BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Teori 2.1.1. Jasa 2.1.1.1. Pengertian Jasa Menurut Kotler dan Armstrong (2008, p204) pengertian jasa adalah “Any activity or benefit that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything”. Artinya jasa merupakan setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Menurut Rangkuti (2002, p26), jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, di mana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut. Menurut Yoeti (2001, p1) yang dimaksud dengan jasa (service) adalah suatu produk yang tidak nyata (intangible) dari hasil kegiatan timbal balik antara pemberi jasa (producer) dan penerima jasa (customer) melalui suatu atau beberapa aktivitas untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. 9 10 Kesimpulan dari definisi di atas bahwa jasa adalah suatu aktivitas yang tidak berwujud yang terjadi antara pelanggan dan penyedia jasa dalam upaya memenuhi kebutuhan pelanggan akan jasa tersebut. 2.1.1.2. Karakteristik Jasa Menurut Kotler dan Armstrong (2001), perusahaan harus mempertimbangkan empat karakteristik jasa tertentu yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.: 1. Tidak berwujudnya jasa (service intangibility) Berarti bahwa jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar, atau dibaui sebelum dibeli. 2. Tidak terpisahnya jasa (service inseparability) Maksudnya adalah bahwa jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, apakah penyedia tadi adalah orang atau mesin. 3. Keragaman jasa (service variability) Berarti bahwa kualitas jasa tergantung pada siapa yang menyediakan jasa, dan waktu, tempat, dan bagaimana cara mereka disediakan. 4. Tidak tahan lamanya jasa (service perishability) Berarti jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian yang akan datang. 11 Ketidakberwujudan Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dibaui sebelum dibeli. Ketidakterpisahan Jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya. Jasa / Pelayanan Keragaman Kualitas jasa tergantung pada siapa yang menyediakannya dan kapan, dimana serta bagaimana. Tidak Tahan Lama Jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian yang akan datang. Sumber : Kotler dan Armstrong, 2001, p378 Gambar 2.1. Empat Karakteristik Jasa 2.1.1.3. Kualitas Pelayanan Jasa Menurut Tjiptono (2006, p51), kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Terdapat 5 macam perspektif kualitas yaitu: 1. Transcendental approach Kualitas dipandang sebagai innate execellence, di mana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan, biasanya diterapkan dalam dunia seni. 2. Product-based approach Kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. 12 3. User-based approach Kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas tinggi. 4. Manufacturing-based approach Kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan. Dalam sektor jasa bahwa kualitas seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. 5. Value-based approach Kualitas dipandang dari segi nilai dan harga. Kualitas dalam pengertian ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli. Menurut Usmara (2003) menyatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu pernyataan tentang sikap, hubungan yang dihasilkan dari perbandingan antara ekspektasi (harapan) dengan kinerja (hasil). Menurut Tjiptono (2006, p59), kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada “dua faktor utama mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service atau kualitas jasa yang diharapkan dan kualitas jasa yang diterima atau dirasakan”. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima atau 13 dirasakan melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang buruk. Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Pelangganlah yang menentukan berkualitas atau tidaknya suatu pelayanan jasa. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. 2.1.1.4. Dimensi Kualitas Jasa Untuk menilai akan kepuasan pelanggan dapat menggunakan variabelvariabel atau dimensi kualitas jasa antara lain mengenai Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy, dan Tangible. Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry yang dikutip dari Tjiptono dan Chandra (2007, p132) terdapat lima dimensi jasa yang disusun sesuai urutan tingkat kepentingan relatifnya sebagai berikut: 1. Reliabilitas (Reliability) Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati. 14 2. Daya Tanggap (Responsiveness) Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat. 3. Jaminan (Assurance) Yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan. 4. Empati (Empathy) Berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personel kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman. 5. Bukti Fisik (Tangibles) Berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan serta penampilan karyawan. 2.1.2. Kepuasan Pelanggan 2.1.2.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan Menurut Kotler (1995, p52) menyebutkan bahwa secara sederhana kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang 15 dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Pelanggan dapat mengalami salah satu dari tiga tingkat kepuasan yang umum yaitu kalau kinerja di bawah harapan, pelanggan kecewa. Kalau kinerja sesuai harapan, pelanggan puas. Kalau kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas, senang, gembira. Menurut Tse dan Wilton (1988) yang dikutip dari Tjiptono (2000), kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuian/diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui (Gerson, 2004, p3). Pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Menurut Engel (1990) dan Pawitra (1993) yang dikutip dari Rangkuti (2002) mengatakan bahwa pengertian tersebut dapat diterapkan dalam penilaian kepuasan atau ketidakpuasan terhadap satu perusahaan tertentu karena keduanya berkaitan erat dengan konsep kepuasan pelanggan, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.2. berikut ini: Tujuan Perusahaan Kebutuhan dan Keinginan Pelanggan Produk Nilai Produk Bagi Pelanggan Harapan Pelanggan Terhadap Produk Tingkat Kepuasan Pelanggan Sumber : Rangkuti, 2002, p24 Gambar 2.2. Diagram Konsep Kepuasan Pelanggan 16 Secara umum dapat dikatakan bahwa kepuasan pelanggan dan ketidakpuasan pelanggan merupakan hasil dari perbandingan antara harapan dengan kinerja yang dirasakan oleh pelanggan. 2.1.2.2. Metode untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan Menurut Kotler dalam yang dikutip dari Tjiptono (2000) mengemukakan 4 metode untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu: 1. Sistem Keluhan dan Saran Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk memberikan respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang timbul. 2. Survai Kepuasan Pelanggan Melalui survai, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: a. Directly reported satisfaction Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti “Ungkapkan seberapa puas Saudara terhadap pelayanan Hotel Sewu Mas 17 pada skala berikut: sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat tidak puas”. b. Derived dissatisfaction Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan. c. Problem analysis Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan. d. Importance-performance analysis Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu responden juga diminta merangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen/atribut tersebut. 3. Ghost Shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara memperkerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan/pembeli potensial produk perusahaan dan pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati atau menilai cara perusahaan dan pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan. 18 4. Lost customer analysis Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusaha menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok. Yang diharapkan adalah akan diperolehnya informasi penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan. 2.1.2.3. Harapan dan Kepuasan Pelanggan Menurut Kotler dan Armstrong yang dikutip dari Tjiptono (2000) menyatakan bahwa harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, di antaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji-janji perusahaan dan para pesaing. Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan harapan seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks. Ada beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan (lihat Gambar 2.3.). Di antara beberapa faktor penyebab tersebut ada yang bisa dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian penyedia jasa bertanggung jawab untuk meminimumkan miskomunikasi dan misinterprestasi yang mungkin terjadi dan menghindarinya dengan cara merancang jasa yang mudah dipahami dengan jelas. Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar ia dapat memahami dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan. 19 Pelanggan Keliru Mengkomunikasikan Jasa Yang Diinginkan Pelanggan Keliru Menafsirkan Signal (Harga, Positioning, dll) Harapan Tidak Terpenuhi Miskomunikasi Rekomendasi Mulut Ke Mulut Kinerja Karyawan Perusahaan Jasa Yang Buruk Miskomunikasi Penyediaan Jasa Oleh Pesaing Sumber : Tjiptono, 2000, p151 Gambar 2.3. Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan Sebelum menggunakan suatu jasa, pelanggan sering memiliki empat skenario jasa yang berbeda (dalam benaknya) mengenai apa yang bakal dialaminya, yaitu: 1. Jasa ideal 2. Jasa yang diantisipasi/diharapkan 3. Jasa yang selayaknya diterima (deserved) 4. Jasa minimum yang dapat ditoleransi (minimum tolerable) Pelanggan bisa berharap dari keempat skenario tersebut (Gambar 2.4.). Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal, harapan membentuk kepuasan. Karena itu apabila “jasa minimum yang dapat ditoleransi” yang diharapkan, lalu yang terjadi sama dengan atau bahkan melampaui harapan tersebut, maka akan timbul kepuasan. Sebaliknya bila yang diharapkan “jasa ideal”, maka bila yang terjadi kurang dari harapan tersebut, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. 20 Yang Diharapkan Minimal Yang Dapat Diterima Ideal Yang Selayaknya Sumber : Tjiptono, 2000, p152. Gambar 2.4. Pengaruh Harapan Terhadap Kepuasan 1. Semakin dekat harapan ‘jasa yang diharapkan’ dengan ‘jasa minimum yang dapat diterima’, semakin besar pula kemungkinan tercapainya kepuasan. 2. Pelanggan yang puas bisa berada di mana saja dalam spectrum ini. Yang menentukan posisinya adalah posisi hasil (outcome) ‘yang diharapkan’. 2.1.3. Hubungan antara Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Pelanggan Menurut Tjiptono (2000) menyatakan bahwa kualitas pelayanan mempunyai hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin hubungan yang kuat dengan perusahaan. Pada jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami harapan serta kebutuhan pelanggan. Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dimana perusahaan memaksimalkan pengalaman 21 pelanggan yang menyenangkan dan meminimalkan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan. 2.1.4. Hotel 2.1.4.1. Pengertian Hotel Secara harfiah, kata Hotel dulunya berasal dari kata Hospitium (bahasa Latin), artinya ruang tamu. Dalam jangka waktu lama kata hospitium mengalami proses perubahan pengertian dan untuk membedakan antara Guest House dengan Mansion House (rumah besar) yang berkembang pada saat itu, maka rumah-rumah besar disebut dengan Hostel. Rumah-rumah besar atau hostel ini disewakan kepada masyarakat umum untuk menginap dan beristirahat sementara waktu, yang selama menginap para penginap dikoordinir oleh seorang host, dan semua tamu-tamu yang (selama) menginap harus tunduk kepada peraturan yang dibuat atau ditentukan oleh host (Host Hotel). Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan orang-orang yang ingin mendapatkan kepuasan, tidak suka dengan aturan atau peraturan yang terlalu banyak sebagaimana dalam hostel, dan kata hostel lambat laun mengalami perubahan. Huruf “s” pada kata hostel tersebut menghilang atau dihilangkan orang, sehingga kemudian kata hostel berubah menjadi Hotel seperti apa yang kita kenal sekarang. Menurut Sihite (2000, p44) pengertian hotel adalah sejenis akomodasi yang menyediakan fasilitas penginapan, makan, minum, dan jasa-jasa lainnya untuk umum yang tinggal sementara waktu dan dikelola secara komersil. 22 2.1.4.2. Klasifikasi Hotel Kriteria klasifikasi hotel di Indonesia secara resmi dikeluarkan oleh peraturan pemerintah dan menurut Dirjen Pariwisata dengan SK: Kep-22/U/VI/78. Untuk mengklasifikasikan sebuah hotel, dapat ditinjau dari beberapa faktor yang satu sama lainnya ada kaitannya. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Klasifikasi hotel berdasarkan letak lokasinya: a. City Hotel Adalah hotel yang terletak didalam kota, dimana sebagian besar tamunya yang menginap melakukan kegiatan bisnis. b. Resort Hotel Adalah hotel yang terletak di kawasan wisata, dimana sebagian besar tamu yang menginap tidak melakukan kegiatan usaha. Macam-macam hotel resort, antara lain: 1. Mountain hotel (hotel yang berada di pegunungan). 2. Beach hotel (berada di pinggir pantai). 3. Lake hotel (berada di pinggir danau). 4. Hill hotel (berada di puncak bukit). 5. Forest hotel (berada di kawasan hutan lindung). c. Suburb Hotel Adalah hotel yang lokasinya di pinggiran kota, yang merupakan kota satelit yakni pertemuan antara dua kotamadya. 23 d. Urban Hotel Adalah hotel yang berlokasi di pedesaan dan jauh dari kota besar. e. Airport Hotel Adalah hotel yang berada dalam satu kompleks bangunan atau area pelabuhan udara atau disekitar bandara udara. 2. Klasifikasi hotel berdasarkan pada kriteria jenis tamu Jenis-jenis tamu yang menginap maksudnya adalah darimana asal-usul tamu menginap dengan latar belakangnya. Dapat diklasifikasika sebagai berikut: a. Family Hotel Adalah tamu yang menginap bersama keluarganya. b. Business Hotel Adalah tamu yang menginap para usahawan. c. Tourist Hotel Adalah tamu yang menginap kebanyakan para wisatawan, baik domestic maupun luar negeri. d. Cure Hotel Adalah tamu yang menginap dalam proses pengobatan atau penyembuhan dari suatu penyakit. 2.1.5. Model GAP (Kesenjangan) Menurut Rangkuti (2002, p40) di dalam bukunya yang berjudul “Measuring Customer Satisfaction” menyatakan bahwa kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa 24 ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut (Gambar 2.5.). Pelanggan sangat puas Desired service Persepsi Pelanggan Harapan Pelanggan Adequate service Perceived service (service yang diterima pelanggan) Pelanggan sangat tidak puas Sumber : Rangkuti, 2002, p41 Gambar 2.5. Diagram Proses Kepuasan Pelanggan Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan yang terdiri dari 5 dimensi pelayanan. Kesenjangan merupakan ketidaksesuaian antara pelayanan yang dipersepsikan (perceived service) dan pelayanan yang diharapkan (expected service), dapat dilihat pada Gambar 2.6. berikut ini: Expected Service GAP Perceived Sumber : Rangkuti, 2002, p41 Gambar 2.6. Diagram Kesenjangan yang Dirasakan oleh Pelanggan 25 Kesenjangan terjadi apabila pelanggan mempersepsikan pelayanan yang diterimanya lebih tinggi daripada desired service atau lebih rendah daripada adequate service kepentingan pelanggan tersebut. Dengan demikian, pelanggan dapat merasakan sangat puas atau, sebaliknya, sangat kecewa. Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) yang dikutip dari Tjiptono (2000) mengidentifikasi 5 GAP yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa (Gambar 2.7.). Kelima GAP tersebut adalah: Komunikasi Dari Mulut Ke Mulut Kebutuhan Pribadi Pengalaman Yang Lalu Jasa Yang Diharapkan GAP 5 Konsumen Jasa Yang Dialami Penyampaian Jasa (Termasuk Sebelum dan Sesudah Kontak) Pemasar GAP 4 GAP 3 Translasi Persepsi Menjadi Spesifikasi Kualitas Jasa GAP 2 GAP 1 Persepsi Manajemen Mengenai Ekspektasi Konsumen Sumber : Tjiptono, 2000, p82 Gambar 2.7. Model Kualitas Jasa (GAP Model) Komunikasi Eksternal ke Pelanggan 26 1. GAP antara harapan konsumen dan persepsi manajemen Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa seharusnya didesain, dan jasa-jasa pendukung/sekunder apa saja yang diinginkan konsumen. Contohnya karyawan restaurant mungkin mengira para pelanggannya lebih mengutamakan ketepatan waktu penyajiaan breakfast pada pagi hari, padahal para pelanggan tersebut mungkin lebih memperhatikan variasi menu yang disajikan setiap harinya. 2. GAP antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan. Sebagai contoh, manajemen suatu hotel meminta para stafnya agar memberikan pelayanan secara ‘cepat’ tanpa menentukan standar atau ukuran waktu pelayanan yang dapat dikategorikan cepat. 3. GAP antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa Ada beberapa penyebab terjadinya GAP ini, misalnya karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja, atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja yang ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada standar-standar 27 yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain, misalnya para cleaning service hotel diharuskan meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluhan atau masalah tamu hotel, tetapi di sisi lain mereka juga harus melayani para tamu hotel dengan cepat. 4. GAP antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Risiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu hotel menyatakan bahwa hotelnya merupakan yang terbaik, memiliki fasilitas parkir yang luas, breakfast, AC, hot water, dan wifi. Akan tetapi saat pelanggan datang dan merasakan bahwa fasilitas hotelnya biasa-biasa saja (parkir yang sempit, menu breakfast yang monoton, AC yang tidak dingin, air panas yang cepat dingin, dan wifi yang lambat), maka sebenarnya komunikasi eksternal yang dilakukan hotel tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan menyebabkan terjadinya persepsi negatif terhadap kualitas jasa hotel tersebut. 5. GAP antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan GAP ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. 2.1.6. Pengukuran GAP dengan Diagram Kartesius Metode Diagram Kartesius pertama kali diperkenalkan oleh Martilla dan James (1977) dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen 28 dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis (Brandt, 2000) dan (Latu dan Everett, 2000). Untuk membuat Diagram Kartesius, diperoleh nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan kinerja dan tingkat kepentingan. Dari data hasil kuesioner dihitung nilai rata-rata (mean) dari masingmasing atribut, dengan rumus: Keterangan : = Skor rata-rata tingkat kinerja = Skor rata-rata tingkat kepentingan = Skor penilaian kinerja = Skor penilaian kepentingan = Jumlah responden Diagram Kartesius merupakan suatu bangun yang terbagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik (X,Y). Dimana dan merupakan rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja dari seluruh atribut merupakan rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan dari seluruh atribut. Rumus yang digunakan: 29 Keterangan : = Rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja seluruh atribut = Rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan seluruh atribut = Skor rata-rata tingkat kinerja seluruh atribut = Skor rata-rata tingkat kepentingan seluruh atribut = Banyaknya atribut yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap kualitas pelayanan Sumbu X merupakan sumbu yang terdiri dari nilai-nilai kinerja sedangkan sumbu Y merupakan sumbu yang terdiri dari nilai-nilai tingkat kepentingan. Nilai kinerja merupakan perbedaan skor antara persepsi dan harapan konsumen terhadap pelayanan. Kemudian dibuat suatu diagram yang terbagi menjadi empat bagian. Faktor-faktor/atribut-atribut yang mempengaruhi pelayanan kemudian dikelompokkan kedalam empat bagian dari Diagram Kartesius (dapat dilihat pada Gambar 2.8.). Diagram ini akan menentukan urutan prioritas perbaikan, yaitu atributatribut yang harus dipertahankan dan atribut-atribut yang perlu ditingkatkan untuk memperbaiki kualitas pelayanan perusahaan. Empat kuadran Diagram Kartesius yaitu sebagai berikut: 1. Kuadran A (Prioritas Utama) Atribut-atribut yang termasuk dalam kuadran ini adalah atribut-atribut pelayanan yang dinilai sangat penting oleh pelanggan, akan tetapi pihak perusahaan belum melaksanakannya sesuai keinginan pelanggan. Atribut-atribut dalam kuadran ini 30 harus menjadi prioritas utama perusahaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. 2. Kuadran B (Pertahankan Prestasi) Atribut-atribut yang terdapat dalam kuadran ini, merupakan unsur-unsur pelayanan pokok yang dianggap penting oleh pelanggan yang telah dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan. Langkah-langkah selanjutnya yang menjadi kewajiban perusahaan adalah mempertahankan prestasinya. 3. Kuadran C (Prioritas Rendah) Atribut-atribut dalam kuadran ini adalah unsur-unsur yang dianggap kurang penting oleh pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja/sedang. 4. Kuadran D (Berlebihan) Atribut-atribut yang berada dalam kuadran ini menurut pelanggan dianggap kurang penting, akan tetapi kinerjanya/pelaksanaannya sangat baik. Atributatribut dalam kuadran ini dianggap berlebihan. Kepentingan Kuadran A Kuadran C Kuadran B Kuadran D Kinerja 0 Sumber : Umar, 2005 Gambar 2.8. Diagram Kartesius 31 2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Analisa Kepuasan Pelanggan dan Customer Retention pada Hotel Bumi Karsa oleh Mendean et al. (2006) Peranan hotel sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan pelanggannya baik dari sisi wisata maupun sisi penunjang bisnis menjadi semakin penting. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tingkat kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan pada Hotel Bumi Karsa dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan atas pelayanan jasa agar menarik dan dapat mempertahankan pelanggannya sehingga tetap menggunakan jasa pada hotel tersebut dengan pemenuhan harapan pelanggan yang dilakukan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah membantu Hotel Bumi Karsa untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan melakukan tindakan perbaikan terhadap faktor-faktor penentu yang berdasarkan hasil penelitian dirasakan performance-nya masih kurang sehingga pelanggan merasa puas sehingga dapat mempertahankan pelanggannya dan juga dapat menekan terjadinya kehilangan pelanggan yang telah ada dengan cara lebih mengenali pelanggan melalui customer retention. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatis (membandingkan kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan dengan menggunakan diagram kartesius dan analisis korelasi) dan metode deskriptif kualitatif (mengolah data-data hasil penyebaran kuesioner tentang kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan dengan metode service quality atau SERVQUAL). 32 Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: • Faktor-faktor yang menjadi prioritas utama yang harus ditingkatkan pelaksanaannya oleh Hotel Bumi Karsa agar sesuai dengan harapan guest adalah faktor Tangible yang meliputi fasilitas-fasilitas fisik dan visual (terlihat kasat mata) yang disediakan oleh Hotel Bumi Karsa seperti penataan kamar, kebersihan ruangan kamar, dan keberadaan fasilitas pendukung. • Faktor-faktor yang harus dipertahankan pelaksanaannya karena sudah sesuai dengan harapan guest yaitu faktor yang bersifat Assurance yaitu pengetahuan dan kemampuan karyawan Hotel Bumi Karsa dalam memberikan pelayanan, seperti kesigapan karyawan dalam melayani setiap pertanyaan dan kebutuhan guest, dan juga pengetahuan dan keterampilan karyawan dalam memberikan suatu pelayanan kepada guest. • Faktor-faktor yang dinilai cukup penting oleh pelanggan, dan pelaksanaannya dirasa cukup menjawab oleh guest adalah faktor yang bersifat Reliability yaitu kemampuan Hotel Bumi Karsa dalam memberikan pelayanan yang dapat diandalkan secara akurat dan konsisten, serta faktor Responsiveness yaitu pelayanan yang diberikan Hotel Bumi Karsa kepada guestnya seperti pelayanan karyawan, tanggapan dalam menghadapi masalah yang timbul, dan juga mutu pelayanan oleh karyawannya. • Sedangkan faktor-faktor yang pelaksanaannya dilakukan sangat baik oleh perusahaan, namun dinilai kurang penting oleh guest sehingga terkesan berlebihan yaitu faktor Empathy yaitu pemberian perhatian yang bersifat 33 individual oleh hotel kepada guest, seperti tata karma dalam memberikan pelayanan, dan juga kepedulian karyawan terhadap kebutuhan anda. 2.3. Journal 2.3.1. Mengukur Kepuasan Pelanggan Hotel Bintang 4 dan 5 di DKI Jakarta melalui Pelayanan Petugas, Prasarana Fisik, dan Proses oleh Sembiring (2009) Salah satu unsur kegiatan di bidang kepariwisataan adalah industri jasa perhotelan. Hotel menjual jasa berupa penyediaan kamar tempat menginap/istirahat, menyediakan makanan dan minuman serta memberikan pelayanan. Rata-rata tingkat hunian kamar hotel di sekitar daerah pariwisata DKI Jakarta mengalami penurunan yang cukup berarti dari tahun 2004 sekitar 40,56% menjadi 35,24% pada tahun 2008. Berdasarkan sumber lain, yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa Hotel di daerah wisata DKI Jakarta, bahwa selama 3 tahun terakhir ini rata-rata tingkat hunian hotel (occupancy rate) berada di bawah 50%, terutama satu-satunya hotel yang berbintang di sekitar objek wisata DKI Jakarta, yaitu hotel bintang 4 dan 5 padahal target minimal yang ditentukan adalah 70%. Rendahnya tingkat hunian kamar (occupancy rate) di duga merupakan indikator ketidakpuasan konsumen atas pelayanan yang diberikan kepada mereka. Penelitian ini bersifat verifikatif dan deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang ciri-ciri variabel (bauran pemasaran jasa hotel). Sifat penelitian verifikatif pada dasarnya ingin 34 menguji kebenaran dari suatu hipotesis yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan. Dimana dalam penelitian ini akan diuji apakah bauran pemasaran jasa hotel berpengaruh terhadap kepuasan konsumen yang menginap. Mengingat sifat penelitian ini adalah deskriptif dan verifikatif yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode descriptive survey dan metode explanatory survey. Hasil dari penelitian ini adalah: • Pelaksanaan bauran pemasaran non convensional di Hotel Bintang 4 dan 5 umumnya dinilai pelanggan cukup baik, tetapi unsur SDM/petugas pelayanan kurang baik dalam melayani mereka, ini dilihat dari kurang ramahnya petugas dan kurang cepatnya tanggapan petugas dalam melayani pelanggan. Sedangkan prasarana fisik dan proses pelayanan dilaksanakan dengan cukup baik, sehingga pihak hotel harus mempertahankan pelayanan mereka terutama pada unsur prasarana fisik dan proses pelayanan serta meningkatkan kinerja petugas pelayanan hotel. • Bauran pemasaran non convensional berpengaruh positif dan berarti terhadap kepuasan pelanggan Hotel Bintang 4 dan 5, artinya semakin tepat implementasi bauran pemasaran non convensional, maka semakin tinggi tingkat kepuasan pelanggan Hotel Bintang 4 dan 5, artinya pihak hotel harus benar-benar memperhatikan bauran pemasaran non convensional secara umum untuk meningkatkan kepuasan pelanggannya.