20 | Humaniora Negara Harus Lindungi Hak Pasien HIV/AIDS SELASA, 27 JULI 2010 | MEDIA INDONESIA Indonesia Tuntut Keadilan Iklim Negara-negara maju justru membebankan biaya adaptasi perubahan iklim kepada negara berkembang. Deklarasi Wina yang berhasil disusun pada 23 Juli lalu dalam Konferensi AIDS Internasional di Wina menyeru agar semua penderita HIV tidak boleh putus minum obat antiretroviral (ARV). Deklarasi Wina itu mendapat dukungan lebih dari 12.725 orang yang membubuhkan tanda tangan di plakat tersebut, seusai penutupan acara Konferensi AIDS Internasional. Tidak ketinggalan ibu negara dari Georgia, Sandra Elizabeth Roelofs, ikut membubuhkan tanda tangan di plakat deklarasi. Julio Montaner selaku Presiden Internatiional AIDS Society sekaligus Direktur BC Center for Excellent HIV/AIDS dalam pidato penutupan menjelaskan Deklarasi Wina harus terus diperjuangkan karena sudah menyangkut masalah perlindungan hak asasi manusia. ‘’Jutaan orang berdiri membantu kita dalam memperjuangkan hak-hak orang dengan HIV/AIDS meski di tengah krisis ekonomi,’’ ujar Montaner. Dia menyebutkan semua orang harus bekerja keras untuk meningkatkan sumber donasi agar para pasien HIV yang sangat bergantung pada ARV yang harus diminum seumur hidup bisa terselamatkan nyawanya. Siswantini Suryandari F ORUM Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia mengkhawatirkan kesepakatan penurunan emisi gas rumah kaca secara global dalam negosiasi perubahan iklim di Bonn, Jerman, 2-4 Agustus mendatang tidak akan tercapai. Pada pertemuan itu akan dibahas penurunan emisi gas rumah kaca secara drastis untuk mencegah kenaikan temperatur ratarata permukaan di atas 2 derajat celsius. Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, setelah COP-15 di Kopenhagen, Denmark, gagal karena tidak mendapatkan komitmen dari negara industri, gelagat sama akan terjadi di Bonn. “Negara maju yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70% untuk industri dan pembangunan,” kata Faby, akhir pekan lalu. Seharusnya, lanjut dia, mereka bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca dengan memberikan ruang sisa atmosfer bagi negara berkembang. ‘’Negara-negara industri harus menurunkan emisi secara drastis mulai sekarang hingga 2050. Sehingga memungkinkan negara berkembang untuk tumbuh dengan mengonsumsi ruang atmosfer yang masih tersisa.’’ Koordinator Civil Society Forum (CSF) Giorgio Budi Indrarto bersikap sama. Ia menegaskan, jika emisi rumah kaca tidak diturunkan, ekologi di seluruh dunia terancam. ‘’Masyarakat Sipil Indonesia mendorong adanya isu Negara maju yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70%.” Fabby Tumiwa Direktur IESR keadilan iklim sebagai basis dalam negosiasi serta memastikan keselamatan manusia dan ekologi,’’ seru Budi. Budi pun meluncurkan kampanye bersama CSF dan IESR untuk mendukung seruan keadilan iklim kepada pemimpin dunia. Kedua wakil LSM itu mengingatkan saat Indonesia menjadi tuan rumah konvensi perubahan iklim (UNFCC) di Bali, negara maju berjanji memberikan bantuan dana dan teknologi bagi negara miskin guna mengatasi pemanasan global. Demikian juga saat pertemuan di Kopenhagen, negara maju bersedia menyediakan bantuan US$30 miliar selama 2010-2012, untuk membiayai program penanggulangan pemanasan global. Mereka bahkan berencana meningkatkan bantuan menjadi US$100 juta per tahun sampai 2020. Namun, menurut Faby, anggaran itu tidak cukup untuk program adaptasi perubahan iklim di negara berkembang. Negara maju justru membebankan biaya adaptasi kepada negara berkembang. ‘’Bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim, ke- napa negara maju malah membebani negara berkembang. Kita bicara soal keadilan,’’ cetusnya. Kedua LSM juga mendapat dukungan dari Walhi dalam menyuarakan penolakan terhadap cara-cara negara maju, yang mengalihkan isu pengurangan karbon dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. ‘’Kami akan menolak skema ini di Bonn karena telah menjauhkan tanggung jawab negara-negara Annex 1 (negara industri) untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan,’’ ujar Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi. Terlalu murah Skema perdagangan karbon belum diputuskan meski Indonesia telah menjalankan beberapa proyek percobaan berlandaskan Permenhut No 68/2008. Terdapat 26,6 juta hektare hutan alam yang diskenariokan masuk mekanisme perdagangan karbon dengan nilai sekitar Rp63 triliun. Skema jual murah karbon menurut perhitungan ketiga LSM tersebut sudah termasuk tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat. Bila dikalkulasikan, semua itu hanya senilai Rp12 per meter persegi. Wapres Boediono, saat membuka Association for Tropical Biology and Conservation di Sanur, pekan lalu, menjelaskan pemerintah sanggup mengurangi emisi karbon sampai 26% pada 2020. Salah satunya dengan mekanisme penjualan karbon murah. Kebijakan itu dianggap telah merampas ruang atmosfer orang miskin. (H-1) [email protected] SFU.CA Seniman Indonesia Pentas di Shanghai Seperti tema konferensi tahun ini Rights here, right now, yang terus mendorong kita untuk setia memberikan perlindungan.” Julio Montaner Presiden AIDS Society Dalam Deklarasi Wina juga disebutkan memperjuangkan hakhak penderita HIV/AIDS sama dengan warga lainnya yang tidak terinfeksi HIV. ‘’Seperti tema konferensi tahun ini Rights here, right now, yang terus mendorong kita untuk setia pada komitmen memberikan perlindungan, peduli, perawatan, dan dukungan,’’ ujarnya. Konferensi itu dihadiri 19.300 peserta dari 193 negara. Para peserta sepakat bahwa HIV hanya bisa diputus apabila negara memberikan perlindungan, peduli, memberikan perawatan kepada orang dengan HIV/AIDS, serta dukungan masyarakat. Selama ini empat hal sebagaimana diperjuangkan dalam Deklarasi Wina belum tecermin di setiap negara. Justru sebaliknya banyak penderita HIV yang tidak diperlakukan secara manusiawi. Sebagai contoh narapidaba positif HIV yang berada di penjara dicampur dan tidak mendapat pengobatan semestinya. Salah satu testimoni dari Ukrania, para narapidana yang terkena HIV makin parah karena terinfeksi hepatitis dan tuberkulosis, lewat penularan dari narapidana lainnya. Utusan Pelapor Khusus PBB Bidang Penyiksaan Manfred Nowak membenarkan penjara menjadi salah satu sumber penularan HIV. Dia mengharapkan setiap negara harus punya sistem yang bagus dalam menangani narapidana positif HIV. (Reuters/H-2) ILUSTRASI: PRASAJADI DI saat budayawan muslim China unjuk karya di Jakarta, ada 50 karya seni dari 24 seniman kontemporer berpengaruh Indonesia dipamerkan di The Museum of Contemporary Art, Shanghai, China, 22 Juli hingga 19 Agustus mendatang. Pameran bertajuk Contemporaneity atau Contemporary Art in Indonesia itu akan mengilustrasikan keunikan seni kontemporer di Tanah Air yang kontras ketimbang tren seni kontemporer di kancah internasional. Panitia pelaksana acara pameran, Haryanto Adikoesoemo, mengatakan para seniman Indonesia itu adalah seniman kelas dunia yang layak dikenal di panggung global. ‘’Dengan menampilkan pencapaian artistik di depan pemirsa dari seluruh dunia selama penyelenggaraan World Expo Shanghai China, kami berharap dapat meningkatkan secara signifikan kepopuleran profil seniman-seniman berbakat Indonesia,’’ ungkap Hary- anto di Jakarta, kemarin. Ke-24 seniman yang turut dalam pameran itu antara lain Arahmaiani, Agus Suwage, Angki Purbandono, Budi Kustarto, Chusin Setiadikara, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Erik Pauhrizi, FX Harsono, Gede Mahendra Yasa, Handiwirman, I Nyoman Masriadi, Jompet Kuswidananto, Gatot Prakosa, dan Fauzan. Kelompok seniman antargenerasi itu menerjemahkan subjek yang sangat beragam figuratif, abstrak, dan konseptual melalui beragam media seperti lukisan, fotografi, video, patung, proyek seni, mural, dan instalasi interaktif. Menurut Haryanto, pameran yang dikuratori seniman kondang Jim Supangkat dan Biljana Ciric itu menjelajahi kesinambungan sejarah dan budaya tradisional. ‘’Misalnya, Wayang Republic karya Nasirun, memperlihatkan pemikiran kritis seniman lewat simbolsimbol kekuasaan,’’ ujar Haryanto. (Bay/H-3) MUI Bahas Fatwa Nikah Wisata MUSYAWARAH Nasional (Munas) VIII MUI di Twin Plaza, Jakarta, 25-28 Juli, membahas tujuh materi dari 15 usulan fatwa yang akan diverifikasi tim materi fatwa MUI Pusat. Sekretaris Munas MUI Asrorun Ni’am Sholeh mengemukakan ketujuh fatwa tersebut yaitu asas pembuktian terbalik, nikah wisata, operasi penggantian dan penyempurnaan alat kelamin, cangkok organ tubuh, bank ASI (air susu ibu), puasa bagi pilot penerbang, dan jaminan sosial. Ni’am Sholeh yang juga Wakil Sekretaris Bidang Fatwa MUI Pusat menjelaskan semangat fatwa tentang asas pembuktian terbalik adalah keprihatinan atas kasus korupsi. “Asas ini bisa menjadi salah satu solusi, kita ingin berkontribusi sejauh mana dalam perspektif agama memberikan wacana untuk asas pembuktian terbalik atau fiqih jinayah (fikih pidana) dalam kasus korupsi,” kata Ni’am, kemarin. Tentang nikah wisata, lanjut dia, dibahas karena ada fenomena di masyarakat yang hendak nikah dengan syarat formal dipenuhi namun diniatkan untuk sementara. Masalah ini pun menjadi sorotan publik karena dianggap mencederai hak perempuan. Yang lebih memprihatinkan, fenomena itu telah menjadi lahan bisnis bagi sekelompok orang, seperti di Warung Kaleng, Puncak, Kabupaten Bogor. Pada bulan-bulan tertentu, wisatawan asal Timur Tengah membanjiri kawasan ini untuk menikah sesaat dengan perempuan-perempuan lokal. Masalah itu pula yang menjadi perhatian MUI sehingga perlu untuk mengeluarkan fatwa. “Kita merespons dengan panduan hukum. Kita akan kaji karena dikhawatirkan nikah ini dimanfaatkan sebagai pleasure atau kesenangan semata,” tegas Ni’am. Soal fatwa puasa bagi pilot, kata Ni’am, dibahas setelah muncul pertanyaan dari Garuda Indonesia dan Kementerian Perhubungan terkait dengan dua kasus kecelakaan pesawat. Dari rekaman di kotak hitam didapati keluhan pilot yang kurang konsentrasi lantaran sedang berpuasa. Sidang Komisi Fatwa berlangsung tadi malam hingga hari ini.(Bay/H-1) ANTARA/M ALI KHUMAINI PERIKSA JAJANAN ANAK: Petugas Dinas Kesehatan Karawang memeriksa jajanan anak-anak yang dicurigai mengandung zat berbahaya di SDN Adiarsa Barat I, Karawang, Jabar, kemarin.