, Pileg, dan terakhir adalah Pilpres. Masyarakat menjadi jenuh dan apatis terhadap
semua pemilihan-pemilihan umum tersebut, yang ujung-ujungnya menanyakan manfaatnya pada diri,
dan akhirnya enggan untuk datang ke TPS pada pilpres 2014.
Yang patut dicermati dari minimnya patisipasi pemilih pada pilpres adalah bentuk
karakteristik sosial yang terjadi pada waktu itu. Masyarakat Garut terkenal dengan profil masyarakat
religiusnya. Pada pilpres 9 Juli 2014, kebetulan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Tentu bisa
ditebak, dalam kultur asketisme masyarakat Sunda, fakta di lapangan biasanya pada bulan-bulan
seperti itu akan menurunkan semangat dan etos kerja. Hal ini diprediksi berdampak pula kepada turun
dan sepi peminatnya TPS.
Inovasi sosialisasi pemilu yang terjadi di pileg dan pilpres seakan berbeda. Di pileg, baik
calon maupun penyelenggara pemilu berjibaku melakukan segala macam inovasi sosialisasi. Para
caleg pun seakan tidak mau diam dengan menebar semua bentuk alat kontak, seperti: stiker, spanduk,
baligo, dsb. Hampir setiap jalan, gang-gang sempit, jembatan, lorong-lorong, bahkan kaos yang
dipakai tukang beca pun tak luput dari atribut kampanye. Semua bermuara kepada ajakan untuk
mencoblos.
Fenomena ini tampak jauh berbeda dengan nuansa pilpres. Penyelenggara pemilu tingkat
kabupaten, KPUD Garut ketika pilpres 2014 saja hanya memasang 928 spanduk31. Harus berhadapan
sebelumnya dengan fenomena gegap gempitanya atribut pileg yang dipasang oleh seluruh caleg. Dari
sisi media komunikasipun tentunya sangatlah berbeda antara pileg dan pilpres. Sehingga hal ini sesuai
dengan teori media pada dunia politik, bahwasanya kemeriahan komunikasi politik pileg dan pilpres
pada akhirnya berpengaruh terhadap partisipasi orang untuk datang mencoblos.
Kasus khusus di Desa Cigedug Kec. Cigedug. Inovasi penyelenggara pemilu di sana, mereka
mencoba mendesain dan mendekorasi TPS sedemikian rupa, sehingga masyarakat menjadi tertarik
dengan keunikan dan kemeriahan TPS yang ada di sana.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, manipulasi data pun sebenarnya bisa mempengaruhi
angka partisipasi pemilih. Sebagai contoh kasus di TPS X di Desa Pasirkiamis Kec. Pasirwangi,
pengakuan responden telah terjadi pencoblosan ganda pada pemilu legislatif 2014. Pemilih yang tidak
datang, surat suaranya dicoblos. Satu orang bahkan bisa mencoblos lebih dari satu kali. Hal ini tentu
saja akan melahirkan angka partisipasi pemilih yang tinggi. Padahal faktanya pemilih tidak datang
ke-TPS.
Ketika responden ditanya mengenai kompetensi penyelenggaraan pemilu dengan kualitas
SDM di sektor pendidikan, kebanyakan responden menjawab pendidikan tidak terlalu berpengaruh
terhadap kualitas penyelenggara pendidikan, terkhusus di tingkat desa. Responden berargumen daya
juang, militansi, dan kedekatan dengan masyarakatlah yang mempengaruhi sosialisasi dan ajakan
untuk mencoblos. Dari responden yang diteliti, hanya PPS di Cibatu yang bertitel S2. Selebihnya S1,
bahkan banyak yang lulusan SMA. Kebanyakan profesi responden atau PPS adalah sebagai buruh
tani.
Tidak hanya para responden saja yang melakukan sosialisasi pemilu. Ketika ditanya, siapa
orang yang paling berjasa dalam menyosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk mencoblos,
justru jawaban signifikan adalah kepala desa. Bahkan jasa kepala desa ini katanya melebihi
perjuangan para penyelenggara pemilu seperti PPS di tingkat desa. Terlepas dari penelitian ini tidak
mengkaji motivasi kepala desa apakah ajakannya bersifat politis karena mendukung salah satu caleg
atau capres, namun, fakta membuktikan sosialisasi ajakan yang paling kuat justru dari kepala desa.
Peran kepala desa memang sangat sentral dalam mempengaruhi masyarakat untuk
menyalurkan partisipasi politiknya jauh melampaui peran PPS. Setelah peneliti melakukan analisa
mendalam, ada dua alasan yang melatarbelakangi akan hal tersebut. Pertama, kepala desa memiliki
wewenang teritorial yang jelas dan berbatas waktu yang panjang. Sedangkan PPS sebaliknya. Kedua,
keberadaan PPS ketika melakukan pencalonan penyelenggaraaan pemilu di level desa tersebut, harus
31
Data Resmi KPU, seperti yang tertuang dalam buku: Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD
Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Hal. 40.
menempuh rekomendasi secara formal atau tidak formal dari kepala desa. Hal ini memunculkan iklim
sub ordinasi, seolah-olah PPS itu di bawah kepala desa. Maka tak ayal banyak temuan kebijakan PPS
yang “diatur” oleh kepala desa.
Kepala desa yang turun tangan langsung mengajak masyarakat dalam mencoblos memang
perannya sangat signifikan. Terlepas dari motif ajakannya seperti apa. Sebagai contoh kasus, di Desa
Baru Kecamatan Malangbong, kepala desa tersebut kebetulan bertindak sebagai caleg yang menang.
Caleg x yang bertindak sebagai kepala desa ini sangat taktis dalam menghimpun massa untuk datang
ke TPS. Hal inilah yang mengakibatkan angka partisipasi pemilih naik secara signifikan di daerah
tersebut.
Kuasa kepala desa memang luar biasa. Sebenarnya kalau dikaji secara seksama, peran kepala
desa itu di satu sisi mampu membuka kran partisipasi, namun di sisi lain juga mampu menyumbat kran
partisipasi pemilih tersebut. Peneliti melakukan kajian khusus terhadap salah satu desa dengan angka
partisipasi pemilih pilpres yang paling rendah. Seperti yang sudah dipetakan sebelumnya, desa yang
dimaksud adalah Desa Karangsari Kecamatan Karangpawitan yang menembus level penurunan
27.60%.
Setelah dikaji dengan seksama, kepala desa dari Desa Karangsari tersebut sebelumnya pada
pileg 2014 mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bisa ditebak, pencalonan tersebut bisa
mendongkrak angka partisipasi pemilih. Namun, karena persaingan sangat ketat, kepala desa yang
nyambi sebagai caleg tersebut gagal menduduki kursi legislatif. Efek dari pileg ini berdampak
terhadap pilpres. Karena alibi psikologis, apatisme, rasa malu atau perasaan lainnya yang berdampak
dari kegagalan pencalonannya, pada akhirnya menghambat daya juang untuk sosialisasi ajakan
memilih pada masyarakatnya dalam pilpres.
Selain kepala desa, tokoh agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengajak
masyarakat untuk mencoblos. Bahkan dalam penelitian ini terkuat seorang tokoh agama, yang
bernama M. Iha asal Desa Tegallega Bungbulang, beliau yang hanya lulusan SD mampu memobilisasi
masyarakatnya untuk datang mencoblos. Dan akhirnya beberapa TPS di kampungnya memperoleh
angka partisipasi pemilih yang signifikan.
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
yaitu:
Pertama, peta partisipasi pemilih dalam pileg dan pilpres di Kabupaten Garut mengalami
kenaikan dan penurunan.
Kedua, upaya sosialisasi partisipasi politik yang merupakan bagian paling penting dalam
sebuah pemilihan umum. Friedmen dan Hechter melihat adanya pengaruh lembaga sosial dalam
partisipasi politik. Dalam temuan peneliti terdapat lembaga sosial yang turut berpengaruh dalam
menaik-turunkan partisipasi politik masyarakat, yakni: Kepala Desa, Calon legislatif, PPS, dan tokoh
agama.
Ketiga, kedekatan emosional calon pileg dan pilpres turut mempengaruhi partisipasi dan
persepsi politik masyarakat.
Keempat, rasionalitas masyarakat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
menentukan partisipasi politik. Pertimbangan ekonomi dan politik uang menjadi salah satu motivasi
dalam partisipasi politik. Namun, kedekatan calon dengan pemilih menjadi kunci signifikan dalam
pengaruhnya terhadap partisipasi politik masyarakat.
Dalam konteks tingkat partisipasi politik masyarakat ternyata dipengaruhi oleh adanya
praktik politik uang atau pemberian barang menjelang pemilu. Fenomena tersebut dikarenakan
masyarakat mulai dipengaruhi oleh pemikiran yang rasional dalam memandang partisipasi politik.
Praktik politik uang, barang, harapan mendapat proyek, dan motif ekonomi lainnya di Kab. Garut
dalam hal partisipasi politik telah mampu dijelaskan melalui teori pilihan rasional Coleman dan
Downs. Namun teori tersebut dalam penelitian ini tidak banyak menjelaskan adanya pengaruh tingkat
pendidikan penyelenggara dan pemilih dalam mempengaruhi pemikiran rasional seseorang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai partisipasi politik. maka
peneliti memberikan rekomendasi untuk kiranya dapat dijadikan pertimbangan bagi para
pembaca/masyarakat umum, pemerintah, maupun penyelenggara pemilu.
Pertama, masyarakat harus terus meningkatkan kesadarannya akan pentingnya partisipasi
dalam politik. Partisipasi politik dalam setiap pemilihan umum akan menentukan pemimpin yang
akan turut menentukan nasib masyarakat selama lima tahun.
Kedua, penyelenggara pemilu di level desa seharusnya meningkatkan perannya dalam
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat terutama pada waktu pilpres.
Ketiga, para penyelenggara pemilu, pemerintah, ataupun partai politik seharunya melakukan
sosialisasi dengan cara-cara yang lebih inovatif dan melakukan pendekatan langsung kepada
masyarakat terutama ketika pemilu presiden berlangsung yang sepi peminat.
Keempat, civil society seharusnya memaksimalkan pergerakannya dalam hal edukasi politik
kepada masyarakat.
Kelima, perlu adanya penelitian dalam mengukur komunikasi dan motivasi politik lembaga
sosial seperti: kepala desa dalam memobilisasi partisipasi politik masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ajip Rosidi. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta, Pustaka Jaya.
Al Chaidar. 1999. Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Fakta
dan Data Sejarah Darul Islam. Bandung, Darul Falah.
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group.
David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media.
Herbert Mc.Closky. 2010. International Encyclopaedia of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar
Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Heri Mohamad Tohari. 2012. Multiculturalism Mainstreaming at School: Research at Public High school
6 and Public Vocational High School 3 Garut West Java. Jakarta: Kemenag RI.
John W. Creswell. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
California: SAGE Publications, Inc.
Julia Annas. 2003. Plato: A Very Short Introduction. United States: Oxford University Press Inc.
Keith Fauls. 1990. Political Sciology: A Critical Introduction dalam Damsar, Pengantar Sosioogi Politik
1990.
Joseph Scumpeter . 1947. Capitalism, Socialism, and Democracy. New York : Harper.
Leonard M. Hammer. 2007. A Foucauldian approach to international law: descriptive thoughts for
normative issues. Great Britain: MPG Books Ltd.
Mochtar Mas’oed. 2003. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nelson Huntington. 1994. Partisipasi Politik, di Negera Berkembang (terj.). Jakarta Rineka Cipta.
Samuel.P. Huntington dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka
Cipta.
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
Miriam Budhiardjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT.Gramedia.
Sastroatmodjo Sudijono. 1995. Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press.
Ramlan Surbakti.2007. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia.
Sigit Pamungkas. 2009. Prihal Pemilu. Yokyakarta : Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM.
Hendarmin Ranadireksa. 2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia.
Miriam Budihardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit
Yayasan Obor Indonesia.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Herbert Feith dan Lance Castle (eds.). 1970. Indonesian Political Thinking (1945-1965), Ithaca New
York: Cornell University Press.
Tim Suara Rakyat; Menapak Jejak menuju Kursi Parlemen 2014 di Kabupaten Garut. Garut: KPUD
Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
Tim Penyusun Buku KPU. 2014. Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD Garut
dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
Tim Penyusun Buku KPU. 2014. Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD Garut
dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
William Liddle. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Jakarta FISIP UI.
Download