BAB I Menggulirkan Wacana Pembatasan Kepemilikan

advertisement
BAB I
Menggulirkan Wacana Pembatasan Kepemilikan Tanah bagi Warga
Keturunan China di Yogyakarta
A. Latar Belakang
Penelitian ini hendak mencari tahu upaya warga keturunan China di
Yogyakarta dalam mengakses haknya atas tanah. Daerah Istimewa Yogyakarta
memberlakukan pelarangan hak atas tanah berupa Hak Milik bagi warga
keturunan China. Hal ini berdasarkan pada Surat Instruksi Gubernur No.
K.898/I/A/1975. Dengan instruksi tersebut Pemerintah Daerah ingin melindungi
hak warga pribumi atas tanah dari penguasaan besar-besaran oleh non-pribumi
yang dianggap lebih kuat secara finansial. Mereka hanya berhak atas Hak Guna
Bangunan yang dapat diperpanjang setiap 20 tahun sekali.
Biarpun hanya berupa Instruksi Gubernur, nyatanya aturan pembatasan
kepemilikan tanah bagi warga keturunan China tersebut masih berlaku dan
memiliki daya ikat. Padahal melalui Undang-undang Pokok Agraria 1960 hak
setiap warga negara atas tanah telah dijamin sepenuhnya tanpa membedakan ras
atau kesukuan. Begitu juga dengan Undang-undang Kewarganegaraan 2006 yang
telah menghapuskan dikotomi pribumi dan bukan pribumi. Dilihat dari kacamata
hukum, Instruksi Gubernur 1975 seharusnya batal demi hukum. Posisinya sangat
lemah bila dibandingkan dengan aturan perundang-undangan lainnya yang
mengatur pertanahan.
1
Urusan pertanahan menjadi salah satu hal istimewa yang (turut) disahkan
dalam Undang-undang Keistimewaan DIY 2012. UUK memberi ketegasan posisi
Kraton sebagai badan hukum yang berhak mengatur hal-hal keistimewaannya.
UUK mengembalikan “kedaulatan” DIY. Kini DIY berhak mengatur perihal
keistimewaannya secara penuh dan lengkap. Pun mengatur kepemilikan hak atas
tanah bagi warga keturunan yang menghuni Kota Budaya ini.
Sebagai yang istimewa, Yogyakarta merasa perlu melindungi hak-hak
pribumi atas tanah dari penguasaan masif oleh warga keturunan yang dianggap
lebih kuat secara finansial. Tetapi konsep melindungi itu perlu kembali ditinjau
ketika beberapa kasus pertanahan mulai muncul ke permukaan. Berbekal UUK
Kraton sedang giat menginventarisir kembali semua pertanahan di Yogyakarta.
Menurutnya, semua tanah-tanah tidak bersertifikat (tidak bertuan) adalah milik
Kraton.
Masyarakat petani pesisir Kulon Progo masih terus mencangkul dengan
perasaan cemas. Bagaimana tidak? Tanah pasir yang selama puluhan tahun secara
turun–temurun diolahnya menjadi lahan produktif penghasil hortikultura, hendak
diambil pemerintah atas nama Kraton dan Pakualaman. Mereka sangat berminat
menambang kandungan mineral pasir besi yang terkandung sejak mengetahuinya.
Masyarakat petani melakukan perlawanannya dengan terus bertanam, biarpun
UUK semakin menguatkan posisi Kraton dan Pakualaman atas tanah.
Medio 2013 juga pernah memotret pengusiran warga pribumi di tanah
magersari. Mereka terdiri dari lima keluarga yang diusir dari pemukimannya
selama ini karena tidak mengantongi ijin meminjam dari Kraton. Bekas
2
pemukiman yang mereka tinggali kini dipinjamkan kepada pengusaha keturunan
China oleh Kraton melalui Panitikismo.
Melihat kedua realitas di atas, masihkah instruksi 1975 relevan disebut
sebagai pelindung hak-hak pribumi atas tanah di Yogyakarta? Ataukah tersebut
justru sebuah indikasi bahwa warga keturunan hanya dijadikan buffer politik atas
elit dalam menguasai dan mengelola pertanahan di Yogyakarta? Maka, persoalan
agraria hendaknya dikelola secara tepat. Terlebih lagi di wilayah ini karena
masyarakat masih mengakui eksistensi Kraton dan Pakualaman.
Sejak status kepemilikannya, penguasaan, dan pengelolaan, urusan tanah
bukanlah perkara mudah. Mengingat semua kehidupan terjadi di atasnya dan
semua makhluk pasti menggantungkan kehidupan dari kekayaan yang terkandung
dalam tanah. Bahasan agraria tidak akan pernah selesai dimakan zaman. Agraria
adalah persoalan hidup dan mati bagi siapapun yang tinggal di atasnya. Meskipun
hanya tanah, benda ini tidak berarti apa-apa tanpa aktivitas kerja manusia di
atasnya. Tetapi luasnya tidak pernah menjangkau hasrat manusia untuk memiliki,
justru sebaliknya. Demi tanah, jamak kita saksikan air mata bahkan nyawa
menjadi taruhannya. Maka itu penguasaannya selalu merupakan hal yang rumit
karena menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi, demografi, hukum, politik,
dan sosial (Wiradi : 2008).
Aspek ekonomi menyebut tanah sebagai faktor produksi yang memberi
manfaat bagi kehidupan manusia. Namun perbandingannya tidak pernah setara
dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan luasnya tetap; tidak bertambah,
maka
membawanya
pada
persoalan
demografi.
Sedangkan
pengaturan
3
kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaannya membutuhkan aspek hukum yang
membuatkan kerangka hak dan kewajiban penduduk atas keberadaan tanah
tersebut. Lalu untuk memastikan semua berjalan dengan baik sesuai hak dan
kewajibannya, di sini diperlukan kehadiran aspek politik yang memiliki daya
paksa (wewenang) untuk mengatur semuanya berjalan seperti yang diharapkan.
Lantas terjadilah hubungan sosial antara manusia-manusia yang mengambil
manfaat dan kelompok-kelompok yang mengatur pertanahan. Persinggungan
itulah yang akan menjelaskan makna sosial dalam hal ini (Wiradi : 2008).
Pembatasan hak memiliki tanah tersebut sebetulnya diberlakukan bagi
semua warga keturunan baik China, India, atau Arab yang bermukim dan mencari
penghidupan di Yogyakarta. Sedangkan penelitian ini hanya akan mengulik
pergulatan warga keturunan etnis China atas tanah. Dibandingkan etnis lainnya,
etnis China lebih menunjukkan proses adaptasi yang unik, alot, canggih, hingga
kadang serba salah. Menurut Schwartz (1994) dalam Ubed Abdilah, etnis China
hanya merupakan sebagian kecil saja (4%) dari total penduduk Indonesia namun
mampu menguasai sekitar 70% aktivitas ekonomi Indonesia. Jumlahnya minoritas
namun mampu menguasai perekonomian Indonesia hingga memicu kecemburuan
sosial.
Pada periode 1998 Indonesia mengalami fase transisi rezim dari Orde Baru
yang bergaya diktator beralih pada reformasi. Banyak kerusuhan mewarnai
pergantian rezim saat itu. Di Jakarta, etnis China menjadi sasaran amukan massa
sebagai pelampiasan amarah terhadap Orde Baru yang dianggap menganakemaskan golongan China (di sektor perekonomian). Sikap istimewa ini berawal
4
dari pemberian hak-hak istimewa berupa penyediaan barang-barang kebutuhan
tentara oleh Soeharto kepada rekannya seorang China, Liem Sioe Liong (Abdilah.
S. : 2002). Bahkan kerusuhan serupa juga terjadi sampai di Solo. Hebatnya,
kerusuhan itu tidak menjalar hingga Yogyakarta. Padahal jarak keduanya
berdekatan. Hal ini disebut-sebut ada campur tangan Sultan Hamengku Buwono
X dalam melindungi seluruh masyarakatnya.
Hubungan Kraton dengan warga etnis China boleh dibilang harmonis.
Sebelum masa kemerdekaan warga etnis China pernah menganugerahi sebuah
prasasti untuk Kraton atas pengayoman kepada masyarakatnya yang juga
dirasakan mereka saat itu. Tindakan itu merupakan ungkapan terima kasih kepada
Sultan yang telah mengayomi mereka di perantauan ini. Oleh kebijakan Sultan
mereka diberi tempat permukiman yang sekarang kita kenal sebagai kampungkampung pecinan Yogyakarta, antara lain Ketandan Malioboro dan Jalan Solo.
Tanah-tanah Kraton banyak dimanfaatkan untuk kegiatan sosial dan
menyelenggarakan pemerintahan nasional. Pembangunan Gedung Agung,
Benteng Vredeburg, kantor-kantor pemerintahan, dan beberapa universitas di
Yogyakarta misalnya, dibangun di atas tanah Kraton. Setiap bangunan tersebut
boleh berada di tanah-tanah milik Sultan karena kegiatannya bertujuan untuk
kemajuan sosial, pengembangan ilmu, dan kemaslahatan umat.
Bila melihat kondisi wilayah geografisnya, Yogyakarta cukup kering akan
sumber daya alam. Tapi sejauh ini masyarakatnya berada dalam kehidupan yang
ayem. Jarang terjadi perselisihan antarwarga karena memperebutkan sesuatu hal.
Selama ini tempat wisata bersejarah, pendidikan, dan kuliner menjadi daya tarik
5
utama bagi Yogyakarta yang menyandang Kota Budaya dan Pelajar. Namun,
komoditi itu tidak menjadi persoalan besar bagi masyarakat. Seolah-olah
masyarakat sudah paham hak bagian masing-masing. Ketentraman yang muncul
tentu tak luput dari peran Sultan sebagai pengayom dan yang disegani masyarakat.
Tanah sebagai modal utama produksi telah dipegang oleh Sultan sehingga
masyarakat terjaga kepemilikannya.
Oleh karena itu penelitian ini tidak akan memisahkan kekuasaan Gubernur
dan Sultan sebagai pemegang kuasa politis dari lembaga budaya sekaligus
pemerintahan di Yogyakarta. Memisahkan kedudukan kedua posisi politik ini
bukanlah perkara mudah atau bahkan hal yang mustahil. Begitupun memisahkan
kepentingan di balik motif keluarnya instruksi tersebut. Meskipun kedua jabatan
yang melekat pada satu subjek ini mampu dipisahkan secara seksama dalam
keterkaitannya dengan tanah maka penulis mengira tetap akan terjadi satu
keberpihakan yang sama atas penguasaan tanah, yakni milik Raja (Kraton).
Penguasaan tanah di sini sangat erat hubungannya dengan pengaturan tanah oleh
Kraton, mengingat perolehannya pada masa dahulu yang merupakan milik Raja
(Kraton) atas hasil perang.
Sebelumnya, penelitian terkait pembatasan kepemilikan tanah bagi warga
keturunan China di Yogyakarta pernah dilakukan oleh Satrio Yudharianto,
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM 2010. Penelitian itu melihat
konstruksi hukum Instruksi 1975 dengan aturan perundangan lainnya yakni
Undang-undang Pokok Agraria 1960 dan Undang-undang Kewarganegaraan
2006. Dalam tesisnya Ia menyimpulkan bahwa bila dilihat dari konstruksi hukum,
6
instruksi 1975 selayaknya tidak lagi diberlakukan karena menyalahi azas hukum
(lex superiori derogat legi inferiori) peraturan hukum yang lebih tinggi
kedudukannya
mengalahkan
peraturan
hukum
yang
lebih
rendah.
Keberlangsungan instruksi 1975 hingga saat ini dianggap sebagai bentuk kearifan
lokal Pemerintah Daerah dan Kraton. Keduanya bermaksud melindungi hak warga
pribumi atas tanah dari penguasaan oleh warga keturunan China yang dianggap
lebih kuat secara finansial.
UUK mungkin saja merupakan potret Yogyakarta yang bergejolak
menuntut penegasan identitas “ke-akuan” yang ingin kembali dimiliki daerah
kecil ini. Tahta istimewa yang pernah diberikan kepada rakyatnya ingin kembali
diraih bersama meluasnya konsep Otonomi Daerah.
Melihat realitas di atas, penelitian ini menjanjikan paparan tulisan menarik
terkait usaha warga keturunan China dalam memenuhi haknya atas tanah di
Yogyakarta. Sebelumnya akan sedikit dicari tahu bagaimana etnis China
diposisikan sebagai buffer politik dari setiap rezim pemerintahan Indonesia. Selain
karena ketertarikan penulis terhadap tempat kelahirannya yang ternyata
menyimpan teka-teki bagi tetangganya yang “lain.” Oleh karena semua itu, topik
ini diangkat.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang diambilah sebuah rumusan masalah seperti
berikut ini:
7
“Bagaimana siasat yang dilakukan warga keturunan China dalam memiliki
hak atas tanah berupa Hak Milik di Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui bagaimana warga keturunan China mengakses haknya atas
tanah di Kota Yogyakarta.
2) Mengetahui kuasa Kraton atas tanah-tanah di Yogyakarta melalui
kebijakan pertanahan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah.
3) Mengetahui sebab dibatasinya hak warga keturunan atas tanah di Kota
Yogyakarta.
D. Kerangka Teori
D.1. Kraton dan Elit Kraton dalam Konsep Berbangsa Negara
Republik Indonesia
Kraton merupakan entitas lengkap bagi masyarakat Yogyakarta. Sebelum
bergabung dengan NKRI, Yogyakarta merupakan kerajaan lengkap dengan
atributnya. Setelah bergabung dengan NKRI lembaga ini masih eksis karena
penghormatan masyarakatnya, terlebih lagi masyarakat yang fanatik terhadap
Kraton.
UUK resmi disahkan pada 2012. Yogyakarta kini memiliki legitimasi atas
keistimewaan yang seperti dibayangkan. Ada beberapa hal yang menjadi bagian
keistimewaan Yogyakarta, diantaranya urusan pertanahan. Pada Bab X dinyatakan
bahwa “kembali” Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman memiliki hak milik atas
8
tanah-tanah Kasultanan dan Kadipaten dengan dikukuhkannya keduanya menjadi
badan hukum (subjek hak milik) atas tanah.
Bila kita menengok Kepres Tahun 1984 yang memberlakukan UUPA
1960 sepenuhnya di Yogyakarta, maka sudah sepatutnya kedua jenis tanah SG
dan PAG lebur menjadi tanah negara. Segala aturan pertanahan di Yogyakarta
sewajarnya pun mengikuti aturan nasional (dengan UUPA). Seperti disebutkan
dalam Diktum UUPA huruf A bahwa “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas
bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu
mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.”
Munculnya Kepres Tahun 1984 tidak lain adalah inisiatif Sultan HB IX
yang saat itu juga kontroversial, karena dianggap menyerahkan kedaulatan
kerajaan pada negara yang bahkan baru lahir. Namun juga hal tersebut yang
menimbulkan simpati masyarakat dan sejumlah negarawan lainnya yang
menganggap hal itu merupakan suatu kebijaksanaan Sultan HB IX demi
kesejahteraan rakyatnya. Dengan inisiatif Sultan HB IX maka kebijaksanaannya
ditanggapi baik oleh Pemerintah Pusat untuk segera memberlakukan UUPA
sepenuhnya di Yogyakarta. Menyerahkan kewenangan pertanahan yang semula
merupakan urusan otonomi melalui payung hukum UU DIY 1950 menjadi urusan
dekonsentrasi mengikuti aturan pertanahan nasional.
Adalah Sultan HB X sebagai raja yang sedang berkuasa beserta keluarga
memainkan peran sebagai elit. Posisi ini sudah secara alamiah didapatnya sebagai
penerus sah tahta keturunan Mataram. Demikian pula dengan anggota
9
keluarganya, baik keluarga inti maupun batih semua menduduki strata sosial yang
tidak dapat dimiliki secara bebas oleh orang kebanyakan.
Terlebih lagi adalah karena Sultan HB X menduduki dua jabatan politis
yakni sebagai Kepala Daerah (Gubernur DIY) sekaligus merupakan seorang
Sultan (Raja) dari Kraton yang masih eksis. Eksistensi Kraton setelah
bergabungnya dengan Republik Indonesia memang tidak luntur. Kraton masih
menjadi simbol atas lembaga budaya yang diakui persis oleh masyarakatnya.
Tidak jarang kita saksikan masyarakat Yogyakarta bahkan dari luar Yogyakarta
yang sangat menyambut dengan antusias dan mempercayai perhelatan ritual yang
diadakan Kraton (mis: Jamasan, Gunungan Maulud Nabi). Bagi masyarakat yang
fanatik terhadap Kraton, Sutoro Eko dalam Membongkar Mitos Keistimewaan,
menyebutnya sebagai golongan konservatif.
“Golongan ini terbelenggu pada basis kekuasaan feodalistik dan
sangat dipengaruhi oleh paradigma klientelisme. Haluan ini cukup
puas
pada
mempunyai
pola
kepemimpinan
kharismatik-benevolent,
serta
visi mempertahankan status formal keistimewaan
Yogyakarta yang sudah ada, sesuai dengan kekhasan budaya Yogya,
aturan hukum yang ada serta pengalaman sejarah masa lalu. Sejarah
masa lalu, terutama pengorbanan Sri Sultan HB IX dan Paku Alam
VIII terhadap rakyat dan republik Indonesia, selalu digunakan
sebagai justifikasi kaum konservatif untuk mempertahankan matimatian status formal keistimewaan Yogyakarta. dengan justifikasi ini
pula, haluan konservatif menegaskan bahwa Kraton dan provinsi
10
harus disatukan, serta menegaskan bahwa Sultan dan Paku Alam
secara otomatis merangkap sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY.”
Memaknai elit, seperti dikutip Schoorl dari Lipset dan Solari dalam Kuasa
Elit (Haryanto: 2005) menyebutkan bahwa elit adalah posisi di dalam masyarakat
di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi-posisi tinggi di
dalam ekonomi, pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan
pekerjaan-pekerjaan bebas. Senada dengan pengertian dalam KBBI yang
mengutarakan elit sebagai suatu kelompok kecil orang-orang terpandang atau
berderajat tinggi seperti bangsawan dan cendekiawan. Kedua pengertian tersebut
sepakat pada kesamaan mengenai elit, bercirikan sejumlah kecil orang dengan
kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
Orang-orang yang menduduki posisi elit itu merupakan bagian dari
masyarakat yang memiliki keunggulan lain (atau juga lebih) dari orang
kebanyakan lainnya–superioritas. Orang-orang yang menduduki posisi elit
menguasai kelebihan tidak di semua lini kehidupan, melainkan hanya pada
beberapa saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa elit juga memiliki
kelebihan pada beberapa aspek kehidupan. Maka elit adalah orang-orang dengan
keunggulan tertentu daripada orang lainnya. Keunggulan-keunggulan yang
dimiliki elit tersebut membuatnya menjadi berbeda dan memiliki pengaruh atas
kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil ketika mereka terlibat dalam suatu
lingkungan.
11
Kemunculan elit secara alamiah akan menempatkannya sebagai pemimpin
atas kebanyakan orang lain (massa). Bila dilihat dari kuantitasnya, elit selalu
berjumlah lebih sedikit daripada massa. Namun elit memiliki keunggulan lebih
daripada massa. Penguasaannya terhadap sesuatu yang tidak dikuasai massa ini
membuat elit tampak lebih unggul. Maka, dengan keunggulan yang dimiliki elit
akan mendaulatnya menjadi pemimpin atas kebanyakan orang lainnya (massa)
dalam sebuah lingkungan. Robert Michels mengutarakan bahwa tidak akan ada
masyarakat tanpa suatu kelas “dominan” atau kelas politik. Orang-orang dengan
keunggulan lebih inilah yang menempati kelas dominan (elit). Maka kelompok
minoritas ini yang memberlakukan “tatanan legal” yang merupakan hasil
dominasi dan eksploitasi terhadap massa. Kelompok minoritas tidak pernah benarbenar mewakili golongan mayoritas.
Stratifikasi politik semacam ini menegaskan bahwa orang-orang dalam
posisi massa tidak memiliki kuasa sebanyak yang dimiliki elit. Sedangkan elit
dengan kelebihannya akan mampu menggenggam dan menjalankan kekuasaan
(terlibat dalam pembuatan-pembuatan kebijakan). Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa semakin ke atas posisi seseorang atau sekelompok orang dalam
stratifikasi menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki kekuasaan yang
semakin besar; demikian pula sebaliknya semakin ke bawah posisi seseorang atau
sekelompok orang mengandung arti bahwa yang bersangkutan memiliki
kekuasaan yang semakin kecil atau bahkan tidak memilikinya sama sekali.1
1
Haryanto, Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar (Yogyakarta: Program Pascasarjana PLOD
UGM, 2005), hlm. 78-79.
12
Kraton lahir sebagai sebuah kerajaan baru pecahan dari Mataram akibat
Giyanti 1755. Pemerintahannya dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sultan.
Sedangkan pergantian tampuk kekuasaan akan selalu berdasarkan keturunan rajaraja terdahulu, bukan diperoleh karena persaingan demokratis. Begitulah tradisi
pergantian tampuk kekuasaan dalam Kraton yang menduduki posisi Raja. Sebagai
lembaga budaya, Kraton juga tetap melestarikan paugeran yang menyangkut
banyak hal, seperti misalnya proses pergantian pemimpin (Raja), upacara-upacara
jumenengan maupun Maulud Nabi hingga jamasan benda-benda pusaka. Bahkan,
masyarakat sangat mempercayai adanya nilai magis yang dimunculkan pada
setiap event budaya yang digelar Kraton.
Sedangkan Robert van Niel (1984) secara lugas mengungkapkan elit
adalah kaum priyayi atau kaum apapun yang menempati strata lebih tinggi
daripada rakyat jelata. Di Indonesia ini menjadi fenomena gamblang, di mana
keberadaan priyayi masih ditentukan (merujuk) pada keluarga kerajaan. Terlebih
lagi di Yogyakarta. Kraton masih eksis dan keluarga besarnya adalah elit dari
rakyat kebanyakan yang tidak memiliki kuasa apa-apa, sedangkan Kraton adalah
pusat kebudayaan dan politik bagi masyarakat. Masih menurut van Daniel, orang
Indonesia secara besar terpetakan menjadi dua golongan, adalah masyarakat tidak
berkuasa atau kelompok petani, orang desa dan kampung yang dinamai rakyat
jelata dan kelompok administratur, pegawai pemerintah, dan orang-orang
Indonesia yang berpendidikan baik di desa maupun di kota menempati urutan
lebih tinggi kemudian disebut dengan elit atau priyayi.
13
Harold Laswell mengungkapkan bahwa pergeseran elit sangat mungkin
terjadi di antara elit itu sendiri atau juga dari luar. Untuk mempertahankan
kedudukannya sebagai elit yang berpengaruh, elit perlu melakukan tindakantindakan yang mendukung langgengnya kekuasaan. Mereka perlu melakukan
inovasi atau pun sekadar penyegaran yang memberi penegasan kepada masyarakat
(massa yang dipimpinnya) bahwa mereka masih ada (eksis). Menurut Laswell ada
upaya-upaya yang lazim dilakukan elit untuk mempertahankan kelanggengan
kekuasaannya, yakni kemampuan untuk meyakinkan dan memanipulasi, sampai
dengan kemampuan untuk melakukan pemaksaan baik dengan kekerasan ataupun
tidak.2 Ia menambahkan bahwa hanyalah elit dengan tingkat kecakapan dan
memiliki nilai-nilai (values) terbanyaklah yang akan berhasil menduduki posisi
elit, bahkan untuk mempertahankan.
Dengan demikian, cakupan elit politik relatif mudah ditentukan: elit politik
akan mencakup anggota-anggota pemerintahan dan pejabat tinggi, para pemimpin
militer, dan dalam beberapa kasus, keluarga-keluarga aristokrat dan kerajaan yang
secara politis berpengaruh dan para pemimpin usaha-usaha ekonomi yang kuat.3
D.2. Konsep Feodalisme dalam Sistem Kepemilikan Pengelolaan
Pertanahan Yogyakarta
Feodalisme merupakan suatu sistem pemerintahan yang utamanya erat
berkaitan dengan sistem sosial ekonomi lingkungan sekitarnya. Sistem feodal
memang sangat melekat dengan kepemimpinan raja (kerajaan). Hal ini sangat erat
kaitannya karena pada waktu pemerintahan itu berlangsung, kuasa raja adalah
2
3
Ibid., hlm. 128.
T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat (Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006), hlm. 12.
14
mutlak, baik tanah maupun segala yang tinggal di atasnya. It is a method of
government in which the essential relation is not that between ruler and subject,
nor state and citizen, but between lord and vassal (Strayer and Coulborn 4:1956).
Feodalisme mencerminkan adanya hubungan penguasa dan jelata (budak)
yang dipekerjakan untuk mengambil manfaat atas budak dengan biaya yang
minimal. Hubungan yang terjalin antara budak dengan penguasa diperantarai oleh
orang-orang kepercayaan penguasa yang menguasai suatu wilayah tertentu.
Orang-orang kepercayaan penguasa ini menunjuk dan menjalin hubungan dengan
para pekerja di bawahnya. Di sini komunikasi antara kedua pihak tersebut sangat
penting, sehingga hubungan yang dekat dan mudah perlu dicapai. Intensitas
komunikasi diperlukan sebagai upaya controlling dari atasan pada budaknya
(vassal). Feodalisme pun mendelegasikan kewenangan/ kekuatan politik juga
terdapat pada kaki tangan penguasa yang berada di daerah-daerah.
Lebih lanjut, F. Lot dan M. Bloch (Strayer and Coulborn 6:1956)
meringkas feodalisme sebagai suatu hubungan antara penguasa dan pekerja, yang
dalam hal ini yang disebut penguasa adalah penguasa tanah dan vassal yang
dimaksud pun adalah budak/tenaga pekerja di tanah-tanah penguasa. Para
pekerja/budak bergantung pada tanah-tanah yang dimiliki raja sedangkan kerajaan
pun memerlukan materi untuk tetap menjaga keberlangsungan kerajaannya. Para
kaki tangan pun membutuhkan tenaga yang murah untuk mengelola tanah-tanah
yang dikuasainya agar menghasilkan upeti bagi keberlangsungan kerajaan. Oleh
karena itu, sebagai kaki tangan raja, penguasa memiliki kuasa untuk menentukan
segala yang terkait dengan pengelolaan tanah. Bahkan, pada masa feodalisme
15
masuk ke Eropa Utara, penguasa berhak menentukan harga dan memberi pajak
pada hasil olahan tanah.
Adalah tanah merupakan kue kekuasaan yang sangat penting dan utama
bagi keberlangsungan sistem feodalisme ini. Oleh karena kekuasaan kerajaan saat
itu bersifat mutlak, sehingga pengelolaan tanah adalah hal penting. Tanah-tanah
yang luas itu dipercayakan oleh raja pengelolaannya kepada kaki tangan raja
tersebut. Setiap kaki tangannya memiliki kuasa atas suatu wilayah tanah. Para
kaki tangan raja memiliki orang-orang yang bekerja mengolah tanah-tanah itu
dengan ketentuan harus mengumpulkan upeti untuk kerajaan.
Setelah menunjuk Kraton sebagai daerah swapraja yang menempati posisi
elit seperti di atas, lebih lanjut akan diutarakan perihal bagaimana elit – Kraton
menggunakan dan menjaga kekuasaannya. Meminjam pendekatan feodalisme,
konsep ini menerangkan pentingnya keberadaan tanah untuk mendukung
keberlangsungan sebuah kerajaan. Feodalisme digambarkan sebagai suatu sistem
politik di mana kerajaan mendelegasikan kewenangan – melakukan kerjasama
pengaturan tanah pada pemimpin-pemimpin lokal. Strayer dan Coulborn
menyimpulkan feodalisme adalah suatu metode pemerintahan.
Sebagai sebuah kerajaan, keberadaan tanah menjadi urusan sangat penting.
Luasan tanah menentukan seberapa besar tanah tersebut dapat memberi hasil
bumi. Sedangkan pada waktu itu pengurusan tanah didelegasikan kepada Bekel
yang membawahi sejumlah cacah. Bekel merupakan Kepala Desa yang ditunjuk
Kraton untuk mengelola dan mengawasi kinerja cacah. Semakin banyak cacah
yang dimiliki akan terkumpul banyak pajak yang harus disetor pada Kraton.
16
Sebagai kepercayaan kerajaan, setiap bekel yang membawahi beberapa cacah
diupah dengan sistem bagi hasil pula dengan cacah dan kerajaan.
Sistem feodal berhubungan erat dengan eksistensi kerajaan mengingat sifat
kekuasaan raja adalah mutlak, baik pada wilayahnya dan juga pada semua yang
tinggal di wilayahnya (SDM dan SDA). Hal ini berkaitan pula dengan mayoritas
mata pencarian masyarakat Yogyakarta yang berkutat pada dunia agraris dan
perdagangan hasil pertanian. Salah satu ciri feodalisme adalah adanya lapisan atas
dan lapisan bawah. Lapisan atas ditempati oleh para penguasa dan pemilik tanah.
Sedangkan lapisan bawah merupakan tenaga-tenaga penggarap yang umumnya
hanya mengolah lahan milik para tuan tanah. Para penggarap masih pula
diharuskan menyetor pajak yang dalam pemahaman Jawa dianggap sebagai rasa
terima kasih pada raja yang sudah meminjamkan tanahnya untuk diolah dan
diambil manfaatnya.
Berjalannya waktu kemudian membawa perubahan pula pada sistem
pertanahan di atas. Keberadaan cacah mungkin tidak lagi signifikan (tidak lagi
digunakan). Namun, pengaturan pertanahan yang sudah sejak lama digunakan,
dipertahankan, tentu membawa kebiasaan kontrol bagi Kraton atas pertanahan
yang dimiliki. Kraton memiliki kontrol atas kuasa sumber daya utama yang
dimilikinya.
Senada dengan Nur Aini Setiawati dalam Lembaran Sejarah Vol. 4 No. 1
2001 menyebutkan bahwa sampai pada awal abad XX, masyarakat kota
Yogyakarta masih berbudaya feodal. Strafikasinya mendasarkan pada beberapa
lapisan masyarakat terbagi menjadi empat golongan berdasarkan hak atas tanah
17
serta kewajibannya.4 Pertama adalah Sultan yang menempati posisi sebagai
penguasa wilayah dan tinggal di Kraton. Kedua, kerabat Kraton atau bangsawan
keturunan Raja dan pejabat tinggi kerajaan yang mendapat tanah apanage. Kedua
lapisan ini disebut wong gede. Ketiga, golongan menengah yang terdiri atas abdi
dalem atau priyayi. Golongan ini mendapat kewajiban memelihara wilayah
Kraton dan umumnya menumpang di tanah raja (magersari). Keempat adalah
wong cilik atau rakyat jelata. Golongan ini yang terbesar di antara golongan
lainnya dan merupakan golongan yang diperintah.
Memiliki tanah dan memperoleh nilai manfaat atasnya memang
merupakan hak bagi setiap warga negara. Namun tidak mudah mengaturnya
biarpun dalam Undang-undang hal tersebut telah jelas dibenarkan, diatur, dan
dibela haknya bagi tiap-tiap warga negara. Tetap saja itu bukan urusan sepele.
Setidaknya akan ada persaingan-persaingan (perebutan penguasaan sumbersumber produksi) yang terjadi antara sesama warga negara, warga negara dengan
negaranya, atau bisa juga terjadi pada warga negara dengan negara yang
diboncengi kepentingan korporasi baik lokal maupun asing. Telaah Kartodirjo dan
Suryo (1991) dalam Kus Sri Antoro tentang perkebunan menunjukkan bahwa di
Indonesia, relasi kekuasaan antara modal dan negara untuk mengukuhkan
ekonomi politik kapitalisme sudah dimulai sejak jaman kolonial, sebagai bukti:
negara merupakan instrumen dalam penetrasi, akumulasi, dan ekspansi modal
berbasis sumberdaya alam. Akibatnya, terbentuk dua kutub kekuatan, 1) korporasi
dan negara yang hendak menempatkan kapitalisme sebagai satu-satunya kekuatan
4
Nur Aini Setiawati, Lembaran Sejarah Vol. 4 No. 1 2001 hlm. 107.
18
ekonomi politik dan 2) kekuatan sosial yang dirugikan oleh kapitalisme. Kedua
kekuatan itu bertemu dalam perebutan 1) ruang dan alat produksi secara material;
2) arena kekuasaan di ranah kebijakan; dan 3) wacana untuk legitimasi sosial.”
Di Indonesia kita mengenal sistem “land tenure” (tenurial sistem) yang
diadopsi dari konsep feodal Inggris sebelum berhasil diduki bangsa Normandia
pada 1066. Secara harafiah, seperti diungkapkan Gunawan Wiradi,5 bahwa kata
land sudah jelas berarti tanah. Sedangkan tenure berasal dari bahasa Latin tenere
yang mencakup arti memelihara, memegang, memiliki. Karena itu kata land
tenure memperoleh arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya
dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok, umumnya status hukum
penguasaan tanah semisal hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan
juga kedudukan buruh tani.
Menurut Bruce (1998), sistem land tenure adalah keseluruhan sistem dari
pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem
lokal. Sebuah sistem land tenure sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem
ekonomi, politik, dan sosial yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Gunawan Wiradi di atas, bahwa membaca kepemilikan (penguasaan)
atas tanah tidak dapat dilepaskan dari berbagai aspek keilmuan yang lain. Sistem
land tenure sudah lama dipakai pegiat agraria dalam memperjuangkan hak warga
desa atas kepemilikan tanah adat dan atau juga hutan adat.
Land tenure merupakan istilah baku yang mengakui adanya hak
kepemilikan (memiliki) tanah, bukan sekadar fakta menguasai tanah. Hal ini
5
Gunawan Wiradi, “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”, dalam Tjondronegoro,
Sediono. M.P dan Gunawan Wiradi (ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor, 1984,. Hlm. 290-291.
19
dipakai untuk menghindari kerancuan atas adanya pemakai tanah dengan pemilik,
yang mana masing-masing tentu mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda
pula. Land tenure memisahkan antara hak milik dan hak guna yang mungkin
saling tumpang tindih dalam sebuah objek tanah yang sama. Oleh karena itulah
land tenure hadir menjawab. Konsep land tenure mengenal hak-hak yang melekat
pada status hukum seperti tersebut, yakni:6
1. Subjek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu
dilekatkan. Subjek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga,
kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan lembaga
politik setingkat negara.
2. Objek hak, yang berupa persil tanah atau juga benda-benda yang tumbuh
di atas tanah. Objek hak termaksud harus bisa dibedakan dengan alat
tertentu, dengan objek lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil tanah,
batas-batasnya biasanya diberi suatu simbol. Objek hak bisa bersifat total
bisa juga parsial. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas pohon
sagu tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana
pohon sagu itu berdiri.
3. Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut,
yang membedakannya dengan hak lainnya.
Untuk jenis-jenis hak
merentang dari hak milik, hak pakai, hak sewa, dll. Setiap jenis hak ini
memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan
6
Emilia dan Suwito, Memahami Terminologi Tenure, 2006, hlm. 7.
20
oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga negara) dan
keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.
Di sini, warga keturunan etnis China adalah subjek hak yang menempati
objek hak berupa tanah yang tidak boleh diklaim sebagai hak milik,
pengusahaannya hanya sebatas pada hak guna bangunan yang bisa diperpanjang
secara berkala. Akibatnya akses warga keturunan etnis China semakin terhalang
karena pengesahan Kraton sebagai badan hukum, yang berarti penguasa sah atas
tanah. Sebagai pemegang hak guna, warga keturunan etnis China jelas berkurang
(mengurangi) haknya untuk menguasai sepenuhnya tanah yang ditempati, apalagi
untuk berinvestasi tanah, mengembangkan perekonomiannya. Tentulah hak
mereka terbatas hanya pada penggunaan tanah saja, bukan sampai pada pemilikan.
Padahal, aktivitas yang tercipta dari manusia dengan tanah adalah
pengusahaannya. Perihal bagaimana pemilik memanfaatkan lahannya untuk
mencapai kemakmuran. Hal ini ditilik dari pandangan ekonomi yang melihat
tanah sebagai faktor produksi, sedangkan warga keturunan etnis China disebutsebut sebagai golongan yang cakap dalam urusan ekonomi. Oleh karena itu bagi
mereka keberadaan tanah menjadi faktor yang semakin penting. Perbedaan
kepentingan inilah yang akan membawa kita pada hakikat masalah pertanahan,
yakni perihal pembagiannya. Ada tiga media yang dipakai untuk mengklaim suatu
sumber daya adalah milik seseorang:7
7
Surayya Afif Tinjauan Atas Konsep “Tenure Security” Dengan Beberapa Rujukan Pada Kasus
Kasus di Indonesia.
21
1. Peta dimanfaatkan sebagai alat untuk melegitimasi suatu klaim umumnya
banyak digunakan oleh negara dan perusahaan-perusahaan
yang
mengantongi izin dari pemerintah yang berkuasa.
2. Cerita masyarakat awam di banyak tempat yang umumnya tidak
mempunyai bukti-bukti tertulis selalu mengandalkan cerita (misalnya
tentang sejarah asal usul, silsilah, lokasi-lokasi keramat) untuk mendukung
legitimasi mereka atas kepemilikan dan penguasaan tanah.
3. Tanda-tanda alam dan bukti fisik ini mendukung cerita yang diwacanakan
pada suatu masyarakat. Pada zaman dahulu misalnya, bukti-bukti suatu
kepemilikan tanah hanya ditandai dengan batasan pepohonan yang
ditanam di atas tanah tersebut.
Sistem tenurial mengenal dua sistem kepemilikan atas hak, pertama
tenurial yang diakui dalam hukum-hukum negara, sementara kelompok kedua
adalah sistem tenurial yang dikenali dan bahkan diatur secara lokal dan terkait
dengan praktik-praktik tradisional.8 Konsep ini memungkinkan memberi
kelonggaran atas kepemilikan-penguasaan yang bukan hanya terletak pada satu
subjek hak, melainkan bisa berbagi dengan subjek hak lainnya. Seseorang yang
secara de facto memiliki suatu lahan (pemukiman), belum tentu seseorang
tersebut juga memiliki hak untuk menguasai lahan.
Sebagai jaminan keamanan atas kepemilikan tanah atau sumber daya alam,
tenure sistem mengenal tenure security yang memiliki berbagai cara seperti yang
sudah banyak dilakukan di beberapa negara lainnya. Untuk membaca kondisi ini,
8
Cromweel dalam Memahami Terminologi Tenure, 2006. Hlm. 7.
22
hanya akan dipakai satu dari empat aliran yang diutarakan oleh Ellsworth (2004).
Adalah property rights, suatu sistem keamanan yang kepemilikannya terletak pada
individu–privat. Kepemilikan dengan sistem ini berangkat atas filosofi politik dan
ekonomi yang sangat mendukung individu. Kepemilikan ini akan jelas
mengantongi sertifikat kepemilikan secara hukum yang akan memberi
perlindungan kepemilikan secara penuh bagi individu. Dengan legitimasi hukum
itulah individu akan bebas dari gangguan pihak lain. Juga akan memudahkan
individu dan orang lain melakukan transaksi atas sumber daya yang dimiliki. Jual
beli di sini sangat membuka pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih
baik, yang dikenal dengan paham Pareto Optimality.9
Sistem ini mengandaikan bahwa semakin tingginya tingkat pertumbuhan
maka sejalan pula dengan kebutuhan atas sumber daya. Maka semua pemangku
kepentingan di sebuah daerah dan negara perlu mendorong kemajuan ini agar
meningkatkan produksi. Sedangkan sumber daya yang tidak dapat dimiliki oleh
orang per-orang maka hendaknya sumber daya itu dimiliki oleh negara demi
tercapainya kemakmuran hajat hidup orang banyak.
Sistem property rights hanya mereduksi makna keamanan kepemilikan
sumber daya dengan sertifikasi tanah. Dengan legitimasi hukum ini tidak akan ada
pihak lain yang berhak mengganggu kekayaan orang lain. Individu pemegang hak
atas sumber daya juga lebih leluasa mengeksplorasi kekayaannya.
Memahami definisi elit di atas, maka tepat bila Kraton ditempatkan pada
posisi elit. Mengingat definisi elit merupakan golongan orang dengan kelebihan
9
Lynn Ellsworth, A Place in the World: A Review of the Global Debate on Tenure Security. (Ford
Foundation, 2004), hlm.10.
23
yang tidak dimiliki orang kebanyakan, dengan berbekal kelebihan itulah elit
mampu memimpin (menguasai) massa. Terlebih lagi adalah elit mengantongi
legitimasi dari masyarakat yang dipimpinnya, sehingga elit mendapatkan
kepercayaan penuh untuk memimpin masyarakatnya (massa).
Sebagai kerajaan yang masih eksis keberadaannya, pun dengan telah
disahkannya Kraton sebagai badan hukum, jelas Kraton memiliki kewenangan
penuh mengatur sendiri urusan rumah tangganya yakni pertanahan. Kontrol
Kraton atas pemilikan tanah-tanah di seluruh Yogyakarta bersifat penuh.
Pemilikan tanah di Yogyakarta harus melewati persetujuan pihak Kraton yang
melibatkan BPN untuk memastikan bahwa tanah yang digunakan seseorang sudah
sesuai dengan haknya yang bisa diberikan oleh Kraton dan Pemerintah.
E. Definisi Konseptual
E.1. Sistem Elit
Elit merupakan segolongan orang yang memiliki kelebihan dibandingkan
orang kebanyakan. Kelebihan ini berupa nilai-nilai (values) yang penting dan
diakui dalam suatu masyarakat. Berbekal dengan kelebihan inilah elit mampu
berperan sebagai pemimpin atas massa yang tidak memiliki kelebihan sepertinya.
Berbekal kelebihan yang dimiliki juga membantu elit dalam melanggengkan
kekuasaan.
E.2. Sistem Pengaturan Tanah ala Feodal
Sistem ini mengklaim kepemilikan semua tanah adalah milik Raja.
Sedangkan pengelolaannya bukan berdasarkan luas lahan, melainkan pada jumlah
24
yang dimiliki. Raja sangat berwenang dalam mengatur pola kepemilikan
pertanahan di wilayahnya. Meminjam sistem tenure, Raja melakukan klasifikasi
pemakaian pertanahan yang dimilikinya untuk dipergunakan, disewakan,
dipinjamkan kepada yang berkenan. Ada berbagai status kepemilikan misalnya
hak pakai dan hak guna bagi yang menempati tanah-tanah Raja. Pemegang status
hak milik pada wilayah selain milik Raja lebih aman dan kuat daripada hak guna
ataupun hak pakai. sedangkan pemegang hak pakai di atas tanah Raja akan lebih
rentan karena sewaktu-waktu harus menyerahkan tanah yang dipinjam ketika Raja
menitakan.
F. Definisi Operasional
F.1. Elit
Penelitian ini utamanya menempatkan Kraton sebagai elit, yang akan
dilihat dengan indikator sebagai berikut:
1) Elit berjumlah terbatas. Dalam hal ini menyoroti posisi Sultan dan atau
Gubernur, keluarga Sultan yang sedang memerintah, dan Kraton pada
umumnya.
2) Kedudukan
politik
antara
Sultan
dan
Gubernur
yang
rangkap,
memperkokoh kuasa salah satu (kedua) predikat yang melekat pada satu
subjek individu.
F.2. Sistem Feodal
Pengelolaan tanah dengan sistem feodal akan tampak pada kuasa
Kraton dalam memetakan penggunaan tanah untuk apa, oleh siapa, dan
25
seberapa menguntungkan. Dibantu dengan sistem tenure, feodalisme akan
dilihat dari dengan indikator:
1) Jenis-jenis kepemilikan tanah seperti hak guna, hak pakai, maupun hak
milik.
2) Jaminan keamanan kepemilikan tanah
G. Metode Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif studi kasus untuk
mengetahui gejala sosial seperti tersebut di atas. Dengan teknik ini penulis dibantu
untuk menjawab bagaimana upaya yang dilakukan warga keturunan China dalam
memperoleh haknya atas tanah. Penulis juga sangat ingin mengetahui mengapa
mereka dibatasi haknya atas kepemilikan tanah. Kedua kata tanya ini
memudahkan penulis untuk mendedah fakta di balik pertanyaan tersebut.
Berangkat dari kata tanya itulah penulis menelusuri sejumlah responden
yang langsung berkaitan dengan instruksi pembatasan tanah bagi warga keturunan
China. Studi kasus menuntun penulis dalam mengeksplorasi realitas secara intens
dan detil. Pun metode ini memerlukan kemampuan interpretasi penulis terhadap
fakta-fakta yang ditemui. Hal itu disebabkan bertumpuknya (layered) informasi
yang diperoleh. juga diharuskan untuk menentukan keberpihakan atas data yang
diperoleh. menentukan keberpihakan pada salah satu data yang diperoleh penting
dilakukan untuk membangun argumen yang kuat dan jelas dalam penelitian ini.
Sekali lagi hal tersebut dikarenakan banyaknya informasi dari berbagai persepsi
26
aktor/subjek penelitian. Karena banyaknya informasi yang diperoleh, maka
penulis juga melakukan telaah melalui triangulasi dari semua data yang dipunyai.
Penulis melakukan pemilahan data yang mendukung dan mengesampingkan data
yang tidak mendukung penulisan ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aksesibilitas warga etnis
Cina atas kepemilikan tanah di Yogyakarta. Utamanya, melihat upaya mereka
yang minoritas dalam memenuhi hak milik atas tanah. Lebih lanjut juga baik
diketahui perihal sebab kemunculan larangan tersebut di Yogyakarta. Analisis
untuk memahami realitas tersebut akan dilihat pada kepentingan dibalik aturan
kepemilikan lahan tersebut. Proses penelitian dilakukan dengan mengcross-check
data dari berbagai pihak untuk memperoleh gambaran jelas perihal realitas yang
terjadi. Setelah itu analisis dilakukan untuk membaca data yang diperoleh di
lapangan.
G.2. Fokus Analisa
Penelitian ini utamanya mencoba menerka makna pentingnya pertanahan
di Yogyakarta bagi Kraton selaku pusat budaya, sosial, politik, dan bahkan agama
bagi masyarakatnya. Hal itu akan dilihat dengan sebuah instruksi perlindungan
pertanahan bagi pribumi yang mengesampingkan warga non-pribumi. Mulanya
akan diungkap terlebih dahulu bagaimana upaya warga keturunan China dalam
memperoleh haknya atas tanah, yakni hak milik. Menyajikan berbagai data proses
kepemilikan hak atas tanah yang terjadi di Yogyakarta akan menjadi jalan masuk
bagi penulis untuk membaca arti pentingnya tanah di sini. Dibantu dengan data-
27
data sekunder terkait penggunaan tanah-tanah Kraton akan lebih memudahkan
penulis dalam mengerucutkan kesimpulan penelitian.
G.3. Teknik Pengumpulan Data
a. Teknik Observasi
Teknik ini digunakan penulis untuk melihat secara empiris realitas yang
tampak. Khususnya digunakan pada narasumber warga keturunan China yang
diwawancara di tempat (rumah). Kegiatan ini menguntungkan penulis karena
dapat melihat langsung realitas yang diungkapkan narasumber. Terlebih lagi dapat
melihat besar-kecilnya usaha yang mereka bangun.
b. Teknik Wawancara
Dalam mengumpulkan realitas penulis menggunakan wawancara untuk
mencapai keterangan langsung dari semua narasumber terpilih. Wawancara yang
dilakukan bersifat open ended dimana semua pertanyaan berkelanjutan yang juga
bermanfaat untuk membantu penulis dalam meng-cross-check data yang diperoleh
dari semua narasumber. Sedangkan teknik wawancara dilakukan dengan
snowballing effect, di mana keterangan yang diperoleh seorang narasumber akan
digulirkan pada narasumber lain yang saling mengait dengan fokus penelitian.
Beberapa narasumber yang terkait seperti berikut ini:
a. warga keturunan China baik yang menepati haknya berdasar ketentuan
instruksi 1975 atau tidak. Narasumber ini adalah yang pernah
bersinggungan dengan penulis, ada di antaranya menjalin hubungan baik
sebagai pelanggan.
28
b. Notaris dan pihak Kraton adalah mereka yang dijejaringkan oleh orang
yang dekat dengan keduanya, sehingga penulis tidak mengalami kendala
apapun dalam mengakses keterangan sedalam-dalamnya kepada keduanya.
c. Pihak Kantor Pertanahan Yogyakarta diakses melalui surat izin penelitian
yang sudah disetujui oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
d. Ketua Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang ditemui penulis sudah
cukup dikenal penulis lewat beberapa hubungan pers mahasiswa dengan
public defender.
e. Pemakai tanah dengan hak magersari adalah keluarga teman lama yang
sangat terbuka menanggapi pertanyaan yang digulirkan penulis.
Penulis sangat mencoba untuk seimbang dalam mengkaji penelitian ini
dengan upaya mengcross-check yang diperolehnya dengan data-data sekunder.
Selain itu berdiskusi dengan teman-teman komunitas, kampus, dan akademisi
sangat membantu penulis untuk standing position. Data-data sekunder yang turut
dipergunakan berupa jurnal, artikel ilmiah, buku, media massa baik daring
maupun cetak.
G.4. Teknik Analisa Data
Penulis hanya memilah data yang berguna bagi penelitian untuk
selanjutnya diorganisir dalam per-bab penulisan. Teknik ini sangat membantu
penulis untuk menyikapi temuan lapangan agar menjadi sebuah data
komprehensif yang memiliki makna. Tentunya menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif karena mensyaratkan pentingnya menganalisis data dengan
interpretasi yang sesuai perspektif peneliti dan tujuan yang dilakukan. Proses
29
peneliti menjawab rumusan pertanyaan dilakukan dengan cara mengumpulkan
data-data kemudian menganalisanya sehingga menghasilkan data yang bermanfaat
dan solid.
H. Sistematika Bab
Bab I sudah menyajikan latar belakang penelitian ini diangkat serta
deskripsi singkat perihal penelitian seperti apa yang hendak dikerjakan. Pada Bab
II penulis ingin terlebih dahulu menyampaikan pembabagan konteks China
diposisikan di berbagai rezim yang berkuasa di Indonesia sejak runtuhnya Orde
Baru hingga kini memasuki pasca-reformasi. Untuk melihat secara spesifik,
penulis juga menyertakan secuil potret realitas kehidupan warga keturunan Cina
yang bermukim di kota ini. Pun akan diungkapkan latar belakang munculnya
Instruksi 1975. Sedangkan pergulatan warga keturunan China untuk memperoleh
haknya atas tanah disampaikan secara menarik pada Bab III. Pembaca akan
banyak menemui fakta terkait upaya mereka dengan beberapa pihak terkait dalam
mengakses hak atas tanah berupa hak milik. Barulah pada Bab IV penulis mulai
menguraikan pentingnya pertanahan di Yogyakarta bagi elit yang berkuasa
(Kraton). Sebagai penutup, Bab V memberikan ikhtisar atas semua tulisan yang
sudah dipaparkan pada bab sebelumnya. Di sini juga hendak diutarakan saran
akademis untuk kebijakan yang sudah berlangsung selama ini.
30
Download