Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau, Provinsi Sumatera

advertisement
Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau,
Provinsi Sumatera Selatan
Hatta Setiawan dan Cecep Darmawan
Volume 3 Nomor 2,
Oktober 2016: 57-63
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Jln. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154
Tlp. 081928816166, E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat
dan aparat desa dalam mempertahankan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam aturan
adat Semende yang ada di lingkungannya. Metode etnografi dengan pendekatan kualitatif
digunakan untuk mengumpulkan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi,
serta dianalisis melalui reduksi data, penyajian, hingga penarikan kesimpulan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Ulu Danau memberikan kelonggaran
dalam pelaksanaan adat, dan aparat desa telah mulai berupaya untuk mempertahankan
aturan adat dengan memaksimalkan peran para pemuka adat, tokoh masyarakat, dan
warga.
Kata kunci: pelestarian adat, Semende, Ulu Danau
Abstract
The Efforts to Conserve Semende Customs in Ulu Danau Village, South Sumatera
Province. This study aims to determine the efforts undertaken by the community and village
officials in defending the noble values contained in the existing customs rules of Semende
in the area. The ethnographic method with a qualitative approach is used to collect data
through observation, interviews, and documentation, which are analyzed through data
reduction, presentation, and finally can be drawn for conclusion. The results show that the
villagers of Ulu Danau provide the concession for the implementation of custom, and the
village officials have begun the efforts to maintain their custom rules to maximize the roles
of traditional leaders, community leaders, and citizens.
Keywords: conserve customs, Semende, Ulu Danau
Pendahuluan
Berangkat dari Peraturan PerundangUndangan No. 6 Tahun 2014 Mengenai Desa
dengan pertimbangan untuk melindungi hak
tradisional masyarakat desa dengan tujuan
luhur guna mewujudkan masyarakat desa yang
adil, makmur, dan sejahtera, undang-undang
ini menempatkan salah satu fokus yang harus
dikembangkan, yaitu mengenai adat yang berada
di dalam tubuh masyarakat desa. Sebagai upaya
merespons amanat pemerintah yang tertuang dalam
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ini, Pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan mengeluarkan Peraturan
Naskah diterima: 10 Maret 2016; Revisi akhir: 15 Mei 2016
Daerah Provinsi Sumatera Selatan No. 4 Tahun
2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah.
Perda daerah ini bertujuan untuk menjaga aset
daerah dan menjamin terpeliharanya kebudayaan
daerah yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.
Masyarakat Provinsi Sumatera Selatan secara
umum memiliki banyak kekayaan adat dan istiadat
yang ada di setiap daerah. Salah satu suku yang
terbesar yang berada di daerah Sumatera Selatan
ialah Suku Semende. Suku ini merupakan salah
satu suku asli atau suku pribumi di dataran Pulau
Sumatera bagian selatan. Mayoritas kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat adat Semende ialah
beragama Islam. Menurut para pemuka adat
57
Hatta Setiawan dan Cecep Darmawan, Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau
yang berada di Desa Ulu Danau, adat Semende
itu dipengaruhi oleh budaya Islam sehingga sangat
kental aroma silaturahmi di dalamnya. Hal ini
disebabkan leluhur masyarakat adat Semende telah
mengenalkan agama Islam sejak dulu kala.
Selain menjadikan agama Islam sebagai
pedoman hidup, masyarakat adat Semende
juga terkenal dengan beberapa adat yang tidak
tertulis. Beberapa adat yang cukup dikenal di
kalangan masyarakat daerah Sumatera Selatan
ialah adat Tunggu Tubang, Jenang Jurai, dan adat
Besundi Besundat Besingkuh. Adat Tunggu Tubang
merupakan adat yang diperuntukkan kepada wanita
tertua dalam sebuah keluarga yang berkewajiban
untuk mengelola harta pusaka demi kepentingan
pribadi dan membantu saudara-saudaranya hingga
dapat hidup mandiri (Guspitawaty 2002).
Adat Jenang Jurai merupakan adat yang
diperuntukkan kepada anak laki-laki dalam setiap
keluarga yang berfungsi sebagai penyeimbang dan
pengawas pelaksanaan kewajiban Tunggu Tubang
dalam mengelola harta pusaka yang berupa kebun,
sawah, dan rumah, selain itu Jenang Jurai juga
memiliki peran sebagai pemimpin (Setiawan 2013).
Berdasarkan sifat adat yang sebagian besar
tidak tertulis, adat rentan mengalami penyimpangan
dan tidak membutuhkan rintangan besar untuk
mengalami ketergerusan terhadap nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya (Seragih 1996). Berbagai
penyebab ketergerusan tersebut lebih disebabkan
oleh berbagai pencampuran budaya yang
diakibatkan oleh percampuran penduduk dalam
program transmigrasi pada masa lampau yang
menyebabkan masyarakat hukum adat mengalami
berbagai perubahan (Hadikusuma 2003).
Mengacu dari beberapa pendapat tersebut,
pada era globalisasi pada saat ini sebenarnya
dibutuhkan beberapa upaya konkret yang harus
dilakukan oleh berbagai pihak. Budimansyah
(2010) mengungkapkan mengenai dampak negatif
dari globalisasi mencakup “seluruh aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di
samping itu dapat pula memengaruhi pola pikir,
pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat
Indonesia”.
Beberapa upaya konkret yang dapat dilakukan
sebagai upaya mempertahankan adat dan istiadat
58
adalah melalui upaya yang dilakukan dari dua sisi.
Sisi pertama dibutuhkan upaya dari masyarakat
sebagai ornamen utama yang melaksanakan
adat, dan kedua; ialah sisi eksternal yaitu aparat
pemerintah atau aparat desa sebagai penyokong
atau lembaga yang berwenang memfasilitasi dan
memperkokoh warisan leluhur yang ada di wilayah
kewenangannya. Manfaat yang dapat diperoleh
dalam mempertahankan adat yang ada di setiap
daerah ialah sebagai upaya membangun sekaligus
mempertahankan karakter masyarakat yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat
untuk tetap mempertahankan dan melaksanakan
adat yang telah diwariskan oleh para leluhur
masyarakat tersebut. Penelitian ini juga
mencoba mencari tahu peran aparat desa dalam
mempertahankan adat yang ada di wilayah
kewenangannya. Dalam rangka untuk mengetahui
hal tersebut, penelitian dilakukan di salah satu desa
yang terletak di Desa Ulu Danau, Kecamatan
Sindang Danau, Kabupaten Ogan Komering Ulu
Selatan, Provinsi Sumatera Selatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini ialah metode etnografi dengan pendekatan
kualitatif. Sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Spradley (2007) dan Kuntjara (2006)
mengenai etnografi, yaitu sebuah penelitian yang
naturalistik dengan cara mendeskripsikan suatu
kebudayaan yang diambil dari sudut pandang
penduduk asli yang ada di wilayah tersebut.
Dipilihnya lokasi penelitian di Desa Ulu Danau ialah dikarenakan desa tersebut dianggap oleh
peneliti sebagai salah satu desa yang belum terlalu
besar terkena dampak globalisasi sehingga harapan
untuk mendapatkan cara pandang hidup masyarakat mengenai adat Semende masih memiliki kadar
yang sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh
leluhur Desa Ulu Danau. Pertimbangan dipilihnya Desa Ulu Danau ialah: (1) Desa Ulu Danau
masih belum terjangkau dari jaringan komunikasi
seluler, (2) Desa Ulu Danau masih tergolong dalam
masyarakat adat yang bersifat komun, yaitu masih
bergantung dengan hasil alam.
Subjek penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive, yaitu dengan cara me-
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016
nentukan berbagai kriteria dalam menentukan
informan. Beberapa kriteria yang ditetapkan
adalah: (1) orang yang paham akan adat Semende,
(2) memiliki pengetahuan mengenai adat Semende,
(3) memiliki usia yang telah dewasa, (4) sehat secara
jasmani dan rohani, dan (5) orang yang memiliki
pengaruh di dalam masyarakat.
Pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini ialah melalui teknik observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis
data dilakukan melalui teknik triangulasi melalui
reduksi, penyajian, hingga penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Upaya Masyarakat
Masyarakat yang dimaksud di sini ialah
masyarakat yang berdiam di Desa Ulu Danau,
Kecamatan Sindang Danau, Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan.
Masyarakat Ulu Danau merupakan masyarakat
yang memercayai adat Semende sebagai tatanan
hidup masyarakat Ulu Danau. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwasanya masyarakat
adat Semende memiliki adat yang hingga kini
masih dilaksanakan. Beberapa adat yang hingga
kini masih dilaksanakan oleh masyarakat
Semende di Desa Ulu Danau ialah adat Tunggu
Tubang, Jenang Jurai, dan adat Besundi Besindat
Besingkuh. Adanya upaya-upaya yang dilakukan
untuk mempertahankan keberadaan adat oleh
masyarakat adat ialah dikarenakan masyarakat
adat percaya bahwa ketika suatu adat dilepaskan,
maka hal tersebut dapat merugikan dan akan dirasa
sebagai sebuah perbuatan yang menghilangkan
kebahagiaan (Dewantara 2013).
Beberapa fenomena ditemukan dalam penelitian ini mengenai munculnya beberapa upaya yang
dilakukan oleh masyarakat untuk tetap mempertahankan adat itu sendiri. Beberapa fenomena
tersebut berasal dalam keadaan internal masyarakat adat itu sendiri. Fenomena yang pertama ialah
adanya beberapa Tunggu Tubang yang bukan anak
perempuan tertua di dalam sebuah keluarga. Kedua, ditemukannya fenomena urbanisasi atau istilah
yang sering terdengar, yaitu merantau. Perantauan
ini mayoritas dilakukan oleh anak laki-laki yang
merupakan seorang calon penerus pemimpin di
kalangan anggota kerabatnya. Fenomena yang
ketiga ialah munculnya fenomena Ceblak Kate,
fenomena ini ialah sebuah fenomena yang timbul akibat pergaulan anak atau sebuah perbuatan
hasil pencontohan dari hal-hal yang tidak baik.
Sesuai dengan istilah yang digunakan ialah istilah Ceblak Kate yang berarti sering digunakannya
kata-kata yang tidak baik oleh anak-anak dalam
bergaul dalam keseharian. Untuk mengatasi berbagai fenomena yang sebenarnya telah muncul sejak dulu di dalam masyarakat adat memunculkan
berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat
untuk dapat mempertahankan adat dan istiadat
yang ada di lingkungan masyarakat Ulu Danau itu
sendiri. Beberapa upaya tersebut antara lain ialah:
a. Memberikan Kelonggaran
Kelonggaran ialah sebuah istilah yang
digunakan oleh peneliti untuk menggambarkan
adanya sebuah toleransi dari pihak keluarga
ketika sang anak tidak dapat melaksanakan
tugas adatnya. Toleransi ini diberikan dengan
tujuan agar pelaksanaan adat yang seharusnya
terus berlangsung dari generasi ke generasi tetap
dapat dilaksanakan.
Kelonggaran yang pertama yang diberikan
oleh sebuah keluarga ketika seorang anak perempuan tertua tidak dapat mengemban tugasnya
sebagai Tunggu Tubang yang disebabkan berbagai hal yang antara lain dikarenakan seorang
anak tertua perempuan tersebut bersuami orang
yang berasal dari luar desa, ataupun dikarenakan
suami seorang Tunggu Tubang tersebut memiliki
pekerjaan di luar desa. Secara tidak langsung,
dengan demikian hal ini akan memaksa seorang
Tunggu Tubang harus ikut dengan suami keluar
desa dan tidak dapat melaksanakan tugasnya
sebagai Tunggu Tubang, yaitu mengelola harta
pusaka keluarga yang berupa kebun, sawah, dan
mengurus rumah. Keadaan semacam ini akan
memberikan sebuah kekosongan fungsi dalam
adat, yaitu tidak adanya orang yang akan mengurus sekaligus mengelola harta pusaka. Untuk
mengisi kekosongan ini anggota kerabat akan
berunding untuk memutuskan seseorang yang
akan mengisi kekosongan fungsi adat tersebut.
Keputusan yang diambil ketika perundingan
dilakukan oleh para kerabat untuk mengisi
59
Hatta Setiawan dan Cecep Darmawan, Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau
pemegang adat Tunggu Tubang yang ditinggalkan
oleh anak tertua tersebut ialah dengan melihat
kesiapan dari saudara-saudara perempuan
yang berada di dalam keluarga tersebut.
Pertimbangan yang paling mendasar dalam
memutuskan siapa yang berhak mengisi jabatan
adat Tunggu Tubang ketika terjadi kekosongan
tersebut ialah seorang saudara perempuan yang
paling membutuhkan dorongan ekonomi atau
dalam kata lain ialah seseorang yang paling
memerlukan hak pengelolaan harta pusaka
keluarga untuk memperbaiki perekonomian di
dalam keluarganya.
Kelonggaran yang kedua ialah kelonggaran
yang diberikan kepada para Jenang Jurai yang
pergi merantau yang notabene merupakan
pengawas atau penyeimbang Tunggu Tubang
dalam melaksanakan hak kelola terhadap harta
pusaka keluarga, sekaligus sebagai pemimpin bagi
para kerabat-kerabatnya. Merantaunya seorang
Jenang Jurai ke luar desa yang dikarenakan
tuntutan adatnya sebagai seorang pemimpin di
kalangan para kerabat memaksa para Jenang Jurai
harus memperoleh pendidikan dan wawasan
yang cukup agar dapat melaksanakan fungsinya
sebagai pemimpin. Banyaknya para calon
Jenang Jurai yang merantau ke luar desa untuk
mengenyam pendidikan di kota menyebabkan
berbagai hal yang tidak terduga terjadi. Tidak
sedikit dari para calon Jenang Jurai tersebut tidak
kembali ke desa untuk menjalankan fungsi adat
yang akan diembannya. Tidak sedikit dari para
calon Jenang Jurai yang menetap di negeri rantau
dengan alasan telah memperoleh pekerjaan di
luar desa. Meskipun sebenarnya adat ini tidak
dikhususkan kepada anak laki-laki tertua,
sedikit banyak merantaunya para laki-laki dari
desa membuat para kerabat untuk mengambil
kebijakan atau solusi untuk para Jenang Jurai
yang berada di luar desa. Kelonggaran yang
diberikan kepada para Jenang Jurai yang berada di
luar desa ialah bahwa dirinya tetap mengemban
tanggung jawab sebagai pemimpin di dalam
kalangan kerabatnya dengan catatan bahwa
ketika dirinya dibutuhkan oleh para kerabat
di desa untuk menyelesaikan sebuah masalah,
maka dirinya harus pulang ke desa dalam waktu
60
beberapa hari hingga persoalan diselesaikan dan
ditemukan solusi atau jalan keluarnya.
Kelonggaran ini diberikan kepada para
Jenang Jurai yang pergi merantau dikarenakan
sebagai konsekuensi dari aturan adat yang
menuntut bahwa anak laki-laki harus dapat
hidup mandiri tanpa mengganggu keberadaan
harta pusaka yang hak kelolanya diamanatkan
kepada seorang anak tertua perempuan (Tunggu
Tubang). Prinsip yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat adat Semende di Desa Ulu Danau
ini ialah bahwa kodrat laki-laki merupakan
sebuah kodrat yang harus memimpin dan
kodrat perempuan ialah diistimewakan. Kodrat
perempuan yang diistimewakan dalam hal ini
ialah berarti bahwa kodrat perempuan itu ialah
sebuah kodrat yang suci dan membutuhkan
perlindungan dari para saudara laki-lakinya
sehingga saudara perempuan tidak pernah luput
dari pengawasan para saudara laki-lakinya.
Dewantara (2013) mengungkapkan
keistimewaan kodrat seorang perempuan ialah
“Haruslah diketahui bahwa hidup perempuan
itu barangkali mengandung titah Tuhan yang
suci, dan seringkali menimbulkan rintangan
dan bahaya dalam hidup, serta nyata sekali
bersifat perbuatan setan. Memang benar, di
mana ada kesucian, di situlah iblis terdapat”.
Ungkapan tersebut jelas mengindikasikan bahwa
perempuan di dalam kalangan masyarakat adat
ataupun pandangan dari sisi budaya merupakan
sebuah titah suci yang dikaruniakan oleh Tuhan
kepada makhluknya, yaitu perempuan.
b. Rerabe
Dalam menanggapi fenomena yang ketiga,
yaitu sebuah fenomena yang muncul di kalangan
masyarakat adat Semende di desa Ulu Danau
ialah fenomena Ceblak Kate. Fenomena ini ialah
sebuah fenomena yang dianggap oleh masyarakat
adat Semende sebagai sebuah pelanggaran
terhadap norma sosial, yaitu menggunakan
kata-kata yang tidak baik atau menggunakan
kata-kata yang tidak layak untuk diucapakan
kepada orang lain ketika sedang berinteraksi atau
berkomunikasi antarsesama.
Penggunaan kata-kata yang tidak layak
ataupun perkataan yang tidak pantas untuk
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016
diucapkan sebenarnya bukanlah sebuah fenomena yang hanya terjadi di Desa Ulu Danau,
namun fenomena ini sudah sangat merebak di
dalam kehidupan masyarakat, khususnya di
kalangan generasi muda. Di dalam pergaulan
generasi muda pada saat ini, menggunakan katakata yang tidak layak sudah menjadi sebuah tata
cara generasi muda bergaul di dalam kehidupan
sehari-hari dengan tujuan agar dianggap keren.
Anggapan-anggapan inilah yang menjadi
dasar utama membudayanya sebuah perilaku
tersebut, meskipun pada saat ini telah mulai
dianggap sebagai sebuah fenomena yang telah
membudaya di kalangan generasi muda, namun
tidak sedikit para anak muda yang masih kukuh
mengikatkan dirinya dengan norma sosial yang
ada di lingkungannya (civic commitment).
Pertunjukkan Rerabe ini ialah sebuah
pertunjukan yang menggambarkan seseorang
yang berpakaian tidak teratur dan sungguh
tidak sedap dipandang mata. Sosok Rerabe ini
ialah sebuah sosok pembelajaran kepada anggota
masyarakat terutama kepada anak-anak agar
berperilaku baik terhadap sesama jika tidak
ingin menjadi seperti apa yang digambarkan
oleh Rerabe tersebut. Perhelatan Rerabe ini
digelar ketika akan menjelang Hari Raya Idul
Fitri atau semalam sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Hal ini bertujuan untuk mengingatkan
anggota masyarakat terhadap kejahatan-kejahatan
yang pernah dilakukan agar segera disucikan
kembali. Perhelatan Rerabe ini sesuai dengan
apa yang dikemukan oleh Setiady (2009) bahwa
masyarakat adat memiliki sifat konkret, yaitu:
“Konkret, di dalam arti berpikir yang tertentu
senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal
yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau
akan dikerjakan, ditransformasikan atau diberi
wujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan
baik langsung maupun hanya menyerupai
objek yang dikehendaki”. Hadikusuma
(2003) memberikan penjelasan mengenai sifat
masyarakat adat konkret, yaitu konkret artinya
jelas, nyata, berwujud. Pendapat Molan (2015)
juga mendefinisikan bentuk konkret dalam
sebuah budaya ialah level konkret. Level ini
adalah level paling visibel dan paling berwujud
(tangible) dari budaya, dan mencakup dimensi
pada level yang paling berada di permukaan.
Terdapat suatu rasa enggan sebuah masyarakat dalam melepaskan suatu adat yang dianggap akan mendatangkan sebuah kesukaran
dan merugikan keberlangsungan hidupnya pada
masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan
timbulnya berbagai upaya yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat untuk memastikan tetap
terjaganya keberlangsungan adat di dalam suatu
masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan masyarakat Semende yang ada di Desa Ulu Danau
dengan memberikan berbagai kelonggaran adat,
dengan cara mengantisipasi ataupun memberikan hak yang sama kepada setiap anak yang
tergantung dari kesiapan seorang anak dalam
menjalankannya, merupakan salah satu sikap
masyarakat adat yang tetap menjunjung tinggi
pergaulan hidup ke luar. Hal ini digambarkan
oleh Seragih (1996) bahwa “tiap-tiap anggota
kelompok pada umumnya berkeyakinan suatu
tindakan seorang anggota tidak hanya akan dirasakan oleh anggota-anggota sekelompok lainnya”. Sesuai dengan sifatnya yang bersikap ke
luar, maka jika tidak dilakukakan upaya mempertahankan adat dari kelompok klan masingmasing, ditakutkan akan merambah kepada
anggota masyarakat yang lainnya.
Upaya Aparat Desa
Aparat desa sebagai pelaksana tugas negara
memiliki sebuah kewajiban untuk dapat menjaga
keberadaan dan eksistensi kekayaan budaya yang
terdapat di dalam masyarakatnya. Beberapa upaya
yang dilakukan oleh aparat desa untuk mempertahankan keberadaan adat-istiadat yang ada di lingkungannya ialah memaksimalkan peran pemuka
adat, tokoh masyarakat, dan warga desa. Nucci
& Narvaez (2015) menyatakan bahwa kelompokkelompok yang berperan penting dalam tubuh masyarakat ialah para profesional, pembuat kebijakan,
pejabat penegak hukum, pemimpin gereja, anak
muda, dan kelompok-kelompok warga peduli.
Bagi masyarakat adat, pemuka adat merupakan
salah satu orang yang sangat berpengaruh di
dalam masyarakat adat. Pemuka adat memainkan
peran sebagai pentransfer pemahaman adat
61
Hatta Setiawan dan Cecep Darmawan, Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau
kepada warganya yang sesuai dengan aturan yang
berlaku. Hal ini dikarenakan masyarakat adat
menganggap bahwa individu-individu yang ada
dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang
menyatu dan bukan sebagai sebuah individu yang
berdiri sendiri atau yang disebut dengan masyarakat
yang bercorak komun (Seragih 1996).
Berbagai hal yang dilakukan aparat desa dalam
menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi pada
saat ini ialah dengan memaksimalkan kinerja para
pemuka adat untuk aktif menyosialisasian aturanaturan adat. Hal yang dilakukan oleh para pemuka
adat ialah kembali menafsirkan atau mengkaji
kembali ketentuan-ketentuan adat Semende sesuai
dengan kitab acuan yang dipergunakan ialah kitab
Simboer Tjahaja.
Pada proses pengatualisasian peran pemuka
adat di dalam tubuh masyarakat, pemuka adat
harus menafsirkan ketentuan adat yang disesuaikan
dengan tantangan zaman sehingga adat dapat
bergerak secara dinamis bukan malah sebagai
sebuah aturan yang mengekang masyarakat.
Mengenai upaya aparat desa untuk
memaksimalkan kembali peran para pemuka adat,
tokoh masyarakat, serta terjalinnya hubungan
intens dengan anggota mayarakat merupakan
sebuah fenomena yang dahulunya pernah dilakukan
oleh masyarakat adat Semende di Desa Ulu Danau.
Terjalinnya hubungan yang baik antaranggota
masyarakat dan para pemimpinnya merupakan
bagian dari struktur pemerintahan adat kuno,
yaitu sistem kemargaan. Gambar 1 merupakan
skema struktur pemerintahan masyarakat adat
kuno berbasis kemargaan.
membutuhkan salah satu pejabat adat, maka
pejabat adat tersebut siap melayani. Struktur ini
secara otomatis akan saling menggantikan posisinya
masing-masing dan saling mengisi. Seperti halnya
ketika pemimpinnya sedang berurusan di luar
desa, tanpa instruksi wakil pertama Pembarap
akan mengisi tugas yang ditinggalkan oleh Pesirah,
dan begitu seterusnya. Struktur ini merupakan
struktur adat tradisional perihal pemerintahan
yang benar-benar melayani masyarakat. Setiady
(2009) menyatakan bahwa mengenai struktur
kemargaan yang terdapat di Sumatera Selatan,
yaitu: “Kepala marga di sini disebut Pesirah,
dengan gelar Pangeran atau Depati, sedangkan
Kepala Dusun disebut dengan Krio atau Mangku
atau juga Prowatin. Para staf pembantu disebut
Punggawa, Kepala Suku (Towo Suku)”. Pendapat
ini juga sejalan dengan hal yang digambarkan
oleh Hadikusuma (2003) yang mengungkapkan
bahwa marga-marga dikepalai “kepala marga
(Pesirah) dan didampingi kerapatan adat marga
yang anggota-anggotanya adalah para prowatin adat
dan tua-tua masyarakat marga (Prasetya, 2002).
Dalam menjalankan pemerintahan desa itu kepala
Skema Struktur Pemerintahan Adat Kuno
Struktur ini ialah struktur pemerintahan
masyarakat Semende yang memiliki kedekatan
antara pejabat adat desa dan masyarakat desanya.
Dalam struktur pemerintahan adat ini dipimpin
oleh Pesirah dengan tiga wakilnya. Wakil pertama
Pesirah ialah Pembarap, wakil keduanya ialah
Krie, dan wakil ketiganya ialah Penggawe. Dalam
struktur ini para pejabat adat desa tersebut
tidak diperkenankan meninggalkan desa secara
bersamaan. Hal ini ditujukan agar ketika masyarakat
62
Gambar 1. Skema struktur pemerintahan adat kuno.
(Sumber: Diolah oleh Penulis, 2016)
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016
marga dibantu oleh para Krio (kepala dusun), para
Pemangku dan Punggawa”.
Struktur pemerintahan adat ini memiliki
fungsi kontrol akan perilaku adat di masing-masing
kelompok masyrakat yang dipimpin. Keempat
pejabat adat ini sangat dihormati dan disegani oleh
masyarakat karena kedekatannya dengan masyrakat
yang seolah-olah tidak ada gap antara kedua sisi
tersebut.
Insiatif aparat desa untuk meninjau ulang peraturan adat dan mencoba untuk mengembalikan
norma-norma adat sebagaimana mestinya merupakan salah satu dari upaya untuk mengembalikan koordinasi masyarakat dengan pemimpinnya
seperti apa yang dahulu pernah dilakukan dalam
sistem struktur kemargaan, yaitu adanya Pesirah,
Pembarab, Krei, dan Penggawe. Dalam sistem ini
diberikan contoh bahwa hubungan antara masyarakat dan pemimpin haruslah berjalan dengan baik
sehingga dengan adanya hubungan baik antara
pemimpin dan masyarakat dapat menghasilkan
sistem sosial yang baik juga.
Simpulan
Upaya-upaya pelestarian adat istiadat yang ada
dalam adat Semende di Desa Ulu Danau dilakukan
melalui dua sisi aspek yang saling berhubungan.
Sisi pertama dilakukan melalui sisi masyarakat
adat itu sendiri dan sisi kedua dilakukan melalui
sisi eksternal, yaitu peran aktif aparat desa
untuk menghidupkan adat yang ada di dalam
lingkungannya. Upaya pelestarian yang dilakukan
dari sisi masyarakat adalah adanya pemberian
kelonggaran terhadap adat dari masyarakat itu
sendiri yang berdasarkan insiatif masyarakat adat
itu sendiri, serta melalui warisan leluhur, yaitu
melalui kesenian budaya Rerabe. Berdasar sisi
eksternalnya, maka aparat desa memainkan peran
sebagai pelopor untuk memulai pelestarian adat.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
seluruh pihak yang telah berperan penting
dalam penulisan penelitian ini, yaitu para warga
masyarakat adat Semende di Desa Ulu Danau,
pemuka adat, dan aparat desa yang telah membantu
penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.
Kepustakaan
Budimansyah, D., 2010. Penguatan Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter
Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Dewantara, K.H., 2013. Pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka (Kebudayaan II).
Yogyakarta: UST Press.
Guspitawaty, E., 2002. “Penyimpangan Sistem
Pewarisan yang Terjadi pada Masyarakat
Hukum Adat Semendo Pulau Beringin
Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi
Sumatera Selatan.” [Tesis], Universitas
Dipenogoro.
Hadikusuma, H., 2003. Pengantar Ilmu Hukum
Adat Indonesia. Bandar Lampung: Mandar
Maju.
Kuntjara, E., 2006. Penelitian Kebudayaan. Sebuah
Panduan Praktis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Melati, K R. 2014. “Pendidikan sebagai Perekrut
dalam Komunitas Terbayang: Analisis Wacana
dalam Film Denias Senandung di Atas Awan”.
Journal of Urban Society’s Art, 1(2)2014, pp.
91-98.
Molan, B., 2015. Multikulturalisme Cerdas
Membangun Hidup Bersama yang Stabil dan
Dinamis. Jakarta: PT Indeks.
Nucci & Narvaez, 2015. Handbook Pendidikan
Moral dan Karakter (Handbook of Moral and
Character Education). Bandung: Nusa Media.
Prasetya, Hanggar Budi. 2002. “Sebuah Komunitas
Baru”.[Tesis] Prodi Antropologi Universitas
Indonesia.
Seragih, D., 1996. Pengantar Hukum Adat
Indonesia. Bandung: Tarsito.
Setiady, T., 2009. Intisari Hukum Adat Indonesia
(Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:
Alfabeta.
Setiawan, H., 2013. “Realisasi Fungsi Jenang Jurai
yang Merantau Menurut Adat Semendo di
Lingkungan Desa Uludanau Provinsi Sumatera
Selatan.” Universitas Negeri Yogyakarta.
Spradley, J.P., 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
63
Download