ُ١تسُ هللا اٌشحّٓ اٌشح KHUTBAH IDUL FITRI 1437 H Persaudaraan dan Keutamaan Saling Mencintai Karena Allah SWT ٗتشواذٚ سحّح هللاٚ ُى١ٍاٌسالَ ع ×9 هللا أوثش .هللِ ْاٌ َح ّْ ُذِٚ هللاُ اَ ْوثَ ُش،ُهللاُ اَ ْوثَشَٚ ُ الَإٌََٗ اِالَّ هللا،ًال١ْ ص َ ُس ْث َحَٚ ًْشا١ِ ْاٌ َح ّْ ُذ ِهللِ َوثَٚ ًْشا١ِهللاُ اَ ْوثَ ُش َوث ِ َأَّٚ ًاْ هللاِ تُ ْى َشج َٓ ِِ خ َ َْٔ َّض َي ْاٌمُشَٚ ،ََ َ ا١ِّ ِٗ اٌص١ْ ِ ُْ فِٙ ١ْ ٍَ َح َّش ََ َعَٚ َْٓ ١ِّ ٍِْذاً ٌِ ٍْ ُّ ْس١ْ ََ ِعَٛ١ٌْ َج َع ًَ ْاٞاَ ٌْ َح ّْ ُذ ِهللِ اٌَّ ِز ٍ َ ِّٕا١َتَٚ اط ِ ٌٍَِّٕ ًٜآْ ُ٘ذ .َِ َ ْا ِإل ْوشاَٚ ْاٌ َجالَ ِيٚ ُرَٛ َُ٘ٚ ِٗ ِٔ َو َّا ِي إِحْ َساٍََٝٔ ْش ُى ُشُٖ َعَٚ ُٖ َٔحْ َّ ُذ،ِْ ْاٌفُشْ لَاَٚ ُٜ َذٌْٙا ُ ُّْٛ َ٠ ال ُ ١ِّ ُ٠َٚ ْٟ ِ١ ُْح٠ َٛ َُ٘ٚ ٌَُٗ ْاٌ َح ّْ ُذَٚ ه َ ٌّٟ َحَٛ َُ٘ٚ ْد ُ ٍْ ُّ ٌ ٌَُٗ ْا.ٌَُٗ ه َٛ َُ٘ٚ خ َ ٠ْ حْ َذُٖ الَ َش ِشَٚ َُ ُذ اَ ْْ الَ اٌََِٗ اِالَّ هللاٙأَ ْش ٍَٝ َعَٚ ِ ِج ُِ َح َّّ ٍذ ْت ِٓ َع ْث ِذ هللاَٚ ْاٌمُ ْذَٚ ْاٌمَائِ ِذٍَٝاُ َسٍِّ ُُ َعَٚ ْٟ ٍِّص َ ُأٚ .ٌُُٗ ُْٛ َسسَٚ َُٖ ُذ اَ َّْ ُِ َح َّّذاً َع ْث ُذٙأَ ْشَٚ .ٌش٠ْ ٍْئ لَ ِذ١تِ ُى ًِّ َش َّ ًِ هللاِ َح١ْ ِ َسثْٟ ِ َِ ْٓ جاََ٘ َذ فَٚ ِٗ ِذَٛ هللاِ تِ َذ ْعٌَِٝ َِ ْٓ َدعا َ اَٚ ،ِٗ َِّر٠ ُر ِّسَٚ ِٗ ِأَصْ حاَتَٚ ِٗ ٌِآ ٌَِٝ َِ ْٓ ذَثِ َعُٗ تِئِحْ َسا ٍْ اَٚ ِٖ ا َ ِدٙك ِج .ِٓ ٠ْ ْ َِ اٌ ِّذَٛ٠ َّ ْ ا هللاَ َحُٛ إِذَّم، َُا إٌَّاطُّٙ٠َ أ:اَ َِّا تَ ْع ُذ !َْ ُّْٛ ٍِأَ ْٔرُ ُْ ُِ ْسَٚ َّْ ذُ َّٓ إِالُّٛ َالَذَٚ ِٗ ِك ذُماَذ Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd Yaa Allah, Maha Agung asma-Mu. Wahai Dzat yang Maha Adil dan Maha luas kasih sayang-Nya. Maha tinggi kemuliaan-Mu yaa „Aziiz, wahai Dzat yang senantiasa mencurahkan rahmat dan nikmat kepada para hamba-Nya. Maha besar kekuasaan-Mu yaa Maalik. Yaa Rahman, inilah kami para hamba-Mu. Kami datang bersimpuh di hadapan kebesaran-Mu. Inilah kami, yaa „Aziiz, makhluk-makhluk-Mu yang lemah dan tak berdaya, kini duduk di hadapan altar kemuliaan dan keagungan-Mu. Ya Rahiim, inilah kami hamba-Mu yang tak pernah luput dari kesalahan dan dosa, sering lalai dan alpa, yang acapkali bertengkar untuk memperebutkan bangkai-bangkai dunia; kini kami hadir menyerahkan segenap jiwa dan raga di depan pintu kekuasaan-Mu. Yaa Ghaani, inilah kami, orang-orang fakir yang menundukkan kepala karena malu kepada-Mu, kini kami menengadahkan tangan-tangan kami untuk memohon belas kasih-Mu. Yaa Allah, Yaa Rahman, yaa Rahiim. Kami yang berkumpul di tempat ini, pada pagi ini, adalah para hambu-Mu. Saat Ramadhan kami tertatih-tatih mendekatkan diri kepada-Mu karena berharap kasih sayang-Mu. Yaa Allah, setiap saat kami berusaha mengetuk pintu-Mu dengan rasa lapar dan dahaga. Yaa Allah, setiap malam kami berusaha membaca Al-Qur‟an untuk memahami petunjukMu. Setiap saat kami menyeru-Mu dengan dzikir dan doa. Semua itu, yaa Rahman, hanya untuk menggapai ridla dan janji-Mu. Engkaulah Dzat yang maha mengetahui apa yang telah kami lakukan. Bagi-Mu, segala puji wahai Dzat yang telah menunjuki kami dengan agama-Mu. Kami bersaksi, bahwa tiada Rabb yang patut disembah selain Engkau, wahai Dzat yang Maha Agung dan Maha Mulia, yang keagungan dan ke-muliaan-Mu tidak akan sirna, meskipun seluruh manusia Kafir dan durhaka kepada-Mu. Yaa Rahman, kami bersaksi, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusanMu, suri teladan bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam semoga Engkau limpahkan kepada beliau SAW, keluarga, kerabat dan shahabat beliau, serta kaum Muslim yang secara konsisten dan konsekuen menjalankan dan mendakwahkan ajarannya hingga Hari Kiamat. Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd Hadirin yang dimuliakan Allah. Ramadhan berlalu sudah. Kini kaum Muslim menggemakan takbir, tahlil dan tahmid serentak di seluruh dunia sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan kekuatan untuk mendirikan ibadah di bulan Ramadhan; shaum mulai terbit fajar sampai matahari terbenam, membaca Al-Qur‟an, menghidupkan malam dengan tarawih, i‟tikaf, dan berdzikir. Bulan yang membuat orang Mukmin berlinang air mata, mengingat akan kealpaan, dosa, kelalaian, dan kemaksiatan diri. Bulan untuk introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan. Semuanya itu ditujukan untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Inilah bulan yang Allah telah berikan kesempatan kepada kita untuk berkaca dan memperbaiki diri. Inilah Bulan yang Allah SWT limpahkan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya. Inilah Bulan yang Allah SWT janjikan ampunan. Ampunan atas seluruh dosa kita sebelumnya, sehingga kita bagaikan manusia yang terlahir kembali. Subhanallah, Allahu Akbar. Ada getar keharuan dalam hati kita. Ramadhan yang barakah, berlimpah rahmat, dan ampunan Allah, telah meninggalkan kita. Akankah kita bertemu dengan Ramadhan berikutnya? Jujur kita menjawab Wallahu a‟lam. Tidak tahu. Ramadhan telah berlalu. Ada pertanyaan penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita. Apakah shaum kita telah berhasil? Bisakah kita disebut berhasil dan meraih kemenangan, sementara Ramadhan kita tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas diri kita, kualitas iman dan taqwa kita serta penyelesaian persoalan umat. Apakah pantas kita disebut berhasil, sementara umat tetap saja hidup menderita. Musuh-musuh Allah, kaum Kuffar, masih saja menindas kaum Muslim. Sementara kaum muslimin masih berpecah-belah, saling serang sana-sini, lebih mengutamakan dan fanatik terhadap kelompok/daerahnya sementara menyerang kelompok/daerah lain. Umat masih suka memakan bangkai saudaranya sendiri dengan mengghibah hingga memfitnah saudaranya, memprovokasi hingga mengkonvrontasi di sesama kaum muslimin. Pertikaian dan perkelahian terjadi hanya karena kepentingan sesaat yang fana dan penuh ilusi. Padahal, tujuan dari zakat fitrah juga adalah untuk membersihkan perkataan-perkataan kotor dari kita, baik yang kepada sesama maupun kata-kata yang tidak berguna. Sebagaimana dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia/bersenda gurau dan kata-kata kotor/keji dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa membayarkannya sebelum shalat (Hari Raya/Ied) maka itu adalah zakat (fitrah) yang diterima, dan barangsiapa membayarkannya setelah shalat maka itu hanyalah berupa sedekah dari sedekah (biasa)". (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Pada hari ini pun kita menyaksikan betapa para pemimpin dan politisi lebih sibuk bertikai, saling berebut kursi, saling menipu demi kekuasaan dan kedudukan, juga demi harta. Mengapa umat Islam masih diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan? KKN dan berbagai penyimpangan pun masih merajelala. Belum lagi perjudian, pornografi, pelacuran, masih saja berjalan, bahkan di bulan Ramadan sekalipun. Kriminalitas, seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, dan lain-lain masih merupakan bagian dari keseharian hidup masyarakat kita. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,…! Inilah, sekilas potret keterpurukan kaum Muslim saat ini. Saat ini kita memang tengah merayakan Idul Fitri, mengumandangkan takbir, tetapi takbir itu dikumandangkan di tengah situasi kita yang saat ini tetap terbelenggu kekalahan, ketertindasan dan perpecahan. Mengapa semua ini masih terjadi? Apa sebenarnya yang menyebabkan semua itu terjadi? Jika kita meneliti dengan cermat, sesungguhnya penyebab utama dari keterpurukan kaum Muslim saat ini karena kehidupan mereka yang tidak diatur oleh Islam. Islam telah dicampakkan dalam kehidupan. Dan kaum muslimin pun sibuk bertikai serta terpecah-belah. Padahal terkait dengan persatuan dan persaudaraan sesama muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang Mukmin di dalam kecintaan, kasih-sayang dan kelembutan mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit maka seluruh tubuh merasa demam sepanjang malam.” Persaudaraan dan kasih sayang yang diawali dan didasari dengan niat suci dan benar-benar karena Allah SWT tidak akan pernah terputus, sekalipun tak terlepas dari cobaan-cobaan. Kita bersyukur kepada Allah SWT dengan persaudaraan dalam agama Islam. Persaudaraan Islam adalah hal yang sangat indah. Di dalamnya seseorang peduli dengan saudaranya, menunjuki dia ke jalan yang benar dan selalu ada di sisinya untuk membantu ketika dia mendapatkan masalah ataupun di timpa suatu musibah. Islam memerintahkan untuk membina persaudaraan yang hakiki. Sebagaimana yang terjadi antara Rasulullah SAW dan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Beliau selalu berada di sisi Rasulullah SAW saat orang-orang musyrik berusaha untuk mengganggu dan membunuh beliau. Beliau menginfakkan hartanya untuk kepentingan dakwah Rasulullah SAW. Beliau juga menemani Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah. Keduanya bersembunyi di Gua. Abu Bakar ra sangat khawatir terhadap keselamatan Rasulullah SAW dari kejaran orang-orang musyrik. Akan tetapi, Rasulullah SAW yang percaya dengan perlindungan dan pertolongan Allah berusaha menenangkan beliau dan berkata, „‟Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu terhadap dua orang yang ketiganya adalah Allah (maksud dari itu adalah perlindungan dan pengawasan Allah).” Dari kejadian ini kita bisa mengambil contoh persaudaraan yang hakiki. Ketika orang-orang Muslim berhijrah ke Madinah, mereka meninggalkan harta, keluarga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia demi menyelamatkan agama mereka. Saat itu Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Al-Qur‟an telah mengabadikan persaudaraan mereka yang amat erat: “Dan Orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. al-Hasyr [59]: 9). Persaudaraan Islam inilah yang terus menerus menjadi senjata dakwah Islam hingga mampu menghancurkan benteng-benteng orang musyrik. Sayang, saat ini umat Islam terkotak-kotak akibat paham-paham yang termasuk „ashâbiyyah (fanatisme golongan; negara/suku/keluarga/dan sejenisnya) yang terlarang. Fanatisme kelompok/golongan ini adalah paham yang menjadikan kesamaan bangsa/suku/negara/kelompok sebagai dasar persatuan. Paham ini termasuk bagian dari seruan-seruan jahiliah (da„wâ aljâhiliyyah). Fanatisme golongan menjadikan loyalitas dan pembelaan terhadap ke-aku-an nya/kegolongan-nya mengalahkan loyalitas dan pembelaan terhadap Islam. Halal-haram pun akan dikalahkan ketika bertabrakan dengan „kepentingan nasional/kelompok‟. Akibatnya, kepentingan bangsa/golongan, meski menyalahi syariah, akan dibela. Jelas paham ini termasuk „ashâbiyyah yang diharamkan Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menyeru pada „ashâbiyyah (fanatisme golongan), barangsiapa yang berperang karena „ashâbiyyah, dan barangsiapa yang mati karena „ashâbiyyah, maka mereka tidak termasuk (bagian dari) umatku (mukminin/muslimin/umat Muhammad).” (HR. Abu Dawud). Ukhuwah Islamiyah harus diwujudkan secara nyata. Kaum Muslim diperintahkan untuk tolongmenolong; membantu kebutuhan dan menghilangkan kesusahan saudaranya; melindungi kehormatan, harta dan darahnya; menjaga rahasianya; menerima permintaan maafnya; dan saling memberikan nasihat. Masih sangat banyak manfestasi ukhuwah lainnya. Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd Hadirin jama‟ah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah SWT Cinta yang paling tinggi dan mutlak bagi seorang Muslim sejatinya adalah cinta kepada Allah SWT semata. Karena itu segala jenis cinta seorang Muslim kepada siapa pun dan kepada apapun sejatinya harus dilandaskan semata-mata pada cinta kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Tali iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. atTirmidzi). Cinta karena Allah SWT bahkan menjadi ciri kesempurnaan iman seorang Muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Siapa saja yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Ada beberapa faktor yang dapat mengokohkan kecintaan kita di jalan Allah SWT kepada saudara kita sesama Muslim. Pertama: memberitahukan kepada orang yang dicintai bahwa kita mencintai dia karena Allah SWT. Diriwayatkan dari Abu Dzar ra bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila ada seorang dari kalian mencintai temannya hendaklah dia mendatangi rumahnya dan mengabarinya bahwa ia mencintai dirinya karena Allah SWT.” (HR. Ibnul Mubarak dalam kitab Az-Zuhd, hlm. 712). Kedua: Saling memberi hadiah. Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. alBukhari dan al-Baihaqi). Ketiga: Saling mengunjungi. Rasulullah SAW juga pernah bersabda, sebagaimana pula dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Wahai Abu Hurairah! berkunjunglah engkau dengan baik, tidak terlalu sering dan terlalu jarang, niscaya akan bertambah sayang.” (HR. ath-Thabrani dan al-Baihaqi). Keempat: Saling mengucapkan salam. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah kalian masuk surga sehingga kalian beriman. Tidakkah kalian beriman sehingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu yang apabila kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim). Kelima: Jangan berprasangka buruk dan melakukan ghibah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Jangan pula sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian akan merasa jijik. (Olehnya itu, patuhilah larangan-larangan tersebut) dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani.” (TQS. alHujurat [49]: 12). Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits sahih sebagai berikut, “Jauhilah olehmu berburuk sangka, sesungguhnya berburuk sangka itu termasuk perkataan yang paling dusta. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan buruk sangka, jangan membuat rangsangan dalam penawaran barang, jangan benci membenci, jangan belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim untuk mengucil saudara lebih dari tiga hari.” Keenam: Memiliki empati. Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang Mukmin itu ibarat satu jasad; apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim). Berdasarkan penjelasan Rasulullah dalam beberapa haditsnya dinyatakan bahwa buah dan hasil dari saling mencintai di jalan Allah di antaranya adalah: mendapatkan kecintaan dan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT; mendapatkan naungan Allah pada Hari Kiamat pada saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah, merasakan manisnya iman, meraih kesempurnaan iman dan akan masuk surga. Rasulullah SAW, misalnya bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai.” (HR Muslim). Rasulullah SAW pun bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Allah berfirman pada Hari Kiamat, „Di manakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku‟.” (HR. Muslim). Rasulullah SAW juga menceritakan dari Rabb-nya melalui sabdanya, “Orang-orang yang saling mencintai karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan „Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.” Rasulullah SAW pun menceritakan dari Rabb-nya yang berfirman, “Cinta-Ku adalah untuk orangorang yang saling mencintai karena-Ku. Cinta-Ku adalah untuk orang-orang yang saling tolongmenolong karena-Ku. Cinta-Ku adalah untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.” Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan „Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya. (HR Ahmad). Rasulullah SAW pun bersabda, sebagaimana penuturan Muadz bin Jabal, bahwa Allah telah berfirman, “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. atTirmidzi). Semoga kita bisa meraih semua keutamaan itu. Aamiin. Hadirin jama’ah Rahimakumullah Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Janji Allah ini adalah sebuah kepastian. Di balik kondisi umat Islam yang terpuruk, cahaya kesadaran mulai tumbuh. Perasaan senasib sepenanggungan memancar dari benak umat. Derita dan nestapa di berbagai penjuru Dunia Islam menjadi pemicu cita-cita bersama, persatuan umat Islam sedunia. Harus diakui, kini umat Islam dalam kondisi tak berdaya. Persatuan yang berlangsung berabad-abad lamanya terkoyak-koyak oleh penjajah. Kaum Muslim yang berjumlah 1,4 miliar lebih seolah tak ada arti dalam kancah kehidupan manusia. Hampir semuanya menjadi obyek bulan-bulanan para penjajah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kaum Muslim tercerai-berai ke dalam nation state, lebih dari 50 negara. Kenyataan ini persis seperti yang digambarkan Baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya (yang artinya), “Hampir saja umat-umat menyerang kalian dari berbagai penjuru, bagaikan rayap-rayap menyerang tempat makan mereka.” Para Sahabat bertanya, “Apakah hal itu karena kita pada waktu itu jumlahnya sedikit?” Rasulullah menjawab, “(Tidak), padahal kalian pada waktu itu banyak, tetapi kalian adalah buih, bagaikan buih air bah. Sesungguhnya Allah SWT akan mencabut kewibawaan kalian dan pada waktu yang sama Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian.” Para Sahabat bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud). Konflik-konflik horisontal antar anak umat muncul di berbagai negeri, tak pernah berhenti, bahkan seolah-olah sengaja dilanggengkan untuk memberikan pekerjaan rumah (PR) bagi para penguasanya. Perseteruan Sunni dan Syiah di kawasan yang bergolak saat ini, Irak, semakin membara pasca serangan Amerika ke negeri 1001 malam tersebut tahun 2003. Padahal perseteruaan itu tak pernah terjadi sebelum invasi. Sunni dan Syiah tak hanya beradu mulut, tetapi menumpahkan darah. Penguasa tak berkutik dibuatnya. Ancaman disintegrasi menganga di depan mata. Bahkan telah ada rencana membagi Irak menjadi tiga negara berdasarkan etnis: Syiah, Sunni, dan Kurdi. Di luar kawasan-kawasan itu, partai-partai politik yang berafiliasi ke pemilih Muslim saling bersaing. Alih-alih memperjuangkan tegaknya kehidupan Islam, para aktivisnya justru hanya duduk di kursi parlemen untuk kepentingannya sendiri, paling banter untuk kepentingan partainya. Suarasuara perjuangan Islam nyaris tak terdengar. Sekali-sekali suara itu muncul kalau menyinggung kepentingan mereka. Dalam kondisi seperti itu, serangan Barat terus menusuk ke jantung pertahanan kaum Muslim. Barat melemparkan jargon-jargon dan stigmatisasi yang menjadikan umat terfragmentasi. Barat menyebut moderat bagi kalangan Islam yang mau dekat dengannya. Sebaliknya, mereka menganggap fundamentalis, teroris dan radikal bagi kalangan Muslim yang dengan gigih memperjuangkan tegaknya Islam. Untuk itu, Barat pun tak segan-segan mengeluarkan dana guna mendukung salah satu pihak, khususnya yang moderat, agar bisa menjadi corong sekaligus penghambat perjuangan kalangan yang dianggap fundamentalis. Perpecahan tak terelakkan, kendati dalam tataran yang wacana. Kaum Muslim sangat disibukkan dengan permasalahan di nation-state masing-masing. Boro-boro ikut memikirkan nasib saudaranya yang berada di negeri lain, permasalahan dalam negeri tak pernah terurai. Tidak aneh jika akhirnya nasib kaum Muslim di Irak, Libanon, Afganistan dan Palestina yang sedang terjajah terabaikan. Sebagian kaum Muslim bahkan ada yang menganggap itu merupakan masalah dalam negeri negara yang bersangkutan. Mereka tak mau peduli. Hadirin jama’ah shalat Idul Fitri Rahimakumullah Di balik situasi yang carut-marut tersebut, masih ada secercah cahaya harapan akan munculnya persatuan. Kesamaan dan kesatuan akidah tak pernah bisa dipisahkan. Pancaran sinar akidah masih cukup melekat di sebagian besar diri umat. Perasaan Islam masih terhujam. Ini sebuah modal berharga yang kini mulai membara. Tanpa ada yang mengomando, hampir seluruh kaum Muslim di dunia bersuara, menentang penghinaan terhadap diri Rasulullah Muhammad SAW yang dilakukan oleh media Denmark, Jyllands Posten. Dalam beberapa minggu unjuk rasa terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun di Timur. Perbedaan warna kulit, mazhab, bangsa atau organisasi tidak lagi menghalangi. Mereka satu suara, satu tekad, menentang musuh bersama: Barat dan peradabannya. Hal serupa dilakukan oleh kaum Muslim di seluruh dunia ketika Amerika Serikat dan sekutunya dengan pongahnya menyerang Afganistan dan Irak. Kebencian luar biasa muncul terhadap negara agresor tersebut. Kedatangan George W Bush hingga Obama memicu aksi protes di negara-negara yang dikunjunginya. Umat Islam telah menjadikan Amerika sebagai musuh bersama. Muncul kesadaran, mengalahkan Amerika bukan lagi sebuah mitos, apalagi jika kaum Muslim bersatu. Perang di Afganistan dan Irak membuktikannya. Serangan Israel terhadap Libanon dan Palestina melahirkan kesadaran baru akan perlunya implementasi ukhuwah islamiyyah dalam wujud nyata. Para penguasa Arab, tetangga Palestina dan Libanon, tak tergerak sedikitpun membantu saudaranya yang teraniaya. Justru yang berteriak lantang adalah umat Islam hampir di seluruh dunia. Mereka menyadari, tak bisa lagi mengandalkan penguasa mereka dan mengandalkan nation state-nya untuk menghancurkan Israel. Kekuatan ada di umat. Itu terbukti dalam Perang Libanon; umat Islam—dengan jumlah tentara lebih sedikit dan senjata apa adanya—mampu mengalahkan tentara terbaik Israel kendati tanpa bantuan tentara pemerintah setempat. Allahu Akbar 3x, Hadirin rahimakumullah: Sejarah Persatuan Umat Islam Indonesia Mengkaji pentas sejarah Indonesia pada dasarnya adalah mengkaji perjuangan umat Islam. Pasalnya, tidak ada satu penggal pun dari garis panjang lintasan sejarah Indonesia yang tidak terkait dengan umat Islam. Umat Islam bukan hanya menjadi penduduk mayoritas (88.2 persen) di negeri ini, tetapi juga pemain utama dalam perjuangan untuk menyelamatkan negeri ini. Pada sejarahnya yang cukup panjang, umat Islam Indonesia senantiasa berjuang bahu-membahu membangun kekuatan yang tidak pernah lekang oleh zaman. Meskipun selalu ada arus yang berupaya memecah- belah dan membenturkan sesama umat Islam, benteng persatuan yang bertumpu pada pondasi akidah selalu mampu dibangun dan ditata kembali. Persatuan Muslim Indonesia dalam Catatan Sejarah Persatuan umat Islam tampak sangat mengkristal sejak Portugis menduduki dan menguasai Malaka pada tahun 1511 M. Hal itu ditunjukkan dengan adanya reaksi umat Islam yang berbasis di Demak. Pada tahun 1546 M mereka berusaha menghalau penjajah dan merebut kembali Malaka. Namun, persenjataan penjajah cukup kuat sehingga usaha umat Islam menemui kegagalan. Sejak itu, tidak kurang dari 350 tahun masyarakat Indonesia hidup di bawah penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang. Sejak awal penjajahan itu pula umat Islam di seluruh pelosok negeri bergerak merapatkan barisan guna menghalaunya. Perlu diketahui, pada saat Portugis menguasai Malaka sebenarnya umat Islam telah berkembang di hampir seluruh daerah penting di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sebagainya. Sebagaimana yang diprediksi oleh Hamka, Islam masuk ke Indonesia pada masa pemerintahan Khulafa‟ ur-Rasyidin, khususnya pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq ra dan Umar bin al-Khaththab ra. Hal ini didasarkan pada satu almanak Tiongkok yang menyebutkan bahwa pada tahun 674 M terdapat satu kelompok masyarakat Arab (Islam) di Sumatera Barat, yaitu 42 tahun setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun 634 M. Berdasarkan ini, Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad ke-13 Masehi tetapi pada abad ke-7 Masehi. Pada abad ke-13 M bukan awal Islam masuk ke Indonesia, tetapi awal penyebaran Islam secara meluas di seluruh kawasan Indonesia (Hamka. 1982. Riwayat Hidup Ayahku Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Umminda, Jakarta, hlm. 3-4). Menurut Akib Suminto, bagi orang-orang Portugis, seluruh orang Islam adalah orang Moor dan musuh yang harus diperangi. Orang-orang Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 sengaja datang ke pelosok dunia antara lain untuk memerangi Islam dan diganti (Aqib Suminto. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta, hlm. 17). Artinya, dapat dikatakan bahwa api perjuangan umat Islam yang meledak di seluruh penjuru negeri dalam mengusir penjajah pada dasarnya bersumber pada satu hal, yaitu bersatu melawan musuh yang berupaya memadamkan cahaya Islam. Memasuki abad 20, perlawanan menghadapi penjajah Belanda mulai dilakukan melalui wadah organisasi untuk menyatukan langkah umat Islam. Pada tahun 1905 Haji Samanhoedi (1868-1956) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Umat Islam memberikan respon besar terhadap organisasi yang menjadi simbol persatuan umat melawan hegemoni penjajah ini. Dalam waktu singkat SDI telah mempunyai cabang di berbagai pelosok Indonesia. Pada tahun 1912, organisasi ini mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) yang dalam waktu tujuh tahun kemudian telah mampu menghimpun dua setengah juta anggota (George McTurnan Kahin. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, hlm. 85). Perkembangan SI yang amat pesat pada saat kepemimpinan HOS Tjokroaminoto dan sambutan umat yang luar biasa telah membuat gentar Gubernur Jenderal Belanda, AWF Idenburg. Karena itu, ia berusaha memecah SI menjadi perkumpulan kecil, dengan hanya memberikan pengakuan pada cabang-cabangnya yang mempunyai anggaran dasar sendiri dan tidak memiliki kaitan dengan pusat. Namun, siasat Idenburg ini gagal (Anwar Haryono. 1997. Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan. Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 20). Demikianlah sejarah telah mencatat, bahwa persatuan umat di bawah payung SI telah mampu melahirkan kekuatan yang menggentarkan pimpinan Belanda. Musuh pun kemudian memfokuskan pada upaya penghancuran SI ini. Pada tahun 1913, seorang agen komunisme internasional, HJFM Sneevliet datang ke Indonesia, dan pada tahun 1914 dia mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya (M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 260). ISDV inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Orangorang komunis yang berada di bawah ISDV kemudian melakukan penyusupan ke tubuh SI. Akhirnya, SI dapat digembosi dan dilemahkan melalui berbagai manuver dan fitnah yang keji. Pasca SI ini umat kembali menyusun persatuan dalam payung organisasi lainnya. Lalu berdirilah berbagai organisasi Islam seperti NU, Perti, Muhammadiyah, MIAI, Hizbullah, Sabilillah dan yang lainnya. Semua bergerak dan berjuang untuk membebaskan umat dari cengkeraman penjajah demi terwujudnya „izzul Islâm wal Muslimîn. Umat Islam semakin menyadari adanya upaya secara sistematis yang berusaha menyingkirkan peran Islam dalam menata kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi dan politik. Karena itu, pada tanggal 7-8 November 1945 diselenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh hampir seluruh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, dan sebagainya. Mereka berkumpul guna menyatukan langkah menentang kembalinya kaum penjajah dan menyatukan pendapat tentang apa yang harus dilakukan untuk menata kehidupan bernegara (Anwar Harjono, op. cit., hlm. 83). Setelah bersidang selama dua hari, kongres akhirnya menyepakati pembentukan partai politik Islam yang berfungsi sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam di Indonesia, yaitu partai politik Islam Masyumi. Partai ini telah merumuskan tujuan perjuangannya secara jelas dan gamblang, yaitu terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara Indonesia menuju keridhaan Ilahi. Begitu kuatnya potensi yang dimilikinya sehingga saat itu dipersepsikan bahwa andaikata Masyumi mau maka akan mampu mengambil-alih pemerintahan secara langsung. Hal ini karena adanya dukungan umat yang kuat serta para tokohnya yang ternama seperti KH. Hasyim Asy‟ari, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, dan sebagainya. Melalui payung Masyumi dan dukungan umat, para tokoh ini gigih memperjuangkan tegaknya syariah Islam di bumi Indonesia, khususnya dalam sidang-sidang di Konstituante. Namun, sebagaimana pada SI, ada manuver sistematik yang ditujukan untuk menimbulkan konflik internal dan perpecahan di dalam tubuh Masyumi. Akhirnya, Presiden Soekarno „berhasil‟ membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dan menuduh para tokohnya terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Satu hal yang cukup menarik, umat Islam Indonesia saat itu ternyata tidak hanya memperhatikan persatuan umat di dalam negeri, tetapi bahkan secara internasional. Hal ini dapat dilihat pada respon mereka saat pembubaran Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk. Sebagai respon terhadap hal tersebut, Komite Khilafah didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua KH. A Wahab Hasbullah dari NU. Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan kongres Al-Islam Hindia ketiga di Surabaya tanggal 2427 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini dihadiri pula oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Indonesia. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan Khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam (Deliar Noer. 1973. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES Jakarta, hlm. 242). Pada peristiwa ini dapat diambil suatu fakta sejarah bahwa Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan NU sama-sama memberikan perhatian besar terhadap keruntuhan Khilafah Islamiyah yang menjadi payung utama dalam persatuan umat Islam di dunia internasional. Harapan ke Depan Penggalan sejarah di atas dapat memberikan dua hal penting untuk kita jadikan pelajaran berharga dalam menata persatuan umat Islam di Indonesia khususnya dan di Dunia Islam secara umum. Pertama: kesamaan pemikiran mengenai tujuan sebuah perjuangan merupakan hal paling strategis. Persatuan umat yang begitu kuat sejak menghalau Portugis, Spanyol, Belanda, Jepang hingga upaya menerapkan syariah Islam melalui jalur Konstituante pada dasarnya bersandar pada kesamaan pemikiran, bahwa penjajah harus dilenyapkan dari setiap jengkal tanah Muslim, serta kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus bertumpu pada Islam. Sejalan dengan sejarah, saat ini denyut ke arah persatuan umat semakin terasa. Lihatlah, misalnya, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas-ormas Islam, dan komponen umat Islam lainnya bersama-sama menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV pada 17-21 April 2005 di Jakarta. Kongres tersebut mengeluarkan 14 butir rekomendasi yang salah satu poinnya adalah menjadikan syariah Islam sebagai solusi dalam mengatasi berbagai macam problematika bangsa. Kedua: selalu ada upaya secara sistematis yang dilakukan untuk memecah-belah persatuan umat karena hanya dengan cara inilah umat Islam bisa dikalahkan. Seperti pada sejarah di atas, keretakan yang pernah menimpa SI dan Masyumi tidak lain karena adanya manuver dari musuh-musuh Islam. Metode klasik seperti ini pulalah yang kini terus dihembuskan untuk membenturkan sesama umat Islam, misalnya melalui peristilahan Muslim moderat versus Muslim radikal ataupun yang lain. Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd: Ma‟asyiral muslimin rahimakumullah. Akhirnya, semoga Allah SWT memberikan kepada kita kekuatan iman dan semangat untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Serta mengelompokkan kita dalam golongan pejuang-pejuang Islam, yang berupaya mewujudkan Daulah Islamiyyah yang mengikuti manhaj (metode) Nabi SAW yang akan menyatukan umat Islam seluruh dunia, menerapkan syariah Islam secara kaffah (total dan menyeluruh) serta mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Marilah kita berdoa kepada Allah SWT agar amal ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima di sisi Allah SWT, dan kita berhasil meraih derajat takwa. ه تِ ُسَّٕ ِح َ َِ ْٓ ذَ َّ َّسَٚ َِ َ ِج ْا ِإل ْسالَٛ هللاِ تِ َذ ْعٌَِٝ َِ ْٓ َد َعا إَٚ ِٗ ِ اَصْ َحاتَٚ ِٗ ٌِ آٍَٝ َعَٚ ِّ ِذَٔا ُِ َح َّّ ٍذ١ َسٍَٝ َسٍِّ ُْ َعَٚ ٍِّٝص َ َُّ ٌٍَُّٙا ِٓ ٠ْ ْ َِ اٌ ِّذَٛ٠ ٌِٝ َِ ْٓ ذَثِ َعُٗ تِئِح ْسا َ ٍْ اَٚ ِٗ ٌِ َُْٛسس َْٓ ١ِِِٕ ْاٌ ُّ ْؤَٚ خ ِ ا ٌْ ُّ ْسٍِ َّاَٚ َْٓ ١ِّ ٍِ ُ َُّ ا ْغفِشْ ٌِ ٍْ ُّ ْسٌٍَّٙ أ،صغَاسًا ِ َأَا١َُّ َّا َو َّا َستّْٙ اسْ َحَٚ َٕا٠ْ اٌِ َذَٛ ٌَِٚ ُ َُّ ا ْغفِشْ ٌََٕاٌٍَّٙأ خ ِ اَٛ ِْ َ ْاألَٚ ُْ ُْٕٙ ِِ َا ِء١ ْخ اَ ْْألَح ِ ْاٌ ُّ ْؤ َِِٕاَٚ َْٓ ١ِ ِ ْش ِ ُِعِٛ َع ِٓ اٌٍَّ ْغَٚ َْٓ ١تِاْ ِإل ْسالَ َِ ُِرَ َّ ِّس ِىَٚ َْٓ ١ٍِِِ ِج َحاَٛ ٌٍِ َّذ ْعَٚ َْٓ ٠ض ُِ َؤ ِّد ِ ٌِِ ٍْفَ َشائَٚ َْٓ ١ٍِِِ َ ّْا َ ِْ وا٠ُ َُّ اجْ َع ٍْٕا َ تِاْإلٌٍََّٙا .َْٓ ٠ ْاٌثَالَ ِء صاَتِ ِشٍَٝ َعَٚ َْٓ ٠ٌٍِِّٕ َع ُِ شا َ ِو ِشَٚ َْٓ ١ِ َ َتِ ْاٌمَٚ َْٓ ١ِ ِخ َش ِج َسا ِغث٢ ْاِٟفَٚ َْٓ ٠َا صَا ِ٘ ِذ١ْٔ اٌ ُّذِٟفَٚ ِ ضا ِء َسا َِ ْٓ َوا َدَٔاَٚ ِٗ َٔ ْف ِسِْٟ أً فَا َ ْش ِغ ٍُْٗ فُُٛ َُّ َِ ْٓ أَ َسا َدٔا َ سٌٍََّٙ ا، َْٓ َسخَا ًء َسخا َ ًء١ِّ ٍِ َسائِ َش تِالَ ِد ْاٌ ُّ ْسَٚ ُ َُّ اجْ َعًْ تِالَ َدَٔا َ٘ َزاٌٍََّٙا َ الْٟ ِه اٌَّر َ ِٕ١ْ احْ شُطْ تِ َعَٚ ه َ ِٔاِحْ َساَٚ ن َ تِ ِّشَٚ ه َ ِٔأَ َِاَٚ ه َ ِِٔ َّا َ ْٟ ُِ َُّ اجْ َع ٍْٕا َ فٌٍََّٙ ا.ُٖ ِْش١ِ ذَ ْذتِٟ َشُٖ ف١ْ ِِ اجْ َعًْ ذَ ْذَٚ ُٖفَ ِى ْذ ْ َاحْ فَٚ َُ َ ذَٕا .َُ ُ َشا٠ َْ الٞه اٌَّ ِز َ ِٕظٕا َ تِ ُش ْو َْٓ ١ِّ ٌِ َْٓ اٌظَّا١ِّ١ِث١ْ ٍِّص َ ٌَاٚ ُْ َُٙٔاَٛ اَ ْعَٚ ْ َدَُٛٙ١ٌب اِ ْ٘ ِض َِ ْا َ ُِجْ ِشَٚ ب ِ ُِحْ ِض ََ ْاألَحْ ضَاَٚ ب ِ َ ْاٌ ِحساٞ ِ ـض َي ْاٌ ِىرَا ِ ْٕ ُِ َا٠ َُّ ٌٍَُّٙا ُْ َُٙا َع١اَ ْشَٚ َْٓ ١ِّ١ْ ِعُٛ١اٌ ُشَٚ َْٓ ١ِّ١ ْا ِإل ْشرِ َشا َوَٚ ُْ َُٙٔاَٛ اِ ْخَٚ َْٓ ١ِّ١ٌِاٌش َّْأ ُس َّاَٚ ُْ ُ٘صا َس َ ْٔ َاَٚ َْٓ ١ِّ ٍِ َسائِ ِش تِالَ ِد ْاٌ ُّ ْسَٚ ،َْا َ أَ ْفغَأِ ْسرَٚ ،ْا َ َش١ْ اٌ َّشَٚ ،اق َ ٌََُٔسْؤَٚ َ ْاألَ ْلَٚ ِٓ ١ْ َش تِالَ ِد فٍََ ْس ِط٠ْ ُ َُّ ذَحْ ِشٌٍَّٙه ا ِ ْاٌ ِع َشَٚ ،ٝص .َْٓ ٠ ْاٌ ُّ ْسرَ ْع ِّ ِشَٚ َْٓ ١ِصث ِ اس ْاٌغَا ِ َّْ ِر ْاٌ ُىفُِِٛ ْٓ ُٔف اٌٍََّ َُّ ُٙاسْ َح ُْ اُ َِّحَ َسِ ِّ١ذَٔا ُِ َح َّّ ٍذ َسحْ َّحً َعا َِّحً ذُ ْٕ ِج ْ ُْ ِٙ ١تَِٙا إٌَّا َس َٚذُ ْذ ِخ ٍْ ُْ ُٙتَِٙا ْاٌ َجَّٕحَ .اٌٍََّ َُّ ُٙاََّ ُّ٠ا َع ْث ٍذ اَ ْٚأَ َِ ٍح ِِ ْٓ اُ َِّ ِح ط ْاالَ ْعٍََٚ .ٝاََّ ُّ٠ا َع ْث ٍذ اَْٚ َسِ ِّ١ذَٔا ُِ َح َّّ ٍذ ِ ُ٠حثَُّٕا َْ َ٠ٚذ ُعٌََٕ ْٛا فَثَمًِّْ ِِ ْ١ضَأَُٗ ََ ٚحمِّ ْك اِ َّْ ٠أَُٗ َٚاجْ َع ٍُْٗ فِْ ٟاٌ َجَّٕ ِح ْاٌفِشْ دَِ ْٚ ك فَ ُش َّدُٖ اٌَِْ ٝاٌ َح ِّ اَ َِ ٍح ِِ ْٓ اُ َِّ ِح َسِ ِّ١ذَٔا ُِ َح َّّ ٍذ َعٍََ ٝخطَؤ ِ ََ٠ َٛ ُ٘ٚظُ ُّٓ أََُّٗ َعٍ َْ ٝاٌ َح ِّ ك ُس ًّدا َج ِّ ْ١الً .اٌٍَََُّّ ُٙ ِّشَٚ َْٓ ٠الَ اجْ َع ٍَْٕا ِ ِإل ْخ َٛإِٔا َ ْاٌ ُّ ْسٍِ َِّ َْٓ ١حَ َْٓ ١ِِّٕ١ٌَ َْٓ ١ِِّٕ١سَ َْٓ ١ٍِِّٙحثِ ْ١ثِ َْٓ ١لَ ِش ْ٠ثََِٔٚ .َْٓ ١سْؤٌَُ َ ه اَ ْْ ذَجْ َعٍَٕا َ ُِثَ ِّش ِشَ١ُِ َٚ َْٓ ٠س ِ ِّشَُِٕ َٚ َْٓ ٠فِّ ِش.َْٓ ٠ ذَجْ َعٍَٕا َ ُِ َعس ِ اب أَحْ ضَإَِٔا ََ ٚجألََْ ُ٘ َُِِّٕ ْٛا ،اٌٍَََّ َُّ ُٙعٍِّ َّْٕا ِِ ُْٕٗ َِا اٌٍََّ َُّ ُٙاجْ َع ًِ ْاٌمُشْ َ اسَٔا ََ ٚرَ٘ َ آْ ْاٌ َى ِش َْ َُ ٠ستِ َْ ١ع لٍُُ ْٛتَِٕا ََ ُْٛٔٚس اَ ْت َ ص ِ َج ٍَِْٕ ٙا ََ ٚر ِّوشْ َٔا ِِ ُْٕٗ َِا َٔ ِس َْٕ١ا َٚاسْ ُص ْلَٕا ذِالَ َٚذَُٗ آَٔا َء اٌٍَّ ْ َٚ ًِ ١أَ ْ اس ،اٌٍََّ َُّ ُٙاجْ َع ٍَْٕا ِِ َٓ اٌَّ ِزِ َ٠ َْٓ ٠حٍَُّ َْ ْٛحالٌََُٗ ط َش َ اف إٌَِّ َٙ ََ ُ٠ٚح ِّش َُِ َْ ْٛح َشا َُِٗ َْ َ٠ٚرٍَُ َْ ْٛح َّ ُججًا ٌََٕا ِِ َٓ ك ذِالَ َٚذِ ِٗ ،اٌٍََّ َُّ ُٙاجْ َع ٍُْٗ َ٘ا ِدً٠ا ٌََٕا فَِ ٟحَ١اذَِٕا َْ ُِ ٚؤِٔسًا ٌََٕا فِ ٟلُثُِ ْٛسَٔا َٚح َ اس َٚلَائِذًا ٌََٕا اٌَِْ ٝاٌ َجَّٕ ِح إٌَّ ِ ه َ٠ا صَ١ا َِِٕا َ ٚاجْ َع ٍُْٗ َشافِعًا ٌََٕا ْ ََ َْٛ٠اٌمَِ١ا َِ ِح تِئ ِ ْرِٔ َ ه ْاٌَ ُٙذ َٚ ٜاٌرُّمَْ َٚ ٝاٌ َعفَ َ اٌٍََّ َُّ ُٙإَِّٔا َٔسْؤٌَُ َ اف َْ ٚاٌ ِغََٕٔ ٝاذِ َجحً ِِ ْٓ ِ اَسْ َح َُ اٌشَّا ِح َِّْٓ ١ ْ اج إٌُّثُ َِّ ٛج ذُ ِع ُّض تَِٙا ْا ِإل ْسالَ ََ َٚاَ ٍَُْ٘ٗ َٚذُ ِزيُّ تَِٙا ْاٌ ُى ْف َش َٚاَ ٍَُْ٘ٗ َٚ ،اجْ َع ٍْٕا َ ِِ َٓ اٌٍََّ َُّ ُٙإَِّٔا َٔسْؤٌَُ َ ه دٌََ ْٚحَ اٌ ِخالَفَ ِح َعٍَِ َْٕٙ ِِ ٝ ص َْٓ ١تِئِلَا َِرَِٙا ْاٌ َعا ٍِِِْ َْٓ ١اٌ ُّ ْخٍِ ِ صَ١ا ََِٕا َٚلَِ١ا ََِٕا َستََّٕا ظٍََ َّْٕا أَ ْٔفُ َسَٕا َٚاِ ْْ ٌَ ُْ ذَ ْغفِشْ ٌََٕا َٚذَشْ َح َّْٕا ٌََٕ ُىََّٕٔ ْٛا ِِ َٓ ْاٌخَا ِس ِش ،َْٓ ٠اٌٍََّ َُّ ُٙذَمَثًَّْ َِِّٕا ُد َعائََٕا َِ ٚ ه اَ ْٔدَ اٌرَّ َّٛابُ اٌ َّش ِح ُُْ ١ َُ ٚس ُوَ ْٛعَٕا َُ ٚسجَُ ْٛدَٔا ،اٌٍََّ َُّ ُٙاَ ْٔدَ اٌ َّس ِّ ُْ ١ع ْاٌ َعٍِ َْٚ ُُ ١ذُةْ َعٍَ َْٕ١ا أَِّ َ َستََّٕا الَ ذُ َؤا ِخ ْزَٔا اِ ْْ َّٔ ِس َْٕ١آ اَ ْٚاَ ْخطَؤَْٔا َستََّٕا َٚالَ ذَحْ ًِّْ َعٍَ َْٕ١آ اِصْ شًا َو َّا َح َّ ٍْرَُٗ َع ٍَ ٝاٌَّ ِز ْٓ ِِ َْٓ ٠لَ ْثٍَِٕا َستََّٕا َٚالَ ذُ َح ِّّ ٍَْٕا َِاالَ طَالَحَ ٌََٕا تِ ِٗ َٚا ْع ُ ف َعَّٕا َٚا ْغفِشْ ٌََٕا َٚاسْ َح َّْٕا اَ ْٔدَ َِ ْٛالََٔا فَا ْٔصُشْ َٔا َعٍَْ ٝاٌمَْ َِ ْٛاٌ َىاِفِ ِشَْٓ ٠ صفَُ َٚ َْ ْٛسالَ ٌَ اْ َستِّ َ اسُ َٚ ،س ْث َح َ َستََّٕا آذَِٕا فِ ٟاٌ ُّذ َْٔ١ا َح َسَٕحً َٚفِْ ٟاِ ٢خ َش ِج َح َسَٕحً َٚلَِٕا َع َز َ ه َسبِّ ْاٌ ِع َّض ِج َع َّّا ِ َ٠ اب إٌَّ ِ َعٍَْ ٝاٌ ُّشْ َسٍِْ َٚ َْٓ ١اٌ َح ّْ ُذ هللِ َسبِّ ْاٌ َعاٌَ ُِّ ،َْٓ ١و ًُ َع ٍاَ َ ٚأَ ْٔرُ ُْ تِ َخٍْ ١ش هللاُ أَ ْوثَشْ هللاُ أَ ْوثَشْ هللاُ أَ ْوثَشْ َٚهللِ ْاٌ َح ّْ ُذ ٚاٌسالَ عٍ١ىُ ٚسحّح هللا ٚتشواذٗ