BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Tesis ini

advertisement
19 BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang
Tesis ini mengkaji tentang tata kelola pertunjukan musik
keroncong di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).1 Pengambilan topik
ini didasarkan pada tiga (3) alasan pokok. Pertama, belum ada
satu pun penelitian sejenis yang secara khusus menguraikan
pengelolaan pertunjukan musik keroncong khususnya di TBY.
Oleh karena itu, Kajian ini sama sekali merupakan bahasan baru
dan rintisan awal untuk menelaah lebih dalam mengenai tata
kelola musik keroncong.
Dua
hal bahasan di dalam
tesis ini
adalah konsep
pengelolaan dan musik keroncong. Pengelolaan merujuk pada
sebuah proses melakukan kegiatan tertentu. Ada seperangat
aktivitas kolektif di dalamnya yang secara diakronis maupun
sinkronis membentuk struktur-struktur. Dalam hal ini, subjeknya
adalah
negara
berwujud
instansi
TBY,
sedangkan
musik
keroncong dipahami sebagai dua entitas berbeda. Keroncong
adalah salah satu jenis musik Nusantara akibat persinggungannya
dengan kebudayaan asing, sedangkan musik memiliki arti yang
lebih universal tidak hanya mencakup keroncong sebagai satu
genre, tetapi masih ada varian-varian lainnya. Keduanya, baik
1 Penggunaan singkatan “TBY” untuk menyebut “Taman Budaya
Yogyakarta”. 20 konsep pengelolaan dan musik keroncong terlihat paradoks.
Pengelolaan melulu berbicara hal-hal teknis, birokratis sedangkan
musik di dalam keilmuan seni pada hakikatnya adalah kajian ilmu
humaniora yang elaboratif.
Beberapa
penelitian
sejenis
yang
menjadi
bahan
perbandingan tesis ini memiliki perbedaan lokasi dan fokus
penelitian.2 Persoalan yang diangkat beserta pembahasannya
menunjukan sifat teknis dan cenderung birokratis. Upayanya
hanya sampai pada tahap memberi gambaran aspek fungsional
pengelolaan
sebuah
sistem.
Akibatnya,
argumentasi
yang
dibangun akan berhenti pada deskripsi struktur. Padahal, jika
diurai lagi, kajian mengenai konsep pengelolaan tidak hanya
berbicara pada tataran teknis, tetapi juga berkaitan dengan pola
kerja, ide, relasi sosial, dan faktor psikologis. Hal tersebut diberi
nama “rasa lain” dari konteks pengelolaan yang tidak akan
mampu
di
jangkau
jika
hanya
mengandalkan
beberapa
pendekatan yang sudah disebutkan di atas.
Kedua, salah satu variabel tesis ini yakni musik keroncong
yang kurang diperhatikan di dalam seni pertunjukan. Dunia seni
musik lebih didominasi oleh musik Indonesia jenis lain seperti
pop, melayu, dangdut, lagu-lagu nasional, dan lain-lain. Walaupun
begitu, keberadaan musik keroncong secara nasional telah diakui
2 Perbedaan antara tesis ini dan penelitian lain sejenisnya akan
dibahas secara detail di bab I sub bab kajian pustaka. 21 sebagai salah satu dari khasanah musik Indonesia. Menurut
Victor Ganap, komponis Amir Pasaribu dalam analisisnya tentang
musik Indonesia, juga memasukkan keroncong dalam klasifikasi
‘Musik Indonesia’ selain stambul, gambang, gambus, joget, dan
langgam. Demikian pula Radio Republik Indonesia (RRI) ketika
menggelar acara Pemilihan Bintang Radio (PBR) untuk pertama
kalinya pada tahun 1951 sebagai barometer perkembangan musik
Indonesia, telah menetapkan musik keroncong sebagai jenis musik
yang mandiri dan memenuhi syarat secara kelembagaan untuk
turut serta dilombakan. Musik keroncong bahkan telah memiliki
para pendukung dan penggemarnya yang tersebar di seluruh
Nusantara yang menandakan bahwa musik keroncong telah
diterima dan menjadi milik bangsa Indonesia. Secara musikologis
keroncong termasuk dalam jenis musik tradisi populer karena
merupakan sebuah tradisi yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat perkotaan.3
Secara spesifik, musik keroncong merupakan salah satu
musik tradisional yang hidup dan berkembang di Daerah Istimewa
Yogyakarta.4
Seni
pertunjukan
tradisional
yang
hidup
dan
3 Victor Ganap, 2011, Krontjong Toegoe¸ Cet ke-1, (Yogyakarta :
Institut Seni Yogyakarta), 6. 4 Sumaryono, 2012, Ragam Seni Pertunjukan Tradisional di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Cet ke-1, (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta.
V.
22 berkembang di DIY dapat dikategorikan menjadi empat bagian.5
Secara akademik, seni pertunjukan musik dibagi menjadi dua
bagian, yaitu (1) musik diatonis, (2) musik daerah non diatonis.
Musik diatonis terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu musik daerah
diatonis, musik Indonesia, dan musik Barat, contoh musik
Indonesia ialah lagu-lagu nasional, keroncong, melayu, pop, dan
lain-lain, sedangkan musik Barat ialah musik barok, musik klasik,
musik romantik, musik romantik, musik pop, dan lain-lain. Musik
daerah non diatonis terbagi menjadi dua bentuk, yaitu musik
gamelan dan musik non gamelan.6
Taman Budaya Yogyakarta merupakan miniatur apresiasi
seni masyarakat yang melembaga. Di TBY, seni musik khususnya
ditampilkan sebagai fenomena musik yang unik. Di tengah arus
globalisasi, musik Indonesia ini tetap lestari, yang digelar dalam
pergelaran-pergelaran
musik.
Pergelarannya
menghadirkan
kekhasan lokal sehingga musik keroncong itu tidak hanya melekat
dalam memori kolektif masyarakat, tetapi juga teraktualisasi
melalui tata kelakuannya sehari-hari. Terlalu naif bila kemudian
5 Sumaryono, 2012, 21. kategori seni pertunjukan tradisional,
diantaranya adalah sebagai berikut : (1) seni-seni pertunjukan
tradisional bercorak klasik dan kerakyatan, (2) seni-seni pertunjukan
tradisional yang masih mempertahankan bentuk asli, dan model
pelestarian yang konvensional sebagaimana dalam tradisi lisan, (3) seniseni pertunjukan tradisional yang telah mengalami penggarapan
sehingga menjadi seni-seni pertunjukan tradisional kreasi baru, (4) seniseni pertunjukan tradisional yang telah diasimilasikan dengan unsurunsur seni dari luar, baik pengaruh seni Barat maupun seni-seni tradisi
luar Yogyakarta sehingga memunculkan genre seni pertunjukan baru. 6 Soedarsono, 1993, Diagram Seni Rekaan. 23 musik Indonesia di Taman Budaya Yogyakarta tidak dikemas
dalam praktiknya yang menarik dan mengesampingkan peran
pengelolaan yang terstruktur, terukur, dan tepat guna sebagai
bagian dari strategi marketing kepada khalayak umum.
Ketiga, alasan lain dilakukannya penelitian ini ialah alasan
geografis dan ideologis Taman Budaya Yogyakarta dalam bentuk
visi
dan
misi,
serta
aktualisasi
berkesenian
pada
periode
sejarahnya. Secara geografis, Taman Budaya Yogyakarta berada di
kawasan yang strategis, yakni di kilometer nol Yogyakarta,
berbatasan dengan area cagar budaya Benteng Vredeburg di
sebelah
barat.
Di
sebelah utara
Kompleks
Taman
Budaya
Yogyakarta adalah Jalan Pabringan, yang memisahkannya dengan
Pasar Beringharjo. Taman Budaya berbatasan dengan jalan
Sriwedani di sebelah timur, dan Jalan Panembahan Senopati di
sebelah selatan. Letak Taman Budaya Yogyakarta yang berada di
pusat kota Yogyakarta ini menjamin kemudahan akses publik.
Berikut peta letak Taman Budaya Yogyakarta.7
7 http://www.google.co.id. 21 Juli 2014. 24
Gambar I
G
L
Lokasi
TBY
Y
(Sumber : www.googgle.co.id)
Peng
gelolaan T
Taman Bu
udaya Yog
gyakarta ttidak terle
epas dari
s
sejarahnya
a
dan
k
kebijakan
Direktorrat
Jende
eral
Kebu
udayaan,
D
Departeme
en Pendid
dikan dan Kebudaya
aan Repub
blik Indone
esia pada
k
kurun 19
970-an. Konsep
K
Ta
aman Bud
daya digag
gas oleh Direktur
J
Jenderal Kebudaya
aan pada masa itu,, yaitu Prrof. Dr. Id
da Bagus
M
Mantra. Pada
P
tah
hun 1978
8, dengan
n masuka
an dari kalangan
k
s
seniman dan
d
cende
ekiawan, berdasarka
b
an Surat K
Keputusan
n Menteri
P
Pendidika
an dan Ke
ebudayaan
n berdirila
ah pusat-p
pusat keb
budayaan
y
yang disebut Tama
an Budaya
a di bebe
erapa prov
vinsi di In
ndonesia,
ttermasuk Provinsi Daerah
D
Istimewa Yo
ogyakarta.. Ketika ittu secara
k
kelembaga
aan Tama
an Budaya
a merupakan Unit Pelaksana Teknis
b
bidang ke
ebudayaan
n, yang bertanggun
b
ng jawab langsung
g kepada
25 Direktur Jenderal Kebudayaan yang berkedudukan di Jakarta.
Tugas
Taman
Budaya
ialah
melaksanakan
pengembangan
kebudayaan daerah di provinsi.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1991, organisasi dan tata
kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat
Keputusan
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan
RI
No.
0221/O/1991. Perkembangan selanjutnya ialah Taman Budaya di
seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang otonomi
daerah. Melalui masa transisi tahun 2000-2001, Taman Budaya
Yogyakarta
masuk
dalam
struktur
Dinas
Kebudayaan
dan
Pariwisata. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2002
dan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
181/Tahun 2002 tanggal 4 November 2002, Taman Budaya
Yogyakarta resmi menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY. Kini fungsi yang
diemban
oleh
Taman
Budaya
Yogyakarta
ialah
pelaksana
operasional sebagai kewenangan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY
dalam hal pengembangan dan pengelolaan pusat dokumentasi,
etalase, dan informasi seni budaya dan pariwisata.8 Oleh karena
itu, dengan adanya perubahan organisasi dan tata kerja taman
8 http://www.thewindowofyogyakarta.com/profil.php. 15 Maret
2014. 26 Budaya yang signifikan maka rentang waktu yang diteliti adalah
pada tahun 2002 hingga 2013.
Visi Taman Budaya adalah terwujudnya Taman Budaya
Yogyakarta sebagai “The Window of Yogyakarta” serta menuju
pusat budaya terkemuka di tingkat nasional dan internasional.
Misi Taman Budaya Yogyakarta adalah memberikan ruang kreatif
bagi seniman dan budayawan untuk mempresentasikan karya
kreatif dan pemikiran mereka. Taman Budaya mempunyai misi
menjadi suatu pusat laboratorium pengembangan dan pengolahan
seni, dokumentasi, dan informasi seni budaya dan meningkatkan
kompetensi dan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi
seni budaya. Dengan melihat visi tersebut, terlihat bahwa Taman
Budaya ingin memosisikan diri sebagai sentral pemberdayaan
perilaku berkesenian masyarakat Yogyakarta. Lagi pula, kota ini
dikenal sebagai kota seni dan kota pelajar yang mempertemukan
berbagai manusia dari aneka suku, agama, golongan, dan
karakter.
Sejak tahun 1970-an Taman Budaya Yogyakarta telah
memiliki banyak kegiatan. Ruang lingkup kegiatan Taman Budaya
Yogyakarta
meliputi
pengembangan
dan
gelar
pengolahan
seni
seni
budaya,
budaya,
laboratorium
dokumentasi,
penerbitan dan informasi seni budaya, serta koleksi karya seni
rupa. Wujud kegiatan ini meliputi pementasan dan festival seni
Pertunjukan (performing arts) seperti pergelaran karya sastra,
27 pedalangan, musik dan karawitan, serta pameran dan pergelaran
seni rupa, yang mencakup seni lukis, seni patung (sculpture), seni
grafis, seni kriya, seni instalasi, seni multimedia, dan performance
art (seni rupa pergelaran). Beberapa contoh kegiatan pementasan
dan festival seni pertunjukan adalah Yogyakarta Dance Festival,
Festival
Sendratari,
Festival
Koreografi
Tunggal,
Pergelaran
Bedhoyo, Festival Topeng Nusantara, Festival Maestro, Festival
Wayang Wong, Pergelaran Karya Maestro, Festival Teater Musik
Panas, Festival Ketoprak, Dramatic Reading, Parade Penyair
Khatulistiwa, Musikalisasi Puisi, Pergelaran Pedalangan “Jumat
Pahingan”, dan Festival Gamelan Internasional.9
Taman
Budaya
memiliki
susunan
organisasi
dalam
melaksanakan tugas sebagai UPTD Dinas Kebudayaan DIY. Salah
satu tugas dan fungsi dalam mengelola pertunjukan diemban oleh
Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya. Adapun tugas
yang dilaksanakan oleh seksi tersebut ialah melaksanakan
pengkajian, pengolahan, eksperimentasi, dan
penyajian seni
budaya. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Taman Budaya
Yogyakarta menempuh
tahapan-tahapan dalam menjalankan
tugasnya, diantaranya adalah sebagai berikut.
(a) Penyusunan program kerja Seksi Penyajian dan Pengembangan
Seni Budaya.
(b) Pelaksanaan restorasi, rekonstruksi, dan revitalisasi karya seni.
9 Taman Budaya, 2008, The Window of Yogyakarta. 28 (c) Pelaksanaan pengkajian, pengolahan, eksperimentasi, dan
penyajian seni budaya.
(d) Pelaksanaan pelatihan pengembangan seni budaya.
(e) Pelaksanaan forum komunikasi seni budaya dan temu karya
seni.
(f) Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan Seksi
Penyajian dan Pengembangan Seni Budaya.
Tugas
yang
dilakukan
oleh
Seksi
Penyajian
dan
Pengembangan Seni Budaya ialah mengundang para seniman dan
budayawan Yogyakarta dengan tujuan mengumpulkan saransaran perihal kegiatan seni pertunjukan atau seni rupa yang akan
direncanakan untuk program satu tahun, baik dalam bentuk
program jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam agenda
kegiatan setiap tahun, Seksi Penyajian dan Pengembangan Seni
Budaya
melaksanakannya
maksimal
enam
bulan
sebelum
memasuki tahun baru berikutnya, kemudian menyusun Dokumen
Perencanaan
Anggaran
(DPA)
setiap
kegiatan
yang
telah
direncanakan dan disepakati bersama. Setelah tersusun rencana
kegiatan dan anggaran secara rinci oleh Seksi Penyajian dan
Pengembangan Seni Budaya, bersama bidang lainnya yang ada di
Taman Budaya Yogyakarta, dokumen perencanaan anggaran
tersebut
diserahkan
kepada
Dinas
Kebudayaan
Yogyakarta.
Setelah itu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
yang
fungsinya
mewakili
dan
mengatasnamakan
Gubernur
29 membahas kembali secara rinci proposal-proposal dan dokumen
perencanaan anggaran dari Taman Budaya Yogyakarta yang
terdapat di dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
Rencana
Kerja
Pembangunan
Daerah
(RKPD)
adalah
dokumen perencanaan pembangunan tahunan yang disusun
untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan serta merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam tahapan penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
RAPBD
merupakan
pedoman
penyusunan Kebijakan
Umum
Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
(PPAS). Dokumen ini memuat rancangan kerangka ekonomi
daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah
maupun
yang
ditempuh
dengan
mendorong
partisipasi
masyarakat.10
Apabila proposal dan DPA tersebut telah disetujui oleh
Bappeda, kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga memiliki hak untuk
menyeleksi
kegiatan
yang
direncanakan.
Hal
tersebut
juga
ditempuh tanpa mengabaikan saran dan aspirasi seniman,
budayawan, bahkan masyarakat bahwa kegiatan yang akan
10 http://bapeda.jogjaprov.go.id/assets/uploads/docs/Bab-IPENDAHULUAN.pdf. 21 April 2014. 30 dilakukan dibutuhkan atau tidak oleh masyarakat. Selain itu, DPR
juga merancang anggaran yang tersedia dalam APBD dan APBN
untuk kegiatan yang akan dilaksanakan di Taman Budaya
Yogyakarta. Penetapan yang dibuat oleh DPR sehingga terbentuk
rancangan kegiatan dalam dokumen asli disebut Dokumen
Perencanaan Anggaran (DPA).11
Taman Budaya Yogyakarta memiliki dua kebijakan dalam
melaksanakan kegiatan pertunjukan, yaitu kebijakan eksternal
dan
internal.
Kebijakan
eksternal
ditempuh
melalui
cara
komunitas seni yang mengadakan pertunjukan di Taman Budaya
tidak memiliki hubungan kerja sama dalam masa periode tertentu,
sedangkan kebijakan internal ditempuh melalui cara Taman
Budaya Yogyakarta dalam mengadakan pertunjukan di Taman
Budaya Yogyakarta telah bekerja sama dengan pihak lain untuk
mempertunjukkan karya komunitas seni.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian tentang Pengelolaan
Pertunjukan Musik Keroncong di Taman Budaya Yogyakarta
adalah sebagai berikut.
11 Wawancara dengan Kepala Seksi Penyajian dan Pengembangan
Seni Budaya Taman Budaya Yogyakarta, Drs. Anton Widodo, tanggal 14
September 2013 di Taman Budaya Yogyakarta. 31 1. Bagaimana relasi dan interrelasi sosial dalam pengelolaan
pertunjukan musik keroncong yang dilakukan oleh Taman Budaya
Yogyakarta.
2.
Bagaimana Taman Budaya Yogyakarta mengelola berbagai
ideologi dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong di
Taman Budaya Yogyakarta.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas,
tujuan
utama
mengeksplorasi
menjalankan
penelitian
peranan
tugas
ini
Taman
pokok
dan
pertunjukan musik. Selain itu,
adalah
menganalisis
Budaya
Yogyakarta
fungsi
sebagai
dan
dalam
pengelola
menghadirkan stimulasi yang
lebih humanistik mengenai pengelolaan musik keroncong yang
sifatnya mekanis-teknis. Hal ini mencakup relasi sosial dan ada
kalanya juga berkait dengan ideologi kelompok seniman di
dalamnya.
Adapun manfaat penelitian ini ialah sebagai berikut. (1)
Penelitian ini secara akademik menjamin dapat memperkaya
kajian seni pertunjukan dalam perspektif manajemen secara
kultural.
(2)
Penelitian
ini
dapat
menyumbangkan
gagasan
penelitian untuk lembaga-lembaga sejenis dengan Taman Budaya
Yogyakarta dalam merancang dan mengelola seni pertunjukan di
daerah masing-masing.
32 D. Tinjauan Pustaka
Dalam sub bab tinjauan pustaka, akan diuraikan beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan pengkaji
lain yang memiliki hubungan dan keterkaitan dengan penelitian
ini dan diuraikan literatur yang relevan dalam membangun
landasan
teori.
Sepanjang
pengamatan
peneliti,
topik
yang
mengkaji “Pengelolaan Pertunjukan Musik Keroncong Oleh Taman
Budaya Yogyakarta Tahun 2014” belum pernah ada. Akan tetapi,
ada beberapa penelitian mengenai pengelolaan atau manajemen
pertunjukan di tempat yang berbeda dengan masalah yang mirip
atau berbeda dengan topik penulis.
Adapun penelitian yang mirip dengan
ialah
tesis
“Manajemen
Muhammad
Seni
Jazuli
Pertunjukan
tahun
topik penelitian ini
1994
Wisata
dengan
Budaya
di
judul
Istana
Mangkunegaran Surakarta 1992 - 1993”.12 Ia menguraikan
manajemen
seni
pertunjukan
wisata
budaya
Istana
Mangkunegaran. Tesis ini memakai pendekatan historis untuk
mendeskripsikan
seni
Mangkunegaran.
Jazuli
ekonomi
dengan
bisnis
kebertahanan
seni
pertunjukan
berusaha
memadukan
pendekatan
budaya
budaya
Istana
sejarah
di
Istana
unsur
profit
dalam
Mangkunegaran.
balutan
Istana
Mangkunegaran merupakan simbol budaya sekaligus benteng
12 Muhammad Jazuli, 1994, “Manajemen Seni Pertunjukan Wisata
Budaya di Istana Mangkunegaran Surakarta1992 - 1993”, Tesis :
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana
UGM. 33 pertahanan atas kekuatan luar yang merusak, tetapi di lain pihak,
seni dan budaya yang diproduksi di dalam istana itu menjadi
sesuatu yang unik dan diperdagangkan dalam wujud wisata.
Dalam posisi demikian terilihat bahwa ada unsur negosiasi
terhadap Istana Mangkunegaran. Uang dalam tata kelola bisnis
menjadi faktor utama mengapa Istana Mangkunegaran melakukan
kompromi
terhadap
produksi
kebudayaan
untuk
menjadi
konsumsi publik.
Kehadiran
industri
pariwisata
akan
melahirkan
seni
pertunjukan wisata, yaitu pertunjukan yang dikemas untuk
dikonsumsi
wisatawan.
Dengan
demikian,
produk
seni
pertunjukan Istana Mangkunegaran yang dikonsumsikan untuk
wisatawan lebih didasari oleh suatu kebijakan yang cair, yaitu
sebagai upaya penyesuaian diri dengan konteksnya, baik fungsi
maupun zamannya. Istana Mangkunegaran mempunyai opini
bahwa warisan nilai budaya masa lampau merupakan pangkal
tolak untuk menuju budaya yang lebih baru. Tradisi bukanlah
warisan yang semata-mata harus dipertahankan, tetapi yang lebih
utama adalah dapat berfungsi sebagai semangat masa kini dan
masa depan. Pertunjukan yang dikemas sebagai segmen wisata itu
adalah pertunjukan tari. Pada awalnya K.G.P.A.A. Mangkunegaran
1
selain
sebagai
panglima
perang,
juga
seorang
seniman
karawitan. Pada masa pemerintahan beliau banyak tercipta
bentuk-bentuk
tari (wireng
dan langendriyan) dan
wayang.
34 Dewasa ini seni pertunjukan bukan hanya dipentaskan karena
merupakan hasil akulturasi, melainkan juga merupakan sintesis
dari lingkungan budaya lain.
Seni
pertunjukan
yang
berkembang
di
Istana
Mangkunegaran sampai dewasa ini adalah (1) wayang kulit purwa,
(2) karawitan, dan (3) tari. Menurut fungsinya seni pertunjukan di
Istana Mangkunegaran dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) sebagai
sarana, (2) sebagai sarana upacara, dan (3) sebagai tontonan.
Produksi seni pertunjukan tari untuk dikonsumsi pariwisata di
Mangkunegaran
tidak
terlepas
dari
tujuan
pengembangan
kebudayaan dan pariwisata secara luas. Potensi tari istana sebagai
seni pertunjukan tradisional dituntut untuk mendukung kiat
pemasaran
pariwisata.
Istana
Mangkunegaran
yang
semula
bersifat sakral sebagai pusat spiritual mengalami profanisasi
dalam periode belakangan ini. Penelitian Jazuli tersebut terfokus
hanya pada tataran pengelolaan yang mekanis-hierarkis sehingga
hasil penelitian itu tampak kaku dan birokratis. Selain itu, Jazuli
lebih banyak menjelaskan Istana Mangkunegaran dalam aspek
pariwisata daripada seni pertunjukan tari.
Mirip dengan penelitian Jazuli, Cahyani Tunggal Sari pada
tahun 2009 membahas “Manajemen Bisnis dan Manajemen
Pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan Yogyakarta Tahun
35 2005 - 2008”.13 Penelitian ini berisi tentang pengelolaan kelompok
seni pertunjukan yang menggunakan konsep bisnis Sendratari
Ramayana Prambanan, yang meliputi empat fungsi manajemen.
Adapun empat fungsi tersebut antara lain adalah, keuangan,
pemasaran, sumber daya manusia, dan produksi. Di samping itu,
penelitian Cahyani menjelaskan manajemen operasional Kantor
Unit Teater dan Pentas sebagai pengelola sendratari Ramayana
Prambanan.
Tesis Cahyani tersebut sama dengan tesis Jazuli yang
membatasi
periode
waktu,
kontestasi
berupa
fungsi
dari
kesejarahan, tetapi objek kajiannya berbeda. Penelitian Cahyani
berfokus
pada
kajian
bisnis
dalam
pementasan
sendratari
Ramayana. Kisah-kisah pertunjukan pewayangan Jawa hasil
modifikasi
kebudayaan
impor
pada
masa
kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha tersebut menjadi obat kerinduan bagi sebagian
orang untuk bernostalgia pada masa lalu dan supaya masyarakat
tidak mengalami sindrom amnesia masa lalu. Tesis Cahyani
menjelaskan proses pertunjukan Ramayana dalam perspektif
bisnis sehingga analisisnya kuantitatif. Dengan demikian, aspek
kultural dari pertunjukan Ramayana tidak diteliti.
Penelitian dilakukan oleh Rachel Mediana Untung pada
tahun 2010 berjudul “Pengelolaan Pertunjukan Musik Pusat
13
Cahyani Tunggal Sari, 2009, “Manajemen Bisnis dan
Manajemen Pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan Yogyakarta
Tahun 2005 - 2008”, Tesis : Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM. 36 Kebudayaan Belanda Erasmus Huis Di Indonesia”.14 Penelitian ini
berisi tentang pengelolaan dan manajemen produksi pertunjukan
musik
Erasmus
Huis
di
Indonesia.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan tidak terakomodasinya kontestasi antara yang
terjajah dan penjajah. Kebudayaan terjajah dan penjajah itu
sangat
dekat
sehingga
bisa
dikaji
secara
teoretis
dengan
mendalam. Mirip dengan penelitian-penelitian sebelumnya, Rachel
masih terjebak di dalam hasil penelitian yang mekanis.
Selain itu, salah satu penelitian yang mendekati dengan
penelitian
ini
tentang
musik
keroncong
adalah
penelitian
Desrilland pada tahun 2001, dengan judul Kroncong Musik Khas
Indonesia.15 Tesis ini menitikberatkan kepada permasalahan lagulagu
keroncong,
kekhasan
apa
yang
dimiliki
oleh
musik
keroncong, dan teknik bermain musik keroncong. Kemudian,
penelitian Desrilland menjelaskan juga tentang irama keroncong.
Irama kroncong adalah jenis irama musik berupa permainan
monoritmik
dari
beberapa
alat,
yang
dijalin
kendangan
improvisatif, dengan vokal yang sifatnya fleksibel dan diwarnai
teknik glissando.16
14 Rachel Mediana Untung, 2010, “Pengelolaan Pertunjukan Musik
Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis Di Indonesia”, Tesis :
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana
UGM. 15 Desrilland, 2001, “Kroncong Musik Khas Indonesia”, Tesis :
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana
UGM. 16
M. Soeharto. kamus musik. (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia). 1992. 67. 37 Adapun buku-buku yang menjadi acuan penelitian ini ialah
Manajemen yang ditulis oleh T. Hani Handoko,17 Pengantar
Manajemen yang ditulis oleh Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan
Saefullah,18 Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan yang ditulis
oleh Achsan Permas dan diterbitkan oleh Penerbit PPM Jakarta,
bahwa sebuah organisasi seni bisa menjalankan fungsinya sesuai
dengan
prinsip
manajemen.
Buku
ini
menjelaskan
kondisi
manajemen organisasi seni pertunjukan di Indonesia dan dasardasar manajemen yang bisa diterapkan bagi organisasi seni
pertunjukan di Indonesia. Buku lain ialah Manajemen Dasar,
Pengertian dan Masalah yang ditulis oleh Malayu S.P Hasibuan,
dan
editor
Estu
Rahayu,
terbitan
Bumi
Aksara
Jakarta
mengemukakan unsur-unsur manajemen.
Penelitian ini juga mengacu buku tulisan Stephen Langley
yang mengemukakan teori dan analisis pengelolaan seni dan berisi
tentang
hal-hal
mendasar
dalam
memproduksi
kegiatan
pertunjukan bagi sebuah organisasi pertunjukan. Buku itu
berjudul Theater Management in America: Principle and Practise,
Producing for the Commercial, Stock, Resident, College
and
Community Theater. Buku ini berisi uraian tentang pengelolaan
seni, khususnya pertunjukan seni, cara mendapatkan ide, dan
17 T. Hani Handoko, 1984, Manajemen, (Yogyakarta : BPFEYogyakarta). 18 Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, 2006, Pengantar
Manajemen, (Jakarta : Kencana). 38 mengelola
ide
itu
menjadi
sebuah
produksi.19
Selain
itu,
pengelolaannya secara bisnis juga dipaparkan dengan mengingat
perlu dipertimbangkan dan dimonitornya biaya. Salah satu
ukuran
kesuksesan
banyaknya
suatu
pertunjukan
penonton. Dengan demikian,
ialah
dilihat
dari
publikasi, promosi,
hubungan dengan media massa, dan hubungan dengan penonton
harus lebih luas.
Konsep pengelolaan atas sebuah pertunjukan tidak harus
dipahami sebagai sesuatu yang mekanis dan birokratis. Jika
demikian, ada kecenderungan mengalami kekakuan akut pada
narasi yang ditawarkan dan kebosanan pembaca untuk menyimak
dan menyingkap lebih dalam ketika menganalisis tulisan tentang
pengelolaan
pertuunjukan.
Jika
kebanyakan
tulisan
yang
menganalisis aspek pengelolaan masih dimaknai secara mekanis
dan
bahkan
birokratis,
maka
tulisan
ini
menawarkan
kemungkinan-kemungkinan lain yang termaktub di dalam konsep
pengelolaan pertunjukan ialah ideologi, relasi, psikologi sebab
pengelolaan dilakukan oleh manusia itu sendiri sehingga tulisan
ini diarahkan untuk memberikan warna humanistis terhadap
kekakuan konsep pengelolaan.
19 Stephen Langley, 1974, Theater Management in America :
Principle and Practise, Producing for the Commercial, Stock, Resident,
College and Community Theater, New York : Drama Book Specialists
(Publishers). 39 E. Landasan Teori
Dalam
mengungkapkan
fakta-fakta
“Pengelolaan
Pertunjukan Musik Keroncong Oleh Taman Budaya Yogyakarta
Tahun 2014” peneliti menggunakan pendekatan multidisiplin.
Beberapa pendekatan yang dipakai diantaranya ialah pendekatan
historis, pendekatan sosiologis, dan ilmu manajemen. Pendekatan
historis
merupakan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menjelaskan sejarah Taman Budaya Yogyakarta. Pendekatan
sosiologis
merupakan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menjelaskan perubahan sosial dalam menikmati pertunjukan
musik yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta, termasuk
perubahan
kegiatan
pertunjukan
pada
setiap
pengelolaan
pertunjukan. Pendekatan ilmu manajemen digunakan untuk
mendeskripsikan
tata
kelola
seni,
khususnya
yang
lebih
berorientasi pada sistem pengelolaan.
Selo
Sumardjan
berpendapat
bahwa
perkembangan
kesenian pada umumnya mengikuti proses perubahan yang terjadi
dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai salah satu unsur
dalam kebudayaan, kesenian dapat mengalami hidup statis, yang
meliputi warna seni pertunjukan musik Indonesia. Sebaliknya,
kesenian
akan
selalu
berubah
dan
berkembang
bila
kebudayaannya juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan
40 dan
inovasi.20
Begitu
pula,
industri
kepariwisataan
akan
melahirkan seni pertunjukan wisata, yaitu pertunjukan yang
sengaja
dikemas
untuk
disajikan
kepada
wisatawan.
Seni
pengemasan merupakan fenomena baru yang formatnya akan
menyesuaikan dengan kondisi wisatawan. Ciri seni pertunjukan
wisata diantaranya ialah 1) tiruan dari tradisi yang telah ada; 2)
disajikan secara singkat dan padat; 3) penuh variasi dan menarik
menurut asumsi selera wisatawan; 4) mengesampingkan nilai-nilai
sakral,
magis,
serta
simbolisnya;
dan
5)
dihitung
biaya
penyajiannya sehingga harga jualnya terjangkau oleh daya beli
wisatawan.21
David
Inglis
berpendapat
bahwa
hal
yang
menjadi
pertanyaan dalam sosiologi seni ialah dengan cara seperti apakah
hubungan sosial dan kelembagaan bisa mengimplikasi terhadap
sebuah kreasi, distribusi, dan apresiasi karya seni. Berdasarkan
hal tersebut, ada tiga hal yang dijadikan sorotan dalam sosiologi
seni,
yaitu
(1)
kreasi
(cultural
production),
(2)
distribusi
(distribution), dan (3) apresiasi (consumption). Adapun penjelasan
dari sorotan dalam sosiologi seni adalah sebagai berikut. Pertama,
kreasi
(cultural
production)
merupakan
bagian
dari
yang
menjadikan sebuah karya itu ada melalui apresiasi pencipta,
20 Selo Sumardjan, “Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan”
dalam Analisis Kebudayaan Tahun 1 No.2. (1980/1981), 21. 21 Soedarsono, 1999, “Pariwisata Dunia Mengembangkan atau
Menghancurkan Budaya” dalam Seni Pertunjukan dan Pariwisata,
(Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta), 128. 41 misalnya artis baik sebagai komponis maupun penyanyi yang
mengkreasikan karya seni dengan ragam kesenimannya. Kedua,
proses distribusi menjadi produk kesenian yang dapat dicapai
publik dalam pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya
Yogyakarta. Aktor terpenting dalam distribusi ialah pengelola seni
pertunjukan, seperti manajer artis dan pengelola gedung kesenian.
Ketiga, apresiasi (consumption) merupakan bentuk publik dalam
mengapresiasi bentuk kesenian yang muncul. Tahap apresiasi
dilakukan oleh penonton dan peserta kegiatan pendidikan seni.22
James R. Brandon berpendapat drama, musik, dan tari
adalah tiga elemen seni pertunjukan. Produksi adalah yang
keempat. Satu-satunya pola artistik yang paling tersebar meluas
dari seni pertunjukan Asia Tenggara adalah pola produksi. Dalam
dua sistem produksi utama yang dipergunakan di Barat, yaitu
repertoar dan sistem produser, lakon adalah unit dari produksi.
Dalam sistem produser, yaitu sistem yang kita punyai di
Broadwaay, seniman-seniman pertunjukan dikumpulkan bersama
untuk memproduksi sebuah lakon, setelah lakon itu selesai grup
itu bubar, mungkin tidak pernah lagi bekerja sama. Di Asia
Tenggara, tujuan produksi adalah memanggungkan contoh-contoh
dari sebuah genre yang khas. Genre
adalah unit produksi.
22 David Inglis, 2005, “Thinking Art Sociologically”, dalam David
Inglis dan John Hughson. (ed) Hampshire . The Sociology of Art: Ways of
seeing” (New York: Palgrave Macmilan), 19. 42 Produksi
di
Organisasi
di
seputar
rombongan-rombongan
permanen dari 10 sampai 150 pemain.23
Penelitian ini menggunakan konsep pengelolaan Stephen P.
Robbins yang menyatakan bahwa manajemen adalah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian
kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.24
Makna kata ‘efektif’ ialah tepat sasaran dan ‘efisien’ adalah
mencapai sasaran tertentu dengan sumber daya yang minimal
atau mencapai sasaran sebesar-besarnya dengan sumber daya
tertentu. Ada berbagai hal yang dapat mempengaruhi kualitas
sebuah seni dalam pengelolaan; salah satunya adalah kurangnya
keterampilan
manajer
dalam
penyelenggaraan
sebuah
seni
pertunjukan dapat menimbulkan beberapa permasalahan, antara
lain, adalah 1) penonton sedikit karena kurang promosi; 2)
penonton komplain karena acara molor dan tidak sesuai dengan
janji (ada pertunjukan yang dibatalkan); 3) penonton banyak,
tetapi rugi; 4) biaya membengkak; 5) penerimaan jauh lebih kecil
dari rencana; 6) laporan keuangan tidak jelas.25 Oleh karena itu,
konsep manajemen Stephen Robbin digunakan untuk membahas
23 James R. Brandon, Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia
Tenggara, terj. R.M. Soedarsono, (Bandung:P4ST UPI, 2003), 199-200. 24 Stephen P. Robbins, David A. Decenzo, 2001, Fundamentals of
Management. (New Jersey: Prentice Hall, Inc). 5. 25 Achsan Permas, 2003, Chrysanti Hasibuan S., L.H. Pranoto,
Triono Saputro, Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan, (Jakarta:
Penerbit PPM), 2003. 43 pengelolaan pertunjukan musik keroncong di Taman Budaya
Yogyakarta.
Secara teoritis, Stephen Langley membagi tipe organisasi
seni pertunjukan menjadi empat (4) bagian, yaitu commercial
theatre, stock and resident theater, college theatre, dan community
theatre.26
Diantara
beberapa
tipe
organisasi
tersebut
yang
mendekati dengan pertunjukan keroncong di Taman Budaya
Yogyakarta
(TBY)
adalah
college
Theatre.
Stephen
Langley
mengemukakan bahwa Educational theatre is, in the broadest
sense, any theatre sponsored by an education-al institution.27
(Teater pendidikan adalah, dalam arti luas, setiap teater di
sponsori oleh lembaga pendidikan).
College Theater yang dimaksud adalah pengelolaan terhadap
musik keroncong yang ditampilkan di TBY. Pemain musik dan
penyanyi keroncong adalah para remaja yang baru belajar bermain
musik keroncong di Rumah Keroncong Yogyakarta (RKY). RKY
yaitu sekelompok orang yang mengelola pertunjukan musik
keroncong di XT Square, mendidik para remaja bermain musik
keroncong
hingga
membuat
kelompok
bagi
anggota
musik
keroncong tersebut, dan membina paguyuban dalam membuat
alat-alat musik keroncong. Oleh karena itu, RKY dapat dikatakan
26 Stephen Langley, 1974, 75. 27 Staphen Langley, 1975, 141, 44 sebagai lembaga/institusi seni dalam bidang musik keroncong
yang mengarah kepada educational and educative.
Selain itu, konsep habitus, konsep arena, ide tentang agen
oleh Pierre Bourdieu digunakan untuk mengupas hubungan relasi
dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong di Taman
Budaya Yogyakarta. Konsep habitus merupakan sebuah konsep
yang dipinjamnya dari filsafat Skolastik dengan makna yang
berbeda, meski tidak terpisah total dari makna aslinya. Konsep
habitus Bourdieu mirip dengan gramatika generatif Chomsky
karena konsep ini berusaha memahami kemampuan kreatif, aktif,
dan inventif agen-agen manusia.
Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai sistem disposisi
yang bertahan
lama
dan
bisa
dialihpindahkan
(transposable),
struktur
yang
distrukturkan
yang
diasumsikan berfungsi sebagai
penstruktur
strukturstruktur (structured structures
predisposed to function
as structuring structures), yaitu
sebagai prinsip-prinsip
yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik
dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan
secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan
suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau
penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan
untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’
secara objektif, tetapi bukan produk kepatuhan terhadap
aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan
secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan
pengorganisasian secara pelaku.28
Konsep arena Bourdieu melandaskan tindakan agen pada
hubungan-hubungan sosial yang objektif tanpa harus tunduk
28 Pierre Bourdieau, 2012, “Arena Produksi Kultural” Sebuah
Kajian Sosiologi Budaya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), Penerjemah: Yudi
Santosa, xiv. 45 kepada determinisme mekanis.29 Agar bisa memahami sebuah
situasi atau suatu konteks tanpa kembali jatuh ke dalam
determinisme analisis objektivitistik, Bourdieu mengembangkan
konsep arena.30 Menurut model teoretis Bourdieu, konsep arena
ialah pembentukan sosial apa pun yang distrukturkan melalui
serangkaian arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena
ekonomi, arena pendidikan, arena politik, arena kultural, dan lain
sebagainya).
Arena-arena didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur
dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasirelasi kekuasaannya sendiri yang terlepas dari kaidah politik dan
kaidah ekonomi. Arena adalah suatu konsep dinamis yang
perubahan-perubahan posisi agen mau tidak mau menyebabkan
perubahan struktur arena. Di dalam arena, agen-agen menempati
berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan
posisi-posisi baru) dan terlibat di dalam kompetisi memperebutkan
kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena
yang bersangkutan. Di arena ekonomi, misalnya, agen-agen saling
bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi
dengan
menggunakan
akumulasi
modal
ekonomi.
Ekonomi
29 Pierre Bourdieau, 2012, xviii. 30 Objektivisme berusaha menjelaskan dunia sosial dengan
menempatkan
pengalaman
individual
dan
subjektivitas
dan
memfokuskan diri pada kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan
kebebasan praktis kesadaran manusia. Objektivisme lebih bisa diterima
daripada subjektivisme sehingga objektivisme menjadi langkah pertama
di dalam analisis sosial apa pun. 46 kultural didasarkan pada suatu kepercayaan khusus tentang apa
yang membentuk sebuah karya kultural dan nilai estetis atau nilai
sosialnya. Rumusan tentang arena ini menunjukkan suatu usaha
penerapan apa yang disebut Bourdieu, meminjam istilah Cassirer,
cara berpikir relasional tentang produksi kultural.31
Bourdieu mengelaborsi dan memperbaiki konsep habitus
dan arena dalam proses analisisnya tentang arena produksi
kultural yang tidak bisa dipisahkan dari teori praktik yang
memiliki ranah lebih luas.32 Bourdieu melihat arena sebagai arena
pertempuran. Arena juga merupakan arena perjuangan.
Struktur arena yang “menopang dan mengarah strategi yang
digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi ini
untuk
berupaya,
baik
individu
maupun
kolektif,
mengamankan atau meningkatkan posisi mereka, dan
menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling cocok untuk
produk mereka”. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang
didalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial,
simbolis) digunakan dan dimanfaatkan.33
Ada dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena
produksi kultural, yaitu sebagai berikut. Pertama, modal simbolis
yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika
pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance).
Kedua, modal kultural menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan
kultural, kompetensi-kompetensi atau disposisi-disposisi tertentu.
31 Pierre Bourdieau, 2012, xviii. 32 Pierre Bourdieau, 2012, xix. 33 George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2013, Teori Sosiologi,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana), 583. 47 Bourdieu mendefinisikan modal kultural sebagai suatu bentuk
pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif
yang melengkapi agen sosial dengan empati, apresiasi atau
kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefakartefak kultural.
Oleh karena itu, konsep habitus, arena, dan agen oleh Pierre
Bourdieau digunakan untuk mengungkapkan relasi sosial dan
jejaring sosial dalam pengelolaan pertunjukan musik keroncong di
Taman Budaya Yogyakarta (TBY).34
F. Metode Penelitian
“Pengelolaan Pertunjukan Musik Keroncong Oleh Taman
Budaya Yogyakarta Tahun 2014” merupakan penelitian yang
melihat
sistem
kontekstual
manajemen
sehingga
dan
penelitian
memperhatikan
teks
ini
penelitian
merupakan
dan
kualitatif. Dalam metode kualitatif harus terdapat bahan yang
harus diamati dengan cermat serta menganalisisnya. Data itu bisa
terdiri dari tulisan atau ceramah yang terekam dalam konteks
berbeda, bisa data dari hasil observasi, surat kabar, dan
sebagainya. Salah satu sifat data kualitatif adalah bahwa data itu
merupakan data yang memiliki kandungan yang kaya, yang
multidimensional, dan kompleks. Oleh karena itu, untuk merekam
34
Pierre Bourdieau, 2012, xix. 48 komunikasi yang non-verbal diperlukan sekali rekaman yaitu
kamera video.35
Sumber data kualitatif berupa data primer dan sekunder,
diantaranya ialah (1) sumber tertulis, (2) sumber lisan, dan (3)
rekaman.
Dalam
mengumpulkan
data
dari
sumber-sumber
tersebut, untuk sumber tertulis diperlukan metode penelitian
perpustakaan (library research). Untuk mendapatkan data lisan
yang terdapat pada sumber lisan, perlu dilakukan metode
observasi dan wawancara. Adapun data yang berupa artefak,
peninggalan
sejarah,
dan
rekaman
harus
didapat
dengan
pengamatan secermat mungkin. Oleh karena manusia memiliki
sifat subjektif dan pelupa, semua data harus diperiksa dengan
kritis agar informasi yang didapatkan merupakan informasi yang
objektif.36
Dalam sebuah proses penelitian terdapat beberapa metode
yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengumpulan data dan
pengolahan data atau analisis data. Adapun langkah-langkah
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan cara untuk menghimpun data
yang diperlukan dalam penelitian ini. Sehubungan dengan
itu, dibedakan enam teknik penelitian sebagai cara yang
35 R.M. Soedarsono. 2001. Metodologi Penelitian; Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa, Cet.1, (Bandung : MSPI), 46. 36 R.M. Soedarsono, 2001, 128. 49 dapat ditempuh dalam pengumpulan data.37 Adapun cara
dalam pengumpulan data, ialah sebagai berikut.
a. Teknik Observasi Langsung
Observasi merupakan upaya pengumpulan data dengan
cara melakukan pengamatan secara cermat dan sistematik
dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek
penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat di
mana suatu peristiwa, keadaan, atau situasi sedang
terjadi. Pengamatan dan pencatatan tersebut dilakukan
dengan mendatangi lokasi Taman Budaya Yogyakarta dan
memantau
kegiatan
yang
telah,
akan,
dan
belum
dilaksanakan. Selain itu, juga mengobservasi Taman
Budaya yang berada di kota-kota lain agar mengetahui
sistem
kerja
yang
dilakukan
oleh
Taman
Budaya.
Observasi dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dengan
partisipasi, maksudnya pengamat ikut menjadi partisipan;
(2) tanpa partisipasi, maksudnya pengamat bertindak
sebagai nonpartisipan.38
37 Hadari Nawawi, 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet,8,
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press), 94. 38
Soeratno, Lincolin Arsyad, 1955, Metode Penelitian untuk
Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP)
Akademi Manajemen Perusahaan YKPN), 89. 50 b. Teknik Observasi Tidak Langsung
Observasi tidak langsung merupakan cara pengumpulan
data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan
gejala
yang
tampak
pada
objek
penelitian,
yang
pelaksanaannya tidak langsung di tempat atau tidak pada
saat peristiwa, keadaan, atau situasi itu; dapat yang
sengaja dibuat dapat pula yang sebenarnya.
c. Teknik Komunikasi Langsung
Komunikasi langsung adalah cara mengumpulkan data
yang mengharuskan seorang peneliti mengadakan kontak
langsung secara lisan atau tatap
muka
(face
to
face)
dengan sumber data, baik dalam situasi yang sebenarnya
maupun
dalam
situasi
yang
sengaja
dibuat
untuk
keperluan tersebut. Komunikasi langsung ini merupakan
wawancara
secara
langsung.
Wawancara
merupakan
metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung
(berkomunikasi langsung) dengan responden.39 Wawancara
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer)
dan
yang
dilakukan
Yogyakarta,
diwawancarai
kepada
(interviewed).40
informan
dilakukan
secara
yaitu
Wawancara
Taman
terstruktur
Budaya
atau
tidak
terstruktur yang ditujukan kepada Kepala Taman Budaya
39 Soeratno, Lincolin Arsyad,1995, 92-94. 40 Heru Irianto dan Burhan Bungin, 2001, Metodologi Penelitian
Kuantitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 109. 51 Yogyakarta, Kepala Seksi Penyajian dan Pengembangan
Seni Budaya, Kepala Seksi Dokumentasi dan Informasi
Seni Budaya, dan Kepala Subbag Tata Usaha.
d. Teknik Komunikasi Tidak Langsung
Komunikasi tidak langsung merupakan cara pengumpulan
data yang dilakukan dengan menjadikan hubungan tidak
langsung dengan perantaraan alat, baik berupa alat yang
sudah tersedia maupun alat khusus untuk keperluan itu.
e. Teknik Pengukuran
Teknik pengukuran merupakan cara pengumpulan data
yang bersifat kuantitatif untuk mengetahui tingkat atau
derajat
aspek
tertentu
dibandingkan
dengan
norma
tertentu sebagai satuan ukuran yang relevan.
f. Teknik Studi Dokumenter atau Bibliografi
Teknik studi dokumenter atau bibliografi merupakan cara
pengumpulan data yang dilakukan dengan kategorisasi
dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan
dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen
maupun buku-buku, koran, majalah, dan lain sebagainya.
2.
Pengolahan Data atau Analisis Data
Setelah data dari lapangan dalam penelitian “Pengelolaan
Pertunjukan Musik Keroncong di Taman Budaya Yogyakarta”
dikumpulkan, tahap berikutnya adalah tahap analisis data yaitu
diolah,
diidentifikasi,
dan
dipolakan
sesuai
dengan
52 karakteristiknya dan direalisasikan atau dihubungkan dengan
fenomena-fenomena
yang
dikaji.
Dengan
demikian,
terdapat
kesimpulan atas kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.
Penelitian
menggunakan
mengabaikan
ini
menggunakan
pendekatan
ilmu-ilmu
metode
sejarah
manajemen
dan
kualitatif
dengan
sosiologi
tanpa
pertunjukan.
Alasannya,
karena pendekatan sejarah dan sosiologi dianggap lebih mampu
mengungkapkan latar belakang, kausalitas (hubungan sebab
akibat), pola perkembangan, serta fenomena-fenomena peristiwa
sejarah yang menyangkut peristiwa budaya, politik, ekonomi, dan
sosial. Dalam melakukan analisis terhadap suatu fenomena sosial
budaya diperlukan cara berpikir rasional dan sistematis.41 Data
kualitatif diolah dan dianalis dengan teknik analisis dekriptif,
yaitu dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian
disusul dengan analisis.42 Dalam Matthew B.Miles dan A. Michael
Huberman yang dikemukakan oleh Douglas (1976) dikemukakan
bahwa penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan suatu
proses penyidikan, mirip pekerjaan detektif yang meyakinkan.43
41 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Ed), 1989, Metode
Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES), 31. 42 Nyoman Kutha Ratna, 2004, Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 53. 43 Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1988, Analisis Data
Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, Cet.I; (Jakarta;
Universitas Indonesia), Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi; Pendamping,
Mulyarto, 47. 53 Penelitian dapat dilihat dari segi perspektif dan waktu
terjadinya fenomena-fenomena yang diselidiki. Metode sejarah
mempunyai
perspektif
historis.
Metode
sejarah
merupakan
menggunakan catatan observasi atau pengamatan orang lain yang
tidak dapat diulang kembali. Penelitian dengan menggunakan
metode sejarah penyelidikan yang kritis terhadap keadaankeadaan, perkembangan, serta pengalaman pada masa lampau
dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti
validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumbersumber keterangan tersebut.44 Penelitian historis yang dipakai
adalah menggunakan sistem penelitian sejarah komparatif, yaitu
penelitian
dengan
metode
sejarah
yang
dikerjakan
untuk
membandingkan faktor-faktor dari fenomena-fenomena sejenis
pada suatu periode di masa lampau. Maka dari itu, maka
penelitian tersebut dinamakan penelitian sejarah komparatif.45
Oleh karena itu, metode-metode yang digunakan dalam
penelitian ini dapat mengetahui cara kerja manajemen Taman
Budaya Yogyakarta dalam menyelenggarakan pertunjukan musik,
hingga mengadakan berbagai kerja sama dengan lembaga-lembaga
seni lainnya, dan merancang program berkelanjutan di Taman
Budaya Yogyakarta. Analisis data kualitatif dilakukan secara
induktif.
44 Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian, Cet.3, (Jakarta; Ghalia
Indonesia). 55 - 56. 45 Moh. Nazir, 1988, 61. 54 G. Sistematika Penelitian
Sistematika laporan penelitian ini dibagi ke dalam lima
bagian, berikut ini.
Bab I berisi Pengantar, berupa latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan
teori,
metode
penelitian,
dan
sistematika
laporan
penelitian.
Bab II menjelaskan Sistem Pengelolaan Taman Budaya
Yogyakarta.
Bab
ini
berisi
tentang
bentuk
pengelolaan
pertunjukan musik Keroncong yang diselenggarakan oleh Taman
Budaya Yogyakarta, sistem kerja sama antara Taman Budaya
Yogyakarta dengan pelaku seniman musik keroncong.
Bab III menjelaskan sistem pengelolaan kelompok pengisi
pertunjukan musik keroncong. Bab ini berisi tentang manajemen
organisasi, manajemen keuangan, manajemen Rumah Keroncong
Yogyakarta (RKY), dan manajemen pertunjukan RKY.
Bab IV memaparkan hasil analisis pengelolaan pertunjukan
musik Keroncong, yaitu arena Taman Budaya Yogyakarta, arena
XT Square Yogyakarta, arena Rumah Keroncong Yogyakarta,
strategi Orkes Keroncong Kembang Mekar Sore bergabung di arena
Taman Budaya Yogyakarta, dan analisis manajemen pertunjukan.
Bab V berupa kesimpulan dan saran dari analisis yang
termuat sebagai jawaban atas pertanyaan yang menunjukkan
55 konsep “Pengelolaan Pertunjukan Musik Keroncong oleh Taman
Budaya Yogyakarta Tahun 2014”.
Download