PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI ANAK

advertisement
PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI
ANAK BELUM MUMAYIZ
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor
228/Pdt.G/2009/PA.JB)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
NOVA ANDRIANI
NIM: 107044200445
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J
A K A
R
T
1432 H / 2011 M
A
PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI
ANAK BELUM MUMAYIZ
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor
228/Pdt.G/2009/PA.JB)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NOVA ANDRIANI
NIM: 107044200445
Dibawah Bimbingan:
Pembimbing
Dr. Abdurrahman Dahlan, MA
NIP: 19581110 198803 1001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J
A
K A
R
T
1432 H / 2011 M
A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI
ANAK BELUM MUMAYIZ (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat
Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)”, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah,
Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam.
Jakarta, 24 Mei 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH.,MA.,MM
NIP. 19550505 198203 1012
PANITIA UJIAN
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH.,MA
NIP. 19500306 197603 1001
: (.................................)
: Hj. Rosdiana, MA
NIP. 19690610 200312 2001
: (.................................)
: Dr. Abdurrahman Dahlan, MA
NIP. 19581110 198803 1001
: (.................................)
: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA
NIP. 19760807 200312 1001
: (.................................)
: Mu’min Rouf, M.Ag
NIP. 150281979
: (.................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2011
Nova Andriani
KATA PENGANTAR
   
Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan
kita baginda Rasul yang mulia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan
seluruh umat Islam yang selalu menjaga sunnah dan mengamalkannya semoga kita
mendapat syafa’atnya di akhirat kelak.
Atas berkah dan rahmat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang
diharapkan, patutlah rasa syukur penulis panjatkan kepada-Nya serta rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan perkuliahan di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat rampung tanpa adanya
bantuan orang lain yang begitu berharga dan bermakna bagi penulis, dengan
demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis menghaturkan rasa hormat dan
ucapan terima kasih kepada:
i
1.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin
Hidayat, MA.
2.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM beserta segenap pimpinan, karyawan,
dan staf yang berdedikasi tinggi dan sepenuh hati memberikan nasihat-nasihat
yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada
Mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.
3.
Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil,
SH., MA., Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Ibu Hj. Rosdiana,
MA, serta Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA
yang tiada henti memberikan dukungan, motivasi, serta bimbingan demi
kelancaran penulisan skripsi ini.
4.
Pembimbing skripsi, Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA yang senantiasa ikhlas
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau selalu dalam lindungan dan
rahmat Allah SWT.
5.
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat, Bapak Drs. H. Musfizal Musa, SH., MH
berserta seluruh staf jajarannya baik Panitera, Panitera Muda Hukum yang telah
memberikan penulis izin untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama
penulis mengadakan penelitian. Para hakim, khususnya kepada Ibu Dra. Ida
Hamidah, MH yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai serta
ii
membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam
penyusunan skripsi ini.
6.
Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama penulis belajar di kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang banyak membuka cakrawala dan wacana berpikir penulis. Tidak lupa
juga teruntuk Habib Zein Ali Al-Jupri, Umi Syifa, para guru penulis dari masa
kecil sampai sekarang yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Serta para
Asatidz/Asatidzah MAKN Surakarta. Terima kasih atas segala keiklasan dalam
mencurahkan ilmunya kepada penulis. Serta pihak-pihak terkait, para pimpinan
dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum,
Perpustakaan Fakultas Dirasat Islamiyah, dan Perpustakaan Lentera Hati yang
telah memberikan fasilitas dan membantu penulis mencari data demi
terselesaikannya skripsi ini.
7.
Rasa Ta’zhim dan terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Sukirno dan
Ibunda tercinta Waginah yang telah memberikan motivasi, dukungan moril dan
materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, kasih sayang serta doa munajatnya yang
tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan
kesuksesan dalam penyelesaian studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah
mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.
8.
Mbak-mbkku tercinta, Susilowati, SE, Dwi Hartini, ST, dan Tri Priyantini,
S.Kom, yang telah banyak berkorban demi membantu finansial penulis dalam
menyelesaikan studi ini. Syukron katsiron atas segala doa, kesabaran, jerih payah,
iii
serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga Ananda
dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh
jasamu tiada tara dan semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat
ganda. Dan juga adik-adikku tercinta, Agung Rahmadi dan Kiki Rizki Alfarizi
yang telah memberikan support dan keceriaan dalam setiap kehidupan penulis.
9.
Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2007 yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang dalam
menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah Dan
Hukum tercinta, semoga ukhuwah islamiyah diantara kita tetap terjaga selamanya.
Dan tidak lupa teruntuk kakak kelasku yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu yang telah banyak memberikan sumbangsih saran dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
10. Teman-teman Pengurus dan Anggota Moot Court Community (MCC) Fakultas
Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, BEM Jurusan Administrasi
Keperdataan Islam, serta kawan-kawan KKN_SCC 2010 yang senantiasa berbagi
cerita, pengalaman, dan wawasan.
11. Teman-teman IKAMAKSUTA RAYA (Ikatan Alumni Madrasah Aliyah
Keagamaan Negeri Surakarta-Jakarta Raya), khususnya yang kuliah di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu siap untuk
berbagi, saling mengingatkan, saling mendoakan, saling support serta saling
membantu satu sama lain.
iv
Penulis menyadari bahwa masih banyak nama-nama yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, kepada semua pihak yang telah memotivasi dan memberi
inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita dan telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima
kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal
ibadah di sisi Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.
Akhirnya saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak akan diterima
dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.
Jakarta, 6 Mei 2011
Penulis,
Nova Andriani
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
6
D. Metode Penelitian........................................................................
6
E. Review Studi Terdahulu ..............................................................
9
F. Analisis Data ............................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II
HADHANAH ANAK DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Hadhanah .................................................................. 15
1. Menurut Fikih ......................................................................... 15
2. Menurut Hukum Perdata ......................................................... 19
3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Dan KHI................................................ 22
B. Dasar Hukum Hadhanah............................................................. 28
C. Syarat-syarat Hadhanah .............................................................. 31
D. Pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah ................................ 34
1. Menurut Fikih ......................................................................... 34
vi
2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Dan KHI................................................ 38
E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah ................................. 39
BAB III
HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA BARAT
A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat...................... 44
1. Sejarah Singkat........................................................................ 44
2. Letak Geografis ....................................................................... 49
3. Struktur Organisasi.................................................................. 53
B. Deskripsi/Duduk Perkara............................................................. 55
C. Profil Dan Pihak Yang Terlibat................................................... 58
D. Pertimbangan Hukum Hakim...................................................... 60
BAB IV
TINJAUAN
TERHADAP
PUTUSAN
PENGADILAN
AGAMA JAKARTA BARAT TENTANG HAK HADHANAH
ANAK KEPADA BAPAK
A. Peranan Hakim Dalam Penyelesaian Perkara Hadhanah Anak.. 65
B. Segi-Segi Persamaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif........... 67
C. Segi-Segi Perbedaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif............. 72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 77
B. Saran-Saran.................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 80
vii
LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................... 81
1. Pedoman Wawancara.................................................................................... 81
2. Hasil Wawancara........................................................................................... 84
3. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat... 90
4. Keterangan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat..... 91
5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi.................................. 92
6. Putusan Perkara No.228/Pdt.G/2009/ PA.JB................................................. 93
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan
berpasang-pasangan agar mereka cenderung satu sama lain, saling menyayangi dan
saling mencintai. Bagi umat Islam terdapat aturan untuk hidup bersama yaitu seperti
yang dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.1
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, menegaskan bahwa perkawinan
adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizhan) untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.2 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam
ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah.
Dalam Islam, pernikahan bukanlah semata-mata sebagai kontak keperdataan
biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah Al-Qur’an sendiri menggambarkan tali
1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7.
2
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum
Nasional), Cet. Ke-2, (Jakarta: Logos, 1999), h. 140.
1
2
perkawinan itu sebagai tali yang kokoh (mitsaqan ghalizhan) untuk mentaati perintah
Allah dan melakukannya merupakan ibadah.3
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah
dalam rangka membina keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Selain itu
juga untuk menghasilkan serta melestarikan keturunan.
Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah hidup rukun, bahagia, dan
tentram. Namun, sebuah kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan
baik, ada kalanya keadaan itu tidak baik dan terlebih lagi bisa ke arah pada
perceraian. Walaupun perceraian sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah tetapi
apabila semua cara sudah dilakukan, ternyata tidak bisa dipertahankan maka
perceraian adalah jalan keluarnya.
Berbagai
permasalahan
timbul
akibat
terjadinya
perceraian,
baik
permasalahan harta bersama sampai permasalahan siapa yang lebih berhak mengasuh
anaknya (hadhanah) termasuk mengenai nafkah yang akan diberikan kepada anak
tersebut.
Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa Fikih disebut
hadhanah. Dalam Islam, hak mengasuh anak adalah menjadi tanggung jawab yang
besar yang harus dijalankan oleh pihak-pihak yang terkait yaitu baik ibu maupun
bapak karena anak adalah titipan sang Khalik yang harus kita rawat, apabila kita tidak
melaksanakan semua itu dengan baik maka kita akan dikenai hukum Allah.
3
Tim Penulis, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 1.
3
Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.4 Sedangkan menurut KHI, anak adalah orang
yang belum genap 21 tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu
untuk berdiri sendiri. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa
depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Dalam hal pendidikan, orang tua sangat bertanggung jawab dalam hal ini,
karena undang-undang mengamanahkan terhadap orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap anak. Sebagaimana terdapat pada Pasal 26 ayat (1) huruf
(a) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: “Orang tua berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak”.5
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf (a), menyebutkan bahwa
dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian, dalam Pasal 156 huruf (a), akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayiz berhak
mendapatkan hadhanah dari ibunya.6
4
UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: PT. Citra Umbara, 2003),
5
Ibid., h. 4.
h.4.
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 151.
4
Dari ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa peranan ibu sangatlah penting
terhadap anak yang belum mumayiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian.
Adapun siapa yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayiz, bila kita
melihat argumen di atas, maka yang berhak mengasuh anak yang belum mumayiz
adalah pihak ibu.
Pada poin yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya anak yang belum
mumayiz jatuh ke tangan ibu, tapi tidak demikian adanya yang terjadi di Pengadilan
Agama. Banyak pihak yang mengajukan perkara tentang hak hadhanah anak setelah
terjadinya perceraian, dimana anak merupakan hasil dari perkawinan yang selama ini
mereka jalani bersama serta harus melepaskan ikatan perkawinan dikarenakan alasanalasan yang memicu retaknya hubungan perkawinan.
Kemudian, bagaimana majelis hakim yang menangani perkara hak hadhanah
anak sehingga terjadi penetapan hak tersebut, jika anak yang diperebutkan, masih di
bawah umur tidak jatuh ke tangan ibu, melainkan kepada bapak. Tentunya majelis
hakim mempunyai pertimbangan hukum hakim terhadap putusan yang ditetapkan.
Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk diteliti, putusan majelis
hakim, dasar hukum, alasan-alasan serta implikasi lain dalam putusan yang
berkekuatan hukum tetap yang disepakati oleh majelis hakim. Inilah yang menjadikan
penulis tertarik untuk mengkaji dalam skripsi dengan judul “Penetapan Hak
Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayiz (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)”.
5
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka
penulis membatasi masalah pada Penetapan hak asuh anak (hadhanah) terhadap
anak belum mumayiz.
2. Perumusan Masalah
Pada dasarnya Islam, baik dari nash maupun fikih, pengasuhan anak yang
belum mumayiz berada pada ibu, demikian juga diatur dalam hukum materiil atau
undang-undang. Pada kenyataannya anak yang belum mumayiz diputus oleh
hakim, bahwa hadhanah anak bisa jatuh kepada bapak. Hal ini yang ingin penulis
teliti mengenai putusan hakim terhadap hadhanah anak yang belum mumayiz
yang jatuh kepada bapak terhadap perkara hadhanah di Pengadilan Agama
Jakarta Barat Perkara No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
Untuk memecahkan masalah yang ada, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam memutuskan perkara hak
hadhanah
anak
kepada
bapak
dalam
putusan
perkara
nomor
228/Pdt.G/2009/PA.JB?
2. Apa dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam
memutuskan perkara tersebut?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui metode majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan
dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara
Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
2. Untuk mengetahui dasar hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara
hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz.
Adapun manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan
metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan suatu keputusan.
2. Untuk memperkaya khazanah keilmuan di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum.
D. Metode Penelitian
Metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang penting dan harus
dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur
sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.
Dalam penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah sebagai
berikut:
7
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus,
yaitu
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu dipelajari
untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum.7
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan kualitas sesuai
dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang
berkenaan dengan penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum
mumayiz yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Sedangkan
jenis data yang digunakan yaitu data kualitatif.8
2. Metode Pengumpulan Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian berupa data primer dan data sekunder.9 Adapun sumber data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah:
7
Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur:
Baymedia Publising,2006), h. 321.
h. 141.
8
Ibid., h. 45.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
8
a. Data Primer
:
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat perkara
Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
2. Wawancara mendalam (indept interview) terhadap
hakim untuk mendapatkan informasi tentang
bagaimana
pertimbangan
hakim
dalam
menetapkan perkara.
b. Data sekunder
: 1. Buku-buku dan kitab-kitab yang berkenaan dengan
Hadhanah.
2. Artikel-artikel yang berkaitan baik dari surat kabar
maupun elektronik.
Adapun metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:

Putusan perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB, yaitu teknik pengumpul data
dengan cara meng-copy putusan tersebut kemudian dianalisis oleh penulis.

Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpul data untuk
mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan
kepada hakim yang memutus perkara tersebut.10

Kajian kepustakaan, untuk memahami teori-teori dan konsep yang berkenaan
dengan metode ijtihad hakim melalui berbagai buku dan literatur yang dipandang
mewakili (representative) dan berkaitan dengan obyek penelitian.
10
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah Ragam
Varian Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 36.
9
Obyek dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan
Agama
Jakarta
Barat
yaitu
putusan
perkara
Nomor
228/Pdt.G/2009/PA.JB.
3. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara
penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada,
lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun pedoman
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2007. Serta penulisan ayat Al-Qur’an dan Hadits ditulis satu spasi, termasuk
terjemahan Al-Quran dan Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun
kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang
disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis di awal.11
E. Review Studi Terdahulu
Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam
penelitian antara lain:
1. Skripsi oleh Aditya Nur Pratama, Tahun 2009 Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah, Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Judul “Pencabutan Hak Asuh Anak Dari Ibu (Studi Analisis Putusan Pengadilan
11
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, cet.I, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 11.
10
Agama Depok No. 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk)”. Berisi tentang landasan teori
seputar hak asuh (hadhanah) anak meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum
hadhanah, syarat-syarat hadhinah dan hadhin, masa hadhanah serta analisa
terhadap putusan Pengadilan Agama tentang pencabutan hak asuh anak dari ibu.
Secara umum, skripsi tersebut membahas tentang pencabutan hak asuh
(hadhanah) anak dari ibu, sedangkan penelitian penulis tentang hak asuh
(hadhanah) anak belum mumayiz kepada bapak.
2. Skripsi oleh Firman Sulaeman, Tahun 2005, Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, UIN
Jakarta. Judul “Hak Pemeliharaan Anak yang Belum Mumayiz Akibat Perceraian
(Studi Kritis terhadap Pasal 105 Point A KHI)”. Berisi tentang pembahasan
mengenai efektifitas penerapan pasal 105 point A KHI sebagai sumber hukum
dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di lingkungan Pengadilan Agama. Dari
segi isi skripsi, skripsi tersebut membahas tentang efektifitas penerapan pasal 105
point A KHI dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di Peradilan Agama,
dengan melakukan studi kritis terhadap Pasal 105 point A KHI, sedangkan
penelitian penulis dengan menganalisis putusan hakim tentang hadhanah anak
dan juga menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.
3. Skripsi oleh Sabarudin, Tahun 2008, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah,
Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Jakarta. Judul “Hadhanah Perspektif Mazhab
Hanafi dan Mazhab Syafi’i dan Prakteknya Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
(Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PA.JS
Tentang Hadhanah)”. Pembahasan mengenai hak asuh anak bagi orang tua yang
11
murtad di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PA.JS serta
ditinjau menurut mazhab Imam Hanafi dan Syafi’i. Secara umum, skripsi tersebut
berisi tentang hak asuh (hadhanah) anak bagi orang tua yang murtad dengan
menganalisis
putusan
Pengadilan
Agama
Jakarta
Selatan
dan
juga
membandingkan antara dua perspektif yaitu mazhab Imam Hanafi dan Mazhab
Imam Syafi’i
mengenai hadhanah, sedangkan penelitian penulis tidak
membandingkan keduanya tetapi hanya menganalisis pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara.
Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya
dengan skripsi yang akan dibahas penulis. Adapun penelitian ini memfokuskan pada
analisis yurisprudensi putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi
anak belum mumayiz dengan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
F. Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis mengenai
alasan dan dasar hukum yang dijadikan pegangan hakim dalam menetapkan
keputusan terhadap kasus yang dibahas. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan content analysis (analisis isi) dan
mengidentifikasi apa yang menjadi perhatian (concerns) penulis yaitu terhadap
putusan hakim yang berkenaan dengan hadhanah anak di Pengadilan Agama Jakarta
Barat, serta apa yang menjadi persoalan (issues).
12
Dalam melakukan identifikasi ini proses yang akan penulis lakukan antara
lain:
1. proses kategorisasi, yaitu proses menyusun kembali catatan dari hasil
observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis.
2. proses prioritas, yaitu dengan memilih mana yang kategori yang dapat
ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan.
3. proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui kategori yang
dihasilkan sudah cukup atau belum.12
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan agar penulisan skripsi ini lebih
terfokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam
beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama, sebagai penelitian ilmiah maka pada bab ini diawali dengan
pendahuluan merupakan penjelasan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
dalam bab tertentu yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh
tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang latar belakang masalah yang
menjelaskan alasan mengapa masalah yang diangkat perlu diteliti. Menurut penulis,
masalah penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz perlu
diteliti karena dalam ketentuan fikih maupun hukum positif (dalam hal ini ketentuan
12
h.135.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
13
hukum yang termuat dalam KHI) menyatakan bahwa hak hadhanah bagi anak belum
mumayiz adalah hak ibunya. Namun, hal ini berbeda dengan putusan hakim
Pengadilan Agama Jakarta Barat yang menetapkan hak hadhanah kepada bapak bagi
anak belum mumayiz. Pembatasan dan perumusan masalah yang diteliti, yaitu
membatasi pada masalah penetapan hak hadhanah bagi anak belum mumayiz dengan
rumusan masalah “penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum
mumayiz”. Pertanyaan yang dirumuskan yaitu bagaimana metode ijtihad hakim dan
dasar pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara tersebut.
Pada bab ini juga berisi tentang metode penelitian yang digunakan oleh penulis,
review studi terdahulu dengan mendata dan mengevaluasi seluruh studi, terutama
skripsi yang lebih membahas fokus yang berkaitan dengan penelitian yang penulis
teliti sehingga terlihat perbedaannya dengan skripsi yang telah ada. Analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan content analysis (analisis
isi) dan mengidentifikasi concerns penulis terhadap putusan hakim yang berkenaan
dengan hadhanah anak di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Sistematika penulisan ini
berisi tentang deskripsi daftar isi dari penelitian ilmiah bab per bab dalam bentuk esai
yang menggambarkan alur logis dan struktur dari bahasan skripsi.
Bab kedua, untuk memudahkan pembaca memahami inti dari permasalahan
yang penulis teliti, maka terlebih dahulu penulis menyajikan kajian kepustakaan
terkait mengenai landasan (kerangka) teori yang didasarkan pada teori-teori yang
relevan
dengan tema penelitian penulis dengan memaparkan gambaran umum
tentang hadhanah anak menurut perspektif fikih dan hukum positif (Hukum Perdata,
14
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum
Islam).
Bab ketiga, tidak semua hak hadhanah anak merupakan hak bapak, maka
penulis memfokuskan objek penelitian ini pada kasus putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB. Penulis
menyajikan data hasil penelitian, berupa deskripsi data berkenaan dengan variabel
yang diteliti secara objektif dalam arti tidak dicampur dengan opini penulis. Pada bab
ini, penulis menjelaskan sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat meliputi:
sejarah singkat, letak geografis dan struktur organisasi. Selain itu, menjelaskan
deskripsi/duduk perkara serta pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan
perkara tersebut.
Bab keempat, pada bab ini, penulis menganalisis permasalahan yang diteliti
dengan melihat dari segi-segi persamaan dan perbedaan dengan fikih dan hukum
positif terhadap penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz
serta menjelaskan hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam
memutuskan perkara tersebut.
Bab kelima, pada bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas
masalah yang dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh serta saran-saran dan
harapan penulis.
BAB II
HADHANAH ANAK DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Hadhanah
1. Menurut Fikih
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,
hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota
badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul
antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-tha‟ir baydhahu,
manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit)
telurnya itu ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya. 1 Demikian pula sebutan
hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap
(mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.2
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau
di pangkuan.3 Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.
Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang
1
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif,
1997), h. 296.
2
Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan: Dar al-Fikr, 1973), h. 339.
3
DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid II, h. 206.
15
16
yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa
memenuhi keperluannya sendiri.4
Dalam kajian fikih, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang
berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi
pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan
maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.5
Para ulama Fikih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar
tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya
dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.6
Dalam kitab Subulus salam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan
anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya serta
pemeliharaannya
dari
segala
sesuatu
yang
membinasakannya
atau
yang
membahayakannya.7
Dalam literatur fikih, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologis,
diantaranya:
4
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
h.293.
5
6
7
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 67.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 287.
Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya AlTuras Al-Araby, 1960), h. 227.
17
a. Menurut Muhammad Ibnu Ismail Al-Shan‟ani:8
.
Artinya: “Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan
menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau
membahayakan”.
b. Menurut Sayyid Sabiq:9
.
Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun
perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara
baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan
belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya
dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta
mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan
kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”.
c. Menurut Qalyubi Dan Umairah:10
.
Artinya: “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya
dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.
8
Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya AlTuras Al-Araby, 1960), h. 227.
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
10
Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar
Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.
18
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz
supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan tanggung jawab. Hadhanah
diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dam
memelihara disini adalah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anakanak itu belum sanggup mengatur sendiri.11
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua
orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam
hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.12
Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang
tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran
hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap
anak yang telah digariskan dalam islam, yakni
, memelihara anak sebagai
amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.13
Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak
mempunyai hak-hak sebagai berikut:14
1. Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.
11
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391.
12
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984),
13
Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49.
h.279.
14
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama,
2005), h. 177.
19
2. Hak anak dalam kesucian keturunannya.
3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik.
4. Hak anak dalam menerima susuan.
5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.
6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan
hidupnya.
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus tentang
pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih
menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah diberlakukannya UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan
KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama
diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya.15
2. Menurut Hukum Perdata
Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV. Pada pasal 289 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap
Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap
anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang
tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai siapa yang paling berhak
15
299.
Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.298-
20
memelihara atau mengasuh anak yang masih di bawah umur, akibat dari perceraian
suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang
tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi
tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak mereka itu.16
Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang
Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya,
setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh
kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali
jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai
pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak
berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali
dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak
berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal
359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian
1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata.17
16
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
17
Ibid., h. 76.
h. 72.
21
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua
untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang
terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.18
Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal
229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan perceraian, dan
setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah
atau semenda dari anak-anak yang di bawah umur, Pengadilan Negeri akan
menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak,
kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua,
dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau
melepas mereka dari kekuasaan orang tua”.19
Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua atau
para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah dipecat dari
kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau berperilaku tidak baik.
Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara atau mengasuh anak yang
masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang tua baik dari ibu maupun ayah.
18
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 211.
19
h. 72.
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
22
Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran
Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang
lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi
mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”.
Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun
orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat
anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.20
3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian
dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh
karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara
efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih
mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fikih ketika
memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah
20
Ibid., h. 55-56.
23
menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk
menjadi dan menyelesaikannya.21
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4245 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang
belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang
tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi
untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga
keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih
sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder
sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini
sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa
orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan
sebaik-baiknya.22
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang
bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan
dalam pasal 104 yaitu:
21
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 428- 429.
22
Ibid., h. 429.
24
(1) semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila
ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya;
(2) penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam
masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.23
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui
anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang
ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan dengan hal yang terdapat
dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41,
dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang
bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih
memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban
suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan
Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya. 24 Dalam kaitan ini,
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami
istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz
diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.25
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 138.
24
25
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 138.
25
Pada pasal 45 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan
Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan pada ayat
1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, yang mana
kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.26
Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban
antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.27
Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan
Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua
juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.28
26
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota
ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14.
27
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 14-15.
28
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota
ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14-15.
26
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. 29
Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayiz
dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan
kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini
sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi
dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah
tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi
beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum
bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut
jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui
hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.30
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak
mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka
29
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum
Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.
30
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 13.
27
kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alas
an pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban
terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap (1975:
216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu
meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin
melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman
penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu
jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk
meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang
seharusnya memberikan contoh yang baik.31
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,
maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada
anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka
dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik
anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan. 32
Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak
tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.
Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
31
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.
32
Ibid., h. 431.
28
Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun
kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.33
B. Dasar Hukum Hadhanah
Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah
mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Oleh
karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang
masih di bawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak
mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak
sampai membahayakan. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan
dari segala hal yang dapat merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:
a. Al-Qur‟an
Sebagaimana firman Allah SWT :
             
                
              
              
33
h. 15.
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
29
/ ۲: ‫ )البقرة‬.              
.(۲۳۳
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan
seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan”.
Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara
anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan bapak
berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan mengadakan penyapihan
(menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun apabila ada kesepakatan antara kedua
orang tua dan mereka boleh mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak
tersebut dengan syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak
itu sendiri.34
           
.)٦ /٦٦ : ‫ (التحريم‬.          
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
34
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.
30
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu
melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk
anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih
kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan
saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.35
b. As-Sunnah
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :36
:
:
.(
)
Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari
kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada
Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah
menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi
minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan
ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya
dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak
terhadapnya selama belum menikah”.
35
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
328.
36
Abu Daud Sulaiman bin Al-„Asy‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar
Fikr, 2003), h. 525.
31
Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak daripada bapak selama ibunya
belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena mempunyai kelayakan mengasuh
dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran
ibu dalam hal ini lebih besar daripada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang
daripada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak.
Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah menjadi hilang.37
C. Syarat-Syarat Hadhanah
Seorang hadhinah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan
kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang
memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu saja
maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah.
Adapun syarat-syarat hadhanah, antara lain:
1. Baligh dan berakal sehat; hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang
berakal sehat dan tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan
pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang
mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas
hadhanah. Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan
hadhanah tidak mengidap penyakit menular.38
37
38
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 528.
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2005), h. 172.
32
2. Dewasa; anak kecil, meskipun tergolong mumayiz, tetap bergantung pada orang
lain yang mengurus dan mengasuhnya. Sehingga tidak layak mengasuh orang
lain.39
3. Mampu mendidik.
4. Amanah dan berakhlak; sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya untuk
menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si
anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.40
5. Islam; anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim
(non muslim), sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan
Allah SWT tidak membolehkan seorang mukmin di bawah perwalian orang
kafir.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 141:
)۱۴۱ /۴ :‫ )النساء‬. ...       ...
Artinya: “... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orangorang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena tentu
akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya berdasarkan
ajaran agamanya. Akibatnya, di kemudian hari anak akan sulit melepaskan diri
darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam anak.41
39
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 533.
40
Ibid., h. 531.
41
Ibid., h. 533.
33
6. Ibunya belum menikah lagi, jika si ibu telah menikah lagi dengan laki-laki lain,
maka hak hadhanah menjadi hilang.
7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan
tuannya, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.42
Menurut Imamiyah, pengasuh harus terhindar dari penyakit-penyakit menular.
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pengasuh harus terbebas dari penyakit
lepra dan belang dan yang terpenting dia tidak membahayakan kesehatan si anak.43
Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti terlihat jelas dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa.
Namun, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun
KHI tidak membahas mengenai syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini
berbeda dengan aturan fikih yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus
memenuhi beberapa kriteria jika ingin mendapatkan hak asuhnya.44
42
Ali Abdulloh, “Hadhanah”,
http://aliabdulloh.blogspot.com.
43
44
artikel
diakses
pada
11
Januari
2011
dari
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 418.
Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Ciputat: Puskumham UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 69.
34
D. Pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah
1. Menurut Fikih
Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama
menyimpulkan, kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah.45 Karenanya,
urutan orang-orang yang berhak mengasuh anak, sebagai berikut: Ibu, tetapi jika ada
faktor yang membuatnya tidak layak didahulukan, maka hak pengasuhan dialihkan
kepada ibunya (nenek) dan seterusnya. Lalu, jika ada faktor yang menghalangi
mereka didahulukan maka dialihkan kepada ibu ayah (nenek). Berikutnya adalah
saudara perempuan kandung, saudara perempuan dari ibu, saudara perempuan dari
ayah, putri saudara perempuan kandung, putri saudara perempuan dari ibu, bibi
kandung dari ibu (al-khalah asy-syaqiqah), bibi dari ibu (al-khalah li-umm),bibi dari
ayah (al-khalah li-ab), putri saudara perempuan dari ayah, putri saudara laki-laki
kandung, putri saudara laki-laki dari ibu, putri saudara laki-laki dari ayah, bibi
kandung dari ayah (al-„ammah asy-syaqiqah), bibi dari ibu (al-„ammah li-umm), bibi
dari ayah (al-„ammah li-ab), saudara perempuan nenek dari ibu (khalah al-umm),
saudara perempuan nenek dari ayah (khalah li-ab), saudara perempuan kakek dari ibu
(„ammah al-umm), saudara perempuan kakek dari ayah („ammah li-ab), dengan
megutamakan yang memiliki hubungan kandung di antara mereka.46
45
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
1984), h.680.
46
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 529-530.
35
Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat wanita di antara orang-orang di
atas, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada
kerabat laki-lakinya berdasarkan urutan hak menerima waris. Dengan demikian, hak
asuh beralih kepada ayah, kakek dari ayah, dan seterusnya. Berikutnya adalah saudara
laki-laki kandung, saudara laki-laki dari ayah, putra saudara laki-laki kandung, putra
saudara laki-laki dari ayah, putra saudara laki-laki kandung, putra saudara laki-laki
dari ayah, paman kandung dari ayah, paman dari ayah, saudara laki-laki kandung
kakek dari ayah („amm abihi asy-syaqiq), dan saudara laki-laki kakek dari ayah
(„amma abihi li‟ab).47
Jika tidak terdapat kerabat laki-laki ashabah, atau sekalipun ada tapi tidak
layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada mahram kerabat laki-lakinya yang
bukan ashabah. Dengan demikian, hak asuh diberikan secara urut kepada kakek dari
ibu, saudara laki-laki dari ibu, putra saudara laki-laki dari ibu, saudara laki-laki kakek
dari ibu, saudara laki-laki kandung ibu, saudara laki-laki nenek dari ayah (al-khal liab), dan saudara laki-laki nenek dari ibu (al-khal li-umm).48
Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat sama sekali, maka hakim
menunjuk pengasuh wanita yang akan mendidiknya. Karena pengasuhan anak kecil
merupakan suatu keharusan, dan orang yang paling pantas yang mengasuhnya adalah
kerabatnya sendiri. Sementara ada kerabat yang hubungannya lebih dekat daripada
47
Ibid., h. 530.
48
Ibid., h. 530.
36
yang lain. Karenanya, wali-wali anak tersebut didahulukan karena merekalah yang
memiliki wewenang dasar untuk memenuhi kemaslahatannya. Tapi jika mereka tidak
ada, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada
kerabat yang lebih dekat dan seterusnya. Jika tidak punya kerabat sama sekali, maka
hakim bertanggung jawab menunjuk orang yang layak mengasuhnya. 49
Sebagaimana hak mengasuh anak pertama diberikan kepada ibu, maka para
ahli fikih menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada
keluarga bapaknya.
Menurut kalangan mazhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai
dari ibu kandung, nenek dari ibu, kakek dari ibu, bibi dari kedua orang tua, saudara
perempuan seibu, saudara perempuan seayah, bibi dari kedua orang tua, bibinya ibu,
bibinya ayah, bibinya ibu dari jalur ibu, bibinya ayah dari jalur ibu, bibinya ayah dari
pihak ayah, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman ayah
dari pihak ayah kemudian kerabat terdekat.50
Menurut kalangan mazhab Hanafi hak asuh berturut-turut dialihkan dari ibu
kepada:
1) Ibunya ibu.
2) Ibunya ayah.
3) Saudara-saudara perempuan kandung.
49
50
Ibid., h. 530.
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
1984), h.683.
37
4) Saudara-saudara perempuan seibu.
5) Saudara-saudara perempuan seayah.51
6) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung.
7) Anak perempuan dari saudara seibu.
8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.52
Sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki, hak asuh berturut-turut dialihkan dari
ibu kepada:
1) Ibunya ibu dan seterusnya ke atas.
2) Saudara perempuan ibu sekandung.
3) Saudara perempuan ibu seibu.
4) Saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu.
5) Saudara perempuan kakek dari pihak ibu.
6) Saudara perempuan kakek dari pihak ayah.
7) Ibu ibunya ayah.
8) Ibu bapaknya ayah dan seterusnya.53
Menurut mazhab Syafi‟i, hak atas asuhan secara berturut-turut adalah:
1) Ibu.
51
Ibid., h. 683.
52
Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2004), h. 456.
53
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Dalam Kalangan Ahlussunnah dan
Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 87.
38
2) Ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat itu mereka adalah
pewaris-pewaris si anak.
3) Ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka adalah
pewaris-pewarisnya pula.
4) Saudara-saudara perempuan kandung.
5) Saudara-saudara perempuan seibu.
6) Saudara-saudara perempuan seayah.
7) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung.
8) Anak perempuan dari saudara seibu.
9) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.54
2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI
Dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyatakan: 55
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
54
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
1984), h.683.
55
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra
Umbara, 2007), h.16-17.
39
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) anak yang belum
mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.56
E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan) anak berakhir ketika anak kecil, laki-laki ataupun
perempuan, tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita dewasa, mencapai tamyiz
dan sudah bisa mandiri, yakni diperhitungkan dapat mengerjakan sendiri kebutuhankebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakaian, dan membersihkan diri (mandi dan
lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada usia tertentu, melainkan ukurannya
adalah tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama anak kecil sudah mumayiz dan
tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita, serta dapat mengerjakan sendiri seluruh
kebutuhan dasarnya maka berakhirlah masa pengasuhannya.
56
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 138.
40
Tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadis yang menerangkan dengan tegas
tentang masa (jangka waktu) hadhanah. Mengenai hal ini, para ulama berijtihad
dalam menetapkan masa (jangka waktu) hadhanah.
a. Menurut mazhab Hanafi, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu
tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya seharihari dan bagi anak perempuan berakhir apabila telah datang masa haid
pertamanya.57
Pendapat mazhab Hanafi yang lain mengatakan bahwa masa hadhanah berakhir
bilamana si anak telah mencapai umur 7 tahun bagi laki-laki, dan 9 tahun bagi
perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih lama, sebab agar dia
dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari perempuan (ibu) yang
mengasuhnya. Selain itu juga, agar anak tersebut lebih dahulu merasakan
kebiasaan haid di bawah bimbingan pengasuhnya.58
b. Menurut mazhab Imam Malik, masa hadhanah anak laki-laki itu berakhir dengan
ihtilam (mimpi), sedangkan masa hadhanah untuk anak perempuan berakhir
dengan sampainya ia pada usia menikah. Jika ia sampai pada usia menikah,
sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ia lebih berhak terhadap anak putrinya
sampai ia menikah (lagi). Jika tidak sedang demikian, maka anak itu dititipkan
57
58
Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 185.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 186.
41
kepada ayahnya atau jika ayahnya tidak ada, maka ia dititipkan atau digabungkan
kepada wali-walinya.59
c. Menurut mazhab Imam Syafi‟i, masa hadhanah anak, baik laki-laki maupun
perempuan, berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun. Jika telah
sampai usia tersebut dan ia termasuk yang berakal sehat, maka ia dipersilakan
untuk memilih antara ayah dan ibunya. Ia berhak untuk ikut siapa saja di antara
mereka yang ia pilih.60 Dalil yang mereka pergunakan adalah sebagai berikut:
:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, “Ada seorang
perempuan yang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan aku sedang
duduk di sampingnya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
suamiku ingin membawa anakku. Anak itu telah mengambilkan air
untukku dari sumur Abu „Anbah. Ia telah memberi manfaat padaku
dengan nafkah yang diberikannya”. Lalu nabi Muhammad SAW
bersabda, “Ambillah bagian olehmu berdua padanya”. Suaminya
berkata, “Siapakah yang membenciku karena mengurus anakku?
“Nabi SAW bersabda, “Ini ayahmu dan ini ibumu, maka peganglah
tangan yang engkau kehendaki”. Lalu anak itu memegang tangan
ibunya; maka ibunya pun berangkat membawanya”.61
59
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 186-187.
60
61
Ibid., h. 187.
Abu Daud Sulaiman bin Al-„Asy‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar
Fikr, 2003), h. 526.
42
Menurut hadis ini, jika kedua orang tua bertengkar mengenai anaknya, maka sang
anak hendaknya diberi kesempatan untuk memilih. Siapa saja yang ia pilih, itulah
yang ia ikuti.
d. Menurut mazhab imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan hadhanah anak itu
berakhir sampai anak itu berakhir sampai anak tersebut berumur tujuh tahun. Jika
ia telah mencapai usia tersebut dan ia seorang anak laki-laki, ia diperkenankan
untuk memilih di antara kedua orang tuanya, tetapi jika ia perempuan, maka
ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih (baginya).62
Setelah dikemukakan berbagai pendapat para fuqaha di atas, dapat
disimpulkan bahwa pendapat Imam Syafi‟i lebih kuat. Bahwa takhyir berlaku untuk
anak laki-laki dan perempuan setelah mereka sampai pada umur tamyiz sebab pada
hadhanah sudah terdapat upaya memelihara kemaslahatan anak.
Ketentuan bagi anak perempuan, menurut Imam Malik harus diberi pilihan,
sama seperti pendapat Imam Syafi‟i. Menurut Imam Abu Hanifah, bagi anak
perempuan, ibu lebih berhak sampai dia menikah atau baligh. Menurut Imam Malik,
ibu lebih berhak sampai dia menikah dan serumah dengan suami. Menurut Imam
Ahmad bin Hanbali, ayah lebih berhak, tanpa harus memberi pilihan, selama telah
berusia sembilan tahun. Sedangkan ibu, lebih berhak bersamanya hingga usia
sembilan tahun.63
62
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 187-188.
63
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 540.
43
Sementara itu, anak yang masih dalam masa hadhanah, jika ia sakit atau
gila, maka jika ia seorang perempuan secara mutlak berada di tangan ibunya, baik
masih kecil maupun sudah besar sebab ia memerlukan orang yang melayani dan
memenuhi segala kebutuhannya. Kaum perempuan, dalam hal ini ibunya jauh lebih
mengetahui hal-hal seperti itu, ibunya tentu lebih sayang kepadanya daripada yang
lainnya.64
64
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 188.
BAB III
HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA BARAT
A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat
Pengadilan Agama yang telah ada sejak zaman kesultanan, secara yuridis
baru diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan surat keputusan Raja
Belanda, yakni Raja Williem III tanggal 19 juni 1882 Nomor 24 yang dimuat
dalam Staatbland 1882 No. 152 Tentang Pengadilan Agama Di Jawa Dan
Madura.1
Terhadap Stbl. 1882 No. 152 para ahli hukum bersepakat bahwa hal
tersebut merupakan hasil dari teori Receptio In Complexu LWC Van den Berg.
Keberadaan Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori Hukum Adat
oleh Van Vollen-Hoven dan Snouck Hurgronje dengan teori Receptie, akibat dari
teori tersebut pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali kedudukan Peradilan
Agama karena Stbl. 1882 No. 152 dianggap merupakan suatu kesalahan
pemerintah Hindia Belanda yang mengakui terbentuknya Peradilan Agama Stbl.
1882 No. 152 yang intinya "memperlakukan undang-undang agama", diganti
1
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, cet.Ke-1, (Jakarta:
Rajawali Press, 2000), h. 51.
44
45
dengan Stbl. Tahun 1907 No. 204, Stbl. Tahun 1919 No. 262 yang intinya
"memperhatikan undang-undang agama".2
Pasca proklamasi kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan
pada Pasal II Aturan Peralihan kemudian dipertegas dengan Peraturan Presiden
No. 2 pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam Pasal 1, dijelaskan:
"Segala badan-badan negara yang ada sampai berdirinya Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undangundang Dasar, maka tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undangundang tersebut".3
Dengan demikian Peradilan Agama sebagai produk hukum kolonial
Hindia Belanda masih dipergunakan di Indonesia.
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda Pengadilan Agama berkembang,
daerah demi daerah dalam keadaan yang tidak sama, baik namanya,
wewenangnya maupun strukturnya. Legitimasi keberadaan Pengadilan Agama
waktu itu didasarkan pada pasal 75 ayat (2) Regerings Reglement (RR) yang
berbunyi :
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau orang
yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim
2
Dadang Muttaqien, “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 3 Desember 2010 dari http://msiuii.net.baca.asp?kategori=rubrik&menu=259
2
Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, ( Yogyakarta : UII Press, 1999), h. 39.
3
Peraturan Presiden No.2 tahun 1945 Tentang Pembaharuan Tata Hukum Kolonial
Menjadi Tata Hukum Nasional.
46
agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau
ketentuan-ketentuan agama mereka”.4
Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat
tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang yaitu:
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk.5
Ketiga kantor cabang tersebut termasuk dalam wilayah yuridiksi hukum
cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian pada tanggal 16 Desember
1976 telah keluar Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tentang
pembentukan cabang Mahkamah Islam, yang menyatakan bahwa semua
Pengadilan Agama di propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang
berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Mahkamah
Islam Tinggi Cabang Bandung. Istilah Mahkamah Islam Tinggi kemudian
berkembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).6
Setelah itu perpindahan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta ke Jakarta
didasari oleh Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 1985, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober
4
Regerings Reglement pasal 75 ayat 2 Tentang Tata Hukum Kolonial.
5
Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, h. 40.
6
Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang
Cabang Mahkamah
Islam”,
artikel
diakses
pada
3
Desember
www.indolaw.net/Seiten/SachindexHead.html
Pembentukan
2010,
dari
47
1987 lalu secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI
Jakarta menjadi wilayah hukum hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.7
Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa bahwa terbentuknya kantor
Pengadilan Agama Jakarta Barat merupakan jawaban dari perkembangan
masyarakat Jakarta.
Faktor terbentuknya kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
adalah sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk di wilayah Jakarta Barat dan
bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Barat
yang wilayahnya cukup luas.
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat mengalami perpindahan tempat.
Pertama kali kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat berada di jalan Limo
Kebayoran Lama, yang merupakan dana dari sebuah yayasan. Dikarenakan status
kepemilikan bangunan masih Hak Guna Bangunan (HGB) maka gedung
Pengadilan Agama lalu berpindah tempat, yang terletak di jalan Flamboyan II/2,
Cengkareng Barat Jakarta Barat. Tergolong tidak strategis karena tidak dilewati
kendaraan umum atau jaraknya ± 1500 M dari jalan Kamal Raya dan
berdampingan dengan rumah susun Cengkareng.8
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun 1994
dan selesai pada tahun 1997 adalah milik Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Kemudian olehnya diserahterimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat
7
Ibid., h. 41.
8
Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h. 45.
48
pada tanggal 19 Mei 19979 untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan
Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum
dan keadilan. Pada saat ini kondisinya sebagai berikut:
1. Luas Tanah
Luas tanah kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya adalah 3.056
M² yang seluruhnya berupa tanah darat.
2. Luas Bangunan kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya 2.400
M².10
Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana instansi yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya yang menjadi landasan
hukum dan landasan kerjanya adalah:
1.
Undang-undang Dasar 1945.
2.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman.
3.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
4.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
5.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan
undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
7.
Keputusan Ketua Menteri Agama RI Nomor KMA/ 004/ SK/ II/ 1992 tanggal
24 Februari 1992 tentang susunan organisasi dan tata kerja kepaniteraan
9
Ibid., h. 45.
10
Ibid., h. 46.
49
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan keputusan Menteri
Agama RI Nomor 303 Tahun 1990 tentang susunan organisasi dan tata kerja
kesekretariatan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
8.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 001/ SK/ I/ 1991 tanggal 24
Januari 1991 tentang pola pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.
9.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 006/ SK/ III/ 1994 tentang
pengawasan dan evaluasi atas hasil pengawasan oleh pengadilan tingkat
banding dan pengadilan tingkat pertama.
10. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama.
11. Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2004 tentang perubahan satu bab
dibawah Mahkamah Agung RI.11
2. Letak Geografis
Secara geografis wilayah Jakarta Barat terletak antara 6º 10’ LS dan 106º
49’ BT. Wilayah hukum Pengadilan agama Jakarta Barat meliputi wilayah kota
Jakarta Barat yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan 49 (empat puluh sembilan)
Kelurahan yaitu:
1.
Kecamatan Cengkareng
Kecamatan Cengkareng terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Cengkareng Timur.
11
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 3 Desember 2010
http://pajb.net
dari
50
2) Kelurahan Cengkareng Barat.
3) Kelurahan Kapuk.
4) Kelurahan Rawa Buaya.
5) Kelurahan Duri Kosambi.
6) Kelurahan Kedaung Kali Angke.12
2.
Kecamatan Grogol Pertamburan.
Kecamatan Grogol Pertamburan terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Grogol.
2) Kelurahan Tanjung Duren Utara.
3) Kelurahan Tanjung Duren Selatan.
4) Kelurahan Tomang.
5) Kelurahan Jelambar.
6) Kelurahan Jelambar Baru.
7) Kelurahan Wijaya Kusuma.13
3.
Kecamatan Tambora.
Kecamatan Tambora terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Tambora.
2) Kelurahan Tanah Sareal.
3) Kelurahan Duri Utara.
4) Kelurahan Duri Selatan.
5) Kelurahan Angke.
12
Ibid.
13
Ibid.
51
6) Kelurahan Roa Malaka.
7) Kelurahan Pekojan.
8) Kelurahan Jembatan Besi.
9) Kelurahan Jembatan Lima.
10) Kelurahan kali Anyar.
11) Kelurahan Krendang.14
4. Kecamatan Taman Sari.
Kecamatan Taman Sari terdiri dari 8 (delapan) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Taman Sari.
2) Kelurahan Glodok.
3) Kelurahan Keagungan.
4) Kelurahan Krukut.
5) Kelurahan Tangki.
6) Kelurahan Maphar.
7) Kelurahan Mangga Besar.
8) Kelurahan Pinangsia.15
5. Kecamatan Palmerah.
Kecamatan Palmerah terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Palmerah.
2) Kelurahan Kota Bambu Utara.
3) Kelurahan Kota Bambu Selatan.
14
Ibid.
15
Ibid.
52
4) Kelurahan Kemanggisan.
5) Kelurahan Jati Pulo.
6) Kelurahan Slipi.
6. Kecamatan Kembangan.
Kecamatan Kembangan terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Kembangan Selatan.
2) Kelurahan Kembangan Utara.
3) Kelurahan Meruya Utara.
4) Kelurahan Meruya Selatan.
5) Kelurahan Srengseng.
6) Kelurahan Joglo.16
7. Kecamatan Kalideres
Kecamatan Kalideres terdiri dari 5 (lima) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Kalideres.
2) Kelurahan Tegal Alur.
3) Kelurahan Kamal.
4) Kelurahan Semanan.
5) Kelurahan Pegadungan.17
Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Jakarta Barat, yaitu:
1) Utara
: Kabupaten Tangerang dan Kota Madya Jakarta Utara.
2) Timur
: Kota Madya Jakarta Utara dan Kota Madya Jakarta Pusat.
16
Ibid.
17
Ibid.
53
3) Selatan
: Kota Madya Jakarta Selatan dan Kota Madya Tangerang.
4) Barat
: Kota Madya Tangerang.18
3. Strukur Organisasi
Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004
tahun 1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama RI
Nomor 303 tahun 1990 tentang susunan organisasi ditetapkan bahwa struktur
organisasi Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana berlaku pada Pengadilan
Agama di lingkungan Departemen Agama RI, adalah sebagai berikut:
a. Ketua
: Drs. H. Musfizal Musa, SH, MH
b. Wakil Ketua
: Drs. Masrur, SH, MH
c. Dewan Hakim
:
- Dra. Nuraini Saladin, SH
- Drs. Asep Gupron, SH
- Drs. TB A Murtaqi, S.Y, SH
- Drs. Muhiddin, SH, MH
- Dra. Ida Hamidah, MH
- H. M. Ali Syarifuddin, M.LC, SH
- Dra. Hj. A. Salimah, SH, MH
- Drs. Abu Thalib Zisma
- Drs. M. Rosyid Ya’kub
- Drs. M. Rizal, SH, MH
18
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h. 41.
54
d. Panitera/ Sekertaris
: Eliakim Sihotang, SH
e. Wakil Sekertaris
: Neneng Kurniati, S.Ag
f. Wakil Panitera
: Hj. Umi Salamah T, SH, MH
g. Ka. Sub. Keuangan
: Imron Rosyidi, SH
h. Ka. Sub Kepegawaian
: Nisrin, SH
i. Ka. Sub. Umum
: Suryatiningsih
j. Panmud Permohonan
: Ruslan P, SH
k. Panmud Gugatan
: Endang. P, SH
l. Panmud Hukum
: Drs. H. Abdul Chaer HN, SH
m. Panitera Pengganti
:
- Turchamun Ichwanuddin, SH
- Saparanto, SH
- Abdul Hamid, S.Ag
- Atiyah Shaufanah, SH
- Patimah, SH
- Junaedi, SH
- Muhlis, SH
n. Jurusita
: Ahlan, SH
o. Jurusita Pengganti
:
- Djuhdan Muharom
- H. Jamhur
- Toto Sudarto
- Imam Suwardi
55
- Rostina, Shi
- Abdul Ghofur.19
STRUKTUR ORGANISASI20
PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
(UNDANG-UNDANG No. 7/1989/ Jo UU No. 3/2006 )
19
20
Ibid., h. 42.
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 3 Desember 2010 dari
http://www.pajb.net/index.php/struktur-organisasi
56
B. Deskripsi/Duduk Perkara
Dalam
surat
gugatan
duduk
perkara/posita
sangat
penting
eksistensinya, setiap surat gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau
fundamentum petendi yaitu menguraikan tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa.21
Biasanya dalam praktik baik dalam putusan ataupun surat gugatan lebih
dikenal atau lebih lazim disebut dengan tentang duduk perkara yang menjadi
dasar yuridis gugatan atau menguraikan secara kronologis duduk perkaranya
kemudian penguraian tentang hukumnya, tidak berarti harus menyebutkan
peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup
hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dalam persidangan nanti sebagai
dasar dari tuntutan.22
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat gugatan tertanggal 27
Februari 2009 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Barat
pada
Nomor
228/Pdt.G/2009/PAJB.
Telah
mengajukan
pokok-pokok
permasalahan sebagai berikut:
1) Bahwa pada tanggal 15 Oktober 1997, Penggugat dengan Tergugat
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh PPN Kantor Urusan Agama
Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat sesuai dengan Kutipan Akta Nikah
Nomor: 497/49/X/1997 tanggal 15 Oktober 1997.
21
Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005), h. 60
22
Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum
Indonesia, 2006), h. 9.
57
2) Bahwa, setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat
tinggal di rumah orang tua penggugat di Tomang, Jakarta Barat.
3) Bahwa selama pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat telah
hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 4 orang
anak yang bernama:
1. Rafli Syafaat, lahir tanggal 29 April 1998.
2. Zulkifli Saifunnuha, lahir tanggal 29 April 1998.
3. Febby Indana Zulva, lahir tanggal 14 Februari 2001.
4. Berliana Rizky Ramadhan, lahir tanggal 26 September 2008.
4) Bahwa kurang lebih sejak bulan Juni tahun 2000 ketentraman rumah
tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah, setelah:
1. Tergugat mempunyai sifat dan sikap serta perilaku yang kasar kepada
Penggugat dimana Tergugat ringan tangan dan suka memukul.
2. Tergugat telah menikah lagi dengan wanita lain bernama Heni tanpa
sepengetahuan dan izin dari Penggugat selaku istri Tergugat.
3. Tergugat sering kali mengucapkan kata-kata cerai kepada Penggugat.
4. Tergugat sering pergi meninggalkan Penggugat dan keluarga tanpa
alasan yang jelas.
5. Tergugat sering berbohong bahkan pada saat menikah dengan
Pengugat, Tergugat mengaku bujangan padahal Tergugat sudah
berkeluarga dan bahkan telah punya 5 orang anak.
58
6. Antara Penggugat dan Tergugat seringkali terjadi perselisihan paham
yang tidak kunjung penyelesaiannya sehingga Penggugat pergi dai
kediaman bersama dalam rangka menghindari keributan.
5) Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan
Tergugat tersebut terjadi kurang lebih pada bulan Februari tahun 2009
yang akibatnya antara Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal.
6) Bahwa Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan
musyawarah namun tidak berhasil.
7) Bahwa 4 orang anak hasil perkawinan Penggugat dengan Tergugat saat ini
masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dari Penggugat sebagai ibu
kandungnya, oleh karenanya mohon Penggugat ditunjuk sebagai pengasuh
dan pemelihara atas anak tersebut.
8) Bahwa, apabila nantinya
Penggugat ditunjuk menjadi pemelihara dan
pengasuh terhadap anak tersebut, maka sudah barang tentu memerlukan
biaya pemeliharaan terhadap anak-anak tersebut di atas mengingat bahwa
Tergugat bekerja di pertambangan dengan gaji kurang lebih Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per bulan, maka Penggugat menuntut
kepada Tergugat biaya pemeliharaan untuk empat orang anak sebesar Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah) per bulan sampai keempat anak dewasa dan
mandiri, di luar biaya kesehatan dan pendidikan.23
23
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
59
C. Profil dan Pihak Yang Terlibat
a. Penggugat adalah Purnama Dewi binti E. Subandi, umur 34 tahun, agama
Islam, ibu rumah tangga, alamat Jalan Tomang Tinggi 1 RT. 09 RW. 06
No. 13 Kelurahan Tomang Kecamatan Grogol Petamburan Kota Jakarta
Barat.
b. Tergugat adalah Syafrin, SE bin Kamaludin, umur 45 tahun, agama Islam,
Pegawai Swasta, alamat Jalan Maluku Villa Bintaro Regency Rt. 01 RW.
08 No. Blok C 5 No. 8 Kelurahan Pondok Kacang Timur Kec. Pondok
Aren Kabupaten Tangerang.
c. Kuasa Hukum Penggugat adalah Lukman Sinambela, SH Advokat
berkantor pada PROFESSIO Law Firm, alamat di Menara Kuningan Lt. 9
FGH, Jalan Rasuna Said Blok. X7 Kav. 5, Jakarta.
d. Kuasa Hukum Tergugat adalah Hermansyah, SH Advokat dan konsultan
Hukum pada kantor Lembaga Advokasi & Mediasi Asuransi Indonesia
(LAMAI) beralamat Jl. Sultan Iskandar Muda No. 18 (arteri pondok
indah) Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
e. Eem Suhaemi binti Darmo, umur 75 tahun, agama Islam, alamat Tomang
Tinggi I/13 Rt.09/06 Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat
adalah sebagai saksi I dari pihak Penggugat yang telah memberikan
keterangan di muka persidangan.
f. Sofa Marwah binti Abdul Ghofur, umur 36 tahun, agama Islam, ibu rumah
tangga, alamat Ngadimangun Perak Rt.001/01 No. 10, Jombang, Jawa
60
Timur adalah Saksi II dari pihak Penggugat yang telah memberikan
keterangan di muka persidangan.
g. Dra. Ida hamidah, MH yaitu sebagai Hakim Ketua.
h. Drs. TB. A. Murtaqi, SY, SH yaitu sebagai Hakim Anggota I.
i. Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, MH yaitu sebagai Hakim Anggota II.
j. Patimah, S. Ag yaitu sebagai Panitera Pengganti.24
D. Pertimbangan Hukum Hakim
Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu
keadilan dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa atau
fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari
pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting dan tidak penting
(mengkualifikasi), dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai
keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dalam petitum25 dari gugatan penggugat,
putusan No. 228/Pdt. G/2009/PAJB, maka pertimbangan hukum majelis
hakim yang mencakup hal-hal pokok tersebut, antara lain:
Pertimbangan pertama bahwa berdasarkan pokok gugatan Penggugat
dan pengakuan Tergugat, bahwa pada tanggal 15 Oktober 1997, Penggugat
24
25
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
Petitum ialah pokok-pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut
satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat
yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat. Lihat juga M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata: Tentang Gugtan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,
h.63.
61
dan Tergugat melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Grogol Petamburan Kota Jakarta
Barat sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 497/49/X/1997 tanggal 15
Oktober 1997.26
Pertimbangan kedua bahwa posita dan petitum gugatan Penggugat
telah nampak dengan jelas menunjukkan adanya sengketa perkawinan dan
dengan didasarkan kepada pernyataan Penggugat dan senyatanya Penggugat
berada di wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Barat, maka berdasarkan
kepada ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf (a) dan pasal 73 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 maka Pengadilan Agama Jakarta Barat berwenang menerima,
memeriksa, dan menyelesaikan perkara tersebut.27
Pertimbangan ketiga berdasarkan dari jawaban dan duplik Tergugat
dalam hubungannya dengan dalil-dalil gugatan dan replik Penggugat ternyata
tidak saling bantah oleh kedua belah pihak bahwa rumah tangga mereka sudah
tidak harmonis adanya perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus dan
kini antara Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal sejak Februari
2009 sampai sekarang, Penggugat meninggalkan kediaman bersama untuk itu
Penggugat mohon dijatuhkan talak satu bain sugro/diceraikan dari Tergugat.28
26
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
27
Ibid.
28
Ibid.
62
Pertimbangan keempat berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh
Penggugat untuk menguatkan gugatannya selain mengeluarkan bukti-bukti
tertulis, tetapi memberikan bukti-bukti lain, yakni mengajukan beberapa orang
saksi yaitu Eem Suhaemi (sebagai ibu kandung Penggugat) dan Sofa Marwah
(sebagai pembantu rumah tangga Penggugat dan Tergugat) di muka
persidangan. kedua orang saksi tersebut telah berusaha mendamaikan
Penggugat dan Tergugat agar rukun kembali dalam berumah tangga, namun
tidak berhasil.29 Tergugat di dalam persidangan menyatakan bahwa ia tidak
ada serta tidak akan mengajukan alat-alat bukti surat-surat maupun saksi-saksi
yang mendukung bantahannya.
Pertimbangan kelima berdasarkan ketentuan pasal 165 HIR, bahwa
semua bukti tersebut merupakan bukti otentik dan mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat, sehingga dapat dijadikan alat bukti
yang sah.30
Pertimbangan
keenam
bahwa
Perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
(tentram cinta dan kasih sayang). Sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tapi tidak dapat terwujud
antara Penggugat dan Tergugat.
29
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
30
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 145
63
Pertimbangan ketujuh berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
Majelis Hakim berpendapat bahwa telah terbukti antara Penggugat dan
Tergugat rumah tangganya sudah tidak harmonis lagi telah terjadi perselisihan
dan percekcokan disebabkan adanya kesalahpahaman di antara kedua belah
pihak hilangnya kepercayaan di antara keduanya sudah tidak saling
mempercayai yang akhirnya terjadi pisah tempat tinggal sejak Februari 2009
sampai sekarang tidak kumpul lagi dengan demikian gugatan cerai Penggugat
telah memenuhi alasan hukum sesuai ketentuan pasal 39 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Jo.
Pasal 116 huruf (f) KHI, sudah sepatutnya gugatan Penggugat dikabulkan
untuk dijatuhkan talak satu bain sugro Tergugat kepada Penggugat.31
Pertimbangan kedelapan menimbang bahwa Penggugat dalam
petitumnya menuntut keempat orang anak diasuh oleh Penggugat, sedangkan
Tergugat tidak keberatan terhadap ketiga orang anak yang bernama Rafli
Syafa’at, lahir tanggal 29 April 1998, Zulkifli Syaifunnuha, lahir tanggal 29
April 1998, dan Berliana Rizki Ramadhan, lahir tanggal 26 September 2008
diasuh dan dipelihara oleh Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa ketiga orang anak tersebut ditetapkan berada dalam asuhan dan
pemeliharaan (hadhanah) Penggugat.32
Pertimbangan kesembilan menimbang bahwa antara Penggugat dengan
Tergugat tidak ada kesepakatan tentang pemeliharaan terhadap anak yang
bernama Febby Indana Zulva, maka berdasarkan ketentuan pasal 41 (a)
31
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
32
Ibid.
64
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi:
“baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata
perselisihan
mengenai
berdasarkan kepentingan
penguasaan
anak-anak,
anak;
bilamana
Pengadilan
ada
memberi
keputusannya”. Oleh karena yang menentukan pemeliharaan (asuh) adalah
Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Barat. Maka Majelis
Hakim menimbang bahwa anak yang bernama Febby Indana Zulva, lahir
tanggal 14 Februari 2001 meskipun masih di bawah umur tetapi pada saat ini
anak tersebut berada dalam pemeliharaan tergugat dan telah pula anak tersebut
sekolah dekat kediaman tergugat, maka Majelis Hakim menilai bahwa karena
usia anak tersebut sulit untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dan
tidak terbukti tergugat telah melalaikan dan menelantarkan anak tersebut, dan
demi menjaga perkembangan jiwa anak tersebut dan demi kepentingan anak
tersebut sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No. 23 Tentang Perlindungan
Anak, maka hak asuh/ pemeliharaan (hadhanah) terhadap anak yang bernama
Febby Indana Zulva, lahir tanggal 14 Februari 2001 ditetapkan kepada
Tergugat.33
33
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
BAB IV
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA
BARAT TENTANG HAK HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK
A. Peranan Hakim Dalam Penyelesaian Perkara Hadhanah Anak
Hakim mempunyai peran yang sangat penting tentunya ketika di persidangan,
dimana mengatur persidangan agar berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang
berlaku ketika persidangan sedang berlangsung. Peranan hakim atas perkara yang
datang padanya terbatas pada memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Hakim yang bisa memutuskan perkara dengan baik adalah yang memiliki
pengetahuan yang luas akan hukum. Umar ra. telah menyarankan pada Abu Musa AlAsy„ari untuk mendapatkan pengetahuan tentang sumber hukum Islam dan
kemampuan menerapkannya pada kasus ijtihad dan qiyas dengan mengatakan:
“Pergunakanlah paham pada sesuatu yang dikemukakan kepadamu dari hukum yang
tidak ada dalam Al-Qur’an dan tidak ada pula dalam Sunnah. Kemudian
bandingkanlah urusan-urusan itu satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah) hukumhukum yang serupa. Kemudian ambillah mana yang lebih mirip dengan kebenaran”.1
Pernyataan di atas berarti bahwa seorang hakim harus mampu melakukan
ijtihad antara lain untuk menginterpretasikan hukum di beberapa kasus yang ambigu
1
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
103.
65
66
dan untuk menerapkannya pada kasus-kasus lain, mengingat dan mengenali prinsipprinsip interpretasi. Imam Syafi‟i, Hanbali, dan Maliki mempunyai beberapa
pandangan bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan untuk melakukan
ijtihad. Sebagai konsekuensi bagi yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
ijtihad adalah seorang mukalid, semua ulama mazhab tersebut berpendapat bahwa
orang tersebut tidak layak untuk menjadi hakim. Sementara mazhab Hanafi
memandang bahwa seorang mukalid, dengan pengetahuan yang cukup tentang AlQur‟an, Sunnah, dan sumber hukum Islam lainnya, dapat diizinkan menjadi hakim.2
Penemuan hukum, lazimnya diartikan sebagai “proses pembentukan hukum
oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret”. Dengan demikian, selain
hakim ada unsur lain yang juga bisa menemukan hukum, yakni salah satunya adalah
ilmuwan hukum. Hanya saja, kalau penemuan hukum oleh hakim menjadi hukum
(dalam istilah lain yurisprudensi), karena ia akan menjadi preseden bagi hakim lain
dalam kasus yang sama, akan tetapi hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum
bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin.3
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa hakim sangat berperan dalam
menemukan hukum melalui pencarian makna normatif dari suatu undang-undang.
2
3
Ibid., h. 103.
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 126.
67
Pada sisi ini tampak bahwa hakim tidak semata-mata menggunakan asas legalitas
dalam menerapkan hukum, karena banyak kasus atau peristiwa yang belum tercover
oleh norma legalitas dan karena itu, masih membutuhkan pencarian untuk
menemukan hukum guna menyelesaikan kasus atau peristiwa hukum tertentu.
Berkaitan dengan hal ini, penulis menganalisis perkara hadhanah anak
menurut segi-segi persamaan dan perbedaan dengan fikih dan hukum positif.
B. Segi-segi Persamaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif
Segi-segi persamaan dengan fikih dan hukum positif tentang hadhanah anak
belum mumayiz, sebagai berikut:
1. Adanya kewajiban orang tua untuk melakukan hadhanah.
Ketentuan fikih maupun hukum positif (dalam hal ini ketentuan Hukum
Perdata, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Undangundang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) mewajibkan kepada orang
tua untuk melakukan hadhanah.
Para fuqaha mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anakanak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar
tetapi belum tamyiz, menjaganya dari sesuatu yang merusaknya, mendidik jasmani,
rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri.4 Islam telah mewajibkan pemeliharaan
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 287.
68
anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa
mengharapkan bantuan orang lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil
adalah wajib karena apabila anak yang masih di bawah umur dibiarkan begitu saja
maka akan bahaya. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya.
Dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Bubarnya perkawinan karena
perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu
kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undangundang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”. 5 Menurut pasal tersebut
di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi
perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah
anak yang dilahirkan atas perkawinan yang sah. Dalam tinjauan hukum perdata
mengenai siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di
bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur.
Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka
5
Ibid., h. 55-56.
69
dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna
membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.6
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4245 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang
belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang
tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kewajiban orang tua memelihara
anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan
(memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas
yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial
ekonomi orang tua si anak.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk
mengasuh,
memelihara,
mendidik,
dan
melindungi
anak,
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya serta
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.7
6
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 72.
7
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2009), h. 24-25.
70
2. Hak hadhanah bagi anak belum mumayiz adalah hak ibunya.
Ketentuan fikih maupun hukum positif (ketentuan hukum yang termuat dalam
KHI) menyatakan bahwa hak hadhanah bagi anak belum mumayiz adalah hak ibunya.
Dalam ketentuan fikih, pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, oleh karena itu,
para ulama fikih menyimpulkan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada
kerabat bapak. Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991) Pasal 105 huruf (a) yang
menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.8 Pasal 156 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan
karena perceraian ialah: “anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah
dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
8
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 172.
71
3. Demi kemaslahatan anak.
Berdasarkan ketentuan pasal 41 (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yang berbunyi:
“baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak”.9
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal
2, meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas
kepentingan yang terbaik bagi anak.10
Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan ketentuan fikih, yaitu
sama-sama mengutamakan kemaslahatan anak. Dalam ketentuan fikih, ibu lebih
berhak dan diutamakan melakukan hadhanah daripada bapak, karena ibu mempunyai
kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu
mendidik anak. Kesabaran ibu lebih besar daripada bapak, selain itu, waktu yang
dimiliki ibu lebih lapang daripada bapak. Dengan demikian, ibu lebih diutamakan
demi menjaga kemaslahatan anak.
Dalam kaitannya dengan perkara ini, salah satu pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara yaitu mengedepankan kemaslahatan anak. Meskipun masih di
bawah umur tetapi anak tersebut telah bersekolah dan berada dalam pemeliharaan
9
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.
16-17.
10
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 24.
72
bapaknya.11 Lingkungan sekolah adalah lingkungan yang benar-benar baru dan
penting bagi anak. Dengan memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru dan
menyaksikan perilaku anggota masyarakat barunya ia mulai mengkaji ulang semua
pelajaran dan perilaku yang diperolehnya di lingkungan keluarga, untuk kemudian
memilih bentuk yang tetap bagi dirinya.12 Oleh karena itu, masa kanak-kanak adalah
masa yang sangat penting dan menentukan. Dengan demikian, apabila anak diasuh
oleh ibunya ini akan menyengsarakan si anak, karena butuh waktu yang lama untuk si
anak beradaptasi dengan lingkungannya yang baru baik lingkungan di sekolah
maupun lingkungan di sekitarnya.13
C. Segi-segi Perbedaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif
Adapun segi perbedaan dengan fikih dan hukum positif tentang hadhanah
anak belum mumayiz, yaitu:
Dalam
ketentuan
fikih,
seorang
pengasuh
yang
menangani
dan
menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan
dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat
hadhanah, antara lain:
11
Wawancara pribadi dengan Ida Hamidah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat. Jakarta,
7 Febuari 2011.
12
13
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 114.
Wawancara pribadi dengan Ida Hamidah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat. Jakarta,
7 Febuari 2011.
73
1. Baligh dan berakal sehat.
2. Dewasa.
3. Mampu mendidik.
4. Amanah dan berakhlak.
5. Islam.
6. Ibunya belum menikah lagi.
7. Merdeka.
Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti terlihat jelas dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa.
Namun, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun
KHI tidak membahas mengenai syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini
berbeda dengan aturan fikih yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus
memenuhi beberapa kriteria jika ingin mendapatkan hak asuh.
Pada dasarnya putusan dituntut untuk menciptakan suatu keadilan, dan untuk
itu hakim melakukan penilaian dan pemeriksaan terhadap peristiwa dan fakta-fakta.
Hal ini dapat dilakukan lewat pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting
dan tidak, dan menanyakan kembali pada pihak lawan mengenai keterangan saksi dan
fakta-fakta yang ada. Maka dalam putusan hakim, yang perlu diperhatikan adalah
74
pertimbangan hukumnya,14 sehingga dapat dinilai apakah putusan yang dijatuhkan
cukup memenuhi alasan yang objektif atau tidak.15
Berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara
hadhanah ini, menetapkan Tergugat mempunyai hak dalam mengasuh,merawat, serta
mendidik anak demi kepentingan anak. Menurut pendapat penulis, apabila hal ini
untuk dipergunakan sebagai supremasi hukum yang telah diatur menurut perundangundangan, hakim telah berijtihad dan telah menerapkan landasan hukum yang kuat
serta dapat diutarakan dengan alasan yang tepat. Sebab, hakim dalam berinterpretasi
harus berasaskan keadilan dan kemaslahatan umat.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat ketidaksesuaian putusan Pengadilan Agama
Jakarta Barat dengan ketentuan fikih dan hukum positif (dalam hal ini ketentuan
hukum yang termuat dalam KHI dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan). Hal ini dijelaskan dengan pertimbangan-pertimbangannya yaitu dengan
memutuskan berdasarkan kepentingan anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
105 menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur
12 tahun adalah hak ibunya. Apabila anak sudah mumayiz, maka diserahkan kepada
anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
14
Pertimbangan yang dimaksud ialah seorang hakim dalam mempertimbangkan hukum harus
merujuk kepada per-undang-undangan dan peraturan yang berkaitan dengan hal itu.
15
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, cet. VI, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 79.
75
pemeliharaannya. Adapun biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah. 16 Dalam pasal
156 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
“anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia”.
Satu hal yang kiranya layak untuk dipikirkan, bahwa hakim dalam
pertimbangan-pertimbangannya
mengambil
jalan
tengah
yaitu
dengan
mempertimbangkan rasa kasih sayang seorang bapak dan ibu terhadap anak-anaknya,
masing-masing tidak mau berpisah dengan anaknya, dan dengan melihat kenyataan
bahwa anak-anak itu ada empat orang, maka jalan tengah yang mungkin dilalui, anakanak dibagi dua, satu orang ikut bapaknya dan yang lain ikut ibunya. Dengan
kebijaksanaan seperti itu, di samping tidak ada yang dikalahkan, juga masing-masing
sempat hidup bersama anaknya karena masing-masing pihak selama ini telah
memperlihatkan i‟tikad baiknya terhadap anak-anak. Jika ibunya demi kepentingan
anak telah sanggup berpisah dengan anaknya dan melepaskan hak asuh anak kepada
bapak, maka boleh jadi bapaknya memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk
memelihara anak itu. Maka, pengorbanan dan kasih sayang masing-masing pihak
dalam kasus ini tidak layak bila direnggut oleh pertimbangan-pertimbangan yuridis
yang terlalu formal.
Menurut pendapat penulis, keputusan majelis hakim tentunya sudah terbilang
sangat bijaksana karena dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini tidak hanya
16
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 172.
76
mengacu pada ketentuan formalnya saja, melainkan juga dengan mempertimbangkan
nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah Islam, lingkungan bapak dan
ibu yang akan diberikan hak hadhanah dan aspek lain demi kemaslahatan diri anak
yang akan menjadi asuhannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sangat
penting untuk mengetahui keputusan-keputusan Pengadilan yang dapat dianggap
sebagai implementasi praktis dari teks-teks hukum fikih. Keputusan-keputusan
tersebut menyelesaikan persoalan-persoalan konkret dalam kehidupan dan hakim juga
mempertimbangkan teks-teks tersebut sesuai dengan realitas kehidupan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Hakim dalam memutuskan suatu perkara, berijtihad berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah Nabi SAW, dan menggunakan dasar pemikiran yang rasional yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam serta menggunakan konsep maslahah
al-mursalah yaitu maslahah dimana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk
mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas
pengakuan atau pembatalannya. Berkaitan dalam perkara ini, yaitu dilihat dari
segi kemaslahatan anak. Anak tersebut sudah sekolah dan merasa nyaman
tinggal bersama bapaknya. Dan apabila anak diasuh oleh ibunya akan
menyengsarakan si anak, sebab dibutuhkan waktu yang lama untuk anak
beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, baik lingkungan di sekolah
maupun di sekitarnya.
2. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan
perkara hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz dalam putusan
perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB, sebagai berikut:
77
78
1) Pertimbangannya yaitu mengedepankan kepentingan anak. Hal ini
merupakan paling utama yang harus dilakukan. Karena kepentingan anak
adalah hal yang paling penting dan harus diutamakan.
2) Pertimbangan yuridis dan normatif seperti merujuk kepada peraturan
perundang-undangan, yaitu pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Selain itu, Undang-undang No. 23 Tahun 2002
Tentang
Perlindungan
Anak,
meletakkan
kewajiban
memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas kepentingan yang terbaik bagi
anak.
3) Pertimbangan psikologis dan sosiologis anak. Dalam kasus ini, meskipun
anak masih di bawah umur tetapi ia berada dalam pemeliharaan bapaknya
dan telah bersekolah, hubungan emosional anak dengan bapaknya lebih
erat dibandingkan dengan ibunya. maka secara kejiwaan hakim bisa
melihat hal tersebut.
4) Pertimbangan dari segi pemegang hadhanah anak. Adapun syarat-syarat
hadhanah antara lain:
1) Baligh dan berakal sehat.
2) Dewasa.
3) Mampu mendidik.
4) Amanah dan berakhlak.
5) Islam.
6) Ibunya belum menikah lagi.
79
7) Merdeka.
B. Saran-saran
Dari pemaparan di atas, saran penulis sebagai berikut:
1. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci lahir dan batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
sakinah mawaddah wa rahmah, dengan demikian menjaga keutuhan keluarga
dalam kehidupan rumah tangga adalah suatu hal yang sangat penting bagi
sebuah keluarga. Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga hendaknya
diselesaikan dengan jalan damai dan musyawarah terlebih dahulu. Cara terbaik
dalam menyelesaikan sebuah permasalahan adalah dengan kepala dingin dan
tidak bersikap emosional. Sehingga, perselisihan yang terjadi dalam sebuah
rumah tangga tidak langsung diselesaikan dengan jalan Pengadilan.
2. Apabila terjadi perceraian, maka anak merupakan pihak yang paling dirugikan.
Oleh karena itu, perlu berpikir panjang dalam mengambil sebuah keputusan
untuk menjadikan perceraian sebagai alternatif terakhir untuk mengakhiri
sebuah bahtera rumah tangga mengingat banyaknya dampak yang ditimbulkan
dari perceraian tersebut.
80
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
Buku
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
2007.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Al-Huda, 2006.
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2008.
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqh Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah
Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Dalam Kalangan Ahlussunnah
dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN
Jakarta, 1984/1985. Jilid II.
Djubaedah, Neng, dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Hecca
Utama, 2005.
Ghazali, Abd.Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006.
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, cet.Ke-1,
Jakarta: Rajawali Press, 2000.
81
Hasibuan, Fauzie Yusuf Hukum Acara Perdata, Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum
Indonesia, 2006.
Ibrahim, Johny, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. II, Jawa
Timur: Baymedia Publising,2006.
Kamil, Faizal, Asas Hukum Acara Perdata, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005.
Kusein, Abdur Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana, 2008.
-------------,
Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Jakarta: Kencana,
2007.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2006.
Muttaqien, Dadang, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 1999.
M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2005.
Nuruddin, Amiur, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, Jakarta: Al-I‟tishom, 2008.
Salim, Arskal, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Ciputat: Puskumham UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009.
Soeroso, R, Praktik Hukum Acara Perdata, cet. VI, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
82
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Tim Penulis, Relasi Suami Istri Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, cet.I, Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986.
Warson, Ahmad, Kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,
1997.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010.
Kitab Fikih
Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Syeikh Al-Syihab Al-Din, Al-Mahalli Juz IV, Kairo:
Dar Wahya Al-Kutub, 1971.
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, Damaskus: Daar AlFikr, 1984.
Sabiq, Sayyid, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, Beirut-Lubhan: Dar al-Fikr, 1973.
Uwaidah, Muhammad dan Muhammad, Syaikh Kamil, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004.
Kitab Hadis
As-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Al-„Asy‟ats, Sunan Abu Daud Juz I, Beirut:
Daar Fikr, 2003.
As-Shan‟ani, Imam Muhammad Ibnu Ismail, Subulussalam Juz III, Kairo: Dar Ihya
Al-Turas Al-Araby, 1960.
Perundang-undangan
Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
83
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk
Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Undang-undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Bandung: PT. Citra
Umbara, 2003.
Artikel Dari Internet
Abdulloh, Ali, “Hadhanah”, artikel diakses pada 11 Januari 2011 dari
http://aliabdulloh.blogspot.com.
Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang Pembentukan
Cabang Mahkamah Islam”, artikel diakses pada 3 Desember 2010, dari
www.indolaw.net/Seiten/SachindexHead.html
Muttaqien, Dadang, “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 3 Desember
2010 dari http://msi-uii.net.baca.asp?kategori=rubrik&menu=259
Pengadilan Agama Jakarta Barat, “Peraturan Dan Undang-undang Peradilan”, artikel
diakses pada 3 Desember 2010 dari http://pa-jakartabarat.go.id
Pengadilan Agama Jakarta Barat, “Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Jakarta
Barat”, artikel diakses pada 3 Desember 2010 dari http://pa-jakartabarat.go.id
Pengadilan Agama Jakarta Barat, “Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta
Barat”, artikel diakses pada 3 Desember 2010 dari http://pa-jakartabarat.go.id
Wawancara Dan Arsip
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.
Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009.
Wawancara pribadi dengan Ida Hamidah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Jakarta, 7 Febuari 2011.
84
PEDOMAN WAWANCARA
1. Sudah berapa lama ibu menjabat sebagai hakim?
2. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah selama ini yang anda
lakukan sebagai seorang hakim?
3. Perkara hadhanah biasanya diajukan setelah putusnya perkawinan, lalu
siapakah yang paling banyak dari pihak yang berperkara yang mengajukan
hak asuh anak?
4. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini, butuh waktu berapa lama? Dan
perlu berapa kali sidang?
5. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah banyak hambatan alias
terulurnya waktu dalam memutuskan perkara?
6. Bagaimana pengalaman ibu selama menjadi hakim, apakah pernah mendapat
perkara hadhanah anak yang diberikan kepada bapak?
7. Menurut ibu hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak
hadhanah anak diberikan kepada pihak bapak bukan kepada pihak ibu?
8. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan
dalam putusan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB?
9. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga hak hadhanah anak
belum mumayiz diberikan kepada bapak?
85
HASIL WAWANCARA
Hari/ Tanggal
: Senin, 7 Februari 2011
Waktu
: 13.00-15.00 WIB
Tempat
: Ruang Hakim IV Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nama Responden
: Dra. Ida Hamidah, MH
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Sudah berapa lama ibu menjabat sebagai hakim?
Saya menjabat sebagai hakim selama 17 tahun yaitu mulai dari tahun 1993
sampai sekarang ini yaitu tahun 2010. Pada tahun 1993, saya menjabat
sebagai hakim di Pengadilan Agama Tangerang. Kemudian, pada tahun
2003, saya berpindah tugas ke Pengadilan Agama Jakarta Barat dan
menjabat sebagai hakim di Pengadilan Agama Jakarta Barat sampai saat ini.
2. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah selama ini yang anda
lakukan sebagai seorang hakim?
Perkara hadhanah ini terkadang diajukan dalam sebuah pokok perkara yaitu
apabila terjadi penyimpangan, seperti mengingkari sebuah kesepakatan, atau
salah satu pihak orang tua si anak dihalang-halangi untuk tidak bertemu
dengan anak. Sehingga, dengan pelarangan tersebut menyebabkan tidak
tercapainya kasih sayang orang tua kepada anak. Kemudian, ada juga
perkara hadhanah ini diajukan semata-mata demi menjaga kepentingan anak,
maka
para
pihak
yaitu
orang
tua
anak
tersebut
tidak
ingin
86
mempermasalahkan pengasuhan terhadap anak tersebut. Dengan kata lain,
pihak orang tua anak sepakat bahwa pengasuhan anak diberikan kepada
pihak manapun yang lebih berhak atas pengasuhannya baik pihak ibu
maupun pihak bapak.
Dalam pengasuhan anak, sebagaimana pasal 41 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi
keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Perkara hadhanah ini diajukan setelah putusnya perkawinan, dengan alasan
yang beraneka ragam, salah satunya yaitu karena si anak ditelantarkan
begitu saja oleh orang tua yang mengasuhnya. Adapun mengenai orang
yang berhak atas pengasuhan atau pemeliharaan anak yaitu melihat kepada
agama dan akhlak dari si pemegang hak asuh anak tersebut.
3. Perkara hadhanah biasanya diajukan setelah putusnya perkawinan, lalu
siapakah yang paling banyak dari pihak yang berperkara yang mengajukan
hak asuh anak?
Seimbang, antara pihak ibu maupun pihak bapak.
87
Apabila cerai talak putusannya verstek, maka yang mengajukan adalah pihak
ibu dari anak tersebut. Pada umumnya, pihak ibu karena tidak sedikit pula
ibu yang meminta kepada Pengadilan agar hak asuh anak diberikan padanya.
4. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini, butuh waktu berapa lama? Dan
perlu berapa kali sidang?
Sidang maraton dilakukan seperti biasa yaitu mulai dari mediasi, pembacaan
gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian,
kesimpulan, dan terakhir yaitu putusan. Dalam menyelesaikan perkara
hadhanah ini membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan, yaitu perkara masuk
ke Pengadilan pada bulan Februari dan diputus dengan Berkekuatan Hukum
Tetap pada bulan September.
5. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah banyak hambatan alias
terulurnya waktu dalam memutuskan perkara?
Hambatannya yaitu karena tempat tinggal tergugat jauh di luar wilayah
Jakarta Barat, yaitu di daerah Jakarta Selatan. Surat panggilan atau relaas
yang ditujukan kepada tergugat dikirim melalui pos selama satu bulan.
Namun, perkara hadhanah ini tidak terulur atau tepat waktu.
6. Bagaimana pengalaman ibu selama menjadi hakim, apakah pernah mendapat
perkara hadhanah anak yang diberikan kepada bapak?
Saya pernah memberikan putusan perkara hadhanah yakni memberikan hak
hadhanah anak kepada bapak, ketika putusan tersebut saya putuskan di
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
88
7. Menurut ibu hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak
hadhanah anak diberikan kepada pihak bapak bukan kepada pihak ibu?
Faktornya yaitu melihat kepada kepentingan si anak. Karena kepentingan
anak adalah hal yang paling utama. Bila kepentingan anak diabaikan oleh
orang tua yaitu si ibu maka boleh jadi hak hadhanah anak tersebut diberikan
kepada si bapak. Kemudian melihat kepada faktor sosiologis dan psikologis
anak tersebut. Kedekatan antara anak dengan bapaknya dapat menjadikan
suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada pihak bapak.
Selain itu juga, melihat kepada agama serta akhlak si pemegang hak
hadhanah tersebut karena pemegang hadhanah berkewajiban untuk
mengasuh serta mendidik anak menjadi baik.
8. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan
dalam putusan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB?
Hakim dalam memutuskan suatu perkara, berijtihad berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah Nabi SAW, dan menggunakan dasar pemikiran yang rasional yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam serta menggunakan konsep
maslahah al-mursalah. Dilihat dari segi kemaslahatan anak. Anak tersebut
sudah sekolah dan merasa nyaman tinggal bersama bapaknya. Dan apabila
anak diasuh oleh ibunya akan menyengsarakan si anak, sebab dibutuhkan
waktu yang lama untuk anak beradaptasi dengan lingkungannya yang baru,
baik lingkungan di sekolah maupun di sekitarnya.
9. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga hak hadhanah
anak belum mumayiz diberikan kepada bapak?
89
1. Pertimbangannya yaitu mengedepankan kepentingan anak. Hal ini
merupakan paling utama yang harus dilakukan. Karena kepentingan
anak adalah hal yang paling penting dan harus diutamakan.
2. Pertimbangan yuridis dan normatif seperti merujuk kepada peraturan
perundang-undangan, yaitu pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Selain itu, Undang-undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, meletakkan kewajiban memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas kepentingan bagi anak.
3. Pertimbangan psikologis dan sosiologis anak. Dalam kasus ini,
meskipun anak masih di bawah umur tetapi ia berada dalam
pemeliharaan bapaknya dan telah bersekolah, hubungan emosional anak
dengan bapaknya lebih erat dibandingkan dengan ibunya. maka secara
kejiwaan hakim bisa melihat hal tersebut.
4. Pertimbangan dari segi pemegang hadhanah anak. Adapun syarat-syarat
hadhanah antara lain:
1. Baligh dan berakal sehat.
2. Dewasa.
3. Mampu mendidik.
4. Amanah dan berakhlak.
5. Islam.
6. Ibunya belum menikah lagi.
7. Merdeka.
Download