Pelestarian Wayang kulit mengapa tidak?

advertisement
Pelestarian Wayang kulit mengapa tidak?
Oleh: Dwi Yunanto
Wayang yang merupahkan peninggalan nenek moyang
yang adi luhung, syarat akan
nilai-nilai kehidupan serta tatanan moral yang tinggi sudah banyak dilupakan oleh generasi
muda. Wayang kulit yang begitu banyak tuntunan yang harusnya dapat ditonton oleh semua
masyarakat kalah dengan keberadaan film, sinetron, play station dan music serta drama-drama
seri dari Korea yang banyak digandrungi oleh remaja dan ibu-ibu dimana jalan dan alur
ceriteranya sudah dapat ditebak. Terlebih dengan alunan gerak dan lagu ”Gangnam sytle “
menjadi kiblat musik. Setelah muncul menjadi trend ternyata membius baik anak-anak, remaja
dan orang tua....ya itulah dunia panggung.
Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya
peradaban Islam di tanah Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi
Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang
terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan
Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang
hanya bisa melihat bayangan. Adapun cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua yaitu
Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan
Purwakanda. Pagelaran wayang kulit yang diadakan
ditempat-tempat tertentu seperti Sasana Hinggil
diadakan setiap minggu kedua dan keempat setiap
bulannya, Taman Budaya Yogyakarta, Pendopo
1
Kebudayaan Provinsi DIY dll yang diadakan secara rutin dan berkala masih di dominasi oleh
kalangan orang-orang tua, dimana pada saat goro-goro penonton masih banyak. Tetapi setelah
adegan goro-goro selesai lambat laun penonton mulai berkurang dengan sendirinya . Sungguh
ironis dengan suatu pagelaran musik yang harus rela mengeluarkan uang untuk membeli tiket
seharga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Masuknya pun masih harus berdesak-desakan,
yang kuat bisa masuk dan yang lemah kalah bersaing menunggu di belakangnya. Kita perlu
mawas diri dan introspeksi betapa masih banyaknya generasi muda yang belum nyantol dengan
budaya adiluhung, dimana media yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau sebagai bahan dasar
membuat wayang kulit belum dapat menjadi trend dikalangan remaja. Wayang kulit yang
dikerjakan oleh pengrajin yang menatah atau menyungging sudah banyak mengalami
penurunan baik jumlah maupun yang membuat. Pecinta wayang membeli atau memesan
wayang kulit hanya untuk koleksi dirumah saja, sudah banyak pengrajin yang gulung tikar
beralih mencari penghidupan yang layak karna perubahan ekonomi pasar yang tidak tentu.
Potensi sentra wayang kulit di Yogyakarta banyak tersebar di beberapa daerah misalnya di
tempat Bapak Hadi Sukirno di Tamansari, Bapak Sagio di Gendeng Bangunjiwo, Bapak Darto
Suwito di Pucung Imogiri yang merupahkan keturunan ke 4 dari Mbah Glemboh Sepuh seorang
penatah/penyungging wayang di Kraton Yogyakarta, Dusun Cabean dijalan Parang Tritis, di
Bimomartani serta didaerah Patuk Gunung Kidul. Yogyakarta yang merupahkan daerah tujuan
wisata kedua setelah Bali sangat potensial sumber daya serta pasar yang menjanjikan. Dengan
melihat situasi yang seperti ini maka lambat laun para empu atau pengrajin akan berkurang
secara otomatis minat untuk dapat melestarikan budaya yang adiluhung ini akan hilang. Oleh
karena itu perlu kiranya Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Provinsi DIY untuk
2
mengorganisir
kabupaten
dinas
yang
pendidikan
membidangi
kota
dan
masalah
kependidikan, dinas kebudayaan, dinas pariwisata
serta
Pengurus
Pepadi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta hendaknya dapat nyawiji bagaimana
caranya mengangkat kembali potensi kerajinan wayang kulit sebagai core base pelestarian
budaya di Kota Yogyakarta. Beberapa usulan yang dapat digunakan sebagai alternatif
kegiatannya antara lain: Pertama, mengajurkan kepada sekolah untuk melaksanakan wisata
budaya ke sentra-sentra pengrajin wayang kulit yang ada di Yogyakarta, Kedua. membuat paket
-paket pementasan wayang kulit yang dapat dinikmati 2(dua) sampai 3(tiga) jam pagelaran
dimana dalang cilik binaan dari Pengurus Pepadi Kota dan Kabupaten dapat tampil, Ketiga.
memberikan fasilitasi para pengrajin untuk membuat media pembelajaran yang digunakan
untuk pendidikan seni budaya di sekolah, Keempat, memberikan sosialisasi kepada siswa cara
membuat wayang kulit secara praktis yang dapat digunakan sebagai materi pembelajaran
muatan lokal di SD, SMP dan SMA, SMK. Kelima, memberikan sosialisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap tokoh wayang serta kegiatan lain yang dapat memberikan nilai
tambah dalam mengenalkan sifat watak dan kepribadian tokoh wayang. Keenam, kepada para
remaja yang terlibat dalam kegiatan pelestarian budaya difasilitasi untuk dapat saling bertukar
pengalaman dengan dalang cilik, dalang senior sehingga muncul motivasi untuk saling
mengenal dan belajar.
3
Dengan demikian para pengrajin dan para
dalang tetap mendapatkan kesempatan untuk
berbuat dan berkarya seni dengan suasana yang
kondusif. Bila kita melihat darmasiswa (turis asing
yang belajar) dari negara lain yang belajar budaya
jawa di Yogyakarta ini dengan semangat, serius dan tidak pantang menyerah untuk dapat
menguasai kompetensi yang di pelajari. Darmasiswa yang berasal dari mancanegara setelah
menguasai kompetensi kompetensi baik teori maupun praktek diajarkan. Tidak heran dimana
dalam suatu pertunjukan karawitan dan pedalangan bahwa semua pengrawit, sinden maupun
dalangnya orang asing semua. Melihat kesungguhan orang asing belajar budaya kita dari teknik
dasar sampai lanjut dijiwai secara totalitas tidak bisa kita bayangkan, betapa hebatnya budaya
kita ini. Peserta darmasiswa sadar
mereka tidak sepenuhnya memiliki budaya kita yang
adiluhung ini. Setelah masa studi berakhir dan dipandang bekal kompetensinya selama nyinau
sudah dikuasai mereka kembali menjadi DUTA BUDAYA INDONESIA untuk negaranya. Dan kata
terima kasih yang tak terhingga kepada para darma siswa yang ikut andil dalam membudayakan
Indonesia dimancanegara. Sungguh mendapatkan apresiasi yang tinggi masyarakat Indonesia
dimata mereka. Oleh karena itu mari kita tanamkan generasi muda untuk peduli dan mau nguriuri kabudayan yang adi luhung ini, orang asing saja peduli dengan budaya kita - mengapa kita
tidak? Semoga menjadi buah pemikiran kita bersama.....#dy
4
Dwi Yunanto, M.Pd
Lahir di Yogyakarta pada tanggal 02 Juni 1971, Pendidikan D III
Akademi Teknologi Kulit di Yogyakarta, Program AKTA III UNS di
Surakarta, Pendidikan S1 Seni Rupa di UST Yogyakarta dan Pasca
Sarjana UNY Yogyakarta Tahun 2009 Jurusan Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan.Widyaiswara Program Studi Kriya Kulit di Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Seni dan Budaya (
P4TKSB ) Yogyakarta.
5
Download