LAPORAN PELAKSANAAN RISET PEMETAAN TINGKAT PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU PADA KEHADIRAN DAN KETIDAK HADIRAN PEMILIH DI TPS (VOTER TURN-OUT) DI KPU KABUPATEN GARUT PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM (Studi Voter Turn-Out dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres Kabupaten Garut Tahun 2009 dan 2014) Abstrak Penelitian ini fokus pada partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum legislatif dan presiden khususnya melihat voter turn-out dalam di Kabupaten Garut dalam rentang tahun 2009 ke tahun 2014. Partisipasi penting untuk diteliti mengingat keberhasilan dari sebuah pemilu dapat dilihat dari tingkat pasrtisipasi masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori partisipasi politik dan teori pilihan rasional. Terdapat tiga rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, bagaimana peta kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dari tahun 2009 ke 2014 di Kabupaten Garut? bagaimana peta penurunan angka partisipasi pemilu presiden tahun 2014 di Kabupaten Garut? dan apa penyebab kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dan penurunan angka partisipasi pemilu presiden dari tahun 2009 ke 2014 di Kabupaten Garut? Adapun hasil dari penelitian ini adalah pertama, peta partisipasi pemilih dalam pileg dan pilpres di Kabupaten Garut mengalami kenaikan dan penurunan. Kedua, upaya sosialisasi partisipasi politik yang merupakan bagian paling penting dalam sebuah pemilihan umum. Friedmen dan Hechter melihat adanya pengaruh lembaga sosial dalam partisipasi politik. Dalam temuan peneliti terdapat lembaga sosial yang turut berpengaruh dalam menaik-turunkan partisipasi politik masyarakat, yakni: Kepala Desa, Calon legislatif, PPS, dan tokoh agama. Ketiga, kedekatan emosional calon pileg dan pilpres turut mempengaruhi partisipasi dan persepsi politik masyarakat. Keempat, rasionalitas masyarakat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menentukan partisipasi politik. Pertimbangan ekonomi dan politik uang menjadi salah satu motivasi dalam partisipasi politik. Namun, kedekatan calon dengan pemilih menjadi kunci signifikan dalam pengaruhnya terhadap partisipasi politik masyarakat. Kata kunci: Pileg, Pilpres, Partisipasi Politik, dan Pilihan Rasional, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Istilah demokrasi seolah sudah menjadi dua sejoli yang menjelma menjadi keping mata uang yang tak terpisahkan dari sebuah konsep yang bernama negara. Perdebatan mengenai bagaimana bentuk ideal negara dan demokrasi pun seolah pembahasannya tidak pernah lekang ditelan zaman. Bahkan dalam kesejarahan, riak pemikiran itu lahir jauh sebelum kalender Masehi dimulai. Socrates memulai perdebatan seru tentang cikal bakal demokrasi pada tahun 399 SM. Cikal bakal pemikiran tersebut kemudian diteruskan oleh Plato dalam buah karyanya Republic.1 Seiring perjalanan waktu, peneliti mencermati para filsuf sepanjang zaman saling bersahutan merespon bagaimana demokrasi dan negara ideal itu seharusnya. Bahkan era postmodern sekarang, demokrasi dimaknai Foucault telah menjelma menjadi sebuah fardhu ‘ain hukum internasional, yang bersanding mesra dengan apa yang disebut Hak Asasi Manusia.2 Begitulah paparan singkat perjalanan demokrasi, seolah demokrasi tidak sesederhana pemaknaan orang Sunda, yang mengartikulasi demokrasi sebagai adagium: denok, montok, keras, dan berisi. Demokrasi memang “seksi”. Demokrasi menjadi rebutan semua manusia modern sekarang. Negara-negara berlomba untuk menggapai sebuah predikat dan harapan baru: Negara Demokratis. Gegap gempitanya terasa begitu hangat, di meja seminar, teori-teori kampus, bahkan menjadi dagangan para NGO atau LSM sekalipun. Laris-manisnya demokrasi menginspirasi Huntington untuk memetakan perjalanan panjang sejarah demokrasi. Demokrasi dilahirkan oleh gejala adanya kepekaan politik yang terjadi akhir-akhir ini di kalangan masyarakat di berbagai tempat di dunia. Huntington 3 mengamati pola perjalanan demokrasi sekarang telah memasuki fenomena demokrasi gelombang ketiga atau global. Demokrasi global telah terjadi di negara-negara modern. Hal ini telah menyulap perubahan praktik kenegaraan, yang menginspirasi dan menyeret berbagai negara otoriter menjadi negara demokratis. Gelombang demokrasi dimulai di Portugis tahun 1974 dan meluas kepada 30 negara otoriter lainnya, seperti di Asia, Afrika, dan negara-negara Amerika Latin, yang menghancurkan sistem pemerintahan otoriter sejak tahun 1980-an. 1 Julia Annas. 2003. Plato: A Very Short Introduction. United States: Oxford University Press Inc. hal. 20 Leonard M. Hammer. 2007. A Foucauldian approach to international law: descriptive thoughts for normative issues. Great Britain: MPG Books Ltd. hal. 39-40. Hal senada juga dijelaskan secara detail oleh Epps, V. 2001, Book Review: ‘The Recognition of States: Law and Practice in Debate and Evolution by Thomas D. Grant’, 95 A. J. I. L. 252; Warbrick (1997). 3 Nelson Huntington. 1994. Partisipasi Politik, di Negera Berkembang (terj.). Jakarta Rineka Cipta. Hal. 13 2 Dalam konteks negara berkembang, Liddle 4 memperkuat pernyataan Huntington tersebut dengan berasumsi, bahwasanya kebangkitan negara-negara tersebut terjadi setelah tahun 1990-an seperti di Indonesia, Filipina, Thailand, Taiwan, Korea Selatan, dan Pakistan. Diawali dari krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan tidak lagi mendukung para pemimpinnya, pemerintahan otoriter di negara tersebut telah digantikan dengan sistem demokrasi dan pemerintahan berdasarkan pilihan masyarakat langsung melalui pemilu. Di samping itu, ada indikasi tentang keinginan masyarakat untuk melibatkan diri dalam reformasi politik. Hampir dibeberapa negara sebagai efek global tersebut bahkan ribuan pengunjuk rasa ingin menumbangkan rezim otoriter berkuasa. Masyarakat di negara tersebut akhirnya berhasil membangun pemerintahan yang demokratis. Hal senada terjadi di Negara Indonesia. Ketika rezim Soeharto telah tumbang pada tahun 1998 dan diganti oleh pemerintahan baru yang lebih demokratis, maka kekuatan masyarakat dalam kekuasaan semakin besar dalam pemerintahan. Peranan dan kekuatan masyarakat yang datang dari lapisan bawah (people power) untuk menumbangkan pemerintahan otoriter terbukti berhasil di banyak tempat di dunia, tak terkecuali di Indonesia5. Kekuatan masyarakat tersebut salah satunya terdapat dalam kekuasaan masyarakat untuk menentukan siapa pemimpinnya, yang ditentukan dalam pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan salah satu pilar utama dari sebuah demokrasi. Salah satu konsepsi modern diajukan oleh Scumpeter6 yang menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi sebuah sistem politik agar dapat disebut sebagai sebuah demokrasi. Sehingga, partisipasi politik masyarakat berkaitan erat dengan demokrasi suatu negara. Ciri utama negara demokratis, yakni kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, yang melaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan, serta masa depan dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Anggota masyarakat secara langsung memilih wakil-wakil yang akan duduk di lembaga pemerintahan. Dengan kata lain, partisipasi langsung dari masyarakat yang seperti ini merupakan pengejewantahan dan penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah dan oleh rakyat. Hal ini membuktikan keikutsertaan masyarakat dalam berpartisipasi sangatlah penting karena teori demokrasi menyebutkan bahwa masyarakat tersebut sangatlah mengetahui apa yang mereka kehendaki. Hak-hak sipil dan kebebasan dihormati serta dijunjung tinggi. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Sehingga 4 5 6 William Liddle. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Jakarta FISIP UI. Hal. 5 Noer. 2003. Hal. 26. Joseph Scumpeter , Capitalism, Socialism, and Democracy, New York : Harper., 1947. tepatlah kiranya sebuah adagium pengertian demokrasi, yaitu yang berbunyi: “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.7 Rakyat Indonesia lazimnya menyelenggarakan pemilihan umum dalam rentang waktu teretentu untuk memilih perwakilannya di legislatif dan atau memilih presiden dan wakilnya. Konsep politik negara kita menjadikan partai politik sebagai salah satu kendaraan dalam bentuk dari partisipasi politik. Partisipasi politik ini merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga, dalam hal ini partisipasi politik dapat dimaknai sebagai aktivitas warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.8 Dalam kajian literatur manapun, partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik9. Partisipasi politik menyoal hubungan antara kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan. Sehingga, partisipasi politik erat kaitannya dengan demokrasi dan legitimasi. Partisipasi politik, demokrasi, dan legitimasi memiliki kerangka hubungan yang sangat erat. Partisipasi politik dalam hubungannya dengan demokrasi berpengaruh pada legitimasi masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Dalam suatu pemilu misalnya partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat kepada pasangan calon yang terpilih. Setiap masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu. Tidak hanya itu, partisipasi politik masyarakat dalam pemilu dapat dipandang sebagai kontrol masyarakat terhadap suatu pemerintahan. Kontrol yang diberikan beragam tergantung dengan tingkat partisipasi politik masing-masing. Selain sebagai inti dari demokrasi, partisipasi politik juga berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak politik warga negara. Wujud dari pemenuhan hak-hak politik adalah adanya kebebasan bagi setiap warga untuk menyatakan pendapat dan berkumpul. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. 7 8 Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 43. Samuel.P.Huntington, dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal.6. 9 Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press, 1995. hlm. 56 Alat ukur untuk mengetahui partisipasi, demokratisasi, dan legitimasi warga negara Indonesia dapat dilihat salah satunya melalui perilaku politiknya. Perilaku politik itu dapat dilihat dari berbagai jenis yaitu melalui aktivitas dan antusiasme masyarakat mendatangi tempat pencoblosan dalam pemilihan umum. Bentuk perilaku politik ini menjadi alat analisis untuk melihat partisipasi politik masyarakat itu sendiri. Termasuk di dalamnya pada pemilihan legislatif dan presiden tahun 1999 sampai dengan pemilu 2014 yang lalu. Data resmi KPU Pusat meliris bahwasanya partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara itu pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Unik memang trend negatif penurunan angka partisipasi tahun 2014, padahal secara teknis pilpres itu lebih sederhana dan tidak serumit pileg. Namun, angka statistic menunjukkan minat masyarakat untuk pergi ke TPS saat pilpres menurun. Berangkat dari asumsi di atas, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi peneliti mengambil tema tentang partisipasi politik dalam pemilu legislatif dan pilpres Kabupaten Garut. Pertama, memang benar adanya, telah terjadi peningkatan partisipasi politik dalam pileg dan telah terjadi penurunan angka partisipasi dalam pilpres pada tahun 2014 dibandingkan tahun sebelumnya. Kedua, sejauh ini belum banyak ditemukan penelitian mengenai partisipasi politik masyarakat di Kabupaten Garut. Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk bisa kita jadikan bahan pembelajaran ke depan terkait penelitian yang sejenis. Ketiga, Kabupaten Garut memiliki corak khusus perpolitikan yang sangat dinamis. Hal ini dibuktikan dengan ritme silih bergantinya tampuk sejarah kekuasaan dalam waktu yang sangat singkat. Kisah bupati Garut yang masuk jeruji karena urusan korupsi, kasus fenomenal penurun-paksaan bupati karena masalah etika publik gara-gara pernikahan kilat, pengunduran-diri wakil bupati Garut yang menjadi kasus pertama dalam sistem pilkada langsung, dll. menjadi bukti uniknya dialektika perpolitikan Garut. Tentunya perhatian masyarakat pada dunia politik kegarutan cukup tinggi. Situasi ini tentunya secara tidak langsung menambah cita rasa unik penelitian ini. Berdasarkan tiga alasan yang telah dikemukakan di atas maka terdapat ruang kosong terkait belum diketahuinya penyebab dan upaya kehadiran dan ketidakhadilan pemilih di TPS (voter turn-out) yang terjadi pada saat pileg dan pilpres di Kabupaten Garut. tidaklah berlebihan kiranya, jikalau peneliti tertarik untuk mengkaji penelitian ini dengan judul: Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Umum (Studi Voter Turn-Out dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres di Kabupaten Garut Tahun 2009 dan 2014). B. Rumusan Masalah Penelitian Mengacu pada latar belakang penelitian di atas, maka titik awal penelitian ini berangkat dari satu pertanyaan besar: “Bagaimana Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres di Kabupaten Garut Tahun 2009 dan 2014?”. Dari permasalahan pokok di atas, diturunkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana peta kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dari tahun 2009 ke 2014 di Kabupaten Garut? 2. Bagaimana peta penurunan angka partisipasi pemilu presiden tahun 2014 di Kabupaten Garut? 3. Apa penyebab kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dan penurunan angka partisipasi pemilu presiden tahun 2009 dan 2014 di Kabupaten Garut? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan rumusan yang akan dicapai dalam penelitian sebagai arah bagi peneliti ketika melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan rumusan penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui peta kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dari tahun 2009 ke 2014 di Kabupaten Garut. 2. Untuk mengetahui peta penurunan angka partisipasi pemilu presiden 2014 di Kabupaten Garut. 3. Untuk mengetahui penyebab kenaikan angka partisipasi pemilu legislatif dan penurunan angka partisipasi pemilu presiden tahun 2009 dan 2014 di Kabupaten Garut. D. Metode Penelitian Pendekatan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran atau mix metode kuantitatif dan kualitatif. Pada metode campuran, mengasosiasikan prosedur kerja pada metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dilengkapi dengan data kualitatif dan sebaliknya untuk dicapai satu analisis yang lebih komprehensif. Metode kuantitatif dimaknai berusaha mencari generalisasi atas masalah yang diteliti. Kerangka teori pada metode kuantitatif dimaksudkan untuk diuji kebenarannya dan dibangunnya kerangka pemikiran baru atas sebuah permasalahan. Sementara itu pada metode kualitatif, penelitian dimaksudkan untuk mencari pemaknaan atau kedalaman atas sebuah permasalahan. Kerangka teori berfungsi sebagai pisau analisis untuk membantu peneliti merangkai dan memberi makna atas berbagai fakta yang ditemukan dalam penelitian. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini merupakan data kualitatif yang diperoleh melalui interview terhadap beberapa sampel. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa dokumentasi angka dan data resmi hasil pemilu yang terdapat di KPUD Kabupaten Garut. Data sekunder tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui daerah dan desa mana yang mengalami kenaikan angka secara signifikan pada pileg 2009 ke 2014 dan yang mengalami penurunan angka secara signifikan pada pilpres dari tahun 2014. Dengan pola pengurutan top ranking tersebut pada akhirnya didapatkan 42 desa yang memenuhi kaidah tersebut. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara yang menggunakan panduan kuasioner terhadap 44 orang responden yakni penyelenggara pemilu tingkat desa (PPS) sebanyak 44 orang. Pengambilan 44 orang ini didasarkan kepada asumsi minimal 10% dari jumlah populasi desa yang berjumlah 442 desa/kelurahan se-Kabupaten Garut. 10 Disamping interview terhadap responden, peneliti juga melakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap delapan asisten peneliti yang melakukan wawancara dan observasi terhadap para responden. FGD ini dilakukan untuk melakukan pendalaman terhadap semua data dan analisa, juga mengingat para asisten peneliti ini adalah penyelenggara pemilu sehingga tidaklah berlebihan mereka memiliki wawasan, pengetahuan, dan pengalaman sehingga menjadi bagian participant observation. E. Kerangka Teoritis Ada banyak basis teoritis yang bisa dijadikan sebagai landasan utama dalam penelitian partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum ini. Mengingat keterbatasan ruang pembahasan, peneliti hanya akan menyajikan dua grand teori yang benar-benar sangat penting dalam membantu peneliti menggunakan pisau analisis di lapangan. Dua grand teori yang dikira peneliti cocok untuk membedah partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum adalah teori mengenai partisipasi politik dan teori pilihan rasional. Urgensi teori partisipasi politik yakni untuk mengukur apa dan bagaimana keterlibatan seseorang dalam pemilihan umum. Sedangkan teori pilihan rasional untuk mengukur apa dan bagaimana motif, pilihan, nilai atau keyakinan seseorang dalam melakukan keterlibatan tersebut. Kedua teori tersebut akan dijelaskan secara terpisah di bawah ini: E. 1. Teori Partisipasi Politik Penting kiranya dalam sub bab ini mendadar sebuah batasan yang jelas mengenai kerangka dasar dari partisipasi politik, atau ada sebagian orang menyebutnya sebagai partisipasi demokrasi. Partisipasi politik merupakan salah satu dari sejumlah istilah yang memiliki banyak arti, namun biasanya istilah tersebut diterapkan pada aktivitas orang pada semua tingkat sistem politik, pemilih 10 Lihat John W. Creswell. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: SAGE Publications, Inc. berpartisipasi dalam kegiatan kampanye, pemberian suara pada pemilu, berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Asumsi dasar partisipasi dalam demokrasi adalah orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya sendiri adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidupnya dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Dalam hal ini masyarakat ikut berpartisipasi. Baik ketika dia memilih calon pemimpin atau ikut di dalam kampanye maupun partai politik. Dasar pemikiran akan hal tersebut selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Huntington dan Nelson yang membatasi pengertian partisipasi politik sebagai berikut: By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective11. (Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif) Berdasarkan pendapat Huntington dan Nelson tersebut, pengertian partisipasi politik mengandung konsekuensi terhadap penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang lingkup definisi partisipasi politik tersebut lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam bukunya, Political Sciology : A Critical Introduction, Keith Fauls dalam Pengantar Sosiologi oleh Damsar, memberikan batasan partisipasi politik sebagai “Keterlibatan secara aktif dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan12. Keith Davis dan W. Newstrom mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada pencapaian tujuan kelompok dan bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan itu. 11 12 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4 Keith Fauls, Political Sciology : A Critical Introduction dalam Damsar, Pengantar Sosioogi Politik 1990, hal 180. Sedangkan partisipasi politik, menurut Herbet McClosky dapat diartikan sebagai kegiatan sukarela dari warga masyarakat bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum13 . Menurut Max Weber masyarakat melakukan aktivitas politik karena, pertama alasan rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok. Kedua, alasan emosional afektif, yaitu alasan didasarkan atas kebencian atau sukarela terhadap suatu ide, organisasi, partai atau individu. Ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Keempat, alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi. Miriam Budhiardjo 14 mendefenisikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen. Ramlan Surbakti mendefenisikan partisipasi politik itu sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Lebih lanjut analisis peneliti melakukan kategorisasi terhadap empat tokoh pemikir politik yang telah memberikan batasan definisi tersebut, pada akhirnya akan menghasilkan sebuah indikator-indikator dari apa yang disebut sebagai partisipasi politik, yang akan dijelaskan dalam grafik di bawah ini: Tabel 1. Indikator Partisipasi Politik Tokoh Huntington dan Nelson Herbert McClosky Miriam Budiardjo Ramlan Surbakti 13 Indikator Partisipasi Politiknya 1. Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan 2. Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik 3. Dilakukan oleh warga negara preman (biasa) 1. Berupa kegiatan-kegiatan sukarela 2. Dilakukan oleh warga negara 3. Warga negara terlibat dalam proses-proses politik 1. Berupa kegiatan individu atau kelompok 2. Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik. 1. Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik 2. Dilakukan oleh warga negara biasa Herbert Mc.Closky, International Encyclopaedia of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010, hal.180. 14 Miriam Budhiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT.Gramedia, 1982, hal 12. Berdasarkan beberapa defenisi dan indikator partisipasi politik di atas, dapat dilihat bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kita ketahui bahwa yang berperan melakukan kegiatan politik itu adalah warga negara yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan, yang berwenang membuat dan melaksanakan keputusan politik adalah pemerintah, akan tetapi masyarakat mempunyai hak untuk mempengaruhi proses pembuatan serta pelaksanaan keputusan yang dibuat oleh pemerintahan tersebut 15. Adapun bentuk-bentuk partisipasi warga dalam politik menurut Almond16 antara lain: Tabel 2. Bentuk Partisipasi Politik Konvensional 1. 2. 3. 4. 5. Pemberian suara Diskusi politik Kegiatan kampanye Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif Non-Kovensional 1. 2. 3. 4. Pengajuan petisi Berdemonstrasi Konfrontasi Mogok 5. Tindakan kekerasan politik harta benda(pengeboman, pembakaran) 6. Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, Pembunuhan) Perang Gerilya dan Revolusi 7. Milbrath dan Goel 17 membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori perilaku dalam sebuah susunan gambar piramida. Penjelasan akan piramida tersebut menujukkan bahwa pertama, apatis. Artinya, orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spectator. Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat. Seseorang yang termasuk dalam gladiator dalam mereka terlibat aktif dalam politik dengan jumlah yang sedikit namun memiliki pengaruh yang sangat besar. Sehingga posisi mereka berada paling tinggi. Posisi berikutnya adalah spectator. Masyarakat yang ikut menggunakan hak pilihnya, berpartisipasi dengan hanya ditunjukkan dengan memilih pada saat Pemilu. Terakhir adalah masyarakat yang apatis yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Lebih detail mengenai visualisasi piramida partisipasi politik tersebut, antara lain tergambar dalam bagan piramida berikut ini: 15 16 17 Sudijono, Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press, 1995, hal.5-6. Damsar Prof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010. Hal. 126 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia, 2007, hlm. 142 Tabel 3. Piramida Partisipasi Politik Namun secara umum, bentuk-bentuk partisipasi politik ada juga yang mengakomodir golongan putih atau yang terkenal dengan istilah golput sebagai bagian dari demokratisasi sebuah negara. Hal ini dapat terlihat dari kategorisasi bentuk partisipasi politik yang dipaparkan oleh Damsar18 dalam tiga kelompok besar antara lain: Tabel 4. Bentuk Partisipasi Politik Penjelasan mengenai tabel di atas, partisipasi aktif merupakan partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik, mengajukan alternatif kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain. Sedangkan partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan 18 Damsar Prof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010. pemerintah. Adapun golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap ssstem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik termasuk golput menjadi ukuran untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara. Ada banyak bentuk partisipasi politik itu sendiri, diantaranya melalui pemberian suara (voting behavior), diskusi politik, kegiatan kampanye, ikut dalam partai politik dan lain sebagainya. Perilaku politik masyarakat itu sendiri dapat dilihat ketika masyarakat tersebut ikut berpartisipasi, misalnya dalam pemilu. Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga Negara yang memenuhi syarat. Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal; Pertama, pemilu menempati posisi penting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Dhal mengatakan bahwa dua dari enam ciri lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar adalah berkaitan dengan pemilu, yaitu para pejabat yang dipilih dan pemilu yang bebas adil dan berkala. Ketiga, pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari pemilu, pada fase tersebut Huntington menyebut pemilu sebagai alat serta tujuan dari demokratisasi. Pernyataan tersebut berangkat dari kenyataan tumbangnya penguasa-penguasa otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori sendiri karena mencoba memperbaharui legitimasi melalui pemilu.19 Rakyat membuat kontrak sosial dengan para pemimpin melalui pemilu. Pada saat pemilu rakyat dapat memilih figur yang dapat dipercaya untuk mengisi jabatan legislatif dan eksekutif. Di dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi syarat untuk memilih, secara bebas, dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya 20 . Oleh karena itu, kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin sekarang bukanlah muncul karena dirinya sendiri, melainkan titipan dari rakyat melalui pemilu. Intinya, pemilihan umum adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat unutk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Sangat bermaknanya pemilu bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi indikator demokratisnya suatu negara. Berangkat dari batasan pengertian partisipasi politik dalam pemilihan umum tersebut. Pada akhirnya penelitian ini juga tidak bisa menafikan karakteristik sosial yang terjadi dalam objek penelitian, terkhusus Garut. Sebab pada akhirnya peneliti juga harus bisa mengiyakan ada faktor lain yang mempengaruhi partisipasi politik ini. Studi hasil penelitian Seymour Martin Lipset, dalam 19 20 Sigit. Pamungkas, Prihal Pemilu. Yokyakarta : Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009, Hal. 3-4 Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung : Fokusmedia, 2007, hal.173-174. Political Man: the Social Bases of Politics (1960) dalam Miriam Budihardjo21 menegaskan dengan sangat terang bahwasanya karakteristik sosial berpengaruh terhadap partisipasi politik. Karakteristik sosial tersebut meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi kondisi, status dan organisasi. Dengan demikian karakteristik sosial khas kegarutan, menjadi bumbu pelengkap dalam pembahasan penelitian ini. E. 2. Teori Pilihan Rasional Memahami permasalahan naik turunnya partisipasi politik dengan melihatnya dari sudut pandang pemilihan umum. Maka peneliti merasa perlu untuk menambahkan pula beberapa nukilan dari teori pilihan rasional. Dari beberapa pemikir teori pilihan rasional tersebut, demi efisiensi ruang pembahasan peneliti hanya akan mengulas hanya dari James. S. Coleman, Antony Downs, Friedmen, dan Hechter. Coleman22 memaknai teori pilihan rasional sebagai tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan memandang tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman yakni aktor dan sumber daya. Aktor adalah yang memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. sedangkan sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Buah karya pemikiran Downs,23 pilihan rasional berkembang dalam arah yang bervariasi. Teori pilihan rasional mengambil preferensi, keyakinan, dan strategi feasible individu sebagai penyebab tindakan yang mereka lakukan. Varian mainstream dari pilihan rasional mengasumsikan bahwa individu mempunyai semua kapasitas rasional, waktu, dan keterikatan emosi yang penting untuk memilih arah tindakan baik, tak peduli betapa kompleksnya pilihan tersebut. Masalah paling sederhana secara konseptual dalam pembuatan keputusan parametrik dalam kepastian ketika setiap tindakan mempunyai hasil yang diketahui (sehingga tidak ada resiko atau ketidakpastian) dan hubungan antara aksi dan akibat tak dipengaruhi oleh tindakan individu lain. Individu diasumsikan mampu menilai hasil, maupun aksi. Lebih lanjut Downs24 mengatakan, dalam konteks pemilihan umum orang memilih calon atau partai politik, apabila calon atau partai tersebut dipandang dapat membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya yakni kehidupan ekonomi. Cukup dengan mempersepsikan keadaan ekonomi dirinya (egosentrik) di bawah sebuah pemerintahan (partai atau calon) tertentu sekarang ini dibanding sebelumnya (retrospektif), dan yang akan datang dibanding sekarang (retroospektif), dan yang akan datang dibanding sekarang (prospektif); dan evaluasi umum seorang pemilih atas keadaan ekonomi 21 Miriam Budihardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Sebuah Bunga Rampai. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia. hal 10. 22 George Ritzer & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. hlm. 394 23 David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media. hlm. 82 24 Saiful Mujani,op.,cit. hlm. 33 nasional (sosiotropik) di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun sebelumnya (retospektif), dan keadaan ekonomi nasional dibawah pemerintahan sekarang dibanding tahun-tahun yang akan datang (prospektif). Friedmen dan Hechter dalam teori yang disebutnya model kerangka teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan dan tindakanya tertuju pada upaya mencapai tujuan itu. Teori ini memperhatikan dua hal yang memengaruhi tindakan aktor. Yang pertama adalah keterbatasan sumber. Masing-masing aktor memiliki sumber yang berbeda maupun akses yang berbeda terhadap sumber tersebut. Dalam kelangkaan sumber daya terdapat gagasan mengenai biaya kesempatan. Dalam mencapai suatu tujuan, aktor harus memperhatikan biaya yang harus dikeluarkan untuk tindakan yang terpenting. Aktor dapat memilih tindakan untuk tidak mengejar tujuan paling bernilai jika sumber daya yang dimilikinya diperhitungkan tidak mencapai hal tersebut. Kedua, lembaga sosial. Hambatan kelembagaan menyediakan baik sanksi positif maupun sanksi negatif yang membantu mendorong aktor untuk melakukan tindakan tertentu dan menghindarkan tindakan yang lain. Lembaga sosial telah berperan besar dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat Seperti yang diaungkapkan oleh Friedmen dan Hechter yang menjelaskan adanya kemampuan dari lembaga sosial untuk memberikan sanksi positif dan negatif kepada masyarakat sehingga memengaruhi masyarakat untuk menentukan ikut berpartisipasi ataukah tidak. Dari penjelasan Friedmen dan Hecdter tersebut dalam permasalahan partisipasi politik lembaga sosial mampu memberikan dorongan kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam politik. Berdasarkan pengamatan peneliti, lembaga sosial yang turut berperan dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat antara lain adalah penyelenggara pemilu (KPUD, PPK, PPS, dan KPPS) Partai Politik, Media Massa, dan Ormas BAB II HASIL PENELITIAN Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut teori dan hasil penelitian Seymour Martin Lipset bahwasanya karakteristik sosial itu bisa mempengaruhi partisipasi politik. Sebelum mendadar bagaimana partisipasi politik di Kabupaten Garut alangkah pentingnya dulu menganalisa bagaimana karakteristik sosial alam dan manusia Garut. Kabupaten Garut terkenal karena keindahan dan romantisme alam yang sangat mempesona. Keelokan anugrah Tuhan tersebut menjadikan Garut sebagai tempat buruan para pemimpin dunia dahulu. Maka tak pelak, pada waktu itu Garut diberi julukan sebagai swiss van java. Keindahan alam Garut bahkan jauh-jauh hari sudah termaktub dalam karya sastra klasik yang dibuat oleh orang-orang luar. Sebut saja novel Fatat Garut buah karya fenomenal dari Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf. Dengan sangat piawai sang penulis melukiskan kondisi alam Garut sebagai sebuah bagian permata di kota Priangan, yang terletak di Pulau Jawa, salah satu pulau di Kepulauan Asia Pasifik. Assegaf adalah seorang petualang yang mengelilingi dunia namun justru ia sangat tertambat hatinya kepada Garut. Beliau menuliskan: Seandainya Pulau Jawa yang dianugerahi oleh Allah tanah yang subur dan pemandangan yang indah, kita umpamakan seikat cincin zamrud, maka Garut adalah pusat dari cincin itu yang merupakan permata yang tiada bandingannya. Begitulah Garut, konon menjadi magnet buat para pelancong penikmat alam. Namun, Garut juga terkenal dalam percaturan politik nasional bahkan internasional dari dulu hingga sekarang. Pepatah mengatakan sejarah itu berulang, ”L-histoire serepete”. Kebenaran pepatah ini menemukan relevansinya saat ketika menyaksikan gejala ”politik aliran” atau ideologi politik yang pernah hidup di zaman lampau 25 . Sejarah Garut memberikan pemahaman kepada kita, bahwasanya daerah ini dipenuhi dinamika ”pertarungan” ideologi dan faham keagamaan tersebut. Berdiri dan aktivitas Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Garut 26 , bersebrangan dengan lahirnya tokoh Dewan Pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yakni Sastra, yang juga berasal dari Garut27. Dinamika pertarungan ideologi ini menjadi sangat terasa ketika Presiden Pertama Soekarno 25 Herbert Feith dan Lance Castle (eds.), Indonesian Political Thinking (1945-1965), Ithaca New York: Cornell University Press, 1970. Memetakan “politik aliran” yang berkembang di Indonesia (1945-1965) ke dalam lima kategori; Islam, Komunisme, Nasionalisme Radikal, Tradisional Jawa dan Sosialisme Demokrat. 26 Sedjarah Goeneong Tjoepoe, Jilid I, (Cisayong:1948), hal 1. Sebagaimana dikutip Holk H. Dengel, Kartosoewirjo dan Darul Islam, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996. Sepak terjang Kartosoewirjo di Garut, lebih lengkapnya diulas secara mendetail di Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. KArtosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam. (Bandung, Darul Falah:1999). 27 Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. (Jakarta, Pustaka Jaya:2000). Hal. 579). sering datang ke Garut, tepatnya di Kampung Cilame, berdebat dengan Mama Ajengan Zakaria, mengenai Komunisme dan Islam28. Sejarah seakan terus berulang, pertarungan ideologi juga terasa kegairahannya sampai sekarang, terutama dalam dunia politik. Garut termasuk daerah dengan tingkat sensitivitas kekuasaan yang sangat dinamis. Bukti akan hal tersebut di atas, antara lain: Bupati Garut (AS) yang dilengserkan karena urusan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK. Kemudian, ada juga Bupati Garut (AF) yang lengser justru tersandung urusan etika moral pejabat publik. Aksi massa warga Garut yang semakin massif, pada akhirnya menyeret para pemangku kebijakan untuk menurunkan orang nomor satu di Garut ini. Baru kali ini di Indonesia, urusan pribadi (bukan urusan hukum yang pasti) pejabat publik menjadi batu sandungan lengsernya jabatan. Bahkan isu pernikahan sirri ini menjadi buah bibir bahkan menjadi tag line di beberapa berita internasional. Lengsernya AS dan AF memunculkan fenomena baru dalam dunia perpolitikan di Jawa Barat. Sejauh pengamatan peneliti, hal ini menimbulkan ekses sampai-sampai melahirkan istilah ”digarutkeun” bagi para politisi-politisi di luar Garut. Istilah ini memiliki pengertian diturunkan paksa oleh massa seperti yang terjadi di Garut. Istilah-istilah ini seakan menjadi semangat global baru bagi politisi luar Garut untuk menurunkan bahkan menakut-nakuti para pemimpin lokal yang dianggap otoriter. Sebuah gejala demokratisasi, buah dari partisipasi politik masyarakat yang teorisasinya telah secara gamblang dibahas di segmen awal penelitian ini. Kasus lainnya, fenomena mundurnya wakil bupati Diki Chandra, menjadi pemantik awal kebijakan bagi lahirnya regulasi nasional berupa teknis aturan baru pengunduran-diri pejabat bupati-wakil bupati hasil Pilkada langsung. Belum lagi, kegairahan politik di Garut terlihat pada bejibun atau banyaknya calon pasangan bupati dan wakil bupati dari domain independen atau jalur perorangan pada Pilkada langsung tahun 2013 silam. Garut memang unik untuk ditilik. Sejarah memang tidak pernah bohong. Dan dengan sejarah pula kita mengetahui bahwa Garut memiliki dinamika politik dan ideologi yang sangat hidup. Tentu saja common sense melek politik warga Garut ini mempengaruhi pula partisipasi politik warganya dalam memberikan atau tidak memberikan aspirasi politik pada pemilihan umum. Sehingga dapat dikatakan memberikan atau tidak memberikannya partisipasi politik tersebut (termasuk partisipasi masuk TPS) itu penuh kesadaran karena memiliki pengetahuan kemelek-politikan. Ternyata melihat kondisi dan fenomena di atas, kemelek-politikan warga Garut di atas standar kabupaten lainnya di Indonesia. Garut terdiri dari 42 kecamatan dan terbagi ke dalam 5 Daerah Pemilihan (Dapil)pada pemilu tahun 2009 dan 2014 . Warga Garut yang berhak untuk memberikan aspirasi politiknya yang terdapat 28 Heri Mohamad Tohari, 2012, Multiculturalism Mainstreaming at School: Research at Public High school 6 and Public Vocational High School 3 Garut West Java. Jakarta: Kemenag RI. Hal. 423. dalam kolom Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 tergolong banyak, yakni berjumlah 1.769.224 orang. 29 Dan mengalami perubahan penambahan jumlah pemilih menjadi 1.814.981 orang.30 Jika mengkaji teori Milbrath dan Goel yang terdapat dalam kerangka teori sebelumnya, para pemilih yang ada di Kabupaten Garut tersebut sebagian besar masuk dalam kategori spectator. Umumnya mereka sebagian besar bukan aktifis partai. Mereka hanya warga biasa yang menggunakan hak pilihnya ketika pemilu. Setelah selesai mereka tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik apapun. Jikalau menganalisis hasil partisipasi politik pada warga Garut yang menggunakan hak pilih pada pemilu legislatif antara tahun 2009 dengan tahun 2014 hasilnya sangat variatif. Namun, kalau dilihat dari total komulatif trend-nya sama dengan trend nasional yaitu mengalami kenaikan, yakni sebesar 0.38%. Berikut ini adalah peta sebaran kecamatan-kecamatan mana saja yang mengalami kenaikan. Dalam gambar, peta kecamatan yang berwarna hijau mengalami kenaikan, sedangkan yang berwarna putih mengalami penurunan. Lebih jelas mengenai peta kenaikan dan penurunan angka partisipasi pemilih pada pileg tersebut, tersaji dalam gambar berikut ini: Gambar 5 Peta sebaran Kenaikan Partisipasi Pemilih 29 Data Resmi KPU, seperti yang tertuang dalam buku: Suara Rakyat; Menapak Jejak menuju Kursi Parlemen 2014 di Kabupaten Garut. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Hal. 30. 30 Data Resmi KPU, seperti yang tertuang dalam buku: Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Hal. 56. Dari gambar peta yang tersaji di atas, diperoleh sebuah gambaran, bahwa peta sebaran kenaikan angka partisipasi pemilih pada pileg tersebut sangat tersebar secara merata. Baik itu di bagian utara, selatan, bahkan bagian tengah Kabupaten Garut. Sehingga dapat disimpulkan, kontur geografis yang digadang-gadang dapat mempengaruhi kenaikan atau penurunan jumlah partisipasi politik tidak terbukti. Seperti yang diketahui, bahwasanya daerah Garut selatan dengan Garut utara atau tengah memiliki kesulitan geografis yang berbeda. Namun, fakta sebaran peta tersebut membuktikan kepada kita, baik di utara tengah, dan selatan, kerumitan geografis tidak mempengaruhi kenaikan atau penurunan partisipasi tiap tahunnya. Ada sekitar 22 kecamatan yang memiliki kenaikan angka partisipasi pemilih dalam pileg dari tahun 2009 ke 2014. Sisanya sekitar 20 kecamatan mengalami penurunan. Taraf kenaikan angka partisipasi pemilih dari total 22 kecamatan tersebut sangatlah bervariatif. Kenaikan yang di atas 3% hanya 6 kecamatan. Kenaikan kisaran 1-3% berjumlah 10 kecamatan. Sedangkan sisanya mengalami kenaikan di bawah 1%. Lebih lanjut mengenai komposisi kenaikan tingkat kecamatan tersebut tersaji dalam grafik di bawah ini: Grafik 6. Kenaikan Partisipasi Pemilih Tingkat Kecamatan Kemudian kecamatan-kecamatan mana saja yang mengalami kenaikan angka partisipasi pemilih secara signifikan pada pileg se-Kabupaten Garut tersebut antara lain tersaji dalam 6 kecamatan terbaik dalam kenaikan partisipasi pemilih pada pileg di Kabupaten Garut, antara lain di bawah ini: Gambar 7. Top Six Kenaikan Partisipasi Pemilih Berbeda dengan pemilu legislatif yang mengalami kenaikan. Justru hal ini berlaku berbanding terbalik dengan pemilu presiden yang terjadi di Kabupaten Garut. Setelah menganalisa data partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilihan presiden tahun 2014, diperoleh peta sebaran kecamatan yang mengalami kenaikan dan penurunan. Kecamatan yang berwarna pink mengalami jumlah penurunan angka partisipasi pemilih. Sedangkan kecamatan yang berwarna putih justru seiring dengan pelaksanaan pilpres mengalami kenaikan pemilih. Lebih lanjut mengenai peta sebaran tersebut terdapat dalam peta sebaran di bawah ini: Gambar 8. Peta sebaran Penurunan Partisipasi Pemilih di Pilpres Analisa peneliti terhadap penurunan angka partisipasi pemilih pada pilpres tidak hanya pada level kecamatan. Dari data yang tersaji, desa yang mengalami penurunan angka partisipasi pemilih secara drastis terdapat di Desa Karangsari Kecamatan Pangatikan yang menembus penurunannya sampai kepada level 27.60%. Gambar 9. Desa dengan Penurunan Terendah Partisipasi Politik Pengkajian yang lebih mendetail tentang penurunan angka partisipasi ini ada banyak faktor yang melatar belakangi. Faktor kemudahan teknis dalam mencoblos antara pileg dan pilpres tidak turut mempengaruhi pemilih. Bahkan pilpres yang lebih mudah dalam teknis cara mencoblos justru tidak menjadi motivasi pemilih untuk datang ke TPS. Penurunan angka partisipasi pemilih pada pilpres di setiap daerah di Kabupaten Garut dilatarbelakangi oleh alasan yang berbeda di setiap daerahnya. Alasan hujan menjadi alasan orang enggan datang ke TPS pada pilpres 2014 seperti yang terjadi di Desa Jayamukti Cihurip. Alasan utama yang menyebabkan penurunan angka partisipasi pada pilpres dan kenaikan angka partisipasi pada pileg lebih disebabkan oleh kedekatan emosi antara calon dengan pemilih. Pada pileg ada banyak caleg yang door to door kepada pemilih guna mengajak untuk ikut mencoblos pada TPS. Bahkan saking merasa sudah dekatnya ikatan emosional tersebut, orang-orang yang bekerja di luar kota bahkan di luar negeri pun sudi untuk datang ke kampung halaman guna mencoblos sanak saudara, keluarga, tetangga, teman, atau siapapun yang menjadi jagoannya dalam pileg. Unsur kedekatan emosi ini menjadi penting seperti yang tertuang dalam kerangka teori di awal pembahasan. Ada sebuah fenomena menarik, yakni perkampungan di Desa Cisarua Samarang dan Desa Cijayana Mekarmukti yang mayoritas penduduk usia produktifnya bekerja di luar kota bahkan banyak yang bekerja di Arab Saudi, mereka dengan rela berbondong-bondong kembali mudik ke kampung halaman layaknya lebaran, guna mencoblos caleg jagoannya. Cara mengasah kedekatan emosi para caleg dengan pemilih pun dirasa sangat menyentuh akar rumput. Hal inilah yang membedakan dengan pilpres. Para caleg dengan segala bentuk ajakannya, mereka langsung melakukan sosialisasi ajakan memilih. Biasanya caleg lebih populer masuk dan keluar pengajian untuk menyosialisasikan dirinya. Ada pula yang membagikan sembako, masuk ke olahraga antar kampung, ketuk pintu, nempel sendiri stiker pada setiap rumah, dll. Bahkan terdapat seorang caleg X dari partai Demokrat di Kabupaten Garut pada tahun 2014 yang memiliki gagasan unik, dengan menggembor-gemborkan ajakan, kalau dia menang menjadi anggota dewan, maka separo gajinya akan diberikan kepada masyarakat. Adapula para caleg yang kerjaannya membagi-bagikan barang, seperti: kopi, kerudung, kopiah, sajadah, mukena, bahkan bra (pakaian dalam perempuan) sekalipun di Kabupaten Garut ini. Pola inilah yang mendekatkan secara emosi antara pemilih dengan caleg. Yang pada akhirnya motivasi untuk berangkat ke TPS-pun tumbuh secara bergairah. Sejauh analisa peneliti terhadap pengakuan responden, motivasi pribadi atau kelompok untuk mendapatkan proyek, kalau jagoan calegnya menang, sangatlah kentara. Hal ini juga yang bisa menjadi pemantik orang-orang datang ke-TPS. Disamping alasan pragmatis lainnya, seperti money politic, orang dengan sangat bersemangat datang ke-TPS. Rasa penasaran siapa yang akan menang dalam caleg pun menjadi daya dorong orang datang ke-TPS. Transaksi money politic yang dilakukan pada pileg jauh lebih sengit daripada pilpres. Hal ini memang bisa difahami, bahwasanya persaingan di pileg jauh lebih ketat daripada di pilpres. Tarif money politic pada saat pileg bervariasi antara 20.000, 50.000, 75.000, atau 100.000. Tergantung kepada simbol status konstituen. Kalau statusnya tokoh semakin tinggi, niscaya berbanding lurus dengan nilai “fulusnya”. Dan sebaliknya, semakin low status, maka nilainya semakin rendah. Bahkan peneliti menemukan ada caleg yang memberikan money politic dalam amplop, isinya hanya sebesar 5.000,- yang dibagikan di daerah perkebunan di Garut Selatan. Diakui atau tidak, potret money politic ternyata memberikan langkah motivasi dan memperkuat “nawaitu” orang untuk datang ke-TPS. Peran lembaga sosial dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat seperti yang diamanatkan oleh teori Friedman dan Hecdter pun berbeda tampilannya antara di pileg dan pilpres. Sosialisasi pileg lebih gencar daripada pilpres. Hal ini diakui oleh semua responden yang diteliti. Organisasi penyelenggara pemilu seperti PPS seakan sudah kehabisan tenaga untuk melakukan sosialisasi dan ajakan pilpres. Mata rantai pemilihan yang panjang pada penyelenggaraan pemilu tahun 2013-2014 dimulai dari pemilihan Gubernur Jawa Barat, Pilkada Garut putaran I, Pilkada Garut putaran 2, Pileg, dan terakhir adalah Pilpres, menjadi kambing hitam kebosanan sosialisasi pilpres ini. Di setiap pemilihan tersebut hampir mayoritas PPS komposisinya tidak berubah. Sehingga ada adagium populis di masyarakat: “Apapun pemilihannya, anggota PPS-nya tetap itu-itu juga”. Walau sebenarnya sekarang sudah ada regulasi yang mengantisipasi akan hal tersebut dengan membatasi penyelenggara pemilu sampai level bawah, hanya menjabat dua periode. Kejenuhan para penyelenggara pemilu ini, diperparah dengan anggapan bahwa untuk pilpres teknis pencoblosannya mudah, sehingga tidak perlu bersusah-susah untuk melakukan sosialisasi. Jikalaupun ada sosialisasi itu hanya ceremonial dan alakadarnya. Ditambah lagi paketan capres dan cawapres 2014 hanya ada dua pasangan. “Anak kecil saja sudah pada tahu melihat di TV, apalagi pemilih yang pasti sudah masuk kategori dewasa”, demikian anggapan para responden sebagai penyelenggara pemilu di level yang paling bawah. Rona kejenuhan pun tertambat pula pada beberapa pemilih. Berbeda dengan pileg, pilpres seakan menjadi sepi peminat. Pengakuan salah satu responden di Desa Ciwangi Limbangan, pilpres 2014 terasa jenuh. Bayangkan ada banyak aktivitas pemilihan umum yang harus dilakoni sebelum pada saat pilpres 2014. Diantaranya pemilihan Gubernur Jawa Barat, Pilkada Garut putaran I, Pilkada Garut putaran 2, Pileg, dan terakhir adalah Pilpres. Masyarakat menjadi jenuh dan apatis terhadap semua pemilihan-pemilihan umum tersebut, yang ujung-ujungnya menanyakan manfaatnya pada diri, dan akhirnya enggan untuk datang ke TPS pada pilpres 2014. Yang patut dicermati dari minimnya patisipasi pemilih pada pilpres adalah bentuk karakteristik sosial yang terjadi pada waktu itu. Masyarakat Garut terkenal dengan profil masyarakat religiusnya. Pada pilpres 9 Juli 2014, kebetulan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Tentu bisa ditebak, dalam kultur asketisme masyarakat Sunda, fakta di lapangan biasanya pada bulan-bulan seperti itu akan menurunkan semangat dan etos kerja. Hal ini diprediksi berdampak pula kepada turun dan sepi peminatnya TPS. Inovasi sosialisasi pemilu yang terjadi di pileg dan pilpres seakan berbeda. Di pileg, baik calon maupun penyelenggara pemilu berjibaku melakukan segala macam inovasi sosialisasi. Para caleg pun seakan tidak mau diam dengan menebar semua bentuk alat kontak, seperti: stiker, spanduk, baligo, dsb. Hampir setiap jalan, gang-gang sempit, jembatan, lorong-lorong, bahkan kaos yang dipakai tukang beca pun tak luput dari atribut kampanye. Semua bermuara kepada ajakan untuk mencoblos. Fenomena ini tampak jauh berbeda dengan nuansa pilpres. Penyelenggara pemilu tingkat kabupaten, KPUD Garut ketika pilpres 2014 saja hanya memasang 928 spanduk31. Harus berhadapan sebelumnya dengan fenomena gegap gempitanya atribut pileg yang dipasang oleh seluruh caleg. Dari sisi media komunikasipun tentunya sangatlah berbeda antara pileg dan pilpres. Sehingga hal ini sesuai dengan teori media pada dunia politik, bahwasanya kemeriahan komunikasi politik pileg dan pilpres pada akhirnya berpengaruh terhadap partisipasi orang untuk datang mencoblos. Kasus khusus di Desa Cigedug Kec. Cigedug. Inovasi penyelenggara pemilu di sana, mereka mencoba mendesain dan mendekorasi TPS sedemikian rupa, sehingga masyarakat menjadi tertarik dengan keunikan dan kemeriahan TPS yang ada di sana. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, manipulasi data pun sebenarnya bisa mempengaruhi angka partisipasi pemilih. Sebagai contoh kasus di TPS X di Desa Pasirkiamis Kec. Pasirwangi, pengakuan responden telah terjadi pencoblosan ganda pada pemilu legislatif 2014. Pemilih yang tidak datang, surat suaranya dicoblos. Satu orang bahkan bisa mencoblos lebih dari satu kali. Hal ini tentu saja akan melahirkan angka partisipasi pemilih yang tinggi. Padahal faktanya pemilih tidak datang ke-TPS. Ketika responden ditanya mengenai kompetensi penyelenggaraan pemilu dengan kualitas SDM di sektor pendidikan, kebanyakan responden menjawab pendidikan tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas penyelenggara pendidikan, terkhusus di tingkat desa. Responden berargumen daya juang, militansi, dan kedekatan dengan masyarakatlah yang mempengaruhi sosialisasi dan ajakan untuk mencoblos. Dari responden yang diteliti, hanya PPS di Cibatu yang bertitel S2. Selebihnya S1, bahkan banyak yang lulusan SMA. Kebanyakan profesi responden atau PPS adalah sebagai buruh tani. Tidak hanya para responden saja yang melakukan sosialisasi pemilu. Ketika ditanya, siapa orang yang paling berjasa dalam menyosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk mencoblos, justru jawaban signifikan adalah kepala desa. Bahkan jasa kepala desa ini katanya melebihi perjuangan para penyelenggara pemilu seperti PPS di tingkat desa. Terlepas dari penelitian ini tidak mengkaji motivasi kepala desa apakah ajakannya bersifat politis karena mendukung salah satu caleg atau capres, namun, fakta membuktikan sosialisasi ajakan yang paling kuat justru dari kepala desa. Peran kepala desa memang sangat sentral dalam mempengaruhi masyarakat untuk menyalurkan partisipasi politiknya jauh melampaui peran PPS. Setelah peneliti melakukan analisa mendalam, ada dua alasan yang melatarbelakangi akan hal tersebut. Pertama, kepala desa memiliki wewenang teritorial yang jelas dan berbatas waktu yang panjang. Sedangkan PPS sebaliknya. Kedua, keberadaan PPS ketika melakukan pencalonan penyelenggaraaan pemilu di level desa tersebut, harus 31 Data Resmi KPU, seperti yang tertuang dalam buku: Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Hal. 40. menempuh rekomendasi secara formal atau tidak formal dari kepala desa. Hal ini memunculkan iklim sub ordinasi, seolah-olah PPS itu di bawah kepala desa. Maka tak ayal banyak temuan kebijakan PPS yang “diatur” oleh kepala desa. Kepala desa yang turun tangan langsung mengajak masyarakat dalam mencoblos memang perannya sangat signifikan. Terlepas dari motif ajakannya seperti apa. Sebagai contoh kasus, di Desa Baru Kecamatan Malangbong, kepala desa tersebut kebetulan bertindak sebagai caleg yang menang. Caleg x yang bertindak sebagai kepala desa ini sangat taktis dalam menghimpun massa untuk datang ke TPS. Hal inilah yang mengakibatkan angka partisipasi pemilih naik secara signifikan di daerah tersebut. Kuasa kepala desa memang luar biasa. Sebenarnya kalau dikaji secara seksama, peran kepala desa itu di satu sisi mampu membuka kran partisipasi, namun di sisi lain juga mampu menyumbat kran partisipasi pemilih tersebut. Peneliti melakukan kajian khusus terhadap salah satu desa dengan angka partisipasi pemilih pilpres yang paling rendah. Seperti yang sudah dipetakan sebelumnya, desa yang dimaksud adalah Desa Karangsari Kecamatan Karangpawitan yang menembus level penurunan 27.60%. Setelah dikaji dengan seksama, kepala desa dari Desa Karangsari tersebut sebelumnya pada pileg 2014 mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bisa ditebak, pencalonan tersebut bisa mendongkrak angka partisipasi pemilih. Namun, karena persaingan sangat ketat, kepala desa yang nyambi sebagai caleg tersebut gagal menduduki kursi legislatif. Efek dari pileg ini berdampak terhadap pilpres. Karena alibi psikologis, apatisme, rasa malu atau perasaan lainnya yang berdampak dari kegagalan pencalonannya, pada akhirnya menghambat daya juang untuk sosialisasi ajakan memilih pada masyarakatnya dalam pilpres. Selain kepala desa, tokoh agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengajak masyarakat untuk mencoblos. Bahkan dalam penelitian ini terkuat seorang tokoh agama, yang bernama M. Iha asal Desa Tegallega Bungbulang, beliau yang hanya lulusan SD mampu memobilisasi masyarakatnya untuk datang mencoblos. Dan akhirnya beberapa TPS di kampungnya memperoleh angka partisipasi pemilih yang signifikan. BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama, peta partisipasi pemilih dalam pileg dan pilpres di Kabupaten Garut mengalami kenaikan dan penurunan. Kedua, upaya sosialisasi partisipasi politik yang merupakan bagian paling penting dalam sebuah pemilihan umum. Friedmen dan Hechter melihat adanya pengaruh lembaga sosial dalam partisipasi politik. Dalam temuan peneliti terdapat lembaga sosial yang turut berpengaruh dalam menaik-turunkan partisipasi politik masyarakat, yakni: Kepala Desa, Calon legislatif, PPS, dan tokoh agama. Ketiga, kedekatan emosional calon pileg dan pilpres turut mempengaruhi partisipasi dan persepsi politik masyarakat. Keempat, rasionalitas masyarakat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menentukan partisipasi politik. Pertimbangan ekonomi dan politik uang menjadi salah satu motivasi dalam partisipasi politik. Namun, kedekatan calon dengan pemilih menjadi kunci signifikan dalam pengaruhnya terhadap partisipasi politik masyarakat. Dalam konteks tingkat partisipasi politik masyarakat ternyata dipengaruhi oleh adanya praktik politik uang atau pemberian barang menjelang pemilu. Fenomena tersebut dikarenakan masyarakat mulai dipengaruhi oleh pemikiran yang rasional dalam memandang partisipasi politik. Praktik politik uang, barang, harapan mendapat proyek, dan motif ekonomi lainnya di Kab. Garut dalam hal partisipasi politik telah mampu dijelaskan melalui teori pilihan rasional Coleman dan Downs. Namun teori tersebut dalam penelitian ini tidak banyak menjelaskan adanya pengaruh tingkat pendidikan penyelenggara dan pemilih dalam mempengaruhi pemikiran rasional seseorang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai partisipasi politik. maka peneliti memberikan rekomendasi untuk kiranya dapat dijadikan pertimbangan bagi para pembaca/masyarakat umum, pemerintah, maupun penyelenggara pemilu. Pertama, masyarakat harus terus meningkatkan kesadarannya akan pentingnya partisipasi dalam politik. Partisipasi politik dalam setiap pemilihan umum akan menentukan pemimpin yang akan turut menentukan nasib masyarakat selama lima tahun. Kedua, penyelenggara pemilu di level desa seharusnya meningkatkan perannya dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat terutama pada waktu pilpres. Ketiga, para penyelenggara pemilu, pemerintah, ataupun partai politik seharunya melakukan sosialisasi dengan cara-cara yang lebih inovatif dan melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat terutama ketika pemilu presiden berlangsung yang sepi peminat. Keempat, civil society seharusnya memaksimalkan pergerakannya dalam hal edukasi politik kepada masyarakat. Kelima, perlu adanya penelitian dalam mengukur komunikasi dan motivasi politik lembaga sosial seperti: kepala desa dalam memobilisasi partisipasi politik masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Ajip Rosidi. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta, Pustaka Jaya. Al Chaidar. 1999. Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam. Bandung, Darul Falah. Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group. David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media. Herbert Mc.Closky. 2010. International Encyclopaedia of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group Heri Mohamad Tohari. 2012. Multiculturalism Mainstreaming at School: Research at Public High school 6 and Public Vocational High School 3 Garut West Java. Jakarta: Kemenag RI. John W. Creswell. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: SAGE Publications, Inc. Julia Annas. 2003. Plato: A Very Short Introduction. United States: Oxford University Press Inc. Keith Fauls. 1990. Political Sciology: A Critical Introduction dalam Damsar, Pengantar Sosioogi Politik 1990. Joseph Scumpeter . 1947. Capitalism, Socialism, and Democracy. New York : Harper. Leonard M. Hammer. 2007. A Foucauldian approach to international law: descriptive thoughts for normative issues. Great Britain: MPG Books Ltd. Mochtar Mas’oed. 2003. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nelson Huntington. 1994. Partisipasi Politik, di Negera Berkembang (terj.). Jakarta Rineka Cipta. Samuel.P. Huntington dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta. Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995. Miriam Budhiardjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT.Gramedia. Sastroatmodjo Sudijono. 1995. Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press. Ramlan Surbakti.2007. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia. Sigit Pamungkas. 2009. Prihal Pemilu. Yokyakarta : Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM. Hendarmin Ranadireksa. 2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia. Miriam Budihardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia. George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Herbert Feith dan Lance Castle (eds.). 1970. Indonesian Political Thinking (1945-1965), Ithaca New York: Cornell University Press. Tim Suara Rakyat; Menapak Jejak menuju Kursi Parlemen 2014 di Kabupaten Garut. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Tim Penyusun Buku KPU. 2014. Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Tim Penyusun Buku KPU. 2014. Suara Rakyat; Dari Garut untuk Istana Negara. Garut: KPUD Garut dan badan Kesatuan Bangsa dan Politik. William Liddle. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Jakarta FISIP UI.