BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tekanan Panas a. Pengertian Tekanan Panas Tekanan panas adalah beban iklim kerja yang diterima oleh tubuh manusia yang merupakan perpaduan dari suhu dan kelembaban udara, kecepatan aliran udara, suhu radiasi dengan panas yang dihasilkan oleh metabolisme tubuh (Siswanto, 2001), sedangkan menurut Suma’mur (2014) tekanan panas adalah kombinasi antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerak udara dan suhu radiasi, kombinasi keempat faktor itu dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.13/MEN/X/2011, Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja, pasal 1 ayat 5 berbunyi, iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja akibat pekerjaanya. Suhu udara dapat diukur dengan termometer dan disebut suhu kering. Suhu basah adalah suhu yang ditunjukkan suatu termometer yang dibasahi dan ditiupkan udara kepadanya dengan demikian suhu tersebut menunjukkan kelembaban relatif. Kecepatan udara yang besar dapat diukur dengan suatu anemometer sedangkan kecepatan kecil diukur dengan memakai termometer kata. Suhu radiasi adalah tenaga elektromagnetis yang panjang gelombangnya lebih panjang dari sinar matahari (Suma’mur, 2014). b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Panas Tubuh tenaga kerja dalam lingkungan kerja yang panas mempunyai daya tahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 6 7 1) Aklimatisasi Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologi yang ditandai oleh pengeluaran keringat yang meningkat, denyut jantung menurun dan suhu tubuh menurun. Proses adaptasi ini biasanya memerlukan waktu 7-10 hari. Aklimatisasi dapat pula menghilang ketika orang yang bersangkutan tidak masuk kerja selama seminggu berturut-turut (Santoso, 2004). 2) Umur Menurut Priatna (1990) pada orang berusia lanjut akan lebih sensitif terhadap cuaca panas bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda. Hal ini mungkin lebih disebabkan pada orang yang berusia lanjut kemampuan berkeringat lebih lambat dari orang yang berusia lebih muda dan kemampuan tubuh untuk mengembalikan suhu tubuh normal lebih lambat dari pada orang yang berusia lebih muda. Daya tahan badan terhadap panas akan menurun pada umur yang lebih tua. Orang yang lebih tua akan lamban keluar keringatnya dibandingkan dengan orang muda (Tarwaka, 2004). 3) Jenis Kelamin Terdapat perbedaan kecil dalam kapasitas antara laki-laki dan perempuan untuk berkeringat secara cukup, dalam iklim panas tidak dapat beraklimatisasi secara baik seperti laki-laki. Seorang wanita lebih tahan terhadap suhu dingin dari pada suhu panas. Hal tersebut disebabkan karena tubuh wanita mempunyai jaringan dengan daya konduksi yang lebih tinggi terhadap panas bila dibandingkan dengan laki-laki (Tarwaka, 2004). 4) Kesegaran Jasmani Bagi karyawan yang sudah beraklimatisasi akan lebih mudah bekerja dalam lingkungan panas, bila keadaan jasmaninya segar (Tarwaka, 2004). 8 5) Suku Bangsa Perbedaan aklimatisasi yang ada di antara kelompok suku kecil, mungkin di sini erat sekali hubungannya dengan perbedaan ukuran tubuh (Tarwaka, 2004). 6) Pengaturan Lama Kerja Untuk menghindari terjadinya gangguan kesehatan akibat terpapar suhu udara yang tinggi, lamanya kerja dan istirahat harus disesuaikan dengan tingkat tekanan panas yang dihadapi oleh pekerja (Depkes RI, 2003). c. Pertukaran Panas Tubuh dengan Lingkungan Sekitar Menurut Suma’mur (2014) tenaga kerja yang bekerja pada tempat yang panas, karena tubuhnya mendapat panas yang berlebihan maka tubuh akan banyak mengeluarkan keringat. Tubuh mempunyai tiga cara dalam menghadapi tekanan panas yaitu : 1) Menggigil, menyebabkan peningkatan laju metabolisme dan seterusnya menaikkan produksi panas tubuh dan merupakan jawaban tubuh terhadap dingin. 2) Berkeringat, merupakan jawaban tubuh terhadap tekanan panas, jumlah keringat akan meningkat seimbang dengan tekanan panas pada daerah tertentu sesuai suhu kulit. 3) Pengaturan peredaran darah, merupakan jawaban terhadap udara dingin dan panas. Bila udara dingin terjadi vasokontriksi pembuluh darah di permukaan atau vasodilatasi pembuluh darah di dalam jaringan sehingga panas akan terkumpul di permukaan. Terdapat empat macam cara pertukaran panas pada manusia : 1) Konduksi yaitu pertukaran panas antara tubuh dan benda-benda sekitarnya dengan melalui sentuhan atau kontak. 2) Konveksi yaitu pertukaran panas antara badan dengan lingkungan melalui kontak udara dengan tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi konveksi ini adalah perbedaan suhu kulit dan suhu sekitarnya serta kecepatan aliran udara. 9 3) Radiasi yaitu pertukaran panas dengan cara radiasi antara tubuh dan benda-benda sekitarnya yakni dengan cara menyerap atau memancarkan panas. 4) Evaporasi yaitu proses pengeluaran atau pelepasan panas oleh tubuh melalui penguapan dalam bentuk keringat. (Suma’mur, 2014). d. Cara Menetapkan Besarnya Tekanan Panas Menurut Suma’mur (2014), terdapat beberapa cara untuk menetapkan besarnya tekanan panas sebagai berikut : 1) Suhu Effektif, yaitu indeks sensoris dari tingkat panas yang dialami oleh seseorang tanpa baju dan kerja dalam berbagai kombinasi suhu kelembaban dan kecepatan aliran udara. 2) Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) yaitu rumus-rumus sebagai berikut : a) Pekerjaan dilakukan di bawah paparan sinar matahari (outdoor): ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,2 x suhu radiasi) + (0,1 x suhu kering) b) Pekerjaan dilakukan di dalam ruangan (indoor) : ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,3 x suhu radiasi) 3) Indeks kecepatan keringat selama 4 jam ( Predicated – 4 – hour sweetrate disingkat P4SR) yaitu banyaknya keringat keluar selama 4 jam, sebagai akibat kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan gerakan udara serta panas radiasi. 4) Indeks Belding-Hacth, mendasarkan indeknya atas perbandingan banyaknya keringat yang diperlukan untuk mengimbangi panas dan kapasitas maksimal tubuh untuk berkeringat. e. Nilai Ambang Batas dari Tekanan Panas Penilaian terhadap tingkat tekanan panas dan waktu terpapar yang diperkenankan dapat dilihat pada Tabel 1: 10 Tabel 1. Nilai Ambang Batas Tekanan Panas Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang Diperkenankan ISBB (0C) Pengaturan waktu kerja setiap jam Beban Kerja (%) Ringan Sedang Berat 75 - 100 31,0 28,0 50 - 75 31,0 29,0 27,5 25 - 50 32,0 30,0 29,0 0 - 25 32,2 31,1 30,5 Sumber : Permenakertrans Nomor PER.13/MEN/X/2011 tahun 2011. f. Pengaruh Tekanan Panas terhadap Manusia Pada saat tubuh kontak dengan lingkungan kerja panas dapat menyebabkan terjadinya dilatasi pembuluh darah perifer, sehingga keseimbangan peredaran darah akan terganggu, dengan terjadinya keringat yang berlebihan,volume plasma berkurang sehingga volume darah juga berkurang, akibatnya tekanan darah turun dan pasokan oksigen keotak berkurang dengan demikian orang akan kehilangan kesadarannya (Suwondo et al, 2008). Proses metabolisme dalam tubuh merupakan proses kimiawi dan proses ini terus berlangsung supaya kehidupan manusia dapat dipertahankan. Hasil dari metabolisme ini antara lain adalah energi dan panas. Panas yang dihasilkan inilah yang merupakan sumber utama panas tubuh manusia. Dengan demikian panas akan terus dibentuk walaupun dalam keadaan istirahat, selama proses metabolisme berlangsung (Depkes RI, 2003). Tekanan panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Pulat dalam Tarwaka (2004) bahwa reaksi fisiologis tubuh (heat strain) oleh karena peningkatan temperatur udara di luar comfort zone seperti vasodilatasi, denyut jantung meningkat, temperatur kulit meningkat dan suhu tubuh inti. Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan tekanan panas yang berlebihan dapat dijelaskan sebagai berikut: 11 1) Gangguan perilaku dan performansi kerja seperti terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian dan lain-lain. 2) Dehidrasi yaitu suatu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang disebabkan baik oleh penggantian cairan yang tidak cukup maupun karena gangguan kesehatan. 3) Heat rash (miliaria atau biang keringat) yaitu timbul vesicula yang berwarna kemerah-merahan pada kulit dan biasanya ditemukan pada punggung, dada dan leher. 4) Heat stroke karena pengaruh suhu panas yang sangat hebat, penderita kebanyakan adalah laki-laki yang pekerjaannya berat dan belum beraklimatisasi. Pertolongan pertama bagi penderita heat stroke yaitu dengan memberikan kompres atau selimut kain basah dan dingin untuk menurunkan suhu badan. 5) Heat cramps merupakan kejang-kejang otot tubuh (tangan dan kaki) akibat keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh yang kemungkinan besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium, disamping kejang-kejang tersebut juga dapat mengakibatkan pingsan, kelemahan, mual, dan muntah-muntah. 6) Heat exhaustion yaitu keadaan ini terjadi apabila tubuh kehilangan terlalu banyak cairan dan atau kehilangan garam. Gangguan ini biasanya banyak dialami oleh pekerja yang belum beraklimatisasi terhadap suhu udara panas (Tarwaka, 2004). g. Pengendalian Tekanan Panas Untuk mengendalikan pengaruh pemaparan tekanan panas terhadap tenaga kerja perlu dilakukan koreksi tempat kerja, sumbersumber panas lingkungan dan aktivitas kerja yang dilakukan. Koreksi tersebut dimaksudkan untuk menilai secara cermat faktor-faktor tekanan panas dan mengukur ISBB pada masing-masing pekerjaan sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian secara benar. Di samping itu, koreksi tersebut juga dimaksudkan untuk menilai 12 efektivitas dari sistem pengendalian yang telah dilakukan di masingmasing tempat kerja. Secara ringkas teknik pengendalian terhadap pemaparan tekanan panas di perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Mengurangi faktor beban kerja dengan mekanisasi. 2) Mengurangi beban panas radian dengan cara menurunkan temperatur udara dari proses kerja yang menghasilkan panas, relokasi proses kerja yang menghasilkan panas dan penggunaan tameng panas dan alat pelindung yang dapat memantulkan panas. 3) Mengurangi temperatur dan kelembaban, cara ini dapat dilakukan melalui ventilasi pengenceran (dilution ventilation) atau pendinginan secara mekanis (mechanical cooling) dan telah terbukti secara dramatis dapat menghemat biaya dan meningkatkan kenyamanan. 4) Meningkatkan pergerakan udara dengan mempercepat aliran udara dapat dilakukan dengan ventilasi umum dan spoot cooling dengan pemasangan blower mengarah ke tenaga kerja. Dengan mempercepat aliran udara di atas permukaan kulit berarti menaikan penguapan maksimal hingga indeks tekanan panas turun. 5) Pembatasan terhadap waktu pemaparan panas dengan cara melakukan pekerjaan pada tempat panas pada pagi dan sore hari, penyediaan tempat sejuk yang terpisah dengan proses kerja untuk pemulihan dan mengatur waktu kerja dan waktu istirahat secara tepat berdasarkan beban kerja dan nilai ISBB. Dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam setiap desain atau redesain sistem ventilasi adalah adanya sirkulasi udara pada tempat kerja yang baik, sehingga terjadi pergantian udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar secara terus menerus. Di samping itu faktor pakaian dan pemberian 13 minum harus juga dipertimbangkan dalam mengatasi masalah panas lingkungan (Tarwaka, 2004). 2. Kebisingan a. Pengertian Kebisingan Bising (noise) adalah bunyi yang di timbulkan oleh gelombang suara dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu.Di sektor industri, bising berarti bunyi yang sangat mengganggu dan menjengkelkan serta sangat membuang energi (Harrianto, 2008). Menurut Anizar (2009) kebisingan merupakan semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Kebisingan merupakan terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri, sehingga dalam jangka waktu yang panjang akan dapat mengganggu dan membahayakan konsentrasi kerja, merusak pendengaran (kesehatan) dan mengurangi efektifitas kerja (Wilson dalam Santoso, 2008). b. Jenis – jenis Kebisingan Jenis bising menurut Soeripto (2008) berdasarkan atas pengaruhnya bunyi terhadap manusia, bising dapat dibagi sebagai berikut: 1) Bising yang mengganggu (irritating noise), intensitasnya tidak keras (misalnya orang mendengkur). 2) Bising yang menutupi (masking noise) Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam kebisingan dari sumber lain. 3) Bising yang merusak (damaging/injurious noise) Bunyi yang intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB), bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran. 14 Menurut Suma’mur (2009) jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah: 1) Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa terputus – putus dengan spektrum frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin, dan dapur pijar. 2) Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady state, narrow band noise) misalnya bising gergaji sirkuler, dan katup gas. 3) Kebisingan terputus – putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas suara kapal terbang di bandara. 4) Kebisingan impulsif (impact or implusive noise) seperti bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam dan ledakan. 5) Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan. c. Sumber Kebisingan Menurut Dirjen PPM dan PL, DEPKES & KESSOS RI Tahun 2000 dalam Subaris dan Haryono (2011) : 1) Bising industri Industri besar termasuk di dalamnya pabrik, bengkel, dan sejenisnya.Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat di sekitar industri. 2) Bising rumah tangga Umumnya disebabkan oleh alat-alat rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat kebisingannya. 3) Bising spesifik Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya pemasangan tiang pancang tol atau bangunan. Bila sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi dua yaitu Wisnu 1996 dalam Subaris & Haryono (2011) : 1) Sumber kebisingan statis : pabrik, mesin, tape, dan lainnya. 15 2) Sumber kebisingan dinamis : mobil, pesawat terbang, kapal laut dan lainnya. Sedangkan sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara yang dikeluarkannya ada dua, yaitu (Men. KLH 1989 dalam Subaris & Haryono 2011) : 1) Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran. Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak bergerak. 2) Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya kebisingan yang timbul karena kendaraan- kendaraan yang bergerak di jalan. d. Pengaruh Kebisingan Pada umumnya kebisingan mempunyai pengaruh terhadap tenaga kerja, mulai gangguan ringan berupa gangguan terhadap konsentrasi kerja, pengaruh dalam komunikasi dan kenikmatan kerja sampai pada cacat yang berat karena kehilangan daya pendengaran.Berikut beberapa efek atau gangguan yang diakibatkan dari kebisingan menurut Anizar, (2009): 1) Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas kerja. Hal ini pernah dibuktikan pada sebuah perusahaan film di mana penurunan intensitas kebisingan berhasil mengurangi jumlah film yang rusak, sehingga dapat menghemat bahan baku. 2) Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda- beda untuk tiap orang. Untuk beberapa orang yang rentan, kebisingan dapat menyebabkan rasa pusing, kantuk, sakit, tekanan darah tinggi, tegang dan stress yang diikuti dengan sakit maag, kesulitan tidur. Gangguan konsentrasi dan kehilangan semangat kerja. 3) Gangguan terhadap komunikasi akan mengganggu kerjasama antara pekerja dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian 16 yang secara tidak langsung menurunkan kuantitas dan kualitas kerja. 4) Penurunan daya dengar adalah akibat yang paling serius dan dapat menimbulkan ketulian total, sehingga seseorang sama sekali tidak dapat lagi mendengar pembicaraan orang lain. Kebisingan dapat menyebabkan rusaknya indera pendengaran. Kerusakan atau gangguan sistem pendengaran akibat bising menurut Hani dan Riwidikdo (2009) adalah: 1) Hilang pendengaran sementara/temporer, dapat pulih kembali apabila bising tersebut dapat dihindarkan 2) Orang menjadi kebal terhadap bising 3) Telinga berdengung 4) Hilang pendengaran/tuli permanen dan tidak pulih kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz kemudian semakin hebat dan meluas pada frekuensi sekitarnya hingga mengenai frekuensi percakapan. Sedangkan menurut Soeripto (2008) pengaruh kebisingan dapat menyebabkan berbagai pengaruh terhadap tenaga kerja seperti: pengaruh fisiologis, pengaruh psikologis berupa gangguan (mengganggu atau annoying), pengaruh pada komunikasi dan pengaruh yang paling serius adalah gangguan terjadinya ketulian. e. Nilai Ambang Batas Intensitas Kebisingan Besarnya ketulian tergantung pada tingginya atau tingkat intensitas suara. Dengan demikian untuk menyelamatkan pendengaran tenaga kerja perlu diupayakan agar tingkat intensitas suara yang timbul sebagai akibat penerapan teknologi proses produksi tidak terlalu tinggi (di bawah NAB), sehingga tenaga kerja masih aman dalam melaksanakan pekerjaanya meskipun tidak memakai alat pelindung (Soeripto, 2008). Untuk tujuan perlindungan terhadap pendengaran tenaga kerja, maka sangat diperlukan adanya suatu standar intensitas kebisingan di 17 tempat kerja. Oleh karena itu, berdasarkan peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor PER.13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja maka nilai ambang batas kebisingan sebagai berikut: Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu pemaparan per hari 8 Jam 4 2 1 Intensitas kebisingan dalam dBA 85 88 91 94 30 15 7,5 3,75 1,88 0,94 Menit 97 100 103 106 109 112 28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11 Detik 115 118 121 124 127 130 133 136 139 Catatan: Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat. Sumber: Permenaker No.13/Men/X/2011. 3. Intensitas Pencahayaan a. Pengertian Intensitas Pencahayaan Intensitas pencahayaan adalah banyaknya cahaya yang tiba pada satu luas permukaan (Ahmadi, 2009). b. Sumber Pencahayaan Pencahayaan berdasar sumbernya dibagi menjadi tiga (Padmanaba, 2006) : 1) Pencahayaan alami yaitu pencahayaan yang berasal dari cahaya matahari. 2) Pencahayaan buatan yaitu pencahayaan yang berasal dari lampu. 18 3) Pencahayaan alami dan buatan yaitu penggabungan antara pencahayaan alami dari sinar matahari dengan lampu atau pencahayaan buatan. Menurut Ching (1996), ada tiga metode pencahayaan, yaitu pencahayaan umum, pencahayaan lokal dan pencahayaan cahaya aksen. 1) Pencahayaan umum atau baur menerangi ruangan secara merata dan umumnya terasa baur. 2) Pencahayaan lokal atau pencahayaan untuk kegunaan khusus, menerangi sebagian ruang dengan sumber cahaya biasanya dipasang dekat dengan permukaan yang diterangi. 3) Pencahayaan aksen adalah bentuk dari pencahayaan lokal yang berfungsi menyinari suatu tempat atau aktivitas tertentu atau obyek seni atau koleksi berharga lainnya. Menurut Suma’mur (2009) ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pencahayaan buatan antara lain: 1) Pembagian lumensi dalam lapangan penglihatan Lapangan penglihatan yang baik adalah dengan kekuatan terbesar ditengah pada daerah kerja yang dilakukan. Perbandingan terbaik antara lumensi pusat, daerah sekitar pusat dan lingkungan sekitarnya adalah 10:3:1. Kondisi pencahayaan dinyatakan baik atau tidak bila memenuhi syarat jika perbedaan lumensi melebihi perbandingan 40:1 baik di lapangan penglihatan pekerjaan maupun terhadap lingkungan luar. 2) Kesilauan Terjadi bila perbedaan penyebaran luminensi melebihi perbandingan 40:1, namun pada umumnya terjadi karena keterbatasan kemampuan penglihatan. Kepekaan retina seluruhnya menyesuaikan dengan luminensi rata-rata sehingga pada lapangan penglihatan dengan luminensi 19 berbeda, retina terlalu peka untuk luminensi yang tinggi, tetapi sangat kurang peka untuk daerah yang samar-samar. 3) Arah Cahaya Sumber cahaya yang cukup jumlahnya sangat berguna dalam mengatur pencahayaan yang baik. Cahaya dari berbagai arah dapat meniadakan gangguan oleh bayangan. 4) Warna Cahaya Warna cahaya dan komposisi spektrumnya sangat penting dalam membandingkan dan mengkombinasikan warna-warna dalam lingkungan kerja atau tempat kerja sebagai akibat pencahayaan yang menentukan rupa dari lingkungan. Dengan adanya kombinasi tata warna dan dekorasi yang serasi maka akan menimbulkan suasana kerja yang nyaman sehingga kegairahan kerja akan meningkat. 5) Panas akibat sumber cahaya. Baik sumber pencahayaan alam maupun pencahayaan buatan dapat menimbulkan suhu udara di tempat kerja. Pertambahan suhu yang berlebihan dapat mengakibatkan ketidaknyamanan bekerja dan akan merupakan beban tambahan. Pencahayaan di tempat kerja ditentukan oleh sifat cahaya yaitu kuantitas dan kualitas cahaya yang jatuh pada suatu permukaan (Siswanto, 1993) : 1) Kuantitas Cahaya Intensitas cahaya yang dibutuhkan tergantung dari tingkat ketelitian yang dibutuhkan, bagian yang akan diamati, warna dari obyek atau benda yang diamati dan kemampuan dari obyek tersebut untuk memantulkan cahaya yang jatuh padanya. Untuk melihat suatu benda yang berwarna gelap dan kontras antara obyek dan sekitarnya buruk diperlukan intensitas yang tinggi (beberapa ribu Lux) sedangkan untuk obyek atau benda 20 yang cerah dan kontras antara obyek tersebut dengan sekitarnya cukup baik maka hanya diperlukan beberapa ratus Lux. 2) Kualitas Cahaya Kualitas ditentukan oleh ada tidaknya kesilauan di tempat kerja baik kesilauan langsung maupun karena pantulan cahaya dari permukaan yang mengkilat dan bayangan, demikian pula dekorasi tempat kerja khususnya mengenai warna-warna dari dinding, langit-langit, peralatan kerja. Kesilauan adalah setiap brightness (perbedaan derajat terang) yang berada dalam lapangan penglihatan yang menyebabkan rasa ketidak nyamanan, gangguan kelelahan mata dan penglihatan. c. Sifat Pekerjaan Kebutuhan intensitas pencahayaan tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian sulit dilakukan bila keadaan cahaya dalam tempat kerja tidak memadai. Selain intensitas pencahayaan, untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, ketajaman penglihatan dipengaruhi juga oleh faktor : usia, ukuran dari obyek yang diamati, beban kerja, posisi pandang terhadap obyek yang diamati (Siswanto, 1993). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3: Tabel 3. Pedoman Intensitas Pencahayaan Pekerjaan Contoh-contoh Tingkat Pencahayaan yang Dibutuhkan (Lux) Tidak teliti Penimbunan barang 80 – 170 Agak teliti Pemasangan (tak teliti) 170 – 350 Teliti Membaca, menggambar 350 – 700 Sangat teliti Pemasangan (Teliti) 700 – 1000 Sumber : Ergonomi dan Produktivitas Kerja (Suma’mur, 1996) d. Hubungan Pencahayaan Dengan Pekerjaan Pencahayaan merupakan suatu aspek lingkungan fisik yang penting bagi lingkungan kerja. Menurut Soewarno (1992), menyebutkan 21 bahwa pencahayaan sangat diperlukan untuk kesejahteraan dan keselamatan ditempat kerja. Kita lihat di negara yang sudah maju penyelidikan mengenai pengaruh pencahayaan di tempat kerja sudah banyak dilakukan, oleh karena itu disadari adanya pengaruh negatif dari pencahayaan yang tidak memenuhi persyaratan. Tenaga kerja akan mengeluarkan tenaga yang lebih besar bila penglihatan dalam bekerja menjadi lebih sukar dan sebaliknya beban kerja yang menjadi lebih ringan bila pencahayaan ditempat kerja ditambah. Dikatakan bahwa tempat kerja dengan tingkat pencahayaan yang baik, tenaga kerja akan melakukan pekerjaan dengan tingkat yang opimal dan efisien. Begitu pula dengan kebutuhan pencahayaan untuk tempat kerja tergantung pada jenis pekerjaan tertentu. Untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian, maka dibutuhkan intensitas pencahayaan yang lebih tinggi dari pada pekerjaan yang kurang teliti. 4. Kelelahan Kerja a. Pengertian Kelelahan Kerja Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak.Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka, 2011). Kelelahan merupakan akibat dari kebanyakan tugas pekerjaan yang sama. Pada pekerjaan yang berulang, tanda pertama kelelahan merupakan peningkatan dalam rata-rata panjang waktu yang diambil untuk menyelesaikan suatu siklus aktivitas. Waktu pendistribusian yang hati-hati sering menunjukkan kelambatan performansi sebagaimana yang tampak dalam pendistribusian proporsi yang lebih besar dari siklus lambat yang tidak normal (Nurmianto, 2003). 22 Istilah kelelahan biasanya menunjukkan keadaan berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot. Sedang kelelahan umum biasanya ditandai dengan berkurangnya kemauan bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lama kerja fisik, keadaan lingkungan, sebabsebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi (Tarwaka, 2011). Sampai saat ini masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat terjadinya kelelahan. Pada teori kimia secara umum menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangmya cadangan energi dan meningkatkan sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot, sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan syaraf adalah penyebab sekunder. Sedangkan pada teori syaraf pusat menjelaskan bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel syaraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat gerakan seseorang akan menunjukkan semakin lelah kondisi otot seseorang (Tarwaka, 2011). Menurut Maurits dalam Tarwaka (2011), kelelahan kerja adalah kondisi pada pekerja yang merasa lelah secara fisik atau psikis, kurang menguntungkan individu pekerja, perusahaan maupun masyarakat mengingat adanya gangguan konsentrasi dan atau gangguan kesiagaan bekerja. 23 b. Klasifikasi Kelelahan Menurut Grandjean dalam Tarwaka (2011) kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu : 1) Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot. 2) Kelelahan umum, biasanya ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebabsebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Menurut Grandjean dan Kogi dalam Setyawati (2011), berdasarkan waktu terjadinya kelelahan dibagi menjadi dua macam: 1) Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh secara berlebihan. 2) Kelelahan kronis, terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari dan berkepanjangan. Menurut Singleton dalam Setyawati (2011) terdapat dua macam kelelahan, yaitu : 1) Kelelahan fisiologis, disebabkan oleh faktor fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu dan kebisingan. 2) Kelelahan psikologis, merupakan kelelahan yang disebabkan oleh faktor psikologis. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelelahan sebagai berikut: 1) Faktor Internal a) Umur Pada umur muda proses-proses di dalam tubuh sangat besar dan kemudian menurun lambat-lambat menurut umur. Proses menjadi tua disertai kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahan-perubahan pada alat-alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Suma’mur, 2014). 24 Menurut Chaffin dan Guo et al dalam Tarwaka (2011) pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada umur kerja yaitu 25-65 tahun. Menurut Wignosoebroto (2008) kepastian energi yang mampu dihasilkan oleh seseorang juga akan dipengaruhi oleh faktor umur. Kapasitas maksimum seorang pekerja adalah pada umur 20-30 tahun yaitu 100%. Di mana dengan meningkatnya umur, kemampuan tersebut juga akan menurun dengan persentase sebagai berikut : Tabel 4. Persentase Kemampuan Berdasarkan Umur Umur (Tahun) 20-30 40 50 60 65 Persentase Kemampuan (%) 100 96 90 80 75 Sumber : Wignosoebroto (2008) b) Jenis Kelamin Pria dan wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot dari wanita relatif kurang jika dibandingkan pria. Kemudian pada saat wanita sedang haid yang tidak normal (dysmenorrhoea), maka akan dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah (Suma’mur, 2014). c) Riwayat Penyakit Status kesehatan dapat mempengaruhi kelelahan kerja yang dapat dilihat dari riwayat penyakit yang diderita. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kelelahan kerja antara lain : (1) Asma ditandai dengan kontraksi spastik otot polos bronkiolus, yang menyumbat bronkiolus secara parsial 25 dan menyebabkan kesukaran bernafas yang hebat (Guyton dan Hall, 2007). (2) Penyakit jantung yaitu kekurangan oksigen jika terus menerus, maka terjadi akumulasi yang selanjutnya terjadi metabolisme anaerobik dimana akan menghasilkan asam laktat yang mempercepat kelelahan (Santoso, 2004). (3) Penyakit tekanan darah tinggi, bila seseorang melakukan aktivitas, exited atau sedang stress, tekanan darahnya akan meningkat (Soeharto, 2004). (4) Penyakit tekanan darah rendah, dengan berkurangnya jumlah suplai darah yang dipompa dari jantung, berakibat berkurang pula jumlah oksigen sehingga terbentuklah asam laktat. Asam laktat merupakan indikasi adanya kelelahan (Nurmianto, 2003). (5) Penyakit ginjal, yaitu pengaruh bekerja terhadap faal ginjal terutama berkaitan dengan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga dan yang dilakukan dalam cuaca kerja panas. Kedua-duanya mengurangi peredaran darah kepada ginjal dengan akibat timbulnya gangguan penyediaan zat-zat yang diperlukan oleh ginjal (Suma’mur, 2014). d) Masa Kerja Masa kerja adalah jangka waktu seseorang bekerja pada suatu organisasi, lembaga dan sebagainya. Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan para pekerja dalam melaksanakan aktivitas kerjanya (Siagian, 1995). Semakin lama masa kerja seseorang maka semakin tinggi juga tingkat kelelahan, karena semakin lama bekerja 26 menimbulkan perasaan jenuh akibat kerja monoton akan berpengaruh terhadap tingkat kelelahan yang dialami (Setyawati, 2011). e) Status Gizi Menurut Astanti dalam Budiono (2003), keadaan gizi yang baik merupakan salah satu ciri kesehatan yang baik, sehingga tenaga kerja yang produktif terwujud.Status gizi merupakan salah satu penyebab kelelahan. Seorang tenaga kerja dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik, begitu juga sebaliknya. Pada keadaan gizi buruk, dengan beban kerja berat akan mengganggu kerja dan menurunkan efisiensi dan ketahanan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit sehingga mempercepat timbulnya kelelahan. Kesehatan dan daya kerja sangat erat kaitannya dengan tingkat gizi seseorang. Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan kerusakan sel dan jaringan. Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk bekerja dan meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan (Suma’mur, 2014). Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus (Depkes RI, 2003): IMT= Berat Badan (Kg) Tinggi Badan m x Tinggi Badan m Tabel 5. Batas Ambang IMT Indonesia Jenis Kelamin Kategori IMT ( Kg/m) Kurus Kegemukan Normal Tingkat Ringan Pria <18 kg/m2 18-25 kg/m2 >25-27 kg/m2 2 2 2 Wanita <17 kg/m 17-23 kg/m Sumber : Depkes RI, 2003 >23-27 kg/m Tingkat Berat >27 kg/m2 27 2) Faktor Eksternal a) Beban Kerja Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hal kapasitas menanggung beban kerjanya. Mungkin di antara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental atau sosial. Namun demikian, terdapat kesamaan yang berlaku umum yaitu mereka memiliki keterbatasan hanya mampu untuk memikul beban sampai suatu tingkat tertentu. Selain dari batas maksimal beban, bagi masing-masing tenaga kerja terdapat pembebanan kerja yang paling optimal bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Prinsip ini sebenarnya yang mendasari maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat pula. Derajat tepat suatu penempatan meliputi kecocokan pengalaman, pengetahuan, keahlian, keterampilan, motivasi, sikap kerja dan lain-lain sebagainya (Suma’mur, 2014). Semakin meningkatnya beban kerja, maka konsumsi oksigen akan meningkat secara proporsional sampai didapat kondisi maksimumnya. Beban kerja yang lebih tinggi yang tidak dapat dilaksanakan dalam kondisi aerobik, disebabkan oleh kandungan oksigen yang tidak mencukupi untuk suatu proses aerobik. Akibatnya adalah manifestasi rasa lelah yang ditandai dengan meningkatnya kandungan asam laktat (Nurmianto, 2003). Salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas vital paru, dan suhu inti tubuh. Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme, respirasi, suhu tubuh, dan denyut jantung. 28 Tabel 6. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Suhu Tubuh dan Denyut Jantung Kategori Konsumsi Ventilasi Suhu Denyut Beban Kerja Oksigen paru (l/min) Rektal Jantung (l/min) (0C) (denyut/min) 1. Ringan 0,5-1,0 11-20 37,5 75-100 2. Sedang 1,0-1,5 20-31 37,5-38,0 100-125 3. Berat 1,5-2,0 31-43 38,0-38,5 125-150 4. Sangat berat 2,0-2,5 43-56 38,5-39,0 150-175 5. Sangat berat 2,5-4,0 60-100 >39 >175 sekali Sumber : Tarwaka, (2004) Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk menilai cardiovascular strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk menghitung denyut nadi adalah telemetri dengan menggunakan rangsangan Electro Cardio Graph (ECG). Apabila peralatan tidak tersedia, maka dapat dicatat secara manual memakai stopwatch dengan metode 10 denyut. Dengan metode tersebut dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut : 10 Denyut Denyut Nadi (Denyut/Menit) = Waktu Perhitungan x 60 Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai beberapa keuntungan. Selain mudah, cepat, sangkil dan murah juga tidak diperlukan peralatan yang mahal serta hasilnya cukup reliabel (Tarwaka, 2004). b) Pencahayaan Pencahayaan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak diperlukan. Lebih dari itu, pencahayaan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keaadaan lingkungan yang menyegarkan (Suma’mur, 2014). Menurut Budiono (2003) pencahayaan yang buruk dapat mengakibatkan seperti kelelahan mata dengan berkurangnya 29 daya dan efisiensi kerja, keluhan-keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata, kerusakan indera mata, kelelahan mental dan menimbulkan terjadinya kecelakaan. c) Kebisingan Menurut Budiono (2003), kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan. Penelitian yang dilakukan di dalam dan di luar negeri menunjukkan bahwa pada frekuensi 3006000 Hz, pengurangan pendengaran tersebut disebabkan oleh kebisingan. Pengurangan pendengaran diawali dengan pergeseran ambang dengar sementara. Pada saat ini terjadi kelelahan yang akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin bertambah lambat lagi jika tingkat kelelahan semakin tinggi. d) Sikap Kerja Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya terhadap sarana kerja akan menentukan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja. Semua sikap tubuh yang tidak alamiah dalam bekerja, misalnya sikap menjangkau barang yang melebihi jangkauan tangan harus dihindarkan. Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap duduk yang terlalu tinggi sedikit banyak akan berpengaruh terhadap hasil kerjanya. Hal ini akan menyebabkan kelelahan (Budiono, 2003). Bekerja dalam kondisi yang tidak alamiah dapat menimbulkan berbagai masalah seperti nyeri, kelelahan dan bahkan kecelakaan (Santoso, 2004). d. Parameter Kelelahan Kerja Menurut Grandjean (1995) masih dikemukakan bahwa sampai saat itu belum terdapat suatu cara pengukuran kelelahan fisiologis dan ataupun psikologis yang dapat dipakai secara sempurna dalam setiap macam industri. Hampir semua ahli ergonomi mengakui kebenaran 30 pendapat Grandjean. Parameter-parameter yang pernah diungkapkan beberapa peneliti untuk mengukur kelelahan kerja ada bermacammacam antara lain : 1) Pengukuran Waktu Reaksi Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi (Suma’mur, 2014). Sutarman (1972), Burke (1980) dan Bailey (1982) dalam Setyawati (2011) mengutarakan bahwa pada keadaan kelelahan terjadi perubahan waktu reaksi, waktu reaksi lebih lama atau memanjang. Pengukuran waktu reaksi untuk penelitian ilmiah dengan masing-masing rangsang dilakukan 20 kali berturut-turut sehingga diperoleh 20 angka waktu reaksi yaitu angka ke-1 sampai dengan ke-20. Untuk penghitungannya lima angka di depan, angka ke-1 sampai dengan ke-5 dan lima angka di belakang yaitu angka ke-16 sampai dengan ke-20 diabaikan. Angka ke-6 sampai dengan ke-15 di perhitungkan dan dirata-rata untuk memperoleh angka waktu reaksi saat itu (Setyawati, 2011). Menurut Setyawati (2011), kelelahan dapat diklasifikasikan berdasarkan rentang atau range waktu reaksi sebagai berikut : 1) Normal : waktu reaksi 150,0 s/d ≤ 240,0 milidetik. 2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi > 240,0 s/d < 410,0 milidetik. 3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi ≥ 410,0 s/d < 580,0 milidetik. 4) Kelelahan Kerja Berat (KKB) : waktu reaksi ≥ 580,0 milidetik. 31 2) Uji Finger-tapping (Uji Ketuk Jari) Uji Finger-tapping adalah mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari tangan dalam suatu waktu periode tertentu. (Grandjean, 1995) dalam Setyawati (2011). 3) Uji Flicker-Fusion Uji Flicker- Fusion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu sehingga cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu. Uji ini digunakan untuk menilai kelelahan mata saja (Grandjean, 1995) dalam Setyawati (2011). 4) Uji Critical Flicker-Fusion Uji Critical Flicker-Fusion adalah modifikasi uji FlickerFusion.Uji Critical-Fusion ini dipergunakan untuk pengujian kelelahan mata yang berat, dan dengan mempergunakan Flicker Tester (Grandjean, 1995) dalam Setyawati (2011). 5) Uji Bourdon Wiersma Uji Bourdan Wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian yang digunakan untuk menguji kelelahan pada pengemudi (Manuaba dan Nala, 1971) dalam Setyawati (2011). 6) Pemeriksaan Tremor pada Tangan Cara ini tidak dapat dipakai untuk mengukur kelelahan pada tiap orang maupun pada tiap pekerjaan karena adanya tremor pada tangan dapat terjadi tidak saja pada kelelahan tetapi juga dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit tertentu (Sutarman, 1972) dalam Setyawati (2011). 7) Metode Blink Metode Blink adalah pengujian untuk kelelahan tubuh secara keseluruhan dengan melihat objek yang bergerak dengan mata yang terkejap secara cepat dan berulang-ulang (Fukui dan Marioka, 1971) dalam Setyawati (2011). 32 8) Stroop Test Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warnawarna tinta sesuai seri huruf atau kata-kata. Keterangan ini diperjelas lagi oleh kenyataan belum terdapat alat ukur bagi kelelahan yang reliabel, sehingga diperlukan pengembangan yang lebih lanjut (Sharpe, 1991) dalam Setyawati (2011). 9) Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) KAUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator perasaan kelelahan kerja yang didesain khusus bagi pekerja Indonesia. KAUPK2 ada tiga macam, yaitu KAUPK2 I, KAUPK2 II, KAUPK2 III yang masing-masing terdiri atas 17 butir pertanyaan (Setyawati, 2011). 10) Skala Kelelahan Industrial Fatique Research Committee (IFRC) Skala IFRC yang di desain untuk pekerja dengan budaya Jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan. (Kashiwagi, 1971) dalam Setyawati (2011). 11) Ekskresi Katekolamin Pada kasus kelelahan ekskresi katekolamin tidak selalu meningkat. Pada pekerja beberapa macam pekerjaan yang mengalami kelelahan kerja tidak tejadi peningkatan ekskresi katekolamin (Johanson, 1978 dan Frankenhaeuser et al., 1983) dalam Setyawati (2011). e. Gejala Kelelahan Kerja Menurut Budiono (2003) gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subyektif dan obyektif antara lain perasaan lesu, ngantuk dan pusing, kurang mampu berkonsentrasi, berkurangnya tingkat kewaspadaan, persepsi yang buruk dan lambat, berkurangnya gairah untuk bekerja dan menurunnya kinerja jasmani dan rohani. 33 Menurut Grandjean dalam Setyawati (2011) mengemukakan bahwa gejala kelelahan kerja ada dua macam yaitu gejala subjektif dan gejala obyektif. Gejala kelelahan yang penting antara lain adalah adanya perasaan kelelahan, tidak bergairah bekerja, sulit berpikir, penurunan kesiagaan, penurunan persepsi dan penurunan kecepatan bereaksi bekerja. f. Akibat Kelelahan Kerja Menurut Setyawati (2011) kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak disamping semangat kerja yang menurun. Perasaan kelelahan kerja cenderung meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja, sehingga dapat merugikan diri pekerja sendiri maupun perusahaannya karena adanya penurunan produktifitas kerja. Menurut Tarwaka (2004), risiko terjadinya kelelahan seperti motivasi kerja turun, performansi rendah, kualitas kerja rendah, banyak terjadi kesalahan, stress akibat kerja, penyakit akibat kerja, cidera dan terjadi kecelakaan akibat kerja. g. Pencegahan Kelelahan Kerja Program penanggulangan kelelahan kerja menurut Setyawati (2011) yaitu: 1) Promosi kesehatan kerja berisi tentang undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan, pernyataan-pernyataan International Labour Organization dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan ketenagakerjaan. 2) Pencegahan kelelahan kerja, terutama ditujukan kepada upaya menekan faktor-faktor yang berpengaruh secara negatif pada kelelahan kerja dan meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh secara positif. 3) Pengobatan kelelahan kerja, mengingat keadaan kelelahan kerja merupakan keadaan yang dapat mengganggu pekerja, perusahaan 34 dan pihak masyarakat maka pekerja dengan kelelahan kerja perlu mendapat pengobatan sesuai dengan penyebabnya disamping penanganan kehadiran faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kelelahan kerja. 4) Rehabilitasi kelelahan kerja adalah melanjutkan tindakan dan program pengobatan kelelahan kerja serta mempersiapkan pekerja tersebut bekerja secara lebih baik dan bersemangat. 5. Mekanisme Tekanan Panas, Tingkat Kebisingan dan Intensitas Pencahayaan dalam Menimbulkan Kelelahan Akibat suhu lingkungan tinggi, suhu tubuh akan meningkat (tubuh mendapatkan pemanasan berlebih) sejumlah keringat disekresi ke permukaan kulit oleh kelenjar keringat, keringat mengandung bermacammacam elektrolit terutama ion natrium dan klorida. Keluarnya ion natrium dan klorida menyebabkan penurunan kekuatan. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot sehingga tubuh mengalami kelelahan. Apabila tubuh mendapatkan pemanasan yang berlebihan maka suhu kulit akan naik, terjadi hilangnya panas dalam tubuh secara konveksi dan radiasi lalu terjadi pemindahan panas dari dalam ke pori-pori, kemudian panas hilang oleh karena penguapan dan akan terjadi dilatasi pembuluh darah yang menyebabkan keringat keluar dan tubuh akan kehilangan garam, cairan serta penurunan kemampuan berkeringat yang akhirnya dapat menyebabkan kelelahan oleh karena panas (Suma’mur, 2014). Mekanisme dasar terjadinya gangguan pendengaran akibat bising merupakan kombinasi dari faktor mekanis dan metabolik yakni adanya paparan bising kronis yang merusak sel rambut koklea dan perubahan metabolik yang menyebabkan hipoksia akibat vasokontriksi kapiler oleh karena bising (Ferrite & Santana, 2005; Mizuo, Miyamoto & Shimizu, 2011). Selain itu, menurut Suma’mur (1996) kebisingan juga dapat menurunkan kinerja otot yaitu berkurangnya kemampuan otot untuk melakukan kontraksi dan relaksasi, berkurangnya kemampuan otot tersebut menunjukkan terjadi kelelahan pada otot. 35 Kelelahan mata disebabkan oleh stress yang terjadi pada fungsi penglihatan. Stress pada otot yang berfungsi untuk akomodasi dapat terjadi pada saat seseorang berupaya untuk melihat pada obyek berukuran kecil dan pada jarak yang dekat dalam waktu yang lama. Pada kondisi demikian, otot-otot mata akan bekerja secara terus menerus dan lebih dipaksakan. Ketegangan otot-otot pengakomodasi (korpus siliaris) makin besar sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan sebagai akibatnya terjadi kelelahan pada mata. 6. Hasil-hasil Penelitian dan Jurnal yang Berkaitan dengan Faktor Fisik dan Kelelahan Kerja Penelitian oleh Basarudin (2008) tentang “Hubungan Tekanan Panas terhadap Kelelahan Kerja pada Pekerja Bagian Produksi di PT. Hok Tong (Crumb Rubber) Kota Pontianak” yang menunjukkan kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja (p = 0.001) dengan kekuatan korelasi sedang (r = 0.555) melalui analisa data menggunakan uji Rank Spearman's Correlation dengan = 0.05. Penelitian oleh Sriwahyudi (2014) tentang “Hubungan Kebisingan dengan Keluhan Kesehatan Non Pendengaran pada Pekerja Instalasi Laundry Rumah Sakit Kota Makasar” yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan keluhan non pendengaran (p = 0.024 atau < 0.05) dengan kekuatan korelasi rendah (r = 0.308) melalui analisis menggunakan uji korelasi Spearman dengan = 0.05. Jurnal internasional tentang “Studi Kasus Penilaian Tekanan Panas pada Tenaga Kerja di Industri Baja” oleh Parameswarappa et al (2014) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara tekanan panas dengan kenaikan suhu tubuh (p = 0.000 atau < 0.01) dengan kekuatan korelasi sedang (r = 0.550). Penelitian oleh Endah (2004) tentang “Hubungan Antara Kebisingan dan Tekanan Panas dengan Kelelahan pada Operator di Bagian Injeksi PT. Arisa Mandiri Pratama” yang menyatakan bahwa terdapat kekuatan 36 hubungan antara kebisingan dengan kelelahan dalam kategori sedang (r = 0.408) dan hubungan tekanan panas dengan kelelahan dalam kategori rendah (r = 0.398). Jurnal internasional tentang “Kebisingan Industri dan Dampak pada Pekerja” oleh Atmaca et al. (2005), menyatakan bahwa 73.83% tenaga kerja terganggu oleh kebisingan dari tempat mereka bekerja, 60.96% tenaga kerja mengalami kecemasan karena faktor kebisingan, 30.96% tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran dikarenakan tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja dan 85.94% tenaga kerja tidak mendapatkan pemeriksaan pendengaran secara berkala. Jurnal internasional tentang “Gangguan Pendengaran yang Ditimbulkan oleh Kebisingan Tempat Kerja” oleh Kurmis (2007) menyatakan bahwa 97% tenaga kerja yang mengalami gangguan fungsi pendengaran adalah tenaga kerja laki-laki. Penelitian oleh Riski (2006) tentang ”Hubungan Antara Intensitas Pencahayaan dan Suhu Udara dengan Kelelahan Mata Karyawan pada Bagian Administrasi di PT. Hutama Karya Wilayah IV Semarang” yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata (p = 0.011) dengan kekuatan korelasi rendah (r = 0.351) dan suhu udara dengan kelelahan mata (p = 0.024) dengan kekuatan korelasi rendah (r = 0.315) berdasarkan uji statistik menggunakan Chi Square dengan = 0.05. Penelitian oleh Natalia (2010) tentang ”Hubungan Intensitas Pencahayaan dengan Keluhan Kelelahan Otot Mata pada Karyawan Back Office Lantai 5 di Siloam Hospitals Kebon Jeruk Jakarta Barat” yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara intensitas pencahayaan dengan keluhan kelelahan otot mata dengan kekuatan korelasi Pearson Product Moment dalam kategori sedang (r = 0.490). Jurnal internasional tentang “Survei tentang Pelatihan Pertolongan dan Efek Pencahayaan Terhadap Kelelahan Mata” oleh Zahra et al (2014), pada 200 orang sampel menggunakan pendekatan cross-sectional. Dari 37 hasil analisis dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penggunaan video proyektor dengan nilai p = 0.123 ( >0.05) dan umur dengan penggunaan papan tulis dengan nilai p = 0.207 ( >0.05). Hasil lain yang diperoleh adalah ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan menggunakan kacamata dengan kelelahan mata yang disebabkan karena penggunaan video proyektor dengan nilai p = 0.024 ( <0.05) dan kebiasaan menggunakan kacamata dengan kelelahan mata yang disebabkan karena penggunaan papan tulis dengan nilai p = 0.002 ( <0.05). 38 B. Kerangka Berpikir Faktor Lingkungan Fisika Intensitas Penerangan Tekanan Panas Kebisingan Objek Kerja Reseptor Rangsang Panas pada Kulit Sistem Indera Pendengaran Indera Penglihatan Mekanisme Kelenjar Keringat Gangguan Syaraf Otonom Metabolisme Meningkat Rangsangan pada Sistem Syaraf Kerja Otot Terganggu Faktor Eksternal: 1.Sikap Kerja 2.Beban Kerja Faktor Internal: Kelelahan Kerja 1.Umur 2.Jenis Kelamin 3.Riwayat Penyakit 4.Status Gizi 5.Masa Kerja Gambar 1. Kerangka Berpikir C. Hipotesis 1. Ada hubungan tekanan panas dengan kelelahan kerja pada pengrajin genteng dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. 2. Ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja pada pengrajin genteng dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. 39 3. Ada hubungan intensitas pencahayaan dengan kelelahan kerja pada pengrajin genteng dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. 4. Ada persentase pengaruh yang kuat dari gabungan faktor lingkungan fisik (tekanan panas, kebisingan dan intensitas pencahayaan) di tempat kerja terhadap timbulnya kelelahan kerja pada pengrajin genteng dan batu bata di Desa Kaling Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.