politik pemekaran, etnisitas dan agama

advertisement
POLITIK PEMEKARAN, ETNISITAS DAN AGAMA:
TANTANGAN REFORMASI BIROKRASI KASUS MALUKU UTARA
Zuly Qodir
Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak- Tulisan ini mengambil kasus Maluku Utara,
dengan focus area Kabupaten Halmahera Barat dan
Halmahera Utara, hendak memberikan penjelasan
pertarungan politik local berbasiskan perspektif
politik etnis dan agama sebagaimana dikemukakan
Clifford Geertz. Dengan demikian pembahasan pada
tulisan ini berkisar pada terjadinya pertarungan,
perebutan, klaim dan reproduksi identitas etnis dan
agama dalam dinamika politik local sebagai bagian
dari apa yang saya sebut sebagai involusi pemekaran.
Banyak daerah pemekaran tetapi sejatinya miskin
pelayanan public dan keamanan masyarakat.
Pemekaran berkisar pada kepentingan elit local
bahkan nasional tanpa memperhatikan struktur social
dan system social yang berlangsung di masyarakat,
sehingga tidak memiliki kesiapan. Istilah involusi
pernah pula dipopulerkan oleh Clifford Geertz ketika
membahas tentang pertanian di Indonesia dan Asia
Tengara yang dikalahkan oleh terjadinya revolusi
hijau (modernisasi pertanian) yang identik dengan
penggunaan alat-alat bermesin dalam proses
pertanian dan obat-obatan insektisida dalam
pertumbuhannya.
Istilah
involusi
hendak
menggambarkan
betapa
banyaknya
daerah
pemekaran dan pejabat di wilayah pemekaran tetapi
miskin pelayanan public dan perhatian pada
masyarakat yang harusnya didekatkan dengan
pemerintah, sebagaimana kehendak dari pemekaran
sebagai bagian dari desentralisasi politik dan
ekonomi. Kajian ini hendak menjawab pertanyaan dan
menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan
permasalahan pemekaran yang terjadi di Ternate,
Maluku Utara, sebagai sebuah daerah pemekaran.
Pertanyaan yang hendak dijawab adalah bagaimana
pengaruh etnisitas dalam konflik pemekaran,
bagaimana peran elit-elit agama dan elit politik dalam
konflik pemekaran yang telah terjadi selama sebelas
tahun, sejak tahun 2001-2012. Untuk menjawab
pertanyaan diatas, kajian ini mendasarkan pada
wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat,
tokoh agama, aktivis perempuan, politisi, akademisi,
dan birokrat di Daerah Maluku Utara. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualititif
eksplanatif, sehingga tergambar kaitan antar factor
dalam konflik pemekaran.
Kata kunci: Involusi politik, pemekaran, etnisitas, dan
agama
A. Pendahuluan
Maluku Utara 1999 adalah kota yang baru saja Mekar
dari Pulau Ambon sebagai Provinsi Induk. Gubernur M.
192
Thaib Armayn ditetapkan oleh Departemen Dalam
Negeri mengalahkan Abdul Gafur, yang menang dalam
Pemilihan Gubernur Maluku Utara tetapi gagal menjadi
Gubenur karena kalah dalam sidang Mahkamah
Konstitusi dengan dugaan adanya kecurangan dalam
Pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Tahun 1999, Desember di Ambon terjadi tragedy
Berdarah di Masjid Al Fatah yang berbuah kerusuhan
antaretnis dan agama sangat besar dan terdengar
diseluruh Indonesia bahkan internasional. Korban
demikian banyak bergelimpangan dari pihak yang
berkonflik (Islam versus Kristen). Masing-masing pihak
membentuk lascar (milisi) perang. Kristen membentuk
Laskar Kristus. Islam membentuk Laskar Mujahid.
Korban tak kurang dari 5000 orang dari dua belah
pihak. Rumah dibakar dan dirusak hampir separoh kota
Ambon. Bahkan pembakaran dan pembunuhan menyisir
ke daerah-daerah seperti Jazirah Hitu, Leihitu, Soya dan
sekitarnya. Puluhan rumah ibadah dirusak dimana oleh
agama dilarang terjadi perusakan dan pertumpahan
darah di rumah Tuhan.
Ambon sesungguhnya sebuah provinsi eksotik. Pulau
yang dikelilingi pantai nan indah elok akhirnya
bersimbah darah karena konflik yang semula sepele.
Disebabkan karena antara tukang angkot dengan
penduduk setempat yang hendak memaksa tukang
angkot. Antara sopir dan preman yang berbeda etnis
dan agama, kemudian saling mengancam dan bahkan
saling membunuh. Dua belah pihak hancur lebur dan
babak belur saling membunuh. Pela gandong hancur,
hubungan sosial rusak. Pela dan gandong, seakan tak
berakar di masyarakat sama sekali. Konflik antaretnis
dan agama membuat Ambon menjadi provinsi yang
menakutkan dan mengkhawatirkan. Ketakutan menjadi
bagian para penduduk setempat. Pendatang pun dipaksa
tidak bersedia datang ke pulau rempah-rempah yang
kaya cengkeh, pala dan lada. Darah segar pernah
mengalir deras di pulau beribu ribu rempah ini.
Ambon tentu saja bukan daerah satu-satunya yang
dilanda konflik kekerasan berdarah. Sambas Kalimantan
Barat adalah contoh lain. Kota Waringin Barat dan Kota
Waringin Timur di Kalimantan Tengah contoh lain lagi.
Bahkan Palangkaraya adalah contoh terjadinya
kekerasan etnis yang juga mengerikan. Sampit adalah
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
tempat yang mengerikan untuk pendatang Bugis, Buton,
Makasar dan juga Madura. Darah segar dan harta benda
merupakan dua hal yang tidak pernah luput dari dampak
konflik kekerasan yang terjadi di sebuah daerah.
Di atas semua itu yang dapat dikatakan adalah daerah
baru untuk kelompok masyarakat tertentu yang dikenal
dengan istilah masyarakat pendatang. Pendatang karena
factor transmigrasi lokal, transmigrasi massal (bedol
desa) atau bahkan sekedar berpindah tempat untuk
mencari nafkah dalam kehidupan sehari-hari. Ambon,
Ternate, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah adalah lokasi yang menjadi tujuan
perpindahan penduduk dari daerah asalnya.
Sebenarnya perpindahan penduduk tidak identik dengan
kekerasan massal (komunal) yang terjadi sejak tahun
1998 di Indonesia, sebab perpindahan penduduk di
Indonesia telah terjadi jauh sebelum tahun 1980, ke
berbagai wilayah di Indonesia, seperti Lampung,
Sumatera Selatan bahkan Papua. Namun belakangan
sejak tahun 1999 tampaknya perpindahan penduduk
menjadi problem serius soal kependudukan Indonesia.
Istilah pendatang dan asli menjadi kosa kata baru untuk
masalah kependudukan dan konflik yang bersifat
kedaerahan. Konflik di beberapa daerah di Indonesia,
sebagaimana dikatakan Gerry van Klinken dan Nordoth
sebenarnya sering berhubungan dengan persoalan
sumber-sumber ekonomi dan politik dalam sebuah
wilayah. Daerah yang semula seakan-akan menjadi
wilayah kekuasaan etnis dan agama tertentu kemudian
berkembang menjadi kekuasaan etnis dengan agama
tertentu sehingga etnis yang sebelumnya berkuasa
menjadi tersaingi dalam perebutan wilayah kekuasaan;
baik politik maupun ekonomi. (Klinken, 2008)
Selain persoalan perpindahan penduduk di dalam suatu
wilayah (provinsi) masalah pemekaran wilayah
merupakan persoalan lain yang belakangan menjadi
masalah serius di nusantara. Di nusantara sendiri sampai
dengan tahun 2009 telah terjadi pemekaran yang
demikian banyak untuk level kabupaten/kota di
Indonesia. Sampai tahun 2009 yang lalu tidak kurang
dari 400 kabupaten/Kota baru terbentuk di Indonesia.
(Depdagri, 2009).
Daerah pemekaran merupakan salah satu daerah yang
potensial terjadinya kekerasan massal. Beberapa daerah
konflik kekerasan memang daerah lama. Tetapi
pertambahan penduduk merupakan salah satu
penyebabnya. Sambas di Kalimantan Barat adalah
contoh paling nyata dengan pertambahan penduduk asal
Madura yang dibeberapa daerah berposisi ekonomi
menjadi lebih mapan sehingga mempengaruhi siklus
ekonomi dan politik serta komposisi keagamaan
masyarakat setempat.
Ambon sangat jelas memberikan penjelasan tentang
pertambahan penduduk dan kondisi social ekonomi dan
agama yang kemudian berubah. Dari dominan Kristen
193
menjadi berimbang. Penduduk Muslim 45 %, Kristen 55
%. Kondisi seperti itu berpengaruh pada perilaku politik
dan perilaku social masyarakat Ambon yang selama
bertahun-tahun berada dalam posisi tanpa persaingan
karena memang tidak ada competitor. Ambon adalah
penguasa sekaligus pemilik bahkan pewaris tunggal Pulau
Rempah-rempah. Namun semuanya berubah sejak
program transmigrasi bedol desa dan migrasi penduduk
dari
provinsi lain seperti Sulawesi, Jawa dan
Kalimantan. Kompetisi pun akhirnya terjadi di sana. Dan
kompetisi tidak selalu berakhir dengan hasil yang baik.
Seringkali kekalahan membawa luka dan dendam
kesumat. Disebabkan luka serta dendam kesumat itulah
yang membuat kerusuhan seringkali menjadi hasil akhir
dari persoalan persaingan antar etnis dan sekaligus
agama.
Etnis dan agama oleh antropolog Malinowsky (1982)
dikatakan sebagai dua entitas yang sampai saat ini, saat
dunia menginjak era modern bahkan postmodernisme
akan menjadi salah satu perekat sekaligus ketegangan,
kerengganan antar elemen dalam masyarakat yang paling
mujarab. Etnisitas dan agama merupakan dua entitas
yang bersifat bagai pedang bermata dua. Membuat
integrasi sekaligus membuat disintegrasi antar anggota
masyarakat. Terlebih jika etnisitas dan agama dipahami
secara sempit (narrow religion and ethnicity) akan dengan
mudah mendorong adanya semangat gerakan
perlawanan berdasarkan sentiment etnisitas dan agama
tertentu. Inilah mengapa di beberapa daerah persoalan
etnisitas dan agama masih dikatakan rentan dan
menguntungkan. Rentan terkait akan kemungkinan
konflik antar etnis. Menguntungkan karena akan
membawa dampak pada asosiasi-asosiasi dan akomodasi
kebudayaan.
Daerah pemekaran. Ceritanya akan jauh lebih panjang
dan memberikan fakta lain. Ada pejabat, tetapi seringkali
tidak ada ketentraman dan pelayanan. Dalam bahasa lain
miskin pelayanan dan keamanan. Hal ini karena masingmasing pejabat sibuk dengan urusannya sendiri. Urusan
memperkuat posisi dan memperlebar kekuasaan. Inilah
sebuah resiko dari pemekaran yang menjadi basis dari
pemikirannya adalah kekuasaan bukan pelayanan public.
Kekuasaan dapat diperoleh dengan pelbagai mekanisme
seperti membangun sentiment etnis dan agama. Pola
semacam ini pernah dikatakan oleh Clifford Geertz
sebagai politik berbasis aliran, agama dan etnisitas,
sekalipun telah banyak dikritik karena dalam hal
penempatan kategori priyayi dianggap gagal menjelaskan
kategorisasi etnisitas dan keagamaan. Tetapi untuk
kasus etnis dan agama sebagai aliran tampaknya
penjelasan Clifford Geertz masih bisa dipertimbangkan
untuk menjawab pertanyaan: apakah pola politik
kekuasaan berbasis etnisitas dan agama masih
berlangsung di Indonesia? Secara spesifik lagi apakah
etnisitas dan agama masih berlangsung dalam politik
pemekaran?
B. Perspektif Teoritik dalam Penelitian
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Teori yang dipergunakan dalam memahami kasus
Maluku Utara adalah politik identitas yang dialamatkan
pada etnisitas dan agama masyarakat yang tinggal dalam
sebuah wilayah. Etnisitas dan agama menjadi perekat
identitas yang masih dipercaya dalam berbagai
pergulatan politik lokal sehingga banyak pihak
mempergunakan dua entitas ini untuk kepentingan
politiknya. Etnisitas dan agama bermain dalam
perebutan posisi-posisi politik tertentu yang berkaitan
erat dengan tokoh politik yang ada diwilayah. Etnisitas
dan agama kemudian direproduksi dalam pergulatan
politik pemekaran yang menjadi bagian dari kehidupan
desentralisasi di Indonesia. Dua entitas yang berbeda
tersebut sampai sekarang di lapangan politik masih
menjadi bagian penting dalam konstruksi politik
identitas yang berkembang sejak sebelum tahun 1950-an
sebagaimana Cliffordz geertz menemukan dalam kasus
keagamaan di Jawa waktu itu dan di kawasan Afrika
(Maroko dan Sudan) ketika itu yang disimpulkan dalam
Islam Observed (1960) maupun dalam After the Fact
(1957).
Ikatan-ikatan solidaritas agama dan afiliasi politik pun
terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Religion
of Java (1957) yang ditulis berdasarkan peneltian
Clifford Geertz di Desa Pare (Jawa Timur)
menggambarkan masalah afiliasi keagamaan dan politik,
selain afiliasi cultural dan sosial yang terjadi. Tiga bagian
dari masyarakat yang digambarkan Geertz tentang
santri, abangan dan priyayi, ketika itu memberikan
penjelasan bahwa dalam masyarakat terdapat
segmentasi tentang kelompok sosial dan politik yang
kemudian diperjalas oleh Herbet Fith dan Lance
Castles, tentang partai berbasiskan aliran keagamaan
dan etnisitas. Terdapat partai berafiliasi muslim seperti
Masyumi, NU, yang cenderung dianut oleh penduduk
Jawa, kaum Jawa nasionalis yang berafiliasi pada Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) yang dianut oleh penduduk
Jawa, dan sebagian para petani yang cukup kaya, partai
sosialis (PSI) yang dianut oleh sebagian besar kaum
terdidik Indonesia dan etnis luar Jawa (Sumatra), partai
Parkindo yang berafiliasi pada umat Kristen dan
Indonesia Timur khususnya.
Dari penjelasan ringkas secara teoritik tersebut
sebenarnya dapat dipahami sekalipun dalam perjalanan
sejarahnya telah banyak perubahan yang signifikan dalam
hal pengelompokan sosial keagamaan, sebagaimana
dikatakan Kuntowijoyo, dan Robert Hefner bahwa di
Indonesia telah terjadi pembelahan afiliasi sosial politik
dan keagamaan yang relative baru sehingga muncul apa
yang dinamakan kelas menengah baru dalam hal afiliasi
keagamaan dan politik. Dalam keagamaan muncul kelas
menengah
muslim
yang
Kuntowijoyo,
dalam
MuslimTanpa Masjid, (2001) menyebutnya dengan istilah
“Muslim Tanpa Masjid”. Sementara Robert Hefner
dalam Civil Islam, 200, menyebutnya dengan istilah
“Muslim Akomodatif” bahkan muslim rezimis untuk
menyebut kelas menengah muslim yang masuk dalam
lingkaran kekuasaan zaman akhir Orde Baru sampai
194
tumbangnya Orde Baru. Kategorisasi santri baru dan
religio nationality serta ethnic nationalism merupakan
pengaktegorian yang muncul sejak tahun 1990-an di
Indonesia untuk menggambarkan perjalanan politik etnis
dan agama sebagai bentuk nyata politik identitas di
Indonesia.
Persoalan identitas agama dan etnis, dengan begitu
menjadi persoalan yang telah terjadi sejak tahun 1950an, 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an sampai tahun
2000-an dalam berbagai manifestasinya. Tahun 2000-an
menjadi manifestasi dalam berbagai persoalan
pemekaran daerah yang muncul sejak era reformasi
Indonesia tahun 1998. Pemekaran menjadi semangat
baru dalam politik identitas yang tidak jarang membawa
korban jiwa dan tentu saja harta benda warga
masyarakat yang sama-sama berada dalam sebuah
wilayah tertentu. Terdapat banyak kasus mengenai
masalah kekerasan karena etnistas dan identitas dalam
pemekaran. Masyarakat Tapanuli Selatan yang harus
mengakhiri riwayat hidup Mohammad Abdullah Angkat
sebagai Ketua DPRD Sumatera Utara (Medan) karena
terbunuh dalam persoalan pemekaran Tapanuli Selatan
adalah contoh paling jelas. Pembakaran kantor Walikota
dan Gubernur Ambon adalah bentuk lain lagi. Demikian
pula pembakaran Kantor Kecamatan di Kao Malifut
adalah bentuk kemarahan karena pemekaran di Maluku
Utara. Dan pembakaran kantor DPRD NTB adalah
bentuk kemarahan masyarakat terkait soal politik
pemekaran yang terjadi di Indonesia.
Dua entitas, agama dan etnisitas tampak menjadi bagian
dalam kehidupan politik Indonesia sejak tahun 1950-an
sebagaimana Clifford Geertz kemukakan sampai dengan
era 2000-an dimana zaman telah banyak mengalami
perubahan, utamanya dalam hal kultur dan teknologi.
Tetapi dua entitas ini masih menjadi idola dalam politik
Indonesia. Hal seperti itu tentu menimbulkan banyak
pertanyaan yang membutuhkan uraian untuk
memberikan argument sampai sampai dimanakah
sebenarnya ikatan etnisitas dan religious menjadi bagian
dalam politik, khususnya dalam era politik pemekaran
atau desentralisasi sebagai bagian dari demokrasi yang
terjadi di provinsi Maluku Utara.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat induktif
kualitatif dengan mengambil focus lokasi di Provinsi
Maluku Utara, yang merupakan wilayah dengan
ketegagan atau suhu politik sangat tinggi disamping suhu
kekerasan antar warga masyarakat juga demikian tinggi
sehingga konflik berdarah merupakan bagian dari
kehidupan mereka dengan pemicu masalah-masalah
yang sepele, seperti soal nonton main bola atau soal
nonton pertunjukkan konser music.
Penelitian ini focus pada masalah politik yang muncul di
daerah pemekaran seperti Maluku Utara yang
merupakan wilayah pemekaran sejak tahun 1999 yang
lalu dan sampai sekarang terdapat wilayah yang tidak
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
kunjung selesai karena pemekaran tersebut. Persoalan
pemekaran wilayah kemudian terus ramai menjadi
konsumsi poitik ketika menghadapi Pemilukada (Pemilu
Bupati maupun Kota) juga Pemilu Legislatif demikian
ramai diperebutkan oleh masing-masing kandidat
dengan latar belakang etnis dan agama yang terdapat di
Maluku Utara.
Riset ini mendasarkan pada data lapangan (dengan
observasi lapangan yang dilakukan selama enam bulan),
melakukan wawancara mendalam dengan berbagai nara
sumber yang kompeten dalam bidang politik pemekaran
dan kaitannya dengan agama maupun etnisitas,
melakukan kajian kepustakaan atas literature ataupun
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Hasil temuan lapangan dan kajian pustaka dianalisis
dengan pendekatan sosiologis; khususnya sosiologi etnis
dan agama yang difokuskan pada perspektif induktif
analitik (thick description) sebagaimana dikemukakan oleh
para antroplog semacam Clifford Geertz) dan Borislav
Malinowsky.
D. Reproduksi Politik Pemekaran berbasiskan
Etnisitas dan Agama
Ada pertarungan yang keras dalam etnis dan agama
sebagai basisnya di wilayah pemekaran. Riset ini
menunjukkan bahwa di Maluku Utara, Kabupaten
Halmahera Utara dan Halmahera Barat, perilaku elit
local (Bupati), politisi partai bahkan sebagian elit
masyarakat membuat dramaturgi yang sangat
menghipnotis tentang basis etnisitas dan agama untuk
tetap bertahan atau pindah dalam sebuah wilayah baru.
Reproduksi etnisitas dan tradisi yang bertahun-tahun
lamanya dianut direproduksi dalam konflik dua wilayah
yang tak kunjung usai sampai sekarang sekalipun sudah
sepuluh tahun bahkan menginjak 12 tahun (sejak 1999
hingga 2011). Tidak terlalu banyak riset yang
menitikberatkan pada analisis etnis dan agama dalam
proses pemekaran sebagai bagian penting dalam konflik.
Ada beberapa yang mengkaji soal konflik etnis dan
agama dalam pemekaran seperti (Rizal Panggabean,
2002), ketika mengkaji pola kekerasan kolektif di
Indonesia sejak tahun 1990-2003, tetapi tidak khusus
masalah pemekaran.
Drama tentang sentiment etnis dan agama menjadi buah
bibir di masyarakat pendukung atau penentang atas
wilayah baru. Halmahera Barat direproduksi sebagai
daerah yang berlatar belakang etnis Jailolo, Bacan,
Tobelo dan Tobaru agak sering bahkan seringkali
dikonstruksikan akan sulit bila harus bergabung dengan
wilayah yang etnisitasnya berbeda dan dengan tradisi
berbeda pula. Reproduksi sejarah etnitas dan agama
menjadi bagian dari persoalan yang melanda menjadi
bagian dalam pemekaran Maluku Utara sampai saat ini.
Konstruksi tentang etnisitas dan agama pun
berkembang dalam dialog-dialog keseharian di
masyarakat.
195
Di pasar, angkutan darat, angkutan laut dan tempat
keramaian seperti lapangan sepakbola (karena
masyarakat suka main dan menonton bola) maka
reproduksi etnisitas dan agama berlangsung dengan
nyaris sempurna. Bagaimana reproduksi bahwa Jailolo
adalah “asal mula” etnis di Halmahera Barat yang
menyebar ke enam desa di kawasan Halmahera Utara
yang beribukota di Tobelo. Jailolo menjadi penting
dikemukakan karena merupakan kecamatan pertama
sebelum terjadi Pemekaran di Halmahera Barat. Selain
itu di Jailolo terletak kerajaan (Kesultanan Bacan) yang
dianggap sebagai asal usul masyarakat Halmahera. Oleh
sebab itu tetap harus menjadi satu dengan Halmahera
Barat siapapun masyarakatnya. Berkaitan dengan
reproduksi yang dikembangkan adalah hal yang tidak
mungkin etnis Jailolo dan Bacan perpindah ke wilayah
yang bukan tanah kelahirannya. Tanah kelahirannya
adalah Halmahera Barat bukan Halmahera Utara.
Reproduksi akan etnisitas dan agama di lapangan bola
bukan hal yang aneh kemudian membuahkan kekerasan
fisik ketika terjadi pertandingan antar desa atau antar
kecamatan. Bermula dari ejekan biasa kemudian
berubah menjadi ejekan antaretnis dan agama yang
berbuah kekerasan fisik pada salah satu pihak yang
bertanding.
Dalam sebuah pertemuan di Akelamo bulan 19 Agustus,
2010, dapat menggambarkan bahwa persoalan etnisitas
menjadi hal yang sangat serius dalam elit local Maluku
Utara, misalnya, mereka mengatakan demikian : FP dan
AF mengatakan:
“Kami yang hadir disini, akan mempertahankan sampai
titik darah penghabisan tetap menjadi penduduk
Halmahera Barat, ketimbang harus menjadi penduduk
Halmahera Utara. Sekalipun kami akan diberi segepok
uang dana comdev dari PT NHM. Tidak akan kami
berubah pendirian menjadi penduduk Halmahera Barat.
Secara historis kami adalah orang Jailolo dan Bacan.
Nenek moyang kami adalah orang Jailolo dan Bacan
bukan Tobelo. Semua ini hanyalah akal-akalan para elit
politik seperti Gubernur dan Bupati Halmahera Barat
dan Timur yang memperalat penduduk Jailolo untuk
saling konflik karena mereka mendapatkan untung
dengan masyarakat terus berkonflik. Darah segar kami
tumpah pun tidak masalah asalkan tetap menjadi bagian
dari Halmahera Barat. Siapapun yang mengajak kami
bergabung ke Halmahera Utara akan kami lawan ”.
Jika kita mengkaji lebih dalam soal proses pemekaran
dan transformasi kekuasaan daerah dan pusat akan
didapatkan bahwa tidak ada hal yang bersifat gratis dan
sekalipun harus mengorbankan hal yang sangat penting
seperti nyawa manusia dan harta benda yang telah
dikumpulkan. Bahkan lahan kehidupan lainnya seperti
pertanian dan perikanan. Dalam banyak kasus seperti di
Halmahera Barat dan Halmahera Utara karena
masyarakat selalu diperlakukan dalam politik etnis dan
agama maka kehidupan mereka menjadi tidak sejahtera
dan dilanda kemiskinan, namun masyarakat tak kuasa
menghadang bentuk-bentuk politisisasi etnis dan agama
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
oleh kelompok elit local. Kekuasaan reproduski etnis
dan agama dalam politik pemekaran adalah elit local,
baik kepala desa, pejabat kecamatan, pemerintah daerah
(kabupaten maupun pemerintah provinsi). Masyarakat
adalah pendorong gerbong kaum elit yang seringkali
lebih beruntung dalam konflik daerah pemekaran.
Hal yang juga, jika kita hendak mengkaji soal apa yang
dilakukan oleh pejabat daerah (bupati) sebenarnya kita
seringkali mendapatkan apa yang dalam bahasa popular
sekarang adalah adanya transaksi politik pemekaran
dengan sesama elit local dan elit pusat. Dan salah satu
sarana transaksi politik pemekaran adalah etnisitas dan
agama. Masyhur dan cukup mujarab sebab sentiment
etnis dan agama seringkali menjadi bagian sejak
kelahirannya. Reproduksi tentang kelahiran etnis dan
agama menjadi jelas untuk mainan politik kepentingan
elit local maupun pusat untuk mendapatkan untung.
Dalam ungkapan penduduk local sering kita dengar
bahwa para pejabat dearah konflik di Maluku Utara
bermain mata. Mereka bermain golf bersama dan
seringbertemu tetapi masalah konflik enam desa tak
pula kunjun selesai. Ada segepok uang yang digadanggadang disana. Masyarakat benar-benar menjadi korban
politik elit daerah.
Jika Reproduksi etnisitas berlangsung pada ruang-ruang
seperti lapangan bola maupun angkutan, pasar dan
pusat-pusat keramaian, reproduksi agama berlangsung
dalam ruang yang tak kalah menariknya. Masjid,
mushola, gereja dan pengajian-pengajian adalah ruang
yang paling popular untuk membuat konstruksi agama
sebagai bagian dari sentiment masyarakat yang terkena
dampak pemekaran. Masjid, mushola, gereja dan
pengajian-pengajian adalah lahan yang selama ini menjadi
pusat membangun reproduksi sentiment etnisitas dan
keagamaan. Kebetulan di Halmahera Barat dan
Halmahera Utara agamanya adalah Islam dan Kristen,
maka gereja dan Masjid adalah pusat yang paling popular
menjadi ruang mengkonstruksikan tentang siapa
sebenarnya mereka. Siapa mereka dan kelompok mana
yang dianggap menjadi bagiannya serta lawan politiknya
tidak jarang dikonstruksikan dan direproduksi dalam
tempat-tempat ibadah. Tempat ibadah bukan hanya
untuk membaca dan membawa umat pada kesalehan
individual pada Tuhan, tetapi sekaligus membawa umat
pada
sentiment politik tertentu
berdasarkan
kepentingan konstruksi elit agama dan elit politik.
Dalam sebuah Khutbah Jumat yang diselenggarakan di
Halmahera Barat, 17 Agustus, khatib mengkonstruksi
bagaimana Sultan Ternate adalah benar-benar syayidin
panata agama yang harus ditaati oleh warga Maluku
Utara. Sultan Ternate adalah tokoh pemersatu dan
penjaga keamanan masyarakat, sekaligus pemberi
kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, sebelum
Sultan memutuskan apakah enam desa menjadi wilayah
Kabupaten Halmahera Utara atau Halmahera Barat
maka kita tidak usah mengikuti apa yang menjadi
persoalan para elit politik local. Sultan adalah penentu
akhir soal pemekaran di Maluku Utara dan sekarang
196
belum memutuskan. Dalam doa khutbah secara khusus
sang Khatib membacakan untuk Sultan Ternate beserta
keluarga besarnya yang telah memimpin Ternate dan
Maluku Utara.
Apa yang dapat dibaca dari pengkutbah di Masjid
tersebut diatas? Tidak ada lain, kecuali hendak
memberikan konstruksi pada masyarakat bahwa apapun
yang terjadi di Maluku Utara harus menunggu Sultan
dan artinya Sultan adalah sosok tunggal yang dipandang
paling memiliki otoritas atas persoalan pemekaran di
Maluku Utara. Dikala harapan masyarakat pada Sultan
demikian tinggi, Sultan bergeming untuk tidak
memutuskan enam desa yang sudah 12 tahun konflik
pemekaran. Mengapa demikian, inilah yang menjadi
pertanyaan maha besar atas Permaisuri Sultan Ternate
(Muzzafar Syach), sebagai anggota Dewan Perwakilan
Daerah, sementara Ratu Boki Nita sang istri menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai
Demokrat. Sungguh menyimpan banyak pertanyaan
penting disana. Kita mungkin boleh bertanya, bukankah
ini politicking?
Persoalan genting lainnya terkait dengan soal etnisitas
dan agama adalah adanya kecenderungan perilaku etnis
(suku dan agama) yang menghubungkan soal sukuisme
dan chauvinism dalam kaitannya dengan para pemegang
saham kekuasaan daerah tentang posisi strategis di
daerah. Dalam banyak kasus di daerah pemekaran yang
terjadi di Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010
sebenarnya persoalan siapa yang memiliki saham
kekuasan menjadi persoalan cukup berpengaruh. Oleh
sebab itu, menempatkan posisi para pemilik saham
kekuasaan sebagai subjek yang layak menjadi kajian akan
menjadikan titik poros persoalan konflik daerah
pemekaran semakin kentara karena factor politik
kekuasaan. Saham kekuasaan etnis dan agama tertentu
akan berpengaruh pada pola kekerasan yang terjadi
disebuah daerah. Maluku Utara termasuk daerah yang
kekerasan kolektifnya cukup tinggi, mencapai 2.447
dalam kurun waktu 1999-2003 seperti dikemukakan
Rizal Panggabean. (Panggabean, dalam Koeswinarno dan
Dudung Abdurrahman, 2009)
Politik kekuasaan ini seringkali berbasiskan etnis
tertentu. Sekalipun kadang berbasiskan agama sebagai
determinan. Kasus Poso dan Ambon adalah persoalan
agama lebih determinan sekalipun sebagian peneliti dan
pengamat lebih suka menempatkan persoalan jarak
ekonomi masyarakat pendatang dan pribumi sebagai
masalah utamanya. Sementara Maluku Utara dalam
kasus enam desa (Bobane Igo, Akesahu, Akelamu,
Tetewang, Pasir Putih dan Dum Dum) berbasiskan
kesatuan etnis. Reproduksi yang saya katakan pada
bagian-bagian awal tulisan ini merupakan metode yang
dibangun agar kesamaan dan kesatuan etnis menjadi hal
yang dominan dalam menentukan pemilihan wilayah,
apakah Halmahera Utara ataukah Halmahera Barat.
Kekentalan akan hal ini menjadi basis dalam wacana
politik local Maluku Utara dari tingkat Provinsi sampai
Kecamatan bahkan desa-desa.
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Persoalan etnisitas akan menjadi hal yang sangat penting
di Maluku Utara, karena sentiment ini merupakan hal
yang dominan. Hal ini bisa dirujuk karena akan terkait
dengan pihak-pihak yang mengelola kondisi sumbersumber kekayaan daerah. Seperti kisah di Sulawesi
Barat dan Poso sebagai daerah Pemekaran dan areal
transmigrasi maka soal etnisitas sangat penting
posisinya. Enititas etnis tertentu akan berhasil dalam
proses-proses politik jika berhubungan dengan identitas
etnis tertentu. Keterkaitan antar etnis akan
memudahkan seseorang berada dalam level birokrasi
yang mapan dan berlangsung lama sebelum akhirnya
terjadi kudeta oleh etnisitas lain yang kemudian hadir
dan menjadi etnis yang berpengaruh dalam sebuah
pemekaran. Kekerabatan etnisitas dan agama menjadi
pola yang kuat dalam masyarakat Sulawesi Barat dan
Poso sebagaimana dilaporkan oleh Lorraine V Aragon
yang menunjuk pada persaingan anta relit local
berbasiskan etnis dan agama terutama sejak Orde Baru
hampir tumbang tahun 1990-1996. (Lorraine, dalam
Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken, 2007)
Maluku Utara adalah contoh yang nyaris sama dengan
Sulawesi Barat dan Poso. Etnis Makian adalah etnis yang
jumlahnya tidak seberapa besar tetapi dalam beberapa
tahun sepanjang sejarah Maluku Utara menjadi
penguasa. Etnis Makian merupakan etnis yang kuat
dalam hal kerja (pekerja keras, semangat maju yang
keras, berpendidikan lebih baik ketimbang etnis lain
dank arena itu secara ekonomi dan politik lebih
beruntung ketimbang etnis lainnya). Namun yang
menjadi soal adalah etnis Makian akhirnya dianggap
menjadi salah satu etnis yang menjadi sumber konflik
dan kerusuhan Maluku Utara ketika berpindah ke Teluk
Kao tahun 1999. Kerusuhan yang menimpa etnis Makian
ketika pindah dari wilayah lereng gunung Sei yang
diprediksi akan terjadi letusan merupakan hal yang
memberikan pertanda lain. (Abu Bakar Muhammad,
2009)
Pendeknya persoalan dominasi etnisitas karena politik,
birokrasi, ekonomi, sekalipun jumlahnya etnis Makian
tidak siginifikan alias sedikit (18.722 jiwa) tahun 1975
dan tahun 1998 menjadi 20.620 jiwa) akan menjadi
persoalan serius terutama dikalangan etnis yang
mayoritas, Jailolo, Bacan dan Tobelo-Tubaru. Dari sana
mengapa etnis Makian sampai sekarang dianggap sebagai
musuh bebuyutan etnis mayoritas di Maluku Utara,
Bacan, Jailolo, Tobelo dan Tobaru. Pertanyaan bisa kita
ajukan mengapa etnis yang sedikit tersebut bisa terus
bertahan dalam birokrasi pemerintahan, dalam
penguasaan ekonomi, dan politik local sesungguhnya
tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab selama ini dalam
politik etnis kita akan bertemu dengan apa yang kita
kenal dengan tradisi. Utamanya kesamaan tradisi
seringkali membuat penduduk merasa nyaman dan
aman ketimbang berada dalam tradisi yang beragam.
Tradisi sesama etnis dalam perilaku politik, ekonomi
dan social dengan mudah dapat dipahami sehingga
memungkinkan untuk kerjasama politik maupun
197
kerjasama social. Apalagi etnis Makian ini secara religi
juga relative sama yakni sebagai penganut Islam sehingga
akan mudah menerima tradisi dari Islam ketimbang
Kristen di wilayah Teluk Kao ataupun Akesahu
Gamsungi dan Akesahu apalagi Tobelo yang mayoritas
bertradisi Kristiani. Inilah persoalan kesamaan tradisi
yang membuat etnis Makian menjadi korban yang
sesungguhnya dalam konflik Maluku Utara tahun 1999
yang lalu bahkan sampai sekarang.
Etnisitas dan agama juga bukan hal yang imun dari
menggejalanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
dari sejak sebelum reformasi sampai orde reformasi
bahkan sampai Orde sekarang tahun 2009-2014. KKN
dalam bentuk kesatuan etnis dan agama ditambah
dengan kesatuan politik membuat semakin kuatnya
gejala KKN yang terjadi dari tingkat pusat hingga daerah
pemekaran. Maluku Utara adalah contoh yang tidak
berbeda jauh dengan daerah-daerah pemekaran lainnya
yang melanjutkan tradisi KKN dalam birokrasi
pemerintahan dan feodalisme kekuasaan keagamaan.
Pemilihan Walikota Ternate yang melibatkan putra
Gubernur (sekalipun akhirnya kalah) dengan kandidat
lain adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Apalagi
terdengar bahwa dua putra Gubernur akan diajukan
dalam Pemilihan Bupati di Kabupaten Maluku Tengah
dan Kepulauan Morotai. Inilah sebuah bentuk neofeodalisme yang telah berlangsung cukup lama dalam
tradisi politik Indonesia.
Hal yang juga menjadi persoalan krusial lainnya dalam
konflik pemekaran di Maluku Utara adalah terkait
konstruksi politik tentang etnis dan keagamaan dalam
daerah pemekaran. Disana terjadi apa yang kita kenal
dengan sebutan politik diskriminatif atas kelompok etnis
dan agama lain. Disini sekaligus bagaimana menafsirkan
tentang pendatang atau orang baru dalam daerah
pemekaran. Pendatang adalah factor yang sangat penting
dimasukan dalam konteks politik pemekaran di Maluku
Utara, sekalipun masyarakat sebenarnya tidak seberapa
memahami apa itu pendatang dan apa itu penduduk asli.
Tetapi reproduski yang kemudian mengkonstruksi
masyarakat dalam dua belahan besar : masyarakat asli
dan masyarakat pendatang menjadi hal yang tidak
terelakan dalam politik pemekaran yang mendasarkan
pada etnisitas dan religi-agama. Semuanya jika hendak
disambungkan tidak ada lain kecuali adanya keinginan
memperpanjang dominasi etnis dan agama dalam sebuah
wilayah sehingga etnis dan agama yang berbeda dan
bahkan minoritas tidak akan pernah mendapatkan
kesempatan dalam birokrasi pemerintahan sampai
tradisi politik KKN berubah menjadi tradisi politik
professional dan bersih.
E. Transaksaksi Politik Lokal berdasarkan
identitas etnis
Nyaris tidak pernah terbantahkan jika dalam sebuah
proses politik terjadi transaksi sekaligus persaingan
antara Elit local versus elit pusat. Dan hal yang paling
menyedihkan dan menarik untuk tetap diperhatikan
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
adalah kontestasi dan transaksi berdasarkan etnis.
Penjelasan Clifford Geertz dan Malinowsky diatas dapat
memberikan penjelas pada kita untuk melihat betapa
kepentingan etnis dan agama tidak pernah ditinggalkan
dalam persoalan politik local maupun nasional. Dalam
bahasa lain, perpolitikan kita belum bisa beranjak pada
politik yang lebih mentransendensikan etnisitas dan
agama sehingga berpolitik lebih mengutamakan pada
pensejahteraan public dan pelayanan masyarakat. Politik
kita adalah politik chauvinism yang lebih mendasarkan
pada etnis dan agama bukan pada multikulturalisme dan
heterogenisasi agama. Multikulturalisme politik dan
persaingan
politik
berbasiskan
kapasitas
dan
profesionalisme belum menjadi tradisi dalam proses
politik local. Pencitraan memang seringkali dijadikan
sebagai metode menggiring massa pemilih untuk
menentukan pilihannya, namun sejatinya bukan pada
soal profesioalisme dan kapasitas kandidat pemimpin di
level daerah (Gubernur, Walikota ataupun Bupati).
merupakan penggambaran paling jelas untuk menarik
simpatik dan sentiment etnisitas dalam proses politik di
Maluku Utara.
Elit ditingkat pusat akan berupaya menyambungkan
konteks local dengan etnisitas dan agama ketimbang
dengan dengan kondisi social ekonomi riil yang menjadi
kebutuhan masyarakatnya. Hal ini sekaligus memberikan
penjelas pada kita bahwa kualitas politisi kita baik
tingkat local maupun pusat sebenarnya masih pada level
mempertahankan identitas secara sempit ketimbang
mengembangkan
tradisi
politik
yang
terbuka
(inkulvisime politik) yang berbasiskan pada kerangka
nation state dan keindonesiaan yang majemuk dalam hal
etnis dan agama. Identitas agama dan etnis menjadi
pokok dalam perhelatan politik local, sekalipun tidak
jarang menghasilkan kerusuhan massal karena sentiment
etnis dan agama bermain secara tak beraturan. Kita
dapat saksikan misalnya dalam hal poster-poster
kandidat kepala daerah atau kandidat bakal anggota
legislative, hampir selalu menyertakan sebutan ASLI dan
DARI. Dua kata ini merupakan ungkapan untuk secara
tegas memberikan deskripsi singkat bahwa dirinya
adalah sosok yang dianggap merasa dan dirasa akan
mewakili aspirasi masyarakat ketika nanti terpilih.
Bahwa nanti setelah terpilih yang terjadi adalah
transaksi politik antar elit local dengan pusat atau tidak
menjadi representasi merupakan persoalan lain.
Soal lainnya yang perlu menjadi perhatian kita adalah
selain adanya transaksi berdasarkan kesamaan etnis dan
agama, di Maluku Utara sebenarnya berlangsung
pertarungan antara Elit local versus elit local
berdasarkan etnis. Kondisi ini sangat kuat dan kentara
dalam konflik pemekaran enam desa yang tak kunjung
selesai sampai sekarang. Antar elit local berdasarkan
etnis tertentu mendorong terjadinya hegemoni dan
dominasi dalam pemerintahan dan birokrasi ketimbang
berbagi etnisitas sesame warga Maluku Utara. Hal ini
tentu saja membuat semakin runyamnya politik di
Maluku Utara karena antar etnis tidak bersedia akur
apalagi duduk bersama untuk membahas masa depan
daerah pemekaran. Perhatikan komentar salah seorang
birokrat dibawah ini yang bukan asli dari Maluku Utara
sekalipun sudah puluhan tahun di Maluku Utara.
Maluku Utara adalah eksemplar yang menarik untuk
dibaca dalam konteks gagasan merayakan kemajemukan
politik berdasarkan agama dan etnis. Hal ini karena di
Maluku Utara persoalan etnis dan agama sebagaimana
saya kemukakan diatas menjadi penyanggap politik
identitas yang bermakna sempit (bukan bermakna
keindonesiaan). Etnisitas dan agama adalah komoditas
politik yang masih mampu menghadirkan banyak
kebentungan politik pada kandidat yang hendak
bertarung. Identitas etnis dan agama merupakan salah
pijakan seseorang hendak maju dalam Pemilukada dan
Pemilu legislative. Ungkapan lain yang juga popular
adalah penggunaan BAHASA LOKAL yang hanya
dimengerti oleh mereka dan masyarakatnya, bukan
orang lain. Ungkapan dengan BAHASA LOKAL
198
Bahkan penggunaan gelar kedaerahan dan keagamaan
merupakan hal yang ramai dipakai dalam proses politik
di Maluku Utara, misalnya menempelkan gelar etnis
tertentu, JIKO MAKOLANO, Tuan Haji atau Tuan Guru
dan seterusnya. Semuanya dapat dibaca sebagai cara
mengaitkan identitas etnis dan agama dalam proses
politik berlangsung. Memang terdapat kandidat yang
mengusung slogan bergaya metropolitan namun tak
dapat meghipnotis masyarakat, bahkan dikesankan
lelucon belaka. Kandidat menggandeng Presiden
Amerika Obama bersalaman dan bersanding dengan
dirinya. Begini ungkapannya: “Selamat Om Bama, Anda
menjadi Presiden Amerika. Doakan saya menyusul
kesuksesan Om Bama. Obama menjawab: Saya doakan
semoga Anda Sukses, sambil berjabat tangan!”
“Disini namanya etnistas sangat kuat. Jika ada salah
seorang pejabat dari etnis tertentu, dia akan membawa
serta etnis kelompoknya dalam birokrasi. Hal ini yang
menyebabkan adanya KKN dalam politik di Maluku
Utara dan akan terus terjadi ketika antara etnis di
Maluku Utara tidak segera memutus mata rantai
etnisitas tersebut. Hal yang dikhawatirka adalah adanya
politisasi etnis untuk kepentingan politik kelompok etnis
sebagaimana sekarang terjadi dalam Pemekaran
Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat”.
(AB, 19 Agustus 2010)
Oleh karena politik Maluku Utara berdasarkan pada
sendi etnis dan agama maka hampir dipastikan bahwa
dalam birokrasi pun akan terjadi pertarungan antar
kelompok etnis yang sedang berkuasa dan bersiap akan
berkuasa. Dalam Elit local dengan birokrasi
pemerintahan identitas etnis akan menjadi hal yan
krusial dan perlu diperhatikan sehingga membaca
konflik pemekaran Maluku Utara bisa dikatakan tidak
bisa tanpa memperhatikan dimensi etnisitas dan agama
dalam politik. Bahkan yang paling membahayakan adalah
sebagaimana dalam politik pemekaran di daerah lain
soal asal usul etnis terjadi pula di Maluku Utara. Elit
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
local mempergunakan etnisitas dan agama sebagai
perekat politiknya sehingga dimensi etnis dan agama
tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai sandera
politik etnis dan agama, sebab itukah buffer zone politik
local yang sampai sekarang dipelihara.
Elit local dengan tentara setempat dan tentara dari lain
dari pun tak jarang berkolaborasi dalam KKN politik di
Maluku Utara. Politik berdasarkan latar belakang etnis
dan asal usul daerah menjadi factor yang juga
berpengaruh dalam politik pemekaran di Maluku Utara.
Sungguh pun dalam banyak hal tidak menguntungkan
untuk pengembangan daerah pemekaran, namun tradisi
menghubungkan daerah asal dan menghubungkan
dengan tentara menjadi factor yang cukup berpengaruh
dalam tradisi politik di Maluku Utara. Inilah yang selama
ini juga telah menjadi perhatian oleh para peneliti dan
penulis tentang politik Maluku Utara. Konflik Maluku
Utara tidak pernah imun dari kehadiran tentara yang
berlatar belakang etnis dan agama sama dengan elit
politik yang berkuasa. Tulisan Abu Bakar Muhammad
memberikan penjelasan soal seperti ini. (Abu Bakar
Muhammad, 2009)
In many cases, local elites continue to take advantage of
the presence of ethnicity to gain advantage in politics
and economics. Ethnically the most get the spotlight is
a four because they are on important positions at the
level of The North Maluku province, in addition to
ruling on Tidore ethnic level the Country. In addition
to the two dominant ethnicities in politics there are
ethnic Tobaru in North Halmahera area which is
mostly Protestant. The third ethnic is currently into the
elite in North Maluku so get a variety of good
economic and political advantage.
Table 1: The Rent Seeking Politics
Actors
Governor
Patront
Interests
Regency,
Economics
Enterpreuner
and
local
NHM,
local power
politicians
elite, military
and legislators
Regency
District elite Economics
(camat),
resources
regency
and and political
enterpreuner,
legitimation
military
Enterpreuner Local
Economics
MNCs
enterpreuner,
resources
governor,
and politics
regency
and legitimation
military
Base on field research, Ternate North Maluku,
2013
199
F. Agenda-Agenda Politik Identitas Etnis dan
Agama
Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan Pemilihan
Legislatif merupakan agenda politik yang terjadi di
Maluku Utara. Kontestasi antar calon Gubernur, Bupati,
Walikota dan anggota legislative tidak pernah sepi dari
persaingan antar kontestan yeng berlatar belakang etnis
dan agama tertentu. Benar bahwa persoalan agama
tidak demikian menguat, tetapi kita dapat saksikan
betapa pemberlakuan formalism agama menjadi bagian
dalam tradisi politik Maluku Utara. Setiap Jumatan
misalnya, jalan raya yang melewati masjid mesti ditutup
tidak boleh terdapat kendaraan melewatinya. Jika ada
yang melewatinya akan ditangkap dan dihukum oleh
masyarakat.
Daerah Halhamera Utara dan Halmahera Barat salah
pusat yang dalam politik local menjadi penting
diperhitungkan. Enam desa merupakan wilayah potensial
dengan sumber daya alam dan etnis yang beragam dan
agama beragam. Akelamo berpenduduk mayoritas
(100%) muslim. Akesahu mayoritas Kristen dengan
hanya 18 KK beragama Islam. Bobani Ego mayoritas
muslim, Dum-Dum 100 % Kristen, Tetewang mayoritas
muslim, dan Pasir putih mayoritas Kristen. Dari enam
desa yang ada, penduduk terpadat adalah Bobani Ego
dan Akelamo, dengan jumlah penduduk 233 KK, Bobani
Ego 487 KK, sedangkan empat desa lainnya adalah:
Akesahu 668 jiwa; Tetewang 668 jiwa; Pasir Putih 544
jiwa, Dum Dum 110 kk. (Team Peneliti PSKP UGM,
2010)
Dengan kondisi penduduk semacam itu, elit lolak
seringkali bermain dalam proses politik local dengan
memanfaatkan sentiment etnis dan agama sebagai
pemantiknya. Ketika riset ini berlangsung misalnya,
adalah waktu yang sudah berdekatan dengan Pemilihan
Walikota Ternate, dimana salah seorang calon berasal
dari etnis Bacan dan Jailolo sehingga situasi etnis cukup
menonjol disana. Bahkan ketika salah satu pasangan
kalah masih menggugat ke MK sekalipun akhirnya kalah.
Dan ketika Pemilihan Bupati hendak berlangsung
gambar dari masing-masing calon sangat gencar beredar
di Akelamo, Akesahu, Bobani Ego, Tetewang, Pasir
Putih dan Dum Dum yang berlatar belakang etnis
tertentu sebagai latar belakangnya. Situasi etnisitas dan
agama sangat terasa di desa-desa tersebut.
Hal yang paling jelas terlihat lainnya adalah adanya
Forum Komunikasi Kepala Desa di Enam Desa yang
diketuai seorang mantan kepala desa dan mantan angota
dewan. Forum Kepala Desa ini sangat keras
penolakannya terhadap penggabungan atas enam desa
menjadi wilayah Halmahera Utara dengan argument
sejak nenek moyang merupakan etnis Jailolo Timur,
bukan Tobelo sebaai ibu kota Halmahera Utara. Situasi
kental etnis dan agama behubungan satu dengan lainnya.
Dimana kepala desa desa Kristen adalah seorang
Kristen, sedangkan kepala desa muslim adalah seorang
muslim. Benar bahwa disana mayoritas Kristen atau
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Muslim tetapi yang menjadi perhatian adalah ikatan
emosional etnisitas dan agama menjadi dinomor satukan
ketimbang persoalan pelayanan pada masyarakat yang
telah dua belas tahun dilanda konflik pemekaran (19992010). Identitas keagamaan dan etnisitas benar-benar
menjadi ikata emosionalwarga masyarakat Maluku Utara
dalam menghadapi Pemilukada (Bupati maupun
Walikota dan Pemilu Legislatif). Hal ini yang pantas
diperhatikan seksama.
Perilaku Elit dalam politik Pemekaran berdasarkan
kultur dan etnis sangat nyata terjadi di Maluku Utara.
Itu yang kiranya dapat menjelaskan mengapa konflik
pemekaran di Maluku Utara tak kunjung usai dalam
proses penyelesaian. Hal ini karena masing-masing etnis
membawa agendanya sendiri-sendiri sebagai bagian dari
politik patronase atau kongkalikong antara elit tingkat
pusat dengan elit tingkat daerah (gubernur dan Bupati
sekaligus walikota). Politik patronase dan kongkalikong
sekalipun banyak dikecam orang dan ahli politik yang
berpaham demokratis dan anti feodali namun dalam
prakteknya
terus
berjalan
dan
tampaknya
menguntungkan dalam tradisi politik local seperti di
Maluku Utara. Patronase merupakan bagian tak
terpisahkan dalam kultur politik local.
Oleh sebab itu, agak sulit diselesaikan ketika dimensi
politik etnis dan agama masih dijadikan kendaraan
permainan politik local. Persoalan politik pemekaran
hanya akan berkembang pada level elit local dan
nasional yang memiliki agenda-agenda politik
mempertahankan dominasi politik, ekonomi, birokrasi
dan
budaya.
Pemekaran
benar-benar
akan
memperbanyak jumlah birokrasi, pejabat dan politisi
tetapi minim pelayanan public sebagaimana kita jumpai
di Maluku Utara, khususnya pada enam desa. Terjadi
dualism pemimpin local (Desa) tetapi miskin fasilitas
apalagi kemakmuran daerah. Yang menikmati
pemekaran adalah elit local di masing-masing
Kabupaten, dan desa, sementara warga masyarakat
hanya menjadi bagian dari komoditas politik elit local
yang suaranya dibutuhkan ketika terjadi perhelatan
politik lima tahunan.
decision making dalam Negara sentralistik, yang
tercermin dalam UU tahun 1975; dan (3) sebagai
devolusi, yang menyangkut transfer kekuasaan secara
actual ketingkat pemerintahan yang lebih rendah dan
diimplementasikan pada tahun 2011.
Dalam tiga tafsir pemekaran itulah proses politik di
daerah dan pusat tidak pula segera terselesaikan dengan
baik. Bahkan dalam beberapa kasus pemekaran,
sebagaimana dievaluasi oleh lembaga-lembaga survey
semacam Lembaga Survei Indonesia, 88 % daerah
pemekaran sebenarnya telah gagal dalam menjalankan
filosofi dari pemekaran itu sendiri, karena politik local
daerah
pemekaran
berjalan
pada
feodalisme
kepemimpinan yang pernah berjalan pada zaman orde
sebelum pemekaran, yakni zaman orde sentralisasi.
Persoalan politik pemekaran karena masih banyaknya
kepentingan sentiment etnis dan kelompok dominan
ketimbang politik yang mementingkan kesejahteraan
dan kemakmuran serta keamanan masyarakat umum.
Peta Konstruksi Elit tentang pemekaran jauh berbeda
dengan konstruksi kaum minoritas dan masyarakat.
Kaum minoritas secara etnis dan agama memandang
bahwa pemekaran merupakan agenda politik kaum elit
yang memiliki kepentingan memperpanjang dominasi
kekuasaan dan menguasai masyarakat secara legal dan
disyahkan karena melalui proses politik Pemilu Lokal
yakni Pemilukada (Pemilihan Gubernur, Walikota, dan
Bupati). Dari sana elit politik local mendapatkan
kesempatan untuk mengklaim mendapatkan mandate
dari rakyat banyak sekalipun dalam perilaku politiknya
tidak membela kepentingan rakyat.
Memperhatikan peristiwa politik pemekaran di Maluku
Utara dua hal menjadi sangat dominan yakni identifikasi
etnis dan agama menjadi bagian tak terpisahkan dalam
proses politik. Identitas etnis dan agama menjadi
bungkus yang mujarab untuk melakukan penolakan atau
penerimaan sebuah kehendak pemekaran. Pemekaran
dengan begitu tidak lain kecuali sebagai sebuah proses
dari apa yang oleh Clifford geertz sebut sebagai involusi.
Inilah Involusi politik karena berbasiskan etnisitas dan
religi.
Referensi
G. Kesimpulan
Setelah kita baca apa yang teradi pada pemekaran di
Halmahera Barat dan Halmahera Utara pada enam desa,
sesungguhnya kita mendapatkan konstruksi Politik
Pemekaranpada level elit politik, konstruksi pada
masyarakat mayoritas dan masyarakat minoritas. Pada
level elit, pemekaran adalah jalan keluar untuk
mengatasi
sentralisasi
kekuasaan
pusat
pada
desentralisasi kekuasaan. Prinsip desentralisasi yang
didefinisikan dalam tiga kategori: (1) sebagai delegasi
tugas-tugas tertentu sementara pusat masih menguasai
beberapa sentra-sentra kekuasaan secara keseluruhan
yang dapat diperbandingkan dengan UU tahun 1974; (2)
sebagai dekonsentrasi yang mengacu pada pergeseran
200
Abu Bakar Muhammad, Merajut Damai di
Maluku Utara, UMMU Press, 2009
Geertz, Clifford, Islam Observed, Chicago
University, USA, 1967
Geertz Clifford, Religion of Java, USA 1958
Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken,
Politik Lokal di Indonesia, 2008
Irfan Abu Bakar (ed), Transisi Politik dan
Konflik Kekersan, UIN Jakarta, 2005
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, 2001,
Bandung, Mizan
Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman,
Fenomena Konflik Sosial di Indonesia, UIN
Sunan kalijaga, 2006
Syafuan Rozi (dkk), Kekerasan Komunal,
Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia, 2006
TK. Ommen, Kewarganegaraan , Kebangsaan
dan Etnisitas, 2009
Team Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian,
UGM, Laporan Assesment di Enam Desa
Kabupaten Halmahera Barat, 2010
Antlov, Hans, (2002) The State in the Country, Lappera,
Yogyakarta, 2002,
Decentralization Support Facility, 2007, Proses dan
Implikasi Sosial Politik Pemekaran, studi kasus
di Sambas dan Buton, Laporan, tidak
dipublikasi, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Depdagri,
2008, Rekapitulasi Permasalahan Perbatasan
antar Provinsi , Laporan , Tidak dipublikasi,
Jakarta.
D. Harmantyo, 2007, Pemekaran Daerah dan Konlik
Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan
Implementasinya di Indonesia, Makara, Sains,
Vol. 11, No.1, April 2007, Dept. Geografi UI,
Jakarta.
Donald K Emmerson, 2001, Beyond Suharto, Politics,
Economy and Power, University
of Melbourne, Australia,
Faisal Bakti, Andi, (ed) 2000, Good Governance and
Conflict Resolution in Indoensia, Logos, Jakarta
Hancoock (2007), The Gods of Poverty, Pustaka
Cinderalas, Yogyakarta
Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken, Local
politics in Indonesia, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta 2007, KITLV
Jones, Stephen, B.,2000, Boundary Making, A Handbook
for Statesmen, Treaty Editors and Boundary
Commissioners , William S. Hein & Co.,Inc,
Buffalo, New York.
Kausar dan Eko Subowo , 2008, Kebijakan Penataan
Batas Antar Daerah, Modul pelatihan
Penegasan Batas Daerah, Jurusan Teknik
Geodesi FT UGM, tidak dipublikasi,
Yogyakarta.
KPU, North Maluku Province 2009
Leo Agustino, A political Dynasty after the Autonomy of
the new order: the experience
of Banten, Prism, vol 29, No. 3, July 2010,
Muhamin, A. Yahya, 1991, Business and Politics of the
New Order Era, LP3ES, Jakarta
Mochtar Masoed, (1987) The structure of the political
economy of the new order, 19661985, LP3ES, Jakarta
201
Rasyid, Ryaas, M., 2002, Otonomi Daerah : Latar Belakang
dan Masa Depannya, Workshop Desentralisasi,
Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintah
Daerah, Cetakan ketiga, LIPI Press, Jakarta.
Safuan Razi, (2001), Communal Violence and conflict
resolution: Anatomy in
Indonesia, LIPI, Jakarta
Sutisna Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo, 2008,
Boundary Making Theory dan Pengelolaan
Perbatasan
Di
Indonesia,
Workshop
Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Jurusan Ilmu
HI/UPN Veteran, Yogyakarta, 18 – 19
November ,2008.
Tri Ratnawati, 2009; For Sea Areas: Local Politics and The
Issues Selected, LIPI 2009
TK, Ommen (2007). Citizenship, nationality and Ethnicity,
Creation of discourse,
Yogyakarta
Subowo, E.,2009, Makalah disampaikan pada FGD
Permasalahan Konflik Batas Wilyah, 24
Desember 2009 di Jurusan Teknik Geodesi
Fakultas Teknik UGM.
Vivian Louis Forbes, 2001, Conflict and Cooperation in
Managing Maritime Space in Semi-enclosed Seas,
Singapore University Press, Yusof Ishak House,
Singapore.
Welfizar,
2004,
Analisis
Alternatif
Kebijakan
Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah
Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, Tesis ,
Program Studi Magister Adminstrasi Publik,
Konsentrasi Kebijakan Publik, Pasca Sarjana
UGM, Yogyakarta.
Winters, Jeffry (2007), Democracy and Oligarchy,
Gramedia Pustaka Utama
Zartman, I William, Governance as Conflict Management :
Politics and Violence in West Africa, Washington
DC, USA, 1997
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Download