gambaran histopatologi lupus eritematosus diskoid kutan

advertisement
D Prafita dkk
Histopatologi lupus eritematosus diskoid kutan
Tinjauan Pustaka
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID KUTAN
Dhany Prafita*, M.Cholis*, Soebarkah Basoeki**, Taufik Hidayat *
*Lab/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Brawijaya/RSU Dr. Saiful Anwar Malang
**Lab/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Brawijaya/RSU dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Discoid LE (DLE) merupakan bentuk tersering dari CCLE yang ditemukan pada pasien SLE, yaitu 1530% dari seluruh populasi penderita SLE. DLE merupakan kelainan kulit yang bersifat jinak dan merupakan
suatu bentuk dari lupus erythematosus yang hanya terbatas pada kulit tanpa disertai adanya keterlibatan
organ lainnya. Lesi DLE klasik, dimulai dari makula yang berwarna merah keunguan, papula, atau plak yang
kecil dan dengan cepat muncul permukaan yang hiperkeratotik. Lesi DLE klasik awal kemudian berubah
menjadi berbatas tegas, plak eritematosa coin shaped (discoid) yang tertutup oleh skuama yang meluas
hingga ke orificium dari folikel rambut yang mengalami dilatasi. Lesi DLE meluas dengan eritema dan
hiperpigmentasi pada bagian perifernya, menyebabkan atrophic central scarring, telengiectasia, dan
hipopigmentasi. Gambaran histopatologi DLE memiliki ciri khas berupa terdapatnya gambaran
hiperkeratosis dan follicular keratin plug pada stratum korneum, flattening dari rete ridges, degenerasi
hidropik pada stratum basalis, serta adanya superficial & deep infiltrate berupa limfosit. Distribusi infiltrat
tersebut merupakan petunjuk terhadap diagnosis LE. Infiltrat limfosit dapat moderate hingga heavy
superficial dan deep perivascular dan periappendageal. Gambaran histologi DLE memiliki kemiripan dengan
gambaran histologi dari liken planus, polymorphous light eruption serta dermatomyositis. Perbedaan
gambaran histologi pada penyakit tersebut penting untuk diketahui untuk penegakan diagnosis yang tepat.
(MDVI 2012; 39/4:201-207)
Kata kunci : lupus, lupus eritematosus diskoid, histopatologi
ABSTRACT
Discoid LE (DLE) is the most common form of CCLE were found in SLE patients, which is 15-30% of
the entire population of patients with SLE. DLE is a benign skin disorder and a form of lupus erythemathosus
that are limited to skin without involvement of other organ. Classic DLE lesions, most common form of CCLE,
starting from a purplish red macules, papules, or plaques are small and rapidly emerging hyperkeratotic
surface. DLE lesions later turn into classic early-demarcated, erythemathous plaques coin shaped (discoid)
covered by squama that extends out to orificium of dilated hair follicles. Widespreading DLE lesions with
erythema and hyperpigmentation on the peripher part, causing central atrophic scarring, telangiectasia, and
hypopigmentation. DLE histopathologic feature is characterized by the presence of follicular keratin plug,
hydropic degeneration, flattening of rete ridges and the presence of superficial and deep infiltrate. Those
infiltrates’ distribution constitute an indication of LE diagnosis. Lymphocytic infiltrates may be moderate to
heavy superficial and deep perivascular and periappendageal. Histopathologic feature of DLE resemblance
to histopathologic feature of lichen planus, polymorphous light eruption and dermatomyositis. Histological
differences in the disease is important to know for proper diagnosis. (MDVI 2012; 39/4:201-207)
Keywords: lupus, discoid lupus erythematosus, histopathology
Korespondensi:
Jl. Jaksa Agung Suprapto No.2-Malang
Telp.0341-362101
Email: [email protected]
201
MDVI
PENDAHULUAN
Lupus erythematosus (LE) merupakan suatu kelompok
penyakit yang berkembang dari adanya autoimunitas terhadap partikel self-DNA. Penyakit ini dapat hanya mengenai
kulit yang disebut cutaneous lupus erythematosus (CLE),
dapat pula hingga melibatkan multiorgan seperti jantung,
paru, otak, ginjal dan organ lainnya sehingga disebut
systemic lupus erythematosus (SLE). Gambaran klinis dari
CLE memiliki banyak kemiripan dengan berbagai penyakit jaringan ikat lainnya, sehingga evaluasi gambaran
histopatologi kulit beperan penting untuk membantu
menegakkan diagnosis. 1,2
Lupus dapat mengenai semua umur dengan rata-rata
umur antara 21-50 tahun, dengan prevalensi 17–48 dari
100.000 orang. Manifestasi kulit dari LE merupakan
manifestasi klinis nomer dua tersering dari LE setelah
inflamasi pada sendi. CLE diklasifikasikan oleh James N.
Gilliam menjadi 3 kategori utama yaitu Acute Cutaneous LE
(ACLE), Subacute Cutaneous LE (SCLE) dan Chronic
Cutaneous LE (CCLE). Discoid LE (DLE) merupakan bentuk
tersering dari CCLE yang ditemukan pada pasien SLE, yaitu
15-30% dari seluruh populasi penderita SLE.1,2
DEFINISI
Discoid lupus erythematosus (DLE) merupakan manifestasi tersering dari LE dan merupakan bentuk dari
CCLE yang paling banyak ditemukan. DLE merupakan
kelainan kulit yang bersifat jinak dan merupakan suatu
bentuk dari lupus erythematosus yang hanya terbatas pada
kulit tanpa disertai adanya keterlibatan organ lainnya. 2,3,4
EPIDEMIOLOGI
Lupus dapat mengenai semua umur dengan rata-rata
umur antara 21-50 tahun, dengan prevalensi 17–48 dari
100.000 orang. DLE, yang merupakan bentuk tersering dari
CCLE, dapat ditemukan 15-30% dari seluruh populasi
penderita SLE. Pada umumnya, DLE dijumpai pada
penderita dengan kisaran usia antara 20-40 tahun, dan rasio
antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:3 hingga 1:3. 2,3,6
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab dan mekanisme patogenesitas yang bertanggung jawab terhadap terjadinya LE-spesific skin disease/
CLE masih belum sepenuhnya dimengerti, walaupun
penelitian saat ini telah mengungkapkan banyak pendapat.
Secara sederhana, SLE merupakan gangguan karena
faktor host (susceptibility genes, kondisi hormonal, dll)
dan faktor lingkungan (radiasi sinar ultraviolet [UV],
virus, obat) yang saling mempengaruhi dan menyebabkan
hilangnya self-tolerance dan menginduksi autoimunitas.
Hal ini diikuti dengan adanya aktivasi dan ekspansi dari
sistem imun, dan pada akhirnya menimbulkan immu-
202
Vol.39 No.4 Tahun 2012: 201-207
nologic injury pada target organ dan munculnya gejala
klinis dari penyakit. 2
Susceptibility genes
Faktor genetik memiliki peranan pada kerentanan
terhadap LE. Pada pasien dengan DLE diketahui terjadi
peningkatan yang signifikan dari HLA-B7, -B8, -DR2, -DR3
dan –DQA0102 serta penurunan yang signifikan dari HLAA2. Kombinasi dari HLA-DR3, HLA-DQA0102 dan HLAB7 memberikan maximum relative risk terhadap DLE.
Defisiensi genetik terhadap komponen komplemen C4
berhubungan dengan menurunnya eliminasi dari self-reactive
B cells sedangkan kurangnya jumlah C1q menyebabkan
kurangnya proses eliminasi dari jaringan nekrotik. 1,4,5
Hormon
Hormon seks memiliki peranan terhadap patomekanisme SLE. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi
menyebabkan peningkatan autoreaktivitas humoral. Kadar
estrogen yang tinggi menyebabkan pasien degan SLE
mengalami peningkatan pada 1,4,5,7: 1) Jumlah limfosit yang
self-reactive yang memotong perkembangan delesi, 2)
Peningkatan rasio CD4/CD8 (mendukung kondisi humoral
responsiveness), dan 3) Jumlah sel B yang meninggalkan
sumsum tulang yang mengekpresikan pengenalan afinitas
tinggi terhadap self-DNA.
Faktor Lingkungan
Radiasi sinar ultraviolet mungkin merupakan faktor
lingkungan paling penting dalam fase induksi SLE,
terutama CLE. Sinar UV menyebabkan self-immunity dan
hilangnya toleransi karena menyebabkan terjadinya
apoptosis keratinosit. Radiasi sinar UVB menginduksi dilepaskannya CCL27 (cutaneous T cell-attracting chemokine)
yang meningkatkan ekspansi dari kemokin yang mengaktivasi sel T autoreaktif dan interferon-α (IFN-α), memproduksi sel dendritik (DC) yang memiliki peranan utama
dalam patogenesis lupus 1,5,7.
Patogenesis
Pada SLE, terdapat peningkatan apoptosis dari sel
mononuklear di darah perifer secara invitro. Pada CLE,
disertai juga dengan adanya keratinosit yang mengalami
apoptosis dalam jumlah yang sangat besar, terutama karena
respon terhadap sinar UV. Pada pasien dengan lupus,
terdapat gangguan dari apoptosis dan apoptotic cell clearace.
Normalnya, protein komplemen terikat pada sel apoptosis,
yang kemudian akan dilimpahkan ke “house-keeping”
makrofag. Ketika terjadi defisiensi protein komplemen
(yang merupakan karakteristik umum pada pasien lupus)
pada sel apoptotik, atau jika protein komplemen tidak
didapatkan pada pada sel apoptotik, maka sel apoptotik
tersebut kemudian akan dikenali oleh sel dendritik yang
D Prafita dkk
Histopatologi lupus eritematosus diskoid kutan
selanjutnya menstimulasi respon imun adaptif. Sel dendritik
ini kemudian memakan sel apoptotik dan mempresentasikannya sebagai antigen sehingga menyebabkan rusaknya
self-tolerance yang diikuti dengan adanya aktivasi dari
kaskade sistem imun 1,4,5,7,9,10.
Environmental
triggers
Neuroendocrine
system
Multiple
genes
Sex & sex
hormone mileu
Immune dysregulation
Defective
clearance
DNA,
apoptotic
cells
Loss of suppressor
activities
APC
T Cells
B Cells
autoantibodies
Excess help
Cytokines
Defective
clearanccee
Immune complex:
complement activation
Tissue injury and
damage
Gambar 1. Patogenesis SLE 7
Sel T memiliki peranan penting dalam fase induksi
dan ekspansi dari perkembangan SLE. Sel T terlibat dalam
proses toleransi sentral dan perifer. Self-antigen dipresentasikan oleh sel dendritik kepada sel T yang autoreakif.
Ikatan dengan molekul signaling di permukaan, seperti sel
T reseptor, dengan ligandnya menyebabkan terjadinya
aktivasi sel T. Sel T juga membantu aktivasi sel B yang
autoreaktif sehingga menghasilkan autoantibodi. Pada
akhirnya, sel T juga memfasilitasi terjadinya kerusakan
jaringan pada target organ. Sel B terlibat dalam fase ekspansi
Gambar 5. Follicular Keratin Plug (koleksi pribadi
Lab PA RSU dr.Saiful Anwar Malang; M 3679-11,
HE, 400x)
dalam patogenesis LE, dimana mereka dapat mempresentasikan antigen kepada sel T autoreaktif dan selanjutnya dapat memperkuat aktivasi sel T. 1,7,8,9.
GAMBARAN KLINIS
Lesi DLE klasik, bentuk tersering dari CCLE, dimulai
dari makula yang berwarna merah keunguan, papula, atau
plak yang kecil dan dengan cepat muncul permukaan yang
hiperkeratotik. Lesi DLE klasik awal kemudian berubah
menjadi berbatas tegas, plak eritematus coin shaped (discoid)
yang tertutup oleh skuama yang meluas hingga ke orifisium
dari folikel rambut yang mengalami dilatasi. Lesi DLE
meluas dengan eritema dan hiperpigmentasi pada bagian
perifernya, menyebabkan atrophic central scarring, telengiectasia, dan hipopigmentasi 1,10,11.
Keterlibatan folikular pada DLE merupakan gambaran
yang prominen. Keratotic plug terakumulasi di folikel yang
terdilatasi yang nantinya segera terjadi hilangnya rambut.
Lesi DLE banyak dijumpai di daerah wajah, kulit kepala,
telinga, area V pada leher, dan bagian ekstensor dari
lengan 1,10,11,14.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Perubahan gambaran histologi dapat ditemui pada
semua lapisan kulit, tetapi tidak harus selalu ada pada setiap
kasus. Temuan histologis secara singkat yaitu 15: 1) Stratum
korneum : hiperkeratosis dengan follicular plugging, 2) Epitel:
thinning dan flattening dari stratum malphigii, degenerasi
hidropik dari sel basal, dyskeratosis, dan kematian sel
keratinosit di lapisan basal, 3) Membran basal : menebal, 4)
Stroma : terdapat infiltrat limfosit di dermal-epidermal
junction, di sekitar folikel rambut, dan appendages lainnya
(superficial & deep infiltrate), bisa didapatkan adanya edema,
vasodilatasi, dan ekstravasasi ringan dari erotrosit, 5) Subkutan
: bisa didapatkan infiltrat inflamasi.
Gambar 6. Degenerasi vakuolar pada sel basal (koleksi
pribadi Lab PA RSU dr.Saiful Anwar Malang;M 319711, HE, 400x)
203
MDVI
Vol.39 No.4 Tahun 2012: 201-207
Gambar 7. Flattening dari rete ridges (koleksi pribadi
Lab PA RSUD dr.Saiful Anwar Malang; M 3679-11,
HE, 400x)
IMMUNOFLUORESCENCE
Pemeriksaan immunohistologi sering membantu dalam
menetapkan diagnosis dari CLE. IgG, IgA, IgM dan
komponen komplemen (C3, C4, Clq, properdin, faktor B dan
membrane attack complex C5b-C9) dideposit dalam
gambaran continous granular atau linear band-like array
pada taut dermal-epidermal (TDE) telah ditemukan di bagian
kulit dengan lesi dan non-lesi pada pasien LE. 1,12,17
Terdapatnya immunoreaktan pada TDE pada pasien
DLE merupakan suatu temuan karakteristik dan adanya
kumpulan dari deposit IgG, IgM, IgA dan/atau C3 banyak
digunakan untuk mendiagnosa lesi ini. IgG merupakan
Gambar 10. DIF: bandlike deposit IgM berbentuk linear di
sepanjang TDE pada DLE (18)
204
Gambar 8. Infiltrat perivascular dan periappandageal
(koleksi pribadi Lab PA RSUD dr.Saiful Anwar Malang;
M 3679-11, HE, 400x)
immunoglobulin yang paling sering ditemukan di TDE,
lalu diikuti dengan IgM dan IgA. Adanya deposit linear
atau partikel dust-like yang terdiri dari IgM dan/ atau C3
disepanjang TDE dapat ditemui pada beberapa penyakit
inflamasi kulit seperti dermatomyositis, systemic scleroderma atau rheumatoid arthritis. Sedangkan untuk deposit
IgG yang membentuk gambaran continousband merupakan gambaran khas untuk LE murni, karena gambaran
ini tidak didapatkan pada kasus lain. 1,12,17,18,21.
Gambar 11. DIF: Granular deposit C3 sepanjang TDE pada
DLE (18)
D Prafita dkk
IMMUNOHISTOKIMIA
Immunohistokimia merupakan suatu teknik yang
digunakan untuk menentukan lokasi dari antigen atau protein
pada jaringan dengan menggunakan antibodi yang diberi
label sebagai reagen spesifik. Antibodi tersebut selanjutnya
akan membentuk interaksi antigen-antibodi, dimana
kompleks antigen-antibodi tersebut akan nampak dengan
pemberian marker seperti fluorescent dye, enzyme, atau
colloidal gold. Analisis immunohistokimia pada populasi
Histopatologi lupus eritematosus diskoid kutan
limfosit menunjukkan adanya infiltrat limfosit yang
mencolok di dermis pada pasien DLE yang ditemukan di
sekitar pembuluh darah dan appendices. Karakteristik dari
infiltrat inflamasi dengan immunohistokimia menunjukkan
bahwa populasi sel inflamasi pada semua lesi LE spesifik
(sistemik atau kutaneus) terutama terdiri dari limfosit T,
dengan limfosit B juga ditemukan dengan jumlah yang lebih
sedikit, dan makrofag serta sel Langerhans merupakan
komponen minor dari infiltrat. 25,26
Gambar 12. Gambaran limfosit T CD3+ yang padat (kiri) dan sekumpulan limfosit B (kanan) pada infiltrat likenoid lesi LE. 26
Secara umum, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada perbedaan immunohistokimia antara CDLE dan
SCLE, dimana limfosit T ditemukan lebih banyak daripada
limfosit B seperti telah disebutkan sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan DLE dan SCLE lebih pada
aspek subtipe klinis daripada perbedaan patogenesis.
Kemiripan gambaran klinis serta seringnya terdapat kesulitan
dalam membedakan cutaneous lupus erythematosus (CLE),
polymorphous light-eruption (PMLE), dan cutaneous lymphoid hyperplasia (CLH) hanya dengan menggunakan
pemeriksaan mikroskop cahaya, maka pada pemeriksaan
immunohistokimia dapat diketahui bahwa pada CLH
ditemukan lebih banyak sel limfosit B CD20+ dibandingkan pada CLE dan PMLE.27,28.
DIAGNOSIS
Diagnosis DLE dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang lainnya
seperti pemeriksaan histopatologi dan immunofluorescence
ataupun immunohistokimia. Dari anamnesa dan pemeriksaan
fisik dapat diketahui adanya bercak/ makula yang berwarna
merah keunguan, atau plak yang kecil dan muncul dengan
cepat dengan permukaan yang hiperkeratotik. Lesi/bercak
tersebut kemudian berubah menjadi plak eritematous coin
shaped (discoid) berbatas tegas, yang tertutup oleh skuama
yang dapat meluas hingga ke orificium dari folikel rambut.
Lesi DLE dapat meluas dengan eritema dan hiperpigmentasi
pada bagian perifernya, menyebabkan atrophic central
scarring, telengiectasia, dan hipopigmentasi 1,10,11,21.
Pada pemeriksaan histopatologi gambaran khas yang
ditemukan pada DLE adalah adanya gambaran hiperkeratosis dan folikel rambut yang berisi keratin (follicular
keratin plug) pada stratum korneum. Penipisan epidermis
serta adanya flattening dari rete ridges dan adanya
vakuolar degenerasi di lapisan basalis. Di daerah dermalepidermal junction serta di perivaskular atau periappandageal didapatkan adanya infiltrat yang terutama terdiri
dari limfosit 15,17,20.
Pemeriksaan immunohistologi dapat membantu dalam
menetapkan diagnosis dari CLE. Terdapatnya immunoreaktan pada TDE pada pasien DLE merupakan suatu
temuan karakteristik dan adanya kumpulan dari deposit IgG,
IgM, IgA dan/atau C3 banyak digunakan untuk mendiagnosa
lesi kulit dengan gambaran klinis DLE. Adanya gambaran
continuous band dari deposit IgG merupakan temuan khas
untuk LE murni, karena gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus lain yang memiliki gambaran klinis/
histopatologi yang mirip dengan DLE. Sedangkan pada
205
MDVI
Vol.39 No.4 Tahun 2012: 201-207
gambaran dari pemeriksaan immunohistokimia pada DLE
dapat terlihat adanya infiltrat limfosit yang mencolok di
dermis pada pasien DLE yang ditemukan di sekitar
pembuluh darah dan appendices, dimana limfosit T ditemukan yang paling dominan dan limfosit B dalam jumlah yang
lebih sedikit serta makrofag dalam jumlah minoritas
1,12,15,17,27,28
.
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gambaran histopatologi, DLE dapat
didiagnosis banding dengan beberapa penyakit lain, seperti :
Liken Planus
Liken planus dan DLE agak sulit dibedakan secara
histopatologi karena memiliki beberapa gambaran yang
sama seperti penipisan epidermis serta rete ridges yang
menjadi rata, fokal hipergranulosis serta vakuolisasi pada
DEJ. 15,22.
Pada liken planus, wedge-shaped hypergranulosis
dan triangular elongation dari rete ridges merupakan
penjelasan gambaran dari saw-toothing, dimana gambaran
tersebut tidak didapatkan pada DLE. Akanthosis pada
liken planus bersifat ireguler dan mengenai stratum
spinosum pada rete ridges dan juga suprapapillary plate.
Selain itu, infiltrat pada liken planus terdapat hanya di
superfisial (bukan superfisial dan dalam). Infiltrat pada
upper dermis membentuk gambaran band-like dan
berbatas jelas pada batas bawahnya. Infiltrat tersebut
hampir seluruhnya terdiri dari limfosit dan bercampur
dengan makrofag. Selain itu didapatkan juga dermal
papilla diantara rete ridges yang memanjang berbentuk
dome shaped 15,22.
Dermatomyositis
Dermatomyositis bermanifestasi sebagai inflammatory myopathy dengan temuan kelainan pada kulit yang
Histopatologi
Hiperkeratosis stratum
korneum
Follicular keratin plug
Degenerasi hidropik
lapisan basal
Penebalan membran basal
Superficial & deep limfosit
infiltrat
206
karakteristik. Seringkali, gambaran histologis antara
dermatomyositis dengan DLE sulit untuk dibedakan. Pada
kedua penyakit tersebut didapatkan gambaran karakteristik berupa ortokeratosis, epidermis yang menipis,
fokal hipergranulosis, vakuolisasi pada membran basal,
penebalan membran basalis dan deposit mucin di retikular
dermis. Dari persamaan-persamaan tersebut, DLE dapat
hampir selalu dibedakan dengan dermatomyositis karena
pada DLE lebih cenderung untuk didapatkan infiltrat
limfosit yang lebih dalam dan padat, ifundibulum yang
terdilatasi terisi oleh sel kornifikasi dan pada lesi yang
baru didapatkan sklerosis yang luas pada bagian atas dari
dermis. Untuk praktisnya, dari gambaran tersebut, tidak
ada satupun gambaran yang didapatkan pada dermatomyositis. Kompleks imun juga tidak didapatkan di dermalepidermal junction seperti pada lupus erythematosus 15,23.
Polymorphous Light Eruption
Polymorphic (polymorphous) light eruption (PMLE)
merupakan papul, plak, atau vesikel eritem, gatal,
nonscarring yang seringkali secara intermitten dan transien
terjadipada kulit yang terpapar sinar ultraviolet. Pada
polymorphous light eruption tipe plak, seringkali terdapat
gambaran edema papilla dermis yang menonjol. Infiltrat
yang ditemukan pada polymorphous light eruption lebih
banyak ditemukan di superfisial dibandingkan di deep
dermis dan biasanya bercampur dengan neutrofil. Pada
polymorphous light eruption tidak didapatkan adanya
gambaran folikel yang tersumbat oleh keratin dan biasanya
tidak disertai adanya deposisi mucin di stroma 15,16,24.
Diagnosis banding gambaran histopatologi dari
polumorphous light eruption selain dengan DLE yaitu
erythema of the deep type. Dalam beberapa hal, kedua
penyakit tersebut dapat sulit dibedakan, tetapi jika edema
didapatkan pada upper part dermis, maka diagnosisnya
adalah polumorphous light eruption 15,16,24.
Immunopatologi
DDx Histopatologi
 Immunofluorescence : deposit  Liken planus  gambaran
IgG continous granular di DEJ
saw-tooth pada rete ridges
 Immunohistokimia : populasi
 Dermatomyositis
sel inflamasi terutama terdiri
 PMLE  edema pada upper
dari limfosit T, limfosit B
part dermis
ditemukan dengan jumlah lebih
sedikit, makrofag serta sel
Langerhans merupakan
komponen minor dari infiltrat.
DDx Immunopatologi
 Immunofluorescence :
dermatomyositis, systemic
scleroderma, rheumatoid arthritis 
deposit linear atau partikel dust-like
yang terdiri dari IgM dan/ atau C3
disepanjang DEJ
 Immunohistokimia : cutaneous
lymphoid hyperplasia (CLH) 
limfosit B >>
D Prafita dkk
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. Dalam: Wolff
K, Godsmith LA, Katz SI, Gilchrest BI, Paller AS, Leferll DJ,
editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7.
New York: McGraw-Hill; 2008. h. 1515-35.
Panjwani S. Early Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus
Erythematosus. J Am Board Fam Med. 2009; 22 : 206-213.
Berbert Alceu Luiz Camargo Villela, Sonia Antures de Olivera
Mantese. Cutaneous Lupus Erythematosus – Clinical and
Laboratory Aspects, An Bras Dermatol. 2005; 80 (2) : 119-31.
Goodfield M.J.D, Jones S.K., Veale D.J. Chapter 51 ‘The
Connective Tissue Disease’ Lupus erythematosus. Dalam: Tony
Burns, Stephen Breathnach, neil Cox, Christopher griffiths, editor.
Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Oxford Oxford:
Wiley-Blackwell; 2010. h. 51.2-51.63.
Tsokos George C. Mechanisms of Disease Systemic Lupus
Erythematosus. N Eng J Med. 2011; 365 : 2110-21.
Petri Michelle. Epidemiology of Systemic Cutaneous Lupus
Erythematosus. Best practice and research Clinical Rheumatology.
2002; 16: 847-58.
Mok C C, Lau C C. Review Pathogenesis of Systemic Lupus
Erythematosus. J Clin Pathol. 2003; 56: 481-90.
D’Cruz David P. Systemic Lupus erythematosus. BMJ. 2006; 332;
890-4.
Kuhn A, Krammer P.H., Kolb-Bachefen V. Patophysiology of
Cutaneous Lupus Erythematosus – novel aspects. Rheumatology.
2006; 45: 14-6.
Cenera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestation and diagnosis. Eular On-line
Course on Rheumatic Diseases – module n°17 . 2010.
Fabri P, Cardinali C, Giomi B, Caproni M. Cutaneous Lupus
Erythematosus. Orphanet Encyclopedia. 2004.
Naqqach S, Asad F, Pal S S. Original Article Direct
Immunofluorescence and Histopathology in Cutaneous Discoid Lupus
Erythematosus. J Pakistan Assoc Dermatol. 2011; 21: 98-101.
Crowson A. Neil, Magro C. The Cutaneous Pathology of Lupus
Erythematosus: a review. J Cutan Pathol. 2001; 28: 1-23.
Parveen N, Das D K, Mahbubul Haque F.R.M., Momtazul Haque
MNM. Cutaneous Manifestation of Systemic Lupus Erythematosus.
J Medicine. 2007; 8: 44-8.
Joworsky C. Chapter 10 Connective Tissue Disease Lupus
Erythematosus. Dalam David E Elder, Bernett Johnsos, Jr Rosalie
Elenitsas, editor. Lever’s Histopathology of The Skin. Edisi ke-9.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2005. h. 294-308.
Hawk John L.M, Colonje E. Chapter 12 The Photosensitivity
Disorders Polymorphous Light Eruption. Dalam: David E Elder,
Bernett Johnsos, Jr Rosalie Elenitsas, editor. Lever’s Histo-
Histopatologi lupus eritematosus diskoid kutan
pathology of The Skin. Edisi ke-9. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins; 2005. h. 345-7.
17. David-Banjar KM, Bennion SD, Despain JD, Golitz LE, Lee LA.
Clinical, Histologic and Immunofluorescence Distinction Between
Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus and Discoid Lupus
Erythematosus. J Invest Dermatol. 1992; 99: 251-7.
18. Bijl M, Kallenberg CGM. Ultraviolet Light and Cutaneous Lupus.
Sage Journal. 2006; 15: 724-7.
19. Moradinejad M.H. Cutaneous Manifestation of Systemic Lupus
Erythematosus in Iranian Children. Iran J Med sci. 2006; 31(1): 44-6.
20. Penate Y, Guillermo N, Rodriguez J, Hernandez-Machin B,
Montenegro T, Borrego L. Hystopathology Characteristic of
Neonatal Cutaneous Lupus Erythematosus: description of five cases
and lierature review. J Cutan Pathol 2009; 36; 660-7.
21. Rothfield N, Sonthaimer RD, Bernstein M. Lupus Erythematosus:
sytemic and cutaneous manifetation. Clin in Dermatol. 2006; 24:
348-62.
22. Ackerman A. Bernard, Mendrova AMN, Guo Y. 7. Atrophic Lichen
Planus vs Atrophic Discoid Lupus Erythematosus. Dalam:
Differential Diagnosis Dermatopathology. Edisi ke-3. Philadelphia:
Lea & Febriger; 1992. h 26-9.
23. Ackerman A. Bernard, Mendrova AMN, Guo Y. 6. Discoid Lupus
erythematosus vs Dermatomyositis. Dalam: Differential Diagnosis
Dermatopathology. Edisi ke-3. Philadelphia: Lea & Febriger; 1992.
h. 22-5.
24. Ackerman A. Bernard, Briggs Pedro L, Bravo F. 10. Discoid Lupus
Erythematosus vs Polymorphous Light Eruption. Dalam:
Differential Diagnosis Dermatopathology. Edisi ke-1. Philadelphia:
Lea & Febriger; 1992. h. 38-41.
25. Xie Y, Jinnin M, Zhang X, Wakasugi S, Makino T, Inoue Y,
Fukushima S, Masuguchi S, Sakai K, Hironobu Ihn.
Immunohistochemical characterization of the cellular infiltrate in
discoid lupus erythematosus. BioScience Trends. 2011; 5(2): 83-8
26. Lourencxo S V., Carvalho F R. G.de, Boggio P, Sotto M N., Vilela
Maria A. C., Rivitti E A., Nico Marcello M. S. Lupus
erythematosus: Clinical and histopathological study of oral
manifestations and immunohistochemical profile of the
inflammatory infiltrate. J Cutan Pathol. 2007; 34: 558–64.
27. Kuo T T, Lo S K, Chan H L. Immunohistochemical analysis of
dermal mononuclear cell infiltrates in cutaneous lupus
erythematosus, polymorphous light eruption, lymphocytic
infiltration of Jessner, and cutaneous lymphoid hyperplasia: a
comparative differential study. J Cutan Pathol. 1994; 21: 430-6.
28. Tebbe B, Mazur L, Stadler R, Orfanos CE. Immunohistochemical
analysis of chronic discoid and subacute cutaneous lupus
erythematosus--relation to immunopathological mechanisms. Br J
Dermatol. 1995; 132(1): 25-31.
207
Download