PERAN CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILISATIONS (CDCC) DALAM RANGKA PENGUATAN RUANG PUBLIK YANG BEBAS SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh : Amir Fiqi NIM: 105032201061 JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2011 ABSTRAK Amir Fiqi, Peran Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011. Pasca keruntuhan Orde Baru yang otoriter dan terbentuknya era baru, yaitu era roformasi, ruang publik yang bebas terbuka bagi masyarakat dengan memberikan tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka dengan wujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan kebebasan berkumpul untuk berdiskusi dan berdialog. Pada skripsi ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas khususnya dalam segmen dialog. Pada skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dengan mengamati data-data yang diperoleh di lapangan. Pada skripsi ini, penulis menggunakan observasi partisipasi, wawancara dan dokumen sebagai teknik mengumpulkan data. Peran yang dilakukan oleh CDCC adalah memfasilitasi ruang publik yang bebas dan independent kepada warga yang berbeda latar belakang agama atau budaya untuk berbicara, berdiskusi dan berdialog untuk membincangkan masalahmasalah agama bahkan masalah negara guna melakukan kritik dan kontrol terhadap pemerintah guna terbentuk good governancd. Dalam melakukan dialog CDCC mengambil segmen masyarakat elit seperti tokoh-tokoh agama, kalangan pemerintahan, aktivis dan budayawan, bukan masyarakat akar rumput. Meskipun mengambil segmen elit akan tetapi mereka tidak bersikap elitis karena pertemuan-pertemuan (dialog) yang diadakan CDCC selalu mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat bawah yang selalu tersisihkan dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. CDCC juga konsen dalam dialog-dialog yang berkenaan dengan agama dan keyakinan dengan selalu melakukan pertemuanpertemuan antar pemeluk agama yang berbeda guna terwujud masyarakat yang pluralis dan toleran. Sebagai bentuk dari implementasi peran CDCC dalam upaya pembentukan ruang publik yang bebas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka CDCC melakukan dialog atau diskusi. Bentuk dari dialog atau diskusi yang dilakukan CDCC adalah dialog antar umat beragama, dialog tentang politik, dialog budaya dan dialog berkaitan tentang ekonomi. KATA PENGANTAR Puji syukur terhatur ke hadirat Dzat Yang Maha Ghofur, atas karunia, rahmat, hidayah dan inayah-Nya, diri ini masih sempat menghirup udara segar dan menatap juntai panorama yang indah. Atas kebesaran-Nya diri ini masih tabah menghadang pongahnya kehidupan yang bertabur debu problematika. Atas bimbingan-Nya, terbatik rasa sadar bahwa hidup ini adalah sebuah ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Syahdan, atas pertolongan-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam teriring mahabbah terindah semoga tercurahkan keharibaan Nabi Agung Muhammad SAW, suri tauladan sepanjang hayat. Semoga kita semua di padang mahsyar nanti termasuk ke dalam barisan yang berada di balik liwaul hamdani, di bawah naungan syafa’ah uzma-Nya, sebagai hamba-hamba yang diberi inayah untuk mengikuti segenap petunjuk risalah-Nya. Penulis sadar bahwa sepenuhnya diri ini berhutang budi kepada banyak pihak yang telah memberikan dukungan, motifasi, bimbingan dan arahan untuk terselesaikannya skripsi ini. Lebih dari itu, skripsi merupakan seteguk air segar dalam kemarau studi yang penulis tempuh selama ini. Sembah bakti, penulis haturkan kepada Ayah (Kasduri) dan Ibu (Suritah) yang telah membesarkan dan membimbing penulis hingga sampai sekarang. Mohon maaf jika anak Ayah dan Ibu belum bisa menjadi apa yang engkau harapkan. Terimakasih Ayah, karena engkau penulis menjadi anak yang bertanggung jawab dalam menghadapi masalah dalam hidup ini. Terima kasih Ibu, kasih sayang Ibu tak pernah lekang oleh waktu telah membuat anakmu mampu bertahan di bawah terik mentari kehidupan dengan do’a-do’a yang selalu ibu panjatkan kepada Allah SWT di sela-sela sholat mu. Tak lupa, penulis juga menyampingkan terima kasih tak terhingga kepada orangorang yang telah menanamkan jasa dalam diri penulis antara lain: 1. Prof. Dr. Baktiar Efendi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2. Bapak Ahmad Abrori, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Keluarga besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta segenap dosen, karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam rentang waktu selama di kampus tercinta ini. 4. Terima kasih kepada kakak ku, mba Nur Hidayati yang selalu memberikan bantuan baik moril dan finansial selama adikmu kuliah, semoga Allah membalas kebaikan mba, adikmu janji tidak akan mengecewakan mu. Terima kasih juga untuk mas Guntur, mas Rohidin, mba eti, mba Eli, mas Firman, dan mba Fatimah, mas Wahyu (kakak ipar) dan adik ku Rifa, kau lah adalah permata hati ku yang paling berharga dalam hidup ini. 5. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat: terima kasih IMM, engkaulah adalah kampus kedua bagiku. Kerenamu, diri ini mengerti arti penting dari organisasi. Terima kasih juga untuk teman sejatiku Jajang dan Toto yang selalu menemananiku di kala susah dan senang, walaupun kadang sengit kepada tingkah-tingkahmu, tapi rasa sengit itu terkalahkan dengan rasa sayang sebagai sahabat. Terima kasih kepada teman seperjuanganku, Indra, Rizal, Ipin, Tarsih, Ayu, Sita, dan Ningsih yang selalu setia berjuang mengembangkan IMM dan teman-teman yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 6. Adik-adikku yang sedang berjuang: Fahmi, Mayang, Amel, Farah, Rina, Dimas, Beni dan seluruh Pengurus angkatan Fahmi. Jaga komitmen dan kesolidan untuk kejayaan IMM. 7. Teman-teman mahasiswa Sosiologi Agama angkatan 2005: Jajang, Ade, Alfan, Ariel, Rosidi, Oji, Wahyu, Iwes, Harum, Zakiyah, Sri, Nuri, Uli, Nursakinah, dan teman-teman yang lain yang tak tercantum. Penulis bangga dengan teman-teman, tetap jaga persahabatan kita. 8. Terimakasih yang tak terlupakan kepada Wahyu Ardila (Ia) yang selalu membantu penulis dalam mencari buku dan selalu memberi motivasi dan mengingatkan penulis agar cepat-cepat lulus kuliah. Dorongan dari mulah penulis selalu semangat ketika diri ini lemah. Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon, semoga amal shalih yang telah dilakukan senantiasa memperoleh inayah dan ridha dari Allah SWT, Amien. DAFTAR ISI Lembar Persetujuan Abstrak Kata Pengantar Daftar Isi Bab I Pendahuluan A. .............................................................................................. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. .............................................................................................. Pemb atasan dan Perumusan Masalah .................................................... 4 C. .............................................................................................. Tujua n dan Manfaat Penelitian .............................................................. 5 D. .............................................................................................. Meto dologi Penelitian ........................................................................... 5 E. .............................................................................................. Liter atur Review .................................................................................. 8 F. .............................................................................................. Siste matika Penulisan .......................................................................... 9 Bab II Kajian Teori A. Peran 1. ........................................................................................ Defin isi Peran ................................................................................. 12 2. ........................................................................................ Tinja uan Sosiologis Tentang Peran ............................................... 13 B. .............................................................................................. Ruan g Publik dan Civil Society ............................................................ 16 C. .............................................................................................. Dialo g Antar Umat Beragama 1. ........................................................................................ Defin isi Dialog ............................................................................... 27 2. ........................................................................................ Urge nsi Dialog Antar Agama ........................................................ 30 3. ........................................................................................ Bent uk-Bentuk Dialog .................................................................. 31 Bab III Gambaran Umum Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) A. Profile CDCC 1. .......................................................................................... Latar Belakang CDCC ...................................................................... 35 2. .......................................................................................... Misi CDCC ...................................................................................... 36 3. .......................................................................................... Visi CDCC ...................................................................................... 36 4. .......................................................................................... Progr am CDCC ................................................................................ 37 5. .......................................................................................... NilaiNilai Perjuangan CDCC .......................................................... 40 6. .......................................................................................... Struk tur Organisasi .......................................................................... 42 Bab IV Peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik. A. .............................................................................................. Latar Belakang CDCC Membangun Dialog .......................................... 45 B. .............................................................................................. Imple mentasi Dialog CDCC Dalam Penguatan Ruang Publik ............. 54 1. .......................................................................................... Mem bangun Dialog Antar Umat Beragama .................................... 57 2. .......................................................................................... Mem bangun Dialog Politik .............................................................. 67 3. .......................................................................................... Mem bangun Dialog Budaya ............................................................ 74 4. .......................................................................................... Mem bangun Dialog Ekonomi .......................................................... 81 Bab V Penutup A................................................................................................ Kesi mpulan ........................................................................................... 92 B. ............................................................................................... Saran 93 Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Muhammad AS. Hikam, konsep Civil Society merupakan wawasan yang berasal dari Eropa Barat. Menurutnya, pengertian Civil Society (dengan memegang konsep de’ Tocquiville) adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting) dan kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya1. Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material dan tidak terserap dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Oleh dari itu maka di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa 1 Muhammad AS. Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia: Mencari Konsep, Keberadaan dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia (Jakarta: LP3ES,1998), h.5-8 dilakukan oleh warga masyarakat.2 Dalam penegakan civil society pada suatu bangsa maka diperlukan pilar-pilar penegak untuk mewujudkan nya. Pilar penegak tersebut adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritiki kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan Civil Society, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.3 Pada pembahasan ini kami hanya menekankan pada salah satu dari lima pilar penegak tersebut, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorang ataupun kelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintahan (bahasa Inggris: Non Governmental Organization; NGO).4 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam sebuah komunitas negara mempunyai fungsi mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan negara (Policy of State) yang cenderung memposisikan warganya sebagai subjek yang lemah. Untuk itu, maka diperlukannya penguatan masyarakat sebagai prasyarat untuk mencapai kekuatan bargaining 2 Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat (Jakarta: Kencana,2003), h. 141 3 Dede Rosyada , dkk. h. 250-252 4 Herdi SRS, LSM Demokrasi dan Keadilan Sosial: Catatan Kecil Dari Arena Masyarakat Dan Negara ( Jakarta:LP3ES dan YAPPIKA, 1999). masyarakat yang cerdas di hadapan negara tersebut. Oleh karena itu dengan adanya komponen yang penting berupa adanya lembagalembaga swadaya masyarakat yang mampu berdiri secara mandiri di hadapan negara, terdapat ruang publik dalam mengemukakan pendapat, menguatkan posisi kelas menengah dalam komunitas masyarakat. Pada skripsi kali ini, penulis akan membahas sebuah tema, yaitu Peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) adalah sebuah LSM yang didirikan pada bulan Juni tahun 2007 oleh para sarjana dan aktivis dari berbagai lembaga baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan pemerintah. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) bertujuan untuk memajukan pemahaman yang lebih baik dan hubungan perdamaian antara agama, budaya, bangsa dan peradaban yang luas. Centre for dialogue and cooperation among Civilisations (CDCC) dalam melihat perbedaan peradaban merupakan suatu ancaman dan pertentangan, oleh pandangan yang karena itu CDCC berupaya berbeda itu menjadi sebuah menyatukan kesempatan, kesempurnaan dan penyatuan komponen untuk tumbuh, sehingga tercapainya perdamaian dunia. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) menyediakan tempat yang lebih untuk berdialog antara elite dan forum publik yang mendiskusikan isu yang berkaitan antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) juga menjembatani konflik yang ada seperti mencegah beberapa kemungkinan konflik dengan mempertemukan dan memfasilitasi ruang untuk melakukan dialog dan diskusi berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi. Sebagaimana disebutkan dalam profile CDCC, maka CDCC sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai perhatian dalam upaya memberikan ruang publik yang bebas untuk melakukan dialog dan diskusi yang berkenaan dengan masalah-masalah yang relevan untuk segera ditangani. Walaupun CDCC dalam pembentukan ruang publik yang bebas menurut pandangan penulis lebih bersifat elitis akan tetapi mempunyai peran, khususnya terhadap para tokoh agama, aktivitis dan akademisi yang aktif dalam diskusi dan dialog. Sesuai dengan tujuannya, yaitu berusaha mengupayakan terwujudnya perdamaian dunia dengan menghilangkan sekat-sekat yaitu berupa agama, kebudayaan dan peradaban, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) juga mengupayakan terciptanya masyarakat yang toleran dan demokratis melalui segmen dialog dan kerjasama dengan membuka ruang publik yang seluasluasnya bagi warga yang ingin melakukan dialog dan berdiskusi untuk membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi untuk segera ditangani. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang masalah di atas maka penulis ingin mengetahui bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas. Agar pembahasan skripsi ini tidak terlalu melebar, maka dalam skripsi ini penulis menekankan dalam sebuah pembatasan dan perumusan masalah yaitu, 1. Bagaimana peran CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas terhadap masyarakat dengan mengedepankan sikap toleran dalam kehidupan beragama melalui segmen dialog dan kerjasama. 2. Sejauh mana peran CDCC dalam melakukan kritik terhadap pemerintah. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan bagaimana peran yang dilakukan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas terhadaap warga masyarakat guna terbentuknya masyarakat yang toleran dan pluralis serta kritis terhadap pemerintah yang sesuai dengan karakteristik dari civil society. 2. Manfaat Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi para akademisi, dapat memberikan sumbangan teoritis untuk menambah literatur atau bahan, referensi pada studi tentang LSM 2. Bagi para aktivis, khususnya aktivis LSM sebagai masukan atau saran dalam mengembangkan program-program kegiatan dalam penguatan ruang publik yang bebas. D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.5 Untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan melalui proses penelitian lapangan. Pada pendekatan ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Dengan metode ini penulis akan mengemukakan dan menggambarkan bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas, yaitu dengan menjelaskan bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CDCC dan caracara yang dilakukan CDCC dalam upaya menciptakan masyarakat yang toleran, pluralis dan kritis terhadap pemerintah. 5 Bungin, B, Penelitian Kualitatif ( Jakarta :Prenada Media Group,2007 ) 2. Unit Analisis. Pada penelitian kali ini sebagai subjek dalam penelitian adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) sebagai lembaga yang selulu memfasilitasi ruang untuk berdialog dan berdiskusi guna terbentuknya ruang publik yang bebas. 3. Teknik Pengumpulan Data. A. Observasi Partisipasi. Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan di mana observer atau peneliti terlibat dalam subjek yang akan diteliti.6 Pada penilitian ini, penulis melakukan pendekatan observasi partisipasi dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CDCC yaitu berupa kegiatan dialog dan diskusi yang diadakan oleh CDCC. B. Interview Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dengan teknik wawancara. Menurut Imam Suprayogo dan Tabroni wawancara merupakan metode penggalian data yang paling banyak digunakan, baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama untuk penelitian 6 ) h. 115 Bungin, B, Analisis Data Penelitian Kualitatif ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2003 yang bersifat kualitatif.7 Pada penelitian kali ini, penulis akan mewawancari pengurus dari CDCC dan lembaga-lembaga lain yang aktif dalam dialog dan diskusi yang diselenggarakan oleh CDCC. C. Dokumentasi : Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, foto, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi guna untuk keberhasilan dan kevalidan data yang penulis gunakan, yakni dengan menggunakan catatan-catatan yang telah ada dan mencari artikel-artikel yang bisa membantu dalam penelitian kali ini. 4. Analisis Data Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memilki nilai sosial, akademis dan ilmiah.8 Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan analisa kualitatif dengan data-data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi secara mendalam untuk mendapatkan data yang diharapkan dalam penelitian ini. Wawancara yang peneliti lakukan, berdasarkan hal-hal yang kami inginkan dan bersifat tidak terstuktur. Pengamatan yang 7 Suprayogo, Imam dan Tobrani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2003) 8 Suprayogo dan Tohorani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h.191 peneliti lakukan adalah hanya mencari data yang berkaitan tentang peran yang dilakukan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas dan program kerja apa yang dilakukan untuk mencapai semua itu baik di Indonesia mauapun di luar negeri. Setelah data-data yang telah kami kumpulkan kemudian kami olah dalam narasi, kemudian kami analisis dan disajikan secara deskriptif. Sedangkan data-data dari buku, jurnal, artikel, makalah, dan karyakarya ilmiah lainnya adalah data-data sekunder yang penulis gunakan untuk mendukung dan melengkapi data-data primer. Dalam penelitian yang penulis lakukan adalah análisis data dimulai dari penetapan masalah, pengumpulan data, penyajian data sampai kepada penarikan kesimpulan. E. Literatur Review Sepanjang penelusuran penulis, sudah ada skripsi yang membahas tentang CDCC akan tetapi tidak terkait tentang penguatan ruang publik yang bebas. Pada skripsi yang ditulis oleh Fauzia Ningtyas, mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan judul Skripsi “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Untuk Perdamaian Kasus The 2nd World Peace Forum CDCC” hanya membahas tujuan CDCC yang mengusung nilai-nilai perdamaian dan berusaha melawan berbagai tindak kekerasan yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain. Skripsi yang ditulis oleh Fauzia Ningtyas lebih membahas tentang peran CDCC sebagai penyelanggara Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum) yang membahas tentang tindak kekerasan dan konflik yang terjadi di berbagai negara, pada forum itu menyimpulkan bahwa kekerasan dan konflik itu terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor melainkan oleh beberapa faktor berbeda yang saling mendukung, seperti faktor agama, politik, bangsa, budaya dan bahkan faktor ideologi pribadi. Pada penulisan skripsi kali ini, penulis akan membahas tentang hal yang berbeda. Pada penulisan skripsi ini, Penulis akan memposisikan tentang peran CDCC sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas bagi masyarakat melalui segmen dialog dan kerjasama demi terciptanya masyarakat yang toleran dan kritis terhadap pemerintah. F. Sistematika Penulisan Laporan hasil penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk karya tulis skripsi dengan sistematika penulisan seperti dibawah ini : 1. Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjelaskan hal- hal seputar latar belakang yang menerangkan alasan utama kami mengangkat tema ini. Pembatasan dan rumusan masalah ini berfungsi agar penelitian kami tidak terlalu melebar dalam penulisan dan dapat menangkap isu dengan jelas sehingga tidak menimbulkan pertanyaan pertanyaan yang keluar dari konteks yang sedang kami bahas. Tujuan dan manfaat penelitian menjelaskan tentang apa tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini. Metodelogi penelitian menjelaskan tentang bagaimana cara penulis mengumpulkan data-data yang untuk memperoleh data yang valid. Diskripsi konsep menjelaskan tentang sekilar teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Pada bab I penulis juga mencantumkan Review studi terdahu guna menentukan posisi penulis dalam penelitian ini. Dan sistematika penulisan menjelaskan bagaimana penulis menjelaskan bagaimana skripsi ini ditulis dari Bab I sampai Bab V 2. Bab II : Kajian Teori. Pada Bab ini penulis membahas tentang definis peran, dan definisi civil society. Pada ini penulis juga menjelas tentang ruang publik menurut habermas dan menjelaskan tentang dialog antar umat beragama. Pada Bab II penulis gunakan sebagai pisau analis penulis pada Bab IV. 3. Bab III : Gambaran Umum CDCC ( Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations ). Pada pembahasan bab ini kami membahas tentang latar belakang berdirinya CDCC, tujuan dan struktur CDCC, dan Visi dan misi dari CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas. 4. Bab IV: Bab IV ini penulis membahas tentang peran CDCC dalam rangka penguatan ruang publik. Pada bab ini penulis akan menuangkan data-data yang diperoleh dari penelitian menggunakan diskripsi data dengan menjelaskan program- program kerja yang dilakukan oleh CDCC dalam penguatan ruang publik. 5. Bab V : Penutup. Pada pembahasan bab ini kami akan menjelaskan hasil dari penelitian yang kami lakukan, berupa kesimpulan. Pada bab ini kami akan menuangkan berupa saran- saran yang mungkin harus kami sampaikan dalam penelitian ini. 6. Terakhir kami mencantumkan daftar pustaka sebagai bahan acuan selama kami menyusun skripsi ini, serta lampiran-lampiran berupa pertanyaanpertanyaan yang kami berikan kepada responden untuk memperoleh kevalidan data. BAB II KAJIAN TEORI A. Peran 1. Definisi Peran Dalam kamus Bahasa Indonesia, peran diartikan beberapa tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat dan harus dilaksanakan.9 Sedangkan menurut Gross, Mason dan A.W.MC, sebagaimana yang dikutip oleh David Barry mendefinisikan peran sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.10 Sebagaimana yang telah diterangkan dalam definisi peran diatas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa definisi peran adalah sesuatu yang lahir dari interaksi dalam masyarakat, melalui partisipasi dalam memainkan peran tertentu yang pada akhirnya ada proses penempatan status peranan seseorang dalam keluarga, masyarakat dan sebagainya. Seseorang dapat dikatakan berperan atau memiliki peran karena seseorang tersebut mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan ini berbedabeda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing diri memiliki peran yang sesuai dengan statusnya. Tentunya peran tersebut tidak dapat 9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 667 10 N. Gross W.S. Mason and A.W. Mc Eachern, Exploritations Role Analysis, dalam David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-3, h. 99 dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan antara satu sama lainnya. Karena yang satu dengan yang lainnya sangat bergantung, maka peran diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Dalam hal ini, Sarlito Wirawan Sarwono juga memberikan pengertian bahwa harapan tentang peran itu adalah harapan-harapan lain yang pada umumnya mengartikulasikan tentang prilaku-prilaku yang pantas, dan seyogyanya ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.11 2. Tinjauan Sosiologis Tentang Peran Manusia adalah makluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari sikap ketergantungan pada manusia lain. oleh kerena itu pada posisi semacam ini peran sangat menentukan kelompok sosial masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing dari sosial masyarakat yang berkaitan agar menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan masyarakat dan lingkungan di mana mereka tinggal. Gross, Mason, dan Mc Eachern mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.12 Dengan kata lain peranan-peranan tersebut ditentukan oleh normanorma dalam masyarakat yang mempunyai makna setiap individu dalam setiap pekerjaannya diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat, keluarga dan pada peranan-peranan yang lain. 11 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (CV. Rajawali: Jakarta,1984), Cet. Ke-1, h.235 12 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h.100 Di dalam peran terdapat dua macam harapan, yaitu:13 1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran. 2. Harapan-harapan yang dimilki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya. Sebagaimana penjelasan di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan yang dilakukan seseorang kerena kedudukannya dalam status tertentu pada lingkungan di mana dia berada. Dan setiap yang mempunyai peran itu biasanya bisa menyesuaikan dengan peranan tersebut. Misalnya, seseorang ketika berada di rumah ia mempunyai peran sebagai sebagai kepala rumah tangga, namun ketika di kantor ia berperan sebagai karyawan dan sebagainya. Peran seperti ini sangat kompleks tergantung pada mobilitas sosialnya. Peran mencakup tiga hal, yaitu:14 1. Peran yang meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Peran merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 13 Ibid., h. 101 14 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.244 3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Perlu disinggung mengenai fasilitas-fasilitas bagi peran individu. Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada invidu untuk dapat menjalankan peran. Lembaga-lembaga kemasyarakatan atau organisasi merupakan bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan peran. Kadang-kadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah. Bertolak dari sudut-sudut pandang di atas, peran sosial dapat didefinisikan sebagai bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah ditentukan. Dari ganbaran di atas tentang peran, dapat disimpulkan beberapa aspek yaitu:15 1. Peran sosial adalah bagian dari keseluruhan fungsi masyarakat. Fungsi pada umumnya adalah suatu pengertian yang menunjukan pengaruh khas dari satu bagian terhadap keseluruhan. Masyarakat sebagai keseluruhan kesatuan hidup bersama mengemban tugas umu, ialah mencakupi kepentingan umum yang berupa kesejahteraan spiritual dan material, tata ketentraman dan keamanan. 2. Peran sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan. Jika peran sosial ditinjau dari sudut lain yakni bagaimana pelaksanaannya, 15 Hendropuspito, Sosilogi Sitematik (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h.177-178 peran sosial adalah seperangkat pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang harus diikuti oleh individu yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana seseorang pengurus lembaga sosial yang fokus terhadap permasalahan anak jalanan dengan mampu memahami karakter anak-anak jalanan, bagaimana harus bersikap terhadap mereka. 3. Peran sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu, misalnya sebuah LSM atau Yayasan. 4. Pelaku peran sosial mendapatkan tempat tertentu dalam tangga masyarakat. Seperti halnya dengan suatu pementasan sebuah drama, pelaku-pelaku yang menjalankan peran sosial diberi tempat dalam tangga masyarakat. 5. Dalam peran sosial terkandung harapan-harapan yang khas dari masyarakat. Setiap peranan sosial adalah sejumlah harapan yang hendak diwujudkan, juga harapan dari orang banyak yang realisasinya diserahkan kepada seorang atau beberapa pelaku. Isi harapan dari masyarakat adalah supaya peran (tugas) sosial tersebut dilakukan menurut norma dan peraturan yang telah ditentukan. 6. Dalam peran sosial ada gaya khaas tertentu. Setiap peran yang dipegang oleh individu atau kelompok memiliki harapan yang berbeda sesuai dengan konsennya. Misalnya lembaga yang menangani masalah kerukunan antar umat beragama, maka penjiwaannya harus seperti karakterisik orang-orang yang menghargai toleransi dan pluralitas. B. Ruang Publik dan Civil Society. CDCC merupakan bagian dari civil society yang mempunyai peran dalam penguatan ruang publik yang bebas. Oleh kerena itu pada kajian teori ini penulis ingin membahas tentang Ruang Publik dan civil society guna membantu dalam penulisan skripsi ini. Menurut penulis untuk mewujudkan ruang publik yang bebas maka harus terbentuknya dulu civil society. Dalam pengembangan konsep civil society dalam sebuah bangsa akan sangat terkait dengan prakondisi-prakondisi atau modalitas domestik yang bangsa itu miliki. Sejarah membuktikan, bangsa-bangsa di dunia yang memiliki tradisi civil society bagus selalu didahului oleh pengalaman sejarah yang panjang dalam mendefinisikan civil society sesuai dengan konteks ruang dan waktu masing-masing. Artinya, pengembangan tradisi kehidupan civil society tidak mungkin dilakukan ditengah-tengah ruang historis yang kosong. Pengaplikasian civil society pada hari ini akan terkait dengan kajadian historis kemarin, dan pengaplikasian civil society kedepan akan sangat tergantung pada pengembanagn konsep pada hari ini.16 Untuk mendefinisikan terma civil society sangat bergantung pada kondisi sosial kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep civil society merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, di sini akan penulis kemukakan beberapa definisi civil society sebagaimana yang di paparkan Dede Rosyada.17 16 Masdar Hilmy, Islam Profetik; Substansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakarta: Kanisius,2008), h. 41 17 Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Edukation): Demokrasi, Hak AsasiManusia dan Masyarakat Madani, h. 238-240 pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing, satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap Negara. Oleh karenanya, maka yang dimaksud civil society adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara dalam masyarakat ini diekspresikan dalam gambaran masyarakat yang individualisme, pasar dan pluralisme. Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-Joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa civil society merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengkuti norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini. Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam kontek Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat secara relatif otonom dari Negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan menunjukan kepentingankepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri. Menurut Muhammad AS Hikam, pengertian civil society dengan memegang konsep de Tocquiville adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaaan, dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.18 Sejalan dengan penjelasan definisi civil society yang penulis paparkan di atas, penulis akan menghubungkan dengan penulisan skripsi ini yang berkaitan dengan penguatan ruang publik yang bebas. Definisi civil society dalam penelitian ini adalah suatu lembaga yang murni dibentuk oleh masyarakat sipil yang menyediakan ruang publik yang bebas dari pengaruh negara dan independent untuk membicarakan atau mendiskusikan hal-hal yang relevan yang sedang dihadapi oleh warga negara, baik dalam hal ekonomi, agama dan politik. Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjalin berlangsungnya prilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terperangkat di dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa 18 Muhammad AS Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia; Mencari Konsep , Keberadaan, dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia (Jakarta: LP3ES,1998), h. 5-8 dilakukan oleh warga masyarakat. Hanya dalam ruang publik yang bebas, secara normatif tiap individu dalam posisi yang setara dapat melakukan transaksi wacana dengan dialog atau diskusi dan praksis politik secara sehat, tanpa distorsi dan represi, baik fisik maupun psikis. Ruang publik (public sphare) merupakan bagian dari karekteristik Civil Society. Untuk merealisasikan wacana tersebut diperlukan prasyarat-prasyarat lain yang menjadi nilai universal dalam penegakan Civil Society. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi wacana tersebut. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphare, Demokrasi, Toleransi, Pluralisme, dan keadilan sosial.19 Tapi pada pembahasan kali ini penulis lebih menekankan pada masalah ruang publik. Gagasan ruang publik atau Public Sphere merupakan gagasan yang belum cukup tua. Dalam hal ini filsuf Jerman Jurgen Habermas (lahir 1929) dianggap sebagai pencetus gagasan tersebut, sekalipun sebagian orang menganggap benihbenih pemikiran ruang publik sudah dikemukakan oleh sosilogis dan ekonomis Jerman Maximilian Carl dan Emil Weber (1864-1920). Jurgen Habermas mengenalkan gagasan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989. 19 Dede Rosyada, dkk, h.247 Sebenarnya apa arti dari publik itu? Apakah setiap kerumunan massa dengan sendirinya dapat diidentifikasi sebagai publik? Apakah massa yang diam dapat disebut publik? Apakah publik dilahirkan secara alamiah, ataukah perlu dibangun? Jawaban dari pertanyaan alenia di atas sebagai berikut, Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingankepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik bukan kerumunan massa yang diam (mass of silent), dan publik itu tidak timbul secara alami, publik harus dibangun dengan kesadaran warga yang kritis terhadap masalah yang dihadapi.20 Sedangkan ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, kebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum. Konsep ruang publik dalam filsafat politik Habermas banyak mendapat inspirasi dari konsep tindakan politiknya Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition. Tetapi Habermas mengkritik Arendt bahwa konsep politiknya terlalu sempit. Kekuasaan seperti kata Arendt “terjadi di antara manusia-manusia, 20 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), h. 269-270 jika mereka bertindak bersama, dan lenyap jika mereka bubar”.21 Kekuasaan komunikatif itu terbentuk dalam forum-forum diskusi publik, dalam gerakangerakan sosial, dan juga di dalam DPR/MPR saat legislasi hukum. Di samping itu, menurut Habermas, Arendt tidak sensitif terhadap kemungkinan adanya manipulasi komunikasi di antara mereka yang mengaku berjuang demi kedaulatan rakyat dan HAM. Menurut Habermas, kekuasaan komunikatif itu baru terbentuk lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim kesahihan yang terbuka terhadap kritik dan dicapai secara diskursif. Dengan kata lain, legitimitas suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik.22 Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi yang dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis karena bersandar pada etika diskursus.23 Ruang publik dalam pemikiran Habermas lebih condong pada ruang publik politik. Jurgen Habermas mengakui bahwa politik memang mengandung 21 Hannah Arendt, The Human Condition, (Chicago : The Chicaco University Press, 1958), h. 252 22 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) h. 140 23 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) ruang serba mungkin yang besar, tetapi ini tidak berarti bahwa politik hanya bisa dilegitimasikan. Politik bisa dirasionalkan, sekurang-kurangnya dewasa ini kecenderungan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi keputusan kehendak politis itu menunjukan gejala yang disebutnya “pengilmiahan politik”.24Habermas membaca kecenderuangan ini yang dituangkan dalam sebuah esai The Scientizition of Politics and Public Opinion. Yang menjadi keprihatinan yang mendasari analisanya adalah terciptanya masyarakat yang demokrasi dan rasional, artinya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan memulihkan kedudukan manusia sebagai subjek-subjek yang mengelola sejarahnya.25 Berbicara mengenai “politik” demikian lazimnya anggapan orang, adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Politik dalam arti yang seluas-luasnya adalah dimensi kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Persoalan yang terus muncul disini adalah siapakah yang berhak mengatur atau mengarahkan kehidupan sosial itu, dan sebagaimana pengaturan dan pengarahan tersebut dilaksanakan. Secara lebih mendasar, persoalannya adalah manakah politik yang diterima oleh semua pihak dalam sebuah masyarakat. Ini menyangkut legitimasi. Sebuah kekuasaan harus diligitimasi agar efektif pada semua pihak. Kekuasaan itu sekurangkurangnya harus tampak benar dihadapan pihak-pihak yang dikuasai.26 Mengapa politik harus dilegitimasikan? Ada banyak jawaban, akan tetapi kita akan digiring ke sebuah jawaban mendasar bahwa politik itu irasional, dalam 24 Jurgen Habermas, Toward a Rational Socity, (London: Heinemann,1971) h.62 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, h. 145 26 Ibid., h.143 25 artian unsur-unsur kehendak manusia mengatasi unsur pengetahuannya. Dalam kehidupan sosial, ada segi kehidupan rutin yang bisa diantisipasi, terjadi dalam pola-pola yang mapan dan diandaikan begitu saja, tapi ada juga segi kehidupan yang menghadapkan manusia pada pilihan-pilihan yang serba mungkin untuk mengubah atau mempertahankan kehidupan sosial itu. Karena serba mungkin, maka segi politik kehidupan sosial ini menuntut keputusan kehendak. Supaya keputusan kehendak ini memasuki segi kognitif yang dikuasai, dibutuhkan legitimasi. Akan tetapi dengan legitimasi, politik bisa saja tetap irasional, sebab bagaimanapun, ruang serba mungkin yang menuntut keputusan kehendak itu tetap besar, dan keputusan kehendak tidak selalu didasari oleh pertimbangan rasional. Rasionalisai kekuasaan pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam arti bentuk-bentuk komunikasi umum dan publik yang bebas dan terjamin secara institusional. Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik yang kritislah yang merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Diskusi semacam itu hanya mungkin dilakukan dalam suatu wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The public Sphare, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial semacam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “Ruang publik”. Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik dapat disebut ruang publik.27 Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis 27 Ibid., h. 151 sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.28 Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas? Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu. Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka. Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan". Penulis dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun. Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika penulis berfikir seperti analisis Habermas, penulis membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan 28 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) h.132-134 solidaritas sosial (masyarakat). Lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri baik dari pasar maupun dari negara. Pada era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif", yaitu ruang publik itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warungwarung, dan seterusnya. Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks seperti yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktoraktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat. Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar). C. Dialog Antar Umat Beragama. Dalam rangka pengutan ruang publik yang bebas terhadap warga, CDCC lebih mengambil segmen dialog dan kerjasama antara agama yang berbeda dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu, pada kajian teori ini penulis mengangkat tentang dialog antar umat beragama. Dengan melakukan dialog maka ruang publik akan mudah terbentuk. 1. Definisi Dialog. Dialog dapat diartikan sebagai komunikasi antara dua orang atau lebih atau dua pihak yang berbeda pandangan.29 Dalam keperbedaannya masing-masing pihak saling belajar dan berbagai pengalaman satu terhadap yang lainnya. Sedangkan menurut Swidler, dialog bukanlah debat, bukan pula saling mengancam, tetapi merupakan suatu percakapan antara dua orang atau lebih 29 Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: karya Utama,2002), h.113 tentang suatu masalah bersama namun memiliki pandangan yang berbeda yang mempunyai tujuan pokok untuk saling mendengar, dan saling belajar satu sama lain secara terbuka dan simpatik sehingga diharapkan terjadi perubahan sikap kearah yang lebih positif.30 Mengacu pada definisi kata dialog diatas maka penulis mendefinisikan dialog merupakan suatu cara dimana dua orang atau lebih (masyarakat) untuk membicarakan perbedaan atau persamaan dari masing-masing dengan tujuan untuk saling belajar dan mengetahui dengan cara damai sehingga tercipta masyarakat yang toleran terhadap perbedaan. Apabila penulis kaitkan dengan dialog antar umat beragma dari tujuan dialog yang yang telah dijelaskan oleh Swidler, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa dialog juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu untuk menunjukan rasa hormat terhadap agama yang berbeda dan perhatian terhadap kepercayaan dan para pemeluk agama lainnya. Dengan cara ini, sebagai umat beragama harus senantiasa bersikap hati-hati dalam menentukan pemikiranpemikiran apa saja berkenaan dengan pemahaman akan Tuhan yang serupa, memilki kesamaan ataupun sama sekali berbeda. Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dialog sangat dibutuhkan dalam menjalani hidup ditengah pluralisme. Pluralisme itu muncul dalam berbagai macam ragam dan bentuk yang meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme keyakinan, pluralisme kepentingan, pluralisme etnis, pluralisme status sosial, 30 Leonard Swidler, After the Absolute: The Dialogical Future of Religion Reflection (Philadelpia: Augsburg Fortess,1990), h.3 pluralisme agama dan lainnya. Dalam kontek pluralisme agama misalnya, pluralisme ini juga berkaitan dengan pluralisme kebutuhan dan keyakinan yang sesekali menampilkan pluralisme budaya sebagai latar belakang yang menjadi basis pemahaman akan tuhan dan keyakinan keagamaan.31 Penulis dalam memahami pluralisme bukan sekedar bermakna statis, yaitu dengan adanya kemajumukan atau keberagaman, melainkan juga bermakna dinamis, yaitu adanya keterlibatan dalam upaya memahami perbedaan dan kesamaan yang ada, dan sekaligus keterlibatannya dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Pluralisme bukan mengingkari adanya perbedaan, sebaliknya pluralisme mengakui adanya perbedaan namun tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai penghalang terhadap kebersamaan dan harmoni kehidupan. Dari uraian diatas menghantarkan penulis pada salah satu sendi kehidupan pluralis, yaitu adanya kesadaran kemajemukan (plural awareness) yaitu kesadaran yang mendalam bahwa kita hidup dalam kemajemukan, dan ingkar kepada kemajemukan berarti ingkar terhadap ciptaan Tuhan. Kesadaran akan kemajemukan akan mengikis sikap kemutlakan, subjektif dan ekslusif, dan akan menimbulkan sikap saling memahami. Berkembangnya sikap ini akan memungkinkan lahirnya sendi kehidupan pluralis yang lain, yaitu sikap saling percaya. Sesungguhnya modal trust ini bukan hanya menghindari timbulnya konflik, melainkan juga memungkinkan terjadinya sinergi antar komunitas yang berbeda. 31 Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Umat Beragama (Yogyakarta:Bentang Budaya,2000), h. 21 Sendi dari kehidupan pluralis adalah dialog. Dialog merupakan instrument utama dalam pengelolaan kehidupan plural yang sehat dan produktif, karena tanpa ada dialog masing-masing komunitas yang berbeda sangat rentan untuk menjadi eksklusif dan jatuh jatuh dalam fanatisme yang sempit. Dengan dialog dapat melahirkan sikap toleran, saling percaya, dan saling menghormati. Esensi dari dialog adalah adanya penghargaan dan pengenalan timbal balik (reciprocal recognition) antara pihak yang berdialog . dengan adanya sikap saling mengenal dan menghargai ini maka mereka benar-benar dapat memahami pendapat, nilai-nilai kebenaran dan keyakinan mitra dialognya.32 2. Urgensi Dialog Antar Agama. Dialog lebih memanisfetasikan dirinya sebagai suatu pendirian, orientasi, atau penunjang komunikasi daripada sebagai suatu metode,teknik atau pola yang spesifik.33 Ada hal yang harus diingat, kadang kala karakteristik dari dialog disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab. Kejujuran yang blak-blakan dapat dilakukan untuk menghina orang lain dengan tujuan untuk memuaskan ego sendiri dan perasaan mementingkan diri sendiri. 32 Ahmad Watik Pratinya, “Pluralisme, Trust dan Dialog” dalam Ahmad Syafii Maarif, dkk., Ethics and Religious Dialogue In a Globalized World (Jakarta: The Habibie Centre,2010), h. 62 33 Richard L Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1996) h.64 Apabila seseorang yang sadar akan nilai kemanusiaan, maka pasti dia tidak akan mengganggu atau mengancam manusia lain. penulis teringat yang diutarakan oleh filsuf moral Frans Magnis Suseno, bahwa “Humanisme tak pernah bisa menjadi ancaman bagi humanisme lain” artinya, bahwa humanisme Kristiani tidak mengancam humanisme Islam, begitu sebaliknya humanisme Islam tak mengancam humanisme Kristiani.34 Demikian juga hal ini berlaku bagi humanisme yang lain yang ada dalam masing-masing agama, baik humanisme yang terdapat dalam individu maupun kelompok. Konsekuensinya adalah agama yang tidak humanis bisa menjadi ancaman bagi orang yang tidak beragama, ancaman bagi orang yang beragama lain, dan bagi saudara-saudari seagama. Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam kehidupan masyarakat kita. Dialog sangat dibutuhkan dalam di tengah-tengah pluralisme. Pluralisme ini muncul dalam berbagai macam ragam dan bentuk yang meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme kepentingan, pluralisme etnis, pluralisme status sosial, pluralisme agama, dan lainnya. Berkaitan dengan pemahaman pluralisme, berkembanglah upaya-upaya dialog dalam konteks agama-agama. Dialog antar agama, yang hakekatnya adalah pertemuan hati dan pikiran antar berbagai macam agama, merupakan aktualisasi sekaligus pelembagaan semangat pluralisme keagamaan. Dialog antar agama menjadi ajang komunikasi dua orang atau lebih dalam tingkatan agamis. Dengan dialog, jalan bersama menuju kebenaran semakin 34 Frans Magnis Suseno, dalam Ibnu Mujib dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis Teologi Humanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), h. 92-93 terbuka.35 Dialog bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang agama masing-masing baik mengenai persamaan maupun perbedaannya. Dialog sama sekali tidak mengurangi loyalitas dan komitmen seseorang terhadap kebenaran keyakinan agama yang sudah ia pegang, akan tetapi lebih memperkaya dan memperkuat keyakinan itu. Dialog juga jauh dari kemungkinan orang untuk terjerumus ke dalam pandangan sinkretisme. Sebaliknya, dialog mencegah orang dari sinkretisme karena dengan dialog seseorang akan semakin mendalami pengetahuannya tentang agama atau kepercayaan lain, dan pada saat yang sama keyakinannya terhadap kebenaran ajaran agama yang ia peluk akan semakin teruji dan tersaring. 3. Bentuk-Bentuk Dialog Dialog antar agama dapat berlangsung dalam beberapa bentuk diantaranya: dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis (dialog iman), dan dialog spritual.36Disamping itu juga ada dialog perbuatan, dialog kerukunan, dialog sharing pengalaman agama, dialog doa bersama, interfaith dialogue, dialog terbuka, dialog tanpa kekerasan, dialog aksi dan sebagainya.37 Pertama, dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan bentuk paling sederhana dari pertemuan-pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat beragama. Disini pemeluk agama yang berbeda-beda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari, berbaur, dan melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing. 35 Burhanuddin Daya, Agama Dialogis; Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya,2004), h. 20 36 Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusifpluralis, (Jakarta: Paramadina,2004), h. 208 37 Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, h. 39 Kedua, dialog kerja sosial. Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akan pluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif dalam kemajemukan itu. Ketiga, dialog teologis atau dialog iman. Dialog teologis merupakan pertemuan-pertemuan, baik reguler ataupun non reguler untuk membahas persoalan-persoalan teologis. Tema yang diangkat misalnya pemahaman kaum Muslim dan Kristen tentang Tuhan masing-masing atau tentang tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran bahwa diluar keyakinan dan keimanan dari tradisi agamaagama selain kita. Jika dalam dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain, maka dialog teologis berusaha memposisikan iman kita di tengah-tengah iman orang lain. Keempat, dialog spiritual. Dialog spiritual bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Dialog ini bergerak dalam wilayah esotoris yaitu sisi dalam agama-agama. oleh karena itu para pesertanya melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama. Dialog antar agama paling tidak berlangsung dalam tiga level. Pertama, dialog wacana, yaitu dialog yang membahas masalah-masalah teologis yang muncul. Misalnya, konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua, membagi (sharing) pengalaman spiritual, misalnya sama-sama puasa untuk menghayati kehidupan orang miskin. Ketiga, dialog dalam level aksi, yaitu dialog yang para peserta dialog tanpa membeda-bedakan agamanya sama-sama menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Dapat digarisbawahi, muara dialog adalah memberi kesadaran secara teologis bahwa perbedaan itu bukan buatan manusia tapi desain Tuhan. Oleh karena itu, saling menghargai dalam perbedaan sangat diperlukan. Bertolak dari pandangan inklusif-pluralis ini, para pemeluk agama yang berbeda dapat menjalani kerja sama. Jadi pada prinsipnya dialog antar agama dengan kerja antar agama adalah dua hal yang sambung-menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. tidak ada kerja sama tanpa didahului oleh dialog, dan dialog berlanjut pada kerja sama dan memberikan penguatan bagi kerja-kerja sosial. Aksi-aksi kolaboratif melibatkan berbagai kalangan agama dalam merespon kebutuhan aneka kebutuhan umat beragama. BAB III GAMBARAN UMUM CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILISATIONS ( CDCC ) A. Profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) adalah sebuah LSM internasional yang bermarkas besar di Jakarta, yang didirikan pada bulan Juni tahun 2007 oleh para sarjana dan aktivis dari berbagai lembaga baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintahan, diantaranya adalah Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Hajrianto Y. Tohari, Didik J. Rachbini, Rizal Sukma, Fahmi Darmawansyah, dan Said Umar. Para tokoh pendiri CDCC meskipun berbeda-beda profesi seperti Din Syamsudin sebagai akademisi dan sekaligus menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Bahtiar Effendy sebagai akademisi dan mantan Ketua Bidang Hikmah PP Muhammadiyah, Hajrianto Y. Tohari sebagai Wakil Ketua MPR dan sebagai mantan ketua Pemuda Muhammadiyah, Rizal Sukma Sebagai Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Didik J. Racbani sebagai politisi dari partai PAN (Partai Amanat Nasional) dan Fahmi Darwansah dan Said Umar sebagai pengusaha akan tetapi mereka semua mempunyai latar belakang organisasi yang sama, yaitu Muhammadiyah. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) bertujuan untuk memajukan pemahaman yang lebih baik dan hubungan perdamaian antara agama, budaya, bangsa dan peradaban yang luas, sehingga tercipta masyarakat yang harmonis dan toleren tarhadap sesama. 1. Latar Belakang CDCC Berdirinya Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) didasarkan oleh beberapa sebab. Sebab yang paling mendasar adalah seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya, yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Hal itu disebabkan karena ada alasan yang utama, yakni bahwa tindakan kekerasan itu ada karena adanya benturan peradaban yang berbeda antara satu masyarakat, budaya, dan agama yang satu dengan yang lain nya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh peradaban lainnya. Oleh karena alasan itulah CDCC kemudian berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerjasama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkaan tata dunia yang damai. Selama ini, berbagai dialog yang ada hanya bersifat konseptual saja, hanya sebatas pertukaran pikiran, oleh karena itu CDCC berusaha membuat dialog yang konseptual dan menjadi praktis, sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak kekerasan dan menghindari benturan-benturan peradaban, sehingga dapat terwujud masyarakat dunia yang damai dan toleran terhadap peradaban lain. 2. Misi CDCC Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) bertujuan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik dan hubungan damai antar agama, budaya, bangsa, dan peradaban pada umumnya. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) berusaha untuk memediasi pemisahan yang selama ini ikut didukung oleh adanya ketakutan dan ketidakpahaman pada dua belah pihak.38 Maka dibentuklah beberarapa inisiatif untuk membangun dan memperluas dialog dan kerja sama antar agama, antar budaya, internasional dan antar peradaban, serta memberikan prioritas tinggi dalam menanggapi permasalahan-permasalahan utama mengenai kesalahpahaman dan kekerasan melalui beberapa ketentuan studi permasalahan yang terkait yang komprehensif, objektif, dan tepat. 3. Visi CDCC 1 Misi CDCC, artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari http://www.cdccfoundation.org Daripada memandang perbedaan sebagai suatu ancaman dan selalu berbenturan, CDCC menganut sebuah pandangan bahwa perbedaan adalah sebuah kesempatan, kekayaan dan sebuah komponen integral yang tumbuh, dengan tujuan untuk menciptakan dunia yang damai. Perbedaan harus diterima, tapi pada saat yang sama seseorang tidak harus mempertahankan pandangan seperti yang selama ini dianut oleh dunia Muslim dan Barat yang bisa menciptakan konflik yang tiada henti-hentinya. Bagaimanapun juga, usaha-usaha untuk menjembatani jurang pemisah antar masyarakat, bangsa dan peradaban dunia seringkali gagal jika tidak disertai oleh partisipasi, dialog dan kerja sama dari komunitas internasional. Dewasa ini, sangatlah penting untuk melakukan sebuah gerakan global untuk menjembatani jurang pemisah itu dan mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas dan saling menghormati antar berbagai budaya dan peradaban.39 4. Program CDCC CDCC berusaha untuk mencapai tujuannya melalui aktifitasaktifitas berikut: a. Kuliah Umum (Public Lecture) CDCC berusaha untuk mengadakan dialog-dialog antar peradaban dengan mengumpulkan para elit dan masyarakat dalam sebuah forum yang mendiskusikan isu-isu tentang antar agama, antar 39 Visi CDCC, artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari http://www.cdccfoundation.org budaya, dan hubungan internasional. Diantara contoh forum-forum tersebut adalah Lecture on Civilizations (Kuliah Peradaban), seminar internasional, dan konferensi internasional tahunan. Para peserta yang hadir mewakili sebuah kelompok luas meliputi diplomat, pemerintah, politisi, akademisi, aktifis, pengusaha, jurnalis, tokoh agama, tokoh pemuda, dan perwakilan media. b. Jaringan dan Kerja Sama Dalam melaksanakan program sebagaimana yang telah direncanakan dalam tujuannya, CDCC melakukan usaha yang besar untuk mengembangkan jaringannya yang bisa menguntungkan dalam usaha menciptakan atmosfer perdamaian dan dalam rangka membuat dialog-dialog yang efektif dan meningkatkan kepedulian masayarakat akan perlunya untuk membangun jembatan antar bangsa, untuk mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas, dan saling menghormati dan tuntuk menyusun harapan-harapan politik bersama dalam menanggapi perbedaan-perbedaan di dunia. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan CDCC mempunyai jaringan baik nasional maupun internasional. Jaringan nasional, CDCC melakukan kerjasama dengan NGO, misalnya IComRP (Indonesian Committee on Religion and Peace), Interfaith Day, dan organisasi-organisasi keagamaan seperti Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), WALUBI, Majelis Tinggi Agama Konghuju Indonesia (MATAGIN), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Persada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Pada level internasional CDCC mempunyai jaringan misalnya Chenghoo Multicalture Education Trush sebagai mitra sebanyak tiga kali secara berturut-turut dalam acara World Peace Forum. CDCC juga melakukan kerjasama dengan Departemen luar negri terutama untuk dialog-dialog internasional, misalnya mengundang pembicara-pembicara dari luar negeri, dan CDCC juga diundang sebagai pembicara pada forum-forum internasional . CDCC juga mempunyai jaringan kerja sama dengan duta besar-duta besar misalnya duta besar Inggris termasuk British Council, duta besar Rusia, dan duta besar Palestina. c. Advokasi Kebijakan Untuk memediasi konflik yang ada sebagaimana usaha untuk mencegah konflik yang mungkin terjadi, CDCC mengadvokasi segala kebijakan pemerintah atau pihak yang berwenang lainnya yang penting dalam usaha untuk mengurangi tekanan antar budaya dan kesalahpahaman yang ada. CDCC berusaha untuk mempengaruhi keputusan pemerintah atau pihak berwenang yang berakibat baik atau pun buruk pada dialog budaya atau peradaban.40 40 Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 Sepetember 2010 Dalam melakukan advokasi kebijakan, sepanjang sepengetahuan penulis CDCC belum melakukan advokasi secara serius dengan melakukan pembelaan yang secara konsisten, akan tetapi CDCC hanya lebih menekankan pada dialog belum pada tahap aksi tindak lanjut. d. Publikasi CDCC membuat setiap usaha untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat di Indonesia dan di luar negeri pada pentingnya untuk menjembatani jurang pemisah dan mengurangi persepsi antar budaya dan peradaban, sebagaimana memfasilitasi debat akademis tentang antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Dan atas alasan ini, CDCC menyebarkan informasi dan ide-ide melalui halaman web dan artikel di media secara terus-menerus.41 Sebagai contoh dari publikasi yang dilakukan oleh CDCC ialah dengan membuat berita-berita hasil dari kegiatan-kegiatann nya, seperti World Peace Forum, seminar-seminar dan diskusi-diskusi melalui web dengan alamat www.cdccfoundation.org, dan CDCC juga berkerjasama dengan media cetak dan elektronik untuk meliput semua kegiatan yang dilakukan. e. Penelitian CDCC melakukan berbagai usaha untuk memimpin studi yang memadai tentang materi-materi yang mengembangkan dialog dan kerja 41 Profile CDCC, http://www.cdccfoundation.org artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari sama diantara masyarakat yang berbeda agama, ras atau etnik, dan bangsa. Sejauh sepengetahuan penulis CDCC belum pernah melakukan kegiatan penelitian, CDCC dalam melakukan kegiatannya hanya lebih menekankan pada diskusi, dialog dan seminar-seminar belum sampai pada tahap penelitian. 5. Nilai-Nilai Perjuangan CDCC CDCC mempunyai nilai-nilai yang mereka ingin perjuangkan, sesuai dengan namanya. CDCC mempunyai tiga nilai yang sangat mendasar dalam kontek perdamaiaan dan tata dunia yang terbuka, yaitu ; a. Nilai Keterbukaan; CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang memiliki kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran-pikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat yang secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara terbuka dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap pemerintah atau masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan.42 42 Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010 b. Kemanusiaan yang bersifat universal; kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan. Kerena pada dasarnya ada sebuah common agreement diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat terhormat, oleh karena itu CDCC sangat konsen pada persoalanpersoalan kemanusiaan yang selama ini menjadi salah satu problem baik di level nasional maupun level internasional, banyaknya tindak kekerasan, pada wilayah tertentu masih adanya perbudakan, dan eksploitasi manusia itulah persoalan-persoalan kemanusian yang terjadi pada tingkat global dan nasional. c. Nilai Equality (nilai kesetaraan dan persamaan); CDCC tidak berada pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulan-keunggulan prestasi yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakat-masyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada aspek equality itu melekat dengan plurality atau pluralitas kerena mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan tetapi sesungguhnya mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya.43 6. Struktur Organisasi CDCC Ketua : M. Din Syamsuddin Penasehat : 1. Didik J. Rachbini, 2. Bachtiar Effendy 3. Rizal Sukma 4. Hajriyanto Y. Thohari 5. Fahmi Darmawansyah 6. Said Umar Pengawas : 1. Rustam Effendy 2. Edy Kuscahyanto Direktur Eksekutif : Abdul Mu’ti Direktur Administrasi dan Keuangan : Indah Meitasari Direktur Program : Piet Hizbullah Khaidir Staff : 1. Artati Haris 2. Fauzia Ningtyas 3. Ilham Mundzir Dalam struktur organisasi CDCC meskipun mereka mempunyai profesi yang berbeda-beda, seperti akademisi, aktivis, politisi dan pengusaha akan tetapi mereka mempunyai latar belakang organisasi yang sama, yaitu Muhammadiyah. 43 Wawancara Pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010 Seperti Din Syamsudin dan Bactiar Efendy adalah seorang akademisi akan tetapi mereka juga aktif dalam kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Didik J. Rachbini (politisi dari Partai Amanat Nasional), dan Hajrianto Y Thohari ( politisi dari partai Golkar dan sebagai Wakil Ketua MPR RI) juaga mantan aktivis Pemuda Muhammadiyah. Rizal Sukma sebagai mantan aktivis yang berasal dari Muhammadiyah dan sekarang menjabat Sebagai Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS). Fahmi Darwansah dan Said Umar sebagai pengusaha. Abdul Mu’ti, Piet Hizbullah dan Ilham Munzir sebagai mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Melihat kesamaan latar belakang dari struktur organisasi CDCC, maka penulis mempunyai pandangan bahwa struktur kepengurusan CDCC mempunyai kelemahan dan kelebihan dalam menjalankan perannya dalam melakukan perannya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelemahan dari lembaga yang ekslusif (kepengurusan mempunyai latar belakang organisasi yang sama) adalah kurang tebuka dalam melakukan managment organisasi. Dalam melakukan management hanya berdasarkan saling percaya antara pengurus yang satu dengan pengurus yang lain. Kelemahan lembaga yang ekslusif juga mempunyai network yang terbatas dan searah karena mereka mempunyai latar belakang organisiasi yang sama, sehingga terbatas juga untuk mendapatkan founding untuk menunjang jalannya kegiatan lembaga tersebut. Kelemahan dari lembaga yang mempunyai latar belakang organisai yang sama juga mempunyai kesamaan ide-ide sehingga dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penguatan ruang publik kurang variatif dan monoton. Kelemahan dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang ekslusif (latar belakang organisasi yang sama) menurut penulis kurang netral dalam melakukan perannya sebagai lembaga yang berupaya malakukan penguatan ruang publik. Biasa lembaga tersebut dalam berjuang menegakan nilai-nilai yang mereka yakini berdasarkan kepentingan dari kelompoknya (latar belakang organisasi nya), bukan berdasarkan realitas sosial masyarakat yang sebenarnya. Disamping mempunyai kelemahan, pasti ada juga sisi kelebihan dari suatu lembaga yang ekslusif. Kelebihan yang dimiliki lembaga yang mempunyai latar belakang yang sama adalah mempunyai pandangan dan tujuan yang sama. Dari mempunyai pandangan dan tujuan yang sama, maka CDCC mudah untuk mengorganisir dan melakukan program kerja. Dari kelebihan dari lembaga ekslusif adalah pertentangan ide-ide sangat kecil sehingga konflik atau pertentangan ide sangat kecil. BAB IV PERAN CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILISATIONS (CDCC) DALAM RANGKA PENGUATAN RUANG PUBLIK YANG BEBAS A. Latar Belakang Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (CDCC) Membangun Dialog Sebagai bagian dari civil society, Centre for Dialogue and Cooperations among Civilisations (selanjutnya CDCC) berupaya melakukan peran nya di Masyarakat dengan membuka ruang publik yang bebas terhadap warga dengan memfasilitasi warga untuk melakukan diskusi dan dialog untuk membahas masalah yang dianggap relevan. Pada awal nya, diskusi- diskusi yang diadakan oleh beranjak dari tesisnya Samuel Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilisation).44 Apabila kita melihat Sejarah dunia, semenjak awal 1990-an dunia memasuki fase baru yang ditandai dengan munculnya berbagai megatrend, antara lain berakhirnya perang dingin, hancurnya komunisme, bangkitnya kapitalisme baru di tiga kawasan (Amerika Utara, seleruh benua Eropa, dan kawasan Asia Pasifik sekitar Jepang dan Cina), serta menguatnya dampak globalisasi dalam dimensi kehidupan manusia. Munculnya sejumlah fenomena dunia pasca perang dingin memerlukan sebuah paradigma berpikir yang berbeda dengan paradigma berpikir selama ini kita pegang dalam menjelaskan fenomena perang dingin. 44 Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta, 21 November 2010. Sebagaimana diketahui dalam 40 tahun perang dingin (1950-1991) digambarkan terpolarisasi dalam dua blok. Pertama, kelompok masyarakat relatif kaya, sangat demokratis, dan dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, kelompok masyaarakat realtif miskin, komunis, dan dipimpin oleh Uni Soviet. Adanya polarisasi dunia dalam dua blok itu memicu konflik yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, dan bahkan militer di antara dua kekuatan dunia tersebut. Pola poltik yang mempertentangkan secara ideologis antara blok negara kapitalis dengan blok negara komunis membawa pengaruh bagi negara-negara berkembang. Banyak negara berkembang menjadi negera satelit bagi negara adikuasa. Bahkan sejarah mencatat bahwa sebagian konflik itu terjadi di dunia ketiga yang biasanya penduduknya miskin, tidak memiliki stabilitas politik, baru memperoleh kemerdekaan, dan mengaku sebagai negara non-blok.45 Berakhirnya perang dingin telah membawa perubahan dalam cara berfikir kita mengenai hubungan antar negara. Situasi dan kondisi yang berbeda paska perang dingin memerlukan peta berpikir baru untuk menerapkannya. Akhir perang dingin pun ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991 setelah Moskow mengadopsi kebijkan politik luar negeri yang pro-Barat dengan dimodifikasi sesuai dengan tekanan kelompok nasionalis pada pertengahan 1990an.46 Paradigma yang berpikir tepat dalam menjelaskan fenomena dunia pasca perang dingin itu dikenal sebagai paradigma benturan peradaban (The Clash of 45 Samuel P. Huntington, Jika Peradaban Apa? Paradigma Dunia Paska Perang Dingin,Aslinya If Not Civilization, What? Penerj. Saiful Umam, (Jakarta: LSAF dan ICMI, No.2 Vol.V. Thn. 1994) h.56. 46 Brian Hocking dan Michael Smith, Politik, An Introduction to Internasional Relations,(London: Prentice Hall, 1995, cet,II) h. 230 Civilisation). Dalam perspektif ini, dunia secara sederhana terbagi dalam dua kelompok. Pertama, negara-negara kaya (North) atau dikenal dengan negara demokratis. Kedua, negara-negara miskin (south) atau negara non-demokratis. Paradigma benturan peradaban ini telah memperlihatkan pergeseran pada level makro maupun mikro. Pada level makro, politik dunia tampaknya terlibat banyak konflik dan sedang mengubah perimbangan kekuatan sejumlah negara menurut berbagai peradaban yang berbeda. Sementara itu, pada level mikro, konflik-konflik yang paling kasar, berkepanjangan dan berbahaya (karena kemungkinan adanya peningkatan) tampaknya akan terjadi diantara negara-negara dan kelompok-kelompok dari peradaban yang berbeda.47 Jika peranan agama dan kutur di masa lalu diabaikan, sekarang keduanya dianggap penting. Bahkan sebagian orang meyakini akan terjadinya benturan di masa mendatang dalam konteks kepentingan internasional. Benturan peradaban ini akan mendominasi politik global pasca perang dingin. Bagi Huntington, benturan peradaban terjadi ketika politik internasional meninggalkan fase baratnya. Benturan peradaban berjalan dalam bentuk interaksi peradaban Barat dan peradaban non- Barat serta terjadi di kalangan peradaban non-Barat saat peradaban non-Barat tak lagi menjadi objek sejarah atau sasaran kolonialisme Barat, namun bersama-sama dengan Barat Menjadi penggerak dan pembentuk sejarah.48 Peradaban dalam kerangka Huntington dipahami bahwa peradaban adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi, yang unsur-unsur 47 Samuel P. Huntington, Jika Bukan Peradaban, Apa? h. 53 48 Jhon L. Esposito, Ancaman Islam : Mitos atau Ancaman, Penerj. Alwiyah Abdurahaman, (Bandung: Mizan, 1995, cet.II) h. 205 objektifnya memiliki kesamaan seperti bahasa, sejarah, agama, adat, dan subjektifitas identitas diri masyarakat. Suatu peradaban bisa saja mencakup beberapa beberapa negara bangsa atau satu negara saja. Diantara peradaban besar itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina dan Jepang. Kini sikap meremehkan agama dan kultur dalam politik global dan masalah internasional masa lalu digantikan dengan sikap menekan kekuatan persamaan kultural sebagai fondasi kekuatan ekonomi, politik, dan kemampuan untuk membuat persatuan trans-nasional dalam melahirkan aktor-aktor ekonomi dan politik yang efektif adalah orang-orang Cina, Hongkong, Singapura dan Malaysia. Pendek kata, agama dan etnisitas dalam kontek peradaban selalu menjadi sumber identifikasi primer bagi banyak orang khususnya bagi elite non moderen. Paradigma benturan peradaban yang dikembangkan Huntington dinilai oleh Jhon L. Esposito sebagai kecenderungan berfikir yang melebih-lebihkan perbedaan kultural. Paradigma seperti ini terdistorsi lantaran terlalu menekankan jurang pemisah atau garis batas yang membagi peradaban. Bahkan, lebih jauh Esposito mengatakan bahwa paradigma benturan peradaban mirip dengan ketakutan yang berbau rasisme kultural yang menjadi sumber sentmen antisemitisme maupun anti-Asia. Berangkat dari perspektif ini, tegas Esposito membuat Huntington berkesimpulan bahwa garis pembatas antar peradaban menggantikan batas-batas politik dan ideologi yang selama perang dingin menjadi titik nyata bagi krisis dan pertumpahan darah.49 49 Jhon L.Esposito, Ancaman Islam, h.206 Dalam pandangan Esposito, meskipun identifikasi berdasarkan atas agama dan etnisitas ikut membentuk pandangan “kita” dan “meraka” terhadap orang lain adalah benar, namun berbagai identifikasi atau batas batas seperti ini menjadi kecenderungan umum yang melekat pada manusia ketika mereka dalam proses pendefinisian diri, hubungan sosial, dan menjalin hubungan internasional. Identifikasi dengan pernyataan bahwa saya dari keluarga ini atau dusun ini versus keluarga itu atau dusun itu, saya ini sekuler versus dia religius, orang beriman versus orang kafir, kapitalis versus komunis, dunia pertama versus dunia ketiga, Amerika versus Eropa adalah perbedaan, bukan penyebab ataupun alasan untuk berkonfrontasi dan konflik. Apabila mengamati hal di atas, maka benturan antar peradaban (clash of civilisation) hanya akan membawa malapetaka bagi dunia, Oleh karena itu dibutuhkan adanya aliansi peradaban (alliance of civilisation). Aliansi peradabanperadaban (alliance of civilisations) Inilah yang diperlukan umat manusia kini dan di masa depan. Jika kita berharap adanya kehidupan yang lebih berdasarkan saling pengertian dan saling menghargai, yang pada gilirannya dapat menciptakan dunia yang lebih harmonis, aman, dan damai, maka upaya penggalangan dan pemberdayaan aliansi peradaban tidak bisa di tawar-tawar lagi demi menciptakan perdamaian dunia. Aliansi peradaban (alliance of civilisation) mulai menemukan momentumnya sejak Perdana Menteri Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero, mengajukan proposal bagi Aliansi Peradaban-peradaban pada September 2004. Hasilnya, atas sponsor Pemerintah Spanyol dan Turki, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, memaklumkan Alliance of Civilisation pada September 2005. Sejak itu, berbagai pertemuan, konferensi, dan lokakarya aliansi peradaban baik pada tingkat internasional maupun regional, telah diselenggarakan berbagai negara dan pihak yang memiliki kepedulian khusus terhadap masalah ini. Terakhir adalah Simposium Tingkat Tinggi Aliansi Peradaban-peradaban yang berlangsung pada 23-24 Mei di Auckland, Selandia Baru, dengan sponsor Pemerintah Selandia Baru dan Norwegia. PM Selandia Baru, Helen Clark, yang memimpin langsung High Level Meeting Alliance of Civilisation menyatakan penolakannya atas selffulfilling prophecy tentang benturan peradaban. Bagi dia, pengalaman bangsa Selandia Baru yang multikultural memberikan pelajaran, bahwa sangat mungkin pada tingkat internasional untuk membangun dunia yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Ketegangan, konflik, dan bahkan perang yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian; dan kurangnya pengertian dapat diatasi melalui dialog, pendidikan, dan kesediaan untuk belajar satu sama lain, dan sedia menerima dan toleran terhadap orang dan masyarakat lain yang berbeda.50 Menurut Ali Alatas, mantan menteri Luar Negeri RI, yang juga anggota High Level Group Aliance of Civilisation, menyatakan baahwa Aliansi Peradaban-peradaban menegaskan kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat saling interdependen dan bahkan terkait satu sama lain dalam pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan. Alliance of Civilisation berusaha membangun saling menghargai dan menempa kemauan politik, serta langkah terencana dan 50 Diakses pada tanggal 9 Januari 2011 dari http:// www.UNAoC.org terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan masyarakat madani untuk mengatasi prasangka, mispersepsi, dan ketidakpercayaan. Dengan cara begitu, Alliance of Civilisation diharapkan dapat memberikan kontribusi penting kepada gerakan terbesar masyarakat manusia untuk menolak ekstremisme yang ada dalam setiap masyarakat; dan sebaliknya menghargai keragaman kultural dan keagamaan. Dengan kerangka seperti itu, Alliance of Civilisation merumuskan empat bidang pokok aksi: pendidikan, kepemudaan, migrasi, dan media. Pengembangan program yang terencana dalam keempat bidang ini krusial dan dapat memainkan peran kritis untuk mengurangi ketegangan antarbudaya dan peradaban, dan membangun jembatan diantara masyarakat yang berbeda. Indonesia juga merupakan bagian dari peradaban dunia yang cukup kaya dan maju sejak beberapa abad lalu, sejak Majapahit, Sriwijaya dan Mataram. Sekarang sebagai negara bangsa yang besar dan kaya dengan sumber daya alam dan modal budaya yang relevan dengan kemajuan. Indonesia sangat potensial untuk bangkit sebagai sub peradaban yang maju. Oleh karena itu, kata Din Syamsudin, peradaban-peradaban dunia lain, seperti Barat, Cina,dan Rusia dapat menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis dalam membangun peradaban dunia baru yang maju dan beradab.51 Berdasaarkan kerangka pijak di atas maka pada tanggal 12 July 2007, di Kantor Sekretariat CDCC, menyelenggarakan diskusi mengenai aliansi peradaban. Pada diskusi ini CDCC tokoh-tokoh nasional dan internasional turut menghadiri 51 CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://www.cdccfoundation.org. dan berpartisipasi, antara lain Ali Alatas, kedutaan Besar Thailand, Belanda, Selendia Baru, dan Palestina. Sedangkan sebagai pembicara adalah Selcan Sanli selaku Sekretaris Utama Deputy Head of Mission Kedutaan Besar Turki di Jakarta, Luis Meteos Paramio Deputy Head Mission Kedutaan besar di Spayol di Jakarta. Diskusi ini diprakasai antara lain oleh Pemerintah Selendia Baru, Pemerintah Turki, Pemerintah Norwegia dan Spayol. Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka menyikapi isu global tentang perselisihan peradaban yang didengung-dengungkan oleh Samuel Huntington. Pada diskusi ini Din Samsudin menjelaskan aliansi peradaban memerlukan inisiatif dan partisipasi aktif dari masyarakat sipil. CDCC sebagai bagian masyarakat sipil harus ikut andil mengambil bagian untuk menjembatani celah antar peradaban. Sejalan dengan pendapat Ali Alatas untuk mewujudkan aliansi peradaban, diperlukan diskusi-diskusi dan seminar yang mempertemukan berbagai organisasi internasional dan lembaga dari berbagai bangsa. Bukan saja diskusi dan seminar akan tetapi untuk pencapaian aliansi peradaban diperlukan aksi yang bersifat cepat dan tanggap. Untuk mencapai aliansi peradaban, tentu bukan hanya diperlukan forum-forum diskusi saja, meskipun dari forum-forum diskusi kita mendapatkan pemikiran-pemikiran kritis, namun pada itu juga kita harus menunjukan aksi cepat tanggap.52 Sebagaimana disebutkan di atas, maka untuk mengatisipasi atau meminimalisir terjadinya benturan kebudayaan yang akan menimbulkan konflik dan pertupahan darah, maka diperlukan subuah dialog antar peradaban. 52 CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://www.cdccfoundation.org. Dialog antar peradaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintah dan civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan kerjasama. Dialog dipahami sebagai conversation of culture, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menurut perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.53 Dialog peradaban dibangun di atas sebuah kesadaran adanya perbedaan, atau kesadaran bahwa potensi-potensi konflik diantara peradaban dirasakan tidak ada gunanya jika terus dipelihara. Sebaliknya, ia perlu digantikan dengan sikap saling memahami, saling menjaga, saling menyapa, saling berbagi menuju terjalinnya sebuah kerjasama dalam mengatasi problem kemanusiaan. Dialog menjadi penting karena dunia berkarakter plural. Bibit munculnya ide dialog antar peradaban tidak bisa dipisahkan dari ketidaksenangan sebagian cendikiawan terhadap cara Amerika dan sekutunya yang lebih suka menggunakan perang dalam melawan terorisme. Melalui dialog antar peradaban, para pemikir dan pengambil keputusan di mana pun berada dapat lebih mengerti homogenitaas dan heterogenitas sekelilingnya. Tujuan maksimal dialog antar peradaban adalah kerja sama konkret dalam membangun peradaban global yang menguntungkan semua pihak. 53 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) Berangkat dari pemaparan di atas bahwa benturan kebudayaan sangat berbahaya yang akan dapat menimbulkan konflik dan pertumpahan darah, maka CDCC berupaya menjadi bagian dari dunia yang peduli dengan isu-isu tersebut. Oleh karena itu CDCC melakukan upaya kegiatan baik dalam lingkup nasional (Indonesia) atau Internasional. Dalam mewujudkan hal tersebut maka CDCC melakukan kegiatankegiatan-kegiatan diantaranya, dialog tentang keagamaan, kebudayaan, politik dan ekonomi. Dalam melakukan dialog CDCC melakukan kerjasama baik dalam negri ataupun luar negeri. B. Implementasi Dialog Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas. Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (selanjutnya CDCC) merupakan bagian dari Civil Society yang mengambil segmen dialog dan kerjasama antara peradaban. CDCC mempunyai tujuan melakukan penguatan terhadap ruang publik yang bebas dengan mendorong dialog dan kerjasama antar umat beragama, antar budaya dan juga dialog-dialog yang bersifat Public Education dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi, politik dan terutama peradaban dan kebudayaan. Secara institusional, Civil Society mewujudkan dalam berbagai asosiasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh Negara. Misalnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, kelompok kepentingan, partai politik, hingga organisasi yang awalnya dibentuk Negara, namun berfungsi sebagai pelayan masyarakat dan pengontrol kebijakan negara. Dari penjelasan alenia di atas tadi, CDCC merupakan salah satu bagian civil society yang diinstitusionalkan yang ingin membuka ruang publik berupa dialog yang luas dan terbuka terhadap masyarakat serta independent terhadap negara, karena ruang publik yang bebaslah merupakan bagian dari karakteristik civil society.54 Sejalan dengan pernyataan salah satu peserta aktif dalam tiap-tiap diskusi yang diadakan CDCC yaitu Theophilus Bela, beliau mengutarakan. “CDCC merupakan lembaga yang tidak dibentuk oleh pemerintah. CDCC merupakan lembaga yang murni didirikan oleh masyarakat sipil, jadi CDCC merupakan murni bagian dari civil society yang mengedepankan terciptanya ruang publik yang bebas dengan cara dialog dan kerjasama”55 Menurut Habermas ruang publik adalah merupakan wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk membentuk opini-opini publik, sehingga ruang publik itu memungkinkan para warganya untuk bebas menyatakan sikap mereka.56 Dalam setiap melakukan dialog CDCC mempunyai konsep membuka ruang publik yang sebebas-bebasnya. Sejalan dengan pendapat Piet Hizbullah Khaidir selaku Direktur Program dalam kutipan wawancara di bawah ini mengutarakan, 54 Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Edukation): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000) h.247 55 Wawancara pribadi dengan Theophilus Bela, Jakarta, 1 Januari 2011. 56 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) h.132 “CDCC berusaha membangun ruang publik yang bebas dengan membuka dialog. Dialog bisa dimaknai dalam dua perspektif, pertama, memberikan ruang publik bagi semua element masyakat untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran-pemikiran isu aktual yang sedang di hadapi oleh masyarakat. Kedua, memberikan mediasi bagi berbagai kelompok untuk bisa berdialog, sehingga pada perspektif ini CDCC memberikan fasilitas pada level mikro sebagai jalan tengah atu titik temu untuk memecahkan suatu masalah perbedaan-perbedaan publik yang terjadi di level mikro di Indonesia ataupundi level makro pada level internasional”.57 CDCC berupaya menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan masyarakat yang berbeda agama, budaya, dan bahkan berbeda negara untuk bisa menggunakan kekuatan argumen dalam membicarakan hal-hal yang sedang dihadapi dengan dialog yang bebas dan saling menghargai. Untuk membentuk adanya ruang publik yang sehat, maka CDCC mengupayakan adanya ruang dialog yang dialogis, terbuka, equal antara potensi masyarakat dan stake holder yang punya kepentingan terhadap publik. Sejalan dengan pendapat Piet Hizbullah Khaidir selaku Direktur Program CDCC mengutarakan, “konsep dialog yang ditawarkan CDCC tidak berbeda dengan kelompok lain rancang. CDCC ingin menciptakan dialog yang dialogis, yaitu dialog yang terbuka, equel antar potensi masyarakat dan stake holder yang punya kepentingan terhadap politik. CDCC ingin menghilangkan dialog yang monolog, yang artinya dialog yang dilakukan orang atau kelompok yang lebih kuat menekan kelompok atau orang yang lebih lemah. CDCC ingin menciptakan dialog yang equal sehinggga publik bisa melihat dan publik pula yang akan menentukan”.58 Konsep yang ditawarkan oleh CDCC dalam melakukan dialog antar budaya, agama dan budaya yang berbeda lebih mengedepankan rasa menghargai 57 Wawancara pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir, Jakarta, 8 Desember 2010. 58 Wawancara pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir, Jakarta, 8 Desember 2010. dan menerima perbedaan yang ada. Dengan menghargai dan menerima perbedaan maka akan terwujud masyarakat yang toleren terhadap yang lainnya. Dalam melakukan dialog, CDCC menekankankan pada dialog yang berkaitan dengan kebudayaan, agama, ekonomi dan politik. Pada pembahasan ini penulis akan menjelaskan tentang hal-hal tersebut. 1. Membangun Dialog Antar Umat Beragama. Sikap toleran dan pluralis merupakan bagian dari karakteristik dari civil society.59 LSM merupakan salah satu dari pilar penegak civil society, oleh karena itu CDCC sebagai salah satu pilar penegak (LSM) maka berupaya membangun dialog antar umat beragama, dalam dialog ini CDCC berusaha mengupayakan terbentuk karakteristik dari civil society dengan berusaha menciptakan umat beragama yang rukun dan mempunyai sikap-sikap toleran dan pluralis antar sesama pemeluk agama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka CDCC berupaya mempertemukan tokoh-tokoh agama guna menghilangkan rasa saling curiga diantara sesama.60 Seperti yang diutarakan oleh Theophilus Bela salah satu peserta aktif dalam tiap-tiap diskusi yang diadakan oleh CDCC, beliau mengutarakan, “Dialog yang diadakan CDCC bisa menumbuhkan sikap toleran, karena di CDCC merupakan tempat bertukar pikiran tentang agama-agama, seperti contoh CDCC pernah mengundang tokoh Yahudi internasional ini sebagai bukti CDCC ingin menciptakan masyarakat yang toleran. Dialog yang diadakan CDCC membuat orang saling mendengar dengan saling mendengar pasti akan salng mengenal, dengan saling mengenal pasti akan hilang rasa saling curiga yang bisa menumbuhkan sikap toleran”.61 59 Dede Rosyada, dkk, hlm.247. Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 September 2010 61 Wawancara pribadi dengan Theophilus Bela, Jakarta, 1 Januari 2011. 60 Untuk dapat mewujudkan hal di atas, maka CDCC membuat forumforum dialog tentang agama dan perdamaian seperti yang pernah diadakan oleh Organisasi Masyarakat (ormas) berbasis agama, diantaranya Summit of World Muslim Leader yang digelar di Jakarta pada tahun 2001 dengan 180 peserta dari 50 Negara. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Jakarta 2001 yang mengandung pesan bahwa Islam adalah agama moderat dan cinta damai, anti kekerasan, dan tidak anti kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta Internasional Islamic Cenference (JIIC), dilaksanakan atas kerja sama Nahdhotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pada tahun 2003. Pada konferensi ini ingin mempertegas peran Islam moderat Asia Tenggara yang sejauh ini direpresentasikan oleh NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya. CDCC juga mengadakan kegiatan forum yang serupa, yaitu forum perdamaian dunia (World Peace Forum), yang diselenggarakan berkat kerjasama antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Cheng Ho Multi Culture Trust pada tanggal 24 s/d 26 Juni 2008, di Hotel Sultan. Acara ini mempunyai tema Addressing Facets of Violence: What Can be Done?. Pada forum ini dihadiri oleh 250 tokoh dari 36 negara, yang terdiri dari berbagai kalangan seperti agamawan dan politik, pembisnis, cendikiawan, aktivis LSM dan jurnalistik.62 Pada World Peace Forum (selanjutnya WPF) mempunyai tujuan berupaya menyuarakan agama untuk membangun perdamaian dan ingin menjadi wadah bagi warga dunia yang peduli untuk berbagai pemikiran dan kebijakan, mendiskusikan cara-cara praktis untuk meningkatkan kerjasama dan mengurangi 62 CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://www.cdccfoundation.org. prasangka, dan membangun kesepahaman di berbagai peradaban, sehingga bisa mengintensifkan dialog antara peradaban. Pernyataan Hans Kung cukup relevan untuk diangkat di sini. Hans Kung dalam bukunya A Global Ethics for Global Politic and Economics menyerukan pentingnya melibatkan nilai-nilai agama dalam membangun perdamaian global. Seruan Hans Kung ini sebenarnya telah menjadi rumusan dari deklarasi parlemen agama-agama sedunia di Chicago pada tahun 1992, yang selanjutnya dikenal dengan etika global. Deklarasi etika global itu bukan bermaksud membentuk agama baru, melainkan mengambil nilai-nilai etika dari agama-agama untuk memperjuangkan perdamaian global.63 Tidak bisa dipungkiri bahwa semua agama memiliki ajaran perdamaian. Namun meskipun fakta itu terlihat jelas, sebagian besar pemeluk agama lebih menitikberatkan “klaim keselamatan dan kebenaran”. Sehingga alih-alih menyuarakan perdamaian, agama lebih sering dilibatkan dalam pertikaian. Melibatkan agama dalam meredam kekerasan bisa jadi terkesan tradisional. Sebab agama merupakan warisan masa lalu. Maka forum perdamaian dunia yang dilaksanakan tokoh-tokoh agama ini adalah suatu alternatif yang melengkapi pendekatan yang sudah ada. Semoga perdamaian global menjadi semakin dekat untuk dicapai. Pada acara Forum Perdamaian Dunia (WPF), isu-isu tentang kekerasan pada tingkat global (Global Violence) mendapat sorotan yang tajam dari para tokoh masyarakat dan pemimpin agama yang menghadiri forum perdamaian dunia 63 Najiyah Martiam, ed., Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim (Yogyakarta: CRCS, t.t), h. 20 ini. Pada perdebatan soal kekerasan global, para aktor negara-negara besar dicermati sedemikian rupa. Masih adakah kredibilitas moral negara-negara yang menjadi kekuatan utama dunia?. Pada Forum Perdamaian dunia Krisis moral dari pemimpin global ini diperdebatan sangat serius. Pasalnya, realitas menunjukan negara-negara besar terutama yang tergabung dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) lebih banyak menentukan tatanan politik dan keamanan global. Menurut Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Rizal Sukma, salah satu peserta dari Forum Perdamaian Dunia ini mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam DK PBB dinilai berperan dalam menginvestasikan kekerasan, khususnya terkait produksi dan penjualan senjata.64 Karena itu, mereka perlu bertanggung jawab untuk merespon kasuskasus kekerasan pada level global, mulai dari Darfur, Palestina, dan tempattempat yang lain. Globalisasi mengakibatkan proses marjinalisasi, baik di dalam konteks sebuah negara maupun hubungan antar negara yang melahirkan ketidakadilan atau kesenjangan global. Ketidakadilan mendorong banyak kelompok menggunakan kekerasan sebagai jalan pintas untuk merespon dampak-dampak globalisasi. Sejumlah pengalaman memperlihatkan ketidak adilan akibat globalisasi ikut memunculkan rasa keterasingan dan keterpinggirkan yang melahirkan kekerasan dalam bentuk konflik etnis, agama, pemberontakan dan sebagainya. 64 CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http:// www.cdccfoundation.org. Menurut Sekjen Global Assembely for Proximity of Islamic Schools of Thought yang berbasis di Iran, Ayatullah Muhammad Ali Tashkiri sebagai salah satu peserta, mencermati bahwa aspek primordial justru sering dimanfaatkan. Konflik Irak misalnya bukan dipicu pertikaian agama atau aliran. Apa yang terjadi justru sebaliknya, perang Irak dipicu oleh kepentingan atau interes Amerika. Sunni dan Syiah yang selama ini dituding sebagai penyebab konflik, sebetulnya sudah hidup berdampingan selama lebih dari seribu tahun. Intervensi Amerika Serikat justru memecah belah Sunni dan Syiah. Latar belakang politik dalam konflik-konflik yang sepintas bernuansa agama justru terjadi di Palestina dan Afghanistan. Dipihak laian, ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi memperkirakan konflik yang nyata pertikaian agama hanya 30 persen saja. Sedangkan 70 persennya lebih bernuansa politik dan ekonomi, yang sengaja diagamakan atau melibatkan umat beragama sehingga seakan-akan konflik agama. Kehadiran agama itu sendiri bukanlah penyebab utama kekerasan. Jika disalahgunakan dan diinterpretasikan menyimpang, agama dapat digunakan untuk menciptakan kerusakan dan perpecahan. Patut disadari pula di dalam agama itu sendiri termaktub solusi untuk mengatasi kekerasan, sejauh mana para penganut agama memahami dan memanfaatkan nilai-nilai di dalamnya. Dunia yang damai sulit diwujudkan bila kita tidak mengelimanisi ketidak adilan dan ketidaksetaraan, eksploitasi, ekstemisme, intoleransi, diskriminasi, penistaan dan segala bentuk kekerasan, termasuk peristiwa konflik bersenjata baik dalam maupun antaragama, genosida, represi serta berbagai bentuk lain pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terorisme, agresi, maupun tindakantindakan lain yang mendegradasi martabat manusia. Dalam Forum Perdamian Dunia yang diselenggarakan oleh CDCC, menyepakati bahwa agama bukan akar kekerasan seperti yang diungkapkan para peserta dan pembicara dalam forum ini. Tercipta konsensus bersama bahwa agama bukanlah akar tindak kekerasan, tetapi memang kerap kali ajaran agama disalahgunakan dan digunakan sebagai alasan untuk aksi kekerasan, seperti yang dikatakan Sekjen Religion for Peace sebuah LSM yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, Dr William F Vandley. Menurut William, forum perdamaian yang di hadiri oleh ratusan peserta dari segala agama dan kepercayaan juga bersepakat untuk mendesak semua pihak untuk melindungi kaum minoritas. Perlindungan terhadap minoritas disepakati sebagai hal yang tidak bisa lagi diabaikan bila dunia hendak menciptakan perdamaian dan toleransi.65 Dari hasil pertemuan forum perdamaian yang diadakan oleh CDCC menyepakati Penghormatan terhadap agama merupakan kunci atasi kekerasan. Kekerasan yang dilandasi oleh perbedaan agama dan ras tidak akan bisa diselesaikan tanpa adanya penghormatan terhadap keberagamaan. Kekerasan yang melibatkan penyalahgunaan sentimen agama dan etnis sangat membahayakan dan dapat mengancam kemanusiaan, oleh karena itu dialog perlu dikedepankan untuk memperkuat saling pemahaman antar agama dan etnis untuk menghindari terjadinya konflik kekerasan yang mengancam peradaban. 65 CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org Dialog yang diadakan oleh CDCC bukan hanya Forum Perdamaian Dunia (world peace forum) akan tetapi dialog-dialog yang lain juga diadakan demi terwujudnya toleransi antar umat beragama. Setelah melakukan dialog dalam takaran wacana dan merespon isu-isu tentang keagamaan, CDCC melakukan dialog dalam dialog kerja sosial. Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan.66 Dasar sosiologis nya adalah pengakuan akan pluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif dalam kemajemukan itu. Dalam dialog ini CDCC menamakannya dengan Interfaith in Action dengan tema “ Dialog Lintas Agama Untuk Pengentasan Kemiskinan dan Ketidakadilan”. Pada diaog ini CDCC bekerja sama Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Muhammadiyah, Fathayat NU dan World Vision Indonesia yang memberikan dana bagi kegiatan tersebut. Dalam dialog ini, CDCC melakukan dialog dalam kerja-kerja sosial. Dalam melakukan kegiatan ini CDCC memusatkan pada empat titik lokasi, yaitu wilayah barat Indonesia di Pontianak, wilayah timur Indonesia di Palu, dan wilayah Jawa di Yogyakarta, dan Surabaya, seperti yang diutarakan oleh Ilham Munzir dalam kutipan wawancara di bawah ini, 66 Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-pluralis, (Jakarta: Paramadina,2004), h. 208 “Dalam upaya menciptakan masyarakat toleransi dalam beragama CDCC melakukan kegiatan yang dinamakan Interfaith in Action “ dialog lintas agama untuk pengentasan kemiskinan dan ketidak adilan” dalam kegiatan ini CDCC dibantu oleh World Vision Indonesia. Sasaran kegiatan ini dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu Pontianak berkaitan dengan fogging dan petani lele, Palu berkaitan dengan perdamaian antar agama, Yogyakarta berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi kecil dan Surabaya berkaitan dengan mengkampayekan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak jalanan”.67 Di Pontianak dialog dalam bentuk kerja sosial CDCC melakukan kegiatan berkaitan dengan masalah ekonomi dan kesehatan. Dalam masalah ekonomi CDCC dan World Vision Indonesia memberikan modal bagi masyarakat yang berbeda agama dengan melakukan budi daya ternak ikan lele. Dalam masalah kesehatan CDCC dan World Vision Indonesia melakukan Fogging. Pada budi daya ternak lele dan fogging ini, CDCC dan World Vision Indonesia memberikan modal sebesar Rp.100.000.000,- bagi kegiatan tersebut. Tujuan kegiatan ini untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan kesempatan mereka dengan budi daya ikan lele dan membrantas wabah demam berdarah di daerah pontianak. Di Palu dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC bekerja sama dengan PGI dan KWI dari Kristen, Muhammadiyah dan NU dari Islam. Pada kegiatan ini menekankan pada pentingnya perdamaian agama. Pada dialog ini CDCC berkerjasama dengan tokoh-tokoh agama dan para aktivis agama dari agama yang berbeda. Pada kegiatan ini CDCC melakukan penyuluhan dan seminar-seminar yang berkaitan dengan pentingan perdamaian agama. Agama merupakan ajaran kasih sayang, dan ajaran damai. Agama bukanlah sumber dari terjadi konflik. 67 Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta 21 November 2010. Kegiatan dialog kerja sosial ini diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Palu menjadi masyarakat yang toleran terhadap agama yang berbedabeda dan menghargai pluralisme, sehingga dapat terwujud masyarakat Palu yang damai dan selalu tersenyum untuk semua agama, tanpa adanya permusuhan. Di Yogyakarta dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC memusatkan pada hal ekonomi. CDCC melakukan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah dengan memberikan pinjaman sebagai modal usaha. Dengan melakukan hal ini diharap ekonomi kecil dan menengah tetap bisa berusaha, sehingga bisa menekan angka kemiskinan yang ada di daerah Yogyakarta. Pada kegiatan ini CDCC dan World Vision Indonesia juga memberikan modal sejumlah Rp.100.000.000,-. Di Surabaya dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC lebih menekankan pada hal kemanusiaan. Dalam melakukan kegiatan ini CDCC bekerjasama dengan Persatuan Gereja Indonesia (PGI), KWI, Nasiatul Aisyah (NA), Fatayat NU dan World Vision Indonesia. Pada kegiatan ini CDCC fokus pada mengkampayekan, melindungi dan memperdayakan perempuan dan anak jalanan. Pada kegiatan ini diharapkan nilai-nilai kemanusiaan bisa terangkat. CDCC mempunyai nilai dalam perjuangan, yaitu nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan. Kerena pada dasar nya ada sebuah common agreement diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat terhormat. Dengan memperdayakan perempaun dan anak jalanan berarti CDCC berusa mewujudkan nilai-nilai kemanusian yang mereka perjuangkan melalui dialog dalam bentuk kerja sosial. Dari kegiatan Interfaith in Action merupakan kilat project yang diadakan oleh CDCC yang bekerja sama dengan World Vision Indonesia. Kegiatan ini saat ini belum terlihat hasilnya, karena usia pelaksanaan nya kurang lebih baru satu tahun. Menurut Ilham apabila kegiatan itu berjalan sudah dua tahun maka akan dievaluasi apakah kegiatan ini berhasil untuk menciptakan masyarakat yang toleran dengan kegiatan Interfaith in Action ini. Jadi untuk saat ini belum terlihat hasilnya sukses atau tidak. Untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, pada tanggal 6 Februari 2011, di Istora Senayan, Jakarta CDCC bekerjasama dengan Inter Religius Council Indonesia dan lembaga-lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah, Persada Hindu Darma Indonesia (PHDI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), WALUBI, dan Majelis Taoisme Indonesia menyelengarakan World Interfaith Harmony Week “ Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama Sedunia” dengan tema “Harmony in Diversity”. Pada acara ini diisi dengan pesan-pesan kerukunan dari tokoh-tokoh agama dan pemerintahan. Dari kalangan agama pesan kerukunan tersebut disampaikan oleh tokoh agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dari kalangan pemerintahan disampaikan oleh Ketua MPR RI dan Ketua DPD RI. Dalam pesan tersebut masing-masing agama menyerukan untuk saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama, guna terciptanya masyarakat indonesia yang toleran terhadap yang lain, dengan terwujudnya masyarakat yang toleran tersebut maka perdamaian di bumi Indonesia ini dapat terwujud. 2. Membangun Dialog Politik. Apabila penulis mengacu definisi civil society menurut Zbigniew Rau, Han Sung-Joo, dan Kim Sunhyuk, mereka pada intinya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society merupakan kondisi masyarakat yang mengandalkan ruang, di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung mempunyai ruang yang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Negara. Ruang publik yang individu atau masyarakat miliki mampu mengartikulasikan isu-isu politik dan gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independent. CDCC merupakan bagian dari civil society yang berupaya melakukan penguatan ruang publik, oleh karena itu dalam melakukan setiap kegiatannya selalu bercirikan independent dan bebas dari pengaruh pemerintah dalam mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sejalan dengan pernyataan Abdul Mu’ti selaku direktur eksekutive CDCC mengutarakan bahwa CDCC mempunyai nilai perjuangan yang bersifat terbuka, seperti kutipan wawancara di bawah ini, “CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang memiliki kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiranpikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat yang secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara terbuka dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap pemerintah atau masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan”.68 Sesuai dengan pernyataan Abdul Mu’ti, CDCC dalam melakukan dialogdialog yang berkaitan dengan hal-hal politik CDCC selalu mengkritisi tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan tujuan bangsa. Dalam melakukan kritis terhadap pemerintah, CDCC membentuk dan memfasilitasi para tokoh-tokoh agama dan aktivis untuk membicarakan hal-hal kenegaraan dengan melakukan dialog. Sebagai wujud dari nyata dari konsep yang ditawarkan CDCC melakukan kritik dan masukan terhadap pemerintah sebagai wujud nyata CDCC bagian dari civil society. Dalam dialog yang berkaitan ukhuwah politik Islam, CDCC memfasilitasi tokoh-tokoh Islam umtuk berdialog mengenai keberadaan Islam di Indonesia yang dirasakan hanya Islam simbolis. Seperti yang diutarakan Ilham Munzir, “Dalam melakukan dialog CDCC berusaha menciptakan ukhuwah politik Islam dengan cara bersatu nya partai-partai Islam”69 Sejalan dengan ungkapan Din Syamsudin dalam dialog, Din Syamsudin meminta semua partai politik Islam untuk terus melakukan konsolidasi, sehingga dapat mengisi reformasi di Indonesia. Din Syamsudin berharap jangan sampai Islam hanyalah sebagai simbolis, Islam tapi “tidak bisa apa-apa” oleh karena itu 68 69 Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 Sepetember 2010 Wawancara pribadi dengan Ilhammunzir, Jakarta 21 November 2010 Din Syamsudin berpendapat konsolidasi antar partai politik Islam, termasuk dari lingkaran partai berbasis Islam harus terus didorong.70 Seperti yang diutarakan oleh Ilham Munzir Tujuan dialog ini merupakan usaha yang dilakukan CDCC dalam upaya membentuk wacana poros tengah, yang tujuannya hanya ingin agar Islam dapat mengisi masa reformasi yang terjadi di negara ini. Islam diharapkan harus bisa memainkan perannya di masa sekarang untuk memperbaiki bangsa. Islam jangan sampai hanya jadi Islam simbolis, Islam tapi tidak bisa apa-apa untuk memperbaiki kondisi bangsa yang maikin terpuruk ini.71 Poros tengah ini kedepan diharapkan bisa mengembangkan lingkaran simpul kebangsaan. Tujuan lingkar simpul kebangsaan ini untuk mencari kesamaan antara simpul-simpul Islam (parpol Islam serta Ormasnya) dan juga simpul dengan kalangan lain untuk membangun bangsa ini kearah yang lebih baik. Pada acara ini dihadiri antar parpol Islam itu sendiri, antara lain menghadirkan Ketua Umum DPP Partai Bintang Reformasi (PBR), Bursah Zarnubi, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hamdan Zoelva, serta Ketua MUI, Amidan. Konsep poros tengah jilid 2 memang belum berhasil hingga saat ini, mungkin kegagalan tersebut karena masing-masing partai Islam mempunyai 70 CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org 71 Wawancara pribadi dengan Ilham Mundzir, Jakarta 21 November 2010. kepentingan masing-masing, tapi setidaknya CDCC sudah berupaya menyatukan partai-partai Islam demi membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Dalam melakukan control terhadap pemerintah, CDCC menjelang pemilu selalu mengkritisi jalannya pemilu. Pemilu adalah agenda penting untuk mendorong demokratisasi yang sudah berjalan cukup baik di Indonesia guna melanjutkan proses reformasi di semua kehidupan bangsa. Oleh karena itu CDCC kepada pemerintah meminta untuk meningkatkan segala upaya agar pemilu dapat berlangsung sesuai jadwal, aman, tertib dan berkualitas. Sementara itu kepada KPU dan seluruh jajarannya, CDCC berharap agar mereka bertindak sebagai wasit yang jujur dan adil dengan menghindari setiap bentuk penyimpangan dan ketidakjujuran. Sedangkan, kepada semua partai politik peserta pemilu dan segenap caleg untuk senantiasa berpegang teguh pada etika politik, jiwa sportivitas,dan semangat bersaing secara sehat tetap bersaing secara sehat tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat juga diminta untuk berpartisipasi dalam mendorong terlaksana pemilu secara damai dan berkualitas. Hak politik masyarakat juga diminta CDCC untuk disalurkan sesuai dengan pilihan masing-masing. Pada dialog yang berkenaan dengan pemilu, CDCC mengundang para tokoh lintas agama. meraka menyuarakan agar seluruh masyarakat Indonesia menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya dan meraka pun meminta KPU untuk bersikap netral. Seperti yang diserukan oleh Din Syamsudin agar rakyat menggunakan hak politik dengan cerdas, merdeka, dan bertanggung jawab.72 Esensi dialog berkenaan pemilu adalah mendesak pemerintah untuk memberikan hak politik rakyat yang tidak bisa mengikuti pemilu karena alasan tertentu. Seperti yang diutarakan oleh Ilham Munzir, “Menjelang pemilu CDCC selalu mengadakan diskusi dan dialog untuk mendesak pemerintah guna memberikan hak suara rakyat yang belum terdaftar pada DPT (Daftar Pemilu Tetap) dan sebagai alternatifnya dengan menunjukan KTP domisi masing-masing.”73 Sesuai dengan pernyataan di atas maka CDCC berusaha mewujudkan nilia-nilai demokrasi di Indonesia ini, karena menghargai hak-hak suara rakyat yang belum terakomodasi dengan baik karena hal hal yang mungkin disengaja atau tidak disengaja oleh pemerintah. CDCC juga berharap melalui tokoh-tokoh agama, bagi seluruh rakyat Indonesia, diharap dapat mensukseskan seluruh rangkaian proses pemilu dengan menjaga persatuan kerukunan dan perdamaian. Seluruh umat beragama juga memanjatkan doa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing supaya pemilu bisa berlangsung dengan lancar, damai dan beradab. Pada pertemuan yang dilakukan oleh CDCC dihadiri oleh tokoh liintas agama, yaitu Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua MUI Amidan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Y Dwi Hartanto PR, Pendeta Gultom dari PGI, Lieus Sungkanarisma dari Budha, Rusli dari Walubi, Gustaf Dupe dari SKKJ, dan Lumban Raja dari BKSG. 72 CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org 73 Wawancara dengan Ilham Munzir, Jakarta 21 November 2010. Setelah pemilu berlangsung berjalan damai dan memutuskan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai President dan Wakil President, CDCC tetap melakukan kritik terhadap jalannya pemerintah seperti dialog tentang pentingnya oposisi, seperti diutarakan dalam kutipan wawancara di bawah ini, “Setelah pemilu CDCC selalu membincangkan pentingnya oposisi. Karena melihat SBY berhasil mengakomodir sebagian partai-partai besar untuk berkoalisi masuk dalam pemerintahan, melihat hal ini CDCC ragu untuk terbentuknya pemerintahan yang baik karena tidak adanya check and balance sehingga sangat buruk terhadap demokrasi.” 74 Seperti yang kita ketahui bersama, setelah kemenangan partai Demokrat dan terpilihnya SBY sebagai president, seolah-oleh mereka yang paling berkuasa, dengan mengakomodir seluruh partai untuk koalisi terhadap pemerintahan, hal itu menurut hasil dialog merupakan hal yang kurang baik terhadap jalannya demokrasi di bangsa ini, karena tidak adanya check and balance. Check and balance sangat diperlukan pada negara demokrasi seperti Indonesia, dengan adanya kontrol dan pengawasan maka pemerintah bisa berjalan tidak semaunya sendiri. Dengan adanya pengawasan maka setiap keputusankeputusan akan memihak kepada masyarakat dan tidak otoriter hanya mementingkan kepentingan kelompoknya. Pengawasan yang dilakukan oleh CDCC adalah dengan memfasilitasi dialog-dialog yang berkaitan dengan kebangsaan. Dialog-dialog yang dilakukan seperti dialog yang membahas tentang kasus Century yang dilakukan oleh tokohtokoh lintas agama dengan topik bahaya korupsi terhadap kesejahteraan bangsa. 74 Wawancara pribadi dengan Ilham Munzir, Jakarta 21 November 2010. Dialog yang berkaitan dengan korupsi tersebut mengundang oleh Romo Beni, Abdul Mu’ti dan Bahtiar Effendi. Mereka menyepakati bahwa korupsi akan menghancurkan eksistensi bangsa Indonesia dari segala lini kehidupan. Lini moral kejujuran yang diharapkan bisa membangun bangsa hancur karena perampokan terhadap bangsa tetap berjalan. Lini kemanusiaan pun hancur karena para koruptor merampok harta negara, dengan perampokan itu berarti meraka merampas hak rakyat untuk menghirup udara kesejahteraan dan kemakmuran, sehingga meraka hidup dalam garis kemiskinan dan kebodohan karena ulah tangan para koruptor bangsa ini. Konsep ruang publik merupakan tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum. Berdasarkan konsep ruang publik diatas, maka CDCC juga bersama ormas keagamaan selalu mengkritisi jalannya pemerintahan dengan membentuk Gerakan Indonesia Bersih. Pada gerakan ini CDCC sebagai fasilitator. Puncak gerakan ini adalah dengan turun kejalan bersama mahasiswa, aktivis dan tokoh agama untuk memperingati hari korupsi sedunia dengan melakukan demonstrasi di depan Istana President dengan menyuarakan agar pemerintah yang dipimpin oleh SBY tegas dalam membrantas korupsi di bangsa ini dengan secara cepat untuk menangani kasus Century dan kasus korupsi lainnya yang terjadi di bangsa ini. 3. Membangun Dialog Budaya. Apabila mengacu pada aliansi peradaban sebagai wujud upanya mengatasi benturan peraban yang dipikirkan oleh Samuel Huntington, dialog antar budaya harus kita lakukan. Seperti yang diutarakan oleh Ali Alatas, mantan menteri Luar Negeri RI, bahwa Aliansi Peradaban-peradaban menegaskan kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat saling interdependen dan bahkan terkait satu sama lain dalam pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan, serta berusaha membangun perasaan saling menghargai dan menempa kemauan politik, serta langkah terencana dan terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan masyarakat madani untuk mengatasi prasangka. Untuk memenimalisir perasaan saling curiga dan saling tidak percaya antara budaya yang satu dengan budaya lainnya, maka diperlukannya tempat untuk mempertemukannya. Tempat itu adalah forum dialog antar budaya. Forum dialog itu diharapkan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya bisa saling mengenal dan memahami, sehingga perasaan saling curiga bisa terhapuskan. Sejalan dengan pernyataan Abdul Mu’ti bahwasanya CDCC mepunyai nilai perjuangan yang besrsifat Equality, seperti dalam kutipan wawancara dibawah ini, “CDCC tidak berada pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulankeunggulan prestasi yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakatmasyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada aspek equality itu melekat dengan plurality atau pluralitas kerena mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan tetapi sesungguhnya mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya”.75 Untuk mewujudkan nialai equqlity tersebut maka CDCC berupaya mewujudkan hal tersebut melalui mempertemuan kebudayaan yang berbeda dengan forum dialog. CDCC merupakan bagian dari Indonesia. Indonesia merupakan bagian dari peradaban dunia yang cukup kaya dan maju sejak beberapa abad lalu, sejak Majapahit, Sriwijaya dan Mataram. Sekarang sebagai negara bangsa yang besar dan kaya dengan sumber daya alam dan modal budaya yang relevan dengan kemajuan. Indonesia sangat potensial untuk bangkit sebagai sub peradaban yang maju. Oleh karena itu, kata Din, peradaban-peradaban dunia lain, seperti Barat, Cina,dan Rusia dapat menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis dalam membangun peradaban dunia baru yang maju dan beradab. Dalam upaya membangun dialog antar kebudayan, CDCC melakukan suatu kegiatan kebudayaan antara Indonesia dan Rusia. Kegiatan tersebut adalah malam apresiasi puisi Rusia. Seperti ungkapan para pepatah tak kenal maka tak sayang, acara apresiasi puisi Rusia ini menjadi media untuk mengetahui secara dekat kebudayaan dan keberadaan masyarakat Rusia. Pada malam apresiasi puisi ini Rusia diperkenalkan melalui puisi. Pada malam apresiasi ini seniman Rusia memperkenalkan bangsa dan negaranya melalui puisi para pujangganya yang mengisahkan kehidupan masyarakat pada masa perang melawan fasisme dan setelah kemerdekaan. Puisi merupakan cerminan sebuah bangsa dan negara, karena puisi seseorang bisa mendalami pengetahuan tentang perkembangan sejarah, budaya 75 Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 Sepetember 2010 dan watak suatu negara. Menurut Duta Besar Rusia untuk Indonesia Alexander Ivanov pada acara malam apreasi puisi tersebut mengutarakan, melalui puisi para pujangga terkenal Rusia yang dibacakan di kantor CDCC seperti Sergay Esenim, Musa Djalil, Robert Rozhdestwensky, David Somailow,dan Igor Saruhanov memberikan informasi perjalanan sejarah bangsa Rusia.76 Di sisi lain Din Syamsudin selaku ketua CDCC mengutarakan bahwa karya puisi pujangga Rusia abad 20-21 itu memiliki dimensi religius yang sangat kuat. Hal ini tercermin pada penggalan puisi “Saya Cuma Orang Sambil Lalu” karya Esenin yang menuliskan bahwa di tengah-tengah dosa-dosa dunia ada kerinduan dan rasa sedih untuk kembali kepada penciptanya dan mengabdi kepada tanah air. Selain itu, juga mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam. Karena itu, melalui apresiasi puisi dan lagu ini antara Indonesia dan Rusia bisa saling mengenal dan mencintai sebagai sesama manusia, sehingga tercapai tata dunia yang damai. Pada acara malam apresiasi puisi Rusia Veronika Novoseltseva menterjemahkan secara sepontan lagu “Ayat-ayat Cinta” pada pembukaan acara tersebut. Hal ini sebagai wujud usaha saling menghargai antara kebudayaan kedua negara ini. Mengenai hubungan antara Indonesia dan Rusia selama ini sudah tergabung dalam Aliansi Straregi Rusia dan Dunia Islam. Melalu forum ini, permasalahan yang terkait dengan masalah umat dibahas dan dicari solusinya, karena CDCC selalu dikunjungi oleh pemuka agama Rusia, salah satunya adalah petinggi agama Kristen Ortodoks Rusia, termasuk president akademi Rusia untuk 76 CDCC News, artikel diakses pada tanggal 12 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org bisnis. Dengan kerjasama ini kedua negara ini bisa saling mengerti dan memahami sehingga terbentuk kerjasama yang damai. Dalam melakukan dialog tentang kebudayaan, CDCC juga mendorong proses proses perspektif budaya yang tinggi, terbuka dan diterima oleh seluruh aspirasi baik itu minoritas ataupun mayoritas, karena CDCC mempunyai nilai kesetaraan dalam melakukan dialog. Sejalan dengan pendapat Eep Saefullah Fatah mengutarakan bahwa Publik adalah warga negara yang mempunyai keberanian untuk menegaskan eksistensi dirinya, hal ini menarik untuk kutip. “Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hakhaknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik bukan kerumunan massa yang diam (mass of silent).”77 Contoh dari dialog yang terbuka tentang budaya adalah tentang masalah pemanasan global (global warming). CDCC bukan hanya mendiskusi hal ini dengan pakar-pakar yang seperti dilakukan oleh kelompok lain dengan mengundang ahli lingkungan hidup atau dari pemerintahan, tapi CDCC mendorong serta melakukan dialog dengan mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang selama ini dipinggirkan untuk membahas tentang masalah pemanasan global, seperti kutipan wawancara di bawah ini, “Dialog yang pernah lakukan yaitu dalam level elit, seperti isu tentang global warming. CDCC mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang salama ini dipinggirkan, mereka dikumpulkan untuk membahas tentang global warming dalam perspektif mereka”.78 77 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), h. 269-270. 78 Wawancara Pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir, Jakarta 8 Desember 2010. Hutan merupakan tempat tinggal dari suku-suku yang tertinggal di Indonesia. Hutan yang ada di Indonesia semakin hari semakin berkurang karena terjadi penebangan hutan yang tidak teratur dan terkontrol oleh pemerintah. Dalam dialog ini tokoh-tokoh adat mengeluhkan mengenai pemansan global, dan kecewa terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang memberikan Hak Penebangan Hutan (HPH) terhadap perusahan sangat mudah dan tidak tegas. Dengan memberikan izin yang mudah itu kerusakan hutan dan lingkungan terjadi dimana-mana, serta eksistensi suku-suku yang tertinggal pun akan terancam. Selama ini suku-suku tertinggal di Indonesia kurang mendapat perhatian dari pemerintah, pemerintah hanya lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dengan memberikan HPH yang sangat mudah. Oleh karena itu CDCC sebagai pusat dari dialog memberikan ruang yang bebas terhadap tokoh-tokoh adat untuk meluapkan perasaan yang selama ini mereka rasakan terhadap ketidakadilan pemerintah. Dalam melakukan dialog tentang kebudayaan CDCC juga mengangkat isu mengenai Palestina-Israel. Biasanya kebayakan kelompok lain dalam membahas isu tentang Palestina-Israel hanya melihat dari sudut politik dan agama, akan tetapi CDCC melihat isu ini dari sudut budaya.79 Kalau melihat kondisi kehidupan sosial masyarakat Palestina, mereka hidup dalam berbagai suku dan agama berbeda. Kehidupan masyarakat Palestina terdiri bukan hanya dari suku arab saja atau dari agama Islam saja, akan tetapi meraka hidup dalam keaneka ragaman, ada Islam, Yahudi dan Nasrani. 79 Wawancara pribadi dengan Piet Hizbullah khaidir, Jakarta 8 Desember 2010. Kekejaman Israel memang kalau dilihat dari perspektif agama, terlihat seolah-oleh perang antara Islam melawan yahudi. Tapi kalau dilihat dari perspektif budaya Israel telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan merenggut nyawa dan merampas kebebasan warga Palestina. Apapun agamanya, setiap orang pasti terpanggil hatinya melihat kekejaman Israel menghancurkan Palestina. Oleh karena itu CDCC dan Partai Damai Sejahtera (PDS) prihatin dengan keadaan rakyat Palestina yang mengenaskan. Kami peduli dengan nasib yang menimpa rakyat Palestina, Sehingga dari hasil dialog tersebut atas nama PDS, Rusyandi Hutasoit selaku Ketua Umum menyerahkan bantuan senilai 1.000 dolar Amerika dan Rp 3 Juta.80 Pada dialog tersebut, dihadiri oleh Ketua MUI, Amidan dan Dubes Palestina untuk Indonesia Fariz Al Mehdawi. Pada dialog ini mereka sepakat bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Israel melanggar hak asasi manusia. Pada dialog ini juga merupakan cermin dari kerukunan kehidupan beragama, sehingga ini merupakan pesan damai bagi dunia pada umumnya dan khususnya Israel yang kini membombardir jalur Gaza. Dalam melakukan dialog budaya CDCC juga melalui seni, yaitu dengan lukisan yang mempunyai tujuan ingin mengeratkan ukhuwah kedua ormas besar di Indonesia dengan melukis kedua tokoh pendiri Muhammadiyah dan tokoh pendiri NU.81 80 CDCC News, artikel diakses pada tanggal 12 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org 81 Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010 Keinginan menyatukan umat Islam bukan hanya dengan cara mempertemukan mereka secara langsung. Perbedaan pandangan antara satu organisasi keumatan dengan lainnya adalah hal yang lumrah atau sunnatullah. Sebetulnya bukan sesuatu hal yang harus diperdebatkan, misalnya dalam penentuan penaggalan Hijriah. Walaupun belum menentukan suatu formula yang tepat dua ormas besar Muhammadiyah dan NU mencoba menggunakan cara-cara elegan. Namun ternyata, keinginan untuk lebih merukunkan dua ormas Islam itu tidak hanya keinginan dari Muhammadiyah dan NU sendiri. CDCC memfasilitasi Seorang pelukis asal Jawa Timur, Dukan Wahyudi mencoba menuangkan dalam seni lukis yang bertemakan “The Lamp” dimana pada satu media kanvas berukuran 90x150 cm, tokoh pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan dan tokoh pendiri Nahdotul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari dilukiskan dalam satu bingkai. Lukisan ini menceritakan dua tokoh Islam yaitu Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari ibaratnya seperti lampu yang menerangi umat dari kegelapan, kalau salah satu lampu ini mati artinya akan muncul perbedaan, karena itu kedua lampu ini harus tetap terjaga memberikan penerangan. Pada waktu yang sama yang kebetualan hadir Ketua Dewan Tanfidz NU KH. Sholahudin Wahid menanggapi lukisan tersebut. Beliau menyatakan bahwa kedua tokoh itu menunjukan Islam yang moderat rahmatan lil alamin, selain pemikiran-pemikirannya kedua tokoh ini sangat luar biasa, berbeda dengan pejabat yang banyak saat ini belum tentu dapat membimbing umat dengan baik. Kedua tokoh ini mempunyai kelebihan, mudah-mudahan kita sebagai generasi penerus bisa meneladani mereka. Dengan meneladani mereka semoga kedepan Islam dapat memberikan sumbangsih yang besar kepada bangsa melalui akhlak yang baik. Disisi lain, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin juga mengutarakan penyandingan dua tokoh utama yang menjadikan dua ormas besar ini ada, harus dijadikan hal yang penting oleh jamaah kedua ormas Islam besar Muhammadiyah dan NU sehingga bisa menjadi penerang, pelita yang terus menyinari umat dan bangsa hampir satu abad lamanya dengan mempererat ukhuwah islamiyah. Mendekatkan antara Muhammadiyah dan NU itu sangat penting. Kedua ormas besar ini mutlak berkaloborasi, bersinergi dan bekerjasama dalam membangun umat Islam, kalau umat Islam maju bangsa Indonesia akan mengalami kemajuan. Meskipun ada nuansa-nuansa perbedaan itu lebih karena faktor politik, tetapi perlu diresapi oleh warga Muhammadiyah dan NU harus tetap berada pada jati dirinya sebagai gerakan dakwah dan gerakan kultural yang mencerahkan umat. 4. Membangun Dialog Ekonomi CDCC merupakan pusat untuk individu atau kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang sosial yang berbeda untuk melakukan dialog yang membahas hal-hal yang relevan yang sedang dihadapi, baik masalah agama, politik, budaya dan ekonomi. Pada pembahasan kali ini penulis akan membahas tentang dialog ekonomi yang telah dilakukan oleh CDCC. Pada bidang ekonomi, krisis keuangan global dunia pada tahun 2008 merupakan momentum bagi bangsa Indonesia untuk memikirkan kembali strategi pembangunan ekonomi yang bisa bertahan dari terpaan krisis sekaligus lebih mensejahterakan. Karenanya Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization berinisiatif menggelar diskusi atau dialog berseri mengenai pembangunan ekonomi alternatif yang menghadirkan para pakar dan praktisi ekonomi dari akhir Desamber 2008 hingga Februari 2009.82 CDCC merupakan bagian dari civil society, oleh karena itu pada diskusi atau dialog tentang ekonomi di atas bermuara pada sikap, pandangan dan pikiran mereka terhadap pemerintah. Pada diskusi ini CDCC tidak memfokuskan pada kondisi global karena CDCC tidak punya cukup akses, walaupun kita bisa mendesak kepada pemerintah. Yang menjadi fokus CDCC adalah penguatan perekonomian nasional, kedaulatan ekonomi dan kemandirian bangsa. Apalagi bangsa kita mempunyai modal sosial, modal alam dan peluang. Pada diskusi ini CDCC mengundang para pakar dan praktisi ekonomi Indonesia, pada diskusi ini lebih menekankan bagaimana bangsa ini mewujudkan perekonomian nasional yang mandiri dan sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris. Mengenai tema yang didiskusikan mengenai ekonomi, CDCC membahas hal-hal yang tertera pada tabel di bawah ini. 82 Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta, 8 September 2010 No Waktu dan tempat Tema Narasumber 1. CDCC, 24 Desember 2008 Penyehatan Struktur Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi UMKM: “Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan di Tengah Krisis Ekonomi Global” M. Fadhil Hasan 2. CDCC, 7 Januaari 2008 Tawaran Pembangunan Pertanian yang Lebih menyesejahterakan: “Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pertanian” Bustanul Arifin 3. CDCC, 15 Januari 2009 Membangun Ekonomi berbasis Lapangan Kerja: “Masalah Ketenagakerjaan dan Solusinya” Bomber Pasaribu 4. CDCC, 21 Januari 2009 Menajamkan Peran Lembaga Keuangan Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan: “Pengembangan Keuangan Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan” Affendi Anwar 5. CDCC, 12 Februari 2009 Membedah Ragam Persoalan ekonomi Indonesia: “Strategi Pengembangan Ekonomi Mikro Untuk Kesejahteraan Rakyat” Aviliani 6. CDCC, 26 Februari 2009 Menuju Pembangunan Aviliani, Ekonomi yang berkualitas Berkelanjutan Bomber Pasaribu, dan Bustanul Arifin, Bermakna:“Langkah- langkah Pengembangan Ekonomi Alternatif” Indria Samego, dan M. Fadhil Hasan Seperti penulis dan kita rasakan bersama ekonomi Indonesia saat ini masih belum mampu mempersembahkan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Ada banyak persoalan yang menuntut untuk dikaji dan mendesak diselesaikan. Dari identifikasi berbagai masalah, baik yang terkait dengan ideologi, strategi, kebijakan, aktor maupun pelaksanaan pembangunan, diskusi berseri para pakar yang diadakan oleh CDCC menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: 1. Pendekatan Jalan Tengah. Pada daasarnya UUD telah mengamanatkan suatu sistem ekonomi yang mengutamakan keadilan dan pemerataan. Sistem ekonomi ini kerap diacu sebagai ekonomi kerakyatan, ekonomi rakyat, ekonomi pancasila, ekonomi alternatif atau bahkan ekonomi syariah. Tanpa harus menentukan nomenkalturnya, sistem ekonomi Indonesia memang sudah sepatutnya mengacu pada amanat konstitusi tersebut, yang tampak mengedepankan pendekatan jalan tengah, yang tidak ingin terjebak pada titik ekstream kapitalisme maupun sosialisme, tapi justru menyinergikan pendekatan pasar dan pendekatan kelembagaan (peran negara). 2. Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini tampak belum berkualitas, karena tidak diikuti oleh pemerataan dan berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi tidak menetes ke bawah, dan memang sulit menetes kebawah karena sumber utama pertumbuhan tersebut adalah sektor-sektor padat modal, padat teknologi dan sedikit menyerap tenaga kerja. Sedangkan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, yakni pertanian dan kehutanan, pertambangan dan penggalian, serta industri pengolaan, justru pertumbuhannya memprihatinkan. 3. Perbaikan Struktur Ekonomi dan Struktur Penguasaan Lahan. Untuk pencapaian pertumbuhan berkualitas, kita perlu memperbaiki struktur ekonomi yang sejak zaman penjajahan masih saja diwarnai ketimpangan yang sangat besar antara usaha besar dan usaha mikro, kecil dan menengah. Struktur yang sehat adalah yang berbentuk belah ketupat, dimana usaha besar dan kecil berjumlah sedikit, sedangkan usaha menengah banyak. Dengan struktur seperti inilah daya tahan kita bisa cukup kuat meskipun ada gejolak dari luar. Selain itu kita juga perlu memperbaiki struktur kepemilikan lahan yang juga sudah sangat timpang. Selama ini usaha besar cenderung semakin besar dalam penguasaan lahan, sedangkan usaha kecil cenderung mengerut. Jumlah petani gurem, yang menguasai lahan hanya setengah hektar atau kurang, terus meningkat. Akan sangat sulit bagi mereka untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan bila hanya bermodalkan setengah hektar atau kurang. Untuk itu diperlukan reform agraria agar setidaknya bisa menguasai lahan seluas dua hektar. 4. Pengembangan Ekonomi Berbasis Lapangan Kerja. Indonesia tengah menghadapi persoalan serius kemiskinan dan pengangguran yang semakin bertambah, dan ketimpangan yang semakin menganga. Ini terjadi karena tidak cukup tersedianya lapangan kerja bagi rakyat. Kerenanya fokus kita semestinya adalah employment based economy. Tugas pemerintah adalah menjamin agar setiap orang bisa mendapatkan pekerjaan dan pekerjaannya memberikan kehidupan yang layak. Untuk itu kita memerlukan adanya man power planning. Untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran ini, kita sudah saatnya meninggalkan income welfare policy seperti BLT dan Raskin, dan mulai beralih ke asset based welfare policy dan employment based walfare policy di masa akhir RPJP. Kita perlu berkonsentrasi ke program seperti KUR yang produktif dan juga pemberian ketrampilan atau pendidikan yang job oriented. Untuk menyerap tenaga kerja, kita perlu menaikan pertumbuhan industri. Sinyalemen para ekonom bahwa di Indonesia sudah terjadi deindustrialisasi, karena peertumbuhan perdagangan naik signifikan sementara itu pertumbuhan industri menurun.83 83 Bomber Pasaribu, “Membangun Ekonomi Berbasis Lapangan Kerja”: Masalah Ketenagakerjaan dan Solusinya dalam Izzah R. Nahrawi, ed., Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia; Sebuah Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi Alternatif (Jakarta: CDCC, 2009), h.43-51 5. Kebijakan-Kebijakan Makro yang Selaras dengan Posisi Pertanian Sebagai Basis. Pertanian telah terlupakan sebagai landasan pembangunan ekonomi. Keberpihakan APBN/APBD pada pertanian sangatlah kurang. Total kridit untuk pertanian sangatlah kecil (baru 3 persen dari total kridit perbankan). Bangsa kita tidak seperti negara-negara maju menerapkan PPN untuk komoditas pertanian. Padahal pertanian menyumbang hampir separuh (41 persen) penyerapan tenaga kerja, dan dari sektor inilah pintu pemberantasan kemiskinan dan pengangguran bisa lebar terbuka.84 6. Langkah-Langkah Pemihakan Terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Berdasarkan pengalaman banyak negara, tidak ada negara yang mengalami penguatan ekonomi domestik dengan menjalankan kebijakan ekonomi liberal. Karenanya, negara perlu mengambil peran utama dalam sisi-sisi dimana mekanisme pasar belum bekerja dengan baik, seperti UMKM, dengan memberikan affirmative actions. UMKM membutuhkan hal itu karena medan persaingan antara UMKM dan usaha besar tidaklah sama. UMKM tidak hanya butuh modal, tapi juga yang lebih penting pembinaan serta akses pasar. Modal sejauh ini bukanlah masalah utama mereka, melainkan peningkatan mutu dan akses pasar. Sangatlah baik bila misalnya kita menerapkan konsep satu desa satu produk, sehingga di 84 Bustanul Arifin, “Tawaran Pembangunan Pertanian Yang Lebih Menyesejahterakan” : pengembangan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pertanian dalam Izzah R. Nahrawi, ed., Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia; Sebuah Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi Alternatif (Jakarta: CDCC, 2009), h.21-26. setiap desa atau kecamatan dikembangkan satu produk tapi dengan dibina dan diberikan akses ke pasar, dijualkan oleh pemerintah atau diberikan link ke perusahaan besar.85 7. Pembangunan Berdimensi Regional. Pembangunan seyogianya berdimensi regional. Masing-masing daerah memiliki potensi dan daya saing yang tidak sama, bahkan cenderung timpang, ada ketimpangan besar antara jawa-luar jawa, kota-luar kota, ataupun Jakarta-luar Jakarta. Otonomi daerah sebetulnya merupakan upaya ke arah pembangunan yang berskala lokal dan spesifik, sesuai dengan karakteristik dan sumber daya yang dimiliki. 8. Revisi Undang-Undang yang kurang Mendukung Pencapaian Kemakmuran. Berbagai undang-undang yang kurang mendukung munculnya sektorsektor berbasis tenaga kerja. Undang-undang yang dikeluarkan antara 1999-2003 bahkan sangat mendorong liberalisasi, sehingga pemerintah tidak bisa tidak bisa banyak berbuat untuk mengubah situasi ekonomi saat ini. Di antara yang penting direvisi adalah undang-undang ekonomi daerah, selain undang-undang penanaman modal, devisa bebas, independensi BI, dan liberalisasi migas. Ini membutuhkan keberpihakan dari Dewan Perwakilan Rakyat. 85 Affendi Anwar, “Menajamkan Peran Lembaga Keuangan Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan”:Pengembangan Keuangan Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan dalam Izzah R. Nahrawi, ed., Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia; Sebuah Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi Alternatif (Jakarta: CDCC, 2009), h.72-84. 9. Kemampuan Pemimpin, Partai Politik, dan Birokrasi dalam Pelaksanaan Ide-Ide dan Kebijakan Ekonomi. Indonesia sebetulnya memiliki banyak orang pintar dengan ide-ide berlian, dan sangat baik dalam dalam membuat undang-undang. Namun, seringkali ide-ide kebijakan-kebijakan ekonomi menguap tak berarti oleh lemahnya operasionalisasi di lapangan. Karena itu kita membutuhkan pemimpin yang mempunyai kapabilitas dalam menciptakan good governance, dan sistem birokrasi yang bisa menjalankan mesinnya hingga ke bawah untuk mengimplementasikan ide, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi, serta partai politik yang bisa menjembatani antara ide-ide brilian itu dan pelaksanaannya. Semua hasil dialog berkenaan dengan ekonomi ini, CDCC diabadikan menjadi sebuah buku yang dibagikan oleh aktivis, ekonom, tokoh agama dan yang terpenting diberikan kepada pemerintah sebagai bahan masukan terhadap kebijakan pemerintah berkenaan dengan ekonomi. Sejalan yang diutarakan oleh salah satu peserta tokoh agama Kristen bahwa buku ini menjadi media terpenting sebagai bahan masukan pemerintah bagaimana membangun konsep ekonomi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.86 Berdasarkan isu-isu dialog yang diangkat oleh CDCC merupakan bagian dari usaha pembentukan civil society, karena CDCC melakukan kontrol dan kritik terhadap kebijakan pemerintahan yang kurang sesuai dengan kehidupan rakyat. 86 Wawancara pribadi dengan Theophilus Bela, Jakarta, 1 Januari 2011. Kehidupan rakyat yang semakin terpuruk dan miskin. Oleh karena itu CDCC memberikan kritik terhadap sistem perekonomian yang kurang tepat. Sesuai dengan apa yang sudah dibahas pada paaragraf-paragram di atas, maka CDCC berusaha mengkritisi Peraruran Presiden (Perpres) yang dalam perpasaran tidak adil dan tidak merakyat. Sejalan pernyataan ekonom Didiek J. Rachbini dalam dialog yang diadakan oleh CDCC pada tanggal 7 Januari 2008 mengkritisi bahwa kebijakan pemerintah tentang perpasaran sangat lambat sehingga cenderung merugikan pedagang kecil. Menurutnya, lambatnya Perpres terjadi karena lobi-lobi para pelaku usaha yang punya akses dan dekat kepada penguasa. Akibatnya, terlalu banyak pertimbangan dan kebijakan hitam di atas putih tidak segera keluar. Akibat dari itu para pelaku usah kecil yang tidak memiliki akses masuk dan bahkan dikorbankan.87 Begitulah dampak buruk pemerintah lebih dekat dengan pengusaha besar, semua kebijakan yang akan dibuat terlalu banyak pertimbangan dan cenderung menguntungkan pengusaha besar. Seharusnya pemerintah mempunyai keperpihakan kepada para pedagang kecil dan pasar tradisional yang jelas-jelas merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Untuk melindungi pera pedagang kecil dan pasar tradisional, pemerintah harus membuat kebijakan yang tegas dan prorakyat kecil. Oleh karena itu perlu zonanisasi, dimana boleh didirikan pasar moderen asalkan pengaturan jaraknya 87 CDCC News, artikel diakses pada tanggal 12 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org jelas dan tidak mengganggu pasar tradisional. Semuanya itu harus diatur dengan jelas dan tegas dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, peraturan terkait dengan persaingan usaha tidak sehat harus dimasukan dalam klausul perpres perpasaran. Dengan begitu, jika nanti ada masalah dan komisi pengawasan persaingan usaha (KPPU) ada dasar pertimbangan lain dalam dalam memutuskan perkara selain UU No.5/1999, dengan begitu mekanisme dan supremasi penegakan hukum di Indonesia terkait perdagangan pasar bisa berjalan adil dan saling menguntungkan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang peran CDCC dalam rangka penguatan ruang publik, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan yang melatar belakangi gagasan CDCC dibentuk karena ingin membantah tesis Samuel Huntington tentang clash of civilitation. Bahwasanya benturan peradaban ini bisa dihindari dengan melakukan dialog antar peradaban dan agama. 2. CDCC merupakan bagian dari civil society, karena CDCC merupakan lembaga murni yang dibentuk oleh masyarakat sipil yang memiliki tujuan untuk melakukan penguatan ruang publik yang bebas melalui dialog dan kerjasama antara umat beragama, antar kebudayaan dan juga dialog-dialog yang bersifat public education dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi, politik dan terutama peradaban dan kebudayaan. 3. Peran yang dilakukan oleh CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas diimplementasikan dan direalisasikan melalui: • Dialog agama: dialog ini CDCC ingin mengupayakan terciptanya masyarakat yang toleran dan pluralis terhadap agama yang berbeda, sehingga terwujud masyarakat yang menghargai dan tidak saling mencurigai. • Dialog budaya: dialog ini CDCC ingin mengupayakan masyarakat yang saling mengenal dan menghargai sehingga benturan kebudayaan bisa dihilangkan. • Dialog politik dan ekonomi: dialog ini sebagai wujud CDCC sebagai bagian dari civil society yang ingin selalu melakukan kritis dan memberi masukan terhadap pemerintah, sehingga pemerintah berjalan sesuai dengan nilai-nilai keadilan. 4. Dampak dari semua kegiatan dialog yang dilakukan CDCC pada saat ini belum tersentuh secara luas sampai ke masyarakat akar rumput, tapi pada tahap masyarakat elit seperti aktivis, tokoh agama, dan pemerintahan. Akan tetapi mungkin di masa akan datang CDCC bisa memberikan kontribusi terhadap perkembangan civil society di Indonesia secara luas. B. SARAN Setelah membahas skripsi ini, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada lembaga CDCC seharusnya lebih gencar lagi dalam kegiatankegiatan yang langsung menyentuh masyarakat akar rumput. 2. Sabagai bagian dari civil society CDCC harus instens mempublikasikan semua kegiatanya ke media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat luas tahu apa nilai-nilai yang diperjuangkan oleh CDCC. 3. Kepada pemerintah seharusnya lebih peka terhadap kritik yang diberikan oleh masyarakat sipil demi terwujudnya masyarkat yang adil. DAFTAR PUSTAKA Arendt,Hannah. The Human Condition. Chicago : The Chicaco University Press, 1958 Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999, cet. Ke-1. Bungin, B. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2003. Bungin, B. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group,2007. Daya,Burhanuddin. Agama Dialogis; Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya,2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998 Esposito, Jhon L. Ancaman Islam: Mitos atau Ancaman. Penerj. Alwiyah Abdurahman. Bandung:Mizan,1995, cet. II. Fatah,Eep Saefulloh. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung : Mizan, 2000. Besar Fakih, Mansyur. Masyarakat Sipil Untuk Tranformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995. Gellner,Ernest. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: Mizan, 1995. Habermas, Jurgen. Toward a Rational Socity. London: Heinemann,1971. Hardiman, F Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius,2009. Hardiman, F Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius,2009. Hendropuspito, Sosilogi Sitematik. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Hikam, Muhammad AS. Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga,1999. Hikam, Muhammad AS. Demikrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES,1999, cet ke-2. Hilmy,Masdar. Islam Profetik; Substansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius,2008. Hocking, Brain dan Smith, Michael. Politik an Introduction to International Relation. London:Prentice Hall,1995. Huntington, Samuel P. Jika Peradaban Apa? Paradigma Dunia Paska Perang Dingin, Aslinya If Not Civilization, What? Penerj. Saeful Umam. Jakarta: LSAF dan ICMI, No.2 Vol.V, 1994. Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam. Bandung:Mizan,1993. Ibrahim,Rustam. Strategi Mewujudkan Civil Society. Jakarta: LP3ES,1999. Johannesen, Richard Rosdakarya,1996. L. Etika Komunikasi. Bandung:PT Remaja Martiam,Najiyah ed., Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Yogyakarta: CRCS, t.t. Muslim, Nahrawi, Izzah R, ed. Membangun Masa Depan Ekonomi Indonesia: Sebuah Hasil-Hasil Diskusi Pakar Berseri Tentang Ekonomi Alternatif. Jakarta:CDCC,2009. Pratinya, Ahmad Watik. “Pluralisme, Trust dan Dialog” dalam Ahmad Syafii Maarif, dkk. Ethics and Religious Dialogue In a Globalized World . Jakarta: The Habibie Centre,2010. Rajasa, Sutan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: karya Utama,2002. Rosyada, Dede, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Society): Demorasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2003. Ruslani. Masyarakat Kitab dan Yogyakarta:Bentang Budaya,2000. Dialog Antar Umat Beragama. Said, Zaim. Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM Dan Kebangkitan Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia, 1995. Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial. CV. Rajawali: Jakarta,1984 Sirry, Mun’im A. Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusifpluralis. Jakarta: Paramadina,2004. Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 SRS, Herdi. LSM Demokrasi Dan Keadilan Sosial : Catatan Kecil Dari Arena Masyarakat Dan Negara. Jakarta: LP3ES dan YAPPIKA,1999. Suhelmi,Ahmad. Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2007. Suprayogo, Imam dan Tobrani. Metodelogi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003. Swidler, Leonard. After the Absolute: The Dialogical Future of Religion Reflection. Philadelpia: Augsburg Fortess,1990. Misi CDCC. Artikel diakses http://www.cdccfoundation.org pada 18 Juni 2010 dari Visi CDCC. Artikel diakses http://www.cdccfoundation.org pada 18 Juni 2010 dari Juni 2010 dari Januari 2010 dari Profile CDCC. Artikel diakses http://www.cdccfoundation.org CDCC News. Artikel diakses http://www.cdccfoundation.org pada pada 18 8 Wawancara Pribadi dengan Abdul Mu’ti. Jakarta, 8 September 2010. Wawancara Pribadi dengan Ilham Munzir. Jakarta, 21 November 2010. Wawancara Pribadi dengan Piet Hizbullah Khaidir. 8 Desember 2010. Wawancara Pribadi dengan Theophilus Bela. 1 Januari 2010. Lampiran I Hasil Wawancara Nama : Ilham Munzir sebagai staff ahli CDCC T: Konsep dialog seperti apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya pembentukan Civil Society? J: Diskusi atau Dialog di CDCC di awal waktu membincangkan tentang clash of civilizition apakah benar-benar terjadi atau hanya halusinasi. Itu semua terjadi akan tetapi tidak seburuk yang diduga dengan cara melakukan kerja sama dan dialog. Konsep dialog di cdcc berusaha menciptakan ruang publik terhadap masyarakat yang berbeda latar belakang baik dari agama, dan kebudayaan guna menghilangkan rasa saling curiga. T: Isu-isu apa yang diangkat oleh CDCC dalam berdialog? J: isu-isu yang diangkat yaitu dialog antar agama, dialog mengenai kebudayaan dan dialog berkenaan dengan masalah bangsa seperti ekonomi dan politik. T: Dalam berdialog CDCC berupaya memberikan mediasi, apa maksud dari kata mediasi bagi CDCC sendiri dalam melakukan dialog? J: kata mediasi sebagai tempat untuk bertemu dan membincangkan masalah yang sedang dihadapi. Seperti contoh kasus gereja di Bekasi CDCC bersama PGI, KWI dan tokoh-tokoh agama lain. di sini CDCC menjadi penengah dengan mencari jalan tengah dengan cara memediasi wacana pada tingkat elit (tokoh-tokoh agama) dengan tujuan mengurangi ketegangan antar agama. T: Dalam melakukan kegiatan-kegiatan, CDCC mempunyai sifat, yakni moderat dan terbuka. Apa makna kata moderat dan terbuka bagi CDCC dalam upaya pembentukan Civil Society? J: kata moderat berarti menciptakan pemahaman agama yang toleran terhadap agama-agama yang ada di dunia ini. Terbuka berarti menghormati terhadap kebudayaan lain. T: Dialog kebudayaaan seperti apa yang ditawarkan oleh CDCC? J: dialog kebudayaan yang ditawarkan oleh CDCC adalah dengan berusaha memperkenalkan kebudayaan lain. kegiatan yang dilakukan dengan musikalisasi puisi negara Rusia, setiap event-event internasional selalu memperkenalkan budaya. T: Siapa saja kah yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog kebudayaan? J: disetiap dialog cdcc mengundang para aktivis-aktivis sosial, organisasi kemahasiswaan, tokoh-tokoh agama dan duta besar-duta besar negara luar. T: Konsep dialog ekonomi seperi apa yang dilakukan CDCC dalam ditawarkan oleh CDCC? J: konsep dialog ekonomi dengan membincangkan masalah-masalah ekonomi yang sedang dihadapi negara ini, dengan menawarkan konsep ekonomi yang sesuai dengan karakter bangsa. membincangkan tentang Baitul Mal wa Tanwil (BMT) T: Siapa saja yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog tentang ekonomi? J: CDCC mengundang pakar-pakar ekonomi untuk membincangkan masalah yang sedang dihadapi. T: Apa saja yang dihasilkan oleh CDCC dalam melakukan dialog ekonomi? J: yang dihasilkan dalam dialog ini dengan menerbitkan sebuah buku berkenaan dengan solusi atau jalan keluar dalam menghadapi krisis global. Jalan keluar yang ditawarkan dengan menerapkan ekonomi yang sesuia dengan karakter bangsa, yaitu ekonomi kerakyatan yang berbasis agraris. T: Dialog politik apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya pembentukan civil society? J: membincangkan masalah-masalah bangsa yang bertujuan sebagai kritik terhadap pemerintah, guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) T: Apa yang sudah dihasilkan oleh CDCC dalam dalam dialog politik? J: dalam melakukan dialog CDCC berusaha menciptakan ukhuwah politik Islam dengan cara bersatu nya partai-partai Islam. Menjelang pemilu CDCC selalu mengadakan diskusi dan dialog untuk mendesak pemerintah guna memberikan hak suara rakyat yang belum terdaftar pada DPT (Daftar Pemilu Tetap) dan sebagai alternatifnya dengan menunjukan KTP. Setelah pemilu CDCC selalu membincangkan pentingnya oposisi. Karena melihat SBY berhasil mengakomodir sebagian partai-partai besar untuk berkoalisi masuk dalam pemerintahan, melihat hal ini CDCC ragu untuk terbentuknya pemerintahan yang baik karena tidak adanya check and balance sehingga sangat buruk terhadap demokrasi T: Siapa sajakah yang diundang CDCC dalam melakukan dialog politik? J: CDCC mengundang para tokoh-tokoh parpol, aktivis-aktivis, kalangan pemerintahan dan tokoh-tokoh agama. T: Dalam melakukan kegiatan CDCC selalu bekerjasama dengan lintas organisasi dan lintas agama. coba bapak sebutkan lintas organisasi dan lintas agama apa saja yang CDCC undang dalam melakukan kegiatan? J: CDCC dalam melakukan dialog mengundang Muhammadiyah, NU, PGI,PHDI, Walubi,MUI dan Cheng Ho Multicuture Trush, T: Apa saja yang sudah CDCC dan mitra kerjasama lakukan dalam upaya pembentukan pembentukan civil society? J: dalam upaya menciptakan masyarakat toleransi dalam beragama CDCC melakukan kegiatan yang dinamakan Interfaith in Action “ dialog lintas agama untuk pengentasan kemiskinan dan ketidak adilan” dalam kegiatan ini CDCC dibantu oleh World Vision Indonesia. Sasaran kegiatan ini dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu Pontianak berkaitan dengan fogging dan petani lele, Palu berkaitan dengan perdamaian antar agama, Yogyakarta berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi kecil dan Surabaya berkaitan dengan mengkampayekan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak jalanan. Hasil Wawancara Nama: Piet Hizbullah Khaidir selaku Direktur Program CDCC T: Konsep dialog seperti apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya pembentukan Civil Society? J: konsep dialog yang ditawarkan CDCC tidak berbeda dengan kelompok lain rancang. CDCC ingin menciptakan dialog yang dialogis, yaitu dialog yang terbuka, equel antar potensi masyarakat dan stake holder yang punya kepentingan terhadap politik. CDCC ingin menghilangkan dialog yang monolog, yang artinya dialog yang dilakukan orang atau kelompok yang lebih kuat menekan kelompok atau orang yang lebih lemah. CDCC ingin menciptakan dialog yang equal sehinggga publik bisa melihat dan publik pula yang akan menentukan. T: Isu-isu apa yang diangkat oleh CDCC dalam berdialog? J: isu-isu yang diangkat CDCC adalah tentang kebudayaan, agama, politik, ekonomi dan hubungan internasional. Sebenarnya awal dari itu adalah tentang clash of civilitation yang dijelaskan oleh Samuel Huntington dalam tesisnya. Dan tentang The alliance of civilitation yang membahas tentang peradaban, politik, ekonomi, dan ideologi yang menghasilkan common ground tentang civilitation, tentang empat isu yaitu pemuda, media, agama dan pendidikan. T: Dalam berdialog CDCC berupaya memberikan mediasi, apa maksud dari kata mediasi bagi CDCC sendiri dalam melakukan dialog? J: CDCC ingin menjadi lembaga konsultatif, lembaga yang memediasi berbagai stake holder untuk saling berkonsultasi untuk mengungkapkan berbagai ide dari berbagai kelompok. T: Dalam melakukan kegiatan-kegiatan, CDCC mempunyai sifat, yakni moderat dan terbuka. Apa makna kata moderat dan terbuka bagi CDCC dalam upaya pembentukan Civil Society? J: moderat artinya CDCC tidak memihak sehingga CDCC ingin menjadi lembaga yang memediasi dan memoderasi kekuatan yang saling bertikai. Terbuka artinya bertujuan menciptakan dialog untuk kepentingan bersama. T: Dialog kebudayaaan seperti apa yang ditawarkan oleh CDCC? J: CDCC ingin mendorong proses perspektif budaya yang tinggi, terbuka, dan diterima seluruh aspirasi. T: Dialog kebudayaan seperti apa yang sudah dilakukan oleh CDCC? J: dialog yang pernah lakukan yaitu dalam level elit, seperti isu tentang global warming. CDCC mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang salama ini dipinggirkan, mereka dikumpulkan untuk membahas tentang global warming dalam perspektif mereka. Dialog tentang isu Palestina-Israil. Pada dialog ini CDCC tidak membawa ke arah politik maupun agama, CDCC membawa nya secara budaya, yakni bahwa manusia yang hidup di Palestina tidak hanya Islam dan Yahudi tapi disana ada berbagai agama yang ada, dan ada berbagai suku bangsa bukan hanya Arab. T: Siapa saja kah yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog kebudayaan? J: CDCC dalam mengundang selective partisipation seperti Duta besar, politisan, budayawan, NGO dan aktivis sesuai dengan keterlibatan pada bidangnya. T: Konsep dialog ekonomi seperi apa yang dilakukan CDCC dalam ditawarkan oleh CDCC? J: CDCC merupakan bagian dari civil society maka konsep dialog yang ditawarkan oleh cdcc ingin mengkritisi dan memberikan saran terhadap pemerintah konsep ekonomi apa yang sesuai dengan rakyat. J: Siapa saja yang diundang oleh CDCC dalam melakukan dialog tentang ekonomi? J CDCC dalam mengundang selective partisipation seperti Duta besar, politisan, budayawan, NGO dan aktivis sesuai dengan keterlibatan pada bidangnya. Dalam dialog ekonomi CDCC mengundang ekonom yang berpengalaman untuk membahas konsep ekonomi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. T: Apa saja yang dihasilkan oleh CDCC dalam melakukan dialog ekonomi? J: CDCC berhasil membukukan hasil diskusi tentang ekonomi. Setidaknya buku ini sebagai media untuk dibaca. Buku itu diberikan kepada NGONGO dan pemerintah sebagai bahan masukan. T: Dialog politik apa yang ditawarkan CDCC dalam upaya pembentukan civil society? J: dialog politik yang ditawarkan cdcc dialog yang politik yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang didorong untuk terbentuknya good governance T: Siapa sajakah yang diundang CDCC dalam melakukan dialog politik? J: CDCC dalam mengundang selective partisipation seperti Duta besar, politisan, budayawan, NGO dan aktivis sesuai dengan keterlibatan pada bidangnya. Pada dialog tentang politik ini CDCC mengundang politisi, aktivis dan tokoh-tokoh agama untuk membahas permasalahan bangsa. Hasil Wawancara Nama : Theophilus Bela. Ketua Forum Komunikasi Kristiani Jakarta sebagai anggota rutin dialog yang diadakan oleh CDCC T: menurut anda apakah CDCC bagian dari civil society? J: CDCC merupakan lembaga yang tidak dibentuk oleh pemerintah. CDCC merupakan lembaga yang murni didirikan oleh masyarakat sipil, jadi CDCC merupakan murni bagian dari civil society. T: sejak kapan anda mengikuti kegiatan atau dialog yang diadakan oleh CDCC? J: saya mengikuti dialog yang diadakan oleh CDCC sejak awal CDCC didirikan. T: apa yang anda ketahui tentang CDCC? J: CDCC merupakan sebuah lembaga yang menyediakan tempat untuk berdialog bagi semua agama yang berbeda, bangsa yang berbeda, dan kebudayaan yang berbeda. Jadi CDCC merupakan ruang publik yang terbuka untuk semua masyarakat untuk membicarakan masalah-masalah yang sedang dihadapi. Jadi CDCC merupakan bagian civil society yang mempunyai peran yang positif bagi masyarakat untuk menghargai perbedaan. T: bagaimana tanggapan anda tentang CDCC? J: Menurut saya CDCC merupakan lembaga yang positif untuk mengembangkan civil society. CDCC merupakan tempat pertemuan dari berbagai agama, bangsa dan budaya. Jadi CDCC sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang mejemuk ini. T: apa kiprah CDCC dalam upaya pembentukan civil society? J: kiprah CDCC memang untuk saat ini belum bisa dirasakan sampai masyarkat akar rumput, tapi CDCC sangat mempunyai peran yang sangat penting bagi kalangan masyarkat atas, seperti tokoh-tokoh agama, aktivis, dan pemerintah, karena CDCC merupakan tempat untuk bertukar pikiran untuk mendialogkan masalah yang sedang dihadapi dari berbagai agama, budaya dan bangsa, hal ini menurut saya bisa membangun kepercayaan masyarakat. CDCC dapat membangun pencerahan bagi masyarakat sebagai wujud dari perkembangan civil society. Demokrasi akan berjalan baik jika civil sociey tumbuh dengan baik pula, sehingga negara dan sipil berdiri sejajar sehingga ada control dari masyarakat sipil. T: Menurut anda apakah dialog yang diadakan oleh CDCC mempunyai pengaruh terhadap pembentukan civil society? J: sangat mempunyai pengaruh, karena di CDCC semua orang mempunyai hak untuk berbicara, jadi di CDCC lah ruang publik yang bebas bisa terbentuk. T: menurut anda apakah dialog-dialog yang dilakukan CDCC dapat menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama? J: dialog yang diadakan CDCC bisa menumbuhkan sikap toleran, karena di CDCC merupakan tempat bertukar pikiran tentang agama-agama, seperti contoh CDCC pernah mengundang tokoh Yahudi internasional ini sebagai bukti CDCC ingin menciptakan masyarakat yang toleran. Dialog yang diadakan CDCC membuat orang saling mendengar dengan saling mendengar pasti akan salng mengenal, dengan saling mengenal pasti akan hilang rasa saling curiga yang bisa menumbuhkan sikap toleran. T: menurut anda apakah dialog yang diadakan CDCC cukup berpengaruh dalam mengontrol kebijakan pemerintah? J: CDCC tidak mempunyai kepentingan politik praktis. Jadi CDCC dalam memberi masukan dan kritik terhadap pemerintah yang tidak sesuai dengan dengan rakyat, seperti kasus korupsi yang berlarut-larut dan kebijakan pemerintah masalah ekonomi yang tidak sesuai karakter bangsa. Lampiran II Hasil Wawancara Nama: Abdul Mu’ti selaku direktur eksekutif CDCC P: Apakah CDCC merupakan bagian dari Civil Society? J: Kalau dilihat sisi tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, CDCC merupakan bagian dari Civil Sociey. CDCC merupakan sebuah lembaga non pemerintahan (NGO) yang memiliki tujuan untuk mendorong dialog dan kerjasama antara umat beragama, antar kebudayaan dan juga dialog-dialog yang bersifat public education dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi, politik dan terutama peradaban dan kebudayaan. Kalau dilihat dari sisi tersebut maka CDCC merupakan bagian dari Civil Society yang mengambil segmen dialog dan kerjasama antar peradaban. P: Agenda-Agenda apa yang dilakukan CDCC dalam upaya pembentukan Civil Society? J: Seperti yang telah kami paparkan diatas, CDCC merupakan bagian dari Civil Society. Untuk mencapai terbentuknya Civil Society maka CDCC mempunyai agenda-agenda. CDCC konsen pada tiga agenda yang sudah pernah dilakukan. 1. Dialog : dialog dimaknai dalam dua perspektif, pertama; memberikan ruang public bagi semua elemen masyarakat untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kebudayaan, keagamaan dan politik. Kedua; memberikan mediasi bagi berbagai kelompok untuk bisa berdialog, sehingga pada perspektif ini CDCC memberikan fasilitas pada level mikro sebagai jalan tengah atau titik temu ataupun solusi dari berbagai macam perbedaan-perbedaan public, tapi belum menyentuh pada tingkat konflik baru sampai pada tingkat ketegangan antar kelompok yang terjadi padalevel mikro di Indonesia maupun pada level makro pada level Internasional. 2. CDCC melakukan kegiatan-kegiatan yang berupa meanstreaming kehidupan beragama atau kebudayaan yang bersifat moderat dan terbuka, oleh karena itu CDCC berusaha mendorong siapa saja untuk mampu berbicara apa saja, sehinga CDCC akan didorong atau membawa keranah public meanstreaming wawasan dan pandangan kehidupan keberagamaan dan kebudayaan yang mederat dan terbuka. Pada konsen yang kedua ini CDCC banyak melakukan upaya-upaya yang berupa penciptaan opini public yang selama ini kegiatan-kegiatan tersebut mendapat peliputan dari berbagai media yang begitu luas. 3. CDCC menjalin kerjasama-kerjasama yang bersifat lintas agama, lintas organisasi dan lintas agama, misalnya kerjasama CDCC untuk melaksanakan World Peace Forum, yang sampai saat ini sudah dilaksanakan tiga kali. Pembentukan Interreligious Council Indonesia, dan kerjasama-kerjasama yang bersifat Empowering (pemberdayaan), misalnya melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Pada advokasi ini bukan pada tingkatan hukum tapi advokasi pada tingkat pembelaan yang bersifat politis, misalnya kepada kelompok-kelompok masyarakat atau agama yang mendapatkan perlakuan tidak adil, serta melakukan kerjasama lintas iman untuk pengentasan masalah-masalah kemiskinan dan ketidak adilan sosial. P: Siapa saja yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh CDCC? J: Selama ini kegiatan-kegiatan atau agenda-agenda yang dilakukan oleh CDCC tidak hanya konsen dalam takaran pewacanaan, akan tetapi sudah menyentuh masyarakat. CDCC tidak menyentuh masyarakat grass roots secara langsung, tetapi CDCC mengambil masyarakat kelas tertentu yakni sekmen masyarakat menengah keatas, misalnya sekmen intelektual, Policy maker dan aktivis. P: apakah CDCC lebih bersifat elitis? J: walaupun CDCC dalam mengundang kalangan tersebut bukan berarti tidak bersifat elitis karena elitis merupakan sikap atau prilaku yang tidak merakyat, sedangkan elit merupakan struktur sosial. Struktur sosial elit tidak selamanya berprilaku elitis mereka peduli kepada masyarakat bawah karena dia masuk pada struktur organisasi tingkat nasional yang sebagai pengambil kebijakan, policy maker, opinion maker dengan menuangkan gagasannya melalui tulisan dan pengambil keputusan maka mereka masuk dalam struktur sosial elit. CDCC mengambil sekmen elit akan tetapi tidak berperilaku elitis, kerena dialog-dialog yang dilakukan oleh CDCC dialog yang menyentuh secara secara luas yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan atau isuisu yang bersifat nasional bahkan Internasional akan tetapi memiliki dampak kepada masyarakat secara keseluruhan. P: dalam rangka pembentukan civil society, pasti CDCC mempunyai nilainilai dalam perjuangan, apa saja nilai yang diperjuangkan oleh CDCC? J: CDCC mempunyai nilai-nilai yang ingin perjuangkan, sesuai dengan namanya CDCC mempunyai tiga nilai yang sangat mendasar dalam kontek perdamaiaan dan tata dunia yang terbuka. d. Nilai Keterbukaan; CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang memiliki kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran-pikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat yang secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara terbuka dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap pemerintah atau masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan. e. Kemanusiaan yang bersifat universal; kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan. Kerena pada dasarnya ada sebuah comment agreement diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat terhormat, oleh karena itu CDCC sangat konsen pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang selama ini menjadi salah satu problem baik di level nasional maupun level internasional, banyaknya tindak kekerasan, pada wilayah tertentu masih adanya perbudakan, dan eksploitasi manusia itulah persoalanpersoalan kemanusian yang terjadi pada tingkat global dan nasional. f. Nilai Equality (nilai kesetaraan dan persamaan); CDCC tidak berada pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulankeunggulan prestasi yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakat-masyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada aspek equality itu melekat dengan plurality atau pluralitas kerena mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan tetapi sesungguhnya mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya. P: apakah CDCC dalam melakukan agenda masih dalam tahap pewacanaan? J: CDCC dalam melakukan kegiatan-kegiatan bukan hanya dalam takaran dialog atau pewacanaan, akan tetapi CDCC sudah melakukan upaya pembentukan organisasi prakasa persahaban Indonesia- Palestina, dalam upaya pembentukan ini CDCC sudah melakukan penghimpunan dana dan menghimpun berbagai elemen untuk melakukan advokasi itu merupakan tindakan yang bukan hanya pewacanaan. CDCC juga membentuk Interreligius Council Indonesia dimana CDCC memfasilitasi terbentuknya organisasi-organisasi lintas iman dan yang memiliki konsen pada persoalan-persoalan terhadap keagamaan, kita memfasilitasi dan memediasi konflik, CDCC juga memberikan bantuan politis, moril dan materil itulah langkah nyata yang dilakukan CDCC. CDCC juga membentuk Interfaith Action dimana kita melakukan aksi-aksi Interfaith dimana CDCC memfasilitasi tumbuhnya prakasa-prakasa pada tingkat bawah (grass roots) untuk mengembangkan kerjasama lintas iman dalam rangka untuk mengembangkan kerjasama lintas iman dalam rangka untuk mengatasi berbagai macam persoalan kemiskinan dan ketidak adilan sosial. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan CDCC mempunyai jaringan baik nasional maupun internasional. Jaringan nasional CDCC melakukan kerjasama dengan NGO misalnya CSIS, IComRP, Interfaith Day, dan organisasi-organisasi keagamaan seperti KWI, PGI, WALUBI, MATAGIN, Muhammadiyah, MUI. Pada level internasional CDCC mempunyai jaringan misalnya Cheng hoo Multicalture Education Trush sebagai mitra sebanyak tiga kali secara berturut-turut dalam acara World Peace Forum. CDCC juga bermitra dengan Departemen luar negri terutama untuk dialog-dialog internasional misalnya mengundang pembicara-pembicara dari luar negeri dan CDCC juga diundang sebagai pembicara pada forum-forum internasional . CDCC juga mempunyai jaringan kerja sama dengan duta besar- duta besar misalnya duta besar Inggris termasuk British Council, duta besar Rusia, dan duta besar Palestina. P: Apakah CDCC murni dalam upaya pembentukan Civil Society? J: CDCC merupakan Organisasi Non Pemerintahan (NGO) yang murni untuk penguatan masyarakat sipil dan juga untuk memperdayakan dan menciptakan semua pihak yang konsen terhadap masalah perdamaian untuk terciptanya tata dunia yang damai, jadi tidak ada sinyalemen atau motif bahwa CDCC sebagai kendaraan politik, katakanlah politik untuk Dien Syamsudin untuk melakukan upaya-upaya Bergaining, dan Gaming Power