hak asuh anak terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda

advertisement
HAK ASUH ANAK TERHADAP ORANG TUA YANG BERCERAI
KARENA BERBEDA AGAMA
(Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
OLEH:
MASRUR RAHMANSYAH
NIM: 1110043100048
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M / 1437 H
‫بســـــــم اهلل الرّمحن الرّحيـــــــــم‬
KATA PENGANTAR
Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji hanya bagi Allah Swt,
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia ni’mat-Nya kepada hambaNya. Shalawat beriring salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasul pilihan
Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk
setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju
gerbang masa depan yang cerah. Disebabkan hal itu penulis mencoba untuk
menyelesikan suatu karangan ilmiyah yang merupaka salah satu syarat demi
menggapai masa depan tersebut dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun
penulis sadar dalam menulis skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya,
akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan umumnya bagi orang banyak.
Perlu diketahui penulis tidaklah dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Ahmadi, S.Ag, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekertaris
iv
Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc., M.A selaku dosen
pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
4. Para dosen Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis semasa kuliah
dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
5. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Chairul Hadist dan Ibu Siti Masyitoh,
yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat juga membimbing
penulis, serta adik-adik tercinta Adib Adzkari, Siti Chairu Widha, dan Ahmad
Haikal Asyraq semoga mereka senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
6. Adinda tercinta Rahmawati yang selalu memberikan semangat kepada penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Para sahabat seperjuangan, teman-teman bertukar pikiran, PMH Angkatan
2010, Ahmad Munir, Ahmad Fatih, Syukria, Ibnu Rusdi, Abdul Mukti, Abdul
Aziz, yang selalu menyemangati penulis.
8. Adik-adik kelas, Angkatan 2011, Edi Jon, Fauzan Ocid, Syardi Hakim,
Ma’mu Siroj.
9. Dan seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah
SWT.
v
Hanya untaian kata terimakasih serta doa yang dapat penulis berikan.
Semoga semua pihak yang telah membikan semangat, motifasi serta arahannya
kepada
penulis
senantiasa
diridhoi
setiap
langkah
kehidupannya
serta
mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak.
Jakarta: 12 September 2016 M
10 Zulhijjah 1437 H
Penulis
vi
ABSTRAK
Masrur Rahmansyah, NIM 1110043100048, “HAK ASUH ANAK TERHADAP
ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA” (Analisis
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia V Tahun 2015),
konsenterasi Perbandingan Mazhab FIKIH, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1437 H / 2014 M. 1-67 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam di dalam hukum
hak asuh terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama analisis
keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015, penyebab
difatwakannya tentang hak hadhanah bagi orang yang bercerai beda agama adalah
menyalahi kepada norma-norma agama yang saat ini banyak terjadi di Indonesia
hak asuh anak jatuh kepada orang non muslim setelah bercerai, bukan itu saja
penyebab lainnya yaitu banyak tindakan dikriminasi terhadap anak yang di asuh
oleh orang tuanya oleh karenanya MUI mebuat suatu fatwa yang mengatur hal itu
maka dalam hal ini penulis telah meneliti secara mendetail tentang keputusan
fatwa dan kasus tersebut.
Hasil penelitian menunjukan Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang
hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya
mutlak harus diasuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini diatur oleh alQur’an dan Assunah. Adapun Metode isthinbath hukum MUI dalam memecahkan
permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai
Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum Islam yang sifatnya qot’i yaitu
al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma ulama mu’tabarah dan mengambil dari pendapatpendapat ulama yang rojih, maka sifat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat
dan tidak bisa di ganggu gugat.
Adapun penelitian skripsi ini menggunakan metode kuantitatif yag menekankan
pada kualitas ranah pemahaman terhadap keputusan Ijtima’ ulama komisi fatwa
Se-Indonesia V tahun 2015. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan
metode normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan fatwa MUI.
Adapun bahan yang digunakan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan
sekunder kemudian bahan pengelolaan hukum dilakukan dengan cara deduktif
yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang di hadapi.
Kata Kunci
: Hak Asuh, Anak, Bercerai, Beda Agama
Pembimbing :Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1948 sampai tahun 2013
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. iv
ABSTRAK .................................................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................................. viii
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
5
D. Studi Riview Terdahulu .......................................................
6
E. Metode Penelitian ................................................................
7
F. Sistematika Penulisan ..........................................................
9
: TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH ...................... 10
A. Pengertian Hadhanah .......................................................... 10
B. Hukum Hadhanah ............................................................... 11
C. Syarat-syarat Hadhanah ...................................................... 16
D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah .............. 23
BAB III
: KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SEINDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK ASUH
ANAK
TEHADAP
ORANG TUA BERCERAI SEBAB
BERBEDA AGAMA ................................................................ 28
A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku .... 28
B. Metode Penetapan Fatwa ..................................................... 34
viii
C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak
Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama ......................... 39
BAB IV
: ANALISIS TENTANG FATWA .............................................. 44
A. Metode Istinbath MUI ......................................................... 44
B. Dalil ..................................................................................... 50
C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang
Hak Asuh Anak Akibat Orang Tua Bercerai Beda
Agama.................................................................................. 56
BAB V
: PENUTUP ................................................................................. 62
A. Kesimpulan ............................................................................ 62
B. Saran ..................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 64
ix
BAB IV
ANALISIS TENTANG FATWA
A. Metode Istinbath MUI
Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan
menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya,
pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat,
baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia,
sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut
Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan
dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah
keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi
pesantren yang dimilikinya.1
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan
pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada
bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:2
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umat.
1
Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study
of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, (Los Angels: University of
California, 1990), h. 92.
2
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,( Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003), h. 4-5
44
45
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana
ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak
bertentangan dengan ijmă’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum
yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzarĭ’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapatpendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan
dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang
dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil
keputusan fatwanya, dipertimbangkan.
Dasar-dasar penetapan istinbath hukum yang digunakan oleh MUI
tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh
ulama salaf. Sikap tersebut yang digunakan dalam menetapkan fatwa MUI
adalah perlunya memikirkan semua kemaslahatan umat disaat menetapkan
fatwa, di samping itu pula juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama
mazhab fikih, baik itu pendapat yang mendukung maupun yang menentang,
sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidaklah cenderung kepada
dua pendapat, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang
bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam
menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di
bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan
fatwanya.3
3
http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html
di Akses Pada Tanggal 28 Juni 2016 Pukul 21. 00 WIB.
46
Dari pembahasan diatas maka penulis berkesimpulan bahwa MUI
menetapkan Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail
Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun
2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai
Karena Berbeda Agama berdasarkan metode isntibath hukum yang
bersumber dari Al-quran dan As-Sunah yang kemudian dikaji lebih dalam
oleh ulama salaf terdahulu.
Adapun dalil
meistinbathkan hukum Hadhanah akibat bercerai
yang digunakan dalam
karena berbeda agama
adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 233:
             
               
                 
             
              
         
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
47
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada
dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233)
Surat at-Tahrim ayat 6:
    
 
      

       
     
   
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6)
Surat an-Nisa ayat 141:
      
    
    

           
 
  
   
  
       
      
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang
akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika
terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:
"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)
mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan
memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. AnNisa: 141)
‫‪48‬‬
‫‪b. As-Sunnah‬‬
‫َعَرِج‪َ ،‬ع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َر ِض َي‬
‫َع ْن َعْب ِد َّ‬
‫الر ْْحَ ِن بْ ِن ُهْرُمَز ْاْل ْ‬
‫ول اللَّ ِ‬
‫اللَّهُ َعْنهُ‪ ،‬أ َّ‬
‫ال‪" :‬‬
‫ه‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ‪ ,‬قَ َ‬
‫َن َر ُس َ‬
‫َ‬
‫صَرانِِه‬
‫ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة‪ ،‬فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه‪ ،‬أ َْو يُنَ ِّ‬
‫ِِ ‪4‬‬
‫ُُيَ ِّج َسانه‬
‫‪Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah‬‬
‫‪semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW‬‬
‫‪bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua‬‬
‫‪orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani‬‬
‫‪atau Majusi.‬‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫س‪َ ،‬حدَّثَنَا َعْب ُد‬
‫َحدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن ََْبر‪َ ،‬حدَّثَنَا ع َ‬
‫يسى بْ ُن يُونُ َ‬
‫ِ‬
‫ِ ِ‬
‫ِ‬
‫ا ْْلَميد بْ ُن َج ْع َفر‪ ،‬أ ْ‬
‫َخبَ َرِِن أَِِب‪َ ،‬ع ْن َجدِّي‪َ ،‬راف ِع بْ ِن سنَان أَنَّهُ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫َسلَ َم َوأَبَ ْ‬
‫ت ْامَرأَتُهُ أَ ْن تُ ْسل َم‪ ،‬فَأَتَت النِ َّ‬
‫أْ‬
‫َِّب َ‬
‫ِ ِ‬
‫ال‬
‫ال َرافِ ٌع‪ :‬ابْنَِِت‪ ،‬فَ َق َ‬
‫يم أ َْو َشبَ ُههُ‪َ ،‬وقَ َ‬
‫فَ َقالَ ْ‬
‫ت‪ :‬ابْنَِِت‪َ ،‬وه َي فَط ٌ‬
‫لَه النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‪ " :‬اقْ ع ْد نَ ِ‬
‫ال ََلَا‪" :‬‬
‫احيَةً " َوقَ َ‬
‫ُ‬
‫ُ ُّ َ‬
‫ُ َْ ََ َ‬
‫اقْ ع ِدي نَ ِ‬
‫ال‪ْ " :‬ادعُ َو َاها "‪،‬‬
‫الصبِيَّةَ بَْي نَ ُه َما‪ُُ ،‬ثَّ قَ َ‬
‫احيَةً " فَأَقْ َع َد َّ‬
‫ُ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه‬
‫ت إِ ََل أ ُِّم َها‪ ،‬فَ َق َ‬
‫فَ َمالَ ْ‬
‫ال النِ ُّ‬
‫َِّب َ‬
‫ِ‬
‫َخ َذ َها‪( .‬رواه أْحد)‪.5‬‬
‫ْاهد َها " فَ َمالَ ْ‬
‫ت إِ ََل أَبِ َيها فَأ َ‬
‫الله َّم‬
‫َو َسلَّ َم‪ُ " :‬‬
‫‪4‬‬
‫‪Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h. 513.‬‬
‫‪Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah‬‬
‫‪ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.‬‬
‫‪5‬‬
49
Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan
kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami
Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku
dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam
sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian
wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau
yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak
wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di
pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka
berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian
anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!"
kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian
Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)
c. Ijma’ Ulama
Ulama sepakat bahwa syarat seseorang dapat mengasuk anak adalah
sebagai berikut:
1) Berakal sehat.
2) Dewasa (baligh)
3) Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik
anak.
4) Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.
5) Beragama Islam.
Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang
bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh
berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi
ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut
diatas.
50
Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat
mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat
kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang
yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non muslim
itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu
sendiri maupun orang lain. 6 Kemudian ulama berbeda pendapat juga
dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut
sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat
menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau
tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin
dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena
hak hadhanah itu milik si anak.7
Mazhab Syafi‘iyah dan Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa
hādinlah yang berhak atas itu, apabila hādin tidak bersedia melaksanakan
hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh
karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara
paksa, maka dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan
pemeliharaannya
B. Dalil
1. Al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 233:
6
Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie
Al-Katani, dkk:, h. 67
7
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fikih, Jilid 2, (Jakarta: IAIN, 1983), h.212.
51
           
           
            
            
 
            
            
         
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabilakeduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada
dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233)
Pada ayat ini MUI mengambiil Istinbatul ahkam dari sepenggal ayat
yaitu:
         
Penulis berpendapat pada potongan ayat tersebut sudah dapat diketahui
bahwa wajib bagi orang tua memberikan nafkah dari rizki yang halal.
Kewajiban tersebut dapat diketahui dari lafaz ‘ala yang diantaranya
memberikan faidah lilisti’la dan littaukid artinya wajib dilaksanakan
52
secara syar’i. Maka tidak dapat dipungkiri MUI memberikan fatwa atau
syarat bahwa seorang pengasuh wajib memberikan rizki yang sifatnya
halal. Jika bertolak belakang dengan fatwa ini maka tidak boleh mengasuh
anak.
Surat at-Tahrim ayat 6:
          
   
       
       
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6)
Pada ayat ini MUI memenggal potongan ayat yaitu jumlah
      
artinya adalah wajib bagi orang yang beriman agar menjaga
dirinya dan keluarganya dari api neraka. Maksudnya adalah lafaz qû itu
berbentuk amar yang memberikan artian wajib mengerjakan (Lithalab)
sebagaimana qaidah ushuliyah mengatakan:
8
ِ ‫صل ِف ْاْلَ ْم ِر لِلْوجو‬
َّ ‫ب إِلَّ َم َاد َّل‬
‫الدلِْي ُل َعلَى ِخ َلفِ ِه‬
ُْ ُ
ُ ْ َ‫اَْْل‬
Asal perkara di suatu perintah itu wajib kecualai ada dalil yang
memberikan prbedaannya.
8
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: ttp, tth), h. 6.
53
Surat an-Nisa ayat 141:
           

         
  
      
    
  
 
    
      
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang
akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika
terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:
"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)
mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan
memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. AnNisa: 141)
Menurut penulis MUI mengambil ayat ini sebagai dasar
seorang pengasuh tidak boleh beragama non Islam karena alasannya
adalah dilihat dari lafaz lan mengandung arti meniadakan untuk zaman
akan datang maka dapat difahami bahwa hubungan antara manhtûq dan
mafhum menyimpulkan pada masa akan datang non muslim tidak berhak
mengasuh anak yang beragama Islam apalagi untuk saat ini maka mutlak
tidak boleh untuk mengasuh anak. Hal ini dapat difahami pula dari lafaz
sabila yang bentuk lafaznya isim mufrad sedangkan lafaz mufrad
maknanya umum (tidak tertentu dan tidak dapat diketahui), maka
kesimpulan pemahaman penulis MUI mengambil dasar hukum dari ayat
54
ini adalah hukum Islam tidak mentolelir bagi seorang non muslim untuk
mengasuh anaknya yang beragama Islam dalam seluruh aspek.
2. As-sunnah
‫ َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َر ِض َي‬،‫َعَرِج‬
َّ ‫َع ْن َعْب ِد‬
ْ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن ُهْرُمَز ْاْل‬
ِ َ ‫َن رس‬
" :‫ال‬
َ َ‫ ق‬, ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ول اللَّه‬
ُ َ َّ ‫ أ‬،ُ‫اللَّهُ َعْنه‬
‫صَرانِِه‬
ِّ َ‫ أ َْو يُن‬،‫ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه‬،‫ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة‬
9 ِِ
‫ُُيَ ِّج َسانه‬
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah
semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi.
Menurut MUI Hadis ini menunjukkan bahwa orang tua yang
mengasuh anak sangat mempengaruhi agama yang akan dipeluk anaknya.
Oleh karena itu, hendaknya pihak yang akan mengasuh anak harus
beragama Islam sehingga anaknya menjadi generasi muslim, tetapi penulis
memahami dari makna pemahaman MUI ialah jika pihak yang akan
mengasuh anak tersebut harus beragama Islam maka pemahaman ini jika
dikaji dalam ushul fikih mengandung makna Dilālah Iltizāmiyah yaitu
dilalah yang mesti harus dipenuhi seacara akal, Karena dari konteks
susunan kalam yang pada hadits tersebut menunjukan kedua orangtuangya
harus menanamkan jiwa dan dasar-dasar syariat Islam, karena di dalam
fikihpun seorang pengasuh (orangtua) wajib menananmkan dasar-dasar
9
Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h.
513.
55
pondasi Islam seperti mengenal rukun Islam dan rukun Imam sejak dini
maka pemahaman MUI terhadap hadits ini menjadi sesuai dengan
pendapat ulama yang terdahulu sampai saat ini.
ِ ‫ حدَّثَنَا‬،‫حدَّثَنَا علِي بن ََبر‬
‫ َحدَّثَنَا َعْب ُد‬،‫س‬
‫ن‬
‫و‬
‫ي‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ى‬
‫يس‬
‫ع‬
ُ
ْ
ُ
َ ْ ُ ْ ُّ َ
َ
ُ
َ
َ
ِ
ِ ِ
ِ
ْ ‫ أ‬،‫ا ْْلَميد بْ ُن َج ْع َفر‬
ُ‫ َراف ِع بْ ِن سنَان أَنَّه‬،‫ َع ْن َجدِّي‬،‫َخبَ َرِِن أَِِب‬
ِ
ِ
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
ْ َ‫َسلَ َم َوأَب‬
َّ ِ‫ فَأَتَت الن‬،‫ت ْامَرأَتُهُ أَ ْن تُ ْسل َم‬
ْ‫أ‬
َ ‫َِّب‬
ِ ِ
‫ال‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ ابْنَِِت‬:‫ال َرافِ ٌع‬
َ َ‫ َوق‬،ُ‫يم أ َْو َشبَ ُهه‬
ْ َ‫فَ َقال‬
ٌ ‫ َوه َي فَط‬،‫ ابْنَِِت‬:‫ت‬
ِ َ‫ " اقْ ع ْد ن‬:‫لَه النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‬
" :‫ال ََلَا‬
َ َ‫احيَةً " َوق‬
ُ
َ ُّ ُ
َ ََ َْ ُ
ِ َ‫اقْ ع ِدي ن‬
،" ‫ " ْادعُ َو َاها‬:‫ال‬
َ َ‫ ُُثَّ ق‬،‫الصبِيَّةَ بَْي نَ ُه َما‬
َّ ‫احيَةً " فَأَقْ َع َد‬
ُ
ِ
‫الله َّم‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ت إِ ََل أ ُِّم َها‬
ْ َ‫فَ َمال‬
ُّ ِ‫ال الن‬
ُ " :‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َِّب‬
ِ
.10)‫َخ َذ َها( رواه أْحد‬
ْ َ‫ْاهد َها " فَ َمال‬
َ ‫ت إِ ََل أَبِ َيها فَأ‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan
kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami
Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku
dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam
sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian
wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau
yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak
wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di
pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka
berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian
anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!"
kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian
Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)
Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghendaki
pengasuhan anak dilakukan oleh orang tua yang muslim.
10
Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir:
Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.
56
C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak
Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama
Allah
SWT
menciptakan
makhluk-Nya
berpasang-pasangan
sehingga Allah SWT memberikan Syariat manusia harus menikah sebagai
karunia dan nikmat yang besar dari Allah SWT. Namun didalam suatu ikatan
perkawinan banyak cobaan dan kesengan pula, sehingga tidak sedikit dari
manusia yang runtuh rumah tangganya akibat permasalahan yang berujung
perceraian.Perceraian terjadi karena ada bermacam-macam sebab diantaranya
kasus ketika seseorang yang bercerai akibat perbedaan agama anatara suami
isteri. Tetapi akibat setelah perceraian tersebut ialah jika pasangan suami isteri
tersebut mengsilkan keturunan yang hak asuhnya belum bisa ditentukan, maka
dalam hal permasalahan ini penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang
permaslahan tersebut dengan bahan penelitian hasil fatwa MUI di dalam
hukum hak asuh anak akibat orang tua bercerai beda agama. Penulis sangat
menyadari bahwa MUI sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa lebih-lebih
fatwa ini sifatnya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia oleh karena itu
penulis mendapatkan suatu kesimpulan tentang fatwa tersebut dan menyatakan
setuju dengan keputusan tersebut bahwa seorang pengasuh harus beragana
Islam. Adapun alasan penulis setuju dengan fatwa MUI adalah sebagai
berikut:
Pertama, sebagaimana yang kita ketahui bahwa ulama adalah para
pewaris Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
57
َّ ‫ َوأ‬،‫علماء َوَرثَةُ ْاْلَنْبِيَ ِاء‬
َّ ‫ َعلَْي ِه ُم‬،َ‫َن ْاْلَنْبِيَاء‬
ْ‫ َل‬،‫الس َل ُم‬
َ ْ‫ال‬
ِ
ِ
ِ
‫َخ َذ‬
َ ‫َخ َذهُ أ‬
َ ‫ َوإََِّّنَا َوَّرثُواْ الْعْل َم فَ َم ْن أ‬،‫يُ َوِّرثُ ْوا دينَ ًارا َوَل د ْرَهًا‬
‫َِبَظ َوافِر‬
11
Artinya: “Ulama adalah pewaris para Nabi dan bahwasannya para
mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula hanya
mereka mewarisi ilmu maka siapapun yang mengambil
maka dapatkanlah dengan tulisan (ilmu) dengan wadah
luas”.
Nabi
saja
ilmu
yang
Dari hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa didalam diri
ulama membawa kemaslahatan untuk
umat
karena ulamalah
yang
menerusakan risalah para Nabi-Nabi. Maka dari hadits ini dapat diambil
kesimpulan apa yang sudah diputuskan oleh MUI sudah benar kebenarannya
terlebih lagi penulis membaca dan mendapatkan pendapat-pendapat ulama
terdahulu seperti mazhab 4 mu’tabarah yang menyinggung tentang hak asuh
anak bagi pengasuh yang non muslim sehingga dari istinbath hukum yang
diputusakan oleh mujtahid mutlak tersebut sesuai dengan fatwa yang sudah
diputuskan oleh MUI. Sebab dikatakan oleh imam nawawi al-Bantani dalam
kitab an-Nihayatu az-Zain bahwa mazhab 4 salah satunya al-Imam Syafi’I di
juluki sebagai hudatul ummah Fil Furu’.
Dari pendapat penulis pada alasan pertama disana terdapat perbedaan
pendapat antara MUI dan penulis. Adapun perbedaan tersebut ialah penulis
lebih menjelaskan kepada sifat yang melekat pada ulama yaitu sifat
11
Abu Muhammad Mahmud, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari,
(Lebanon: Dar el-Tsurûs, th), Jilid 2, h. 39.
58
kepercayaan yang mana pasti benar apapun yang di tetapkan oleh ulama.
Sedangkan MUI tidak menjelaskan tentang hal tersbut, tetapi mereka lebih
cenderung kepada inti istinbath hukum.
Kedua,MUI mensyaratkan wajibnya pengasuh harus beragama Islam
alasannya menurut penulis adalah ketika seseorang mengasuh anaknya wajib
bagi ia mengenalkan arkanu al-Islam dan arkanu al-Imam. Alasan penulis ini
berdasarkan perkataan Imam zainuddin al-Malibari didalam kitab Qurratu al‘Ain:
ِ ِ
ِ
‫ث‬
َ ِ‫َوأََّو ُل َواجب َعلَى ْاْلبَاء تَ ْعلْي ُمهُ أَ َّن نَبِيَّنَا ُمَ َّم ًدا صلى اهلل عليه وسلم بُع‬
12 ِ ِ ِ ِ
. ‫ِبَ َّكةَ َوُدف َن بالْ َمديْ نَة‬
Artinya: “Wajib bagi para orang tua mengajarkan anaknya bahwa Nabi
kita Muhammad SAW diutus di Makkah dan dikuburkan di
Madinah.”
Imam an-Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa mengajarkan
anak tentang arkanu al-Islam adalah hukumnya fardu al-Kifayah.Dari
perkataan imam Zainuddin dapat diambil faham bahwa bukan hanya
mengenal Nabi Muhammad SAW saja tetapi wajib mengajarkan dan
mengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya. Dari alasan penulis ini
maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh
hendaklah beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non
Muslim dikawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman
12
Abu Bakar ‘Utsman, I’anah at-Thalibin, (Lebanon: Dar El-Kutub Islamiyah,
2012), Jilid 1, h. 44.
59
dan yang dikhawartikan pula bahwa anak tersebut akan pindah akidahnya
kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan
didalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh
beragama Islam tidak berhak mendapatkan hak asuh.
Adapun perbedaan pendapat didalam pemikiran antara penulis
dan MUI yaitu penulis ingin menunjukan tahap pertama yang harus dilalui
atau dipenuhi oleh seorang pengasuh secara mendetail. Tahap tersebut
ialah agar seorang pengasuh untuk memperkenalkan pendidikan agama
Islam kepada si anak. Sedangkan MUI hanya menjelaskan beragama Islam
adalah syarat pertama yang harus penuhi tetapi tidak secara mendetail
seperti MUI tidak menyebutkan pendapat ulama bahwa seorang pengasuh
harus memperkenalkan arkanu al-Islam atau arkanu al-Iman.
Ketiga, ketika hak asuh anak jatuh kepada pengasuh yang beragama
non Islam maka hal ini menyalahi aturan firman Allah:
            
  
          
        
    
      
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi
bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami
(turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir
mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah
60
Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di
hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
(QS. An-Nisa: 141)
Ayat diatas menyatakan bahwa Allah tidaklah Allah memberikan
jalan bagi orang kafir dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal
mengasuh anak yang beragama Islam dan sabda Nabi yang mengatakan
‫صَرانِِه‬
ِّ َ‫يُن‬
‫أ َْو‬
،‫يُ َه ِّوَدانِِه‬
ُ‫فَأَبَ َواه‬
merupakan dilalah lazimiyah yang artinya wajib seorang
pengasuh beragama Islam. MUI memfatwakan syarat seorang pengasuh harus
beragama Islam faidahnya adalah agar anak tersebut dapat membuat Islam
menjadi kuat karena jika banyak pengikut Islam maka agama Islam menjadi
kokoh dan tidak dapat tergoyahkan oleh sesuatu apapun. MUI mengharuskan
seorang pengasuh bergama Islam gunanya juga adalah agar ia dapat mecetak
generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat
melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya
dengan dibekali al-Quran dan hadits.
Di dalam pendapat yang ketiga ini penulis ingin mencoba
membedakan pola fikir antara penulis dan MUI dari segi dilalah lazimiyah.
Menurut penulis firman Allah SWT          dan
hadis nabi
‫صَرانِِه ُيجسانه‬
ِّ َ‫ أ َْو يُن‬،‫فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه‬
merupakan dilalah lazimiyah. Yang
61
artinya harus dipenuhi oleh seluruh manusia menjalakan perintah Allah SWT,
seperti manusia harus tahu dan menanamkan dihatinya bahwa Allah SWT
tidak meridhai bagi orang kafir, yahudi, nasrani dan majusi untuk
mendapatkan
posisi
sedikitpun
didalam
agama
Islam
sekalipun
ia
mendapatkan posisi didalam agama Islam seperti ia mendidik anak atau
mengasuh maka semua itu dimata Allah SWT merupakan sesuatu hal yang
sia-sia karena di dalam firman Allah tersebut terdapat kalimat “lan” yang
makna kata tersebut ialah “tidak akan”. Alasan inilah yang membedakan pola
pemikiran anatara MUI dengan penulis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam hukum Islam banyak aturan-aturan yang sudah diatur oleh
Allah SWT baik itu dari hal terkecil sampai hal yang terbesar. Semua aturan
tersebut berasal dari kalamullah dan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang
bersifat qauliyah, fi’liyah maupun takririyah. Maka se bagai aturan yang harus
ditaati ulama membuat suatu sistem disiplin ilmu yang kemudian di
kelompok-kelompokan pada tempatnya masing-masing. Seperti salah satu
hukum syariat Islam yang sudah diatur secara sistematis yaitu tentang
perkawinan. Allah mensyariatkan pernikahan bertujuan agar manusia tidak
melakukan perbuatan-perbuatan keji dan yang Allah murkai, bukan hanya itu
saja, Allah SWT mensyariatkan pernikahan karena Allah menciptakan
makhluk-Nya dalam keadaan berpasang-pasangan sebagai rasa kasih sayang
Allah SWT kepada umatnya dan sebagai rahmat untuk alam semesta ini.
Membicarakan pernikahan, Hukum pernikahan didalam Islam diatur
pada firman Allah SWT surat An-Nisā ayat 3:
          
     
        
       
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
1
2
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(QS. An-Nisā :3)
Kemudian hadits nabi Muhammad SAW mengatur pula tentang hukum
pernikahan:
,‫ فإنه أغض للبصر‬,‫ من استطاع منكم الباءة فليتزوج‬,‫يا معشر الشباب‬
1
)‫ (متفق عليه‬.‫ فإنه له وجاء‬,‫ ومن مل يستطع فعليه بالصوم‬,‫وأحصن للفرج‬
Artinya:“Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang sudah
mampu maka menikahlah, sesungguhnya pernikahan itu mencegah
penglihatan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa yang belum
mampu menikah maka wajib bagi kamu berpuasa. Sesungguhnya
puasa itu dapat mencegah nafsu (zina) untuk kamu” (HR. AlBukhari dan Musim)
Pada firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW jelas
bahwa hukum pernikahan mandub apabila seseorang telah mampu untuk
menikah. Menurut ulama menikah mempunya itujuan-tujuan antara lain
menjadikan seseorang sempurna dalam kehidupannya, terhin dari perbuatan
zina, dan mendapatkan keturunan.
Di dalam Islam mendapatkan seorang keturunan dari pernikahan
adalah suatu karunia yang besar karena anak adalah buah dari rasa cinta antara
kedua orang tua yang akan membawanya kesurga.
Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa di dunia ini banyak
permasalahan-permasalahan dalam perkawinan seperti ketika seseorang
menikah yang setatus asal keduanya beragama Islam kemudian bercerai
disebabkan istri telah murtad, sedangkan dari perkawinan tersebut
menghasilkan anak yang belum mumayyiz, maka dari hal ini timbul
1
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Shohih al- Bukhori, (Lebanon:
Dar el Fikri, 1981), Juz III, h. 116-117.
3
permasalahan baru tetang hak mengasuh anak tersebut. Dalam hal ini ulama
sepakat bahwa dalam hal-hal mendidik anak mempunyai persyaratanpersyaratan yang harus dipenuhi oleh orang tua sebagaimana yang telah
tercantum dalam hasil Fatwa Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masalah
Fikih Kontemporer tentang” Hak Pengasuhan Anak Karena Orang Tua Yang
Bercerai Berbeda Agama”, yang berisikan mengenai persyaratan orang yang
akan mengasuh anak :
a. Berakal Sehat.
b. Dewasa (baligh)
c. Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak.
d. Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.
e. Beragama Islam.
Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang
bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada
anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang
yang akan mengasuh anak tersebut diatas.2
Selanjutnya penulis mendapatkan pemahaman dari fatwa tersebut
bahwa hak asuh anak jatuh kepada orang tua yang beragama Islam. Namun
hadits nabi yang mengatakan:
‫ عن أب‬،‫ حدث نا ممود بن خالد السلمي حدث نا الوليد‬:‫قال أب و داود‬
‫ ي عن الوزاعي حدثن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عبد الل‬،‫عمرو‬
‫بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول الل إن ابن هذا كان بطن له وعاء‬
2
Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, Jilid II, (al-Maktabah Asy-syamilah) h. 341.
4
،‫وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعه من‬
‫فقال لا رسول الل صلى الل عليه وسلم أنت أحق به ما مل ت نكحي(رواه‬
3
.)‫أبو داود‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami,
telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I,
telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari
kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata:
Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah
mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemuadian
Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya
selama engkau belum menikah. (HR. Abu Daud)
Hadits tersebut tidak mencantumkan bahwa agama bukan hak tetap
untuk menjadikan dasar berhaknya mendidik anak. Sedangkan dari kasus
diatas anak tersebut lebih memilih Ibunya yang telah murtad, dikarenakan
sang Ayah dinilai tidak pantas untuk mendidik anak. Dengan kata lain, ia tidak
cakap hukum dalam pandangan ajaran agama Islam.
Dari uraian diatas penulis masih ingin meneliti lebih lajut tentang
permasalahan mendidik anak dalam prerspektif fatwa MUI dengan memilih
judul“Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang BerceraiI Karena Berbeda
Agama” Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V
tahun 2015.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Dalam
penulisan
ini
penulis
akan
mengemukakan
seputar
permasalahan hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda
3
Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah, 1932),
Juz 3 h. 282
5
agama. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hak asuh anak maka
penulis
hanya
fokus
pada
analisa
kasus
metode
MUI
dalam
mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang
bercerai karena berbeda agama dan pandangan hukum Islam terhadap Hak
Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama”
Analisis Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia
V tahun 2015.
b. Perumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang
diatas, setidaknya terdapat
permasalahan yang dapat dicari kemudian diteliti dan ditemukan
jawabannya didalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut
dapat dirumuskan oleh penulis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak
pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap
Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015” ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengkaji secara mendalam
dengan mengharapkan bahwa hasil tulis skripsi ini dapat memberikan suatu
pengetahuan dan bernilai terhadap pemahaman lebih lanjut tengan hukum hak
asuh anak hasil keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disamping
itu untuk menambah wawasan bagi penulis dan dapat diambil suatu pelajaran
6
yang berharga bagi pembaca. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan
skripsi ini sebgai berikut:
1. Untuk mengetahui metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak
pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai sebab berbeda agama.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak
Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah berharap agar
memberikan suatu kajian yang bermanfaat mengenai hak asuh anak akibat
orang tua yang bercerai beda agama, yang di tunjukkan untuk para pembaca
dan kepada mahasiswa yang berkecimpung dibidang ilmu hukum Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang dilakukan diruang
perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari
perpustakaan, baik berupa buku-buku, priodikal-priodikal, seperti majalahmajlah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumendokumen dari materi perpustakaan lainnya yang dapat dijadikan sumber
rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah. 4
Penelitian ini juga berpedoman dan mengacu pada:
1. Sumber Data
Yaitu data yang bersumber dari Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
MUI Se- Indonesia V Tahun 2015tentang hak asuh anak akibat orang tua
yang bercerai beda agama.
4
Abdurrahman Fathoni, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,
(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), h. 95.
7
2. Teknik Pengumpulan Data
Penggunaan penilitian bahan dilapangan seperti buku, kitan-kitab,
dokumen-dokumen, internet dan sebagainya dengan cara dibeca kemudian
dikaji dan disimpulkan sesuai dengan kelompok masalah-masalah yang
terdapat dalam skripsi ini.
3. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data diolah dengan menggunakan cara dikumpulkan,
kemudian di kaji dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan
metode-metode sebagai berikut:
a. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara hukum Islam
dan fatwa MUI yang membahas tentang pembahasan yang ada
b. Metode Induktif yaitu suatu cara dalam menganalisis datanya yang
bertitik tolak dari data-data yang mana data tersebut bersifat umum
kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang
bersifat khusus kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat umum.
Teknik penulisan skripsi ini berpacu kepada buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
E. Study Refiew Terdahulu
Dari beberapa literatur skripsi yang berada di fakultas Syariah dan
Hukum serta Perpustakaan Utama, penulis menemukan sejumlah skripsi yang
8
membahas masalah hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama.
Adapun daftar skripsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ibrohim, Moh. Anas Maulana. Dengan judul skripsi Pelimpahan Hak
AsuhAnak
Kepada
Bapak
Kandung,
PerkaraNomor:
345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
Skripsi ini berisi tentang tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pelimpahan
hak
asuh
anak
kepada
bapak
Perkara
Nomor:
345/Pdt.G/2007/PA.Bks. pada skripsi ini penulis memilih Pengadilan
Agama Bekasi yang mana penulis ingin mengetahui hal-hal yang
menyebabkan pelimpahan anak kepada bapak kandungnya sebagai akibat
peceraian, yang seharusnya hak asuh anak itujatuh kepada Ibu
kandungnya.
2. Muawanah. Dengan judul skripsi Penetapan Hak Asuh Anak oleh Bapak:
Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor :
171/Pdt.G/2010/PAJT.
Skripsi ini berisikan tentang cara Hakim memutuskan hak asuh anak
kepada Bapak padahal Ibunya mampu mendidik dan mengasuh anak
tersebut.
3. Nahrowi. Dengan judul skripsi Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat
Perceraian Menurut Undah-Undang No.23 th 2002 Tentang Perlindungan
Anak: ( Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung no.349 K/AG/2006) .
Skripsi ini berisikan tentang Hadhanah atau pemeliharaan anak dalam
hokum perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa
9
yang lebih berhak dalam mendapatkan hak pemeliharaan anak, hal tersebut
kembali kepada kepentingan anak yang didasari pada putusan pengadilan.
Dari beberapa judul tersebut, maka jelas berbeda pembahasannya
dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Penulis akan mencoba
membahas Hukum Hak Asuh Anak Tehadap Orang Tua Yang Bercerai Karena
Berbeda Agama Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015
Tentang Hak Asuh Anak.
F. Sistematika Penulisan
Agar dapat mempermudah pada penulisan skripsi ini, maka penulis
membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab yang dapat diuraikan
sistematikanya sebagai berikut:
Bab I.
Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, study riview terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II. Berisikan
tentang
tinjauan
umum
yang
meliputi
pembahasan,pengertian, hukum Hadhanah, Syarat-syarat Hadhanah
dan Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah
Bab III. Berisikan tentang Hadhanah bagi orang tua yang tidak cakap
perilaku dan HasilFatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang
Hak Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama.
Bab IV. Berisikan tentang pembahasan metode istinbath MUI, dalil-dalil, dan
analisi Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI.
Bab V. Bab ini berisi tentang penutup, kesimpulan dan saran dari isi
penulisan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah
Hak asuh anak menurut Hukum Islam
dikenal dengan istilah
hadhanah. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak
hingga ia dewasa atau mampu menjaga dirinya sendiri.1
Sayyid Sabiq memberikan definisi Hadhanah adalah berasal dari
kata hidnan yaitu lambung. Seperti susunan kalimat bahasa Arab “hadhana
ath-thaairu baidhahu”, burung itu menghimpit telur dibawah sayapnya, maka
dari kalimat ini bias dipahami bahwa seorang Ibu menhimpit anaknya.2
Adapun menurut Abdurrahman Ghazaly yang dimaksud dengan hadhanah
yaitu merawat dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz sampai ia
mampu mengatur dirinya sendiri.3
Ulama
fikih
mendefinisikan
hadhanah
adalah
melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusak dan
menyakitinya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar kelak mampu
berdiri sendiri mengahadi hidup dan memikul tanggung jawabnya.4
1
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: tp, 1996), h.4
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, (Jakarta: Dar as-Saqafah, tth), Jilid 2, h. 218.
3
Abdrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: kencana Pranada Media Group, 2009).
h. 326.
2
10
11
Hadhanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah mengasuh anak
yang belum mumayyiz hal keadaan ia belum mampu mengurus dirinya sendiri
(belum mandiri).5 Menurut Sa’ani, hadhanah adalah memelihara anak yang
belum mampu mandiri. Pendidikannya dan pemeliharaannya dari segi sesuatu
yang membinasakannya atau membahayakannya.6
Dari
pengertian
diatas
dapat
diambil
kesimpulan
bahwa
pemeliharaan anak adalah merangkap kepada seluruh keperluan-keperluan
anak, baik itu yang bersifat jasmani ataupun rohani. Ulama mazhab fikih
berbeda pendapat mengenai masa pengasuhan anak. Imam Hanafi berpendapat
masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk
perempuan. Imam Hanbali bahwa masa asuhan untuk ank laki-laki dan
perepuan adalah 7 tahun dan setelah ia telah mumyayiz dibebaskan untuk
memilih. Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa asuh itu 7 tahun dan 8 tahun.
Sedangkan Imam Malik berpendapat batas usia anak mumayyiz adalah 7
tahun.7
B. Hukum Hadhanah
Memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan
kesabaran, kebijaksaan, pengertian, kasih sayang, sehingga seseorang tidak
dibolehkan mengeluh dalam menghadapai berbagai persoalan anak tersebut,
bahkan Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan
5
Abdul Azziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeva, 1992), h. 137
6
Sa’ani, Subulu as-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 37.
7
h. 45.
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006),
12
dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka.8 Oleh karena itu hukum
mengasuh anak adalah wajib. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Imam AsSyirazi:
َ‫اَولَدَََبالَغَََرشَيَدََفََلَههَأَ َنَيَنَفََردََ َعنََأَبَ َوَي َهَلَنََهه‬
َ ‫انَ َو َلهَم‬
َ ‫الزَو َج‬
َ ََ‫إ َذاَافَتََرق‬
ََ‫اَول‬
َ ‫ب ََأ َن َلَ َيَنَ َفَردَ َ َعنَ هَه َم‬
َ‫ح ه‬
َ َ‫ستَ َغ َن َعَنَ َالَضَ َان َة ََوَالكَفَ َالةَ ََواَل همَسَت‬
َ ‫هَم‬
َ‫َوإَ َنََكَانَتَ َ َج َاريَ َةََ هَكَرهَ َلَا ََأنَ َتَنَ َفَردَ َ َلنَ َها ََإ َذا‬
َ ‫يَ َق َط َع ََبَرهَه َعَنَ هَه َما‬
ََ‫اَولَد‬
َ ‫اَوإَ َنََكَانَ َلَهَم‬
َ َ‫س هدَه‬
َ ‫اَمنَ َيَه َف‬
َ ‫انَ َفَردَتَ َلَ َيَهَؤَم َن َأَ َن َيَدَ هخَ َل َعَلَيَ َه‬
ََ‫مَنهَ َو َن َأَ َو َصَغَيَ َر َ َل َهَُيَهزَ ََوهَهوَ َالَذَيَ ََلهَه َ هدَ َو َن َسَبَعَ َ َسنَيَ ََو َجَبت‬
َ َ‫ضانََتهَههَضَاعَََو َهل‬
َ َ‫ضانََتههَإَ َنَتََركََح‬
َ َ‫ح‬
َ 9‫ك‬
Artinya: “Apabila telah berpisah suami isteri sedangkan mereka mempunyai
anak yang berakal dan balig maka boleh ia memilih dari salah satu
orang tuanya, karena ia butuh kepada pengasuhan, penjagaan dan
dianggap sunah apabila ia mandiri tidak tergantung dengan
orangtuanya dan tidak memutuskan kebaktian ia kepada kedua
orangtuanya
jika ia seorang gadis maka makruh bagi ia
mengosongkan asuhan dari kedua orangtuanya karena apabila ia
mengkosongkan ditakutkan akan ada orang yang menyakitinya, dan
jika ada bagi kedua orangtua yang berpisah sedangkan ia memiliki
anak yang gila atau kecil yang belum mumayyiz (yang belum sampai
7 tahun umurnya) maka wajib bagi salah satu kedua orangtuanya
mengasuhnya karena jika ia tidak mengasuhnya dikhwatirkan ia
akan menderita”
Adapun dasar hukum tentang hadhanah Allah berfirman didalam alQur’an surat Al-baqarah ayat 233:
8
Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 115-116.
9
As-syirāzi, Al-Muhadzdab fi Fiqh al-Imam As-syafi’I, (Lebanon: Dar El-Kutub
Alamiyah, tth), Juz 2, h. 164.
13
           
              
     
         
               
           
             
    
  
Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban Ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang Ayah Karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-baqarah : 233)
Ayat diatas menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika
terjadinya talak, dapat diartikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan
yang tidak dapat lepas dari kedua suami dan siteri yang bersangkutan yaitu,
tentang anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya.
Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtua itu bubar, maka si
kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua
orangtuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian seorang Ibu yang telah
diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang msih menyusui,
14
hal tersebut merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Alah SWT dan
tidak dibiarkan oleh Allah meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak
berkurang akibat perceraian kedua orangtuanya, sehingga Allah SWT
mewajibakan bagi seorang Ibu untuk menyusui anaknya selama sua tahun
penuh. Karena Ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahaun
merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa
anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital bagi
pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.10
Kemudian Allah SWT berfirman di dalam surat At-tahrim Ayat 6:
          
   
         

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. AtTahrim: 6)
Pada ayat ini orangtua diperintahakan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan memberitahaukan kepada keluarganya
untuk selalu taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya,
termasuk anggota keluarga disini adalah anak. Kewajiban membiayai anak
yang masih kecil bukan hanya belaku selama Ayah dan Ibu masih terikat
dalam tali perkawinan saja, namun berlanjut setelah perceraian.11
10
Sayid Quthub, Tafsir Fi Zhilāli Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992)
penerjemah As’ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 301-302.
11
Al-Makhrûzi, Tafsir Mujahid, (Beirut: Dar el-Fikri, 1989), h. 237.
15
Didalam Tafsir Wādhih dijelaskn bahwa ayat tersebut menjelaskan
Allah SWT memerintahkan agar menjaga diri manusia meninggalkan dari
segala kemaksiatan melaksanakan ketaan, meninggalkan segala larangan yang
dibenci oleh Allah SWT dan rasul-rasul-Nya. Menjaga pula keluarga kita dari
segala kemaksiatan, larangan dan melaksanakan perintah Allah SWT,
mengerjakan amal baik, dan menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan alQur’an. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah anak dan
orang-orang yang terdekat. Allah benar-benar telah tegas mengatakan:12
َ‫َوأنذرَعشريتكَالق ربي‬،ََ‫وأ همرَأهلكَبالصالةَواصطِبَعليها‬
Kemudian hadits Nabi:
ََ‫ َعنَ ََأب‬،َ‫ َحَدَثَنَا َمَ هَم َوهَد َبَ هنَ َخَ َال َد َالسََلمَ َي َحَدَثَنَا َالَ َوَليَ هد‬:َ‫قَالَ َأَبَهوَ َدَ هَاود‬
ََ‫ب َعَنَ َأَبَيَهَ َعَنَ َجَدََه َعَبَدَ َالل‬
َ َ‫وَب هَن َ هَش َعي‬
َ ‫ن َعَمََر‬
َ َ‫َي عَنَ َالََوَزاعَ َي َحَدَث‬،‫عَمََرو‬
َ‫اء‬
َ ‫ن َلََهه َ َو َع‬
َ َ‫َكان ََبط‬
َ ‫ن َهذَا‬
َ ‫ت َيَا ََر هَس َولَ َاللَ َإَنَ َ َاب‬
َ ‫بَنَ َعَمََرو َأنَ َ َامَرأَةَ َقَ َال‬
َ ‫باهه َطَلَ َق‬
َ َ‫ي َلَهَه َحََواءَ َ َوإَنَ َأ‬
َ ‫جَر‬
َ َ‫وثَدَيَيَ َلََهه َ َس َقاءَ ََوح‬
َ،َ‫ن ََوأََرادَ َأَنَ َيَنَتََزعََهه َ َمن‬
13
.َ‫حي‬
َ ‫اَلَتَنَ َك‬
َ ‫اَر هَس َو هلََاللََصلىَاللَعليهَوسلمَأَنَتََأَحَقََبََهَ َم‬
َ َ‫فَقالَل‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami,
telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I,
telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari Ayahnya dari
kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata:
Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan Ayahnya telah
mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah
SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau
belum menikah. (HR. Abu Daud)
12
Muhammad Mahmud, Tafsir Wadhi, (Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H), Juz 3 h.
705.
13
Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-Mathba’ah Al-alamiyah, 1932),
Juz 3, h. 282.
16
Dari hadits ini bependapat imam al-Qurtubi al-Baji al-Andalusi,
bahwa anak kecil tidak mampu mengurus dirinya sendiri maka butuh
pengasuh, sedangkan pengasuh untuk anak yang lebih utama adalah Ibunya
karena seorang Ibu lebih benar, lebih sabar, lebih menjaga dan mengerti
kepada kebutuhan anaknya, sedangkan Ayahnya tidak ampu melakukan hal
itu. Maka Ibulah yang lebih berhak mengasuh anaknya selam ia belum
mencapai umur 7 tahun.14
Kemudian Imam Māwardĭ yang menjelaskan alasan Ibu tidak
mendapatkan hak asuh dengan alasan sebagai berikut :15
1.
Pernikahan mencegah mendapatkan hak asuh karena dikhawatirkan jkia si
Ibu menyibukkan diri mengurus anak maka hak suami tidak terpenuhi.
2.
Karena pernikahan menceah untuk sibuk mendidik anak yang bukan
berasal dari suaminya.
3.
Karena anak tersebut tidak dianggap oleh suami baru Ibunya.
Imam Nawawi berkata ketika seorang Ibu tidak mendapatkan hak
asuh anak karena ia menikah lagi, maka ia akan di sibukkan beristimta dengan
suaminya, sehingga tugas penting dari hadhanah terabaikan.16
C. Syarat-syarat Hadhanah
Syarat-syarat hadhanah menurut Imam Taqiyuddin didalam kitabnya
Kifayatu Al-akhyar menyebutkan ada 7 syarat:
14
al-Kurtubi al-Baji al-Andalusi, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, (Mesir:
Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H), Juz 6, h. 186.
15
Al- Māwardhĭ, Al-hawi Al-kabir, (Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999), Juz 1,
h. 505.
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Lebanon: Dar El-Fikri, tth),
Juz 18, h. 321.
16
17
1. Berakal
Berakal merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi bagi orang
yang ingin mendidik anaknya, karena berakal merupakan salah satu indikasi
seseorang dapat dikenakan hukum syariat, maka tidak berhak bagi orang
yang gila baik itu gila dari lahir atau gilanya orang tersebut dapat mungkin
sadar dengan memakan waktu yang lama. Tetapi Imam Taqiyuddin
berpendapat lain yaitu jika gilanya tersebut tidak lama (sebentar) seperti
sehari maka tidaklah menggugurkan hak hadhanah tersebut, seperti halnya
orang yang sakit kemudian sembuh dengan waktu yang sesaat. Adapun
alasan seseorang yang gila tidak boleh mendidik anak (hadhanah) karena
tidak mungkin seorang yang gila menjaga anak sedangkan ia sendiri
membutuhkan kepada penjagaan bagaimana mungkin ia dapat menjaga /
mendidik anak.
2. Merdeka
Tidaklah boleh bagi seorang budak mendidik anak sekalipun ia di
izinkan oleh tuannya, sedangkan alasan tidak dibolehkannya bagi seorang
budak mendidik anak: pertama, budak haknya adalah melayani tuannya
(kemanfaatan bagi tuannya) bagaimana mungkin ia melayani tuannya dan
tuannya dapat mengambil kemanfaatan darinya sedangkan ia disIbukkan
untuk mendidik anak. Kedua, tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak
untuk mendidik anak.
18
3. Beragama Islam
Keadaan perempuan tersebut beragama islam tetapi jka ada anak yang di
didik tersebut beragama islam yang mengikuti agama bapaknya maka bagi
seorang perempuan yang kafir tidak boleh mendidiknya.
4. Cakap akhlaknya, terpercaya, tidak bersuami.
5. Mampu
Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah
hadhanah. Namun berbeda dengan imam Husain al-hanafiy mengatakan
bahwa seorang Ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengsuh
karena tidak ada perbedaan dari segi agama,17 maka hadhanah lebih berhak
didapatkan oleh seorang isteri sebagaimana dijelaskan didalam kitab
raudhatu At-Thālibĭn:18
َ‫إَّناَ هُيك همَبأنَالهمَأحقَبالضانةَمنَالبَِفَحقَمنَلََتييزَلههَأصال‬
Artinya: “Hanyalah ibu yang lebih berhak untuk mengash anaknya
dibandingkan dengan Ayahnya selama anak tersebut belum
tamyyiz sedikitpun”
Imam Fakhruddin berpendapat apabila tidak ada keluarga yang
mengasuh dengan bahwa ada Ibunya itu seorang yang fasik, atau ia sering
keluar rumah kemudian ia meninggalkan anak asuhannya dan tak kembali
kerumah atau ia seorang budak atau anak budak perempuan atau yang
mengatur kehidupan anak asuhan atau Ibunya seorang budak mukatabah yang
17
Badru ad-Din, Al-InAyah Syarh al-HidAyah, (Lebanon: Dar El-Kutub Al‘alamiyah, 2000), Juz, 5, h. 644.
18
Abu Zakariya, Raudhatu at-Thālibĭn Wa Umdatu Al-Mutaqin, (Beirut: AlMaktab Al-Islami, 1991), Juz 9, h.103.
19
ia melahirkan seorang anak sebelum menjadi budak mukatabah atau ia
menikah dengan seseorang yang bukan mahramnya, sedangkan dilain sisi
bapaknya sulit dan Ibunya pergi tidak mau mengasuh anaknya jika tidak diberi
upah sedangkan ada seorang budak yang ingin mengasuhnya tanpa harus
dibayar maka budak perempuan tersebut lebih baik dibandingkan Ibunya.
Pendapat ini lebih baik menurut mazhab Hanafi.19
Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab al-Iqna’:20
َ ‫ض َان َةه ََو َهيَ َسَبَ َع َة َاَلَعَ َق هَل ََو‬
َ َ‫اَل‬
َ ‫المَ َان َةه ََو‬
َ ‫الدَي هنَ ََوَالعَ َف َةه ََو‬
َ ‫الهَريَ َةه ََو‬
َ‫القَامََةه‬
َ َ‫ج‬
َ ‫الهلَه َوَ َم َنََزَو‬
َ ‫َو‬
Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,
terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan”
Abi Suja’ mengatakan:
َ‫الهَله َو‬
َ ‫ال َم َان َةه ََوالَقَامَ َةه ََو‬
َ ‫الهَريَةَه ََوالدََي هنَ ََوَال َع َفةَه ََو‬
َ ‫ض َانةَ َسَبَعَ َاَلَ َعقَ هَل ََو‬
َ ‫ال‬
َ َ‫ط‬
َ‫َوشََرَائ ه‬
.َ‫طَسَ َقطَت‬
َ ‫جَفَإَنََاخَتَلََمَنَهَاَشََر‬
َ ‫مَنَََزَو‬
َ
Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,
terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan jika
cacat satu syarat dari 7 tersebut maka gugurlah”21
َ‫اعه‬
َ َ‫َوإََرض‬
َ ،َ‫ ََوأَ َم َانة‬،َ‫سلَم‬
َ َ‫ال َم َلََل هم‬
َ ‫ ََو هحََريَةَ َ َوإَ َس‬،َ‫ َعَقَل‬،‫ت‬
َ َ‫اضنَ َس‬
َ ‫ال‬
َ َ‫ط‬
َ‫شََر ه‬
ََ‫َوإَن‬،‫ا‬
َ ‫َبَ َطلَ َحَ َق َه‬،َ‫الضَ َانة‬
َ َ ‫ِف‬
َ َ ‫حتَ َ َمنَ َلَ َحَقَ َلَهَه‬
َ َ‫ص َر َ َوإَ َن َنَك‬
َ ‫ضيَعَ َ َوَب‬
َ ‫الر‬
َ
.‫طَلَ َقتََعَادَََكَ َع َودََشََرطَ َها‬
19
Fakhru ad-Din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah Assyilbi, Juz 3,(Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth), h.46.
20
Al-mawardi, al-Iqna fi fiqh as-Syafi’I, (Ttp: Tp, tth), Jilid I, h. 160.
21
Abi Syuja’, al-Ghayah Wa At-taqrib, (Surabaya: Alim Al-Kutub, tth), h. 36.
20
Artinya: “Syarat bagi orang yang mengasuh anknya itu ada 6: berakal,
merdeka, beragama Islam, terpercaya, baik budi pekertinya (ibu
sesusuan) dan mengerti. Jika ibunya menikah lagi maka tidak ada
hak asuhan bagi ibunya, dan jika ia tertalak lagi maka kembalilah
haknya jika anak tersebut belum mumayyiz”
Maka dari syarat yang disebutkan diatas hak hadhanah lebih pantas
jatuh kepada Ibu sebagaimana di dalam kitab Al-lubab dijelaskan:22
َ َ‫ض َان َة َمَ َن َالَبَ َم‬
َ َ‫ل ََبال‬
َ ‫أَ َلهمَ َأََو‬
ََ‫اَل َيَبََله َغ َ َال َوَل هدَ َ َسبَعَ َ َسنَيَ َإَ َل َِف‬
َ"َ‫ك َالَ َولَد‬
َ‫َ"أَنَاَأَمَسَ ه‬:‫سائَلَ أَحَ هَدهَاَأَنَ َيَ هَق َولَََ هَك هَل ََواحَدَ َمَنَ هَهمَا‬
َ َ‫ثَانَ َم‬
ََ‫َأَن‬:‫الهمَ َوالثَالَثَ َةه‬
َ َ َ‫اَد َون‬
َ‫ب َمَأَ هَم َونَ ه‬
َ‫َأَنَ َيَ هَك َونَ َالَ ه‬:‫ب َأََولَ والثَانَيَ َةه‬
َ‫فَالَ ه‬
َ‫الرابَعَ َةه َإَذَاَافَتََرقَ َالدَ هَار‬
َ ‫ب َ هَحَرا َو‬
َ‫الهَريَ َةه َِفَ َالَهمَ َ َويَ هَك َونَ َالَ ه‬
َ َ َ‫لَ َتَكَ هَمل‬
.َ‫الهبَ َأََول‬
َ َ‫ َإَذَا َتََزَوجَتَ َا َلهمَ َف‬:‫ َوالَامَسَ َةه‬.َ‫بَمَا َفَالَبَ َأََول‬
ََ‫ َوالسَابَعَ َةه َإَذَا َكَان‬.َ‫ َإَذَا َكَانَ َالَبَ َ هَمسَلَمَا ََوالَهمَ َذَمَيَة‬:‫َوالسَادَسَ َةه‬
ََ‫ َوالثَامَنَ َةه َأَنَ َتَ هَك َونَ َالَهمَ َمَ هَه َولَةَ َ َالنسَب‬.َ‫الَبَ َ هَمسَلَمَا ََوالَهمَ َ هَمَرتَدَة‬
ََ‫الهمَ َأََولَ َمَن‬
َ َ‫اءه‬
َ َ‫ َوإَذَاَاجَتَمَعَتَ َال هَقَرابَتَانَ َفَنَس‬.َ‫الرقَ َلَنَسَان‬
َ َ‫فَأَقََرتَ َب‬
ََ‫ َكَانَت‬،َ‫َلهمَ َمَعَ ََأهخَتَ َلَبَ ََوَأهم‬
َ ‫نَسَاءَ َالَبَ َإَلَ َأَنَ َتَ هَك َونَ ََأهخَتَا‬
َ َ‫تَلَلَبَََوالَهمََأََول‬
َ‫الَهخَ ه‬
Artinya: “Adapun ibu lebih utama kepada hak hadhanah selama anak belum
sampai kepada umur 7 tahun kecuali dalam 8 perkara:
1. Mengatakan setiap dari keduanya “aku mengambil anakku” maka yang
lebih utama adalah bapaknya.
2. Bahwa Ayahnya lebih terjaga dibandingankan dengan ibunya.
3. Bahwa tidak sempurna kemerdekaan ibunya sedangakan Ayahnya lebih
merdeka ketimbang ibunya.
4. Jika berbeda tempat yang sangat jauh antara keduanya maka Ayahlah
yang lebih berhak
5. Jika ibunya telah menikah maka yang lebih berhak bapaknya
6. Jika bapaknya muslim dan ibunya kafir zimmi maka yang berhak Ayahnya
22
Abu al-Hasan Al-Mahamili, al-Lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, (Madinah
Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998), h. 347.
21
7. Jika Ayahnya muslim dan ibunya murtad
8. Jika ibunya tidak mempunyai kerabat lagi sedangkan ia merupakan budak
seseorang maka Ayahnya yang lebih berhak.
Adapun syarat bagi anak yang diasuh:23
1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat mengurus dirinya
sendiri.
2. Si anak sempurna akalnya.
Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat
mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat
kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang
memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non-muslim itu
kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri
maupun orang lain.24 Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan
ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut sebagian mazhab
Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia
akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya
tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak
boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.25
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hadhin
yang berhak atas itu, apabila hadin tidak bersedia melaksanakan hadhanah,
maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu
apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka
23
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Jilid 2, h. 242.
Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul
Hayyie Al-Katani, dkk, h. 67.
25
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fikih, (Jakarta: IAIN, 1983), Jilid 2, h.212.
24
22
dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya. Pada
hakikatnya hadhanah berkaitan dengan tiga hak terpadu, hak Ibu, hak anak
dan hak Ayah, maka ketiganya harus terwujud jika saling bertentanagn yang
didahulukan adalah hak si anak.26
Imam Syarbini mengatakan apabila si hadhin tidak mempunyai harta
maka wajib bagi orang yang wajib menafkahkan harus menafkahkan si
mahdun, jika tidak maka wajib bagi orang Islam untuk menafkahkannya. Dari
perkataan imam Syarbini dapat difahamibahwa menafkahkan anak yang
diasuh itu wajib untuk semua orang Islam tetapi tentu dengan catatan yang
tertentu.27
Menurut imam al-Sarkhisi apabila seorang Ibu merasa anak tidak
butuh kepada hadhanah maka tetaplah berlaku bagi seorang yang mempunyai
hak mengasuh untuk membiayai ia dalam pendidikan, kebutuhan makannya,
dan menyucikan bajunya, karena semua itu dIbutuhkan bagi si anak.28
Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima hadhanah
menurut Abu Al-Fadhil Al-Hanafi yaitu: Ibu kandung, Ibu sebapak, Saudara
perempuan seIbu sebapak, Saudara perempuan seibu, Saudara perempuan
sebapak, Bibi, Ponakan perempuan dari saudara perempuan lebih bagus dari
pada anak ponakan perempuan dari saudara laki-laki. Apabila yang disebutkan
diatas menikah maka gugurlah hak asuhan baginya.29
26
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h.210.
27
Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994), Juz 5, h.
196.
28
As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, (Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993), Juz 5, h. 207.
29
Abu al-Fadhil al-Hanafi, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, (Beirut: Dar El-Kutub
Alamiyah, 1937), Juz 4, h. 15.
23
Muhammad al-Hadadi al-‘Ubadiy az-Zabidiy mengatakan apabila
Ibu kandung tidak ada atu telah menikah maka yang lebih utama mengasuh
anak tersebut adalah nenek Ibu kandung lebih utama di banding dengan Ibu
sebapak, dan jika jauh dari nasab keturunan maka Ibu sebapak lebih utama
daripada saudara perempuan. Maka apabila Ibu kandung tidak mempunyai
nenek maka saudara perempuanlah yang lebih utama daripada bibi.30
D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah
Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami
isteri atas hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang
menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah
terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga
yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah
tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan
kelemah lembutan bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah,
mawali, wala’, walad dan warisan.31
Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang
yang diberi wasiat, adik perempuan Ayah, adik perempuan Ibu, anak saudara
laki-laki dan anak saudara perempuan. Sementara menurut Al Hamdani bahwa
orang yang berhak pengasuhan anak adalah orang yang lebih mampu
mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena orang yang mengabaikan
pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap anak tidak layak
mendapatkan hak pengasuhan anak.32
30
Muhammad Az-zabidi, Al-jauharah an-Nirah, (Lebanon: mathba’ah Khirah,
1322 H), Juz 2, h. 90.
31
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemahan Imam Ghazali Said, (Jakarta:Pustaka
Amani, 2007), Jilid II, h. 526.
32
Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989),
h. 265.
24
Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak hadhanah atas
anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut
mereka naluri keIbuan lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta
adanya kesabaran dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak
lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fikih
juga mengemukan bahwa apabila anak tesebut telah mencapai usia tertentu,
maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk
merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai
pelindung. Oleh sebab itu maka ulama fikih lebih mendahulukan kaum wanita
daripada kaum pria.33
Urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah anak,
menurut ulama fikih adalah sabagai berikut:
1. Ibu dari si anak, Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian
atau meninggalnya suaminya, sebab ia merupakan orang yang paling
sayang dan lembut terhadap si anak daripada orang lain.34
2. Jika hak hadhanah seorang Ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak
pindah kepada Ibunya istri (nenek si anak). Selain itu, seorang nenek
adalah keluarga terdekat setelah Ibu. Selanjutnya biasanya nenek lebih
menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya.35
3. Selanjtunya setelah hak asuh Ibu dan nenek (Ibu dari Ibu) tiada, maka hak
tersebut di ambil alih oleh nenek (Ibu dari Ayah) dari anak tersebut.
33
Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf,
Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) h. 61.
34
Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf,
Warisan) Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) h. 61
35
Al- Fauzan Saleh Fikih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta:
Gema Insani, 2006), h.750.
25
Penyebab nenek dari Ibu (Ibu dari Ibu) lebih diutamakan dari pada nenek
dari Ayah (Ibu dari Ayah), meskipun kedua-duanya sama-sama dekat
namun karena nenek dari Ibu merupakan kerabat dari Ibu si anak,
sedangkan hak hadhanah atas anak lebih diutamakan pada garis keturunan
Ibu, sehingga kerabat dari Ibu lebih diutamakan
4. dibanding kerabat dari pihak Ayah. Namun hal yang berbeda dikemukan
oleh Saleh al- Fauzan, menurutnya jika setelah hak asuh Ibu dan nenek
(Ibu dari Ibu) tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh Ayah kandung si
anak. Hal ini karena Ayah juga memiliki kedekatan dengan anaknya di
banding yang lain setelah Ibu dan nenek. Setelah orang-orang telah di
sebutkan di atas gugur haknya, maka yang seterusnya yang melaksanakan
tugas hadhanah adalah saudara kandung perempuan dari Ibu si anak.
Sebab, mereka memiliki hubungan yang lebih kuat dengannya dalam
masalah warisan. Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap
keibuan, sebab Ibu lebih diutamakan dibandingkan Ayah, baru kemudian
saudara perempuan seayah.
5. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah
anak perempuan dari saudara seayah.
6. Bibi yang sekandung dengan Ayah
7. Bibi yang seibu dengan Ayah
8. Bibi yang seayah dengan Ayah
9. Bibinya Ibu dari pihak Ibunya
10. Bibinya Ayah dari pihak Ibunya
26
11. Bibinya Ibu dari pihak Ayahnya
12. Bibinya Ayah dari pihak Ayah.
13. Kakek dari pihak Ayah dan terus ke atas ( Ayah dari Ayah si anak)
14. Saudara laki-laki sekandung
15. Saudara laki-laki seayah
16. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
17. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
18. Paman yang sekandung dengan Ayah
19. Paman yang seayah dengan Ayah
20. Pamannya Ayah yang sekandung
21. Pamannya Ayah yang seayah dengan Ayah
22. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas
maka hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain
kerabat dekat yaitu diantaranya:
23. Ayah Ibu (kakek)
24. Saudara laki-laki seibu
25. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
26. Paman yang seibu dengan Ayah
27. Paman yang sekandung dengan Ibu Paman yang seayah dengan Ibu
28. Paman yang seayah dengan Ayah
27
Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi
Ibu maupun sisi Ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang
sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.36
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang
berhak mendapatkan hak asuh anak itu berjumlah 28 pihak. Akan tetapi yang
paling utama yang berhak adalah jalur dari sanak keluarga dari si Ibu.
36
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam,( Jakarta:Al-HidAyah, 1968),
h.395.
BAB III
KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA V
TAHUN 2015 TENTANG HAK PENGASUHAN ANAK TEHADAP
ORANG TUA BERCERAI SEBAB BERBEDA AGAMA
A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku
Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang mengadung nilainilai bagus didalamnya sehingga banyak aturan-aturan dan persyaratan yang
harus dipenuhi. Didalam pernikahan apabila terjadi perceraian antara suami
istri maka butuh pengasuhan anak yang layak agar menjadikan anak tersebut
berguna bagi agama dan negaranya, oleh karena itu lembaga fatwa MUI
(Majelis Ulama Indonesia) membuat aturan tentang kepengasuhan anak.
Adapun aturan tersebut di sebutkan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Tehadap
Orang Tua Bercerai Sebab Berbeda Agama diantara persyaratan tersebut MUI
menyebutkan bahwa seorang pengasuh harus dapat dipercaya (amanah) dan
berbudi pekerti yang baik.
Hasil persyaratan pengsuh yaitu dapat dipercaya (amanah) dan
berbudi pekerti yang baik jika dianalisa MUI mengambil dari berbagai sumber
hukum Islam di antaranya:
28
29
1. Pandangan Ulama Fikih
Pada umumnya fukaha sepakat bahwa Ibu mempunyai keutamaan
hak hadhanah. Namun hak hadhanah dapat dicabut dengan sebab murtad,
berperilaku tidak terpuji seperti berzinah, mencuri, tidak dapat dipercaya,
sering keluar rumah dan mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari
adanya sifat-sifat tersebut adalah dalam upaya memelihara dan menjamin
kesehatan, pertumbuhan moral dan perkembangan psikologis anak. 1
Sejalan dengan pendapat diatas, Ibnu Qudamah mengemukakan, bahwa
pencabutan hak hadhanah sebagaimana pendapat al-Jundi bahwa perinsip
dasar yang dapat dijadikan alasan pencabutan hak hadhanah Ibu adalah
adanya situasi dan kondisi pada Ibu yang dapat merugikan kepentingan
dan kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi
dalam hadhanah adalah kemashlahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa
memperhatikan hak Ibu atau Ayahnya. Hak hadhanah Ibu atau Ayah dapat
gugur apabila anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya.2
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fikih klasik tidak
mengatur secara rinci tentang hal yang dapat mengugurkan dan
pencabutan terhadap
hak-hak hadhanah. Namun pencabutan hak
hadhanah dapat difahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang
hak hadhanah. Adapun alasan-alasan digugurkan dan dicabutnya
hadhanah seseorang antara lain:3
1
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar El-Fikr,
1997), h. 7306.
2
Anwar Al-Jundi, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, (Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi,
1978), h. 373-374.
3
Andi Syamsu Alam, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak
Perspektif Islam, (Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008), h. 132.
30
1. Hal-hal yang disepakati yaitu:
a. Tidak bisa dipercaya
b. Berperilaku tidak terpuji
c. Membahayakan kepentingan anak
2. Hal-hal yang masih diperdebatkan yaitu:
a.
Kafir dan murtad
b.
Isteri menikah lagi dengan laki-laki lain.
Di dalam kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi Al-Imami Ahmad
memberikan keterangan bahwa bagi orang tua yang tidak cakap perilaku
tidak berhak mendidik anaknya kecuali telah kembali sifat akhlaknya yang
bagus dan tidak fasik maka berhak medapatkan kembali hak sebagai
pengasuh.4 Alasan hak tersebut kembali ialah hilangnya pencegah yang
menyebabkan pengasuh tidak berhak mengasuh anak tersebut seperti fasik,
kafir dan tidak merdeka,5
Dari pemaparan pengarang kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi AlImami Ahmad dapat difahami wanita pengasuh harus memiliki sifat adil
dan tidak fasik. Tidak ada alasan untuk memasukan sifat adil dan tidak
fasik sebagai salah satu syarat mendapatkan hak mengasuh anak jika
kedua hal ini menjadi syarat pengasuhan anak, maka pastilah ada
keterangan dan perbuatan yang dinukil tentang maslah ini. Sebab, sejak
Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sampai hari kiamat kelak anak4
Mahfuz Ibn Ahmad, Al-hidAyah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad, (Ttp:
Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004), Jilid 1, h. 500.
5
Abdurrahman Ibn Ibrahim, Al-iddah Syarh ‘Umdah,, (Beirut: Dar ElHadits, 2003), Jilid 1, h. 479.
31
anak kalangan fasik dirawat oleh mereka dan tidak ada seorang pun yang
menghalangi mereka meskipun mereka berjumlah banyak. Kemudian,
dalam sejarah juga tidak pernah disebutkan ada anak yang dicabut urutan
(keturunannya) dari kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya
lantaran kefasikannya fenomena sehari-hari juga menunjukan bahwa orang
yang fasik sekalipun akan selalu berhati-hati merawat anaknya dan tidak
mau menyia-yiakannya, dan selalu berusaha sekuat tenaga demi kebaikan
si anak. Dengan demikian apabila ada seorang yang fasik merawat anak
maka batal hak asuhnya seklipun ia berhati-hati merawat anaknya.6
Muhammad Nur Abdul Hafiz menjelaskan ada beberapa sifat
mendasar
yang
diupayakan
untuk
bisa
dimiliki
oleh
setiap
pengasuh.Semakin banyak sifat dibawah ini yang bisa dimiliki, maka
semakin besar pula kemungkinan bisa mengasuh anak sesuai dengan
metode yang dijalankan oleh para rasul yang memang hanya para
Rasulullah yang memang memilki sifat kesempurnaan. Walaupun seorang
tidak memiliki kemampuan untuk memiliki sifat para rasul namun mereka
dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin agar mampu mendekati
sifat-sifat mereka. Dengan adanya akhlak seorang pengasuh yang baik ini,
insya Allah setiap generasi baru akan melihat contoh yang baik dalam diri
pengasuhnya sehingga merekapun akan mengikutinya dengan penuh
kesadaran. Adapun sifat tersebut sebagai berikut:7
6
Muhammad Ibn Wahab, Zad Al-Ma’ad, (Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah,
1987), Jilid 5, h. 461.
7
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah,
(Bandung: Al-Bayan, 1997), h. 52.
32
a. Memiliki sifat lemah lembut dan berbudi luhur.
b. Ramah dan menjauhi sifat bengis
c. Hati yang penuh kasih sayang
d. Mengambil yang termudah dari 2 urusan selama tidak mengandung
dosa
e. Bersifat fleksibel
f. Menjauhakn diri dari amarah
Dari pemaparan point pertama dapat simpulkan MUI memutuskan
persyaratan seorang pengasuh harus Dapat dipercaya (amanah) dan
berbudi pekerti yang baik karena dalam agama Islam, akhlak,
perilaku dan dan sikap yang baik merupakan buah dari pendidikan
keimanan yang baik kepada anak. Jika orang tua sudah mampu
menanamkan pendidikan iman pada anak, niscaya ia akan tumbuh
menjadi manusia yang senantiasa menjaga kemashlahatan agamanya.
Seseorang anak, sejak terlahir dari Rahim Ibunya, lalu ia tumbuh di
lingkungan yang selalu menanamkan keimanan, mendidiknya agar
bertakwa dan takut kepada Allah yang menginformasikan bahwa
Allah SWT adalah zat yang selalu mengawasi, menyaksikan,
menolong, dan menerima taubat bagi hamba-Nya yang bertaubat,
niscaya anak akan mampu mengarungi kehidupan dunia ini dengan
keberhasilan
yang berpihak
kepadanya.
Ia
akan
senantiasa
memperlihatkan kepada masyarakat akhlak yang terpuji, perilaku
33
dan sikap yang layak untuk dijadikan tauladan bagi umat lainnya.
Hati dan jiwanya akan senantiasa mengintrospeksi setiap kesalahan
yang diperbuatnya lalu ia segera memperbaiki dirinya.8
2. Al-Qur’an dan Hadits
Allah telah mengatur hukum tentang pengasuhan anak yang
menerangkan bahwa seorang pengasuh harus cakap akhlaknya dan tidak
fasik seperti firman Allah SWT:
         
   
            
      
        
            
  
          
    
          
 
Artinya: “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
dan kewajiban Ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para
Ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang Ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang Ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
8
Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam
Dalam Keluarga, (Jakarta: Akademika, 2013), h. 88-89.
34
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Al-Lukman ayat 13:
   
      
   
   
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. AlLukman: 13)
Menurut Ibnu Kasir ayat di atas dikisahkan bahwa Lukman
adalah seorang hamba shaleh yang dikarunia oleh Allah SWT pemahaman
di dalam memahami agama. Kemudian lukman mengajarkan kepada
anaknya agar selalu ingat kepada Allah dan melarangnya untuk
mensekutukan Allah.9
B. Metode Penetapan Fatwa
MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang dikenal
dengan metode istibath (pemahaman, penggalian, dan perumsan) hukum.
Metode penetapan fatwa ini berlaku dalam penetapan ketiga kategori fatwa,
yaitu fatwa-fatwa ekonomi syariah, produk halal, dan keagamaan, kecuali
apabila disebutkan secara spesifikasi.10
9
Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim, (Lebanon: Dar el-Kutub, tth), Juz 6, h.
300.
10
Asrorun Ni’am Sholeh, Metodoloi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Emir, 2016), h. 116.
35
System dan prosedur yang diterapkan dalam penetapan fatwa MUI
merupakan bagian dari ijtihad, sebagaimana telah diperkenalakan oleh para
ahli ilmu ushul fiqh. Jalan ijtihad ditempuh untuk mengetahui atau
menjelaskan hokum Islam yang belumdiketahui secara jelas. Para ahli ilmu
ushul fiqh berbeda pebdapat, sekalipun tidak begitu tajam, dalam merumuskan
apa yang dimksud dengan ijtihad, antara lain, dikatakan sebagai:
‫إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن حبطم شرعي‬
“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang
dilakukan oleh seorang ahli fikih (faqih) untuk mendapatkan pengetahui
tingkat zhan (dugaan kuat) mengenai hokum syar’i.”11
Rumusan ahmpir serupa dengan sedikit penambahan di ungkapkan
oleh al-Amidi sebagai berikut:
‫إستفراغ الوسع ىف طلب الظن بشئ من األحكام الشرعية على وجه حيس من النفس العجز‬
‫عن املزيد فيه‬
“(Ijtihad ialah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal dalam
mencari mencari pengetahuan tingkat zhan mengenai hokum syar’I, dalam
batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.”12
Kedua definisi diatas saling melengkapi dari kedua definisi sebut
dapat difahami, yaitu: pertama, pelaku ijtihad atau mujtahid harus ahli dalam
bidang hukum fiqih / hukum Islam (faqih) bukan yang lain. Kedua, sasaran
11
Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli, Syarh ‘ala Matn Jam’I al-Jawami, (Mesir:
Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t), Juz II, h. 379.
12
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi wa Syirkah,
t.t), Juz IV, h. 141.
36
yang ingin dicapai dalam ijtihad adalah hukum syar’i yang berhubungan
dengan aktifitas dan perbuatan mukallaf. Artinya, ijtihad tidak berlaku dalam
bidang lain seperti akidah dan akhlak.13 Ketiga, status hukum syar’I yang
dilakukan melalui ijtihad bersifat zhani. Istilah zhani dikalangan hukum islam
dimaknai sebagai salah satu yang mendekati kebenaran (dianggap benar). Dari
sana pula dapat disimpulkan bahwa hasil ijtihad seorang mujtahid bersifat
relatif yang belum tentu mutlak kebenaran.
Secara profesional fatwa-fatwa MUI ditetapkan dengan pedoman
penetapan fatwa yang memuat empat ketentuan dasar,14 yaitu pertama setiap
keputusan fatwa harus dasar di dalam al-Qur’an dan hadits yang mu’tabar,
serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Kedua, jika fatwa yang akan ditetapkan hukumnya tidak terdapat di
dalam al-Qur’an maupun hadits , maka fatwa tersebut hendaknya tidak
bertentangan dengan ijma’, qiyas, yang mu’tabardan dalil-dalil hukum yang
seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan sad adz-zari’ah. Dalam hal ini,
dalil hukum yang berasal dari penalaran mendapatkan tempat dalam proses
penetapan hukum.
Ketiga, sebelum fatwa diputuskan, dilakukan penelusuran data
dengan merujuk pada pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, bik
yang berhubungan
13
dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan
Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” Dalam Haidar
Bagir (Ed), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h.23.
14
Pedoman Penetapan Fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK. Dewan Pimpinan
MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 oktober 1997.
37
dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat dengannya.
Jika material hukumnya berbeda maka masih dapat ditempuh dengan
menganalogikan hukum material yang telah ditetapkan oleh ulama mazhab,
dengan melihat pada kesamaan ‘illat . jika dengan cara itu tidak ditemukan
juga kesamaannya, maka metodologi yang digunakan para imam mazhab
diadopsi agar dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam memecahkan
suatu masalah.
Keempat, fatwa-fatwa MUI selalu mempertimbangkan pandangan
tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Hal
ini nmapak sekali dalam proses penetapan fatwa terhadap masalah-masalah
kontempporer, terutama yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti dalam penetapan hukum cloning, aborsi, khitan perempuan,
transplantasi orgtan tubuh, dan termasuk penetapan fatwa produk halal.
Sedangkan secara metodologis, penetapan MUI ditempuh dalam
lima tahap.15 Tahapan Pertama, sebelum fatwa ditetapkan akan ditinjau lebih
terdahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan
tersebut, secra saksama berikut dalil-dalilnya. Dari sini dapat dimengerti
mengapa fatwa-fatwa MUI mempunyai transisi dan kesinambungan dengan
masalah yang difatwakan oleh para imam mazhab. Metode ini meneguhkan
MUI sebagai pewaris tradisi keilmuan ulama generasi sebelumnya, sekaligus
meneguhkan konsistensi MUI dalam menjalankan fungsi sebagai pewaris para
15
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 2001).
38
nabi (warasah al-anbiya), dengan mengikuti tradisi dan keilmuan ulama
terdahulu atau (salaf ashalih).
Tahapan kedua, untuk masalah-masalah yang telah jelas hukumnya
(al-ahkam al-qat’iyah), maka disampaikan sebagaiaman adanya. Hal ini
sebagai manifestasi dan penggunakan pendekatan nash qath’I disamping
qauli’ dan manhaji.
Tahapan ketiga, terkait masalah-masalah yang diperselisihkan
(khilafiyah) dikalangan mazhab, akan ditempuh dalam dua acara:
a. Menemukan titik temu antara bergabagi mazhab melalui metode al-jam’u
wa at-taufiq (menggabung dan menyesuaikan persamaan); dan
b. Jika upaya al-jam’u wa at-taufiq tidak bisa dilakukan maka pendapat
fatwa didasarkan tarjih (memiih pendapat yang argumentasinya paling
kuat diantara argumentasi-argumentasi yang telah ada) melalui metode
muqaronat al-mazahib (perbandingan mazhab) menggunakan kaidahkaidah ushul al-fiqh al-muqaran (ushul fiqh perbandingan).
Tahap keempat, terkait dengan masalah-masalah yang tidak temukan
pendapat hukumnya dikalangan mazhab maka penetapan fatwa MUI
didasarkan pada hasil ijtihad jama’I (kolektif) melalui metode bayani, talili
(qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi dan sad adz-zari’ah.
Tahapan kelima, penetapan fatwa harus senantiasa memperlihatkan
kemaslahatan umum (mashalih amah) dan maqasid as-syariah komisi fatwa
39
MUI
terkesan
sangat
hati-hati
dalam
penetapan
fatwa,
karena
mempertimbangankan mashalih amah dan maqasid asy-syariah (maksudmaksud syariah) hal ini tidak jarang menimbulkan kesan MUI agak lamban
dalam merespon persoalan yang merebak ditengah-tengah masyarakat. MUI
sendiriberpandangan bahwa untuk mengeluarkan sebuah fatwa yang harus
dilandasi perinsip kehati-hatian, serta memperhatikan situasi dan kondisi yang
ada sehingga fatwa yang dikeluarkan benar-benar membawa kemaslahatan
umum bagi masyrakat, sebgaimana menjadi tujuan pensyariatan hukum Islam
(maqasid at-tasyri’).
C. Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak Hadhanah Akibat
Perceraian Beda Agama.
MUI
mendefinisikan
Hadhanah
adalah
aktifitas
melakukan
pengasuhan anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang di
bawah pengampuan yang belum mumayyiz dan tidak dapat mengurus semua
urusannya dengan cara menyiapkan segala sesuatu yang mendatangkan
kemaslahatannya, menjaganya dari segala sesuatu yang dapat menyakiti dan
membahayakannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu secara
mandiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawab.
16
Sebagaimana yang telah kita ketahui salah satu syarat berhaknya seorang
pengasuh mengasuh anaknya yaitu harus beragama Islam sebagaimana Nabi
Muhammad SAW bersabda:
16
Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masail Fiqhiyah, Hak Asuh Nak
Bagi Orang Tua yang Bercerai Akibat Berbeda Agama, (Jakarta: Ttp, 2015), h. 50.
40
ِ
َّ ‫َع ْن َعْب ِد‬
ْ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن ُهْرُمَز ْاأل‬
ُ‫ َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة َرض َي اللَّه‬،‫َعَرِج‬
ٍ ُ‫ " ُك ُّل مول‬:‫ال‬
ِ َ ‫َن رس‬
‫ود‬
َ َ‫ ق‬, ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ول اللَّه‬
َْ
ُ َ َّ ‫ أ‬،ُ‫َعْنه‬
17 ِِ
‫صَرانِِه او ُُيَ ِّج َسانه‬
ِّ َ‫ أ َْو يُن‬،‫ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِه‬،‫يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة‬
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah
semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi.”
Abu Hurairah berpendapat lafaz fitrah adalah permulaan (lembut)
yang jatuh pada awal makhluk diciptakan berlaku pula pada fitrah akal.
Adapun lafaz yahudu adalah agama Yahudi yang menjadi pondasi orang kafir,
lafaz yumajisu adalah pondasi agama Majusi sebagaimana yang telah kita
ketahu. Adapun ikrar yang pertama (Islam) yaitu sesuatu yang didalamnya
terdapat hukum atau pahala. Maka fikirkanlah olehmu bahwa seorang anak
kecil dari agama musyrik dihukumi sebagaimana agama kedua orangtuanya.18
Abu Abdullah Muhammad al-Maliki berpendapat lafaz al-fitrah itu
adalah fitrahnya islam (agama yang benar) sebagaimana fitrahnya akal
memikirkan. tetapi hanya saja tidak mengakuinya akal seseorang agama Islam
itu tidak benar adalah suatu penyakit dan itu tergantung bagaimana kedua
orangtuanya beragama Islam, Yahudi, atau Majusi.19 Rasulullah besabda pula:
17
Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1,
h. 513.
18
Yahya Ibn Hurairah, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, (ttp: Dar El-wathan, 1417
H), Jilid 6, h. 181.
19
Abu Abdullah Muhammad al-Maliki, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, (Ttp:
dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998), Juz 3, h. 318.
41
ِ ‫اْل ِم‬
ِ ‫ حدَّثَنَا‬،‫حدَّثَنَا علِي بن َحب ٍر‬
‫يد بْ ُن‬
‫ن‬
‫و‬
‫ي‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ى‬
‫يس‬
‫ع‬
ُ
ْ
َْ ‫ َحدَّثَنَا َعْب ُد‬،‫س‬
ُ
َ ْ ُ ْ ُّ َ
َ
ُ
َ
َ
ِ
ٍ ِ
ْ َ‫َسلَ َم َوأَب‬
ْ ‫ أ‬،‫َج ْع َف ٍر‬
ُ‫ت ْامَرأَتُه‬
ْ ‫ َراف ِع بْ ِن سنَان أَنَّهُ أ‬،‫ َع ْن َجدِّي‬،‫َخبَ َرِِن أَِِب‬
ِ َ‫ وِهي ف‬،‫ اب نَِِت‬:‫ت النَِِّب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم فَ َقالَت‬
ِ َ‫ فَأَت‬،‫أَ ْن تُسلِم‬
‫يم‬
‫ط‬
ْ
َّ
َ
ْ
ْ
َ
ُ
َ
ٌ َ َ
َ َ
َ ْ
" :‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ ابْنَِِت‬:‫ال َرافِ ٌع‬
َ َ‫ َوق‬،ُ‫أ َْو َشبَ ُهه‬
ُّ ِ‫ال لَهُ الن‬
َ ‫َِّب‬
ِ َ‫ " اقْ ع ِدي ن‬:‫ال ََلا‬
ِ
َّ‫ ُُث‬،‫الصبِيَّةَ بَْي نَ ُه َما‬
َّ ‫احيَةً " فَأَقْ َع َد‬
َ َ َ‫اقْ عُ ْد نَاحيَةً " َوق‬
ُ
:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ت إِ ََل أ ُِّم َها‬
َ َ‫ق‬
ْ َ‫ فَ َمال‬،" ‫ " ْادعُ َو َاها‬:‫ال‬
ُّ ِ‫ال الن‬
َ ‫َِّب‬
ِ
.20‫َخ َذ َها‬
ْ َ‫الله َّم ْاهد َها " فَ َمال‬
َ ‫ت إِ ََل أَبِ َيها فَأ‬
ُ "
Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan kepada
kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul hamid
bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari kakekku yaitu
Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya
menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak
wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi'
berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita
tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut
diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia.
Kemudian anak tersebut menuju kepada Ibunya. Lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia
petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada Ayahnya.
kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut.
Imam al-Khattab berpendapat pada hadits tersebut bahwasannya
seorang anak yang kecil apabila martabatnya diantara muslim dan kafir maka
agama muslim lebih berhak ia pilih sebagaimana berpendapat hal ini pula
imam as-Syafi’I. Berkata shahIbu ar-Ra’I (al-Mundzir) didalam permasalahan
suami isteri yang bercerai karena berbeda agama. Suaminya beragama Islam
dan isterinya kafir dzimi. Ketika di dalam pengasuhan maka yang lebih berhak
20
Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (Mesir: Muassasah
ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.
42
adalah Ibu selama ia belum menikah maka dalam permasalahan ini tidak ada
perbedaan antara kafir dzimi dan beragama Islam.21 Allah SWT berfirman:
             
  
         
             
 
       
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi
bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami
(turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir
mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:
"Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari
orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di
antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)
Syekh
Musthafa
al-Maragi
berpendapat
bahwa
lafaz
lan
yaj’alallahu lil kafiriina ‘ala mu’minina sabila adalah selalu berpegang
teguhnya orang mukmin terhadap agamanya didalam melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi segala larangannya yang berupa dari persiapan hatinya
yang teguh sehingga mereka tidak dapat mengalahkan oleh orang musyrik dan
tidak akan Allah menjadikan orang musyrik sebagai pemimpin.22
21
Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Beirut: dar El-Kutub al
Alamiyah, 1998), Juz 6, h. 238
22
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Musthafa al-Babi, 1946),
Juz 5, h. 186.
43
Abu Ja’far at-Thabari berpendapat lafaz lan yaj’alallahu lil kafiriina
‘ala mu’minina sabila adalah sebuah hujjahnya orang mukmin ketika di hari
kiamat nanti oleh karena itu menjadikannya Allah orang musyrik sebagai
musuhnya orang mukmin agar mereka (orang musrik) tidak termasuk
golongan orang yang mauk surga begitupun orang mukmin bukan termasuk
golongan orang munafik.23
Fukaha berbeda pendapat tentang boleh apa tidaknya anak diasuh
oleh non muslim. Ulama mazhab Syafi’I dan Hanbali mensyaratkan bahwa
pengasuh seorang muslimah atau muslim karena non muslim tidak punya
wewnang dalam mengasuh dan memimpin orang Islam disamping itu juga
dikhwatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk kedalam agamanya. Kalu
orang islam tidak ada maka (menurut mazhab Hanbali) diperbolehkan kepada
kafir dzimmi karena kafir dzimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir
harbi akan tetapi ulama mazhab hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan
pengasuh harus muslimah, jika anak tersebut juga wanita. Alasan mereka
adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulallah SAW menyuruh
memilih pada anak untuk berada dibawah asuhan Ayahnya yang muslim atau
pada Ibunya yang musyrik tetapi anak tersebut memilih Ibunya.24
23
Abu Ja’far at-Thabari, Tafsir at-Tabari, (Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000),
Juz 3, h. 324.
24
Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikri,
th), h. 596-598.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari penelitian dan pembahasan mengenai Hak Asuh Anak
Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama terhadap
Keputusan Komisi B1
Mu’ashiroh)
Masalah Fikih Kontemporer
(Masail Fiqhiyah
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015
Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena
Berbeda Agama dapat di simpulkan bahwa:
1. Metode
istinbat hhukum MUI dalam memecahkan permasalahan
mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena
Berbeda Agama terhadap Keputusan Komisi B1
Masalah Fikih
Kontemporer (Masail Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang
Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum slam
yang sifatnya qatht’iyaitu Al-Qur’an, Assunah dan Ijma ulama terdahulu
yang sifatnya mu’tabarah danmengambildari pendapat-pendapat ulama
yang rojih makasi fat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat dan
tidakbisa di ganggu gugat.
2. Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang hak hadhanah terhadap
orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya mutlak harus di
asuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini di atur di dalam al-
62
63
Qur’an dan As-Sunah. Adapun manfaat MUI mensyaratkan pengasuh
harus beragama Islam yaitu sebagai berikut:
a. Agar pengasuh dapat mencetak generasi yang bebudi pekerti yang baik
karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi tentang akhlak dan
tatakrama yang luhur, dapat melaksanakan segala perintah Allah SWT
dan menjauhi segala larangannya dengan di bekali al-Quran dan hadits.
b. Menjadikan pengasuh agar sadar bahwa wajib menafkahi anak dan
mengajarka nmengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya, dari
alas an ini maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa
seorang pengasuh beragama Islam sebab jika seorang pengasuh
beragama non Muslim di khawatirkan ia tidak kenal kepada rukun
Islam dan rukun iman dan yang dikhawatirkan pula yaitu anak
tersebut akan pindah akidahnya kepada agama non Islam. Maka
dari hal itu MUI sangat menegaskan di dalam fatwa tersebut
apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh beragama Islam
tidak berhak mendapatakan hak asuh.
B. Saran
Seyogyanya
MUI
bisa
lebih
mempublikasikan
atau
mensosialisasikan atas fatwa-fatwa yang sudah di terbitkann karena masih
banyak permasalahan kontemporer yang masyarakat belum mengetahui
solusinya agar tidak terjadi kesalahfahaman berfikir di lingkungan
masyarakat. Bagi para Da’i dan Da’iyah untuk lebih mensosialisasikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Ahmad, Abu, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal Juz 39, Mesir:
Muassasah ar-risalah, 2001.
Abdul Hafizh, Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung:
Al-Bayan, 199.
Abu al-Hasan, Al-Mahamili, , Al-lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, Madinah
Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998.
Ad-Din, Badru, Al-binayah Syarh al-Hidayah, Juz, 5,Lebanon: Dar El-Kutub Al‘alamiyah, 2000.
al-Andalusi, al-Kurtubi al-Baji, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, Juz 6, Mesir:
Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H.
al-Hanafi, Abu al-Fadhil, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, Juz 4, Beirut: Dar ElKutub Alamiyah, 1937.
Al-jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri,
th.
Al-Jundi, Anwar, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi,
1978.
Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, Juz 3, Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah,
1932.
Al-Makhruzi, Tafsir Mujahid, Beirut: Dar el-Fikri, 1989.
Al-Mawardhi, Al-hawi Al-kabir, Juz 1, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999.
Al-mawardi, Al-iqna fi fiqh As-syafi’I, Jilid I, Ttp: Tp, tth.
an-Nu’man, Abu Hanifah, Musnad Abu al-Hashkafi juz 1, Mesir: tp, th.
As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, Juz 5, Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993.
As-syirazi, Al-Muhazab fi Fiqh Imam As-syafi’I, Juz 2, Lebanon: Dar El-Kutub
Alamiyah, tth.
at-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir at-Tabari juz 3, Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000.
Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Az-zabidi, Muhammad, Al-jauharah an-Nirah, juz 2, Lebanon: mathba’ah Khirah,
64
65
1322 H.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar El-Fikr, 1997.
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh AlQadha, Jakarta: Rajawali Pres, 2012.
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1996.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983.
Dkk, Abdul Azziz Dahlan, , Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeva, 1992.
Fakhru ad-din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah Assyilbi, Juz 3,Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth.
Fathoni, Abdurrahman, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,
Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.
Fauzan, Andi Syamsul Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta: Kencana, 2008.
Ghazali, Abdrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2013.
Ibn Ahmad, Mahfuz, Al-hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad Jilid 1, Ttp:
Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004.
Ibn Hurairah, Yahya, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, jilid 6, ttp: Dar El-wathan,
1417 H.
Ibn Ibrahim, Abdurrahman, Al-iddah Syarh ‘Umdah Jilid 1, Beirut: Dar ElHadits, 2003.
Ibn Wahab, Muhammad, Zad Al-Ma’ad Jilid 5, Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah,
1987.
Ismail Ibn Ibrahim, Abu Abdillah Muhammad Ibn, Shohih al- Bukhori, Juz III,
Bab al- Nikah Lebanon: Dar el Fikri, 1981.
Mahmud, Muhammad, Tafsir Wadhi, juz 3, Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H.
Mudzhar, Mohamad Atho, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study
of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los
Angels: University of California, 1990.
66
Muhammad al-Maliki, Abu Abdullah, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, Juz 3,
Ttp: dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998.
Muhammad Mahmud, Abu, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari Jilid 2,
Lebanon: Dar el-Tsurus, th.
Mustafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maragi Juz 5, Mesir: Musthafa al-Babi,
1946.
Quthub, Syahid Sayid, Tafsir Fi Zilali Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992)
penerjemah As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Sa’ani, Subulu As-salam, Surabaya: Al-ikhlas, 1995.
Sabiq, As-sayid, Fiqh As-sunah Jilid 2, Jakarta: Dar As-saqafah, tth.
Syamsu Alam, Andi, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak Perspektif
Islam, Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008.
Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz 5, Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: kencana Pranada
Media Group, 2009.
Syuja, Abi’, Al-ghayah Wa At-taqrib, Surabaya: Alim Al-Kutub, tth.
Zakariya, Abu, Raudhatu At-thalibin Wa Umdatu Al-Mutaqin, Juz 9, Beirut: AlMaktab Al-Islami, 1991.
Al- Fauzan, Saleh Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani,
Jakarta: Gema Insani, 2006.
Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud Juz 6, Beirut: dar El-Kutub
al-Alamiyah, 1998.
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, juz 18, Lebanon: Dar El-Fikri, tth.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983.
http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta:Al-Hidayah, 1968.
Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam
67
Dalam Keluarga, Jakarta: Akademika, 2013.
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan Imam Ghazali Said,
Jakarta:Pustaka Amani, 2007.
Download