BAB III FAKTOR IDIIL DAN RIIL YANG MENDASARI MAKNA DAN FUNGSI ASAS KESEIMBANGAN SEBAGAI TOLOK UKUR REGULATIF DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA KHUSUSNYA PERJANJIAN PENETAPAN HARGA A. Faktor Idiil yang Mendasari Makna dan Fungsi Asas Keseimbangan Hukum dan Ekonomi merupakan suatu sub sistem dari suatu sistem kemasyarakatan yang saling ber-interaksi antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak hukum dapat dilihat sebagai hasil dari berbagai kekuatan sosial dan ekonomi yang terdapat dalam proses kemasyarakatan, sehingga hukum itu sangat bergantung sekali pada faktor-faktor yang cukup dominan dalam kehidupan masyarakat terutama faktor-faktor ekonomi. Dengan demikian, hukum itu tempatnya adalah berada di belakang dan mengikuti perkembangan ekonomi. Hal ini sangat sesuai dengan anggapan klasik mengenai hukum yang berasal dari orang-orang Belanda dahulu yang mengatakan bahwa, ”het recht hink achter de feiten aan (hukum itu ada di belakang dan mengikuti kejadiankejadian). Sementara itu Nicholas Mercuro mengatakan;”……the law has important implication for ekonomic structure, behavior, and performance ”.1 Sedangkan Warren J. Samuel menyatakan bahwa: “The economy is a system of power, of mutual coercion, of reciprocal capacity to receive income and/or to 1 Nicholas Mercury and Steven G. Medema, 1992, Economic And The Law, From Posner To Post – Modernis, Princeton University Press, hlm.24. 124 shift injury whose pattern or structure and consequences are at least partially a function of law”.2 Dalam suasana yang demikian, maka hukum itu hanya berfungsi sebagai pelayan yang baik dari pada perkembangan ekonomi. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Pitlo yang menyatakan bahwa hukum itu mempunyai fungsi pengabdian (dienen de functie)3. Apabila suatu proses berubah, maka hukum harus diusahakan untuk dapat menampung perkembangan yang baru tersebut. Hal ini banyak mengandung konsekuensi dan satu diantaranya yang dikemukakan oleh Ali Said, yakni : 4 Asumsi yang demikian ini melatar-belakangi pemikiran para ahli ekonomi bilamana mereka berbicara tentang bagaimana hubungan antara hukum dan ekonomi, Sukadji Ranuwihardjo5 menyatakan bahwa hubungan timbal balik antara hukum dan ekonomi lebih menekankan terhadap pemikiran tentang perlunya ditentukan prioritas mengenai bidang-bidang hukum mana yang perlu ditangani terlebih dahulu, berarti misalnya bidang kontrak, perseroan,bidang moneter, lokasi industri ,tata guna tanah dan sebagainya. Kemudian mengenai persoalan bahwa pada saat sekarang terdapat gejala pembinaan ekonomi sering mengalami perubahan dengan cepat dan tiba-tiba di dalam masyarakat, sehingga di kalangan pengusaha terdapat perasaan ketidakpastian hukum dan keraguan di pihak penegak hukum. Kesemuanya ini membayangkan bahwa hukum itu sifatnya harus mengikuti perkembangan ekonomi dan tidak menutup kemungkinan ditinggalkan oleh perkembangan ekonomi tersebut. Dikatakannya juga bahwa tidak setiap pengaturan sistem atau pranata ekonomi dari pihak 2 Warren J. Samuel 1982, Law and Economics: An Institutional Perspective, Martinus Nijhoff Publishing, USA, hlm. 100. 3 .Gunawan Wijaya, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata, PT. .Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 27. 4 Ali Said, Dalam Pidato Pembukaan Masalah Peralihan Masyarakat Tradisional ke Masyarakat Modern dan Pengaruhnya Terhadap Hukum di Ujung Pandang, 09 Maret 1981. 5 Abdurrahman, 1995, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum Dan Masyarakat, Media Sarana Press, Jakarta, hlm. 54. 125 pemerintah selalu berbentuk peraturan tertulis formal, banyak sekali bahkan lebih banyak lagi pengaturan kehidupan ekonomi yang bersumber dari tatanan hukum lain ataupun kebijakan lain. Hal ini memberikan kesan akan adanya perkembangan ekonomi di luar hukum yang masih perlu untuk dipersoalkan lebih jauh. Dapat dikutip dari pemikiran Chiba bahwa hukum sebagai suatu struktur, termasuk struktur hukum Indonesia tidak dapat dilihat secara monistik saja, tapi sebagai refleksi pluralisme dimana sistem hukum yang berbeda-beda bisa berinteraksi ”satu sama lain secara harmonis ataupun berkonflik”, yang terdiri dari 3 (tiga) lapis:6 1. Hukum resmi : Sistem hukum yang disyahkan oleh otoritas negara yang sah. Bersumber dari agama, adat kebiasaan, etnis lokal dan lain-lain yang diterima secara resmi oleh negara dan berlaku sesuai dengan hukum negara. 2. Hukum tidak resmi : adalah hukum yang tidak di sahkan oleh otoritas negara yang sah, tapi di dalam praktiknya didukung oleh kelompok masyarakat tertentu. 3. Postulat Hukum7 : sistem hukum yang berhubungan dengan hukum resmi dan hukum tidak resmi tertentu yang bertindak untuk menjastifikasi dan mengarahkan efektifitas hukum-hukum tersebut dengan cara tertentu sehingga menentukan corak hubungan kedua hukum tersebut. Lebih lanjut Emil Salim8 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi menimbulkan perubahan dalam masyarakat dan perubahan lazimnya menimbulkan instabilitas. Dalam proses perubahan dan instabilitas ini semakin menonjol perlunya kaedah-kaedah hukum yang disatu pihak turut membendung berbagai akibat dari pada perubahan dan instabilitas dimaksud, 6 . Ratno Lukito, 2008, Hukum Sakral Dan Hukum Sekuler.Studi Tentang Konflik Dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, Pustaka Alfabet, Jakarta, hlm. 3. 7 Postulat hukum terbentuk dari gagasan hukum yang sudah mapan, ajaran dan pemahaman keagamaan , postlat sosial dan budaya yang berhubungan dengan struktur sosial yang fondamental. Jadi dengan bantuan teori Chiba gambaran pluralisme hukum di negara multikultural seperti Indonesia tidak bisa dikatakan hanya terdiri dari hukum negara,dan tatanan hukum non negara,karena disamping itu terdapat banyak norma ,gagasan, dan nilai-nilai yang hidup di tengahtengah masyarakat yang menciptakan postulat hukum efektif. 8 Emil Salim, 1977, Pembinaan Hukum Ekonomi Nasional, BPHN Bina Cipta, Bandung, hlm 112. 126 dan di lain pihak menetapkan kesadaran dan kepastian hukum pada tingkat yang lebih tinggi. Disini terkesan adanya pandangan yang menilai bahwa hukum itu lebih banyak berperan sebagai penampung suatu akibat saja. Lebih lanjut Emil Salim mengatakan , apabila tantangan pembangunan menghendaki dirombaknya struktur ekonomi dan struktur sosial nasional , maka hukum ekonomi nasional harus diarahkan kejurusan yang dapat menciptakan iklim perombakkan. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa Hukum Ekonomi Nasional harus memuat prinsip bahwa perubahan secara semenamena di luar jalur konstitusional dan hukum yang mengatur pembangunan ekonomi tidak sah. Hal ini juga berarti bahwa produk-produk hukum yang dihasilkan harus mampu menguatkan dasar kepercayaan masyarakat akan hukum, mengokohkan kesadaran keadilan masyarakat hukum (rechtbewustzijn) dan perasaan (Rechtsgevoel). Sehingga produk hukum harus mengandung unsur-unsur yang memperkuat hukum yang mencerminkan kepentingan masyarakat. Dengan adanya pembangunan ekonomi yang dimaksud, maka output atau kekayaan suatu masyarakat atau perekonomian akan bertambah. Di samping itu, kebahagiaan penduduk akan bertambah pula, dikarenakan pembangunan ekonomi tersebut menambah kesempatan untuk mengadakan pilihan yang lebih luas. Selain manfaat yang ditimbulkan oleh pembangunan ekonomi, kerugian yang ditimbulkannya berupa cara berfikir masyarakat yang 127 lebih mementingkan diri sendiri.9 Sehingga “gotong royong” yang merupakan ciri khas negara berkembang (termasuk Indonesia), akan tergerus oleh pembangunan ekonomi. T. Mulya Lubis sebagaimana dikutip Sumantoro, bahwa interaksi pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi sangatlah penting. Bukan hal yang tidak mungkin, jika fondasi hukum yang kuat tidak dibarengi pembangunan ekonomi. Sesuatu yang paling ideal adalah jika interaksi pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi tersebut saling menunjang. Atas dasar hal tersebut, peranan hukum ekonomi dalam pembangunan mencakup aspek-aspek hukum sebagai agent of modernization hukum sebagai “a tool of social engineering” dan juga yang secara keseluruhan menjadi hukum ekonomi pembangunan. Arah pembangunan Indonesia menciptakan pemerataan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, interaksi pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi sangat penting dan peranan ahli hukum dalam pembangunan ekonomi pun menjadi unsur yang mutlak harus ada.10 Sunaryati Hartono menyatakan bahwa antara sistem hukum dan sistem ekonomi sesuatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan pengaruh timbal balik. Apabila ada suatu pihak pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum 9 10. 10 Irawan dan M. Suparmoko, 1995, Ekonomi Pembangunan, BPFE, Yogyakarta, hlm.7Sumantoro, 2008, Hukum Ekonomi, UI-Press, Jakarta, hlm. 14. 128 yang bersangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya, penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan mengahambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.11 Pada hakikatnya, sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem hukum yang lebih kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses tersendiri pula. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya. Sistem pembentukan hukum memiliki komponen-komponen sistem nya sendiri, seperti lembaga pembentuk hukum, aparatur pembentuk hukum, sarana pembentuk hukum, prosedur-prosedur pembentukan hukum, dan lain-lainnya, yang hakikatnya merupakan kesatuan integral, yang berfungsi dan bertujuan menghasilkan bentuk hukum (peraturan perundangan). Hal demikian juga berlaku terhadap konsep hukum, pendidikan hukum, dan komponen-komponen sistem hukum lainnya.12 11 Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hlm. 6. 12 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 151-152. 129 Agnyal13 dan Bertalanffy14 menyatakan bahwa, komponen-komponen yang dimaksud sama sekali tidak dapat dianalisis secara terisolasi dari keseluruhannya. Perlakuan isolastis terhadap komponen-konponen itu akan mengakibatkan rusaknya perilaku komponen-komponen tersebut. Selebihnya, analisis isolastis terhadap suatu komponen, dapat merusak keutuhan proses sistem, dan karenanya juga akan membahayakan proses itu dalam perwujudan tujuannya. Pelaksanaan hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dalam masyarakat. Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa:15 .....kita juga tidak tidak perlu dan tidak boleh menutup diri terhadap modernisasi dan globalisasi itu, karena suka atau tidak suka akhir abad ke -20 ini diluar kehendak bangsa kita memang sudah merupakan suatu realita hidup yang tidak dapat dipungkiri. Karena itu perlu kita siapkan diri untuk menarik manfaat dari arus globalisasi itu dan dilain pihak dapat menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang dapat membawa bangsa kita dalam situasi yang hampir serupa dengan situasi yang dihadapi nenek moyang kita pada abad ke-17, dimana bangsa kita akan tertekan –bukan oleh bangsa atau negara lain, tetapi – oleh perusahaan-perusahaan transnasional ......disinilah diperlukan peraturan-peraturan hukum ekonomi Indonesia yang cukup jeli, untuk di satu pihak mengembangkan ramburambu yang cukup ampuh untuk melindungi hajad hidup maupun lepribadian dan jati diri bangsa Indonesia di dalam badai globalisasi itu. Disitu pula tampak betapa hukum nasional ikut menetukan ketahanan nasional. 13 DC. Philip, dalam Ibid., hlm. 152. DC. Philip, dalam Ibid. 15 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm 71. 14 130 Mengenai keberadaan hukum dan ekonomi bila dikaitkan dengan pendapat oleh Talcott Parsons dan Neil J.Smelser , bahwa Hukum itu berada ditengah suatu sistem16 dengan sebuah kronim AGIL yakni: Adaptation, Goal attainment; Integration dan Latensi/Partern Maintenance, tergambar dibawah ini : A G Adaptation = Goal attainment = Subsistem adaptif Subsistem (Ekonomi) pencapaian tujuan ( politik) L I Partern Maintenance = Subsistem pola pemeliharaan (ranah komitmen kultural dan motivasional) = latensi. Integration = Subsistem integrasi (hukum,norma dan kontrol sosial) = internalisation. Dalam paradigma sosial Talcott Parsons dan Neil J.Smelser melihat bahwa dimensi keteraturan dari interaksi sosial berada di antara subsistem. Hal ini dapat terjadi karena semua subsistem bersedia mematuhi serangkaian aturan atau norma hukum yang dianut bersama. Terhadap hukum dan ekonomi dapat 16 .Jonny Ibrahim, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Surabaya, hlm. 22. 131 dikatakan bahwa Hukum hendaklah selalu disesuaikan dengan perkembangan Ekonomi (Adaptation). Selama ini membuatan regulasi di bidang ekonomi di Indonesia sangat dipengaruhi faktor eksternal dan kurang memperhatikan faktor-faktor internal, sehingga regulasi sebagai piranti aktivitas perekonomian kurang memberikan perlindungan terhadap bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.17 Faktorfaktor internal yang dimaksud disini adalah mentalitas, yang harus diperhatikan dan ditindak lanjuti dengan langkah-langkah kongkrit dari kebijakan sampai dengan implementasi lapangan. Mentalitas merupakan hasil dari kerja moral. Oleh karena itu menurut penganut Hukum Alam jelas mengatakan, bahwa ada hubungan hukum dan moral dimana isi hukum itu tidak lain adalah moral. Hukum tidak semata-mata merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum itu berisi nilainilai hukum, hukum itu adalah indikasi apakah yang baik dan yang buruk. Selanjutnya yang baik dan yang buruk itu adalah syarat –syarat dari kewajiban hukum. Penganut hukum alam menganggap hukum itu tidak semata-mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat nilai-nilai tertentu. Ada 2 (dua) teori yang dapat di jadikan landasan atas perbuatan baik menurut moral dari konsep Hukum Alam ini yakni Teori Deontik dan Teori Teleologik. Yang mana kedua teori ini berlawanan adanya. Menurut teori deontik suatu 17 . Joni Emirzon, 2009, Penerapan Otonomi Keilmuan Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia Di Era Globalisasi. Dalam Memahami Hukum dari Konstruksi Sampai Implementasi, PT. RajaGrapindo Persada, Jakarta, hlm 91. 132 perbuatan menurut moral baik, maka perbuatan itu menjadi kewajiban manusia.18 Sebaliknya menurut teori teleologik orang baru dapat menyebut suatu perbuatan sebagai baik secara moral jika akibat-akibat dari perbuatan itu / tujuan perbuatan itu / kegunaan perbuatan itu baik secara moral. 19 Terhadap prinsip kegunaan ,aliran utilatarian memandang sesuatu itu berguna apabila dapat memberi kebagiaan sebagai kenikmatan manusia. J.Bentham mempertahankan pendapat ini mengatakan : suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebagiaan sebanyak mungkin orang (kebahagiaan untuk semua umat manusia), dapat diterapkan secara kuantitaitf, sementara kualitas kesenangan atau kebahagiaan selalu cenderung sama, salah satu aspek yang dapat membedakan adalah kuantitasnya.20 Apabila tiap umat manusia sudah merasa bahagia setinggitingginya, maka tujuan menciptakan keadilan telah tercapai. Khusus tentang keadilan ekonomi St.Thomas Aquinas membagi menjadi 3 (tiga), yakni:21 1. Commutative Justice. Hal Ini berkaitan dengan beroperasinya ekonomi pasar, yaitu perhormatan terhadap kontrak dan hak milik pribadi. Individu dalam hal ini mempunyai kepentingan yang alamiah. 2. Distributif Juctice. 18 Bruggink, Op.Cit., hlm. 239. Ibid. 20 K. Berten, 1977, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , hlm. 248. 21 .M.A. Charles, 2006, Clack.Economic Justice And Welfare Reform:was welfare reform An Examples in Public Policy, University of Saint Thomas, Law Journal, hlm.4. 19 133 Hal ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana pembagian keuntungan kegiatan ekonomi, hal ini penting untuk alasan kegiatan ekonomi. 3. Social Justice Hal ini berkaitan dengan kebutuhan ekonomi untuk mempunyai Structures dan institutions, jika hubungan ekonomi tidak baik akan berakibat kurangnya produktifitas. Selanjutnya Pemikir Hukum Alam Stoic menambahkan ,bahwa akal manusia berlaku terhadap semua bagian dari alam semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak cukup hanya diperintah akal akan tetapi ditambah dengan unsur agama. Amartya Sen salah satu pendukung aliran pemikiran Ekonomi kritis Social Economics mengatakan:22 menjauhkan ilmu ekonomi dan etika telah memelaratkan kesejahteraan dan juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat antara deskriftif dan prediktif Ilmu Ekonomi Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab terdahulu bahwa keseimbangan merupakan suatu keadaan yang seimbang, bahkan beberapa filsuf dan tokoh ahli hukum mengkaitkan masalah keseimbangan dengan keadilan. 22 . Amartya Sen, 2008, On Ethic And Economics, Ekonomi Islam , Tim P3EI UII dan BI.Yogyakarta, hlm. 37. 134 A.1. Hubungan antara Asas Hukum dan Cita Hukum Berbicara tentang asas hukum, maka dapat dikatakan bahwa asas hukum berakaitan erat dengan cita hukum. Antara cita hukum dan asas hukum terdapat hubungan yang erat. Cita hukum bekerja secara terintegrasi dan bekerja secara berurutan waktu dan hukum positif yang dihasilkannya. Dengan demikian, fungsi cita hukum yang bersifat pro keadilan mendapat fungsi asas hukum padanannya yang juga bersifat pro keadilan, yang tujuannya menghasilkan hukum positif yang bersifat pro keadilan juga. Adapun jenjang antara cita hukum, asas hukum dan hukum positif, tergambar dalam bagan 7 berikut: Bagan 7 Jenjang antara Cita Hukum, Asas Hukum dan Hukum Positif Cita Hukum Asas Hukum Hukum Positif Aturan-Aturan Hukum Penyelenggaraan Kehidupan ]Negara dan Kesejahteraan Sosial N====== Negara 135 Sumantoro berpendapat bahwa antara asas hukum dan kenyataan dalam mana asas itu berfungsi memang dapat dibedakan, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Dikatakan dapat dibedakan, karena tanpa kesadaran mengenai arah yang diberikan oleh asas hukum tersebut, maka perundangundangan akan merupakan suatu teknik murni, yang paling jauh akan dpat berkarya atas tujuan-tujuan yang secara nyata ada. Dalam hal ini tidak dapat dipisahkan, dikarenakan tanpa komponen “senyatanya” dari asas hukum yang dimaksud, dan tanpa memperhitungkan secara terus menerus mengenai pengaruhi dari kenyataan terhadap asas yang dimaksud, maka tiap-tiap pandangan mengenai asas akan mengambang dan menjadi tidak nyata. Dengan demikian, kenyataan yang dimaksud tidak akan dapat dikendalikan. Oleh karena itu, antara asas hukum dan kenyataan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.23 A.2. Kebijakan Ekonomi Indonesia A.2.1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Ekonomi Indonesia Secara konstitusional mengenai penegasan kebijakan ekonomi di Indonesia pasca perubahan ke-empat UUD 1945 tahun 2002 dalam Bab XIV ditegaskan bahwa yang semula hanya berjudul ”Kesejahteraan 23 Sumantoro, 2008, Op-Cit., hlm. 234. 136 Sosial” menjadi ”Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial”. Sebenarnya sebelum perubahan ke-empat pada tahun 2002-pun UUD 1945 sudah merupakan konstitusional ekonomi (the Constitution of economic policy atau Economis constitution) disamping fungsinya sebagai konstitusi politik (political constitution). Pasal 33 dan pasal 34 telah menyebankan UUD 1945 disebut sebagai konstitusi yang berfungsi sebagai sumber nilai dan norma serta referensi tertinggi dalam rangka kebijakan pemerintah dan pembangunan di bidang ekonomi. Ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 yang sebelumnya hanya berisi empat butir ketentuan dengan rumusan yang samar-samar dan bersifat multiinterpretasi, sekarang sejak perubahan ke-empat pada 2002 Pasal 33 tersebut dilengkapi. Oleh karena itu, semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikembangkan haruslah mengacu dan/atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945. Sekarang masalahnya bukan lagi persoalan setuju atau tidak setuju dengan ketentuan konstitusional semacam ini. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan yang tertinggi yang harus dijadikan pegangan bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara. Jika kesepakati ini dilanggar, kebijakan yang melanggar dapat dibatalkan melalui proses peradilan.24 24 Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution. Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 83. 137 Secara normatif, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sering dipahami sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia. Pada Pasal 33 Ayat (1), misalnya menyebutkan bahwa perekonomian nasional disusun sebagi usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini dapat dipandang sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam konteks sekarang, yaitu persaudaraan, humanisme dan kemanusiaan. Dengan demikian, ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan liberal ala barat, tetapi ada nuansa moral dan kebersamaannya, sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial 25 Pasal ini pun menurut Didik J. Rachbini dianggap sebagai dasar ekonomi kerakyatan.26 Berkaitan dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, M. Dawam Rahardjo, berpendapat bahwa negara mempunyai peranan dalam perekonomian. Peranan yang dimaksud, yaitu peranan sebagai regulator dan sebagai aktor. Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945, menekankan bahwa peranan negara sebagai aktor yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan peranan negara sebagai regulator tidak dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah “dikuasai” diinterpretasikan sebagai “diatur”. Namun, yang diatur di sini adalah sumber daya alam yang dipergunakan sebesar-besarnya bagi 25 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Mas media Buana Pustaka, Sidoarjo, hlm. 38. 26 Didik J. Rachbini dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid. 138 kemakmuran rakyat. Hal yang kontroversial muncul dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Ketentuan ini seharusnya menekankan dipakainya asas “pasar” atau “pasar yang berkeadilan”27. A.2.2. Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan Hatta berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 tersebut menganut prinsip demokrasi ekonomi yang bertujuan mewujudkan kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran individu sebagaimana yang diperbolehkan dalam sistem ekonomi kapitalis. Dengan demikian, Hatta mengidentikkan demokrasi ekonomi dengan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, demokrasi ekonomi sama dengan tidak adanya kesenjangan ekonomi atau terwujudnya keadilan ekonomi dalam masyarakat.28 Mubyarto berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 UUD 1945 merupakan pengejawantahan pengertian demokrasi ekonomi yang mampu memberikan pembagian kerja, pendapatan dan kekayaan yang adil dalam masyarakat, dan hal ini hanya bisa dijamin jika semua masyarakat menyadarinya. Di lain sisi, semua orang mempunyai hak yang sama, yaitu yang diperlukan bagi kehidupan manusia yang penuh, 27 M. Dawam Rahardjo, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid., hlm. 38-39. 28 Zulfikri Suleman, Op.Cit., hlm. 216. 139 berari dan mandiri. Hak yang sama bagi semua orang, meskipun mempunyai kekayaan atau modal yang berbeda.29 Dalam hubungan dengan sistem ekonomi, dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi pancasila merupakan sistem ekonomi yang mampu menjamin keadilan ekonomi dan sekaligus menjamin pembagian (distribusi) yang adil setelah setiap proses produksi terselesaikan. Adanya tiga bangun usaha dalam perekonomian, tidaklah menghambat suatu perwujudan keadilan ekonomi30 dan keadilan sosial.31 Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi pancasila, adalah: 1. Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial dan moral. 2. Ada tekad kuat seluruh bangsa Indonesia untuk meweujudkan kemerataan sosial. 3. Ada nasionalisme ekonomi. 4. Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional. 29 Mubyarto, 1987, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 34. Menurut Muybyarto dalam buku “Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia”, dijelaskan bahwa keadilan ekonomi adalah kesempatan yang sama bagi semua anggota koperasi untuk memperoleh manfaat dari hasil usaha koperasi, yaitu dengan cara berpartisipasi aktif dalam usahausaha koperasi. Sedangkan keadilan sosial adalah keadilan distribusi atau pembagian hasil yang adil dari produksi atau pendapatan nasional itu sendiri, yang dalam agama berarti permbagian yang adil dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada manusia. 31 Mubyarto, Ibid., hlm. 36. 30 140 5. Ada keseimbangan yang selaras, serasi dan seimbang dari perencanaan ekonomi dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.32 Berkaitan dengan sistem ekonomi pancasila yang cenderung berpihak pada ekonomi rakyat sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945, maka dapat dibedakan dengan sistem ekonomi kapitalis33 dan sistem sosialisme, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu sosialisme pasar dan sosialisme terencana. Dalam sistem sosialisme pasar, kepemilikan faktor produksi oleh negara dan/atau kepemilikan secara kolektif oleh publik.34 Ekonomi kerakyatan sangat berbeda dari neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut: a. Tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas sempurna di pasar; b. Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; 32 Mubyarto, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Op-Cit., hlm. 40. Menurut Gregory dan Stuart ( dalam buku Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid., hlm. 35), sistem ekonomi kapitalis ditandai antara lain dengan penguasaan atau kepemilikan faktor-faktor produksi oleh swasta, sedangkan pembuatan keputusan apa yang ingin diproduksikan berada di tangan siapa yang memiliki faktor produksi tersebut. Keputusan yang dibuat, dipandu oleh mekanisme pasar yang menyediakan informasi yang diperlukan sementara insentif kebendaan (material incentives) menjadi motivator utama bagi para pelaku ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis ini berlawanan dengan sistem sosialisme. 33 34 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid. 141 c. Pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang35 (Giersch, 1961). Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: a. Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; b. Liberalisasi sektor keuangan; c. Liberalisasi perdagangan; d. Pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002)36. Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 35 Giersch, dalam Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme, http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/001.pdf, hlm.1. 36 Stiglitz, dalam Revrisond Baswir, Ibid. 142 dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34. Peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: a. Mengembangkan koperasi b. Mengembangkan BUMN; c. Memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; d. Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; e. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme . Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi 143 2(selengkapnya lihat tabel). Ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch37, ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller -Armack. Sedangkan peran negara dalam kaitannya dengan perekonomian, tergambar dalam tabel berikut: Ekonomi Kapitalisme Kerakyatan Negara Kesejahteraan 1.Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1). 2.Menguasai cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2) 3. Menguasai dan emastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar 1. Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh. 2.Menyelenggarakan BUMN pada cabangcabang produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta. 3.Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan. 4. Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi. 5. Menjaga stabilitas moneter. 6. Memastikan setiap warga 37 Ekonomi neoliberal 1. Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli. 2. Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN 3. emacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi asing 4. Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi 5. Menjaga stabilitas Giersch, dalam Revrisond Baswir, Ibid. 144 -besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 4). Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi. 5. Menjaga stabilitas moneter. 6. Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2). 7. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34) negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. 7. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar. moneter. 6. Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu menetapkan upah minimum. 145 A.3. Landasan Idiil yang Mendasari Asas Keseimbangan dalam Hukum Persaingan Usaha Khususnya Perjanjian Penetapan Harga. Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia, pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat, maka silai-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian ini lah, maka sila-sila pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Dikarenakan merupakan suatu sistem filsafat, maka ke lima sila bukan dimaknai terpisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi makna yang utuh. 38 Dengan kata lain, pancasila tersusun secara hirarkhis39 dan berbentuk piramidal.40 Secara kausalitas, nilai-nilai pancasila bersifat objektif dan subjektif. Artinya, esensi nilai-nilai pancasila adalah bersifat universal, yaitu keTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai-nilai pancasila yang bersifat objektif, yakni: 38 Kaelan, Op-cit., hlm. 75. Kaelan, 2010, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma Yogyakarta, hlm. 10. 40 Kaelan dalam Ibid., hlm.10-11, bahwa pengertian piramidal di sini digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkhi sila-sila dari pancasila dalam urut-urutan luas dan juga dalam hal sifatnya. Kalau dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luas dn isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang di mukanya. Jika uruturutan lima sila dianggap demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lainnya, sehingga pancasila merpakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Dalam susunan hirarkhis dn piramidal, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan sosial. Dengan demikian, dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktunya. 39 146 a. Rumusan dari sila-sila pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai. b. Inti dari nilai-nilai pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia. c. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, dlam hirarkhi suatu tertib hukum Indonesia, pancasila berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi.41 Nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilainilai pancasila melekat pada bangsa Indonesia sendiri, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia. b. Nilai-nilai pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia, sehingga merupakan jati diri bagi bangsa Indonesia, yang diyakini sebagai sumber 41 Kaelan, Op-Cit., hlm. 76. 147 nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. c. Menurut Darji Darmodihardjo, Nilai-nilai pancasila di dalamnya terkandung tujuh nilai-nilai kerokhanian, yakni nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, manifestasinya etis, estetis dasn nilai religius, yang sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia, hal ini dikarenakan bersumber pada kepribadian bangsa.42 Jika kita kaji lebih lanjut tentang makna asas keseimbangan, maka dapat dikatakan bahwa asas keseimbangan menuju dan bermuara pada keadilan. Landasan idiil yakni pancasila yang mendasari asas keseimbangan, harus dimaknai sebagai satu kesatuan dari semua sila dari pancasila yang menjadi basis asas keseimbangan dalam hukum persaingan usaha khususnya perjanjian penetapan harga. B. Faktor Riil yang Mendasari Makna dan Fungsi Asas Keseimbangan. Thomas Hobbes pernah menyatakan bahwa suatu masyarakat tidak mungkin hidup tanpa adanya suatu unsur yang berdaulat. Pemegang kedaulatan itu tugasnya mengeluarkan perintah-perintah yang merupakan hukum. Pada tahap kehidupan pra-hukum atau pra-sosial atau awalnya manusia saling menghancurkan. Untuk menghentikan keadaan demikian, maka diperlukan dua syarat. Syarat pertama berfungsinya hukum, yang menurut beliau berintikan pada 42 Kaelan, Ibid., hlm. 77. 148 penegakan ketertiban dan syarat kedua berkaitan dengan prasyarat struktural atau institusional eksistensi hukum, yakni adanya kedaulatan politik yang seragam dan terpusatkan. Thomas Hobbes mengidentikkan keadaan tanpa hukum dengan situasi tanpa ketertiban, oleh karena itu diperlukan adanya lembaga-lembaga tertentu. Lembaga yang dimaksudkan oleh beliau seringkali digambarkan oleh Malinowski sebagai kekuasaan terpusatkan, kitab undang-undang, pengadilan dan penjabat penegak hukum.43 Pengertian kekuasaan di sini harus diberi makna yang netral, dalam arti, tidak secara a-priori dinilai baik atau jelek, melainkan selalu bergantung pada penerapannya. Kekuasaan harus diberi arti sebagai suatu kapasitas, kapabilitas, atau kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain. Kapasitas demikian erat hubungannya dengan wewenang, hak dan kekuasaan fisik.44 Untuk menjamin pelaksanaan wewenang, diperlukan sistem penghubung antara pemimpin dengan warga yang dipimpinnya. Alat penghubung yang teratur itu disebut birokrasi yakni organisasi yang bersifat hirarkis secara rasional.45 Dalam suasana pembangunan, konsepsi hukum sebagai perangkat sikap tindak atau perilaku adalah bermanfaat bila dihubungkan dengan bidang-bidang 43 Soerjono Soekanto & Otje Salman (penyunting), 1987, Disiplin Hukum Dan Disiplin Sosial, RajaWali Press, Jakarta, hlm. 35-36. 44 Muchtar Affandi, 1971, Ilmu-Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, hlm. 50-55. 45 Syahrial Syarbani dkk, 2002, Sosiologi dan Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 53. 149 pergaulan hidup.46 Oleh karena itu, konsepsi hukum yang dimaksud akan terasa bermakna jika dihubungkan dengan pemaknaan asas keseimbangan yang ditinjau dari aspek riil. B.1. Pengaturan Asas Keseimbangan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Di dalam konsideran menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat kata ”bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Makna yang didapat dari konsideran menimbang ini, bahwa untuk mencapai keserasian, pemerintah merumuskan peraturan tentang larangan monopoli dan persaingan tidak sehat terhadap rakyat atau pelaku usaha kedalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang ini diperuntukkan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha, seperti makna yang tertera dalam konsideran menimbang huruf (c) yaitu: ”bahwa setiap setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar”. Makna yang didapat dari konsideran menimbang huruf (a) dan (c) tersebut, berupa perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat khususnya pelaku usaha. 46 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekamto, 1983, Menelusuri Sosiologi Hukum Negara, CV Rajawali, Jakarta, hlm 9. 150 Menurut Rudolf von Jhering, hak adalah sesuatu yang penting bagi seseorang, hak diakui dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, hak adalah kepentingan yang terlindungi, memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan yang berhak.47 Sedangkan Von Savigny dan Berhnhard Winchheid menyatakan bahwa ”hak adalah suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan. Atas dasar kekuatan ini, maka seseorang berhak atas sesuatu”.48 Kewajiban adalah perbuatan yang seseorang harus melakukannya; perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut adalah kesalahan. Menyuruh melakukan suatu kewajiban pada seseorang, berarti mengklaim bahwa orang tersebut harus melakukan suatu perbuatan tertentu.49 Kewajiban dalam hal ini terdiri dari dua bentuk, yaitu kewajiban atas moral dan kewajiban atas hukum yang dapat dilakukan bersamaan atau berbeda. A.K. Sarkar berpendapat memberikan contoh: ”Adulterated milk may not be sold whether knowingly or otherwise it is a legal duty. But surely it is not a moral duty if the selling takes place without the owner knowing that it is adulterated”.50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas tidak mengatur tentang hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan negara. Dari penjelasan undang-undang ini terlihat bahwa undang-undang ini terlahir untuk 47 48 49 50 Lily Rasjidi, Filsafat Hukum, Op.Cit., hlm. 83. Ibid. Ibid., hlm. 82. A.K. Sarkar dalam Lily Rasjidi, Ibid., hlm 83. 151 menanggulangi adanya perkembangan usaha swasta yang dalam kenyataannya menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat serta pasar cendrung terdistorsi. Oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi pelaku usaha agar memperoleh kesempatan berusaha secara sehat dengan prinsip keseimbangan. Sebaliknya hak pelaku usaha berupa kepentingan untuk berusaha didalam wilayah negara Republik Indonesia yang diatur oleh hukum, hak disini terlindungi oleh kekuatan kebijakan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebaliknya, pelaku usaha berkewajiban untuk menjaga agar dalam menjalankan hak untuk berusaha tersebut tidak menimbulkan persaingan antar pelaku usaha. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa “pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, diuraikan bahwa undang-undang ini disusun berdasarkan pancasila dan UUD 1945, serta berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, 152 mencegah praktek–praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha, serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. B.2. Pemaknaan Asas Keseimbangan dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). B.2.1. Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-L/2005 tentang Penyediaan Jasa Survey Gula Impor oleh PT. Superintending Company of Indonesia (PT. Sucofindo) dan PT. Surveyor Indonesia. B.2.1.1. Deskripsi Perkara Kasus ini dimulai dari terlapor I (PT Surveyor Indonesia, Persero) dan terlapor II (PT Superintending Company of Indonesia, Persero atau dengan sebutan Sucofindo), dimana diduga terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dalam bidang penyediaan jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, Komisi monitoring telah melakukan terhadap Terlapor I dan Terlapor II berkaitan dengan kegiatan penyediaan jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. Dari hasil monitoring terhadap Terlapor I dan Terlapor II berkaitan dengan kegiatan penyediaan jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, diperoleh fakta-fakta 153 sebagai berikut: a. Bahwa kebijakan Pemerintah yang keputusan Menteri Perindustrian Republik Indonesia tertuang dan dalam Perdagangan Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (selanjutnya disebut SK Menperindag No. 527/2004) juncto Keputusan Menteri Republik tanggal Perindustrian Indonesia 23 September dan Perdagangan Nomor: 594/MPP/Kep/9/2004 2004 tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Gula (selanjutnya disebut SK Menperindag No. 594/2004) yaitu Terlapor I dan Terlapor II, berpotensi melanggar Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. b. Kerjasama Operasi (selanjutnya disebut KSO) antara Terlapor I dan Terlapor II dalam operasional pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula berpotensi melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. c. Penetapan harga jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II berpotensi melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 154 Tahun 1999. setelah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa mendapatkan informasi, melakukan penilaian, serta telah mengambil kesimpulan sebagai berikut: a. Bahwa kewajiban pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula telah menciptakan pasar baru yaitu pasar jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Dalam hal ini, para importir gula adalah pengguna atau konsumen jasa tersebut, sedangkan perusahaan survey atau surveyor adalah penjual jasa tersebut. b. Bahwa pembentukan KSO yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II berpotensi menciptakan praktek monopoli sebagaimana dilarang pada Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. c. Bahwa pembentukan KSO yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II berpotensi menghalangi surveyor lain untuk masuk dalam pasar jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula tersebut sebagaimana dilarang dalam Pasal 19 huruf a Undang- 155 Undang Nomor 5 Tahun 1999. d. Bahwa penetapan harga yang dilakukan oleh KSO merupakan bukti awal adanya penetapan harga sebagaimana dilarang Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. e. Bahwa dengan demikian terdapat indikasi kuat adanya pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a Undang-undang Nomor 5 tahun 1999. Dari uraian di atas, terlihat bahwa SK. Menperindag memberikan kewenangan untuk melakukan penetapan harga jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula terhadap PT. Surveyor Indonesia (Terlapor I) dn PT. Sucofindo (Terlapor II). Di dalam pelaksanaannya, terlapor I dan terlapor II yang ditunjuk sebagai surveyor pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula tidak pernah menawarkan surveyor fee, bahkan membentuk Kerjasama Operasi (KSO) dengan menawarkan surveyor fee hasil kesepakatan terlapor I dan terlapor II kepada para importir gula. B.2.1.2. Pertimbangan Hukumnya. Dari putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2005 angka (1.5.) diuraikan bahwa Kerjasama Operasi Verifikasi atau 156 penelusuran Teknis Impor Gula, yaitu: a. Bahwa pada tanggal 24 September 2004 Terlapor I dan Terlapor II menandatangani kesepakatan kerjasama (Memorandum of Understanding, MoU) sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula dalam bentuk KSO. b. Bahwa pembentukan KSO dilakukan untuk memberi keseragaman dan standar dalam pelayanan kepada para importir gula. c. Bahwa KSO dijalankan bersama-sama oleh manajemen Terlapor I dan Terlapor II. d. Bahwa segala biaya yang timbul, keuntungan dan kerugian usaha akan dibebankan dan diserahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II secara proporsional masingmasing sebesar 50% (lima puluh persen). e. Bahwa SK Menperindag No. 594/2004 tidak memberikan wewenang atau dasar hukum bagi dan Terlapor II untuk membentuk KSO. Selanjutnya, KPPU berpendapat bahwa surveyor fee merupakan harga yang harus dibayar oleh para importir gula 157 atas jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang dilakukan oleh KSO. Dalam hal ini telah terjadi pertemuan antara KSO dengan para importir gula yang juga membahas mengenai besaran surveyor fee, sehingga importir gula tidak mempunyai pilihan lain sehingga harus menerima besaran surveyor fee yang ditetapkan oleh KSO. Dalam hal unsur “pasar bersangkutan” sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU menjelaskan bahwa telah terjadi interaksi antara terlapor I dan terlapor II dengan para importir gula dalam hal proses verifikasi ataua penelusuran teknis impor gula. Dalam interaksi yang dimaksud, terlapor I dan terlapor II berada dalam posisi sebagai penyedia jasa verifikasi ataua penelusuran teknis impor gula dan para importir gula tersebut berada dalam posisi sebagai pengguna atau pemakai jasa verifikasi. Terlapor I dan terlapor II dalam hal ini menyediakan jasa berupa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula bagi importir gula yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, telah melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999. 158 B.2.1.3. Analisis Hukum. Dari deskripsi perkara maupun pertimbangan hukum dalam kasus antara PT. Surveyor Indonesia (terlapor I) dan PT. Sucofindo (Terlapor II) di atas, dapat dimaknai bahwa majelis pada KPPU telah memutuskan berdasarkan unsur keseimbangan kepentingan antara pelaku usaha di satu pihak dengan masyarakat di lain pihak, sehingga dengan adanya surveyor fee, maka perjanjian penetapan harga yang merupakan suatu perjanjian yang dilarang dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 telah dilanggar oleh terlapor I dan terlapor II. B.2.2. Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2005 tentang Kartel Perdagangan Garam ke Sumatera Utara B.2.2.1. Deskripsi Perkara. Pada Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa KPPU menemukan adanya indikasi kuat pelanggaran terhadap Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13 serta Pasal 19 huruf a dan d Undang-undang Nomor 5 Tahun1999 dalam bentuk sebagai berikut: a. Adanya kesulitan bagi perusahaan selain PT Graha Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera yang dikenal dengan istilah „G4‟ untuk 159 memperoleh garam bahan baku langsung dari PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo yang dikenal dengan istilah „G3‟. b. Adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan G3 dengan G4 untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo. c. Adanya pemberian harga yang lebih tinggi untuk garam bahan baku yang dibeli oleh perusahaan di luar G3 dan G4. d. Adanya penguasaan pasokan garam bahan baku ke Sumatera Utara oleh G3. Sehubungan dengan itu, dapat digambarkan bahwa PT. Garam, PT. Budiono dan PT. Garindo telah membuat perjanjian penetapan harga karena mereka salaing mengikatkan diri untuk membuat kebijakan penetapan harga jual garam bahan baku di Sumatera Utara secara seragam dan teratur. Keseragaman atau keteraturan yang dimaksud terjadi karena setidak-tidaknya pada tahun 2005 harga jual garam bahan baku PT. Budiono dan PT. Garindo selalu sama. Harga jual garam bahan baku PT. Garam selalu berada Rp20,- (dua puluh rupiah) lebih tinggi dari harga jual garam bahan baku PT. Budiono dan PT. Garindo. Pergerakan harga jual garam bahan baku PT. Budiono, PT. 160 Garindo dan PT. Garam selalu teratur dengan selisih harga yang tetap. Adanya keteraturan dn keseragaman harga jual dn pergerakannya tersebut, mencerminkan adanya koordinasi antar sesama anggota G3 untuk menetapkan harga jual garam bahan baku di Sumatera Utara. Pengikatan diri dari oleh PT. Garam, PT. Budiono dn PT. Garindo tersebut menunjukkan adanya perjanjian untuk menetapkan harga jual garam bahan baku di Sumatera Utara. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka mengakibatkan pelaku usaha selain G3 dan G4 harus membayar harga garam bahan baku yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang harus dibayar oleh pihak G4. Kesepakatan yang dimaksud merupakan perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk garam bahan baku di Sumatera Utara. B.2.2.2. Pertimbangan Hukumnya. Majelis KPPU berpendapat bahwa adanya keseragaman dan keteraturan harga jual dan pergerakannya tersebut mencerminkan adanya koordinasi antar sesama anggota G3 untuk menetapkan harga jual garam bahan baku di Sumatera Utara. 161 Majelis KPPU juga berpendapat bahwa terapat kebijakan yang dibuat oleh G3 dan G4 dengan adanya pembuktian besaran harga jual yang seragam di antara mereka, sedangkan harga jual garam bahan baku lebih tinggi jika ditawarkan kepada pihak pengusaha lain selain pihak G3 dan G4. Terdapat kesulitan bagi perusahaan selain PT Graha Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera yang dikenal dengan istilah „G4‟, untuk memperoleh garam bahan baku langsung dari PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo yang dikenal dengan istilah „G3‟. Selain itu, terdapat kesepakatan secara lisan yang dilakukan G3 dengan G4 untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo. B.2.2.3. Analisis Hukum. Dari uraian tentang deskripsi perkara dan pertimbangan tersebut behukumnya di atas, dapat dimaknai bahwa perkara tersebut selain bertentangan dengan Pasal 5, juga bertentangan dengan Pasal 6 Undang-Undang nomopr 5 Tahun 1999, yang berbunyi: “bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan 162 harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama”. Adanya unsur saling mengikatkan diri di antara pelaku usaha G3 dan G4 tersebut, maka mengakibatkan harga yang lebih tinggi kepada pihak lain selain pelaku usaha G3 dan G4. Berdasarkan kasus di atas, maka majelis KPPU telah menetapkan berdasarkan makna keseimbangan antara pelaku usaha dengan tidak mengenyampingkan pihak konsumen. B.2.3. Putusan KPPU Nomor 11/KPPU-I/2005 tentang Distribusi Semen Gresik B.2.3.1. Deskripsi Perkara. Perkara ini dimulai dari distribusi semen Gresik di area 4 Jawa Timur yang meliputi wilayah Blitar, Jombang, Kediri, Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek dan Tulungagung. Pelanggaran tersebut diduga dilakukan oleh PT. Bangun Putra, PT. Varia Usaha, PT. Waru Abadi, PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia, UD. Mujiarto, TB. Lima Mas, CV. Obor Baru, CV. Tiga Bhakti, CV. Sura Raya Trading, CV. Bumi Gresik yang merupakan memasarkan distribuutor produknya, Semen PT. Gresik. Semen Dalam Gresik rangka menunjuk distributor yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian jual beli yang menempatkan para distributor mandiri/pembeli lepas. 163 Dalam perjanjian yang dimaksud, para distributor harus menjual semen Gresik sesuai dengan harga yang telah ditentukan. Di samping itu, dilarang untuk memberikan potongan harga (discount). Hal mana tergambar pada putusan KPPU tentang hasil monitoring yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut. a. Bahwa barang yang menjadi pokok monitoring tersebut adalah semen produksi Terlapor XI yang untuk selanjutnya disebut sebagai Semen Gresik. b. Bahwa batasan jangkauan pemasaran Semen Gresik yang menjadi pokok dalam monitoring tersebut adalah wilayah-wilayah di Jawa Timur meliputi daerah Blitar, Jombang, Kediri, Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek, dan Tulungagung yang untuk selanjutnya disebut Area 4. c. Bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium Distributor Semen Gresik Area 4 yang untuk selanjutnya disebut Konsorsium. d. Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan 164 oleh Konsorsium dalam bentuk mewajibkan para Langganan Tetap yang untuk selanjutnya disebut LT di Area 4 untuk menjual Semen Gresik. e. Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk larangan bagi LT, Toko dan Pengecer untuk mengambil pasokan semen dari Distributor yang bukan kelompoknya. f. Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan kepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja. g. Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk larangan bagi LT, Toko, dan Pengecer untuk membeli Semen Gresik dari Distributor yang bukan kelompoknya dan memberikan sanksi bagi LT dan toko yang menjual semen gresik di bawah harga yang telah ditetapkan oleh konsorsium. 165 B.2.3.2. Pertimbangan Hukumnya. Unsur utama dalam resale price maintenance adalah adanya perjanjian antar pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang yang telah diperjanjikan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan adanya perjanjian penetapan harga di tingkat distributor, maka terlapor telah melanggar pasal 8 UndangUndang nomor 5 Tahun 1999. B.2.3.3. Analisis Hukum. Berdasarkan uraian tentang deskripsi perkara serta pertimbangan hukumnya, maka dapat dimaknai bahwa penerapan asas keseimbangan seperti yang dikehendaki oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah tertuang, hal mana telah terdapat unsur menyeimbangkan kepentingan antara pelaku usaha dan kepentingan masyarakat. 166 B.2.4. Putusan KPPU Nomor 26/KPPU-L/2007 tentang Kartel SMS B.2.4.1. Deskripsi Perkara Layanan telekomunikasi termasuk Short Message Service (SMS) memerlukan adanya ketersambungan (inter koneksi) di antara para operator telekomunikasi untuk menjamin berlangsungnya proses komunikasi dari para pelanggan. Dalam melakukan kerja sama inter koneksi tersebut, para operator ternyata menyepakati tarif SMS yang harus dibayarkan oleh konsumen masing-masing. Fakta ini muncul setelah KPPU melakukan pemeriksaan terhadap sembilan operator seluler di Indonesia yang diduga melakukan penetapan harga SMS off-net (Short Message Servive Antar Operator) pada period 2004 sampai dengan 1 April 2008. Operator yang diduga melakukan pelanggaran tersebut adalah PT. Excelcomindo Pratama, Tbk., PT. Telekomunikasi Seluler, PT. Indosat, Tbk., PT. Telkom, Tbk., PT. Huchison CP Telecommunication, PT. Bakrie Telekom, PT. Mobile 8- Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom an PT. Natrindo Telepon Seluler. Periode 2004-2007, industri telekomunikasi seluler diwarnai dengan masuknya operator baru. Namun, harga SMS yang berlaku untuk layanan SMS off-net tetap berkisar pada 167 harga Rp 250,- sampai dengan Rp. 350,-. Pada rentang masa tersebut, KPPU menemukan beberapa klasula penetapan harga SMS yang tidak boleh lebih rendah dari harga sebesar Rp 250,per SMS dan dimasukkan ke dalam perjanjian kerja sama interkoneksi anatara operator sebagaimana dalam matrik klausula. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dengan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) mengadakan pertemuan pad bulan juni tahun 2007, dan menghasilkan keputusan yang meminta kepad seluruh anggotanya untuk membatalkan kesepakatan harga SMS. Permintaan tersebut ditindak lanjuti oleh par opertor, Namun KPPU tetap tidak melihat terdapatnya perubahan harga SMS off-net yang signifikan. B.2.4.2. Pertimbangan Hukumnya. Majelis KPPU berpendapat bahwa bahwa dalam perkara tersebut, para operator telah melanggar pasal 5 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999, dimana telah terjadi perjanjian penetapan harga yang dibuat secara tertulis di antara para operator. B.2.4.3. Analisis Hukum. Dari uraian tentang deskripsi perkara dan pertimbangan hukum pada perkara operator SMS di atas, terlihat bahwa telah 168 diterapkannya asas keseimbangan dengan tidak mengenyampingkan kepentingan konsumen. B.3. Pemaknaan Asas Keseimbangan yang Terkait tentang Larangan Perjanjian Penetapan Harga dalam Putusan Pengadilan Negeri B.3.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 01/KPPU/PN Jak-Sel tentang Penyediaan Jasa Survey Gula Impor oleh PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia. B.3.1.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa putusan KPPU tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Perbuatan yang dilakukan oleh PT. Surveyor Indonesia dan PT. Sucofindo bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 Tanggal 17 September 2004 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 594/MPP/Kep/9/2004. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999, perbuatan PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia merupakan praktik yang dikecualikan dari Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999, dan karenanya tindakan tersebut tidak 169 dapat dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. B.3.1.2. Analisis Hukum. Dalam kedudukannya sebagai pengawas, Pasal 36 dan Pasal 47 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan yang besar kepada KPPU. Namun, dalam menguatkan putusannya, agar putusan komisi memiliki kekuatan eksekutorial, maka KPPU tetap memintakan bantuan Hakim pada Pengadilan. B.3.2. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 237/Pdt.G/2006/PN. SBY. Tentang Distribusi Semen Gresik. B.3.2.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya melakukan pertimbangan hukumnya, bahwa penetapan harga yang dituangkan dalam perjanjian kontrak jual beli tidak membawa pengaruh signifikan untuk terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, hal mana dikarenakan pengaturan tersebut hanya terjadi pada tingkat distributor semen Gresik, karena justeru dilatar belakangi oleh adanya persaingan yang tidak sehat dari para distributor semen dan hanya adu domba dari arus bawah. Sedangkan pada tingkat pengecer dan 170 konsumen akhir, harga jualnya tidak ditetapkan, sehingga memungkinkan adanya persaingan dalam pasaran semen Gresik. Dengan demikian, pada tingkat Pengadilan Negeri Surabaya, perkara ini dimenangkan oleh pihak terlapor dalam putusan KPPU, dan putusan KPPU atas perkara yang dimaksud dinyatakan dibatalkan. B. 3.2.2. Analisis Hukum. Berdasarkan uraian pada pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, terlihat bahwa adanya bentuk kesepakatan perjanjian dalam penetapan harga yang dibuat oleh para pihak terlapor, tidak dijadikan alasan utama oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, hal mana bentuk kesepakatan yang dapat melahirkan perjanjian penetapan harga, merupakan suatu bentuk perjanjian yang dilarang, hal ini dikarenakan dapat menimbulkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. 171 B.4. Pemaknaan Asas Keseimbangan yang Terkait tentang Larangan Perjanjian Penetapan Harga dalam Putusan Mahkamah Agung B.4.1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 03K/KPPU/2006 tentang Penyediaan Jasa Survey Gula Impor oleh PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia. B.4.1.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya. Hakim pada Mahkamah Agung menolak keputusan KPPU, dengan alasan yang diajukan oleh KPPU tidak dapat dibenarkan. Oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukumnya. Hal mana dikarenakan perbuatan dan perjanjian yang dilakukan oleh para termohon kasasi/para pemohon adalah didasarkan Perdagangan pada Keputusan Nomor Menteri Perindustrian 527/MPP/Kep/9/2004 tanggal dan 17 September 2004 tentang ketentuan impor gula, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang penunjukan surveyor sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. Dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka 172 ketentuan dalam undang-undang yang dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. B.4.1.2. Analisis Hukum. Berdasarkan pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim pada Mahkamah Agung, pada dasarnya sama dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menitikberatkan bahwa tindakan dari terlapor belum terkatagori melanggar undangundang nomor 5 Tahun 1999. Di sisi lain, adanya pelanggaran berupa perjanjian penetapan harga melalui Kerja Sama Operasi (KSO) tidak terlalu dimunculkan. B.4.2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 05K/KPPU/2007 tentang Distribusi Semen Gresik. B.4.2.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya. Dalam pemeriksaan di tingkat Mahkam persaingfah Agung, majelis hakim pada Mahkamah Agung menolak argumen KPPU terkait penerapan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dengan pertimbangan bahwa pemohon atau terlapor dalam putusan KPPU membentuk konsorsium untuk menghindari perang harga antara distributor semen Gresik yang memang mempunyai wilayah pemasaran. Di dalam wilayah-wilayah tersebut juga beredar semen merek lain. 173 Dengan demikian, tidak ada persaingan usaha yang tidak sehat di antara berbagai merek semen yang dimaksud. Hakim majelis pad Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa penapsiran majelis pada KPPU terhadp ketentuan Pasal tersebut terlalu kaku, hal ini dikarenakan pengatur harga yang dilakukan oleh pihak konsorsium tidak menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, hal mana dikarenakan tidak mengganggu usaha produk semen lain. B. 4.2.2. Analisis Hukum. Dari uraian tentang pertimbangan hukum dari majelis hakim pada Mahkamah Agung, terlihat bahwa majelis lebih mengutamakan penerapan langsung terhadap ketentuan Pasal yang dimaksud terkait dengan dampak yang ditimbulkan berupa persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam hal ini perlu dicermati kembali tentang pelanggaran adanya perjanjian penetapan harga seperti yang dimaksud dalam undang-undang ini. Rawls memiliki argumentasi atas manusia yang rasional pada posisi awalnya akan memiliki dua prinsip keadilan. Prinsip pertama, menyatakan bahwa masing-masing orang memilki hak atas sebuah sistem yang paling ekstensif dari kebebasan dasar yang sebanding dengan sistem serupa untuk orang lain. Prinsip kedua, menyatakan 174 bahwa keadaan merata secara sosial dan ekonomi itu adil, jika hal tersebut menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung dalam masyarakat, serta melekat pada jabatan-jabatan dan posisiposisi yang terbuka bagi semua orang.51 Berangkat dari prinsip dalam teori keadilan John Rawls di atas, maka hak dari setiap pelaku usaha (baik pelaku usaha pesaing), harus tetap diperhatikan, dan seharusnya hak dari pelaku usaha pesaing yang tidak berkesempatan masuk dalam sistim monopoli yang dimaksud, harus diutamakan, hal mana berarti pemerataan kesempatan berusaha bagi setiap pelaku usaha. 51 Johnny Ibrahim, Op-Cit., hlm. 164. 175 176