BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Teknologi mengalami perkembangan yang pesat. Salah satu perkembangan teknologi yang saat ini berkembang adalah teknologi komunikasi informasi. Teknologi komunikasi informasi yang banyak digunakan oleh anakanak, remaja dan orang dewasa adalah internet dan telepon seluler. Internet dapat terhubung melalui komputer, laptop dan telepon seluler. Alat-alat teknologi ini dapat dimiliki secara pribadi atau dapat disediakan oleh suatu tempat layanan umum seperti warung internet atau istansi tertentu. Internet memberikan banyak manfaat positif, yaitu memudahkan siswa untuk menyelesaikan tugas sekolah dan berkomunikasi dengan teman sebaya mereka, (Quarshie, 2009; Groos, Jovonen & Gable, 2002). Internet juga memudahkan banyak kalangan untuk mendapatkan informasi, memperluas jaringan sosial, mendapatkan dukungan sosial, membangun relasi dan bermunikasi dengan orang lain, (Wang & Chang, 2010). Alat teknologi komunikasi lain yang sering digunakan adalah telepon seluler. Telepon seluler tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi melalui panggilan suara dan pesan teks tetapi juga dapat digunakan sebagai alat sosial. Individu dapat menggunakan fitur-fitur media sosial untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain. Individu juga dapat memfungsikan kamera, perekam suara, perekam video, askes internet dan game online, (Campbell, 2005). Penggunaaan teknologi komunikasi informasi seperti internet dan telepon seluler tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga memberikan dampak negatif, yaitu terjadinya perilaku cyberbullying. Kasus-kasus cyberbullying saat ini merupakan fenomena yang banyak dibicarakan di media. Kasus cyberbullying banyak terjadi di Indonesia, yaitu salah satunya di kota Ambon. Bentuk perilaku cyberbullying yang dilakukan adalah komentar negatif yang berisi ancaman di facebook dan status negatif yang menyinggung seseorang di facebook. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 1.1: Komentar negatif yang berisi ancaman di facebook “F: Mau berkelahi apa kera. Berkelahi dengan mukamu yang seperti tai (kotoran manusia). hahaha, teman-teman saya ketawain kamu kera. A: Yang penting nyalinya bagus aja... sopir angkot aja kok.. F: Dasar kerbau (manusia bodoh), jagain saja kampung halaman sampai mati.. hei berhenti coment, ini statusnya orang lain muka kera! A: Dasar manusia goblok. Ada hubungan apa kamu sama facebook adikku? sehingga kamu mengomentari statusnya dengan tidak baik. Kamu lihat saja, saya akan mencari kamu dan akan memotong kamu F: Potong saja mulut panjang kamu itu A: Kelihatan hanya beraninya di kompleks sendiri saja, nyalinya seperti kerupuk. Dasar tikus. Mudah-mudahan mati di pedalaman sana” Gambar 1.2: Status negatif yang menyinggung seseorang di Facebook “Status: Ya ampun cewek manis. Jadi selama ini kamu berteman dengan saya cuma untuk mengambil bekas pacar saya. Aduh, kamu kelihatan seperti gembel. Sudah berapa banyak bekas pacar saya yang kamu ambil. Kamu tidak selevel dengan saya cewek manis. Jangan terlalu ambil bekas pacar saya, nanti kamu kayak pemulung yang mengambil barang bekas. Ambil bekas pacarku banyakbanyak, pantesan kamu tidak maju-maju dan jadi hancur berantakan. Kamu kan yang menceritakan tentang saya kepada orang lain. Kamu lihat apa yang akan saya lakukan buat kamu, saya akan hancurkan kamu, jangan kaget ya. Hei cewek manis berhentilah dengan tingkahmu yang tidak jelas. @sindiran” Gambar 1.3: Status negatif yang menyinggung seseorang di facebook “Status: Dasar perempuan tidak laku. Perempuan centil. Kamu katakan bahwa kamu tidak menelpon dia tetapi dia yang menelpon kamu, tetapi di handphone ada panggilan masuk dari kamu tu... hahahahaha.. mau bohongi saya.. ya ampun, jangan terlalu ya,, saya bosan dengar kata-katamu yang munafik. (MUNAFIK)” Perilaku cyberbullying juga terjadi di Pekanbaru kepulauan Riau. Seorang murid dipindahkan oleh orangtuanya akibat diteror oleh seorang kakak kelasnya melalui jejaring sosial facebook, (Bemoe, 2011). Kasus cyberbullying juga terjadi pada seorang guru di SMU Negeri 4 Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Seorang teman guru pernah menemukan sekelompok siswa yang membuat grup yang mereka namai “GrupAnti Mr. X (nama seorang guru tersebut)” di situs jejaring sosial Facebook. Di dalam grup ini para siswa ini ramai-ramai mencaci guru yang kelihatannya kurang mereka sukai itu. Kasus cyberbullying juga menimpa seorang kepala sekolah, yang menjadi sasaran ejekan dan caci maki para muridnya. Kepala sekolah ini diam saja tidak berdaya dan membiarkan anakanak kelas III yang lulus mencoreti halaman sekolah dengan pylox. Sikap dari Bapak kepala sekolah ini menjadi bahan tertawaan para murid di situs jejaring sosial facebook dan Twitter, (Bemoe, 2011). Nickel, Krawczyz, Nickel, Forthber, Kettler, Leiberich, Muelbacher, Tritt, Mitterleher, Lahman, Rother dan Loew (dalam Bongke, 2010) mengemukakan bahwa bullying merupakan suatu tindakan intimidasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang kuat terhadap individu atau kelompok yang lemah yang mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan bagi korban. Bullying dikategorikan sebagai perilaku anti sosial yang dilakukan berulang kali. Pelaku bullying menyalahgunakan kekuatannya untuk menindas korban yang dianggap lemah, (Smith, 2004). Cyberbullying merupakan salah satu bentuk baru dari bullying. Cyberbullying dilakukan dengan email, ponsel, pesan teks, instant message, website dan chat room dengan cara memfitnah atau membuat rumor yang negatif tentang korban. Perilaku cyberbullying dilakukan secara berulang kali dengan tujuan untuk menyakiti korban, Belsey (dalam Syariff, 2008). Bentuk-bentuk bullying yang dilakukan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja, (Thornton dalam Bongke 2010). Masa remaja identik dengan masa kritis dan merupakan masa pencarian identitas diri. Erikson (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa remaja berada pada tahap identity versus identity confusion. Remaja menginginkan identitas yang jelas tentang perannya, berusaha mencari tahu jati dirinya, apa makna dirinya dan kemana mereka akan menuju. Dalam perkembangan sosial remaja, mereka ingin melepaskan diri dari orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya. Remaja ingin diterima di kalangan teman sebayanya, (Santrock, 2012). Perkembangan teknologi informasi komunikasi mempengaruhi hubungan remaja dengan teman sebayanya. Pertemuan dengan teman sebaya yang biasanya dilakukan secara lansung beralih ke pertemuan di dunia virtual. Remaja lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya melalui mediamedia sosial, (Ang & Goh, 2010). Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dinamika karena pada masa tersebut terjadinya transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Remaja mengalami perkembangan serta perubahan pada fisik, emosi dan kemampuan kognitifnya. Begitu kompleksnya perubahan yang terjadi maka masa remaja dikatakan sebagai masa storm and stress, (Conger, 1977). Perubahanperubahan yang dialami oleh remaja memiliki resiko yang tinggi terhadap terjadinya kenakalan dan kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat mengakibatkan adanya peralihan dari bullying fisik ke virtual. Internet merupakan media yang digunakan untuk interaksi sosial namun sekarang dapat digunakan oleh remaja untuk melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu tanpa pengawasan orangtua, (Ang & Goh, 2010). Mishna, Saini dan Solomon (2009) mengemukakan bahwa remaja merupakan generasi yang tumbuh dan berkembang dalam kecanggihan teknologi komunikasi informasi. Penggunaan tekonologi komunikasi informasi di kalangan remaja semakin meningkat. Remaja dapat menghabiskan waktu selama 5 jam dalam satu minggu untuk membuka internet. Remaja laki-laki menggunakan internet untuk online, membuka web dan bermain game online sedangkan remaja perempuan menggunakan internet untuk membuka jejaring sosial, chatting, dan berberlanja lewat online shop, (Gross, 2004). Peningkatan waktu dalam menggunakan internet memungkinkan remaja untuk memiliki pengalaman yang lebih luas diluar batas-batas rumah, sekolah dan masyarakat lokal, namun juga mengakibatkan adanya kenakalan-kenakalan yang dilakukan dalam internet, (Mishna, Saini & Solomon 2009). Perilaku cyberbullying memberikan dampak negatif, antara lain korban mengalami depresi, kecemasan, ketidaknyamanan, prestasi disekolah menurun, tidak mau bergaul dengan teman-teman sebaya, menghindar dari lingkungan sosial, dan adanya upaya bunuh diri, (Uba, Yaacob, & Juhari, 2009; Goebert, Else, Matsu, Do dan Chang, 2011; Tokunaga, 2010). Salah satu kasus akibat perilaku cyberbullying yaitu terjadi pada pria yang bernama Yoga asal Yogyakarta. Yoga menabrakan dirinya ke kereta api pada Sabtu 26 Mei 2013. Yoga melakukan tindakan tersebut karena mendapatkan tekanan dan hujatan di twitter akibat gagalnya acara musik Locstock Fest 2. Yoga yang merupakan ketua event organizer acara tersebut dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas gagalnya acara tersebut, (Azmil, 2013). Berdasarkan beberapa paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Teknologi komunikasi informasi semakin berkembang pesat dan mengakibatkan adanya peralihan dari bullying ke cyberbullying. Perilaku cyberbullying banyak dilakukan oleh remaja. Penulis tertarik untuk meneliti tentang cyberbullying tetapi lebih fokus kepada kecenderungan remaja menjadi pelaku cyberbullying. Survey awal dilakukan dengan wawancara. Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Juli 2013 dengan seorang guru BK SMP Negeri 4 Ambon. Ibu N mengemukakan bahwa, untuk masalah-masalah yang beliau terima selama menjadi guru BK di SMP Negeri 4 Ambon adalah masalah bullying dan masalah cyberbullying “masalah yang sering dilakukan oleh siswa-siswi di sini adalah pada umumnya perkelahian (kekerasan fisik), sering mengejek, menyindir satu dengan lain dan akhirnya menimbulkan pertengkaran” “selain itu, saya menangani beberapa siswa yang berkelahi akibat komentar negatif yang dilakukan oleh salah seorang siswa terhadap siswa lainnya (korban) melalui facebook. siswa yang menjadi korban ini merasa komentar itu mempermalukan dia, keesokan harinya terjadi perkelahian antara kedua siswa ini di sekolah (kekerasan fisik) dan juga ada beberpa siswa yang datang melapor ke saya bahwa ada teman yang usil mengirim foto atau gambar negatif (porno) ke handphone mereka. Penggunaan handphone di sekolah selalu dikontrol oleh guru, namun kasus-kasus yang terjadi di facebook ini biasanya dilakukan di luar jam sekolah, guru tidak bisa mengontrol penggunaan handphone maupun internet di luar jam sekolah” Peneliti juga melakukan wawancara informal kepada beberapa remaja dengan rentang usia 13-14 tahun pada tanggal 22 Juli 2013. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa beberapa siswa melakukan perilaku cyberbullying. Seorang siswa C mengemukakan bahwa dia pernah menjadi pelaku cyberbullying karena pada awalnya dia di-bullying. Bentuk bullying yang dialaminya yaitu berulang kali diejek dan dipermalukan oleh teman sekelasnya di hadapan beberapa teman-temannya, akibatnya C menjadi malu dan merasa self esteem-nya direndahkan. Akibat dari perilaku bullying yang diterimanya, maka C mengirimkan pesan singkat melalui sms yang berisi ancaman kepada temannya. Seorang siswa B mengemukakan bahwa dia pernah mengirim sms yang mengancam melalui handphone. Hal ini dilakukan karena temannya membuat komentar negatif yang menyinggung perasaannya di facebook. Subjek tidak peduli apakah smsnya itu membawa dampak negatif bagi temannya, karena menurut B temannya pun tidak mempedulikan perasaannya. Seorang siswa J juga mengemukakan bahwa salah seorang temannya melakukan perilaku cyberbullying. Bentuk perilaku cyberbullying yang dilakukan adalah mem-posting sesuatu yang kurang baik tentang guru mereka di facebook. Subjek tersebut mengejek suara guru mereka ketika mengajar di depan kelas. Hal itu dilakukan tanpa sepengatahuan guru tersebut dan menjadi bahan tertawaan teman-teman, (wawancara informal, pada tanggal 22 Juli) Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku cyberbullying terjadi di sekolah dan dilakukan oleh remaja. Perilaku cyberbullying yang dilakukan berupa meneror, mengancam, memberikan komentar yang negatif dan mengejek guru melalui jejaring sosial. Hal-hal yang melatarbelakangi remaja berperilaku cyberbullying, yaitu keinginan untuk balas dendam karena merasa self esteemnya direndahkan dan pelaku tidak merasa kasihan terhadap perasaan korban ketika mendapatkan pesan ancaman. Kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying dapat diprediksi oleh beberapa faktor, yaitu empati, (Aftab dalam Kowalski, Limber & Agatston, 2008). Kecenderungan remaja untuk menjadi pelaku cyberbullying dapat disebabkan oleh ketidakmampuan remaja untuk berempati kepada orang lain. Empati merupakan salah satu bentuk perilaku moral dan berkaitan dengan perilaku pro sosial. Remaja yang memiliki empati yang tinggi cenderung tidak terlibat dalam perilaku bullying tetapi lebih sering membantu atau menolong korban bullying, (Laible, Eye, & Carlo, 2008). Santrock (2007) mendefinisikan empati sebagai suatu interaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon yang sama dengan perasaan orang tersebut. Empati terlihat sebagai suatu elemen dasar dari suatu hubungan terhadap perasaan orang lain atau seseorang mampu merasakan berbagai keadaan emosional orang lain, (Einsberg & Stayer dalam Ozkan & Cifci, 2009 ). Dokmen, (dalam Steffgen, Konig, Pfetscah & Melzer, 2011) mengemukakan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk dapat menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat peristiwa dari sudut pandang orang lain, memahami perasaan dari orang lain dengan tepat dan dapat mengekspresikan situasi yang dialami orang tersebut. Kemampuan berempati pada remaja berpengaruh terhadap kemampuan remaja ketika berinteraksi dengan orang lain. Damon (dalam Santrock 2007) mengungkapkan bahwa pada usia 10 sampai 12 tahun, remaja dapat membentuk empati terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Perhatian anak-anak tidak lagi terbatas pada perasaan seseorang dalam situasi yang mereka amati secara lansung, sebaliknya anakanak berusia 10 sampai 12 tahun memperluas perhatian mereka kepada masalah-masalah umum yang dihadapi orang-orang yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti orang miskin, orang cacat, dan orang-orang yang dikucilkan. Santrock (2007) mengemukakan bahwa walaupun setiap remaja memiliki kemampuan untuk memberikan respon dengan cara berempati, namun tidak semua melakukannya. Tingkah laku empati pada remaja berbeda-beda satu sama lain. Kemampuan berempati yang rendah dapat menyebabkan munculnya tingkah laku anti sosial pada remaja. Feldman (1985) mengemukakan bahwa individu yang memiliki empati yang rendah cenderung tinggi melakukan perilaku agresi dibandingkan individu yang memiliki empati yang tinggi. Empati yang tinggi mendorong individu untuk mampu mengalami emosi orang lain, menempatkan diri pada posisi orang lain dan memberikan bantuan kepada orang tersebut sehingga cenderung tidak melakukan perilaku agresif. Penelitian yang dilakukan oleh Taylor (2012) menyebutkan ada hubungan antara kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying dengan kemampuan empati pada remaja. Rendahnya empati menyebabkan remaja tidak mampu merasakan dampak negatif yang dialami oleh korban bullying. Jolliffe dan Farrington (2004) menemukan bahwa remaja laki-laki maupun remaja perempuan yang memiliki skor empati afektif yang rendah cenderung tinggi melakukan perilaku bullying. Rendahnya empati mengakibatkan individu tidak mampu merespon tekanan dan ketidaknyamanan yang dialami atau dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki empati yang rendah tidak mampu memahami pengalaman emosi yang dialami oleh orang lain, (Jollife & Farrington 2006). Steffgen, Konig, Pfetscah dan Melzer (2011) juga menemukan bahwa pelaku cyeberbullying baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan empati yang rendah terhadap korban. Pelaku tidak mampu memahami apa yang dirasakan oleh korban ketika mengalami perilaku cyberbullying. Ang dan Goh (2010), menunjukkan bahwa ada hubungan yang siginifikan antara empati kognitif, empati afektif, dengan perilaku cyberbullying. Pada remaja laki-laki dan perempuan yang memiliki skor empati afektif yang rendah memiliki skor perilaku cyberbullying yang tinggi dibandingkan mereka yang memiliki skor empati afektif yang tinggi. Pada remaja laki-laki yang memiliki skor empati kognitif yang rendah memiliki skor perilaku cyberbullying yang tinggi dibandingkan mereka yang memiliki empati kognitif yang tinggi. Sementara pada remaja perempuan tinggi atau rendahnya tingkat empati kognitif menghasilkan tingkat yang sama untuk melakukuan cyberbullying. Self esteem merupakan salah satu faktor lain yang dapat memprediksi kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying. Baumeister dan Bushman (2008) mengemukakan bahwa self esteem merupakan evaluasi yang dilakukan oleh seseorang mengenai dirinya sendiri. Individu yang memiliki self esteem yang tinggi adalah individu memiliki kemampuan, menyenangkan, menarik, dan sering mengambil kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. Sementara individu yang memiliki self esteem yang rendah sering menganggap diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan, kurang menarik, tidak disukai oleh orang lain dan mereka tidak yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai suatu keberhasilan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang melakukan perilaku cyberbullying adalah individu yang memiliki self esteem yang rendah. Rigby (2007) mengemukakan perilaku bullying merupakan konsekuensi dari perasaan tidak berharga atau self esteem yang rendah. Individu atau pelaku yang memiliki self esteem yang rendah cenderung melakukan perilaku agresi untuk mencari perhatian, meningkatkan self esteem dan menunjukkan bahwa individu juga mampu melakukan perilaku agresi. Hal ini dilakukan untuk menutup perasaan tidak mampu, rendah diri dan perasaan malu yang ada di dalam diri individu, (Ostrowsky, 2009). Walker dan Bright, (2009) mengemukakan bahwa individu yang memiliki self esteem yang rendah lebih sering terlibat dalam perilaku agresif dibandingkan dengan individu yang memiliki self esteem yang tinggi. Uba, Yaacob, dan Juhari (2009) juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara perilaku bullying dan self esteem. Hal ini berarti bahwa semakin rendah self esteem maka semakin tinggi kecenderungan individu untuk berperilaku bullying. O’moore, Kirkham dan Smith (2001) juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara perilaku bullying dengan self esteem. Hal ini berarti bahwa semakin rendah self esteem maka semakin tinggi perilaku bullying. Sementara individu yang memiliki self esteem yang tinggi cenderung rendah melakukan cyberbullying. Perilaku bullying dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya mereka yang tidak terlibat dalam bullying dan untuk meningkatkan self esteem yang rendah. Drennan, Brown, dan Mort (2011) mengemukakan ada hubungan negatif antara self esteem dengan perilaku cyberbullying. Individu yang melakukan cyberbullying adalah individu yang memiliki self esteem yang rendah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan self esteem. Patchin dan Hinduja (2011) juga menemukan bahwa ada hubungan negatif antara self esteem dengan perilaku cyberbullying. Pelaku cyberbullying adalah individu yang memiliki self esteem yang rendah. Peranan self esteem sebagai prediktor terhadap kecenderungan untuk menjadi pelaku cyberbullying belum banyak diteliti, masih diperdebatkan dan masih kurang konsisten sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Pendapat dari Rigby, (2007); Uba. dkk., (2009); O’moore. dkk., (2009); Drennan. dkk., (2011); Patchin dan Hinduja (2011) di atas berbeda dengan beberapa pendapat para ahli berikut ini Passini, Melloti dan Brighi (2012) mengemukakan bahwa remaja yang melakukan cyberbullying memiliki self esteem yang tinggi di kalangan temanteman sebaya mereka. Cyberbullying dilakukan untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam mengintimidasi korban melalui dunia maya. Baumeister, Smart dan Boden (1996) mengemukakan bahwa individu dengan self esteem yang tinggi cenderung tinggi melakukan perilaku agresif. Penilaian positif tentang diri seseorang dapat memicu terjadinya perilaku agresif, yaitu ketika individu mendapatkan penilaian negatif dari orang lain. Individu berperilaku agesif dengan tujuan untuk mempertahankan self esteem yang terancam akibat penilaian negatif dari orang lain. Pendapat Baumeister, Smart dan Boden (1996) didukung oleh penelitian Mcgregor, Nash, dan Inzlicht (2009); Menon, Tobin, Corby, Menon, Hodges, dan Perry (2007) yang menunjukkan individu yang memiliki self esteem tinggi cenderung melakukan perilaku agresi. Perilaku agresi dilakukan dengan tujuan agar individu tetap dihargai dan mempertahankan self esteem yang direndahkan oleh rekan-rekan sebaya mereka. Hal ini berarti pelaku yang memiliki self esteem yang tinggi rentang juga untuk berperilaku cyberbullying. Olweus (Dalam Rigby, 2007) juga mengemukakan bahwa pelaku bullying tidak selalu memiliki self esteem yang rendah. Individu memiliki popularitas dan “power”, sehingga lebih sering menindas korban. Individu juga memiliki sifat yang kuat untuk mendominasi orang lain. Hal ini berarti bahwa semua pelaku bullying memiliki self esteem yang tinggi dan sebagian dari mereka adalah individu yang memiliki self esteem yang rendah. Dengan berbagai penelitian yang diuraikan di atas maka penelitian ingin mengkaji tentang seberapa besar peranan empati dan self esteem dalam memprediksi perilaku cyberbullying. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Peran empati dan self esteem dalam memprediksi kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah “empati dan self esteem mampu memprediksi kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja” C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying diprediksi dari empati dan self esteem dan peranan masingmasing variabel dalam memprediksi kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja. 2. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris tentang peran empati dan self esteem terhadap kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk penelitianpenelitian selanjutnya dalam bidang ilmu psikologi. D. Keaslian penelitian Penelitian tentang cyberbullying sudah banyak dilakukan oleh peneliti dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Penelitian yang dilakukan oleh Ang dan Goh, (2010) yang berjudul “Cyberbullying Among Adolescents: The Role of Affective and Cognitive Empathy, and Gender”, pada 396 remaja di Singapura yang berusia 12 sampai 18 tahun. Penelitian menunjukkan ada hubungan antara rendahnya empati dengan perilaku cyberbullying. Remaja laki-laki dan remaja perempuan yang memiliki empati afektif dan empati kognitif yang rendah, memiliki skor yang tinggi pada perilaku cyberbullying. Penelitian Patchin dan Hinduja, (2011) dengan judul “cyberbullying and Self Esteem”. Penelitian dilakukan kepada 1.963 siswa Sekolah Menengah dengan rentang usia 11 sampai 16 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self esteem yang rendah dengan perilaku cyberbullying. Siswa yang melakukan cyberbullying memiliki self esteem yang rendah dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat di dalam perilaku cyberbullying. Di Indonesia, cyberbullying telah diteliti oleh Mawardah (2012) pada remaja berumur 12 sampai 14 tahun di Samarinda, Kalimantan Timur. Judul penelitian adalah “Hubungan antara Kelompok Teman Sebaya dan Regulasi Emosi dengan kecenderungan Menjadi Pelaku Cyberbullying”. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui secara empiris hubungan kelompok teman sebaya dan regulasi emosi dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara teman sebaya dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying. Aspek yang paling besar adalah aspek informatif. Regulasi emosi tidak memiliki pengaruh dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja. Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini mengaitkan antara empati dan self esteem dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying. Pada penelitian ini empati dan self esteem dijadikan sebagai variabel bebas dan variabel kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying. Menyimak penelitian-penelitian tentang cyberbullying yang telah diuraikan di atas, sepanjang pengetahuan peneliti, pada penelitian di luar negeri para peneliti belum mengaitkan antara empati dan self esteem dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja. Penelitian yang dilakukan hanya mengaitkan antara empati dan gender dengan perilaku cyberbullying, kemudian tentang hubungan antara self esteem dengan cyberbullying. Sementara untuk penelitian dari dalam negeri sendiri, belum ada yang mengaitkan antara empati dan self esteem dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying, yang diteliti hanya mengenai hubungan antara teman sebaya dan regulasi emosi dengan kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying. Pada penelitian ini peneliti lebih berfokus pada peran empati dan self esteem secara bersama-sama dalam memprediksi kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying pada remaja. Dalam penelitian ini juga, subjek yang diteliti lebih difokuskan pada remaja awal dengan rentang usia 12-14 tahun, pada penelitian-penelitian sebelumnya subjek yang diteliti adalah remaja dengan rentang usia 11-18.