Jurnal Pendidikan Penabur

advertisement
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Dra. Kristinawati Susatio, M.M.
Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M.
Dra. Mulyani
Prof. Dr. Theresia K. Brahim
Dra. Vitriyani P., M.Pd.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : [email protected]
Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur
Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut.
1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang
berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk
bahasa ilmiah populer.
2.
Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain.
3.
Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan
bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas.
Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10
point/spasi ganda.
4.
Panjang naskah hasil penelitian + 4500 kata, sedangkan untuk opini,
info, serta resensi buku + 2000 kata.
5.
Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata.
6.
Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar
pustaka, dan keterangan mengenai penulis.
7.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata.
9.
Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada
ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar
huruf tidak lebih kecil dari 6 point.
10. Naskah dikirim dalam bentuk CD/disket dan hasil print out ke Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E
Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected]
11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang
pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis.
12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat
tidak dikembalikan.
13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi
naskah.
14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau
kebijakan BPK PENABUR.
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 11/Tahun ke-7/Desember 2008
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi
i
Pengantar Redaksi
ii-v
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication at IPEKA’s Schools,
Kristina Untari Setiawan,
1-8
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, Gusti Yarmi, 9-22
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis, Hastin S. M,
23-30
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran, Rommel K. Sitanggang,
31-36
M
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai Ukuran bagi Pendidikan yang Bermutu dan
Implikasinya, Soedijarto,
37-41
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah,
David Wijaya,
42-56
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Theresia K. Brahim,
57-63
Evaluasi Program/Proyek (Pengertian, Fungsi, Jenis, dan Format Usulan), Roswati,
64-71
Membangun Citra Diri Guru yang Positif Melalui Pribadi Unggul Efektif, Edwita,
72-78
Pengembangan Sumber Belajar, B.P.Sitepu,
79-92
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress),
Handy Susanto, 93-99
Isu Mutakhir: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Menjawab Tantangan Pengangguran dan
Entreneurship, Dinah Tanumihardja,
100-104
Resensi Buku: Arah dan Landasan Pendidikan Nasional Kita, Muksin Wijaya,
105-109
Profil BPK PENABUR Indramayu, Sudarno, 110-113
Keterangan Mengenai Penulis, 114-115
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
i
Pengantar Redaksi
endidikan pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada peserta didik tidak saja mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya tetapi juga dapat
meningkatkan kualitas hidupnya sehingga lebih maju dan
lebih beradab dalam berpikir dan berperilaku. Untuk dapat
mencapai kemampuan yang demikian, pada awalnya para ahli
pendidikan berpikir peserta didik perlu memiliki dua pengetahuan
dasar yakni kemampuan baca-tulis (literacy) dan kemampuan berhitung (numeracy), yang kemudian diakronimkan dengan calistung.
Oleh karena manusia hidup dalam alam dan perlu mengetahui
sifat-sifat dan perilaku alam serta dapat hidup dengan mendayagunakan alam untuk meningkatkan taraf hidupnya, pengetahuan
dasar itu kemudian dikembangkan menjadi kemampuan dalam
bahasa, berhitung/matematika, dan sain. Ketiga pengetahuan dasar
itu diajarkan sedini mungkin sejak peserta didik mengikuti
pendidikan formal.
Penguasaan atas ketiga pengetahuan itu merupakan dasar
untuk mempelajari, menguasai, mengembangkan dan menerapkan
pengetahuan lainnya. Hal ini terlihat juga dari kurikulum pendidikkan yang mencantumkan ketiga mata pelajaran/bidang studi itu
di pendidikan dasar dan menengah. Dalam penyelenggaraan ujian
nasional di Indonesia, bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan
matematika dijadikan mata pelajaran/ bidang studi yang
diprioritaskan diujikan di SD, SMP, dan SMA.
Akan tetapi di berbagai kesempatan dan tulisan, kemampuan
dasar itu disebut juga dengan keterampilan dasar untuk hidup atau
dikenal dengan istilah life skills. Keterampilan dasar itu termasuk
kemampuan (1) membaca, (2) menulis, (3) mendengar, (4) menutur,
(5) menghitung, (6) mengamati, (7) mengkhayal, dan (8) menghayati.
Sementara itu dari tuntutan lapangan kerja, kemampuan dasar
dikelompokkan menjadi (1) keterampilan dasar (basic skills)
termasuk membaca, menulis, mendengar, menutur, dan berhitung;
(2) keterampilan berpikir (thinking skills) termasuk memecahkan
masalah, berpikir kreatif, berimaginasi, dan menalar; dan (3)
keterampilan yang berkaitan dengan kepribadian (personal quality)
termasuk berinteraksi dengan orang lain, pengendalian diri,
kejujuran, serta kesalehan.
Dari berbagai pengelompokan kemampuan dasar yang
dikemukakan, terlihat bahwa ketiga pengetahuan dasar yang
disebutkan dalam awal tulisan ini merupakan inti dari berbagai
kemampuan. Di samping itu dalam masing-masing kategori terlihat
bahwa pengetahuan bahasa disebutkan pada urutan awal. Hal ini
menunjukkan kemampuan berbahasa memegang peranan yang
penting untuk dapat menguasai kemampuan dasar lainnya.
Secara singkat, bahasa dapat diartikan sebagai sarana komunikasi yang dipergunakan oleh manusia untuk menyampaikan
pikiran/gagasan dan perasaannya kepada orang lain. Manusia
berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan bahasa. Oleh
karena itu, bahasa merupakan dasar utama dalam menyampaikan
P
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
dan menerima informasi dari pihak lain. Untuk dapat menggunakan
bahasa dengan baik diperlukan kemampuan mendengar, berbicara,
membaca, dan menulis. Dengan demikian melek aksara/huruf
merupakan bagian dari kemampuan berbahasa. Sedangkan melek
angka merupakan bagian kemampuan berhitung atau matematika.
Kemampuan mendengar dan berbicara dalam bahasa ibu
berkembang secara alamiah sejak anak lahir. Kemampuan berbahasa
secara lisan selaras dengan perkembangan kehidupan anak dalam
keluarga dan masyarakat. Ketika masuk ke pendidikan dasar, ia
diberikan kemampuan membaca dan menulis. Di sekolah keempat
kemampuan dasar berbahasa itu dikembangkan secara bersamaan
dan terus ditingkatkan sampai ke pendidikan tinggi. Lamanya
peserta didik mempelajari bahasa menunjukkan, penguasaan
bahasa dianggap sebagai pengetahuan dasar yang perlu terus
menerus dikembangkan. Sungguhpun demikian, dari berbagai
fenomena terlihat kemampuan berbahasa bangsa Indonesia masih
belum seperti diharapkan.
Kemampuan berbahasa yang dimaksud tentu bukan hanya
terbatas pada keterampilan berkomunikasi secara lisan dalam
kehidupan sehari-hari (lingua franca), tetapi mencakup kemampuan
mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Mendengar dalam arti
dapat menangkap dan memahami secara cepat dan tepat pikiran
atau gagasan orang lain yang disampaikan secara lisan. Berbicara
dalam arti dapat menyusun dan menyampaikan secara lisan
gagasan, pikiran, dan perasaan secara teratur/runtut, mudah
dimengerti, dan menarik bagi pendengar. Membaca dalam arti dapat
memperoleh secara cepat dan tepat pikiran atau gagasan orang lain
yang disampaikan dalam bahasa ragam tulisan. Menulis dalam arti
mampu menyampaikan gagasan, pikiran, atau emosinya dalam
bahasa ragam tulisan yang baik dan benar sehingga mudah
dipahami serta menarik untuk dibaca.
Salah satu kelemahan yang dihadapi peserta didik di semua
jenjang dan jenis pendidikan ialah kemampuan berbahasa, termasuk
dalam bahasa Indonesia apalagi dalam bahasa asing. Kemampuan
berbahasa ini termasuk penguasaan kaidah-kaidah bahasa mulai
dari pemilihan kata, penyusunan kalimat, pengucapan kata (untuk
bahasa ragam lisan), dan pengunaan ejaan (dalam bahasa ragam
tulisan). Seperti dikemukakan sebelumnya fungsi bahasa adalah alat
untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan emosi. Oleh karena itu,
kemampuan berbahasa seseorang juga dipengaruhi oleh
kemampuan intelektual dan emosionalnya.
Kelemahan berbahasa ini mulai terjadi pada kemampuan
menerima dan memberikan informasi secara cepat dan tepat.
Kelemahan mendengar (listening comprehension) dengan baik terlihat
pada kemampuan menyimak informasi yang disampaikan guru
secara lisan dalam proses pembelajaran. Hal ini lebih terlihat dalam
menyimak informasi dalam bahasa yang merupakan bahasa kedua
bagi peserta didik. Di banyak tempat, bahasa Indonesia merupakan
bahasa kedua bagi peserta didik, karena bahasa yang pertama dia
ketahui adalah bahasa ibunya (bahasa daerah). Apa lagi kalau
informasi itu disampaikan dalam bahasa asing (misalnya dalam
bahasa Inggris), kemampuan menyimak peserta didik lebih rendah
lagi. Dengan demikian kemampuan mendengar itu perlu dilatih
misalnya dengan menuturkan kembali informasi yang didengarnya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
iii
atau membuat ringkasan.
Kemampuan berbicara dapat dilihat bagaimana peserta didik
menuturkan pikiran, gagasan, dan perasaannya secara lisan. Kemampuan ini dapat juga dilihat dalam berinteraksi dengan orang
lain dalam diskusi. Sering terjadi kurang aktifnya peserta didik di
dalam kelas untuk bertanya atau memberikan pendapat karena terkendala oleh kemampuan berbahasa yang kurang. Keadaan ini juga
terlihat pada diskusi atau seminar yang dihadiri oleh banyak peserta
tetapi yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan relatif sedikit.
Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca terkait dengan
kemampuan membaca secara tersirat dan tersurat. Secara tersurat
kemampuan ini dipengaruhi oleh kemampuan mengenali dan
memahami aksara yang dipergunakan serta kaidah-kaidah bahasa
ragam tulisan. Sementara itu, pemahaman secara tersirat berkaitan
dengan pengetahuan pembaca atas makna informasi yang
dipengaruhi oleh wawasan pengetahuan pembaca. Semakin luas
wawasannya semakin mudah ia dapat memahami makna yang
tersirat dalam bacaan itu.
Motivasi dan kebiasaan membaca merupakan masalah lain yang
juga masih berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Semakin termotivasi dan terbiasa membaca, keterampilan dan kemahiran membaca
akan semakin berkembang dengan sendirinya. Kemampuan membaca ini merupakan awal munculnya motivasi dan terbentuknya
kebiasaan membaca pada diri seseorang. Apabila kegiatan membaca
itu menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat, maka terbentuklah
masyarakat gemar membaca yang akan berkembang menjadi
masyarakat belajar yang merupakan ciri masyarakat maju.
Keunggulan suatu bangsa dapat dilihat antara lain dari
banyaknya produk intelektual yang disebarluaskan melalui media
cetak atau elektronik. Akan tetapi karena terbiasa dengan tradisi
lisan dan kurang terlatihnya menulis, kemampuan menulis bangsa
Indonesia cukup memprihatinkan dibandingkan dengan bangsabangsa lain walaupun masih di kawasan Asia Tenggara. Sebagai
contoh terlihat dari karya tulis dalam bentuk buku. Jumlah buku baru
yang terbit di Indonesia masih berkisar 6.000 judul, sangat jauh
tertinggal dari Malaysia yang sudah mencapai 15.000 judul. Di
perguruan tinggi terlihat kesulitan mahasiswa menyelesaikan
studinya antara lain kekurangmampuan menulis karya ilmiah. Di
dunia kerja terlihat cukup banyak karyawan kurang mampu
menuangkan gagasan atau laporan secara tertulis, pada hal mereka
mampu menyampaikannya secara verbal/lisan. Keadaan yang
demikian dapat memunculkan kesan bahwa kelebihan konsultan
asing adalah menulis gagasan atau laporan secara sistematis dan
logis. Sedangkan dilihat dari kualitas gagasan sebenarnya tidak
mengungguli kemampuan bangsa Indonesia.
Berangkat dari pemikiran betapa pentingnya kemampuan berbahasa dalam mengembangkan diri individual dan masyarakat, terbitan Jurnal Pendidikan Penabur edisi ini mengangkat hal-hal yang
berkaitan dengan peningkatan kemampuan peserta didik melalui
pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris. Sungguhpun sudah belajar bahasa di pendidikan dasar dan
menengah, mengapa kemampuan menyimak dan menulis peserta
iv
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
didik masih memprihatinkan? Apa yang salah dengan proses
belajar dan membelajarkan di sekolah? Berbagai bertanyaan sejenis
dapat muncul.
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa ini, berbagai wacana
disajikan seperti pendekatan pembelajaran bahasa dan sastra di
SD, inovasi pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan
menulis, serta teknik membaca dalam proses pembelajaran. Di
samping itu juga dilaporkan hasil penelitian tentang upaya
peningkatan mutu pembelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Sungguhpun kemampuan berbahasa itu penting, keberhasilan
pendidikan juga ditentukan oleh kemampuan lain serta secara
makro ditentukan oleh penyelenggaraan pendidikan secara
nasional yang masih tetap menjadi sorotan dan bahan diskusi.
Dalam edisi ini, Prof. Soedijarto masih menyoal tentang
pelaksanaan sistem pendidikan nasional berdasarkan UU No. 20
Tahun 2003, termasuk dana penyelenggaraan pendidikan yang
seharusnya mencapai 20 % dari APBN dan APBD. Kondisi
pendidikan nasional sekarang ini belum menjamin terwujudnya
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan peningkatan
serta pemerataan mutu pendidikan secara nasional.
Dalam hingar bingar persoalan pendidikan, guru masih tetap
menjadi tumpuan harapan yang dapat berperan secara profesional
sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan. Guru dapat
mengatasi beragam keterbatasan sarana, prasarana, dan dana
penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu guru perlu dibekali dan
memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kedudukan guru
sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat
dan peran guru sebagai agen pembelajaran serta untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam hubungannya
dengan kedudukan guru sebagai tenaga fungsional, dalam edisi ini
diketengahkan pula wacana yang menarik untuk disimak. Dalam
tumpuan harapan yang begitu besar terhadap guru, sedangkan
jabatan itu sendiri belum menjamin kesejahteraannya, maka dapat
saja menimbulkan kegalauan yang bisa berujung pada stres. Oleh
karena itu guru atau siapa saja perlu secara dini mengetahui
bagaimana mengelola stres tersebut sehingga bernilai positif
sebagaimana dikemukakan dalam salah satu tulisan yang dimuat.
Guru tetap juga diharapkan kreatif dalam mewujudkan
pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan
dengan memanfaatkan tidak hanya sumber-sumber belajar yang
berteknologi tinggi, tetapi juga dengan mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber belajar yang sederhana dan berbasis
lingkungan. Berbagai kiat dapat dilakukan oleh guru dan kepala
sekolah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dengan
mendayagunakan sumber belajar yang berbasis lingkungan.
Walaupun hal ini bukan gagasan yang baru tapi tulisan yang
berkaitan dengan belajar berbasis aneka sumber dalam terbitan ini
dapat menggugah pendidik dan tenaga kependidikan
mengembangkannya di sekolah.
Masih terbatasnya karya tulis pendidik dan tenaga
kependidikan BPK PENABUR yang diterbitkan dalam edisi ini
merupakan salah satu gejala juga, perlunya meningkatkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
v
kemampuan menulis mereka. Oleh karena kemampuan menulis
sangat dekat dengan kemampuan membaca, kemampuan dan
kebiasaan membaca mereka juga nampaknya perlu
dikembangkan. Semakin banyak membaca akan memberikan
gagasan/ide untuk ditulis secara kreatif. Mudah-mudahan
dalam edisi yang akan datang tulisan-tulisan pendidik dan
tenaga kependidikan BPK PENABUR memenuhi Jurnal ini
sehingga sekaligus menjadi contoh yang dapat diteladani oleh
peserta didik BPK PENABUR.
Sampai edisi berikutnya!
vi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
Penelitian
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the
English Communication at IPEKA’s Schools
Kristina Setiawan*)
Abstrak
ulisan ini memaparkan tentang usaha-usaha sekolah nasional meningkatkan kemampuan bahasa
Inggris semua warga sekolahnya. Penelitian dilakukan di Sekolah IPEKA Pluit, Puri dan Sunter
Jakarta. Responden meliputi pimpinan yayasan, kepala sekolah, guru dan karyawan serta siswa
sekolah. Metode yang digunakan adalah wawancara yang dilakukan terhadap pimpinan yayasan
(kabid SDM dan Pendidikan), kepala sekolah, guru, karyawan serta siswa dan observasi langsung proses
belajar mengajar di kelas 8 SMPK IPEKA Pluit pada saat native speaker mengajar. Penelitian menunjukkan
bahwa kemajuan yang dicapai oleh warga sekolah dalam usaha berkomunikasi dengan bahasa Inggris didasari
oleh: 1) motivasi yang kuat. Motivasi ini terbentuk karena adanya kesadaran diri warga sekolah mengenai
pentingnya bahasa Inggris khususnya dalam era global saat ini. Dengan motivasi yang kuat, hambatanhambatan yang ada dapat disingkirkan. 2) Hadirnya native speaker secara rutin di sekolah dimaksudkan
untuk memberi kesempatan yang lebih besar dan membangun kepercayaan diri untuk berbahasa Inggris
secara benar dan lancar. 3) Pengontrolan kelas yang terdiri atas pendekatan guru kepada siswa dan pengelolaan
disiplin siswa. Kiranya tulisan ini dapat menjadi referensi bagi sekolah-sekolah nasional untuk memacu
warga belajarnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, karena kefasihan berbahasa asing
bukanlah monopoli sekolah-sekolah bertaraf internasional saja.
T
Key words: Motivation, teaching approach, classroom control
English as an international languange is very important as a means of communication in this global
age. However, the learning achievement of a big number of the students does not reach the required
standard. This research therefore, aimed at revealing the factors influencing The Efforts to Improve
the English Communication at IPEKA’s Schools. The research employed adescriptive method
research and was conducted at IPEKA Pluit, Puri and Sunter Jakarta. It describes the factors
influencing the national school’s effort to improve the English communication skills. The result of
this research : 1) motivation plays an important role in the participants’ willingness. 2) The native
speaker’s presence on a regular basis at school is meant to give greater opportunities to communicate
correctly and fluently. 3) Classroom controls: including teachers approach and maintaining
dicipline. May this article be useful for national schools in the effort to develop the English
communication skills.
Introduction
In this globalization era, English plays a very
significant role, especially because of its status
as the international language. When we master
English, we can be sure to be able to take part
actively in many national as well as international
events.
As one of the nations in the world, Indonesia
is also affected by the influence of globalization.
Therefore mastering the language is obligatory.
However, it is sad to find that even in big cities,
the use of English in a bigger portion is made
*) Directur International Training Centre Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
1
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
possible only in the national plus or international
schools. Regular national schools, both private
and public, face many challenges. English is
taught only by the Indonesian English teachers,
sometimes using Indonesian due to the students’
inadequate ability in English.
On the other side, there are quite many
Indonesian students who continue their study
in nearby countries such as Malaysia and
Singapore, because they believe that they can
improve their English skills better there and they
will be equipped to enter and compete in the
global working environment. The opportunities
to study abroad are available not only for
students who have enough financial support.
There are many scholarships offered by foreign
universities for students who have excellent
report and achievements. Some scholarships
programs are even given to Senior High School
students in grade 10 and 11. It means students
may be able to study abroad before they finish
high school.
Besides that, we also see that there are many
foreign universities in big cities as well as
universities that have cooperation with private
and public universities in Indonesia. In this
globalization movement, developing countries
are challenged to open themselves to develop
their quality in all areas, among others in
education. We can see that there are foreign
universities that have a joint cooperation with
Indonesian people. Some examples are: I E U, GS
FAME, Swiss German Univerity, and INTI
College.
Some local universities also have a joint
cooperation with overseas universities. They
operate in Indonesia but the modules, curricula
and some of the instructors come from the other
countries, such as: UKRIDA and Curtin
University in Australia.
There are many advantages when we master
English well. They are, among others: (1) the
opportunity to study abroad, (2) the opportunity
to participate in national and international
events, and (3) the opportunity to get a better job
in the country as well as in other countries.
Statement of The Problem
What factors influence to improve the
comunicative English of IPEKA’s Schools?
Objective of the research
This research is meant to give a description about
IPEKA School’s efforts to improve and increase
the English communication skill for their school
society.
2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Advantages of the research
The result of this research is expected to : (1)
present the basic essence of teaching a language
to non English speakers and the meaning of
communications in a classroom where English
is still a foreign language, (2) give inputs to the
management on how to continuously improve
the quality of the Intra Program, (3) give inputs
to the national schools how to increase the school
people’s English communication ability, and (4)
give inputs to the national school managements
on the factors that must be forced in order to
encourage the school society to be competent in
speaking English actively and how to create
conducive learning situations and to provide
necessary resources so that the school people are
willing and motivated to speak English.
Theories and Framework
There are three theories that are very important
to consider related to language learning. They
are : (1) motivation, (2) communication ability,
and (3) teaching Approach and Class Control
which include: teacher’s approach, discipline,
facilitating and encouraging the students to
speak English actively.
Motivation
To most people, the word “motivation” suggests
energetic behavior directed toward some goal.
Underlying this energetic behavior, there is some
kind of a need, want or desire. The term
“motivation” is also used as a synonym of
productivity. A person is motivated if he is doing
or exceeding what is expected of him (George H.
Litwin and Robert Stringer, 1968).
In Fight like a tiger win like a champion,
Darmadi Darmawangsa and Imam Munadhi
defined that the word “motivation” begins with
“mo” and ends with the word “ion”. The
combination of both becomes the word “motion”.
On the other side, the word “motivation” can
also be derived from two different words, that is
“motive” (a reason to do something) and “action”.
Therefore, it can be concluded that people who
have the motivation will move and make actions
to make their dreams come true (2006:117).
Communication Ability
Communication is the most vital aspect for every
human being to understand himself, others and
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
his environment. Communication is known not
only in the public relation activities. In fact, it
has a very wide horizon, in the trading and
education field as well as the in development of
a nation. The ups and downs of the values of
education and moral depends on the
communication among the individuals that live
in a specific community.
Communication is derived from two Latin
words “communio” or “common”. When we try
to communicate, it means we try to share
information, so that the sender and the receiver
have the same understanding about the given
message. Therefore, the essence of communication is finding and matching the receiver and
sender of a specific message.
Communication is considered effective if
there is a balance, togetherness, same case and
effort between the communicator and those who
receive the information. Communication is not
effective if the individuals are not in the same
level.
Teaching Approach
A good teaching approach which can be taken
into consideration must show a real result, that
is the students learn written English and have
the ability to speak actively. Because of that, the
English teaching should focus on the
participants (student centered) – the teacher has
to cultivate the students’ interests so that they
are willing to give their best effort to master the
language they are learning.
The students’ improvement in speaking and
listening can be achieved by increasing the
vocabularies and their understanding of a
particular language.
In her book Teaching English as A Second
Language, Mary Finocchiaro said: “Motivation
and interest are two crucial factors in language
learning.” However, we find in many cases that
the participants do not have personal interests
and motivation to learn the language and, even
though the lessons are delivered in a conducive
situation, it doesn’t last long. When they go home,
what they have learned at school has been
forgotten. There fore it is very important for a
teacher to ask the following questions : “What
can I do to make the English teaching lively and
enjoyable? And “Will a particular activity help
make the students improve their communicative
skills and develop their culture understanding?
The next thing is the importance of planning
a balanced program. A teacher has to facilitate
the students to be involved in integrated
activities. He/she has to ensure himself/herself
that the activities will make the participants feel
at ease. This brings a beneficial impact on how
to teach effectively as well as for the students to
hear directly from the native speaker of English.
A systematic planning will broaden the
participants’ horizon and involvement in
acquiring the English language.
Classroom Control
There are three indicators in class control, which
are as follows:
1. Teacher’s approach to the students
A good teaching approach which can be
taken into consideration must show a real
result, that is that the students have the ability
to speak actively. Because of that, the English
teaching should focus on the participants
(student centered) – the teacher has to
cultivate the students’ interests so that they
are willing to give their best effort to master
the language they are learning. The students’
improvement in speaking and listening can
be achieved by increasing the vocabularies
and their understanding of a particular
language.
In her book Teaching English as A Second
Language, Mary Finocchiaro says:
“Motivation and interest are two crucial
factors in language learning.” Therefore it is
very important for a teacher to ask the
following questions : “What can I do to make
the English teaching lively and enjoyable?
And “Will a particular activity help make
the students improve their communicative
skills and develop their culture understanding?
The next thing is the importance of planning
a balanced program. A teacher has to
facilitate the students to be involved in
integrated activities. He has to ensure himself
that the activities he does will make the
participants feel at ease. This brings a
beneficial impact on how to teach effectively
as well as for the students to hear directly
from the native speaker of English. A
systematic planning will broaden the
participants’ horizon and involvement in
acquiring the English language.
2. Maintaining Discipline
In his book Teaching English As A Foreign
Language,Bambang Setijadi explains that a
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
3
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
language teacher plays many roles in
Research Methodology
carrying out his/her duty. As a facilitator :
he/she becomes a model whom the students
can imitate. As an advisor, he/she responds 1. Object of The Research
The research was conduated done at IPEKA
to the problems that the students face without
(Iman, Pengharapan dan Kasih) Christian
making them feel judged and help them
Schools in Puri, Pluit and Sunter, as from
achieve what they want to learn. As an obserJuly through September 2008.
ver, a language teacher gives corrections
toward the students’ mistakes in using the 2. Methodology
language and asks them to improve them- The methodology is Descriptive Quantitative.
selves. As the source of knowledge and This approach is used for the following reasons:
direction, a language teacher establishes a 1. The researcher wants to know the actual
position of dominance over the learners in
situation in the schools through the interselecting the materials to learn an how to
view and observation activities.
acquire them. As an organizer in the 2. Library research which can give the
classroom, a language teacher maintains
fundamental theories to support this
discipline to the extent that an effective
research, such as theories related to learning
atmosphere is established. It can be done by
English, communication ability, teaching
approach and classroom management.
involving the learners more effectively in the
classroom activities that demand inter- 3. Documentation research which is given by
IPEKA Foundation, that describes IPEKA’s
student communication and co-operation
vision and mission, the foundation’s
efforts. The purpose of maintaining
statutes and rules of association as well as
discipline is that there is an effective learning
its working plan.
environment. Discipline can also be formed
The writer collected data (relevant facts and
by giving motivation and rules which are
agreed in the beginning of the program and information) regarding the efforts of IPEKA
repeated during the weekly lesson. If a leaders to motivate their school society to develop
student comes to an interesting class with a their skills in the English communication.
Upon receiving the data and information,
neat, friendly, smart and wise language
the writer analyzed systematically and
teacher, then he/she will have a strong
comprehensively in order that the data, facts and
motivation to learn the language.
information be useful to give a clear picture of
3. Facilitating and encouraging students to what was happening at IPEKA schools according
speak English actively.
to the time and situation when the research took
Understanding the dynamism of commu- place.
nication in the classroom is very important
because what the students say and do greatly 3. Unit of Analysis
influence what they learn. Therefore, a The interview was done toward : Representative
language teacher as a facilitator must have a of the Board (2 people), school principals (3
dominant control in the realization of the people), teachers and staff (22 people), students
communication process. He has to control ( 23 people).
how his students use the language he
teaches. “An
Tabel 1: Research Variable, Sub Variable, and Source of Data
o b v i o u s
enthusiasm for
No
Research Variable
Sub Variable
Source of Data
Number
English and
of people
E n g l i s h
1. Motivation
Description of IPEKA Board
2
learning is the
motivation
prerequisites
for a positive
2. The ability to use
Wishes
School Principals
3
classroom
Efforts
English correctly
atmosphere.
and fluently
Obstacles
Teachers and staff
22
Interesting
activities
Source : data processing
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Students
23
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
4 Data Collection
The writer used the qualitative method in
collecting the data and information through field
observation, interview, and documentation.
Data Analysis
Results of interview of the teachers and staff
who participated in the English class at IPEKA
Pluit, Sunter and Puri one as follows:
A What are the things that make teachers and
staff motivated to improve their skill in
communicating in English?
Based on the observation, we can see that
these people are encouraged to speak
English because of several reasons:
1. It is useful for their personal lives, in
communication in the work force as well
as in the social life among people.
It has become a demand, in which in this
globalization era, mastering English is
one of the keys to be successful.
2. Mastering English enables us to adjust
with the current needs, such as teaching
in schools, teaching our children and to
get more information.
3. There is a desire to go abroad.
B
Obstacles in the effort of developing the
people’s ability in English :
Result of the report :
Obstacles
Number of
Participants
Weak in grammar and
vocabularies
8 p eop le
Lack of confidence
5 p eop l e
Lack of motivation
3 p eop l e
Lack of opportunities to practice
the language
4 p eop le
Lack of need to use the language
3 p eop l e
Lack of resources
5 p eop l e
Interpretation:
Out of ten participants eight said that their
problem is with grammar and vocabularies and
three of them said that they lack of motivation.
This result is interesting as well as challenging.
The participants are aware of their obstacles but
their motivation to improve their English is
stronger than the obstacles they face. In fact, they
become enthusiastic in joining the English course.
They are also encouraged to use English in their
daily activities, both with their colleagues and
students. Those who are not so motivated can be
influenced by their other fellow teachers to attend
the course and be involved in the activities.
C
What activities are effective to increase their
communication skill?
1. Questions and Answers / Open Discussions
2. Grammar wrapped in the format of
conversations.
3. Educative games
4. Memorizing bible verses and praying in
English.
5. Watching movies and listening to
English songs.
Conclusion:
The principals, teachers and administration
staff have a strong motivation and self
confidence. Even though they find obstacles
in grammar and vocabularies, they still show
a great effort to improve their English
communication skills. This is also shown
by their good attendance. This situation
really helps to achieve the target of creating
English Environment.
Result of the interview of IPEKA Pluit and
IPEKA Puri Junior High School students:
A How beneficial is it to have a native speaker
at school?
22 students answered that the native
speaker program gives them many advantages, because:
1. They get an enjoyable learning environment.
2. They develop their self confidence.
3. They are used to communicating with a
native speaker of English.
4. They know other cultures.
5. They are able to speak with good
pronunciation and gradually to speak
it fluently.
6. They are able to listen to the native
speaker say the words in English.
7. They develop their vocabularies.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
5
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
Only one student said that the presence of a
native speaker does not really have any big
difference.
Interpretation:
The majority of the students get valuable
experiences in their English lesson because
they are used to hear and speak with the
native speaker. Their self confidence enables
them to participate in various competitions
and they are also able to express their
thoughts and ideas in English.
B
C
6
What obstacles do the students have in their
effort to improve their communication skill
in English?
1. Students have limited vocabularies and
they do not understand some expressions given by the native speaker.
2. The Native speaker speaks too fast.
3. Students feel shy or they cannot speak
the language at all.
4. They are weak in grammar as well as in
using the tenses in various situations.
5. They have no partner to chat in English.
6. Some students do not really like English.
7. Their daily environment (home, neighborhood) are not active in using
English as a means of communication.
The students have had native speakers since
they enter Junior High. Therefore they find
some obstacles in their English learning with
the native speaker. The biggest concern is
when students themselves do not really like
English, because it can make them not
willing to participate. This situation can
spread a negative influence for other
students. The other obstacles can be
handled because as time goes, students get
used to having a native speaker.
What classroom activities are effective to
improve their English communication
ability?
1. Speaking in English at least during the
lessons with the native speaker.
2. Group works
3. Learning English through games, songs,
films.
4. Conducting speaking and listening
quizzes so that the students and teachers
are aware of their communication
ability.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
5. Making a mini dictionary to record new
words and their meaning.
In order to avoid boredom, students are given
various activities and assignments. These
activities are focused mainly to develop the
students’ speaking and listening skills. In a
regular lesson, the time is spent mostly to
speak individually or in groups. This way
students get used to using English at least
with the native speaker and in the long run,
they don’t have any doubt to speak English
with other people.
Conclusion and Suggestions
Conclusion
Referring to the result of the research, the theories
as well as the case and objective of the research,
the writer therefore would like to make the
following conclusion:
1. The strongest motivation comes from the
inner heart – it does not depend on incentive/pleasure or pain/fear. Inner motivation
will bring the best reasons why we do
something.
2. The interviews and observation among the
school principals, teachers and staff show
that they have a strong inner motivation to
improve their ability in speaking English.
They actively and willingly follow the
English training program provided by
IPEKA foundation, in a cooperation with
International Training Center (INTRACT).
3. A language, especially the foreign one, must
be used continuously. If we do not use a
certain language, we will forget it. We can
find more opportunities of using the
language when we know the benefits of
mastering that language.
4. IPEKA Puri dan Pluit policy to facilitate their
students with a native speaker program is a
wise decision in the optimum effort of giving
native speaker exposure to the students. The
presence of a native speaker provides new
knowledge and experience about a foreign
language and culture. They will also be
trained to produce good and exact
pronunciation. Even though the time
allocation is not suitable due to the expensive
cost of the program, the native speaker’s
attendance every week will still be able to
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
5.
give a positive impact, because this teaching
learning process is like sowing seeds – they
need time to grow before the sower yields a
good harvest.
The success of a learning process does not
depend only on the native speakers who
come regularly to school but also on a good
facility provided by the school, such as: audio
visual equipment in every classroom, a
language laboratory to sharpen the listening
skill, internet service, more English books in
the library, competitions in English, et cetera.
Suggestions
Referring to the above conclusion, the writer
would like to give the following suggestions:
1. The school management should maintain
the level of inner motivation that IPEKA
school people already have by providing fun
activities, some can be done randomly, such
as a book review competition in English. The
winners will get extra incentive. They must
do these activities now so that in 2012 all
school people are still motivated to
communicate in English, among teachers,
staff and students.
The foundation should make different levels
between teachers who can speak English
and those who cannot speak English. By
doing so, teachers who are still weak are
willing to improve their ability.
2. Because presenting a native speaker to teach
at school is not cheap, while the need of
speaking English has become compulsory
in order to participate in the global world,
therefore school managements should think
of other ways of mastering the language.
Even though they cannot afford having a
native speaker at school, their school people
can still develop their English
communication ability.
Some suggested activities are:
a. Working together with other schools in
the same region to have activities in
English
such
as
discussion,
competitions (story telling, speech
contest).
b. Providing an English training for some
teachers who have a good foundation of
English. They are expected to train other
teachers. After a certain period, all
3.
4.
teachers can make an English Club that
meets on a certain day every week.
c. Providing audio visual and English CDs
that teachers and students can use.
d. Buying English books (new or second
hand) to add the number of books in the
library.
e. Having a guest native speaker to visit
the school. The principal can contact
various organizations like the English
speaking churches, social clubs like
ANZA (Australia New Zealand
Association), AWS (American Women
Society), or through internet providers
such as friendster, face book, et cetera.
Maximizing the use of English every day by
using it in our daily activities such as:
answering phone calls, simple conversations like: greetings, introducing oneself
and others, saying thank you, borrowing
and returning things, reminding others,
inviting or rejecting invitation, giving
information, et cetera
Reading English articles or English Bible
and devotional books according to each
person’s ability because through reading our
vocabularies will increase.
Bibliography
Brindley, Susan (1994). Teaching english. London:
The Open University
Darmawangsa, Darmadi and Imam Munadhi
(2006). Fight like a tiger win like a
champion.
Jakarta:
Elexmedia
Komputindo.
Finocchiaro, Mary (2002). Teaching english as a
second language. London: The British
Institute
Graddol, David (1997). The future of english.
London: The British Council.
Harmer, Jeremy (2002). The practice of english
language teaching. England: Longman
Haykin, Simon (1994). Communication systems.
Canada: John Wiley & Sons Pte. Ltd.
Johnson, Karen E. (1995). Understanding
communication in second language
classroom. New York: Cambridge University Press
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
7
Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication
Littlewood, William (1981). Communicative
language teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Litwin, George H. and Robert A. Stringer Jr.
(1968). Motivation and organizational
climate. Boston: Division of Research
Owen, James L., et all (1976). Communication in
organizations. United States of America :
West Publishing Co.
Riddell, David (2001). Teaching english as a foreign
language. London: Hodder Headline
Ltd.
8
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Setiyadi, Bambang (2006). Teaching english as a
foreign language. Jakarta: Penerbit Graha
Ilmu
Siahaan, S.M. (1991). Komunikasi, pemahaman dan
penerapannya. Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Timpe, A. Dale (1987). Motivation of personnel.
New York: Kend Publishing Inc.
Wajnryb, Ruth (1992). Classroom observation tasks.
Glasgow: Bell and Brain Ltd.
Yukl, Gary (2002). Leadership in organizations.
New Jersey: Prentiss Hall
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
Opini
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SD
Gusti Yarmi*)
Abstrak
ulisan ini berawal dari berbagai masalah yang dihadapi guru dalam membelajarkan
siswanya sehingga memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Secara khusus dibahas
pendekatan Whole Languange dan strategi pembelajaran menyimak, berbicara, membaca,
menulis serta apresiasi seni. Pendekatan dan strategi ini diharapkan dapat membantu
guru membelajarkan siswanya khususnya di SD.
T
Kata kunci: Pendekatan Whole Language, kemampuan berbahasa, strategi pembelajaran, keterbacaan.
As many teachers face some problems in teaching languange skills to the students, this article offers Whole
Language approach and instructional strategies in teaching languange to the students of early grades in
primary school. Havingconducted a through study, the writer believes that the approach and strategies
discuccced in this article will help the teachers to solve the problems ini languange teaching.
Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan di tingkat Sekolah
Dasar (SD) secara realitas dapat dikategorikan
kedalam dua kelompok kelas, yaitu kelas-kelas
awal dan kelas-kelas lanjutan/tinggi. Secara
hukum berdasarkan ketentuan Kurikulum
Berbasis Kompetensi 2004, yang dimaksudkan
dengan kelas awal/rendah adalah kelas 1 dan
2, sedangkan kelas tinggi adalah kelas 3 sampai
kelas 6. Pengelompokan kelas tersebut, memiliki
implikasi yang luas baik dalam tataran
pertimbangan usia, muatan materi, maupun
pendekatan pembelajarannya. Dalam kaitannya
dengan muatan materi yang ada hubungannya
dengan wacana, kecerdasan ada tiga “R” yaitu
Reading, Writing, dan Arithmetics (Baca, Tulis,
Hitung) yang merupakan tujuan utama kelas 1
dan 2 yang perlu dikuasai oleh peserta didik.
Sesuai dengan judul, tulisan ini bertujuan
untuk, membahas secara lebih mendalam dua
model pendekatan pembelajaran bahasa
Indonesia yang biasanya dipergunakan di
kelas-kelas awal SD yaitu, pertama, pendekatan
Whole Language dan lima strategi pada kelaskelas awal di SD.
Pembahasan
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang
pendekatan Whole Language itu, ada baiknya
dipelajari terlebih dahulu pengertian pendekatan
itu sendiri. Pendekatan dalam bahasa Inggris
disebut approach . Anthony (1965:5) menyatakan
bahwa “... an approach is a set of correlative
assumptions dealing with the nature of language and
the nature of the language teaching and learning”.
Definisi itu menunjukkan, pendekatan adalah
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
9
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
tingkat asumsi atau pendirian mengenai bahasa
atau pembelajaran bahasa. Sifat suatu pendekatan adalah aksiomatik, yakni bersifat pasti tak
perlu diragukan atau diuji lagi kebenarannya.
Pendekatan menunjukkan suatu pandangan,
suatu filsafat yang dipercayai, tetapi tidak selalu
bisa dibuktikan. Bisa tidaknya suatu pendekatan
disanggah hanya dapat dilakukan berdasarkan
metode yang tumbuh dari pendekatan itu.
Berikut ini adalah beberapa pendekatan yang
dikenal dalam pembelajaran bahasa.
sebuah penelitannya bahwa anak-anak
terlibat secara aktif dalam memahami
dunianya dan berusaha mencoba menjawab
berbagai pertanyaan dan memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapinya
(Goodman, 1989). Lebih lanjut Piaget
menjelaskan bagaimana anak-anak
memahami suatu konsep, ide, dan moral.
Seorang anak tidak menunggu seseorang
untuk menyalurkan pengetahuannya
kepada mereka, tetapi mereka belajar
melalui aktivitas dan keterlibatan mereka
dengan objek-objek di luar dirinya dan
menyusun kategori-kategori pemikiran
mereka sendiri sementara mereka
mengorganisasikan dunianya. Anak-anak
berusaha untuk mengembangkan konsepkonsep mereka sendiri, yang kadangkala
terlihat aneh menurut jalan pikiran orang
dewasa.
Para penganut Whole Language juga
mengakui adanya perbedaan di antara
siswa, dilihat dari segi budaya, sistem nilai,
pengalaman, kebutuhan, minat, dan
bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut
bersifat personal sebagai refleksi dari
keberagaman manusia, juga bisa bersifat
sosial sebagai refleksi dari suku, budaya,
dan sistem budaya dari kelompok sosial di
mana siswa berada. Oleh karena itu, guru
di kelas-kelas Whole Language menghargai
perbedaan di antara siswa. Di kelas-kelas
Whole Language siswa diberi kewenangan
untuk bertanggung jawab terhadap apa
yang mereka pelajari dan mendapat
dukungan penuh dalam mengembangkan
dan mencapai tujuan pembelajarannya.
Pendekatan dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia di SD
Pendekatan Whole Language
Whole Language adalah cara berpikir mengenai
bagaimana siswa belajar bahasa, baik lisan
maupun bahasa tulis. Whole Language adalah
dua kata yang telah mejadi simbol munculnya
sebuah gebrakan yang mampu mengubah
kurikulum seantero dunia. Dua kata yang telah
memunculkan berbagai definisi dan juga reaksi
yang hebat. Dua kata yang memiliki segudang
makna (Watson, 1989). Bukan hanya para guru
atau pendidik saja yang memperbincangkannya,
para administrator dan para peneliti pun tiada
henti mendiskusikannya, melakukan berbagai
penelitian, dan menulis berbagai artikel untuk
merumuskan konsep Whole Language. Oleh
karena itu, wajarlah jika terdapat berbagai
variasi pendapat tentang konsep Whole Language
yang dicetuskan oleh para ahli selaras dengan
bidangnya masing-masing. Namun dari
berbagai variasi tentang konsep Whole Language
tersebut pada dasarnya adalah ada beberapa
karakteristik pokok yang mendasari pengembangan konsep Whole Language, seperti
dikemukakan oleh Goodman (1986) dan
Newman (1985) berikut.
a. Whole Language
adalah sebuah
pandangan positif tentang siswa
Konsep Whole Language beranjak dari
pernyataan Dewey tentang hakikat siswa.
Para penganut Whole Language berpendapat
bahwa siswa memiliki kekuatan,
kesanggupan, dan keinginan untuk belajar.
Siswa adalah pribadi yang kreatif, mampu
menyusun, menciptakan dan menemukan
pemecahan terhadap berbagai persoalan
secara aktif jika mereka diberi kesempatan
untuk melakukan aktivitas tersebut selaras
dengan kemampuannya. Piaget dan kawankawannya telah membuktikan dalam
10
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
b.
Whole Language memberikan penegasan
tentang peran guru dalam proses
pembelajaran
Para guru penganut Whole Language menerima pandangan bahwa guru sebagai
mediator yang menyediakan fasilitas
kepada siswa dalam melaksanakan
transaksi dengan dunia luar. Para guru
adalah tenaga profesional yang memahami
kondisi siswa, teori belajar, dan kegiatan
belajar-mengajar. Mereka mendukung
kegiatan pembelajaran tetapi mereka tidak
bertindak sebagai pengontrol dalam
pembelajaran. Mereka dengan tegas
menolak definisi yang menyatakan bahwa
guru adalah teknisi yang mengelola berbagai
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
macam teknologi untuk disajikan kepada
siswa (Goodman, et. al, 1988). Meskipun
para guru di kelas-kelas Whole Language
adalah fasilitator yang bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan para siswa, namun
mereka tetap memiliki kewenangan dalam
merencanakan mengorganisasikan dan
memilih sumber-sumber belajar yang
diperlukan oleh siswa.
Di kelas-kelas Whole Language, guru
mengajar dengan dan dari siswa. Guru
tidak hanya menyampaikan pengetahuan
kepada siswa tetapi juga bersama-sama
dengan siswa memecahkan berbagai
persoalan dan mencari jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan. Para guru penganut Whole Language menolak model-model
pengajaran efektif yang bersifat membatasi
karena mereka memandang bahwa
mengajar jauh lebih kompleks dan
komprehensif dari sekedar menerapkan
model-model tertentu.
b.
Whole Language memandang bahasa
sebagai pusat pembelajaran
Keberadaan bahasa disebabkan oleh dua
alasan. Pertama, karena manusia sanggup
berpikir secara simbolik, mereka mempresentasikan sesuai dengan sesuatu yang lain,
mereka mampu menciptakan sistem-sistem
semiotik. Kedua, karena manusia adalah
makhluk sosial yang menggunakan bahasa
sebagai sarana komunkasi dalam kehidupannya. Komuikasi sosial antar manusia
memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Dengan dua
alasan tersebut, jelaslah bahwa bahasa bagi
manusia adalah pusat komunikasi dan
berpikir. Belajar bahasa sebagai “belajar
bagaimana memaknai” karena dalam
proses belajar bahasa, manusia mempelajari
makna sosial bahasa yang dihadirkannya
(Halliday 1973).
Selain itu, Halliday menambahkan bahwa
baik di dalam maupun di luar lingkungan
sekolah, bahasa lisan maupun tulis akan
lebih baik dan lebih mudah dipelajari dalam
aktivitas berbahasa yang otentik dan dalam
peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi
bahasa yang sesungguhnya. Dengan alan
ini maka Whole Language program menolak
pandangan bahwa perkembangan bahasa
berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini
berlaku juga untuk aktivitas membaca dan
menulis permulaan.dalam Whole Language
program, pemgajaran membaca, menulis,
berbicara, dan menyimak tidak terpisah
tetapi terpadu.
c.
Whole Language menerapkan kurikulum
ganda
Halliday (1973) menyimpulkan bahwa
sesungguhnya belajar melalui bahasa
sementara kita belajar bahasa. Kesimpulan
inilah yang mendasari penyusunan
kurikulum Whole Language, yaitu kurikulum
ganda, setiap aktivitas, pengalaman, atau
unit memiliki kesempatan dalam
pengembangan linguistik dan sekaligus
kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang,
namun pada saat bersamaan pengetahuan
dan konsep dikembangkan dan skema
dibangun.
Para guru penganut Whole Language menggunakan unit tematik untuk menerapkan
penggunaan kurikulum ganda. Mereka
bertindak sebagai “pengamat anak-anak”,
memonitor perkembangan bahasa anakanak pada saat anak-anak atau siswa
memecahkan persoalan atau menjawab
berbagai pertanyaan. Sebenarnya ini bukan
hal baru dalam dunia pendidikan karena
Whole Language hanya menegaskan kembali
konsep “belajar sambil bekerja” yang
dikemukakan oleh Dewey dan Metode
Proyek yang dikembangkan oleh William
Heard Kilpatrick (dalam Goodman, 1991).
Namun, para penganut Whole Language
memperbaruinya dengan keotentikan,
pilihan siswa, dan kolaborasi merupakan
hal-hal yang sangat mendasar. Dan istilah
Whole Language itu sendiri memiliki dua
makna, yakni tidak dapat dibagi/ tidak
terpisah, dan terpadu.
d.
Perbedaan Pembelajaran Bahasa
denganWhole Language
De Carlo dalam (Dimyati, 1995) menunjukkan perbedaan Whole Language dan
bukan Whole Language. Perbedaan tersebut
dapat ditinjau dari segi dasar filosofi tentang
anak dan bahasa, penelitian pendukung,
bagaimana anak belajar bahasa, lingkungan kelas, perilaku guru, perilaku siswa.
Dalam Whole Language siswa membutuhkan
waktu lama untuk mempraktekkan membaca dan menulis melalui pengalaman yang
menyenangkan. Mereka juga membutuhkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
11
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
kebebasan berbuat salah dan belajar dari
kesalahan
Karena Whole Language guru mengerti
bagaimana siswa belajar bahasa.
Elemen-elemen dalam penerapan Whole
Language adalah sebagai berikut.
a. Siswa-siswa di kelas Whole Language
1. Maju melalui pengembangan
langkah-langkah yang sesuai
dengan perkembangan.
2. Dilibatkan dalam interaksi sosial
sehari-hari.
3. Berbagai respon untuk pembelajaran mereka
4. Merasa nyaman “mencoba” dan
mempraktekkan bacaan dan tulisan.
5. Menilai kemajuan mereka sebagai
bagian alami dari semua pengalaman belajar.
b. Guru–guru di kelas Whole Language
memandang siswa berkemampuan:
Guru menjadi pengamat, pembelajar
dan bekerja sama selama mereka (guruguru) berinteraksi dengan siswa; guru
mendemontrasikan model membaca
dan menulis; guru melayani sebagai
fasilitator untuk belajarnya siswa lain;
dan guru memberikan siswa rincian,
dan umpan balik positif.
c. Intruksi di kelas Whole Language: Guru
membaca dan menulis melalui pengalaman baca dan tulis yang otentik;
guru berasumsi bahwa isi dan proses
belajar sama pentingnya; guru menerapkan kegiatan kelas sebagai pusat
pembelajaran yang menyenangkan;
guru menyediakan bahan bacaan
berkualitas untuk mendorong pengembangan literature; dan guru memiliki
kekuasaan terhadap keberhasilan siswa
melalui hak milik dan pilihan
d. Kegiatan bahasa yang dilakukan dapat
merupakan kegiatan lisan (menyimak
dan berbicara) dan kegiatan tertulis
(membaca dan menulis).
e. Pembelajaran Whole Language
Keterampilan berbahasa dan komponen
bahasa seperti tata bahasa dan kosa kata
disajikan secara utuh dan bermakna.
Pendekatan Whole Language didasari
oleh paham constructivism yang menyatakan bahwa anak/siswa membentuk
sendiri pengetahuannya melalui peran
aktifnya dalam belajar secara utuh dan
terpadu. Fungsi guru dalam kelas Whole
12
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
f.
Language berubah dari desiminator
informasi menjadi fasilitator.
Komponen Whole Language
Menurut Routman (1991) dan Frosse
(1991) ada 8 komponen Whole Language
yaitu:
1. Reading Aloud
Reading Aloud adalah kegiatan
membaca yang dilakukan oleh guru
untuk siswanya. Guru dapat
menggunakan bacaan yang terdapat
dalam buku teks atau buku cerita
lainnya dan membacakannya
dengan suara keras dan intonasi
yang baik sehingga setiap siswa
dapat mendengarkan dan menikmati cerita. Manfaatnya adalah
meningkatkan minat baca pada
anak.
2. Journal Writing
Bagi guru yang menerapkan
pendekatan Whole Language menulis
jurnal adalah komponen yang
mudah diterapkan. Jurnal merupaka
sarana yang aman bagi siswa untuk
mengungkapkan perasaannya.
3. Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading adalah
kegiatan membaca dalam hati yang
dilakukan oleh siswa. Dalam
kegiatan ini siswa diberi kesempatan
untuk memilih sendiri buku atau
materi yang akan dibacanya. Biarkan siswa untuk memilih bacaan
yang sesuai dengan kemampuannya
sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut.
4. Shared Reading
Shared Reading ini adalah kegiatan
bersama antara guru dan siswa,
dimana setiap orang mempunyai
buku yang sedang dibacanya. Ada
beberapa cara melakukan kegiatan
ini yaitu :1) Guru membaca dan
siswa mengikutinya. (untuk kelas
rendah); 2) Guru membaca dan
siswa menyimak sambil melihat
bacaan yang tertera pada buku; 3)
Siswa membaca bergiliran.
5. Guided Reading
Guided Reading disebut juga membaca terbimbing, guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca
membimbing penekanan bukan
dalam membaca itu sendiri tetapi
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
6.
7.
8.
9.
lebih membaca dalam pemahaman.
Dalam pembelajaran melalui Guided
Reading semua siswa membaca dan
mendiskusikan buku yang sama.
Guided Writing
Guided Writing yaitu menulis
terbimbing, guru berperan sebagai
fasilitator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya
dan bagaimana menulisnya dengan
jelas, sistematis dan menarik.
Independent Reading
Independent Reading atau membaca
bebas adalah kegiatan membaca,
dimana siswa bekesempatan untuk
menentukan sendiri materi yang
akan dibacanya. Siswa bertanggung
jawab terhadap bacaan yang
dipilihnya sehingga peran guru
berubah dari pemrakarsa, model
dan pemberi tuntunan menjadi
seorang pengamat, fasilitator dan
pemberi respon.
Independent Writing
Yaitu menulis bebas bertujuan un-tuk
meningkatkan kemampuan menulis,
meningkatkan kebiasaan menulis,
dan meningkatkan kemam-puan
berfikir kritis dalam menulis bebas.
Ciri-ciri kelas Whole Language
Ada tujuh ciri yang menandakan
kelas
Whole Language yaitu :
Kelas penuh dengan cetakan.
Barang tersebut tergantung di
dinding.
Siswa belajar melalui model atau
contoh.
Siswa bekerja dan belajar sesuai
dengan tingkat kemampuannya
Siswa berbagi tanggung jawab
dalam pembelajaran
Siswa terlibat secara aktif dalam
pembelajaran bermakna
Siswa berani mengambil resiko dan
bebas bereksperimen
Siswa mendapat umpan balik
positif baik dari guru maupun
temannya.
Strategi Pembelajaran
Menyimak di SD
Tujuan Pembelajararan Menyimak di SD
Menyimak merupakan keterampilan berbahasa
yang pertama kali dikuasai oleh manusia
sebelum menguasai keterampilan berbicara,
membaca, dan menulis. Ahli perkembangan
anak menyatakan bahwa ketika anak baru lahir,
komunikasi pertama yang dikuasainya adalah
mendengarkan. Anak mendengar ibunya
mendendangkan lagu, mendengar ibunya
menimang-nimangnya, juga mendengar ibunya
berbicara dengan ayahnya atau dengan orang
lain. Setelah itu anak mulai menirukan ucapanucapan yang biasa diucapkan orang dewasa di
sekitarnya.
Menyimak merupakan keterampilam
berbahasa lisan. Kemampuan berbahasa lisan
anak akan terus berkembang dan berlanjut
sampai dia masuk sekolah, bahkan sampai dia
dewasa. Perkembangan sangat ditentukan oleh
lingkungannya. Di Indonesia sebagian besar
bahasa lisan yang digunakan anak adalah
bahasa daerah. Anak berkembang dalam bahasa
daerah, sehingga kekayaan kosa kata dan
pengetahuan tentang aturan bahasa yang
diperolehnya adalah dalam bahasa daerah.
Ketika anak mulai bersekolah di sekolah
dasar, mereka harus menggunakan bahasa
Indonesia untuk berkomunikasi. Bahkan belajar
membaca dan menulis dilakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Sementara
kosa kota yang dikuasai mereka adalah bahasa
daerah. Oleh karena itu, sejak anak masuk
sekolah dasar, guru mulai membiasakan siswa
mendengarkan dan bercakap-cakap dalam
bahasa Indonesia, sehingga pengayaan kosa
kata dan pengenalan aturan berbahasa
Indonesia cepat dapat dilakukan.
Menyimak sebagai salah satu aspek
keterampilan berbahasa memiliki tujuan untuk
memperoleh informasi, menangkap isi serta
memahami makna komunikasi yang hendak
disampaikan oleh pembicara melalui ujaran.
Tujuan pembelajaran menyimak ialah
memperkaya kosa kata anak sehingga membantu
siswa ketika belajar membaca dan menulis.
Pelajaran menyimak oleh kebanyakkan
guru dianggap tidak perlu diajarkan karena
sudah implisit ke dalam ketiga komponen
keterampilan bahasa yang lain. Ada juga
beranggapan bahwa “mendengar” atau
“menyimak” adalah suatu yang bersifat refleksif
seperti hanya dengan “bernafas”. Jadi menyimak
adalah sesuatu yang sudah dengan sendirinya
berjalan, bergerak, dan tidak perlu diajarkan.
Namun dipihak lain, mengemuka juga
pendapat, menyimak perlu diajarkan karena
tanpa kemampuan menyimak tidak akan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
13
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
mungkin di peroleh keterampilan yang lain.
Menyimak pada dasarnya adalah keterampilan
dasar yang mendasari keterampilan yang lain
(membaca, menulis, berbicara).
Peranan Guru dalam Meningkatkan
Kemampuan Bahasa Lisan
Sejalan dengan tuntutan pembelajaran dengan
pendekatan yang berpusat pada siswa dalam
pembelajaran menyimak, guru dituntut untuk
memberi peluang kepada siswa untuk
mengungkapkan pendapat dan perasaannya.
Fenomena selama ini, pembelajaran cenderung
didominasi oleh guru. Guru lebih banyak
berbicara dan anak lebih banyak mendengarkan
baik dalam kegiatan klasikal maupun kelompok.
Pemberian kesempatan kepada siswa untuk
saling menyampaikan pendapatnya secara lisan
dalam bentuk diskusi sangat besar artinya.
Kesempatan ini juga dapat merupakan latihan
untuk siswa mengemukakan kritik yang
kontsruktif. Kritik yang konstruktif, yang
mengandung suatu pemecahan masalah harus
disampaikan secara sopan. Yang menerima
kritik perlu bersikap terbuka agar dapat
memanfaatkan kritik yang konstruktif tersebut.
Suasana demikian ini diharapkan dapat
menimbulkan sikap tenggang rasa dan saling
menghormati.
Keberhasilan suatu pembelajaran menyimak
bergantung pada adanya dua kondisi. Pertama,
guru memberikan teladan sebagai penyimak
yang kritis dan pembicara yang efektif dan
menggunakan strategi yang efektif pula. Kedua,
setiap siswa yang berpartisipasi dalam diskusi
memiliki informasi tertentu yang akan
disampaikan kepada teman-temannya. Saling
memberikan dan menerima informasi, pendapat,
atau gagasan merupakan faktor utama untuk
mencapai keberhasilan dalam diskusi. Siswa
juga perlu memberikan dan menerima saran.
Materi Pembelajaran Menyimak
Agar anak mudah memperoleh kemampuan
berbicara dan mendengarkan dalam bahasa
Indonesia, sebaiknya kegiatan pembelajaran
diurutkan sesuai dengan kemampuan anak,
yaitu dari yang sangat sederhana sampai dengan
yang agak sulit.
Berikut ini urutan kemampuan berbicara
dan mendengarkan beserta dengan contoh
pembelajaran yang dapat dilatihkan guru di
kelas melalui kegiatan informal dan melalui
permainan.
14
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Sebagai salah satu contoh pengajaran
menyimak di sekolah dasar diarahkan pada
materi dan bentuk pengajaran sebagai berikut.
1. Membiarkan/menyuruh siswa menutup
mata lalu menundukkan kepalanya di atas
meja, kemudian mereka disuruh membedakan bunyi (meraut pensil, mendorong
kursi, membuka pintu, membalik buku, dan
lain-lain).
2. Mengajarkan kepada siswa bagaimana
menerima pesan telepon secara singkat.
3. Membacakan paragraf pendek tentang ilmu
pengetahuan. Kemudian ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang apa, siapa, mengapa,
dan bagaimana.
4. Pada pelajaran bahasa Indonesia anak usia
jenjang sekolah ini perlu mendapat latihan
mengucapkan bunyi-bunyi vokal dan
konsonan, seperti ucapan :
a+i
= ai
pan - tai
se - lai
te - ra - tai
la - lai
ke - de - lai
se - ru - nai
a + u = au ka - lau pu - lau me - ran - tau
si - lau ge - mi - lau
ha - ri – mau
5.
6.
7.
8.
Vokal-vokal tersebut harus diucapkan jelas
dengan membuka mulut dan membentuk
mulut sebaik-baiknya, sesuai dengan bunyi
yang keluar dari artikulator secara wajar.
Guru, sebagai model penutur harus mampu
membuat tutur yang jelas dan betul.
Pelajaran dikte sangat memerlukan ucapan,
pelafalan yang jelas, pelan, berulang-ulang
(tiga kali ucapkan sudah cukup, untuk
melatih terampil dan tertib) kemudian ditulis
kata, kelompok kata atau kalimat tersebut.
Guru bercerita, siswa mendengarkan
dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru
menanyakan hal-hal yang benar-benar
menarik minat siswa dalam isi cerita.
Bermain berbisik. Pelajaran ini ingin
meningkatkan kemampuan mendengar
siswa. Kegiatan mendengarkan memerlukan
konsentrasi dan pemahaman yang tinggi.
Siswa dapat diatur dalam sesuatu deretan
atau bebas untuk duduk dengan memperhatikan giliran yang sudah diatur sebelumnya. Permainan ini dapat berupa sebuah
kompetisi berhadiah nilai atau pujian yang
berupa motivasi intrinsik.
Bermacam-macam pertanyaan tiruan bunyi
binatang dapat diberikan untuk melatih
mendengarkan cermat.
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
Metode dan Teknik dalam Pembelajaran
Menyimak
Sebenarnya masih dapat dibuat variasi pertanyaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
siswa. Lain daripada itu guru perlu pula
memperhatikan langkah-langkah dalam
pelajaran menyimak sebagai berikut.
1. Menentukan makna
Hal ini penting karena tanpa adanya
penjelasan guru, mungkin siswa tidak akan
menangkap dan memahami apa yang
didengarnya.
2. Memperagakan ekspresi
Setelah guru menentukan makna, maka
diulang beberapa kali. Pertama guru berada
di depan kelas, dan selanjutnya bergerak ke
kiri dan ke kanan agar semua siswa dapat
melihatnya.
3. Menyuruh mengulangi
Siswa menirukan apa yang disebutkan oleh
guru sambil melakukan suatu gerak atau
menunjuk suatu gambar.
4. Memberikan latihan ekstensif
Guru dapat menggunakan berbagai cara
misalnya, dengan drill (mengulangi kata dan
ekspresi yang telah diajarkan dalam situasi
yang terbatas, dan dengan kata serta struktur
yang terbatas).
Apalagi kalau siswa diberi kesempatan
memanipulasi atau mengeksplorasi media.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena
kemampuan berpikir dan kreativitas siswa
berkembang. Dengan demikian dominasi guru
dalam proses pembelajaran dapat diminimalisasi, sehingga pembelajaran yang berpusat
pada anak dapat diujudkan.
Jenis media atau alat peraga yang dapat
digunakan dalam pembelajaran bahasa termasuk menyimak beraneka ragam. Alat peraga atau
media untuk mata pelajaran lain dapat
digunakan dalam pembelajaran bahasa. Oleh
karena kegiatan menyimak melibatkan alat
auditori siswa, alat yang dipilih harus
disesuaikan.
Strategi Pembelajaran
Membaca di SD
Pada skema di bawah terlihat, di kelas I dan II
pelajaran membaca ditekankan pada mekanisme, artinya mengubah lambang-lambang
tertulis menjadi bunyi-bunyi atau suara-suara
yang bermakna, sedangkan di kelas III sampai
kelas VI pelajaran membaca lebih ditekankan
pada kegiatan membaca lanjut mulai dari teknik
membaca, membaca dalam hati, membaca cepat,
membaca bahasa dan membaca indah.
I. Membaca Permulaan
(Kelas I,II )
Membaca di SD
II Membaca Lanjut
(Kelas I,II )
Media dan Bahan Pembelajaran Menyimak
Media memegang peran penting dalam proses
pembelajaran. Ada dua fungsi utama media
dalam pembelajaran. Pertama, media berfungsi
untuk memudahkan penyampaian konsep atau
materi. Terutama bagi siswa kelas awal yang
dari segi perkembangan kognitif manurut Piaget
masih berada pada tahap pra operasional
konkret sangat memerlukan media dalam
pembelajaran. Dengan media, siswa dapat
memahami sesuatu yang abstrak menjadi lebih
konkret. Kedua, dengan penggunaan media
proses pembelajaran lebih menarik bagi siswa.
-
Membaca Teknik
(Nyaring)
-
Membaca Teknik
Membaca Dalam Hati
Membaca Cepat
Membaca Bahasa
Membaca Indah
Berikut dijelaskan satu persatu dari jenisjenis membaca yang diajarkan di Sekolah Dasar.
Membaca Teknik
Membaca teknik pada prinsipnya sama dengan
membaca nyaring. Dikatakan membaca nyaring
karena kegiatan membaca ini dilakukan dengan
vokalisasi. Banyak para ahli menyatakan akan
pentingnya membaca nyaring. Seperti dikemukakan oleh Cox (1999) bahwa membaca nyaring
untuk siswa yang dilakukan setiap hari
merupakan sesuatu yang penting untuk mengajar mereka menyimak, berbicara atau menulis.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
15
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
Orang tua yang membacakan cerita untuk anakanaknya ternyata anak-anaknya memperoleh
perkembangan bahasa yang baik melalui
perkembangan kosa kata, semangat membaca
yang tinggi, dan akhirnya berhasil membaca
permulaan ketika mereka telah memasuki
sekolah. Membaca teknik ini merupakan kegitan
membaca yang menekankan pada penguasaan
berikut.
1. Penguasaan lafal, yang baik dan benar.
2. Pengusaan jeda, lagu, dan intonasi yang
tepat.
3. Pengusaan tanda-tanda baca.
4. Pengusaan mengelompokkan kata/ frase ke
dalam satuan-satuan ide.
5. Pengusaan menggerakan mata dan
memelihara kontak mata.
6. Penguasaan berekspresi.
Ada beberapa perbedaan pokok antara
membaca teknik dan membaca dalam hati.
1. Membaca teknik sudah bisa dimulai saat
siswa masih duduk di kelas satu, sedangkan
membaca dalam hati baru bisa diberikan
guru pada anak kelas tiga.
2. Membaca teknik lebih banyak diberikan
kepada siswa yang masih duduk dalam
taraf belajar membaca, sedangkan membaca
dalam hati disiapkan untuk orang-orang
dewasa.
3. Membaca teknik memerlukan mulut sebagai
sarana penghasil suara di samping mata
dan ingatan, sedangkan membaca dalam
hati yang aktif bekerja hanya mata dan
ingatan.
4. Frekuensi pemberian membaca teknik:
Semakin tinggi frekuensi membaca dalam
hati siswa akan semakin banyak menerima
dikala dia menduduki kelas semakin tinggi.
5. Membaca teknik dapat dilakukan untuk
kepentingan orang lain, sedang membaca
dalam hati hanya untuk kepentingan si
pembaca sendiri.
6. Perolehan membaca dalam hati lebih
banyak dibandingkan dengan membaca
teknik.
Membaca dalam Hati
Membaca dalam hati adalah sejenis membaca
yang dilakukan tanpa menyuarakan apa yang
dibaca. Membaca dalam hati termasuk materi
pelajaran membaca tingkat lanjut. Artinya materi
membaca dalam hati mulai diberikan di kelas III
Sekolah Dasar, meski prakteknya diberikan di
kelas II catur wulan III. Materi membaca dalam
16
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
hati di sekolah dasar bertujuan untuk
mendapatkan informasi dari suatu bacaan
dengan memahami isi bacaan secara tepat dan
cermat.
Untuk mencapai sasaran membaca dalam
hati, siswa sekolah dasar hendaknya memperhatikan hal-hal berikut.
a.
Membaca dilakukan tanpa ada suara,
gerakan-gerakan bibir dan tanpa berisik.
b.
Membaca dilakukan tanpa ada gerakangerakan kepala baik mengangguk, menggeleng karena kepuasan terhadap apa
yang dibacanya atau menggerak-gerakan
jari mengikuti bacaan yang dibacanya.
c.
Pada saat membaca jangan sampai berhenti
pada bacaan yang sulit dimengerti oleh
pembaca, sehinga pembaca hanya
termenung dengan bacaan yang sulit
tersebut yang semua ini akan menyebabkan kegagalan kegiatan membaca dalam
hati.
d.
Pembaca mampu berkonsentrasi baik fisik
maupun mentalnya.
Untuk melatih keterampilan membaca
dalam hati, guru dapat memberikan latihan atau
kegiatan membaca dengan memberikan bahan
berupa majalah, koran, atau buku-buku yang
belum pernah dibaca oleh siswa. Hal yang lebih
penting diperhatikan guru adalah hendaknya
materi bacaan tersebut disesuaikan dengan
tingkat usia siswa.
Membaca cepat
Membaca cepat adalah kegiatan membaca yang
bertujuan memahami isi bacaan secara tepat
cepat dan cermat dalam waktu yang relatif
singkat. Pelajaran membaca cepat di sekolah
dasar materinya hendaknya dibebaskan dari
adanya kata-kata yang sukar, ungkapanungkapan baru, ataupun frase atau kalimat yang
cukup kompleks. Jika terpaksa dalam bacaan
tersebut ada kata-kata sukar, ungkapanungkapan baru atau frase atau kalimat yang
kompleks, guru hendaknya menerangkan
terlebih dahulu kepada siswa sehingga siswa
terbebas dari kesulitan bahasa.
Untuk mengukur kecepatan membaca siswa
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
1. Membatasi / menentukan waktu (tempo)
membaca.
Sebelum kegiatan membaca dimulai guru
mempersiapakan pencatat waktu (
stopwatch ). Setelah siswa siap dengan
bacaannya, guru bisa memberikan aba-aba
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
dimulainya kegiatan membaca tersebut, dan
setelah waktu selesai guru memberikan abaaba kepada anak untuk berhenti. Kemudian
setiap siswa menghitung kecepatan
membacanya dengan perhitungan sebagai
berikut.
Jumlah kata yang dibaca
X 60 = … kpm
Jumlah detik waktu membaca
2.
Untuk menghitung kecepatan membaca
efektif siswa, guru perlu mengetahui
pemahaman isi bacaan sisiwa melalui tes
isi bacaan. Sebagai contoh, anak yang
berhasil membaca kurang lebih 800 kata
dalam tempo dua menit dan berhasil
menjawab enam dari 10 soal yang tersedia
maka kecepatan membaca anak teersebut
adalah 400 x 60%=240 kpm ( kata/menit )
Membatasi / menentukan jumlah bacaan
Cara yang kedua ini berbeda dengan cara
yang pertama. Jika pada cara yang pertama
yang dibatasi adalah jumlah waktunya,
sedang cara yang kedua yang dibatasi
adalah jumlah bacaannya. Seluruh siswa
diberi bahan bacaan yang jumlahnya sama.
Mereka bebas membaca sesuai dengan
kecepatannya masing-masing. Setelah
selesai membaca, maka kecepatan membaca
dihitung dengan cara perhitungan seperti
yang telah dijelaskan di atas. Kelemahan
cara ini terletak pada pengajaran klasikal
yang mana jumlah anak lebih dari 10 siswa
karena menyulitkan dalam pengawasan/
pengontrolan waktu tempuh baca anak.
Membaca bahasa
Membaca bahasa memiliki tujuan agar para
siswa sekolah dasar semakin bertambah
pengetahuannya tentang seluk-beluk bahasa
Indonesia. Sasaran utama pelajaran membaca
bahasa bukan pada pemahaman isi bacaan
tetapi pada ketepatan penggunaan bahasa
dalam bahan bacaan.
Tujuan membaca bahasa menurut Imam
Rejana dalam Farida (2006) adalah agar siswa
bertambah wawasan-nya tentang :
1. Pengetahuan kosa kata bahasa Indonesia,
kosa kata adalah perbendaharaan kata atau
kata-kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.
Kata-kata yang diajarkan pada siswa
mencakup kosa kata yang baru, kosa kata
yang sering dipakai oleh pemakai bahasa
2.
3.
4.
5.
Indonesia, juga kosa kata yang sudah jarang
dipakai.
Pengetahuan yang menyangkut bentukan
kata (morfologi) baik bentuk, fungsi atau
pun artinya. Sebagai misal, anak menguasai
imbuhan me-, di-, akhiran -an dalam
pemakaian kalimat.
Pengetahuan yang menyangkut tata kalimat
bahasa Indonesia (sintaksis).
Pengetahuan yang menyangkut masalah
tata tulis bahasa Indonesia.
Pengetahuan tentang menganalisis informasi yang tersusun dalam beberapa kalimat
kemudian membentuk satu wacana.
Untuk menunjang kegiatan membaca bahasa ini guru dapat mengambil bahan dari
berbagai sumber yang bersifat baru.
Membaca Indah
Membaca indah sering disebut dengan membaca
emosional. Dikatakan demikian karena
menyangkut pada hal-hal yang berhubungan
dengan keindahan atau estetika yang dapat
menimbulkan emosi atau perasaan pembaca dan
pendengar. Tujuan yang ingin dicapai dalam
pelajaran ini adalah siswa dapat memperoleh
suatu keindahan yang sumbernya bahasa atau
keindahan yang bersumber bacaan.
Bahan yang bisa digunakan untuk
mengajarkan membaca indah ini dapat berupa :
puisi, prosa, mau pun drama. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan guru sehubungan
dengan pemilihan materi kesusasteraan untuk
membaca indah ini antara lainadalah sebagai
berikut.
Bahan itu hendaknya mengandung nilainilai pendidikan, misalnya, kepahlawan,
kemanuasiaan, dan sebagainya. Kalimat-kalimat
atau kata-kata yang dipakai oleh pengarangnya
bermakna denotatif dan bukan bermakna
konotatif. Hal seperti ini perlu diperhatikan guru,
sebab anak-anak seusia sekolah dasar rata-rata
baru dapat menangkap isi kalimat yang
disimpulkan bahasa denotatif pada karya sastra
Strategi Pembelajaran
Berbicara di SD
Hakikat Berbicara di Sekolah Dasar
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan
kata untuk mengekpresikan, menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Pengertian berbicara ini ada yang menyamakan
dengan bercakap-cakap. Berbicara dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
17
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
dilakukan sendiri sedang bercakap-cakap selalu
dilakukan oleh lebih dari seorang.
Tujuan berbicara adalah untuk berkomunikasi, agar dapat menyampaikan pikiran secara
efektif. Oleh karena itu sebaiknya : (a) pembicara
memahami segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; (b) pembicara mampu mengevaluasi
efek komunitasnya terhadap pendengar ; (c)
pembicara mampu mengetahui prinsip-prinsip
yang mendasari segala pembicaraan.
Ada beberapa prinsip umum yang
mendasari segala kegiatan berbicara. Berikut ini
adalah prinsip prinsip umum tersebut yakni :
1. Membutuhkan paling sedikit dua orang.
2. Mempergunakan suatu sandi linguistik
yang dipahami bersama-sama.
3. Menemui atau mengakui suatu daerah
referensi umum. Daerah ini mungkin tidak
selalu mudah dikenal/ ditentukan, namun
pembicaraan menerima kecendrungan
untuk menemukan satu di antaranya.
4. Merupakan suatu penukaran antara partisipasi. Kedua partisipasi yang memberi dan
menerima pembicaraan saling bertukar
sebagai pembicara dan penyimak.
5. Menghubungkan setiap pembicara dengan
yang lainnya, dan kepada lingkungannya
dengan segera. Perilaku lisan sang
pembicara selalu berhubungan dengan
responsi yang nyata atau yang dihadapkan
dari penyimak, dan sebaliknya. Hubungan
ini bersifat timbal balik dan dua arah.
6. Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini.
7. Hanya melibatkan perlengkapan yang
berhubungan dengan suara/bunyi bahasa
dan pendengaran.
Untuk mendapatkan hasil pembicaraan
yang baik, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pembicara, antara lain sebagai
berikut.
1. Pemilihan kata-kata yang tepat dan
mengena.
2. Pemikiran yang sehat dan urutan gagasan
yang nalar.
3. Struktur kalimat yang baik, jelas dan betul.
4. Suara yang baik, mudah didengar dan
dimengerti.
Pelaksanaan Pembelajaran Berbicara di
Sekolah Dasar
Ada beberapa teknik pembelajaran berbicara di
sekolah dasar :
1. Anak-anak yang masih muda dalam berpikir dan berpengalaman dapat diberi
perlajaran berbicara melalui gambar18
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
2.
3.
4.
5.
gambar yang disiapkan guru. Gambar
tematik (bertema : ada ceritanya) lebih
mudah mendorong anak-anak menceritakan apa yang ia lihat pada gambar. Tema
gambar hendaknya disesuaikan dengan
minat dan kebutuhan psikis siswa maupun
kehidupan binatang. Di kelas 3, 4, 5, dan 6
siswa sudah dapat mengembangkan
fantasinya (daya khayalnya). Oleh karena
itu, gambar tematik dapat dibuat penuh
khayal. Justru unsur khayal inilah dapat
membuat pikiran siswa hidup. Media
gambar inilah yang paling efektif untuk
meningkatkan kemampuan berbicara di
sekolah-sekolah.
Memberi salam sebelum dan sesudah
pelajaran kepada guru adalah latihan
terpadu antara belajar berbahasa dan
meningkatkan perilaku yang baik.
Bermain sosiodrama, meningkatkan sikap
sosial dan berani berkomunikasi lisan
dengan sesama teman (sebagai contoh
untuk kelas 1, 2, 3 bermain jual beli di pasar
atau di toko, bermain guru-murid di kelas,
dan sebagainya).
Bernyanyi bersama atau perorangan
merupakan salah satu teknik pengajaran
berbicara berirama.
Menghafalkan puisi, berdeklamasi, di
depan kelas merupakan latihan keperibadian dan sekaligus latihan berbicara.
Strategi Pembelajaran Menulis di SD
Hakikat Menulis di Sekolah Dasar.
Sebelum melangkah untuk memahami dan
mengerti tentang batasan menulis ada baiknya
ditinjau terlebih dahulu pendapat Yarmi (2006)
dalam “Mengarang” tentang menulis dan
mengarang. Ia mengemukakan bahwa sebaiknya
antara penulis dan mengarang tidak boleh
dibedakan, mengingat tujuan pengajaran
pengarang yang tersusun secara sintaksi. Dalam
GBPP pun tidak dipisahkan antara menulis dan
mengarang, akan tetapi menyatu dalam pokok
bahasan menulis. Setelah diketahui bahwasanya
menulis indentik dengan mengarang, maka
selanjutnya akan dicari batasan atau pengertian
menulis atau mengarang secara umum.
Menulis atau mengarang adalah mengorganisasikan ide menjadi rangkaian yang logis ,
Yazir Burhan berpendapat bahwa menulis
adalah tindakan melakukan pikiran/ perasaan
dalam Yarmi (2006). Sedangkan Tarigan yang
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
menyitir pendapat Lado mengemukakan bahwa
menulis adalah menuliskan lambang-lambang
grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang
dipahami oleh seseorang sehingga orang lain
dapat membaca lambang-lambang grafik
tersebut kalau mereka memahami bahasa dan
grafik tersebut (1985).
Menyimpulkan pendapat dari empat ahli
bahasa tersebut dapat dikemukakan bahwa
menulis adalah mengorganasisasikan ide atau
pesan secara tertulis sehingga orang lain dapat
memahami isinya.
Pengajaran menulis di sekolah dasar
berdasarkan kurikulum bahasa Indonesia 1994
meliputi : menulis permulaan, menulis prosa,
menulis surat, menulis puisi, menulis fiksi,
menulis drama, menulis laporan, menulis
pengumuman, menulis pidato, menulis drama.
Menulis Prosa
Ada lima jenis prosa yang akan dibicarakan
pada bagian ini : prosa deskripsi, eksposisi,
argumentasi, narasi dan persuasi.
1. Deskripsi
Deskripsi adalah lukisan yang membangkitkan kesan atau impresi seseorang
melalui uraian atau lukisan tertentu.
Umumnya diskripsi menceritakan tentang
seketsa perwatakan, pemandangan suasana
ruang, dan sebagainya. Berikut ini adalah
angkah-langkah yang harus dilakukan
untuk menyusun prosa deskripsi, yaitu:
a. Rumuskan dahulu tujuan yang hendak
dicapai penulis;
b. Amatilah dengan seksama objek yang
dijadikan topik dalam penulisan
tersebut;
c. Buatlah perincian tentang apa yang
didengar, dilihat, dan dirasakan oleh
penulis mengenai objek tersebut,
terutama yang berhubungan dengan
tujuan penulisan;
d. Supaya kekhususan menonjol, berilah
penjelasan tambahan.
2. Eksposisi
Eksposisi adalah tulisan yang berupa
paparan yang berisi kupasan, uraian
ataupun tuturan yagn bersifat penyuluhan
tanpa mengandung paksaan kepada
pembaca.
Langkah-langkah penyusun prosa eksposisi
ini adalah sebagai berikut.
a. Menentukan topik yang akan disajikan;
b. Menentukan tujuan eksposisi;
c. Membuat kerangka yang lengkap dan
sistematis
d. Mengembangkan eksposisi sesuai
dengan kerangka karangan.
3.
Argumentasi
Argumentasi adalah paparan yang terdiri
dari alasan atau penyintesisan pendapat
untuk membangun suatu kesimpulan.
Argumentasi digunakan penulis untuk
meyakinkan kebenaran pendapat, gagasan
atau konsepsi sesuatu berdasarkan data dan
fenomena-fenomena keilmuan yang
dikemukakan. Sehubungan dengan hal
tersebut maka dalam menulis argumentasi
penggunaan contoh dan bukti kuat dan
keyakinan sangat perlu diperhatikan.
Langkah-langkah dalam penyusunan
argumentasi adalah sebagai berikut.
a. Menetapkan tujuan yang akan dicapai;
b. Mengumpulakan bahan, fakta ataupun
konsep kelimuan;
c. Menarik kesimpulan baik secara
deduktif maupun secara induktif;
d. Penutup yang berisi himbauan kepada
pembaca agar mau mengakui kebenaran argumentasi penulis
3.
Narasi
Narasi adalah suatu penceritaan dari suatu
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disusun sedemikian rupa agar menimbulkan pengertian-pengertian yang merefleksikan penulisnya. Langkah-langkah
penyusunan narasi ini adalah sebagai
berikut.
a. Menentukan tujuan yang ingin dicapai
b. Menetapkan tema
c. Mengembangkan tema menjadi cerita
4. Persuasi
Persuasi adalah paparan yang berdaya
bujuk atau pun berdaya himbau yang dapat
membangkitkan ketergiuran pembaca untuk
meyakini atau menuruti himbauan itu baik
yang bersifat implisit maupun eksplisit.
Umumnya persuasi untuk menyampaikan
pesan dalam iklan sponsor atau reklame.
Kelima bentuk prosa tersebut kadangkala
mewarnai sebuah tulisan sehingga sulit
menentukan termasuk jenis prosa yang mana
tulisan tersebut. Untuk menanggulangi masalah
ini guru dapat menjelaskan kepada siswa bahwa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
19
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
untuk mengklasifikasikan termasuk jenis prosa
yang mana tulisan itu bisa dilihat dari jenis prosa
mana yang mendominasi dalam tulisan tersebut.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa
sebuah karangan mungkin terdapat unsur
eksposisi, persuasi atau argumentasi tetapi kita
bisa menyebut karangan itu jenis argumentasi,
misalnya karena memang unsur argumentasi
dari karangan itu yang paling menonjol.
Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD
Pembahasan tentang pembelajaran apresiasi
sastra di SD meliputi (1) hakikat sastra siswa,
yang mencakup pengertian sastra anak, jenis
sastra untuk anak, karakteristik sastra untuk
anak, (2) hakikat apresiasi sastra oleh siswa,
yang mencakup manfaat apresiasi sastra bagi
siswa, dan tingkat apresiasi sastra oleh siswa.
(3) strategi pembelajaran apresiasi sastra siswa
di SD, yang mencakup pemilihan bahan ajar,
penerapan metode pembelajaran, penilaian hasil
kegiatan apresiasi sastra di SD.
Dengan pembahasan topik-topik di atas,
diharapkan calon-calon guru SD memiliki bekal
yang cukup dalam melaksanakan pembelajaran
apresiasi sastra di SD.
Hakikat Sastra Siswa
Sebutan “sastra anak” merupakan gabungan
dari kata “sastra” dan “anak”, karena itu istilah
“sastra anak” tidak ada keterangan maknanya
dalam Kamus Istilah Sastra karya Sujiman.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
“anak” bermakna “manusia yang masih kecil”,
dan kata “sastra” didefinisikan sebagai “Karya
seni imajinatif yang bermediakan bahasa”. Dari
kedua keterangan makna itu dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud “sastra anak” ialah
karya seni imajinatif yang bermediakan bahasa
yang dapat dipahami oleh manusia yang masih
kecil. Dalam konteks ini, “manusia yang masih
kecil” merujuk pada usia 6-13 tahun.
Sebagai sebuah karya seni yang
dikonsumsi oleh anak, sastra anak memiliki
karakteristik tersendiri. Huck, Hepler, dan
Hicman dalam Akhadiah menjelaskan bahwa,”Isi sastra untuk anak dibatasi oleh
pengalaman dan pemahaman anak.” Ketiganya
juga menjelaskan bahwa sastra untuk anak
mengandung dua nilai: personal dan edukatif.
20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Strategi Pembelajaran Apresiasi Sastra Siswa
Guru diharapkan memiliki kompetensi merancang dan melaksanakan pembelajaran apresiasi
sastra di SD secara reseptif dan produktif. Untuk
mencapai kompetensi tersebut guru ikut serta
secara aktif dalam kajian tentang strategi
pembelajaran puisi, prosa, dan drama di SD.
Kriteria Pemilihan Bahan Pengajaran Apresiasi
Prosa Indonesi
Setiap guru tentunya mengharapkan agar proses
pembelajaran dapat berlangsung menarik, di
samping tercapainya efektivitas tujuan
pembelajaran. Kedua hal tersebut merupakan
persyaratan untuk dapat terciptanya suasana
pembelajaran yang menyenangkan, karena
dengan terpenuhinya persyaratan tersebut, para
siswa akan belajar tanpa merasa terpaksa.
Mereka belajar karena meeka membutuhkan,
menyenangi dan menikmati pelajaran yang
dipelajari. Hal ini dapat dicapai seandainya
guru mampu menyajikan materi secara menarik.
Apabila hal tersebut telah dicapai, maka
diasumsikan bahwa tujuan pembelajaran pun
akan tercapai sesuai dengan waktu dan target
sebagaimana yang telah ditentukan di dalam
program pembelajaran apresiasi bahasa dan
sastra Indonesia.
Salah satu cara agar guru dapat mencapai
pengajaran secara menarik efektif adalah guru
dapat menyediakan bahan. Guru perlu
mengetahui bahan yang baik dan yang tidak
baik. Dalam hal ini terdapat dua macam kriteria
yang dapat dijadikan patokan dalam pemilihan
bahan pembelajaran apresiasi prosa Indonesia,
yaitu, kriteria tingkat keterbacaan, dan kriteria
tingkat kesesuaian.
Keterbacaan dapat dijadikan kriteria dalam
memilih bahan bacaan. Tingkat keterbacaan
ialah mudah-tidaknya suatu bahan bacaan
(prosa) untuk dicerna, dihayati, dipahami, dan
dinikmati oleh siswa. Untuk dapat memenuhi
kriteria tingkat keterbacaan ini, prosa yang akan
dijadikan materi pengajaran apresiasi
hendaknya memenuhi persyaratan sebagai
berikut.
1) Kejelasan Bahasa
Dalam hal ini prosa (cerita rekan) yang akan
dijadikan materi pengajaran di Sekolah
Dasar adalah prosa menggunakan bahasa
yang sederhana. Kalimat-kalimatnya tidak
panjang-panjang dan tidak rumit, sehingga
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
2)
3)
4)
5)
memudahkan siswa menangkap isinya.
Kata-kata yang dipergunakan adalah katakata yang bermakna lugas. Dengan memperhatikan bahasa prosa yang akan diajarkan,
maka satu tahap dalam tingkat keterbacaan
sudah tercapai, yaitu kejelasan bahasa.
Dengan kejelasan bahasa, maka unsurunsur prosa akan mudah ditemukan anakanak.
Kejelasan Tema
Tema prosa untuk materi pengajaran
apresiasi di Sekolah Dasar hendaknya
terbuka, artinya tema itu bisa langsung
ditemukan anak-anak. Di samping itu, tema
tersebut tidak disajikan secara terselubung.
Kesederhanaan Plot
Cerita rekaan yang akan disajikan dalam
pengajaran apresiasi di Sekolah Dasar
hendaknya merupakan cerita yang berplot
maju. Berplot maju, maksudnya rangkaian
cerita berjalan kronologis dari awal hingga
akhir. Hendaknya tidak dipilih plot yag
mempunyai sorot balik (flash back) yang
rumit, dikarenakan adanya kemungkinan
siswa mengalami kesulitan dalam mengikuti jalan certita secara utuh.
Kejelasan Perwatakan
Perwatakan dalam cerita rekaan yang akan
dijadikan materi pengajaran hendaknya
dipilih dari cerita-cerita yang disajikan
secara sederhana. Hal ini dimaksudkan agar
anak-anak dapat dengan mudah menangkap sosok tokoh-tokoh cerita tersebut.
Demikian pula pesan-pesan yang terdapat
dalam cerita tersebut dengan mudah dapat
ditangkap oleh para siswa.
Kesederhanaan Latar
Cerita rekaan yang akan diajarkan
hendaknya dipertimbangkan latarnya.
Latar dalam cerita tidak berbeda jauh
dengan lingkungan tempat tinggal mereka.
Dengan demikian mereka merasa akrab
dengan suasana dalam cerita tersebut. Hal
ini membantu mempermudah pemahaman
terhadap cerita tersebut. Hal ini membantu
mempermudah pemahaman terhadap cerita,
disebabkan mereka telah merasa kenal
dengan latar seperti itu. Suasana latar yang
akrab dengan lingkungan mereka sehari-
hari, tidak berarti persis sama. Misalnya
suasananya yang sama sehingga dapat
menjembatani imajinasi anak-anak. Tidak
pula diartikan “tidak boleh memperkenalkan latar yang berbeda” dengan lingkungan anak. Hal ini diperkenalkan agar
anak mengenal lingkungan baru, mempunyai pengetahuan baru, namun perlu dijembatani dengan suasana yang telah mereka
kenal.
6) Kejelasan Pusat Pengisahan
Pilihlah cerita rekaan yang pusat
pengisahannya konsisten. Artinya tidak
banyak berganti fokus. Persoalannya, jika
terlalu banyak berganti fokus, hal ini akan
menyulitkan anak-anak mengikuti jalan
cerita. Cerita yang ber-aku yang seolah-olah
pengarang yang menjadi tokoh utama, ada
kecenderungan yang lebih besar bagi anakanak untuk menyenanginya. Hal itu
disebabkan mereka merasa sedang mengikuti pengalaman teman sebayanya. Dalam
hal ini dapat juga dipilih cerita yang
“dipaparkan pengarang” (pengarang
berada diluar cerita). Dengan gaya ini anakanak merasa sedang didongengi seseorang
Penutup
Uraian sebelumnya telah menggambarkan dua
pendekatan dalam pembelajaran bahasa yaitu
pendekatan Communicative dan Whole Language.
Walaupun berbeda, kedua pendekatan tersebut
bermaksud untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik berbahasa. Pada umumnya guru
sudah mengenal dan mempraktekkan pendekatan Communicative, tetapi mungkin belum
terbiasa dengan pendekatan Whole Language.
yang melihat bahasa sebagai suatu kesatuan
yang menyeluruh dan utuh.
Diharapkan, melalui tulisan ini, guru SD dapat
memahami, merancang pembelajaran dan
melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia
dan sastera dengan menerapkan pendekatan
Communicative dan pendekatan Whole Languge,
strategi pembelajaran menyimak, membaca,
menulis dan apresiasi sastera dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas-kelas
awal SD secara lebih baik.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
21
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar dan Furqanul Aziz.
(1994). Pengajaran bahasa komunikatif, teori
dan praktek.Bandung: Remaja Rosda
Karya
Akhadiah, Sabarti. Pembelajaran terpadu di SD.
Makalah disajikan dalam seminar
nasional di Universitas Padang
Bromley, KD. (1992). Language arts: exploring
connection (2 nd ed). Boston: Allyn and
Bavon
Cox Carole. (1999). Teaching language arts.
California State University
Chaer, Abdul. (2002). Psikolinguisti, kajian teoretik.
Jakarta: Rineka Cipta
Dimyati. (1998). Pendidikan bahasa Indonesia kelas
tinggi. Jakarta: Depdikbud
Goodman. (1991). Organizing for whole language.
Purtsmouth NH Heinemann
Farida, Rahim. (2006). Strategi pembelajaran
membaca di SD. Jakarta: BumiAksara
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Dardjowidjojo, Soenjono. (2000). Echa, kisah
pemerolehan bahasa anak Indonesia. Jakarta:
Grasindo
Halliday, M.A.K,. (1973). Exploration in the
functions of language. London: Edwar
Arnold
Depdiknas. Kurikulum SD 2004. (2004). Jakarta:
Puskur
Eisele, Beverly. (1991). Managing the whole
language classroom. Creative teaching
Press,Inc., Cypress
Morrow, L.M. (1999). Literacy development in early
years (Helping children read and write).
Rutger: The State University
Nababan, SUS. (1993). Metodologi pengajaran
Bahasa.Jakarta: Gramedia
Sumardi. (2000). Buku pelajaran bahasa Indonesia
SD. Jakarta: Grasindo
Tarigan. (1992). Pendidikan Bahasa Indonesia.
Jakarta: Depdikbud
Yarmi, Gusti. (2006). Modul. Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SD
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
Opini
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan
Bakat Menulis
Hastin S. M.*)
Abstrak
eterampilan berbahasa mencakup kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis. Tulisan ini membahas mengenai keterampilan menulis anak didik. Untuk
meningkatkan kemampuan menulis, anak didik membutuhkan adanya motivasi dari dalam
dirinya dan motivasi dari luar dirinya. Selain memotivasi, guru sebagai fasilitator
mengenalkan dan mengajarkan berbagai kosakata yang tepat dan sesuai. Guru memilih metode
pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar yang inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menarik. Bahkan
penulis perlu memperhatikan pembaca yang menjadi tujuan dan sasaran tulisan. Tulisan ini juga
mengungkapkan cara memotivasi anak didik untuk menulis sehingga bakat dan kemampuan
menulis yang dimiliki anak didik muncul dan meningkat dengan baik.
K
Kata kunci: Proses belajar, memanfaatkan kamus, menganalisis kata, mendayagunakan kata yang
tepat.
Languange skills consist of listening, speaking, reading, and writing. These four kinds of skill are to be
developed in languange learning process. This article focuses the discussion in developing writing skills
viewed from several aspects. Besides some methods and techniques of developing studdents’ writing skill to be
considered by teachers are proposed.
Pendahuluan
Kita dapat menemukan banyak bakat seorang
anak didik dalam dirinya. Banyak potensi yang
mereka miliki perlu kita kembangkan, misalnya
saja bakat menulis. Kemampuan menulis tentu
saja sudah dimiliki anak didik semenjak usia
dini atau di bangku Sekolah Dasar (SD). Namun
bakat menulis seperti menulis artikel, cerita
pendek (cerpen), novel, puisi maupun menulis
surat sudah terbilang langka. Sebagai contoh,
menulis surat hanya dilakukan pada saat-saat
tertentu. Selain itu zaman yang semakin modern
dan berteknologi canggih seperti SMS, MMS, Email dan lain sebagainya membuat keberadaan
surat menyurat semakin berkurang. Hal yang
tidak jauh berbeda dengan keterampilan
menulisyang kurang berkembang karena
menulis pesan dalam SMS, MMS lebih mudah
terkirim dan format penulisannya singkat. Selain
itu, supaya memotivasi anak didik menulis puisi,
artikel, atau cerpen semakin kurang. Karena
anak didik berkeinginan menulis pada saat
perlombaan menulis saja.
Sama halnya di sekolah, untuk mengembangkan bakat menulis terbilang sedikit, atau
tidak ada sama sekali. Bahkan kegiatan tulis
menulis hanya terdapat pada bidang studi
tertentu misalnya bahasa Indonesia dan Inggris.
Lebih lanjut penyajian dalam kegiatan belajar
kurang menarik atau monoton dan keterampilan
*) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
23
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
pendidik dalam menulis masih terbilang sedikit. cara penulisan yang benar dan bukan pada
Sebagian besar pendapat mengatakan, pengembangan ide, pokok cerita yang akan
keterampilan menulis ialah bakat alami. disampaikan melalui tulisannya. Guru sebagai
Sehingga anak didik merasa bosan dalam pendidik bahasa, seharusnya dapat menambahpelajaran menulis.
kan dan memperluas kreatifitas anak dalam
Pada umumnya pendidik memberikan menulis melalui metode menulis yang kreatif dan
beberapa tema kepada siswa lalu memberikan menarik.
waktu dan membiarkan proses belajar sampai
selesai waktunya. Tentu saja peserta didik akan
Instant Writing
mengalami kesulitan. Hal yang paling mencolok
ialah kurangnya mengetahui kosakata bahasa Jeremy Harmer (2004) mengemukakan metode
Inggris. Sehingga mereka mengalami “Stuck” kreatifnya, yakni instant writing dan collaborative
dalam proses menulis. Kemudian anak didik writing. Instant writing atau menulis cepat
seringkali mengalami kesulitan dalam merupakan proses menulis secara cepat tanpa
menyusun kalimat dengan bentuk waktu atau adanya peringatan atau persiapan. Hal ini
tenses yang tepat. Mereka seringkali mencampur bukanlah berarti memberikan tugas menulis
adukkan bentuk waktu lampau (Past Simple secara mendadak lalu anak didik diminta untuk
Tense) dengan bentuk waktu sekarang (Simple menuliskan suatu cerita dengan cepat. MelainPresent Tense). Sehingga mereka merasa kan anak didik diminta menuliskan suatu
terhambat dan takut
kalimat atau beberapa
menggunakan
kalimat menurut
bentuk waktu yang
metode dan gaya belmereka pergunakan
Selain itu metode instant writing
ajar auditorial, visual
dalam menulis.
dan kinestetik.
ini menghilangkan asumsi bahwa
Oleh karena
Selain itu metode
menulis suatu cerita
itu, dalam proses
instant writing ini
membutuhkan waktu yang lama .
menulis ini, penyamenghilangkan
jian pengajar dalam
asumsi bahwa mekegiatan belajar
nulis suatu cerita
mengajar sangatlah
membutuhkan waktu
penting. Hal ini berarti pendidik seharusnya yang lama. Sehingga bagi sebagian anak didik
melihat gaya belajar anak didik yang berbeda yang ingin cepat menyelesaikan tulisannya
lalu menyesuaikannya dengan metode menulis merasa lebih tertarik melalui metode ini. Proses
yang kreatif dan aktif.
ini diperkirakan hanya membutuhkan waktu
Pembahasan
Menulis terkadang dilakukan pada saat tertentu
saja dan sering kegiatan belajar mengajar ini
bukanlah mengenai essay atau mengarang
melainkan menelaah dan menganalisis tata
bahasa, misalnya writing dalam bidang studi
bahasa Inggris. Tata bahasa tentulah sangat
penting dalam menulis, karena harus sesuai
dengan ejaan dan tata bahasa yang baik dan
benar. Misalnya, mengenai Past Simple.
I had a great holiday with my family. Then, my
family and I ate the cake we made. We celebrated Happy
New Year Eve with special pray.
Dalam penulisan ini, tata bahasa sangat
diperlukan sekali tetapi dalam pengembangan
menulis tata bahasa dapat menghambat proses
menulis. Anak didik berkonsentrasi memikirkan
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
kurang lebih 15 menit, atau lebih cepat, yakni
kurang dari 15 menit.
Metode instant writing meliputi menulis
kalimat, menggunakan musik, dan menggunakan gambar.
Menulis Kalimat
Dalam metode menulis kalimat, peserta didik
diminta untuk menuliskan kalimat tanpa
mempedulikan bentuk waktu apapun dan
merasa yakin bahwa ia mampu menuangkan
tulisannya dengan kalimat yang menarik dan
unik dari pengalaman hidupnya.
Mendikte kalimat untuk melengkapi
Pendidik mendiktekan kalimat tak lengkap yang
merangsang daya pikir anak untuk menuliskan
idenya secara kreatif dan menarik. Kalimat ini
sebaiknya mudah dicerna terjemahannya.
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
Melalui kosakata yang populer dan mudah
dimengerti, anak didik pun mampu menuliskan
kata atau melanjutkan dengan baik. Misalnya:
The funniest thing I have done is...
Kemudian peserta didik melanjutkan
kalimatnya dengan menuliskan kata atau
kalimat dengan: slipped on the floor, telling a joke,
and wearing wrong clothe, etc.
Setelah anak didik merasa tertarik dan
mampu menuliskan kalimat dengan cepat dan
baik, mereka diminta untuk menuliskan unsur
5 WH ; what, where, why, when, who, how. Dengan
demikian tulisan merekapun akan semakin lebih
baik dengan adanya unsure 5 WH ini. Misalnya:
The funniest thing I have done is telling a joke to
myfriends and teachers. I tell them about it in teachers’
room. Usually, we can’t do that in there. However
because I have a good story, they allow me to tell it in
front of them and my friends who stand outside of the
window. I remember that it was the second break, at
12.35 o’clock. Lots of my friends were having lunch
while I was standing there to tell a joke, for them.
Actually my joke was not funny at all, but the funniest
thing I have done is by using a skirt. Whereas I am a
fourteen years old boy. Well, I think it’s a punishment
for naughty boy like me.
Mengembangkan topik
Melalui metode ini, pendidik mengajarkan dan
memberikan topik yang menarik dan beragam.
Kemudian pendidik meminta anak didik
menuliskan dua atau tiga kalimat mengenai topik
yang dipilihnya. Dalam hal ini, topik yang
menarik dan terkini menjadi hal yang terpenting.
Oleh karena itu pendidik harus memperhatikan
informasi-informasi terkini dan berkaitan
dengan kehidupan anak didik. Misalnya topik
mengenai kehidupan sosial di sekolah yakni
Shoes for Friends, Blood Donation, dan lain-lain.
Ramalan cuaca
Dengan metode ini pendidik meminta peserta
didik untuk menuliskan tentang diri mereka
dengan hari-hari yang mereka alami. Mereka
boleh menuliskan tentang perasaan mereka
terhadap cuaca yang mereka alami hari ini.
Apakah mereka senang dengan cuaca yang
cerah di pagi hari lalu hujan di sore hari? Bagaimana cuaca hari esok? Apakah cuaca seperti ini
menimbulkan wabah? Dan sebagainya.
Arahkanlah anak menulis melalui metode ini,
seperti melaporkan ramalan cuaca hari ini.
Kemungkinan besar anak didik belajar
meramalkan cuaca dengan fakta. Fakta yang ada
melalui tulisan mereka sendiri.
Menggunakan Musik
Musik dapat dijadikan alat pembelajaran yang
menarik dalam proses menulis. Bagi peserta
didik yang memiliki gaya auditorial, metode ini
sangat cocok dan menyenangkan untuk mendengarkan sebuah alunan musik lalu dikaitkan
dengan bakat menulisnya. Pendidik seharusnya
memilih jenis kaset yang tidak mengalunkan
syair. Melainkan musik instrumental berupa
piano, gitar akustik dan lainnya.
Berikut ini metode menulis dengan menggunakan musik.
Kata-kata
Dalam metode ini, pendidik memperdengarkan
sebuah musik instrumental lalu meminta anak
didik menuliskan perasaan dan emosi mereka
pada saat mendengar alunan musik yang
diperdengarkan. Atau pendidik memperdengarkan soundtrack film yang pernah mereka
dengar melalui film yang pernah mereka lihat.
Dengan demikian, mereka tidak mengalami
kesulitan yang berarti. Hal ini disebabkan
bahwa mereka sudah mengetahui cerita yang
akan mereka tulis setelah melihat film dari
soundtrack tersebut. Setelah anak didik
menuliskan mengenai perasaan dan emosi
mereka melalui lagu tersebut, mintalah anak
didik membaca tulisannya di depan kelas. Anak
didik lain dapat mengetahui isi tulisannya dan
dapat memberikan komentar.
Apa yang sedang digambarkan pencipta lagu
Dalam metode ini pendidik memperdengarkan
sebuah lagu instrumental kepada anak didik.
Metode ini hampir serupa dengan metode katakata. Namun peserta didik menuliskan apa yang
digambarkan oleh pencipta lagu dalam jenis
lagu yang berbeda. Misalnya terdapat suara
binatang dalam sebuah lagu, kemudian
pendidik dapat menanyakan jenis binatang yang
sedang digambarkan oleh pencipta lagu. Setelah
anak didik menuliskan suatu cerita yang sedang
digambarkan pencipta lagu, mintalah kepadanya untuk membagikan cerita terhadap teman
sekelasnya melalui membaca. Lalu peserta didik
memberikan penjelasan yang benar tentang lagu
yang telah diperdengarkan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
25
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
Menggunakan Gambar
Seperti halnya metode dengan menggunakan
musik, metode dengan memanfatkan gambar
untuk membantu proses menulis cepat tepat
digunakan untuk anak yang memiliki gaya
belajar visual. Melalui gambar untuk
mendeskripsikan seseorang atau hewan, anak
didik diharapkan mampu menuliskan dengan
mendeskripsikan lingkungan kehidupannya.
Berikut ini metode gambar dalam instant writing, yakni:
Mendeskripsikan gambar
Melalui metode ini, pendidik memberikan
gambar manusia yang beragam, baik rambut
yang berbeda bentuk seperti: rambut lurus,
keriting, ikal, sampai bentuk tubuh yang tinggi,
pendek, gemuk, langsing dan lainnya. Pendidik
perlu mempersiapkan gambar-gambar manusia
yang beragam dan menarik, sehingga anak didik
dapat memilih suatu gambar yang ia minati lalu
mendeskripsikannya dalam tulisan.
Latihan cerita
Dalam metode ini, terdapat beberapa latihan
menulis agar peserta didik mudah menuliskan
suatu deskripsi mengenai lingkungan terdekat.
Bahkan metode ini sesuai dengan standar
kompetensi menulis untuk tingkat SMP, yakni
mengungkapkan makna dalam teks tulis
fungsional dan esai pendek sangat sederhana
berbentuk descriptive dan procedure untuk
berinteraksi dengan lingkungan terdekat. Berikut
ini latihan cerita menggunakan gambar.
Pertama, gambar acak: dalam metode ini
pendidik memberikan gambar yang berbeda dan
beragam seperti : anak kecil, pasir, bola voli,
pedagang, kursi panjang, penjaga pantai, dan
lain-lain. Kemudian mintalah anak didik untuk
memilih dan mengambil empat gambar yang
telah tersedia. Lalu mintalah kepadanya untuk
mengaitkan tempat gambar tesebut dengan
suatu cerita. Kedua, gambar bingkai: melalui
metode ini, pendidik menyiapkan gambar yang
berangkai yang menjadi empat bagian.
Kemudian mintalah peserta didik untuk
merangkaikan suatu cerita berdasarkan gambar
tersebut. Peserta didik dapat membacakan
ceritanya didepan kelas sehingga akan terdapat
perbedaan maupun persamaan cerita dengan
siswa yang lain.
Collaborative Writing
Melalui metode ini, diharapkan peserta didik
dapat bertukar pikiran melalui gagasannya
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
terhadap suatu cerita dengan rekan kerjanya.
Proses menulis ini melatih anak didik berpikir
kreatif dan aktif menuangkan kembali isi cerita
yang telah diperdengarkan atau melalui gambar
berangkai yang dibentuk secara acak. Berikut ini
metode yang bisa diterapkan terhadapa anak
didik, yakni:
Dictogloss
Melalui metode ini anak didik diminta untuk
menuliskan kembali isi cerita yang telah
dibacakan oleh pendidik. Hal yang pertama kali
dilakukan oleh pendidik ialah menyiapkan
suatu cerita pendek lalu membacakannya
dengan nyaring dan jelas kepada siswa. Namun
pada saat siswa mendengarkan cerita tersebut,
anak didik tidak diperkenankan untuk menulis
kembali cerita tersebut melainkan menuliskan
catatan penting saja mengenai cerita tersebut.
Perlu diingatkan untuk memanfaatkan unsur
lima WH. Setelah pendidik selesai membacakan
cerita, diminta anak didik menuliskan ulang
cerita. Tentu saja mereka akan mengalami sedikit
kesulitan. Hal ini terjadi karena sebagian besar
anak didik baru mendengar cerita yang telah
dibacakan pendidik untuk pertama kalinya
kecuali jika anak didik memiliki daya ingat yang
cukup tinggi. Kemudian cerita itu dibacakan
sekali sehingga anak didik dapat menambahkan
isi cerita atau mengecek kembali tentang
tulisannya. Setelah itu mintalah dua anak didik
untuk membacakan atau menuliskan isi
ceritanya dipapan tulis. Kemungkinan besar
akan terjadi perbedaan cerita dari dua anak
tersebut. Namun di akhir proses menulis
pendidik membacakan kembali cerita itu
seutuhnya.
Membangun kembali cerita
Melalui metode ini, pendidik seharusnya
menyiapkan empat potongan gambar berangkai
lalu membentuk kelompok siswa yang terdiri
empat orang. Setelah itu, potongan gambar yang
berbeda dibagikan kepada masing-masing anak
didik. Setelah mereka mendapatkan gambar
yang berbeda anak didik diminta bekerjasama
dengan rekannya dan saling terlibat aktif untuk
bertukar pikiran dan merangkai cerita bergambar
dengan baik. Dalam proses menulis, anak didik
akan antusias merangkai cerita bergambar
tersebut dengan perbedaan pendapat bersama
rekannya. Namun, diharapkan anak didik
mampu bekerjasama dengan baik melalui beda
pendapat untuk menghasilkan suatu cerita yang baik.
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
Peranan Sekolah
Keterlibatan sekolahpun sangat diharapkan
dalam pengembangan bakat menulis anak didik.
Yaitu dengan adanya penambahan buku bacaan
pengetahuan yang berkaitan dengan tema
penulisan anak. Perpustakaan merupakan
sarana informasi belajar yang baik dengan
ketersediaan buku-buku terbaru dan berkualitas.
Hal ini dikarenakan penulisan erat kaitannya
dengan membaca. Tanpa membaca anak tak
akan bisa mengembangkan wawasan cerita
penulisan, terkecuali anak didik ini mempunyai
pengalaman dalam kehidupannya yang
berkaitan dengan isi cerita tulisan. Sehingga ia
pun mampu menceritakan isi tulisannya
berdasarkan pengalaman pribadinya.
Selain itu, pihak sekolah dengan pustakawan sebaiknya menyelenggarakan lomba
penulisan karya tulis untuk anak didik,
sehingga anak termotivasi untuk mengikuti
lomba ini, dan memacu prestasi anak melalui
karya tulisnya. Bahkan hadiah berupa uang,
sertifikasi dan piala menjadi pendorong untuk
menghargai hasil karya tulisnya sehingga anak
didik mengetahui besar manfaat dalam menulis.
Sebaiknya, perlombaan karya tulis ini dilakukan
sesering mungkin dalam satu semester atau
setahun. Semakin banyak perlombaan menulis
yang diadakan semakin besar penulis-penulis
dari anak didik yang mengikutinya. Tidak jarang
dari pihak luarpun mengirimkan poster ataupun
pengumuman mengenai perlombaan karya tulis.
Misalnya, Departemen Luar Negeri mengadakan lomba karya tulis yang bertemakan
ASEAN. Majalah Lip Ice mengadakan juga lomba
ini yang bertema kehidupan remaja dan lainnya.
Kegiatan pengembangan lainnya dalam
menulis, yakni kegiataan ekstrakurikuler. Pada
umumnya pendidik bahasa seperti bahasa
Inggris menekankan pada kegiatan yang aktif
seperti speaking, storry telling, drama, dan
lainnya. Hal ini tidaklah menutup kemungkinan
pendidik menerapkan dan mengembangkan
kegiatan menulis yang bersifat pasif. Demikian
juga dalam ekstrakurikuler Bahasa Indonesia,
kegiatan menulis bisa lebih banyak diterapkan
pada anak didik. Program ekstrakurikuler
memiliki program khusus untuk pengembangan
menulis dan pendidik sangatlah berperan
penting dalam mengadakan pengembangan
menulis ini. Pendidik ini haruslah memiliki
keterampilan menulis yang lebih baik dan
menjadi model penulis bagi anak didik dalam
arti, karya tulisnya sudah pernah dipublikasikan, di tabloid, jurnal, maupun buku-buku
lainnya. Keterampilan pendidik seharusnya
lebih baik dengan terus menerus mengembangkan karya tulisannya dan keterampilan itu
kemudian bisa diteruskan kepada anak
didiknya. Hal yang perlu diperhatikan ialah
bagaimana agar ide penulisan anak didik dalam
menulis tidak terhambat . Seringkali ditemukan
pada saat proses menulis, anak didik sulit
menuliskan isi cerita. Hal ini dikarenakan anak
didik terus menerus memikirkan kata-kata yang
baik dan indah serta tata bahasa penulisannya
harus tepat dan hal-hal seperti inilah yang
seringkali terjadi dalam mengawali proses
menulis. Oleh karena itu pendidik perlu
mengembangkan diri mereka untuk mengatasi
masalah yang sangat penting dalam proses
menulis. Sebagai contoh, pendidik memberikan
beberapa tema yang menarik untuk dipilih
sesuai dengan minat anak didik. Kemudian
pendidik menganjurkan untuk menuliskan
apapun yang ada dalam benaknya dan hatinya
tanpa proses mengedit, baik tata bahasa,
maupun kata-kata yang benar dan indah dibaca.
Memperluas Kosa kata
Setelah menuliskan cerita secara utuh, anak
didik diminta untuk mengedit kata yang benar
dan tepat sesuai ejaan yang disempurnakan.
Anak didik boleh menggunakan kamus
Tesaurus yang dipakai untuk menggantikan
kata-kata yang tergolong sama artinya. Tujuan
memanfaatkan kamus ini ialah untuk
memperindah penulisannya.
Keraf (2006) mengemukakan cara memperluas kosa kata yakni, (1) proses belajar, (2)
konteks, (3) kamus, dan (4) menganalisa kata.
Proses Belajar
Pendidik memiliki peranan utama dan penting
untuk memperluas kosa kata anak didik. Tidak
hanya dalam bidang studi bahasa tetapi juga
bidang studi non bahasa mulai memperkenalkan istilah-istilah dengan uraiannya.
Dengan penjelasan dan uraian yang baik,
anak didik lebih mampu mengingat dan
mengaplikasikannya. Misalnya saja mendefinisikan kosa kata bahasa Inggris melalui bahasa
Inggris atau menerjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Contoh : -actor: pemain pria film
-director: sutradara
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
27
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
Konteks
Kata dalam sebuah kalimat memiliki makna yang
berbeda. Walaupun kata tersebut dalam
pengucapannya sama. Akan tetapi dalam hal
arti dan maknanya akan berbeda. Anak didik
dapat memperluas kosa kata melalui konteks
lisan maupun tertulis. Dalam konteks tertulis,
anak didik lebih banyak memiliki waktu untuk
memahami secara berulang-ulang. Ia dapat
memahami makna sebuah kata kapan saja ia
menginginkan sesuai dengan kebutuhannya.
Jika dalam konteks lisan, anak didik sedikit
mengalami kesulitan apabila ia mendengar
seorang pembicara mengeluarkan kata-kata baru
atau kata yang pertama kali didengarnya. Ia bisa
saja mencari makna tersebut dengan sebuah
kamus, namun ia akan kehilangan kata-kata
baru berikutnya yang diucapkan pembicara saat
ia mencari kata yang ingin dicari dalam kamus.
Contoh :
- Bisa ular mampu membunuh mangsanya
- Pria tampan itu bisa merayu lawan jenisnya.
Melalui kata yang memiliki beda arti dan
makna, anak didik semakin mampu menambahkan pengetahuan kepada pembaca melalui karya
tulisnya. Anak didik semakin terbiasa
menggunakan kata yang sama tetapi dalam
konteks yang berbeda. Dengan adanya latihanlatihan akan kata untuk membuat kalimat,
mereka akan semakin mengetahui arti dan
makna yang berbeda pula.
Selain itu anak didik akan mengetahui dan
memahami kata-kata apa saja yang memiliki arti
dan makna berbeda dalam sebuah konteks.
Melalui buku bacaan, ceramah dan kegiatan
belajar mengajar di sekolah atau lingkungan
masyarakat.
Kamus
Untuk memperluas kosa kata, anak didik pun
memerlukan kamus. Terdapat tiga jenis kamus,
yakni kamus, kamus sinonim, dan tesaurus. Saat
anak didik menemukan kata-kata baru melalui
buku bacaan ataupun secara lisan dan
penceramah atau pembicara, kamus ini
berfungsi untuk mengetahui makna dari sebuah
kata. Kamus ini juga berfungsi membenarkan
dan memperbaiki dugaan kita akan arti kata.
Pada umumnya kamus yang sering
digunakan ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Kamus ini memiliki penjabaran akan
definisi sebuah kata dengan baik. Kamus lainnya
yang sebaiknya digunakan seorang penulis,
anak didik, ialah kamus sinonim. Kamus ini
28
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
berfungsi untuk mencari kata yang berbeda
namun memiliki arti yang sama. Ataupun untuk
membedakan konotasi-konotasi yang timbul oleh
kata-kata yang tampaknya mempunyai arti yang
sama, tetapi tidak dapat saling melengkapi.
Kamus lainnya ialah tesaurus, kamus ini
merupakan khasanah kata untuk keperluan
sendiri. Pada umumnya penulis, anak didik,
menuliskan kata yang seringkali ia gunakan
dalam penulisan. Sehingga kata ini akan sering
ditemukan dan terasa hambar oleh pembacanya.
Oleh karena itu, kamus ini berguna untuk
menggantikan kata yang sama dengan kata
lainnya. Kamus ini memang hampir serupa
dengan kamus sinonim. Tetapi, oleh karena
perkembangan bahasa yang semakin meningkat,
masyarakat Indonesia lebih memilih kamus
tesaurus yang memiliki kata sinonim yang lebih
luas. Sehingga kamus sinonim yang dirasakan
kurang memiliki kosa kata yang lebih banyak
dan luas ruang lingkupnya, menjadi tergantikan
akan adanya kamus tesaurus ini. Selain itu
kamus ini pun memperindah tulisan si penulis.
Misalnya saja kosa kata yang dipakai terlalu
umum dan kaku, sehingga si penulis memakai
kata lain yang bersifat umum dan lebih popular.
Contoh:
1) bakat: darah, talenta, pembawaan, kodrat
2) inovasi: kebaruan, mutasi
3) menulis: mencatat, menyurat, mengarang,
menggubah
Menganalisis Kata
Untuk memperluas kosa kata anak didik,
terdapat cara lainnya yakni menganalisis kata.
Menganalisa kata dalam bahasa Indonesia
berbeda dengan bahasa Sansekerta, latin dan
Yunani. Dan artefiks bahasa Indonesia mengenal
konsep akar kata. Akar kata ini merupakan hasil
dari sebuah analisa hipotesis karena tidak
produktif lagi. Misalnya akar kata kit yang
diperkirakan berarti naik ‘yakni, ungkit, bukit,
bangkit dan sebagainya. Sedangkan prefiks,
dalam bahasa Yunani dan latin, banyak
dipergunakan untuk membentuk kata-kata atau
istilah baru.
Misalnya :
Auto (sendiri) : autobiografi, automobile,
autodidak, automotif, dan lain-lain.
Trans (seberang, lewat): transisi, transport,
transportasi, transfer, transfuse dan
lainnya.
Dalam menganalisis kata ini, dimaksudkan
agar anak didik memahami unsur kata yang ia
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
pergunakan. Memahami melalui akar kata dan
prefiks memudahkan siswa menggunakan kata
yang tepat dengan makna yang disampaikannya.
Sehingga anak didik memahami akar kata-kata
baru yang ia temukan lalu menerapkannya
dalam tulisannya.
Mendayagunakan Kata yang Tepat
Anak didik sebagai penulis perlu memperhatikan kata-kata dalam penulisan yang ia
pergunakan. Seluruh kata dalam suatu Bahasa
adalah baik dan benar. Namun bila penulisan
tanpa penyesuaian tempat si pembaca, akan
merusak suasana atau menyinggung perasaan
si pembaca.
Kata yang formal sebaiknya digunakan
dalam situasi formal atau kata yang informal di
pakai untuk situasi informal.
Misalnya saja anak didik menuliskan suatu
cerita untuk pembaca masyarakat umum. Ia
seharusnya memakai kata-kata populer. Atau
menggunakan kata-kata ilmiah untuk pertemuan-pertemuan resmi, diskusi-diskusi khusus
dan lainnya yang bersifat lebih formal.
Contohnya:
Kata Populer
Kata Ilmiah
s e s u ai
harmonis
aneh
eksentrik
bukti
argumen
maju
modern
pertentangan
kontradiksi
Dengan memperhatikan dan mengenal
pembaca secara baik, tentulah penulis, anak
didik, akan mempergunakan pilihan-pilihan
kata yang sesuai pada tempatnya. Selain itu,
bahasa si penulis lebih mudah dimengerti
maksud dan tujuannya dalam isi tulisan cerita.
Mendayagunakan kata yang tepat dan sesuai
juga akan menarik perhatian si pembaca.
Manfaat lainnya yang akan didapat anak didik
ialah royalty. Bila kelak anak didik sukses
menuliskan dan menerbitkannya, ia akan
mendapatkan konsumen pembaca yang lebih
banyak. Dalam hal ini ia akan mendapatkan
royalty dari hasil penjualan. Bahkan ia pun akan
lebih dikenal namanya dengan populer sebagai
penulis muda berbakat di kalangan masyarakat
umum. Ia pun dikenal juga sebagai anak didik
berprestasi dan berbakat.
Untuk mewujudkan semua ini tidaklah mudah,
ia harus terus menerus meningkatkan karya
tulisnya dengan baik dan memperhatikan katakata penulisan yang tepat.
Upaya-upaya tersebut di atas memacu anak
dalam pengembangan karya tulis. Selain itu
menumbuhkan minat baca yang tinggi terhadap
buku-buku pendidikan. Bahkan upaya-upaya
tersebut menjadikan anak didik sebagai bibit
penulis yang baik dari usia dini sehingga kelak
ia pun bisa mengembangkan dan melanjutkan
bakatnya melalui karya tulis yang ia ciptakan.
Sehingga penulis-penulis ini kelak membantu
sarana pendidikan, terutama buku ajar sekolah.
Kegiatan pengembangan bakat menulis ini
sebaiknya dilakukan secara rutin, seperti halnya
dalam kegiatan writing dalam bidang studi
Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Akan
tetapi ada kalanya anak didik memerlukan suatu
tempat yang khusus untuk menuliskan buah
pikirannya. Misalnya saja ia perlu tempat yang
tenang, seperti kamar pribadinya, ruang belajar,
perpustakaan atau tempat lainnya. Selain itu
pendidik seharusnya memberikan tema
penulisan yang menarik dan beragam serta
memberikan kebebasan kepada anak didik untuk
memilih tema yang sesuai dengan keinginannya.
Memotivasi dengan cara tersebut diatas
seperti dengan adanya perlombaan menulis di
sekolah, program ekstrakurikuler menulis,
maupun dalam KBM (Kegiatan Belajar
Mengajar) perlu diupayakan pendidik dengan
baik sebagai pengembangan bakat menulis anak
didik.
Kesimpulan
Pendidik seharusnya melihat gaya belajar anak
didik yang berbeda yakni: auditorial, visual,
kinestetik dan menyesuaikannya dengan metode
writing yang baik dan menarik. Sehingga anak
didik merasa tertarik untuk melakukan proses
menulis dan terlibat aktif bekerjasama bersama
rekannya dalam metode collaborative writing.
Alat pembelajaran yang menarik seperti
musik instrumental bermanfaat untuk
mengembangkan bakat menulis anak didik
melalui perasaan dan emosinya saat mendengarkan alunan musik instrumental.
Sehingga bagi anak didik yang memiliki gaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
29
Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis
belajar auditorial merasa tertarik untuk menulis
melalui musik.
Metode instant writing dengan menggunakan gambar acak, gambar berangkai, gambar
deskriptif bermanfaat untuk membantu proses
menulis cepat atau instant writing bagi anak yang
memiliki gaya belajar visual. Pendidik
seharusnya mempersiapkan gambar-gambar
yang beragam dan menarik. Sehingga anak didik
mampu dan mengembangkan bakat menulis
dengan baik melalui ketertarikannya.
Metode collaborative writing melatih anak
didik berpikir kreatif dan aktif untuk
menuangkan kembali isi cerita yang telah
diperdengarkan atau melalui gambar berangkai
yang dibentuk secara acak. Sehingga anak didik
mampu bekerjasama dalam mengemukakan
pendapatnya untuk menuliskan suatu cerita
berdasarkan gambar tersebut.
30
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. (2005). Tata bahasa baku bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Elbow, Peter. (2007). Writing without teachers. PT.
Indonesia Publishing
Harmer, Jeremy. (200). How to teach writing.
Longman
Harmer, Jeremy. (2002. How to teach vocabulary.
Longman
Harmer, Jeremy. (1999). How to teach grammar.
Longman
Keraf, Gorys. (2006). Diksi dan gaya bahasa.
Jakarta: Gramedia
Lou, Robby. (2006). English grammar and how to
use it. Jakarta: Gramedia
Zaqeus, Edy. (2008). Resep cespleng menulis buku
best seller. Finstar Publishing.
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
Opini
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
Rommel K. Sitanggang*)
Abstrak
embaca merupakan langkah awal untuk mengetahui pengetahuan atau pengalaman baru.
Namun sering anak didik hanyalah sekedar membaca dan memahami. Mereka kurang
memperhatikan dan memanfaatkan potensi kecerdasan dirinya setelah membaca. Tulisan
ini menguraikan bagaimana membaca dapat meningkatkan kecerdasan dan pola pikir
untuk menciptakan hal yang baru. Dalam tulisan ini diperkenalkan teknik membaca yang baik,
untuk mengarahkan siswa memanfaatkan kecerdasan intelektualnya, dalam kehidupannya seperti
di sekolah dan lingkungannya.
M
Kata kunci: Membaca cepat, belajar dengan gerakan, membaca auditori, membaca visual, belajar
intelektual.
Reading is one of initial steps to obtain knowledge or new experience. Nevertheless, the students do reading
mostly just for reading and understanding, not to develop their intelligence. This article explains some
reading techniques to maximize students’ reading potential. Futher ,it also discusses good reading techniques
encouraging the students to implement their knowledge the achieve through reading in their real life.
Pendahuluan
Di sekolah pada umumnya anak didik menggunakan waktu istirahatnya untuk makan dan
minum untuk menambah energinya. Setelah
istirahat kedua, anak didik pun kurang
memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca
di kelas atau perpustakaan sekolah. Minat
membaca anak didik tergolong masih rendah.
Hal ini menunjukkan, siswa kurang menyadari
manfaat membaca. Mereka pun hanya
mengetahui bahwa tujuan membaca hanya
sekedar mencari informasi yang ditanyakan
guru. Selain itu, membaca hanya dilakukan pada
waktu dan situasi tertentu serta biasanya hanya
dalam bidang studi bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris. Hal ini terjadi karena dalam
kedua bidang studi ini terdapat kegiatan
membaca atau reading.
Selain itu, minat membaca buku pendidikan
sangat minim. Anak didik lebih menyukai
bacaan yang disertai gambar-gambar lucu atau
seru yang biasanya ditemukan pada buku komik
atau buku fiksi lainnya.
Kebiasaan membaca yang kurang juga
dipengaruhi oleh kebiasaan dan kemampuan
membaca anak didik. Saat membaca, anak didik
memiliki kebiasaan lama yakni membaca
dengan bersuara, membaca dengan mulut berkomat-kamit, dan kurang melebarkan jangkauan
mata terhadap kalimat. Bahkan anak didik
kurang memaksimalkan kemampuan daya ingat
setelah membaca. Sehingga mereka seringkali
membaca ulang. Hal ini akan menghabiskan
waktu ketika anak menghadapi ulangan
*) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
31
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
membaca (reading). Ia merasa khawatir
pemahamannya berbeda dengan ketika membaca pertama. Pada hakikatnya anak didik
memiliki kemampuan membaca pada dirinya,
akan tetapi ia kurang memiliki pengetahuan
meningkatkan potensi membacanya dan belum
memanfaatkan seutuhnya kecerdasan intelektualnya dalam membaca, sehingga anak belum
mampu mengukir prestasi dalam membaca dan
menciptakan kreatifitas potensi membacanya.
Pembahasan
Membaca cepat
Wainwright (2007) mengemukakan bahwa
kecepatan membaca dan pemahaman bukanlah
dua unsur yang terpisah dalam proses
membaca. Kecepatan membaca bergantung pada
kecepatan memahami isi bacaan.Semakin
mudah memahami isi bacaan, semakin tinggi
pula kecepatan membacanya.
Ketebalan bahan bacaan juga mempengaruhi motivasi membaca. Buku bacaan yang
memiliki sekitar 200 halaman kurang memotivasi anak didik membaca. Mereka lebih senang
memilih bacaan yang menyenangkan dan tipis
halamannya, terlebih lagi bacaan yang memiliki
gambar seperti novel, komik, dan lainnya yang
belum tentu mengandung unsur pendidikan.
Oleh karena itu, diharapkan para guru dan
orang tua memotivasi anak didik mengubah
bahan bacaan dan cara membaca yaitu
membaca cepat.
Untuk melakukan teknik membaca cepat,
terlebih dahulu guru memilih sumber bacaan
yang tepat atau sesuai dengan bidang studi yang
diajarkan. Misalnya pelajaran bahasa Indonesia,
guru memilihkan karya sastra berupa cerita
pendek mengenai cerita pahlawan nasional
Indonesia. Atau, novel Laskar Pelangi yang
cukup populer saat ini karena mengandung
unsur persahabatan, ketekunan, kreatifitas
dalam kehidupan masyarakat menengah ke
bawah namun berjuang untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Dengan memilih bahan
bacaan yang tepat dan menyenangkan bagi anak
didik, tentulah akan mengubah pola membaca
yang kurang efektif selama ini. Membaca cepat
sebaiknya dilakukan di kelas masing-masing
atau perpustakaan supaya lebih menyenangkan
dan rileks. Selanjutnya anak didik melanjutkan
teknik membaca di rumah.
32
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Terkadang anak didik kurang termotivasi
membaca buku karena kemungkinan terdapat
berbagai faktor dalam diri anak tersebut. Namun
dengan strategi pembelajaran yang tepat,
keadaan ini dapat di atasi. Misalnya, memberikan penghargaan berupa nilai tambahan
untuk nilai ulangan hariannya bila ia mampu
membaca cepat dan mengingat informasi bacaan
yang telah ia lakukan dan mengutarakannya di
depan kelas. Guru dapat juga menghargai
kemampuan membaca anak didik dengan katakata yang memotivasi.
Teknik membaca cepat tidak hanya bermanfaat bagi anak didik tetapi juga masyarakat
umum yang memiliki waktu terbatas untuk
membaca. Misalnya, para pekerja mampu
menyelesaikan pekerjaan kantornya untuk
mengedit laporan dari sejumlah buku yang
terbilang banyak. Atau mahasiswa yang sedang
mengumpulkan bahan skripsinya dengan
beberapa buku untuk mendapatkan informasi
yang saling berkaitan. Manfaat membaca cepat
bagi anak didik, sebagai berikut. Pertama,
menguasai bahan materi yang diajarkan guru
dan lebih siap menerima bahan ajar yang akan
diberikan selanjutnya oleh guru tersebut. Kedua,
melatih kebiasaan membaca secara cepat dan
efektif. Pada umumnya, anak sering membaca
dengan bersuara atau vokalisasi, gerakan mata
pada saat fiksasi tidak lebar, atau gerakan bibir
dan mulut seperti berkomat-kamit pada saat
membaca. Dengan membaca cepat, kebiasaan ini
dapat dihilangkan. Ketiga, meningkatkan daya
ingat akan informasi bacaan. Dengan membaca
cepat, informasi mengenai bacaan lebih terserap
dengan baik. Hal ini dikarenakan saat membaca
dengan cepat, konsentrasi pemahaman pada
bacaan lebih tinggi. Sama halnya dengan
mengendarai motor atau mobil dengan
kecepatan tinggi, mata akan lebih berkonsentrasi
untuk melihat gerakan benda lain di setiap sisi,
baik sisi depan, samping maupun belakang.
Demikian juga halnya berkonsentrasi dalam
membaca cepat. Keempat, meningkatkan prestasi
anak. Dengan teknik ini, anak didik semakin
berprestasi terutama anak didik yang mengikuti
English Competition berupa news reading. Anak
didik yang menguasai teknik membaca cepat
lebih mudah menguasai membaca berita dengan
baik. Anak didik lebih termotivasi meningkatkan
prestasinya melalui metode membaca cepat.
Dengan catatan, anak didik menguasai
pelafalan dan intonasi dalam bahasa Inggris
dengan baik.
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
Belajar dengan Gerakan
Dave Meier, penulis buku The Accelerated Learning
Handbook, menggagas teknik membaca total gaya
SAVI (Somatis, Auditorial, Visual, Intelektual).
Somatis berasal dari bahasa Yunani yang berarti
tubuh. Jadi belajar somatis merupakan belajar
dengan melibatkan indra tubuh untuk
melakukan gerakan yang sesuai pada saat
membaca. Pada umumya, buku bacaaan yang
mendorong untuk melakukan teknik somatis ini,
ialah buku bacaan bahasa Inggris dan buku
olahraga. Namun tak menutup kemungkinan
buku lainnya bisa menjadi sumber bacaan yang
bermanfaat untuk menciptakan gerakan dengan
melibatkan tubuh. Biasanya teknik ini
bermanfaat saat anak didik duduk di bangku
sekolah dasar, tetapi siapapun juga bisa
melakukan teknik ini. Misalnya, dalam pelajaran
bahasa Inggris di SMP, guru mengajarkan
tentang nama-nama anggota tubuh dalam
bahasa Inggris. Guru membacakan nama
anggota tubuh seperti head (kepala), forehead
(dahi), eyebrow (alis mata), dan sebagainya. Tentu
saja sebagian besar siswa sudah mengenal nama
anggota tubuh seperti yang disebutkan di atas.
Pendidik dapat mengembangkan proses pembelajaran melalui teknik ini dengan gerakan.
Misalnya, menyuruh anak didik mengedipkan
mata (flick your eye), menggelengkan kepala (shake
your head), mengganggukan kepala (nod your
head), dan sebagainya. Teknik yang sama dapat
juga dilakukan pada pelajaran olahraga.
Teknik ini bermanfaat sekali untuk
melakukan gerakan pada saat membaca.
Sebelumnya anak didik belajar menguasai teknik
permainan basket dalam membaca. Namun
sebagian anak didik belum tentu mengerti akan
teknik permainan seperti: pivot, dribble, passing,
dan teknik lainnya. Mereka hanya mengenal
nama teknik permainan ini saja dengan
menghafal istilah teknik permainan ini. Oleh
karena itu, sebaiknya guru mengajarkan istilah
teknik permainan ini, lalu mempraktekkannya
dengan gerakan tubuh. Seperti pivot, guru
memberikan contoh melalui gerakan memutar
dengan satu kaki pada saat menggiring bola.
Dengan melibatkan gerakan tubuh pada saat
membaca maupun sesudah membaca, anak
didik akan termotivasi untuk membaca pelajaran
tersebut.
Selain itu, teknik ini menjadikan suasana
belajar menyenangkan. Melalui gerakan ini
berarti sama halnya dengan bermain, sehingga
anak didik lebih menyukai pelajarannya. Bahkan
anak didik berpikir kreatif untuk menciptakan
gerakan dalam bahasa Inggris. Misalnya melalui
gerakan jari tangan, anak menggerakkan jarinya
dengan menunjukkan jari (appoint your finger),
membengkokkan jari (curly your finger), melambaikan tangan (wave your hand), dan sebagainya.
Anak didik tidak hanya menampilkan gerakan
kreatifnya, tetapi juga memperkaya kosakata
bahasa Inggrisnya. Selain itu, teknik ini bermanfaat untuk meniru gerakan tubuh. Dalam story
telling, peserta didik berusaha sebaik mungkin
menampilkan gerakan tubuh menjadi aktor
utama misalnya dalam cerita Cinderela. Tidak
hanya menceritakan cerita ini dengan pelafalan
dan intonasi yang baik, tetapi juga gerakan
meniru gadis Cinderela yang penampilannya
seperti pelayan rumah tangga. Atau ketika
Cinderela melakukan gerakan tarian bersama
pangerannya dan gerakan lain yang bisa ditiru
oleh anak didik.
Membaca Auditori
Membaca auditori merupakan membaca dengan
keras melalui suara dengan latihan membaca
dan mendengar. Pada umumnya anak didik
melakukan teknik membaca auditori melalui
berbicara, yakni membaca puisi, story telling,
speech, dan lainnya. Ketika bercerita mengenai
dongeng ataupun cerita lainnya, anak didik
akan membaca dengan keras. Hal ini dilakukan
juga sebagai latihan mendengar. Latihan
mendengar bermanfaat untuk mengecek
kebenaran pelafalan dan intonasi dalam cerita
anak tersebut. Untuk mengefektifkan teknik
membaca auditori, sebaiknya guru membe-rikan
latihan membaca seperti menceritakan kembali
(story telling) atau melalui pidato (speech) kepada
anak didik. Khususnya dalam bidang studi
bahasa Inggris, guru lebih menekankan pada
keterampilan ini. Guru tidak hanya mengajarkan tentang grammar (tata bahasa) yang
bersifat pasif, tetapi juga memberikan skill yang
mengarahkan anak didik berprestasi melalui
English Competition. Setelah berhasil mengefektifkan teknik membaca auditori, guru sebaiknya
mengajarkan cara membaca yang tepat dan
intonasi kalimat intonasi yang sesuai. Hal ini
bisa terbantu melalui kamus bahasa Inggris yang
baku. Banyak manfaat yang bisa diperoleh
melalui teknik ini, antara lain sebagi berikut.
1. Melafalkan kata dengan tepat dan benar.
Melalui teknik ini, anak didik akan
melafalkan kata secara tepat. Selain itu,
ketika membaca suatu bacaan lainnya, anak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
33
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
didik akan memiliki kebiasaan baru untuk
membaca dengan lafal yang tepat.
2. Memperkaya kosakata
Teknik ini juga mendorong anak didik
memperkaya perbendaharaan kata, misalnya seperti kata adventure, adventurer,
adventurous. Anak didik tidak hanya mengenal dan mengetahui kata tersebut, tetapi juga
berpikir kreatif mengubah kata adventure
(noun) ke kelas kata yang berbeda; adventuros
(adj).
3. Mendorong prestasi anak
Teknik ini juga bermanfaat untuk siswa yang
sudah berprestasi, terutama yang pernah
mengikuti English Competition seperti speech,
story telling, news reading, dan lainnya. Teknik
ini meningkatkan prestasi anak untuk
menjuarai perlombaan. Di samping itu, juga
memperluas pengalaman di luar sekolah,
yakni menambah kekerabatan antar sekolah,
tampil berani di depan umum, menerima
kegagalan dengan jiwa besar apabila ia
kalah dalam kompetisi tersebut.
4. Menemukan bakat unik siswa
Melalui membaca auditori guru lebih mudah
menemukan bakat yang terpendam dalam
diri seorang anak. Guru yang
berpengalaman, tentulah lebih mengenal
anak didiknya untuk menemukan dan
menggali bakatnya yang terpendam.
Teknik membaca ini pada umumnya lebih
cocok diajarkan pada anak didik yang berani
tampil di depan kelas atau berbicara dominan
di antara anak didik lainnya. Namun dapat
terjadi guru menemukan sebagian anak didik
tidak terlalu menyenangi teknik membaca
auditori, karena berbagai faktor. Namun,
setidaknya guru sudah bisa mengajarkan
bagaimana melafalkan kata yang tepat dan
benar kepada anak didik yang minatnya kurang
terhadap teknik ini.
Membaca Visual
Teknik membaca visual merupakan teknik
membaca yang menjadikan suatu konsep dapat
terlihat dengan indra penglihatan. Teknik ini
memerlukan buku bacaan yang memberikan
gambar, ikon, diagram, peta dan sebagainya.
Buku bacaan yang bergambar, dapat merangsang anak untuk lebih berkonsentrasi dan
memudahkan anak didik memahami suatu
bacaan atau bahan ajar yang sedang dipelajari.
Selain itu, buku yang bergambar memotivasi
anak didik menggunakan waktu luangnya untuk
34
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
membaca. Semakin banyak buku yang tersajikan
dalam bentuk isi pengetahuan yang berbeda,
anak didik akan semakin gemar membaca buku
pengetahuan yang beragam. Namun, sering
guru mengajarkan bahan ajarnya secara
auditorial kepada anak didik, terlebih lagi pada
anak didik yang belajar secara visual. Berbagai
mata pelajaran/bidang studi sepert sejarah,
PLKJ (Pengetahuan Lingkungan Kota Jakarta)
dan lainnya, belum memanfaatkan gambar
sebagai alat belajar visual. Materi visualisasi
yang dicip-takan dan diajarkan menjadi esensi
kepemim-pinan yang sukses dan melalui materi
ini banyak anak didik terbantu pemahamannya.
Bahkan anak didik akan memperoleh kesuksesan dari materi visual yang ia ciptakannya di
masa depannya kelak. Oleh karena itu,
sebaiknya guru berusaha untuk memvisualkan
bahan ajarnya, misalnya, melalui Microsoft
Power Point (huruf), Microsoft Publisher, Microsoft
Excel (angka) atau dengan mengunduh gambar
yang berkaitan dengan bahan ajar serta menarik.
Teknik membaca visual tidak hanya mendorong
guru kreatif memvisualkan bahan ajarnya tetapi
juga mendorong dan meng-arahkan siswa untuk
berimajinasi. Teknik ini mendorong dan memikat
anak didik untuk mencipta hal yang baru
mengenai gambar. Pada umumnya pelajaran
seni lukis atau desain grafis mendorong anak
meningkatkan daya imajinasi, memvisualkan
pandangannya menjadi gambar atau tulisan
yang kreatif.
Manfaat teknik membaca visual antara lain:
1. Memudahkan pemahaman
Melalui sumber bacaan yang memberikan
gambar sebagai alat visual, teknik ini memudahkan pemahaman anak didik belajar dan
memampukan anak didik mengingat dalam
jangka waktu yang lama. Teknik ini membuat suasana belajar menyenangkan karena
pendidik tidak mengajarkan secara monoton, yang membuat anak bosan dan konsentrasinya menjadi lemah.
2. Meningkatkan daya imajinasi
Teknik membaca visual mendorong anak
berimajinasi dan meningkatkan daya
imajinasinya. Misalnya, anak didik menerapkan keahlian imajinasinya untuk
mengaitkan kata yang sulit dimengerti
dengan gambar yang diimajinasikannya.
3. Mengembangkan potensi seni lukis
Anak didik akan mengetahui perkembangan
teknologi, misalnya membuat: brosur, poster,
buku acara, dan lainnya dengan komputer.
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
Bahkan anak didik mampu mengkomunikasikan ide, hasil karya, dan memasarkan
produknya kepada konsumen.
Belajar Intelektual
Meier (2002) mendefinisikan bahwa teknik
belajar intelektual ialah “apa yang dilakukan
dalam pikiran mereka secara internal ketika
menggu-nakan kecerdasan untuk merenungkan
suatu pengalaman dan menciptakan hubungan,
rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.”
Pada umumnya kegiatan membaca hanya
memahami seperti mengenal tumbuhan berakar
tunggal atau serabut pada pelajaran Biologi.
Anak didik hanya mengenal jenis tumbuhan,
dan tumbuhan ini bisa bertumbuh atau berbuah,
bagaimana cara merawatnya dan lain sebagainya. Namun, semua kegiatan tersebut, hanya
membuat peserta didik mengenal dan memahami tumbuhan. Dengan membaca, anak didik
hanya mengerti namun tidak mempraktekkan
dalam kehidupan sehari-harinya.
Pengetahuan akan lebih bermakna kalau
dipraktekkan atau diamalkan. Oleh karena itu,
melalui teknik belajar intelektual anak didik
lebih mengandalkan kecerdasannya untuk
menciptakan pemahamannya menjadi pengalaman hidupnya. Contohnya, seperti di sekolah,
lahan untuk menanam terbatas, tetapi dengan
kecerdasan yang mereka miliki, anak didik
mampu menciptakan hidroponik (tanaman air)
untuk menanam. Selain itu, anak didik lebih
memahami dan memilih jenis tumbuhan berakar
serabut yang cocok untuk ditanam. Bahkan anak
didik memanfaatkan barang bekas untuk pipapipa hidiroponik. Pada mulanya cukup sulit
untuk menciptakan hidroponik dengan pengarahan dan pengawasan alat, akhirnya anak
didik berusaha dan mampu menciptakannya.
Hal penting dalam teknik membaca teknik
intelektual ialah tugas guru mengarahkan anak
didik menciptakan hubungan, makna, dan nilai
dari kecerdasannya. Diharapkan guru tersebut
memiliki pengalaman untuk mempraktekkannya atau sudah pernah melakukan
keberhasilan pengalaman belajarnya. Tidak
hanya pendidik mata pelajaran Biologi yang
boleh dan mampu mengintelektualkan teknik
belajar ini, pendidik lainnya pun sebaiknya
berusaha mengembangkan kreatifitasnya, lalu
menerapkannya kepada peserta didik untuk
menciptakan nilai kecerdasannya, lalu
menerapkan kepada anak didik. Berdasarkan
teknik belajar intelektual, berbagai manfaatnya
bisa kita peroleh antara lain, memanfaatkan
kecerdasan anak, menciptakan nilai dan makna
dari pengalaman belajar, mengkreatifkan pola
pikir anak didik dan bekerjasama dalam
kegiataan belajar antara anak didik dan guru
Kesimpulan
Dalam membaca buku, hal yang perlu diperhatikan oleh guru dan orang tua ialah memilih
bahan bacaan anak yang tepat. Selain itu, guru
sebaiknya memotivasi anak didik dengan reward
yang tidak berupa uang dan benda berharga.
Bahkan sebaiknya mengubah kebiasaan lama
anak didik saat membaca, yakni seperti membaca cepat, tidak melakukan regesi, membaca
tanpa vokalisasi. Di samping itu, perlu pula
memilih dan mengarahkan tempat membaca
yang tenang, nyaman dan menyenangkan,
misalnya perpustakaan, kamar pribadi anak dan
ruang belajar.
Membaca dengan melibatkan anggota tubuh
lebih baik daripada sekedar duduk dan diam.
Melalui pelajaran kosakata bahasa Inggris,
pendidik mengarahkan anak didik melibatkan
gerakan anggota tubuh seperti mata, jari pada
saat membaca kosakata (parts of body). Bahkan
anak didik pun boleh dan mampu menciptakan
gerakan tubuh yang kreatif setelah membaca
buku. Pada pelajaran olahraga guru tidak hanya
mengajarkan istilah olahraga dalam permainan
basket seperti pivot, drible, passing dan lainnya.
Tetapi juga mempraktekkan melalui gerakan
untuk melakukan teknik tersebut.
Dalam teknik belajar auditorial, guru
memberikan latihan membaca seperti story telling
dan speech. Latihan akan menjadi suatu keterampilan bagi anak didik dalam kehidupannya.
Anak didik bisa memanfaatkan skillnya untuk
English Competition sebagai story teller, speaker,
news reader dan lainnya. Selain itu, guru juga
mengajarkan cara melafalkan kata dengan tepat
dan menggunakan intonasi sesuai situasi dan
konteks.
Membaca visual merupakan konsep yang
dapat terlihat dengan indra penglihatan. Untuk
mengefektifkan teknik membaca visual,
hendaknya guru memvisualkan bahan ajarnya,
seperti tulisan-tulisan yang dianimasikan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
35
Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran
melalui power point atau mengunduh gambargambar menarik yang berkaitan dengan bahan
ajar. Selain itu guru memotivasi imajinasi anak
didik melalui pelajaran seni lukis dan desain
grafis. Melalui pemahaman seni lukis yang
diberikan, mereka berusaha menciptakan tulisan
atau gambar yang unik dan kreatif dari teknik
membaca visual.
Dalam teknik belajar intelektual, anak didik
sebaiknya mengandalkan kecerdasannya
menciptakan pemahamannya menjadi pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, guru
diharapkan mengarahkan dan mendorong anak
didik menciptakan kecerdasan intelektualnya
dalam pengalaman belajarnya seperti membuat
tanaman hidroponik. Selain itu, guru sebaiknya
mencari kreativitas dirinya menciptakan
kecerdasan intelktualnya dalam proses
pembelajaran untuk diterapkan kepada anak
didik.
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Daftar Pustaka
De Porter, Bobby dan Heinackie. (2003). Quantum
learning; Membiasakan belajar nyaman dan
menyenangkan. Bandung: Kaifa
Hernowo, (ED). (2003). Quantum reading. MLC
Meier, Dave. (2002). The accelerated learning
handbook; panduan kreatif dan efektif
merancang program pendidikan dan
pelatihan. Bandung: Kaifa
Rose. (1999). K.U.A.S.A.I Lebih cepat; Buku pintar
accelerated learning. Bandung: Kaifa
Soedarso. (2005). Speed reading. Jakarta: PT.
Gramedia
Wainwright, Gordon (2007). Speed reading better
recalling. Jakarta: Gramedia
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional
Opini
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai
Ukuran bagi Pendidikan yang Bermutu dan Implikasinya
Soedijarto*)
Abstrak
alam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas melalui pendidikan, telah
diterbitkan Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan pendidikan nasional.
Undang-undang tersebut yang telah diubah/disempurnakan sebanyak tiga kali itu,
memuat tujuan pendidikan nasional yang sekaligus dapat dianggap sebagai ciri bangsa
Indonesia yang diharapkan. Tulisan ini membahas tujuan pendidikan nasional dan makna
pendidikan yang bermutu serta modelnya, faktor yang mempengaruhi pendidikan yang bernutu
serta indikatornya, dan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
D
Kata kunci: Tujuan pendidikan nasional, mutu pendidikan, strategi penyelenggaraan pendidikan.
To create intelligent Indonesian societies, the Goverment of Indonesia has issued regulations in managing
national education system in which the national education objectivies are stated explicitly. This article discusses
the national education objectives and its indicators, the factors influencing the quality of education and the
strategy of managing quality education.
Pendahuluan
Sejak UU No. 4 Tahun 1950, melalui UU No. 2
Tahun 1989 dan terakhir UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggara Negara (Pemerintah dan DPR) nampak
telah berusaha untuk menterjemahkan amanat
yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dan
pasal 31 UUD 1945, yaitu mencerdaskan
kehidupan melalui diusahakan-nya dan
diselenggarakannya satu sistem pendidikan
nasional, sebagai terbukti dari rumusan tujuan
pendidikan nasional yang hakekatnya
menggambarkan karakteristik manusia
Indonesai yang terdidik yang selalu meliputi
dimensi karakter, kepribadian, di samping
kecerdasan yang bila tercapai akan melahirkan
generasi muda yang mampu mendukung
terwujudnya masyarakat bangsa Indonesia yang
cerdas kehidupannya. Lima puluh delapan
tahun telah berlalu sejak Negara Indonesia yang
merdeka, pada tahun 1950 telah memiliki UU
No. 4 Tahun 1950 yang menegas-kan tentang
tujuan pendidikan nasional, tetapi nampaknya
tujuan pendidikan yang digariskan dalam setiap
UU hanya menjadi bahan retorika dan tidak
benar-benar dijadikan tolok ukur untuk menilai
mutu pendidikan. Bahkan ironisnya akhir-akhir
ini sementara pejabat memandang bahwa hasil
Ujian Nasional dijadikan tolok ukur mutu
pendidikan nasional. Padahal Ujian Nasional
tidak mengukur karakter, dan kecerdasan dasar
melainkan hanya mengukur penguasaan
pengetahuan hasil menghafal. Dalam kondisi
perkembangan pendidikan yang demikian, di
satu pihak mengabaikan upaya mencapai tujuan
pendidikan nasional, dan di pihak lain berbagai
*) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
37
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional
ketentuan dalam UUD 1945, UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
yang bila dilaksanakan secara konsisten akan
dapat menunjang tercapainya tujuan
pendidikan nasional. Pada kesempatan ini
penulis secara berturut-turut akan menganalisis
: (1) tujuan pendidikan nasional dan makna
pendidikan yang bermutu serta indikatornya, (2)
faktor yang mempengaruhi pendidikan yang
bermutu, (3) strategi penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu, dan (4) catatan
penutup.
Ini berarti bahwa pendidikan nasional,
terutama sistem persekolahannya harus mampu
menghasilkan lulusan yang dapat mendukung
terwujudnya “Bangsa yang cerdas kehidupannya”. Di sinilah pendidikan yang bermutu :
yaitu pendidikan yang mampu menghasilkan
manusia Indonesia yang cerdas, yang berkarakter, yang sehat jasmani dan rohani, beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karakteristik manusia Indonesia yang
demkian, sejak UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No.
12 Tahun 1954 sampai UU No. 20 Tahun 2003
dirumuskan sebagai tertulis berikut ini
1. Dalam UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12
Tahun 1954
“Manusia susila yang cakap dan
Pembahasan
demokratis serta bertanggung jawab”
I. Tujuan Pendidikan Nasional dan Makna 2. UU No. 2 Tahun 1989
“Manusia yang beriman dan bertakwa
Pendidikan yang Bermutu serta
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
Indikatornya
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
Para pendiri Republik sadar akan ketertinggalan
ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
masyarakat bangsanya pada saat proklamasi 17
kepribadian yang mantap dan mandiri
Agustus 1945, hampir dalam seluruh aspek
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
kehidupan masyarakat, diukur dari perkemdan kebangsaan.
bangan peradaban dunia baik politik, ekonomi,
3.
UU
No. 20 Tahun 200. “Manusia yang
IPTEK, dan sosial budaya, meletakkan upaya
beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang
“mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai
Maha Esa yang
salah satu misi
berakhlak mulia,
penyelenggaraan
sehat, berilmu, capemerintah Negara
kap, kreatif, mandiri,
Indonesia. Ini berSejarah perkembangan dunia
dan menjadi warga
arti harus ada upaya
menunjukkan bahwa
Negara yang demountuk melakukan
keberhasilan pembangunan
kratis serta bertangtransformasi
gung jawab.
suatu bangsa tergantung dari
budaya, dari “budaPertanyaaannya
sistem pendidikannya
ya tradisional dan
seberapa jauh pefeodal”, menjadi
nyelenggaraan
“budaya demokrapendidikan
tis dan modern”,
nasional
sejak
tahun
1950
telah
berupaya untuk
suatu upaya yang dalam bahasa Bung Karno
mencapai
tujuan
pendidikan
nasional? Yang
suatu “Summing up of many revolution in one
jelas
kenyataan
di
lapangan
menunjukkan
generation”. Sejarah perkembangan dunia
berbagai
gejala
seperti
maraknya
tingkah laku
menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunkoruptif,
belum
tegaknya
“rule
of law”,
an suatu bangsa tergantung dari sistem
rendahnya
budaya
demokrasi,
menunjuk-kan
pendidikannya (Amerika Serikat dengan Thomas
Jefferson, Jerman dengan Otto von Bismarcknya, bahwa cita-cita diselenggarakannya pendidikan
Jepang dengan Kaisar Meijinya, dan akhir-akhir nasional sebagai tertulis dalam tujuan
ini Malaysia dengan Mahatir, Korea Selatan pendidikan nasional seperti : “Manusia susila,
dengan Park Chung Hee, dan China dengan Den manusia yang bertanggung jawab”, manusia
Xiao Ping). Karena itu para pendiri Republik yang demokratis (UU No 4 Tahun 1950),
dalam UUD 1945 pasal 31 menetapkan beriman dan bertakwa, berbudi luhur,
“Pemerintah mengusahakan dan menyeleng- berakhlak mulia, bertanggung jawab,
garakan satu sistem pengajaran nasio- demokratis, (UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No,
20 Tahun 2003), jauh dari tercapai. Kalau di
nal”(sebelum amandemen).
38
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional
Negara lain (terutama Amerika Serikat) pasti
muncul pertanyaan “What’s wrong with American
Classroom?”. Di Indonesia dengan kondisi
masyarakat seperti ini tidak mendorong lahirnya
pertanyaan dari para elit “Apa yang salah dengan kelas-kelas sekolah di Indonesia?” Memang
pada tahun 1998, sepuluh tahun yang lalu
penulis, menghadapi krisis multidimensi,
mengajukan pertanyaan “Apa yang salah
dengan pendidikan di Indonesia?” Pertanyaan
yang penulis ajukan sama sekali tidak bergema.
Yang dipersoalkan terutama Undang-undang
bukan menyoroti “Apa yang dipelajari anakanak di sekolah?”
Penulis tidak terkejut mengamati tiadanya
elit politik yang tidak tersentuh dengan
fenomena masyarakat dalam kaitannya dengan
kondisi pendidikan terutama sekolah-sekolah,
karena seorang pakar pendidikan-pun
menyamakan “karakteristik manusia sebagai
yang digariskan dalam UU Pendidikan, baik UU
No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 Tahun
2003” dengan karakteristik malaikat sehingga
sukar dicapai. Pakar ini benar sepanjang proses
belajar di sekolah kita tidak lebih dari
mendengar, mencatat, menghafal, dan
menjawab soal dalam bentuk pilihan ganda.
Tetapi bila sekolah benar-benar dapat dijadikan
proses pembudayaan berbagai kemampuan,
nilai, dan sikap sebagai yang diamanatkan
dalam GBHN 1999 dan selanjutnya menjadi
prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagai
digariskan dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 20
Tahun 2003 dan karakteristik manusia sebagai
yang dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003
akan tercapai.
Dari ulasan terdahulu dapatlah ditarik
suatu kesimpulan bahwa suatu penyelenggaraan akan dinilai sebagai bermakna bila
lulusannya memiliki karakteristik dari
manusia yang dalam UU No. 20 Tahun 2003
dinyatakan sebagai berikut.
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME;
2. Berakhlak mulia;
3. Sehat;
4. Berilmu;
5. Cakap;
6. Kreatif;
7. Mandiri;
8. Demokratis; dan
9. Bertanggung jawab.
Manusia Indonesia yang demikianlah yang
akan mampu mendukung terwujudnya
masyarakat bangsa Indonesia yang cerdas
kehidupannya, yaitu masyarakat yang maju,
modern, demokratis, rasional, makmur, dan
berkeadilan berdasarkan Pancasila.
Pertanyaan selanjutnya adalah: “Faktorfaktor apakah yang dapat mempengaruhi
meningkatnya mutu pendidikan?” Bagian
berikut akan mencoba menganalisisnya.
II.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu
Pendidikan
Seorang ahli ekonomi pendidikan Henry M Levin
yang mempelajari faktor yang mempengaruhi
mutu pendidikan sampai kepada paradigma
bahwa mutu pendidikan dipengaruhi oleh
proses pendidikan yang dialami peserta didik,
sedangkan proses pendidikan dipengaruhi oleh
kondisi dari ketersediaan sumber daya
pendidikan termasuk didalamnya tenaga
pendidik, sedangkan ketersediaan sumber
daya pendidikan dipengaruhi oleh anggaran
pendidikan, sedangkan anggaran pendidikan
dipengaruhi oleh kebijaksanaan yang merupakan hasil proses politik, Secara diagramatik
paradigma itu dapat digambarkan sebagai
berikut.
Proses Politik
(1)
Proses
Kebijakan
Politik
(2)
Anggaran Pendidikan
(3)
Sumber Daya Pendidikan
(4)
Proses Pendidikan
(5)
Hasil Belajar
(6)
Mutu Lulusan
(7)
Masyarakat
Dari diagram yang menggambarkan
sekuensial dari faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, jelaslah bahwa tidak
mungkin kita mengharapkan meningkatnya
mutu pendidikan bila kualitas proses
pendidikan tidak ditingkatkan. Kualitas proses
pendidikan tidak akan mungkin dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
39
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional
meningkat bila sumber daya pendidikan, yang
meliputi sarana dan prasarana, tenaga
pendidikan, dan manajemen pendidikan tidak
dipenuhi dan ditingkatkan kualitasnya. Yang
terakhir ini tidak mungkin dapat ditingkatkan
kualitasnya bila tidak dipenuhi keperluan
anggarannya.
Dari PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan telah ditetapkan lingkup
standar nasional sebagai yang tertulis dalam
pasal 2 ayat (1) yang meliputi : (1) standar isi; (2)
Standar proses; (3) Standar Kompetensi Lulusan;
(4) standar Pendidik dan tenaga kependidikan;
(5) standar sarana dan prasarana; (6) standar
pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8)
standar penilaian pendidikan. Dari ketentuan
tersebut jelaslah faKtor-faktor yang harus
diperhatikan untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Dari delapan lingkup yang perlu
distandardisasi sesungguhnya standar kompetensi kelulusan, sesuai dengan paradigma yang
diulas terdahulu, harusnya merupakan standar
yang ketercapaiannya tergantung dari
keterpenuhinya tujuh standar lainnya. Karena
itu urutannya hendaknya menjadi:
1)
Pendidik dan Tenaga Pendidikan
2)
Sarana dan Prasarana
3)
Isi
4)
Proses
5)
Sistem Evaluasi
6)
Pembiayaan
7)
Pengelolaan
8). Kompetensi lulusan
Karena itu dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan jangan dimulai dengan
Ujian Nasional, kecuali kalau tujuannya
hanya untuk pemetaan. Di samping itu
model Ujian Nasional yang kita anut
menghambat tercapainya tujuan pendidikan nasional. Karena tujuan pendidikan
nasional yang menggambarkan karakteristik manusia Indonesia hanya akan
tercapai melalui pendidikan sebagai proses
pembudayaan. Untuk itu bagian berikut
akan mencoba menganalisisnya.
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
III. Strategi Penyelenggaraan Pendidikan
Nasional yang Bermutu dan Implikasinya
Berangkat dari paradigma bahwa mutu
pendidikan tergantung dari mutu proses
pendidikan dan proses pendidikan tergantung
dari kualitas dan ketersediaan sumber daya
pendidikan, agar mutu pendidikan meningkat
tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan
kualitas proses pendidikan. Pertanyaannya
adalah bagaimana menyelenggarakan sistem
pendidikan yang memungkinkan para peserta
didik dapat menghayati proses belajar sebagai
proses pembudayaan berbagai kemampuan,
nilai, dan sikap yang intinya tertulis dalam
tujuan pendidikan nasional yang digariskan
dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003.
Sesungguhnya UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengandung filosofi bagi terjadinya proses belajar
sebagai proses pembudayaan, seperti dapat
dibaca dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 4 ayat
(3) yang masing–masing tertulis:
Pasal 1 ayat (1) :
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pasal 4 ayat (3) :
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.
Dua ketentuan tersebut merupakan landasan yang kokoh bagi perlu dirancangnya proses
pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan. Karena hanya proses pembelajaran yang
demikianlah yang dapat mendukung
terlaksananya fungsi pendidikan nasional sebagai
yang digariskan dalam pasal 3 yang tertulis:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Fungsi pendidikan nasional sebagai yang
tertulis dalam pasal 3 UU No 20 Tahun 2003
hakikatnya sejalan dengan pernyataan Komisi
Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional
Internasional UNESCO untuk Pendidikan
menghadapi abad ke-21 yang mendudukkan
pendidikan untuk “moulding character and mind
of young generation”. Untuk kepentingan ini
komisi tersebut menganjurkan diterapkannya
empat pilar belajar : (1) learning to know; (2)
learning to do; (3) learning to live together; dan (4)
learning to be.
Pandangan penulis bahwa hakekat
pendidikan sebagai yang tertulis dalam pasal 1
ayat (1) dan prinsip pendidikan yang tertulis
dalam pasal 4 ayat (3) akan terwujud melalui
penerapan empat pilar belajar tersebut.
Yang menarik perhatian penulis adalah
bahwa lima tahun setelah UU No. 20 Tahun 2003
berlaku belum ada tanda-tanda akan diterapkannya kaidah-kaidah tersebut. Kita masih
menemukan proses belajar yang masih
tradisional dalam bentuk mendengar, mencatat,
menghafal. Praktek itu diperkuat dengan
diterapkannya sistem Ujian Nasional yang
dalam dirinya bertentangan dengan prinsip
pendidikan demokrasi yang dianut UU No, 20
Tahun 2003. Karena hakekat pendidikan
demokrasi disamping tidak diskriminatif juga
mengutamakan upaya untuk mengembangkan
potensi peserta didik seoptimal mungkin sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana proses
pendidikan yang bermutu yang bermakna proses
pembudayaaan yang menerapkan empat pilar
belajar dapat terwujud? Ini dapat terwujud bila
semua guru sudah berkualifikasi professional,
setiap sekolah dilengkapi dengan sarana dan
prasarana sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005,
dan sistem evaluasi yang dilaksanakan secara
terus menerus, komprehensif, dan obyektif.
Hal ini hanya dapat terlaksana bila tersedia
dana yang memungkinkan :
(1) Setiap guru yang profesional mendapat
jaminan kesejahteraan yang memadai
(perumahan, asuransi kesehatan, dan
penghasilan yang memadai untuk hidup
sebagai profesional) ;
(2) Setiap sekolah dilengkapi dengan
kelengkapannya sesuai dengan PP No. 19
Tahun 2005 yaitu ruang kerja guru,
perpustakaan, laboratorium, tempat olah
raga, ruang kesenian; dan
(3) Setiap peserta didik memiliki buku pelajaran,
buku bacaan, dan buku rujukan.
Karena itu agar mutu pendidikan dapat
meningkat sehingga pendidikan nasional dapat
melaksanakan fungsinya diperlukan dana
sekurang-kurangnya 20% APBN
Kesimpulan
Dari serangkaian ulasan dari bagian I sampai
IV dapat ditarik beberapa catatan berikut.
1. Pendidikan nasional dapat dinilai bermutu
bila lulusannya memiliki karakteristik
sebagai yang terdapat dalam tujuan pendidikan seperti tertulis dalam pasal 3 UU No.
20 Tahun 2003. Dan mutu pendidikan yang
demikianlah yang dapat memungkinkan
sistem pendidikan nasional berfungsi
mencerdaskan kehidupan bangsa;
2. Fenomena terjadinya banyak korupsi, belum
membudaya demokrasi sebagai sistem
politik, belum mantapnya penegakan
hukum, adalah wujud belum bermutunya
pendidikan nasional;
3. Fenomena tersebut dalam butir 2 terjadi
karena ketentuan tentang tujuan pendidikan nasional baik pada UU No. 4 Tahun 1950
Jo No. 12 Tahun 1954, UU No. 2 Tahun 1989,
dan UU No. 20 Tahun 2003 belum pernah
diupayakan pencapaiannya melalui
penyelenggaraan pendidikan nasional
yang relevan;
4. Agar tujuan pendidikan nasional tercapai
yang berarti pendidikan yang menjadi
bermutu, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) dan
pasal 4 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, perlu
diselenggarakan pendidikan yang memungkinkan peserta didik menghayati proses
pembelajaran yang bermakna proses
pembudayaan. Untuk itu perlu diterapkan
empat pilar belajar : (1) learning to know; (2)
learning to do; (3) learning to live together; dan
(4) learning to be.
5. Agar peserta didik dapat menghayati proses
pembelajaran sebagai yang dinyatakan
dalam butir 4 perlu disediakan dana
sekurang-kurangnya 20 % APBN.
Daftar Pustaka
------- UU no. 20 Tahun 2003
------- UUD 1945
------- UU No. 12 Tahun 1954
------- PP No. 19 Tahun 2005
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
41
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
Opini
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk
Meningkatkan Daya Saing Sekolah
David Wijaya*)
Abstrak
ewasa ini, persaingan antarsekolah semakin atraktif. Pemasaran untuk lembaga pendidikan
mutlak diperlukan. Sekolah sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan perlu belajar dan
memiliki inisiatif untuk meningkatkan kepuasan pelanggan (siswa) karena pendidikan
merupakan proses sirkuler yang saling mempengaruhi dan berkelanjutan. Oleh karena
itu, diperlukan strategi pemasaran jasa pendidikan untuk memenangkan kompetisi antar sekolah
serta untuk meningkatkan akselerasi peningkatan kualitas dan profesionalisme manajemen sekolah.
D
Kata kunci: Pemasaran jasa pendidikan, daya saing sekolah, lembaga pendidikan
Nowadays, an interscholastic competition is more attractive. Marketing for the educational institution is
absolutely needed. School as an educational service institution requires learning and having initiative to
increase customer satisfaction (student) because education represents a circular process which influences each
other and have continuation. Therefore, service marketing strategy of education is needed to win interscholastic
competition, and also to increase acceleration of quality improvement and management professionalism of
school.
Pendahuluan
Setiap kali kita mendengar kata pemasaran
(marketing), maka pemikiran kita selalu tertuju
kepada dunia bisnis. Hal ini wajar karena kata
atau istilah marketing tersebut seringkali muncul
dan berkembang di kalangan bisnis, baik bisnis
jasa maupun bisnis manufaktur. Lalu, timbul
pertanyaan apakah perlu memasarkan sekolah.
Pemasaran untuk lembaga pendidikan
(terutama sekolah) mutlak diperlukan. Pertama,
sebagai lembaga nonprofit yang bergerak dalam
bidang jasa pendidikan, untuk level apa saja, kita
perlu meyakinkan masyarakat dan “pelanggan”
(peserta didik, orang tua, serta pihak-pihak
terkait lainnya) bahwa lembaga pendidikan
*) Dosen Universitas Krida Wacana Jakarta
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
yang kita kelola masih tetap eksis. Kedua, kita
perlu meyakinkan masyarakat dan “pelanggan”
bahwa layanan jasa pendidikan yang kita
lakukan sungguh relevan dengan kebutuhan
mereka. Ketiga, kita perlu melakukan kegiatan
pemasaran agar jenis dan macam jasa pendidikan yang kita lakukan dapat dikenal dan
dimengerti secara luas oleh masyarakat, apalagi
“pelanggan” kita. Keempat, agar eksistensi
lembaga pendidikan yang kita kelola tidak
ditinggalkan oleh masyarakat luas serta
“pelanggan” potensial. Dengan demikian,
kegiatan pemasaran bukan sekedar kegiatan
bisnis agar lembaga-lembaga pendidikan yang
kita kelola mendapatkan peserta didik atau
murid, melainkan juga merupakan bentuk
tanggung jawab (accountability) kita kepada
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
masyarakat luas (publik) akan layanan jasa
pendidikan yang telah, sedang, dan akan kita
lakukan.
Akhir-akhir ini, kita seringkali mendengar
berbagai komentar tentang mutu pendidikan.
Pada umumnya, komentar yang ada hanyalah
sebatas wacana karena masyarakat melihat dan
merasakan rendahnya mutu pendidikan tetapi
sulit untuk membuktikan kebenaran dari
komentar tersebut. Oleh karena itu, kita perlu
mencari dari mana penyebab timbulnya wacana
tersebut. Untuk membuktikan wacana tersebut,
tidak cukup hanya menggunakan data Human
Development Index (HDI) yang menjadi acuan
untuk menunjukkan keadaan pendidikan kita
dibandingkan negara lain. Data HDI tersebut
tidak dapat menunjukkan keadaan pendidikan
secara khusus karena variabel yang digunakan
sebagai ukuran bukan hanya pendidikan,
melainkan juga variabel kesehatan dan
pendapatan per kapita.
Beragam keluhan yang dilontarkan
masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan
terhadap mutu pelayanan pendidikan perlu
ditanggapi. Oleh karena itu, sangatlah tidak adil
kalau mutu seluruh lembaga pendidikan beserta
keluarannya disamaratakan karena banyak
lembaga pendidikan yang baik dengan keluarannya yang baik pula. Lembaga pendidikan
tersebut menjadi idaman bagi pengguna jasa
pendidikan. Hal ini dapat digunakan sebagai
indikator bahwa masih banyak lembaga
pendidikan yang dapat memberikan pelayanan
pendidikan yang sesuai dengan keinginan
konsumennya (siswa) serta lembaga pendidikan
tersebut menghasilkan keluaran yang
didambakan oleh masyarakat.
Dewasa ini, persaingan antarsekolah
semakin atraktif. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya berbagai upaya kreatif dan
inovatif dari para penyelenggara pendidikan
untuk terus menggali “keunikan dan keunggulan” sekolahnya agar semakin dibutuhkan
dan diminati oleh para pengguna jasa pendidikan. Masuknya sekolah-sekolah unggulan
dengan kurikulum bertaraf internasional serta
lahirnya sekolah negeri maupun sekolah swasta
yang menawarkan beranekaragam keunggulan
fasilitas, bahkan dengan biaya yang relatif
terjangkau, akan menambah maraknya
persaingan di dalam dunia pendidikan. Kegiatan
pemasaran di dalam dunia pendidikan yang
dulu dianggap tabu karena berbau bisnis dan
cenderung profit oriented, sekarang sudah
dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Sekolah sebagai lembaga penyedia jasa
pendidikan perlu belajar dan memiliki inisiatif
untuk meningkatkan kepuasan pelanggan
karena pendidikan merupakan proses sirkuler
yang saling mempengaruhi dan berkelanjutan.
Hal ini menjadi sinyal positif dalam hal
peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Upaya sekolah untuk menggaet input
yang lebih capable dan matang (calon siswa
potensial) telah menjadi tuntutan yang wajib
dipenuhi dalam rangka mendukung proses
pembelajaran serta meningkatkan daya saing
antar sekolah. Oleh karena itu, diperlukan
strategi pemasaran jasa pendidikan untuk
memenangkan kompetisi antar sekolah serta
untuk meningkatkan akselerasi peningkatan
kualitas dan profesionalisme manajemen
sekolah.
Definisi Jasa
Dewasa ini, jasa pendidikan memegang peranan
vital dalam mengembangkan dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Akan tetapi,
minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa
pendidikan dapat dikatakan baru berkembang
dalam satu dekade terakhir ini. Keberhasilan
jasa pendidikan dapat ditentukan dalam bentuk
pemberian layanan yang berkualitas kepada
para pengguna jasa pendidikan (siswa). Sebelum
lebih jauh membahas mengenai pemasaran jasa
pendidikan, maka terlebih dahulu akan dibahas
mengenai pengertian jasa dari beberapa ahli
sehingga pemasaran jasa pendidikan yang
dimaksud dalam artikel ini dapat dipahami
secara komprehensif.
Menurut Lovelock (2004), jasa dapat
didefinisikan sebagai berikut.
1. Tindakan atau perbuatan yang ditawarkan
oleh suatu kelompok kepada kelompok
lainnya.
2. Aktivitas ekonomi yang menciptakan nilai
dan menyediakan manfaat bagi pelanggan
pada waktu dan tempat tertentu.
3. Sesuatu yang dapat dibeli dan dijual.
Senada dengan Lovelock, Zeithaml dan
Bitner (2003) mengatakan bahwa jasa meliputi
semua aktivitas ekonomi dengan output selain
produk fisik atau konstruksi, yang pada
dasarnya dikonsumsi dan diproduksi pada saat
yang bersamaan, serta menyediakan nilai
tambah (dalam bentuk kenyamanan, hiburan,
ketepatan waktu, kesenangan, atau kesehatan)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
43
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
yang pada hakekatnya tidak berwujud bagi para
pembeli pertamanya.
Sedangkan Kotler dan Keller (2006) mengemukakan pengertian jasa sebagai setiap
tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan
oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada
dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya
dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan
suatu produk fisik.
Pada bagian lain, Stanton (2002) mendefinisikan jasa sebagai aktivitas-aktivitas yang dapat
diidentifikasi dan tidak berwujud yang
merupakan obyek utama dari suatu transaksi
yang dirancang untuk menyediakan kepuasan
yang diinginkan oleh pelanggan.
Lamb et al. (2001) memberikan pengertian
jasa sebagai hasil dari usaha penggunaan
manusia dan mesin terhadap sejumlah orang
atau obyek. Jasa meliputi suatu perbuatan,
kinerja, atau suatu upaya yang tidak dapat
diproses secara fisik.
Definisi jasa menurut Alex (2006) adalah
suatu produk tidak berwujud yang melibatkan
suatu perbuatan, kinerja, atau usaha yang secara
fisik tidak dapat dimiliki. Komponen utama dari
jasa adalah tidak berwujud, yang meliputi sewa
barang, perubahan dan perbaikan barang yang
dimiliki oleh pelanggan, dan jasa pribadi.
Dari definisi yang dikemukakan oleh
Lovelock, Zeithaml dan Bitner, Kotler dan Keller,
Stanton, Lamb et al. dan Alex, maka dapat
dikatakan bahwa jasa merupakan suatu usaha
atau kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud,
namun dapat dinikmati. Jasa merupakan
tindakan atau perbuatan yang seringkali
melibatkan hal-hal yang berwujud. Akan tetapi,
jasa itu sendiri pada dasarnya tidak berwujud.
Menurut Munir (1991), jasa adalah suatu
bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu
yang diberikan kepada orang lain (dalam hal
ini pelanggan) agar kebutuhan pelanggan
tersebut dapat terpenuhi sesuai dengan harapan
mereka.
Menurut Siagian (1998), jasa secara umum
adalah upaya untuk memberikan kesenangankesenangan kepada pelanggan dengan adanya
kemudahan-kemudahan agar pelanggan dapat
memenuhi kebutuhannya.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Munir
dan Siagian, maka dapat dikatakan bahwa jasa
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
44
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
untuk memberikan manfaat bagi pelanggan
yang sesuai dengan harapan pelanggan.
Dari pengertian jasa yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis di atas, maka dapat
dikatakan bahwa jasa merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi untuk
memberikan manfaat bagi pelanggan. Jasa
merupakan tindakan atau perbuatan yang
seringkali melibatkan hal-hal yang berwujud.
Akan tetapi, jasa itu sendiri pada dasarnya tidak
berwujud.
Pada dasarnya, produk yang dihasilkan
oleh sekolah adalah jasa pendidikan dan
lulusan, yang disajikan kepada pelanggannya,
yaitu siswa. Jasa pendidikan terbagi atas jasa
kurikuler, penelitian, pengembangan kehidupan
bermasyarakat, ekstrakurikuler, dan administrasi. Bentuk jasa pendidikan tersebut hendaknya sejalan dengan permintaan pasar atau
keinginan pasar yang diikuti oleh kemampuan
dan kesediaan dalam membeli jasa pendidikan.
Sekolah hendaknya dapat berorientasi kepada
kepuasan pelanggannya. Jasa pendidikan
merupakan jasa yang bersifat kompleks karena
bersifat padat karya dan padat modal. Padat
karya berarti dibutuhkan banyak tenaga kerja
yang memiliki keterampilan khusus dalam
bidang pendidikan, sedangkan padat modal
berarti membutuhkan infrastruktur pendidikan
yang lengkap dan mahal.
Klasifikasi Jasa
Pengelompokkan jasa akan membantu kita
dalam memahami manajemen jasa. Untuk
menunjukkan beberapa masalah umum yang
terjadi secara lintas sektoral, Schmenner (1986)
mengelompokkan jasa ke dalam matriks proses
jasa. Di dalam matriks ini, jasa diklasifikasikan
menjadi dua dimensi yang secara signifikan
mempengaruhi karakter proses penyampaian
jasa, yaitu:
1. Dimensi vertikal
Dimensi vertikal ini mengukur tingkat
intensitas tenaga kerja, yaitu rasio antara
biaya tenaga kerja terhadap biaya modal.
Oleh karena itu, jasa ini memerlukan modal
yang besar, seperti rumah sakit, yang berada
di posisi baris bawah karena investasi awal
yang berupa gedung rumah sakit beserta
segala fasilitas dan peralatannya jauh
diatas biaya tenaga kerja. Sementara itu, jasa
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
yang bersifat padat karya seperti sekolah,
berada di posisi baris atas karena biaya
tenaga kerjanya relatif lebih besar daripada
kebutuhan modal kerjanya.
2. Dimensi horizontal
Dimensi horizontal ini mengukur tingkat
interaksi dan kustomisasi pelanggan,
dimana variabel pemasaran yang menggambarkan kemampuan pelanggan itu
mempengaruhi sifat-sifat jasa yang
disampaikan kepadanya. Jika dibandingkan dengan jasa yang dikustomisasi, jasa
yang distandarisasi memerlukan sedikit
interaksi antara pelanggan dengan
penyedia jasa. Misalnya, interaksi antara
tamu hotel dengan duty manager tidak sebesar
interaksi antara dokter dengan pasiennya.
Itulah sebabnya maka pada matriks di
bawah ini, terlihat bahwa hotel berada pada
kolom kiri bawah, sedangkan dokter berada
pada kolom kanan atas.
Pada matriks strategi dalam Gambar 1 di
bawah ini, jasa dikelompokkan ke dalam empat
kuadran yang masing-masing diberi nama untuk
menggambarkan sifat jasa yang diilustrasikan.
beberapa jasa yang dapat dikustomisasi,
tetapi hal ini masih dilakukan di dalam
lingkungan dengan modal yang tinggi,
seperti rumah sakit dan bengkel mobil.
3. Jasa massal (mass service)
Pelanggan jasa massal akan menerima jasa
yang seragam, yang dibuat dengan konsep
padat karya, seperti sekolah, pedagang
eceran, dan pedagang grosir.
4. Jasa profesi (professional service)
Pelanggan jasa profesi akan menerima
layanan khusus dari para spesialis dan
bentuk layanannya berbeda-beda untuk
setiap individu pelanggan, seperti arsitek,
konsultan bisnis, akuntan, dan dokter.
Kotler dan Keller (2006) mengklasifikasikan
industri jasa menjadi 4 sektor, yaitu:
1. Sektor pemerintah, yang berada pada bisnis
jasa, meliputi pengadilan, pelayanan
ketenagakerjaan, rumah sakit, lembaga
pemberi pinjaman, militer, kepolisian,
pemadam kebakaran, kantor pos, lembaga
pembuat peraturan, dan sekolah.
2. Sektor nirlaba swasta, yang berada pada
bisnis jasa, meliputi museum, badan amal,
gereja, perguruan tinggi, yayasan, dan
rumah sakit.
3. Sektor bisnis, yang berada
Gambar 1: Matriks Proses Jasa
pada bisnis jasa, meliputi
Tingkat interaksi dan kustomisasi
perusahaan penerbangan,
bank, jasa komputer, hotel,
Mass Service
Professional Service
perusahaan asuransi, konsulTinggi
tan hukum, konsultan manajeSekolah
Dokter
P
e
d
a
g
a
n
g
e
c
e
r
a
n
K
o
n
s
u
l
t
a
n
b
i
s
n
i
s
men, praktek dokter, perusaTingkat intensitas
tenaga kerja
haan film, dan perusahaan real
Service Factory
Service Shop
estat.
R en d ah
Maskapai penerbangan Rumah sakit
4. Sektor manufaktur, yang
Hotel
Bengkel mobil
merupakan penyedia jasa,
R en d ah
Tinggi
meliputi operator komputer,
akuntan, dan staf hukum.
Berdasarkan matriks di atas, jasa dapat
diklasifikasikan menjadi empat kategori sebagai
berikut.
1. Pabrik jasa (service factory)
Seperti halnya suatu pabrik, pabrik jasa
menyediakan jasa yang telah terstandarisasi dan pada umumnya memerlukan
investasi yang tinggi, seperti maskapai
penerbangan dan hotel.
2. Toko jasa (service shop)
Seperti halnya barang-barang yang dijual
di sebuah toko, toko jasa menyediakan
Karakteristik Jasa
Pada dasarnya, jasa merupakan sesuatu yang
diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain
yang sifatnya tidak berwujud dan tidak memiliki
dampak perpindahan hak milik. Hal tersebut
sangat erat kaitannya dengan karakteristik jasa
yang perlu dipertimbangkan dalam merancang
program pemasaran. Karakteristik jasa
pendidikan di bawah ini diadaptasi dari
pernyataan Tjiptono (2000) yang mengatakan
bahwa jasa secara umum memiliki karakteristik
utama sebagai berikut.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
45
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
1. Intangibility (Tidak Berwujud)
Jasa pendidikan tidak berwujud sehingga
menyebabkan para pengguna jasa
pendidikan tidak dapat melihat, mencium,
mendengar, dan merasakan hasil pendidikan sebelum mereka mengkonsum-sinya
(menjadi subsistem lembaga pendidikan).
Akan tetapi, jika para pengguna jasa
pendidikan telah mengkonsumsi jasa
pendidikan, atau dengan kata lain, mereka
telah menjadi lulusan lembaga pendidikan,
mereka dapat merasakan dan melihat hasil
keluaran pendidikan yang telah mereka
terima. Oleh karena itu, tugas dari para
pemasar jasa pendidikan adalah mentransformasi jasa pendidikan yang tidak
berwujud menjadi manfaat pendidikan
(lulusan) yang konkret. Untuk menghindari
ketidakpastian, maka para pengguna jasa
pendidikan akan mencari tanda atau
informasi tentang kualitas jasa pendidikan
tersebut. Tanda atau informasi tersebut
dapat diperoleh berdasarkan letak lokasi
lembaga pendidikan, lembaga pendidikan
penyelenggara, peralatan dan alat
komunikasi yang digunakan, serta besarnya
biaya yang ditetapkan. Ada beberapa hal
yang dapat dilakukan lembaga pendidikan
untuk meningkatkan calon pengguna jasa
pendidikan, yaitu sebagai berikut.
a.
Meningkatkan visualisasi jasa
pendidikan yang tidak berwujud
menjadi jasa pendidikan yang
berwujud.
b. Menekankan pada manfaat yang akan
diperoleh (lulusan lembaga pendidikan).
c.
Menciptakan atau membangun suatu
nama merek lembaga pendidikan
(education brand name).
d. Memakai nama seseorang yang sudah
dikenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen (pengguna jasa
pendidikan).
2. Inseparability (Tidak Dapat Dipisahkan)
Jasa pendidikan tidak dapat dipisahkan
dari sumbernya, yaitu lembaga pendidikan
yang menyediakan jasa tersebut. Artinya,
jasa pendidikan dihasilkan dan dikonsumsi
secara serempak (simultan) pada waktu
yang bersamaan. Jika peserta didik membeli
jasa, maka mereka akan berhadapan langsung dengan penyedia jasa pendidikan.
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Dengan demikian, jasa pendidikan lebih
diutamakan penjualannya secara langsung
dengan skala operasi yang terbatas. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan dapat
menggunakan strategi bekerja dalam
kelompok yang lebih besar, bekerja lebih
cepat, atau melatih para penyaji jasa agar
mereka mampu membina kepercayaan para
pelanggannya (peserta didik).
3. Variability (Bervariasi)
Jasa pendidikan bersifat sangat variabel
karena merupakan nonstandardized output,
yaitu banyak variasi bentuk, kualitas, dan
jenisnya tergantung pada siapa, kapan, dan
di mana jasa tersebut dihasilkan. Ada tiga
faktor yang menyebabkan variabilitas
kualitas jasa pendidikan, yaitu:
a. Partisipasi pelanggan (peserta didik)
selama penyampaian jasa pendidikan.
b. Moral atau motivasi guru dalam
melayani pelanggan (peserta didik).
c. Beban kerja sekolah.
4. Perishability (Tidak Tahan Lama)
Jasa pendidikan merupakan komoditas
yang tidak tahan lama dan tidak dapat
disimpan. Sifat tidak tahan lama berarti jasa
tidak dapat dimasukkan ke dalam gudang
atau dijadikan persediaan. Dalam bidang
pendidikan, sifat tidak tahan lama ini dapat
dijelaskan dengan kondisi kosongnya kelas
atau tidak adanya siswa di kelas sehingga
menyebabkan hilangnya pendapatan
sekolah. Sedangkan sifat tidak dapat
disimpan berarti jasa tersebut bersifat
mudah lenyap. Dalam bidang pendidikan,
sifat tidak dapat disimpan dapat dijelaskan
dengan kondisi sekolah yang banyak
memiliki guru karena adanya permintaan
jasa pendidikan sewaktu kegiatan belajar
yang padat jika dibandingkan dengan
permintaan jasa pendidikan yang cukup
merata setiap hari di sekolah.
Apabila diperhatikan batasan dan
karakteristik jasa pendidikan yang telah
diutarakan di atas, maka ternyata dunia
pendidikan merupakan bagian dari batasan
tersebut. Dengan demikian, lembaga pendidikan
termasuk dalam kategori lembaga pemberi jasa
para konsumen, dalam hal ini adalah siswa dan
orang tua siswa. Mereka inilah yang berhak
memberikan penilaian apakah bermutu atau
tidaknya suatu output lembaga pendidikan.
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
Tantangan Pengelola Jasa
Pengelola jasa dalam kategori jasa apapun
mempunyai tantangan yang serupa. Agar dapat
bertahan dalam situasi ekonomi yang turbulen,
maka jasa yang memerlukan investasi yang besar
seperti rumah sakit perlu mengikuti perkembangan teknologi. Selain itu, juga diperlukan
manajer khusus untuk mengatur penggunaan
semua peralatan rumah sakit yang dimiliki.
Sementara itu, manajer dari industri jasa yang
sangat mengandalkan kemampuan individual
seperti profesi konsultan atau dokter, harus lebih
berkonsentrasi pada hal-hal pribadi. Tingkat
kustomisasi pelanggan mempengaruhi
kemampuan untuk mengendalikan kualitas jasa
yang disampaikan dari persepsi jasa yang
diterima pelanggan. Schmenner (1986)
menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi
pengelola jasa dalam setiap proses jasanya pada
Gambar 2 di bawah ini.
Kepala sekolah selaku pengelola jasa
massal (mass service) dihadapkan kepada
berbagai tantangan sebagai berikut.
1.
Melakukan Rekrutmen Guru dan Staf
Sekolah
Gorton (1976) mengatakan bahwa tujuan
dari rekrutmen pegawai adalah
menyediakan calon pegawai yang betulbetul baik (surplus of candidates) dan yang
paling memenuhi kualifikasi (most qualified
and oustanding individuals) untuk sebuah
posisi. Dalam rangka mendapatkan calon
guru dan staf sekolah yang profesional,
paling memenuhi kualifikasi, dan
menjanjikan untuk menduduki posisi
tertentu tidak mudah. Oleh karena itu,
Bafadal (2003) mengemukakan beberapa
prinsip yang harus dipegang teguh baik
dalam perencanaan maupun pelaksanaan
rekrutmen guru dan staf sekolah, yaitu
sebagai berikut.
Tantangan pengelola
jasa (intensitas tenaga
kerja tinggi):
1. Rekrutmen
2. Pelatihan
3. Pengembangan
4. Pengendalian
5. Kesejahteraan
karyawan
6. Pertumbuhan usaha
Tantangan pengelola
jasa
(interaksi
dan
kustomisasi rendah):
1. Pemasaran
dan
promosi
2. Menyajikan
jasa
yang “hangat”
3. Memperhatikan
lingkungan fisik di
sekitarnya
4. Membuat SOP
Mass
Service
Service
Factory
Professional
Service
Service
Shop
Tantangan pengelola
jasa
(interaksi
dan
kustomisasi tinggi):
1. Mencegah kenaikan
harga
2. Mempertahankan
kualitas
3. Cepat tanggap
4. Mengatur SDM
5. Organisasi flat
6. Loyalitas karyawan
Tantangan pengelola
jasa (intensitas tenaga
kerja rendah):
1. Menentukan modal
kerja
2. Mengikuti
perkembangan
teknologi
3. Mengatur
permintaan
4. Jadwal
penyampaian jasa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
47
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
a.
2.
3.
48
Rekrutmen guru dan staf sekolah
harus dirancang secara matang agar
dapat memenuhi kebutuhan.
b. Rekrutmen guru dan staf sekolah
harus dilakukan secara obyektif.
c. Agar mendapat calon guru dan staf
sekolah yang profesional, maka
sebaiknya materi seleksi pegawai baru
harus komprehensif mencakup semua
aspek persyaratan yang harus dimiliki
oleh calon guru dan staf sekolah.
Mengadakan Program Pelatihan Guru
dan Staf Sekolah
Dalam rangka memberdayakan guru dan
staf sekolah agar memiliki kemampuan dan
sifat-sifat jasa pendidikan berkualitas,
maka perlu diadakan program pelatihan
guru dan staf sekolah yang meliputi
sebagai berikut:
a. Program Pendidikan Prajabatan
Program pendidikan prajabatan
meliputi ketentuan mengenai
pendidikan minimum calon guru dan
staf sekolah serta prosedur seleksi
calon guru dan staf sekolah yang
memperhatikan aspek kebutuhan
obyektif (kualitas dan kuantitas) serta
keterbukaan (semua informasi tentang
penerimaan tenaga guru dan staf
sekolah harus disampaikan kepada
masyarakat luas dan jelas).
b. Program Pendidikan dan/atau
Pelatihan dalam Jabatan
Program pendidikan dan/atau
pelatihan dalam jabatan meliputi
orientasi jabatan, pelatihan dalam
jabatan, dan pendidikan dalam
jabatan yang memperhatikan aspek
kebutuhan obyektif, keterbukaan, serta
pemanfaatan (memanfaatkan tenaga
guru dan staf sekolah yang telah
mengikuti program pendidikan dan/
atau pelatihan dalam jabatan).
Mengadakan Program Pengembangan
Guru dan Staf Sekolah
Tahapan dalam program pengembangan
guru dan staf sekolah (Bafadal, 2003):
a. Mengidentifikasi
kekurangan,
kelemahan, kesulitan, atau masalahmasalah yang seringkali dimiliki atau
dialami oleh guru dan staf sekolah.
b. Menetapkan program pengembangan
yang sekiranya diperlukan untuk
mengatasi kekurangan, kelemahan,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
4.
kesulitan, dan masalah-masalah yang
seringkali dimiliki atau dialami oleh
guru dan staf sekolah.
c. Merumuskan tujuan dari program
pengembangan yang diharapkan
dapat dicapai pada akhir program
pengembangan.
d. Menetapkan serta merancang materi
dan media yang akan digunakan
dalam program pengembangan.
e. Menetapkan serta merancang metode
dan media yang akan digunakan
dalam program pengembangan.
f. Menetapkan bentuk dan mengembangkan instrumen penilaian yang akan
digunakan dalam mengukur keberhasilan program pengembangan.
g. Menyusun dan mengalokasikan
anggaran dari program pengembangan.
h. Melaksanakan program pengembangan sesuai dengan materi, metode, dan
media yang telah ditetapkan dan
dirancang sebelumnya.
i. Mengukur keberhasilan dari program
pengembangan.
j. Menetapkan program tindak lanjut
pengembangan guru dan staf sekolah
di masa mendatang.
Mengendalikan Seluruh Kegiatan
Sekolah
Untuk mengetahui kondisi yang perlu
diteliti kepala sekolah selaku supervisor,
maka kita perlu menjawab pertanyaan
sebagai berikut (Suryosubroto, 2004):
a. Bagaimana keadaan gedung sekolah?
Apakah sudah baik dan memenuhi
syarat atau sudah rusak? Bagaimana
usaha perbaikannya?
b. Apakah perlengkapan sekolah dan
alat-alat pelajaran cukup dan memenuhi persyaratan filosofis, psikologis,
dan didaktis? Jika belum, apa
kurangnya? Bagaimana usaha untuk
mencukupinya?
c. Bagaimana keadaan gurunya?
Apakah terlalu banyak wanitanya?
Apakah terlalu banyak guru honorer
daripada guru tetap? Apakah ada
kemungkinan usaha untuk menjaga
keadaan dengan sebaik-baiknya?
d. Bagaimana semangat kerja guru dan
pegawai sekolah? Apakah banyak
pegawai dan guru yang malas?
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
5.
Bagaimana absensi/presensi mereka?
Apa yang menjadi sebabnya?
e. Bagaimana cara guru mengajar?
Apakah sesuai dengan kurikulum
yang berlaku? Adakah usaha mereka
untuk selalu memperbaiki dan
mencoba metode-metode mengajar
yang baik?
f. Bagaimana hasil pelajaran dan
pendidikan siswa? Apakah terlihat
adanya kemajuan/perbaikan dari
setiap triwulan atau semester dari
tahun ke tahun?
g. Bagaimana usaha yang dilakukan
untuk memperbaiki serta meningkatkan cara kerja dan mutu guru?
Apakah dengan usaha menambah
kesejahteraan mereka? Apakah
dengan mengadakan kunjungan kelas
pada waktu mereka mengajar, rapat,
sanggar kerja (workshop), pelatihan
staf, atau up-grading?
h. Bagaimana sikap dan perasaan
tanggung jawab guru dalam partisipasinya terhadap pembinaan dan
kemajuan sekolah? Adakah sikap dan
sifat kepemimpinan dari kepala
sekolah yang kurang sesuai sehingga
mempengaruhi situasi kehidupan
sekolah pada umumnya?
Meningkatkan Kesejahteraan Guru dan
Staf Sekolah
Ada delapan hal yang diinginkan guru
melalui kerjanya, yaitu rasa aman dan
hidup layak, kondisi kerja yang
menyenangkan, rasa diikutsertakan,
perlakuan yang wajar dan jujur, rasa
mampu, pengakuan dan penghargaan atas
sumbangan, ikut ambil bagian dalam
pembentukan kebijakan sekolah, serta
kesempatan untuk mempertahankan “self
respect” (Wiles, 1955). Delapan kebutuhan
tersebut dapat dikembangkan menjadi itemitem pertanyaan untuk mengukur kepuasan
kerja guru, yaitu antara lain:
a. Bagaimana kepuasan guru terhadap
gaji yang diperoleh?
b. Apakah gaji yang diperoleh guru
dapat memenuhi kebutuhan pokoknya?
c. Bagaimana kepuasan guru terhadap
keadaan kondisi kerja di sekolah?
d.
Bagaimana kepuasan guru terhadap
partisipasinya dalam kegiatan sekolah?
e. Bagaimana kepuasan guru terhadap
perlakuan kepala sekolah?
f. Dan sebagainya.
6.
Melakukan Strategi Pertumbuhan Usaha
di Sekolah
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan usaha di sekolah, sekolah perlu
menciptakan dirinya sebagai sekolah yang
efektif. Lockheed (1990) menyatakan bahwa
sekolah yang efektif memiliki karakteristik
sebagai berikut.
a. Komunikasi yang lebih terbuka: komunikasi antara stakeholders meningkat.
b. Pengambilan keputusan bersama:
stakeholders mengalami lebih banyak
tanggung jawab dalam pengambilan
keputusan.
c. Memperhatikan kebutuhan guru:
perhatian dan kemampuan sekolah
terhadap kebutuhan guru dapat
memberikan motivasi pada guru.
d. Memperhatikan kebutuhan siswa:
sekolah yang memperhatikan kebutuhan siswanya akan lebih diterima
oleh siswa, orang tua, dan masyarakat.
e. Keterpaduan antara sekolah dengan
masyarakat: sekolah mempunyai
peran sosial yang penting dalam
masyarakat.
Oleh karena itu, kepala sekolah selaku
pengelola jasa massal sekolah menghadapi
berbagai tantangan seperti melakukan
rekrutmen guru dan staf sekolah, mengadakan
program pelatihan guru dan staf sekolah,
mengadakan program pengembangan guru dan
staf sekolah, mengendalikan seluruh kegiatan
sekolah, meningkatkan kesejahteraan guru dan
staf sekolah, serta melakukan strategi
pertumbuhan usaha di sekolahnya dalam rangka
meningkatkan daya saing sekolah.
Pemasaran Jasa Pendidikan
Fungsi pemasaran pada organisasi yang
berorientasi laba (perusahaan) dengan
organisasi nirlaba (sekolah) sangat berbeda.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
49
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
Perbedaan yang nyata terletak pada cara
organisasi dalam memperoleh sumber dana
yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai
aktivitas operasi. Perusahaan memperoleh
modal pertamanya dari para investor atau
pemegang saham. Jika perusahaan telah
beroperasi, dana operasional perusahaan
terutama diperoleh dari hasil penjualan produk
yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Dalam hal ini, perusahaan hanya menghadapi
satu unsur pokok, yaitu konsumen. Jika produk
yang dihasilkan oleh perusahaan dapat
memuaskan para konsumennya, maka transaksi
akan terjadi dan perusahaan mempunyai dana
untuk dapat melanjutkan aktivitas operasionalnya.
Sebaliknya, organisasi nirlaba (sekolah)
memperoleh dana dari sumbangan para donatur
atau lembaga induk yang tidak mengharapkan
imbalan apapun dari organisasi tersebut.
Sebagai akibatnya, dalam sekolah timbul
transaksi tertentu yang jarang terjadi dalam
perusahaan, yaitu penerimaan sumbangan.
Dengan anggaran yang diperolehnya itu,
sekolah menghasilkan jasa yang ditawarkan
kepada konsumennya (siswa). Berbeda dengan
perusahaan, apabila jasa yang dihasilkan
sekolah ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan siswanya, maka para donatur
masih mungkin akan memberi dana lagi jika
para donatur masih menganggap sekolah itu
baik. Sebaliknya, meskipun jasa yang dihasilkan
oleh sekolah itu sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan siswanya, itu belum menjamin bahwa
anggaran para donatur untuk sekolah itu akan
meningkat.
Konsekuensi dari perbedaan perusahaan
dengan sekolah tersebut adalah bahwa ukuran
keberhasilan perusahaan dan sekolah itu
berbeda. Perusahaan yang pada dasarnya
berorientasi terhadap laba akan dianggap sukses
jika berhasil meraup untung yang besar.
Sebaliknya, pada sekolah, meskipun berhasil
memperoleh dana yang lebih besar dari para
donatur, mungkin saja sekolah tersebut gagal
dalam memanfaatkan sumber daya tersebut
secara efektif dan efisien bagi pemenuhan
kebutuhan dan keinginan siswanya. Oleh
karena itu, kemampuan sekolah dalam
memperoleh sumber daya tidak dapat dijadikan
ukuran keberhasilan organisasi sekolah. Dengan
demikian, keberhasilan sekolah harus diukur
dari sejauh mana jasa yang dihasilkan oleh
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
sekolah tersebut telah memenuhi kebutuhan dan
keinginan siswanya.
Menurut Kotler dan Fox (1995), institusi
pendidikan memiliki hubungan timbal balik
dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik
ini terkait erat dengan teori pertukaran sosial.
Institusi pendidikan memerlukan berbagai
macam sumber daya (seperti para siswa, dana,
sukarelawan, waktu, dan energi), dan sebagai
imbalannya menawarkan pelayanan dan
kepuasan. Hal ini sangat bervariasi tergantung
pada jenis institusinya. Misalnya, sekolah
menyediakan jasa pemeliharaan dan perawatan
anak (custodial care), jasa kemasyarakatan, serta
penyiapan murid untuk ujian negara. Ada lima
bidang pertukaran utama dalam suatu
lingkungan institusi pendidikan, yaitu:
1. Lingkungan internal, yaitu kelompokkelompok di dalam organisasi sekolah.
2. Lingkungan pasar, yaitu kelompokkelompok yang menyediakan sumber daya
bagi organisasi sekolah.
3. Lingkungan publik, yaitu masyarakat yang
pandangannya dapat mempengaruhi
organisasi sekolah dan cara kerja organisasi
sekolah.
4. Lingkungan kompetitif, yaitu institusiinstitusi pendidikan yang bersaing di dalam
pasar dan/atau untuk mendapatkan
dukungan masyarakat.
5. Lingkungan makro, yaitu kerangka
kebijakan dan administratif yang lebih luas
di mana organisasi sekolah diselenggarakan.
Joewono (2008) menjelaskan pengertian
pemasaran jasa sebagai suatu konsep
pemasaran yang mendefinisikan bahwa
organisasi harus lebih peduli terhadap apa yang
dirasakan konsumen dibanding apa yang
dipikirkan konsumen tentang produk/jasa yang
mereka tawarkan. Di dalam pemasaran jasa,
lebih penting mengetahui bagaimana cara
menawarkan produk/jasa daripada apa yang
ditawarkan produk/jasa. Jadi, pemasaran jasa
bertujuan untuk menciptakan memorable
experience bagi konsumen.
Konsep “7n1” Trustworthy Excellent Service
yang dikemukakan Joewono (2008) dapat
diaplikasikan dalam rangka memberikan
layanan pendidikan berkualitas, yaitu:
1. Memahami
Guru harus memahami kebutuhan,
keinginan, dan ekspektasi siswa sehingga
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
menjadi dasar awal dalam pemberian
layanan pendidikan berkualitas.
2. Menyambut
Guru harus menunjukkan perhatian kepada
siswa dengan cara menyambutnya melalui
sapaan, anggukan, jabat tangan, atau cara
lainnya sehingga membangun simpati awal
siswa serta memberi kesan bahwa dirinya
menghargai siswanya.
3. Tanggap
Guru harus tanggap kalau ada kebutuhan
layanan siswa yang perlu direspon.
4. Menyelesaikan masalah
Guru harus memberikan layanan
pendidikan berkualitas seperti menyelesaikan masalah pendidikan, sehingga ketika
muncul masalah pendidikan, masalah
pendidikan tersebut dapat mudah
diselesaikan.
5. Merekonstruksi
Layanan pendidikan harus dilakukan
sebagai bagian dari proses rekonstruksi
menuju terbentuknya hubungan baik antara
sekolah dengan siswanya.
6. Mengedukasi
Guru yang “memberi” bukan “menggurui”
menjadi inspirasi untuk memberikan
informasi, termasuk ketika siswa komplain
atas kegagalan layanan pendidikan.
7. Mewakili
Makna “mewakili” siswa berarti guru
menjadi ambassador siswa di dalam proses
pengambilan keputusan di sekolah,
khususnya yang terkait dengan siswa.
8. Menghargai
Guru yang menghargai siswa merupakan
faktor penggerak kehidupan sekolah
menuju keunggulan bersaing sekolah yang
berkelanjutan di masa depan.
Dalam rangka memberikan layanan
pendidikan yang berkualitas, guru harus dapat
memahami, menyambut, menanggapi,
menyelesaikan masalah, merekonstruksi,
mengedukasi, mewakili, serta menghargai
konsumennya (siswa).
Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan
Dalam memasarkan produk atau jasa yang
dihasilkannya, setiap organisasi menjalankan
strategi pemasaran sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Menurut Kotler dan
Amstrong (1997), ada tiga tahap yang dapat
ditempuh untuk menetapkan strategi
pemasaran, yaitu sebagai berikut.
1. Memilih konsumen yang dituju.
2. Mengidentifikasi keinginan konsumen.
3. Menentukan bauran pemasaran.
Penentuan strategi pemasaran harus
didasarkan atas analisa lingkungan eksternal
dan internal organisasi. Faktor-faktor eksternal
yang dapat menimbulkan adanya peluang atau
ancaman bagi organisasi terdiri dari: keadaan
pasar, persaingan, teknologi, ekonomi, sosial
budaya, hukum, dan peraturan. Sedangkan
faktor-faktor internal menunjukkan adanya
keunggulan atau kelemahan organisasi,
meliputi: keuangan, produksi, SDM, serta
khususnya bidang pemasaran yang terdiri dari
produk, harga, distribusi, promosi, dan jasa.
Analisis tersebut merupakan penilaian apakah
strategi pemasaran yang telah ditetapkan dan
dijalankan sesuai dengan keadaan pada saat ini.
Hasil penilaian tersebut digunakan sebagai
dasar untuk menentukan apakah strategi yang
sedang dijalankan perlu diubah serta untuk
menyusun atau menentukan strategi yang akan
dijalankan di masa mendatang.
Menurut Mc.Carthy (1998), strategi
pemasaran adalah pasar sasaran dan bauran
pemasaran yang terkait. Dia juga mengatakan
bahwa setiap langkah yang dilakukan dalam
memformulasikan strategi pemasaran harus
diorientasikan kepada upaya untuk mencapai
kepuasan pelanggan. Ini berarti bahwa proses
yang ditempuh oleh setiap pihak dapat
bermacam-macam sesuai dengan kesanggupan
dan karakteristik masing-masing, tetapi tujuan
akhirnya akan bermuara pada kepuasan
pelanggan.
Di dalam strategi pemasaran, ada beberapa
dimensi yang perlu diperhitungkan dan
diketahui untuk mengurangi dampak
ketidakpastian dalam merumuskan dan
mengimplementasikan strategi pemasaran
tersebut, antara lain:
1. Dimensi keterlibatan manajemen puncak
Keterlibatan manajemen puncak (pimpinan
sekolah) merupakan keharusan, karena
hanya pada tingkat manajemen puncak
akan tampak segala bentuk implikasi dari
berbagai tantangan serta tuntutan
lingkungan internal dan eksternal sekolah
serta pada tingkat manajemen puncaklah
terdapat cara pandang yang holistik dan
komprehensif tentang sekolah. Selain itu,
hanya manajemen puncak yang memiliki
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
51
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
2.
3.
4.
52
wewenang untuk mengalokasikan dana,
prasarana, dan sumber daya lainnya dalam
mengimplementasikan kebijakan sekolah
yang telah diputuskan. Atau dengan kata
lain, peranan manajemen puncak sangat
penting dalam merencanakan dan
menentukan strategi pemasaran yang terdiri
dari visi, misi, dan tujuan sekolah (Siagian,
2001).
Dimensi waktu dan orientasi masa depan
Sekolah seharusnya mempertahankan
strategi pemasaran jasa pendidikan untuk
mengembangkan eksistensi sekolah yang
berpandangan jauh ke depan dan
berperilaku proaktif serta antisipatif
terhadap kondisi masa depan sekolah yang
diprediksi akan dihadapinya. Antisipasi
terhadap sekolah di masa depan tersebut
dirumuskan dan ditetapkan sebagai visi
sekolah yang akan diwujudkan di masa
yang akan datang. Dengan adanya sikap
proaktif dan antisipatif, manajemen puncak
(pimpinan sekolah) akan lebih siap
menghadapi tantangan perubahan dan
perkembangan sekolah yang akan terjadi
sehingga tidak menghadapi situasi
mendadak (Nawawi, 2000).
Dimensi lingkungan internal dan eksternal
Dimensi lingkungan internal dan eksternal
sekolah merupakan suatu kondisi yang
sedang dihadapi seperti: kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman yang
harus diketahui secara tepat untuk merumuskan rencana strategi pemasaran jasa
pendidikan jangka panjang. Dalam kondisi
tersebut, manajemen puncak (pimpinan
sekolah) perlu melakukan analisis yang
obyektif agar dapat menentukan kemampuan sekolah berdasarkan berbagai sumber
daya yang dimilikinya. Dengan demikian,
pimpinan sekolah harus memahami kondisi
lingkungan internal dan eksternal sekolah
serta mampu meletakkan berbagai pendekatan dan teknik untuk merumuskan strategi pemasaran jasa pendidikan di sekolah
yang dipimpinnya. (Nawawi, 2000).
Dimensi konsekuensi dari isu strategi
Dalam mengimplementasikan strategi
pemasaran jasa pendidikan, kita harus
menempatkan organisasi sekolah sebagai
suatu sistem pendidikan. Oleh karena itu,
setiap keputusan strategi pemasaran jasa
pendidikan yang dilaksanakan harus dapat
menjangkau semua komponen atau unsur
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
organisasi sekolah, baik sumber daya
maupun satuan kerja seperti departemen,
divisi, biro, seksi, dan sebagainya. (Siagian,
2001).
Menurut Siagian (2001), ada beberapa
faktor yang menjadi pendukung dalam
merumuskan strategi agar suatu organisasi dapat
tetap eksis, tangguh dalam menghadapi
perubahan, serta mampu meningkatkan
efektifitas dan produktifitas. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Tipe dan struktur organisasi
Tipe dan struktur organisasi sekolah yang
dipilih harus berkaitan dengan kepribadian
sekolah tersebut karena setiap sekolah
mempunyai kepribadian yang khas. Di
dalam struktur organisasi sekolah harus
terdapat beberapa unsur seperti spesialisasi
kerja, standarisasi kerja, koordinasi,
sentralisasi atau desentralisasi dalam
pengambilan keputusan. Empat faktor
utama yang harus diperhatikan pimpinan
sekolah dalam menentukan struktur
organisasi sekolah, yaitu: strategi sekolah
yang ditetapkan, teknologi pendidikan yang
digunakan, SDM yang terlibat, dan ukuran
organisasi sekolah. Oleh karena itu,
pimpinan sekolah harus memilih dengan
tepat mengenai tipe dan struktur organisasi
sekolah yang akan digunakan dalam
menentukan strategi sekolah.
2. Gaya kepemimpinan
Di dalam teori kepemimpinan terdapat
beberapa tipologi kepemimpinan, yaitu tipe
otokratik, paternalistik, laissez faire,
demokratik, dan kharismatik. Namun
demikian, tidak ada satu tipepun yang
sesuai dan dapat digunakan secara
konsisten pada semua jenis sekolah. Oleh
karena itu, diperlukan kecermatan membaca
situasi sekolah dalam menentukan gaya
kepemimpinan sekolah sebagai suatu faktor
yang harus diperhitungkan dalam
menerapkan strategi sekolah.
3. Kompleksitas lingkungan eksternal
Lingkungan eksternal sekolah bergerak
dinamis. Gerakan dinamis tersebut
berpengaruh pada cara mengelola sekolah
serta dalam merumuskan dan menetapkan
strategi sekolah. Oleh karena itu, melalui
analisis lingkungan eksternal sekolah,
sekolah dapat melakukan strategi
pengkaderan organisasi sekolah yang dapat
ditetapkan untuk mendayagunakan
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
kekuatan serta mengatasi kelemahan
sekolah dalam memanfaatkan peluang dan
menghadapi tantangan yang terjadi.
4. Hakikat masalah yang dihadapi
Strategi merupakan keputusan dasar yang
diambil oleh manajemen puncak (pimpinan
sekolah) melalui berbagai analisis dan
perhitungan terhadap lingkungan internal
dan eksternal sekolah. Oleh karena itu,
keputusan yang diambil pimpinan sekolah
akan menentukan kesinambungan sekolah
pada saat sekarang dan masa yang akan
datang.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Porter
(1980) yang menjelaskan bahwa ada tiga macam
strategi pemasaran sebagai strategi bersaing,
yaitu:
1. Diferensiasi, yaitu strategi sekolah dalam
memberikan penawaran yang berbeda
dibandingkan dengan penawaran yang
diberikan oleh pesaing. Strategi diferensiasi
ini mengisyaratkan sekolah mempunyai
jasa yang mempunyai kualitas ataupun
fungsi yang bisa membedakan dirinya
dengan pesaingnya. Strategi diferensiasi
dilakukan dengan cara menciptakan
persepsi terhadap nilai tertentu pada
konsumennya. Misalnya persepsi terhadap
keunggulan kerja, inovasi produk,
pelayanan yang lebih baik, citra merek yang
lebih unggul, dan sebagainya.
2. Keunggulan biaya, yaitu strategi sekolah
dalam mengefisienkan seluruh biaya
operasionalnya sehingga menghasilkan
jasa yang bisa dijual lebih murah dibandingkan pesaingnya. Strategi keunggulan
biaya ini berfokus pada harga, jadi biasanya
sekolah tidak terlalu peduli dengan berbagai
faktor pendukung dari jasa ataupun harga.
Misalnya, biaya sekolah yang murah
biasanya mengandalkan strategi harga.
Pihak penyelenggara sekolah tersebut
biasanya tidak peduli dengan kenyamanan
siswa pada waktu belajar, bahkan juga
dengan kebersihan, karena bagi mereka
yang penting bisa menawarkan jasa dengan
harga yang sangat bersaing.
3. Fokus, yaitu strategi sekolah dalam
menggarap satu target pasar tertentu.
Strategi fokus biasanya dilakukan untuk
jasa yang memang mempunyai karakteristik
khusus. Misalnya, sekolah Kristen yang
hanya ditargetkan bagi siswa Kristiani
sehingga semua jasanya memberikan
manfaat dan fungsi yang disesuaikan
dengan ajaran agama Kristen.
Kotler dan Fox (1995) memberikan tiga unsur
yang diperlukan untuk membuat strategi
pemasaran, yaitu:
1. Strategi Target Pasar, yang memutuskan
segmen pasar mana yang akan menjadi
target pasarnya. Segmen pasar tersebut
mungkin terfokus pada segmen di mana
permintaan melebihi penawaran. Dalam hal
ini, sekolah perlu membagi pasar pendidikan menurut karakteristik demografi,
psikografi, dan perilaku siswa. Dengan
demikian, sekolah dapat lebih mudah
menentukan strategi pemasaran jasa
pendidikan sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan pasar.
2. Strategi Posisi Kompetitif, yang mendasarkan penyediaan pada keistimewaan dan
kekuatan relatif yang dimiliki oleh institusi,
yang dapat memastikan tingkat kom1.
3. Strategi Campuran, yang mengidentifikasi
unsur-unsur tertentu yang dapat dipromosikan oleh organisasi tersebut. Strategi
campuran ini terdiri dari empat komponen
dasar yang disebut 4P, yaitu: produk
(Product), lokasi (Place), harga (Price), dan
promosi (Promotion). Namun bagi sektor
jasa, komponen-komponen tersebut
ditambah 3P, yaitu: orang (Person), proses
(Process), dan bukti (Proof). Strategi campuran ini akan dijelaskan lebih lanjut oleh
James dan Phillips di bawah ini.
James dan Phillips (1995) menggunakan
kerangka teoritis tersebut untuk mengevaluasi
praktek pemasaran pada 11 sekolah, termasuk
sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah
negeri, dan sekolah swasta, yang beroperasi
dalam lingkungan yang kompetitif. Hasil
penemuan dari penelitian tersebut dapat
dirangkum sebagai berikut.
1. Produk, yaitu fasilitas dan pelayanan yang
ditawarkan oleh sekolah. Meskipun sekolah
yang disurvei sangat giat dalam
menawarkan produk/pelayanan yang
berkualitas, namun sejumlah masalah
masih dapat ditemukan, seperti:
a. Kurangnya pertimbangan pada ragam
penawaran. Sebagian besar sekolah
cenderung memberikan terlalu banyak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
53
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
penawaran. Sekolah seharusnya
melakukan spesialisasi pada suatu hal
tertentu.
b. Adanya kebutuhan untuk melihat
pelajaran, yakni keuntungan apa yang
akan didapatkan pelanggan (siswa)
daripada hanya memberikan gambaran
umum tentang kandungan materi yang
ada dalam pelajaran tersebut.
c. Adanya kebutuhan untuk memastikan
bahwa kualitas dilihat dalam arti
terpenuhinya kebutuhan pelanggan
daripada kualitas pelajaran itu sendiri.
d. Hanya ada sedikit perhatian akan
“potensi hidup” dari pelajaran tersebut.
2. Harga, yaitu pembiayaan (costing) yang
membandingkan pengeluaran dengan
keuntungan yang didapat pelanggan, serta
penetapan harga (pricing) atau harga yang
dikenakan kepada pelanggan. Hal ini
terlihat jelas pada sekolah swasta karena
pilihan pasar sangat terbuka untuk calon
orangtua, yaitu antara “sekolah swasta
yang mahal” dan “sekolah negeri yang
bagus dan gratis”. Akan tetapi, hal ini
adalah persoalan penting bagi sekolah
negeri karena:
a. Proses perekrutan siswa mengarah
kepada tambahan dana dari
pemerintah.
b. Dukungan dana sponsor dari anggota
komunitas pebisnis lokal.
c. Biaya yang dikenakan dan sumbangan
orang tua untuk fasilitas tambahan dan
aktivitas ekstrakurikuler.
3. Lokasi, yaitu kemudahan akses dan
penampilan serta kondisinya secara
keseluruhan. Ketika sekolah memperhatikan masalah penampilan (misalnya
melalui dekorasi, tampilan, dan ucapan
selamat datang kepada pengunjung), maka
akan semakin berkurangnya perhatian yang
diberikan kepada masalah akses (seperti
parkir untuk pengunjung, akses bagi
penyandang cacat, konsultasi di luar
sekolah, dan mesin penjawab telepon).
4. Promosi, yaitu kemampuan mengkomunikasikan manfaat yang didapat dari
organisasi bagi para pelanggan potensial.
Meskipun sekolah telah aktif pada sebagian
besar aktivitas promosi ini, namun dari 11
sekolah yang disurvei, hanya terdapat
kurang dari setengahnya yang telah
mengiklankan diri.
54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
5.
Orang, yaitu orang yang terlibat dalam
menyediakan jasa. Masalahnya adalah
tidak semua karyawan sekolah menyampaikan pesan yang sama kepada orang tua
dan kelompok lain di luar sekolah. Hal ini
terkait dengan budaya sekolah yang tidak
sepenuhnya mengambil pendekatan yang
berorientasi pada pasar.
6. Proses, yaitu sistem operasional untuk
mengatur pemasaran, dengan implikasi
yang jelas terhadap penempatan karyawan
sekolah dalam hal pembagian tanggung
jawab untuk mengkoordinasikan dan
mencari sumber daya bagi strategi
pemasaran sekolah. Dari 11 sekolah yang
disurvei, tidak ada satupun sekolah yang
memberikan kepercayaan kepada seorang
karyawan sekolah atas tanggung jawab
tersebut, dimana pengelolaan dan operasinya cenderung tidak terencana dan intuitif,
bukan terencana secara strategis dan
sistematis.
7. Bukti, yaitu bukti yang menunjukkan bahwa
pelanggan akan mendapatkan manfaat
sehingga memunculkan pertanyaan
mengenai pengawasan dan evaluasi
(seperti hasil ujian). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak
dapat mengemukakan aspek-aspek apa saja
dari tindakan mereka yang menunjukkan
bukti dari manfaat pelayanan yang
diberikan kepada pelanggan.
Dari 7P di atas, penekanan utamanya
terpusat pada produk sekolah. Sekolah masih
belum menetapkan strategi jangka panjang
karena sebagian besar kebijakan sekolah dalam
bentuk strategi jangka pendek yang tidak
terencana serta reaktif (manajemen krisis sebagai
respon terhadap menurunnya peran dan
meningkatnya persaingan setempat). Banyak
sekolah belum melakukan pengamatan pasar
dengan menggunakan riset dan analisis pasar
yang sistematis. Sekolah lebih menyukai strategi
pasar tunggal, yang memberikan “semua hal bagi
semua siswa yang potensial” daripada
menekankan adanya perbedaan dan penyediaan
khusus sebagai salah satu cara untuk
menangkap potensi pasar. Pada saat yang sama,
sekolah menghindari persaingan yang tidak
berguna dan mempromosikan kerjasama dengan
penyedia lokal lainnya. Strategi pemasaran
campuran termasuk kategori strategi pemasaran
tradisional, yaitu pemasaran yang berorientasi
pada transaksi (relationship marketing) sebagai
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
kunci untuk keberhasilan komersial. Jika kita
dapat menarik pelanggan, maka kita harus terus
membangun hubungan baik dengan mereka
serta menumbuhkan kepercayaan jangka
panjang untuk menciptakan promosi “mulut ke
mulut” (Gronroos, 1997).
Kesimpulan
Pemasaran untuk lembaga pendidikan
(terutama sekolah) mutlak diperlukan seiring
dengan adanya persaingan antar sekolah yang
semakin atraktif. Hal tersebut dapat dilihat dari
adanya berbagai terobosan baru dari para
penyelenggara pendidikan untuk menggali
“keunikan dan keunggulan” dari sekolahnya.
Kegiatan pemasaran jasa pendidikan pada saat
ini sudah dilakukan secara terbuka. Upaya
sekolah untuk menggaet calon siswa potensial
yang lebih capable dan matang telah menjadi
tuntutan yang wajib dipenuhi dalam rangka
mendukung proses pembelajaran serta
meningkatkan daya saing antar sekolah. Sekolah
sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan perlu
belajar dan memiliki inisiatif untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan karena
pendidikan merupakan proses sirkuler yang
saling mempengaruhi dan berkelanjutan. Hanya
lembaga pendidikan yang dapat memenuhi
kebutuhan atau kepuasan pelanggan (siswa)
yang dapat bertahan.
Berdasarkan areanya, sekolah termasuk
industri jasa dalam sektor pemerintahan. Di sisi
lain, menurut matriks proses jasa yang
dikemukakan oleh Schmenner, sekolah termasuk
dalam kategori jasa massal (mass service), yaitu
jasa yang bersifat padat karya atau memiliki
tingkat intensitas tenaga kerja yang tinggi,
karena biaya tenaga kerjanya lebih besar
daripada kebutuhan modal kerjanya. Oleh
karena itu, pelanggan sekolah (siswa) menerima
jasa yang seragam, yang dibuat dengan konsep
padat karya.
Tantangan yang dihadapi oleh pengelola
jasa massal sekolah (kepala sekolah) adalah
melakukan rekrutmen guru dan staf sekolah,
mengadakan program pelatihan serta
pengembangan guru dan staf sekolah,
mengendalikan seluruh kegiatan sekolah,
meningkatkan kesejahteraan guru dan staf
sekolah, serta melakukan strategi pertumbuhan
usaha sekolah dalam rangka meningkatkan
daya saing sekolah.
Dalam rangka memberikan layanan
pendidikan yang berkualitas, guru harus dapat
memahami, menyambut, menanggapi,
menyelesaikan masalah, merekonstruksi,
mengedukasi, mewakili, serta menghargai
konsumennya (siswa).
Setiap sekolah harus menjalankan strategi
pemasaran jasa pendidikan sehingga dapat
mencapai tujuan sekolah yang diharapkan.
Tahapan dalam menetapkan strategi pemasaran
jasa pendidikan adalah memilih konsumen yang
dituju (siswa), mengidentifikasi keinginan
konsumen (siswa), serta menentukan bauran
pemasaran jasa pendidikan (7P). Penentuan
strategi pemasaran jasa pendidikan harus
didasarkan atas analisa lingkungan eksternal
dan internal sekolah.
Strategi pemasaran jasa pendidikan adalah
pasar sasaran jasa pendidikan (siswa) serta
bauran pemasaran jasa pendidikan (7P). Setiap
tahapan yang dilakukan dalam menetapkan
strategi pemasaran harus tertuju kepada
pencapaian kepuasan pelanggan (siswa). Di
dalam strategi pemasaran jasa pendidikan, ada
beberapa dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu
dimensi keterlibatan manajemen puncak
(pimpinan sekolah), dimensi waktu dan
orientasi masa depan sekolah, dimensi
lingkungan internal dan eksternal sekolah, serta
dimensi konsekuensi dari isu strategi sekolah.
Strategi pemasaran jasa pendidikan tersebut
disesuaikan dengan tipe dan struktur organisasi
sekolah, gaya kepemimpinan sekolah,
kompleksitas lingkungan eksternal sekolah,
serta hakikat masalah pendidikan yang
dihadapi.
Strategi pemasaran jasa pendidikan
melibatkan tiga unsur pokok, yaitu:
1. Strategi Target Pasar, yaitu segmen pasar
mana yang akan dilayani dalam bidang
pendidikan menurut karakteristik
demografi, geografi, psikografi, dan
perilaku.
2. Strategi Posisi Kompetitif, yaitu keunggulan
kompetitif (diferensiasi produk) yang
dimiliki sekolah jika dibandingkan dengan
sekolah lainnya.
3. Strategi Campuran, yaitu mengidentifikasi
produk, harga, lokasi, promosi, orang,
proses, dan bukti yang dapat dipromosikan
oleh sekolah.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
55
Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah
Daftar Pustaka
Alex. (2006). “Service marketing and non profit
marketing” http://[email protected]
Bafadal, Ibrahim. (2003). Peningkatan
profesionalisme guru Sekolah Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara
Gorton, Richard A. (1976). School administration:
challenge and opportunity for leadership.
New York: Wm. C. Brown Company
Publishers
Groonroos, Christian. (1984). A service quality
model and its marketing implications.
European Journal of Marketing, 18(4), pp.
36-44
James, Chris and Peter Phillips. (1995). The
practice of educational marketing in schools.
Educational Management Administration
and Leadership, Vol. 23, No. 2, pp. 75-88.
Joewono, Handito. (2008). The creative marketing.
Jakarta: Arrbey
Julita. (2001). Menuju kepuasan pelanggan melalui
penciptaan kualitas pelayanan. Jurnal Ilmiah
Manajemen dan Bisnis, Vol. 01, No. 01,
Oktober 2001, hlm. 41-54
Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. (2006).
Marketing management. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Kotler, Philip and Gary Amstrong. (1997).
Principles of marketing. Singapore: Prentice
Hall International Editions
Lamb, Hair, and McDaniel. (2001). Marketing.
Singapore: Thomson Learning Asia
Lockheed, M.E. and Levin, H.M. (1990). Creating
effective schools. Washington, DC: Falmer
Press
Lovelock, Christopher. (2004). Service marketing
and management. New Jersey: Prentice Hall.
Mc.Carthy. (1998). Dasar-dasar pemasaran. Jakarta:
Erlangga
Modul Certified Learning Program on
Competitiveness. (2006). Service marketing.
Jakarta: Arrbey
Munir, A.A.S. (1991). Manajemen pelayanan umum
di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Nawawi, Hadari. (2000). Manajemen strategik
organisasi non profit bidang pemerintahan
dengan ilustrasi di bidang pendidikan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Octavian, Henry Sumurung. (2005). Manajemen
pemasaran sekolah sebagai salah satu kunci
keberhasilan persaingan sekolah. Jurnal
Pendidikan Penabur No. 05/Th. IV/
Desember 2005
Porter, Michael E. (1980). Competitive strategy:
techniques for analyzing industries and
competitors. New York: Free Press
Purwono. Strategi pemasaran jasa perpustakaan.
Media Pustakawan, Vol. III, No. 4,
Desember 1996
Schmenner, Roger. (1986). How can service
businesses survive and prosper? Sloan
Management Review, 28(3), pp. 21-32
Siagian, Sondang P. (1998). Manajemen sumber
daya manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Siagian, Sondang P. (2001). Manajemen strategik.
Jakarta: Bumi Aksara
Stanton, William J. (2002). Fundamentals of
marketing. Singapore: McGraw-Hill
International
Suara Merdeka. Persaingan ketat, sekolah perlu
dipasarkan. Senin, 5 Februari 2007
Suryosubroto, B. (2004). Manajemen pendidikan di
sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Tjiptono, Fandy. (2000). Manajemen jasa.
Yogyakarta: Andi
Unika Soegijapranata. (2008). Bahan seminar
pemasaran sekolah. Semarang: Program
Pasca Sarjana Magister Manajemen
Konsentrasi Manajemen Sekolah
Widiyanti, Kn. (2006). Sistem pengendalian
manajemen pada organisasi nirlaba. Jurnal
Ilmiah Manajerial, Vol.2, No. 1, Maret 2006
Wiles, Kimball. (1955). Supervision for better
schools. New York: Prentice-Hall, Inc.
Zeithaml, Valerie A., and Mary Jo Bitner. (2003).
Services marketing: integrating customer focus
across the firm. New York: Irwin McGrawHill
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
Opini
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah
Theresia K. Brahim*)
Abstrak
alam makalah ini, penulis mencoba mensintesiskan pengertian profesionalisme yang
berarti komitmen seseorang atas jabatannya dengan kata profesionalitas; sehingga kata
profesionalitas yang semula berarti pemahaman dan keterampilan yang ditampilkan
seseorang sesuai dengan profesinya, menjadi pemahaman dan keterampilan seseorang
dalam keahlian yang dituntut oleh profesinya yang ditampilkan secara baik dan benar dan
dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi. Selain itu, penulis juga mencoba menguraikan
pengertian awal dari kata profesional yang berarti sebuah jawaban atas panggilan dari Yang
Maha Kuasa. Oleh karena itu, panggilan tersebut harus dijawab secara sungguh-sungguh.
D
Kata kunci: Profesional, profesionalitas, professionalism, a calling from God, guru.
This study tries to syntesize that profesionalism concept which means that the man who takes hold of the
concept, has spesialized tasks to make his or her activities becoming a service for the community with a concept
of profesionalism which means knowledge and skills that are required by the experts to fulfill his or her
profesional’ s degree as well as to perform them quite well with high commitment. To say any further, the
writer also tries to analyse the word professional from the religion’s perspective, which is called a calling
from God which has to be answered by the man honestly to become a profesional. So, because the calling comes
from God that is why the profesional man has to work totally, at any risk and all out.
Pendahuluan
Organisasi masa depan dibangun di sekitar
keberadaan atau hakikat manusia. Hal ini dapat
diartikan bahwa perhatian secara khusus
ditujukan pada kompetensi yang dimiliki
manusia. Dampak pemikiran ini adalah bahwa
jika manusia dipakai sebagai dasar untuk
membangun organisasi maka kompetensi yang
dimiliki manusia di tempat kerja menjadi hal
yang sangat penting. Dalam konteks ini, pada
nilai keluarannya (output oriented), berarti
pendidik sebagai bagian dari sistem penddikan
harus memiliki kompetensi dasar tentang
pendidikan baik umum maupun khusus secara
mumpuni atau profesional.
Sejalan dengan uraian di atas, ada ungkapan yang mengatakan bahwa guru adalah
anggota masyarakat yang belajar. Hal ini perlu
diartikan bahwa guru seyogyanya merupakan
bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Selain itu, secara formal dimaknai
pula bahwa guru mempunyai peranan penting,
di samping aspek lainnya seperti sarana/
prasarana, kurikulum, peserta didik, dan
manajemen, selanjutnya guru dikatakan juga
sebagai salah satu kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan
*) Guru Besar PGSD Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
57
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
adalah belajar mengajar yang memerlukan peran
guru di dalamnya. Beberapa studi yang
dilakukan di negara-negara berkembang
menunjukkan guru memberikan sumbangan
terbesar dalam prestasi belajar peserta didik
(36%); sedangkan manajemen (23%), waktu
belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Jadi, dari
hasil studi di atas, dapat dikatakan bahwa faktor
guru merupakan aspek pendukung yang juga
memiliki pengaruh cukup signifikan pada
keberhasilan pendidikan (Sidi, dalam Mustafa,
2004).
Ditambahkan oleh Allison (Supriyoko,
2005), besarnya sumbangan guru pada
keberhasilan pendidikan muncul dari sikap
profesionalitas guru yang menyayangi peserta
didiknya (loves her/his kids), membantu
mencarikan jalan keluar atas masalah yang
dihadapi (helps you out), murah senyum (always
has smile), membuat kejutan-kejutan yang
menyenangkan (is full of surprises), sangat peduli
dan memerhatikan peserta didik (takes good care
of ), memiliki kecerdasan yang tinggi (has smart
brains), selalu mencoba berbuat yang terbaik (tries
her best), senang menyegarkan suasana (like to
laugh), serta mau mendengarkan kata hatinya
(listens to her heart). Dapat ditambahkan bahwa
guru profesional adalah guru yang sekaligus
memiliki kemandirian akademik, yaitu guru
yang memiliki penguasaan yang mendalam
tentang materi mata pelajaran yang harus
diajarkan dan sekaligus memiliki kemampuan
yang tinggi dalam mengajarkan mata pelajaran
yang dipelajarinya.
Sehubungan dengan uraian sebelumnya,
dalam hubungannya dengan pelayanan kerja
mendidik, untuk merespon pendapat dan
penemuan para ahli pendidikan tentang makna
profesionalitas di atas maka Depdiknas telah
menentukan seorang pendidik harus mengikuti
uji sertifikasi untuk bisa dipandang sebagai
tenaga profesional di bidangnya. Selain itu,
sebagai informasi tambahan, profesionalitas
guru juga telah dicanangkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan
Hari Guru tahun 2004. Lebih jauh lagi,
Depdiknas juga telah membentuk direktorat
khusus yaitu Direktorat Jenderal Peningkatan
Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk
menangani masalah profesionalitas guru ini.
Perlu diketahui, tulisan ini muncul dari
keprihatinan penulis setelah membaca media
cetak dan menonton media visual di Indonesia
yang disemaraki oleh berita tentang guru sekolah
58
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
dasar yang sedang mengikuti proses Pendidikan
dan Latihan Profesi Guru (PLPG) untuk
mendapatkan sertifikasi sebagai tenaga
profesional di bidangnya. PLPG ini adalah
tindak lanjut dari uji sertifikasi berbentuk
portofolio/uji kelayakan dokumen yang ada
hubungannya dengan pendidikan yang dimiliki
oleh guru bersangkutan. Namun hasil akhir uji
kelayakan portofolio tidak memuaskan. Ada
banyak guru tidak lolos uji portofolio ini. Ada
banyak faktor penyebab, di antaranya tidak
adanya data konkret tentang tanda keikutsertaan
dalam seminar berupa sertifikat, baik tingkat
provinsi, maupun kota. Penyebab lain adalah
para guru kurang aktif dalam kegiatan
penelitian, penulisan makalah ilmiah, dan
pengabdian pada masyarakat. Oleh karena itu,
untuk menolong para guru yang tidak lolos uji
portofolio, maka PPLG pun digelar.
Tujuan dari penulisan ini adalah ingin
mengkaji tiga butir konsep tentang profesionalitas yang perlu dibahas secara lebih
mendalam dan lebih rinci yaitu keterpanggilan,
keahlian dan kode etik, serta kewenangan.
Sebelum mengkaji ketiga konsep tersebut,
ada baiknya bila terlebih dahulu dijelaskan
makna istilah-istilah yang terkait dengan kata
profesi sebab ada banyak istilah yang berakar
dari kata profesi seperti profesional,
profesionalism dan profesionalitas. Hal
semacam ini tentunya membingungkan pembaca. Tilaar (2007) mendefinisikan (1) makna
profesi sebagai suatu jabatan atau pekerjaan
yang menuntut keahlian dari pemangku jabatan
tersebut; (2) makna profesionalisme yaitu
komitmen seseorang terhadap profesinya,; (3)
makna profesionalitas yaitu pemahaman dan
keterampilan dari keahlian yang dituntut oleh
profesinya yang ditampilkan secara baaik dan
benar; dan (4) makna profesional yaitu
menunjukkan pada derajad kualitas seseorang
yang membedakan penampilannya dari orang
yang tidak profesional. Pembahasan perbedaan
tentang makna di atas sangat penting bagi
guru jenjang pendidikan dasar dan menengah
agar mereka dapat lebih memahami tentang
perbedaan makna tersebut, sehingga mereka
akan dapat melaksanakannya dalam tindakan
konkrit dalam praktek pembelajaran di kelas
maupun di luar kelas. Oleh karena itu, untuk
memudahkan pembaca memahami makna
tulisan ini, bila penulis memakai: 1) kata profesi,
artinya penulis sedang berbicara tentang sebuah
jabatan; dan 2) kata profesional artinya penulis
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
berbicara tentang derajat kualitas seseorang yang
membedakannya dari orang yang tidak
berkualitas. Dalam bahasan ini, penulis
mencoba mensintesiskan pengertian profesionalisme yang berarti komitmen seseorang atas
jabatannya dengan kata profesionalitas; sehingga
kata profesionalitas yang semula berarti pemahaman
dan keterampilan yang ditampilkan seseorang sesuai
dengan profesinya, menjadi pemahaman dan
keterampilan seseorang dalam keahlian yang
dituntut oleh profesinya yang ditampilkan secara
baik dan benar dan dilaksanakan dengan komitmen
yang tinggi. (gabungan antara kata professionalism
dan profesionalitas.
Pembahasan
Isu Profesional Guru
Isu profesional guru yaitu suatu istilah yang
mengandung pengertian jabatan tertentu dengan
karakteristik tertentu yang diakui keberadaannya oleh masyarakat mulai dibicarakan
orang pada pertengahan tahun 1980-an seiring
dengan makin menguatnya peranan sektor
pendidikan dalam mengembangkan sektor
sumber daya manusia. Di negara-negara maju
seperti Amerika misalnya, mereka merespon
pentingnya memberikan perhatian kepada isu
profesional guru dengan membuat National
Board pada tahun 1987, dan telah mengeluarkan
policy statement pada tahun 1989 yang berjudul
“What Teachers Should Know and Be Able To Do?”.
Lembaga ini melakukan upaya untuk mengembangkan standar profesional pengajar-an pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah di
Amerika Serikat. Menurut lembaga ini, ada lima
komponen utama yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengenali para guru yang
secara efektif meningkatkan pembelajaran
peserta didik dan menunjukkan pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, dan komitmen yang
tinggi. Kelima hal tersebut merupakan tuntutan
yang harus dipenuhi guru agar menjadi guru
profesional, yaitu sebagai berikut.
a. Guru mempunyai komitmen kepada peserta
didik dan proses belajar. Hal ini berarti
bahwa komitmen tertinggi guru adalah
terhadap kepentingan peserta didik.
b. Guru mengetahui mata pelajaran yang
mereka ajarkan dan cara mengajarkan. Hal
ini berarti bahwa guru harus menguasai
secara mendalam bahan/mata pelajaran
yang akan diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para peserta didik. Bagi
guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan.
c. Guru bertanggung jawab terhadap
pengaturan dan pemantauan pembelajaran
peserta didik. Hal ini berarti bahwa guru
bertanggung jawab memantau atas hasil
belajar peserta didik melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam
perilaku peserta didik sampai tes hasil
belajar.
d. Guru mampu berpikir sistematis tentang
apa yang akan dilakukannya, dan belajar
dari pengalamannya. Hal ini berarti bahwa
guru harus mempunyai waktu untuk
melakukan refleksi dan koreksi terhadap
apa yang dilakukannya. Untuk bisa belajar
dari pengalaman, ia harus tahu mana yang
benar dan salah, serta baik dan buruk
dampaknya pada proses belajar peserta
didik.
Di Indonesia, Soedijarto mengatakan
bahwa pada tahun 1982 dalam Seminar
Kependidikan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan di Malang, diusulkan agar perlunya
jabatan guru dijadikan jabatan profesional.
Tetapi, karena berbagai faktor, usulan tersebut
tidak memunculkan adanya kebijakan tentang
hal itu. Baru pada tahun 2005 dengan lahirnya
UU No. 14 tentang Guru dan Dosen, harapan
menjadikan jabatan guru sebagai tenaga
profesional terwujud. Untuk maksud ini, maka
pasal 8 UU No.14 tahun 2005 menyatakan
bahwa karakteristik seorang guru profesional
yang membedakannya dari yang bukan
profesional adalah guru tersebut wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan mewujudkan tujuan
pendidikan. Selain itu dijelaskan pula bahwa
yang dimaksudkan dengan kompetensi guru
profesional adalah (a) kompetensi paedagogik,
(b) kompetensi kepribadian, (c) kompetensi
sosial, dan (d) kompetensi profesional. Ditambahkan, bahwa dalam tugasnya sebagai penentu
kualitas pembelajaran, seorang guru secara
profesional harus melakukan: (1) perencanaan
program pembelajaran, (2) mengelola proses
pembelajaran, (3) menilai proses dan hasil
pembelajaran, (4) mendiag-nosis masalah yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
59
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
dihadapi peserta didik, dan (5) terus
memperbaiki
program
pembelajaran
selanjutnya. (Soedijarto, 2006).
Mengingat banyaknya tuntutan profesionalitas yang harus dikuasai guru, dan
banyaknya rumusan-rumusan kemampuan
yang harus dimiliki guru, Irmin dan Rochim
(2004) menunjuk minimal ada 54 hal yang harus
dimiliki guru. Hal itu berkait dengan modal
dasar seorang guru, seperti misalnya kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan
intelektual, kemampuan berbicara, kesabaran
menghadapi peserta didik, dan memiliki jiwa
pendidik. Di samping itu, guru juga harus
mempunyai etos kerja, sikap dan perilaku yang
positif kepada peserta didik, atasan, teman
sejawat, diri sendiri dan masyarakat.
Dengan demikian, guru sebagai salah satu
ujung tombak dalam proses pendidikan dituntut
memiliki kemampuan profesionalitas yang
tinggi, sehingga harus dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta tuntutan masyarakat secara terus menerus.
Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh
guru itu sendiri melalui kegiatan yang
mendukung peningkatan pengetahuan dan
pemanfaatan sumber-sumber pengetahuan
maupun melakukan kegiatan ilmiah, seperti
seminar, symposium, dan melakukan kegiatan
penelitian. Oleh karena itu, guru yang profesional tidak hanya tahu akan tugas, peranan, dan
kompetensinya, namun harus dapat melaksanakan tugas dan perannya dalam rangka
meningkatkan kompetensinya untuk optimalisasi proses belajar mengajar yang efektif.
Selanjutnya, Tilaar (2007) menyatakan
bahwa profesi adalah pekerjaan atau jabatan
yang menuntut keahlian para anggotanya. Suatu
pekerjaan profesi tidak dapat dilakukan oleh
orang yang tidak terlatih atau dipersiapkan
untuk pekerjaan tersebut. Istilah yang berkaitan
dengan pembahasan masalah profesi, adalah
Farruigia (1996) dalam Jurnal Quality Assurance,
yang mengemukakan bahwa profesi adalah
kepercayaan seseorang tentang pengetahuan,
pengalaman dan sikap atau nilai yang dianut
dari orang tersebut. Sedangkan Whitty (2002)
mengkaji kata profesi secara klasikal yaitu
mengandung makna dan pengertian: 1)
mengungkap suatu kepercayaan, 2) keyakinan
atas suatu kebenaran, dan 3) kredibilitas
seseorang. Dari kutipan itu dapat disimpulkan
60
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
bahwa profesi mengandung makna pekerjaan
tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan
istimewa sehingga menyakinkan dan
memperoleh kepercayaan dari pihak yang
memerlukannya. Sementara itu, Sulipan (2007)
menyatakan bahwa seseorang dianggap
profesional apabila mampu mengerjakaan
tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada
etika kerja, bebas dari tekanan pihak luar, cepat
/produktif, tepat/efektif, efisien dan inovatif,
memiliki prinsip pelayanan prima, kewenangan
profesional, pengakuan masyarakat, kode etik
yang regulatif, dan menyajikan tulisan dalam
jurnal ilmiah, dan forum pertemuan profesi.
Pembahasan
Dari pendapat para ahli di muka, ada tiga butir
konsep tentang profesionalitas yang penulis
merasa perlu untuk membahas secara lebih
mendalam tentang keterpanggilan, keahlian dan
kode etik, serta kewenangan
1. Keterpanggilan
Dalam hubungannya dengan konsep profesi
yang diuraikan di muka Setiabudi (2007)
menyatakan bahwa sepertinya orang telah
melupakan akar religius spiritualnya dalam
sejarah kelahiran dan perkembangannya,
sehingga menimbulkan persoalan mendasar
terutama dalam bentuk “sekularisasi profesi”
dan “gejala jiwa terbelah”, dengan segala
akibatnya. Dulu “profesi” berarti jawaban
manusia terhadap “panggilan” Tuhan; dalam
iman kepada Tuhan, kerja adalah panggilan yang
datang dari Tuhan dan di-”professed” oleh
penerima. Dalam sejarah perkembangannya
konsep panggilan/ profesi ini mengalami
perubahan yang secara garis besar dapat
dirumuskan sebagai berikut.
a). Pada abad pertengahan dipahami sebagai
panggilan pribadi kepada hidup suci dalam
biara (dikotomi dunia dan biara; dipanggil
keluar dari dunia masuk ke biara);
b). Reformasi membalikkan arah: “sense of godly
work” dibawa ke dalam dunia; sekularisasi
sebagai upaya menyatukan kedua dunia;
menjadikan dunia suatu biara; setiap
pekerjaan adalah panggilan yang harus
diemban dengan pengakuan untuk
mengerjakannya secara etis dan
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
mempergunakan segenap talenta untuk bagi kesejahteraan seluruh masyarakat)
memenuhi tugas-tugas panggilan tersebut terutama untuk kepemimpinan religius atau
politik. Di kalangan orang Ibrani purba, dengan
demi semua;
c) Di zaman modern unsur panggilan kesejajaran dengan Yunani, India, Cina, Mesir,
menghilang dan kerja menjadi sekuler: dan dan tempat-tempat lain, peran-peran yang
profesionalisme dikembangkan di membutuhkan kemampuan istimewa dan
universitas-universitas dengan specialized latihan yang khusus dan yang mutlak yang
diperlukan bagi kepentingan keberlangsungan
training bagi tiap bidang khusus.
Bagaimana menghubungkan secara integral peradaban, diperlakukan sebagai “panggilan”
bermakna antara iman dan profesi, itulah inti (“callings” or “vocations”). Orang dengan suatu
dari uraian berikut ini. Hasil menghubungkan “panggilan” mengembangkan suatu gaya hidup
iman dan profesi, di satu pihak pemahaman yang terdisiplin yang ditentukan oleh suatu
manusia akan diperkaya pemahamannya pandangan dunia dan suatu sistem nilai yang
m e l i p u t i
mengenai konteks
keseluruhan dan
dunia melalui pelbamemberi petunjuk
gai profesi yang ada
... manusia bisa menjadi
bagi suatu keahlian
di masyarakat sehingmanusia utuh karena sanggup
praktis, sehingga
ga keputusan-kepumereka dapat dengmenghubungkan iman dan
tusannya menjadi
an sebaik-baiknya
pekerjaannya secara bermakna,
relevan. Di pihak lain,
melayani Allah dan
manusia bisa menjadi
dan karenanya akan
umatNya dalam
manusia utuh karena
dimungkinkan untuk
konteks yang manus a n g g u p
menyalurkan semangat dan
siawi.
menghubungkan
Ide tentang “pangniali-nilai agamis ke dalam
iman dan pekerjaangilan” memerlukan
pekerjaannya...
nya secara bermakna,
beberapa hal agar
dan karenanya akan
menjadi operatif
dimungkinkan untuk
dalam seluruh mamenyalurkan
semangat dan niali-nilai agamis ke dalam syarakat. Salah satu dari padanya adalah visi
pekerjaannya, yang sudah tentu amat kompleks tentang suatu peradaban yang kompleks,
dalam strukturnya, proses-prosesnya, tugas- terbuka, kosmopolitan. Hanya dalam masyatugasnya, dunia ling-kungannya, dan sete- rakat seperti itu sejumlah besar orang dapat
menemukan kesempatan menemukan dan
rusnya.
menjalankan panggilan mereka. Pencarian
pribadi untuk menemukan apa yang harus
Iman dan Profesi: Kerja sebagai Panggilan
Pandangan-pandangan yang amat purba dan dilakukan sebagai panggilan hidupnya, dengan
amat mendalam tentang mengapa seseorang perkataan lain, terkait secara erat dengan jenis
mengerjakan yang ia kerjakan tercermin dalam masyarakat dalam mana ia hidup. Ide
uraian berikut. Dalam bagian terbesar sejarah “panggilan” mengandaikan bukan saja “yang
manusia, orang bekerja sebagai pemburu, dipanggil” dalam suatu masyarakat terbuka dan
pengumpul, atau petani, hidup memper- kompleks; ia juga mengandaikan “Pemanggil”
tahankan diri. Peran-peran ditetapkan berda- yang menghendaki hidup menjadi adil dan
sarkan jenis kelamin, usia, dan status (seperti, penuh kasih. Dalam Alkitab orang
misalnya, kerabat kepala suku). Dalam Kristiani,”Pemanggil” itu adalah Allah. Allah
masyarakat yang lebih kompleks, pekerjaan mempunyai suatu tujuan bagi suatu umat.
tangan (crafts) dihormati - mason, pembuat pot, Mereka harus menjadi lebih dari apa adanya
atau bidan, dll. Akan tetapi dalam beberapa mereka secara alamiah. Mereka dipanggil, dalam
kebudayaan, berkembanglah gagasan bahwa kerendahan tapi juga dalam keyakinan, menjadi
orang dengan kemampuan istimewa menerima “terang bagi bangsa-bangsa” berdasarkan suatu
talenta itu karena mereka dipanggil oleh Allah penyataan kebenaran yang kekal tentang
untuk tanggung jawab (khusus yang diperlukan keadilan ilahi. (Setiabudi, 2007).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
61
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
2. Keahlian dan Kode Etik
Istilah professional merupakan suatu istilah yang
mengandung pengakuan masyarakat, dan
menunjukkan karakteristik pekerjaan dengan
sifat-sifat tertentu. Di antara hal penting dari
karakteristik tersebut adalah bahwa
profesionalisme merupakan keahlian dan
berkenaan dengan pengetahuan yang dilandasi
oleh suatu kode etik dengan menekankan pada
pelayanan terhadap publik. Pengetahuan
berdasarkan cirinya melengkapi substansi,
walaupun tidak lengkap, merupakan bimbingan
untuk melakukan suatu tindakan professional.
Para sosiolog awal tahun 50-an dan 60-an,
bahkan telah meletakkan dasar-dasar penting
profesionalitas seorang guru. Berdasarkan
konsep-konsep awal yang dirumuskan,
profesionalitas seorang guru banyak ditentukan
oleh keahlian di samping etos kerja, keahlian
dan komitmennya pada bidang pekerjaan yang
menjadi aktivitas utamanya (Whitty, 2002).
Profesional berarti mempunyai keahlian
yang mendalam tentang suatu pengetahuan.
Profesional juga berarti harus bisa memperbaiki
kemampuan/kecakapannya guna mengatasi
sesuatu yang tanpa diperkirakan, dan berbuat
dengan bijaksana. Dengan demikian, pengertian
konsep professionalitas juga mengandung
makna perilaku yang memungkinkan seseorang
mampu mengembangkan diri dengan
memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk
mengembangkan diri dalam profesinya (Chance,
1999).
Dalam konteks akademik, profesionalitas
menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen
beserta strategi penerapannya (Hasan: 2003).
Maister, dalam Hasan (2003), mengemukakan
bahwa profesionalitaas bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih
merupakan sikap. Pengembangan profesionalitas lebih dari seorang teknisi, yakni bukan
hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi
juga memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan. Dalam kaitan ini, ditambahkan
oleh Hasan, bahwa profesionalitas dalam suatu
jabatan/pekerjaan ditentukan oleh tiga faktor
penting, yakni:
a. Memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan dengan program pendidikan keahlian
atau spesialisasi
b. Kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus)
yang dikuasai
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
c.
Penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian khusus yang dimilikinya
Sejalan dengan Hasan, Howard M. Vollmer
dan Donald L. Mills (1996) mengatakan bahwa
profesi adalah suatu pekerjaan/jabatan yang
memerlukan kemampuan intelektual khusus,
yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan
pelatihan yang bertujuan untuk menguasai
keterampilan atau keahlian dalam melayani atau
memberikan advis pada orang lain, dengan
memperoleh upah atau gaji dalam jumlah
tertentu. Selanjutnya dikatakan pula bahwa
profesi berarti juga suatu kompetensi khusus
yang memerlukan kemampuan intelektual tinggi,
yang mencakup penguasaan atau didasari
pengetahuan tertentu.
Lebih jauh, Sidi (2004) menjelaskan
karakteristik profesi termasuk profesi guru ialah
kemampuan intelektual yang diperoleh melalui
pendidikan, memiliki pengetahuan spesialisasi,
memiliki pengetahuan praktis yang dapat
digunakan langsung oleh orang lain atau klien,
memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan (communicable), memiliki kapasitas
mengorganisasikan kerja secara mandiri (selforganization), mementingkan kepentingan orang
lain (altruism), memiliki kode etik, memiliki
sanksi dan tanggung jawab komunita, serta
mempunyai sistem upah dan budaya
profesional.
3. Kewenangaan
Dalam konteks kewenangan, menurut Lansbury
(1978) dalam Naskah Akademik Undang-Undang
Guru (2004), istilah profesi dapat dijelaskan
dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
karakteristik, pendekatan institusional, dan
pendekatan legalistik. Pendekatan karakteristik
memandang bahwa profesi mempunyai
seperangkat elemen inti yang membedakannya
dengan pekerjaan lainnya. Seseorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala
elemen-elemen inti itu sudah menjadi bagian
integral dari kehidupannya. Pendekatan
institusional memandang profesi dari segi
proses institusional atau perkembangan
asosiasional. Maksudnya, kemajuan suatu
pekerjaan kearah pencapaian status ideal suatu
profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang
harus dilalui untuk melahirkan proses
pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi
yang sesungguhnya. Pendekatan legalistik yaitu
pendekatan yang menekankan adanya
Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
pengakuan atas suatu profesi oleh Negara atau
pemerintah. Suatu pekerjaan dapat disebut
profesi jika dilindungi oleh undang-undang
atau produk hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah suatu Negara.
Dengan demikian, makna profesionalitas
dalam konteks tersebut di aatas dapat dijelaskan
sebagai sebuah sikap, perilaku yang
mengandung pengertian komitmen yang kuat
dan terukur, yang didukung oleh sikap, perilaku,
etos kerja dan kesetiaan pada bidang pekerjaan
yang memungkinkan seseorang berkembang
secara terbuka dalam menjalankan profesi dan
bidang keahlian yang dimilikinya karena dia
memiliki kewenangan untuk melakukan semua
hal tersebut di muka secara sah.
Penutup
Uraian di atas menggambarkan bahwa istilah
yang berakar kata dari kata profesi memiliki
sejumlah pengertian yang saling berbeda. Dari
berbagai pengertian tersebut, studi ini
mensintesiskan bahwa semua persyaratan yang
dituntut oleh konsep profesi terkandung dalam
konsep profesionalitas yaitu spesialisasi
keahlian yang dimiliki seseorang dalam
menjalankan aktivitas pekerjaan/jabatan atau
pelayanan masyarakat. Keahlian tersebut
diperoleh melalui pendidikan terprogram yang
biasanya membutuhkan kurun waktu yang
relatif lama pada suatu lembaga pendidikan
khusus bagi calon pekerja profesional./
bersertifikasi S1 atau D4. Dengan kata lain,
keahlian pekerja profesional bukan sekedar hasil
pelatihan teknis atau pengalaman kerja, tetapi
didasari oleh wawasan keilmuan yang diperoleh
melalui pendidikan profesional terprogram, dan
yang paling penting adalah adanya unsur
komitmen total/keterpanggilan yang datangnya
dari Tuhan, dan jawaban atas keterpanggilan
tersebut dalam pembelajaran di kelas maupun
di luar kelas.
Daftar Pustaka
Chance, Paul. (1999). Learning and behaviour.
London: Cole Publishhing Company
Farruigia, Charley. (1996) dalam Jurnal Quality
Assurance.
Hasan, Ani, M. (2003). Pengembangan
profesionalisme guru di abad pertengahan ,
www, Artikel Pendidikan, Network/html,
28/4/2005.
Lansbury, R. D. (1978). Dalam Naskah akademik
Undang-Undang Guru (2004)
---------- Pasal 8 UU No.14 Tahun 2005
Setiabudi, Natan. Konsep pembinaan secara
menyeluruh dan sinambung. Jakarta: Suara
GKYE Peduli Bangsa, 2007
Sidi, Indra Jati. Masalah guru lebih rumit di era
otonomi; Seminar terbuka tentang
pendidikan dasar dan menengah tahun
2003 di Jakarta
Soedijarto. Sebuah pemikiran tentang sertifikasi
pendidik untuk guru sebagai jabatan
profesional dan implikainya terhadap
lembaga yang berwenang melakukannya.
Disajikan dalam Seminar “Sertifikasi
Pendidikan” di UNJ tanggal 20 Mei 2006
Supriyoko, Ki. Media Indonesia, 23 Agustus 2005
Sulipan. (2007). Kegiatan pengembangan profesi
guru. Makalah Wajib PLPG
Tilaar, HAR. (2007). Sistem pembinaan profesi
guru. Makalah untuk Penataran Guru SD
Seluruh Indonesia
Vollmer, Howard M. & Mills, Donald L.
Artikelpendidikannetwork/html,28/4/2005
Whitty, Geoff. M. (2002). Making sense of education
policy. New Delhi: Sage Publication
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
63
Evaluasi Program/Proyek
Opini
Evaluasi Program/Proyek
(Pengertian, Fungsi, Jenis, dan Format Usulan)
Roswati*)
U
Abstrak
ntuk mengetahui tingkat keberhasilan program/proyek perlu dievaluasi secara objektif.
Disamping itu hasil evaluasi itu juga diperlukan sebagai pertimbangan untuk langkahlangkah lebih lanjut. Tulisan ini membahas tentang hakikat evaluasi dan menawarkan
format usulan untuk mengevaluasi program.
Kata kunci: Evaluasi, evaluasi program, teknik evaluasi, evaluator, proposal evaluasi.
Formal evaluation of a program or project is needed to know the degree of objective attaintmen. Besides, the
evaluation result can be used as reliable information for make further decisions related to the program continiuty.
This article discusses the definitions functions and kinds evaluation. This article also offers a formed of
evaluation proposal.
Pendahuluan
Tugas, kewajiban dan pengabdian guru, dosen,
karyawan, pendeta, manajer, dokter dan kaum
profesi lainnya seringkali membuat mereka lupa
untuk meningkatkan kualitas kinerja dan jati diri
mereka. Oleh karena itu, kiranya wajar bagi
kaum profesi ini untuk sekali-kali melakukan
evaluasi program/proyek/kegiatan yang telah
mereka lakukan maupun materi yang selama ini
mereka pergunakan. Evaluasi diperlukan untuk
mengetahui, apakah program/proyek kegiatan
itu mempunyai nilai tambah bagi diri mereka
sendiri, orang lain maupun organisasi/lembaga/institusi yang mereka abdi, dan sekaligus
berguna juga untuk meneropong jauh ke depan
apa yang masih dan dapat dilakukan atau
dikembangkan oleh mereka.
Di Indonesia, terasa benar adanya
kebutuhan informasi tentang evaluasi program/
proyek yang ditulis secara sistematis dan tajam
sehingga dapat memaparkan secara jelas pokok-
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
pokok pemikiran tentang evaluasi program/
proyek itu sendiri. Tulisan ini berupaya menguraikan pengertian, fungsi, jenis dan format dari
Evaluasi Program/Proyek bagi pendidik
maupun para profesional lainnya serta bagi
pembaca umum yang menggeluti bidang
evaluasi.
Tujuan utama tulisan ini adalah membantu
pembaca untuk membuat evaluasi program/
proyek yang lebih baik. Tujuan itu didasarkan
atas kepercayaan bahwa konstruksi evaluasi
program/proyek yang baik dan benar adalah
penting untuk memampukan evaluator memecahkan masalah yang bersifat solutif bagi setiap
situasi berbeda-beda yang dihadapi. Sifat solutif
evaluasi program/proyek ini merupakan suatu
nilai tambah bagi evaluator untuk melakukan
evaluasi program/proyek secara lebih terarah
oleh karena itu untuk sampai pada pemecahan
masalah terbaik bagi setiap persoalan, adalah
tidak cukup bila orang hanya mempunyai
sekumpulan teknik tentang cara membuat
evaluasi program/proyek. Namun, dibutuhkan
Evaluasi Program/Proyek
juga pengertian, fungsi dan jenis evaluasi
program/proyek serta format evaluasi program/
proyek yang tepat. Selain itu, dibutuhkan juga
pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip
yang ada hubungannya dengan evaluasi
program dan proyek dan bagaimana prinsipprinsip tersebut dipergunakan di lapangan.
Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang ingin tahu lebih banyak
lagi tentang konsep evaluasi program/proyek.
Pengetahuan yang diperoleh dapat membantu
mereka memberikan umpan balik bagi pekerjaan
yang telah mereka laksanakan selama ini.
Pembahasan
Istilah evaluasi yang dipergunakan selama ini
sebenarnya merupakan istilah teknis
kependidikan yang akhirnya meluas ke segala
bidang. Istilah lain yang sering pula dipergunakan dalam konteks evaluasi adalah assessment.
Berdasarkan pengamatan penulis, kedua istilah
tersebut pada umumnya tidak dibedakan
pengertiannya, kecuali di negeri Inggris. Di
negeri Inggris istilah evaluasi dihubungkan
kepada kurikulum, proyek/program, sedangkan
istilah assessment dihubungkan kepada orangnya (siswa, guru, karyawan dll). Dalam tulisan
ini kedua pengertian tersebut tidak dibedakan,
namun penulis lebih memilih mempergunakan
istilah evaluasi karena lebih umum sifatnya.
Perlu dijelaskan di sini bahwa pembahasan
tentang evaluasi program/proyek dalam tulisan
ini lebih menitikberatkan pada struktur
organisasi dari penulisan evaluasi program/
proyek yang baik dan benar sehingga bentuknya
menjadi broad in scope, karena yang diutamakan
adalah suatu overview, bagaimana suatu evaluasi program/proyek itu dibuat dan dilaksanakan di lapangan.
Perbedaan Pengertian Istilah Evaluasi,
Pengukuran dan Tes
Dalam praktek nyata, pengertian evaluasi
kadangkala ditafsirkan sama dengan pengertian
pengukuran dan kadang-kadang disamakan
juga dengan pengertian tes. Dalam dunia
pendidikan bila seorang guru mengetes
keberhasilan siswa di dalam mata pelajaran
tertentu maka dikatakan olehnya bahwa ia
mengukur keberhasilan siswa tersebut atau dia
mengevaluasi keberhasilan siswa tersebut.
Sebenarnya ketiga pengertian tersebut berbeda.
Pengertian evaluasi
Secara umum istilah evaluasi dapat diartikan
suatu proses pemberian pertimbangan mengenai
nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan.
Sesuatu tersebut dapat berupa orang, benda,
kegiatan, keadaan, atau suatu kesatuan/
kelompok tertentu seperti materi pelajaran,
kurikulum, proyek dan program. Pemberian nilai
berhubungan dengan karakteristik yang ada
pada objek, kegiatan, proyek, program itu sendiri.
Bila evaluasi dilakukan terhadap kurikulum
matematika modern maka evaluator menilai
bahwa kurikulum tersebut telah dikembangkan
sesuai dengan prosedur pengembangan
kurikulum matematika modern yang
seharusnya, sedangkan arti berhubungan
dengan posisi dan peranan kurikulum
matematika modern tersebut apakah dapat
mengubah cara belajar siswa, cara mengajar
guru, suasana belajar-mengajar atau prestasi
belajar yang lebih kondusif. Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa proses evaluasi selalu
mengandung judgement (penilaian/penentuan)
yang didasarkan oleh kriteria tertentu. Kriteria
dapat ditentukan oleh evaluator sendiri atau dari
pemberi tugas. Selain itu, dalam melakukan
kegiatannya evaluasi dapat mempergunakan
kegiatan pengukuran (tes) maupun kegiatan non
pengukuran (non tes).
Pengertian Pengukuran
Pengukuran adalah suatu perangkat aturan
yang berhubungan dengan proses pemberian
angka terhadap objek atau kegiatan tertentu.
Kegiatan pengukuran biasanya dilakukan
melalui tes dan didasarkan atas teori
pengukuran. Untuk cabang psikologi dinamakan
psikometrik. Untuk cabang ilmu sosial
dinamakan sosiometrik.
Pengertian tes
Tes adalah suatu alat pengumpulan data/
informasi yang dirancang secara khusus. Hasil
dari suatu tes biasanya berbentuk angka/
dilambangkan dalam bentuk angka. Angka ini
diolah lebih lanjut untuk keperluan pengukuran
dan evaluasi. Pembuatan tes harus selalu
dikembangkan atas teori pengukuran.
Proses evaluasi yang melibatkan kegiatan
pengukuran (tes) dan kegiatan non pengukuran
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
65
Evaluasi Program/Proyek
(non tes) yang selalu disertai oleh value
judgements dapat diperlihatkan pada gambar
berikut.
d)
Evaluasi
e)
Kuantitatif
Pengukuran
Kualitatif
Non Pengukuran
Tes:
Lisan
Tulisan
Tindakan
Non Tes:
Observasi
Wawancara
Skala
Ceklis
Value Judgements
Objek Evaluasi
Objek evaluasi dapat berbentuk apa saja
tergantung dari apa yang ingin dinilai dan
diartikan oleh evaluator, pembuat keputusan
atau pemberi tugas. Biasanya, objek dari evaluasi
berbentuk materi, proyek, program, proses
bahkan evaluasi itu sendiri (meta evaluation).
Oleh karena objek evaluasi banyak jenisnya,
maka pembuat evaluasi penting untuk menentukan dan mendeskripsikan objek apa yang
akan dievaluasi secara spesifik, sehingga
evaluator dapat mengumpulkan data/informasi yang tepat. Berikut ini akan diuraikan dimensi
objek dari evaluasi itu sendiri.
Ditinjau dari dimensi objek, evaluasi dapat
dibagi sebagai berikut.
a Evaluasi Materi : Menilai soal-soal fisik yang
berhubungan dengan isi. Isi buku, isi kurikulum dan lain lain.
b Evaluasi Proyek : Menilai kegiatan yang
menyangkut suatu tugas khusus yang
berlangsung dalam jangka waktu terbatas/
singkat. Contoh Evaluasi Proyek: lokakarya
tiga hari tentang kepemimpinan dan
percobaan dua tahun tentang pengembangan materi pembinaan pranikah.
c
Evaluasi Program : Menilai suatu kegiatan
yang dilakukan untuk mendatangkan hasil
atau pengaruh yang berlangsung untuk
jangka waktu yang tidak terbatas. Contoh
Evaluasi Program: Evaluasi program
pendidikan sitem ganda dan evaluasi
program pemberantasan buta huruf di suatu
daerah.
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Evaluasi Proses : Menilai proses terjadinya
suatu kegiatan seperti proyek, program dll.
Contoh: menilai proses proyek pembuatan
jalan layang.
Meta Evaluasi : Mengevaluasi suatu kegiatan evaluasi lain. Kegiatan ini dapat dilakukan ketika proses evaluasi sedang
berlangsung atau sesudah proses evaluasi
selesai.
Dalam khazanah keilmuan ada dua macam
bentuk Meta evaluasi yaitu, meta eksternal
dan meta internal. Meta eksternal : untuk
melihat kebenaran dan menilai disain,
proses dan laporan evaluasi. Evaluasi
semacam ini dilakukan oleh orang luar dan
meta internal : untuk merevisi dan mengikuti
kegiatan evaluasi agar evaluasi berjalan
sebagaimana mestinya. Evaluasi semacam
ini dilakukan oleh orang dalam.
Pengertian Evaluasi Program/Proyek
a. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu
kegiatan pengumpulan dan pemberian data
atau informasi baik yang bersifat kualitatif
maupun kuantitatif yang dipergunakan
oleh para pengambil keputusan untuk
mempertimbangkan apakah suatu program/proyek perlu diperbaiki, dihentikan
atau diteruskan. (Gronlund, l983)
b. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu
kegiatan yang menentukan sampai sejauh
mana tujuan yang telah ditetapkan dapat
dicapai. (Tyler, l950)
c. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu
kegiatan yang menyediakan informasi
untuk pembuat keputusan. (Cronbach, l963)
d. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu
kegiatan yang merinci apakah ada selisih/
kesenjangan antara apa yang direncanakan dengan suatu standar yang ada. (Alkin,
l969 & Provus, l971)
e. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu
proses yang memperlihatkan manfaat atau
kegunaan suatu proyek/program. (scriven,
l967 dan Glass, l969, Stufflebeam, l974)
Tujuan dan Manfaat Evaluasi Program/Proyek
Tujuan
a) Menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
tindak lanjut suatu program/proyek di
masa depan.
b) Penundaan pengambilan keputusan.
Evaluasi Program/Proyek
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
Penggeseran tanggung jawab.
Pembenaran/justifikasi program.
Memenuhi kebutuhan akreditasi.
Laporan akutansi untuk pendanaan.
Menjawab atas permintaan pemberi tugas,
informasi yang diperlukan.
Membantu staf mengembangkan program.
Mempelajari dampak/akibat yang tidak
sesuai dengan rencana.
Mengadakan usaha perbaikan bagi program
yang sedang berjalan.
Menilai manfaat dari program yang sedang
berjalan.
Memberikan masukan bagi program baru.
Manfaat
a) Memberikan masukan apakah suatu
program/proyek dihentikan atau diteruskan.
b) Memberitahukan prosedur mana yang perlu diperbaiki.
c) Memberitahukan stategi, atau teknik yang
mana yang perlu dihilangkan/diganti.
d) Memberikan masukan apakah program/
proyek yang sama dapat diterapkan di
tempat lain.
e) Memberikan masukan ke arah mana dana
harus dialokasikan.
f) Memberikan masukan apakah teori/
pendekatan tentang program/proyek dapat
diterima/ditolak.
Kapan Evaluasi Program/Proyek tidak
dibutuhkan lagi
a) Sudah ada keputusan yang diambil.
b) Tidak jelas arah dan tujuannya.
c) Tidak cukup dana yang mendukung.
d) Tidak ada orang yang memiliki kualifikasi
untuk melakukan evaluasi.
e) Jika telah kedaluwarsa.
Fungsi Evaluasi Program/Proyek
Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki
atau mengembangkan program/proyek yang
sedang berlangsung. Dengan evaluasi formatif
diharapkan program/proyek tetap berjalan
seperti yang direncanakan sehingga terjamin
mencapi tujuan.
Evaluasi Sumatif yang dilakukan pada
akhir program/proyek berfungsi sejauhmana
program proyek itu mencapai tujuannya.
Dengan demikian hasil evaluasi sumatif ini
dapat dipergunakan untuk sertifikasi, seleksi,
tindak lanjut, dan pengambilan keputusan untuk
langkah-langkah berikutnya. Secara psikologis/
sosial-praktis evaluasi sumatif berfungsi untuk
meningkatkan kesadaran tentang kekhususan
suatu kegiatan, memotivasi evaluator dan
meningkatkan hubungan inter relasi.
Teknik-Teknik yang Dipergunakan dalam
Evaluasi Program/Proyek
a) Evaluasi reflektif : Menilai ide/konsep yang
dipergunakan evaluator dalam pengembangan program. Evaluasi semacam ini
dapat dilakukan pada saat ide/konsep
tersebut pertama kali dilontarkan, pada saat
dikembangkan, dilaksanakan atau setelah
evaluasi selesai dilakukan.
b) Evaluasi rencana : Menilai rencana program
itu sendiri untuk melihat apakah format
yang dipergunakan sesuai atau tidak
dengan kondisi/situasi lapangan, menilai
apakah pelaksana evaluasi program dapat
mengerti/memahami makna tentang
rencana program itu sendiri (keterbacaan
rencana), dan melihat adakah hubungan
antar komponen yang digunakan baik
secara vertikal maupun horizontal.
c) Evaluasi proses : Memonitor pelaksanaan
program di lapangan untuk melihat apakah
kegiatan, strategi, dan pelakuan yang
direncanakan dijalankan sesuai rencana
atau tidak. Dengan kata lain, proses
evaluasi menekankan pada efek perlakuan
itu sendiri apakah berjalan dengan baik
atau tidak. Kegunaan lain dari evaluasi
proses adalah untuk memberikan masukan
atau informasi kepada pengambil keputusan tentang tindakan macam apakah yang
harus dilakukannya segera.
Contoh:
Apakah interaksi antar Pendeta dengan
Jemaat berjalan baik? Bila tidak, pengambil
keputusan dapat melakukan langkahlangkah perbaikan segera.
d) Evaluasi hasil : Menilai dampak evaluasi
terhadap objek evaluasi sendiri maupun
terhadap masyarakat luas, menilai program
mana yang mampu memberikan hasil
terbaik, dan dalam evaluasi hasil, informasi
yang ingin didapat adalah tentang target
populasi itu sendiri yaitu keadaan populasi
sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan.
e) Evaluasi pelaksanaan/kemajuan
Kedua komponen ini merupakan suatu
kegiatan evaluasi formatif. Dalam ImplemenJurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
67
Evaluasi Program/Proyek
tation Evaluation, evaluator mencari
kesenjangan yang mungkin terjadi antara
rencana yang telah ditetapkan dengan
kenyataan yang ada di lapangan, sekaligus
evaluator juga harus menjaga agar program
berjalan sesuai disain yang ditetapkan atau
merubah, memodifikasi disain tersebut
sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Dalam Progress Evaluation, evaluator
memonitor indikator-indikator kemajuan
yang terjadi pada saat program berlangsung,
mengadakan koreksi minor sesuai dengan
situasi dan kondisi lapangan.
Evaluasi hasil (outcome evaluation)
Komponen ini merupakan suatu kegiatan
evaluasi sumatif. Kegiatan ini menentukan
apakah tujuan telah tercapai atau tidak.
f)
Dalam kegiatan ini, kelemahan, kekuatan
dari program yang sedang berjalan
dijelaskan secara rinci agar dapat
dipergunakan sebagai masukan bagi
perbaikan program berjalan maupun
masukan bagi program berikutnya.
Pendekatan yang Biasa dipergunakan dalam
Pelaksanaan Program
a. Pendekatan Pre-ordinate : Kriteria ditetapkan
sebelum evaluator pergi ke lapangan.
Kriteria dikembangkan dari teori atau
ukuran baku tertentu. Contoh : Cost Benefit
and Cost Effectiveness.
b. Pendekatan Fidelity : Kriteria ditetapkan
sebelum ke lapangan, dikembangkan dan
dianalisis dari objek yang akan dinilai. Jadi,
Perbedaan evaluasi formatif dengan evaluasi sumatif
Aspek
Evaluasi Formatif
Evaluasi Sumatif
T u j u an
Peningkatan program
Pemantauan kegunaan program
Audience
Administrator
Staf
Pemakai Program
Pemberi dana
Siapa Karakter
Evaluator internal
Evaluator External
Utama
Sangat tergantung pada waktu
Untuk meyakinkan pengambil
keputusan
Pengukuran
Internal
V al i d , R e l i ab l e
Frekuensi
Pengumpulan Data
Sering
Tertentu
Sample
Kecil
B e s ar
Kendala Rancangan
Informasi apa yang diperlukan, kapan?
Menentukan apa ingin diajukan
R ap at
Sering
Sering
Pertanyaan
Apa yang terjadi?
Apa yang dihasilkan?
Bagian mana yang dapat bekerja
dengan baik?
Siapa yang menghasilkan?
Dalam situasi yang bagaimana hasil
tersebut perlu diperbaiki?
Bagian mana yang diperoleh?
Bagaimana
meningkatkan/memperbaiki
penampilan?
Usaha/latihan apa yang diperlukan?
Bagaimana hasil program?
Apa yg diperlukan untuk mencapai
hasil tersebut? (Biaya, usaha)
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Evaluasi Program/Proyek
c.
d.
sebelum ke lapangan evaluator harus
mempelajari seluk beluk objek tersebut
secara menyeluruh atau mewawancarai
pengembang program sendiri.
Pendekatan Gabungan : Kriteria dikembangkan dengan menggunakan gabungan cara
butir 1 dan 2 di atas.
Pendekatan Proses : Kriteria dikembangkan
selama evaluator berada di lapangan
(pendekatan naturalistik).
22. Kepada siapa laporan ditujukan? Executive:
Puncak atau menengah? Kepada sponsor?
23. Siapa sumber informasi? Dimana?
24. Siapa yang mendapat pengaruh langsung
dari hasil evaluasi?
a. Programmer;
b. Staff;
c. Siswa, dan
c. Masyarakat?
25. Siapa yang mencetuskan gagasan pertama?
26. Apakah ada kelompok-kelompok di dalam
program yang tidak menginginkan adanya
evaluasi?
27. Apakah motif mereka berbuat begitu?
28. Apakah ada komitmen antara pelaksana
evaluasi dan pemberi dana?
29. Apakah tujuan evaluasi untuk mengambil
keputusan atau apa?
30. Tindak lanjut macam apa yang akan
diambil?
31. Literatur apa saja yang dibutuhkan?
Pertanyaan-pertanyaan Pertama yang
Membantu Evaluator dalam Membuat
Evaluasi Program yang Layak Pakai
1. Apa yang dievaluasi?
2. Mengapa?
3. Siapa yang melakukan evaluasi?
4. Bagaimana pertanyaan - pertanyaan
evaluasi dijawab?
5. Siapa yang bertanggung jawab?
6. Siapa yang memberi tugas?
7. Berapa biaya yang tersedia?
8. Ruang lingkupnya apa?
Perbedaan Evaluator Internal dengan Eksternal
9. Waktu : Kapan evaluasi dilaksanakan dan bila berakhir?
No
Internal
Eksternal
10. Ukuran Populasinya bagai1. Sangat mengetahui seluk Sukar mengetahui seluk
mana?
beluk program.
beluk program
a. Mikro: Kecamatan
b. Makro: Propinsi Nasional
2. Mudah mendapatkan
Sukar mendapatkan data
11. Masukan/Input harus jelas
data
esensial
terinci :
3. Seringkali tidak objektif
Dapat objektif karena
a. Kriterianya harus jelas.
berkepentingan
b. Siapa yang masuk?
c. Berapa indeks prestasinya?
4
Dapat memberi informasi Tidak Dapat
d. Memenuhi syarat tidak?
penting yg kontekstual
12. Tujuan :
a. Kompleks
b. Sederhana
Komponen Ukuran Baku Evaluasi Program
13. Kadar Inovasi:
Ukuran Baku untuk Evaluasi Program ini
a. Homeostatic: tidak memberikan perubadikembangkan oleh Panitia Gabungan Ukuran
han yang berarti.
Baku yang diketuai oleh Stufflebeam.
b. Incremental : hanya menambahkan
Komponen-komponen yang harus diperhatikan
sesuatu perubahan mikro.
dalam menyusun rencana evaluasi program agar
c. Neobolistic : memberikan pembaruan.
evaluasi ini layak dipakai adalah :
14. Data/Informasi apa yang dibutuhkan?
a Kegunaan (Utility) : Mengarahkan evaluasi
Kualitatif/kuantitatif
menjadi jelas, tepat waktu, serta
15. Teknik analisis datanya apa?
berpengaruh. Butir-butir yang perlu ada di
16. Instrumen pengukurannya apa?
dalam wacana ini adalah: (1) dentifikasi
17. Apakah perlu mengadakan pra survei?
pemakai, (2) kredibilitas evaluator, (3) ruang
18. Apakah perlu mengadakan cross validation?
lingkup informasi dan pemilihannya, (4)
19. Siapa pendukung dana?
interpretasi tentang nilai, (5) kejelasan
20. Siapa client dari evaluasi?
laporan, (6) penyebaran laporan, (7) ketepatan
21. Kapan harus selesai?
waktu laporan, dan (8) dampak evaluasi.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
69
Evaluasi Program/Proyek
b
Kelayakan (Feasibility) : Kelayakan mempertanyakan apakah evaluasi dilaksanakan
dalam setting yang alami atau di
laboratorium? Sedang tujuan dari dilakukannya kelayakan adalah apakah evaluasi
bersifat realistis, bijaksana, diplomatis,
hemat, prosedurnya praktis, bisa mandiri
secara politis, dan biaya yang dikeluarkan
efisen.
c
Kepatutan (Apropriety: Illegacy & Ethically):
Apakah evaluasi berpengaruh pada orang
dalam pelbagai cara?; Meyakinkan bahwa
hak-hak manusia yang dievaluasi
dilindungi; Kebebasan pribadi, kebebasan
informasi terjamin; Tidak melanggar
hukum: legal dan etis.
d
Ketepatan (Accuracy) : Mempertanyakan
apakah Evaluasi Program/Proyek
menghasilkan informasi yang rasional,
komprehensif, dan logis dalam butir-butir
item di bawah ini:
1. Identifikasi Objek.
2. Analisis Konteks.
3. Tujuan dan Prosedural yang Terurai.
4. Sumber Informasi yang dapat
Dipertanggung jawabkan.
5. Pengukuran yang Sahih.
6. Pengukuran yang Terpecaya.
7. Kontrol Data yang Sistematis.
8. Analisis Informasi Kuantitatif.
9. Analisis Informasi Kualitatif.
10. Kesimpulan yang Teruji.
11. Pelaporan yang Objektif.
Contoh Bentuk Usulan/Proposal Evaluasi
Program/Proyek
Format
A Judul
B Abstrak
C Tabel Isi
D Kata Pengantar : Berisikan siapa yang
berkepentingan terhadap hasil evaluasi
sehingga kelanjutan program dapat
ditentukan.
E Bab I : Pendahuluan berisikan
1. Rasional Evaluasi yang mendeskripsikan alasan untuk melakukan evaluasi
dan tujuan serta manfaat evaluasi.
2. Perumusan Masalah.
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
F
G
H
I
J
BAB II : Metodologi berisikan
1. Lingkup Studi : Deskripsi Program
Evaluasi yang menjelaskan secara rinci
semua aspek dari program dan
evaluasinya yaitu bentuk program,
tujuan program, sasaran program,
pelaksanaannya serta masalah-masalah
yang mungkin timbul di lapangan
sekalian dengan cara penanggulanggannya.
2. Strategi dan Metode: Tahap-tahap
evaluasi dan komponen-komponen
evaluasi yang dipergunakan;
sampel, populasi; instrumen; teknik
pengumpulan data; teknik analisis yang
dipergunakan untuk menganalisis data
BAB III : Temuan-Temuan
BAB IV : Analisis dan Diskusi
BAB V : Rekomendasi
Daftar Pustaka
Penutup
Dari beberapa buku yang dijadikan sumber
acuan untuk tulisan ini diketahui bahwa minat
orang untuk melakukan evaluasi program/
proyek atas kinerja sendiri sangat kecil. Kecilnya
minat untuk melakukan evaluasi program/
proyek bisa disebabkan karena tulisan-tulisan
atau buku-buku tentang evaluasi program/
proyek sangat susah ditemukan. Bila ada, tahun
penerbitannya juga sudah kadaluwarsa, masih
di bawah tahun penerbitan abad 20. Sementara
buku-buku referensi terbitan tahun 2000 ke atas
susah ditemukan. Adanya kendala seperti
diuraikan di muka menyebabkan tulisan tentang
evaluasi program/proyek dalam tulisan ini lebih
banyak menggunakan buku-buku referensi di
bawah tahun 2000. Akhir kata, tulisan singkat
tentang evaluasi program/proyek ini penulis
akhiri dengan mengutip beberapa pendapat dari
para ahli evaluasi program/proyek yang
berguna untuk mengeliminir persepsi negatif
tentang maksud dan tujuan pelaksanaan
evaluasi.
Brinkkerhoff dkk (l983) menyatakan:
Evaluation is for making something works.
If it works ....
Notice and Nurture;
If it doesn’t work ....
Notice and Change.”
Evaluasi Program/Proyek
Sementara itu, Stufflebeam (l985) menyatakan bahwa tujuan utama dari pelaksanaan
evaluasi adalah: “To Improve not To Prove!”
Daftar Pustaka
Alkin, M.D., Daillak, R., and White, P. (1979).
Using evaluations: does evaluation make a
difference? Beverly Hills, Cliff: Sage
Campbell, J., Dunnette, M.D., Lawler, E.E, and
Weick, K.E. (1970). Manegerial behaviour,
performance, and effectiveness. New York:
McGraw-Hill
Gronlund. (l983). Measurement and evaluation in
teaching. MacMillan Publishing
Company, New York
Cronbach, L., J., and others. (1980). Toward reform
of program evaluation: aims, methods, and
institutional arrangements. San
Fransisco: Jossey-Bass
Daniel L., Stufflebeam. (l974). Evaluation models.
Boston: Kluwer-nijhoff Publishing.
Glass, G.V. et al. (l969). Data analysis of the 196869 survey of compensatory education
Provus, M. ( l971). Discrepancy evaluation.
Berkeley, California: McCutcheon
Publishing Co.
Robert G. St. Pierre, Editor. (1983). Management
and organization of program evaluation
San Fransisco: Jossey Bass Inc.
Publisher
Scriven, Michael. “The methodology of evaluation”
In: R.W. Stake et al., Perspectives on
curriculum evaluation. AERA monograph
series on curriculum evaluation, no.1.
Chicago: Rand McNally, 1967, 39-83
Tyler, R.W. (l967). Changing concepts of educational
evaluation” In: R.E. Stake (ed),
Perspectives of Curriculum Evaluation,
Vol.1. New York: Rand McNally
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
71
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
Opini
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
Melalui Pribadi Unggul yang Efektif
Edwita*)
Abstrak
ulisan ini berupaya untuk memberikan pemahaman tentang manfaat menemu kenali diri
sendiri sehingga guru mampu mengembangkan citra diri guru yang positif melalui pribadi
unggul yang efektif sebagai teladan dan secara berkelanjutan. Tulisan ini berusaha
memampukan guru untuk bisa bergaul di lingkungan sekolah dan masyarakat dalam
rangka mengemban misi pendidikan dengan menawarkan sejumlah saran membangun citra diri
yang positif.
T
Kata kunci: Citra diri, kepribadian, karakter, pribadi unggul.
Positive self image is necessary in developing teacher’s profession and career. This article discusses throughly
self -image particulary for teachers. To end the article, the writer offers a number of suggestions too develop
positive self-image for teachers.
Pendahuluan
Diskusi tentang pendidikan di Indonesia sering
memunculkan perbandingan tentang kualitas
guru jaman dulu dengan kualitas guru jaman
sekarang. Dulu, perilaku guru dipandang
orang bagaikan mega bintang yang menjadi
idola siswanya dan masyarakat di sekitarnya
dalam berbagai hal. Saat itu, guru bagaikan
manusia yang berjiwa agung. Seperti yang
dilukiskan oleh Earl V Pullias dan James D
Young yang dikutip oleh Widiyastono tentang
pandangan masyarakat terhadap guru, yaitu
manusia yang serba tahu, serba bisa, dan
memiliki wibawa tinggi. Jadi, Guru di masa lalu
dinilai lebih memiliki kualitas, berkarakter,
mempunyai semangat berkorban untuk
masyarakat, dan umumnya dikenal mampu
membimbing masyarakat dibandingkan dengan
guru masa kini.
*) Dosen Jurusan PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Dalam diskusi “Sewindu Reformasi
Mencari Visi Indonesia 2030” para pembicara
menyampaikan kehadiran guru yang berkualitas
saat ini masih sebatas harapan. Ditambahkan
oleh para panelis, bahwa pendidikan nasional
bukan saja belum berhasil meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan anak didik, tetapi
juga gagal dalam membentuk karakter dan
kepribadian mereka. Kepercayaan pada sifat
profesional guru sekolah juga kelihatan mulai
kurang terindikasi dari banyaknya anak
diikutkan bimbingan belajar, kecenderungan
untuk sekolah di rumah, atau banyaknya anak
dikirim untuk sekolah di luar negeri. Salah satu
alasan, orangtua meragukan kemampuan guru
dan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
Ada banyak alasan meragukan kemampuan
guru, salah satunya adalah yang memilih profesi
menjadi guru, kebanyakan bukan warga kelas
satu, melainkan warga yang memiliki banyak
keterbatasan. Jadi kehadiran guru bukan by
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
design, tetapi by condition. Menjadi guru bukan
karena cita-cita murni, tetapi karena berbagai
alasan keadaan, sehingga rendahnya kemampuan sejumlah guru tidak mengherankan.
Diakui bahwa sinyalemen yang dikemukakan tidak berlaku untuk semua guru. Masih
ada banyak guru yang mengabdikan dirinya
secara baik dan benar. Akan tetapi, keadaan
yang kurang baik itu hendaknya mendorong
guru mengubah citra negatif tersebut menjadi
positif terhadap profesi keguruan itu sendiri.
Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali keberadaan profesi guru saat ini untuk mengembalikan
citra kepribadian yang unggul dan efektif.
Dalam tulisan ini dibahas berbagai hal yang
berkaitan dengan profesi guru. Apakah
sertifikasi terhadap profesi guru, akan
memunculkan tokoh pejuang pendidikan seperti
jaman dulu yang memenuhi harapan masyarakat ? Apakah citra pendidikan saat ini bisa
menjadi lebih baik? Apakah syarat guru yang
berkualitas dapat dijembatani dengan upaya
pemantapan pribadi guru yang akan dikemas
dalam bentuk citra diri dan pribadi unggul yang
efektif?
Pembahasan
Citra diri guru
Pengertian citra guru
Istilah citra diartikan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005) sebagai suatu gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai
pribadi, produk maupun suatu lembaga. Atas
dasar pengertian itu maka Citra Diri Guru
didefinisikan sebagai gambaran tentang diri
pribadi guru yang diberikan appresiasi oleh
masyarakat dapat ditambahkan bahwa
penilaian yang diberikan oleh masyarakat
terhadap guru bisa berbentuk positif atau negatif
tergantung kepada kepribadian maupun
karakter yang muncul sebagai wujud profesi
guru secara utuh.
Pengertian Kepribadian
Dalam pembicaraan sehari-hari sering dijumpai
beberapa ucapan yang membuat orang
menafsirkan bermacam-macam arti kepribadian.
Contoh:
a. Sebagai kepala sekolah, dia mempunyai
kepribadian
b. Menurut Anda, bagaimana kepribadian guru
matematika tersebut?
Pada contoh “a” kata kepribadian dapat
diartikan sebagai kewibawaan sedangkan pada
contoh “b” dapat diartikan sebagai sifat-sifat
seseorang.
Menurut seorang tokoh kepribadian yaitu
G.W. Allport dalam bukunya Sarah Cook (1994),
sebagaimana yang dikutip Soedarsono,
pengertian kepribadian sebagai berikut.
“Kepribadian adalah suatu organisasi yang
dinamis dari sistem psikofisik yang menentukan
penyesuaian diri yang unik terhadap lingkungannya”. Pendapat lain, yang lebih khusus
diungkapkan oleh Soedarsono bahwa kepribadian adalah totalitas kejiwaan seseorang yang
menampilkan sisi yang didapat dari keturunan
(orang tua dan leluhur) dan sisi yang didapat
dari pendidikan, pengalaman hidup, dan
lingkungannya. Dari sisi keturunan didapat
bakat, kecerdasan dan temperamen. Temperamen ini sangat sukar untuk diubah. Sisi yang
didapat dari pendidikan serta dibentuk dan
didapat dari pengalaman hidup berwujud
dalam pengetahuan, keterampilan dan watak.
Dengan demikian, bisa digambarkan bahwa
kepribadian itu adalah keadaan dalam diri
seseorang yang menentukan bagaimana
penampilan dirinya dikemas dalam upaya
dirinya menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pengertian Karakter
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005)
mendefinisikan Karakter atau Watak adalah
kualitas manusia yang muncul dari hasil
pembelajaran sosial. Manusia mendapatkannya
dari interaksi dengan manusia lainnya, faktor
bawaan tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap lingkungan belajar. Hal senada
dinyatakan oleh Given (2007), bagaimana guru
memilih untuk berperilaku merupakan interaksi
kompleks di antara banyak pengaruh. Seperti,
gen-gen, cara guru dibesarkan dalam keluarga,
budaya, keadaan biokimiawi otak guru pada
satu waktu tertentu, cara masyarakat memperlakukan guru dan stimulan yang masuk dari
pelbagai kondisi. Dinyatakan oleh Soedarsono
(2002) bahwa watak seseorang akan mendorong
sikap dan perilaku seseorang. Ditambahkan
oleh Soedarsono bahwa manusia mampu
melakukan tindakan buruk terhadap orang lain,
tetapi manusia juga mampu mencintai, menjalin
persahabatan dan kerja sama, memiliki rasa
keadilan dan memiliki kemampuan untuk
memprediksi konsekuwensi dari tindakannya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
73
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
sensiri. Dengan demikian, sebagai manusia berperilaku (kode etik) guru. Penampilan
kalau temperamen sebagai faktor bawaan sulit kepribadian seorang pramugari tentu akan
untuk berubah, sebaliknya kepribadian dan berbeda dengan ibu guru, walaupun sama-sama
karakter dapat berubah karena hal itu diperoleh di bidang pelayanan. Penampilan yang didapat
manusia melalui lingkungannya. Sebagai dengan melatih keterampilan pribadi disebut
seorang manusia, guru dapat merubah watak etika kepribadian (personality ethics) yang
guru yang kurang tepat, dan guru dapat pula diwujudkan dengan tampilan lahiriah.
membantu membentuk watak dan kepribadian
Guru yang berpenampilan ramah, pandai
anak didik dan lingkungan guru sendiri.
menghibur, dan memikat lebih mudah diterima
Dari uraian sebelumnya dapat disintesiskan oleh anak didik mereka. Apakah dalam situasi
bahwa seseorang yang memiliki citra diri yang panik guru tersebut akan tetap bersikap sama?
positif akan mendapatkan berbagai manfaat, Biasanya dalam kondisi mengajar yang normal,
baik yang berdampak positif bagi dirinya sendiri ketika anak-anak berperilaku baik, guru
maupun untuk orang-orang di seki-tarnya. Guru umumnya dapat mengatur prilaku diri. Akan
yang memiliki citra diri positif senantiasa tetapi, menurut Soedarsono, keberhasilan itu
mempunyai inisiatif untuk menggulirkan hanya akan berlangsung dalam jangka pendek
perubahan positif bagi lingkungan tempat ia jika tidak dibarengi dengan Character Ethics.
berkarya. Mereka tidak akan menunggu agar
Character Ethics adalah penampilan
kehidupan menjadi
berdasarkan watak
lebih baik, sebalikatau karakter terpunya, mereka akan
ji yang dilandasi
Guru yang memiliki citra
melakukan peruoleh lima sikap
bahan untuk memdasar, yaitu jujur,
diri positif senantiasa
buat kehidupan
terbuka, berani
mempunyai inisiatif untuk
menjadi lebih baik.
mengambil resiko,
menggulirkan perubahan positif
Perubahan positif
komitmen, dan berbagi lingkungan tempat ia
tidak hanya dirabagi. Mari kita perberkarya.
sakan oleh dirinya,
hatikan perbedaan
namun juga oleh
etika karakter dan
lingkungannya.
etika kepribadian
pada gambar 1.
Pada gambar terlihat bahwa kedaan di atas air
merupakan nilai sekunder sebagai etika
Mengenal Siapa Saya :
kepribadian yang terdiri dari penampilan dan
Identitas >< Jati Diri
Pengertian mengenai bagaimana pribadi itu keterampilan yang hanya meliputi 15% dari
terbentuk dan berkembang serta mengenai totalitas kepribadian (yang sering muncul).
pribadi diri sendiri merupakan dasar untuk Bagian bawah air dari gunung es ini merupakan
mengetahui apa yang kita kehendaki dalam merupakan watak, integritas, rendah hati,
kehidupan ini maupun dalam pekerjaan kita kesetiaan, kepedulian, keteladanan, yang berarti
85% dari keseluruhan (nilai primer). Dengan
dan untuk mengenal pribadi orang lain.
Sering kali bila ditanya siapa dirinya, manusia demikian, “penampilan” sebagian besar
cenderung menyebutkan fakta-fakta nyata manusia barulah merupakan penampilan
mengenai dirinya sendiri misalnya: nama, lahiriah, sehingga guru perlu menampilkan
alamat, pekerjaan, dsb. Ke semua hal ini dikenal pribadi guru yang sesungguhnya untuk
dengan identitas. Identitas adalah tanda diri mewujudkan kredibilitas, integritas atau harkat
manusia, yang menunjukkan siapa dia dan martabat guru. Nilai primer ini yang perlu
sebenarnya, namun identitas hanya menam- diasah dan dimunculkan dalam membangun
pilkan hal-hal yang tampak secara lahiriah saja, citra diri guru sehingga guru memiliki kopetensi
belum menunjukkan pribadi yang sesung- pribadi dan sosial yang mantap.
Silahkan tanya diri sendiri, bagaimana guru
guhnya.
Dikatakan bahwa penampilan kepribadian menampilkan diri guru selama ini. Seringkah
bisa dibentuk sesuai dengan profesi yang terlupakan bahwa fakta-fakta yang menyangkut
disandang manusia. Profesi guru punya aturan siapa saya menurut pikiran saya, seperti
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
Gambar 1: Etika, Karakter dan Kepribadian (dikutip dari Soedarsono”Character Building”, 2002).
misalnya: saya ramah, saya pemalu, saya
penakut, saya gemuk, saya kurang menarik dan
saya tidak percaya diri. Hal ini sering terlupakan
karena pada umumnya guru sering tidak
memikirkan mengenal keadaan diri guru atau
sifat-sifat guru, kalau guru tidak berpikir ke sana,
karena guru kurang mengenal diri guru sendiri.
Hal semacam ini disampaikan oleh Hamer &
Copland ( 1998): “Dari semua yang telah guru
pelajari dan ingat dalam kehidupan, yang
terpenting adalah siapa diri guru itu”.
Ditambahkan oleh Hamer dan Copland (1998)
bahwa konsep tentang diri guru, bagaimana
guru berpikir tentang diri guru adalah merupakan paduan dari berbagai kecenderungan
genetik dan cara guru membentuk semua
kecenderungan itu menjadi pola perilaku dan
pola pikir guru yang permanen.
Pengaruh Bagaimana Saya
Menurut Pikiran Saya
Memunculkan kembali kesadaran diri
Siapakah kita “ Guru, itu lho ? “
Guru adalah profesi yang dikenal sebagai
pemberi keterangan, penjelas, pendidik,
pembimbing, contoh, yang dapat memberi
perubahan bagi anak didik ke arah yang lebih
baik dari segala dimensi, yang mampu
mengembangkan beragam sisi kecerdasan dan
akhlak sebagai pembentuk karakter dan
kepribadian anak. Di sini guru yang cerdas dan
memiliki karakter serta kepribadian dengan
berbagai kecakapan menjadi tuntutan utama.
Buku Kurikulum 2004 Standar Kompetensi
terbitan Depdiknas mengatakan bahwa salah
satu kecakapan hidup (life skill) yang harus
dimiliki guru adalah kemampuan untuk selalu
mengembangkan dan merawat citra diri sebagai
pendidik. Citra diri sebagai seorang pendidik
akan menyangkut kemudahan diterima atau
tidaknya kehadiran guru dengan baik oleh
lingkungannya. Selanjutnya, sangat berpengaruh kepada kepercayaan yang akan diberikan
pada guru untuk tugasnya dalam mendidik.
Sebagai seorang pendidik dalam kesehariannya, guru dituntut untuk selalu memiliki
kesadaran diri akan profesi yang diamanahkan.
Sosok pribadi guru harus dapat menjadi teladan
bagi anak didik dan lingkungan. Perilaku
mereka akan selalu menjadi sorotan masyarakat.
Sedikit saja cacat dalam berperilaku akan
menjadikan berita besar yang dapat mencoreng
citra kependidikan secara luas. Citra diri guru
berkaitan dengan karakter dan kepribadian
guru serta kemampuan dalam menjalankan
tugasnya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
75
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
Analisis siapa saya dan siapa saya menurut
pikiran saya penting karena beberapa faktor
Pertama, melalui analisis ini seseorang dapat
mengetahui mengenai dirinya sendiri, sebagai
apa dia, posisinya sekarang dimana, apa yang
sudah diperbuatnya. Kedua, melalui analisis ini
seseorang dapat mengetahui apa yang dia
kehendaki dan jalan mana yang harus ditempuh
dan dituju. Ketiga, melalui analisis ini seseorang
dapat mengetahui kelebihan dan kelemahannya
dan bagaimana mengembangkan aspek-aspek
diri itu. Keempat, menampilkan gaya hidup yang
sesuai dengan konsep dirinya. Kelima, menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang berarti
penyesuaian yang khas.
Guru akan memulai dari mencintai diri sendiri
Mencintai diri sendiri bukan berarti guru
menjadi orang yang sombong lagi takabur.
Mencintai diri sendiri malah lebih cenderung
kepada mensyukuri apa yang Allah berikan
kepada diri guru. Dalam ilmu psikologi populer,
mencintai diri sendiri berarti adalah kita
memiliki citra diri yang positif.
Apa pentingnya mencintai diri sendiri ini?
Manfaat apa saja yang bisa diraih dari memiliki
citra diri positif? Kedua pertanyaan itu akan
dijawab berikut ini, sehingga dapat juga
diketahui kiat-kiat apa saja yang diperlukan
untuk membentuk citra diri yang positif.
Guru haruslah pribadi yang mencintai
pekerjaannya
Seorang guru yang baik, adalah mereka yang
mencintai pekerjaannya. Walaupun tadinya
tidak berbakat atau ingin jadi guru, tetapi
demikian menjalankan pekerjaan itu mereka
menemukan cinta pada pekerjaannya maka hal
itu suatu modal yang luar biasa. Kecintaan pada
pekerjaan akan dapat mengimbangi ketidak
puasan atas pendapatan yang tidak mencukupi,
atau kekurangan sarana atau muncul berbagai
persoalan, hambatan, atau buruknya hubungan
dengan guru lain.
Kalau mencintai pekerjaannya, guru akan
memberikan perhatian kepada anak didiknya
dan anak itu bisa mengatakan bahwa guru itu
mencintai pekerjaanya. Namun walaupun guru
itu mencintai pekerjaannya, belum tentu guru
itu pintar untuk mengajarkan semua hal baru
dengan cara yang tepat guna. Untuk itu diperlukan suatu teknik-teknik pembelajaran. Disinilah
guru harus selalu belajar mandiri memperluas
76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
pengetahuan dan keterampilan mengajarnya
secara berkelanjutan. Guru juga perlu proaktif
untuk mencari dan menemukan kesempatan ikut
pelatihan maupun lokakarya. Sumber ilmu itu
ada dimana-mana sehingga guru diharapkan
tidak hanya menunggu.
Pentingnya citra diri yang positif
“Anda adalah sebagaimana yang Anda pikirkan
tentang diri Anda sendiri atau “You are what you
think” (Burt Nanus, 1992). Ungkapan ini bermakna, jika memiliki citra diri positif, kita akan
mengalami berbagai macam hal positif sesuai
dengan apa yang kita pikirkan.
Banyak ahli percaya bahwa orang yang
memiliki citra positif adalah orang yang
beruntung. Citra diri yang positif membuat mereka menikmati banyak hal yang menguntungkan,
antara lain hal-hal berikut.
Membangun percaya diri
Citra diri yang positif secara alamiah akan
membangun rasa percaya diri, yang merupakan
salah satu kunci sukses. Guru yang mempunyai
citra diri positif tidak akan berlama-lama
menangisi nasibnya yang sepertinya terlihat
buruk. Citra dirinya yang positif mendorongnya
untuk melakukan sesuatu yang masih dapat ia
lakukan. Ia akan fokus pada hal-hal yang masih
bisa dilakukan, bukannya pada hal-hal yang
sudah tidak bisa ia lakukan lagi. Dari sinilah,
terdongkrak rasa percaya diri orang tersebut.
Meningkatkan daya juang
Dampak langsung dari citra diri positif adalah
semangat juang yang tinggi. Guru yang memiliki
citra diri positif, percaya bahwa dirinya jauh
lebih berharga daripada masalah, ataupun
penyakit yang sedang dihadapinya. Ia juga bisa
melihat bahwa hidupnya jauh lebih indah dari
segala krisis dan kegagalan jangka pendek yang
harus dilewatinya. Segala upaya dijalaninya
dengan tekun untuk mengalahkan masalah yang
sedang terjadi dan meraih kembali kesuksesan.
Inilah daya juang yang lebih tinggi yang muncul
dari guru dengan citra diri positif.
Manfaat citra diri yang positif
Seseorang yang memiliki citra diri yang positif
akan mendapatkan berbagai manfaat, baik yang
berdampak positif bagi dirinya sendiri maupun
untuk orang-orang di sekitarnya. Manfaatmanfaat yang terasakan oleh si empunya citra
diri positif dan lingkungannya tersebut adalah:
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
Guru akan membawa perubahan positif
Guru yang memiliki citra diri positif senantiasa
mempunyai inisiatif untuk menggulirkan
perubahan positif bagi lingkungan tempat ia
berkarya. Mereka tidak akan menunggu agar
kehidupan menjadi lebih baik, sebaliknya,
mereka akan melakukan perubahan untuk
membuat kehidupan menjadi lebih baik.
Perubahan positif tidak hanya terasakan oleh
dirinya, namun juga oleh lingkungannya.
Mengubah krisis menjadi keberuntungan
Selain membawa perubahan positif, guru yang
memiliki citra positif juga mampu mengubah
krisis menjadi kesempatan untuk meraih
keberuntungan. Citra diri yang positif
mendorong guru untuk menjadi pemenang
dalam segala hal. Menurut orang-orang yang
bercitra diri positif, kekalahan, kegagalan,
kesulitan dan hambatan sifatnya hanya
sementara. Fokus perhatian mereka tidak melulu
tertuju kepada kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, melainkan fokus mereka
diarahkan pada jalan keluar. Dalam hal yang
satu ini seringkali guru memandang pada pintu
yang tertutup terlalu lama, sehingga guru tidak
melihat bahwa ada pintu-pintu kesempatan lain
yang terbuka untuk guru. Guru seringkali
memandang dan menyesali kegagalan, krisis
dan masalah yang menimpa terlalu lama,
sehingga guru kehilangan harapan dan
semangat untuk melihat kesempatan lain yang
sudah terbuka bagi guru. John Forbes Nash,
pemenang nobel di bidang ilmu pengetahuan
ekonomi dan matematika, justru merasa
tertantang ketika mengalami soal matematika
atau permasalahan ekonomi yang sulit.
Kesulitan-kesulitan ini menurut Forbes,
merupakan kesempatan untuk membuktikan
kemampuannya memecahkan masalah tersebut.
Kesulitan dan masalah dalam matematika dan
ekonomi, mendorongnya untuk mencari caracara baru yang lebih efektif dan kreatif sebagai
solusi bagi permasalahan tersebut.
Cara membangun citra diri positif.
Setelah menyadari pentingnya memiliki citra
diri positif, dan manfaat memiliki citra diri positif,
tentunya guru juga ingin tahu bagaimana
membangun citra diri yang positif. Hal-hal yang
harus dilakukan untuk membentuk citra diri
yang positif diberikan oleh Covey R, Stephen,
dalam bukunya Principle Centered Leadership.
(1992) yang mengatakan bahwa selain melalui
persiapan yang tepat serta berpikir unggul, citra
diri positif juga bisa dibangun melalui komitmen
pada pembelajaran berkelanjutan.
Persiapan
Salah satu cara membangun citra diri positif
adalah melalui persiapan. Dengan persiapan
yang cukup, guru menjadi lebih yakin akan
kemampuan guru meraih sukses. Keyakinan ini
merupakan modal dasar meraih keberuntungan.
Dengan melakukan persiapan, guru sudah
berhasil memenangkan separuh dari pertarungan. Persiapan menuntun guru untuk
mengantisipasi masalah, mencari alternatif
solusi, dan menyusun strategi sukses. Persiapan
dapat diwujudkan dengan mencari ilmu
pengetahuan yang mendukung guru dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Berpikir unggul
Untuk membangun citra diri yang positif, guru
harus berpikir unggul. Cara berpikir unggul
seperti ini akan mendorong guru untuk
senantiasa berusaha menghasilkan karya
terbaik. Mereka tidak akan berhenti sebelum
mereka dapat mempersembahkan sebuah
mahakarya. Semua ini dapat diraih guru jika
selalu berpikir unggul. Setiap kali akan
berciptakarya yang dipikirkan guru adalah
kemenangan atas keberhasilan belajar anak
didiknya.
Belajar berkelanjutan
Dikatakan oleh Covey bahwa hasil belajar akan
membawa perubahan positif dengan menambah
nilai bagi orang yang berhasil mendapatkan
pengetahuan ataupun keterampilan baru, yang
bisa dijadikannya modal untuk maju meraih
sukses. Tanpa semangat untuk senantiasa
mengembangkan diri, guru yang sudah memiliki
citra positif bisa saja lalu kehilangan citranya
tersebut karena tidak dianggap “unggul” lagi
atau dianggap tidak mampu menambah nilai
bagi masyarakat sekitar melalui karya-karya
yang dihasilkannya. Selain itu, seringkali guru
yang sudah lama mengajar maupun yang berada
di tingkat atas merasa tak perlu lagi untuk belajar.
Ia memandang remeh untuk belajar lagi, ia pikir,
“Toh, aku sudah sukses”. Orang seperti ini lebih
enggan lagi untuk belajar pada orang yang lebih
rendah dari dirinya. Hasilnya, ketika ia
dirundung masalah, keberhasilannya pun
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
77
Membangun Citra Diri Guru yang Positif
melorot. Guru yang lebih muda yang terus
belajar akan menggantikannya dan menangani
masalah dengan lebih baik.
Penutup
Pengembangan diri guru dimulai dari
pemahaman mengenai “aku/diriku” dan
melalui analisis diri untuk mengetahui siapa
saya menurut pikiran saya, setelah itu
dilanjutkan dengan pengembangan diri untuk
memasuki tahap-tahap mengenai pribadi
individu-individu lain yang sering kita temui
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
kehidupan pribadi maupun kehidupan
profesional kita.
Disimpulkan bahwa untuk membentuk
pribadi unggul yang efektif, perlu mempelajari
dan memahami nilai-nilai dasar sikap
kemanusiaan dan teknik-teknik pengembangan
diri lainnya seperti: rasa tanggung jawab, cara
bergaul yang baik, berinteraksi secara efektif,
serta berkomunikasi secara produktif.
Disamping itu perlu pula melakukan tindakan
untuk perubahan diri menjadi lebih baik, tidak
cukup hanya sekedar tahu, tapi perlu mau dan
mampu untuk berbuat ke arah yang lebih baik
dalam meningkatkan kualitas diri.
Akhirnya, tentunya sesuai profesi, guru
dituntut agar selalu mengembangkan
pengetahuan-pengetahuan tersebut dan
menerapkan dalam kegiatan sehari-hari
sehingga bisa menjadikan guru lebih profesional
dan mapan dalam membina karir. Dalam hal ini,
“Citra diri guru” akan mewarnai kehidupan
guru, kapan pun dan dimana pun, dan ujungnya
akan menaikan citra pendidikan Indonesia ke
arah yang diharapkan bangsa ini.
Daftar Pustaka
Benhis, Warren, Jagdish Parikh dan Ronnie
Cessen. (1994). Beyond leaderhip :
Balancing ethics and ecology. Cambridge :
Basil Blackwell Ltd
Blankard, Kenneth H. Ronald K. Hambleton,
Drea Zigarmi, dan Douglas Forsyth.
Analisis tingkah laku pemimpin.
78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
_______ Buku Kurikulum 2004. Standar
kompetensi. Jakarta: Depdiknas 2004
Chris Verdiansyah (editor) (2007). Membongkar
budaya: visi Indonesia 2030 dan tantangan
menuju raksasa dunia. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara
Cook, Sarah. (1994). Training for Empowerment.
Vermont: Gower Publishing Limited
Edwita. (1998). Program pelatihan “ Professional
image” dalam kegiatan organisasi Dharma
wanita
Given, Barbara K. (2007). Brain-based teaching.
Terjemahan. Bandung: Mizan
Hesselbein, Frances et all. (1996). The leader of
the future. New York : Jossey Bass Inc.
Hughes, R.L. (1993). Leadership : Enhancing the
lessons of experience. Boston : Richard D.
Irwin, Inc.
_______ Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2005).
Jakarta: Dewan Bahasa
Koesten Baw, Peter. (1991). Leadership: The inner
side of greatness
Makalah Mahasiswa Pasca Sarjana IKIP Jakarta
Jurusan Administrasi Pendidikan (S2
dan S3 ) Yang Mengambil Mata Kuliah.
(1997). “Komunikasi dan kepemimpinan
pendidikan”
Manajemen Diri — by wirawax @ 5:07 am
_______ Management. (1998). Canada : Three
Hills, Albertqa
Nanus, Burt. (1992). Visionary ledership.
California : Jossey – Bassi Inc
Riberu, J. (l992). Dasar-dasar kepemimpinan.
Jakarta: PT Pedoman Ilmu Jaya
Shriberg, Arthur , et all. (1997). Praticing
leadership : Principles and applications.
Canada : John Willwey Sons, Inc.
Soedarsono, Soemarsono. (2002). Character
building: Membangun watak. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo
Stephen, Covey R. (1992). Principle centerred
leadership. London : A Fire Book of Sihon
& Schuster Inc.
Winardi. (1990). Kepemimpinan dalam manajemen.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Wiwicharuck, Peter. (1998). Building effective
leadership: A guide to christian and
professional management. Canada : Three
Hills, Albertqa
Pengembangan Sumber Belajar
Opini
Pengembangan Sumber Belajar
BP. Sitepu*)
Abstrak
elajar berbasis aneka sumber diyakini dapat mengatasi tidak hanya berbagai kesulitan
dalam proses belajar dan membelajarkan, akan tetapi juga dapat mendidik peserta didik
cara belajar yang tepat sehingga dapat belajar secara mandiri sepanjang hayat. Untuk itu,
belajar berbasis aneka sumber perlu dilakukan seawal mungkin dalam proses
pembelajaran. Tulisan ini menelaah peranan aneka sumber belajar yang perlu dikelola secara
terpadu dan terintegrasi di lembaga-lembaga pendidikan sehingga proses pembelajaran benarbenar membuat peserta didik sebagai subjek dan selalu menyenangi kegiatan belajar. Atas dasar
telaahan yang demikian, tulisan ini menyarankan perlunya mengembangkan, mengelola, dan
memanfaatkan Pusat Sumber Belajar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, sebagai salah
satu alternatif dalam mengatasi masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
sekaligus meningkatkan mutu pendidikan.
B
Kata kunci: Proses belajar membelajarkan, pengambilan keputusan, sumber belajar
Resources-based Learning is believed not only beneficial in teaching-learning process, but also in students’
life-long learning. In this case resources-based learning should be carried out as early as possible in learning
process. This article discusses how to manage and integrate learning resources to facilitate students to learn
joyfully. The article also proposes to develop learning resources unit or centre in education institutions as one
of the alternativies to improve educational quality. Based on this study result, it is recommended to develop,
manage, and use learning resources center in education institution in Indonesia as an alternative for education
for all and education quality improvement.
Pendahuluan
Perkembangan peradaban manusia ditandai
dalam tiga tahap mulai dari era pertanian, ke
era industri, sampai era informasi. Masing–
masing era memiliki ciri-ciri dalam sistem
kemasyarakatan termasuk dalam keluarga,
ekonomi atau perdagangan dan pendidikan
(Reigeluth, 1994: 4). Dalam era pertanian sistem
pendidikan diarahkan pada pemberian
keterampilan agar peserta didik dapat hidup
dengan mengolah dan memanfaatkan sumbersumber alam agar dapat bertahan hidup. Pada
era revolusi industri peserta didik dipersiapkan
menyediakan tenaga kerja untuk memenuhi
kebutuhan industri. Dengan demikian, sistem
persekolahan diarahkan untuk menghasilkan
tenaga kerja sebagai buruh pabrik. Sekolah
mengajar peserta didik menghafal dan bukan
membelajarkan mereka memecahkan masalah
secara kreatif. Peserta didik dipersiapkan
menghadapi dan melayani mesin serta bekerja
secara mekanistis.
Akan tetapi sekarang ini revolusi industri
sudah berlalu dan kebutuhan telah berubah.
Dewasa ini peserta didik perlu mempelajari
kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan
oleh pasar tenaga kerja dan masyarakat. Mereka
perlu belajar bagaimana cara untuk mengambil
*) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
79
Pengembangan Sumber Belajar
keputusan sendiri serta bekerja sama dengan
orang lain dan bagaimana memilah serta
memilih informasi yang tersedia begitu banyak
untuk keperluan meningkatkan kemampuan
mereka. Dalam keadaan yang demikian lembagalembaga pendidikan diharapkan muncul dan
melaksanakan tugasnya untuk memenuhi
kebutuhan ini.
Pergeseran Paradigma
Perubahan masyarakat sebagai akibat perkembangan peradabannya juga ikut mengubah
paradigma masyarakat terhadap pendidikan.
Reigeluth (1994: 8) misalnya berpendapat
bahwa perubahan itu terutama diakibatkan oleh
tuntutan lapangan kerja. Pada era industri
penyelenggaraan pendidikan didasarkan antara
lain pada tingkat kelas, penguasaan materi, tes
berdasarkan norma dan penilaian non-autentik,
penyajian berdasarkan pengelompokan bahan
ajar, berpusat pada guru, menghafal fakta-fakta
yang tidak bermakna, kemampuan membaca dan
menulis yang terpisah, dan buku merupakan
sarana belajar utama. Sementara itu dalam era
informasi, pendidikan dianggap merupakan
proses untuk maju secara berkesinambungan,
belajar berdasarkan hasil, tes secara individu
dengan penilaian yang berbasis kemampuan,
perencanaan belajar yang personal, belajar
kooperatif, belajar beraneka sumber, guru
berfungsi sebagai pemandu atau fasilitator,
pembelajaran yang bermakna berdasarkan
penalaran dan pemecahan masalah, diarahkan
pada kemampuan berkomunikasi, dan menggunakan teknologi maju sebagai sarana utama dalam belajar dan membelajarkan.
Lebih rinci dari apa yang dikemukakan
Reigeluth, sebagai akibat kemajuan teknologi dan
perubahan di tempat bekerja, Belt (1997)
mengenali perbedaan visi pendidikan dalam era
industri dan era informasi dari aspek peserta
didik, sarana dan prasarana belajar, proses
belajar dan membelajarkan, serta pola pembelajaran. Berkaitan dengan sarana dan prasarana,
dalam era industri buku merupakan satusatunya alat utama, dan ruang kelas merupakan
dunia belajar dan membelajarkan. Sedangkan
berkaitan dengan proses, belajar dan membelajarkan diselenggarakan berdasarkan tingkat
kelas dan usia tertentu serta selesai dalam batas
waktu tertentu dengan tujuan untuk mewujudkan manusia yang berpendidikan (educated
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
person). Bahan ajar ditentukan dan dikembangkan oleh guru sebagai pembicara utama di kelas
dan pembelajaran diarahkan pada penguasaan
isi bahan ajar yang diuji dengan menggunakan
tes berdasarkan norma yang ditetapkan oleh
kelas atau sekolah. Proses belajar mengutamakan
hafalan dan fakta-fakta disajikan secara
terpisah, kemampuan membaca yang terpisah,
persaingan antar peserta didik. Sementara itu
guru berfungsi sebagai penyalur pengetahuan
(dispenser of knowledge), membelajarkan sesuai
kasus dan sistem membelajarkan yang tertutup.
Visi pendidikan di era informasi, menurut
Belt, mengalami perubahan yang sangat berarti.
Dari aspek sarana dan prasarana pendidikan,
buku bukan lagi sumber belajar dan membelajarkan yang utama dan satu-satunya tetapi teknologi dan perpustakaan elektronik. Belajar dan
membelajarkan tidak hanya dibatasi dalam
ruang kelas yang tertutup oleh dinding, lantai
dan langit-langit, tetapi dunia yang terbuka luas
menjadi ruang kelas. Bahan ajar tidak lagi
dibatasi pada rancangan yang dibuat guru tetapi
mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan peserta didik. Hasil belajar diuji bukan
lagi semata-mata berdasarkan penguasaan
menghafal tetapi mengacu pada kemampuan
(outcomes-based) yang ditunjukkan peserta didik
dan diukur menggunakan tes berbasis
kemampuan (performance based assessment)
dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi
pemelajar mandiri (self directed learner). Oleh
karena itu, belajar dan membelajarkan tidak lagi
dibatasi dengan tingkat kelas dan umur tertentu,
tetapi merupakan kemajuan yang berkesinambungan dengan prinsip belajar sepanjang hayat
dan terbuka. Suasana belajar tidak lagi
menunjukkan persaingan antar peserta didik
tetapi lebih bernuansa kerja sama dan kolaborasi
dalam kelompok belajar. Guru tidak lagi
berfungsi sebagai penyalur pengetahuan tetapi
lebih berperan sebagai pemandu, mentor, atau
fasilitator yang memberikan pendampingan
belajar. Perubahan paradigma tentang pendidikan seperti yang dikemukakan baik oleh
Reigeluth maupun Belt seperti yang diuraikan
itu menuntut perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya dalam proses
belajar dan membelajarkan.
Dalam membangun pendidikan menghadapi era informasi, Warren (2002), Sekretaris
Dewan Pendidikan Negara Bagian Michigan
serta Ketua Kelompok Kerja Dewan untuk
Menyongsong Era Informasi, berpendapat
Pengembangan Sumber Belajar
bahwa perlu diperhatikan perubahan-perubahan yang telah, sedang dan akan terjadi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam era informasi ini
perubahan yang sangat berarti dan drastis
dalam bidang budaya, ekonomi, politik,
organisasi, dan teknologi di seluruh dunia,
memunculkan tuntutan dan harapan baru
terhadap pendidikan. Sungguhpun terdapat
kemajuan, perubahan dalam pendidikan dianggap lamban menanggapi tuntutan zaman.
Standar pendidikan dan cara-cara bersekolah
(schooling) tradisional yang masih berlaku
dewasa ini dianggap sudah usang dan ketinggalan. Lingkungan belajar dan membel-ajarkan
yang lebih berbasis papan tulis dan kapur serta
berpusat pada pembelajar perlu segera diubah
menjadi berbasis teknologi dan berpusat pada
pemelajar.
Dalam era informasi yang sudah mulai
menggejala dalam dekade terakhir abad ke 20
serta meledak dalam abad ke 21 ini, reformasi di
bidang pendidikan perlu dilakukan terutama
dalam memahami dan melaksanakan proses
belajar dan membelajarkan. Pendapat bahwa
pendidikan adalah bersekolah dan bukan belajar
perlu segera ditinggalkan. Bersekolah mengarahkan pikiran pada bangunan, pendidik yang
mengajar dengan menggunakan buku, serta
papan tulis dan kapur di hadapan deretan
peserta didik yang duduk rapi. Bersekolah dalam
keadaan yang demikian adalah berfokus pada
pendidik dan sistem. Sedangkan belajar adalah
berpusat pada peserta didik, proses, dan hasil
belajar. Era informasi menawarkan kebebasan
kepada peserta didik untuk belajar dan kepada
pendidik untuk membelajarkan tanpa batasan
waktu, tempat, ras, suku, agama, golongan,
gender, keadaan sosial dan ekonomi, maupun
asal usul. Pendidikan yang berorientasi pada era
informasi memungkinkan pendidik melakukan
program belajar individual kepada masingmasing peserta didik serta menggunakan
teknologi untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik.
Perubahan Proses Pembelajaran
Sesuai dengan perubahan-perubahan yang
terjadi di masyarakat, industri, dan dunia kerja
lainnya, proses belajar dan membelajarkan di era
informasi diharapkan tidak bertujuan sematamata untuk menguasai isi bahan ajar, tetapi
dapat mendorong peserta didik menjadi pemikir
dan pemelajar yang soleh, takwa, kritis, dinamis,
inovatif, mandiri, toleran, serta kolaboratif.
Dengan demikian, proses belajar dan membelajarkan diharapkan menggugah peserta didik
berpikir kritis dan bersekala tinggi (high-order
thinking), mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang pelik, melakukan kajian-kajian dan penelitian yang menantang, dan merumuskan pemecahan-pemecahan masalah yang rumit. Sistem
pendidikan diharapkan dapat mendukung
pembentukan sumber daya manusia yang tidak
hanya memiliki kemampuan yang tangguh
dalam menemukan, menganalisis, serta mensintesiskan informasi untuk memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga membentuk manusia yang
bermartabat serta memiliki budi pekerti luhur
yang secara rendah hati mengakui keterbatasan
dan kelemahan penalaran serta kemampuan
manusia dan mengagungkan kebesaran Allah,
Pencipta alam semesta. Untuk itu peranan
teknologi informasi dan komunikasi akan
semakin penting dalam belajar, membelajarkan,
penilaian, dan manajemen pendidikan.
Teknologi informasi dan komunikasi seharusnya menjadi alat sehari-hari dalam kegiatan
belajar dan membelajarkan. Dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
pendidik dan peserta didik hendaknya bekerja
sama dalam belajar, berdiskusi, berbagi informasi, dan menemukan pengetahuan. Pendidik tidak
hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi sebagai
fasilitator, dan peserta didik tidak hanya sebagai
pemelajar tetapi sebagai penemu pengetahuan.
Dengan perbagai perubahan dan tuntutan
yang dikemukakan di atas, Warren (2002)
berpendapat perlu melakukan perubahan yang
cukup mendasar dalam mempersiapkan calon
pendidik dan tenaga kependidikan, standar dan
penilaian peserta didik, serta proses belajar dan
membelajarkan. Calon pendidik dan tenaga
kependidikan perlu dilatih agar memiliki
kemampuan menggunakan aneka sumber
belajar yang berbasis teknologi informasi dan
komunikasi, menerapkan pendekatan, strategi,
metode, serta teknik belajar dan membelajarkan
yang bervariasi. Dengan demikian dalam
penilaian dan sertifikasi calon pendidik dan
tenaga kependidikan kemampuan merancang,
mengembangkan dan memanfaatkan aneka
sumber belajar dalam pengembangan desain
pembelajaran secara tepat, menjadi salah satu
unsur dalam komponen penilaian kemampuan
profesionalnya. Penguasaan kemampuan calon
pendidik dalam mengenali dan menggunakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
81
Pengembangan Sumber Belajar
aneka sumber belajar serta mengintegrasikannya dihindarkan, serta memberikan kemudahan
ke dalam desain pembelajaran, akan mening- serta kesejahteraan kepada penggunanya. Aliran
katkan kualitas proses dan hasil belajar dan ini mengagung-agungkan teknologi dengan
membelajarkan peserta didik ketika mereka kelak menganggap bahwa teknologi adalah jawaban
melaksanakan tugasnya.
untuk semua masalah dan dengan sendirinya
Para calon pendidik dan pendidik perlu akan diterima dan dipergunakan oleh manusia
dibiasakan belajar tanpa batas ruang kelas dan untuk meningkatkan kualitas hidupnya,
menggunakan dunia atau alam terbuka sebagai termasuk dalam dunia pendidikan. Pengikut
tempat belajar dan membelajarkan. Dengan aliran ini antara lain Karl Max, Marschal
demikian, berbagai ragam sumber belajar yang McLuchan, dan Alvin Toffler. Sedangkan
tersedia perlu diintegrasikan dan setiap anggota penerapannya dalam teknologi pendidikan
komunitas belajar dapat memperoleh akses dan adalah seperti RDD Paradigm, ID Models, dan
menggunakannya sesuai dengan keperluan. Di Systemic Change. Determinisme dystopian
samping mengembangkan dan menerapkan mengemukakan hal yang sebaliknya, teknologi
pendekatan, strategi, metode dan teknik belajar secara moral dianggap dapat merusak dan
dan membelajarkan, berbagai pemikiran dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan atau
upaya dilakukan untuk memanfaatkan teknologi deng-an perkataan lain, teknologi dianggap
maju untuk kepertidak manusiawi
luan belajar dan
dan seharusnya
membelajarkan.
dihindari pengguPara calon pendidik dan pendidik
Berbagai produk
naannya. Oleh kateknologi berkemrena itu perlu ekstra
perlu dibiasakan belajar tanpa
bang cepat serta
hati-hati dalam
batas ruang kelas dan
dimanfaatkan
menggunakan tekmenggunakan dunia atau alam
untuk memecahnologi dalam kehiterbuka sebagai tempat belajar
kan berbagai masadupan manusia,
dan membelajarkan.
lah dalam kehiterlebih-lebih untuk
dupan manusia
keperluan penditermasuk di bidang
dikan karena berpendidikan serta
sangkutan langsecara khusus untuk keperluan belajar dan sung dengan manusia. Aliran ini dapat menimmembelajarkan.
bulkan ketakutan akan teknologi atau teknologi
Diakui bahwa masih terdapat perbedaan phobia. Penganut aliran ini antara lain ialah
pendapat dalam pemanfaatan tekologi secara Jaques Hull, George Orwell, dan Unabomber.
umum. Surry (1997) misalnya, menyebutkan Sedangkan dalam dunia pendidikan aliran ini
setidak tidaknya dua pandangan filsafati yang diikuti oleh mereka yang menolak perubahan
dominan tentang pemanfaatan teknologi untuk dalam proses belajar dan membelajarkan.
keperluan manusia, yakni determinisme dan
Aliran instrumentalisme beranggapan
instrumentalisme. Penganut determinisme bahwa teknologi adalah merupakan temuan
beranggapan bahwa teknologi adalah otonom atau hasil olah pikir serta olah kerja manusia
dan merupakan kekuatan yang revolusioner. dan di bawah pengawasan serta pengendalian
Sedangkan penganut instrumentalisme manusia. Nilai pemanfaatan teknologi dalam
beranggapan bahwa teknologi bukan otonom kehidupan manusia bergantung pada bagaimadan mempunyai ketergantungan pada manusia na dan untuk apa teknologi itu dipergunakan.
serta perkembangannya merupakan evolusi. Dengan demikian, aliran yang terakhir ini
Secara teoretis, pandangan terhadap teknologi berpendapat bahwa teknologi bukanlah segalapada hakikatnya adalah pada rentang kutup galanya karena juga memiliki keterbatasan dan
determinisme dan instrumentalisme.
kelemahan sehingga perlu berhati-hati dalam
Lebih lanjut Surry menjelaskan bahwa memilih dan menggunakannya terlebih untuk
aliran determinisme terdiri atas determinisme keperluan pendidikan yang langsung
utopia dan determinisme dystopian. Determi- menyangkut kehidupan manusia itu sendiri.
nisme utopian beranggapan, teknologi Penganut aliran ini antara lain adalah Daniel
merupakan kekuatan yang tidak dapat Chander, Paul Levinson, dan Donald Mac
82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Pengembangan Sumber Belajar
Kenzie, sedangkan dalam dunia pendidikan
antara lain Ernest Burkman dan Martin Tessmer
(Surry, 1997).
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi
tidak selalu merupakan jawaban absolut
terhadap masalah-masalah pendidikan.
Keberhasilan penggunaan teknologi dalam
pembelajaran misalnya, tergantung pada
kesesuaian penggunaan teknologi itu dengan
tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik,
lingkungan, serta bahan ajar yang dipelajari.
Oleh karena itu, dalam memutuskan pemilihan
dan pemanfaatan teknologi tidak terlepas dari
pertimbangan nilai-nilai psikologis dan
paedagogis. Dengan demikian pendidik serta
peserta didik perlu memahami dengan baik
bagaimana memilih dan memanfaatkan teknologi yang tepat guna itu dalam proses-proses
belajar dan membelajarkan.
Perlu dicatat bahwa dalam pendidikan,
khususnya dalam belajar dan membelajarkan
teknologi dimaknai tidaklah terbatas pada
bahan, alat atau media sebagai produk, tetapi
mengandung makna yang lebih luas, termasuk
orang, lingkungan, pendekatan, strategi, metode,
dan kiat-kiat belajar dan membelajarkan ( Eraut,
1996: 8-9). Atas prakarsa pendidik dan tenaga
kependidikan, teknologi pendidikan memungkinkan terwujudnya berbagai pola pendidikan
dan pembelajaran dengan memanfaatkan
berbagai sumber belajar, proses, dan sistem
belajar dan membelajarkan, sesuai dengan
kebutuhan dan potensi setiap pemelajar menuju
terwujudnya masyarakat gemar belajar dan
berpengetahuan sepanjang hayat. Dengan
demikian penggunaan teknologi dalam pendidikan sangat memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan tanpa ketakutan terhadap teknologi itu
sendiri (Miarso, 2007).
Masih dalam kaitannya dengan proses
belajar dan membelajarkan ini, pendidik dan
tenaga kependidikan melakukan peran penting
dalam merencanakan dan mengelola sumbersumber belajar sehingga terjadi interaksi aktif
antar peserta didik, pendidik, dan sumber belajar.
Interaksi yang demikian diperlukan untuk
memberikan pengalaman belajar kepada peserta
didik sesuai dengan gaya belajarnya, sehingga
ia dapat mengingat, mengerti, menerapkan,
menganalisis, dan mengevaluasi, dan menciptakan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif sesuai dengan jenjang
dan tujuan pembelajaran (Anderson and
Krathwohl, 2001: 28-29). Hal ini berarti bahwa
paradigma tentang pembelajaran harus berubah
dari standardisasi (standardization) menjadi
penyesuaian (customization) yang mengakui
kemajemukan, dari berfokus pada penyajian
bahan ajar menjadi meyakini bahwa kebutuhan
pemelajar dipenuhi, dari berpusat pada
memasukan bahan ke kepala pemelajar menjadi
membantu pemelajar memahami bahan ajar.
Dengan demikian, perlu perubahan dari belajar
pasif menjadi belajar aktif, dari berpusat kepada
pendidik menjadi berpusat kepada peserta didik;
dari inisiatif, pengawasan dan tanggung jawab
pendidik menjadi inisiatif, pengawasan, dan
tanggung jawab bersama; serta dari belajar
dekontekstual menjadi belajar yang kontekstual,
autentik dan bermakna (Reigeluth: 1999: 19).
Tantangan dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Memperoleh pendidikan merupakan salah satu
hak azasi manusia seperti tertera dalam HakHak Azasi Manusia (Human Rights: Article 13) .
Pendidikan dianggap merupakan kebutuhan
pokok agar manusia dapat bertahan hidup,
mengembangkan kehidupannya serta berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. Pentingnya
peranan pendidikan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa juga ditegaskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan
bahwa memperoleh pendidikan merupakan hak
setiap warga negara Indonesia dinyatakan
dalam Pasal 31. Selanjutnya, penyelenggaraan
pendidikan secara nasional diatur lebih lanjut
melalui Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sedemikian pentingnya peranan pendidikan dalam mencerdaskan bangsa agar mampu
mengembangkan potensi diri dan lingkungannya serta dapat bersaing dan berkolaborasi
dengan bangsa-bangsa lain, sehingga Pemerintah Indonesia menerapkan program wajib belajar
pendidikan dasar (wajar dikdas) secara
bertahap, mulai dari wajar dikdas enam tahun
(1984) dan wajar dikdas sembilan tahun (1994).
Program ini sudah barang tentu dilaksanakan
untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia melalui proses belajar dan membelajar-
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
83
Pengembangan Sumber Belajar
kan di jalur pendidikan formal, non formal, dan
informal.
Dalam proses belajar setiap orang diharapkan memperoleh informasi yang akan dipergunakannya untuk membangun skema berpikir
yang lebih kaya dan tajam sehingga dapat
dipergunakannya untuk menanggapi serta
memecahkan berbagai masalah dalam upayanya
meningkatkan kualitas hidupnya dengan
berbagai cara yang positif. Peningkatan kualitas
hidup itu terlihat dari perubahan prilaku yang
dari hari ke hari semakin kreatif, inovatif, dan
dinamis dalam berpikir dan bertindak sehingga
hidup ini terasa lebih nyaman dan menyenangkan secara lahir dan bathin. Informasi yang
dibutuhkan untuk keperluan belajar itu tersedia
di berbagai sumber belajar.
Akan tetapi di samping berbagai kemajuan
yang telah diperoleh, pendidikan nasional di
Indonesia masih menghadapi tiga masalah
pokok yaitu, (1) pemerataan dan perluasan akses
memperoleh pendidikan, (2) peningkatan mutu,
relevansi, dan daya saing pendidikan, (3)
penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan
pencitraan publik (Departemen Pendidikan
Nasional, 2006). Berbagai upaya telah dilakukan
Pemerintah, masyarakat, dan orangtua untuk
mengatasi masalah tersebut, seperti pendirian
dan rehabilitasi gedung dan ruang kelas,
pengangkatan pendidik dan tenaga kependidikan baru dan penatarannya, pengadaan alat
dan bahan pendidikan seperti alat-alat
laboratorium, buku pelajaran serta buku
perpustakaan, penyempurnaan kurikulum, serta
menerapkan sistem pengelolaan dan pengawasan sekolah yang berbasis sekolah. Akan
tetapi di samping kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai, nampaknya masih perlu
peningkatan upaya yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber belajar dalam peroses
belajar dan membelajarkan baik oleh peserta
didik maupun pendidik itu sendiri.
Peranan Sumber Belajar
Berbagai masalah yang dihadapi dalam
pemerataan dan perluasan akses memperoleh
pendidikan serta peningkatan mutu, relevansi,
dan daya saing pendidikan dapat diatasi
dengan menerapkan teknolgi pendidikan
khususnya dengan mengembangkan dan
memberdayakan aneka sumber belajar baik yang
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
by design maupun yang by utilization. Sekali lagi
perlu segera dicatat, sumber belajar dalam
teknologi pendidikan termasuk pendidik dan
tenaga pendidikan, kurikulum, dan lingkungan
belajar.
Pertanyaan yang timbul ialah bagaimana
mengembangkan dan memberdayakan sumber
belajar dalam pendidikan khususnya dalam
proses belajar membelajarkan? Berdasarkan
definisi teknologi pendidikan tahun 1977 dan
yang dikembangkan lagi tahun 1994 dan 2004
pusat perhatian teknologi pendidikan pada
hakekatnya mencari solusi dalam memecahkan
masalah-masalah yang berkenaan dengan
belajar dan membelajarkan dengan menerapkan
proses dan komponen-komponen teknologi yang
secara lebih luas disebut sumber belajar (Seels &
Richey, 1994:4). Setelah mengkaji perkembangan
perumusan definisi teknologi pendidikan tahun
1972, 1977, dan 1994, Januszewski, (2001:5357) menemukan bahwa konsep sumber belajar
merupakan bagian yang penting dalam teknologi pendidikan, dengan mengatakan “… the
concept of learning resources had become an important
part of the definition of educational technology in
1972 and has remained so to the present day.” (p. 57)
Sumber belajar dalam kawasan teknologi
pendidikan memiliki makna yang luas dan tidak
terbatas hanya pada media audiovisual saja.
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang
mengandung informasi yang dapat memfasilitasi pemelajar memperoleh informasi yang
diperlukannya dalam belajar. Atas dasar
pengertian yang demikian sumber belajar
dikategorikan ke dalam enam kelompok yaitu
pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar/
lingkungan (AECT, 1986: 2, Januszewski,
2001:53-54). Yang dimaksud dengan pesan
adalah bahan ajar yang dipelajari dapat dalam
bentuk konsep, teori, gagasan, fakta, makna, atau
data dan termasuk kurikulum. Orang berfungsi
sebagai sumber belajar karena memiliki atau
menyalurkan pesan, termasuk pendidik dan
tenaga kependidikan. Bahan adalah barangbarang yang mengandung pesan, termasuk
buku pelajaran dan perangkat lunak. Alat adalah
adalah perangkat yang dapat menyalurkan
pesan dan disebut juga dengan perangkat keras
termasuk alat peraga/praktek dan komputer.
Teknik merupakan prosedur atau cara
bagaimana bahan, orang, peralatan, latar/
lingkungan menyampaikan pesan, termasuk
pendekatan, strategi, dan metode belajar dan
Pengembangan Sumber Belajar
membelajarkan. Sedangkan latar merupakan
lingkungan tempat pesan disampaikan dan
diterima (AECT, 1986: 9-10).
Dilihat dari pembuatan dan peruntukannya, sumber belajar dikategorikan ke dalam
sumber belajar yang dirancang dan dikembangkan secara khusus (by design) untuk mencapai
tujuan pembelajaran tertentu dan sumber belajar
karena dimanfaatkan (by utilization). Dalam
merancang dan mengembangkan sumber belajar
by design diterapkan proses rekayasa yang
sistematis dan berurutan dengan menggunakan
berbagai disiplin ilmu serta hasil-hasil penelitian
( Ely 1996: 20-21, Januszewski, 2002: 84).
Sedangkan sumber belajar by utilization bukan
dirancang dan dibuat khusus untuk keperluan
belajar dan membelajarkan, tetapi dapat
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan belajar
dan membelajarkan tertentu.
Sungguhpun tidak membuat rincian yang
lebih luas seperti yang dilakukan oleh AECT,
keberagaman sumber belajar juga terlihat dari
pengertian yang dikemukan oleh Dorrell (1993:
vii) bahwa “Learning resources are learning materials
which includes videos, books, audio cassettes, CBT
and IV programs, together with learning packages
which combine any of these media.” Juga
sebagaimana yang disebutkan oleh Merrill dan
Drob (1977: 3) bahwa komponen sumber belajar
itu termasuk “ ...audio, television, and graphic
materials for group and individual presentation; the
instructional materials thus created and recorded; and
the persons employed to participate with the teacher
in the creation, presentation, and evaluation.”
Uraian di atas menunjukkan bahwa jenis
sumber belajar, baik yang by design maupun yang
by utilization, sangat beraneka ragam dan
memegang peranan yang penting dalam
memfasilitasi pengalaman belajar dan membelajarkan. Dalam merancang dan mengembangkan sumber belajar by design serta dalam
mengidentifikasi dan memilih sumber belajar by
design diperlukan keahlian yang dilatarbelakangi oleh berbagai disiplin ilmu terutama
teknologi pendidikan, psikologi, dan sosiologi.
Dalam memanfaatan sumber belajar perlu
memperhatikan sistem pelayanan yang diberikan dan dirancang sehingga terjadi peristiwa
belajar pada diri peserta didik, bahan belajar
yang digunakan peserta didik untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelumnya, dan memberdayakan lingkungan sebagai
sumber daya yang potensial dalam pembelajaran serta menciptakan lingkungan yang
kondusif untuk mendukung terjadinya
pengalaman belajar yang menyenangkan.
Dilihat dari pembuatan dan wujudnya, sumber
belajar dapat berupa produk yang canggih atau
berteknologi tinggi sampai produk atau benda
yang paling sederhana atau alamiah/natural.
Sumber belajar juga dapat ditemukan di berbagai
tempat dan dalam berbagai tampilan.
Sebagaimana tertera dalam definisinya,
sumber belajar berfungsi mendukung dan
mempermudah terjadinya proses belajar dan
membelajarkan. Mendukung di sini dapat
diartikan bahwa sumber belajar itu dapat
memberikan atau menyajikan informasi untuk
memperkaya pengalaman belajar, memotivasi
pemelajar untuk belajar lebih lanjut, mengubah
sikap dan gaya belajar, serta memberikan
pemecahan kesulitan belajar. Dengan demikian,
sumber belajar dapat dipergunakan secara
kelompok dan individual walaupun pada
perkembangannya kemudian sumber belajar
dirancang lebih untuk keperluan belajar secara
individual.
Dalam proses belajar dan membelajarkan
sumber belajar dapat berfungsi untuk (1)
mempercepat laju belajar dan membantu
pendidik menggunakan waktu secara lebih
efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas
proses dan hasil belajar, (2) mengurangi beban
guru dalam menyajikan informasi sehingga
dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah peserta didik (3) memberikan
kemungkinan belajar bersifat lebih individual
dengan jalan mengurangi kontrol guru yang
kaku dan tradisional serta memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
sesuai dengan kemampuannya, (4) memberikan
dasar yang lebih ilmiah dengan jalan merencanakan program pembelajaran yang lebih sistematis, (5) mengembangkan bahan pembelajaran
yang dilandasi penelitian, (6) lebih memantapkan pembelajaran dengan jalan meningkatkan kemampuan manusia dalam menggunakan berbagai media komunikasi penyajian data
dan informasi secara lebih kongkrit, (7)
memungkinkan belajar secara seketika, karena
mengurangi jurang pemisah antara pelajaran
yang bersifat verbal dan memberikan pengetahuan yang bersifat langsung, dan (8) memungkinkan penyajian pendidikan yang lebih luas,
terutama dengan adanya media massa, dengan
jalan pemanfaatan secara bersama lebih luas
tenaga atau kejadian yang langka, serta penyajian informasi yang mampu menembus geografis.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
85
Pengembangan Sumber Belajar
Fungsi-fungsi seperti yang disebutkan itu
menunjukkan bagaimana sumber belajar dapat
mengatasi berbagai kesulitan dalam proses
belajar dan membelajarkan. Fungsi sumber
belajar menjadi sangat penting dan sangat
mendukung keberhasilan belajar jarak jauh,
belajar terbuka, dan belajar fleksibel. Sumber
belajar diperlukan dalam berbagai model belajar
dan membelajarkan seperti dalam pembelajaran
berbasis masalah, pemetaan konsep, belajar
mandiri, belajar tuntas, pembelajaran berbasis
komputer, belajar kooperatif, kontekstual, serta
pembelajaran aktif, kreatif, inovatif, efektif dan
menyenangkan.
menemukannya, (c) mengetahui bagaimana cara
mengumpulkan dan menatanya sehingga
memberikan makna atau pengetahuan, (d)
bagaimana cara memanfaatkannya, dan (e)
bagaimana cara menyajikan serta mengkomunikasikannya. Di samping itu Bebas memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk (a)
memperoleh kemampuan menganalisis,
menginterpretasikan, mensintesiskan, dan
mengorganisasikan informasi; dan (b)
memperoleh kemampuan berbahasa dan
berkomunikasi dengan membaca, menulis,
melihat, berbicara, serta mendengar.
Strategi Bebas memotivasi peserta didik
untuk aktif mencari informasi dari beraneka
sumber. Misalnya guru menugaskan peserta
didik mencari informasi tentang apa, untuk apa,
Belajar Berbasis Aneka Sumber
dan bagaimana Pemilu di Indonesia. Peserta
Dewasa ini semakin disadari semakin banyak didik disuruh mencatat informasi yang
sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai diperolehnya dan menuliskannya secara runtut
sumber belajar untuk meningkatkan kualitas untuk dibaca dan dinilai oleh guru. Secara aktif
proses dan hasil belajar. Di samping sumber mereka akan menemukan bahwa informasi
belajar berbasis lingkungan atau media seder- tentang hal atau masalah yang dicarinya dapat
hana, kemajuan teknologi informasi dan komuni- diperoleh di ber-bagai sumber, misalnya dalam
kasi telah memudahkan memperoleh berbagai buku, majalah, surat kabar, radio, televisi,
internet, atau dari
ragam informasi
orang tertentu di
sehingga muncul
ling-kungannya.
ungkapan bahwa
Ketika mengumBelajar berbasis aneka sumber
informasi itu kini
pulkan informasi
tersedia pada
(Bebas) merupakan suatu strategi
itu, mereka memujung jari. Denga
pembelajaran yang memungkinkan
peroleh berbagai
hanya meng’klik’
peserta
didik
memperoleh
macam informasi
dengan ujung jari,
pengetahuan
dengan
melakukan
dilihat dari isinya.
telah dapat diperMungkin juga ininteraksi dengan beraneka ragam
oleh banyak inforformasi yang dimasi tentang hal
sumber
peroleh itu tidak
yang kita perluselaras satu sama
kan. Dengan demilain atau ada juga
kian, yang diperyang
saling
melengkapi.
Peserta
didik mencatat
lukan ialah kemampuan meng’klik’ dan
semua
informasi
itu
dan
kemudian
memilahmemilah serta memilih informasi yang sesuai
milah
serta
menyusunnya
kembali
secara
runtut
dengan keperluan, dari segi isi, jumlah, dan
sehingga
bermakna
utuh
dan
menarik
untuk
mutunya.
dibaca.
Apabila
kegiatan
seperti
ini
dilakukan
Belajar berbasis aneka sumber (Bebas)
merupakan suatu strategi pembelajaran yang secara berulang-ulang, peserta didik akan
memungkinkan peserta didik memperoleh terlatih menjadi pemikir yang kritis dan
pengetahuan dengan melakukan interaksi pemecah masalah yang kreatif.
Guru memang telah terbiasa menggunakan
dengan beraneka ragam sumber termasuk orang,
beberapa
media sebagai sumber belajar, seperti
bahan yang tercetak atau non cetakan, serta
transparansi,
video, flip chart, dan mendatanglingkungan. Apabila dilaksanakan dengan
kan
tamu
pembicara.
Kadang-kadang guru juga
tepat, Bebas memberikan kesempatan kepada
menyuruh
peserta
didik
bermain peran atau
peserta didik untuk (a) menyadari kebutuhan
simulasi.
Akan
tetapi
dalam
menggunakan
akan informasi, (b) mengetahui di mana
berbagai
media
itu,
guru
merancang
dan
informasi itu dan bagaimana cara
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Pengembangan Sumber Belajar
menentukan sendiri pesan atau isi yang dimuat
dalam media itu sendiri. Dengan demikian,
pembelajaran itu pada hakikatnya masih
berorientasi pada guru dan peserta didik
memperoleh informasi yang dipilih oleh guru
dan disampaikan melalui media yang juga
ditetapkan oleh guru. Cara yang demikian
adalah guru mengajar berbasis aneka sumber.
Akan tetapi dalam Bebas, guru mengajukan
masalah atau pertanyaan dan peserta didik
disuruh memecahkan masalah atau menjawab
pertanyaan itu dengan mengumpulkan
informasi dari beraneka sumber. Guru dapat
saja memberitahukan di mana dan dalam bentuk
apa informasi itu diperoleh, akan tetapi peserta
didik dapat mengembangkan sumber-sumber itu
serta mencari dengan caranya sendiri.
Bebas merupakan salah satu strategi belajar
yang sangat membantu dalam melaksanakan
model belajar inkuiri, belajar berbasis masalah,
belajar kooperatif, dan belajar berbasis projek.
Strategi ini menggeser pusat belajar dari guru
kepada peserta didik khususnya dalam
menemukan dan memilih informasi serta caracara memperoleh, memilah, dan memilih
informasi untuk memecahkan masalah atau
pertanyaan yang diajukan oleh guru. Strategi ini
juga memotivasi peserta didik berinteraksi
dengan teman-temannya, guru, anggota
keluarga dan orang-orang sekitarnya dalam
upaya memperoleh informasi selengkap mugkin
tentang topik yang dicarinya. Melalui penelusuran dan pengumpulan informasi itu, peserta
didik mengembangkan kemampuan bertanya,
berargumentasi, membaca, mengamati, serta
menulis.
Penelusuran dan pengumpulan informasi
oleh peserta didik dapat dilakukan di luar jam
pelajaran di kelas dan waktu belajar di kelas
dapat dipergunakan untuk mendengar laporan
peserta didik, diskusi, atau memperkaya
informasi yang diperoleh oleh peserta didik.
Penggunaan waktu belajar di kelas menjadi lebih
efisien dan mengurangi keluhan guru atas
kurangnya waktu untuk menyelesaikan bahan
yang dituntut dalam kurikulum. Banyak bahanbahan pelajaran yang dapat dipelajari serta
kesulitan belajar peserta didik diatasi di luar
kelas dengan menggunakan Bebas.
Dalam menerapkan Bebas, guru perlu
melakukan hal-hal berikut. Pertama, guru perlu
menetapkan tujuan belajar dengan rumusan
indikator kompetensi yang jelas dan terukur.
Tujuan belajar dalam Bebas hendaknya
menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan memecahkan masalah. Dalam
contoh Pemilu yang disebutkan sebelumnya,
tujuan belajar diarahkan pada pemahaman
peserta didik tentang Pemilu yang disajikan
dalam tulisan esai. Kedua, guru menetapkan
kriteria hasil pekerjaan peserta didik dalam
wujud yang nyata dan menantang untuk mereka.
Dalam contoh Pemilu itu, peserta didik diminta
menuliskan pemahaman mereka tentang Pemilu
dalam bentuk esai yang runtut dengan
menjelaskan apa, bagaimana, dan untuk apa
Pemilu itu. Ketiga, guru merencanakan secara
lengkap proses pembelajaran. Guru perlu bekerja
sama dengan petugas perpustakaan dan
audiovisual di sekolah untuk mengetahui
informasi dan bentuk media yang tersedia untuk
keperluan peserta didik menyelesaikan tugas itu.
Untuk pokok bahasan lain, guru mungkin perlu
bekerja sama dengan petugas laboratorium (IPA,
Kimia, Fisika, atau Bahasa). Keempat, guru
menentukan jadwal waktu untuk mengerjakan
tugas. Guru memberikan batas waktu
penyelesaian tugas serta memberikan penjelasan
bagaimana menyusun kegiatan waktu sehingga
peserta didik dapat menyelesaikan tugas tepat
waktu. Kelima, guru menetapkan kriteria
penilaian secara jelas. Dalam menulis esai
misalnya, perlu dijelaskan unsur-unsur
penilaian seperti kelengkapan dan kejelasan
informasi, keteraturan susunan informasi,
penarikan kesimpulan, dan bahasa (keterbacaan). Keenam, guru menilai hasil pekerjaan
peserta didik dan memberikan umpan balik.
Ketujuh, guru menilai proses pembelajaran dan
pencapaian tujuan pembelajaran untuk pokok
bahasan yang bersangkutan secara keseluruhan.
Internet dapat dipergunakan sebagai salah
satu sumber informasi untuk belajar. Sejumlah
sekolah telah memiliki akses ke internet melalui
komputer yang tersedia di sekolah dan peserta
didik dapat menggunakannya. Bahkan ada juga
sekolah yang menyediakan laboratorium
komputer untuk peserta didik dan guru untuk
keperluan pembelajaran. Dalam hal yang
demikian, guru perlu bekerja sama dengan petugas laboratorium komputer dalam membimbing
peserta didik menggunakan internet, khususnya
tentang cara mencari informasi yang mereka
perlukan di internet.
Dalam penerapan Bebas fungsi guru lebih
banyak sebagai pembimbing, fasilitator, dan
pemandu peserta didik. Mengajarkan fakta-fakta
atau pengetahuan lain digantikan dengan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
87
Pengembangan Sumber Belajar
mengajarkan peserta didik cara belajar. Tujuan
pembelajaran ialah memberikan kemampuan
bagaimana menemukan, mengevaluasi, dan
menggunakan informasi untuk keperluan
belajar.
Apabila dipahami dan diterapkan secara
tepat oleh guru, Bebas dapat memberikan
manfaat kepada siswa sebagai berikut. Pertama,
Bebas dapat mewadahi gaya belajar, kemampuan, kebutuhan, dan minat peserta didik yang
berbeda-beda karena masing-masing dapat
memilih sumber belajar yang sesuai dengan
dirinya. Kedua, Bebas dapat mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah, mengambil
keputusan, dan menilai secara kritis. Ketiga, oleh
karena berusaha dan menemukan sendiri,
pesera didik memperoleh pengalaman belajar
yang bermakna sehingga mereka lebih bertanggung jawab dan percaya diri terhadap perolehan
belajarnya. Keempat, Bebas melatih peserta didik
terbiasa dengan teknologi informasi serta
mampu menggunakannya secara efektif. Kelima,
peserta didik menjadi terampil dalam bagaimana
belajar secara mandiri mereka menjadi melek
informasi, serta memiliki keterampilan belajar
sepanjang hayat.
Pelaksanaan Bebas di sekolah mungkin
mengalami hambatan yang antara lain
pemahaman guru tentang strategi ini masih
kurang. Menggunakan aneka ragam media atau
sumber belajar yang dirancang dan ditentukan
sendiri oleh guru dan peserta didik belajar dari
media itu bukan lah termasuk Bebas, karena
masih berpusat kepada guru. Dalam bebas
peserta didik secara leluasa mengidentifikasi
sumber-sumber, menemukan, mengumpulkan,
memilah dan memilah, menganalisis, dan
mensintesiskan sendiri. Untuk dapat melakukan
itu dengan baik, guru memberikan pedoman
pada awal kegiatan. Oleh karena berbagai
keterbatasan, masih banyak sekolah yang belum
memiliki sumber belajar yang memadai di
sekolah dilihat dari jenis dan kualitasnya.
Keadaan yang demikian dapat menyurutkan
motivasi peserta didik dalam menelusuri
informasi yang mereka perlukan. Sementara itu
guru masih kurang mampu mengenali dan
mendayagunakan sumber-sumber belajar yang
tersedia di lingkungan dalam melaksanakan
Bebas.
Menilai hasil belajar peserta didik melalui
Bebas dapat juga menjadi beban bagi guru karena
dia sendiri harus menguasai banyak informasi
dari berbagai sumber untuk dapat menilai
88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
pekerjaan peserta didik yang berbeda satu sama
lain karena menggunakan sumber-sumber
belajar yang berbeda. Dalam proses Bebas guru
diharapkan pula memantau kegiatan peserta
didik secara individual dan dalam hal-hal
tertentu guru perlu mendampingi dan memotivasi peserta didik dalam melengkapi informasi
yang diperlukan. Tugas-tugas yang demikian
memerlukan waktu dan tenaga guru di luar jam
pelajaran dan mungkin juga di luar sekolah.
Keberhasilan pelaksanaan Bebas tidak
terlepas dari kepemimpinan dan kebijakan
kepala sekolah. Kepala sekolah diharapkan juga
memahami Bebas ini dan mendirikan dukungan
kepada guru dan peserta didik untuk melaksanakannya. Tenaga kependidikan lainnya di
sekolah, orang tua, serta Komite Sekolah juga
ikut berperan dalam memperlancar kegiatan
belajar dalam Bebas ini.
Pusat Sumber Belajar
Seperti telah diuraikan, dalam proses belajar dan
membelajarkan dipergunakan berbagai jenis dan
bentuk sumber belajar untuk keperluan berbagai
tujuan pembelajaran. Lembaga-lembaga
pendidikan pada umumnya telah memiliki
perpustakaan dan lembaga pendidikan tertentu
memiliki beberapa jenis laboratorium seperti
laboratorium IPA, Kimia, Fisika dan Bahasa,
serta berbagai jenis alat praktek dan alat peraga.
Agar pemeliharaan dan pemanfaatan sumber
belajar dilakukan secara efisien dan efektif, perlu
dikelola secara terpadu dalam satu unit kerja
yang kemudian disebut Unit Sumber Belajar
(USB), atau Pusat Sumber Belajar (PSB).
Pada awalnya PSB mulai berkembang dari
perguruan tinggi Merrill dan Drob (1974:15)
mendefifinisikan PSB atau Center for Learning
Resources sebagai “... an organized activity
consisting of a director, staff, and equipment housed
in one or more specialized facilities for the production,
procurement, and presentation of instructional
materials and the provision of development and
planning services related to the curriculum and
teaching on a general university campus”
Pengertian ini menunjukkan lembaga PSB di
perguruan tinggi dikelola secara khusus oleh
seorang pemimpin dibantu oleh sejumlah
pegawai. PSB menempati bangunan tersendiri
dengan peralatan dan fasilitas untuk produksi
serta pengadaan dan penyediaan berbagai
Pengembangan Sumber Belajar
bahan pembelajaran. Di samping itu PSB juga
memberikan pelayanan kepada pendidik/dosen
dalam mengembangkan kurikulum.
Dalam perkembangannya, PSB memberikan
juga pelayanan kepada peserta didik untuk
belajar secara individual atau kelompok dengan
menggunakan tempat serta sumber belajar yang
diperlukan seperti buku, modul, media
audiovisual, dan media berbasis komputer.
Sedangkan pelayanan kepada pendidik
dikembangkan dengan menyediakan tempat
dan peralatan untuk merencanakan dan
membuat media untuk keperluan belajar dan
membelajarkan. Di samping itu petugas PSB
tidak hanya membantu pendidik dalam
merancang, mengembangkan dan membuat
bahan ajar tetapi juga membantu dalam
penyajian dan evaluasinya (Merril dan Drob,
1974: 3). Dengan demikian maka tempat atau
bangunan PSB perlu dirancang secara khusus
sehingga dapat menyimpan, merawat,
mengembangkan, membuat dan memanfaatkan
berbagai sumber belajar, baik untuk kebutuhan
belajar secara individual maupun kelompok
serta dapat dipergunakan sebagai tempat
pelatihan pengembangan dan pemanfaatan
aneka sumber belajar .
Perkembangan PSB melalui empat fase. Fase
pertama ialah dijadikannya perpustakaan
sebagai PSB dengan koleksinya terbatas pada
bahan cetakan. Fase kedua selaras dengan
perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, koleksi perpustakaan dilengkapi
dengan bahan-bahan audio visual dan perlatan
produksi. Fase ketiga, perpustakaan yang
memiliki koleksi bahan cetak, audiovisual, dan
peralatan produksi dilengkapi dengan ruangan
belajar non tradisional yang memungkinkan
peserta didik atau pendidik belajar secara
individual atau kelompok. Fase keempat pusat
belajar yang telah mempunyai fasilitas seperti
dalam fase ketiga dilengkapi dengan sarana
untuk pengembangan sistem instruksional
untuk guru dengan bantuan petugas PSB.
Pengembangan PSB dalam tahap kelima
memberikan ciri khasnya. Di sini terlihat
kombinasi yang terpadu dari berbagai sumber
belajar yang meliputi pesan, orang, alat, bahan,
teknik, dan latar dengan tujuan belajar dan
membelajarkan. Pengembangan sistem
instruksional merupakan proses yang sistematis
dan berkesinambungan untuk membantu
peserta didik memperkaya pengalaman belajar
secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan
sistem pembelajaran yang memberdayakan
berbagai sumber belajar akan meningkatkan
mutu proses dan hasil belajar. Ada terdapat
banyak dan bertambah terus model pengembangan pembelajaran yang dirancang untuk
tujuan pembelajaran tertentu serta tidak dapat
langsung diterapkan untuk keperluan berbeda.
Pendidik perlu mengkaji model-model
pembelajaran yang ada, memodifikasi sesuai
dengan tujuan pembelajaran, bahkan bila perlu
membuat model pembelajaran sendiri. (Gustafon
& Branch, 1997). Untuk dapat memperoleh
model pembelajaran yang tepat sesuai dengan
tujuan dan lingkungan belajar dan membelajarkan, pendidik perlu memiliki dasar-dasar
atau pertimbangan psikologi, pendekatan sistem,
dan teori komunikasi yang sesuai untuk
pengambilan keputusan (Seels & Glasgow, 1998).
Dalam konteks ini pulalah PSB membantu
pendidik merancang dan mengembangkan
sistem instruksional dengan menyediakan
berbagai media, peralatan produksi, dan
bantuan tenaga teknis.
Secara umum fungsi PSB dapat berkembang
sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan
karena yang penting dalam penerapannya
adalah keefektifan fungsi dalam menunjang
pencapaian tujuan atau kompetensi pembelajaran. Tetapi dalam setiap PSB ada fungsi
dominan yang menjadi ciri utamanya : (1) fungsi
pengembangan sistem instruksional, (2) fungsi
pelayanan media pembelajaran, (3) fungsi
produksi media pembelajaran, (4) fungsi
pelatihan, dan (5) fungsi administrasi.
Fungsi pengembangan sistem instruksional
merupakan fungsi utama PSB karena
kegiatannya bermuara dari fungsi ini, kemudian
menyebar ke fungsi-fungsi lainnya. Fungsi ini
membantu pendidik serta fasilitator membuat
rancangan pembelajaran untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran.
Dengan adanya fungsi pengembangan ini maka
kebutuhan yang tidak tersedia di pasaran dapat
dipenuhi.
Fungsi pelayanan media memberikan
pelayanan kepada pendidik, atau fasilitator
untuk memenuhi kebutuhan media pembelajaran, mulai dari memilih media yang tepat,
teknik penyajiannya, sampai kepada pemanfaatan berbagai jenis media lainnya. Sedangkan
layanan kepada peserta didik berupa layanan
belajar individual atau kelompok yang berbasis
media, khususnya media pembelajaran audiovisual atau media elektronik lainnya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
89
Pengembangan Sumber Belajar
Fungsi produksi media pembelajaran
berhubungan dengan pengadaan media pembelajaran yang tidak ada di pasaran sehingga harus
diproduksi sesuai dengan kebutuhan kurikulum
yang ada. Sedangkan fungsi pelatihan bertanggung jawab atas pengembangan kemampuan
sumber daya manusia , baik pendidik maupun
tenaga kependidkan lainnya. Bagi tenaga
pendidik adalah untuk meningkatkan kompetensi membelajarkan, khususnya dalam
mengguna-kan media dan sumber-sumber
belajar lainnya, sedangkan bagi tenaga kependidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan
dalam pengelolaan sumber belajar dan
pelayanan yang baik bagi pengguna PSB.
Fungsi administrasi bertanggung jawab
terhadap pengelolaan layanan, sumber-sumber
belajar dan pengadminstrasian fungsi-fungsi
lainnya sehingga setiap pelayanan kepada
pengguna PSB dapat berlangsung secara tertib
dan lancar. Walaupun fungsi ini seakan-akan
sebagai pendukung, peranannya ikut menentukan kelancaran dan mutu pelayanan PSB.
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan
belajar dan membelajarkan di perguruan tinggi,
tugas dan fungsi PSB mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, fungsi dan
kegiatan PSB (Learning Resource Center) di
beberapa lembaga pendidikan di luar negeri
seperti Pine Manor College di Massachusets, San
Diego College di California, Asnuntuck
University College, Xavier University of
Louisiana, University of Louisiana, dan
University of Texas menunjukkan bahwa
walupun masih berfungsi memproduksi bahan
ajar dalam berbagai bentuk media, PSB lebih
menekankan pada pelayanan program
pembelajaran individual kepada peserta didik
dengan menyediakan berbagai jenis dan
tampilan modul dan pelayanan peningkatan
kemampuan mengembangkan desain pembelajaran dan meningkatkan kemampuan pendidik
untuk membelajarkan antara lain dengan
menyelenggarakan seminar, lokakarya, simposium, dan kolokium. PSB juga memberikan
pelayanan kepada pendidik di luar lembaganya
dalam meningkatkan kemampuan pendidik dan
tenaga kependidikan dalam menggunakan
aneka sumber belajar serta kemampuan
mengelola PSB. Sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi, berbagai
jenis pelayanan itu dilakukan melalui e-learning
dan on-line learning atau virtual learning. Dengan
demikian, salah satu indikator mutu suatu
90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
lembaga pendidikan adalah keadaan dan
pelayanan PSB yang dimilikinya.
.
Mengembangkan PSB
Pendekatan pembelajaran berpusat pada peserta
didik juga dinyatakan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran dalam satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
aspiratif, menyenangkan, menantang memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup untuk berprakarsa, kreatif, dan mandiri sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik (Pasal 19, ayat 1). Proses pembelajaran yang demikian sulit dapat dilakukan
tanpa menggunakan berbagai sumber belajar.
Pergeseran paradigma pendidikan menghendaki belajar dan membelajarkan menggunakan
berbagai sumber termasuk lingkungan dan
teknologi informasi dan komunikasi.
Pendidik diharapkan dapat menggunakan
sumber belajar secara tepat untuk mencapai
tujuan pembelajaran dengan memperhatikan
karakteristik pesan/bahan ajar, karakteristik
peserta didik, serta karakteristik sumber belajar
itu sendiri. Oleh karena itu keberhasilan pemberdayaan sumber belajar dalam proses belajar dan
membelajarkan bergantung pada kemauan dan
kemampuan pendidik untuk menemukenali dan
memanfaatkan berbagai sumber belajar yang
tersedia di lingkungan tempat terjadinya proses
belajar dan membelajarkan.
Di sejumlah sekolah dasar yang termasuk
dalam Program CLLC Unesco-Unicef, MBE
USAID, serta program-program sejenis yang
dibina oleh NGO terlihat peningkatan pemanfaatan aneka sumber belajar dalam proses belajar
dan membelajarkan. Hasil positif yang diperoleh telah memberikan imbas ke sekolah-sekolah
lainnya sehingga banyak sekolah tersebar di
seluruh Indonesia mulai mengembangkan aneka
sumber belajar yang berada di lingkungannya.
Dengan menggunakan aneka sumber belajar
berbagai kesulitan dalam rangka meningkatkan
mutu proses dan hasil belajar dan membelajarkan dapat diatasi (USAID, 2006)
Sementara itu dalam pengamatan ke
berbagai sekolah di tingkat pendidikan dasar
dan menengah, pemanfaatan aneka sumber
belajar di kebanyakan sekolah masih belum
seperti diharapkan. Sungguhpun para pendidik
Pengembangan Sumber Belajar
mengatakan bahwa mereka mengetahui konsep
belajar aktif, belajar kontekstual dengan berbagai
model pembelajaran yang menuntut penggunaan berbagai sumber belajar, tetapi hasil
pengamatan menunjukkan lebih dari sebagian
dari kelas yang diamati, proses belajar dan
membelajarkan masih berpusat kepada guru
(Yuhetty, 2006: 81-82). Sementara itu kebijakan
manajemen berbasis sekolah serta sistem
pendanaan melalui Biaya Operasional Sekolah
(BOS) dapat mematikan kreativitas sekolah
dalam mengembangkan dan mendayagunakan
aneka sumber belajar. Dalam keadaan demikian
pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efisien, dan
menyenangkan sukar dapat diwujudkan untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dan
membelajarkan di sekolah (Sitepu, 2006).
Hasil pengamatan sejumlah mahasiswa
Pascasarjana UNILA (Prodi TP S2) ke beberapa
SD, SMP dan SMA di Lampung dalam bulan
April dan Mei 2008 menunjukkan bahwa (1)
pada umumnya guru belum memanfaatkan
aneka sumber belajar yang terdapat di
lingkungan sekolah; (2) peralatan seperti OHP,
komputer dan LCD masih sangat terbatas
jumlahnya dan belum banyak dipergunakan
dalam proses pembelajaran di kelas; (3) alat
peraga, peralatan laboratorium dan perpustakaan kurang terawat; (4) belum ada tenaga
khusus pengelola sumber-sumber belajar yang
tersedia di sekolah; dan (5) dianggap perlu
melakukan pelatihan terhadap pendidik
bagaimana cara mengembangkan aneka sumber
belajar terintegrasi dengan pengembangan
sistem pembelajaran.
Sungguhpun kesadaran akan pentingnya
sumber belajar, telah tumbuh keadaan dan
perkembangan lembaga PSB dalam arti yang
sesungguhnya kurang berkembang di pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pada umumnya sekolah belum memiliki lembaga atau unit
kerja yang disebut PSB, sungguhpun di sekolah
itu memiliki perpustakaan, laboratorium, dan
media audiovisual. Perpustakaan sekolah,
laboratorium dan media audiovisual masih
dikelola secara tersendiri. Di beberapa perguruan
tinggi terdapat unit pelaksana teknis yang
disebut PSB, namun belum berkembang dan
berfungsi sebagaimana seharusnya.
Mengingat pentingnya peranan aneka
sumber belajar, dalam proses belajarmembelajarkan khususnya dalam Bebas,
sekolah perlu mengembangkan sumber-sumber
belajar di masing-masing sekolah secara
terintegerasi. Pengembangan sumber-sumber
belajar itu dapat dimulai dari yang sederhana
atau dari apa yang ada, namun pemanfaatannya
diintegrasikan ke dalam proses belajarmembelajarkan. Secara bertahap sekolah dapat
membentuk Unit Sumber Belajar yang di
dalamnya ada perpustakaan, media audiovisual, alat-alat peraga/praktek, dan komputer.
USB lebih sederhana dari pada PSB di lihat dari
organisasi, koleksi, dan pengelolaannya.
Pengembangan USB ini diikuti dengan
pengayaan koleksinya yang tidak hanya produk
yang dibeli tetapi juga termasuk karya peserta
didik dan guru.
Penutup
Pergeseran paradigma atas pendidikan dan
tuntutan akan perubahan proses pembelajaran,
sebagai akibat dari kemajuan berpikir dan
kebutuhan masyarakat, membuat penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan
pengelolaan pembelajaran pada khususnya
perlu melakukan inovasi. Salah satu hal yang
dapat dilakukan ialah mendayagunakan aneka
sumber belajar dan peserta didik diberikan
kemampuan bagaimana cara belajar sehingga
mereka dapat belajar secara mandiri dan
sepanjang hayat. Pendidik dibantu oleh tenaga
kependidikan diharapkan dapat menerapkan
pendekatan pembelajaran berbasis peserta didik
dengan mendayagunakan berbagai sumber
belajar yang berbasis lingkungan secara kreatif
dan inovatif sehingga terwujud proses
pembelajaran yang menyenangkan, efisien, dan
efektif.
Dalam mengembangkan dan memanfaatkan
aneka sumber belajar secara optimal, keberadaan
USB/PSB sangat diperlukan untuk membantu
pendidik dan peserta didik meningkatkan mutu
proses dan hasil pembelajaran tidak hanya
selama tetapi juga di luar jam belajar. USB/PSB
dapat mengatasi berbagai kesulitan pendidik
dan peserta didik apabila direncanakan dengan
baik serta dikelola secara profesional. USB/PSB
pada hakikatnya dapat dikembangkan tidak
hanya di satuan pendidi-kan dasar dan
menengah atau di perguruan tinggi, tetapi juga
sanngat bermanfaat di pusat-pusat pendidikan
dan pelatihan (Pusdiklat).
USB/PSB kelihatannya belum berkembang
pesat di lembaga-lembaga pendidikan di
Indonesia. Masih diperlukan perhatian dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
91
Pengembangan Sumber Belajar
kebijakan dari pimpinan lembaga-lembaga
pendidikan untuk memfungsikan dan mengembangkan USB/PSB di tempatnya masingmasing. Payung kebijakan berupa Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional akan dapat
memotivasi pertumbuhan, perkembangan, dan
pemanfaatan USB/PSB secara nasional.
Daftar Pustaka
AECT. (1986). Definisi teknologi pendidikan.
Penerjemah: Yusufhadi Miarso dkk.
Jakarta: Rajawali bekerja sama dengan
Pusat Antar Universitas di Universitas
Terbuka
Anderson, O.W. dan Krathwohl, D.R. (2001). A
taxonomy for learning, teaching, and
assessing: A revision of Bloom’s taxanomy of
educational objectives. New York: Addison
Wesley Longman
Asnuntuck Community College, http://www.
commnet. edu
Dorrell, J. (1993). Resource-based learning: Using
open and flexible learning resources for
continous development. Berkshire: McGrawHill Book Company Europe
Gustafson, K.L. & Branch, R.M. (1977). Survey of
instructional development models. Syracuse,
N.Y.: Clearinghouse on Information &
Technology.
Januszewski, A. (2002). Educational technology:
The development of a concept. Englewood,
Colorado: Libraries Unlimited
Januszewski, A. & Molenda, M. (2008).
Educational technology: A definition with
commentary. New York: Lawrence
Erlbaum Associates
Mann, D. (1974). Policy decision-making: An
Introduction to calculation and control. New
York: Teachers College Press
Merril, I.R. & Drob, H. A. (1974). Criteria for
planning the college and university learning
resources center. Washington D.C. : AECT
Miarso, Y. (2004). Menyemai benih teknologi
pendidikan. Jakarta Prenada Media bekerja
sama dengan Pusat Teknologi dan
Informasi Pendidikan
Miarso, Y. (2008). Teknologi yang berwajah
humanis. Jurnal Pendidikan Penabur, 09
(06), 50 - 58
Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005.
www.depdiknas.go.id/
inlink.php?to=snp
92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Pine Manor College, http://www.pmc.edu
Rahadi, A. (2005). Menuju kelembagaan pusat
sumber belajar (learning resources center).
Dalam Purwanto (ed). Jejak langkah
perkembangan teknologi pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, Pusat Teknologi
Informasi dan Komunikasi Pendidikan
Reigeluth, C.M. & Garfinkle, J.G. (Eds). (1994).
Systemic change in education. Englewood
Cliffs, N.J.: Educational Technology
Publications.
Reigeluth, C.M. (1999). What is instructionaldesign theory and how is it changing?.
Dalam Instructional-design theories dan
models. Volume II: A new paradigm of
instructional theory. Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates.
Reiser, R.A. dan Dempsey, J.V. eds. (2002). Trends
and issues in instructional design and
technology. London: Pearson Education
Seels, B.B. and Richey, R.C.. (1994). Instructional
technology: The definition and domains of the
field. Whasington, DC: AECT
Simon, H.A. (1997). Administrative behavior: A
study of decision-making process in
administrative organizations. New York:
The Free Press
Surry, R.W. (1997). Diffusion theory and instructional
technology. Makalah yang dipaparkan di
Konferensi Tahunan AECT, Albuquerque,
New Maxico February 12 – 15, 1977.
[email protected]
University of Louisiana, http://www.lsu.edu
University of Texas At Austin, http//www.
utexas. edu
USAID. (2006). Managing basic education:
Developing local government capacity.
Annual report, September 2005-september
2006. Tidak diterbitkan.
Warren, M.D. (20020. Embracing the information
age in public education: An interview
with Michael Warren.Vision. November/
December 2002. http://ts.mivu.org/
default.asp?show=article&id=1049
Wikipedia, International covenant on economic,
social and cultural rights, http. Wikipedia
org/wiki/human_right
Xavier University of Louiciana, http://www.
xula. edu
Yuhetty, H. (2006). Laporan kajian: Prakarsa sekolah
dalam meningkatkan mutu proses pendidikan
(studi kasus pada sekolah terpilih). Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
Opini
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan
Derajat Stres Negatif (Distress)
Handy Susanto*)
Abstrak
da berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang untuk berprestrasi baik
dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal seperti potensi kecerdasan,
motivasi, sikap, sedangkan faktor eksternal seperti orang tua, metode pembelajaran,
tekanan atau ancaman dari lingkungan yang menimbulkan stres bagi anak. Stres dengan
derajat yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, sedangkan stres
yang derajatnya terlalu rendah mengakibatkan seseorang mengalami kebosanan. Stres bukanlah
suatu hal yang selalu negatif. Stres dengan derajat yang tepat akan menyebabkan seseorang dapat
menampilkan performance yang optimal.
A
Kata kunci: Stres, prestasi, faktor internal, faktor eksternal.
The performance of individual are influeneed by internal and eksternal factors. Stress resulted from the
eksternal factors could effect the performance positively and negatively. This article discusses some techniques
of managing stress that can give positive effects to the school children’s achievement. The role of the teachers
and parents are very important in assisting the children to cope their stress.
Pendahuluan
Dengan semakin pesatnya perkembangan dunia
pendidikan, berkembangnya kurikulum
pendidikan dan juga semakin berkembangnya
persaingan antar sekolah untuk menjadi sekolah
yang terbaik membuat para penyelenggara
pendidikan semakin berlomba-lomba untuk
memberikan program pendidikan yang terbaik
bagi anak didiknya. Berbagai macam program
pendidikan ditawarkan kepada masyarakat
dengan dalih bahwa program tersebut adalah
untuk membekali peserta didik agar menjadi
orang yang lebih baik atau dengan kata lain lebih
kompeten dibandingkan dengan peserta didik
di sekolah lainnya. Namun dengan kondisi
tersebut mungkin para penyelenggara
pendidikan tidak menyadari bahwa program
yang ditawarkan tersebut justru akan semakin
membebani peserta didik. Orang tua mungkin
tidak pernah memperhatikan anak-anaknya saat
mereka berangkat ke sekolah. Orang tua tidak
tahu apa yang mereka bawa di dalam tas sekolah
mereka. Mereka tidak pernah berpikir begitu
beratnya beban yang harus dipikul oleh anakanaknya. Orang tua juga tidak pernah menimbang bobot tas sekolah anak-anaknya yang
sebenarnya baru duduk di bangku Sekolah
Dasar.
Sekolah seharusnya menjadi suatu dunia
yang menyenangkan bagi anak didik. Namun
dengan kondisi saat ini sepertinya bagi mereka
sekolah bukanlah lagi menjadi tempat yang
menyenangkan. Persaingan antara lembaga
pendidikan, kurikulum yang kian padat, sikap
tenaga pendidik yang dinilai kurang manusiawi,
persaingan antara orang tua peserta didik,
*) Mantan Guru SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
93
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
ambisi orang tua terhadap anaknya secara tidak
sadar sebenarnya telah membebani peserta
didik. Berbagai macam tekanan dari luar (faktor
eksternal) tersebut kemungkinan besar akan
meningkatkan derajat stres di dalam diri anak
didik. Tidak mengherankan, yang seringkali kita
lihat saat ini, adalah semakin banyaknya anak
didik yang membangkang, kurang berprestasi
padahal potensi kecerdasannya berada di atas
rata-rata, malas untuk berangkat ke sekolah
bahkan mungkin ada yang sampai phobia
sekolah.
Memang kita tidak dapat memungkiri
bahwa figur anak yang berprestasi menjadi
kebanggaan baik bagi anak itu sendiri, orang tua,
bahkan lembaga pendidikan tempat ia belajar.
Cukup banyak lembaga pendidikan yang
menginginkan anak didiknya berprestasi
dengan harapan agar nama baik sekolah
semakin terangkat dan tingkat favoritas sekolah
semakin baik karena dengan banyaknya anak
didik yang berprestasi di sekolah tersebut akan
mendorong orang tua untuk menyekolahkan
anaknya di tempat itu. Namun sayangnya,
dengan adanya ambisi tersebut justru
mengorbankan kesenangan anak didik itu
sendiri. Anak didik dijejali terus oleh pelajaranpelajaran yang justru membuat anak itu sendiri
menjadi tidak menikmati kegiatan bersekolah.
Anak didik tidak diberikan kebebasan untuk
berkreasi dalam mempelajari sesuatu karena
perasaan khawatir para pendidik terhadap
target kurikulum yang diberikan oleh dinas
pendidikan ataupun pihak sekolah tidak
tercapai.
Anak didik digembleng dengan diberikan
tugas yang sangat banyak sehingga menyita
waktu mereka bahkan untuk bermain yang
sebenarnya itu adalah hakekat dunia anak. Hal
ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Handrawan Nadesul (dalam http://
keluargasehat.wordpress.com/Stress, 24 Oktober
2008) bahwa kompetisi di sekolah semakin ketat,
kurikulum kian padat, dan metode pengajaran
dan sikap pendidik dinilai kurang manusiawi.
Semua itu menyiksa hari-hari bermain anak.
Belum lagi ditambah dengan waktu yang
dirampas dari hari-hari anak untuk (terpaksa)
les ini-itu. Maka beban hidup anak melebihi
kodratnya yang perlu lebih banyak bermain.
Bukan satu kali terdengar kasus anak menolak
berangkat ke sekolah atau ada juga anak yang
setiap kali tiba di depan gerbang sekolah
langsung muntah, atau sakit perut, dan mencret.
94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Penyebabnya satu yakni pasti anak itu sedang
jatuh stres. Anak yang stres bisa jadi karena
membenci gurunya atau karena mata pelajarannya. Tidak jarang juga disebabkan oleh
keduanya. Anak merasa tidak nyaman selama
bersekolah. Konsep belajar-mengajar kita
menjadi cenderung indoktrinasi, menjadi hanya
searah dan bukan dialog.
Selain itu, saat ini semakin menjamur
sekolah–sekolah plus yang menawarkan program pembelajaran dengan menjanjikan kepada
pihak orang tua bahwa dengan bersekolah di
sekolah plus maka anak akan semakin berkembang atau lebih kompeten dibandingkan dengan
anak yang hanya sekolah di sekolah reguler.
Namun pada praktiknya, justru sekolah plus itu
semakin berpotensi menimbulkan stres pada
anak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
pakar pendidikan dari Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY), Djohar (2003) (dalam http:/
/www.gatra.com). Beliau menilai, sekolah plus
yang banyak menjamur saat ini menggunakan
model pembelajaran yang justru semakin
potensial menumbuhkan stres pada anak yang
akan terbawa hingga usia lanjut. Hal itu terjadi
karena sekolah plus menggunakan model
pembelajaran yang bertentangan dengan kaidah
pendidikan. Ia menjelaskan, model pembelajaran
yang digunakan oleh sekolah plus justru
membelenggu anak, menyita hak anak, dan
kurang membangkitkan kreativitas anak.
Dengan semakin banyaknya faktor yang
menyebabkan timbulnya stres pada anak
sehing-ga dapat menjadi hambatan dalam
belajar, perlu dicarikan cara mengurangi derajat
stres pada anak agar mereka dapat berprestasi
seoptimal mungkin sesuai dengan potensi yang
dimi-likinya.
Landasan Teori
Stres
Stres adalah kondisi biologis yang timbul
sebagai akibat kegagalan tubuh untuk merespon
secara tepat baik secara emotional maupun fisik
ancaman yang dihadapinya baik ancaman
secara nyata ataupun yang dibayangkan. Kata
“Stres” itu sendiri pertama kali digunakan oleh
Hans Selye (1930) (dalam John W. Santrock, 2002)
untuk mengidentifikasi respon fisiologis pada
binatang di laboratorium. Dia lalu mengembangkan dan mempopulerkan istilah “stres”
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
termasuk ke dalam persepsi dan respon manusia
dalam usaha untuk beradaptasi dengan
berbagai macam tantangan dalam kehidupan
sehari-hari. Di dalam terminologi yang digunakan oleh Hans Selye, stress merujuk kepada
respon organisme, sedangkan ancaman /
tantangan itu sendiri dikenal dengan nama
“stressor”.
dalam kondisi stres, maka yang bersangkutan
akan mengalami kelelahan baik secara fisik
maupun psikologis. Hal ini bisa dilihat pada
gambar 2.
Sebenarnya adalah suatu pendapat yang
keliru apabila ada pendapat bahwa seseorang
harus terbebas dari stres atau orang berupaya
untuk menghilangkan stres pada dirinya. Jika
seseorang tidak merasakan stres dalam kehidupannya, maka dia tidak
akan mengalami suatu
tantangan dalam kehidupannya dan cenderung kondisinya menjadi monoton. Jika seseorang berada dalam
kondisi seperti itu maka
performancenya pun
tidak akan dapat dicaGambar 1: Hubungan antara daya tahan terhadap stres dengan waktu
Sumber : John W. Santrock, Adolescence, 7th edition, 1998, McGraw-Hill
pai secara optimal karena dia mengalami kebosanan, begitu juga seba-liknya jika terlalu tinggi
Menurut Hans Selye (1975) (dalam John W. derajat stres seseorang maka akan berpengaruh
Santrock, 1998) stres dibagi menjadi 2 yaitu
pula pada performancenya karena terlalu
Eustress dan Distress. Pada saat stres tersebut
banyaknya tekanan dalam dirinya sehingga
dapat meningkatkan fungsi seseorang baik
yang dia rasakan adalah kecemasan terus
mental maupun fisik itu dinamakan Eustress,
menerus. Yang paling tepat adalah bagaimana
sedangkan Distress adalah stres yang terus
kita bisa berada dalam kondisi stres dengan
menerus ada dan tidak terpecahkan yang
derajat yang optimum atau tepat karena pada
mungkin akan mengarahkan yang bersangkutan
saat itulah kita akan dapat menghasilkan
mengalami kecemasan (anxiety) atau depresi.
performance yang terbaik.
Pada dasarnya stres memang diperlukan
oleh manusia sebagai suatu bentuk alarm baik
Coping
bagi tubuh maupun mental. Setiap orang memiCoping adalah suatu proses untuk mengolah
liki kemampuan atau daya tahan yang berbedalingkungan, mengerahkan suatu usaha untuk
beda terhadap stres yang dialaminya. Namun
menyelesaikan permasalahan personal dan
pada umumnya semakin lama seseorang berada
interpersonal, dan mencoba mencari cara untuk
menguasai atau mereduksi stres. Menurut
Lazarus (1993) (dalam John W. Santrock, 2002),
terdapat dua pendekatan yang berbeda yang
diterapkan oleh seseorang dalam mengatasi
stres yang dialaminya. Kedua pendekatan
tersebut adalah problem focused coping dan emotion
focused coping. Pada pendekatan problem focused
coping, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan dengan menggunakan strategi
kognitif yang bersangkutan secara individu akan
menghadapi situasi yang menyebabkan stres
dan mencoba untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Emotion focused coping
Gambar 2: Hubungan antara tekanan dan kerja
adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/
merespon secara emosional yang biasanya
General_adaptation_syndrome
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
95
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
melibatkan suatu mekanisme yang dikenal
dengan defense mechanism seperti rasionalisasi.
Selain itu, terdapat strategi yang digunakan
dalam menghadapi stres yaitu approach and
avoidance coping strategies. Approach strategies
melibatkan usaha kognitif untuk memahami
stressor dengan menghadapi langsung sumber
stres tersebut dan konsekuensinya. Sedangkan
avoidance strategies melibatkan usaha kognitif
yang mencoba untuk menyangkal atau
meminimalkan stressor dan mencoba untuk
menghindari atau menjauh dari sumber stres.
Self Efficacy adalah suatu keyakinan
seseorang bahwa dia dapat menguasai suatu
situasi dan menghasilkan suatu hasil yang
positif. Menurut Albert Bandura (1997), self
efficacy seseorang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang di dalam berbagai lingkungan. Self
efficacy mempengaruhi usaha seseorang untuk
memiliki kebiasaan yang sehat, besaran usaha
yang dilakukan seseorang untuk menangani
stres, seberapa lama orang tersebut bertahan
dalam menghadapi rintangan, dan seberapa
besar stres yang mereka alami (Allison, Dwyer,
& Makin, 1999; Clark & Dodge, 1999; DeVellis &
DeVellis, (dalam John W. Santrock, 2002).
Gejala anak stres
Mengetahui apakah anak mengalami stres
memang tidak mudah. Secara umum ada
beberapa penampilan anak yang perlu
diwaspadai, antara lain sebagai berikut.
1. Anak terus menerus mengedipkan mata atau
menggerakkan anggota tubuh lain (Tics).
2. Gagap secara tiba-tiba.
3. Tiba-tiba murung dan sering melamun.
4. Mengeluh jantung berdebar, pusing yang
tidak jelas penyebabnya, atau sakit perut
walau makan dengan benar.
5. Mukanya merah dan lutut tampak bergetar.
6. Mengalami gangguan tidur.
7. Menjadi pelupa dan sulit konsentrasi.
8. Mual dan menolak makan atau sebaliknya
makan berlebihan.
9. Terus menerus meludah.
10. Tingkah lakunya mengalami kemunduran
Mempersiapkan anak untuk Coping stres
Masa anak seharusnya dapat menjadi masa
yang berkelanjutan dalam mempersiapkan anak
menghadapi berbagai macam permasalahan,
terutama stres. Pada masa tersebut sebaiknya
anak diberikan suatu penjelasan, kepastian, dan
peringatan awal terhadap berbagai macam
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
permasalahan yang mungkin saja akan mereka
hadapi. Sementara itu, bermain digunakan oleh
anak untuk mempelajari cara mengatasi antara
perasaan yang dialaminya dan berbagai macam
kejadian. Itu merupakan cara yang alami untuk
belajar mengatasi rasa takut yang dapat
mengakibatkan stres pada anak. Permainan
“berpura-pura”, membantu anak dari berbagai
macam golongan usia bertindak dengan cara
yang memuaskan dan konstruktif dalam
menangani perasaan dan menghadapi stres.
Teknik meredakan stres
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk membantu meredakan stres pada anak
seperti, relaksasi, visualisasi, dan affirmasi.
Pertama, relaksasi : yaitu pengenduran otot
sangatlah berguna untuk mengurangi ketegangan fisik pada anak. Dengan belajar relaksasi
akan memberikan anak suatu titik fokus yang
positif. Pada saat bingung, marah, atau
ketakutan, nafas kita menjadi lebih cepat dan
dangkal. Cara yang paling efektif untuk
mengatasinya adalah dengan bernafas dalam
dan lambat. Dengan cara bernapas tersebut akan
mengubah tanda stres pada otak dan membuat
tubuh menjadi lebih tenang yang memungkinkan anak untuk kemampuannya dalam
menghadapi dan mencari solusi untuk
mengatasi situasi yang menimbulkan stres
tersebut. Kedua, visualisasi (Positive imagery).
Visualisasi dapat meredakan stres dengan
mengubah pengalaman negatif atau kesulitan
menjadi suatu gambaran yang positif.
Visualisasi hanya dapat dilakukan dalam
keadaan santai. Oleh karena itu kita harus
mengingatkan anak untuk mengatur napas
(relaksasi). Setelah tenang, anak dapat diajak
untuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan seperti berwisata ke tempat yang
mereka idam-idamkan dan mencoba membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan
dilakukannya selama berada di tempat tersebut.
Ketiga, affirmasi (self talk). Affirmasi citra diri
yang buruk merupakan hasil dari rekaman dari
apa yang anda pernah katakan pada diri sendiri.
Namun hal tersebut dapat diprogram ulang
denga hal-hal yang positif. Dengan mengajarkan
kepada anak untuk terus mengucapkan sesuatu
yang positif mengenai diri sendiri di saat
menghadapi situasi yang menimbulkan stres
akan menciptakan suatu citra yang positif pada
diri anak tersebut sehingga akan meningkatkan
kepercayaan dirinya dalam mengatasi permasa-
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
lahan. Sebagai contoh : pada saat menghadapi
pelajaran matematika yang cenderung ‘menakutkan’, ajarkan kepada anak untuk mengatakan pada diri sendiri, “saya sanggup menyerap
materi pelajaran matematika hari ini”. Bantulah
anak untuk meresapi kata-katanya tersebut dan
tekankan kepada anak untuk mengucapkannya
dengan penuh keyakinan terhadap diri sendiri.
Saran Aplikasi
Stres merupakan suatu alarm bagi tubuh yang
akan meningkatkan produksi adrenalin, coping
mechanism, dan akhirnya jika terus berlanjut
akan menyebabkan kelelahan. Tanda-tanda
yang biasanya muncul pada saat seseorang
sedang mengalami stres yang negatif (distress)
seperti meningkatnya sensitivitas seseorang,
ketegangan otot, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, dan berbagai macam gejala fisik
seperti sakit kepala, peningkatan detak jantung,
muntah, sakit perut yang sebenarnya tidak jelas
penyebabnya. Tidak sedikit anak didik yang
mengatakan kepada orang tuanya bahwa
mereka sakit, yang sebenarnya hanya untuk
menghindari datang ke sekolah. Bahkan ada
yang sampai mengalami muntah-muntah pada
saat sudah berada di depan sekolah. Itulah
gejalanya yang menunjukkan bahwa anak didik
sekarang semakin tertekan dengan kondisi
sekolah yang saat ini berlangsung. Gejala-gejala
fisik yang muncul sebenarnya lebih diakibatkan
adanya tekanan psikologis dalam diri mereka
berupa stres. Munculnya gejala-gejala fisik
seperti sakit kepala, jantung berdebar, bahkan
sampai muntah-muntah itu menunjukkan
bahwa derajat stres yang mereka alami sudah
melebihi ambang batas normal yang dibutuhkan
seseorang untuk menampilkan performance
secara optimal. Mereka mengalami stres yang
berlebihan kemungkinan besar disebabkan oleh
tekanan (ancaman) lingkungan saat ini yang
semakin kuat, kurikulum yang semakin padat,
sikap tenaga pendidik yang kurang mendukung,
situasi belajar yang penuh dengan tekanan, dan
ada banyak hal lainnya yang semakin menekan
anak didik.
Ernest R. Hilgard, dkk (dalam Nella , 2004)
berpendapat bahwa tingkat keparahan situasi
stres ditentukan oleh: bisa diduga atau tidak;
adanya kendali (apakah bisa dihindari atau
dihentikan); evaluasi kognitif (apakah situasi
berarti atau tidak); perasaan mampu (untuk
mengatasi); dan dukungan sosial (orang tua,
guru, teman). Karena itu, hal yang terpenting
dalam mempersiapkan anak dalam menghadapi
stres adalah keterbukaan, rasa percaya, dan
tidak terlalu melindungi. Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah menjelaskan bahwa merasa
stres adalah normal. Tunjukkan pula bahwa
bukan hal yang tidak pantas jika terkadang ia
merasa marah, takut, kesepian, atau pun cemas.
Ada beberapa saran yang dapat dilakukan
untuk mempersiapkan anak menghadapi stres
negatif (distress).
Pertama, ajarkan anak untuk berserah
kepada Tuhan. Adalah sangat baik untuk selalu
mengajarkan kepada anak untuk meminta
pertolongan dari Tuhan setiap kali akan
memulai suatu aktivitas. Biasakanlah untuk
selalu mengajak anak-anak berdoa terlebih
dahulu sebelum memulai aktifitas belajar.
Namun jangan sampai aktivitas berdoa ini
menjadi suatu kegiatan rutin yang menjadi tidak
ada maknanya. Kita perlu mengingatkan kepada
anak didik kita mengenai makna kegiatan berdoa
ini.
Kedua, kembangkan rasa humor. Bisa
melihat sisi lucu dari suatu kejadian, tidak saja
membuat relaks tapi juga menyehatkan fisik dan
mental. Menurut penelitian Lee Berk, M.D &
Stanley Tan, M.D, tertawa dapat menghambat
aliran kortisol; hormon stres yang menyebabkan
meningkatnya tekanan darah, penggumpalan
darah, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh.
Tertawa juga membuat jantung berdetak lebih
cepat, sistem kekebalan diaktifkan, dan oksigen
mengalir ke otak sehingga membantu berpikir
tajam dan melihat dengan lebih jelas. Otot-otot
mengendur dan sistem pencernaan dapat
berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, dalam
situasi pembelajaran, tidak ada salahnya jika
setiap guru mencoba menciptakan suatu situasi
yang dibumbui oleh humor. Memang tidak perlu
setiap saat guru harus ‘melawak’, tapi mungkin
ada satu momen tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh guru, daripada kelas harus sepi
terus menerus dan anak-anak menjadi lebih
tegang. Humor dapat diciptakan dengan cara
menyampaikan materi pelajaran melalui
permainan, misalnya saja bermain peran.
Sebagai contoh, pada saat kita mengajarkan
tentang tata surya, kita mencoba untuk
menerapkan permainan “bermain peran”
kesempatan dengan memberikan kepada anak
didik memerankan planet-planet dan benda
angkasa lainnya dan membebaskan mereka
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
97
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
berkreasi. Permainan ini mungkin akan
memunculkan suatu situasi lucu atas perilaku
mereka dalam memerankan benda angkasa
tersebut.
Ketiga, ajarkan teknik memecahkan
masalah. Memahami orang lain atau kejadian
merupakan bekal bagi anak dalam menghadapi
dunianya, sehingga anak tidak mudah stres dan
dapat mengatasi masalahnya dengan baik.
Mengajarkan kepada anak untuk selalu
bertanya dan memikirkan berbagai macam
alternatif penyelesaian masalah, juga merupakan dasar untuk meningkatkan kemampuan
anak dalam pemecahan masalah. Bermain peran
juga dapat membantu seorang anak menghadapi
permasalahannya. Permainan ini akan
mengembangkan kemampuan anak mencari
cara-cara yang konstruktif pada saat diperhadapkan dalam suatu situasi tertentu.
Keempat, tingkatkan kepercayaan diri. Anak
harus merasa aman dan mampu menyesuaikan
diri dalam keadaan apapun. Dengan kata lain
anak harus memiliki kepercayaan diri. Ketika
anak memiliki rasa percaya diri, ia akan lebih
berani dalam mengambil resiko dan tidak takut
lagi. Anak yang memiliki kepercayaan diri
mampu bersikap toleran terhadap penolakan
tanpa merasa terhina ataupun depresi. Jangan
langsung menghakimi anak apabila mereka
tidak dapat mengerjakan tugas ataupun pada
saat prestasinya menurun. Kita harus
memberikan dukungan kepada mereka dengan
cara bersikap terbuka atas kondisi yang mereka
hadapi sehingga anak pun merasakan adanya
dukungan dari orang tua ataupun guru dan
kemungkinan besar anak akan lebih termotivasi
kembali untuk mengerjakan tugas dengan lebih
baik atau untuk lebih meningkatkan prestasinya.
Kelima, ajarkan mengelola emosi. Ada
empat emosi dasar: marah, takut, sedih, dan
gembira. Di antara keempat emosi, hanya
gembira yang dikatakan emosi positif sedangkan
yang lainnya adalah emosi negatif. Agar emosi
negatif tidak sampai ‘menghancurkan’ anak,
ada beberapa cara untuk mengelolanya.
Misalnya, mendorong anak untuk dapat
mengekspresikan kemarahan secara verbal.
Kemampuan mengekspresikan kemarahan
secara verbal akan mencegah mereka
menggunakan kekerasan fisik; Membantu anak
untuk menghubungkan perasaannya dengan
alasan yang membuat mereka mengalami emosi
tersebut; dan menunjukkan bahwa perasaan
mereka dapat kita (orang tua, guru) pahami.
98
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Keenam, mengajarkan mereka untuk
meminta bantuan. Mengajarkan anak-anak
bahwa menjadi orang yang matang bukan berarti
dapat mengatasi segala sesuatunya sendiri,
melainkan dapat mengerti batas kemampuannya. Berikan pengertian kepada anak-anak
bahwa bukan hal yang memalukan apabila kita
meminta bantuan kepada orang lain terutama
pada saat kita mengalami suatu persoalan yang
memang menurut kita sendiri hal tersebut sulit
untuk diselesaikan sendiri.
Dengan adanya beberapa saran di atas
diharapkan pemikiran yang mungkin saat ini
masih melekat dalam diri orang tua atau pun
guru ketika anak dibiarkan untuk mencari jalan
penyelesaian masalahnya sendiri atau bahkan
sebaliknya yaitu terlalu melindunginya sehingga
anak tidak belajar untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapinya sedikit demi sedikit mulai
dapat beralih. Anak tetaplah seorang anak yang
masih memerlukan petunjuk atau nasihat dari
orang yang lebih dewasa untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya. Mereka harus
tetap didampingi namun bukan berarti untuk
memutuskan apa yang harus mereka lakukan,
melainkan untuk membantunya melihat berbagai macam alternatif penyelesaian atas masalah
yang mereka hadapi. Selain itu, perlu pula
ditegaskan kepada mereka bahwa ada saatnya
mereka akan membutuhkan bantuan dari orang
lain dalam menyelesaikan permasalahannya.
Dengan adanya pendampingan dari orang tua
atau pun guru, kemungkinan besar akan
semakin meningkatkan rasa percaya diri mereka
terutama dalam menyelesaikan permasalahan
lainnya yang akan mereka hadapi nantinya.
Diharapkan juga orang tua atau pun guru yang
mendampinginya tetap mengajarkan berdoa
dalam melandaskan upaya mereka mencari
penyelesaian permasalahannya agar mereka
pun dapat menghayati makna berdoa itu sendiri
bukan hanya suatu aktivitas rutinitas yang tidak
ada maknanya.
Kesimpulan
Keberhasilan di dalam suatu proses pendidikan
bukan hanya ditentukan oleh metode pengajaran
yang sangat canggih atau, sarana prasarana
yang sangat lengkap. Keberhasilan proses
pendidikan ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah
Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress)
potensi kecerdasan, motivasi, sikap anak didik,
sedangkan yang termasuk faktor eksternal
adalah metoda pembelajaran, sarana prasarana,
tekanan atau ancaman dari lingkungan yang
berpotensi menimbulkan stres yang berlebihan.
Jika dalam proses pembelajaran tersebut kita
hanya menekankan pada salah satu aspek,
sudah dapat dipastikan bahwa proses
pembelajaran tidak akan dapat mencapai
sasaran utamanya. Stres tidaklah selalu menjadi
hal negatif. Stres menjadi merugikan apabila
berlebihan atau bahkan terlalu sedikit. Stres
dengan derajat yang tepat akan membuat
seseorang mampu menampilkan performancenya
secara optimal.
Perubahan sikap dari tenaga pendidik atau
pun orang tua sangat diperlukan dalam upaya
meminimalkan derajat stres pada anak.
Pendidikan pada masa anak-anak harus
diupayakan menjadi suatu pengalaman yang
menyenangkan, karena pada hakekatnya dunia
anak adalah dunia bermain. Tenaga pendidik
diharapkan dapat menciptakan suatu situasi
pembelajaran yang cukup menyenangkan yang
dapat diupayakan dengan berbagai cara seperti
permainan dan memasukkan unsur humor di
dalam kegiatan belajar mengajar. Misalnya,
cukup banyak acara-acara kuis di televisi yang
sebenarnya dapat diaplikasikan oleh guru untuk
mengajar materi seperti kuis yang dahulu
pernah disiarkan di salah satu stasiun televisi
swasta yaitu “Kata Berkait”. Guru hanya
memberikan satu tema besar yang akan dibahas
dan kata-kata kunci materi tersebut bisa
dijadikan soal yang harus dijawab oleh anak
didik. Di samping itu dukungan dari orang tua
dan tenaga pendidik juga sangat diperlukan
dengan cara membekali anak untuk dapat
menghasilkan coping stress yang efektif,
menumbuhkan rasa percaya diri dan membekali
anak dengan kemampuan untuk mengelola
emosi-emosi yang negatif.
Cara yang dapat dilakukan untuk
mengelola emosi yang negatif ialah
mengajarkan anak bercerita hal apa yang sedang
dialaminya atau pengalamannya. Guru bisa
memancing anak dengan menceritakan tentang
pengalaman sederhana yang dengan mudah
dipahami oleh anak. Kemudian guru, meminta
mereka menceritakan pengalamannya yang
membuat mereka marah, atau sedih, atau yang
menakutkan. Dengan bercerita anak akan
terlatih mengekspresikan dirinya.
Tentunya ada banyak hal dapat dilakukan
selain yang telah disebutkan. Yang terpenting
bagaimana hal ini dapat dipahami anak-anak
dengan berbagai macam karakter unik mereka.
Mereka harus tahu bahwa ada orang tua
ataupun guru siap mendukung sehingga mereka
mendapatkan kepercayaan diri untuk dapat
menyelesaikan permasalahannya sehingga
dapat meminimalkan derajat stres yang
dirasakan dan dapat menghasilkan performance
yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Daftar Pustaka
Atkinson, Rita. L., Atkinson, Richard C., &
Hilgard, Ernest R,. (1983). Introduction to
psychology. Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Nella, Safitri Cholid. (2004). Mengenali stres anak
dan reaksinya. Jakarta: Buku Populer
Nirmala
Santrock, John W. (1998). Adolescence, 7th edition.
McGraw-Hill Companies, Inc
Santrock, John W. (2002). A topical approach to
life span development, McGraw-Hill
Companies, Inc
Schaefer, Charles E., Howard L. Millman, PhD,
(1981). How to help children with common
problem
Van Nostrand Reinhol Company, Inc.
http://gatra.com/artikel.php/Sekolah Plus,
Potensial tumbuhkan stres, 2003, 24 Okt’08
http://en.wikipedia.org/wiki/
General_adaptation_syndrome, 24 Okt’08
http://www.studygs.net/indon/stress, 24
Oktober 2008
http://keluarga sehat.wordpress.com/Stress, 24
Oktober 2008
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
99
Isu
Isu Mutakhir
Mutakhir
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Menjawab Tantangan Pengangguran dan Entrepreneurship
Dinah Tanuatmadja*)
ak dapat dipungkiri
bila saat ini banyak
lulusan Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang
tidak melanjutkan
pendidikannya ke jenjang
perguruan tinggi. Data dari
Depdiknas selama 3 tahun
(dari tahun 2003/2004 hingga
2005/2006), menunjukkan
persen rata-rata siswa SMA
untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi sekitar
67,7%. Bagaimana dengan
yang 22,3%? Selama
mengikuti pembelajaran di
SMA, mereka tidak dibekali
dengan keterampilan atau
keahlian untuk bekerja.
Akhirnya mereka menjadi
pengangguran, karena mereka
belum siap atau tidak
disiapkan untuk terjun ke
dunia usaha/industri.
Sebagai contoh, di salah satu
kota besar di Indonesia,
Surabaya. Berdasarkan data
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)
wilayah Surabaya, ada 92.367
orang pengangguran pada
tahun 2007 yang lalu. Jumlah
ang-katan kerja di Surabaya
tercatat 1.279.821 orang. Dari
angka itu, yang sudah bekerja
1.187.454 orang.
Pengangguran ini lama
kelamaan menjadi beban bagi
masyarakat dan lingkungan
T
*)
sekitarnya. Badan
Perencanaan Pembangunan
Kota (Bappeko) menggagas
penambahan Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri
(SMKN) untuk mengatasi
masalah pengangguran ini.
Dinas Pendidikan (Dindik)
Surabaya, memprioritaskan
pengembangan pendidikan
SMK.
Iklan layanan masyarakat
mengenai SMK muncul di
layar kaca dan juga
diperdengarkan di radio.
Pemerintah sekarang sedang
menggalakkan pendidikan
tingkat satuan pendidikan
menengah atas berbasis kerja,
yaitu SMK. Pemerintah
berencana akan mengubah
pola pendidikan Indonesia
dengan perbandingan 70%
untuk SMK dan 30% untuk
sekolah menengah atas (SMA)
secara bertahap. Dalam
pandangan Pemerintah, SMA
hanya menghasilkan lulusan
tidak siap kerja kalau tidak
mau disebut pengangguran.
Maka, untuk mengurangi
angka pengangguran,
sekaligus menjawab
tantangan kebutuhan tenaga
kerja level operator atau
teknisi, Pemerintah
melakukan „terobosan”
dengan mendirikan lagi SMK
dengan inovasi yang
diperoleh dari pengalaman
negara-negara lain yang
menyelenggarakan
pendidikan kejuruan. Lulusan
SMK, dalam pandangan
Pemerintah, lebih siap untuk
bekerja dan mengurangi
pengangguran.
Sekolah Kejuruan di
Mancanegara
Seperti di Indonesia, sekolah
kejuruan di beberapa negara
lain juga menyiapkan
siswanya untuk suatu
pekerjaan atau jabatan
tertentu melalui kegiatankegiatan praktis sehingga
menjadi terampil/ahli
dibidangnya. Jenjang sekolah
ini bisa Sekolah Menengah
Pertama (SMP) atau Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Pengetahuan yang diajarkan
di sekolah kejuruan ialah cara
bekerja atau prosedur
menjalankan. Hal ini berbeda
dari sekolah umum yang
mengajarkan pengetahuan
yang bersifat teoritis dan
konsep abstrak. Itulah
sebabnya sekolah kejuruan
masih dianggap tidak
termasuk pada jalur
akademisi.
Kepala Bagian Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Isu Mutakhir
Sampai akhir abad ke 20,
sekolah kejuruan di beberapa
negara masih dianggap
sebagai sekolah kelas dua,
menjadi pilihan anak-anak
dari keluarga kurang mampu
secara finansial. Lulusannya
misalnya menjadi teknisi,
mekanik, tukang las dan
pekerjaan-pekerjaan yang
setara dengan kelas rendah.
Akan tetapi, selanjutnya
dengan meningkatnya
tuntutan pasar kerja yang
membutuhkan keahlian dan
ketrampilan khusus,
pemerintah dan dunia usaha/
industri mulai banyak
menanamkan modal atau
memberi subsidi untuk
menyelenggarakan
pendidikan kejuruan,
misalnya bidang bisnis,
turisme, teknologi informasi,
jasa pemakaman, kecantikan,
kerajinan, perhotelan dan
lain-lain.
Di Australia, sekolah
kejuruan (Vocational Education
and Training) setara dengan
sekolah menengah.
Pemerintah bersama dengan
dunia usaha/industri
berperan aktif dalam
mengontrol penyelenggaraan
sekolah kejuruan. Sekolah
kejuruan dikelola oleh swasta
maupun pemerintah yang
bergabung dalam wadah
lembaga-lembaga pelatihan
resmi (registered) secara nasional yang mengontrol kualitas
dan kualifikasi serta
penilaian (ujian). Dunia
usaha/industri berperan aktif
dan bertanggung jawab dalam
mengembangkan dan
meninjau ulang semua
kualifikasi. Peran pemerintah
dan lembaga-lembaga sangat
besar dalam mengontrol
kualitas dan kualifikasi,
sehingga dengan demikian
setiap lulusannya diakui
disemua negara bagian di
Australia. Bahkan pengelola
sekolah kejuruan diperbolehkan menawarkan program
pelatihan bergelar bachelor
yang di perguruan tinggi
tidak tersedia. Lewat jalur
pendidi-kan kejuruan,
seseorang dapat melanjutkan
pendidikan dan memperoleh
gelar bachelor. Hal ini
berdampak bahwa beda
antara sekolah kejuruan dan
sekolah umum amat tipis.
Dalam hal ini lulusan sekolah
kejuruan diuntungkan
dengan kebijakan tersebut.
Di Jerman dan negaranegara sekitarnya (Austria,
Switzerland, Liechtenstein),
sekolah kejuruan menjadi
salah satu bagian penting
dari sistem pendidikannya.
Pada tahun 1969, sebuah
undang-undang disahkan
untuk mengatur dan
menyatukan sistem pelatihan
kejuruan serta mengatur
tanggung jawab bersama
antara negara bagian, serikat
pekerja, asosiasi dan kamar
dagang. Sistem tersebut populer di tahun 2001
menyebutkan bahwa T!
pemuda berusia di bawah 22
mulai menjalankan magang.
Ternyata 78% dari pemuda itu
menyelesaikan dengan baik.
Ini berarti bahwa kira-kira
51% pemuda usia dibawah 22
tahun telah menja-lani masa
magangnya, Di tahun 2003,
dunia usaha/industri
menyiapkan diri untuk
menerima siswa magang.
Selanjutnya di tahun 2004,
pemerintah Jerman menanda
tangani kerja sama dengan
dunia usaha/industri yang
menyatakan bahwa mereka
harus siap menerima siswa
magang
Berbeda dengan di
Australia dan Jerman,
pendidikan kejuruan di
Amerika Serikat berbeda dari
satu negara bagian dengan
negara bagian lainnya. 70%
dari pendidikan kejuruan
setara sekolah menengah
dikelola oleh sekolah kejuruan
swasta. Sisanya 30% dikelola
swasta menjadi community
college dengan waktu belajar 2
tahun. Lulusannya bisa
transfer ke perguruan tinggi
dengan waktu belajar 4 tahun.
Setiap negara bagian
mengambil inisiatif untuk
mengatur keterkaitan dan
kesinambung-an antara
pengetahuan yang dipelajari
di sekolah dengan pekerjaan.
.
Sekolah Kejuruan di Era
Tahun 1970 dan 1990
Seiring dengan masuknya
modal asing dan hibah dari
Pemerintah Jepang atas
Indonesia, dunia usaha/
industri berkembang pesat di
tahun 1970 an. Ternyata
perkembangan industri/
usaha ini tidak diimbangi
dengan kesiapan Pemerintah
dalam menyediakan tenaga
kerja yang siap mengisi posisi
kerja di dunia usaha/industri
tersebut. Tenaga yang ada
belum memiliki ketrampilan
yang sesuai dengan bidang
yang ada di dunia usaha/
industri. Di era itu,
Pemerintah membuat
terobosan dengan membuka
banyak sekolah kejuruan
seperti STM (Sekolah Teknik
Menengah). SMF (Sekolah
Menengah Farmasi), SMEA
(Sekolah Menengah Ekonomi
Atas), SKK (Sekolah
Kesejahteraan Keluarga) dan
lain-lainnya yang sudah
dibekali dengan ketrampilan
atau keahlian yang
dibutuhkan oleh dunia
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
101
Isu Mutakhir
usaha/industri. Kurikulum
didesain sesuai dengan
kebutuhan dunia usaha/
industri. Konsep link and
match, mulai dirintis sehingga
lulusannya banyak terserap
mengisi posisi pekerjaan
sebagai teknisi, sekretaris,
asisten apoteker, pembukuan,
dan koki masak dan pekerjaan
lainnya. Pengalaman di era 70
an ini, mengukuhkan bahwa
SMK bisa menjawab
tantangan akan kebutuhan
(tenaga) kerja.
Di tahun 1990 memasuki
era globalisasi, konsep link
and match (keterkaitan dan
kesepadanan), digagas
kembali oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan
Wardiman Djojonegoro.
Konsep ini menjembatani
kesenjangan antara dunia
pendidikan dan dunia
usaha/industri. Lulusan yang
dihasilkan harus sesuai
dengan kebutuhan, baik dari
segi tingkat ketrampilan
maupun dari segi jenis
ketrampilan yang dibutuhkan.
Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan
mendapat tugas langsung
dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan untuk
mengembangkan dan
melaksanakan pendidikan
dengan pendekatan sistem
ganda. Pendidikan Sistem
Ganda (PSG) adalah suatu
bentuk penyelenggaraan
pendidikan keahlian
profesional yang memadukan
secara sistematis dan sinkron
antara program pendidikan di
sekolah dan program di dunia
usaha/industri yang
diperoleh melalui kegiatan
bekerja langsung di dunia
kerja untuk mencapai suatu
tingkat keahlian profesional.
Kurikulum dirancang
bersama sesuai dengan
102
kebutuhan dunia usaha/
industri.
SMK - Sunset Industry dan
Reengineering
Tanpa regulasi yang jelas
untuk pendirian SMK dari
pemerintah, jumlah SMK
semakin banyak. Kualitas
pendidikan kurang terkontrol,
kualitas lulusan SMK
merosot. Berikut data hasil
Nilai Ebtanas Murni (NEM)
rata-rata dari tahun pelajaran
2003/04 sampai dengan
2005/06 untuk semua sekolah
negeri dan swasta di
Indonesia (untuk dapat
mengatakan merosot, perlu
dilengkapi dengan data
pembanding).
T ah u n
Pelajaran
Jumlah Rata-rata
Sekolah
Nem
2003/ 2004
5.115
6,63
2004/2005
5.66 5
5,97
2005/ 2006
6.02 5
6 , 14
Dalam era globalisasi
dan semakin terbukanya
pasar dunia, Indonesia
dihadapkan pada persaingan
yang semakin luas dan berat.
Ketidakmampuan dalam
meningkatkan daya saing
sumber daya manusia (SDM)
nasional, menyebabkan
semakin terpuruknya posisi
Indonesia dalam kancah
persaingan global. Tahun
2007/2008 Human
Development Index Indonesia
hanya menduduki peringkat
107 dari 177 negara.
Seiring dengan itu
keadaan perekonomian dunia
dan Indonesia memburuk,
beberapa usaha maupun
industri mengalami
dampaknya, sehingga mereka
tidak lagi memerlukan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
tambahan tenaga kerja.
Kembali terjadi pengangguran
dari lulusan beberapa jurusan
di SMK. Pada saat itu,
pengamat pendidikan
mengibaratkan SMK sebagai
sebuah sunset industry.
Pengertian sunset industry
adalah usaha pengelolaan
sekolah yang sudah tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan
external customer. Lulusan
sekolah kejuruan sudah tidak
lagi terserap sebagai tenaga
kerja, dikarenakan mereka
tidak siap pakai atau bisa juga
dikarenakan sudah terlalu
banyak lulusannya (over
supply). Lulusan yang tidak
siap pakai bisa dikarenakan
sekolah tidak mampu
menyediakan sarana praktek
yang sesuai dengan yang ada
di dunia usaha/industri bagi
siswanya. Sekolah
membutuhkan dana yang
besar untuk investasi
peralatan sama dengan
peralatan di dunia usaha/
industri yang cepat berubah
dan berganti. Hal ini tidak
mungkin bisa disediakan oleh
sekolah mengingat
pengadaannya yang sangat
mahal. Over supply
menyebabkan tingkat
kejenuhan, dan perlu
dipertimbangkan untuk
ditutup. Tingkat kejenuhan
terjadi misalnya pada jurusan
sekretaris, pembukuan, teknik
bangunan, teknik mesin dan
beberapa jurusan lainnya
yang sudah terlalu banyak
diluluskan SMK. Pemerintah
membatasi ijin pendirian
SMK untuk beberapa jurusan
yang lulusannya tidak
terserap di dunia usaha/
industri, karena jumlah
lulusan melebihi jumlah
dunia usaha/industri yang
ada.
Isu Mutakhir
Upaya pemerintah untuk
mengatasi sunset industry SMK
ini, pemerintah melakukan
terobosan dan kebijakan di
bidang pendidikan secara
konsisten dan berkelanjutan.
Misalnya, pemerintah
membatasi izin pendirian
SMK untuk beberapa jurusan
yang lulusannya tidak
terserap di dunia usaha/
industri, karena jumlah
lulusan melebihi jumlah
dunia usaha/industri yang
ada.di dunia industri.
Sejalan dengan
berkembangnya teknologi
informasi dan komunikasi,
pemerintah mengambil
kebijakan melakukan
reengineering SMK. Banyak
jurusan baru dengan
keterampilan atau keahlian
dibuka, berdasarkan
kebutuhan masyarakat, dunia
usaha/industri. Di samping
itu juga berdasarkan pada
ketersediaan resource alam
maupun manusia, dan
disesuaikan dengan budaya
daerah. Maksud pemerintah
dengan upaya ini bisa
mengangkat perekonomian di
daerah tersebut,
pembangunan daerah dapat
dirasakan manfaatnya bagi
seluruh warga masyarakat
dan tak ada lagi
pengangguran. Dunia usaha/
industri memerlukan SDM
yang mampu
mengaplikasikan ilmu yang
selama ini didapat di bangku
sekolah. Untuk itu diperlukan
upaya menyusun kurikulum
yang sesuai dengan apa yang
dibutuhkan dalam dunia
usaha/industri. Berikut ini
pengelompokan bidang
keahlian di SMK yang
dikeluarkan oleh pemerintah
dan telah disesuaikan dengan
kebutuhan dunia industri/
usaha.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Teknologi & Industri
Bisnis & Manajemen
Pariwisata
Pekerjaan Sosial
Pertanian & Kehutanan
Peternakan
Perikanan
Seni & Kerajinan
Farmasi
Kesehatan
Dari setiap kelompok
bidang keahlian, bisa
terbentuk jurusan-jurusan
yang mengarah kepada
kompetensi ketrampilan.
Misalnya, dari kelompok
bidang keahlian Bisnis &
Manajemen, terbentuk
kompetensi: Akuntansi,
Administrasi Perkantoran,
Penjualan, Perdagangan,
Perbankan, Asuransi dan
Koperasi.
Konsep link and match
semakin ditingkatkan
maknanya bagi sekolah dan
bagi dunia industri/usaha.
Pesatnya perubahan teknologi
yang diterapkan di dunia
industri/usaha, sulit untuk
diikuti oleh SMK, dipandang
dari sisi dana. Biaya investasi
dan operasional SMK lebih
besar dibandingkan dengan
SMA. Misalnya, perangkat
yang dipakai dunia industri/
usaha akan selalu mengikuti
perkembangan, sedangkan di
sekolah untuk investasi
peralatan pembelajaran yang
identik dengan perangkat
yang dipakai di dunia
industri/usaha tidak
mungkin akan selalu diganti
atau ditambah dengan yang
baru. Dengan demikian,
masih terasa adanya
kesenjangan antara sekolah
dan industri. Pemerintah
berperan mengatasi
kesenjangan itu dengan
mengajak dunia usaha/
industri ikut terlibat dalam
memberikan kesempatan
siswa SMK melakukan
praktek kerja atau magang di
dunia industri/usaha yang
memiliki fasilitasnya. Hal ini
perlu agar siswa SMK
setidaknya mendapatkan
gambaran dan pengalaman di
dunia nyata mengenai dunia
pekerjaan yang akan mereka
geluti kelak. Selain job training,
diperlukan juga kurikulum
yang mendukung serta tenaga
pengajar yang benar-benar
datang dari akademisi dan
profesional di bidangnya.
Keterlibatan pegawai yang
ada di dunia industri/usaha
sebagai instruktur/pengajar,
sehingga dengan demikian
antara apa yang diajarkan
dengan apa yang dibutuhkan
oleh dunia usaha/industri
sesuai. Dunia usaha/industri
memerlukan SDM yang
mampu mengaplikasikan
ilmu yang selama ini didapat
di bangku sekolah. Untuk itu
diperlukan upaya menyusun
kurikulum yang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan
dalam dunia usaha/industri.
Sinergi antara pemerintah,
dunia usaha/industri dan
sekolah menghasilkan
kurikulum sekolah kejuruan
yang membantu menciptakan
lulusan siap kerja.
Kelebihan dan
Peran SMK
SMA tidak dapat
dibandingkan dengan SMK.
Masing-masing mempunyai
keungggulan yang berbeda.
Masih ada pandangan
masyarakat jika SMK sebagai
jenjang pendidikan kelas dua,
kurang bergengsi. Pandangan
tersebut harus segera
diluruskan, mengingat
sekarang ini SMK selain
sebagai institusi yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
103
Isu Mutakhir
menyiapkan tenaga siap kerja
di dunia industri/usaha, juga
membentuk jiwa
kewirausahaan pada setiap
lulusannya. Pembentukan
jiwa entrepreneur dibina
melalui mata pelajaran
Kewirausahaan. Nara sumber
diambil dari para pelaku
bisnis nyata. Tidak harus
bekerja setelah lulus SMK ,
malahan justru lulusan SMK
bisa menciptakan pekerjaan
bagi dirinya sendiri (wira
usaha). Pandangan ini perlu
diluruskan, mengingat
banyaknya kelebihan yang
bisa dimiliki siswa SMK. Jalur
pendidikan di luar negeri,
misalnya di Jerman, jelas
menggambarkan bahwa jalur
ke jenjang perguruan tinggi
(akademisi) berbeda dengan
jalur vocational. Jalur
pendidikan di Indonesia
terbuka, sehingga hal ini
menjadikan banyaknya
kelebihan SMK dibandingkan
SMA. Beberapa kelebihan
SMK, sebagai berikut.
104
1.
Bisa langsung kerja tanpa
harus masuk ke jenjang
yang lebih tinggi
2. Dipersiapkan untuk siap
kerja setelah lulus
3. Banyak praktek, sehingga
lebih tahu pekerjaan
lapangan
4. Pembelajaran 3 aspek:
normatif, adaptif dan
produktif
5. Sekolah warga dunia:
kompetensi, komunikasi
dan komputer
6. Profesi yang dijalani
sesuai dengan minat/
hobi dan bakat
Daya saing sebuah
bangsa tidak bisa dipisahkan
dari mutu dan kualitas
sumber daya manusia (SDM)
bangsa tersebut. Jati diri
bangsa sangat ditentukan
oleh kualitas SDM yang ada.
Untuk itu diperlukan
hadirnya SDM terbaik bangsa
yang memiliki kecerdasan
tinggi, sikap dan mental
prima, daya juang dan daya
saing tinggi, kemampuan
handal, serta nasionalisme
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
sejati. Kualitas SDM yang
diinginkan tentu saja adalah
SDM yang mampu
melaksanakan pembangunan
nasional secara inovatif,
kreatif, dan produktif dengan
semangat kerja dan disiplin
tinggi. Karena itulah,
peningkatan SDM pada
dasarnya merupakan proses
peningkatan kualitas manusia
dan mentransformasikan
manusia menjadi angkatan
kerja produktif. Proses
demikian diwadahi dalam
pendidikan. Pendidikan di
SMK telah melibatkan dunia
usaha/industri untuk
melaksanakan praktek kerja
sesuai dengan kurikulum
yang dirancang bersama
dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan SDM
yang profesional bagi dunia
usaha/industri. Dengan
demikian SMK siap menjawab
tantangan akan kebutuhan
tenaga kerja siap pakai,
karena SMK mempersiapkan
sejak awal lulusan yang siap
kerja dan berjiwa wirausaha.
Resensi buku
Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
Judul Buku:
Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
Penulis :
Prof. Dr. Soedijarto, M.A.
Penerbit :
PT. Kompas Media Nusantara - Jakarta
Tanggal terbit :
Juli - 2008
Jumlah Halaman :
xlvi+488
Oleh: Muksin Wijaya
s
oedijarto, penulis buku ini, adalah
seorang mantan birokrat yang antara
lain mantan Dirjen Pendidikan Luar
Sekolah, Pemuda dan Olahraga, Kepala
Pusat Kurikulum, dan masih banyak sederet
kedudukan dan jabatan yang pernah
disandangnya. Terakhir, penulis kembali
menjadi guru besar di
Universitas Negeri Jakarta.
Dalam buku itu, penulis
mengemukakan antara lain,
amanat pembukaan UUD
1945 dan visi pendidikan
nasional menunjuk pada
suatu landasan filsafat yang
mendalam untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional,
dan dalam Pasal 31 Ayat 1
UUD 1945 dinyatakan sejalan dengan belajar adalah
hak asasi manusia.
Persoalan pendidikan
nasional sampai saat sekarang masih menjadi suatu percakapan yang
hangat. Berbagai kritik, polemik, dan bulanbulanan pendidikan nasional kerap kita dengar.
Kondisi pendidikan nasional yang tidak
berhasil terwujud sebagaimana yang diamanatkan dan dicita-citakan oleh pendiri bangsa
ini, membuat penulis memper-timbangkan apa
gerangan yang salah dengan penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional kita sehingga belum
bermakna bagi upaya mencerdasakan
kehidupan bangsa.
Bagi penulis, ketertinggalan ini sangat erat
kaitannya dengan kepedulian pada bidang
pendidikan. Terpuruknya kondisi negarabangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kondisi pendidikan nasional. Kegelisahan melihat
perkembangan pendidikan
nasional membuat penulis
berkontemplasi tentang kondisi pendidikan nasional
baik dari segi landasan
filosofis, pelaksanaan dan
infrastruktur, maupun pembiayaannya. Perenungannya
itu dituangkan dalam
serangkaian artikel yang
didiskusikan pada banyak
kesempatan seminar yang
kemudian pada Kamis 24 Juli
2008 bertepatan dengan
acara ucapan syukur ulang
tahunnya yang ke-70 diterbitkan dalam buku ini.
Banyak hal yang dapat kita baca untuk
mengetahui dengan tepat berbagai persoalan
dan posisi pendidikan di Indonesia, dan buku
ini memberikan pencerahan beserta jawaban
akan persoalan-persoalan tersebut. Apa yang
yang ditulis beliau juga merupakan unek-unek
untuk menyampaikan ide dan gagasannya agar
*) Kepala Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK PENABUR Bandung
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
105
Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
arah penyelenggaraan pendidikan nasional
berjalan sebagaimana yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945.
Sebetulnya persoalan-persoalan pendidikan
sudah sejak dulu teridentifikasi dalam skala
berbeda, namun sampai saat ini perubahan
belum banyak. Nampaknya di tengah benang
kusut persoalan pendidikan di Indonesia
tersebut, pemetaan kembali persoalan pendidikan pada saat sekarang dirasa perlu. Pemetaan
tersebut dapat menjadi bekal bagi pemimpin
mendatang untuk pengembangan pendidikan
nasional. Berbagai persepsi negatif masyarakat
terhadap pendidikan Indonesia perlu dievaluasi
dan diubah sehingga menjadi persepsi positif
dan konstruktif, sehingga berbagai kebijakan
pendidikan Indonesia dapat dilakukan sebagai
tanggung jawab bersama oleh segenap bangsa
Indonesia dengan tidak meninggalkan falsafah
pendidikan dan kesadaran bahwa pendidikan
juga mengemban makna di dalam memanusiakan manusia dan belajar untuk hidup.
Buku ini terbagi ke dalam lima bab utama,
yang masing-masing mengangkat paparan inti
dari setiap permasalahan di bidang pendidikan.
Bab I mengulas berbagai paparan berkenaan
dengan landasan pendidikan nasional pada
aras filosofi, ideologi, maupun perundanganundangan dan peraturan Pemerintah lainnya.
Pada Bab I ini penulis mengulas secara
gamblang sejauh mana amanat UUD 1945
sudah digunakan sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan yang selanjutnya
diimplementasikan pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Menyoal hal tersebut penulis mengatakan
bahwa pada saat ini kurang berfungsinya
pendidikan nasional sebagaimana yang
diamanatkan oleh UUD 1945 yang merupakan
faktor yang mempengaruhi keterpurukan
kondisi negara bangsa Indonesia, bahkan ada
yang memandang bahwa seyogianya pendidikan nasional dilepaskan dari pengaruh
Pemerintah. (hal.13)
Pemahaman yang benar akan amanat UUD
1945 merupakan suatu hal yang sangat penting
karena pemahaman ini akan menjadi titik
berangkat dari setiap pergerakan roda kehidupan bangsa, termasuk pergerakan roda sistem
pendidikan di Indonesia ini. Tujuan positif tentu
tidak pernah dapat kita capai apabila kita tidak
memahami dengan benar apa makna yang ada
di dalam amanat bangsa tersebut.
106
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Pada bab II, penulis mengangkat paparan
berkenaan dengan relevansi kurikulum yang
berawal dari sebuah pertanyaan “materi
pendidikan manakah yang harus dijadikan
objek belajar?” yang dapat mencerdaskan
bangsa sesuai amanat UUD 1945 beserta
pengembangannya, sistem evaluasi dan
sumberdaya pendidik (guru) yang profesional.
Pada saat ini Indonesia memasuki millenium
ketiga (era globalisasi) dan pada masa ini berlaku
berbagai ukuran dan aturan yang sifatnya
internasional, sehingga dibutuhkan sumber
daya yang berkualitas dan memiliki kompetensi
untuk dapat bertahan dan maju secara berkesinambungan.
Menjawab pertanyaan tersebut di atas,
penulis berangkat menjawab dari pemahaman
tentang karakteristik masyarakat modern dalam
era globalisasi yang memberlakukan berbagai
ukuran dan aturan internasional di segala
bidang kehidupan, sehingga diperlukan sumberdaya yang berkualitas yang memiliki kemampuan, nilai, dan sikap yang perlu dikuasai dan
dimiliki oleh manusia terdidik Indonesia, yaitu :
(1) memiliki kemampuan, nilai, dan sikap yang
memungkinkannya berpartisipasi secara
aktif dan cerdas dalam proses politik;
(2) memiliki kemampuan, etos kerja, dan
disiplin kerja yang memungkinkannya aktif
dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi;
(3) memiliki kemampuan dan sikap ilmiah
untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui
kemampuan penelitian dan pengembangan; dan
(4) memiliki kepribadian yang mantap,
berkarakter dan bermoral, serta berakhlak
mulia. (hal.120)
Setelah teridentifikasi empat gugus
kemampuan, nilai, dan sikap tersebut di atas,
lalu materi pendidikan apakah yang harus
dijadikan objek belajar? Menurut penulis bahwa
UU No.20 Tahun 2003 telah memberikan
jawaban untuk pendidikan dasar maupun
sampai sekolah menengah. (hal.121).
Memang perlu kita sadari bahwa
pergerakan roda sebuah lembaga pendidikan
tidak lepas dari arahan kurikulum yang
termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran,
evaluasi, materi dan metode pengajaran dan
pembelajarannya. Dengan implementasi
kurikulum yang tepat dan sinergi maka gugus
Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
kemampuan, nilai, dan sikap
bangsa han sosial (social change) di masyarakat yang
sebagaimana disebutkan di atas diharapkan begitu cepat, menuntut agar kedudukan dan
dapat dibentuk dan ditumbuhkan, yang fungsi perguruan tinggi itu benar-benar
kemudian bangsa akan dapat memetik hasil terwujud dalam peran yang nyata. Pada
positifnya.
umumnya peran perguruan tinggi itu
Bab III mengangkat paparan berkenaan diharapkan tertuang dalam pelaksanaan Tri
dengan peran perguruan tinggi baik negeri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu : dharma
maupun swasta dan persoalan akreditasi. pendidikan, penelitian, dan pengabdian
Dalam bab dipertanyakan sejauh mana masyarakat. Dengan dharma pendidikan,
perguruan tinggi dapat memberikan pengaruh perguruan tinggi diharapkan melakukan peran
yang berdampak atas perkembangan masya- pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya.
rakat serta peradabannya, terlebih lagi bahwa Dengan dharma penelitian, perguruan tinggi
tuntutan pada setiap masanya berbeda dan diharapkan mela-kukan temuan-temuan baru
semakin bertumbuh. Disamping itu, juga diper- ilmu pengetahuan dan inovasi kebudayaan.
soalkan kemungkinan masalah kredi-tasi Dengan dharma pengabdian masyarakat,
dipecahkan sebagai quality assurance atasi suatu perguruan tinggi di-harapkan melakukan
perkembangan
pelayanan masyrakat
masyarakat secara
untuk ikut memperkomprehensif dan
cepat proses peningBerbagai persepsi negatif
mengenai sasaran
katan kesejahteraan
masyarakat terhadap
atas perubahan yang
dan kemajuan masyapendidikan Indonesia perlu
terjadi di dalam suatu
rakat. Melalui dharma
komunitas atau mapengabdian pada
dievaluasi dan di ubah sehingga
syarakat pada umummasyarakat ini, pergumenjadi persepsi positif dan
nya.
ruan tinggi juga akan
konstruktif, sehingga berbagai
Menjawab hal
memperoleh feedback
kebijakan pendidikan Indonesia
tersebut penulis medari masyarakat tendapat dilakukan sebagai
nekankan pada eksistang tingkat kemajutensi standard of
an dan relevansi ilmu
tanggung jawab bersama...
excellence dan meritoyang dikembangkan
cracy, dimana pengeperguruan tinggi itu.
lolaan perguruan
Bab IV mengangkat
tinggi harus benar-benar :
paparan berkenaan dengan otonomi daerah,
(1) memungkinkan terciptanya suasana peran swasta dan pendidikan demokrasi.
akademik yang menjadikan tenaga Berangkat dari ketentuan UU Sisdiknas dijelaspengajar dapat secara bergairah, penuh kan bahwa pemerintah daerah sebagai bagian
tanggung jawab dan ketekunan sebagai dari sistem pendidikan bertanggung jawab unilmuwan dan pendidik, melaksanakan tuk mengelola pendidikan yang bermutu sesuai
kemerdekaan akademiknya yaitu mengajar standar nasional yang digariskan oleh Pemerindan melakukan penelitian; dan
tah Pusat. Persoalan selanjutnya adalah bagai(2) memungkinkan para mahasiswa dengan manakah pemerintah daerah dapat mengelola
penuh kebahagiaan mendapatkan rang- pendidikan yang bermutu yang menekankan
sangan dan tantangan untuk mereali- pada kualitas dan kualifikasi tenaga guru dan
sasikan kemerdekaan akademiknya, yaitu kependidikan lainnya, sarana prasarana, kuribelajar dengan fasilitas yang memenuhi kulum dan proses pembelajaran, media pembesyarat agar mereka dapat menjadi lajaran dan sistem evaluasi yang komprehensif,
ilmuwan/teknolog/profesional yang berlanjut dan objektif sesuai persyaratannya.
berkarakter dan bermoral serta bergairah
Menjawab persoalan di atas, penulis selain
untuk mengabdi pada kemajuan ilmu merekomendasikan pemerataan pendidikan,
pengetahuan dan teknologi.(hal.231).
khususnya pendidikan dasar, juga menekankan
Keberadaan perguruan tinggi mempunyai pada dukungan seluruh kekuatan masyakedudukan dan fungsi penting dalam rakatnya agar program yang dirancang dapat
perkembangan suatu masyarakat. Proses peruba- sustainable. (hal.304)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
107
Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
Perlu kita sadari bahwa sustainibility dapat
membantu mendorong terpeliharanya suatu
kegiatan dengan baik, yang mana hal ini pula
akan menyebabkan kita dapat melakukan
berbagai perencanaan program dengan lebih
terarah dan terpadu, namun hal ini tidak ada
artinya apabila tidak didukung oleh suatu
komunitas atas masyarakatnya.
Bab V mengangkat paparan berkenaan
dengan anggaran pendidikan, seberapa
signifikankah jumlah alokasi dana di dalam
APBN atau APBD yang mencukupi untuk
dipakai dalam upaya merealisasikan tujuan
pendidikan nasional yang sudah diamanatkan
UUD 1945. Mengapa pembiayaan pendidikan
membutuhkan 20% dari APBN dan APBD
diuraikan dengan jelas pada bab ini.
Penulis memandang pembiayaan pendidikan 20% dari APBN dan APBD adalah suatu
pemenuhan kewajiban negara yang diamanatkan UUD 1945 dalam hal kesejahteraan
pembiayaan pendidikan (hal. 354) dan
Pemerintah sebagai pemegang amanat
seharusnya dapat merealisasikan hal tersebut.
Karena itu dipandang dari makna amanat UUD
1945, tiadanya kemauan politik untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari APBN dan APBD dapat
dipandang sebagai pelanggaran terhadap UUD
1945. (hal.356).
Kalau kita telusuri, akar permasalahan
anggaran pendidikan ini terjadi dikarenakan
lemahnya kemauan politik (political will)
Pemerintah untuk memposisikan sektor
pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain
dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan,
rendahnya anggaran pendidikan seringkali
menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan oleh
banyak pihak. Kewajiban Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari
APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga
saat ini. Pemerintah juga masih lemah untuk
berkomitmen dan kurang responsifnya di dalam
menanggapi koreksi-koreksi yang sudah
disampaikan oleh berbagai kalangan.
Lebih dalam, persoalan pendidikan yang
kita lihat saat ini hanyalah puncak dari gunung
es persoalan pendidikan Indonesia seutuhnya.
Lebih jauh lagi, kelima bab yang ditulis secara
komprehensif tidak hanya menunjukkan
berbagai persoalan yang terlihat saja tapi juga
berbagai persoalan fundamental pendidikan
Indonesia yang seharusnya segera direspon
108
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
oleh semua pihak dan seluruh bangsa agar
terjadinya perubahan yang sinergi di dalam
pendidikan Indonesia.
Dengan membaca buku ini, pembaca diajak
untuk menyelami permasalahan di bidang
pendidikan di Indonesia dari akar hingga ke
permasalahan yang mencuat hangat pada saat
sekarang, antara lain masalah anggaran
pendidikan.
Banyak pesan dan harapan penulis juga
dituangkan di dalam buku ini untuk kemajuan
bangsa, di antaranya mengenai peranan
pendidikan yang seharusnya diupayakan dapat
berfungsi sebagai wahana transformasi budaya,
nilai, dan sikap; mewujudkan cita-cita pendidikan yang perlu diupayakan oleh seluruh
kekuatan bangsa dan menjadikan UUD 1945
sebagai landasan dalam mengukur dan menilai
berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan pendidikan; sekolah sebagai pusat
pembudayaan atas segala kemampuan, nilai,
dan sikap yang diperlukan untuk dapat menjadi
warga negara yang bermoral, beretos kerja,
berdisiplin, produktif, demokratis, dan
bertanggung jawab.
Sebagai penutup, apa yang dituliskan di
dalam buku ini sebetulnya dapat dijadikan
sebagai landasan implementatif dari pengembangan pendidikan Indonesia ke arah yang
diamanatkan UUD 1945, di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Pengembangan pendidikan dasar dengan
biaya relatif ringat tetapi bermutu baik bagi
seluruh bangsa Indonesia.
2. Membangun pusat-pusat keunggulan di
tingkat sekolah dari TK sampai perguruan
tinggi, dengan pembiayaan yang dinalisis
berdasarkan kebutuhannya agar pendidikan perubahan pendidikan nasional bisa
berjalan dengan betul.
3. Pengalokasian anggaran pendidikan untuk
penyelenggarakan pendidikan dasar secara
gratis, termasuk penyediaan buku pelajaran
dan buku tulis bagi murid, buku-buku
perpustakaan, dan buku pegangan untuk
guru.
4. Otonomi akademik bagi sekolah-sekolah
yang mampu dan mandiri, dengan memberi
mereka kebebasan untuk menyusun
kurikulum dan program belajarnya sendiri.
5. Penerapan prinsip demokrasi dalam
pendidikan bahwa setiap warga negara
Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Artinya bahwa
setiap orang memiliki kebebasan untuk
memperoleh pendidikan dalam rangka
mengembangkan diri dan meningkatkan
pengetahuan, serta kemampuan mereka.
6. Dan lain-lain
Hampir serupa dengan buku ini, pada
tahun 2002 sudah pernah diterbitkan sebuah
buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar,
M.Sc.Ed. dengan judul Pendidikan Untuk
Masyarakat Indonesia Baru, yang isinya berupa
bunga rampai dari beberapa orang kontributor
yang terarah pada paradigma nasional di
bidang pendidikan. Beberapa hal yang diusung
di dalam buku karya Prof. Dr. Soedijarto, M.A.,
juga dibahas di dalam buku bunga rampai ini,
diantaranya masalah otonomi pendidikan,
status dan peran guru yang dikaitkan dengan
kualitas pendidikan, demokrasitisasi dan
desentralisasi pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan dan lain-lain. Kedua buku
ini tentu saja masing-masing memiliki kelebihan
ataupun kekurangannya, buku karya Prof. Dr.
H.A.R. Tilaar memiliki kekuatan di dalam
mengusung permasalahan pendidikan dari
berbagai sudut pandang beberapa pakar,
sedangkan pada buku karya Prof. Dr. Soedijarto,
lebih kepada pandangan intelektual dan
pengalaman diri Prof. Dr. Soedijarto di dalam
melihat dan memberikan alternatif solusi atas
permasalahan pendidikan.
Dengan membaca kedua buku ini maka kita
akan mendapatkan suatu gambar yang semakin
jelas dan utuh berkaitan dengan berbagai
persoalan pendidikan dari persoalan pendidikan fundamental sampai kepada persoalan
pendidikan praktis.
Baik buku dengan judul Landasan dan
Arah Pendidikan Nasional yang ditulis oleh Prof.
Dr. Soedijarto, M.A dan buku dengan judul
Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru
yang ditulis oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed.
keduanya mencerminkan kegelisahan dan
semangat dalam bentuk buah pemikiran, saran
serta kritik yang membangun dalam memajukan
pendidikan Indonesia dan mentransformasi
pendidikan di Indonesia menjadi semakin baik
yang semakin dapat menghadapi globalisasi
dengan mutu pendidikan yang menghasilkan
sumber daya manusia Indonesia yang andal dan
berkarakter nasional.
Betapa banyaknya tantangan dan tugas
yang harus kita tanggapi dan responi bersama
pada saat ini, terutama tantangan di bidang
pendidikan yang semakin mutakhir dan
semakin menuntut kualitas.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
109
PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU
Profil
Profil BPK PENABUR INDRAMAYU
Sudarno*)
Sejarah Singkat
PK PENABUR Indramayu berdiri pada
bulan Juni 1960. Jenjang sekolah yang
dibuka waktu itu adalah TK, SD dan
SMP. Persiapan yang dilakukan secara
sederhana. Setelah tersedia fasilitas seadanya,
dimulailah pendaftaran murid baru Tahun
Pelajaran 1960 untuk jenjang TK, SD, dan SMP.
Pembukaan secara resmi dilaksanakan pada
hari Senin 1 Agustus 1960 dengan upacara
sederhana. Pertama kali dimulainya kegiatan
belajar mengajar dengan perolehan murid baru
berdasarkan jenjang pendidikan adalah:
B
Tabel 1: Jumlah Siswa TK,
SD, SMP Tahun 1960
Jenjang
TK K
SD
SMP
Kelas
Jumlah
Siswa
-
20
1
9
2
6
3
5
4
5
5
8
6
5
1
25
*) Guru SDK BPK PENABUR Indramayu
110
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Karena keterbatasan ruang belajar
mengajar, terpaksa murid TK digabung menjadi
satu ruangan dengan murid kelas 1 SD, kelas 2
SD digabung dengan kelas 3 SD, kelas 4 SD
digabung dengan kelas 5 SD, dan siswa kelas 6
SD di ruang konsistori GKI Indramayu pada
waktu itu. Sedangkan kelas 1 SMP menempati
sebuah gudang. Kepala Sekolah ketiga jenjang
pendidikan tersebut adalah guru BPK
PENABUR Cirebon. Mulai tahun 1961, TK, SD,
dan SMP menempati gedung kelas HCZS.
Sebelum dipergunakan untuk kegiatan sekolah,
gedung HCZS dipakai untuk asrama tentara.
Berkat usaha Pengurus BPK PENABUR, gedung
tersebut dapat digunakan untuk kegiatan
pendidikan. Kesadaran akan kebersamaan di
antara guru, orang tua murid, jemaat GKI
Indramayu dan semua elemen di lingkungan
BPK PENABUR muncul bersama-sama dan
bahu membahu bekerja kelas untuk kemajuan
sekolah BPK PENABUR Indramayu. Sejalan
dengan berjalannya waktu perubahan pun mulai
nampak, gedung dan fasilitas sekolah semakin
lengkap, prestasi mulai diraih oleh siswa-siswi
BPK PENABUR Indramayu.
Pada tanggal 2 Mei 1992, mulai dibangun
sebuah gedung berlantai dua untuk kepentingan
TK dan SMP. Lantai pertama untuk TK dan lantai
kedua untuk SMP. Pada tahun 1996 dibangun
sebuah gedung lagi untuk SMA, tetapi
dikarenakan pertimbangan biaya operasional
yang terlalu besar maka pendiriannya
dibatalkan. Saat ini gedung yang direncanakan
untuk SMA tersebut digunakan untuk kegiatan
belajar mengajar SMP.
PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU
127
140
120
117 116
100
67
80
60
40
63
66
45
30
2005/2006
2006/2007
2008/2009
31
20
0
TK
SD
SMP
Gambar: Perkembangan Siswa Tahun 2005-2009
Data perkembangan jumlah siswa di atas
memperlihatkan kecenderungan naik turun, dan
terlihat juga bahwa jumlah siswa secara
keseluruhan memang minim. Penyebab sulit
berkembang jumlah siswa di BPK PENABUR
Indramayu adalah faktor-faktor berikut.
a. Agama, mayoritas penduduk di Kabupaten
Indramayu beragama Islam.
b. Biaya, ada anggapan bahwa sekolah BPK
PENABUR sekolah mahal.
c. Sekolah negeri melalui program bantuan
baik dari Pemerintah Daerah maupun
Pemerintah Pusat seperti misalnya BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) dan BOP
(Bantuan Operasional Pendidikan), saat ini
banyak yang membebaskan segala biaya
sekolah untuk siswanya.
d. Sekolah unggulan, banyak bermunculan
baik SD maupun SMP yang didirikan oleh
pemerintah daerah setempat.
Namun demikian, baik pengurus, guru dan
karyawan tidak menjadi patah semangat, dan
terus berusaha keras mencari jalan keluar agar
tetap dapat bertahan menghadapi setiap
permasalahan. Adapun langkah-langkah nyata
yang telah diupayakan antara lain ialah sebagai
berikut.
1. Di tingkat Pengurus BPK PENABUR
Indramayu.
a. Memperbaiki citra sekolah.
b. Menyelenggarakan pembinaan bagi
guru dan karyawan untuk meningkatkan etos kerja dan kompetisi kerja.
c. Memperbaiki dan melengkapi sarana
prasarana.
2. Di tingkat sekolah.
a. Mengikuti perlombaan baik di bidang
akademik maupun non akademik.
b. Berprestasi baik di bidang akademik
maupun non akademik.
c. Usaha penjaringan siswa melalui try
out untuk masuk SMP.
d. Mengadakan lomba tingkat TK se
Kecamatan Indramayu untuk menjaring
siswa SD.
e. Mengadakan lomba membaca dan
berhitung (calistung) tingkat SD se
Kecamatan Indramayu.
f. Mengadakan lomba pentas seni se
Kecamatan Indramayu.
g. Pencarian siswa baru dari rumah ke rumah di wilayah Kabupaten Indramayu
dan di luar Kabupaten Indramayu.
h. Tiap tahun mengadakan study tour.
i. Menambah jam pelajaran.
3. Sarana Penunjang Kegiatan Belajar
Mengajar.
Melengkapi sarana pendidikan:
a. Laboratorium Komputer.
b. Laboratorium IPA
c. Ruang Multimedia
d. Ruang UKS
e. Ruang Perpustakaan
f. Lapangan Olah Raga.
g. Kelengkapan Alat Elektronik (Televisi,
LCD Projector, Laptop, Handycam, DVD,
dll).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
111
PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU
Dengan usaha keras sekolah dan didukung
oleh sarana dan prasarana pendidikan yang
tersedia, baik TK, SD, maupun SMP BPK
PENABUR Indramayu dapat meraih berbagai
prestasi di tingkat kecamatan, kabupaten dan
propinsi sebagimana terlibat dalam tabel berikut.
Tebel 2: Prestasi Jenjang TK
Tahun 2006-2008
Jenis Lomba
Jenis Lomba
Tingkat
Juara
Festival Musik
Propinsi
II
Membaca, Menulis dan
Berhitung.
Kabupaten
I
Siswa Berprestasi
Kabupaten
II
Renang Gaya Bebas Putra
Kabupaten
I
Renang Gaya Bebas Putri
Kabupaten
I
Tingkat
Juara
Menyanyi
Kecamatan
I
Membaca Syair
Kecamatan
I
Renang Gaya Kupu-kupu
100 m
Kabupaten
I
Mewarnai
Kecamatan
II
Renang Estafet Gaya Bebas
Kabupaten
I
Mewarnai
Kecamatan
II
Mewarnai
Kabupaten
I
Paduan Suara
Kecamatan
II
Paduan Suara
Kecamatan
Paduan Suara
Kecamatan
II
Seni Lukis
Kecamatan
II
Menyanyi
Kecamatan
III
Teknologi Sederhana
Kecamatan
III
Mewarnai
Kabupaten
II
Membaca Cepat
Kecamatan
I
Melukis
Kabupaten
II
Lomba Calistung
Kecamatan
II
Mewarnai
Kecamatan
I
Siswa Berprestasi
Kabupaten
II
Mewarnai
Kecamatan
I
MIPA
Kabupaten
I
Komputer
Kabupaten
I
Festival Musik
Kabupaten
I
Lomba Cerdas Cermat
Kabupaten
I
Karate
Kabupaten
I
Tabel 4 : Prestasi Jenjang SMP
Tahun 2006-2008
Jenis Lomba
112
Tabel 3: Prestasi Jenjang SD Tahun 2006-2008
Tingkat
Juara
V ocal Group
Kabupaten
II
Menyanyi Solo
Kecamatan
I
Seni Musik.
Kabupaten
II
Calistung
Kecamatan
I
Seni Musik
Kecamatan
II
Komputer
Kecamatan
II
Tenis Meja
Kabupaten
II
Musik Pianika
Kecamatan
I
Mengarang
Kabupaten
II
MIPA
Kecamatan
I
Membaca Puisi Putri
Kabupaten
III
Lomba Cerdas Cermat
Kecamatan
II
Basket Putri
Kabupaten
II
Lomba Perpustakaan
Kabupaten
I
Basket Putra
Kabupaten
II
Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS)
Kabupaten
III
Matematika Pasiad IV
Propinsi
IV
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU
Dinamika kepemimpinan di sekolah terlihat dari
pergantian kepala sekolah dan ketua yayasan
yang tentunya diharapkan memberikan
pengaruh positif terhadap kemujuan pendidikan
di masing-masing sekolah. Kepala-Kepala
Sekolah yang memimpin TK, SD, dan SMP serta
Ketua Yayasan mulai tahun 1960 sampai
sekarang terlihat pada tabel berikut.
Tabel 5: Kepala Sekolah Tahun 1960-sekarang
Jenjang
TK K
SDK
SMPK
Nama
Masa Jabatan
Farida S
1 9 6 0 - 1 9 88
Tinawati I. Wijaya
1988 - Sekarang
Sutisna Parikesit
1960 - 1961
Suwahyo T.D
1962 - 1968
Lina Kristiani
1969 - 1995
Subani HS
1996 - 2005
E. Suparjo
2005 - Sekarang
Hargosoemitro
1960 - 1997
Eko Takariyanto
1997 - 2005
Hariman Hanugraha
2005 - Sekarang
Penutup
Sungguhpun BPK PENABUR Indramayu
mengalami perkembangan yang cukup
menggembirakan, berbagai upaya masih perlu
dilakukan dimasa yang akan datang. Langkah
ke depan yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut.
a. Meningkatkan penerimaan melalui
kenaikan SPP.
b. Meningkatkan kuantitas siswa baru.
c. Penyegaran bagi guru dan karyawan
melalui pembinaan dan evaluasi kerja.
d. Mengagendakan pertemuan antara guru
dan pengurus secara rutin.
e. Membenahi citra sekolah.
f. Menjalin kerjasama dengan orang tua murid
untuk peningkatan sekolah.
Dalam era kompetisi mutu pendidikan dan
pelayanan dewasa ini, BPK PENABUR Indramayu dituntut berjuang tiada henti dengan tetap
memberdayakan nilai-nilai Kristiani yang
dianutnya. Kerja keras dan berbagai inovasi
serta terobosan perlu ditempuh agar tetap bisa
berkembang, bersaing, berkolaborasi dengan
pihak-pihak lain tanpa kehilangan indentitas
diri sebagai lembaga pendidikan Kristen yang
unggul.
Tabel 6: Ketua Yayasan Tahun 1960-sekarang
Nama
Masa Jabatan
Y ap T e k K i n
1960 - 196 3
Odang Tjasmita
1963 - 196 6
Tanudi
1966 - 197 0
Odang Tjasmita
1970 - 197 7
Rahman S
1977 - 198 2
Heliana S
1982 - 198 6
Harmen Mundung
1986 - 199 6
Suharlin Suyanto
1996 - 200 6
Prajitno
2006- Sekarang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
113
Keterangan Mengenai Penulis
BP. Sitepu, Prof. Dr.,
M.A.,
lahir di Berastepu, Sumatra Utara, Juni 1948. Menyelesaikan
pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1975), Jurusan Pengajaran Bahasa
Inggris, S2 bidang perencanaan pendidikan di Macquarie University,
Sydney, Australia, (1979) dan S3 di bidang Teknologi Pendidikan di
IKIP Negeri Jakarta (1994). Sebelum menjadi tenaga pengajar tetap di
Universitas Negeri Jakarta dengan jabatan Lektor Kepala (2001),
bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, yang telah berubah menjadi Departemen Pendidikan
Nasional, (1976-2001). Pada tahun 2007 diangkat sebagai Guru Besar
Tetap Universitas Negeri Jakarta di bidang pengembangan sumber
belajar.
David Wijaya,
lahir di Jakarta, Oktober 1984. Menyelesaikan pendidikan S1
Manajemen di FE UKRIDA Jakarta dengan konsentrasi Manajemen
Keuangan tahun 2006 sebagai lulusan terbaik. Sambil menyelesaikan
S1, menjadi asisten laboratorium di FE UKRIDA Jakarta (2006–2007).
Sejak tahun 2007 sampai sekarang menjadi dosen di FE UKRIDA
Jakarta. Selain itu, pernah menjadi Koordinator Laboratorium
Manajemen Keuangan Lanjutan di FE UKRIDA Jakarta (2007). Di
samping memiliki pengalaman sebagai staf pengajar di FE UKRIDA
Jakarta, sampai saat ini masih aktif menulis karya ilmiah serta Modul
Laboratorium Manajemen di FE UKRIDA Jakarta.
Dinah Tanumihardja,
lahir di Tuban, April 1954. Menyelesaikan pendidikan S1 Bahasa
Inggris dari IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) dan S2
Teknologi Pendidikan dari Univeritas Pelita Harapan Jakarta.
Pengalaman kerja, tahun 1976 – 1985, Kepala Lab. Bahasa Inggris
BPK PENABUR Jakarta, tahun 1988 – 1992, Guru di SMEA BPK
PENABUR Jakarta, tahun 1993 – 2004, Kepala SMEA BPK PENABUR
Jakarta dan sejak tahun 2004 - sekarang sebagai Kepala Bagian Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta
Edwita, Dra., M.Pd.,
lahir di Bukittinggi, Juni 1957. Saat ini menjabat sebagai sekretaris
Koordinator MKDK Universitas Negeri Jakarta.
Gusti Yarmi, Dra., M.Pd.,
lahir di Padang, Agustus 1967. Saat ini sebagai dosen Universitas
Negeri Jakarta.
Handy Susanto, S.Psi.,
lahir di Tasikmalaya, Februari 1981. Lulusan S1 Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha Bandung, tahun 2003. Tahun 2002–
2003 menjadi Asisten Dosen Fakultas Psikologi, dan tahun 2003–
2004 menjadi dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi, Universitas
Kristen Maranatha. Tahun 2003–2004, Guru Bimbingan Konseling
SMA 1 BPK PENABUR Bandung. Tahun 2004–2006 di SMP BPK
PENABUR Tasikmalaya, sebagai Guru Bimbingan Konseling.
Hastin S. M., S. Pd.,
lahir di Demak, Pebruari 1971, menyelesaikan program S1
Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Kristen Indonesia (2000).
Mengajar di SMPK Vianney, Cengkareng 1995-2000. Guru Bahasa
Inggris di SMP 1 BPK PENABUR Jakarta 2000-sekarang. Pembina
114
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
Keterangan Mengenai Penulis
Ekskur English Club dan English Competition tingkat DKI. Melatih
Elizabeth Mailoa memenangkan Speech Contest juara 2 tingkat
Kecamatan dan Kodya pada 2007. Merupakan nominator lomba
penulisan artikel guru tingkat SMPK dalam rangka “Tahun Ilmiah
BPK PENABUR Jakarta 2002-2003.
Kristina Untari Setiawan, lahir di Semarang, Desember 1964. Menyelesaikan pendidikan di
Universitas Kristen Indonesia jurusan Sastra Inggris (1988). Tahun
1989-1990 mengikuti International Visitor Exchange Program (IVEP),
sebagai asisten guru di Kraybill Mennonite School selama 1 tahun di
Pennsylvania-USA, bekerja di School for International Training (SIT)
selama 3 tahun. Dan sejak 1993 - sekarang, bergabung dengan
International Training Center (INTRACT)
Muksin Wijaya, M.Pd.,
M.M.,
lahir di Bandung, Juli 1971. Menyelesaikan Program Magister
Manajemen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung dengan
konsentrasi Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Program
Magister Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia dengan
Program Studi Pengembangan Kurikulum Konsentrasi Teknologi
Pendidikan. Sejak tahun 1994 menekuni dunia pendidikan sebagai
guru di beberapa SMP dan SMA swasta Kristen dan Katolik. Menulis
buku komputer yang diterbitkan oleh Gramedia–Elexmedia dan
Penerbit ANDI Yogyakarta. Saat ini selain dosen luar biasa di
Sekolah Tinggi Informatika dan Manajemen di Bandung, juga
sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK
PENABUR Bandung. Alamat e-mail: [email protected]
Rommel K. Sitanggang, S. S. lahir di Medan, Sumatra Utara, Nopember 1980. Menyelesaikan
program S1 Sastra Inggris jurusan bahasa Inggris di Universitas
Kristen Indonesia (2004). Menjadi tenaga pengajar bahasa Inggris
SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta pada tahun 2007 sampai sekarang
dan dosen bahasa Inggris Bina Sarana Informatika (BSI) pada tahun
2007-sekarang.
Roswati, Dra., M.Pd.,
lahir di Bukittinggi, Juni 1956. Sejak tahun 1990-sekarang sebagai
dosen PGSD Universitas Negeri Jakarta.
Soedijarto, Prof., Dr. MA., lahir di Desa Pagergunung, Pemalang, Juli 1938. Ketua Umum ISPI,
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Anggota DRN, Ketua
CINAPS, Ketua Basnas, dan Penasehat PB PGRI Pendidikan
Nasional.
Sudarno,
lahir di Sragen, Mei 1963. Mengajar di SDK BPK PENABUR
Indramayu sejak 1 Agustus 1982- sekarang. Tamat SPGK Surakarta
Jurusan SD spesialisasi IPA/Matematika (1982). Menyelesaikan D2
PGSD UT (2002) dan saat ini sebagai mahasiswa semester X
Universitas Terbuka.
Theresia K. Brahim, Prof. lahir di Jakarta, September 1952. Memperoleh gelar Doktor
Dr.,
Pendidikan dari IKIP Jakarta tahun 1992. Pernah menjabat sebagai
Kepala Bagian Litbang BPK PENABUR Jakarta, Sekretaris Umum
MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen), Kepala Litbang Sinode
GKI Wilayah Jabar. Saat ini bertugas sebagai guru besar di PGSD dan
Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta serta beberapa universitas
swasta di Jakarta.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008
115
Download