6 BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tekanan Panas

advertisement
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tekanan Panas
a. Pengertian Tekanan Panas
Tekanan panas adalah beban iklim kerja yang diterima oleh tubuh
manusia yang merupakan perpaduan dari suhu dan kelembaban udara,
kecepatan aliran udara, suhu radiasi dengan panas yang dihasilkan
oleh metabolisme tubuh (Siswanto, 2001), sedangkan menurut
Suma’mur (2014) tekanan panas adalah kombinasi antara suhu udara,
kelembaban udara, kecepatan gerak udara dan suhu radiasi, kombinasi
keempat faktor itu dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor : PER.13/MEN/X/2011, Tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisik dan Kimia di Tempat Kerja, pasal 1 ayat 5 berbunyi, iklim kerja
adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan
udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh
tenaga kerja akibat pekerjaanya.
Suhu udara dapat diukur dengan termometer dan disebut suhu
kering. Suhu basah adalah suhu yang ditunjukkan suatu termometer
yang dibasahi dan ditiupkan udara kepadanya dengan demikian suhu
tersebut menunjukkan kelembaban relatif. Kecepatan udara yang
besar dapat diukur dengan suatu anemometer sedangkan kecepatan
kecil diukur dengan memakai termometer kata. Suhu radiasi adalah
tenaga elektromagnetis yang panjang gelombangnya lebih panjang
dari sinar matahari (Suma’mur, 2014).
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Panas
Tubuh tenaga kerja dalam lingkungan kerja yang panas
mempunyai daya tahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
6
7
1)
Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologi yang
ditandai oleh pengeluaran keringat yang meningkat, denyut
jantung menurun dan suhu tubuh menurun. Proses adaptasi ini
biasanya memerlukan waktu 7-10 hari. Aklimatisasi dapat pula
menghilang ketika orang yang bersangkutan tidak masuk kerja
selama seminggu berturut-turut (Santoso, 2004).
2) Umur
Menurut Priatna (1990) pada orang berusia lanjut akan lebih
sensitif terhadap cuaca panas bila dibandingkan dengan orang
yang berusia lebih muda. Hal ini mungkin lebih disebabkan pada
orang yang berusia lanjut kemampuan berkeringat lebih lambat
dari orang yang berusia lebih muda dan kemampuan tubuh untuk
mengembalikan suhu tubuh normal lebih lambat dari pada orang
yang berusia lebih muda. Daya tahan badan terhadap panas akan
menurun pada umur yang lebih tua. Orang yang lebih tua akan
lamban keluar keringatnya dibandingkan dengan orang muda
(Tarwaka, 2004).
3) Jenis Kelamin
Terdapat perbedaan kecil dalam kapasitas antara laki-laki dan
perempuan untuk berkeringat secara cukup, dalam iklim panas
tidak dapat beraklimatisasi secara baik seperti laki-laki. Seorang
wanita lebih tahan terhadap suhu dingin dari pada suhu panas. Hal
tersebut disebabkan karena tubuh wanita mempunyai jaringan
dengan daya konduksi yang lebih tinggi terhadap panas bila
dibandingkan dengan laki-laki (Tarwaka, 2004).
4) Kesegaran Jasmani
Bagi karyawan yang sudah beraklimatisasi akan lebih mudah
bekerja dalam lingkungan panas, bila keadaan jasmaninya segar
(Tarwaka, 2004).
8
5) Suku Bangsa
Perbedaan aklimatisasi yang ada di antara kelompok suku
kecil, mungkin di sini erat sekali hubungannya dengan perbedaan
ukuran tubuh (Tarwaka, 2004).
6) Pengaturan Lama Kerja
Untuk menghindari terjadinya gangguan kesehatan akibat
terpapar suhu udara yang tinggi, lamanya kerja dan istirahat harus
disesuaikan dengan tingkat tekanan panas yang dihadapi oleh
pekerja (Depkes RI, 2003).
c. Pertukaran Panas Tubuh dengan Lingkungan Sekitar
Menurut Suma’mur (2014) tenaga kerja yang bekerja pada tempat
yang panas, karena tubuhnya mendapat panas yang berlebihan maka
tubuh akan banyak mengeluarkan keringat. Tubuh mempunyai tiga
cara dalam menghadapi tekanan panas yaitu :
1)
Menggigil, menyebabkan peningkatan laju metabolisme dan
seterusnya menaikkan produksi panas tubuh dan merupakan
jawaban tubuh terhadap dingin.
2)
Berkeringat, merupakan jawaban tubuh terhadap tekanan panas,
jumlah keringat akan meningkat seimbang dengan tekanan panas
pada daerah tertentu sesuai suhu kulit.
3)
Pengaturan peredaran darah, merupakan jawaban terhadap udara
dingin dan panas. Bila udara dingin terjadi vasokontriksi
pembuluh darah di permukaan atau vasodilatasi pembuluh darah
di dalam jaringan sehingga panas akan terkumpul di permukaan.
Terdapat empat macam cara pertukaran panas pada manusia :
1) Konduksi yaitu pertukaran panas antara tubuh dan benda-benda
sekitarnya dengan melalui sentuhan atau kontak.
2) Konveksi yaitu pertukaran panas antara badan dengan lingkungan
melalui kontak udara dengan tubuh. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi konveksi ini adalah perbedaan suhu kulit dan suhu
sekitarnya serta kecepatan aliran udara.
9
3) Radiasi yaitu pertukaran panas dengan cara radiasi antara tubuh
dan benda-benda sekitarnya yakni dengan cara menyerap atau
memancarkan panas.
4) Evaporasi yaitu proses pengeluaran atau pelepasan panas oleh
tubuh melalui penguapan dalam bentuk keringat.
(Suma’mur, 2014).
d. Cara Menetapkan Besarnya Tekanan Panas
Menurut Suma’mur (2014), terdapat beberapa cara untuk
menetapkan besarnya tekanan panas sebagai berikut :
1) Suhu Effektif, yaitu indeks sensoris dari tingkat panas yang
dialami oleh seseorang tanpa baju dan kerja dalam berbagai
kombinasi suhu kelembaban dan kecepatan aliran udara.
2) Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) yaitu rumus-rumus sebagai
berikut :
a) Pekerjaan dilakukan di bawah paparan sinar matahari
(outdoor):
ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,2 x suhu radiasi) + (0,1 x
suhu kering)
b) Pekerjaan dilakukan di dalam ruangan (indoor) :
ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,3 x suhu radiasi)
3) Indeks kecepatan keringat selama 4 jam ( Predicated – 4 – hour
sweetrate disingkat P4SR) yaitu banyaknya keringat keluar
selama 4 jam, sebagai akibat kombinasi suhu, kelembaban dan
kecepatan gerakan udara serta panas radiasi.
4) Indeks Belding-Hacth, mendasarkan indeknya atas perbandingan
banyaknya keringat yang diperlukan untuk mengimbangi panas
dan kapasitas maksimal tubuh untuk berkeringat.
e. Nilai Ambang Batas dari Tekanan Panas
Penilaian terhadap tingkat tekanan panas dan waktu terpapar yang
diperkenankan dapat dilihat pada Tabel 1:
10
Tabel 1. Nilai Ambang Batas Tekanan Panas Indeks Suhu Basah dan
Bola (ISBB) yang Diperkenankan
ISBB (0C)
Pengaturan waktu kerja setiap jam
Beban Kerja
(%)
Ringan
Sedang
Berat
75 - 100
31,0
28,0
50 - 75
31,0
29,0
27,5
25 - 50
32,0
30,0
29,0
0 - 25
32,2
31,1
30,5
Sumber : Permenakertrans Nomor PER.13/MEN/X/2011 tahun 2011.
f. Pengaruh Tekanan Panas terhadap Manusia
Pada saat tubuh kontak dengan lingkungan kerja panas dapat
menyebabkan terjadinya dilatasi pembuluh darah perifer, sehingga
keseimbangan peredaran darah akan terganggu, dengan terjadinya
keringat yang berlebihan,volume plasma berkurang sehingga volume
darah juga berkurang, akibatnya tekanan darah turun dan pasokan
oksigen keotak berkurang dengan demikian orang akan kehilangan
kesadarannya (Suwondo et al, 2008).
Proses metabolisme dalam tubuh merupakan proses kimiawi dan
proses ini terus berlangsung supaya kehidupan manusia dapat
dipertahankan. Hasil dari metabolisme ini antara lain adalah energi
dan panas. Panas yang dihasilkan inilah yang merupakan sumber
utama panas tubuh manusia. Dengan demikian panas akan terus
dibentuk
walaupun
dalam
keadaan
istirahat,
selama
proses
metabolisme berlangsung (Depkes RI, 2003).
Tekanan panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh
untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Pulat dalam
Tarwaka (2004) bahwa reaksi fisiologis tubuh (heat strain) oleh
karena peningkatan temperatur udara di luar comfort zone seperti
vasodilatasi, denyut jantung meningkat, temperatur kulit meningkat
dan suhu tubuh inti.
Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan tekanan
panas yang berlebihan dapat dijelaskan sebagai berikut:
11
1)
Gangguan perilaku dan performansi kerja seperti terjadinya
kelelahan, sering melakukan istirahat curian dan lain-lain.
2)
Dehidrasi yaitu suatu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan
yang disebabkan baik oleh penggantian cairan yang tidak cukup
maupun karena gangguan kesehatan.
3)
Heat rash (miliaria atau biang keringat) yaitu timbul vesicula
yang berwarna kemerah-merahan pada kulit dan biasanya
ditemukan pada punggung, dada dan leher.
4)
Heat stroke karena pengaruh suhu panas yang sangat hebat,
penderita kebanyakan adalah laki-laki yang pekerjaannya berat
dan belum beraklimatisasi. Pertolongan pertama bagi penderita
heat stroke yaitu dengan memberikan kompres atau selimut kain
basah dan dingin untuk menurunkan suhu badan.
5)
Heat cramps merupakan kejang-kejang otot tubuh (tangan dan
kaki) akibat keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya
garam natrium dari tubuh yang kemungkinan besar disebabkan
karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium,
disamping kejang-kejang tersebut juga dapat mengakibatkan
pingsan, kelemahan, mual, dan muntah-muntah.
6)
Heat exhaustion yaitu keadaan ini terjadi apabila tubuh
kehilangan terlalu banyak cairan dan atau kehilangan garam.
Gangguan ini biasanya banyak dialami oleh pekerja yang belum
beraklimatisasi terhadap suhu udara panas (Tarwaka, 2004).
g. Pengendalian Tekanan Panas
Untuk mengendalikan pengaruh pemaparan tekanan panas
terhadap tenaga kerja perlu dilakukan koreksi tempat kerja, sumbersumber panas lingkungan dan aktivitas kerja yang dilakukan. Koreksi
tersebut dimaksudkan untuk menilai secara cermat faktor-faktor
tekanan panas dan mengukur ISBB pada masing-masing pekerjaan
sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian secara benar. Di
samping itu, koreksi tersebut juga dimaksudkan untuk menilai
12
efektivitas dari sistem pengendalian yang telah dilakukan di masingmasing tempat kerja. Secara ringkas teknik pengendalian terhadap
pemaparan tekanan panas di perusahaan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1)
Mengurangi faktor beban kerja dengan mekanisasi.
2)
Mengurangi beban panas radian dengan cara menurunkan
temperatur udara dari proses kerja yang menghasilkan panas,
relokasi proses kerja yang menghasilkan panas dan penggunaan
tameng panas dan alat pelindung yang dapat memantulkan panas.
3)
Mengurangi temperatur dan kelembaban, cara ini dapat dilakukan
melalui
ventilasi
pengenceran
(dilution
ventilation)
atau
pendinginan secara mekanis (mechanical cooling) dan telah
terbukti
secara
dramatis
dapat
menghemat
biaya
dan
meningkatkan kenyamanan.
4)
Meningkatkan pergerakan udara dengan mempercepat aliran
udara dapat dilakukan dengan ventilasi umum dan spoot cooling
dengan pemasangan blower mengarah ke tenaga kerja. Dengan
mempercepat aliran udara di atas permukaan kulit berarti
menaikan penguapan maksimal hingga indeks tekanan panas
turun.
5)
Pembatasan terhadap waktu pemaparan panas dengan cara
melakukan pekerjaan pada tempat panas pada pagi dan sore hari,
penyediaan tempat sejuk yang terpisah dengan proses kerja untuk
pemulihan dan mengatur waktu kerja dan waktu istirahat secara
tepat berdasarkan beban kerja dan nilai ISBB.
Dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa kondisi yang harus
dipertimbangkan dalam setiap desain atau redesain sistem ventilasi
adalah adanya sirkulasi udara pada tempat kerja yang baik, sehingga
terjadi pergantian udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar
secara terus menerus. Di samping itu faktor pakaian dan pemberian
13
minum harus juga dipertimbangkan dalam mengatasi masalah panas
lingkungan (Tarwaka, 2004).
2. Kebisingan
a. Pengertian Kebisingan
Bising (noise) adalah bunyi yang di timbulkan oleh gelombang
suara dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu.Di sektor
industri, bising berarti bunyi yang sangat mengganggu dan
menjengkelkan serta sangat membuang energi (Harrianto, 2008).
Menurut Anizar (2009) kebisingan merupakan semua suara yang
tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau
alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran.
Kebisingan merupakan terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki
termasuk bunyi yang tidak beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh
transportasi dan industri, sehingga dalam jangka waktu yang panjang
akan dapat mengganggu dan membahayakan konsentrasi kerja,
merusak pendengaran (kesehatan) dan mengurangi efektifitas kerja
(Wilson dalam Santoso, 2008).
b. Jenis – jenis Kebisingan
Jenis bising menurut Soeripto (2008) berdasarkan atas pengaruhnya
bunyi terhadap manusia, bising dapat dibagi sebagai berikut:
1) Bising yang mengganggu (irritating noise), intensitasnya tidak
keras (misalnya orang mendengkur).
2) Bising yang menutupi (masking noise)
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara
tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya
tenggelam dalam kebisingan dari sumber lain.
3) Bising yang merusak (damaging/injurious noise)
Bunyi yang intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB),
bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
14
Menurut Suma’mur (2009) jenis kebisingan yang sering ditemukan
adalah:
1) Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa terputus – putus dengan
spektrum frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise),
misalnya bising mesin, kipas angin, dan dapur pijar.
2) Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi
tipis (steady state, narrow band noise) misalnya bising gergaji
sirkuler, dan katup gas.
3) Kebisingan terputus – putus (intermittent noise), misalnya bising
lalu lintas suara kapal terbang di bandara.
4) Kebisingan impulsif (impact or implusive noise) seperti bising
pukulan palu, tembakan bedil atau meriam dan ledakan.
5) Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di
perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.
c. Sumber Kebisingan
Menurut Dirjen PPM dan PL, DEPKES & KESSOS RI Tahun
2000 dalam Subaris dan Haryono (2011) :
1) Bising industri
Industri besar termasuk di dalamnya pabrik, bengkel, dan
sejenisnya.Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun
masyarakat di sekitar industri.
2) Bising rumah tangga
Umumnya disebabkan oleh alat-alat rumah tangga dan tidak terlalu
tinggi tingkat kebisingannya.
3) Bising spesifik
Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya
pemasangan tiang pancang tol atau bangunan.
Bila sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi dua
yaitu Wisnu 1996 dalam Subaris & Haryono (2011) :
1) Sumber kebisingan statis : pabrik, mesin, tape, dan lainnya.
15
2) Sumber kebisingan dinamis : mobil, pesawat terbang, kapal laut
dan lainnya.
Sedangkan sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara
yang dikeluarkannya ada dua, yaitu (Men. KLH 1989 dalam Subaris
& Haryono 2011) :
1) Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran.
Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak
bergerak.
2) Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya
kebisingan yang timbul karena kendaraan- kendaraan yang
bergerak di jalan.
d. Pengaruh Kebisingan
Pada umumnya kebisingan mempunyai pengaruh terhadap tenaga
kerja, mulai gangguan ringan berupa gangguan terhadap konsentrasi
kerja, pengaruh dalam komunikasi dan kenikmatan kerja sampai pada
cacat yang berat karena kehilangan daya pendengaran.Berikut
beberapa efek atau gangguan yang diakibatkan dari kebisingan
menurut Anizar, (2009):
1) Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan
menurunnya kuantitas dan kualitas kerja. Hal ini pernah
dibuktikan pada sebuah perusahaan film di mana penurunan
intensitas kebisingan berhasil mengurangi jumlah film yang rusak,
sehingga dapat menghemat bahan baku.
2) Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda- beda untuk tiap
orang. Untuk beberapa orang yang rentan, kebisingan dapat
menyebabkan rasa pusing, kantuk, sakit, tekanan darah tinggi,
tegang dan stress yang diikuti dengan sakit maag, kesulitan tidur.
Gangguan konsentrasi dan kehilangan semangat kerja.
3) Gangguan terhadap komunikasi akan mengganggu kerjasama
antara pekerja dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian
16
yang secara tidak langsung menurunkan kuantitas dan kualitas
kerja.
4) Penurunan daya dengar adalah akibat yang paling serius dan dapat
menimbulkan ketulian total, sehingga seseorang sama sekali tidak
dapat lagi mendengar pembicaraan orang lain.
Kebisingan dapat menyebabkan rusaknya indera pendengaran.
Kerusakan atau gangguan sistem pendengaran akibat bising menurut
Hani dan Riwidikdo (2009) adalah:
1) Hilang pendengaran sementara/temporer, dapat pulih kembali
apabila bising tersebut dapat dihindarkan
2) Orang menjadi kebal terhadap bising
3) Telinga berdengung
4) Hilang pendengaran/tuli permanen dan tidak pulih kembali,
biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz kemudian semakin
hebat dan meluas pada frekuensi sekitarnya hingga mengenai
frekuensi percakapan.
Sedangkan menurut Soeripto (2008) pengaruh kebisingan dapat
menyebabkan berbagai pengaruh terhadap tenaga kerja seperti:
pengaruh
fisiologis,
pengaruh
psikologis
berupa
gangguan
(mengganggu atau annoying), pengaruh pada komunikasi dan
pengaruh yang paling serius adalah gangguan terjadinya ketulian.
e. Nilai Ambang Batas Intensitas Kebisingan
Besarnya ketulian tergantung pada tingginya atau tingkat intensitas
suara. Dengan demikian untuk menyelamatkan pendengaran tenaga
kerja perlu diupayakan agar tingkat intensitas suara yang timbul
sebagai akibat penerapan teknologi proses produksi tidak terlalu tinggi
(di bawah NAB), sehingga tenaga kerja masih aman dalam
melaksanakan pekerjaanya meskipun tidak memakai alat pelindung
(Soeripto, 2008).
Untuk tujuan perlindungan terhadap pendengaran tenaga kerja,
maka sangat diperlukan adanya suatu standar intensitas kebisingan di
17
tempat kerja. Oleh karena itu, berdasarkan peraturan menteri tenaga
kerja dan transmigrasi nomor PER.13/Men/X/2011 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja maka nilai
ambang batas kebisingan sebagai berikut:
Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu pemaparan per hari
8
Jam
4
2
1
Intensitas kebisingan dalam dBA
85
88
91
94
30
15
7,5
3,75
1,88
0,94
Menit
97
100
103
106
109
112
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11
Detik
115
118
121
124
127
130
133
136
139
Catatan:
Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat.
Sumber: Permenaker No.13/Men/X/2011.
3. Intensitas Pencahayaan
a. Pengertian Intensitas Pencahayaan
Intensitas pencahayaan adalah banyaknya cahaya yang tiba pada
satu luas permukaan (Ahmadi, 2009).
b. Sumber Pencahayaan
Pencahayaan berdasar sumbernya dibagi menjadi tiga (Padmanaba,
2006) :
1) Pencahayaan alami yaitu pencahayaan yang berasal dari cahaya
matahari.
2) Pencahayaan buatan yaitu pencahayaan yang berasal dari lampu.
18
3) Pencahayaan alami dan buatan yaitu penggabungan antara
pencahayaan alami dari sinar matahari dengan lampu atau
pencahayaan buatan.
Menurut Ching (1996), ada tiga metode pencahayaan, yaitu
pencahayaan umum, pencahayaan lokal dan pencahayaan cahaya
aksen.
1) Pencahayaan umum atau baur menerangi ruangan secara merata
dan umumnya terasa baur.
2) Pencahayaan lokal atau pencahayaan untuk kegunaan khusus,
menerangi sebagian ruang dengan sumber cahaya biasanya
dipasang dekat dengan permukaan yang diterangi.
3) Pencahayaan aksen adalah bentuk dari pencahayaan lokal yang
berfungsi menyinari suatu tempat atau aktivitas tertentu atau
obyek seni atau koleksi berharga lainnya.
Menurut Suma’mur (2009) ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam pencahayaan buatan antara lain:
1) Pembagian lumensi dalam lapangan penglihatan
Lapangan penglihatan yang baik adalah dengan kekuatan
terbesar ditengah pada daerah kerja yang dilakukan. Perbandingan
terbaik antara lumensi pusat, daerah sekitar pusat dan lingkungan
sekitarnya adalah 10:3:1. Kondisi pencahayaan dinyatakan baik
atau tidak bila memenuhi syarat jika perbedaan lumensi melebihi
perbandingan 40:1 baik di lapangan penglihatan pekerjaan
maupun terhadap lingkungan luar.
2) Kesilauan
Terjadi bila perbedaan penyebaran luminensi melebihi
perbandingan 40:1, namun pada umumnya terjadi karena
keterbatasan kemampuan penglihatan.
Kepekaan retina seluruhnya menyesuaikan dengan luminensi
rata-rata sehingga pada lapangan penglihatan dengan luminensi
19
berbeda, retina terlalu peka untuk luminensi yang tinggi, tetapi
sangat kurang peka untuk daerah yang samar-samar.
3) Arah Cahaya
Sumber cahaya yang cukup jumlahnya sangat berguna dalam
mengatur pencahayaan yang baik. Cahaya dari berbagai arah
dapat meniadakan gangguan oleh bayangan.
4) Warna Cahaya
Warna cahaya dan komposisi spektrumnya sangat penting
dalam membandingkan dan mengkombinasikan warna-warna
dalam lingkungan kerja atau tempat kerja sebagai akibat
pencahayaan yang menentukan rupa dari lingkungan.
Dengan adanya kombinasi tata warna dan dekorasi yang serasi
maka akan menimbulkan suasana kerja yang nyaman sehingga
kegairahan kerja akan meningkat.
5) Panas akibat sumber cahaya.
Baik sumber pencahayaan alam maupun pencahayaan buatan
dapat menimbulkan suhu udara di tempat kerja. Pertambahan
suhu yang berlebihan dapat mengakibatkan ketidaknyamanan
bekerja dan akan merupakan beban tambahan.
Pencahayaan di tempat kerja ditentukan oleh sifat cahaya yaitu
kuantitas dan kualitas cahaya yang jatuh pada suatu permukaan
(Siswanto, 1993) :
1) Kuantitas Cahaya
Intensitas cahaya yang dibutuhkan tergantung dari tingkat
ketelitian yang dibutuhkan, bagian yang akan diamati, warna dari
obyek atau benda yang diamati dan kemampuan dari obyek
tersebut untuk memantulkan cahaya yang jatuh padanya.
Untuk melihat suatu benda yang berwarna gelap dan kontras
antara obyek dan sekitarnya buruk diperlukan intensitas yang
tinggi (beberapa ribu Lux) sedangkan untuk obyek atau benda
20
yang cerah dan kontras antara obyek tersebut dengan sekitarnya
cukup baik maka hanya diperlukan beberapa ratus Lux.
2) Kualitas Cahaya
Kualitas ditentukan oleh ada tidaknya kesilauan di tempat kerja
baik kesilauan langsung maupun karena pantulan cahaya dari
permukaan yang mengkilat dan bayangan, demikian pula dekorasi
tempat kerja khususnya mengenai warna-warna dari dinding,
langit-langit, peralatan kerja. Kesilauan adalah setiap brightness
(perbedaan derajat terang) yang berada dalam lapangan
penglihatan yang menyebabkan rasa ketidak nyamanan, gangguan
kelelahan mata dan penglihatan.
c. Sifat Pekerjaan
Kebutuhan intensitas pencahayaan tergantung dari jenis pekerjaan
yang dilakukan. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian sulit
dilakukan bila keadaan cahaya dalam tempat kerja tidak memadai.
Selain intensitas pencahayaan, untuk pekerjaan yang membutuhkan
ketelitian, ketajaman penglihatan dipengaruhi juga oleh faktor : usia,
ukuran dari obyek yang diamati, beban kerja, posisi pandang terhadap
obyek yang diamati (Siswanto, 1993). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 3:
Tabel 3. Pedoman Intensitas Pencahayaan
Pekerjaan
Contoh-contoh
Tingkat Pencahayaan yang
Dibutuhkan (Lux)
Tidak teliti
Penimbunan barang
80 – 170
Agak teliti
Pemasangan (tak teliti)
170 – 350
Teliti
Membaca, menggambar
350 – 700
Sangat teliti
Pemasangan (Teliti)
700 – 1000
Sumber : Ergonomi dan Produktivitas Kerja (Suma’mur, 1996)
d. Hubungan Pencahayaan Dengan Pekerjaan
Pencahayaan merupakan suatu aspek lingkungan fisik yang penting
bagi lingkungan kerja. Menurut Soewarno (1992), menyebutkan
21
bahwa pencahayaan sangat diperlukan untuk kesejahteraan dan
keselamatan ditempat kerja. Kita lihat di negara yang sudah maju
penyelidikan mengenai pengaruh pencahayaan di tempat kerja sudah
banyak dilakukan, oleh karena itu disadari adanya pengaruh negatif
dari pencahayaan yang tidak memenuhi persyaratan. Tenaga kerja
akan mengeluarkan tenaga yang lebih besar bila penglihatan dalam
bekerja menjadi lebih sukar dan sebaliknya beban kerja yang menjadi
lebih ringan bila pencahayaan ditempat kerja ditambah. Dikatakan
bahwa tempat kerja dengan tingkat pencahayaan yang baik, tenaga
kerja akan melakukan pekerjaan dengan tingkat yang opimal dan
efisien.
Begitu pula dengan kebutuhan pencahayaan untuk tempat kerja
tergantung pada jenis pekerjaan tertentu. Untuk pekerjaan yang
memerlukan ketelitian, maka dibutuhkan intensitas pencahayaan yang
lebih tinggi dari pada pekerjaan yang kurang teliti.
4. Kelelahan Kerja
a. Pengertian Kelelahan Kerja
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh
terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan
setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak.Istilah
kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari
setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi
dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka, 2011).
Kelelahan merupakan akibat dari kebanyakan tugas pekerjaan yang
sama. Pada pekerjaan yang berulang, tanda pertama kelelahan
merupakan peningkatan dalam rata-rata panjang waktu yang diambil
untuk menyelesaikan suatu siklus aktivitas. Waktu pendistribusian
yang
hati-hati
sering
menunjukkan
kelambatan
performansi
sebagaimana yang tampak dalam pendistribusian proporsi yang lebih
besar dari siklus lambat yang tidak normal (Nurmianto, 2003).
22
Istilah kelelahan biasanya menunjukkan keadaan berbeda-beda dari
setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi
dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan
diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu kelelahan otot dan kelelahan
umum. Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada otot atau
perasaan nyeri pada otot. Sedang kelelahan umum biasanya ditandai
dengan berkurangnya kemauan bekerja yang disebabkan oleh karena
monotoni, intensitas dan lama kerja fisik, keadaan lingkungan, sebabsebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi (Tarwaka, 2011).
Sampai saat ini masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot yaitu
teori kimia dan teori syaraf pusat terjadinya kelelahan. Pada teori
kimia secara umum menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah
akibat berkurangmya cadangan energi dan meningkatkan sisa
metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot, sedangkan
perubahan arus listrik pada otot dan syaraf adalah penyebab sekunder.
Sedangkan pada teori syaraf pusat menjelaskan bahwa perubahan
kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang
terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui
syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot.
Rangsangan
aferen ini
menghambat pusat-pusat otak dalam
mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel
syaraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan
menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas
perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat
gerakan seseorang akan menunjukkan semakin lelah kondisi otot
seseorang (Tarwaka, 2011).
Menurut Maurits dalam Tarwaka (2011), kelelahan kerja adalah
kondisi pada pekerja yang merasa lelah secara fisik atau psikis, kurang
menguntungkan individu pekerja, perusahaan maupun masyarakat
mengingat adanya gangguan konsentrasi dan atau gangguan kesiagaan
bekerja.
23
b. Klasifikasi Kelelahan
Menurut
Grandjean
dalam
Tarwaka
(2011)
kelelahan
diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :
1) Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada otot atau perasaan
nyeri pada otot.
2) Kelelahan umum, biasanya ditandai dengan berkurangnya
kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni,
intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebabsebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.
Menurut Grandjean dan Kogi dalam Setyawati (2011), berdasarkan
waktu terjadinya kelelahan dibagi menjadi dua macam:
1) Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau
seluruh tubuh secara berlebihan.
2) Kelelahan kronis, terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari
dan berkepanjangan.
Menurut Singleton dalam Setyawati (2011) terdapat dua macam
kelelahan, yaitu :
1) Kelelahan fisiologis, disebabkan oleh faktor fisik di tempat kerja
antara lain oleh suhu dan kebisingan.
2) Kelelahan psikologis, merupakan kelelahan yang disebabkan oleh
faktor psikologis.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelelahan sebagai
berikut:
1) Faktor Internal
a) Umur
Pada umur muda proses-proses di dalam tubuh sangat
besar dan kemudian menurun lambat-lambat menurut umur.
Proses menjadi tua disertai kurangnya kemampuan kerja oleh
karena perubahan-perubahan pada alat-alat tubuh, sistem
kardiovaskular, hormonal (Suma’mur, 2014).
24
Menurut Chaffin dan Guo et al dalam Tarwaka (2011)
pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada
umur kerja yaitu 25-65 tahun.
Menurut Wignosoebroto (2008) kepastian energi yang
mampu dihasilkan oleh seseorang juga akan dipengaruhi oleh
faktor umur. Kapasitas maksimum seorang pekerja adalah
pada umur 20-30 tahun yaitu 100%. Di mana dengan
meningkatnya umur, kemampuan tersebut juga akan menurun
dengan persentase sebagai berikut :
Tabel 4. Persentase Kemampuan Berdasarkan Umur
Umur (Tahun)
20-30
40
50
60
65
Persentase Kemampuan (%)
100
96
90
80
75
Sumber : Wignosoebroto (2008)
b) Jenis Kelamin
Pria dan wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya,
kekuatan kerja ototnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat
melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot dari wanita relatif
kurang jika dibandingkan pria. Kemudian pada saat wanita
sedang haid yang tidak normal (dysmenorrhoea), maka akan
dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah (Suma’mur,
2014).
c) Riwayat Penyakit
Status kesehatan dapat mempengaruhi kelelahan kerja
yang dapat dilihat dari riwayat penyakit yang diderita.
Beberapa penyakit yang mempengaruhi kelelahan kerja
antara lain :
(1)
Asma ditandai dengan kontraksi spastik otot polos
bronkiolus, yang menyumbat bronkiolus secara parsial
25
dan menyebabkan kesukaran bernafas yang hebat
(Guyton dan Hall, 2007).
(2)
Penyakit jantung yaitu kekurangan oksigen jika terus
menerus, maka terjadi akumulasi yang selanjutnya
terjadi
metabolisme
anaerobik
dimana
akan
menghasilkan asam laktat yang mempercepat kelelahan
(Santoso, 2004).
(3)
Penyakit
tekanan
darah
tinggi,
bila
seseorang
melakukan aktivitas, exited atau sedang stress, tekanan
darahnya akan meningkat (Soeharto, 2004).
(4)
Penyakit tekanan darah rendah, dengan berkurangnya
jumlah suplai darah yang dipompa dari jantung,
berakibat berkurang pula jumlah oksigen sehingga
terbentuklah asam laktat. Asam laktat merupakan
indikasi adanya kelelahan (Nurmianto, 2003).
(5)
Penyakit ginjal, yaitu pengaruh bekerja terhadap faal
ginjal terutama berkaitan dengan pekerjaan yang
memerlukan pengerahan tenaga dan yang dilakukan
dalam cuaca kerja panas. Kedua-duanya mengurangi
peredaran darah kepada ginjal dengan akibat timbulnya
gangguan penyediaan zat-zat yang diperlukan oleh
ginjal (Suma’mur, 2014).
d) Masa Kerja
Masa kerja adalah jangka waktu seseorang bekerja pada
suatu organisasi, lembaga dan sebagainya. Masa kerja
seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja
merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan para
pekerja dalam melaksanakan aktivitas kerjanya (Siagian,
1995).
Semakin lama masa kerja seseorang maka semakin tinggi
juga tingkat kelelahan, karena semakin lama bekerja
26
menimbulkan perasaan jenuh akibat kerja monoton akan
berpengaruh terhadap tingkat kelelahan yang dialami
(Setyawati, 2011).
e) Status Gizi
Menurut Astanti dalam Budiono (2003), keadaan gizi yang
baik merupakan salah satu ciri kesehatan yang baik, sehingga
tenaga kerja yang produktif terwujud.Status gizi merupakan
salah satu penyebab kelelahan. Seorang tenaga kerja dengan
keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan
ketahanan tubuh yang lebih baik, begitu juga sebaliknya.
Pada keadaan gizi buruk, dengan beban kerja berat akan
mengganggu kerja dan menurunkan efisiensi dan ketahanan
tubuh
sehingga
mudah
terjangkit
penyakit
sehingga
mempercepat timbulnya kelelahan.
Kesehatan dan daya kerja sangat erat kaitannya dengan
tingkat gizi seseorang. Tubuh memerlukan zat-zat dari
makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan kerusakan sel
dan jaringan. Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk
bekerja dan meningkat sepadan dengan lebih beratnya
pekerjaan (Suma’mur, 2014).
Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan
menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus
(Depkes RI, 2003):
IMT=
Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan m x Tinggi Badan m
Tabel 5. Batas Ambang IMT Indonesia
Jenis
Kelamin
Kategori IMT ( Kg/m)
Kurus
Kegemukan
Normal
Tingkat Ringan
Pria
<18 kg/m2
18-25 kg/m2
>25-27 kg/m2
2
2
2
Wanita
<17 kg/m
17-23 kg/m
Sumber : Depkes RI, 2003
>23-27 kg/m
Tingkat Berat
>27 kg/m2
27
2) Faktor Eksternal
a) Beban Kerja
Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri
dalam hal kapasitas menanggung beban kerjanya. Mungkin di
antara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental atau
sosial. Namun demikian, terdapat kesamaan yang berlaku
umum yaitu mereka memiliki keterbatasan hanya mampu
untuk memikul beban sampai suatu tingkat tertentu. Selain
dari batas maksimal beban, bagi masing-masing tenaga kerja
terdapat pembebanan kerja yang paling optimal bagi tenaga
kerja yang bersangkutan. Prinsip ini sebenarnya yang
mendasari maksud penempatan seorang tenaga kerja yang
tepat pada pekerjaan yang tepat pula. Derajat tepat suatu
penempatan meliputi kecocokan pengalaman, pengetahuan,
keahlian, keterampilan, motivasi, sikap kerja dan lain-lain
sebagainya (Suma’mur, 2014).
Semakin meningkatnya beban kerja, maka konsumsi
oksigen akan meningkat secara proporsional sampai didapat
kondisi maksimumnya. Beban kerja yang lebih tinggi yang
tidak dapat dilaksanakan dalam kondisi aerobik, disebabkan
oleh kandungan oksigen yang tidak mencukupi untuk suatu
proses aerobik. Akibatnya adalah manifestasi rasa lelah yang
ditandai dengan meningkatnya kandungan asam laktat
(Nurmianto, 2003). Salah satu pendekatan untuk mengetahui
berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi
kerja, konsumsi oksigen, kapasitas vital paru, dan suhu inti
tubuh. Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada
metabolisme, respirasi, suhu tubuh, dan denyut jantung.
28
Tabel 6. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme,
Respirasi, Suhu Tubuh dan Denyut Jantung
Kategori
Konsumsi
Ventilasi
Suhu
Denyut
Beban Kerja
Oksigen
paru (l/min)
Rektal
Jantung
(l/min)
(0C)
(denyut/min)
1. Ringan
0,5-1,0
11-20
37,5
75-100
2. Sedang
1,0-1,5
20-31
37,5-38,0
100-125
3. Berat
1,5-2,0
31-43
38,0-38,5
125-150
4. Sangat berat 2,0-2,5
43-56
38,5-39,0
150-175
5. Sangat berat 2,5-4,0
60-100
>39
>175
sekali
Sumber : Tarwaka, (2004)
Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu
metode untuk menilai cardiovascular strain. Salah satu
peralatan yang dapat digunakan untuk menghitung denyut
nadi adalah telemetri dengan menggunakan rangsangan
Electro Cardio Graph (ECG). Apabila peralatan tidak
tersedia, maka dapat dicatat secara manual memakai
stopwatch dengan metode 10 denyut. Dengan metode
tersebut dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut :
10 Denyut
Denyut Nadi (Denyut/Menit) = Waktu Perhitungan x 60
Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya
beban kerja mempunyai beberapa keuntungan. Selain mudah,
cepat, sangkil dan murah juga tidak diperlukan peralatan
yang mahal serta hasilnya cukup reliabel (Tarwaka, 2004).
b) Pencahayaan
Pencahayaan yang baik memungkinkan tenaga kerja
melihat obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa
upaya yang tidak diperlukan. Lebih dari itu, pencahayaan
yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih
baik
dan
keaadaan
lingkungan
yang
menyegarkan
(Suma’mur, 2014).
Menurut Budiono (2003) pencahayaan yang buruk dapat
mengakibatkan seperti kelelahan mata dengan berkurangnya
29
daya dan efisiensi kerja, keluhan-keluhan pegal di daerah
mata dan sakit kepala sekitar mata, kerusakan indera mata,
kelelahan mental dan menimbulkan terjadinya kecelakaan.
c) Kebisingan
Menurut Budiono (2003), kebisingan merupakan suara
yang tidak diinginkan. Penelitian yang dilakukan di dalam
dan di luar negeri menunjukkan bahwa pada frekuensi 3006000 Hz, pengurangan pendengaran tersebut disebabkan oleh
kebisingan.
Pengurangan
pendengaran
diawali
dengan
pergeseran ambang dengar sementara. Pada saat ini terjadi
kelelahan yang akan pulih kembali secara lambat dan akan
semakin bertambah lambat lagi jika tingkat kelelahan
semakin tinggi.
d) Sikap Kerja
Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya
terhadap sarana kerja akan menentukan efisiensi, efektivitas
dan produktivitas kerja. Semua sikap tubuh yang tidak
alamiah dalam bekerja, misalnya sikap menjangkau barang
yang
melebihi
jangkauan
tangan
harus
dihindarkan.
Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang
yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap
duduk yang terlalu tinggi sedikit banyak akan berpengaruh
terhadap hasil kerjanya. Hal ini akan menyebabkan kelelahan
(Budiono, 2003). Bekerja dalam kondisi yang tidak alamiah
dapat menimbulkan berbagai masalah seperti nyeri, kelelahan
dan bahkan kecelakaan (Santoso, 2004).
d. Parameter Kelelahan Kerja
Menurut Grandjean (1995) masih dikemukakan bahwa sampai saat
itu belum terdapat suatu cara pengukuran kelelahan fisiologis dan
ataupun psikologis yang dapat dipakai secara sempurna dalam setiap
macam industri. Hampir semua ahli ergonomi mengakui kebenaran
30
pendapat Grandjean. Parameter-parameter yang pernah diungkapkan
beberapa peneliti untuk mengukur kelelahan kerja ada bermacammacam antara lain :
1) Pengukuran Waktu Reaksi
Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian
rangsang tunggal sampai timbulnya respon terhadap rangsang
tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi sederhana atas
rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi
(Suma’mur, 2014).
Sutarman (1972), Burke (1980) dan Bailey (1982) dalam
Setyawati (2011) mengutarakan bahwa pada keadaan kelelahan
terjadi perubahan waktu reaksi, waktu reaksi lebih lama atau
memanjang.
Pengukuran waktu reaksi untuk penelitian ilmiah dengan
masing-masing rangsang dilakukan
20
kali
berturut-turut
sehingga diperoleh 20 angka waktu reaksi yaitu angka ke-1
sampai dengan ke-20. Untuk penghitungannya lima angka di
depan, angka ke-1 sampai dengan ke-5 dan lima angka di
belakang yaitu angka ke-16 sampai dengan ke-20 diabaikan.
Angka ke-6 sampai dengan ke-15 di perhitungkan dan dirata-rata
untuk memperoleh angka waktu reaksi saat itu (Setyawati, 2011).
Menurut Setyawati (2011), kelelahan dapat diklasifikasikan
berdasarkan rentang atau range waktu reaksi sebagai berikut :
1) Normal : waktu reaksi 150,0 s/d ≤ 240,0 milidetik.
2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi > 240,0 s/d <
410,0 milidetik.
3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi ≥ 410,0 s/d <
580,0 milidetik.
4) Kelelahan Kerja Berat (KKB) : waktu reaksi ≥ 580,0
milidetik.
31
2) Uji Finger-tapping (Uji Ketuk Jari)
Uji Finger-tapping adalah mengukur kecepatan maksimal
mengetukkan jari tangan dalam suatu waktu periode tertentu.
(Grandjean, 1995) dalam Setyawati (2011).
3) Uji Flicker-Fusion
Uji Flicker- Fusion adalah pengukuran terhadap kecepatan
berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan
sampai kecepatan tertentu sehingga cahaya tampak berbaur
sebagai cahaya yang kontinyu. Uji ini digunakan untuk menilai
kelelahan mata saja (Grandjean, 1995) dalam Setyawati (2011).
4) Uji Critical Flicker-Fusion
Uji Critical Flicker-Fusion adalah modifikasi uji FlickerFusion.Uji Critical-Fusion ini dipergunakan untuk pengujian
kelelahan mata yang berat, dan dengan mempergunakan Flicker
Tester (Grandjean, 1995) dalam Setyawati (2011).
5) Uji Bourdon Wiersma
Uji Bourdan Wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan
bereaksi dan ketelitian yang digunakan untuk menguji kelelahan
pada pengemudi (Manuaba dan Nala, 1971) dalam Setyawati
(2011).
6) Pemeriksaan Tremor pada Tangan
Cara ini tidak dapat dipakai untuk mengukur kelelahan pada
tiap orang maupun pada tiap pekerjaan karena adanya tremor pada
tangan dapat terjadi tidak saja pada kelelahan tetapi juga dapat
terjadi sebagai bagian dari penyakit tertentu (Sutarman, 1972)
dalam Setyawati (2011).
7) Metode Blink
Metode Blink adalah pengujian untuk kelelahan tubuh secara
keseluruhan dengan melihat objek yang bergerak dengan mata
yang terkejap secara cepat dan berulang-ulang (Fukui dan
Marioka, 1971) dalam Setyawati (2011).
32
8) Stroop Test
Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warnawarna tinta sesuai seri huruf atau kata-kata. Keterangan ini
diperjelas lagi oleh kenyataan belum terdapat alat ukur bagi
kelelahan yang reliabel, sehingga diperlukan pengembangan yang
lebih lanjut (Sharpe, 1991) dalam Setyawati (2011).
9) Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2)
KAUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator
perasaan kelelahan kerja yang didesain khusus bagi pekerja
Indonesia. KAUPK2 ada tiga macam, yaitu KAUPK2 I,
KAUPK2 II, KAUPK2 III yang masing-masing terdiri atas 17
butir pertanyaan (Setyawati, 2011).
10) Skala Kelelahan Industrial Fatique Research Committee (IFRC)
Skala IFRC yang di desain untuk pekerja dengan budaya
Jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga puluh
macam perasaan kelelahan. (Kashiwagi, 1971) dalam Setyawati
(2011).
11) Ekskresi Katekolamin
Pada kasus kelelahan ekskresi katekolamin tidak selalu
meningkat. Pada pekerja
beberapa macam pekerjaan yang
mengalami kelelahan kerja tidak tejadi peningkatan ekskresi
katekolamin (Johanson, 1978 dan Frankenhaeuser et al., 1983)
dalam Setyawati (2011).
e. Gejala Kelelahan Kerja
Menurut Budiono (2003) gambaran mengenai gejala kelelahan
(fatigue symptoms) secara subyektif dan obyektif antara lain perasaan
lesu,
ngantuk
dan
pusing,
kurang
mampu
berkonsentrasi,
berkurangnya tingkat kewaspadaan, persepsi yang buruk dan lambat,
berkurangnya gairah untuk bekerja dan menurunnya kinerja jasmani
dan rohani.
33
Menurut Grandjean dalam Setyawati (2011) mengemukakan bahwa
gejala kelelahan kerja ada dua macam yaitu gejala subjektif dan gejala
obyektif. Gejala kelelahan yang penting antara lain adalah adanya
perasaan kelelahan, tidak bergairah bekerja, sulit berpikir, penurunan
kesiagaan, penurunan persepsi dan penurunan kecepatan bereaksi
bekerja.
f. Akibat Kelelahan Kerja
Menurut Setyawati (2011) kelelahan kerja dapat menimbulkan
beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis
motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak disamping
semangat kerja yang menurun. Perasaan kelelahan kerja cenderung
meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja, sehingga dapat merugikan
diri pekerja sendiri maupun perusahaannya karena adanya penurunan
produktifitas kerja.
Menurut Tarwaka (2004), risiko terjadinya kelelahan seperti
motivasi kerja turun, performansi rendah, kualitas kerja rendah,
banyak terjadi kesalahan, stress akibat kerja, penyakit akibat kerja,
cidera dan terjadi kecelakaan akibat kerja.
g. Pencegahan Kelelahan Kerja
Program penanggulangan kelelahan kerja menurut Setyawati
(2011) yaitu:
1) Promosi kesehatan kerja berisi tentang undang-undang dan
peraturan ketenagakerjaan, pernyataan-pernyataan International
Labour Organization dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan
ketenagakerjaan.
2) Pencegahan kelelahan kerja, terutama ditujukan kepada upaya
menekan faktor-faktor yang berpengaruh secara negatif pada
kelelahan kerja dan meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh
secara positif.
3) Pengobatan kelelahan kerja, mengingat keadaan kelelahan kerja
merupakan keadaan yang dapat mengganggu pekerja, perusahaan
34
dan pihak masyarakat maka pekerja dengan kelelahan kerja perlu
mendapat pengobatan sesuai dengan penyebabnya disamping
penanganan kehadiran faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh
terhadap kelelahan kerja.
4) Rehabilitasi kelelahan kerja adalah melanjutkan tindakan dan
program pengobatan kelelahan kerja serta mempersiapkan pekerja
tersebut bekerja secara lebih baik dan bersemangat.
5. Mekanisme Tekanan Panas, Tingkat Kebisingan dan Intensitas
Pencahayaan dalam Menimbulkan Kelelahan
Akibat suhu lingkungan tinggi, suhu tubuh akan meningkat (tubuh
mendapatkan pemanasan berlebih) sejumlah keringat disekresi ke
permukaan kulit oleh kelenjar keringat, keringat mengandung bermacammacam elektrolit terutama ion natrium dan klorida. Keluarnya ion natrium
dan
klorida
menyebabkan
penurunan
kekuatan.
Hal
ini
akan
menyebabkan kontraksi otot sehingga tubuh mengalami kelelahan.
Apabila tubuh mendapatkan pemanasan yang berlebihan maka suhu kulit
akan naik, terjadi hilangnya panas dalam tubuh secara konveksi dan
radiasi lalu terjadi pemindahan panas dari dalam ke pori-pori, kemudian
panas hilang oleh karena penguapan dan akan terjadi dilatasi pembuluh
darah yang menyebabkan keringat keluar dan tubuh akan kehilangan
garam, cairan serta penurunan kemampuan berkeringat yang akhirnya
dapat menyebabkan kelelahan oleh karena panas (Suma’mur, 2014).
Mekanisme dasar terjadinya gangguan pendengaran akibat bising
merupakan kombinasi dari faktor mekanis dan metabolik yakni adanya
paparan bising kronis yang merusak sel rambut koklea dan perubahan
metabolik yang menyebabkan hipoksia akibat vasokontriksi kapiler oleh
karena bising (Ferrite & Santana, 2005; Mizuo, Miyamoto & Shimizu,
2011). Selain itu, menurut Suma’mur (1996) kebisingan juga dapat
menurunkan kinerja otot yaitu berkurangnya kemampuan otot untuk
melakukan kontraksi dan relaksasi, berkurangnya kemampuan otot
tersebut menunjukkan terjadi kelelahan pada otot.
35
Kelelahan mata disebabkan oleh stress yang terjadi pada fungsi
penglihatan. Stress pada otot yang berfungsi untuk akomodasi dapat
terjadi pada saat seseorang berupaya untuk melihat pada obyek berukuran
kecil dan pada jarak yang dekat dalam waktu yang lama. Pada kondisi
demikian, otot-otot mata akan bekerja secara terus menerus dan lebih
dipaksakan. Ketegangan otot-otot pengakomodasi (korpus siliaris) makin
besar sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan sebagai akibatnya
terjadi kelelahan pada mata.
6. Hasil-hasil Penelitian dan Jurnal yang Berkaitan dengan Faktor Fisik
dan Kelelahan Kerja
Penelitian oleh Basarudin (2008) tentang “Hubungan Tekanan Panas
terhadap Kelelahan Kerja pada Pekerja Bagian Produksi di PT. Hok Tong
(Crumb Rubber) Kota Pontianak” yang menunjukkan kesimpulan ada
hubungan yang signifikan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja (p
= 0.001) dengan kekuatan korelasi sedang (r = 0.555) melalui analisa data
menggunakan uji Rank Spearman's Correlation dengan  = 0.05.
Penelitian oleh Sriwahyudi (2014) tentang “Hubungan Kebisingan
dengan Keluhan Kesehatan Non Pendengaran pada Pekerja Instalasi
Laundry Rumah Sakit Kota Makasar” yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan keluhan non
pendengaran (p = 0.024 atau  < 0.05) dengan kekuatan korelasi rendah (r
= 0.308) melalui analisis menggunakan uji korelasi Spearman dengan  =
0.05.
Jurnal internasional tentang “Studi Kasus Penilaian Tekanan Panas
pada Tenaga Kerja di Industri Baja” oleh Parameswarappa et al (2014)
yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara tekanan panas
dengan kenaikan suhu tubuh (p = 0.000 atau  < 0.01) dengan kekuatan
korelasi sedang (r = 0.550).
Penelitian oleh Endah (2004) tentang “Hubungan Antara Kebisingan
dan Tekanan Panas dengan Kelelahan pada Operator di Bagian Injeksi
PT. Arisa Mandiri Pratama” yang menyatakan bahwa terdapat kekuatan
36
hubungan antara kebisingan dengan kelelahan dalam kategori sedang (r =
0.408) dan hubungan tekanan panas dengan kelelahan dalam kategori
rendah (r = 0.398).
Jurnal internasional tentang “Kebisingan Industri dan Dampak pada
Pekerja” oleh Atmaca et al. (2005), menyatakan bahwa 73.83% tenaga
kerja terganggu oleh kebisingan dari tempat mereka bekerja, 60.96%
tenaga kerja mengalami kecemasan karena faktor kebisingan, 30.96%
tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran dikarenakan tidak
menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja dan 85.94% tenaga
kerja tidak mendapatkan pemeriksaan pendengaran secara berkala.
Jurnal
internasional
tentang
“Gangguan
Pendengaran
yang
Ditimbulkan oleh Kebisingan Tempat Kerja” oleh Kurmis (2007)
menyatakan bahwa 97% tenaga kerja yang mengalami gangguan fungsi
pendengaran adalah tenaga kerja laki-laki.
Penelitian oleh Riski (2006) tentang ”Hubungan Antara Intensitas
Pencahayaan dan Suhu Udara dengan Kelelahan Mata Karyawan pada
Bagian Administrasi di PT. Hutama Karya Wilayah IV Semarang” yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas
pencahayaan dengan kelelahan mata (p = 0.011) dengan kekuatan korelasi
rendah (r = 0.351) dan suhu udara dengan kelelahan mata (p = 0.024)
dengan kekuatan korelasi rendah (r = 0.315) berdasarkan uji statistik
menggunakan Chi Square dengan  = 0.05.
Penelitian oleh Natalia (2010) tentang ”Hubungan Intensitas
Pencahayaan dengan Keluhan Kelelahan Otot Mata pada Karyawan Back
Office Lantai 5 di Siloam Hospitals Kebon Jeruk Jakarta Barat” yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas
pencahayaan dengan keluhan kelelahan otot mata dengan kekuatan
korelasi Pearson Product Moment dalam kategori sedang (r = 0.490).
Jurnal internasional tentang “Survei tentang Pelatihan Pertolongan dan
Efek Pencahayaan Terhadap Kelelahan Mata” oleh Zahra et al (2014),
pada 200 orang sampel menggunakan pendekatan cross-sectional. Dari
37
hasil analisis dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur
dengan penggunaan video proyektor dengan nilai p = 0.123 ( >0.05) dan
umur dengan penggunaan papan tulis dengan nilai p = 0.207 ( >0.05).
Hasil lain yang diperoleh adalah ada hubungan yang bermakna antara
kebiasaan menggunakan kacamata dengan kelelahan mata yang
disebabkan karena penggunaan video proyektor dengan nilai p = 0.024 (
<0.05) dan kebiasaan menggunakan kacamata dengan kelelahan mata
yang disebabkan karena penggunaan papan tulis dengan nilai p = 0.002 (
<0.05).
38
B. Kerangka Berpikir
Faktor Lingkungan Fisika
Intensitas Penerangan
Tekanan Panas
Kebisingan
Objek Kerja
Reseptor Rangsang Panas pada
Kulit
Sistem Indera Pendengaran
Indera Penglihatan
Mekanisme Kelenjar Keringat
Gangguan Syaraf Otonom
Metabolisme Meningkat
Rangsangan pada Sistem
Syaraf
Kerja Otot Terganggu
Faktor Eksternal:
1.Sikap Kerja
2.Beban Kerja
Faktor Internal:
Kelelahan Kerja
1.Umur
2.Jenis Kelamin
3.Riwayat Penyakit
4.Status Gizi
5.Masa Kerja
Gambar 1. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
1. Ada hubungan tekanan panas dengan kelelahan kerja pada pengrajin
genteng dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten
Karanganyar.
2. Ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja pada pengrajin genteng
dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten
Karanganyar.
39
3. Ada hubungan intensitas pencahayaan dengan kelelahan kerja pada
pengrajin genteng dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu
Kabupaten Karanganyar.
4. Ada persentase pengaruh yang kuat dari gabungan faktor lingkungan fisik
(tekanan panas, kebisingan dan intensitas pencahayaan) di tempat kerja
terhadap timbulnya kelelahan kerja pada pengrajin genteng dan batu bata
di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.
Download