3 MB 23rd Nov 2016 Hubungan rasio netrofil terhadap limfosit

advertisement
HUBUNGAN RASIO NETROFIL TERHADAP LIMFOSIT
DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARINGS
Karya Tulis Akhir
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat spesialis
Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok-Kepala
Leher Program Pendidikan Dokter Spesialis
Diajukan oleh:
Ignatius Adhi Akuntanto
NIM: 10/306193/PKU/11604
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
RSUP dr. Sardjito/Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Akhir
HUBUNGAN RASIO NETROFIL TERHADAP LIMFOSIT
DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARINGS
Diajukan oleh:
Ignatius Adhi Akuntanto
10/306193/PKU/11604
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Materi
dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL (K)
NIP : 19680715 199903 2 002
Tanggal:
Pembimbing Metodologi
dr. Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-KL
NIP. 19751218 20081 2 2002
Tanggal:
Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL (K)
NIP : 19680715 199903 2 002
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini bukan merupakan karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, Desember 2014
Ignatius Adhi Akuntanto
iii
PRAKATA
Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan Karya Tulis Akhir dengan judul
“Hubungan Rasio Netrofil terhadap Limfosit dengan Stadium Klinis pada
Karsinoma Nasofarings” dapat terlaksana. Penyusunan karya tulis akhir ini
merupakan salah satu syarat mencapai derajat spesialis di bidang Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dengan selesainya penyusunan karya tulis akhir ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat kedua pembimbing, dr.
Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL(K), selaku pembimbing materi dan dr.
Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-KL, selaku pembimbing metodologi yang
dengan sabar memberikan masukan, pengarahan, saran, nasehat, dan bimbingan
dalam penyusunan dan penulisan karya tulis dari awal hingga akhir.
Ucapan terima kasih serupa juga saya sampaikan kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta beserta
staf yang telah memberi kesempatan menempuh pendidikan kepada penulis.
2. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta beserta staf yang
telah memberikan fasilitas dalam menempuh pendidikan kepada penulis.
3. Prof. Dr. dr. H. Soewito Atmosoewarno, SpTHT-KL(K) atas bimbingan dan
masukannya dalam penyusunan dan penulisan karya tulis akhir ini.
4. Prof. DR. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT-KL(K) atas bimbingan dan
masukannya dalam penyusunan dan penulisan karya tulis akhir ini.
iv
5. Prof. dr. Soepomo Soekardono, Sp.THT-KL(K) atas bimbingan dan
masukannya dalam penyusunan dan penulisan karya tulis akhir ini.
6. DR. dr. Bambang Udji Djoko Rianto, Sp.THT-KL(K), M.Kes., selaku Kepala
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
7. dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL(K) selaku Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
8. Seluruh staf pendidik di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
dan Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
9. Seluruh pasien yang rekam medisnya kami pergunakan demi berjalannya
proses penulisan karya tulis akhir ini.
10. Segenap rekan residen, staf non edukatif Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK
UGM dan Bagian Patologi Anatomi FK UGM/RSUP Dr. Sardjito serta
paramedis SMF THT-KL RSUP Dr. Sardjito yang dengan tulus memberikan
bantuan saran, dukungan dan sumbangan pemikiran.
11. Terimakasih terbesar penulis sampaikan kepada ayah, ibu serta kakak dan
adik-adik tercinta yang selalu setia mendoakan, menemani dan menjadi
inspirasi dalam menyelesaikan pendidikan.
Penulis menyadari bahwa karya tulis akhir ini jauh dari sempurna. Segala
masukan dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan karya tulis akhir
ini. Akhir kata penulis berharap karya tulis akhir ini dapat memberikan manfaat
v
bagi semua pihak khususnya untuk perkembangan Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Yogyakarta, Desember 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul .....................................................................................................i
Lembar Pengesahan ............................................................................................ii
Pernyataan .........................................................................................................iii
Kata Pengantar ...................................................................................................iv
Daftar Isi ...........................................................................................................vii
Daftar Tabel .......................................................................................................ix
Daftar Gambar..................................................................................................... x
Daftar Singkatan ................................................................................................xi
Daftar Lampiran................................................................................................xii
Intisari ..............................................................................................................xiii
Abstract ............................................................................................................xiv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. .1
B. Perumusan Masalah............................................................................ 4
C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 5
D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian.............................................................................. 5
F. Keaslian Penelitian ............................................................................. 5
BAB.II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 7
A. Karsinoma nasofarings....................................................................... 7
B. Hubungan Inflamasi dan Kanker...................................................... 17
C. Netrofil dan Kanker.......................................................................... 21
D. Limfosit dan kanker ......................................................................... 25
E. Rasio Netrofil Terhadap Limfosit dalam Perkembangan Kanker .... 27
F. Kerangka Teori ................................................................................. 30
G. Kerangka Konsep ............................................................................. 32
H. Hipotesis.......................................................................................... 32
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................. 35
A. Desain Penelitian ............................................................................. 33
B. Populasi Penelitian........................................................................... 34
C. Kriteria Sampel Penelitian ............................................................... 34
D. Sampel.............................................................................................. 34
E. Alur Penelitian ................................................................................. 36
F. Definisi Operasional Variabel.......................................................... 36
G. Batasan Operasional......................................................................... 37
H. Analisis Penelitian ........................................................................... 38
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 41
A. Karakteristik Subyek Penelitian........................................................ 42
B. Hubungan NLR dengan Stadium Klinis KNF .................................. 45
vii
C. Hubungan NLR dengan Gambaran Klinis KNF ............................... 50
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 55
Daftar Pustaka ................................................................................................... 56
Lampiran ........................................................................................................... 61
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9.
Klasifikasi TNM karsinoma nasofarings…………………………...
Pembagian stadium karsinoma nasofarings ……………………...
Hubungan kanker dengan infeksi dan inflamasi.......…..…………..
Karakteristik Subyek Penelitian……………………………………
Distribusi Umur Subyek Penelitian………………………………..
Hubungan NLR dengan stadium klinis KNF………………………
Hubungan NLR dengan umur …………………………………….
Hubungan NLR dengan jenis kelamin……………………………..
Hubungan NLR dengan derajad histopatologi……………………..
ix
11
12
18
42
44
46
49
51
53
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar10.
Gambar 11.
Peran inflamasi dalam karsinogenesis.............................................
Efek netrofil pada tumor microenvironment....................................
Mekanisme induksi netrofilia oleh sel tumor..................................
Skema rekrutmen netrofil kedalam sel kanker................................
Respon awal sistem imun terhadap sel kanker………………........
Imunitas anti tumor limfosit………………………………………
Kerangka teori.................................................................................
Kerangka konsep.............................................................................
Bagan rancang penelitian.................................................................
Alur penelitian.................................................................................
Kurva receiver operating characteristic …………………………
x
20
22
24
24
27
29
33
34
35
38
46
DAFTAR SINGKATAN
AJCC
CC
COX2
Ct-Scan
CXC
DMFS
DNA
DSS
EBV
GM-CSF
GPS
ICAM-1
IFN
IL-6
iNOS
KNF
LRFS
MHC
mRNA
NF-kB
NLR
NO
PMN
RL
RNS
ROS
RS
RSUP
TANs
TFH
TGF-β
TH
THT-KL
TNF
Treg
UICC
USG
VEGF
WHO
: American Joint Committee on Cancer
: Cysteine-Cysteine
: Cyclooxygenase 2
: Computed Tomography Scanning
: Cysteine-X-Cysteine
: Distant Metastasis-Free Survival
: Deoxyribonucleic Acid
: Disease-Spesific Survival
: Epstein-Barr Virus
: Granulocyte and Macrophage Colony Stimulating Factor
: Glasgow Prognostic Score
: Intercellular Adhesion Molecule-1
: Interferon
: Interleukin-6
: Inducible Nitric Oxide Synthase
: Karsinoma nasofarings
: Locoregional Recurrence-Free Survival
: Major Histocompatibility Complex
: messenger Ribonucleic Acid
: Factor-kB
: Neutrophyl Lymphocyte Ratio
: Nitric Oxide
: Polymorphonuclear Leukocyte
: Respons Lengkap
: Reactive Nitrogen Species
: Reactive Oxygen Species
: Respons Sebagian
: Rumah Sakit Umum Pusat
: Tumor-Associated Neutrophils
: T Follicular Helper
: Transforming Growth Factor-β
: T Helper
: Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
: Tumor Necrosis Factor
: regulatory T cells
: Union International Contre le Cancer
: Ultrasonography
: Vascular Endothelial Growth Factor
: World Health Organization
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Kompilasi Data Penelitian…………………………………………..61
Koordinat kurva ROC………………………………………………63
Ethics Committee approval………………………………………….64
xii
HUBUNGAN RASIO NETROFIL TERHADAP LIMFOSIT
DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARINGS
INTISARI
Latar belakang: Respon inflamasi sistemik telah terbukti berperan sebagai faktor
promotor metastasis dan progresivitas tumor melalui inhibisi apoptosis, promosi
angiogenesis dan kerusakan DNA. Rasio netrofil terhadap limfosit (NLR), sebagai
salah satu penanda inflamasi, berhubungan dengan progresivitas dan metastasis
berbagai macam keganasan. Hubungan NLR dengan karsinoma nasofarings
(KNF) masih belum jelas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan NLR dengan
stadium klinis KNF.
Metode: Rancang penelitian adalah kasus kontrol. Data sampel penelitian diambil
dari rekam medis, yaitu pasien yang telah terdiagnosis KNF di bagian Telinga
Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta, melalui pemeriksaan patologi anatomi,
denga stadium klinis telah ditentukan melalui pemeriksaan CT-Scan, rontgen
toraks, USG abdomen dan bone survey. Pasien KNF stadium lanjut dikategorikan
sebagai kelompok kasus, sedangkan pasien KNF stadium awal dikategorisasikan
sebagai kelompok kontrol. Nilai netrofil dan limfosit diambil dari hasil
pemeriksaan darah rutin sebelum dilakukan terapi. Analisis statistik untuk
membuktikan hipotesis menggunakan chi square.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 48 pasien KNF, masing-masing kelompok
terdiri atas 24 sampel. Terdapat hubungan yang bermakna NLR dengan stadium
klinis pasien KNF, dengan nilai p = 0,03 dan Rasio Odd (OR) = 4,231 (interval
kepercayaan 95% 1,107-16,167).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara NLR dengan stadium
klinis pada KNF.
Kata Kunci: Karsinoma nasofarings, rasio netrofil limfosit, stadium klinis
xiii
ASSOCIATION OF NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO
WITH CLINICAL STAGING IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA
ABSTRACT
Background: Systemic inflammatory response could promote tumor metastasis
and progression by inhibition of apoptosis, promotion of angiogenesis, and
damage of DNA. Neutrophyl to lymphocyte ratio, one of the inflammatory
marker, has been shown to be associated with progression and metastasis of many
kinds of malignancies. Whereas its role in nasopharyngeal carcinoma (NPC)
remains unclear.
Purpose: To determine the association between neutrophil lymphocyte ratio with
clinical staging in NPC.
Methods: Research design was case control study. Sample of this research which
was taken from medical records, is NPC patients who had undergone anatomy
pathology examination and whose clinical staging had been determined by CTscan, thorax plain photo, abdominal USG and bone survey. Late clinical staging
was categorized as case group, while early clinical staging was categorized as
control group. Neutrophil and lymphocyte value were taken from routine blood
examination before treatment. Statistical analysis to prove the hypothesis were
using chi square.
Result: Study sample were 48 NPC patient, each group consisted of 24 sample.
There was statistically significant association between NLR with clinical staging
in NPC, with p = 0,03 and Odds Ratio (RO): 4,231 (95% confidence interval
1,107-16,167).
Conclusion: There is significant association between NLR with clinical staging in
NPC.
Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, neutrophil lymphocyte ratio, clinical
staging.
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker nasofarings (KNF) adalah kanker yang berkaitan dengan virus
Epstein-Barr dengan distribusi geografis dan etnis yang khas. Insidensi KNF di Cina
selatan, terutama di provinsi Guangdong mencapai 25 kasus setiap 100.000
penduduk. Angka kejadian tersebut 100 kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka
kejadian di negara-negara barat (Parkin et al., 2002; Yu & Yuan, 2002). Penegakkan
diagnosis dan terapi KNF sedini mungkin berhubungan dengan peningkatan angka
kesembuhan. Beberapa biomarker molekuler, seperti DNA EBV, telah diidentifikasi
berkaitan dengan prognosis KNF. Pemeriksaan biomarker tersebut memerlukan biaya
tinggi sehingga penggunaannya sangat terbatas (Lo et al., 2000; Lin et al., 2004).
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan peran respons inflamasi sistemik
dalam meningkatkan peluang metastasis dan progresi tumor melalui inhibisi
apoptosis, promosi angiogenesis dan kerusakan DNA (McMillan, 2009). Dalam
beberapa dekade terakhir, hitung jenis leukosit perifer pra terapi (meliputi netrofil,
limfosit dan monosit) telah diteliti dalam kaitannya dengan prognosis berbagai tipe
kanker. Jumlah netrofil pra terapi yang tinggi berhubungan dengan prognosis buruk
pada pasien non-small cell lung cancer (Paesmans et al., 1995; Teramukai et al.,
2009). small cell lung cancer (Paesmans et al., 2009), dan renal cell cancer (Negrier
et al., 2002; Atzpodien et al., 2003; Donskov & von der Maase, 2006). Angka yang
tinggi dari netrofil, monosit atau lekosit telah dibuktikan sebagai faktor independen
2
prognosis buruk pada pasien melanoma dengan metastasis (Schmidt et al., 2005;
Schmidt et al., 2007). Peningkatan netrofil/limfosit ratio (NLR) telah terbukti
berkaitan dengan hasil pascaterapi yang buruk pada pasien epithelial ovarian cancer
(Cho et al., 2009) dan beberapa kanker saluran pencernaan (Walsh et al., 2005;
Gomez et al., 2007; Yamanaka et al., 2007; Halazun et al., 2008; Halazun et al.,
2009; Kishi et al., 2009; Bhatti et al., 2010). Jumlah limfosit pra terapi yang tinggi
juga dibuktikan sebagai faktor independen prognosis baik pada pasien dengan
adenokarsinoma duktus pankreas (Clark et al., 2007); sementara itu peningkatan
jumlah monosit berkaitan dengan prognosis buruk pasien karsinoma hepatoseluler
(Sasaki et al., 2006).
Terapi KNF stadium awal adalah radioterapi, sedangkan KNF stadium lanjut
adalah kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Kemoterapi dilakukan secara induksi
(neoadjuvant), tambahan (adjuvant) atau konkomitan (concurrent) (Prasat et al.,
2002).
Prognosis pasien KNF ditentukan terutama dari stadium klinis, yaitu berdasarkan
pada Union International Contre le Cancer/American Joint Cancer Commite
(UICC/AJCC) TNM staging system. Pasien - pasien dengan stadium klinis yang sama
seringkali menunjukkan kondisi klinis pascaterapi yang berbeda. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa stadium klinis tidak cukup tepat dalam memprediksi
prognosis
KNF (Wang et al., 2011). Pasien-pasien KNF stadium dini dengan
predisposisi metastasis memiliki kemungkinan kegagalan terapi jika hanya menjalani
radioterapi saja (Li et al., 2012). Di sisi lain, pasien dengan stadium lanjut memiliki
3
harapan hidup pascaterapi yang relatif lebih lama. Overtreatment
dapat
mengakibatkan toksisitas, yang akan menurunkan kualitas hidup pasien, atau bahkan
meningkatkan risiko kematian (Talmi et al., 2002). Kondisi tersebut mungkin terjadi
karena sistem stadium TNM adalah berdasar pada sistem anatomi, dimana faktor
fungsional tidak diperhatikan. Beberapa faktor prognosis KNF telah diidentifikasi
secara retrospektif. Faktor-faktor tersebut diidentifikasi melalui pemeriksaaan
imunohistokimia jaringan tumor, seperti apoptosis-related surviving and living,
angiogenesis factor dan vascular endothelial growth factor (Co, 2007). Biomarker
molekuler, seperti DNA EBV plasma juga telah dikaitkan dengan progonosis pasien
KNF (Lo & Yuan, 2002; Lin et al., 2004). Namun, tingginya biaya dan keterbatasan
peralatan seringkali membatasi pemakaian teknik tersebut. Oleh karena itu, sangat
penting untuk mencari faktor-faktor lain untuk memprediksi prognosis pasien KNF,
terutama indikator-indikator yang relatif murah dan mudah dilakukan. Pemeriksaan
darah lengkap yang meliputi jumlah netrofil dan limfosit, adalah salah satu
pemeriksaan sederhana dan biasa dilakukan, terutama dalam pra terapi pasien KNF.
Diperlukan
evaluasi untuk menentukan adakah hubungan antara rasio netrofil
terhadap limfosit (NLR) dengan stadium klinis KNF di RSUP Dr. Sardjito.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Karsinoma nasofarings adalah keganasan kepala leher yang paling sering
terjadi di Indonesia.
4
2. Jumlah pasien karsinoma nasofarings RSUP Dr. Sardjito semakin meningkat
setiap tahun.
3. Respon inflamasi sistemik meningkatkan peluang metastasis dan progesifitas
tumor melalui inhibisi apoptosis, promosi angiogenesis dan kerusakan DNA.
Terdapat hubungan antara respon inflamasi sistemik dengan perubahan sel
darah putih sirkulasi, terutama adanya netrofilia dan limfositopenia relatif .
4.
Netrofil merupakan salah satu penyusun infiltrat sel inflamasi yang dijumpai
dalam berbagai kanker pada manusia. Netrofil di sirkulasi perifer maupun
dalam tumor microenvironment menghasilkan faktor-faktor pro angiogenesis
yang meliputi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan
dalam merangsang pertumbuhan tumor. Nilai netrofil perifer yang tinggi
menandakan kejadian inflamasi terkait kanker atau suatu progresi tumor dan
berhubungan dengan prognosis yang buruk.
5. Limfosit merupakan komponen penting dari sistem imun adaptif, dan infiltrasi
limfosit menunjukkan adanya respon imun seluler anti tumor yang efektif.
6. Nilai NLR memiliki nilai prognosis dan berhubungan dengan harapan hidup
pasien dengan berbagai tipe tumor.
7. Hubungan NLR dengan stadium klinis pasien KNF belum diketahui secara
jelas.
5
C. Pertanyaan Penelitian
Apakah terdapat hubungan rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium
klinis pasien karsinoma nasofarings?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan rasio netrofil terhadap
limfosit dengan stadium klinis pasien karsinoma nasofarings.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan mengenai
hubungan rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis pasien karsinoma
nasofarings. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai asupan
pengembangan manajemen karsinoma nasofarings.
F. Keaslian Penelitian
Rencana penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh An et
al. (2010). Dalam penelitian tersebut, prognosis KNF dinilai menggunakan disease–
spesific survival (DSS), distant metastasis-free survival (DMFS) dan locoregional
recurrence-free survival (LRFS). Rencana penelitian ini juga berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh He et al. (2011). dalam penelitian tersebut, prognosis
dinilai menggunakan overall survival (OS) dan progression-free survival (PFS).
Variabel-variabel tersebut dibandingkan dengan nilai NLR pra terapi pasien KNF.
Sementara Sambasivaiah et al. (2005) melakukan penelitian tentang hubungan hitung
jenis sel darah dan pola sitokin dengan stadium klinis pasien. Penelitian tersebut
menggunakan 36 pasien kanker yang terdiri atas kanker leher rahim, paru-paru,
6
payudara, hati, kolon, otak, esofagus, choriocarcinoma, kepala leher, ovarium,
pankreas, lambung dan testis. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut diatas.
Penelitian ini menentukan hubungan nilai NLR dengan stadium klinis pasien KNF.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karsinoma Nasofarings
Karsinoma nasofarings adalah tumor yang berasal dari sel epitel yang
melapisi permukaan nasofarings, terutama pada dinding lateral nasofarings termasuk
fossa Rosenmuller, yang dapat meluas posterosuperior ke dasar tengkorak, palatum,
cavum nasi atau orofaring (Ali & Al Sarraf, 1999). KNF adalah keganasan kepala dan
leher yang paling sering dijumpai di Indonesia. Di Yogyakarta, berdasarkan data RS
Sardjito, KNF merupakan kanker nomor 1 yang terjadi pada laki-laki dan kanker
nomor 3 yang terjadi pada perempuan (Fachiroh et al., 2008). Data menunjukkan,
insidensi keganasan ini di Yogyakarta mencapai 6,2 setiap 100.000 penduduk setiap
tahunnya. Pada tahun 2006-2010, 90% pasien KNF di RSUP. DR. Sardjito
Yogyakarta menunjukkan gambaran histopatologi WHO tipe III, dimana tipe tersebut
memiliki hubungan kuat dengan infeksi EBV (Hutajulu, 2011). Karsinoma
nasofarings merupakan keganasan yang jarang terjadi di beberapa bagian dunia
namun terjadi secara endemik di Cina selatan, Hongkong, Korea, Singapura, dan
beberapa bagian di Asia Tenggara dengan insidensi tertinggi ( >15 kasus/100.000
populasi/tahun) (Stevens et al., 2005).).
Karsinoma nasofarings berdasarkan derajat diferensiasinya diklasifikasikan
menjadi 3 jenis, yaitu: WHO tipe 1 typical keratinizing squamous cell, WHO tipe 2
nonkeratinizing carcinoma, dan WHO tipe 3 undifferentiated carcinoma yang
merupakan tipe yang paling sering terjadi (Khademi et al.,2006). Karsinoma
8
nasofarings merupakan occult tumor yang dapat mengenai semua umur dengan
insidensi meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada usia 40-60
tahun (Chan et al., 2005; Lee, 2003).
Faktor etiologi yang berperan dalam kejadian karsinoma nasofarings ada 3,
yaitu: infeksi virus Epstein-Barr, kecenderungan genetik, dan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain tinggal di rumah yang ventilasinya
tidak baik, tidak ada pemisahan antara dapur dan bagian rumah lain, kebiasaan
memasak dengan menggunakan kayu bakar, mengkonsumsi makanan yang
dikeringkan dengan diasap, dan menghirup asam secara kontinyu dalam durasi yang
panjang. Inhalasi asap dalam waktu panjang, terutama asap dari kayu bakar,
dilaporkan mengandung karsinogen yang dapat terdeposisi di bagian posterior dan
lateral dinding nasofarings selama beberapa jam, hari, atau tahun (Ganguly, 2003).
Kebiasaan merokok selama 10 tahun juga dilaporkan menaikkan risiko terkena KNF
(Lin et al., 1973 cit Ganguly, 2003).
Beberapa bahan makanan juga dicurigai berperan dalam perkembangan KNF
yaitu ikan asin yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Kanton. Hal ini disebabkan
oleh kandungan nitrosamin dalam ikan asin. Penelitian case control lain di
Hongkong, Malaysia, dan Cina menunjukkan hubungan yang kuat antara konsumsi
ikan asin pada masa kanak-kanak dengan kejadian KNF (Ganguly, 2003). Paparan
terhadap formaldehid juga diketahui menginduksi kanker pada nasal, baik itu kanker
sinonasal atau karsinoma nasofarings (Rous et al.,1967 cit Ganguly, 2003). Tingginya
9
insidensi KNF di Cina selatan menunjukkan adanya kecenderungan genetik pada
kejadian KNF (Ganguly, 2003).
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien karsinoma nasofarings
berhubungan dengan posisi dan ukuran tumor di nasofarings, perluasan langsung
keluar nasofarings, dan penyebaran jauh (metastasis tumor) (Indrasari, 2004). Gejala
dini karsinoma nasofarings tidak khas dan jarang disadari oleh penderita, dimana
tumor masih terbatas pada rongga nasofarings. Gejala dini ini perlu diperhatikan pada
orang risiko tinggi yakni usia diatas 40 tahun. Tumor mula-mula tumbuh di fossa
Rosenmuller selanjutnya menyebabkan oklusi muara tuba. Penderita akan mengeluh
rasa penuh di telinga, berdenging dan kadang-kadang disertai gangguan pendengaran
yang bersifat unilateral. Bila oklusi tuba berlangsung lama dapat terjadi otitis media
serosa (Al Sarraf & Reddy, 2002).
Pertumbuhan tumor menyebabkan permukaan mukosa menebal dan rapuh
sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Keluhan hidung yang terjadi
adalah pilek berulang dengan ingus dan dahak bercampur darah serta gangguan
penciuman. Bila pertumbuhan tumor ini berlanjut akan meluas ke dalam rongga
nasofarings, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang menetap. Gejala
lanjut timbul karena perluasan tumor primer di nasofarings menyebar melalui saluran
getah bening atau metastasis jauh. Tumor dapat meluas ke intra-kranial melalui
foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf III, IV, dan VI dengan keluhan
berupa diplopia. Kemudian saraf V dengan keluhan berupa hipoestesi wajah,
10
optalmoplegi dan ptosis. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intra
kranial (Mulyarjo, 2002).
Pemeriksaan
yang penting
dalam menegakkan diagnosis karsinoma
nasofarings adalah inspeksi nasofarings, palpasi leher, pemeriksaan saraf-saraf
kranial, dan pemeriksaan radiologis (CT-scan). Pemeriksaan rinoskopi posterior
secara tidak langsung dapat membantu menegakkan diagnosis KNF. Jika ditemukan
tanda tumor primer, maka jenis tumor itu harus ditentukan dengan biopsi
histopatologik (Velde et al.,1999).
Untuk menilai prognosis, rencana terapi dan evaluasi hasil terapi dikenal
klasifikasi stadium dengan variabel TNM. Status T menggambarkan keadaan tumor
primer dan perluasannya, status N menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar
limfe regional, status M menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium klinis
penderita dinilai berdasarkan ketiga status tersebut (Indrasari, 2004). Untuk sistem
klasifikasi ini digunakan sistem klasifikasi KNF menurut AJCC tahun 1997 yang
secara lengkap dituliskan dalam tabel 1 dan pembagian stadiumnya dapat dilihat pada
tabel 2.
11
Tabel 1. Klasifikasi KNF berdasarkan besar tumor (T), keterlibatan limfonodi regional (N)
dan metastasis (M).
Klasifikasi
Keterangan
Tumor primer
T1
Tumor terbatas pada nasofarings.
T2
Tumor meluas ke jaringan lunak orofarings dan/atau
kavumnasi,
T2a tanpa perluasan ke parafarings, T2b dengan
perluasan ke parafarings.
Tumor
menginvasi struktur tulang dan/atau sinus
T3
paranasal
T4
Tumor meluas ke intrakranial dan/atau melibatkan nervus
kranialis, hipofarings, fossa infratemporalis, atau orbita.
Limfonodi Regional
N0
N1
Tidak ada metastasis limfonodi regional
Metastasis unilateral dengan nodus <6cm, di atas fossa
supraklavikula
N2
Metastasis bilateral dengan nodus <6cm, di atas fossa
supraklavikula
N3a
Metastasis nodus ukuran >6cm, tidak ada perluasan ke
fossa supraklavikula
Metastasis limfonodi ukuran >6cm dengan perluasan ke
fossa supraklavikula
N3b
Metastasis
M0
M1
Tidak terdapat metastasis jauh
terdapat metastasis jauh
Sumber: AJCC (1997)
Radioterapi masih memegang peranan penting dalam pengobatan KNF, hal
ini disebabkan banyaknya organ vital yang saling berdekatan letaknya sehingga
tindakan operatif akan menimbulkan gangguan fungsi dan kosmetika. Radioterapi
12
dengan atau tanpa kemoterapi saat ini adalah terapi standar untuk karsinoma
nasofarings karena tumor ini bersifat radiosensitif (Khademi et al., 2006). Copper et
al. (2000) cit Khademi et al.(2006) dalam penelitiannya menunjukkan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi dapat meningkatkan kesembuhan pasien.
Sistem Klasifikasi Stadium (AJCC)
Tabel 2. Pembagian stadium KNF menurut AJCC 1997
Stadium
Keterangan
I
T1N0M0
IIA
T2aN0M0
IIB
T1N1M0 atau T2aN1M0 atau T2bN0-1M0
III
T1-2N2M0 atau T3N0-2M0
IVA
T4N0-2M0
IVB
Setiap TN3M0
IVC
Setiap T, Setiap N,M1
Sumber: AJCC (1997).
Sampai saat ini hasil terapi radiasi pada KNF belum memuaskan. Ini
ditunjukkan dari angka kegagalan radioterapi dalam eradikasi sel kanker yang cukup
tinggi yaitu sebesar 35-57 %. Jaringan tumor nasofarings yang tidak dapat dimatikan
oleh radiasi dapat berkembang menjadi kekambuhan (rekuren) yang mempunyai
prognosis buruk.
Terapi kombinasi (kemoterapi) pada KNF ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi, terutama pada stadium lanjut atau keadaan kambuh (Sham,
1993).
Kemoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang sangat penting
dalam penatalaksanaan keganasan di daerah kepala dan leher. Tujuan pemberian
kemoterapi ajuvan dalam tatalaksana keganasan di daerah kepala leher stadium lanjut
lokoregional untuk menghilangkan tumor lokal, regional dan mikrometastasis.
13
Diantara berbagai regimen kemoterapi yang sering digunakan adalah kombinasi
Cisplatin dengan 5-fluorouracil, Methotrexate, Bleomycin, Mitomycin C, Vincristine,
Cyclophosphamide atau Doxorubicin. Akhir-akhir ini dilaporkan kombinasi
Cisplatin/Paclitaxel dan Cisplatin/Gemcitabine efektif untuk keganasan di daerah
kepala dan leher. Kemoterapi yang diberikan bersamaan dengan radioterapi
(concomitant chemoradiotherapy) dilaporkan memberi hasil yang lebih baik (Jacob,
1991). Sasaran pemberian kemoterapi adalah untuk memperbaiki angka kesembuhan
dengan memperkecil ukuran tumor sebelum radiasi. Karsinoma nasofarings mudah
mengalami metastasis, terutama jenis yang berdiferensiasi buruk. Kemoterapi dapat
mengeliminir mikrometastasis seawal mungkin. Kemoterapi juga mempengaruhi selsel yang berada pada fase tertentu yang tidak peka terhadap radiasi tersebut,
dirangsang masuk ke fase berikutnya yang lebih peka tanggapan terhadap radiasi
(Sham, 1993).
Hasil kemoradioterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya
kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Tingkat
respons tumor terhadap radiasi ditentukan berdasar atas hasil pengukuran volume
tumor nasofarings pra dan pasca radioterapi dari CT Scan (oleh Dokter Spesialis
Radiologi), hasil pemeriksaan nasofarings (oleh Dokter Spesialis THT) dan hasil
sitologi nasofarings (oleh Dokter Patologi Anatomi). Penilaian respons tumor
terhadap radiasi menggunakan kriteria WHO (WHO offset Publication No. 48, 1979.
cit. Affandi, 1992) yaitu respons lengkap (RL), respons sebagian (RS), tak ada
respons (TR) dan tumor progesif (P). KNF respons tinggi meliputi RL dan KNF
14
respons rendah meliputi RS, TR, P. (Affandi , 1989). Sehubungan dengan respon
terapi dan prognosis pada angka harapan hidup tumor KNF, perlu dicari mekanisme
untuk memperbaiki keadaan tersebut diantaranya adalah deteksi awal yang bisa
dijadikan alat skrining, proses molekuler pada karsinogenesisnya, dan pemilihan
terapi yang adekuat. Dengan kemajuan teknologi dan hasil penelitian yang sangat
progresif, diharapkan dalam waktu dekat dapat memecahkan masalah tersebut diatas
(Affandi , 1989).
Penyebaran tumor baik secara lokal maupun regional terjadi pada lebih 60%
pasien. Untuk kelompok tersebut, meskipun telah diberikan terapi yang adekuat,
kegagalan terapi yang disebabkan oleh resistensi primer maupun didapat pada agen
yang merusak DNA masih menyisakan masalah yang besar dan masih belum
diketahui penyebabnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap respons terapi baik
dan buruk masih belum teridentifikasi secara spesifik (Jacob, 1991). Beberapa faktor
yang mempengaruhi prognosis penyakit ini, antara lain ukuran tumor yang berkaitan
dengan infiltrasinya ke organ sekitar, tipe tumor secara histopatologik, keterlibatan
limfonodi leher, usia, jenis kelamin, dan teknik terapi yang diberikan. Sejumlah besar
penelitian menunjukkan dengan pemberian radioterapi saja, rata-rata 5-years survival
rate untuk KNF stadium I 85-90% dan stadium II 70-80%. Pada stadium lanjut (IIIIV), dengan radioterapi saja, rata-rata 5-years survival rate 37% dan meningkat
menjadi 67% pada pemberian kemoterapi bersama dengan radioterapi (Ho, 2009).
Kadkhoda et. al. (2007) menunjukkan angka local relapse-free survival (LRFS),
regional relapse-free survival (RRFS) dan distant metastases relapse-free survival
15
(DRFS) berturut-turut adalah 90%, 100% dan 100% untuk KNF stadium I dan II.
Untuk stadium III dan IV, berturut-turut adalah 51%, 87% DAN 69%.
Akhir-akhir ini, penelitian di negara-negara maju mendukung peran EBV
pada perkembangan tumornya, pada awalnya EBV dihubungkan dengan KNF, namun
akhir-akhir ini juga ditemukan pada organ-organ kepala dan leher (McKaig, 1998).
Dengan kemajuan teknologi, terdapat kemajuan yang sangat luar biasa mengenai
penelitian-penelitian tentang marker genetik, marker deteksi virus, dan KNF.
Penggunaan marker molekuler (biomarker) pada tumor kepala dan leher juga
memberikan kontribusi yang besar, dimana akan memberikan perbaikan pada deteksi,
pengobatan
dan
prevensi
tumor
kepala
dan
leher.
Terdapat
data
yang
mengindikasikan bahwa marker genetik dan virus mungkin merupakan hal penting
untuk perkembangan terapi KNF di masa yang akan datang (McKaig, 1998).
Evaluasi pascaterapi karsinoma nasofarings harus dilakukan dengan cara
kombinasi yaitu secara klinis, pemeriksaan nasoendoskopi, pemeriksaan CT-scan dan
biopsi. Saat ini biopsi nasofarings merupakan baku emas untuk mendeteksi atau
sebagai penentu keberhasilan terapi KNF. Biopsi nasofarings dilakukan apabila pada
CT-scan masih terlihat adanya massa tumor di daerah nasofarings atau pada
nasofarings yang berbenjol-benjol/ ulseratif pada saat dilakukan nasoendoskopi. Hasil
biopsi (patologi anatomi) merupakan baku emas untuk keberhasilan terapi KNF.
Terapi dikatakan berhasil jika hasil biopsi tidak dijumpai sel ganas dan tidak dijumpai
tanda-tanda metastasis jauh (Hao et al.2004).
16
Evaluasi dilakukan pada minggu ke-6 hingga minggu ke-8 pasca terapi selesai
(Sham, 2003). Chao et al (2003) melakukan evaluasi terapi setelah 12 minggu pasca
terapi, dilanjutkan tiap 3 bulan pada tahun pertama, tiap 4 bulan pada tahun ke-2 dan
setiap 6 bulan pada tahun ke-3 serta selanjutnya evaluasi dilakukan setiap tahun.
Chao et al (2003) juga melakukan penelitian mengenai sensitifitas dan spesifitas CTscan terhadap biopsi nasofarings pasca terapi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
sensitifitas sebesar 50% dan spesifitas sebesar 41,9% sedangkan sensitifitas
nasoendoskopi terhadap biopsi sebesar 75% dengan spesifitas sebesar 94,3%,
sehingga dapat disimpulkan bahwa CT-scan digunakan hanya sebagai indikasi
adanya metastasis di daerah sinus paranasal, adanya erosi tulang tengkorak dan
metastasis di kelenjar limfe leher, sedangkan nasoendoskopi digunakan untuk
menuntun biopsi baik pra ataupun pascaterapi.
Penderita KNF pascaterapi disebut residual jika dari hasil evaluasi masih
dijumpai sisa masa tumor pada pascaterapi. Persistensi adalah jika massa tumor pra
dan pascaterapi adalah tetap. Residif atau rekurensi adalah penderita yang pernah
dinyatakan sembuh pascaterapi kemudian dalam jangka waktu tertentu mulai timbul
gejala yang menyokong adanya kekambuhan yang dibuktikan dengan hasil evaluasi
pada pemeriksaan fisik maupun penunjang (Sham et al., 1989; Chua et al., 1998).
B. Hubungan Inflamasi dan Kanker
Hubungan kanker dan inflamasi pertama kali dikemukakan pada tahun 1863
oleh Rudolf Virchow (Kundu & Surh., 2008; Mantovani et al., 2008). Inflamasi
kronis merupakan dasar patologi kejadian keganasan pada manusia. Kanker muncul
17
pada lokasi inflamasi kronis dan sel-sel inflamasi ditemukan pada saat dilakukan
biopsi jaringan tumor. Virchow mengemukakan bahwa iritasi menyebabkan cedera
jaringan, inflamasi, dan meningkatkan proliferasi sel (Schottenfeld et al., 2006).
Kerusakan jaringan, baik fisik, kimia, atau infeksi akan memicu respon
inflamasi. Respon tersebut merupakan mekanisme penting untuk melawan agen yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan jaringan dan selanjutnya memulai
proses perbaikan jaringan dengan membentuk respons imun (Eiró & Vizoso, 2012).
Walaupun inflamasi bertindak sebagai pertahanan adaptif terhadap infeksi atau cidera
yang kebanyakan merupakan proses self-limiting, tetapi resolusi yang tidak adekuat
dan sempurna dari respon inflamasi sering menyebabkan berbagai penyakit kronis
termasuk kanker (Kundu & Surh, 2008). Penanda inflamasi terkait kanker meliputi
terdapatnya sel-sel inflamasi dan dihasilkannya mediator inflamasi (misalnya
kemokin, sitokin dan prostaglandin) pada jaringan tumor, proses remodelling
jaringan, dan angiogenesis (Mantovani et al., 2008).
Banyak studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa inflamasi kronis
merupakan faktor predisposisi terjadinya berbagai jenis kanker. Beberapa pemicu
inflamasi kronis yang meningkatkan risiko terjadinya kanker dapat dilihat pada tabel
3 (Mantovani et al., 2008).
Kanker dan inflamasi dihubungkan oleh dua jalur yaitu, jalur intrinsik dan
ekstrinsik. Jalur intrinsik diaktifkan oleh peristiwa genetik yang menghasilkan
neoplasia. Peristiwa ini meliputi aktivasi berbagai jenis onkogen dengan mutasi,
amplifikasi, dan inaktivasi gen supresor tumor. Sel yang diubah dengan cara ini
18
menghasilkan mediator inflamasi, sehingga terbentuk lingkungan mikro inflamasi
pada tumor. Sebaliknya, pada jalur ekstrinsik, inflamasi atau infeksi meningkatkan
risiko perkembangan kanker pada lokasi anatomi tertentu (Allavena et al., 2008).
Tabel 3. Contoh hubungan kanker dengan infeksi dan inflamasi
Keganasan
Kondisi yang berhubungan
Kolorektal
Inflammatory bowel disease
Lambung
Gastritis Helicobacter pylori
Esofagus
Barrett’s esophagus
Pankreas
Pankreatitis kronis
Paru
Merokok
Mesothelioma
Asbestosis
Bladder
Cystitis, schistosomiasis
Hepar
Hepatitis B dan C
Cerviks dan anus
Papilloma virus
Ovarium
Pelvic inflammatory disease
KNF
EBV
Kaposi’s sarcoma
HPV tipe 8
(Moore et al., 2010)
Cedera pada sel yang berkelanjutan karena inflamasi dapat menyebabkan
karsinogenesis. Berbagai sel-sel inflamasi direkrut ke tempat infeksi atau inflamasi.
Sel inflamasi menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen
Species (RNS) yang dapat berfungsi sebagai efektor kimia inflamasi yang mendorong
karsinogenesis. Dengan demikian, salah satu mekanisme dimana inflamasi kronis
dapat memulai tumorogenesis adalah peningkatan ROS dan RNS dalam jaringan
inflamasi dan kerusakan DNA yang
menyebabkan aktivasi onkogen dan/ atau
inaktivasi gen supresor tumor (Kundu & Surh, 2008).
19
Inflamasi kronis terlibat dalam semua tahap karsinogenesis, yaitu tahap awal,
pertumbuhan dan perkembangan kanker. Jaringan yang mengalami inflamasi
persisten
menyebabkan
ROS/RNS
berlebihan
yang
dapat
menyebabkan
ketidakstabilan gen dan mengarah ke tahap awal kanker. Sel yang mengalami
proliferasi menghasilkan mutasi sel yang membentuk massa premalignansi, dan
peristiwa tersebut disebut pertumbuhan tumor (Kundu & Surh, 2008).
Beberapa sel pra neoplastik mengalami mutasi tambahan dan menjadi ganas,
dan proses ini disebut sebagai perkembangan tumor. Sel tumor yang mengalami
proliferasi dikelilingi oleh stroma sel dan sel inflamasi atau sel imun yang
membentuk sebuah lingkungan mikro tumor yang mencerminkan keadaan inflamasi
persisten. Dalam tumor microenvirontment, berbagai mediator pro inflamasi
berpartisipasi dalam sinyal inflamasi yang kompleks, dan memfasilitasi ekstravasasi
sel tumor melalui stroma, sehingga mendorong perkembangan tumor (Kundu & Surh,
2008).
Inflamasi berperan dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tumor
melalui beberapa mekanisme, seperti mempercepat perkembangan siklus sel dan
proliferasi sel, menghindari apoptosis atau kematian sel, dan merangsang
neovaskularisasi tumor. Diantara molekul yang memainkan peran utama dalam
hubungan inflamasi dan kanker adalah sitokin, kemokin, Cyclooxygenase 2 (COX2),
Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), Nitric Oxide (NO), dan Factor-кB (NF-кB)
(gambar 1) (Kundu & Surh, 2008).
20
Gambar 1. Perjalanan kanker: inflamasi sebagai kekuatan pendorong. Inflamasi terlibat
dalam berbagai tahap karsinogenesis. ROS / RNS yang berasal dari stres inflamasi dapat
menyerang DNA dan menyebabkan mutasi pada onkogen / gen supresor tumor atau
perubahan genetik lainnya. Hal ini akan menyebabkan tahap awal karsinogenesis. Inflamasi
juga berkontribusi pada tahap pertumbuhan dan perkembangan kanker dengan merangsang
proliferasi sel, meningkatkan angiogenesis dan metastasis, membuat sel-sel prakanker atau
neoplastik resisten terhadap apoptosis melalui mekanisme epigenetik (Kundu dan Surh,
2008).
C. Netrofil dan kanker
Netrofil atau polymorphonuclear leukocyte (PMN) berperan dalam
pertahanan pejamu dari invasi mikroorganisme dan membantu penyembuhan luka
(Nathan, 2006). Invasi patogen akan membangkitkan respon inflamasi yang akan
merekrut
netrofil
ke
lokasi
infeksi.
Setelah
itu,
netrofil
mengeliminasi
mikroorganisme menggunakan substansi sitotoksik (Smith,1994). Netrofil juga aktif
21
melepaskan proteinase kedalam ekstraseluler, yang mengakibatkan kerusakan
jaringan pejamu sekitar (Pham, 2006). Netrofil memproduksi sitokin dan kemokin
yang dapat mempengaruhi migrasi sel inflamasi dan mengubah respon imun. Proses
perekrutan dan aktivasi PMN, yang terlihat saat infeksi, terjadi dalam tumor
microenvironment; dimana bukti bukti menunjukkan, dalam konteks tersebut, PMN
merugikan pejamu (Nathan, 2006).
Netrofil merupakan salah satu penyusun infiltrat sel inflamasi yang dijumpai
dalam berbagai kanker pada manusia (Belocq et al., 1998; Eck et al., 2003; Wislaz et
al., 2003; Jensen et al., 2009). Berbagai tipe sel dalam tumor microenvironment
memiliki kemampuan mensekresi substansi kemotaksis netrofil. Walaupun demikian,
dalam beberapa kasus, sel tumor itu sendiri memediasi perekrutan netrofil ke lokasi
tumorigenesis
melalui
sekresi
kemokin
Cysteine-X-Cysteine
(CXC),
yang
menunjukkan bahwa tumor-associated neutrophils (TANs) tidak memiliki peran
berarti dalam pertahanan pejamu. Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa
keberadaan netrofil berhubungan dengan prognosis yang buruk. Sebagai contoh, pada
pasien renal cell carcinoma menunjukkan bahwa keberadaan netrofil berkorelasi
dengan peningkatan mortalitas (Jensen et al., 2009).
Netrofil memiliki jumlah agen terbatas yang berperan dalam pertumbuhan dan
sifat invasif tumor. Agen-agen tersebut meliputi kemokin dan/atau sitokin, reactive
oxygen species (ROS), dan matrix-degrading proteinases. Beberapa penelitian
menunjukkan pentingnya TANs, dengan menggunakan berbagai substansi diatas
tersebut, dalam mempengaruhi sistem imun tumor, metastasis, angiogenesis dan
22
proliferasi sel. Kemampuan neutrofil dan sel-sel inflamasi lainnya dalam
mendegradasi membran basal merupakan mediator dari invasi dan metastasis tumor.
Gambar 2. Efek netrofil pada tumor microenvironment (Sumber: Tumor-Associated
Neutrophils: New Targets for Cancer Therapy; A.D. Gregory and M. Houghton).
Netrofil mengandung 4 tipe granula, dimana merupakan tempat penyimpanan
proteinase. Setelah dilepaskan, proteinase netrofil tersebut akan mendegradasi
sejumlah besar sitokin, kemokin dan reseptornya yang kemudian akan mengubah
matriks ekstraseluler. Dalam proses tersebut, proteinase memiliki pengaruh kuat
dalam proliferasi tumor, densitas pembuluh darah dan potensi metastasis (Pham,
2006). Netrofil di sirkulasi perifer maupun dalam tumor microenvironment
menghasilkan faktor-faktor pro angiogenesis yang meliputi vascular endothelial
growth factor (VEGF) yang berperan dalam merangsang pertumbuhan tumor. Oleh
karena itu, nilai netrofil perifer yang tinggi menandakan kejadian inflamasi terkait
23
kanker atau suatu progresi tumor dan berhubungan dengan prognosis yang buruk (He
et al., 2012).
Dalam biologi kanker, perkembangan tumor memberikan kontribusi untuk
perubahan dalam jumlah neutrofil yang beredar. Salah satu mekanisme yang mungkin
adalah Granulocyte and Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) yang
dihasilkan oleh sel tumor, mampu memobilisasi prekursor di sumsum tulang, atau
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) and Interleukin-6 (IL-6), yang dapat
mengubah diferensiasi sel (gambar 3) (Murta & Murta, 2008).
Neutrofil memasuki jaringan dari peredaran darah dibawah pengaruh kemokin
tertentu (misalnya C-X-C motif ligand 1 (CXCL1), CXCL2, CXCL5, CXCL6, dan
CXCL8), sitokin (misalnya TNF-α dan IFN-γ) dan molekul adesi sel yang terletak di
permukaan neutrofil (CD11b) dan pada permukaan sel endotel, yaitu selectins
misalnya Intraselular Molekul Adhesi-1 (ICAM-1). TGF-β meningkatkan jumlah
neutrofil di dalam tumor yang terjadi melalui tiga jalur perekrutan, yaitu peningkatan
ekspresi messenger RNA (mRNA) untuk kemokin CXC dan kemokin CC,
mengaktifkan sitokin di dalam tumor, serta meningkatkan pengaturan Intercellular
Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) (Fridlender & Albelda, 2012).
24
Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam induksi neutrofilia oleh sel tumor (Murta &
Murta, 2008).
Gambar 4. Skema sel-sel dan faktor-faktor yang berpengaruh pada rekrutmen
neutrofil ke dalam sel kanker (Fridlender & Albelda, 2012)
Mekanisme sel limfosit dapat menarik atau mengaktifkan neutrofil adalah
dengan menghasilkan GM-CSF, CXCL1, CXCL2, dan sitokin seperti TNF-α dan
IFN-γ. Sitokin ini dapat merekrut netrofil dengan merangsang makrofag tumor atau
sel endotel untuk memproduksi kemokin yang sesuai dan molekul sel adesi (gambar
4) (Fridlender & Albelda, 2012).
25
D. Limfosit dan Kanker
Infiltrasi leukosit kedalam tumor yang sedang berkembang saat ini diakui
sebagai titik penting dari perkembangan kanker (Collota et al., 2009). Diperkirakan
bahwa respon imun awal pada neoplasma dini mencerminkan respon terhadap cedera
akut jaringan, yang diikuti dengan infiltrasi berbagai populasi mieloid yang akhirnya
diikuti dengan infiltrasi limfosit (Clark et al., 2007). Perkembangan tumor dan sel-sel
neoplastik itu sendiri mengubah local immune microenvironment, sehingga akan
cukup sulit membedakan respon imun terhadap cedera/ infeksi dengan respon imun
terhadap perkembangan tumor. Inflamasi kronis dalam jaringan lokal akan terjadi jika
pembersihan calon sel kanker tidak terjadi dan tejadi kegagalan respon inflamasi akut
awal. Saat ini telah diketahui secara luas bahwa inflamasi kronis berperan dalam
pertumbuhan dini kanker melalui beberapa mekanisme yang dimediasi terutama oleh
myeloid-lineage cells, meliputi tumor associated macrophages, immature myeloid
cells yang memiliki aktivitas supresi dan Tie2-expressing monocytes (De Palma &
Coussens, 2008). Immune microenvironment jaringan neoplastik tidak hanya
menekankan pada komposisi leukosit yang melakukan infiltrasi, tetapi juga fungsi
bioefektor sel-sel tersebut di dalam sel. Oleh karena itu, baik keberadaan sel didalam
tumor dan ekspresi sitokin, kemokin dan mediator imun lainnya sangat menentukan
tipe respon imun yang muncul; anti-tumor atau pro-tumor (Coussens & Werb, 2002;
Mantovani et al., 2008).
Penelitian mengenai interaksi sistem imun dengan kanker menunjukkan
peran aktif mekanisme efektor sistem imun adaptif dan innate dalam pengenalan dan
26
pengendalian tumor. Sel-sel yang mengalami transformasi pada tahap awal akan
dideteksi secara spesifik oleh sel NK. Proses tersebut akan mengakibatkan destruksi
sel-sel tersebut yang selajutnya akan masuk dalam mekanise uptake yang melibatkan
makrofag dan sel dendrit. Sel-sel dendrite dan makrofag kemudian menghasilkan
sitokin-sitokin inflamasi dan mempresentasikan tumour cell-derived molecules pada
sel-sel B dan T. Aktivasi sel-sel B dan T menghasilkan sitokin-sitokin yang akan
mengaktifkan innate immunity dan memicu produksi dan ekspansi tumour-specific T
cells dan antibodi. Sistem imun adaptif tersebut akan mengeliminasi sel-sel tumor dan
menghasilkan sistem imun memori spesifik terhadap komponen tumor yang
mencegah rekurensi (Finn, 2012). Secara garis besar, proses pengenalan dan aktivasi
awal sistem imun terhadap sel antigen tumor dapat dilihat pada gambar 5.
Efektor imunitas adaptif, seperti sel T helper CD+, sel T sitotoksik CD8+
dan antibody, secara spesifik bekerja terhadap antigen tumor; molekul yang
diekspresikan pada sel tumor, tetapi tidak diekspresikan pada sel normal. Antigen
tumor adalah protein seluler yang secara abnormal diekspresikan sebagai akibat dari
mutasi genetic. Ekspresi protein seluler tersebut berbeda secara kuantitatif atau dalam
hal modifikasi post translasi. Pada tipe tumor yang berkaitan dengan infeksi virus,
seperti kanker leher rahim atau karsinoma hepatoseluler, protein virus juga dapat
berperan sebagai antigen tumor dan merupakan target dari respon imun (Finn, 2012).
27
Gambar 5. Respon awal sistem imun terhadap sel kanker (adapted from
Abbas & Lichtman, 2011).
Limfosit T berkembang dalam organ timus dari progenitor limfoid dan
dibentuk melalui ekspresi reseptor sel T (TCR) yang bertanggung jawab dalam
pengenalan antigen yang dipresentasikan oleh major histocompatibility complex
(MHC). Sel T dibedakan menjadi limfosit sitotoksik CD8+ (CTL), yang mengenali
peptida yang dipresentasikan oleh MHC I
dan sel T helper CD4+ (TH) yang
mengenali peptida yang dipresentasikan oleh MHC II. Sel TH lebih lanjut dibagi
menjadi sel TH1 dan sel TH2. Sel TH1 mengekspresikan interferon (IFN)-γ dan
tumor necrosis factor (TNF)-α, sedangkan sel TH2 mengekspresikan interleukin (IL)4, IL-5 dan IL-13. Beberapa sub tipe tambahan dalam kompartemen sel T telah
diidentifikasi yang meliputi T follicular helper cells (TFH), IL-17 expressing TH cells
(TH17) dan regulatory T cells (Treg). Semua sub set limfosit T tersebut berperan
dalam perkembangan tumor dan imunitas anti-tumor. Sel NK, γδT dan CD8+
28
merupakan komponen utama dalam imunitas anti tumor. Sel-sel tersebut menginduksi
kematian sel-sel neoplastik. Fungsi efektor sel-sel tersebut didukung melalui
pelepasan IFNγ oleh sel TH1 dan sel NKT tipe I (gambar 5) (Wilson et al., 2009;
Ruffell et al., 2010).
Sistem imun adaptif berperan sebagai immune surveillance dan mampu
mengeliminasi tumor-tumor yang baru tumbuh, namun respon imun adaptif yang
efektif selalu ditekan pada tumor yang telah terbentuk melalui beberapa jalur,
meliputi inhibisi proses aktifasi dan diferensiasi sel dendrit, infiltrasi sel T dan tumorassociated macrophages. Limfosit merupakan komponen penting dari sistem imun
adaptif, dan infiltrasi limfosit menunjukkan adanya respon imun seluler anti tumor
yang efektif. Rendahnya nilai limfosit perifer menandakan respon imun terhadap
tumor yang buruk dan menunjukkan prognosis yang buruk pula (He et al., 2012).
Gambar 6. Imunitas anti tumor limfosit (Ruffell et al., 2010).
29
E. Rasio Netrofil Terhadap Limfosit Dalam Perkembangan Kanker
Perkembangan terapi kanker telah mengalami kemajuan yang signifikan
dalam beberapa tahun terakhir, walaupun pemilihan terapi yang tepat sesuai dengan
stadium kanker masih menemui kesulitan. Sampai saat ini prediksi hasil terapi hanya
berdasarkan pada keakuratan stadium tumor. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mencoba memperbaiki keakuratan sistem TNM staging tersebut (Guthrie et al.,
2013).
Pada beberapa dekade terakhir, perhatian tertuju pada peran inflamasi
sebagai faktor kunci progesi penyakit dan harapan hidup pada sebagian besar kanker
(Hanahan & Weinberg, 2000; Hanahan & Weinberg, 2011). Respon pejamu dalam
hal membentuk inflamasi sistemik telah terbukti secara independen memprediksi
hasil terapi. Respon inflamasi sistemik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor terkait
pasien seperti penurunan status nutrisi, dan fungsi imun (Guthrie et al., 2013).
Penanda respon fase akut, terutama C-reactive protein dan albumin,
merupakan penanda yang sensitif dan reliable pada inflamasi sistemik pasien kanker
(Roxburgh & McMillan, 2010). Suatu sistem penilai prognosis, Glasgow Prognostic
Score (GPS) yang berdasar kombinasi protein fase akut tersebut, memberikan
informasi prognosis yang obyektif dan reliable, baik pada kanker operable maupun
inoperable (McMillan, 2012).
Selain itu telah dikenal luas juga hubungan antara respon inflamasi sistemik
dengan perubahan sel darah putih sirkulasi, terutama adanya netrofilia dan
limfositopenia relatif (Gabay & Kushner, 1999; Zahorec, 2001). Tes darah yang
30
dilakukan secara rutin oleh pasien kanker merupakan parameter obyektif yang mudah
diukur dan mampu menunjukkan derajat respon inflamasi sistemik. Wash et al.
(2005) meneliti nilai prognosis rasio neutrofil-limfosit (NLR) karena pemeriksaan Creactive protein tidak rutin dilakukan. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa
komponen hitung jenis sel darah putih, terutama jumlah neutrofil dan limfosit
memiliki peran klinis dalam memprediksi harapan hidup pasien kanker (Schmidt et
al., 2007). Kombinasi dari komponen hematologi respon inflamasi sistemik tersebut,
yaitu rasio netrofil-limfosit (NLR) memiliki nilai prognostik pada berbagai kasus
kanker (Roxburgh & McMillan, 2010; Clarke et al., 2011).
Guthrie et al. (2013) melakukan systematic reviews pada 12 penelitian dengan
2156 pasien untuk mengetahui nilai prognosis NLR pada pasien kanker yang
menjalani kemoterapi dan/ atau radioterapi (Tabel 2). Tiga penelitian, yang terdiri
atas 579 pasien, meneliti nilai prognosis dari NLR pada pasien dengan kanker
kolorektal yang menjalani kemoterapi (Kishi et al., 2009; Carruthers et al., 2012).
NLR tersebut memiliki nilai prognosis independen terhadap stadium tumor baik pada
overall dan disease-free survival pada semua penelitian.
Lima penelitian lainnya yang terdiri atas 1113 pasien melaporkan nilai
prognosis NLR pada pasien dengan keganasan toraks yang menjalani kemoterapi
(Teramukai et al., 2009; Kao et al., 2010; Cedes et al., 2012; Lee et al., 2012; Yao et
al., 2012). Dalam penelitian ini, nilai NLR pra terapi secara konsisten memiliki nilai
prognosis, baik untuk disease-free survival dan overall survival. Penelitian tentang
NLR pasca terapi oleh Lee menunjukkan bahwa nilai NLR paska terapi bernilai
31
prognosis untuk disease-free survival dan overall survival. Secara konsisten, NLR
berkaitan dengan repon terapi dan prediksi harapan hidup. Penelitian oleh Kao et al.
dan Cedres et al menunjukkan bahwa nilai normal NLR paska kemoterapi merupakan
prediksi peningkatan harapan hidup, sedangkan pasien dengan nilai NLR paska terapi
yang meningkat berkaitan dengan harapan hidup yang memburuk (Guthrie et al.,
2013).
Aliustaoglu et al. (2010) melakukan penelitian NLR pada pasien kanker
lambung. Penelitian tersebut melaporkan adanya hubungan antara NLR dengan
overall survival, tetapi bukan merupakan prediktor independen harapan hidup. Pada
penelitian pasien kanker pankreas, peningkatan nilai NLR pra terapi merupakan
prediktor independen harapan hidup. Penelitian oleh Chua melaporkan nilai prognosis
independen NLR dan bahwa sistem skoring menggunakan NLR merupakan prediktor
kuat overall survival. Sama dengan penelitian-penelitian lainnya, penelitian ini juga
menyatakan bahwa nilai NLR pasca terapi yang menjadi normal berkaitan dengan
peningkatan overall survival (Guthrie et al., 2013).
Sambasivaiah et al. (2005) melakukan penelitian tentang hitung jenis sel
darah dan pola sitokin pada 36 pasien kanker. Penelitian tersebut melibatkan pasien
kanker leher rahim, paru-paru, payudara, hati, kolon, esofagus, kepala leher dan
pankreas. NLR pasien kanker terbukti lebih tinggi dibandingkan NLR kelompok
kontrol dan NLR pasien kanker stadium lanjut terbukti lebih tinggi dibandingkan
dengan NLR pasien kanker stadium awal. Hal ini menunjukkan bahwa NLR memiliki
korelasi dengan stadium klinis pasien kanker.
32
F. Kerangka Teori
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan pustaka dapat dikemukakan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut: (1) Inflamasi berperan dalam berbagai tahap
karsinogenesis, (2) terdapat hubungan antara netrofil dengan progesifitas tumor, 3)
infiltrasi limfosit menunjukkan adanya respons imun seluler anti tumor yang efektif,
4) NLR berhubungan dengan stadium klinis KNF.
33
Inflamasi
neutrofil
-
limfosit
Peningkatan ROS & RNS
Superoxide anion (O2-)
Hydrogen peroxide (H2O2)
Hypochlorous acid (HOCl)
Sel Normal
- Aktivasi onkogen
- Inaktivasi gen supresor
- Perubahan DNA
-
Neutrophil elastase
Hipermetilasi DNA
Aktivasi sitokin,
COX-2, iNOS, NF-kB
-
Respon anti
tumor
Proliferasi sel
Angiogenesis
Apoptosis evasion
-
Initiated cell
Invasi & metastasis
Karsinoma
Nasofarings
Aktivasi negative
costimulatory signals
dan produksi
immunosuppressive
factors
Produksi G-CSF, MCSF, VEGF, IL-6
Peningkatan netrofil
perifer
Penurunan limfosit
perifer
Stadium Klinis
Gambar 7. Kerangka Teori.
34
G. Kerangka Konsep
Karsinoma Nasofarings
Peningkatan
netrofil perifer
Penurunan
limfosit perifer
Peningkatan stadium
Klinis
Gambar 8. Kerangka konsep
I. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori datas maka dapat disusun pokok pikiran:
1. Premis mayor : netrofil menghasilkan faktor-faktor yang berperan dalam
merangsang proliferasi / pertumbuhan tumor. Sementara limfosit berfungsi
dalam imunitas seluler anti tumor.
2. Premis minor : Stadium klinis dipengaruhi oleh proliferasi sel dan imunitas
anti tumor.
Berdasarkan landasan teori tersebut di atas dapat disusun hipotesis: Terdapat
hubungan antara rasio netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis karsinoma
nasofarings.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik untuk menentukan
perbedaan rasio netrofil terhadap limfosit antara KNF stadium lanjut dengan KNF
stadium awal. Rancang penelitian yang digunakan adalah case-control study
(kasus-kontrol). Data sampel penelitian diambil dari rekam medis sejak tahun
2007, yaitu pasien yang telah terdiagnosis KNF melalui pemeriksaan patologi
anatomi (biopsi nasofarings), dengan stadium klinis telah ditentukan melalui
pemeriksaan CT-scan, rontgen thoraks, USG abdomen dan bone survey. Nilai
netrofil dan limfosit diambil dari hasil pemeriksaan darah rutin sebelum dilakukan
terapi. Sementara itu stadium klinis KNF ditentukan menggunakan klasifikasi
TNM menurut AJCC tahun 1997. Sebagai outcome pada penelitian ini adalah
KNF stadium lanjut yang didapat dari rekam medis. NLR tinggi merupakan
variabel bebas yang mempengaruhi kejadian KNF stadium lanjut (gambar 9).
NLR tinggi
KNF stadium lanjut
(kelompok kasus)
NLR rendah
Sampel
NLR tinggi
KNF stadium awal
Kelompok kontrol
NLR rendah
Gambar 9. Bagan rancang penelitian.
36
B. Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita karsinoma nasofarings.
Populasi terjangkau adalah penderita karsinoma nasofarings di poliklinik THT-KL
RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007 sampai dengan terpenuhi jumlah
sampel. Sampel penelitian adalah penderita karsinoma nasofarings di poliklinik
THT-KL RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007 sampai dengan terpenuhi
jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
C. Kriteria Sampel Penelitian
Kriteria inklusi:
1. Mempunyai data rekam medis yang terdokumentasi untuk determinasi
karsinoma nasofarings secara detail dan akurat (biopsi nasofarings, CTscan, rontgen thoraks, USG abdomen dan bone survey).
Kriteria eksklusi :
1. Adanya tanda dan gejala infeksi aktif
2. Terdiagnosis suatu penyakit/kelainan hematologis
3. Skala Karnofsky < atau =70%
D. Besar Sampel
Sampel pada penelitian adalah pasien KNF di poliklinik THT-KL RSUP.
Dr. Sardjito mulai dari tahun 2007 sampai dengan terpenuhi jumlah sampel
minimal yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi:
37
Rumus besar sampel yang digunakan adalah:
N1=N2=(Zα√ 2
+ZB√
1 1 + 2 2)2 / (P1-P2)2
Dari kasus diketahui bahwa:
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% sehingga Zα = 1,96
Kesalahan tipe 2 ditetapkan sebesar 20%, maka Zβ = 0,84
P2= proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 0,1
P1-P2= Selisih proporsi pajanan minimal yang dianggap bermakna ditetapkan
sebesar 0,3
P1=P2+0,30=0,1+0,3=0,4
Q1=1-P1=1-0,4=0,6
P=(P1+P2)/2=(0,4+0,1)/2=0,25
Q=1-P=1-0,25=0,75
Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut pada rumus, diperoleh:
N1=N2= (Zα√ 2
+ZB√
1 1 + 2 2)2 / (P1-P2)2
= (1,96√ 2.0,5.0,75+0,84√ 0,4.0,6 + 0,1.09)2/ (0,4-0,1)2
=
24
Dengan demikian besar sampel untuk tiap kelompok adalah 24
38
E. Alur Penelitian
Penderita KNF
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Sampel
KNF stadium lanjut
(kelompok kasus)
NLR
tinggi
KNF stadium awal
(kelompok kontrol)
NLR
rendah
NLR
tinggi
NLR
rendah
Analisis
Gambar 10. Alur penelitian
F. Definisi operasional variabel
Variabel utama adalah variabel bebas yang dalam penelitian ini adalah
rasio netrofil terhadap limfosit pra terapi. Rasio tinggi adalah rasio netrofil
terhadap limfosit yang nilainya diatas titik potong (cut off point) dan rasio rendah
adalah rasio neutrofil terhadap limfosit di bawah titik potong.
39
Variabel terikat penelitian ini adalah stadium klinis KNF. Stadium klinis
KNF menggunakan klasifikasi TNM menurut AJCC tahun 1997. Status T
menggambarkan
keadaan
tumor
primer
dan
perluasannya,
status
N
menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar limfe regional dan status M
menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium klinis penderita dinilai
berdasarkan ketiga status tersebut.
G. Batasan operasional
Batasan operasional penelitian ini adalah ukuran serta pemeriksaan sampel
dan variabel baik variabel bebas maupun variabel terikat adalah sebagai berikut :
1) Diagnosis dan stadium KNF ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
dilengkapi dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, CT Scan potongan koronal
diperluas (coronal extended) dan pemeriksaan Patologi Anatomi.
2) Stadium KNF ditegakkan sesuai klasifikasi TNM menurut AJCC 1997. Status
T menggambarkan keadaan tumor primer dan perluasannya, status N
menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar limfe regional dan status M
menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium awal adalah stadium I dan
II, sementara stadium lanjut adalah stadium III dan IV.
4) Rasio netrofil terhadap limfosit tinggi adalah rasio netrofil terhadap limfosit di
atas titik potong (cut off point). Rasio netrofil terhadap limfosit rendah adalah
rasio netrofil terhadap limfosit di bawah titik potong (cut off point).
5) Rasio netrofil terhadap limfosit pada penelitian ini adalah nilai netrofil absolut
dibandingkan nilai limfosit absolut pada setiap penderita KNF yang didapatkan
sebelum terapi.
40
I. Analisis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian case control study (kasus-kontrol)
yang merupakan penelitian analitik observasional yang mengkaji perbedaan rasio
netrofil terhadap limfosit dengan stadium klinis pada karsinoma nasofarings
stadium awal dengan stadium lanjut, sehingga analisis hasil berupa rasio odd
(RO). Hubungan perubahan NLR dengan beberapa gambaran klinis KNF
dianalisis dengan menggunakan x2 test. Hasil penelitian ini akan digambarkan
dalam tabel 2x2 sebagai berikut:
NLR tinggi
NLR rendah
Jumlah
Stadium lanjut
A
C
A+C
Dari tabel di atas dihitung nilai RO:
RO= A/(A+B) : B/(A+B)
C/(C+D) : D/(C+D)
RO= A/B
C/D
RO= AD
BC
Stadium awal
B
D
B+D
Jumlah
A+B
C+D
A+B+C+D
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Subyek penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis KNF di bagian
THT-KL RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang yang diperoleh dari rekam medis mulai bulan Januari 2008 –
September 2014, pasien KNF
stadium awal (stadium 1 dan stadium 2)
dimasukkan sebagai kelompok kontrol dan pasien KNF stadium lanjut (stadium 3
dan 4) dimasukkan sebagai kelompok kasus.
Pada periode tersebut peneliti mendapatkan subyek penelitian sebanyak 48
pasien, dimana 24 pasien terdiagnosis debagai KNF stadium awal dan 24 pasien
lainnya terdiagnosis sebagai KNF stadium lanjut yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Medical and
Health Research Ethics Committee (MHREC) Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Setelah data dari rekam medis terkumpul, kemudian data ditabulasi dan
dianalisa dengan bantuan komputer. Penyajian hasil analisis data menggunakan
analisis deskriptif dan statistik yang dibagi menjadi 3 (tiga) pokok bagian. Bagian
pertama adalah karakteristik subyek penelitian, bagian kedua adalah luaran utama,
yang berisi tentang hubungan antara rasio netrofil terhadap limfosit (NLR) dengan
stadium klinis pada pasien KNF, sedangkan bagian ketiga merupakan luaran
sekunder yang terdiri dari variabel-variabel data demografi yang diduga
mempunyai hubungan dengan NLR pada KNF.
42
A. Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik subyek penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur dan jenis
histopatologi.
Homogenitas subyek penelitian tercantum pada tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik subyek
kasus
kontrol
Total
n (%)
n (%)
N (%)
Laki-laki
16 (33,3)
16 (33,3)
32 (66,6)
Perempuan
8 (16,7)
8 (16,7)
16 (33,4)
≤ 50 tahun
14 (29,1)
14 (29,1)
28 (58,2)
> 50 tahun
10 (20,9)
10 (20.9)
20 (41,8)
WHO Tipe I
0
0
0
WHO Tipe II
1 (2,1)
4 (8,3)
5 (10,4)
WHO Tipe III
23 (47,9)
20 (41,7)
45 (89,6)
Nilai p
Jenis Kelamin
0,620
Umur
0,493
Jenis Histopatologi
0,174
p < 0,05
1. Jenis Kelamin
Dari tabel 4, jumlah subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin, dari 48
subyek penelitian yang menderita karsinoma nasofarings sebanyak 32 pasien
(66,6%) adalah jenis kelamin laki-laki, sedangkan pada jenis kelamin perempuan
hanya 16 pasien (33,4 %). Berdasarkan laporan penelitian Fachiroh et al. (2008),
di Yogyakarta data dari RSUP Dr. Sardjito ditemukan bahwa KNF merupakan
kanker nomor 1 yang terjadi pada laki-laki dan kanker nomor 3 yang terjadi pada
43
perempuan. Menurut Fachiroh et al. (2006), keganasan ini cenderung lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan rasio 2:1. Penelitian oleh Xie et al.,
2012 juga menunjukkan hasil yang sama, dengan rasio pria dibandingkan laki-laki
2-3:1. Hasil ini membuktikan bahwa laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan yaitu 32 pasien laki-laki dan 16 pasien perempuan. Setelah dilakukan
uji statistik chi-square test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada jenis
kelamin antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,620.
Angka kejadian KNF pada pria yang lebih tinggi dibandingkan pada
wanita dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor resiko yang lebih dominan
terjadi pada laki-laki. Faktor-faktor resiko tersebut antara lain kebiasaan merokok
dan paparan debu kerja. Sementara itu peran hormon estrogen dalam menghambat
pertumbuhan KNF juga mulai banyak diteliti. Estrogen memiliki kemampuan
menghambat
respon
inflamasi
yang
merupakan
faktor
penting
dalam
karsinogenesis (Xie et al., 2012).
2. Umur
Hasil penelitian (tabel 4) menunjukkan bahwa umur tertua subyek
penelitian adalah 71 tahun, sedangkan yang termuda berumur 18 tahun, dengan
rata-rata umur 47,67±12,88 tahun. Frekuensi umur terbesar adalah 41-50 tahun
dan 51-60 tahun yaitu masing-masing sebanyak 14 orang (29,2%) (tabel 5).
Setelah dilakukan uji statistik chi-square test, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan umur antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p =
0.493.
44
Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dlakukan oleh Adham et al
(2012). Pada penelitian tersebut, frekuensi umur pasien KNF di RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta yang terbesar adalah 40-49 tahun, dan lebih dari 80%
pasien tersebut terdiagnosis KNF pada usia 30-59 tahun. Chan et al (2005) dan
Lee (2003) menyatakan bahwa KNF merupakan occult tumor yang dapat
mengenai semua umur dengan insidensi meningkat setelah usia 30 tahun dan
mencapai puncak pada usia 40-60 tahun.
Xie et al. (2012) menjelaskan kecenderungan tersebut. Peningkatan
kejadian KNF pada umur 41-60 dan menurun setelah kelompok umur tersebut
kemungkinan besar disebabkan faktor polusi debu pabrik. Faktor-faktor resiko
lain tidak bisa menjelaskan kecenderungan tersebut. Faktor infeksi EBV bersifat
persisten seumur hidup. Faktor diet dan perokok aktif juga tidak mampu
menjelaskan hal tersebut karena tidak ada bukti adanya penurunan paparan setelah
kelompok umur tersebut.
Tabel 5. Distribusi Umur Subyek Penelitian
Umur
Frekuensi
Persentase
(n)
(%)
≤ 20 tahun
1
2,1
21-30 tahun
5
10,4
31-40 tahun
7
14,6
41-50 tahun
14
29,2
51-60 tahun
14
29,2
61-70 tahun
5
10,4
≥ 71 tahun
2
4,2
45
3. Jenis Histopatologi
Menurut WHO derajat karsinoma nasofaring diklasifikasikan menjadi 3
jenis yaitu tipe 1 typical keratinizing squamous cell, dalam penelitian ini tidak
ditemukan, tipe 2 nonkeratinizing carcinoma terdapat 5 pasien (10,4%), dan tipe 3
undifferentiated carcinoma terdapat 43 pasien (89,6%). Hasil ini membuktikan
bahwa tipe 3 undifferentiated carcinoma merupakan tipe yang paling sering
terjadi (Khademi et al., 2006). Setelah dilakukan uji statistik chi-square test, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan jenis histopatologi antara kelompok kasus dan
kelompok kontrol dengan nilai p = 0.174.
Hutajulu (2003) menyebutkan bahwa undifferentiated carcinoma (WHO
tipe III) merupakan jenis histopatologi yang teridentifikasi pada 90% pasien KNF
di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, dimana tipe tersebut memiliki hubungan kuat
dengan infeksi EBV. Beberapa penelitian lainnya di luar negeri, seperti yang
dilakukan oleh Corry et al (2006), jenis histopatologi pada kelompok etnis Asia
didapatkan 80 sampel (93%) pasien KNF WHO tipe III, dan 6 sampel (7%) adalah
WHO tipe II. Sharma et al (2001), mendapatkan jenis histopatologi pasien KNF
yang terjadi di India Timur yang paling banyak adalah WHO tipe III (75,0%),
diikuti WHO tipe II (15,0%) dan WHO tipe I (10,0%).
B. Hubungan NLR Dengan Stadium Klinis KNF
Luaran utama dalam penelitian ini adalah melihat hubungan antara NLR
dengan stadium klinis pada KNF. Tinggi dan rendahnya NLR ditentukan
berdasarkan cut off point dari nilai NLR yang didapatkan melalui analisis kurva
46
receiver operating characteristic (ROC) (gbr.11). Dari 48 subyek didapatkan ratarata NLR sebesar 4,45 ± 4,83. Cut off point NLR berdasarkan receiver operating
characteristic analysis curve ditemukan 2,37 dengan nilai sensitivitas 0,833 dan
nilai spesifisitas 0,583. Berdasarkan nilai cut of point tersebut maka NLR dapat
dikategorikan sebagai berikut: NLR rendah apabila ≤ 2,37, sedangkan NLR tinggi
apabila > 2,37.
Gambar 11. Nilai cut off point NLR berdasarkan analisis kurva ROC.
47
Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square. Hasil penelitian luaran
utama dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hubungan antara NLR dengan stadium klinis pada KNF (N = 48)
NLR
Stadium
Klinis
(Cut off point)
Tinggi
(> 2,37)
Rendah
(≤ 2,37)
N (%)
N (%)
Kasus (III & IV) 20 (60,6 %)
4 (26,7 %)
Kontrol (I & II)
11 (73,3%)
13 (39,4 %)
RO
95% CI
p
4,231 1,107-16,167 0,030*
* p ≤ 0,05
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa NLR kategori tinggi (> 2,37) pada
stadium lanjut (kasus) sebanyak 20 pasien (60,6%), sedangkan untuk stadium
awal (kontrol) sebanyak 13 pasien (39,4%). Untuk NLR kategori rendah (≤ 2,37)
pada stadium lanjut (kasus) sebanyak 4 pasien (26,7%), sedangkan untuk stadium
awal (kontrol) sebanyak 11 pasien (73,3%). Secara statistik ada perbedaan
bermakna antara NLR dengan stadium klinis pada KNF (p ≤ 0,05; p = 0,030).
Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai RO sebesar 4,231 artinya bahwa
pasien yang mempunyai NLR tinggi pada KNF mempunyai kemungkinan sebesar
4,231 kali pada stadium klinis lanjut dibandingkan pasien yang mempunyai rasio
NLR rendah pada KNF. Nilai RO sebesar 4,231 dapat diartikan juga bahwa
probabilitas pasien-pasien yang mempunyai NLR tinggi pada KNF untuk terjadi
pada stadium klinis lanjut sebesar 81,21%. Hasil ini diperoleh dari rumus p =
RO/(1+RO), dimana p adalah probabilitas dan RO adalah rasio odds.
Berdasarkan hasil ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara NLR dengan stadium klinis pada KNF (p < 0,05). Arah
48
hubungan yang ditunjukkan adalah positif, artinya bahwa semakin tinggi NLR
maka stadium klinis juga semakin tinggi pada KNF, sedangkan semakin rendah
NLR, maka stadium klinis juga semakin rendah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Sambasivaiah et al.
(2005). Penelitian tersebut melibatkan pasien kanker leher rahim, paru-paru,
payudara, hati, kolon, otak, esofagus, choriocarcinoma, kepala leher, ovarium,
pankreas, lambung dan testis. NLR pasien kanker terbukti lebih tinggi
dibandingkan NLR kelompok kontrol dan NLR pasien kanker stadium lanjut
terbukti lebih tinggi dibandingkan dengan NLR pasien kanker stadium awal.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan systematic reviews yang dilakukan
oleh Guthrie et al. (2013) terhadap 12 penelitian dengan yang melaporkan bahwa
NLR memiliki nilai prognosis independen terhadap stadium tumor baik pada
overall dan disease-freee survival pada semua penelitian. Lima penelitian lainnya
melaporkan nilai prognosis NLR pada pasien dengan keganasan toraks yang
menjalani kemoterapi. Hasil yang dilaporkan dalam penelitian ini bahwa nilai
NLR pra terapi secara konsisten memiliki nilai prognosis, baik untuk diseasefreee survival dan overall survival. Penelitian lainnya yang memperkuat bahwa
NRL sebagai faktor prognosis karsinoma nasofaring adalah penelitian yang
dilakukan oleh Lee yang dilaporkan oleh Guthrie et al. (2013). Lee melaporkan
dalam penelitiannya bahwa nilai NLR pasca terapi bernilai prognosis untuk
disease-free survival dan overall survival. Nilai NLR mempunyai nilai konsistensi
terkait dengan respon terapi dan prediksi harapan hidup. Penelitian Kao et al.
(2010) dan Cedress et al. (2012) dalam laporan Guthrie et al. (2013) bahwa nilai
normal NLR pasca kemoterapi merupakan prediksi peningkatan harapan hidup,
49
sedangkan pasien dengan nilai NLR pasca terapi yang meningkat berkaitan
dengan harapan hidup yang memburuk.
Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hirashima et al. (1998),. Penelitian pada 55 pasien kanker lambung tersebut
membuktikan adanya korelasi kuat antara NLR dengan prognosis. Pasien kanker
lambung dengan NLR tinggi memiliki prognosis buruk, sedangkan pasien dengan
NLR rendah memiliki prognosis yang baik. Hirashima et al. (1998) juga melakukan
penelitian pada pasien kanker lambung stadium lanjut, dimana terhadap hubungan
positif antara NLR dengan prognosis pasien kanker lambung.
Hasil penelitian-penelitian tersebut diatas mengindikasikan bahwa nilai
netrofil dan nilai limfosit secara simultan berhubungan dengan stadium klinis pasien
kanker. Dalam penelitian ini, peneliti menunjukkan hubungan antara NLR dengan
stadium klinis pasien KNF. Keseimbangan aktivitas pro tumor netrofil
dibandingkan dengan aktivitas anti tumor limfosit menentukan potensi
progresivitas dan metastasis KNF sehingga menentukan stadium klinis. Penurunan
angka limfosit pada pasien kanker dengan prognosis buruk terutama berhubungan
dengan penurunan aktivitas NK cells dan menurunnya sensitivitas NK cells terhadap
stimulasi IL-2 (Marana et al., 1996). Finn (2012) menjelaskan peran sistem imun
dalam mengenali dan menghentikan atau mengendalikan pertumbuhan tumor melalui
proses yang dikenal sebagai immunosurveilance. Sementara itu terdapat dua aktivitas
utama netrofil yang berhubungan dengan progresivitas KNFr, yaitu fagositosis dan
produksi radikal bebas. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas radikal bebas yang
50
dihasilkan netrofil memiliki korelasi lebih kuat dengan NLR dibandingkan aktivitas
fagositosisnya.
C. Hubungan antara NLR terhadap gambaran klinis pasien KNF
Keluaran sekunder terdiri dari variabel-variabel data demografi yang
diduga mempunyai hubungan dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada pasien
KNF tersebut antara lain, meliputi: variabel umur, jenis kelamin dan tipe WHO.
1. Umur subyek penelitian
Umur sampel dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok umur
kurang atau sama dengan 50 tahun dewasa awal ( 50 tahun) dan umur lebih dari
50 tahun (> 50 tahun). Hasil uji statistik hubungan antara umur pasien dengan
NLR pada KNF dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Hubungan antara NLR pasien dengan umur pada KNF
Rasio Netrofil
Umur
pasien
(Cut off point)
Tinggi
(> 2,37)
Rendah
(≤ 2,37)
N (%)
N (%)
≤ 50 tahun
19 (70,4 %)
8 (29,6 %)
> 50 tahun
14 (66,7 %)
7 (33,3%)
OR
95% CI
1,188 0,348-4,051
p
0,514
* Nilai p ≤ 0,05
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa NLR kategori tinggi (> 2,37) pada umur
≤ 50 tahun sebanyak 19 pasien (70,4%), sedangkan untuk umur > 50 tahun
sebanyak 14 pasien (66,7%). Untuk NLR kategori rendah (≤ 2,37) pada umur ≤ 50
tahun sebanyak 8 pasien (29,6%), sedangkan untuk umur > 50 tahun sebanyak 7
51
pasien (33,3%). Secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara kategori
umur dengan NLR pada KNF (p > 0,05; p = 0,514).
Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai OR sebesar 1,188 artinya bahwa
pasien yang mempunyai umur ≤ 50 tahun pada KNF mempunyai kemungkinan
sebesar 1,188 kali dengan NLR kategori tinggi dibandingkan pasien yang
mempunyai umur > 50 tahun pada KNF. Nilai OR sebesar 1,188 dapat diartikan
juga bahwa probabilitas pasien-pasien yang mempunyai umur ≤ 50 tahun pada
KNF dengan NLR kategori tinggi sebesar 54,29%. Hasil ini diperoleh dari rumus
p = OR/(1+OR), dimana p adalah probabilitas dan OR adalah odd ratio.
Hasil ini berbeda dengan penelitian oleh Azab et al. (2014), yang
menyatakan terdapat hubungan bermakna antara nilai NLR dengan umur, bahwa
semakin tinggi NLR semakin tinggi umur (p < 0,0001). Hasil penelitian ini
berbeda karena Azab et al. (2014) melakukan penelitian pada subyek sehat,
sedangkan peneliti menghubungan NLR dengan pasien KNF. Telah dipahami
secara luas bahwa respon inflamasi, dalam hal ini NLR berhubungan dengan
pertumbuhan keganasan, dalam hal ini adalah KNF. Nilai netrofil dan limfosit
yang merupakan subset lekosit penyusun infiltrat microenviromentment tumor
berhubungan dengan progresivitas dan metastasis KNF. Dalam penelitian ini,
jumlah pasien KNF stadium lanjut, dengan NLR tinggi sebagain besar berada
dalam kelompok umur ≤ 50 tahun.
2.
Jenis kelamin
Untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan rasio netrofil
terhadap limfosit pada KNF dapat dilihat pada tabel 8 berikut.
52
Tabel 8. Hubungan antara NLR dengan jenis kelamin pada KNF
Rasio Netrofil
Jenis
Kelamin
Laki-laki
(Cut off point)
Tinggi
(> 2,37)
Rendah
(≤ 2,37)
N (%)
N (%)
22 (68,8 %) 10 (31,2 %)
Perempuan 11 (68,8 %)
5 (31,2%)
OR
95% CI
1,000 0,274-3,650
p
0,634
* Nilai p ≤ 0,05
Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa rasio netrofil terhadap limfosit kategori
tinggi (> 2,37) pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 pasien (68,8%),
sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 11 pasien (68,8%). Untuk rasio
netrofil terhadap limfosit kategori rendah (≤ 2,37) pada jenis kelamin laki-laki
sebanyak 10 pasien (31,2%), sedangkan untuk jenis kelamin perempuan sebanyak
5 pasien (31,2%). Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara jenis
kelamin dengan rasio netrofil terhadap limfosit pada KNF (p > 0,05; p = 0,634).
Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai OR sebesar 1,000 artinya bahwa
pasien yang mempunyai jenis kelamin laki-laki pada KNF mempunyai
kemungkinan sebesar 1,000 kali dengan rasio netrofil terhadap limfosit kategori
tinggi dibandingkan pasien yang mempunyai jenis kelamin perempuan pada KNF.
Nilai OR sebesar 1,000 dapat diartikan juga bahwa probabilitas pasien-pasien
yang mempunyai jenis kelamin laki-laki pada KNF dengan rasio netrofil terhadap
limfosit kategori tinggi sebesar 50%. Hasil ini diperoleh dari rumus p =
OR/(1+OR), dimana p adalah probabilitas dan OR adalah odd ratio.
53
Hasil ini mendukung penelitian oleh Azab et al. (2014), yang menyatakan
tidak ada perbedaan bermakna antara nilai NLR dengan jenis kelamin (p < 0,0001,
p = 0,07) Azab et al. (2014) melakukan penelitian pada subyek sehat laki-laki dan
perempuan, dimana NLR dihubungkan dengan berbagai data demografi.
3.
Histopatologi WHO
Untuk melihat hubungan antara histopatologi WHO dengan rasio netrofil
terhadap limfosit pada KNF dapat dilihat pada tabel 11 berikut.
Tabel 11. Hubungan antara NLR dengan jenis histopatologi (tipe WHO) pada
KNF
Rasio Netrofil
Histopatologi
WHO
(Cut off point)
Tinggi
(> 2,37)
Rendah
(≤ 2,37)
N (%)
N (%)
Derajat 2
3 (60 %)
2 (40 %)
Derajat 3
30 (69,8 %)
13 (30,2%)
RO
95% CI
0,650 0,097-4,363
p
0,503
* Nilai p ≤ 0,05 = berbeda bermakna secara statistik
Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa NLR kategori tinggi (> 2,37) pada
histopatologi WHO derajat 2 sebanyak 3 pasien (60%), sedangkan untuk
histopatologi WHO derajat 3 sebanyak 30 pasien (69,8%). Untuk NLR kategori
rendah (≤ 2,37) pada histopatologi WHO derajat 2 sebanyak 2 pasien (40%),
sedangkan untuk histopatologi WHO derajat 3 sebanyak 13 pasien (30,2%).
Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara histopatologi WHO dengan
rasio netrofil terhadap limfosit pada KNF (p > 0,05; p = 0,503).
54
Dari hasil penelitian ini ditemukan nilai OR sebesar 0,650 artinya bahwa
pasien KNF yang mempunyai histopatologi WHO derajat 2 mempunyai
kemungkinan proteksi terhadap NLR sebesar 0,650 kali dibandingkan pasien KNF
yang mempunyai histopatologi WHO derajat 3. Nilai OR sebesar 0,650 dapat
diartikan juga bahwa probabilitas pasien-pasien KNF dengan histopatologi WHO
derajat 2 mempunyai proteksi pada NLR sebesar 39,39%. Hasil ini diperoleh dari
rumus p = OR/(1+OR), dimana p adalah probabilitas dan OR adalah odd ratio.
.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio netrofil terhadap limfosit
dengan stadium klinis KNF (p < 0,05; p = 0,03).
B. SARAN
Dalam penelitian ini, peneliti menghubungkan NLR dengan stadium
klinis. Sebagai komponen fungsional, NLR dapat melengkapi peran stadium klinis
sebagai faktor prognosis KNF. NLR mulai banyak diteliti dalam hubungannya
dengan prognosis pasien KNF, terutama di negara-negara maju. Di Indonesia,
penelitian mengenai NLR dalam hubungannya dengan KNF masih terbatas. Perlu
dilakukan penelitian mengenai NLR sebagai faktor prognosis KNF, dengan
menghubungkannya dengan respon terapi. Dengan penelitian ini, diharapkan
dapat memperkaya acuan dalam manajemen terapi KNF.
55
56
Daftar Pustaka
Adham, M., Kurniawan, A.N., Muhtadi, A.I., Roezin, A., Hermani, B.,
Gondhowiardjo,S et al. 2012. Nasopharungeal Carcinoma in Indonesia:
epidemiology, incidence, sign and symptoms at presentation. Chin J Cancer.
31(4):185-196
Ali, H. and M.Al Sarraf. 1999. Nasopharyngeal cancer. Hematol Oncol Clin North
Am. 13: 837-847
Al Sarraf, M., Reddy, M.S. 2002. Nasopharyngeal carcinoma. Curr Treat Options
Oncol. 3: 21-32 )
Atzpodien, J., Royston, P., Wandert, T., Reitz, M. 2003. Metastatic renal carcinoma
comprehensive prognostic system. Br J Cancer. 88:348–353.
Bellocq, A., Antoine, M., Flahault, A., Philippe, C., Crestani, B., Bernaudin, J.F., et
al. 1998. Neutrophil alveolitis in bronchioloalveolar carcinoma: induction by
tumor-derived interleukin-8 and relation to clinical outcome. Am J Pathol.
152:83–92.
Bhatti, I., Peacock, O., Lloyd, G., Larvin, M., Hall, R.I. 2010. Preoperative
hematologic markers as independent predictors of prognosis in resected
pancreatic ductal adenocarcinoma: neutrophil-lymphocyte versus plateletlymphocyte ratio. Am J Surg. 200:197–203.
Carruthers, R., Tho, L.M,, Brown, J., Kakumanu, S., McCartney, E., McDonald, A.C.
2012. Systemic inflammatory response is a predictor of outcome in patients
undergoing preoperative chemoradiation for locally advanced rectal cancer.
Colorectal Disease. 14(10): 701–7.
Chan, J.K.C., Bray, F., McCarron, P., Foo, W., et al. 2005. Nasopharyngeal
carcinoma. Dalam: Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidrasky D editor.
WHO classification of tumours: Pathology and genetics head and neck
tumours. Lyon: IARCPress. 85-97.
Cho, W.C. 2007. Nasopharyngeal carcinoma: molecular biomarker discovery and
progress. Mol Cancer.6:1.
Cho, H., Hur, H.W., Kim, S.W., et al. 2009. Pre-treatment neutrophil to lymphocyte
ratio is elevated in epithelial ovarian cancer and predicts survival after
treatment. Cancer Immunol Immunother. 58:15–23.
Chou, J., Lin, Y.C., Kim, J., You, L., Xu, Z., He, B., et al. 2008. Nasopharyngeal
carcinoma A review of the molecular mechanisms of tumorigenesis. Head
and Neck. 10.100-2.
Clark, C.E., Hingorani, S.R., Mick, R., Combs, C., Tuveson, D.A., Vonderheide,
R.H. 2007. Dynamics of the immune reaction to pancreatic cancer from
inception to invasion. Cancer Res. 67:9518–27.
Clark, E.J., Connor, S., Taylor, M.A., Madhavan, K.K., Garden, O.J., Parks, R.W..
2007. Preoperative lymphocyte count as a prognostic factor in resected
pancreatic ductal adenocarcinoma. HPB (Oxford).9:456–460.
57
Clarke, S.J., Chua, W., Moore, M., Kao, S., Phan, V., Tan, C., et al. 2011. Use of
inflammatory markers to guide cancer treatment. Clinical Pharmacology and
Therapeutics. 90(3):475–8.
Colotta, F., Allavena, P., Sica, A., Garlanda, C., Mantovani, A. 2009. Cancer-related
inflammation, the seventh hallmark of cancer: links to genetic instability.
Carcinogenesis. 30:1073–81.
Corry, J., Fisher, R., Rischin, D., Peters, A.L.J. 2006. Relapse Patterns In Who 2/3
Nasopharyngeal Cancer: Is There A Difference Between Ethnic Asian Vs.
Non-Asian Patients? Int. J. Radiation Oncology Biol. Phys. 64(1) 63– 71
Coussens, L.M., Werb, Z. 2002. Inflammation and cancer. Nature. 420:860–7.
De Palma, M., Coussens, L.M. 2008. Immune cells and inflammatory mediators as
regulators of tumor angiogenesis. In: Figg WD, Folkman J, editors.
Angiogenesis: an integrative approach from science to medicine. New York:
Springer. 225–38.
Donskov, F., von der Maase, H. 2006. Impact of immune parameters on long-term
survival in metastatic renal cell carcinoma. J Clin Oncol.24: 1997–2005.
Eck, M., Schmausser, B., Scheller, K., Br€andlein, S., M€uller-Hermelink, H.K.
2003. Pleiotropic effects of CXC chemokines in gastric carcinoma:
differences in CXCL8 and CXCL1 expression between diffuse and intestinal
types of gastric carcinoma. Clin Exp Immunol. 134:508–15.
Fachiroh, J. 2008. Dried-Blood Sampling for Epstein-Barr Virus Immunoglobulin G
(IgG) and IgA Serology in Nasopharyngeal Carcinoma Screening. Journal of
Clinical Microbiology.46(4):1374-1380.
Finn, O.J. 2012. Immuno-oncology: understanding the function and dysfunction of the
immune system in cancer. Annals of Oncology. 23(8).
Fridlender, Z.G. and Albelda, S.M. 2012. Tumor-associated neutrophils: friend or
foe? Carcinogenesis . 1–7.
Fridlender, Z.G., Sun, J., Mishalian, I., Singhal, S., Cheng, G., Kapoor, V., et. al.
2012. Transcriptomic analysis comparing tumor-associated neutrophils with
granulocytic myeloid-derived suppresor cells and normal neutrophils
Ganguly, N.K. (eds.), 2003. Epidemiological and Etiological Factors Associated With
Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR Bulletin.(33)9
Gomez, D., Farid, S., Malik, H.Z., et al. 2008. Preoperative neutrophil-to-lymphocyte
ratio as a prognostic predictor after curative resection for hepatocellular
carcinoma. World J Surg.32:1757–1762.
Guthrie., G.J.K., Charles, K.A., Roxburgh, C.s.d., Horgan, P.G., McMillan, D.C.,
Clarke, S.J. 2013. The systemic inflammation based neutrophil lymphocyte
ratio: Experience in patients with cancer. Critical Review in
Oncology/Hematology. 88: 218-230.
Halazun, K.J., Aldoori, A., Malik, H.Z., et al. 2008. Elevated preoperative neutrophil
to lymphocyte ratio predicts survival following hepatic resection for
colorectal liver metastases. Eur J Surg Oncol. 34:55–60.
58
Halazun, K.J., Hardy, M.A., Rana, A.A., et al. 2009. Negative impact of Neutrophil
lymphocyte ratio on outcome after liver transplantation for hepatocellular
carcinoma. Ann Surg.250:141–151.
Hanahan, D., Weinberg, R.A. 2000. The hallmarks of cancer. Cell. 100(1):57–70.
Hanahan, D., Weinberg, R.A. 2011. Hallmarks of cancer: the next generation.
Cell. 144(5):646–74.
Indrasari, S.R., 2009. Penatalaksanaan terkini karsinoma nasofarings. Kumpulan
Makalah Simposium Tumor Kepala dan Leher. Yogyakarta.
Jensen, H.K., Donskov, F., Marcussen, N., Nordsmark, M., Lundbeck, F., von der
Maase, H. 2009. Presence of intratumoral neutrophils is an independent
prognostic factor in localized renal cell carcinoma. J Clin Oncol. 27:4709–17.
Kadkhoda, Z.T., Eriksson, T.B., Johansson, K.A., Mercke, C. Long-term treatment
result for nasopharyngeal carcinoma: The Sahlgrenska University Hospital
experience. Acta Oncologica. 46:817-27.
Khademi, B., Mahmoodi, J., Omidvari, S., Mohammadianpanah, M. 2006. Treatment
Result of Nasopharyngeal Carcinoma : A 15-year Single Institutional
Experience. 2003. Journal of the Egyptian Nat.Cancer Inst.(18)2:147-155Lee,
K.J. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA : McGrawhill
Kishi, Y., Kopetz, S., Chun, Y.S., Palavecino, M., Abdalla, E.K., Vauthey, J.N. 2009.
Blood neutrophil-to-lymphocyte ratio predicts survival in patients with
colorectal liver metastases treated with systemic chemotherapy. Annals of
Surgical Oncology. 16(3):614–22.
Kundu, J.K., Surh, Y.J., 2008. Inflammation: Gearing the journey to cancer.
Mutation Research. 659:15–30.
Kurniawan, A.N., Kodariah, R., Elisabeth, M., Roezin, A., Gondhowiardjo, S. 2002.
Evaluation of EBV-LMPI as prognostic indicator of nasopharyngeal
carcinoma in Indonesian patients. Med J Indones. 1(2):81-86.
Li, G., Gao, J., Tao, Y.L., et al. Increased pretreatment levels of serum LDH and ALP
as poor prognostic factors for nasopharyngeal carcinoma. 2012. Chin J
Cancer. 31(4):197e206.
Lin, J,C., Wang, W.Y., Chen, K.Y., et al. 2004. Quantification of plasma Epstein–
Barr virus DNA in patients with advanced nasopharyngeal carcinoma. N Engl
J Med. 350:2461–2470.
Lo, Y.M., Chan, A.T., Chan, L.Y., et al. 2000. Molecular prognostication of
nasopharyngeal carcinoma by quantitative analysis of circulating Epstein–
Barr virus DNA. Cancer Res;60:6878–6881
Mantovani, A., Allavena, P., Sica, A., Balkwill, F. 2008.
Cancer-related
inflammation. Nature. 454:436–44.
McMillan, D.C. 2009. Systemic inflammation, nutritional status and survival in
patients with cancer. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 12:223–6.
Mulyarjo. 2002. Diagnosis dan penatalaksanaan karsinoma nasofaringss.Dalam:
Mularjo et al. (eds) Naskah lengkap Pendidikan kedokteran berkelanjutan III
59
Ilmu penyakit THT-KL “Perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan tumor ganas THT-KL”. Fakultas Kedokteran Unair,
Surabaya. 38-48.
Murta, B.M.T. and Murta, E.F.C. 2008. Systemic Leukocyte Alterations in Cancer
and their Relation to Prognosis. The Open Cancer Journal. 2:53-58.
Nathan, C. Neutrophils and immunity: challenges and opportunities. 2006. Nat Rev
Immunol . 6:173–82.
Negrier, S., Escudier, B., Gomez, F., et al. 2012. Prognostic factors of survival and
rapid progression in 782 patients with metastatic renal carcinomas treated by
cytokines: a report from the Groupe Francais d’Immunotherapie. Ann Oncol.
13:1460–1468.
Paesmans, M., Sculier, J.P., Lecomte, J., et al. 2000. Prognostic factors for patients
with small cell lung carcinoma: analysis of a series of 763 patients included in
4 consecutive prospective trials with a minimum follow-up of 5 years. Cancer
89:523–533.
Paesmans, M., Sculier, J.P., Libert, P., et al. 1995. Prognostic factors for survival in
advanced non-small-cell lung cancer: univariate and multivariate analyses
including recursive partitioning and amalgamation algorithms in 1,052
patients. The European Lung Cancer Working Party. J Clin Oncol. 13:1221–
1230.
Parkin, D.M., Bray, F., Ferlay, J., Pisani, P. 2002. Global cancer statistics. CA Cancer
J Clin. 55:74-108.
Pham, C.T. Neutrophil serine proteases: specific regulators of inflammation. 2006.
Nat Rev Immunol. 6:541–50
Sahraoui, S., Acharki, A., Benider, A., Bouras, N., Kahlain, A. 1999. Nasopharyngeal
carcinoma in children under 15 years of age: a retrospective review of 65
pasiens. Annals of Oncology.10:1499-1502.
Sambasivaiah, K., Kumaraswamy, R., Rao, S., Phaneendra, B.V., Ay, S.K.L., Sarma,
K.V.S. 2005. Blood Cell Types and Cytokines Patterns in Solid Tumours
Patients. Indian J Pediatr Oncology. 26(2): 2005. 19-24.
Sasaki, A., Iwashita, Y., Shibata, K., Matsumoto, T., Ohta, M., Kitano, S. 2006.
Prognostic value of preoperative peripheral blood monocyte count in patients
with hepatocellular carcinoma. Surgery. 139:755–764.
Schmidt, H., Bastholt, L., Geertsen, P., et al. Elevated neutrophil and monocyte
counts in peripheral blood are associated with poor survival in patients with
metastatic melanoma: a prognostic model. Br J Cancer. 93:273–278.
Schmidt, H., Suciu, S., Punt, C.J., et al. 2007. Pretreatment levels of peripheral
neutrophils and leukocytes as independent predictors of overall survival in
patients with American Joint Committee on Cancer Stage IV
Melanoma:results of the EORTC 18951 Biochemotherapy Trial. J Clin Oncol.
25:1562–1569.
60
Sharma, T.D., Singh, T., Laishram, R.S., Sharma, L.D.C., Sunita, A.K., Imchen, T.
2011. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a
Regional Cancer Centre of Northeastern India. Asian Pacific J Cancer Prev.
12:1583-1587
Stevens, Servi, J.C. 2005. Diagnostic Value of Measuring Epstein-Barr Virus (EBV)
DNA Viral Load and Carcinoma-Specific Viral mRNA in Relation to AntiEBV Immunoglobulin A (IgA) and IgG Antibody Levels in Blood of
Nasopharyngeal carcinoma Patients from Indonesia. Journal of Clinical
Microbiology(43)7:3066-3073
Talmi, Y.P., Horowitz, Z., Bedrin, L., et al. 2002. Quality of life of nasopharyngeal
carcinoma patients. Cancer 94(4):1012e1017.
Tambunan, G.W. 1991. Diagnosis dan Tatalaksana: Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak
di Indonesia . Penerbit: Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1991.Cet. I. Hal. 67–
87.
Teramukai, S., Kitano, T., Kishida, Y., et al. 2009. Pretreatment neutrophil count as
an independent prognostic factor in advanced non-small-cell lung cancer: an
analysis of Japan Multinational Trial Organisation LC00–03. Eur J Cancer
45:1950–1958.
Wang, H.Y., Sun, B.Y., Zhu, Z.H, et al. 2011. Eight-signature classifier for
prediction
of
nasopharnyngeal
carcinoma
survival.
J
Clin
Oncol;29(34):4516e4525.
Walsh, S.R, Cook, E.J., Goulder, F., Justin, T.A, Keeling, N.J. 2005. Neutrophillymphocyte ratio as a prognostic factor in colorectal cancer. J Surg Oncol.
91(3):181–184.
Wilson, C.B., Rowell, E., Sekimata, M. 2009. Epigenetic control of T-helper-cell
differentiation. Nat Rev Immunol. 9:91–105.
Wislez, M., Rabbe, N., Marchal, J., Milleron, B., Crestani, B., Mayaud, C., et al.
2003 Hepatocyte growth factor production by neutrophils infiltrating
bronchioloalveolar subtype pulmonary adenocarcinoma: role in tumor
progression and death. Cancer Res;63:1405–12.
Yamanaka, T., Matsumoto, S, Teramukai, S., Ishiwata, R., Nagal, Y., Fukushima, M.
2007. The baseline ratio of neutrophils to lymphocytes is associated with
patient prognosis in advanced gastric cancer. Oncology. 73:215–220.
Yu, M.C., Yuan, J.M. 2012. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Semin
Cancer Biol. 12:421-429.
61
Lampiran 1. Data Kompilasi Penelitian
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
MR
1456109
1373876
1401858
1435132
1447677
1488096
1506649
1572582
1596746
1602499
1553280
1631116
1643196
1293886
1467133
1496251
1463150
1472528
1477828
1490335
1541755
1237977
1249023
1566108
1416331
1418627
1421475
1476466
NAMA
NH
ES
IKNT
RU
TU
SA
NA
NS
SAH
HA
DH
BHA
PUJ
LS
UDF
PUJI
SUGI
PAR
DAD
AT
SS
HW
HARI
SUM
SUW
RUB
BAK
THI
SEX
P
L
L
P
P
L
L
L
L
L
P
L
P
L
L
P
L
P
L
L
L
L
L
P
P
P
L
L
USIA
34
28
52
51
60
28
22
48
30
56
54
67
29
63
18
39
56
48
49
45
53
71
46
66
36
40
49
37
T
2b
1
1
1
1
1
1
1
2a
1
2a
1
1
1
1
2a
2
2b
1
2b
2a
2a
2
1
3
1
1
3
N
1
0
0
1
1
0
0
1
0
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
2
1
3a
M
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
STADIUM
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIA
I
IIB
I
IIB
I
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIB
IIA
IIB
IVC
IVC
IVC
IVB
NETROFIL
4,30
3,11
3,21
2,90
1,98
3,90
6,30
6,63
8,10
4,87
2,60
3,29
6,40
2,52
4,45
3,57
7,92
4,70
4,00
3,02
4,91
2,53
3,30
4,70
12,20
8,70
13,6
9,8
LIMFOSIT
1,80
1,49
0,41
1,03
1,52
0,90
2,60
1,57
1,77
2,08
0,80
1,47
2,20
1,32
2,17
1,08
1,62
1,90
2,20
1,32
1,47
0,64
1,87
3,50
0,90
1,57
0,41
1,30
NLR
2,389
2,087
7,829
2,816
1,303
4,333
2,423
4,223
4,576
2,341
3,250
2,238
2,909
1,909
2,051
3,306
4,889
2,474
1,818
2,288
3,340
3,953
1,765
1,343
13,556
5,541
33,171
7,538
WHO
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
2
3
2
3
3
3
3
62
Lampiran 1. Data Kompilasi Penelitian
No
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
RM
1483728
1482636
1484753
1489254
1445048
1459649
1470840
1498918
1501697
1489299
1507206
1480469
1509511
1440361
1439485
1449666
1447083
1380361
1401339
1404048
Nama
SKH
SSU
TRI
ZULI
PDI
DAL
CP
SUGI
NMU
SARMI
MAI
SUT
MAR
MUL
SUNAR
ELI
MT
SUTAR
SURA
SAN
JK
P
L
L
L
L
L
L
P
L
P
P
L
L
L
L
P
P
L
L
L
Umur
41
51
37
41
71
43
66
70
47
50
52
42
60
60
32
56
42
48
53
51
T
1
3
2a
3
1
3
4
2a
3
1
3
2b
1
1
3
3
2b
3
3
1
N
3b
3a
3a
3b
3b
1
3a
3b
3b
3b
3b
3a
3a
3a
3b
3a
2
2
0
2
M
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
Stadium
IVB
IVB
IVB
IVB
IVB
IVC
IVC
IVB
IVB
IVB
IVB
IVB
IVB
IVC
IVC
IVC
III
III
III
III
Netrofil
4,00
3,90
4,52
4,09
4,40
6,45
4,50
4,50
4,10
7,80
4,90
4,83
3,90
6,75
7,33
9,12
5,60
5,70
7,30
5,38
Limfosit
2,30
1,80
0,79
1,65
0,90
0,86
0,50
1,40
1,00
1,70
1,90
1,92
2,30
1,17
1,68
1,60
3,90
1,50
1,50
1,33
NLR
1,739
2,167
5,722
2,479
4,889
7,500
9,000
3,214
4,100
4,588
2,579
2,516
1,696
5,769
4,363
5,700
1,436
3,800
4,867
4,045
WHO
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
3
3
3
3
Lampiran 2. Koordinat kurva ROC
63
Positive if Greater
Than or Equal Toa
Sensitivity
1 - Specificity
.30300
1.000
1.000
1.32300
1.000
.958
1.38950
1.000
.917
1.56600
.958
.917
1.71750
.917
.917
1.75200
.875
.917
1.79150
.875
.875
1.86350
.875
.833
1.98000
.875
.792
2.06900
.875
.750
2.12700
.875
.708
2.20250
.833
.708
2.26300
.833
.667
2.31450
.833
.625
2.36500
.833
.583
2.40600
.833
.542
2.44850
.833
.500
2.47650
.833
.458
2.49750
.792
.458
2.54750
.750
.458
2.69750
.708
.458
2.86250
.708
.417
3.06150
.708
.375
3.23200
.667
.375
3.27800
.667
.333
3.32300
.667
.292
3.57000
.667
.250
3.87650
.625
.250
3.99900
.625
.208
4.07250
.583
.208
4.16150
.542
.208
4.27800
.542
.167
4.34800
.542
.125
4.46950
.500
.125
4.58200
.500
.083
4.72750
.458
.083
4.87800
.417
.083
5.21500
.375
.042
5.62050
.333
.042
5.71100
.292
.042
5.74550
.250
.042
6.63450
.208
.042
7.51900
.167
.042
7.68350
.125
.042
8.41450
.125
.000
11.27800
.083
.000
23.36350
.042
.000
34.17100
.000
.000
64
Lampiran 3. Ethics Committee approval
Download