HUBUNGAN RASIO NETROFIL TERHADAP LIMFOSIT DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARINGS Karya Tulis Akhir Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat spesialis Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok-Kepala Leher Program Pendidikan Dokter Spesialis Diajukan oleh: Ignatius Adhi Akuntanto NIM: 10/306193/PKU/11604 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok RSUP dr. Sardjito/Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2014 LEMBAR PENGESAHAN Karya Tulis Akhir HUBUNGAN RASIO NETROFIL TERHADAP LIMFOSIT DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARINGS Diajukan oleh: Ignatius Adhi Akuntanto 10/306193/PKU/11604 Telah disetujui oleh: Pembimbing Materi dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL (K) NIP : 19680715 199903 2 002 Tanggal: Pembimbing Metodologi dr. Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-KL NIP. 19751218 20081 2 2002 Tanggal: Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL (K) NIP : 19680715 199903 2 002 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini bukan merupakan karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Yogyakarta, Desember 2014 Ignatius Adhi Akuntanto iii PRAKATA Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan Karya Tulis Akhir dengan judul “Hubungan Rasio Netrofil terhadap Limfosit dengan Stadium Klinis pada Karsinoma Nasofarings” dapat terlaksana. Penyusunan karya tulis akhir ini merupakan salah satu syarat mencapai derajat spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dengan selesainya penyusunan karya tulis akhir ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat kedua pembimbing, dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL(K), selaku pembimbing materi dan dr. Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-KL, selaku pembimbing metodologi yang dengan sabar memberikan masukan, pengarahan, saran, nasehat, dan bimbingan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis dari awal hingga akhir. Ucapan terima kasih serupa juga saya sampaikan kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta beserta staf yang telah memberi kesempatan menempuh pendidikan kepada penulis. 2. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta beserta staf yang telah memberikan fasilitas dalam menempuh pendidikan kepada penulis. 3. Prof. Dr. dr. H. Soewito Atmosoewarno, SpTHT-KL(K) atas bimbingan dan masukannya dalam penyusunan dan penulisan karya tulis akhir ini. 4. Prof. DR. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT-KL(K) atas bimbingan dan masukannya dalam penyusunan dan penulisan karya tulis akhir ini. iv 5. Prof. dr. Soepomo Soekardono, Sp.THT-KL(K) atas bimbingan dan masukannya dalam penyusunan dan penulisan karya tulis akhir ini. 6. DR. dr. Bambang Udji Djoko Rianto, Sp.THT-KL(K), M.Kes., selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 7. dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL(K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 8. Seluruh staf pendidik di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 9. Seluruh pasien yang rekam medisnya kami pergunakan demi berjalannya proses penulisan karya tulis akhir ini. 10. Segenap rekan residen, staf non edukatif Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UGM dan Bagian Patologi Anatomi FK UGM/RSUP Dr. Sardjito serta paramedis SMF THT-KL RSUP Dr. Sardjito yang dengan tulus memberikan bantuan saran, dukungan dan sumbangan pemikiran. 11. Terimakasih terbesar penulis sampaikan kepada ayah, ibu serta kakak dan adik-adik tercinta yang selalu setia mendoakan, menemani dan menjadi inspirasi dalam menyelesaikan pendidikan. Penulis menyadari bahwa karya tulis akhir ini jauh dari sempurna. Segala masukan dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan karya tulis akhir ini. Akhir kata penulis berharap karya tulis akhir ini dapat memberikan manfaat v bagi semua pihak khususnya untuk perkembangan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Yogyakarta, Desember 2014 Penulis vi DAFTAR ISI Halaman Judul .....................................................................................................i Lembar Pengesahan ............................................................................................ii Pernyataan .........................................................................................................iii Kata Pengantar ...................................................................................................iv Daftar Isi ...........................................................................................................vii Daftar Tabel .......................................................................................................ix Daftar Gambar..................................................................................................... x Daftar Singkatan ................................................................................................xi Daftar Lampiran................................................................................................xii Intisari ..............................................................................................................xiii Abstract ............................................................................................................xiv BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1 A. Latar Belakang .................................................................................. .1 B. Perumusan Masalah............................................................................ 4 C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 5 D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5 E. Manfaat Penelitian.............................................................................. 5 F. Keaslian Penelitian ............................................................................. 5 BAB.II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 7 A. Karsinoma nasofarings....................................................................... 7 B. Hubungan Inflamasi dan Kanker...................................................... 17 C. Netrofil dan Kanker.......................................................................... 21 D. Limfosit dan kanker ......................................................................... 25 E. Rasio Netrofil Terhadap Limfosit dalam Perkembangan Kanker .... 27 F. Kerangka Teori ................................................................................. 30 G. Kerangka Konsep ............................................................................. 32 H. Hipotesis.......................................................................................... 32 BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................. 35 A. Desain Penelitian ............................................................................. 33 B. Populasi Penelitian........................................................................... 34 C. Kriteria Sampel Penelitian ............................................................... 34 D. Sampel.............................................................................................. 34 E. Alur Penelitian ................................................................................. 36 F. Definisi Operasional Variabel.......................................................... 36 G. Batasan Operasional......................................................................... 37 H. Analisis Penelitian ........................................................................... 38 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 41 A. Karakteristik Subyek Penelitian........................................................ 42 B. Hubungan NLR dengan Stadium Klinis KNF .................................. 45 vii C. Hubungan NLR dengan Gambaran Klinis KNF ............................... 50 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 55 Daftar Pustaka ................................................................................................... 56 Lampiran ........................................................................................................... 61 viii DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9. Klasifikasi TNM karsinoma nasofarings…………………………... Pembagian stadium karsinoma nasofarings ……………………... Hubungan kanker dengan infeksi dan inflamasi.......…..………….. Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………… Distribusi Umur Subyek Penelitian……………………………….. Hubungan NLR dengan stadium klinis KNF……………………… Hubungan NLR dengan umur ……………………………………. Hubungan NLR dengan jenis kelamin…………………………….. Hubungan NLR dengan derajad histopatologi…………………….. ix 11 12 18 42 44 46 49 51 53 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar10. Gambar 11. Peran inflamasi dalam karsinogenesis............................................. Efek netrofil pada tumor microenvironment.................................... Mekanisme induksi netrofilia oleh sel tumor.................................. Skema rekrutmen netrofil kedalam sel kanker................................ Respon awal sistem imun terhadap sel kanker………………........ Imunitas anti tumor limfosit……………………………………… Kerangka teori................................................................................. Kerangka konsep............................................................................. Bagan rancang penelitian................................................................. Alur penelitian................................................................................. Kurva receiver operating characteristic ………………………… x 20 22 24 24 27 29 33 34 35 38 46 DAFTAR SINGKATAN AJCC CC COX2 Ct-Scan CXC DMFS DNA DSS EBV GM-CSF GPS ICAM-1 IFN IL-6 iNOS KNF LRFS MHC mRNA NF-kB NLR NO PMN RL RNS ROS RS RSUP TANs TFH TGF-β TH THT-KL TNF Treg UICC USG VEGF WHO : American Joint Committee on Cancer : Cysteine-Cysteine : Cyclooxygenase 2 : Computed Tomography Scanning : Cysteine-X-Cysteine : Distant Metastasis-Free Survival : Deoxyribonucleic Acid : Disease-Spesific Survival : Epstein-Barr Virus : Granulocyte and Macrophage Colony Stimulating Factor : Glasgow Prognostic Score : Intercellular Adhesion Molecule-1 : Interferon : Interleukin-6 : Inducible Nitric Oxide Synthase : Karsinoma nasofarings : Locoregional Recurrence-Free Survival : Major Histocompatibility Complex : messenger Ribonucleic Acid : Factor-kB : Neutrophyl Lymphocyte Ratio : Nitric Oxide : Polymorphonuclear Leukocyte : Respons Lengkap : Reactive Nitrogen Species : Reactive Oxygen Species : Respons Sebagian : Rumah Sakit Umum Pusat : Tumor-Associated Neutrophils : T Follicular Helper : Transforming Growth Factor-β : T Helper : Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher : Tumor Necrosis Factor : regulatory T cells : Union International Contre le Cancer : Ultrasonography : Vascular Endothelial Growth Factor : World Health Organization xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Kompilasi Data Penelitian…………………………………………..61 Koordinat kurva ROC………………………………………………63 Ethics Committee approval………………………………………….64 xii HUBUNGAN RASIO NETROFIL TERHADAP LIMFOSIT DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARINGS INTISARI Latar belakang: Respon inflamasi sistemik telah terbukti berperan sebagai faktor promotor metastasis dan progresivitas tumor melalui inhibisi apoptosis, promosi angiogenesis dan kerusakan DNA. Rasio netrofil terhadap limfosit (NLR), sebagai salah satu penanda inflamasi, berhubungan dengan progresivitas dan metastasis berbagai macam keganasan. Hubungan NLR dengan karsinoma nasofarings (KNF) masih belum jelas. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan NLR dengan stadium klinis KNF. Metode: Rancang penelitian adalah kasus kontrol. Data sampel penelitian diambil dari rekam medis, yaitu pasien yang telah terdiagnosis KNF di bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta, melalui pemeriksaan patologi anatomi, denga stadium klinis telah ditentukan melalui pemeriksaan CT-Scan, rontgen toraks, USG abdomen dan bone survey. Pasien KNF stadium lanjut dikategorikan sebagai kelompok kasus, sedangkan pasien KNF stadium awal dikategorisasikan sebagai kelompok kontrol. Nilai netrofil dan limfosit diambil dari hasil pemeriksaan darah rutin sebelum dilakukan terapi. Analisis statistik untuk membuktikan hipotesis menggunakan chi square. Hasil: Sampel penelitian berjumlah 48 pasien KNF, masing-masing kelompok terdiri atas 24 sampel. Terdapat hubungan yang bermakna NLR dengan stadium klinis pasien KNF, dengan nilai p = 0,03 dan Rasio Odd (OR) = 4,231 (interval kepercayaan 95% 1,107-16,167). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara NLR dengan stadium klinis pada KNF. Kata Kunci: Karsinoma nasofarings, rasio netrofil limfosit, stadium klinis xiii ASSOCIATION OF NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO WITH CLINICAL STAGING IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA ABSTRACT Background: Systemic inflammatory response could promote tumor metastasis and progression by inhibition of apoptosis, promotion of angiogenesis, and damage of DNA. Neutrophyl to lymphocyte ratio, one of the inflammatory marker, has been shown to be associated with progression and metastasis of many kinds of malignancies. Whereas its role in nasopharyngeal carcinoma (NPC) remains unclear. Purpose: To determine the association between neutrophil lymphocyte ratio with clinical staging in NPC. Methods: Research design was case control study. Sample of this research which was taken from medical records, is NPC patients who had undergone anatomy pathology examination and whose clinical staging had been determined by CTscan, thorax plain photo, abdominal USG and bone survey. Late clinical staging was categorized as case group, while early clinical staging was categorized as control group. Neutrophil and lymphocyte value were taken from routine blood examination before treatment. Statistical analysis to prove the hypothesis were using chi square. Result: Study sample were 48 NPC patient, each group consisted of 24 sample. There was statistically significant association between NLR with clinical staging in NPC, with p = 0,03 and Odds Ratio (RO): 4,231 (95% confidence interval 1,107-16,167). Conclusion: There is significant association between NLR with clinical staging in NPC. Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, neutrophil lymphocyte ratio, clinical staging. xiv 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker nasofarings (KNF) adalah kanker yang berkaitan dengan virus Epstein-Barr dengan distribusi geografis dan etnis yang khas. Insidensi KNF di Cina selatan, terutama di provinsi Guangdong mencapai 25 kasus setiap 100.000 penduduk. Angka kejadian tersebut 100 kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka kejadian di negara-negara barat (Parkin et al., 2002; Yu & Yuan, 2002). Penegakkan diagnosis dan terapi KNF sedini mungkin berhubungan dengan peningkatan angka kesembuhan. Beberapa biomarker molekuler, seperti DNA EBV, telah diidentifikasi berkaitan dengan prognosis KNF. Pemeriksaan biomarker tersebut memerlukan biaya tinggi sehingga penggunaannya sangat terbatas (Lo et al., 2000; Lin et al., 2004). Beberapa penelitian terbaru menunjukkan peran respons inflamasi sistemik dalam meningkatkan peluang metastasis dan progresi tumor melalui inhibisi apoptosis, promosi angiogenesis dan kerusakan DNA (McMillan, 2009). Dalam beberapa dekade terakhir, hitung jenis leukosit perifer pra terapi (meliputi netrofil, limfosit dan monosit) telah diteliti dalam kaitannya dengan prognosis berbagai tipe kanker. Jumlah netrofil pra terapi yang tinggi berhubungan dengan prognosis buruk pada pasien non-small cell lung cancer (Paesmans et al., 1995; Teramukai et al., 2009). small cell lung cancer (Paesmans et al., 2009), dan renal cell cancer (Negrier et al., 2002; Atzpodien et al., 2003; Donskov & von der Maase, 2006). Angka yang tinggi dari netrofil, monosit atau lekosit telah dibuktikan sebagai faktor independen 2 prognosis buruk pada pasien melanoma dengan metastasis (Schmidt et al., 2005; Schmidt et al., 2007). Peningkatan netrofil/limfosit ratio (NLR) telah terbukti berkaitan dengan hasil pascaterapi yang buruk pada pasien epithelial ovarian cancer (Cho et al., 2009) dan beberapa kanker saluran pencernaan (Walsh et al., 2005; Gomez et al., 2007; Yamanaka et al., 2007; Halazun et al., 2008; Halazun et al., 2009; Kishi et al., 2009; Bhatti et al., 2010). Jumlah limfosit pra terapi yang tinggi juga dibuktikan sebagai faktor independen prognosis baik pada pasien dengan adenokarsinoma duktus pankreas (Clark et al., 2007); sementara itu peningkatan jumlah monosit berkaitan dengan prognosis buruk pasien karsinoma hepatoseluler (Sasaki et al., 2006). Terapi KNF stadium awal adalah radioterapi, sedangkan KNF stadium lanjut adalah kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Kemoterapi dilakukan secara induksi (neoadjuvant), tambahan (adjuvant) atau konkomitan (concurrent) (Prasat et al., 2002). Prognosis pasien KNF ditentukan terutama dari stadium klinis, yaitu berdasarkan pada Union International Contre le Cancer/American Joint Cancer Commite (UICC/AJCC) TNM staging system. Pasien - pasien dengan stadium klinis yang sama seringkali menunjukkan kondisi klinis pascaterapi yang berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa stadium klinis tidak cukup tepat dalam memprediksi prognosis KNF (Wang et al., 2011). Pasien-pasien KNF stadium dini dengan predisposisi metastasis memiliki kemungkinan kegagalan terapi jika hanya menjalani radioterapi saja (Li et al., 2012). Di sisi lain, pasien dengan stadium lanjut memiliki 3 harapan hidup pascaterapi yang relatif lebih lama. Overtreatment dapat mengakibatkan toksisitas, yang akan menurunkan kualitas hidup pasien, atau bahkan meningkatkan risiko kematian (Talmi et al., 2002). Kondisi tersebut mungkin terjadi karena sistem stadium TNM adalah berdasar pada sistem anatomi, dimana faktor fungsional tidak diperhatikan. Beberapa faktor prognosis KNF telah diidentifikasi secara retrospektif. Faktor-faktor tersebut diidentifikasi melalui pemeriksaaan imunohistokimia jaringan tumor, seperti apoptosis-related surviving and living, angiogenesis factor dan vascular endothelial growth factor (Co, 2007). Biomarker molekuler, seperti DNA EBV plasma juga telah dikaitkan dengan progonosis pasien KNF (Lo & Yuan, 2002; Lin et al., 2004). Namun, tingginya biaya dan keterbatasan peralatan seringkali membatasi pemakaian teknik tersebut. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari faktor-faktor lain untuk memprediksi prognosis pasien KNF, terutama indikator-indikator yang relatif murah dan mudah dilakukan. Pemeriksaan darah lengkap yang meliputi jumlah netrofil dan limfosit, adalah salah satu pemeriksaan sederhana dan biasa dilakukan, terutama dalam pra terapi pasien KNF. Diperlukan evaluasi untuk menentukan adakah hubungan antara rasio netrofil terhadap limfosit (NLR) dengan stadium klinis KNF di RSUP Dr. Sardjito. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Karsinoma nasofarings adalah keganasan kepala leher yang paling sering terjadi di Indonesia. 4 2. Jumlah pasien karsinoma nasofarings RSUP Dr. Sardjito semakin meningkat setiap tahun. 3. Respon inflamasi sistemik meningkatkan peluang metastasis dan progesifitas tumor melalui inhibisi apoptosis, promosi angiogenesis dan kerusakan DNA. Terdapat hubungan antara respon inflamasi sistemik dengan perubahan sel darah putih sirkulasi, terutama adanya netrofilia dan limfositopenia relatif . 4. Netrofil merupakan salah satu penyusun infiltrat sel inflamasi yang dijumpai dalam berbagai kanker pada manusia. Netrofil di sirkulasi perifer maupun dalam tumor microenvironment menghasilkan faktor-faktor pro angiogenesis yang meliputi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan dalam merangsang pertumbuhan tumor. Nilai netrofil perifer yang tinggi menandakan kejadian inflamasi terkait kanker atau suatu progresi tumor dan berhubungan dengan prognosis yang buruk. 5. Limfosit merupakan komponen penting dari sistem imun adaptif, dan infiltrasi limfosit menunjukkan adanya respon imun seluler anti tumor yang efektif. 6. Nilai NLR memiliki nilai prognosis dan berhubungan dengan harapan hidup pasien dengan berbagai tipe tumor. 7. Hubungan NLR dengan stadium klinis pasien KNF belum diketahui secara jelas. 5 C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat hubungan rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis pasien karsinoma nasofarings? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis pasien karsinoma nasofarings. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan mengenai hubungan rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis pasien karsinoma nasofarings. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai asupan pengembangan manajemen karsinoma nasofarings. F. Keaslian Penelitian Rencana penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh An et al. (2010). Dalam penelitian tersebut, prognosis KNF dinilai menggunakan disease– spesific survival (DSS), distant metastasis-free survival (DMFS) dan locoregional recurrence-free survival (LRFS). Rencana penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh He et al. (2011). dalam penelitian tersebut, prognosis dinilai menggunakan overall survival (OS) dan progression-free survival (PFS). Variabel-variabel tersebut dibandingkan dengan nilai NLR pra terapi pasien KNF. Sementara Sambasivaiah et al. (2005) melakukan penelitian tentang hubungan hitung jenis sel darah dan pola sitokin dengan stadium klinis pasien. Penelitian tersebut menggunakan 36 pasien kanker yang terdiri atas kanker leher rahim, paru-paru, 6 payudara, hati, kolon, otak, esofagus, choriocarcinoma, kepala leher, ovarium, pankreas, lambung dan testis. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut diatas. Penelitian ini menentukan hubungan nilai NLR dengan stadium klinis pasien KNF. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karsinoma Nasofarings Karsinoma nasofarings adalah tumor yang berasal dari sel epitel yang melapisi permukaan nasofarings, terutama pada dinding lateral nasofarings termasuk fossa Rosenmuller, yang dapat meluas posterosuperior ke dasar tengkorak, palatum, cavum nasi atau orofaring (Ali & Al Sarraf, 1999). KNF adalah keganasan kepala dan leher yang paling sering dijumpai di Indonesia. Di Yogyakarta, berdasarkan data RS Sardjito, KNF merupakan kanker nomor 1 yang terjadi pada laki-laki dan kanker nomor 3 yang terjadi pada perempuan (Fachiroh et al., 2008). Data menunjukkan, insidensi keganasan ini di Yogyakarta mencapai 6,2 setiap 100.000 penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2006-2010, 90% pasien KNF di RSUP. DR. Sardjito Yogyakarta menunjukkan gambaran histopatologi WHO tipe III, dimana tipe tersebut memiliki hubungan kuat dengan infeksi EBV (Hutajulu, 2011). Karsinoma nasofarings merupakan keganasan yang jarang terjadi di beberapa bagian dunia namun terjadi secara endemik di Cina selatan, Hongkong, Korea, Singapura, dan beberapa bagian di Asia Tenggara dengan insidensi tertinggi ( >15 kasus/100.000 populasi/tahun) (Stevens et al., 2005).). Karsinoma nasofarings berdasarkan derajat diferensiasinya diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu: WHO tipe 1 typical keratinizing squamous cell, WHO tipe 2 nonkeratinizing carcinoma, dan WHO tipe 3 undifferentiated carcinoma yang merupakan tipe yang paling sering terjadi (Khademi et al.,2006). Karsinoma 8 nasofarings merupakan occult tumor yang dapat mengenai semua umur dengan insidensi meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada usia 40-60 tahun (Chan et al., 2005; Lee, 2003). Faktor etiologi yang berperan dalam kejadian karsinoma nasofarings ada 3, yaitu: infeksi virus Epstein-Barr, kecenderungan genetik, dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain tinggal di rumah yang ventilasinya tidak baik, tidak ada pemisahan antara dapur dan bagian rumah lain, kebiasaan memasak dengan menggunakan kayu bakar, mengkonsumsi makanan yang dikeringkan dengan diasap, dan menghirup asam secara kontinyu dalam durasi yang panjang. Inhalasi asap dalam waktu panjang, terutama asap dari kayu bakar, dilaporkan mengandung karsinogen yang dapat terdeposisi di bagian posterior dan lateral dinding nasofarings selama beberapa jam, hari, atau tahun (Ganguly, 2003). Kebiasaan merokok selama 10 tahun juga dilaporkan menaikkan risiko terkena KNF (Lin et al., 1973 cit Ganguly, 2003). Beberapa bahan makanan juga dicurigai berperan dalam perkembangan KNF yaitu ikan asin yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Kanton. Hal ini disebabkan oleh kandungan nitrosamin dalam ikan asin. Penelitian case control lain di Hongkong, Malaysia, dan Cina menunjukkan hubungan yang kuat antara konsumsi ikan asin pada masa kanak-kanak dengan kejadian KNF (Ganguly, 2003). Paparan terhadap formaldehid juga diketahui menginduksi kanker pada nasal, baik itu kanker sinonasal atau karsinoma nasofarings (Rous et al.,1967 cit Ganguly, 2003). Tingginya 9 insidensi KNF di Cina selatan menunjukkan adanya kecenderungan genetik pada kejadian KNF (Ganguly, 2003). Tanda dan gejala yang muncul pada pasien karsinoma nasofarings berhubungan dengan posisi dan ukuran tumor di nasofarings, perluasan langsung keluar nasofarings, dan penyebaran jauh (metastasis tumor) (Indrasari, 2004). Gejala dini karsinoma nasofarings tidak khas dan jarang disadari oleh penderita, dimana tumor masih terbatas pada rongga nasofarings. Gejala dini ini perlu diperhatikan pada orang risiko tinggi yakni usia diatas 40 tahun. Tumor mula-mula tumbuh di fossa Rosenmuller selanjutnya menyebabkan oklusi muara tuba. Penderita akan mengeluh rasa penuh di telinga, berdenging dan kadang-kadang disertai gangguan pendengaran yang bersifat unilateral. Bila oklusi tuba berlangsung lama dapat terjadi otitis media serosa (Al Sarraf & Reddy, 2002). Pertumbuhan tumor menyebabkan permukaan mukosa menebal dan rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Keluhan hidung yang terjadi adalah pilek berulang dengan ingus dan dahak bercampur darah serta gangguan penciuman. Bila pertumbuhan tumor ini berlanjut akan meluas ke dalam rongga nasofarings, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang menetap. Gejala lanjut timbul karena perluasan tumor primer di nasofarings menyebar melalui saluran getah bening atau metastasis jauh. Tumor dapat meluas ke intra-kranial melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf III, IV, dan VI dengan keluhan berupa diplopia. Kemudian saraf V dengan keluhan berupa hipoestesi wajah, 10 optalmoplegi dan ptosis. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intra kranial (Mulyarjo, 2002). Pemeriksaan yang penting dalam menegakkan diagnosis karsinoma nasofarings adalah inspeksi nasofarings, palpasi leher, pemeriksaan saraf-saraf kranial, dan pemeriksaan radiologis (CT-scan). Pemeriksaan rinoskopi posterior secara tidak langsung dapat membantu menegakkan diagnosis KNF. Jika ditemukan tanda tumor primer, maka jenis tumor itu harus ditentukan dengan biopsi histopatologik (Velde et al.,1999). Untuk menilai prognosis, rencana terapi dan evaluasi hasil terapi dikenal klasifikasi stadium dengan variabel TNM. Status T menggambarkan keadaan tumor primer dan perluasannya, status N menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar limfe regional, status M menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium klinis penderita dinilai berdasarkan ketiga status tersebut (Indrasari, 2004). Untuk sistem klasifikasi ini digunakan sistem klasifikasi KNF menurut AJCC tahun 1997 yang secara lengkap dituliskan dalam tabel 1 dan pembagian stadiumnya dapat dilihat pada tabel 2. 11 Tabel 1. Klasifikasi KNF berdasarkan besar tumor (T), keterlibatan limfonodi regional (N) dan metastasis (M). Klasifikasi Keterangan Tumor primer T1 Tumor terbatas pada nasofarings. T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofarings dan/atau kavumnasi, T2a tanpa perluasan ke parafarings, T2b dengan perluasan ke parafarings. Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus T3 paranasal T4 Tumor meluas ke intrakranial dan/atau melibatkan nervus kranialis, hipofarings, fossa infratemporalis, atau orbita. Limfonodi Regional N0 N1 Tidak ada metastasis limfonodi regional Metastasis unilateral dengan nodus <6cm, di atas fossa supraklavikula N2 Metastasis bilateral dengan nodus <6cm, di atas fossa supraklavikula N3a Metastasis nodus ukuran >6cm, tidak ada perluasan ke fossa supraklavikula Metastasis limfonodi ukuran >6cm dengan perluasan ke fossa supraklavikula N3b Metastasis M0 M1 Tidak terdapat metastasis jauh terdapat metastasis jauh Sumber: AJCC (1997) Radioterapi masih memegang peranan penting dalam pengobatan KNF, hal ini disebabkan banyaknya organ vital yang saling berdekatan letaknya sehingga tindakan operatif akan menimbulkan gangguan fungsi dan kosmetika. Radioterapi 12 dengan atau tanpa kemoterapi saat ini adalah terapi standar untuk karsinoma nasofarings karena tumor ini bersifat radiosensitif (Khademi et al., 2006). Copper et al. (2000) cit Khademi et al.(2006) dalam penelitiannya menunjukkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi dapat meningkatkan kesembuhan pasien. Sistem Klasifikasi Stadium (AJCC) Tabel 2. Pembagian stadium KNF menurut AJCC 1997 Stadium Keterangan I T1N0M0 IIA T2aN0M0 IIB T1N1M0 atau T2aN1M0 atau T2bN0-1M0 III T1-2N2M0 atau T3N0-2M0 IVA T4N0-2M0 IVB Setiap TN3M0 IVC Setiap T, Setiap N,M1 Sumber: AJCC (1997). Sampai saat ini hasil terapi radiasi pada KNF belum memuaskan. Ini ditunjukkan dari angka kegagalan radioterapi dalam eradikasi sel kanker yang cukup tinggi yaitu sebesar 35-57 %. Jaringan tumor nasofarings yang tidak dapat dimatikan oleh radiasi dapat berkembang menjadi kekambuhan (rekuren) yang mempunyai prognosis buruk. Terapi kombinasi (kemoterapi) pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi, terutama pada stadium lanjut atau keadaan kambuh (Sham, 1993). Kemoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang sangat penting dalam penatalaksanaan keganasan di daerah kepala dan leher. Tujuan pemberian kemoterapi ajuvan dalam tatalaksana keganasan di daerah kepala leher stadium lanjut lokoregional untuk menghilangkan tumor lokal, regional dan mikrometastasis. 13 Diantara berbagai regimen kemoterapi yang sering digunakan adalah kombinasi Cisplatin dengan 5-fluorouracil, Methotrexate, Bleomycin, Mitomycin C, Vincristine, Cyclophosphamide atau Doxorubicin. Akhir-akhir ini dilaporkan kombinasi Cisplatin/Paclitaxel dan Cisplatin/Gemcitabine efektif untuk keganasan di daerah kepala dan leher. Kemoterapi yang diberikan bersamaan dengan radioterapi (concomitant chemoradiotherapy) dilaporkan memberi hasil yang lebih baik (Jacob, 1991). Sasaran pemberian kemoterapi adalah untuk memperbaiki angka kesembuhan dengan memperkecil ukuran tumor sebelum radiasi. Karsinoma nasofarings mudah mengalami metastasis, terutama jenis yang berdiferensiasi buruk. Kemoterapi dapat mengeliminir mikrometastasis seawal mungkin. Kemoterapi juga mempengaruhi selsel yang berada pada fase tertentu yang tidak peka terhadap radiasi tersebut, dirangsang masuk ke fase berikutnya yang lebih peka tanggapan terhadap radiasi (Sham, 1993). Hasil kemoradioterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Tingkat respons tumor terhadap radiasi ditentukan berdasar atas hasil pengukuran volume tumor nasofarings pra dan pasca radioterapi dari CT Scan (oleh Dokter Spesialis Radiologi), hasil pemeriksaan nasofarings (oleh Dokter Spesialis THT) dan hasil sitologi nasofarings (oleh Dokter Patologi Anatomi). Penilaian respons tumor terhadap radiasi menggunakan kriteria WHO (WHO offset Publication No. 48, 1979. cit. Affandi, 1992) yaitu respons lengkap (RL), respons sebagian (RS), tak ada respons (TR) dan tumor progesif (P). KNF respons tinggi meliputi RL dan KNF 14 respons rendah meliputi RS, TR, P. (Affandi , 1989). Sehubungan dengan respon terapi dan prognosis pada angka harapan hidup tumor KNF, perlu dicari mekanisme untuk memperbaiki keadaan tersebut diantaranya adalah deteksi awal yang bisa dijadikan alat skrining, proses molekuler pada karsinogenesisnya, dan pemilihan terapi yang adekuat. Dengan kemajuan teknologi dan hasil penelitian yang sangat progresif, diharapkan dalam waktu dekat dapat memecahkan masalah tersebut diatas (Affandi , 1989). Penyebaran tumor baik secara lokal maupun regional terjadi pada lebih 60% pasien. Untuk kelompok tersebut, meskipun telah diberikan terapi yang adekuat, kegagalan terapi yang disebabkan oleh resistensi primer maupun didapat pada agen yang merusak DNA masih menyisakan masalah yang besar dan masih belum diketahui penyebabnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap respons terapi baik dan buruk masih belum teridentifikasi secara spesifik (Jacob, 1991). Beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis penyakit ini, antara lain ukuran tumor yang berkaitan dengan infiltrasinya ke organ sekitar, tipe tumor secara histopatologik, keterlibatan limfonodi leher, usia, jenis kelamin, dan teknik terapi yang diberikan. Sejumlah besar penelitian menunjukkan dengan pemberian radioterapi saja, rata-rata 5-years survival rate untuk KNF stadium I 85-90% dan stadium II 70-80%. Pada stadium lanjut (IIIIV), dengan radioterapi saja, rata-rata 5-years survival rate 37% dan meningkat menjadi 67% pada pemberian kemoterapi bersama dengan radioterapi (Ho, 2009). Kadkhoda et. al. (2007) menunjukkan angka local relapse-free survival (LRFS), regional relapse-free survival (RRFS) dan distant metastases relapse-free survival 15 (DRFS) berturut-turut adalah 90%, 100% dan 100% untuk KNF stadium I dan II. Untuk stadium III dan IV, berturut-turut adalah 51%, 87% DAN 69%. Akhir-akhir ini, penelitian di negara-negara maju mendukung peran EBV pada perkembangan tumornya, pada awalnya EBV dihubungkan dengan KNF, namun akhir-akhir ini juga ditemukan pada organ-organ kepala dan leher (McKaig, 1998). Dengan kemajuan teknologi, terdapat kemajuan yang sangat luar biasa mengenai penelitian-penelitian tentang marker genetik, marker deteksi virus, dan KNF. Penggunaan marker molekuler (biomarker) pada tumor kepala dan leher juga memberikan kontribusi yang besar, dimana akan memberikan perbaikan pada deteksi, pengobatan dan prevensi tumor kepala dan leher. Terdapat data yang mengindikasikan bahwa marker genetik dan virus mungkin merupakan hal penting untuk perkembangan terapi KNF di masa yang akan datang (McKaig, 1998). Evaluasi pascaterapi karsinoma nasofarings harus dilakukan dengan cara kombinasi yaitu secara klinis, pemeriksaan nasoendoskopi, pemeriksaan CT-scan dan biopsi. Saat ini biopsi nasofarings merupakan baku emas untuk mendeteksi atau sebagai penentu keberhasilan terapi KNF. Biopsi nasofarings dilakukan apabila pada CT-scan masih terlihat adanya massa tumor di daerah nasofarings atau pada nasofarings yang berbenjol-benjol/ ulseratif pada saat dilakukan nasoendoskopi. Hasil biopsi (patologi anatomi) merupakan baku emas untuk keberhasilan terapi KNF. Terapi dikatakan berhasil jika hasil biopsi tidak dijumpai sel ganas dan tidak dijumpai tanda-tanda metastasis jauh (Hao et al.2004). 16 Evaluasi dilakukan pada minggu ke-6 hingga minggu ke-8 pasca terapi selesai (Sham, 2003). Chao et al (2003) melakukan evaluasi terapi setelah 12 minggu pasca terapi, dilanjutkan tiap 3 bulan pada tahun pertama, tiap 4 bulan pada tahun ke-2 dan setiap 6 bulan pada tahun ke-3 serta selanjutnya evaluasi dilakukan setiap tahun. Chao et al (2003) juga melakukan penelitian mengenai sensitifitas dan spesifitas CTscan terhadap biopsi nasofarings pasca terapi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sensitifitas sebesar 50% dan spesifitas sebesar 41,9% sedangkan sensitifitas nasoendoskopi terhadap biopsi sebesar 75% dengan spesifitas sebesar 94,3%, sehingga dapat disimpulkan bahwa CT-scan digunakan hanya sebagai indikasi adanya metastasis di daerah sinus paranasal, adanya erosi tulang tengkorak dan metastasis di kelenjar limfe leher, sedangkan nasoendoskopi digunakan untuk menuntun biopsi baik pra ataupun pascaterapi. Penderita KNF pascaterapi disebut residual jika dari hasil evaluasi masih dijumpai sisa masa tumor pada pascaterapi. Persistensi adalah jika massa tumor pra dan pascaterapi adalah tetap. Residif atau rekurensi adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh pascaterapi kemudian dalam jangka waktu tertentu mulai timbul gejala yang menyokong adanya kekambuhan yang dibuktikan dengan hasil evaluasi pada pemeriksaan fisik maupun penunjang (Sham et al., 1989; Chua et al., 1998). B. Hubungan Inflamasi dan Kanker Hubungan kanker dan inflamasi pertama kali dikemukakan pada tahun 1863 oleh Rudolf Virchow (Kundu & Surh., 2008; Mantovani et al., 2008). Inflamasi kronis merupakan dasar patologi kejadian keganasan pada manusia. Kanker muncul 17 pada lokasi inflamasi kronis dan sel-sel inflamasi ditemukan pada saat dilakukan biopsi jaringan tumor. Virchow mengemukakan bahwa iritasi menyebabkan cedera jaringan, inflamasi, dan meningkatkan proliferasi sel (Schottenfeld et al., 2006). Kerusakan jaringan, baik fisik, kimia, atau infeksi akan memicu respon inflamasi. Respon tersebut merupakan mekanisme penting untuk melawan agen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan jaringan dan selanjutnya memulai proses perbaikan jaringan dengan membentuk respons imun (Eiró & Vizoso, 2012). Walaupun inflamasi bertindak sebagai pertahanan adaptif terhadap infeksi atau cidera yang kebanyakan merupakan proses self-limiting, tetapi resolusi yang tidak adekuat dan sempurna dari respon inflamasi sering menyebabkan berbagai penyakit kronis termasuk kanker (Kundu & Surh, 2008). Penanda inflamasi terkait kanker meliputi terdapatnya sel-sel inflamasi dan dihasilkannya mediator inflamasi (misalnya kemokin, sitokin dan prostaglandin) pada jaringan tumor, proses remodelling jaringan, dan angiogenesis (Mantovani et al., 2008). Banyak studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa inflamasi kronis merupakan faktor predisposisi terjadinya berbagai jenis kanker. Beberapa pemicu inflamasi kronis yang meningkatkan risiko terjadinya kanker dapat dilihat pada tabel 3 (Mantovani et al., 2008). Kanker dan inflamasi dihubungkan oleh dua jalur yaitu, jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik diaktifkan oleh peristiwa genetik yang menghasilkan neoplasia. Peristiwa ini meliputi aktivasi berbagai jenis onkogen dengan mutasi, amplifikasi, dan inaktivasi gen supresor tumor. Sel yang diubah dengan cara ini 18 menghasilkan mediator inflamasi, sehingga terbentuk lingkungan mikro inflamasi pada tumor. Sebaliknya, pada jalur ekstrinsik, inflamasi atau infeksi meningkatkan risiko perkembangan kanker pada lokasi anatomi tertentu (Allavena et al., 2008). Tabel 3. Contoh hubungan kanker dengan infeksi dan inflamasi Keganasan Kondisi yang berhubungan Kolorektal Inflammatory bowel disease Lambung Gastritis Helicobacter pylori Esofagus Barrett’s esophagus Pankreas Pankreatitis kronis Paru Merokok Mesothelioma Asbestosis Bladder Cystitis, schistosomiasis Hepar Hepatitis B dan C Cerviks dan anus Papilloma virus Ovarium Pelvic inflammatory disease KNF EBV Kaposi’s sarcoma HPV tipe 8 (Moore et al., 2010) Cedera pada sel yang berkelanjutan karena inflamasi dapat menyebabkan karsinogenesis. Berbagai sel-sel inflamasi direkrut ke tempat infeksi atau inflamasi. Sel inflamasi menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) yang dapat berfungsi sebagai efektor kimia inflamasi yang mendorong karsinogenesis. Dengan demikian, salah satu mekanisme dimana inflamasi kronis dapat memulai tumorogenesis adalah peningkatan ROS dan RNS dalam jaringan inflamasi dan kerusakan DNA yang menyebabkan aktivasi onkogen dan/ atau inaktivasi gen supresor tumor (Kundu & Surh, 2008). 19 Inflamasi kronis terlibat dalam semua tahap karsinogenesis, yaitu tahap awal, pertumbuhan dan perkembangan kanker. Jaringan yang mengalami inflamasi persisten menyebabkan ROS/RNS berlebihan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan gen dan mengarah ke tahap awal kanker. Sel yang mengalami proliferasi menghasilkan mutasi sel yang membentuk massa premalignansi, dan peristiwa tersebut disebut pertumbuhan tumor (Kundu & Surh, 2008). Beberapa sel pra neoplastik mengalami mutasi tambahan dan menjadi ganas, dan proses ini disebut sebagai perkembangan tumor. Sel tumor yang mengalami proliferasi dikelilingi oleh stroma sel dan sel inflamasi atau sel imun yang membentuk sebuah lingkungan mikro tumor yang mencerminkan keadaan inflamasi persisten. Dalam tumor microenvirontment, berbagai mediator pro inflamasi berpartisipasi dalam sinyal inflamasi yang kompleks, dan memfasilitasi ekstravasasi sel tumor melalui stroma, sehingga mendorong perkembangan tumor (Kundu & Surh, 2008). Inflamasi berperan dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tumor melalui beberapa mekanisme, seperti mempercepat perkembangan siklus sel dan proliferasi sel, menghindari apoptosis atau kematian sel, dan merangsang neovaskularisasi tumor. Diantara molekul yang memainkan peran utama dalam hubungan inflamasi dan kanker adalah sitokin, kemokin, Cyclooxygenase 2 (COX2), Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), Nitric Oxide (NO), dan Factor-кB (NF-кB) (gambar 1) (Kundu & Surh, 2008). 20 Gambar 1. Perjalanan kanker: inflamasi sebagai kekuatan pendorong. Inflamasi terlibat dalam berbagai tahap karsinogenesis. ROS / RNS yang berasal dari stres inflamasi dapat menyerang DNA dan menyebabkan mutasi pada onkogen / gen supresor tumor atau perubahan genetik lainnya. Hal ini akan menyebabkan tahap awal karsinogenesis. Inflamasi juga berkontribusi pada tahap pertumbuhan dan perkembangan kanker dengan merangsang proliferasi sel, meningkatkan angiogenesis dan metastasis, membuat sel-sel prakanker atau neoplastik resisten terhadap apoptosis melalui mekanisme epigenetik (Kundu dan Surh, 2008). C. Netrofil dan kanker Netrofil atau polymorphonuclear leukocyte (PMN) berperan dalam pertahanan pejamu dari invasi mikroorganisme dan membantu penyembuhan luka (Nathan, 2006). Invasi patogen akan membangkitkan respon inflamasi yang akan merekrut netrofil ke lokasi infeksi. Setelah itu, netrofil mengeliminasi mikroorganisme menggunakan substansi sitotoksik (Smith,1994). Netrofil juga aktif 21 melepaskan proteinase kedalam ekstraseluler, yang mengakibatkan kerusakan jaringan pejamu sekitar (Pham, 2006). Netrofil memproduksi sitokin dan kemokin yang dapat mempengaruhi migrasi sel inflamasi dan mengubah respon imun. Proses perekrutan dan aktivasi PMN, yang terlihat saat infeksi, terjadi dalam tumor microenvironment; dimana bukti bukti menunjukkan, dalam konteks tersebut, PMN merugikan pejamu (Nathan, 2006). Netrofil merupakan salah satu penyusun infiltrat sel inflamasi yang dijumpai dalam berbagai kanker pada manusia (Belocq et al., 1998; Eck et al., 2003; Wislaz et al., 2003; Jensen et al., 2009). Berbagai tipe sel dalam tumor microenvironment memiliki kemampuan mensekresi substansi kemotaksis netrofil. Walaupun demikian, dalam beberapa kasus, sel tumor itu sendiri memediasi perekrutan netrofil ke lokasi tumorigenesis melalui sekresi kemokin Cysteine-X-Cysteine (CXC), yang menunjukkan bahwa tumor-associated neutrophils (TANs) tidak memiliki peran berarti dalam pertahanan pejamu. Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa keberadaan netrofil berhubungan dengan prognosis yang buruk. Sebagai contoh, pada pasien renal cell carcinoma menunjukkan bahwa keberadaan netrofil berkorelasi dengan peningkatan mortalitas (Jensen et al., 2009). Netrofil memiliki jumlah agen terbatas yang berperan dalam pertumbuhan dan sifat invasif tumor. Agen-agen tersebut meliputi kemokin dan/atau sitokin, reactive oxygen species (ROS), dan matrix-degrading proteinases. Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya TANs, dengan menggunakan berbagai substansi diatas tersebut, dalam mempengaruhi sistem imun tumor, metastasis, angiogenesis dan 22 proliferasi sel. Kemampuan neutrofil dan sel-sel inflamasi lainnya dalam mendegradasi membran basal merupakan mediator dari invasi dan metastasis tumor. Gambar 2. Efek netrofil pada tumor microenvironment (Sumber: Tumor-Associated Neutrophils: New Targets for Cancer Therapy; A.D. Gregory and M. Houghton). Netrofil mengandung 4 tipe granula, dimana merupakan tempat penyimpanan proteinase. Setelah dilepaskan, proteinase netrofil tersebut akan mendegradasi sejumlah besar sitokin, kemokin dan reseptornya yang kemudian akan mengubah matriks ekstraseluler. Dalam proses tersebut, proteinase memiliki pengaruh kuat dalam proliferasi tumor, densitas pembuluh darah dan potensi metastasis (Pham, 2006). Netrofil di sirkulasi perifer maupun dalam tumor microenvironment menghasilkan faktor-faktor pro angiogenesis yang meliputi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan dalam merangsang pertumbuhan tumor. Oleh karena itu, nilai netrofil perifer yang tinggi menandakan kejadian inflamasi terkait 23 kanker atau suatu progresi tumor dan berhubungan dengan prognosis yang buruk (He et al., 2012). Dalam biologi kanker, perkembangan tumor memberikan kontribusi untuk perubahan dalam jumlah neutrofil yang beredar. Salah satu mekanisme yang mungkin adalah Granulocyte and Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) yang dihasilkan oleh sel tumor, mampu memobilisasi prekursor di sumsum tulang, atau Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) and Interleukin-6 (IL-6), yang dapat mengubah diferensiasi sel (gambar 3) (Murta & Murta, 2008). Neutrofil memasuki jaringan dari peredaran darah dibawah pengaruh kemokin tertentu (misalnya C-X-C motif ligand 1 (CXCL1), CXCL2, CXCL5, CXCL6, dan CXCL8), sitokin (misalnya TNF-α dan IFN-γ) dan molekul adesi sel yang terletak di permukaan neutrofil (CD11b) dan pada permukaan sel endotel, yaitu selectins misalnya Intraselular Molekul Adhesi-1 (ICAM-1). TGF-β meningkatkan jumlah neutrofil di dalam tumor yang terjadi melalui tiga jalur perekrutan, yaitu peningkatan ekspresi messenger RNA (mRNA) untuk kemokin CXC dan kemokin CC, mengaktifkan sitokin di dalam tumor, serta meningkatkan pengaturan Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) (Fridlender & Albelda, 2012). 24 Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam induksi neutrofilia oleh sel tumor (Murta & Murta, 2008). Gambar 4. Skema sel-sel dan faktor-faktor yang berpengaruh pada rekrutmen neutrofil ke dalam sel kanker (Fridlender & Albelda, 2012) Mekanisme sel limfosit dapat menarik atau mengaktifkan neutrofil adalah dengan menghasilkan GM-CSF, CXCL1, CXCL2, dan sitokin seperti TNF-α dan IFN-γ. Sitokin ini dapat merekrut netrofil dengan merangsang makrofag tumor atau sel endotel untuk memproduksi kemokin yang sesuai dan molekul sel adesi (gambar 4) (Fridlender & Albelda, 2012). 25 D. Limfosit dan Kanker Infiltrasi leukosit kedalam tumor yang sedang berkembang saat ini diakui sebagai titik penting dari perkembangan kanker (Collota et al., 2009). Diperkirakan bahwa respon imun awal pada neoplasma dini mencerminkan respon terhadap cedera akut jaringan, yang diikuti dengan infiltrasi berbagai populasi mieloid yang akhirnya diikuti dengan infiltrasi limfosit (Clark et al., 2007). Perkembangan tumor dan sel-sel neoplastik itu sendiri mengubah local immune microenvironment, sehingga akan cukup sulit membedakan respon imun terhadap cedera/ infeksi dengan respon imun terhadap perkembangan tumor. Inflamasi kronis dalam jaringan lokal akan terjadi jika pembersihan calon sel kanker tidak terjadi dan tejadi kegagalan respon inflamasi akut awal. Saat ini telah diketahui secara luas bahwa inflamasi kronis berperan dalam pertumbuhan dini kanker melalui beberapa mekanisme yang dimediasi terutama oleh myeloid-lineage cells, meliputi tumor associated macrophages, immature myeloid cells yang memiliki aktivitas supresi dan Tie2-expressing monocytes (De Palma & Coussens, 2008). Immune microenvironment jaringan neoplastik tidak hanya menekankan pada komposisi leukosit yang melakukan infiltrasi, tetapi juga fungsi bioefektor sel-sel tersebut di dalam sel. Oleh karena itu, baik keberadaan sel didalam tumor dan ekspresi sitokin, kemokin dan mediator imun lainnya sangat menentukan tipe respon imun yang muncul; anti-tumor atau pro-tumor (Coussens & Werb, 2002; Mantovani et al., 2008). Penelitian mengenai interaksi sistem imun dengan kanker menunjukkan peran aktif mekanisme efektor sistem imun adaptif dan innate dalam pengenalan dan 26 pengendalian tumor. Sel-sel yang mengalami transformasi pada tahap awal akan dideteksi secara spesifik oleh sel NK. Proses tersebut akan mengakibatkan destruksi sel-sel tersebut yang selajutnya akan masuk dalam mekanise uptake yang melibatkan makrofag dan sel dendrit. Sel-sel dendrite dan makrofag kemudian menghasilkan sitokin-sitokin inflamasi dan mempresentasikan tumour cell-derived molecules pada sel-sel B dan T. Aktivasi sel-sel B dan T menghasilkan sitokin-sitokin yang akan mengaktifkan innate immunity dan memicu produksi dan ekspansi tumour-specific T cells dan antibodi. Sistem imun adaptif tersebut akan mengeliminasi sel-sel tumor dan menghasilkan sistem imun memori spesifik terhadap komponen tumor yang mencegah rekurensi (Finn, 2012). Secara garis besar, proses pengenalan dan aktivasi awal sistem imun terhadap sel antigen tumor dapat dilihat pada gambar 5. Efektor imunitas adaptif, seperti sel T helper CD+, sel T sitotoksik CD8+ dan antibody, secara spesifik bekerja terhadap antigen tumor; molekul yang diekspresikan pada sel tumor, tetapi tidak diekspresikan pada sel normal. Antigen tumor adalah protein seluler yang secara abnormal diekspresikan sebagai akibat dari mutasi genetic. Ekspresi protein seluler tersebut berbeda secara kuantitatif atau dalam hal modifikasi post translasi. Pada tipe tumor yang berkaitan dengan infeksi virus, seperti kanker leher rahim atau karsinoma hepatoseluler, protein virus juga dapat berperan sebagai antigen tumor dan merupakan target dari respon imun (Finn, 2012). 27 Gambar 5. Respon awal sistem imun terhadap sel kanker (adapted from Abbas & Lichtman, 2011). Limfosit T berkembang dalam organ timus dari progenitor limfoid dan dibentuk melalui ekspresi reseptor sel T (TCR) yang bertanggung jawab dalam pengenalan antigen yang dipresentasikan oleh major histocompatibility complex (MHC). Sel T dibedakan menjadi limfosit sitotoksik CD8+ (CTL), yang mengenali peptida yang dipresentasikan oleh MHC I dan sel T helper CD4+ (TH) yang mengenali peptida yang dipresentasikan oleh MHC II. Sel TH lebih lanjut dibagi menjadi sel TH1 dan sel TH2. Sel TH1 mengekspresikan interferon (IFN)-γ dan tumor necrosis factor (TNF)-α, sedangkan sel TH2 mengekspresikan interleukin (IL)4, IL-5 dan IL-13. Beberapa sub tipe tambahan dalam kompartemen sel T telah diidentifikasi yang meliputi T follicular helper cells (TFH), IL-17 expressing TH cells (TH17) dan regulatory T cells (Treg). Semua sub set limfosit T tersebut berperan dalam perkembangan tumor dan imunitas anti-tumor. Sel NK, γδT dan CD8+ 28 merupakan komponen utama dalam imunitas anti tumor. Sel-sel tersebut menginduksi kematian sel-sel neoplastik. Fungsi efektor sel-sel tersebut didukung melalui pelepasan IFNγ oleh sel TH1 dan sel NKT tipe I (gambar 5) (Wilson et al., 2009; Ruffell et al., 2010). Sistem imun adaptif berperan sebagai immune surveillance dan mampu mengeliminasi tumor-tumor yang baru tumbuh, namun respon imun adaptif yang efektif selalu ditekan pada tumor yang telah terbentuk melalui beberapa jalur, meliputi inhibisi proses aktifasi dan diferensiasi sel dendrit, infiltrasi sel T dan tumorassociated macrophages. Limfosit merupakan komponen penting dari sistem imun adaptif, dan infiltrasi limfosit menunjukkan adanya respon imun seluler anti tumor yang efektif. Rendahnya nilai limfosit perifer menandakan respon imun terhadap tumor yang buruk dan menunjukkan prognosis yang buruk pula (He et al., 2012). Gambar 6. Imunitas anti tumor limfosit (Ruffell et al., 2010). 29 E. Rasio Netrofil Terhadap Limfosit Dalam Perkembangan Kanker Perkembangan terapi kanker telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, walaupun pemilihan terapi yang tepat sesuai dengan stadium kanker masih menemui kesulitan. Sampai saat ini prediksi hasil terapi hanya berdasarkan pada keakuratan stadium tumor. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba memperbaiki keakuratan sistem TNM staging tersebut (Guthrie et al., 2013). Pada beberapa dekade terakhir, perhatian tertuju pada peran inflamasi sebagai faktor kunci progesi penyakit dan harapan hidup pada sebagian besar kanker (Hanahan & Weinberg, 2000; Hanahan & Weinberg, 2011). Respon pejamu dalam hal membentuk inflamasi sistemik telah terbukti secara independen memprediksi hasil terapi. Respon inflamasi sistemik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor terkait pasien seperti penurunan status nutrisi, dan fungsi imun (Guthrie et al., 2013). Penanda respon fase akut, terutama C-reactive protein dan albumin, merupakan penanda yang sensitif dan reliable pada inflamasi sistemik pasien kanker (Roxburgh & McMillan, 2010). Suatu sistem penilai prognosis, Glasgow Prognostic Score (GPS) yang berdasar kombinasi protein fase akut tersebut, memberikan informasi prognosis yang obyektif dan reliable, baik pada kanker operable maupun inoperable (McMillan, 2012). Selain itu telah dikenal luas juga hubungan antara respon inflamasi sistemik dengan perubahan sel darah putih sirkulasi, terutama adanya netrofilia dan limfositopenia relatif (Gabay & Kushner, 1999; Zahorec, 2001). Tes darah yang 30 dilakukan secara rutin oleh pasien kanker merupakan parameter obyektif yang mudah diukur dan mampu menunjukkan derajat respon inflamasi sistemik. Wash et al. (2005) meneliti nilai prognosis rasio neutrofil-limfosit (NLR) karena pemeriksaan Creactive protein tidak rutin dilakukan. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa komponen hitung jenis sel darah putih, terutama jumlah neutrofil dan limfosit memiliki peran klinis dalam memprediksi harapan hidup pasien kanker (Schmidt et al., 2007). Kombinasi dari komponen hematologi respon inflamasi sistemik tersebut, yaitu rasio netrofil-limfosit (NLR) memiliki nilai prognostik pada berbagai kasus kanker (Roxburgh & McMillan, 2010; Clarke et al., 2011). Guthrie et al. (2013) melakukan systematic reviews pada 12 penelitian dengan 2156 pasien untuk mengetahui nilai prognosis NLR pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan/ atau radioterapi (Tabel 2). Tiga penelitian, yang terdiri atas 579 pasien, meneliti nilai prognosis dari NLR pada pasien dengan kanker kolorektal yang menjalani kemoterapi (Kishi et al., 2009; Carruthers et al., 2012). NLR tersebut memiliki nilai prognosis independen terhadap stadium tumor baik pada overall dan disease-free survival pada semua penelitian. Lima penelitian lainnya yang terdiri atas 1113 pasien melaporkan nilai prognosis NLR pada pasien dengan keganasan toraks yang menjalani kemoterapi (Teramukai et al., 2009; Kao et al., 2010; Cedes et al., 2012; Lee et al., 2012; Yao et al., 2012). Dalam penelitian ini, nilai NLR pra terapi secara konsisten memiliki nilai prognosis, baik untuk disease-free survival dan overall survival. Penelitian tentang NLR pasca terapi oleh Lee menunjukkan bahwa nilai NLR paska terapi bernilai 31 prognosis untuk disease-free survival dan overall survival. Secara konsisten, NLR berkaitan dengan repon terapi dan prediksi harapan hidup. Penelitian oleh Kao et al. dan Cedres et al menunjukkan bahwa nilai normal NLR paska kemoterapi merupakan prediksi peningkatan harapan hidup, sedangkan pasien dengan nilai NLR paska terapi yang meningkat berkaitan dengan harapan hidup yang memburuk (Guthrie et al., 2013). Aliustaoglu et al. (2010) melakukan penelitian NLR pada pasien kanker lambung. Penelitian tersebut melaporkan adanya hubungan antara NLR dengan overall survival, tetapi bukan merupakan prediktor independen harapan hidup. Pada penelitian pasien kanker pankreas, peningkatan nilai NLR pra terapi merupakan prediktor independen harapan hidup. Penelitian oleh Chua melaporkan nilai prognosis independen NLR dan bahwa sistem skoring menggunakan NLR merupakan prediktor kuat overall survival. Sama dengan penelitian-penelitian lainnya, penelitian ini juga menyatakan bahwa nilai NLR pasca terapi yang menjadi normal berkaitan dengan peningkatan overall survival (Guthrie et al., 2013). Sambasivaiah et al. (2005) melakukan penelitian tentang hitung jenis sel darah dan pola sitokin pada 36 pasien kanker. Penelitian tersebut melibatkan pasien kanker leher rahim, paru-paru, payudara, hati, kolon, esofagus, kepala leher dan pankreas. NLR pasien kanker terbukti lebih tinggi dibandingkan NLR kelompok kontrol dan NLR pasien kanker stadium lanjut terbukti lebih tinggi dibandingkan dengan NLR pasien kanker stadium awal. Hal ini menunjukkan bahwa NLR memiliki korelasi dengan stadium klinis pasien kanker. 32 F. Kerangka Teori Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan pustaka dapat dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: (1) Inflamasi berperan dalam berbagai tahap karsinogenesis, (2) terdapat hubungan antara netrofil dengan progesifitas tumor, 3) infiltrasi limfosit menunjukkan adanya respons imun seluler anti tumor yang efektif, 4) NLR berhubungan dengan stadium klinis KNF. 33 Inflamasi neutrofil - limfosit Peningkatan ROS & RNS Superoxide anion (O2-) Hydrogen peroxide (H2O2) Hypochlorous acid (HOCl) Sel Normal - Aktivasi onkogen - Inaktivasi gen supresor - Perubahan DNA - Neutrophil elastase Hipermetilasi DNA Aktivasi sitokin, COX-2, iNOS, NF-kB - Respon anti tumor Proliferasi sel Angiogenesis Apoptosis evasion - Initiated cell Invasi & metastasis Karsinoma Nasofarings Aktivasi negative costimulatory signals dan produksi immunosuppressive factors Produksi G-CSF, MCSF, VEGF, IL-6 Peningkatan netrofil perifer Penurunan limfosit perifer Stadium Klinis Gambar 7. Kerangka Teori. 34 G. Kerangka Konsep Karsinoma Nasofarings Peningkatan netrofil perifer Penurunan limfosit perifer Peningkatan stadium Klinis Gambar 8. Kerangka konsep I. Hipotesis Berdasarkan kerangka teori datas maka dapat disusun pokok pikiran: 1. Premis mayor : netrofil menghasilkan faktor-faktor yang berperan dalam merangsang proliferasi / pertumbuhan tumor. Sementara limfosit berfungsi dalam imunitas seluler anti tumor. 2. Premis minor : Stadium klinis dipengaruhi oleh proliferasi sel dan imunitas anti tumor. Berdasarkan landasan teori tersebut di atas dapat disusun hipotesis: Terdapat hubungan antara rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis karsinoma nasofarings. 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik untuk menentukan perbedaan rasio netrofil terhadap limfosit antara KNF stadium lanjut dengan KNF stadium awal. Rancang penelitian yang digunakan adalah case-control study (kasus-kontrol). Data sampel penelitian diambil dari rekam medis sejak tahun 2007, yaitu pasien yang telah terdiagnosis KNF melalui pemeriksaan patologi anatomi (biopsi nasofarings), dengan stadium klinis telah ditentukan melalui pemeriksaan CT-scan, rontgen thoraks, USG abdomen dan bone survey. Nilai netrofil dan limfosit diambil dari hasil pemeriksaan darah rutin sebelum dilakukan terapi. Sementara itu stadium klinis KNF ditentukan menggunakan klasifikasi TNM menurut AJCC tahun 1997. Sebagai outcome pada penelitian ini adalah KNF stadium lanjut yang didapat dari rekam medis. NLR tinggi merupakan variabel bebas yang mempengaruhi kejadian KNF stadium lanjut (gambar 9). NLR tinggi KNF stadium lanjut (kelompok kasus) NLR rendah Sampel NLR tinggi KNF stadium awal Kelompok kontrol NLR rendah Gambar 9. Bagan rancang penelitian. 36 B. Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah penderita karsinoma nasofarings. Populasi terjangkau adalah penderita karsinoma nasofarings di poliklinik THT-KL RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007 sampai dengan terpenuhi jumlah sampel. Sampel penelitian adalah penderita karsinoma nasofarings di poliklinik THT-KL RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007 sampai dengan terpenuhi jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. C. Kriteria Sampel Penelitian Kriteria inklusi: 1. Mempunyai data rekam medis yang terdokumentasi untuk determinasi karsinoma nasofarings secara detail dan akurat (biopsi nasofarings, CTscan, rontgen thoraks, USG abdomen dan bone survey). Kriteria eksklusi : 1. Adanya tanda dan gejala infeksi aktif 2. Terdiagnosis suatu penyakit/kelainan hematologis 3. Skala Karnofsky < atau =70% D. Besar Sampel Sampel pada penelitian adalah pasien KNF di poliklinik THT-KL RSUP. Dr. Sardjito mulai dari tahun 2007 sampai dengan terpenuhi jumlah sampel minimal yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi: 37 Rumus besar sampel yang digunakan adalah: N1=N2=(Zα√ 2 +ZB√ 1 1 + 2 2)2 / (P1-P2)2 Dari kasus diketahui bahwa: Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% sehingga Zα = 1,96 Kesalahan tipe 2 ditetapkan sebesar 20%, maka Zβ = 0,84 P2= proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 0,1 P1-P2= Selisih proporsi pajanan minimal yang dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,3 P1=P2+0,30=0,1+0,3=0,4 Q1=1-P1=1-0,4=0,6 P=(P1+P2)/2=(0,4+0,1)/2=0,25 Q=1-P=1-0,25=0,75 Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut pada rumus, diperoleh: N1=N2= (Zα√ 2 +ZB√ 1 1 + 2 2)2 / (P1-P2)2 = (1,96√ 2.0,5.0,75+0,84√ 0,4.0,6 + 0,1.09)2/ (0,4-0,1)2 = 24 Dengan demikian besar sampel untuk tiap kelompok adalah 24 38 E. Alur Penelitian Penderita KNF Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Sampel KNF stadium lanjut (kelompok kasus) NLR tinggi KNF stadium awal (kelompok kontrol) NLR rendah NLR tinggi NLR rendah Analisis Gambar 10. Alur penelitian F. Definisi operasional variabel Variabel utama adalah variabel bebas yang dalam penelitian ini adalah rasio netrofil terhadap limfosit pra terapi. Rasio tinggi adalah rasio netrofil terhadap limfosit yang nilainya diatas titik potong (cut off point) dan rasio rendah adalah rasio neutrofil terhadap limfosit di bawah titik potong. 39 Variabel terikat penelitian ini adalah stadium klinis KNF. Stadium klinis KNF menggunakan klasifikasi TNM menurut AJCC tahun 1997. Status T menggambarkan keadaan tumor primer dan perluasannya, status N menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar limfe regional dan status M menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium klinis penderita dinilai berdasarkan ketiga status tersebut. G. Batasan operasional Batasan operasional penelitian ini adalah ukuran serta pemeriksaan sampel dan variabel baik variabel bebas maupun variabel terikat adalah sebagai berikut : 1) Diagnosis dan stadium KNF ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dilengkapi dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, CT Scan potongan koronal diperluas (coronal extended) dan pemeriksaan Patologi Anatomi. 2) Stadium KNF ditegakkan sesuai klasifikasi TNM menurut AJCC 1997. Status T menggambarkan keadaan tumor primer dan perluasannya, status N menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar limfe regional dan status M menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium awal adalah stadium I dan II, sementara stadium lanjut adalah stadium III dan IV. 4) Rasio netrofil terhadap limfosit tinggi adalah rasio netrofil terhadap limfosit di atas titik potong (cut off point). Rasio netrofil terhadap limfosit rendah adalah rasio netrofil terhadap limfosit di bawah titik potong (cut off point). 5) Rasio netrofil terhadap limfosit pada penelitian ini adalah nilai netrofil absolut dibandingkan nilai limfosit absolut pada setiap penderita KNF yang didapatkan sebelum terapi. 40 I. Analisis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian case control study (kasus-kontrol) yang merupakan penelitian analitik observasional yang mengkaji perbedaan rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis pada karsinoma nasofarings stadium awal dengan stadium lanjut, sehingga analisis hasil berupa rasio odd (RO). Hubungan perubahan NLR dengan beberapa gambaran klinis KNF dianalisis dengan menggunakan x2 test. Hasil penelitian ini akan digambarkan dalam tabel 2x2 sebagai berikut: NLR tinggi NLR rendah Jumlah Stadium lanjut A C A+C Dari tabel di atas dihitung nilai RO: RO= A/(A+B) : B/(A+B) C/(C+D) : D/(C+D) RO= A/B C/D RO= AD BC Stadium awal B D B+D Jumlah A+B C+D A+B+C+D 41 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Subyek penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis KNF di bagian THT-KL RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang diperoleh dari rekam medis mulai bulan Januari 2008 – September 2014, pasien KNF stadium awal (stadium 1 dan stadium 2) dimasukkan sebagai kelompok kontrol dan pasien KNF stadium lanjut (stadium 3 dan 4) dimasukkan sebagai kelompok kasus. Pada periode tersebut peneliti mendapatkan subyek penelitian sebanyak 48 pasien, dimana 24 pasien terdiagnosis debagai KNF stadium awal dan 24 pasien lainnya terdiagnosis sebagai KNF stadium lanjut yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Medical and Health Research Ethics Committee (MHREC) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Setelah data dari rekam medis terkumpul, kemudian data ditabulasi dan dianalisa dengan bantuan komputer. Penyajian hasil analisis data menggunakan analisis deskriptif dan statistik yang dibagi menjadi 3 (tiga) pokok bagian. Bagian pertama adalah karakteristik subyek penelitian, bagian kedua adalah luaran utama, yang berisi tentang hubungan antara rasio netrofil terhadap limfosit (NLR) dengan stadium klinis pada pasien KNF, sedangkan bagian ketiga merupakan luaran sekunder yang terdiri dari variabel-variabel data demografi yang diduga mempunyai hubungan dengan NLR pada KNF. 42 A. Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik subyek penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur dan jenis histopatologi. Homogenitas subyek penelitian tercantum pada tabel 4. Tabel 4. Karakteristik subyek penelitian Karakteristik subyek kasus kontrol Total n (%) n (%) N (%) Laki-laki 16 (33,3) 16 (33,3) 32 (66,6) Perempuan 8 (16,7) 8 (16,7) 16 (33,4) ≤ 50 tahun 14 (29,1) 14 (29,1) 28 (58,2) > 50 tahun 10 (20,9) 10 (20.9) 20 (41,8) WHO Tipe I 0 0 0 WHO Tipe II 1 (2,1) 4 (8,3) 5 (10,4) WHO Tipe III 23 (47,9) 20 (41,7) 45 (89,6) Nilai p Jenis Kelamin 0,620 Umur 0,493 Jenis Histopatologi 0,174 p < 0,05 1. Jenis Kelamin Dari tabel 4, jumlah subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin, dari 48 subyek penelitian yang menderita karsinoma nasofarings sebanyak 32 pasien (66,6%) adalah jenis kelamin laki-laki, sedangkan pada jenis kelamin perempuan hanya 16 pasien (33,4 %). Berdasarkan laporan penelitian Fachiroh et al. (2008), di Yogyakarta data dari RSUP Dr. Sardjito ditemukan bahwa KNF merupakan kanker nomor 1 yang terjadi pada laki-laki dan kanker nomor 3 yang terjadi pada 43 perempuan. Menurut Fachiroh et al. (2006), keganasan ini cenderung lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan rasio 2:1. Penelitian oleh Xie et al., 2012 juga menunjukkan hasil yang sama, dengan rasio pria dibandingkan laki-laki 2-3:1. Hasil ini membuktikan bahwa laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 32 pasien laki-laki dan 16 pasien perempuan. Setelah dilakukan uji statistik chi-square test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,620. Angka kejadian KNF pada pria yang lebih tinggi dibandingkan pada wanita dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor resiko yang lebih dominan terjadi pada laki-laki. Faktor-faktor resiko tersebut antara lain kebiasaan merokok dan paparan debu kerja. Sementara itu peran hormon estrogen dalam menghambat pertumbuhan KNF juga mulai banyak diteliti. Estrogen memiliki kemampuan menghambat respon inflamasi yang merupakan faktor penting dalam karsinogenesis (Xie et al., 2012). 2. Umur Hasil penelitian (tabel 4) menunjukkan bahwa umur tertua subyek penelitian adalah 71 tahun, sedangkan yang termuda berumur 18 tahun, dengan rata-rata umur 47,67±12,88 tahun. Frekuensi umur terbesar adalah 41-50 tahun dan 51-60 tahun yaitu masing-masing sebanyak 14 orang (29,2%) (tabel 5). Setelah dilakukan uji statistik chi-square test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan umur antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0.493. 44 Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dlakukan oleh Adham et al (2012). Pada penelitian tersebut, frekuensi umur pasien KNF di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta yang terbesar adalah 40-49 tahun, dan lebih dari 80% pasien tersebut terdiagnosis KNF pada usia 30-59 tahun. Chan et al (2005) dan Lee (2003) menyatakan bahwa KNF merupakan occult tumor yang dapat mengenai semua umur dengan insidensi meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada usia 40-60 tahun. Xie et al. (2012) menjelaskan kecenderungan tersebut. Peningkatan kejadian KNF pada umur 41-60 dan menurun setelah kelompok umur tersebut kemungkinan besar disebabkan faktor polusi debu pabrik. Faktor-faktor resiko lain tidak bisa menjelaskan kecenderungan tersebut. Faktor infeksi EBV bersifat persisten seumur hidup. Faktor diet dan perokok aktif juga tidak mampu menjelaskan hal tersebut karena tidak ada bukti adanya penurunan paparan setelah kelompok umur tersebut. Tabel 5. Distribusi Umur Subyek Penelitian Umur Frekuensi Persentase (n) (%) ≤ 20 tahun 1 2,1 21-30 tahun 5 10,4 31-40 tahun 7 14,6 41-50 tahun 14 29,2 51-60 tahun 14 29,2 61-70 tahun 5 10,4 ≥ 71 tahun 2 4,2 45 3. Jenis Histopatologi Menurut WHO derajat karsinoma nasofaring diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu tipe 1 typical keratinizing squamous cell, dalam penelitian ini tidak ditemukan, tipe 2 nonkeratinizing carcinoma terdapat 5 pasien (10,4%), dan tipe 3 undifferentiated carcinoma terdapat 43 pasien (89,6%). Hasil ini membuktikan bahwa tipe 3 undifferentiated carcinoma merupakan tipe yang paling sering terjadi (Khademi et al., 2006). Setelah dilakukan uji statistik chi-square test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan jenis histopatologi antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0.174. Hutajulu (2003) menyebutkan bahwa undifferentiated carcinoma (WHO tipe III) merupakan jenis histopatologi yang teridentifikasi pada 90% pasien KNF di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, dimana tipe tersebut memiliki hubungan kuat dengan infeksi EBV. Beberapa penelitian lainnya di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Corry et al (2006), jenis histopatologi pada kelompok etnis Asia didapatkan 80 sampel (93%) pasien KNF WHO tipe III, dan 6 sampel (7%) adalah WHO tipe II. Sharma et al (2001), mendapatkan jenis histopatologi pasien KNF yang terjadi di India Timur yang paling banyak adalah WHO tipe III (75,0%), diikuti WHO tipe II (15,0%) dan WHO tipe I (10,0%). B. Hubungan NLR Dengan Stadium Klinis KNF Luaran utama dalam penelitian ini adalah melihat hubungan antara NLR dengan stadium klinis pada KNF. Tinggi dan rendahnya NLR ditentukan berdasarkan cut off point dari nilai NLR yang didapatkan melalui analisis kurva 46 receiver operating characteristic (ROC) (gbr.11). Dari 48 subyek didapatkan ratarata NLR sebesar 4,45 ± 4,83. Cut off point NLR berdasarkan receiver operating characteristic analysis curve ditemukan 2,37 dengan nilai sensitivitas 0,833 dan nilai spesifisitas 0,583. Berdasarkan nilai cut of point tersebut maka NLR dapat dikategorikan sebagai berikut: NLR rendah apabila ≤ 2,37, sedangkan NLR tinggi apabila > 2,37. Gambar 11. Nilai cut off point NLR berdasarkan analisis kurva ROC. 47 Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square. Hasil penelitian luaran utama dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Hubungan antara NLR dengan stadium klinis pada KNF (N = 48) NLR Stadium Klinis (Cut off point) Tinggi (> 2,37) Rendah (≤ 2,37) N (%) N (%) Kasus (III & IV) 20 (60,6 %) 4 (26,7 %) Kontrol (I & II) 11 (73,3%) 13 (39,4 %) RO 95% CI p 4,231 1,107-16,167 0,030* * p ≤ 0,05 Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa NLR kategori tinggi (> 2,37) pada stadium lanjut (kasus) sebanyak 20 pasien (60,6%), sedangkan untuk stadium awal (kontrol) sebanyak 13 pasien (39,4%). Untuk NLR kategori rendah (≤ 2,37) pada stadium lanjut (kasus) sebanyak 4 pasien (26,7%), sedangkan untuk stadium awal (kontrol) sebanyak 11 pasien (73,3%). Secara statistik ada perbedaan bermakna antara NLR dengan stadium klinis pada KNF (p ≤ 0,05; p = 0,030). Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai RO sebesar 4,231 artinya bahwa pasien yang mempunyai NLR tinggi pada KNF mempunyai kemungkinan sebesar 4,231 kali pada stadium klinis lanjut dibandingkan pasien yang mempunyai rasio NLR rendah pada KNF. Nilai RO sebesar 4,231 dapat diartikan juga bahwa probabilitas pasien-pasien yang mempunyai NLR tinggi pada KNF untuk terjadi pada stadium klinis lanjut sebesar 81,21%. Hasil ini diperoleh dari rumus p = RO/(1+RO), dimana p adalah probabilitas dan RO adalah rasio odds. Berdasarkan hasil ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara NLR dengan stadium klinis pada KNF (p < 0,05). Arah 48 hubungan yang ditunjukkan adalah positif, artinya bahwa semakin tinggi NLR maka stadium klinis juga semakin tinggi pada KNF, sedangkan semakin rendah NLR, maka stadium klinis juga semakin rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Sambasivaiah et al. (2005). Penelitian tersebut melibatkan pasien kanker leher rahim, paru-paru, payudara, hati, kolon, otak, esofagus, choriocarcinoma, kepala leher, ovarium, pankreas, lambung dan testis. NLR pasien kanker terbukti lebih tinggi dibandingkan NLR kelompok kontrol dan NLR pasien kanker stadium lanjut terbukti lebih tinggi dibandingkan dengan NLR pasien kanker stadium awal. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan systematic reviews yang dilakukan oleh Guthrie et al. (2013) terhadap 12 penelitian dengan yang melaporkan bahwa NLR memiliki nilai prognosis independen terhadap stadium tumor baik pada overall dan disease-freee survival pada semua penelitian. Lima penelitian lainnya melaporkan nilai prognosis NLR pada pasien dengan keganasan toraks yang menjalani kemoterapi. Hasil yang dilaporkan dalam penelitian ini bahwa nilai NLR pra terapi secara konsisten memiliki nilai prognosis, baik untuk diseasefreee survival dan overall survival. Penelitian lainnya yang memperkuat bahwa NRL sebagai faktor prognosis karsinoma nasofaring adalah penelitian yang dilakukan oleh Lee yang dilaporkan oleh Guthrie et al. (2013). Lee melaporkan dalam penelitiannya bahwa nilai NLR pasca terapi bernilai prognosis untuk disease-free survival dan overall survival. Nilai NLR mempunyai nilai konsistensi terkait dengan respon terapi dan prediksi harapan hidup. Penelitian Kao et al. (2010) dan Cedress et al. (2012) dalam laporan Guthrie et al. (2013) bahwa nilai normal NLR pasca kemoterapi merupakan prediksi peningkatan harapan hidup, 49 sedangkan pasien dengan nilai NLR pasca terapi yang meningkat berkaitan dengan harapan hidup yang memburuk. Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hirashima et al. (1998),. Penelitian pada 55 pasien kanker lambung tersebut membuktikan adanya korelasi kuat antara NLR dengan prognosis. Pasien kanker lambung dengan NLR tinggi memiliki prognosis buruk, sedangkan pasien dengan NLR rendah memiliki prognosis yang baik. Hirashima et al. (1998) juga melakukan penelitian pada pasien kanker lambung stadium lanjut, dimana terhadap hubungan positif antara NLR dengan prognosis pasien kanker lambung. Hasil penelitian-penelitian tersebut diatas mengindikasikan bahwa nilai netrofil dan nilai limfosit secara simultan berhubungan dengan stadium klinis pasien kanker. Dalam penelitian ini, peneliti menunjukkan hubungan antara NLR dengan stadium klinis pasien KNF. Keseimbangan aktivitas pro tumor netrofil dibandingkan dengan aktivitas anti tumor limfosit menentukan potensi progresivitas dan metastasis KNF sehingga menentukan stadium klinis. Penurunan angka limfosit pada pasien kanker dengan prognosis buruk terutama berhubungan dengan penurunan aktivitas NK cells dan menurunnya sensitivitas NK cells terhadap stimulasi IL-2 (Marana et al., 1996). Finn (2012) menjelaskan peran sistem imun dalam mengenali dan menghentikan atau mengendalikan pertumbuhan tumor melalui proses yang dikenal sebagai immunosurveilance. Sementara itu terdapat dua aktivitas utama netrofil yang berhubungan dengan progresivitas KNFr, yaitu fagositosis dan produksi radikal bebas. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas radikal bebas yang 50 dihasilkan netrofil memiliki korelasi lebih kuat dengan NLR dibandingkan aktivitas fagositosisnya. C. Hubungan antara NLR terhadap gambaran klinis pasien KNF Keluaran sekunder terdiri dari variabel-variabel data demografi yang diduga mempunyai hubungan dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada pasien KNF tersebut antara lain, meliputi: variabel umur, jenis kelamin dan tipe WHO. 1. Umur subyek penelitian Umur sampel dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok umur kurang atau sama dengan 50 tahun dewasa awal ( 50 tahun) dan umur lebih dari 50 tahun (> 50 tahun). Hasil uji statistik hubungan antara umur pasien dengan NLR pada KNF dapat dilihat pada tabel 7 berikut. Tabel 7. Hubungan antara NLR pasien dengan umur pada KNF Rasio Netrofil Umur pasien (Cut off point) Tinggi (> 2,37) Rendah (≤ 2,37) N (%) N (%) ≤ 50 tahun 19 (70,4 %) 8 (29,6 %) > 50 tahun 14 (66,7 %) 7 (33,3%) OR 95% CI 1,188 0,348-4,051 p 0,514 * Nilai p ≤ 0,05 Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa NLR kategori tinggi (> 2,37) pada umur ≤ 50 tahun sebanyak 19 pasien (70,4%), sedangkan untuk umur > 50 tahun sebanyak 14 pasien (66,7%). Untuk NLR kategori rendah (≤ 2,37) pada umur ≤ 50 tahun sebanyak 8 pasien (29,6%), sedangkan untuk umur > 50 tahun sebanyak 7 51 pasien (33,3%). Secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara kategori umur dengan NLR pada KNF (p > 0,05; p = 0,514). Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai OR sebesar 1,188 artinya bahwa pasien yang mempunyai umur ≤ 50 tahun pada KNF mempunyai kemungkinan sebesar 1,188 kali dengan NLR kategori tinggi dibandingkan pasien yang mempunyai umur > 50 tahun pada KNF. Nilai OR sebesar 1,188 dapat diartikan juga bahwa probabilitas pasien-pasien yang mempunyai umur ≤ 50 tahun pada KNF dengan NLR kategori tinggi sebesar 54,29%. Hasil ini diperoleh dari rumus p = OR/(1+OR), dimana p adalah probabilitas dan OR adalah odd ratio. Hasil ini berbeda dengan penelitian oleh Azab et al. (2014), yang menyatakan terdapat hubungan bermakna antara nilai NLR dengan umur, bahwa semakin tinggi NLR semakin tinggi umur (p < 0,0001). Hasil penelitian ini berbeda karena Azab et al. (2014) melakukan penelitian pada subyek sehat, sedangkan peneliti menghubungan NLR dengan pasien KNF. Telah dipahami secara luas bahwa respon inflamasi, dalam hal ini NLR berhubungan dengan pertumbuhan keganasan, dalam hal ini adalah KNF. Nilai netrofil dan limfosit yang merupakan subset lekosit penyusun infiltrat microenviromentment tumor berhubungan dengan progresivitas dan metastasis KNF. Dalam penelitian ini, jumlah pasien KNF stadium lanjut, dengan NLR tinggi sebagain besar berada dalam kelompok umur ≤ 50 tahun. 2. Jenis kelamin Untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada KNF dapat dilihat pada tabel 8 berikut. 52 Tabel 8. Hubungan antara NLR dengan jenis kelamin pada KNF Rasio Netrofil Jenis Kelamin Laki-laki (Cut off point) Tinggi (> 2,37) Rendah (≤ 2,37) N (%) N (%) 22 (68,8 %) 10 (31,2 %) Perempuan 11 (68,8 %) 5 (31,2%) OR 95% CI 1,000 0,274-3,650 p 0,634 * Nilai p ≤ 0,05 Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa rasio netrofil terhadap limfosit kategori tinggi (> 2,37) pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 pasien (68,8%), sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 11 pasien (68,8%). Untuk rasio netrofil terhadap limfosit kategori rendah (≤ 2,37) pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 pasien (31,2%), sedangkan untuk jenis kelamin perempuan sebanyak 5 pasien (31,2%). Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada KNF (p > 0,05; p = 0,634). Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai OR sebesar 1,000 artinya bahwa pasien yang mempunyai jenis kelamin laki-laki pada KNF mempunyai kemungkinan sebesar 1,000 kali dengan rasio netrofil terhadap limfosit kategori tinggi dibandingkan pasien yang mempunyai jenis kelamin perempuan pada KNF. Nilai OR sebesar 1,000 dapat diartikan juga bahwa probabilitas pasien-pasien yang mempunyai jenis kelamin laki-laki pada KNF dengan rasio netrofil terhadap limfosit kategori tinggi sebesar 50%. Hasil ini diperoleh dari rumus p = OR/(1+OR), dimana p adalah probabilitas dan OR adalah odd ratio. 53 Hasil ini mendukung penelitian oleh Azab et al. (2014), yang menyatakan tidak ada perbedaan bermakna antara nilai NLR dengan jenis kelamin (p < 0,0001, p = 0,07) Azab et al. (2014) melakukan penelitian pada subyek sehat laki-laki dan perempuan, dimana NLR dihubungkan dengan berbagai data demografi. 3. Histopatologi WHO Untuk melihat hubungan antara histopatologi WHO dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada KNF dapat dilihat pada tabel 11 berikut. Tabel 11. Hubungan antara NLR dengan jenis histopatologi (tipe WHO) pada KNF Rasio Netrofil Histopatologi WHO (Cut off point) Tinggi (> 2,37) Rendah (≤ 2,37) N (%) N (%) Derajat 2 3 (60 %) 2 (40 %) Derajat 3 30 (69,8 %) 13 (30,2%) RO 95% CI 0,650 0,097-4,363 p 0,503 * Nilai p ≤ 0,05 = berbeda bermakna secara statistik Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa NLR kategori tinggi (> 2,37) pada histopatologi WHO derajat 2 sebanyak 3 pasien (60%), sedangkan untuk histopatologi WHO derajat 3 sebanyak 30 pasien (69,8%). Untuk NLR kategori rendah (≤ 2,37) pada histopatologi WHO derajat 2 sebanyak 2 pasien (40%), sedangkan untuk histopatologi WHO derajat 3 sebanyak 13 pasien (30,2%). Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara histopatologi WHO dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada KNF (p > 0,05; p = 0,503). 54 Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai OR sebesar 0,650 artinya bahwa pasien KNF yang mempunyai histopatologi WHO derajat 2 mempunyai kemungkinan proteksi terhadap NLR sebesar 0,650 kali dibandingkan pasien KNF yang mempunyai histopatologi WHO derajat 3. Nilai OR sebesar 0,650 dapat diartikan juga bahwa probabilitas pasien-pasien KNF dengan histopatologi WHO derajat 2 mempunyai proteksi pada NLR sebesar 39,39%. Hasil ini diperoleh dari rumus p = OR/(1+OR), dimana p adalah probabilitas dan OR adalah odd ratio. . BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis KNF (p < 0,05; p = 0,03). B. SARAN Dalam penelitian ini, peneliti menghubungkan NLR dengan stadium klinis. Sebagai komponen fungsional, NLR dapat melengkapi peran stadium klinis sebagai faktor prognosis KNF. NLR mulai banyak diteliti dalam hubungannya dengan prognosis pasien KNF, terutama di negara-negara maju. Di Indonesia, penelitian mengenai NLR dalam hubungannya dengan KNF masih terbatas. Perlu dilakukan penelitian mengenai NLR sebagai faktor prognosis KNF, dengan menghubungkannya dengan respon terapi. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya acuan dalam manajemen terapi KNF. 55 56 Daftar Pustaka Adham, M., Kurniawan, A.N., Muhtadi, A.I., Roezin, A., Hermani, B., Gondhowiardjo,S et al. 2012. Nasopharungeal Carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, sign and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 31(4):185-196 Ali, H. and M.Al Sarraf. 1999. Nasopharyngeal cancer. Hematol Oncol Clin North Am. 13: 837-847 Al Sarraf, M., Reddy, M.S. 2002. Nasopharyngeal carcinoma. Curr Treat Options Oncol. 3: 21-32 ) Atzpodien, J., Royston, P., Wandert, T., Reitz, M. 2003. Metastatic renal carcinoma comprehensive prognostic system. Br J Cancer. 88:348–353. Bellocq, A., Antoine, M., Flahault, A., Philippe, C., Crestani, B., Bernaudin, J.F., et al. 1998. Neutrophil alveolitis in bronchioloalveolar carcinoma: induction by tumor-derived interleukin-8 and relation to clinical outcome. Am J Pathol. 152:83–92. Bhatti, I., Peacock, O., Lloyd, G., Larvin, M., Hall, R.I. 2010. Preoperative hematologic markers as independent predictors of prognosis in resected pancreatic ductal adenocarcinoma: neutrophil-lymphocyte versus plateletlymphocyte ratio. Am J Surg. 200:197–203. Carruthers, R., Tho, L.M,, Brown, J., Kakumanu, S., McCartney, E., McDonald, A.C. 2012. Systemic inflammatory response is a predictor of outcome in patients undergoing preoperative chemoradiation for locally advanced rectal cancer. Colorectal Disease. 14(10): 701–7. Chan, J.K.C., Bray, F., McCarron, P., Foo, W., et al. 2005. Nasopharyngeal carcinoma. Dalam: Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidrasky D editor. WHO classification of tumours: Pathology and genetics head and neck tumours. Lyon: IARCPress. 85-97. Cho, W.C. 2007. Nasopharyngeal carcinoma: molecular biomarker discovery and progress. Mol Cancer.6:1. Cho, H., Hur, H.W., Kim, S.W., et al. 2009. Pre-treatment neutrophil to lymphocyte ratio is elevated in epithelial ovarian cancer and predicts survival after treatment. Cancer Immunol Immunother. 58:15–23. Chou, J., Lin, Y.C., Kim, J., You, L., Xu, Z., He, B., et al. 2008. Nasopharyngeal carcinoma A review of the molecular mechanisms of tumorigenesis. Head and Neck. 10.100-2. Clark, C.E., Hingorani, S.R., Mick, R., Combs, C., Tuveson, D.A., Vonderheide, R.H. 2007. Dynamics of the immune reaction to pancreatic cancer from inception to invasion. Cancer Res. 67:9518–27. Clark, E.J., Connor, S., Taylor, M.A., Madhavan, K.K., Garden, O.J., Parks, R.W.. 2007. Preoperative lymphocyte count as a prognostic factor in resected pancreatic ductal adenocarcinoma. HPB (Oxford).9:456–460. 57 Clarke, S.J., Chua, W., Moore, M., Kao, S., Phan, V., Tan, C., et al. 2011. Use of inflammatory markers to guide cancer treatment. Clinical Pharmacology and Therapeutics. 90(3):475–8. Colotta, F., Allavena, P., Sica, A., Garlanda, C., Mantovani, A. 2009. Cancer-related inflammation, the seventh hallmark of cancer: links to genetic instability. Carcinogenesis. 30:1073–81. Corry, J., Fisher, R., Rischin, D., Peters, A.L.J. 2006. Relapse Patterns In Who 2/3 Nasopharyngeal Cancer: Is There A Difference Between Ethnic Asian Vs. Non-Asian Patients? Int. J. Radiation Oncology Biol. Phys. 64(1) 63– 71 Coussens, L.M., Werb, Z. 2002. Inflammation and cancer. Nature. 420:860–7. De Palma, M., Coussens, L.M. 2008. Immune cells and inflammatory mediators as regulators of tumor angiogenesis. In: Figg WD, Folkman J, editors. Angiogenesis: an integrative approach from science to medicine. New York: Springer. 225–38. Donskov, F., von der Maase, H. 2006. Impact of immune parameters on long-term survival in metastatic renal cell carcinoma. J Clin Oncol.24: 1997–2005. Eck, M., Schmausser, B., Scheller, K., Br€andlein, S., M€uller-Hermelink, H.K. 2003. Pleiotropic effects of CXC chemokines in gastric carcinoma: differences in CXCL8 and CXCL1 expression between diffuse and intestinal types of gastric carcinoma. Clin Exp Immunol. 134:508–15. Fachiroh, J. 2008. Dried-Blood Sampling for Epstein-Barr Virus Immunoglobulin G (IgG) and IgA Serology in Nasopharyngeal Carcinoma Screening. Journal of Clinical Microbiology.46(4):1374-1380. Finn, O.J. 2012. Immuno-oncology: understanding the function and dysfunction of the immune system in cancer. Annals of Oncology. 23(8). Fridlender, Z.G. and Albelda, S.M. 2012. Tumor-associated neutrophils: friend or foe? Carcinogenesis . 1–7. Fridlender, Z.G., Sun, J., Mishalian, I., Singhal, S., Cheng, G., Kapoor, V., et. al. 2012. Transcriptomic analysis comparing tumor-associated neutrophils with granulocytic myeloid-derived suppresor cells and normal neutrophils Ganguly, N.K. (eds.), 2003. Epidemiological and Etiological Factors Associated With Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR Bulletin.(33)9 Gomez, D., Farid, S., Malik, H.Z., et al. 2008. Preoperative neutrophil-to-lymphocyte ratio as a prognostic predictor after curative resection for hepatocellular carcinoma. World J Surg.32:1757–1762. Guthrie., G.J.K., Charles, K.A., Roxburgh, C.s.d., Horgan, P.G., McMillan, D.C., Clarke, S.J. 2013. The systemic inflammation based neutrophil lymphocyte ratio: Experience in patients with cancer. Critical Review in Oncology/Hematology. 88: 218-230. Halazun, K.J., Aldoori, A., Malik, H.Z., et al. 2008. Elevated preoperative neutrophil to lymphocyte ratio predicts survival following hepatic resection for colorectal liver metastases. Eur J Surg Oncol. 34:55–60. 58 Halazun, K.J., Hardy, M.A., Rana, A.A., et al. 2009. Negative impact of Neutrophil lymphocyte ratio on outcome after liver transplantation for hepatocellular carcinoma. Ann Surg.250:141–151. Hanahan, D., Weinberg, R.A. 2000. The hallmarks of cancer. Cell. 100(1):57–70. Hanahan, D., Weinberg, R.A. 2011. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 144(5):646–74. Indrasari, S.R., 2009. Penatalaksanaan terkini karsinoma nasofarings. Kumpulan Makalah Simposium Tumor Kepala dan Leher. Yogyakarta. Jensen, H.K., Donskov, F., Marcussen, N., Nordsmark, M., Lundbeck, F., von der Maase, H. 2009. Presence of intratumoral neutrophils is an independent prognostic factor in localized renal cell carcinoma. J Clin Oncol. 27:4709–17. Kadkhoda, Z.T., Eriksson, T.B., Johansson, K.A., Mercke, C. Long-term treatment result for nasopharyngeal carcinoma: The Sahlgrenska University Hospital experience. Acta Oncologica. 46:817-27. Khademi, B., Mahmoodi, J., Omidvari, S., Mohammadianpanah, M. 2006. Treatment Result of Nasopharyngeal Carcinoma : A 15-year Single Institutional Experience. 2003. Journal of the Egyptian Nat.Cancer Inst.(18)2:147-155Lee, K.J. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA : McGrawhill Kishi, Y., Kopetz, S., Chun, Y.S., Palavecino, M., Abdalla, E.K., Vauthey, J.N. 2009. Blood neutrophil-to-lymphocyte ratio predicts survival in patients with colorectal liver metastases treated with systemic chemotherapy. Annals of Surgical Oncology. 16(3):614–22. Kundu, J.K., Surh, Y.J., 2008. Inflammation: Gearing the journey to cancer. Mutation Research. 659:15–30. Kurniawan, A.N., Kodariah, R., Elisabeth, M., Roezin, A., Gondhowiardjo, S. 2002. Evaluation of EBV-LMPI as prognostic indicator of nasopharyngeal carcinoma in Indonesian patients. Med J Indones. 1(2):81-86. Li, G., Gao, J., Tao, Y.L., et al. Increased pretreatment levels of serum LDH and ALP as poor prognostic factors for nasopharyngeal carcinoma. 2012. Chin J Cancer. 31(4):197e206. Lin, J,C., Wang, W.Y., Chen, K.Y., et al. 2004. Quantification of plasma Epstein– Barr virus DNA in patients with advanced nasopharyngeal carcinoma. N Engl J Med. 350:2461–2470. Lo, Y.M., Chan, A.T., Chan, L.Y., et al. 2000. Molecular prognostication of nasopharyngeal carcinoma by quantitative analysis of circulating Epstein– Barr virus DNA. Cancer Res;60:6878–6881 Mantovani, A., Allavena, P., Sica, A., Balkwill, F. 2008. Cancer-related inflammation. Nature. 454:436–44. McMillan, D.C. 2009. Systemic inflammation, nutritional status and survival in patients with cancer. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 12:223–6. Mulyarjo. 2002. Diagnosis dan penatalaksanaan karsinoma nasofaringss.Dalam: Mularjo et al. (eds) Naskah lengkap Pendidikan kedokteran berkelanjutan III 59 Ilmu penyakit THT-KL “Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL”. Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya. 38-48. Murta, B.M.T. and Murta, E.F.C. 2008. Systemic Leukocyte Alterations in Cancer and their Relation to Prognosis. The Open Cancer Journal. 2:53-58. Nathan, C. Neutrophils and immunity: challenges and opportunities. 2006. Nat Rev Immunol . 6:173–82. Negrier, S., Escudier, B., Gomez, F., et al. 2012. Prognostic factors of survival and rapid progression in 782 patients with metastatic renal carcinomas treated by cytokines: a report from the Groupe Francais d’Immunotherapie. Ann Oncol. 13:1460–1468. Paesmans, M., Sculier, J.P., Lecomte, J., et al. 2000. Prognostic factors for patients with small cell lung carcinoma: analysis of a series of 763 patients included in 4 consecutive prospective trials with a minimum follow-up of 5 years. Cancer 89:523–533. Paesmans, M., Sculier, J.P., Libert, P., et al. 1995. Prognostic factors for survival in advanced non-small-cell lung cancer: univariate and multivariate analyses including recursive partitioning and amalgamation algorithms in 1,052 patients. The European Lung Cancer Working Party. J Clin Oncol. 13:1221– 1230. Parkin, D.M., Bray, F., Ferlay, J., Pisani, P. 2002. Global cancer statistics. CA Cancer J Clin. 55:74-108. Pham, C.T. Neutrophil serine proteases: specific regulators of inflammation. 2006. Nat Rev Immunol. 6:541–50 Sahraoui, S., Acharki, A., Benider, A., Bouras, N., Kahlain, A. 1999. Nasopharyngeal carcinoma in children under 15 years of age: a retrospective review of 65 pasiens. Annals of Oncology.10:1499-1502. Sambasivaiah, K., Kumaraswamy, R., Rao, S., Phaneendra, B.V., Ay, S.K.L., Sarma, K.V.S. 2005. Blood Cell Types and Cytokines Patterns in Solid Tumours Patients. Indian J Pediatr Oncology. 26(2): 2005. 19-24. Sasaki, A., Iwashita, Y., Shibata, K., Matsumoto, T., Ohta, M., Kitano, S. 2006. Prognostic value of preoperative peripheral blood monocyte count in patients with hepatocellular carcinoma. Surgery. 139:755–764. Schmidt, H., Bastholt, L., Geertsen, P., et al. Elevated neutrophil and monocyte counts in peripheral blood are associated with poor survival in patients with metastatic melanoma: a prognostic model. Br J Cancer. 93:273–278. Schmidt, H., Suciu, S., Punt, C.J., et al. 2007. Pretreatment levels of peripheral neutrophils and leukocytes as independent predictors of overall survival in patients with American Joint Committee on Cancer Stage IV Melanoma:results of the EORTC 18951 Biochemotherapy Trial. J Clin Oncol. 25:1562–1569. 60 Sharma, T.D., Singh, T., Laishram, R.S., Sharma, L.D.C., Sunita, A.K., Imchen, T. 2011. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of Northeastern India. Asian Pacific J Cancer Prev. 12:1583-1587 Stevens, Servi, J.C. 2005. Diagnostic Value of Measuring Epstein-Barr Virus (EBV) DNA Viral Load and Carcinoma-Specific Viral mRNA in Relation to AntiEBV Immunoglobulin A (IgA) and IgG Antibody Levels in Blood of Nasopharyngeal carcinoma Patients from Indonesia. Journal of Clinical Microbiology(43)7:3066-3073 Talmi, Y.P., Horowitz, Z., Bedrin, L., et al. 2002. Quality of life of nasopharyngeal carcinoma patients. Cancer 94(4):1012e1017. Tambunan, G.W. 1991. Diagnosis dan Tatalaksana: Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia . Penerbit: Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1991.Cet. I. Hal. 67– 87. Teramukai, S., Kitano, T., Kishida, Y., et al. 2009. Pretreatment neutrophil count as an independent prognostic factor in advanced non-small-cell lung cancer: an analysis of Japan Multinational Trial Organisation LC00–03. Eur J Cancer 45:1950–1958. Wang, H.Y., Sun, B.Y., Zhu, Z.H, et al. 2011. Eight-signature classifier for prediction of nasopharnyngeal carcinoma survival. J Clin Oncol;29(34):4516e4525. Walsh, S.R, Cook, E.J., Goulder, F., Justin, T.A, Keeling, N.J. 2005. Neutrophillymphocyte ratio as a prognostic factor in colorectal cancer. J Surg Oncol. 91(3):181–184. Wilson, C.B., Rowell, E., Sekimata, M. 2009. Epigenetic control of T-helper-cell differentiation. Nat Rev Immunol. 9:91–105. Wislez, M., Rabbe, N., Marchal, J., Milleron, B., Crestani, B., Mayaud, C., et al. 2003 Hepatocyte growth factor production by neutrophils infiltrating bronchioloalveolar subtype pulmonary adenocarcinoma: role in tumor progression and death. Cancer Res;63:1405–12. Yamanaka, T., Matsumoto, S, Teramukai, S., Ishiwata, R., Nagal, Y., Fukushima, M. 2007. The baseline ratio of neutrophils to lymphocytes is associated with patient prognosis in advanced gastric cancer. Oncology. 73:215–220. Yu, M.C., Yuan, J.M. 2012. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Semin Cancer Biol. 12:421-429. 61 Lampiran 1. Data Kompilasi Penelitian NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 MR 1456109 1373876 1401858 1435132 1447677 1488096 1506649 1572582 1596746 1602499 1553280 1631116 1643196 1293886 1467133 1496251 1463150 1472528 1477828 1490335 1541755 1237977 1249023 1566108 1416331 1418627 1421475 1476466 NAMA NH ES IKNT RU TU SA NA NS SAH HA DH BHA PUJ LS UDF PUJI SUGI PAR DAD AT SS HW HARI SUM SUW RUB BAK THI SEX P L L P P L L L L L P L P L L P L P L L L L L P P P L L USIA 34 28 52 51 60 28 22 48 30 56 54 67 29 63 18 39 56 48 49 45 53 71 46 66 36 40 49 37 T 2b 1 1 1 1 1 1 1 2a 1 2a 1 1 1 1 2a 2 2b 1 2b 2a 2a 2 1 3 1 1 3 N 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 2 1 3a M 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 STADIUM IIB IIB IIB IIB IIB IIB IIB IIB IIA I IIB I IIB I IIB IIB IIB IIB IIB IIB IIB IIB IIA IIB IVC IVC IVC IVB NETROFIL 4,30 3,11 3,21 2,90 1,98 3,90 6,30 6,63 8,10 4,87 2,60 3,29 6,40 2,52 4,45 3,57 7,92 4,70 4,00 3,02 4,91 2,53 3,30 4,70 12,20 8,70 13,6 9,8 LIMFOSIT 1,80 1,49 0,41 1,03 1,52 0,90 2,60 1,57 1,77 2,08 0,80 1,47 2,20 1,32 2,17 1,08 1,62 1,90 2,20 1,32 1,47 0,64 1,87 3,50 0,90 1,57 0,41 1,30 NLR 2,389 2,087 7,829 2,816 1,303 4,333 2,423 4,223 4,576 2,341 3,250 2,238 2,909 1,909 2,051 3,306 4,889 2,474 1,818 2,288 3,340 3,953 1,765 1,343 13,556 5,541 33,171 7,538 WHO 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 3 62 Lampiran 1. Data Kompilasi Penelitian No 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 RM 1483728 1482636 1484753 1489254 1445048 1459649 1470840 1498918 1501697 1489299 1507206 1480469 1509511 1440361 1439485 1449666 1447083 1380361 1401339 1404048 Nama SKH SSU TRI ZULI PDI DAL CP SUGI NMU SARMI MAI SUT MAR MUL SUNAR ELI MT SUTAR SURA SAN JK P L L L L L L P L P P L L L L P P L L L Umur 41 51 37 41 71 43 66 70 47 50 52 42 60 60 32 56 42 48 53 51 T 1 3 2a 3 1 3 4 2a 3 1 3 2b 1 1 3 3 2b 3 3 1 N 3b 3a 3a 3b 3b 1 3a 3b 3b 3b 3b 3a 3a 3a 3b 3a 2 2 0 2 M 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 Stadium IVB IVB IVB IVB IVB IVC IVC IVB IVB IVB IVB IVB IVB IVC IVC IVC III III III III Netrofil 4,00 3,90 4,52 4,09 4,40 6,45 4,50 4,50 4,10 7,80 4,90 4,83 3,90 6,75 7,33 9,12 5,60 5,70 7,30 5,38 Limfosit 2,30 1,80 0,79 1,65 0,90 0,86 0,50 1,40 1,00 1,70 1,90 1,92 2,30 1,17 1,68 1,60 3,90 1,50 1,50 1,33 NLR 1,739 2,167 5,722 2,479 4,889 7,500 9,000 3,214 4,100 4,588 2,579 2,516 1,696 5,769 4,363 5,700 1,436 3,800 4,867 4,045 WHO 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 Lampiran 2. Koordinat kurva ROC 63 Positive if Greater Than or Equal Toa Sensitivity 1 - Specificity .30300 1.000 1.000 1.32300 1.000 .958 1.38950 1.000 .917 1.56600 .958 .917 1.71750 .917 .917 1.75200 .875 .917 1.79150 .875 .875 1.86350 .875 .833 1.98000 .875 .792 2.06900 .875 .750 2.12700 .875 .708 2.20250 .833 .708 2.26300 .833 .667 2.31450 .833 .625 2.36500 .833 .583 2.40600 .833 .542 2.44850 .833 .500 2.47650 .833 .458 2.49750 .792 .458 2.54750 .750 .458 2.69750 .708 .458 2.86250 .708 .417 3.06150 .708 .375 3.23200 .667 .375 3.27800 .667 .333 3.32300 .667 .292 3.57000 .667 .250 3.87650 .625 .250 3.99900 .625 .208 4.07250 .583 .208 4.16150 .542 .208 4.27800 .542 .167 4.34800 .542 .125 4.46950 .500 .125 4.58200 .500 .083 4.72750 .458 .083 4.87800 .417 .083 5.21500 .375 .042 5.62050 .333 .042 5.71100 .292 .042 5.74550 .250 .042 6.63450 .208 .042 7.51900 .167 .042 7.68350 .125 .042 8.41450 .125 .000 11.27800 .083 .000 23.36350 .042 .000 34.17100 .000 .000 64 Lampiran 3. Ethics Committee approval