Sekripsi PERAN CENTRE FOR DIALOGUE AND

advertisement
PERAN CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG
CIVILISATIONS (CDCC) DALAM RANGKA PENGUATAN RUANG
PUBLIK YANG BEBAS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh :
Amir Fiqi
NIM: 105032201061
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2011
ABSTRAK
Amir Fiqi, Peran Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas, Jurusan Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011.
Pasca keruntuhan Orde Baru yang otoriter dan terbentuknya era baru, yaitu era
roformasi, ruang publik yang bebas terbuka bagi masyarakat dengan memberikan
tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka
dengan wujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat,
kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri,
kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan kebebasan
berkumpul untuk berdiskusi dan berdialog.
Pada skripsi ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana peran Centre for
Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan
ruang publik yang bebas khususnya dalam segmen dialog. Pada skripsi ini penulis
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dengan mengamati
data-data yang diperoleh di lapangan. Pada skripsi ini, penulis menggunakan
observasi partisipasi, wawancara dan dokumen sebagai teknik mengumpulkan
data.
Peran yang dilakukan oleh CDCC adalah memfasilitasi ruang publik yang bebas
dan independent kepada warga yang berbeda latar belakang agama atau budaya
untuk berbicara, berdiskusi dan berdialog untuk membincangkan masalahmasalah agama bahkan masalah negara guna melakukan kritik dan kontrol
terhadap pemerintah guna terbentuk good governancd.
Dalam melakukan dialog CDCC mengambil segmen masyarakat elit seperti
tokoh-tokoh agama, kalangan pemerintahan, aktivis dan budayawan, bukan
masyarakat akar rumput. Meskipun mengambil segmen elit akan tetapi mereka
tidak bersikap elitis karena pertemuan-pertemuan (dialog) yang diadakan CDCC
selalu mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat bawah yang selalu tersisihkan dengan kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan oleh pemerintah. CDCC juga konsen dalam dialog-dialog yang
berkenaan dengan agama dan keyakinan dengan selalu melakukan pertemuanpertemuan antar pemeluk agama yang berbeda guna terwujud masyarakat yang
pluralis dan toleran.
Sebagai bentuk dari implementasi peran CDCC dalam upaya pembentukan ruang
publik yang bebas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka CDCC
melakukan dialog atau diskusi. Bentuk dari dialog atau diskusi yang dilakukan
CDCC adalah dialog antar umat beragama, dialog tentang politik, dialog budaya
dan dialog berkaitan tentang ekonomi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur terhatur ke hadirat Dzat Yang Maha Ghofur, atas karunia, rahmat,
hidayah dan inayah-Nya, diri ini masih sempat menghirup udara segar dan
menatap juntai panorama yang indah. Atas kebesaran-Nya diri ini masih tabah
menghadang pongahnya kehidupan yang bertabur debu problematika. Atas
bimbingan-Nya, terbatik rasa sadar bahwa hidup ini adalah sebuah ujian bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman. Syahdan, atas pertolongan-Nya, skripsi ini
dapat terselesaikan.
Salawat dan salam teriring mahabbah terindah semoga tercurahkan keharibaan
Nabi Agung Muhammad SAW, suri tauladan sepanjang hayat. Semoga kita semua
di padang mahsyar nanti termasuk ke dalam barisan yang berada di balik liwaul
hamdani, di bawah naungan syafa’ah uzma-Nya, sebagai hamba-hamba yang
diberi inayah untuk mengikuti segenap petunjuk risalah-Nya.
Penulis sadar bahwa sepenuhnya diri ini berhutang budi kepada banyak pihak
yang telah memberikan dukungan, motifasi, bimbingan dan arahan untuk
terselesaikannya skripsi ini. Lebih dari itu, skripsi merupakan seteguk air segar
dalam kemarau studi yang penulis tempuh selama ini.
Sembah bakti, penulis haturkan kepada Ayah (Kasduri) dan Ibu (Suritah) yang
telah membesarkan dan membimbing penulis hingga sampai sekarang. Mohon
maaf jika anak Ayah dan Ibu belum bisa menjadi apa yang engkau harapkan.
Terimakasih Ayah, karena engkau penulis menjadi anak yang bertanggung jawab
dalam menghadapi masalah dalam hidup ini. Terima kasih Ibu, kasih sayang Ibu
tak pernah lekang oleh waktu telah membuat anakmu mampu bertahan di bawah
terik mentari kehidupan dengan do’a-do’a yang selalu ibu panjatkan kepada Allah
SWT di sela-sela sholat mu.
Tak lupa, penulis juga menyampingkan terima kasih tak terhingga kepada orangorang yang telah menanamkan jasa dalam diri penulis antara lain:
1.
Prof. Dr. Baktiar Efendi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2.
Bapak Ahmad Abrori, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar
membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3.
Keluarga besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta segenap dosen,
karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan
fasilitas bagi penulis dalam rentang waktu selama di kampus tercinta ini.
4.
Terima kasih kepada kakak ku, mba Nur Hidayati yang selalu memberikan
bantuan baik moril dan finansial selama adikmu kuliah, semoga Allah
membalas kebaikan mba, adikmu janji tidak akan mengecewakan mu. Terima
kasih juga untuk mas Guntur, mas Rohidin, mba eti, mba Eli, mas Firman,
dan mba Fatimah, mas Wahyu (kakak ipar) dan adik ku Rifa, kau lah adalah
permata hati ku yang paling berharga dalam hidup ini.
5.
Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat:
terima kasih IMM, engkaulah adalah kampus kedua bagiku. Kerenamu, diri
ini mengerti arti penting dari organisasi. Terima kasih juga untuk teman
sejatiku Jajang dan Toto yang selalu menemananiku di kala susah dan senang,
walaupun kadang sengit kepada tingkah-tingkahmu, tapi rasa sengit itu
terkalahkan dengan rasa sayang sebagai sahabat. Terima kasih kepada teman
seperjuanganku, Indra, Rizal, Ipin, Tarsih, Ayu, Sita, dan Ningsih yang selalu
setia berjuang mengembangkan IMM dan teman-teman yang lain yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu.
6.
Adik-adikku yang sedang berjuang: Fahmi, Mayang, Amel, Farah, Rina,
Dimas, Beni dan seluruh Pengurus angkatan Fahmi. Jaga komitmen dan
kesolidan untuk kejayaan IMM.
7.
Teman-teman mahasiswa Sosiologi Agama angkatan 2005: Jajang, Ade,
Alfan, Ariel, Rosidi, Oji, Wahyu, Iwes, Harum, Zakiyah, Sri, Nuri, Uli,
Nursakinah, dan teman-teman yang lain yang tak tercantum. Penulis bangga
dengan teman-teman, tetap jaga persahabatan kita.
8.
Terimakasih yang tak terlupakan kepada Wahyu Ardila (Ia)
yang selalu
membantu penulis dalam mencari buku dan selalu memberi motivasi dan
mengingatkan penulis agar cepat-cepat lulus kuliah. Dorongan dari mulah
penulis selalu semangat ketika diri ini lemah.
Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon, semoga amal shalih yang
telah dilakukan senantiasa memperoleh inayah dan ridha dari Allah SWT, Amien.
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. .............................................................................................. Latar
Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. .............................................................................................. Pemb
atasan dan Perumusan Masalah .................................................... 4
C. .............................................................................................. Tujua
n dan Manfaat Penelitian .............................................................. 5
D. .............................................................................................. Meto
dologi Penelitian ........................................................................... 5
E. .............................................................................................. Liter
atur Review .................................................................................. 8
F. .............................................................................................. Siste
matika Penulisan .......................................................................... 9
Bab II Kajian Teori
A. Peran
1. ........................................................................................ Defin
isi Peran ................................................................................. 12
2. ........................................................................................ Tinja
uan Sosiologis Tentang Peran ............................................... 13
B. .............................................................................................. Ruan
g Publik dan Civil Society ............................................................ 16
C. .............................................................................................. Dialo
g Antar Umat Beragama
1. ........................................................................................ Defin
isi Dialog ............................................................................... 27
2. ........................................................................................ Urge
nsi Dialog Antar Agama ........................................................ 30
3. ........................................................................................ Bent
uk-Bentuk Dialog .................................................................. 31
Bab III Gambaran Umum Centre for Dialogue and Cooperation among
Civilisations (CDCC)
A. Profile CDCC
1. .......................................................................................... Latar
Belakang CDCC ...................................................................... 35
2. .......................................................................................... Misi
CDCC ...................................................................................... 36
3. .......................................................................................... Visi
CDCC ...................................................................................... 36
4. .......................................................................................... Progr
am CDCC ................................................................................ 37
5. .......................................................................................... NilaiNilai Perjuangan CDCC .......................................................... 40
6. .......................................................................................... Struk
tur Organisasi .......................................................................... 42
Bab IV Peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik.
A. .............................................................................................. Latar
Belakang CDCC Membangun Dialog .......................................... 45
B. .............................................................................................. Imple
mentasi Dialog CDCC Dalam Penguatan Ruang Publik ............. 54
1. .......................................................................................... Mem
bangun Dialog Antar Umat Beragama .................................... 57
2. .......................................................................................... Mem
bangun Dialog Politik .............................................................. 67
3. .......................................................................................... Mem
bangun Dialog Budaya ............................................................ 74
4. .......................................................................................... Mem
bangun Dialog Ekonomi .......................................................... 81
Bab V Penutup
A................................................................................................ Kesi
mpulan ........................................................................................... 92
B. ............................................................................................... Saran
93
Daftar Pustaka
Lampiran-Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Muhammad AS. Hikam, konsep Civil Society
merupakan wawasan yang berasal dari Eropa Barat. Menurutnya,
pengertian Civil Society (dengan memegang konsep de’ Tocquiville)
adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self
generating), dan keswadayaan (self supporting) dan kemandirian
tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan dengan norma-norma
atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya1.
Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang
menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri,
tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material dan tidak terserap
dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Oleh dari itu maka di
dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free
public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa
1
Muhammad AS. Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia: Mencari Konsep,
Keberadaan dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia (Jakarta: LP3ES,1998), h.5-8
dilakukan oleh warga masyarakat.2
Dalam
penegakan
civil
society pada suatu bangsa maka diperlukan pilar-pilar penegak untuk
mewujudkan nya. Pilar penegak tersebut adalah institusi-institusi yang
menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritiki
kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan
aspirasi
masyarakat
yang
tertindas.
Dalam
penegakan Civil Society, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak
bagi terwujudnya kekuatan masyarakat. Pilar-pilar tersebut antara lain
adalah Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), Pers, Supremasi Hukum,
Perguruan Tinggi dan Partai Politik.3
Pada pembahasan ini kami hanya menekankan pada salah satu dari
lima pilar penegak tersebut, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah
organisasi yang didirikan oleh perorang ataupun kelompok orang yang
secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum
tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal
juga sebagai Organisasi non pemerintahan (bahasa Inggris: Non
Governmental Organization; NGO).4
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam sebuah komunitas negara
mempunyai fungsi mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan
negara (Policy of State) yang cenderung memposisikan warganya
sebagai subjek yang lemah. Untuk itu, maka diperlukannya penguatan
masyarakat sebagai prasyarat untuk mencapai kekuatan bargaining
2
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat (Jakarta: Kencana,2003), h. 141
3
Dede Rosyada , dkk. h. 250-252
4
Herdi SRS, LSM Demokrasi dan Keadilan Sosial: Catatan Kecil Dari Arena
Masyarakat Dan Negara ( Jakarta:LP3ES dan YAPPIKA, 1999).
masyarakat yang cerdas di hadapan negara tersebut. Oleh karena itu
dengan adanya komponen yang penting berupa adanya lembagalembaga swadaya masyarakat yang mampu berdiri secara mandiri di
hadapan negara, terdapat ruang publik dalam mengemukakan
pendapat, menguatkan posisi kelas menengah dalam komunitas
masyarakat.
Pada skripsi kali ini, penulis akan membahas sebuah tema, yaitu Peran
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC)
Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas.
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC)
adalah sebuah LSM yang didirikan pada bulan Juni tahun 2007 oleh
para sarjana dan aktivis dari berbagai lembaga baik dari Lembaga
Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan pemerintah. Centre for
Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) bertujuan
untuk memajukan pemahaman yang lebih baik dan hubungan
perdamaian antara agama, budaya, bangsa dan peradaban yang luas.
Centre for dialogue and cooperation among Civilisations (CDCC)
dalam melihat perbedaan peradaban merupakan suatu ancaman dan
pertentangan, oleh
pandangan
yang
karena itu CDCC berupaya
berbeda
itu
menjadi
sebuah
menyatukan
kesempatan,
kesempurnaan dan penyatuan komponen untuk tumbuh, sehingga
tercapainya perdamaian dunia.
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC)
menyediakan tempat yang lebih untuk berdialog antara elite dan forum
publik yang mendiskusikan isu yang berkaitan antar agama, antar
budaya, dan hubungan internasional. Centre for Dialogue and
Cooperation among Civilisations (CDCC) juga menjembatani konflik
yang ada seperti mencegah beberapa kemungkinan konflik dengan
mempertemukan dan memfasilitasi ruang untuk melakukan dialog dan
diskusi berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi.
Sebagaimana disebutkan dalam profile CDCC, maka CDCC sebagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai perhatian dalam
upaya memberikan ruang publik yang bebas untuk melakukan dialog
dan diskusi yang berkenaan dengan masalah-masalah yang relevan
untuk segera ditangani. Walaupun CDCC dalam pembentukan ruang
publik yang bebas menurut pandangan penulis lebih bersifat elitis akan
tetapi mempunyai peran, khususnya terhadap para tokoh agama,
aktivitis dan akademisi yang aktif dalam diskusi dan dialog.
Sesuai dengan tujuannya, yaitu berusaha mengupayakan
terwujudnya perdamaian dunia dengan menghilangkan sekat-sekat
yaitu berupa agama, kebudayaan dan peradaban, Centre for Dialogue
and Cooperation among Civilisations (CDCC) juga mengupayakan
terciptanya masyarakat yang toleran dan demokratis melalui segmen
dialog dan kerjasama dengan membuka ruang publik yang seluasluasnya bagi warga yang ingin melakukan dialog dan berdiskusi untuk
membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi untuk segera
ditangani.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas maka penulis ingin
mengetahui bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation
among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik
yang bebas. Agar pembahasan skripsi ini tidak terlalu melebar, maka
dalam skripsi ini penulis menekankan dalam sebuah pembatasan dan
perumusan masalah yaitu,
1. Bagaimana peran CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas
terhadap masyarakat dengan mengedepankan sikap toleran dalam
kehidupan beragama melalui segmen dialog dan kerjasama.
2. Sejauh mana peran CDCC dalam melakukan kritik terhadap pemerintah.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan bagaimana
peran yang dilakukan Centre for Dialogue and Cooperation among
Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang
bebas terhadaap warga masyarakat guna terbentuknya masyarakat yang
toleran dan pluralis
serta kritis terhadap pemerintah yang sesuai
dengan karakteristik dari civil society.
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi para akademisi, dapat memberikan sumbangan teoritis untuk
menambah literatur atau bahan, referensi pada studi tentang LSM
2. Bagi para aktivis, khususnya aktivis LSM sebagai masukan atau saran
dalam mengembangkan program-program kegiatan dalam penguatan
ruang publik yang bebas.
D. Metodologi Penelitian
1.
Pendekatan Penelitian
Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metodologi kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati.5 Untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan,
maka penulis
menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan
melalui proses penelitian lapangan. Pada pendekatan ini, penulis
menggunakan metode deskriptif. Dengan metode ini penulis akan
mengemukakan dan menggambarkan bagaimana peran Centre for
Dialogue and Cooperation among Civilisations dalam rangka
penguatan ruang publik yang bebas, yaitu dengan menjelaskan
bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CDCC dan caracara yang dilakukan CDCC dalam upaya menciptakan masyarakat
yang toleran, pluralis dan kritis terhadap pemerintah.
5
Bungin, B, Penelitian Kualitatif ( Jakarta :Prenada Media Group,2007 )
2.
Unit Analisis.
Pada penelitian kali ini sebagai subjek dalam penelitian adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Centre for Dialogue and
Cooperation among Civilisations (CDCC) sebagai lembaga yang selulu
memfasilitasi ruang untuk berdialog dan berdiskusi guna terbentuknya
ruang publik yang bebas.
3.
Teknik Pengumpulan Data.
A. Observasi Partisipasi.
Observasi
partisipasi
(participant
observation)
adalah
metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian
melalui pengamatan dan pengindraan di mana observer atau peneliti
terlibat dalam subjek yang akan diteliti.6 Pada penilitian ini, penulis
melakukan pendekatan observasi partisipasi dengan cara mengikuti
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CDCC yaitu berupa kegiatan
dialog dan diskusi yang diadakan oleh CDCC.
B. Interview
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dengan teknik
wawancara. Menurut Imam Suprayogo dan Tabroni wawancara
merupakan metode penggalian data yang paling banyak digunakan,
baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama untuk penelitian
6
) h. 115
Bungin, B, Analisis Data Penelitian Kualitatif ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2003
yang bersifat kualitatif.7 Pada penelitian kali ini, penulis akan
mewawancari pengurus dari CDCC dan lembaga-lembaga lain yang
aktif dalam dialog dan diskusi yang diselenggarakan oleh CDCC.
C. Dokumentasi :
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang
berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah
berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, foto, dan
sebagainya. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan
dokumentasi guna untuk keberhasilan dan kevalidan data yang penulis
gunakan, yakni dengan menggunakan catatan-catatan yang telah ada
dan mencari artikel-artikel yang bisa membantu dalam penelitian kali
ini.
4.
Analisis Data
Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data.
Analisis
data
adalah
adalah
rangkaian
kegiatan
penelaahan,
pengelompokan, sistematisasi, penafsiran, dan verifikasi data agar
sebuah fenomena memilki nilai sosial, akademis dan ilmiah.8
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan analisa kualitatif
dengan data-data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi
secara mendalam untuk mendapatkan data yang diharapkan dalam
penelitian ini. Wawancara yang peneliti lakukan, berdasarkan hal-hal
yang kami inginkan dan bersifat tidak terstuktur. Pengamatan yang
7
Suprayogo, Imam dan Tobrani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama,(Bandung:PT
Remaja Rosdakarya,2003)
8
Suprayogo dan Tohorani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h.191
peneliti lakukan adalah hanya mencari data yang berkaitan tentang
peran yang dilakukan Centre for Dialogue and Cooperation among
Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang
bebas dan program kerja apa yang dilakukan untuk mencapai semua
itu baik di Indonesia mauapun di luar negeri. Setelah data-data yang
telah kami kumpulkan kemudian kami olah dalam narasi, kemudian
kami analisis dan disajikan secara deskriptif.
Sedangkan data-data dari buku, jurnal, artikel, makalah, dan karyakarya ilmiah lainnya adalah data-data sekunder yang penulis gunakan
untuk mendukung dan melengkapi data-data primer. Dalam penelitian
yang penulis lakukan adalah análisis data dimulai dari penetapan
masalah, pengumpulan data, penyajian data sampai kepada penarikan
kesimpulan.
E. Literatur Review
Sepanjang penelusuran penulis, sudah ada skripsi yang
membahas tentang CDCC akan tetapi tidak terkait tentang penguatan
ruang publik yang bebas. Pada
skripsi yang ditulis oleh Fauzia
Ningtyas, mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam pada
Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan judul Skripsi “Perspektif
Komunikasi Antar Budaya Untuk Perdamaian Kasus The 2nd World
Peace Forum CDCC” hanya membahas tujuan CDCC yang
mengusung nilai-nilai perdamaian dan berusaha melawan berbagai
tindak kekerasan yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain.
Skripsi
yang ditulis oleh Fauzia Ningtyas lebih membahas
tentang peran CDCC sebagai penyelanggara Forum Perdamaian Dunia
(World Peace Forum) yang membahas tentang tindak kekerasan dan
konflik yang terjadi di berbagai negara, pada forum itu menyimpulkan
bahwa kekerasan dan konflik itu terjadi tidak hanya disebabkan oleh
satu faktor melainkan oleh beberapa faktor berbeda yang saling
mendukung, seperti faktor agama, politik, bangsa, budaya dan bahkan
faktor ideologi pribadi.
Pada penulisan skripsi kali ini, penulis akan membahas tentang
hal yang berbeda. Pada penulisan skripsi ini, Penulis akan
memposisikan tentang peran CDCC
sebagai Lembaga Swadaya
Masyarakat dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas bagi
masyarakat melalui segmen dialog dan kerjasama demi terciptanya
masyarakat yang toleran dan kritis terhadap pemerintah.
F. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk karya tulis
skripsi dengan sistematika penulisan seperti dibawah ini :
1. Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjelaskan hal- hal seputar
latar belakang yang menerangkan alasan utama kami mengangkat tema ini.
Pembatasan dan rumusan masalah ini berfungsi agar penelitian kami tidak
terlalu melebar dalam penulisan dan dapat menangkap isu dengan jelas
sehingga tidak menimbulkan pertanyaan pertanyaan yang keluar dari
konteks yang sedang kami bahas. Tujuan dan manfaat penelitian
menjelaskan tentang apa tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini.
Metodelogi penelitian menjelaskan tentang bagaimana cara penulis
mengumpulkan data-data yang untuk memperoleh data yang valid.
Diskripsi konsep menjelaskan tentang sekilar teori yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini. Pada bab I penulis juga mencantumkan Review studi
terdahu guna menentukan posisi penulis dalam penelitian ini. Dan
sistematika penulisan menjelaskan bagaimana penulis menjelaskan
bagaimana skripsi ini ditulis dari Bab I sampai Bab V
2. Bab II : Kajian Teori. Pada Bab ini penulis membahas tentang definis
peran, dan definisi civil society. Pada ini penulis juga menjelas tentang
ruang publik menurut habermas dan menjelaskan tentang dialog antar
umat beragama. Pada Bab II penulis gunakan sebagai pisau analis penulis
pada Bab IV.
3. Bab III : Gambaran Umum CDCC ( Centre for Dialogue and Cooperation
among Civilisations ). Pada pembahasan bab ini kami membahas tentang
latar belakang berdirinya CDCC, tujuan dan struktur CDCC, dan Visi dan
misi dari CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas.
4. Bab IV: Bab IV ini penulis membahas tentang peran CDCC dalam rangka
penguatan ruang publik. Pada bab ini penulis akan menuangkan data-data
yang diperoleh dari penelitian menggunakan diskripsi data dengan
menjelaskan program- program kerja yang dilakukan oleh CDCC dalam
penguatan ruang publik.
5. Bab V : Penutup. Pada pembahasan bab ini kami akan menjelaskan hasil
dari penelitian yang kami lakukan, berupa kesimpulan. Pada bab ini kami
akan menuangkan berupa saran- saran yang mungkin harus kami
sampaikan dalam penelitian ini.
6. Terakhir kami mencantumkan daftar pustaka sebagai bahan acuan selama
kami menyusun skripsi ini, serta lampiran-lampiran berupa pertanyaanpertanyaan yang kami berikan kepada responden untuk memperoleh
kevalidan data.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Peran
1. Definisi Peran
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peran diartikan beberapa tingkah laku
yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat dan
harus dilaksanakan.9 Sedangkan menurut Gross, Mason dan A.W.MC,
sebagaimana yang dikutip oleh David Barry mendefinisikan peran sebagai
perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati
kedudukan sosial tertentu.10
Sebagaimana yang telah diterangkan dalam definisi peran diatas, maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa definisi peran adalah sesuatu yang lahir
dari interaksi dalam masyarakat, melalui partisipasi dalam memainkan peran
tertentu yang pada akhirnya ada proses penempatan status peranan seseorang
dalam keluarga, masyarakat dan sebagainya.
Seseorang dapat dikatakan berperan atau memiliki peran karena seseorang
tersebut mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan ini berbedabeda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing diri
memiliki peran yang sesuai dengan statusnya. Tentunya peran tersebut tidak dapat
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia ( Jakarta:
Balai Pustaka, 1998), h. 667
10
N. Gross W.S. Mason and A.W. Mc Eachern, Exploritations Role Analysis,
dalam David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), cet. Ke-3, h. 99
dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi
saling berhubungan antara satu sama lainnya. Karena yang satu dengan yang
lainnya sangat bergantung, maka peran diibaratkan sebagai dua sisi mata uang
yang tidak mungkin bisa dipisahkan.
Dalam hal ini, Sarlito Wirawan Sarwono juga memberikan pengertian
bahwa harapan tentang peran itu adalah harapan-harapan lain yang pada
umumnya mengartikulasikan tentang prilaku-prilaku yang pantas, dan seyogyanya
ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.11
2. Tinjauan Sosiologis Tentang Peran
Manusia adalah makluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari sikap
ketergantungan pada manusia lain. oleh kerena itu pada posisi semacam ini peran
sangat menentukan kelompok sosial masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan
masing-masing dari sosial masyarakat yang berkaitan agar menjalankan hak dan
kewajiban sesuai dengan kedudukan masyarakat dan lingkungan di mana mereka
tinggal.
Gross, Mason, dan Mc Eachern mendefinisikan peran sebagai seperangkat
harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial
tertentu.12 Dengan kata lain peranan-peranan tersebut ditentukan oleh normanorma dalam masyarakat yang mempunyai makna setiap individu dalam setiap
pekerjaannya diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh
masyarakat, keluarga dan pada peranan-peranan yang lain.
11
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (CV. Rajawali:
Jakarta,1984), Cet. Ke-1, h.235
12
David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h.100
Di dalam peran terdapat dua macam harapan, yaitu:13
1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran.
2. Harapan-harapan yang dimilki oleh si pemegang peran terhadap
masyarakat atau terhadap orang yang berhubungan dengannya dalam
menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.
Sebagaimana penjelasan di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang
dimaksud peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan yang dilakukan
seseorang kerena kedudukannya dalam status tertentu pada lingkungan di mana
dia berada. Dan setiap yang mempunyai peran itu biasanya bisa menyesuaikan
dengan peranan tersebut. Misalnya, seseorang ketika berada di rumah ia
mempunyai peran sebagai sebagai kepala rumah tangga, namun ketika di kantor ia
berperan sebagai karyawan dan sebagainya. Peran seperti ini sangat kompleks
tergantung pada mobilitas sosialnya.
Peran mencakup tiga hal, yaitu:14
1. Peran yang meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat.
2. Peran merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
13
Ibid., h. 101
14
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h.244
3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Perlu disinggung mengenai fasilitas-fasilitas bagi peran individu.
Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada invidu untuk dapat
menjalankan
peran.
Lembaga-lembaga
kemasyarakatan
atau
organisasi
merupakan bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk
pelaksanaan
peran.
Kadang-kadang
perubahan
struktur
suatu
golongan
kemasyarakatan menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah.
Bertolak dari sudut-sudut pandang di atas, peran sosial dapat didefinisikan
sebagai bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau
kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah
ditentukan.
Dari ganbaran di atas tentang peran, dapat disimpulkan beberapa aspek
yaitu:15
1. Peran sosial adalah bagian dari keseluruhan fungsi masyarakat. Fungsi
pada umumnya adalah suatu pengertian yang menunjukan pengaruh khas
dari satu bagian terhadap keseluruhan. Masyarakat sebagai keseluruhan
kesatuan hidup bersama mengemban tugas umu, ialah mencakupi
kepentingan umum yang berupa kesejahteraan spiritual dan material, tata
ketentraman dan keamanan.
2. Peran sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan.
Jika peran sosial ditinjau dari sudut lain yakni bagaimana pelaksanaannya,
15
Hendropuspito, Sosilogi Sitematik (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h.177-178
peran sosial adalah seperangkat pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang
harus diikuti oleh individu yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana
seseorang pengurus lembaga sosial yang fokus terhadap permasalahan
anak jalanan dengan mampu memahami karakter anak-anak jalanan,
bagaimana harus bersikap terhadap mereka.
3. Peran sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu, misalnya
sebuah LSM atau Yayasan.
4. Pelaku peran sosial mendapatkan tempat tertentu dalam tangga
masyarakat. Seperti halnya dengan suatu pementasan sebuah drama,
pelaku-pelaku yang menjalankan peran sosial diberi tempat dalam tangga
masyarakat.
5. Dalam peran sosial terkandung harapan-harapan yang khas dari
masyarakat. Setiap peranan sosial adalah sejumlah harapan yang hendak
diwujudkan, juga harapan dari orang banyak yang realisasinya diserahkan
kepada seorang atau beberapa pelaku. Isi harapan dari masyarakat adalah
supaya peran (tugas) sosial tersebut dilakukan menurut norma dan
peraturan yang telah ditentukan.
6. Dalam peran sosial ada gaya khaas tertentu. Setiap peran yang dipegang
oleh individu atau kelompok memiliki harapan yang berbeda sesuai
dengan konsennya.
Misalnya lembaga
yang menangani masalah
kerukunan antar umat beragama, maka penjiwaannya harus seperti
karakterisik orang-orang yang menghargai toleransi dan pluralitas.
B. Ruang Publik dan Civil Society.
CDCC merupakan bagian dari civil society yang mempunyai peran dalam
penguatan ruang publik yang bebas. Oleh kerena itu pada kajian teori ini penulis
ingin membahas tentang Ruang Publik dan civil society guna membantu dalam
penulisan skripsi ini.
Menurut penulis untuk mewujudkan ruang publik yang bebas maka harus
terbentuknya dulu civil society. Dalam pengembangan konsep civil society dalam
sebuah bangsa akan sangat terkait dengan prakondisi-prakondisi atau modalitas
domestik yang bangsa itu miliki. Sejarah membuktikan, bangsa-bangsa di dunia
yang memiliki tradisi civil society bagus selalu didahului oleh pengalaman sejarah
yang panjang dalam mendefinisikan civil society sesuai dengan konteks ruang dan
waktu masing-masing. Artinya, pengembangan tradisi kehidupan civil society
tidak mungkin dilakukan ditengah-tengah ruang historis yang kosong.
Pengaplikasian civil society pada hari ini akan terkait dengan kajadian historis
kemarin, dan pengaplikasian civil society kedepan akan sangat tergantung pada
pengembanagn konsep pada hari ini.16
Untuk mendefinisikan terma civil society sangat bergantung pada kondisi
sosial kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep civil society merupakan
bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.
Sebagai titik tolak, di sini akan penulis kemukakan beberapa definisi civil
society sebagaimana yang di paparkan Dede Rosyada.17
16
Masdar Hilmy, Islam Profetik; Substansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang
Publik (Yogyakarta: Kanisius,2008), h. 41
17
Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Edukation): Demokrasi, Hak
AsasiManusia dan Masyarakat Madani, h. 238-240
pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar
belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan civil society merupakan suatu masyarakat yang
berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing, satu sama lain guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan
yang menyangkut kewajiban mereka terhadap Negara. Oleh karenanya, maka
yang dimaksud civil society adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh dan
kekuasaan Negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara dalam
masyarakat ini diekspresikan dalam gambaran masyarakat yang individualisme,
pasar dan pluralisme.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-Joo dengan latar belakang kasus
Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa civil society merupakan sebuah kerangka
hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan
sukarela yang terbebas dari Negara, suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengkuti norma
dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada
akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam kontek
Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society adalah
suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri
menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat secara relatif
otonom dari Negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan
masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang
publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan menunjukan kepentingankepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang
mandiri.
Menurut Muhammad AS Hikam, pengertian civil society dengan
memegang konsep de Tocquiville adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaaan, dan
keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara dan keterkaitan
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.18
Sejalan dengan penjelasan definisi civil society yang penulis paparkan di
atas, penulis akan menghubungkan dengan penulisan skripsi ini yang berkaitan
dengan penguatan ruang publik yang bebas. Definisi civil society dalam penelitian
ini adalah suatu lembaga yang murni dibentuk oleh
masyarakat sipil
yang
menyediakan ruang publik yang bebas dari pengaruh negara dan independent
untuk membicarakan atau mendiskusikan hal-hal yang relevan yang sedang
dihadapi oleh warga negara, baik dalam hal ekonomi, agama dan politik.
Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang
menjalin berlangsungnya prilaku, tindakan
dan refleksi mandiri, tidak
terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terperangkat di dalam
jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu
ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa
18
Muhammad AS Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia; Mencari
Konsep , Keberadaan, dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia (Jakarta:
LP3ES,1998), h. 5-8
dilakukan oleh warga masyarakat. Hanya dalam ruang publik yang bebas, secara
normatif tiap individu dalam posisi yang setara dapat melakukan transaksi wacana
dengan dialog atau diskusi dan praksis politik secara sehat, tanpa distorsi dan
represi, baik fisik maupun psikis.
Ruang publik (public sphare) merupakan bagian dari karekteristik Civil
Society. Untuk merealisasikan wacana tersebut diperlukan prasyarat-prasyarat lain
yang menjadi nilai universal dalam penegakan Civil Society. Prasyarat ini tidak
bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja,
melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai
bagi eksistensi wacana tersebut. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya
Free Public Sphare, Demokrasi, Toleransi, Pluralisme, dan keadilan sosial.19 Tapi
pada pembahasan kali ini penulis lebih menekankan pada masalah ruang publik.
Gagasan ruang publik atau Public Sphere merupakan gagasan yang belum
cukup tua. Dalam hal ini filsuf Jerman Jurgen Habermas (lahir 1929) dianggap
sebagai pencetus gagasan tersebut, sekalipun sebagian orang menganggap benihbenih pemikiran ruang publik sudah dikemukakan oleh sosilogis dan ekonomis
Jerman Maximilian Carl dan Emil Weber (1864-1920). Jurgen Habermas
mengenalkan gagasan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der
Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft.
Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public Sphere:
an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.
19
Dede Rosyada, dkk, h.247
Sebenarnya apa arti dari publik itu? Apakah setiap kerumunan massa
dengan sendirinya dapat diidentifikasi sebagai publik? Apakah massa yang diam
dapat disebut publik? Apakah publik dilahirkan secara alamiah, ataukah perlu
dibangun?
Jawaban dari pertanyaan alenia di atas sebagai berikut, Publik adalah
warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingankepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian
menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan
mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik
bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik bukan kerumunan massa yang
diam (mass of silent), dan publik itu tidak timbul secara alami, publik harus
dibangun dengan kesadaran warga yang kritis terhadap masalah yang dihadapi.20
Sedangkan ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan
kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers,
kebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan,
kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela
komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.
Konsep ruang publik dalam filsafat politik Habermas banyak mendapat
inspirasi dari konsep tindakan politiknya Hannah Arendt dalam bukunya The
Human Condition. Tetapi Habermas mengkritik Arendt bahwa konsep politiknya
terlalu sempit. Kekuasaan seperti kata Arendt “terjadi di antara manusia-manusia,
20
Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar
Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), h. 269-270
jika mereka bertindak bersama, dan lenyap jika mereka bubar”.21 Kekuasaan
komunikatif itu terbentuk dalam forum-forum diskusi publik, dalam gerakangerakan sosial, dan juga di dalam DPR/MPR saat legislasi hukum. Di samping itu,
menurut Habermas, Arendt tidak sensitif terhadap kemungkinan adanya
manipulasi komunikasi di antara mereka yang mengaku berjuang demi kedaulatan
rakyat dan HAM. Menurut Habermas, kekuasaan komunikatif itu baru terbentuk
lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim kesahihan yang terbuka terhadap kritik
dan dicapai secara diskursif. Dengan kata lain, legitimitas suatu keputusan publik
diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi yang menyambungkan
aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga
legislatif dalam sistem politik.22
Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk
opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan
generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam tradisi teori politik,
kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai
bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi yang dimaksud
Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis karena
bersandar pada etika diskursus.23
Ruang publik dalam pemikiran Habermas lebih condong pada ruang
publik politik. Jurgen Habermas mengakui bahwa politik memang mengandung
21
Hannah Arendt, The Human Condition, (Chicago : The Chicaco University
Press, 1958), h. 252
22
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat,
Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)
h. 140
23
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan
Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)
ruang serba mungkin yang besar, tetapi ini tidak berarti bahwa politik hanya bisa
dilegitimasikan. Politik bisa dirasionalkan, sekurang-kurangnya dewasa ini
kecenderungan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi
keputusan kehendak politis itu menunjukan gejala yang disebutnya “pengilmiahan
politik”.24Habermas membaca kecenderuangan ini yang dituangkan dalam sebuah
esai The Scientizition of Politics and Public Opinion. Yang menjadi keprihatinan
yang mendasari analisanya adalah terciptanya masyarakat yang demokrasi dan
rasional, artinya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang
merdeka dan memulihkan kedudukan manusia sebagai subjek-subjek yang
mengelola sejarahnya.25
Berbicara mengenai “politik” demikian lazimnya anggapan orang, adalah
berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Politik dalam
arti yang seluas-luasnya adalah dimensi kekuasaan
yang mengatur dan
mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Persoalan yang terus muncul
disini adalah siapakah yang berhak mengatur atau mengarahkan kehidupan sosial
itu, dan sebagaimana pengaturan dan pengarahan tersebut dilaksanakan. Secara
lebih mendasar, persoalannya adalah manakah politik yang diterima oleh semua
pihak dalam sebuah masyarakat. Ini menyangkut legitimasi. Sebuah kekuasaan
harus diligitimasi agar efektif pada semua pihak. Kekuasaan itu sekurangkurangnya harus tampak benar dihadapan pihak-pihak yang dikuasai.26
Mengapa politik harus dilegitimasikan? Ada banyak jawaban, akan tetapi
kita akan digiring ke sebuah jawaban mendasar bahwa politik itu irasional, dalam
24
Jurgen Habermas, Toward a Rational Socity, (London: Heinemann,1971) h.62
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, h. 145
26
Ibid., h.143
25
artian unsur-unsur kehendak manusia mengatasi unsur pengetahuannya. Dalam
kehidupan sosial, ada segi kehidupan rutin yang bisa diantisipasi, terjadi dalam
pola-pola yang mapan dan diandaikan begitu saja, tapi ada juga segi kehidupan
yang menghadapkan manusia pada pilihan-pilihan yang serba mungkin untuk
mengubah atau mempertahankan kehidupan sosial itu. Karena serba mungkin,
maka segi politik kehidupan sosial ini menuntut keputusan kehendak. Supaya
keputusan kehendak ini memasuki segi kognitif yang dikuasai, dibutuhkan
legitimasi. Akan tetapi dengan legitimasi, politik bisa saja tetap irasional, sebab
bagaimanapun, ruang serba mungkin yang menuntut keputusan kehendak itu tetap
besar, dan keputusan kehendak tidak selalu didasari oleh pertimbangan rasional.
Rasionalisai kekuasaan pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam
arti bentuk-bentuk komunikasi umum dan publik yang bebas dan terjamin secara
institusional. Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh
diskusi publik yang kritislah yang merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan.
Diskusi semacam itu hanya mungkin dilakukan dalam suatu wilayah sosial yang
bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The public Sphare, Habermas
melihat perkembangan wilayah sosial semacam itu dalam sejarah masyarakat
modern. Wilayah itu disebutnya “Ruang publik”. Semua wilayah kehidupan sosial
kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik dapat disebut ruang
publik.27
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan
Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis
27
Ibid., h. 151
sebagai kondisi-kondisi komunikasi
yang memungkinkan warga negara
membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.28 Pertanyaannya
sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?
Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita
menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten
digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi
di dalam ruang publik politis itu.
Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang
sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra
komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan
bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.
Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari
represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus
dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis
harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan". Penulis dapat menambahkan
ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini
sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa
pun.
Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam
masyarakat majemuk? Jika penulis berfikir seperti analisis Habermas, penulis
membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar,
yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan
28
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)
h.132-134
solidaritas sosial (masyarakat). Lokus ruang publik politis terletak pada komponen
solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang
membedakan diri baik dari pasar maupun dari negara.
Pada
era
globalisasi
pasar
dan
informasi
dewasa
ini,
sulitlah
membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari
pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi,
dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar,
entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir
tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian,
ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif", yaitu ruang publik itu
berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara
bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat
secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita
menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi
advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan
politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warungwarung, dan seterusnya.
Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan
homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks seperti yang berukuran
gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya
dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek
kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktoraktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik
politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri
atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk
menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik
politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat.
Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang
publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang
dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti
keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti
media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan
diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar).
C. Dialog Antar Umat Beragama.
Dalam rangka pengutan ruang publik yang bebas terhadap warga, CDCC
lebih mengambil segmen dialog dan kerjasama antara agama yang berbeda dan
kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu, pada kajian teori ini penulis
mengangkat
tentang dialog antar umat beragama. Dengan melakukan dialog
maka ruang publik akan mudah terbentuk.
1.
Definisi Dialog.
Dialog dapat diartikan sebagai komunikasi antara dua orang atau lebih atau
dua pihak yang berbeda pandangan.29 Dalam keperbedaannya masing-masing
pihak saling belajar dan berbagai pengalaman satu terhadap yang lainnya.
Sedangkan menurut Swidler, dialog bukanlah debat, bukan pula saling
mengancam, tetapi merupakan suatu percakapan antara dua orang atau lebih
29
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: karya Utama,2002), h.113
tentang suatu masalah bersama namun memiliki pandangan yang berbeda yang
mempunyai tujuan pokok untuk saling mendengar, dan saling belajar satu sama
lain secara terbuka dan simpatik sehingga diharapkan terjadi perubahan sikap
kearah yang lebih positif.30
Mengacu pada definisi kata dialog diatas maka penulis mendefinisikan
dialog merupakan suatu cara dimana dua orang atau lebih (masyarakat) untuk
membicarakan perbedaan atau persamaan dari
masing-masing dengan tujuan
untuk saling belajar dan mengetahui dengan cara damai sehingga tercipta
masyarakat yang toleran terhadap perbedaan.
Apabila penulis kaitkan dengan dialog antar umat beragma dari tujuan
dialog yang yang telah dijelaskan oleh Swidler, penulis bisa mengambil
kesimpulan bahwa dialog juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu untuk
menunjukan rasa hormat terhadap agama yang berbeda dan perhatian terhadap
kepercayaan dan para pemeluk agama lainnya. Dengan cara ini, sebagai umat
beragama harus senantiasa bersikap hati-hati dalam menentukan pemikiranpemikiran apa saja berkenaan dengan pemahaman akan Tuhan yang serupa,
memilki kesamaan ataupun sama sekali berbeda.
Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam
kehidupan sosial masyarakat. Dialog sangat dibutuhkan dalam menjalani hidup
ditengah pluralisme. Pluralisme itu muncul dalam berbagai macam ragam dan
bentuk yang meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme
keyakinan, pluralisme kepentingan, pluralisme etnis, pluralisme status sosial,
30
Leonard Swidler, After the Absolute: The Dialogical Future of Religion
Reflection (Philadelpia: Augsburg Fortess,1990), h.3
pluralisme agama dan lainnya. Dalam kontek pluralisme agama misalnya,
pluralisme ini juga berkaitan dengan pluralisme kebutuhan dan keyakinan yang
sesekali menampilkan pluralisme budaya sebagai latar belakang yang menjadi
basis pemahaman akan tuhan dan keyakinan keagamaan.31
Penulis dalam memahami pluralisme bukan sekedar bermakna statis, yaitu
dengan adanya kemajumukan atau keberagaman, melainkan juga bermakna
dinamis, yaitu adanya keterlibatan dalam upaya memahami perbedaan dan
kesamaan yang ada, dan sekaligus keterlibatannya dalam kebersamaan untuk
mencapai tujuan bersama. Pluralisme bukan mengingkari adanya perbedaan,
sebaliknya pluralisme mengakui adanya perbedaan namun tidak menjadikan
perbedaan tersebut sebagai penghalang terhadap kebersamaan dan harmoni
kehidupan.
Dari uraian diatas menghantarkan penulis pada salah satu sendi kehidupan
pluralis, yaitu adanya kesadaran kemajemukan (plural awareness) yaitu kesadaran
yang mendalam bahwa kita hidup dalam kemajemukan, dan ingkar kepada
kemajemukan berarti ingkar terhadap ciptaan Tuhan.
Kesadaran akan kemajemukan akan mengikis sikap kemutlakan, subjektif
dan ekslusif, dan akan menimbulkan sikap saling memahami. Berkembangnya
sikap ini akan memungkinkan lahirnya sendi kehidupan pluralis yang lain, yaitu
sikap saling percaya. Sesungguhnya modal trust ini bukan hanya menghindari
timbulnya konflik, melainkan juga memungkinkan terjadinya sinergi antar
komunitas yang berbeda.
31
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Umat Beragama
(Yogyakarta:Bentang Budaya,2000), h. 21
Sendi dari kehidupan pluralis adalah dialog. Dialog merupakan instrument
utama dalam pengelolaan kehidupan plural yang sehat dan produktif, karena tanpa
ada dialog masing-masing komunitas yang berbeda sangat rentan untuk menjadi
eksklusif dan jatuh jatuh dalam fanatisme yang sempit. Dengan dialog dapat
melahirkan sikap toleran, saling percaya, dan saling menghormati.
Esensi dari dialog adalah adanya penghargaan dan pengenalan timbal balik
(reciprocal recognition) antara pihak yang berdialog . dengan adanya sikap saling
mengenal dan menghargai ini maka mereka benar-benar dapat memahami
pendapat, nilai-nilai kebenaran dan keyakinan mitra dialognya.32
2. Urgensi Dialog Antar Agama.
Dialog lebih memanisfetasikan dirinya sebagai suatu pendirian, orientasi,
atau penunjang komunikasi daripada sebagai suatu metode,teknik atau pola yang
spesifik.33
Ada hal yang harus diingat, kadang kala karakteristik dari dialog
disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab. Kejujuran yang blak-blakan
dapat dilakukan untuk menghina orang lain dengan tujuan untuk memuaskan ego
sendiri dan perasaan mementingkan diri sendiri.
32
Ahmad Watik Pratinya, “Pluralisme, Trust dan Dialog” dalam Ahmad Syafii
Maarif, dkk., Ethics and Religious Dialogue In a Globalized World (Jakarta: The Habibie
Centre,2010), h. 62
33
Richard L Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,1996) h.64
Apabila seseorang yang sadar akan nilai kemanusiaan, maka pasti dia tidak
akan mengganggu atau mengancam manusia lain. penulis teringat yang diutarakan
oleh filsuf moral Frans Magnis Suseno, bahwa “Humanisme tak pernah bisa
menjadi ancaman bagi humanisme lain” artinya, bahwa humanisme Kristiani tidak
mengancam humanisme Islam, begitu sebaliknya humanisme Islam tak
mengancam humanisme Kristiani.34 Demikian juga hal ini berlaku bagi
humanisme yang lain yang ada dalam masing-masing agama, baik humanisme
yang terdapat dalam individu maupun kelompok. Konsekuensinya adalah agama
yang tidak humanis bisa menjadi ancaman bagi orang yang tidak beragama,
ancaman bagi orang yang beragama lain, dan bagi saudara-saudari seagama.
Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam
kehidupan masyarakat kita. Dialog sangat dibutuhkan dalam di tengah-tengah
pluralisme. Pluralisme ini muncul dalam berbagai macam ragam dan bentuk yang
meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme kepentingan,
pluralisme etnis, pluralisme status sosial, pluralisme agama, dan lainnya.
Berkaitan dengan pemahaman pluralisme, berkembanglah upaya-upaya
dialog dalam konteks agama-agama. Dialog antar agama, yang hakekatnya adalah
pertemuan hati dan pikiran antar berbagai macam agama, merupakan aktualisasi
sekaligus pelembagaan semangat pluralisme keagamaan.
Dialog antar agama menjadi ajang komunikasi dua orang atau lebih dalam
tingkatan agamis. Dengan dialog, jalan bersama menuju kebenaran semakin
34
Frans Magnis Suseno, dalam Ibnu Mujib dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma
Transformatif Masyarakat Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis
Teologi Humanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), h. 92-93
terbuka.35 Dialog bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang
agama masing-masing baik mengenai persamaan maupun perbedaannya.
Dialog sama sekali tidak mengurangi loyalitas dan komitmen seseorang
terhadap kebenaran keyakinan agama yang sudah ia pegang, akan tetapi lebih
memperkaya dan memperkuat keyakinan itu. Dialog juga jauh dari kemungkinan
orang untuk terjerumus ke dalam pandangan sinkretisme. Sebaliknya, dialog
mencegah orang dari sinkretisme karena dengan dialog seseorang akan semakin
mendalami pengetahuannya tentang agama atau kepercayaan lain, dan pada saat
yang sama keyakinannya terhadap kebenaran ajaran agama yang ia peluk akan
semakin teruji dan tersaring.
3. Bentuk-Bentuk Dialog
Dialog antar agama dapat berlangsung dalam beberapa bentuk diantaranya:
dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis (dialog iman), dan dialog
spritual.36Disamping itu juga ada dialog perbuatan, dialog kerukunan, dialog
sharing pengalaman agama, dialog doa bersama, interfaith dialogue, dialog
terbuka, dialog tanpa kekerasan, dialog aksi dan sebagainya.37
Pertama, dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan bentuk paling
sederhana dari pertemuan-pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat
beragama. Disini pemeluk agama yang berbeda-beda saling bertemu dalam
kehidupan sehari-hari, berbaur, dan melakukan kerjasama dalam berbagai bidang
kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing.
35
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis; Merenda Dialektika Idealita dan Realita
Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya,2004), h. 20
36
Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusifpluralis, (Jakarta: Paramadina,2004), h. 208
37
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, h. 39
Kedua, dialog kerja sosial. Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari
dialog kehidupan dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang
dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan
akan pluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam
konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih sekedar pengakuan akan kenyataan
bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif dalam kemajemukan itu.
Ketiga, dialog teologis atau dialog iman. Dialog teologis merupakan
pertemuan-pertemuan, baik reguler ataupun non reguler untuk membahas
persoalan-persoalan teologis. Tema yang diangkat misalnya pemahaman kaum
Muslim dan Kristen tentang Tuhan masing-masing atau tentang tradisi keagamaan
seseorang dalam konteks pluralisme dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk
membangun kesadaran bahwa diluar keyakinan dan keimanan dari tradisi agamaagama selain kita. Jika dalam dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita
menempatkan agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain, maka dialog
teologis berusaha memposisikan iman kita di tengah-tengah iman orang lain.
Keempat, dialog spiritual. Dialog spiritual bertujuan untuk menyuburkan
dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Dialog ini
bergerak dalam wilayah esotoris yaitu sisi dalam agama-agama. oleh karena itu
para pesertanya melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama.
Dialog antar agama paling tidak berlangsung dalam tiga level. Pertama,
dialog wacana, yaitu dialog yang membahas masalah-masalah teologis yang
muncul. Misalnya, konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua,
membagi (sharing) pengalaman spiritual, misalnya sama-sama puasa untuk
menghayati kehidupan orang miskin. Ketiga, dialog dalam level aksi, yaitu dialog
yang para peserta dialog tanpa membeda-bedakan agamanya sama-sama
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Dapat digarisbawahi, muara dialog adalah memberi kesadaran secara
teologis bahwa perbedaan itu bukan buatan manusia tapi desain Tuhan. Oleh
karena itu, saling menghargai dalam perbedaan sangat diperlukan. Bertolak dari
pandangan inklusif-pluralis ini, para pemeluk agama yang berbeda dapat
menjalani kerja sama. Jadi pada prinsipnya dialog antar agama dengan kerja antar
agama adalah dua hal yang sambung-menyambung. Yang satu mengandaikan
yang lain. tidak ada kerja sama tanpa didahului oleh dialog, dan dialog berlanjut
pada kerja sama dan memberikan penguatan bagi kerja-kerja sosial. Aksi-aksi
kolaboratif melibatkan berbagai kalangan agama dalam merespon kebutuhan
aneka kebutuhan umat beragama.
BAB III
GAMBARAN UMUM CENTRE FOR DIALOGUE AND
COOPERATION AMONG CIVILISATIONS ( CDCC )
A. Profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC)
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC) adalah sebuah LSM internasional yang bermarkas besar di
Jakarta, yang didirikan pada bulan Juni tahun 2007 oleh para sarjana
dan aktivis dari berbagai lembaga baik dari Lembaga Swadaya
Masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintahan, diantaranya adalah
Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Hajrianto Y. Tohari, Didik J.
Rachbini, Rizal Sukma, Fahmi Darmawansyah, dan Said Umar.
Para tokoh pendiri CDCC meskipun berbeda-beda profesi
seperti Din Syamsudin sebagai akademisi dan sekaligus menjadi Ketua
Umum PP Muhammadiyah, Bahtiar Effendy sebagai akademisi dan
mantan Ketua Bidang Hikmah PP Muhammadiyah, Hajrianto Y.
Tohari sebagai Wakil Ketua MPR dan sebagai mantan ketua Pemuda
Muhammadiyah, Rizal Sukma Sebagai Wakil Direktur Eksekutif
Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Didik J. Racbani
sebagai politisi dari partai PAN (Partai Amanat Nasional) dan Fahmi
Darwansah dan Said Umar sebagai pengusaha akan tetapi mereka
semua mempunyai latar belakang organisasi yang sama, yaitu
Muhammadiyah.
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations
(CDCC) bertujuan untuk memajukan pemahaman yang lebih baik dan
hubungan perdamaian antara agama, budaya, bangsa dan peradaban
yang luas, sehingga tercipta masyarakat yang harmonis dan toleren
tarhadap sesama.
1. Latar Belakang CDCC
Berdirinya Centre for Dialogue and Cooperation among
Civilisations (CDCC) didasarkan oleh beberapa sebab. Sebab yang
paling mendasar adalah seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan
kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia
lainnya, yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya,
dan lain-lain. Hal itu disebabkan karena ada alasan yang utama, yakni
bahwa tindakan kekerasan itu ada karena adanya benturan peradaban
yang berbeda antara satu masyarakat, budaya, dan agama yang satu
dengan yang lain nya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel
Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena
setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima
oleh peradaban lainnya. Oleh karena alasan itulah CDCC kemudian
berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha
untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerjasama pun dijadikan
CDCC sebagai jalan untuk mewujudkaan tata dunia yang damai.
Selama ini, berbagai dialog yang ada hanya bersifat
konseptual saja, hanya sebatas pertukaran pikiran, oleh karena itu
CDCC berusaha membuat dialog yang konseptual dan menjadi praktis,
sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak
kekerasan dan menghindari benturan-benturan peradaban, sehingga
dapat terwujud masyarakat dunia yang damai dan toleran terhadap
peradaban lain.
2. Misi CDCC
Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC) bertujuan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik
dan hubungan damai antar agama, budaya, bangsa, dan peradaban pada
umumnya. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC) berusaha untuk memediasi pemisahan yang selama ini ikut
didukung oleh adanya ketakutan dan ketidakpahaman pada dua belah
pihak.38 Maka dibentuklah beberarapa inisiatif untuk membangun dan
memperluas dialog dan kerja sama antar agama, antar budaya,
internasional dan antar peradaban, serta memberikan prioritas tinggi
dalam menanggapi permasalahan-permasalahan utama mengenai
kesalahpahaman dan kekerasan melalui beberapa ketentuan studi
permasalahan yang terkait yang komprehensif, objektif, dan tepat.
3.
Visi CDCC
1
Misi CDCC, artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari http://www.cdccfoundation.org
Daripada memandang perbedaan sebagai suatu ancaman dan
selalu berbenturan, CDCC menganut sebuah pandangan bahwa
perbedaan adalah sebuah kesempatan, kekayaan dan sebuah komponen
integral yang tumbuh, dengan tujuan untuk menciptakan dunia yang
damai. Perbedaan harus diterima, tapi pada saat yang sama seseorang
tidak harus mempertahankan pandangan seperti yang selama ini dianut
oleh dunia Muslim dan Barat yang bisa menciptakan konflik yang
tiada henti-hentinya.
Bagaimanapun juga, usaha-usaha untuk menjembatani jurang
pemisah antar masyarakat, bangsa dan peradaban dunia seringkali
gagal jika tidak disertai oleh partisipasi, dialog dan kerja sama dari
komunitas internasional. Dewasa ini, sangatlah penting untuk
melakukan sebuah gerakan global untuk menjembatani jurang pemisah
itu dan mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas dan saling
menghormati antar berbagai budaya dan peradaban.39
4. Program CDCC
CDCC berusaha untuk mencapai tujuannya melalui aktifitasaktifitas berikut:
a. Kuliah Umum (Public Lecture)
CDCC berusaha untuk mengadakan dialog-dialog antar
peradaban dengan mengumpulkan para elit dan masyarakat dalam
sebuah forum yang mendiskusikan isu-isu tentang antar agama, antar
39
Visi CDCC, artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari http://www.cdccfoundation.org
budaya, dan hubungan internasional. Diantara contoh forum-forum
tersebut adalah Lecture on Civilizations (Kuliah Peradaban), seminar
internasional, dan konferensi internasional tahunan. Para peserta yang
hadir mewakili sebuah kelompok luas meliputi diplomat, pemerintah,
politisi, akademisi, aktifis, pengusaha, jurnalis, tokoh agama, tokoh
pemuda, dan perwakilan media.
b. Jaringan dan Kerja Sama
Dalam melaksanakan program sebagaimana yang telah
direncanakan dalam tujuannya, CDCC melakukan usaha yang besar
untuk mengembangkan jaringannya yang bisa menguntungkan dalam
usaha menciptakan atmosfer perdamaian dan dalam rangka membuat
dialog-dialog yang efektif dan meningkatkan kepedulian masayarakat
akan perlunya untuk membangun jembatan antar bangsa, untuk
mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas, dan saling
menghormati dan tuntuk menyusun harapan-harapan politik bersama
dalam menanggapi perbedaan-perbedaan di dunia.
Dalam
melakukan
kegiatan-kegiatan
CDCC
mempunyai
jaringan baik nasional maupun internasional. Jaringan nasional,
CDCC melakukan kerjasama dengan NGO, misalnya IComRP
(Indonesian Committee on Religion and Peace), Interfaith Day, dan
organisasi-organisasi keagamaan seperti Konferensi Wali Gereja
Indonesia (KWI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), WALUBI,
Majelis
Tinggi
Agama
Konghuju
Indonesia
(MATAGIN),
Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Persada Hindu
Darma Indonesia (PHDI) Pada level internasional CDCC mempunyai
jaringan misalnya Chenghoo Multicalture Education Trush sebagai
mitra sebanyak tiga kali secara berturut-turut dalam acara World Peace
Forum. CDCC juga melakukan kerjasama dengan Departemen luar
negri
terutama
untuk
dialog-dialog
internasional,
misalnya
mengundang pembicara-pembicara dari luar negeri, dan CDCC juga
diundang sebagai pembicara pada forum-forum internasional . CDCC
juga mempunyai jaringan kerja sama dengan duta besar-duta besar
misalnya duta besar Inggris termasuk British Council, duta besar
Rusia, dan duta besar Palestina.
c. Advokasi Kebijakan
Untuk memediasi konflik yang ada sebagaimana usaha untuk
mencegah konflik yang mungkin terjadi, CDCC mengadvokasi segala
kebijakan pemerintah atau pihak yang berwenang lainnya yang penting
dalam
usaha
untuk
mengurangi
tekanan
antar
budaya
dan
kesalahpahaman yang ada. CDCC berusaha untuk mempengaruhi
keputusan pemerintah atau pihak berwenang yang berakibat baik atau
pun buruk pada dialog budaya atau peradaban.40
40
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 Sepetember 2010
Dalam
melakukan
advokasi
kebijakan,
sepanjang
sepengetahuan penulis CDCC belum melakukan advokasi secara serius
dengan melakukan pembelaan yang secara konsisten, akan tetapi
CDCC hanya lebih menekankan pada dialog belum pada tahap aksi
tindak lanjut.
d. Publikasi
CDCC membuat setiap usaha untuk meningkatkan keterlibatan
masyarakat di Indonesia dan di luar negeri pada pentingnya untuk
menjembatani jurang pemisah dan mengurangi persepsi antar budaya
dan peradaban, sebagaimana memfasilitasi debat akademis tentang
antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Dan atas
alasan ini, CDCC menyebarkan informasi dan ide-ide melalui halaman
web dan artikel di media secara terus-menerus.41
Sebagai contoh dari publikasi yang dilakukan oleh CDCC ialah
dengan membuat berita-berita hasil dari kegiatan-kegiatann nya,
seperti World Peace Forum, seminar-seminar dan diskusi-diskusi
melalui web dengan alamat www.cdccfoundation.org, dan CDCC juga
berkerjasama dengan media cetak dan elektronik untuk meliput semua
kegiatan yang dilakukan.
e. Penelitian
CDCC melakukan berbagai usaha untuk memimpin studi yang
memadai tentang materi-materi yang mengembangkan dialog dan kerja
41
Profile
CDCC,
http://www.cdccfoundation.org
artikel
ini
diakses
pada
18
juni
2010
dari
sama diantara masyarakat yang berbeda agama, ras atau etnik, dan
bangsa.
Sejauh sepengetahuan penulis CDCC belum pernah melakukan
kegiatan penelitian, CDCC dalam melakukan kegiatannya hanya lebih
menekankan pada diskusi, dialog dan seminar-seminar belum sampai
pada tahap penelitian.
5.
Nilai-Nilai Perjuangan CDCC
CDCC mempunyai nilai-nilai yang mereka ingin perjuangkan,
sesuai dengan namanya. CDCC mempunyai tiga nilai yang sangat
mendasar dalam kontek perdamaiaan dan tata dunia yang terbuka,
yaitu ;
a. Nilai Keterbukaan; CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang
memiliki kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan
pikiran-pikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang
diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat yang
secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki
keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara terbuka
dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam berpendapat, oleh
karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang
sarat dengan kritik terhadap
pemerintah atau
masyarakat yang tidak
sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat yang memiliki moralitas
dan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan.42
42
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010
b. Kemanusiaan yang bersifat universal; kemanusiaan yang bersifat universal
dimaknai
sebagai
nilai
yang mengedepankan
penghormatan
dan
penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa
membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan.
Kerena pada dasarnya ada sebuah common agreement diantara berbagai
peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang
sangat terhormat, oleh karena itu CDCC sangat konsen pada persoalanpersoalan kemanusiaan yang selama ini menjadi salah satu problem baik
di level nasional maupun level internasional, banyaknya tindak kekerasan,
pada wilayah tertentu masih adanya perbudakan, dan eksploitasi manusia
itulah persoalan-persoalan kemanusian yang terjadi pada tingkat global
dan nasional.
c. Nilai Equality (nilai kesetaraan dan persamaan); CDCC tidak berada pada
posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan lebih
tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena untuk
terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip equality dengan
mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulan-keunggulan prestasi
yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakat-masyarakat yang ada
di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada aspek equality itu
melekat dengan plurality atau pluralitas kerena mengakui adanya
perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan tetapi sesungguhnya
mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam berbagai hal mereka
mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya.43
6.
Struktur Organisasi CDCC
Ketua
: M. Din Syamsuddin
Penasehat
: 1. Didik J. Rachbini,
2. Bachtiar Effendy
3. Rizal Sukma
4. Hajriyanto Y. Thohari
5. Fahmi Darmawansyah
6. Said Umar
Pengawas
: 1. Rustam Effendy
2. Edy Kuscahyanto
Direktur Eksekutif
: Abdul Mu’ti
Direktur Administrasi dan Keuangan
: Indah Meitasari
Direktur Program
: Piet Hizbullah Khaidir
Staff
: 1. Artati Haris
2. Fauzia Ningtyas
3. Ilham Mundzir
Dalam
struktur
organisasi
CDCC
meskipun
mereka
mempunyai profesi yang berbeda-beda, seperti akademisi, aktivis,
politisi dan pengusaha akan tetapi mereka mempunyai latar belakang
organisasi yang sama, yaitu Muhammadiyah.
43
Wawancara Pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010
Seperti Din Syamsudin dan Bactiar Efendy adalah seorang
akademisi akan tetapi mereka juga aktif dalam kepengurusan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Didik J. Rachbini (politisi dari Partai Amanat
Nasional), dan Hajrianto Y Thohari ( politisi dari partai Golkar dan
sebagai Wakil Ketua MPR RI) juaga mantan aktivis Pemuda
Muhammadiyah. Rizal Sukma sebagai mantan aktivis yang berasal
dari Muhammadiyah dan sekarang menjabat Sebagai Wakil Direktur
Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS). Fahmi
Darwansah dan Said Umar sebagai pengusaha. Abdul Mu’ti, Piet
Hizbullah dan Ilham Munzir sebagai mantan aktivis Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah.
Melihat kesamaan latar belakang dari struktur organisasi
CDCC, maka penulis mempunyai pandangan bahwa struktur
kepengurusan CDCC mempunyai kelemahan dan kelebihan dalam
menjalankan perannya dalam melakukan perannya sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
Kelemahan dari lembaga yang ekslusif (kepengurusan
mempunyai latar belakang organisasi yang sama) adalah kurang tebuka
dalam
melakukan
managment
organisasi.
Dalam
melakukan
management hanya berdasarkan saling percaya antara pengurus yang
satu dengan pengurus yang lain.
Kelemahan lembaga yang ekslusif juga mempunyai network
yang terbatas dan searah karena mereka mempunyai latar belakang
organisiasi yang sama, sehingga terbatas juga untuk mendapatkan
founding untuk menunjang jalannya kegiatan lembaga tersebut.
Kelemahan dari lembaga yang mempunyai latar belakang organisai
yang sama juga mempunyai kesamaan ide-ide sehingga dalam
melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penguatan ruang
publik kurang variatif dan monoton.
Kelemahan dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang ekslusif
(latar belakang organisasi yang sama) menurut penulis kurang netral
dalam
melakukan
perannya
sebagai
lembaga
yang
berupaya
malakukan penguatan ruang publik. Biasa lembaga tersebut dalam
berjuang menegakan nilai-nilai yang mereka yakini berdasarkan
kepentingan dari kelompoknya (latar belakang organisasi nya), bukan
berdasarkan realitas sosial masyarakat yang sebenarnya.
Disamping mempunyai kelemahan, pasti ada juga sisi
kelebihan dari suatu lembaga yang ekslusif. Kelebihan yang dimiliki
lembaga yang mempunyai latar belakang yang sama adalah
mempunyai pandangan dan tujuan yang sama. Dari mempunyai
pandangan dan tujuan yang sama, maka CDCC mudah untuk
mengorganisir dan melakukan
program kerja. Dari kelebihan dari
lembaga ekslusif adalah pertentangan ide-ide sangat kecil sehingga
konflik atau pertentangan ide sangat kecil.
BAB IV
PERAN CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION
AMONG CIVILISATIONS (CDCC) DALAM RANGKA
PENGUATAN RUANG PUBLIK YANG BEBAS
A. Latar Belakang Centre for Dialogue and Cooperation amongs
Civilisation (CDCC) Membangun Dialog
Sebagai bagian dari civil society, Centre for Dialogue and Cooperations
among Civilisations (selanjutnya CDCC) berupaya melakukan peran nya di
Masyarakat dengan membuka ruang publik yang bebas terhadap warga dengan
memfasilitasi warga untuk melakukan diskusi dan dialog untuk membahas
masalah yang dianggap relevan. Pada awal nya, diskusi- diskusi yang diadakan
oleh beranjak dari tesisnya Samuel Huntington tentang benturan peradaban (clash
of civilisation).44
Apabila kita melihat Sejarah dunia, semenjak awal 1990-an dunia
memasuki fase baru yang ditandai dengan munculnya berbagai megatrend, antara
lain berakhirnya perang dingin, hancurnya komunisme, bangkitnya kapitalisme
baru di tiga kawasan (Amerika Utara, seleruh benua Eropa, dan kawasan Asia
Pasifik sekitar Jepang dan Cina), serta menguatnya dampak globalisasi dalam
dimensi kehidupan manusia. Munculnya sejumlah fenomena dunia pasca perang
dingin memerlukan sebuah paradigma berpikir yang berbeda dengan paradigma
berpikir selama ini kita pegang dalam menjelaskan fenomena perang dingin.
44
Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta, 21 November 2010.
Sebagaimana diketahui dalam 40 tahun perang dingin (1950-1991) digambarkan
terpolarisasi dalam dua blok. Pertama, kelompok masyarakat relatif kaya, sangat
demokratis, dan dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, kelompok masyaarakat
realtif miskin, komunis, dan dipimpin oleh Uni Soviet. Adanya polarisasi dunia
dalam dua blok itu memicu konflik yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, dan
bahkan militer di antara dua kekuatan dunia tersebut.
Pola poltik yang mempertentangkan secara ideologis antara blok negara
kapitalis dengan blok negara komunis membawa pengaruh bagi negara-negara
berkembang. Banyak negara berkembang menjadi negera satelit bagi negara
adikuasa. Bahkan sejarah mencatat bahwa sebagian konflik itu terjadi di dunia
ketiga yang biasanya penduduknya miskin, tidak memiliki stabilitas politik, baru
memperoleh kemerdekaan, dan mengaku sebagai negara non-blok.45
Berakhirnya perang dingin telah membawa perubahan dalam cara
berfikir kita mengenai hubungan antar negara. Situasi dan kondisi yang berbeda
paska perang dingin memerlukan peta berpikir baru untuk menerapkannya. Akhir
perang dingin pun ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991 setelah
Moskow mengadopsi kebijkan politik luar negeri yang pro-Barat dengan
dimodifikasi sesuai dengan tekanan kelompok nasionalis pada pertengahan 1990an.46
Paradigma yang berpikir tepat dalam menjelaskan fenomena dunia pasca
perang dingin itu dikenal sebagai paradigma benturan peradaban (The Clash of
45
Samuel P. Huntington, Jika Peradaban Apa? Paradigma Dunia Paska Perang
Dingin,Aslinya If Not Civilization, What? Penerj. Saiful Umam, (Jakarta: LSAF dan
ICMI, No.2 Vol.V. Thn. 1994) h.56.
46
Brian Hocking dan Michael Smith, Politik, An Introduction to Internasional
Relations,(London: Prentice Hall, 1995, cet,II) h. 230
Civilisation). Dalam perspektif ini, dunia secara sederhana terbagi dalam dua
kelompok. Pertama, negara-negara kaya (North) atau dikenal dengan negara
demokratis. Kedua, negara-negara miskin (south) atau negara non-demokratis.
Paradigma benturan peradaban ini telah memperlihatkan pergeseran pada
level makro maupun mikro. Pada level makro, politik dunia tampaknya terlibat
banyak konflik dan sedang mengubah perimbangan kekuatan sejumlah negara
menurut berbagai peradaban yang berbeda. Sementara itu, pada level mikro,
konflik-konflik yang paling kasar, berkepanjangan dan berbahaya (karena
kemungkinan adanya peningkatan) tampaknya akan terjadi diantara negara-negara
dan kelompok-kelompok dari peradaban yang berbeda.47
Jika peranan agama dan kutur di masa lalu diabaikan, sekarang keduanya
dianggap penting. Bahkan sebagian orang meyakini akan terjadinya benturan di
masa mendatang dalam konteks kepentingan internasional. Benturan peradaban
ini akan mendominasi politik global pasca perang dingin. Bagi Huntington,
benturan peradaban terjadi ketika politik internasional meninggalkan fase
baratnya. Benturan peradaban berjalan dalam bentuk interaksi peradaban Barat
dan peradaban non- Barat serta terjadi di kalangan peradaban non-Barat saat
peradaban non-Barat tak lagi menjadi objek sejarah atau sasaran kolonialisme
Barat, namun bersama-sama dengan Barat Menjadi penggerak dan pembentuk
sejarah.48
Peradaban dalam kerangka Huntington dipahami bahwa peradaban
adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi, yang unsur-unsur
47
Samuel P. Huntington, Jika Bukan Peradaban, Apa? h. 53
48
Jhon L. Esposito, Ancaman Islam : Mitos atau Ancaman, Penerj. Alwiyah
Abdurahaman, (Bandung: Mizan, 1995, cet.II) h. 205
objektifnya memiliki kesamaan seperti bahasa, sejarah, agama, adat, dan
subjektifitas identitas diri masyarakat. Suatu peradaban bisa saja mencakup
beberapa beberapa negara bangsa atau satu negara saja. Diantara peradaban besar
itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina dan Jepang.
Kini sikap meremehkan agama dan kultur dalam politik global dan
masalah internasional masa lalu digantikan dengan sikap menekan kekuatan
persamaan kultural sebagai fondasi kekuatan ekonomi, politik, dan kemampuan
untuk membuat persatuan trans-nasional dalam melahirkan aktor-aktor ekonomi
dan politik yang efektif adalah orang-orang Cina, Hongkong, Singapura dan
Malaysia. Pendek kata, agama dan etnisitas dalam kontek peradaban selalu
menjadi sumber identifikasi primer bagi banyak orang khususnya bagi elite non
moderen.
Paradigma benturan peradaban yang dikembangkan Huntington dinilai
oleh Jhon L. Esposito sebagai kecenderungan berfikir yang melebih-lebihkan
perbedaan kultural. Paradigma seperti ini terdistorsi lantaran terlalu menekankan
jurang pemisah atau garis batas yang membagi peradaban. Bahkan, lebih jauh
Esposito mengatakan bahwa paradigma benturan peradaban mirip dengan
ketakutan yang berbau rasisme kultural yang menjadi sumber sentmen antisemitisme maupun anti-Asia. Berangkat dari perspektif ini, tegas Esposito
membuat Huntington berkesimpulan bahwa garis pembatas antar peradaban
menggantikan batas-batas politik dan ideologi yang selama perang dingin menjadi
titik nyata bagi krisis dan pertumpahan darah.49
49
Jhon L.Esposito, Ancaman Islam, h.206
Dalam pandangan Esposito, meskipun identifikasi berdasarkan atas
agama dan etnisitas ikut membentuk pandangan “kita” dan “meraka” terhadap
orang lain adalah benar, namun berbagai identifikasi atau batas batas seperti ini
menjadi kecenderungan umum yang melekat pada manusia ketika mereka dalam
proses pendefinisian diri, hubungan sosial, dan menjalin hubungan internasional.
Identifikasi dengan pernyataan bahwa saya dari keluarga ini atau dusun ini versus
keluarga itu atau dusun itu, saya ini sekuler versus dia religius, orang beriman
versus orang kafir, kapitalis versus komunis, dunia pertama versus dunia ketiga,
Amerika versus Eropa adalah perbedaan, bukan penyebab ataupun alasan untuk
berkonfrontasi dan konflik.
Apabila mengamati hal di atas, maka benturan antar peradaban (clash of
civilisation) hanya akan membawa malapetaka bagi dunia, Oleh karena itu
dibutuhkan adanya aliansi peradaban (alliance of civilisation). Aliansi peradabanperadaban (alliance of civilisations) Inilah yang diperlukan umat manusia kini dan
di masa depan. Jika kita berharap adanya kehidupan yang lebih berdasarkan saling
pengertian dan saling menghargai, yang pada gilirannya dapat menciptakan dunia
yang lebih harmonis, aman, dan damai, maka upaya penggalangan dan
pemberdayaan aliansi peradaban tidak bisa di tawar-tawar lagi demi menciptakan
perdamaian dunia.
Aliansi
peradaban
(alliance
of
civilisation)
mulai
menemukan
momentumnya sejak Perdana Menteri Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero,
mengajukan proposal bagi Aliansi Peradaban-peradaban pada September 2004.
Hasilnya, atas sponsor Pemerintah Spanyol dan Turki, Sekretaris Jenderal PBB,
Kofi Annan, memaklumkan Alliance of Civilisation pada September 2005. Sejak
itu, berbagai pertemuan, konferensi, dan lokakarya aliansi peradaban baik pada
tingkat internasional maupun regional, telah diselenggarakan berbagai negara dan
pihak yang memiliki kepedulian khusus terhadap masalah ini. Terakhir adalah
Simposium Tingkat Tinggi Aliansi Peradaban-peradaban yang berlangsung pada
23-24 Mei di Auckland, Selandia Baru, dengan sponsor Pemerintah Selandia Baru
dan Norwegia. PM Selandia Baru, Helen Clark, yang memimpin langsung High
Level Meeting Alliance of Civilisation menyatakan penolakannya atas selffulfilling prophecy tentang benturan peradaban. Bagi dia, pengalaman bangsa
Selandia Baru yang multikultural memberikan pelajaran, bahwa sangat mungkin
pada tingkat internasional untuk membangun dunia yang menghargai dan
mengakomodasi perbedaan. Ketegangan, konflik, dan bahkan perang yang muncul
dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian; dan kurangnya pengertian dapat diatasi
melalui dialog, pendidikan, dan kesediaan untuk belajar satu sama lain, dan sedia
menerima dan toleran terhadap orang dan masyarakat lain yang berbeda.50
Menurut Ali Alatas, mantan menteri Luar Negeri RI, yang juga anggota
High Level Group Aliance of Civilisation, menyatakan baahwa Aliansi
Peradaban-peradaban menegaskan kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat
saling interdependen dan bahkan terkait satu sama lain dalam pembangunan,
keamanan, dan kesejahteraan. Alliance of Civilisation berusaha membangun
saling menghargai dan menempa kemauan politik, serta langkah terencana dan
50
Diakses pada tanggal 9 Januari 2011 dari http:// www.UNAoC.org
terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan masyarakat madani untuk
mengatasi prasangka, mispersepsi, dan ketidakpercayaan.
Dengan cara begitu, Alliance of Civilisation diharapkan dapat
memberikan kontribusi penting kepada gerakan terbesar masyarakat manusia
untuk menolak ekstremisme yang ada dalam setiap masyarakat; dan sebaliknya
menghargai keragaman kultural dan keagamaan. Dengan kerangka seperti itu,
Alliance of Civilisation merumuskan empat bidang pokok aksi: pendidikan,
kepemudaan, migrasi, dan media. Pengembangan program yang terencana dalam
keempat bidang ini krusial dan dapat memainkan peran kritis untuk mengurangi
ketegangan antarbudaya dan peradaban, dan membangun jembatan diantara
masyarakat yang berbeda.
Indonesia juga merupakan bagian dari peradaban dunia yang cukup kaya
dan maju sejak beberapa abad lalu, sejak Majapahit, Sriwijaya dan Mataram.
Sekarang sebagai negara bangsa yang besar dan kaya dengan sumber daya alam
dan modal budaya yang relevan dengan kemajuan. Indonesia sangat potensial
untuk bangkit sebagai sub peradaban yang maju. Oleh karena itu, kata Din
Syamsudin, peradaban-peradaban dunia lain, seperti Barat, Cina,dan Rusia dapat
menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis dalam membangun peradaban dunia
baru yang maju dan beradab.51
Berdasaarkan kerangka pijak di atas maka pada tanggal 12 July 2007, di
Kantor Sekretariat CDCC, menyelenggarakan diskusi mengenai aliansi peradaban.
Pada diskusi ini CDCC tokoh-tokoh nasional dan internasional turut menghadiri
51
CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari
http://www.cdccfoundation.org.
dan berpartisipasi, antara lain Ali Alatas, kedutaan Besar Thailand, Belanda,
Selendia Baru, dan Palestina. Sedangkan sebagai pembicara adalah Selcan Sanli
selaku Sekretaris Utama Deputy Head of Mission Kedutaan Besar Turki di
Jakarta, Luis Meteos Paramio Deputy Head Mission Kedutaan besar di Spayol di
Jakarta. Diskusi ini diprakasai antara lain oleh Pemerintah Selendia Baru,
Pemerintah Turki, Pemerintah Norwegia dan Spayol. Diskusi ini diselenggarakan
dalam rangka menyikapi isu global tentang perselisihan peradaban yang
didengung-dengungkan oleh Samuel Huntington.
Pada diskusi ini Din Samsudin menjelaskan aliansi peradaban
memerlukan inisiatif dan partisipasi aktif dari masyarakat sipil. CDCC sebagai
bagian masyarakat sipil harus ikut andil mengambil bagian untuk menjembatani
celah antar peradaban. Sejalan dengan pendapat Ali Alatas untuk mewujudkan
aliansi peradaban, diperlukan diskusi-diskusi dan seminar yang mempertemukan
berbagai organisasi internasional dan lembaga dari berbagai bangsa. Bukan saja
diskusi dan seminar akan tetapi untuk pencapaian aliansi peradaban diperlukan
aksi yang bersifat cepat dan tanggap. Untuk mencapai aliansi peradaban, tentu
bukan hanya diperlukan forum-forum diskusi saja, meskipun dari forum-forum
diskusi kita mendapatkan pemikiran-pemikiran kritis, namun pada itu juga kita
harus menunjukan aksi cepat tanggap.52
Sebagaimana disebutkan di atas, maka untuk mengatisipasi atau
meminimalisir terjadinya benturan kebudayaan yang akan menimbulkan konflik
dan pertupahan darah, maka diperlukan subuah dialog antar peradaban.
52
CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari
http://www.cdccfoundation.org.
Dialog antar peradaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau
lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan
pemerintah dan civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan
kerjasama. Dialog dipahami sebagai conversation of culture, yang berlangsung
dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan
berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menurut
perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam
Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.53
Dialog peradaban dibangun di atas sebuah kesadaran adanya perbedaan,
atau kesadaran bahwa potensi-potensi konflik diantara peradaban dirasakan tidak
ada gunanya jika terus dipelihara. Sebaliknya, ia perlu digantikan dengan sikap
saling memahami, saling menjaga, saling menyapa, saling berbagi menuju
terjalinnya sebuah kerjasama dalam mengatasi problem kemanusiaan. Dialog
menjadi penting karena dunia berkarakter plural.
Bibit munculnya ide dialog antar peradaban tidak bisa dipisahkan dari
ketidaksenangan sebagian cendikiawan terhadap cara Amerika dan sekutunya
yang lebih suka menggunakan perang dalam melawan terorisme. Melalui dialog
antar peradaban, para pemikir dan pengambil keputusan di mana pun berada dapat
lebih mengerti homogenitaas dan heterogenitas sekelilingnya. Tujuan maksimal
dialog antar peradaban adalah kerja sama konkret dalam membangun peradaban
global yang menguntungkan semua pihak.
53
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat, Politik
dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)
Berangkat dari pemaparan di atas bahwa benturan kebudayaan sangat
berbahaya yang akan dapat menimbulkan konflik dan pertumpahan darah, maka
CDCC berupaya menjadi bagian dari dunia yang peduli dengan isu-isu tersebut.
Oleh karena itu CDCC melakukan upaya kegiatan baik dalam lingkup nasional
(Indonesia) atau Internasional.
Dalam mewujudkan hal tersebut maka CDCC melakukan kegiatankegiatan-kegiatan diantaranya, dialog tentang keagamaan, kebudayaan, politik
dan ekonomi. Dalam melakukan dialog CDCC melakukan kerjasama baik dalam
negri ataupun luar negeri.
B. Implementasi Dialog Centre for Dialogue and Cooperation amongs
Civilisation (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang
Bebas.
Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (selanjutnya
CDCC) merupakan bagian dari Civil Society yang mengambil segmen dialog dan
kerjasama antara peradaban. CDCC mempunyai tujuan melakukan penguatan
terhadap ruang publik yang bebas dengan mendorong dialog dan kerjasama antar
umat beragama, antar budaya dan juga dialog-dialog yang bersifat Public
Education dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi, politik dan
terutama peradaban dan kebudayaan.
Secara institusional, Civil Society mewujudkan dalam berbagai asosiasi
yang dibuat masyarakat di luar pengaruh Negara. Misalnya, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, kelompok
kepentingan, partai politik, hingga organisasi yang awalnya dibentuk Negara,
namun berfungsi sebagai pelayan masyarakat dan pengontrol kebijakan negara.
Dari penjelasan alenia di atas tadi, CDCC merupakan salah satu bagian
civil society yang diinstitusionalkan yang ingin membuka ruang publik berupa
dialog yang luas dan terbuka terhadap masyarakat serta independent terhadap
negara, karena ruang publik yang bebaslah merupakan bagian dari karakteristik
civil society.54
Sejalan dengan pernyataan salah satu peserta aktif dalam tiap-tiap diskusi
yang diadakan CDCC yaitu Theophilus Bela, beliau mengutarakan.
“CDCC merupakan lembaga yang tidak dibentuk oleh pemerintah.
CDCC merupakan lembaga yang murni didirikan oleh masyarakat sipil,
jadi CDCC merupakan murni bagian dari civil society yang
mengedepankan terciptanya ruang publik yang bebas dengan cara
dialog dan kerjasama”55
Menurut Habermas ruang publik adalah merupakan wilayah kehidupan
sosial yang memungkinkan masyarakat untuk membentuk opini-opini publik,
sehingga ruang publik itu memungkinkan para warganya untuk bebas menyatakan
sikap mereka.56
Dalam setiap melakukan dialog CDCC mempunyai konsep membuka
ruang publik yang sebebas-bebasnya. Sejalan dengan pendapat Piet Hizbullah
Khaidir selaku Direktur Program dalam kutipan wawancara di bawah ini
mengutarakan,
54
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Edukation): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2000) h.247
55
Wawancara pribadi dengan Theophilus Bela, Jakarta, 1 Januari 2011.
56
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)
h.132
“CDCC berusaha membangun ruang publik yang bebas dengan
membuka dialog. Dialog bisa dimaknai dalam dua perspektif, pertama,
memberikan ruang publik bagi semua element masyakat untuk
menyampaikan gagasan dan pemikiran-pemikiran isu aktual yang
sedang di hadapi oleh masyarakat. Kedua, memberikan mediasi bagi
berbagai kelompok untuk bisa berdialog, sehingga pada perspektif ini
CDCC memberikan fasilitas pada level mikro sebagai jalan tengah atu
titik temu untuk memecahkan suatu masalah perbedaan-perbedaan
publik yang terjadi di level mikro di Indonesia ataupundi level makro
pada level internasional”.57
CDCC berupaya menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan
masyarakat yang berbeda agama, budaya, dan bahkan berbeda negara untuk bisa
menggunakan kekuatan argumen dalam membicarakan hal-hal yang sedang
dihadapi dengan dialog yang bebas dan saling menghargai.
Untuk membentuk adanya ruang publik yang sehat, maka CDCC
mengupayakan adanya ruang dialog yang dialogis, terbuka, equal antara potensi
masyarakat dan stake holder yang punya kepentingan terhadap publik. Sejalan
dengan pendapat Piet Hizbullah Khaidir selaku Direktur Program CDCC
mengutarakan,
“konsep dialog yang ditawarkan CDCC tidak berbeda dengan kelompok
lain rancang. CDCC ingin menciptakan dialog yang dialogis, yaitu dialog
yang terbuka, equel antar potensi masyarakat dan stake holder yang punya
kepentingan terhadap politik. CDCC ingin menghilangkan dialog yang
monolog, yang artinya dialog yang dilakukan orang atau kelompok yang
lebih kuat menekan kelompok atau orang yang lebih lemah. CDCC ingin
menciptakan dialog yang equal sehinggga publik bisa melihat dan publik
pula yang akan menentukan”.58
Konsep yang ditawarkan oleh CDCC dalam melakukan dialog antar
budaya, agama dan budaya yang berbeda lebih mengedepankan rasa menghargai
57
Wawancara pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir, Jakarta, 8 Desember 2010.
58
Wawancara pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir, Jakarta, 8 Desember 2010.
dan menerima perbedaan yang ada. Dengan menghargai dan menerima perbedaan
maka akan terwujud masyarakat yang toleren terhadap yang lainnya.
Dalam melakukan dialog, CDCC menekankankan pada dialog yang
berkaitan dengan kebudayaan, agama, ekonomi dan politik. Pada pembahasan ini
penulis akan menjelaskan tentang hal-hal tersebut.
1. Membangun Dialog Antar Umat Beragama.
Sikap toleran dan pluralis merupakan bagian dari karakteristik dari civil
society.59 LSM merupakan salah satu dari pilar penegak civil society, oleh karena
itu CDCC sebagai salah satu pilar penegak (LSM) maka berupaya membangun
dialog antar umat beragama, dalam dialog ini CDCC berusaha mengupayakan
terbentuk karakteristik dari civil society dengan berusaha menciptakan umat
beragama yang rukun dan mempunyai sikap-sikap toleran dan pluralis antar
sesama pemeluk agama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka CDCC berupaya
mempertemukan tokoh-tokoh agama guna menghilangkan rasa saling curiga
diantara sesama.60
Seperti yang diutarakan oleh Theophilus Bela salah satu peserta aktif
dalam tiap-tiap diskusi yang diadakan oleh CDCC, beliau mengutarakan,
“Dialog yang diadakan CDCC bisa menumbuhkan sikap toleran, karena
di CDCC merupakan tempat bertukar pikiran tentang agama-agama,
seperti contoh CDCC pernah mengundang tokoh Yahudi internasional
ini sebagai bukti CDCC ingin menciptakan masyarakat yang toleran.
Dialog yang diadakan CDCC membuat orang saling mendengar dengan
saling mendengar pasti akan salng mengenal, dengan saling mengenal
pasti akan hilang rasa saling curiga yang bisa menumbuhkan sikap
toleran”.61
59
Dede Rosyada, dkk, hlm.247.
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 September 2010
61
Wawancara pribadi dengan Theophilus Bela, Jakarta, 1 Januari 2011.
60
Untuk dapat mewujudkan hal di atas, maka CDCC membuat forumforum dialog tentang agama dan perdamaian seperti yang pernah diadakan oleh
Organisasi Masyarakat (ormas) berbasis agama, diantaranya Summit of World
Muslim Leader yang digelar di Jakarta pada tahun 2001 dengan 180 peserta dari
50 Negara. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Jakarta 2001 yang
mengandung pesan bahwa Islam adalah agama moderat dan cinta damai, anti
kekerasan, dan tidak anti kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta Internasional
Islamic Cenference (JIIC), dilaksanakan atas kerja sama Nahdhotul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah pada tahun 2003. Pada konferensi ini ingin mempertegas
peran Islam moderat Asia Tenggara yang sejauh ini direpresentasikan oleh NU,
Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya.
CDCC juga mengadakan kegiatan forum yang serupa, yaitu forum
perdamaian dunia (World Peace Forum), yang diselenggarakan berkat kerjasama
antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Cheng Ho Multi Culture Trust pada
tanggal 24 s/d 26 Juni 2008, di Hotel Sultan. Acara ini mempunyai tema
Addressing Facets of Violence: What Can be Done?. Pada forum ini dihadiri oleh
250 tokoh dari 36 negara, yang terdiri dari berbagai kalangan seperti agamawan
dan politik, pembisnis, cendikiawan, aktivis LSM dan jurnalistik.62
Pada World Peace Forum (selanjutnya WPF) mempunyai tujuan
berupaya menyuarakan agama untuk membangun perdamaian dan ingin menjadi
wadah bagi warga dunia yang peduli untuk berbagai pemikiran dan kebijakan,
mendiskusikan cara-cara praktis untuk meningkatkan kerjasama dan mengurangi
62
CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari
http://www.cdccfoundation.org.
prasangka, dan membangun kesepahaman di berbagai peradaban, sehingga bisa
mengintensifkan dialog antara peradaban.
Pernyataan Hans Kung cukup relevan untuk diangkat di sini. Hans Kung
dalam bukunya A Global Ethics for Global Politic and Economics menyerukan
pentingnya melibatkan nilai-nilai agama dalam membangun perdamaian global.
Seruan Hans Kung ini sebenarnya telah menjadi rumusan dari deklarasi parlemen
agama-agama sedunia di Chicago pada tahun 1992, yang selanjutnya dikenal
dengan etika global. Deklarasi etika global itu bukan bermaksud membentuk
agama baru, melainkan mengambil nilai-nilai etika dari agama-agama untuk
memperjuangkan perdamaian global.63
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua agama memiliki ajaran perdamaian.
Namun meskipun fakta itu terlihat jelas, sebagian besar pemeluk agama lebih
menitikberatkan “klaim keselamatan dan kebenaran”. Sehingga alih-alih
menyuarakan perdamaian, agama lebih sering dilibatkan dalam pertikaian.
Melibatkan agama dalam meredam kekerasan bisa jadi terkesan
tradisional. Sebab agama merupakan warisan masa lalu. Maka forum perdamaian
dunia yang dilaksanakan tokoh-tokoh agama ini adalah suatu alternatif yang
melengkapi pendekatan yang sudah ada. Semoga perdamaian global menjadi
semakin dekat untuk dicapai.
Pada acara Forum Perdamaian Dunia (WPF), isu-isu tentang kekerasan
pada tingkat global (Global Violence) mendapat sorotan yang tajam dari para
tokoh masyarakat dan pemimpin agama yang menghadiri forum perdamaian dunia
63
Najiyah Martiam, ed., Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim
(Yogyakarta: CRCS, t.t), h. 20
ini. Pada perdebatan soal kekerasan global, para aktor negara-negara besar
dicermati sedemikian rupa. Masih adakah kredibilitas moral negara-negara yang
menjadi kekuatan utama dunia?.
Pada Forum Perdamaian dunia Krisis moral dari pemimpin global ini
diperdebatan sangat serius. Pasalnya, realitas menunjukan negara-negara besar
terutama yang tergabung dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(DK PBB) lebih banyak menentukan tatanan politik dan keamanan global.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional
Studies (CSIS) Rizal Sukma, salah satu peserta dari Forum Perdamaian Dunia ini
mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam DK PBB dinilai berperan
dalam menginvestasikan kekerasan, khususnya terkait produksi dan penjualan
senjata.64 Karena itu, mereka perlu bertanggung jawab untuk merespon kasuskasus kekerasan pada level global, mulai dari Darfur, Palestina, dan tempattempat yang lain.
Globalisasi mengakibatkan proses marjinalisasi, baik di dalam konteks
sebuah negara maupun hubungan antar negara yang melahirkan ketidakadilan atau
kesenjangan global. Ketidakadilan mendorong banyak kelompok menggunakan
kekerasan sebagai jalan pintas untuk merespon dampak-dampak globalisasi.
Sejumlah pengalaman memperlihatkan ketidak adilan akibat globalisasi ikut
memunculkan rasa keterasingan dan keterpinggirkan yang melahirkan kekerasan
dalam bentuk konflik etnis, agama, pemberontakan dan sebagainya.
64
CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://
www.cdccfoundation.org.
Menurut Sekjen Global Assembely for Proximity of Islamic Schools of
Thought yang berbasis di Iran, Ayatullah Muhammad Ali Tashkiri sebagai salah
satu peserta, mencermati bahwa aspek primordial justru sering dimanfaatkan.
Konflik Irak misalnya bukan dipicu pertikaian agama atau aliran. Apa yang terjadi
justru sebaliknya, perang Irak dipicu oleh kepentingan atau interes Amerika.
Sunni dan Syiah yang selama ini dituding sebagai penyebab konflik,
sebetulnya sudah hidup berdampingan selama lebih dari seribu tahun. Intervensi
Amerika Serikat justru memecah belah Sunni dan Syiah. Latar belakang politik
dalam konflik-konflik yang sepintas bernuansa agama justru terjadi di Palestina
dan Afghanistan.
Dipihak laian, ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU)
Hasyim Muzadi memperkirakan konflik yang nyata pertikaian agama hanya 30
persen saja. Sedangkan 70 persennya lebih bernuansa politik dan ekonomi, yang
sengaja diagamakan atau melibatkan umat beragama sehingga seakan-akan
konflik agama.
Kehadiran agama itu sendiri bukanlah penyebab utama kekerasan. Jika
disalahgunakan dan diinterpretasikan menyimpang, agama dapat digunakan untuk
menciptakan kerusakan dan perpecahan. Patut disadari pula di dalam agama itu
sendiri termaktub solusi untuk mengatasi kekerasan, sejauh mana para penganut
agama memahami dan memanfaatkan nilai-nilai di dalamnya.
Dunia yang damai sulit diwujudkan bila kita tidak mengelimanisi ketidak
adilan dan ketidaksetaraan, eksploitasi, ekstemisme, intoleransi, diskriminasi,
penistaan dan segala bentuk kekerasan, termasuk peristiwa konflik bersenjata baik
dalam maupun antaragama, genosida, represi serta berbagai bentuk lain
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terorisme, agresi, maupun tindakantindakan lain yang mendegradasi martabat manusia.
Dalam Forum Perdamian Dunia yang diselenggarakan oleh CDCC,
menyepakati bahwa agama bukan akar kekerasan seperti yang diungkapkan para
peserta dan pembicara dalam forum ini. Tercipta konsensus bersama bahwa
agama bukanlah akar tindak kekerasan, tetapi memang kerap kali ajaran agama
disalahgunakan dan digunakan sebagai alasan untuk aksi kekerasan, seperti yang
dikatakan Sekjen Religion for Peace sebuah LSM yang bermarkas di New York,
Amerika Serikat, Dr William F Vandley. Menurut William, forum perdamaian
yang di hadiri oleh ratusan peserta dari segala agama dan kepercayaan juga
bersepakat untuk mendesak semua pihak untuk melindungi kaum minoritas.
Perlindungan terhadap minoritas disepakati sebagai hal yang tidak bisa lagi
diabaikan bila dunia hendak menciptakan perdamaian dan toleransi.65
Dari hasil pertemuan forum perdamaian yang diadakan oleh CDCC
menyepakati Penghormatan terhadap agama merupakan kunci atasi kekerasan.
Kekerasan yang dilandasi oleh perbedaan agama dan ras tidak akan bisa
diselesaikan tanpa adanya penghormatan terhadap keberagamaan. Kekerasan yang
melibatkan penyalahgunaan sentimen agama dan etnis sangat membahayakan dan
dapat mengancam kemanusiaan, oleh karena itu dialog perlu dikedepankan untuk
memperkuat saling pemahaman antar agama dan etnis untuk menghindari
terjadinya konflik kekerasan yang mengancam peradaban.
65
CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http://
www.cdccfoundation.org
Dialog yang diadakan oleh CDCC bukan hanya Forum Perdamaian
Dunia (world peace forum) akan tetapi dialog-dialog yang lain juga diadakan
demi terwujudnya toleransi antar umat beragama.
Setelah melakukan dialog dalam takaran wacana dan merespon isu-isu
tentang keagamaan, CDCC melakukan dialog dalam dialog kerja sosial. Dialog
kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan dan telah mengarah pada
bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan.66 Dasar
sosiologis nya adalah pengakuan akan pluralisme sehingga tercipta suatu
masyarakat yang saling percaya. Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih
sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat
aktif dalam kemajemukan itu.
Dalam dialog ini CDCC menamakannya dengan Interfaith in Action
dengan tema “ Dialog Lintas Agama Untuk Pengentasan Kemiskinan dan
Ketidakadilan”. Pada diaog ini CDCC bekerja sama Persatuan Gereja Indonesia
(PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Muhammadiyah, Fathayat NU
dan World Vision Indonesia yang memberikan dana bagi kegiatan tersebut.
Dalam dialog ini, CDCC melakukan dialog dalam kerja-kerja sosial.
Dalam melakukan kegiatan ini CDCC memusatkan pada empat titik lokasi, yaitu
wilayah barat Indonesia di Pontianak, wilayah timur Indonesia di Palu, dan
wilayah Jawa di Yogyakarta, dan Surabaya, seperti yang diutarakan oleh Ilham
Munzir dalam kutipan wawancara di bawah ini,
66
Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-pluralis,
(Jakarta: Paramadina,2004), h. 208
“Dalam upaya menciptakan masyarakat toleransi dalam beragama
CDCC melakukan kegiatan yang dinamakan Interfaith in Action “
dialog lintas agama untuk pengentasan kemiskinan dan ketidak
adilan” dalam kegiatan ini CDCC dibantu oleh World Vision
Indonesia. Sasaran kegiatan ini dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu
Pontianak berkaitan dengan fogging dan petani lele, Palu berkaitan
dengan perdamaian antar agama, Yogyakarta berkaitan dengan
pemberdayaan ekonomi kecil dan Surabaya berkaitan dengan
mengkampayekan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan
anak jalanan”.67
Di Pontianak dialog dalam bentuk kerja sosial CDCC melakukan
kegiatan berkaitan dengan masalah ekonomi dan kesehatan. Dalam masalah
ekonomi CDCC dan World Vision Indonesia memberikan modal bagi masyarakat
yang berbeda agama dengan melakukan budi daya ternak ikan lele. Dalam
masalah kesehatan CDCC dan World Vision Indonesia melakukan Fogging. Pada
budi daya ternak lele dan fogging
ini, CDCC dan World Vision Indonesia
memberikan modal sebesar Rp.100.000.000,- bagi kegiatan tersebut.
Tujuan
kegiatan ini untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan
memberikan kesempatan mereka dengan budi daya ikan lele dan membrantas
wabah demam berdarah di daerah pontianak.
Di Palu dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC bekerja sama dengan
PGI dan KWI dari Kristen, Muhammadiyah dan NU dari Islam. Pada kegiatan ini
menekankan pada pentingnya perdamaian agama. Pada dialog ini CDCC
berkerjasama dengan tokoh-tokoh agama dan para aktivis agama dari agama yang
berbeda. Pada kegiatan ini CDCC melakukan penyuluhan dan seminar-seminar
yang berkaitan dengan pentingan perdamaian agama. Agama merupakan ajaran
kasih sayang, dan ajaran damai. Agama bukanlah sumber dari terjadi konflik.
67
Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta 21 November 2010.
Kegiatan dialog kerja sosial ini diharapkan dapat mewujudkan
masyarakat Palu menjadi masyarakat yang toleran terhadap agama yang berbedabeda dan menghargai pluralisme, sehingga dapat terwujud masyarakat Palu yang
damai dan selalu tersenyum untuk semua agama, tanpa adanya permusuhan.
Di Yogyakarta dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC memusatkan
pada hal ekonomi. CDCC
melakukan pemberdayaan ekonomi kecil dan
menengah dengan memberikan pinjaman sebagai modal usaha. Dengan
melakukan hal ini diharap ekonomi kecil dan menengah tetap bisa berusaha,
sehingga bisa menekan angka kemiskinan yang ada di daerah Yogyakarta. Pada
kegiatan ini CDCC dan World Vision Indonesia juga memberikan modal sejumlah
Rp.100.000.000,-.
Di Surabaya dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC lebih menekankan
pada hal kemanusiaan. Dalam melakukan kegiatan ini CDCC bekerjasama dengan
Persatuan Gereja Indonesia (PGI), KWI, Nasiatul Aisyah (NA), Fatayat NU dan
World Vision Indonesia. Pada kegiatan ini CDCC fokus pada mengkampayekan,
melindungi dan memperdayakan perempuan dan anak jalanan. Pada kegiatan ini
diharapkan nilai-nilai kemanusiaan bisa terangkat.
CDCC mempunyai nilai dalam perjuangan, yaitu nilai kemanusiaan yang
bersifat universal. Kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai
yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan
keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis,
dan kebudayaan. Kerena pada dasar nya ada sebuah common agreement diantara
berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang
sangat terhormat. Dengan memperdayakan perempaun dan anak jalanan berarti
CDCC berusa mewujudkan nilai-nilai kemanusian yang mereka perjuangkan
melalui dialog dalam bentuk kerja sosial.
Dari kegiatan Interfaith in Action merupakan kilat project yang diadakan
oleh CDCC yang bekerja sama dengan World Vision Indonesia. Kegiatan ini saat
ini belum terlihat hasilnya, karena usia pelaksanaan nya kurang lebih baru satu
tahun. Menurut Ilham apabila kegiatan itu berjalan sudah dua tahun maka akan
dievaluasi apakah kegiatan ini berhasil untuk menciptakan masyarakat yang
toleran dengan kegiatan Interfaith in Action ini. Jadi untuk saat ini belum terlihat
hasilnya sukses atau tidak.
Untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, pada tanggal 6 Februari
2011, di Istora Senayan, Jakarta
CDCC bekerjasama dengan Inter Religius
Council Indonesia dan lembaga-lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah,
Persada Hindu Darma Indonesia (PHDI), Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), WALUBI, dan
Majelis Taoisme Indonesia menyelengarakan World Interfaith Harmony Week “
Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama Sedunia” dengan tema “Harmony in
Diversity”.
Pada acara ini diisi dengan pesan-pesan kerukunan dari tokoh-tokoh
agama dan pemerintahan. Dari kalangan agama pesan kerukunan tersebut
disampaikan oleh tokoh agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu. Dari kalangan pemerintahan disampaikan oleh Ketua MPR RI dan
Ketua DPD RI. Dalam pesan tersebut masing-masing agama menyerukan untuk
saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama, guna terciptanya
masyarakat indonesia yang toleran terhadap yang lain, dengan terwujudnya
masyarakat yang toleran tersebut maka perdamaian di bumi Indonesia ini dapat
terwujud.
2. Membangun Dialog Politik.
Apabila penulis mengacu definisi civil society menurut Zbigniew Rau,
Han Sung-Joo, dan Kim Sunhyuk, mereka pada intinya mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan civil society merupakan kondisi masyarakat yang mengandalkan
ruang, di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung mempunyai
ruang yang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Negara. Ruang publik yang
individu atau masyarakat miliki mampu mengartikulasikan isu-isu politik dan
gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independent.
CDCC merupakan bagian dari civil society yang berupaya melakukan
penguatan ruang publik, oleh karena itu dalam melakukan setiap kegiatannya
selalu bercirikan independent dan bebas dari pengaruh pemerintah dalam
mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Sejalan dengan pernyataan Abdul Mu’ti selaku direktur eksekutive
CDCC mengutarakan bahwa CDCC mempunyai nilai perjuangan yang bersifat
terbuka, seperti kutipan wawancara di bawah ini,
“CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang memiliki
kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiranpikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang
diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat
yang secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki
keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara
terbuka dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam
berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh
CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap pemerintah atau
masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat
yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi terhadap
kemanusiaan”.68
Sesuai dengan pernyataan Abdul Mu’ti, CDCC dalam melakukan dialogdialog yang berkaitan dengan hal-hal politik CDCC selalu mengkritisi tindakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan tujuan bangsa. Dalam melakukan kritis
terhadap pemerintah, CDCC membentuk dan memfasilitasi para tokoh-tokoh
agama dan aktivis untuk membicarakan hal-hal kenegaraan dengan melakukan
dialog.
Sebagai wujud dari nyata dari konsep yang ditawarkan CDCC melakukan
kritik dan masukan terhadap pemerintah sebagai wujud nyata CDCC bagian dari
civil society. Dalam dialog yang berkaitan ukhuwah politik Islam, CDCC
memfasilitasi tokoh-tokoh Islam umtuk berdialog mengenai keberadaan Islam di
Indonesia yang dirasakan hanya Islam simbolis. Seperti yang diutarakan Ilham
Munzir,
“Dalam melakukan dialog CDCC berusaha menciptakan ukhuwah politik
Islam dengan cara bersatu nya partai-partai Islam”69
Sejalan dengan ungkapan Din Syamsudin dalam dialog, Din Syamsudin
meminta semua partai politik Islam untuk terus melakukan konsolidasi, sehingga
dapat mengisi reformasi di Indonesia. Din Syamsudin berharap jangan sampai
Islam hanyalah sebagai simbolis, Islam tapi “tidak bisa apa-apa” oleh karena itu
68
69
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 Sepetember 2010
Wawancara pribadi dengan Ilhammunzir, Jakarta 21 November 2010
Din Syamsudin berpendapat konsolidasi antar partai politik Islam, termasuk dari
lingkaran partai berbasis Islam harus terus didorong.70
Seperti yang diutarakan oleh Ilham Munzir Tujuan dialog ini merupakan
usaha yang dilakukan CDCC dalam upaya membentuk wacana poros tengah, yang
tujuannya hanya ingin agar Islam dapat mengisi masa reformasi yang terjadi di
negara ini. Islam diharapkan harus bisa memainkan perannya di masa sekarang
untuk memperbaiki bangsa. Islam jangan sampai hanya jadi Islam simbolis, Islam
tapi tidak bisa apa-apa untuk memperbaiki kondisi bangsa yang maikin terpuruk
ini.71
Poros tengah ini kedepan diharapkan bisa mengembangkan lingkaran
simpul kebangsaan. Tujuan lingkar simpul kebangsaan ini untuk mencari
kesamaan antara simpul-simpul Islam (parpol Islam serta Ormasnya) dan juga
simpul dengan kalangan lain untuk membangun bangsa ini kearah yang lebih
baik.
Pada acara ini dihadiri antar parpol Islam itu sendiri, antara lain
menghadirkan Ketua Umum DPP Partai Bintang Reformasi (PBR), Bursah
Zarnubi, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin
Iskandar, dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hamdan
Zoelva, serta Ketua MUI, Amidan.
Konsep poros tengah jilid 2 memang belum berhasil hingga saat ini,
mungkin kegagalan tersebut karena masing-masing partai Islam mempunyai
70
CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http://
www.cdccfoundation.org
71
Wawancara pribadi dengan Ilham Mundzir, Jakarta 21 November 2010.
kepentingan masing-masing, tapi setidaknya CDCC sudah berupaya menyatukan
partai-partai Islam demi membangun bangsa ke arah yang lebih baik.
Dalam melakukan control terhadap pemerintah, CDCC menjelang pemilu
selalu mengkritisi jalannya pemilu. Pemilu adalah agenda penting untuk
mendorong demokratisasi yang sudah berjalan cukup baik di Indonesia guna
melanjutkan proses reformasi di semua kehidupan bangsa. Oleh karena itu CDCC
kepada pemerintah meminta untuk meningkatkan segala upaya agar pemilu dapat
berlangsung sesuai jadwal, aman, tertib dan berkualitas. Sementara itu kepada
KPU dan seluruh jajarannya, CDCC berharap agar mereka bertindak sebagai wasit
yang jujur dan adil dengan menghindari setiap bentuk penyimpangan dan
ketidakjujuran.
Sedangkan, kepada semua partai politik peserta pemilu dan segenap
caleg untuk senantiasa berpegang teguh pada etika politik, jiwa sportivitas,dan
semangat bersaing secara sehat tetap bersaing secara sehat tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat juga diminta untuk
berpartisipasi dalam mendorong terlaksana pemilu secara damai dan berkualitas.
Hak politik masyarakat juga diminta CDCC untuk disalurkan sesuai dengan
pilihan masing-masing.
Pada dialog yang berkenaan dengan pemilu, CDCC mengundang para
tokoh lintas agama. meraka menyuarakan agar seluruh masyarakat Indonesia
menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya dan meraka pun meminta KPU
untuk bersikap netral. Seperti yang diserukan oleh Din Syamsudin agar rakyat
menggunakan hak politik dengan cerdas, merdeka, dan bertanggung jawab.72
Esensi dialog berkenaan pemilu adalah mendesak pemerintah untuk
memberikan hak politik rakyat yang tidak bisa mengikuti pemilu karena alasan
tertentu. Seperti yang diutarakan oleh Ilham Munzir,
“Menjelang pemilu CDCC selalu mengadakan diskusi dan dialog untuk
mendesak pemerintah guna memberikan hak suara rakyat yang belum
terdaftar pada DPT (Daftar Pemilu Tetap) dan sebagai alternatifnya
dengan menunjukan KTP domisi masing-masing.”73
Sesuai dengan pernyataan di atas maka CDCC berusaha mewujudkan
nilia-nilai demokrasi di Indonesia ini, karena menghargai hak-hak suara rakyat
yang belum terakomodasi dengan baik karena hal hal yang mungkin disengaja
atau tidak disengaja oleh pemerintah.
CDCC juga berharap melalui tokoh-tokoh agama, bagi seluruh rakyat
Indonesia, diharap dapat mensukseskan seluruh rangkaian proses pemilu dengan
menjaga persatuan kerukunan dan perdamaian. Seluruh umat beragama juga
memanjatkan doa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing supaya pemilu
bisa berlangsung dengan lancar, damai dan beradab.
Pada pertemuan yang dilakukan oleh CDCC dihadiri oleh tokoh liintas
agama, yaitu Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua MUI Amidan,
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Y Dwi Hartanto PR, Pendeta Gultom
dari PGI, Lieus Sungkanarisma dari Budha, Rusli dari Walubi, Gustaf Dupe dari
SKKJ, dan Lumban Raja dari BKSG.
72
CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http://
www.cdccfoundation.org
73
Wawancara dengan Ilham Munzir, Jakarta 21 November 2010.
Setelah pemilu berlangsung berjalan damai dan memutuskan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai President dan Wakil President,
CDCC tetap melakukan kritik terhadap jalannya pemerintah seperti dialog tentang
pentingnya oposisi, seperti diutarakan dalam kutipan wawancara di bawah ini,
“Setelah pemilu CDCC selalu membincangkan pentingnya oposisi. Karena
melihat SBY berhasil mengakomodir sebagian partai-partai besar untuk
berkoalisi masuk dalam pemerintahan, melihat hal ini CDCC ragu untuk
terbentuknya pemerintahan yang baik karena tidak adanya check and
balance sehingga sangat buruk terhadap demokrasi.” 74
Seperti yang kita ketahui bersama, setelah kemenangan partai Demokrat
dan terpilihnya SBY sebagai president, seolah-oleh mereka yang paling berkuasa,
dengan mengakomodir seluruh partai untuk koalisi terhadap pemerintahan, hal itu
menurut hasil dialog merupakan hal yang kurang baik terhadap jalannya
demokrasi di bangsa ini, karena tidak adanya check and balance.
Check and balance sangat diperlukan pada negara demokrasi seperti
Indonesia, dengan adanya kontrol dan pengawasan maka pemerintah bisa berjalan
tidak semaunya sendiri. Dengan adanya pengawasan maka setiap keputusankeputusan akan memihak kepada masyarakat dan tidak otoriter hanya
mementingkan kepentingan kelompoknya.
Pengawasan yang dilakukan oleh CDCC adalah dengan memfasilitasi
dialog-dialog yang berkaitan dengan kebangsaan. Dialog-dialog yang dilakukan
seperti dialog yang membahas tentang kasus Century yang dilakukan oleh tokohtokoh lintas agama dengan topik bahaya korupsi terhadap kesejahteraan bangsa.
74
Wawancara pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta 21 November 2010.
Dialog yang berkaitan dengan korupsi tersebut mengundang oleh Romo
Beni, Abdul Mu’ti dan Bahtiar Effendi. Mereka menyepakati bahwa korupsi akan
menghancurkan eksistensi bangsa Indonesia dari segala lini kehidupan. Lini moral
kejujuran yang diharapkan bisa membangun bangsa hancur karena perampokan
terhadap bangsa tetap berjalan. Lini
kemanusiaan pun hancur karena para
koruptor merampok harta negara, dengan perampokan itu berarti meraka
merampas hak rakyat untuk menghirup udara kesejahteraan dan kemakmuran,
sehingga meraka hidup dalam garis kemiskinan dan kebodohan karena ulah
tangan para koruptor bangsa ini.
Konsep
ruang
publik
merupakan
tempat
bagi
publik
untuk
mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud
kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan
berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan
membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.
Berdasarkan konsep ruang publik diatas, maka CDCC juga bersama
ormas keagamaan selalu mengkritisi jalannya pemerintahan dengan membentuk
Gerakan Indonesia Bersih. Pada gerakan ini CDCC sebagai fasilitator. Puncak
gerakan ini adalah dengan turun kejalan bersama mahasiswa, aktivis dan tokoh
agama untuk memperingati hari korupsi sedunia dengan melakukan demonstrasi
di depan Istana President dengan menyuarakan agar pemerintah yang dipimpin
oleh SBY tegas dalam membrantas korupsi di bangsa ini dengan secara cepat
untuk menangani kasus Century dan kasus korupsi lainnya yang terjadi di bangsa
ini.
3. Membangun Dialog Budaya.
Apabila mengacu pada aliansi peradaban sebagai wujud upanya
mengatasi benturan peraban yang dipikirkan oleh Samuel Huntington, dialog antar
budaya harus kita lakukan. Seperti yang diutarakan oleh Ali Alatas, mantan
menteri Luar Negeri RI, bahwa Aliansi Peradaban-peradaban menegaskan
kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat saling interdependen dan bahkan
terkait satu sama lain dalam pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan, serta
berusaha membangun perasaan saling menghargai dan menempa kemauan politik,
serta langkah terencana dan terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan
masyarakat madani untuk mengatasi prasangka.
Untuk memenimalisir perasaan saling curiga dan saling tidak percaya
antara budaya yang satu dengan budaya lainnya, maka diperlukannya tempat
untuk mempertemukannya. Tempat itu adalah forum dialog antar budaya. Forum
dialog itu diharapkan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya bisa saling
mengenal dan memahami, sehingga perasaan saling curiga bisa terhapuskan.
Sejalan dengan pernyataan Abdul Mu’ti bahwasanya CDCC mepunyai
nilai perjuangan yang besrsifat Equality,
seperti dalam kutipan wawancara
dibawah ini,
“CDCC tidak berada pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban
atau kebudayaan lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang
lain, karena untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip
equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulankeunggulan prestasi yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakatmasyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada
aspek equality itu melekat dengan plurality atau pluralitas kerena
mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan
tetapi sesungguhnya mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam
berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang
lainnya”.75
Untuk mewujudkan nialai equqlity tersebut maka CDCC berupaya
mewujudkan hal tersebut melalui mempertemuan kebudayaan yang berbeda
dengan forum dialog. CDCC merupakan bagian dari Indonesia. Indonesia
merupakan bagian dari peradaban dunia yang cukup kaya dan maju sejak
beberapa abad lalu, sejak Majapahit, Sriwijaya dan Mataram. Sekarang sebagai
negara bangsa yang besar dan kaya dengan sumber daya alam dan modal budaya
yang relevan dengan kemajuan. Indonesia sangat potensial untuk bangkit sebagai
sub peradaban yang maju. Oleh karena itu, kata Din, peradaban-peradaban dunia
lain, seperti Barat, Cina,dan Rusia dapat menjadikan Indonesia sebagai mitra
strategis dalam membangun peradaban dunia baru yang maju dan beradab.
Dalam upaya membangun dialog antar kebudayan, CDCC melakukan
suatu kegiatan kebudayaan antara Indonesia dan Rusia. Kegiatan tersebut adalah
malam apresiasi puisi Rusia. Seperti ungkapan para pepatah tak kenal maka tak
sayang, acara apresiasi puisi Rusia ini menjadi media untuk mengetahui secara
dekat kebudayaan dan keberadaan masyarakat Rusia.
Pada malam apresiasi puisi ini Rusia diperkenalkan melalui puisi. Pada
malam apresiasi ini seniman Rusia memperkenalkan bangsa dan negaranya
melalui puisi para pujangganya yang mengisahkan kehidupan masyarakat pada
masa perang melawan fasisme dan setelah kemerdekaan.
Puisi merupakan cerminan sebuah bangsa dan negara, karena puisi
seseorang bisa mendalami pengetahuan tentang perkembangan sejarah, budaya
75
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 Sepetember 2010
dan watak suatu negara. Menurut Duta Besar Rusia untuk Indonesia Alexander
Ivanov pada acara malam apreasi puisi tersebut mengutarakan, melalui puisi para
pujangga terkenal Rusia yang dibacakan di kantor CDCC seperti Sergay Esenim,
Musa Djalil, Robert Rozhdestwensky, David Somailow,dan
Igor Saruhanov
memberikan informasi perjalanan sejarah bangsa Rusia.76
Di sisi lain Din Syamsudin selaku ketua CDCC mengutarakan bahwa
karya puisi pujangga Rusia abad 20-21 itu memiliki dimensi religius yang sangat
kuat. Hal ini tercermin pada penggalan puisi “Saya Cuma Orang Sambil Lalu”
karya Esenin yang menuliskan bahwa di tengah-tengah dosa-dosa dunia ada
kerinduan dan rasa sedih untuk kembali kepada penciptanya dan mengabdi kepada
tanah air. Selain itu, juga mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam.
Karena itu, melalui apresiasi puisi dan lagu ini antara Indonesia dan Rusia bisa
saling mengenal dan mencintai sebagai sesama manusia, sehingga tercapai tata
dunia yang damai.
Pada acara malam apresiasi puisi Rusia Veronika Novoseltseva
menterjemahkan secara sepontan lagu “Ayat-ayat Cinta” pada pembukaan acara
tersebut. Hal ini sebagai wujud usaha saling menghargai antara kebudayaan kedua
negara ini. Mengenai hubungan antara Indonesia dan Rusia selama ini sudah
tergabung dalam Aliansi Straregi Rusia dan Dunia Islam. Melalu forum ini,
permasalahan yang terkait dengan masalah umat dibahas dan dicari solusinya,
karena CDCC selalu dikunjungi oleh pemuka agama Rusia, salah satunya adalah
petinggi agama Kristen Ortodoks Rusia, termasuk president akademi Rusia untuk
76
CDCC News, artikel diakses pada tanggal 12 Januari 2011dari http://
www.cdccfoundation.org
bisnis. Dengan kerjasama ini kedua negara ini bisa saling mengerti dan
memahami sehingga terbentuk kerjasama yang damai.
Dalam melakukan dialog tentang kebudayaan, CDCC juga mendorong
proses proses perspektif budaya yang tinggi, terbuka dan diterima oleh seluruh
aspirasi baik itu minoritas ataupun mayoritas, karena CDCC mempunyai nilai
kesetaraan dalam melakukan dialog.
Sejalan dengan pendapat Eep Saefullah Fatah mengutarakan bahwa
Publik adalah warga negara yang mempunyai keberanian untuk menegaskan
eksistensi dirinya, hal ini menarik untuk kutip.
“Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hakhaknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang
memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan
pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya
terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif.
Publik bukan kerumunan massa yang diam (mass of silent).”77
Contoh dari dialog yang terbuka tentang budaya adalah tentang masalah
pemanasan global (global warming). CDCC bukan hanya mendiskusi hal ini
dengan pakar-pakar yang seperti dilakukan oleh kelompok lain dengan
mengundang ahli lingkungan hidup atau dari pemerintahan, tapi CDCC
mendorong serta melakukan dialog dengan mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang
selama ini dipinggirkan untuk membahas tentang masalah pemanasan global,
seperti kutipan wawancara di bawah ini,
“Dialog yang pernah lakukan yaitu dalam level elit, seperti isu tentang
global warming. CDCC mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang salama ini
dipinggirkan, mereka dikumpulkan untuk membahas tentang global
warming dalam perspektif mereka”.78
77
Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi
Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), h. 269-270.
78
Wawancara Pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir, Jakarta 8 Desember 2010.
Hutan merupakan tempat tinggal dari suku-suku yang tertinggal di
Indonesia. Hutan yang ada di Indonesia semakin hari semakin berkurang karena
terjadi penebangan hutan yang tidak teratur dan terkontrol oleh pemerintah.
Dalam dialog ini tokoh-tokoh adat mengeluhkan mengenai pemansan global, dan
kecewa terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang memberikan Hak
Penebangan Hutan (HPH) terhadap perusahan sangat mudah dan tidak tegas.
Dengan memberikan izin yang mudah itu kerusakan hutan dan lingkungan terjadi
dimana-mana, serta eksistensi suku-suku yang tertinggal pun akan terancam.
Selama ini suku-suku tertinggal di Indonesia kurang mendapat perhatian
dari pemerintah, pemerintah hanya lebih mengutamakan kepentingan perusahaan
dengan memberikan HPH yang sangat mudah. Oleh karena itu CDCC sebagai
pusat dari dialog memberikan ruang yang bebas terhadap tokoh-tokoh adat untuk
meluapkan perasaan yang selama ini mereka rasakan terhadap ketidakadilan
pemerintah.
Dalam melakukan dialog tentang kebudayaan CDCC juga mengangkat
isu mengenai Palestina-Israel. Biasanya kebayakan kelompok lain dalam
membahas isu tentang Palestina-Israel hanya melihat dari sudut politik dan agama,
akan tetapi CDCC melihat isu ini dari sudut budaya.79
Kalau melihat kondisi kehidupan sosial masyarakat Palestina, mereka
hidup dalam berbagai suku dan agama berbeda. Kehidupan masyarakat Palestina
terdiri bukan hanya dari suku arab saja atau dari agama Islam saja, akan tetapi
meraka hidup dalam keaneka ragaman, ada Islam, Yahudi dan Nasrani.
79
Wawancara pribadi dengan Piet Hizbullah khaidir, Jakarta 8 Desember 2010.
Kekejaman Israel memang kalau dilihat dari perspektif agama, terlihat
seolah-oleh perang antara Islam melawan yahudi. Tapi kalau dilihat dari
perspektif budaya Israel telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan
merenggut nyawa dan merampas kebebasan warga Palestina.
Apapun agamanya, setiap orang pasti terpanggil hatinya melihat
kekejaman Israel menghancurkan Palestina. Oleh karena itu CDCC dan Partai
Damai Sejahtera (PDS) prihatin dengan keadaan rakyat Palestina yang
mengenaskan. Kami peduli dengan nasib yang menimpa rakyat Palestina,
Sehingga dari hasil dialog tersebut atas nama PDS, Rusyandi Hutasoit selaku
Ketua Umum menyerahkan bantuan senilai 1.000 dolar Amerika dan Rp 3 Juta.80
Pada dialog tersebut, dihadiri oleh Ketua MUI, Amidan dan Dubes
Palestina untuk Indonesia Fariz Al Mehdawi. Pada dialog ini mereka sepakat
bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Israel melanggar hak asasi manusia. Pada
dialog ini juga merupakan cermin dari kerukunan kehidupan beragama, sehingga
ini merupakan pesan damai bagi dunia pada umumnya dan khususnya Israel yang
kini membombardir jalur Gaza.
Dalam melakukan dialog budaya CDCC juga melalui seni, yaitu dengan
lukisan yang mempunyai tujuan ingin mengeratkan ukhuwah kedua ormas besar
di Indonesia dengan melukis kedua tokoh pendiri Muhammadiyah dan tokoh
pendiri NU.81
80
CDCC News, artikel diakses pada tanggal 12 Januari 2011dari http://
www.cdccfoundation.org
81
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010
Keinginan menyatukan umat Islam bukan hanya dengan cara
mempertemukan mereka secara langsung. Perbedaan pandangan antara satu
organisasi keumatan dengan lainnya adalah hal yang lumrah atau sunnatullah.
Sebetulnya bukan sesuatu hal yang harus diperdebatkan, misalnya dalam
penentuan penaggalan Hijriah. Walaupun belum menentukan suatu formula yang
tepat dua ormas besar Muhammadiyah dan NU mencoba menggunakan cara-cara
elegan.
Namun ternyata, keinginan untuk lebih merukunkan dua ormas Islam itu
tidak hanya keinginan dari Muhammadiyah dan NU sendiri. CDCC memfasilitasi
Seorang pelukis asal Jawa Timur, Dukan Wahyudi mencoba menuangkan dalam
seni lukis yang bertemakan “The Lamp” dimana pada satu media kanvas
berukuran 90x150 cm, tokoh pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan dan
tokoh pendiri Nahdotul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari dilukiskan dalam satu
bingkai.
Lukisan ini menceritakan dua tokoh Islam yaitu Ahmad Dahlan dan
Hasyim Asy’ari ibaratnya seperti lampu yang menerangi umat dari kegelapan,
kalau salah satu lampu ini mati artinya akan muncul perbedaan, karena itu kedua
lampu ini harus tetap terjaga memberikan penerangan.
Pada waktu yang sama yang kebetualan hadir Ketua Dewan Tanfidz NU
KH. Sholahudin Wahid menanggapi lukisan tersebut. Beliau menyatakan bahwa
kedua tokoh itu menunjukan Islam yang moderat rahmatan lil alamin, selain
pemikiran-pemikirannya kedua tokoh ini sangat luar biasa, berbeda dengan
pejabat yang banyak saat ini belum tentu dapat membimbing umat dengan baik.
Kedua tokoh ini mempunyai kelebihan, mudah-mudahan kita sebagai generasi
penerus bisa meneladani mereka. Dengan meneladani mereka semoga kedepan
Islam dapat memberikan sumbangsih yang besar kepada bangsa melalui akhlak
yang baik.
Disisi lain, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin juga
mengutarakan penyandingan dua tokoh utama yang menjadikan dua ormas besar
ini ada, harus dijadikan hal yang penting oleh jamaah kedua ormas Islam besar
Muhammadiyah dan NU sehingga bisa menjadi penerang, pelita yang terus
menyinari umat dan bangsa hampir satu abad lamanya dengan mempererat
ukhuwah islamiyah.
Mendekatkan antara Muhammadiyah dan NU itu sangat penting. Kedua
ormas besar ini mutlak berkaloborasi, bersinergi dan bekerjasama dalam
membangun umat Islam, kalau umat Islam maju bangsa Indonesia akan
mengalami kemajuan. Meskipun ada nuansa-nuansa perbedaan itu lebih karena
faktor politik, tetapi perlu diresapi oleh warga Muhammadiyah dan NU harus
tetap berada pada jati dirinya sebagai gerakan dakwah dan gerakan kultural yang
mencerahkan umat.
4. Membangun Dialog Ekonomi
CDCC merupakan pusat untuk individu atau kelompok masyarakat yang
mempunyai latar belakang sosial yang berbeda untuk melakukan dialog yang
membahas hal-hal yang relevan yang sedang dihadapi, baik masalah agama,
politik, budaya dan ekonomi. Pada pembahasan kali ini penulis akan membahas
tentang dialog ekonomi yang telah dilakukan oleh CDCC.
Pada bidang ekonomi, krisis keuangan global dunia pada tahun 2008
merupakan momentum bagi bangsa Indonesia untuk memikirkan kembali strategi
pembangunan ekonomi yang bisa bertahan dari terpaan krisis sekaligus lebih
mensejahterakan. Karenanya Centre for Dialogue and Cooperation among
Civilization berinisiatif menggelar diskusi atau dialog berseri mengenai
pembangunan ekonomi alternatif yang menghadirkan para pakar dan praktisi
ekonomi dari akhir Desamber 2008 hingga Februari 2009.82
CDCC merupakan bagian dari civil society, oleh karena itu pada diskusi
atau dialog tentang ekonomi di atas bermuara pada sikap, pandangan dan pikiran
mereka terhadap pemerintah. Pada diskusi ini CDCC tidak memfokuskan pada
kondisi global karena CDCC tidak punya cukup akses, walaupun kita bisa
mendesak kepada pemerintah. Yang menjadi fokus CDCC adalah penguatan
perekonomian nasional, kedaulatan ekonomi dan kemandirian bangsa. Apalagi
bangsa kita mempunyai modal sosial, modal alam dan peluang.
Pada diskusi ini CDCC mengundang para pakar dan praktisi ekonomi
Indonesia, pada diskusi ini lebih menekankan bagaimana bangsa ini mewujudkan
perekonomian nasional yang mandiri dan sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia
sebagai bangsa agraris. Mengenai tema yang didiskusikan mengenai ekonomi,
CDCC membahas hal-hal yang tertera pada tabel di bawah ini.
82
Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010
No
Waktu dan
tempat
Tema
Narasumber
1.
CDCC, 24
Desember 2008
Penyehatan Struktur
Ekonomi dan
Pembangunan Ekonomi
UMKM:
“Mengembangkan
Ekonomi Kerakyatan di
Tengah Krisis Ekonomi
Global”
M. Fadhil Hasan
2.
CDCC, 7
Januaari 2008
Tawaran Pembangunan
Pertanian yang Lebih
menyesejahterakan:
“Pengembangan
Ekonomi Kerakyatan
Berbasis Pertanian”
Bustanul Arifin
3.
CDCC, 15
Januari 2009
Membangun Ekonomi
berbasis Lapangan Kerja:
“Masalah
Ketenagakerjaan dan
Solusinya”
Bomber Pasaribu
4.
CDCC, 21
Januari 2009
Menajamkan Peran
Lembaga Keuangan
Mikro Untuk
Pengentasan
Kemiskinan:
“Pengembangan
Keuangan Mikro Untuk
Pengentasan
Kemiskinan”
Affendi Anwar
5.
CDCC, 12
Februari 2009
Membedah Ragam
Persoalan ekonomi
Indonesia: “Strategi
Pengembangan Ekonomi
Mikro Untuk
Kesejahteraan Rakyat”
Aviliani
6.
CDCC, 26
Februari 2009
Menuju Pembangunan
Aviliani,
Ekonomi yang
berkualitas Berkelanjutan Bomber Pasaribu,
dan
Bustanul Arifin,
Bermakna:“Langkah-
langkah Pengembangan
Ekonomi Alternatif”
Indria Samego, dan
M. Fadhil Hasan
Seperti penulis dan kita rasakan bersama ekonomi Indonesia saat ini
masih belum mampu mempersembahkan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Ada
banyak persoalan yang menuntut untuk dikaji dan mendesak diselesaikan. Dari
identifikasi berbagai masalah, baik yang terkait dengan ideologi, strategi,
kebijakan, aktor maupun pelaksanaan pembangunan, diskusi berseri para pakar
yang diadakan oleh CDCC menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut adalah:
1. Pendekatan Jalan Tengah.
Pada daasarnya UUD telah mengamanatkan suatu sistem ekonomi yang
mengutamakan keadilan dan pemerataan. Sistem ekonomi ini kerap diacu
sebagai ekonomi kerakyatan, ekonomi rakyat, ekonomi pancasila,
ekonomi alternatif atau bahkan ekonomi syariah. Tanpa harus menentukan
nomenkalturnya, sistem ekonomi Indonesia memang sudah sepatutnya
mengacu pada amanat konstitusi tersebut, yang tampak mengedepankan
pendekatan jalan tengah, yang tidak ingin terjebak pada titik ekstream
kapitalisme maupun sosialisme, tapi justru menyinergikan pendekatan
pasar dan pendekatan kelembagaan (peran negara).
2. Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini tampak belum berkualitas,
karena tidak diikuti oleh pemerataan dan berkurangnya angka kemiskinan
dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi tidak menetes ke bawah, dan
memang sulit menetes kebawah karena sumber utama pertumbuhan
tersebut adalah sektor-sektor padat modal, padat teknologi dan sedikit
menyerap tenaga kerja. Sedangkan sektor yang paling banyak menyerap
tenaga kerja, yakni pertanian dan kehutanan, pertambangan dan
penggalian,
serta
industri
pengolaan,
justru
pertumbuhannya
memprihatinkan.
3. Perbaikan Struktur Ekonomi dan Struktur Penguasaan Lahan.
Untuk pencapaian pertumbuhan berkualitas, kita perlu memperbaiki
struktur ekonomi yang sejak zaman penjajahan masih saja diwarnai
ketimpangan yang sangat besar antara usaha besar dan usaha mikro, kecil
dan menengah. Struktur yang sehat adalah yang berbentuk belah ketupat,
dimana usaha besar dan kecil berjumlah sedikit, sedangkan usaha
menengah banyak. Dengan struktur seperti inilah daya tahan kita bisa
cukup kuat meskipun ada gejolak dari luar.
Selain itu kita juga perlu memperbaiki struktur kepemilikan lahan yang
juga sudah sangat timpang. Selama ini usaha besar cenderung semakin
besar dalam penguasaan lahan, sedangkan usaha kecil cenderung
mengerut. Jumlah petani gurem, yang menguasai lahan hanya setengah
hektar atau kurang, terus meningkat. Akan sangat sulit bagi mereka untuk
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan bila hanya bermodalkan
setengah hektar atau kurang. Untuk itu diperlukan reform agraria agar
setidaknya bisa menguasai lahan seluas dua hektar.
4. Pengembangan Ekonomi Berbasis Lapangan Kerja.
Indonesia
tengah
menghadapi
persoalan
serius
kemiskinan
dan
pengangguran yang semakin bertambah, dan ketimpangan yang semakin
menganga. Ini terjadi karena tidak cukup tersedianya lapangan kerja bagi
rakyat. Kerenanya fokus kita semestinya adalah employment based
economy. Tugas pemerintah adalah menjamin agar setiap orang bisa
mendapatkan pekerjaan dan pekerjaannya memberikan kehidupan yang
layak. Untuk itu kita memerlukan adanya man power planning.
Untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran ini, kita sudah saatnya
meninggalkan income welfare policy seperti BLT dan Raskin, dan mulai
beralih ke asset based welfare policy dan employment based walfare
policy di masa akhir RPJP. Kita perlu berkonsentrasi ke program seperti
KUR yang produktif dan juga pemberian ketrampilan atau pendidikan
yang job oriented.
Untuk menyerap tenaga kerja, kita perlu menaikan pertumbuhan industri.
Sinyalemen
para
ekonom
bahwa
di
Indonesia
sudah
terjadi
deindustrialisasi, karena peertumbuhan perdagangan naik signifikan
sementara itu pertumbuhan industri menurun.83
83
Bomber Pasaribu, “Membangun Ekonomi Berbasis Lapangan Kerja”: Masalah
Ketenagakerjaan dan Solusinya dalam Izzah R. Nahrawi, ed., Membangun Masa Depan
Ekonomi Indonesia; Sebuah Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi
Alternatif (Jakarta: CDCC, 2009), h.43-51
5. Kebijakan-Kebijakan Makro yang Selaras dengan Posisi Pertanian Sebagai
Basis.
Pertanian telah terlupakan sebagai landasan pembangunan ekonomi.
Keberpihakan APBN/APBD pada pertanian sangatlah kurang. Total kridit
untuk pertanian sangatlah kecil (baru 3 persen dari total kridit perbankan).
Bangsa kita tidak seperti negara-negara maju menerapkan PPN untuk
komoditas pertanian. Padahal pertanian menyumbang hampir separuh (41
persen) penyerapan tenaga kerja, dan dari sektor inilah pintu
pemberantasan kemiskinan dan pengangguran bisa lebar terbuka.84
6. Langkah-Langkah Pemihakan Terhadap Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
Berdasarkan pengalaman banyak negara, tidak ada negara yang mengalami
penguatan ekonomi domestik dengan menjalankan kebijakan ekonomi
liberal. Karenanya, negara perlu mengambil peran utama dalam sisi-sisi
dimana mekanisme pasar belum bekerja dengan baik, seperti UMKM,
dengan memberikan affirmative actions. UMKM membutuhkan hal itu
karena medan persaingan antara UMKM dan usaha besar tidaklah sama.
UMKM tidak hanya butuh modal, tapi juga yang lebih penting pembinaan
serta akses pasar. Modal sejauh ini bukanlah masalah utama mereka,
melainkan peningkatan mutu dan akses pasar. Sangatlah baik bila
misalnya kita menerapkan konsep satu desa satu produk, sehingga di
84
Bustanul Arifin, “Tawaran Pembangunan Pertanian Yang Lebih
Menyesejahterakan”
: pengembangan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pertanian dalam Izzah R. Nahrawi, ed.,
Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia; Sebuah Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri
Tentang Ekonomi Alternatif (Jakarta: CDCC, 2009), h.21-26.
setiap desa atau kecamatan dikembangkan satu produk tapi dengan dibina
dan diberikan akses ke pasar, dijualkan oleh pemerintah atau diberikan link
ke perusahaan besar.85
7. Pembangunan Berdimensi Regional.
Pembangunan seyogianya berdimensi regional. Masing-masing daerah
memiliki potensi dan daya saing yang tidak sama, bahkan cenderung
timpang, ada ketimpangan besar antara jawa-luar jawa, kota-luar kota,
ataupun Jakarta-luar Jakarta. Otonomi daerah sebetulnya merupakan upaya
ke arah pembangunan yang berskala lokal dan spesifik, sesuai dengan
karakteristik dan sumber daya yang dimiliki.
8. Revisi
Undang-Undang
yang
kurang
Mendukung
Pencapaian
Kemakmuran.
Berbagai undang-undang yang kurang mendukung munculnya sektorsektor berbasis tenaga kerja. Undang-undang yang dikeluarkan antara
1999-2003 bahkan sangat mendorong liberalisasi, sehingga pemerintah
tidak bisa tidak bisa banyak berbuat untuk mengubah situasi ekonomi saat
ini. Di antara yang penting direvisi adalah undang-undang ekonomi
daerah,
selain
undang-undang
penanaman
modal,
devisa
bebas,
independensi BI, dan liberalisasi migas. Ini membutuhkan keberpihakan
dari Dewan Perwakilan Rakyat.
85
Affendi Anwar, “Menajamkan Peran Lembaga Keuangan Mikro Untuk Pengentasan
Kemiskinan”:Pengembangan Keuangan Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan dalam
Izzah R. Nahrawi, ed., Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia; Sebuah Hasil-Hasil
Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi Alternatif (Jakarta: CDCC, 2009), h.72-84.
9. Kemampuan Pemimpin, Partai Politik, dan Birokrasi dalam Pelaksanaan
Ide-Ide dan Kebijakan Ekonomi.
Indonesia sebetulnya memiliki banyak orang pintar dengan ide-ide berlian,
dan sangat baik dalam dalam membuat undang-undang. Namun, seringkali
ide-ide kebijakan-kebijakan ekonomi menguap tak berarti oleh lemahnya
operasionalisasi di lapangan. Karena itu kita membutuhkan pemimpin
yang mempunyai kapabilitas dalam menciptakan good governance, dan
sistem birokrasi yang bisa menjalankan mesinnya hingga ke bawah untuk
mengimplementasikan ide, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi,
serta partai politik yang bisa menjembatani antara ide-ide brilian itu dan
pelaksanaannya.
Semua hasil dialog berkenaan dengan ekonomi ini, CDCC diabadikan
menjadi sebuah buku yang dibagikan oleh aktivis, ekonom, tokoh agama dan yang
terpenting diberikan kepada pemerintah sebagai bahan masukan terhadap
kebijakan pemerintah berkenaan dengan ekonomi.
Sejalan yang diutarakan oleh salah satu peserta tokoh agama Kristen
bahwa buku ini menjadi media terpenting sebagai bahan masukan pemerintah
bagaimana membangun konsep ekonomi yang sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia.86
Berdasarkan isu-isu dialog yang diangkat oleh CDCC merupakan bagian
dari usaha pembentukan civil society, karena CDCC melakukan kontrol dan kritik
terhadap kebijakan pemerintahan yang kurang sesuai dengan kehidupan rakyat.
86
Wawancara pribadi dengan Theophilus Bela, Jakarta, 1 Januari 2011.
Kehidupan rakyat yang semakin terpuruk dan miskin. Oleh karena itu CDCC
memberikan kritik terhadap sistem perekonomian yang kurang tepat.
Sesuai dengan apa yang sudah dibahas pada paaragraf-paragram di atas,
maka CDCC berusaha mengkritisi Peraruran Presiden (Perpres) yang dalam
perpasaran tidak adil dan tidak merakyat.
Sejalan pernyataan ekonom Didiek J. Rachbini dalam dialog yang
diadakan oleh CDCC pada tanggal 7 Januari 2008 mengkritisi bahwa kebijakan
pemerintah tentang perpasaran sangat lambat sehingga cenderung merugikan
pedagang kecil. Menurutnya, lambatnya Perpres terjadi karena lobi-lobi para
pelaku usaha yang punya akses dan dekat kepada penguasa. Akibatnya, terlalu
banyak pertimbangan dan kebijakan hitam di atas putih tidak segera keluar.
Akibat dari itu para pelaku usah kecil yang tidak memiliki akses masuk dan
bahkan dikorbankan.87
Begitulah dampak buruk pemerintah lebih dekat dengan pengusaha besar,
semua kebijakan yang akan dibuat terlalu banyak pertimbangan dan cenderung
menguntungkan
pengusaha
besar.
Seharusnya
pemerintah
mempunyai
keperpihakan kepada para pedagang kecil dan pasar tradisional yang jelas-jelas
merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Untuk melindungi pera pedagang kecil dan pasar tradisional, pemerintah
harus membuat kebijakan yang tegas dan prorakyat kecil. Oleh karena itu perlu
zonanisasi, dimana boleh didirikan pasar moderen asalkan pengaturan jaraknya
87
CDCC News, artikel diakses pada tanggal 12 Januari 2011dari http://
www.cdccfoundation.org
jelas dan tidak mengganggu pasar tradisional. Semuanya itu harus diatur dengan
jelas dan tegas dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain itu, peraturan terkait dengan persaingan usaha tidak sehat harus
dimasukan dalam klausul perpres perpasaran. Dengan begitu, jika nanti ada
masalah dan komisi pengawasan persaingan usaha (KPPU) ada dasar
pertimbangan lain dalam dalam memutuskan perkara selain UU No.5/1999,
dengan begitu mekanisme dan supremasi penegakan hukum di Indonesia terkait
perdagangan pasar bisa berjalan adil dan saling menguntungkan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang peran CDCC
dalam rangka penguatan ruang publik, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Alasan yang melatar belakangi gagasan CDCC dibentuk karena
ingin membantah tesis Samuel Huntington tentang clash of
civilitation. Bahwasanya benturan peradaban ini bisa dihindari
dengan melakukan dialog antar peradaban dan agama.
2. CDCC merupakan bagian dari civil society, karena CDCC
merupakan lembaga murni yang dibentuk oleh masyarakat sipil
yang memiliki tujuan untuk melakukan penguatan ruang publik
yang bebas melalui dialog dan kerjasama antara umat beragama,
antar kebudayaan dan juga dialog-dialog yang bersifat public
education dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi,
politik dan terutama peradaban dan kebudayaan.
3. Peran yang dilakukan oleh CDCC dalam rangka penguatan ruang
publik yang bebas diimplementasikan dan direalisasikan melalui:
•
Dialog agama: dialog ini CDCC ingin mengupayakan terciptanya
masyarakat yang toleran dan pluralis terhadap agama yang
berbeda, sehingga terwujud masyarakat yang menghargai dan tidak
saling mencurigai.
•
Dialog budaya: dialog ini CDCC ingin mengupayakan masyarakat
yang saling mengenal dan menghargai sehingga benturan
kebudayaan bisa dihilangkan.
•
Dialog politik dan ekonomi: dialog ini sebagai wujud CDCC
sebagai bagian dari civil society yang ingin selalu melakukan kritis
dan memberi masukan terhadap pemerintah, sehingga pemerintah
berjalan sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
4. Dampak dari semua kegiatan dialog yang dilakukan CDCC pada
saat ini belum tersentuh secara luas sampai ke masyarakat akar
rumput, tapi pada tahap masyarakat elit seperti aktivis, tokoh
agama, dan pemerintahan. Akan tetapi mungkin di masa akan
datang
CDCC
bisa
memberikan
kontribusi
terhadap
perkembangan civil society di Indonesia secara luas.
B. SARAN
Setelah membahas skripsi ini, penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Kepada lembaga CDCC seharusnya lebih gencar lagi dalam kegiatankegiatan yang langsung menyentuh masyarakat akar rumput.
2. Sabagai bagian dari civil society CDCC harus instens mempublikasikan
semua kegiatanya ke media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga
masyarakat luas tahu apa nilai-nilai yang diperjuangkan oleh CDCC.
3. Kepada pemerintah seharusnya lebih peka terhadap kritik yang diberikan
oleh masyarakat sipil demi terwujudnya masyarkat yang adil.
DAFTAR PUSTAKA
Arendt,Hannah. The Human Condition. Chicago : The Chicaco University
Press, 1958
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999, cet. Ke-1.
Bungin, B. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada,2003.
Bungin, B. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group,2007.
Daya,Burhanuddin. Agama Dialogis; Merenda Dialektika Idealita dan Realita
Hubungan Antaragama. Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya,2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1998
Esposito, Jhon L. Ancaman Islam: Mitos atau Ancaman. Penerj. Alwiyah
Abdurahman. Bandung:Mizan,1995, cet. II.
Fatah,Eep Saefulloh. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda
Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung : Mizan, 2000.
Besar
Fakih, Mansyur. Masyarakat Sipil Untuk Tranformasi Sosial Pergolakan
Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995.
Gellner,Ernest. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan.
Bandung: Mizan, 1995.
Habermas, Jurgen. Toward a Rational Socity. London: Heinemann,1971.
Hardiman, F Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat,
Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius,2009.
Hardiman, F Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’
dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius,2009.
Hendropuspito, Sosilogi Sitematik. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Hikam, Muhammad AS. Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil
Society. Jakarta: Erlangga,1999.
Hikam, Muhammad AS. Demikrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES,1999,
cet ke-2.
Hilmy,Masdar. Islam Profetik; Substansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang
Publik. Yogyakarta: Kanisius,2008.
Hocking, Brain dan Smith, Michael. Politik an Introduction to International
Relation. London:Prentice Hall,1995.
Huntington, Samuel P. Jika Peradaban Apa? Paradigma Dunia Paska Perang
Dingin, Aslinya If Not Civilization, What? Penerj. Saeful Umam. Jakarta:
LSAF dan ICMI, No.2 Vol.V, 1994.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar
Politik Islam. Bandung:Mizan,1993.
Ibrahim,Rustam. Strategi Mewujudkan Civil Society. Jakarta: LP3ES,1999.
Johannesen, Richard
Rosdakarya,1996.
L.
Etika
Komunikasi.
Bandung:PT
Remaja
Martiam,Najiyah ed., Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif
Yogyakarta: CRCS, t.t.
Muslim,
Nahrawi, Izzah R, ed. Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia: Sebuah
Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi Alternatif.
Jakarta:CDCC,2009.
Pratinya, Ahmad Watik. “Pluralisme, Trust dan Dialog” dalam Ahmad Syafii
Maarif, dkk. Ethics and Religious Dialogue In a Globalized World . Jakarta:
The Habibie Centre,2010.
Rajasa, Sutan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: karya Utama,2002.
Rosyada, Dede, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Society):
Demorasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2003.
Ruslani. Masyarakat Kitab dan
Yogyakarta:Bentang Budaya,2000.
Dialog
Antar
Umat
Beragama.
Said, Zaim. Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM Dan Kebangkitan
Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia, 1995.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial. CV. Rajawali:
Jakarta,1984
Sirry, Mun’im A. Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusifpluralis. Jakarta: Paramadina,2004.
Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002
SRS, Herdi. LSM Demokrasi Dan Keadilan Sosial : Catatan Kecil Dari Arena
Masyarakat Dan Negara. Jakarta: LP3ES dan YAPPIKA,1999.
Suhelmi,Ahmad. Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama,2007.
Suprayogo, Imam dan Tobrani. Metodelogi Penelitian Sosial-Agama.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003.
Swidler, Leonard. After the Absolute: The Dialogical Future of Religion
Reflection. Philadelpia: Augsburg Fortess,1990.
Misi
CDCC.
Artikel
diakses
http://www.cdccfoundation.org
pada
18
Juni
2010
dari
Visi
CDCC.
Artikel
diakses
http://www.cdccfoundation.org
pada
18
Juni
2010
dari
Juni
2010
dari
Januari
2010
dari
Profile CDCC.
Artikel
diakses
http://www.cdccfoundation.org
CDCC News. Artikel diakses
http://www.cdccfoundation.org
pada
pada
18
8
Wawancara Pribadi dengan Abdul Mu’ti. Jakarta, 8 September 2010.
Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir. Jakarta, 21 November 2010.
Wawancara Pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir. 8 Desember 2010.
Wawancara Pribadi dengan Theophilus Bela. 1 Januari 2010.
Lampiran I
Hasil Wawancara
Nama : Ilham Munzir sebagai staff ahli CDCC
T: Konsep dialog seperti apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya
pembentukan Civil Society?
J: Diskusi atau Dialog di CDCC di awal waktu membincangkan tentang
clash of civilizition apakah benar-benar terjadi atau hanya halusinasi. Itu
semua terjadi akan tetapi tidak seburuk yang diduga dengan cara
melakukan kerja sama dan dialog. Konsep dialog di cdcc berusaha
menciptakan ruang publik terhadap masyarakat yang berbeda latar
belakang baik dari agama, dan kebudayaan guna menghilangkan rasa
saling curiga.
T: Isu-isu apa yang diangkat oleh CDCC dalam berdialog?
J: isu-isu yang diangkat yaitu dialog antar agama, dialog mengenai
kebudayaan dan dialog berkenaan dengan masalah bangsa seperti ekonomi
dan politik.
T: Dalam berdialog CDCC berupaya memberikan mediasi, apa maksud
dari kata mediasi bagi CDCC sendiri dalam melakukan dialog?
J: kata mediasi sebagai tempat untuk bertemu dan membincangkan
masalah yang sedang dihadapi. Seperti contoh kasus gereja di Bekasi
CDCC bersama PGI, KWI dan tokoh-tokoh agama lain. di sini CDCC
menjadi penengah dengan mencari jalan tengah dengan cara
memediasi wacana pada tingkat elit (tokoh-tokoh agama) dengan
tujuan mengurangi ketegangan antar agama.
T: Dalam melakukan kegiatan-kegiatan, CDCC mempunyai sifat, yakni
moderat dan terbuka. Apa makna kata moderat dan terbuka bagi CDCC
dalam upaya pembentukan Civil Society?
J: kata moderat berarti menciptakan pemahaman agama yang toleran
terhadap agama-agama yang ada di dunia ini. Terbuka berarti
menghormati terhadap kebudayaan lain.
T: Dialog kebudayaaan seperti apa yang ditawarkan oleh CDCC?
J: dialog kebudayaan yang ditawarkan oleh CDCC adalah dengan berusaha
memperkenalkan kebudayaan lain. kegiatan yang dilakukan dengan
musikalisasi puisi negara Rusia, setiap event-event internasional selalu
memperkenalkan budaya.
T: Siapa saja kah yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog
kebudayaan?
J: disetiap dialog cdcc mengundang para aktivis-aktivis sosial, organisasi
kemahasiswaan, tokoh-tokoh agama dan duta besar-duta besar negara
luar.
T: Konsep dialog ekonomi seperi apa yang dilakukan CDCC dalam
ditawarkan oleh CDCC?
J: konsep dialog ekonomi dengan membincangkan masalah-masalah
ekonomi yang sedang dihadapi negara ini, dengan menawarkan konsep
ekonomi yang sesuai dengan karakter bangsa. membincangkan tentang
Baitul Mal wa Tanwil (BMT)
T: Siapa saja yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog tentang
ekonomi?
J: CDCC mengundang pakar-pakar ekonomi untuk membincangkan
masalah yang sedang dihadapi.
T: Apa saja yang dihasilkan oleh CDCC dalam melakukan dialog
ekonomi?
J: yang dihasilkan dalam dialog ini dengan menerbitkan sebuah buku
berkenaan dengan solusi atau jalan keluar dalam menghadapi krisis global.
Jalan keluar yang ditawarkan dengan menerapkan ekonomi yang sesuia
dengan karakter bangsa, yaitu ekonomi kerakyatan yang berbasis agraris.
T: Dialog politik apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya pembentukan
civil society?
J: membincangkan masalah-masalah bangsa yang bertujuan sebagai kritik
terhadap pemerintah, guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance)
T: Apa yang sudah dihasilkan oleh CDCC dalam dalam dialog politik?
J: dalam melakukan dialog CDCC berusaha menciptakan ukhuwah politik
Islam dengan cara bersatu nya partai-partai Islam. Menjelang pemilu
CDCC selalu mengadakan diskusi dan dialog untuk mendesak pemerintah
guna memberikan hak suara rakyat yang belum terdaftar pada DPT (Daftar
Pemilu Tetap) dan sebagai alternatifnya dengan menunjukan KTP. Setelah
pemilu CDCC selalu membincangkan pentingnya oposisi. Karena melihat
SBY berhasil mengakomodir sebagian partai-partai besar untuk berkoalisi
masuk dalam pemerintahan, melihat hal ini CDCC ragu untuk
terbentuknya pemerintahan yang baik karena tidak adanya check and
balance sehingga sangat buruk terhadap demokrasi
T: Siapa sajakah yang diundang CDCC dalam melakukan dialog politik?
J: CDCC mengundang para tokoh-tokoh parpol, aktivis-aktivis, kalangan
pemerintahan dan tokoh-tokoh agama.
T: Dalam melakukan kegiatan CDCC selalu bekerjasama dengan lintas
organisasi dan lintas agama. coba bapak sebutkan lintas organisasi dan
lintas agama apa saja yang CDCC undang dalam melakukan kegiatan?
J: CDCC dalam melakukan dialog mengundang Muhammadiyah, NU,
PGI,PHDI, Walubi,MUI dan Cheng Ho Multicuture Trush,
T: Apa saja yang sudah CDCC dan mitra kerjasama lakukan dalam upaya
pembentukan pembentukan civil society?
J: dalam upaya menciptakan masyarakat toleransi dalam beragama CDCC
melakukan kegiatan yang dinamakan Interfaith in Action “ dialog lintas
agama untuk pengentasan kemiskinan dan ketidak adilan” dalam kegiatan
ini CDCC dibantu oleh World Vision Indonesia. Sasaran kegiatan ini
dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu Pontianak berkaitan dengan fogging dan
petani lele, Palu berkaitan dengan perdamaian antar agama, Yogyakarta
berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi kecil dan Surabaya berkaitan
dengan mengkampayekan perlindungan dan pemberdayaan perempuan
dan anak jalanan.
Hasil Wawancara
Nama: Piet Hizbullah Khaidir selaku Direktur Program CDCC
T: Konsep dialog seperti apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya
pembentukan Civil Society?
J: konsep dialog yang ditawarkan CDCC tidak berbeda dengan kelompok
lain rancang. CDCC ingin menciptakan dialog yang dialogis, yaitu dialog
yang terbuka, equel antar potensi masyarakat dan stake holder yang punya
kepentingan terhadap politik. CDCC ingin menghilangkan dialog yang
monolog, yang artinya dialog yang dilakukan orang atau kelompok yang
lebih kuat menekan kelompok atau orang yang lebih lemah. CDCC ingin
menciptakan dialog yang equal sehinggga publik bisa melihat dan publik
pula yang akan menentukan.
T: Isu-isu apa yang diangkat oleh CDCC dalam berdialog?
J: isu-isu yang diangkat CDCC adalah tentang kebudayaan, agama, politik,
ekonomi dan hubungan internasional. Sebenarnya awal dari itu adalah
tentang clash of civilitation yang dijelaskan oleh Samuel Huntington
dalam tesisnya. Dan tentang The alliance of civilitation yang membahas
tentang peradaban, politik, ekonomi, dan ideologi yang menghasilkan
common ground tentang civilitation, tentang empat isu yaitu pemuda,
media, agama dan pendidikan.
T: Dalam berdialog CDCC berupaya memberikan mediasi, apa maksud
dari kata mediasi bagi CDCC sendiri dalam melakukan dialog?
J: CDCC ingin menjadi lembaga konsultatif, lembaga yang memediasi
berbagai stake holder untuk saling berkonsultasi untuk mengungkapkan
berbagai ide dari berbagai kelompok.
T: Dalam melakukan kegiatan-kegiatan, CDCC mempunyai sifat, yakni
moderat dan terbuka. Apa makna kata moderat dan terbuka bagi CDCC
dalam upaya pembentukan Civil Society?
J: moderat artinya CDCC tidak memihak sehingga CDCC ingin menjadi
lembaga yang memediasi dan memoderasi kekuatan yang saling bertikai.
Terbuka artinya bertujuan menciptakan dialog untuk kepentingan bersama.
T: Dialog kebudayaaan seperti apa yang ditawarkan oleh CDCC?
J: CDCC ingin mendorong proses perspektif budaya yang tinggi, terbuka,
dan diterima seluruh aspirasi.
T: Dialog kebudayaan seperti apa yang sudah dilakukan oleh CDCC?
J: dialog yang pernah lakukan yaitu dalam level elit, seperti isu tentang
global warming. CDCC mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang salama ini
dipinggirkan, mereka dikumpulkan untuk membahas tentang global
warming dalam perspektif mereka. Dialog tentang isu Palestina-Israil.
Pada dialog ini CDCC tidak membawa ke arah politik maupun agama,
CDCC membawa nya secara budaya, yakni bahwa manusia yang hidup di
Palestina tidak hanya Islam dan Yahudi tapi disana ada berbagai agama
yang ada, dan ada berbagai suku bangsa bukan hanya Arab.
T: Siapa saja kah yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog
kebudayaan?
J: CDCC dalam mengundang selective partisipation seperti Duta besar,
politisan, budayawan, NGO dan aktivis sesuai dengan keterlibatan
pada bidangnya.
T: Konsep dialog ekonomi seperi apa yang dilakukan CDCC dalam
ditawarkan oleh CDCC?
J: CDCC merupakan bagian dari civil society maka konsep dialog yang
ditawarkan oleh cdcc ingin mengkritisi dan memberikan saran terhadap
pemerintah konsep ekonomi apa yang sesuai dengan rakyat.
J: Siapa saja yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog tentang
ekonomi?
J CDCC dalam mengundang selective partisipation seperti Duta besar,
politisan, budayawan, NGO dan aktivis sesuai dengan keterlibatan pada
bidangnya. Dalam dialog ekonomi CDCC mengundang ekonom yang
berpengalaman untuk membahas konsep ekonomi yang sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia.
T: Apa saja yang dihasilkan oleh CDCC dalam melakukan dialog
ekonomi?
J: CDCC berhasil membukukan hasil diskusi tentang ekonomi. Setidaknya
buku ini sebagai media untuk dibaca. Buku itu diberikan kepada NGONGO dan pemerintah sebagai bahan masukan.
T: Dialog politik apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya pembentukan
civil society?
J: dialog politik yang ditawarkan cdcc dialog yang politik yang mengkritisi
kebijakan pemerintah yang didorong untuk terbentuknya good
governance
T: Siapa sajakah yang diundang CDCC dalam melakukan dialog politik?
J: CDCC dalam mengundang selective partisipation seperti Duta besar,
politisan, budayawan, NGO dan aktivis sesuai dengan keterlibatan pada
bidangnya. Pada dialog tentang politik ini CDCC mengundang politisi,
aktivis dan tokoh-tokoh agama untuk membahas permasalahan bangsa.
Hasil Wawancara
Nama : Theophilus Bela.
Ketua Forum Komunikasi Kristiani Jakarta sebagai anggota rutin dialog yang
diadakan oleh CDCC
T: menurut anda apakah CDCC bagian dari civil society?
J: CDCC merupakan lembaga yang tidak dibentuk oleh pemerintah. CDCC
merupakan lembaga yang murni didirikan oleh masyarakat sipil, jadi
CDCC merupakan murni bagian dari civil society.
T: sejak kapan anda mengikuti kegiatan atau dialog yang diadakan oleh
CDCC?
J: saya mengikuti dialog yang diadakan oleh CDCC sejak awal CDCC
didirikan.
T: apa yang anda ketahui tentang CDCC?
J: CDCC merupakan sebuah lembaga yang menyediakan tempat untuk
berdialog bagi semua agama yang berbeda, bangsa yang berbeda, dan
kebudayaan yang berbeda. Jadi CDCC merupakan ruang publik yang
terbuka untuk semua masyarakat untuk membicarakan masalah-masalah
yang sedang dihadapi. Jadi CDCC merupakan bagian civil society yang
mempunyai peran yang positif bagi masyarakat untuk menghargai
perbedaan.
T: bagaimana tanggapan anda tentang CDCC?
J: Menurut saya CDCC merupakan lembaga yang positif untuk
mengembangkan civil society. CDCC merupakan tempat pertemuan dari
berbagai agama, bangsa dan budaya. Jadi CDCC sangat dibutuhkan oleh
bangsa Indonesia yang mejemuk ini.
T: apa kiprah CDCC dalam upaya pembentukan civil society?
J: kiprah CDCC memang untuk saat ini belum bisa dirasakan sampai
masyarkat akar rumput, tapi CDCC sangat mempunyai peran yang
sangat penting bagi kalangan masyarkat atas, seperti tokoh-tokoh
agama, aktivis, dan pemerintah, karena CDCC merupakan tempat
untuk bertukar pikiran untuk mendialogkan masalah yang sedang
dihadapi dari berbagai agama, budaya dan bangsa, hal ini menurut saya
bisa membangun kepercayaan masyarakat. CDCC dapat membangun
pencerahan bagi masyarakat sebagai wujud dari perkembangan civil
society. Demokrasi akan berjalan baik jika civil sociey tumbuh dengan
baik pula, sehingga negara dan sipil berdiri sejajar sehingga ada
control dari masyarakat sipil.
T: Menurut anda apakah dialog yang diadakan oleh CDCC mempunyai
pengaruh terhadap pembentukan civil society?
J: sangat mempunyai pengaruh, karena di CDCC semua orang mempunyai
hak untuk berbicara, jadi di CDCC lah ruang publik yang bebas bisa
terbentuk.
T: menurut anda apakah dialog-dialog yang dilakukan CDCC dapat
menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama?
J: dialog yang diadakan CDCC bisa menumbuhkan sikap toleran, karena
di CDCC merupakan tempat bertukar pikiran tentang agama-agama,
seperti contoh CDCC pernah mengundang tokoh Yahudi internasional
ini sebagai bukti CDCC ingin menciptakan masyarakat yang toleran.
Dialog yang diadakan CDCC membuat orang saling mendengar
dengan saling mendengar pasti akan salng mengenal, dengan saling
mengenal pasti akan hilang rasa saling curiga yang bisa menumbuhkan
sikap toleran.
T: menurut anda apakah dialog yang diadakan CDCC cukup berpengaruh
dalam mengontrol kebijakan pemerintah?
J: CDCC tidak mempunyai kepentingan politik praktis. Jadi CDCC dalam
memberi masukan dan kritik terhadap pemerintah yang tidak sesuai
dengan dengan rakyat, seperti kasus korupsi yang berlarut-larut dan
kebijakan pemerintah masalah ekonomi yang tidak sesuai karakter
bangsa.
Lampiran II
Hasil Wawancara
Nama: Abdul Mu’ti selaku direktur eksekutif CDCC
P: Apakah CDCC merupakan bagian dari Civil Society?
J: Kalau dilihat sisi tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, CDCC
merupakan bagian dari Civil Sociey. CDCC merupakan sebuah
lembaga non pemerintahan (NGO) yang memiliki tujuan untuk
mendorong
dialog dan kerjasama antara umat beragama, antar
kebudayaan dan juga dialog-dialog yang bersifat public education
dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi, politik dan
terutama peradaban dan kebudayaan. Kalau dilihat dari sisi tersebut
maka CDCC merupakan bagian dari Civil Society yang mengambil
segmen dialog dan kerjasama antar peradaban.
P: Agenda-Agenda apa yang dilakukan CDCC dalam upaya pembentukan
Civil Society?
J: Seperti yang telah kami paparkan diatas, CDCC merupakan bagian dari
Civil Society. Untuk mencapai terbentuknya Civil Society maka CDCC
mempunyai agenda-agenda. CDCC konsen pada tiga agenda yang
sudah pernah dilakukan.
1. Dialog : dialog dimaknai dalam dua perspektif, pertama; memberikan
ruang public bagi semua elemen masyarakat untuk menyampaikan
gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran mengenai isu-isu yang
berkaitan dengan kebudayaan, keagamaan dan politik. Kedua;
memberikan mediasi bagi berbagai kelompok untuk bisa berdialog,
sehingga pada perspektif ini CDCC memberikan fasilitas pada level
mikro sebagai jalan tengah atau titik temu ataupun solusi dari berbagai
macam perbedaan-perbedaan public, tapi belum menyentuh pada
tingkat konflik baru sampai pada tingkat ketegangan antar kelompok
yang terjadi padalevel mikro di Indonesia maupun pada level makro
pada level Internasional.
2. CDCC melakukan kegiatan-kegiatan yang berupa meanstreaming
kehidupan beragama atau kebudayaan yang bersifat moderat dan
terbuka, oleh karena itu CDCC berusaha mendorong siapa saja untuk
mampu berbicara apa saja, sehinga CDCC
akan didorong atau
membawa keranah public meanstreaming wawasan dan pandangan
kehidupan keberagamaan dan kebudayaan yang mederat dan terbuka.
Pada konsen yang kedua ini CDCC banyak melakukan upaya-upaya
yang berupa penciptaan opini public yang selama ini kegiatan-kegiatan
tersebut mendapat peliputan dari berbagai media yang begitu luas.
3. CDCC menjalin kerjasama-kerjasama yang bersifat lintas agama, lintas
organisasi dan lintas agama, misalnya kerjasama CDCC untuk
melaksanakan World Peace Forum, yang sampai saat ini sudah
dilaksanakan tiga kali. Pembentukan Interreligious Council Indonesia,
dan kerjasama-kerjasama yang bersifat Empowering (pemberdayaan),
misalnya melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Pada
advokasi ini bukan pada tingkatan hukum tapi advokasi pada tingkat
pembelaan yang bersifat politis, misalnya kepada kelompok-kelompok
masyarakat atau agama yang mendapatkan perlakuan tidak adil, serta
melakukan kerjasama lintas iman untuk pengentasan masalah-masalah
kemiskinan dan ketidak adilan sosial.
P: Siapa saja yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh
CDCC?
J: Selama ini kegiatan-kegiatan atau agenda-agenda yang dilakukan oleh
CDCC tidak hanya konsen dalam takaran pewacanaan, akan tetapi
sudah menyentuh masyarakat. CDCC tidak menyentuh masyarakat
grass roots secara langsung, tetapi CDCC mengambil masyarakat
kelas tertentu yakni sekmen masyarakat menengah keatas, misalnya
sekmen intelektual, Policy maker dan aktivis.
P: apakah CDCC lebih bersifat elitis?
J: walaupun CDCC dalam mengundang kalangan tersebut bukan berarti
tidak bersifat elitis karena elitis merupakan sikap atau prilaku yang
tidak merakyat, sedangkan elit merupakan struktur sosial. Struktur
sosial elit tidak selamanya berprilaku elitis mereka peduli kepada
masyarakat bawah karena dia masuk pada struktur organisasi tingkat
nasional yang sebagai pengambil kebijakan, policy maker, opinion
maker dengan menuangkan gagasannya melalui tulisan dan pengambil
keputusan maka mereka masuk dalam struktur sosial elit. CDCC
mengambil sekmen elit akan tetapi tidak berperilaku elitis, kerena
dialog-dialog yang dilakukan oleh CDCC dialog yang menyentuh
secara secara luas yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan atau isuisu yang bersifat nasional bahkan Internasional akan tetapi memiliki
dampak kepada masyarakat secara keseluruhan.
P: dalam rangka pembentukan civil society, pasti CDCC mempunyai nilainilai dalam perjuangan, apa saja nilai yang diperjuangkan oleh CDCC?
J: CDCC mempunyai nilai-nilai yang ingin perjuangkan, sesuai dengan
namanya CDCC mempunyai tiga nilai yang sangat mendasar dalam
kontek perdamaiaan dan tata dunia yang terbuka.
d. Nilai Keterbukaan; CDCC berusaha mendorong bagaimana semua
orang
memiliki
kesempatan
dan
memiliki
keberanian
untuk
menyampaikan pikiran-pikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap
diskusi-diskusi yang diadakan CDCC mengundang berbagai macam
elemen masyarakat yang secara organisasi dan agama yang berbeda
tetapi semua memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan dan
pemikiran
secara
terbuka
dan
tanpa
adanya
ketakutan
dan
kekhawatiran dalam berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi
yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap
pemerintah atau masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari
sebuah masyarakat yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi
terhadap kemanusiaan.
e. Kemanusiaan yang bersifat universal; kemanusiaan yang bersifat
universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan
dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia
tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan
kebudayaan. Kerena pada dasarnya ada sebuah comment agreement
diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia
pada kedudukan yang sangat terhormat, oleh karena itu CDCC sangat
konsen pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang selama ini
menjadi salah satu
problem baik di level nasional maupun level
internasional, banyaknya tindak kekerasan, pada wilayah tertentu
masih adanya perbudakan, dan eksploitasi manusia itulah persoalanpersoalan kemanusian yang terjadi pada tingkat global dan nasional.
f. Nilai Equality (nilai kesetaraan dan persamaan); CDCC tidak berada
pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan
lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena
untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip
equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulankeunggulan
prestasi
yang
dicapai
oleh
peradaban-peradaban
masyarakat-masyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda.
Karena itu pada aspek equality itu melekat dengan plurality atau
pluralitas kerena mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan
kebudayaan akan tetapi sesungguhnya mereka memiliki kesetaraan
atau bahkan dalam berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara
yang satu dengan yang lainnya.
P: apakah CDCC dalam melakukan agenda masih dalam tahap
pewacanaan?
J: CDCC dalam melakukan kegiatan-kegiatan bukan hanya dalam takaran
dialog atau pewacanaan, akan tetapi CDCC sudah melakukan upaya
pembentukan organisasi prakasa persahaban Indonesia- Palestina,
dalam upaya pembentukan ini CDCC sudah melakukan penghimpunan
dana dan menghimpun berbagai elemen untuk melakukan advokasi itu
merupakan tindakan yang bukan hanya pewacanaan. CDCC juga
membentuk
Interreligius
Council
Indonesia
dimana
CDCC
memfasilitasi terbentuknya organisasi-organisasi lintas iman dan yang
memiliki konsen pada persoalan-persoalan terhadap keagamaan, kita
memfasilitasi dan
memediasi konflik, CDCC juga memberikan
bantuan politis, moril dan materil itulah langkah nyata yang dilakukan
CDCC. CDCC juga membentuk Interfaith Action dimana kita
melakukan
aksi-aksi Interfaith dimana CDCC memfasilitasi
tumbuhnya prakasa-prakasa pada tingkat bawah (grass roots) untuk
mengembangkan
kerjasama
lintas
iman
dalam
rangka
untuk
mengembangkan kerjasama lintas iman dalam rangka untuk mengatasi
berbagai macam persoalan kemiskinan dan ketidak adilan sosial.
Dalam
melakukan
kegiatan-kegiatan
CDCC
mempunyai
jaringan baik nasional maupun internasional. Jaringan nasional CDCC
melakukan kerjasama dengan NGO misalnya CSIS, IComRP,
Interfaith Day, dan organisasi-organisasi keagamaan seperti KWI, PGI,
WALUBI,
MATAGIN,
Muhammadiyah,
MUI.
Pada
level
internasional CDCC mempunyai jaringan misalnya Cheng hoo
Multicalture Education Trush sebagai mitra sebanyak tiga kali secara
berturut-turut dalam acara World Peace Forum. CDCC juga bermitra
dengan
Departemen
luar
negri
terutama
untuk
dialog-dialog
internasional misalnya mengundang pembicara-pembicara dari luar
negeri dan CDCC juga diundang sebagai pembicara pada forum-forum
internasional . CDCC juga mempunyai jaringan kerja sama dengan
duta besar- duta besar misalnya duta besar Inggris termasuk British
Council, duta besar Rusia, dan duta besar Palestina.
P: Apakah CDCC murni dalam upaya pembentukan Civil Society?
J: CDCC merupakan Organisasi Non Pemerintahan (NGO) yang murni
untuk penguatan masyarakat sipil dan juga untuk memperdayakan dan
menciptakan semua pihak yang konsen terhadap masalah perdamaian
untuk terciptanya tata dunia yang damai, jadi tidak ada sinyalemen
atau motif bahwa CDCC sebagai kendaraan politik, katakanlah politik
untuk Dien Syamsudin untuk melakukan upaya-upaya Bergaining, dan
Gaming Power
Download