BAB II PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT

advertisement
25
BAB II
PIHAK YANG BERHAK MENGASUH ANAK PADA SAAT TENGGANG
WAKTU PENENTUAN HAK HADHANAH ANAK
A. Tinjauan Tentang Hadhanah Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Hadhanah
Adapun dalam Hukum Islampemeliharaan anak dikenal dengan istilah
hadhanah. Secara etimologi, hadhanahberarti di samping atau berada di bawah
ketiak,35 sedangkan secara terminologisnya, hadhanah adalah merawat dan mendidik
seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdesannya, karena
mereka tidak memenuhi keperluannya sendiri.36
Menurut Ash-sha’ani, pemeliharaan anak disebut dengan Al Hadhanah yang
merupakan masdar dari kata Alk Hadhanah yang berarti mengasuh atau memelihara
bayi
(hadhanah
ash
syabiyya).Dalam pengertian
istilah
hadhanah
adalah
pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan
pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.37
Sementara itu menurut Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, hadhanah adalah
memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri.38Sedangkan menurut
35
AbuYahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut: Dar al-Kutub, 1997), Juz II.hlm.212.
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), hlm.65. lihat juga Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Undang No.1/1974 Sampai KHI),
(Jakarta:Kencana,2004), hlm. 291.
37
Ash-sha’ani, Subulus Salam, Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, (Surabaya: Al
Ikhlas, 1995), hlm. 819.
38
Muhammad bin Isma’il al- Kahlani, Subulus Salam, Juz 3(Bandung: Dahlan), 1996. hlm.
227.
36
25
Universitas Sumatera Utara
26
pendapat Syeikh Ibrahim Al-Najuri hadhanah adalah memelihara orang yang tidak
mampu mengurus diri sendiri dari sesuatu yang menyakitinya, karena belum dapat
membedakan antara yang buruk dengan yang baik.39
Selanjutnya Wahbah Az-Zuhaili memberi pengertian hadhanah, menurut
bahasa, hadhanah berasal dari kata “al hidlnu” yang berarti“ samping atau
merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak
bagi anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan
memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri
karena tidak mumayyiz seperti anak-anak atau orang dewasa tetapi gila.40
Menurut Amir Syarifuddin, hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih
kecil setelah putusnya perkawinan.41Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukan bahwa :
“Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, lakilaki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiztanpa
perintanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawabnya”.42
Menurut M.Hasballah Thaib, yang dimaksud hadhanah adalah merawat dan
mendidik, menjaga dan mengatur orang yang belum mampu mengetahui dirinya
sendiri disebabkan gila dan disebabkan masih anak-anak yang belum mumayyiz.43
39
Syeikh Ibrahim Al-Najuri, Al-Bajuri, Juz 2, hlm. 195, lihat juga H.A Fuad Said, Perceraian
Menurut Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Alhusna),1994, hlm.215.
40
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam (Wa Adillatuhu), Jilid 10, (Depok: Gema Insani, 2007),
hlm.59.
41
Amir Syarifuddin, Op .Cit., hlm. 327.
42
Sayyid Sabiq, Loc.cit.
43
M.Hasballah Thaib dan H. Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,
(Medan: Universitas Al-Azhar, 2010) hlm.189.
Universitas Sumatera Utara
27
Sementara menurut istilah ahli fiqih, hadhanah berarti memelihara anak dari
segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan
rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya
hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang
muslim.44
Selanjutnya dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan
mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal
(kecerdasan berpikirnya).Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya
disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia orang tua, sementara si anak
belum dewasa dan tidak mampu lagi mengurus diri mereka, oleh karenanya
diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan
mendidik anak tersebut.
2. Dasar Hukum Hadhanah
Ulama fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya hukum memelihara dan mendidik
adalah kewajiban bagi kedua orang tua45, anak yang tidak dipelihara akan terancam
keselamatannya, hal merujuk pada ayat Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6 yang
berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.46” Selain itu, hal ini dapat kita lihat
44
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
2006), hlm. 129.
45
Muhammad Husain Zhabi, Al-Syari’ah al- Islamiyah: Dirasah Muqaranah baina Mazahib
Sunnah Ea al-Mazahab al-Ja’fariyah, (Mesir: Daral-Kutub al-Hadisa, tth), hlm.170.
46
Mushaf, Al-Qu’ran dan terjemaah Al-Qu’ran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustsar,
2009), hlm.560.
Universitas Sumatera Utara
28
dari dasar hukum hadhanah dalam Islam dijelaskan dalam firman Allah SWT
sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, yang artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan carama’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang itu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan walipun berkewajiban demikian.Apabila keduanya
ingin menyapih (belum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa bagimu bila kamu
memberikan pembayaran menurut patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kerjakan”.47
Selain itu juga terdapat hadist Rasulullah SAW. sebagaimana yang
diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Al- Baihaqi dan Al-Hakim dari Abdullah bin’
Amru48:
“Bahwa seorang wanita berkata:”ya Rasullulah, sesungguhnya anakku ini,
perutku menjadi tempatnya dan payudaraku isapannya dan lambungku menjadi
pangkuannya. Ayahnya telah mentalakku dan hendak mengambilnya dariku,
maka Rasullulah SAW bersabda: engkau lebih berhak mengasuh/memelihara
selama engkau belum menikah”.
Selanjutnya,di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah dapat dilihat pada
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa :
1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3) Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
47
48
M.Hasballah Thaib dan H.Marahalim Harahap, Loc.Cit.
Ash-sha’ani.Op.Cit., hlm.227.
Universitas Sumatera Utara
29
Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41
Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan
karena perceraian, maka:
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan yang memberi
keputusan.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya;
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua,
pemeliharaan tersebut meliputi: masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu
yang menjadi kebutuhan pokok bagi anak. Jadi meskipun diantara suami istri telah
putus ikatan perkawinan diantara mereka namun kewajiban pemeliharaan anak tetap
menjadi tanggung jawab keduanya sampai anak di bawah umur tersebut telah dewasa
atau mandiri. Islam juga telah mengajarkan kewajiban bertanggung jawab itu secara
tegas, sebagaimana dijelaskan pada hadist Rasullulah SAW, yang diriwayatkan Al
Bukhari dan Muslim, yang artinya berbunyi:” Laki-laki wajib memelihara
keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dalam hal itu. Perempuan
Universitas Sumatera Utara
30
wajib memelihara (segala sesuatu) dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban dalam hal itu”.49
3. Syarat-Syarat Orang Yang Berhak Melaksanakan Tugas Hadhanah
Setiap anak yang masih di bawah umur memerlukan orang lain dalam
kehidupannya, baik dalam membentuk fisiknya maupun akhlaqnya. Seorang yang
melakukan tugas hadhanah anak mempunyai andil dalam hal tersebut, sehingga
memerlukan sikap yang arif, perhatian yang penuh dan kesabaran. Menurut
M.Hasballah Thaib, karaktertik orang tua ideal bagi anak haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan kepribadian yang yakni: 1. Bertaqwa kepada Allah, 2.
Mempunyai sifat ikhlas, 3.Berakhlak mulia, 4. Mempunyai sikap dan berkata benar,
5. Mempunyai sifat adil, 6. Bersikap sopan, 7. Bersisikap sabar, 8.Bersifat pemaaf, 9.
Rukun dalam rumah tangga, 10. Memenuhi kebutuhan anak, 11. Membina kreatifitas
anak, 12. Berdedikasi mendidik dan bertanggung jawab.50
Selanjutnya hukum Islam mengemukan ada beberapa persyaratan yang terkait
dengan hadhanah atas anak yang harus dimiliki seseorang agar bisa melaksanakan
tugas hadhanah,baik wanita maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi ulama fiqih
dalam tiga katagori, yakni: a. syarat umum untuk wanita dan pria, b. syarat khusus
untuk wanita, c. syarat khusus untuk pria51.
a. Syarat umum untuk pria dan wanita yang melakukan hadhanah
Adapun syarat umum untuk orang yang dianggap berhak melaksanakan tugas
hadhanah atas anak, diantaranya:
49
M. Hasballah dan Zamakhsyari, Pendidikan dan Pengasuhan Anak(Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah), (medan:Perdana Mulya Sarana, 2012), hlm.57.
50
Ibid., hlm.24-57.
51
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, ( Jakarta:
Kencana, 2008), hlm.121-125.
Universitas Sumatera Utara
31
1.
Berakal
Orang gila dan idiot tidak boleh menjadi pelaksana hadhanah karena keduanya
juga membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan mereka. Selain itu untuk
mengurus diri sendiri saja mereka tidak mampu, apa lagi untuk mengurus keperluan
orang lain.
Ulama Mahzab Malikiyyah mensyaratkan seorang yang dapat melaksanakan
tugas hadhanah haruslah orang cerdas.Seorang yang melaksanakan hadhanah tidak
boleh orang yang bodoh (idiot) dan boros.Tujuannya agar harta milik anak yang
dipelihara tidak dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu.52
Jadi apabila seseorang itu tidak berakal maka ia tidak berhak untuk melakukan
tugas hadhanah karena ia sendiri tidak dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga
hanya mereka yang memiliki akal yang dapat melaksanakan tugas hadhanah.
2.
Baligh (dewasa)
Hendaklah merekayang melakukan tugas hadhanah adalah mereka yang sudah
baligh/dewasa, berakal, tidak terganggu ingatannya, karena hadhanah adalah
merupakan pekerjaan memerlukan tanggung jawab. Sementara itu ulama Mazhab
Malikiyyahmenambahkan agar yang melakukan tugas hadhanah adalah mereka yang
tidak memiliki/menderita penyakit menular yang dapat membahayakan mahdhun
(anak yang diasuh).53
52
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan)
Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darulfikir, 2011), hlm.66.
53
Muhammad Ibnu Al-Syarbaini, Al-Iqna’, (Mesir: Mathba”ah al-Risalah, tth), Juz II,
hlm.150.
Universitas Sumatera Utara
32
3.
Memiliki kemampuan dan kemauan dalam melakukan hadhanah dan mendidik
mahdhundan juga tidak terikat dengan suatu perkerjaan yang bisa mengakibatkan
tugas hadhanah menjadi terlantar.
Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, dan juga mampu
untuk menjaga kesehatan dan kepribadian anak. Jadi orang lemah, baik karena sudah
lanjut usia, sakit, maupun sibuk tidak berhak untuk mengurus anak.
Wanita yang berkerja diluar rumah (wanita karier) yang sibuk dengan
perkerjaannya sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus anak juga tidak
termasuk katagori orang yang berhak mengurus hadhanah anak. Akan tetapi jika
kerjanya tidak menghambatnya dalam mengurus anak, ia tetap berhak untuk
mengurusnya.54Jadi wanita yang berkerja diluar rumah masih memenuhi syarat
menjadi (pengasuh).
4.
Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik
Orang yang dapat dipercaya memegang amanah, artinya seseorang yang
melakukan hadhanah hendaklah orang yang dapat dipercaya memegang amanah.,
maka orang yang tidak amanah tidak berhak untuk melakukan hadhanah anak.
Adapun yang termasuk dalam katagori tidak amanah adalah orang fasik baik laki-laki
ataupun perempuan yang memiliki sifat, apabila dititipkan sesuatu dia tidak pernah
menyembunyikannya, suka menipu, suka berkata tidak santun, pemabuk, pezina
sering melakukan perbuatan yang dilarang (perkara yang diharamkan oleh Allah
SWT). Namun Ibnu Abidin menjelaskan kefasikan yang menghalangi hak untuk
54
Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit, hlm.67.
Universitas Sumatera Utara
33
mengurus anak adalah kefasikan seorang ibu yang menyia-nyiakan anak, ia tetap
berhak melaksanakan hadhanah anak meskipun sudah terkenal fasik, dengan syarat
selama si anak belum mencapai usia mampu menggerti kefasikan ibunya. Namun jika
sudah mengerti maka anak tersebut harus dijauhkan dari ibunya untuk
menyelamatkan masa depan akhlak si anak. Disamping itu bagi laki-laki yang fasik
dan pemarah maka ia tidak berhak mengurus hadhanah anak.55Ulama Mazhab
Malikiyyah mensyaratkan tempat dan lingkungan untuk mengurus hadhanah anak
haruslah kondusif.Orang yang rumahnya tempat berkumpulnya orang-orang fasik
tidak berhak untuk melakukan hadhanah anak, ataupun lingkungan rumah yang
membahayakan seperti tempat yang sering terjadi tindakkan kejahatan.56
Jadi orang melaksanakan tugas hadhanah anak hendaklah orang yang berakhlak
mulia karena orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik
kepada anak yang diasuh, oleh sebab itu ia tidak layak melakukan tugas hadhanah.
5.
Beragama Islam
Mereka yang kafir tidak boleh melaksanakan hadhanah anak kecil yang
beragama Islam, karena hadhanah itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang.
Sebagaimana Allah SWT melarang orang kafir (bukan muslim) menguasai orang
Islam, yang ditegaskan dalam firmanNya Surat An-Nisa’ ayat 141, yang artinya
berbunyi:
55
56
Ibid.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
34
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Namun dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat tentang hal tersebut,boleh
atau tidaknya anak diasuh oleh non muslim (tidak beragama Islam).57 Menurut
Mazhab Syafi’iyyah dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa hadhanah atas
seorang yang muslimah atau muslim, maka yang berhak untuk melakukan hadhanah
adalah haruslah orang yang seagama dengan anak(beragama Islam), karena orang
non muslim tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam,
hal ini sejalan dengan firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 141 tersebut di diatas.
Disamping itu juga dikhawatirkan jika yang melaksanakan hadhanah itu bukan
muslim, maka akan membawa atau mempengaruhi anak yang diasuh (madhun)masuk
ke dalam agamanya.Akan tetapi Mazhab Hanafiyyah dan Mazhab Malikiyyah, tidak
mensyaratkan yang melaksanakan hadhanah haruslah seorang yang beragamaIslam,
selama anak itu belum mumayyiz (dibawah umur tujuh tahun).Menurut merekahak
hadhanah seorang ibu terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan secara Islam
tidak menjadi gugur disebabkan ibu tidak beragama Islam, kecuali jika anak itu sudah
mumayyiz58. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah
SAW, pernah menyuruh anak memilihuntuk berada di bawah asuhan ayahnya yang
muslim atau pada ibunya yang musyrik, tetapi anak itu memilih ibunya. Lalu
57
Abdurahman al-juzairi, Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Araba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid
IV. hlm. 596-598, lihat juga: Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Op.Cit., hlm. 122.
58
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana,2004), hlm.174.
Universitas Sumatera Utara
35
Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada
ayah”.
Jadi sebaiknya orang yang melaksanakan tugas hadhanah hendaklah orang
seagama dengan si anak (beragama Islam), agar anak lebih terpelihara baik secara
fisik maupun secara akhlaknya, sehingga tidak menimbulkan mudharat.
b. Syarat khusus bagi wanita(hadhinah) yang melaksanakan tugas hadhanah
Menurut para ahli fiqih syarat khusus bagi pria yang melaksanakan tugas
hadhanah adalah sebagai berikut59:
1. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang belum kawin lagi
setelah putusnya perkawinan dengan suaminya. Artinya jika yang melakukan
tugas hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang diasuh, disyaratkan tidak
menikah dengan lelaki lain. Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah SAW,
yaitu: “Engkau (ibu) lebih berhak mengasuh anakmu, selama engkau belum
kawin dengan lelaki lain”. Jadi ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi
anaknya selama ia belum kawin dengan laki-laki lain. Hal ini disebabkan
dikhawatirkan suami kedua dari si ibu yang tidak merelakan istrinya disibukkan
mengurus anaknya dari suami sebelumnya, selain itu biasanya suami kedua
cenderung resah dan kurang ikhlas dengan keberadaan anak kecil tersebut
bersama ibunya, akibatnya anak akan merasa kurang kasih sayang, tentunya,
hal ini akan mempengaruhi psikis anak tersebut. Kecuali jika wanita tersebut
menikah lagi dengan kerabat anak yang diasuhnya, maka ia boleh
59
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Op. Cit. hlm.123-124.
Universitas Sumatera Utara
36
mengasuhnya. Hal ini dikarenakan bila suamidari ibu si anak adalah muhrim
anak maka ia akan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Sehingga
kebersamaan anak tersebut dengan istrinya tidak membuat resah karena adanya
hubungan kekerabatan yang dapat menimbulkan kasih sayang60.
2. Wanita yang melaksanakan tugas hadhanah merupa mahram (wanita yang
haram untuk dinikahi) anak, contohnya ibu,nenek, saudara perempuan ibu dan
seterusnya.
3. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang menyayangi si anak
dan memiliki sifat yang baik. Menurut ulama Mazhab Malikiyyah wanita yang
mengasuh anak tersebut tidak boleh memiliki sikap yang tidak baik seperti
pemarah dan membenci anak tersebut, karena berdampak tidak baik bagi si
anak.
4. Apabila anak yang diasuh masih dalam usia menyusui dengan wanita
pengasuhnya, tetapi air susunya tidak ada atau wanita yang mengasuh tersebut
tidak mau menyusui anaknya, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh
(melaksanakan tugas hadhanah). Hal ini dikemukan oleh ulama Mazhab
Syafi’iyyah dan Mazhab Hambali.61
5. Wanita yang melaksanakan hadhanah adalah wanita yang tidak berhenti
melaksanakan tugas hadhanah meskipun tidak diberikan upah hadhanah karena
60
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah (Panduan
Hukum Keluarga Sakinah), Terjemahan Harits Fadli dan Ahmad Khotib, (Solo: Era Intermedia,2005),
hlm. 593.
61
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
37
secara ekonomi ayah sianak sedang mengalami kesulitan sehingga tidak mampu
membayar upah hadhanah. Syarat ini ditetapkan oleh ulama Mazhab
Hanafiyyah.62
c. Syarat khusus bagi laki-laki (hadhin) yang melaksanakan tugas hadhanah
Bagi seorang laki-laki yang melaksanakan tugas hadhanah harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Jika pengasuhnya adalah muhrim
Para fuqaha membolehkan laki-laki untuk melaksanakan hadhanahbagi anak
perempuan namun haruslah laki-laki yang muhrim bagi si anak, baik anak tersebut
masih kecil ataupun telah mumayyiz, baik itu karena tidak ada wanita yang berhak
melakukan hadhanah baginya atau mungkin ada tetapi tidak memenuhi kualifikasi
hadhanah. Namun menurut ulama Hanafiyyah dan Hambali hendaknya anak
perempuan tersebut berusia masih kecil atau jika anak yang hendak diasuh itu
cantik parasnya maka usianya maksimal tujuh tahun. Tujuan ini tidak lain agar
tidak terjadi khalawat antara keduanya63.
2. Jika yang mengasuh bukan muhrim
Jika orang yang melakukan tugas hadhanah adalah laki-laki yang bukan
muhrim bagi anak, maka diperbolehkan dengan syarat pengasuh (laki-laki)
tersebut haruslah memenuhi kualifikasi hadhanah, yakni ada wanita bersama lakilaki tersebut yang ikut membantu memelihara anak tersebut.64
4. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Syarat Hadhanah
62
Loc, Cit, hlm. 69.
Ibid.
64
Tuzaemah T. Yanggo, Fiqih Anak, (Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak
serta Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Aktifitas Anak), (Jakarta: Al-Mawardi, 2004), hlm.134.
63
Universitas Sumatera Utara
38
a. Hal-hal yang mengugurkan hadhanah
Menurut ulama Malikiyyah, hak hadhanah gugur dengan 4 (empat) sebab,
yaitu:
1.
Perginya perempuan (hadhinah) ke tempat yang jauh.
Maksudnya perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak
lebih dari 133 KM, jika wali dari anak asuh pergi atau hadhinahnya (perempuan
yang melaksanakan hadhanah) maka wali dari anak asuh berhak mengambil
anak tersebut dari hadhinah, dan gugurlah haknya mengasuh anak, kecuali ia
membawa serta anak itu (mahdhun) dalam perjalanan. Ulama Hanafiyyah
berpendapat bahwa hak mengasuh anak dianggap gugur jika hadhinah yang
berstatus janda pergi ke tempat lain yang jauh, sehingga ayah anak yang diasuh
tidak dapat mendatangi anaknya dalam jangka waktu setengah hari, untuk
kemudian kembali sampai ke rumah.65
Adapun bagi hadhinah selain ibu si anak maka haknya gugur hanya dengan
berpindah tempat tinggal. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hak seseorang
untuk mengasuh anak menjadi gugur jika ia pergi dengan niat untuk pindah, baik
jaraknya jauh maupun dekat. Ulama Hambali berpendapat bahwa hak
mengurusanak gugur jika orang yang mengurusnya berpergian jauh dengan
menempuh jarak yang membolehkan shalat qashar.66
65
Wahbah Az-Zulahaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan)
Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, ( Jakarta:Darul fikir, 2011), hlm. 70.
66
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
39
2.
Bila ia menderita penyakit yang membahayakan.
Hak seseorang dalam melaksanakan tugas hadhanah gugur jika iamenderita
penyakit yang membahayakan seperti gila, lepra, dan kusta. Hal ini menurut
pendapat ulama Mazhab Hambali.
3.
Bila ia fasik atau pengetahuan agamanya kurang
Hak seseorang untuk mengurus anak juga gugur jika ia fasik atau pengetahuan
agamanya kurang, seperti misalnya ia tidak dapat dipercaya untuk mengurus
anak karena tidak tercapainya kemaslahatan dalam asuhannya. Pendapat ini telah
disepakati oleh para ulama.67
4.
Bila ia sudah menikah lagi
Hak seorang hadhinah (khususnya ibu) jika ia sudah menikah lagi, kecuali
jika jika hadhinah menikah dengan muhrim si anak.Akan tetapi, jika suami ibu
dari anak tersebut memiliki kasih sayang pada anak, maka hak hadhanah ibu
tersebut masih berlaku.68Berbeda dengan pendapat ulama Mazhab Syafi’iyyah,
bahwa hak hadhanah ibu gugur secara mutlak disebabkan perkawinannya dengan
laki-laki lain, baik laki-laki tersebut memiliki kasih sayang maupun tidak.69
b. Kembalinya hak melaksanakan tugas hadhanah
Meskipun ada hal-hal yang menghalangi seseorang untuk dapat melaksanakan
tugas hadhanah atas anak maka hal tersebut dapat dibatalkansebagaimana menurut
pendapat para ulama mazhab, yaitu70:
67
Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hlm.753.
68
Ibnu Qudmah, Al-Mughni, (Beirut: Daral-Kitab Al-Arabi, 1972), Jilid VII, hlm.300. Lihat
juga Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, hlm.132.
69
Wahbah Az-Zulahaili, Jilid 10, Op.Cit., hlm.71.
70
Op.Cit., hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
40
1. Menurut ulama Mahzab Malikiyyah
Ulma mazhab Malikiyyah, berkata jika hak seorang hadhinah telah gugur
karena adanya uzur, seperti sakit, tempat yang membahayakan, pergi atau pindah
tempat, dan pergi untuk menunaikan ibadah haji, kemudian uzur itu hilang karena
sembuh dari penyakit atau tempatnya sudah aman, atau pulang dari berpergian
maka haknya atas hadhanah anak kembali lagi, hal ini karena uzur atau
penghalang yang mengugurkan haknya telah hilang.Kaidahnya menyebutkan, “jika
penghalangnya hilang maka sesuatu yang tadinya terlarang menjadi tidak”.
Selanjutnya jika seorang hadhinah menikah lagi dengan seorang lelaki lain
yang bukan muhrimnya dan melakukan hubungan suami istri, atau ia pergi jauh
tanpa uzur, kemudian menjanda lagi baik karena perceraian, karena perkawinanya
dibatalkan,maupun karena kematian suaminya atau ia kembali lagi dari perjalanan
jauh yang tidak ada uzur maka haknya untuk melaksanakan tugas hadhanah tidak
kembali lagi meskipun penghalangnya sudah tidak ada. Hal ini dikarenakan
gugurnya hak hadhanahitu dari dirinya sendiri dan tidak ada uzur.71
2. Ulama Mazhab Hanafiyyah, mazhab Syafi’iyyah dan Hambali
Mereka berpendapat,jika hak hadhinah gugur
karena adanya penghalang,
namun kemudian penghalang itu hilang maka hak hadhanah anak itu kembali lagi
kepadanya, baik penghalang itu karena terpaksa seperti sakitatau penghalang itu
karena keinginannya sendiri seperti kawin, berpergian dan fasik. Akan tetapi,
menurut Mazhab Hanafiyyah hal itu harus langsung tanpa menunda-nunda waktu
71
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
41
bagi perempuan yang dicerai ba’in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika
dicerai raj’i maka ia harus menunggu masa iddahnya dulu.
Ulama Mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih
berhak mengurus hadhanah anaknya secara langgsung sebelum selesai masa
iddahnya, dengan syarat mendapat izin dari suami. Namun jika suami tidak
memberi izin maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya.72
Namun
hal
tersebut
berbeda
menurut
pendapat
ulama
Mazhab
Hambali,bahwa wanita yang dicerai tetap berhak mengurus/melaksanakan tugas
hadhanah atas anaknya, meskipun cerai raj’i dan belum selesai masa iddahnya.
5. Berakhirnya hadhanah
Dalam Hukum Islam belum ada ketentuan mengenai batas waktu berakhirnya
hadhanah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.Hadhanah berhenti apabila
anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa dan dapat berdiri sendiri,
serta mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti makan, minum,
mandi dan berpakaian sendiri73.Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu mengenai
waktu berakhirnya, hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan
untuk berdiri sendiri.Jika si anak telah dapat memenuhi semua ketentuan tersebut,
maka masa hadhanah telah habis.74
72
Ibid.
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.183.
74
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Terjemahan Moh. Thaib, ( Bandung :PT. Al-Ma’arif, 1997),
hlm. 173.
73
Universitas Sumatera Utara
42
Pemeliharaan atas anak dimulai kelahiran, tetapi dalam hal terjadi perceraian
orang tua maka pemeliharaan itu dapat berakhir saat anak tersebut mencapai umur
tertentu.Namun terhadap hal tersebut para fuqaha berbeda pendapat mengenai
berakhirnya hadhanah.
Menurut Mazhab Hanafiyyah, berahirnya hadhanah atas seorang anak lakilaki yaitu ketika mencapai umur tujuh tahun, sedangkan untuk anak perempuan saat
mencapai umur sembilan tahun.Namun menurut Mazhab Syafi’iyyah berakhir
hadhanah atas anak baik itu anak perempuan ataupun laki-laki saat mereka berumur
tujuh tahun,jika anak tersebut telah berusia tujuh tahun atau lebih dan ia telah berakal
maka ia dapat memilih dipelihara oleh ayah atau ibunya dengan dua syarat, yakni: a.
kedua orang tuanya adalah orang yang memiliki hak asuh pada dirinya; b. anak
tersebut memiliki akal yang sehat.75Jika anak tersebut adalah anak laki-laki, ia
memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam
hari dan bersama ayahnya pada siang hari, agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan
bila ia merupakan anak perempuan dan ia memilih tinggal bersama ibunya, maka ia
boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam. Namun jika si anak memilih tinggal
bersama kedua orang tuanya, maka dilakukan undian, bila si anak diam atau dengan
kata lain tidak memilih maka ia ikut bersama ibunya.76Selanjutnya Mazhab Hambali
sependapat dengan Mazhab Syafi’iyyah tentang berahirnya hadhanah atas anak tidak
ditentukan, jika seorang anak mumayyiz, maka ia berhak memilih untuk ikut ibu atau
75
Saleh M. Fauzan, Op.Cit. hlm.755.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terjemahan Masykur A.B, dkk, (Jakarta:
Lentera, 2008), hlm. 417.
76
Universitas Sumatera Utara
43
ayahnya, kakeknya, neneknya atau siapapun yang dipilihnya77. Namun Mazhab
Malikiyyah berbeda pendapat tentang hal tersebut, menurut Mazhab ini berakhirnya
hadhanah anak laki-laki yaitu ketika ia baligh, sedangkan terhadap anak perempuan
yaitu hingga ia dicampuri suaminya, kecuali jika ada sesuatu yang ditakutkan setelah
baligh, “Ibnu Hazm berkata, bahwa seorang ibu berhak melakukan hadhanahterhadap
anak laki-laki atau perempuan hingga haid atau bermimpi, disertai dengan mumayyiz
dan kesehatan badan.”78
Mengenai batas waktu pemeliharaan anak menurut Pasal 45 Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya.
2) Kewajiban yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Jadi pemeliharaan anak akan terus menjadi tanggung jawab orang tua selama
belum berakhirnya masa hadhanah. Hadhanah berakhir apabila anak tersebut telah
mandiri atau mampu menghidupi dirinya sendiri.
B. Orang Yang Berhak Mengasuh Anak Pada Saat Tenggang Waktu
Penentuan Hak Hadhanah Anak
1.
Urutan Orang-Orang Yang Berhak Melaksanakan tugas Hadhanah
Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami isteri atas
hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan
77
Jail Mubarok, Pengadilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004),
hlm.196.
78
Yusuf Qasim, Huquq Al-Usrah, hlm. 398, Lihat juga Abdul Majid Mahmud Matyhlub,
Panduan HUkum Keluarga Sakinah, TerjamahanHarits Fadly dan Ahmad Khotib, (Solo: Era
Intermedia, 2005), hlm. 596.
Universitas Sumatera Utara
44
orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah terhadap anaknya itu
diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang sekiranya mampu dan
memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut. Menurut Ibnu Rusyd,
hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan kelemah lembutan bukan dengan
dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, wala’, walad dan warisan.79Bisa
saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanahseperti orang yang diberi wasiat,
adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara
perempuan.80Sementara menurut Al Hamdanibahwa orang yang berhak pengasuhan
anak adalah orang yang lebih mampu mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena
orang yang mengabaikan pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap
anak tidak layak mendapatkan hak pengasuhan anak.81
Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak hadhanah atas anak bagi para
wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut.Menurut mereka naluri keibuan
lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran dalam
menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran
seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fiqih juga mengemukan bahwa apabila anak
tesebut telah mencapai usia tertentu, maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai
dan lebih mampu untuk merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak
79
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan Imam Ghazali Said, (Jakarta:Pustaka
Amani, 2007), hlm. 526.
80
Ibnu Rusyd, Maqaddimah Ibn Rusyd, Juz II, (Darul Fikr, tth), hlm 258-259
81
Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm.
265.
Universitas Sumatera Utara
45
tersebut sebagai pelindung.Oleh sebab itu maka ulama fiqih lebih mendahulukan
kaum wanita daripada kaum pria.82
Urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah anak, menurut
ulama fiqih adalah sabagi berikut:
1) Ibu dari si anak;Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian atau
meninggalnya suaminya, sebab ia merupakan orang yang paling sayang dan
lembut terhadap si anak daripada orang lain. Hal ini juga diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan, bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW,
kemudian berkata,“wahai Rasulullah,sesungguhnya anak laki-lakiku ini,baginya
perutku itu waddah, kamarku itu hawa, dan kedua putting susuku itu minuman,
namun bapaknya menceraikanku dan ingin merebutnya dariku.” Selanjutnya
Rasulullah bersabda, “kamu lebih berhak atasnya, sepanjang kamu tidak menikah
lagi”.Namun hak hadhanah ibu atas anaknya dapat beralihkarena disebab ibu
penzina, pencuridanistri yang telah menikah lagi dengan laki-laki yang bukan
muhrim dari anak yang diasuh.83
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pengasuhan anak berada ditangan ibunya,
selama tidak ada sesuatu alasan yang dapat menghalangi si ibu melakukan
pekerjaan pengasuhan anak.Membentuk anak-anak agar menjadi manusia dalam
arti yang sesungguhnya adalah tujuan dari pendidikan Islam. Oleh karena itu,
82
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan)
Jilid 10,Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Darul fikir, 2011) hlm. 61.
83
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah (Panduan Hukum
Keluarga Sakinah), Terjemahan Harits Fadli dan Ahmad Khotib, (Solo: Era Intermedia, 2005), hlm.
585.
Universitas Sumatera Utara
46
untuk mencapai tujuan dimaksud diperlukan pembinaan dan pemeliharaan yang
tepat, karena anakmerupakan potensi bangsa dan agama sehingga perlu
dikembangkan untuk kematangan pribadinya.
2) Jika hak hadhanah seorang ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak pindah
kepada ibunya istri (nenek si anak). Selain itu, seorang nenek adalah keluarga
terdekat setelah ibu. Selanjutnya biasanya nenek lebih menjaga dan menyayangi
anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya.84
3) Selanjtunya setelah hak asuh ibu dan nenek (ibu dari ibu) tiada, maka hak tersebut
di ambil alih oleh nenek (ibu dari ayah) dari anak tersebut.85Penyebab nenek dari
ibu (ibu dari ibu) lebih diutamakan dari pada nenek dari ayah (ibu dari ayah),
meskipun kedua-duanya sama-sama dekat namun karena nenek dari ibu
merupakan kerabat dari ibu sianak, sedangkan hak hadhanah atas anak lebih
diutamakan pada garis keturunan ibu, sehingga kerabat dari ibu lebih diutamakan
dibanding kerabat dari pihak ayah.86Namun hal yang berbeda dikemukan oleh
Saleh.Al- Fauzan, menurutnya jika setelah hak asuh ibu dan nenek (ibu dari ibu)
tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh ayah kandung si anak. Hal ini
karenaayah juga memiliki kedekatan dengan anaknya di banding yang lain setelah
ibu dan nenek. 87
84
Al- Fauzan Saleh Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hlm.750.
85
Wahbah Az-Zuhaili, Jilid 10, Op.Cit. hlm. 62.
86
Ibid.
87
Al- Fauzan Saleh, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
47
4) Setelah orang-orang telah di sebutkan di atas gugur haknya, maka yang
seterusnya yang melaksanakan tugas hadhanah adalah saudara kandung
perempuan dari ibu si anak. Sebab, mereka memiliki hubungan yang lebih kuat
dengannya dalam masalah warisan.88
5) Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap keibuan, sebab ibu
lebih diutamakan dibandingkan ayah, baru kemudian saudara perempuan seayah.
6) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah anak
perempuan dari saudara seayah.
7) Bibi yang sekandung dengan ayah
8) Bibi yang seibu dengan ayah
9) Bibi yang seayah dengan ayah
10) Bibinya ibu dari pihak ibunya
11) Bibinya ayah dari pihak ibunya
12) Bibinya ibu dari pihak ayahnya
13) Bibinya ayah dari pihak ayah.
Namun hal berdbeda dikemukan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah ia berkata,
bahwa:
“Bibi dari ayah itu lebih utama dari bibi yang berasal dari pihak ibu.Demikian
pula wanita dari pihak ayah lebih utama dari wanita dari pihak ibu.Maka, mereka
lebih berhak mengasuh anak dibanding wanita dari pihak ibu. Karena hak
perwalian ada pada pihak sang ayah. Demikian pula kerabatnya.Walaupun, itu
dengan ayah kandungnya sendiri.Dalam syariah di sebutkan bahwa bibinya
Hamzah didahulukan dari bibinya Shafiyah.Oleh karena Shafiyah sendiri tidak
88
Saleh.Al- Fauzan, Op.Cit.hlm.751.
Universitas Sumatera Utara
48
memintanya, sedang Ja’far telah meminta untuk menjadi wakil dari bibinya
Hamzah.Maka jika dia tidak ada, tetap seperti ini.”89
Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa, “Semua dasar syariat menyebutkan
bahwa kerabat ayah itu harus didahulukan daripada kerabat ibu. Barangsiapa
yang mendahulukan kerabat ibu daripada kerabat ayah dalam hak asuh anak,
maka ia telah menyalahi ushul dan syariah.”90
Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram
di atas, atauada tapi tidak memenuhi syarat untuk melakukan pemeliharaan atas
anak, maka hak hadahanah atas anak tersebut dapat beralih kepada kerabat lakilaki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah. Hak hadhanah anak
beralih kepada91:
14)
15)
16)
17)
18)
19)
20)
21)
22)
Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas ( ayah dari ayah si anak)
Saudara laki-laki sekandung
Saudara laki-laki seayah
Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
Paman yang sekandung dengan ayah
Paman yang seayah dengan ayah
Pamannya ayah yang sekandung
Pamannya ayah yang seayah dengan ayah
Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas maka
hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat
dekat yaitu diantaranya92:
23) Ayah ibu (kakek)
89
Ibid.
Ibid.
91
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hlm. 588.
92
Ibid.
90
Universitas Sumatera Utara
49
24)
25)
26)
27)
28)
29)
Saudara laki-laki seibu
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
Paman yang seibu dengan ayah
Paman yang sekandung dengan ibu
Paman yang seayah dengan ibu
Paman yang seayah dengan ayahe
Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi ibu
maupun sisi ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup
dan patut mengasuh serta mendidiknya.93
Sementara urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah dalam
Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 156 yang berbunyi:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
ayah;
b. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
c. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
d. Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayahatau ibunya;
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula;
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);
93
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam,( Jakarta:Al-Hidayah, 1968), hlm.395.
Universitas Sumatera Utara
50
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
Maksud dari urut-urutan ini adalah agar hadhanah anak tetap bersama
kerabatnya sehingga ia tidak merasa asing hidup dalam sebuah rumah tangga.
Selanjutnya tujuan dari urutan ini dalam rangka menjaga sistem mahram bagi seorang
muslim, apalagi bila nanti sudah dewasa, tidak boleh berkhalwat bersama seorang
dari lain jenis yang bukan dari mahramnya. Urutan mereka yang melaksanakan tugas
hadhanah, yang satu lebih diutamakan daripada yang lain juga mendahulukan para
wali sianak karena wewenang mereka untuk memelihara anak kecil, jadi jika para
walinya sudah tidak ada, atau ada tapi ada sesuatu alasan yang mencegah untuk
melakukan tugas hadhanah ini, maka berpindahlah ia ke tangan kerabat lainnya yang
lebih dekat.
2. Pihak Yang Berhak Mengasuh Anak Pada Saat Tenggang Waktu Penentuan
Hak Hadhanah Anak
Secara syari'at, hak hadhanah anak berada dipihak ibu, apalagi jika si anak
dalam usia yang masih di bawah umur dan menyusui. Secara hukum positif maupun
ketentuan Hukum Islam juga mendukung bahwa seorang ibu memiliki hak hadhanah
anak yang diutamakan.Adapun sebab hak hadhanah anak lebih diutamakan berada
pada ibu, karena ibu pada dasarnya memiliki sifat sabar, lembut, waktu yang cukup
untuk mengasuh, dan lebih menyayangi serta cinta pada anaknya.Sebaliknya, seorang
bapak memiliki kewajiban merawat anak-anaknya. jika siibu tidak memenuhi syarat
untuk melakukan tugas hadhanah. Begitu juga sebenarnya denganorang yang lebih
Universitas Sumatera Utara
51
berhak mengasuh anak saat tenggang waktu penentuan hak hadhanah adalah ibu dari
si anak atau bila ibu tidak ada, maka kerabat dari garis keturunan ibu dapat
menggantikannya.94Hal ini sejalan dengan hak hadhanah atas anak yang belum
mumayyiz yang diutamakan kepada ibu. Namun apabila saat terjadi sengketa
hadhanah anak tersebut berada pada ayahnya maka tidak dapat dilakukan sertamerata pengambilan anak dari si ayah secara paksa, oleh karenanya anak tidak
mungkin dipaksakan karena akan sulit dilaksanakan dan menyangkut perasaan anak
perlu diperhatikan. hal ini
dikhawatirkan dapat menganggu psikologi si anak,
sehingga diutamakan kepentingan anak (for the best interest of the child), 95sehingga
si anak dapat berada dalam pengawasan ayahnya sampai hakim menentukan siapa
yang berhak melaksanakan tugas hadhanah atas anak tersebut.
Maka jelaslah bahwa jika terjadi perselisihan tentang hak hadhanah pada saat
belum adanya keputusan tentang siapa yang lebih berhak untuk melaksanakan tugas
hadhanah atas anak-anak yang masih di bawah umur berada pada ibu kandung dari si
anak namun demikan bukan berarti si ayah tidak berhak memelihara anak tersebut
untuk sementara, jika saat tersebut si anak sudah terlanjur berada dalam perawatan si
ayah, baik itu karena keinginan si anak sendiri ataupun karena suatu keadaan tertentu,
maka si anak boleh berada dalam perawatan/pemeliharaan si ayah sampai hakim
memutuskan siapa yang lebih berhak diantara keduanya.
94
Hasil Wawancara dengan Mucsin, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kab.Simeulue,
Tanggal 21 Mei 2013.
95
Hasil Wawancara dengan Mardiah, Hakim Mahkamah Syar’iyah Sinabang, Tanggal17 Mei
2013.
Universitas Sumatera Utara
52
Didahulukannya seorang ibu untuk mengasuh anaknya, karena sang ibu
biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap anak yang dilahirkannya. Seorang
ayah pun tetap tidak bisa menyamai kasih sayang seorang ibu bahkan dari istri si ayah
sekalipun.Ibnu Abbas juga pernah berkata kepada seorang laki-laki, “bau ibunya,
tempat tidurnya dan asuhanya, lebih baik untuk anak itu daripada kamu, kecuali anak
tersebut tidak menyukainya dan menentukan pilihannya sendiri”.96
96
Saleh Al-Fauzan, Op.Cit.,hlm. 750.
Universitas Sumatera Utara
Download