Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi dan penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Dra. Kristinawati Susatio, M.M. Pemimpin Redaksi Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si. Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M. Dra. Mulyani Prof. Dr. Theresia K. Brahim Dra. Vitriyani P., M.Pd. Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 http://www.bpkpenabur.or.id E-mail : [email protected] Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut. 1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk bahasa ilmiah populer. 2. Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain. 3. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas. Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10 point/spasi ganda. 4. Panjang naskah hasil penelitian + 4500 kata, sedangkan untuk opini, info, serta resensi buku + 2000 kata. 5. Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata. 6. Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar pustaka, dan keterangan mengenai penulis. 7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata. 9. Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar huruf tidak lebih kecil dari 6 point. 10. Naskah dikirim dalam bentuk CD/disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected] 11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis. 12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan. 13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi naskah. 14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau kebijakan BPK PENABUR. Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 11/Tahun ke-7/Desember 2008 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi i Pengantar Redaksi ii-v Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication at IPEKA’s Schools, Kristina Untari Setiawan, 1-8 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, Gusti Yarmi, 9-22 Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis, Hastin S. M, 23-30 Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran, Rommel K. Sitanggang, 31-36 M Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai Ukuran bagi Pendidikan yang Bermutu dan Implikasinya, Soedijarto, 37-41 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah, David Wijaya, 42-56 Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Theresia K. Brahim, 57-63 Evaluasi Program/Proyek (Pengertian, Fungsi, Jenis, dan Format Usulan), Roswati, 64-71 Membangun Citra Diri Guru yang Positif Melalui Pribadi Unggul Efektif, Edwita, 72-78 Pengembangan Sumber Belajar, B.P.Sitepu, 79-92 Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress), Handy Susanto, 93-99 Isu Mutakhir: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Menjawab Tantangan Pengangguran dan Entreneurship, Dinah Tanumihardja, 100-104 Resensi Buku: Arah dan Landasan Pendidikan Nasional Kita, Muksin Wijaya, 105-109 Profil BPK PENABUR Indramayu, Sudarno, 110-113 Keterangan Mengenai Penulis, 114-115 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 i Pengantar Redaksi endidikan pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada peserta didik tidak saja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidupnya sehingga lebih maju dan lebih beradab dalam berpikir dan berperilaku. Untuk dapat mencapai kemampuan yang demikian, pada awalnya para ahli pendidikan berpikir peserta didik perlu memiliki dua pengetahuan dasar yakni kemampuan baca-tulis (literacy) dan kemampuan berhitung (numeracy), yang kemudian diakronimkan dengan calistung. Oleh karena manusia hidup dalam alam dan perlu mengetahui sifat-sifat dan perilaku alam serta dapat hidup dengan mendayagunakan alam untuk meningkatkan taraf hidupnya, pengetahuan dasar itu kemudian dikembangkan menjadi kemampuan dalam bahasa, berhitung/matematika, dan sain. Ketiga pengetahuan dasar itu diajarkan sedini mungkin sejak peserta didik mengikuti pendidikan formal. Penguasaan atas ketiga pengetahuan itu merupakan dasar untuk mempelajari, menguasai, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan lainnya. Hal ini terlihat juga dari kurikulum pendidikkan yang mencantumkan ketiga mata pelajaran/bidang studi itu di pendidikan dasar dan menengah. Dalam penyelenggaraan ujian nasional di Indonesia, bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan matematika dijadikan mata pelajaran/ bidang studi yang diprioritaskan diujikan di SD, SMP, dan SMA. Akan tetapi di berbagai kesempatan dan tulisan, kemampuan dasar itu disebut juga dengan keterampilan dasar untuk hidup atau dikenal dengan istilah life skills. Keterampilan dasar itu termasuk kemampuan (1) membaca, (2) menulis, (3) mendengar, (4) menutur, (5) menghitung, (6) mengamati, (7) mengkhayal, dan (8) menghayati. Sementara itu dari tuntutan lapangan kerja, kemampuan dasar dikelompokkan menjadi (1) keterampilan dasar (basic skills) termasuk membaca, menulis, mendengar, menutur, dan berhitung; (2) keterampilan berpikir (thinking skills) termasuk memecahkan masalah, berpikir kreatif, berimaginasi, dan menalar; dan (3) keterampilan yang berkaitan dengan kepribadian (personal quality) termasuk berinteraksi dengan orang lain, pengendalian diri, kejujuran, serta kesalehan. Dari berbagai pengelompokan kemampuan dasar yang dikemukakan, terlihat bahwa ketiga pengetahuan dasar yang disebutkan dalam awal tulisan ini merupakan inti dari berbagai kemampuan. Di samping itu dalam masing-masing kategori terlihat bahwa pengetahuan bahasa disebutkan pada urutan awal. Hal ini menunjukkan kemampuan berbahasa memegang peranan yang penting untuk dapat menguasai kemampuan dasar lainnya. Secara singkat, bahasa dapat diartikan sebagai sarana komunikasi yang dipergunakan oleh manusia untuk menyampaikan pikiran/gagasan dan perasaannya kepada orang lain. Manusia berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan dasar utama dalam menyampaikan P ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 dan menerima informasi dari pihak lain. Untuk dapat menggunakan bahasa dengan baik diperlukan kemampuan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian melek aksara/huruf merupakan bagian dari kemampuan berbahasa. Sedangkan melek angka merupakan bagian kemampuan berhitung atau matematika. Kemampuan mendengar dan berbicara dalam bahasa ibu berkembang secara alamiah sejak anak lahir. Kemampuan berbahasa secara lisan selaras dengan perkembangan kehidupan anak dalam keluarga dan masyarakat. Ketika masuk ke pendidikan dasar, ia diberikan kemampuan membaca dan menulis. Di sekolah keempat kemampuan dasar berbahasa itu dikembangkan secara bersamaan dan terus ditingkatkan sampai ke pendidikan tinggi. Lamanya peserta didik mempelajari bahasa menunjukkan, penguasaan bahasa dianggap sebagai pengetahuan dasar yang perlu terus menerus dikembangkan. Sungguhpun demikian, dari berbagai fenomena terlihat kemampuan berbahasa bangsa Indonesia masih belum seperti diharapkan. Kemampuan berbahasa yang dimaksud tentu bukan hanya terbatas pada keterampilan berkomunikasi secara lisan dalam kehidupan sehari-hari (lingua franca), tetapi mencakup kemampuan mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Mendengar dalam arti dapat menangkap dan memahami secara cepat dan tepat pikiran atau gagasan orang lain yang disampaikan secara lisan. Berbicara dalam arti dapat menyusun dan menyampaikan secara lisan gagasan, pikiran, dan perasaan secara teratur/runtut, mudah dimengerti, dan menarik bagi pendengar. Membaca dalam arti dapat memperoleh secara cepat dan tepat pikiran atau gagasan orang lain yang disampaikan dalam bahasa ragam tulisan. Menulis dalam arti mampu menyampaikan gagasan, pikiran, atau emosinya dalam bahasa ragam tulisan yang baik dan benar sehingga mudah dipahami serta menarik untuk dibaca. Salah satu kelemahan yang dihadapi peserta didik di semua jenjang dan jenis pendidikan ialah kemampuan berbahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia apalagi dalam bahasa asing. Kemampuan berbahasa ini termasuk penguasaan kaidah-kaidah bahasa mulai dari pemilihan kata, penyusunan kalimat, pengucapan kata (untuk bahasa ragam lisan), dan pengunaan ejaan (dalam bahasa ragam tulisan). Seperti dikemukakan sebelumnya fungsi bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan emosi. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa seseorang juga dipengaruhi oleh kemampuan intelektual dan emosionalnya. Kelemahan berbahasa ini mulai terjadi pada kemampuan menerima dan memberikan informasi secara cepat dan tepat. Kelemahan mendengar (listening comprehension) dengan baik terlihat pada kemampuan menyimak informasi yang disampaikan guru secara lisan dalam proses pembelajaran. Hal ini lebih terlihat dalam menyimak informasi dalam bahasa yang merupakan bahasa kedua bagi peserta didik. Di banyak tempat, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi peserta didik, karena bahasa yang pertama dia ketahui adalah bahasa ibunya (bahasa daerah). Apa lagi kalau informasi itu disampaikan dalam bahasa asing (misalnya dalam bahasa Inggris), kemampuan menyimak peserta didik lebih rendah lagi. Dengan demikian kemampuan mendengar itu perlu dilatih misalnya dengan menuturkan kembali informasi yang didengarnya Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 iii atau membuat ringkasan. Kemampuan berbicara dapat dilihat bagaimana peserta didik menuturkan pikiran, gagasan, dan perasaannya secara lisan. Kemampuan ini dapat juga dilihat dalam berinteraksi dengan orang lain dalam diskusi. Sering terjadi kurang aktifnya peserta didik di dalam kelas untuk bertanya atau memberikan pendapat karena terkendala oleh kemampuan berbahasa yang kurang. Keadaan ini juga terlihat pada diskusi atau seminar yang dihadiri oleh banyak peserta tetapi yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan relatif sedikit. Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca terkait dengan kemampuan membaca secara tersirat dan tersurat. Secara tersurat kemampuan ini dipengaruhi oleh kemampuan mengenali dan memahami aksara yang dipergunakan serta kaidah-kaidah bahasa ragam tulisan. Sementara itu, pemahaman secara tersirat berkaitan dengan pengetahuan pembaca atas makna informasi yang dipengaruhi oleh wawasan pengetahuan pembaca. Semakin luas wawasannya semakin mudah ia dapat memahami makna yang tersirat dalam bacaan itu. Motivasi dan kebiasaan membaca merupakan masalah lain yang juga masih berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Semakin termotivasi dan terbiasa membaca, keterampilan dan kemahiran membaca akan semakin berkembang dengan sendirinya. Kemampuan membaca ini merupakan awal munculnya motivasi dan terbentuknya kebiasaan membaca pada diri seseorang. Apabila kegiatan membaca itu menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat, maka terbentuklah masyarakat gemar membaca yang akan berkembang menjadi masyarakat belajar yang merupakan ciri masyarakat maju. Keunggulan suatu bangsa dapat dilihat antara lain dari banyaknya produk intelektual yang disebarluaskan melalui media cetak atau elektronik. Akan tetapi karena terbiasa dengan tradisi lisan dan kurang terlatihnya menulis, kemampuan menulis bangsa Indonesia cukup memprihatinkan dibandingkan dengan bangsabangsa lain walaupun masih di kawasan Asia Tenggara. Sebagai contoh terlihat dari karya tulis dalam bentuk buku. Jumlah buku baru yang terbit di Indonesia masih berkisar 6.000 judul, sangat jauh tertinggal dari Malaysia yang sudah mencapai 15.000 judul. Di perguruan tinggi terlihat kesulitan mahasiswa menyelesaikan studinya antara lain kekurangmampuan menulis karya ilmiah. Di dunia kerja terlihat cukup banyak karyawan kurang mampu menuangkan gagasan atau laporan secara tertulis, pada hal mereka mampu menyampaikannya secara verbal/lisan. Keadaan yang demikian dapat memunculkan kesan bahwa kelebihan konsultan asing adalah menulis gagasan atau laporan secara sistematis dan logis. Sedangkan dilihat dari kualitas gagasan sebenarnya tidak mengungguli kemampuan bangsa Indonesia. Berangkat dari pemikiran betapa pentingnya kemampuan berbahasa dalam mengembangkan diri individual dan masyarakat, terbitan Jurnal Pendidikan Penabur edisi ini mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan peserta didik melalui pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Sungguhpun sudah belajar bahasa di pendidikan dasar dan menengah, mengapa kemampuan menyimak dan menulis peserta iv Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 didik masih memprihatinkan? Apa yang salah dengan proses belajar dan membelajarkan di sekolah? Berbagai bertanyaan sejenis dapat muncul. Berkaitan dengan pembelajaran bahasa ini, berbagai wacana disajikan seperti pendekatan pembelajaran bahasa dan sastra di SD, inovasi pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan menulis, serta teknik membaca dalam proses pembelajaran. Di samping itu juga dilaporkan hasil penelitian tentang upaya peningkatan mutu pembelajaran bahasa Inggris di sekolah. Sungguhpun kemampuan berbahasa itu penting, keberhasilan pendidikan juga ditentukan oleh kemampuan lain serta secara makro ditentukan oleh penyelenggaraan pendidikan secara nasional yang masih tetap menjadi sorotan dan bahan diskusi. Dalam edisi ini, Prof. Soedijarto masih menyoal tentang pelaksanaan sistem pendidikan nasional berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003, termasuk dana penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya mencapai 20 % dari APBN dan APBD. Kondisi pendidikan nasional sekarang ini belum menjamin terwujudnya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan peningkatan serta pemerataan mutu pendidikan secara nasional. Dalam hingar bingar persoalan pendidikan, guru masih tetap menjadi tumpuan harapan yang dapat berperan secara profesional sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan. Guru dapat mengatasi beragam keterbatasan sarana, prasarana, dan dana penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu guru perlu dibekali dan memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran serta untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam hubungannya dengan kedudukan guru sebagai tenaga fungsional, dalam edisi ini diketengahkan pula wacana yang menarik untuk disimak. Dalam tumpuan harapan yang begitu besar terhadap guru, sedangkan jabatan itu sendiri belum menjamin kesejahteraannya, maka dapat saja menimbulkan kegalauan yang bisa berujung pada stres. Oleh karena itu guru atau siapa saja perlu secara dini mengetahui bagaimana mengelola stres tersebut sehingga bernilai positif sebagaimana dikemukakan dalam salah satu tulisan yang dimuat. Guru tetap juga diharapkan kreatif dalam mewujudkan pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan dengan memanfaatkan tidak hanya sumber-sumber belajar yang berteknologi tinggi, tetapi juga dengan mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber belajar yang sederhana dan berbasis lingkungan. Berbagai kiat dapat dilakukan oleh guru dan kepala sekolah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dengan mendayagunakan sumber belajar yang berbasis lingkungan. Walaupun hal ini bukan gagasan yang baru tapi tulisan yang berkaitan dengan belajar berbasis aneka sumber dalam terbitan ini dapat menggugah pendidik dan tenaga kependidikan mengembangkannya di sekolah. Masih terbatasnya karya tulis pendidik dan tenaga kependidikan BPK PENABUR yang diterbitkan dalam edisi ini merupakan salah satu gejala juga, perlunya meningkatkan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 v kemampuan menulis mereka. Oleh karena kemampuan menulis sangat dekat dengan kemampuan membaca, kemampuan dan kebiasaan membaca mereka juga nampaknya perlu dikembangkan. Semakin banyak membaca akan memberikan gagasan/ide untuk ditulis secara kreatif. Mudah-mudahan dalam edisi yang akan datang tulisan-tulisan pendidik dan tenaga kependidikan BPK PENABUR memenuhi Jurnal ini sehingga sekaligus menjadi contoh yang dapat diteladani oleh peserta didik BPK PENABUR. Sampai edisi berikutnya! vi Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication Penelitian Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication at IPEKA’s Schools Kristina Setiawan*) Abstrak ulisan ini memaparkan tentang usaha-usaha sekolah nasional meningkatkan kemampuan bahasa Inggris semua warga sekolahnya. Penelitian dilakukan di Sekolah IPEKA Pluit, Puri dan Sunter Jakarta. Responden meliputi pimpinan yayasan, kepala sekolah, guru dan karyawan serta siswa sekolah. Metode yang digunakan adalah wawancara yang dilakukan terhadap pimpinan yayasan (kabid SDM dan Pendidikan), kepala sekolah, guru, karyawan serta siswa dan observasi langsung proses belajar mengajar di kelas 8 SMPK IPEKA Pluit pada saat native speaker mengajar. Penelitian menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai oleh warga sekolah dalam usaha berkomunikasi dengan bahasa Inggris didasari oleh: 1) motivasi yang kuat. Motivasi ini terbentuk karena adanya kesadaran diri warga sekolah mengenai pentingnya bahasa Inggris khususnya dalam era global saat ini. Dengan motivasi yang kuat, hambatanhambatan yang ada dapat disingkirkan. 2) Hadirnya native speaker secara rutin di sekolah dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang lebih besar dan membangun kepercayaan diri untuk berbahasa Inggris secara benar dan lancar. 3) Pengontrolan kelas yang terdiri atas pendekatan guru kepada siswa dan pengelolaan disiplin siswa. Kiranya tulisan ini dapat menjadi referensi bagi sekolah-sekolah nasional untuk memacu warga belajarnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, karena kefasihan berbahasa asing bukanlah monopoli sekolah-sekolah bertaraf internasional saja. T Key words: Motivation, teaching approach, classroom control English as an international languange is very important as a means of communication in this global age. However, the learning achievement of a big number of the students does not reach the required standard. This research therefore, aimed at revealing the factors influencing The Efforts to Improve the English Communication at IPEKA’s Schools. The research employed adescriptive method research and was conducted at IPEKA Pluit, Puri and Sunter Jakarta. It describes the factors influencing the national school’s effort to improve the English communication skills. The result of this research : 1) motivation plays an important role in the participants’ willingness. 2) The native speaker’s presence on a regular basis at school is meant to give greater opportunities to communicate correctly and fluently. 3) Classroom controls: including teachers approach and maintaining dicipline. May this article be useful for national schools in the effort to develop the English communication skills. Introduction In this globalization era, English plays a very significant role, especially because of its status as the international language. When we master English, we can be sure to be able to take part actively in many national as well as international events. As one of the nations in the world, Indonesia is also affected by the influence of globalization. Therefore mastering the language is obligatory. However, it is sad to find that even in big cities, the use of English in a bigger portion is made *) Directur International Training Centre Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 1 Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication possible only in the national plus or international schools. Regular national schools, both private and public, face many challenges. English is taught only by the Indonesian English teachers, sometimes using Indonesian due to the students’ inadequate ability in English. On the other side, there are quite many Indonesian students who continue their study in nearby countries such as Malaysia and Singapore, because they believe that they can improve their English skills better there and they will be equipped to enter and compete in the global working environment. The opportunities to study abroad are available not only for students who have enough financial support. There are many scholarships offered by foreign universities for students who have excellent report and achievements. Some scholarships programs are even given to Senior High School students in grade 10 and 11. It means students may be able to study abroad before they finish high school. Besides that, we also see that there are many foreign universities in big cities as well as universities that have cooperation with private and public universities in Indonesia. In this globalization movement, developing countries are challenged to open themselves to develop their quality in all areas, among others in education. We can see that there are foreign universities that have a joint cooperation with Indonesian people. Some examples are: I E U, GS FAME, Swiss German Univerity, and INTI College. Some local universities also have a joint cooperation with overseas universities. They operate in Indonesia but the modules, curricula and some of the instructors come from the other countries, such as: UKRIDA and Curtin University in Australia. There are many advantages when we master English well. They are, among others: (1) the opportunity to study abroad, (2) the opportunity to participate in national and international events, and (3) the opportunity to get a better job in the country as well as in other countries. Statement of The Problem What factors influence to improve the comunicative English of IPEKA’s Schools? Objective of the research This research is meant to give a description about IPEKA School’s efforts to improve and increase the English communication skill for their school society. 2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Advantages of the research The result of this research is expected to : (1) present the basic essence of teaching a language to non English speakers and the meaning of communications in a classroom where English is still a foreign language, (2) give inputs to the management on how to continuously improve the quality of the Intra Program, (3) give inputs to the national schools how to increase the school people’s English communication ability, and (4) give inputs to the national school managements on the factors that must be forced in order to encourage the school society to be competent in speaking English actively and how to create conducive learning situations and to provide necessary resources so that the school people are willing and motivated to speak English. Theories and Framework There are three theories that are very important to consider related to language learning. They are : (1) motivation, (2) communication ability, and (3) teaching Approach and Class Control which include: teacher’s approach, discipline, facilitating and encouraging the students to speak English actively. Motivation To most people, the word “motivation” suggests energetic behavior directed toward some goal. Underlying this energetic behavior, there is some kind of a need, want or desire. The term “motivation” is also used as a synonym of productivity. A person is motivated if he is doing or exceeding what is expected of him (George H. Litwin and Robert Stringer, 1968). In Fight like a tiger win like a champion, Darmadi Darmawangsa and Imam Munadhi defined that the word “motivation” begins with “mo” and ends with the word “ion”. The combination of both becomes the word “motion”. On the other side, the word “motivation” can also be derived from two different words, that is “motive” (a reason to do something) and “action”. Therefore, it can be concluded that people who have the motivation will move and make actions to make their dreams come true (2006:117). Communication Ability Communication is the most vital aspect for every human being to understand himself, others and Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication his environment. Communication is known not only in the public relation activities. In fact, it has a very wide horizon, in the trading and education field as well as the in development of a nation. The ups and downs of the values of education and moral depends on the communication among the individuals that live in a specific community. Communication is derived from two Latin words “communio” or “common”. When we try to communicate, it means we try to share information, so that the sender and the receiver have the same understanding about the given message. Therefore, the essence of communication is finding and matching the receiver and sender of a specific message. Communication is considered effective if there is a balance, togetherness, same case and effort between the communicator and those who receive the information. Communication is not effective if the individuals are not in the same level. Teaching Approach A good teaching approach which can be taken into consideration must show a real result, that is the students learn written English and have the ability to speak actively. Because of that, the English teaching should focus on the participants (student centered) – the teacher has to cultivate the students’ interests so that they are willing to give their best effort to master the language they are learning. The students’ improvement in speaking and listening can be achieved by increasing the vocabularies and their understanding of a particular language. In her book Teaching English as A Second Language, Mary Finocchiaro said: “Motivation and interest are two crucial factors in language learning.” However, we find in many cases that the participants do not have personal interests and motivation to learn the language and, even though the lessons are delivered in a conducive situation, it doesn’t last long. When they go home, what they have learned at school has been forgotten. There fore it is very important for a teacher to ask the following questions : “What can I do to make the English teaching lively and enjoyable? And “Will a particular activity help make the students improve their communicative skills and develop their culture understanding? The next thing is the importance of planning a balanced program. A teacher has to facilitate the students to be involved in integrated activities. He/she has to ensure himself/herself that the activities will make the participants feel at ease. This brings a beneficial impact on how to teach effectively as well as for the students to hear directly from the native speaker of English. A systematic planning will broaden the participants’ horizon and involvement in acquiring the English language. Classroom Control There are three indicators in class control, which are as follows: 1. Teacher’s approach to the students A good teaching approach which can be taken into consideration must show a real result, that is that the students have the ability to speak actively. Because of that, the English teaching should focus on the participants (student centered) – the teacher has to cultivate the students’ interests so that they are willing to give their best effort to master the language they are learning. The students’ improvement in speaking and listening can be achieved by increasing the vocabularies and their understanding of a particular language. In her book Teaching English as A Second Language, Mary Finocchiaro says: “Motivation and interest are two crucial factors in language learning.” Therefore it is very important for a teacher to ask the following questions : “What can I do to make the English teaching lively and enjoyable? And “Will a particular activity help make the students improve their communicative skills and develop their culture understanding? The next thing is the importance of planning a balanced program. A teacher has to facilitate the students to be involved in integrated activities. He has to ensure himself that the activities he does will make the participants feel at ease. This brings a beneficial impact on how to teach effectively as well as for the students to hear directly from the native speaker of English. A systematic planning will broaden the participants’ horizon and involvement in acquiring the English language. 2. Maintaining Discipline In his book Teaching English As A Foreign Language,Bambang Setijadi explains that a Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 3 Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication language teacher plays many roles in Research Methodology carrying out his/her duty. As a facilitator : he/she becomes a model whom the students can imitate. As an advisor, he/she responds 1. Object of The Research The research was conduated done at IPEKA to the problems that the students face without (Iman, Pengharapan dan Kasih) Christian making them feel judged and help them Schools in Puri, Pluit and Sunter, as from achieve what they want to learn. As an obserJuly through September 2008. ver, a language teacher gives corrections toward the students’ mistakes in using the 2. Methodology language and asks them to improve them- The methodology is Descriptive Quantitative. selves. As the source of knowledge and This approach is used for the following reasons: direction, a language teacher establishes a 1. The researcher wants to know the actual position of dominance over the learners in situation in the schools through the interselecting the materials to learn an how to view and observation activities. acquire them. As an organizer in the 2. Library research which can give the classroom, a language teacher maintains fundamental theories to support this discipline to the extent that an effective research, such as theories related to learning atmosphere is established. It can be done by English, communication ability, teaching approach and classroom management. involving the learners more effectively in the classroom activities that demand inter- 3. Documentation research which is given by IPEKA Foundation, that describes IPEKA’s student communication and co-operation vision and mission, the foundation’s efforts. The purpose of maintaining statutes and rules of association as well as discipline is that there is an effective learning its working plan. environment. Discipline can also be formed The writer collected data (relevant facts and by giving motivation and rules which are agreed in the beginning of the program and information) regarding the efforts of IPEKA repeated during the weekly lesson. If a leaders to motivate their school society to develop student comes to an interesting class with a their skills in the English communication. Upon receiving the data and information, neat, friendly, smart and wise language the writer analyzed systematically and teacher, then he/she will have a strong comprehensively in order that the data, facts and motivation to learn the language. information be useful to give a clear picture of 3. Facilitating and encouraging students to what was happening at IPEKA schools according speak English actively. to the time and situation when the research took Understanding the dynamism of commu- place. nication in the classroom is very important because what the students say and do greatly 3. Unit of Analysis influence what they learn. Therefore, a The interview was done toward : Representative language teacher as a facilitator must have a of the Board (2 people), school principals (3 dominant control in the realization of the people), teachers and staff (22 people), students communication process. He has to control ( 23 people). how his students use the language he teaches. “An Tabel 1: Research Variable, Sub Variable, and Source of Data o b v i o u s enthusiasm for No Research Variable Sub Variable Source of Data Number English and of people E n g l i s h 1. Motivation Description of IPEKA Board 2 learning is the motivation prerequisites for a positive 2. The ability to use Wishes School Principals 3 classroom Efforts English correctly atmosphere. and fluently Obstacles Teachers and staff 22 Interesting activities Source : data processing 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Students 23 Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication 4 Data Collection The writer used the qualitative method in collecting the data and information through field observation, interview, and documentation. Data Analysis Results of interview of the teachers and staff who participated in the English class at IPEKA Pluit, Sunter and Puri one as follows: A What are the things that make teachers and staff motivated to improve their skill in communicating in English? Based on the observation, we can see that these people are encouraged to speak English because of several reasons: 1. It is useful for their personal lives, in communication in the work force as well as in the social life among people. It has become a demand, in which in this globalization era, mastering English is one of the keys to be successful. 2. Mastering English enables us to adjust with the current needs, such as teaching in schools, teaching our children and to get more information. 3. There is a desire to go abroad. B Obstacles in the effort of developing the people’s ability in English : Result of the report : Obstacles Number of Participants Weak in grammar and vocabularies 8 p eop le Lack of confidence 5 p eop l e Lack of motivation 3 p eop l e Lack of opportunities to practice the language 4 p eop le Lack of need to use the language 3 p eop l e Lack of resources 5 p eop l e Interpretation: Out of ten participants eight said that their problem is with grammar and vocabularies and three of them said that they lack of motivation. This result is interesting as well as challenging. The participants are aware of their obstacles but their motivation to improve their English is stronger than the obstacles they face. In fact, they become enthusiastic in joining the English course. They are also encouraged to use English in their daily activities, both with their colleagues and students. Those who are not so motivated can be influenced by their other fellow teachers to attend the course and be involved in the activities. C What activities are effective to increase their communication skill? 1. Questions and Answers / Open Discussions 2. Grammar wrapped in the format of conversations. 3. Educative games 4. Memorizing bible verses and praying in English. 5. Watching movies and listening to English songs. Conclusion: The principals, teachers and administration staff have a strong motivation and self confidence. Even though they find obstacles in grammar and vocabularies, they still show a great effort to improve their English communication skills. This is also shown by their good attendance. This situation really helps to achieve the target of creating English Environment. Result of the interview of IPEKA Pluit and IPEKA Puri Junior High School students: A How beneficial is it to have a native speaker at school? 22 students answered that the native speaker program gives them many advantages, because: 1. They get an enjoyable learning environment. 2. They develop their self confidence. 3. They are used to communicating with a native speaker of English. 4. They know other cultures. 5. They are able to speak with good pronunciation and gradually to speak it fluently. 6. They are able to listen to the native speaker say the words in English. 7. They develop their vocabularies. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 5 Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication Only one student said that the presence of a native speaker does not really have any big difference. Interpretation: The majority of the students get valuable experiences in their English lesson because they are used to hear and speak with the native speaker. Their self confidence enables them to participate in various competitions and they are also able to express their thoughts and ideas in English. B C 6 What obstacles do the students have in their effort to improve their communication skill in English? 1. Students have limited vocabularies and they do not understand some expressions given by the native speaker. 2. The Native speaker speaks too fast. 3. Students feel shy or they cannot speak the language at all. 4. They are weak in grammar as well as in using the tenses in various situations. 5. They have no partner to chat in English. 6. Some students do not really like English. 7. Their daily environment (home, neighborhood) are not active in using English as a means of communication. The students have had native speakers since they enter Junior High. Therefore they find some obstacles in their English learning with the native speaker. The biggest concern is when students themselves do not really like English, because it can make them not willing to participate. This situation can spread a negative influence for other students. The other obstacles can be handled because as time goes, students get used to having a native speaker. What classroom activities are effective to improve their English communication ability? 1. Speaking in English at least during the lessons with the native speaker. 2. Group works 3. Learning English through games, songs, films. 4. Conducting speaking and listening quizzes so that the students and teachers are aware of their communication ability. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 5. Making a mini dictionary to record new words and their meaning. In order to avoid boredom, students are given various activities and assignments. These activities are focused mainly to develop the students’ speaking and listening skills. In a regular lesson, the time is spent mostly to speak individually or in groups. This way students get used to using English at least with the native speaker and in the long run, they don’t have any doubt to speak English with other people. Conclusion and Suggestions Conclusion Referring to the result of the research, the theories as well as the case and objective of the research, the writer therefore would like to make the following conclusion: 1. The strongest motivation comes from the inner heart – it does not depend on incentive/pleasure or pain/fear. Inner motivation will bring the best reasons why we do something. 2. The interviews and observation among the school principals, teachers and staff show that they have a strong inner motivation to improve their ability in speaking English. They actively and willingly follow the English training program provided by IPEKA foundation, in a cooperation with International Training Center (INTRACT). 3. A language, especially the foreign one, must be used continuously. If we do not use a certain language, we will forget it. We can find more opportunities of using the language when we know the benefits of mastering that language. 4. IPEKA Puri dan Pluit policy to facilitate their students with a native speaker program is a wise decision in the optimum effort of giving native speaker exposure to the students. The presence of a native speaker provides new knowledge and experience about a foreign language and culture. They will also be trained to produce good and exact pronunciation. Even though the time allocation is not suitable due to the expensive cost of the program, the native speaker’s attendance every week will still be able to Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication 5. give a positive impact, because this teaching learning process is like sowing seeds – they need time to grow before the sower yields a good harvest. The success of a learning process does not depend only on the native speakers who come regularly to school but also on a good facility provided by the school, such as: audio visual equipment in every classroom, a language laboratory to sharpen the listening skill, internet service, more English books in the library, competitions in English, et cetera. Suggestions Referring to the above conclusion, the writer would like to give the following suggestions: 1. The school management should maintain the level of inner motivation that IPEKA school people already have by providing fun activities, some can be done randomly, such as a book review competition in English. The winners will get extra incentive. They must do these activities now so that in 2012 all school people are still motivated to communicate in English, among teachers, staff and students. The foundation should make different levels between teachers who can speak English and those who cannot speak English. By doing so, teachers who are still weak are willing to improve their ability. 2. Because presenting a native speaker to teach at school is not cheap, while the need of speaking English has become compulsory in order to participate in the global world, therefore school managements should think of other ways of mastering the language. Even though they cannot afford having a native speaker at school, their school people can still develop their English communication ability. Some suggested activities are: a. Working together with other schools in the same region to have activities in English such as discussion, competitions (story telling, speech contest). b. Providing an English training for some teachers who have a good foundation of English. They are expected to train other teachers. After a certain period, all 3. 4. teachers can make an English Club that meets on a certain day every week. c. Providing audio visual and English CDs that teachers and students can use. d. Buying English books (new or second hand) to add the number of books in the library. e. Having a guest native speaker to visit the school. The principal can contact various organizations like the English speaking churches, social clubs like ANZA (Australia New Zealand Association), AWS (American Women Society), or through internet providers such as friendster, face book, et cetera. Maximizing the use of English every day by using it in our daily activities such as: answering phone calls, simple conversations like: greetings, introducing oneself and others, saying thank you, borrowing and returning things, reminding others, inviting or rejecting invitation, giving information, et cetera Reading English articles or English Bible and devotional books according to each person’s ability because through reading our vocabularies will increase. Bibliography Brindley, Susan (1994). Teaching english. London: The Open University Darmawangsa, Darmadi and Imam Munadhi (2006). Fight like a tiger win like a champion. Jakarta: Elexmedia Komputindo. Finocchiaro, Mary (2002). Teaching english as a second language. London: The British Institute Graddol, David (1997). The future of english. London: The British Council. Harmer, Jeremy (2002). The practice of english language teaching. England: Longman Haykin, Simon (1994). Communication systems. Canada: John Wiley & Sons Pte. Ltd. Johnson, Karen E. (1995). Understanding communication in second language classroom. New York: Cambridge University Press Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 7 Some Factors Influencing the Efforts to Improve the English Communication Littlewood, William (1981). Communicative language teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Litwin, George H. and Robert A. Stringer Jr. (1968). Motivation and organizational climate. Boston: Division of Research Owen, James L., et all (1976). Communication in organizations. United States of America : West Publishing Co. Riddell, David (2001). Teaching english as a foreign language. London: Hodder Headline Ltd. 8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Setiyadi, Bambang (2006). Teaching english as a foreign language. Jakarta: Penerbit Graha Ilmu Siahaan, S.M. (1991). Komunikasi, pemahaman dan penerapannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia Timpe, A. Dale (1987). Motivation of personnel. New York: Kend Publishing Inc. Wajnryb, Ruth (1992). Classroom observation tasks. Glasgow: Bell and Brain Ltd. Yukl, Gary (2002). Leadership in organizations. New Jersey: Prentiss Hall Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Opini Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Gusti Yarmi*) Abstrak ulisan ini berawal dari berbagai masalah yang dihadapi guru dalam membelajarkan siswanya sehingga memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Secara khusus dibahas pendekatan Whole Languange dan strategi pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, menulis serta apresiasi seni. Pendekatan dan strategi ini diharapkan dapat membantu guru membelajarkan siswanya khususnya di SD. T Kata kunci: Pendekatan Whole Language, kemampuan berbahasa, strategi pembelajaran, keterbacaan. As many teachers face some problems in teaching languange skills to the students, this article offers Whole Language approach and instructional strategies in teaching languange to the students of early grades in primary school. Havingconducted a through study, the writer believes that the approach and strategies discuccced in this article will help the teachers to solve the problems ini languange teaching. Pendahuluan Penyelenggaraan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) secara realitas dapat dikategorikan kedalam dua kelompok kelas, yaitu kelas-kelas awal dan kelas-kelas lanjutan/tinggi. Secara hukum berdasarkan ketentuan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, yang dimaksudkan dengan kelas awal/rendah adalah kelas 1 dan 2, sedangkan kelas tinggi adalah kelas 3 sampai kelas 6. Pengelompokan kelas tersebut, memiliki implikasi yang luas baik dalam tataran pertimbangan usia, muatan materi, maupun pendekatan pembelajarannya. Dalam kaitannya dengan muatan materi yang ada hubungannya dengan wacana, kecerdasan ada tiga “R” yaitu Reading, Writing, dan Arithmetics (Baca, Tulis, Hitung) yang merupakan tujuan utama kelas 1 dan 2 yang perlu dikuasai oleh peserta didik. Sesuai dengan judul, tulisan ini bertujuan untuk, membahas secara lebih mendalam dua model pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia yang biasanya dipergunakan di kelas-kelas awal SD yaitu, pertama, pendekatan Whole Language dan lima strategi pada kelaskelas awal di SD. Pembahasan Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang pendekatan Whole Language itu, ada baiknya dipelajari terlebih dahulu pengertian pendekatan itu sendiri. Pendekatan dalam bahasa Inggris disebut approach . Anthony (1965:5) menyatakan bahwa “... an approach is a set of correlative assumptions dealing with the nature of language and the nature of the language teaching and learning”. Definisi itu menunjukkan, pendekatan adalah *) Dosen Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 9 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD tingkat asumsi atau pendirian mengenai bahasa atau pembelajaran bahasa. Sifat suatu pendekatan adalah aksiomatik, yakni bersifat pasti tak perlu diragukan atau diuji lagi kebenarannya. Pendekatan menunjukkan suatu pandangan, suatu filsafat yang dipercayai, tetapi tidak selalu bisa dibuktikan. Bisa tidaknya suatu pendekatan disanggah hanya dapat dilakukan berdasarkan metode yang tumbuh dari pendekatan itu. Berikut ini adalah beberapa pendekatan yang dikenal dalam pembelajaran bahasa. sebuah penelitannya bahwa anak-anak terlibat secara aktif dalam memahami dunianya dan berusaha mencoba menjawab berbagai pertanyaan dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya (Goodman, 1989). Lebih lanjut Piaget menjelaskan bagaimana anak-anak memahami suatu konsep, ide, dan moral. Seorang anak tidak menunggu seseorang untuk menyalurkan pengetahuannya kepada mereka, tetapi mereka belajar melalui aktivitas dan keterlibatan mereka dengan objek-objek di luar dirinya dan menyusun kategori-kategori pemikiran mereka sendiri sementara mereka mengorganisasikan dunianya. Anak-anak berusaha untuk mengembangkan konsepkonsep mereka sendiri, yang kadangkala terlihat aneh menurut jalan pikiran orang dewasa. Para penganut Whole Language juga mengakui adanya perbedaan di antara siswa, dilihat dari segi budaya, sistem nilai, pengalaman, kebutuhan, minat, dan bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, juga bisa bersifat sosial sebagai refleksi dari suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial di mana siswa berada. Oleh karena itu, guru di kelas-kelas Whole Language menghargai perbedaan di antara siswa. Di kelas-kelas Whole Language siswa diberi kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari dan mendapat dukungan penuh dalam mengembangkan dan mencapai tujuan pembelajarannya. Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Pendekatan Whole Language Whole Language adalah cara berpikir mengenai bagaimana siswa belajar bahasa, baik lisan maupun bahasa tulis. Whole Language adalah dua kata yang telah mejadi simbol munculnya sebuah gebrakan yang mampu mengubah kurikulum seantero dunia. Dua kata yang telah memunculkan berbagai definisi dan juga reaksi yang hebat. Dua kata yang memiliki segudang makna (Watson, 1989). Bukan hanya para guru atau pendidik saja yang memperbincangkannya, para administrator dan para peneliti pun tiada henti mendiskusikannya, melakukan berbagai penelitian, dan menulis berbagai artikel untuk merumuskan konsep Whole Language. Oleh karena itu, wajarlah jika terdapat berbagai variasi pendapat tentang konsep Whole Language yang dicetuskan oleh para ahli selaras dengan bidangnya masing-masing. Namun dari berbagai variasi tentang konsep Whole Language tersebut pada dasarnya adalah ada beberapa karakteristik pokok yang mendasari pengembangan konsep Whole Language, seperti dikemukakan oleh Goodman (1986) dan Newman (1985) berikut. a. Whole Language adalah sebuah pandangan positif tentang siswa Konsep Whole Language beranjak dari pernyataan Dewey tentang hakikat siswa. Para penganut Whole Language berpendapat bahwa siswa memiliki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Siswa adalah pribadi yang kreatif, mampu menyusun, menciptakan dan menemukan pemecahan terhadap berbagai persoalan secara aktif jika mereka diberi kesempatan untuk melakukan aktivitas tersebut selaras dengan kemampuannya. Piaget dan kawankawannya telah membuktikan dalam 10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 b. Whole Language memberikan penegasan tentang peran guru dalam proses pembelajaran Para guru penganut Whole Language menerima pandangan bahwa guru sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada siswa dalam melaksanakan transaksi dengan dunia luar. Para guru adalah tenaga profesional yang memahami kondisi siswa, teori belajar, dan kegiatan belajar-mengajar. Mereka mendukung kegiatan pembelajaran tetapi mereka tidak bertindak sebagai pengontrol dalam pembelajaran. Mereka dengan tegas menolak definisi yang menyatakan bahwa guru adalah teknisi yang mengelola berbagai Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD macam teknologi untuk disajikan kepada siswa (Goodman, et. al, 1988). Meskipun para guru di kelas-kelas Whole Language adalah fasilitator yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para siswa, namun mereka tetap memiliki kewenangan dalam merencanakan mengorganisasikan dan memilih sumber-sumber belajar yang diperlukan oleh siswa. Di kelas-kelas Whole Language, guru mengajar dengan dan dari siswa. Guru tidak hanya menyampaikan pengetahuan kepada siswa tetapi juga bersama-sama dengan siswa memecahkan berbagai persoalan dan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan. Para guru penganut Whole Language menolak model-model pengajaran efektif yang bersifat membatasi karena mereka memandang bahwa mengajar jauh lebih kompleks dan komprehensif dari sekedar menerapkan model-model tertentu. b. Whole Language memandang bahasa sebagai pusat pembelajaran Keberadaan bahasa disebabkan oleh dua alasan. Pertama, karena manusia sanggup berpikir secara simbolik, mereka mempresentasikan sesuai dengan sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem semiotik. Kedua, karena manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunkasi dalam kehidupannya. Komuikasi sosial antar manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan dua alasan tersebut, jelaslah bahwa bahasa bagi manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Belajar bahasa sebagai “belajar bagaimana memaknai” karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial bahasa yang dihadirkannya (Halliday 1973). Selain itu, Halliday menambahkan bahwa baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, bahasa lisan maupun tulis akan lebih baik dan lebih mudah dipelajari dalam aktivitas berbahasa yang otentik dan dalam peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi bahasa yang sesungguhnya. Dengan alan ini maka Whole Language program menolak pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini berlaku juga untuk aktivitas membaca dan menulis permulaan.dalam Whole Language program, pemgajaran membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak terpisah tetapi terpadu. c. Whole Language menerapkan kurikulum ganda Halliday (1973) menyimpulkan bahwa sesungguhnya belajar melalui bahasa sementara kita belajar bahasa. Kesimpulan inilah yang mendasari penyusunan kurikulum Whole Language, yaitu kurikulum ganda, setiap aktivitas, pengalaman, atau unit memiliki kesempatan dalam pengembangan linguistik dan sekaligus kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada saat bersamaan pengetahuan dan konsep dikembangkan dan skema dibangun. Para guru penganut Whole Language menggunakan unit tematik untuk menerapkan penggunaan kurikulum ganda. Mereka bertindak sebagai “pengamat anak-anak”, memonitor perkembangan bahasa anakanak pada saat anak-anak atau siswa memecahkan persoalan atau menjawab berbagai pertanyaan. Sebenarnya ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan karena Whole Language hanya menegaskan kembali konsep “belajar sambil bekerja” yang dikemukakan oleh Dewey dan Metode Proyek yang dikembangkan oleh William Heard Kilpatrick (dalam Goodman, 1991). Namun, para penganut Whole Language memperbaruinya dengan keotentikan, pilihan siswa, dan kolaborasi merupakan hal-hal yang sangat mendasar. Dan istilah Whole Language itu sendiri memiliki dua makna, yakni tidak dapat dibagi/ tidak terpisah, dan terpadu. d. Perbedaan Pembelajaran Bahasa denganWhole Language De Carlo dalam (Dimyati, 1995) menunjukkan perbedaan Whole Language dan bukan Whole Language. Perbedaan tersebut dapat ditinjau dari segi dasar filosofi tentang anak dan bahasa, penelitian pendukung, bagaimana anak belajar bahasa, lingkungan kelas, perilaku guru, perilaku siswa. Dalam Whole Language siswa membutuhkan waktu lama untuk mempraktekkan membaca dan menulis melalui pengalaman yang menyenangkan. Mereka juga membutuhkan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 11 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD kebebasan berbuat salah dan belajar dari kesalahan Karena Whole Language guru mengerti bagaimana siswa belajar bahasa. Elemen-elemen dalam penerapan Whole Language adalah sebagai berikut. a. Siswa-siswa di kelas Whole Language 1. Maju melalui pengembangan langkah-langkah yang sesuai dengan perkembangan. 2. Dilibatkan dalam interaksi sosial sehari-hari. 3. Berbagai respon untuk pembelajaran mereka 4. Merasa nyaman “mencoba” dan mempraktekkan bacaan dan tulisan. 5. Menilai kemajuan mereka sebagai bagian alami dari semua pengalaman belajar. b. Guru–guru di kelas Whole Language memandang siswa berkemampuan: Guru menjadi pengamat, pembelajar dan bekerja sama selama mereka (guruguru) berinteraksi dengan siswa; guru mendemontrasikan model membaca dan menulis; guru melayani sebagai fasilitator untuk belajarnya siswa lain; dan guru memberikan siswa rincian, dan umpan balik positif. c. Intruksi di kelas Whole Language: Guru membaca dan menulis melalui pengalaman baca dan tulis yang otentik; guru berasumsi bahwa isi dan proses belajar sama pentingnya; guru menerapkan kegiatan kelas sebagai pusat pembelajaran yang menyenangkan; guru menyediakan bahan bacaan berkualitas untuk mendorong pengembangan literature; dan guru memiliki kekuasaan terhadap keberhasilan siswa melalui hak milik dan pilihan d. Kegiatan bahasa yang dilakukan dapat merupakan kegiatan lisan (menyimak dan berbicara) dan kegiatan tertulis (membaca dan menulis). e. Pembelajaran Whole Language Keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosa kata disajikan secara utuh dan bermakna. Pendekatan Whole Language didasari oleh paham constructivism yang menyatakan bahwa anak/siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh dan terpadu. Fungsi guru dalam kelas Whole 12 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 f. Language berubah dari desiminator informasi menjadi fasilitator. Komponen Whole Language Menurut Routman (1991) dan Frosse (1991) ada 8 komponen Whole Language yaitu: 1. Reading Aloud Reading Aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan suara keras dan intonasi yang baik sehingga setiap siswa dapat mendengarkan dan menikmati cerita. Manfaatnya adalah meningkatkan minat baca pada anak. 2. Journal Writing Bagi guru yang menerapkan pendekatan Whole Language menulis jurnal adalah komponen yang mudah diterapkan. Jurnal merupaka sarana yang aman bagi siswa untuk mengungkapkan perasaannya. 3. Sustained Silent Reading Sustained Silent Reading adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Biarkan siswa untuk memilih bacaan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut. 4. Shared Reading Shared Reading ini adalah kegiatan bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya. Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini yaitu :1) Guru membaca dan siswa mengikutinya. (untuk kelas rendah); 2) Guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku; 3) Siswa membaca bergiliran. 5. Guided Reading Guided Reading disebut juga membaca terbimbing, guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca membimbing penekanan bukan dalam membaca itu sendiri tetapi Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD 6. 7. 8. 9. lebih membaca dalam pemahaman. Dalam pembelajaran melalui Guided Reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guided Writing Guided Writing yaitu menulis terbimbing, guru berperan sebagai fasilitator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis dan menarik. Independent Reading Independent Reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, dimana siswa bekesempatan untuk menentukan sendiri materi yang akan dibacanya. Siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru berubah dari pemrakarsa, model dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilitator dan pemberi respon. Independent Writing Yaitu menulis bebas bertujuan un-tuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemam-puan berfikir kritis dalam menulis bebas. Ciri-ciri kelas Whole Language Ada tujuh ciri yang menandakan kelas Whole Language yaitu : Kelas penuh dengan cetakan. Barang tersebut tergantung di dinding. Siswa belajar melalui model atau contoh. Siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya Siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran Siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran bermakna Siswa berani mengambil resiko dan bebas bereksperimen Siswa mendapat umpan balik positif baik dari guru maupun temannya. Strategi Pembelajaran Menyimak di SD Tujuan Pembelajararan Menyimak di SD Menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai oleh manusia sebelum menguasai keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Ahli perkembangan anak menyatakan bahwa ketika anak baru lahir, komunikasi pertama yang dikuasainya adalah mendengarkan. Anak mendengar ibunya mendendangkan lagu, mendengar ibunya menimang-nimangnya, juga mendengar ibunya berbicara dengan ayahnya atau dengan orang lain. Setelah itu anak mulai menirukan ucapanucapan yang biasa diucapkan orang dewasa di sekitarnya. Menyimak merupakan keterampilam berbahasa lisan. Kemampuan berbahasa lisan anak akan terus berkembang dan berlanjut sampai dia masuk sekolah, bahkan sampai dia dewasa. Perkembangan sangat ditentukan oleh lingkungannya. Di Indonesia sebagian besar bahasa lisan yang digunakan anak adalah bahasa daerah. Anak berkembang dalam bahasa daerah, sehingga kekayaan kosa kata dan pengetahuan tentang aturan bahasa yang diperolehnya adalah dalam bahasa daerah. Ketika anak mulai bersekolah di sekolah dasar, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Bahkan belajar membaca dan menulis dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sementara kosa kota yang dikuasai mereka adalah bahasa daerah. Oleh karena itu, sejak anak masuk sekolah dasar, guru mulai membiasakan siswa mendengarkan dan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, sehingga pengayaan kosa kata dan pengenalan aturan berbahasa Indonesia cepat dapat dilakukan. Menyimak sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa memiliki tujuan untuk memperoleh informasi, menangkap isi serta memahami makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh pembicara melalui ujaran. Tujuan pembelajaran menyimak ialah memperkaya kosa kata anak sehingga membantu siswa ketika belajar membaca dan menulis. Pelajaran menyimak oleh kebanyakkan guru dianggap tidak perlu diajarkan karena sudah implisit ke dalam ketiga komponen keterampilan bahasa yang lain. Ada juga beranggapan bahwa “mendengar” atau “menyimak” adalah suatu yang bersifat refleksif seperti hanya dengan “bernafas”. Jadi menyimak adalah sesuatu yang sudah dengan sendirinya berjalan, bergerak, dan tidak perlu diajarkan. Namun dipihak lain, mengemuka juga pendapat, menyimak perlu diajarkan karena tanpa kemampuan menyimak tidak akan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 13 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD mungkin di peroleh keterampilan yang lain. Menyimak pada dasarnya adalah keterampilan dasar yang mendasari keterampilan yang lain (membaca, menulis, berbicara). Peranan Guru dalam Meningkatkan Kemampuan Bahasa Lisan Sejalan dengan tuntutan pembelajaran dengan pendekatan yang berpusat pada siswa dalam pembelajaran menyimak, guru dituntut untuk memberi peluang kepada siswa untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Fenomena selama ini, pembelajaran cenderung didominasi oleh guru. Guru lebih banyak berbicara dan anak lebih banyak mendengarkan baik dalam kegiatan klasikal maupun kelompok. Pemberian kesempatan kepada siswa untuk saling menyampaikan pendapatnya secara lisan dalam bentuk diskusi sangat besar artinya. Kesempatan ini juga dapat merupakan latihan untuk siswa mengemukakan kritik yang kontsruktif. Kritik yang konstruktif, yang mengandung suatu pemecahan masalah harus disampaikan secara sopan. Yang menerima kritik perlu bersikap terbuka agar dapat memanfaatkan kritik yang konstruktif tersebut. Suasana demikian ini diharapkan dapat menimbulkan sikap tenggang rasa dan saling menghormati. Keberhasilan suatu pembelajaran menyimak bergantung pada adanya dua kondisi. Pertama, guru memberikan teladan sebagai penyimak yang kritis dan pembicara yang efektif dan menggunakan strategi yang efektif pula. Kedua, setiap siswa yang berpartisipasi dalam diskusi memiliki informasi tertentu yang akan disampaikan kepada teman-temannya. Saling memberikan dan menerima informasi, pendapat, atau gagasan merupakan faktor utama untuk mencapai keberhasilan dalam diskusi. Siswa juga perlu memberikan dan menerima saran. Materi Pembelajaran Menyimak Agar anak mudah memperoleh kemampuan berbicara dan mendengarkan dalam bahasa Indonesia, sebaiknya kegiatan pembelajaran diurutkan sesuai dengan kemampuan anak, yaitu dari yang sangat sederhana sampai dengan yang agak sulit. Berikut ini urutan kemampuan berbicara dan mendengarkan beserta dengan contoh pembelajaran yang dapat dilatihkan guru di kelas melalui kegiatan informal dan melalui permainan. 14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Sebagai salah satu contoh pengajaran menyimak di sekolah dasar diarahkan pada materi dan bentuk pengajaran sebagai berikut. 1. Membiarkan/menyuruh siswa menutup mata lalu menundukkan kepalanya di atas meja, kemudian mereka disuruh membedakan bunyi (meraut pensil, mendorong kursi, membuka pintu, membalik buku, dan lain-lain). 2. Mengajarkan kepada siswa bagaimana menerima pesan telepon secara singkat. 3. Membacakan paragraf pendek tentang ilmu pengetahuan. Kemudian ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana. 4. Pada pelajaran bahasa Indonesia anak usia jenjang sekolah ini perlu mendapat latihan mengucapkan bunyi-bunyi vokal dan konsonan, seperti ucapan : a+i = ai pan - tai se - lai te - ra - tai la - lai ke - de - lai se - ru - nai a + u = au ka - lau pu - lau me - ran - tau si - lau ge - mi - lau ha - ri – mau 5. 6. 7. 8. Vokal-vokal tersebut harus diucapkan jelas dengan membuka mulut dan membentuk mulut sebaik-baiknya, sesuai dengan bunyi yang keluar dari artikulator secara wajar. Guru, sebagai model penutur harus mampu membuat tutur yang jelas dan betul. Pelajaran dikte sangat memerlukan ucapan, pelafalan yang jelas, pelan, berulang-ulang (tiga kali ucapkan sudah cukup, untuk melatih terampil dan tertib) kemudian ditulis kata, kelompok kata atau kalimat tersebut. Guru bercerita, siswa mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru menanyakan hal-hal yang benar-benar menarik minat siswa dalam isi cerita. Bermain berbisik. Pelajaran ini ingin meningkatkan kemampuan mendengar siswa. Kegiatan mendengarkan memerlukan konsentrasi dan pemahaman yang tinggi. Siswa dapat diatur dalam sesuatu deretan atau bebas untuk duduk dengan memperhatikan giliran yang sudah diatur sebelumnya. Permainan ini dapat berupa sebuah kompetisi berhadiah nilai atau pujian yang berupa motivasi intrinsik. Bermacam-macam pertanyaan tiruan bunyi binatang dapat diberikan untuk melatih mendengarkan cermat. Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Metode dan Teknik dalam Pembelajaran Menyimak Sebenarnya masih dapat dibuat variasi pertanyaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Lain daripada itu guru perlu pula memperhatikan langkah-langkah dalam pelajaran menyimak sebagai berikut. 1. Menentukan makna Hal ini penting karena tanpa adanya penjelasan guru, mungkin siswa tidak akan menangkap dan memahami apa yang didengarnya. 2. Memperagakan ekspresi Setelah guru menentukan makna, maka diulang beberapa kali. Pertama guru berada di depan kelas, dan selanjutnya bergerak ke kiri dan ke kanan agar semua siswa dapat melihatnya. 3. Menyuruh mengulangi Siswa menirukan apa yang disebutkan oleh guru sambil melakukan suatu gerak atau menunjuk suatu gambar. 4. Memberikan latihan ekstensif Guru dapat menggunakan berbagai cara misalnya, dengan drill (mengulangi kata dan ekspresi yang telah diajarkan dalam situasi yang terbatas, dan dengan kata serta struktur yang terbatas). Apalagi kalau siswa diberi kesempatan memanipulasi atau mengeksplorasi media. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena kemampuan berpikir dan kreativitas siswa berkembang. Dengan demikian dominasi guru dalam proses pembelajaran dapat diminimalisasi, sehingga pembelajaran yang berpusat pada anak dapat diujudkan. Jenis media atau alat peraga yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa termasuk menyimak beraneka ragam. Alat peraga atau media untuk mata pelajaran lain dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena kegiatan menyimak melibatkan alat auditori siswa, alat yang dipilih harus disesuaikan. Strategi Pembelajaran Membaca di SD Pada skema di bawah terlihat, di kelas I dan II pelajaran membaca ditekankan pada mekanisme, artinya mengubah lambang-lambang tertulis menjadi bunyi-bunyi atau suara-suara yang bermakna, sedangkan di kelas III sampai kelas VI pelajaran membaca lebih ditekankan pada kegiatan membaca lanjut mulai dari teknik membaca, membaca dalam hati, membaca cepat, membaca bahasa dan membaca indah. I. Membaca Permulaan (Kelas I,II ) Membaca di SD II Membaca Lanjut (Kelas I,II ) Media dan Bahan Pembelajaran Menyimak Media memegang peran penting dalam proses pembelajaran. Ada dua fungsi utama media dalam pembelajaran. Pertama, media berfungsi untuk memudahkan penyampaian konsep atau materi. Terutama bagi siswa kelas awal yang dari segi perkembangan kognitif manurut Piaget masih berada pada tahap pra operasional konkret sangat memerlukan media dalam pembelajaran. Dengan media, siswa dapat memahami sesuatu yang abstrak menjadi lebih konkret. Kedua, dengan penggunaan media proses pembelajaran lebih menarik bagi siswa. - Membaca Teknik (Nyaring) - Membaca Teknik Membaca Dalam Hati Membaca Cepat Membaca Bahasa Membaca Indah Berikut dijelaskan satu persatu dari jenisjenis membaca yang diajarkan di Sekolah Dasar. Membaca Teknik Membaca teknik pada prinsipnya sama dengan membaca nyaring. Dikatakan membaca nyaring karena kegiatan membaca ini dilakukan dengan vokalisasi. Banyak para ahli menyatakan akan pentingnya membaca nyaring. Seperti dikemukakan oleh Cox (1999) bahwa membaca nyaring untuk siswa yang dilakukan setiap hari merupakan sesuatu yang penting untuk mengajar mereka menyimak, berbicara atau menulis. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 15 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Orang tua yang membacakan cerita untuk anakanaknya ternyata anak-anaknya memperoleh perkembangan bahasa yang baik melalui perkembangan kosa kata, semangat membaca yang tinggi, dan akhirnya berhasil membaca permulaan ketika mereka telah memasuki sekolah. Membaca teknik ini merupakan kegitan membaca yang menekankan pada penguasaan berikut. 1. Penguasaan lafal, yang baik dan benar. 2. Pengusaan jeda, lagu, dan intonasi yang tepat. 3. Pengusaan tanda-tanda baca. 4. Pengusaan mengelompokkan kata/ frase ke dalam satuan-satuan ide. 5. Pengusaan menggerakan mata dan memelihara kontak mata. 6. Penguasaan berekspresi. Ada beberapa perbedaan pokok antara membaca teknik dan membaca dalam hati. 1. Membaca teknik sudah bisa dimulai saat siswa masih duduk di kelas satu, sedangkan membaca dalam hati baru bisa diberikan guru pada anak kelas tiga. 2. Membaca teknik lebih banyak diberikan kepada siswa yang masih duduk dalam taraf belajar membaca, sedangkan membaca dalam hati disiapkan untuk orang-orang dewasa. 3. Membaca teknik memerlukan mulut sebagai sarana penghasil suara di samping mata dan ingatan, sedangkan membaca dalam hati yang aktif bekerja hanya mata dan ingatan. 4. Frekuensi pemberian membaca teknik: Semakin tinggi frekuensi membaca dalam hati siswa akan semakin banyak menerima dikala dia menduduki kelas semakin tinggi. 5. Membaca teknik dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain, sedang membaca dalam hati hanya untuk kepentingan si pembaca sendiri. 6. Perolehan membaca dalam hati lebih banyak dibandingkan dengan membaca teknik. Membaca dalam Hati Membaca dalam hati adalah sejenis membaca yang dilakukan tanpa menyuarakan apa yang dibaca. Membaca dalam hati termasuk materi pelajaran membaca tingkat lanjut. Artinya materi membaca dalam hati mulai diberikan di kelas III Sekolah Dasar, meski prakteknya diberikan di kelas II catur wulan III. Materi membaca dalam 16 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 hati di sekolah dasar bertujuan untuk mendapatkan informasi dari suatu bacaan dengan memahami isi bacaan secara tepat dan cermat. Untuk mencapai sasaran membaca dalam hati, siswa sekolah dasar hendaknya memperhatikan hal-hal berikut. a. Membaca dilakukan tanpa ada suara, gerakan-gerakan bibir dan tanpa berisik. b. Membaca dilakukan tanpa ada gerakangerakan kepala baik mengangguk, menggeleng karena kepuasan terhadap apa yang dibacanya atau menggerak-gerakan jari mengikuti bacaan yang dibacanya. c. Pada saat membaca jangan sampai berhenti pada bacaan yang sulit dimengerti oleh pembaca, sehinga pembaca hanya termenung dengan bacaan yang sulit tersebut yang semua ini akan menyebabkan kegagalan kegiatan membaca dalam hati. d. Pembaca mampu berkonsentrasi baik fisik maupun mentalnya. Untuk melatih keterampilan membaca dalam hati, guru dapat memberikan latihan atau kegiatan membaca dengan memberikan bahan berupa majalah, koran, atau buku-buku yang belum pernah dibaca oleh siswa. Hal yang lebih penting diperhatikan guru adalah hendaknya materi bacaan tersebut disesuaikan dengan tingkat usia siswa. Membaca cepat Membaca cepat adalah kegiatan membaca yang bertujuan memahami isi bacaan secara tepat cepat dan cermat dalam waktu yang relatif singkat. Pelajaran membaca cepat di sekolah dasar materinya hendaknya dibebaskan dari adanya kata-kata yang sukar, ungkapanungkapan baru, ataupun frase atau kalimat yang cukup kompleks. Jika terpaksa dalam bacaan tersebut ada kata-kata sukar, ungkapanungkapan baru atau frase atau kalimat yang kompleks, guru hendaknya menerangkan terlebih dahulu kepada siswa sehingga siswa terbebas dari kesulitan bahasa. Untuk mengukur kecepatan membaca siswa dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : 1. Membatasi / menentukan waktu (tempo) membaca. Sebelum kegiatan membaca dimulai guru mempersiapakan pencatat waktu ( stopwatch ). Setelah siswa siap dengan bacaannya, guru bisa memberikan aba-aba Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD dimulainya kegiatan membaca tersebut, dan setelah waktu selesai guru memberikan abaaba kepada anak untuk berhenti. Kemudian setiap siswa menghitung kecepatan membacanya dengan perhitungan sebagai berikut. Jumlah kata yang dibaca X 60 = … kpm Jumlah detik waktu membaca 2. Untuk menghitung kecepatan membaca efektif siswa, guru perlu mengetahui pemahaman isi bacaan sisiwa melalui tes isi bacaan. Sebagai contoh, anak yang berhasil membaca kurang lebih 800 kata dalam tempo dua menit dan berhasil menjawab enam dari 10 soal yang tersedia maka kecepatan membaca anak teersebut adalah 400 x 60%=240 kpm ( kata/menit ) Membatasi / menentukan jumlah bacaan Cara yang kedua ini berbeda dengan cara yang pertama. Jika pada cara yang pertama yang dibatasi adalah jumlah waktunya, sedang cara yang kedua yang dibatasi adalah jumlah bacaannya. Seluruh siswa diberi bahan bacaan yang jumlahnya sama. Mereka bebas membaca sesuai dengan kecepatannya masing-masing. Setelah selesai membaca, maka kecepatan membaca dihitung dengan cara perhitungan seperti yang telah dijelaskan di atas. Kelemahan cara ini terletak pada pengajaran klasikal yang mana jumlah anak lebih dari 10 siswa karena menyulitkan dalam pengawasan/ pengontrolan waktu tempuh baca anak. Membaca bahasa Membaca bahasa memiliki tujuan agar para siswa sekolah dasar semakin bertambah pengetahuannya tentang seluk-beluk bahasa Indonesia. Sasaran utama pelajaran membaca bahasa bukan pada pemahaman isi bacaan tetapi pada ketepatan penggunaan bahasa dalam bahan bacaan. Tujuan membaca bahasa menurut Imam Rejana dalam Farida (2006) adalah agar siswa bertambah wawasan-nya tentang : 1. Pengetahuan kosa kata bahasa Indonesia, kosa kata adalah perbendaharaan kata atau kata-kata yang dimiliki oleh suatu bahasa. Kata-kata yang diajarkan pada siswa mencakup kosa kata yang baru, kosa kata yang sering dipakai oleh pemakai bahasa 2. 3. 4. 5. Indonesia, juga kosa kata yang sudah jarang dipakai. Pengetahuan yang menyangkut bentukan kata (morfologi) baik bentuk, fungsi atau pun artinya. Sebagai misal, anak menguasai imbuhan me-, di-, akhiran -an dalam pemakaian kalimat. Pengetahuan yang menyangkut tata kalimat bahasa Indonesia (sintaksis). Pengetahuan yang menyangkut masalah tata tulis bahasa Indonesia. Pengetahuan tentang menganalisis informasi yang tersusun dalam beberapa kalimat kemudian membentuk satu wacana. Untuk menunjang kegiatan membaca bahasa ini guru dapat mengambil bahan dari berbagai sumber yang bersifat baru. Membaca Indah Membaca indah sering disebut dengan membaca emosional. Dikatakan demikian karena menyangkut pada hal-hal yang berhubungan dengan keindahan atau estetika yang dapat menimbulkan emosi atau perasaan pembaca dan pendengar. Tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran ini adalah siswa dapat memperoleh suatu keindahan yang sumbernya bahasa atau keindahan yang bersumber bacaan. Bahan yang bisa digunakan untuk mengajarkan membaca indah ini dapat berupa : puisi, prosa, mau pun drama. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru sehubungan dengan pemilihan materi kesusasteraan untuk membaca indah ini antara lainadalah sebagai berikut. Bahan itu hendaknya mengandung nilainilai pendidikan, misalnya, kepahlawan, kemanuasiaan, dan sebagainya. Kalimat-kalimat atau kata-kata yang dipakai oleh pengarangnya bermakna denotatif dan bukan bermakna konotatif. Hal seperti ini perlu diperhatikan guru, sebab anak-anak seusia sekolah dasar rata-rata baru dapat menangkap isi kalimat yang disimpulkan bahasa denotatif pada karya sastra Strategi Pembelajaran Berbicara di SD Hakikat Berbicara di Sekolah Dasar Berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata untuk mengekpresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pengertian berbicara ini ada yang menyamakan dengan bercakap-cakap. Berbicara dapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 17 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD dilakukan sendiri sedang bercakap-cakap selalu dilakukan oleh lebih dari seorang. Tujuan berbicara adalah untuk berkomunikasi, agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif. Oleh karena itu sebaiknya : (a) pembicara memahami segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; (b) pembicara mampu mengevaluasi efek komunitasnya terhadap pendengar ; (c) pembicara mampu mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala pembicaraan. Ada beberapa prinsip umum yang mendasari segala kegiatan berbicara. Berikut ini adalah prinsip prinsip umum tersebut yakni : 1. Membutuhkan paling sedikit dua orang. 2. Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama-sama. 3. Menemui atau mengakui suatu daerah referensi umum. Daerah ini mungkin tidak selalu mudah dikenal/ ditentukan, namun pembicaraan menerima kecendrungan untuk menemukan satu di antaranya. 4. Merupakan suatu penukaran antara partisipasi. Kedua partisipasi yang memberi dan menerima pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak. 5. Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya, dan kepada lingkungannya dengan segera. Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang nyata atau yang dihadapkan dari penyimak, dan sebaliknya. Hubungan ini bersifat timbal balik dan dua arah. 6. Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini. 7. Hanya melibatkan perlengkapan yang berhubungan dengan suara/bunyi bahasa dan pendengaran. Untuk mendapatkan hasil pembicaraan yang baik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pembicara, antara lain sebagai berikut. 1. Pemilihan kata-kata yang tepat dan mengena. 2. Pemikiran yang sehat dan urutan gagasan yang nalar. 3. Struktur kalimat yang baik, jelas dan betul. 4. Suara yang baik, mudah didengar dan dimengerti. Pelaksanaan Pembelajaran Berbicara di Sekolah Dasar Ada beberapa teknik pembelajaran berbicara di sekolah dasar : 1. Anak-anak yang masih muda dalam berpikir dan berpengalaman dapat diberi perlajaran berbicara melalui gambar18 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 2. 3. 4. 5. gambar yang disiapkan guru. Gambar tematik (bertema : ada ceritanya) lebih mudah mendorong anak-anak menceritakan apa yang ia lihat pada gambar. Tema gambar hendaknya disesuaikan dengan minat dan kebutuhan psikis siswa maupun kehidupan binatang. Di kelas 3, 4, 5, dan 6 siswa sudah dapat mengembangkan fantasinya (daya khayalnya). Oleh karena itu, gambar tematik dapat dibuat penuh khayal. Justru unsur khayal inilah dapat membuat pikiran siswa hidup. Media gambar inilah yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara di sekolah-sekolah. Memberi salam sebelum dan sesudah pelajaran kepada guru adalah latihan terpadu antara belajar berbahasa dan meningkatkan perilaku yang baik. Bermain sosiodrama, meningkatkan sikap sosial dan berani berkomunikasi lisan dengan sesama teman (sebagai contoh untuk kelas 1, 2, 3 bermain jual beli di pasar atau di toko, bermain guru-murid di kelas, dan sebagainya). Bernyanyi bersama atau perorangan merupakan salah satu teknik pengajaran berbicara berirama. Menghafalkan puisi, berdeklamasi, di depan kelas merupakan latihan keperibadian dan sekaligus latihan berbicara. Strategi Pembelajaran Menulis di SD Hakikat Menulis di Sekolah Dasar. Sebelum melangkah untuk memahami dan mengerti tentang batasan menulis ada baiknya ditinjau terlebih dahulu pendapat Yarmi (2006) dalam “Mengarang” tentang menulis dan mengarang. Ia mengemukakan bahwa sebaiknya antara penulis dan mengarang tidak boleh dibedakan, mengingat tujuan pengajaran pengarang yang tersusun secara sintaksi. Dalam GBPP pun tidak dipisahkan antara menulis dan mengarang, akan tetapi menyatu dalam pokok bahasan menulis. Setelah diketahui bahwasanya menulis indentik dengan mengarang, maka selanjutnya akan dicari batasan atau pengertian menulis atau mengarang secara umum. Menulis atau mengarang adalah mengorganisasikan ide menjadi rangkaian yang logis , Yazir Burhan berpendapat bahwa menulis adalah tindakan melakukan pikiran/ perasaan dalam Yarmi (2006). Sedangkan Tarigan yang Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD menyitir pendapat Lado mengemukakan bahwa menulis adalah menuliskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan grafik tersebut (1985). Menyimpulkan pendapat dari empat ahli bahasa tersebut dapat dikemukakan bahwa menulis adalah mengorganasisasikan ide atau pesan secara tertulis sehingga orang lain dapat memahami isinya. Pengajaran menulis di sekolah dasar berdasarkan kurikulum bahasa Indonesia 1994 meliputi : menulis permulaan, menulis prosa, menulis surat, menulis puisi, menulis fiksi, menulis drama, menulis laporan, menulis pengumuman, menulis pidato, menulis drama. Menulis Prosa Ada lima jenis prosa yang akan dibicarakan pada bagian ini : prosa deskripsi, eksposisi, argumentasi, narasi dan persuasi. 1. Deskripsi Deskripsi adalah lukisan yang membangkitkan kesan atau impresi seseorang melalui uraian atau lukisan tertentu. Umumnya diskripsi menceritakan tentang seketsa perwatakan, pemandangan suasana ruang, dan sebagainya. Berikut ini adalah angkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyusun prosa deskripsi, yaitu: a. Rumuskan dahulu tujuan yang hendak dicapai penulis; b. Amatilah dengan seksama objek yang dijadikan topik dalam penulisan tersebut; c. Buatlah perincian tentang apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan oleh penulis mengenai objek tersebut, terutama yang berhubungan dengan tujuan penulisan; d. Supaya kekhususan menonjol, berilah penjelasan tambahan. 2. Eksposisi Eksposisi adalah tulisan yang berupa paparan yang berisi kupasan, uraian ataupun tuturan yagn bersifat penyuluhan tanpa mengandung paksaan kepada pembaca. Langkah-langkah penyusun prosa eksposisi ini adalah sebagai berikut. a. Menentukan topik yang akan disajikan; b. Menentukan tujuan eksposisi; c. Membuat kerangka yang lengkap dan sistematis d. Mengembangkan eksposisi sesuai dengan kerangka karangan. 3. Argumentasi Argumentasi adalah paparan yang terdiri dari alasan atau penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan. Argumentasi digunakan penulis untuk meyakinkan kebenaran pendapat, gagasan atau konsepsi sesuatu berdasarkan data dan fenomena-fenomena keilmuan yang dikemukakan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam menulis argumentasi penggunaan contoh dan bukti kuat dan keyakinan sangat perlu diperhatikan. Langkah-langkah dalam penyusunan argumentasi adalah sebagai berikut. a. Menetapkan tujuan yang akan dicapai; b. Mengumpulakan bahan, fakta ataupun konsep kelimuan; c. Menarik kesimpulan baik secara deduktif maupun secara induktif; d. Penutup yang berisi himbauan kepada pembaca agar mau mengakui kebenaran argumentasi penulis 3. Narasi Narasi adalah suatu penceritaan dari suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa agar menimbulkan pengertian-pengertian yang merefleksikan penulisnya. Langkah-langkah penyusunan narasi ini adalah sebagai berikut. a. Menentukan tujuan yang ingin dicapai b. Menetapkan tema c. Mengembangkan tema menjadi cerita 4. Persuasi Persuasi adalah paparan yang berdaya bujuk atau pun berdaya himbau yang dapat membangkitkan ketergiuran pembaca untuk meyakini atau menuruti himbauan itu baik yang bersifat implisit maupun eksplisit. Umumnya persuasi untuk menyampaikan pesan dalam iklan sponsor atau reklame. Kelima bentuk prosa tersebut kadangkala mewarnai sebuah tulisan sehingga sulit menentukan termasuk jenis prosa yang mana tulisan tersebut. Untuk menanggulangi masalah ini guru dapat menjelaskan kepada siswa bahwa Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 19 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD untuk mengklasifikasikan termasuk jenis prosa yang mana tulisan itu bisa dilihat dari jenis prosa mana yang mendominasi dalam tulisan tersebut. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa sebuah karangan mungkin terdapat unsur eksposisi, persuasi atau argumentasi tetapi kita bisa menyebut karangan itu jenis argumentasi, misalnya karena memang unsur argumentasi dari karangan itu yang paling menonjol. Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD Pembahasan tentang pembelajaran apresiasi sastra di SD meliputi (1) hakikat sastra siswa, yang mencakup pengertian sastra anak, jenis sastra untuk anak, karakteristik sastra untuk anak, (2) hakikat apresiasi sastra oleh siswa, yang mencakup manfaat apresiasi sastra bagi siswa, dan tingkat apresiasi sastra oleh siswa. (3) strategi pembelajaran apresiasi sastra siswa di SD, yang mencakup pemilihan bahan ajar, penerapan metode pembelajaran, penilaian hasil kegiatan apresiasi sastra di SD. Dengan pembahasan topik-topik di atas, diharapkan calon-calon guru SD memiliki bekal yang cukup dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra di SD. Hakikat Sastra Siswa Sebutan “sastra anak” merupakan gabungan dari kata “sastra” dan “anak”, karena itu istilah “sastra anak” tidak ada keterangan maknanya dalam Kamus Istilah Sastra karya Sujiman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “anak” bermakna “manusia yang masih kecil”, dan kata “sastra” didefinisikan sebagai “Karya seni imajinatif yang bermediakan bahasa”. Dari kedua keterangan makna itu dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud “sastra anak” ialah karya seni imajinatif yang bermediakan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia yang masih kecil. Dalam konteks ini, “manusia yang masih kecil” merujuk pada usia 6-13 tahun. Sebagai sebuah karya seni yang dikonsumsi oleh anak, sastra anak memiliki karakteristik tersendiri. Huck, Hepler, dan Hicman dalam Akhadiah menjelaskan bahwa,”Isi sastra untuk anak dibatasi oleh pengalaman dan pemahaman anak.” Ketiganya juga menjelaskan bahwa sastra untuk anak mengandung dua nilai: personal dan edukatif. 20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Strategi Pembelajaran Apresiasi Sastra Siswa Guru diharapkan memiliki kompetensi merancang dan melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra di SD secara reseptif dan produktif. Untuk mencapai kompetensi tersebut guru ikut serta secara aktif dalam kajian tentang strategi pembelajaran puisi, prosa, dan drama di SD. Kriteria Pemilihan Bahan Pengajaran Apresiasi Prosa Indonesi Setiap guru tentunya mengharapkan agar proses pembelajaran dapat berlangsung menarik, di samping tercapainya efektivitas tujuan pembelajaran. Kedua hal tersebut merupakan persyaratan untuk dapat terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan, karena dengan terpenuhinya persyaratan tersebut, para siswa akan belajar tanpa merasa terpaksa. Mereka belajar karena meeka membutuhkan, menyenangi dan menikmati pelajaran yang dipelajari. Hal ini dapat dicapai seandainya guru mampu menyajikan materi secara menarik. Apabila hal tersebut telah dicapai, maka diasumsikan bahwa tujuan pembelajaran pun akan tercapai sesuai dengan waktu dan target sebagaimana yang telah ditentukan di dalam program pembelajaran apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Salah satu cara agar guru dapat mencapai pengajaran secara menarik efektif adalah guru dapat menyediakan bahan. Guru perlu mengetahui bahan yang baik dan yang tidak baik. Dalam hal ini terdapat dua macam kriteria yang dapat dijadikan patokan dalam pemilihan bahan pembelajaran apresiasi prosa Indonesia, yaitu, kriteria tingkat keterbacaan, dan kriteria tingkat kesesuaian. Keterbacaan dapat dijadikan kriteria dalam memilih bahan bacaan. Tingkat keterbacaan ialah mudah-tidaknya suatu bahan bacaan (prosa) untuk dicerna, dihayati, dipahami, dan dinikmati oleh siswa. Untuk dapat memenuhi kriteria tingkat keterbacaan ini, prosa yang akan dijadikan materi pengajaran apresiasi hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut. 1) Kejelasan Bahasa Dalam hal ini prosa (cerita rekan) yang akan dijadikan materi pengajaran di Sekolah Dasar adalah prosa menggunakan bahasa yang sederhana. Kalimat-kalimatnya tidak panjang-panjang dan tidak rumit, sehingga Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD 2) 3) 4) 5) memudahkan siswa menangkap isinya. Kata-kata yang dipergunakan adalah katakata yang bermakna lugas. Dengan memperhatikan bahasa prosa yang akan diajarkan, maka satu tahap dalam tingkat keterbacaan sudah tercapai, yaitu kejelasan bahasa. Dengan kejelasan bahasa, maka unsurunsur prosa akan mudah ditemukan anakanak. Kejelasan Tema Tema prosa untuk materi pengajaran apresiasi di Sekolah Dasar hendaknya terbuka, artinya tema itu bisa langsung ditemukan anak-anak. Di samping itu, tema tersebut tidak disajikan secara terselubung. Kesederhanaan Plot Cerita rekaan yang akan disajikan dalam pengajaran apresiasi di Sekolah Dasar hendaknya merupakan cerita yang berplot maju. Berplot maju, maksudnya rangkaian cerita berjalan kronologis dari awal hingga akhir. Hendaknya tidak dipilih plot yag mempunyai sorot balik (flash back) yang rumit, dikarenakan adanya kemungkinan siswa mengalami kesulitan dalam mengikuti jalan certita secara utuh. Kejelasan Perwatakan Perwatakan dalam cerita rekaan yang akan dijadikan materi pengajaran hendaknya dipilih dari cerita-cerita yang disajikan secara sederhana. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat dengan mudah menangkap sosok tokoh-tokoh cerita tersebut. Demikian pula pesan-pesan yang terdapat dalam cerita tersebut dengan mudah dapat ditangkap oleh para siswa. Kesederhanaan Latar Cerita rekaan yang akan diajarkan hendaknya dipertimbangkan latarnya. Latar dalam cerita tidak berbeda jauh dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Dengan demikian mereka merasa akrab dengan suasana dalam cerita tersebut. Hal ini membantu mempermudah pemahaman terhadap cerita tersebut. Hal ini membantu mempermudah pemahaman terhadap cerita, disebabkan mereka telah merasa kenal dengan latar seperti itu. Suasana latar yang akrab dengan lingkungan mereka sehari- hari, tidak berarti persis sama. Misalnya suasananya yang sama sehingga dapat menjembatani imajinasi anak-anak. Tidak pula diartikan “tidak boleh memperkenalkan latar yang berbeda” dengan lingkungan anak. Hal ini diperkenalkan agar anak mengenal lingkungan baru, mempunyai pengetahuan baru, namun perlu dijembatani dengan suasana yang telah mereka kenal. 6) Kejelasan Pusat Pengisahan Pilihlah cerita rekaan yang pusat pengisahannya konsisten. Artinya tidak banyak berganti fokus. Persoalannya, jika terlalu banyak berganti fokus, hal ini akan menyulitkan anak-anak mengikuti jalan cerita. Cerita yang ber-aku yang seolah-olah pengarang yang menjadi tokoh utama, ada kecenderungan yang lebih besar bagi anakanak untuk menyenanginya. Hal itu disebabkan mereka merasa sedang mengikuti pengalaman teman sebayanya. Dalam hal ini dapat juga dipilih cerita yang “dipaparkan pengarang” (pengarang berada diluar cerita). Dengan gaya ini anakanak merasa sedang didongengi seseorang Penutup Uraian sebelumnya telah menggambarkan dua pendekatan dalam pembelajaran bahasa yaitu pendekatan Communicative dan Whole Language. Walaupun berbeda, kedua pendekatan tersebut bermaksud untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berbahasa. Pada umumnya guru sudah mengenal dan mempraktekkan pendekatan Communicative, tetapi mungkin belum terbiasa dengan pendekatan Whole Language. yang melihat bahasa sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dan utuh. Diharapkan, melalui tulisan ini, guru SD dapat memahami, merancang pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia dan sastera dengan menerapkan pendekatan Communicative dan pendekatan Whole Languge, strategi pembelajaran menyimak, membaca, menulis dan apresiasi sastera dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas-kelas awal SD secara lebih baik. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 21 Pendekatan dan Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar dan Furqanul Aziz. (1994). Pengajaran bahasa komunikatif, teori dan praktek.Bandung: Remaja Rosda Karya Akhadiah, Sabarti. Pembelajaran terpadu di SD. Makalah disajikan dalam seminar nasional di Universitas Padang Bromley, KD. (1992). Language arts: exploring connection (2 nd ed). Boston: Allyn and Bavon Cox Carole. (1999). Teaching language arts. California State University Chaer, Abdul. (2002). Psikolinguisti, kajian teoretik. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati. (1998). Pendidikan bahasa Indonesia kelas tinggi. Jakarta: Depdikbud Goodman. (1991). Organizing for whole language. Purtsmouth NH Heinemann Farida, Rahim. (2006). Strategi pembelajaran membaca di SD. Jakarta: BumiAksara 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Dardjowidjojo, Soenjono. (2000). Echa, kisah pemerolehan bahasa anak Indonesia. Jakarta: Grasindo Halliday, M.A.K,. (1973). Exploration in the functions of language. London: Edwar Arnold Depdiknas. Kurikulum SD 2004. (2004). Jakarta: Puskur Eisele, Beverly. (1991). Managing the whole language classroom. Creative teaching Press,Inc., Cypress Morrow, L.M. (1999). Literacy development in early years (Helping children read and write). Rutger: The State University Nababan, SUS. (1993). Metodologi pengajaran Bahasa.Jakarta: Gramedia Sumardi. (2000). Buku pelajaran bahasa Indonesia SD. Jakarta: Grasindo Tarigan. (1992). Pendidikan Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Yarmi, Gusti. (2006). Modul. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis Opini Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis Hastin S. M.*) Abstrak eterampilan berbahasa mencakup kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis. Tulisan ini membahas mengenai keterampilan menulis anak didik. Untuk meningkatkan kemampuan menulis, anak didik membutuhkan adanya motivasi dari dalam dirinya dan motivasi dari luar dirinya. Selain memotivasi, guru sebagai fasilitator mengenalkan dan mengajarkan berbagai kosakata yang tepat dan sesuai. Guru memilih metode pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar yang inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menarik. Bahkan penulis perlu memperhatikan pembaca yang menjadi tujuan dan sasaran tulisan. Tulisan ini juga mengungkapkan cara memotivasi anak didik untuk menulis sehingga bakat dan kemampuan menulis yang dimiliki anak didik muncul dan meningkat dengan baik. K Kata kunci: Proses belajar, memanfaatkan kamus, menganalisis kata, mendayagunakan kata yang tepat. Languange skills consist of listening, speaking, reading, and writing. These four kinds of skill are to be developed in languange learning process. This article focuses the discussion in developing writing skills viewed from several aspects. Besides some methods and techniques of developing studdents’ writing skill to be considered by teachers are proposed. Pendahuluan Kita dapat menemukan banyak bakat seorang anak didik dalam dirinya. Banyak potensi yang mereka miliki perlu kita kembangkan, misalnya saja bakat menulis. Kemampuan menulis tentu saja sudah dimiliki anak didik semenjak usia dini atau di bangku Sekolah Dasar (SD). Namun bakat menulis seperti menulis artikel, cerita pendek (cerpen), novel, puisi maupun menulis surat sudah terbilang langka. Sebagai contoh, menulis surat hanya dilakukan pada saat-saat tertentu. Selain itu zaman yang semakin modern dan berteknologi canggih seperti SMS, MMS, Email dan lain sebagainya membuat keberadaan surat menyurat semakin berkurang. Hal yang tidak jauh berbeda dengan keterampilan menulisyang kurang berkembang karena menulis pesan dalam SMS, MMS lebih mudah terkirim dan format penulisannya singkat. Selain itu, supaya memotivasi anak didik menulis puisi, artikel, atau cerpen semakin kurang. Karena anak didik berkeinginan menulis pada saat perlombaan menulis saja. Sama halnya di sekolah, untuk mengembangkan bakat menulis terbilang sedikit, atau tidak ada sama sekali. Bahkan kegiatan tulis menulis hanya terdapat pada bidang studi tertentu misalnya bahasa Indonesia dan Inggris. Lebih lanjut penyajian dalam kegiatan belajar kurang menarik atau monoton dan keterampilan *) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 23 Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis pendidik dalam menulis masih terbilang sedikit. cara penulisan yang benar dan bukan pada Sebagian besar pendapat mengatakan, pengembangan ide, pokok cerita yang akan keterampilan menulis ialah bakat alami. disampaikan melalui tulisannya. Guru sebagai Sehingga anak didik merasa bosan dalam pendidik bahasa, seharusnya dapat menambahpelajaran menulis. kan dan memperluas kreatifitas anak dalam Pada umumnya pendidik memberikan menulis melalui metode menulis yang kreatif dan beberapa tema kepada siswa lalu memberikan menarik. waktu dan membiarkan proses belajar sampai selesai waktunya. Tentu saja peserta didik akan Instant Writing mengalami kesulitan. Hal yang paling mencolok ialah kurangnya mengetahui kosakata bahasa Jeremy Harmer (2004) mengemukakan metode Inggris. Sehingga mereka mengalami “Stuck” kreatifnya, yakni instant writing dan collaborative dalam proses menulis. Kemudian anak didik writing. Instant writing atau menulis cepat seringkali mengalami kesulitan dalam merupakan proses menulis secara cepat tanpa menyusun kalimat dengan bentuk waktu atau adanya peringatan atau persiapan. Hal ini tenses yang tepat. Mereka seringkali mencampur bukanlah berarti memberikan tugas menulis adukkan bentuk waktu lampau (Past Simple secara mendadak lalu anak didik diminta untuk Tense) dengan bentuk waktu sekarang (Simple menuliskan suatu cerita dengan cepat. MelainPresent Tense). Sehingga mereka merasa kan anak didik diminta menuliskan suatu terhambat dan takut kalimat atau beberapa menggunakan kalimat menurut bentuk waktu yang metode dan gaya belmereka pergunakan Selain itu metode instant writing ajar auditorial, visual dalam menulis. dan kinestetik. ini menghilangkan asumsi bahwa Oleh karena Selain itu metode menulis suatu cerita itu, dalam proses instant writing ini membutuhkan waktu yang lama . menulis ini, penyamenghilangkan jian pengajar dalam asumsi bahwa mekegiatan belajar nulis suatu cerita mengajar sangatlah membutuhkan waktu penting. Hal ini berarti pendidik seharusnya yang lama. Sehingga bagi sebagian anak didik melihat gaya belajar anak didik yang berbeda yang ingin cepat menyelesaikan tulisannya lalu menyesuaikannya dengan metode menulis merasa lebih tertarik melalui metode ini. Proses yang kreatif dan aktif. ini diperkirakan hanya membutuhkan waktu Pembahasan Menulis terkadang dilakukan pada saat tertentu saja dan sering kegiatan belajar mengajar ini bukanlah mengenai essay atau mengarang melainkan menelaah dan menganalisis tata bahasa, misalnya writing dalam bidang studi bahasa Inggris. Tata bahasa tentulah sangat penting dalam menulis, karena harus sesuai dengan ejaan dan tata bahasa yang baik dan benar. Misalnya, mengenai Past Simple. I had a great holiday with my family. Then, my family and I ate the cake we made. We celebrated Happy New Year Eve with special pray. Dalam penulisan ini, tata bahasa sangat diperlukan sekali tetapi dalam pengembangan menulis tata bahasa dapat menghambat proses menulis. Anak didik berkonsentrasi memikirkan 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 kurang lebih 15 menit, atau lebih cepat, yakni kurang dari 15 menit. Metode instant writing meliputi menulis kalimat, menggunakan musik, dan menggunakan gambar. Menulis Kalimat Dalam metode menulis kalimat, peserta didik diminta untuk menuliskan kalimat tanpa mempedulikan bentuk waktu apapun dan merasa yakin bahwa ia mampu menuangkan tulisannya dengan kalimat yang menarik dan unik dari pengalaman hidupnya. Mendikte kalimat untuk melengkapi Pendidik mendiktekan kalimat tak lengkap yang merangsang daya pikir anak untuk menuliskan idenya secara kreatif dan menarik. Kalimat ini sebaiknya mudah dicerna terjemahannya. Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis Melalui kosakata yang populer dan mudah dimengerti, anak didik pun mampu menuliskan kata atau melanjutkan dengan baik. Misalnya: The funniest thing I have done is... Kemudian peserta didik melanjutkan kalimatnya dengan menuliskan kata atau kalimat dengan: slipped on the floor, telling a joke, and wearing wrong clothe, etc. Setelah anak didik merasa tertarik dan mampu menuliskan kalimat dengan cepat dan baik, mereka diminta untuk menuliskan unsur 5 WH ; what, where, why, when, who, how. Dengan demikian tulisan merekapun akan semakin lebih baik dengan adanya unsure 5 WH ini. Misalnya: The funniest thing I have done is telling a joke to myfriends and teachers. I tell them about it in teachers’ room. Usually, we can’t do that in there. However because I have a good story, they allow me to tell it in front of them and my friends who stand outside of the window. I remember that it was the second break, at 12.35 o’clock. Lots of my friends were having lunch while I was standing there to tell a joke, for them. Actually my joke was not funny at all, but the funniest thing I have done is by using a skirt. Whereas I am a fourteen years old boy. Well, I think it’s a punishment for naughty boy like me. Mengembangkan topik Melalui metode ini, pendidik mengajarkan dan memberikan topik yang menarik dan beragam. Kemudian pendidik meminta anak didik menuliskan dua atau tiga kalimat mengenai topik yang dipilihnya. Dalam hal ini, topik yang menarik dan terkini menjadi hal yang terpenting. Oleh karena itu pendidik harus memperhatikan informasi-informasi terkini dan berkaitan dengan kehidupan anak didik. Misalnya topik mengenai kehidupan sosial di sekolah yakni Shoes for Friends, Blood Donation, dan lain-lain. Ramalan cuaca Dengan metode ini pendidik meminta peserta didik untuk menuliskan tentang diri mereka dengan hari-hari yang mereka alami. Mereka boleh menuliskan tentang perasaan mereka terhadap cuaca yang mereka alami hari ini. Apakah mereka senang dengan cuaca yang cerah di pagi hari lalu hujan di sore hari? Bagaimana cuaca hari esok? Apakah cuaca seperti ini menimbulkan wabah? Dan sebagainya. Arahkanlah anak menulis melalui metode ini, seperti melaporkan ramalan cuaca hari ini. Kemungkinan besar anak didik belajar meramalkan cuaca dengan fakta. Fakta yang ada melalui tulisan mereka sendiri. Menggunakan Musik Musik dapat dijadikan alat pembelajaran yang menarik dalam proses menulis. Bagi peserta didik yang memiliki gaya auditorial, metode ini sangat cocok dan menyenangkan untuk mendengarkan sebuah alunan musik lalu dikaitkan dengan bakat menulisnya. Pendidik seharusnya memilih jenis kaset yang tidak mengalunkan syair. Melainkan musik instrumental berupa piano, gitar akustik dan lainnya. Berikut ini metode menulis dengan menggunakan musik. Kata-kata Dalam metode ini, pendidik memperdengarkan sebuah musik instrumental lalu meminta anak didik menuliskan perasaan dan emosi mereka pada saat mendengar alunan musik yang diperdengarkan. Atau pendidik memperdengarkan soundtrack film yang pernah mereka dengar melalui film yang pernah mereka lihat. Dengan demikian, mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti. Hal ini disebabkan bahwa mereka sudah mengetahui cerita yang akan mereka tulis setelah melihat film dari soundtrack tersebut. Setelah anak didik menuliskan mengenai perasaan dan emosi mereka melalui lagu tersebut, mintalah anak didik membaca tulisannya di depan kelas. Anak didik lain dapat mengetahui isi tulisannya dan dapat memberikan komentar. Apa yang sedang digambarkan pencipta lagu Dalam metode ini pendidik memperdengarkan sebuah lagu instrumental kepada anak didik. Metode ini hampir serupa dengan metode katakata. Namun peserta didik menuliskan apa yang digambarkan oleh pencipta lagu dalam jenis lagu yang berbeda. Misalnya terdapat suara binatang dalam sebuah lagu, kemudian pendidik dapat menanyakan jenis binatang yang sedang digambarkan oleh pencipta lagu. Setelah anak didik menuliskan suatu cerita yang sedang digambarkan pencipta lagu, mintalah kepadanya untuk membagikan cerita terhadap teman sekelasnya melalui membaca. Lalu peserta didik memberikan penjelasan yang benar tentang lagu yang telah diperdengarkan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 25 Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis Menggunakan Gambar Seperti halnya metode dengan menggunakan musik, metode dengan memanfatkan gambar untuk membantu proses menulis cepat tepat digunakan untuk anak yang memiliki gaya belajar visual. Melalui gambar untuk mendeskripsikan seseorang atau hewan, anak didik diharapkan mampu menuliskan dengan mendeskripsikan lingkungan kehidupannya. Berikut ini metode gambar dalam instant writing, yakni: Mendeskripsikan gambar Melalui metode ini, pendidik memberikan gambar manusia yang beragam, baik rambut yang berbeda bentuk seperti: rambut lurus, keriting, ikal, sampai bentuk tubuh yang tinggi, pendek, gemuk, langsing dan lainnya. Pendidik perlu mempersiapkan gambar-gambar manusia yang beragam dan menarik, sehingga anak didik dapat memilih suatu gambar yang ia minati lalu mendeskripsikannya dalam tulisan. Latihan cerita Dalam metode ini, terdapat beberapa latihan menulis agar peserta didik mudah menuliskan suatu deskripsi mengenai lingkungan terdekat. Bahkan metode ini sesuai dengan standar kompetensi menulis untuk tingkat SMP, yakni mengungkapkan makna dalam teks tulis fungsional dan esai pendek sangat sederhana berbentuk descriptive dan procedure untuk berinteraksi dengan lingkungan terdekat. Berikut ini latihan cerita menggunakan gambar. Pertama, gambar acak: dalam metode ini pendidik memberikan gambar yang berbeda dan beragam seperti : anak kecil, pasir, bola voli, pedagang, kursi panjang, penjaga pantai, dan lain-lain. Kemudian mintalah anak didik untuk memilih dan mengambil empat gambar yang telah tersedia. Lalu mintalah kepadanya untuk mengaitkan tempat gambar tesebut dengan suatu cerita. Kedua, gambar bingkai: melalui metode ini, pendidik menyiapkan gambar yang berangkai yang menjadi empat bagian. Kemudian mintalah peserta didik untuk merangkaikan suatu cerita berdasarkan gambar tersebut. Peserta didik dapat membacakan ceritanya didepan kelas sehingga akan terdapat perbedaan maupun persamaan cerita dengan siswa yang lain. Collaborative Writing Melalui metode ini, diharapkan peserta didik dapat bertukar pikiran melalui gagasannya 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 terhadap suatu cerita dengan rekan kerjanya. Proses menulis ini melatih anak didik berpikir kreatif dan aktif menuangkan kembali isi cerita yang telah diperdengarkan atau melalui gambar berangkai yang dibentuk secara acak. Berikut ini metode yang bisa diterapkan terhadapa anak didik, yakni: Dictogloss Melalui metode ini anak didik diminta untuk menuliskan kembali isi cerita yang telah dibacakan oleh pendidik. Hal yang pertama kali dilakukan oleh pendidik ialah menyiapkan suatu cerita pendek lalu membacakannya dengan nyaring dan jelas kepada siswa. Namun pada saat siswa mendengarkan cerita tersebut, anak didik tidak diperkenankan untuk menulis kembali cerita tersebut melainkan menuliskan catatan penting saja mengenai cerita tersebut. Perlu diingatkan untuk memanfaatkan unsur lima WH. Setelah pendidik selesai membacakan cerita, diminta anak didik menuliskan ulang cerita. Tentu saja mereka akan mengalami sedikit kesulitan. Hal ini terjadi karena sebagian besar anak didik baru mendengar cerita yang telah dibacakan pendidik untuk pertama kalinya kecuali jika anak didik memiliki daya ingat yang cukup tinggi. Kemudian cerita itu dibacakan sekali sehingga anak didik dapat menambahkan isi cerita atau mengecek kembali tentang tulisannya. Setelah itu mintalah dua anak didik untuk membacakan atau menuliskan isi ceritanya dipapan tulis. Kemungkinan besar akan terjadi perbedaan cerita dari dua anak tersebut. Namun di akhir proses menulis pendidik membacakan kembali cerita itu seutuhnya. Membangun kembali cerita Melalui metode ini, pendidik seharusnya menyiapkan empat potongan gambar berangkai lalu membentuk kelompok siswa yang terdiri empat orang. Setelah itu, potongan gambar yang berbeda dibagikan kepada masing-masing anak didik. Setelah mereka mendapatkan gambar yang berbeda anak didik diminta bekerjasama dengan rekannya dan saling terlibat aktif untuk bertukar pikiran dan merangkai cerita bergambar dengan baik. Dalam proses menulis, anak didik akan antusias merangkai cerita bergambar tersebut dengan perbedaan pendapat bersama rekannya. Namun, diharapkan anak didik mampu bekerjasama dengan baik melalui beda pendapat untuk menghasilkan suatu cerita yang baik. Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis Peranan Sekolah Keterlibatan sekolahpun sangat diharapkan dalam pengembangan bakat menulis anak didik. Yaitu dengan adanya penambahan buku bacaan pengetahuan yang berkaitan dengan tema penulisan anak. Perpustakaan merupakan sarana informasi belajar yang baik dengan ketersediaan buku-buku terbaru dan berkualitas. Hal ini dikarenakan penulisan erat kaitannya dengan membaca. Tanpa membaca anak tak akan bisa mengembangkan wawasan cerita penulisan, terkecuali anak didik ini mempunyai pengalaman dalam kehidupannya yang berkaitan dengan isi cerita tulisan. Sehingga ia pun mampu menceritakan isi tulisannya berdasarkan pengalaman pribadinya. Selain itu, pihak sekolah dengan pustakawan sebaiknya menyelenggarakan lomba penulisan karya tulis untuk anak didik, sehingga anak termotivasi untuk mengikuti lomba ini, dan memacu prestasi anak melalui karya tulisnya. Bahkan hadiah berupa uang, sertifikasi dan piala menjadi pendorong untuk menghargai hasil karya tulisnya sehingga anak didik mengetahui besar manfaat dalam menulis. Sebaiknya, perlombaan karya tulis ini dilakukan sesering mungkin dalam satu semester atau setahun. Semakin banyak perlombaan menulis yang diadakan semakin besar penulis-penulis dari anak didik yang mengikutinya. Tidak jarang dari pihak luarpun mengirimkan poster ataupun pengumuman mengenai perlombaan karya tulis. Misalnya, Departemen Luar Negeri mengadakan lomba karya tulis yang bertemakan ASEAN. Majalah Lip Ice mengadakan juga lomba ini yang bertema kehidupan remaja dan lainnya. Kegiatan pengembangan lainnya dalam menulis, yakni kegiataan ekstrakurikuler. Pada umumnya pendidik bahasa seperti bahasa Inggris menekankan pada kegiatan yang aktif seperti speaking, storry telling, drama, dan lainnya. Hal ini tidaklah menutup kemungkinan pendidik menerapkan dan mengembangkan kegiatan menulis yang bersifat pasif. Demikian juga dalam ekstrakurikuler Bahasa Indonesia, kegiatan menulis bisa lebih banyak diterapkan pada anak didik. Program ekstrakurikuler memiliki program khusus untuk pengembangan menulis dan pendidik sangatlah berperan penting dalam mengadakan pengembangan menulis ini. Pendidik ini haruslah memiliki keterampilan menulis yang lebih baik dan menjadi model penulis bagi anak didik dalam arti, karya tulisnya sudah pernah dipublikasikan, di tabloid, jurnal, maupun buku-buku lainnya. Keterampilan pendidik seharusnya lebih baik dengan terus menerus mengembangkan karya tulisannya dan keterampilan itu kemudian bisa diteruskan kepada anak didiknya. Hal yang perlu diperhatikan ialah bagaimana agar ide penulisan anak didik dalam menulis tidak terhambat . Seringkali ditemukan pada saat proses menulis, anak didik sulit menuliskan isi cerita. Hal ini dikarenakan anak didik terus menerus memikirkan kata-kata yang baik dan indah serta tata bahasa penulisannya harus tepat dan hal-hal seperti inilah yang seringkali terjadi dalam mengawali proses menulis. Oleh karena itu pendidik perlu mengembangkan diri mereka untuk mengatasi masalah yang sangat penting dalam proses menulis. Sebagai contoh, pendidik memberikan beberapa tema yang menarik untuk dipilih sesuai dengan minat anak didik. Kemudian pendidik menganjurkan untuk menuliskan apapun yang ada dalam benaknya dan hatinya tanpa proses mengedit, baik tata bahasa, maupun kata-kata yang benar dan indah dibaca. Memperluas Kosa kata Setelah menuliskan cerita secara utuh, anak didik diminta untuk mengedit kata yang benar dan tepat sesuai ejaan yang disempurnakan. Anak didik boleh menggunakan kamus Tesaurus yang dipakai untuk menggantikan kata-kata yang tergolong sama artinya. Tujuan memanfaatkan kamus ini ialah untuk memperindah penulisannya. Keraf (2006) mengemukakan cara memperluas kosa kata yakni, (1) proses belajar, (2) konteks, (3) kamus, dan (4) menganalisa kata. Proses Belajar Pendidik memiliki peranan utama dan penting untuk memperluas kosa kata anak didik. Tidak hanya dalam bidang studi bahasa tetapi juga bidang studi non bahasa mulai memperkenalkan istilah-istilah dengan uraiannya. Dengan penjelasan dan uraian yang baik, anak didik lebih mampu mengingat dan mengaplikasikannya. Misalnya saja mendefinisikan kosa kata bahasa Inggris melalui bahasa Inggris atau menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Contoh : -actor: pemain pria film -director: sutradara Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 27 Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis Konteks Kata dalam sebuah kalimat memiliki makna yang berbeda. Walaupun kata tersebut dalam pengucapannya sama. Akan tetapi dalam hal arti dan maknanya akan berbeda. Anak didik dapat memperluas kosa kata melalui konteks lisan maupun tertulis. Dalam konteks tertulis, anak didik lebih banyak memiliki waktu untuk memahami secara berulang-ulang. Ia dapat memahami makna sebuah kata kapan saja ia menginginkan sesuai dengan kebutuhannya. Jika dalam konteks lisan, anak didik sedikit mengalami kesulitan apabila ia mendengar seorang pembicara mengeluarkan kata-kata baru atau kata yang pertama kali didengarnya. Ia bisa saja mencari makna tersebut dengan sebuah kamus, namun ia akan kehilangan kata-kata baru berikutnya yang diucapkan pembicara saat ia mencari kata yang ingin dicari dalam kamus. Contoh : - Bisa ular mampu membunuh mangsanya - Pria tampan itu bisa merayu lawan jenisnya. Melalui kata yang memiliki beda arti dan makna, anak didik semakin mampu menambahkan pengetahuan kepada pembaca melalui karya tulisnya. Anak didik semakin terbiasa menggunakan kata yang sama tetapi dalam konteks yang berbeda. Dengan adanya latihanlatihan akan kata untuk membuat kalimat, mereka akan semakin mengetahui arti dan makna yang berbeda pula. Selain itu anak didik akan mengetahui dan memahami kata-kata apa saja yang memiliki arti dan makna berbeda dalam sebuah konteks. Melalui buku bacaan, ceramah dan kegiatan belajar mengajar di sekolah atau lingkungan masyarakat. Kamus Untuk memperluas kosa kata, anak didik pun memerlukan kamus. Terdapat tiga jenis kamus, yakni kamus, kamus sinonim, dan tesaurus. Saat anak didik menemukan kata-kata baru melalui buku bacaan ataupun secara lisan dan penceramah atau pembicara, kamus ini berfungsi untuk mengetahui makna dari sebuah kata. Kamus ini juga berfungsi membenarkan dan memperbaiki dugaan kita akan arti kata. Pada umumnya kamus yang sering digunakan ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus ini memiliki penjabaran akan definisi sebuah kata dengan baik. Kamus lainnya yang sebaiknya digunakan seorang penulis, anak didik, ialah kamus sinonim. Kamus ini 28 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 berfungsi untuk mencari kata yang berbeda namun memiliki arti yang sama. Ataupun untuk membedakan konotasi-konotasi yang timbul oleh kata-kata yang tampaknya mempunyai arti yang sama, tetapi tidak dapat saling melengkapi. Kamus lainnya ialah tesaurus, kamus ini merupakan khasanah kata untuk keperluan sendiri. Pada umumnya penulis, anak didik, menuliskan kata yang seringkali ia gunakan dalam penulisan. Sehingga kata ini akan sering ditemukan dan terasa hambar oleh pembacanya. Oleh karena itu, kamus ini berguna untuk menggantikan kata yang sama dengan kata lainnya. Kamus ini memang hampir serupa dengan kamus sinonim. Tetapi, oleh karena perkembangan bahasa yang semakin meningkat, masyarakat Indonesia lebih memilih kamus tesaurus yang memiliki kata sinonim yang lebih luas. Sehingga kamus sinonim yang dirasakan kurang memiliki kosa kata yang lebih banyak dan luas ruang lingkupnya, menjadi tergantikan akan adanya kamus tesaurus ini. Selain itu kamus ini pun memperindah tulisan si penulis. Misalnya saja kosa kata yang dipakai terlalu umum dan kaku, sehingga si penulis memakai kata lain yang bersifat umum dan lebih popular. Contoh: 1) bakat: darah, talenta, pembawaan, kodrat 2) inovasi: kebaruan, mutasi 3) menulis: mencatat, menyurat, mengarang, menggubah Menganalisis Kata Untuk memperluas kosa kata anak didik, terdapat cara lainnya yakni menganalisis kata. Menganalisa kata dalam bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Sansekerta, latin dan Yunani. Dan artefiks bahasa Indonesia mengenal konsep akar kata. Akar kata ini merupakan hasil dari sebuah analisa hipotesis karena tidak produktif lagi. Misalnya akar kata kit yang diperkirakan berarti naik ‘yakni, ungkit, bukit, bangkit dan sebagainya. Sedangkan prefiks, dalam bahasa Yunani dan latin, banyak dipergunakan untuk membentuk kata-kata atau istilah baru. Misalnya : Auto (sendiri) : autobiografi, automobile, autodidak, automotif, dan lain-lain. Trans (seberang, lewat): transisi, transport, transportasi, transfer, transfuse dan lainnya. Dalam menganalisis kata ini, dimaksudkan agar anak didik memahami unsur kata yang ia Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis pergunakan. Memahami melalui akar kata dan prefiks memudahkan siswa menggunakan kata yang tepat dengan makna yang disampaikannya. Sehingga anak didik memahami akar kata-kata baru yang ia temukan lalu menerapkannya dalam tulisannya. Mendayagunakan Kata yang Tepat Anak didik sebagai penulis perlu memperhatikan kata-kata dalam penulisan yang ia pergunakan. Seluruh kata dalam suatu Bahasa adalah baik dan benar. Namun bila penulisan tanpa penyesuaian tempat si pembaca, akan merusak suasana atau menyinggung perasaan si pembaca. Kata yang formal sebaiknya digunakan dalam situasi formal atau kata yang informal di pakai untuk situasi informal. Misalnya saja anak didik menuliskan suatu cerita untuk pembaca masyarakat umum. Ia seharusnya memakai kata-kata populer. Atau menggunakan kata-kata ilmiah untuk pertemuan-pertemuan resmi, diskusi-diskusi khusus dan lainnya yang bersifat lebih formal. Contohnya: Kata Populer Kata Ilmiah s e s u ai harmonis aneh eksentrik bukti argumen maju modern pertentangan kontradiksi Dengan memperhatikan dan mengenal pembaca secara baik, tentulah penulis, anak didik, akan mempergunakan pilihan-pilihan kata yang sesuai pada tempatnya. Selain itu, bahasa si penulis lebih mudah dimengerti maksud dan tujuannya dalam isi tulisan cerita. Mendayagunakan kata yang tepat dan sesuai juga akan menarik perhatian si pembaca. Manfaat lainnya yang akan didapat anak didik ialah royalty. Bila kelak anak didik sukses menuliskan dan menerbitkannya, ia akan mendapatkan konsumen pembaca yang lebih banyak. Dalam hal ini ia akan mendapatkan royalty dari hasil penjualan. Bahkan ia pun akan lebih dikenal namanya dengan populer sebagai penulis muda berbakat di kalangan masyarakat umum. Ia pun dikenal juga sebagai anak didik berprestasi dan berbakat. Untuk mewujudkan semua ini tidaklah mudah, ia harus terus menerus meningkatkan karya tulisnya dengan baik dan memperhatikan katakata penulisan yang tepat. Upaya-upaya tersebut di atas memacu anak dalam pengembangan karya tulis. Selain itu menumbuhkan minat baca yang tinggi terhadap buku-buku pendidikan. Bahkan upaya-upaya tersebut menjadikan anak didik sebagai bibit penulis yang baik dari usia dini sehingga kelak ia pun bisa mengembangkan dan melanjutkan bakatnya melalui karya tulis yang ia ciptakan. Sehingga penulis-penulis ini kelak membantu sarana pendidikan, terutama buku ajar sekolah. Kegiatan pengembangan bakat menulis ini sebaiknya dilakukan secara rutin, seperti halnya dalam kegiatan writing dalam bidang studi Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Akan tetapi ada kalanya anak didik memerlukan suatu tempat yang khusus untuk menuliskan buah pikirannya. Misalnya saja ia perlu tempat yang tenang, seperti kamar pribadinya, ruang belajar, perpustakaan atau tempat lainnya. Selain itu pendidik seharusnya memberikan tema penulisan yang menarik dan beragam serta memberikan kebebasan kepada anak didik untuk memilih tema yang sesuai dengan keinginannya. Memotivasi dengan cara tersebut diatas seperti dengan adanya perlombaan menulis di sekolah, program ekstrakurikuler menulis, maupun dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) perlu diupayakan pendidik dengan baik sebagai pengembangan bakat menulis anak didik. Kesimpulan Pendidik seharusnya melihat gaya belajar anak didik yang berbeda yakni: auditorial, visual, kinestetik dan menyesuaikannya dengan metode writing yang baik dan menarik. Sehingga anak didik merasa tertarik untuk melakukan proses menulis dan terlibat aktif bekerjasama bersama rekannya dalam metode collaborative writing. Alat pembelajaran yang menarik seperti musik instrumental bermanfaat untuk mengembangkan bakat menulis anak didik melalui perasaan dan emosinya saat mendengarkan alunan musik instrumental. Sehingga bagi anak didik yang memiliki gaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 29 Inovasi Pembelajaran untuk Mengembangkan Bakat Menulis belajar auditorial merasa tertarik untuk menulis melalui musik. Metode instant writing dengan menggunakan gambar acak, gambar berangkai, gambar deskriptif bermanfaat untuk membantu proses menulis cepat atau instant writing bagi anak yang memiliki gaya belajar visual. Pendidik seharusnya mempersiapkan gambar-gambar yang beragam dan menarik. Sehingga anak didik mampu dan mengembangkan bakat menulis dengan baik melalui ketertarikannya. Metode collaborative writing melatih anak didik berpikir kreatif dan aktif untuk menuangkan kembali isi cerita yang telah diperdengarkan atau melalui gambar berangkai yang dibentuk secara acak. Sehingga anak didik mampu bekerjasama dalam mengemukakan pendapatnya untuk menuliskan suatu cerita berdasarkan gambar tersebut. 30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Daftar Pustaka Alwi, Hasan. (2005). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Elbow, Peter. (2007). Writing without teachers. PT. Indonesia Publishing Harmer, Jeremy. (200). How to teach writing. Longman Harmer, Jeremy. (2002. How to teach vocabulary. Longman Harmer, Jeremy. (1999). How to teach grammar. Longman Keraf, Gorys. (2006). Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Lou, Robby. (2006). English grammar and how to use it. Jakarta: Gramedia Zaqeus, Edy. (2008). Resep cespleng menulis buku best seller. Finstar Publishing. Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran Opini Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran Rommel K. Sitanggang*) Abstrak embaca merupakan langkah awal untuk mengetahui pengetahuan atau pengalaman baru. Namun sering anak didik hanyalah sekedar membaca dan memahami. Mereka kurang memperhatikan dan memanfaatkan potensi kecerdasan dirinya setelah membaca. Tulisan ini menguraikan bagaimana membaca dapat meningkatkan kecerdasan dan pola pikir untuk menciptakan hal yang baru. Dalam tulisan ini diperkenalkan teknik membaca yang baik, untuk mengarahkan siswa memanfaatkan kecerdasan intelektualnya, dalam kehidupannya seperti di sekolah dan lingkungannya. M Kata kunci: Membaca cepat, belajar dengan gerakan, membaca auditori, membaca visual, belajar intelektual. Reading is one of initial steps to obtain knowledge or new experience. Nevertheless, the students do reading mostly just for reading and understanding, not to develop their intelligence. This article explains some reading techniques to maximize students’ reading potential. Futher ,it also discusses good reading techniques encouraging the students to implement their knowledge the achieve through reading in their real life. Pendahuluan Di sekolah pada umumnya anak didik menggunakan waktu istirahatnya untuk makan dan minum untuk menambah energinya. Setelah istirahat kedua, anak didik pun kurang memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca di kelas atau perpustakaan sekolah. Minat membaca anak didik tergolong masih rendah. Hal ini menunjukkan, siswa kurang menyadari manfaat membaca. Mereka pun hanya mengetahui bahwa tujuan membaca hanya sekedar mencari informasi yang ditanyakan guru. Selain itu, membaca hanya dilakukan pada waktu dan situasi tertentu serta biasanya hanya dalam bidang studi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini terjadi karena dalam kedua bidang studi ini terdapat kegiatan membaca atau reading. Selain itu, minat membaca buku pendidikan sangat minim. Anak didik lebih menyukai bacaan yang disertai gambar-gambar lucu atau seru yang biasanya ditemukan pada buku komik atau buku fiksi lainnya. Kebiasaan membaca yang kurang juga dipengaruhi oleh kebiasaan dan kemampuan membaca anak didik. Saat membaca, anak didik memiliki kebiasaan lama yakni membaca dengan bersuara, membaca dengan mulut berkomat-kamit, dan kurang melebarkan jangkauan mata terhadap kalimat. Bahkan anak didik kurang memaksimalkan kemampuan daya ingat setelah membaca. Sehingga mereka seringkali membaca ulang. Hal ini akan menghabiskan waktu ketika anak menghadapi ulangan *) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 31 Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran membaca (reading). Ia merasa khawatir pemahamannya berbeda dengan ketika membaca pertama. Pada hakikatnya anak didik memiliki kemampuan membaca pada dirinya, akan tetapi ia kurang memiliki pengetahuan meningkatkan potensi membacanya dan belum memanfaatkan seutuhnya kecerdasan intelektualnya dalam membaca, sehingga anak belum mampu mengukir prestasi dalam membaca dan menciptakan kreatifitas potensi membacanya. Pembahasan Membaca cepat Wainwright (2007) mengemukakan bahwa kecepatan membaca dan pemahaman bukanlah dua unsur yang terpisah dalam proses membaca. Kecepatan membaca bergantung pada kecepatan memahami isi bacaan.Semakin mudah memahami isi bacaan, semakin tinggi pula kecepatan membacanya. Ketebalan bahan bacaan juga mempengaruhi motivasi membaca. Buku bacaan yang memiliki sekitar 200 halaman kurang memotivasi anak didik membaca. Mereka lebih senang memilih bacaan yang menyenangkan dan tipis halamannya, terlebih lagi bacaan yang memiliki gambar seperti novel, komik, dan lainnya yang belum tentu mengandung unsur pendidikan. Oleh karena itu, diharapkan para guru dan orang tua memotivasi anak didik mengubah bahan bacaan dan cara membaca yaitu membaca cepat. Untuk melakukan teknik membaca cepat, terlebih dahulu guru memilih sumber bacaan yang tepat atau sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Misalnya pelajaran bahasa Indonesia, guru memilihkan karya sastra berupa cerita pendek mengenai cerita pahlawan nasional Indonesia. Atau, novel Laskar Pelangi yang cukup populer saat ini karena mengandung unsur persahabatan, ketekunan, kreatifitas dalam kehidupan masyarakat menengah ke bawah namun berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan memilih bahan bacaan yang tepat dan menyenangkan bagi anak didik, tentulah akan mengubah pola membaca yang kurang efektif selama ini. Membaca cepat sebaiknya dilakukan di kelas masing-masing atau perpustakaan supaya lebih menyenangkan dan rileks. Selanjutnya anak didik melanjutkan teknik membaca di rumah. 32 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Terkadang anak didik kurang termotivasi membaca buku karena kemungkinan terdapat berbagai faktor dalam diri anak tersebut. Namun dengan strategi pembelajaran yang tepat, keadaan ini dapat di atasi. Misalnya, memberikan penghargaan berupa nilai tambahan untuk nilai ulangan hariannya bila ia mampu membaca cepat dan mengingat informasi bacaan yang telah ia lakukan dan mengutarakannya di depan kelas. Guru dapat juga menghargai kemampuan membaca anak didik dengan katakata yang memotivasi. Teknik membaca cepat tidak hanya bermanfaat bagi anak didik tetapi juga masyarakat umum yang memiliki waktu terbatas untuk membaca. Misalnya, para pekerja mampu menyelesaikan pekerjaan kantornya untuk mengedit laporan dari sejumlah buku yang terbilang banyak. Atau mahasiswa yang sedang mengumpulkan bahan skripsinya dengan beberapa buku untuk mendapatkan informasi yang saling berkaitan. Manfaat membaca cepat bagi anak didik, sebagai berikut. Pertama, menguasai bahan materi yang diajarkan guru dan lebih siap menerima bahan ajar yang akan diberikan selanjutnya oleh guru tersebut. Kedua, melatih kebiasaan membaca secara cepat dan efektif. Pada umumnya, anak sering membaca dengan bersuara atau vokalisasi, gerakan mata pada saat fiksasi tidak lebar, atau gerakan bibir dan mulut seperti berkomat-kamit pada saat membaca. Dengan membaca cepat, kebiasaan ini dapat dihilangkan. Ketiga, meningkatkan daya ingat akan informasi bacaan. Dengan membaca cepat, informasi mengenai bacaan lebih terserap dengan baik. Hal ini dikarenakan saat membaca dengan cepat, konsentrasi pemahaman pada bacaan lebih tinggi. Sama halnya dengan mengendarai motor atau mobil dengan kecepatan tinggi, mata akan lebih berkonsentrasi untuk melihat gerakan benda lain di setiap sisi, baik sisi depan, samping maupun belakang. Demikian juga halnya berkonsentrasi dalam membaca cepat. Keempat, meningkatkan prestasi anak. Dengan teknik ini, anak didik semakin berprestasi terutama anak didik yang mengikuti English Competition berupa news reading. Anak didik yang menguasai teknik membaca cepat lebih mudah menguasai membaca berita dengan baik. Anak didik lebih termotivasi meningkatkan prestasinya melalui metode membaca cepat. Dengan catatan, anak didik menguasai pelafalan dan intonasi dalam bahasa Inggris dengan baik. Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran Belajar dengan Gerakan Dave Meier, penulis buku The Accelerated Learning Handbook, menggagas teknik membaca total gaya SAVI (Somatis, Auditorial, Visual, Intelektual). Somatis berasal dari bahasa Yunani yang berarti tubuh. Jadi belajar somatis merupakan belajar dengan melibatkan indra tubuh untuk melakukan gerakan yang sesuai pada saat membaca. Pada umumya, buku bacaaan yang mendorong untuk melakukan teknik somatis ini, ialah buku bacaan bahasa Inggris dan buku olahraga. Namun tak menutup kemungkinan buku lainnya bisa menjadi sumber bacaan yang bermanfaat untuk menciptakan gerakan dengan melibatkan tubuh. Biasanya teknik ini bermanfaat saat anak didik duduk di bangku sekolah dasar, tetapi siapapun juga bisa melakukan teknik ini. Misalnya, dalam pelajaran bahasa Inggris di SMP, guru mengajarkan tentang nama-nama anggota tubuh dalam bahasa Inggris. Guru membacakan nama anggota tubuh seperti head (kepala), forehead (dahi), eyebrow (alis mata), dan sebagainya. Tentu saja sebagian besar siswa sudah mengenal nama anggota tubuh seperti yang disebutkan di atas. Pendidik dapat mengembangkan proses pembelajaran melalui teknik ini dengan gerakan. Misalnya, menyuruh anak didik mengedipkan mata (flick your eye), menggelengkan kepala (shake your head), mengganggukan kepala (nod your head), dan sebagainya. Teknik yang sama dapat juga dilakukan pada pelajaran olahraga. Teknik ini bermanfaat sekali untuk melakukan gerakan pada saat membaca. Sebelumnya anak didik belajar menguasai teknik permainan basket dalam membaca. Namun sebagian anak didik belum tentu mengerti akan teknik permainan seperti: pivot, dribble, passing, dan teknik lainnya. Mereka hanya mengenal nama teknik permainan ini saja dengan menghafal istilah teknik permainan ini. Oleh karena itu, sebaiknya guru mengajarkan istilah teknik permainan ini, lalu mempraktekkannya dengan gerakan tubuh. Seperti pivot, guru memberikan contoh melalui gerakan memutar dengan satu kaki pada saat menggiring bola. Dengan melibatkan gerakan tubuh pada saat membaca maupun sesudah membaca, anak didik akan termotivasi untuk membaca pelajaran tersebut. Selain itu, teknik ini menjadikan suasana belajar menyenangkan. Melalui gerakan ini berarti sama halnya dengan bermain, sehingga anak didik lebih menyukai pelajarannya. Bahkan anak didik berpikir kreatif untuk menciptakan gerakan dalam bahasa Inggris. Misalnya melalui gerakan jari tangan, anak menggerakkan jarinya dengan menunjukkan jari (appoint your finger), membengkokkan jari (curly your finger), melambaikan tangan (wave your hand), dan sebagainya. Anak didik tidak hanya menampilkan gerakan kreatifnya, tetapi juga memperkaya kosakata bahasa Inggrisnya. Selain itu, teknik ini bermanfaat untuk meniru gerakan tubuh. Dalam story telling, peserta didik berusaha sebaik mungkin menampilkan gerakan tubuh menjadi aktor utama misalnya dalam cerita Cinderela. Tidak hanya menceritakan cerita ini dengan pelafalan dan intonasi yang baik, tetapi juga gerakan meniru gadis Cinderela yang penampilannya seperti pelayan rumah tangga. Atau ketika Cinderela melakukan gerakan tarian bersama pangerannya dan gerakan lain yang bisa ditiru oleh anak didik. Membaca Auditori Membaca auditori merupakan membaca dengan keras melalui suara dengan latihan membaca dan mendengar. Pada umumnya anak didik melakukan teknik membaca auditori melalui berbicara, yakni membaca puisi, story telling, speech, dan lainnya. Ketika bercerita mengenai dongeng ataupun cerita lainnya, anak didik akan membaca dengan keras. Hal ini dilakukan juga sebagai latihan mendengar. Latihan mendengar bermanfaat untuk mengecek kebenaran pelafalan dan intonasi dalam cerita anak tersebut. Untuk mengefektifkan teknik membaca auditori, sebaiknya guru membe-rikan latihan membaca seperti menceritakan kembali (story telling) atau melalui pidato (speech) kepada anak didik. Khususnya dalam bidang studi bahasa Inggris, guru lebih menekankan pada keterampilan ini. Guru tidak hanya mengajarkan tentang grammar (tata bahasa) yang bersifat pasif, tetapi juga memberikan skill yang mengarahkan anak didik berprestasi melalui English Competition. Setelah berhasil mengefektifkan teknik membaca auditori, guru sebaiknya mengajarkan cara membaca yang tepat dan intonasi kalimat intonasi yang sesuai. Hal ini bisa terbantu melalui kamus bahasa Inggris yang baku. Banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui teknik ini, antara lain sebagi berikut. 1. Melafalkan kata dengan tepat dan benar. Melalui teknik ini, anak didik akan melafalkan kata secara tepat. Selain itu, ketika membaca suatu bacaan lainnya, anak Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 33 Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran didik akan memiliki kebiasaan baru untuk membaca dengan lafal yang tepat. 2. Memperkaya kosakata Teknik ini juga mendorong anak didik memperkaya perbendaharaan kata, misalnya seperti kata adventure, adventurer, adventurous. Anak didik tidak hanya mengenal dan mengetahui kata tersebut, tetapi juga berpikir kreatif mengubah kata adventure (noun) ke kelas kata yang berbeda; adventuros (adj). 3. Mendorong prestasi anak Teknik ini juga bermanfaat untuk siswa yang sudah berprestasi, terutama yang pernah mengikuti English Competition seperti speech, story telling, news reading, dan lainnya. Teknik ini meningkatkan prestasi anak untuk menjuarai perlombaan. Di samping itu, juga memperluas pengalaman di luar sekolah, yakni menambah kekerabatan antar sekolah, tampil berani di depan umum, menerima kegagalan dengan jiwa besar apabila ia kalah dalam kompetisi tersebut. 4. Menemukan bakat unik siswa Melalui membaca auditori guru lebih mudah menemukan bakat yang terpendam dalam diri seorang anak. Guru yang berpengalaman, tentulah lebih mengenal anak didiknya untuk menemukan dan menggali bakatnya yang terpendam. Teknik membaca ini pada umumnya lebih cocok diajarkan pada anak didik yang berani tampil di depan kelas atau berbicara dominan di antara anak didik lainnya. Namun dapat terjadi guru menemukan sebagian anak didik tidak terlalu menyenangi teknik membaca auditori, karena berbagai faktor. Namun, setidaknya guru sudah bisa mengajarkan bagaimana melafalkan kata yang tepat dan benar kepada anak didik yang minatnya kurang terhadap teknik ini. Membaca Visual Teknik membaca visual merupakan teknik membaca yang menjadikan suatu konsep dapat terlihat dengan indra penglihatan. Teknik ini memerlukan buku bacaan yang memberikan gambar, ikon, diagram, peta dan sebagainya. Buku bacaan yang bergambar, dapat merangsang anak untuk lebih berkonsentrasi dan memudahkan anak didik memahami suatu bacaan atau bahan ajar yang sedang dipelajari. Selain itu, buku yang bergambar memotivasi anak didik menggunakan waktu luangnya untuk 34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 membaca. Semakin banyak buku yang tersajikan dalam bentuk isi pengetahuan yang berbeda, anak didik akan semakin gemar membaca buku pengetahuan yang beragam. Namun, sering guru mengajarkan bahan ajarnya secara auditorial kepada anak didik, terlebih lagi pada anak didik yang belajar secara visual. Berbagai mata pelajaran/bidang studi sepert sejarah, PLKJ (Pengetahuan Lingkungan Kota Jakarta) dan lainnya, belum memanfaatkan gambar sebagai alat belajar visual. Materi visualisasi yang dicip-takan dan diajarkan menjadi esensi kepemim-pinan yang sukses dan melalui materi ini banyak anak didik terbantu pemahamannya. Bahkan anak didik akan memperoleh kesuksesan dari materi visual yang ia ciptakannya di masa depannya kelak. Oleh karena itu, sebaiknya guru berusaha untuk memvisualkan bahan ajarnya, misalnya, melalui Microsoft Power Point (huruf), Microsoft Publisher, Microsoft Excel (angka) atau dengan mengunduh gambar yang berkaitan dengan bahan ajar serta menarik. Teknik membaca visual tidak hanya mendorong guru kreatif memvisualkan bahan ajarnya tetapi juga mendorong dan meng-arahkan siswa untuk berimajinasi. Teknik ini mendorong dan memikat anak didik untuk mencipta hal yang baru mengenai gambar. Pada umumnya pelajaran seni lukis atau desain grafis mendorong anak meningkatkan daya imajinasi, memvisualkan pandangannya menjadi gambar atau tulisan yang kreatif. Manfaat teknik membaca visual antara lain: 1. Memudahkan pemahaman Melalui sumber bacaan yang memberikan gambar sebagai alat visual, teknik ini memudahkan pemahaman anak didik belajar dan memampukan anak didik mengingat dalam jangka waktu yang lama. Teknik ini membuat suasana belajar menyenangkan karena pendidik tidak mengajarkan secara monoton, yang membuat anak bosan dan konsentrasinya menjadi lemah. 2. Meningkatkan daya imajinasi Teknik membaca visual mendorong anak berimajinasi dan meningkatkan daya imajinasinya. Misalnya, anak didik menerapkan keahlian imajinasinya untuk mengaitkan kata yang sulit dimengerti dengan gambar yang diimajinasikannya. 3. Mengembangkan potensi seni lukis Anak didik akan mengetahui perkembangan teknologi, misalnya membuat: brosur, poster, buku acara, dan lainnya dengan komputer. Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran Bahkan anak didik mampu mengkomunikasikan ide, hasil karya, dan memasarkan produknya kepada konsumen. Belajar Intelektual Meier (2002) mendefinisikan bahwa teknik belajar intelektual ialah “apa yang dilakukan dalam pikiran mereka secara internal ketika menggu-nakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.” Pada umumnya kegiatan membaca hanya memahami seperti mengenal tumbuhan berakar tunggal atau serabut pada pelajaran Biologi. Anak didik hanya mengenal jenis tumbuhan, dan tumbuhan ini bisa bertumbuh atau berbuah, bagaimana cara merawatnya dan lain sebagainya. Namun, semua kegiatan tersebut, hanya membuat peserta didik mengenal dan memahami tumbuhan. Dengan membaca, anak didik hanya mengerti namun tidak mempraktekkan dalam kehidupan sehari-harinya. Pengetahuan akan lebih bermakna kalau dipraktekkan atau diamalkan. Oleh karena itu, melalui teknik belajar intelektual anak didik lebih mengandalkan kecerdasannya untuk menciptakan pemahamannya menjadi pengalaman hidupnya. Contohnya, seperti di sekolah, lahan untuk menanam terbatas, tetapi dengan kecerdasan yang mereka miliki, anak didik mampu menciptakan hidroponik (tanaman air) untuk menanam. Selain itu, anak didik lebih memahami dan memilih jenis tumbuhan berakar serabut yang cocok untuk ditanam. Bahkan anak didik memanfaatkan barang bekas untuk pipapipa hidiroponik. Pada mulanya cukup sulit untuk menciptakan hidroponik dengan pengarahan dan pengawasan alat, akhirnya anak didik berusaha dan mampu menciptakannya. Hal penting dalam teknik membaca teknik intelektual ialah tugas guru mengarahkan anak didik menciptakan hubungan, makna, dan nilai dari kecerdasannya. Diharapkan guru tersebut memiliki pengalaman untuk mempraktekkannya atau sudah pernah melakukan keberhasilan pengalaman belajarnya. Tidak hanya pendidik mata pelajaran Biologi yang boleh dan mampu mengintelektualkan teknik belajar ini, pendidik lainnya pun sebaiknya berusaha mengembangkan kreatifitasnya, lalu menerapkannya kepada peserta didik untuk menciptakan nilai kecerdasannya, lalu menerapkan kepada anak didik. Berdasarkan teknik belajar intelektual, berbagai manfaatnya bisa kita peroleh antara lain, memanfaatkan kecerdasan anak, menciptakan nilai dan makna dari pengalaman belajar, mengkreatifkan pola pikir anak didik dan bekerjasama dalam kegiataan belajar antara anak didik dan guru Kesimpulan Dalam membaca buku, hal yang perlu diperhatikan oleh guru dan orang tua ialah memilih bahan bacaan anak yang tepat. Selain itu, guru sebaiknya memotivasi anak didik dengan reward yang tidak berupa uang dan benda berharga. Bahkan sebaiknya mengubah kebiasaan lama anak didik saat membaca, yakni seperti membaca cepat, tidak melakukan regesi, membaca tanpa vokalisasi. Di samping itu, perlu pula memilih dan mengarahkan tempat membaca yang tenang, nyaman dan menyenangkan, misalnya perpustakaan, kamar pribadi anak dan ruang belajar. Membaca dengan melibatkan anggota tubuh lebih baik daripada sekedar duduk dan diam. Melalui pelajaran kosakata bahasa Inggris, pendidik mengarahkan anak didik melibatkan gerakan anggota tubuh seperti mata, jari pada saat membaca kosakata (parts of body). Bahkan anak didik pun boleh dan mampu menciptakan gerakan tubuh yang kreatif setelah membaca buku. Pada pelajaran olahraga guru tidak hanya mengajarkan istilah olahraga dalam permainan basket seperti pivot, drible, passing dan lainnya. Tetapi juga mempraktekkan melalui gerakan untuk melakukan teknik tersebut. Dalam teknik belajar auditorial, guru memberikan latihan membaca seperti story telling dan speech. Latihan akan menjadi suatu keterampilan bagi anak didik dalam kehidupannya. Anak didik bisa memanfaatkan skillnya untuk English Competition sebagai story teller, speaker, news reader dan lainnya. Selain itu, guru juga mengajarkan cara melafalkan kata dengan tepat dan menggunakan intonasi sesuai situasi dan konteks. Membaca visual merupakan konsep yang dapat terlihat dengan indra penglihatan. Untuk mengefektifkan teknik membaca visual, hendaknya guru memvisualkan bahan ajarnya, seperti tulisan-tulisan yang dianimasikan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 35 Teknik Membaca dalam Proses Pembelajaran melalui power point atau mengunduh gambargambar menarik yang berkaitan dengan bahan ajar. Selain itu guru memotivasi imajinasi anak didik melalui pelajaran seni lukis dan desain grafis. Melalui pemahaman seni lukis yang diberikan, mereka berusaha menciptakan tulisan atau gambar yang unik dan kreatif dari teknik membaca visual. Dalam teknik belajar intelektual, anak didik sebaiknya mengandalkan kecerdasannya menciptakan pemahamannya menjadi pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, guru diharapkan mengarahkan dan mendorong anak didik menciptakan kecerdasan intelektualnya dalam pengalaman belajarnya seperti membuat tanaman hidroponik. Selain itu, guru sebaiknya mencari kreativitas dirinya menciptakan kecerdasan intelktualnya dalam proses pembelajaran untuk diterapkan kepada anak didik. 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Daftar Pustaka De Porter, Bobby dan Heinackie. (2003). Quantum learning; Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: Kaifa Hernowo, (ED). (2003). Quantum reading. MLC Meier, Dave. (2002). The accelerated learning handbook; panduan kreatif dan efektif merancang program pendidikan dan pelatihan. Bandung: Kaifa Rose. (1999). K.U.A.S.A.I Lebih cepat; Buku pintar accelerated learning. Bandung: Kaifa Soedarso. (2005). Speed reading. Jakarta: PT. Gramedia Wainwright, Gordon (2007). Speed reading better recalling. Jakarta: Gramedia Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Opini Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai Ukuran bagi Pendidikan yang Bermutu dan Implikasinya Soedijarto*) Abstrak alam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas melalui pendidikan, telah diterbitkan Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan pendidikan nasional. Undang-undang tersebut yang telah diubah/disempurnakan sebanyak tiga kali itu, memuat tujuan pendidikan nasional yang sekaligus dapat dianggap sebagai ciri bangsa Indonesia yang diharapkan. Tulisan ini membahas tujuan pendidikan nasional dan makna pendidikan yang bermutu serta modelnya, faktor yang mempengaruhi pendidikan yang bernutu serta indikatornya, dan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. D Kata kunci: Tujuan pendidikan nasional, mutu pendidikan, strategi penyelenggaraan pendidikan. To create intelligent Indonesian societies, the Goverment of Indonesia has issued regulations in managing national education system in which the national education objectivies are stated explicitly. This article discusses the national education objectives and its indicators, the factors influencing the quality of education and the strategy of managing quality education. Pendahuluan Sejak UU No. 4 Tahun 1950, melalui UU No. 2 Tahun 1989 dan terakhir UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggara Negara (Pemerintah dan DPR) nampak telah berusaha untuk menterjemahkan amanat yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan melalui diusahakan-nya dan diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional, sebagai terbukti dari rumusan tujuan pendidikan nasional yang hakekatnya menggambarkan karakteristik manusia Indonesai yang terdidik yang selalu meliputi dimensi karakter, kepribadian, di samping kecerdasan yang bila tercapai akan melahirkan generasi muda yang mampu mendukung terwujudnya masyarakat bangsa Indonesia yang cerdas kehidupannya. Lima puluh delapan tahun telah berlalu sejak Negara Indonesia yang merdeka, pada tahun 1950 telah memiliki UU No. 4 Tahun 1950 yang menegas-kan tentang tujuan pendidikan nasional, tetapi nampaknya tujuan pendidikan yang digariskan dalam setiap UU hanya menjadi bahan retorika dan tidak benar-benar dijadikan tolok ukur untuk menilai mutu pendidikan. Bahkan ironisnya akhir-akhir ini sementara pejabat memandang bahwa hasil Ujian Nasional dijadikan tolok ukur mutu pendidikan nasional. Padahal Ujian Nasional tidak mengukur karakter, dan kecerdasan dasar melainkan hanya mengukur penguasaan pengetahuan hasil menghafal. Dalam kondisi perkembangan pendidikan yang demikian, di satu pihak mengabaikan upaya mencapai tujuan pendidikan nasional, dan di pihak lain berbagai *) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 37 Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional ketentuan dalam UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang bila dilaksanakan secara konsisten akan dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pada kesempatan ini penulis secara berturut-turut akan menganalisis : (1) tujuan pendidikan nasional dan makna pendidikan yang bermutu serta indikatornya, (2) faktor yang mempengaruhi pendidikan yang bermutu, (3) strategi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, dan (4) catatan penutup. Ini berarti bahwa pendidikan nasional, terutama sistem persekolahannya harus mampu menghasilkan lulusan yang dapat mendukung terwujudnya “Bangsa yang cerdas kehidupannya”. Di sinilah pendidikan yang bermutu : yaitu pendidikan yang mampu menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, yang berkarakter, yang sehat jasmani dan rohani, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karakteristik manusia Indonesia yang demkian, sejak UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 sampai UU No. 20 Tahun 2003 dirumuskan sebagai tertulis berikut ini 1. Dalam UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 “Manusia susila yang cakap dan Pembahasan demokratis serta bertanggung jawab” I. Tujuan Pendidikan Nasional dan Makna 2. UU No. 2 Tahun 1989 “Manusia yang beriman dan bertakwa Pendidikan yang Bermutu serta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi Indikatornya pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan Para pendiri Republik sadar akan ketertinggalan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, masyarakat bangsanya pada saat proklamasi 17 kepribadian yang mantap dan mandiri Agustus 1945, hampir dalam seluruh aspek serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan kehidupan masyarakat, diukur dari perkemdan kebangsaan. bangan peradaban dunia baik politik, ekonomi, 3. UU No. 20 Tahun 200. “Manusia yang IPTEK, dan sosial budaya, meletakkan upaya beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai Maha Esa yang salah satu misi berakhlak mulia, penyelenggaraan sehat, berilmu, capemerintah Negara kap, kreatif, mandiri, Indonesia. Ini berSejarah perkembangan dunia dan menjadi warga arti harus ada upaya menunjukkan bahwa Negara yang demountuk melakukan keberhasilan pembangunan kratis serta bertangtransformasi gung jawab. suatu bangsa tergantung dari budaya, dari “budaPertanyaaannya sistem pendidikannya ya tradisional dan seberapa jauh pefeodal”, menjadi nyelenggaraan “budaya demokrapendidikan tis dan modern”, nasional sejak tahun 1950 telah berupaya untuk suatu upaya yang dalam bahasa Bung Karno mencapai tujuan pendidikan nasional? Yang suatu “Summing up of many revolution in one jelas kenyataan di lapangan menunjukkan generation”. Sejarah perkembangan dunia berbagai gejala seperti maraknya tingkah laku menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunkoruptif, belum tegaknya “rule of law”, an suatu bangsa tergantung dari sistem rendahnya budaya demokrasi, menunjuk-kan pendidikannya (Amerika Serikat dengan Thomas Jefferson, Jerman dengan Otto von Bismarcknya, bahwa cita-cita diselenggarakannya pendidikan Jepang dengan Kaisar Meijinya, dan akhir-akhir nasional sebagai tertulis dalam tujuan ini Malaysia dengan Mahatir, Korea Selatan pendidikan nasional seperti : “Manusia susila, dengan Park Chung Hee, dan China dengan Den manusia yang bertanggung jawab”, manusia Xiao Ping). Karena itu para pendiri Republik yang demokratis (UU No 4 Tahun 1950), dalam UUD 1945 pasal 31 menetapkan beriman dan bertakwa, berbudi luhur, “Pemerintah mengusahakan dan menyeleng- berakhlak mulia, bertanggung jawab, garakan satu sistem pengajaran nasio- demokratis, (UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No, 20 Tahun 2003), jauh dari tercapai. Kalau di nal”(sebelum amandemen). 38 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Negara lain (terutama Amerika Serikat) pasti muncul pertanyaan “What’s wrong with American Classroom?”. Di Indonesia dengan kondisi masyarakat seperti ini tidak mendorong lahirnya pertanyaan dari para elit “Apa yang salah dengan kelas-kelas sekolah di Indonesia?” Memang pada tahun 1998, sepuluh tahun yang lalu penulis, menghadapi krisis multidimensi, mengajukan pertanyaan “Apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia?” Pertanyaan yang penulis ajukan sama sekali tidak bergema. Yang dipersoalkan terutama Undang-undang bukan menyoroti “Apa yang dipelajari anakanak di sekolah?” Penulis tidak terkejut mengamati tiadanya elit politik yang tidak tersentuh dengan fenomena masyarakat dalam kaitannya dengan kondisi pendidikan terutama sekolah-sekolah, karena seorang pakar pendidikan-pun menyamakan “karakteristik manusia sebagai yang digariskan dalam UU Pendidikan, baik UU No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 Tahun 2003” dengan karakteristik malaikat sehingga sukar dicapai. Pakar ini benar sepanjang proses belajar di sekolah kita tidak lebih dari mendengar, mencatat, menghafal, dan menjawab soal dalam bentuk pilihan ganda. Tetapi bila sekolah benar-benar dapat dijadikan proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap sebagai yang diamanatkan dalam GBHN 1999 dan selanjutnya menjadi prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagai digariskan dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 dan karakteristik manusia sebagai yang dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 akan tercapai. Dari ulasan terdahulu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu penyelenggaraan akan dinilai sebagai bermakna bila lulusannya memiliki karakteristik dari manusia yang dalam UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut. 1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME; 2. Berakhlak mulia; 3. Sehat; 4. Berilmu; 5. Cakap; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; dan 9. Bertanggung jawab. Manusia Indonesia yang demikianlah yang akan mampu mendukung terwujudnya masyarakat bangsa Indonesia yang cerdas kehidupannya, yaitu masyarakat yang maju, modern, demokratis, rasional, makmur, dan berkeadilan berdasarkan Pancasila. Pertanyaan selanjutnya adalah: “Faktorfaktor apakah yang dapat mempengaruhi meningkatnya mutu pendidikan?” Bagian berikut akan mencoba menganalisisnya. II. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Pendidikan Seorang ahli ekonomi pendidikan Henry M Levin yang mempelajari faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan sampai kepada paradigma bahwa mutu pendidikan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang dialami peserta didik, sedangkan proses pendidikan dipengaruhi oleh kondisi dari ketersediaan sumber daya pendidikan termasuk didalamnya tenaga pendidik, sedangkan ketersediaan sumber daya pendidikan dipengaruhi oleh anggaran pendidikan, sedangkan anggaran pendidikan dipengaruhi oleh kebijaksanaan yang merupakan hasil proses politik, Secara diagramatik paradigma itu dapat digambarkan sebagai berikut. Proses Politik (1) Proses Kebijakan Politik (2) Anggaran Pendidikan (3) Sumber Daya Pendidikan (4) Proses Pendidikan (5) Hasil Belajar (6) Mutu Lulusan (7) Masyarakat Dari diagram yang menggambarkan sekuensial dari faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, jelaslah bahwa tidak mungkin kita mengharapkan meningkatnya mutu pendidikan bila kualitas proses pendidikan tidak ditingkatkan. Kualitas proses pendidikan tidak akan mungkin dapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 39 Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional meningkat bila sumber daya pendidikan, yang meliputi sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, dan manajemen pendidikan tidak dipenuhi dan ditingkatkan kualitasnya. Yang terakhir ini tidak mungkin dapat ditingkatkan kualitasnya bila tidak dipenuhi keperluan anggarannya. Dari PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah ditetapkan lingkup standar nasional sebagai yang tertulis dalam pasal 2 ayat (1) yang meliputi : (1) standar isi; (2) Standar proses; (3) Standar Kompetensi Lulusan; (4) standar Pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan. Dari ketentuan tersebut jelaslah faKtor-faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dari delapan lingkup yang perlu distandardisasi sesungguhnya standar kompetensi kelulusan, sesuai dengan paradigma yang diulas terdahulu, harusnya merupakan standar yang ketercapaiannya tergantung dari keterpenuhinya tujuh standar lainnya. Karena itu urutannya hendaknya menjadi: 1) Pendidik dan Tenaga Pendidikan 2) Sarana dan Prasarana 3) Isi 4) Proses 5) Sistem Evaluasi 6) Pembiayaan 7) Pengelolaan 8). Kompetensi lulusan Karena itu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan jangan dimulai dengan Ujian Nasional, kecuali kalau tujuannya hanya untuk pemetaan. Di samping itu model Ujian Nasional yang kita anut menghambat tercapainya tujuan pendidikan nasional. Karena tujuan pendidikan nasional yang menggambarkan karakteristik manusia Indonesia hanya akan tercapai melalui pendidikan sebagai proses pembudayaan. Untuk itu bagian berikut akan mencoba menganalisisnya. 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 III. Strategi Penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang Bermutu dan Implikasinya Berangkat dari paradigma bahwa mutu pendidikan tergantung dari mutu proses pendidikan dan proses pendidikan tergantung dari kualitas dan ketersediaan sumber daya pendidikan, agar mutu pendidikan meningkat tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kualitas proses pendidikan. Pertanyaannya adalah bagaimana menyelenggarakan sistem pendidikan yang memungkinkan para peserta didik dapat menghayati proses belajar sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap yang intinya tertulis dalam tujuan pendidikan nasional yang digariskan dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Sesungguhnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengandung filosofi bagi terjadinya proses belajar sebagai proses pembudayaan, seperti dapat dibaca dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 4 ayat (3) yang masing–masing tertulis: Pasal 1 ayat (1) : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Pasal 4 ayat (3) : Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dua ketentuan tersebut merupakan landasan yang kokoh bagi perlu dirancangnya proses pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan. Karena hanya proses pembelajaran yang demikianlah yang dapat mendukung terlaksananya fungsi pendidikan nasional sebagai yang digariskan dalam pasal 3 yang tertulis: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi pendidikan nasional sebagai yang tertulis dalam pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 hakikatnya sejalan dengan pernyataan Komisi Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Internasional UNESCO untuk Pendidikan menghadapi abad ke-21 yang mendudukkan pendidikan untuk “moulding character and mind of young generation”. Untuk kepentingan ini komisi tersebut menganjurkan diterapkannya empat pilar belajar : (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to live together; dan (4) learning to be. Pandangan penulis bahwa hakekat pendidikan sebagai yang tertulis dalam pasal 1 ayat (1) dan prinsip pendidikan yang tertulis dalam pasal 4 ayat (3) akan terwujud melalui penerapan empat pilar belajar tersebut. Yang menarik perhatian penulis adalah bahwa lima tahun setelah UU No. 20 Tahun 2003 berlaku belum ada tanda-tanda akan diterapkannya kaidah-kaidah tersebut. Kita masih menemukan proses belajar yang masih tradisional dalam bentuk mendengar, mencatat, menghafal. Praktek itu diperkuat dengan diterapkannya sistem Ujian Nasional yang dalam dirinya bertentangan dengan prinsip pendidikan demokrasi yang dianut UU No, 20 Tahun 2003. Karena hakekat pendidikan demokrasi disamping tidak diskriminatif juga mengutamakan upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Pertanyaannya adalah bagaimana proses pendidikan yang bermutu yang bermakna proses pembudayaaan yang menerapkan empat pilar belajar dapat terwujud? Ini dapat terwujud bila semua guru sudah berkualifikasi professional, setiap sekolah dilengkapi dengan sarana dan prasarana sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005, dan sistem evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus, komprehensif, dan obyektif. Hal ini hanya dapat terlaksana bila tersedia dana yang memungkinkan : (1) Setiap guru yang profesional mendapat jaminan kesejahteraan yang memadai (perumahan, asuransi kesehatan, dan penghasilan yang memadai untuk hidup sebagai profesional) ; (2) Setiap sekolah dilengkapi dengan kelengkapannya sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 yaitu ruang kerja guru, perpustakaan, laboratorium, tempat olah raga, ruang kesenian; dan (3) Setiap peserta didik memiliki buku pelajaran, buku bacaan, dan buku rujukan. Karena itu agar mutu pendidikan dapat meningkat sehingga pendidikan nasional dapat melaksanakan fungsinya diperlukan dana sekurang-kurangnya 20% APBN Kesimpulan Dari serangkaian ulasan dari bagian I sampai IV dapat ditarik beberapa catatan berikut. 1. Pendidikan nasional dapat dinilai bermutu bila lulusannya memiliki karakteristik sebagai yang terdapat dalam tujuan pendidikan seperti tertulis dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Dan mutu pendidikan yang demikianlah yang dapat memungkinkan sistem pendidikan nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa; 2. Fenomena terjadinya banyak korupsi, belum membudaya demokrasi sebagai sistem politik, belum mantapnya penegakan hukum, adalah wujud belum bermutunya pendidikan nasional; 3. Fenomena tersebut dalam butir 2 terjadi karena ketentuan tentang tujuan pendidikan nasional baik pada UU No. 4 Tahun 1950 Jo No. 12 Tahun 1954, UU No. 2 Tahun 1989, dan UU No. 20 Tahun 2003 belum pernah diupayakan pencapaiannya melalui penyelenggaraan pendidikan nasional yang relevan; 4. Agar tujuan pendidikan nasional tercapai yang berarti pendidikan yang menjadi bermutu, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) dan pasal 4 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, perlu diselenggarakan pendidikan yang memungkinkan peserta didik menghayati proses pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan. Untuk itu perlu diterapkan empat pilar belajar : (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to live together; dan (4) learning to be. 5. Agar peserta didik dapat menghayati proses pembelajaran sebagai yang dinyatakan dalam butir 4 perlu disediakan dana sekurang-kurangnya 20 % APBN. Daftar Pustaka ------- UU no. 20 Tahun 2003 ------- UUD 1945 ------- UU No. 12 Tahun 1954 ------- PP No. 19 Tahun 2005 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 41 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah Opini Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah David Wijaya*) Abstrak ewasa ini, persaingan antarsekolah semakin atraktif. Pemasaran untuk lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Sekolah sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan perlu belajar dan memiliki inisiatif untuk meningkatkan kepuasan pelanggan (siswa) karena pendidikan merupakan proses sirkuler yang saling mempengaruhi dan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan strategi pemasaran jasa pendidikan untuk memenangkan kompetisi antar sekolah serta untuk meningkatkan akselerasi peningkatan kualitas dan profesionalisme manajemen sekolah. D Kata kunci: Pemasaran jasa pendidikan, daya saing sekolah, lembaga pendidikan Nowadays, an interscholastic competition is more attractive. Marketing for the educational institution is absolutely needed. School as an educational service institution requires learning and having initiative to increase customer satisfaction (student) because education represents a circular process which influences each other and have continuation. Therefore, service marketing strategy of education is needed to win interscholastic competition, and also to increase acceleration of quality improvement and management professionalism of school. Pendahuluan Setiap kali kita mendengar kata pemasaran (marketing), maka pemikiran kita selalu tertuju kepada dunia bisnis. Hal ini wajar karena kata atau istilah marketing tersebut seringkali muncul dan berkembang di kalangan bisnis, baik bisnis jasa maupun bisnis manufaktur. Lalu, timbul pertanyaan apakah perlu memasarkan sekolah. Pemasaran untuk lembaga pendidikan (terutama sekolah) mutlak diperlukan. Pertama, sebagai lembaga nonprofit yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan, untuk level apa saja, kita perlu meyakinkan masyarakat dan “pelanggan” (peserta didik, orang tua, serta pihak-pihak terkait lainnya) bahwa lembaga pendidikan *) Dosen Universitas Krida Wacana Jakarta 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 yang kita kelola masih tetap eksis. Kedua, kita perlu meyakinkan masyarakat dan “pelanggan” bahwa layanan jasa pendidikan yang kita lakukan sungguh relevan dengan kebutuhan mereka. Ketiga, kita perlu melakukan kegiatan pemasaran agar jenis dan macam jasa pendidikan yang kita lakukan dapat dikenal dan dimengerti secara luas oleh masyarakat, apalagi “pelanggan” kita. Keempat, agar eksistensi lembaga pendidikan yang kita kelola tidak ditinggalkan oleh masyarakat luas serta “pelanggan” potensial. Dengan demikian, kegiatan pemasaran bukan sekedar kegiatan bisnis agar lembaga-lembaga pendidikan yang kita kelola mendapatkan peserta didik atau murid, melainkan juga merupakan bentuk tanggung jawab (accountability) kita kepada Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah masyarakat luas (publik) akan layanan jasa pendidikan yang telah, sedang, dan akan kita lakukan. Akhir-akhir ini, kita seringkali mendengar berbagai komentar tentang mutu pendidikan. Pada umumnya, komentar yang ada hanyalah sebatas wacana karena masyarakat melihat dan merasakan rendahnya mutu pendidikan tetapi sulit untuk membuktikan kebenaran dari komentar tersebut. Oleh karena itu, kita perlu mencari dari mana penyebab timbulnya wacana tersebut. Untuk membuktikan wacana tersebut, tidak cukup hanya menggunakan data Human Development Index (HDI) yang menjadi acuan untuk menunjukkan keadaan pendidikan kita dibandingkan negara lain. Data HDI tersebut tidak dapat menunjukkan keadaan pendidikan secara khusus karena variabel yang digunakan sebagai ukuran bukan hanya pendidikan, melainkan juga variabel kesehatan dan pendapatan per kapita. Beragam keluhan yang dilontarkan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan terhadap mutu pelayanan pendidikan perlu ditanggapi. Oleh karena itu, sangatlah tidak adil kalau mutu seluruh lembaga pendidikan beserta keluarannya disamaratakan karena banyak lembaga pendidikan yang baik dengan keluarannya yang baik pula. Lembaga pendidikan tersebut menjadi idaman bagi pengguna jasa pendidikan. Hal ini dapat digunakan sebagai indikator bahwa masih banyak lembaga pendidikan yang dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan keinginan konsumennya (siswa) serta lembaga pendidikan tersebut menghasilkan keluaran yang didambakan oleh masyarakat. Dewasa ini, persaingan antarsekolah semakin atraktif. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai upaya kreatif dan inovatif dari para penyelenggara pendidikan untuk terus menggali “keunikan dan keunggulan” sekolahnya agar semakin dibutuhkan dan diminati oleh para pengguna jasa pendidikan. Masuknya sekolah-sekolah unggulan dengan kurikulum bertaraf internasional serta lahirnya sekolah negeri maupun sekolah swasta yang menawarkan beranekaragam keunggulan fasilitas, bahkan dengan biaya yang relatif terjangkau, akan menambah maraknya persaingan di dalam dunia pendidikan. Kegiatan pemasaran di dalam dunia pendidikan yang dulu dianggap tabu karena berbau bisnis dan cenderung profit oriented, sekarang sudah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Sekolah sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan perlu belajar dan memiliki inisiatif untuk meningkatkan kepuasan pelanggan karena pendidikan merupakan proses sirkuler yang saling mempengaruhi dan berkelanjutan. Hal ini menjadi sinyal positif dalam hal peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Upaya sekolah untuk menggaet input yang lebih capable dan matang (calon siswa potensial) telah menjadi tuntutan yang wajib dipenuhi dalam rangka mendukung proses pembelajaran serta meningkatkan daya saing antar sekolah. Oleh karena itu, diperlukan strategi pemasaran jasa pendidikan untuk memenangkan kompetisi antar sekolah serta untuk meningkatkan akselerasi peningkatan kualitas dan profesionalisme manajemen sekolah. Definisi Jasa Dewasa ini, jasa pendidikan memegang peranan vital dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Akan tetapi, minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa pendidikan dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dekade terakhir ini. Keberhasilan jasa pendidikan dapat ditentukan dalam bentuk pemberian layanan yang berkualitas kepada para pengguna jasa pendidikan (siswa). Sebelum lebih jauh membahas mengenai pemasaran jasa pendidikan, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian jasa dari beberapa ahli sehingga pemasaran jasa pendidikan yang dimaksud dalam artikel ini dapat dipahami secara komprehensif. Menurut Lovelock (2004), jasa dapat didefinisikan sebagai berikut. 1. Tindakan atau perbuatan yang ditawarkan oleh suatu kelompok kepada kelompok lainnya. 2. Aktivitas ekonomi yang menciptakan nilai dan menyediakan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu. 3. Sesuatu yang dapat dibeli dan dijual. Senada dengan Lovelock, Zeithaml dan Bitner (2003) mengatakan bahwa jasa meliputi semua aktivitas ekonomi dengan output selain produk fisik atau konstruksi, yang pada dasarnya dikonsumsi dan diproduksi pada saat yang bersamaan, serta menyediakan nilai tambah (dalam bentuk kenyamanan, hiburan, ketepatan waktu, kesenangan, atau kesehatan) Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 43 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah yang pada hakekatnya tidak berwujud bagi para pembeli pertamanya. Sedangkan Kotler dan Keller (2006) mengemukakan pengertian jasa sebagai setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik. Pada bagian lain, Stanton (2002) mendefinisikan jasa sebagai aktivitas-aktivitas yang dapat diidentifikasi dan tidak berwujud yang merupakan obyek utama dari suatu transaksi yang dirancang untuk menyediakan kepuasan yang diinginkan oleh pelanggan. Lamb et al. (2001) memberikan pengertian jasa sebagai hasil dari usaha penggunaan manusia dan mesin terhadap sejumlah orang atau obyek. Jasa meliputi suatu perbuatan, kinerja, atau suatu upaya yang tidak dapat diproses secara fisik. Definisi jasa menurut Alex (2006) adalah suatu produk tidak berwujud yang melibatkan suatu perbuatan, kinerja, atau usaha yang secara fisik tidak dapat dimiliki. Komponen utama dari jasa adalah tidak berwujud, yang meliputi sewa barang, perubahan dan perbaikan barang yang dimiliki oleh pelanggan, dan jasa pribadi. Dari definisi yang dikemukakan oleh Lovelock, Zeithaml dan Bitner, Kotler dan Keller, Stanton, Lamb et al. dan Alex, maka dapat dikatakan bahwa jasa merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud, namun dapat dinikmati. Jasa merupakan tindakan atau perbuatan yang seringkali melibatkan hal-hal yang berwujud. Akan tetapi, jasa itu sendiri pada dasarnya tidak berwujud. Menurut Munir (1991), jasa adalah suatu bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu yang diberikan kepada orang lain (dalam hal ini pelanggan) agar kebutuhan pelanggan tersebut dapat terpenuhi sesuai dengan harapan mereka. Menurut Siagian (1998), jasa secara umum adalah upaya untuk memberikan kesenangankesenangan kepada pelanggan dengan adanya kemudahan-kemudahan agar pelanggan dapat memenuhi kebutuhannya. Dari definisi yang dikemukakan oleh Munir dan Siagian, maka dapat dikatakan bahwa jasa merupakan suatu kegiatan yang dilakukan 44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 untuk memberikan manfaat bagi pelanggan yang sesuai dengan harapan pelanggan. Dari pengertian jasa yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis di atas, maka dapat dikatakan bahwa jasa merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi untuk memberikan manfaat bagi pelanggan. Jasa merupakan tindakan atau perbuatan yang seringkali melibatkan hal-hal yang berwujud. Akan tetapi, jasa itu sendiri pada dasarnya tidak berwujud. Pada dasarnya, produk yang dihasilkan oleh sekolah adalah jasa pendidikan dan lulusan, yang disajikan kepada pelanggannya, yaitu siswa. Jasa pendidikan terbagi atas jasa kurikuler, penelitian, pengembangan kehidupan bermasyarakat, ekstrakurikuler, dan administrasi. Bentuk jasa pendidikan tersebut hendaknya sejalan dengan permintaan pasar atau keinginan pasar yang diikuti oleh kemampuan dan kesediaan dalam membeli jasa pendidikan. Sekolah hendaknya dapat berorientasi kepada kepuasan pelanggannya. Jasa pendidikan merupakan jasa yang bersifat kompleks karena bersifat padat karya dan padat modal. Padat karya berarti dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki keterampilan khusus dalam bidang pendidikan, sedangkan padat modal berarti membutuhkan infrastruktur pendidikan yang lengkap dan mahal. Klasifikasi Jasa Pengelompokkan jasa akan membantu kita dalam memahami manajemen jasa. Untuk menunjukkan beberapa masalah umum yang terjadi secara lintas sektoral, Schmenner (1986) mengelompokkan jasa ke dalam matriks proses jasa. Di dalam matriks ini, jasa diklasifikasikan menjadi dua dimensi yang secara signifikan mempengaruhi karakter proses penyampaian jasa, yaitu: 1. Dimensi vertikal Dimensi vertikal ini mengukur tingkat intensitas tenaga kerja, yaitu rasio antara biaya tenaga kerja terhadap biaya modal. Oleh karena itu, jasa ini memerlukan modal yang besar, seperti rumah sakit, yang berada di posisi baris bawah karena investasi awal yang berupa gedung rumah sakit beserta segala fasilitas dan peralatannya jauh diatas biaya tenaga kerja. Sementara itu, jasa Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah yang bersifat padat karya seperti sekolah, berada di posisi baris atas karena biaya tenaga kerjanya relatif lebih besar daripada kebutuhan modal kerjanya. 2. Dimensi horizontal Dimensi horizontal ini mengukur tingkat interaksi dan kustomisasi pelanggan, dimana variabel pemasaran yang menggambarkan kemampuan pelanggan itu mempengaruhi sifat-sifat jasa yang disampaikan kepadanya. Jika dibandingkan dengan jasa yang dikustomisasi, jasa yang distandarisasi memerlukan sedikit interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa. Misalnya, interaksi antara tamu hotel dengan duty manager tidak sebesar interaksi antara dokter dengan pasiennya. Itulah sebabnya maka pada matriks di bawah ini, terlihat bahwa hotel berada pada kolom kiri bawah, sedangkan dokter berada pada kolom kanan atas. Pada matriks strategi dalam Gambar 1 di bawah ini, jasa dikelompokkan ke dalam empat kuadran yang masing-masing diberi nama untuk menggambarkan sifat jasa yang diilustrasikan. beberapa jasa yang dapat dikustomisasi, tetapi hal ini masih dilakukan di dalam lingkungan dengan modal yang tinggi, seperti rumah sakit dan bengkel mobil. 3. Jasa massal (mass service) Pelanggan jasa massal akan menerima jasa yang seragam, yang dibuat dengan konsep padat karya, seperti sekolah, pedagang eceran, dan pedagang grosir. 4. Jasa profesi (professional service) Pelanggan jasa profesi akan menerima layanan khusus dari para spesialis dan bentuk layanannya berbeda-beda untuk setiap individu pelanggan, seperti arsitek, konsultan bisnis, akuntan, dan dokter. Kotler dan Keller (2006) mengklasifikasikan industri jasa menjadi 4 sektor, yaitu: 1. Sektor pemerintah, yang berada pada bisnis jasa, meliputi pengadilan, pelayanan ketenagakerjaan, rumah sakit, lembaga pemberi pinjaman, militer, kepolisian, pemadam kebakaran, kantor pos, lembaga pembuat peraturan, dan sekolah. 2. Sektor nirlaba swasta, yang berada pada bisnis jasa, meliputi museum, badan amal, gereja, perguruan tinggi, yayasan, dan rumah sakit. 3. Sektor bisnis, yang berada Gambar 1: Matriks Proses Jasa pada bisnis jasa, meliputi Tingkat interaksi dan kustomisasi perusahaan penerbangan, bank, jasa komputer, hotel, Mass Service Professional Service perusahaan asuransi, konsulTinggi tan hukum, konsultan manajeSekolah Dokter P e d a g a n g e c e r a n K o n s u l t a n b i s n i s men, praktek dokter, perusaTingkat intensitas tenaga kerja haan film, dan perusahaan real Service Factory Service Shop estat. R en d ah Maskapai penerbangan Rumah sakit 4. Sektor manufaktur, yang Hotel Bengkel mobil merupakan penyedia jasa, R en d ah Tinggi meliputi operator komputer, akuntan, dan staf hukum. Berdasarkan matriks di atas, jasa dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori sebagai berikut. 1. Pabrik jasa (service factory) Seperti halnya suatu pabrik, pabrik jasa menyediakan jasa yang telah terstandarisasi dan pada umumnya memerlukan investasi yang tinggi, seperti maskapai penerbangan dan hotel. 2. Toko jasa (service shop) Seperti halnya barang-barang yang dijual di sebuah toko, toko jasa menyediakan Karakteristik Jasa Pada dasarnya, jasa merupakan sesuatu yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang sifatnya tidak berwujud dan tidak memiliki dampak perpindahan hak milik. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteristik jasa yang perlu dipertimbangkan dalam merancang program pemasaran. Karakteristik jasa pendidikan di bawah ini diadaptasi dari pernyataan Tjiptono (2000) yang mengatakan bahwa jasa secara umum memiliki karakteristik utama sebagai berikut. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 45 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah 1. Intangibility (Tidak Berwujud) Jasa pendidikan tidak berwujud sehingga menyebabkan para pengguna jasa pendidikan tidak dapat melihat, mencium, mendengar, dan merasakan hasil pendidikan sebelum mereka mengkonsum-sinya (menjadi subsistem lembaga pendidikan). Akan tetapi, jika para pengguna jasa pendidikan telah mengkonsumsi jasa pendidikan, atau dengan kata lain, mereka telah menjadi lulusan lembaga pendidikan, mereka dapat merasakan dan melihat hasil keluaran pendidikan yang telah mereka terima. Oleh karena itu, tugas dari para pemasar jasa pendidikan adalah mentransformasi jasa pendidikan yang tidak berwujud menjadi manfaat pendidikan (lulusan) yang konkret. Untuk menghindari ketidakpastian, maka para pengguna jasa pendidikan akan mencari tanda atau informasi tentang kualitas jasa pendidikan tersebut. Tanda atau informasi tersebut dapat diperoleh berdasarkan letak lokasi lembaga pendidikan, lembaga pendidikan penyelenggara, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan, serta besarnya biaya yang ditetapkan. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan lembaga pendidikan untuk meningkatkan calon pengguna jasa pendidikan, yaitu sebagai berikut. a. Meningkatkan visualisasi jasa pendidikan yang tidak berwujud menjadi jasa pendidikan yang berwujud. b. Menekankan pada manfaat yang akan diperoleh (lulusan lembaga pendidikan). c. Menciptakan atau membangun suatu nama merek lembaga pendidikan (education brand name). d. Memakai nama seseorang yang sudah dikenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen (pengguna jasa pendidikan). 2. Inseparability (Tidak Dapat Dipisahkan) Jasa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu lembaga pendidikan yang menyediakan jasa tersebut. Artinya, jasa pendidikan dihasilkan dan dikonsumsi secara serempak (simultan) pada waktu yang bersamaan. Jika peserta didik membeli jasa, maka mereka akan berhadapan langsung dengan penyedia jasa pendidikan. 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Dengan demikian, jasa pendidikan lebih diutamakan penjualannya secara langsung dengan skala operasi yang terbatas. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dapat menggunakan strategi bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, atau melatih para penyaji jasa agar mereka mampu membina kepercayaan para pelanggannya (peserta didik). 3. Variability (Bervariasi) Jasa pendidikan bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandardized output, yaitu banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenisnya tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan. Ada tiga faktor yang menyebabkan variabilitas kualitas jasa pendidikan, yaitu: a. Partisipasi pelanggan (peserta didik) selama penyampaian jasa pendidikan. b. Moral atau motivasi guru dalam melayani pelanggan (peserta didik). c. Beban kerja sekolah. 4. Perishability (Tidak Tahan Lama) Jasa pendidikan merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Sifat tidak tahan lama berarti jasa tidak dapat dimasukkan ke dalam gudang atau dijadikan persediaan. Dalam bidang pendidikan, sifat tidak tahan lama ini dapat dijelaskan dengan kondisi kosongnya kelas atau tidak adanya siswa di kelas sehingga menyebabkan hilangnya pendapatan sekolah. Sedangkan sifat tidak dapat disimpan berarti jasa tersebut bersifat mudah lenyap. Dalam bidang pendidikan, sifat tidak dapat disimpan dapat dijelaskan dengan kondisi sekolah yang banyak memiliki guru karena adanya permintaan jasa pendidikan sewaktu kegiatan belajar yang padat jika dibandingkan dengan permintaan jasa pendidikan yang cukup merata setiap hari di sekolah. Apabila diperhatikan batasan dan karakteristik jasa pendidikan yang telah diutarakan di atas, maka ternyata dunia pendidikan merupakan bagian dari batasan tersebut. Dengan demikian, lembaga pendidikan termasuk dalam kategori lembaga pemberi jasa para konsumen, dalam hal ini adalah siswa dan orang tua siswa. Mereka inilah yang berhak memberikan penilaian apakah bermutu atau tidaknya suatu output lembaga pendidikan. Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah Tantangan Pengelola Jasa Pengelola jasa dalam kategori jasa apapun mempunyai tantangan yang serupa. Agar dapat bertahan dalam situasi ekonomi yang turbulen, maka jasa yang memerlukan investasi yang besar seperti rumah sakit perlu mengikuti perkembangan teknologi. Selain itu, juga diperlukan manajer khusus untuk mengatur penggunaan semua peralatan rumah sakit yang dimiliki. Sementara itu, manajer dari industri jasa yang sangat mengandalkan kemampuan individual seperti profesi konsultan atau dokter, harus lebih berkonsentrasi pada hal-hal pribadi. Tingkat kustomisasi pelanggan mempengaruhi kemampuan untuk mengendalikan kualitas jasa yang disampaikan dari persepsi jasa yang diterima pelanggan. Schmenner (1986) menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi pengelola jasa dalam setiap proses jasanya pada Gambar 2 di bawah ini. Kepala sekolah selaku pengelola jasa massal (mass service) dihadapkan kepada berbagai tantangan sebagai berikut. 1. Melakukan Rekrutmen Guru dan Staf Sekolah Gorton (1976) mengatakan bahwa tujuan dari rekrutmen pegawai adalah menyediakan calon pegawai yang betulbetul baik (surplus of candidates) dan yang paling memenuhi kualifikasi (most qualified and oustanding individuals) untuk sebuah posisi. Dalam rangka mendapatkan calon guru dan staf sekolah yang profesional, paling memenuhi kualifikasi, dan menjanjikan untuk menduduki posisi tertentu tidak mudah. Oleh karena itu, Bafadal (2003) mengemukakan beberapa prinsip yang harus dipegang teguh baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan rekrutmen guru dan staf sekolah, yaitu sebagai berikut. Tantangan pengelola jasa (intensitas tenaga kerja tinggi): 1. Rekrutmen 2. Pelatihan 3. Pengembangan 4. Pengendalian 5. Kesejahteraan karyawan 6. Pertumbuhan usaha Tantangan pengelola jasa (interaksi dan kustomisasi rendah): 1. Pemasaran dan promosi 2. Menyajikan jasa yang “hangat” 3. Memperhatikan lingkungan fisik di sekitarnya 4. Membuat SOP Mass Service Service Factory Professional Service Service Shop Tantangan pengelola jasa (interaksi dan kustomisasi tinggi): 1. Mencegah kenaikan harga 2. Mempertahankan kualitas 3. Cepat tanggap 4. Mengatur SDM 5. Organisasi flat 6. Loyalitas karyawan Tantangan pengelola jasa (intensitas tenaga kerja rendah): 1. Menentukan modal kerja 2. Mengikuti perkembangan teknologi 3. Mengatur permintaan 4. Jadwal penyampaian jasa Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 47 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah a. 2. 3. 48 Rekrutmen guru dan staf sekolah harus dirancang secara matang agar dapat memenuhi kebutuhan. b. Rekrutmen guru dan staf sekolah harus dilakukan secara obyektif. c. Agar mendapat calon guru dan staf sekolah yang profesional, maka sebaiknya materi seleksi pegawai baru harus komprehensif mencakup semua aspek persyaratan yang harus dimiliki oleh calon guru dan staf sekolah. Mengadakan Program Pelatihan Guru dan Staf Sekolah Dalam rangka memberdayakan guru dan staf sekolah agar memiliki kemampuan dan sifat-sifat jasa pendidikan berkualitas, maka perlu diadakan program pelatihan guru dan staf sekolah yang meliputi sebagai berikut: a. Program Pendidikan Prajabatan Program pendidikan prajabatan meliputi ketentuan mengenai pendidikan minimum calon guru dan staf sekolah serta prosedur seleksi calon guru dan staf sekolah yang memperhatikan aspek kebutuhan obyektif (kualitas dan kuantitas) serta keterbukaan (semua informasi tentang penerimaan tenaga guru dan staf sekolah harus disampaikan kepada masyarakat luas dan jelas). b. Program Pendidikan dan/atau Pelatihan dalam Jabatan Program pendidikan dan/atau pelatihan dalam jabatan meliputi orientasi jabatan, pelatihan dalam jabatan, dan pendidikan dalam jabatan yang memperhatikan aspek kebutuhan obyektif, keterbukaan, serta pemanfaatan (memanfaatkan tenaga guru dan staf sekolah yang telah mengikuti program pendidikan dan/ atau pelatihan dalam jabatan). Mengadakan Program Pengembangan Guru dan Staf Sekolah Tahapan dalam program pengembangan guru dan staf sekolah (Bafadal, 2003): a. Mengidentifikasi kekurangan, kelemahan, kesulitan, atau masalahmasalah yang seringkali dimiliki atau dialami oleh guru dan staf sekolah. b. Menetapkan program pengembangan yang sekiranya diperlukan untuk mengatasi kekurangan, kelemahan, Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 4. kesulitan, dan masalah-masalah yang seringkali dimiliki atau dialami oleh guru dan staf sekolah. c. Merumuskan tujuan dari program pengembangan yang diharapkan dapat dicapai pada akhir program pengembangan. d. Menetapkan serta merancang materi dan media yang akan digunakan dalam program pengembangan. e. Menetapkan serta merancang metode dan media yang akan digunakan dalam program pengembangan. f. Menetapkan bentuk dan mengembangkan instrumen penilaian yang akan digunakan dalam mengukur keberhasilan program pengembangan. g. Menyusun dan mengalokasikan anggaran dari program pengembangan. h. Melaksanakan program pengembangan sesuai dengan materi, metode, dan media yang telah ditetapkan dan dirancang sebelumnya. i. Mengukur keberhasilan dari program pengembangan. j. Menetapkan program tindak lanjut pengembangan guru dan staf sekolah di masa mendatang. Mengendalikan Seluruh Kegiatan Sekolah Untuk mengetahui kondisi yang perlu diteliti kepala sekolah selaku supervisor, maka kita perlu menjawab pertanyaan sebagai berikut (Suryosubroto, 2004): a. Bagaimana keadaan gedung sekolah? Apakah sudah baik dan memenuhi syarat atau sudah rusak? Bagaimana usaha perbaikannya? b. Apakah perlengkapan sekolah dan alat-alat pelajaran cukup dan memenuhi persyaratan filosofis, psikologis, dan didaktis? Jika belum, apa kurangnya? Bagaimana usaha untuk mencukupinya? c. Bagaimana keadaan gurunya? Apakah terlalu banyak wanitanya? Apakah terlalu banyak guru honorer daripada guru tetap? Apakah ada kemungkinan usaha untuk menjaga keadaan dengan sebaik-baiknya? d. Bagaimana semangat kerja guru dan pegawai sekolah? Apakah banyak pegawai dan guru yang malas? Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah 5. Bagaimana absensi/presensi mereka? Apa yang menjadi sebabnya? e. Bagaimana cara guru mengajar? Apakah sesuai dengan kurikulum yang berlaku? Adakah usaha mereka untuk selalu memperbaiki dan mencoba metode-metode mengajar yang baik? f. Bagaimana hasil pelajaran dan pendidikan siswa? Apakah terlihat adanya kemajuan/perbaikan dari setiap triwulan atau semester dari tahun ke tahun? g. Bagaimana usaha yang dilakukan untuk memperbaiki serta meningkatkan cara kerja dan mutu guru? Apakah dengan usaha menambah kesejahteraan mereka? Apakah dengan mengadakan kunjungan kelas pada waktu mereka mengajar, rapat, sanggar kerja (workshop), pelatihan staf, atau up-grading? h. Bagaimana sikap dan perasaan tanggung jawab guru dalam partisipasinya terhadap pembinaan dan kemajuan sekolah? Adakah sikap dan sifat kepemimpinan dari kepala sekolah yang kurang sesuai sehingga mempengaruhi situasi kehidupan sekolah pada umumnya? Meningkatkan Kesejahteraan Guru dan Staf Sekolah Ada delapan hal yang diinginkan guru melalui kerjanya, yaitu rasa aman dan hidup layak, kondisi kerja yang menyenangkan, rasa diikutsertakan, perlakuan yang wajar dan jujur, rasa mampu, pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, ikut ambil bagian dalam pembentukan kebijakan sekolah, serta kesempatan untuk mempertahankan “self respect” (Wiles, 1955). Delapan kebutuhan tersebut dapat dikembangkan menjadi itemitem pertanyaan untuk mengukur kepuasan kerja guru, yaitu antara lain: a. Bagaimana kepuasan guru terhadap gaji yang diperoleh? b. Apakah gaji yang diperoleh guru dapat memenuhi kebutuhan pokoknya? c. Bagaimana kepuasan guru terhadap keadaan kondisi kerja di sekolah? d. Bagaimana kepuasan guru terhadap partisipasinya dalam kegiatan sekolah? e. Bagaimana kepuasan guru terhadap perlakuan kepala sekolah? f. Dan sebagainya. 6. Melakukan Strategi Pertumbuhan Usaha di Sekolah Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan usaha di sekolah, sekolah perlu menciptakan dirinya sebagai sekolah yang efektif. Lockheed (1990) menyatakan bahwa sekolah yang efektif memiliki karakteristik sebagai berikut. a. Komunikasi yang lebih terbuka: komunikasi antara stakeholders meningkat. b. Pengambilan keputusan bersama: stakeholders mengalami lebih banyak tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. c. Memperhatikan kebutuhan guru: perhatian dan kemampuan sekolah terhadap kebutuhan guru dapat memberikan motivasi pada guru. d. Memperhatikan kebutuhan siswa: sekolah yang memperhatikan kebutuhan siswanya akan lebih diterima oleh siswa, orang tua, dan masyarakat. e. Keterpaduan antara sekolah dengan masyarakat: sekolah mempunyai peran sosial yang penting dalam masyarakat. Oleh karena itu, kepala sekolah selaku pengelola jasa massal sekolah menghadapi berbagai tantangan seperti melakukan rekrutmen guru dan staf sekolah, mengadakan program pelatihan guru dan staf sekolah, mengadakan program pengembangan guru dan staf sekolah, mengendalikan seluruh kegiatan sekolah, meningkatkan kesejahteraan guru dan staf sekolah, serta melakukan strategi pertumbuhan usaha di sekolahnya dalam rangka meningkatkan daya saing sekolah. Pemasaran Jasa Pendidikan Fungsi pemasaran pada organisasi yang berorientasi laba (perusahaan) dengan organisasi nirlaba (sekolah) sangat berbeda. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 49 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah Perbedaan yang nyata terletak pada cara organisasi dalam memperoleh sumber dana yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasi. Perusahaan memperoleh modal pertamanya dari para investor atau pemegang saham. Jika perusahaan telah beroperasi, dana operasional perusahaan terutama diperoleh dari hasil penjualan produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam hal ini, perusahaan hanya menghadapi satu unsur pokok, yaitu konsumen. Jika produk yang dihasilkan oleh perusahaan dapat memuaskan para konsumennya, maka transaksi akan terjadi dan perusahaan mempunyai dana untuk dapat melanjutkan aktivitas operasionalnya. Sebaliknya, organisasi nirlaba (sekolah) memperoleh dana dari sumbangan para donatur atau lembaga induk yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. Sebagai akibatnya, dalam sekolah timbul transaksi tertentu yang jarang terjadi dalam perusahaan, yaitu penerimaan sumbangan. Dengan anggaran yang diperolehnya itu, sekolah menghasilkan jasa yang ditawarkan kepada konsumennya (siswa). Berbeda dengan perusahaan, apabila jasa yang dihasilkan sekolah ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan siswanya, maka para donatur masih mungkin akan memberi dana lagi jika para donatur masih menganggap sekolah itu baik. Sebaliknya, meskipun jasa yang dihasilkan oleh sekolah itu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan siswanya, itu belum menjamin bahwa anggaran para donatur untuk sekolah itu akan meningkat. Konsekuensi dari perbedaan perusahaan dengan sekolah tersebut adalah bahwa ukuran keberhasilan perusahaan dan sekolah itu berbeda. Perusahaan yang pada dasarnya berorientasi terhadap laba akan dianggap sukses jika berhasil meraup untung yang besar. Sebaliknya, pada sekolah, meskipun berhasil memperoleh dana yang lebih besar dari para donatur, mungkin saja sekolah tersebut gagal dalam memanfaatkan sumber daya tersebut secara efektif dan efisien bagi pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswanya. Oleh karena itu, kemampuan sekolah dalam memperoleh sumber daya tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan organisasi sekolah. Dengan demikian, keberhasilan sekolah harus diukur dari sejauh mana jasa yang dihasilkan oleh 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 sekolah tersebut telah memenuhi kebutuhan dan keinginan siswanya. Menurut Kotler dan Fox (1995), institusi pendidikan memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik ini terkait erat dengan teori pertukaran sosial. Institusi pendidikan memerlukan berbagai macam sumber daya (seperti para siswa, dana, sukarelawan, waktu, dan energi), dan sebagai imbalannya menawarkan pelayanan dan kepuasan. Hal ini sangat bervariasi tergantung pada jenis institusinya. Misalnya, sekolah menyediakan jasa pemeliharaan dan perawatan anak (custodial care), jasa kemasyarakatan, serta penyiapan murid untuk ujian negara. Ada lima bidang pertukaran utama dalam suatu lingkungan institusi pendidikan, yaitu: 1. Lingkungan internal, yaitu kelompokkelompok di dalam organisasi sekolah. 2. Lingkungan pasar, yaitu kelompokkelompok yang menyediakan sumber daya bagi organisasi sekolah. 3. Lingkungan publik, yaitu masyarakat yang pandangannya dapat mempengaruhi organisasi sekolah dan cara kerja organisasi sekolah. 4. Lingkungan kompetitif, yaitu institusiinstitusi pendidikan yang bersaing di dalam pasar dan/atau untuk mendapatkan dukungan masyarakat. 5. Lingkungan makro, yaitu kerangka kebijakan dan administratif yang lebih luas di mana organisasi sekolah diselenggarakan. Joewono (2008) menjelaskan pengertian pemasaran jasa sebagai suatu konsep pemasaran yang mendefinisikan bahwa organisasi harus lebih peduli terhadap apa yang dirasakan konsumen dibanding apa yang dipikirkan konsumen tentang produk/jasa yang mereka tawarkan. Di dalam pemasaran jasa, lebih penting mengetahui bagaimana cara menawarkan produk/jasa daripada apa yang ditawarkan produk/jasa. Jadi, pemasaran jasa bertujuan untuk menciptakan memorable experience bagi konsumen. Konsep “7n1” Trustworthy Excellent Service yang dikemukakan Joewono (2008) dapat diaplikasikan dalam rangka memberikan layanan pendidikan berkualitas, yaitu: 1. Memahami Guru harus memahami kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi siswa sehingga Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah menjadi dasar awal dalam pemberian layanan pendidikan berkualitas. 2. Menyambut Guru harus menunjukkan perhatian kepada siswa dengan cara menyambutnya melalui sapaan, anggukan, jabat tangan, atau cara lainnya sehingga membangun simpati awal siswa serta memberi kesan bahwa dirinya menghargai siswanya. 3. Tanggap Guru harus tanggap kalau ada kebutuhan layanan siswa yang perlu direspon. 4. Menyelesaikan masalah Guru harus memberikan layanan pendidikan berkualitas seperti menyelesaikan masalah pendidikan, sehingga ketika muncul masalah pendidikan, masalah pendidikan tersebut dapat mudah diselesaikan. 5. Merekonstruksi Layanan pendidikan harus dilakukan sebagai bagian dari proses rekonstruksi menuju terbentuknya hubungan baik antara sekolah dengan siswanya. 6. Mengedukasi Guru yang “memberi” bukan “menggurui” menjadi inspirasi untuk memberikan informasi, termasuk ketika siswa komplain atas kegagalan layanan pendidikan. 7. Mewakili Makna “mewakili” siswa berarti guru menjadi ambassador siswa di dalam proses pengambilan keputusan di sekolah, khususnya yang terkait dengan siswa. 8. Menghargai Guru yang menghargai siswa merupakan faktor penggerak kehidupan sekolah menuju keunggulan bersaing sekolah yang berkelanjutan di masa depan. Dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang berkualitas, guru harus dapat memahami, menyambut, menanggapi, menyelesaikan masalah, merekonstruksi, mengedukasi, mewakili, serta menghargai konsumennya (siswa). Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan Dalam memasarkan produk atau jasa yang dihasilkannya, setiap organisasi menjalankan strategi pemasaran sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Kotler dan Amstrong (1997), ada tiga tahap yang dapat ditempuh untuk menetapkan strategi pemasaran, yaitu sebagai berikut. 1. Memilih konsumen yang dituju. 2. Mengidentifikasi keinginan konsumen. 3. Menentukan bauran pemasaran. Penentuan strategi pemasaran harus didasarkan atas analisa lingkungan eksternal dan internal organisasi. Faktor-faktor eksternal yang dapat menimbulkan adanya peluang atau ancaman bagi organisasi terdiri dari: keadaan pasar, persaingan, teknologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan peraturan. Sedangkan faktor-faktor internal menunjukkan adanya keunggulan atau kelemahan organisasi, meliputi: keuangan, produksi, SDM, serta khususnya bidang pemasaran yang terdiri dari produk, harga, distribusi, promosi, dan jasa. Analisis tersebut merupakan penilaian apakah strategi pemasaran yang telah ditetapkan dan dijalankan sesuai dengan keadaan pada saat ini. Hasil penilaian tersebut digunakan sebagai dasar untuk menentukan apakah strategi yang sedang dijalankan perlu diubah serta untuk menyusun atau menentukan strategi yang akan dijalankan di masa mendatang. Menurut Mc.Carthy (1998), strategi pemasaran adalah pasar sasaran dan bauran pemasaran yang terkait. Dia juga mengatakan bahwa setiap langkah yang dilakukan dalam memformulasikan strategi pemasaran harus diorientasikan kepada upaya untuk mencapai kepuasan pelanggan. Ini berarti bahwa proses yang ditempuh oleh setiap pihak dapat bermacam-macam sesuai dengan kesanggupan dan karakteristik masing-masing, tetapi tujuan akhirnya akan bermuara pada kepuasan pelanggan. Di dalam strategi pemasaran, ada beberapa dimensi yang perlu diperhitungkan dan diketahui untuk mengurangi dampak ketidakpastian dalam merumuskan dan mengimplementasikan strategi pemasaran tersebut, antara lain: 1. Dimensi keterlibatan manajemen puncak Keterlibatan manajemen puncak (pimpinan sekolah) merupakan keharusan, karena hanya pada tingkat manajemen puncak akan tampak segala bentuk implikasi dari berbagai tantangan serta tuntutan lingkungan internal dan eksternal sekolah serta pada tingkat manajemen puncaklah terdapat cara pandang yang holistik dan komprehensif tentang sekolah. Selain itu, hanya manajemen puncak yang memiliki Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 51 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah 2. 3. 4. 52 wewenang untuk mengalokasikan dana, prasarana, dan sumber daya lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan sekolah yang telah diputuskan. Atau dengan kata lain, peranan manajemen puncak sangat penting dalam merencanakan dan menentukan strategi pemasaran yang terdiri dari visi, misi, dan tujuan sekolah (Siagian, 2001). Dimensi waktu dan orientasi masa depan Sekolah seharusnya mempertahankan strategi pemasaran jasa pendidikan untuk mengembangkan eksistensi sekolah yang berpandangan jauh ke depan dan berperilaku proaktif serta antisipatif terhadap kondisi masa depan sekolah yang diprediksi akan dihadapinya. Antisipasi terhadap sekolah di masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai visi sekolah yang akan diwujudkan di masa yang akan datang. Dengan adanya sikap proaktif dan antisipatif, manajemen puncak (pimpinan sekolah) akan lebih siap menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan sekolah yang akan terjadi sehingga tidak menghadapi situasi mendadak (Nawawi, 2000). Dimensi lingkungan internal dan eksternal Dimensi lingkungan internal dan eksternal sekolah merupakan suatu kondisi yang sedang dihadapi seperti: kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang harus diketahui secara tepat untuk merumuskan rencana strategi pemasaran jasa pendidikan jangka panjang. Dalam kondisi tersebut, manajemen puncak (pimpinan sekolah) perlu melakukan analisis yang obyektif agar dapat menentukan kemampuan sekolah berdasarkan berbagai sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, pimpinan sekolah harus memahami kondisi lingkungan internal dan eksternal sekolah serta mampu meletakkan berbagai pendekatan dan teknik untuk merumuskan strategi pemasaran jasa pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. (Nawawi, 2000). Dimensi konsekuensi dari isu strategi Dalam mengimplementasikan strategi pemasaran jasa pendidikan, kita harus menempatkan organisasi sekolah sebagai suatu sistem pendidikan. Oleh karena itu, setiap keputusan strategi pemasaran jasa pendidikan yang dilaksanakan harus dapat menjangkau semua komponen atau unsur Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 organisasi sekolah, baik sumber daya maupun satuan kerja seperti departemen, divisi, biro, seksi, dan sebagainya. (Siagian, 2001). Menurut Siagian (2001), ada beberapa faktor yang menjadi pendukung dalam merumuskan strategi agar suatu organisasi dapat tetap eksis, tangguh dalam menghadapi perubahan, serta mampu meningkatkan efektifitas dan produktifitas. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Tipe dan struktur organisasi Tipe dan struktur organisasi sekolah yang dipilih harus berkaitan dengan kepribadian sekolah tersebut karena setiap sekolah mempunyai kepribadian yang khas. Di dalam struktur organisasi sekolah harus terdapat beberapa unsur seperti spesialisasi kerja, standarisasi kerja, koordinasi, sentralisasi atau desentralisasi dalam pengambilan keputusan. Empat faktor utama yang harus diperhatikan pimpinan sekolah dalam menentukan struktur organisasi sekolah, yaitu: strategi sekolah yang ditetapkan, teknologi pendidikan yang digunakan, SDM yang terlibat, dan ukuran organisasi sekolah. Oleh karena itu, pimpinan sekolah harus memilih dengan tepat mengenai tipe dan struktur organisasi sekolah yang akan digunakan dalam menentukan strategi sekolah. 2. Gaya kepemimpinan Di dalam teori kepemimpinan terdapat beberapa tipologi kepemimpinan, yaitu tipe otokratik, paternalistik, laissez faire, demokratik, dan kharismatik. Namun demikian, tidak ada satu tipepun yang sesuai dan dapat digunakan secara konsisten pada semua jenis sekolah. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan membaca situasi sekolah dalam menentukan gaya kepemimpinan sekolah sebagai suatu faktor yang harus diperhitungkan dalam menerapkan strategi sekolah. 3. Kompleksitas lingkungan eksternal Lingkungan eksternal sekolah bergerak dinamis. Gerakan dinamis tersebut berpengaruh pada cara mengelola sekolah serta dalam merumuskan dan menetapkan strategi sekolah. Oleh karena itu, melalui analisis lingkungan eksternal sekolah, sekolah dapat melakukan strategi pengkaderan organisasi sekolah yang dapat ditetapkan untuk mendayagunakan Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah kekuatan serta mengatasi kelemahan sekolah dalam memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang terjadi. 4. Hakikat masalah yang dihadapi Strategi merupakan keputusan dasar yang diambil oleh manajemen puncak (pimpinan sekolah) melalui berbagai analisis dan perhitungan terhadap lingkungan internal dan eksternal sekolah. Oleh karena itu, keputusan yang diambil pimpinan sekolah akan menentukan kesinambungan sekolah pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Seperti yang telah dikemukakan oleh Porter (1980) yang menjelaskan bahwa ada tiga macam strategi pemasaran sebagai strategi bersaing, yaitu: 1. Diferensiasi, yaitu strategi sekolah dalam memberikan penawaran yang berbeda dibandingkan dengan penawaran yang diberikan oleh pesaing. Strategi diferensiasi ini mengisyaratkan sekolah mempunyai jasa yang mempunyai kualitas ataupun fungsi yang bisa membedakan dirinya dengan pesaingnya. Strategi diferensiasi dilakukan dengan cara menciptakan persepsi terhadap nilai tertentu pada konsumennya. Misalnya persepsi terhadap keunggulan kerja, inovasi produk, pelayanan yang lebih baik, citra merek yang lebih unggul, dan sebagainya. 2. Keunggulan biaya, yaitu strategi sekolah dalam mengefisienkan seluruh biaya operasionalnya sehingga menghasilkan jasa yang bisa dijual lebih murah dibandingkan pesaingnya. Strategi keunggulan biaya ini berfokus pada harga, jadi biasanya sekolah tidak terlalu peduli dengan berbagai faktor pendukung dari jasa ataupun harga. Misalnya, biaya sekolah yang murah biasanya mengandalkan strategi harga. Pihak penyelenggara sekolah tersebut biasanya tidak peduli dengan kenyamanan siswa pada waktu belajar, bahkan juga dengan kebersihan, karena bagi mereka yang penting bisa menawarkan jasa dengan harga yang sangat bersaing. 3. Fokus, yaitu strategi sekolah dalam menggarap satu target pasar tertentu. Strategi fokus biasanya dilakukan untuk jasa yang memang mempunyai karakteristik khusus. Misalnya, sekolah Kristen yang hanya ditargetkan bagi siswa Kristiani sehingga semua jasanya memberikan manfaat dan fungsi yang disesuaikan dengan ajaran agama Kristen. Kotler dan Fox (1995) memberikan tiga unsur yang diperlukan untuk membuat strategi pemasaran, yaitu: 1. Strategi Target Pasar, yang memutuskan segmen pasar mana yang akan menjadi target pasarnya. Segmen pasar tersebut mungkin terfokus pada segmen di mana permintaan melebihi penawaran. Dalam hal ini, sekolah perlu membagi pasar pendidikan menurut karakteristik demografi, psikografi, dan perilaku siswa. Dengan demikian, sekolah dapat lebih mudah menentukan strategi pemasaran jasa pendidikan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan pasar. 2. Strategi Posisi Kompetitif, yang mendasarkan penyediaan pada keistimewaan dan kekuatan relatif yang dimiliki oleh institusi, yang dapat memastikan tingkat kom1. 3. Strategi Campuran, yang mengidentifikasi unsur-unsur tertentu yang dapat dipromosikan oleh organisasi tersebut. Strategi campuran ini terdiri dari empat komponen dasar yang disebut 4P, yaitu: produk (Product), lokasi (Place), harga (Price), dan promosi (Promotion). Namun bagi sektor jasa, komponen-komponen tersebut ditambah 3P, yaitu: orang (Person), proses (Process), dan bukti (Proof). Strategi campuran ini akan dijelaskan lebih lanjut oleh James dan Phillips di bawah ini. James dan Phillips (1995) menggunakan kerangka teoritis tersebut untuk mengevaluasi praktek pemasaran pada 11 sekolah, termasuk sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah negeri, dan sekolah swasta, yang beroperasi dalam lingkungan yang kompetitif. Hasil penemuan dari penelitian tersebut dapat dirangkum sebagai berikut. 1. Produk, yaitu fasilitas dan pelayanan yang ditawarkan oleh sekolah. Meskipun sekolah yang disurvei sangat giat dalam menawarkan produk/pelayanan yang berkualitas, namun sejumlah masalah masih dapat ditemukan, seperti: a. Kurangnya pertimbangan pada ragam penawaran. Sebagian besar sekolah cenderung memberikan terlalu banyak Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 53 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah penawaran. Sekolah seharusnya melakukan spesialisasi pada suatu hal tertentu. b. Adanya kebutuhan untuk melihat pelajaran, yakni keuntungan apa yang akan didapatkan pelanggan (siswa) daripada hanya memberikan gambaran umum tentang kandungan materi yang ada dalam pelajaran tersebut. c. Adanya kebutuhan untuk memastikan bahwa kualitas dilihat dalam arti terpenuhinya kebutuhan pelanggan daripada kualitas pelajaran itu sendiri. d. Hanya ada sedikit perhatian akan “potensi hidup” dari pelajaran tersebut. 2. Harga, yaitu pembiayaan (costing) yang membandingkan pengeluaran dengan keuntungan yang didapat pelanggan, serta penetapan harga (pricing) atau harga yang dikenakan kepada pelanggan. Hal ini terlihat jelas pada sekolah swasta karena pilihan pasar sangat terbuka untuk calon orangtua, yaitu antara “sekolah swasta yang mahal” dan “sekolah negeri yang bagus dan gratis”. Akan tetapi, hal ini adalah persoalan penting bagi sekolah negeri karena: a. Proses perekrutan siswa mengarah kepada tambahan dana dari pemerintah. b. Dukungan dana sponsor dari anggota komunitas pebisnis lokal. c. Biaya yang dikenakan dan sumbangan orang tua untuk fasilitas tambahan dan aktivitas ekstrakurikuler. 3. Lokasi, yaitu kemudahan akses dan penampilan serta kondisinya secara keseluruhan. Ketika sekolah memperhatikan masalah penampilan (misalnya melalui dekorasi, tampilan, dan ucapan selamat datang kepada pengunjung), maka akan semakin berkurangnya perhatian yang diberikan kepada masalah akses (seperti parkir untuk pengunjung, akses bagi penyandang cacat, konsultasi di luar sekolah, dan mesin penjawab telepon). 4. Promosi, yaitu kemampuan mengkomunikasikan manfaat yang didapat dari organisasi bagi para pelanggan potensial. Meskipun sekolah telah aktif pada sebagian besar aktivitas promosi ini, namun dari 11 sekolah yang disurvei, hanya terdapat kurang dari setengahnya yang telah mengiklankan diri. 54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 5. Orang, yaitu orang yang terlibat dalam menyediakan jasa. Masalahnya adalah tidak semua karyawan sekolah menyampaikan pesan yang sama kepada orang tua dan kelompok lain di luar sekolah. Hal ini terkait dengan budaya sekolah yang tidak sepenuhnya mengambil pendekatan yang berorientasi pada pasar. 6. Proses, yaitu sistem operasional untuk mengatur pemasaran, dengan implikasi yang jelas terhadap penempatan karyawan sekolah dalam hal pembagian tanggung jawab untuk mengkoordinasikan dan mencari sumber daya bagi strategi pemasaran sekolah. Dari 11 sekolah yang disurvei, tidak ada satupun sekolah yang memberikan kepercayaan kepada seorang karyawan sekolah atas tanggung jawab tersebut, dimana pengelolaan dan operasinya cenderung tidak terencana dan intuitif, bukan terencana secara strategis dan sistematis. 7. Bukti, yaitu bukti yang menunjukkan bahwa pelanggan akan mendapatkan manfaat sehingga memunculkan pertanyaan mengenai pengawasan dan evaluasi (seperti hasil ujian). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak dapat mengemukakan aspek-aspek apa saja dari tindakan mereka yang menunjukkan bukti dari manfaat pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dari 7P di atas, penekanan utamanya terpusat pada produk sekolah. Sekolah masih belum menetapkan strategi jangka panjang karena sebagian besar kebijakan sekolah dalam bentuk strategi jangka pendek yang tidak terencana serta reaktif (manajemen krisis sebagai respon terhadap menurunnya peran dan meningkatnya persaingan setempat). Banyak sekolah belum melakukan pengamatan pasar dengan menggunakan riset dan analisis pasar yang sistematis. Sekolah lebih menyukai strategi pasar tunggal, yang memberikan “semua hal bagi semua siswa yang potensial” daripada menekankan adanya perbedaan dan penyediaan khusus sebagai salah satu cara untuk menangkap potensi pasar. Pada saat yang sama, sekolah menghindari persaingan yang tidak berguna dan mempromosikan kerjasama dengan penyedia lokal lainnya. Strategi pemasaran campuran termasuk kategori strategi pemasaran tradisional, yaitu pemasaran yang berorientasi pada transaksi (relationship marketing) sebagai Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah kunci untuk keberhasilan komersial. Jika kita dapat menarik pelanggan, maka kita harus terus membangun hubungan baik dengan mereka serta menumbuhkan kepercayaan jangka panjang untuk menciptakan promosi “mulut ke mulut” (Gronroos, 1997). Kesimpulan Pemasaran untuk lembaga pendidikan (terutama sekolah) mutlak diperlukan seiring dengan adanya persaingan antar sekolah yang semakin atraktif. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya berbagai terobosan baru dari para penyelenggara pendidikan untuk menggali “keunikan dan keunggulan” dari sekolahnya. Kegiatan pemasaran jasa pendidikan pada saat ini sudah dilakukan secara terbuka. Upaya sekolah untuk menggaet calon siswa potensial yang lebih capable dan matang telah menjadi tuntutan yang wajib dipenuhi dalam rangka mendukung proses pembelajaran serta meningkatkan daya saing antar sekolah. Sekolah sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan perlu belajar dan memiliki inisiatif untuk meningkatkan kepuasan pelanggan karena pendidikan merupakan proses sirkuler yang saling mempengaruhi dan berkelanjutan. Hanya lembaga pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan atau kepuasan pelanggan (siswa) yang dapat bertahan. Berdasarkan areanya, sekolah termasuk industri jasa dalam sektor pemerintahan. Di sisi lain, menurut matriks proses jasa yang dikemukakan oleh Schmenner, sekolah termasuk dalam kategori jasa massal (mass service), yaitu jasa yang bersifat padat karya atau memiliki tingkat intensitas tenaga kerja yang tinggi, karena biaya tenaga kerjanya lebih besar daripada kebutuhan modal kerjanya. Oleh karena itu, pelanggan sekolah (siswa) menerima jasa yang seragam, yang dibuat dengan konsep padat karya. Tantangan yang dihadapi oleh pengelola jasa massal sekolah (kepala sekolah) adalah melakukan rekrutmen guru dan staf sekolah, mengadakan program pelatihan serta pengembangan guru dan staf sekolah, mengendalikan seluruh kegiatan sekolah, meningkatkan kesejahteraan guru dan staf sekolah, serta melakukan strategi pertumbuhan usaha sekolah dalam rangka meningkatkan daya saing sekolah. Dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang berkualitas, guru harus dapat memahami, menyambut, menanggapi, menyelesaikan masalah, merekonstruksi, mengedukasi, mewakili, serta menghargai konsumennya (siswa). Setiap sekolah harus menjalankan strategi pemasaran jasa pendidikan sehingga dapat mencapai tujuan sekolah yang diharapkan. Tahapan dalam menetapkan strategi pemasaran jasa pendidikan adalah memilih konsumen yang dituju (siswa), mengidentifikasi keinginan konsumen (siswa), serta menentukan bauran pemasaran jasa pendidikan (7P). Penentuan strategi pemasaran jasa pendidikan harus didasarkan atas analisa lingkungan eksternal dan internal sekolah. Strategi pemasaran jasa pendidikan adalah pasar sasaran jasa pendidikan (siswa) serta bauran pemasaran jasa pendidikan (7P). Setiap tahapan yang dilakukan dalam menetapkan strategi pemasaran harus tertuju kepada pencapaian kepuasan pelanggan (siswa). Di dalam strategi pemasaran jasa pendidikan, ada beberapa dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu dimensi keterlibatan manajemen puncak (pimpinan sekolah), dimensi waktu dan orientasi masa depan sekolah, dimensi lingkungan internal dan eksternal sekolah, serta dimensi konsekuensi dari isu strategi sekolah. Strategi pemasaran jasa pendidikan tersebut disesuaikan dengan tipe dan struktur organisasi sekolah, gaya kepemimpinan sekolah, kompleksitas lingkungan eksternal sekolah, serta hakikat masalah pendidikan yang dihadapi. Strategi pemasaran jasa pendidikan melibatkan tiga unsur pokok, yaitu: 1. Strategi Target Pasar, yaitu segmen pasar mana yang akan dilayani dalam bidang pendidikan menurut karakteristik demografi, geografi, psikografi, dan perilaku. 2. Strategi Posisi Kompetitif, yaitu keunggulan kompetitif (diferensiasi produk) yang dimiliki sekolah jika dibandingkan dengan sekolah lainnya. 3. Strategi Campuran, yaitu mengidentifikasi produk, harga, lokasi, promosi, orang, proses, dan bukti yang dapat dipromosikan oleh sekolah. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 55 Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Saing Sekolah Daftar Pustaka Alex. (2006). “Service marketing and non profit marketing” http://[email protected] Bafadal, Ibrahim. (2003). Peningkatan profesionalisme guru Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Gorton, Richard A. (1976). School administration: challenge and opportunity for leadership. New York: Wm. C. Brown Company Publishers Groonroos, Christian. (1984). A service quality model and its marketing implications. European Journal of Marketing, 18(4), pp. 36-44 James, Chris and Peter Phillips. (1995). The practice of educational marketing in schools. Educational Management Administration and Leadership, Vol. 23, No. 2, pp. 75-88. Joewono, Handito. (2008). The creative marketing. Jakarta: Arrbey Julita. (2001). Menuju kepuasan pelanggan melalui penciptaan kualitas pelayanan. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis, Vol. 01, No. 01, Oktober 2001, hlm. 41-54 Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. (2006). Marketing management. New Jersey: Pearson Education, Inc. Kotler, Philip and Gary Amstrong. (1997). Principles of marketing. Singapore: Prentice Hall International Editions Lamb, Hair, and McDaniel. (2001). Marketing. Singapore: Thomson Learning Asia Lockheed, M.E. and Levin, H.M. (1990). Creating effective schools. Washington, DC: Falmer Press Lovelock, Christopher. (2004). Service marketing and management. New Jersey: Prentice Hall. Mc.Carthy. (1998). Dasar-dasar pemasaran. Jakarta: Erlangga Modul Certified Learning Program on Competitiveness. (2006). Service marketing. Jakarta: Arrbey Munir, A.A.S. (1991). Manajemen pelayanan umum di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Nawawi, Hadari. (2000). Manajemen strategik organisasi non profit bidang pemerintahan dengan ilustrasi di bidang pendidikan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Octavian, Henry Sumurung. (2005). Manajemen pemasaran sekolah sebagai salah satu kunci keberhasilan persaingan sekolah. Jurnal Pendidikan Penabur No. 05/Th. IV/ Desember 2005 Porter, Michael E. (1980). Competitive strategy: techniques for analyzing industries and competitors. New York: Free Press Purwono. Strategi pemasaran jasa perpustakaan. Media Pustakawan, Vol. III, No. 4, Desember 1996 Schmenner, Roger. (1986). How can service businesses survive and prosper? Sloan Management Review, 28(3), pp. 21-32 Siagian, Sondang P. (1998). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara. Siagian, Sondang P. (2001). Manajemen strategik. Jakarta: Bumi Aksara Stanton, William J. (2002). Fundamentals of marketing. Singapore: McGraw-Hill International Suara Merdeka. Persaingan ketat, sekolah perlu dipasarkan. Senin, 5 Februari 2007 Suryosubroto, B. (2004). Manajemen pendidikan di sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Tjiptono, Fandy. (2000). Manajemen jasa. Yogyakarta: Andi Unika Soegijapranata. (2008). Bahan seminar pemasaran sekolah. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Konsentrasi Manajemen Sekolah Widiyanti, Kn. (2006). Sistem pengendalian manajemen pada organisasi nirlaba. Jurnal Ilmiah Manajerial, Vol.2, No. 1, Maret 2006 Wiles, Kimball. (1955). Supervision for better schools. New York: Prentice-Hall, Inc. Zeithaml, Valerie A., and Mary Jo Bitner. (2003). Services marketing: integrating customer focus across the firm. New York: Irwin McGrawHill Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Opini Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Theresia K. Brahim*) Abstrak alam makalah ini, penulis mencoba mensintesiskan pengertian profesionalisme yang berarti komitmen seseorang atas jabatannya dengan kata profesionalitas; sehingga kata profesionalitas yang semula berarti pemahaman dan keterampilan yang ditampilkan seseorang sesuai dengan profesinya, menjadi pemahaman dan keterampilan seseorang dalam keahlian yang dituntut oleh profesinya yang ditampilkan secara baik dan benar dan dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi. Selain itu, penulis juga mencoba menguraikan pengertian awal dari kata profesional yang berarti sebuah jawaban atas panggilan dari Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, panggilan tersebut harus dijawab secara sungguh-sungguh. D Kata kunci: Profesional, profesionalitas, professionalism, a calling from God, guru. This study tries to syntesize that profesionalism concept which means that the man who takes hold of the concept, has spesialized tasks to make his or her activities becoming a service for the community with a concept of profesionalism which means knowledge and skills that are required by the experts to fulfill his or her profesional’ s degree as well as to perform them quite well with high commitment. To say any further, the writer also tries to analyse the word professional from the religion’s perspective, which is called a calling from God which has to be answered by the man honestly to become a profesional. So, because the calling comes from God that is why the profesional man has to work totally, at any risk and all out. Pendahuluan Organisasi masa depan dibangun di sekitar keberadaan atau hakikat manusia. Hal ini dapat diartikan bahwa perhatian secara khusus ditujukan pada kompetensi yang dimiliki manusia. Dampak pemikiran ini adalah bahwa jika manusia dipakai sebagai dasar untuk membangun organisasi maka kompetensi yang dimiliki manusia di tempat kerja menjadi hal yang sangat penting. Dalam konteks ini, pada nilai keluarannya (output oriented), berarti pendidik sebagai bagian dari sistem penddikan harus memiliki kompetensi dasar tentang pendidikan baik umum maupun khusus secara mumpuni atau profesional. Sejalan dengan uraian di atas, ada ungkapan yang mengatakan bahwa guru adalah anggota masyarakat yang belajar. Hal ini perlu diartikan bahwa guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Selain itu, secara formal dimaknai pula bahwa guru mempunyai peranan penting, di samping aspek lainnya seperti sarana/ prasarana, kurikulum, peserta didik, dan manajemen, selanjutnya guru dikatakan juga sebagai salah satu kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan *) Guru Besar PGSD Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 57 Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah adalah belajar mengajar yang memerlukan peran guru di dalamnya. Beberapa studi yang dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan guru memberikan sumbangan terbesar dalam prestasi belajar peserta didik (36%); sedangkan manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Jadi, dari hasil studi di atas, dapat dikatakan bahwa faktor guru merupakan aspek pendukung yang juga memiliki pengaruh cukup signifikan pada keberhasilan pendidikan (Sidi, dalam Mustafa, 2004). Ditambahkan oleh Allison (Supriyoko, 2005), besarnya sumbangan guru pada keberhasilan pendidikan muncul dari sikap profesionalitas guru yang menyayangi peserta didiknya (loves her/his kids), membantu mencarikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi (helps you out), murah senyum (always has smile), membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan (is full of surprises), sangat peduli dan memerhatikan peserta didik (takes good care of ), memiliki kecerdasan yang tinggi (has smart brains), selalu mencoba berbuat yang terbaik (tries her best), senang menyegarkan suasana (like to laugh), serta mau mendengarkan kata hatinya (listens to her heart). Dapat ditambahkan bahwa guru profesional adalah guru yang sekaligus memiliki kemandirian akademik, yaitu guru yang memiliki penguasaan yang mendalam tentang materi mata pelajaran yang harus diajarkan dan sekaligus memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengajarkan mata pelajaran yang dipelajarinya. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, dalam hubungannya dengan pelayanan kerja mendidik, untuk merespon pendapat dan penemuan para ahli pendidikan tentang makna profesionalitas di atas maka Depdiknas telah menentukan seorang pendidik harus mengikuti uji sertifikasi untuk bisa dipandang sebagai tenaga profesional di bidangnya. Selain itu, sebagai informasi tambahan, profesionalitas guru juga telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Guru tahun 2004. Lebih jauh lagi, Depdiknas juga telah membentuk direktorat khusus yaitu Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk menangani masalah profesionalitas guru ini. Perlu diketahui, tulisan ini muncul dari keprihatinan penulis setelah membaca media cetak dan menonton media visual di Indonesia yang disemaraki oleh berita tentang guru sekolah 58 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 dasar yang sedang mengikuti proses Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) untuk mendapatkan sertifikasi sebagai tenaga profesional di bidangnya. PLPG ini adalah tindak lanjut dari uji sertifikasi berbentuk portofolio/uji kelayakan dokumen yang ada hubungannya dengan pendidikan yang dimiliki oleh guru bersangkutan. Namun hasil akhir uji kelayakan portofolio tidak memuaskan. Ada banyak guru tidak lolos uji portofolio ini. Ada banyak faktor penyebab, di antaranya tidak adanya data konkret tentang tanda keikutsertaan dalam seminar berupa sertifikat, baik tingkat provinsi, maupun kota. Penyebab lain adalah para guru kurang aktif dalam kegiatan penelitian, penulisan makalah ilmiah, dan pengabdian pada masyarakat. Oleh karena itu, untuk menolong para guru yang tidak lolos uji portofolio, maka PPLG pun digelar. Tujuan dari penulisan ini adalah ingin mengkaji tiga butir konsep tentang profesionalitas yang perlu dibahas secara lebih mendalam dan lebih rinci yaitu keterpanggilan, keahlian dan kode etik, serta kewenangan. Sebelum mengkaji ketiga konsep tersebut, ada baiknya bila terlebih dahulu dijelaskan makna istilah-istilah yang terkait dengan kata profesi sebab ada banyak istilah yang berakar dari kata profesi seperti profesional, profesionalism dan profesionalitas. Hal semacam ini tentunya membingungkan pembaca. Tilaar (2007) mendefinisikan (1) makna profesi sebagai suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari pemangku jabatan tersebut; (2) makna profesionalisme yaitu komitmen seseorang terhadap profesinya,; (3) makna profesionalitas yaitu pemahaman dan keterampilan dari keahlian yang dituntut oleh profesinya yang ditampilkan secara baaik dan benar; dan (4) makna profesional yaitu menunjukkan pada derajad kualitas seseorang yang membedakan penampilannya dari orang yang tidak profesional. Pembahasan perbedaan tentang makna di atas sangat penting bagi guru jenjang pendidikan dasar dan menengah agar mereka dapat lebih memahami tentang perbedaan makna tersebut, sehingga mereka akan dapat melaksanakannya dalam tindakan konkrit dalam praktek pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembaca memahami makna tulisan ini, bila penulis memakai: 1) kata profesi, artinya penulis sedang berbicara tentang sebuah jabatan; dan 2) kata profesional artinya penulis Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah berbicara tentang derajat kualitas seseorang yang membedakannya dari orang yang tidak berkualitas. Dalam bahasan ini, penulis mencoba mensintesiskan pengertian profesionalisme yang berarti komitmen seseorang atas jabatannya dengan kata profesionalitas; sehingga kata profesionalitas yang semula berarti pemahaman dan keterampilan yang ditampilkan seseorang sesuai dengan profesinya, menjadi pemahaman dan keterampilan seseorang dalam keahlian yang dituntut oleh profesinya yang ditampilkan secara baik dan benar dan dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi. (gabungan antara kata professionalism dan profesionalitas. Pembahasan Isu Profesional Guru Isu profesional guru yaitu suatu istilah yang mengandung pengertian jabatan tertentu dengan karakteristik tertentu yang diakui keberadaannya oleh masyarakat mulai dibicarakan orang pada pertengahan tahun 1980-an seiring dengan makin menguatnya peranan sektor pendidikan dalam mengembangkan sektor sumber daya manusia. Di negara-negara maju seperti Amerika misalnya, mereka merespon pentingnya memberikan perhatian kepada isu profesional guru dengan membuat National Board pada tahun 1987, dan telah mengeluarkan policy statement pada tahun 1989 yang berjudul “What Teachers Should Know and Be Able To Do?”. Lembaga ini melakukan upaya untuk mengembangkan standar profesional pengajar-an pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serikat. Menurut lembaga ini, ada lima komponen utama yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengenali para guru yang secara efektif meningkatkan pembelajaran peserta didik dan menunjukkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan komitmen yang tinggi. Kelima hal tersebut merupakan tuntutan yang harus dipenuhi guru agar menjadi guru profesional, yaitu sebagai berikut. a. Guru mempunyai komitmen kepada peserta didik dan proses belajar. Hal ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah terhadap kepentingan peserta didik. b. Guru mengetahui mata pelajaran yang mereka ajarkan dan cara mengajarkan. Hal ini berarti bahwa guru harus menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang akan diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para peserta didik. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. c. Guru bertanggung jawab terhadap pengaturan dan pemantauan pembelajaran peserta didik. Hal ini berarti bahwa guru bertanggung jawab memantau atas hasil belajar peserta didik melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku peserta didik sampai tes hasil belajar. d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang akan dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Hal ini berarti bahwa guru harus mempunyai waktu untuk melakukan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar peserta didik. Di Indonesia, Soedijarto mengatakan bahwa pada tahun 1982 dalam Seminar Kependidikan oleh Konsorsium Ilmu Pendidikan di Malang, diusulkan agar perlunya jabatan guru dijadikan jabatan profesional. Tetapi, karena berbagai faktor, usulan tersebut tidak memunculkan adanya kebijakan tentang hal itu. Baru pada tahun 2005 dengan lahirnya UU No. 14 tentang Guru dan Dosen, harapan menjadikan jabatan guru sebagai tenaga profesional terwujud. Untuk maksud ini, maka pasal 8 UU No.14 tahun 2005 menyatakan bahwa karakteristik seorang guru profesional yang membedakannya dari yang bukan profesional adalah guru tersebut wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan. Selain itu dijelaskan pula bahwa yang dimaksudkan dengan kompetensi guru profesional adalah (a) kompetensi paedagogik, (b) kompetensi kepribadian, (c) kompetensi sosial, dan (d) kompetensi profesional. Ditambahkan, bahwa dalam tugasnya sebagai penentu kualitas pembelajaran, seorang guru secara profesional harus melakukan: (1) perencanaan program pembelajaran, (2) mengelola proses pembelajaran, (3) menilai proses dan hasil pembelajaran, (4) mendiag-nosis masalah yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 59 Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dihadapi peserta didik, dan (5) terus memperbaiki program pembelajaran selanjutnya. (Soedijarto, 2006). Mengingat banyaknya tuntutan profesionalitas yang harus dikuasai guru, dan banyaknya rumusan-rumusan kemampuan yang harus dimiliki guru, Irmin dan Rochim (2004) menunjuk minimal ada 54 hal yang harus dimiliki guru. Hal itu berkait dengan modal dasar seorang guru, seperti misalnya kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kemampuan berbicara, kesabaran menghadapi peserta didik, dan memiliki jiwa pendidik. Di samping itu, guru juga harus mempunyai etos kerja, sikap dan perilaku yang positif kepada peserta didik, atasan, teman sejawat, diri sendiri dan masyarakat. Dengan demikian, guru sebagai salah satu ujung tombak dalam proses pendidikan dituntut memiliki kemampuan profesionalitas yang tinggi, sehingga harus dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat secara terus menerus. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh guru itu sendiri melalui kegiatan yang mendukung peningkatan pengetahuan dan pemanfaatan sumber-sumber pengetahuan maupun melakukan kegiatan ilmiah, seperti seminar, symposium, dan melakukan kegiatan penelitian. Oleh karena itu, guru yang profesional tidak hanya tahu akan tugas, peranan, dan kompetensinya, namun harus dapat melaksanakan tugas dan perannya dalam rangka meningkatkan kompetensinya untuk optimalisasi proses belajar mengajar yang efektif. Selanjutnya, Tilaar (2007) menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian para anggotanya. Suatu pekerjaan profesi tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau dipersiapkan untuk pekerjaan tersebut. Istilah yang berkaitan dengan pembahasan masalah profesi, adalah Farruigia (1996) dalam Jurnal Quality Assurance, yang mengemukakan bahwa profesi adalah kepercayaan seseorang tentang pengetahuan, pengalaman dan sikap atau nilai yang dianut dari orang tersebut. Sedangkan Whitty (2002) mengkaji kata profesi secara klasikal yaitu mengandung makna dan pengertian: 1) mengungkap suatu kepercayaan, 2) keyakinan atas suatu kebenaran, dan 3) kredibilitas seseorang. Dari kutipan itu dapat disimpulkan 60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 bahwa profesi mengandung makna pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa sehingga menyakinkan dan memperoleh kepercayaan dari pihak yang memerlukannya. Sementara itu, Sulipan (2007) menyatakan bahwa seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakaan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, bebas dari tekanan pihak luar, cepat /produktif, tepat/efektif, efisien dan inovatif, memiliki prinsip pelayanan prima, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat, kode etik yang regulatif, dan menyajikan tulisan dalam jurnal ilmiah, dan forum pertemuan profesi. Pembahasan Dari pendapat para ahli di muka, ada tiga butir konsep tentang profesionalitas yang penulis merasa perlu untuk membahas secara lebih mendalam tentang keterpanggilan, keahlian dan kode etik, serta kewenangan 1. Keterpanggilan Dalam hubungannya dengan konsep profesi yang diuraikan di muka Setiabudi (2007) menyatakan bahwa sepertinya orang telah melupakan akar religius spiritualnya dalam sejarah kelahiran dan perkembangannya, sehingga menimbulkan persoalan mendasar terutama dalam bentuk “sekularisasi profesi” dan “gejala jiwa terbelah”, dengan segala akibatnya. Dulu “profesi” berarti jawaban manusia terhadap “panggilan” Tuhan; dalam iman kepada Tuhan, kerja adalah panggilan yang datang dari Tuhan dan di-”professed” oleh penerima. Dalam sejarah perkembangannya konsep panggilan/ profesi ini mengalami perubahan yang secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut. a). Pada abad pertengahan dipahami sebagai panggilan pribadi kepada hidup suci dalam biara (dikotomi dunia dan biara; dipanggil keluar dari dunia masuk ke biara); b). Reformasi membalikkan arah: “sense of godly work” dibawa ke dalam dunia; sekularisasi sebagai upaya menyatukan kedua dunia; menjadikan dunia suatu biara; setiap pekerjaan adalah panggilan yang harus diemban dengan pengakuan untuk mengerjakannya secara etis dan Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah mempergunakan segenap talenta untuk bagi kesejahteraan seluruh masyarakat) memenuhi tugas-tugas panggilan tersebut terutama untuk kepemimpinan religius atau politik. Di kalangan orang Ibrani purba, dengan demi semua; c) Di zaman modern unsur panggilan kesejajaran dengan Yunani, India, Cina, Mesir, menghilang dan kerja menjadi sekuler: dan dan tempat-tempat lain, peran-peran yang profesionalisme dikembangkan di membutuhkan kemampuan istimewa dan universitas-universitas dengan specialized latihan yang khusus dan yang mutlak yang diperlukan bagi kepentingan keberlangsungan training bagi tiap bidang khusus. Bagaimana menghubungkan secara integral peradaban, diperlakukan sebagai “panggilan” bermakna antara iman dan profesi, itulah inti (“callings” or “vocations”). Orang dengan suatu dari uraian berikut ini. Hasil menghubungkan “panggilan” mengembangkan suatu gaya hidup iman dan profesi, di satu pihak pemahaman yang terdisiplin yang ditentukan oleh suatu manusia akan diperkaya pemahamannya pandangan dunia dan suatu sistem nilai yang m e l i p u t i mengenai konteks keseluruhan dan dunia melalui pelbamemberi petunjuk gai profesi yang ada ... manusia bisa menjadi bagi suatu keahlian di masyarakat sehingmanusia utuh karena sanggup praktis, sehingga ga keputusan-kepumereka dapat dengmenghubungkan iman dan tusannya menjadi an sebaik-baiknya pekerjaannya secara bermakna, relevan. Di pihak lain, melayani Allah dan manusia bisa menjadi dan karenanya akan umatNya dalam manusia utuh karena dimungkinkan untuk konteks yang manus a n g g u p menyalurkan semangat dan siawi. menghubungkan Ide tentang “pangniali-nilai agamis ke dalam iman dan pekerjaangilan” memerlukan pekerjaannya... nya secara bermakna, beberapa hal agar dan karenanya akan menjadi operatif dimungkinkan untuk dalam seluruh mamenyalurkan semangat dan niali-nilai agamis ke dalam syarakat. Salah satu dari padanya adalah visi pekerjaannya, yang sudah tentu amat kompleks tentang suatu peradaban yang kompleks, dalam strukturnya, proses-prosesnya, tugas- terbuka, kosmopolitan. Hanya dalam masyatugasnya, dunia ling-kungannya, dan sete- rakat seperti itu sejumlah besar orang dapat menemukan kesempatan menemukan dan rusnya. menjalankan panggilan mereka. Pencarian pribadi untuk menemukan apa yang harus Iman dan Profesi: Kerja sebagai Panggilan Pandangan-pandangan yang amat purba dan dilakukan sebagai panggilan hidupnya, dengan amat mendalam tentang mengapa seseorang perkataan lain, terkait secara erat dengan jenis mengerjakan yang ia kerjakan tercermin dalam masyarakat dalam mana ia hidup. Ide uraian berikut. Dalam bagian terbesar sejarah “panggilan” mengandaikan bukan saja “yang manusia, orang bekerja sebagai pemburu, dipanggil” dalam suatu masyarakat terbuka dan pengumpul, atau petani, hidup memper- kompleks; ia juga mengandaikan “Pemanggil” tahankan diri. Peran-peran ditetapkan berda- yang menghendaki hidup menjadi adil dan sarkan jenis kelamin, usia, dan status (seperti, penuh kasih. Dalam Alkitab orang misalnya, kerabat kepala suku). Dalam Kristiani,”Pemanggil” itu adalah Allah. Allah masyarakat yang lebih kompleks, pekerjaan mempunyai suatu tujuan bagi suatu umat. tangan (crafts) dihormati - mason, pembuat pot, Mereka harus menjadi lebih dari apa adanya atau bidan, dll. Akan tetapi dalam beberapa mereka secara alamiah. Mereka dipanggil, dalam kebudayaan, berkembanglah gagasan bahwa kerendahan tapi juga dalam keyakinan, menjadi orang dengan kemampuan istimewa menerima “terang bagi bangsa-bangsa” berdasarkan suatu talenta itu karena mereka dipanggil oleh Allah penyataan kebenaran yang kekal tentang untuk tanggung jawab (khusus yang diperlukan keadilan ilahi. (Setiabudi, 2007). Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 61 Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah 2. Keahlian dan Kode Etik Istilah professional merupakan suatu istilah yang mengandung pengakuan masyarakat, dan menunjukkan karakteristik pekerjaan dengan sifat-sifat tertentu. Di antara hal penting dari karakteristik tersebut adalah bahwa profesionalisme merupakan keahlian dan berkenaan dengan pengetahuan yang dilandasi oleh suatu kode etik dengan menekankan pada pelayanan terhadap publik. Pengetahuan berdasarkan cirinya melengkapi substansi, walaupun tidak lengkap, merupakan bimbingan untuk melakukan suatu tindakan professional. Para sosiolog awal tahun 50-an dan 60-an, bahkan telah meletakkan dasar-dasar penting profesionalitas seorang guru. Berdasarkan konsep-konsep awal yang dirumuskan, profesionalitas seorang guru banyak ditentukan oleh keahlian di samping etos kerja, keahlian dan komitmennya pada bidang pekerjaan yang menjadi aktivitas utamanya (Whitty, 2002). Profesional berarti mempunyai keahlian yang mendalam tentang suatu pengetahuan. Profesional juga berarti harus bisa memperbaiki kemampuan/kecakapannya guna mengatasi sesuatu yang tanpa diperkirakan, dan berbuat dengan bijaksana. Dengan demikian, pengertian konsep professionalitas juga mengandung makna perilaku yang memungkinkan seseorang mampu mengembangkan diri dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk mengembangkan diri dalam profesinya (Chance, 1999). Dalam konteks akademik, profesionalitas menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya (Hasan: 2003). Maister, dalam Hasan (2003), mengemukakan bahwa profesionalitaas bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap. Pengembangan profesionalitas lebih dari seorang teknisi, yakni bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi juga memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Dalam kaitan ini, ditambahkan oleh Hasan, bahwa profesionalitas dalam suatu jabatan/pekerjaan ditentukan oleh tiga faktor penting, yakni: a. Memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan dengan program pendidikan keahlian atau spesialisasi b. Kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus) yang dikuasai 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 c. Penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian khusus yang dimilikinya Sejalan dengan Hasan, Howard M. Vollmer dan Donald L. Mills (1996) mengatakan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan/jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk menguasai keterampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain, dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah tertentu. Selanjutnya dikatakan pula bahwa profesi berarti juga suatu kompetensi khusus yang memerlukan kemampuan intelektual tinggi, yang mencakup penguasaan atau didasari pengetahuan tertentu. Lebih jauh, Sidi (2004) menjelaskan karakteristik profesi termasuk profesi guru ialah kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan, memiliki pengetahuan spesialisasi, memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien, memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan (communicable), memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri (selforganization), mementingkan kepentingan orang lain (altruism), memiliki kode etik, memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita, serta mempunyai sistem upah dan budaya profesional. 3. Kewenangaan Dalam konteks kewenangan, menurut Lansbury (1978) dalam Naskah Akademik Undang-Undang Guru (2004), istilah profesi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik. Pendekatan karakteristik memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan lainnya. Seseorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti itu sudah menjadi bagian integral dari kehidupannya. Pendekatan institusional memandang profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya, kemajuan suatu pekerjaan kearah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. Pendekatan legalistik yaitu pendekatan yang menekankan adanya Profesionalitas Guru Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pengakuan atas suatu profesi oleh Negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan dapat disebut profesi jika dilindungi oleh undang-undang atau produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintah suatu Negara. Dengan demikian, makna profesionalitas dalam konteks tersebut di aatas dapat dijelaskan sebagai sebuah sikap, perilaku yang mengandung pengertian komitmen yang kuat dan terukur, yang didukung oleh sikap, perilaku, etos kerja dan kesetiaan pada bidang pekerjaan yang memungkinkan seseorang berkembang secara terbuka dalam menjalankan profesi dan bidang keahlian yang dimilikinya karena dia memiliki kewenangan untuk melakukan semua hal tersebut di muka secara sah. Penutup Uraian di atas menggambarkan bahwa istilah yang berakar kata dari kata profesi memiliki sejumlah pengertian yang saling berbeda. Dari berbagai pengertian tersebut, studi ini mensintesiskan bahwa semua persyaratan yang dituntut oleh konsep profesi terkandung dalam konsep profesionalitas yaitu spesialisasi keahlian yang dimiliki seseorang dalam menjalankan aktivitas pekerjaan/jabatan atau pelayanan masyarakat. Keahlian tersebut diperoleh melalui pendidikan terprogram yang biasanya membutuhkan kurun waktu yang relatif lama pada suatu lembaga pendidikan khusus bagi calon pekerja profesional./ bersertifikasi S1 atau D4. Dengan kata lain, keahlian pekerja profesional bukan sekedar hasil pelatihan teknis atau pengalaman kerja, tetapi didasari oleh wawasan keilmuan yang diperoleh melalui pendidikan profesional terprogram, dan yang paling penting adalah adanya unsur komitmen total/keterpanggilan yang datangnya dari Tuhan, dan jawaban atas keterpanggilan tersebut dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Daftar Pustaka Chance, Paul. (1999). Learning and behaviour. London: Cole Publishhing Company Farruigia, Charley. (1996) dalam Jurnal Quality Assurance. Hasan, Ani, M. (2003). Pengembangan profesionalisme guru di abad pertengahan , www, Artikel Pendidikan, Network/html, 28/4/2005. Lansbury, R. D. (1978). Dalam Naskah akademik Undang-Undang Guru (2004) ---------- Pasal 8 UU No.14 Tahun 2005 Setiabudi, Natan. Konsep pembinaan secara menyeluruh dan sinambung. Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2007 Sidi, Indra Jati. Masalah guru lebih rumit di era otonomi; Seminar terbuka tentang pendidikan dasar dan menengah tahun 2003 di Jakarta Soedijarto. Sebuah pemikiran tentang sertifikasi pendidik untuk guru sebagai jabatan profesional dan implikainya terhadap lembaga yang berwenang melakukannya. Disajikan dalam Seminar “Sertifikasi Pendidikan” di UNJ tanggal 20 Mei 2006 Supriyoko, Ki. Media Indonesia, 23 Agustus 2005 Sulipan. (2007). Kegiatan pengembangan profesi guru. Makalah Wajib PLPG Tilaar, HAR. (2007). Sistem pembinaan profesi guru. Makalah untuk Penataran Guru SD Seluruh Indonesia Vollmer, Howard M. & Mills, Donald L. Artikelpendidikannetwork/html,28/4/2005 Whitty, Geoff. M. (2002). Making sense of education policy. New Delhi: Sage Publication Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 63 Evaluasi Program/Proyek Opini Evaluasi Program/Proyek (Pengertian, Fungsi, Jenis, dan Format Usulan) Roswati*) U Abstrak ntuk mengetahui tingkat keberhasilan program/proyek perlu dievaluasi secara objektif. Disamping itu hasil evaluasi itu juga diperlukan sebagai pertimbangan untuk langkahlangkah lebih lanjut. Tulisan ini membahas tentang hakikat evaluasi dan menawarkan format usulan untuk mengevaluasi program. Kata kunci: Evaluasi, evaluasi program, teknik evaluasi, evaluator, proposal evaluasi. Formal evaluation of a program or project is needed to know the degree of objective attaintmen. Besides, the evaluation result can be used as reliable information for make further decisions related to the program continiuty. This article discusses the definitions functions and kinds evaluation. This article also offers a formed of evaluation proposal. Pendahuluan Tugas, kewajiban dan pengabdian guru, dosen, karyawan, pendeta, manajer, dokter dan kaum profesi lainnya seringkali membuat mereka lupa untuk meningkatkan kualitas kinerja dan jati diri mereka. Oleh karena itu, kiranya wajar bagi kaum profesi ini untuk sekali-kali melakukan evaluasi program/proyek/kegiatan yang telah mereka lakukan maupun materi yang selama ini mereka pergunakan. Evaluasi diperlukan untuk mengetahui, apakah program/proyek kegiatan itu mempunyai nilai tambah bagi diri mereka sendiri, orang lain maupun organisasi/lembaga/institusi yang mereka abdi, dan sekaligus berguna juga untuk meneropong jauh ke depan apa yang masih dan dapat dilakukan atau dikembangkan oleh mereka. Di Indonesia, terasa benar adanya kebutuhan informasi tentang evaluasi program/ proyek yang ditulis secara sistematis dan tajam sehingga dapat memaparkan secara jelas pokok- *) Dosen Universitas Negeri Jakarta 64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 pokok pemikiran tentang evaluasi program/ proyek itu sendiri. Tulisan ini berupaya menguraikan pengertian, fungsi, jenis dan format dari Evaluasi Program/Proyek bagi pendidik maupun para profesional lainnya serta bagi pembaca umum yang menggeluti bidang evaluasi. Tujuan utama tulisan ini adalah membantu pembaca untuk membuat evaluasi program/ proyek yang lebih baik. Tujuan itu didasarkan atas kepercayaan bahwa konstruksi evaluasi program/proyek yang baik dan benar adalah penting untuk memampukan evaluator memecahkan masalah yang bersifat solutif bagi setiap situasi berbeda-beda yang dihadapi. Sifat solutif evaluasi program/proyek ini merupakan suatu nilai tambah bagi evaluator untuk melakukan evaluasi program/proyek secara lebih terarah oleh karena itu untuk sampai pada pemecahan masalah terbaik bagi setiap persoalan, adalah tidak cukup bila orang hanya mempunyai sekumpulan teknik tentang cara membuat evaluasi program/proyek. Namun, dibutuhkan Evaluasi Program/Proyek juga pengertian, fungsi dan jenis evaluasi program/proyek serta format evaluasi program/ proyek yang tepat. Selain itu, dibutuhkan juga pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip yang ada hubungannya dengan evaluasi program dan proyek dan bagaimana prinsipprinsip tersebut dipergunakan di lapangan. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang ingin tahu lebih banyak lagi tentang konsep evaluasi program/proyek. Pengetahuan yang diperoleh dapat membantu mereka memberikan umpan balik bagi pekerjaan yang telah mereka laksanakan selama ini. Pembahasan Istilah evaluasi yang dipergunakan selama ini sebenarnya merupakan istilah teknis kependidikan yang akhirnya meluas ke segala bidang. Istilah lain yang sering pula dipergunakan dalam konteks evaluasi adalah assessment. Berdasarkan pengamatan penulis, kedua istilah tersebut pada umumnya tidak dibedakan pengertiannya, kecuali di negeri Inggris. Di negeri Inggris istilah evaluasi dihubungkan kepada kurikulum, proyek/program, sedangkan istilah assessment dihubungkan kepada orangnya (siswa, guru, karyawan dll). Dalam tulisan ini kedua pengertian tersebut tidak dibedakan, namun penulis lebih memilih mempergunakan istilah evaluasi karena lebih umum sifatnya. Perlu dijelaskan di sini bahwa pembahasan tentang evaluasi program/proyek dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada struktur organisasi dari penulisan evaluasi program/ proyek yang baik dan benar sehingga bentuknya menjadi broad in scope, karena yang diutamakan adalah suatu overview, bagaimana suatu evaluasi program/proyek itu dibuat dan dilaksanakan di lapangan. Perbedaan Pengertian Istilah Evaluasi, Pengukuran dan Tes Dalam praktek nyata, pengertian evaluasi kadangkala ditafsirkan sama dengan pengertian pengukuran dan kadang-kadang disamakan juga dengan pengertian tes. Dalam dunia pendidikan bila seorang guru mengetes keberhasilan siswa di dalam mata pelajaran tertentu maka dikatakan olehnya bahwa ia mengukur keberhasilan siswa tersebut atau dia mengevaluasi keberhasilan siswa tersebut. Sebenarnya ketiga pengertian tersebut berbeda. Pengertian evaluasi Secara umum istilah evaluasi dapat diartikan suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu tersebut dapat berupa orang, benda, kegiatan, keadaan, atau suatu kesatuan/ kelompok tertentu seperti materi pelajaran, kurikulum, proyek dan program. Pemberian nilai berhubungan dengan karakteristik yang ada pada objek, kegiatan, proyek, program itu sendiri. Bila evaluasi dilakukan terhadap kurikulum matematika modern maka evaluator menilai bahwa kurikulum tersebut telah dikembangkan sesuai dengan prosedur pengembangan kurikulum matematika modern yang seharusnya, sedangkan arti berhubungan dengan posisi dan peranan kurikulum matematika modern tersebut apakah dapat mengubah cara belajar siswa, cara mengajar guru, suasana belajar-mengajar atau prestasi belajar yang lebih kondusif. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa proses evaluasi selalu mengandung judgement (penilaian/penentuan) yang didasarkan oleh kriteria tertentu. Kriteria dapat ditentukan oleh evaluator sendiri atau dari pemberi tugas. Selain itu, dalam melakukan kegiatannya evaluasi dapat mempergunakan kegiatan pengukuran (tes) maupun kegiatan non pengukuran (non tes). Pengertian Pengukuran Pengukuran adalah suatu perangkat aturan yang berhubungan dengan proses pemberian angka terhadap objek atau kegiatan tertentu. Kegiatan pengukuran biasanya dilakukan melalui tes dan didasarkan atas teori pengukuran. Untuk cabang psikologi dinamakan psikometrik. Untuk cabang ilmu sosial dinamakan sosiometrik. Pengertian tes Tes adalah suatu alat pengumpulan data/ informasi yang dirancang secara khusus. Hasil dari suatu tes biasanya berbentuk angka/ dilambangkan dalam bentuk angka. Angka ini diolah lebih lanjut untuk keperluan pengukuran dan evaluasi. Pembuatan tes harus selalu dikembangkan atas teori pengukuran. Proses evaluasi yang melibatkan kegiatan pengukuran (tes) dan kegiatan non pengukuran Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 65 Evaluasi Program/Proyek (non tes) yang selalu disertai oleh value judgements dapat diperlihatkan pada gambar berikut. d) Evaluasi e) Kuantitatif Pengukuran Kualitatif Non Pengukuran Tes: Lisan Tulisan Tindakan Non Tes: Observasi Wawancara Skala Ceklis Value Judgements Objek Evaluasi Objek evaluasi dapat berbentuk apa saja tergantung dari apa yang ingin dinilai dan diartikan oleh evaluator, pembuat keputusan atau pemberi tugas. Biasanya, objek dari evaluasi berbentuk materi, proyek, program, proses bahkan evaluasi itu sendiri (meta evaluation). Oleh karena objek evaluasi banyak jenisnya, maka pembuat evaluasi penting untuk menentukan dan mendeskripsikan objek apa yang akan dievaluasi secara spesifik, sehingga evaluator dapat mengumpulkan data/informasi yang tepat. Berikut ini akan diuraikan dimensi objek dari evaluasi itu sendiri. Ditinjau dari dimensi objek, evaluasi dapat dibagi sebagai berikut. a Evaluasi Materi : Menilai soal-soal fisik yang berhubungan dengan isi. Isi buku, isi kurikulum dan lain lain. b Evaluasi Proyek : Menilai kegiatan yang menyangkut suatu tugas khusus yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas/ singkat. Contoh Evaluasi Proyek: lokakarya tiga hari tentang kepemimpinan dan percobaan dua tahun tentang pengembangan materi pembinaan pranikah. c Evaluasi Program : Menilai suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendatangkan hasil atau pengaruh yang berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Contoh Evaluasi Program: Evaluasi program pendidikan sitem ganda dan evaluasi program pemberantasan buta huruf di suatu daerah. 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Evaluasi Proses : Menilai proses terjadinya suatu kegiatan seperti proyek, program dll. Contoh: menilai proses proyek pembuatan jalan layang. Meta Evaluasi : Mengevaluasi suatu kegiatan evaluasi lain. Kegiatan ini dapat dilakukan ketika proses evaluasi sedang berlangsung atau sesudah proses evaluasi selesai. Dalam khazanah keilmuan ada dua macam bentuk Meta evaluasi yaitu, meta eksternal dan meta internal. Meta eksternal : untuk melihat kebenaran dan menilai disain, proses dan laporan evaluasi. Evaluasi semacam ini dilakukan oleh orang luar dan meta internal : untuk merevisi dan mengikuti kegiatan evaluasi agar evaluasi berjalan sebagaimana mestinya. Evaluasi semacam ini dilakukan oleh orang dalam. Pengertian Evaluasi Program/Proyek a. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu kegiatan pengumpulan dan pemberian data atau informasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan oleh para pengambil keputusan untuk mempertimbangkan apakah suatu program/proyek perlu diperbaiki, dihentikan atau diteruskan. (Gronlund, l983) b. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu kegiatan yang menentukan sampai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. (Tyler, l950) c. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu kegiatan yang menyediakan informasi untuk pembuat keputusan. (Cronbach, l963) d. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu kegiatan yang merinci apakah ada selisih/ kesenjangan antara apa yang direncanakan dengan suatu standar yang ada. (Alkin, l969 & Provus, l971) e. Evaluasi Program/Proyek adalah suatu proses yang memperlihatkan manfaat atau kegunaan suatu proyek/program. (scriven, l967 dan Glass, l969, Stufflebeam, l974) Tujuan dan Manfaat Evaluasi Program/Proyek Tujuan a) Menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tindak lanjut suatu program/proyek di masa depan. b) Penundaan pengambilan keputusan. Evaluasi Program/Proyek c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) Penggeseran tanggung jawab. Pembenaran/justifikasi program. Memenuhi kebutuhan akreditasi. Laporan akutansi untuk pendanaan. Menjawab atas permintaan pemberi tugas, informasi yang diperlukan. Membantu staf mengembangkan program. Mempelajari dampak/akibat yang tidak sesuai dengan rencana. Mengadakan usaha perbaikan bagi program yang sedang berjalan. Menilai manfaat dari program yang sedang berjalan. Memberikan masukan bagi program baru. Manfaat a) Memberikan masukan apakah suatu program/proyek dihentikan atau diteruskan. b) Memberitahukan prosedur mana yang perlu diperbaiki. c) Memberitahukan stategi, atau teknik yang mana yang perlu dihilangkan/diganti. d) Memberikan masukan apakah program/ proyek yang sama dapat diterapkan di tempat lain. e) Memberikan masukan ke arah mana dana harus dialokasikan. f) Memberikan masukan apakah teori/ pendekatan tentang program/proyek dapat diterima/ditolak. Kapan Evaluasi Program/Proyek tidak dibutuhkan lagi a) Sudah ada keputusan yang diambil. b) Tidak jelas arah dan tujuannya. c) Tidak cukup dana yang mendukung. d) Tidak ada orang yang memiliki kualifikasi untuk melakukan evaluasi. e) Jika telah kedaluwarsa. Fungsi Evaluasi Program/Proyek Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki atau mengembangkan program/proyek yang sedang berlangsung. Dengan evaluasi formatif diharapkan program/proyek tetap berjalan seperti yang direncanakan sehingga terjamin mencapi tujuan. Evaluasi Sumatif yang dilakukan pada akhir program/proyek berfungsi sejauhmana program proyek itu mencapai tujuannya. Dengan demikian hasil evaluasi sumatif ini dapat dipergunakan untuk sertifikasi, seleksi, tindak lanjut, dan pengambilan keputusan untuk langkah-langkah berikutnya. Secara psikologis/ sosial-praktis evaluasi sumatif berfungsi untuk meningkatkan kesadaran tentang kekhususan suatu kegiatan, memotivasi evaluator dan meningkatkan hubungan inter relasi. Teknik-Teknik yang Dipergunakan dalam Evaluasi Program/Proyek a) Evaluasi reflektif : Menilai ide/konsep yang dipergunakan evaluator dalam pengembangan program. Evaluasi semacam ini dapat dilakukan pada saat ide/konsep tersebut pertama kali dilontarkan, pada saat dikembangkan, dilaksanakan atau setelah evaluasi selesai dilakukan. b) Evaluasi rencana : Menilai rencana program itu sendiri untuk melihat apakah format yang dipergunakan sesuai atau tidak dengan kondisi/situasi lapangan, menilai apakah pelaksana evaluasi program dapat mengerti/memahami makna tentang rencana program itu sendiri (keterbacaan rencana), dan melihat adakah hubungan antar komponen yang digunakan baik secara vertikal maupun horizontal. c) Evaluasi proses : Memonitor pelaksanaan program di lapangan untuk melihat apakah kegiatan, strategi, dan pelakuan yang direncanakan dijalankan sesuai rencana atau tidak. Dengan kata lain, proses evaluasi menekankan pada efek perlakuan itu sendiri apakah berjalan dengan baik atau tidak. Kegunaan lain dari evaluasi proses adalah untuk memberikan masukan atau informasi kepada pengambil keputusan tentang tindakan macam apakah yang harus dilakukannya segera. Contoh: Apakah interaksi antar Pendeta dengan Jemaat berjalan baik? Bila tidak, pengambil keputusan dapat melakukan langkahlangkah perbaikan segera. d) Evaluasi hasil : Menilai dampak evaluasi terhadap objek evaluasi sendiri maupun terhadap masyarakat luas, menilai program mana yang mampu memberikan hasil terbaik, dan dalam evaluasi hasil, informasi yang ingin didapat adalah tentang target populasi itu sendiri yaitu keadaan populasi sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan. e) Evaluasi pelaksanaan/kemajuan Kedua komponen ini merupakan suatu kegiatan evaluasi formatif. Dalam ImplemenJurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 67 Evaluasi Program/Proyek tation Evaluation, evaluator mencari kesenjangan yang mungkin terjadi antara rencana yang telah ditetapkan dengan kenyataan yang ada di lapangan, sekaligus evaluator juga harus menjaga agar program berjalan sesuai disain yang ditetapkan atau merubah, memodifikasi disain tersebut sesuai situasi dan kondisi yang ada. Dalam Progress Evaluation, evaluator memonitor indikator-indikator kemajuan yang terjadi pada saat program berlangsung, mengadakan koreksi minor sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Evaluasi hasil (outcome evaluation) Komponen ini merupakan suatu kegiatan evaluasi sumatif. Kegiatan ini menentukan apakah tujuan telah tercapai atau tidak. f) Dalam kegiatan ini, kelemahan, kekuatan dari program yang sedang berjalan dijelaskan secara rinci agar dapat dipergunakan sebagai masukan bagi perbaikan program berjalan maupun masukan bagi program berikutnya. Pendekatan yang Biasa dipergunakan dalam Pelaksanaan Program a. Pendekatan Pre-ordinate : Kriteria ditetapkan sebelum evaluator pergi ke lapangan. Kriteria dikembangkan dari teori atau ukuran baku tertentu. Contoh : Cost Benefit and Cost Effectiveness. b. Pendekatan Fidelity : Kriteria ditetapkan sebelum ke lapangan, dikembangkan dan dianalisis dari objek yang akan dinilai. Jadi, Perbedaan evaluasi formatif dengan evaluasi sumatif Aspek Evaluasi Formatif Evaluasi Sumatif T u j u an Peningkatan program Pemantauan kegunaan program Audience Administrator Staf Pemakai Program Pemberi dana Siapa Karakter Evaluator internal Evaluator External Utama Sangat tergantung pada waktu Untuk meyakinkan pengambil keputusan Pengukuran Internal V al i d , R e l i ab l e Frekuensi Pengumpulan Data Sering Tertentu Sample Kecil B e s ar Kendala Rancangan Informasi apa yang diperlukan, kapan? Menentukan apa ingin diajukan R ap at Sering Sering Pertanyaan Apa yang terjadi? Apa yang dihasilkan? Bagian mana yang dapat bekerja dengan baik? Siapa yang menghasilkan? Dalam situasi yang bagaimana hasil tersebut perlu diperbaiki? Bagian mana yang diperoleh? Bagaimana meningkatkan/memperbaiki penampilan? Usaha/latihan apa yang diperlukan? Bagaimana hasil program? Apa yg diperlukan untuk mencapai hasil tersebut? (Biaya, usaha) 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Evaluasi Program/Proyek c. d. sebelum ke lapangan evaluator harus mempelajari seluk beluk objek tersebut secara menyeluruh atau mewawancarai pengembang program sendiri. Pendekatan Gabungan : Kriteria dikembangkan dengan menggunakan gabungan cara butir 1 dan 2 di atas. Pendekatan Proses : Kriteria dikembangkan selama evaluator berada di lapangan (pendekatan naturalistik). 22. Kepada siapa laporan ditujukan? Executive: Puncak atau menengah? Kepada sponsor? 23. Siapa sumber informasi? Dimana? 24. Siapa yang mendapat pengaruh langsung dari hasil evaluasi? a. Programmer; b. Staff; c. Siswa, dan c. Masyarakat? 25. Siapa yang mencetuskan gagasan pertama? 26. Apakah ada kelompok-kelompok di dalam program yang tidak menginginkan adanya evaluasi? 27. Apakah motif mereka berbuat begitu? 28. Apakah ada komitmen antara pelaksana evaluasi dan pemberi dana? 29. Apakah tujuan evaluasi untuk mengambil keputusan atau apa? 30. Tindak lanjut macam apa yang akan diambil? 31. Literatur apa saja yang dibutuhkan? Pertanyaan-pertanyaan Pertama yang Membantu Evaluator dalam Membuat Evaluasi Program yang Layak Pakai 1. Apa yang dievaluasi? 2. Mengapa? 3. Siapa yang melakukan evaluasi? 4. Bagaimana pertanyaan - pertanyaan evaluasi dijawab? 5. Siapa yang bertanggung jawab? 6. Siapa yang memberi tugas? 7. Berapa biaya yang tersedia? 8. Ruang lingkupnya apa? Perbedaan Evaluator Internal dengan Eksternal 9. Waktu : Kapan evaluasi dilaksanakan dan bila berakhir? No Internal Eksternal 10. Ukuran Populasinya bagai1. Sangat mengetahui seluk Sukar mengetahui seluk mana? beluk program. beluk program a. Mikro: Kecamatan b. Makro: Propinsi Nasional 2. Mudah mendapatkan Sukar mendapatkan data 11. Masukan/Input harus jelas data esensial terinci : 3. Seringkali tidak objektif Dapat objektif karena a. Kriterianya harus jelas. berkepentingan b. Siapa yang masuk? c. Berapa indeks prestasinya? 4 Dapat memberi informasi Tidak Dapat d. Memenuhi syarat tidak? penting yg kontekstual 12. Tujuan : a. Kompleks b. Sederhana Komponen Ukuran Baku Evaluasi Program 13. Kadar Inovasi: Ukuran Baku untuk Evaluasi Program ini a. Homeostatic: tidak memberikan perubadikembangkan oleh Panitia Gabungan Ukuran han yang berarti. Baku yang diketuai oleh Stufflebeam. b. Incremental : hanya menambahkan Komponen-komponen yang harus diperhatikan sesuatu perubahan mikro. dalam menyusun rencana evaluasi program agar c. Neobolistic : memberikan pembaruan. evaluasi ini layak dipakai adalah : 14. Data/Informasi apa yang dibutuhkan? a Kegunaan (Utility) : Mengarahkan evaluasi Kualitatif/kuantitatif menjadi jelas, tepat waktu, serta 15. Teknik analisis datanya apa? berpengaruh. Butir-butir yang perlu ada di 16. Instrumen pengukurannya apa? dalam wacana ini adalah: (1) dentifikasi 17. Apakah perlu mengadakan pra survei? pemakai, (2) kredibilitas evaluator, (3) ruang 18. Apakah perlu mengadakan cross validation? lingkup informasi dan pemilihannya, (4) 19. Siapa pendukung dana? interpretasi tentang nilai, (5) kejelasan 20. Siapa client dari evaluasi? laporan, (6) penyebaran laporan, (7) ketepatan 21. Kapan harus selesai? waktu laporan, dan (8) dampak evaluasi. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 69 Evaluasi Program/Proyek b Kelayakan (Feasibility) : Kelayakan mempertanyakan apakah evaluasi dilaksanakan dalam setting yang alami atau di laboratorium? Sedang tujuan dari dilakukannya kelayakan adalah apakah evaluasi bersifat realistis, bijaksana, diplomatis, hemat, prosedurnya praktis, bisa mandiri secara politis, dan biaya yang dikeluarkan efisen. c Kepatutan (Apropriety: Illegacy & Ethically): Apakah evaluasi berpengaruh pada orang dalam pelbagai cara?; Meyakinkan bahwa hak-hak manusia yang dievaluasi dilindungi; Kebebasan pribadi, kebebasan informasi terjamin; Tidak melanggar hukum: legal dan etis. d Ketepatan (Accuracy) : Mempertanyakan apakah Evaluasi Program/Proyek menghasilkan informasi yang rasional, komprehensif, dan logis dalam butir-butir item di bawah ini: 1. Identifikasi Objek. 2. Analisis Konteks. 3. Tujuan dan Prosedural yang Terurai. 4. Sumber Informasi yang dapat Dipertanggung jawabkan. 5. Pengukuran yang Sahih. 6. Pengukuran yang Terpecaya. 7. Kontrol Data yang Sistematis. 8. Analisis Informasi Kuantitatif. 9. Analisis Informasi Kualitatif. 10. Kesimpulan yang Teruji. 11. Pelaporan yang Objektif. Contoh Bentuk Usulan/Proposal Evaluasi Program/Proyek Format A Judul B Abstrak C Tabel Isi D Kata Pengantar : Berisikan siapa yang berkepentingan terhadap hasil evaluasi sehingga kelanjutan program dapat ditentukan. E Bab I : Pendahuluan berisikan 1. Rasional Evaluasi yang mendeskripsikan alasan untuk melakukan evaluasi dan tujuan serta manfaat evaluasi. 2. Perumusan Masalah. 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 F G H I J BAB II : Metodologi berisikan 1. Lingkup Studi : Deskripsi Program Evaluasi yang menjelaskan secara rinci semua aspek dari program dan evaluasinya yaitu bentuk program, tujuan program, sasaran program, pelaksanaannya serta masalah-masalah yang mungkin timbul di lapangan sekalian dengan cara penanggulanggannya. 2. Strategi dan Metode: Tahap-tahap evaluasi dan komponen-komponen evaluasi yang dipergunakan; sampel, populasi; instrumen; teknik pengumpulan data; teknik analisis yang dipergunakan untuk menganalisis data BAB III : Temuan-Temuan BAB IV : Analisis dan Diskusi BAB V : Rekomendasi Daftar Pustaka Penutup Dari beberapa buku yang dijadikan sumber acuan untuk tulisan ini diketahui bahwa minat orang untuk melakukan evaluasi program/ proyek atas kinerja sendiri sangat kecil. Kecilnya minat untuk melakukan evaluasi program/ proyek bisa disebabkan karena tulisan-tulisan atau buku-buku tentang evaluasi program/ proyek sangat susah ditemukan. Bila ada, tahun penerbitannya juga sudah kadaluwarsa, masih di bawah tahun penerbitan abad 20. Sementara buku-buku referensi terbitan tahun 2000 ke atas susah ditemukan. Adanya kendala seperti diuraikan di muka menyebabkan tulisan tentang evaluasi program/proyek dalam tulisan ini lebih banyak menggunakan buku-buku referensi di bawah tahun 2000. Akhir kata, tulisan singkat tentang evaluasi program/proyek ini penulis akhiri dengan mengutip beberapa pendapat dari para ahli evaluasi program/proyek yang berguna untuk mengeliminir persepsi negatif tentang maksud dan tujuan pelaksanaan evaluasi. Brinkkerhoff dkk (l983) menyatakan: Evaluation is for making something works. If it works .... Notice and Nurture; If it doesn’t work .... Notice and Change.” Evaluasi Program/Proyek Sementara itu, Stufflebeam (l985) menyatakan bahwa tujuan utama dari pelaksanaan evaluasi adalah: “To Improve not To Prove!” Daftar Pustaka Alkin, M.D., Daillak, R., and White, P. (1979). Using evaluations: does evaluation make a difference? Beverly Hills, Cliff: Sage Campbell, J., Dunnette, M.D., Lawler, E.E, and Weick, K.E. (1970). Manegerial behaviour, performance, and effectiveness. New York: McGraw-Hill Gronlund. (l983). Measurement and evaluation in teaching. MacMillan Publishing Company, New York Cronbach, L., J., and others. (1980). Toward reform of program evaluation: aims, methods, and institutional arrangements. San Fransisco: Jossey-Bass Daniel L., Stufflebeam. (l974). Evaluation models. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing. Glass, G.V. et al. (l969). Data analysis of the 196869 survey of compensatory education Provus, M. ( l971). Discrepancy evaluation. Berkeley, California: McCutcheon Publishing Co. Robert G. St. Pierre, Editor. (1983). Management and organization of program evaluation San Fransisco: Jossey Bass Inc. Publisher Scriven, Michael. “The methodology of evaluation” In: R.W. Stake et al., Perspectives on curriculum evaluation. AERA monograph series on curriculum evaluation, no.1. Chicago: Rand McNally, 1967, 39-83 Tyler, R.W. (l967). Changing concepts of educational evaluation” In: R.E. Stake (ed), Perspectives of Curriculum Evaluation, Vol.1. New York: Rand McNally Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 71 Membangun Citra Diri Guru yang Positif Opini Membangun Citra Diri Guru yang Positif Melalui Pribadi Unggul yang Efektif Edwita*) Abstrak ulisan ini berupaya untuk memberikan pemahaman tentang manfaat menemu kenali diri sendiri sehingga guru mampu mengembangkan citra diri guru yang positif melalui pribadi unggul yang efektif sebagai teladan dan secara berkelanjutan. Tulisan ini berusaha memampukan guru untuk bisa bergaul di lingkungan sekolah dan masyarakat dalam rangka mengemban misi pendidikan dengan menawarkan sejumlah saran membangun citra diri yang positif. T Kata kunci: Citra diri, kepribadian, karakter, pribadi unggul. Positive self image is necessary in developing teacher’s profession and career. This article discusses throughly self -image particulary for teachers. To end the article, the writer offers a number of suggestions too develop positive self-image for teachers. Pendahuluan Diskusi tentang pendidikan di Indonesia sering memunculkan perbandingan tentang kualitas guru jaman dulu dengan kualitas guru jaman sekarang. Dulu, perilaku guru dipandang orang bagaikan mega bintang yang menjadi idola siswanya dan masyarakat di sekitarnya dalam berbagai hal. Saat itu, guru bagaikan manusia yang berjiwa agung. Seperti yang dilukiskan oleh Earl V Pullias dan James D Young yang dikutip oleh Widiyastono tentang pandangan masyarakat terhadap guru, yaitu manusia yang serba tahu, serba bisa, dan memiliki wibawa tinggi. Jadi, Guru di masa lalu dinilai lebih memiliki kualitas, berkarakter, mempunyai semangat berkorban untuk masyarakat, dan umumnya dikenal mampu membimbing masyarakat dibandingkan dengan guru masa kini. *) Dosen Jurusan PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Dalam diskusi “Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” para pembicara menyampaikan kehadiran guru yang berkualitas saat ini masih sebatas harapan. Ditambahkan oleh para panelis, bahwa pendidikan nasional bukan saja belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, tetapi juga gagal dalam membentuk karakter dan kepribadian mereka. Kepercayaan pada sifat profesional guru sekolah juga kelihatan mulai kurang terindikasi dari banyaknya anak diikutkan bimbingan belajar, kecenderungan untuk sekolah di rumah, atau banyaknya anak dikirim untuk sekolah di luar negeri. Salah satu alasan, orangtua meragukan kemampuan guru dan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. Ada banyak alasan meragukan kemampuan guru, salah satunya adalah yang memilih profesi menjadi guru, kebanyakan bukan warga kelas satu, melainkan warga yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi kehadiran guru bukan by Membangun Citra Diri Guru yang Positif design, tetapi by condition. Menjadi guru bukan karena cita-cita murni, tetapi karena berbagai alasan keadaan, sehingga rendahnya kemampuan sejumlah guru tidak mengherankan. Diakui bahwa sinyalemen yang dikemukakan tidak berlaku untuk semua guru. Masih ada banyak guru yang mengabdikan dirinya secara baik dan benar. Akan tetapi, keadaan yang kurang baik itu hendaknya mendorong guru mengubah citra negatif tersebut menjadi positif terhadap profesi keguruan itu sendiri. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali keberadaan profesi guru saat ini untuk mengembalikan citra kepribadian yang unggul dan efektif. Dalam tulisan ini dibahas berbagai hal yang berkaitan dengan profesi guru. Apakah sertifikasi terhadap profesi guru, akan memunculkan tokoh pejuang pendidikan seperti jaman dulu yang memenuhi harapan masyarakat ? Apakah citra pendidikan saat ini bisa menjadi lebih baik? Apakah syarat guru yang berkualitas dapat dijembatani dengan upaya pemantapan pribadi guru yang akan dikemas dalam bentuk citra diri dan pribadi unggul yang efektif? Pembahasan Citra diri guru Pengertian citra guru Istilah citra diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) sebagai suatu gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, produk maupun suatu lembaga. Atas dasar pengertian itu maka Citra Diri Guru didefinisikan sebagai gambaran tentang diri pribadi guru yang diberikan appresiasi oleh masyarakat dapat ditambahkan bahwa penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap guru bisa berbentuk positif atau negatif tergantung kepada kepribadian maupun karakter yang muncul sebagai wujud profesi guru secara utuh. Pengertian Kepribadian Dalam pembicaraan sehari-hari sering dijumpai beberapa ucapan yang membuat orang menafsirkan bermacam-macam arti kepribadian. Contoh: a. Sebagai kepala sekolah, dia mempunyai kepribadian b. Menurut Anda, bagaimana kepribadian guru matematika tersebut? Pada contoh “a” kata kepribadian dapat diartikan sebagai kewibawaan sedangkan pada contoh “b” dapat diartikan sebagai sifat-sifat seseorang. Menurut seorang tokoh kepribadian yaitu G.W. Allport dalam bukunya Sarah Cook (1994), sebagaimana yang dikutip Soedarsono, pengertian kepribadian sebagai berikut. “Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik yang menentukan penyesuaian diri yang unik terhadap lingkungannya”. Pendapat lain, yang lebih khusus diungkapkan oleh Soedarsono bahwa kepribadian adalah totalitas kejiwaan seseorang yang menampilkan sisi yang didapat dari keturunan (orang tua dan leluhur) dan sisi yang didapat dari pendidikan, pengalaman hidup, dan lingkungannya. Dari sisi keturunan didapat bakat, kecerdasan dan temperamen. Temperamen ini sangat sukar untuk diubah. Sisi yang didapat dari pendidikan serta dibentuk dan didapat dari pengalaman hidup berwujud dalam pengetahuan, keterampilan dan watak. Dengan demikian, bisa digambarkan bahwa kepribadian itu adalah keadaan dalam diri seseorang yang menentukan bagaimana penampilan dirinya dikemas dalam upaya dirinya menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pengertian Karakter Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) mendefinisikan Karakter atau Watak adalah kualitas manusia yang muncul dari hasil pembelajaran sosial. Manusia mendapatkannya dari interaksi dengan manusia lainnya, faktor bawaan tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lingkungan belajar. Hal senada dinyatakan oleh Given (2007), bagaimana guru memilih untuk berperilaku merupakan interaksi kompleks di antara banyak pengaruh. Seperti, gen-gen, cara guru dibesarkan dalam keluarga, budaya, keadaan biokimiawi otak guru pada satu waktu tertentu, cara masyarakat memperlakukan guru dan stimulan yang masuk dari pelbagai kondisi. Dinyatakan oleh Soedarsono (2002) bahwa watak seseorang akan mendorong sikap dan perilaku seseorang. Ditambahkan oleh Soedarsono bahwa manusia mampu melakukan tindakan buruk terhadap orang lain, tetapi manusia juga mampu mencintai, menjalin persahabatan dan kerja sama, memiliki rasa keadilan dan memiliki kemampuan untuk memprediksi konsekuwensi dari tindakannya Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 73 Membangun Citra Diri Guru yang Positif sensiri. Dengan demikian, sebagai manusia berperilaku (kode etik) guru. Penampilan kalau temperamen sebagai faktor bawaan sulit kepribadian seorang pramugari tentu akan untuk berubah, sebaliknya kepribadian dan berbeda dengan ibu guru, walaupun sama-sama karakter dapat berubah karena hal itu diperoleh di bidang pelayanan. Penampilan yang didapat manusia melalui lingkungannya. Sebagai dengan melatih keterampilan pribadi disebut seorang manusia, guru dapat merubah watak etika kepribadian (personality ethics) yang guru yang kurang tepat, dan guru dapat pula diwujudkan dengan tampilan lahiriah. membantu membentuk watak dan kepribadian Guru yang berpenampilan ramah, pandai anak didik dan lingkungan guru sendiri. menghibur, dan memikat lebih mudah diterima Dari uraian sebelumnya dapat disintesiskan oleh anak didik mereka. Apakah dalam situasi bahwa seseorang yang memiliki citra diri yang panik guru tersebut akan tetap bersikap sama? positif akan mendapatkan berbagai manfaat, Biasanya dalam kondisi mengajar yang normal, baik yang berdampak positif bagi dirinya sendiri ketika anak-anak berperilaku baik, guru maupun untuk orang-orang di seki-tarnya. Guru umumnya dapat mengatur prilaku diri. Akan yang memiliki citra diri positif senantiasa tetapi, menurut Soedarsono, keberhasilan itu mempunyai inisiatif untuk menggulirkan hanya akan berlangsung dalam jangka pendek perubahan positif bagi lingkungan tempat ia jika tidak dibarengi dengan Character Ethics. berkarya. Mereka tidak akan menunggu agar Character Ethics adalah penampilan kehidupan menjadi berdasarkan watak lebih baik, sebalikatau karakter terpunya, mereka akan ji yang dilandasi Guru yang memiliki citra melakukan peruoleh lima sikap bahan untuk memdasar, yaitu jujur, diri positif senantiasa buat kehidupan terbuka, berani mempunyai inisiatif untuk menjadi lebih baik. mengambil resiko, menggulirkan perubahan positif Perubahan positif komitmen, dan berbagi lingkungan tempat ia tidak hanya dirabagi. Mari kita perberkarya. sakan oleh dirinya, hatikan perbedaan namun juga oleh etika karakter dan lingkungannya. etika kepribadian pada gambar 1. Pada gambar terlihat bahwa kedaan di atas air merupakan nilai sekunder sebagai etika Mengenal Siapa Saya : kepribadian yang terdiri dari penampilan dan Identitas >< Jati Diri Pengertian mengenai bagaimana pribadi itu keterampilan yang hanya meliputi 15% dari terbentuk dan berkembang serta mengenai totalitas kepribadian (yang sering muncul). pribadi diri sendiri merupakan dasar untuk Bagian bawah air dari gunung es ini merupakan mengetahui apa yang kita kehendaki dalam merupakan watak, integritas, rendah hati, kehidupan ini maupun dalam pekerjaan kita kesetiaan, kepedulian, keteladanan, yang berarti 85% dari keseluruhan (nilai primer). Dengan dan untuk mengenal pribadi orang lain. Sering kali bila ditanya siapa dirinya, manusia demikian, “penampilan” sebagian besar cenderung menyebutkan fakta-fakta nyata manusia barulah merupakan penampilan mengenai dirinya sendiri misalnya: nama, lahiriah, sehingga guru perlu menampilkan alamat, pekerjaan, dsb. Ke semua hal ini dikenal pribadi guru yang sesungguhnya untuk dengan identitas. Identitas adalah tanda diri mewujudkan kredibilitas, integritas atau harkat manusia, yang menunjukkan siapa dia dan martabat guru. Nilai primer ini yang perlu sebenarnya, namun identitas hanya menam- diasah dan dimunculkan dalam membangun pilkan hal-hal yang tampak secara lahiriah saja, citra diri guru sehingga guru memiliki kopetensi belum menunjukkan pribadi yang sesung- pribadi dan sosial yang mantap. Silahkan tanya diri sendiri, bagaimana guru guhnya. Dikatakan bahwa penampilan kepribadian menampilkan diri guru selama ini. Seringkah bisa dibentuk sesuai dengan profesi yang terlupakan bahwa fakta-fakta yang menyangkut disandang manusia. Profesi guru punya aturan siapa saya menurut pikiran saya, seperti 74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Membangun Citra Diri Guru yang Positif Gambar 1: Etika, Karakter dan Kepribadian (dikutip dari Soedarsono”Character Building”, 2002). misalnya: saya ramah, saya pemalu, saya penakut, saya gemuk, saya kurang menarik dan saya tidak percaya diri. Hal ini sering terlupakan karena pada umumnya guru sering tidak memikirkan mengenal keadaan diri guru atau sifat-sifat guru, kalau guru tidak berpikir ke sana, karena guru kurang mengenal diri guru sendiri. Hal semacam ini disampaikan oleh Hamer & Copland ( 1998): “Dari semua yang telah guru pelajari dan ingat dalam kehidupan, yang terpenting adalah siapa diri guru itu”. Ditambahkan oleh Hamer dan Copland (1998) bahwa konsep tentang diri guru, bagaimana guru berpikir tentang diri guru adalah merupakan paduan dari berbagai kecenderungan genetik dan cara guru membentuk semua kecenderungan itu menjadi pola perilaku dan pola pikir guru yang permanen. Pengaruh Bagaimana Saya Menurut Pikiran Saya Memunculkan kembali kesadaran diri Siapakah kita “ Guru, itu lho ? “ Guru adalah profesi yang dikenal sebagai pemberi keterangan, penjelas, pendidik, pembimbing, contoh, yang dapat memberi perubahan bagi anak didik ke arah yang lebih baik dari segala dimensi, yang mampu mengembangkan beragam sisi kecerdasan dan akhlak sebagai pembentuk karakter dan kepribadian anak. Di sini guru yang cerdas dan memiliki karakter serta kepribadian dengan berbagai kecakapan menjadi tuntutan utama. Buku Kurikulum 2004 Standar Kompetensi terbitan Depdiknas mengatakan bahwa salah satu kecakapan hidup (life skill) yang harus dimiliki guru adalah kemampuan untuk selalu mengembangkan dan merawat citra diri sebagai pendidik. Citra diri sebagai seorang pendidik akan menyangkut kemudahan diterima atau tidaknya kehadiran guru dengan baik oleh lingkungannya. Selanjutnya, sangat berpengaruh kepada kepercayaan yang akan diberikan pada guru untuk tugasnya dalam mendidik. Sebagai seorang pendidik dalam kesehariannya, guru dituntut untuk selalu memiliki kesadaran diri akan profesi yang diamanahkan. Sosok pribadi guru harus dapat menjadi teladan bagi anak didik dan lingkungan. Perilaku mereka akan selalu menjadi sorotan masyarakat. Sedikit saja cacat dalam berperilaku akan menjadikan berita besar yang dapat mencoreng citra kependidikan secara luas. Citra diri guru berkaitan dengan karakter dan kepribadian guru serta kemampuan dalam menjalankan tugasnya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 75 Membangun Citra Diri Guru yang Positif Analisis siapa saya dan siapa saya menurut pikiran saya penting karena beberapa faktor Pertama, melalui analisis ini seseorang dapat mengetahui mengenai dirinya sendiri, sebagai apa dia, posisinya sekarang dimana, apa yang sudah diperbuatnya. Kedua, melalui analisis ini seseorang dapat mengetahui apa yang dia kehendaki dan jalan mana yang harus ditempuh dan dituju. Ketiga, melalui analisis ini seseorang dapat mengetahui kelebihan dan kelemahannya dan bagaimana mengembangkan aspek-aspek diri itu. Keempat, menampilkan gaya hidup yang sesuai dengan konsep dirinya. Kelima, menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang berarti penyesuaian yang khas. Guru akan memulai dari mencintai diri sendiri Mencintai diri sendiri bukan berarti guru menjadi orang yang sombong lagi takabur. Mencintai diri sendiri malah lebih cenderung kepada mensyukuri apa yang Allah berikan kepada diri guru. Dalam ilmu psikologi populer, mencintai diri sendiri berarti adalah kita memiliki citra diri yang positif. Apa pentingnya mencintai diri sendiri ini? Manfaat apa saja yang bisa diraih dari memiliki citra diri positif? Kedua pertanyaan itu akan dijawab berikut ini, sehingga dapat juga diketahui kiat-kiat apa saja yang diperlukan untuk membentuk citra diri yang positif. Guru haruslah pribadi yang mencintai pekerjaannya Seorang guru yang baik, adalah mereka yang mencintai pekerjaannya. Walaupun tadinya tidak berbakat atau ingin jadi guru, tetapi demikian menjalankan pekerjaan itu mereka menemukan cinta pada pekerjaannya maka hal itu suatu modal yang luar biasa. Kecintaan pada pekerjaan akan dapat mengimbangi ketidak puasan atas pendapatan yang tidak mencukupi, atau kekurangan sarana atau muncul berbagai persoalan, hambatan, atau buruknya hubungan dengan guru lain. Kalau mencintai pekerjaannya, guru akan memberikan perhatian kepada anak didiknya dan anak itu bisa mengatakan bahwa guru itu mencintai pekerjaanya. Namun walaupun guru itu mencintai pekerjaannya, belum tentu guru itu pintar untuk mengajarkan semua hal baru dengan cara yang tepat guna. Untuk itu diperlukan suatu teknik-teknik pembelajaran. Disinilah guru harus selalu belajar mandiri memperluas 76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 pengetahuan dan keterampilan mengajarnya secara berkelanjutan. Guru juga perlu proaktif untuk mencari dan menemukan kesempatan ikut pelatihan maupun lokakarya. Sumber ilmu itu ada dimana-mana sehingga guru diharapkan tidak hanya menunggu. Pentingnya citra diri yang positif “Anda adalah sebagaimana yang Anda pikirkan tentang diri Anda sendiri atau “You are what you think” (Burt Nanus, 1992). Ungkapan ini bermakna, jika memiliki citra diri positif, kita akan mengalami berbagai macam hal positif sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Banyak ahli percaya bahwa orang yang memiliki citra positif adalah orang yang beruntung. Citra diri yang positif membuat mereka menikmati banyak hal yang menguntungkan, antara lain hal-hal berikut. Membangun percaya diri Citra diri yang positif secara alamiah akan membangun rasa percaya diri, yang merupakan salah satu kunci sukses. Guru yang mempunyai citra diri positif tidak akan berlama-lama menangisi nasibnya yang sepertinya terlihat buruk. Citra dirinya yang positif mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang masih dapat ia lakukan. Ia akan fokus pada hal-hal yang masih bisa dilakukan, bukannya pada hal-hal yang sudah tidak bisa ia lakukan lagi. Dari sinilah, terdongkrak rasa percaya diri orang tersebut. Meningkatkan daya juang Dampak langsung dari citra diri positif adalah semangat juang yang tinggi. Guru yang memiliki citra diri positif, percaya bahwa dirinya jauh lebih berharga daripada masalah, ataupun penyakit yang sedang dihadapinya. Ia juga bisa melihat bahwa hidupnya jauh lebih indah dari segala krisis dan kegagalan jangka pendek yang harus dilewatinya. Segala upaya dijalaninya dengan tekun untuk mengalahkan masalah yang sedang terjadi dan meraih kembali kesuksesan. Inilah daya juang yang lebih tinggi yang muncul dari guru dengan citra diri positif. Manfaat citra diri yang positif Seseorang yang memiliki citra diri yang positif akan mendapatkan berbagai manfaat, baik yang berdampak positif bagi dirinya sendiri maupun untuk orang-orang di sekitarnya. Manfaatmanfaat yang terasakan oleh si empunya citra diri positif dan lingkungannya tersebut adalah: Membangun Citra Diri Guru yang Positif Guru akan membawa perubahan positif Guru yang memiliki citra diri positif senantiasa mempunyai inisiatif untuk menggulirkan perubahan positif bagi lingkungan tempat ia berkarya. Mereka tidak akan menunggu agar kehidupan menjadi lebih baik, sebaliknya, mereka akan melakukan perubahan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Perubahan positif tidak hanya terasakan oleh dirinya, namun juga oleh lingkungannya. Mengubah krisis menjadi keberuntungan Selain membawa perubahan positif, guru yang memiliki citra positif juga mampu mengubah krisis menjadi kesempatan untuk meraih keberuntungan. Citra diri yang positif mendorong guru untuk menjadi pemenang dalam segala hal. Menurut orang-orang yang bercitra diri positif, kekalahan, kegagalan, kesulitan dan hambatan sifatnya hanya sementara. Fokus perhatian mereka tidak melulu tertuju kepada kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, melainkan fokus mereka diarahkan pada jalan keluar. Dalam hal yang satu ini seringkali guru memandang pada pintu yang tertutup terlalu lama, sehingga guru tidak melihat bahwa ada pintu-pintu kesempatan lain yang terbuka untuk guru. Guru seringkali memandang dan menyesali kegagalan, krisis dan masalah yang menimpa terlalu lama, sehingga guru kehilangan harapan dan semangat untuk melihat kesempatan lain yang sudah terbuka bagi guru. John Forbes Nash, pemenang nobel di bidang ilmu pengetahuan ekonomi dan matematika, justru merasa tertantang ketika mengalami soal matematika atau permasalahan ekonomi yang sulit. Kesulitan-kesulitan ini menurut Forbes, merupakan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya memecahkan masalah tersebut. Kesulitan dan masalah dalam matematika dan ekonomi, mendorongnya untuk mencari caracara baru yang lebih efektif dan kreatif sebagai solusi bagi permasalahan tersebut. Cara membangun citra diri positif. Setelah menyadari pentingnya memiliki citra diri positif, dan manfaat memiliki citra diri positif, tentunya guru juga ingin tahu bagaimana membangun citra diri yang positif. Hal-hal yang harus dilakukan untuk membentuk citra diri yang positif diberikan oleh Covey R, Stephen, dalam bukunya Principle Centered Leadership. (1992) yang mengatakan bahwa selain melalui persiapan yang tepat serta berpikir unggul, citra diri positif juga bisa dibangun melalui komitmen pada pembelajaran berkelanjutan. Persiapan Salah satu cara membangun citra diri positif adalah melalui persiapan. Dengan persiapan yang cukup, guru menjadi lebih yakin akan kemampuan guru meraih sukses. Keyakinan ini merupakan modal dasar meraih keberuntungan. Dengan melakukan persiapan, guru sudah berhasil memenangkan separuh dari pertarungan. Persiapan menuntun guru untuk mengantisipasi masalah, mencari alternatif solusi, dan menyusun strategi sukses. Persiapan dapat diwujudkan dengan mencari ilmu pengetahuan yang mendukung guru dalam menyelesaikan suatu masalah. Berpikir unggul Untuk membangun citra diri yang positif, guru harus berpikir unggul. Cara berpikir unggul seperti ini akan mendorong guru untuk senantiasa berusaha menghasilkan karya terbaik. Mereka tidak akan berhenti sebelum mereka dapat mempersembahkan sebuah mahakarya. Semua ini dapat diraih guru jika selalu berpikir unggul. Setiap kali akan berciptakarya yang dipikirkan guru adalah kemenangan atas keberhasilan belajar anak didiknya. Belajar berkelanjutan Dikatakan oleh Covey bahwa hasil belajar akan membawa perubahan positif dengan menambah nilai bagi orang yang berhasil mendapatkan pengetahuan ataupun keterampilan baru, yang bisa dijadikannya modal untuk maju meraih sukses. Tanpa semangat untuk senantiasa mengembangkan diri, guru yang sudah memiliki citra positif bisa saja lalu kehilangan citranya tersebut karena tidak dianggap “unggul” lagi atau dianggap tidak mampu menambah nilai bagi masyarakat sekitar melalui karya-karya yang dihasilkannya. Selain itu, seringkali guru yang sudah lama mengajar maupun yang berada di tingkat atas merasa tak perlu lagi untuk belajar. Ia memandang remeh untuk belajar lagi, ia pikir, “Toh, aku sudah sukses”. Orang seperti ini lebih enggan lagi untuk belajar pada orang yang lebih rendah dari dirinya. Hasilnya, ketika ia dirundung masalah, keberhasilannya pun Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 77 Membangun Citra Diri Guru yang Positif melorot. Guru yang lebih muda yang terus belajar akan menggantikannya dan menangani masalah dengan lebih baik. Penutup Pengembangan diri guru dimulai dari pemahaman mengenai “aku/diriku” dan melalui analisis diri untuk mengetahui siapa saya menurut pikiran saya, setelah itu dilanjutkan dengan pengembangan diri untuk memasuki tahap-tahap mengenai pribadi individu-individu lain yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan profesional kita. Disimpulkan bahwa untuk membentuk pribadi unggul yang efektif, perlu mempelajari dan memahami nilai-nilai dasar sikap kemanusiaan dan teknik-teknik pengembangan diri lainnya seperti: rasa tanggung jawab, cara bergaul yang baik, berinteraksi secara efektif, serta berkomunikasi secara produktif. Disamping itu perlu pula melakukan tindakan untuk perubahan diri menjadi lebih baik, tidak cukup hanya sekedar tahu, tapi perlu mau dan mampu untuk berbuat ke arah yang lebih baik dalam meningkatkan kualitas diri. Akhirnya, tentunya sesuai profesi, guru dituntut agar selalu mengembangkan pengetahuan-pengetahuan tersebut dan menerapkan dalam kegiatan sehari-hari sehingga bisa menjadikan guru lebih profesional dan mapan dalam membina karir. Dalam hal ini, “Citra diri guru” akan mewarnai kehidupan guru, kapan pun dan dimana pun, dan ujungnya akan menaikan citra pendidikan Indonesia ke arah yang diharapkan bangsa ini. Daftar Pustaka Benhis, Warren, Jagdish Parikh dan Ronnie Cessen. (1994). Beyond leaderhip : Balancing ethics and ecology. Cambridge : Basil Blackwell Ltd Blankard, Kenneth H. Ronald K. Hambleton, Drea Zigarmi, dan Douglas Forsyth. Analisis tingkah laku pemimpin. 78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 _______ Buku Kurikulum 2004. Standar kompetensi. Jakarta: Depdiknas 2004 Chris Verdiansyah (editor) (2007). Membongkar budaya: visi Indonesia 2030 dan tantangan menuju raksasa dunia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Cook, Sarah. (1994). Training for Empowerment. Vermont: Gower Publishing Limited Edwita. (1998). Program pelatihan “ Professional image” dalam kegiatan organisasi Dharma wanita Given, Barbara K. (2007). Brain-based teaching. Terjemahan. Bandung: Mizan Hesselbein, Frances et all. (1996). The leader of the future. New York : Jossey Bass Inc. Hughes, R.L. (1993). Leadership : Enhancing the lessons of experience. Boston : Richard D. Irwin, Inc. _______ Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2005). Jakarta: Dewan Bahasa Koesten Baw, Peter. (1991). Leadership: The inner side of greatness Makalah Mahasiswa Pasca Sarjana IKIP Jakarta Jurusan Administrasi Pendidikan (S2 dan S3 ) Yang Mengambil Mata Kuliah. (1997). “Komunikasi dan kepemimpinan pendidikan” Manajemen Diri — by wirawax @ 5:07 am _______ Management. (1998). Canada : Three Hills, Albertqa Nanus, Burt. (1992). Visionary ledership. California : Jossey – Bassi Inc Riberu, J. (l992). Dasar-dasar kepemimpinan. Jakarta: PT Pedoman Ilmu Jaya Shriberg, Arthur , et all. (1997). Praticing leadership : Principles and applications. Canada : John Willwey Sons, Inc. Soedarsono, Soemarsono. (2002). Character building: Membangun watak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Stephen, Covey R. (1992). Principle centerred leadership. London : A Fire Book of Sihon & Schuster Inc. Winardi. (1990). Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta: PT Rineka Cipta Wiwicharuck, Peter. (1998). Building effective leadership: A guide to christian and professional management. Canada : Three Hills, Albertqa Pengembangan Sumber Belajar Opini Pengembangan Sumber Belajar BP. Sitepu*) Abstrak elajar berbasis aneka sumber diyakini dapat mengatasi tidak hanya berbagai kesulitan dalam proses belajar dan membelajarkan, akan tetapi juga dapat mendidik peserta didik cara belajar yang tepat sehingga dapat belajar secara mandiri sepanjang hayat. Untuk itu, belajar berbasis aneka sumber perlu dilakukan seawal mungkin dalam proses pembelajaran. Tulisan ini menelaah peranan aneka sumber belajar yang perlu dikelola secara terpadu dan terintegrasi di lembaga-lembaga pendidikan sehingga proses pembelajaran benarbenar membuat peserta didik sebagai subjek dan selalu menyenangi kegiatan belajar. Atas dasar telaahan yang demikian, tulisan ini menyarankan perlunya mengembangkan, mengelola, dan memanfaatkan Pusat Sumber Belajar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan sekaligus meningkatkan mutu pendidikan. B Kata kunci: Proses belajar membelajarkan, pengambilan keputusan, sumber belajar Resources-based Learning is believed not only beneficial in teaching-learning process, but also in students’ life-long learning. In this case resources-based learning should be carried out as early as possible in learning process. This article discusses how to manage and integrate learning resources to facilitate students to learn joyfully. The article also proposes to develop learning resources unit or centre in education institutions as one of the alternativies to improve educational quality. Based on this study result, it is recommended to develop, manage, and use learning resources center in education institution in Indonesia as an alternative for education for all and education quality improvement. Pendahuluan Perkembangan peradaban manusia ditandai dalam tiga tahap mulai dari era pertanian, ke era industri, sampai era informasi. Masing– masing era memiliki ciri-ciri dalam sistem kemasyarakatan termasuk dalam keluarga, ekonomi atau perdagangan dan pendidikan (Reigeluth, 1994: 4). Dalam era pertanian sistem pendidikan diarahkan pada pemberian keterampilan agar peserta didik dapat hidup dengan mengolah dan memanfaatkan sumbersumber alam agar dapat bertahan hidup. Pada era revolusi industri peserta didik dipersiapkan menyediakan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri. Dengan demikian, sistem persekolahan diarahkan untuk menghasilkan tenaga kerja sebagai buruh pabrik. Sekolah mengajar peserta didik menghafal dan bukan membelajarkan mereka memecahkan masalah secara kreatif. Peserta didik dipersiapkan menghadapi dan melayani mesin serta bekerja secara mekanistis. Akan tetapi sekarang ini revolusi industri sudah berlalu dan kebutuhan telah berubah. Dewasa ini peserta didik perlu mempelajari kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja dan masyarakat. Mereka perlu belajar bagaimana cara untuk mengambil *) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 79 Pengembangan Sumber Belajar keputusan sendiri serta bekerja sama dengan orang lain dan bagaimana memilah serta memilih informasi yang tersedia begitu banyak untuk keperluan meningkatkan kemampuan mereka. Dalam keadaan yang demikian lembagalembaga pendidikan diharapkan muncul dan melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan ini. Pergeseran Paradigma Perubahan masyarakat sebagai akibat perkembangan peradabannya juga ikut mengubah paradigma masyarakat terhadap pendidikan. Reigeluth (1994: 8) misalnya berpendapat bahwa perubahan itu terutama diakibatkan oleh tuntutan lapangan kerja. Pada era industri penyelenggaraan pendidikan didasarkan antara lain pada tingkat kelas, penguasaan materi, tes berdasarkan norma dan penilaian non-autentik, penyajian berdasarkan pengelompokan bahan ajar, berpusat pada guru, menghafal fakta-fakta yang tidak bermakna, kemampuan membaca dan menulis yang terpisah, dan buku merupakan sarana belajar utama. Sementara itu dalam era informasi, pendidikan dianggap merupakan proses untuk maju secara berkesinambungan, belajar berdasarkan hasil, tes secara individu dengan penilaian yang berbasis kemampuan, perencanaan belajar yang personal, belajar kooperatif, belajar beraneka sumber, guru berfungsi sebagai pemandu atau fasilitator, pembelajaran yang bermakna berdasarkan penalaran dan pemecahan masalah, diarahkan pada kemampuan berkomunikasi, dan menggunakan teknologi maju sebagai sarana utama dalam belajar dan membelajarkan. Lebih rinci dari apa yang dikemukakan Reigeluth, sebagai akibat kemajuan teknologi dan perubahan di tempat bekerja, Belt (1997) mengenali perbedaan visi pendidikan dalam era industri dan era informasi dari aspek peserta didik, sarana dan prasarana belajar, proses belajar dan membelajarkan, serta pola pembelajaran. Berkaitan dengan sarana dan prasarana, dalam era industri buku merupakan satusatunya alat utama, dan ruang kelas merupakan dunia belajar dan membelajarkan. Sedangkan berkaitan dengan proses, belajar dan membelajarkan diselenggarakan berdasarkan tingkat kelas dan usia tertentu serta selesai dalam batas waktu tertentu dengan tujuan untuk mewujudkan manusia yang berpendidikan (educated 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 person). Bahan ajar ditentukan dan dikembangkan oleh guru sebagai pembicara utama di kelas dan pembelajaran diarahkan pada penguasaan isi bahan ajar yang diuji dengan menggunakan tes berdasarkan norma yang ditetapkan oleh kelas atau sekolah. Proses belajar mengutamakan hafalan dan fakta-fakta disajikan secara terpisah, kemampuan membaca yang terpisah, persaingan antar peserta didik. Sementara itu guru berfungsi sebagai penyalur pengetahuan (dispenser of knowledge), membelajarkan sesuai kasus dan sistem membelajarkan yang tertutup. Visi pendidikan di era informasi, menurut Belt, mengalami perubahan yang sangat berarti. Dari aspek sarana dan prasarana pendidikan, buku bukan lagi sumber belajar dan membelajarkan yang utama dan satu-satunya tetapi teknologi dan perpustakaan elektronik. Belajar dan membelajarkan tidak hanya dibatasi dalam ruang kelas yang tertutup oleh dinding, lantai dan langit-langit, tetapi dunia yang terbuka luas menjadi ruang kelas. Bahan ajar tidak lagi dibatasi pada rancangan yang dibuat guru tetapi mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta didik. Hasil belajar diuji bukan lagi semata-mata berdasarkan penguasaan menghafal tetapi mengacu pada kemampuan (outcomes-based) yang ditunjukkan peserta didik dan diukur menggunakan tes berbasis kemampuan (performance based assessment) dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi pemelajar mandiri (self directed learner). Oleh karena itu, belajar dan membelajarkan tidak lagi dibatasi dengan tingkat kelas dan umur tertentu, tetapi merupakan kemajuan yang berkesinambungan dengan prinsip belajar sepanjang hayat dan terbuka. Suasana belajar tidak lagi menunjukkan persaingan antar peserta didik tetapi lebih bernuansa kerja sama dan kolaborasi dalam kelompok belajar. Guru tidak lagi berfungsi sebagai penyalur pengetahuan tetapi lebih berperan sebagai pemandu, mentor, atau fasilitator yang memberikan pendampingan belajar. Perubahan paradigma tentang pendidikan seperti yang dikemukakan baik oleh Reigeluth maupun Belt seperti yang diuraikan itu menuntut perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya dalam proses belajar dan membelajarkan. Dalam membangun pendidikan menghadapi era informasi, Warren (2002), Sekretaris Dewan Pendidikan Negara Bagian Michigan serta Ketua Kelompok Kerja Dewan untuk Menyongsong Era Informasi, berpendapat Pengembangan Sumber Belajar bahwa perlu diperhatikan perubahan-perubahan yang telah, sedang dan akan terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam era informasi ini perubahan yang sangat berarti dan drastis dalam bidang budaya, ekonomi, politik, organisasi, dan teknologi di seluruh dunia, memunculkan tuntutan dan harapan baru terhadap pendidikan. Sungguhpun terdapat kemajuan, perubahan dalam pendidikan dianggap lamban menanggapi tuntutan zaman. Standar pendidikan dan cara-cara bersekolah (schooling) tradisional yang masih berlaku dewasa ini dianggap sudah usang dan ketinggalan. Lingkungan belajar dan membel-ajarkan yang lebih berbasis papan tulis dan kapur serta berpusat pada pembelajar perlu segera diubah menjadi berbasis teknologi dan berpusat pada pemelajar. Dalam era informasi yang sudah mulai menggejala dalam dekade terakhir abad ke 20 serta meledak dalam abad ke 21 ini, reformasi di bidang pendidikan perlu dilakukan terutama dalam memahami dan melaksanakan proses belajar dan membelajarkan. Pendapat bahwa pendidikan adalah bersekolah dan bukan belajar perlu segera ditinggalkan. Bersekolah mengarahkan pikiran pada bangunan, pendidik yang mengajar dengan menggunakan buku, serta papan tulis dan kapur di hadapan deretan peserta didik yang duduk rapi. Bersekolah dalam keadaan yang demikian adalah berfokus pada pendidik dan sistem. Sedangkan belajar adalah berpusat pada peserta didik, proses, dan hasil belajar. Era informasi menawarkan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar dan kepada pendidik untuk membelajarkan tanpa batasan waktu, tempat, ras, suku, agama, golongan, gender, keadaan sosial dan ekonomi, maupun asal usul. Pendidikan yang berorientasi pada era informasi memungkinkan pendidik melakukan program belajar individual kepada masingmasing peserta didik serta menggunakan teknologi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Perubahan Proses Pembelajaran Sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, industri, dan dunia kerja lainnya, proses belajar dan membelajarkan di era informasi diharapkan tidak bertujuan sematamata untuk menguasai isi bahan ajar, tetapi dapat mendorong peserta didik menjadi pemikir dan pemelajar yang soleh, takwa, kritis, dinamis, inovatif, mandiri, toleran, serta kolaboratif. Dengan demikian, proses belajar dan membelajarkan diharapkan menggugah peserta didik berpikir kritis dan bersekala tinggi (high-order thinking), mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang pelik, melakukan kajian-kajian dan penelitian yang menantang, dan merumuskan pemecahan-pemecahan masalah yang rumit. Sistem pendidikan diharapkan dapat mendukung pembentukan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kemampuan yang tangguh dalam menemukan, menganalisis, serta mensintesiskan informasi untuk memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga membentuk manusia yang bermartabat serta memiliki budi pekerti luhur yang secara rendah hati mengakui keterbatasan dan kelemahan penalaran serta kemampuan manusia dan mengagungkan kebesaran Allah, Pencipta alam semesta. Untuk itu peranan teknologi informasi dan komunikasi akan semakin penting dalam belajar, membelajarkan, penilaian, dan manajemen pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi seharusnya menjadi alat sehari-hari dalam kegiatan belajar dan membelajarkan. Dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi pendidik dan peserta didik hendaknya bekerja sama dalam belajar, berdiskusi, berbagi informasi, dan menemukan pengetahuan. Pendidik tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi sebagai fasilitator, dan peserta didik tidak hanya sebagai pemelajar tetapi sebagai penemu pengetahuan. Dengan perbagai perubahan dan tuntutan yang dikemukakan di atas, Warren (2002) berpendapat perlu melakukan perubahan yang cukup mendasar dalam mempersiapkan calon pendidik dan tenaga kependidikan, standar dan penilaian peserta didik, serta proses belajar dan membelajarkan. Calon pendidik dan tenaga kependidikan perlu dilatih agar memiliki kemampuan menggunakan aneka sumber belajar yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, menerapkan pendekatan, strategi, metode, serta teknik belajar dan membelajarkan yang bervariasi. Dengan demikian dalam penilaian dan sertifikasi calon pendidik dan tenaga kependidikan kemampuan merancang, mengembangkan dan memanfaatkan aneka sumber belajar dalam pengembangan desain pembelajaran secara tepat, menjadi salah satu unsur dalam komponen penilaian kemampuan profesionalnya. Penguasaan kemampuan calon pendidik dalam mengenali dan menggunakan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 81 Pengembangan Sumber Belajar aneka sumber belajar serta mengintegrasikannya dihindarkan, serta memberikan kemudahan ke dalam desain pembelajaran, akan mening- serta kesejahteraan kepada penggunanya. Aliran katkan kualitas proses dan hasil belajar dan ini mengagung-agungkan teknologi dengan membelajarkan peserta didik ketika mereka kelak menganggap bahwa teknologi adalah jawaban melaksanakan tugasnya. untuk semua masalah dan dengan sendirinya Para calon pendidik dan pendidik perlu akan diterima dan dipergunakan oleh manusia dibiasakan belajar tanpa batas ruang kelas dan untuk meningkatkan kualitas hidupnya, menggunakan dunia atau alam terbuka sebagai termasuk dalam dunia pendidikan. Pengikut tempat belajar dan membelajarkan. Dengan aliran ini antara lain Karl Max, Marschal demikian, berbagai ragam sumber belajar yang McLuchan, dan Alvin Toffler. Sedangkan tersedia perlu diintegrasikan dan setiap anggota penerapannya dalam teknologi pendidikan komunitas belajar dapat memperoleh akses dan adalah seperti RDD Paradigm, ID Models, dan menggunakannya sesuai dengan keperluan. Di Systemic Change. Determinisme dystopian samping mengembangkan dan menerapkan mengemukakan hal yang sebaliknya, teknologi pendekatan, strategi, metode dan teknik belajar secara moral dianggap dapat merusak dan dan membelajarkan, berbagai pemikiran dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan atau upaya dilakukan untuk memanfaatkan teknologi deng-an perkataan lain, teknologi dianggap maju untuk kepertidak manusiawi luan belajar dan dan seharusnya membelajarkan. dihindari pengguPara calon pendidik dan pendidik Berbagai produk naannya. Oleh kateknologi berkemrena itu perlu ekstra perlu dibiasakan belajar tanpa bang cepat serta hati-hati dalam batas ruang kelas dan dimanfaatkan menggunakan tekmenggunakan dunia atau alam untuk memecahnologi dalam kehiterbuka sebagai tempat belajar kan berbagai masadupan manusia, dan membelajarkan. lah dalam kehiterlebih-lebih untuk dupan manusia keperluan penditermasuk di bidang dikan karena berpendidikan serta sangkutan langsecara khusus untuk keperluan belajar dan sung dengan manusia. Aliran ini dapat menimmembelajarkan. bulkan ketakutan akan teknologi atau teknologi Diakui bahwa masih terdapat perbedaan phobia. Penganut aliran ini antara lain ialah pendapat dalam pemanfaatan tekologi secara Jaques Hull, George Orwell, dan Unabomber. umum. Surry (1997) misalnya, menyebutkan Sedangkan dalam dunia pendidikan aliran ini setidak tidaknya dua pandangan filsafati yang diikuti oleh mereka yang menolak perubahan dominan tentang pemanfaatan teknologi untuk dalam proses belajar dan membelajarkan. keperluan manusia, yakni determinisme dan Aliran instrumentalisme beranggapan instrumentalisme. Penganut determinisme bahwa teknologi adalah merupakan temuan beranggapan bahwa teknologi adalah otonom atau hasil olah pikir serta olah kerja manusia dan merupakan kekuatan yang revolusioner. dan di bawah pengawasan serta pengendalian Sedangkan penganut instrumentalisme manusia. Nilai pemanfaatan teknologi dalam beranggapan bahwa teknologi bukan otonom kehidupan manusia bergantung pada bagaimadan mempunyai ketergantungan pada manusia na dan untuk apa teknologi itu dipergunakan. serta perkembangannya merupakan evolusi. Dengan demikian, aliran yang terakhir ini Secara teoretis, pandangan terhadap teknologi berpendapat bahwa teknologi bukanlah segalapada hakikatnya adalah pada rentang kutup galanya karena juga memiliki keterbatasan dan determinisme dan instrumentalisme. kelemahan sehingga perlu berhati-hati dalam Lebih lanjut Surry menjelaskan bahwa memilih dan menggunakannya terlebih untuk aliran determinisme terdiri atas determinisme keperluan pendidikan yang langsung utopia dan determinisme dystopian. Determi- menyangkut kehidupan manusia itu sendiri. nisme utopian beranggapan, teknologi Penganut aliran ini antara lain adalah Daniel merupakan kekuatan yang tidak dapat Chander, Paul Levinson, dan Donald Mac 82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Pengembangan Sumber Belajar Kenzie, sedangkan dalam dunia pendidikan antara lain Ernest Burkman dan Martin Tessmer (Surry, 1997). Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi tidak selalu merupakan jawaban absolut terhadap masalah-masalah pendidikan. Keberhasilan penggunaan teknologi dalam pembelajaran misalnya, tergantung pada kesesuaian penggunaan teknologi itu dengan tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, lingkungan, serta bahan ajar yang dipelajari. Oleh karena itu, dalam memutuskan pemilihan dan pemanfaatan teknologi tidak terlepas dari pertimbangan nilai-nilai psikologis dan paedagogis. Dengan demikian pendidik serta peserta didik perlu memahami dengan baik bagaimana memilih dan memanfaatkan teknologi yang tepat guna itu dalam proses-proses belajar dan membelajarkan. Perlu dicatat bahwa dalam pendidikan, khususnya dalam belajar dan membelajarkan teknologi dimaknai tidaklah terbatas pada bahan, alat atau media sebagai produk, tetapi mengandung makna yang lebih luas, termasuk orang, lingkungan, pendekatan, strategi, metode, dan kiat-kiat belajar dan membelajarkan ( Eraut, 1996: 8-9). Atas prakarsa pendidik dan tenaga kependidikan, teknologi pendidikan memungkinkan terwujudnya berbagai pola pendidikan dan pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, proses, dan sistem belajar dan membelajarkan, sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap pemelajar menuju terwujudnya masyarakat gemar belajar dan berpengetahuan sepanjang hayat. Dengan demikian penggunaan teknologi dalam pendidikan sangat memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan tanpa ketakutan terhadap teknologi itu sendiri (Miarso, 2007). Masih dalam kaitannya dengan proses belajar dan membelajarkan ini, pendidik dan tenaga kependidikan melakukan peran penting dalam merencanakan dan mengelola sumbersumber belajar sehingga terjadi interaksi aktif antar peserta didik, pendidik, dan sumber belajar. Interaksi yang demikian diperlukan untuk memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik sesuai dengan gaya belajarnya, sehingga ia dapat mengingat, mengerti, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi, dan menciptakan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif sesuai dengan jenjang dan tujuan pembelajaran (Anderson and Krathwohl, 2001: 28-29). Hal ini berarti bahwa paradigma tentang pembelajaran harus berubah dari standardisasi (standardization) menjadi penyesuaian (customization) yang mengakui kemajemukan, dari berfokus pada penyajian bahan ajar menjadi meyakini bahwa kebutuhan pemelajar dipenuhi, dari berpusat pada memasukan bahan ke kepala pemelajar menjadi membantu pemelajar memahami bahan ajar. Dengan demikian, perlu perubahan dari belajar pasif menjadi belajar aktif, dari berpusat kepada pendidik menjadi berpusat kepada peserta didik; dari inisiatif, pengawasan dan tanggung jawab pendidik menjadi inisiatif, pengawasan, dan tanggung jawab bersama; serta dari belajar dekontekstual menjadi belajar yang kontekstual, autentik dan bermakna (Reigeluth: 1999: 19). Tantangan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak azasi manusia seperti tertera dalam HakHak Azasi Manusia (Human Rights: Article 13) . Pendidikan dianggap merupakan kebutuhan pokok agar manusia dapat bertahan hidup, mengembangkan kehidupannya serta berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. Pentingnya peranan pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan bahwa memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia dinyatakan dalam Pasal 31. Selanjutnya, penyelenggaraan pendidikan secara nasional diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sedemikian pentingnya peranan pendidikan dalam mencerdaskan bangsa agar mampu mengembangkan potensi diri dan lingkungannya serta dapat bersaing dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain, sehingga Pemerintah Indonesia menerapkan program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) secara bertahap, mulai dari wajar dikdas enam tahun (1984) dan wajar dikdas sembilan tahun (1994). Program ini sudah barang tentu dilaksanakan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia melalui proses belajar dan membelajar- Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 83 Pengembangan Sumber Belajar kan di jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Dalam proses belajar setiap orang diharapkan memperoleh informasi yang akan dipergunakannya untuk membangun skema berpikir yang lebih kaya dan tajam sehingga dapat dipergunakannya untuk menanggapi serta memecahkan berbagai masalah dalam upayanya meningkatkan kualitas hidupnya dengan berbagai cara yang positif. Peningkatan kualitas hidup itu terlihat dari perubahan prilaku yang dari hari ke hari semakin kreatif, inovatif, dan dinamis dalam berpikir dan bertindak sehingga hidup ini terasa lebih nyaman dan menyenangkan secara lahir dan bathin. Informasi yang dibutuhkan untuk keperluan belajar itu tersedia di berbagai sumber belajar. Akan tetapi di samping berbagai kemajuan yang telah diperoleh, pendidikan nasional di Indonesia masih menghadapi tiga masalah pokok yaitu, (1) pemerataan dan perluasan akses memperoleh pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah, masyarakat, dan orangtua untuk mengatasi masalah tersebut, seperti pendirian dan rehabilitasi gedung dan ruang kelas, pengangkatan pendidik dan tenaga kependidikan baru dan penatarannya, pengadaan alat dan bahan pendidikan seperti alat-alat laboratorium, buku pelajaran serta buku perpustakaan, penyempurnaan kurikulum, serta menerapkan sistem pengelolaan dan pengawasan sekolah yang berbasis sekolah. Akan tetapi di samping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, nampaknya masih perlu peningkatan upaya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber belajar dalam peroses belajar dan membelajarkan baik oleh peserta didik maupun pendidik itu sendiri. Peranan Sumber Belajar Berbagai masalah yang dihadapi dalam pemerataan dan perluasan akses memperoleh pendidikan serta peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dapat diatasi dengan menerapkan teknolgi pendidikan khususnya dengan mengembangkan dan memberdayakan aneka sumber belajar baik yang 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 by design maupun yang by utilization. Sekali lagi perlu segera dicatat, sumber belajar dalam teknologi pendidikan termasuk pendidik dan tenaga pendidikan, kurikulum, dan lingkungan belajar. Pertanyaan yang timbul ialah bagaimana mengembangkan dan memberdayakan sumber belajar dalam pendidikan khususnya dalam proses belajar membelajarkan? Berdasarkan definisi teknologi pendidikan tahun 1977 dan yang dikembangkan lagi tahun 1994 dan 2004 pusat perhatian teknologi pendidikan pada hakekatnya mencari solusi dalam memecahkan masalah-masalah yang berkenaan dengan belajar dan membelajarkan dengan menerapkan proses dan komponen-komponen teknologi yang secara lebih luas disebut sumber belajar (Seels & Richey, 1994:4). Setelah mengkaji perkembangan perumusan definisi teknologi pendidikan tahun 1972, 1977, dan 1994, Januszewski, (2001:5357) menemukan bahwa konsep sumber belajar merupakan bagian yang penting dalam teknologi pendidikan, dengan mengatakan “… the concept of learning resources had become an important part of the definition of educational technology in 1972 and has remained so to the present day.” (p. 57) Sumber belajar dalam kawasan teknologi pendidikan memiliki makna yang luas dan tidak terbatas hanya pada media audiovisual saja. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang mengandung informasi yang dapat memfasilitasi pemelajar memperoleh informasi yang diperlukannya dalam belajar. Atas dasar pengertian yang demikian sumber belajar dikategorikan ke dalam enam kelompok yaitu pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar/ lingkungan (AECT, 1986: 2, Januszewski, 2001:53-54). Yang dimaksud dengan pesan adalah bahan ajar yang dipelajari dapat dalam bentuk konsep, teori, gagasan, fakta, makna, atau data dan termasuk kurikulum. Orang berfungsi sebagai sumber belajar karena memiliki atau menyalurkan pesan, termasuk pendidik dan tenaga kependidikan. Bahan adalah barangbarang yang mengandung pesan, termasuk buku pelajaran dan perangkat lunak. Alat adalah adalah perangkat yang dapat menyalurkan pesan dan disebut juga dengan perangkat keras termasuk alat peraga/praktek dan komputer. Teknik merupakan prosedur atau cara bagaimana bahan, orang, peralatan, latar/ lingkungan menyampaikan pesan, termasuk pendekatan, strategi, dan metode belajar dan Pengembangan Sumber Belajar membelajarkan. Sedangkan latar merupakan lingkungan tempat pesan disampaikan dan diterima (AECT, 1986: 9-10). Dilihat dari pembuatan dan peruntukannya, sumber belajar dikategorikan ke dalam sumber belajar yang dirancang dan dikembangkan secara khusus (by design) untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization). Dalam merancang dan mengembangkan sumber belajar by design diterapkan proses rekayasa yang sistematis dan berurutan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu serta hasil-hasil penelitian ( Ely 1996: 20-21, Januszewski, 2002: 84). Sedangkan sumber belajar by utilization bukan dirancang dan dibuat khusus untuk keperluan belajar dan membelajarkan, tetapi dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan belajar dan membelajarkan tertentu. Sungguhpun tidak membuat rincian yang lebih luas seperti yang dilakukan oleh AECT, keberagaman sumber belajar juga terlihat dari pengertian yang dikemukan oleh Dorrell (1993: vii) bahwa “Learning resources are learning materials which includes videos, books, audio cassettes, CBT and IV programs, together with learning packages which combine any of these media.” Juga sebagaimana yang disebutkan oleh Merrill dan Drob (1977: 3) bahwa komponen sumber belajar itu termasuk “ ...audio, television, and graphic materials for group and individual presentation; the instructional materials thus created and recorded; and the persons employed to participate with the teacher in the creation, presentation, and evaluation.” Uraian di atas menunjukkan bahwa jenis sumber belajar, baik yang by design maupun yang by utilization, sangat beraneka ragam dan memegang peranan yang penting dalam memfasilitasi pengalaman belajar dan membelajarkan. Dalam merancang dan mengembangkan sumber belajar by design serta dalam mengidentifikasi dan memilih sumber belajar by design diperlukan keahlian yang dilatarbelakangi oleh berbagai disiplin ilmu terutama teknologi pendidikan, psikologi, dan sosiologi. Dalam memanfaatan sumber belajar perlu memperhatikan sistem pelayanan yang diberikan dan dirancang sehingga terjadi peristiwa belajar pada diri peserta didik, bahan belajar yang digunakan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelumnya, dan memberdayakan lingkungan sebagai sumber daya yang potensial dalam pembelajaran serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mendukung terjadinya pengalaman belajar yang menyenangkan. Dilihat dari pembuatan dan wujudnya, sumber belajar dapat berupa produk yang canggih atau berteknologi tinggi sampai produk atau benda yang paling sederhana atau alamiah/natural. Sumber belajar juga dapat ditemukan di berbagai tempat dan dalam berbagai tampilan. Sebagaimana tertera dalam definisinya, sumber belajar berfungsi mendukung dan mempermudah terjadinya proses belajar dan membelajarkan. Mendukung di sini dapat diartikan bahwa sumber belajar itu dapat memberikan atau menyajikan informasi untuk memperkaya pengalaman belajar, memotivasi pemelajar untuk belajar lebih lanjut, mengubah sikap dan gaya belajar, serta memberikan pemecahan kesulitan belajar. Dengan demikian, sumber belajar dapat dipergunakan secara kelompok dan individual walaupun pada perkembangannya kemudian sumber belajar dirancang lebih untuk keperluan belajar secara individual. Dalam proses belajar dan membelajarkan sumber belajar dapat berfungsi untuk (1) mempercepat laju belajar dan membantu pendidik menggunakan waktu secara lebih efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, (2) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah peserta didik (3) memberikan kemungkinan belajar bersifat lebih individual dengan jalan mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan kemampuannya, (4) memberikan dasar yang lebih ilmiah dengan jalan merencanakan program pembelajaran yang lebih sistematis, (5) mengembangkan bahan pembelajaran yang dilandasi penelitian, (6) lebih memantapkan pembelajaran dengan jalan meningkatkan kemampuan manusia dalam menggunakan berbagai media komunikasi penyajian data dan informasi secara lebih kongkrit, (7) memungkinkan belajar secara seketika, karena mengurangi jurang pemisah antara pelajaran yang bersifat verbal dan memberikan pengetahuan yang bersifat langsung, dan (8) memungkinkan penyajian pendidikan yang lebih luas, terutama dengan adanya media massa, dengan jalan pemanfaatan secara bersama lebih luas tenaga atau kejadian yang langka, serta penyajian informasi yang mampu menembus geografis. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 85 Pengembangan Sumber Belajar Fungsi-fungsi seperti yang disebutkan itu menunjukkan bagaimana sumber belajar dapat mengatasi berbagai kesulitan dalam proses belajar dan membelajarkan. Fungsi sumber belajar menjadi sangat penting dan sangat mendukung keberhasilan belajar jarak jauh, belajar terbuka, dan belajar fleksibel. Sumber belajar diperlukan dalam berbagai model belajar dan membelajarkan seperti dalam pembelajaran berbasis masalah, pemetaan konsep, belajar mandiri, belajar tuntas, pembelajaran berbasis komputer, belajar kooperatif, kontekstual, serta pembelajaran aktif, kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan. menemukannya, (c) mengetahui bagaimana cara mengumpulkan dan menatanya sehingga memberikan makna atau pengetahuan, (d) bagaimana cara memanfaatkannya, dan (e) bagaimana cara menyajikan serta mengkomunikasikannya. Di samping itu Bebas memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk (a) memperoleh kemampuan menganalisis, menginterpretasikan, mensintesiskan, dan mengorganisasikan informasi; dan (b) memperoleh kemampuan berbahasa dan berkomunikasi dengan membaca, menulis, melihat, berbicara, serta mendengar. Strategi Bebas memotivasi peserta didik untuk aktif mencari informasi dari beraneka sumber. Misalnya guru menugaskan peserta didik mencari informasi tentang apa, untuk apa, Belajar Berbasis Aneka Sumber dan bagaimana Pemilu di Indonesia. Peserta Dewasa ini semakin disadari semakin banyak didik disuruh mencatat informasi yang sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai diperolehnya dan menuliskannya secara runtut sumber belajar untuk meningkatkan kualitas untuk dibaca dan dinilai oleh guru. Secara aktif proses dan hasil belajar. Di samping sumber mereka akan menemukan bahwa informasi belajar berbasis lingkungan atau media seder- tentang hal atau masalah yang dicarinya dapat hana, kemajuan teknologi informasi dan komuni- diperoleh di ber-bagai sumber, misalnya dalam kasi telah memudahkan memperoleh berbagai buku, majalah, surat kabar, radio, televisi, internet, atau dari ragam informasi orang tertentu di sehingga muncul ling-kungannya. ungkapan bahwa Ketika mengumBelajar berbasis aneka sumber informasi itu kini pulkan informasi tersedia pada (Bebas) merupakan suatu strategi itu, mereka memujung jari. Denga pembelajaran yang memungkinkan peroleh berbagai hanya meng’klik’ peserta didik memperoleh macam informasi dengan ujung jari, pengetahuan dengan melakukan dilihat dari isinya. telah dapat diperMungkin juga ininteraksi dengan beraneka ragam oleh banyak inforformasi yang dimasi tentang hal sumber peroleh itu tidak yang kita perluselaras satu sama kan. Dengan demilain atau ada juga kian, yang diperyang saling melengkapi. Peserta didik mencatat lukan ialah kemampuan meng’klik’ dan semua informasi itu dan kemudian memilahmemilah serta memilih informasi yang sesuai milah serta menyusunnya kembali secara runtut dengan keperluan, dari segi isi, jumlah, dan sehingga bermakna utuh dan menarik untuk mutunya. dibaca. Apabila kegiatan seperti ini dilakukan Belajar berbasis aneka sumber (Bebas) merupakan suatu strategi pembelajaran yang secara berulang-ulang, peserta didik akan memungkinkan peserta didik memperoleh terlatih menjadi pemikir yang kritis dan pengetahuan dengan melakukan interaksi pemecah masalah yang kreatif. Guru memang telah terbiasa menggunakan dengan beraneka ragam sumber termasuk orang, beberapa media sebagai sumber belajar, seperti bahan yang tercetak atau non cetakan, serta transparansi, video, flip chart, dan mendatanglingkungan. Apabila dilaksanakan dengan kan tamu pembicara. Kadang-kadang guru juga tepat, Bebas memberikan kesempatan kepada menyuruh peserta didik bermain peran atau peserta didik untuk (a) menyadari kebutuhan simulasi. Akan tetapi dalam menggunakan akan informasi, (b) mengetahui di mana berbagai media itu, guru merancang dan informasi itu dan bagaimana cara 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Pengembangan Sumber Belajar menentukan sendiri pesan atau isi yang dimuat dalam media itu sendiri. Dengan demikian, pembelajaran itu pada hakikatnya masih berorientasi pada guru dan peserta didik memperoleh informasi yang dipilih oleh guru dan disampaikan melalui media yang juga ditetapkan oleh guru. Cara yang demikian adalah guru mengajar berbasis aneka sumber. Akan tetapi dalam Bebas, guru mengajukan masalah atau pertanyaan dan peserta didik disuruh memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan itu dengan mengumpulkan informasi dari beraneka sumber. Guru dapat saja memberitahukan di mana dan dalam bentuk apa informasi itu diperoleh, akan tetapi peserta didik dapat mengembangkan sumber-sumber itu serta mencari dengan caranya sendiri. Bebas merupakan salah satu strategi belajar yang sangat membantu dalam melaksanakan model belajar inkuiri, belajar berbasis masalah, belajar kooperatif, dan belajar berbasis projek. Strategi ini menggeser pusat belajar dari guru kepada peserta didik khususnya dalam menemukan dan memilih informasi serta caracara memperoleh, memilah, dan memilih informasi untuk memecahkan masalah atau pertanyaan yang diajukan oleh guru. Strategi ini juga memotivasi peserta didik berinteraksi dengan teman-temannya, guru, anggota keluarga dan orang-orang sekitarnya dalam upaya memperoleh informasi selengkap mugkin tentang topik yang dicarinya. Melalui penelusuran dan pengumpulan informasi itu, peserta didik mengembangkan kemampuan bertanya, berargumentasi, membaca, mengamati, serta menulis. Penelusuran dan pengumpulan informasi oleh peserta didik dapat dilakukan di luar jam pelajaran di kelas dan waktu belajar di kelas dapat dipergunakan untuk mendengar laporan peserta didik, diskusi, atau memperkaya informasi yang diperoleh oleh peserta didik. Penggunaan waktu belajar di kelas menjadi lebih efisien dan mengurangi keluhan guru atas kurangnya waktu untuk menyelesaikan bahan yang dituntut dalam kurikulum. Banyak bahanbahan pelajaran yang dapat dipelajari serta kesulitan belajar peserta didik diatasi di luar kelas dengan menggunakan Bebas. Dalam menerapkan Bebas, guru perlu melakukan hal-hal berikut. Pertama, guru perlu menetapkan tujuan belajar dengan rumusan indikator kompetensi yang jelas dan terukur. Tujuan belajar dalam Bebas hendaknya menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Dalam contoh Pemilu yang disebutkan sebelumnya, tujuan belajar diarahkan pada pemahaman peserta didik tentang Pemilu yang disajikan dalam tulisan esai. Kedua, guru menetapkan kriteria hasil pekerjaan peserta didik dalam wujud yang nyata dan menantang untuk mereka. Dalam contoh Pemilu itu, peserta didik diminta menuliskan pemahaman mereka tentang Pemilu dalam bentuk esai yang runtut dengan menjelaskan apa, bagaimana, dan untuk apa Pemilu itu. Ketiga, guru merencanakan secara lengkap proses pembelajaran. Guru perlu bekerja sama dengan petugas perpustakaan dan audiovisual di sekolah untuk mengetahui informasi dan bentuk media yang tersedia untuk keperluan peserta didik menyelesaikan tugas itu. Untuk pokok bahasan lain, guru mungkin perlu bekerja sama dengan petugas laboratorium (IPA, Kimia, Fisika, atau Bahasa). Keempat, guru menentukan jadwal waktu untuk mengerjakan tugas. Guru memberikan batas waktu penyelesaian tugas serta memberikan penjelasan bagaimana menyusun kegiatan waktu sehingga peserta didik dapat menyelesaikan tugas tepat waktu. Kelima, guru menetapkan kriteria penilaian secara jelas. Dalam menulis esai misalnya, perlu dijelaskan unsur-unsur penilaian seperti kelengkapan dan kejelasan informasi, keteraturan susunan informasi, penarikan kesimpulan, dan bahasa (keterbacaan). Keenam, guru menilai hasil pekerjaan peserta didik dan memberikan umpan balik. Ketujuh, guru menilai proses pembelajaran dan pencapaian tujuan pembelajaran untuk pokok bahasan yang bersangkutan secara keseluruhan. Internet dapat dipergunakan sebagai salah satu sumber informasi untuk belajar. Sejumlah sekolah telah memiliki akses ke internet melalui komputer yang tersedia di sekolah dan peserta didik dapat menggunakannya. Bahkan ada juga sekolah yang menyediakan laboratorium komputer untuk peserta didik dan guru untuk keperluan pembelajaran. Dalam hal yang demikian, guru perlu bekerja sama dengan petugas laboratorium komputer dalam membimbing peserta didik menggunakan internet, khususnya tentang cara mencari informasi yang mereka perlukan di internet. Dalam penerapan Bebas fungsi guru lebih banyak sebagai pembimbing, fasilitator, dan pemandu peserta didik. Mengajarkan fakta-fakta atau pengetahuan lain digantikan dengan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 87 Pengembangan Sumber Belajar mengajarkan peserta didik cara belajar. Tujuan pembelajaran ialah memberikan kemampuan bagaimana menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi untuk keperluan belajar. Apabila dipahami dan diterapkan secara tepat oleh guru, Bebas dapat memberikan manfaat kepada siswa sebagai berikut. Pertama, Bebas dapat mewadahi gaya belajar, kemampuan, kebutuhan, dan minat peserta didik yang berbeda-beda karena masing-masing dapat memilih sumber belajar yang sesuai dengan dirinya. Kedua, Bebas dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menilai secara kritis. Ketiga, oleh karena berusaha dan menemukan sendiri, pesera didik memperoleh pengalaman belajar yang bermakna sehingga mereka lebih bertanggung jawab dan percaya diri terhadap perolehan belajarnya. Keempat, Bebas melatih peserta didik terbiasa dengan teknologi informasi serta mampu menggunakannya secara efektif. Kelima, peserta didik menjadi terampil dalam bagaimana belajar secara mandiri mereka menjadi melek informasi, serta memiliki keterampilan belajar sepanjang hayat. Pelaksanaan Bebas di sekolah mungkin mengalami hambatan yang antara lain pemahaman guru tentang strategi ini masih kurang. Menggunakan aneka ragam media atau sumber belajar yang dirancang dan ditentukan sendiri oleh guru dan peserta didik belajar dari media itu bukan lah termasuk Bebas, karena masih berpusat kepada guru. Dalam bebas peserta didik secara leluasa mengidentifikasi sumber-sumber, menemukan, mengumpulkan, memilah dan memilah, menganalisis, dan mensintesiskan sendiri. Untuk dapat melakukan itu dengan baik, guru memberikan pedoman pada awal kegiatan. Oleh karena berbagai keterbatasan, masih banyak sekolah yang belum memiliki sumber belajar yang memadai di sekolah dilihat dari jenis dan kualitasnya. Keadaan yang demikian dapat menyurutkan motivasi peserta didik dalam menelusuri informasi yang mereka perlukan. Sementara itu guru masih kurang mampu mengenali dan mendayagunakan sumber-sumber belajar yang tersedia di lingkungan dalam melaksanakan Bebas. Menilai hasil belajar peserta didik melalui Bebas dapat juga menjadi beban bagi guru karena dia sendiri harus menguasai banyak informasi dari berbagai sumber untuk dapat menilai 88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 pekerjaan peserta didik yang berbeda satu sama lain karena menggunakan sumber-sumber belajar yang berbeda. Dalam proses Bebas guru diharapkan pula memantau kegiatan peserta didik secara individual dan dalam hal-hal tertentu guru perlu mendampingi dan memotivasi peserta didik dalam melengkapi informasi yang diperlukan. Tugas-tugas yang demikian memerlukan waktu dan tenaga guru di luar jam pelajaran dan mungkin juga di luar sekolah. Keberhasilan pelaksanaan Bebas tidak terlepas dari kepemimpinan dan kebijakan kepala sekolah. Kepala sekolah diharapkan juga memahami Bebas ini dan mendirikan dukungan kepada guru dan peserta didik untuk melaksanakannya. Tenaga kependidikan lainnya di sekolah, orang tua, serta Komite Sekolah juga ikut berperan dalam memperlancar kegiatan belajar dalam Bebas ini. Pusat Sumber Belajar Seperti telah diuraikan, dalam proses belajar dan membelajarkan dipergunakan berbagai jenis dan bentuk sumber belajar untuk keperluan berbagai tujuan pembelajaran. Lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya telah memiliki perpustakaan dan lembaga pendidikan tertentu memiliki beberapa jenis laboratorium seperti laboratorium IPA, Kimia, Fisika dan Bahasa, serta berbagai jenis alat praktek dan alat peraga. Agar pemeliharaan dan pemanfaatan sumber belajar dilakukan secara efisien dan efektif, perlu dikelola secara terpadu dalam satu unit kerja yang kemudian disebut Unit Sumber Belajar (USB), atau Pusat Sumber Belajar (PSB). Pada awalnya PSB mulai berkembang dari perguruan tinggi Merrill dan Drob (1974:15) mendefifinisikan PSB atau Center for Learning Resources sebagai “... an organized activity consisting of a director, staff, and equipment housed in one or more specialized facilities for the production, procurement, and presentation of instructional materials and the provision of development and planning services related to the curriculum and teaching on a general university campus” Pengertian ini menunjukkan lembaga PSB di perguruan tinggi dikelola secara khusus oleh seorang pemimpin dibantu oleh sejumlah pegawai. PSB menempati bangunan tersendiri dengan peralatan dan fasilitas untuk produksi serta pengadaan dan penyediaan berbagai Pengembangan Sumber Belajar bahan pembelajaran. Di samping itu PSB juga memberikan pelayanan kepada pendidik/dosen dalam mengembangkan kurikulum. Dalam perkembangannya, PSB memberikan juga pelayanan kepada peserta didik untuk belajar secara individual atau kelompok dengan menggunakan tempat serta sumber belajar yang diperlukan seperti buku, modul, media audiovisual, dan media berbasis komputer. Sedangkan pelayanan kepada pendidik dikembangkan dengan menyediakan tempat dan peralatan untuk merencanakan dan membuat media untuk keperluan belajar dan membelajarkan. Di samping itu petugas PSB tidak hanya membantu pendidik dalam merancang, mengembangkan dan membuat bahan ajar tetapi juga membantu dalam penyajian dan evaluasinya (Merril dan Drob, 1974: 3). Dengan demikian maka tempat atau bangunan PSB perlu dirancang secara khusus sehingga dapat menyimpan, merawat, mengembangkan, membuat dan memanfaatkan berbagai sumber belajar, baik untuk kebutuhan belajar secara individual maupun kelompok serta dapat dipergunakan sebagai tempat pelatihan pengembangan dan pemanfaatan aneka sumber belajar . Perkembangan PSB melalui empat fase. Fase pertama ialah dijadikannya perpustakaan sebagai PSB dengan koleksinya terbatas pada bahan cetakan. Fase kedua selaras dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, koleksi perpustakaan dilengkapi dengan bahan-bahan audio visual dan perlatan produksi. Fase ketiga, perpustakaan yang memiliki koleksi bahan cetak, audiovisual, dan peralatan produksi dilengkapi dengan ruangan belajar non tradisional yang memungkinkan peserta didik atau pendidik belajar secara individual atau kelompok. Fase keempat pusat belajar yang telah mempunyai fasilitas seperti dalam fase ketiga dilengkapi dengan sarana untuk pengembangan sistem instruksional untuk guru dengan bantuan petugas PSB. Pengembangan PSB dalam tahap kelima memberikan ciri khasnya. Di sini terlihat kombinasi yang terpadu dari berbagai sumber belajar yang meliputi pesan, orang, alat, bahan, teknik, dan latar dengan tujuan belajar dan membelajarkan. Pengembangan sistem instruksional merupakan proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk membantu peserta didik memperkaya pengalaman belajar secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan sistem pembelajaran yang memberdayakan berbagai sumber belajar akan meningkatkan mutu proses dan hasil belajar. Ada terdapat banyak dan bertambah terus model pengembangan pembelajaran yang dirancang untuk tujuan pembelajaran tertentu serta tidak dapat langsung diterapkan untuk keperluan berbeda. Pendidik perlu mengkaji model-model pembelajaran yang ada, memodifikasi sesuai dengan tujuan pembelajaran, bahkan bila perlu membuat model pembelajaran sendiri. (Gustafon & Branch, 1997). Untuk dapat memperoleh model pembelajaran yang tepat sesuai dengan tujuan dan lingkungan belajar dan membelajarkan, pendidik perlu memiliki dasar-dasar atau pertimbangan psikologi, pendekatan sistem, dan teori komunikasi yang sesuai untuk pengambilan keputusan (Seels & Glasgow, 1998). Dalam konteks ini pulalah PSB membantu pendidik merancang dan mengembangkan sistem instruksional dengan menyediakan berbagai media, peralatan produksi, dan bantuan tenaga teknis. Secara umum fungsi PSB dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan karena yang penting dalam penerapannya adalah keefektifan fungsi dalam menunjang pencapaian tujuan atau kompetensi pembelajaran. Tetapi dalam setiap PSB ada fungsi dominan yang menjadi ciri utamanya : (1) fungsi pengembangan sistem instruksional, (2) fungsi pelayanan media pembelajaran, (3) fungsi produksi media pembelajaran, (4) fungsi pelatihan, dan (5) fungsi administrasi. Fungsi pengembangan sistem instruksional merupakan fungsi utama PSB karena kegiatannya bermuara dari fungsi ini, kemudian menyebar ke fungsi-fungsi lainnya. Fungsi ini membantu pendidik serta fasilitator membuat rancangan pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Dengan adanya fungsi pengembangan ini maka kebutuhan yang tidak tersedia di pasaran dapat dipenuhi. Fungsi pelayanan media memberikan pelayanan kepada pendidik, atau fasilitator untuk memenuhi kebutuhan media pembelajaran, mulai dari memilih media yang tepat, teknik penyajiannya, sampai kepada pemanfaatan berbagai jenis media lainnya. Sedangkan layanan kepada peserta didik berupa layanan belajar individual atau kelompok yang berbasis media, khususnya media pembelajaran audiovisual atau media elektronik lainnya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 89 Pengembangan Sumber Belajar Fungsi produksi media pembelajaran berhubungan dengan pengadaan media pembelajaran yang tidak ada di pasaran sehingga harus diproduksi sesuai dengan kebutuhan kurikulum yang ada. Sedangkan fungsi pelatihan bertanggung jawab atas pengembangan kemampuan sumber daya manusia , baik pendidik maupun tenaga kependidkan lainnya. Bagi tenaga pendidik adalah untuk meningkatkan kompetensi membelajarkan, khususnya dalam mengguna-kan media dan sumber-sumber belajar lainnya, sedangkan bagi tenaga kependidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan sumber belajar dan pelayanan yang baik bagi pengguna PSB. Fungsi administrasi bertanggung jawab terhadap pengelolaan layanan, sumber-sumber belajar dan pengadminstrasian fungsi-fungsi lainnya sehingga setiap pelayanan kepada pengguna PSB dapat berlangsung secara tertib dan lancar. Walaupun fungsi ini seakan-akan sebagai pendukung, peranannya ikut menentukan kelancaran dan mutu pelayanan PSB. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan belajar dan membelajarkan di perguruan tinggi, tugas dan fungsi PSB mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, fungsi dan kegiatan PSB (Learning Resource Center) di beberapa lembaga pendidikan di luar negeri seperti Pine Manor College di Massachusets, San Diego College di California, Asnuntuck University College, Xavier University of Louisiana, University of Louisiana, dan University of Texas menunjukkan bahwa walupun masih berfungsi memproduksi bahan ajar dalam berbagai bentuk media, PSB lebih menekankan pada pelayanan program pembelajaran individual kepada peserta didik dengan menyediakan berbagai jenis dan tampilan modul dan pelayanan peningkatan kemampuan mengembangkan desain pembelajaran dan meningkatkan kemampuan pendidik untuk membelajarkan antara lain dengan menyelenggarakan seminar, lokakarya, simposium, dan kolokium. PSB juga memberikan pelayanan kepada pendidik di luar lembaganya dalam meningkatkan kemampuan pendidik dan tenaga kependidikan dalam menggunakan aneka sumber belajar serta kemampuan mengelola PSB. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berbagai jenis pelayanan itu dilakukan melalui e-learning dan on-line learning atau virtual learning. Dengan demikian, salah satu indikator mutu suatu 90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 lembaga pendidikan adalah keadaan dan pelayanan PSB yang dimilikinya. . Mengembangkan PSB Pendekatan pembelajaran berpusat pada peserta didik juga dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran dalam satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, aspiratif, menyenangkan, menantang memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup untuk berprakarsa, kreatif, dan mandiri sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Pasal 19, ayat 1). Proses pembelajaran yang demikian sulit dapat dilakukan tanpa menggunakan berbagai sumber belajar. Pergeseran paradigma pendidikan menghendaki belajar dan membelajarkan menggunakan berbagai sumber termasuk lingkungan dan teknologi informasi dan komunikasi. Pendidik diharapkan dapat menggunakan sumber belajar secara tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan memperhatikan karakteristik pesan/bahan ajar, karakteristik peserta didik, serta karakteristik sumber belajar itu sendiri. Oleh karena itu keberhasilan pemberdayaan sumber belajar dalam proses belajar dan membelajarkan bergantung pada kemauan dan kemampuan pendidik untuk menemukenali dan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia di lingkungan tempat terjadinya proses belajar dan membelajarkan. Di sejumlah sekolah dasar yang termasuk dalam Program CLLC Unesco-Unicef, MBE USAID, serta program-program sejenis yang dibina oleh NGO terlihat peningkatan pemanfaatan aneka sumber belajar dalam proses belajar dan membelajarkan. Hasil positif yang diperoleh telah memberikan imbas ke sekolah-sekolah lainnya sehingga banyak sekolah tersebar di seluruh Indonesia mulai mengembangkan aneka sumber belajar yang berada di lingkungannya. Dengan menggunakan aneka sumber belajar berbagai kesulitan dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dan membelajarkan dapat diatasi (USAID, 2006) Sementara itu dalam pengamatan ke berbagai sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah, pemanfaatan aneka sumber belajar di kebanyakan sekolah masih belum seperti diharapkan. Sungguhpun para pendidik Pengembangan Sumber Belajar mengatakan bahwa mereka mengetahui konsep belajar aktif, belajar kontekstual dengan berbagai model pembelajaran yang menuntut penggunaan berbagai sumber belajar, tetapi hasil pengamatan menunjukkan lebih dari sebagian dari kelas yang diamati, proses belajar dan membelajarkan masih berpusat kepada guru (Yuhetty, 2006: 81-82). Sementara itu kebijakan manajemen berbasis sekolah serta sistem pendanaan melalui Biaya Operasional Sekolah (BOS) dapat mematikan kreativitas sekolah dalam mengembangkan dan mendayagunakan aneka sumber belajar. Dalam keadaan demikian pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efisien, dan menyenangkan sukar dapat diwujudkan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dan membelajarkan di sekolah (Sitepu, 2006). Hasil pengamatan sejumlah mahasiswa Pascasarjana UNILA (Prodi TP S2) ke beberapa SD, SMP dan SMA di Lampung dalam bulan April dan Mei 2008 menunjukkan bahwa (1) pada umumnya guru belum memanfaatkan aneka sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekolah; (2) peralatan seperti OHP, komputer dan LCD masih sangat terbatas jumlahnya dan belum banyak dipergunakan dalam proses pembelajaran di kelas; (3) alat peraga, peralatan laboratorium dan perpustakaan kurang terawat; (4) belum ada tenaga khusus pengelola sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah; dan (5) dianggap perlu melakukan pelatihan terhadap pendidik bagaimana cara mengembangkan aneka sumber belajar terintegrasi dengan pengembangan sistem pembelajaran. Sungguhpun kesadaran akan pentingnya sumber belajar, telah tumbuh keadaan dan perkembangan lembaga PSB dalam arti yang sesungguhnya kurang berkembang di pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pada umumnya sekolah belum memiliki lembaga atau unit kerja yang disebut PSB, sungguhpun di sekolah itu memiliki perpustakaan, laboratorium, dan media audiovisual. Perpustakaan sekolah, laboratorium dan media audiovisual masih dikelola secara tersendiri. Di beberapa perguruan tinggi terdapat unit pelaksana teknis yang disebut PSB, namun belum berkembang dan berfungsi sebagaimana seharusnya. Mengingat pentingnya peranan aneka sumber belajar, dalam proses belajarmembelajarkan khususnya dalam Bebas, sekolah perlu mengembangkan sumber-sumber belajar di masing-masing sekolah secara terintegerasi. Pengembangan sumber-sumber belajar itu dapat dimulai dari yang sederhana atau dari apa yang ada, namun pemanfaatannya diintegrasikan ke dalam proses belajarmembelajarkan. Secara bertahap sekolah dapat membentuk Unit Sumber Belajar yang di dalamnya ada perpustakaan, media audiovisual, alat-alat peraga/praktek, dan komputer. USB lebih sederhana dari pada PSB di lihat dari organisasi, koleksi, dan pengelolaannya. Pengembangan USB ini diikuti dengan pengayaan koleksinya yang tidak hanya produk yang dibeli tetapi juga termasuk karya peserta didik dan guru. Penutup Pergeseran paradigma atas pendidikan dan tuntutan akan perubahan proses pembelajaran, sebagai akibat dari kemajuan berpikir dan kebutuhan masyarakat, membuat penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pengelolaan pembelajaran pada khususnya perlu melakukan inovasi. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah mendayagunakan aneka sumber belajar dan peserta didik diberikan kemampuan bagaimana cara belajar sehingga mereka dapat belajar secara mandiri dan sepanjang hayat. Pendidik dibantu oleh tenaga kependidikan diharapkan dapat menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis peserta didik dengan mendayagunakan berbagai sumber belajar yang berbasis lingkungan secara kreatif dan inovatif sehingga terwujud proses pembelajaran yang menyenangkan, efisien, dan efektif. Dalam mengembangkan dan memanfaatkan aneka sumber belajar secara optimal, keberadaan USB/PSB sangat diperlukan untuk membantu pendidik dan peserta didik meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran tidak hanya selama tetapi juga di luar jam belajar. USB/PSB dapat mengatasi berbagai kesulitan pendidik dan peserta didik apabila direncanakan dengan baik serta dikelola secara profesional. USB/PSB pada hakikatnya dapat dikembangkan tidak hanya di satuan pendidi-kan dasar dan menengah atau di perguruan tinggi, tetapi juga sanngat bermanfaat di pusat-pusat pendidikan dan pelatihan (Pusdiklat). USB/PSB kelihatannya belum berkembang pesat di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Masih diperlukan perhatian dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 91 Pengembangan Sumber Belajar kebijakan dari pimpinan lembaga-lembaga pendidikan untuk memfungsikan dan mengembangkan USB/PSB di tempatnya masingmasing. Payung kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional akan dapat memotivasi pertumbuhan, perkembangan, dan pemanfaatan USB/PSB secara nasional. Daftar Pustaka AECT. (1986). Definisi teknologi pendidikan. Penerjemah: Yusufhadi Miarso dkk. Jakarta: Rajawali bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas di Universitas Terbuka Anderson, O.W. dan Krathwohl, D.R. (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxanomy of educational objectives. New York: Addison Wesley Longman Asnuntuck Community College, http://www. commnet. edu Dorrell, J. (1993). Resource-based learning: Using open and flexible learning resources for continous development. Berkshire: McGrawHill Book Company Europe Gustafson, K.L. & Branch, R.M. (1977). Survey of instructional development models. Syracuse, N.Y.: Clearinghouse on Information & Technology. Januszewski, A. (2002). Educational technology: The development of a concept. Englewood, Colorado: Libraries Unlimited Januszewski, A. & Molenda, M. (2008). Educational technology: A definition with commentary. New York: Lawrence Erlbaum Associates Mann, D. (1974). Policy decision-making: An Introduction to calculation and control. New York: Teachers College Press Merril, I.R. & Drob, H. A. (1974). Criteria for planning the college and university learning resources center. Washington D.C. : AECT Miarso, Y. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta Prenada Media bekerja sama dengan Pusat Teknologi dan Informasi Pendidikan Miarso, Y. (2008). Teknologi yang berwajah humanis. Jurnal Pendidikan Penabur, 09 (06), 50 - 58 Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005. www.depdiknas.go.id/ inlink.php?to=snp 92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Pine Manor College, http://www.pmc.edu Rahadi, A. (2005). Menuju kelembagaan pusat sumber belajar (learning resources center). Dalam Purwanto (ed). Jejak langkah perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Reigeluth, C.M. & Garfinkle, J.G. (Eds). (1994). Systemic change in education. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publications. Reigeluth, C.M. (1999). What is instructionaldesign theory and how is it changing?. Dalam Instructional-design theories dan models. Volume II: A new paradigm of instructional theory. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Reiser, R.A. dan Dempsey, J.V. eds. (2002). Trends and issues in instructional design and technology. London: Pearson Education Seels, B.B. and Richey, R.C.. (1994). Instructional technology: The definition and domains of the field. Whasington, DC: AECT Simon, H.A. (1997). Administrative behavior: A study of decision-making process in administrative organizations. New York: The Free Press Surry, R.W. (1997). Diffusion theory and instructional technology. Makalah yang dipaparkan di Konferensi Tahunan AECT, Albuquerque, New Maxico February 12 – 15, 1977. [email protected] University of Louisiana, http://www.lsu.edu University of Texas At Austin, http//www. utexas. edu USAID. (2006). Managing basic education: Developing local government capacity. Annual report, September 2005-september 2006. Tidak diterbitkan. Warren, M.D. (20020. Embracing the information age in public education: An interview with Michael Warren.Vision. November/ December 2002. http://ts.mivu.org/ default.asp?show=article&id=1049 Wikipedia, International covenant on economic, social and cultural rights, http. Wikipedia org/wiki/human_right Xavier University of Louiciana, http://www. xula. edu Yuhetty, H. (2006). Laporan kajian: Prakarsa sekolah dalam meningkatkan mutu proses pendidikan (studi kasus pada sekolah terpilih). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) Opini Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) Handy Susanto*) Abstrak da berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang untuk berprestrasi baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal seperti potensi kecerdasan, motivasi, sikap, sedangkan faktor eksternal seperti orang tua, metode pembelajaran, tekanan atau ancaman dari lingkungan yang menimbulkan stres bagi anak. Stres dengan derajat yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, sedangkan stres yang derajatnya terlalu rendah mengakibatkan seseorang mengalami kebosanan. Stres bukanlah suatu hal yang selalu negatif. Stres dengan derajat yang tepat akan menyebabkan seseorang dapat menampilkan performance yang optimal. A Kata kunci: Stres, prestasi, faktor internal, faktor eksternal. The performance of individual are influeneed by internal and eksternal factors. Stress resulted from the eksternal factors could effect the performance positively and negatively. This article discusses some techniques of managing stress that can give positive effects to the school children’s achievement. The role of the teachers and parents are very important in assisting the children to cope their stress. Pendahuluan Dengan semakin pesatnya perkembangan dunia pendidikan, berkembangnya kurikulum pendidikan dan juga semakin berkembangnya persaingan antar sekolah untuk menjadi sekolah yang terbaik membuat para penyelenggara pendidikan semakin berlomba-lomba untuk memberikan program pendidikan yang terbaik bagi anak didiknya. Berbagai macam program pendidikan ditawarkan kepada masyarakat dengan dalih bahwa program tersebut adalah untuk membekali peserta didik agar menjadi orang yang lebih baik atau dengan kata lain lebih kompeten dibandingkan dengan peserta didik di sekolah lainnya. Namun dengan kondisi tersebut mungkin para penyelenggara pendidikan tidak menyadari bahwa program yang ditawarkan tersebut justru akan semakin membebani peserta didik. Orang tua mungkin tidak pernah memperhatikan anak-anaknya saat mereka berangkat ke sekolah. Orang tua tidak tahu apa yang mereka bawa di dalam tas sekolah mereka. Mereka tidak pernah berpikir begitu beratnya beban yang harus dipikul oleh anakanaknya. Orang tua juga tidak pernah menimbang bobot tas sekolah anak-anaknya yang sebenarnya baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Sekolah seharusnya menjadi suatu dunia yang menyenangkan bagi anak didik. Namun dengan kondisi saat ini sepertinya bagi mereka sekolah bukanlah lagi menjadi tempat yang menyenangkan. Persaingan antara lembaga pendidikan, kurikulum yang kian padat, sikap tenaga pendidik yang dinilai kurang manusiawi, persaingan antara orang tua peserta didik, *) Mantan Guru SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 93 Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) ambisi orang tua terhadap anaknya secara tidak sadar sebenarnya telah membebani peserta didik. Berbagai macam tekanan dari luar (faktor eksternal) tersebut kemungkinan besar akan meningkatkan derajat stres di dalam diri anak didik. Tidak mengherankan, yang seringkali kita lihat saat ini, adalah semakin banyaknya anak didik yang membangkang, kurang berprestasi padahal potensi kecerdasannya berada di atas rata-rata, malas untuk berangkat ke sekolah bahkan mungkin ada yang sampai phobia sekolah. Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa figur anak yang berprestasi menjadi kebanggaan baik bagi anak itu sendiri, orang tua, bahkan lembaga pendidikan tempat ia belajar. Cukup banyak lembaga pendidikan yang menginginkan anak didiknya berprestasi dengan harapan agar nama baik sekolah semakin terangkat dan tingkat favoritas sekolah semakin baik karena dengan banyaknya anak didik yang berprestasi di sekolah tersebut akan mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat itu. Namun sayangnya, dengan adanya ambisi tersebut justru mengorbankan kesenangan anak didik itu sendiri. Anak didik dijejali terus oleh pelajaranpelajaran yang justru membuat anak itu sendiri menjadi tidak menikmati kegiatan bersekolah. Anak didik tidak diberikan kebebasan untuk berkreasi dalam mempelajari sesuatu karena perasaan khawatir para pendidik terhadap target kurikulum yang diberikan oleh dinas pendidikan ataupun pihak sekolah tidak tercapai. Anak didik digembleng dengan diberikan tugas yang sangat banyak sehingga menyita waktu mereka bahkan untuk bermain yang sebenarnya itu adalah hakekat dunia anak. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Handrawan Nadesul (dalam http:// keluargasehat.wordpress.com/Stress, 24 Oktober 2008) bahwa kompetisi di sekolah semakin ketat, kurikulum kian padat, dan metode pengajaran dan sikap pendidik dinilai kurang manusiawi. Semua itu menyiksa hari-hari bermain anak. Belum lagi ditambah dengan waktu yang dirampas dari hari-hari anak untuk (terpaksa) les ini-itu. Maka beban hidup anak melebihi kodratnya yang perlu lebih banyak bermain. Bukan satu kali terdengar kasus anak menolak berangkat ke sekolah atau ada juga anak yang setiap kali tiba di depan gerbang sekolah langsung muntah, atau sakit perut, dan mencret. 94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Penyebabnya satu yakni pasti anak itu sedang jatuh stres. Anak yang stres bisa jadi karena membenci gurunya atau karena mata pelajarannya. Tidak jarang juga disebabkan oleh keduanya. Anak merasa tidak nyaman selama bersekolah. Konsep belajar-mengajar kita menjadi cenderung indoktrinasi, menjadi hanya searah dan bukan dialog. Selain itu, saat ini semakin menjamur sekolah–sekolah plus yang menawarkan program pembelajaran dengan menjanjikan kepada pihak orang tua bahwa dengan bersekolah di sekolah plus maka anak akan semakin berkembang atau lebih kompeten dibandingkan dengan anak yang hanya sekolah di sekolah reguler. Namun pada praktiknya, justru sekolah plus itu semakin berpotensi menimbulkan stres pada anak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Djohar (2003) (dalam http:/ /www.gatra.com). Beliau menilai, sekolah plus yang banyak menjamur saat ini menggunakan model pembelajaran yang justru semakin potensial menumbuhkan stres pada anak yang akan terbawa hingga usia lanjut. Hal itu terjadi karena sekolah plus menggunakan model pembelajaran yang bertentangan dengan kaidah pendidikan. Ia menjelaskan, model pembelajaran yang digunakan oleh sekolah plus justru membelenggu anak, menyita hak anak, dan kurang membangkitkan kreativitas anak. Dengan semakin banyaknya faktor yang menyebabkan timbulnya stres pada anak sehing-ga dapat menjadi hambatan dalam belajar, perlu dicarikan cara mengurangi derajat stres pada anak agar mereka dapat berprestasi seoptimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimi-likinya. Landasan Teori Stres Stres adalah kondisi biologis yang timbul sebagai akibat kegagalan tubuh untuk merespon secara tepat baik secara emotional maupun fisik ancaman yang dihadapinya baik ancaman secara nyata ataupun yang dibayangkan. Kata “Stres” itu sendiri pertama kali digunakan oleh Hans Selye (1930) (dalam John W. Santrock, 2002) untuk mengidentifikasi respon fisiologis pada binatang di laboratorium. Dia lalu mengembangkan dan mempopulerkan istilah “stres” Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) termasuk ke dalam persepsi dan respon manusia dalam usaha untuk beradaptasi dengan berbagai macam tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam terminologi yang digunakan oleh Hans Selye, stress merujuk kepada respon organisme, sedangkan ancaman / tantangan itu sendiri dikenal dengan nama “stressor”. dalam kondisi stres, maka yang bersangkutan akan mengalami kelelahan baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini bisa dilihat pada gambar 2. Sebenarnya adalah suatu pendapat yang keliru apabila ada pendapat bahwa seseorang harus terbebas dari stres atau orang berupaya untuk menghilangkan stres pada dirinya. Jika seseorang tidak merasakan stres dalam kehidupannya, maka dia tidak akan mengalami suatu tantangan dalam kehidupannya dan cenderung kondisinya menjadi monoton. Jika seseorang berada dalam kondisi seperti itu maka performancenya pun tidak akan dapat dicaGambar 1: Hubungan antara daya tahan terhadap stres dengan waktu Sumber : John W. Santrock, Adolescence, 7th edition, 1998, McGraw-Hill pai secara optimal karena dia mengalami kebosanan, begitu juga seba-liknya jika terlalu tinggi Menurut Hans Selye (1975) (dalam John W. derajat stres seseorang maka akan berpengaruh Santrock, 1998) stres dibagi menjadi 2 yaitu pula pada performancenya karena terlalu Eustress dan Distress. Pada saat stres tersebut banyaknya tekanan dalam dirinya sehingga dapat meningkatkan fungsi seseorang baik yang dia rasakan adalah kecemasan terus mental maupun fisik itu dinamakan Eustress, menerus. Yang paling tepat adalah bagaimana sedangkan Distress adalah stres yang terus kita bisa berada dalam kondisi stres dengan menerus ada dan tidak terpecahkan yang derajat yang optimum atau tepat karena pada mungkin akan mengarahkan yang bersangkutan saat itulah kita akan dapat menghasilkan mengalami kecemasan (anxiety) atau depresi. performance yang terbaik. Pada dasarnya stres memang diperlukan oleh manusia sebagai suatu bentuk alarm baik Coping bagi tubuh maupun mental. Setiap orang memiCoping adalah suatu proses untuk mengolah liki kemampuan atau daya tahan yang berbedalingkungan, mengerahkan suatu usaha untuk beda terhadap stres yang dialaminya. Namun menyelesaikan permasalahan personal dan pada umumnya semakin lama seseorang berada interpersonal, dan mencoba mencari cara untuk menguasai atau mereduksi stres. Menurut Lazarus (1993) (dalam John W. Santrock, 2002), terdapat dua pendekatan yang berbeda yang diterapkan oleh seseorang dalam mengatasi stres yang dialaminya. Kedua pendekatan tersebut adalah problem focused coping dan emotion focused coping. Pada pendekatan problem focused coping, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dengan menggunakan strategi kognitif yang bersangkutan secara individu akan menghadapi situasi yang menyebabkan stres dan mencoba untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Emotion focused coping Gambar 2: Hubungan antara tekanan dan kerja adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/ merespon secara emosional yang biasanya General_adaptation_syndrome Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 95 Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) melibatkan suatu mekanisme yang dikenal dengan defense mechanism seperti rasionalisasi. Selain itu, terdapat strategi yang digunakan dalam menghadapi stres yaitu approach and avoidance coping strategies. Approach strategies melibatkan usaha kognitif untuk memahami stressor dengan menghadapi langsung sumber stres tersebut dan konsekuensinya. Sedangkan avoidance strategies melibatkan usaha kognitif yang mencoba untuk menyangkal atau meminimalkan stressor dan mencoba untuk menghindari atau menjauh dari sumber stres. Self Efficacy adalah suatu keyakinan seseorang bahwa dia dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan suatu hasil yang positif. Menurut Albert Bandura (1997), self efficacy seseorang dapat mempengaruhi perilaku seseorang di dalam berbagai lingkungan. Self efficacy mempengaruhi usaha seseorang untuk memiliki kebiasaan yang sehat, besaran usaha yang dilakukan seseorang untuk menangani stres, seberapa lama orang tersebut bertahan dalam menghadapi rintangan, dan seberapa besar stres yang mereka alami (Allison, Dwyer, & Makin, 1999; Clark & Dodge, 1999; DeVellis & DeVellis, (dalam John W. Santrock, 2002). Gejala anak stres Mengetahui apakah anak mengalami stres memang tidak mudah. Secara umum ada beberapa penampilan anak yang perlu diwaspadai, antara lain sebagai berikut. 1. Anak terus menerus mengedipkan mata atau menggerakkan anggota tubuh lain (Tics). 2. Gagap secara tiba-tiba. 3. Tiba-tiba murung dan sering melamun. 4. Mengeluh jantung berdebar, pusing yang tidak jelas penyebabnya, atau sakit perut walau makan dengan benar. 5. Mukanya merah dan lutut tampak bergetar. 6. Mengalami gangguan tidur. 7. Menjadi pelupa dan sulit konsentrasi. 8. Mual dan menolak makan atau sebaliknya makan berlebihan. 9. Terus menerus meludah. 10. Tingkah lakunya mengalami kemunduran Mempersiapkan anak untuk Coping stres Masa anak seharusnya dapat menjadi masa yang berkelanjutan dalam mempersiapkan anak menghadapi berbagai macam permasalahan, terutama stres. Pada masa tersebut sebaiknya anak diberikan suatu penjelasan, kepastian, dan peringatan awal terhadap berbagai macam 96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 permasalahan yang mungkin saja akan mereka hadapi. Sementara itu, bermain digunakan oleh anak untuk mempelajari cara mengatasi antara perasaan yang dialaminya dan berbagai macam kejadian. Itu merupakan cara yang alami untuk belajar mengatasi rasa takut yang dapat mengakibatkan stres pada anak. Permainan “berpura-pura”, membantu anak dari berbagai macam golongan usia bertindak dengan cara yang memuaskan dan konstruktif dalam menangani perasaan dan menghadapi stres. Teknik meredakan stres Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membantu meredakan stres pada anak seperti, relaksasi, visualisasi, dan affirmasi. Pertama, relaksasi : yaitu pengenduran otot sangatlah berguna untuk mengurangi ketegangan fisik pada anak. Dengan belajar relaksasi akan memberikan anak suatu titik fokus yang positif. Pada saat bingung, marah, atau ketakutan, nafas kita menjadi lebih cepat dan dangkal. Cara yang paling efektif untuk mengatasinya adalah dengan bernafas dalam dan lambat. Dengan cara bernapas tersebut akan mengubah tanda stres pada otak dan membuat tubuh menjadi lebih tenang yang memungkinkan anak untuk kemampuannya dalam menghadapi dan mencari solusi untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stres tersebut. Kedua, visualisasi (Positive imagery). Visualisasi dapat meredakan stres dengan mengubah pengalaman negatif atau kesulitan menjadi suatu gambaran yang positif. Visualisasi hanya dapat dilakukan dalam keadaan santai. Oleh karena itu kita harus mengingatkan anak untuk mengatur napas (relaksasi). Setelah tenang, anak dapat diajak untuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan seperti berwisata ke tempat yang mereka idam-idamkan dan mencoba membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan dilakukannya selama berada di tempat tersebut. Ketiga, affirmasi (self talk). Affirmasi citra diri yang buruk merupakan hasil dari rekaman dari apa yang anda pernah katakan pada diri sendiri. Namun hal tersebut dapat diprogram ulang denga hal-hal yang positif. Dengan mengajarkan kepada anak untuk terus mengucapkan sesuatu yang positif mengenai diri sendiri di saat menghadapi situasi yang menimbulkan stres akan menciptakan suatu citra yang positif pada diri anak tersebut sehingga akan meningkatkan kepercayaan dirinya dalam mengatasi permasa- Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) lahan. Sebagai contoh : pada saat menghadapi pelajaran matematika yang cenderung ‘menakutkan’, ajarkan kepada anak untuk mengatakan pada diri sendiri, “saya sanggup menyerap materi pelajaran matematika hari ini”. Bantulah anak untuk meresapi kata-katanya tersebut dan tekankan kepada anak untuk mengucapkannya dengan penuh keyakinan terhadap diri sendiri. Saran Aplikasi Stres merupakan suatu alarm bagi tubuh yang akan meningkatkan produksi adrenalin, coping mechanism, dan akhirnya jika terus berlanjut akan menyebabkan kelelahan. Tanda-tanda yang biasanya muncul pada saat seseorang sedang mengalami stres yang negatif (distress) seperti meningkatnya sensitivitas seseorang, ketegangan otot, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan berbagai macam gejala fisik seperti sakit kepala, peningkatan detak jantung, muntah, sakit perut yang sebenarnya tidak jelas penyebabnya. Tidak sedikit anak didik yang mengatakan kepada orang tuanya bahwa mereka sakit, yang sebenarnya hanya untuk menghindari datang ke sekolah. Bahkan ada yang sampai mengalami muntah-muntah pada saat sudah berada di depan sekolah. Itulah gejalanya yang menunjukkan bahwa anak didik sekarang semakin tertekan dengan kondisi sekolah yang saat ini berlangsung. Gejala-gejala fisik yang muncul sebenarnya lebih diakibatkan adanya tekanan psikologis dalam diri mereka berupa stres. Munculnya gejala-gejala fisik seperti sakit kepala, jantung berdebar, bahkan sampai muntah-muntah itu menunjukkan bahwa derajat stres yang mereka alami sudah melebihi ambang batas normal yang dibutuhkan seseorang untuk menampilkan performance secara optimal. Mereka mengalami stres yang berlebihan kemungkinan besar disebabkan oleh tekanan (ancaman) lingkungan saat ini yang semakin kuat, kurikulum yang semakin padat, sikap tenaga pendidik yang kurang mendukung, situasi belajar yang penuh dengan tekanan, dan ada banyak hal lainnya yang semakin menekan anak didik. Ernest R. Hilgard, dkk (dalam Nella , 2004) berpendapat bahwa tingkat keparahan situasi stres ditentukan oleh: bisa diduga atau tidak; adanya kendali (apakah bisa dihindari atau dihentikan); evaluasi kognitif (apakah situasi berarti atau tidak); perasaan mampu (untuk mengatasi); dan dukungan sosial (orang tua, guru, teman). Karena itu, hal yang terpenting dalam mempersiapkan anak dalam menghadapi stres adalah keterbukaan, rasa percaya, dan tidak terlalu melindungi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjelaskan bahwa merasa stres adalah normal. Tunjukkan pula bahwa bukan hal yang tidak pantas jika terkadang ia merasa marah, takut, kesepian, atau pun cemas. Ada beberapa saran yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan anak menghadapi stres negatif (distress). Pertama, ajarkan anak untuk berserah kepada Tuhan. Adalah sangat baik untuk selalu mengajarkan kepada anak untuk meminta pertolongan dari Tuhan setiap kali akan memulai suatu aktivitas. Biasakanlah untuk selalu mengajak anak-anak berdoa terlebih dahulu sebelum memulai aktifitas belajar. Namun jangan sampai aktivitas berdoa ini menjadi suatu kegiatan rutin yang menjadi tidak ada maknanya. Kita perlu mengingatkan kepada anak didik kita mengenai makna kegiatan berdoa ini. Kedua, kembangkan rasa humor. Bisa melihat sisi lucu dari suatu kejadian, tidak saja membuat relaks tapi juga menyehatkan fisik dan mental. Menurut penelitian Lee Berk, M.D & Stanley Tan, M.D, tertawa dapat menghambat aliran kortisol; hormon stres yang menyebabkan meningkatnya tekanan darah, penggumpalan darah, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Tertawa juga membuat jantung berdetak lebih cepat, sistem kekebalan diaktifkan, dan oksigen mengalir ke otak sehingga membantu berpikir tajam dan melihat dengan lebih jelas. Otot-otot mengendur dan sistem pencernaan dapat berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, dalam situasi pembelajaran, tidak ada salahnya jika setiap guru mencoba menciptakan suatu situasi yang dibumbui oleh humor. Memang tidak perlu setiap saat guru harus ‘melawak’, tapi mungkin ada satu momen tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh guru, daripada kelas harus sepi terus menerus dan anak-anak menjadi lebih tegang. Humor dapat diciptakan dengan cara menyampaikan materi pelajaran melalui permainan, misalnya saja bermain peran. Sebagai contoh, pada saat kita mengajarkan tentang tata surya, kita mencoba untuk menerapkan permainan “bermain peran” kesempatan dengan memberikan kepada anak didik memerankan planet-planet dan benda angkasa lainnya dan membebaskan mereka Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 97 Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) berkreasi. Permainan ini mungkin akan memunculkan suatu situasi lucu atas perilaku mereka dalam memerankan benda angkasa tersebut. Ketiga, ajarkan teknik memecahkan masalah. Memahami orang lain atau kejadian merupakan bekal bagi anak dalam menghadapi dunianya, sehingga anak tidak mudah stres dan dapat mengatasi masalahnya dengan baik. Mengajarkan kepada anak untuk selalu bertanya dan memikirkan berbagai macam alternatif penyelesaian masalah, juga merupakan dasar untuk meningkatkan kemampuan anak dalam pemecahan masalah. Bermain peran juga dapat membantu seorang anak menghadapi permasalahannya. Permainan ini akan mengembangkan kemampuan anak mencari cara-cara yang konstruktif pada saat diperhadapkan dalam suatu situasi tertentu. Keempat, tingkatkan kepercayaan diri. Anak harus merasa aman dan mampu menyesuaikan diri dalam keadaan apapun. Dengan kata lain anak harus memiliki kepercayaan diri. Ketika anak memiliki rasa percaya diri, ia akan lebih berani dalam mengambil resiko dan tidak takut lagi. Anak yang memiliki kepercayaan diri mampu bersikap toleran terhadap penolakan tanpa merasa terhina ataupun depresi. Jangan langsung menghakimi anak apabila mereka tidak dapat mengerjakan tugas ataupun pada saat prestasinya menurun. Kita harus memberikan dukungan kepada mereka dengan cara bersikap terbuka atas kondisi yang mereka hadapi sehingga anak pun merasakan adanya dukungan dari orang tua ataupun guru dan kemungkinan besar anak akan lebih termotivasi kembali untuk mengerjakan tugas dengan lebih baik atau untuk lebih meningkatkan prestasinya. Kelima, ajarkan mengelola emosi. Ada empat emosi dasar: marah, takut, sedih, dan gembira. Di antara keempat emosi, hanya gembira yang dikatakan emosi positif sedangkan yang lainnya adalah emosi negatif. Agar emosi negatif tidak sampai ‘menghancurkan’ anak, ada beberapa cara untuk mengelolanya. Misalnya, mendorong anak untuk dapat mengekspresikan kemarahan secara verbal. Kemampuan mengekspresikan kemarahan secara verbal akan mencegah mereka menggunakan kekerasan fisik; Membantu anak untuk menghubungkan perasaannya dengan alasan yang membuat mereka mengalami emosi tersebut; dan menunjukkan bahwa perasaan mereka dapat kita (orang tua, guru) pahami. 98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Keenam, mengajarkan mereka untuk meminta bantuan. Mengajarkan anak-anak bahwa menjadi orang yang matang bukan berarti dapat mengatasi segala sesuatunya sendiri, melainkan dapat mengerti batas kemampuannya. Berikan pengertian kepada anak-anak bahwa bukan hal yang memalukan apabila kita meminta bantuan kepada orang lain terutama pada saat kita mengalami suatu persoalan yang memang menurut kita sendiri hal tersebut sulit untuk diselesaikan sendiri. Dengan adanya beberapa saran di atas diharapkan pemikiran yang mungkin saat ini masih melekat dalam diri orang tua atau pun guru ketika anak dibiarkan untuk mencari jalan penyelesaian masalahnya sendiri atau bahkan sebaliknya yaitu terlalu melindunginya sehingga anak tidak belajar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sedikit demi sedikit mulai dapat beralih. Anak tetaplah seorang anak yang masih memerlukan petunjuk atau nasihat dari orang yang lebih dewasa untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Mereka harus tetap didampingi namun bukan berarti untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan, melainkan untuk membantunya melihat berbagai macam alternatif penyelesaian atas masalah yang mereka hadapi. Selain itu, perlu pula ditegaskan kepada mereka bahwa ada saatnya mereka akan membutuhkan bantuan dari orang lain dalam menyelesaikan permasalahannya. Dengan adanya pendampingan dari orang tua atau pun guru, kemungkinan besar akan semakin meningkatkan rasa percaya diri mereka terutama dalam menyelesaikan permasalahan lainnya yang akan mereka hadapi nantinya. Diharapkan juga orang tua atau pun guru yang mendampinginya tetap mengajarkan berdoa dalam melandaskan upaya mereka mencari penyelesaian permasalahannya agar mereka pun dapat menghayati makna berdoa itu sendiri bukan hanya suatu aktivitas rutinitas yang tidak ada maknanya. Kesimpulan Keberhasilan di dalam suatu proses pendidikan bukan hanya ditentukan oleh metode pengajaran yang sangat canggih atau, sarana prasarana yang sangat lengkap. Keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah Berprestasi di Sekolah dengan Meminimalkan Derajat Stres Negatif (Distress) potensi kecerdasan, motivasi, sikap anak didik, sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah metoda pembelajaran, sarana prasarana, tekanan atau ancaman dari lingkungan yang berpotensi menimbulkan stres yang berlebihan. Jika dalam proses pembelajaran tersebut kita hanya menekankan pada salah satu aspek, sudah dapat dipastikan bahwa proses pembelajaran tidak akan dapat mencapai sasaran utamanya. Stres tidaklah selalu menjadi hal negatif. Stres menjadi merugikan apabila berlebihan atau bahkan terlalu sedikit. Stres dengan derajat yang tepat akan membuat seseorang mampu menampilkan performancenya secara optimal. Perubahan sikap dari tenaga pendidik atau pun orang tua sangat diperlukan dalam upaya meminimalkan derajat stres pada anak. Pendidikan pada masa anak-anak harus diupayakan menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan, karena pada hakekatnya dunia anak adalah dunia bermain. Tenaga pendidik diharapkan dapat menciptakan suatu situasi pembelajaran yang cukup menyenangkan yang dapat diupayakan dengan berbagai cara seperti permainan dan memasukkan unsur humor di dalam kegiatan belajar mengajar. Misalnya, cukup banyak acara-acara kuis di televisi yang sebenarnya dapat diaplikasikan oleh guru untuk mengajar materi seperti kuis yang dahulu pernah disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta yaitu “Kata Berkait”. Guru hanya memberikan satu tema besar yang akan dibahas dan kata-kata kunci materi tersebut bisa dijadikan soal yang harus dijawab oleh anak didik. Di samping itu dukungan dari orang tua dan tenaga pendidik juga sangat diperlukan dengan cara membekali anak untuk dapat menghasilkan coping stress yang efektif, menumbuhkan rasa percaya diri dan membekali anak dengan kemampuan untuk mengelola emosi-emosi yang negatif. Cara yang dapat dilakukan untuk mengelola emosi yang negatif ialah mengajarkan anak bercerita hal apa yang sedang dialaminya atau pengalamannya. Guru bisa memancing anak dengan menceritakan tentang pengalaman sederhana yang dengan mudah dipahami oleh anak. Kemudian guru, meminta mereka menceritakan pengalamannya yang membuat mereka marah, atau sedih, atau yang menakutkan. Dengan bercerita anak akan terlatih mengekspresikan dirinya. Tentunya ada banyak hal dapat dilakukan selain yang telah disebutkan. Yang terpenting bagaimana hal ini dapat dipahami anak-anak dengan berbagai macam karakter unik mereka. Mereka harus tahu bahwa ada orang tua ataupun guru siap mendukung sehingga mereka mendapatkan kepercayaan diri untuk dapat menyelesaikan permasalahannya sehingga dapat meminimalkan derajat stres yang dirasakan dan dapat menghasilkan performance yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Daftar Pustaka Atkinson, Rita. L., Atkinson, Richard C., & Hilgard, Ernest R,. (1983). Introduction to psychology. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Nella, Safitri Cholid. (2004). Mengenali stres anak dan reaksinya. Jakarta: Buku Populer Nirmala Santrock, John W. (1998). Adolescence, 7th edition. McGraw-Hill Companies, Inc Santrock, John W. (2002). A topical approach to life span development, McGraw-Hill Companies, Inc Schaefer, Charles E., Howard L. Millman, PhD, (1981). How to help children with common problem Van Nostrand Reinhol Company, Inc. http://gatra.com/artikel.php/Sekolah Plus, Potensial tumbuhkan stres, 2003, 24 Okt’08 http://en.wikipedia.org/wiki/ General_adaptation_syndrome, 24 Okt’08 http://www.studygs.net/indon/stress, 24 Oktober 2008 http://keluarga sehat.wordpress.com/Stress, 24 Oktober 2008 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 99 Isu Isu Mutakhir Mutakhir Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Menjawab Tantangan Pengangguran dan Entrepreneurship Dinah Tanuatmadja*) ak dapat dipungkiri bila saat ini banyak lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Data dari Depdiknas selama 3 tahun (dari tahun 2003/2004 hingga 2005/2006), menunjukkan persen rata-rata siswa SMA untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sekitar 67,7%. Bagaimana dengan yang 22,3%? Selama mengikuti pembelajaran di SMA, mereka tidak dibekali dengan keterampilan atau keahlian untuk bekerja. Akhirnya mereka menjadi pengangguran, karena mereka belum siap atau tidak disiapkan untuk terjun ke dunia usaha/industri. Sebagai contoh, di salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) wilayah Surabaya, ada 92.367 orang pengangguran pada tahun 2007 yang lalu. Jumlah ang-katan kerja di Surabaya tercatat 1.279.821 orang. Dari angka itu, yang sudah bekerja 1.187.454 orang. Pengangguran ini lama kelamaan menjadi beban bagi masyarakat dan lingkungan T *) sekitarnya. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) menggagas penambahan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) untuk mengatasi masalah pengangguran ini. Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya, memprioritaskan pengembangan pendidikan SMK. Iklan layanan masyarakat mengenai SMK muncul di layar kaca dan juga diperdengarkan di radio. Pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu SMK. Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah menengah atas (SMA) secara bertahap. Dalam pandangan Pemerintah, SMA hanya menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut pengangguran. Maka, untuk mengurangi angka pengangguran, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja level operator atau teknisi, Pemerintah melakukan „terobosan” dengan mendirikan lagi SMK dengan inovasi yang diperoleh dari pengalaman negara-negara lain yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan. Lulusan SMK, dalam pandangan Pemerintah, lebih siap untuk bekerja dan mengurangi pengangguran. Sekolah Kejuruan di Mancanegara Seperti di Indonesia, sekolah kejuruan di beberapa negara lain juga menyiapkan siswanya untuk suatu pekerjaan atau jabatan tertentu melalui kegiatankegiatan praktis sehingga menjadi terampil/ahli dibidangnya. Jenjang sekolah ini bisa Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA). Pengetahuan yang diajarkan di sekolah kejuruan ialah cara bekerja atau prosedur menjalankan. Hal ini berbeda dari sekolah umum yang mengajarkan pengetahuan yang bersifat teoritis dan konsep abstrak. Itulah sebabnya sekolah kejuruan masih dianggap tidak termasuk pada jalur akademisi. Kepala Bagian Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Isu Mutakhir Sampai akhir abad ke 20, sekolah kejuruan di beberapa negara masih dianggap sebagai sekolah kelas dua, menjadi pilihan anak-anak dari keluarga kurang mampu secara finansial. Lulusannya misalnya menjadi teknisi, mekanik, tukang las dan pekerjaan-pekerjaan yang setara dengan kelas rendah. Akan tetapi, selanjutnya dengan meningkatnya tuntutan pasar kerja yang membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, pemerintah dan dunia usaha/ industri mulai banyak menanamkan modal atau memberi subsidi untuk menyelenggarakan pendidikan kejuruan, misalnya bidang bisnis, turisme, teknologi informasi, jasa pemakaman, kecantikan, kerajinan, perhotelan dan lain-lain. Di Australia, sekolah kejuruan (Vocational Education and Training) setara dengan sekolah menengah. Pemerintah bersama dengan dunia usaha/industri berperan aktif dalam mengontrol penyelenggaraan sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan dikelola oleh swasta maupun pemerintah yang bergabung dalam wadah lembaga-lembaga pelatihan resmi (registered) secara nasional yang mengontrol kualitas dan kualifikasi serta penilaian (ujian). Dunia usaha/industri berperan aktif dan bertanggung jawab dalam mengembangkan dan meninjau ulang semua kualifikasi. Peran pemerintah dan lembaga-lembaga sangat besar dalam mengontrol kualitas dan kualifikasi, sehingga dengan demikian setiap lulusannya diakui disemua negara bagian di Australia. Bahkan pengelola sekolah kejuruan diperbolehkan menawarkan program pelatihan bergelar bachelor yang di perguruan tinggi tidak tersedia. Lewat jalur pendidi-kan kejuruan, seseorang dapat melanjutkan pendidikan dan memperoleh gelar bachelor. Hal ini berdampak bahwa beda antara sekolah kejuruan dan sekolah umum amat tipis. Dalam hal ini lulusan sekolah kejuruan diuntungkan dengan kebijakan tersebut. Di Jerman dan negaranegara sekitarnya (Austria, Switzerland, Liechtenstein), sekolah kejuruan menjadi salah satu bagian penting dari sistem pendidikannya. Pada tahun 1969, sebuah undang-undang disahkan untuk mengatur dan menyatukan sistem pelatihan kejuruan serta mengatur tanggung jawab bersama antara negara bagian, serikat pekerja, asosiasi dan kamar dagang. Sistem tersebut populer di tahun 2001 menyebutkan bahwa T! pemuda berusia di bawah 22 mulai menjalankan magang. Ternyata 78% dari pemuda itu menyelesaikan dengan baik. Ini berarti bahwa kira-kira 51% pemuda usia dibawah 22 tahun telah menja-lani masa magangnya, Di tahun 2003, dunia usaha/industri menyiapkan diri untuk menerima siswa magang. Selanjutnya di tahun 2004, pemerintah Jerman menanda tangani kerja sama dengan dunia usaha/industri yang menyatakan bahwa mereka harus siap menerima siswa magang Berbeda dengan di Australia dan Jerman, pendidikan kejuruan di Amerika Serikat berbeda dari satu negara bagian dengan negara bagian lainnya. 70% dari pendidikan kejuruan setara sekolah menengah dikelola oleh sekolah kejuruan swasta. Sisanya 30% dikelola swasta menjadi community college dengan waktu belajar 2 tahun. Lulusannya bisa transfer ke perguruan tinggi dengan waktu belajar 4 tahun. Setiap negara bagian mengambil inisiatif untuk mengatur keterkaitan dan kesinambung-an antara pengetahuan yang dipelajari di sekolah dengan pekerjaan. . Sekolah Kejuruan di Era Tahun 1970 dan 1990 Seiring dengan masuknya modal asing dan hibah dari Pemerintah Jepang atas Indonesia, dunia usaha/ industri berkembang pesat di tahun 1970 an. Ternyata perkembangan industri/ usaha ini tidak diimbangi dengan kesiapan Pemerintah dalam menyediakan tenaga kerja yang siap mengisi posisi kerja di dunia usaha/industri tersebut. Tenaga yang ada belum memiliki ketrampilan yang sesuai dengan bidang yang ada di dunia usaha/ industri. Di era itu, Pemerintah membuat terobosan dengan membuka banyak sekolah kejuruan seperti STM (Sekolah Teknik Menengah). SMF (Sekolah Menengah Farmasi), SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas), SKK (Sekolah Kesejahteraan Keluarga) dan lain-lainnya yang sudah dibekali dengan ketrampilan atau keahlian yang dibutuhkan oleh dunia Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 101 Isu Mutakhir usaha/industri. Kurikulum didesain sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/ industri. Konsep link and match, mulai dirintis sehingga lulusannya banyak terserap mengisi posisi pekerjaan sebagai teknisi, sekretaris, asisten apoteker, pembukuan, dan koki masak dan pekerjaan lainnya. Pengalaman di era 70 an ini, mengukuhkan bahwa SMK bisa menjawab tantangan akan kebutuhan (tenaga) kerja. Di tahun 1990 memasuki era globalisasi, konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan), digagas kembali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro. Konsep ini menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia usaha/industri. Lulusan yang dihasilkan harus sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi tingkat ketrampilan maupun dari segi jenis ketrampilan yang dibutuhkan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan mendapat tugas langsung dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembangkan dan melaksanakan pendidikan dengan pendekatan sistem ganda. Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematis dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dan program di dunia usaha/industri yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional. Kurikulum dirancang bersama sesuai dengan 102 kebutuhan dunia usaha/ industri. SMK - Sunset Industry dan Reengineering Tanpa regulasi yang jelas untuk pendirian SMK dari pemerintah, jumlah SMK semakin banyak. Kualitas pendidikan kurang terkontrol, kualitas lulusan SMK merosot. Berikut data hasil Nilai Ebtanas Murni (NEM) rata-rata dari tahun pelajaran 2003/04 sampai dengan 2005/06 untuk semua sekolah negeri dan swasta di Indonesia (untuk dapat mengatakan merosot, perlu dilengkapi dengan data pembanding). T ah u n Pelajaran Jumlah Rata-rata Sekolah Nem 2003/ 2004 5.115 6,63 2004/2005 5.66 5 5,97 2005/ 2006 6.02 5 6 , 14 Dalam era globalisasi dan semakin terbukanya pasar dunia, Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin luas dan berat. Ketidakmampuan dalam meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) nasional, menyebabkan semakin terpuruknya posisi Indonesia dalam kancah persaingan global. Tahun 2007/2008 Human Development Index Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 177 negara. Seiring dengan itu keadaan perekonomian dunia dan Indonesia memburuk, beberapa usaha maupun industri mengalami dampaknya, sehingga mereka tidak lagi memerlukan Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 tambahan tenaga kerja. Kembali terjadi pengangguran dari lulusan beberapa jurusan di SMK. Pada saat itu, pengamat pendidikan mengibaratkan SMK sebagai sebuah sunset industry. Pengertian sunset industry adalah usaha pengelolaan sekolah yang sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan external customer. Lulusan sekolah kejuruan sudah tidak lagi terserap sebagai tenaga kerja, dikarenakan mereka tidak siap pakai atau bisa juga dikarenakan sudah terlalu banyak lulusannya (over supply). Lulusan yang tidak siap pakai bisa dikarenakan sekolah tidak mampu menyediakan sarana praktek yang sesuai dengan yang ada di dunia usaha/industri bagi siswanya. Sekolah membutuhkan dana yang besar untuk investasi peralatan sama dengan peralatan di dunia usaha/ industri yang cepat berubah dan berganti. Hal ini tidak mungkin bisa disediakan oleh sekolah mengingat pengadaannya yang sangat mahal. Over supply menyebabkan tingkat kejenuhan, dan perlu dipertimbangkan untuk ditutup. Tingkat kejenuhan terjadi misalnya pada jurusan sekretaris, pembukuan, teknik bangunan, teknik mesin dan beberapa jurusan lainnya yang sudah terlalu banyak diluluskan SMK. Pemerintah membatasi ijin pendirian SMK untuk beberapa jurusan yang lulusannya tidak terserap di dunia usaha/ industri, karena jumlah lulusan melebihi jumlah dunia usaha/industri yang ada. Isu Mutakhir Upaya pemerintah untuk mengatasi sunset industry SMK ini, pemerintah melakukan terobosan dan kebijakan di bidang pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan. Misalnya, pemerintah membatasi izin pendirian SMK untuk beberapa jurusan yang lulusannya tidak terserap di dunia usaha/ industri, karena jumlah lulusan melebihi jumlah dunia usaha/industri yang ada.di dunia industri. Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, pemerintah mengambil kebijakan melakukan reengineering SMK. Banyak jurusan baru dengan keterampilan atau keahlian dibuka, berdasarkan kebutuhan masyarakat, dunia usaha/industri. Di samping itu juga berdasarkan pada ketersediaan resource alam maupun manusia, dan disesuaikan dengan budaya daerah. Maksud pemerintah dengan upaya ini bisa mengangkat perekonomian di daerah tersebut, pembangunan daerah dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh warga masyarakat dan tak ada lagi pengangguran. Dunia usaha/ industri memerlukan SDM yang mampu mengaplikasikan ilmu yang selama ini didapat di bangku sekolah. Untuk itu diperlukan upaya menyusun kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam dunia usaha/industri. Berikut ini pengelompokan bidang keahlian di SMK yang dikeluarkan oleh pemerintah dan telah disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri/ usaha. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Teknologi & Industri Bisnis & Manajemen Pariwisata Pekerjaan Sosial Pertanian & Kehutanan Peternakan Perikanan Seni & Kerajinan Farmasi Kesehatan Dari setiap kelompok bidang keahlian, bisa terbentuk jurusan-jurusan yang mengarah kepada kompetensi ketrampilan. Misalnya, dari kelompok bidang keahlian Bisnis & Manajemen, terbentuk kompetensi: Akuntansi, Administrasi Perkantoran, Penjualan, Perdagangan, Perbankan, Asuransi dan Koperasi. Konsep link and match semakin ditingkatkan maknanya bagi sekolah dan bagi dunia industri/usaha. Pesatnya perubahan teknologi yang diterapkan di dunia industri/usaha, sulit untuk diikuti oleh SMK, dipandang dari sisi dana. Biaya investasi dan operasional SMK lebih besar dibandingkan dengan SMA. Misalnya, perangkat yang dipakai dunia industri/ usaha akan selalu mengikuti perkembangan, sedangkan di sekolah untuk investasi peralatan pembelajaran yang identik dengan perangkat yang dipakai di dunia industri/usaha tidak mungkin akan selalu diganti atau ditambah dengan yang baru. Dengan demikian, masih terasa adanya kesenjangan antara sekolah dan industri. Pemerintah berperan mengatasi kesenjangan itu dengan mengajak dunia usaha/ industri ikut terlibat dalam memberikan kesempatan siswa SMK melakukan praktek kerja atau magang di dunia industri/usaha yang memiliki fasilitasnya. Hal ini perlu agar siswa SMK setidaknya mendapatkan gambaran dan pengalaman di dunia nyata mengenai dunia pekerjaan yang akan mereka geluti kelak. Selain job training, diperlukan juga kurikulum yang mendukung serta tenaga pengajar yang benar-benar datang dari akademisi dan profesional di bidangnya. Keterlibatan pegawai yang ada di dunia industri/usaha sebagai instruktur/pengajar, sehingga dengan demikian antara apa yang diajarkan dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri sesuai. Dunia usaha/industri memerlukan SDM yang mampu mengaplikasikan ilmu yang selama ini didapat di bangku sekolah. Untuk itu diperlukan upaya menyusun kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam dunia usaha/industri. Sinergi antara pemerintah, dunia usaha/industri dan sekolah menghasilkan kurikulum sekolah kejuruan yang membantu menciptakan lulusan siap kerja. Kelebihan dan Peran SMK SMA tidak dapat dibandingkan dengan SMK. Masing-masing mempunyai keungggulan yang berbeda. Masih ada pandangan masyarakat jika SMK sebagai jenjang pendidikan kelas dua, kurang bergengsi. Pandangan tersebut harus segera diluruskan, mengingat sekarang ini SMK selain sebagai institusi yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 103 Isu Mutakhir menyiapkan tenaga siap kerja di dunia industri/usaha, juga membentuk jiwa kewirausahaan pada setiap lulusannya. Pembentukan jiwa entrepreneur dibina melalui mata pelajaran Kewirausahaan. Nara sumber diambil dari para pelaku bisnis nyata. Tidak harus bekerja setelah lulus SMK , malahan justru lulusan SMK bisa menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri (wira usaha). Pandangan ini perlu diluruskan, mengingat banyaknya kelebihan yang bisa dimiliki siswa SMK. Jalur pendidikan di luar negeri, misalnya di Jerman, jelas menggambarkan bahwa jalur ke jenjang perguruan tinggi (akademisi) berbeda dengan jalur vocational. Jalur pendidikan di Indonesia terbuka, sehingga hal ini menjadikan banyaknya kelebihan SMK dibandingkan SMA. Beberapa kelebihan SMK, sebagai berikut. 104 1. Bisa langsung kerja tanpa harus masuk ke jenjang yang lebih tinggi 2. Dipersiapkan untuk siap kerja setelah lulus 3. Banyak praktek, sehingga lebih tahu pekerjaan lapangan 4. Pembelajaran 3 aspek: normatif, adaptif dan produktif 5. Sekolah warga dunia: kompetensi, komunikasi dan komputer 6. Profesi yang dijalani sesuai dengan minat/ hobi dan bakat Daya saing sebuah bangsa tidak bisa dipisahkan dari mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa tersebut. Jati diri bangsa sangat ditentukan oleh kualitas SDM yang ada. Untuk itu diperlukan hadirnya SDM terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap dan mental prima, daya juang dan daya saing tinggi, kemampuan handal, serta nasionalisme Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 sejati. Kualitas SDM yang diinginkan tentu saja adalah SDM yang mampu melaksanakan pembangunan nasional secara inovatif, kreatif, dan produktif dengan semangat kerja dan disiplin tinggi. Karena itulah, peningkatan SDM pada dasarnya merupakan proses peningkatan kualitas manusia dan mentransformasikan manusia menjadi angkatan kerja produktif. Proses demikian diwadahi dalam pendidikan. Pendidikan di SMK telah melibatkan dunia usaha/industri untuk melaksanakan praktek kerja sesuai dengan kurikulum yang dirancang bersama dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan SDM yang profesional bagi dunia usaha/industri. Dengan demikian SMK siap menjawab tantangan akan kebutuhan tenaga kerja siap pakai, karena SMK mempersiapkan sejak awal lulusan yang siap kerja dan berjiwa wirausaha. Resensi buku Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita Judul Buku: Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita Penulis : Prof. Dr. Soedijarto, M.A. Penerbit : PT. Kompas Media Nusantara - Jakarta Tanggal terbit : Juli - 2008 Jumlah Halaman : xlvi+488 Oleh: Muksin Wijaya s oedijarto, penulis buku ini, adalah seorang mantan birokrat yang antara lain mantan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga, Kepala Pusat Kurikulum, dan masih banyak sederet kedudukan dan jabatan yang pernah disandangnya. Terakhir, penulis kembali menjadi guru besar di Universitas Negeri Jakarta. Dalam buku itu, penulis mengemukakan antara lain, amanat pembukaan UUD 1945 dan visi pendidikan nasional menunjuk pada suatu landasan filsafat yang mendalam untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, dan dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 dinyatakan sejalan dengan belajar adalah hak asasi manusia. Persoalan pendidikan nasional sampai saat sekarang masih menjadi suatu percakapan yang hangat. Berbagai kritik, polemik, dan bulanbulanan pendidikan nasional kerap kita dengar. Kondisi pendidikan nasional yang tidak berhasil terwujud sebagaimana yang diamanatkan dan dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini, membuat penulis memper-timbangkan apa gerangan yang salah dengan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional kita sehingga belum bermakna bagi upaya mencerdasakan kehidupan bangsa. Bagi penulis, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negarabangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional. Kegelisahan melihat perkembangan pendidikan nasional membuat penulis berkontemplasi tentang kondisi pendidikan nasional baik dari segi landasan filosofis, pelaksanaan dan infrastruktur, maupun pembiayaannya. Perenungannya itu dituangkan dalam serangkaian artikel yang didiskusikan pada banyak kesempatan seminar yang kemudian pada Kamis 24 Juli 2008 bertepatan dengan acara ucapan syukur ulang tahunnya yang ke-70 diterbitkan dalam buku ini. Banyak hal yang dapat kita baca untuk mengetahui dengan tepat berbagai persoalan dan posisi pendidikan di Indonesia, dan buku ini memberikan pencerahan beserta jawaban akan persoalan-persoalan tersebut. Apa yang yang ditulis beliau juga merupakan unek-unek untuk menyampaikan ide dan gagasannya agar *) Kepala Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK PENABUR Bandung Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 105 Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita arah penyelenggaraan pendidikan nasional berjalan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sebetulnya persoalan-persoalan pendidikan sudah sejak dulu teridentifikasi dalam skala berbeda, namun sampai saat ini perubahan belum banyak. Nampaknya di tengah benang kusut persoalan pendidikan di Indonesia tersebut, pemetaan kembali persoalan pendidikan pada saat sekarang dirasa perlu. Pemetaan tersebut dapat menjadi bekal bagi pemimpin mendatang untuk pengembangan pendidikan nasional. Berbagai persepsi negatif masyarakat terhadap pendidikan Indonesia perlu dievaluasi dan diubah sehingga menjadi persepsi positif dan konstruktif, sehingga berbagai kebijakan pendidikan Indonesia dapat dilakukan sebagai tanggung jawab bersama oleh segenap bangsa Indonesia dengan tidak meninggalkan falsafah pendidikan dan kesadaran bahwa pendidikan juga mengemban makna di dalam memanusiakan manusia dan belajar untuk hidup. Buku ini terbagi ke dalam lima bab utama, yang masing-masing mengangkat paparan inti dari setiap permasalahan di bidang pendidikan. Bab I mengulas berbagai paparan berkenaan dengan landasan pendidikan nasional pada aras filosofi, ideologi, maupun perundanganundangan dan peraturan Pemerintah lainnya. Pada Bab I ini penulis mengulas secara gamblang sejauh mana amanat UUD 1945 sudah digunakan sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan yang selanjutnya diimplementasikan pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Menyoal hal tersebut penulis mengatakan bahwa pada saat ini kurang berfungsinya pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang merupakan faktor yang mempengaruhi keterpurukan kondisi negara bangsa Indonesia, bahkan ada yang memandang bahwa seyogianya pendidikan nasional dilepaskan dari pengaruh Pemerintah. (hal.13) Pemahaman yang benar akan amanat UUD 1945 merupakan suatu hal yang sangat penting karena pemahaman ini akan menjadi titik berangkat dari setiap pergerakan roda kehidupan bangsa, termasuk pergerakan roda sistem pendidikan di Indonesia ini. Tujuan positif tentu tidak pernah dapat kita capai apabila kita tidak memahami dengan benar apa makna yang ada di dalam amanat bangsa tersebut. 106 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Pada bab II, penulis mengangkat paparan berkenaan dengan relevansi kurikulum yang berawal dari sebuah pertanyaan “materi pendidikan manakah yang harus dijadikan objek belajar?” yang dapat mencerdaskan bangsa sesuai amanat UUD 1945 beserta pengembangannya, sistem evaluasi dan sumberdaya pendidik (guru) yang profesional. Pada saat ini Indonesia memasuki millenium ketiga (era globalisasi) dan pada masa ini berlaku berbagai ukuran dan aturan yang sifatnya internasional, sehingga dibutuhkan sumber daya yang berkualitas dan memiliki kompetensi untuk dapat bertahan dan maju secara berkesinambungan. Menjawab pertanyaan tersebut di atas, penulis berangkat menjawab dari pemahaman tentang karakteristik masyarakat modern dalam era globalisasi yang memberlakukan berbagai ukuran dan aturan internasional di segala bidang kehidupan, sehingga diperlukan sumberdaya yang berkualitas yang memiliki kemampuan, nilai, dan sikap yang perlu dikuasai dan dimiliki oleh manusia terdidik Indonesia, yaitu : (1) memiliki kemampuan, nilai, dan sikap yang memungkinkannya berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam proses politik; (2) memiliki kemampuan, etos kerja, dan disiplin kerja yang memungkinkannya aktif dan produktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ekonomi; (3) memiliki kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan penelitian dan pengembangan; dan (4) memiliki kepribadian yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta berakhlak mulia. (hal.120) Setelah teridentifikasi empat gugus kemampuan, nilai, dan sikap tersebut di atas, lalu materi pendidikan apakah yang harus dijadikan objek belajar? Menurut penulis bahwa UU No.20 Tahun 2003 telah memberikan jawaban untuk pendidikan dasar maupun sampai sekolah menengah. (hal.121). Memang perlu kita sadari bahwa pergerakan roda sebuah lembaga pendidikan tidak lepas dari arahan kurikulum yang termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran, evaluasi, materi dan metode pengajaran dan pembelajarannya. Dengan implementasi kurikulum yang tepat dan sinergi maka gugus Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita kemampuan, nilai, dan sikap bangsa han sosial (social change) di masyarakat yang sebagaimana disebutkan di atas diharapkan begitu cepat, menuntut agar kedudukan dan dapat dibentuk dan ditumbuhkan, yang fungsi perguruan tinggi itu benar-benar kemudian bangsa akan dapat memetik hasil terwujud dalam peran yang nyata. Pada positifnya. umumnya peran perguruan tinggi itu Bab III mengangkat paparan berkenaan diharapkan tertuang dalam pelaksanaan Tri dengan peran perguruan tinggi baik negeri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu : dharma maupun swasta dan persoalan akreditasi. pendidikan, penelitian, dan pengabdian Dalam bab dipertanyakan sejauh mana masyarakat. Dengan dharma pendidikan, perguruan tinggi dapat memberikan pengaruh perguruan tinggi diharapkan melakukan peran yang berdampak atas perkembangan masya- pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya. rakat serta peradabannya, terlebih lagi bahwa Dengan dharma penelitian, perguruan tinggi tuntutan pada setiap masanya berbeda dan diharapkan mela-kukan temuan-temuan baru semakin bertumbuh. Disamping itu, juga diper- ilmu pengetahuan dan inovasi kebudayaan. soalkan kemungkinan masalah kredi-tasi Dengan dharma pengabdian masyarakat, dipecahkan sebagai quality assurance atasi suatu perguruan tinggi di-harapkan melakukan perkembangan pelayanan masyrakat masyarakat secara untuk ikut memperkomprehensif dan cepat proses peningBerbagai persepsi negatif mengenai sasaran katan kesejahteraan masyarakat terhadap atas perubahan yang dan kemajuan masyapendidikan Indonesia perlu terjadi di dalam suatu rakat. Melalui dharma komunitas atau mapengabdian pada dievaluasi dan di ubah sehingga syarakat pada umummasyarakat ini, pergumenjadi persepsi positif dan nya. ruan tinggi juga akan konstruktif, sehingga berbagai Menjawab hal memperoleh feedback kebijakan pendidikan Indonesia tersebut penulis medari masyarakat tendapat dilakukan sebagai nekankan pada eksistang tingkat kemajutensi standard of an dan relevansi ilmu tanggung jawab bersama... excellence dan meritoyang dikembangkan cracy, dimana pengeperguruan tinggi itu. lolaan perguruan Bab IV mengangkat tinggi harus benar-benar : paparan berkenaan dengan otonomi daerah, (1) memungkinkan terciptanya suasana peran swasta dan pendidikan demokrasi. akademik yang menjadikan tenaga Berangkat dari ketentuan UU Sisdiknas dijelaspengajar dapat secara bergairah, penuh kan bahwa pemerintah daerah sebagai bagian tanggung jawab dan ketekunan sebagai dari sistem pendidikan bertanggung jawab unilmuwan dan pendidik, melaksanakan tuk mengelola pendidikan yang bermutu sesuai kemerdekaan akademiknya yaitu mengajar standar nasional yang digariskan oleh Pemerindan melakukan penelitian; dan tah Pusat. Persoalan selanjutnya adalah bagai(2) memungkinkan para mahasiswa dengan manakah pemerintah daerah dapat mengelola penuh kebahagiaan mendapatkan rang- pendidikan yang bermutu yang menekankan sangan dan tantangan untuk mereali- pada kualitas dan kualifikasi tenaga guru dan sasikan kemerdekaan akademiknya, yaitu kependidikan lainnya, sarana prasarana, kuribelajar dengan fasilitas yang memenuhi kulum dan proses pembelajaran, media pembesyarat agar mereka dapat menjadi lajaran dan sistem evaluasi yang komprehensif, ilmuwan/teknolog/profesional yang berlanjut dan objektif sesuai persyaratannya. berkarakter dan bermoral serta bergairah Menjawab persoalan di atas, penulis selain untuk mengabdi pada kemajuan ilmu merekomendasikan pemerataan pendidikan, pengetahuan dan teknologi.(hal.231). khususnya pendidikan dasar, juga menekankan Keberadaan perguruan tinggi mempunyai pada dukungan seluruh kekuatan masyakedudukan dan fungsi penting dalam rakatnya agar program yang dirancang dapat perkembangan suatu masyarakat. Proses peruba- sustainable. (hal.304) Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 107 Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita Perlu kita sadari bahwa sustainibility dapat membantu mendorong terpeliharanya suatu kegiatan dengan baik, yang mana hal ini pula akan menyebabkan kita dapat melakukan berbagai perencanaan program dengan lebih terarah dan terpadu, namun hal ini tidak ada artinya apabila tidak didukung oleh suatu komunitas atas masyarakatnya. Bab V mengangkat paparan berkenaan dengan anggaran pendidikan, seberapa signifikankah jumlah alokasi dana di dalam APBN atau APBD yang mencukupi untuk dipakai dalam upaya merealisasikan tujuan pendidikan nasional yang sudah diamanatkan UUD 1945. Mengapa pembiayaan pendidikan membutuhkan 20% dari APBN dan APBD diuraikan dengan jelas pada bab ini. Penulis memandang pembiayaan pendidikan 20% dari APBN dan APBD adalah suatu pemenuhan kewajiban negara yang diamanatkan UUD 1945 dalam hal kesejahteraan pembiayaan pendidikan (hal. 354) dan Pemerintah sebagai pemegang amanat seharusnya dapat merealisasikan hal tersebut. Karena itu dipandang dari makna amanat UUD 1945, tiadanya kemauan politik untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari APBN dan APBD dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap UUD 1945. (hal.356). Kalau kita telusuri, akar permasalahan anggaran pendidikan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) Pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan oleh banyak pihak. Kewajiban Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. Pemerintah juga masih lemah untuk berkomitmen dan kurang responsifnya di dalam menanggapi koreksi-koreksi yang sudah disampaikan oleh berbagai kalangan. Lebih dalam, persoalan pendidikan yang kita lihat saat ini hanyalah puncak dari gunung es persoalan pendidikan Indonesia seutuhnya. Lebih jauh lagi, kelima bab yang ditulis secara komprehensif tidak hanya menunjukkan berbagai persoalan yang terlihat saja tapi juga berbagai persoalan fundamental pendidikan Indonesia yang seharusnya segera direspon 108 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 oleh semua pihak dan seluruh bangsa agar terjadinya perubahan yang sinergi di dalam pendidikan Indonesia. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak untuk menyelami permasalahan di bidang pendidikan di Indonesia dari akar hingga ke permasalahan yang mencuat hangat pada saat sekarang, antara lain masalah anggaran pendidikan. Banyak pesan dan harapan penulis juga dituangkan di dalam buku ini untuk kemajuan bangsa, di antaranya mengenai peranan pendidikan yang seharusnya diupayakan dapat berfungsi sebagai wahana transformasi budaya, nilai, dan sikap; mewujudkan cita-cita pendidikan yang perlu diupayakan oleh seluruh kekuatan bangsa dan menjadikan UUD 1945 sebagai landasan dalam mengukur dan menilai berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan pendidikan; sekolah sebagai pusat pembudayaan atas segala kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk dapat menjadi warga negara yang bermoral, beretos kerja, berdisiplin, produktif, demokratis, dan bertanggung jawab. Sebagai penutup, apa yang dituliskan di dalam buku ini sebetulnya dapat dijadikan sebagai landasan implementatif dari pengembangan pendidikan Indonesia ke arah yang diamanatkan UUD 1945, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Pengembangan pendidikan dasar dengan biaya relatif ringat tetapi bermutu baik bagi seluruh bangsa Indonesia. 2. Membangun pusat-pusat keunggulan di tingkat sekolah dari TK sampai perguruan tinggi, dengan pembiayaan yang dinalisis berdasarkan kebutuhannya agar pendidikan perubahan pendidikan nasional bisa berjalan dengan betul. 3. Pengalokasian anggaran pendidikan untuk penyelenggarakan pendidikan dasar secara gratis, termasuk penyediaan buku pelajaran dan buku tulis bagi murid, buku-buku perpustakaan, dan buku pegangan untuk guru. 4. Otonomi akademik bagi sekolah-sekolah yang mampu dan mandiri, dengan memberi mereka kebebasan untuk menyusun kurikulum dan program belajarnya sendiri. 5. Penerapan prinsip demokrasi dalam pendidikan bahwa setiap warga negara Resensi buku : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Artinya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memperoleh pendidikan dalam rangka mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan, serta kemampuan mereka. 6. Dan lain-lain Hampir serupa dengan buku ini, pada tahun 2002 sudah pernah diterbitkan sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed. dengan judul Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, yang isinya berupa bunga rampai dari beberapa orang kontributor yang terarah pada paradigma nasional di bidang pendidikan. Beberapa hal yang diusung di dalam buku karya Prof. Dr. Soedijarto, M.A., juga dibahas di dalam buku bunga rampai ini, diantaranya masalah otonomi pendidikan, status dan peran guru yang dikaitkan dengan kualitas pendidikan, demokrasitisasi dan desentralisasi pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan lain-lain. Kedua buku ini tentu saja masing-masing memiliki kelebihan ataupun kekurangannya, buku karya Prof. Dr. H.A.R. Tilaar memiliki kekuatan di dalam mengusung permasalahan pendidikan dari berbagai sudut pandang beberapa pakar, sedangkan pada buku karya Prof. Dr. Soedijarto, lebih kepada pandangan intelektual dan pengalaman diri Prof. Dr. Soedijarto di dalam melihat dan memberikan alternatif solusi atas permasalahan pendidikan. Dengan membaca kedua buku ini maka kita akan mendapatkan suatu gambar yang semakin jelas dan utuh berkaitan dengan berbagai persoalan pendidikan dari persoalan pendidikan fundamental sampai kepada persoalan pendidikan praktis. Baik buku dengan judul Landasan dan Arah Pendidikan Nasional yang ditulis oleh Prof. Dr. Soedijarto, M.A dan buku dengan judul Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru yang ditulis oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed. keduanya mencerminkan kegelisahan dan semangat dalam bentuk buah pemikiran, saran serta kritik yang membangun dalam memajukan pendidikan Indonesia dan mentransformasi pendidikan di Indonesia menjadi semakin baik yang semakin dapat menghadapi globalisasi dengan mutu pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang andal dan berkarakter nasional. Betapa banyaknya tantangan dan tugas yang harus kita tanggapi dan responi bersama pada saat ini, terutama tantangan di bidang pendidikan yang semakin mutakhir dan semakin menuntut kualitas. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 109 PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU Profil Profil BPK PENABUR INDRAMAYU Sudarno*) Sejarah Singkat PK PENABUR Indramayu berdiri pada bulan Juni 1960. Jenjang sekolah yang dibuka waktu itu adalah TK, SD dan SMP. Persiapan yang dilakukan secara sederhana. Setelah tersedia fasilitas seadanya, dimulailah pendaftaran murid baru Tahun Pelajaran 1960 untuk jenjang TK, SD, dan SMP. Pembukaan secara resmi dilaksanakan pada hari Senin 1 Agustus 1960 dengan upacara sederhana. Pertama kali dimulainya kegiatan belajar mengajar dengan perolehan murid baru berdasarkan jenjang pendidikan adalah: B Tabel 1: Jumlah Siswa TK, SD, SMP Tahun 1960 Jenjang TK K SD SMP Kelas Jumlah Siswa - 20 1 9 2 6 3 5 4 5 5 8 6 5 1 25 *) Guru SDK BPK PENABUR Indramayu 110 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Karena keterbatasan ruang belajar mengajar, terpaksa murid TK digabung menjadi satu ruangan dengan murid kelas 1 SD, kelas 2 SD digabung dengan kelas 3 SD, kelas 4 SD digabung dengan kelas 5 SD, dan siswa kelas 6 SD di ruang konsistori GKI Indramayu pada waktu itu. Sedangkan kelas 1 SMP menempati sebuah gudang. Kepala Sekolah ketiga jenjang pendidikan tersebut adalah guru BPK PENABUR Cirebon. Mulai tahun 1961, TK, SD, dan SMP menempati gedung kelas HCZS. Sebelum dipergunakan untuk kegiatan sekolah, gedung HCZS dipakai untuk asrama tentara. Berkat usaha Pengurus BPK PENABUR, gedung tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan. Kesadaran akan kebersamaan di antara guru, orang tua murid, jemaat GKI Indramayu dan semua elemen di lingkungan BPK PENABUR muncul bersama-sama dan bahu membahu bekerja kelas untuk kemajuan sekolah BPK PENABUR Indramayu. Sejalan dengan berjalannya waktu perubahan pun mulai nampak, gedung dan fasilitas sekolah semakin lengkap, prestasi mulai diraih oleh siswa-siswi BPK PENABUR Indramayu. Pada tanggal 2 Mei 1992, mulai dibangun sebuah gedung berlantai dua untuk kepentingan TK dan SMP. Lantai pertama untuk TK dan lantai kedua untuk SMP. Pada tahun 1996 dibangun sebuah gedung lagi untuk SMA, tetapi dikarenakan pertimbangan biaya operasional yang terlalu besar maka pendiriannya dibatalkan. Saat ini gedung yang direncanakan untuk SMA tersebut digunakan untuk kegiatan belajar mengajar SMP. PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU 127 140 120 117 116 100 67 80 60 40 63 66 45 30 2005/2006 2006/2007 2008/2009 31 20 0 TK SD SMP Gambar: Perkembangan Siswa Tahun 2005-2009 Data perkembangan jumlah siswa di atas memperlihatkan kecenderungan naik turun, dan terlihat juga bahwa jumlah siswa secara keseluruhan memang minim. Penyebab sulit berkembang jumlah siswa di BPK PENABUR Indramayu adalah faktor-faktor berikut. a. Agama, mayoritas penduduk di Kabupaten Indramayu beragama Islam. b. Biaya, ada anggapan bahwa sekolah BPK PENABUR sekolah mahal. c. Sekolah negeri melalui program bantuan baik dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat seperti misalnya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan), saat ini banyak yang membebaskan segala biaya sekolah untuk siswanya. d. Sekolah unggulan, banyak bermunculan baik SD maupun SMP yang didirikan oleh pemerintah daerah setempat. Namun demikian, baik pengurus, guru dan karyawan tidak menjadi patah semangat, dan terus berusaha keras mencari jalan keluar agar tetap dapat bertahan menghadapi setiap permasalahan. Adapun langkah-langkah nyata yang telah diupayakan antara lain ialah sebagai berikut. 1. Di tingkat Pengurus BPK PENABUR Indramayu. a. Memperbaiki citra sekolah. b. Menyelenggarakan pembinaan bagi guru dan karyawan untuk meningkatkan etos kerja dan kompetisi kerja. c. Memperbaiki dan melengkapi sarana prasarana. 2. Di tingkat sekolah. a. Mengikuti perlombaan baik di bidang akademik maupun non akademik. b. Berprestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. c. Usaha penjaringan siswa melalui try out untuk masuk SMP. d. Mengadakan lomba tingkat TK se Kecamatan Indramayu untuk menjaring siswa SD. e. Mengadakan lomba membaca dan berhitung (calistung) tingkat SD se Kecamatan Indramayu. f. Mengadakan lomba pentas seni se Kecamatan Indramayu. g. Pencarian siswa baru dari rumah ke rumah di wilayah Kabupaten Indramayu dan di luar Kabupaten Indramayu. h. Tiap tahun mengadakan study tour. i. Menambah jam pelajaran. 3. Sarana Penunjang Kegiatan Belajar Mengajar. Melengkapi sarana pendidikan: a. Laboratorium Komputer. b. Laboratorium IPA c. Ruang Multimedia d. Ruang UKS e. Ruang Perpustakaan f. Lapangan Olah Raga. g. Kelengkapan Alat Elektronik (Televisi, LCD Projector, Laptop, Handycam, DVD, dll). Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 111 PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU Dengan usaha keras sekolah dan didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia, baik TK, SD, maupun SMP BPK PENABUR Indramayu dapat meraih berbagai prestasi di tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi sebagimana terlibat dalam tabel berikut. Tebel 2: Prestasi Jenjang TK Tahun 2006-2008 Jenis Lomba Jenis Lomba Tingkat Juara Festival Musik Propinsi II Membaca, Menulis dan Berhitung. Kabupaten I Siswa Berprestasi Kabupaten II Renang Gaya Bebas Putra Kabupaten I Renang Gaya Bebas Putri Kabupaten I Tingkat Juara Menyanyi Kecamatan I Membaca Syair Kecamatan I Renang Gaya Kupu-kupu 100 m Kabupaten I Mewarnai Kecamatan II Renang Estafet Gaya Bebas Kabupaten I Mewarnai Kecamatan II Mewarnai Kabupaten I Paduan Suara Kecamatan II Paduan Suara Kecamatan Paduan Suara Kecamatan II Seni Lukis Kecamatan II Menyanyi Kecamatan III Teknologi Sederhana Kecamatan III Mewarnai Kabupaten II Membaca Cepat Kecamatan I Melukis Kabupaten II Lomba Calistung Kecamatan II Mewarnai Kecamatan I Siswa Berprestasi Kabupaten II Mewarnai Kecamatan I MIPA Kabupaten I Komputer Kabupaten I Festival Musik Kabupaten I Lomba Cerdas Cermat Kabupaten I Karate Kabupaten I Tabel 4 : Prestasi Jenjang SMP Tahun 2006-2008 Jenis Lomba 112 Tabel 3: Prestasi Jenjang SD Tahun 2006-2008 Tingkat Juara V ocal Group Kabupaten II Menyanyi Solo Kecamatan I Seni Musik. Kabupaten II Calistung Kecamatan I Seni Musik Kecamatan II Komputer Kecamatan II Tenis Meja Kabupaten II Musik Pianika Kecamatan I Mengarang Kabupaten II MIPA Kecamatan I Membaca Puisi Putri Kabupaten III Lomba Cerdas Cermat Kecamatan II Basket Putri Kabupaten II Lomba Perpustakaan Kabupaten I Basket Putra Kabupaten II Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Kabupaten III Matematika Pasiad IV Propinsi IV Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 PROFIL BPK PENABUR INDRAMAYU Dinamika kepemimpinan di sekolah terlihat dari pergantian kepala sekolah dan ketua yayasan yang tentunya diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap kemujuan pendidikan di masing-masing sekolah. Kepala-Kepala Sekolah yang memimpin TK, SD, dan SMP serta Ketua Yayasan mulai tahun 1960 sampai sekarang terlihat pada tabel berikut. Tabel 5: Kepala Sekolah Tahun 1960-sekarang Jenjang TK K SDK SMPK Nama Masa Jabatan Farida S 1 9 6 0 - 1 9 88 Tinawati I. Wijaya 1988 - Sekarang Sutisna Parikesit 1960 - 1961 Suwahyo T.D 1962 - 1968 Lina Kristiani 1969 - 1995 Subani HS 1996 - 2005 E. Suparjo 2005 - Sekarang Hargosoemitro 1960 - 1997 Eko Takariyanto 1997 - 2005 Hariman Hanugraha 2005 - Sekarang Penutup Sungguhpun BPK PENABUR Indramayu mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, berbagai upaya masih perlu dilakukan dimasa yang akan datang. Langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut. a. Meningkatkan penerimaan melalui kenaikan SPP. b. Meningkatkan kuantitas siswa baru. c. Penyegaran bagi guru dan karyawan melalui pembinaan dan evaluasi kerja. d. Mengagendakan pertemuan antara guru dan pengurus secara rutin. e. Membenahi citra sekolah. f. Menjalin kerjasama dengan orang tua murid untuk peningkatan sekolah. Dalam era kompetisi mutu pendidikan dan pelayanan dewasa ini, BPK PENABUR Indramayu dituntut berjuang tiada henti dengan tetap memberdayakan nilai-nilai Kristiani yang dianutnya. Kerja keras dan berbagai inovasi serta terobosan perlu ditempuh agar tetap bisa berkembang, bersaing, berkolaborasi dengan pihak-pihak lain tanpa kehilangan indentitas diri sebagai lembaga pendidikan Kristen yang unggul. Tabel 6: Ketua Yayasan Tahun 1960-sekarang Nama Masa Jabatan Y ap T e k K i n 1960 - 196 3 Odang Tjasmita 1963 - 196 6 Tanudi 1966 - 197 0 Odang Tjasmita 1970 - 197 7 Rahman S 1977 - 198 2 Heliana S 1982 - 198 6 Harmen Mundung 1986 - 199 6 Suharlin Suyanto 1996 - 200 6 Prajitno 2006- Sekarang Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 113 Keterangan Mengenai Penulis BP. Sitepu, Prof. Dr., M.A., lahir di Berastepu, Sumatra Utara, Juni 1948. Menyelesaikan pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1975), Jurusan Pengajaran Bahasa Inggris, S2 bidang perencanaan pendidikan di Macquarie University, Sydney, Australia, (1979) dan S3 di bidang Teknologi Pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1994). Sebelum menjadi tenaga pengajar tetap di Universitas Negeri Jakarta dengan jabatan Lektor Kepala (2001), bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional, (1976-2001). Pada tahun 2007 diangkat sebagai Guru Besar Tetap Universitas Negeri Jakarta di bidang pengembangan sumber belajar. David Wijaya, lahir di Jakarta, Oktober 1984. Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di FE UKRIDA Jakarta dengan konsentrasi Manajemen Keuangan tahun 2006 sebagai lulusan terbaik. Sambil menyelesaikan S1, menjadi asisten laboratorium di FE UKRIDA Jakarta (2006–2007). Sejak tahun 2007 sampai sekarang menjadi dosen di FE UKRIDA Jakarta. Selain itu, pernah menjadi Koordinator Laboratorium Manajemen Keuangan Lanjutan di FE UKRIDA Jakarta (2007). Di samping memiliki pengalaman sebagai staf pengajar di FE UKRIDA Jakarta, sampai saat ini masih aktif menulis karya ilmiah serta Modul Laboratorium Manajemen di FE UKRIDA Jakarta. Dinah Tanumihardja, lahir di Tuban, April 1954. Menyelesaikan pendidikan S1 Bahasa Inggris dari IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) dan S2 Teknologi Pendidikan dari Univeritas Pelita Harapan Jakarta. Pengalaman kerja, tahun 1976 – 1985, Kepala Lab. Bahasa Inggris BPK PENABUR Jakarta, tahun 1988 – 1992, Guru di SMEA BPK PENABUR Jakarta, tahun 1993 – 2004, Kepala SMEA BPK PENABUR Jakarta dan sejak tahun 2004 - sekarang sebagai Kepala Bagian Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta Edwita, Dra., M.Pd., lahir di Bukittinggi, Juni 1957. Saat ini menjabat sebagai sekretaris Koordinator MKDK Universitas Negeri Jakarta. Gusti Yarmi, Dra., M.Pd., lahir di Padang, Agustus 1967. Saat ini sebagai dosen Universitas Negeri Jakarta. Handy Susanto, S.Psi., lahir di Tasikmalaya, Februari 1981. Lulusan S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, tahun 2003. Tahun 2002– 2003 menjadi Asisten Dosen Fakultas Psikologi, dan tahun 2003– 2004 menjadi dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha. Tahun 2003–2004, Guru Bimbingan Konseling SMA 1 BPK PENABUR Bandung. Tahun 2004–2006 di SMP BPK PENABUR Tasikmalaya, sebagai Guru Bimbingan Konseling. Hastin S. M., S. Pd., lahir di Demak, Pebruari 1971, menyelesaikan program S1 Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Kristen Indonesia (2000). Mengajar di SMPK Vianney, Cengkareng 1995-2000. Guru Bahasa Inggris di SMP 1 BPK PENABUR Jakarta 2000-sekarang. Pembina 114 Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 Keterangan Mengenai Penulis Ekskur English Club dan English Competition tingkat DKI. Melatih Elizabeth Mailoa memenangkan Speech Contest juara 2 tingkat Kecamatan dan Kodya pada 2007. Merupakan nominator lomba penulisan artikel guru tingkat SMPK dalam rangka “Tahun Ilmiah BPK PENABUR Jakarta 2002-2003. Kristina Untari Setiawan, lahir di Semarang, Desember 1964. Menyelesaikan pendidikan di Universitas Kristen Indonesia jurusan Sastra Inggris (1988). Tahun 1989-1990 mengikuti International Visitor Exchange Program (IVEP), sebagai asisten guru di Kraybill Mennonite School selama 1 tahun di Pennsylvania-USA, bekerja di School for International Training (SIT) selama 3 tahun. Dan sejak 1993 - sekarang, bergabung dengan International Training Center (INTRACT) Muksin Wijaya, M.Pd., M.M., lahir di Bandung, Juli 1971. Menyelesaikan Program Magister Manajemen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung dengan konsentrasi Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Program Magister Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia dengan Program Studi Pengembangan Kurikulum Konsentrasi Teknologi Pendidikan. Sejak tahun 1994 menekuni dunia pendidikan sebagai guru di beberapa SMP dan SMA swasta Kristen dan Katolik. Menulis buku komputer yang diterbitkan oleh Gramedia–Elexmedia dan Penerbit ANDI Yogyakarta. Saat ini selain dosen luar biasa di Sekolah Tinggi Informatika dan Manajemen di Bandung, juga sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK PENABUR Bandung. Alamat e-mail: [email protected] Rommel K. Sitanggang, S. S. lahir di Medan, Sumatra Utara, Nopember 1980. Menyelesaikan program S1 Sastra Inggris jurusan bahasa Inggris di Universitas Kristen Indonesia (2004). Menjadi tenaga pengajar bahasa Inggris SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta pada tahun 2007 sampai sekarang dan dosen bahasa Inggris Bina Sarana Informatika (BSI) pada tahun 2007-sekarang. Roswati, Dra., M.Pd., lahir di Bukittinggi, Juni 1956. Sejak tahun 1990-sekarang sebagai dosen PGSD Universitas Negeri Jakarta. Soedijarto, Prof., Dr. MA., lahir di Desa Pagergunung, Pemalang, Juli 1938. Ketua Umum ISPI, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Anggota DRN, Ketua CINAPS, Ketua Basnas, dan Penasehat PB PGRI Pendidikan Nasional. Sudarno, lahir di Sragen, Mei 1963. Mengajar di SDK BPK PENABUR Indramayu sejak 1 Agustus 1982- sekarang. Tamat SPGK Surakarta Jurusan SD spesialisasi IPA/Matematika (1982). Menyelesaikan D2 PGSD UT (2002) dan saat ini sebagai mahasiswa semester X Universitas Terbuka. Theresia K. Brahim, Prof. lahir di Jakarta, September 1952. Memperoleh gelar Doktor Dr., Pendidikan dari IKIP Jakarta tahun 1992. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Litbang BPK PENABUR Jakarta, Sekretaris Umum MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen), Kepala Litbang Sinode GKI Wilayah Jabar. Saat ini bertugas sebagai guru besar di PGSD dan Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta serta beberapa universitas swasta di Jakarta. Jurnal Pendidikan Penabur - No.11/Tahun ke-7/Desember 2008 115