wayang kulit sebagai media dakwah - UIN Repository

advertisement
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(PENDEKATAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA TERHADAP
PEMENTASAN WAYANG KULIT KI YUWONO DI DESA
BANGOREJO BANYUWANGI)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Komunikasi Pernyiaran Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Aldi Haryo Sidik
NIM: 109051000024
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 November 2014
Aldi Haryo Sidik
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono
di Desa Bangorejo Banyuwangi)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai
Gelar Sarjan Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Disusun Oleh :
Aldi Haryo Sidik
NIM : 109051000024
Di Bawah Bimbingan
Drs. M. Sungaidi, MA
NIP: 1960 08 03 1997 03 1006
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2014
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan
Komunikasi Antarbudaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono
di Desa Bangorejo Banyuwangi telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa 23 Desember 2014. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 23 Desember 2014
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Rachmat Baihaky, MA
NIP.19761129 200912 1 001
Fita Fathurokhmah, M.Si
NIP. 19830610 200912 2 001
Penguji I
Penguji II
Drs. Study Rizal, LK, MA
NIP.19640428 199303 1 002
Rachmat Baihaky, MA
NIP. 19761129 200912 1 001
Pembimbing
Drs. M. Sungaidi, MA
NIP. 19600803 199703 1 006
ABSTRAK
Aldi Haryo Sidik, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan
Komunikasi Antarbudaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono di Desa
Bangorejo Banyuwangi) Pembimbing: Drs. M. Sungaidi, MA
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang
paling menonjol di anatara karya budaya lainnya di Indonesia. Budaya wayang
meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tuur, seni sastra, seni lukis, seni
pahat dan juga seni perlambangan. Wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa
dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan
khasanah budaya Jawa. Wayang bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar
hiburan, juga merupakan alat komunikasi yang mampu menghubungkan kehendak
dalang lewat alur cerita, sehingga dapat menginformasikan ajaran-ajaran Islam.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk
menjawab pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah Bagaimana
akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono
di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur? Kemudian minornya Bagaimana
pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta
(framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit
dalang Ki Yuwono? Bagaimana faktor penghambat dan pendukung perilaku
komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di pementasan
wayang kulit Ki Yuwono?
Dilihat dari apa yang di teori kegunaan dan kepuasan (Uses and
Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak
yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber
media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya
pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskritif. Peneliti
menggambarkan dan menguraikan secara faktual apa yang dilihat dan ditemukan
dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk menghimpun, mengolah dan
menganalisa secara kualitatif dan terwujudkan dalam konsep. Sedangkan data
yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi.
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil kebudayaan,
mempunyai kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyrakat
Indonesia sampai saat ini. Wayang kulit sudah mendarah daging bagi masyarakat
Jawa. Dalam pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak membawa
pengaruh bagi para penggemarnya dan masyarakat Jawa. Karena di dalam
pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak mengandung falsafah
kehidupan dan tata nilai yang luhur.
Keyword: Wayang, Akulturasi, Media, dan Dakwah
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberi kita begitu banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayah-Nya
kepada setiap makhluk ciptaan-Nya sehingga atas izin-Nya akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam kita haurkan kepada hamba Allah yang paling manis
tutur katanya, yang paling banyak sujudnya dan yang paling bijaksan kepada
umatnya, Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul
“Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya
Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Yuwono di Desa Bangorejo
Banyuwangi”.
Penelitian ini bukan semata-mata buah tangan sendiri, tetapi juga
merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Peneliti juga
merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan
karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritikan yang
membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutkan tidak lupa peneliti haturkan
terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga
amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah SWT.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
i
1. Dr. H. Arief Subhan,MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi beserta Dr. Suparto, M. Ed, MA. Selaku Wakil
Dekan I, Drs.Jumroni, M.Si. selaku Wakil Dekan II, Drs. Wahidin
Saputra, M.A. selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi.
2. Rachmat Baihaky M.A, selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam dan Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam.
3. Dr. Armawati Arbi,M.Si, selaku dosen pembimbing akademik KPI A
2009, terima kasih atas ilmu, motivasi dan saran yang telah diberikan
kepada saya.
4.
Bapak Drs. Muhammad Sungaidi, MA selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan
memberikan pengarahan serta motivasi kepada peneliti sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan.
5. Dalang Ki Dwi Arto Yuwono yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan informasi kepada penulis.
6. Teristimewa untuk Orang Tua penulis Bapak H. Suyanto Sidik S.H
dan Ibu Hj. Sriwiyati yang saya cintai, terima kasih telah merawat,
mengajarkan segala hal positif dan membesarkan penulis serta telah
berupaya memberikan motivasi baik moril maupun material.
Terimakasih juga untuk do’a yang selalu dipanjatkan untuk peneliti.
ii
Adik-adiku Aqmarina Fildzah Sidik dan Agib Bagaskara Sidik yang
selalu menghibur peneliti. Untuk keluarga besar Sidik yang di
Banyuwangi, terima kasih telah memberikan do’a dan mempermudah
penulis untuk melakukan penyelesaian skripsi ini.
7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, motivasi dan
waktunya untuk peneliti.
9. Untuk kawan-kawan KPI A 2009, yang telah menghibur, memberikan
motivasi serta menjadi teman diskusi. Untuk Sahabat-Sahabatku Rizqi
Rahayu Setiani, Iqbal Zulfahmi, Tri Amirullah, Fitri Hanani, Alyssa
Miratin, dan Ika Istiani yang selalu mendukung penulis dari awal
hingga akhir penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah menjadi teman
diskusi untuk penyeselesaian skripsi ini. Untuk keluarga besar LSO
KLISE FOTOGRAFI, yang telah memberikan do’a, semangat, dan
dukungannya kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
10. Semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi
rasa hormat. Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua
kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.
iii
Semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Amin.
Jakarta, 15 Desember 2014
Peneliti
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
BAB II
Latar Belakang ........................................................................ 1
Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................ 6
Tujuan Penelitian .................................................................... 6
Manfaat Penelitian .................................................................. 7
Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7
Kerangka Teori ....................................................................... 8
Metodologi Penelitian ............................................................. 9
Tahapan Penelitian ................................................................. 10
Sistematika Penelitian ............................................................ 12
TINJAUAN TEORITIS
A. Paradigma Penelitian ....................................................... 13
B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah .................................. 15
1). Ruang Lingkup Wayang ................................................... 15
2). Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit ....................... 18
3). Dalang Sebagai Juru Dakwah ........................................... 21
C. Ruang Lingkup Dakwah ........................................................ 28
1). Pengertian Dakwah ........................................................... 28
2). Bentuk-Bentuk Dakwah .................................................... 30
3). Unsur-Unsur Dakwah ....................................................... 31
D. Komunikasi Antar Budaya ..................................................... 38
1). Pengertian Komunikasi Antar Budaya ............................. 38
2). Bahasa Verbal dan Non-Verbal ........................................ 47
3). Akulturasi ......................................................................... 52
4). Peran Komunikasi Dalam Akulturasi ............................... 55
BAB III
PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM
WAYANG KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA
BANGOREJO
A. Sejarah Hidup Ki Yuwono ..................................................... 63
B. Gambaran Umum Wayang ..................................................... 66
1). Pengertian Wayang ........................................................... 66
2). Jenis-Jenis Wayang ........................................................... 68
C. Desa Bangorejo Banyuwangi ................................................. 77
1). Gambaran Umum .............................................................. 77
v
2). Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Desa Bangorejo ................................................................ 79
BAB IV
ANALISIS WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH
A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit ......... 82
B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit ...... 88
C. Kearifan Lokal Jawa dan Islam Jawa .................................... 97
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan ......................................................................... 102
B. Kritik dan Saran .............................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 107
LAMPIRAN ...................................................................................................... 111
vi
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Sejarah adalah mata rantai kehidupan dan kita adalah bagian dari mata rantai
kehidupan tersebut. Hanya orang yang pandai menangkap semangat zaman, yang
akan menjadi pelita dan membuat kehidupan lebih bermakna. Maka sudah
sepatutnya setiap pribadi dari kita memperhatikan waktu dan lingkungannya. Hari
kemarin adalah pelajaran hari esok, hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah
harapan perjuangan untuk mewujudkan harapan. Hal ini dapat dimengerti karena
berbicara masalah sejarah tidak lepas dari tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu,
masa kini, dan masa yang akan datang.
Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup, yaitu
makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia memiliki
banyak tujuan dan cita-cita yang ingin dicapainya, di mana setiap individu
memiliki kebutuhannya sendiri dan juga berbeda satu dengan yang lain.
Sedangkan makhluk sosial, manusia tidak lepas dengan berinteraksi dengan yang
lain dan memiliki kehidupan yang dinamis bersama orang lain di sekitarnya
maupun di tempat yang lain.
Dalam proses perkembangan peradaban, suatu bangsa memiliki adat
kebiasaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
merupakan suatu unsur yang terpenting dan dapat memberikan ciri serta identitas
diri bangsa yang bersangkutan.
1
2
Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat, maka
masing-masing individu dan kelompok menunjukan local genius yang menjadi
ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat. Kedudukan local genius ini sentral,
karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang
datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.
Hilangnya atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian
suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan
berkembang menunjukan pula kepribadian suatu masyarakat itu. Dalam pada itu,
kita pun perlu menyadari bahwa hubungan dan pergaulan dengan masyarakat dan
bangsa lain akan menimbulkan akulturasi, di mana masing-masing masyarakat
saling memberikan dan menerima pengaruh. Suatu proses alkuturasi yang
akhrinya mendatangkan dominasi kebudayaan asing berarti memusnahkan local
genius sebagai pencerminan identitas budaya masyarakat setempat. 1
Kesenian merupakan salah satu hasil perwujudan dari sebuah kebudayaan,
berbagai corak ragam kesenian yang ada di Indonesia terjadi karena adanya
lapisan-lapisan budaya yang bertumpuk dari masa ke masa. Di samping itu
keanekaragaman kesenian di Indonesua juga terjadi karena adanya berbagai etnik
yang memiliki sistem budaya sendiri-sendiri. Setiap masyarakat memiliki ragam
kesinian, masyarakat Jawa memiliki ragam kesenian tersendiri dan tumbuh sesuai
dengan perkembangan budaya Jawa itu sendiri.
Dari sekian banyak jenis kesenian Jawa, seni pewayangan yang hidup sejak
ribuan tahun yang lalu. Seni pewayangan merupakan sebuah tuntutan hidup bagi
1
Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis,(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).h.122
3
masyarakat Jawa, sarat akan kandungan nilai-nilai yang sampai sekarang masih
didambakan oleh masyarakat Jawa. 2
Pewayangan mempunyai andil besar dalam pengislaman masyarakat Jawa.
Sebetulnya wayang sendiri merupakan peninggalan agama Hindu. Namun para
Wali dapat berpikir rasional. Mereka sadar bahwa peertujukan wayang telah
berakar kuat di masyarakat dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja.
Sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang
mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun tuntunan. Penyampaian
ceritanya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan,
sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi segi
kepribadian, kepemimpinanan, kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang
kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya
untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan
penghayatan
secara
mendalam.
Nilai-nilai
ataupun
ajaran-ajaran
yang
disampaikannya itu sesuai dengan sosiokultural, kepribadian, dan pemikiran khas
masyarakat jawa sebagai sebuah masyarakat yang pertama kali menciptakan
kesenian wayang tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat
jawa, sebab dalam setiap kali memahami filsafat, mereka memberikan suatu
pengertian bahwa berfilsafat adalah berarti cinta kesempurnaan (ngudi
kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, love of wisdom, sehingga
untuk menyampaikan suatu makna atau ajaran, seringkali cara penyampaiannya
2
Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, (Semarang: Dahara Prize,1993) h.iv
4
dengan menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta, dan rasa
yang tinggi.3
Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang
patut menurut budayanya. Bahasa persahabatan, kebiasaan makan, praktek
komunikasi, tindakan-tindakan sosial, dan sebagainya, semua itu berdasarkan
pola-pola budaya.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat.
Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalamn,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan
ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh
sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalaui usaha individu dan
kelompok.4Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan da’i
atau pendakwah agar terciptanya individu, keluarga, dan masyarakat yang
menjadikan islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan
bahagia baik di dunia maupun di akhirat.5
Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk
penyampaian pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya peninggalan
leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat,
seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai
luhur/moral, etika, dan relegius. Dari zaman kedatangan islam digunakan para
walisongo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.6
3
Ridin sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), h. 80.
4
Deddy Mulyana, Jalaludin Rakhmat Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 1993,) h. 19
5
Rosid, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet . Ke-1, h.1
6
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, (Jakarta: CV. Mulia Sari, 1991, Cet. Ke-1),
h. 16
5
Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbabagi
perwatakan yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada tokoh jahat adapula yang
baik. Ada yang melambangkan kejujuran, keadilan, kesucian, kepahlawanan,
tetapi ada pula melambangkan tetang angkara murka, keserakahan, ketidak
jujuran, dan lain sebagainya. Ada sifat dan perilaku tokoh yang patuh ditiru atau
dicontoh, tetapi ada pula sifat yang tak perlu untuk di ditiru atau dijauhi. Berbagai
perlambangan itu akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian
diri, setidaknya untuk mawas diri.
Cerita wayang adalah menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan
yang ada dalam pementasan wayang kulit. Cerita dalam pewayangan tidak hanya
sebagai pertunjukan seni semata, juga berfungsi sebagai media dakwah atau
sebagai sarana untuk memyampaikan ajaran keagamaan. Sosok dalang
sesungguhnya bukan seorang juru penerang yang serba bisa, tetapi dituntut harus
bisa, tetapi berperan sebagai budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara
yang bisa mengartifikasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa.
Dalam pementasan wayang kulit di desa Bangorejo Banyuwangi ini menjadi
media yang masih digunakan dalam aktifitas berdakwah. Dengan kesenian budaya
dari leluhur sebagai media berdakwah yang dilakukan para ulama dan wali,
pementasan wayang di desa Bangorejo Banyuwangi sangat berperan penting bagi
nilai-nilai moral, etika dan religious.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis menyusun skripsi
dengan judul “WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Pendekatan
Komunikasi Antar Budaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki
Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi).
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberi arah yang tepat dalam
pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka
penelitian ini dibatasi hanya pada daerah
pementasan wayang kulit pada
masyarakat Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi saja agar tidak melebar luas ke
topik pembahasan yang lain.
2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitan ini adalah:
a. Bagaimana akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan
wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur?
b. Bagaimana pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing),
kekuatan fakta (framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada
pementasan wayang kulit dalang Ki Yuwono?
c. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung perilaku
komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di
pementasan wayang kulit Ki Yuwono?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini :
1. Peneliti ingin mengetahui model akulturasi narasi pakem Jawa Tengah
pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo
Banyuwangi Jawa Timur.
7
2. Peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang pesan dakwah dikemas
dalam
kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta (framing), dan
kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit dalang Ki
Yuwono.
3. Peneliti ingin mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat
dalam penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang
kulit Ki Yuwono.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah kajian
ilmu dakwah dan religius dengan kebudayaan lokal.
2. Diharapkan dapat menjadi masukan baru bagi aktivis dakwah, akademis
serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah untuk
menjadikan seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.
b. Manfaat praktis :
Penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan kontribusi bagi
khazanah sejarah islam Indonesia. Untuk menambah literatur kebudayaan
yang berkaitan dengan sejarah islam yang berasal dari tanah Jawa ini.
E. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran koleksi skripsi pada Perpustakaan Utama
dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian mengenai analisis media
8
cetak memang sudah banyak yang diteliti khususnya di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi., diantaranya adalah seperti :
1.
“Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang
Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang” oleh Yogyasmara. P. Ardhi ,
Tahun 2010. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dalam skripsi ini
yang lebih di ungkapkan menunjukan peranan pementasan wayang kulit dan
kebudayaan Jawa yang menjadi media dakwah.7
2.
“Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan” oleh Moh. Rois
Fathurohim, Tahun 2007. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Dalam skripsi
ini lebih menjelaskan wayang terhadap pendidikan moral, agama, dan
soisal.8
Namun, dari hasil penelusuran ini tidak membuat peneliti berhenti untuk
melanjutkan penelitian ini. Karena, ada beberapa hal yang peneliti anggap sebagai
kelebihan sekaligus pembeda dari penelitian yang lain. Salah satu perbedaannya
adalah penelitian ini merupakan cerita pewayangan yang disampaikan dan
berbeda tempat.
F. Kerangka Teori
Subjek dari penelitian ini adalah Ki Yuwono. Dan objek dari penelitian ini
adalah Pementasan Wayang Kulit di Bangorejo
Banyuwangi.
Dengan
Teorikegunaan dan kepuasan (Uses and Grafications Theory) yang di perkenalkan
oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), bahwa pengguna media memainkan
peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain,
7
Yogyasmara. P. Ardhi, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit
Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang, 2010
8
Moh. Rois. Fathurohim, Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan, 2007
9
pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna
media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha
memenuhi kebutuhannya, artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif
untuk memuaskan kebutuhannya.9Model yang di gunakan adalah S (Source) M
(Massage) C (Channel) R (Receiver), Menurut Berlo, dengan demikian proses
komunikasi dapat terjadi apabila empat komponen tersebut terdapat saling
hubungan, saling berproses dalam mewujudkan komunikasi yang dikehendaki.
Teori dasar komunikasi inilah yang melandasi munculnya Media Komunikasi.
Media Komunikasi menjadi dasar munculnya Media Belajar atau Media
Pembelajaran. Karena pada dasarnya proses pembelajaran adalah proses
komunikasi yang terjadi antara Sumber dan Penerima antara dalang dengan
penonton.
G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskritif
analisis
dengan
pendekatan
kualitatif.Metode
deskritif
yaitu,
metode
mengumpulkan, mengklafikasikan, menganalisis data yang menggambarkan
situasi keadaan dan hasil temuan lapangan yang bersifat non-hipotesis,
selanjutnya mendeskripsikan apa yang di lihat, di dengar, di rasakan, dan
ditanyakan. 10
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta
tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini tidak menceritakan dan
menjelaskan hubungan, dan tidak menguji hipotesis. Deskriptif diartikan
9
Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan
Penelitian), (Bandung; ALFA BETA, 2005), cet. 1, h. 17.
10
10
melukiskan variabel demi variabel. Pada hakikatnya metode deskriptif
mengumpulkan data secara univariat. Karakteristik data diperoleh dengan ukuranukuran
kecenderungan
pusat
(central
tandency)
atau
ukuran
sebaran
(dispersion).11
Kirk dan Miller mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dar
pengamatan
pada
manusia
baik
dalam
kawasannya
maupun
dalam
peristilahannya.12 Kemudian Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan
metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.13
H. Tahapan Penelitian
1. Teknik Pengumpulan data
Ada pun teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitiam ini adalah :
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang terjadi terhadap gejalagejala yang diteliti. E.C. Wragg menjelaskan bahwa observasi yaitu
pengamatan secara sistematis dan analisa yang memegang peranan penting
untuk meramalkan tingkah laku sosial, sehingga hubungan antara satu
peristiwa dengan yang lainya menjadi jelas.14 Dalam pengumpulan data,
11
Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.
41
12
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), h.192
Masri Singarimbun, Op.Cit. h. 193
14
Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah, Dengan Pendekatan Kualitatif
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 8
13
11
peneliti datang langsung ke lapangan untuk memperoleh data untuk
pementasan wayang kulit Ki Yuwono.
b. Wawancara
Menurut
Subyantoro
dan
Suwarto,
“wawancara
merupakan
alat
pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya-jawab sepihak,
dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian”.15
Wawancara dilakukan dengan Ki Yuwono untuk mendapatkan keterangan
mengenai wayang kulit sebagai media dakwah di Desa Bangorejo.
c. Dokumentasi
Menurut Soehartono, “Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan
data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen
yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi.”16
Teknik ini digunakan sebagai sumber dan pelengkap penelitian.
2. Pengolahan data
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Analisis Data
Tahap analisis data adalah tahap yang penting dan menentukan. Pada tahap
inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan demikian rupa sampai berhasil
15
Arief Subyantoro dan FX. Suwarto, Metode dan Teknk Penelitian Sosial, (Yogyakarta,
ANDI, 2007), h.97
16
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: : Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008), Cet.1. h.70.
12
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.17
Analisis tersebut dilakukan terhadap data yang sudah diperoleh dengan
menggunakan teknik pengumpulan data yang digunakan. Setelah data
diperoleh, selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis deskritif.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data ini adalah
sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Mereduksi data berarti membuat rangkuman, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan pola, serta
membuang yang dianggap tidak penting.18 Reduksi data diperlukan
mengingat banyaknya data yang didapat selama melakukan penelitian.
Sehingga dalam melakukan analisis menjadi lebih mudah dan cepat.
b. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data
Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun
secara sistematis dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut
kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang pesan-pesan
dakwah dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono.
I. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, peneliti menyusun penulisan
skripsi ini dengan lima bab, yang masing-masing terdiri dari beberapa sub bab,
yaitu:
17
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1991), Cet. XI, h. 264
18
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembang Profesi Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan, (Jakarta, Kencana, 2010), h.287
13
BAB I Penulis akan menjabarkan tentang Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Penulis akan menjelaskan tentang paradigma penelitan pengertian
umum, ruang lingkup wayang kulit, pengertian wayang kulit, sejarah
perkembangan wayang kulit, macam-macam wayang kulit, dan ruang lingkup
dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah, materi dakwah, dan tujuan
dakwah. Ruang lingkup wayang kulit dan dalang sebagai juru dakwah.
BAB III mendeskrisipkan mengenai profil dalang Ki Yuwono yang terdiri
dari riwayat hidup, pendidikan, prestasi dan pengalaman beliau serta aktifitas
dalam pementasan wayang kulit di Bangorejo Banyuwangi.
BAB IV dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data
penelitian, menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh Ki
Yuwono, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di Bangorejo
Banyuwangi.
BAB V Merupakan bab terakhir dalam rangkaian penulisan penelitian.
Penulis akan menguraikan dalam bentuk kesimpulan dan juga saran penulis atas
permasalahan yang telah diteliti dan dilengkapi daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan perspektif penelitian yang digunakan peneliti, yang
berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana mempelajari
fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian, dan cara-cara yang
digunakan dalam menginterprestasikan temuan. Pemilihan paradigma penelitian
dalam konteks desain penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang
akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian (Guba, 1990).1
Denzin dan Lincoln (1998:107) menyatakan “a paradigm may be viewed
as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first
principle” (suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan
dasar (atau yang berada di balik fisik, yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau
prinsip utama). Sementara itu, adapula yang berpendapat bahwa ilmu sosial dapat
dikonseptualiskan dengan empat asumsi yang berhubungan dengan ontologi,
epistemologi, sifat manusia (human nature), dan metodologi.2
1) Ontologi adalah asumsi yang penting tentang inti dari fenomena dalam
penelitian. Pertanyaan dasar tentang ontologi menkekan pada apakah
“realita” yang diteliti objektif ataukah “realita” adalah produk kognitif
individu.
1
Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif; Teori dan Praktik, (Jakarta; PT. Bumi
Aksara, 2013), h. 25
2
Iman Gunawan. h.25
14
15
2) Epistimologi adalah tentang landasan ilmu pengetahuan (grounds of
knowladge) – tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia
dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain.
3) Sifat manusia (human nature) adalah asumsi-asumsi tentang hubungan
antarmanusia dan lingkungannya.
4) Metodologi adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang
berusaha untuk menyelidiki dan mendapat “pengetahuan” tentang dunia
sosial.3
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber
yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial,
tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakanperorangan
yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu,
metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau
pemahaman (jadi bukan eklaren atau penjelasan). Menurut Supardan (1997; 95)
untuk memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seseorang
peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat
memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman
yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial
yang diamatinya.4
Dalam
penelitian
kualitatif
terdapat
paradigama
yang
bersifat
konstruktivisme, Guba (1990: 25) menyatakan “ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka teori. Basis untuk menemukan
3
4
Iman Gunawan h.27
Iman Gunawan. h.34
16
“sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak. Realitas hanya
ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (kontruk) untuk berpikir tentang
realitas tersebut). Kaum kontruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian
itu tidak bebas nilai. Jika “realitasí” hanya dapat dilihat melalui jendela teori,
maka itu hanya dapat dilihat semua melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian
dimungkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas
nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kaca mata) yang
berdasarkan nilai. 5
Paradigma konstruktivisme menolak pandangan
positivisme
yang
memisahkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan kontruktivisme,
bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka
dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampaian pesan. Kontruktivisme justru
menganggap subjek (komnikator/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan
komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Dengan begitu dalam lingkup
paradigma kontruktivisme ini, teori kegunaan dan kepuasan (Uses and
Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak
yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber
media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya
pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.6
5
6
Iman Gunawan. h.49
Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126
17
B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah
a) Ruang Lingkup Wayang
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang
di Jawa. Wayang berasal dari kata 'MaHyang' yang artinya menuju kepada roh
spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang
adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena
penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya
saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalangyang juga menjadi narator
dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balikkelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan
wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon),
penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang
bayangannya tampil di layar.
Menurut Bambang Sugito, wayang kulit yaitu suatu bentuk pertunjukan
tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunkan gambar
boneka atau semacamnya dari kulit sebagai alat pertunjukan dengan diiringi
musik yang telah ditentukan.7
Bagi Orang Jawa, dunia pewayangan merupakan dunianya sendiri, dunia
Jawa agar mencerminkan usaha yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai simbol
7
Bambang Sugito, Op.Cit, h.31
18
kehidupan masyarakat. Karena orang Jawa menilai bahwa wayang mengandung
filsafat yang dalam dan memberi peluang untuk melakukan pengajian filsafat dan
ajaran keagamaan. 8 Wayang kulit penuh dengan simbolik. Dalam pertunjukannya
menggambarkan perjalanan hidup manusia, yakni manusia yang mencari
keinsyafan akan sangkan-parannya, bukan manusia yang hanya hidup dan tidak
mati. Gambaran yang jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh
dalang yakni menceriterakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.9
Salah satu perlengkapan wayang yang disebut Gunungan atau Kayon
memiliki makna simbolis. Kayon menyerupai bentuk masjid, apabila dibalik akan
menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam
kehidupan umat Islam, jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid.
Semua unsur dalam dunia pewayangan mengandung simbolisme. Dalam
mengapresiasikan wayang, orang Jawa tidak pernah berhenti pada aspek formal
ceritanya saja, melainkan mereka akan selalau menarik makna esoterik yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, persepsi orang Jawa, antara satu dengan yang
lainnya, tentang wayang juga berbeda-beda tetapi secara umum gambarangambaran simbolis mengenai bentuk fisik wayang yang tembus pada kondisi batin
tokoh-tokoh wayang hampir semua dipahami penonton.
Wayang kulit atau wayang purwo sebagaimana adanya sekarang
merupakan kreasi Wali songo, khususnya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dari
membaca „alam‟ lingkungan masyarakat Jawa yang telah tumbuh sebelumnya.10
8
S. Haryanto, Bayang-bayang Adiluhung, (Semarang, Dahara Prize, 1992), h. 77
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga. (Jakarta: Menara Kudus, 1960), h. 65
10
Suyanto Sidik, Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam
Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal
Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi.
9
19
Cerita wayang yang berasaldari kesusasteraan India, di ubah oleh para wali
tersebut dalam seni pertunjukan dengan muatan-muatan Islam sebagai sarana
dakwah.
Kreativitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media
penyebaran Islam yang efektif tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Jawa. Selain itu para wali juga berjasa dalam
mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk kesenian pentas yang merupakan
salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar jauh ke masa lalu dan
cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa ke masa.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut
penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk,
sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan
orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah
sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi,
mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana,
dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang
menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orangorangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di
dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan
di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena
setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang
membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
20
b) Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan
waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan
panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai
seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi
berbeda dengan sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai
pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang,
yang peranannya dapat dominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di
Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali dan wayang banjar di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalamwayang orang peranan
dalang tidak begitu menonjol. 11
Berdasarkan berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa
lampau di nusantara ini telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan
atau jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah wayang yang ada di
nusantara. Sebelum Islam masukketanah Nusantara, khususnya di Jawa,
wayangtelahmenemukanbentuknya.Bentukwayangpadaawalnyamenyerupai
relief yang bisakitajumpai di candi-candiseperti di Prambananmaupun
Borobudur.Pagelaranwayangsangatdigemarimasyarakat.Setiappementasannyas
elaludipenuhipenonton. 12
Wayang Nusantara memiliki definisi yang tidak terpisah antara
Pertunjukkan Seni dengan Peraga, Membawa Lakon kisah-kisah, dan muatan
11
Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press,
1988), h. 11
12
Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan
Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta, 2004). h. 1
21
Nilai-nilai Nusantara. Budaya Wayang Indonesia adalah salah satu budaya
nusantara yang telah mengarungi jalan panjang sejak sejarah mencatat seni
wayang nusantara di abad ke-9. Bahkan dipercaya seni ini sudah menjadi bagian
kehidupan nusantara jauh sebelum itu
Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang
berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini
selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia,
juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau,
Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.13 Alasan ini cukup kuat karena seni wayang
masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa
Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam
pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan
Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis
pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.14
Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di
Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan
(976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga
Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin
berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
13
14
h.21
http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-mencintai-nya/
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965).,
22
Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan
Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan
menceritakan
kembali
dengan
memasukkan
falsafah
Jawa
Kuna
kedalamnya.15Menurut Dr. Hazeu, wayang telah ada sejak zaman Airlangga (950
caka = 1028 M permulaan abad XI sesudah Masehi) didalam kerajaan Kediri yang
makmur. Pertunjukan wayang mwmpergunakan boneka dari kulit (walulang
inukir) dan bayangan-bayanganya diproyeksi pada tabir (kelir/layar).16
Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak
zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata
“wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak
awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak
berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji
ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam,
diantaranya para Wali Sanga.17
Wayang telah dikenal sejak zaman purba yang merupakan perwujudan dari
bayang-bayang nenek moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme
suatu kepercayaan yang dianut masyrakat pada zaman itu berkaitan dengan roh
nenek moyang yang telah lama mati menjadi pelindung bagi manusia yang masih
hidup. Roh tersebut tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besa dan
benda-benda lainnya.
15
http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit dikases pada Kamis, 17 Juli
2014.
16
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965).,
h.28
17
Bram Palgunadi, Tinjauan Tentang Wayang Kulit, (bulletin PSTK-ITB, Edisi 1 Tahun
ke-2 1978).
23
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang
merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang
sudah ada berabad-abad sebeluh Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita
wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya
sastra India, yaitu Ramayan dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam
pewayangan
banyak
mengalami
pengubahan
dan
penambahan
untuk
menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.18
c) Dalang Sebagai Juru Dakwah
Sumber ilmu dakwah tidak bisa terlepas dari Al-Quran dan Sunnah
sebagai pijakannya indiologi sumber ilmu. Dengan berpedoman pada sumber
ilmu, tidak cukup dengan hanya satu mazhab tetapi multimazhab yang lahir
dari bangunan keilmuan dakwah untuk mengkomunikasikan bahasa agama
kepada umat manusia. Tetapi perlu dipahami bahwa “dakwah” dan “Ilmu
Dakwah” berbeda. Jika dakwah selalu memilih kata sebaiknya, seharusnya,
maka ilmu dakwah harus tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah ilmu yang
sifatnya netral dan tidak memihak. 19 Kajian Epistemologi Sultan memberikan
gambaran tentang epistemologi ilmu dakwah. 20
Peran dalang erat hubungannya dengan fungsi wayang dalam kehidupan
sosial. Pada masa lampau (sebelum tahun 1965-an), wayang bagi masyarakat
Jawa bukanlah sekedar ekspresi seni dan hiburan, melainkan juga sebagai
18
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. (Jakarta: ALDA, 1965).,
h.14
19
Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam, (Cet.1; IAIN
Alauddin Press, 1988), h. 39
20
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.49
24
sumber acuan hidup, sebuah frame of reference, mitologi, dan cermin budaya
Jawa. Lewat lakon, di dalam pertunjukan wayang memuat nilai-nilai filsafat,
etika, estetika, religius, dan pendidikan. Maka wayang merupakan media
pengajaran bagi manusia yang melambangkan pergulatan hidup dan budi
pekerti luhur (tuntunan). Menurut para ahli budaya Jawa, lakon-lakon wayang
melukiskan kehidupan masyarakat dan negara, kebijakan dan praktik
kenegaraan, sehingga tak pelak bila Umar Kayam pernah mensinyalir bahwa
untuk mengetahui kehidupan negara perlu melihat wayang. Oleh karena itu
pula lakon wayang sering dipercaya dapat berpengaruh bagi kehidupan
penanggapnya.
Dari fungsi wayang semacam itulah, dalang sebagai sutradara dan
pelaku utama dalam pertunjukan sering diibaratkan dengan seorang pembawa
kaca benggala, simbol perantara antara mikrokosmos dan makrokosmos, guru
masyarakat (ngudal piwulang). Dalang memiliki kedudukan yang tinggi
setingkat kiai, pujangga dan sebagainya. Karena wayang tersebut tidak
mungkin bisa bergerak sendiri tanpa adanya dalang, maka jelas sekali bahwa
peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi perkembangan
dunia pewayangan. 21
Dalam prakteknya, dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran
yaitu dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan
dengan meng-input ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak menghilangkan
susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan masyarakat Jawa,
melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran yang sudah ada.
21
Wawan Susetya, Dhalang, Wayang, dan Gamelan, (Jakarta; Narasi; 2007) h.28
25
Pernyataan ini akan sesuai jika membaca sedikit sejarah masyarakat Jawa. Adanya
budaya masyarakat Jawa yang sudah berhasil di input oleh ajaran Islam
diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan orang mati pada
hari ketiga, ketujuh, dan hari keempat puluh yang didalamnya sudah terdapat
lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam lainnya. Padahal kalau ditelusuri budaya
ini merupakan warisan kepercayaan animisme. Dengan adanya perpaduan ini,
tradisi lama secara otomatis sudah mendapat cap Islam. Demikian pula upacara
selamatan akbar yang dilaksanakan oleh Sultan dengan nama gunungan dalam
upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar , disamping mendapat
cap Islam namun juga memang untuk merayakan hari besar Islam.
Dengan kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan
perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang
terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi
karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah
ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan
Islam di Jawa adalah Wayang.
Kebudayaan Jawa berupa Wayang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum
Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada mulanya
wayang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme yang menjadi
kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia. Sebenaranya Wayang berasal dari
kata wayangan yang berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan
cerita sehingga bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar. 22
22
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, ( Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.22
26
Dalang dalamdunia pewayangandiartikan
sebagai
seseorang
yang
mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian
ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang
anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan
mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata
panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di
belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan
dimainkan.
Dalam buku Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya
Sunda,
yang
disusun
oleh
Yoyo
Rismayan
W dikatakan
:
Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan
demikian, maka fungsi
dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru
penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang
memberi
penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya
beranekaragam.23
Dalang berasal dari kata : dal adalah kependekan dari kata ngudal =
mengucapkan; dan lang
kependekan dari kata piwulang = piwuruk =
petuah/nasehat. Hal ini adalah mitologi rakyat. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa dalang adalah orang yang memberi nasehat/petuah. Di sini
fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru
masyarakat.24
23
Yoyo Rismayan, Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda,
(Bandung, STSI, 1983). h. 24
24
Yoyo Rismayan, h. 24
27
Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang.
Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai
guru masyarakat.Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk
mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/
penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun
sebaliknya.
25
Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan
memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang
sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change,
1960.
Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan
pementasan tidak hanya di satu tempat, tapi berpindah-pindah. Menurut Drs.
Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana
Barat
juga).Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah
pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten
Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang
adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan selama
hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing
masyarakat atau guru masyarakat. 26
Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang
sangat
sentral.
Ungkapan
Jawa dhalange
mangkel,
wayange
dipendemmenunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang.
25
Yoyo Rismayan, h.25
Yoyo Rismayan, h.25
26
28
Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah
penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada
saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas
segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku
manusianya.
Pada zaman dahulu, peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai
dengan fungsi pewayangan sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk
menyembah atau menghormati arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai
penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), antara
komunitas dengan dunia spiritual. Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat
dan kedudukan yang terhormat dalam kehidupan masyarakat.
Lalu bagaimana posisi dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan
perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi
upacara modernisasi, meminjam istilah James L. Peacock dalam bukunyaRites
of Modernization : Symbolic and Sosial Aspect of Indonesia Proletarian
Drama, dalang pun mendapat peran baru yang tetap tidak menghilangkan
pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana
komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru
yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat
pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur
utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan,
sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang
ataupun kritikus sosial. 27
27
Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang Dibalik Wayang, ( Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987) h. 55
29
Sebagai seniman, dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni
pedalangan, yang mencakup seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni
suara, seni karawitan dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang
keahlian yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat
tetapi mendasar (Haryanto, 1988), yaitu:
Antawacana, Renggep, Enges, Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai
melawak;Pandai amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi
Radya, Faham Parama Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi
Carita.28
Dalam hal keagamaan dalang dituntut wajib menguasai detail demi
detail tentang agama. Karena dapat dikatakan bahwa dalang setingkat dengan
Kiai atau pemuka agama. Dan juga dalang harus sebagaiseorang komunikator,
penyuluh, atau juru penerang. Karena wayang tersebut tidak mungkin bergerak
sendiri tanpa ada dalang. Maka jelas sekali bahwa peranan dalang sangat
penting dan paling menentukan bagi pementasan wayang.
C. Ruang Lingkup Dakwah
a) Pengertian Dakwah
Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang
mempunyai arti: panggilan, ajakan, dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa
Arab, kata dakwah adalah bentuk dariisim masdar yang berasal dari kata kerja
: ‫ دعوة‬,‫ يدعو‬,‫دعا‬
28
artinya : menyeru, memanggil, mengajak dengan tujuan agar
Victoria M. Clara van Groenendael. h. 56
30
orang lain memenuhi ajakan tersebut yag berpedoman kepada Al-Qur‟an dan AsSunnah.29
Dakwah dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam Al-Qura‟an yaitu pada
surat Yusuf; 33 dan Surat Yunus; 25. Dalam Al-Qur‟an , dakwah dalam arti
mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam
dan kebaikan, 7 kali ditemukan dalam makna mengajak kepada mereka dan
kejahatan.
Sedangkan ditinjau dari segi terminologi, banyak sekali perbedaan
pendapat tentang definisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:
1. Menurut A. Hasmy dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an,
mendefinisikan dakwah yaitu: mengajak orang lain untuk meyakini dan
mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini
dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.30
2. Menurut Syekh Ali Mahfud. Dakwah Islam adalah memotivasi manusia
agar melakukan kebaikan menurut petunjuk, menyuruh mereka berbuat
kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, agar mereka
mendapat kebahagian dunia dan akhirat.
3. Menurut Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merupakan aktualisasi
Imani (Teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan
manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara
teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak
manusia pada tataran kegiatan individual dan sosio kultural dalam rangka
29
30
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya : Al-Ikhlas, 2000) h.23
A. Hasmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). h. 18
31
mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan
dengan cara tertentu.31
4. Menurut M. Quraish Sihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada
keinsyafan atau usaha megubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan
sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.32
Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang dilakukan dengan sadar
dan terencana, dengan mengajaknya umat manusia ke jalan Allah. Usaha dan
proses tersebut untuk memperbaiki situasu dan juga untuk mencapai tujuan
tertentu, yaikni agar manusia hidup dengan penuh kebahagian dunia akhirat tanpa
adanya unsur paksaan.
Dalam Al-Quran, pengertian dakwah seperti yang terdapat dalam surat AlImran: 104
    

 
 
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung”
b) Bentuk-Bentuk Dakwah
Dakwah bil lisan. Dakwah ini dilakukan dengan menggunakan lisan,
antara lain :
31
Amrullah Ahmad,ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), h.
2.
32
Qurasih Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung Mizan, 1996), cet ke-XIX, h. 194.
32
1) Qaulun ma’rufun, dengan berbicara dalam pergaulanny sehari-hari yang
disertai dengan misi agama yaitu Islam, seperti penyebarluasan salam,
mengawali perbuatan dengan membaca basmallah, atau Al-Fatihah.
2) Mudzakarah, yaitu mengingatkan orang lain jika berbuat salah, baik
dalam ibadah maupun perbuatan.
3) Nasihatuddin, yaitu memberi nasihat kepada orang yang dilanda problem
kehidupan agar mampu melaksanakan agamanya dengan baik, seperti
bimbingan penyuluhan agama dan sebagainya.
Dakwah bil hal, yaitu dakwah yang dilakukan melalui berbagai kegiatan
yang langsung menyentuh kepada masyarakat sebagai objek dakwah atau
berdakwah melalui perbuatan, mulai dari tutur kata, tingkah laku, sampai pada
kerja bentuk nyata seperti mendirikan panti asuhan, fakir miskin, sekolah-sekolah,
rumah ibadah, dan lain-lain.33 Dakwah bil hal merupakan upaya dakwah dengan
melakukan perbuatan nyata, tentunya wujudnya beraneka ragam, dapat berupa
bantuan yang diberikan pada orang lain baik bantuan moril maupun materiil
sebagai mana firman Allah :

 
 
 
  

    
   

  
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anakanak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan Kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kamu penolong dari sisi
Engkau!””.
33
Toha Yahya Omar, Islam dan Dakwah, (Jakarta; al-Mawardi, 2004), h.75
33
Dalam ayat ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum muslimin
membela, membantu saudara-saudaranya yang lemah dengan cara mengetuk pintu
hati setiap orang yang memiliki perasaan dan berkeinginan baik.
c) Unsur-unsur Dakwah
1) Subjek dakwah
Di sini adalah da‟i yaitu seseorang sebagai pelaku dakwah atau
komunikator. Da‟i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik secara
lisan, tulisan maupun perbuatan, individu, kelompok, organisasi atau
lembaga. Da‟i sering disebut “muballigh” (orang yang menyampakan
ajaran Islam). Seorang da‟i selaku subyek dakwah adalah unsur terpenting
yang menduduki peranan strategis. Da‟i adalah seorang muslim yang
memiliki
syarat-syarat
dengan
kemampuan
tertentu
yang
dapat
melaksanakan dakwah dengan baik. 34
Adapun syarat-syarat yang diperlukan utuk menjadi seorang da‟i
menurut Hafi Anshari antara lain:
(a) Peryaratan jasmani (fisik)
Kesehatan
jasmani
menjadi
faktor
yang
penting
dalam
mempelancar dakwah disamping itu kondisi jasmani dan
penampilan fisik seorang da‟i akan menjadi kebanggan bagi
mad‟u. Persyaratan yang dimaksud meliputi: kesehatan jasmani
secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh
mengenai cacat atau tidak.
34
Hamzah Ya‟kub, Publisistik Islam, (Bandung: Diponogoro, 1981), h.13
34
(b) Persyaratan ilmu pengetahuan
Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman
da‟i terhadap unsur-unsur dakwah yang ada seperti mad‟u, materi,
media serta tujuan dakwah.
(c) Persyaratan kepribadian
Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan, sudah barang
tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan
itu terwujud ditentukan oleh faktor kemampuan da‟i untuk
memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh dan
keteladanan. Seorang da‟i haruslah mempunyai kepribadian yang
baik, watak dan sikapnya menyenangkan, perilaku baik dan bisa
dijadiakan contoh.35
2) Objek Dakwah (mad‟u)
Obyek dakwah ialah sasaran, penerima, khalayak, jama‟ah,
pembaca, pendengar, pemirsa, audience, komunikan yang menerima
dakwah Islam. Obyek dakwah adalah amat luas, ia adalah masyarakat yang
beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya.
Dengan mengetahui klasifikasi obyek dakwah, memudahkan bagi
da‟i melakukan penyesuaian dalam penyampaian isi pesan dakwahnya,
tergantung permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat, sehingga
35
HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993).
h.105-106
35
dakwah dapat menyentuh langsung di hati obyek (sasaran) dakwah. Seperti
misal, Jika yang menjadi obyek dakwah adalah kebanyakan golongan
petani, makai diberikan penjelasan bagaimana cara bertani yang baik
sehingga hasil pertaniannya meningkat dan bagaimana peningkatan
tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada Allah.
Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama
dengan mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih
memahami bagaimana beribadah dengan baik akan membantu mereka
untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Sudah barang tentu da‟i
yang bertugas di kalangan buruh atau petani atau lainnya haruslah mereka
yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dunia buruh dan tani.
Dalam hal ini, khutbah atau tabligh perlu disesuaikan dengan persoalan
buruh dan petani. Di samping itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih
konkret seperti latihan keterampilan kerja, pemilihan bibit dan pupuk,
sehingga mereka merasa diperhatikan. Tak lupa juga masalah bagaimana
memasarkan hasil tani. Lapangan kerja apa saja yang sedang dibutuhkan
dan dagang apa saja yang sedang laku dan seterusnya.36
3) Metode Dakwah
Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan suatu kegiatan
dakwah adalah karena menggunakan metode yang efektif ditentukan.
Metode ini adalah satu skema, satu rancangan bekerja untuk menyusun satu
macam masalah menjadi satu sistem pengetahuan. Secara etimologi, istilah
36
Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung; CV. Pustaka
Setia, 1997), cet. Ke-1. h. 47
36
metode berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ”metodos” yang berarti
cara atau jalan. Dengan demikian, metode berarti ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang di tempuh untuk mencapai
suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Tidak semua metode
cocok untuk setiap sasaran dakwah untuk setiap sasaran yang akan
dipengaruhi. Begitu pula dalam hal dakwah. Dalam hal ini Allah
memberikan pedoman pokok dalam surat surat an-Nahl ayat 125:
  
 
     
    
 
 
 
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
4) Materi Dakwah
Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang harus
disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, keseluruhan ajaran Islam,
yang ada di dalam Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya, yang pada
pokoknya mengandung tiga prinsip, yaitu: Aqidah, yang menyangkut sistem
keimanan/kepercayaan terhadap Allah swt. dan ini menjadi landasan yang
fundamental dalam keseluruhan aktifitas seorang muslim, baik yang
menyangkut sikap mental maupun sikap lakunya dan sifat-sifat yang
dimiliki. Hal ini merupakan manifestasi masalah-masalah yang berkitan
dengan keyakinan (keimanan) yang meliputi: Iman kepada Allah, iman
37
kepada Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasulrasul-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada Qadla dan qadar.
Syari‟at, yaitu rangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia
muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan haram, mana
yang mubah dan sebagainya, dan ini juga menyangkut hubungan manusia
dengan sesamanya (hablun minallah dan hablun minannas). Pembahasan
yang termasuk dalam syari‟ah meliputi :
-
Ibadah, (dalam arti khusus) yaitu: thaharah, sholat, zakat, puasa, haji.
-
Mu’amalah, (dalam arti luas):
al-qanunul khas (hukum perdata): yaitu munakahah (hukum nikah),
waratsah (hukum waris).
al-qanunul ’am (hukum publik) yaitu: jinayah (hukum pidana),
khalifah, hukum niaga, Jihad (hukum perang dan damai).
Akhlaq, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal
dengan Allah. maupun secara horizontal dengan sesama manusia dan
seluruh makhluk-makhluk Allah. Ada pun pembagian akhlak adalah: akhlak
terhadap khaliq. Akhlaq terhadap mahluk, meliputi: akhlak terhadap
manusia; (diri sendiri, tetangga, masyarakat). ahlak tehadap bukan manusia
(flora, fauna, dan lain-lain). Keseluruhan ajaran Islam menjadi materi
dakwah, tidak ada lain adalah bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits. Oleh
karena itu pengkajian, pendalaman, pengamalan materi dakwah menjadi
sangat dominan bagi pelaksana dakwah (da‟i).
38
Aqidah dalam Islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup
masalah yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini
pembahasannnya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang dilarang
sebagai lawannya, misalnya Syirik, Ingkar dan sebagainya. Allah berfirman
:

  
  
 
“dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
Termasuk orang-orang yang merugi.”(Q.S. Az-Zumar – 65)
Sumber-sumber materi dakwah adalah :
a. Al-Qur‟an Dan Al-Hadits.
Agama islam adalah agama yang menganut kitabnya allah
yakni al-qur‟an dan al-hadits rasulullah saw yang mana kedua ini
merupakan sumber utama ajaran-ajaran islam. Oleh karenanya
materi dakwah islam tidaklah dapat terlepas dari dua sumber
tersebut, bahkn bila kita tidak bersandar dari keduanya (Al-qur‟anhadits ) seluruh aktivits dakwah akan sia-sia dan dilarang oleh
syari‟at islam.37
b. Ra’yu Ulama (Opini Ulama)
Islam menganjurkan umatnya untuk berfikir-fikir, berijtihad
menemukan hukum-hukum yang sangat operasional sebagai tafsiran
37
HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah, (Surabaya; Al-Ikhlas,
1993). h.105
39
dn akwil Al-qur‟an dan hadits. Maka dari hasil pemkiran dan
penelitian para ulama‟ ini dapat dijadikan sumber kedua setelah
alqur‟an dan al-hadits dengn kata lain penemuan baru yang tidak
bertentangan dengan al-quran dan al-hadits dapat pula di jadikan
sebagai sumber materi dakwah.
Materi dakwah yang hendak di dakwahkan itu adalah pancaran sinar
dari asas hidup islam yang dituturkan wahyu. Bersumber kepada wahyu kita
kita buat rumus, pola dan formula, cetakbiru dari materi yang hendak kiata
dakwahkan, kita susun materi dakwah. Bertlak dari asas hidup dan
pandangan hidup islam, kita bentuk maddah perjuangan, kita letakan qoidah
perjuangan, kita rentangkan khitthah perjuangan. Maddah yang jelas,
khitthah yang terang dan qo‟idah yang kuat akan memahirkan kita dan
menuntun kita dalam memiliki khid‟ah dan maidah perjuangan. Jika semua
itu didukung oleh pemikir dan pejuang yang berwatak yang bermoral dan
berkarakter, maka perjuangan yang di kendalikanya akan dapat dijadikan
tumpangan kepercayaan umat yang berjuang. Maddah (materi). Khittha dan
wijhah, khid‟ah dan makidah, semua itu tidak boleh lepas dari sumbernya.
Ialah wahyu ilahi dan sunnah nabi muhammad Saw.
5) Tujuan Dakwah
Setiap pekerjaan yang dilakukan mempunyai tujuan, demikian juga
dengan dakwah. Dakwah yang disampaikan Rasulullah mempunyai tujuan
yang jelas untuk menyelamatkan umat manusia dari berbagai bentuk
kesesatan kepada keridhaan Allah SWT. Tanpa adanya tujuan tertentu yang
40
harus diwujudkan maka dakwah tidak mempunyai arti apa-apa, bahkan
menjadi suatu perkerjaan yang sia-sia.
Tujuan dilaksanakannya dakwah adalah mengajak manusia ke jalan
yang benar yaitu jalan Allah SWT. Disamping itu, dakwah bertujuan untuk
mempengaruhi cara berpikir manusia, cara merasa, cara bersikap dan
bertindak, agar manusia bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Allah Berfirman;
 
  
  
  

“Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”
D. Komunikasi Antar Budaya
a) Pengertian Komunikasi Antar Budaya
Untuk memahami interaksi antar budaya, terlebih dahulu harus
memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti
memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu
terjadi, apa yang terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa
yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari
kejadian tersebut.
Komunikasi adalah suatu proses yang di mana dua orang terlibat dalam
percakapan dengan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa
yang di percakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan
itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan,
41
mengerti bahasa saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa
tersebut. Jelas bahwa percakapan dua orang tersebut dapat dikatakan
komunikatif, apabila keduanyaselain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga
mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.38
Menurut Sundra Hybels dan RichardL. Weafer II, bahwa komunikasi
merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses
itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara
Menurut Billie J. Walhstrom mengungkapkan komunikasi adalah (1)
pernyataan diri yang efektif; (2) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesanpesan dalam percakapan, bahkan melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi
atau hiburan dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain; (4)
pengalihan informasi dari seorang kepada orang lain; (5) pertukaran makna
antar pribadi dengan sistem simbol; (6) proses pengalihan pesan melalui
saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu.39
Menurut Harold D. Lasswell, cara yang baik untuk menggambarkan
komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut : Who Says what In
which Channel To Whom With What Effect? (Siapa mengatakan apa dengan
saluran apa kepada siapa dengan efek bagaimana?). sedangkan Bernard
Berelson dan Gary A. Steiner (1964) mendifinisikan komunikasi, sebagai
berikut; “Communication: the transmission of information, ideas, emotions,
skills, etc. By the uses of symbol..” (komunikasi adalah transmisi informasi,
gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-
38
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung;CV Remadja
Karya, 1985). h.11
39
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 4
42
simbol, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya
disebut komunikasi.)40
Menurut Carey menyatakan bahwa komunikasi merupakan suatu proses
„ritual yang mengemukakan informasi dua model, yaitu: (1) model transisi,
yakni model yang tidak secara langsung mengutamakkan perkuasan pesan
pesan dalam ruang, tetapi diarahkan untuk mengelola masyarakat dalam satuan
waktu, model yang tidak mengutamakan tindakan untuk mengambil bagian
dalam informasi,
untuk menarik orang lain agar turut serta dalam
kebersamaan.41
Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu
berubah. Sebagai pelaku komunikasi secara konstan dipengaruhi oleh pesan
orang lain dan sebagai konsekuensinya, kita mengalami perubahan yang terus
menerus.
Komunikasi
terjadi
antara
sumber
dan
penerima.
Ini
mengimplikasikan dua orang atau lebih yang membawa latar belakang dan
pengalaman unik mereka masing-masingke peristiwa masing-masing ke
peristiwa komunikasi.
Komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial. Ketika
berinteraksi dengan seseorang, interaksi tidaklah terisolasi, tetapi ada dalam
lingkungan fisik tertentu dan dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik
meliputi objek-objek fisik tertentu seperti mebel, alat musik, karpet atau tidak
ada kesemerawutan, pesan-pesan lain yang menyaingi, dan sebagainya.
Konteks sosial menentukan hubungan sosial antara sumber dan penerima.
Perbedaan-perbedaan posisi seperti guru-murid, atasan-bawahan, orangtua40
41
h. 40
Wiryanto, “Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006) h.7
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta,LKiS, 2002).
43
anak, dokter-pasien, dan sebagainya, mempengaruhi proses komunikasi. Dan
sering lingkungan fisik turut menentukan konteks sosial. Bagaimana pun
konteks sosial tersebut, mempengaruhi komunikasi. Bentuk bahasa yang
digunakan, penghormatan atau kurangnya penghormatan yang ditunjukan
kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara dengan siapa dan drajat
kegugupan atau kepercayaan diri yang diperlihatkan orang, semua itu adalah
sebagian saja dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks
sosial. 42
Saat ini harus paham, bahwa komunikasi manusia tidak terjadi dalam
“ruang hampa” sosial. Alih-alih, komunikasi merupakan suatu matriks
tindakan-tindakan sosial yang rumit dan saling berinteraksi, serta terjadi dalam
suatu lingkungan sosial yang kompleks. Lingkungan sosial ini merefleksikan
bagaimana orang hidup, bagaimana ia ia beriteraksi dengan orang lainnya.
Lingkungan sosial ini adalah budaya, dan bila ingin benar-benar memhami
komunikasi, harus memahami budaya juga.
Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa
yang patut menurut
budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,
praktik komunikasi , tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan
politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Apa yang
orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup
dan berkomunikasi, merupakan respon-respon terhadap dan fungsi-fungsi
budaya mereka.
42
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya; Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1993)
h. 17
44
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep
alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar
orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya
menampakn diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan
perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan
penyesuaian diri dan gaya komunikasiyang memungkinkan orang-orang
tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada
suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.43
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena itu budaya
tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya
dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik. Budaya mempengaruhi
komunikasi dan sebaliknya komunikasi mempengaruhi budaya. Karena itulah
menjelaskan keterkaitan kedua unsur ini menjadi sedikit rumit.44
Martin dan Nakayama (2003:86) menjelaskan bahwa melalui budaya
dapat mempengaruhi proses dimana seseorang mempersepsi suatu realitas.
Semua komunitas dalam semua tempat selalu memanifestasikan atau
mewujudnyatakan apa yang menjadi pandangan mereka terhadap realitas
43
44
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h.19
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h. 20
45
melalui budaya. Sebaliknya pula, komunikasi membantu kita dalam
mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas.45
Budaya atau kebudayaan adalah sesuatu yang sudah melekat erat di
dalam individu, masyarakat atau kelompok tertentu yang berkaitan dengan
minat dan bidang pengetahuan. Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari
dan
diikuti
oleh
seseorang
guna
melakukan
penyesuaian
diri
terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Kebudayaan berorientasikan
pada kelompok, dipelajari berdasarkan pendidikan, bahasa, interaksi, dan
konteks langsung dengan lingkungan yang dilakukan sejak lahir sehingga
mempengaruhi seseorang individu. Kebudayaan juga diartikan sebagai budi
dan akal. Hal ini juga berarti kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan
dengan budi dan akal.
Dalam perkembangannya, kebudayaan berarti juga buah pikiran, hasil
karya manusia berbentuk sesuatu yang indah seperti karya seni. Wujud
kebudayaan ada tiga macam, yaitu kebudayaan ideal, lalu sistem sosial dan
yang terakhir kebudayaan fisik. Beberapa unsur universal yang ada di dalam
kebudayaan adalah sistem religi dan juga upacara keagamaan, sistem dan
organisasikemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, ada juga
kesenian, sistem mata pencaharian, dan juga sistem teknologi.46
Budaya
memiliki
fungsi
untuk
mengatur,
mengendalikan,
dan
memberikan arahan pada tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai, norma, dan
45
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2004). h.19
46
Bakker, JWM. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. ( Yogyakarta: Kanisius, 1999).
h.57
46
keyakinan, yang termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan mempengaruhi
persepsi juga sikap seseorang dan dikomunikasikan kepada masyarakat untuk
dipatuhi demi tercapainya masyarakat yang aman dan damai.
Komunikasi berperan menyampaikan pengaruh positif dan negatif di
dalam masyarakat dan mengajarkan tingkah laku yang baik. Sejatinya,
seseorang bisa belajar komunikasi adalah melalui kebudayaan yang ada. Begitu
pula sebaliknya dengan kepandaian seseorang dalam komunikasi, tujuan
kebudayaan akan tercapai dengan baik di dalam masyarakat. Kebudayaan
dipelajari di dalam fenomena sosial melalui contoh perbuatan tentang nilai
kehidupan seperti nilai baik dan buruk, sesuatu yang harus dilakukan, atau
sebaliknya sesuatu yang harus ditinggalkan. Tempat belajar kebudayaan
pertama kali adalah di lingkungan keluarga. Selanjutnya, pembelajaran itu akan
berkembang menjadi nilai-nilai yang mencerminkan sistem kebudayaan suatu
lingkungan tertentu. Melalui kebudayaan, terjadi komunikasi antarindividu
atau kelompok untuk berbagai macam urusan. Komunikasi dan budaya,
keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan dalam memberikan hubungan
timbal balik. Komunikasi membentuk kebudayaan yang terjadi di masyarakat
sedangkan kebudayaan menentukan pola dan aturan-aturan di dalam
komunikasi. Perilaku individu sangat tergantung pada kebudayaan yang ada di
daerah tersebut.47
Manusia mampu menciptakan dan mengembangkan pengetahuan,
makna, simbol, nilai-nilai, aturan, dan tata upacara yang memberikan batasan
47
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2004). h.147
47
serta bentuk pada hubungan-hubungan melalui komunikasi. Selain itu, melalui
komunikasi juga unsur-unsur kebudayaan bisa diwariskan dari satu generasi ke
generasi
yang
lainnya.
Komunikasi
menjadi
sarana
individu
untuk
menyesuaikan diri dengan budaya-budayanya sendiri ataupun dengan budaya
asing yang ditemuinya. Jadi, melalui komunikasilah kebudayaan bisa
dirumuskan, dibentuk, dan dipelajari. Banyak sekali manfaat yang didapatkan
melalui proses komunikasi. Beberapa di antaranya adalah melalui komunikasi
kita bisa meningkatkan pengetahuan untuk diri sendiri dan menyampaikannya
kepada orang lain. Selain itu, melalui proses komunikasi kita bisa menjelaskan
berbagai macam kendala dan masalah yang timbul tentang kebudayaan ataupun
proses pemahaman budaya dan juga dengan komunikasi kita bisa
meningkatkan pengetahuan tentang kemajuan teknologi dan informasi. Hal ini
sangat penting bagi kita agar kita melek teknologi dan bisa menggunakan
teknologi dengan bijak.
Komunikasi tentang kebudayaan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
Komunikasi ini bisa terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Pada
kenyataanya, terdapat berbagai macam budaya yang menjadi ciri khas dan
kebiasaan kelompok masyarakat tertentu yang sering kita temui. Namun,
keragaman tersebut bisa berjalan beriringan dengan terjalinnya komunikasi
yang baik di dalam masyarakat baik di dalam suatu negara maupun di seluruh
dunia. Contoh kebudayaan yang ada adalah budaya berdasarkan wilayah
seperti budaya timur dan barat. Budaya berdasarkan negara seperti budaya
Indonesia, budaya Prancis, dan budaya Malaysia. Budaya berdasarkan suku
atau ras di dalam suatu negara seperti budaya Cina Indonesia, budaya Amerika,
48
dan Asia. Budaya berdasarkan strata sosial seperti budaya rakyat bawah atau
budaya orang kaya (golongan menengah ke atas). 48
Berbagai macam jenis komunikasi bisa terjadi di dalam lingkup budaya
dengan konteks isi yang berbeda-beda. Komunikasi di kalangan politisi
berbeda dengan komunikasi yang terjadi di kalangan tokoh keagamaan. Begitu
juga dengan komunikasi yang terjadi di dalam lingkup sosial yang lainnya
tergantung dari konteks sosial kebudayaan yang ada di sana. Berbagai macam
latar belakang mempengaruhi isi komunikasi budaya yang terjadi. Faktor yang
mempengaruhinya seperti latar belakang pendidikan dan penerimaan kemajuan
teknologi. Di sini, tampak begitu dekat hubungan antara komunikasi dan
budaya yang ada. Latar belakang budaya yang berbeda-beda secara otomatis
akan mempengaruhi cara komunikasi seseorang. Pengaruh tersebut muncul
akibat adanya suatu persepsi dan pemaknaan terhadap suatu realitas yang
terjadi di dalam masyarakat. Salah satunya adalah persepsi kepercayaan yang
merupakan persepsi pribadi yang merujuk kepercayaan seseorang pada
pandangan kualitas tertentu meskipun pandangan tersebut dapat dibuktikan
secara logis atau tidak. Misalkan saja, kebudayaan mempercayai bahwa berdoa
membantu menyembuhkan penyakit, menabrak kucing hitam akan membawa
kemalangan dan berbagai macam jenis kepercayaan yang lainnya. Budaya
memainkan peranan yang sangat kuat dalam pembentukan kepercayaan
seseorang bahkan masyarakat. 49
48
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 12
49
Alo Liliweri. h.14
49
Kita harus berhati-hati di dalam berkomunikasi dengan konteks
antarbudaya. Kita tidak bisa memvonis suatu kepercayaan itu benar atau salah.
Hal terpenting yang harus kita lakukan adalah membangun komunikasi yang
baik dengan orang lain ketika memiliki kebudayaan yang berbeda dan
menghargai kepercayaan lawan bicara yang kita hadapi meskipun kepercayaan
tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita percayai. Kepercayaan yang
diyakini oleh seseorang menjadi nilai-nilai budaya yang disepakati di dalam
suatu masyarakat. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi rujukan benar, salah,
baik, dan buruk di lingkungan tertentu. Perilaku komunikasi seseorang menjadi
pembeda ketaatan seseorang terhadap budaya yang ada. Nilai-nilai budaya
mampu membentuk perilaku-perilaku para anggota budayanya sebagaimana
tuntutan budaya yang terjadi di masyarakat tersebut. Hingga pada akhirnya,
kepercayaan suatu masyarakat terhadap budaya menjadi sebuah nilai yang
berkontribusi pada pengembangan sikap masyarakatnya. 50
Komunikasi dan budaya akan selalu berkaitan. Budaya tidak akan bisa
terbentuk tanpa adanya komunikasi. Pola komunikasi yang terjadi pun sesuai
dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat
tersebut dan menggambarkan identitas budaya seseorang. Aktivitas komunikasi
dari seseorang yang memiliki kebudayaan tertentu adalah representasi dari
kepercayaan, nilai, sikap, dan pandangan dunia dari budayanya itu. Nilai-nilai
50
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 19
50
dan esensi suatu budaya mampu diperkuat dengan adanya komunikasi yang
terbentuk di dalam masyarakat.51
b) Bahasa Verbal dan Non Verbal
Bahasa Verbal :
Bahasa
menjadi
alat
utama
yang
digunakan
manusia
untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua
rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal
disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan
dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu
sistem kode verbal. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan
pikiran, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas
individual kita.52
Manusia
menggunakan
bahasa
untuk
menyampaikan
pikiran,
perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orangorang
melalui
apa
yang
mereka
katakan
dan
bagaimana
mereka
mengatakannya, kita belajar tentang diri kita melalui cara-cara orang lain
51
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2004). h.150
52
h.33
Mulyana, Deddy. KomunikasiAantarbudaya. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1993).
51
bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar tentang hubungan kita
dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang komunikatif .53
Bahasa begitu vital dalam kehidupan manusia, realitasnya mungkin
tidak ada tanpa bahasa. Bahasalah yang telah memberikan makna terhadap
semesta kehidupan ini. Disetiap daerah memiliki perbedaan bahasa, bahkan
setiap generasi memiliki bahasa yang berbeda dan unik.
Bahasa Nonverbal
Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya,
bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan
sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku
nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah
ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering
didasarkan pada perilaku
nonverbalnya
yang
mendorong
kita
untuk
mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua
isyarat yang bukan kata-kata. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk
melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan
tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan
perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam
pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh
bersifat nonverbal. Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin
menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat
53
Samovar, Porter dan Mc. Daniel, Komunikasi AntarBudaya.(Jakarta; Salemba Humanika,
2007). h. 164
52
berlangsung spontan dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku
verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi berikut:
a. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal
b. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteuh atau melengkapi
perilaku verbal.
c. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku
verbal.
d. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.
e. Fungsi Kontradiksi; perilaku
nonverbal
dapat
membantah
atau
bertentangan dengan perilkau verbal.54
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua
kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan
pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan,
bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.55
Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam proses komunikasi antarbudaya:
Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks
budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang
paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen
dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau
elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka
berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol54
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2008). h.121
55
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 12
53
simbol yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol
dan suara-suara tersebut. Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada
bahasa karena budaya tidak hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk
menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah makna yang terkait dengan
simbol tersebut.
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi
dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosialbudaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan
untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas
yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau
konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai
variabel dalam proses
abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin
rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses
abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena
dalam
suatu
budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.
Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak
pengalaman
berbeda
dan konsekuensinya
proses
abstraksi
juga
menyulitkan.
Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula
dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya
seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan
bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di
antara orang dari budaya yang berbeda.
54
Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya,
apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan
pengertian- pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat
dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara
kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung
atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan menentukan perilakuperilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan,
keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan
menentukan
kapanwaktuyangtepatataulayakuntuk
mengkomunikasikan
perassan,
walaupun
keadaan
internal.
Jadi,
pemikiran,
perilaku-perilaku
yang
memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada
perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan
dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan.56
c) Akulturasi
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur
dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Contoh akulturasi: Saat
budaya rap dari negara asing digabungkan dengan bahasa Jawa, sehingga
56
Dadan Anugrah. Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya; Konsep dan
Aplikasinya, (Jakarta, Jala Permata, 2008) h. 88
55
menge-rap dengan menggunakan bahasa Jawa. Ini terjadi di acara Simfoni
Semesta Raya.
Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latina cculturate yang berarti
“tumbuh
dan
berkembang
akulturasi (acculturation) adalah
bersama”.
perpaduan
Secara
dua
umum,
buah budaya yang
menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam
budaya tersebut. Misalnya. proses percampuran dua budaya atau lebih yang
saling
bertemu
dan
saling
memengaruhi.
Sedangkan,
menurut
Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok
sosial dengankebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang
berbeda.
Syarat
terjadinya
proses
akulturasi
adalah
adanya
persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan Tanpa rasa terkejut.
Syarat lainnya adalah adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru
yang tercema akiat keserupaan tingkat dan corak budayanya.
Thomas Glick (1997) akulturasi adalah proses pergantian budaya yang
diset dalam gerakan dari pertemuan sistem budaya yang otonom. Hal
tersebut menghasilkan sebuah peningkatan persamaan antara satu dengan
yang
lainnya.Robert
Herskovits dalam American
Redfield,
Ralph
Antropologist
Linton dan Melville
(1936) menjelaskan
bahwa
akulturasi merupakan sebuah hasil ketika dua kelompok budaya dari
individu-individu
saling
bertukar
perbedaan
budaya,
timbul
dari
keberlanjutan perjumpaan pertama. Dimana terjadi perubahan dari pola asli
kebudayaan dari kedua kelompok tersebut.
56
Akulturasi dapat terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya dapat
bermacam-macam, antara lain sebagai berikut.

Kontaksosial dapat terwujud pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian
masyarakat, atau bahkan antarindividu dalam dua masyarakat.
Kehadiran teknologi misalnya, tentu berbeda dengan kehadiran seorang
ulama. Kehadiran seorang ahli psikologi berbeda dengan kehadiran
seorang ahli ekonomi.

Kontak budaya dapat terwujud dalam situasi bersahabat atau situasi
bermusuhan.

Kontak budaya dapat terwujud antara kelompok yang menguasai dan
dikuasai dalam seluruh unsur budaya, baik dalam ekonomi, bahasa.
teknologi.
kemasyarakatan.
agama,
kesenian,
maupun
ilmu
pengetahuan.

Kontak budaya dapat terwujud di antara masyarakat yang jumlah
warganya banyak atau sedikit.

Kontak budaya dapat terwujud dalam ketiga wujud budaya baik sistem
budaya, sistem sosial, maupun unsur budaya fisik.57
Hasil proses akulturasi budaya ditentukan oleh kekuatan setiap
budaya. Semakin kuat suatu budaya maka semakin cepat memengaruhi
budaya lainnya. Salah satu contoh dari proses akulturasi di Indonesia adalah
yang terjadi di daerah transmigrasi. Di antara berbagai suku bangsa yang
terdapat di daerah transmigrasi, secara alami terjadi pertemuan dua budaya
57
Nana, Mamat dan Kosim, Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosoiologi),
(Jakarta, PT. Grafindo Media Pertama, 2006) h.87
57
atau lebih. Dalam proses akulturasi, perbedaan-perbedaan yang ada berjalan
beriringan dengan unsur persamaan-persamaan yang mereka miliki sampai
pada akhirnya budaya memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar
dalam proses akulturasi.
d) Peran Komunikasi Dalam Akulturasi
Peran akulturasi banyak berkenaan dengan usaha menyesuaikan diri
dengan, dan menerima pola-pola dan aturan-aturan komunikasi dominan yang
ada pada masyarakat pribumi. Kecakapan komunikasi pribumi yang diperoleh
pada gilirannya akan mempermudah semua aspek penyesuain diri lainnya
dalam masyarakat pribumi. Dan informasi tentang komunikasi imigran
memungkinkan kita meramalkan derajat dan pola akulturasinya.Potensi
akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah
akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi.
Proses akulturasi akan segera berlangsung saat seorang imigran
memasuki budaya pribumi. Proses akulturasi akan terus berlangsung selama
imigran mengadakan kontak langsung dengam sistem sosio-budaya pribumi.
Semua kekuatan akulturatif-komunikasi persona dan sosial, lingkungan
komunikasi dan potensi akulturasi mungkin tidak akan berjalan lurus dan
mulus, tapi akan bergerak majumenuju asimilasi yang secara hipotesis
merupakan asimilasi yang sempurna.
Jika seorang imigran ingin mempertinggi kapasitas akulturatifnya dan
secara sadar berusaha mempermudah proses akulturasinya, maka ia harus
58
menyadari pentingnya komunikasi sebagai mekanisme penting untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dan memiliki suatu kecakapan komunikasi
dalam budaya pribumi, kecakapan kognitif, afektif, dan perilaku dalam
berhubungan dengan lingkungan pribumi.
Akulturasi adalah suatu proses interaktif "mendorong dan menarik"
antara seorang imigran dan lingkungan pribumi. Imigran tidak akan pernah
mendapatkan
tujuan
akulturatifnya
sendirian,
tetapi
anggota-anggota
masyarakat pribumi dapat mempermudah akulturasi imigran dengan
menerima pelaziman budaya asli imigran. Hal tersebut dapat terjadi dengan
memberikan situasi-situasi komunikasi yang mendukung kepada imigran, dan
menyediakan diri secara sabar untuk melakukan komunikasi antarbudaya
dengan imigran. Masyarakat pribumi dapat lebih aktif membantu akulturasi
imigran dengan mengadakan program-program latihan komunikasi. Dan
nantinya segala program latihan tersebut harus membantu imigran dalam
memperoleh kecakapan komunikasi.58
Manusia
adalah
makhluk
sosio-budaya
yang
memperoleh
perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi
oleh kekuatan- kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar
manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar.
Kita belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan
dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan
sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh
58
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT
Remaja Rosdakarya, 2005), h.149
59
individu-individu
yang
berinteraksi
dengan
kita.
Kegiatan-kegiatan
komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan
sosial kita.
Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon
komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada
gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku
komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya
sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana
individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan
cara bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan
mereka.Proses
individu-individu
memperoleh
aturan-aturan
budaya
komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui
proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam
sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses
belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi
dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola
komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individuindividu itu disebut enkulturasi.59
Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak
masa kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.
Transaksi- transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan
kemampuan berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan
aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang
59
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h.155
60
menjadi lingkungan barunya. Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku
kehidupan yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang
anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek
kehidupan yang asing. Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan responrespon yang telah terkondisikan menyebabkan banyak kesulitan kognitif,
afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya baru. Schultz
mengatakan
bahwa
bagi
orang
asing,
pola budaya kelompok yang
dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu
arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik
penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasisituasi problematik tetapi merupakan suatu situasi problematik tersendiri yang
sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu,
seperti yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan
kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan
keadaan. Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan
relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi.
Walaupun percakapan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang
alami (karena kita tidak dapat menghindarkan percakapan, namun percakapan
bukanlah sesuatu yang tanpa konsekuensi. Percakapan yang kita laukan
membentuk siapa dan bagaimana diri ini akan membahas teori-teori yang
berada dalam kelompok pemikiran kritis (tradisi kritis), yang akan
menunjukkan kepada kita bagaimana penggunaan bahasa dalam percakapan
61
menolak bentuk-bentuk komunikasi egaliter yang memberdayakan seluruh
kelompok masyarakat. 60
Variabel-variabel Komunikasi Dalam Akulturasi
1) Komunikasi Persona
Komumikasi persona (interpersona) mengacu kepada proses-proses
mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam
dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara
melihat, mendengar, memahami dan merespon lingkungannya. Salah satu
variabel
komunikasi
persona
terpenting
dalam
akulturasi
ialah
kompleksitas sruktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan
pribumi. Selama fase-fase awal akulturasi, persepsi seorang imigran atas
lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun, setelah imigran
mengetahui budaya pribumi lebih jauh persepsinya menjadi lebih luas
dan kompleks, memungkinkannya menemukan banyak variasi dalam
lingkungan pribumi.
2) Komunikasi Sosial
Komunikasi sosial dapat dikategorikan lebik jauh kedalam komunikasi
antarpersona dan komunikasi massa. Komunikasi antar persona terjadi
melalui antar hubungan-hubungan antar persona, sedangkan komunikasi
massa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih umum, yang
dilakukan indivudu-individu yang terinteraksi dengan lingkungan sosiobudayanya tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan
individu-individu tertentu.
60
Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group; 2013), h. 266
62
3) Lingkungan Komunikasi
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan
akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat.
Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran snagat
tergantung pada derajat “kelengkapan kelembagaan” komunitas tersebut
dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggotaanggotanya (Taylor, 1979). Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat
mengatasi tekanan-takanan situasi antarbudaya dan memudahkan
akulturasi. Namun keterlibatan imigran yang ekstensif dalam komunitas
etniknya tanpa kominikasi yang memadai dengan anggota-anggota
masyarakat pribumi mungkin akan mengurangi intensitas dan kecepatan
akulturasi imigran (Broom dan Kitsuse, 1976).61
Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang
menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya
mereka. Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi.
Kecakapan komunikasi yang diperoleh imigran tidak hanya penting bagi
semua aspek penyesuain diri lainnya, tapi juga penting bagi masyarakat
pribumi bila kecakapan komunikasi imigran tersebut daoat secara efektif
menampung berbagai unsur dan memelihara kesatuan dan kekuatan
masyarakat yang diperlukan.
Begitu pula dengan teori yang dikemukan oleh Everett M Roger,
adalah sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui
saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem
61
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1996.) h. 200
63
sosial, sedangkan kalau inovasi didefinisikan sebagai “an idea, practice, or
object perceived as new by the individual” (suatu gagasan, praktek, atau
benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu).
Adapun Unsur unsur dalam Difusi Inovasi adalah sebagai berikut
1. Innovation ( Inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap
baru oleh individu atau kelompok.
2. Communication channel ( saluran komunikasi ), yaitu bagaimana
pesan itu didapat suatu individu dari individu lainnya.
3. Time ( waktu ), ada tiga faktor waktu, yaitu :

Innovation decision process (proses keputusan inovasi)

Relative time which an inovation is adopted by individual or group.
(waktu relatif yang mana sebuah inovasi dipakai oleh individu atau
kelompok)

Innovation’s rate of adoption (tingkat adopsi inovasi)
4. Social System ( sistem sosial ), yaitu serangkaian bagian yang saling
berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum.
Sedangkan untuk Model keputusan adopsi inovasi adalah
1. Knowledge (pengetahuan)
2. Persuasion (kepercayaan)
3. Decision (keputusan)
4. Implementation, dan (penerapan)
5. Confirmation (penegasan/pengesahan)
64
Dalam
tahap
yang
pertama
adalah
Knowledge
Stage/tahap
pengetahuanadalah merupakan Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan
Knowledge Stage. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan
suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa ?,
bagaimana ?, dan mengapa ? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada
knowledge stage ini. Selama tahap ini individu akan menetapkan “ Apa
inovasi itu ? bagaimana dan mengapa ia bekerja ?
Dalam tahap kedua adalah Persuasion (kepercayaan). Tahap Persuasi
terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi.
Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu
tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan
membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini
berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers
menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang
pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut
perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh
lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial
akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.
Dalam tahap ketiga adalah Decision (keputusan). Pada tahapan ini
individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi.
Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan
digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “ not to adopt an
innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada
keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena
65
biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut
pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi
tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap
proses keputusan inovasi ini.
Dalam tahap keempat yaitu Implementation, dan (penerapan). Pada
tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi
sebuah
inovasi
membawa
sesuatu
yang
baru
apabila
tingkat
ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil
inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna
akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi
tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan
inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius
terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena
dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan
inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
Dalam tahap kelima yaitu Confirmasi. Ketika Keputusan inovasi
sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini
. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna
ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut.
Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti
ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat
keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial.
66
Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan
sikap individu .62
62
http://dwikartikawati.blogspot.com/2011/02/diffusion-of-innovations-teori-difusi.html
BAB III
PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM WAYANG
KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA BANGOREJO
A. Sejarah Hidup Ki Yuwono
Dwi Arto Yuwono, nama lengkap dari dalang muda berprestasi di
Kabupaten Banyuwangi, yang biasa disapa dengan panggilan Ki Yuwono ini lahir
di desa Balurejo, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 9
Juni 1978. Ki yuwono merupakan seorang putra ke dua dari pasangan bapak
Suparman dan ibu Surtiani. Lahir dari keturunan seniman wayang, mengikuti
jejak sang ayah sebagai dalang wayang kulit. Dan ibu Surtiani adalah seorang rias
pengantin. Kedua orang tua Ki Yuwono ini cukup dikenal oleh masyarakat
Pesanggaran pada saat itu. Memiliki 3 keturunan, Wahyu Adi Prasetyo, Dyah Ayu
Indriani, dan Hapsari Putri Rahayu, yang dimana darah seniman mengalir kepada
ketiga anaknya. Anak pertamanya dapat memainkan wayang sebagai mana Ki
Yuwono memainkan wayang, meskipun tidak begitu intens memainkannya,
secara tidak langsung darah seniman mengalir dalam dirinya. Begitu pula pada
anak ketiganya yang dapat “menyinden”, dijuluki sinden cilik oleh teman-teman
dalang Ki Yuwono, Hapsari tidak lah malu untuk menampilkan bakat keturunan
pertama kali pada usia 6 tahun, yang membuat Ki Yuwono tercengang
mendengarkannya.
Selain Seni Pedalangan Ki Yuwono juga bisa membuat Wayang Kulit
sendiri, ya walaupun belum mempuni tapi layak untuk dipentaskan.Karena dalam
seni pedalangan itu melibatkan Seni Karawitan, Seni Kriya, Seni Tatah Sungging.
67
68
Seni dalam pembuatan Wayang Kulit yang telah terwujud ya itu Dua buah Buto
raksasa, yang panjangnya mencapai + 2,5 meter.
Menganyam pendidikan dasar di SDN Karangdara 9, Banyuwangi, Ki
Yuwono dikenal mudah bergaul. Pada usia 11 tahun, Ki Yuwono sudah mengikuti
ayahnya untuk pentas kesenian wayang. Dari sinilah bakat Ki Yuwono tampak,
dan sang ayah giat untuk mengajaknya saat sang ayah mendapat panggilan
pementasan wayang dimana-mana. Pertama kali Ki Yuwono tampil tanpa
didampingi sang ayah di belakangnya, pada saat khitanan teman SMP-nya waktu
duduk dibangku SMP 6 Ngajung, Kabupaten Malang. Dengan modal keberanian
dan percaya pasti bisa, Ki Yuwono memberanikan diri untuk tampil pertama
kalinya. Dengan terus meminta bimbingan dari sang ayah di kemudian harinya.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Malang, Ki Yuwono kembali
ke tanah leluhurnya di Pesanggaran. Tetapi beliau tak lama kemudian berpindah
tempat tinggal dari Pesanggaran ke desa Stembel, Kecamatan Jajag. Dari desa
hijrah ke kota, begitu beliau menyebutnya. Disaat inilah beliau di uji kesetiannya
dengan wayang kulit, saat bertemu dengan teman-teman sebayanya saat duduk
dibangku SMA, Ki Yuwono mengalami masa remaja yang belum pernah ia
rasakan sebelumnya. Pementasan wayang kulit dimannapun akan didatangi,
berbeda pada masa kali ini, Ki Yuwono lebih senang dengan Cangkruk
(nongkrong) bersama dengan teman-temannya. Rasa bosan dengan dunia wayang
atau dalang, beliau mengatakan hampir 75% kesenangannya dengan wayang
menghilang pada saat itu, tetapi masih ada 25% menyukai wayang. Saat itu, ada
pementasan wayang, dalangnya adalah ayahnya, sedikitpun tidak melihat ayahnya
pentas tetapi lebih senang Cangkruk. Bahkan dalang kondang Ki Manteb
69
Sudarsono saat pentas didaerah itu, beliau menghiraukan begitu saja. Lepas dari
masa-masa SMA, Ki Yuwono bertekat untuk mengembangkan bakatnya kembali.
Bersama sahabat sang ayahnya beliau mengembangkan bakat sebagai
dalang, Ki Guntur Carito adalah „guru‟ saat beliau lepas dari SMA. Sebagai
Penyimping (seseorang yang duduk dibelakang dalang dan bertugas menyiapkan
wayang kulit yang akan di tampilkan oleh sang dalang), disinilah Ki Yuwono
memperdalam dunia dalang. Tidak hanya dengan satu sahabat ayahnya saja, tetapi
Ki Yuwono juga belajar dengan Ki Sukarno Kondho Wahono. Tidak ada praktek
atau belajar dalang secara formal yang dilakukan oleh Ki Yuwono, hanya
memperhatikan bagaimana Ki Guntur dan Ki Sukarno saat pementasan. Hampir
setiap keduanya ada pementasan, Ki Yuwono selalu mengikuti untuk belajar
bagaimana menjadi dalang yang sesungguhnya.1
Ki Yuwono bergabung bersama PEPADI (Persatuan Pedalangan
Indonesia) Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Banyuwangi. Prestasi yang
pernah di raih oleh beliau adalah menjadi 5 besar pada tingkat provinsi Jawa
Timur pada tahun 2003, penyaji terbaik se-Jawa Timur tingkat Provinsi pada
tahun 2011, penghargaan penyaji terbaik dari Dinas Pariwisata Provinsi JawaTimur pada tahun 2012, dan penghargaan Seniman Berbakat dari Bupati
Banyuwangi pada tahun 2012. Bagi PEPADI Kabupaten Banyuwangi, Ki
Yuwono adalah dalang andalan bagi Kabupaten Banyuwangi untuk pentas
disegala ajang perlombaan pementasan wayang se-Indonesia.
1
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono pada tanggal 27 Juli 2014 Pukul 11.16 WIB
70
B. Gambaran Umum Wayang
a. Pengertian Wayang
Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, wayang dalam bahasa Jawa, yang
berarti “bayangan”, dalam bahasa Melayu disebut “bayangan-bayang”. Akar kata
dari wayang adalah “yang”. Akar kata ini bervariasi dengan “yung, yong”, antara
lain terdapat kata layang – “terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil; royong –
selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain; poyang – payingan “ berjalan
sempoyongan, tidak tenang” dan sebagainya.2
Awalan “wa” di dalam baha Jawa modern tidak mempunyai fungsi. Tetapi
dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa.
Seperti terdapat pada kata: Wahairi yang berarti “iri hati, cemburu”, sejajar
dengan kata: bahiri dalam bahas Daya. Jadi bahasa Jawa wayang yang
mengandung pengertian “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi
substansi bayang-bayang),” telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika
awalan “wa” masih mempunyai fungsi tata bahasa.3
Pengertian wayang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
: “boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang telah diukir, kayu yang dipahat, dan
sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan
drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”4
Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang
berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini
2
Sri Mulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya,Jakarta: ALDA, 1975.
3
Ibid.
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia. H.1010
H. 11
4
71
selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia,
juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau,
Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan ini cukup kuat karena seni wayang
masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa
Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam
pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan
Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis
pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.
Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di
Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan
(976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga
Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin
berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan
Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan
menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya.
Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak
zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata
“wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak
awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak
berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji
72
ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam,
diantaranya para Wali Sanga.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga member
pengaruh besar pada budaya wayang, terutama konsep religi dari falsafah wayang
itu. Sejak zaman Kartasura, pengubahan cerita wayang yang berinduk pada
Ramayana dan Mahabarata semakin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah
masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh
dewanya, yang berawal dari Nabi Adam.
b. Jenis-Jenis Wayang
Pertunjukan wayang kulit sudah berumur lebih dari 1000 tahun atau
kongkritnya + 1111 tahun ( + 903 – 2014). Apabila dihitung dari pertunjukan
bentuk aslinya sudah mempunyai umur + 3.534 ( + 1500 SM – 2014). Walaupun
sudah lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap digemari dan tetap mendarahdaging bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku Jawa pada khususnya.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan
warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity).5
5
S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:
Djambatan, 1998), h.5-6
73
Pada zaman penyebaran Islam di Jawa, juga telah digunakan sebagai alat
perjuangan penyebaran agama dan budaya Islam. Walisanga, terutama Sunan
Kalijaga dipercaya menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah dengan
melakukan gubahan cerita pakem wayang kulit. Cerita wayang yang mulanya
mereferensi pada keyakinan Hindu dan berasal dari daratan India lalu disesuaikan
dengan ajaran Islam di Jawa. Sebut saja lakon Jimat Kalimasada yang dinilai
terbukti efektif sebagai media siar Islam pada zaman kerajaan Demak
Wayang kulit merupakan paling populer di kalangan masyarakat local hingga kini.
Dalang wayang kulit biasanya biasanya di tanggap oleh keluarga – keluarga yang
mengadakan pesta hajatan perkawinan dan khitanan. Dalam prosesi pesta hajatan
tersebut, seorang dalang biasanya tidak sekedar berperan menghibur para
pengunjung dengan pertunjukannya tetapi juga sebagai kiyai yang mendoakan
agar mereka yang memiliki hajat selalu dilindungi dari segala bencana.
Wayang berfungsi sebagai sarana penerangan, pendidikan dan komunikasi
massa yang sangat akrab dengan masyarakat pendukungnya dengan tujuan
akhirnya membangun kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya
negara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu karya
walisanga adalah tentang konsep Panakawan yang selalu ditampilkan dalam setiap
pementasan wayang yang beliau dalangi. Para tokoh Panakawan ini selalu beliau
tampilkan dalam setiap pementasan wayang kulit. Tokoh-tokoh Panakawan
tersebut adalah :
1. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Mismar. Mismar berarti
paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran
74
dalam ajaran Islam Semar merupakan simbolisasi dari agama sebagai
prinsip hidup setiap umat beragama.
2. Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam
pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini
berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia
sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman
(umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan
yang baik.
3. Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari
sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa
siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah.
Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada
waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong
yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan
hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas,
seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
4. Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak
terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si Bayangan Semar ini
karakternya lancang dan suka berlagak bodoh.6
Jenis – jenis wayang :
1. Wayang Purwa: Wayang purwa disebut juga wayang kulit karena
terbuat dari kulit lembu.Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit
6
Rizal Firdaus Al-Sam, “Wayang Sebagai Media Dakwah,” artikel diakses pada 16
Agustus 2014 dari http://rizalalsam.blogspot.com/2011/01/wayang-sebagai-media-dakwah.html
75
kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan
wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang
diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding
dan gapit. Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:
-
Wayang Kidang kencana; boneka wayang berukuran sedang tidak
terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk
mendalang (wayang pedalangan).Wayang Ageng; yaitu boneka
wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian
lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut
wayang jujudan.
-
Wayang kaper;yaitu wayang yang berukuran lebih kecil dari pada
wayang biasa.
-
Wayang Kateb;yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalku panjang
tidak seimbang dengan badannya.
Pada perkembangannya bentuk bangun wayang kulit ini
mengalami perkembangan bahkan pergeseran dari yang tradisi menjadi
kreasi baru. Pada zaman Keraton Surakarta masih berjaya dibuat wayang
dalam ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai
Kadung, hal ini yang mungkin mengilhami para dalang khususnya
Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran lebih besar lagi.
Misalnya Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah
membuat Raksasa dengan ukuran 2 meter, dengan bahan 1 lembar kulit
kerbau besar dan masih harus disambung lagi. Karya ini yang kemudian
76
ditiru oleh Dalang Muda lainnya termasuk Ki Entus dari Tegal, Ki Purbo
Asmoro dari Surakarta, Ki Sudirman dari Sragen dan masih banyak lagi
dalang lainnya. Penyaduran sumber cerita dari Ramayana dan Maha barta
kedalam bahasa Jawa kuno dilakukan pada masa pemerintahan raja
Jayabaya .pujangga yang terkenal pada masa itu ialah empuSedah ,empu
panuluh empu Kanwa. Sunan Kalijaga salah seorang walisanga
(demak,abad XV) adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang
dari kulit lembu.
2. Wayang beber merupakan salah satu jenis wayang tertua di Indonesia.
Dalam pertunjukan narasi ini, lembaran gambar panjang dijelaskan oleh
seorang dalang. Wayang beber tertua dapat ditemukan di Pacitan,
Donorojo, Jawa Timur. Selain dari kisah-kisah Mahabharata dan
Ramayana, wayang beber juga menggunakan kisah-kisah dari cerita
rakyat, seperti kisah asmara Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.
Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau
kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan
urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat
ini hanya beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo,
Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan dan memainkan
wayang beber ini.
Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang
beber ini dimodifikasi bentuk menjadiwayang kulit dengan bentuk
bentuk yang bersifat ornamen yang dikenal sekarang, karena
ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia,
77
hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada.
Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk
menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.
Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun
1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo
(1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden
Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber
juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmoro
Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.
3. Wayang Krucil : Banyak orang menamakanya wayang klithik.Wayang
ini terbuat dari kayu,bentuknya mirip wayang kulit. Biasanya
meceritakan DamarWulan dan Majapahit. Untuk menancapkan Wayang
klithik tidak ditancapkan di pelepah pisang seperti wayang kulit tetapi
menggunakan kayu yang telah diberi lubang lubang. Wayang ini
pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari
bahan kulit dan
berukuran
dengan wayang
krucil.
kecil
sehingga
lebih
Munculnya wayang
sering
disebut
menak yang
terbuat
dari kayu, membuat Sunan Pakubuwana II kemudian menciptakan
wayang klithik yang terbuat dari kayu yang pipih (dua dimensi). Tangan
wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda dengan wayang
lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang terbuat dari kayu.
Apabila pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang diyakini
sebagai
asal
mula
istilah
penyebutan
wayang
klithik.Di Jawa
Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang
78
gedog.
Tokoh-tokohnya
memakai dodot rapekan,
berkeris,
dan
menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Di Jawa Timur tokoh-tokohnya
banyak yang menyerupai wayang purwa, raja-rajanya bermahkota dan
memakai praba.
Di
Jawa
Tengah,
tokoh-tokoh
rajanya
bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit.
Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana
dan Mahabarata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus
cerita Panji dan Damarwulan.
Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil
dari
zaman
Panji
Kudalaleyan
di
Pajajaran
hingga
zaman
Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan
wayang krucil memakai cerita wayang purwa dan wayang menak,
bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun.
4. Wayang Gedog : Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang
yang memakai cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada
sejak zaman Majapahit. Bentuk wayangnya hampir sama dengan
wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu memakai tekes dan rapekan.
Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan gelung keling.
Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai gantinya,
terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orangorang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari
Makassar, terdapat pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo),
seperti Klana Siwandana, kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara
79
dan Daeng Purbayunus, dari Siam seperti Prabu Maesadura, dan dari
negara Bali. Wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon diciptakan
oleh Sunan Giri pada tahun 1485 (gaman naga kinaryeng bathara) pada
saat mewakili raja Demak yang sedang melakukan penyerbuan ke Jawa
Timur (invasi Trenggono ke Pasuruan).
Wayang Gedog baru memakai keris pada zaman panembahan
Senapati di Mataram. Barulah pada masa Pakubuwana III di Solo
wayang gedog diperbarui, dibuat mirip wayang purwa, dengan nama
Kyai Dewakaton.Dalam pementasannya, wayang gedog memakai
gamelan berlaras pelog dan memakai punakawan Bancak dan Doyok
untuk tokoh Panji tua , Ronggotono dan Ronggotani untuk Klana, dan
Sebul-Palet untuk Panji muda.Seringkali dalam wayang gedog muncul
figur wayang yang aneh, seperti gunungan sekaten, siter (kecapi),
payung yang terkembang, perahu, dan lain-lain.
Di Surakarta, tinggal ada dua dalang wayang gedog, yaitu Bp.
Subantar (SMKI/ Konservatori) dan Bp. Bambang Suwarno, S.Kar
(STSI) yang juga salah satu desainer wayang gedog yang masih
bertahan sampai sekarang.
5. Wayang Golek : Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat
populer, terutama di pulau Jawa dan Bali. Orang sering menghubungkan
kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan
wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan.
Di Jawa Barat, selain dikenal wayang kulit, yang paling populer adalah
Wayang golek . Istilah golek dapat merujuk kepada dua makna, sebagai
80
kata kerja kata golek bermakna 'mencari', sebagai kata benda golek
bermakna boneka kayu. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua
macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek
purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang orang yang
merupakan bentuk seni tari-drama yang ditarikan manusia, kebanyakan
bentuk kesenian wayang dimainkan oleh seorang dalang sebagai
pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan
antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.
Pertunjukan ini dilakukan menggunakan wayang tiga dimensi yang
terbuat dari kayu. Jenis wayang ini paling populer di Jawa Barat. Ada 2
macam wayang golek, yaitu wayang golek papak cepak dan wayang
golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang
golek purwa. Kisah-kisah yang digunakan sering mengacu pada tradisi
Jawa dan Islam, seperti kisah Pangeran Panji, Darmawulan, dan Amir
Hamzah, pamannya Nabi Muhammad a.s.
6. Wayang Wong : Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang
wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan
menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.
Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.
Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi
dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit
yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan
tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka
wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan
81
yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka
mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering
kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan
gambar atau lukisan.7
C. Desa Bangorejo Banyuwangi
a. Gambaran Umum
Desa Bangorejo adalah salah satu desa di Kecamatan Bangorejo
Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Desa Bangorejo adalah pusat pemerintahan
Kecamatan Bangorejo. Jarak antara desa Bangorejo ke Pusat Pemerintahan
Kabupaten Banyuwangi sekitar 42 Km. Desa Bangorejo adalah desa yang
produktif dalam segi pertanian.
Pada tahun 2000 desa Bangorejo hanyalah sebuah dusun, perubahan
administratif pada desa atau kelurahan untuk nama lain dari „desa‟, terjadi di akhir
tahun 2000. Penyebutan „desa‟ hanya sebuah istilah oleh peneliti agar mudah
dicerna maknanya. Karena perubahan status hanya bersifat adminitratif semata
tanpa mengurangi pengaruh terhadap objek penelitian.8
Luas wilayah desa Bangorejo keseluruhan adalah 103,4446 Ha atau
1.034.446 m2. Dengan luas persawahan 7,16472 Ha, luas permukiman 10,9541
7
8
Artikel di akses pada 16 Agustus 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
82
Ha, dan sebagaian luas wilayahnya adalah perkantoran dan prasaran umum
lainnya.9 Dengan batas wilayah sebagai berikut :
5. Sebelah Utara
: Desa Purwodadi, Kecamatan Gambiran dan
Kecamatan Tegalsari
6. Sebelah Selatan
: Desa Sambimulyo, Kecamatan Bangorejo
7. Sebelah Timur
: Desa Balurejo, Kecamatan Purwoharjo
8. Sebelah Barat
: Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo
Desa Bangorejo berada didataran rendah, bukan dataran tinggi dengan ketinggian
40 meter diatas permukaan laut. Desa Bangorejo terdiri dari 4 (empat) Dusun,
yaitu
Dusun
Sere,
Dusun
Bangorejo,
Tamansuruh.10
9
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
10
Dusun
Gunungsari
dan
Dusun
83
b. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Desa Bangorejo
1. Penduduk
Berdasarkan data pada arsip Desa Bangorejo tahun 2013, penduduk Desa
Bangorejo adalah 8.949 jiwa dengan perbandingan laki-laki 4.426 jiwa sedangkan
perempuan 4.523 jiwa. Penduduk Desa Bangorejo lebih mendominan usia 18
tahun keatas. 11
Kehidupan masyarakat Desa Bangorejo sudah terbiasa dengan beriteraksi
satu dengan yang lain. Begitu pula dengan interaksi antar dusun, dalam artian
mengenal warga dusun yang ada dalam ruang lingkup desa Bangorejo. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan masih eratnya hubungan antar masyarakat yang
berbeda dusun, walaupun jaraknya tidak dekat. Begitupula dengan sifat gotong
royong serta slidaritas sesama masyarakat desa, sebagai contoh ketika salah satu
warga ada yang mengadakan hajat (perkawinan, sunatan atau selamatan) tanpa
harus di undang untuk membantu, maka dengan sendirinya akan datang untuk
membantu, masyarakat setempat menyebutnya dengan “Rewang” (membantu).
Biasanya untuk urusan dapur adalah perempuan, dan urusan yang agak berat lakilaki, begiu pula dengan mengantar undangan untuk saudara atau kerabat si
pemilik hajat, laki-laki desa Bangorejo biasanya mengantarkan undangan tersebut
yang biasa mereka sebut “Tonjoan”. Dengan saling membantu, masyarakat desa
Bangorejo dapat berinteraksi dengan masyarakat yang diluar kecamatan
Bangorejo.Untuk kehidupan secara individualisme, masyarakat desa Bangorejo
11
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
84
jauh dari hal tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bagaimana masyarakat
Bangorejo bersosialisasi.
Tidak tampak perbedaan dalam hal status sosial pada masyarakat desa
Bangorejo. Kecuali kepada seseorang yang memang sewajarnya harus dibedakan
karena selayaknya dibedakan jenjang sosialnya, seperti dengan pejabat desa, dan
tokoh agama.
2. Kondisi Sosial dan Budaya
a. Pendidikan
Masyarakat
desa
Bangorejo
sebagaian
besar
mengikuti
jenjang
pendidikan. Namun sekitar 35% dari keseluruhan penduduk Bangorejo tidak
mengikuti pendidikan secara formal maupun non-formal. Dan rata-rata tingkat
kelulusan pada masyarakat Bangorejo adalah SLTA dan SLTP, adapula hanya
sampai tingkat SD. 12
b. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat desa Bangorejo sebagian besar sebagai
petani dan buruh tani, adapula yang menjadi Pegawai Negeri Sipil tetapi hanya
sebagian saja. Sesuai dengan usia kerja yaitu 18-56 tahun.
c. Agama
Masyarakat Desa Bangorejo yang berjumlah 8.949 jiwa tidak seluruhnya
memeluk agama Islam, sekitar 8.871 jiwa yang memeluk agaman Islam. Sudah
terbayang bagaimana suasana Islami yang ada pada masyarakat Desa Bangorejo.
12
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
85
Faham NU dan Muhammadiyah tidak terlalu terlihat semestinya yang sering
dijumpai di daerah-daerah yang benar-benar mempunyai faham yang begitu kuat
diantara keduanya. Tidak ada pemisah diantara kedua faham tersebut, membaur
menjadi satu kesatuan, faham itu hanya sebuah ajaran yang di dapatkan oleh
seseorang tentang pemahaman tentang Islam.
BAB IV
Analisis Wayang Sebagai Media Dakwah
A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit
Dalam situasi manusia, kita hidup bersama gagasan-gagasan, orang lain,,
diri kita sendiri dan lingkungan materiil. Hubungan kita dengan keempat bidang
ekspersi itu membentuk pengalaman dan pendirian kita. Seseorang misalnya,
dapat
menjadi
seorang
sosialis,
seorang
pemimpin,
seseorang
yang
berkepercayaan diri, dan seseorang bisa saja percaya kepada ramalan nasib, pada
tataran individual, hubungan-hubungan ini merupakan definisi diri.
Pada tataran sosial, hubungan-hubungan ini juga didefinisikan dan diberi
arti oleh nilai-nilai, konsepsi dan gagasan-gagasan yang dikenakan oleh
kebudayaan kita kepada hubungan-hubungan ini pada umumnya maupun dalam
segi-seginya. Contohnya, orang yang baik percaya kepada Tuhan, taat kepada
atasan, tidak menonjolkan diri dan tidak pernah berkerja tangan. 1
Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga
akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur „rendah‟
yang harus mengalah kepada Islam. “Sinkretisme Islam” tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya dialog.2
Wayang kulit adalah media komunikasi yang begitu efektif untuk
penyampaian pesan yang bertujuan untuk menyampaikan pesan yang bersifat
1
Niels Mulder, “Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan dan
Perubahan Kulturil)”, (Jakarta, PT. Gramedia; 1983). h.118
2
Purwadi, “Tasawuf Muslim Jawa”, (Yogyakarta, Damar Pustaka, 2004). Cet. 1. h.7
86
87
positif/baik. Akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah
menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan
keadaan geografis dan sosiologis yang ada. Sementara itu, pandangan Islam
terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu
diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga
dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan
agar mampu mengambil I‟tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam
penyampaian misi dakwah islaminya.
Adapun hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan
dakwah islam di tanah Jawa itu tidak bisa lepas dari metode dakwah yang
dipakai kala itu.Yang mana di dalam Al-Qur‟an Allah SWT telah memberikan
tuntunan dakwah yang baik-baik dan benar.
Berbagai fenomena telah terjadi di masyarakat Indonesia, tidak bisa
dipungkiri
bahwa
kemunculan
bentuk-bentuk
pertunjukkan
wayang
kontemporer memberikan angin segar, akan perkembangan kesenian wayang,
walaupun sebenarnya itu semua sudah keluar dari pakem pewayangan, namun
untuk kepentingan yang lebih besar hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat
luas. Dan untuk perkembangan dunia dakwah, hal tersebut juga bisa menjadi
salah satu alternatif media dakwah yang bisa digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah. Selain kita menggemakan gerakan dakwah, juga bisa
sekalian ikut melestarikan kebudayaan bangsa, berupa kesenian wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang
mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Dalam
88
pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral.
Ungkapan Jawa “dhalange mangkel, wayange dipendem” menunjukkan betapa
besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara
sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu
(suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin
suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan
pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Sesuai dengan
perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi
upacara modernisasi.
Dilihat dari aspek seni bahasa misalnya, dalam memainkan wayang
perlu menguasai bermacam-macam tingkat tutur yang cocok bagi status setiap
tokoh. Sebab bila tidak menguasai aspek ini, sudah dipastikan permainan wayang
akan terlihat jelek dan tidak mampu memikat penonton. Karena itu dhalang adalah
seorang yang mampu menggambarkan semua keindahan yang tercipta dengan
kata-kata yang penuh perasaan, yang mampu memikat penonton, dan sarat dengan
pesan moral.3
Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang tepat
menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak
langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multidimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah
sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator,
3
35.
Purwadi, “Seni Pedhalangan Wayang Purwa” (Yogyakarta: Panji Pustaka; 2007), h.
89
seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus
sosial.
“Pertunjukan wayang kulit bukan hanya sekedar pertunjukan
seni yang biasa, tetapi pertunjukan yang dimana terdapat
sebuah pesan nilai, moral dan hal yang mengajak kepada
penonton untuk berada di jalan-Nya”4
Seni pertunjukan wayang kulit menggunakan bahasa non verbal dan
verbal. Non verbalnya adalah sebuah penggerakan lakon-lakon wayang kulit
yang digerakan oleh sang dalang. Dan verbalnya sebuah kata-kata yang
diucapkan oleh sang dalang. Dalam penyampaian pesan pada pertunjukan
wayang kulit, dalang harus menguasai teknik memainkan wayang, agar
pertunjukan wayang kulit terlihat menarik. Dan dalam tata kata, hal ini juga
penting, karena dalang harus menjadi pengisi suara disetiap lakon wayang
yang ditampilkan. Penguasaan kedua hal ini sangat penting bagi pertunjukan
wayang kulit.
Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog
sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada
waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan.
Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha
memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang
sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan
cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi
kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa
itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan
4
Wawancara pribadi dengan Ki Yuwono
90
mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak
khususnya di wilayah Jawa.
Berikut beberapa contoh akulturasi antara kisah atau pakem pewayangan
yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian digabungkan dengan
unsur-unsur Islam:
1. Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau
Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, karena kalimah Syahadah
memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita wayang, sifatsifat Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam)
yang memiliki sikap berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang
raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai
pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami
kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan
penuh suka duka dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat
sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, karena biarpun seseorang
menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima,
namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua
amalannya akan sia-sia belaka.
2. Shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima. Dalam kisah
pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai Penegak Pandawa. Ia
hanya dapat berdiri saja, karena memang tidak dapat duduk. Tidur dan
merempun konon berdiri pula. Demikian pula sholat lima waktu
selamanya harus ditegakkan. Baginya terpikul tugas penegak agama
91
Islam dan jangan lupa sholat adalah tiang agama. Nabi Muhammad
SAW pernah bersabda: “Shalat lima waktu adalah penegak agama
Islam. Siapa-siapa yang menjalankannya berarti menegakan Islam”.
3. Zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni
Arjuna. Nama Arjuna diambil dari kata “jun” yang berarti jambangan.
Benda ini merupakan symbol jiwa yang jernih. Kejernihan Arjuna
memancar pada jiwa dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan seorang
pecinta seni keindahan. Perasaannya amat halus dan hangat. Karena
kehalusannya, Arjuna jadi sulit mengatakan “tidak”. Karena kehalusan
budi pekertinya tersebut Arjuna seolah-olah mempunyai kesan lemah.
Padahal semua itu dilakukan agar tidak menyakiti hati orang lain.
Selain itu dalam perang yang dijalaninya Arjuna tidak terkalahkan.
Maka demikianlah, zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, karena
setiap muslim berkewajiban berzakat, mengandung inti kebijaksanaan
agar setiap orang Islam untuk berjuang memperoleh rizki dan
kekayaan. Dalam cerita kepahlawanan Pandawa, Bima dan Arjuna
paling menonjol peranannya, satu terhadap lainnya sangat memerlukan
hingga menjadi dwi-tunggal yang tidak terpisahkan. Demikian pula
sholat lima waktu dan zakat merupakan dua rukun Islam yang tidak
terpisahkan, selamanya berjalan seiring-sejalan.
4. Puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar
Nakula-Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saat tertentu saja.
Demikian pula dengan puasa Ramadhan dan Haji tidak setiap hari
dikerjakan. Bulan Ramadhan untuk puasa dan bulan Zulhijah, sekali
92
dalam setahun untuk melakukan ibadah Haji. Pandawa bukanlah
Pandawa tanpa si kembar Nakula dan Sadewa. Memanglah demikian,
Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan tertentu, tidak demikian
halnya dengan 3 rukun Islam sebelumnya, yang dilakukan setiap saat
tiap hari.
Islam sufisik atau Isalam tasawuf yang lembut, mula-mula berkembang
dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal. Penyebaran Islam
yang berkembang secara spektakuler, berkat peranan dan kontribusi tokohtokoh tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang
lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tumbuh tanpa mempersoalkan
perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis menjadi orientasi
kosmopolitan.5
Bahasa adalah bahan pokok yang menjadikan pertunjukan wayang kulit
sebagai media komunikasi/dakwah yang dilakukan oleh seorang dalang.
Meskipun disatu pulau, pulau Jawa memiliki beberapa suku, suku Sunda, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Nama Jawa tidak menjadi patokan sebagai satu
bahasa, memiliki sebuah perbedaan. Begitu pula dengan wayang kulit yang
dimana memiliki perbedaan sebuah pakem, pakem Surakarta dengan pakem
Jawa Timur-an. Jika ditelaah pakem Surakarta lebih lembut dalam tata bahasa
dalam pertunjukan wayang kulit, sedangkan Jawa Timur-an lebih kepada
maksud tertentu tetapi lebih banyak dengan candaan dalam pertunjukan
wayang kulit.
5
Purwadi, “Tasawuf Muslim Jawa”, (Yogyakarta, Damar Pustaka, 2004). Cet. 1. h.11
93
“Tidak ada perbedaan tertulis tentang pakem Surakarta dengan
Jawa Timur-an, semua masyarakat menikmati dengan baik,
tergantung pembawaan dari sang dalangnya itu sendiri. Karena
wayang adalah seni tradisional yang digemari bukan karena
pakemnya, karena keseniaan dan makna dibalik pertunjukannya
itu sendiri. Jika dalang dapat melakukan pertunjukan dengan baik,
maka dalang itu menguasai seni pewayangan. Masyarakat disini
menikmati apa yang saya pertunjukan, tidak ada salahnya juga
masyarakat tidak menikmati/menyukai, karena selera masyarakat
berbeda satu dengan yang lain.”6
Wayang kulit adalah kesenian yang sudah mendarah daging
bagi masyarakat Jawa, tanpa ada batasan untuk menggunakan pakem
dari mana. Khususnya masyarakat desa Bangorejo tidak membatasi
sebuah penampilan wayang kulit menggunakan pakem apa, pesanpesan dalang dalam pementasan harus disajikan semenarik mungkin
agar, penikmat wayang kulit lebih tertarik untuk menyaksikannya dan
mengambil hikmah dari cerita yang disajikan oleh sang dalang.
B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit
Dakwah Islamiah berkembang terus dan meluas kesegenap penjuru tanah
air. Pada umumnya dalam menyebarkan agama Islam dan dalam memberikan
pendidikan Islam, para ulama cenderung pada aliran tasawuf. Hal ini menunjukan
bahwa mereka datang dari Gujarat, sutau tempat yang banyak dipengaruhi oleh
aliran tasawuf. Di Jawa, terutama di pesisir utara, para pemimpin madrasah dan
gerakan dakwah Islam terkenal dengan sebutan wali.7
Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan
kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan
6
7
h. 148
Wawancara Pribadi Dengan Ki Yuwono, tanggal 27 Juli 2014
M. Abdul Karim. Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) cet.1,
94
semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya
toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Dalam
Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam
di Jawa adalah Wayang.
Perkembangan Islam di Jawa tidak terdokumentasikan dengan baik,
namun manuskrip-manuskrip dari abad ke-16 menunjukan bahwa Islam
mengakomodasi dirinya sendiri dengan lingkungan budaya Jawa sekaligus tidak
demikian. Di satu sisi bukti dari adanya satu budaya hibrid di mana menjadi orang
Jawa dan orang muslim sekaligus tidak dipandang sebagai hal yang problematis,
suatu budaya di mana isltilah-istilah lokal yang lebih tua, misalnya Tuhan,
sembahyang, surga, dan jiwa dipakai, bukan istilah-istilah dari bahasa Arab.8
Dalam lakon-lakon wayang adalah seperti kehidupan manusia sehari-hari,
karena dalam keseharian manusia ada dua hal yaitu baik dan buruk. Begitu pula
dalam cerita wayang adalah sebagai penyampaian pesan. Penyampaian pesan
yang disampaikan oleh dalang sangatlah penting dalam hal pesan dakwah. Ketika
mendalang Ki Yuwono mennyisipkan pesan-pesan dakwah untuk disampaikan
melalui wayang kulit.
Beliau mengatakan dalam pementasan:
“Suro Diro djayadiningrat tebut dipangastuti”
Artinya: Hal yang buruk dapat dikalahkan oleh kebaikan.
Istilah-istilah dalam cerita pewayangan yang disampaikan oleh dalang Ki
Yuwono dalam pementasan juga menjadi sebuah pesan dakwah. Dengan cara
Cangian, juga dapat menyampaikan pesan-pesan moral yang diinginkan dan
8
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (terj), (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Cet. 1. h.30
95
untuk disampaikan kepada penonton.9 Cangian adalah termasuk pra acara dalam
suatu pagelaran wayang kulit, bentuknya seperti nyanyian yang didalamnya ada
penyampaian sesuatu pesan yang dianggap sangat perlu, karena dalam cangian
ini pesan dakwah dapat tersampaikan.
Ketika pementasan ia mengatakan:
“Kito kudu manembang manorsemang Gusti karono menungsung iku “
Artinya: “ Kita harus menyembah kepada Tuhan kita, karena kita hidup di
dunia tidak luput dari kekuasaan Tuhan. Dengan kita hidup dengan diberi
kesempurnaan, kita harus bersyukur kepada Yang Maha Kuasa”
Menurut Ki Yuwono, dalam keseharian manusia, harus menyadari bahwa
kita adalah makhluk sempurna, kita bisa sempurna karena kekuasaan Allah SWT.
Dengan cara mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, wajiblah kita
untuk mensyukuri segala nikmat yang telah di limpahkan-Nya.
Sejauh makna
yang terkandung dalam wayang, dalam arti kata yang
bernafaskan ke-Islaman. Wayang kita saksikan sekarang ini adalah wayang hasil
gubahan para wali, falsafah Islam yang lain juga kita dapati dalam Gunungan.
Gunungan dibuat pada zaman kerajaan Demak oleh Raden Patah sekitar tahun
1443. Sebelum pertunjukan dimulai, gunungan di letakan di tengah-tengah kelir
yang merupakan titik pusat para penonton. Gunungan ini merupakan gambaran
simbol dari “Mustika Masjid”. Jika dibalik gunungan tersebut akan berbentuk
seperti jantung manusia, yang terdiri dari bilik kanan, bilik kiri, serambi kanan,
dan serambi kiri. Makna tersebut mengandung falsafah Islam yang berarti,
seorang hidup, jantung hatinya harus selalu ada berada di Masjid, jika orang itu
9
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono pada tanggal 27 Agustus 2014 Pukul
10.21 WIB
96
belum mempunyai niat untuk ke Masjid maka orang tersebut Imannya belum
sempurna.10 Gunungan ditancapkan ditengah-tengah kelir oleh dalang pun
mempunyai arti bahwa yang harus diperhatikan pertama-tama dalam hidup ini
adalah Masjid, atau kepentingan beribadah kepada Allah SWT.
Dalam pertunjukan wayang kulit banyak sekali pesan-pesan moral, Nilai
Aqidah, Akhlak dan Syariah yang disampaikan oleh dalang. Pesan-pesan
tersebutlah yang menjadi sebuah pesan inti atau tujuan yang ingin disampaikan
kepada masyarakat umum melalui pertunjukan wayang kulit.
Sebagai umat muslim, Ki Yuwono selalu mengajarkan tentang ke-Islaman
dalam pertunjukan wayang kulitnya. Ki Yuwono sendiri kerap melakukan
pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada kegiatan keagamaan, misalnya,
tahun baru Islam, atau Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam setiap pergelaran
wayang, dalang selalu menyampaikan pesan-pesan moral Islam dalam bahasa
Jawa. Bagi seorang Jawa, nilai-nilai moral wayang dapat ditangkap sebagai ajaran
tentang baik-buruk, tentang perilaku etis yang di ajarkan agama.11
“Saya selalu mengajarkan kepada masyarakat untuk melakukan
hal kebaikan, selama kita hidup tanpa adanya kebaikan, maka
sia-sia lah hidup kita. Dengan cara mengajarkan dan mengajak
masyarakat untuk menunaikan Shalat lima waktu, Zakat,
berpuasa, dan Haji (bila mampu), adalah hal yang paling
penting, karena itu adalah rukun Islam.” 12
Dalam pertunjukan wayang kulit juga terdapat pesan Aqidah, Akhlak dan
Syariah, yang merupakan nilai-nilai luhur fundamental wajib dimiliki oleh setiap
umat muslim.
10
RM Ismunandar K. h.103
Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya¸ (Bandung; PT Setia
Purna Inves; 2007) h.57
12
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono
11
97
1. Nilai-nilai Aqidah
Dibidang Aqidah ini pembahasannya bukan hanya tertuju pada
masalah-masalah yang wajib di Imani, akan tetapi materi dakwah
meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya,
Syririk (menyekutukan Tuhan), Musyrik dan sebagainya.
Dalam prakteknya, dalang mengajak umat muslim khususnya
penonton pertunjukan wayang kulitnya di Desa Bangorejo untuk
percaya kepada do‟a, spiritual yang wajib dilakukan umat muslim.
Do‟a sebuah perwujudan dari iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa. Asumsi adanya Tuhan sebagai Rabb atau pengatur urusan
manusia dengan keharusan semua orang untuk melakukan Ibadah.
Sebelum memulai pertunjukan wayang kulit, Ki Yuwono melakukan
ritual berdo‟a kepada Allah agar diperlancar segala urusan pementasan
wayang kulit yang akan disajikan. Pada awal pertunjukan, Ki Yuwono
mengatakan :
(Saya minta kepada masyarakat semua, untuk berdo‟a,
memninta segalanya kepada Allah SWT, karena hanya
Allah ya[mb v ng mampu menghidup matikan kita
semua. Semoga setiap hembusan nafas senantiasa
mendapat kemulian, keselamatan, ketentraman dan jauh
dari mara bahay karena lindungan maha pencipta)13
2. Nilai Akhlak
Dalam pementasan wayang kulit, Ki Yuwono mengajarkan
penting dan perlu mengetahui bagaimana pentingnya Akhlak. Dengan
13
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono
98
menanamkan dan mengajarkan kasih sayang, toleransi dan kepedulian
sosial kepada masyarakat, sehingga terciptanya hidup rukun antara
sesama umat beragama.
Nilai-nilai
Akhlak
merupakan
sasaran
penting
dalam
penyampaian pesan dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono.
Sebagaimana dalam pementasan wayang kulitnya, beliau berpesan:
“Ojo bosen podo urip bertoleransi, rukun, sing
ajenkinanjenan ing podo podo nyenengke sing lain, ben
urip iki tentrem.(Jangan bosen untuk hidup bertoleransi,
saling menghargai dan menyanyangi satu dengan yang
lain, agar kehidupan kita tentram)”14
Dalam kehidupan ini, toleransi, saling menghargai dan
membantu sesama merupakan akhlak seorang muslim yang telah
digambarkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujarat ayat 11:
          
      
       
          
 
         
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
14
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono
99
3. Nilai Syari‟ah
Aspek lainya yang tak kala penting adalah syariah
mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah
yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan,
ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam
bentuk
pelaksanaan
ibadah
yang
tata
caranya
diatur
sedemikian rupa oleh syariah Islam. Ibadah adalah ritual yang
syarat akan simbol-simbol takbir kepada Allah, sedangkan
mu‟amalah adalah interaksi sosial yang diberikan batasan dan
aturannya dalam agama Islam.
Di dalam cerita wayang, tentang kehidupan manusia
digambarkan melalui lakon-lakon pewayangan, sehingga saat
pementasan
penonton
atau
penikmat
wayang
kulit
mendapatkan pesan dakwah dari sebuah simbol. Seperti halnya
lakon-lakon berikut:
Puntadewa Puntadewa atau Yudistira merupakan saudara para
Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama
dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh.
Hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Sebagai raja dan
saudara-saudaranya merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa
memiliki sifat “berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh
kewibawaan. Ia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana, adil
dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu), sebagai pengajawantahan dari
100
kalimat syahadat yang selamanya menilhami kearifan dan keadialn.
Puntawa memimpin ke-4 adiknya atau bisa dikatakan keempat
saudaranya tersebut adalah suka duka dan penuh kasih sayang.
Demikian pula dalam rukunIslam yang kedua, ketiga, keempat dan
kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka
seluruh amalnya akan sia-sia. Bahkan oleh agama Islam akan
dipandang sebagai perbuatan pura-pura atau munafik. Puntadewa
tidak pernah mati selama ia memiliki jimat (azimat) “Kalimosodo”
(Kalimat Syahadat atau Syahadatin).
Tokoh Bima atau Werkudara, nama bhima dalam bahasa
Sangsekerta memiliki arti “mengerikan”. Ia merupakan penjelmaan
dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima
sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling
sangar/galak di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia
memiliki hati yang baik, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam
yang kedua yaitu Shalat luma waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima
terkenal sebagai penegak Pandawa. Ia hanya biasa berdiri saja, karena
memang tidak biasa duduk, konon menurut cerita pewayangan
“tidurpun Bima dengan berdiri.” Seperti halnya hadist Nabi
Muhammad SAW yang artinya :
“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang
menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang
siapa yang meninggalkannya maka ia meobohkan
Islam.”
Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan
“Bahasa Ngoko” atau bahasa Jawa kasar baik itu kepada dewa, kyai,
101
atau siapaun itu. Sifat seperti itu melambangkan rukun Islam yang
kedua shalat lima waktu, maka shalat berlaku terhadap siapapun,
kapanpun dimanapun tak pandang bulu dan jabatan. Semuanya
dikenakan kewajiban Shalat Lima Waktu, inilah arti daripada satu
bahasa menghadapi siapapun.
Arjuna atau Janoko, namanya (dalam bahasa Sangsekerta)
memiliki arti “yang bersinar”. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa
Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu
memanah dan dianggap ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannya
dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para
pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran
akbar di Kuruksherta. Arjuna memiliki banyak nama panggilan,
Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan
upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti
(yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota oleh Dewa Indra
saat berada di surga); Partha (putra Kunti – karena ia merupakan
putera Pritha atau Kunti). Dalam pertempuran di Kurushetra, ia
berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi
raja. Arjuna digambarkan sebagai rukun Islam yang ketiga yaitu
Zakat. Dalam cerita pewayangan ia disebut sebagai “lelanganing
jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “jun” yang
artinya Jambangan, benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih.
Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna maka akan terlihat lemah
dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusannya terdapat
102
kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di
dalam setiap pertempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun
Islam yang ketiga sebagai kewajiban setiap muslimin dan juga
mengandung arti agar setiap muslimin dimanapun berada agar
berjuang untuk mendapatkan Rezeki dan kekayaan. Setiap oran pasti
menginginkan “mas peci raja brana” (harta kekayaan dan lainlainnya). Maka agar harta itu berfungsi sosial dan pembersih maka
harus di zakatkan agar suci dan bersih lahir batinnya.
Nakula dan Sadewa, menggambarkan sebagai rukun Islam
yang keempat dan kelima yaitu berpuasa di bulan Ramadhan dan Haji.
Kedua tokoh ini hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian
juga dengan puasa Ramadhan dan Haji, tidak setiap hari dikerjakan.
Hanya saja dikerjakan dalam waktu tertentu saja. Misalnya, puasa
setahun sekali pada bulan Ramadhan, dan Haju juga setahun sekali
pada bulan Dzulhijah. 15
Tokoh-tokoh yang memiliki peran utama seperti diatas adalah
gambaran terbesar dalam kehidupan muslimin. Tokoh bukan sekedar
tokoh yang dibuat sebagai cerita sejarah dan seni keindahan teater
wayang, dibalik itu semua banyak nilai-nilai pesan yang akan
disampaikan. Setiap apa yang dilakukan di muka bumi ini oleh
manusia baik yang positif maupun negatif diceritakan dalam
pertunjukan wayang. Maka dari itu wayang kulit meluruskan sifat-
15
RM Ismunandar K, “Wayang; Asal-Usul dan Jenisnya”, (Semarang; Dahara Prize,
1994) h.98-102
103
sifat manusia yang saat itu belum mengetahui agama yang
menjadikannya benar-benar lurus.
C. Kearifan Lokal dan Islam Jawa
Sebagaimana diketahui masuknya Islam ke Tanah Air secara damai dan
tidak menimbulkan kontroversi. Mengenai hal ini Prof. Zamakhasyari Dhofeir
menyatakan dalam disertasinya bahwa, “Semua proses adopsi agama dan
kebudayaan itu berlangsung melalui hati sanubari dan pikiran bangsa Indonesia
sendiri, tidak ada paksaan dari luar dan tidak ada kekuatan militer yang menyertai
masuk dan berkembangannya Islam di Indonesia.”
16
Dalam buku Sejarah
Nasional Jilid III juga dinyatakan bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di
Nusantara berjalan secara damai. 17
Meskipun telah memilih menjadi Muslim, hanya sebagian kecil bangsa
Indonesia yang mengadopsi aspek-aspek budaya Arab.18 Dalam konteks Jawa, hal
ini berarti menjadi Muslim tetapi tetap menjadi wong Jowo. Keadaan ini sering
membingungkan peneliti asing seperti MC. Ricklefs. Ia berpendapat bahwa Islam
di Jawa sesungguhnya baru di mulai pada akhir abad 19, yaitu ketika terjadi
gerakan reformasi Islam untuk memurnikan Islam dari unsur-unsur lokal. 19
Relasi Islam dan budaya di Indonesia, memang merupakan pergumulan
yang tak kunjung usai antara tiga model: Arabisasi yang di bawa kalangan
masyarakat Arab dan orang yang berafilisiasi dengannya, Islamisasi
16
atau
Zamakhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011, Cet.9). h.6
Marwati Djoened Poeponegoro (ed.), “Sejarah Nasional Indonesia”, (Jakarta, Balai
Pustaka, 2010, Jilid III), h. 45
18
Zamakhsyarai Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011, Cet.9). h. 28
19
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (terj), (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Cet. 1. h.50
17
104
purifakasi yang diusung kalangan modernis dan pribumisasi yang diusung
kalangan tradisonalis.
20
model Arabisasi didasarkan pada argumen bahwa Islam
identik dengan Arab, sehingga masyarakat luar yang mau memahami dan
menjalankan ajaran Islam harus mengikuti model yang lahir dari budaya
masyarakat Arab. Sedangkan kaum modernis cenderung melihat Islam sebagai
nir-budaya. Persoalannya sulit dijawab, ketika Islam harus diterapkan secara
sosiologis dalam keseharian, pembentukan format budaya merupakan suatu
keniscayaan. Al-Qur‟an dilihat dalam posisi berdialog dengan budaya di luar
budaya Arab. Budaya lokal dibiarkan selama tidak bertentangan dengan substansi
Al-Qur‟an, kemudian ke dalamnya Al-Qur‟an memasukan pesan moral universal
Islam. Inilah unsur signifikansi Al-Qur‟an yang dalam istilah Abdurahman Wahid
disebut pribumisasi Islam. 21
Istilah pribumisasi memberikan kesan pada pelokalan Islam, meskipun
yang dimaksud adalah meletakkan konsep-konsep substansi Islam ke dalam
konteks budaya lokal yang berkembang di masyarakat dalam lingkup tertentu.
Pembahasan membaca alam, kearifan lokal dan Islam Jawa ada penghampiran
seperti yang digagas dalam pribumisasi Islam, meskipun lokalitas dan etniisitas
adalah kenyataan alamiah yang diakui oleh Al-Qur‟an.
  
         
      
         
20
Aksin Wijaya, “Relasi Al-Qur’an dan Budaya Lokal”, UIN Sunan Kalijaga, Jurnal
Kajian Islam Interdisipliner, 2005, Vol.4, h. 7
21
Aksin Wijaya, Ibid, h.252
105
“Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dab seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuhi lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujarat, 13)
Jiwa manusia adalah subyek sadar yang dapat menjadikan seluru alam
sebagai obyeknya. Begitu eratnya kaitan jiwa dan alam semesta dapat diibaratkan
sebagai suatu organisma yang memiliki dua wajah. Pertalian erat ini menimbulkan
knsekuensi, tidak ada mikrokosmos tanpa makrokosmos, dan tak ada
makrokosmos tanpa mikrokosmos. Makrokosmos dalam
pikiran orang Jawa
adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung
kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius.
Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan
hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta
menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan
mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam
semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan
orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia
manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu
pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan
pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan
manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata
kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam
mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada
kekuatan batin dan jiwanya. Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan
karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan
106
Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan
alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi
mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja . karaton
merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja
merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan
membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan.
Pepatah sufi menggambarkan keeratan hubungan Tuhan, manusia dengan
alam adalah; alam diciptakan untuk manusia, sementara manusia diciptakan untuk
Tuhan. Hubungan ini tergambar dalam Surat An-Naziat Ayat 27-33.22
   
        
       
   
 
    
    
 
 
“Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah
membinanya,(27)
dia
meninggikan
bangunannya
lalu
menyempurnakannya,(28) dan Dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang.(29) dan bumi
sesudah itu dihamparkan-Nya.(30) Ia memancarkan daripadanya
mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.(31) dan
gunung-gunung dipancangkann-Nya dengan teguh,(33) (semua itu)
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (Q.S
An-Naziat 27 – 33)
Memahami Agama melalui idom-idom kearifan lokal, dibutuhkan
pengetahuan ganda, pertama; pengetahuan mengenai Agama itu sendiri, dan
22
Suyanto Sidik, “Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam
Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan ; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal Berdasarkan
Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi. h.31
107
kedua; pengetahuan tentang budaya setempat. Tentu hal ini tidak mudah, karena
dituntut menggabungkan hasi pembacaan Kitab Semesta dan Hidayah dari Kitab
Suci. Meskipun sulit, penggabungan ini dengan anggun berhasil dilaksanakan
oleh Walisongo, antara lain pada saat mengubah wayang kulit agar sesuai dengan
ajaran Islam. Dalam perkembangannya, wayang tidak hanya dijadikan media
dakwah untuk kalangan kebanyakan, tetapi juga dimanfaatkan sebgai sarana untuk
menerangkan ilmu-ilmu sir (lembut) yang terdapat dalam tasawuf, yang sulit
diajarkan melalui simbol-simbol.23
23
Suyanto Sidik, Op.Cit h. 32
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, maka dapat di tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebuah pertunjukan wayang harus menggunakan bahasa yang harus
dimengerti oleh masyarakat, maka dari itu dalang harus memahami apa
yang harus dikuasainya, yaitu bahasa. Antara pakem Jawa Tengah
(Surakarta)
dengan
pakem
Jawa
Timur
berbeda
dari
gaya
pertunjukannya. Pakem Surakarta di minati masyarakat Bangorejo dan
Ki Yuwono karena pesan yang akan di sampaikan lebih menarik
daripada menggunakan pakem Jawa Timur-an, meskipun pakem Jawa
Timur-an lebih langsung tertuju kepada pokok permasalahan dan juga
lebih banyak menggunakan canda yang disajikan oleh sang dalang.
Tak ada proses akulturasi bahasa yang begitu sulit untuk Ki Yuwono
dalam penyampaian pesan saat pertunjukan, karena pertunjukan yang
disajikan oleh Ki Yuwono lebih mudah di mengerti oleh masyarakat
Bangorejo.
2. Dalam pementasan wayang kulit, dalang Ki Yowono, selalu berusaha
semaksimal mungkin untuk mengemas pesan dakwah yang dapat
mudah dicerna oleh masyarakat setempat. Saat pementasana, Ki
Yuwono menyisipkan pesan-pesan tentang ke-Islaman, dan ditunjukan
melalui tokoh-tokoh pewayangan yang sebagaimana karater tokoh
107
108
tersebut. Ki Yuwono juga mengajak para penonton/masyarakat untuk
bershalawat untuk Nabi Muhammad Saw, yang dituju agar masyarakat
atau umat Islam seluruhnya menaruh rasa hormat kepada beliau. Sebab
beliau adalah pilihan-Nya untuk menjadi Nabi terakhir dan penutup
para Nabi, yang membebaskan manusia dari kehidupan jahiliyah. Atas
perjuangan beliau, umat manusia bisa dihantarkan ke alam yang terang
benderang. Beliaulah yang mengantarkan umat manusia dari
kehidupan hewani menjadi kehidupan yang manusiawi. Jika tidak ada
beliau, entah kebejatan moral apa yang dilakukan oleh umat manusia.
Pesan Akhlak, Akidah dan Syariah juga disampaikan oleh beliau. Saat
pementasan wayang kulit, Ki Yuwono lebih memfokuskan 2 sampai 3
jam pertama untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, dan lebih
banyak pesan dakwah atau ke-Islaman yang disampaikan, dikarenakan
faktor daya tahan tubuh masyarakat atau penonton yang harus
melawan rasa kantuk. Karena pertunjukan/pementasan wayang kulit
dimulai dari pukul 20.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB.
3. Di kehidupan ini, apapun itu ada faktor penghambat dan faktor
pendukung, begitu pula dengan pementasan wayang kulit Ki Yuwono.
Dalam penyampaian pesan dengan menggunakan pakem Surakarta
tidak ada faktor penghambat yang begitu banyak, ada sedikit
penghambatnya yaitu dari pesaingnya yang mengharuskan untuk
menggunakan pakem Jawa Timur-an, menurutnya wayang kulit bukan
permasalahan harus menggunakan wajib sebuah pakem, yang wajib itu
adalah mengajarkan, menyampaikan dan mengajak masyarakat untuk
109
melakukan hal kebajikan. Karena dalang adalah sebuah panutan bagi
masyarakat. Dalam penyampaian pesan dalam pementasan yang
menggunakan pakem Surakarta, Ki Yuwono menyesuaikan bahasa
dengan masyarakat setempat agar dapat dimengerti. Dengan menguasai
bahasa yang beberapa istilah antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur
sedikit berbeda, Ki Yuwono tidak mengalami kesulitan, beliau belajar
juga dengan teman-teman sinden, atau pemain gamelan/karawitan yang
juga berbeda asal kelahirannya.
B. Saran
1. Untuk dalang Ki Yuwono, agar memegang teguh tanggung jawab yang
besar terhadap hasil karya dan pesan yang disampaikan saat
pementasan, karena pementasan wayang kulit yang dihasilkan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penggemar wayang kulit
dan masyarakat yang menyaksikan pementasan tersebut. Kesenian
wayang kulit jangan lah luntur dari budaya Jawa yang sudah dari
ribuan tahun ini, agar anak cucu kita nanti dapat merasakan bagaimana
hasil kebudayaan dari tanah kelahirannya dan nenek moyangnya
tersebut. Dan tak lupa dalam pementasan wayang kulit, karya-karya
cerita kesenian wayang kulit ini dapat mendidik dan dapat membawa
kebaikan lebih bagi para penggemar dan masyarakat, begitu pula
dengan mengemas pesan-pesan religius dapat disatukan dengan cerita
sesuai perkembangan yang ada saat ini.
110
2. Untuk masyarakat Bangorejo, memiliki kewajiban untuk mengajarkan
apa yang telah didapat dari sebuah pelajaran yang telah didapat dari
apapun itu, seperti contohnya setelah menyaksikan pementasan
wayang kulit ini. Agar dapat tetap menjalakan dakwahnya sesuai
bidang dan kemampuan masing-masing, karena dakwah Islam ini tidak
difokuskan dengan satu bidang saja, tetapi segala bidang dan
kemampuan
yang bisa
menjalankan
dakwah
tersebut.
Untuk
masyarakat Indonesia, lestarikan kebudayaan sendiri, lebih banyak
pesan moral, akhlak, akidah, dan syariah yang ada pada setiap
kebudayaan yang ada di Negeri ini, jadikan kebudayaan kita mendunia
agar kita bangga menjadi bangsa Indonesia. Jangan hanya meniru dari
barat untuk menjadikan generasi ini terkenal, buatlah Negeri ini
terkenal dengan kebudayaan yang terlahir dari nenek moyang kita
sendiri.
3. Untuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, dalam hal
ini Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi khususnya, Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam untuk lebih memperdalam displin
ilmu dakwah terutama dalam pemhaman penyiaran melalui media
apapun itu dan kebudayaan yang ada di negeri ini, khususnya kesenian
wayang, dan diharapkan menjadi kajian khusus mengenai dakwah
memalui media wang kulit. Sebagaimana kita ketahui bahwa media
wayang telah dipergunakan sebagai media dakwah pada awal
perngembangan Islam di Indonesia oleh Wali Songo. Ketersedian
literatur tentang wayang sebagai media dakwah di Fakultas Ilmu
111
Dakwah dan Ilmu Komunikasi adalah sebagai acuan untuk
pembelajaran dan perluasan dakwah Islam di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. Dakwah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima
Duta, 1983.
Al-Sam, Rizal Firdaus. Wayang Sebagai Media Dakwah. 2011. Amin,
Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media,
2000.
Amir, Hazim. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: CV. Mulia Sari,
1991.
Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima
Duta, 1983.
Anshari, HM. Hafi. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: Al
Ikhlas, 1993.
Ardhi, Yogyasmara P. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada
Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 2000.
Baker, JWM. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Dadan Anugrah, Wini Kresnowiati. Komunikasi Antarbudaya, Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata, 2008.
Dr. Purwadi, M. Hum. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta:
Panji Pustaka, 2007.
Fathurohim, Mohammad Rois. Pertunjukan Wayang Sebagai Media
Pendidikan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif , Teori dan Praktek. Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2013.
Haryanto, S. Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Haryono, S. Pratiwimba Adhiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang.
Yogyakarta: Djambatan, 1998.
Hasmy, A. Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an. Jakarta: Bulan Bintang,
1997.
107
108
Jumroni. Metode-metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006.
Liliweri, Alo. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: LKiS, 2002.
Mahmud, Nasir. Bunga Rapai Epistimolgi dan Metode Studi Islam.
Makasar: IAIN Alauddin Press, 1988.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
Morissan. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013.
Mulde,
Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa
(Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta: PT Gramedia,
1983.
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendakatan Lintasbudaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Mulyono, Sri. Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta:
ALDA, 1965.
Nana, Mamat dan Kosim. Ilmu pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah,
Sosiologi). Jakarta: PT Grafindo Media Pertama, 2006.
Omar, Toha Yahya. Islam dan Dakwah. Jakarta: Al-Mawardi, 2004.
Palgunadi, Bram. “Tinjauan Tentang Wayang Kulit.” Bulletin PSTK-ITB,
1978.
Poespowardjojo, Soerjanto. Strategi Kebudayaan (Suatu Pendekatan
Filosofis). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Poespowardojo, Soerjanto. Strategi Kebudayaan(Suatu Pendekatan
Filosofis). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Rafiudin, Maman Addul Jalil. Prinsip dan Strategi Dakwah. Bandung: CV
Pustaka Setia, 1997.
Raharja,
Giri.
Reposisi
Dalang
Wayang
Goleh.
2011.
www.putragiri3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayanggolek-menghadapi.html.
Rakhmat, Deddy Mulyana & Jalaludin. Komunikasi Antar Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993.
109
Rosid. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Paramadina, 2004.
Salam, Solochin. Sekitar Wali Sanga. Jakarta: Menara Kudus, 1997.
Samovar, Porter, dan Mc. Daniel. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta:
Salemba Humanika, 2010.
Shihab, Qurasih. Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
Sidik, Suyanto. “Membaca Kearifan Lokal dan Islam Jawa.” 2012.
Susetya, Wawan. Dalang, Wayang, dan Gamelan. Jakarta: Narasi, 2007.
Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Islam. Surabaya: Alikhas, 2000.
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006.
Ya'kub, Hamzah. Publistik Islam. Bandung: Diponogoro, 1981.
110
Media Online
http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akanmencintai-nya/.
http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono
109
110
Foto bersama dalang Ki Yuwono setelah melakukan wawancara pribadi di
kediamannya pada tanggal 27 Juli 2014
111
Transkip Wawancara
Nama
: Ki Yuwono
Jabatan
: Dalang Seni Wayang Kulit
Hari/Tanggal : Minggu, 27 Juli 2014
Alamat
: Jl. Stembel, desa Stembel, Banyuwangi, Jawa Timur.
Penulis
: Sejak kapan bapak mulai menekuni dunia pewayangan?
Ki Yuwono
: Awal mulanya mennenkuni dunia pewayangan ketika saya duduk
di bangku sekolah dasar, sekitar umur 11 tahun. Yang di mana
saya sudah di ajak dalam pementasan wayang almarhum bapak
saya, saat itu saya berada di belakang bapak yang sedang
mendalang. Mulai seusia itu saya sudah di ajak pergi mendalang
di mana-mana oleh bapak.
Penulis
: Apakah bapak belajar wayang kulit dari sang Ayah?
Ki Yuwono
: Alhamdulillah, saya memiliki darah keturunan seni, khususnya
seni wayang kulit, saat duduk di bangku sekolah dasar, banyak
hal yang di ajarkan oleh bapak saya dengan cara mengikutinya
pentas di mana-mana sampai saya duduk di bangku SLTA.
Setelah lulus SLTA saya di perkenalkan kepada sahabat-sahabat
ayah saya yang juga dalang, yaitu Ki Guntur dan Ki Sukarno.
Saya belajar wayang tidak formal, tetapi secara otodidak, saya
memperhatikan bagaimana sahabat-sahabat ayah saya bermain
lalu saya menirukannya, dan jika ada yang saya bingung lalu saya
tanyakan langsung. Ketika saat belajar wayang, saya menjadi
Penyemping (seseorang yang bertugas duduk dibelakang dalang
dan menyiapkan wayang kulit yang akan ditampilkan).
112
Penulis
: Pementasan wayang kulit bapak menggunakan pakem Surakarta
atau pakem Jawa Timur-an?
Ki Yuwono
: Karena dari keturunan seniman wayang saya lahir, dan leluhur
saya menggunakan pakem Surakarta, dengan sendirinya saya
mengikuti arus yang mengalir di dalam kehidupan seni saya.
Penulis
: Menurut bapak, apakah wayang kulit sebagai media yang tepat
untuk melakukan dakwah?
Ki Yuwono
: Seni pertunjukan wayang bukan sekedar pertunjukan seni biasa,
tetapi pertunjukan yang di mana terdapat sebuah pesan nilai,
moral, akhlak dan apapun itu yang menyangkut untuk mengajak
kepada siapapun yang menyaksikan untuk berada di jalan-Nya.
Wayang adalah media berdakwah dari zaman Walisongo, dan
media paling efektif untuk berdakwah.
Penulis
: Bagaimana bapak menyampaikan pesan-pesan dakwah saat
pementasan?
Ki Yuwono
: Dalam pementasan, saya harus menyampaikan sebuah pesan
dakwah. Penyampaiannya itu bisa melalui Suluk, Karawitan, atau
dari perilaku dan perkataan dari lakon/tokoh wayang tersebut.
Saat pementasan, saya juga mengajak masyarakat untuk
berbuatan
kebaikan
“Suro
diro
djayodiningrat
tebut
dipangastuti”.
Penulis
: Apa tujuan bapak mengunakan wayang kulit sebagai media
dakwah?
Ki Yuwono
: Tujuan saya menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah
ialah untuk mengajarkan sebuah kebaikan dengan cara apa yang
saya miliki, dalam arti saya memiliki kemampuan mendalang,
melalui wayang kulit lah saya mengajarkan tentang kebaikan,
keagamaan, sosial dan sebagainya. Dan saya seorang muslim,
yang di wajibkan untuk menyampaikan hal kebajikan, dan
113
Rasulullah mengatakan bahwa “Sampakanlah walau hanya satu
ayat”, maka dari itu saya harus menyampaikan sebuah kebajikan
kepada masyarakat.
Penulis
: Dengan materi apa yang bapak sampaikan saat mendalang agar
dapat mudah dimengerti oleh masyarakat?
Ki Yuwono
: materi tentang sosial dan keagaaman yang pasti saya sampaikan
kepada masyarakat. Karena kita hidup bersosialisasi dan
beragama tentunya. Pada saat pentas di sebuah acara, misalnya
peringatan Maulid Nabi, menceritakan bagaimana sejarah
Rasulullah memperjuangkan agama Islam. Atau setelah perayaan
Hari Raya Idul Fitri, menceritakan tentang cintanya Nabi Ibrahim
dengan anaknya dan mendapat utusan dari Allah untuk
menyembelih anak semata wayang tercintanya. Penempatan cerita
tergantung saat acara apa saya pementasan wayang kulit.
Penulis
: Adakah ritual yang bapak lakukan sebelum pementasan?
Ki Yuwono
: Untuk ritual saya hanya serahkan semuanya kepada Sang Pencipta
alam semesta ini, tidak ada ritual mistis, misalnya. Karena hidup
saya ini Allah yang mengatur, saya hanya bisa meminta dengan
do’a agar apa yang saya sampaikan, saya ajarkan, dan saya
mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan, tersampaikan
dengan baik. Dan juga, saya mengharapkan tidak adanya
hambatan dalam segi
apapun
itu. Tetapi, ketika Allah
memutuskan apa yang di inginkan-Nya, saya hanya bisa pasrah
dan meminta ampun jika saya mempunyai kesalahan. Lalu saya
juga mengajak masyarakat untuk bershalawat Nabi sebelum
melakukan pentas, agar diberikan hal yang postif.
Penulis
: Nilai-nilai pesan dakwah apa yang bapak sering bapak gunakan
saat pementasan?
114
Ki Yuwono
: Yang saya sering sampaikan adalah tentang ibadah, “Shalat
adalah tiang agama, dirikanlah shalat maka akan kuat imanmu”,
atau tentang berpuasa, zakat, dan pergi haji. Tentang Rukun Islam
yang sering saya sampaikan kepada masyarakat.
Penulis
:
Adakah
kesulitan
dalam
penyampaian
pesan
dengan
menggunakan pakem Surakarta di Jawa Timur?
Ki Yuwono
: Tidak ada perbedaan tertulis tentang pakem Surakarta dengan
Jawa Timur-an, semua masyarakat menikmati dengan baik,
tergantung pembawaan dari sang dalangnya itu sendiri. Karena
wayang adalah seni tradisional yang digemari bukan karena
pakemnya, karena keseniaan dan makna dibalik pertunjukannya
itu sendiri. Jika dalang dapat melakukan pertunjukan dengan baik,
maka dalang itu menguasai seni pewayangan. Masyarakat disini
menikmati apa yang saya pertunjukan, tidak ada salahnya juga
masyarakat tidak menikmati/menyukai, karena selera masyarakat
berbeda satu dengan yang lain.
Penulis
: Apa Faktor penghambat dan pendukung dalam proses
penyampaian pesan saat pertunjukan wayang kulit bapak?
Ki Yuwono
: Alhamdulillah, untuk faktor penghambat penyampaian pesan
hampir tidak ada, kecuali untuk masalah Soundsystem , cuaca,
jarak tempuh atau masyarakat yang menderita Tuna Rungu.
Untuk faktor pendukung, banyak sekali, dari keluarga, sahabat
pedalang, tim paguyuban saya yang terdiri dari pemain gamelan,
sinden, penata panggung, penata wayang, penata gamelan, dan
sebagainya, yang selalu menjadi faktor pendukung internal saya.
Penulis
: Apa harapan bapak untuk masyarakat yang menyaksikan
pertunjukan wayang kulit bapak?
Ki Yuwono
: Penuh harapan yang positif yang menjadi keiinginan semua
dalang setelah pertunjukan selesai. Ada pula dari segi sosial dan
115
segi agama, menjadi lebih baik dari hari kemarin, ambil sisi
positif dari semua kehidupan kita, dan buang jauh-jauh sisi
negatif yang kita miliki.
Penulis
: Apa harapan bapak untuk dunia pewayangan di desa Bangorejo?
Ki Yuwono
: Semoga kesenian wayang kulit ini tak berhenti di tangan saya,
warisan budaya ini harus di lestarikan, dijaga,dan harus memiliki
penerusnya.
Penulis
: Apa harapan bapak untuk duni pewayangan dan kebudayaan di
Indonesia?
Mengetahui,
Pewawancara
Responden
Aldi Haryo Sidik
Ki Yuwono
Download