bab i tinjauan pustaka

advertisement
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Mellitus
2.1.1 Pengertian
Diabetes adalah penyakit kronis yang kompleks yang memerlukan
perawatan medis yang terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko bisa
disebabkan berbagai faktor diluar kontrol glikemik. Pendidikan berkelanjutan
seperti manajemen diri pasien dan dukungan sangat penting untuk mencegah
komplikasi akut dan mengurangi resiko komplikasi jangka panjang
(American Diabetes Association, 2015)
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik ditandai
dengan kondisi hipoglikemik kronis akibat kelainan dalam sekresi insulin, aksi
insulin atau keduanya (Ozougwu, 2013).
Diabetes merupakan penyakit yang berkaitan dengan berbagai komplikasi
yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup dan kematian yang premature.
Deteksi dini dan pengobatan adalah salah satu strategi untuk mengurangi tingkat
keparahan penyakit ini (International Diabetes Federation, 2012).
Diabetes mellitus, penyakit gula atau kencing manis adalah suatu
gangguan kronis yang bercirikan hiperglikemia ( glukosa darah terlampau
meningkat) dan khususnya menyangkut metabolisme hidratarang (glukosa) di
dalam tubuh. Tetapi metabolisme lemak dan protein juga terganggu (Tjay, 2007).
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh selsel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes merupakan suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya
ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin
relatif atau absolut. Pelepasan insulin yang tidak adekuat diperberat oleh glukagon
yang berlebihan (Mary, 2004).
Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin
atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi
kronis mikrovaskuler, dan neuropati. Kriteria diagnisis diabetes mellitus adalah
kadar glukosa puasa ≥126 mg/dL atau pada 2 jam setelah makan ≥200 mg/dL atau
HbA1c ≥8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan ≥ 140 mg/dL tetapi lebih
kecil dari 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi lemah (Sukandar, 2013).
Diabetes mellitus adalah suatu jenis penyakit
yang disebabkan
menurunnya hormon insulin oleh kelenjar pankreas. Penurunan hormon ini
mengakibatkan seluruh gula (glukosa) yang dikonsumsi tubuh tidak dapat
diproses secara sempurna, sehingga kadar glukosa di dalam tubuh kekurangan
insulin yang mengakibatkan kelainan metabolisme. Insulin terbentuk dikelenjar
pankreas dan berfungsi menyimpan kelebihan kadar gula darah yang meningkat.
(Utami, 2003)
2.1.2
Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus menurut ADA 2003 yaitu diabetes mellitus
tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes tipe lain, dan diabetes gestasional
(Soegondo, 2005)
a.
Diabetes Mellitus Tipe 1 (IDDM)
Pada tipe ini terdapat destruksi dari sel-sel beta pankreas, sehingga tidak
memproduksi lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah.
Karena itu kadar glukosa darah meningkat di atas 10 mmol/L, yakni nilai ambang
ginjal, sehingga glukosa berlebihan dikeluarkan lewat urin bersama banyak air
(glycosuria). Dibawah kadar tersebut, glukosa ditahan oleh tubuli ginjal
(Tjay dan Rahardja, 2002)
Diabetes tipe I ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan defisiensi
insulin absolut atau berat. Pemberian insulin sangat penting pada pasien dengan
diabetes tipe I (katzung, 2010)
Diabetes Mellitus Tergantung Insulin ( IDMM ) umumnya menyerang
anak-anak, tetapi IDDM dapat juga terjadi di antara orang dewasa. Penyakit ini
ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan lesi atau nekrosis sel-β
berat. Hilangnya fungsi sel-β mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin
kimia atau umumnya melalui kerja antibodi autoimun yang ditujukan untuk
melawan sel-β. Akibat dari destruksi sel-β, pankreas gagal berespon terhadap
masuknya glukosa, dan diabetes Tipe I menunjukan gejala klasik defisiensi
insulin (polidipsia, polifagia dan poliuria).
Diabetes tipe I selanjutnya dibagi menjadi yang memiliki penyebab imun
dan idiopatik. Bentuk imun merupakan bentuk tersering diabetes tipe I. Meskipun
sebagian besar pasien lebih muda dari 30 tahun pada saat diagnosis dibuat, onset
penyakit tersebut dapat terjadi pada semua usia. Diabetes tipe I ditemukan pada
semua grup etnik, namun insidens tertinggi terdapat pada orang Eropa utara dan
Sardinia. Faktor genetik multifaktorial tampaknya menimbulkan kerentanan
menderita penyakit ini namun hanya 10-15% pasien yang memiliki riwayat
diabetes dalam keluarganya.
(Mary, 2004)
b.
Diabetes Mellitus Tipe 2(NIDDM)
Sebagian besar diabetes termasuk dalam kategori ini. Tampaknya faktor
genetik merupakan penyebab yang lebih besar dari pada virus atau antibodi
autoimun. Perubahan metabolik yang diobservasi lebih ringan daripada yang
dijelaskan untuk IDDM (misalnya, penderita NIDDM bukan tipe ketotik), tetapi
konsekuensi klinik jangka panjang dapat juga membinasakan (misalnya,
komplikasi vaskular dan infeksi setelahnya dapat menyebabkan amputasi
ekstremitas bawah) (Mary, 2004).
Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap kerja insulin
disertai defisiensi relatif pada sekresi insulin. Individu yang terkenba dapat lebih
resisten atau mengalami defisiensi sel β yang lebih parah, dan kelainannya dapat
ringan atau parah. Meskipun insulin diproduksi oleh sel β pada pasien ini, namun
hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi resistensi, dan kadar glukosa darah
meningkat. Gangguan kerja insulin juga memengaruhi metabolisme lemak
sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebas dan trigliserida serta
menurunkan kadar lipoprotein berdensitas-tinggi (HDL) (Katzung, 2010)
Kebanyakan pasien dengan diabetes tipe ini mengalami kegemukan, dan
obesitas tersebut menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin. Pasien yang
tidak obesitas dengan kriteria berat tradisional mungkin memiliki peningkatan
persentase dari
lemak tubuh yang didistribusikan terutama di daerah perut.
Ketoasidosis jarang terjadi secara pada diabetes tipe ini; jika dilihat, hal tersebut
biasanya muncul berkaitan dengan stres akibat penyakit lain seperti infeksi.
Diabetes tipe ini sering tidak terdiagnosis untuk bertahun-tahun karena
hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap-tahap awal sering
tidak cukup parah bagi pasien untuk melihat salah satu gejala klasik diabetes.
Namun demikian, dalam perkembangannya
pasien tersebut
mengalami
peningkatan risiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (ADA, 2011)
c.
Diabetes Mellitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1
(Ndraha, 2014)
Diabetes tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor genetik dapat
menyebabkan MODY (matutary onset diabetes of youth) ditunjukkan kurangnya
sekresi insulin. Ketidak mampuan secara genetis mengubah proinsulin menjadi
insulin menyebabkan penderita mengalami hiperglikemi pada usia muda dan
kondisi ini tidak bersifat herediter.
(triplitt et al, 2005)
d.
Diabetes Mellitus Gestasional (kehamilan)
Diabetes mellitus tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya
komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk
menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan
(Ndraha, 2014)
2.1.3
Gejala dan Tanda-Tanda Diabetes Mellitus
Gejala utama diabetes mellitus yaitu polifagia (meningkatnya rasa lapar),
polidipsia (meningkatnya rasa haus), dan poliuria (meningkatnya buang air kecil),
serta kehilangan berat badan terutama pada diabetes tipe 1 (Dipiro at all, 2008).
Kriteria untuk diabetes mellitus telah diusulkan olehbeberapa organisasi
medis. American diabetes Association (ADA) kriteria meliputi gejala-gejala
diabetes mellitus (misalnya meningkatnya rasa lapar, meningkatnya rasa haus,
meningkatnya buang air kecil, dan penurunan berat badan) dan glukosa
konsentrasi plasma acak lebih besar dari 200mmg/dl, konsentrasi glukosa plasma
puasa lebih besar dari 126 mg/dl atau konsentrasi glukosa plasma lebih besar dari
200 mg/dl (goodman dan gilmans, 2006)
Gejala dan tanda-tanda penyakit diabetes mellitus dapat digolongkan
menjadi gejala akut dan gejala kronik.
a.
Gejala Akut Penyakit DM
Gejala penyakit diabetes mellitus pada setiap penderita tidaklah selalu
sama, gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umum timbul
dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi lain. Bahkan, ada diabetesi
yang tidak menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pada permulaan gejala
yang ditunjukan meliputi tiga serba banyak: Banyak makan (polifagia), banyak
minum (polidipsia) dan banyak kencing (poliuria) atau singkatnya 3 P. Dalam fase
ini biasanya penderita menunjukan berat badan yang terus berubah, karena pada
saat ini biasanya penderita menunjukan berat badan yang terus bertambah, karena
pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi (Tjokroprawito, 2006)
Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama-kelamaan mulai timbul
gejala yang disebabkan oleh kurangnya insulin, dan bukan 3P lagi, melainkan
hanya 2P (polidipsia dan poliuria) dan beberapa kebutuhan laim. Antara lain:
a)
Nafsu makan mulai berkurang (tidak polifagia lagi) bahkan kadang-kadang
disusul dengan mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl
b)
Banyak minum
c)
Banyak kencing
d)
Berat badan turun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu)
e)
Mudah lelah
f)
Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual bahkan penderita akan jatuh
koma (tidak sadarkan diri) dan disebut koma diabetik koma diabetik adalah
koma pada diabetes akibat kadar glukosa terlalu tinggi, biasanya melebihi
(600 mg/dl).
(Tjokroprawito, 2006)
b.
Gejala Kronik Penyakit DM
Kadang-kadang diabetesi tidak menunjukan gejala akut (mendadak), tetapi
penderita baru menunjukan gejala sesudah sesudah beberapa bulan atau beberapa
tahun mengidap penyakit diabetes mellitus. Gejala ini disebut gejala kronik atau
menahun. Gejala kronik ini yang paling sering membawa diabetesi berobat
pertama kali.
Gejala-gejala kronik diabetes mellitus yang sering timbul adalah:
a)
Sering buang air kecil, terutama pada malam hari.
b)
Gatal-gatal, terutama pada kelamin bagian luar.
c)
Kesemutan dan keram
d)
Rasa kulit panas.
e)
Cepat merasa lapar dan dahaga serta merasa lelah dan mengantuk
f)
Berat badan menurun, sebaliknya nafsu makan bertambah.
g)
Penglihatan kabur, ditandai dengan seringnya berganti kaca mata.
h)
Mudah timbul bisul dengan kesembuhan lama.
i)
Ibu-ibu melahirkan bayi dengan berat >4 kg
j)
Ibu-ibu sering mengalami keguguran kehamilan atau melahirkan bayi mati
(Tjokroprawito, 2006).
2.1.4
Patofisiologi
1.
Diabetes Mellitus Tipe 1 (IDDM)
Destruksi autoimun pada sel-β pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi
insulin yang mengakibatkan gangguan metabolik yang disertai IDDM. Selain
hilangnya sekresi insulin, fungsi sel-α pankreas juga abnormal dan terdapat
sekresi berlebihan dari glucagons pada pasien IDDM. Biasanya, Hiperglikemia
menyebabkan penurunan sekresi glukagon, namun, pada pasien dengan IDDM,
sekresi glucagons tidak ditekan oleh hiperglikemia. Peningkatan glukagon secara
tidak tepat akan memperburuk kelainan metabolisme akibat kekurangan insulin.
Contoh yang paling jelas dari gangguan metabolik ini adalah pasien dengan
IDDM akan cepat berkembang menjadi
diabetes ketoasidosis tanpa adanya
pemberian insulin. Meskipun kekurangan insulin merupakan
gangguan yang
utama pada IDDM, terdapat pula gangguan dalam pemberian insulin. Ada
beberapa mekanisme biokimia yang menjelaskan penurunan respon jaringan
terhadap insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkendali
dan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan
metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti otot skeletal. Hal ini mengganggu
pemanfaatan glukosa dan kekurangan insulin juga menurunkan ekspresi dari
sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target untuk merespon insulin secara
normal seperti glukokinase di hati dan kelas GLUT 4 transporter glukosa dalam
jaringan adiposa. Gangguan metabolik utama, yang hasil dari kekurangan insulin
di IDDM adalah glukosa, lipid dan metabolisme protein yang dijelaskan dalam
rincian sebagai berikut:
a.
Efek pada Metabolisme Glukosa
IDDM tidak terkendali mengarah ke peningkatan glukosa output hepatik.
Pertama, menyimpan glikogen hati dimobilisasi kemudian glukoneogenesis
hepatik digunakan untuk menghasilkan glukosa. defisiensi insulin juga
mengganggu pemanfaatan glukosa jaringan non hepatik. Defisiensi insulin juga
mengganggu jaringan non hepatik dalam pemanfaatan glukosa. Khususnya di
jaringan adiposa dan otot rangka, insulin merangsang penyerapan glukosa. Hal ini
dilakukan dengan dimediasi gerakan insulin dari transporter glukosa protein ke
membran plasma dari jaringan ini. Pengurangan penyerapan glukosa oleh jaringan
perifer menyebabkan tingkat penurunan metabolisme glukosa. Selain itu, tingkat
glukokinase hati juga diatur oleh insulin. Oleh karena itu, tingkat penurunan
phosphorrylation glukosa dalam hepatosit menyebabkan peningkatan pengiriman
ke darah. enzim lain yang terlibat dalam metabolisme anabolik glukosa
dipengaruhi oleh insulin. Kombinasi dari peningkatan produksi glukosa hepatik
dan pengurangan metabolisme jaringan perifer mengarah ke peningkatan kadar
glukosa plasma. Ketika kapasitas ginjal untuk menyerap glukosa ditekan,
glukosuria akan terjadi. Glukosa merupakan diuretik osmotik dan peningkatan
hilangnya glukosa pada ginjal disertai dengan hilangnya air dan elektrolit. Akibat
dari hilangnya air (dan volume keseluruhan) mengarah pada aktivasi dari
mekanisme haus (polidipsia). Keseimbangan kalori negatif, yang merupakan hasil
dari glukosuria dan jaringan katabolisme menyebabkan peningkatan asupan nafsu
makan dan makanan yang disebut polifagia.
b.
Efek pada Metabolisme Lipid
Salah satu peran utama insulin adalah untuk merangsang penyimpanan
energi makanan dalam bentuk glikogen dalam hepatosit dan otot rangka,
mengikuti konsumsi asupan makanan. Selain itu, insulin merangsang hepatosit
untuk mensintesis dan menyimpan trigliserida di jaringan adiposa. Dalam IDDM
tidak terkendali ada mobilisasi yang cepat dari trigliserida yang mengarah ke
peningkatan kadar asam lemak bebas plasma. Asam lemak bebas yang diambil
oleh berbagai jaringan (kecuali otak) dan dimetabolisme untuk menyediakan
energi. Dengan tidak adanya insulin, kadar malonyl COA jatuh, dan transportasi
lemak asil-COA ke dalam mitokondria meningkat. oksidasi mitokondria dari asam
lemak menghasilkan asetil COA yang dapat lebih teroksidasi dalam siklus TCA.
Namun, dalam hepatosit mayoritas COA asetil tidak teroksidasi oleh siklus TCA
tapi dimetabolisme menjadi badan keton (asetoasetat dan b-hidroksibutirat).
Badan keton ini digunakan untuk produksi energi oleh otak, jantung dan otot
rangka. Pada IDDM, peningkatan ketersediaan asam lemak bebas dan badan keton
akan
memperburuk
berkurangnya
pemanfaatan
glukosa,
memajukan
hiperglikemia berikutnya. Produksi badan keton melebihi kemampuan tubuh
memanfaatkannya akan mengarah ke ketoasidosis. Sebuah produk buangan
spontan asetoasetat adalah aseton yang dihembuskan oleh paru-paru, yang
memberikan bau khas untuk nafas. Biasanya, trigliserida plasma ditindaklanjuti
oleh lipoprotein lipase (LPL) yang membutuhkan insulin. LPL adalah membran
terikat enzim pada permukaan sel endotel yang melapisi pembuluh, yang
memungkinkan asam lemak yang akan diambil dari sirkulasi trigliserida untuk
penyimpanan di adiposit. Tidak adanya insulin menyebabkan hipertrigliseridemia.
c.
Efek pada Protein
Insulin mengatur sintesis banyak gen, baik positif atau negatif, yang
mempengaruhi
metabolisme
secara
keseluruhan.
Insulin
memiliki
efek
keseluruhan pada metabolisme protein, meningkatkan laju sintesis protein dan
penurunan laju degradasi protein. Dengan demikian kekurangan insulin akan
menyebabkan peningkatan katabolisme protein. Tingkat peningkatan proteolisis
menyebabkan konsentrasi tinggi dari asam amino dalam plasma. Asam amino
Glucogenic berfungsi sebagai prekursor untuk hati dan glyconeogenesis ginjal,
yang memberikan kontribusi lebih lanjut untuk hiperglikemia yang terlihat pada
IDDM.
(Ozougwu, 2010)
2.
Diabetes Mellitus Tipe 2 (NIDDM)
Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dalam pengembangan
kondisi patofisiologi.
a.
Terganggunya Sekresi Insulin
Terganggunya sekresi insulin adalah penurunan respon glukosa, yang
diamati sebelum onset klinis penyakit. Lebih khusus lagi, gangguan toleransi
glukosa (IGT) disebabkan oleh penurunan respon glukosa pada awal fase sekresi
insulin, dan penurunan sekresi insulin tambahan setelah makan menyebabkan
hiperglikemia postprandial. Tes toleransi glukosa oral (OGTT) dalam kasus IGT
umumnya menunjukkan over-respon pada individu Barat dan Hispanik, yang
memiliki resistensi insulin nyata tinggi. Di sisi lain, pasien Jepang sering
menanggapi tes ini dengan sekresi insulin menurun. Bahkan ketika over-respon
terlihat pada orang dengan obesitas atau faktor-faktor lain, mereka menunjukkan
penurunan respon sekretori awal fase. Penurunan sekresi awal fase merupakan
bagian penting dari penyakit ini, dan sangat penting sebagai perubahan
patofisiologi dasar selama timbulnya penyakit pada semua kelompok etnis
Sekresi insulin terganggu umumnya progresif, dan perkembangannya
melibatkan toksisitas glukosa dan lipo-toksisitas. Bila tidak diobati, ini diketahui
menyebabkan penurunan massa sel-β pankreas pada hewan percobaan.
Perkembangan dari gangguan fungsi b sel pankreas sangat mempengaruhi kontrol
jangka panjang glukosa darah. Sedangkan pasien di tahap awal setelah onset
penyakit menunjukkan peningkatan glukosa darah terutama pada postprandial
sebagai akibat dari peningkatan resistensi insulin dan penurunan sekresi fase awal,
perkembangan memburuknya fungsi sel-β pankreas kemudian menyebabkan
elevasi permanen dari glukosa darah.
b.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana insulin dalam tubuh
jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan dan tidak sebanding dengan konsentrasi
darah. Penurunan aksi insulin pada organ target utama seperti hati dan otot adalah
ciri patofisiologi umum dari diabetes tipe 2. resistensi insulin berkembang dan
meluas sebelum onset penyakit.
Pemeriksaan ke dalam mekanisme molekuler aksi insulin memiliki
penjelasan bagaimana resistensi insulin berkaitan dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan (hiperglikemia, asam lemak bebas, dalam mekanisme peradangan,
dll). faktor genetik yang dikenal, tidak hanya meliputi reseptor insulin dan
substrat
reseptor insulin (IRS) -1 gen polimorfisme yang secara langsung
mempengaruhi sinyal insulin tetapi juga gen polimorfisme seperti reseptor gen β3
adrenergik dan gen pelepas protein (UCP), terkait dengan obesitas reaksi
mendalam dan meningkatkan resistensi insulin. Glucolipotoxicity dan mediator
inflamasi juga penting sebagai mekanisme pada gangguan sekresi insulin dan
penurunan sinyal insulin.
(Kohei,2010)
2.2
Terapi Farmakologi
2.2.1
Insulin
Insulin merupakan pengobatan andalan untuk hampir semua pasien DM
tipe 1 dan DM tipe 2. Jika diperlukan, insulin dapat diberikan secara intravena
atau intramuskular; namun, pengobatan jangka-panjang bergantung terutama pada
injeksi hormon secara subkutan. Pemberian insulin secara subkutan berbeda dari
sekresi fisiologis insulin untuk sedikitnya 2 cara utama: Sifat kinetiknya tidak
memproduksi kenaikan dan penurunan cepat sekresi insulin yang normal sebagai
respon terhadap ingesti nutrien, dan insulin berdifusi ke dalam sirkulasi parifer,
dan bukan dilepaskan ke sirkulasi parifer, dan bukan dilepaskan ke sirkulasi
portal; efek langsung insulin yang disekresikan pada proses metabolisme di hati
menjadi hilang. Namun, jika pengobatan ini dilakukan secara hati-hati,
kemungkinan akan berhasil (Goodman & Gilman’s, 2007)
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808 pada
manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai (A
dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida; terdapat perbedaan spesies
pada asam amino kedua rantai panjang tunggal, diproses dalam aparatus Golgi
dan dikemas dalam granula-granula tempat proinsulin dihidrolisis menjadi insulin
dan suatu segmen penghubung residual yang disebut peptida-C dengan
menghilangkan empat asam amino.
Insulin dan peptida-C disekresikan dalam jumlah ekuimolar sebagai
respons terhadap semua agan perangsang insulin; sejumlah kecil proinsulin yang
tidak diproses atau terhidrolisis sebagian juga dilepaskan. Meskipun proinsulin
mungkin memiliki efek hipoglikemik yang ringan, peptida-C belum diketahui
memiliki fungsi fisiologis. Granula di dalam sel B menyimpan insulin dalam
bentuk kristal yang mengandung dua atom seng dan enam molekul insulin.
Keseluruhan pankreas manusia mengandung sampai 8 mg insulin, yang mewakili
sekitar 200 unit biologis. Pada mulanya, satuan tersebut ditentukan berdasarkan
aktivitas hipoglikemik insulin pada kelinci. Dengan perbaikan teknik pemurnian,
satuan tersebut kini ditentukan berdasarkan berat, dan standar insulin terkini yang
digunakan untuk tujuanpemeriksaan assay mengandung 28 satuan per miligram.
(Katzung.2007)
Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga
oleh hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi insulin umumnya dipicu oleh
ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel-β pankreas. Kadar
adenosin
trifosfat
(ATP)
meningkatkan
dan
menghambat
saluran
K+,
menyebabkan pulsasi eksositosis insulin. [Catatan: Glukosa yang diberikan secara
suntikan mempunyai efek lebih rendah terhadap sekresi insulin daripada glukosa
yang diberikan per-oral, karena pemberian glukosa per-oral merangsang produksi
hormon pencernaan oleh usus, yang kemudian merangsang sekresi insulin oleh
pankreas](Mary, 2004).
Insulin diisolasi dari pankreas sapi dan babi. Namun, insulin manusia juga
diproduksi oleh strain khusus Escherchia coli yang telah diubah secara genetik
mengandung gen untuk insulin manusia. Insulin babi paling mendekati struktur
insulin manusia, yang diberikan hanya oleh satu asam amino (Mary, 2004).
1.
Klasifikasi Insulin
Menurut Goodman dan Gilman’s insulin dapat dibagi kedalam beberapa
kelompok, antara lain:
a.
Insulin yang Bekerja Cepat
Tiga analog insulin injeksi yang bekerja-cepat: insulin lispro, insulin
aspart, dan insulin slulisin, dan satu bentuk inhalasi insulin yang bekerja cepat,
yaitu human insulin recombinant inhaled, kini tersedia dipasaran. Insulin yang
bekerja-cepat memungkinkan penggantian insulin pada waktu makan secara lebih
fisiologi karena awitan kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya yang segera
tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal ketimbang insulin dapat
diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glikosa. Lama kerja
insulin tersebut jarang melebihi 3-5 jam (kecuali insulin inhalasi, yang dapat
berlangsung 6-7 jam), yang mengurangi resiko terjadinya hipoglikemia setelah
makan. Insulin injeksi yang bekerja-cepat merupakan jenis insulin terpilih untuk
digunakan pada perangkat infus insulin subkutan secara berkesinambungan.
b.
Insulin Bekerja-Singkat (Short-Acting)
Insulin reguler adalah suatu insulin seng kristalin larut dan bekerja singkat
serta dibuat melalui teknik DNA rekombinan untuk memproduksi suatu molekul
yang identik dengan insulin manusia efeknya tampak dalam waktu 30 menit dan
mencapai puncak antara 2 dan 3 jam setelah disuntikan melalui subkutan dan
biasanya berlangsung selama 5-8 jam.pada konsentrasi yang tinggi, misalnya di
dalam vial, molekul insulin reguler mengalami sua-agregasi dengan cara anti
paralel membentuk dimer yang stabil di sekitar ion seng dan menciptakan
heksamer insulin. Sifat heksamer insulin reguler menyebabkan penundaan onset
dan memperlama waktu untuk mencapai puncak kerja. Setelah disuntikan melalui
sebkutan heksamer insulin terlalu besar dan bermasa untuk diangkut melalui
endotel vaskular ke dalam aliran darah. Ketika depot insulin mengalami dilusi
oleh cairan interstisial dan konsentrasi insulin mulai menurun, heksamer terpecah
menjadi dimer dan akhirnya monomer. Hal ini menyebabkan terbentuknya 3 laju
absorbsi insulin paska injeksi, dengan faso monomer terakhir mencapai laju
ambilan tercepat dari tempat suntikan. Penundaan absorbsi tersebut menyebabkan
ketidaksesuaian antara ketersediaan insulin dengan kebutuhannya.
Secara spesifik, bila insulin reguler diberikan pada waktu makan, kadar
glukosa darah akan meningkat lebih cepat ketimbang peningkatan kadar insulin
sehingga
menyebabkan
hiperglikemia
postprandial
pada
awalnya
dan
peningkatan resiko terjadinya hipoglikemia postprandial selanjutnya. Insulin
reguler harus disuntikan 30-45 menit atau lebih lama sebelum makan untuk
meminimalkan ketidaksesuaian tersebut (Katzung, 2010).
c.
Insulin Yang Bekerja Dengan Kecepatan Sedang
Insulin kerja-sedang diformulasikan agar dapat larut secara berangsur-
angsur jika diberikan secara subkutan, dengan demikian durasi kerjanya menjadi
lebih lama. Dua sediaan yang paling sering digunakan ialah insuli neutral
protamin hagedorn (NPH) (yakni suspensi insulin isophane) dan insulin lente
(suspensi zink insulin). Insulin NPH adalah suspensi insulin dalam bentuk
kompleks dengan zink dan protamin dalam bufer fosfat. Insulin lente adalah
campuran bentuk insulin kristal (ultra lente) dan bentuk amorf semi lente dalam
bufer asetat, yang meminimalkan kelarutan insulin. Sifat farkokinetik insulin
manusia kerja-sedang sedikit berbada dengan sediaan insulin babi. Insulin
manusia memiliki onset kerja yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih singkat
dibandingkan insulin babi. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan sifat alami
insulin manusia yang lebih hidrofobik, atau mungkin insulin manusia dan babi
berinteraksi secara berbeda dengan protamin dan kristal zink. Perbedaan ini dapat
menimbulkan masalah pada penentuan waktu terapi malam hari; sediaan insulin
manusia yang diberikan sebelum makan malam mungkin tidak memiliki durasi
kerja yang cukup untuk mencegah hiperglikemia pada pagi harinya. Penting
dicatat ridak ada bukti insulin lente atau NPH memiliki efek farmakodinamik
yang berbeda jika digunakan dalam kombinasi dengan insulin regular (larut) pada
regimen dosis 2 kali sehari.
Insulin kerja-sedang umumnya diberikan 1 kali sehari sebelum sarapan
atau dua kali sehari. Pada pasien DM tipe 2, insulin kerja-sedang yang diberikan
sebelum tidu dapat membantu menormalkan kadar glukosa puasa. Jika insulin
lente dicampur dengan insulin reguler, sebagian insulin reguler dapat membentuk
kompleks dengan protamin atau Zn2+ setelah beberapa jam, dan hal ini dapat
mempoerlambat absorbsi insulin kerja cepat. Insuilin NPH tidak memperlambat
kerja insulin reguler jika keduanya dicampurkan secara kuat oleh pasien tersebut
atau jika tersedia secara komersial dalam bentuk campuran.
d.
Insulin yang Bekerja Lama
Insulin kerja panjang tradisional (Ultralente) mempunyai masa kerja lebih
dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal-bolus. Profi l kejanya
pada diabetisi anak sangat bervariasi, dengan efek akumulasi dosis; oleh karena
itu penggunaan analog insulin basal mempunyai keunggulan dibandingkan
ultralente (World Diabetes Foundation, 2009)
2.
Reaksi Merugikan
a.
Hipoglikemia
Reaksi merugikan insulin yang paling umum adalah hipoglikemia. Hal ini
dapat terjadi karena pemberian dosis besar yang tidak tepat, ketidaksamaan antara
waktu puncak penghantaran insulin dan asupan makanan, atau tumpang tindih
faktor-faktor tambahan yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin
(insufisiensi adrenal: insufisiensi hipofisis) atau faktor lain yang meningkatkan
ambilan glukosa tak bergantung insulin (seperti olahraga). Semakin giat upaya
euglikemia, semakin sering terjadi episode hipoglikemia. Dalam diabetes control
complication trial, insiden reaksi hipoglikemia yang parah tiga kali lebih tinggi
pada kelompok terapi insentif insulin daripada kelompok terapi konvensional.
Episode hipoglikemia yang ringan tetapi signifikan jauh lebih umum terjadi
daripada reaksi yang parah, dan frekuensi juga meningkat seiring dengan terapi
intensif. Hipoglikemia merupakan resiko utama yang harus dipertimbangkan
terhadap setiap manfaat terapi intensif.
b.
Alergi dan Resistensi Insulin
Walaupun insiden resistensi dan reaksi alergi terhadap insulin karena
penggunaan insulin manusia atau sediaan insulin yang kemurniannya tinggi
menurun secara drastis, reaksi-reaksi tersebut masih dapat terjadi sebagai reaksi
terhadap salah satu komponen yang ditambahkan ke formulasi insulin (protamin,
Zn2+, fenol, dll). Manifestasi alergi yang paling sering adalah reaksi kulit lokal
yang diperantarai-IgE, walaupun jarang terjadi, pasien dapat mengalami respons
sistemik yang mengancam jiwa atau resistensi insulin akibat antibodi IgG.
Berbagai upaya harus dilakukan untuk mencari penyebab respon hipersensitivitas
dengan cara mengukur antibodi IgG dan IgE spesifik-insulin.
c.
Lipoatrofi dan Lipohipertrofi
Atrofi
lemak
subkutan
pada
tempat
injeksi
insulin
(lipoatrofi)
kemungkinan merupakansuatu varian respon imun terhadap insulin, sedangkan
lipohipertrofi (perbesaran depo lemak subkutan) dianggap sebagai kerja lipogenik
konsentrasi insulin lokal yang tinggi. Kedua masalah ini mungkin terkait dengan
beberapa kontaminan di dalam insulin; hal ini jarang terjadi pada insulin yang
lebih murni. Namun, hipertrofi sering terjadi pada pemakaian inssulin manusia
jika pasien menginjeksi diri sendiri secara berulang-ulang di tempat yang sama.
Jika masalah-masalah ini terjadi, dapat menyebabkan absorbsi insulin yang tidak
teratur seperti pada masalah kosmetik. Pengobatan yang dianjurkan adalah
menghindari daerah hipertrofi dengan menggunakan tempat injeksi lain, dan
menginjeksi insulin ke bagian perifer atrofi sebagai usaha untuk memperbaiki
jaringan adiposa subkutan.
d.
Edema Insulin
Beberapa tingkat edema,eprut kembung, danpenglihatan kaburterjadi pada
banyak pasien diabetes dengan hiperglikemia parah atau ketoasidosis yangmuncul
di bawah kendali insulin. Hal ini dikaitkan dengan bertambahnya berat badan 0,5
sampai 2,5 kg. Edema ciasanya menghilang secara spontan dalam beberapa hari
hinggaseminggu jkecuali jika terdapat penyakit jantung atau ginjal. Edema
terutama disebabkan oleh retensi Na+, walaupun meningkatnya permeabilitas
kapiler menyebabkan tidak cukupnya kontrol metabolisme juga mungkin ikut
berperan.
(Goodman & Gilman’s, 2007)
2.2.2
Obat Antidiabetik Oral
a.
Golongan Sulfonilurea
Beberapa derivat sulfonilurea lebih dipakai dalam terapi, semua pada
dasarnya mempunyai mekanisme kerja yang sama. Obat ini hanya berbeda dalam
hal potensi serta farmakokinetik yang mendasari perbedaan masa kerja.
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian sulfonilurea
disebabkan olehperangsangan sekresi insulin di pankreas. Sifat perangsangan iini
berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat
hiperglikemia gagal merangsang sekresi insulin dalam jumlah yang mencukupi,
obat-obat tersebut masih mampu merangsang sekresi insulin. Itulah sebabnya
mengapa obat-obat ini sangat bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang
pankreasnya masih mampu memproduksi insulin. Pada penderita dengan
kerusakan sel-β pulau Langerhans pemberian obat derivat sulfonilurea tidak
bermanfaat
(UI, 2005)
Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk: (1) merangsang pelepasan insulin
dari sel-β pankreas, (2) mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan (3)
meningkatkan peningkatam insulin pada jaringan target dan reseptor. Obat-obat
utama yang sekarang digunakan adalah tolbutamid [tole BYOO ta mide], dan
turunan generasi kedua, gliburid [GLYE byoor ide] dan glipizid [GLIP izide].
Diberikan per-oral, obat-obat ini terikat pada protein serum, dimetabolisme oleh
hati, dan diekresikan oleh hati atau ginjal. Kontraindikasi pemakaian obat-obat ini
adalah pada pasien sufisiensi hati atau ginjal, karena ekskresi obat tersebut
terlambat, mengakibatkan akumulasi, dan dapat menimbulkan hipoglikemia.
Kerusakan ginjal merupakan masalah utama keadaan dengan obat dimetabolisme
menjadi senyawa aktif. Sulfonilurea dapat menembus plasenta dan dapat
mengosongkan insulin dari pankreas janin; karena itu, perempuan hamil dengan
NIDDM
seharusnya
diobati
dengan
menggunakan
insulin.
[catatan:
Asetoheksamid [a seat oh HEX a mide], dan tolazamid [ tole AZ a mide] sekarang
jarang digunakan. Klopropamid [klor PROE pa mide] seharusnys dihindari
pemakaiannya pada orang tua. Efeknya berlangsung sangat lama dan dalam grup
obat ini, insidens efek sampingnya paling tinggi, menyebabkan hiponatremia,
hipoglikemia, dan jika diberikan bersama dengan alkohol, timbul reaksi
disulfiram dan hipotensi] (Mary, 2004)
Absorbsi drivat sulfonilurea baik melalui usus, sehingga dapat diberikan
per oral. Setelah diabsorbsi, obat ini disebar keseluruh cairan ekstra sel. Dalam
plasma sebagian terikat pada protein plasma terutama albumin (70%-90%).
Mula kerja serta farmakokinetiknya berbeda-beda untuk setiap sediaan.
Mula kerja Tolbutamid cepat dan kadar maksimal dicapai dalam 3-5 jam. Dalam
darah Tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi
karboksitolbutamid dan diekresikan melalui ginjal. Asetoheksamid di dalam tubuh
cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma hanya ½-2 jam.
Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksiheksamid yang ternyata
lebih kuat efek hipoglikemiknya daripada asetoheksamid sendiri.selain itu 1hidroksiheksamid juga menunjukan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5
jam, sehingga efek asetoheksamid lebih panjang dibanding tolbutamid. Kira-kira
10% dari metabolisme asetoheksamid diekskresi melalu empedu dan dikeluarkan
bersama tinja.
(Goodma & Gilman’s, 2007)
b.
Golongan Inhibitor a-glikosidase
Baru-baru ini, akarbose telah disetujui pemakaiannya per-oral sebagai obat
aktif pada pengobatan penderita NIDDM dan sebagai tambahan yang
memungkinkan dengan insulin pada IDDM. Akarbose menghambat α-glukosidase
pada vili-vili usus (intestinal brush border) sehingga menurunkan absorbsi strch
dan disakarida. Akibatnya, gula darah setelah makan meningkat tumpul. Tidak
seperti obat hipoglikemik oral lainnya, akarbose tidak merangsang pelepasan
insulin dari pankreas ataupun meningkatkan kerja insulin di jaringan parifer. Jadi,
akarbose tidak menyebabkan hipoglikemik. Obat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi pada penderita yang dikontrol dengan diet atau kombinasi dengan
obat hipoglikemik oral, atau dengan insulin. Absorbsinya sangat sedikit dan efek
samping utama adalah perut kembung, diare, dan kram abdominal (Mary, 2004).
c.
Golongan Biguanid
Metformin [MET for min] sekarang tersedia di Amerika Serikat. Biguanid
berbeda dengan sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin. Resiko
hipoglikemia lebih kecil daripada obat-obat sulfonilurea. Metformin mungkin
digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan sulfonilurea. Metformin bekerja
terutama dengan jalan mengurangi pengeluran glukosa hati, sebagian besar
dengan menghambat glukoneogenesis. Efek yang sangat penting adalah
kemampuannya untuk mengurangi hiperlipidemia (konsentrasi kolesterol LDL
dan VDL menurun dan kolesterol HDL meningkat). Pasien sering kehilangan
berat badan. Metformin dipertimbangkan oleh beberapa ahli sebagai obat pilihan
baru untuk penderita diabetes tipe II. Metformin mudah diabsorbsi per-oral, tidak
terikat dengan protein serum dan tidak dimetabolisme. Sangat jarang
menimbulkan asidosis laktat yang fatal. [catatan; fenformin, obat hipoglikemi
biguanida terdahulu, ditarik karena alasan ini]. Penggunaan jangka panjang dapat
mempengaruhi absorbsi vitamin B12. Kontraindikasi pemakaian obat ini pada
insufisiensi ginjal dan hati (Mary, 2004)
d.
Golongan Meglitinid
Meglitinid merupakan suatu kelas insulin secetagogue yang relatif baru.
Repaglinid, yaitu anggota pertama kelas obat tersebut, disetujui untuk digunakan
secara klinis pada tahun 1998. Obat ini memodulasi pelepasan insulin dari sel β
dengan mengatur efluks kalium melalui kanal kalium yang dibahas sebelumnya.
Terdapat tumpang tindih tempat kerja molekulnya dengan sulfonilurea karena
meglitinid memiliki dua tempat pengikatan yang berbeda.
Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan konsentrasi
puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah ditelan, namun lama
kerjanya 5-8 jam. Obat ini dimetabolisme oleh CYP3A4 di hati dengan waktu
paruh dalam plasma selama 1 jam. Karena onsetnya yang cepat, penggunaan
repaglinid diindikasikan untuk mengendalikan lonjakan kadar glukosa setelah
makan. Obat ini seharusnya ditelan sesaat sebelum makan dengan dosis sebesar
0,25-4 mg (maksimum, 16 mg/hari); hipoglikemia berisiko timbul jika pasien
terlambat makan atau melewatkan makan atau terdapat sedikit karbohidrat dalam
makanan tersebut. Obat ini harus digunakan secarahati-hati pada individu dengan
gangguan ginjal dan hati. Repaglinid dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dikombinasikan dengan biguanid. Tidak terdapat sulfur dalam struktur obat ini
sehingga repaglinid dapat digunakan pada pasien diabetes tipe 2 yang alergi
terhadap sulfonilurea atau sulfur (Katzung, 2007).
e.
Golongan Thiazolidindion
Tiazolidindion (Tzd) bekerja dengan menurunkan resistensi insulin. Kerja
utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam metabolisme lipid dan
glukosa dan diferensiasi adiposit. Tzd merupakan ligan peroxisome proliferatoractivated receptor-gamma (PPAR-γ), yaitu bagian dari superfamili steroid dan
tiroid di reseptor inti. Reseptor PPAR ini ditemukan di otot, lemak, dan hati.
Reseptor PPAR-γ bersifat kompleks dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat
dalam metabolisme glukosa dan lipid, transduksi sinyal insuli, dan diferensiasi
adiposit dan jaringan lainnya. Tzd yang tersedia tidak memiliki efek klinis yang
identik, dan pengembangan obat baru akan berfokus pada penentuan efek PPAR
dan perancangan ligan yang bekerja secara selektif-seperti modulator reseptor
esterogen yang selektif
Selain bekerja pada adiposit, monosit, dan hepatosit, Tzd juga memiliki
efek yang bermakna terhadap endotel vaskular, sistem imun, ovarium, dan sel
tumor. Sebagian respon tersebut mungkin tidak bergantung pada jalur PPAR-γ.
(Katzung, 2007)
2.3
Terapi Nonfarmakologi
1.
Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a.
Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b.
Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c.
Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d.
Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus,
yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang
optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β
terhadap stimulus glukosa
Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makanan masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makanan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurunan glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan
dan kebutuhan kalori yang dianjurkan terdiri dari:
Komposisi makan :
a.
Karbohidrat :
1.
Dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi
2.
Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
3.
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi
4.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi
5.
Pemanis alternatif digunakan sebagai pengganti gula
6.
Makan 3 kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari.
b.
Lemak :
1.
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak
diperkenankan > 30% total asupan energi
2.
Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
3.
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
c.
Protein :
1.
Distribusikan 10-20% total asupan energi
2.
Sumber protein yang baik adalah makan laut (ikan, udang, cumi, dll),
daging tanpak lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe.
d.
Natrium :
1.
Asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 300 mg atau sama dengan 6-7g
garam dapur.
2.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
a.
Serat :
Anjuran konsumsi serat adalah ±25 g/1000 kkal/perhari
2.
Olah raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal
dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ±30 menit
yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki,
jogging, lari, renang, bersepeda dan mendayung.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani adalah memulai
olahraga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, harus didampingi oleh orang
yang tahu mengatasi serangan hipoglikemi, harus selalu membawa permanen dan
memeriksa kaki secara cermat setelah olahraga.
2.4
Perilaku
Perilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan. Jadi perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari manusia itu
sendiri. Ada 2 hal yang dapat mempengaruhi perilaku yaitu faktor genetik
(keturunan) dan lingkungan. Faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar
atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya.
Lingkungan adalah kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku
tersebut.
Perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatannya. Cara yang digunkan sangat beragam bisa dengan
menjaga kebersihan diri,melakukan olah raga untuk menjaga kebugaran
tubuh,maupun dengan makan makanan yang bergizi. Perilaku sehat ini terkait
akan tindakan dan kebiasaan yang dilakukan individu dalam menjaga kesehatan.
Bloom (1908) membagi perilaku ke dalam 3 domain namun tidak
mempunyai batasan yang jelas dan tegas yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan:
1.
Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman
seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap suatu rangsangan tertentu.
Pengetahuan tau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Kedalaman pengetahuan yang
diperoleh seeorang terhadap suatu rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan
enam tingkatan, yakni:
a.
Tahu (know)
Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Oleh karena itu, tahu merupakan tingkatan pengalaman yang paling rendah.
b.
Memahami (comprehension)
Merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang
diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari.
c.
Aplikasi (application)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
dan kondisi yang sebenarnya.
d.
Analisis (analysis)
Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam
komponenkomponen, dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.
e.
Sintesis (synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f.
Evaluasi (evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2007).
2.
Sikap
Merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus
ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang tertutup.
Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005),
sikap mempunyai tiga komponen pokok, yakni:
a.
Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
b.
Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu konsep
c.
Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, antara lain :
a.
Menerima (receiving)
Mau dan memperhatikan stimulus atau objek yang diberikan.
b.
Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan.
c.
Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan masalah.
d.
Bertanggung jawab (responsible)
Mempunyai tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dipilihnya
dengan segala resiko..
3.
Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan
atas beberapa tingkatan :
a.
Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b.
Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatau sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah merupakan indicator raktek tingkat dua.
c.
Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktek tingkat tiga.
d.
Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik.
(Notoadmojo,2003)
2.4.1 Perubahan Perilaku
Membantu pasien mengubah perilaku adalah peran penting bagi tenaga
medis dan keluarga. Perubahan perilaku sangat berguna dalam mengatsi
modifikasi gaya hidup untuk pencegahan penyakit dan manajemen penyakit
jangka panjang. Konsep “ketidakpatuhan pasien” dan motivasi sering fokus pada
kegagalan pasien. Memahami kesiapan pasien untuk melakukan perubahan,
menghargai hambatan untuk mengubah dan membantu pasien mengantisispasi
kekambuhan dapat meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien. Tenaga medis
harus mengingat bahwa perubahan prilaku jarang terjadi. Pada umumnya tenaga
medis mengamati perilaku pasien setelah mengalami penurunan yang buruk
dalam kesehatan pasien. Tahapan perubahan perilaku dibagi menjadi 5 tahapan,
yaitu:
a.
Precontemplation stage
Selama tahap precontemplation, pasien bahkan tidak menyadari dan tidak
mempertimbangkan adanya perubahan untuk perbaikan penyakit yang dialaminya,
contohnya pada pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi mungkin merasa tidak
peduli terhadap masalah-masalah kesehatan.
b.
Contemplation Stage
Selama tahap contemlation, pasien mulai memikirkan tentang perubahan
dalam hidupnya. Perilaku menyerah menyebabkan mereka merasa memperparah
penyakitnya tetapi pada tahap ini pasien memiliki hambatan seperti waktu, biaya,
kerumitan dan kekuatan.
c.
Preparation Stage
Selama tahap preparation, pasien mempersiapkan diri untuk melakukan
perubahan tertentu. Mereka mungkin bereksperimen dengan perubahan kecil dan
kemauan untuk dapat melakukan perubahan sangatlah besar dengan adanya
dorongan dari orang lain. Contohnya, pasien mulai memilih makanan
rendahlemak untuk memodifikasi pola makan atau menurunkan frekuensi
untukkonsumsi alkohol.
d.
Action Stage
Action Stage adalah salah satu tahap yang tenaga medis harapkan,. Pada
tahap ini pasien mengubah prilaku mereka dengan kesadaran sendiri bahwa hal
tersebut perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Setiap
tindakan yang diambil oleh pasien harus dipuji karena menunjukan keinginan
untuk perubahan gaya hidup.
e.
Maintenance and relaps prevention
Pada tahap pemeliharaan dan pencegahanpasien membutuhkan waktu yang
cukup panjang untuk sampai pada tahap ini. Kekecewaan dalam melakukan
perubahan untuk mencapai tahap ini mungkin sesekali terjadi dan dapat
menghentikan proses perubahan dan membuat pasien menyerah. Namun, setelah
melewati keempat tahap sebelumnya kebanyakan pasien tetap berada pada tahap
ini walaupun membutuhkan waktu lama.
(Zimmerman, et al, 2000)
2.5
Leaflet
Hasil optimal dalam manajemen suatu penyakit didukung pengaturan gaya
hidup oleh pasien sendiri. Komponen manajemen diri termasuk kepatuhan seharihari dan kepatuhan jangka panjang untuk modifikasi gaya hidup dan
farmakoterapi, serta mempertahankan pemantauan dan tindak lanjut organisasi
kesehatan ditantang dengan pengembangan dan implementasi strategi biaya yang
efektif untuk meningkatkan kontrol hipertensi pada populasi pasien yang besar.
Menyadari bahwa pengetahuan pasien dan motivasi yang penting bagi manajemen
diri, strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat harus termasuk
peningkatan komponen pendidikan pasien (Hunt, 2004)
Berbagai alat bantu pengajaran tersedia untuk digunakan dalam
memberikan pendidikan kepada pasien. Pemilihan alat bantu yang tepat
bergantung pada metode instruksional yang dipilih. Alat bantu pengajaran antara
lain: materi cetak, merupakan alat bantu pengajaran tertulis yang tersedia seperti
booklet, leaflet, dan pamflet. Materi dalam materi cetak harus dapat dibaca
dengan mudah oleh peserta didik, informasi harus akurat dan aktual, metode yang
digunakan harus metode yang ideal untuk memahami konsep hubungan yang
kompleks, gambar atau foto, kedua media ini lebih disukai daripada diagram
karena lebih secara akurat menunjukan detail dan benda yang sesungguhnya.
Gambaran memperlihatkan detail dalam objek nyata, objek fisik, penggunaan
perlengkapan objek atau model yang dapat dimanipulasi dari hasil kreatifitas atau
kerajinan (Potter, 2005)
2.6
Kuisioner
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau
hal-hal yang diketahui (Suharsimi Arikunto, 2002:128).
Kuesioner bertujuan untuk mengetahui informasi mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi. Untuk
mengetahui apakah kuesioner “valid” dan “reliable” dilakukan uji validitas dan
reliabilitas
1.
Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur. Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini
menggunakan program komputer dengan uji pearson product moment, dimana
hasil akhirnya (r hitung) dibandingkan dengan r tabel yang dapat dilihat pada tabel
nilai rproduct moment. Suatu instrumen dikatakan valid jika r yang didapatkan
dari hasil pengukuran item soal (r hasil) >r tabel (0,361), r tabel didapatkan dari r
pearson product moment dengan = 5%.
2.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan untuk digunakan berkali-kali.
Penentuanreliabilitas instrumen, hasil uji coba ditabulasi dalam tabel dan analisis
data dicari varian tiap item kemudian dijumlahkan menjadi varian total. Instrumen
dikatakan realibel dan dapat digunakan sebagai alat untuk pengumpulan data jika
r yang didapatkan > r (0,6), dengan r sebesar 0,6.
( Notoatmodjo, 2010)
2.7
Profil Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang merupakan instrumen
masyarakat. Rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi
yang menggabungkan bersama-sama semua profesi kesehatan,fasilitas diagnostik
dan terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem
terkoordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
(siregar, 2004)
Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Sjahranie adalah milik pemerintah
Daerah Kalimantan Timur Status kelas B berlaku sejak Tahun 1993 dengan SK
Menkes No:1161/Menkes/ SK/XII/1993 dan ditetapkan di Jakarta tanggal 15
Desember 1993. Rumah sakit ini terletak di Jalan Palang Merah Indonesia,
Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda. Sejak tahun 1999 Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie berstatus sebagai unit swadana daerah,
dan melaksanakan manajemen Revolving Fund System untuk obat-obatan dan
bahan pakai habis serta makanan. Visi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab
Sjahrnie adalah menjadi rumah sakit rujukan pelayanan kesehatan, pendidikan dan
penelitianterbaik di kalimantan. Misi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab
Sjahranie adalah Menyiapkan dan mengembangkan sember daya manusia,
Melengkapi sarana dan prasarana, Memberi pelayanan prima serta meningkatkan
kesejahteraan pegawai (anonim,2010).
Download