BAB I TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Pengertian Diabetes adalah penyakit kronis yang kompleks yang memerlukan perawatan medis yang terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko bisa disebabkan berbagai faktor diluar kontrol glikemik. Pendidikan berkelanjutan seperti manajemen diri pasien dan dukungan sangat penting untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi resiko komplikasi jangka panjang (American Diabetes Association, 2015) Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik ditandai dengan kondisi hipoglikemik kronis akibat kelainan dalam sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya (Ozougwu, 2013). Diabetes merupakan penyakit yang berkaitan dengan berbagai komplikasi yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup dan kematian yang premature. Deteksi dini dan pengobatan adalah salah satu strategi untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit ini (International Diabetes Federation, 2012). Diabetes mellitus, penyakit gula atau kencing manis adalah suatu gangguan kronis yang bercirikan hiperglikemia ( glukosa darah terlampau meningkat) dan khususnya menyangkut metabolisme hidratarang (glukosa) di dalam tubuh. Tetapi metabolisme lemak dan protein juga terganggu (Tjay, 2007). Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh selsel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Diabetes merupakan suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Pelepasan insulin yang tidak adekuat diperberat oleh glukagon yang berlebihan (Mary, 2004). Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler, dan neuropati. Kriteria diagnisis diabetes mellitus adalah kadar glukosa puasa ≥126 mg/dL atau pada 2 jam setelah makan ≥200 mg/dL atau HbA1c ≥8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan ≥ 140 mg/dL tetapi lebih kecil dari 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi lemah (Sukandar, 2013). Diabetes mellitus adalah suatu jenis penyakit yang disebabkan menurunnya hormon insulin oleh kelenjar pankreas. Penurunan hormon ini mengakibatkan seluruh gula (glukosa) yang dikonsumsi tubuh tidak dapat diproses secara sempurna, sehingga kadar glukosa di dalam tubuh kekurangan insulin yang mengakibatkan kelainan metabolisme. Insulin terbentuk dikelenjar pankreas dan berfungsi menyimpan kelebihan kadar gula darah yang meningkat. (Utami, 2003) 2.1.2 Klasifikasi Klasifikasi diabetes mellitus menurut ADA 2003 yaitu diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes tipe lain, dan diabetes gestasional (Soegondo, 2005) a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (IDDM) Pada tipe ini terdapat destruksi dari sel-sel beta pankreas, sehingga tidak memproduksi lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah. Karena itu kadar glukosa darah meningkat di atas 10 mmol/L, yakni nilai ambang ginjal, sehingga glukosa berlebihan dikeluarkan lewat urin bersama banyak air (glycosuria). Dibawah kadar tersebut, glukosa ditahan oleh tubuli ginjal (Tjay dan Rahardja, 2002) Diabetes tipe I ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan defisiensi insulin absolut atau berat. Pemberian insulin sangat penting pada pasien dengan diabetes tipe I (katzung, 2010) Diabetes Mellitus Tergantung Insulin ( IDMM ) umumnya menyerang anak-anak, tetapi IDDM dapat juga terjadi di antara orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan lesi atau nekrosis sel-β berat. Hilangnya fungsi sel-β mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau umumnya melalui kerja antibodi autoimun yang ditujukan untuk melawan sel-β. Akibat dari destruksi sel-β, pankreas gagal berespon terhadap masuknya glukosa, dan diabetes Tipe I menunjukan gejala klasik defisiensi insulin (polidipsia, polifagia dan poliuria). Diabetes tipe I selanjutnya dibagi menjadi yang memiliki penyebab imun dan idiopatik. Bentuk imun merupakan bentuk tersering diabetes tipe I. Meskipun sebagian besar pasien lebih muda dari 30 tahun pada saat diagnosis dibuat, onset penyakit tersebut dapat terjadi pada semua usia. Diabetes tipe I ditemukan pada semua grup etnik, namun insidens tertinggi terdapat pada orang Eropa utara dan Sardinia. Faktor genetik multifaktorial tampaknya menimbulkan kerentanan menderita penyakit ini namun hanya 10-15% pasien yang memiliki riwayat diabetes dalam keluarganya. (Mary, 2004) b. Diabetes Mellitus Tipe 2(NIDDM) Sebagian besar diabetes termasuk dalam kategori ini. Tampaknya faktor genetik merupakan penyebab yang lebih besar dari pada virus atau antibodi autoimun. Perubahan metabolik yang diobservasi lebih ringan daripada yang dijelaskan untuk IDDM (misalnya, penderita NIDDM bukan tipe ketotik), tetapi konsekuensi klinik jangka panjang dapat juga membinasakan (misalnya, komplikasi vaskular dan infeksi setelahnya dapat menyebabkan amputasi ekstremitas bawah) (Mary, 2004). Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap kerja insulin disertai defisiensi relatif pada sekresi insulin. Individu yang terkenba dapat lebih resisten atau mengalami defisiensi sel β yang lebih parah, dan kelainannya dapat ringan atau parah. Meskipun insulin diproduksi oleh sel β pada pasien ini, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi resistensi, dan kadar glukosa darah meningkat. Gangguan kerja insulin juga memengaruhi metabolisme lemak sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebas dan trigliserida serta menurunkan kadar lipoprotein berdensitas-tinggi (HDL) (Katzung, 2010) Kebanyakan pasien dengan diabetes tipe ini mengalami kegemukan, dan obesitas tersebut menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin. Pasien yang tidak obesitas dengan kriteria berat tradisional mungkin memiliki peningkatan persentase dari lemak tubuh yang didistribusikan terutama di daerah perut. Ketoasidosis jarang terjadi secara pada diabetes tipe ini; jika dilihat, hal tersebut biasanya muncul berkaitan dengan stres akibat penyakit lain seperti infeksi. Diabetes tipe ini sering tidak terdiagnosis untuk bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap-tahap awal sering tidak cukup parah bagi pasien untuk melihat salah satu gejala klasik diabetes. Namun demikian, dalam perkembangannya pasien tersebut mengalami peningkatan risiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (ADA, 2011) c. Diabetes Mellitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1 (Ndraha, 2014) Diabetes tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor genetik dapat menyebabkan MODY (matutary onset diabetes of youth) ditunjukkan kurangnya sekresi insulin. Ketidak mampuan secara genetis mengubah proinsulin menjadi insulin menyebabkan penderita mengalami hiperglikemi pada usia muda dan kondisi ini tidak bersifat herediter. (triplitt et al, 2005) d. Diabetes Mellitus Gestasional (kehamilan) Diabetes mellitus tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (Ndraha, 2014) 2.1.3 Gejala dan Tanda-Tanda Diabetes Mellitus Gejala utama diabetes mellitus yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar), polidipsia (meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil), serta kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (Dipiro at all, 2008). Kriteria untuk diabetes mellitus telah diusulkan olehbeberapa organisasi medis. American diabetes Association (ADA) kriteria meliputi gejala-gejala diabetes mellitus (misalnya meningkatnya rasa lapar, meningkatnya rasa haus, meningkatnya buang air kecil, dan penurunan berat badan) dan glukosa konsentrasi plasma acak lebih besar dari 200mmg/dl, konsentrasi glukosa plasma puasa lebih besar dari 126 mg/dl atau konsentrasi glukosa plasma lebih besar dari 200 mg/dl (goodman dan gilmans, 2006) Gejala dan tanda-tanda penyakit diabetes mellitus dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik. a. Gejala Akut Penyakit DM Gejala penyakit diabetes mellitus pada setiap penderita tidaklah selalu sama, gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umum timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi lain. Bahkan, ada diabetesi yang tidak menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pada permulaan gejala yang ditunjukan meliputi tiga serba banyak: Banyak makan (polifagia), banyak minum (polidipsia) dan banyak kencing (poliuria) atau singkatnya 3 P. Dalam fase ini biasanya penderita menunjukan berat badan yang terus berubah, karena pada saat ini biasanya penderita menunjukan berat badan yang terus bertambah, karena pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi (Tjokroprawito, 2006) Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya insulin, dan bukan 3P lagi, melainkan hanya 2P (polidipsia dan poliuria) dan beberapa kebutuhan laim. Antara lain: a) Nafsu makan mulai berkurang (tidak polifagia lagi) bahkan kadang-kadang disusul dengan mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl b) Banyak minum c) Banyak kencing d) Berat badan turun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) e) Mudah lelah f) Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri) dan disebut koma diabetik koma diabetik adalah koma pada diabetes akibat kadar glukosa terlalu tinggi, biasanya melebihi (600 mg/dl). (Tjokroprawito, 2006) b. Gejala Kronik Penyakit DM Kadang-kadang diabetesi tidak menunjukan gejala akut (mendadak), tetapi penderita baru menunjukan gejala sesudah sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes mellitus. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahun. Gejala kronik ini yang paling sering membawa diabetesi berobat pertama kali. Gejala-gejala kronik diabetes mellitus yang sering timbul adalah: a) Sering buang air kecil, terutama pada malam hari. b) Gatal-gatal, terutama pada kelamin bagian luar. c) Kesemutan dan keram d) Rasa kulit panas. e) Cepat merasa lapar dan dahaga serta merasa lelah dan mengantuk f) Berat badan menurun, sebaliknya nafsu makan bertambah. g) Penglihatan kabur, ditandai dengan seringnya berganti kaca mata. h) Mudah timbul bisul dengan kesembuhan lama. i) Ibu-ibu melahirkan bayi dengan berat >4 kg j) Ibu-ibu sering mengalami keguguran kehamilan atau melahirkan bayi mati (Tjokroprawito, 2006). 2.1.4 Patofisiologi 1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (IDDM) Destruksi autoimun pada sel-β pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi insulin yang mengakibatkan gangguan metabolik yang disertai IDDM. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi sel-α pankreas juga abnormal dan terdapat sekresi berlebihan dari glucagons pada pasien IDDM. Biasanya, Hiperglikemia menyebabkan penurunan sekresi glukagon, namun, pada pasien dengan IDDM, sekresi glucagons tidak ditekan oleh hiperglikemia. Peningkatan glukagon secara tidak tepat akan memperburuk kelainan metabolisme akibat kekurangan insulin. Contoh yang paling jelas dari gangguan metabolik ini adalah pasien dengan IDDM akan cepat berkembang menjadi diabetes ketoasidosis tanpa adanya pemberian insulin. Meskipun kekurangan insulin merupakan gangguan yang utama pada IDDM, terdapat pula gangguan dalam pemberian insulin. Ada beberapa mekanisme biokimia yang menjelaskan penurunan respon jaringan terhadap insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkendali dan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti otot skeletal. Hal ini mengganggu pemanfaatan glukosa dan kekurangan insulin juga menurunkan ekspresi dari sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target untuk merespon insulin secara normal seperti glukokinase di hati dan kelas GLUT 4 transporter glukosa dalam jaringan adiposa. Gangguan metabolik utama, yang hasil dari kekurangan insulin di IDDM adalah glukosa, lipid dan metabolisme protein yang dijelaskan dalam rincian sebagai berikut: a. Efek pada Metabolisme Glukosa IDDM tidak terkendali mengarah ke peningkatan glukosa output hepatik. Pertama, menyimpan glikogen hati dimobilisasi kemudian glukoneogenesis hepatik digunakan untuk menghasilkan glukosa. defisiensi insulin juga mengganggu pemanfaatan glukosa jaringan non hepatik. Defisiensi insulin juga mengganggu jaringan non hepatik dalam pemanfaatan glukosa. Khususnya di jaringan adiposa dan otot rangka, insulin merangsang penyerapan glukosa. Hal ini dilakukan dengan dimediasi gerakan insulin dari transporter glukosa protein ke membran plasma dari jaringan ini. Pengurangan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer menyebabkan tingkat penurunan metabolisme glukosa. Selain itu, tingkat glukokinase hati juga diatur oleh insulin. Oleh karena itu, tingkat penurunan phosphorrylation glukosa dalam hepatosit menyebabkan peningkatan pengiriman ke darah. enzim lain yang terlibat dalam metabolisme anabolik glukosa dipengaruhi oleh insulin. Kombinasi dari peningkatan produksi glukosa hepatik dan pengurangan metabolisme jaringan perifer mengarah ke peningkatan kadar glukosa plasma. Ketika kapasitas ginjal untuk menyerap glukosa ditekan, glukosuria akan terjadi. Glukosa merupakan diuretik osmotik dan peningkatan hilangnya glukosa pada ginjal disertai dengan hilangnya air dan elektrolit. Akibat dari hilangnya air (dan volume keseluruhan) mengarah pada aktivasi dari mekanisme haus (polidipsia). Keseimbangan kalori negatif, yang merupakan hasil dari glukosuria dan jaringan katabolisme menyebabkan peningkatan asupan nafsu makan dan makanan yang disebut polifagia. b. Efek pada Metabolisme Lipid Salah satu peran utama insulin adalah untuk merangsang penyimpanan energi makanan dalam bentuk glikogen dalam hepatosit dan otot rangka, mengikuti konsumsi asupan makanan. Selain itu, insulin merangsang hepatosit untuk mensintesis dan menyimpan trigliserida di jaringan adiposa. Dalam IDDM tidak terkendali ada mobilisasi yang cepat dari trigliserida yang mengarah ke peningkatan kadar asam lemak bebas plasma. Asam lemak bebas yang diambil oleh berbagai jaringan (kecuali otak) dan dimetabolisme untuk menyediakan energi. Dengan tidak adanya insulin, kadar malonyl COA jatuh, dan transportasi lemak asil-COA ke dalam mitokondria meningkat. oksidasi mitokondria dari asam lemak menghasilkan asetil COA yang dapat lebih teroksidasi dalam siklus TCA. Namun, dalam hepatosit mayoritas COA asetil tidak teroksidasi oleh siklus TCA tapi dimetabolisme menjadi badan keton (asetoasetat dan b-hidroksibutirat). Badan keton ini digunakan untuk produksi energi oleh otak, jantung dan otot rangka. Pada IDDM, peningkatan ketersediaan asam lemak bebas dan badan keton akan memperburuk berkurangnya pemanfaatan glukosa, memajukan hiperglikemia berikutnya. Produksi badan keton melebihi kemampuan tubuh memanfaatkannya akan mengarah ke ketoasidosis. Sebuah produk buangan spontan asetoasetat adalah aseton yang dihembuskan oleh paru-paru, yang memberikan bau khas untuk nafas. Biasanya, trigliserida plasma ditindaklanjuti oleh lipoprotein lipase (LPL) yang membutuhkan insulin. LPL adalah membran terikat enzim pada permukaan sel endotel yang melapisi pembuluh, yang memungkinkan asam lemak yang akan diambil dari sirkulasi trigliserida untuk penyimpanan di adiposit. Tidak adanya insulin menyebabkan hipertrigliseridemia. c. Efek pada Protein Insulin mengatur sintesis banyak gen, baik positif atau negatif, yang mempengaruhi metabolisme secara keseluruhan. Insulin memiliki efek keseluruhan pada metabolisme protein, meningkatkan laju sintesis protein dan penurunan laju degradasi protein. Dengan demikian kekurangan insulin akan menyebabkan peningkatan katabolisme protein. Tingkat peningkatan proteolisis menyebabkan konsentrasi tinggi dari asam amino dalam plasma. Asam amino Glucogenic berfungsi sebagai prekursor untuk hati dan glyconeogenesis ginjal, yang memberikan kontribusi lebih lanjut untuk hiperglikemia yang terlihat pada IDDM. (Ozougwu, 2010) 2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (NIDDM) Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dalam pengembangan kondisi patofisiologi. a. Terganggunya Sekresi Insulin Terganggunya sekresi insulin adalah penurunan respon glukosa, yang diamati sebelum onset klinis penyakit. Lebih khusus lagi, gangguan toleransi glukosa (IGT) disebabkan oleh penurunan respon glukosa pada awal fase sekresi insulin, dan penurunan sekresi insulin tambahan setelah makan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Tes toleransi glukosa oral (OGTT) dalam kasus IGT umumnya menunjukkan over-respon pada individu Barat dan Hispanik, yang memiliki resistensi insulin nyata tinggi. Di sisi lain, pasien Jepang sering menanggapi tes ini dengan sekresi insulin menurun. Bahkan ketika over-respon terlihat pada orang dengan obesitas atau faktor-faktor lain, mereka menunjukkan penurunan respon sekretori awal fase. Penurunan sekresi awal fase merupakan bagian penting dari penyakit ini, dan sangat penting sebagai perubahan patofisiologi dasar selama timbulnya penyakit pada semua kelompok etnis Sekresi insulin terganggu umumnya progresif, dan perkembangannya melibatkan toksisitas glukosa dan lipo-toksisitas. Bila tidak diobati, ini diketahui menyebabkan penurunan massa sel-β pankreas pada hewan percobaan. Perkembangan dari gangguan fungsi b sel pankreas sangat mempengaruhi kontrol jangka panjang glukosa darah. Sedangkan pasien di tahap awal setelah onset penyakit menunjukkan peningkatan glukosa darah terutama pada postprandial sebagai akibat dari peningkatan resistensi insulin dan penurunan sekresi fase awal, perkembangan memburuknya fungsi sel-β pankreas kemudian menyebabkan elevasi permanen dari glukosa darah. b. Resistensi Insulin Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana insulin dalam tubuh jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan dan tidak sebanding dengan konsentrasi darah. Penurunan aksi insulin pada organ target utama seperti hati dan otot adalah ciri patofisiologi umum dari diabetes tipe 2. resistensi insulin berkembang dan meluas sebelum onset penyakit. Pemeriksaan ke dalam mekanisme molekuler aksi insulin memiliki penjelasan bagaimana resistensi insulin berkaitan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan (hiperglikemia, asam lemak bebas, dalam mekanisme peradangan, dll). faktor genetik yang dikenal, tidak hanya meliputi reseptor insulin dan substrat reseptor insulin (IRS) -1 gen polimorfisme yang secara langsung mempengaruhi sinyal insulin tetapi juga gen polimorfisme seperti reseptor gen β3 adrenergik dan gen pelepas protein (UCP), terkait dengan obesitas reaksi mendalam dan meningkatkan resistensi insulin. Glucolipotoxicity dan mediator inflamasi juga penting sebagai mekanisme pada gangguan sekresi insulin dan penurunan sinyal insulin. (Kohei,2010) 2.2 Terapi Farmakologi 2.2.1 Insulin Insulin merupakan pengobatan andalan untuk hampir semua pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2. Jika diperlukan, insulin dapat diberikan secara intravena atau intramuskular; namun, pengobatan jangka-panjang bergantung terutama pada injeksi hormon secara subkutan. Pemberian insulin secara subkutan berbeda dari sekresi fisiologis insulin untuk sedikitnya 2 cara utama: Sifat kinetiknya tidak memproduksi kenaikan dan penurunan cepat sekresi insulin yang normal sebagai respon terhadap ingesti nutrien, dan insulin berdifusi ke dalam sirkulasi parifer, dan bukan dilepaskan ke sirkulasi parifer, dan bukan dilepaskan ke sirkulasi portal; efek langsung insulin yang disekresikan pada proses metabolisme di hati menjadi hilang. Namun, jika pengobatan ini dilakukan secara hati-hati, kemungkinan akan berhasil (Goodman & Gilman’s, 2007) Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida; terdapat perbedaan spesies pada asam amino kedua rantai panjang tunggal, diproses dalam aparatus Golgi dan dikemas dalam granula-granula tempat proinsulin dihidrolisis menjadi insulin dan suatu segmen penghubung residual yang disebut peptida-C dengan menghilangkan empat asam amino. Insulin dan peptida-C disekresikan dalam jumlah ekuimolar sebagai respons terhadap semua agan perangsang insulin; sejumlah kecil proinsulin yang tidak diproses atau terhidrolisis sebagian juga dilepaskan. Meskipun proinsulin mungkin memiliki efek hipoglikemik yang ringan, peptida-C belum diketahui memiliki fungsi fisiologis. Granula di dalam sel B menyimpan insulin dalam bentuk kristal yang mengandung dua atom seng dan enam molekul insulin. Keseluruhan pankreas manusia mengandung sampai 8 mg insulin, yang mewakili sekitar 200 unit biologis. Pada mulanya, satuan tersebut ditentukan berdasarkan aktivitas hipoglikemik insulin pada kelinci. Dengan perbaikan teknik pemurnian, satuan tersebut kini ditentukan berdasarkan berat, dan standar insulin terkini yang digunakan untuk tujuanpemeriksaan assay mengandung 28 satuan per miligram. (Katzung.2007) Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi insulin umumnya dipicu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel-β pankreas. Kadar adenosin trifosfat (ATP) meningkatkan dan menghambat saluran K+, menyebabkan pulsasi eksositosis insulin. [Catatan: Glukosa yang diberikan secara suntikan mempunyai efek lebih rendah terhadap sekresi insulin daripada glukosa yang diberikan per-oral, karena pemberian glukosa per-oral merangsang produksi hormon pencernaan oleh usus, yang kemudian merangsang sekresi insulin oleh pankreas](Mary, 2004). Insulin diisolasi dari pankreas sapi dan babi. Namun, insulin manusia juga diproduksi oleh strain khusus Escherchia coli yang telah diubah secara genetik mengandung gen untuk insulin manusia. Insulin babi paling mendekati struktur insulin manusia, yang diberikan hanya oleh satu asam amino (Mary, 2004). 1. Klasifikasi Insulin Menurut Goodman dan Gilman’s insulin dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, antara lain: a. Insulin yang Bekerja Cepat Tiga analog insulin injeksi yang bekerja-cepat: insulin lispro, insulin aspart, dan insulin slulisin, dan satu bentuk inhalasi insulin yang bekerja cepat, yaitu human insulin recombinant inhaled, kini tersedia dipasaran. Insulin yang bekerja-cepat memungkinkan penggantian insulin pada waktu makan secara lebih fisiologi karena awitan kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya yang segera tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal ketimbang insulin dapat diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glikosa. Lama kerja insulin tersebut jarang melebihi 3-5 jam (kecuali insulin inhalasi, yang dapat berlangsung 6-7 jam), yang mengurangi resiko terjadinya hipoglikemia setelah makan. Insulin injeksi yang bekerja-cepat merupakan jenis insulin terpilih untuk digunakan pada perangkat infus insulin subkutan secara berkesinambungan. b. Insulin Bekerja-Singkat (Short-Acting) Insulin reguler adalah suatu insulin seng kristalin larut dan bekerja singkat serta dibuat melalui teknik DNA rekombinan untuk memproduksi suatu molekul yang identik dengan insulin manusia efeknya tampak dalam waktu 30 menit dan mencapai puncak antara 2 dan 3 jam setelah disuntikan melalui subkutan dan biasanya berlangsung selama 5-8 jam.pada konsentrasi yang tinggi, misalnya di dalam vial, molekul insulin reguler mengalami sua-agregasi dengan cara anti paralel membentuk dimer yang stabil di sekitar ion seng dan menciptakan heksamer insulin. Sifat heksamer insulin reguler menyebabkan penundaan onset dan memperlama waktu untuk mencapai puncak kerja. Setelah disuntikan melalui sebkutan heksamer insulin terlalu besar dan bermasa untuk diangkut melalui endotel vaskular ke dalam aliran darah. Ketika depot insulin mengalami dilusi oleh cairan interstisial dan konsentrasi insulin mulai menurun, heksamer terpecah menjadi dimer dan akhirnya monomer. Hal ini menyebabkan terbentuknya 3 laju absorbsi insulin paska injeksi, dengan faso monomer terakhir mencapai laju ambilan tercepat dari tempat suntikan. Penundaan absorbsi tersebut menyebabkan ketidaksesuaian antara ketersediaan insulin dengan kebutuhannya. Secara spesifik, bila insulin reguler diberikan pada waktu makan, kadar glukosa darah akan meningkat lebih cepat ketimbang peningkatan kadar insulin sehingga menyebabkan hiperglikemia postprandial pada awalnya dan peningkatan resiko terjadinya hipoglikemia postprandial selanjutnya. Insulin reguler harus disuntikan 30-45 menit atau lebih lama sebelum makan untuk meminimalkan ketidaksesuaian tersebut (Katzung, 2010). c. Insulin Yang Bekerja Dengan Kecepatan Sedang Insulin kerja-sedang diformulasikan agar dapat larut secara berangsur- angsur jika diberikan secara subkutan, dengan demikian durasi kerjanya menjadi lebih lama. Dua sediaan yang paling sering digunakan ialah insuli neutral protamin hagedorn (NPH) (yakni suspensi insulin isophane) dan insulin lente (suspensi zink insulin). Insulin NPH adalah suspensi insulin dalam bentuk kompleks dengan zink dan protamin dalam bufer fosfat. Insulin lente adalah campuran bentuk insulin kristal (ultra lente) dan bentuk amorf semi lente dalam bufer asetat, yang meminimalkan kelarutan insulin. Sifat farkokinetik insulin manusia kerja-sedang sedikit berbada dengan sediaan insulin babi. Insulin manusia memiliki onset kerja yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih singkat dibandingkan insulin babi. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan sifat alami insulin manusia yang lebih hidrofobik, atau mungkin insulin manusia dan babi berinteraksi secara berbeda dengan protamin dan kristal zink. Perbedaan ini dapat menimbulkan masalah pada penentuan waktu terapi malam hari; sediaan insulin manusia yang diberikan sebelum makan malam mungkin tidak memiliki durasi kerja yang cukup untuk mencegah hiperglikemia pada pagi harinya. Penting dicatat ridak ada bukti insulin lente atau NPH memiliki efek farmakodinamik yang berbeda jika digunakan dalam kombinasi dengan insulin regular (larut) pada regimen dosis 2 kali sehari. Insulin kerja-sedang umumnya diberikan 1 kali sehari sebelum sarapan atau dua kali sehari. Pada pasien DM tipe 2, insulin kerja-sedang yang diberikan sebelum tidu dapat membantu menormalkan kadar glukosa puasa. Jika insulin lente dicampur dengan insulin reguler, sebagian insulin reguler dapat membentuk kompleks dengan protamin atau Zn2+ setelah beberapa jam, dan hal ini dapat mempoerlambat absorbsi insulin kerja cepat. Insuilin NPH tidak memperlambat kerja insulin reguler jika keduanya dicampurkan secara kuat oleh pasien tersebut atau jika tersedia secara komersial dalam bentuk campuran. d. Insulin yang Bekerja Lama Insulin kerja panjang tradisional (Ultralente) mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal-bolus. Profi l kejanya pada diabetisi anak sangat bervariasi, dengan efek akumulasi dosis; oleh karena itu penggunaan analog insulin basal mempunyai keunggulan dibandingkan ultralente (World Diabetes Foundation, 2009) 2. Reaksi Merugikan a. Hipoglikemia Reaksi merugikan insulin yang paling umum adalah hipoglikemia. Hal ini dapat terjadi karena pemberian dosis besar yang tidak tepat, ketidaksamaan antara waktu puncak penghantaran insulin dan asupan makanan, atau tumpang tindih faktor-faktor tambahan yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin (insufisiensi adrenal: insufisiensi hipofisis) atau faktor lain yang meningkatkan ambilan glukosa tak bergantung insulin (seperti olahraga). Semakin giat upaya euglikemia, semakin sering terjadi episode hipoglikemia. Dalam diabetes control complication trial, insiden reaksi hipoglikemia yang parah tiga kali lebih tinggi pada kelompok terapi insentif insulin daripada kelompok terapi konvensional. Episode hipoglikemia yang ringan tetapi signifikan jauh lebih umum terjadi daripada reaksi yang parah, dan frekuensi juga meningkat seiring dengan terapi intensif. Hipoglikemia merupakan resiko utama yang harus dipertimbangkan terhadap setiap manfaat terapi intensif. b. Alergi dan Resistensi Insulin Walaupun insiden resistensi dan reaksi alergi terhadap insulin karena penggunaan insulin manusia atau sediaan insulin yang kemurniannya tinggi menurun secara drastis, reaksi-reaksi tersebut masih dapat terjadi sebagai reaksi terhadap salah satu komponen yang ditambahkan ke formulasi insulin (protamin, Zn2+, fenol, dll). Manifestasi alergi yang paling sering adalah reaksi kulit lokal yang diperantarai-IgE, walaupun jarang terjadi, pasien dapat mengalami respons sistemik yang mengancam jiwa atau resistensi insulin akibat antibodi IgG. Berbagai upaya harus dilakukan untuk mencari penyebab respon hipersensitivitas dengan cara mengukur antibodi IgG dan IgE spesifik-insulin. c. Lipoatrofi dan Lipohipertrofi Atrofi lemak subkutan pada tempat injeksi insulin (lipoatrofi) kemungkinan merupakansuatu varian respon imun terhadap insulin, sedangkan lipohipertrofi (perbesaran depo lemak subkutan) dianggap sebagai kerja lipogenik konsentrasi insulin lokal yang tinggi. Kedua masalah ini mungkin terkait dengan beberapa kontaminan di dalam insulin; hal ini jarang terjadi pada insulin yang lebih murni. Namun, hipertrofi sering terjadi pada pemakaian inssulin manusia jika pasien menginjeksi diri sendiri secara berulang-ulang di tempat yang sama. Jika masalah-masalah ini terjadi, dapat menyebabkan absorbsi insulin yang tidak teratur seperti pada masalah kosmetik. Pengobatan yang dianjurkan adalah menghindari daerah hipertrofi dengan menggunakan tempat injeksi lain, dan menginjeksi insulin ke bagian perifer atrofi sebagai usaha untuk memperbaiki jaringan adiposa subkutan. d. Edema Insulin Beberapa tingkat edema,eprut kembung, danpenglihatan kaburterjadi pada banyak pasien diabetes dengan hiperglikemia parah atau ketoasidosis yangmuncul di bawah kendali insulin. Hal ini dikaitkan dengan bertambahnya berat badan 0,5 sampai 2,5 kg. Edema ciasanya menghilang secara spontan dalam beberapa hari hinggaseminggu jkecuali jika terdapat penyakit jantung atau ginjal. Edema terutama disebabkan oleh retensi Na+, walaupun meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan tidak cukupnya kontrol metabolisme juga mungkin ikut berperan. (Goodman & Gilman’s, 2007) 2.2.2 Obat Antidiabetik Oral a. Golongan Sulfonilurea Beberapa derivat sulfonilurea lebih dipakai dalam terapi, semua pada dasarnya mempunyai mekanisme kerja yang sama. Obat ini hanya berbeda dalam hal potensi serta farmakokinetik yang mendasari perbedaan masa kerja. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian sulfonilurea disebabkan olehperangsangan sekresi insulin di pankreas. Sifat perangsangan iini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat hiperglikemia gagal merangsang sekresi insulin dalam jumlah yang mencukupi, obat-obat tersebut masih mampu merangsang sekresi insulin. Itulah sebabnya mengapa obat-obat ini sangat bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin. Pada penderita dengan kerusakan sel-β pulau Langerhans pemberian obat derivat sulfonilurea tidak bermanfaat (UI, 2005) Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk: (1) merangsang pelepasan insulin dari sel-β pankreas, (2) mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan (3) meningkatkan peningkatam insulin pada jaringan target dan reseptor. Obat-obat utama yang sekarang digunakan adalah tolbutamid [tole BYOO ta mide], dan turunan generasi kedua, gliburid [GLYE byoor ide] dan glipizid [GLIP izide]. Diberikan per-oral, obat-obat ini terikat pada protein serum, dimetabolisme oleh hati, dan diekresikan oleh hati atau ginjal. Kontraindikasi pemakaian obat-obat ini adalah pada pasien sufisiensi hati atau ginjal, karena ekskresi obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi, dan dapat menimbulkan hipoglikemia. Kerusakan ginjal merupakan masalah utama keadaan dengan obat dimetabolisme menjadi senyawa aktif. Sulfonilurea dapat menembus plasenta dan dapat mengosongkan insulin dari pankreas janin; karena itu, perempuan hamil dengan NIDDM seharusnya diobati dengan menggunakan insulin. [catatan: Asetoheksamid [a seat oh HEX a mide], dan tolazamid [ tole AZ a mide] sekarang jarang digunakan. Klopropamid [klor PROE pa mide] seharusnys dihindari pemakaiannya pada orang tua. Efeknya berlangsung sangat lama dan dalam grup obat ini, insidens efek sampingnya paling tinggi, menyebabkan hiponatremia, hipoglikemia, dan jika diberikan bersama dengan alkohol, timbul reaksi disulfiram dan hipotensi] (Mary, 2004) Absorbsi drivat sulfonilurea baik melalui usus, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorbsi, obat ini disebar keseluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma terutama albumin (70%-90%). Mula kerja serta farmakokinetiknya berbeda-beda untuk setiap sediaan. Mula kerja Tolbutamid cepat dan kadar maksimal dicapai dalam 3-5 jam. Dalam darah Tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekresikan melalui ginjal. Asetoheksamid di dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma hanya ½-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksiheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemiknya daripada asetoheksamid sendiri.selain itu 1hidroksiheksamid juga menunjukan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam, sehingga efek asetoheksamid lebih panjang dibanding tolbutamid. Kira-kira 10% dari metabolisme asetoheksamid diekskresi melalu empedu dan dikeluarkan bersama tinja. (Goodma & Gilman’s, 2007) b. Golongan Inhibitor a-glikosidase Baru-baru ini, akarbose telah disetujui pemakaiannya per-oral sebagai obat aktif pada pengobatan penderita NIDDM dan sebagai tambahan yang memungkinkan dengan insulin pada IDDM. Akarbose menghambat α-glukosidase pada vili-vili usus (intestinal brush border) sehingga menurunkan absorbsi strch dan disakarida. Akibatnya, gula darah setelah makan meningkat tumpul. Tidak seperti obat hipoglikemik oral lainnya, akarbose tidak merangsang pelepasan insulin dari pankreas ataupun meningkatkan kerja insulin di jaringan parifer. Jadi, akarbose tidak menyebabkan hipoglikemik. Obat ini dapat digunakan sebagai monoterapi pada penderita yang dikontrol dengan diet atau kombinasi dengan obat hipoglikemik oral, atau dengan insulin. Absorbsinya sangat sedikit dan efek samping utama adalah perut kembung, diare, dan kram abdominal (Mary, 2004). c. Golongan Biguanid Metformin [MET for min] sekarang tersedia di Amerika Serikat. Biguanid berbeda dengan sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin. Resiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat-obat sulfonilurea. Metformin mungkin digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan sulfonilurea. Metformin bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluran glukosa hati, sebagian besar dengan menghambat glukoneogenesis. Efek yang sangat penting adalah kemampuannya untuk mengurangi hiperlipidemia (konsentrasi kolesterol LDL dan VDL menurun dan kolesterol HDL meningkat). Pasien sering kehilangan berat badan. Metformin dipertimbangkan oleh beberapa ahli sebagai obat pilihan baru untuk penderita diabetes tipe II. Metformin mudah diabsorbsi per-oral, tidak terikat dengan protein serum dan tidak dimetabolisme. Sangat jarang menimbulkan asidosis laktat yang fatal. [catatan; fenformin, obat hipoglikemi biguanida terdahulu, ditarik karena alasan ini]. Penggunaan jangka panjang dapat mempengaruhi absorbsi vitamin B12. Kontraindikasi pemakaian obat ini pada insufisiensi ginjal dan hati (Mary, 2004) d. Golongan Meglitinid Meglitinid merupakan suatu kelas insulin secetagogue yang relatif baru. Repaglinid, yaitu anggota pertama kelas obat tersebut, disetujui untuk digunakan secara klinis pada tahun 1998. Obat ini memodulasi pelepasan insulin dari sel β dengan mengatur efluks kalium melalui kanal kalium yang dibahas sebelumnya. Terdapat tumpang tindih tempat kerja molekulnya dengan sulfonilurea karena meglitinid memiliki dua tempat pengikatan yang berbeda. Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah ditelan, namun lama kerjanya 5-8 jam. Obat ini dimetabolisme oleh CYP3A4 di hati dengan waktu paruh dalam plasma selama 1 jam. Karena onsetnya yang cepat, penggunaan repaglinid diindikasikan untuk mengendalikan lonjakan kadar glukosa setelah makan. Obat ini seharusnya ditelan sesaat sebelum makan dengan dosis sebesar 0,25-4 mg (maksimum, 16 mg/hari); hipoglikemia berisiko timbul jika pasien terlambat makan atau melewatkan makan atau terdapat sedikit karbohidrat dalam makanan tersebut. Obat ini harus digunakan secarahati-hati pada individu dengan gangguan ginjal dan hati. Repaglinid dapat digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan biguanid. Tidak terdapat sulfur dalam struktur obat ini sehingga repaglinid dapat digunakan pada pasien diabetes tipe 2 yang alergi terhadap sulfonilurea atau sulfur (Katzung, 2007). e. Golongan Thiazolidindion Tiazolidindion (Tzd) bekerja dengan menurunkan resistensi insulin. Kerja utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam metabolisme lipid dan glukosa dan diferensiasi adiposit. Tzd merupakan ligan peroxisome proliferatoractivated receptor-gamma (PPAR-γ), yaitu bagian dari superfamili steroid dan tiroid di reseptor inti. Reseptor PPAR ini ditemukan di otot, lemak, dan hati. Reseptor PPAR-γ bersifat kompleks dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat dalam metabolisme glukosa dan lipid, transduksi sinyal insuli, dan diferensiasi adiposit dan jaringan lainnya. Tzd yang tersedia tidak memiliki efek klinis yang identik, dan pengembangan obat baru akan berfokus pada penentuan efek PPAR dan perancangan ligan yang bekerja secara selektif-seperti modulator reseptor esterogen yang selektif Selain bekerja pada adiposit, monosit, dan hepatosit, Tzd juga memiliki efek yang bermakna terhadap endotel vaskular, sistem imun, ovarium, dan sel tumor. Sebagian respon tersebut mungkin tidak bergantung pada jalur PPAR-γ. (Katzung, 2007) 2.3 Terapi Nonfarmakologi 1. Pengaturan Diet Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah: a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal. b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal. c. Mencegah komplikasi akut dan kronik. d. Meningkatkan kualitas hidup. Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makanan masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makanan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurunan glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan dan kebutuhan kalori yang dianjurkan terdiri dari: Komposisi makan : a. Karbohidrat : 1. Dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi 2. Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan 3. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi 4. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi 5. Pemanis alternatif digunakan sebagai pengganti gula 6. Makan 3 kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. b. Lemak : 1. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak diperkenankan > 30% total asupan energi 2. Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori 3. Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. c. Protein : 1. Distribusikan 10-20% total asupan energi 2. Sumber protein yang baik adalah makan laut (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpak lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe. d. Natrium : 1. Asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 300 mg atau sama dengan 6-7g garam dapur. 2. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur. a. Serat : Anjuran konsumsi serat adalah ±25 g/1000 kkal/perhari 2. Olah raga Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ±30 menit yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda dan mendayung. Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani adalah memulai olahraga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, harus didampingi oleh orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemi, harus selalu membawa permanen dan memeriksa kaki secara cermat setelah olahraga. 2.4 Perilaku Perilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Ada 2 hal yang dapat mempengaruhi perilaku yaitu faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Lingkungan adalah kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Cara yang digunkan sangat beragam bisa dengan menjaga kebersihan diri,melakukan olah raga untuk menjaga kebugaran tubuh,maupun dengan makan makanan yang bergizi. Perilaku sehat ini terkait akan tindakan dan kebiasaan yang dilakukan individu dalam menjaga kesehatan. Bloom (1908) membagi perilaku ke dalam 3 domain namun tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan: 1. Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap suatu rangsangan tertentu. Pengetahuan tau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seeorang terhadap suatu rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan enam tingkatan, yakni: a. Tahu (know) Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkatan pengalaman yang paling rendah. b. Memahami (comprehension) Merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application) Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. d. Analisis (analysis) Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponenkomponen, dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut. e. Sintesis (synthesis) Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (evaluation) Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2007). 2. Sikap Merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang tertutup. Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005), sikap mempunyai tiga komponen pokok, yakni: a. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek b. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu konsep c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, antara lain : a. Menerima (receiving) Mau dan memperhatikan stimulus atau objek yang diberikan. b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan masalah. d. Bertanggung jawab (responsible) Mempunyai tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko.. 3. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan : a. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. b. Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatau sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indicator raktek tingkat dua. c. Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. d. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. (Notoadmojo,2003) 2.4.1 Perubahan Perilaku Membantu pasien mengubah perilaku adalah peran penting bagi tenaga medis dan keluarga. Perubahan perilaku sangat berguna dalam mengatsi modifikasi gaya hidup untuk pencegahan penyakit dan manajemen penyakit jangka panjang. Konsep “ketidakpatuhan pasien” dan motivasi sering fokus pada kegagalan pasien. Memahami kesiapan pasien untuk melakukan perubahan, menghargai hambatan untuk mengubah dan membantu pasien mengantisispasi kekambuhan dapat meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien. Tenaga medis harus mengingat bahwa perubahan prilaku jarang terjadi. Pada umumnya tenaga medis mengamati perilaku pasien setelah mengalami penurunan yang buruk dalam kesehatan pasien. Tahapan perubahan perilaku dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu: a. Precontemplation stage Selama tahap precontemplation, pasien bahkan tidak menyadari dan tidak mempertimbangkan adanya perubahan untuk perbaikan penyakit yang dialaminya, contohnya pada pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi mungkin merasa tidak peduli terhadap masalah-masalah kesehatan. b. Contemplation Stage Selama tahap contemlation, pasien mulai memikirkan tentang perubahan dalam hidupnya. Perilaku menyerah menyebabkan mereka merasa memperparah penyakitnya tetapi pada tahap ini pasien memiliki hambatan seperti waktu, biaya, kerumitan dan kekuatan. c. Preparation Stage Selama tahap preparation, pasien mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan tertentu. Mereka mungkin bereksperimen dengan perubahan kecil dan kemauan untuk dapat melakukan perubahan sangatlah besar dengan adanya dorongan dari orang lain. Contohnya, pasien mulai memilih makanan rendahlemak untuk memodifikasi pola makan atau menurunkan frekuensi untukkonsumsi alkohol. d. Action Stage Action Stage adalah salah satu tahap yang tenaga medis harapkan,. Pada tahap ini pasien mengubah prilaku mereka dengan kesadaran sendiri bahwa hal tersebut perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Setiap tindakan yang diambil oleh pasien harus dipuji karena menunjukan keinginan untuk perubahan gaya hidup. e. Maintenance and relaps prevention Pada tahap pemeliharaan dan pencegahanpasien membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai pada tahap ini. Kekecewaan dalam melakukan perubahan untuk mencapai tahap ini mungkin sesekali terjadi dan dapat menghentikan proses perubahan dan membuat pasien menyerah. Namun, setelah melewati keempat tahap sebelumnya kebanyakan pasien tetap berada pada tahap ini walaupun membutuhkan waktu lama. (Zimmerman, et al, 2000) 2.5 Leaflet Hasil optimal dalam manajemen suatu penyakit didukung pengaturan gaya hidup oleh pasien sendiri. Komponen manajemen diri termasuk kepatuhan seharihari dan kepatuhan jangka panjang untuk modifikasi gaya hidup dan farmakoterapi, serta mempertahankan pemantauan dan tindak lanjut organisasi kesehatan ditantang dengan pengembangan dan implementasi strategi biaya yang efektif untuk meningkatkan kontrol hipertensi pada populasi pasien yang besar. Menyadari bahwa pengetahuan pasien dan motivasi yang penting bagi manajemen diri, strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat harus termasuk peningkatan komponen pendidikan pasien (Hunt, 2004) Berbagai alat bantu pengajaran tersedia untuk digunakan dalam memberikan pendidikan kepada pasien. Pemilihan alat bantu yang tepat bergantung pada metode instruksional yang dipilih. Alat bantu pengajaran antara lain: materi cetak, merupakan alat bantu pengajaran tertulis yang tersedia seperti booklet, leaflet, dan pamflet. Materi dalam materi cetak harus dapat dibaca dengan mudah oleh peserta didik, informasi harus akurat dan aktual, metode yang digunakan harus metode yang ideal untuk memahami konsep hubungan yang kompleks, gambar atau foto, kedua media ini lebih disukai daripada diagram karena lebih secara akurat menunjukan detail dan benda yang sesungguhnya. Gambaran memperlihatkan detail dalam objek nyata, objek fisik, penggunaan perlengkapan objek atau model yang dapat dimanipulasi dari hasil kreatifitas atau kerajinan (Potter, 2005) 2.6 Kuisioner Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Suharsimi Arikunto, 2002:128). Kuesioner bertujuan untuk mengetahui informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi. Untuk mengetahui apakah kuesioner “valid” dan “reliable” dilakukan uji validitas dan reliabilitas 1. Uji Validitas Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini menggunakan program komputer dengan uji pearson product moment, dimana hasil akhirnya (r hitung) dibandingkan dengan r tabel yang dapat dilihat pada tabel nilai rproduct moment. Suatu instrumen dikatakan valid jika r yang didapatkan dari hasil pengukuran item soal (r hasil) >r tabel (0,361), r tabel didapatkan dari r pearson product moment dengan = 5%. 2. Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan untuk digunakan berkali-kali. Penentuanreliabilitas instrumen, hasil uji coba ditabulasi dalam tabel dan analisis data dicari varian tiap item kemudian dijumlahkan menjadi varian total. Instrumen dikatakan realibel dan dapat digunakan sebagai alat untuk pengumpulan data jika r yang didapatkan > r (0,6), dengan r sebesar 0,6. ( Notoatmodjo, 2010) 2.7 Profil Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang merupakan instrumen masyarakat. Rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang menggabungkan bersama-sama semua profesi kesehatan,fasilitas diagnostik dan terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem terkoordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat. (siregar, 2004) Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Sjahranie adalah milik pemerintah Daerah Kalimantan Timur Status kelas B berlaku sejak Tahun 1993 dengan SK Menkes No:1161/Menkes/ SK/XII/1993 dan ditetapkan di Jakarta tanggal 15 Desember 1993. Rumah sakit ini terletak di Jalan Palang Merah Indonesia, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda. Sejak tahun 1999 Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie berstatus sebagai unit swadana daerah, dan melaksanakan manajemen Revolving Fund System untuk obat-obatan dan bahan pakai habis serta makanan. Visi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahrnie adalah menjadi rumah sakit rujukan pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitianterbaik di kalimantan. Misi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie adalah Menyiapkan dan mengembangkan sember daya manusia, Melengkapi sarana dan prasarana, Memberi pelayanan prima serta meningkatkan kesejahteraan pegawai (anonim,2010).