BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan asin 2.1.1. Pengertian ikan asin Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Dengan metode pengawetan ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat. Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna ( Margono dkk, 1993). 2.1.2. Pembuatan ikan asin Cara pembuatan ikan asin sangat bervariasi tergantung pada jenis dan ukuran ikan, hasil yang diinginkan, serta daerah produksinya. Pada jenis ikan besar terlebih dahulu dilakukan pembelahan dan penyiangan, sedangkan jenis ikan berukuran kecil seperti teri diasin dalam ukuran utuh. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) cara penggaraman dalam pembuatan ikan asin, yaitu penggaraman kering, penggaraman basah, dan kombinasi keduanya. penggaraman kering dilakukan dengan cara menaburkan atau melumurkan kristal garam pada seluruh bagian ikan dan rongga perut. Penggaraman basah dilakukan dengan merendam ikan dalam larutan garam jenuh, kemudian dikristalkan. 5 Penggaraman basah sering kali diterapkan untuk ikan yang berukuran kecil misalnya teri ( Yetti, 1983) Bahan utama yang digunakan untuk pengasinan ikan adalah NaCl. Kemurnian garam akan sangat mempengaruhi mutu ikan asin yang dihasilkan. Garam yang mengandung Cu dan Fe menyebabkan daging ikan menjadi berwarna coklat kotor atau kuning; CaSO4 menyebabkan daging menjadi berwarna putih, kaku dan agak pahit ( Yetti, 1983). 2.1.3. Prinsip penggaraman ikan Hildaniyulia (2012) menyatakan penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapat melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Selanjutnya dijelaskan bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam didalam tubuh ikan. Bahkan pertukarn garam dan cairan tersebut berhenti sama sekali setelah terjadi keseimbangan. Proses itu mengakibatkan pengentalan cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan protein denaturasi serta pengerutan selsel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah. 6 Margono, (1993) menyatakan Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau membunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh ikan. Cara kerja garam di dalam menjalankan fungsi kedua adalah garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan mati. Selanjutnya dijelaskan bahwa garam pada dasarnya tidak bersifat membunuh mikroorganisme (germisida). Konsentrasi garam rendah (1– 3%), justru membantu pertumbuhan bakteri halofilik. Garam yang berasal dari tempattempat pembuatan garam di pantai mengandung cukup banyak bakteri halofilik yang dapat merusak ikan kering. Beberapa jenis bakteri dapat tumbuh pada larutan garam berkonsentrasi tinggi, misalnya red halofilic bacteria yang menyebabkan warna merah pada ikan. Selain mengakibatkan terjadinya proses osmosis pada selsel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis. Kadar air dalam sel bakteri ekstraksi, sehingga menyebabkan kematian bakteri. Penggaraman ikan biasanya diikuti dengan pengeringan untuk menurunkan kadar air dalam daging ikan. Dengan demikian, pertumbuhan bakteri semakin terhambat. 2.1.4. Metode penggaraman Hildaniyulia (2012) menyatakan bahwa penggaraman merupakan cara pengawetan yang sudah lama dilakukan orang. Pada proses penggaraman, pengawetan dilakukan dengan cara mengurangi kadar air dalam badan ikan sampai titik tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi. Pengawetan 7 ikan dengan cara penggaraman terdiri dari dua proses, yaitu proses penggaraman dan proses pengeringan. Adapun tujuan utama dari penggaraman sama dengan tujuan pengawetan dan pengolahan lainnya, yaitu untuk memperpanjang daya tahan dan daya simpan ikan. Ikan yang mengalami proses penggaraman menjadi awet karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab kebusukan pada ikan. Garam merupakan faktor utama dalam proses penggaraman ikan. Sebagai bahan pengawet, kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan yang dihasilkan. Garam juga merupakan bahan pembantu yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta dapat memantapkan bentuk dan rupa. Moeljanto (1992), menyatakan secara umum garam terdiri atas 39,39% Na dan 60,69% Cl, bentuk kristal seperti kubus dan berwarna putih. Di dalam pengolahan ikan asin, biasnya garam diperuntukkan sebagai pengawet dan pemberi rasa. Sebagai bahan pengawet, garam mempunyai tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa osmosis dengan daging ikan. Selanjutnya kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh tingkat kemurnian garam. mengandung Garam yang baik adalah garam yang NaCl cukup tinggi (95%) dan sedikit mengandung elemen magnesium (Mg) maupun kalsium (Ca). Elemen tersebut mempengaruhi mutu ikan asin yang dihasilkan karena : 8 - Dapat memperlambat penetrasi garam ke dalam tubuh ikan sehingga terjadi proses pembusukan sebelum proses penggaraman berakhir. - Dapat menyebabkan ikan menjadi higroskopis sehingga sering menimbulkan masalah dalam penyimpanan. - Garam yang mengandung CaSO4 sebanyak 0,5 1,0% menyebabkan ikan asin yang dihasilkan mempunyai daging yang putih, kaku, dan agak pahit. - Garam yang mengandung MgCl atau MgSO4 akan menghasilkan ikan asin yang agak pahit. - Garam yang mengandung Fe dan Cu dapat mengakibatkan ikan asin berwarna kuning atau coklat kotor. Margono (1993), menyatakan produk yang dihasilkan dari proses penggaraman terdiri atas bermacam-macam tergantung proses selanjutnya. Misalnya, setelah dilakukan penggaraman dilanjutkan dengan pengeringan, maka hasilnya adalah ikan kering. Apabila dilanjutkan dengan perebusan maka menghasilkan ikan pindang atau cue, dan bila diteruskan dengan proses fermentasi diperoleh beberapa produk fermentasi seperti papeda, terasi, kecap, bekasem, dan wadi. Menurut asalnya garam terbagi atas tiga, yaitu : - Solar salt, garam yang berasal dari air laut yang dikeringkan atau dijemur. - Mine salt, garam yang diperoleh dari tambang. - Garam yang diperoleh dari air yang dikeringkan. 9 keluar dari tanah kemudian Komposisi kimia garam kelas 1, 2 dan 3 dapat disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel. 1. Komposisi kimia garam kelas 1, 2, dan 3 Kandungan 1 (%) No Unsur Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 1. NaCl 96 95 91 2. CaCl 1 0,9 0,4 3. MgSO4 0,2 0,5 1 4. MgCl2 0,2 0,5 1,2 5. Bahan tidak larut Sangat sedikit 0,2 6. Air 2,6 3,1 0,2 Sumber : Margono 1993 Pada dasarnya metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu penggaraman kering, penggaraman basah, dan penggaraman campuran. 1. Pengasinan ikan menggunakan metode penggaraman kering dapat dilakukan dengan cara : a. Melakukan penyiangan ikan yang akan diolah kemudian dicuci agar bersih hingga bebas dari sisa-sisa kotoran. b. Menyediakan sejumlah garam kristal sesuai berat ikan, untuk ikan berukuran besar jumlah garam yang harus disediakan berkisar 20 – 30% dari berat ikan, untuk ikan berukuran sedang 15 – 20%, sedangkan ikan yang berukuran kecil 5%. c. Menaburkan garam ke dalam wadah / bak setebal 1 – 5 cm, tergantung jumlah garam dan ikan yang akan diolah. Lapisan garam ini berfungsi sebagai alas pada saat proses penggaraman. d. Menyusun ikan di atas lapisan garam tersebut dengan cara bagian perut ikan menghadap ke dasar bak. Selanjutnya taburkan kembali garam 10 pada lapisan ikan tersebut, lakukan penyusunan ikan dan garam secara berlapis-lapis hingga lapisan teratas adalah susunan dengan lapisan lebih banyak/tebal. e. Menutup tumpukan ikan dan garam tersebut dengan keranjang /anyaman bambu dan beri pemberat di atasnya. f. Membiarkan selama beberapa hari untuk terjadinya proses penggaraman.Untuk ikan berukuran besar selama 2-3 hari, ikan yang berukuran sedang dan ikan yang berukuran kecil selama 12-24 jam. g. Selanjutnya mencuci dengan air bersih dan ditiriskan, kemudian menyusun ikan di atas para-para penjemuran h. Pada saat penjemuran/pengering, ikan sekali-kali dibalik agar ikan cepat mengering. 2. Membuat ikan asin dengan cara penggaraman basah Menyiapkan larutan garam jenuh dengan konsentrasi larutan 30– 50%. Ikan yang telah disiangi disusun di dalam wadah/bak kedap air, kemudian tambahkan larutan garam secukupnya hingga seluruh ikan tenggelam dan beri pemberat agar tidak terapung. Lama perendaman 1 – 2 hari, tergantung dari ukuran / tebal ikan dan derajat keasinan yang diinginkan. Setelah penggaraman, dilakukan pembongkaran terhadap ikan dan dicuci dengan air bersih. Kemudian ikan disusun di atas para-para untuk proses pengeringan/penjemuran. 3. Penggaraman campuran (kench salting) Penggaraman kench pada dasarnya adalah penggaraman kering, tetapi tidak menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam seperti pada 11 penggaraman kering di atas lantai atau di atas gelada kapal. Larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Cara tersebut tidak memerlukan bak, tetapi memerlukan lebih banyak garam untuk mengimbangi larutan garam yang mengalir dan terbuang. Proses penggaraman kench lebih lambat. Oleh karena itu, pada udara yang panas seperti di Indonesia, penggaraman kench kurang cocok karena pembusukan dapat terjadi selama penggaraman. Penggaraman kering mampu memberikan hasil yang terbaik, karena daging ikan asin yang dihasilkan lebih padat. Pada penggaraman basah, banyak sisik-sisik ikan yang terlepas dan menempel pada ikan sehingga menjadikan ikan tersebut kurang menarik dan memiliki daging yang kurang padat. Proses penggaraman berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi proses-proses lain termasuk pembusukan juga berjalan lebih cepat. Di negara dingin, penggaraman dilakukan pada suhu rendah, dan ternyata hasil keseluruhannya lebih baik daripada yang dilakukan pada suhu tinggi. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu panas, sebaiknya penggaraman dilakukan di tempat yang teduh. Daya awet ikan yang digarami beragam tergantung pada jumlah garam yang dipakai. Semakin banyak garam yang dipakai semakin panjang daya awet ikan. Tetapi umumnya orang kurang suka ikan yang sangat asin. Menurut Moeljanto (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan, selain tingkat kemurnian garam yang digunakan, yaitu sebagai berikut : 12 1. Kadar lemak ikan Semakin tinggi kadar lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan semakin lambat proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan. 2. Ketebalan daging ikan Semakin tebal daging ikan semakin lambat proses penetrasi garam dan semakin banyak pula jumlah garam yang diperlukan. 3. Kesegaran ikan Pada ikan yang memiliki kesegaran rendah, proses penetrasi garam berlangsung lebih cepat karena ikan dengan tingkat kesegaran rendah mempunyai tubuh yang relatif lunak, cairan tubuh tidak terikat dengan kuat dan mudah terisap oleh larutan garam yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Apabila ikan kurang segar, produk ikan asin yang dihasilkan akan terlalu asin dan kaku. 4. Temperatur ikan Semakin tinggi temperatur tubuh ikan maka semakin cepat pula proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan tersebut. Oleh karena itu, sebelum dilakukan proses penggaraman sebaiknya ikan ditangani lebih dahulu dengan baik agar sebagian besar bakteri yang dikandung dapat dihilangkan. 5. Konsentrasi larutan garam Semakin tinggi perbedaan konsentrasi antara garam dengan cairan yang terdapat dalam tubuh ikan, semakin cepat proses penetrasi 13 garam ke dalam tubuh proses penetrasi garam akan menjadi ikan. lebih Selain cepat lagi digunakan garam kristal. Semakin tinggi konsentrasi garam semakin daya tinggi awet ikan tersebut akan itu, apabila maka tetapi ikan menjadi semakin asin dan kurang disukai. 2.2. Formalin 2.2.1. Definisi formalin Ganis (1995) menyatakan formalin dengan rumus kimia H2C0 ialah larutan gas formaldehid 37% dalam air, larutan formalin 1% bersifat bakterisit tetapi perlu kontak lama untuk mencapai hasil optimal. Menurut Badjonga (2005) berdasarkan sumbernya formaldehid untuk pengawet berasal dari hasil sintesis secara kima. Formaldehid adalah gas yang biasanya tersedia dalam bentuk 40% (formalin), merupakan cairan jernih,tidak berwrna dengan bau membusuk. Formalin atau formaldehida atau bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet. Sebenarnya fungsi formalin adalah sebagai desinfektan namun oleh sebagian orang disalah gunakan untuk mengawetkan makanan untuk mencegah kerugian. Formalin dapat berguna sebagai desinfektan karena membunuh sebagian besar bakteri dan jamur (termasuk spora mereka). Hal ini juga digunakan sebagai pengawet dalam vaksin, dimana formalin digunakan untuk membunuh virus dan bakteri yang tidak diinginkan yang mungkin mencemari vaksin selama produksi.Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40% dari formaldehid. Bahan ini biasanya digunakan sebagai antiseptic, germisida, dan pengawet. Formalin mempunyai banyak nama kimia diantaranya adalah : Formol, 14 Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith, Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene dan Methylene glycol. Formalin merupakan bahan aditif makanan yang berbahaya. Penggunaan formalin sebagai pengawet bahan makanan seperti bakso, ikan asin, tahu dan beberapa makanan lainnya secara berlebihan atau lebih dari 1 miligram per liter dapat menyebabkan gangguan berbagai organ dalam tubuh (Katzung, 2002). Konsumsi formalin dalam bahan makanan menyebabkan akumulasi dalam tubuh yang melebihi ambang batas akan menyebabkan keracunan, kerusakan hati, otak, limpa, pankreas, susunan saraf pusat, ginjal, dan jantung (Syukur, 2006). Formalin yang masuk ke dalam tubuh akan cepat dimetabolisme menjadi asam format dalam jaringan tubuh, khususnya pada hati dan eritrosit. Pembentukan asam format pada eritrosit dapat menimbulkan kondisi asam pada darah karena banyaknya alkali. Kondisi ini mempengaruhi hemoglobin yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan asam basa. Oleh karena itu, secara tidak langsung formalin dapat mempengaruhi hematopoiesis melalui efek-efek metabolik dan menghambat proliferasi semua elemen seluler di dalam sumsum tulang. 2.2.2. Karakteristik formalin Konsentrasi formalin di udara melebihi 1 ppm bisa menyebabkan iritasi ringan pada mata, hidung dan tenggorokan. Semakin tinggi konsentrasinya, 15 semakin besar bahaya iritasinya. Kontak formalin dengan kulit bisa menimbulkan berbagai reaksi kulit diantaranya alergi. Menurut Fardiaz (2002) sifat fisik dan kimia formalin yaitu titik didih 960C pada 7000 mmHg, Titik nyala 600C, pH 2,8-4,0, dapat bercampur dengan air, tidak berwarna dan berbau tajam Formalin merupakan cairan tidak berwarna yang digunakan sebagai desinfektan, pembasmi serangga, dan pengawet yang digunakan dalam industri tekstil dan kayu. Formalin memiliki bau yang sangat menyengat, dan mudah larut dalam air maupun alkohol. Beberapa pengaruh formalin terhadap kesehatan adalah sebagai berikut, jika terhirup akan menyebabkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, dan dapat menyebabkan kanker paru-paru. 2.3. Sifat, produksi dan kegunaan formalin Saraswati, dkk (2009) menyatakan dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air (biasanya dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk dagang 'formalin' atau 'formol' ). Dalam air, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO. Umumnya, larutan ini mengandung beberapa persen metanol untuk membatasi polimerisasinya. Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10% - 40%. Selanjutnya dinyatakan bahwa formaldehida menampilkan sifat kimiawi seperti pada umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada aldehida lainnya. Formaldehida merupakan elektrofil, bisa dipakai dalam reaksi substitusi 16 aromatik elektrofilik dan senyawa aromatik serta bisa mengalami reaksi adisi elektrofilik dan alkena. Dalam keberadaan katalis basa, formaldehida bisa mengalami reaksi Cannizzaro, menghasilkan asam format dan metanol. Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1, 3, 5-trioksana atau polimer linier polioksimetilena. Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas formaldehida berbeda dari sifat gas ideal, terutama pada tekanan tinggi atau udara dingin. Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak kemasukan udara. Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalitik metanol. Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak atau campuran oksida besi dan molibdenum serta vanadium. Dalam sistem oksida besi yang lebih sering dipakai (proses Formox), reaksi metanol dan oksigen terjadi pada 250 °C dan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia 2 CH3OH + O2 → 2 H2CO + 2 H2O. Katalis yang menggunakan perak biasanya dijalankan dalam temperatur yang lebih tinggi, kira-kira 650 °C. dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi kimia sekaligus yang menghasilkan formaldehida: satu seperti yang di atas, sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi CH3OH → H2CO + H2. Bila formaldehida ini dioksidasi kembali, akan menghasilkan asam format yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm. Di dalam skala yang lebih kecil, formalin bisa juga dihasilkan dari konversi etanol, yang secara komersial tidak menguntungkan. 17 2.4. Pengawetan dengan formalin Penggunaan formalin dimaksudkan untuk memperpanjang umur simpan, karena formalin adalah senyawa antimikroba yang efektif dalam membunuh bakteri, bahkan virus sekalipun. Selain itu, interaksi antara formaldehid (senyawa kimia dalam formalin) dengan protein dalam pangan menghasilkan tekstur yang tidak rapuh yang untuk beberapa produk pangan seperti tahu, mie basah, ikan segar, ikan asin dan bakso memang dikehendaki oleh konsumen. Pada umumnya formalin digunakan dalam pangan yang mengandung banyak air atau tinggi aktivitas air (aw) nya. Produk-produk dengan aw lebih dari 0.85 sangat disukai oleh mikroba termasuk mikroba pembusuk sehingga secara alami produk tersebut mudah rusak (perishable) dan tidak dapat disimpan pada suhu ruang dalam jangka waktu lama. Umur simpan tersebut menjadi semakin pendek apabila jumlah mikroba awal sangat tinggi karena proses pengolahannya yang tidak mengindahkan praktek-praktek yang baik (good practices) serta penerapan sanitasi yang baik (Tarigan, 2008). Menurut WHO (2002) formaldehid terdapat dalam produk makanan karena kegunaannya sebagai zat bakteriostatik yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroba dalam produk pangan sehingga umur simpan produk tersebut meningkat. Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif melawan bakteri vegetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formaldehid bereaksi dengan protein, dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme. Efek sporositnya yang meningkat tajam dengan adanya 18 kenaikan suhu. Larutan formaldehid 0,5% dalam waktu 6 - 12 jam dapat membunuh bakteri dan dalam waktu 2 - 4 hari dapat membunuh spora, sedangkan larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam (WHO, 2002). Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan asam amino bebas dalam protein menjadi hidrokoloid. Kemampuan dari formaldehid meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006). Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut (Barnen, dkk. 1983). Formaldehid dapat merusak bakteri karena bakteri adalah protein. Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada protoplasma sel, merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein (Fazier dan Westhoff, 1988). Menurut Barnen, dkk (1983) pada reaksi formaldehid dengan protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amino pada posisi dari lisin di antara gugus-gugus polar dari peptidanya. Pengikatan formaldehid pada gugus ε-NH2 dari lisin berjalan lambat dan merupakan reaksi yang searah, sedangkan ikatannya dengan gugus asam amino bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak-balik. Ikatan formaldehid dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak dapat dihilangkan dengan dianalisis sehingga ikatan ini turut menyokong (Marquie et al.,1997). 19 kestabilan struktur molekul Menurut Cahyadi (2006) sifat penetrasi formaldehid cukup baik, tetapi gerakan penetrasinya lambat hingga walaupun formaldehid dapat digunakan untuk mengawetkan sel-sel tapi tidak dapat melindunginya secara sempurna, kecuali bila diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras. Selain bakso, terdapat sejumlah produk pangan lainnya yang secara sengaja ditambahkan formalin sebagai pengawet. Menurut Widyaningsih (2006) tanda-tanda produk pangan yang mengandung formalin adalah sebagai berikut: a. Tahu Bentuknya sangat bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari dan tidak mudah busuk. Bau agak menyengat dan aroma kedelai sudah tak tercium lagi. b. Mie basah Lebih kenyal, awet beberapa hari dan tidak mudah basi dibandingkan dengan yang tidak mengandung formalin. Mie tampak mengkilat (seperti berminyak), liat (tidak mudah putus), dan tidak lengket. c. Ikan asin Daging kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa formalin agak berwarna coklat dan lebih tahan lama. d. Ikan segar Warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk. e. Ayam potong Berwarna putih bersih, lebih awet dan tidak mudah busuk. 20 2.5. Karakteristik ikan asin berfomalin Untuk mengetahui perbedaan antara ikan asin yang mengandung formalin dan yang tidak mengandung formalin yaitu cukup dekatkan makanan atau ikan asin ke wajah, jika terasa perik di mata dan ikan terlihat kaku berarti ikan tersebut mengandung formalin. Pada produk cumi asin yang mengandung formalin, cumi bisa dibelah menjadi dua bagian, sebaliknya bila tidak mengandung formalin maka cumi tersebut susah untuk dibelah ( Anonim, 2004). 2.6. Toksisitas formalin Antoro (2010) menyatakan bahwa formalin masuk ke dalam tubuh manusia melalui dua jalan, yaitu mulut dan pernapasan. Polusi yang dihasilkan oleh asap knalpot dan pabrik, mengandung formalin yang mau tidak mau kita hirup, kemudian masuk ke dalam tubuh. Asap rokok atau air hujan yang jatuh ke bumi pun sebetulnya juga mengandung formalin. Formalin ini sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, dan tertelan. Formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi seperti kayu lapis/tripleks, karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karena resin ini melepaskan formaldehida pelan-pelan. Formaldehida merupakan salah satu polutan yang sering ditemukan dalam ruangan. Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg, formaldehida yang terhisap bisa menyebabkan iritasi kepala dan membran mukosa, yang menyebabkan keluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa terbakar, serta kegerahan. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversikan jadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, 21 hiportemia, juga koma, atau sampai kepada kematiannya. Di dalam tubuh, formaldehida bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal. Jika formalin dalam tubuh tinggi, akan bereksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan kerusakan pada organ tubuh. Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, dengan gejala sebagai berikut: sukar menelan, mual, sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Selain itu bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan formalin dalam bahan makanan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia, antara lain bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit dada, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual, diare, muntah, sukar menelan,sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, gangguan peredaran darah, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi, dan kanker. Selain itu juga dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, limfa, pankreas, sistem susunan saraf pusat dan ginjal. Efek yang ditimbulkan ini ini tidak dirasakan dengan segera, tetapi akan dirasakan beberapa tahun kemudian ( Antoro, 2010). Selanjutnya, konsumsi formalin pada dosis yang sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan haematomesis (muntah darah) yang berakibat dengan kematian. Meskipun dalam jumlah kecil, dalam jangka panjang formalin juga bisa mengakibatkan banyak gangguan organ tubuh. Selain itu dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam 22 air, serta akan dibuang ke luar bersama cairan tubuh, sehingga formalin sulit dideteksi keberadaanya di dalam darah. Imunitas tubuh sangat berperan dalam berdampak tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika imunitas tubuh rendah atau mekanisme pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin dengan kadar rendah pun bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Usia anak khususnya bayi dan balita adalah salah satu yang rentan untuk mengalami gangguan ini. Secara mekanik integritas mukosa (permukaan) usus dan peristaltik (gerakan usus) merupakan pelindung masuknya zat asing ke dalam tubuh. Secara kimia asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi zat berbahaya tersebut. Nilai ambang batas yang aman bagi tubuh manusia terhadap formalin menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety) adalah 1 mg liter (1 ppm). IPCS adalah lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimia. Bila formalin masuk tubuh melebihi ambang batas tersebut maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam. 23 2.7. Penelitian terdahulu Pada pengujian analisis kualitatif dan kuantitatif formaldehid pada ikan asin di Madura yang dilakukan oleh Hastuti S, (2010) seluruh sampel ternyata mengandung formalin dengan kadar yang beragam. Sampel ikan asin yang diuji berasal dari Pasar Kamal, Pasar Socah, Pasar Bangkalan dan Pasar Sampang. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan asam kromatofat untuk mengetahui keberadaan formalin dalam ikan asin secara kualitatif, sedangkan untuk pengujian kuantitatif memakai spektrofotometer. Penggunaan formalin oleh para produsen ikan asin dikarenakan cara produksinya masih manual, pengeringan ikan masih sangat tergantung dari cuaca. Penelitian sebelumnya juga telah dilakukan oleh Suryanengsih (2009) yang menyatakan bahwa ikan asin yang diperoleh dari Pasar Selasa, Pasar Sentral dan Gelael Kota Gorontalo setelah dilakukan uji kandungan formalinnya dengan metode analisa kuantitatif diperoleh hasil bahwa ikan asin tersebut tidak mengandung formalin sehingga aman dikonsumsi serta tidak berbahaya bagi kesehatan manusia Selanjutnya, berdasarkan penelitian uji kualitatif yang dilakukan oleh Suwahono,dkk (2009) dalam Hastuti, (2010) sampel ikan asin dari Kendal negatif dan sampel ikan dari Jrakah Jawa Tengah memberikan reaksi positif yaitu terbentuk cincin ungu setelah sampel yang dilarutkan dalam FeCl3 0,5 % dialiri H2SO4 pekat. 24