PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK AKIBAT

advertisement
PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK AKIBAT
PERCERAIAN
(Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MOH ANAS MAULANA IBROOHIM
NIM : 1110044100078
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
ABSTRAK
Moh Anas Maulana Ibroohim. NIM 1110044100078. Pelimpahan Hak Asuh Anak
Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agam Bekasi Perkara
Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.). Skripsi, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah,
Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pelimpahan
Hak Asuh Anak Kepada Bapak pada Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. Pada
penelitian ini penulis memilih objek penelitian di Pengadilan Agam Bekasi. Penulis ingin
mengetahui hal-hal yang menyebabkan pelimpahan hak anak kepada bapak kandungnya
sebagai akibat perceraian. Selain itu juga, penulis ingin mengidentifikasi pertimbangan
hukum hakim yang memberikan hak asuh anak kepada bapak kandungnya akibat terjadinya
perceraian, yang seharusnya hak asuh itu berada di tangan ibu kandungnya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas
sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang
berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak kandungnya, yang terjadi di
Pengadilan Agama Bekasi. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi pustaka, dan studi
dokumenter.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelimpahan hak asuh anak kepada bapak
kandungnya dikarenakan ibu anask tersebut tidak amanah, keadaan ekonomi minim, dan
tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak.
Kata Kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Kandung,
Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA.
: 1989-2009.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala yang telah
memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat pertolongan-Nya
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda Sudarman dan ibunda Sriyati
(Almh), serta ibu Musyarafah, beserta kakak penulis Anisatul Mufadhalah, kakak ipar penulis
Aswan Burhanudin, dan adik Penulis Anik Rif’atul Uluwwiyah, serta bidadari penyelamat
Sena Siti Arafiah beserta keluarganya yang tidak pernah berhenti memberikan motifasi,
bimbingan, kasih sayang dan doa. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat
dan kasih sayang kepada mereka.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar sarjana Syari’ah
(S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan dapat
menyelesaikanya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada Bapak:
1. Dr. Phil. JM Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Ibu
Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. M. Nurul Irfan., MA., Dosen Pembimbing skripsi yang tidak pernah lelah
membimbing, mengarahkan dan memotifasi dalam penyelesaian skripsi ini.
vi
4. Ibu Maskufa., MA., sebagai dosen Pembimbing Akademik yang mengarahkan
penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.
5. Ibu Yanti dan ibu Aini, terima kasih atas bantuan administrasi pengurusan skripsi
dari awal hingga akhir.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini
dan staf-staf karyawan yang membantu proses administrasi penulis
7. Seluruh staf Pengadilan Agama Bekasi, dan Panitera Muda Hukum Enjang Zenal
Hasan, SH., serta Hakim Pengadilan Agama Bekasi Drs. Mansyur., yang
merelakan waktunya untuk penulis.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam mengumpulkan
refrensi kepada penulis.
9. Seluruh keluarga besar KMF yang selalu memberikan support, Do’a dan motifasi
khususnya kang Hanif, kang Sakir, Roni, Salahudin. Fauzi, Tomi, Adrian, Kholis,
Agung dan lainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
10. Seluruh keluarga Ibu Kos Hanum, temen-temen kos Wildan al-Farabi, dan Imam
Furqani yang memberikan semangat tiada lelah.
11. Teman-teman keluarga Besar Peradilan Agama anggkatan 2010 kelas A dan B
yang menjadi temen seperjuangan. Khusus kepada Ibrahim, Husnul Abrar,
Rahmad Yudistiawan, Soraya, dan Sainah serta temen-temen yang tidak bisa
disebutin semua namanya. Terima kasih atas pinjaman buku dan motifasinya.
Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.
vii
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukunganya, hanya doa
semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Ciputat, 29 April 2014
Moh Anas Maulana Ibroohim
viii
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL..............................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................
ii
ABSTRAK............................................................................................
iii
KATA PENGANTAR..........................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN........................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.............................................
1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah.......................
7
C. Tujuan dn Manfaat Penelitian..................................
8
D. Review Study Terdahulu.........................................
9
E. Metodologi Penelitian.............................................
10
F. Sistematika Penulisan.............................................
13
HADHANAH DALAM ISLAM.................................
14
A. Pengertian Hadhanah.............................................
14
B. Dasar Hukum Hadhanah........................................
16
C. Syarat-syarat Hadhinah dan Hadhin.........................
19
D. Pihak-pihak yang berhak dalam Hadhanah...............
28
E. Masa Hadhanah...........................................................
33
BAB II
ix
BAB III
HADHANAH DALAM PERSPEKTIF PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA..................................
35
A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.............................................................
B. Kompilasi Hukum Islam.......................................
35
38
C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak......................................................................
BAB IV
41
ANALISIS TERHADAP PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK
KEPADA BAPAK........................................................
44
A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan Agama..........
44
B. Pertimbangan Hukum Hakim.................................
45
C. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama
BAB V
Bekasi.....................................................................
47
PENUTUP...................................................................
54
A. Kesimpulan...........................................................
54
B. Saran-Saran............................................................
55
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
I
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................
II
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari hubunganya
dengan manusia lain. Manusia memiliki kepentingan yang berbeda antara satu
dengan yang lainya. Dengan perbedaan kepentingan ini hubungan yang dibangun
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa mengarah jadi
terbentuknya pertentangan, perselisihan, sengketa, bahkan permusuhan. Untuk
menghindari terjadinya hal ini, diperlukan norma atau rambu-rambu kehidupan.
Selain norma agama, norma etika, dikenal juga norma hukum yang sangat penting
peranannya dalam mengatur perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat. 1
Perkawinan harus dipahami sebagai ikatan manusia untuk menjelaskan hasrat
seksualnya secara sah dan bertanggung jawab, dari sini akan terjalin hubungan
kasih sayang cinta dan tanggung jawab untuk membentuk sebuah masyarakat
kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban manusia.2
Islam memandang perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai
wujud ibadah kepada Allah. Mengikuti sunnah Nabi, dan mempunyai nilai-nilai
kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup dan menumbuhkan rasa kasih sayang
dalam hidup bermasyarakat.3
1
Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2003), cet.2, hal. 1
2
Muhammad Husein, Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hal 105
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 13
2
Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting
dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan masyarakat
kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.4
Dalam Islam, perkawinan tidak terikat dalam ikatan mati dan tidak pula
mempermudah terjadi perceraian. Perceraian baru boleh dilakukan jika benarbenar dalam kondisi yang sangat darurat dan terpaksa, sebagai solusi akhir dalam
menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian diperbolehkan apabila hal
tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai
kebahagiaan dan selalu ada dalam penderitaan, sebagaimana di tulis oleh Sayyid
Sabiq bahwa lepasnya ikatan perkawinan sangat dilarang kecuali terdapat alasan
yang dibenarkan terjadi hal yang sangat darurat.5 Perceraian bukan hanya
merupakan bencana bagi pasangan suami isteri, namun juga merupakan
malapetaka bagi fisik dan psikis anak-anak mereka. Peristiwa perceraian, apapun
alasanya merupakan sesuatu yang sangat berdampak negatif bagi anak dimana
pada saat itu, anak tidak dapat lagi merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua
orang tuanya. Padahal kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting
bagi pertumbuhan mental seorang anak.
Menurut para fuqaha, hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil,
baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya, jadi tidak
4
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1992), hal. 7
5
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, (Kairo: Darul Fath, tth), Juz II, hal. 106
3
termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat
akalnya.6
Ketentuan tentang hak hadhanah akibat terjadi perceraian orang tuanya
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 105 yaitu:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Namun dalam Hadhanah. Agama Islam memberikan syarat-syarat kepada
seorang pengasuh yaitu: berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan
untuk mendidik anak yang diasuh, dapat dipercaya, dan juga harus beragama
Islam atau seakidah dengan sang anak.
Sedangkan di dalam hukum Islam (Fiqh), Mazhab Syi‟ah Imamiyah dan
Syafiiyah berpendapat bahwa seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang
beragama Islam, sedangkan Mazhab lainnya tidak mensyaratkannya. Bagi Ulama
Mazhab Hanafi mengatakan bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki yang
mengasuh, secara otomatis menggugurkan hak asuhnya. 7
Dalam proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh ada istilah yang
berdekatan yaitu kata hadhin atau hadhinah yang berarti istilah yang dipakai bagi
6
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah Anshori Umar
Sitanggal, dkk,
7
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk,,
Al-fiqh Ala Al-Madzahib Al-Khomsah, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2006) h. 416-417
4
seorang yang melakukan tugas hadhanah yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau
mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai bisa secara sederhana makan
sendiri dan berpakaian sendiri dan bisa membedakan berbahaya baginya. Bila
diukur dengan umur, sampai umur 7 atau 8 tahun. Pada masa sebelum umur
tersebut, pada umumnya seorang anak belum bisa mengatur dirinya dan belum
bisa secara sederhana membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya
bagi dirinya.8
Orang yang akan menjadi pengasuh anak disyaratkan mempunyai Kafa’ah
atau martabat yang sepadan dengan kedudukan si anak, mampu melaksanakan
tugas sebagai pengasuh anak. Karena, dengan adanya kemampuan dan kafa’ah,
maka mencakup beberapa syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak.9
Kemudian masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah
syarat-syarat yang menjadi Hadhin, karena sifat seorang pengasuh akan
berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhanya, keberhasilan seorang
anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikanya. Sebab ciri dasar
manusia adalah bersifat dinamis, merdeka, dan sosial. Maka pada saat inilah
seorang anak diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti diajarinya
seorang anak mengenal Tuhan sebagai bekal tauhid dan jiwanya.
Bilamana terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh
dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya karena anak di masa kecil
8
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 220.
9
H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 321
5
membutuhkan kasih sayang lebih, pemeliharaan yang optimal agar tumbuh
kembang terpelihara anak tersebut. Yang dimungkinkan bapak sibuk untuk
mencari nafkah, maka ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya. 10 Peran
ibu dalam mendidik anak sangatlah penting. Meskipun secara fisik seorang lakilaki jauh lebih kuat bila dibandingkan perempuan, namun pada beberapa hal ibu
jauh memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh seorang suami. Jadi, peran ibu
mendidik anaknya tidak bisa digantikan oleh orang lain dan bahkan oleh
suaminya sendiri.
Peran seorang ibu dalam mendidik anak tidak bisa disejajarkan dengan
bapak. Oleh karena itu, ibu memiliki naluri yang lebih kuat terhadap anaknya
dibandingkan
bapaknya.
untuk
itu, ibu
memiliki
keutamaan-keutamaan
dibandingkan bapak. Keutamaan-keutamaan tersebut adalah sebagai berikut:

Ibu lebih sabar dibandingkan bapak dalam hal mendiidk anak.

Ibu memiliki insting alami yang tidak dimiliki oleh bapak.

Ibu lebih tahu karakter dan moral anak dibandingkan bapak.

Ibu yang mengandung anak, sehingga lebih sayang pada anaknya.
Begitu besarnya peran ibu dalam mendidik anak sangat perlu diapresiasi.
Mengingat ibu mempunyai peran yang ganda, peran sebagai isteri dan peran
sebagai seorang ibu. Sebagai isteri ia harus senantiasa taat kepada suaminya selagi
suaminya tidak menyuruh ke arah kejahatan dan kemaksiatan dan sebagai ibu
ialah menyelamatkan generasi masa depan dengan mendidik anak-anak kearah
yang lebih baik.
10
Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002). H. 318
6
Pengadilan Agama Bekasi adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam memutuskan
perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan
hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai
kepentingan dari berbagai para pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Termasuk
perkara pelimpahan hak hadhanah. Terhadap anak yang belum mumayyiz hak
hadhanah semestinya ikut ibunya. Namun demikian, dalam perkara ini Pengadilan
Agama Bekasi telah melimpahkan hak asuh seorang anak yang belum mumayyiz
kepada ayahnya.
Penyusun memilih mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Bekasi
karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara bagi anak
yang belum mumayyiz dan melimpahkan hak asuhnya kepada bapak. Terlepas dari
beberapa kaidah normatif yang mengatakan bahwa anak yang belum mumayyiz
hak asuhnya jatuh pada ibunya.
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk
mengangkat sebuah judul Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat
Perceraian
(Studi
Putusan
Pengadilan
Agama
Bekasi
Nomor:
345/Pdt.G/2007/PA.Bks.)
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan spesifik, maka penulis
memberikan batasan sesuai dengan judul yang diangkat pada penelitian ini
sebagai berikut:
7
a. Anak dalam skripsi ini dibatasi pada anak kandung yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah kedua orang tuanya.
b. Bapak dalam skripsi ini dibatasi pada wali nasab dalam hal ini adalah
bapak kandung.
c. Putusan pengadilan dibatasi pada dasar pertimbangan yurisprudensi
yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara hak hadhanah
yang dilimpahkan kepada bapak dengan putusan perkara Nomor:
345/Pdt.G/2007/PA.Bks. di Pengadilan Agama Bekasi tentang gugatan
pemeliharaan anak.
2. Perumusan Masalah
Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan bahwa pemeliharaan anak yang di bawah umur ketika
terjadi perceraian maka hak asuhnya adalah jatuh pada ibu. Namun pada
kenyataanya putusan di Pengadilan Agama Bekasi hak asuh jatuh dan
dilimpahkan kepada bapak. Dari perumusan tersebut dapat dirinci dalam
pernyataan sebagai berikut:
a. Mengapa hak asuh anak dalam perkara Putusan Perkara Pengadilan
Agama Bekasi Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. dilimpahkan
kepada bapak?
b. Bagaimana kewajiban bapak setelah putusan hak asuh anak yang
dilimpahkan kepadanya?
c. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan
Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. sudah sesuai dengan
undang-undang yang berlaku?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui hak asuh anak dalam Putusan Pengadilan Agama Bekasi
pada putusan Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
b. Mengetahui kewajiban bapak setelah putusan hak asuh anak yang
dilimpahkan kepadanya.
c. Mengetagui dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan
Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
2. Manfaat Penelitian
a. Memberi masukan dalam bidang munakahat serta mampu menambah
wawasan bagi penulis khususnya dan masyarakat umumnya terutama terkait
penentuan hak hadhanah setelah terjadi perceraian antara suami istri.
b. Memberikan informasi tentang tinjauan Yurisprudensi hak asuh anak
yang dilimpahkan kepada bapak.
c. Memberikan informasi tentang pertimbangan hukum, hakim yang
memberikan pemeliharaan anak kepada bapak akibat terjadinya perceraian.
d. Sebagai dokumentasi ilmiah di dalam maupun di luar kampus.
D. Review Study Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya
dengan penelitian yang dilakukan penulis.
1. Penetapan hak asuh anak kepada ibu non muslim (Studi Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Oleh: fauzan Kuswara (1044101430).
Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah. Tahun: 2007.
a. Isi
9
Skripsi ini membahas tentang masalah penetapan hak asuh anak
oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang hak asuh
anak yang diberikan kepada ibu, meskipun si ibu diketahui beragama nonMuslm.
b. Perbedaan
Perkara
perceraian
antara
pasangan
beda
agama
dengan
menetapkan hak asuh anak yang jatuh kepada ibu non muslim. Dalam
putusan Perkara Nomor: 433/Pdt.G/2007/PAJP. Yang menetapkan hak
asuh anak kepada ibu non muslim dan hal apa yang menjadi dasar
pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak asuh anak dalam perkara
cerai gugat.
2. Pencabutan hak asuh anak dari ibu (Studi Analisisis Putusan Pengadilan
Agama Depok Nomor: 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk). oleh : Aditya Nur
Pratma (105044101395). Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah. Tahun: 2008.
a. Isi
Skripsi ini membahas tentang masalah mengenai pencabutan hak
asuh anak dengan membahas analisis putusan dari Majlis hakim pada
perkara Nomor:430/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
b. Perbedaan
Analisa
Putusan
Perkara
Nomor:
430/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
dilakukan di Pengadilan Agama Depok. Karena akibat kelalaian ibu
terhadap anak yang mengakibatkan pencabutan hak asuh anak. Gugatan
10
pencabutan hak asuh anak terjadi setelah adanya keputusan cerai dari
pengadilan.
3. Hak hadhanah terhadap ibu wanita karir (analisa putusan perkara nomor:
458/pdt.g./2006/PA.Dpk Pengadilan Agama Depok). Oleh Mohammad
Anshory (106046920698). Prodi Akhwal Al-Syakhsiyah. Tahun: 2010.
a. Isi
Skripsi ini menjelaskan tentang hak seorang ibu sebagai wanita
karir tetapi tidak mampu mengasuh anaknya sehingga diserahkan kepada
neneknya yang beragama Protestan.
b. Perbedaan
Yang menjadi perbedaan dalam skripsi ini seorang anak yang
masih di bawah umur yang seharusnya dilimpahkan kepada ibu, diasuh
dan didik dengan baik melainkan di Pengadilan Agama Depok
memutuskan untuk dilimpahkan kepada bapak.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di mana akan
dibahas lebih lanjut sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik
hukum terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu dipelajari untuk
11
memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum
dalam praktik hukum.11
Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatife yang
memiliki persamaan dengan penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 12
Kepustakaan dilakukan dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih,
perundang-undangan, dan yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.
Sedangkan jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data kualitatif.
Sedangkan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menekankan kualitas
sesuai dengan pemahaman deskriptif, penelitian ini berupa analisis terhadap kasus
yang berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak yang terjadi di
Pengadilan Agama Bekasi. Menurut Moleong penelitian kualitaif merupakan
penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas subyektif, mencakup
penelaahan dan mengungkap berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman
terhadap fenomena dan kemanusiaan.13
2. Kriteria dan Sumber Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis
menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.
11
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur:
Baymedia Publising, 2006), h. 321
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada 2004), hlm-13
13
Lexi j. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. III, (Bandung, Remaja Rosda
Karya, 2005), h. 6
12
a. Adapun data primer yang didapat untuk penulisan ini berasal dari studi
dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan, arsip,
dan lain-lain.14 Penulis menjadikan putusan Pengadilan Agama Bekasi
Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. sebagai data primer, untuk kemudian
penulis melakukan analisis hukum terhadap pertimbangan hakim
tentang putusan hak pemeliharaan anak kepada bapak.
b. Sedangkan data sekunder untuk melengkapi data primer diperoleh dari
studi kepustakaan dengan mengkaji dan menelusuri literatur yang
releven baik berasal dari buku-buku, kitab fiqh, majalah, jurnal-jurnal,
dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan yang dikaji.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Wawancara mendalam yaitu teknik pengumpulan data untuk mendapat
informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan
kepada hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara ini untuk
mendapatkan data tentang pelimpahan hak asuh anak kepada bapak.
b. Studi Kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang
berkenaan dengan metode keputusan hakim melalui berbagai buku dan
literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan obyek
penelitian.
14
50.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.
13
c. Studi dokumentar yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari
dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan
hadhanah serta putusan hakim yang menyangkut hadhanah.
4. Teknik Analisis Data
Bahan yang diperoleh, lalu dianalisis secara kualitatif yang dilakukan
terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk memberi
gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga dapat membantu sebagai dasar
aturan dan pertimbangan hukum
yang berguna dalam pengambilan putusan
pelimpahan hak asuh anak kepada bapak.
F. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi pembahasan tentang latar belakang masalah, batasan
masalah, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, berisi tentang hadhanah dalam Islam, yang meliputi tentang
pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhinah dan hadhin,
pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah, masa hadhanah.
Bab Ketiga, berisi mengenai hadhanah dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Bab Keempat, berisi dalam bab ini yaitu menganalisi Putusan Pengadilan
Agama Bekasi tentang perkara pelimpahan hak asuh anak kepada bapak yang
14
berisi tentang duduk perkara, pertimbangan hukum hakim, dan analisis penulis
terhadap Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
Bab Kelima, berisi dalam bab ini membahas tentang kesimpulan dan
saran-saran dari penelitian ini agar permasalahan hadhanah dapat dijelaskan
dengan baik.
15
BAB II
HADHANAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau
merengkuh ke samping. Adapun secara syara‟ hadhanah artinya pemeliharaan
anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan
memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhanya sendiri
karena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila. Pemeliharaan
di sini mencakup urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan,
memandikan, mencuci pakaian, dan sejenisnya. 15
Hadhanah adalah salah satu bentuk dari kekuasaan dan kepemimpinan.
Namun demikian, dalam hal ini perempuan lebih layak untuk menempatinya
karena kaum hawa bisa lebih lembut, penuh kasih sayang, dan sabar dalam
mendidik. Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah adalah suatu sikap pemeliharaan
terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal,
belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas
mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakan, mendidik serta
mengasuhnya baik fisik, mental maupun akal, agar mampu menegakkan
kehidupan yang sempurna dan tanggung jawab.16
15
Al-badaa‟i, Vol.4, hlm. 40: asy-syarhush Shagir, Vol.2, hlm. 756: Mughni Muhtaaj,
Vol.3, hlm. 456: Kasysyaaful Qina‟, Vol.5, hlm. 576.
16
SayyidSabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil.8, h. 228.
16
Menurut Al-Hamdani, hadhanah artinya pemeliharaan anak baik laki-laki
maupun perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat
membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak,
melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan
rohani serta akalnya, supaya anak dapat berkembang dan dapat mengatasi
persoalan hidup yang akan dihadapinya.17
Dalam buku hukum Perdata Islam di Indonesia, dikatakan bahwa
hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri
yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukanya baik dalam
bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat
merusaknya.18
Sedangkan menurut KHI yang terdapat dalam Pasal 1 huruf G dikatakan
bahwa: hadhanah atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara,
dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri. Para ulama Fikih
mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum
mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya,
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi
keluarga berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup
17
Said bin Abdullah bin Thalib Al-hamdani, diterjemahkan oleh Agus Salim, Risalan
Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Ed.2, h. 318.
18
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta Sinar Grafindo, 2006), h. 67.
17
kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada isteri untuk membantu suaminya
bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibanya. Oleh karena itu, amat
penting mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami isteri dalam
memelihara anak sampai ia dewasa. Hal ini yang dimaksud pada prinsipnya
adalah tanggung jawab suami isteri kepada anak-anaknya.19
Pemeliharaan anak itu juga adalah tugas dan tanggung jawab untuk
memelihara, mengasuh, dan mendidik anak suami isteri atau ayah dan ibu
mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam melaksanakan
pemeliharaan anak yang dilahirkan. Pemeliharaan anak tersebut meliputi
pemberian makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan juga perlindungan diri
berbagai segala macam bahaya dan hal-hal yang lain yang diperlukan.
B. Dasar Hukum Hadhanah
Hukum hadhanah adalah hukumnya wajib karena anak yang tidak
dipelihara akan terancam keselamatanya. Karena itu, hadhanah hukumnya wajib
sebagaimana juga wajibnya memberi nafkah kepadanya. Adapun dasar hukumnya
tentang kewajiban orang tua dalam memelihara seorang anak dalam firman Allah
pada surat Al-Baqarah ayat 233:
               
                
                 
19
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta Sinar Grafindo, 2006), h. 64.
18
                 
      
“Para Ibu hendaklah menyusuhkan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang anak karena ayahnya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dari permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain , maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut, bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat
apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hadhanah adalah salah satu
kewajiban bagi kedua orang tua atau yang mendapatkan hal tersebut, pengabaian
terhadap anak adalah suatu penganiayaan terhadap anak tersebut. Pendidikan anak
juga merupakan salah satu faktor yang amat penting dalam kehidupan keluarga.
Orang tua berkewajiban untuk mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi
orang-orang yang beriman dan berakhlak mulia, serta patuh dalam melaksanakan
ajaran agama dengan baik agar terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat.20
Allah berfirman dalam surat at-tahrim ayat 6:
        
     
         
“Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
20
Tihami, dan Sohari sahroni, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009). Hlm. 217.
19
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah swt untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya
itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah,
termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.21 Mengasuh anak-anak
yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan berarti menghadapkan
anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan
hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan,
penjagaan, pelaksanaan urusanya, dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang
lebih penting adalah pendidikan anak dalam pengakuan ibu bapaknya, karena
dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan
akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam
menghadapi kehidupanya di masa yang akan datang.22
Suatu ketika datang sepasang suami isteri kepada Rasullah Saw. untuk
meminta penetapan siapa yang lebih berhak untuk mengasuh anak, sedangkan
mereka sudah bercerai. Dalam hadits nabi Muhammad munyatakan:
“ Dari Abdullah bin Amr R.a. sesungguhnya seorang perempuan datang dan
mengadu kepada rasullah, ya Rasul sesungguhnya anak ini perut saya yang
mengandungnya dan dari susu saya ia mendapat minuman, dan pengakuan
sayalah ia yang menjadi penjaganya sedangkan ayahnya menceraikan saya, dan
ia bermaksud memisahkan diri dari saya, maka Rasul bersabda kepadanya:
21
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta Kencana, 2006), hlm. 177.
22
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia,1999), hlm. 172.
20
engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin dengan orang
lain. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).23
Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk
memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain, dengan kata
lain jika ibunya menikah maka praktis hak hadhanahnya itu gugur lalu berpindah
kepada ayahnya karena jika ibunya menikah dengan orang lain, besar
kemungkinan perhatianya akan beralih kepada suaminya yang baru, dan
mengalahkan bahkan bukan tidak mungkin ia akan mengorbankan anaknya
sendiri.
C. Syarat-Syarat Hadhanah dan Hadhin
Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat
orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh
kuat terhadap anak yang menjadi asuhanya, seorang hadhinah (ibu asuh) yang
menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu
adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan
syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka
gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.24
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa syarat
bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:25
23
Tihami dan Sohari Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta Raja
Grafindo Persada, 2009), hlm. 218.
24
Satria Effendi M. Zein, Problrmatika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, (Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 172.
25
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, Prenada Media,
Jakarta, September 2004, h. 172-173.
21
1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh, berakal, tidak terganggu
ingatanya, sebab hadhanah ini merupakan pekerjaan yang penuh tanggung
jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan ingatan tidak
layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin Hanbal menambahkan agar
yang melakukan hadhanah tidak menghidap penyakit menular.
2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik
mahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang
bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
3. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang
amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang
yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak
yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.
4. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan
diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya adalah
penjelasan Rasullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi
anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud).
Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak
merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh
karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanahnya tidak menjadi
gugur jika ia menikah dengan kerabat dekat sianak, yang memperlihatkan
kasih sayang dan tanggung jawabnya.
Demikian pula hak hadhanah, hak hadhanah tidak gugur jika ia menikah
dengan lelaki lain yang rela menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada diri
22
Ummu Salamah, ketika ia menikah dengan Rasullah, anaknya dengan suami
pertama selanjutnya tetap dalam asuhanya (HR. Ahmad). Berdasarkan
kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak hadhanah seorang
ibu dengan menikahnya dia dengan lelaki lain, kecuali jika suami kedua itu
jelas menolaknya.
5. Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Orang kafir tidak
boleh menjadi pengasuh anak yang beragama Islam. Sebab pemeliharaan
anak merupakan perwalian, sedangkan Allah tidak membolehkan orang
mu‟min berada dalam penguasaan orang kafir. Firman Allah dalam surat AnNisa ayat 144, menyatakan:
              
   
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).
Golongan Hanafiah, Ibnu Qasim, Maliki serta Abi Saur berpendapat
bahwa hadhanah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si
anak kecil.26 Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika
dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab, hal yang
paling penting dalam hadhanah ialah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih
sayang kepada anak serta bersedia memlihara anak dengan sebaik-baiknya.27
26
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia, 1999), hal. 177-179.
27
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 222.
23
Para ahli Fikih berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh
oleh non muslim, Ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hambali mensyaratkan
bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim, karena orang non-Islam tidak
punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disampingkan
itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk kedalam agamanya.
Jika orang Islam tidak ada maka (menurut Hambali) diperbolehkan kepada kafir
zimmi karena kafir zimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Namun,
ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh seorang
muslimah, jika anak tersebut juga wanita.28
Kriteria Islam di sini juga termasuk sifat adil yang harus terdapat pada
seorang pengasuh. Adil dalam arti mampu menjalankan agama secara benar,
dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil
dalam hal ini adalah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama.29
Maka dari itu dari kesamaan agama antara si anak dengan pengasuhnya
menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena tugas dari hadhin
adalah tidak hanya memberikan pelayanan lahiriyah kepada si anak, tetapi juga
bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan akidah dan akhlaknya.
6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan
dengan tuanya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
28
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikr), Jilid
IV, hal. 596-598.
29
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat
dan UU Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 329.
24
Ibnu Qayyim berkata: tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya
yang menyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhablah yang
menetapkanya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka
yang punya anak dari budak perempuanya: sesungguhnya ibunya lebih berhak
selama ibunya tidak dijual, maka hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang
lebih berhak atas anaknya.30
Imam mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan syaratsyarat yang menjadi pengasuh, perbedaan tersebut adalah:31
Imam Hanafi berpendapat bahwa, syarat-syarat pengasuh adalah:
1. Tidak murtad, sedang Islam tidak menjadikan syarat-syarat bagi seorang
pengasuh.
2. Tidak fasik, seperti pencuri atau pemabuk, orang seperti ini tidak layak diberi
tugas mengasuh anak kecil.
3. Tidak kawin selain kepada bapaknya, kecuali kawin kepada orang yang
sayang kepada anak.
4. Senantiasa memperhatikan anak asuhnya, (orang yang tidak suka
meninggalkan anak).
5. Bapaknya tidak dalam keadaan susah yang akan memperlambat biaya
pemeliharaan anak.
6. Merdeka.
Menurut pendapat Imam Syafi‟i syarat-syarat seorang pengasuh adalah:
hal. 596.
30
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Darul Fattah: Kairo, tth), hal. 355.
31
Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikr), Jilid IV,
25
1. Berakal, tidak gila kecuali gilanya itu kadang-kadang, seperti satu hari dalam
satu tahun.
2. Merdeka, tidak ada hak memelihara bagi hamba sahaya.
3. Islam, tidak ada hak memelihara bagi orang kafir.
4. „Iffah (dapat menjaga kesucian diri), tidak ada hak pemeliharaan bagi orang
yang fasik, walaupun hanya meninggalkan shalat.
5. Amanah dan dapat dipercaya dalam segala urusan.
6. Ibunya tidak kawin kepada selain mahram anak yang menjadi asuhanya itu.
Sedangkan pendapat Imam Hanbali adalah sebagai berikut:
1. Berakal, tidak ada hak hadhanah bagi orang gila.
2. Merdeka, bukan hamba sahaya.
3. Tidak lemah, seperti buta yang dapat menghalangi maksud hadhanah.
4. Tidak mempunyai penyakit menular, seperti lepra.
5. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan kerabat mahram, seperti
paman.
Adapun Imam Malik syarat-syarat pengasuh itu meliputi:
1. Berakal.
2. Mampu menjaga anak yang menjadi asuhanya, sampai anak asuhanya
dewasa.
3. Dapat dipercaya, tidak ada hadhanah bagi orang fasik, seperti pemabuk
pencuri dan pezina.
4. Tidak terkena penyakit menular, yang dapat menular kepada anak asuhanya
seperti kusta.
26
5. Hemat, tidak ada hak hadhanah bagi orang boros.
6. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan mahramnya, seperti paman.
Selain syarat-syarat di atas, untuk perempuan masih ada syarat khusus
sebagai berikut:
1. Perempuan yang sudah cerai, namun masih punya anak kecil boleh
memelihara anaknya dengan syarat ia belum menikah lagi dengan leleaki lain,
atau lelaki yang terhitung kerabat, namun bukan mahram. Pendapat ini telah
disepakati para ulama karena ada hadits yang berbunyi, “Engkau lebih berhak
atas hadhanah anak itu selama engkau belum menikah lagi”. Syarat ini
ditetapkan karena terkadang seorang ayah memperlakukan anak tirinya
dengan kasar, sedangkan ibu kandung anak tersebut sibuk dengan tugasnya
sebagai isteri. Jika perempuan tadi menikah lagi dengan kerabat dekat yang
terhitung mahramnya si anak, seperti pamanya si anak, anak pamanya, dan
anak saudaranya maka hak hadhanah perempuan tadi tidak gugur karena
orang yang menikahinya masih tergolong keluarga yang berhak mengurus
hadhanah anak tersebut sehingga keduanya bisa saling bantu untuk
menanggung hidup anak itu.
2. Perempuan yang jadi hadhinah itu syaratnya harus memiliki hubungan
mahram dengan anak yang dipeliharanya, seperti ibu si anak, saudara
perempuan si anak, dan nenek si anak. Hak hadhanah tidak diberikan kepada
anak perempuanya paman atau bibi. Tidak juga pada anak perempuanya
paman dari jalur ibu, atau anak perempuanya bibi dari jalur ibu. Alasanya
27
karena tidak ada hubungan mahram kepada si anak, namun mereka menurut
Hanafiyah tetap berhak mengurus hadhanah anak perempuan.
3. Perempuan yang jadi hadhinah tidak pernah berhenti meskipun tidak diberi
upah hadhanah karena memang ekonomi ayah si anak sedang kesulitan
sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Jika ekonomi ayah si anak
sedang sulit sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah anaknya, lantas
perempuan yang jadi hadhinah itu berhenti dari tugasnya dan digantikan
kerabat dekat lainya maka haknya sebagai hadhinah gugur. Syarat ini
ditetapkan oleh Ulama Hanafiyah.
4. Hadhinah tidak tinggal bersama orang yang dibenci oleh anak asuhnya,
meskipun orang itu kerabat dekat si anak sendiri karena hal ini akan
menimbulkan dampak negatif pada diri anak asuh. Jadi, seorang nenek tidak
berhak mengasuh hadhanah anak jika ia tinggal bersama puterinya jika ia
sudah menikah, kecuali jika sudah ia pisah rumah. Syarat ini di tetapkan oleh
Ulama Malikiyyah. Mereka juga menysyaratkan agar wali si anak atau
hadhinah tidak pergi meninggalkan si anak sejauh lebih dari enam pos32. Jika
salah seorang dari keduanya hendak pergi jauh maka anak asihnya harus
diambil darinya, kecuali ia membawa si anak itu. Ulama Syafiiyah dan
Hanabillah mensyaratkan, jika anak yang dipelihara itu sedang dalam masa
menyusui maka hadhinah harus menyusuinya, dan jika ASI-nya tidak keluar,
atau ia menolak untuk menyusui maka haknya mengasuh gugur.
32
1 Pos = 12 Mil, Atau dalam hitungan kilometer, 6 Pos = 133 km.
28
Kemudian syarat-syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdun) adalah
sebagai berikut:33
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang
telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah
pengasuhan siapapun.
Tetapi di dalam Peraturan Perundang-Undang Perkawinan di Indonesia
baik itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
ataupun Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada
satupun pasal yang membehas masalah mengenai syarat-syarat atau persyaratan
bagi seseorang yang berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi
Hukum Islam hanya mengatur bahwa apabila si pemegang hak asuh anak tidak
mampu menjaga keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanahnya kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanahnya pula.
D. Pihak-Pihak yang Berhak dalam Hadhanah
Seseorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu,
memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, seperti makan,
pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur.
Oleh karena itu, orang yang menanganinya perlu mempunyai rasa kasih sayang,
33
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat
dan UU Perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2006), hal. 329
29
kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari.
Di samping itu juga, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk
melakukan tugas itu.34
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memeiliki
hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik wanita (ibu atau yang
mewakilinya) atau hak anak yang diasuh. 35 Jika wanita lebih berhak mendidik dan
mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ibu kandung si anak tentu
lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan
isterinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan
wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika
ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah
ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang
menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat
ini disebabkan adanya dalil qath‟i yang secara tegas membahas masalah ini.
Hanya saja keempat imam madhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari
pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek
dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak
mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut.
34
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Hal. 217-
35
Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam, (Jakarta:
218.
Kencana, 2008), hal. 116.
30
Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan
mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan
kehidupan anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki.
Urut-urutan prioritas orang yang berhak mengasuh anak, menurut ulama
fikih adalah sebagai berikut:
a. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak
mengasuh anak adalah:
1. Ibu kandungnya sendiri
2. Nenek dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara perempuan (kakak perempuan)
5. Bibi dari pihak ibu
6. Anak perempuan saudara perempuan
7. Anak perempuan saudara laki-laki
8. Bibi dari pihak ayah.
b. Kalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai
dari yaitu:
1. Ibu kandung
2. Nenek dari pihak ibu
3. Bibi dari pihak ibu
4. Nenek dari pihak ayah
5. Saudara perempuan
6. Bibi dari pihak ayah
31
7. Anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Penerima wasiat
9. Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.
c. Kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa urutan hak asuh anak dimulai
pada:36
1. Ibu kandung
2. Nenek dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara perempuan
5. Bibi dari pihak ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki
7. Anak perempuan dari saudara perempuan
8. Bibi dari pihak ayah
9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat
bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan.
Pendapat Mazhab Syafi‟i sama dengan pendapat mazhab Hanafi.
d. Kalangan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1. Ibu kandung
2. Nenek dari pihak ibu
3. Kakek dan ibu kakek
4. Bibi dari kedua orang tua
5. Saudara perempuan seibu
36
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk.
Al-Fiqh Ala Al-Madhahib Al-Khamsah, (Jakarta: Lentra, 2006), hal. 415-416.
32
6. Saudara perempuan seayah
7. Bibi dari ibu kedua orangtua
8. Bibinya ibu
9. Bibinya ayah
10. Bibinya ibu dari jalur ibu
11. Bibinya ayah dari jalur ibu
12. Bibinya ayah dari pihak ayah
13. Anak perempuan dari saudara laki-laki
14. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Apabila saudara perempuanya pun dianggap tidak layak maka hak
hadhanahnya pindah ke pihak laki-laki dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a. Ayah
b. Kakek yang terdekat
c. Saudara seayah dan seibu
d. Saudara lelaki ataupun kerabat lainya dari pihak ayah dimulai dari jarak
yang paling dekat.
Jika para wali berdasarkan hukum ini tidak ada juga, maka hakim atau
pengadilan menunjuk orang yang akan melakukan hadhanah sekaligus menjadi
walinya.
Dengan demikian jelas bahwa anak yang belum dewasa tidak dapat
mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum karena itu segala
33
perbuatan yang menyangkut kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab
orang tua.
E. Masa Hadhanah
Dalam literatur Fikih dua periode bagi anak dalam kaitanya dengan
hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz. Periode
sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun
atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi
mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang
berbahaya bagi dirinya.
Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak
tujuh tahun sampai menjelang balik berakal. Pada masa ini seorang anak secara
sederhana telah mampu membedakan masa yang berbahaya dan mana yang
bermanfaat bagi dirinya.
Beberapa ulama mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak,
karena didalam alquran tidak terdapat ayat-ayat dan hadis yang menerangkan
tentang masa hadhanah dan juga kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak
akibat perceraian, perbedaan tersebut diantara seperti:37
Imam Syafi‟i berpendapat, tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak
tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal
bersama ibunya atau ayahnya. Jika si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia
disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.
37
Muhammad jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, hal. 417-418.
34
Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun untuk laki-laki,
dan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih
lama, sebab agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari
perempuan (ibu) yang mengasuhnya. 38
Imam Maliki berpendapat, bahwa masa asuhan, anak laki-laki adalah sejak
dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga ia menikah.
Imam Hambali berpendapat, bahwa masa asuhan anak laki-laki dua tahun,
sedang anak perempuan tujuh tahun, sesudah itu si anak disuruh memilih apakah
tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang
dipilihnya itu.39
Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama di atas, tampak bahwa tidak
ada ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan anak (hadhanah).
Pada umumnya para fukaha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak
tersebut sudah mencapai usia mumayyiz.
38
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia, 1999), hal. 185.
39
Muhammad Jawad mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, Hal. 418.
35
BAB III
HADHANAH DALAM PERSPEKTIF PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA
A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas merupakan rangkaian
dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu
belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan
rinci. Oleh karena itu, masalah hadhanah ini belum dapat diberlakukan secara
efektif sehingga pada kehakiman di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu
masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fikih.
Baru setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1980 tentang
Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebar Luasan
Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia
dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikanya.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal
yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada Pasal
45 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa:
1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anakanak mereka sebaik-baiknya.
36
2) Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri
sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan
antara kedua orang tua putus.40
Mengenai batas kewajiban pemeliharaan dan pendidikan ini berlaku
sampai anak tersebut berumah tangga atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban
tersebut berlangsung terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai.
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
mengatur mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekuasaan anak di bawah umur,
di mana disebutkan bahwa:
Pasal 46:
2) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang
baik.
3) Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuanya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila
mereka itu memerlukan bantuanya.
Pasal 47:
1) Anak yang belum mencapai umur 18 (depan belas) tahun atau yang
belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.41
40
41
Lihat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45.
Lihat Pasal 47, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawainan
37
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
kecali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
c. Meskipun
orang tua
dicabut
kekuasaannya,
mereka
masih
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.
Ketentuan tersebut pun tetap berlaku meskipun pernikahan orang tuanya
putus. Jadi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan,
kekuasan orang tua itu dapat dicabut jika orang tuanya sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya dan salah satu orang tuanya berkelakuan buruk
sekali. Tetapi meskipun kekuasaannya dicabut mereka masih berkewajiban
memberi pemeliharaan dan mengasuh anaknya tersebut
.
38
B. Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) masalah pemeliharaan anak atau
yang dalam Islam disebut Hadhanah diatur dalam beberapa pasal di dalamnya,
seperti yang terdapat dalam pasal:
Pasal 105:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan
Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikanya. Hadhanah sebagai
salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan
materinya hampir keseluruhan mengambil dari Fikih menurut jumhur Ulama,
khususnya Syafi‟iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini
dibagi menjadi dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:
Periode Sebelum Mumayyiz
Apabila terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam
perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau
belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi
dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mumayyiz. KHI menyebutkan pada
bab 14 masalah pemeliharaan anak Pasal 98 menjelaskan bahwa “Batas usia anak
39
dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum
melakukan pernikahan”. Pada Pasal 105 huruf (a) bahwa pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian
KHI lebih memperjelas lagi dalam Pasal 156, dirumuskan sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan
oleh:
1. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah
7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau dari ibunya
8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah juga;
40
9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurusi diri sendiri sampai 21 tahun;
10. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a),
(b), (c), dan (d);
11. Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang turut padanya.42
Periode Mumayyiz
Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan
mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia
sudah dianggap dapat menjatuhkan pihaknya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut
ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah
diatur dalam KHI Pasal 105 ayat (b) bahwa: “Pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaanya”, dan juga terdapat dalam Pasal 156 ayat
(b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu
atau ayahnya.
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya
kepada siapa dia akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya
adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (Pasal 98
42
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademika Pressindo, 2007), h. 151.
41
KHI). Jika anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak
itu. Jika anak itu memilih ikut ayahnya maka hak pengasuh pindah pada ayah.
Sebagaimana Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah:
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan pernikahan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.
3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.43
C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua diatur dalam Pasal 26 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal
26 yang berbunyi:
Pasal 26:
1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya
c. Dan mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak.
2) Dalam hal orang tua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung
jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
43
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademika Pressindo, 2007), h. 137.
42
ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.44
Di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak ditegaskan: “Bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindungnya dan terarah guna
menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik mental, spiritual,
maupun sosial”.45
Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi
anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memeiliki
nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta
berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Dalam melakukan pembinaan pengembangan dan perlindungan anak perlu
peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
Setiap anak berhak untuk berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya dalam bimbingan orang tuanya. Karena anak memerlukan kebebasan
dalam rangka mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya)
sesuai dengan tingkat usia anak. Dan pengembangan anak yang belum cukup
umur masih harus dalam bimbingan orang tuanya.
44
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
45
Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
43
Melihat peranan hukum Islam dan pembangunan hukum nasional, ada
beberpa fenomena yang bisa dijumpai dalam praktik. Pertama, hukum Islam
berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini
hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum positif bagi umat Islam.
Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi
terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena itu, aturan hukum tersebut
bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam
dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara dan wajib ditaati oleh masyarakat.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dapat dikatakan pengejewantahan dan Fikih Hadhanah yang
memililiki cakupan yang lebih luas bukan dalam keluarga saja, tetapi masyarakat
dan pemerintah mempunyai peran yang besar dalam memberikan perlindungan
terhadap anak. Materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan implementasi dari pengembangan
Fikih Hadhanah. Dalam hal ini dapat diketahui juga transformasi Fikih Hadhanah
dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Maka selayaknya sebagai
masyarakat wajib menaatinya karena tujuanya tidak lain untuk mencapai
kemaslahatan bersama.
44
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA
BAPAK
A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan Agama
Duduk perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan yang tertera
pada Nomor 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. adalah pada saat Teuku Elwin Hamzah bin
H. Teuku Allie sebagai penggugat mengajukan gugatan di Pengadilan Agama
Bekasi dengan Imas Hilatunnisyah binti H. Hasanudin Sidi sebagai tergugat.
Menikah pada tanggal 05 Februari 1993 di hadapan Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tangerang Nomor 961/12/11/1993, tertanggal 05 Februari 1993.
Pada awalnya perkawinan antara penggugat dan tergugat berjalan dengan
baik, hidup rukun dan bahagia akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu terjadi
percekcokan dan perbedaan prinsip yang mendalam sehingga sering terjadi
pertengkaran, perselisihan mana semakin hari semakin besar dan sudah tidak
dapat didamaikan lagi yang akhirnya penggugat mengajukan permohonan cerai
talak di Pengadilan Agama Bekasi.
Dari perkawinan antara penggugat dengan tergugat telah dikaruniai tiga
orang anak; Cut Shahnaz Jihan yang lahir pada tanggal 04 Nopember 1993, Teuku
Zulfikar Ali Fahrezi yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1998, dan Cut Adila
Hana Faiza yang lahir pada tanggal 17 Mei 2003.
B. Pertimbangan Hukum Hakim
Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang
terjadi dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di
45
lingkungan peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati
apa yang dimohon atau digugat.
Salah
satu celah yang dapat memanfaatkan untuk memaksimalkan
tuntutan, misalnya melalui permintaan menetapkan putusan berdasarkan pada
prinsip ex aequo et bono, yang memberikan kelonggaran bagi hakim untuk
menggali hukum seluas-luasnya demi menegakkan keadilan.
Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilan
dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta yang
ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari pembuktian,
mengklasifikasikan antara yang penting dan tidak penting (mengkualifikasi), dan
menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi dan
fakta-fakta yang ada.
Adapun pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara Nomor:
345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
adalah
bahwa:
Majelis
Hakim
telah
berupaya
mendamaikan pemohon agar bersabar dahulu akan tetapi tidak berhasil.
Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal lainya yaitu, bahwa gugatan
penggugat dapat dibuktikan dengan mengajukan alat bukti berupa fotocopy
salinan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama dengan Nomor: 961/12/11/1993.
Dan fotocopy akta kelahiran ketiga anaknya. Selain bukti surat, penggugat juga
menghadirkan dua orang saksi yang menerangkan mengenai dalil gugatan
pemohon yang pada intinya menguatkan dalil-dalil permohonan Pemohon dan
telah berusaha merukunkan akan tetapi tidak berhasil kini rumah tangga Pemohon
pisah tempat tinggal sejak bulan agustus 2006.
46
Berdasarkan
hasil
penelitian
dai
gugatan
penggugat,
Putusan
Nomor:345/Pdt.G/2007/PA.Bks. maka pertimbangan hukum majelis hakim yang
mencakup hal-hal pokok tersebut, yang salah satunya:
1. Menimbang, bahwa berdasarkan pernyataan pemohon yang dikuatkan
dengan adanya bukti P.1 kepada Pengadilan Agama Bekasi yaitu
bahwa pemohon dan termohon terikat dalam perkawinan yang sah.
2. Menimbang,
bahwa
yang
menjadi
permasalahan
pemohon
mengajukan permohonanya adalah karena rumah tangga pemohon dan
termohon tidak harmonis, sering berselisih dan tidak menghargai satu
sama lain. Antara pemohon dan termohon sudah bermusyawarah akan
tetapi tidak berhasil untuk itu pemohon mengajukan dan mengikrarkan
talak terhadap pemohon.
3. Menimbang, bahwa saksi-saksi keluarga dari pemohon di dalam
persidangan telah menerangkan yang pada intinya menguatkan dalildalil permohonan pemohon. Hal ini diperkuat oleh saksi dari pihak
pemohon bahwa rumah tangga pemohon telah pisah tempat tinggal
sejak bulan agustus 2006.
4. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal namun yang terjadi dalam rumah tangga pemohon
adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga yang dibarengi dengan
perselisihan dan pertengkaran dan pihak pemohon telah menghadirkan
47
saksi keluarga yang keterangannya menguatkan dalil-dalil pemohon
sementara termohon meskipun telah dikaruniai tiga orang anak,
dipanggil dengan patut tidak hadir dipersidangan, untuk itu Majelis
Hakim
berkesimpulan
bahwa
termohon
mengetahui
adanya
persidangan dan demikian alasan pemohon patut untuk dinyatakan
terbukti.
5. Menimbang, bahwa selama perkawinan antara pemohon dan termohon
telah dikaruniai tiga orang anak yaitu: Cut Shahnaz Jihan, Zulfikar Ali
Fahrezi, dan Cut Adila Hana Faiza. Berdasarkan ketentuan Pasal 41
huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa akibat
putusnya perkawinan baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban
dalam
memelihara
dan
mendidik
anak-anaknya
berdasarkan
kepentingan anak maka berdasarkan tuntutan pemohon tersebut.
Majelis Hakim mengabulkan permohonan dengan menetapkan bahwa
anak
pemohon
dan
termohon
ditetapkan
pengasuhan
dan
pemeliharaanya kepada pemohon yaitu bapaknya.
C. Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Bekasi
Dalam hal ini penulis melihat pertimbangan hukum yang diberikan Majlis
Hakim dapat dilihat untuk kepentingan anak atau kemaslahatan anak, dalam
perkara tersebut yang telah diputuskan hak pemeliharaan dan pengasuhan anak
(hadhanah) diserahkan kepada penggugat yaitu bapak kandung sendiri.
48
Dalam kasus ini Majlis Hakim memberikan keputusan mengenai hak
pemeliharaan dan pengasuhan anak yang dilimpahkan kepada penggugat dengan
berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:46
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada
perselisihan
mengenai
penguasaan
anak-anak,
Pengadilan
memberi keputusanya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Dari Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 anak berhak diasuh
oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada hal yang menentukan yang lain. Kemudian
berdasarkan Pasal 105 huruf (a) KHI Impres No. 1 tahun 1991 yang berbunyi
apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
Pemeliharaan anak pasca cerai atau hadhanah, pelaksanaanya tidak
sebatas pada kegiataan formalitas yang begitu saja tanpa dibarengi dengan
46
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal. 549-550.
49
mendidik yang bertujuan untuk menjadikan anak sehat baik fisik maupun
psikisnya.
Salah satu hal penting yang mungkin kurang dipertimbangkan oleh kedua
orang tua ketika terjadi perceraian adalah tanggungjawab kedua orang tua, baik
ketika orang tuanya masih hidup atau hilang tidak diketahui keberadaanya atau
juga karena terjadi perceraian. Pemeliharaan ini meliputi berbagai hal, di
antaranya masalah ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah lain yang menjadi
kebutuhan pokok anak.
Menurut Syaikh Hasan Ayyub bahwa pemeliharaan dan pendidikan yang
baik adalah menjaga memimpin dan mengatur segala hal yang anak-anak itu
belum mampu dan sanggup mengaturnya sendiri, maka dalam pemeliharaan dan
pengasuhan oleh kedua orang tuanya yakni bapak dan ibunya, sehingga anak akan
dapat tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Akan tetapi seandainya kedua orang
tua terpaksa bercerai, sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum
mumayyiz, maka ibulah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu
hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.
Hak pemeliharaan di dalam Pasal 41 undang-undang Nomor 41 Undangundang No.1 Tahun 1974, sekalipun kedua orang tua anak tersebut sudah tidak
bersama lagi dalam hal ini adalah bercerai, baik ibu ataupun ayah dari anak
tersebut tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut, semata-mata
demi kepentingan sianak. Jika terjadi sengketa mengenai hak pemeliharaan anak
sudah jelas hakim Pengadilan Agama yang akan memberi putusannya, sesuai
dengan bukti-bukti dan keterangan dari saksi-saksi yang diajukan ke Pengadilan
50
Agama dalam persidangan. Karena dalam masalah hak asuh anak adalah
persoalan yang menyangkut masa depan lahir dan batin, perkembangan moral dan
akhlak, pendidikan agama seorang anak.
Dengan demikian penamaan aqidah, budi pekerti dan akhlak sejak dini
menjadi penting untuk perkembangan jiwa si anak. Karena tentunya sebagai orang
tua menginginkan anak hasil perkawinan mereka dapat terpelihara agama, jiwa,
harta, serta keturunan, dan kehormatanya. Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan
dari hukum Islam. Karena pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak
dalam pengakuan ibu dan bapaknya, dengan adanya pengawasan dan perlakuan
akan dapat menumbuhkan jasmani dan akhlaknya, membersihkan jiwanya, serta
mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupanya di masa yang akan datang.
Pertimbangan lain diberikanya hak asuh anak yang belum mumayyiz
kepada bapaknya dikarenakan bahwa tergugat 1 (satu) karena ketidak jelas tempat
tinggalnya dan tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk memperhatikan
dan mendidik anak.
Bahwa dengan fakta menunjukkan tergugat I tidak banyak waktu dan
perhatian, bahkan tergugat I sampai sekarang belum tahu keberadaanya. Sehingga
penggugat selaku bapak kandung sangat mengharapkan anak tersebut diasuh
kepada ayah kandungnya sendiri. Padahal di dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan dalam Pasal 105 yang berbunyi:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
51
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih
di
antara
ayah
atau
ibunya
sebagai
pemegang
hak
pemeliharaanya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Kemudian KHI memperjelas lagi dalam Pasal 156 yang berbunyi: Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan
oleh:
b. Wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu
c. Ayah
d. Wanita-wanita garis lurus ke atas dari ayah
e. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
f. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu
g. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah
h. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau dari ibunya
i. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah juga;
52
j. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurusi diri sendiri sampai 21 tahun;
k. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a),
(b), (c), dan (d);
l. Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang turut padanya.
Dalam melaksanakan hadhanah bagi suami isteri yang bercerai jika anak
tersebut belum mumayyiz maka ibulah yang lebih berhak dari pada ayah, namun,
dalam hal ini untuk mendapatkan atau melaksanakan hadhanah bukanlah suatu hal
yang mudah, karena walaupun hadhin adalah orangtua kandung si anak atau dari
kalangan ibu secara berurutan bukan berarti ia begitu saja menguasai atau dapat
melaksanakan hadhanah tetapi ia juga harus amanah, dan mampu mendidik. Tidak
hanya seorang hadhin harus mempunyai kemampuan secara materi saja.
Dalam kasus ini penulis telah melihat pertimbangan-pertimbangan Majlis
Hakim yang sangat releven tidak ada terjadinya Pluralisme dalam pengasuhan
anak. Agar tidak terjadinya kekhawatiran tersebut hak pemeliharaan dan
pengasuhan anak sebaiknya ditetapkan dan diserahkan kepada orang yang
memenuhi syarat-syarat pengasuhan anak yang sesuai dengan kemampuanya.
Dan tidak selamanya hadhanah itu jatuh kepada ibu, bahkan juga jatuh
kepada garis keturunan ibu ke atas, Sang bapak pun mempunyai hak yang sama
53
dengan ibu, akan tetapi di dalam Islam ibu dan garis keturunan ibu yang menjadi
prioritas pertama dalam pengasuh anak dengan catatan ibu harus memenuhi
persyaratan yang ada.
Karena dalam hal pengasuhan anak ini yang pertama harus diperhatikan
adalah kepentingan anak tersebut dan memiliki kemampuan dan kesanggupan
untuk memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban perceraian, dalam
hal ini Majlis Hakim mengutamakan bagaimana memberi perlindungan dan
kebaikan bagi anak demi kemaslahatan dan terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan oleh orang tuanya.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam perkara putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara Nomor:
345/Pdt.G/2007/PA.Bks.
Majelis
Hakim
Pengadilan
Agama
Bekasi
melimpahkan Hak Asuh Anak yang bernama Cut Shahnaz Jihan, Teuku
Zulfikar Ali Fahrezi, dan Cut Adila Hana Faiza anak dari hasil pernikahan
Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama Teuku Elwin
Hamzah bin H. Teuku Allie dan Imas Hilatunnisyaj binti H. Hasanudin Sidi,
dengan adanya Putusan Pengadilan Agama Bekasi Hak Asuhnya dilimpahkan
kepada Bapak kandungnya (penggugat) di karenakan:
a. Ibu dari anak tersebut tidak amanah, tidak mempunyai kemauan dan
mendidik anak yang akhirnya dilimpahkan kepada bapak.
b. Menjaga pertumbuhan, pendidikan dan kenyamanan anak.
c. Menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak.
2. Kewajiban bapak setelah putusan hak asuh anak yang dilimpahkan kepadanya
dan setelah putusnya perkawinan, kewajiban bapak selaku orang tuanya
berkewajiban memelihara, merawat, serta memberikan pendidikan, pelajaran
atau pengajaran sampai dewasa agar menjadi manusia yang mempunyai
kemampuan dan kecakapan dalam menatap masa depan dengan segala jiwa
optimis serta berkreatifitas.
3. Dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bekasi
dalam perkara hak asuh anak adalah Pasal 41 Undang-undang No. 1 tahun
55
1974 Tentang Perkawinan, Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, dan KHI inpres No. 1 Tahun 1991 dasar hukum
ini sesuai dengan kepentingan anak yang belum mumayyiz.
4. Dalam perkara putusan ini Majelis Hakim mempertimbangkan dengan cara
melihat kesenangan bathin secara lahiriyyah dalam hal ini adalah nafkah dari
bapak, dan juga demi kepentingan pertumbuhan, pendidikan anak semuanya
itu untuk perlindungan dan kemaslahatan anak.
B. Saran-Saran
Untuk kasus pemeliharaan anak yang jatuh kepada bapak, yang perlu
diberikan saran adalah:
1. Para Hakim Pengadilan, baik itu Pengadilan Negeri maupun Pengadilan
Agama, harus berhati-berhati dalam memutuskan perkara sengketa hak asuh
anak, demi menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak.
2. Apabila perceraian tidak dapat terhindar, maka orang yang diberi kuasa hak
asuh anak, menjalankan kewajiban sesuai amanah yang diberikan kepadanya.
3. Orang yang diberikan kuasa hak asuh anak harus bekerja untuk memenuhi
ekonomi keluarga sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka
pengasuhan terhadap anak tidak diberikan kepada orang-orang yang tidak
memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Islam.
4. Anak merupakan buah hati belahan jiwa sekaligus fitrah juga amanat, maka
memelihara, membina serta mendidiknyamerupakan kewajiban orang tua,
sehingga ia akan menjadi anak yang berbudi luhur dan berakhlak mulia.
56
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonsesia, Jakarta:
Akademindo Pressendo.
Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika
Pressindo, h. 151.
Abdurrahman, al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Bairut: Dar
al-Fikr, hal. 596-598.
Abidin, Slamet, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, Jilid II.
Al-Hamdani, H.S, 1989, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah
Anshori Umar Sitanggal, dkk.
Basyir, Ahmad Azhar, 2000 Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan.
Ghazali, Abdul Rahman, 2006, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana, hlm.
177.
Fauzan, dan Alam Andi Syamsu, 2008, Hukum Pengangkatan Anak
Prespektif Islam, Jakarta: Rajawali Pers, h. 217.
Husein, Muhammad, 2001 Perempuan, Yogyakarta: LKIS.
Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Jawa
Timur: Baymedia Publising, Cet. II, h. 321.
Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Moleong, Lexy, J, 2005. Metedologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya..
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 1964, al-Akhwal al-Syahsiyyah ala alMadhahib al-Khamsah.Baitul: Dar al-Ilmi.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 2006. Fikih Lima Mazhab, Penerjemah
Masykur A.B. dkk, Jakarta: Lentra, hlm. 415-416.
Nasir, Muhammad, 2003 Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan.
57
Sabiq, Sayyid, 2006, Fiqh Sunnah (Terjemah), Jakarta: Pena Pundi
Aksara, Jilid III, Cet. Ke-I.
Sahroni, dan Tihami, 2009, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: Rajawali Pers, h. 217.
Soekanto, Soerjono, 2004,
Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta:
RajaGrafindo Persada, hlm. 13.
Syarifudin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara
Fikih dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, hal. 329.
R. Tirosundibio, R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: PT. Pramita, hal. 549.
Rofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo
Perkasa, Cet. I.
Thalib Al-Hamdani, Abdullah bin Said, 2002, diterjemahkan Oleh Agus
Salim, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, h. 318.
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar
Grafika.
Zaini, Muderis, 1992, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,
Jakarta: SinarGrafika.
Zainudin, Ali 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafindo, h. 67.
Zein, M. Satria Efendi, 2004, Problematika Hukum Islam Kontempoler,
Jakarta: Kencana.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonsesia, Jakarta:
Akademindo Pressendo.
Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika
Pressindo, h. 151.
Abdurrahman, al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Bairut: Dar
al-Fikr, hal. 596-598.
Abidin, Slamet, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, Jilid II.
Al-Hamdani, H.S, 1989, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah
Anshori Umar Sitanggal, dkk.
Basyir, Ahmad Azhar, 2000 Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan.
Ghazali, Abdul Rahman, 2006, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana, hlm.
177.
Fauzan, dan Alam Andi Syamsu, 2008, Hukum Pengangkatan Anak
Prespektif Islam, Jakarta: Rajawali Pers, h. 217.
Husein, Muhammad, 2001 Perempuan, Yogyakarta: LKIS.
Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Jawa
Timur: Baymedia Publising, Cet. II, h. 321.
Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
i
Moleong, Lexy, J, 2005. Metedologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya..
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 1964, al-Akhwal al-Syahsiyyah ala alMadhahib al-Khamsah.Baitul: Dar al-Ilmi.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 2006. Fikih Lima Mazhab, Penerjemah
Masykur A.B. dkk, Jakarta: Lentra, hlm. 415-416.
Nasir, Muhammad, 2003 Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan.
Sabiq, Sayyid, 2006, Fiqh Sunnah (Terjemah), Jakarta: Pena Pundi
Aksara, Jilid III, Cet. Ke-I.
Sahroni, dan Tihami, 2009, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: Rajawali Pers, h. 217.
Soekanto, Soerjono, 2004,
Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta:
RajaGrafindo Persada, hlm. 13.
Syarifudin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara
Fikih dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, hal. 329.
R. Tirosundibio, R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: PT. Pramita, hal. 549.
Rofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo
Perkasa, Cet. I.
Thalib Al-Hamdani, Abdullah bin Said, 2002, diterjemahkan Oleh Agus
Salim, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, h. 318.
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar
Grafika.
ii
Zaini, Muderis, 1992, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,
Jakarta: SinarGrafika.
Zainudin, Ali 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafindo, h. 67.
Zein, M. Satria Efendi, 2004, Problematika Hukum Islam Kontempoler,
Jakarta: Kencana.
iii
HASIL WAWANCARA
Nama Responden
:
Drs. Mansyur
Jabatan
:
Hakim Anggota
Di tempat
:
Kantor Peradilan Agama Bekasi
1. Bagaimana proses pengambilan Keputusan di Pengadilan Agama Bekasi dan masalah
pemeliharaan anak atau hadhanah ketika terjadi perceraian?
Jawab : proses pemeliharaan dalam masalah pemeliharaan anak masalah ini prosesnya
sama seperti perkara biasa yang mana didahulukan dengan surat gugatan, kemudian
upaya mediasi atau perdamaian dari hakim, pembuktian dan terakhir kesimpulan
dalam masalah ini.
2. Apa
yang
menjadi
pertimbangan
Majlis
Hakim
dalam
Putusan
No.
345/Pdt.G/2007/PA.Bks. sehingga hak asuh anak yang belum mumayyiz limpahkan
kepada bapak?
Jawab : yang menjadi pertimbangan Majlis Hakim disini adalah untuk kepentingan
anak atau kemaslahatan anak tersebut, karena Majlis Hakim melihat tidak adanya
kecakapan ibu dalam mengurus anak, dan tidak adanya kemauan dalam mendidik dan
mengasuh anak.
3. Apa landasan hukum yang digunakan hakim dalam melimpahkan hak asuh anak yang
belum mumayyiz kepada bapak dalam perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.?
Jawab: dalam hal ini hakim menggunakan Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 anak berhak diasuh orang tuanya sendiri, kecuali ada hal-hal yang menentukan
lain, maksudnya orang tua atau si ibu sudah tidak mampu dan sudah tidak
memperdulikan anaknya seperti kasus dalam putusan ini, dan juga berdasarkan Pasal
41 Undang-undang No. 1 Tahun 1975, dan juga berdasarkan Pasal 105 huruf (a) KHI
impres No. 1 Tahun 1974.
4. Bagaimana kebijakan majlis hakim dalam memutuskan perkara hadhanah?
Jawab : kebijakan hakim dalam memutuskan perkara hadhanah sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku dan sesuai dalam kasus atau perkara ini. Pada perkara
hadhanah No. 345 mengambil Undang-undang perlindungan anak karena untuk
kepentingan kemaslahatan anak tersebut, selanjutnya mengambil kitab fiqih, salah
satunya ialah kitab fiqih sunnah karangan Sayyid Sabiq dan juga kitab fiqih yang lain
yang didalamnya membahas mengenai syarat-syarat hadhanah salah satunya adalah
amanah, mampu mendidik, beragama Islam, dan juga sesuai dengan keteranganketerangan saksi.
5. Menurut ibu sebagai Majlis Hakim, dalam hal faktor-faktor apa saja kasus hadhanah
yang ghoiru mumayyiz bisa dilimpahkan dan ditetapkan hak pemeliharaan dan
pengasuhanya kepada bapak?
Jawab : faktor-faktor yang mana hak asuh anak bisa dilimpahkan dan ditetapkan hak
pemeliharaanya kepada bapak disebabkan karena ibu tidak bisa mengurus dengan
baik, tidak amanah, tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk memperhatikan
anak, dan tidak diketahui keberadaanya.
6. Didalam masalah hadhanah, yang paling dipentingkan adalah kemaslahatan bagi si
anak, bagaimana mewujudkan hal tersebut ketika orang tua bercerai, khususnya dalam
putusan No. 345/Pdt.G/2007/PA.Bks.?
Jawab : dalam mewujudkanya si anak dapat dilihat dari kesenangan bathin,
kesenangan bathin dalam hal ini dasarnya adalah nafkah lahirnya dari bapak, apabila
tidak ada kesenangan bathin nafkah tidak akan dapat mewujudkan kepentingankepentingan dalam mengurusi anak tersebut.
7. Apakakah hadhanah dalam hal ini menguntungkan atau merugikan bagi anak?
Jawab : Jelas hadhanah dalam hal ini menguntungkan si anak, khususnya dalam
perkembangan jiwa si anak, pendidikan anak, akhlak anak, apabila diasuh oleh orang
yang bertanggung jawab dan selalu memberikan kasih sayang, perhatian, pendidikan
yang baik, maka anak tersebut tidak akan merasa kehilangan kasih sayang dan
pendidik dari orang tua yang mengasuhnya, kemudian hadhanah dapat juga
merugikan bagi anak, apabila orang yang mengasuhnya tidak memberikan kasih
sayang bagi si anak, artinya dalam hal ini tidak terlalu peduli dan serius dalam
mendidik anak karena tidak ada kemauan dalam mengasuh anaknya dan memikirkan
kesibukan dirinya sendiri daripada mengurus anak.
Responden
Drs. Mansyur
Download