WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (PENDEKATAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA TERHADAP PEMENTASAN WAYANG KULIT KI YUWONO DI DESA BANGOREJO BANYUWANGI) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Pernyiaran Islam (S.Kom.I) Oleh: Aldi Haryo Sidik NIM: 109051000024 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 2 November 2014 Aldi Haryo Sidik WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai Gelar Sarjan Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I) Disusun Oleh : Aldi Haryo Sidik NIM : 109051000024 Di Bawah Bimbingan Drs. M. Sungaidi, MA NIP: 1960 08 03 1997 03 1006 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2014 LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antarbudaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa 23 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Jakarta, 23 Desember 2014 Sidang Munaqasyah Ketua Sidang Sekretaris Sidang Rachmat Baihaky, MA NIP.19761129 200912 1 001 Fita Fathurokhmah, M.Si NIP. 19830610 200912 2 001 Penguji I Penguji II Drs. Study Rizal, LK, MA NIP.19640428 199303 1 002 Rachmat Baihaky, MA NIP. 19761129 200912 1 001 Pembimbing Drs. M. Sungaidi, MA NIP. 19600803 199703 1 006 ABSTRAK Aldi Haryo Sidik, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antarbudaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi) Pembimbing: Drs. M. Sungaidi, MA Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di anatara karya budaya lainnya di Indonesia. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tuur, seni sastra, seni lukis, seni pahat dan juga seni perlambangan. Wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan khasanah budaya Jawa. Wayang bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar hiburan, juga merupakan alat komunikasi yang mampu menghubungkan kehendak dalang lewat alur cerita, sehingga dapat menginformasikan ajaran-ajaran Islam. Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah Bagaimana akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur? Kemudian minornya Bagaimana pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta (framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit dalang Ki Yuwono? Bagaimana faktor penghambat dan pendukung perilaku komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di pementasan wayang kulit Ki Yuwono? Dilihat dari apa yang di teori kegunaan dan kepuasan (Uses and Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskritif. Peneliti menggambarkan dan menguraikan secara faktual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk menghimpun, mengolah dan menganalisa secara kualitatif dan terwujudkan dalam konsep. Sedangkan data yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi. Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil kebudayaan, mempunyai kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyrakat Indonesia sampai saat ini. Wayang kulit sudah mendarah daging bagi masyarakat Jawa. Dalam pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak membawa pengaruh bagi para penggemarnya dan masyarakat Jawa. Karena di dalam pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur. Keyword: Wayang, Akulturasi, Media, dan Dakwah KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi kita begitu banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada setiap makhluk ciptaan-Nya sehingga atas izin-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kita haurkan kepada hamba Allah yang paling manis tutur katanya, yang paling banyak sujudnya dan yang paling bijaksan kepada umatnya, Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul “Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi”. Penelitian ini bukan semata-mata buah tangan sendiri, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Peneliti juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutkan tidak lupa peneliti haturkan terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: i 1. Dr. H. Arief Subhan,MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta Dr. Suparto, M. Ed, MA. Selaku Wakil Dekan I, Drs.Jumroni, M.Si. selaku Wakil Dekan II, Drs. Wahidin Saputra, M.A. selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi. 2. Rachmat Baihaky M.A, selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. 3. Dr. Armawati Arbi,M.Si, selaku dosen pembimbing akademik KPI A 2009, terima kasih atas ilmu, motivasi dan saran yang telah diberikan kepada saya. 4. Bapak Drs. Muhammad Sungaidi, MA selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan pengarahan serta motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan. 5. Dalang Ki Dwi Arto Yuwono yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis. 6. Teristimewa untuk Orang Tua penulis Bapak H. Suyanto Sidik S.H dan Ibu Hj. Sriwiyati yang saya cintai, terima kasih telah merawat, mengajarkan segala hal positif dan membesarkan penulis serta telah berupaya memberikan motivasi baik moril maupun material. Terimakasih juga untuk do’a yang selalu dipanjatkan untuk peneliti. ii Adik-adiku Aqmarina Fildzah Sidik dan Agib Bagaskara Sidik yang selalu menghibur peneliti. Untuk keluarga besar Sidik yang di Banyuwangi, terima kasih telah memberikan do’a dan mempermudah penulis untuk melakukan penyelesaian skripsi ini. 7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, motivasi dan waktunya untuk peneliti. 9. Untuk kawan-kawan KPI A 2009, yang telah menghibur, memberikan motivasi serta menjadi teman diskusi. Untuk Sahabat-Sahabatku Rizqi Rahayu Setiani, Iqbal Zulfahmi, Tri Amirullah, Fitri Hanani, Alyssa Miratin, dan Ika Istiani yang selalu mendukung penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah menjadi teman diskusi untuk penyeselesaian skripsi ini. Untuk keluarga besar LSO KLISE FOTOGRAFI, yang telah memberikan do’a, semangat, dan dukungannya kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan. 10. Semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat. Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis. iii Semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin. Jakarta, 15 Desember 2014 Peneliti iv DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................... i Daftar Isi .............................................................................................................. v BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. H. I. BAB II Latar Belakang ........................................................................ 1 Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................ 6 Tujuan Penelitian .................................................................... 6 Manfaat Penelitian .................................................................. 7 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7 Kerangka Teori ....................................................................... 8 Metodologi Penelitian ............................................................. 9 Tahapan Penelitian ................................................................. 10 Sistematika Penelitian ............................................................ 12 TINJAUAN TEORITIS A. Paradigma Penelitian ....................................................... 13 B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah .................................. 15 1). Ruang Lingkup Wayang ................................................... 15 2). Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit ....................... 18 3). Dalang Sebagai Juru Dakwah ........................................... 21 C. Ruang Lingkup Dakwah ........................................................ 28 1). Pengertian Dakwah ........................................................... 28 2). Bentuk-Bentuk Dakwah .................................................... 30 3). Unsur-Unsur Dakwah ....................................................... 31 D. Komunikasi Antar Budaya ..................................................... 38 1). Pengertian Komunikasi Antar Budaya ............................. 38 2). Bahasa Verbal dan Non-Verbal ........................................ 47 3). Akulturasi ......................................................................... 52 4). Peran Komunikasi Dalam Akulturasi ............................... 55 BAB III PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM WAYANG KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA BANGOREJO A. Sejarah Hidup Ki Yuwono ..................................................... 63 B. Gambaran Umum Wayang ..................................................... 66 1). Pengertian Wayang ........................................................... 66 2). Jenis-Jenis Wayang ........................................................... 68 C. Desa Bangorejo Banyuwangi ................................................. 77 1). Gambaran Umum .............................................................. 77 v 2). Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Desa Bangorejo ................................................................ 79 BAB IV ANALISIS WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit ......... 82 B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit ...... 88 C. Kearifan Lokal Jawa dan Islam Jawa .................................... 97 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ......................................................................... 102 B. Kritik dan Saran .............................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 107 LAMPIRAN ...................................................................................................... 111 vi BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Sejarah adalah mata rantai kehidupan dan kita adalah bagian dari mata rantai kehidupan tersebut. Hanya orang yang pandai menangkap semangat zaman, yang akan menjadi pelita dan membuat kehidupan lebih bermakna. Maka sudah sepatutnya setiap pribadi dari kita memperhatikan waktu dan lingkungannya. Hari kemarin adalah pelajaran hari esok, hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah harapan perjuangan untuk mewujudkan harapan. Hal ini dapat dimengerti karena berbicara masalah sejarah tidak lepas dari tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup, yaitu makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia memiliki banyak tujuan dan cita-cita yang ingin dicapainya, di mana setiap individu memiliki kebutuhannya sendiri dan juga berbeda satu dengan yang lain. Sedangkan makhluk sosial, manusia tidak lepas dengan berinteraksi dengan yang lain dan memiliki kehidupan yang dinamis bersama orang lain di sekitarnya maupun di tempat yang lain. Dalam proses perkembangan peradaban, suatu bangsa memiliki adat kebiasaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut merupakan suatu unsur yang terpenting dan dapat memberikan ciri serta identitas diri bangsa yang bersangkutan. 1 2 Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat, maka masing-masing individu dan kelompok menunjukan local genius yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat. Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukan pula kepribadian suatu masyarakat itu. Dalam pada itu, kita pun perlu menyadari bahwa hubungan dan pergaulan dengan masyarakat dan bangsa lain akan menimbulkan akulturasi, di mana masing-masing masyarakat saling memberikan dan menerima pengaruh. Suatu proses alkuturasi yang akhrinya mendatangkan dominasi kebudayaan asing berarti memusnahkan local genius sebagai pencerminan identitas budaya masyarakat setempat. 1 Kesenian merupakan salah satu hasil perwujudan dari sebuah kebudayaan, berbagai corak ragam kesenian yang ada di Indonesia terjadi karena adanya lapisan-lapisan budaya yang bertumpuk dari masa ke masa. Di samping itu keanekaragaman kesenian di Indonesua juga terjadi karena adanya berbagai etnik yang memiliki sistem budaya sendiri-sendiri. Setiap masyarakat memiliki ragam kesinian, masyarakat Jawa memiliki ragam kesenian tersendiri dan tumbuh sesuai dengan perkembangan budaya Jawa itu sendiri. Dari sekian banyak jenis kesenian Jawa, seni pewayangan yang hidup sejak ribuan tahun yang lalu. Seni pewayangan merupakan sebuah tuntutan hidup bagi 1 Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).h.122 3 masyarakat Jawa, sarat akan kandungan nilai-nilai yang sampai sekarang masih didambakan oleh masyarakat Jawa. 2 Pewayangan mempunyai andil besar dalam pengislaman masyarakat Jawa. Sebetulnya wayang sendiri merupakan peninggalan agama Hindu. Namun para Wali dapat berpikir rasional. Mereka sadar bahwa peertujukan wayang telah berakar kuat di masyarakat dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun tuntunan. Penyampaian ceritanya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi segi kepribadian, kepemimpinanan, kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan penghayatan secara mendalam. Nilai-nilai ataupun ajaran-ajaran yang disampaikannya itu sesuai dengan sosiokultural, kepribadian, dan pemikiran khas masyarakat jawa sebagai sebuah masyarakat yang pertama kali menciptakan kesenian wayang tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat jawa, sebab dalam setiap kali memahami filsafat, mereka memberikan suatu pengertian bahwa berfilsafat adalah berarti cinta kesempurnaan (ngudi kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, love of wisdom, sehingga untuk menyampaikan suatu makna atau ajaran, seringkali cara penyampaiannya 2 Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, (Semarang: Dahara Prize,1993) h.iv 4 dengan menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta, dan rasa yang tinggi.3 Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, dan sebagainya, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalamn, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalaui usaha individu dan kelompok.4Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan da’i atau pendakwah agar terciptanya individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.5 Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk penyampaian pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya peninggalan leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat, seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai luhur/moral, etika, dan relegius. Dari zaman kedatangan islam digunakan para walisongo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.6 3 Ridin sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 80. 4 Deddy Mulyana, Jalaludin Rakhmat Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1993,) h. 19 5 Rosid, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet . Ke-1, h.1 6 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, (Jakarta: CV. Mulia Sari, 1991, Cet. Ke-1), h. 16 5 Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbabagi perwatakan yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada tokoh jahat adapula yang baik. Ada yang melambangkan kejujuran, keadilan, kesucian, kepahlawanan, tetapi ada pula melambangkan tetang angkara murka, keserakahan, ketidak jujuran, dan lain sebagainya. Ada sifat dan perilaku tokoh yang patuh ditiru atau dicontoh, tetapi ada pula sifat yang tak perlu untuk di ditiru atau dijauhi. Berbagai perlambangan itu akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian diri, setidaknya untuk mawas diri. Cerita wayang adalah menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan yang ada dalam pementasan wayang kulit. Cerita dalam pewayangan tidak hanya sebagai pertunjukan seni semata, juga berfungsi sebagai media dakwah atau sebagai sarana untuk memyampaikan ajaran keagamaan. Sosok dalang sesungguhnya bukan seorang juru penerang yang serba bisa, tetapi dituntut harus bisa, tetapi berperan sebagai budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara yang bisa mengartifikasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa. Dalam pementasan wayang kulit di desa Bangorejo Banyuwangi ini menjadi media yang masih digunakan dalam aktifitas berdakwah. Dengan kesenian budaya dari leluhur sebagai media berdakwah yang dilakukan para ulama dan wali, pementasan wayang di desa Bangorejo Banyuwangi sangat berperan penting bagi nilai-nilai moral, etika dan religious. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis menyusun skripsi dengan judul “WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi). 6 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberi arah yang tepat dalam pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka penelitian ini dibatasi hanya pada daerah pementasan wayang kulit pada masyarakat Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi saja agar tidak melebar luas ke topik pembahasan yang lain. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitan ini adalah: a. Bagaimana akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur? b. Bagaimana pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta (framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit dalang Ki Yuwono? c. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung perilaku komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di pementasan wayang kulit Ki Yuwono? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini : 1. Peneliti ingin mengetahui model akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur. 7 2. Peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta (framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit dalang Ki Yuwono. 3. Peneliti ingin mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah kajian ilmu dakwah dan religius dengan kebudayaan lokal. 2. Diharapkan dapat menjadi masukan baru bagi aktivis dakwah, akademis serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah untuk menjadikan seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah. b. Manfaat praktis : Penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan kontribusi bagi khazanah sejarah islam Indonesia. Untuk menambah literatur kebudayaan yang berkaitan dengan sejarah islam yang berasal dari tanah Jawa ini. E. Tinjauan Pustaka Setelah melakukan penelusuran koleksi skripsi pada Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian mengenai analisis media 8 cetak memang sudah banyak yang diteliti khususnya di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi., diantaranya adalah seperti : 1. “Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang” oleh Yogyasmara. P. Ardhi , Tahun 2010. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dalam skripsi ini yang lebih di ungkapkan menunjukan peranan pementasan wayang kulit dan kebudayaan Jawa yang menjadi media dakwah.7 2. “Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan” oleh Moh. Rois Fathurohim, Tahun 2007. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Dalam skripsi ini lebih menjelaskan wayang terhadap pendidikan moral, agama, dan soisal.8 Namun, dari hasil penelusuran ini tidak membuat peneliti berhenti untuk melanjutkan penelitian ini. Karena, ada beberapa hal yang peneliti anggap sebagai kelebihan sekaligus pembeda dari penelitian yang lain. Salah satu perbedaannya adalah penelitian ini merupakan cerita pewayangan yang disampaikan dan berbeda tempat. F. Kerangka Teori Subjek dari penelitian ini adalah Ki Yuwono. Dan objek dari penelitian ini adalah Pementasan Wayang Kulit di Bangorejo Banyuwangi. Dengan Teorikegunaan dan kepuasan (Uses and Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, 7 Yogyasmara. P. Ardhi, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang, 2010 8 Moh. Rois. Fathurohim, Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan, 2007 9 pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.9Model yang di gunakan adalah S (Source) M (Massage) C (Channel) R (Receiver), Menurut Berlo, dengan demikian proses komunikasi dapat terjadi apabila empat komponen tersebut terdapat saling hubungan, saling berproses dalam mewujudkan komunikasi yang dikehendaki. Teori dasar komunikasi inilah yang melandasi munculnya Media Komunikasi. Media Komunikasi menjadi dasar munculnya Media Belajar atau Media Pembelajaran. Karena pada dasarnya proses pembelajaran adalah proses komunikasi yang terjadi antara Sumber dan Penerima antara dalang dengan penonton. G. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskritif analisis dengan pendekatan kualitatif.Metode deskritif yaitu, metode mengumpulkan, mengklafikasikan, menganalisis data yang menggambarkan situasi keadaan dan hasil temuan lapangan yang bersifat non-hipotesis, selanjutnya mendeskripsikan apa yang di lihat, di dengar, di rasakan, dan ditanyakan. 10 Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini tidak menceritakan dan menjelaskan hubungan, dan tidak menguji hipotesis. Deskriptif diartikan 9 Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126 Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan Penelitian), (Bandung; ALFA BETA, 2005), cet. 1, h. 17. 10 10 melukiskan variabel demi variabel. Pada hakikatnya metode deskriptif mengumpulkan data secara univariat. Karakteristik data diperoleh dengan ukuranukuran kecenderungan pusat (central tandency) atau ukuran sebaran (dispersion).11 Kirk dan Miller mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dar pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.12 Kemudian Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13 H. Tahapan Penelitian 1. Teknik Pengumpulan data Ada pun teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitiam ini adalah : a. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang terjadi terhadap gejalagejala yang diteliti. E.C. Wragg menjelaskan bahwa observasi yaitu pengamatan secara sistematis dan analisa yang memegang peranan penting untuk meramalkan tingkah laku sosial, sehingga hubungan antara satu peristiwa dengan yang lainya menjadi jelas.14 Dalam pengumpulan data, 11 Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 41 12 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), h.192 Masri Singarimbun, Op.Cit. h. 193 14 Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah, Dengan Pendekatan Kualitatif (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 8 13 11 peneliti datang langsung ke lapangan untuk memperoleh data untuk pementasan wayang kulit Ki Yuwono. b. Wawancara Menurut Subyantoro dan Suwarto, “wawancara merupakan alat pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya-jawab sepihak, dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian”.15 Wawancara dilakukan dengan Ki Yuwono untuk mendapatkan keterangan mengenai wayang kulit sebagai media dakwah di Desa Bangorejo. c. Dokumentasi Menurut Soehartono, “Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi.”16 Teknik ini digunakan sebagai sumber dan pelengkap penelitian. 2. Pengolahan data Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Analisis Data Tahap analisis data adalah tahap yang penting dan menentukan. Pada tahap inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan demikian rupa sampai berhasil 15 Arief Subyantoro dan FX. Suwarto, Metode dan Teknk Penelitian Sosial, (Yogyakarta, ANDI, 2007), h.97 16 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008), Cet.1. h.70. 12 menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.17 Analisis tersebut dilakukan terhadap data yang sudah diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang digunakan. Setelah data diperoleh, selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis deskritif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data ini adalah sebagai berikut: a. Reduksi Data Mereduksi data berarti membuat rangkuman, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan pola, serta membuang yang dianggap tidak penting.18 Reduksi data diperlukan mengingat banyaknya data yang didapat selama melakukan penelitian. Sehingga dalam melakukan analisis menjadi lebih mudah dan cepat. b. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara sistematis dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono. I. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, peneliti menyusun penulisan skripsi ini dengan lima bab, yang masing-masing terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: 17 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), Cet. XI, h. 264 18 Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembang Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (Jakarta, Kencana, 2010), h.287 13 BAB I Penulis akan menjabarkan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan. BAB II Penulis akan menjelaskan tentang paradigma penelitan pengertian umum, ruang lingkup wayang kulit, pengertian wayang kulit, sejarah perkembangan wayang kulit, macam-macam wayang kulit, dan ruang lingkup dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah, materi dakwah, dan tujuan dakwah. Ruang lingkup wayang kulit dan dalang sebagai juru dakwah. BAB III mendeskrisipkan mengenai profil dalang Ki Yuwono yang terdiri dari riwayat hidup, pendidikan, prestasi dan pengalaman beliau serta aktifitas dalam pementasan wayang kulit di Bangorejo Banyuwangi. BAB IV dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data penelitian, menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh Ki Yuwono, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di Bangorejo Banyuwangi. BAB V Merupakan bab terakhir dalam rangkaian penulisan penelitian. Penulis akan menguraikan dalam bentuk kesimpulan dan juga saran penulis atas permasalahan yang telah diteliti dan dilengkapi daftar pustaka. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Paradigma Penelitian Paradigma merupakan perspektif penelitian yang digunakan peneliti, yang berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian, dan cara-cara yang digunakan dalam menginterprestasikan temuan. Pemilihan paradigma penelitian dalam konteks desain penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian (Guba, 1990).1 Denzin dan Lincoln (1998:107) menyatakan “a paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principle” (suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik, yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama). Sementara itu, adapula yang berpendapat bahwa ilmu sosial dapat dikonseptualiskan dengan empat asumsi yang berhubungan dengan ontologi, epistemologi, sifat manusia (human nature), dan metodologi.2 1) Ontologi adalah asumsi yang penting tentang inti dari fenomena dalam penelitian. Pertanyaan dasar tentang ontologi menkekan pada apakah “realita” yang diteliti objektif ataukah “realita” adalah produk kognitif individu. 1 Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif; Teori dan Praktik, (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2013), h. 25 2 Iman Gunawan. h.25 14 15 2) Epistimologi adalah tentang landasan ilmu pengetahuan (grounds of knowladge) – tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. 3) Sifat manusia (human nature) adalah asumsi-asumsi tentang hubungan antarmanusia dan lingkungannya. 4) Metodologi adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang berusaha untuk menyelidiki dan mendapat “pengetahuan” tentang dunia sosial.3 Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakanperorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan eklaren atau penjelasan). Menurut Supardan (1997; 95) untuk memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seseorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya.4 Dalam penelitian kualitatif terdapat paradigama yang bersifat konstruktivisme, Guba (1990: 25) menyatakan “ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka teori. Basis untuk menemukan 3 4 Iman Gunawan h.27 Iman Gunawan. h.34 16 “sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (kontruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut). Kaum kontruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitasí” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, maka itu hanya dapat dilihat semua melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kaca mata) yang berdasarkan nilai. 5 Paradigma konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan kontruktivisme, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampaian pesan. Kontruktivisme justru menganggap subjek (komnikator/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Dengan begitu dalam lingkup paradigma kontruktivisme ini, teori kegunaan dan kepuasan (Uses and Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.6 5 6 Iman Gunawan. h.49 Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126 17 B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah a) Ruang Lingkup Wayang Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'MaHyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalangyang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balikkelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Menurut Bambang Sugito, wayang kulit yaitu suatu bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunkan gambar boneka atau semacamnya dari kulit sebagai alat pertunjukan dengan diiringi musik yang telah ditentukan.7 Bagi Orang Jawa, dunia pewayangan merupakan dunianya sendiri, dunia Jawa agar mencerminkan usaha yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai simbol 7 Bambang Sugito, Op.Cit, h.31 18 kehidupan masyarakat. Karena orang Jawa menilai bahwa wayang mengandung filsafat yang dalam dan memberi peluang untuk melakukan pengajian filsafat dan ajaran keagamaan. 8 Wayang kulit penuh dengan simbolik. Dalam pertunjukannya menggambarkan perjalanan hidup manusia, yakni manusia yang mencari keinsyafan akan sangkan-parannya, bukan manusia yang hanya hidup dan tidak mati. Gambaran yang jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh dalang yakni menceriterakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.9 Salah satu perlengkapan wayang yang disebut Gunungan atau Kayon memiliki makna simbolis. Kayon menyerupai bentuk masjid, apabila dibalik akan menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam kehidupan umat Islam, jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid. Semua unsur dalam dunia pewayangan mengandung simbolisme. Dalam mengapresiasikan wayang, orang Jawa tidak pernah berhenti pada aspek formal ceritanya saja, melainkan mereka akan selalau menarik makna esoterik yang terkandung di dalamnya. Karena itu, persepsi orang Jawa, antara satu dengan yang lainnya, tentang wayang juga berbeda-beda tetapi secara umum gambarangambaran simbolis mengenai bentuk fisik wayang yang tembus pada kondisi batin tokoh-tokoh wayang hampir semua dipahami penonton. Wayang kulit atau wayang purwo sebagaimana adanya sekarang merupakan kreasi Wali songo, khususnya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dari membaca „alam‟ lingkungan masyarakat Jawa yang telah tumbuh sebelumnya.10 8 S. Haryanto, Bayang-bayang Adiluhung, (Semarang, Dahara Prize, 1992), h. 77 Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga. (Jakarta: Menara Kudus, 1960), h. 65 10 Suyanto Sidik, Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi. 9 19 Cerita wayang yang berasaldari kesusasteraan India, di ubah oleh para wali tersebut dalam seni pertunjukan dengan muatan-muatan Islam sebagai sarana dakwah. Kreativitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media penyebaran Islam yang efektif tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa. Selain itu para wali juga berjasa dalam mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk kesenian pentas yang merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar jauh ke masa lalu dan cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa ke masa. Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa. Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orangorangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan. 20 b) Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat dominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali dan wayang banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalamwayang orang peranan dalang tidak begitu menonjol. 11 Berdasarkan berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa lampau di nusantara ini telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan atau jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah wayang yang ada di nusantara. Sebelum Islam masukketanah Nusantara, khususnya di Jawa, wayangtelahmenemukanbentuknya.Bentukwayangpadaawalnyamenyerupai relief yang bisakitajumpai di candi-candiseperti di Prambananmaupun Borobudur.Pagelaranwayangsangatdigemarimasyarakat.Setiappementasannyas elaludipenuhipenonton. 12 Wayang Nusantara memiliki definisi yang tidak terpisah antara Pertunjukkan Seni dengan Peraga, Membawa Lakon kisah-kisah, dan muatan 11 Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press, 1988), h. 11 12 Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta, 2004). h. 1 21 Nilai-nilai Nusantara. Budaya Wayang Indonesia adalah salah satu budaya nusantara yang telah mengarungi jalan panjang sejak sejarah mencatat seni wayang nusantara di abad ke-9. Bahkan dipercaya seni ini sudah menjadi bagian kehidupan nusantara jauh sebelum itu Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.13 Alasan ini cukup kuat karena seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.14 Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, 13 14 h.21 http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-mencintai-nya/ Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965)., 22 Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya.15Menurut Dr. Hazeu, wayang telah ada sejak zaman Airlangga (950 caka = 1028 M permulaan abad XI sesudah Masehi) didalam kerajaan Kediri yang makmur. Pertunjukan wayang mwmpergunakan boneka dari kulit (walulang inukir) dan bayangan-bayanganya diproyeksi pada tabir (kelir/layar).16 Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata “wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, diantaranya para Wali Sanga.17 Wayang telah dikenal sejak zaman purba yang merupakan perwujudan dari bayang-bayang nenek moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme suatu kepercayaan yang dianut masyrakat pada zaman itu berkaitan dengan roh nenek moyang yang telah lama mati menjadi pelindung bagi manusia yang masih hidup. Roh tersebut tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besa dan benda-benda lainnya. 15 http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit dikases pada Kamis, 17 Juli 2014. 16 Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965)., h.28 17 Bram Palgunadi, Tinjauan Tentang Wayang Kulit, (bulletin PSTK-ITB, Edisi 1 Tahun ke-2 1978). 23 Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah ada berabad-abad sebeluh Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayan dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.18 c) Dalang Sebagai Juru Dakwah Sumber ilmu dakwah tidak bisa terlepas dari Al-Quran dan Sunnah sebagai pijakannya indiologi sumber ilmu. Dengan berpedoman pada sumber ilmu, tidak cukup dengan hanya satu mazhab tetapi multimazhab yang lahir dari bangunan keilmuan dakwah untuk mengkomunikasikan bahasa agama kepada umat manusia. Tetapi perlu dipahami bahwa “dakwah” dan “Ilmu Dakwah” berbeda. Jika dakwah selalu memilih kata sebaiknya, seharusnya, maka ilmu dakwah harus tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah ilmu yang sifatnya netral dan tidak memihak. 19 Kajian Epistemologi Sultan memberikan gambaran tentang epistemologi ilmu dakwah. 20 Peran dalang erat hubungannya dengan fungsi wayang dalam kehidupan sosial. Pada masa lampau (sebelum tahun 1965-an), wayang bagi masyarakat Jawa bukanlah sekedar ekspresi seni dan hiburan, melainkan juga sebagai 18 Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. (Jakarta: ALDA, 1965)., h.14 19 Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam, (Cet.1; IAIN Alauddin Press, 1988), h. 39 20 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.49 24 sumber acuan hidup, sebuah frame of reference, mitologi, dan cermin budaya Jawa. Lewat lakon, di dalam pertunjukan wayang memuat nilai-nilai filsafat, etika, estetika, religius, dan pendidikan. Maka wayang merupakan media pengajaran bagi manusia yang melambangkan pergulatan hidup dan budi pekerti luhur (tuntunan). Menurut para ahli budaya Jawa, lakon-lakon wayang melukiskan kehidupan masyarakat dan negara, kebijakan dan praktik kenegaraan, sehingga tak pelak bila Umar Kayam pernah mensinyalir bahwa untuk mengetahui kehidupan negara perlu melihat wayang. Oleh karena itu pula lakon wayang sering dipercaya dapat berpengaruh bagi kehidupan penanggapnya. Dari fungsi wayang semacam itulah, dalang sebagai sutradara dan pelaku utama dalam pertunjukan sering diibaratkan dengan seorang pembawa kaca benggala, simbol perantara antara mikrokosmos dan makrokosmos, guru masyarakat (ngudal piwulang). Dalang memiliki kedudukan yang tinggi setingkat kiai, pujangga dan sebagainya. Karena wayang tersebut tidak mungkin bisa bergerak sendiri tanpa adanya dalang, maka jelas sekali bahwa peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi perkembangan dunia pewayangan. 21 Dalam prakteknya, dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran yaitu dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan dengan meng-input ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak menghilangkan susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan masyarakat Jawa, melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran yang sudah ada. 21 Wawan Susetya, Dhalang, Wayang, dan Gamelan, (Jakarta; Narasi; 2007) h.28 25 Pernyataan ini akan sesuai jika membaca sedikit sejarah masyarakat Jawa. Adanya budaya masyarakat Jawa yang sudah berhasil di input oleh ajaran Islam diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, dan hari keempat puluh yang didalamnya sudah terdapat lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam lainnya. Padahal kalau ditelusuri budaya ini merupakan warisan kepercayaan animisme. Dengan adanya perpaduan ini, tradisi lama secara otomatis sudah mendapat cap Islam. Demikian pula upacara selamatan akbar yang dilaksanakan oleh Sultan dengan nama gunungan dalam upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar , disamping mendapat cap Islam namun juga memang untuk merayakan hari besar Islam. Dengan kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang. Kebudayaan Jawa berupa Wayang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada mulanya wayang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme yang menjadi kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia. Sebenaranya Wayang berasal dari kata wayangan yang berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar. 22 22 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, ( Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.22 26 Dalang dalamdunia pewayangandiartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan. Dalam buku Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda, yang disusun oleh Yoyo Rismayan W dikatakan : Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beranekaragam.23 Dalang berasal dari kata : dal adalah kependekan dari kata ngudal = mengucapkan; dan lang kependekan dari kata piwulang = piwuruk = petuah/nasehat. Hal ini adalah mitologi rakyat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah orang yang memberi nasehat/petuah. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat.24 23 Yoyo Rismayan, Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda, (Bandung, STSI, 1983). h. 24 24 Yoyo Rismayan, h. 24 27 Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang. Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai guru masyarakat.Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/ penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun sebaliknya. 25 Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960. Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan pementasan tidak hanya di satu tempat, tapi berpindah-pindah. Menurut Drs. Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana Barat juga).Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan selama hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. 26 Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendemmenunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. 25 Yoyo Rismayan, h.25 Yoyo Rismayan, h.25 26 28 Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Pada zaman dahulu, peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai dengan fungsi pewayangan sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk menyembah atau menghormati arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), antara komunitas dengan dunia spiritual. Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat dan kedudukan yang terhormat dalam kehidupan masyarakat. Lalu bagaimana posisi dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi, meminjam istilah James L. Peacock dalam bukunyaRites of Modernization : Symbolic and Sosial Aspect of Indonesia Proletarian Drama, dalang pun mendapat peran baru yang tetap tidak menghilangkan pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial. 27 27 Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang Dibalik Wayang, ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987) h. 55 29 Sebagai seniman, dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni pedalangan, yang mencakup seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni suara, seni karawitan dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang keahlian yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat tetapi mendasar (Haryanto, 1988), yaitu: Antawacana, Renggep, Enges, Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai melawak;Pandai amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi Radya, Faham Parama Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi Carita.28 Dalam hal keagamaan dalang dituntut wajib menguasai detail demi detail tentang agama. Karena dapat dikatakan bahwa dalang setingkat dengan Kiai atau pemuka agama. Dan juga dalang harus sebagaiseorang komunikator, penyuluh, atau juru penerang. Karena wayang tersebut tidak mungkin bergerak sendiri tanpa ada dalang. Maka jelas sekali bahwa peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi pementasan wayang. C. Ruang Lingkup Dakwah a) Pengertian Dakwah Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti: panggilan, ajakan, dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dariisim masdar yang berasal dari kata kerja : دعوة, يدعو,دعا 28 artinya : menyeru, memanggil, mengajak dengan tujuan agar Victoria M. Clara van Groenendael. h. 56 30 orang lain memenuhi ajakan tersebut yag berpedoman kepada Al-Qur‟an dan AsSunnah.29 Dakwah dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam Al-Qura‟an yaitu pada surat Yusuf; 33 dan Surat Yunus; 25. Dalam Al-Qur‟an , dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, 7 kali ditemukan dalam makna mengajak kepada mereka dan kejahatan. Sedangkan ditinjau dari segi terminologi, banyak sekali perbedaan pendapat tentang definisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain: 1. Menurut A. Hasmy dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, mendefinisikan dakwah yaitu: mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.30 2. Menurut Syekh Ali Mahfud. Dakwah Islam adalah memotivasi manusia agar melakukan kebaikan menurut petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagian dunia dan akhirat. 3. Menurut Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merupakan aktualisasi Imani (Teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada tataran kegiatan individual dan sosio kultural dalam rangka 29 30 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya : Al-Ikhlas, 2000) h.23 A. Hasmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). h. 18 31 mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan cara tertentu.31 4. Menurut M. Quraish Sihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha megubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.32 Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang dilakukan dengan sadar dan terencana, dengan mengajaknya umat manusia ke jalan Allah. Usaha dan proses tersebut untuk memperbaiki situasu dan juga untuk mencapai tujuan tertentu, yaikni agar manusia hidup dengan penuh kebahagian dunia akhirat tanpa adanya unsur paksaan. Dalam Al-Quran, pengertian dakwah seperti yang terdapat dalam surat AlImran: 104 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung” b) Bentuk-Bentuk Dakwah Dakwah bil lisan. Dakwah ini dilakukan dengan menggunakan lisan, antara lain : 31 Amrullah Ahmad,ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), h. 2. 32 Qurasih Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung Mizan, 1996), cet ke-XIX, h. 194. 32 1) Qaulun ma’rufun, dengan berbicara dalam pergaulanny sehari-hari yang disertai dengan misi agama yaitu Islam, seperti penyebarluasan salam, mengawali perbuatan dengan membaca basmallah, atau Al-Fatihah. 2) Mudzakarah, yaitu mengingatkan orang lain jika berbuat salah, baik dalam ibadah maupun perbuatan. 3) Nasihatuddin, yaitu memberi nasihat kepada orang yang dilanda problem kehidupan agar mampu melaksanakan agamanya dengan baik, seperti bimbingan penyuluhan agama dan sebagainya. Dakwah bil hal, yaitu dakwah yang dilakukan melalui berbagai kegiatan yang langsung menyentuh kepada masyarakat sebagai objek dakwah atau berdakwah melalui perbuatan, mulai dari tutur kata, tingkah laku, sampai pada kerja bentuk nyata seperti mendirikan panti asuhan, fakir miskin, sekolah-sekolah, rumah ibadah, dan lain-lain.33 Dakwah bil hal merupakan upaya dakwah dengan melakukan perbuatan nyata, tentunya wujudnya beraneka ragam, dapat berupa bantuan yang diberikan pada orang lain baik bantuan moril maupun materiil sebagai mana firman Allah : “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anakanak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan Kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kamu penolong dari sisi Engkau!””. 33 Toha Yahya Omar, Islam dan Dakwah, (Jakarta; al-Mawardi, 2004), h.75 33 Dalam ayat ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum muslimin membela, membantu saudara-saudaranya yang lemah dengan cara mengetuk pintu hati setiap orang yang memiliki perasaan dan berkeinginan baik. c) Unsur-unsur Dakwah 1) Subjek dakwah Di sini adalah da‟i yaitu seseorang sebagai pelaku dakwah atau komunikator. Da‟i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik secara lisan, tulisan maupun perbuatan, individu, kelompok, organisasi atau lembaga. Da‟i sering disebut “muballigh” (orang yang menyampakan ajaran Islam). Seorang da‟i selaku subyek dakwah adalah unsur terpenting yang menduduki peranan strategis. Da‟i adalah seorang muslim yang memiliki syarat-syarat dengan kemampuan tertentu yang dapat melaksanakan dakwah dengan baik. 34 Adapun syarat-syarat yang diperlukan utuk menjadi seorang da‟i menurut Hafi Anshari antara lain: (a) Peryaratan jasmani (fisik) Kesehatan jasmani menjadi faktor yang penting dalam mempelancar dakwah disamping itu kondisi jasmani dan penampilan fisik seorang da‟i akan menjadi kebanggan bagi mad‟u. Persyaratan yang dimaksud meliputi: kesehatan jasmani secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh mengenai cacat atau tidak. 34 Hamzah Ya‟kub, Publisistik Islam, (Bandung: Diponogoro, 1981), h.13 34 (b) Persyaratan ilmu pengetahuan Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman da‟i terhadap unsur-unsur dakwah yang ada seperti mad‟u, materi, media serta tujuan dakwah. (c) Persyaratan kepribadian Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan, sudah barang tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan itu terwujud ditentukan oleh faktor kemampuan da‟i untuk memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh dan keteladanan. Seorang da‟i haruslah mempunyai kepribadian yang baik, watak dan sikapnya menyenangkan, perilaku baik dan bisa dijadiakan contoh.35 2) Objek Dakwah (mad‟u) Obyek dakwah ialah sasaran, penerima, khalayak, jama‟ah, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, komunikan yang menerima dakwah Islam. Obyek dakwah adalah amat luas, ia adalah masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya. Dengan mengetahui klasifikasi obyek dakwah, memudahkan bagi da‟i melakukan penyesuaian dalam penyampaian isi pesan dakwahnya, tergantung permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat, sehingga 35 HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993). h.105-106 35 dakwah dapat menyentuh langsung di hati obyek (sasaran) dakwah. Seperti misal, Jika yang menjadi obyek dakwah adalah kebanyakan golongan petani, makai diberikan penjelasan bagaimana cara bertani yang baik sehingga hasil pertaniannya meningkat dan bagaimana peningkatan tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada Allah. Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama dengan mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih memahami bagaimana beribadah dengan baik akan membantu mereka untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Sudah barang tentu da‟i yang bertugas di kalangan buruh atau petani atau lainnya haruslah mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dunia buruh dan tani. Dalam hal ini, khutbah atau tabligh perlu disesuaikan dengan persoalan buruh dan petani. Di samping itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih konkret seperti latihan keterampilan kerja, pemilihan bibit dan pupuk, sehingga mereka merasa diperhatikan. Tak lupa juga masalah bagaimana memasarkan hasil tani. Lapangan kerja apa saja yang sedang dibutuhkan dan dagang apa saja yang sedang laku dan seterusnya.36 3) Metode Dakwah Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan suatu kegiatan dakwah adalah karena menggunakan metode yang efektif ditentukan. Metode ini adalah satu skema, satu rancangan bekerja untuk menyusun satu macam masalah menjadi satu sistem pengetahuan. Secara etimologi, istilah 36 Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 1997), cet. Ke-1. h. 47 36 metode berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ”metodos” yang berarti cara atau jalan. Dengan demikian, metode berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang di tempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Tidak semua metode cocok untuk setiap sasaran dakwah untuk setiap sasaran yang akan dipengaruhi. Begitu pula dalam hal dakwah. Dalam hal ini Allah memberikan pedoman pokok dalam surat surat an-Nahl ayat 125: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 4) Materi Dakwah Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, keseluruhan ajaran Islam, yang ada di dalam Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya, yang pada pokoknya mengandung tiga prinsip, yaitu: Aqidah, yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah swt. dan ini menjadi landasan yang fundamental dalam keseluruhan aktifitas seorang muslim, baik yang menyangkut sikap mental maupun sikap lakunya dan sifat-sifat yang dimiliki. Hal ini merupakan manifestasi masalah-masalah yang berkitan dengan keyakinan (keimanan) yang meliputi: Iman kepada Allah, iman 37 kepada Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasulrasul-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada Qadla dan qadar. Syari‟at, yaitu rangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan haram, mana yang mubah dan sebagainya, dan ini juga menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minallah dan hablun minannas). Pembahasan yang termasuk dalam syari‟ah meliputi : - Ibadah, (dalam arti khusus) yaitu: thaharah, sholat, zakat, puasa, haji. - Mu’amalah, (dalam arti luas): al-qanunul khas (hukum perdata): yaitu munakahah (hukum nikah), waratsah (hukum waris). al-qanunul ’am (hukum publik) yaitu: jinayah (hukum pidana), khalifah, hukum niaga, Jihad (hukum perang dan damai). Akhlaq, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan Allah. maupun secara horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk-makhluk Allah. Ada pun pembagian akhlak adalah: akhlak terhadap khaliq. Akhlaq terhadap mahluk, meliputi: akhlak terhadap manusia; (diri sendiri, tetangga, masyarakat). ahlak tehadap bukan manusia (flora, fauna, dan lain-lain). Keseluruhan ajaran Islam menjadi materi dakwah, tidak ada lain adalah bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits. Oleh karena itu pengkajian, pendalaman, pengamalan materi dakwah menjadi sangat dominan bagi pelaksana dakwah (da‟i). 38 Aqidah dalam Islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini pembahasannnya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya Syirik, Ingkar dan sebagainya. Allah berfirman : “dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.”(Q.S. Az-Zumar – 65) Sumber-sumber materi dakwah adalah : a. Al-Qur‟an Dan Al-Hadits. Agama islam adalah agama yang menganut kitabnya allah yakni al-qur‟an dan al-hadits rasulullah saw yang mana kedua ini merupakan sumber utama ajaran-ajaran islam. Oleh karenanya materi dakwah islam tidaklah dapat terlepas dari dua sumber tersebut, bahkn bila kita tidak bersandar dari keduanya (Al-qur‟anhadits ) seluruh aktivits dakwah akan sia-sia dan dilarang oleh syari‟at islam.37 b. Ra’yu Ulama (Opini Ulama) Islam menganjurkan umatnya untuk berfikir-fikir, berijtihad menemukan hukum-hukum yang sangat operasional sebagai tafsiran 37 HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah, (Surabaya; Al-Ikhlas, 1993). h.105 39 dn akwil Al-qur‟an dan hadits. Maka dari hasil pemkiran dan penelitian para ulama‟ ini dapat dijadikan sumber kedua setelah alqur‟an dan al-hadits dengn kata lain penemuan baru yang tidak bertentangan dengan al-quran dan al-hadits dapat pula di jadikan sebagai sumber materi dakwah. Materi dakwah yang hendak di dakwahkan itu adalah pancaran sinar dari asas hidup islam yang dituturkan wahyu. Bersumber kepada wahyu kita kita buat rumus, pola dan formula, cetakbiru dari materi yang hendak kiata dakwahkan, kita susun materi dakwah. Bertlak dari asas hidup dan pandangan hidup islam, kita bentuk maddah perjuangan, kita letakan qoidah perjuangan, kita rentangkan khitthah perjuangan. Maddah yang jelas, khitthah yang terang dan qo‟idah yang kuat akan memahirkan kita dan menuntun kita dalam memiliki khid‟ah dan maidah perjuangan. Jika semua itu didukung oleh pemikir dan pejuang yang berwatak yang bermoral dan berkarakter, maka perjuangan yang di kendalikanya akan dapat dijadikan tumpangan kepercayaan umat yang berjuang. Maddah (materi). Khittha dan wijhah, khid‟ah dan makidah, semua itu tidak boleh lepas dari sumbernya. Ialah wahyu ilahi dan sunnah nabi muhammad Saw. 5) Tujuan Dakwah Setiap pekerjaan yang dilakukan mempunyai tujuan, demikian juga dengan dakwah. Dakwah yang disampaikan Rasulullah mempunyai tujuan yang jelas untuk menyelamatkan umat manusia dari berbagai bentuk kesesatan kepada keridhaan Allah SWT. Tanpa adanya tujuan tertentu yang 40 harus diwujudkan maka dakwah tidak mempunyai arti apa-apa, bahkan menjadi suatu perkerjaan yang sia-sia. Tujuan dilaksanakannya dakwah adalah mengajak manusia ke jalan yang benar yaitu jalan Allah SWT. Disamping itu, dakwah bertujuan untuk mempengaruhi cara berpikir manusia, cara merasa, cara bersikap dan bertindak, agar manusia bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Allah Berfirman; “Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” D. Komunikasi Antar Budaya a) Pengertian Komunikasi Antar Budaya Untuk memahami interaksi antar budaya, terlebih dahulu harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut. Komunikasi adalah suatu proses yang di mana dua orang terlibat dalam percakapan dengan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang di percakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, 41 mengerti bahasa saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa tersebut. Jelas bahwa percakapan dua orang tersebut dapat dikatakan komunikatif, apabila keduanyaselain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.38 Menurut Sundra Hybels dan RichardL. Weafer II, bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara Menurut Billie J. Walhstrom mengungkapkan komunikasi adalah (1) pernyataan diri yang efektif; (2) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesanpesan dalam percakapan, bahkan melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi atau hiburan dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain; (4) pengalihan informasi dari seorang kepada orang lain; (5) pertukaran makna antar pribadi dengan sistem simbol; (6) proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu.39 Menurut Harold D. Lasswell, cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut : Who Says what In which Channel To Whom With What Effect? (Siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan efek bagaimana?). sedangkan Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (1964) mendifinisikan komunikasi, sebagai berikut; “Communication: the transmission of information, ideas, emotions, skills, etc. By the uses of symbol..” (komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol- 38 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung;CV Remadja Karya, 1985). h.11 39 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS, 2002). h. 4 42 simbol, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.)40 Menurut Carey menyatakan bahwa komunikasi merupakan suatu proses „ritual yang mengemukakan informasi dua model, yaitu: (1) model transisi, yakni model yang tidak secara langsung mengutamakkan perkuasan pesan pesan dalam ruang, tetapi diarahkan untuk mengelola masyarakat dalam satuan waktu, model yang tidak mengutamakan tindakan untuk mengambil bagian dalam informasi, untuk menarik orang lain agar turut serta dalam kebersamaan.41 Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu berubah. Sebagai pelaku komunikasi secara konstan dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai konsekuensinya, kita mengalami perubahan yang terus menerus. Komunikasi terjadi antara sumber dan penerima. Ini mengimplikasikan dua orang atau lebih yang membawa latar belakang dan pengalaman unik mereka masing-masingke peristiwa masing-masing ke peristiwa komunikasi. Komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial. Ketika berinteraksi dengan seseorang, interaksi tidaklah terisolasi, tetapi ada dalam lingkungan fisik tertentu dan dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik meliputi objek-objek fisik tertentu seperti mebel, alat musik, karpet atau tidak ada kesemerawutan, pesan-pesan lain yang menyaingi, dan sebagainya. Konteks sosial menentukan hubungan sosial antara sumber dan penerima. Perbedaan-perbedaan posisi seperti guru-murid, atasan-bawahan, orangtua40 41 h. 40 Wiryanto, “Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006) h.7 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta,LKiS, 2002). 43 anak, dokter-pasien, dan sebagainya, mempengaruhi proses komunikasi. Dan sering lingkungan fisik turut menentukan konteks sosial. Bagaimana pun konteks sosial tersebut, mempengaruhi komunikasi. Bentuk bahasa yang digunakan, penghormatan atau kurangnya penghormatan yang ditunjukan kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara dengan siapa dan drajat kegugupan atau kepercayaan diri yang diperlihatkan orang, semua itu adalah sebagian saja dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial. 42 Saat ini harus paham, bahwa komunikasi manusia tidak terjadi dalam “ruang hampa” sosial. Alih-alih, komunikasi merupakan suatu matriks tindakan-tindakan sosial yang rumit dan saling berinteraksi, serta terjadi dalam suatu lingkungan sosial yang kompleks. Lingkungan sosial ini merefleksikan bagaimana orang hidup, bagaimana ia ia beriteraksi dengan orang lainnya. Lingkungan sosial ini adalah budaya, dan bila ingin benar-benar memhami komunikasi, harus memahami budaya juga. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi , tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respon-respon terhadap dan fungsi-fungsi budaya mereka. 42 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya; Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1993) h. 17 44 Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakn diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasiyang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.43 Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena itu budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik. Budaya mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya komunikasi mempengaruhi budaya. Karena itulah menjelaskan keterkaitan kedua unsur ini menjadi sedikit rumit.44 Martin dan Nakayama (2003:86) menjelaskan bahwa melalui budaya dapat mempengaruhi proses dimana seseorang mempersepsi suatu realitas. Semua komunitas dalam semua tempat selalu memanifestasikan atau mewujudnyatakan apa yang menjadi pandangan mereka terhadap realitas 43 44 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h.19 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h. 20 45 melalui budaya. Sebaliknya pula, komunikasi membantu kita dalam mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas.45 Budaya atau kebudayaan adalah sesuatu yang sudah melekat erat di dalam individu, masyarakat atau kelompok tertentu yang berkaitan dengan minat dan bidang pengetahuan. Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari dan diikuti oleh seseorang guna melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Kebudayaan berorientasikan pada kelompok, dipelajari berdasarkan pendidikan, bahasa, interaksi, dan konteks langsung dengan lingkungan yang dilakukan sejak lahir sehingga mempengaruhi seseorang individu. Kebudayaan juga diartikan sebagai budi dan akal. Hal ini juga berarti kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan budi dan akal. Dalam perkembangannya, kebudayaan berarti juga buah pikiran, hasil karya manusia berbentuk sesuatu yang indah seperti karya seni. Wujud kebudayaan ada tiga macam, yaitu kebudayaan ideal, lalu sistem sosial dan yang terakhir kebudayaan fisik. Beberapa unsur universal yang ada di dalam kebudayaan adalah sistem religi dan juga upacara keagamaan, sistem dan organisasikemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, ada juga kesenian, sistem mata pencaharian, dan juga sistem teknologi.46 Budaya memiliki fungsi untuk mengatur, mengendalikan, dan memberikan arahan pada tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai, norma, dan 45 Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004). h.19 46 Bakker, JWM. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. ( Yogyakarta: Kanisius, 1999). h.57 46 keyakinan, yang termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan mempengaruhi persepsi juga sikap seseorang dan dikomunikasikan kepada masyarakat untuk dipatuhi demi tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Komunikasi berperan menyampaikan pengaruh positif dan negatif di dalam masyarakat dan mengajarkan tingkah laku yang baik. Sejatinya, seseorang bisa belajar komunikasi adalah melalui kebudayaan yang ada. Begitu pula sebaliknya dengan kepandaian seseorang dalam komunikasi, tujuan kebudayaan akan tercapai dengan baik di dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari di dalam fenomena sosial melalui contoh perbuatan tentang nilai kehidupan seperti nilai baik dan buruk, sesuatu yang harus dilakukan, atau sebaliknya sesuatu yang harus ditinggalkan. Tempat belajar kebudayaan pertama kali adalah di lingkungan keluarga. Selanjutnya, pembelajaran itu akan berkembang menjadi nilai-nilai yang mencerminkan sistem kebudayaan suatu lingkungan tertentu. Melalui kebudayaan, terjadi komunikasi antarindividu atau kelompok untuk berbagai macam urusan. Komunikasi dan budaya, keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan dalam memberikan hubungan timbal balik. Komunikasi membentuk kebudayaan yang terjadi di masyarakat sedangkan kebudayaan menentukan pola dan aturan-aturan di dalam komunikasi. Perilaku individu sangat tergantung pada kebudayaan yang ada di daerah tersebut.47 Manusia mampu menciptakan dan mengembangkan pengetahuan, makna, simbol, nilai-nilai, aturan, dan tata upacara yang memberikan batasan 47 Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004). h.147 47 serta bentuk pada hubungan-hubungan melalui komunikasi. Selain itu, melalui komunikasi juga unsur-unsur kebudayaan bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Komunikasi menjadi sarana individu untuk menyesuaikan diri dengan budaya-budayanya sendiri ataupun dengan budaya asing yang ditemuinya. Jadi, melalui komunikasilah kebudayaan bisa dirumuskan, dibentuk, dan dipelajari. Banyak sekali manfaat yang didapatkan melalui proses komunikasi. Beberapa di antaranya adalah melalui komunikasi kita bisa meningkatkan pengetahuan untuk diri sendiri dan menyampaikannya kepada orang lain. Selain itu, melalui proses komunikasi kita bisa menjelaskan berbagai macam kendala dan masalah yang timbul tentang kebudayaan ataupun proses pemahaman budaya dan juga dengan komunikasi kita bisa meningkatkan pengetahuan tentang kemajuan teknologi dan informasi. Hal ini sangat penting bagi kita agar kita melek teknologi dan bisa menggunakan teknologi dengan bijak. Komunikasi tentang kebudayaan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Komunikasi ini bisa terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Pada kenyataanya, terdapat berbagai macam budaya yang menjadi ciri khas dan kebiasaan kelompok masyarakat tertentu yang sering kita temui. Namun, keragaman tersebut bisa berjalan beriringan dengan terjalinnya komunikasi yang baik di dalam masyarakat baik di dalam suatu negara maupun di seluruh dunia. Contoh kebudayaan yang ada adalah budaya berdasarkan wilayah seperti budaya timur dan barat. Budaya berdasarkan negara seperti budaya Indonesia, budaya Prancis, dan budaya Malaysia. Budaya berdasarkan suku atau ras di dalam suatu negara seperti budaya Cina Indonesia, budaya Amerika, 48 dan Asia. Budaya berdasarkan strata sosial seperti budaya rakyat bawah atau budaya orang kaya (golongan menengah ke atas). 48 Berbagai macam jenis komunikasi bisa terjadi di dalam lingkup budaya dengan konteks isi yang berbeda-beda. Komunikasi di kalangan politisi berbeda dengan komunikasi yang terjadi di kalangan tokoh keagamaan. Begitu juga dengan komunikasi yang terjadi di dalam lingkup sosial yang lainnya tergantung dari konteks sosial kebudayaan yang ada di sana. Berbagai macam latar belakang mempengaruhi isi komunikasi budaya yang terjadi. Faktor yang mempengaruhinya seperti latar belakang pendidikan dan penerimaan kemajuan teknologi. Di sini, tampak begitu dekat hubungan antara komunikasi dan budaya yang ada. Latar belakang budaya yang berbeda-beda secara otomatis akan mempengaruhi cara komunikasi seseorang. Pengaruh tersebut muncul akibat adanya suatu persepsi dan pemaknaan terhadap suatu realitas yang terjadi di dalam masyarakat. Salah satunya adalah persepsi kepercayaan yang merupakan persepsi pribadi yang merujuk kepercayaan seseorang pada pandangan kualitas tertentu meskipun pandangan tersebut dapat dibuktikan secara logis atau tidak. Misalkan saja, kebudayaan mempercayai bahwa berdoa membantu menyembuhkan penyakit, menabrak kucing hitam akan membawa kemalangan dan berbagai macam jenis kepercayaan yang lainnya. Budaya memainkan peranan yang sangat kuat dalam pembentukan kepercayaan seseorang bahkan masyarakat. 49 48 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS, 2002). h. 12 49 Alo Liliweri. h.14 49 Kita harus berhati-hati di dalam berkomunikasi dengan konteks antarbudaya. Kita tidak bisa memvonis suatu kepercayaan itu benar atau salah. Hal terpenting yang harus kita lakukan adalah membangun komunikasi yang baik dengan orang lain ketika memiliki kebudayaan yang berbeda dan menghargai kepercayaan lawan bicara yang kita hadapi meskipun kepercayaan tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita percayai. Kepercayaan yang diyakini oleh seseorang menjadi nilai-nilai budaya yang disepakati di dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi rujukan benar, salah, baik, dan buruk di lingkungan tertentu. Perilaku komunikasi seseorang menjadi pembeda ketaatan seseorang terhadap budaya yang ada. Nilai-nilai budaya mampu membentuk perilaku-perilaku para anggota budayanya sebagaimana tuntutan budaya yang terjadi di masyarakat tersebut. Hingga pada akhirnya, kepercayaan suatu masyarakat terhadap budaya menjadi sebuah nilai yang berkontribusi pada pengembangan sikap masyarakatnya. 50 Komunikasi dan budaya akan selalu berkaitan. Budaya tidak akan bisa terbentuk tanpa adanya komunikasi. Pola komunikasi yang terjadi pun sesuai dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut dan menggambarkan identitas budaya seseorang. Aktivitas komunikasi dari seseorang yang memiliki kebudayaan tertentu adalah representasi dari kepercayaan, nilai, sikap, dan pandangan dunia dari budayanya itu. Nilai-nilai 50 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS, 2002). h. 19 50 dan esensi suatu budaya mampu diperkuat dengan adanya komunikasi yang terbentuk di dalam masyarakat.51 b) Bahasa Verbal dan Non Verbal Bahasa Verbal : Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.52 Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orangorang melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar tentang diri kita melalui cara-cara orang lain 51 Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004). h.150 52 h.33 Mulyana, Deddy. KomunikasiAantarbudaya. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1993). 51 bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang komunikatif .53 Bahasa begitu vital dalam kehidupan manusia, realitasnya mungkin tidak ada tanpa bahasa. Bahasalah yang telah memberikan makna terhadap semesta kehidupan ini. Disetiap daerah memiliki perbedaan bahasa, bahkan setiap generasi memiliki bahasa yang berbeda dan unik. Bahasa Nonverbal Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal. Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat 53 Samovar, Porter dan Mc. Daniel, Komunikasi AntarBudaya.(Jakarta; Salemba Humanika, 2007). h. 164 52 berlangsung spontan dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi berikut: a. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal b. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteuh atau melengkapi perilaku verbal. c. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal. d. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. e. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilkau verbal.54 Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.55 Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam proses komunikasi antarbudaya: Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol54 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2008). h.121 55 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS, 2002). h. 12 53 simbol yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut. Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosialbudaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan. Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara orang dari budaya yang berbeda. 54 Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian- pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan menentukan perilakuperilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapanwaktuyangtepatataulayakuntuk mengkomunikasikan perassan, walaupun keadaan internal. Jadi, pemikiran, perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan.56 c) Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Contoh akulturasi: Saat budaya rap dari negara asing digabungkan dengan bahasa Jawa, sehingga 56 Dadan Anugrah. Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta, Jala Permata, 2008) h. 88 55 menge-rap dengan menggunakan bahasa Jawa. Ini terjadi di acara Simfoni Semesta Raya. Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latina cculturate yang berarti “tumbuh dan berkembang akulturasi (acculturation) adalah bersama”. perpaduan Secara dua umum, buah budaya yang menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut. Misalnya. proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Sedangkan, menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengankebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan Tanpa rasa terkejut. Syarat lainnya adalah adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercema akiat keserupaan tingkat dan corak budayanya. Thomas Glick (1997) akulturasi adalah proses pergantian budaya yang diset dalam gerakan dari pertemuan sistem budaya yang otonom. Hal tersebut menghasilkan sebuah peningkatan persamaan antara satu dengan yang lainnya.Robert Herskovits dalam American Redfield, Ralph Antropologist Linton dan Melville (1936) menjelaskan bahwa akulturasi merupakan sebuah hasil ketika dua kelompok budaya dari individu-individu saling bertukar perbedaan budaya, timbul dari keberlanjutan perjumpaan pertama. Dimana terjadi perubahan dari pola asli kebudayaan dari kedua kelompok tersebut. 56 Akulturasi dapat terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya dapat bermacam-macam, antara lain sebagai berikut. Kontaksosial dapat terwujud pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian masyarakat, atau bahkan antarindividu dalam dua masyarakat. Kehadiran teknologi misalnya, tentu berbeda dengan kehadiran seorang ulama. Kehadiran seorang ahli psikologi berbeda dengan kehadiran seorang ahli ekonomi. Kontak budaya dapat terwujud dalam situasi bersahabat atau situasi bermusuhan. Kontak budaya dapat terwujud antara kelompok yang menguasai dan dikuasai dalam seluruh unsur budaya, baik dalam ekonomi, bahasa. teknologi. kemasyarakatan. agama, kesenian, maupun ilmu pengetahuan. Kontak budaya dapat terwujud di antara masyarakat yang jumlah warganya banyak atau sedikit. Kontak budaya dapat terwujud dalam ketiga wujud budaya baik sistem budaya, sistem sosial, maupun unsur budaya fisik.57 Hasil proses akulturasi budaya ditentukan oleh kekuatan setiap budaya. Semakin kuat suatu budaya maka semakin cepat memengaruhi budaya lainnya. Salah satu contoh dari proses akulturasi di Indonesia adalah yang terjadi di daerah transmigrasi. Di antara berbagai suku bangsa yang terdapat di daerah transmigrasi, secara alami terjadi pertemuan dua budaya 57 Nana, Mamat dan Kosim, Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosoiologi), (Jakarta, PT. Grafindo Media Pertama, 2006) h.87 57 atau lebih. Dalam proses akulturasi, perbedaan-perbedaan yang ada berjalan beriringan dengan unsur persamaan-persamaan yang mereka miliki sampai pada akhirnya budaya memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar dalam proses akulturasi. d) Peran Komunikasi Dalam Akulturasi Peran akulturasi banyak berkenaan dengan usaha menyesuaikan diri dengan, dan menerima pola-pola dan aturan-aturan komunikasi dominan yang ada pada masyarakat pribumi. Kecakapan komunikasi pribumi yang diperoleh pada gilirannya akan mempermudah semua aspek penyesuain diri lainnya dalam masyarakat pribumi. Dan informasi tentang komunikasi imigran memungkinkan kita meramalkan derajat dan pola akulturasinya.Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Proses akulturasi akan segera berlangsung saat seorang imigran memasuki budaya pribumi. Proses akulturasi akan terus berlangsung selama imigran mengadakan kontak langsung dengam sistem sosio-budaya pribumi. Semua kekuatan akulturatif-komunikasi persona dan sosial, lingkungan komunikasi dan potensi akulturasi mungkin tidak akan berjalan lurus dan mulus, tapi akan bergerak majumenuju asimilasi yang secara hipotesis merupakan asimilasi yang sempurna. Jika seorang imigran ingin mempertinggi kapasitas akulturatifnya dan secara sadar berusaha mempermudah proses akulturasinya, maka ia harus 58 menyadari pentingnya komunikasi sebagai mekanisme penting untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dan memiliki suatu kecakapan komunikasi dalam budaya pribumi, kecakapan kognitif, afektif, dan perilaku dalam berhubungan dengan lingkungan pribumi. Akulturasi adalah suatu proses interaktif "mendorong dan menarik" antara seorang imigran dan lingkungan pribumi. Imigran tidak akan pernah mendapatkan tujuan akulturatifnya sendirian, tetapi anggota-anggota masyarakat pribumi dapat mempermudah akulturasi imigran dengan menerima pelaziman budaya asli imigran. Hal tersebut dapat terjadi dengan memberikan situasi-situasi komunikasi yang mendukung kepada imigran, dan menyediakan diri secara sabar untuk melakukan komunikasi antarbudaya dengan imigran. Masyarakat pribumi dapat lebih aktif membantu akulturasi imigran dengan mengadakan program-program latihan komunikasi. Dan nantinya segala program latihan tersebut harus membantu imigran dalam memperoleh kecakapan komunikasi.58 Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan- kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh 58 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005), h.149 59 individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita. Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka.Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individuindividu itu disebut enkulturasi.59 Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya. Transaksi- transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang 59 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h.155 60 menjadi lingkungan barunya. Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek kehidupan yang asing. Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan responrespon yang telah terkondisikan menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasisituasi problematik tetapi merupakan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi. Walaupun percakapan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang alami (karena kita tidak dapat menghindarkan percakapan, namun percakapan bukanlah sesuatu yang tanpa konsekuensi. Percakapan yang kita laukan membentuk siapa dan bagaimana diri ini akan membahas teori-teori yang berada dalam kelompok pemikiran kritis (tradisi kritis), yang akan menunjukkan kepada kita bagaimana penggunaan bahasa dalam percakapan 61 menolak bentuk-bentuk komunikasi egaliter yang memberdayakan seluruh kelompok masyarakat. 60 Variabel-variabel Komunikasi Dalam Akulturasi 1) Komunikasi Persona Komumikasi persona (interpersona) mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan merespon lingkungannya. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi ialah kompleksitas sruktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Selama fase-fase awal akulturasi, persepsi seorang imigran atas lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun, setelah imigran mengetahui budaya pribumi lebih jauh persepsinya menjadi lebih luas dan kompleks, memungkinkannya menemukan banyak variasi dalam lingkungan pribumi. 2) Komunikasi Sosial Komunikasi sosial dapat dikategorikan lebik jauh kedalam komunikasi antarpersona dan komunikasi massa. Komunikasi antar persona terjadi melalui antar hubungan-hubungan antar persona, sedangkan komunikasi massa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih umum, yang dilakukan indivudu-individu yang terinteraksi dengan lingkungan sosiobudayanya tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan individu-individu tertentu. 60 Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group; 2013), h. 266 62 3) Lingkungan Komunikasi Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran snagat tergantung pada derajat “kelengkapan kelembagaan” komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggotaanggotanya (Taylor, 1979). Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-takanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi. Namun keterlibatan imigran yang ekstensif dalam komunitas etniknya tanpa kominikasi yang memadai dengan anggota-anggota masyarakat pribumi mungkin akan mengurangi intensitas dan kecepatan akulturasi imigran (Broom dan Kitsuse, 1976).61 Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya mereka. Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi. Kecakapan komunikasi yang diperoleh imigran tidak hanya penting bagi semua aspek penyesuain diri lainnya, tapi juga penting bagi masyarakat pribumi bila kecakapan komunikasi imigran tersebut daoat secara efektif menampung berbagai unsur dan memelihara kesatuan dan kekuatan masyarakat yang diperlukan. Begitu pula dengan teori yang dikemukan oleh Everett M Roger, adalah sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem 61 Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996.) h. 200 63 sosial, sedangkan kalau inovasi didefinisikan sebagai “an idea, practice, or object perceived as new by the individual” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu). Adapun Unsur unsur dalam Difusi Inovasi adalah sebagai berikut 1. Innovation ( Inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap baru oleh individu atau kelompok. 2. Communication channel ( saluran komunikasi ), yaitu bagaimana pesan itu didapat suatu individu dari individu lainnya. 3. Time ( waktu ), ada tiga faktor waktu, yaitu : Innovation decision process (proses keputusan inovasi) Relative time which an inovation is adopted by individual or group. (waktu relatif yang mana sebuah inovasi dipakai oleh individu atau kelompok) Innovation’s rate of adoption (tingkat adopsi inovasi) 4. Social System ( sistem sosial ), yaitu serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum. Sedangkan untuk Model keputusan adopsi inovasi adalah 1. Knowledge (pengetahuan) 2. Persuasion (kepercayaan) 3. Decision (keputusan) 4. Implementation, dan (penerapan) 5. Confirmation (penegasan/pengesahan) 64 Dalam tahap yang pertama adalah Knowledge Stage/tahap pengetahuanadalah merupakan Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan Knowledge Stage. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa ?, bagaimana ?, dan mengapa ? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada knowledge stage ini. Selama tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu ? bagaimana dan mengapa ia bekerja ? Dalam tahap kedua adalah Persuasion (kepercayaan). Tahap Persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. Dalam tahap ketiga adalah Decision (keputusan). Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “ not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena 65 biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Dalam tahap keempat yaitu Implementation, dan (penerapan). Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda. Dalam tahap kelima yaitu Confirmasi. Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. 66 Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu .62 62 http://dwikartikawati.blogspot.com/2011/02/diffusion-of-innovations-teori-difusi.html BAB III PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM WAYANG KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA BANGOREJO A. Sejarah Hidup Ki Yuwono Dwi Arto Yuwono, nama lengkap dari dalang muda berprestasi di Kabupaten Banyuwangi, yang biasa disapa dengan panggilan Ki Yuwono ini lahir di desa Balurejo, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 9 Juni 1978. Ki yuwono merupakan seorang putra ke dua dari pasangan bapak Suparman dan ibu Surtiani. Lahir dari keturunan seniman wayang, mengikuti jejak sang ayah sebagai dalang wayang kulit. Dan ibu Surtiani adalah seorang rias pengantin. Kedua orang tua Ki Yuwono ini cukup dikenal oleh masyarakat Pesanggaran pada saat itu. Memiliki 3 keturunan, Wahyu Adi Prasetyo, Dyah Ayu Indriani, dan Hapsari Putri Rahayu, yang dimana darah seniman mengalir kepada ketiga anaknya. Anak pertamanya dapat memainkan wayang sebagai mana Ki Yuwono memainkan wayang, meskipun tidak begitu intens memainkannya, secara tidak langsung darah seniman mengalir dalam dirinya. Begitu pula pada anak ketiganya yang dapat “menyinden”, dijuluki sinden cilik oleh teman-teman dalang Ki Yuwono, Hapsari tidak lah malu untuk menampilkan bakat keturunan pertama kali pada usia 6 tahun, yang membuat Ki Yuwono tercengang mendengarkannya. Selain Seni Pedalangan Ki Yuwono juga bisa membuat Wayang Kulit sendiri, ya walaupun belum mempuni tapi layak untuk dipentaskan.Karena dalam seni pedalangan itu melibatkan Seni Karawitan, Seni Kriya, Seni Tatah Sungging. 67 68 Seni dalam pembuatan Wayang Kulit yang telah terwujud ya itu Dua buah Buto raksasa, yang panjangnya mencapai + 2,5 meter. Menganyam pendidikan dasar di SDN Karangdara 9, Banyuwangi, Ki Yuwono dikenal mudah bergaul. Pada usia 11 tahun, Ki Yuwono sudah mengikuti ayahnya untuk pentas kesenian wayang. Dari sinilah bakat Ki Yuwono tampak, dan sang ayah giat untuk mengajaknya saat sang ayah mendapat panggilan pementasan wayang dimana-mana. Pertama kali Ki Yuwono tampil tanpa didampingi sang ayah di belakangnya, pada saat khitanan teman SMP-nya waktu duduk dibangku SMP 6 Ngajung, Kabupaten Malang. Dengan modal keberanian dan percaya pasti bisa, Ki Yuwono memberanikan diri untuk tampil pertama kalinya. Dengan terus meminta bimbingan dari sang ayah di kemudian harinya. Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Malang, Ki Yuwono kembali ke tanah leluhurnya di Pesanggaran. Tetapi beliau tak lama kemudian berpindah tempat tinggal dari Pesanggaran ke desa Stembel, Kecamatan Jajag. Dari desa hijrah ke kota, begitu beliau menyebutnya. Disaat inilah beliau di uji kesetiannya dengan wayang kulit, saat bertemu dengan teman-teman sebayanya saat duduk dibangku SMA, Ki Yuwono mengalami masa remaja yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pementasan wayang kulit dimannapun akan didatangi, berbeda pada masa kali ini, Ki Yuwono lebih senang dengan Cangkruk (nongkrong) bersama dengan teman-temannya. Rasa bosan dengan dunia wayang atau dalang, beliau mengatakan hampir 75% kesenangannya dengan wayang menghilang pada saat itu, tetapi masih ada 25% menyukai wayang. Saat itu, ada pementasan wayang, dalangnya adalah ayahnya, sedikitpun tidak melihat ayahnya pentas tetapi lebih senang Cangkruk. Bahkan dalang kondang Ki Manteb 69 Sudarsono saat pentas didaerah itu, beliau menghiraukan begitu saja. Lepas dari masa-masa SMA, Ki Yuwono bertekat untuk mengembangkan bakatnya kembali. Bersama sahabat sang ayahnya beliau mengembangkan bakat sebagai dalang, Ki Guntur Carito adalah „guru‟ saat beliau lepas dari SMA. Sebagai Penyimping (seseorang yang duduk dibelakang dalang dan bertugas menyiapkan wayang kulit yang akan di tampilkan oleh sang dalang), disinilah Ki Yuwono memperdalam dunia dalang. Tidak hanya dengan satu sahabat ayahnya saja, tetapi Ki Yuwono juga belajar dengan Ki Sukarno Kondho Wahono. Tidak ada praktek atau belajar dalang secara formal yang dilakukan oleh Ki Yuwono, hanya memperhatikan bagaimana Ki Guntur dan Ki Sukarno saat pementasan. Hampir setiap keduanya ada pementasan, Ki Yuwono selalu mengikuti untuk belajar bagaimana menjadi dalang yang sesungguhnya.1 Ki Yuwono bergabung bersama PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Banyuwangi. Prestasi yang pernah di raih oleh beliau adalah menjadi 5 besar pada tingkat provinsi Jawa Timur pada tahun 2003, penyaji terbaik se-Jawa Timur tingkat Provinsi pada tahun 2011, penghargaan penyaji terbaik dari Dinas Pariwisata Provinsi JawaTimur pada tahun 2012, dan penghargaan Seniman Berbakat dari Bupati Banyuwangi pada tahun 2012. Bagi PEPADI Kabupaten Banyuwangi, Ki Yuwono adalah dalang andalan bagi Kabupaten Banyuwangi untuk pentas disegala ajang perlombaan pementasan wayang se-Indonesia. 1 Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono pada tanggal 27 Juli 2014 Pukul 11.16 WIB 70 B. Gambaran Umum Wayang a. Pengertian Wayang Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, wayang dalam bahasa Jawa, yang berarti “bayangan”, dalam bahasa Melayu disebut “bayangan-bayang”. Akar kata dari wayang adalah “yang”. Akar kata ini bervariasi dengan “yung, yong”, antara lain terdapat kata layang – “terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil; royong – selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain; poyang – payingan “ berjalan sempoyongan, tidak tenang” dan sebagainya.2 Awalan “wa” di dalam baha Jawa modern tidak mempunyai fungsi. Tetapi dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa. Seperti terdapat pada kata: Wahairi yang berarti “iri hati, cemburu”, sejajar dengan kata: bahiri dalam bahas Daya. Jadi bahasa Jawa wayang yang mengandung pengertian “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang),” telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika awalan “wa” masih mempunyai fungsi tata bahasa.3 Pengertian wayang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah : “boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang telah diukir, kayu yang dipahat, dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”4 Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini 2 Sri Mulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya,Jakarta: ALDA, 1975. 3 Ibid. Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia. H.1010 H. 11 4 71 selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan ini cukup kuat karena seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain. Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya. Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata “wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji 72 ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, diantaranya para Wali Sanga. Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga member pengaruh besar pada budaya wayang, terutama konsep religi dari falsafah wayang itu. Sejak zaman Kartasura, pengubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan Mahabarata semakin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. b. Jenis-Jenis Wayang Pertunjukan wayang kulit sudah berumur lebih dari 1000 tahun atau kongkritnya + 1111 tahun ( + 903 – 2014). Apabila dihitung dari pertunjukan bentuk aslinya sudah mempunyai umur + 3.534 ( + 1500 SM – 2014). Walaupun sudah lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap digemari dan tetap mendarahdaging bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku Jawa pada khususnya. Pertunjukan wayang kulit telah diakui UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).5 5 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta: Djambatan, 1998), h.5-6 73 Pada zaman penyebaran Islam di Jawa, juga telah digunakan sebagai alat perjuangan penyebaran agama dan budaya Islam. Walisanga, terutama Sunan Kalijaga dipercaya menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah dengan melakukan gubahan cerita pakem wayang kulit. Cerita wayang yang mulanya mereferensi pada keyakinan Hindu dan berasal dari daratan India lalu disesuaikan dengan ajaran Islam di Jawa. Sebut saja lakon Jimat Kalimasada yang dinilai terbukti efektif sebagai media siar Islam pada zaman kerajaan Demak Wayang kulit merupakan paling populer di kalangan masyarakat local hingga kini. Dalang wayang kulit biasanya biasanya di tanggap oleh keluarga – keluarga yang mengadakan pesta hajatan perkawinan dan khitanan. Dalam prosesi pesta hajatan tersebut, seorang dalang biasanya tidak sekedar berperan menghibur para pengunjung dengan pertunjukannya tetapi juga sebagai kiyai yang mendoakan agar mereka yang memiliki hajat selalu dilindungi dari segala bencana. Wayang berfungsi sebagai sarana penerangan, pendidikan dan komunikasi massa yang sangat akrab dengan masyarakat pendukungnya dengan tujuan akhirnya membangun kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya negara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu karya walisanga adalah tentang konsep Panakawan yang selalu ditampilkan dalam setiap pementasan wayang yang beliau dalangi. Para tokoh Panakawan ini selalu beliau tampilkan dalam setiap pementasan wayang kulit. Tokoh-tokoh Panakawan tersebut adalah : 1. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Mismar. Mismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran 74 dalam ajaran Islam Semar merupakan simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama. 2. Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik. 3. Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang. 4. Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si Bayangan Semar ini karakternya lancang dan suka berlagak bodoh.6 Jenis – jenis wayang : 1. Wayang Purwa: Wayang purwa disebut juga wayang kulit karena terbuat dari kulit lembu.Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit 6 Rizal Firdaus Al-Sam, “Wayang Sebagai Media Dakwah,” artikel diakses pada 16 Agustus 2014 dari http://rizalalsam.blogspot.com/2011/01/wayang-sebagai-media-dakwah.html 75 kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit. Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain: - Wayang Kidang kencana; boneka wayang berukuran sedang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk mendalang (wayang pedalangan).Wayang Ageng; yaitu boneka wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut wayang jujudan. - Wayang kaper;yaitu wayang yang berukuran lebih kecil dari pada wayang biasa. - Wayang Kateb;yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalku panjang tidak seimbang dengan badannya. Pada perkembangannya bentuk bangun wayang kulit ini mengalami perkembangan bahkan pergeseran dari yang tradisi menjadi kreasi baru. Pada zaman Keraton Surakarta masih berjaya dibuat wayang dalam ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai Kadung, hal ini yang mungkin mengilhami para dalang khususnya Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran lebih besar lagi. Misalnya Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah membuat Raksasa dengan ukuran 2 meter, dengan bahan 1 lembar kulit kerbau besar dan masih harus disambung lagi. Karya ini yang kemudian 76 ditiru oleh Dalang Muda lainnya termasuk Ki Entus dari Tegal, Ki Purbo Asmoro dari Surakarta, Ki Sudirman dari Sragen dan masih banyak lagi dalang lainnya. Penyaduran sumber cerita dari Ramayana dan Maha barta kedalam bahasa Jawa kuno dilakukan pada masa pemerintahan raja Jayabaya .pujangga yang terkenal pada masa itu ialah empuSedah ,empu panuluh empu Kanwa. Sunan Kalijaga salah seorang walisanga (demak,abad XV) adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang dari kulit lembu. 2. Wayang beber merupakan salah satu jenis wayang tertua di Indonesia. Dalam pertunjukan narasi ini, lembaran gambar panjang dijelaskan oleh seorang dalang. Wayang beber tertua dapat ditemukan di Pacitan, Donorojo, Jawa Timur. Selain dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, wayang beber juga menggunakan kisah-kisah dari cerita rakyat, seperti kisah asmara Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan dan memainkan wayang beber ini. Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadiwayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamen yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, 77 hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun 1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmoro Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo. 3. Wayang Krucil : Banyak orang menamakanya wayang klithik.Wayang ini terbuat dari kayu,bentuknya mirip wayang kulit. Biasanya meceritakan DamarWulan dan Majapahit. Untuk menancapkan Wayang klithik tidak ditancapkan di pelepah pisang seperti wayang kulit tetapi menggunakan kayu yang telah diberi lubang lubang. Wayang ini pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari bahan kulit dan berukuran dengan wayang krucil. kecil sehingga lebih Munculnya wayang sering disebut menak yang terbuat dari kayu, membuat Sunan Pakubuwana II kemudian menciptakan wayang klithik yang terbuat dari kayu yang pipih (dua dimensi). Tangan wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda dengan wayang lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang terbuat dari kayu. Apabila pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang diyakini sebagai asal mula istilah penyebutan wayang klithik.Di Jawa Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang 78 gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Di Jawa Timur tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang purwa, raja-rajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja. Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabarata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan. Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan wayang krucil memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun. 4. Wayang Gedog : Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang yang memakai cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman Majapahit. Bentuk wayangnya hampir sama dengan wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu memakai tekes dan rapekan. Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan gelung keling. Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai gantinya, terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orangorang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar, terdapat pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo), seperti Klana Siwandana, kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara 79 dan Daeng Purbayunus, dari Siam seperti Prabu Maesadura, dan dari negara Bali. Wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon diciptakan oleh Sunan Giri pada tahun 1485 (gaman naga kinaryeng bathara) pada saat mewakili raja Demak yang sedang melakukan penyerbuan ke Jawa Timur (invasi Trenggono ke Pasuruan). Wayang Gedog baru memakai keris pada zaman panembahan Senapati di Mataram. Barulah pada masa Pakubuwana III di Solo wayang gedog diperbarui, dibuat mirip wayang purwa, dengan nama Kyai Dewakaton.Dalam pementasannya, wayang gedog memakai gamelan berlaras pelog dan memakai punakawan Bancak dan Doyok untuk tokoh Panji tua , Ronggotono dan Ronggotani untuk Klana, dan Sebul-Palet untuk Panji muda.Seringkali dalam wayang gedog muncul figur wayang yang aneh, seperti gunungan sekaten, siter (kecapi), payung yang terkembang, perahu, dan lain-lain. Di Surakarta, tinggal ada dua dalang wayang gedog, yaitu Bp. Subantar (SMKI/ Konservatori) dan Bp. Bambang Suwarno, S.Kar (STSI) yang juga salah satu desainer wayang gedog yang masih bertahan sampai sekarang. 5. Wayang Golek : Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat populer, terutama di pulau Jawa dan Bali. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain dikenal wayang kulit, yang paling populer adalah Wayang golek . Istilah golek dapat merujuk kepada dua makna, sebagai 80 kata kerja kata golek bermakna 'mencari', sebagai kata benda golek bermakna boneka kayu. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang orang yang merupakan bentuk seni tari-drama yang ditarikan manusia, kebanyakan bentuk kesenian wayang dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain. Pertunjukan ini dilakukan menggunakan wayang tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Jenis wayang ini paling populer di Jawa Barat. Ada 2 macam wayang golek, yaitu wayang golek papak cepak dan wayang golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang golek purwa. Kisah-kisah yang digunakan sering mengacu pada tradisi Jawa dan Islam, seperti kisah Pangeran Panji, Darmawulan, dan Amir Hamzah, pamannya Nabi Muhammad a.s. 6. Wayang Wong : Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan 81 yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.7 C. Desa Bangorejo Banyuwangi a. Gambaran Umum Desa Bangorejo adalah salah satu desa di Kecamatan Bangorejo Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Desa Bangorejo adalah pusat pemerintahan Kecamatan Bangorejo. Jarak antara desa Bangorejo ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi sekitar 42 Km. Desa Bangorejo adalah desa yang produktif dalam segi pertanian. Pada tahun 2000 desa Bangorejo hanyalah sebuah dusun, perubahan administratif pada desa atau kelurahan untuk nama lain dari „desa‟, terjadi di akhir tahun 2000. Penyebutan „desa‟ hanya sebuah istilah oleh peneliti agar mudah dicerna maknanya. Karena perubahan status hanya bersifat adminitratif semata tanpa mengurangi pengaruh terhadap objek penelitian.8 Luas wilayah desa Bangorejo keseluruhan adalah 103,4446 Ha atau 1.034.446 m2. Dengan luas persawahan 7,16472 Ha, luas permukiman 10,9541 7 8 Artikel di akses pada 16 Agustus 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013 82 Ha, dan sebagaian luas wilayahnya adalah perkantoran dan prasaran umum lainnya.9 Dengan batas wilayah sebagai berikut : 5. Sebelah Utara : Desa Purwodadi, Kecamatan Gambiran dan Kecamatan Tegalsari 6. Sebelah Selatan : Desa Sambimulyo, Kecamatan Bangorejo 7. Sebelah Timur : Desa Balurejo, Kecamatan Purwoharjo 8. Sebelah Barat : Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo Desa Bangorejo berada didataran rendah, bukan dataran tinggi dengan ketinggian 40 meter diatas permukaan laut. Desa Bangorejo terdiri dari 4 (empat) Dusun, yaitu Dusun Sere, Dusun Bangorejo, Tamansuruh.10 9 Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013 Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013 10 Dusun Gunungsari dan Dusun 83 b. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Desa Bangorejo 1. Penduduk Berdasarkan data pada arsip Desa Bangorejo tahun 2013, penduduk Desa Bangorejo adalah 8.949 jiwa dengan perbandingan laki-laki 4.426 jiwa sedangkan perempuan 4.523 jiwa. Penduduk Desa Bangorejo lebih mendominan usia 18 tahun keatas. 11 Kehidupan masyarakat Desa Bangorejo sudah terbiasa dengan beriteraksi satu dengan yang lain. Begitu pula dengan interaksi antar dusun, dalam artian mengenal warga dusun yang ada dalam ruang lingkup desa Bangorejo. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih eratnya hubungan antar masyarakat yang berbeda dusun, walaupun jaraknya tidak dekat. Begitupula dengan sifat gotong royong serta slidaritas sesama masyarakat desa, sebagai contoh ketika salah satu warga ada yang mengadakan hajat (perkawinan, sunatan atau selamatan) tanpa harus di undang untuk membantu, maka dengan sendirinya akan datang untuk membantu, masyarakat setempat menyebutnya dengan “Rewang” (membantu). Biasanya untuk urusan dapur adalah perempuan, dan urusan yang agak berat lakilaki, begiu pula dengan mengantar undangan untuk saudara atau kerabat si pemilik hajat, laki-laki desa Bangorejo biasanya mengantarkan undangan tersebut yang biasa mereka sebut “Tonjoan”. Dengan saling membantu, masyarakat desa Bangorejo dapat berinteraksi dengan masyarakat yang diluar kecamatan Bangorejo.Untuk kehidupan secara individualisme, masyarakat desa Bangorejo 11 Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013 84 jauh dari hal tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bagaimana masyarakat Bangorejo bersosialisasi. Tidak tampak perbedaan dalam hal status sosial pada masyarakat desa Bangorejo. Kecuali kepada seseorang yang memang sewajarnya harus dibedakan karena selayaknya dibedakan jenjang sosialnya, seperti dengan pejabat desa, dan tokoh agama. 2. Kondisi Sosial dan Budaya a. Pendidikan Masyarakat desa Bangorejo sebagaian besar mengikuti jenjang pendidikan. Namun sekitar 35% dari keseluruhan penduduk Bangorejo tidak mengikuti pendidikan secara formal maupun non-formal. Dan rata-rata tingkat kelulusan pada masyarakat Bangorejo adalah SLTA dan SLTP, adapula hanya sampai tingkat SD. 12 b. Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat desa Bangorejo sebagian besar sebagai petani dan buruh tani, adapula yang menjadi Pegawai Negeri Sipil tetapi hanya sebagian saja. Sesuai dengan usia kerja yaitu 18-56 tahun. c. Agama Masyarakat Desa Bangorejo yang berjumlah 8.949 jiwa tidak seluruhnya memeluk agama Islam, sekitar 8.871 jiwa yang memeluk agaman Islam. Sudah terbayang bagaimana suasana Islami yang ada pada masyarakat Desa Bangorejo. 12 Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013 85 Faham NU dan Muhammadiyah tidak terlalu terlihat semestinya yang sering dijumpai di daerah-daerah yang benar-benar mempunyai faham yang begitu kuat diantara keduanya. Tidak ada pemisah diantara kedua faham tersebut, membaur menjadi satu kesatuan, faham itu hanya sebuah ajaran yang di dapatkan oleh seseorang tentang pemahaman tentang Islam. BAB IV Analisis Wayang Sebagai Media Dakwah A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit Dalam situasi manusia, kita hidup bersama gagasan-gagasan, orang lain,, diri kita sendiri dan lingkungan materiil. Hubungan kita dengan keempat bidang ekspersi itu membentuk pengalaman dan pendirian kita. Seseorang misalnya, dapat menjadi seorang sosialis, seorang pemimpin, seseorang yang berkepercayaan diri, dan seseorang bisa saja percaya kepada ramalan nasib, pada tataran individual, hubungan-hubungan ini merupakan definisi diri. Pada tataran sosial, hubungan-hubungan ini juga didefinisikan dan diberi arti oleh nilai-nilai, konsepsi dan gagasan-gagasan yang dikenakan oleh kebudayaan kita kepada hubungan-hubungan ini pada umumnya maupun dalam segi-seginya. Contohnya, orang yang baik percaya kepada Tuhan, taat kepada atasan, tidak menonjolkan diri dan tidak pernah berkerja tangan. 1 Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur „rendah‟ yang harus mengalah kepada Islam. “Sinkretisme Islam” tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya dialog.2 Wayang kulit adalah media komunikasi yang begitu efektif untuk penyampaian pesan yang bertujuan untuk menyampaikan pesan yang bersifat 1 Niels Mulder, “Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan dan Perubahan Kulturil)”, (Jakarta, PT. Gramedia; 1983). h.118 2 Purwadi, “Tasawuf Muslim Jawa”, (Yogyakarta, Damar Pustaka, 2004). Cet. 1. h.7 86 87 positif/baik. Akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan geografis dan sosiologis yang ada. Sementara itu, pandangan Islam terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I‟tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya. Adapun hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam di tanah Jawa itu tidak bisa lepas dari metode dakwah yang dipakai kala itu.Yang mana di dalam Al-Qur‟an Allah SWT telah memberikan tuntunan dakwah yang baik-baik dan benar. Berbagai fenomena telah terjadi di masyarakat Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan bentuk-bentuk pertunjukkan wayang kontemporer memberikan angin segar, akan perkembangan kesenian wayang, walaupun sebenarnya itu semua sudah keluar dari pakem pewayangan, namun untuk kepentingan yang lebih besar hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas. Dan untuk perkembangan dunia dakwah, hal tersebut juga bisa menjadi salah satu alternatif media dakwah yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Selain kita menggemakan gerakan dakwah, juga bisa sekalian ikut melestarikan kebudayaan bangsa, berupa kesenian wayang. Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Dalam 88 pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa “dhalange mangkel, wayange dipendem” menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi. Dilihat dari aspek seni bahasa misalnya, dalam memainkan wayang perlu menguasai bermacam-macam tingkat tutur yang cocok bagi status setiap tokoh. Sebab bila tidak menguasai aspek ini, sudah dipastikan permainan wayang akan terlihat jelek dan tidak mampu memikat penonton. Karena itu dhalang adalah seorang yang mampu menggambarkan semua keindahan yang tercipta dengan kata-kata yang penuh perasaan, yang mampu memikat penonton, dan sarat dengan pesan moral.3 Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang tepat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multidimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, 3 35. Purwadi, “Seni Pedhalangan Wayang Purwa” (Yogyakarta: Panji Pustaka; 2007), h. 89 seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial. “Pertunjukan wayang kulit bukan hanya sekedar pertunjukan seni yang biasa, tetapi pertunjukan yang dimana terdapat sebuah pesan nilai, moral dan hal yang mengajak kepada penonton untuk berada di jalan-Nya”4 Seni pertunjukan wayang kulit menggunakan bahasa non verbal dan verbal. Non verbalnya adalah sebuah penggerakan lakon-lakon wayang kulit yang digerakan oleh sang dalang. Dan verbalnya sebuah kata-kata yang diucapkan oleh sang dalang. Dalam penyampaian pesan pada pertunjukan wayang kulit, dalang harus menguasai teknik memainkan wayang, agar pertunjukan wayang kulit terlihat menarik. Dan dalam tata kata, hal ini juga penting, karena dalang harus menjadi pengisi suara disetiap lakon wayang yang ditampilkan. Penguasaan kedua hal ini sangat penting bagi pertunjukan wayang kulit. Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan 4 Wawancara pribadi dengan Ki Yuwono 90 mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa. Berikut beberapa contoh akulturasi antara kisah atau pakem pewayangan yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian digabungkan dengan unsur-unsur Islam: 1. Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, karena kalimah Syahadah memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita wayang, sifatsifat Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam) yang memiliki sikap berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan penuh suka duka dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, karena biarpun seseorang menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima, namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua amalannya akan sia-sia belaka. 2. Shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima. Dalam kisah pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai Penegak Pandawa. Ia hanya dapat berdiri saja, karena memang tidak dapat duduk. Tidur dan merempun konon berdiri pula. Demikian pula sholat lima waktu selamanya harus ditegakkan. Baginya terpikul tugas penegak agama 91 Islam dan jangan lupa sholat adalah tiang agama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Shalat lima waktu adalah penegak agama Islam. Siapa-siapa yang menjalankannya berarti menegakan Islam”. 3. Zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni Arjuna. Nama Arjuna diambil dari kata “jun” yang berarti jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang jernih. Kejernihan Arjuna memancar pada jiwa dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan seorang pecinta seni keindahan. Perasaannya amat halus dan hangat. Karena kehalusannya, Arjuna jadi sulit mengatakan “tidak”. Karena kehalusan budi pekertinya tersebut Arjuna seolah-olah mempunyai kesan lemah. Padahal semua itu dilakukan agar tidak menyakiti hati orang lain. Selain itu dalam perang yang dijalaninya Arjuna tidak terkalahkan. Maka demikianlah, zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, karena setiap muslim berkewajiban berzakat, mengandung inti kebijaksanaan agar setiap orang Islam untuk berjuang memperoleh rizki dan kekayaan. Dalam cerita kepahlawanan Pandawa, Bima dan Arjuna paling menonjol peranannya, satu terhadap lainnya sangat memerlukan hingga menjadi dwi-tunggal yang tidak terpisahkan. Demikian pula sholat lima waktu dan zakat merupakan dua rukun Islam yang tidak terpisahkan, selamanya berjalan seiring-sejalan. 4. Puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar Nakula-Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saat tertentu saja. Demikian pula dengan puasa Ramadhan dan Haji tidak setiap hari dikerjakan. Bulan Ramadhan untuk puasa dan bulan Zulhijah, sekali 92 dalam setahun untuk melakukan ibadah Haji. Pandawa bukanlah Pandawa tanpa si kembar Nakula dan Sadewa. Memanglah demikian, Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan tertentu, tidak demikian halnya dengan 3 rukun Islam sebelumnya, yang dilakukan setiap saat tiap hari. Islam sufisik atau Isalam tasawuf yang lembut, mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal. Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler, berkat peranan dan kontribusi tokohtokoh tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tumbuh tanpa mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis menjadi orientasi kosmopolitan.5 Bahasa adalah bahan pokok yang menjadikan pertunjukan wayang kulit sebagai media komunikasi/dakwah yang dilakukan oleh seorang dalang. Meskipun disatu pulau, pulau Jawa memiliki beberapa suku, suku Sunda, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Nama Jawa tidak menjadi patokan sebagai satu bahasa, memiliki sebuah perbedaan. Begitu pula dengan wayang kulit yang dimana memiliki perbedaan sebuah pakem, pakem Surakarta dengan pakem Jawa Timur-an. Jika ditelaah pakem Surakarta lebih lembut dalam tata bahasa dalam pertunjukan wayang kulit, sedangkan Jawa Timur-an lebih kepada maksud tertentu tetapi lebih banyak dengan candaan dalam pertunjukan wayang kulit. 5 Purwadi, “Tasawuf Muslim Jawa”, (Yogyakarta, Damar Pustaka, 2004). Cet. 1. h.11 93 “Tidak ada perbedaan tertulis tentang pakem Surakarta dengan Jawa Timur-an, semua masyarakat menikmati dengan baik, tergantung pembawaan dari sang dalangnya itu sendiri. Karena wayang adalah seni tradisional yang digemari bukan karena pakemnya, karena keseniaan dan makna dibalik pertunjukannya itu sendiri. Jika dalang dapat melakukan pertunjukan dengan baik, maka dalang itu menguasai seni pewayangan. Masyarakat disini menikmati apa yang saya pertunjukan, tidak ada salahnya juga masyarakat tidak menikmati/menyukai, karena selera masyarakat berbeda satu dengan yang lain.”6 Wayang kulit adalah kesenian yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Jawa, tanpa ada batasan untuk menggunakan pakem dari mana. Khususnya masyarakat desa Bangorejo tidak membatasi sebuah penampilan wayang kulit menggunakan pakem apa, pesanpesan dalang dalam pementasan harus disajikan semenarik mungkin agar, penikmat wayang kulit lebih tertarik untuk menyaksikannya dan mengambil hikmah dari cerita yang disajikan oleh sang dalang. B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit Dakwah Islamiah berkembang terus dan meluas kesegenap penjuru tanah air. Pada umumnya dalam menyebarkan agama Islam dan dalam memberikan pendidikan Islam, para ulama cenderung pada aliran tasawuf. Hal ini menunjukan bahwa mereka datang dari Gujarat, sutau tempat yang banyak dipengaruhi oleh aliran tasawuf. Di Jawa, terutama di pesisir utara, para pemimpin madrasah dan gerakan dakwah Islam terkenal dengan sebutan wali.7 Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan 6 7 h. 148 Wawancara Pribadi Dengan Ki Yuwono, tanggal 27 Juli 2014 M. Abdul Karim. Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) cet.1, 94 semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Dalam Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang. Perkembangan Islam di Jawa tidak terdokumentasikan dengan baik, namun manuskrip-manuskrip dari abad ke-16 menunjukan bahwa Islam mengakomodasi dirinya sendiri dengan lingkungan budaya Jawa sekaligus tidak demikian. Di satu sisi bukti dari adanya satu budaya hibrid di mana menjadi orang Jawa dan orang muslim sekaligus tidak dipandang sebagai hal yang problematis, suatu budaya di mana isltilah-istilah lokal yang lebih tua, misalnya Tuhan, sembahyang, surga, dan jiwa dipakai, bukan istilah-istilah dari bahasa Arab.8 Dalam lakon-lakon wayang adalah seperti kehidupan manusia sehari-hari, karena dalam keseharian manusia ada dua hal yaitu baik dan buruk. Begitu pula dalam cerita wayang adalah sebagai penyampaian pesan. Penyampaian pesan yang disampaikan oleh dalang sangatlah penting dalam hal pesan dakwah. Ketika mendalang Ki Yuwono mennyisipkan pesan-pesan dakwah untuk disampaikan melalui wayang kulit. Beliau mengatakan dalam pementasan: “Suro Diro djayadiningrat tebut dipangastuti” Artinya: Hal yang buruk dapat dikalahkan oleh kebaikan. Istilah-istilah dalam cerita pewayangan yang disampaikan oleh dalang Ki Yuwono dalam pementasan juga menjadi sebuah pesan dakwah. Dengan cara Cangian, juga dapat menyampaikan pesan-pesan moral yang diinginkan dan 8 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (terj), (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2013). Cet. 1. h.30 95 untuk disampaikan kepada penonton.9 Cangian adalah termasuk pra acara dalam suatu pagelaran wayang kulit, bentuknya seperti nyanyian yang didalamnya ada penyampaian sesuatu pesan yang dianggap sangat perlu, karena dalam cangian ini pesan dakwah dapat tersampaikan. Ketika pementasan ia mengatakan: “Kito kudu manembang manorsemang Gusti karono menungsung iku “ Artinya: “ Kita harus menyembah kepada Tuhan kita, karena kita hidup di dunia tidak luput dari kekuasaan Tuhan. Dengan kita hidup dengan diberi kesempurnaan, kita harus bersyukur kepada Yang Maha Kuasa” Menurut Ki Yuwono, dalam keseharian manusia, harus menyadari bahwa kita adalah makhluk sempurna, kita bisa sempurna karena kekuasaan Allah SWT. Dengan cara mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, wajiblah kita untuk mensyukuri segala nikmat yang telah di limpahkan-Nya. Sejauh makna yang terkandung dalam wayang, dalam arti kata yang bernafaskan ke-Islaman. Wayang kita saksikan sekarang ini adalah wayang hasil gubahan para wali, falsafah Islam yang lain juga kita dapati dalam Gunungan. Gunungan dibuat pada zaman kerajaan Demak oleh Raden Patah sekitar tahun 1443. Sebelum pertunjukan dimulai, gunungan di letakan di tengah-tengah kelir yang merupakan titik pusat para penonton. Gunungan ini merupakan gambaran simbol dari “Mustika Masjid”. Jika dibalik gunungan tersebut akan berbentuk seperti jantung manusia, yang terdiri dari bilik kanan, bilik kiri, serambi kanan, dan serambi kiri. Makna tersebut mengandung falsafah Islam yang berarti, seorang hidup, jantung hatinya harus selalu ada berada di Masjid, jika orang itu 9 Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono pada tanggal 27 Agustus 2014 Pukul 10.21 WIB 96 belum mempunyai niat untuk ke Masjid maka orang tersebut Imannya belum sempurna.10 Gunungan ditancapkan ditengah-tengah kelir oleh dalang pun mempunyai arti bahwa yang harus diperhatikan pertama-tama dalam hidup ini adalah Masjid, atau kepentingan beribadah kepada Allah SWT. Dalam pertunjukan wayang kulit banyak sekali pesan-pesan moral, Nilai Aqidah, Akhlak dan Syariah yang disampaikan oleh dalang. Pesan-pesan tersebutlah yang menjadi sebuah pesan inti atau tujuan yang ingin disampaikan kepada masyarakat umum melalui pertunjukan wayang kulit. Sebagai umat muslim, Ki Yuwono selalu mengajarkan tentang ke-Islaman dalam pertunjukan wayang kulitnya. Ki Yuwono sendiri kerap melakukan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada kegiatan keagamaan, misalnya, tahun baru Islam, atau Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam setiap pergelaran wayang, dalang selalu menyampaikan pesan-pesan moral Islam dalam bahasa Jawa. Bagi seorang Jawa, nilai-nilai moral wayang dapat ditangkap sebagai ajaran tentang baik-buruk, tentang perilaku etis yang di ajarkan agama.11 “Saya selalu mengajarkan kepada masyarakat untuk melakukan hal kebaikan, selama kita hidup tanpa adanya kebaikan, maka sia-sia lah hidup kita. Dengan cara mengajarkan dan mengajak masyarakat untuk menunaikan Shalat lima waktu, Zakat, berpuasa, dan Haji (bila mampu), adalah hal yang paling penting, karena itu adalah rukun Islam.” 12 Dalam pertunjukan wayang kulit juga terdapat pesan Aqidah, Akhlak dan Syariah, yang merupakan nilai-nilai luhur fundamental wajib dimiliki oleh setiap umat muslim. 10 RM Ismunandar K. h.103 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya¸ (Bandung; PT Setia Purna Inves; 2007) h.57 12 Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono 11 97 1. Nilai-nilai Aqidah Dibidang Aqidah ini pembahasannya bukan hanya tertuju pada masalah-masalah yang wajib di Imani, akan tetapi materi dakwah meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya, Syririk (menyekutukan Tuhan), Musyrik dan sebagainya. Dalam prakteknya, dalang mengajak umat muslim khususnya penonton pertunjukan wayang kulitnya di Desa Bangorejo untuk percaya kepada do‟a, spiritual yang wajib dilakukan umat muslim. Do‟a sebuah perwujudan dari iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Asumsi adanya Tuhan sebagai Rabb atau pengatur urusan manusia dengan keharusan semua orang untuk melakukan Ibadah. Sebelum memulai pertunjukan wayang kulit, Ki Yuwono melakukan ritual berdo‟a kepada Allah agar diperlancar segala urusan pementasan wayang kulit yang akan disajikan. Pada awal pertunjukan, Ki Yuwono mengatakan : (Saya minta kepada masyarakat semua, untuk berdo‟a, memninta segalanya kepada Allah SWT, karena hanya Allah ya[mb v ng mampu menghidup matikan kita semua. Semoga setiap hembusan nafas senantiasa mendapat kemulian, keselamatan, ketentraman dan jauh dari mara bahay karena lindungan maha pencipta)13 2. Nilai Akhlak Dalam pementasan wayang kulit, Ki Yuwono mengajarkan penting dan perlu mengetahui bagaimana pentingnya Akhlak. Dengan 13 Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono 98 menanamkan dan mengajarkan kasih sayang, toleransi dan kepedulian sosial kepada masyarakat, sehingga terciptanya hidup rukun antara sesama umat beragama. Nilai-nilai Akhlak merupakan sasaran penting dalam penyampaian pesan dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono. Sebagaimana dalam pementasan wayang kulitnya, beliau berpesan: “Ojo bosen podo urip bertoleransi, rukun, sing ajenkinanjenan ing podo podo nyenengke sing lain, ben urip iki tentrem.(Jangan bosen untuk hidup bertoleransi, saling menghargai dan menyanyangi satu dengan yang lain, agar kehidupan kita tentram)”14 Dalam kehidupan ini, toleransi, saling menghargai dan membantu sesama merupakan akhlak seorang muslim yang telah digambarkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujarat ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” 14 Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono 99 3. Nilai Syari‟ah Aspek lainya yang tak kala penting adalah syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Ibadah adalah ritual yang syarat akan simbol-simbol takbir kepada Allah, sedangkan mu‟amalah adalah interaksi sosial yang diberikan batasan dan aturannya dalam agama Islam. Di dalam cerita wayang, tentang kehidupan manusia digambarkan melalui lakon-lakon pewayangan, sehingga saat pementasan penonton atau penikmat wayang kulit mendapatkan pesan dakwah dari sebuah simbol. Seperti halnya lakon-lakon berikut: Puntadewa Puntadewa atau Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh. Hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Sebagai raja dan saudara-saudaranya merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa memiliki sifat “berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Ia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu), sebagai pengajawantahan dari 100 kalimat syahadat yang selamanya menilhami kearifan dan keadialn. Puntawa memimpin ke-4 adiknya atau bisa dikatakan keempat saudaranya tersebut adalah suka duka dan penuh kasih sayang. Demikian pula dalam rukunIslam yang kedua, ketiga, keempat dan kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka seluruh amalnya akan sia-sia. Bahkan oleh agama Islam akan dipandang sebagai perbuatan pura-pura atau munafik. Puntadewa tidak pernah mati selama ia memiliki jimat (azimat) “Kalimosodo” (Kalimat Syahadat atau Syahadatin). Tokoh Bima atau Werkudara, nama bhima dalam bahasa Sangsekerta memiliki arti “mengerikan”. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar/galak di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang kedua yaitu Shalat luma waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima terkenal sebagai penegak Pandawa. Ia hanya biasa berdiri saja, karena memang tidak biasa duduk, konon menurut cerita pewayangan “tidurpun Bima dengan berdiri.” Seperti halnya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya : “Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia meobohkan Islam.” Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan “Bahasa Ngoko” atau bahasa Jawa kasar baik itu kepada dewa, kyai, 101 atau siapaun itu. Sifat seperti itu melambangkan rukun Islam yang kedua shalat lima waktu, maka shalat berlaku terhadap siapapun, kapanpun dimanapun tak pandang bulu dan jabatan. Semuanya dikenakan kewajiban Shalat Lima Waktu, inilah arti daripada satu bahasa menghadapi siapapun. Arjuna atau Janoko, namanya (dalam bahasa Sangsekerta) memiliki arti “yang bersinar”. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kuruksherta. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putra Kunti – karena ia merupakan putera Pritha atau Kunti). Dalam pertempuran di Kurushetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Arjuna digambarkan sebagai rukun Islam yang ketiga yaitu Zakat. Dalam cerita pewayangan ia disebut sebagai “lelanganing jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “jun” yang artinya Jambangan, benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna maka akan terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusannya terdapat 102 kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di dalam setiap pertempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun Islam yang ketiga sebagai kewajiban setiap muslimin dan juga mengandung arti agar setiap muslimin dimanapun berada agar berjuang untuk mendapatkan Rezeki dan kekayaan. Setiap oran pasti menginginkan “mas peci raja brana” (harta kekayaan dan lainlainnya). Maka agar harta itu berfungsi sosial dan pembersih maka harus di zakatkan agar suci dan bersih lahir batinnya. Nakula dan Sadewa, menggambarkan sebagai rukun Islam yang keempat dan kelima yaitu berpuasa di bulan Ramadhan dan Haji. Kedua tokoh ini hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa Ramadhan dan Haji, tidak setiap hari dikerjakan. Hanya saja dikerjakan dalam waktu tertentu saja. Misalnya, puasa setahun sekali pada bulan Ramadhan, dan Haju juga setahun sekali pada bulan Dzulhijah. 15 Tokoh-tokoh yang memiliki peran utama seperti diatas adalah gambaran terbesar dalam kehidupan muslimin. Tokoh bukan sekedar tokoh yang dibuat sebagai cerita sejarah dan seni keindahan teater wayang, dibalik itu semua banyak nilai-nilai pesan yang akan disampaikan. Setiap apa yang dilakukan di muka bumi ini oleh manusia baik yang positif maupun negatif diceritakan dalam pertunjukan wayang. Maka dari itu wayang kulit meluruskan sifat- 15 RM Ismunandar K, “Wayang; Asal-Usul dan Jenisnya”, (Semarang; Dahara Prize, 1994) h.98-102 103 sifat manusia yang saat itu belum mengetahui agama yang menjadikannya benar-benar lurus. C. Kearifan Lokal dan Islam Jawa Sebagaimana diketahui masuknya Islam ke Tanah Air secara damai dan tidak menimbulkan kontroversi. Mengenai hal ini Prof. Zamakhasyari Dhofeir menyatakan dalam disertasinya bahwa, “Semua proses adopsi agama dan kebudayaan itu berlangsung melalui hati sanubari dan pikiran bangsa Indonesia sendiri, tidak ada paksaan dari luar dan tidak ada kekuatan militer yang menyertai masuk dan berkembangannya Islam di Indonesia.” 16 Dalam buku Sejarah Nasional Jilid III juga dinyatakan bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di Nusantara berjalan secara damai. 17 Meskipun telah memilih menjadi Muslim, hanya sebagian kecil bangsa Indonesia yang mengadopsi aspek-aspek budaya Arab.18 Dalam konteks Jawa, hal ini berarti menjadi Muslim tetapi tetap menjadi wong Jowo. Keadaan ini sering membingungkan peneliti asing seperti MC. Ricklefs. Ia berpendapat bahwa Islam di Jawa sesungguhnya baru di mulai pada akhir abad 19, yaitu ketika terjadi gerakan reformasi Islam untuk memurnikan Islam dari unsur-unsur lokal. 19 Relasi Islam dan budaya di Indonesia, memang merupakan pergumulan yang tak kunjung usai antara tiga model: Arabisasi yang di bawa kalangan masyarakat Arab dan orang yang berafilisiasi dengannya, Islamisasi 16 atau Zamakhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011, Cet.9). h.6 Marwati Djoened Poeponegoro (ed.), “Sejarah Nasional Indonesia”, (Jakarta, Balai Pustaka, 2010, Jilid III), h. 45 18 Zamakhsyarai Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011, Cet.9). h. 28 19 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (terj), (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2013). Cet. 1. h.50 17 104 purifakasi yang diusung kalangan modernis dan pribumisasi yang diusung kalangan tradisonalis. 20 model Arabisasi didasarkan pada argumen bahwa Islam identik dengan Arab, sehingga masyarakat luar yang mau memahami dan menjalankan ajaran Islam harus mengikuti model yang lahir dari budaya masyarakat Arab. Sedangkan kaum modernis cenderung melihat Islam sebagai nir-budaya. Persoalannya sulit dijawab, ketika Islam harus diterapkan secara sosiologis dalam keseharian, pembentukan format budaya merupakan suatu keniscayaan. Al-Qur‟an dilihat dalam posisi berdialog dengan budaya di luar budaya Arab. Budaya lokal dibiarkan selama tidak bertentangan dengan substansi Al-Qur‟an, kemudian ke dalamnya Al-Qur‟an memasukan pesan moral universal Islam. Inilah unsur signifikansi Al-Qur‟an yang dalam istilah Abdurahman Wahid disebut pribumisasi Islam. 21 Istilah pribumisasi memberikan kesan pada pelokalan Islam, meskipun yang dimaksud adalah meletakkan konsep-konsep substansi Islam ke dalam konteks budaya lokal yang berkembang di masyarakat dalam lingkup tertentu. Pembahasan membaca alam, kearifan lokal dan Islam Jawa ada penghampiran seperti yang digagas dalam pribumisasi Islam, meskipun lokalitas dan etniisitas adalah kenyataan alamiah yang diakui oleh Al-Qur‟an. 20 Aksin Wijaya, “Relasi Al-Qur’an dan Budaya Lokal”, UIN Sunan Kalijaga, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 2005, Vol.4, h. 7 21 Aksin Wijaya, Ibid, h.252 105 “Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dab seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuhi lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujarat, 13) Jiwa manusia adalah subyek sadar yang dapat menjadikan seluru alam sebagai obyeknya. Begitu eratnya kaitan jiwa dan alam semesta dapat diibaratkan sebagai suatu organisma yang memiliki dua wajah. Pertalian erat ini menimbulkan knsekuensi, tidak ada mikrokosmos tanpa makrokosmos, dan tak ada makrokosmos tanpa mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya. Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan 106 Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja . karaton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Pepatah sufi menggambarkan keeratan hubungan Tuhan, manusia dengan alam adalah; alam diciptakan untuk manusia, sementara manusia diciptakan untuk Tuhan. Hubungan ini tergambar dalam Surat An-Naziat Ayat 27-33.22 “Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya,(27) dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,(28) dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang.(29) dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.(30) Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.(31) dan gunung-gunung dipancangkann-Nya dengan teguh,(33) (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (Q.S An-Naziat 27 – 33) Memahami Agama melalui idom-idom kearifan lokal, dibutuhkan pengetahuan ganda, pertama; pengetahuan mengenai Agama itu sendiri, dan 22 Suyanto Sidik, “Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan ; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi. h.31 107 kedua; pengetahuan tentang budaya setempat. Tentu hal ini tidak mudah, karena dituntut menggabungkan hasi pembacaan Kitab Semesta dan Hidayah dari Kitab Suci. Meskipun sulit, penggabungan ini dengan anggun berhasil dilaksanakan oleh Walisongo, antara lain pada saat mengubah wayang kulit agar sesuai dengan ajaran Islam. Dalam perkembangannya, wayang tidak hanya dijadikan media dakwah untuk kalangan kebanyakan, tetapi juga dimanfaatkan sebgai sarana untuk menerangkan ilmu-ilmu sir (lembut) yang terdapat dalam tasawuf, yang sulit diajarkan melalui simbol-simbol.23 23 Suyanto Sidik, Op.Cit h. 32 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebuah pertunjukan wayang harus menggunakan bahasa yang harus dimengerti oleh masyarakat, maka dari itu dalang harus memahami apa yang harus dikuasainya, yaitu bahasa. Antara pakem Jawa Tengah (Surakarta) dengan pakem Jawa Timur berbeda dari gaya pertunjukannya. Pakem Surakarta di minati masyarakat Bangorejo dan Ki Yuwono karena pesan yang akan di sampaikan lebih menarik daripada menggunakan pakem Jawa Timur-an, meskipun pakem Jawa Timur-an lebih langsung tertuju kepada pokok permasalahan dan juga lebih banyak menggunakan canda yang disajikan oleh sang dalang. Tak ada proses akulturasi bahasa yang begitu sulit untuk Ki Yuwono dalam penyampaian pesan saat pertunjukan, karena pertunjukan yang disajikan oleh Ki Yuwono lebih mudah di mengerti oleh masyarakat Bangorejo. 2. Dalam pementasan wayang kulit, dalang Ki Yowono, selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mengemas pesan dakwah yang dapat mudah dicerna oleh masyarakat setempat. Saat pementasana, Ki Yuwono menyisipkan pesan-pesan tentang ke-Islaman, dan ditunjukan melalui tokoh-tokoh pewayangan yang sebagaimana karater tokoh 107 108 tersebut. Ki Yuwono juga mengajak para penonton/masyarakat untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad Saw, yang dituju agar masyarakat atau umat Islam seluruhnya menaruh rasa hormat kepada beliau. Sebab beliau adalah pilihan-Nya untuk menjadi Nabi terakhir dan penutup para Nabi, yang membebaskan manusia dari kehidupan jahiliyah. Atas perjuangan beliau, umat manusia bisa dihantarkan ke alam yang terang benderang. Beliaulah yang mengantarkan umat manusia dari kehidupan hewani menjadi kehidupan yang manusiawi. Jika tidak ada beliau, entah kebejatan moral apa yang dilakukan oleh umat manusia. Pesan Akhlak, Akidah dan Syariah juga disampaikan oleh beliau. Saat pementasan wayang kulit, Ki Yuwono lebih memfokuskan 2 sampai 3 jam pertama untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, dan lebih banyak pesan dakwah atau ke-Islaman yang disampaikan, dikarenakan faktor daya tahan tubuh masyarakat atau penonton yang harus melawan rasa kantuk. Karena pertunjukan/pementasan wayang kulit dimulai dari pukul 20.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB. 3. Di kehidupan ini, apapun itu ada faktor penghambat dan faktor pendukung, begitu pula dengan pementasan wayang kulit Ki Yuwono. Dalam penyampaian pesan dengan menggunakan pakem Surakarta tidak ada faktor penghambat yang begitu banyak, ada sedikit penghambatnya yaitu dari pesaingnya yang mengharuskan untuk menggunakan pakem Jawa Timur-an, menurutnya wayang kulit bukan permasalahan harus menggunakan wajib sebuah pakem, yang wajib itu adalah mengajarkan, menyampaikan dan mengajak masyarakat untuk 109 melakukan hal kebajikan. Karena dalang adalah sebuah panutan bagi masyarakat. Dalam penyampaian pesan dalam pementasan yang menggunakan pakem Surakarta, Ki Yuwono menyesuaikan bahasa dengan masyarakat setempat agar dapat dimengerti. Dengan menguasai bahasa yang beberapa istilah antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur sedikit berbeda, Ki Yuwono tidak mengalami kesulitan, beliau belajar juga dengan teman-teman sinden, atau pemain gamelan/karawitan yang juga berbeda asal kelahirannya. B. Saran 1. Untuk dalang Ki Yuwono, agar memegang teguh tanggung jawab yang besar terhadap hasil karya dan pesan yang disampaikan saat pementasan, karena pementasan wayang kulit yang dihasilkan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penggemar wayang kulit dan masyarakat yang menyaksikan pementasan tersebut. Kesenian wayang kulit jangan lah luntur dari budaya Jawa yang sudah dari ribuan tahun ini, agar anak cucu kita nanti dapat merasakan bagaimana hasil kebudayaan dari tanah kelahirannya dan nenek moyangnya tersebut. Dan tak lupa dalam pementasan wayang kulit, karya-karya cerita kesenian wayang kulit ini dapat mendidik dan dapat membawa kebaikan lebih bagi para penggemar dan masyarakat, begitu pula dengan mengemas pesan-pesan religius dapat disatukan dengan cerita sesuai perkembangan yang ada saat ini. 110 2. Untuk masyarakat Bangorejo, memiliki kewajiban untuk mengajarkan apa yang telah didapat dari sebuah pelajaran yang telah didapat dari apapun itu, seperti contohnya setelah menyaksikan pementasan wayang kulit ini. Agar dapat tetap menjalakan dakwahnya sesuai bidang dan kemampuan masing-masing, karena dakwah Islam ini tidak difokuskan dengan satu bidang saja, tetapi segala bidang dan kemampuan yang bisa menjalankan dakwah tersebut. Untuk masyarakat Indonesia, lestarikan kebudayaan sendiri, lebih banyak pesan moral, akhlak, akidah, dan syariah yang ada pada setiap kebudayaan yang ada di Negeri ini, jadikan kebudayaan kita mendunia agar kita bangga menjadi bangsa Indonesia. Jangan hanya meniru dari barat untuk menjadikan generasi ini terkenal, buatlah Negeri ini terkenal dengan kebudayaan yang terlahir dari nenek moyang kita sendiri. 3. Untuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, dalam hal ini Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi khususnya, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam untuk lebih memperdalam displin ilmu dakwah terutama dalam pemhaman penyiaran melalui media apapun itu dan kebudayaan yang ada di negeri ini, khususnya kesenian wayang, dan diharapkan menjadi kajian khusus mengenai dakwah memalui media wang kulit. Sebagaimana kita ketahui bahwa media wayang telah dipergunakan sebagai media dakwah pada awal perngembangan Islam di Indonesia oleh Wali Songo. Ketersedian literatur tentang wayang sebagai media dakwah di Fakultas Ilmu 111 Dakwah dan Ilmu Komunikasi adalah sebagai acuan untuk pembelajaran dan perluasan dakwah Islam di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Amrullah. Dakwah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima Duta, 1983. Al-Sam, Rizal Firdaus. Wayang Sebagai Media Dakwah. 2011. Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2000. Amir, Hazim. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: CV. Mulia Sari, 1991. Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima Duta, 1983. Anshari, HM. Hafi. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: Al Ikhlas, 1993. Ardhi, Yogyasmara P. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010. Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 2000. Baker, JWM. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Dadan Anugrah, Wini Kresnowiati. Komunikasi Antarbudaya, Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata, 2008. Dr. Purwadi, M. Hum. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007. Fathurohim, Mohammad Rois. Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif , Teori dan Praktek. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013. Haryanto, S. Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize, 1992. Haryono, S. Pratiwimba Adhiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang. Yogyakarta: Djambatan, 1998. Hasmy, A. Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an. Jakarta: Bulan Bintang, 1997. 107 108 Jumroni. Metode-metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Liliweri, Alo. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKiS, 2002. Mahmud, Nasir. Bunga Rapai Epistimolgi dan Metode Studi Islam. Makasar: IAIN Alauddin Press, 1988. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Morissan. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Mulde, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta: PT Gramedia, 1983. Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendakatan Lintasbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Mulyono, Sri. Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: ALDA, 1965. Nana, Mamat dan Kosim. Ilmu pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi). Jakarta: PT Grafindo Media Pertama, 2006. Omar, Toha Yahya. Islam dan Dakwah. Jakarta: Al-Mawardi, 2004. Palgunadi, Bram. “Tinjauan Tentang Wayang Kulit.” Bulletin PSTK-ITB, 1978. Poespowardjojo, Soerjanto. Strategi Kebudayaan (Suatu Pendekatan Filosofis). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Poespowardojo, Soerjanto. Strategi Kebudayaan(Suatu Pendekatan Filosofis). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Rafiudin, Maman Addul Jalil. Prinsip dan Strategi Dakwah. Bandung: CV Pustaka Setia, 1997. Raharja, Giri. Reposisi Dalang Wayang Goleh. 2011. www.putragiri3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayanggolek-menghadapi.html. Rakhmat, Deddy Mulyana & Jalaludin. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993. 109 Rosid. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Paramadina, 2004. Salam, Solochin. Sekitar Wali Sanga. Jakarta: Menara Kudus, 1997. Samovar, Porter, dan Mc. Daniel. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Shihab, Qurasih. Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996. Sidik, Suyanto. “Membaca Kearifan Lokal dan Islam Jawa.” 2012. Susetya, Wawan. Dalang, Wayang, dan Gamelan. Jakarta: Narasi, 2007. Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Islam. Surabaya: Alikhas, 2000. Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006. Ya'kub, Hamzah. Publistik Islam. Bandung: Diponogoro, 1981. 110 Media Online http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akanmencintai-nya/. http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit. LAMPIRAN-LAMPIRAN Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono 109 110 Foto bersama dalang Ki Yuwono setelah melakukan wawancara pribadi di kediamannya pada tanggal 27 Juli 2014 111 Transkip Wawancara Nama : Ki Yuwono Jabatan : Dalang Seni Wayang Kulit Hari/Tanggal : Minggu, 27 Juli 2014 Alamat : Jl. Stembel, desa Stembel, Banyuwangi, Jawa Timur. Penulis : Sejak kapan bapak mulai menekuni dunia pewayangan? Ki Yuwono : Awal mulanya mennenkuni dunia pewayangan ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, sekitar umur 11 tahun. Yang di mana saya sudah di ajak dalam pementasan wayang almarhum bapak saya, saat itu saya berada di belakang bapak yang sedang mendalang. Mulai seusia itu saya sudah di ajak pergi mendalang di mana-mana oleh bapak. Penulis : Apakah bapak belajar wayang kulit dari sang Ayah? Ki Yuwono : Alhamdulillah, saya memiliki darah keturunan seni, khususnya seni wayang kulit, saat duduk di bangku sekolah dasar, banyak hal yang di ajarkan oleh bapak saya dengan cara mengikutinya pentas di mana-mana sampai saya duduk di bangku SLTA. Setelah lulus SLTA saya di perkenalkan kepada sahabat-sahabat ayah saya yang juga dalang, yaitu Ki Guntur dan Ki Sukarno. Saya belajar wayang tidak formal, tetapi secara otodidak, saya memperhatikan bagaimana sahabat-sahabat ayah saya bermain lalu saya menirukannya, dan jika ada yang saya bingung lalu saya tanyakan langsung. Ketika saat belajar wayang, saya menjadi Penyemping (seseorang yang bertugas duduk dibelakang dalang dan menyiapkan wayang kulit yang akan ditampilkan). 112 Penulis : Pementasan wayang kulit bapak menggunakan pakem Surakarta atau pakem Jawa Timur-an? Ki Yuwono : Karena dari keturunan seniman wayang saya lahir, dan leluhur saya menggunakan pakem Surakarta, dengan sendirinya saya mengikuti arus yang mengalir di dalam kehidupan seni saya. Penulis : Menurut bapak, apakah wayang kulit sebagai media yang tepat untuk melakukan dakwah? Ki Yuwono : Seni pertunjukan wayang bukan sekedar pertunjukan seni biasa, tetapi pertunjukan yang di mana terdapat sebuah pesan nilai, moral, akhlak dan apapun itu yang menyangkut untuk mengajak kepada siapapun yang menyaksikan untuk berada di jalan-Nya. Wayang adalah media berdakwah dari zaman Walisongo, dan media paling efektif untuk berdakwah. Penulis : Bagaimana bapak menyampaikan pesan-pesan dakwah saat pementasan? Ki Yuwono : Dalam pementasan, saya harus menyampaikan sebuah pesan dakwah. Penyampaiannya itu bisa melalui Suluk, Karawitan, atau dari perilaku dan perkataan dari lakon/tokoh wayang tersebut. Saat pementasan, saya juga mengajak masyarakat untuk berbuatan kebaikan “Suro diro djayodiningrat tebut dipangastuti”. Penulis : Apa tujuan bapak mengunakan wayang kulit sebagai media dakwah? Ki Yuwono : Tujuan saya menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah ialah untuk mengajarkan sebuah kebaikan dengan cara apa yang saya miliki, dalam arti saya memiliki kemampuan mendalang, melalui wayang kulit lah saya mengajarkan tentang kebaikan, keagamaan, sosial dan sebagainya. Dan saya seorang muslim, yang di wajibkan untuk menyampaikan hal kebajikan, dan 113 Rasulullah mengatakan bahwa “Sampakanlah walau hanya satu ayat”, maka dari itu saya harus menyampaikan sebuah kebajikan kepada masyarakat. Penulis : Dengan materi apa yang bapak sampaikan saat mendalang agar dapat mudah dimengerti oleh masyarakat? Ki Yuwono : materi tentang sosial dan keagaaman yang pasti saya sampaikan kepada masyarakat. Karena kita hidup bersosialisasi dan beragama tentunya. Pada saat pentas di sebuah acara, misalnya peringatan Maulid Nabi, menceritakan bagaimana sejarah Rasulullah memperjuangkan agama Islam. Atau setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri, menceritakan tentang cintanya Nabi Ibrahim dengan anaknya dan mendapat utusan dari Allah untuk menyembelih anak semata wayang tercintanya. Penempatan cerita tergantung saat acara apa saya pementasan wayang kulit. Penulis : Adakah ritual yang bapak lakukan sebelum pementasan? Ki Yuwono : Untuk ritual saya hanya serahkan semuanya kepada Sang Pencipta alam semesta ini, tidak ada ritual mistis, misalnya. Karena hidup saya ini Allah yang mengatur, saya hanya bisa meminta dengan do’a agar apa yang saya sampaikan, saya ajarkan, dan saya mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan, tersampaikan dengan baik. Dan juga, saya mengharapkan tidak adanya hambatan dalam segi apapun itu. Tetapi, ketika Allah memutuskan apa yang di inginkan-Nya, saya hanya bisa pasrah dan meminta ampun jika saya mempunyai kesalahan. Lalu saya juga mengajak masyarakat untuk bershalawat Nabi sebelum melakukan pentas, agar diberikan hal yang postif. Penulis : Nilai-nilai pesan dakwah apa yang bapak sering bapak gunakan saat pementasan? 114 Ki Yuwono : Yang saya sering sampaikan adalah tentang ibadah, “Shalat adalah tiang agama, dirikanlah shalat maka akan kuat imanmu”, atau tentang berpuasa, zakat, dan pergi haji. Tentang Rukun Islam yang sering saya sampaikan kepada masyarakat. Penulis : Adakah kesulitan dalam penyampaian pesan dengan menggunakan pakem Surakarta di Jawa Timur? Ki Yuwono : Tidak ada perbedaan tertulis tentang pakem Surakarta dengan Jawa Timur-an, semua masyarakat menikmati dengan baik, tergantung pembawaan dari sang dalangnya itu sendiri. Karena wayang adalah seni tradisional yang digemari bukan karena pakemnya, karena keseniaan dan makna dibalik pertunjukannya itu sendiri. Jika dalang dapat melakukan pertunjukan dengan baik, maka dalang itu menguasai seni pewayangan. Masyarakat disini menikmati apa yang saya pertunjukan, tidak ada salahnya juga masyarakat tidak menikmati/menyukai, karena selera masyarakat berbeda satu dengan yang lain. Penulis : Apa Faktor penghambat dan pendukung dalam proses penyampaian pesan saat pertunjukan wayang kulit bapak? Ki Yuwono : Alhamdulillah, untuk faktor penghambat penyampaian pesan hampir tidak ada, kecuali untuk masalah Soundsystem , cuaca, jarak tempuh atau masyarakat yang menderita Tuna Rungu. Untuk faktor pendukung, banyak sekali, dari keluarga, sahabat pedalang, tim paguyuban saya yang terdiri dari pemain gamelan, sinden, penata panggung, penata wayang, penata gamelan, dan sebagainya, yang selalu menjadi faktor pendukung internal saya. Penulis : Apa harapan bapak untuk masyarakat yang menyaksikan pertunjukan wayang kulit bapak? Ki Yuwono : Penuh harapan yang positif yang menjadi keiinginan semua dalang setelah pertunjukan selesai. Ada pula dari segi sosial dan 115 segi agama, menjadi lebih baik dari hari kemarin, ambil sisi positif dari semua kehidupan kita, dan buang jauh-jauh sisi negatif yang kita miliki. Penulis : Apa harapan bapak untuk dunia pewayangan di desa Bangorejo? Ki Yuwono : Semoga kesenian wayang kulit ini tak berhenti di tangan saya, warisan budaya ini harus di lestarikan, dijaga,dan harus memiliki penerusnya. Penulis : Apa harapan bapak untuk duni pewayangan dan kebudayaan di Indonesia? Mengetahui, Pewawancara Responden Aldi Haryo Sidik Ki Yuwono