HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA (Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) OLEH: MASRUR RAHMANSYAH NIM: 1110043100048 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M / 1437 H بســـــــم اهلل الرّمحن الرّحيـــــــــم KATA PENGANTAR Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji hanya bagi Allah Swt, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia ni’mat-Nya kepada hambaNya. Shalawat beriring salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasul pilihan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju gerbang masa depan yang cerah. Disebabkan hal itu penulis mencoba untuk menyelesikan suatu karangan ilmiyah yang merupaka salah satu syarat demi menggapai masa depan tersebut dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun penulis sadar dalam menulis skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya, akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi orang banyak. Perlu diketahui penulis tidaklah dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Fahmi Ahmadi, S.Ag, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekertaris iv Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc., M.A selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT. 4. Para dosen Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis semasa kuliah dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya. 5. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Chairul Hadist dan Ibu Siti Masyitoh, yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat juga membimbing penulis, serta adik-adik tercinta Adib Adzkari, Siti Chairu Widha, dan Ahmad Haikal Asyraq semoga mereka senantiasa dalam lindungan Allah SWT. 6. Adinda tercinta Rahmawati yang selalu memberikan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 7. Para sahabat seperjuangan, teman-teman bertukar pikiran, PMH Angkatan 2010, Ahmad Munir, Ahmad Fatih, Syukria, Ibnu Rusdi, Abdul Mukti, Abdul Aziz, yang selalu menyemangati penulis. 8. Adik-adik kelas, Angkatan 2011, Edi Jon, Fauzan Ocid, Syardi Hakim, Ma’mu Siroj. 9. Dan seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT. v Hanya untaian kata terimakasih serta doa yang dapat penulis berikan. Semoga semua pihak yang telah membikan semangat, motifasi serta arahannya kepada penulis senantiasa diridhoi setiap langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak. Jakarta: 12 September 2016 M 10 Zulhijjah 1437 H Penulis vi ABSTRAK Masrur Rahmansyah, NIM 1110043100048, “HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA” (Analisis Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia V Tahun 2015), konsenterasi Perbandingan Mazhab FIKIH, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H / 2014 M. 1-67 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam di dalam hukum hak asuh terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama analisis keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015, penyebab difatwakannya tentang hak hadhanah bagi orang yang bercerai beda agama adalah menyalahi kepada norma-norma agama yang saat ini banyak terjadi di Indonesia hak asuh anak jatuh kepada orang non muslim setelah bercerai, bukan itu saja penyebab lainnya yaitu banyak tindakan dikriminasi terhadap anak yang di asuh oleh orang tuanya oleh karenanya MUI mebuat suatu fatwa yang mengatur hal itu maka dalam hal ini penulis telah meneliti secara mendetail tentang keputusan fatwa dan kasus tersebut. Hasil penelitian menunjukan Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya mutlak harus diasuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini diatur oleh alQur’an dan Assunah. Adapun Metode isthinbath hukum MUI dalam memecahkan permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum Islam yang sifatnya qot’i yaitu al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma ulama mu’tabarah dan mengambil dari pendapatpendapat ulama yang rojih, maka sifat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat dan tidak bisa di ganggu gugat. Adapun penelitian skripsi ini menggunakan metode kuantitatif yag menekankan pada kualitas ranah pemahaman terhadap keputusan Ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan metode normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan fatwa MUI. Adapun bahan yang digunakan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan sekunder kemudian bahan pengelolaan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang di hadapi. Kata Kunci : Hak Asuh, Anak, Bercerai, Beda Agama Pembimbing :Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1948 sampai tahun 2013 vii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................................. iv ABSTRAK .................................................................................................................... vi DAFTAR ISI................................................................................................................. viii BAB I BAB II : PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5 D. Studi Riview Terdahulu ....................................................... 6 E. Metode Penelitian ................................................................ 7 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 9 : TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH ...................... 10 A. Pengertian Hadhanah .......................................................... 10 B. Hukum Hadhanah ............................................................... 11 C. Syarat-syarat Hadhanah ...................................................... 16 D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah .............. 23 BAB III : KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SEINDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK ASUH ANAK TEHADAP ORANG TUA BERCERAI SEBAB BERBEDA AGAMA ................................................................ 28 A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku .... 28 B. Metode Penetapan Fatwa ..................................................... 34 viii C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama ......................... 39 BAB IV : ANALISIS TENTANG FATWA .............................................. 44 A. Metode Istinbath MUI ......................................................... 44 B. Dalil ..................................................................................... 50 C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama.................................................................................. 56 BAB V : PENUTUP ................................................................................. 62 A. Kesimpulan ............................................................................ 62 B. Saran ..................................................................................... 63 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 64 ix BAB IV ANALISIS TENTANG FATWA A. Metode Istinbath MUI Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.1 Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:2 1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. 1 Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, (Los Angels: University of California, 1990), h. 92. 2 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,( Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003), h. 4-5 44 45 2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijmă’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzarĭ’ah. 3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapatpendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. 4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya, dipertimbangkan. Dasar-dasar penetapan istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh ulama salaf. Sikap tersebut yang digunakan dalam menetapkan fatwa MUI adalah perlunya memikirkan semua kemaslahatan umat disaat menetapkan fatwa, di samping itu pula juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama mazhab fikih, baik itu pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidaklah cenderung kepada dua pendapat, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.3 3 http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html di Akses Pada Tanggal 28 Juni 2016 Pukul 21. 00 WIB. 46 Dari pembahasan diatas maka penulis berkesimpulan bahwa MUI menetapkan Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama berdasarkan metode isntibath hukum yang bersumber dari Al-quran dan As-Sunah yang kemudian dikaji lebih dalam oleh ulama salaf terdahulu. Adapun dalil meistinbathkan hukum Hadhanah akibat bercerai yang digunakan dalam karena berbeda agama adalah sebagai berikut: a. Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233: Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila 47 keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233) Surat at-Tahrim ayat 6: Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6) Surat an-Nisa ayat 141: Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. AnNisa: 141) 48 b. As-Sunnah َعَرِجَ ،ع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َر ِض َي َع ْن َعْب ِد َّ الر ْْحَ ِن بْ ِن ُهْرُمَز ْاْل ْ ول اللَّ ِ اللَّهُ َعْنهُ ،أ َّ ال" : ه صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ,قَ َ َن َر ُس َ َ صَرانِِه ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة ،فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه ،أ َْو يُنَ ِّ ِِ 4 ُُيَ ِّج َسانه Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. ِ ِ سَ ،حدَّثَنَا َعْب ُد َحدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن ََْبرَ ،حدَّثَنَا ع َ يسى بْ ُن يُونُ َ ِ ِ ِ ِ ا ْْلَميد بْ ُن َج ْع َفر ،أ ْ َخبَ َرِِن أَِِبَ ،ع ْن َجدِّيَ ،راف ِع بْ ِن سنَان أَنَّهُ ِ ِ صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َسلَ َم َوأَبَ ْ ت ْامَرأَتُهُ أَ ْن تُ ْسل َم ،فَأَتَت النِ َّ أْ َِّب َ ِ ِ ال ال َرافِ ٌع :ابْنَِِت ،فَ َق َ يم أ َْو َشبَ ُههَُ ،وقَ َ فَ َقالَ ْ ت :ابْنَِِتَ ،وه َي فَط ٌ لَه النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم " :اقْ ع ْد نَ ِ ال ََلَا" : احيَةً " َوقَ َ ُ ُ ُّ َ ُ َْ ََ َ اقْ ع ِدي نَ ِ الْ " :ادعُ َو َاها "، الصبِيَّةَ بَْي نَ ُه َماُُ ،ثَّ قَ َ احيَةً " فَأَقْ َع َد َّ ُ صلَّى اهللُ َعلَْي ِه ت إِ ََل أ ُِّم َها ،فَ َق َ فَ َمالَ ْ ال النِ ُّ َِّب َ ِ َخ َذ َها( .رواه أْحد).5 ْاهد َها " فَ َمالَ ْ ت إِ ََل أَبِ َيها فَأ َ الله َّم َو َسلَّ َمُ " : 4 Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h. 513. Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168. 5 49 Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad) c. Ijma’ Ulama Ulama sepakat bahwa syarat seseorang dapat mengasuk anak adalah sebagai berikut: 1) Berakal sehat. 2) Dewasa (baligh) 3) Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak. 4) Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik. 5) Beragama Islam. Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut diatas. 50 Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non muslim itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri maupun orang lain. 6 Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.7 Mazhab Syafi‘iyah dan Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa hādinlah yang berhak atas itu, apabila hādin tidak bersedia melaksanakan hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya B. Dalil 1. Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233: 6 Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Katani, dkk:, h. 67 7 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fikih, Jilid 2, (Jakarta: IAIN, 1983), h.212. 51 Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabilakeduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233) Pada ayat ini MUI mengambiil Istinbatul ahkam dari sepenggal ayat yaitu: Penulis berpendapat pada potongan ayat tersebut sudah dapat diketahui bahwa wajib bagi orang tua memberikan nafkah dari rizki yang halal. Kewajiban tersebut dapat diketahui dari lafaz ‘ala yang diantaranya memberikan faidah lilisti’la dan littaukid artinya wajib dilaksanakan 52 secara syar’i. Maka tidak dapat dipungkiri MUI memberikan fatwa atau syarat bahwa seorang pengasuh wajib memberikan rizki yang sifatnya halal. Jika bertolak belakang dengan fatwa ini maka tidak boleh mengasuh anak. Surat at-Tahrim ayat 6: Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6) Pada ayat ini MUI memenggal potongan ayat yaitu jumlah artinya adalah wajib bagi orang yang beriman agar menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Maksudnya adalah lafaz qû itu berbentuk amar yang memberikan artian wajib mengerjakan (Lithalab) sebagaimana qaidah ushuliyah mengatakan: 8 ِ صل ِف ْاْلَ ْم ِر لِلْوجو َّ ب إِلَّ َم َاد َّل الدلِْي ُل َعلَى ِخ َلفِ ِه ُْ ُ ُ ْ َاَْْل Asal perkara di suatu perintah itu wajib kecualai ada dalil yang memberikan prbedaannya. 8 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: ttp, tth), h. 6. 53 Surat an-Nisa ayat 141: Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. AnNisa: 141) Menurut penulis MUI mengambil ayat ini sebagai dasar seorang pengasuh tidak boleh beragama non Islam karena alasannya adalah dilihat dari lafaz lan mengandung arti meniadakan untuk zaman akan datang maka dapat difahami bahwa hubungan antara manhtûq dan mafhum menyimpulkan pada masa akan datang non muslim tidak berhak mengasuh anak yang beragama Islam apalagi untuk saat ini maka mutlak tidak boleh untuk mengasuh anak. Hal ini dapat difahami pula dari lafaz sabila yang bentuk lafaznya isim mufrad sedangkan lafaz mufrad maknanya umum (tidak tertentu dan tidak dapat diketahui), maka kesimpulan pemahaman penulis MUI mengambil dasar hukum dari ayat 54 ini adalah hukum Islam tidak mentolelir bagi seorang non muslim untuk mengasuh anaknya yang beragama Islam dalam seluruh aspek. 2. As-sunnah َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َر ِض َي،َعَرِج َّ َع ْن َعْب ِد ْ الر ْْحَ ِن بْ ِن ُهْرُمَز ْاْل ِ َ َن رس " :ال َ َ ق, صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َ ول اللَّه ُ َ َّ أ،ُاللَّهُ َعْنه صَرانِِه ِّ َ أ َْو يُن، فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه،ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة 9 ِِ ُُيَ ِّج َسانه Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Menurut MUI Hadis ini menunjukkan bahwa orang tua yang mengasuh anak sangat mempengaruhi agama yang akan dipeluk anaknya. Oleh karena itu, hendaknya pihak yang akan mengasuh anak harus beragama Islam sehingga anaknya menjadi generasi muslim, tetapi penulis memahami dari makna pemahaman MUI ialah jika pihak yang akan mengasuh anak tersebut harus beragama Islam maka pemahaman ini jika dikaji dalam ushul fikih mengandung makna Dilālah Iltizāmiyah yaitu dilalah yang mesti harus dipenuhi seacara akal, Karena dari konteks susunan kalam yang pada hadits tersebut menunjukan kedua orangtuangya harus menanamkan jiwa dan dasar-dasar syariat Islam, karena di dalam fikihpun seorang pengasuh (orangtua) wajib menananmkan dasar-dasar 9 Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h. 513. 55 pondasi Islam seperti mengenal rukun Islam dan rukun Imam sejak dini maka pemahaman MUI terhadap hadits ini menjadi sesuai dengan pendapat ulama yang terdahulu sampai saat ini. ِ حدَّثَنَا،حدَّثَنَا علِي بن ََبر َحدَّثَنَا َعْب ُد،س ن و ي ن ب ى يس ع ُ ْ ُ َ ْ ُ ْ ُّ َ َ ُ َ َ ِ ِ ِ ِ ْ أ،ا ْْلَميد بْ ُن َج ْع َفر ُ َراف ِع بْ ِن سنَان أَنَّه، َع ْن َجدِّي،َخبَ َرِِن أَِِب ِ ِ صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ْ ََسلَ َم َوأَب َّ ِ فَأَتَت الن،ت ْامَرأَتُهُ أَ ْن تُ ْسل َم ْأ َ َِّب ِ ِ ال َ فَ َق، ابْنَِِت:ال َرافِ ٌع َ َ َوق،ُيم أ َْو َشبَ ُهه ْ َفَ َقال ٌ َوه َي فَط، ابْنَِِت:ت ِ َ " اقْ ع ْد ن:لَه النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم " :ال ََلَا َ َاحيَةً " َوق ُ َ ُّ ُ َ ََ َْ ُ ِ َاقْ ع ِدي ن ،" " ْادعُ َو َاها:ال َ َ ُُثَّ ق،الصبِيَّةَ بَْي نَ ُه َما َّ احيَةً " فَأَقْ َع َد ُ ِ الله َّم َ فَ َق،ت إِ ََل أ ُِّم َها ْ َفَ َمال ُّ ِال الن ُ " :صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َ َِّب ِ .10)َخ َذ َها( رواه أْحد ْ َْاهد َها " فَ َمال َ ت إِ ََل أَبِ َيها فَأ Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad) Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghendaki pengasuhan anak dilakukan oleh orang tua yang muslim. 10 Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168. 56 C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama Allah SWT menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan sehingga Allah SWT memberikan Syariat manusia harus menikah sebagai karunia dan nikmat yang besar dari Allah SWT. Namun didalam suatu ikatan perkawinan banyak cobaan dan kesengan pula, sehingga tidak sedikit dari manusia yang runtuh rumah tangganya akibat permasalahan yang berujung perceraian.Perceraian terjadi karena ada bermacam-macam sebab diantaranya kasus ketika seseorang yang bercerai akibat perbedaan agama anatara suami isteri. Tetapi akibat setelah perceraian tersebut ialah jika pasangan suami isteri tersebut mengsilkan keturunan yang hak asuhnya belum bisa ditentukan, maka dalam hal permasalahan ini penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang permaslahan tersebut dengan bahan penelitian hasil fatwa MUI di dalam hukum hak asuh anak akibat orang tua bercerai beda agama. Penulis sangat menyadari bahwa MUI sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa lebih-lebih fatwa ini sifatnya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia oleh karena itu penulis mendapatkan suatu kesimpulan tentang fatwa tersebut dan menyatakan setuju dengan keputusan tersebut bahwa seorang pengasuh harus beragana Islam. Adapun alasan penulis setuju dengan fatwa MUI adalah sebagai berikut: Pertama, sebagaimana yang kita ketahui bahwa ulama adalah para pewaris Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: 57 َّ َوأ،علماء َوَرثَةُ ْاْلَنْبِيَ ِاء َّ َعلَْي ِه ُم،ََن ْاْلَنْبِيَاء ْ َل،الس َل ُم َ ْال ِ ِ ِ َخ َذ َ َخ َذهُ أ َ َوإََِّّنَا َوَّرثُواْ الْعْل َم فَ َم ْن أ،يُ َوِّرثُ ْوا دينَ ًارا َوَل د ْرَهًا َِبَظ َوافِر 11 Artinya: “Ulama adalah pewaris para Nabi dan bahwasannya para mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula hanya mereka mewarisi ilmu maka siapapun yang mengambil maka dapatkanlah dengan tulisan (ilmu) dengan wadah luas”. Nabi saja ilmu yang Dari hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa didalam diri ulama membawa kemaslahatan untuk umat karena ulamalah yang menerusakan risalah para Nabi-Nabi. Maka dari hadits ini dapat diambil kesimpulan apa yang sudah diputuskan oleh MUI sudah benar kebenarannya terlebih lagi penulis membaca dan mendapatkan pendapat-pendapat ulama terdahulu seperti mazhab 4 mu’tabarah yang menyinggung tentang hak asuh anak bagi pengasuh yang non muslim sehingga dari istinbath hukum yang diputusakan oleh mujtahid mutlak tersebut sesuai dengan fatwa yang sudah diputuskan oleh MUI. Sebab dikatakan oleh imam nawawi al-Bantani dalam kitab an-Nihayatu az-Zain bahwa mazhab 4 salah satunya al-Imam Syafi’I di juluki sebagai hudatul ummah Fil Furu’. Dari pendapat penulis pada alasan pertama disana terdapat perbedaan pendapat antara MUI dan penulis. Adapun perbedaan tersebut ialah penulis lebih menjelaskan kepada sifat yang melekat pada ulama yaitu sifat 11 Abu Muhammad Mahmud, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari, (Lebanon: Dar el-Tsurûs, th), Jilid 2, h. 39. 58 kepercayaan yang mana pasti benar apapun yang di tetapkan oleh ulama. Sedangkan MUI tidak menjelaskan tentang hal tersbut, tetapi mereka lebih cenderung kepada inti istinbath hukum. Kedua,MUI mensyaratkan wajibnya pengasuh harus beragama Islam alasannya menurut penulis adalah ketika seseorang mengasuh anaknya wajib bagi ia mengenalkan arkanu al-Islam dan arkanu al-Imam. Alasan penulis ini berdasarkan perkataan Imam zainuddin al-Malibari didalam kitab Qurratu al‘Ain: ِ ِ ِ ث َ َِوأََّو ُل َواجب َعلَى ْاْلبَاء تَ ْعلْي ُمهُ أَ َّن نَبِيَّنَا ُمَ َّم ًدا صلى اهلل عليه وسلم بُع 12 ِ ِ ِ ِ . ِبَ َّكةَ َوُدف َن بالْ َمديْ نَة Artinya: “Wajib bagi para orang tua mengajarkan anaknya bahwa Nabi kita Muhammad SAW diutus di Makkah dan dikuburkan di Madinah.” Imam an-Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa mengajarkan anak tentang arkanu al-Islam adalah hukumnya fardu al-Kifayah.Dari perkataan imam Zainuddin dapat diambil faham bahwa bukan hanya mengenal Nabi Muhammad SAW saja tetapi wajib mengajarkan dan mengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya. Dari alasan penulis ini maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh hendaklah beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non Muslim dikawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman 12 Abu Bakar ‘Utsman, I’anah at-Thalibin, (Lebanon: Dar El-Kutub Islamiyah, 2012), Jilid 1, h. 44. 59 dan yang dikhawartikan pula bahwa anak tersebut akan pindah akidahnya kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan didalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh beragama Islam tidak berhak mendapatkan hak asuh. Adapun perbedaan pendapat didalam pemikiran antara penulis dan MUI yaitu penulis ingin menunjukan tahap pertama yang harus dilalui atau dipenuhi oleh seorang pengasuh secara mendetail. Tahap tersebut ialah agar seorang pengasuh untuk memperkenalkan pendidikan agama Islam kepada si anak. Sedangkan MUI hanya menjelaskan beragama Islam adalah syarat pertama yang harus penuhi tetapi tidak secara mendetail seperti MUI tidak menyebutkan pendapat ulama bahwa seorang pengasuh harus memperkenalkan arkanu al-Islam atau arkanu al-Iman. Ketiga, ketika hak asuh anak jatuh kepada pengasuh yang beragama non Islam maka hal ini menyalahi aturan firman Allah: Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah 60 Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141) Ayat diatas menyatakan bahwa Allah tidaklah Allah memberikan jalan bagi orang kafir dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal mengasuh anak yang beragama Islam dan sabda Nabi yang mengatakan صَرانِِه ِّ َيُن أ َْو ،يُ َه ِّوَدانِِه ُفَأَبَ َواه merupakan dilalah lazimiyah yang artinya wajib seorang pengasuh beragama Islam. MUI memfatwakan syarat seorang pengasuh harus beragama Islam faidahnya adalah agar anak tersebut dapat membuat Islam menjadi kuat karena jika banyak pengikut Islam maka agama Islam menjadi kokoh dan tidak dapat tergoyahkan oleh sesuatu apapun. MUI mengharuskan seorang pengasuh bergama Islam gunanya juga adalah agar ia dapat mecetak generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya dengan dibekali al-Quran dan hadits. Di dalam pendapat yang ketiga ini penulis ingin mencoba membedakan pola fikir antara penulis dan MUI dari segi dilalah lazimiyah. Menurut penulis firman Allah SWT dan hadis nabi صَرانِِه ُيجسانه ِّ َ أ َْو يُن،فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه merupakan dilalah lazimiyah. Yang 61 artinya harus dipenuhi oleh seluruh manusia menjalakan perintah Allah SWT, seperti manusia harus tahu dan menanamkan dihatinya bahwa Allah SWT tidak meridhai bagi orang kafir, yahudi, nasrani dan majusi untuk mendapatkan posisi sedikitpun didalam agama Islam sekalipun ia mendapatkan posisi didalam agama Islam seperti ia mendidik anak atau mengasuh maka semua itu dimata Allah SWT merupakan sesuatu hal yang sia-sia karena di dalam firman Allah tersebut terdapat kalimat “lan” yang makna kata tersebut ialah “tidak akan”. Alasan inilah yang membedakan pola pemikiran anatara MUI dengan penulis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam hukum Islam banyak aturan-aturan yang sudah diatur oleh Allah SWT baik itu dari hal terkecil sampai hal yang terbesar. Semua aturan tersebut berasal dari kalamullah dan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang bersifat qauliyah, fi’liyah maupun takririyah. Maka se bagai aturan yang harus ditaati ulama membuat suatu sistem disiplin ilmu yang kemudian di kelompok-kelompokan pada tempatnya masing-masing. Seperti salah satu hukum syariat Islam yang sudah diatur secara sistematis yaitu tentang perkawinan. Allah mensyariatkan pernikahan bertujuan agar manusia tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji dan yang Allah murkai, bukan hanya itu saja, Allah SWT mensyariatkan pernikahan karena Allah menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan berpasang-pasangan sebagai rasa kasih sayang Allah SWT kepada umatnya dan sebagai rahmat untuk alam semesta ini. Membicarakan pernikahan, Hukum pernikahan didalam Islam diatur pada firman Allah SWT surat An-Nisā ayat 3: Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, 1 2 Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisā :3) Kemudian hadits nabi Muhammad SAW mengatur pula tentang hukum pernikahan: , فإنه أغض للبصر, من استطاع منكم الباءة فليتزوج,يا معشر الشباب 1 ) (متفق عليه. فإنه له وجاء, ومن مل يستطع فعليه بالصوم,وأحصن للفرج Artinya:“Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang sudah mampu maka menikahlah, sesungguhnya pernikahan itu mencegah penglihatan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa yang belum mampu menikah maka wajib bagi kamu berpuasa. Sesungguhnya puasa itu dapat mencegah nafsu (zina) untuk kamu” (HR. AlBukhari dan Musim) Pada firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW jelas bahwa hukum pernikahan mandub apabila seseorang telah mampu untuk menikah. Menurut ulama menikah mempunya itujuan-tujuan antara lain menjadikan seseorang sempurna dalam kehidupannya, terhin dari perbuatan zina, dan mendapatkan keturunan. Di dalam Islam mendapatkan seorang keturunan dari pernikahan adalah suatu karunia yang besar karena anak adalah buah dari rasa cinta antara kedua orang tua yang akan membawanya kesurga. Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa di dunia ini banyak permasalahan-permasalahan dalam perkawinan seperti ketika seseorang menikah yang setatus asal keduanya beragama Islam kemudian bercerai disebabkan istri telah murtad, sedangkan dari perkawinan tersebut menghasilkan anak yang belum mumayyiz, maka dari hal ini timbul 1 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Shohih al- Bukhori, (Lebanon: Dar el Fikri, 1981), Juz III, h. 116-117. 3 permasalahan baru tetang hak mengasuh anak tersebut. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa dalam hal-hal mendidik anak mempunyai persyaratanpersyaratan yang harus dipenuhi oleh orang tua sebagaimana yang telah tercantum dalam hasil Fatwa Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer tentang” Hak Pengasuhan Anak Karena Orang Tua Yang Bercerai Berbeda Agama”, yang berisikan mengenai persyaratan orang yang akan mengasuh anak : a. Berakal Sehat. b. Dewasa (baligh) c. Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak. d. Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik. e. Beragama Islam. Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut diatas.2 Selanjutnya penulis mendapatkan pemahaman dari fatwa tersebut bahwa hak asuh anak jatuh kepada orang tua yang beragama Islam. Namun hadits nabi yang mengatakan: عن أب، حدث نا ممود بن خالد السلمي حدث نا الوليد:قال أب و داود ي عن الوزاعي حدثن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عبد الل،عمرو بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول الل إن ابن هذا كان بطن له وعاء 2 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, Jilid II, (al-Maktabah Asy-syamilah) h. 341. 4 ،وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعه من فقال لا رسول الل صلى الل عليه وسلم أنت أحق به ما مل ت نكحي(رواه 3 .)أبو داود Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I, telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata: Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemuadian Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. (HR. Abu Daud) Hadits tersebut tidak mencantumkan bahwa agama bukan hak tetap untuk menjadikan dasar berhaknya mendidik anak. Sedangkan dari kasus diatas anak tersebut lebih memilih Ibunya yang telah murtad, dikarenakan sang Ayah dinilai tidak pantas untuk mendidik anak. Dengan kata lain, ia tidak cakap hukum dalam pandangan ajaran agama Islam. Dari uraian diatas penulis masih ingin meneliti lebih lajut tentang permasalahan mendidik anak dalam prerspektif fatwa MUI dengan memilih judul“Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang BerceraiI Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015.” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah a. Pembatasan Masalah Dalam penulisan ini penulis akan mengemukakan seputar permasalahan hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda 3 Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah, 1932), Juz 3 h. 282 5 agama. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hak asuh anak maka penulis hanya fokus pada analisa kasus metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama dan pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015. b. Perumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang diatas, setidaknya terdapat permasalahan yang dapat dicari kemudian diteliti dan ditemukan jawabannya didalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan oleh penulis sebagai berikut: 1. Bagaimanakah metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015” ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengkaji secara mendalam dengan mengharapkan bahwa hasil tulis skripsi ini dapat memberikan suatu pengetahuan dan bernilai terhadap pemahaman lebih lanjut tengan hukum hak asuh anak hasil keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disamping itu untuk menambah wawasan bagi penulis dan dapat diambil suatu pelajaran 6 yang berharga bagi pembaca. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini sebgai berikut: 1. Untuk mengetahui metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai sebab berbeda agama. 2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015 Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah berharap agar memberikan suatu kajian yang bermanfaat mengenai hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama, yang di tunjukkan untuk para pembaca dan kepada mahasiswa yang berkecimpung dibidang ilmu hukum Islam. D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang dilakukan diruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku, priodikal-priodikal, seperti majalahmajlah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumendokumen dari materi perpustakaan lainnya yang dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah. 4 Penelitian ini juga berpedoman dan mengacu pada: 1. Sumber Data Yaitu data yang bersumber dari Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se- Indonesia V Tahun 2015tentang hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama. 4 Abdurrahman Fathoni, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), h. 95. 7 2. Teknik Pengumpulan Data Penggunaan penilitian bahan dilapangan seperti buku, kitan-kitab, dokumen-dokumen, internet dan sebagainya dengan cara dibeca kemudian dikaji dan disimpulkan sesuai dengan kelompok masalah-masalah yang terdapat dalam skripsi ini. 3. Pengolahan dan Analisis Data Setelah data diolah dengan menggunakan cara dikumpulkan, kemudian di kaji dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan metode-metode sebagai berikut: a. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara hukum Islam dan fatwa MUI yang membahas tentang pembahasan yang ada b. Metode Induktif yaitu suatu cara dalam menganalisis datanya yang bertitik tolak dari data-data yang mana data tersebut bersifat umum kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang bersifat khusus kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat umum. Teknik penulisan skripsi ini berpacu kepada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. E. Study Refiew Terdahulu Dari beberapa literatur skripsi yang berada di fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama, penulis menemukan sejumlah skripsi yang 8 membahas masalah hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama. Adapun daftar skripsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ibrohim, Moh. Anas Maulana. Dengan judul skripsi Pelimpahan Hak AsuhAnak Kepada Bapak Kandung, PerkaraNomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. Skripsi ini berisi tentang tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. pada skripsi ini penulis memilih Pengadilan Agama Bekasi yang mana penulis ingin mengetahui hal-hal yang menyebabkan pelimpahan anak kepada bapak kandungnya sebagai akibat peceraian, yang seharusnya hak asuh anak itujatuh kepada Ibu kandungnya. 2. Muawanah. Dengan judul skripsi Penetapan Hak Asuh Anak oleh Bapak: Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor : 171/Pdt.G/2010/PAJT. Skripsi ini berisikan tentang cara Hakim memutuskan hak asuh anak kepada Bapak padahal Ibunya mampu mendidik dan mengasuh anak tersebut. 3. Nahrowi. Dengan judul skripsi Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undah-Undang No.23 th 2002 Tentang Perlindungan Anak: ( Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung no.349 K/AG/2006) . Skripsi ini berisikan tentang Hadhanah atau pemeliharaan anak dalam hokum perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa 9 yang lebih berhak dalam mendapatkan hak pemeliharaan anak, hal tersebut kembali kepada kepentingan anak yang didasari pada putusan pengadilan. Dari beberapa judul tersebut, maka jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas Hukum Hak Asuh Anak Tehadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Asuh Anak. F. Sistematika Penulisan Agar dapat mempermudah pada penulisan skripsi ini, maka penulis membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab yang dapat diuraikan sistematikanya sebagai berikut: Bab I. Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, study riview terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab II. Berisikan tentang tinjauan umum yang meliputi pembahasan,pengertian, hukum Hadhanah, Syarat-syarat Hadhanah dan Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah Bab III. Berisikan tentang Hadhanah bagi orang tua yang tidak cakap perilaku dan HasilFatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama. Bab IV. Berisikan tentang pembahasan metode istinbath MUI, dalil-dalil, dan analisi Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI. Bab V. Bab ini berisi tentang penutup, kesimpulan dan saran dari isi penulisan skripsi ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah Hak asuh anak menurut Hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia dewasa atau mampu menjaga dirinya sendiri.1 Sayyid Sabiq memberikan definisi Hadhanah adalah berasal dari kata hidnan yaitu lambung. Seperti susunan kalimat bahasa Arab “hadhana ath-thaairu baidhahu”, burung itu menghimpit telur dibawah sayapnya, maka dari kalimat ini bias dipahami bahwa seorang Ibu menhimpit anaknya.2 Adapun menurut Abdurrahman Ghazaly yang dimaksud dengan hadhanah yaitu merawat dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz sampai ia mampu mengatur dirinya sendiri.3 Ulama fikih mendefinisikan hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusak dan menyakitinya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar kelak mampu berdiri sendiri mengahadi hidup dan memikul tanggung jawabnya.4 1 Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: tp, 1996), h.4 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, (Jakarta: Dar as-Saqafah, tth), Jilid 2, h. 218. 3 Abdrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: kencana Pranada Media Group, 2009). h. 326. 2 10 11 Hadhanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah mengasuh anak yang belum mumayyiz hal keadaan ia belum mampu mengurus dirinya sendiri (belum mandiri).5 Menurut Sa’ani, hadhanah adalah memelihara anak yang belum mampu mandiri. Pendidikannya dan pemeliharaannya dari segi sesuatu yang membinasakannya atau membahayakannya.6 Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah merangkap kepada seluruh keperluan-keperluan anak, baik itu yang bersifat jasmani ataupun rohani. Ulama mazhab fikih berbeda pendapat mengenai masa pengasuhan anak. Imam Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Imam Hanbali bahwa masa asuhan untuk ank laki-laki dan perepuan adalah 7 tahun dan setelah ia telah mumyayiz dibebaskan untuk memilih. Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa asuh itu 7 tahun dan 8 tahun. Sedangkan Imam Malik berpendapat batas usia anak mumayyiz adalah 7 tahun.7 B. Hukum Hadhanah Memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran, kebijaksaan, pengertian, kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan mengeluh dalam menghadapai berbagai persoalan anak tersebut, bahkan Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan 5 Abdul Azziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1992), h. 137 6 Sa’ani, Subulu as-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 37. 7 h. 45. Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 12 dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka.8 Oleh karena itu hukum mengasuh anak adalah wajib. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Imam AsSyirazi: َاَولَدَََبالَغَََرشَيَدََفََلَههَأَ َنَيَنَفََردََ َعنََأَبَ َوَي َهَلَنََهه َ انَ َو َلهَم َ الزَو َج َ ََإ َذاَافَتََرق ََاَول َ ب ََأ َن َلَ َيَنَ َفَردَ َ َعنَ هَه َم َح ه َ َستَ َغ َن َعَنَ َالَضَ َان َة ََوَالكَفَ َالةَ ََواَل همَسَت َ هَم ََوإَ َنََكَانَتَ َ َج َاريَ َةََ هَكَرهَ َلَا ََأنَ َتَنَ َفَردَ َ َلنَ َها ََإ َذا َ يَ َق َط َع ََبَرهَه َعَنَ هَه َما ََاَولَد َ اَوإَ َنََكَانَ َلَهَم َ َس هدَه َ اَمنَ َيَه َف َ انَ َفَردَتَ َلَ َيَهَؤَم َن َأَ َن َيَدَ هخَ َل َعَلَيَ َه ََمَنهَ َو َن َأَ َو َصَغَيَ َر َ َل َهَُيَهزَ ََوهَهوَ َالَذَيَ ََلهَه َ هدَ َو َن َسَبَعَ َ َسنَيَ ََو َجَبت َ َضانََتهَههَضَاعَََو َهل َ َضانََتههَإَ َنَتََركََح َ َح َ 9ك Artinya: “Apabila telah berpisah suami isteri sedangkan mereka mempunyai anak yang berakal dan balig maka boleh ia memilih dari salah satu orang tuanya, karena ia butuh kepada pengasuhan, penjagaan dan dianggap sunah apabila ia mandiri tidak tergantung dengan orangtuanya dan tidak memutuskan kebaktian ia kepada kedua orangtuanya jika ia seorang gadis maka makruh bagi ia mengosongkan asuhan dari kedua orangtuanya karena apabila ia mengkosongkan ditakutkan akan ada orang yang menyakitinya, dan jika ada bagi kedua orangtua yang berpisah sedangkan ia memiliki anak yang gila atau kecil yang belum mumayyiz (yang belum sampai 7 tahun umurnya) maka wajib bagi salah satu kedua orangtuanya mengasuhnya karena jika ia tidak mengasuhnya dikhwatirkan ia akan menderita” Adapun dasar hukum tentang hadhanah Allah berfirman didalam alQur’an surat Al-baqarah ayat 233: 8 Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 115-116. 9 As-syirāzi, Al-Muhadzdab fi Fiqh al-Imam As-syafi’I, (Lebanon: Dar El-Kutub Alamiyah, tth), Juz 2, h. 164. 13 Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban Ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang Ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-baqarah : 233) Ayat diatas menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika terjadinya talak, dapat diartikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan yang tidak dapat lepas dari kedua suami dan siteri yang bersangkutan yaitu, tentang anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya. Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtua itu bubar, maka si kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua orangtuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian seorang Ibu yang telah diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang msih menyusui, 14 hal tersebut merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Alah SWT dan tidak dibiarkan oleh Allah meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak berkurang akibat perceraian kedua orangtuanya, sehingga Allah SWT mewajibakan bagi seorang Ibu untuk menyusui anaknya selama sua tahun penuh. Karena Ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahaun merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital bagi pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.10 Kemudian Allah SWT berfirman di dalam surat At-tahrim Ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. AtTahrim: 6) Pada ayat ini orangtua diperintahakan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan memberitahaukan kepada keluarganya untuk selalu taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, termasuk anggota keluarga disini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya belaku selama Ayah dan Ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun berlanjut setelah perceraian.11 10 Sayid Quthub, Tafsir Fi Zhilāli Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992) penerjemah As’ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 301-302. 11 Al-Makhrûzi, Tafsir Mujahid, (Beirut: Dar el-Fikri, 1989), h. 237. 15 Didalam Tafsir Wādhih dijelaskn bahwa ayat tersebut menjelaskan Allah SWT memerintahkan agar menjaga diri manusia meninggalkan dari segala kemaksiatan melaksanakan ketaan, meninggalkan segala larangan yang dibenci oleh Allah SWT dan rasul-rasul-Nya. Menjaga pula keluarga kita dari segala kemaksiatan, larangan dan melaksanakan perintah Allah SWT, mengerjakan amal baik, dan menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan alQur’an. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah anak dan orang-orang yang terdekat. Allah benar-benar telah tegas mengatakan:12 ََوأنذرَعشريتكَالق ربي،ََوأ همرَأهلكَبالصالةَواصطِبَعليها Kemudian hadits Nabi: ََ َعنَ ََأب،َ َحَدَثَنَا َمَ هَم َوهَد َبَ هنَ َخَ َال َد َالسََلمَ َي َحَدَثَنَا َالَ َوَليَ هد:َقَالَ َأَبَهوَ َدَ هَاود ََب َعَنَ َأَبَيَهَ َعَنَ َجَدََه َعَبَدَ َالل َ َوَب هَن َ هَش َعي َ ن َعَمََر َ ََي عَنَ َالََوَزاعَ َي َحَدَث،عَمََرو َاء َ ن َلََهه َ َو َع َ ََكان ََبط َ ن َهذَا َ ت َيَا ََر هَس َولَ َاللَ َإَنَ َ َاب َ بَنَ َعَمََرو َأنَ َ َامَرأَةَ َقَ َال َ باهه َطَلَ َق َ َي َلَهَه َحََواءَ َ َوإَنَ َأ َ جَر َ َوثَدَيَيَ َلََهه َ َس َقاءَ ََوح َ،َن ََوأََرادَ َأَنَ َيَنَتََزعََهه َ َمن 13 .َحي َ اَلَتَنَ َك َ اَر هَس َو هلََاللََصلىَاللَعليهَوسلمَأَنَتََأَحَقََبََهَ َم َ َفَقالَل Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I, telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari Ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata: Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan Ayahnya telah mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. (HR. Abu Daud) 12 Muhammad Mahmud, Tafsir Wadhi, (Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H), Juz 3 h. 705. 13 Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-Mathba’ah Al-alamiyah, 1932), Juz 3, h. 282. 16 Dari hadits ini bependapat imam al-Qurtubi al-Baji al-Andalusi, bahwa anak kecil tidak mampu mengurus dirinya sendiri maka butuh pengasuh, sedangkan pengasuh untuk anak yang lebih utama adalah Ibunya karena seorang Ibu lebih benar, lebih sabar, lebih menjaga dan mengerti kepada kebutuhan anaknya, sedangkan Ayahnya tidak ampu melakukan hal itu. Maka Ibulah yang lebih berhak mengasuh anaknya selam ia belum mencapai umur 7 tahun.14 Kemudian Imam Māwardĭ yang menjelaskan alasan Ibu tidak mendapatkan hak asuh dengan alasan sebagai berikut :15 1. Pernikahan mencegah mendapatkan hak asuh karena dikhawatirkan jkia si Ibu menyibukkan diri mengurus anak maka hak suami tidak terpenuhi. 2. Karena pernikahan menceah untuk sibuk mendidik anak yang bukan berasal dari suaminya. 3. Karena anak tersebut tidak dianggap oleh suami baru Ibunya. Imam Nawawi berkata ketika seorang Ibu tidak mendapatkan hak asuh anak karena ia menikah lagi, maka ia akan di sibukkan beristimta dengan suaminya, sehingga tugas penting dari hadhanah terabaikan.16 C. Syarat-syarat Hadhanah Syarat-syarat hadhanah menurut Imam Taqiyuddin didalam kitabnya Kifayatu Al-akhyar menyebutkan ada 7 syarat: 14 al-Kurtubi al-Baji al-Andalusi, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H), Juz 6, h. 186. 15 Al- Māwardhĭ, Al-hawi Al-kabir, (Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999), Juz 1, h. 505. An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Lebanon: Dar El-Fikri, tth), Juz 18, h. 321. 16 17 1. Berakal Berakal merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi bagi orang yang ingin mendidik anaknya, karena berakal merupakan salah satu indikasi seseorang dapat dikenakan hukum syariat, maka tidak berhak bagi orang yang gila baik itu gila dari lahir atau gilanya orang tersebut dapat mungkin sadar dengan memakan waktu yang lama. Tetapi Imam Taqiyuddin berpendapat lain yaitu jika gilanya tersebut tidak lama (sebentar) seperti sehari maka tidaklah menggugurkan hak hadhanah tersebut, seperti halnya orang yang sakit kemudian sembuh dengan waktu yang sesaat. Adapun alasan seseorang yang gila tidak boleh mendidik anak (hadhanah) karena tidak mungkin seorang yang gila menjaga anak sedangkan ia sendiri membutuhkan kepada penjagaan bagaimana mungkin ia dapat menjaga / mendidik anak. 2. Merdeka Tidaklah boleh bagi seorang budak mendidik anak sekalipun ia di izinkan oleh tuannya, sedangkan alasan tidak dibolehkannya bagi seorang budak mendidik anak: pertama, budak haknya adalah melayani tuannya (kemanfaatan bagi tuannya) bagaimana mungkin ia melayani tuannya dan tuannya dapat mengambil kemanfaatan darinya sedangkan ia disIbukkan untuk mendidik anak. Kedua, tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak untuk mendidik anak. 18 3. Beragama Islam Keadaan perempuan tersebut beragama islam tetapi jka ada anak yang di didik tersebut beragama islam yang mengikuti agama bapaknya maka bagi seorang perempuan yang kafir tidak boleh mendidiknya. 4. Cakap akhlaknya, terpercaya, tidak bersuami. 5. Mampu Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah hadhanah. Namun berbeda dengan imam Husain al-hanafiy mengatakan bahwa seorang Ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengsuh karena tidak ada perbedaan dari segi agama,17 maka hadhanah lebih berhak didapatkan oleh seorang isteri sebagaimana dijelaskan didalam kitab raudhatu At-Thālibĭn:18 َإَّناَ هُيك همَبأنَالهمَأحقَبالضانةَمنَالبَِفَحقَمنَلََتييزَلههَأصال Artinya: “Hanyalah ibu yang lebih berhak untuk mengash anaknya dibandingkan dengan Ayahnya selama anak tersebut belum tamyyiz sedikitpun” Imam Fakhruddin berpendapat apabila tidak ada keluarga yang mengasuh dengan bahwa ada Ibunya itu seorang yang fasik, atau ia sering keluar rumah kemudian ia meninggalkan anak asuhannya dan tak kembali kerumah atau ia seorang budak atau anak budak perempuan atau yang mengatur kehidupan anak asuhan atau Ibunya seorang budak mukatabah yang 17 Badru ad-Din, Al-InAyah Syarh al-HidAyah, (Lebanon: Dar El-Kutub Al‘alamiyah, 2000), Juz, 5, h. 644. 18 Abu Zakariya, Raudhatu at-Thālibĭn Wa Umdatu Al-Mutaqin, (Beirut: AlMaktab Al-Islami, 1991), Juz 9, h.103. 19 ia melahirkan seorang anak sebelum menjadi budak mukatabah atau ia menikah dengan seseorang yang bukan mahramnya, sedangkan dilain sisi bapaknya sulit dan Ibunya pergi tidak mau mengasuh anaknya jika tidak diberi upah sedangkan ada seorang budak yang ingin mengasuhnya tanpa harus dibayar maka budak perempuan tersebut lebih baik dibandingkan Ibunya. Pendapat ini lebih baik menurut mazhab Hanafi.19 Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab al-Iqna’:20 َ ض َان َةه ََو َهيَ َسَبَ َع َة َاَلَعَ َق هَل ََو َ َاَل َ المَ َان َةه ََو َ الدَي هنَ ََوَالعَ َف َةه ََو َ الهَريَ َةه ََو َالقَامََةه َ َج َ الهلَه َوَ َم َنََزَو َ َو Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam, terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan” Abi Suja’ mengatakan: َالهَله َو َ ال َم َان َةه ََوالَقَامَ َةه ََو َ الهَريَةَه ََوالدََي هنَ ََوَال َع َفةَه ََو َ ض َانةَ َسَبَعَ َاَلَ َعقَ هَل ََو َ ال َ َط ََوشََرَائ ه .َطَسَ َقطَت َ جَفَإَنََاخَتَلََمَنَهَاَشََر َ مَنَََزَو َ Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam, terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan jika cacat satu syarat dari 7 tersebut maka gugurlah”21 َاعه َ ََوإََرض َ ،َ ََوأَ َم َانة،َسلَم َ َال َم َلََل هم َ ََو هحََريَةَ َ َوإَ َس،َ َعَقَل،ت َ َاضنَ َس َ ال َ َط َشََر ه َََوإَن،ا َ َبَ َطلَ َحَ َق َه،َالضَ َانة َ َ ِف َ َ حتَ َ َمنَ َلَ َحَقَ َلَهَه َ َص َر َ َوإَ َن َنَك َ ضيَعَ َ َوَب َ الر َ .طَلَ َقتََعَادَََكَ َع َودََشََرطَ َها 19 Fakhru ad-Din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah Assyilbi, Juz 3,(Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth), h.46. 20 Al-mawardi, al-Iqna fi fiqh as-Syafi’I, (Ttp: Tp, tth), Jilid I, h. 160. 21 Abi Syuja’, al-Ghayah Wa At-taqrib, (Surabaya: Alim Al-Kutub, tth), h. 36. 20 Artinya: “Syarat bagi orang yang mengasuh anknya itu ada 6: berakal, merdeka, beragama Islam, terpercaya, baik budi pekertinya (ibu sesusuan) dan mengerti. Jika ibunya menikah lagi maka tidak ada hak asuhan bagi ibunya, dan jika ia tertalak lagi maka kembalilah haknya jika anak tersebut belum mumayyiz” Maka dari syarat yang disebutkan diatas hak hadhanah lebih pantas jatuh kepada Ibu sebagaimana di dalam kitab Al-lubab dijelaskan:22 َ َض َان َة َمَ َن َالَبَ َم َ َل ََبال َ أَ َلهمَ َأََو ََاَل َيَبََله َغ َ َال َوَل هدَ َ َسبَعَ َ َسنَيَ َإَ َل َِف َ"َك َالَ َولَد ََ"أَنَاَأَمَسَ ه:سائَلَ أَحَ هَدهَاَأَنَ َيَ هَق َولَََ هَك هَل ََواحَدَ َمَنَ هَهمَا َ َثَانَ َم َََأَن:الهمَ َوالثَالَثَ َةه َ َ َاَد َون َب َمَأَ هَم َونَ ه ََأَنَ َيَ هَك َونَ َالَ ه:ب َأََولَ والثَانَيَ َةه َفَالَ ه َالرابَعَ َةه َإَذَاَافَتََرقَ َالدَ هَار َ ب َ هَحَرا َو َالهَريَ َةه َِفَ َالَهمَ َ َويَ هَك َونَ َالَ ه َ َ َلَ َتَكَ هَمل .َالهبَ َأََول َ َ َإَذَا َتََزَوجَتَ َا َلهمَ َف: َوالَامَسَ َةه.َبَمَا َفَالَبَ َأََول ََ َوالسَابَعَ َةه َإَذَا َكَان.َ َإَذَا َكَانَ َالَبَ َ هَمسَلَمَا ََوالَهمَ َذَمَيَة:َوالسَادَسَ َةه ََ َوالثَامَنَ َةه َأَنَ َتَ هَك َونَ َالَهمَ َمَ هَه َولَةَ َ َالنسَب.َالَبَ َ هَمسَلَمَا ََوالَهمَ َ هَمَرتَدَة ََالهمَ َأََولَ َمَن َ َاءه َ َ َوإَذَاَاجَتَمَعَتَ َال هَقَرابَتَانَ َفَنَس.َالرقَ َلَنَسَان َ َفَأَقََرتَ َب ََ َكَانَت،ََلهمَ َمَعَ ََأهخَتَ َلَبَ ََوَأهم َ نَسَاءَ َالَبَ َإَلَ َأَنَ َتَ هَك َونَ ََأهخَتَا َ َتَلَلَبَََوالَهمََأََول َالَهخَ ه Artinya: “Adapun ibu lebih utama kepada hak hadhanah selama anak belum sampai kepada umur 7 tahun kecuali dalam 8 perkara: 1. Mengatakan setiap dari keduanya “aku mengambil anakku” maka yang lebih utama adalah bapaknya. 2. Bahwa Ayahnya lebih terjaga dibandingankan dengan ibunya. 3. Bahwa tidak sempurna kemerdekaan ibunya sedangakan Ayahnya lebih merdeka ketimbang ibunya. 4. Jika berbeda tempat yang sangat jauh antara keduanya maka Ayahlah yang lebih berhak 5. Jika ibunya telah menikah maka yang lebih berhak bapaknya 6. Jika bapaknya muslim dan ibunya kafir zimmi maka yang berhak Ayahnya 22 Abu al-Hasan Al-Mahamili, al-Lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, (Madinah Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998), h. 347. 21 7. Jika Ayahnya muslim dan ibunya murtad 8. Jika ibunya tidak mempunyai kerabat lagi sedangkan ia merupakan budak seseorang maka Ayahnya yang lebih berhak. Adapun syarat bagi anak yang diasuh:23 1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat mengurus dirinya sendiri. 2. Si anak sempurna akalnya. Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non-muslim itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri maupun orang lain.24 Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.25 Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hadhin yang berhak atas itu, apabila hadin tidak bersedia melaksanakan hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka 23 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Jilid 2, h. 242. Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Katani, dkk, h. 67. 25 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fikih, (Jakarta: IAIN, 1983), Jilid 2, h.212. 24 22 dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya. Pada hakikatnya hadhanah berkaitan dengan tiga hak terpadu, hak Ibu, hak anak dan hak Ayah, maka ketiganya harus terwujud jika saling bertentanagn yang didahulukan adalah hak si anak.26 Imam Syarbini mengatakan apabila si hadhin tidak mempunyai harta maka wajib bagi orang yang wajib menafkahkan harus menafkahkan si mahdun, jika tidak maka wajib bagi orang Islam untuk menafkahkannya. Dari perkataan imam Syarbini dapat difahamibahwa menafkahkan anak yang diasuh itu wajib untuk semua orang Islam tetapi tentu dengan catatan yang tertentu.27 Menurut imam al-Sarkhisi apabila seorang Ibu merasa anak tidak butuh kepada hadhanah maka tetaplah berlaku bagi seorang yang mempunyai hak mengasuh untuk membiayai ia dalam pendidikan, kebutuhan makannya, dan menyucikan bajunya, karena semua itu dIbutuhkan bagi si anak.28 Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima hadhanah menurut Abu Al-Fadhil Al-Hanafi yaitu: Ibu kandung, Ibu sebapak, Saudara perempuan seIbu sebapak, Saudara perempuan seibu, Saudara perempuan sebapak, Bibi, Ponakan perempuan dari saudara perempuan lebih bagus dari pada anak ponakan perempuan dari saudara laki-laki. Apabila yang disebutkan diatas menikah maka gugurlah hak asuhan baginya.29 26 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h.210. 27 Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994), Juz 5, h. 196. 28 As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, (Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993), Juz 5, h. 207. 29 Abu al-Fadhil al-Hanafi, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, (Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1937), Juz 4, h. 15. 23 Muhammad al-Hadadi al-‘Ubadiy az-Zabidiy mengatakan apabila Ibu kandung tidak ada atu telah menikah maka yang lebih utama mengasuh anak tersebut adalah nenek Ibu kandung lebih utama di banding dengan Ibu sebapak, dan jika jauh dari nasab keturunan maka Ibu sebapak lebih utama daripada saudara perempuan. Maka apabila Ibu kandung tidak mempunyai nenek maka saudara perempuanlah yang lebih utama daripada bibi.30 D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami isteri atas hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan kelemah lembutan bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, wala’, walad dan warisan.31 Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan Ayah, adik perempuan Ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. Sementara menurut Al Hamdani bahwa orang yang berhak pengasuhan anak adalah orang yang lebih mampu mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena orang yang mengabaikan pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap anak tidak layak mendapatkan hak pengasuhan anak.32 30 Muhammad Az-zabidi, Al-jauharah an-Nirah, (Lebanon: mathba’ah Khirah, 1322 H), Juz 2, h. 90. 31 Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemahan Imam Ghazali Said, (Jakarta:Pustaka Amani, 2007), Jilid II, h. 526. 32 Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 265. 24 Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak hadhanah atas anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka naluri keIbuan lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fikih juga mengemukan bahwa apabila anak tesebut telah mencapai usia tertentu, maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai pelindung. Oleh sebab itu maka ulama fikih lebih mendahulukan kaum wanita daripada kaum pria.33 Urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah anak, menurut ulama fikih adalah sabagai berikut: 1. Ibu dari si anak, Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian atau meninggalnya suaminya, sebab ia merupakan orang yang paling sayang dan lembut terhadap si anak daripada orang lain.34 2. Jika hak hadhanah seorang Ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak pindah kepada Ibunya istri (nenek si anak). Selain itu, seorang nenek adalah keluarga terdekat setelah Ibu. Selanjutnya biasanya nenek lebih menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya.35 3. Selanjtunya setelah hak asuh Ibu dan nenek (Ibu dari Ibu) tiada, maka hak tersebut di ambil alih oleh nenek (Ibu dari Ayah) dari anak tersebut. 33 Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) h. 61. 34 Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) h. 61 35 Al- Fauzan Saleh Fikih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h.750. 25 Penyebab nenek dari Ibu (Ibu dari Ibu) lebih diutamakan dari pada nenek dari Ayah (Ibu dari Ayah), meskipun kedua-duanya sama-sama dekat namun karena nenek dari Ibu merupakan kerabat dari Ibu si anak, sedangkan hak hadhanah atas anak lebih diutamakan pada garis keturunan Ibu, sehingga kerabat dari Ibu lebih diutamakan 4. dibanding kerabat dari pihak Ayah. Namun hal yang berbeda dikemukan oleh Saleh al- Fauzan, menurutnya jika setelah hak asuh Ibu dan nenek (Ibu dari Ibu) tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh Ayah kandung si anak. Hal ini karena Ayah juga memiliki kedekatan dengan anaknya di banding yang lain setelah Ibu dan nenek. Setelah orang-orang telah di sebutkan di atas gugur haknya, maka yang seterusnya yang melaksanakan tugas hadhanah adalah saudara kandung perempuan dari Ibu si anak. Sebab, mereka memiliki hubungan yang lebih kuat dengannya dalam masalah warisan. Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap keibuan, sebab Ibu lebih diutamakan dibandingkan Ayah, baru kemudian saudara perempuan seayah. 5. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah anak perempuan dari saudara seayah. 6. Bibi yang sekandung dengan Ayah 7. Bibi yang seibu dengan Ayah 8. Bibi yang seayah dengan Ayah 9. Bibinya Ibu dari pihak Ibunya 10. Bibinya Ayah dari pihak Ibunya 26 11. Bibinya Ibu dari pihak Ayahnya 12. Bibinya Ayah dari pihak Ayah. 13. Kakek dari pihak Ayah dan terus ke atas ( Ayah dari Ayah si anak) 14. Saudara laki-laki sekandung 15. Saudara laki-laki seayah 16. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 17. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 18. Paman yang sekandung dengan Ayah 19. Paman yang seayah dengan Ayah 20. Pamannya Ayah yang sekandung 21. Pamannya Ayah yang seayah dengan Ayah 22. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas maka hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat yaitu diantaranya: 23. Ayah Ibu (kakek) 24. Saudara laki-laki seibu 25. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 26. Paman yang seibu dengan Ayah 27. Paman yang sekandung dengan Ibu Paman yang seayah dengan Ibu 28. Paman yang seayah dengan Ayah 27 Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi Ibu maupun sisi Ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.36 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan hak asuh anak itu berjumlah 28 pihak. Akan tetapi yang paling utama yang berhak adalah jalur dari sanak keluarga dari si Ibu. 36 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam,( Jakarta:Al-HidAyah, 1968), h.395. BAB III KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK PENGASUHAN ANAK TEHADAP ORANG TUA BERCERAI SEBAB BERBEDA AGAMA A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang mengadung nilainilai bagus didalamnya sehingga banyak aturan-aturan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Didalam pernikahan apabila terjadi perceraian antara suami istri maka butuh pengasuhan anak yang layak agar menjadikan anak tersebut berguna bagi agama dan negaranya, oleh karena itu lembaga fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat aturan tentang kepengasuhan anak. Adapun aturan tersebut di sebutkan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Tehadap Orang Tua Bercerai Sebab Berbeda Agama diantara persyaratan tersebut MUI menyebutkan bahwa seorang pengasuh harus dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik. Hasil persyaratan pengsuh yaitu dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik jika dianalisa MUI mengambil dari berbagai sumber hukum Islam di antaranya: 28 29 1. Pandangan Ulama Fikih Pada umumnya fukaha sepakat bahwa Ibu mempunyai keutamaan hak hadhanah. Namun hak hadhanah dapat dicabut dengan sebab murtad, berperilaku tidak terpuji seperti berzinah, mencuri, tidak dapat dipercaya, sering keluar rumah dan mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari adanya sifat-sifat tersebut adalah dalam upaya memelihara dan menjamin kesehatan, pertumbuhan moral dan perkembangan psikologis anak. 1 Sejalan dengan pendapat diatas, Ibnu Qudamah mengemukakan, bahwa pencabutan hak hadhanah sebagaimana pendapat al-Jundi bahwa perinsip dasar yang dapat dijadikan alasan pencabutan hak hadhanah Ibu adalah adanya situasi dan kondisi pada Ibu yang dapat merugikan kepentingan dan kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi dalam hadhanah adalah kemashlahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa memperhatikan hak Ibu atau Ayahnya. Hak hadhanah Ibu atau Ayah dapat gugur apabila anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya.2 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fikih klasik tidak mengatur secara rinci tentang hal yang dapat mengugurkan dan pencabutan terhadap hak-hak hadhanah. Namun pencabutan hak hadhanah dapat difahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang hak hadhanah. Adapun alasan-alasan digugurkan dan dicabutnya hadhanah seseorang antara lain:3 1 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar El-Fikr, 1997), h. 7306. 2 Anwar Al-Jundi, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, (Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi, 1978), h. 373-374. 3 Andi Syamsu Alam, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008), h. 132. 30 1. Hal-hal yang disepakati yaitu: a. Tidak bisa dipercaya b. Berperilaku tidak terpuji c. Membahayakan kepentingan anak 2. Hal-hal yang masih diperdebatkan yaitu: a. Kafir dan murtad b. Isteri menikah lagi dengan laki-laki lain. Di dalam kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi Al-Imami Ahmad memberikan keterangan bahwa bagi orang tua yang tidak cakap perilaku tidak berhak mendidik anaknya kecuali telah kembali sifat akhlaknya yang bagus dan tidak fasik maka berhak medapatkan kembali hak sebagai pengasuh.4 Alasan hak tersebut kembali ialah hilangnya pencegah yang menyebabkan pengasuh tidak berhak mengasuh anak tersebut seperti fasik, kafir dan tidak merdeka,5 Dari pemaparan pengarang kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi AlImami Ahmad dapat difahami wanita pengasuh harus memiliki sifat adil dan tidak fasik. Tidak ada alasan untuk memasukan sifat adil dan tidak fasik sebagai salah satu syarat mendapatkan hak mengasuh anak jika kedua hal ini menjadi syarat pengasuhan anak, maka pastilah ada keterangan dan perbuatan yang dinukil tentang maslah ini. Sebab, sejak Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sampai hari kiamat kelak anak4 Mahfuz Ibn Ahmad, Al-hidAyah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad, (Ttp: Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004), Jilid 1, h. 500. 5 Abdurrahman Ibn Ibrahim, Al-iddah Syarh ‘Umdah,, (Beirut: Dar ElHadits, 2003), Jilid 1, h. 479. 31 anak kalangan fasik dirawat oleh mereka dan tidak ada seorang pun yang menghalangi mereka meskipun mereka berjumlah banyak. Kemudian, dalam sejarah juga tidak pernah disebutkan ada anak yang dicabut urutan (keturunannya) dari kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya lantaran kefasikannya fenomena sehari-hari juga menunjukan bahwa orang yang fasik sekalipun akan selalu berhati-hati merawat anaknya dan tidak mau menyia-yiakannya, dan selalu berusaha sekuat tenaga demi kebaikan si anak. Dengan demikian apabila ada seorang yang fasik merawat anak maka batal hak asuhnya seklipun ia berhati-hati merawat anaknya.6 Muhammad Nur Abdul Hafiz menjelaskan ada beberapa sifat mendasar yang diupayakan untuk bisa dimiliki oleh setiap pengasuh.Semakin banyak sifat dibawah ini yang bisa dimiliki, maka semakin besar pula kemungkinan bisa mengasuh anak sesuai dengan metode yang dijalankan oleh para rasul yang memang hanya para Rasulullah yang memang memilki sifat kesempurnaan. Walaupun seorang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki sifat para rasul namun mereka dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin agar mampu mendekati sifat-sifat mereka. Dengan adanya akhlak seorang pengasuh yang baik ini, insya Allah setiap generasi baru akan melihat contoh yang baik dalam diri pengasuhnya sehingga merekapun akan mengikutinya dengan penuh kesadaran. Adapun sifat tersebut sebagai berikut:7 6 Muhammad Ibn Wahab, Zad Al-Ma’ad, (Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah, 1987), Jilid 5, h. 461. 7 Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Al-Bayan, 1997), h. 52. 32 a. Memiliki sifat lemah lembut dan berbudi luhur. b. Ramah dan menjauhi sifat bengis c. Hati yang penuh kasih sayang d. Mengambil yang termudah dari 2 urusan selama tidak mengandung dosa e. Bersifat fleksibel f. Menjauhakn diri dari amarah Dari pemaparan point pertama dapat simpulkan MUI memutuskan persyaratan seorang pengasuh harus Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik karena dalam agama Islam, akhlak, perilaku dan dan sikap yang baik merupakan buah dari pendidikan keimanan yang baik kepada anak. Jika orang tua sudah mampu menanamkan pendidikan iman pada anak, niscaya ia akan tumbuh menjadi manusia yang senantiasa menjaga kemashlahatan agamanya. Seseorang anak, sejak terlahir dari Rahim Ibunya, lalu ia tumbuh di lingkungan yang selalu menanamkan keimanan, mendidiknya agar bertakwa dan takut kepada Allah yang menginformasikan bahwa Allah SWT adalah zat yang selalu mengawasi, menyaksikan, menolong, dan menerima taubat bagi hamba-Nya yang bertaubat, niscaya anak akan mampu mengarungi kehidupan dunia ini dengan keberhasilan yang berpihak kepadanya. Ia akan senantiasa memperlihatkan kepada masyarakat akhlak yang terpuji, perilaku 33 dan sikap yang layak untuk dijadikan tauladan bagi umat lainnya. Hati dan jiwanya akan senantiasa mengintrospeksi setiap kesalahan yang diperbuatnya lalu ia segera memperbaiki dirinya.8 2. Al-Qur’an dan Hadits Allah telah mengatur hukum tentang pengasuhan anak yang menerangkan bahwa seorang pengasuh harus cakap akhlaknya dan tidak fasik seperti firman Allah SWT: Artinya: “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban Ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para Ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang Ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang Ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan 8 Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga, (Jakarta: Akademika, 2013), h. 88-89. 34 pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233) Al-Lukman ayat 13: Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. AlLukman: 13) Menurut Ibnu Kasir ayat di atas dikisahkan bahwa Lukman adalah seorang hamba shaleh yang dikarunia oleh Allah SWT pemahaman di dalam memahami agama. Kemudian lukman mengajarkan kepada anaknya agar selalu ingat kepada Allah dan melarangnya untuk mensekutukan Allah.9 B. Metode Penetapan Fatwa MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang dikenal dengan metode istibath (pemahaman, penggalian, dan perumsan) hukum. Metode penetapan fatwa ini berlaku dalam penetapan ketiga kategori fatwa, yaitu fatwa-fatwa ekonomi syariah, produk halal, dan keagamaan, kecuali apabila disebutkan secara spesifikasi.10 9 Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim, (Lebanon: Dar el-Kutub, tth), Juz 6, h. 300. 10 Asrorun Ni’am Sholeh, Metodoloi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Emir, 2016), h. 116. 35 System dan prosedur yang diterapkan dalam penetapan fatwa MUI merupakan bagian dari ijtihad, sebagaimana telah diperkenalakan oleh para ahli ilmu ushul fiqh. Jalan ijtihad ditempuh untuk mengetahui atau menjelaskan hokum Islam yang belumdiketahui secara jelas. Para ahli ilmu ushul fiqh berbeda pebdapat, sekalipun tidak begitu tajam, dalam merumuskan apa yang dimksud dengan ijtihad, antara lain, dikatakan sebagai: إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن حبطم شرعي “(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh seorang ahli fikih (faqih) untuk mendapatkan pengetahui tingkat zhan (dugaan kuat) mengenai hokum syar’i.”11 Rumusan ahmpir serupa dengan sedikit penambahan di ungkapkan oleh al-Amidi sebagai berikut: إستفراغ الوسع ىف طلب الظن بشئ من األحكام الشرعية على وجه حيس من النفس العجز عن املزيد فيه “(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal dalam mencari mencari pengetahuan tingkat zhan mengenai hokum syar’I, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.”12 Kedua definisi diatas saling melengkapi dari kedua definisi sebut dapat difahami, yaitu: pertama, pelaku ijtihad atau mujtahid harus ahli dalam bidang hukum fiqih / hukum Islam (faqih) bukan yang lain. Kedua, sasaran 11 Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli, Syarh ‘ala Matn Jam’I al-Jawami, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t), Juz II, h. 379. 12 Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi wa Syirkah, t.t), Juz IV, h. 141. 36 yang ingin dicapai dalam ijtihad adalah hukum syar’i yang berhubungan dengan aktifitas dan perbuatan mukallaf. Artinya, ijtihad tidak berlaku dalam bidang lain seperti akidah dan akhlak.13 Ketiga, status hukum syar’I yang dilakukan melalui ijtihad bersifat zhani. Istilah zhani dikalangan hukum islam dimaknai sebagai salah satu yang mendekati kebenaran (dianggap benar). Dari sana pula dapat disimpulkan bahwa hasil ijtihad seorang mujtahid bersifat relatif yang belum tentu mutlak kebenaran. Secara profesional fatwa-fatwa MUI ditetapkan dengan pedoman penetapan fatwa yang memuat empat ketentuan dasar,14 yaitu pertama setiap keputusan fatwa harus dasar di dalam al-Qur’an dan hadits yang mu’tabar, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. Kedua, jika fatwa yang akan ditetapkan hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’an maupun hadits , maka fatwa tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas, yang mu’tabardan dalil-dalil hukum yang seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan sad adz-zari’ah. Dalam hal ini, dalil hukum yang berasal dari penalaran mendapatkan tempat dalam proses penetapan hukum. Ketiga, sebelum fatwa diputuskan, dilakukan penelusuran data dengan merujuk pada pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, bik yang berhubungan 13 dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” Dalam Haidar Bagir (Ed), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h.23. 14 Pedoman Penetapan Fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK. Dewan Pimpinan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 oktober 1997. 37 dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat dengannya. Jika material hukumnya berbeda maka masih dapat ditempuh dengan menganalogikan hukum material yang telah ditetapkan oleh ulama mazhab, dengan melihat pada kesamaan ‘illat . jika dengan cara itu tidak ditemukan juga kesamaannya, maka metodologi yang digunakan para imam mazhab diadopsi agar dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam memecahkan suatu masalah. Keempat, fatwa-fatwa MUI selalu mempertimbangkan pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Hal ini nmapak sekali dalam proses penetapan fatwa terhadap masalah-masalah kontempporer, terutama yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam penetapan hukum cloning, aborsi, khitan perempuan, transplantasi orgtan tubuh, dan termasuk penetapan fatwa produk halal. Sedangkan secara metodologis, penetapan MUI ditempuh dalam lima tahap.15 Tahapan Pertama, sebelum fatwa ditetapkan akan ditinjau lebih terdahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secra saksama berikut dalil-dalilnya. Dari sini dapat dimengerti mengapa fatwa-fatwa MUI mempunyai transisi dan kesinambungan dengan masalah yang difatwakan oleh para imam mazhab. Metode ini meneguhkan MUI sebagai pewaris tradisi keilmuan ulama generasi sebelumnya, sekaligus meneguhkan konsistensi MUI dalam menjalankan fungsi sebagai pewaris para 15 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2001). 38 nabi (warasah al-anbiya), dengan mengikuti tradisi dan keilmuan ulama terdahulu atau (salaf ashalih). Tahapan kedua, untuk masalah-masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-qat’iyah), maka disampaikan sebagaiaman adanya. Hal ini sebagai manifestasi dan penggunakan pendekatan nash qath’I disamping qauli’ dan manhaji. Tahapan ketiga, terkait masalah-masalah yang diperselisihkan (khilafiyah) dikalangan mazhab, akan ditempuh dalam dua acara: a. Menemukan titik temu antara bergabagi mazhab melalui metode al-jam’u wa at-taufiq (menggabung dan menyesuaikan persamaan); dan b. Jika upaya al-jam’u wa at-taufiq tidak bisa dilakukan maka pendapat fatwa didasarkan tarjih (memiih pendapat yang argumentasinya paling kuat diantara argumentasi-argumentasi yang telah ada) melalui metode muqaronat al-mazahib (perbandingan mazhab) menggunakan kaidahkaidah ushul al-fiqh al-muqaran (ushul fiqh perbandingan). Tahap keempat, terkait dengan masalah-masalah yang tidak temukan pendapat hukumnya dikalangan mazhab maka penetapan fatwa MUI didasarkan pada hasil ijtihad jama’I (kolektif) melalui metode bayani, talili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi dan sad adz-zari’ah. Tahapan kelima, penetapan fatwa harus senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umum (mashalih amah) dan maqasid as-syariah komisi fatwa 39 MUI terkesan sangat hati-hati dalam penetapan fatwa, karena mempertimbangankan mashalih amah dan maqasid asy-syariah (maksudmaksud syariah) hal ini tidak jarang menimbulkan kesan MUI agak lamban dalam merespon persoalan yang merebak ditengah-tengah masyarakat. MUI sendiriberpandangan bahwa untuk mengeluarkan sebuah fatwa yang harus dilandasi perinsip kehati-hatian, serta memperhatikan situasi dan kondisi yang ada sehingga fatwa yang dikeluarkan benar-benar membawa kemaslahatan umum bagi masyrakat, sebgaimana menjadi tujuan pensyariatan hukum Islam (maqasid at-tasyri’). C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama. MUI mendefinisikan Hadhanah adalah aktifitas melakukan pengasuhan anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang di bawah pengampuan yang belum mumayyiz dan tidak dapat mengurus semua urusannya dengan cara menyiapkan segala sesuatu yang mendatangkan kemaslahatannya, menjaganya dari segala sesuatu yang dapat menyakiti dan membahayakannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu secara mandiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawab. 16 Sebagaimana yang telah kita ketahui salah satu syarat berhaknya seorang pengasuh mengasuh anaknya yaitu harus beragama Islam sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda: 16 Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masail Fiqhiyah, Hak Asuh Nak Bagi Orang Tua yang Bercerai Akibat Berbeda Agama, (Jakarta: Ttp, 2015), h. 50. 40 ِ َّ َع ْن َعْب ِد ْ الر ْْحَ ِن بْ ِن ُهْرُمَز ْاأل ُ َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َرض َي اللَّه،َعَرِج ٍ ُ " ُك ُّل مول:ال ِ َ َن رس ود َ َ ق, صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َ ول اللَّه َْ ُ َ َّ أ،َُعْنه 17 ِِ صَرانِِه او ُُيَ ِّج َسانه ِّ َ أ َْو يُن، فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه،يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Abu Hurairah berpendapat lafaz fitrah adalah permulaan (lembut) yang jatuh pada awal makhluk diciptakan berlaku pula pada fitrah akal. Adapun lafaz yahudu adalah agama Yahudi yang menjadi pondasi orang kafir, lafaz yumajisu adalah pondasi agama Majusi sebagaimana yang telah kita ketahu. Adapun ikrar yang pertama (Islam) yaitu sesuatu yang didalamnya terdapat hukum atau pahala. Maka fikirkanlah olehmu bahwa seorang anak kecil dari agama musyrik dihukumi sebagaimana agama kedua orangtuanya.18 Abu Abdullah Muhammad al-Maliki berpendapat lafaz al-fitrah itu adalah fitrahnya islam (agama yang benar) sebagaimana fitrahnya akal memikirkan. tetapi hanya saja tidak mengakuinya akal seseorang agama Islam itu tidak benar adalah suatu penyakit dan itu tergantung bagaimana kedua orangtuanya beragama Islam, Yahudi, atau Majusi.19 Rasulullah besabda pula: 17 Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1, h. 513. 18 Yahya Ibn Hurairah, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, (ttp: Dar El-wathan, 1417 H), Jilid 6, h. 181. 19 Abu Abdullah Muhammad al-Maliki, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, (Ttp: dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998), Juz 3, h. 318. 41 ِ اْل ِم ِ حدَّثَنَا،حدَّثَنَا علِي بن َحب ٍر يد بْ ُن ن و ي ن ب ى يس ع ُ ْ َْ َحدَّثَنَا َعْب ُد،س ُ َ ْ ُ ْ ُّ َ َ ُ َ َ ِ ٍ ِ ْ ََسلَ َم َوأَب ْ أ،َج ْع َف ٍر ُت ْامَرأَتُه ْ َراف ِع بْ ِن سنَان أَنَّهُ أ، َع ْن َجدِّي،َخبَ َرِِن أَِِب ِ َ وِهي ف، اب نَِِت:ت النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم فَ َقالَت ِ َ فَأَت،أَ ْن تُسلِم يم ط ْ َّ َ ْ ْ َ ُ َ ٌ َ َ َ َ َ ْ " :صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َ فَ َق، ابْنَِِت:ال َرافِ ٌع َ َ َوق،ُأ َْو َشبَ ُهه ُّ ِال لَهُ الن َ َِّب ِ َ " اقْ ع ِدي ن:ال ََلا ِ َّ ُُث،الصبِيَّةَ بَْي نَ ُه َما َّ احيَةً " فَأَقْ َع َد َ َ َاقْ عُ ْد نَاحيَةً " َوق ُ :صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َ فَ َق،ت إِ ََل أ ُِّم َها َ َق ْ َ فَ َمال،" " ْادعُ َو َاها:ال ُّ ِال الن َ َِّب ِ .20َخ َذ َها ْ َالله َّم ْاهد َها " فَ َمال َ ت إِ ََل أَبِ َيها فَأ ُ " Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian anak tersebut menuju kepada Ibunya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada Ayahnya. kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. Imam al-Khattab berpendapat pada hadits tersebut bahwasannya seorang anak yang kecil apabila martabatnya diantara muslim dan kafir maka agama muslim lebih berhak ia pilih sebagaimana berpendapat hal ini pula imam as-Syafi’I. Berkata shahIbu ar-Ra’I (al-Mundzir) didalam permasalahan suami isteri yang bercerai karena berbeda agama. Suaminya beragama Islam dan isterinya kafir dzimi. Ketika di dalam pengasuhan maka yang lebih berhak 20 Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Mesir: Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168. 42 adalah Ibu selama ia belum menikah maka dalam permasalahan ini tidak ada perbedaan antara kafir dzimi dan beragama Islam.21 Allah SWT berfirman: Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141) Syekh Musthafa al-Maragi berpendapat bahwa lafaz lan yaj’alallahu lil kafiriina ‘ala mu’minina sabila adalah selalu berpegang teguhnya orang mukmin terhadap agamanya didalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya yang berupa dari persiapan hatinya yang teguh sehingga mereka tidak dapat mengalahkan oleh orang musyrik dan tidak akan Allah menjadikan orang musyrik sebagai pemimpin.22 21 Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Beirut: dar El-Kutub al Alamiyah, 1998), Juz 6, h. 238 22 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Musthafa al-Babi, 1946), Juz 5, h. 186. 43 Abu Ja’far at-Thabari berpendapat lafaz lan yaj’alallahu lil kafiriina ‘ala mu’minina sabila adalah sebuah hujjahnya orang mukmin ketika di hari kiamat nanti oleh karena itu menjadikannya Allah orang musyrik sebagai musuhnya orang mukmin agar mereka (orang musrik) tidak termasuk golongan orang yang mauk surga begitupun orang mukmin bukan termasuk golongan orang munafik.23 Fukaha berbeda pendapat tentang boleh apa tidaknya anak diasuh oleh non muslim. Ulama mazhab Syafi’I dan Hanbali mensyaratkan bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim karena non muslim tidak punya wewnang dalam mengasuh dan memimpin orang Islam disamping itu juga dikhwatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk kedalam agamanya. Kalu orang islam tidak ada maka (menurut mazhab Hanbali) diperbolehkan kepada kafir dzimmi karena kafir dzimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi akan tetapi ulama mazhab hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan pengasuh harus muslimah, jika anak tersebut juga wanita. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulallah SAW menyuruh memilih pada anak untuk berada dibawah asuhan Ayahnya yang muslim atau pada Ibunya yang musyrik tetapi anak tersebut memilih Ibunya.24 23 Abu Ja’far at-Thabari, Tafsir at-Tabari, (Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000), Juz 3, h. 324. 24 Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikri, th), h. 596-598. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian dan pembahasan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama terhadap Keputusan Komisi B1 Mu’ashiroh) Masalah Fikih Kontemporer (Masail Fiqhiyah Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama dapat di simpulkan bahwa: 1. Metode istinbat hhukum MUI dalam memecahkan permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama terhadap Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum slam yang sifatnya qatht’iyaitu Al-Qur’an, Assunah dan Ijma ulama terdahulu yang sifatnya mu’tabarah danmengambildari pendapat-pendapat ulama yang rojih makasi fat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat dan tidakbisa di ganggu gugat. 2. Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya mutlak harus di asuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini di atur di dalam al- 62 63 Qur’an dan As-Sunah. Adapun manfaat MUI mensyaratkan pengasuh harus beragama Islam yaitu sebagai berikut: a. Agar pengasuh dapat mencetak generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya dengan di bekali al-Quran dan hadits. b. Menjadikan pengasuh agar sadar bahwa wajib menafkahi anak dan mengajarka nmengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya, dari alas an ini maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non Muslim di khawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman dan yang dikhawatirkan pula yaitu anak tersebut akan pindah akidahnya kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan di dalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh beragama Islam tidak berhak mendapatakan hak asuh. B. Saran Seyogyanya MUI bisa lebih mempublikasikan atau mensosialisasikan atas fatwa-fatwa yang sudah di terbitkann karena masih banyak permasalahan kontemporer yang masyarakat belum mengetahui solusinya agar tidak terjadi kesalahfahaman berfikir di lingkungan masyarakat. Bagi para Da’i dan Da’iyah untuk lebih mensosialisasikannya. DAFTAR PUSTAKA Abdillah Ahmad, Abu, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal Juz 39, Mesir: Muassasah ar-risalah, 2001. Abdul Hafizh, Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Al-Bayan, 199. Abu al-Hasan, Al-Mahamili, , Al-lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, Madinah Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998. Ad-Din, Badru, Al-binayah Syarh al-Hidayah, Juz, 5,Lebanon: Dar El-Kutub Al‘alamiyah, 2000. al-Andalusi, al-Kurtubi al-Baji, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, Juz 6, Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H. al-Hanafi, Abu al-Fadhil, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, Juz 4, Beirut: Dar ElKutub Alamiyah, 1937. Al-jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri, th. Al-Jundi, Anwar, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi, 1978. Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, Juz 3, Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah, 1932. Al-Makhruzi, Tafsir Mujahid, Beirut: Dar el-Fikri, 1989. Al-Mawardhi, Al-hawi Al-kabir, Juz 1, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999. Al-mawardi, Al-iqna fi fiqh As-syafi’I, Jilid I, Ttp: Tp, tth. an-Nu’man, Abu Hanifah, Musnad Abu al-Hashkafi juz 1, Mesir: tp, th. As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, Juz 5, Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993. As-syirazi, Al-Muhazab fi Fiqh Imam As-syafi’I, Juz 2, Lebanon: Dar El-Kutub Alamiyah, tth. at-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir at-Tabari juz 3, Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000. Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Az-zabidi, Muhammad, Al-jauharah an-Nirah, juz 2, Lebanon: mathba’ah Khirah, 64 65 1322 H. Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar El-Fikr, 1997. Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh AlQadha, Jakarta: Rajawali Pres, 2012. Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1996. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983. Dkk, Abdul Azziz Dahlan, , Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1992. Fakhru ad-din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah Assyilbi, Juz 3,Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth. Fathoni, Abdurrahman, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006. Fauzan, Andi Syamsul Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008. Ghazali, Abdrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2013. Ibn Ahmad, Mahfuz, Al-hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad Jilid 1, Ttp: Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004. Ibn Hurairah, Yahya, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, jilid 6, ttp: Dar El-wathan, 1417 H. Ibn Ibrahim, Abdurrahman, Al-iddah Syarh ‘Umdah Jilid 1, Beirut: Dar ElHadits, 2003. Ibn Wahab, Muhammad, Zad Al-Ma’ad Jilid 5, Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah, 1987. Ismail Ibn Ibrahim, Abu Abdillah Muhammad Ibn, Shohih al- Bukhori, Juz III, Bab al- Nikah Lebanon: Dar el Fikri, 1981. Mahmud, Muhammad, Tafsir Wadhi, juz 3, Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H. Mudzhar, Mohamad Atho, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los Angels: University of California, 1990. 66 Muhammad al-Maliki, Abu Abdullah, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, Juz 3, Ttp: dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998. Muhammad Mahmud, Abu, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari Jilid 2, Lebanon: Dar el-Tsurus, th. Mustafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maragi Juz 5, Mesir: Musthafa al-Babi, 1946. Quthub, Syahid Sayid, Tafsir Fi Zilali Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992) penerjemah As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Sa’ani, Subulu As-salam, Surabaya: Al-ikhlas, 1995. Sabiq, As-sayid, Fiqh As-sunah Jilid 2, Jakarta: Dar As-saqafah, tth. Syamsu Alam, Andi, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008. Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz 5, Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: kencana Pranada Media Group, 2009. Syuja, Abi’, Al-ghayah Wa At-taqrib, Surabaya: Alim Al-Kutub, tth. Zakariya, Abu, Raudhatu At-thalibin Wa Umdatu Al-Mutaqin, Juz 9, Beirut: AlMaktab Al-Islami, 1991. Al- Fauzan, Saleh Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006. Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud Juz 6, Beirut: dar El-Kutub al-Alamiyah, 1998. An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, juz 18, Lebanon: Dar El-Fikri, tth. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983. http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta:Al-Hidayah, 1968. Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam 67 Dalam Keluarga, Jakarta: Akademika, 2013. Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan Imam Ghazali Said, Jakarta:Pustaka Amani, 2007.