Reksadana, Perbankan dan Sektor Riil

advertisement
Reksadana, Perbankan dan Sektor Riil1
Dr. Agus Sugiarto2
Pertumbuhan reksadana yang berhasil dihimpun oleh perbankan maupun lembaga
keuangan lainnya memperlihatkan angka yang siknifikan dalam kurun waktu dua tahun
terakhir ini. Total reksadana yang berhasil dihimpun pada akhir tahun 2001 hanya sebesar
Rp8 triliun dan meningkat 482% menjadi Rp46,61 triliun pada akhir tahun 2002.
Pertumbuhan tersebut terus berlanjut pada tahun 2003 dimana posisi reksadana pada April
2003 telah mencapai Rp61,25 triliun atau meningkat 31,4% selama empat bulan pertama
2003. Perkembangan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) selama setahun terakhir ini
ditengarai telah memberikan dampak yang cukup siknifikan terhadap perkembangan
reksadana. Penurunan SBI sebesar 718 basis poin dari 17,62% pada Desember 2001 menjadi
10,44% pada Mei 2003 menyebabkan bank-bank menurunkan suku bunga simpanannya
khususnya untuk deposito. Dengan turunnya suku bunga deposito tersebut, pemilik modal
kelas menengah keatas mulai mencari bentuk alternatif penanaman dana yang lebih menarik
dengan rate of return yang lebih tinggi. Salah satu bentuk alternatif tersebut adalah reksadana
yang ternyata direspon secara antusias oleh para pemiliki dana yang menginginkan uangnya
memperoleh imbalan yang lebih besar dibandingkan dengan penanaman pada deposito
perbankan.
Tabel Data Pertumbuhan Reksadana
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Jumlah
Reksa Dana
Total Dana Yang
Dikelola MI
Dana Reksa Dana
Yang Dikelola MI
(Triliun Rp)
(Triliun Rp)
2.58
5.20
8.75
5.39
9.05
10.25
15.88
2002
131
56.09
2003 (Apr 03)
154
71.03
Sumber : Statistik Pasar Modal Bapepam Bulan Mei 2003
1
2
25
77
81
81
94
108
2.78
4.92
2.99
4.97
5.52
8.00
46.61
61.25
Jumlah
Rekening
2,441
20,234
15,482
24,127
39,487
51,723
125,820
158,879
Artikel ini telah dimuat di harian Kompas, 3 Juli 2003.
Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia Jakarta.
2
Pertumbuhan reksadana yang sangat pesat tersebut disinyalir juga sebagai akibat
adanya capital inflow dari dana-dana yang masuk dari luar ke dalam sisitem keuangan
nasional. Arus modal masuk terjadi dikarenakan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin
membaik dan iklim politik yang semakin kondusif sehingga mendorong mereka untuk
menanamkan dananya di Indonesia dalam bentuk reksadana. Disamping itu,
faktor
pembebasan pajak atas pendapatan bunga yang diterima dari reksadana selama 5 (lima) tahun
juga dianggap sebagi faktor kunci maraknya pertumbuhan reksadana yang sangat pesat
tersebut.
Peran perbankan sangat siknifikan
Pertumbuhan reksadana yang sangat pesat dalam dua tahun terakhir ini selain
disebabkan faktor-faktor diatas juga dipengaruhi oleh besarnya keterlibatan perbankan dalam
distribusi reksadana. Keterlibatan bank-bank dalam penjualan reksadana diwujudkan dalam
bentuk kerjasama (mutual agreement) antara bank sebagai agent of sales reksadana dengan
manajer investasi sebagai pengelola dana. Dengan berperan sebagai agen penjual reksadana
maka bank-bank tersebut akan menggunakan jaringan kantornya di seluruh Indonesia sebagai
ujung tombak penjualan reksadana. Masyarakat di kota kecil yang memiliki dana besar pada
akhirnya dapat membeli reksadana melalui kantor bank-bank yang ada di kotanya, sesuatu
yang rasanya mustahil dilakukan oleh manajer investasi sendiri mengingat keterbatasan
infrastruktur jaringan pelayanan mereka. Saat ini ada sekitar 15 bank yang terlibat dalam
penjualan reksadana, dan terdapat beberapa bank lagi yang berencana melakukan penjualan
reksadana . Pada umumnya, bank-bank tersebut menjual reksadana dalam jumlah besar antara
Rp1 triliun sampai dengan Rp12 triliun dan sekitar 85% dari total Rp61,2 triliun reksadana
tersebut dijual melalui jalur distribusi bank-bank.
Keterlibatan bank-bank dalam distribusi reksadana yang sangat siknifikan tersebut
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor fundamental dan non fundamental. Faktor non
fundamental antara lain untuk meningkatkan fee-based-income baik dari subscription fee
maupun redemption fee, untuk mencegah nasabahnya lari ke bank lain, untuk menawarkan
dan alternatif penanaman dana dengan return yang lebih tinggi. Sebagian besar bank-bank
yang melakukan kegiatan distribusi penjualan reksadana
lebih banyak terinspirasi oleh
faktor-faktor non fundamental dan lebih banyak bersifat market follower karena mengikuti
jejak yang telah dilakukan oleh bank lain. Beberapa bank melihat bahwa pertumbuhan
3
reksadana yang sangat pesat tersebut dapat dilihat sebagai faktor fundamental dan sekaligus
peluang untuk memperbaiki kinerja neraca banknya. Beberapa bank telah berupaya untuk
memperbaiki struktur funding (pendanaan) dengan mengalihkan deposito yang cost of fundnya cukup tinggi ke reksadana sehingga keuntungan dalam bentuk interest margin semakin
membaik. Selain itu, bank-bank juga terdorong untuk menjual obligasi rekap yang ada di
dalam aktiva produktif bank (earning assets) untuk dijadikan underlying aset reksadana guna
memperoleh dana cash yang selanjutnya akan dipakai untuk penyaluran kredit maupun
penempatan produktif lainnya untuk meningkatkan serta mengoptimalkan pendapatan bunga.
Mengingat begitu besarnya
peran dan keterlibatan perbankan dalam penjualan
reksadana, secara jujur dan tebuka kita tentunya sangat berterima kasih pada perbankan
nasional yang secara langsung ikut serta mensukseskan penjualan dan pendistribusian
reksadana melalui cabang-cabangnya di seluruh Indonesia. Pemilik dana kelas menengah di
daerah-daerah kini tidak perlu lagi repot-repot mencari manajer investasi di Jakarta untuk
membeli reksadana, mereka sekarang cukup menghubungi kantor-kantor cabang bank yang
ada di daerahnya. Penggunaan marketing channel perbankan ini ternyata sangat efektif
ditengah-tengah absennya kantor manajer investasi di daerah-daerah. Tanpa keikutsertaan
dari perbankan dalam penjualan reksadana tersebut rasanya
cukup berat bagi manajer
investasi untuk meningkatkan penjualan reksadana menjadi 600% lebih dalam kurun waktu
kurang dari dua tahun.
Dampak ke sektor riil belum terlihat
Pertumbuhan reksadana yang sangat pesat dalam dua tahun terakhir ini dan mencapai
Rp61,25 triliun pada April 2003, sekitar Rp47 triliun (77%) diantaranya menggunakan
obligasi rekap sebagai underlying aset dari reksadana. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau
obligasi rekap sekarang menjadi salah satu primadona untuk dipakai sebagai underlying aset
dari reksadana mengingat tinkat bunganya yang menarik serta faktor risikonya yang sangat
kecil. Di satu sisi, peningkatan jumlah obligasi rekap yang dijadikan underlying transakasi
reksadana tersebut sangat bagus untuk pengembangan pasar sekunder obligasi rekap tersebut,
yang pada akhirnya akan meningkatkan likuiditas obligasi rekap itu sendiri. Di sisi lain,
dengan semakin banyaknya obligasi rekap yang dijadikan underlying aset dari reksadana,
maka secara tidak langsung faktor “multiplier effects” dari sisi pertumbuhan sektor riil
kurang begitu besar. Dana investor yang ditanamkan dalam reksadana dalam bentuk obligasi
4
rekap akhirnya hanya berhenti sampai disini saja. Obligasi rekap adalah surat yang
dikelurkan oleh pemerintah untuk membiayai program rekapitalisasi perbankan pada tahun
1998. Dengan demikian, investor sekarang hanya menikmati bunga kupon obligasi rekap
yang dulunya dinikmati oleh bank pemegangnya dan sekarang dinikmati oleh investor
reksadana. Jadi tidak ada lagi multiplier effects yang terjadi untuk meningkatkan
pembangunan di sektor riil.
Untuk itu, alangkah bagusnya apabila reksadana-reksadana yang ada sekarang ini
dapat memanfaatkan corporate bond dari perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN
untuk dipakai sebagai underlying aset dari reksadana. Dengan semakin banyaknya reksadana
yang memakai corporate bond untuk underlying reksadana maka diharapkan keadaan ini
dapat memacu pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Para pengusaha akan terpanggil untuk
memperluas dan meningkatkan kegiatan usahanya dengan penambahan modal melalui
penerbitan corporate bond dan selanjutnya surat utang tersebut akan dibeli oleh manajer
invesatsi untuk dijadikan underlying aset reksadana. Semakin banyak corporate bond yang
dapat dijadikan underlying aset reksadana maka fungsi intermediasi di sektor keuangan akan
semakin besar mengingat bank tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya lembaga penyalur
kredit, melainkan pengusaha juga dapat memperoleh pendanaan usahanya melalui pasar
modal sebagai alternatif lain.
Keberanian untuk mendiversifikasi underlying aset
Keterlibatan corporate bond dalam reksadana sebenarnya merupakan kondisi ideal
yang kita inginkan, namun kenyataannya belum banyak reksadana yang memanfaatkan
corporate bond tersebut. Salah satu fakto r utama yang menjadi penghambat adalah faktor
risiko yang masih besar walaupun suku bunga yang ditawarkan cukup menarik. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri dari manajer investasi untuk mampu melibatkan corporate bond
sebagai bagian dari pertumbuhan reksadana. Sekarang ini sudah saatnya bagi manajer
investasi untuk mendiversifikasi portofolio aset-aset reksadana yang dikelolanya dengan
lebih banyak lagi menggunakan corporate bond. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan oleh
manajer investasi secara perlahan-lahan dan bertahap agar supaya pertumbuhan reksadana
yang sedang mengalami booming ini tidak banyak terganggu. Sedangkan keterlibatkan para
investor untuk mau membeli reksadana yang berbasis corporate bond tersebut juga perlu
disosialisasikan lebih jauh oleh manajer investasi mengingat sebagian dari corporate bond
5
tersebut memiliki reputasi dan return yang baik seperti misalnya obligasi Indofood, Jasa
Marga, Pegadaian, Medco dan Telkom.
Diversifikasi portofolio aset reksadana tersebut tentunya tidak terbatas pada obligasi
rekap maupun corporate bond, melainkan juga terhadap saham (equities) yang terdaftar di
pasar modal. Memang saat ini risiko pasar dalam bentuk fluktuasi harga dapat terjadi secara
tiba-tiba sehingga capital gain atau loss dapat terjadi setiap saat, namun demikian masih
banyak lagi saham-saham blue chip yang dapat dipakai sebagai underlying aset reksadana.
Dengan semakin terdiversifikasinya portofolio reksadana ke dalam bentuk underlying aset
yang beraneka ragam, hal ini akan berdampak pula pada semakin rendahnya risiko yang
dihadapi oleh reksadana tersebut. Secara teoritis, obligasi rekap yang dijadikan underlying
aset dari reksadana sangat kecil mengalami default risk
ataupun repayment risk kaena
dijamin oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak berarti obligasi rekap tersebut adalah zerorisky-assets, tetapi low-risky-assets yang berarti masih mengandung risiko walaupun sangat
kecil. Kita masih belum lepas dari trauma krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 dan
menimpa beberapa negara seperti Indonesia, Thailand dan Korea Selatan. Secara empiris
dapat dilihat bahwa negara-negara tersebut harus mengetuk pintu Dana Moneter Intenatisonal
(IMF) untuk meminta bantuan keuangan karena mereka tidak mampu menutupi kewajibankewajibannya. Dari bukti empiris tersebut terbukti bahwa obligasi rekap itu sendiri bukanlah
murni zero-risky-assets sehingga masih ada risiko gagal bayar. Oleh karena itu apabila 77%
reksadana yang ada sekarang memakai obligasi rekap sebagai bagian dari portofolio
reksadana, maka sudah saatnya untuk dilakukan diversifikasi.
Dampak terhadap perbankan nasional
Peran dan keterlibatan perbankan nasional dalam reksadana memang sangat besar dan
tentunya hal ini membawa beberapa dampak bagi perbankan itu sendiri. Dampak tersebut
tidak hanya bersifat keuntungan seperti peningkatan fee-based-income bagi bank yang
bersangkutan, melainkan juga memunculkan risiko-risko baru yang harus dihadapi oleh
perbankan. Risiko utama yang dihadapi oleh bank adalah risiko reputasi (reputational risk)
mengingat marketing channel dari reksadana tersebut memanfaatkan pelayanan kantor-kantor
bank di seluruh Indonesia. Risiko muncul apabila misalnya dalam melakukan redemption
nasabah mengalami kelambatan pembayaran ataupun gagal bayar, nasabah tentunya akan
mengkaitkan masalah tersebut dengan bank dimana mereka membeli reksadana tersebut
6
walaupun tanggung jawab tidak ada pada bank tersebut. Dengan demikian, reputasi bank
penjual reksadana tersebut secara tidak langsung akan ikut terpengaruh. Risiko reputasi ini
akan semakin jelas dalam kasus bank menjual reksadana yang dikelola oleh manajer investasi
yang menjadi pihak terafiliasi dari bank tersebut seperti misalnya anak perusahaan.
Risiko lain yang juga dihadapi oleh perbankan adalah risiko pasar sekaligus risiko
likuiditas apabila bank ikut menjamin tingkat pengembalian tertentu kepada investor
reksadana (guaranted fixed return). Risiko pasar terkait langsung dengan portofolio
reksadana, sehingga apabila tejadi kenaikan atau penurunan suku bunga akan langsung
berpengaruh terhadap harga portofolio reksadana. Sebagai contoh satu produk reksadana
memakai obligasi rekap sebagai underlying asetnya, apabila harga obligasi rekap pasa saat
pertama reksadana tersebut dijual adalah Rp100 dengan tingkat bunga 10% dan maturity
dalam waktu 3 tahun, ternyata satu bulan kemudian suku bunga naik 12%, maka harga
obligasi menjadi Rp95,20. Sebaliknya jika suku bunga turun menjadi 8%m maka harga
market value dari obligasi tersebut menjadi Rp105,5 sehingga return yang did apat menjadi
lebih besar. Dengan memberikan guaranted fixed return tersebut berarti bank berkewajiban
untuk memberikan rate of return sesuai dengan yang dijanjikan kepada pemegang reksadana.
Sebagai akibatnya, bank harus menanggung selisih bunga yang seharusnya diberikan kepada
investor reksadana apabila ternyata hasil investasi di portofolio reksadana tersebut
menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih rendah dari pada yang telah dijanjikan.
Risiko likuiditas juga timbul dalam hal terjadi redemption secara besar-besaran
dalam waktu yang bersamaan maka bank yang memberikan guaranted fixed return harus
mampu menutup semua dana investor ditambah dengan bunga yang telah dijanjikan. Bentuk
lain dari risiko likuiditas akan timbul dalam hal manajer investasi tersebut merupakan pihak
terkait ataupun afiliasi (anak perusahaan) dari bank penjual reksadana. Dalam praktek
beberapa bank melakukan penjualan reksadana dengan bekerja sama denagn manajer
investasi yang masih satu grup dengan bank tersebut. Katakanlah dalam skenario terjelek,
semua investor melakukan redemption secara bersamaan maka bank sebagai induk dari
manajer investasi tersebut harus campur tangan membantu likuiditas manajer investasi
tersebut dengan membeli underlying aset reksadana baik itu berbentuk obligasi rekap maupun
aset lainnya.
7
Hal-hal yang perlu dicermati
Pertumbuhan reksadana yang sangat pesat tersebut patut dicermati perkembangannya
ke depan. Booming reksadana yang terjadi dalam dua tahun terakhir diperkirakan masih akan
terus berlangsung dalam beberapa bulan ke depan atau bahkan beberapa tahun ke depan.
Beberapa analis ada yang memperkirakan reksadana akan tumbuh sampai dengan Rp70-Rp80
triliun sampai dengan akhir tahun 2003, dan kemungkinan mencapai angka Rp90-Rp100
triliun bukan sesuatu yang mustahil mengingat jumlah obligasi rekap yang siap jual (trading
portfolio) di bank-bank rekap telah mencapai Rp84,2 triliun pada akhir April 2003. Oleh
karena itu booming reksadana tersebut harus tetap dicermati dan dijaga agar jangan sampai
menghancurkan industri reksadana itu sendiri. Teori boom and bust masih sangat kuat dalam
ingatan kita bahwa industri yang berkembang sangat pesat (boom) terkadang mengalami
keruntuhan (bust) di kemudian hari. Sebagai contoh industri properti nasional yang
mengalami masa-masa booming sebelum krisis 1997 pada akhirnya mengalami koreksi pada
saat krisis moneter tahun 1997. Untuk itu para regulator yang terkait dengan reksadana
seperti Bapepam maupun Bank Indonesia harus memonitor secara cermat perkembangannya
dan apabila diperlukan membuat regulasi atau pedoman yang diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan reksadana yang sehat dan bersifat prudential. Tentunya semua pihak tidak
menginginkan jatuhnya suatu industri yang berkembang sangat pesat, oleh karena itu
sustainability dan stability industri reksadana harus ikut berjalan bersama agar supaya tidak
menimbulkan systemic risk bagi sistem keuangan secara keseluruhan.
Bagi para pelaku sendiri maupun para manajer investasi, hendaknya campur tangan
para regulator tersebut tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif, melainkan harus dilihat
sebagai suatu upaya untuk memelihara kelangsungan industri reksadana dan menjaga
kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk itu, komentar maupun pernyataan
yang telah diutarakan oleh Menteri Keuangan maupun Ketua Bapepam bahwa perlu ada
rambu-rambu prudential untuk reksadana tentunya harus direspon secara positif. Sama halnya
dengan Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas perbankan yang merasa perlu untuk ikut
campur tangan karena distribusi penjualan reksadana melibatkan bank-bank, maka upayaupaya
tersebut tidak perlu dilihat sebagai faktor penghambat pertumbuhan reksadana.
Memang pertumbuhan reksadana haruslah tetap kita dukung sejalan dengan semangat
“market driven” tetapi di sisi lain kita harus melihat konteks yang lebih luas bahwa
kestabilan sistem keuangan secara menyeluruh juga merupakan prioritas bagi kita semua.
8
Oleh karena itu Bapepam perlu memonitor apakah penyelenggaraan reksadana saat ini sudah
sejalan dengan “code of conduct” reksadana yang sehat serta penerapan prudential activities
untuk manajer investasi. Di sisi lain, mengingat campur tangan perbankan sangat besar maka
Bank Indonesia juga memonitor dengan seksama bahwa bank-bank yang terlibat dalam
penjualan reksadana harus mematuhi prinsip-prinsip prudential banking itu sendiri khususnya
yang menyangkut aspek-aspek risiko yang akan dihadapi.
Download