Asas Keseimbangan dalam Hukum Persaingan

advertisement
BAB III
FAKTOR IDIIL DAN RIIL YANG MENDASARI MAKNA
DAN FUNGSI ASAS KESEIMBANGAN SEBAGAI TOLOK UKUR
REGULATIF DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA KHUSUSNYA
PERJANJIAN PENETAPAN HARGA
A. Faktor Idiil yang Mendasari Makna dan Fungsi Asas Keseimbangan
Hukum dan Ekonomi merupakan suatu sub sistem dari suatu sistem
kemasyarakatan yang saling ber-interaksi antara satu dengan yang lainnya. Di
satu pihak hukum dapat dilihat sebagai hasil dari berbagai kekuatan sosial dan
ekonomi yang terdapat dalam proses kemasyarakatan, sehingga hukum itu
sangat bergantung sekali pada faktor-faktor yang cukup dominan dalam
kehidupan masyarakat terutama faktor-faktor ekonomi. Dengan demikian,
hukum itu tempatnya adalah berada di belakang dan mengikuti perkembangan
ekonomi. Hal ini sangat sesuai dengan anggapan klasik mengenai hukum yang
berasal dari orang-orang Belanda dahulu yang mengatakan bahwa, ”het recht
hink achter de feiten aan (hukum itu ada di belakang dan mengikuti kejadiankejadian). Sementara itu Nicholas Mercuro mengatakan;”……the law has
important implication for ekonomic structure, behavior, and performance ”.1
Sedangkan Warren J. Samuel menyatakan bahwa: “The economy is a system of
power, of mutual coercion, of reciprocal capacity to receive income and/or to
1
Nicholas Mercury and Steven G. Medema, 1992, Economic And The Law, From
Posner To Post – Modernis, Princeton University Press, hlm.24.
124
shift injury whose pattern or structure and consequences are at least partially
a function of law”.2
Dalam suasana yang demikian, maka hukum itu hanya berfungsi sebagai
pelayan yang baik dari pada perkembangan ekonomi. Hal ini sangat sesuai
dengan pendapat Pitlo yang menyatakan bahwa hukum itu mempunyai fungsi
pengabdian (dienen de functie)3. Apabila suatu proses berubah, maka hukum
harus diusahakan untuk dapat menampung perkembangan yang baru tersebut.
Hal ini
banyak mengandung konsekuensi dan satu diantaranya yang
dikemukakan oleh Ali Said, yakni : 4
Asumsi yang demikian ini melatar-belakangi pemikiran para ahli ekonomi
bilamana mereka berbicara tentang bagaimana hubungan antara hukum
dan ekonomi, Sukadji Ranuwihardjo5 menyatakan bahwa hubungan timbal
balik antara hukum dan ekonomi lebih menekankan terhadap pemikiran
tentang perlunya ditentukan prioritas mengenai bidang-bidang hukum
mana yang perlu ditangani terlebih dahulu, berarti misalnya bidang
kontrak, perseroan,bidang moneter, lokasi industri ,tata guna tanah dan
sebagainya. Kemudian mengenai persoalan bahwa pada saat sekarang
terdapat gejala pembinaan ekonomi sering mengalami perubahan dengan
cepat dan tiba-tiba di dalam masyarakat, sehingga di kalangan pengusaha
terdapat perasaan ketidakpastian hukum dan keraguan di pihak penegak
hukum. Kesemuanya ini membayangkan bahwa hukum itu sifatnya harus
mengikuti perkembangan ekonomi dan tidak menutup kemungkinan
ditinggalkan oleh perkembangan ekonomi tersebut. Dikatakannya juga
bahwa tidak setiap pengaturan sistem atau pranata ekonomi dari pihak
2
Warren J. Samuel 1982, Law and Economics: An Institutional Perspective, Martinus
Nijhoff Publishing, USA, hlm. 100.
3
.Gunawan Wijaya, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam
Hukum Perdata, PT. .Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 27.
4
Ali Said, Dalam Pidato Pembukaan Masalah Peralihan Masyarakat Tradisional ke
Masyarakat Modern dan Pengaruhnya Terhadap Hukum di Ujung Pandang, 09 Maret 1981.
5
Abdurrahman, 1995, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum Dan Masyarakat, Media
Sarana Press, Jakarta, hlm. 54.
125
pemerintah selalu berbentuk peraturan tertulis formal, banyak sekali
bahkan lebih banyak lagi pengaturan kehidupan ekonomi yang bersumber
dari tatanan hukum lain ataupun kebijakan lain. Hal ini memberikan kesan
akan adanya perkembangan ekonomi di luar hukum yang masih perlu
untuk dipersoalkan lebih jauh. Dapat dikutip dari pemikiran Chiba bahwa
hukum sebagai suatu struktur, termasuk struktur hukum Indonesia tidak
dapat dilihat secara monistik saja, tapi sebagai refleksi pluralisme dimana
sistem hukum yang berbeda-beda bisa berinteraksi ”satu sama lain secara
harmonis ataupun berkonflik”, yang terdiri dari 3 (tiga) lapis:6
1. Hukum resmi : Sistem hukum yang disyahkan oleh otoritas negara yang
sah. Bersumber dari agama, adat kebiasaan, etnis lokal dan lain-lain
yang diterima secara resmi oleh negara dan berlaku sesuai dengan
hukum negara.
2. Hukum tidak resmi : adalah hukum yang tidak di sahkan oleh otoritas
negara yang sah, tapi di dalam praktiknya didukung oleh kelompok
masyarakat tertentu.
3. Postulat Hukum7 : sistem hukum yang berhubungan dengan hukum
resmi dan hukum tidak resmi tertentu yang bertindak untuk
menjastifikasi dan mengarahkan efektifitas hukum-hukum tersebut
dengan cara tertentu sehingga menentukan corak hubungan kedua
hukum tersebut.
Lebih lanjut Emil Salim8 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi
menimbulkan perubahan dalam masyarakat
dan perubahan lazimnya
menimbulkan instabilitas. Dalam proses perubahan dan instabilitas ini semakin
menonjol
perlunya
kaedah-kaedah
hukum
yang
disatu
pihak
turut
membendung berbagai akibat dari pada perubahan dan instabilitas dimaksud,
6
. Ratno Lukito, 2008, Hukum Sakral Dan Hukum Sekuler.Studi Tentang Konflik Dan
Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, Pustaka Alfabet, Jakarta, hlm. 3.
7
Postulat hukum terbentuk dari gagasan hukum yang sudah mapan, ajaran dan
pemahaman keagamaan , postlat sosial dan budaya yang berhubungan dengan struktur sosial yang
fondamental. Jadi dengan bantuan teori Chiba gambaran pluralisme hukum di negara multikultural
seperti Indonesia tidak bisa dikatakan hanya terdiri dari hukum negara,dan tatanan hukum non
negara,karena disamping itu terdapat banyak norma ,gagasan, dan nilai-nilai yang hidup di tengahtengah masyarakat yang menciptakan postulat hukum efektif.
8
Emil Salim, 1977, Pembinaan Hukum Ekonomi Nasional, BPHN Bina Cipta, Bandung,
hlm 112.
126
dan di lain pihak menetapkan kesadaran dan kepastian hukum pada tingkat
yang lebih tinggi. Disini terkesan adanya pandangan yang menilai bahwa
hukum itu lebih banyak berperan sebagai penampung suatu akibat saja. Lebih
lanjut Emil Salim mengatakan , apabila tantangan pembangunan menghendaki
dirombaknya struktur ekonomi dan struktur sosial nasional , maka hukum
ekonomi nasional harus diarahkan kejurusan yang dapat menciptakan iklim
perombakkan. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa Hukum
Ekonomi Nasional harus memuat prinsip bahwa perubahan secara semenamena di luar jalur konstitusional dan hukum yang mengatur pembangunan
ekonomi tidak sah. Hal ini juga berarti bahwa produk-produk hukum yang
dihasilkan harus mampu menguatkan dasar kepercayaan masyarakat akan
hukum, mengokohkan kesadaran
keadilan
masyarakat
hukum (rechtbewustzijn) dan
perasaan
(Rechtsgevoel). Sehingga produk hukum harus
mengandung unsur-unsur yang memperkuat hukum yang mencerminkan
kepentingan masyarakat.
Dengan adanya pembangunan ekonomi yang dimaksud, maka output
atau kekayaan suatu masyarakat atau perekonomian akan bertambah. Di
samping itu, kebahagiaan penduduk akan bertambah pula, dikarenakan
pembangunan ekonomi tersebut menambah kesempatan untuk mengadakan
pilihan yang lebih luas. Selain manfaat yang ditimbulkan oleh pembangunan
ekonomi, kerugian yang ditimbulkannya berupa cara berfikir masyarakat yang
127
lebih mementingkan diri sendiri.9 Sehingga “gotong royong” yang merupakan
ciri khas negara berkembang (termasuk Indonesia), akan tergerus oleh
pembangunan ekonomi.
T. Mulya Lubis sebagaimana dikutip Sumantoro, bahwa interaksi
pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi sangatlah penting. Bukan
hal yang tidak mungkin, jika fondasi hukum yang kuat tidak dibarengi
pembangunan ekonomi. Sesuatu yang paling ideal adalah jika interaksi
pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi tersebut saling menunjang.
Atas dasar hal tersebut, peranan hukum ekonomi dalam pembangunan
mencakup aspek-aspek hukum sebagai agent of modernization
hukum sebagai
“a tool of social engineering”
dan juga
yang secara keseluruhan
menjadi hukum ekonomi pembangunan. Arah pembangunan Indonesia
menciptakan pemerataan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, interaksi
pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi sangat penting dan peranan
ahli hukum dalam pembangunan ekonomi pun menjadi unsur yang mutlak
harus ada.10
Sunaryati Hartono menyatakan bahwa antara sistem hukum dan sistem
ekonomi sesuatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan pengaruh
timbal balik. Apabila ada suatu pihak pembaharuan dasar-dasar pemikiran di
bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum
9
10.
10
Irawan dan M. Suparmoko, 1995, Ekonomi Pembangunan, BPFE, Yogyakarta, hlm.7Sumantoro, 2008, Hukum Ekonomi, UI-Press, Jakarta, hlm. 14.
128
yang bersangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan
memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi
sebaliknya, penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan
mengahambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.11
Pada hakikatnya, sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar
yang tersusun atas sub-sub sistem hukum yang lebih kecil, yaitu sub sistem
pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang
hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses tersendiri pula. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang
membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
Sistem pembentukan hukum memiliki komponen-komponen sistem nya
sendiri, seperti lembaga pembentuk hukum, aparatur pembentuk hukum, sarana
pembentuk hukum, prosedur-prosedur pembentukan hukum, dan lain-lainnya,
yang hakikatnya merupakan kesatuan integral, yang berfungsi dan bertujuan
menghasilkan bentuk hukum (peraturan perundangan). Hal demikian juga
berlaku terhadap konsep hukum, pendidikan hukum, dan komponen-komponen
sistem hukum lainnya.12
11
Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, hlm. 6.
12
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar
Maju, Bandung, hlm. 151-152.
129
Agnyal13 dan Bertalanffy14 menyatakan bahwa, komponen-komponen
yang dimaksud sama sekali tidak dapat dianalisis secara terisolasi dari
keseluruhannya. Perlakuan isolastis terhadap komponen-konponen itu akan
mengakibatkan rusaknya perilaku komponen-komponen tersebut. Selebihnya,
analisis isolastis terhadap suatu komponen, dapat merusak keutuhan proses
sistem, dan karenanya juga akan membahayakan proses itu dalam perwujudan
tujuannya.
Pelaksanaan hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi
dalam masyarakat. Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa:15
.....kita juga tidak tidak perlu dan tidak boleh menutup diri terhadap
modernisasi dan globalisasi itu, karena suka atau tidak suka akhir abad ke
-20 ini diluar kehendak bangsa kita memang sudah merupakan suatu
realita hidup yang tidak dapat dipungkiri. Karena itu perlu kita siapkan diri
untuk menarik manfaat dari arus globalisasi itu dan dilain pihak dapat
menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang dapat membawa bangsa kita
dalam situasi yang hampir serupa dengan situasi yang dihadapi nenek
moyang kita pada abad ke-17, dimana bangsa kita akan tertekan –bukan
oleh bangsa atau negara lain, tetapi – oleh perusahaan-perusahaan
transnasional ......disinilah diperlukan peraturan-peraturan hukum ekonomi
Indonesia yang cukup jeli, untuk di satu pihak mengembangkan ramburambu yang cukup ampuh untuk melindungi hajad hidup maupun
lepribadian dan jati diri bangsa Indonesia di dalam badai globalisasi itu.
Disitu pula tampak betapa hukum nasional ikut menetukan ketahanan
nasional.
13
DC. Philip, dalam Ibid., hlm. 152.
DC. Philip, dalam Ibid.
15
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991, hlm 71.
14
130
Mengenai keberadaan hukum dan ekonomi bila dikaitkan dengan
pendapat oleh Talcott Parsons dan Neil J.Smelser , bahwa Hukum itu berada
ditengah suatu sistem16 dengan sebuah kronim AGIL yakni: Adaptation, Goal
attainment; Integration dan Latensi/Partern Maintenance, tergambar dibawah
ini :
A
G
Adaptation
= Goal attainment =
Subsistem adaptif Subsistem
(Ekonomi)
pencapaian tujuan
( politik)
L
I
Partern
Maintenance
=
Subsistem pola
pemeliharaan
(ranah komitmen
kultural
dan
motivasional) =
latensi.
Integration
=
Subsistem
integrasi
(hukum,norma
dan kontrol sosial)
= internalisation.
Dalam paradigma sosial Talcott Parsons dan Neil J.Smelser melihat
bahwa dimensi keteraturan dari interaksi sosial berada di antara subsistem. Hal
ini dapat terjadi karena semua subsistem bersedia mematuhi serangkaian aturan
atau norma hukum yang dianut bersama. Terhadap hukum dan ekonomi dapat
16
.Jonny Ibrahim, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Surabaya, hlm. 22.
131
dikatakan bahwa Hukum hendaklah selalu disesuaikan dengan perkembangan
Ekonomi (Adaptation).
Selama ini membuatan regulasi di bidang ekonomi di Indonesia sangat
dipengaruhi faktor eksternal dan kurang memperhatikan faktor-faktor internal,
sehingga regulasi sebagai piranti aktivitas perekonomian kurang memberikan
perlindungan terhadap bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.17 Faktorfaktor internal
yang dimaksud disini adalah mentalitas, yang harus
diperhatikan dan ditindak lanjuti dengan langkah-langkah kongkrit dari
kebijakan sampai dengan implementasi lapangan.
Mentalitas merupakan hasil dari kerja moral. Oleh karena itu menurut
penganut Hukum Alam jelas mengatakan, bahwa ada hubungan hukum dan
moral dimana isi hukum itu tidak lain adalah moral. Hukum tidak semata-mata
merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum itu berisi nilainilai hukum, hukum itu adalah indikasi apakah yang baik dan yang buruk.
Selanjutnya yang baik dan yang buruk itu adalah syarat –syarat dari kewajiban
hukum. Penganut hukum alam menganggap hukum itu tidak semata-mata
merupakan perintah tetapi juga seperangkat nilai-nilai tertentu. Ada 2 (dua)
teori yang dapat di jadikan landasan atas perbuatan baik menurut moral dari
konsep Hukum Alam ini yakni Teori Deontik dan Teori Teleologik. Yang
mana kedua teori ini berlawanan adanya. Menurut teori deontik suatu
17
. Joni Emirzon, 2009, Penerapan Otonomi Keilmuan Dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia Di Era Globalisasi. Dalam Memahami Hukum dari Konstruksi Sampai
Implementasi, PT. RajaGrapindo Persada, Jakarta, hlm 91.
132
perbuatan menurut moral baik, maka perbuatan itu menjadi kewajiban
manusia.18 Sebaliknya menurut teori teleologik orang baru dapat menyebut
suatu perbuatan sebagai baik secara moral jika akibat-akibat dari perbuatan itu
/ tujuan perbuatan itu / kegunaan perbuatan itu baik secara moral. 19 Terhadap
prinsip kegunaan ,aliran utilatarian memandang sesuatu itu berguna apabila
dapat
memberi
kebagiaan
sebagai
kenikmatan
manusia.
J.Bentham
mempertahankan pendapat ini mengatakan : suatu perbuatan dapat dinilai baik
atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebagiaan sebanyak
mungkin orang (kebahagiaan untuk semua umat manusia), dapat diterapkan
secara kuantitaitf, sementara kualitas kesenangan atau kebahagiaan selalu
cenderung sama, salah satu aspek yang dapat membedakan adalah
kuantitasnya.20 Apabila tiap umat manusia sudah merasa bahagia setinggitingginya, maka tujuan menciptakan keadilan telah tercapai. Khusus tentang
keadilan ekonomi St.Thomas Aquinas membagi menjadi 3 (tiga), yakni:21
1. Commutative Justice.
Hal Ini berkaitan dengan beroperasinya ekonomi
pasar, yaitu perhormatan terhadap kontrak dan hak milik pribadi. Individu
dalam hal ini mempunyai kepentingan yang alamiah.
2. Distributif Juctice.
18
Bruggink, Op.Cit., hlm. 239.
Ibid.
20
K. Berten, 1977, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , hlm. 248.
21
.M.A. Charles, 2006, Clack.Economic Justice And Welfare Reform:was welfare reform
An Examples in Public Policy, University of Saint Thomas, Law Journal, hlm.4.
19
133
Hal ini berkaitan
dengan pertanyaan bagaimana pembagian keuntungan
kegiatan ekonomi, hal ini penting untuk alasan kegiatan ekonomi.
3. Social Justice
Hal ini berkaitan dengan kebutuhan ekonomi untuk mempunyai Structures
dan institutions, jika hubungan ekonomi tidak baik akan berakibat kurangnya
produktifitas.
Selanjutnya Pemikir Hukum Alam Stoic
menambahkan ,bahwa akal
manusia berlaku terhadap semua bagian dari alam semesta dan manusia adalah
bagian dari alam semesta yang tidak cukup hanya diperintah akal akan tetapi
ditambah dengan unsur agama. Amartya Sen salah satu pendukung aliran
pemikiran Ekonomi kritis Social Economics mengatakan:22 menjauhkan ilmu
ekonomi dan etika telah memelaratkan kesejahteraan dan juga melemahkan
landasan keterkaitan yang erat antara deskriftif dan prediktif Ilmu Ekonomi
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab terdahulu bahwa
keseimbangan merupakan suatu keadaan yang seimbang, bahkan beberapa
filsuf
dan tokoh ahli hukum mengkaitkan masalah keseimbangan dengan
keadilan.
22
. Amartya Sen, 2008, On Ethic And Economics, Ekonomi Islam , Tim P3EI UII dan
BI.Yogyakarta, hlm. 37.
134
A.1. Hubungan antara Asas Hukum dan Cita Hukum
Berbicara tentang asas hukum, maka dapat dikatakan bahwa asas
hukum berakaitan erat dengan cita hukum. Antara cita hukum dan asas
hukum terdapat hubungan yang erat. Cita hukum bekerja secara terintegrasi
dan bekerja secara berurutan waktu dan hukum positif yang dihasilkannya.
Dengan demikian, fungsi cita hukum yang bersifat pro keadilan mendapat
fungsi asas hukum padanannya yang juga bersifat pro keadilan, yang
tujuannya menghasilkan hukum positif yang bersifat pro keadilan juga.
Adapun
jenjang antara cita hukum, asas
hukum dan hukum positif,
tergambar dalam bagan 7 berikut:
Bagan 7
Jenjang antara Cita Hukum, Asas Hukum dan Hukum Positif
Cita Hukum
Asas Hukum
Hukum Positif
Aturan-Aturan Hukum
Penyelenggaraan Kehidupan
]Negara dan Kesejahteraan Sosial
N======
Negara
135
Sumantoro berpendapat bahwa antara asas hukum dan kenyataan dalam
mana asas itu berfungsi memang dapat dibedakan, tetapi keduanya tidak
dapat dipisahkan. Dikatakan dapat dibedakan, karena tanpa kesadaran
mengenai arah yang diberikan oleh asas hukum tersebut, maka perundangundangan akan merupakan suatu teknik murni, yang paling jauh akan dpat
berkarya atas tujuan-tujuan yang secara nyata ada. Dalam hal ini tidak dapat
dipisahkan, dikarenakan tanpa komponen “senyatanya” dari asas hukum yang
dimaksud, dan tanpa memperhitungkan secara terus menerus mengenai
pengaruhi dari kenyataan terhadap asas yang dimaksud, maka tiap-tiap
pandangan mengenai asas akan mengambang dan menjadi tidak nyata.
Dengan demikian, kenyataan yang dimaksud tidak akan dapat dikendalikan.
Oleh karena itu, antara asas hukum dan kenyataan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.23
A.2. Kebijakan Ekonomi Indonesia
A.2.1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Ekonomi
Indonesia
Secara konstitusional mengenai penegasan kebijakan ekonomi di
Indonesia pasca perubahan ke-empat UUD 1945 tahun 2002 dalam Bab
XIV ditegaskan bahwa yang semula hanya berjudul ”Kesejahteraan
23
Sumantoro, 2008, Op-Cit., hlm. 234.
136
Sosial” menjadi ”Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial”.
Sebenarnya sebelum perubahan ke-empat pada tahun 2002-pun UUD
1945 sudah merupakan konstitusional ekonomi (the Constitution of
economic policy atau Economis constitution) disamping fungsinya
sebagai konstitusi politik (political constitution). Pasal 33 dan pasal 34
telah menyebankan UUD 1945 disebut sebagai konstitusi yang berfungsi
sebagai sumber nilai dan norma serta referensi tertinggi dalam rangka
kebijakan pemerintah dan pembangunan di bidang ekonomi. Ketentuan
Pasal 33 dan Pasal 34 yang sebelumnya hanya berisi empat butir
ketentuan dengan rumusan yang samar-samar dan bersifat multiinterpretasi, sekarang sejak perubahan ke-empat pada 2002 Pasal 33
tersebut dilengkapi. Oleh karena itu, semua kebijakan-kebijakan ekonomi
yang dikembangkan haruslah mengacu dan/atau tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945. Sekarang
masalahnya bukan lagi persoalan setuju atau tidak setuju dengan
ketentuan konstitusional semacam ini. UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi merupakan kesepakatan kewarganegaraan dan konsensus
kebangsaan yang tertinggi yang harus dijadikan pegangan bersama dalam
segenap aktivitas penyelenggaraan negara. Jika kesepakati ini dilanggar,
kebijakan yang melanggar dapat dibatalkan melalui proses peradilan.24
24
Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution. Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 83.
137
Secara normatif, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sering dipahami
sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia. Pada
Pasal 33 Ayat (1), misalnya menyebutkan bahwa perekonomian nasional
disusun sebagi usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini
dapat dipandang sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam
konteks sekarang, yaitu persaudaraan, humanisme dan kemanusiaan.
Dengan demikian, ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem
persaingan
liberal
ala
barat,
tetapi
ada
nuansa
moral
dan
kebersamaannya, sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial 25 Pasal ini
pun menurut Didik J. Rachbini dianggap sebagai dasar ekonomi
kerakyatan.26
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD
1945, M. Dawam
Rahardjo, berpendapat bahwa negara mempunyai
peranan dalam perekonomian. Peranan yang dimaksud, yaitu peranan
sebagai regulator dan sebagai aktor. Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945,
menekankan bahwa peranan negara sebagai aktor yang berupa Badan
Usaha
Milik Negara (BUMN). Sedangkan peranan negara sebagai
regulator tidak dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah
“dikuasai” diinterpretasikan sebagai “diatur”. Namun, yang diatur di sini
adalah sumber daya alam yang dipergunakan sebesar-besarnya bagi
25
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima, Mas media Buana Pustaka, Sidoarjo, hlm. 38.
26
Didik J. Rachbini dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid.
138
kemakmuran rakyat. Hal yang kontroversial muncul dalam ketentuan
Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Ketentuan ini seharusnya menekankan
dipakainya asas “pasar” atau “pasar yang berkeadilan”27.
A.2.2. Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan
Hatta berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945
tersebut
menganut
prinsip
demokrasi
ekonomi
yang
bertujuan
mewujudkan kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran individu
sebagaimana yang diperbolehkan dalam sistem ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, Hatta mengidentikkan demokrasi ekonomi dengan
kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, demokrasi ekonomi sama dengan
tidak adanya kesenjangan ekonomi atau terwujudnya keadilan ekonomi
dalam masyarakat.28
Mubyarto berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 UUD 1945
merupakan pengejawantahan pengertian demokrasi ekonomi yang
mampu memberikan pembagian kerja, pendapatan dan kekayaan yang
adil dalam masyarakat, dan hal ini hanya bisa dijamin jika semua
masyarakat menyadarinya. Di lain sisi, semua orang mempunyai hak
yang sama, yaitu yang diperlukan bagi kehidupan manusia yang penuh,
27
M. Dawam Rahardjo, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid., hlm.
38-39.
28
Zulfikri Suleman, Op.Cit., hlm. 216.
139
berari dan mandiri. Hak yang sama bagi semua orang, meskipun
mempunyai kekayaan atau modal yang berbeda.29
Dalam hubungan dengan sistem ekonomi, dapat disimpulkan
bahwa sistem ekonomi pancasila merupakan sistem ekonomi yang
mampu menjamin keadilan ekonomi dan sekaligus menjamin pembagian
(distribusi) yang adil setelah
setiap proses produksi terselesaikan.
Adanya tiga bangun usaha dalam perekonomian, tidaklah menghambat
suatu perwujudan keadilan ekonomi30 dan keadilan sosial.31
Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi pancasila, adalah:
1. Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan-rangsangan
ekonomi, sosial dan moral.
2. Ada tekad kuat seluruh bangsa Indonesia untuk meweujudkan
kemerataan sosial.
3. Ada nasionalisme ekonomi.
4. Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional.
29
Mubyarto, 1987, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 34.
Menurut Muybyarto dalam buku “Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia”, dijelaskan
bahwa keadilan ekonomi adalah kesempatan yang sama bagi semua anggota koperasi untuk
memperoleh manfaat dari hasil usaha koperasi, yaitu dengan cara berpartisipasi aktif dalam usahausaha koperasi. Sedangkan keadilan sosial adalah keadilan distribusi atau pembagian hasil yang
adil dari produksi atau pendapatan nasional itu sendiri, yang dalam agama berarti permbagian yang
adil dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada manusia.
31
Mubyarto, Ibid., hlm. 36.
30
140
5. Ada keseimbangan yang selaras, serasi dan seimbang dari
perencanaan ekonomi dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.32
Berkaitan dengan sistem ekonomi pancasila yang cenderung
berpihak pada ekonomi rakyat sebagaimana yang telah ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 33 UUD 1945, maka dapat dibedakan dengan sistem
ekonomi kapitalis33 dan sistem sosialisme, yang secara umum dapat
dibagi menjadi dua, yaitu sosialisme pasar dan sosialisme terencana.
Dalam sistem sosialisme pasar, kepemilikan faktor produksi oleh negara
dan/atau kepemilikan secara kolektif oleh publik.34
Ekonomi
kerakyatan
sangat
berbeda
dari
neoliberalisme.
Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah
sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai
berikut:
a. Tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan
individu untuk bersaing secara bebas sempurna di pasar;
b. Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui;
32
Mubyarto, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Op-Cit., hlm. 40.
Menurut Gregory dan Stuart ( dalam buku Adi Sulistiyono dan Muhammad
Rustamaji, Ibid., hlm. 35), sistem ekonomi kapitalis ditandai antara lain dengan penguasaan atau
kepemilikan faktor-faktor produksi oleh swasta, sedangkan pembuatan keputusan apa yang ingin
diproduksikan berada di tangan siapa yang memiliki faktor produksi tersebut. Keputusan yang
dibuat, dipandu oleh mekanisme pasar yang menyediakan informasi yang diperlukan sementara
insentif kebendaan (material incentives) menjadi motivator utama bagi para pelaku ekonomi.
Sistem ekonomi kapitalis ini berlawanan dengan sistem sosialisme.
33
34
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid.
141
c. Pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan
hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui
penerbitan undang-undang35 (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam
neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya
mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas
dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme
ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut:
a. Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi;
b. Liberalisasi sektor keuangan;
c. Liberalisasi perdagangan;
d. Pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002)36.
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam
Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga
prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan;
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
35
Giersch, dalam Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme,
http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/001.pdf, hlm.1.
36
Stiglitz, dalam Revrisond Baswir, Ibid.
142
dan
dipergunakan
bagi
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat
besarnya
peran
negara
dalam
sistem
ekonomi
kerakyatan.
Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34.
Peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain
meliputi lima hal sebagai berikut:
a. Mengembangkan koperasi
b. Mengembangkan BUMN;
c. Memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
d. Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak;
e. Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan
dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan
bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari
neoliberalisme . Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme,
ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat
disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang
menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan
kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip
persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi
143
2(selengkapnya lihat tabel). Ekonomi kerakyatan tidak dapat pula
disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan
Giersch37, ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari
neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller -Armack.
Sedangkan peran negara dalam kaitannya dengan perekonomian,
tergambar dalam tabel berikut:
Ekonomi
Kapitalisme
Kerakyatan
Negara Kesejahteraan
1.Menyusun
perekonomian
sebagai
usaha
bersama
berdasar
atas azas
kekeluargaan;
mengembangkan
koperasi
(Pasal 33 ayat 1).
2.Menguasai cabang cabang
produksi
yang penting bagi
negara dan yang
menguasai hajat hidup
orang banyak;
mengembangkan
BUMN
(Pasal 33 ayat 2)
3. Menguasai dan
emastikan
pemanfaatan
bumi, air, dan segala
kekayaan
yang
terkandung
di dalamnya bagi
sebesar
1. Mengintervensi pasar
untuk
menciptanya
kondisi
kesempatan
kerja penuh.
2.Menyelenggarakan
BUMN pada cabangcabang produksi yang
tidak
dapat
diselenggarakan oleh
perusahaan swasta.
3.Menjaga
keseimbangan
antara pertumbuhan
ekonomi dengan
pemerataan
pembangunan.
4. Mengelola anggaran
negara
untuk
kesejahteraan rakyat;
memberlakukan pajak
progresif
dan
memberikan subsidi.
5. Menjaga stabilitas
moneter.
6. Memastikan setiap
warga
37
Ekonomi neoliberal
1. Mengatur dan
menjaga
bekerjanya
mekanisme
pasar; mencegah
monopoli.
2. Mengembangkan
sektor swasta dan
melakukan privatisasi
BUMN
3.
emacu
laju
pertumbuhan
ekonomi,
termasuk
dengan
menciptakan
lingkungan
yang kondusif bagi
masuknya
investasi
asing
4. Melaksanakan
kebijakan
anggaran ketat,
termasuk
menghapuskan
subsidi
5. Menjaga stabilitas
Giersch, dalam Revrisond Baswir, Ibid.
144
-besarnya
kemakmuran
rakyat (Pasal 33 ayat
4).
Mengelola anggaran
negara
untuk
kesejahteraan rakyat;
memberlakukan pajak
progresif
dan
memberikan subsidi.
5. Menjaga stabilitas
moneter.
6. Memastikan setiap
warga
negara memperoleh
haknya
untuk
mendapatkan
pekerjaan
dan
penghidupan
yang
layak
bagi
kemanusiaan (Pasal
27 ayat 2).
7. Memelihara fakir
miskin
dan anak terlantar
(Pasal 34)
negara memperoleh
haknya untuk
mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang
layak.
7. Memelihara fakir
miskin dan anak
terlantar.
moneter.
6. Melindungi pekerja
perempuan, pekerja
anak, dan bila perlu
menetapkan
upah
minimum.
145
A.3. Landasan Idiil yang Mendasari Asas Keseimbangan dalam Hukum
Persaingan Usaha Khususnya Perjanjian Penetapan Harga.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia, pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat
sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat, maka silai-sila
pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis.
Dalam pengertian ini lah, maka sila-sila pancasila merupakan suatu sistem
filsafat. Dikarenakan merupakan suatu sistem filsafat, maka ke lima sila
bukan dimaknai terpisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan
memiliki esensi makna yang utuh.
38
Dengan kata lain, pancasila tersusun
secara hirarkhis39 dan berbentuk piramidal.40
Secara kausalitas, nilai-nilai pancasila bersifat objektif dan subjektif.
Artinya, esensi nilai-nilai pancasila adalah bersifat universal, yaitu keTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai-nilai
pancasila yang bersifat objektif, yakni:
38
Kaelan, Op-cit., hlm. 75.
Kaelan, 2010, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma Yogyakarta, hlm. 10.
40
Kaelan dalam Ibid., hlm.10-11, bahwa pengertian piramidal di sini digunakan untuk
menggambarkan hubungan hirarkhi sila-sila dari pancasila dalam urut-urutan luas dan juga dalam
hal sifatnya. Kalau dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat
dalam luas dn isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang di mukanya. Jika uruturutan lima sila dianggap demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat yang
satu kepada yang lainnya, sehingga pancasila merpakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat.
Dalam susunan hirarkhis dn piramidal, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan sosial. Dengan demikian,
dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya
sesuai dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktunya.
39
146
a. Rumusan dari sila-sila pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya
yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan
abstrak, karena merupakan suatu nilai.
b. Inti dari nilai-nilai pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam
kehidupan bangsa Indonesia.
c. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, menurut ilmu
hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental,
sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh
karena itu, dlam hirarkhi suatu tertib hukum Indonesia, pancasila
berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi.41
Nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilainilai pancasila melekat pada bangsa Indonesia sendiri, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sehingga bangsa
Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil
pemikiran, penilaian kritis serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
b. Nilai-nilai pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia, sehingga
merupakan jati diri bagi bangsa Indonesia, yang diyakini sebagai sumber
41
Kaelan, Op-Cit., hlm. 76.
147
nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Menurut Darji Darmodihardjo, Nilai-nilai pancasila di dalamnya
terkandung tujuh nilai-nilai kerokhanian, yakni nilai kebenaran, keadilan,
kebaikan,
kebijaksanaan,
manifestasinya
etis,
estetis
dasn
nilai
religius,
yang
sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia, hal ini
dikarenakan bersumber pada kepribadian bangsa.42
Jika kita kaji lebih lanjut tentang makna asas keseimbangan, maka
dapat dikatakan bahwa asas keseimbangan menuju dan bermuara pada
keadilan.
Landasan
idiil
yakni
pancasila
yang
mendasari
asas
keseimbangan, harus dimaknai sebagai satu kesatuan dari semua sila dari
pancasila yang menjadi basis asas keseimbangan dalam hukum persaingan
usaha khususnya perjanjian penetapan harga.
B. Faktor Riil yang Mendasari Makna dan Fungsi Asas Keseimbangan.
Thomas Hobbes pernah menyatakan bahwa suatu masyarakat tidak
mungkin hidup tanpa adanya suatu unsur yang berdaulat. Pemegang kedaulatan
itu tugasnya mengeluarkan perintah-perintah yang merupakan hukum. Pada tahap
kehidupan
pra-hukum
atau
pra-sosial
atau
awalnya
manusia
saling
menghancurkan. Untuk menghentikan keadaan demikian, maka diperlukan dua
syarat. Syarat pertama berfungsinya hukum, yang menurut beliau berintikan pada
42
Kaelan, Ibid., hlm. 77.
148
penegakan ketertiban dan syarat kedua berkaitan dengan prasyarat struktural atau
institusional eksistensi hukum, yakni adanya kedaulatan politik yang seragam dan
terpusatkan. Thomas Hobbes mengidentikkan keadaan tanpa hukum dengan
situasi tanpa ketertiban, oleh karena itu diperlukan adanya lembaga-lembaga
tertentu. Lembaga yang dimaksudkan oleh beliau seringkali digambarkan oleh
Malinowski sebagai kekuasaan terpusatkan, kitab undang-undang, pengadilan dan
penjabat penegak hukum.43
Pengertian kekuasaan di sini harus diberi makna yang netral, dalam arti,
tidak secara a-priori dinilai baik atau jelek, melainkan selalu bergantung pada
penerapannya. Kekuasaan harus diberi arti sebagai suatu kapasitas, kapabilitas,
atau kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai
dan memerintah orang lain. Kapasitas demikian erat hubungannya dengan
wewenang, hak dan kekuasaan fisik.44 Untuk menjamin pelaksanaan wewenang,
diperlukan sistem penghubung antara pemimpin dengan warga yang dipimpinnya.
Alat penghubung yang teratur itu disebut birokrasi yakni organisasi yang bersifat
hirarkis secara rasional.45
Dalam suasana pembangunan, konsepsi hukum sebagai perangkat sikap
tindak atau perilaku adalah bermanfaat bila dihubungkan dengan bidang-bidang
43
Soerjono Soekanto & Otje Salman (penyunting), 1987, Disiplin Hukum Dan
Disiplin Sosial, RajaWali Press, Jakarta, hlm. 35-36.
44
Muchtar Affandi, 1971, Ilmu-Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, hlm. 50-55.
45 Syahrial Syarbani dkk, 2002, Sosiologi dan Politik,
Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002, hlm. 53.
149
pergaulan hidup.46 Oleh karena itu, konsepsi hukum yang dimaksud akan terasa
bermakna jika dihubungkan dengan pemaknaan asas keseimbangan yang ditinjau
dari aspek riil.
B.1. Pengaturan Asas Keseimbangan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999
Di dalam konsideran menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999
terdapat kata ”bahwa pembangunan bidang ekonomi harus
diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945”.
Makna yang didapat dari konsideran menimbang ini, bahwa untuk
mencapai keserasian, pemerintah merumuskan peraturan tentang larangan
monopoli dan persaingan tidak sehat terhadap rakyat atau pelaku usaha
kedalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang ini diperuntukkan
sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha, seperti makna
yang tertera dalam konsideran menimbang huruf (c) yaitu: ”bahwa setiap
setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar”. Makna yang didapat dari konsideran
menimbang huruf (a) dan (c) tersebut, berupa perlindungan hukum yang
diberikan terhadap masyarakat khususnya pelaku usaha.
46
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekamto, 1983, Menelusuri Sosiologi
Hukum Negara, CV Rajawali, Jakarta, hlm 9.
150
Menurut Rudolf von Jhering, hak adalah sesuatu yang penting bagi
seseorang, hak diakui dan dilindungi
oleh hukum. Oleh karena itu, hak
adalah kepentingan yang terlindungi, memiliki kewajiban untuk melindungi
kepentingan
yang berhak.47 Sedangkan Von Savigny dan Berhnhard
Winchheid menyatakan bahwa ”hak adalah suatu kehendak yang dilengkapi
dengan kekuatan. Atas dasar kekuatan ini, maka seseorang berhak atas
sesuatu”.48
Kewajiban adalah perbuatan yang seseorang harus melakukannya;
perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut adalah kesalahan. Menyuruh
melakukan suatu kewajiban pada seseorang, berarti mengklaim bahwa orang
tersebut harus melakukan suatu perbuatan tertentu.49 Kewajiban dalam hal ini
terdiri dari dua bentuk, yaitu kewajiban atas moral dan kewajiban atas hukum
yang dapat dilakukan bersamaan atau berbeda. A.K. Sarkar berpendapat
memberikan contoh: ”Adulterated milk may not be sold whether knowingly or
otherwise it is a legal duty. But surely it is not a moral duty if the selling takes
place without the owner knowing that it is adulterated”.50
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas tidak mengatur
tentang hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan negara. Dari penjelasan
undang-undang ini terlihat bahwa undang-undang ini terlahir untuk
47
48
49
50
Lily Rasjidi, Filsafat Hukum, Op.Cit., hlm. 83.
Ibid.
Ibid., hlm. 82.
A.K. Sarkar dalam Lily Rasjidi, Ibid., hlm 83.
151
menanggulangi
adanya
perkembangan
usaha
swasta
yang
dalam
kenyataannya menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat serta pasar
cendrung terdistorsi. Oleh karena itu, negara berkewajiban
melindungi
pelaku usaha agar memperoleh kesempatan berusaha secara sehat dengan
prinsip keseimbangan. Sebaliknya hak pelaku usaha
berupa kepentingan
untuk berusaha didalam wilayah negara Republik Indonesia yang diatur oleh
hukum, hak disini terlindungi oleh kekuatan kebijakan pemerintah dalam
bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebaliknya, pelaku usaha
berkewajiban untuk menjaga agar dalam menjalankan hak untuk berusaha
tersebut tidak menimbulkan persaingan antar pelaku usaha.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
“pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi
ekonomi
dengan
memperhatikan
keseimbangan
antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, diuraikan
bahwa undang-undang ini disusun berdasarkan pancasila dan UUD 1945,
serta berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk
menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim
usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan
menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang,
152
mencegah praktek–praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan pelaku usaha, serta menciptakan efektivitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
B.2. Pemaknaan Asas Keseimbangan dalam Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU).
B.2.1. Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-L/2005 tentang Penyediaan
Jasa Survey Gula Impor oleh PT. Superintending Company of
Indonesia (PT. Sucofindo) dan PT. Surveyor Indonesia.
B.2.1.1. Deskripsi Perkara
Kasus ini dimulai dari terlapor I (PT Surveyor Indonesia,
Persero) dan terlapor II (PT Superintending Company of
Indonesia, Persero atau dengan sebutan Sucofindo), dimana
diduga terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat dalam bidang penyediaan jasa verifikasi atau
penelusuran teknis impor gula, Komisi
monitoring
telah
melakukan
terhadap Terlapor I dan Terlapor II berkaitan
dengan kegiatan penyediaan jasa verifikasi atau penelusuran
teknis impor gula. Dari hasil monitoring terhadap Terlapor I dan
Terlapor II berkaitan dengan kegiatan penyediaan jasa verifikasi
atau penelusuran teknis impor gula, diperoleh fakta-fakta
153
sebagai berikut:
a. Bahwa
kebijakan
Pemerintah
yang
keputusan Menteri Perindustrian
Republik
Indonesia
tertuang
dan
dalam
Perdagangan
Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004
tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula
(selanjutnya disebut SK Menperindag No. 527/2004) juncto
Keputusan Menteri
Republik
tanggal
Perindustrian
Indonesia
23
September
dan
Perdagangan
Nomor: 594/MPP/Kep/9/2004
2004
tentang
Penunjukan
Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi Atau Penelusuran
Teknis Impor Gula (selanjutnya disebut SK Menperindag No.
594/2004) yaitu Terlapor I dan Terlapor II, berpotensi
melanggar Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
b. Kerjasama
Operasi
(selanjutnya
disebut
KSO)
antara
Terlapor I dan Terlapor II dalam operasional pelaksanaan
verifikasi atau penelusuran teknis impor gula berpotensi
melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999.
c. Penetapan harga jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor
gula yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II
berpotensi melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
154
Tahun 1999.
setelah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, Tim
Pemeriksa mendapatkan informasi, melakukan penilaian,
serta telah mengambil kesimpulan sebagai berikut:
a.
Bahwa
kewajiban
pelaksanaan
verifikasi
atau
penelusuran teknis impor gula telah menciptakan pasar
baru yaitu pasar jasa verifikasi atau penelusuran teknis
impor
gula
dalam
wilayah
hukum
Republik
Indonesia. Dalam hal ini, para importir gula adalah
pengguna atau konsumen jasa tersebut, sedangkan
perusahaan survey atau surveyor adalah penjual jasa
tersebut.
b.
Bahwa pembentukan KSO yang dilakukan oleh
Terlapor I dan Terlapor II berpotensi menciptakan
praktek monopoli sebagaimana dilarang pada Pasal 17
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
c.
Bahwa pembentukan KSO yang dilakukan oleh
Terlapor I dan Terlapor II berpotensi menghalangi
surveyor lain untuk masuk dalam pasar jasa verifikasi
atau
penelusuran
teknis
impor
gula
tersebut
sebagaimana dilarang dalam Pasal 19 huruf a Undang-
155
Undang Nomor 5 Tahun 1999.
d.
Bahwa penetapan harga yang dilakukan oleh KSO
merupakan
bukti
awal adanya penetapan harga
sebagaimana dilarang Pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999.
e.
Bahwa dengan demikian terdapat indikasi kuat
adanya pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan
Pasal 19 huruf a Undang-undang Nomor 5 tahun 1999.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa SK. Menperindag
memberikan kewenangan
untuk melakukan penetapan harga
jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula terhadap
PT.
Surveyor Indonesia (Terlapor I) dn PT. Sucofindo (Terlapor II).
Di dalam pelaksanaannya, terlapor I dan terlapor II yang
ditunjuk sebagai surveyor pelaksana verifikasi atau penelusuran
teknis impor gula tidak pernah menawarkan surveyor fee,
bahkan
membentuk
Kerjasama
Operasi
(KSO)
dengan
menawarkan surveyor fee hasil kesepakatan terlapor I dan
terlapor II kepada para importir gula.
B.2.1.2. Pertimbangan Hukumnya.
Dari putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2005 angka
(1.5.) diuraikan bahwa Kerjasama Operasi Verifikasi atau
156
penelusuran Teknis Impor Gula, yaitu:
a. Bahwa pada tanggal 24 September 2004 Terlapor I dan
Terlapor
II
menandatangani
kesepakatan
kerjasama
(Memorandum of Understanding, MoU) sebagai pelaksana
verifikasi atau penelusuran teknis impor gula dalam bentuk
KSO.
b. Bahwa pembentukan KSO dilakukan untuk memberi
keseragaman dan standar dalam pelayanan kepada para
importir gula.
c. Bahwa KSO dijalankan bersama-sama oleh manajemen
Terlapor I dan Terlapor II.
d. Bahwa segala biaya yang timbul, keuntungan dan
kerugian usaha akan dibebankan dan diserahkan kepada
Terlapor I dan Terlapor II secara proporsional masingmasing sebesar 50% (lima puluh persen).
e. Bahwa
SK
Menperindag
No.
594/2004
tidak
memberikan wewenang atau dasar hukum bagi dan
Terlapor II untuk membentuk KSO.
Selanjutnya, KPPU berpendapat bahwa surveyor fee
merupakan harga yang harus dibayar oleh para importir gula
157
atas jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang
dilakukan oleh KSO. Dalam hal ini telah terjadi pertemuan
antara KSO dengan para importir gula yang juga membahas
mengenai besaran surveyor fee, sehingga importir gula tidak
mempunyai pilihan lain sehingga harus menerima besaran
surveyor fee yang ditetapkan oleh KSO.
Dalam hal unsur “pasar bersangkutan” sebagaimana yang
tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, KPPU menjelaskan bahwa telah terjadi
interaksi antara terlapor I dan terlapor II dengan para importir
gula dalam hal proses verifikasi ataua penelusuran teknis impor
gula. Dalam interaksi yang dimaksud, terlapor I dan terlapor II
berada dalam posisi sebagai penyedia jasa verifikasi ataua
penelusuran teknis impor gula dan para importir gula tersebut
berada dalam posisi sebagai pengguna atau pemakai jasa
verifikasi. Terlapor I dan terlapor II dalam hal ini menyediakan
jasa berupa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula bagi
importir gula yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia.
Dengan demikian, telah melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999.
158
B.2.1.3. Analisis Hukum.
Dari deskripsi perkara maupun pertimbangan hukum
dalam kasus antara PT. Surveyor Indonesia (terlapor I) dan PT.
Sucofindo (Terlapor II) di atas, dapat dimaknai bahwa majelis
pada KPPU telah memutuskan berdasarkan unsur keseimbangan
kepentingan antara pelaku usaha di satu pihak dengan
masyarakat di lain pihak, sehingga dengan adanya surveyor fee,
maka perjanjian penetapan harga yang merupakan suatu
perjanjian yang dilarang dalam undang-undang nomor 5 tahun
1999 telah dilanggar oleh terlapor I dan terlapor II.
B.2.2.
Putusan
KPPU
Nomor
10/KPPU-L/2005
tentang
Kartel
Perdagangan Garam ke Sumatera Utara
B.2.2.1. Deskripsi Perkara.
Pada Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa KPPU
menemukan adanya indikasi kuat pelanggaran terhadap
Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13 serta
Pasal 19 huruf a dan d Undang-undang Nomor 5 Tahun1999
dalam bentuk sebagai berikut:
a. Adanya kesulitan bagi perusahaan selain PT Graha Reksa,
PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber
Samudera
yang
dikenal
dengan
istilah
„G4‟
untuk
159
memperoleh garam bahan baku langsung dari PT Garam, PT
Budiono dan PT Garindo yang dikenal dengan istilah „G3‟.
b. Adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan G3
dengan
G4
untuk menetapkan harga produk PT Garam
lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono
dan PT Garindo.
c. Adanya pemberian harga yang lebih tinggi untuk garam
bahan baku yang dibeli oleh perusahaan di luar G3 dan G4.
d. Adanya penguasaan pasokan garam bahan baku ke Sumatera
Utara oleh G3.
Sehubungan dengan itu, dapat digambarkan bahwa PT.
Garam, PT. Budiono dan PT. Garindo telah membuat perjanjian
penetapan harga karena mereka salaing mengikatkan diri untuk
membuat kebijakan penetapan harga jual garam bahan baku di
Sumatera Utara secara seragam dan teratur. Keseragaman atau
keteraturan yang dimaksud terjadi karena setidak-tidaknya pada
tahun 2005 harga jual garam bahan baku PT. Budiono dan PT.
Garindo selalu sama. Harga jual garam bahan baku PT. Garam
selalu berada Rp20,- (dua puluh rupiah) lebih tinggi dari harga
jual garam bahan baku PT. Budiono dan PT. Garindo.
Pergerakan harga jual garam bahan baku PT. Budiono, PT.
160
Garindo dan PT. Garam selalu teratur dengan selisih harga yang
tetap. Adanya keteraturan dn keseragaman harga jual dn
pergerakannya tersebut, mencerminkan adanya koordinasi antar
sesama anggota G3 untuk menetapkan harga jual garam bahan
baku di Sumatera Utara. Pengikatan diri dari oleh PT. Garam,
PT. Budiono dn PT. Garindo tersebut menunjukkan adanya
perjanjian untuk menetapkan harga jual garam bahan baku di
Sumatera Utara. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka
mengakibatkan pelaku usaha selain G3 dan G4 harus membayar
harga garam bahan baku yang lebih tinggi dibandingkan dengan
harga yang harus dibayar oleh pihak G4.
Kesepakatan yang dimaksud merupakan perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk garam bahan baku di Sumatera Utara.
B.2.2.2. Pertimbangan Hukumnya.
Majelis KPPU berpendapat bahwa adanya keseragaman
dan keteraturan harga jual dan pergerakannya tersebut
mencerminkan adanya koordinasi antar sesama anggota G3
untuk menetapkan harga jual garam bahan baku di Sumatera
Utara.
161
Majelis
KPPU
juga
berpendapat
bahwa
terapat
kebijakan yang dibuat oleh G3 dan G4 dengan adanya
pembuktian besaran harga jual yang seragam di antara mereka,
sedangkan harga jual garam bahan baku lebih tinggi jika
ditawarkan kepada pihak pengusaha lain selain pihak G3 dan
G4.
Terdapat kesulitan bagi perusahaan selain PT Graha
Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber
Samudera yang dikenal dengan istilah „G4‟, untuk memperoleh
garam bahan baku langsung dari PT Garam, PT Budiono dan PT
Garindo yang dikenal dengan istilah „G3‟. Selain itu, terdapat
kesepakatan secara lisan yang dilakukan G3 dengan G4 untuk
menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan
dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo.
B.2.2.3. Analisis Hukum.
Dari uraian tentang deskripsi perkara dan pertimbangan
tersebut behukumnya di atas, dapat dimaknai bahwa perkara
tersebut selain bertentangan dengan Pasal 5, juga bertentangan
dengan Pasal 6 Undang-Undang nomopr 5 Tahun 1999, yang
berbunyi: “bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan
162
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama”.
Adanya unsur saling mengikatkan diri di antara pelaku
usaha G3 dan G4 tersebut, maka mengakibatkan harga yang
lebih tinggi kepada pihak lain selain pelaku usaha G3 dan G4.
Berdasarkan
kasus di atas, maka majelis KPPU telah
menetapkan berdasarkan makna keseimbangan antara pelaku
usaha dengan tidak mengenyampingkan pihak konsumen.
B.2.3.
Putusan KPPU Nomor 11/KPPU-I/2005 tentang Distribusi
Semen Gresik
B.2.3.1. Deskripsi Perkara.
Perkara ini dimulai dari distribusi semen Gresik di area 4
Jawa Timur yang meliputi wilayah Blitar, Jombang, Kediri,
Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek dan Tulungagung.
Pelanggaran tersebut diduga dilakukan oleh PT. Bangun Putra,
PT. Varia Usaha, PT. Waru Abadi, PT. Perusahaan Perdagangan
Indonesia, UD. Mujiarto, TB. Lima Mas, CV. Obor Baru, CV.
Tiga Bhakti, CV. Sura Raya Trading, CV. Bumi Gresik yang
merupakan
memasarkan
distribuutor
produknya,
Semen
PT.
Gresik.
Semen
Dalam
Gresik
rangka
menunjuk
distributor yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian jual
beli yang menempatkan para distributor mandiri/pembeli lepas.
163
Dalam perjanjian yang dimaksud, para distributor harus menjual
semen Gresik sesuai dengan harga yang telah ditentukan. Di
samping itu, dilarang untuk memberikan potongan harga
(discount). Hal mana tergambar pada putusan KPPU tentang
hasil monitoring yang pada pokoknya menyatakan sebagai
berikut.
a.
Bahwa barang yang menjadi pokok monitoring tersebut
adalah
semen
produksi
Terlapor XI yang untuk
selanjutnya disebut sebagai Semen Gresik.
b.
Bahwa batasan jangkauan pemasaran Semen Gresik
yang menjadi pokok dalam monitoring tersebut adalah
wilayah-wilayah di Jawa Timur meliputi daerah Blitar,
Jombang, Kediri, Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek,
dan Tulungagung yang untuk selanjutnya disebut Area 4.
c.
Bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII,
Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium
Distributor Semen Gresik Area 4 yang untuk selanjutnya
disebut Konsorsium.
d.
Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan
164
oleh Konsorsium dalam bentuk
mewajibkan para
Langganan Tetap yang untuk selanjutnya disebut LT di
Area 4 untuk menjual Semen Gresik.
e.
Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 11
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan
oleh Konsorsium dalam bentuk larangan bagi LT, Toko
dan Pengecer untuk mengambil pasokan semen dari
Distributor yang bukan kelompoknya.
f. Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 15
ayat
(3)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan kepada
LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja.
g. Bahwa diduga terjadi pelanggaran terhadap Pasal 19
huruf
c
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk larangan bagi
LT, Toko, dan Pengecer untuk membeli Semen Gresik dari
Distributor yang bukan kelompoknya dan memberikan
sanksi bagi LT dan toko yang menjual semen gresik di
bawah harga yang telah ditetapkan oleh konsorsium.
165
B.2.3.2. Pertimbangan Hukumnya.
Unsur utama dalam resale price maintenance adalah
adanya perjanjian antar pelaku usaha yang memuat persyaratan
bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau
memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya,
dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang yang
telah diperjanjikan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha yang tidak sehat.
Dengan adanya perjanjian penetapan harga di tingkat
distributor, maka terlapor telah melanggar pasal 8 UndangUndang nomor 5 Tahun 1999.
B.2.3.3. Analisis Hukum.
Berdasarkan uraian tentang deskripsi perkara serta
pertimbangan
hukumnya,
maka
dapat
dimaknai
bahwa
penerapan asas keseimbangan seperti yang dikehendaki oleh
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah tertuang,
hal mana telah terdapat unsur menyeimbangkan kepentingan
antara pelaku usaha dan kepentingan masyarakat.
166
B.2.4. Putusan KPPU Nomor 26/KPPU-L/2007 tentang Kartel SMS
B.2.4.1. Deskripsi Perkara
Layanan telekomunikasi termasuk Short Message Service
(SMS) memerlukan adanya ketersambungan (inter koneksi) di
antara
para
operator
telekomunikasi
untuk
menjamin
berlangsungnya proses komunikasi dari para pelanggan. Dalam
melakukan kerja sama
inter koneksi tersebut, para operator
ternyata menyepakati tarif SMS yang harus dibayarkan oleh
konsumen masing-masing.
Fakta ini muncul setelah KPPU melakukan pemeriksaan
terhadap sembilan operator seluler di Indonesia yang diduga
melakukan penetapan harga
SMS off-net (Short Message
Servive Antar Operator) pada period 2004 sampai dengan 1
April 2008. Operator yang diduga melakukan pelanggaran
tersebut adalah PT. Excelcomindo Pratama, Tbk., PT.
Telekomunikasi Seluler, PT. Indosat, Tbk., PT. Telkom, Tbk.,
PT. Huchison CP Telecommunication, PT. Bakrie Telekom, PT.
Mobile 8- Telecom, Tbk., PT. Smart Telecom an PT. Natrindo
Telepon Seluler.
Periode
2004-2007,
industri
telekomunikasi
seluler
diwarnai dengan masuknya operator baru. Namun, harga SMS
yang berlaku untuk layanan SMS off-net tetap berkisar pada
167
harga Rp 250,- sampai dengan Rp. 350,-. Pada rentang masa
tersebut, KPPU menemukan beberapa klasula penetapan harga
SMS yang tidak boleh lebih rendah dari harga sebesar Rp 250,per SMS dan dimasukkan ke dalam perjanjian kerja sama
interkoneksi anatara operator sebagaimana dalam matrik
klausula.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dengan
Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) mengadakan
pertemuan pad bulan juni tahun 2007, dan menghasilkan
keputusan yang meminta kepad seluruh anggotanya untuk
membatalkan kesepakatan harga SMS. Permintaan tersebut
ditindak lanjuti oleh par opertor, Namun KPPU tetap tidak
melihat terdapatnya perubahan harga SMS off-net yang
signifikan.
B.2.4.2. Pertimbangan Hukumnya.
Majelis KPPU berpendapat bahwa bahwa dalam perkara
tersebut, para operator telah melanggar pasal 5 Undang-Undang
nomor 5 Tahun 1999, dimana telah terjadi perjanjian penetapan
harga yang dibuat secara tertulis di antara para operator.
B.2.4.3. Analisis Hukum.
Dari uraian tentang deskripsi perkara dan pertimbangan
hukum pada perkara operator SMS di atas, terlihat bahwa telah
168
diterapkannya
asas
keseimbangan
dengan
tidak
mengenyampingkan kepentingan konsumen.
B.3. Pemaknaan Asas Keseimbangan yang Terkait tentang Larangan
Perjanjian Penetapan Harga dalam Putusan Pengadilan Negeri
B.3.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 01/KPPU/PN
Jak-Sel tentang Penyediaan Jasa Survey Gula Impor oleh PT.
Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia.
B.3.1.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya.
Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
menyatakan bahwa putusan KPPU tidak memiliki kekuatan
hukum dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Perbuatan yang dilakukan oleh PT. Surveyor Indonesia
dan PT. Sucofindo bertujuan untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan, yaitu Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 Tanggal 17
September 2004 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan
Nomor
594/MPP/Kep/9/2004.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang nomor 5 Tahun
1999, perbuatan PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia
merupakan praktik yang dikecualikan
dari Undang-Undang
nomor 5 Tahun 1999, dan karenanya tindakan tersebut tidak
169
dapat dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999.
B.3.1.2. Analisis Hukum.
Dalam kedudukannya sebagai pengawas, Pasal 36 dan
Pasal 47 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 memberikan
kewenangan yang besar kepada KPPU. Namun, dalam
menguatkan putusannya, agar putusan komisi memiliki kekuatan
eksekutorial, maka KPPU tetap memintakan bantuan Hakim
pada Pengadilan.
B.3.2. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 237/Pdt.G/2006/PN.
SBY. Tentang Distribusi Semen Gresik.
B.3.2.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya.
Majelis hakim pada
Pengadilan Negeri Surabaya
melakukan pertimbangan hukumnya, bahwa penetapan harga
yang dituangkan dalam perjanjian kontrak jual beli tidak
membawa pengaruh signifikan untuk terjadinya persaingan
usaha yang tidak sehat, hal mana dikarenakan pengaturan
tersebut hanya terjadi pada tingkat distributor semen Gresik,
karena justeru dilatar belakangi oleh adanya persaingan yang
tidak sehat dari para distributor semen dan hanya adu domba
dari arus bawah. Sedangkan pada tingkat pengecer dan
170
konsumen akhir, harga jualnya tidak ditetapkan, sehingga
memungkinkan adanya persaingan dalam pasaran semen Gresik.
Dengan demikian, pada tingkat Pengadilan Negeri Surabaya,
perkara ini dimenangkan oleh pihak terlapor dalam putusan
KPPU, dan putusan KPPU atas perkara yang dimaksud
dinyatakan dibatalkan.
B. 3.2.2. Analisis Hukum.
Berdasarkan uraian pada pertimbangan majelis hakim
Pengadilan Negeri Surabaya, terlihat bahwa adanya bentuk
kesepakatan perjanjian dalam penetapan harga yang dibuat oleh
para pihak terlapor, tidak dijadikan alasan utama oleh majelis
hakim
Pengadilan
Negeri
Surabaya,
hal
mana
bentuk
kesepakatan yang dapat melahirkan perjanjian penetapan harga,
merupakan suatu bentuk perjanjian yang dilarang, hal ini
dikarenakan dapat menimbulkan monopoli dan persaingan usaha
yang tidak sehat.
171
B.4. Pemaknaan Asas Keseimbangan yang Terkait tentang Larangan
Perjanjian Penetapan Harga dalam Putusan Mahkamah Agung
B.4.1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 03K/KPPU/2006 tentang
Penyediaan Jasa Survey Gula Impor oleh PT. Sucofindo dan PT.
Surveyor Indonesia.
B.4.1.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya.
Hakim pada Mahkamah Agung menolak keputusan
KPPU, dengan alasan yang diajukan oleh KPPU tidak dapat
dibenarkan. Oleh karena judex facti tidak salah menerapkan
hukumnya. Hal mana dikarenakan perbuatan dan perjanjian
yang dilakukan oleh para termohon kasasi/para pemohon adalah
didasarkan
Perdagangan
pada
Keputusan
Nomor
Menteri
Perindustrian
527/MPP/Kep/9/2004
tanggal
dan
17
September 2004 tentang ketentuan impor gula, dan Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
nomor
594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang
penunjukan
surveyor
sebagai
pelaksana
verifikasi
atau
penelusuran teknis impor gula. Dalam rangka melaksanakan
peraturan perundang-undangan,
maka berdasarkan ketentuan
Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka
172
ketentuan dalam undang-undang yang dimaksud tidak dapat
diterapkan dalam kasus ini.
B.4.1.2. Analisis Hukum.
Berdasarkan pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim
pada Mahkamah Agung, pada dasarnya sama dengan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menitikberatkan bahwa
tindakan dari terlapor belum terkatagori melanggar undangundang nomor 5 Tahun 1999. Di sisi lain, adanya pelanggaran
berupa perjanjian penetapan harga melalui Kerja Sama Operasi
(KSO) tidak terlalu dimunculkan.
B.4.2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 05K/KPPU/2007 tentang
Distribusi Semen Gresik.
B.4.2.1. Deskripsi Pertimbangan Hukumnya.
Dalam pemeriksaan di tingkat Mahkam persaingfah
Agung, majelis hakim pada Mahkamah Agung menolak
argumen KPPU terkait penerapan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, dengan pertimbangan bahwa pemohon
atau terlapor dalam putusan KPPU membentuk konsorsium
untuk menghindari perang harga antara distributor semen Gresik
yang memang mempunyai wilayah pemasaran. Di dalam
wilayah-wilayah tersebut juga beredar semen merek lain.
173
Dengan demikian, tidak ada persaingan usaha yang tidak sehat
di antara berbagai merek semen yang dimaksud. Hakim majelis
pad Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa penapsiran
majelis pada KPPU terhadp ketentuan Pasal tersebut terlalu
kaku, hal ini dikarenakan pengatur harga yang dilakukan oleh
pihak konsorsium tidak menimbulkan persaingan usaha yang
tidak sehat, hal mana dikarenakan tidak mengganggu usaha
produk semen lain.
B. 4.2.2. Analisis Hukum.
Dari uraian tentang pertimbangan hukum dari majelis
hakim pada Mahkamah Agung, terlihat bahwa majelis lebih
mengutamakan penerapan langsung terhadap ketentuan Pasal
yang dimaksud terkait dengan dampak yang ditimbulkan berupa
persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam hal ini perlu dicermati
kembali tentang pelanggaran adanya perjanjian penetapan harga
seperti yang dimaksud dalam undang-undang ini.
Rawls memiliki argumentasi atas manusia yang rasional pada
posisi awalnya akan memiliki dua prinsip keadilan. Prinsip pertama,
menyatakan bahwa masing-masing orang memilki hak atas sebuah
sistem yang paling ekstensif dari kebebasan dasar yang sebanding
dengan sistem serupa untuk orang lain. Prinsip kedua, menyatakan
174
bahwa keadaan merata secara sosial dan ekonomi itu adil, jika hal
tersebut menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung
dalam masyarakat, serta melekat pada jabatan-jabatan dan posisiposisi yang terbuka bagi semua orang.51
Berangkat dari prinsip dalam teori keadilan John Rawls di atas,
maka hak dari setiap pelaku usaha (baik pelaku usaha pesaing), harus
tetap diperhatikan, dan seharusnya hak dari pelaku usaha pesaing yang
tidak berkesempatan masuk dalam sistim monopoli yang dimaksud,
harus diutamakan, hal mana berarti pemerataan kesempatan berusaha
bagi setiap pelaku usaha.
51
Johnny Ibrahim, Op-Cit., hlm. 164.
175
176
Download