BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Banyak peneliti memberikan definisi tentang bahan organik yang dituangkan pada berbagai pustaka. Salah satu di antaranya adalah yang menyatakan bahwa bahan organik tanah didefenisikan sebagai semua bahan organik di dalam tanah baik yang telah mati maupun yang masih hidup, yang dapat terdiri dari sisa tanaman berupa serasah, biomasa mikroba dan humus (Stevenson, 1994). Organisme hidup (biomasa tanah) hanya menyumbang kurang dari 5% dari total bahan organik. Selanjutnya Tan (2005) menjelaskan bahwa bahan organik tanah merupakan kombinasi yang terdiri dari berbagai komponen seperti komponen yang berasal dari binatang dan tumbuhan. Komponenkomponen tersebut telah mengalami perubahan sampai pada tingkat tertentu tidak lagi memiliki susunan yang sama seperti bentuk dan atau struktur aslinya. Komponen binatang dan tumbuhan yang telah mengalami perubahan tersebut dapat terdiri dari mineral humus dan non humus. Selanjutnya Tan (2005) menjelaskan pula bahwa mineral non humus merupakan hasil dari metabolisme organisme yang didalamnya mengandung berbagai komponen seperti karbohidrat, asam amino dan lipid. Hasil sintesis mikroba tanah yang berupa mineral humus yang terdiri dari asam humik, asam fulvik dan campuran bermasa tinggi merupakan bagian terbesar dari total bahan organik tanah. Untuk memudahkan mengidentifikasi perubahan kecil yang terjadi dalam total bahan organik tanah yang bersifat kompleks (Blair et al., 1995) membagi 9 10 bahan organik tanah menjadi 3 (tiga) fraksi utama, yaitu: (a) fraksi aktif, (b) fraksi hidup, dan (c) fraksi pasif atau recalcitrant. Fraksi aktif, terdiri dari sisasisa tanaman, binatang dan mikroba yang sedang melapuk. Fraksi hidup komponennya terdiri dari biota tanah hidup atau biomasa yang tersusun atas mikroorganisme, binatang dan perakaran tanaman. Fraksi pasif atau recalcitrant komponennya dapat terdiri dari bahan organik yang secara fisik dan kimia yang resisten terhadap proses degradasi secara biologis. Selain beban tambahan gas rumah kaca pada atmosfer, penipisan bahan organik tanah telah banyak menimbulkan konsekuensi yang merugikan secara ekologi dan ekonomi. Kehilangan bahan organik tanah disertai oleh penipisan nutrisi tanaman termasuk mineralisasasi N, P dan S; berat isi (bulk density) tanah meningkat, hilangnya struktur agregat; penurunan kapasitas memegang air dan konduktivitas hidrolik; penurunan kapasitas tukar kation; peningkatan erosi permukaan; pencucian karena peningkatan pestisida dan logam berat; penurunan aktivitas biologi tanah dan diversitas; dan akhirnya penurunan hasil panen dan kualitas hasil (Amezketa 1999; Lal 2004b; Whitbread et al., 1998). Banyak penelitian telah menunjukkan korelasi kuat antara peningkatan bahan organik tanah (SOM) tingkat dan perbaikan sifat fisik tanah seperti agregasi, infiltrasi air, konduktivitas hidrolik dan pemadatan (Blair et al., 2006a, Blair et al., 2006b, Whitbread et al., 2000). Perbaikan ini umumnya dikaitkan dengan produktivitas yang lebih besar (Lal 2004c). Terkait dengan jumlah cadangan atau kadar bahan organik tanah adalah keseimbangan antara penambahan dan rata-rata dekomposisi (Blair et al., 1995), 11 atau tahap keseimbangan dinamis yang terjadi antara proses degradasi dan akumulasi (Cresser et al., 1993). Selanjutnya Blair et al. (1995) menjelaskan pula bahwa sistem manajemen pertanian berdampak nyata terhadap rata-rata cadangan dan kembalinya (turnover) bahan organik dan hara dalam tanah. Di lain pihak Cresser et al. (1993) menambahkan bahwa bahan organik tanah dapat meningkatkan kapasitas tanah memegang air, khususnya pada tanah-tanah bertekstur kasar. Selain itu Tan (1993) juga menambahkan bahwa bahan organik tanah dapat membentuk struktur tanah dengan membantu proses agregasi tanah. 2.2 Dekomposisi Bahan Organik dalam Tanah Siklus unsur-unsur pada sistem pertanian merupakan prinsif utama pada sistem pertanian organik, yang berbasis pada 3 pilar, yaitu: (1) menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah dengan memanfaatkan limbah pertanian; (2) pengabaian pupuk dan pestisida sintetis; (3) mengurangi penanaman tanaman pangan yang boros energi. Pertanian organik sangat tergantung kepada proses transformasi hara, maka kualitas tanah adalah faktor penting bagi produksi pertanian (Reganold et al., 1993). Bila material tanaman dan organisme yang telah mati ditambahkan ke dalam tanah, berlangsung serangkaian kejadian kompleks yang berpengaruh kuat pada sifat-sifat tanah dan kesuburan tanah. Organisme heteromorfik di dalam tanah menghancurkan sisa-sisa tanaman dan binatang, dan menggunakan komponen organik sebagai sumber makanan. Selama proses dekomposisi dan pencernaan komponen organik, ekskresi yang dihasilkan selanjutnya menjadi makanan bagi organisme lainnya. Ketika organisme yang terlibat dalam 12 dekomposisi mati, mereka juga menjadi sumber makanan dan ditambahkan pada cadangan makanan. Melalui proses dekomposisi, pada kondisi aerobik campuran karbon inorganik dipecah dan dilepas dalam bentuk CO2 (McLaren dan Cameron, 1996). Sisa-sisa tanaman seperti serasah, ranting, potongan akar dan eksudat adalah sumber paling penting bagi bahan organik tanah. Sisa-sisa sistem perakaran tanaman menyumbang antara 60-70% dari input karbon. Sistem perakaran meliputi asam amino terlarut, asam organik, karbohidrat, dan material tidak larut seperti sel-sel yang tidak mudah pecah (Cresser et al., 1993). Selulosa merupakan polimer sederhana terdiri dari glukosa yang bertanggungjawab bagi lebih dari setengah dari karbon sisa-sisa tumbuhan, diikuti oleh hemiselulosa (20%), lignin (18%) sisanya berupa protein dan asam amino (Cresser et al., 1993). Selulosa dipolimerisasi oleh mikroorganisme tertentu di dalam tanah khususnya jamur (Trichoderma, Fusarium dan Aspergilus), dan sedikit bakteri lainnya (Bacillus dan Pseudomonas). Dekomposisi dari selulosa pada kondisi aerobik normalnya memproduksi CO2, sementara asam organik (asam acetat) sering dihasilkan pada kondisi anaerobik (Cresser et al., 1993) adalah sebagai berikut : (a) Dekomposisi selulosa pada kondisi aerobik : C6H12O6 + 6 O2 (b) 6CO2 + 6H2O + energi. Dekomposisi selulosa pada kondisi anaerobik : C6H12O6 2CH3CH2OH + 2CO2 + energi. 13 Dekomposisi selulosa dikatalisir oleh enzim selulase yang merupakan dekomposisi yang khas dari berbagai polimer organik di dalam tanah yang bersifat spesifik, dimana akhirnya didepolimerisasi oleh enzim mikroba khusus melepas unit-unit polimer yang lebih sederhana yang menjadi bahan bagi kelompok-kelompok mikroorganisme tanah yang lebih luas. Proses dekomposisi melibatkan enzim yang sederhana tidak bersifat khusus (Cresser et al., 1993). Fase awal berlangsung cepat, dekomposisi berlangsung dalam satu tahun yang mana kebanyakan dari sisa-sisa tanaman yang mudah terdekomposisi telah dihancurkan. Selanjutnya berlangsung lebih lambat tetapi mantap, penghancuran bahan humik yang lebih stabil yang lebih terlindung dari serangan mikroba yang berlangsung cepat dan terus berlanjut (Cresser et al., 1993). Faktor utama yang mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik melalui aktifitas organisme adalah kandungan oksigen dan kelembaban. Temperatur juga merupakan faktor penting dalam proses dekomposisi bahan organik yang pengaruhnya juga melalui aktifitas mikrobia. Selain itu faktor penting lainnya yang merupakan faktor pembatas dalam dekomposisi bahan organik adalah nutrisi dan pH. Nutrisi, khususnya karbon dan nitrogen merupakan unsur esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktifitas mikroba, sedangkan karbon dibutuhkan sebagai sumber energi, dan nitrogen diperlukan untuk pembentukan sel (Eliot, 1993). 2.3 Karbon Organik Tanah Studi mengenai keragaman simpanan karbon organik tanah telah menjadi perhatian dalam rangka menilai kualitas tanah akibat perbedaan praktek pengelolaan tanah. Reganold (1993) membandingkan sifat tanah pada sistem 14 pertanian organik dan konvensional selama periode empat tahun. Kadar C organik tanah secara signifikan lebih tinggi pada pertanian organik dibandingkan dengan pertanian konvensional. Jumlah bahan organik yang lebih banyak berkontribusi terhadap struktur tanah yang lebih baik, dan berat isi (bulk density) tanah permukaan 20 cm lebih rendah pada pertanian organik. Jumlah karbon tanah dalam fraksi yang berbeda tergantung pada kualitas bahan organik yang ditambahkan ke tanah serta produk-produk dekomposisinya melalui proses humifikasi biologis. Produk humifikasi karbon tanah memiliki struktur yang sangat aromatik seperti poli-fenol dan laju dekomposisi yang sangat lambat. Pembentukannya dihambat oleh rendahnya tingkat N, P dan S (Lal, 2008). Karbon organik tanah (SOC) adalah bagian dari siklus C global dan kolam karbon organik tanah global (1580 Gt) dua kali lebih besar seperti yang di atmosfer dan hampir tiga kali lipat dari kolam biomasa vegetasi karbon. Penyerapan karbon organik tanah mengacu pada penyimpanan karbon dalam tanah dan sedang dipertimbangkan sebagai strategi untuk mengurangi perubahan iklim (Chan et al., 2008). Sebagai sumber karbon di dalam tanah, terdapat 3 (tiga) kantong utama pemasok karbon, yaitu : (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota. Serasah dan akar-akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki kantong bahan organik tanah. 15 Tingkat karbon organik tanah dalam ekosistem dikendalikan oleh berbagai faktor, yaitu iklim, tanah, vegetasi dan waktu dan dapat mencapai tingkat ekuilibrium dalam kondisi lingkungan tertentu (keseimbangan lingkungan). Seiring dengan waktu, perubahan dalam penyimpanan karbon organik tanah (SOC) dikendalikan oleh keseimbangan antara input dan kehilangan karbon (kehilangan melalui mineralisasi karbon dioksida, dan erosi). Perbedaan antara karbon organik tanah pada tingkat keseimbangan lingkungan dan tingkat kehilangan saat ini adalah penyerapan karbon organik tanah potensial, yaitu, C potensial, karena secara teoritis jumlah ini dapat dikembalikan ke tanah (Chan et al., 2008). Tingkat karbon organik (SOC) di tanah sangat tergantung pada praktek-praktek manajemen yang mempengaruhi input serta kehilangan bahan karbon, yaitu produksi primer bersih, kualitas residu organik, manajemen residu (misalnya pembakaran, pemasukan), pengelolaan tanah (misalnya persiapan lahan) dan pengelolaan ternak. Beberapa proses yang dapat menyebabkan terjadinya kehilangan C dari dalam tanah dapat melalui (a) respirasi tanah, (b) respirasi tanaman, (c) terangkut panen, (d) dipergunakan oleh biota, dan (e) erosi. Siklus karbon di dalam tanah meliputi konversi karbon dioksida atmosfer menjadi material tanaman melalui proses fotosintetsis diikuti oleh dekomposisi sisa-sisa tanaman dan binatang ke dalam tanah. Selama proses dekomposisi, transformasi karbon difasilitasi oleh aktivitas mikroba, oksidasi karbon menjadi karbon diokasida yang selanjutnya dikembalikan ke atmosfer. Beberapa karbon kemungkinan selanjutnya diasimilasikan oleh tanaman sebagai ion karbonat dan bikarbonat atau terangkut 16 dari dalam tanah bahkan sampai ke laut. Setiap tahun, pergerakan karbon dalam jumlah besar dan terjadi perubahan dari satu fase ke fase lainnya pada siklus di dalam tanah termasuk pergerakan 10 % karbon dari tanaman dan 5% karbon dari bahan organik tanah (McLaren dan Cameron, 1996). Perbandingan relatif karbon dengan nitrogen dan fosfor dalam bahan organik pada tanah mineral adalah dengan rasio 110:9:1 menurut berat. Misalnya, setiap 1 ton simpanan C dapat menyimpan 100 kg N sehingga penambahan akumulasi C dalam tanah akan memberi keuntungan bagi penambahan simpanan nitrogen (Allison, 1973). Selanjutnya Blair et al. (1995) menyatakan bahwa karbon tanah telah umum ditetapkan sebagai indikator keberlanjutan sistem pertanian dan perubahannya dapat terjadi melalui jumlah total karbon, cadangan karbon karbon dan aktif (labil). Total karbon merupakan jumlah karbon yang berasal dari karbon organik dan karbon anorganik. Karbon organik berada pada fraksi bahan organik tanah, sedangkan karbon anorganik terutama ditemukan pada mineral karbonat. Cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu (a) biomasa merupakan bagian dari vegetasi yang masih hidup, (b) nekromasa merupakan bagian dari vegetasi yang telah mati, dan (c) bahan organik tanah merupakan sisa mahluk hidup yang talah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah (Hairiah, et al., 2011). Karbon labil tanah (fraksi labil) terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen bahan organik tanah labil terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu : (a) 17 bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman, hama/binatang seperti karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida, (b) bahan yang agak lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan hemiselulosa, dan (c) biomasa dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass ) dan bahan residu recalcitrant lainnya (Blair et al., 1995). Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Karbon labil meliputi cadangan yang lebih besar dibandingkan dengan biomasa mikroba itu sendiri, dan ditemukan pada sampel tanah pada bagian dalam profil tanah bersifat mobil dan bertanggungjawab dalam proses denitrifikasi dan methonogenesis (Blair et al., 1995). Karbon labil menentukan ada tidaknya perubahan tingkat kelabilan karbon tanah yang diduga dengan waktu paruh, yang menjadi salah satu pengukur keberlanjutan sistem pertanian (Blair et al., 1995). Terkait dengan perubahan yang terjadi di dalam tanah akibat pengelolaan lahan, Sparling (1992) menyatakan bahwa dapat digunakan sebagai indikator yang akurat adalah ukuran dan aktivitas mikroba. Pada proses aktivitas mikroba tanah, karbon dan nitrogen hasil mikroba membantu proses seperti mineralisasi dan immobilisasi yang secara nyata berpengaruh terhadap fungsi dan kesuburan tanah, perubahan C global, dan siklus bahan organik tanah. Biomasa mikroba ini digunakan sebagai bagian dari cadangan bahan organik tanah, dan menjadi indikator penting bagi perubahan bahan organik dibanding kadar total karbon organik, karena biomasa mikroba memiliki pengembalian relatif antara 1-2 tahun 18 (Blair et al., 1995). Indeks yang sesuai dan penakar penting untuk memonitoring perubahan bahan organik tanah sebagai akibat dari pengelolaan lahan adalah karbon mikroba (Cmic), dan mikroba quotient (Cmic/Corg). Mikroba quotion yaitu karbon mikroba dibagi C-organik tanah (Sparling, 1992). Perubahan nilai mikroba quotien mengindikasikan masukan bahan organik ke dalam tanah, seberapa efesien bahan organik ditransformasikan menjadi C mikroba, kehilangan C dari tanah, pengikatan C organik oleh fraksi mineral tanah (Sparling, 1992). 2.4 Sekuestrasi Karbon (C) Sekuestrasi karbon (C) tanah adalah proses transformasi CO2 dari atmosfer ke dalam tanah melalui sisa tanaman dan larutan organik lain, dan dalam bentuk yang tidak segera terlepaskan (Sundermeier et al., 2004; Lal, 2007). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa transfer atau sekuestrasi C tersebut membantu menurunkan emisi yang berasal dari pembakaran bahan minyak dari fosil dan aktivitas pelepasan karbon dengan cara lain, sehingga meningkatkan kualitas tanah dan produktifitas tanaman dalam waktu yang panjang (Sundermeier et al., 2004). Penelitian telah banyak dilakukan untuk memperkirakan potensi mitigasi rata-rata tahunan, menghitung perubahan emisi dari semua gas rumah kaca (GRK) dari praktek-praktek pertanian di zona iklim yang berbeda (hangat-kering, hangatlembab, dingin-kering, dingin-lembab). Praktek tanam terbaik, menggabungkan perbaikan agronomi, nutrisi, pengolahan dan manajemen residu diperkirakan memiliki potensi mitigasi gas rumah kaca tahunan rata-rata 0,29 t C (atau 1,07 t CO2-eq.) ha-1 tahun-1 dalam iklim hangat-kering dan 0,63 t C (atau 2,32 t CO2-eq.) ha-1 tahun-1 dalam iklim hangat-lembab. Perlu dicatat bahwa kisaran mitigasi gas 19 rumah kaca yang sangat besar (0,25-0,88 dan 0,26-1,30 t C ha-1 tahun-1 untuk masing-masing iklim hangat-kering dan hangat-lembab). Rentang nilai yang diamati mungkin karena faktor-faktor perbedaan awal tingkat karbon organik tanah, periode waktu dan produktivitas lokasi. Iklim hangat-kering diperkirakan akan mewakili tingkat potensi mitigasi gas rumah kaca untuk pedalaman New South Wales, sementara daerah yang mempunyai iklim basah diperkirakan akan mewakili potensi untuk area tanaman pesisir New South Wales (Smith et al., 2008). Perubahan penggunaan lahan dari pertanaman untuk regenerasi vegetasi asli diperkirakan memiliki potensi mitigasi gas rumah kaca tahunan rata-rata 3,93 dan 5,36 t CO2-eq. ha-1 tahun-1 di daerah iklim panas. Potensi gas rumah kaca tahunan tertinggi 70,18 t CO2-eq. ha-1 tahun-1 dikaitkan dengan pemulihan tanah organik (tanah gambut) dengan meningkatkan muka air (Smith et al., 2008). Oleh karena itu perubahan lahan dengan kehutanan atau lahan basah di daerah pesisir mungkin memiliki potensi mitigasi gas rumah kaca lebih besar dari penerapan praktek tanam terbaik. Namun, ini akan mengakibatkan hilangnya daerah penghasil pangan yang aman. Karbon adalah unsur terbanyak yang terkandung di dalam bahan organik dengan konsentrasi sekitar 57 % (Sundermeier et al., 2004). Tanaman dan mikroorganisme fotosintetik menghasilkan senyawa organik dari konversi CO2 dengan bantuan sinar matahari dari atmosfer serta air dan unsur hara di dalam tanah melalui proses fotosinthesis. Dekomposisi serasah organik dari tanaman, hewan dan organisme tanah kemudian didekomposisi menjadi bahan organik 20 tanah. Bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu simpanan terbesar bahan organik di daratan. Jumlah bahan organik yang disimpan di dalam tanah merupakan hasil dari kesetimbangan dari laju input dengan mineralisasi dan kehilangan bahan organik dari setiap bentuk cadangan bahan organik yang terdapat di dalam tanah (Post dan Kwon, 2006; FAO, 2009). Simpanan bahan organik di dalam tanah juga berasal dari bahan organik yang ditambahkan dalam bentuk pupuk atau mulsa organik ke dalam tanah. Jenis bahan organik yang umumnya terdapat di dalam tanah sawah adalah serasah organik (jerami padi dan sisa-sisa panen jenis tanaman palawija), pupuk organik (pupuk kandang dan pupuk hijau), dan biomasa mikroalga yang hidup di permukaan lahan sawah. Tanah juga berperan sebagai penyimpan CO2. Steinfeld et al. (2006) menyebutkan, bahwa jumlah CO2 yang tersimpan di dalam tanah diperkirakan sebesar 1100-1600 M ton atau 2 kali lebih banyak dibandingkan karbon yang terdapat di dalam vegetasi dan atmosfer. Aktivitas antropogenik terutama pertanian menyebabkan penurunan drastis kandungan C dalam tanah. Komite Ilmuwan Lingkungan menduga 50 % C-tanah di Great Plains Amerika Utara hilang sepanjang abad yang lalu karena pembakaran, erosi, panen, penggembalaan, atau karena dipaparkan langsung terhadap udara misalnya dengan pengolahan tanah (Steinfeld et al., 2006). Kurang lebih 18 juta ton CO2 berasal dari budidaya jagung, kedelai, dan gandum pakan ternak pada lahan seluas 1,8 juta km2 untuk meningkatkan produksi daging, telur dan susu. 21 Emisi gas rumah kaca meningkat tajam akibat aktivitas manusia. Peningkatan gas rumah kaca sejak masa pra-industri adalah sebesar 70% antara tahun 1970 dan 2004. Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca antropogenik yang paling penting. Emisi tahunan CO2 meningkat sebesar 80 % sejak tahun 1970 sampai tahun 2004 (IPCC, 2007a). Kenaikan konsentrasi CO2 atmosfer dapat meningkatkan produksi tanaman melalui fotosintesis dan menurunkan jumlah air yang hilang melalui respirasi. Pemupukan CO2 ini sangat menguntungkan bagi tanaman C3, seperti padi, gandum, kedelai, leguminose dan sebagian besar pohon, sedangkan pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap tanaman C4 seperti jagung, millet, sorghum, tebu dan kelompok rumput-rumputan (Adams et al., 1990). Analisis yang dilakukan oleh (IPCC, 2007b, Zhai dan Zhuang, 2009) menunjukkan kemungkinan peningkatan hasil pertanian sebesar 10 – 25 % untuk tanaman C3 dan 0 – 10 % untuk tanaman C4 apabila konsentrasi CO2 mencapai 550 ppm. Gas methan (CH4) merupakan gas rumah kaca antropogenik terpenting kedua setelah karbon dioksida (CO2) di dalam atmosfer, dan 25 kali lebih tinggi sebagai penyebab pemanasan global daripada CO2 dalam waktu 100 tahun (IPCC, 2007). Konsentrasi CH4 atmosfer global meningkat dari 715 ppb (in 1.750 to 1.745 ppb) pada tahun 1998, dan menjadi 1.774 ppb tahun 2005 (IPPC, 2007). Lahan sawah telah dianggap sebagai sebuah sumber penting CH4 atmosfer. Emisi CH4 global atmosfer dari lahan sawah diperkirakan menjadi 25,6 Tg CH4 tahun-1 (Yan et al., 2009), dihitung sekitar 4 % dari total emisi CH4 global (IPCC, 2007b). 22 Pengelolaan tanah memberi kontribusi yang sangat besar bagi simpanan karbon dunia, sebab kapasitas lahan pertanian dan tanah terdegradasi dalam mengikat karbon mencapai 50-60% dari kehilangan karbon yang mencapai 42 – 72 Pg (1 Pg = 1015 g C) (Lal, 2004a). Simpanan karbon tanah akan menambat CO2 atmosfer pada kantong dalam jangka waktu lama dan tidak mudah diemisikan kembali ke atmosfer. Praktek pengelolaan tanah yang meningkatkan simpanan karbon organik tanah melalui penambahan biomasa dalam jumlah besar ke dalam tanah mengurangi kerusakan tanah, menjaga tanah dan air, meningkatkan struktur tanah, memacu aktivitas dan keragaman spesies fauna tanah, dan mendorong mekanisme siklus unsur hara tanah (Lal, 2004a). 2.5 Sekuestrasi-C pada Kedalaman Tanah Berbeda Banyaknya karbon organik tanah pada lapisan tanah yang lebih dalam merupakan fraksi terpenting bagi sekuestrasi-C jangka panjang. Berbeda dengan karbon organik tanah dalam tanah permukaan (topsoil), yang sering mengalami dekomposisi cepat oleh meningkatnya aktivitas mikroba dekat permukaan tanah dan fluktuasi suhu tanah serta kadar air yang tinggi, karbon organik tanah dalam subsoil terlindung di dalam agregat tanah dan mempunyai laju pelapukan yang rendah (Lorenz dan Lal, 2005). Hasil penelitian Poirier et al. (2009) di Quebec, Canada juga menunjukkan bahwa akumulasi karbon (C) lebih tinggi pada lapisan di bawah permukaan tanah. Di Australia ditemukan bahwa potensi penyimpanan karbon (C) adalah terbatas pada lapisan 0-10 cm dan akan berkurang sejalan dengan waktu. Secara umum, tanah diestimasi mengandung 1500 Pg karbon sampai kedalaman 1 m, 23 yaitu dua kali lipat jumlahnya di atmosfir. Tingginya kadar C tersebut disebabkan oleh produksi biomasa yang tinggi (di atas dan dibawah tanah), serasah dan akhirnya tingginya residu organik yang dikembalikan ke dalam tanah, dan juga meningkatkan agregasi tanah yang melindungi senyawa karbon dari dekomposisi yang cepat (Conant et al., 2001; Lu et al., 2011; Six et al., 2000). Akumulasi karbon dapat meningkat pada lapisan tanah 0-10 cm, tetapi juga dapat cepat menurun karena mudah terdekomposisi (Sanderman et al., 2010). 2.6 Evaluasi Kualitas Tanah (Soil quality rating) dan Sustainability Index Berbagai batasan atau definisi tentang kualitas tanah telah dijelaskan oleh beberapa peneliti. Doran dan Parkin (1994) mendefinisikan kualitas tanah sebagai kemampuan kapasitas tanah dalam menjalankan fungsinya pada ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi yang berkelanjutan dan menjaga kualitas lingkungan serta menunjang kesehatan tanaman dan ternak. Kualitas tanah yang baik (high soil quality) berhubungan dengan penggunaan air yang efisien, mitigasi emisi gas rumah kaca, dan peningkatan produksi pertanian (Lal 1994). Kualitas tanah tidak dapat diukur secara langsung, tetapi dapat melalui indikator-indikator tanah statis atau dinamis (SQIs) atau atribut-atribut tanah yang terukur yang umumnya dipengaruhi oleh penggunaan lahan dan pengelolaan tanah (SanchezMaranon et al., 2002, Seybold et al., 1997, Shukla et al., 2006). Perubahan-perubahan kualitas tanah sepanjang waktu awalnya diusulkan oleh Larson dan Pierce (1991) yang awalnya dikuantifikasi dengan persamaan: Q=f (q1…n) atau kualitas tanah (Q) sebagai fungsi dari atribut-atribut kualitas tanah, ternyata sukar didefinisikan dan dijelaskan pada semua atribut-atribut tanah 24 karena beragamnya jenis tanah, iklim, lingkungan dan tanaman serta sistem pertanaman (Crops and cropping systems). Oleh karena itu Larson dan Pierce (1991) kemudian mengusulkan bahwa sebuah set data minimum (a Minimum Data Set) (MDS) dapat dirancang untuk memonitor perubahan-perubahan dalam kualitas tanah (Larson dan Pierce, 1994). Salah satu aspek penting dalam suatu MDS adalah melibatkan atributatribut tanah yang dapat diukur secara kuantitatif dalam jangka waktu singkat sehingga bermanfaat bagi pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan (Larson dan Pierce, 1994: Lal, 1994). Critical limits (CR) diusulkan oleh Lal (1994) bagi sifat-sifat fisik dan kimia tanah untuk ekositem tropika dilengkapi dengan sifat biologis tanah oleh Chen (1999), Kinyangi (2007) serta Ikemura dan Shukla (2009). Relative weighing factors (RWF), didasarkan atas kehilangan produktivitas pada level indikator tanah bersangkutan. Indeks atau koeficien sustainability (Indices or coefficients of sustainability) didefinisikan dalam bentuk tren produktivitas sepanjang waktu per unit input atau penggunaan sumberdaya yang paling terbatas atau kritikal (productivity trends over time per unit input or use of the most limiting or critical resource). Indeks keberlanjutan (sustainability index) yang relevan adalah yang dapat memberikan suatu pengukuran tren produktivitas dan indikator kualitas tanah sepanjang waktu secara kuantitatif. Dalam hubungan dengan keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan lahan, RWF dan CR dapat menunjukkan tingkat atau level keberlanjutan lahan (Ikemura dan Shukla, 2009). 25 2.7 Peranan Karbon Organik dalam Kualitas Tanah Pertanian organik sangat tergantung kepada proses transformasi hara, maka kualitas tanah adalah faktor penting bagi produksi (Reganold, 1993). Dalam pertanian, kualitas tanah diartikan sebagai kemampuan tanah untuk mendukung produksi secara berkelanjutan (Lal, 1994). Kualitas tanah memiliki pengaruh nyata terhadap kesehatan dan produktivitas bagi ekosistem dan lingkungan. Proses penting yang dipengaruhi oleh kualitas tanah adalah pergerakan air, hara dan pasokan serta pendistribusiannya bagi tanaman, seperti pertumbuhan akar, memelihara habitat biotis yang sesuai dan respon terhadap praktek pengelolaan. Kualitas tanah berhubungan erat dengan penggunaan air yang efesien, hara dan pestisida, meningkatkan kualitas tanah dan air, mitigasi emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan produksi tanaman (Lal et al., 1998). Karbon organik tanah merupakan indikator kunci dari kualitas tanah dalam sistem pertanian berkelanjutan karena bersifat sangat reaktif dan mengendalikan berbagai fungsi penting dalam tanah yang berpengaruh terhadap kualitas fisik dan produktivitas tanah (Komatsuzaki dan Ohta, 2007; Blair et al., 1995). Bahan organik tanah yang meliputi berbagai senyawa karbon berasal dari tanaman, mikroba, dan organisme lain membantu menjaga kesuburan tanah dan berperan dalam siklus biologi, air dan hara. Bahan organik tanah meningkatkan kapasitas tanah memegang air khususnya pada tanah-tanah bertekstur kasar (Cresser et al., 1993), membentuk struktur tanah dengan membantu agregasi tanah, menyediakan hara esensial bagi 26 tanaman meliputi N dan S; dan sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme yang berperan penting dalam berbagai proses biokimia di dalam tanah seperti amonifikasi, nitrifikasi, fiksasi N. Terjadinya kehilangan karbon organik tanah akibat pengolahan tanah terutama tampak pada fraksi C labil (Blair et al., 1995; Komatsuzaki, 2007), yang berperan sangat penting dalam menyediakan hara bagi tanaman. Fraksi C labil merupakan unsur perubah kesuburan tanah yang penting sehingga potensial digunakan sebagai indikator kualitas tanah. Indikator penting bahan organik tanah lainnya adalah biomasa mikroba tanah (Sparling 1992; Blair et al., 1995), karena biomasa mikrobia sangat berperan dalam mempertahankan status bahan organik tanah yang berfungsi sebagai source dan sink bagi ketersediaan hara karena memiliki turnover yang relatif singkat yaitu antara 1-2 tahun (Sparling, 1992). Oleh sebab itu, biomasa mikroba ini dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan kondisi tanah serta arah perubahannya yang kemungkinan berjalan perlahan pada total bahan organik (Sparling, 1992). 2.8 Sistem Pertanian Organik dan Konvensional Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia, penerapan teknologi revolusi hijau mampu memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pangan nasional. Sesungguhnya melalui penerapan teknologi revolusi hijau yang pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan produk pertanian yang semakin meningkat, di dalamnya terkandung sistem pertanian konvensional (Cong Tu el al., 2006). Dengan penerapan teknologi revolusi hijau yang ditandai oleh introduksi varietas unggul yang memiliki respon 27 tinggi terhadap pemupukan dan irigasi, Indonesia berhasil meraih swasembada beras tahun 1984. Selanjutnya disadari bahwa penerapan revolusi hijau memiliki beberapa dampak negatif, antara lain terdapat kecenderungan penggunaan input yang tinggi, terutama pupuk dan pestisida. Penggunaan kedua input tersebut ternyata telah mencemari sumber daya lahan, tanah dan lingkungan. Berdasarkan pengalaman penerapan revolusi hijau tersebut, maka pembangunan pertanian ke depan diperlukan reorientasi pendekatan, terutaman dalam pengembangan sistem produksi padi dan tanaman pangan umumnya. Salah satu di antaranya adalah dengan cara kembali menerapkan sistem pertanian organik yang sudah dikenal dan dilaksanakan sejak jaman dulu kala oleh petani. Terkait dengan pengertian dan persepsi berbagai pihak tentang pertanian organik masih cukup beragam. Banyak batasan yang dikemukakan, namun secara sederhana pertanian organik adalah cara dan sistem budidaya pertanaman yang hanya atau mengutamakan menggunakan bahan-bahan alami (organik) dan tidak menggunakan atau membatasi penggunakan input kimia (anorganik) berupa pupuk dan pestisida (Irsal et al., 2006). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa paling tidak terdapat dua alasan yang melatarbelakangi pengembangan pertanian organik di Indonesia, yang pertama adalah keprihatinan berbagai kalangan, baik kalangan nasional maupun internasional terhadap keamanan pangan, kondisi lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan petani, sedangkan yang kedua adalah terjadinya degradasi fisik dan kimia sebagian lahan, terutama lahan sawah. Konsep pertanian organik yang dikemukakan Lotter et al. (2003) yaitu memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung produktivitas 28 pertanian. Berbagai komponen yang digunakan dalam sistem tersebut antara lain menggunakan jenis tamanan legume untuk mengikat nitrogen ke dalam tanah, untuk menanggulangi hama dan penyakit tanaman digunakan predator, untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah terjadinya penumpukan hama digunakan sistem rotasi tanaman. Demikian pula dalam mengendalikan hama dan penyakit dapat dimanfaatkan mulsa, sedangkan dalam pengembalian kondisi tanah dapat digunakan bahan alami sebagai bahan pupuk dan pestisida. Aplikasi pertanian organik memiliki standar baik yang berlaku secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu produk pertanian organik dilengkapi dengan sertifikat organik yang menandakan bahwa produk pertanian tersebut diproduksi melalui proses yang mengikuti standar operasional baku pertanian organik (Scow et al., 1994). Pada kenyataanya untuk beralih dari pertanian konvensional menjadi pertanian organik diperlukan waktu beberapa tahun. Sistem pertanian organik akan diawasi secara terus menerus oleh lembaga sertifikasi (Steven et al., 1994). Hal ini ditujukan untuk menjamin bahwa produksi yang dihasilkan dapat dipertahankan kualitasnya. Produk dari sistem pertanian organik memiliki harga jauh lebih mahal daripada produk sistem konvensional (Lotter, 2003). Kenyataan tersebut juga berlaku untuk produk pertanian organik di tingkat petani maupun di pedagang/distributor. Pertanian konvensional merupakan sistem pertanian yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian secara maksimal, dimana dalam sistem pertanian ini digunakan teknologi modern, yang tidak memperhitungkan keamanan pangan dan pencemaran lingkungan (Seufert et al., 2012). Dijelaskan pula bahwa pada 29 pertanian konvensional penggunaan bahan agrokimia seperti pupuk anorganik, pestisida sintesis dan zat perangsang tumbuh, organisme hasil rekayasa genetika, dan sistem manajemen penanggulangan hama secara terpadu merupakan teknologi budidaya pertanian yang umum dijumpai pada sistem pertanian tersebut. Kegiatan sistem pertanian konvensional yang tidak terkontrol dengan baik akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada gilirannya juga akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi. Pertanian konvensional telah bekerja dalam sistem pangan global untuk memenuhi pangan masyarakat perkotaan di dunia melalui kehadiran praktek pertanian secara menyeluruh untuk menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai industri pertanian (Fraser et al., 2005). Pertanian intensif yang menjadi ciri khas pertanian konvensional menggunakan jumlah tenaga kerja dan bahan kimia per satuan luas yang lebih tinggi daripada praktek pertanian lainnya. Namun, bentuk pertanian konvensional dan penggunaan mekanik pertanian yang intensif ini membutuhkan energi sangat tinggi yang membutuhkan bahan bakar fosil untuk menyalakan mesin yang memungkinkan untuk usaha pertanian dalam skala besar (Pimentel et al., 1973; Pimentel et al., 2005). Selanjutnya Crews dan Peoples (2004) juga mengemukakan bahwa salah satu definisi pertanian konvensional adalah penggunaan tenaga kerja dalam pengunaan pupuk konvensional. Pupuk konvensional diterapkan dalam berbagai standar rasio NPK untuk aplikasi pada tanaman. Aplikasi pupuk ke tanah menyediakan nutrisi baru secara efektif menghilangkan pertimbangan strategi jangka panjang untuk mempertahankan dan mengisi hara tanah dan karbon organik tanah. Pemupukan juga merupakan salah 30 satu perhatian utama yang harus dipertimbangkan pada pertanian konvensional. Emisi metana dan dinitrogen oksida masing-masing merupakan emisi GRK paling penting kedua dan ketiga setelah karbon dioksida (IPCC, 2007c), dan emisi tersebut dari bidang pertanian telah sangat meningkat dengan aplikasi pupuk berbasis amonium. Masalah lingkungan yang muncul dari penggunaan pupuk konvensional menyoritas pemisahan antara industri pertanian intensif dan merawat proses ekosistem alami. Misalnya, pupuk konvensional digunakan untuk memberikan jumlah nutrisi yang melimpah dalam bentuk biokimia yang tersedia, tetapi skala di mana pupuk diterapkan ditambah dengan siklus air alami telah menyebabkan muatan nutrisi melalui limpasan yang masuk ke dalam sistem air (Goetz dan Zilberman, 2000). 2.9 Kombinasi Pupuk Organik dan Anorganik pada Padi Sawah Hasil studi tentang kombinasi pupuk organik dan anorganik yang dilakukan di Cina menunjukkan suatu efek “win-win” penggunaan pupuk kombinasi tersebut terhadap akumulasi karbon organik tanah dan produktivitas tanaman padi di lapangan melalui peningkatan efisiensi N yang dimungkinkan oleh meningkatnya aktivitas mikroba. Kombinasi pupuk tersebut yang dikelola dengan baik, meningkatkan simpanan C dalam tanah dan juga mengurangi emisi dari penggunaan pupuk N, yang akhirnya berkontribusi pada tingginya produktivitas tanaman pertanian (Pan et al., 2006). Aktivitas mikroba ternyata lebih tinggi pada penggunaan kombinasi pupuk. Efisiensi penggunaan N juga lebih tinggi pada penggunaan kombinasi pupuk (12,6% dan 39,0% masing-masing pada perlakuan pupuk kimia+pupuk 31 kandang dan pupuk kimia+ jerami padi) dibandingkan pada penggunaan pupuk anorganik saja. Pupuk kimia yang digunakan adalah 427,5 kg N, 45 kg P2O5 dan 54 kg K2O ha-1 . Ini berarti bahwa pupuk N anorganik lebih sedikit diperlukan untuk menghasilkan produksi padi yang sama, sehingga secara potensial juga menekan emisi C yang berasal dari pabrik pupuk (Pan et al., 2006). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dekhane et al. (2014) bahwa kombinasi perlakuan pupuk anorganik dan organik yang dilakukan pada padi sawah varietas GR 11, yang antara lain dengan perlakuan (tanpa pupuk, 50% N RDF + 50% N vermikompos, 75% RD NPK + 25% vermikompos) dari dosis pupuk yang direkomendasikan. Perlakuan kombinasi pupuk (50% N RDF + 50% N vermikompos) memberikan pertumbuhan padi hasil yang lebih tinggi daripada semua perlakukan lainnya. Hasil gabah dan jerami yang dihasilkan pada perlakuan kombinasi pupuk (50% N RDF + 50 % N vermikompos) masingmasing 4,97 t ha-1 dan 5,77 t ha-1, sedangkan pada tanpa pemupukan hanya dihasilkan masing-masing 2,76 t ha-1 dan 3,53 t ha-1. Pada perlakuan kombinasi pupuk (75% RD NPK + 25% vermikompos) mampu menghasilkan jerami dan gabah masing-masing 4,23 t ha-1 dan 5,15 t ha-1. Bila dibandingkan dengan tanpa pemupukan, maka berarti bahwa perlakuan kombinasi pupuk (50% N RDF + 50% N vermikompos) menghasilkan peningkatan produksi jerami dan hasil gabah masing-masing sebanyak 80,01 % dan 40,51 %, sedangkan bila dibandingkan dengan perlakuan kombinasi pupuk (75% RD NPK + 25% vermikompos) dapat meningkatkan produksi dan hasil gabah masing-masing sebesar 53,27 % dan 29,29 %.