Pemilu - ETD UGM

advertisement
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem politik demokratis, pemilihan umum (Pemilu) bebas dan adil (free
and fair) adalah asas dasar dalam berdemokrasi. Pemilu merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politiknya
meliputih eksekutif dan legislatif baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah
secara langsung. Juga, nilai dasar demokrasi dapat dilihat dari sejauh mana
kesadaran warga negara berpartisipasi untuk memberikan hak suara dalam
pelaksanaan pemilu. Pemberian suara pada pemilu (voting) merupakan salah satu
bentuk dari sekian bentuk partisipasi politik dalam berdemokrasi. Bagi negara
termasuk di Indonesia, pemberian suara menjadi ukuran paling dasar dalam
politik konvensional. Pengaruh voting dalam sistem politik adalah sangat besar
jika dibandingkan dengan bentuk partisipasi politik konvensional lainnya. 1
Transisi demokrasi di Indonesia, berbagai fenomena praktek pemilihan
umun lahir tidak mencerminkan asas-asas demokratis. Salah satu praktek tersebut
adalah politik uang (money politics). Secara umum, pengertian politik uang dalam
tulisan ini adalah terkait upaya mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan
materi berupa pemberian langsung uang tunai, pemberian bantuan/sumbangan
barang, pemberian bahan pokok berupa sembako, dan memberi dan menjanjikan
iming-iming „sesuatu‟ untuk mendapatkan keuntungan politik, atau juga disebut
istilah politik transaksional.
1
Sigit Pamungkas, Pemilu, Perilaku Pemiliih & Kepartaian, Yogyakarta, 2012
1
Maraknya praktek politik uang berlangsung hampir seluruh tingkatan
pemilihan umum sehingga menjadikan demokrasi melahirkan biaya yang tinggi.
Tingkat kepercayaan terhadap kandidat mendorong relasi antara calon dan pemilih
bersifat jangka pendek dan materialis. Politik uang adalah salah satu faktor
penyebab demokrasi berbiaya tinggi. 2 Praktek ini juga merupakan bagian dari
bentuk kegagalan menjalankan asas-asas demokratis dalam berdemokrasi.
Fenomena politik uang juga dapat dikategorikan sebagai hybrid dalam demokrasi
masa transisi. Fenomena hybrid ini merupakan percampuran elemen-elemen
demokratis dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara
bersamaan dalam sebuah sistem politik. 3 Sehingga pada akhirnya praktek politik
uang akan dapat merusak demokrasi, mengkhianati kepercayaan masyarakat, dan
melahirkan demokrasi palsu.
Penggunaan politik uang untuk mendapatkan kekuasaan telah terjadi sejak
pemilu kepala daerah tahun 1999. Pemilukada dengan menggunakan sistem
demokrasi parlemen untuk memilih pemerintah daerah (Gubernur,Walikota,
Bupati), politik uang marak terjadi. Penelitian dilakukan pusat komunikasi
pemantau pemilu (Puskom) di delapan wilayah Provinsi di Indonesia tahun 1999
menemukan politik uang. Jumlah uang yang besar menentukan kemenangan
kandidat dalam pemilu. Uang memiliki peran sangat besar untuk mendulang
perolehan suara dalam demokrasi sekarang ini. Politik uang jamak terjadi di
masyarakat Indonesia bagaikan sebuah candu. Di satu sisi masyarakat akan dapat
menikmatinya dalam jangka pendek, namun di sisi lain secara jangka panjang
2
AAGN Ari Dwipayana, Demokrasi Biaya Tinggi, Yogyakarta: Jurnal FISIPOL UGM, 2009
John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia : Gerakan Sosial dan Perubahan Politik.
Yogyakarta, CCSS dan Pustaka Pelajar, 2002
3
2
praktek ini merugikan masyarakat. Fenomena politik uang dunia politik menjadi
ancaman bagi proses pembangunan demokrasi. Sebagai bagian dari bentuk
korupsi politik, praktek politik uang menjadi isu keprihatinan dan ancaman nyata
dalam menjalankan sistem demokrasi.
Politik uang merupakan fenomena praktek negatif dalam mekanisme
elektoral sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi belum matang seperti di
Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. 4 Impian
politik berkualitas sesuai cita-cita demokrasi tidak lebih dari hanya sekedar
utopia. Ini terbukti dari jumlah uang yang luar biasa besar digelontorkan oleh
kandidat untuk biaya pemilu. Kuatnya pengaruh uang adalah label pemilu, baik
tingkat bawah maupun dari tingkat untuk memenangkan kompetisi. Kondisi
obyektif ini menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem politik yang
adil. Merebaknya politik uang sering kali ditemukan dan saat yang sama tidak
mampu di kontrol, melahirkan pandangan masyarakat bahwa praktek politik uang
merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini didasari oleh survei yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Tahun 2013. Berdasarkan hasil
survei KPK, sebanyak 71,72 persen masyarakat menganggap politik uang itu
adalah praktek wajar.5
Kontestasi dalam perpolitikan selalu melahirkan dinamika. Secara global
jajak pendapat lembaga Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2013
memprediksi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menurun.
4
Halili, Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa, Jurnal Humaniora FIS UNY,
Yogyakarta, 2009
5
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/21/n2qtgp-politik-uang-musuhdemokrasi
3
Data tren menunjukkan bahwa tingkat afiliasi partai (party ID) terhadap pemilih
Indonesia cenderung menurun. Party ID adalah perasaan seseorang bahwa partai
tertentu adalah identitas politiknya. Tingkat kedekatan pemilih terhadap partai
yang rendah sehingga memicu gejala deparpolisasi. Deparpolisasi atau party
dealignment adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan
kepercayaan terhadap partai.6 Ini akibat masyarakat memandang komitmen dan
pertanggungjawaban parpol sebagai institusi yang melahirkan calon pemimpin
masih sangat minim sehingga membuat pemilih menjadi tidak respek.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin memberikan efek negatif
bagi para elit politik dengan menghambur-hamburkan uang waktu sekejap untuk
membeli suara pemilih demi mendapatkan kekuasaan. Saat yang sama, sebaliknya
adalah sangat menggiurkan bagi sarana pemilih sebagai keuntungan ekonomi
meskipun sesaat, karena itu pemilih merasa berhutang budi pada calon
memberikan uang/materi tersebut.
Lebih jauh, selain ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit
politik yang banyak tersandung hukum, aspek yang juga cukup menjelaskan
maraknya politik uang adalah pergeseran nilai masyarakat kearah kapitalis.
Budaya materialisme merebak di Indonesia menunjukkan betapa uang menjadi
sumber daya paling tinggi nilainya. Dalam sistem masyarakat kapitalis, uang
sangat menentukan strata otoritas politik seseorang. Uang merupakan faktor urgen
yang berguna untuk mendongkrak kharisma personal seseorang melalui
pencitraan dan sekaligus berfungsi mengendalikan wacana strategis terkait dengan
6
Survey Indikator Politik Indonesia, Sikap dan perilaku pemilih terhadap money politics, Jakarta,
2013
4
sebuah kepentingan politik dan kekuasaan. Seseorang memiliki keleluasaan untuk
mempengaruhi dan memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada
pihak lain melalui berbagai sarana, termasuk uang. 7
Dari sisi masyarakat, pandangan perspektif sosiologi politik, fenomena
politik uang dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial terjadi dalam
realitas politik antara kandidat dengan masyarakat (voters). Interaksi dalam politik
ini meniscayakan sikap saling ketergantungan (simbiosis mutualisme). Dengan
kata lain, relasi hubungan antara pemilih dan kandidat merupakan dasar bagi
terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang. Penggunaan uang sebagai
alat untuk meraih tujuan kekuasaan politik sebenarnya bukan sesuatu hal yang
baru. Machiavelli asal Italia abad XV pernah menulis bahwa untuk mencapai
kekuasaan, segala cara bisa dilakukan termasuk pula uang.
Suburnya praktek politik uang pesta demokrasi juga tidak lepas dari cara
pandang masyarakat permisif terhadap hal tersebut. Makna uang berkembang dari
sekedar alat transaksi dan akumumulasi surplus ekonomi, menjadi alat
memperoleh non-financial benefit kekuasaan. 8 Politik uang sebagai produk sosial
dan kultural dalam masyarakat. Hubungan patron-klien akan menjadi humus yang
menyuburkan maraknya politik uang. Patron memberikan barang atau uang untuk
mengikat loyalitas klien. Dalam konteks ini, hubungan timbal balik menjadi basis
kultural menopang maraknya praktek politik uang. Politisi tidak bisa mendapat
dukungan jika tidak disertai uang atau pemberian. 9
7
Heru Nugroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Haryatmoko, Dominasi penuh muslihat, Grahamedia, Jakarta, 2010
9
Ibid
8
5
Intervensi uang kehidupan politik merupakan fenomena universal di
Indonesia. Hubungan antara aspek ekonomi dan politik adalah ciri di balik model
pembangunan negara menganut sistem demokrasi. Karena uang merupakan
medium atau alat yang sangat signifikan untuk menguasai energi dan sumber
daya. Maka sejak awal uang memiliki karakteristik yang khas, yaitu dapat
dipindahkan dan dipertukarkan (konvertibel).10 Hal inilah dapat menjadi sebuah
keuntungan nyata dalam politik. Di lain sisi, terjadinya praktek politik uang
dipengaruhi oleh faktor kondisi kekurangan ekonomi dan wawasan berpolitik
masyarakat, hingga akhirnya pemilih bertindak pragmatis. Praktek politik uang
dipengaruhi oleh sikap pragmatisme partai politik dalam memposisikan
masyarakat untuk menjadi pendukung mereka.11
Pemilukada akhir-akhir ini, asas jujur dan adil hanyalah sebuah slogan
belaka karena pada dasarnya politik uang merupakan sebuah sistem tidak hilang
dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal ini terus terjadi dan dilakukan oleh para
calon kandidat serta tim sukses masing-masing calon guna mencari perhatian serta
suara dari para calon pemilih untuk memenangkan kontestasi. Walaupun adanya
partai politik berasaskan Islam, akan tetapi praktek politik uang ini tetap ada dan
dikemas dalam agenda sangat rapi. Merebaknya politik uang membawa implikasi
bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui praktek politik uang
kedaulatan bukan lagi ditangan rakyat tetapi berada ditangan uang.
10
Alexander E. Herbert, Financing Politics : Politik uang dalam Pemilu Presiden Secara
Langsung, Pengalaman Amerika Serikat, (Terj). Yogyakarta: Narasi, 2003
11
Muh Masnur Zamanil Baddi, Pelanggaran money politics pada pemilu 1999 (studi kasus di
wilayah matraman dalam DKI Jakarta), Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006)
6
Melihat kenyataan politik uang telah begitu melekat dalam tatanan
kehidupan masyarakat pesta demokrasi, mulai dari tingkat bawah hingga tingkat
atas. Persoalan politik uang terkesan begitu remeh namun memiliki dampak
sangat besar bagi perkembangan sistem demokrasi dan penegakan hukum di
Indonesia. Akibat politik uang membuat proses politik menjadi bias. Dengan
politik transaksional ini, proses pemilu sistem demokrasi sulit menampakkan ciri
kejujuran, keadilan serta persaingan yang adil. Sehingga berdampak hasil dari
pemilu dimana pada akhirnya menciptakan pemerintah tidak lagi memikirkan
nasib dan kesejahteraan rakyat namun memikirkan kehidupan pribadinya pun
kelompoknya.
Dengan situasi serba sulit seperti saat ini, politik uang merupakan alat
kampanye cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon
pemimpin. Sumber daya calon seperti halnya kecerdasan intelektual tidak menjadi
tolak ukur kelayakan untuk dipilih, akan tetapi kekayaan finansial menjadi
penentu pemenangan pemilu. Hasil akhir contrengan/pilihan lebih ditentukan oleh
transaksi bentuk politik uang atau sejenisnya. Artinya, jika selama kampanye
seorang kandidat tidak memberikan suatu imbalan kepada pemilih, kecil
kemungkinan kandidat itu mendapatkan dukungan suara pemilih dari tingkat elit
sampai akar rumput (grass root).
Dalam realitas pelaksanaannya, pemilukada memunculkan suatu fenomena
patut digaris bawahi, terbentuk akibat tuntutan aspek legal dan pendekatan
pragmatik ditempuh para kandidat. Ketentuan yang berlaku memberikan
kewenangan sangat besar kepada parpol untuk memberi warna kepada kepala
7
daerah terpilih, apakah kepala daerah itu berkualitas ataukah tidak. Dengan syarat,
sebagaimana ditentukan oleh UU tersebut, parpol melakukan perekrutan kandidat
melalui mekanisme internal yang demokratis dan transparan.
Namun demikian, dalam realitasnya perekrutan kandidat itu umumnya
berlangsung dalam mekanisme demokrasi semu (pseudo democracy) dan tidak
transparan. Hal ini disebabkan mekanisme yang terdistorsi oleh kepentingankepentingan pragmatik elite parpol, sehingga kualifikasi kandidat berkaitan
dengan kompetensi, kredibilitas, dan akuntabilitas calon tenggelam kepentingankepentingan jangka pendek elite parpol. Dalam rekrutmen tersebut banyak terjadi
negoisasi menyangkut kontribusi calon terhadap partai. Akibatnya calon kandidat
dimunculkan adalah calon berhasil memenangkan negoisasi itu, dengan tolok ukur
utamanya adalah berupa materi.
Tahun 2013 merupakan tahun politik bagi masyarakat daerah Sulawesi
Selatan. Di provinsi ini terdapat beberapa kabupaten melakukan pemilihan umum
kepala daerah. Dalam pemilukada dibeberapa wilayah sulsel terindikasi terjadi
praktek politik uang. Salah satu pemilukada terindikasi terjadinya politik uang
adalah pemilihan umum kepala daerah Enrekang tahun 2013. Pemilukada yang
dilaksanakan Agustus 2013 ini banyak diwarnai kecurangan-kecurangan yang
salah satunya adalah praktek politik uang. Berbagai cara dilakukan oleh kandidat
untuk mendulang suara dengan menggunakan politik uang. Berawal untuk maju
sebagai kontestan calon kandidat, praktek politik uang sudah terindikasi terjadi.
Kandidat terpilih mengeluarkan uang “mahar” kepada parpol sebagai kendaraan
maju dan ikut berkompetisi.
8
Pemilukada Enrekang 2013, kontestasi dimenangkan oleh pasangan H.
Muslimin Bando – H. Amiruddin. Pasangan ini memiliki suara terbanyak disemua
kecamatan yang ada dikabupaten tersebut. Pemilukada kabupaten Enrekang tahun
2013 ini diikuti oleh empat pasangan calon bupati dan wakil bupati. Masingmasing tersebut adalah H. Mustamin Amir - H. Mahmud Kammane, H. Ridwan
Abdullah - Muzakkir, H. Saleh Rahim - Kasmin Karumpa, dan kandidat terpilih
H. Muslimin Bando - H. Amiruddin.
Dalam pemilukada Enrekang, disinyalir berbagai cara dan bentuk praktek
politik uang dilakukan oleh kandidat, tim sukses, maupun simpatisannya. Praktek
tersebut dengan cara konvensional seperti: pemberian uang secara langsung,
pemberian uang kepada massa kampanye, pemberian uang saat rapat tim sukses,
pemberian sembako, dan pemberian bantuan dana rumah ibadah. Praktek
pembagian uang secara langsung dilakukan oleh tim sukses kepada pemilih pada
masa tenang. Praktek ini dilakukan saat minus dua hari dan malam pencoblosan
yang juga disebut „serangan fajar‟ atau „operasi malam‟ yang dilakukan secara
„door to door or man to man‟. Praktek ini semata-mata dengan tujuan agar
pemilih akan memilih kandidat tersebut.
Selain itu, dalam pemilukada 2013 yang diikuti empat pasangan ini, praktek
politik uang tidak hanya dilakukan secara konvensional, tapi juga berupa janjijanji politik. Praktek ini lebih bersifat jangka panjang dengan menyalahgunakan
kebijakan programatik, seperti bantuan sosial atau hibah maupun dana proyek
untuk kepentingan pendukung baik secara kelompok maupun secara individu.
Politik uang tidak saja pada politisi dengan rakyat, namun juga melibatkan elit-elit
9
birokrat. Praktek politik uang ini antara kandidat dengan elit birokrat lebih pada
transaksi jabatan birokrasi ketika terpilih nantinya.
Dalam situasi pemilukada Enrekang 2013 yang serba sulit, praktek politik
uang merupakan sumber daya cukup ampuh mempengaruhi masyarakat untuk
memilih calon pemimpin politik. Sumber daya seperti halnya kecerdasan
intelektual kandidat seakan bukan indikator kelayakan kandidat untuk dipilih,
akan tetapi magnet finansial yang menjadi penentu pemenangan dalam
pemilukada tersebut. Hasil akhir contrengan lebih ditentukan oleh seberapa besar
pemberian dalam bentuk instan. Artinya jika dalam kampanye kandidat tidak
memberikan imbalan kepada pemilih, kecil kemungkinan kandidat itu akan
mendapatkan dukungan suara. Problematika yang lahir dengan adanya praktek
politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah dengan tujuan yang jelas telah
mencederai proses-proses dalam demokratisasi.
Praktek politik uang merupakan pelanggaran dalam pemilu yang tidak
hanya mengabaikan prinsif berdemokrasi, tapi juga telah mengabaikan muatan
etika dan moralitas dalam demokrasi sendiri, sehinggah ujung dari problema ini
adalah tidak adanya aspek yang jujur dan adil sebagaimana asas yang paling
mendasar dalam sistem demokrasi. Jujur dan adil hanya menjadi retorika politik,
sementara cara untuk menjadi penguasa didapatkan dengan menghalalkan segala
cara. Memandang pemilu sekarang tidak lain adalah alat untuk mendapatkan
kekuasaan, alat elit-elit politik bersandiwara untuk mendapatkan legitimasi dari
rakyat untuk mendapatkan kekuasaan. Karena sifatnya yang destruktif, bermaksud
mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan imbalan tertentu. Politik uang
10
banyak membawa pengaruh peta perpolitikan serta proses yang terjadi dalam
pesta politik yang berdampak pada harapan dan realitas tidak terlahir sesuai citacita demokrasi dalam memilih pemimpin.
Politik uang yang berlangsung hampir setiap tingkatan pemilihan umum di
Indonesia menjadikan demokrasi elektoral menjadi bias. Politik uang seakan
menjadi hal yang utama dalam mendapatkan suara pemilih untuk meraih
kekuasaan politik. Untuk memahami lebih jauh efektivitas kuasa politik uang
dalam pemenangan kontestasi pemilu di Indonesia khususnya didaerah, maka
dalam penelitian ini akan mengkaji sejauh mana politik uang mempengaruhi
perilaku memilih dalam masyarakat dan lebih jauh untuk memotret bagaimana
politik uang mempengaruhi perilaku memilih dalam sistem demokrasi elektoral di
Indonesia seperti halnya yang terjadi pada pemilukada Enrekang tahun 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Menguatnya fenomena praktek politik uang (money politics) dalam politik
di Indonesia menjadi ancaman serius bagi proses keberlanjutan pembangunan tata
politik yang demokratis. Keprihatinan terhadap pembajakan demokrasi melalui
politik uang dalam pesta demokrasi mendorong lebih jauh memahami politik
transaksional ini yang terjadi dalam sistem pemilu di Indonesia. Berangkat dari
paparan diatas mengantarkan pada refleksi rumusan masalah: Bagaimana
pengaruh politik uang (money politics) terhadap perilaku memilih pada
pemilukada Enrekang tahun 2013 ?
11
1.3 Tujuan Penelitian
Politik uang (money politics) merupakan praktek dalam pemilu yang dapat
membunuh tatanan sistem demokrasi di Indonesia. Praktek politik uang
berkembang bukan saja secara konservetif tapi juga berbagai cara dengan modus
yang bersifat transaksional. Misi penulisan tesis ini bertujuan untuk memotret
fenomena politik uang di Indonesia dengan mengetahui bagaimana pengaruh
politik uang (money politics) terhadap perilaku memilih masyarakat pada
pemilukada Enrekang Tahun 2013.
1.4 Kerangka Teori
Untuk membahas terkait politik uang terhadap perilaku memilih dalam pesta
demokrasi maka pada bagian ini diuraikan teori-teori yang relevan untuk
membahas pokok permasalahan yang dikaji, seperti: Demokrasi, politik uang
(money politics), perilaku memilih (voting bihavioralisme), dan uang dalam
kontestasi politik.
1.4.1 Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) „kekuasaan
rakyat‟, yang dibentuk dari kata dêmos „rakyat‟ dan kratos „kekuasaan‟, merujuk
pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di
Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai sistem politik dimana kedaulatan
berada ditangan rakyat. Hampir semua negara di dunia menyakini demokrasi
sebagai tolak ukur tak terbantah dari keabsahan politik. Keyakinan bahwa
kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi
12
tegak kokohnya sistem politik demokrasi. Dengan hal itu menunjukan bahwa
rakyat di letakkan pada posisi penting walaupun secara operasional implikasinya
diberbagai negara tidak selalu sama.
Demokrasi secara mendasar dapat dipahami sebagai suatu sistem politik di
mana semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu
yang diadakan secara periodik dan bebas, yang secara efektif menawarkan
peluang pada masyarakat untuk mengganti elit yang memerintah. Menguatnya
tuntutan demokrasi dipandang sebagai sistem yang mampu mengantar masyarakat
ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dinilai lebih
mampu mengangkat harkat manusia, lebih rasional, dan realistis, untuk mencegah
munculnya suatu kekuasaan yang dominan.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang
sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara
ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Dalam konsep demokrasi dimana kedaulatan ditangan rakyat itu masih
menjadi perdebatan diantara para ahli politik didunia. misalnya Joseph A.
Schumpeter yang mengatakan, pemerintahan yang dibentuk melalui pemilu yang
13
bebas dan adil merupakan pengertian demokrasi. 12 Demikian juga dijelaskan
Samuel P. Huntington bahwa suatu sistem dikatakan demokratis sejauh para
pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui
pemilu yang adil, jujur dan berkala didalam sistem itu para calon bebas bersaing
untuk memperoleh suara dari hampir semua penduduk dewasa yang berhak
memberikan hak suara.13
Dengan melihat pandangan kedua ilmuan politik ini dapat digolongkan
kedalam persfektif demokrasi prosedural, karena menekankan pemilu yang bebas
dan adil sebagai dasar dari pengertian demokrasi. Dengan devenisi ini yang
kurang memuaskan sehingga melahirkan kritik dari ahli politik lain. Lyman
Tower misalnya menyebutkan ciri-ciri demokrasi meliputih: keterlibatan warga
negara dalam pembuatan keputusan politik, tingkat persamaan tertentu diantara
warga negara, tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui oleh
warga negara, suatu sistem perwakilan dan suatu sistem pemilihan kekuasaan
mayoritas. 14 Demikan halnya David Beetham bahwa masyarakat demokratis
haruslah mencakup empat hal: pemilu bebas dan jujur, keterbukaan dan
akuntabilitas pemerintahan, jaminan terhadap kebebasan politik, dan tersedianya
masyarakat kewargaan (civil society).15
Dalam perdebatan terkait demokrasi menurut Robert Dahl bahwa demokrasi
sebagai poliarchy, yaitu sebagai suatu siset tatanan politik yang pada tingkat
12
Schumpeter, Josep A, Capitalism, Socialism and Democracy, George Allen agwin Ltd, London :
1956
13
Huntington, Samuel P, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995
14
Sargment, Lyman Tower, Contemporary Political Ideologis, A Comparative Analysis, Illionis :
The Dorscy Press, 1978.
15
Beetham, David, Defining and Measuring Democracy, Sage Publication, London, 1994.
14
paling umum dibedakan oleh dua ciri: kewarganegaraan diperluas sampai
mencakup pada bagian yang relatif tinggi dari orang dewasa dan hak-hak
kewarganegaraan mencakup kesempatan untuk menentang dan memberhentikan
pejabat tinggi dalam pemerintahan dengan melalui pemberian suara.16 Konsep
Poliarchy dalam demokrasi terdiri dari lembaga-lembaga politik seperti: para
pejabat negara yang dipilih, pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala,
kebebasan berpendapat, sumber informasi alternatif, otonomi asosiasional, dan
hak kewarganegaraan yang inklusif. 17
Gagasan Poliarchy ini mencoba mengatasi perdebatan antara demokrasi
langsung yang digagas oleh Jean Jacques Rousseau dengan demokrasi perwakilan
pemikiran John Stuart Mill. Menurut J.J Rousseau bahwa demokrasi yang ideal
adalah demokrasi langsung, tanpa kelompok-kelompok perantara, tiada tingkatan,
kelas, badan hukum, sindikat, maupun partai politik. 18 Tujuan utama demokrasi
adalah harus mampu mewujudkan kehendak masyarakat umum tanpa adanya
diskriminasi. Sedangkan Robert Dahl berpendapat bahwa demokrasi langsung
seperti pemikiran Rousseau kurang realistis diterapkan dalam konteks negara
bangsa (nation state).19 Namun Dahl menganggap pula demokrasi perwakilan
sebagaimana pemikiran John Stuart Mill dapat mereduksi subtansi demokrasi.
Pasca Orde Baru, perdebatn antara demokrasi langsung dengan demokrasi
perwakilan juga mewarnai perkembangan pemikiran sistem demokrasi di
16
Dahl, Robert A., Demokrasi dan para pengkritiknya (Jilid II), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1992
17
Ibid
18
Rousseau, Jean Jacques, Perihal Kontrak sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, Jakarta:
Dian Rakyat, 1989.
19
Ibid
15
Indonesia. Setelah praktek demokrasi perwakilan melalui pemilu tahun 1999
kurang memuaskan, sehingga hal tersebut mendorong pelaksanaan pemilihan
secara langsung. Dengan pemilihan umum dan pemilukada secara langsung,
Indonesia disebut mengadopsi demokrasi campuran.
Dari uraian diatas, meskipun terdapat perbedaan dalam mendefenisikan
demokrasi, namun para ahli politik tetap beranggapan pemilu merupakan syarat
minimal yang harus tersedia dalam negara yang menganut demokrasi. Secara
teoritis, mekanisme pemilihan secara langsung baik pemilihan umum presiden dan
maupun pemilukada bersifat lebih demokratis, karna memberikan hak kepada
setiap warga negara untuk menentukan pilihan politiknya secara langsung.
1.4.2 Uang Dalam Kontestasi Politik
Dalam peradaban kehidupan dunia, sejarah membuktikan uang dan politik
tidak dapat dipisahkan. Kontestasi dalam pertarungan politik di panggung
demokrasi membutuhkan kapasitas pembiayaan yang tidak sedikit. Menurut
Nassmacher menyatakan bahwa, uang memperkuat pengaruh politik bagi mereka
yang
memilikinya
atau
mereka
yang
memiliki
wewenang
untuk
mendistribusikannya. 20 Ilmuan lain, Alexander menegaskan “So money is but one
element in the equation of political power. But it is the common denominator in
the shaping of the many factor comprising political power, because it buys what is
not or cannot be volunteered”.21 Dengan logika tersebut,
20
maka uang dapat
Nassmacher, Karl-Heinz (ed), Foundations for Democracy, Baden-baden: Nomos
Verlagsgesselschaft, 2001
21
Herbert E. Alexander, Financing Politics: Money, Election, and Political Reform, CQ Press,
Washington DC, 1980
16
dijadikan sebagai sumber daya politik yang ditempatkan untuk alat mobilisasi
dalam mempengaruhi masyarakat guna memperoleh kekuasaan.
Masyarakat manapun di dunia sekarang ini, kekuatan uang adalah sumber
daya yang mampu mengendalikan energi dan sumber daya lain. Kekuatan uang
dalam mengendalikan sumber daya politik terletak pada karakter yang melekat
yakni sifatnya yang likuid, transferable (mudah dipindahkan), serta tidak
beridentitas.22 Karakter uang yang mudah ditransformasi membuatnya mudah
dalam sarana pertukaran ekonomi menjadi sarana pertukaran politik dan juga hal
lain bersifat materi. Demikian pula dengan sumber daya kekuasaan lain dapat pula
diubah menjadi uang melalui keuntungan yang dimiliki orang atau kelompok yang
memiliki kekuasaan. Dengan uang, ditengah arus kapitalisme akan dengan mudah
mengantarkan kepada kekuasaan politik.
Pesta demokrasi selalu melahirkan dinamika. Dalam konteks politik
persaingan elektoral, uang dapat dipahami sebagai sumber daya yang menjadi
penentu bagi tiga faktor pemenangan kandidat lainnya yakni profil kandidat,
program kerja dan isu yang diangkat serta organisasi kampanye. 23 Dapat
dikatakan, tanpa uang maka ketiga faktor tersebut menjadi sulit jadi daya tarik
bagi pemilih. Hal ini ditegaskan oleh Jacobson: Money is not sufficient, but it is
necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do
have impact on election results and campaign cannot be run without it? 24
22
Ibid
Ibrahim Fahmi Badoh & Adnan Topan Husodo, Memantau Korupsi Pemilu, ICW & TIFA
Foundation, 2009
24
Garry C. Jacobson, Money in Congressional Elections, Yale University Press, New Haven, 1980
23
17
Berangkat dari logika demikian, dapat dikatakan uang sebagai sarana mobilisasi
untuk faktor-faktor pemenangan lainnya.
Pada kontes pemilu, konvertibilitas uang dengan mudah membantu para
aktor dalam melakukan proses transaksi. Ketika para pelaku membangun
kesepakatan, spektrum yang bekerja adalah spektrum kekuasaan, dan bukan
spektrum ekonomi. 25 Penggunaan uang sebagai alat mencapai kekuasaan dalam
politik, telah meminggirkan uang sebagai alat akumulasi sumber daya ekonomi.
Dengan konteks ini, penggunaan uang tidak lagi menjadi sarana akumulasi
kekayaan namun telah menjadi tujuan, dimana fokus utamanya tidak diletakkan
pada uang/materi itu sendiri, melainkan pada kekuasaan. Sebagai sarana
pertukaran sumber daya, uang memudahkan perpindahan sumber daya ekonomi
(uang) dan politik (kekuasaan) antar pelaku yang menciptakan pemusatan maupun
penyebaran. 26 Daya konvertibilitas pada gilirannya akan semakin mendorong
lebarnya ketimpangan-ketimpangan distribusi sumber daya.
Dalam prakteknya, uang cenderung bekerja dalam stuktur ekonomi politik
yang timpang atau mengalami transisi. Sehingga pertukaran sumber daya ekonomi
ataupun politik yang bekerja melalui uang justru semakin massif dan disaat yang
bersamaan konvertibilitas mampu menyebarkan sumber daya melalui pertukaran
sumber daya dalam masyarakat. Hal ini mengantarkan bagi setiap pelakunya
membangun posisi tawar dalam melakukan transaksi politik menuju tahta
25
Ibid
Fati Gama Abisono, Uang dalam kontestasi politik : Study Etnografi Praktek Politik Uang
Dalam Pemilukada Di Kota Yogyakarta Tahun 2011, Tesis Magister, (Yogyakarta : FISIPOL
UGM 2012)
26
18
kekuasaan. Ditengah arus globalisasi yang berorientasi pada materialis, sifat uang
yang universal merupakan element dalam menatap tahta kekuasaan politik.
1.4.3 Politik Uang (Money Politics)
Tidak dapat dipungkiri politik memang membutuhkan dana. Belanja politik
yang direncanakan dan digunakan untuk berbagai kegiatan program-program
kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan konstituen, serta
menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam
kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan
akan kalah. Tetapi dalam kontestasi, dana politik (financing politics) dan politik
uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang
digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Realitas politik menunjukan,
bahwa politisi yang tidak punya dana sudah hampir dapat dipastikan akan kalah
dalam kontestasi. Fakta politisi tidak hanya memerlukan dana kampanye yang
cukup besar untuk meraih dukungan dari para konstituen. Umumnya politisi
sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan walaupun tidak
resmi dari elite partai yang mengusung.
Dalam pelaksanaannya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat.
Pemilihan umum yang dinilai sebagai pesta demokrasi pun ternyata belum bisa
mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena dalam
proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh
elit-elit politik itu sendiri. Salah satu kecurangan pada pemilu adalah politik uang
yang memaksa masyarakat untuk memilih menentukan peserta pemilu dengan
melakukan adanya politik uang tersebut.
19
Meskipun politik uang sudah lama terjadi namun sampai saat ini perdebatan
tentang definisi, batasan, dan politik uang masih dalam sengketa kebenaran.
Karena itu belum ada kesimpulan tegas mengenai politik uang. Tidak ada batas
yang jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang untuk keperluan
yang kongkrit dalam pemilihan umum. Garis dan batasan antara money politics
and political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur.
Namun secara common sense yang berkembang dan masih terdapat kekaburan
bahwa, praktek politik uang dapat dikatakan sebagai suatu usaha dalam upaya
membeli dukungan atau mempengaruhi pemilih dengan imbalan materi ataupun
janji-janji guna mendapatkan kekuasaan.
Walaupun batasan politik uang masih dalam sengketa, namun banyak
Ilmuan memberikan defenisi terkait hal tersebut. Seperti yang dimuat dalam koran
Jawa pos 19 Februari 1999, menurut pakar hukum tata negara Universitas
Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politics sangat jelas, yakni upaya
mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Sementara pemahaman
tentang money politics sebagai tindakan membagi-bagi uang (entah berupa uang
milik partai atau pribadi) untuk membeli suara antara lain dilontarkan oleh Afan
Gaffar.27 Praktek politik uang juga dapat disamakan dengan sogok alias suap.
Istilah politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan
istilah korupsi politik (political corruption) dalam pemilu. Apabila penggunaan
uang pribadi dalam kampanye disebut sebagai money politics, maka tidak ada
orang atau partai politik yang bersih dari korupsi. Indra J. Piliang, menyatakan
27
Ibid
20
bahwa dalam sejumlah penelitian tentang pemilihan umum, penggunaan uang
untuk mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi
kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Pada titik inilah terjadi bias antara politik
uang (money politics) dengan biaya politik (cost politics).
Indra Ismawan (1999), menyatakan bahwa politik uang biasa diartikan
sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan
tertentu. Ada pula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara
pada sebuah proses politik dan kekuasaan.28 Pemberian uang, barang atau
memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau
individual, untuk mendapatkan keuntungan politis dapat disebut politik uang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan aturan tentang politik uang.
Politik uang yang dimaksud mempunyai pengertian tindakan membagi-bagikan
uang baik sebagai milik partai atau pribadi untuk membeli suara. Melalui
peraturan nomor 1 tahun 2013 tentang pedoman kampanye, KPU telah dengan
tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada peserta kampanye.
Praktik politik uang paling marak terjadi pada saat momentum kampanye.
Kampanye merupakan bagian penting dalam proses pemilihan umum yang
melibatkan dua unsur penting, yaitu peserta pemilihan umum dan warga yang
mempunyai hak pilih. Analoginya adalah peserta pemilu merupakan penjual, dan
warga adalah pembeli yang dapat melakukan deal politik berkat ketertarikan visi,
28
Ibid
21
program, dan/atau janji berupa uang dan barang. 29 Politik uang dapat dilakukan
baik oleh aktor secara langsung ataupun tidak langsung, misalnya melalui tim
sukses ataupun kolega-koleganya kandidat itu sendiri.
Dari perspektif ekonomi, politik transaksional muncul karena adanya
hubungan simbiosis mutualisme antara pelaku, baik kandidat, tim sukses dan
korban (rakyat). Interaksi keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan
mekanisme politik uang. Bagi kandidat, politik uang merupakan media instan
yang dengan cara itu suara konstituen akan dapat dibeli. Sebaliknya pula, bagi
pemilih, bahwa politik uang ibarat merupakan bonus di masa pemilu yang lebih
riil dibandingkan dengan program-program yang dijanjikan.
Bagi negara yang sebagian besar rakyatnya miskin, politik uang adalah
teknik rekruitmen massa yang cukup efektif bagi aktor politik. Dalam konteks
Indonesia, realitas tersebut sangat potensial untuk terjadi. Dalam teori pertukaran
yang dirumuskan dalam kajian sosiologinya Peter Blaw bahwa, tingkah laku
individu (individual action) itu dipaksa oleh perolehan imbalan, tetapi proses
psikologi untuk memantapkan tindakan tidak cukup menguraikan wujud relasi
pertukaran.30 Konsep psikologi tersebut adalah rasa saling terikat sebagaimana
tersirat diantara para individu dan keinginan mereka dalam berbagai bentuk
imbalan. Menurut Blau, bahwa sistem pertukaran sosial meniscayakan terlibatnya
aspek kepatuhan individu dan rasa hutang budi. Selain itu, pertukaran sosial akan
terjadi jika telah terjadi kesepahaman antara kedua belah pihak tanpa adanya
29
Robi Cahyadi Kurniawan , Kampanye Politik: Idealis dan Tantangan. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UGM 2009
30
Judistira Garna, Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar Konsep dan Posisi, Bandung : Primako Akademika,
2001
22
paksaan. Proses pertukaran itu memiliki sifat asal sebagai sifat dialektika, yang
berarti terdapatnya proses untuk memberi dan menerima. Proses pertukaran sosial
tersebut akan melahirkan kekuasaan yang berbeda akibat mekanisme sumbangan
yang tak seimbang. Sebagaimana dalam dunia politik, tidak ada komoditas yang
benar benar memiliki nilai sama, dari ketidaksamaan tersebut maka lahirlah
kekuasaan pada pihak yang memberikan komoditas yang lebih.
1.4.4 Pengaruh Politik Uang dan Perilaku Politik
Studi pemilu dari masa ke masa diidentikkan dengan persoalan partisipasi.
Partisipasi politik masyarakat, khususnya partisipasi pada pemilu dalam ilmu
politik terangkum sebagai bagian dari kajian perilaku politik. perilaku memilih
tidak lepas dari tinjauan perilaku politik itu sendiri. Hal ini didasari bahwa
perilaku memilih merupakan bagian dalam budaya perilaku politik. Perilaku
pemilih merupakan tingkah laku dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling
disukai atau paling cocok. Perilaku merupakan tanggapan yang diaplikasikan
lewat tindakan terhadap sesuatu yang dirasakan oleh setiap individu pada pesta
demokrasi tersebut. Menurut Samuel P. Huntington, partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara pribadi yang bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah.31 Perilaku memilih jika dikaitkan dengan devenisi
perilaku diatas maka dapat kita artikan bahwa perilaku memilih merupakan suatu
tanggapan dalam mendukung sebuah partai politik atau kandidat yang
diimplementasikan lewat pemberian suara dalam pemilu.
31
Huntington, Samuel P. dan Juan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1994
23
Dalam pandangan lain ilmuan politik lainnya, McClosky menekankan
kesukarelaan dalam mendefenisikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses
pembentukan kebijakan umum. 32 Sedangkan Nie dan Verba bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal dan sedikit banyak
langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau
tindakan yang diambil oleh mereka.33 Kegiatan mengikuti pemilihan termasuk di
dalamnya bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon,
mengorganisir sumbangan untuk kampanye hanyalah salah satu bentuk partisipasi
politik diantara beberapa partisipasi politik lainnya.
Nilai budaya politik atau civic culture dalam demokrasi merupakan basis
yang membentuk perilaku politik. Salah satu aspek dari kebudayaan politik dunia
yang baru ini dapat lihat ialah bahwa ia akan menjadi kebudayaan politik dalam
berpartisipasi. 34 Perilaku politik sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan
seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Perilaku politik meliputi
tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakantindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi
politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai
32
Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi Politik, Sebuah Bunga
Rampai, Jakarta: PT. Grahamedia, 1982
33
Ibid
34
Gabriel A. Almond, Sidney Verba, Budaya Politik : Tingkah laku politikdan Demokrasi di Lima
Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990
24
keterangan, informasi dari sesuatu hal maupun gambaran tentang obyek atau
situasi politik dengan cara tertentu.35
Terdapat beberapa budaya politik, satu diantaranya adalah budaya politik
partisipatif atau disebut juga budaya politik demokrasi yakni suatu kumpulan
sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang
terwujudnya partisipasi. Untuk terwujudnya partisipasi itu warga negara harus
yakin akan kompetensinya untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintah
memperhatikan kepentingan rakyat agar rakyat tidak kecewa dan apatis terhadap
pemerintah. Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan
bahwa negara-negara yang mempunyai budaya politik yang sudah matang akan
menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki
derajat budaya politik yang belum matang tidak mendukung terwujudnya
demokrasi yang stabil. Kematangan budaya politik tersebut ditunjukkan dengan
peluang yang diberikan oleh negara kepada masyarakat untuk mandiri, sehingga
akhirnya memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Kontestasi dalam pemilu, uang dan perilaku politik tidak dapat dipisahkan.
Pemenangan dalam pertarungan politik membutuhkan kapasitas pembiayaan yang
memadai. Uang sebagai sumber daya politik ditempatkan sebagai alat mobilisasi
untuk mempengaruhi pemilih guna mendapatkan, memperoleh, mempertahankan
kekuasaan. Namun, sejauh mana politik uang mempengaruhi perilaku politik tidak
dapat diukur secara pasti. Hal ini karena perilaku politik masyarakat dapat
berubah-ubah sesuai dengan preferensi, misalnya kondisi sosio-ekonomi yang
35
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grahamedia, Jakarta, 1999
25
melatarinya. Pemilu yang merupakan arena dalam kontestasi mendapatkan
kekuasaan politik, resaurce seperti uang hanyalah merupakan salah satu variabel.
Dalam pengertian ini bahwa, uang hanyalah sebuah instrumen atau alat, dan
memiliki arti penting untuk mengetahui bagaimana sumber daya ini digunakan
orang untuk mencoba mendapatkan pengaruh, atau diubah menjadi sumber dayasumber daya yang lain, atau dipergunakan secara berkombinasi dengan sumber
daya-sumber daya yang lain dalam rangka meraih kekuasaan politik. 36
Perubahan perilaku politik masyarakat, khususnya dalam konteks partisipasi
politik banyak ditunjukan oleh perubahan tatanan sistem politik. Seperti hal
tumbuhnya kesadaran kelas, termasuk orang yang berpengaruh pada suatu partai
politik, berkurangnya tingkat ketergantungan seseorang, dan program yang
ditawarkan pasangan calon.37 Pemilihan umum sebagai salah satu instrument
demokrasi berjalan beriringan dengan perilaku politik uang yang pada dasarnya
merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Maka rasionalitas pemilih menjadi layak
untuk dipertanyakan. Pemilih tidak memilih calon berdasarkan program dan visi
yang ditawarkan tapi hanya berdasar jumlah uang yang diterima menjelang
pemilihan. Dengan hal ini maka maka perilaku pemilih di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non demokratis. 38
Partisipasi politik yang ditunjukkan dalam angka penggunaan hak pilih
tersebut adalah partisipasi semu. Perilaku yang relatif otonom seperti saat
pemilihan dalam pemilukada, membuat pemilih dengan leluasa menjadi swingns
voters. Maksudnya, ia bisa saja pada pemilihan tahun ini memilih calon tertentu,
36
Ibid
Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
38
Ibid
37
26
tapi di saat lain ia menjatuhkan pilihannya kepada calon yang lain. Hal ini
menjadi sangat wajar oleh karena tidak ada ideologi yang konkrit. Dalam hal ini,
yang memiliki kecenderungan muncul adalah pragmatisme politik. Yang artinya
bagaimana seorang kandidat bersama dengan tim suksesnya untuk meramu
pemasaran politik (political marketing) yang cocok untuk memenangkan
kontestasi pemilukada. Ditengah kondisi hal demikian dengan tujuan kekuasaan,
salah satu cara yang ampuh dengan menanggalkan aturan-aturan yang ada dengan
menggunakan finansial dengan bentuk politik uang.
Pemilu dengan sistem demokrasi, entitas uang dan janji merupakan
instrument politik yang strategis untuk meningkatkan preferensi pemilih. Hal
tersebut juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menanggulangi persoalan
(problem solving) yang akan memberikan sentuhan warna pendekatan pemilih.
Uang dan janji merupakan sumber kekuatan politik untuk mengatasi beberapa titik
kritis dalam tindakan politik. Kekuatan uang dapat disejajarkan dengan kekuatan
janji dalam memperkuat strategi politik simpati (political sympathy) yang cukup
efektif untuk mengekstrasikan masyarakat.
Pemilu dengan sistem demokrasi “one person, one vote”, dapat juga
digambarkan kaitan antara sikap pemilih dalam menentukan pilihan terhadap
kandidat. Dapat dijelaskan bahwa penentuan sikap sangat tergantung pada tiga hal
yaitu, persepsi, kepribadian, dan motivasi. Persepsi merupakan aktivitas pikiran
seseorang secara aktif dalam memberikan tanggapan, pandangan atau respon
terhadap objek atau stimulus. Perbedaan-perbedaan latar belakang pengetahuan,
kondisi psikologis, pengaruh lain kelompok dan sebagainya akan membedakan
27
pandangan-pandangan tertentu dalam menentukan sikap dan tindakan seseorang.
Materi kampanye, termasuk penggunaan politik uang dalam kampanye untuk
menarik simpatik pemilih akan membentuk persepsi seseorang terhadap kandidat
yang melakukan kampanye tersebut, namun belum tentu dapat mempengaruhi
perubahan sikap dalam menentukan pilihan terhadap kandidat walaupun
menggunakan politik uang. 39 Hal tersebut menggambarkan politik uang bukanlah
hal yang mendasar dalam preferensi pemilih untuk menentukan pilihan politik,
namun dapat dikatakan politik uang adalah salah satu bagian instrumen dalam
kontestasi dipanggung demokrasi untuk mendapatkan suara pemilih.
1.4.5 Perilaku Memilih (Voting bihavioral)
Pada dasarnya teori perilaku dalam ilmu sosial diilhami oleh B.F. Skinner.
Skinner dan para penganut teori perilaku secara umum tertarik pada hubungan
antara manusia dengan lingkungan mereka yang terdiri dari bermacam-macam
obyek sosial dan non sosial. Mereka berargumentasi bahwa perilaku individu
merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Penganut teori
perilaku beranggapan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam merespon
stimuli. Respon stimuli ditentukan oleh stimuli eksternal atau lingkungan
sekitarnya (Ritzer, 1992).
Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan
pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Perilaku merupakan
tanggapan yang diaplikasikan lewat tindakan terhadap sesuatu yang dirasakan
oleh setiap individu. Bicara tentang perilaku memilih jika dikaitkan dengan
39
LIPI , Jurnal penelitian Politik, Vol 4, no. 1, Demokrasi mati suri, Jakarta, 2007
28
dengan devenisi perilaku diatas maka dapat kita artikan bahwa perilaku memilih
merupakan suatu tanggapan dalam mendukung sebuah partai politik atau kandidat
yang diimplementasikan lewat pemberian suara dalam pemilu.
Dalam teori perilaku memilih terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan
sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional. Penjelasan
mengenai masing-masing faktor tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa disebut juga dengan mazhab
Columbia (Columbia school), kemudian di Amerika Serikat dikembangkan oleh
para ilmuan sosial yang mempunya latarbelakang pendidikan Eropa yang
dipelopori oleh kajian Lazersfeld (1948). Pendikatan sosiologis dalam perilaku
memilih menyebutkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi pilihan
masyarakat dalam pemilu adalah karakteristik dan pengelompokan sosial.
Perilaku pemilih seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari mana individu
itu berasal. 40 Hal itu berarti karakteristik sosial menentukan kecenderungan politik
seseorang. Pengelompokan sosial yang dimaksud disini adalah usia, jenis kelamin,
agama, pekerjaan, kelas sosial ekonomi, kedaerahan, latar belakang keluarga,
kegiatan-kegiatan dalam kelompok-kelompok formal dan informal. Kelompokkelompok sosial ini dipandang berpengaruh besar dalam keputusan memilih
karena kelompok-kelompok tersebut berperan dalam pembentukan sikap, persepsi
dan orientasi seseorang. Penerapan pendekatan sosiologis dalam perilaku memilih
di Indonesia awalnya pernah dilakukan oleh Afan Gaffar. Hasil studinya
40
Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode, (Jakarta: FriedrichNaumann Stiftung fur die Freiheit, 2008)
29
menekankan pentingnya karakteristik sosial, khususnya orientasi sosio-religius
dalam melihat perilaku pemilih di pulau Jawa. 41 Penelitian lainnya mengenai
perilaku memilih di Indonesia dilakukan dengan melihat pemilu 1999. Hasilnya
menyebutkan bahwa ikatan sosial terutama faktor etnis penting untuk diperhatikan
saat ingin mengamati perilaku memilih masyarakat Indonesia. Dari penjelasan ini
bahwa inti dari pendekatan sosiologis adalah menggunakan variabel-variabel
pengelompokan sosial untuk menjelaskan perbedaan perilaku pemilih.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan kedua adalah pendekatan psikologis yang dipelopori oleh
August Campbell dari Universitas Michigan Amerika Serikat. Munculnya
pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap pendekatan
sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis sulit diukur,
seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, agama
dan sebagainya. Pendekatan sosiologis umumnya hanya sebatas menggambarkan
dukungan suatu kelompok pada suatu partai politik atau kandidat itu sendiri. 42
Menurut pendekatan psikologis, sosialisasilah sebenarnya yang menentukan
perilaku memilih (politik) seseorang, bukan karakter sosiologis. 43 Pendekatan
Psikologis tersebut menekankan pada pentingnya aspek identifikasi partai dalam
mempengaruhi keputusan memilih masyarakat. Dengan adanya teori identifikasi
partai ini seolah-olah perilaku memilih itu tetap. Pemilih dianggap akan selalu
memilih kandidat atau partai yang sama tiap kali pemilu dilaksanakan. Dengan
41
Ibid
Asfar Muhammad, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya : Pusdeham-Eureka,
2006
43
Ibid
42
30
kata lain pemilih memiliki pilihan yang menetap tanpa dipengaruhi oleh
sosialisasi dan komunikasi politik. Kavanagh menjelaskan konsep identifikasi
partai sebagai semacam kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai
tertentu. Ia menambahkan bahwa, konsep identifikasi partai ini mirip dengan
loyalitas partai atau kesetiaan seorang pemilih terhadap partai tertentu.44 Seiring
bertambahnya usia, identifikasi partai menjadi bertambah stabil dan intensif.
Identifikasi partai merupakan orientasi yang permanen dan tidak berubah dari
masa pemilu ke pemilu. Identifikasi partai hanya dapat berubah jika seseorang
mengalami perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa. 45
Dari hasil penelitiannya itu, Campbell menemukan bahwa ada hubungan yang erat
antara identifikasi partai dengan kehendak untuk memilih kandidat dari partai
dimana sang individu mengidentifikasi dirinya.
Mengenai orientasi isu dan kandidat, logika yang digunakan hampir mirip.
Pada orientasi isu, semakin sang pemilih menganggap penting isu-isu tertentu,
maka kemungkinan ia akan berpartisipasi dalam pemilu akan lebih besar. Apabila
solusi yang diberikan oleh sebuah partai lebih mendekati cara pandang pemilih,
semakin besar pula kemungkinan ia akan memilih partai yang bersangkutan.
Dalam orientasi kandidat berlaku hal yang serupa. Semakin sering pemilih
mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang ada, semakin besar pula
kemungkinan bahwa ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Bila pandangan pemilih
44
Denis Kavanagh, Political Science and Political Behaviour (London: George Allen & Unwin,
1983), hlm. 88
45
Angus Cambell, The American Voter , (USA: Jhon Wiley and Sons, Inc, 1966), hlm. 133
31
semakin dekat dengan kandidat dari partai tertentu, maka semakin besar pula
kemungkinan ia akan memilih kandidat tersebut.46
Menurut Cambel yang dikutip Muh. Aspar bahwa sikap seseorang sebagai
refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan
dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karna itu, pendekatan
psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagi kajian utama, yaitu
ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi
terhadap kandidat. Hal disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut
greenstein (dikutip Muh. Aspar) mempunyai tiga fungsi, yaitu sikap merupakan
fungsi kepentingan, sikap merupakan fungsi dari penyesuaian diri, dan sikap
merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Dari proses sosialisasi inilah
kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai
politik atau kandidat. Ikatan psikologis inilah yang kemudian dikenal sebagai
identifikasi partai pun identifikasi kandidat. Menurut pendekatan psikologis,
konseb identifikasi partai dan kandidat ini dijadikan variabel sentral untuk
menjelaskan perilaku memilih seseorang.
Dengan memahami kedua pendekatan tersebut bahwa secara ringkas
perbedaan esensial mendasar antara pendekatan sosiologis dan psikologis adalah
pada kelompok Columbia lebih melihat perilaku politik dari sudut luar kedirian
seseorang dan kemudian mengkaitkannya dengan perilaku pemilih. Sementara
Kelompok Michigan lebih melihat perilaku politik dari persepsi seseorang
mengenai masalah-masalah politik. Kelompok ini menganggap perasaan,
46
Ibid
32
pengalaman, dan interpretasi dari kejadian-kejadian politik secara signifikan
mempengaruhi perilaku politik.
3. Pendekatan Rational Choice
Pilihan adalah mengenai komitmen memilih antara dua atau lebih kandidat,
dan sering terbawa bersamanya. Suatu pertimbangan tentang mengapa salah satu
terpilih di antara yang lain. Dalam hal ini, pilihan adalah suatu pengambilan
tindakan yaitu memutuskan pilihan. Secara umum teori pilihan rasional diadopsi
oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi
menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang
memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung
ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut
akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan.
Max Weber mengemukakan bahwa rasionalitas nilai adalah pengambilan
keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam kaitannya dengan
pemilu, rasionalitas nilai adalah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada
calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik itu agama, ras,
etnis, dan lain-lain. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang
kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam ini, sikap dan pilihan
politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau
ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa
dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat mencalonkan,
diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat.
33
Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan
perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi. 47 Ini
disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan
kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga
perbedaan dari alternatif-alternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam
pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan,
dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu
bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan
pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan
yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan
pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatifalternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan
baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan umum.
Fenomena terjadinya perubahan pilihan dari pemilu ke pemilu yang lain
menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhi, seperti
faktor situasional. Faktor ini turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan
pilihan politiknya pada pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya
pasif, terbelenggu oleh karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi
juga merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional,
faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan
memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan
politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan
47
Ibid
34
kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang
pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu
berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang sedang dihadapi olah masyarakat, bangsa dan negara.
Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih
terhadap kepribadian kandidat itu sendiri tanpa memperdulikan label dari partai
yang mengusung kandidat tersebut.
Dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua
variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah
kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan
oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah
kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan
integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma
dan aturan dan sebagainya. Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut
senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo 48 dalam bukunya
Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan: “Pemberi suara yang
rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap
karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada
kebanyakan warga negara”. Menurutnya bahwa orang yang rasional adalah :
1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
48
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, CV. Remaja Karya, Bandung
35
2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih
disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif
yang lain
3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih
disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C
4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi
5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatifalternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat
mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah
alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif
yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif
tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil
keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang
sama.
Dalam perjalanan analis perilaku pemilih sebagaimana Campbell, et.al.
(1960) mengatakan, sering membuat suatu perbedaan antara kekuatan jangka
panjang dan jangka pendek yang mempengaruhi keputusan memilih dalam
momentum pemilihan. Kekuatan jangka panjang merefleksikan pertimbanganpertimbangan dan informasi yang tersedia untuk pemilih sebelum kampanye
presiden dimulai. Kekuatan jangka panjang biasanya mengacu pada sikap politik,
(misal: identifikasi partai dan pilihan ideologi) dan faktor demografis (misal: ras,
keanggotaan religius / agama, dan keanggotaan serikat pekerja) yang kesemuanya
relatif stabil dalam perjalanannya. Kekuatan jangka panjang termasuk juga catatan
36
(record) masing-masing kandidat yang sebelumnya pernah duduk dalam
pemerintahan, misal: anggota kongres, gubernur, atau presiden yang sedang
berusaha untuk terpilih kembali. Periode ketika duduk dalam pemerintahan
disebut sebagai “long campaign”, dan untuk menunjukkan arti penting dalam
pemilihan berikutnya (Box-Steffensmeier and Franklin, 1995). Kekuatan jangka
panjang ini menentukan keputusan pemilih dan sering mengarahkan pemilih
untuk mengembangkan sebuah pola kebiasaan dalam memilih partai yang sama
setiap empat tahun.49
Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah
untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap kandidat atau
partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional digunakan untuk
menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara
psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu
ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat
dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan
terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak
mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi
individu dalam lapisan sosialnya. Sedangkan dalam pendekatan rasional yang
menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut
berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu
politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi
bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik
49
Box-Steffensmeier, Janet M., and Kimball, David, , The Timing of Voting Decisions in
Presidential Campaigns, 1999
37
tersebut. dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan rasional.
1.5 Hipotesis
Dalam konsep dasar pengujian hipotesis ada tiga bentuk rumusan hipotesis
seperti yang dijelaskan sugiono (2007) yakni: hipotesis deskriptif, hipotesis
komparatif, dan hipotesis hubungan (asosiatif). Berdasarkan dari tujuan yang akan
dicapai seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa
rumusan hipotesis yang digunakan adalah hipotesis hubungan (asosiatif).
Hipotesis asosiatif adalah merupakan suatu peryataan yang menunjukan dugaan
tentang hubungan antara dua variabel atau lebih. Berdasarkan penjelasan diatas
maka hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah: pengaruh politik uang
(money politics) berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku memilih
dalam menentukan pilihan pada pemilihan bupati Enrekang 2013.
1.6 Defenisi Konseptual
Perilaku memilih merupakan suatu tanggapan dan aktifitas mendukung
sebuah pertai politik atau kandidat yang diimplementasikan lewat proses
pemberian suara dalam pemilu. Pada penelitian ini akan dijelaskan pendekatanpendekatan dalam memilih dan bagaimana bagaimana politik uang mempengaruhi
pemilih. Namun dalam politik uang masih terdapat kekaburan terkait hal tersebut.
Guna menghindarkan kekaburan tersebut, pengertian politik uang (money politics)
dalam penelitian ini adalah praktek upaya mempengaruhi massa pemilu dengan
imbalan materi berupa pemberian langsung uang tunai, pemberian sumbangan
barang, pemberian bahan pokok berupa sembako, dan menjanjikan materi untuk
38
mendapatkan keuntungan, atau secara umum dapat disebut politik transaksional.
Pengkajian dalam penelitian ini adalah menitiberatkan pada pendekatan dalam
memilih dan bagaimana pengaruh politik (money politics) terhadap perilaku
memilih pada pemilukada Enrekang tahun 2013.
1.7 Defenisi Operasional
Dalam melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pengaruh politik uang (money politics) terhadap perilaku memilih pada
Pemilukada 2013 tersebut, seperti yang telah dijelaskan pada kerangka teori dan
definisi konseptual, bahwa perlu diturunkan poin-poin dalam kategori dan
indikator perilaku memilih dan politik uang (money politics) yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah:
1.7.1 Perilaku memilih
a. Pendekatan Psikologis
1. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan kandidat
2. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan tim sukses kanidat
3. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan/emosional partai
4. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan partai kandidat
b. Pendekatan Sosiologis
1. Keputusan memilih berdasarkan usia
2. Keputusan memilih berdasarkan jenis kelamin
3. Keputusan memilih berdasarkan agama
4. Keputusan memilih berdasarkan pekerjaan
5. Keputusan memilih berdasarkan kelas sosial
39
6. Keputusan memilih berdasarkan ikatan keluarga
7. Keputusan memilih berdasarkan kesamaan daerah
c. Pendekatan Rational Choice
1. Keputusan memilih berdasarkan visi-misi
2. Keputusan memilih berdasarkan orientasi isu
3. Keputusan memilih berdasarkan orientasi kandidat
4. Keputusan memilih berdasarkan program kerja ditawarkan
1.7.2 Politik Uang
a. Pemberian langsung uang tunai
1. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai secara
personal
2. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai secara
kelompok/organisasi
3. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai untuk
mesjid
4. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai untuk
jalan
b. Sumbangan barang
1. Keputusan memilih berdasarkan bantuan jalan
2. Keputusan memilih berdasarkan bantuan mesjid
3. Keputusan memilih berdasarkan bantuan pertanian (pupuk, bibit, dll)
4. Keputusan memilih berdasarkan bantuan alat olah raga
40
c. Pemberian bahan pokok berupa sembako
1. Keputusan memilih berdasarkan pemberian beras
2. Keputusan memilih berdasarkan pemberian telur
3. Keputusan memilih berdasarkan pemberian minyak goreng
4. Keputusan memilih berdasarkan pemberian bahan pokok lainnya
d. Menjanjikan
“sesuatu”
dalam
bentuk
materi
untuk
mendapatkan
keuntungan politik
1. Keputusan memilih berdasarkan janji pekerjaan (PNS)
2. Keputusan memilih berdasarkan janji pekerjaan (honor)
3. Keputusan memilih berdasarkan janji pemberian uang tunai (personal)
4. Keputusan memilih berdasarkan janji pemberian uang tunai (kelompok)
5. Keputusan memilih berdasarkan janji bantuan pertanian
6. Keputusan memilih berdasarkan janji hewan ternak
7. Keputusan memilih berdasarkan janji jabatan
8. Keputusan memilih berdasarkan janji perbaikan jalan
9. Keputusan memilih berdasarkan janji perbaikan mesjid
10. Keputusan memilih berdasarkan janji perbaikan pasilitas umum
desa/kampung
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Dalam menjawab permasalahan penelitian yang ilmiah digunakan sebuah
metode. Metode penelitian dapat diartikan sebagai langkah-langkah atau cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berangkat
41
dari rumusan masalah bagaimana pengaruh politik uang terhadap perilaku
memilih pada pemilukada Enrekang 2013, maka dalam mencapai hasil maksimal,
secara teknis penulis menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan survey,
dimana penulis mencari keterangan dengan cara mengambil sampel dari populasi.
Juga untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti melakukan wawancara
dan mencari keterangan dari pelaku-pelaku politik. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua warga Enrekang yang masuk dalam pemilih.
Spesifikasi penelitian yang digunakan ini adalah analisis deskriptif
inferensial. Statistik inferensial adalah jenis statistik yang menganalisis data
sampel, dan membuat generalisasi diberlakukan secara umum pada populasi.
Statistik ini digunakan jika sampel diambil pada populasi yang jelas dan
pengambilan sampel secara acak. Statistik inferensial bertujuan untuk membuat
deskripsi atau gambaran mengenai hasil lapangan, fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diteliti.
1.8.2 Sumber Data
Berangkat dari jenis dan metode penelitian yang digunakan, maka penelitian
ini akan membutuhkan 2 jenis data, yaitu :
1. Data Primer
a. Data yang diperoleh dari hasil kusioner yang dibagikan kepada
masing-masing sampel dalam penelitian ini.
b. Untuk mempertajam analasis dan mendapatkan kesimpulan yang
memuaskan, maka data primer yang akan digunakan adalah data hasil
wawancara, dan juga hasil pengamatan/observasi penulis.
42
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis
yang meliputih :
a. Data yang diperoleh dari hasil perolehan suara pemilihan bupati
Enrekang 2013 tahun 2013, juga jumlah pemilih, dan jumlah TPS
b. Sumber lain dari kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung
analisis dalam penelitian ini.
1.8.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran
penelitian. 50 Dalam penelitian ini, populasinya pemilih dalam pemilukada
Enrekang tahun 2013 dan menggunakan hak pilihnya pada momentum tersebut.
Dari populasi tersebut akan diambil sampel untuk mewakili populasi dalam
penelitian ini dengan menggunakan teknik penarikan sampel yang akan dijelaskan
dalam sub bab berikutnya. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 276
responden, yang berarti tingkat kepercayaannya 94% dan errornya 6%.
Rumus besar sampel dan margin of error (MoE) dapat dilihat dan
diaplikasikan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
n = N / N.d² + 1
Di mana :
n : Jumlah Sampel
N : Banyak Anggota Populasi
d : Margin of error
50
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik
Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya , Jakarta: Kencana, 2008
43
Berangkat dari rumus diatas, hasil perhitungan sebagai berikut :
= 147.380/(147.380).(0,06)² + 1
= 276,255 = 276
Di peroleh sampel sebesar 276,255 atau dibulatkan dibulatkan menjadi 276
orang. Penggunaan rumus ini diaplikasikan apabila jumlah anggota populasi
sudah diketahui dan sudah ditentukan MoE yang diinginkan. Dalam penelitian ini,
jumlah anggota populasi sudah jelas, yaitu pemilih yang terdaftar di DPT
pemilukada Enrekang 2013 yang jumlahnya 147.380 0rang. Margin of Error yang
diinginkan adalah 6% atau 0,06. Dengan rumus ini dapat dihasilkan jumlah
sampel sebanyak 276 sampel.
1.8.4 Penentuan Besar Sampel
Pada penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan sampel dengan cara
Multistage random sampling. Jumlah masyarakat Enrekang yang telah memiliki
hak pilih dan terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilukada Enrekang
2013 adalah 147.380 orang. DPT tersebut yang menjadi Sampling Frame dalam
penelitian ini. Karena DPT bukanlah satu tabel yang memuat 147.380 nama
tersebut, melainkan terpecah berdasarkan kecamatan, kelurahan/desa dan TPS,
maka penting untuk mengetahui jumlah kecamatan, desa dan TPS di kabupaten
tersebut untuk memudahkan melakukan pengacakan dan pengambilan sampel
dengan cara multistage random sampling.
Kabupaten Enrekang terdiri dari 12 kecamatan, dimana masing-masing
kecamatan tersebut memiliki 5 hingga 22 desa. oleh karena itu sampel akan
diambil di semua kecamatan yang ada, kemudian di tiap-tiap kecamatan akan
44
diambil beberapa desa untuk mewakili sesuai dengan proporsi jumlah pemilih di
kecamatan yang ada dengan cara acak sederhana (SRS), sehingga total akan ada
50 desa terpilih. Dari masing-masing desa terpilih kemudian dipilih 2 TPS dengan
metode acak sederhana. Pengacakan atau randomasi bertujuan agar setiap anggota
semesta memiliki probabilitas yang sama besar untuk dipilih sebagai TPS target.
Dengan begitu akan ada 100 TPS terpilih, di setiap TPS itu diambil 3 dan ada
yang 4 responden di TPS. Maka setelah proses pengacakan tersebut, jumlah
responden terpilih adalah 276 orang.
Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan-tahapan dalam multistage random
sampling pada penelitian yang dilakukan terhadap populasi masyarakat Enrekang
yang telah memiliki hak pilih pada saat pemilukada Enrekang 2013 berlangsung,
dapat dilihat dalam gambar berikut :
45
Gambar 1.1
Proses pengambilan sampel
Populasi Kab.
Enrekang
Kec.
Kec.
Kec.
...........dst
1
Desa
1
2
12
Desa
Desa
...........dst
7
2
TPS
TPS
Terpilih
Terpilih
2
1
Gambar di atas menunjukkan teknik pengambilan sampel hingga sampai ke
responden. Dari gambaran tersebut bahwa semua kecamatan diambil sebagai
daerah sampel, lalu dari kecamatan tersebut diambil beberapa desa secara acak
sederhana (SRS). Kemudian di tiap desa diambil 2 TPS secara acak sederhana
46
juga, lalu di tiap TPS diambil 3 dan 4 responden berdasarkan data DPT di TPS
terpilih. Responden yang dipilih adalah nomor urut pertama, tengah, dan akhir
dari daftar urut nama daftar pemilih tetap (DPT ) yang ada.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah daftar nama-nama desa/kelurahan
dikabupaten Enrekang yang terpilih melalui metode acak sederhana dan akan
menjadi tempat pengambilan sampel dalam penelitian ini. seperti telah dipaparkan
sebelumnya, jumlah desa terpilih adalah 50, yang tersebar di seluruh kecamatan
yang ada di Enrekang namun jumlah desa terpilih di masing-masing kecamatan
berbeda-beda. Hal itu karena disesuaikan dengan proporsi jumlah pemilih di
kecamatan yang bersangkutan.
Tabel.1.1
Desa Terpilih
No Kecamatan
1
Enrekang
Jumlah
Pemilih
22. 875
Jumlah Desa/Kelurahan
Terpilih
7
2
Maiwa
19. 428
6
3
Anggeraja
18. 480
6
4
Alla
16. 062
5
47
Nama Desa/Kelurahan
Terpilih
Tallu Bamba
Tungka
Ranga
Cemba
Leoran
Kaluppini
Pinang
Bangkala
Batu Mila
Botto Mallangga
Boiya
Matajang
Puncak Harapan
Bamba Puang
Mampu
Singki
Lakawan
Batu Noni
Mindatte
Bolang
Pana
5
Cendana
6. 924
3
6
Baroko
7. 752
3
7
Curio
10. 623
4
8
Masalle
10. 107
4
9
Bungin
3.460
2
10
Malua
5. 991
2
11
Baraka
15. 588
5
12
Buntu
Batu
9. 988
3
Sumillan
Buntu Sugi
Taulo
Lebang
Karrang
Kabere
Tongko
Baroko
Benteng Alla
Buntu Barana
Pebaloran
Parombean
Mandalan
Batu Kede
Masalle
Rampunan
Mundan
Baruka
Bungin
Malua
Tangru
Bone-Bone
Baraka
Balla
Parinding
Salukanan
Pasui
Buntu Mandong
Latimojong
Sumber: Data diola, 2014
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, digunakan beberapa teknik pengumpulan
Data. Teknik pengumpulan data tersebut sebagai berikut :
1. Angket (kusioner)
Bentuk kusioner ini adalah dengan menyusun daftar pertanyaan yang relevan
dengan subyek penelitian, dan dibagikan kepada masing-masing sampel yang
telah ditentukan sebelumnya. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat terbuka dan
48
tertutup yang digunakan untuk mendapatkan data tentang dimensi-dimensi dari
konstruk-konstruk yang sedang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada lembar
kusioner juga terdapat biodata dari masing-masing sampel seperti, umur, jenis
kelamin, dan pekerjaan.
2. Interview (wawancara)
Sebagaimana untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka pada penelitian
ini juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Untuk itu,
peneliti melakukan wawancara pada responden yang dianggap bisa memberikan
penjelasan lebih detail tentang masalah yang hendak diteliti. Pengumpulan data
dengan menggunakan metode wawancara diawali terkait fenomena umum obyek
penelitian. Hal ini dalam rangka membangun hubungan (relasi) dan mencari
informan kunci yang tepat. Selanjutnya wawancara mendalam tentang pokok
permasalahan penelitian dengan para informan kunci. Wawancara mendalam
digunakan untuk orang-orang atau pihak yang menjadi pelaku politik seperti, tim
sukses, politisi, birokrat, yang paham dan kompeten untuk berbicara tentang
pemilukada ini.
Dalam wawancara ini, adapun nama-nama target yang ingin diwawancarai
adalah sebagai berikut :
1. Drs. H. Muslimin Bando (Bupati terpilih)
2. H. Amiruddin SH (Wakil Bupati terpilih)
3. Drs. H. Mustamin Amir (Kandidat Bupati Enrekang 2013)
4. Drs. Muzakkir (Kandidat wakil Bupati 2013)
5. Hairul Latanro (SEKDA Enrekang)
49
6. Idris Sadik ( Anggota DPR/Politisi Golkar)
7. Andi Henra (Anggota DPR/Politisi Hanura)
8. Andi Sahar SH, M,Si (Politisi PAN)
9. Muh. Adnan Syah (Politisi PBB)
10. Asman (Anggota DPR/Politisi NASDEM)
11. Suparman (Birokrat)
12. Oji Ismail ( Tim Sukses kandidat Bupati 2013)
13. Rahmawati karim (Anggota KPUD. Enrekang)
14. Responden yang kapabelmemahami tentang perilaku memilih diwilayah
sekitarannya.
Adapun jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur,
agar materi wawancara dapat terfokus. Selain itu peneliti juga menggunakan
wawancara bebas atau wawancara non struktur, agar dapat mengungkap temuan
secara lebih luas dan komprehensif, sehingga memungkinkan adanya peluang
untuk menemukan hal-hal baru yang belum pernah terungkap selama ini. Jenis
wawancara bebas yang terkesan santai ini akan menghilangkan kekakuan
komunikasi dan yang terpenting adalah meminimalkan kesan rekayasa jawaban
yang diberikan oleh subyek penelitian.
3. Studi Dokumentasi
Dalam studi teknik dokumentasi ini, yang menjadi sumber data adalah buku
tentang Enrekang, dan catatan-catatan lain. Namun yang tidak kalah pentingnya
adalah dokumen hasil perolehan suara pemilihan bupati kabupaten Enrekang 2013
dari KPUD Kab. Enrekang.
50
1.8.6 Teknik Pengolahan Data
Sebelum data dianalisis maka data yang didapat dilapangan harus diolah
terlebih dahulu. Teknik pengolahan data merupakan tahapan dimana data
dipersiapkan, klasifikasikan, dan diformat menurut aturan tertentu untuk
keperluan proses berikutnya yakni analisis data.
Data yang didapat akan diolah melalui beberapa proses, yaitu:
1. Coding, pengolahan data berdasarkan kategori-kategori tertentu dan
memberikan kode-kode tertentu pada masing-masing kategori.
2. Editing, semua data yang peroleh diteliti sesuai dengan analisis yang
dibutuhkan.
3. Tabularing, membuat tabel-tabel yang sesuai dengan analisis yang
dibutuhkan.
1.8.7 Metode Analisa Data
Menurut Sugiono (2010), teknik analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Untuk
menjawab permasalahan dan mencapai tujuan dari penelitian ini, maka untuk
teknik analisis data, penulis menggunakan regresi linier berganda dengan bantuan
software Statistical package for the social sciences (SPSS 17). Sebelum
51
melakukan analisis regresi linier berganda, maka dipersyaratkan untuk melakukan
uji pra-syarat berupa uji asumsi klasik.
1. Uji Asumsi
Menurut Gujarati (2006) agar model regresi tidak bias atau agar model regresi
BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) maka perlu dilakukan uji asumsi klasik
terlebih dahulu. Beberapa uji asumsi yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Uji Normalitas
Uji asumsi normalitas untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi,
variabel dependen dan variabel independen atau keduanya mempunyai distribusi
normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau
mendekati normal. 51 Mendeteksi data berdistribusi normal dapat melihat pada
nilai sig Kolmogorov-Smirnov. Jika nilai sig >0,05 maka data dapat dikatangan
berdistribusi normal. 52
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji asumsi ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam suatu model
regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual dalam suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain, jika varian dari residual dalam satu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap maka disebut homoskedostisitas. Jika varian berbeda
disebut
heteroskedostisitas.
Model
regresi
yang
baik
tidak
terjadi
heteroskedastisitas.53 Mendeteksi heterokedasitas dapat dilakukan dengan melihat
51
Santoso, S. (2002). Statistik Parametrik. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Utama.
Sujarweni, V. W. (2008). Belajar Mudah SPSS Untuk Penelitian Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Penerbit Ardana Media.
53
Ibid
52
52
gambar scatterplot, jika titik yang ada menyebar dan tidak membentuk pola
tertentu, maka data tidak mengalami heterokedasitas. 54
c. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas artinya antara variabel independen yang satu dengan
varaibel dependen yang lain dalam model regresi tidak saling berhubungan secara
sempurna
atau
mendekati
sempurna.
Untuk
mengetahui
ada
tidaknya
multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF (varian inflation factor). Jika VIF
yang dihasilkan diantara 1-10 maka tidak terjadi multikolinieritas.55
d. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu
variabel. Menurut Santoso (2002), ada beberapa kriteria yang mendekati
autokorelasi yaitu pertama apabila DW dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif,
kedua apabila DW diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi, ketiga
apabila DW diatas +2 berarti autokorelasi negatif.
2. Regresi Linier Sederhana
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis regresi linier berganda.
Analisis ini fungsi utamanya untuk mengetahui pengaruh variabel X (dua atau
lebih dari dua) terhadap variabel Y. Adapun model penelitian yang dibangun
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ŷ = b0 + b1.X
Keterangan:
Ŷ
54
55
: Perilaku memilih
Ibid
Ibid
53
X
: Politik uang
b
: Konstanta
b1
: Koefisien regresi
a. Uji Koefisien Regresi Secara Individu (t-test)
Secara parsial, pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t-test. Menurut
Ghozali (2005) “uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh
satu
variabel
penjelas/
independen
secara
individual
dalam
menerangkan variabel dependen”.
Kriteria hipotesis yang diajukan adalah :
Ho
:
bi
= 0 (tidak ada pengaruh antara variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial)
Ha
: bi
 0 (ada pengaruh antara variabel independen terhadap
variabel dependen secara parsial)
Dengan menggunakan taraf signifikansi () = 5%, sehingga kriteria
pengujiannya adalah:
1) Apabila sig. t < 0,05, maka Ho ditolak.
2) Apabila sig. t > 0,05, maka Ho diterima
3. Analisis Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi( R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalammenerangkan variasi variabel dependen. Nilai (R 2) yang
kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen memberikan variasi
variabel dependen. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang
(crossection) relatif rendah karna adanya variasi yang besar antara masing-masing
54
pengamatan, sedangkan untuk data runtun waktu (time series) biasanya
mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi.
1.9 Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam lima bab. Lima bab tersebut di gambarkan kemasingmasing sebagai berikut:
Bab I, merupakan pendahuluan atau berupa proposal tesis. Bagian pertama
yakni latar belakang, mengurai tentang topik penelitian. Bagian permasalahan
berisi uraian mengenai pokok-pokok permasalahan penelitian. Bagian tujuan
penelitian berisi maksud dan tujuan penulisan tesis. Pada bagian kerangka teori,
menyajikan teori-teori yang relevan dengan pokok permasalahan. Berangkat dari
latar belakang arena penelitian, pada bagian selanjutnya terdapat hipotesis sebagai
asusmsi dasar untuk memudahkan dan memahami nalar atau lokus pada kajian
penelitian ini. Pada sub selanjutnya terdapat bagian devenisi konseptual dan
devenisi operasional untuk mempermudah kerangka penelitian ini. Selanjutnya
pada bagian metodologi penelitian, menjelaskan bagaimana penelitian ini
dilakukan yang berisi teknik pengambilan data, teknik pengolahan data dan
bagaimana data dianalisis, lalu ditutup dengan bagian sistematika penulisan yang
menguraikan susunan penulisan tesis ini.
Bab 2 adalah bab yang diberi judul pelaksanaan pemilukada tahun 2013 di
kabupaten Enrekang. Bab ini merupakan gambaran umum mengenai kabupaten
Enrekang yang menjadi daerah penelitian ini. Gambaran tersebut meliputi kondisi
demografis obyek penelitian. Bagian ini berguna dalam memberikan kondisi
daerah yang dijadikan area penelitian. Setelah gambaran umum tersebut akan
55
dipaparkan juga dalam bab ini mengenai pelaksanaan Pemilukada yang meliputih
dinamika proses pemilukada, penjelasan tentang populasi masyarakat Enrekang
yang meliputih tingkat usia, pendidikan, pekerjangan dan penghasilan.
Selanjutnya akan uji asumsi data yang meliputih uji normalitas, uji
heteroskedastisitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan regresi liniar
sederhana. Pada bab ini juga akan mengurai uji hipotesis baik secara uji koefisien
individual maupun koefisien determinasi. Diakhir bab ini akan dijelaskan tentang
analisis deskriftif variabel yang mana akan menguji tentang tanggapan responden
terhadap variabel perilaku memilih dan tanggapan responden terhadap variabel
politik uang.
Bab 3 adalah partisipasi politik dan perilaku pada pemilukada Enrekang
2013. Pada bagian ini menjelaskan tentang gambaran umum partisipasi politik
pada pemilukada Enrekang 2013. Bagian ini pula menjelaskan tentang derajat
partisipasi politik masyarakat Enrekang dengan indikator seperti tanggapan
responden tentang pemilihan jujur dan adil pada pemilukada, figur pasangan
calon, mengukur pilihan pasangan calon responden, mengetahui dayang tarik
pasangan pemilih, dan mengetahui partisipasi masyarakat dalam kampanye. Di
dalam bab ini juga menjelaskan tentang perilaku memilih masyarakat dalam
pemilukada Enrekang 2013. Hal ini akan menjelaskan perilaku memilih
masyarakat dalam menentukan pilihannya. Juga pada akhir bagian ini akan
mengukur derajat pendekatan masyarakat dalam menentukan pilihannya seperti
halnya pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan rational choice yang
meliputih beberapa indikator-indikator yang telah ditentukan.
56
Bab 4 adalah politik uang dalam pemilukada Enrekang tahun 2013. Dalam
bab ini akan dijelaskan mengenai lalu lintas terjadinya politik uang dan akan
dijelaskan pula tentang praktek-praktek politik uang yang mempengaruhi perilaku
pemilih sehingga menghasilkan analisa yang komprehensif, bukan saja dari
penjelasan angka tetapi juga penjelasan yang mengetahui perihal kondisi
pemilukada tersebut. Pada bagian akhir bab ini pula akan dijelaskan secara lebih
dalam antara tautan faktor politik uang dan faktor-faktor lainnya dalam
menentukan/mempengaruhi pilihan pemilih.
Bab 5, bagian penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian dilakukan. Ini
merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam bagian
permasalahan. Selain simpulan, pada bab ini juga akan berisi tentang implikasi
dari penelitian terhadap teori digunakan dalam tulisan ini.
57
Download