analisis struktur musik dan fungsi keyboard sebagai musik pengiring

advertisement
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI
KEYBOARD SEBAGAI MUSIK PENGIRING TARI
MAENA PADA UPACARA PESTA PERNIKAHAN
MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN
O
L
E
H
NAMA: DANIEL ZAI
NIM: 080707021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
i
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI KEYBOARD
SEBAGAI MUSIK PENGIRING TARI MAENA PADA
UPACARA PERNIKAHAN MASYARAKAT NIAS DI KOTA
MEDAN
OLEH:
NAMA: DANIEL ZAI
NIM: 080707021
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
Drs. Perikuten Tarigan, M.Si
NIP 196512211991031001
NIP 195804021987031003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
ii
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP 195110131976031001
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
(
)
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
(
)
3. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si.
(
)
4. Drs. Fadlin, M.A.
(
)
5. Arifni Netriroza, SST., M.A.
(
)
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan,
Maret 2014
Daniel Zai
Nim 080707021
v
ABSTRAK
ANALISIS KEYBOARD SEBAGAI MUSIK PENGIRING TARI MAENA
PADA MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN
Keyboard merupakan alat musik barat yang masuk ke Indonesia.
Keyboard telah banyak digunakan sebagai alat musik tunggal pengiring dalam
suatu nyanyian, bahkan sering juga digunakan dalam pesta-pesta perkawinan di
kota Medan. Masyarakat Nias yang ada di kota Medan sekarang ini telah
menggunakan keyboard pada pesta perkawinan yang diadakan. Pada pesta
perkawinan masyarakat Nias, keyboard tidak hanya dijadikan sebagai alat
pengiring nyanyian tetapi juga sebagai alat pengiring tarian. Tarian yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah tari Maena. Tujuan dari penelitian ilmiah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana struktur musik yang digunakan dalam
mengiring tari Maena, apa alasan menggunakan keyboard sebagai pengiring
tarian, genre seperti apa yang digunakan, dan lainnya. Metode yang dilakukan ada
beberapa cara, yaitu dengan cara kerja lapangan yang terdiri dari wawancara dan
observasi, kerja laboratorium, serta studi kepustakaan.
Kata kunci: keyboard, tari Maena, struktur musik
vi
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus, atas
kasih dan kemurahanNya yang begitu besar yang telah mati untuk seluruh umat
manusia. Penulis berterima kasih atas segala berkat, kekuatan, penghiburan,
pertolongan dan perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam
penyelesaian skripsi ini. Terimakasih karena Engkau selalu ada ketika saya
membutuhkan sahabat untuk berbagi suka dan duka.
Skripsi ini berjudul “Analisis Struktur Musik dan Fungsi Keyboard
Sebagai
Musik Pengiring Tari Maena Pada Upacara Pernikahan
Masyarakat Nias di Kota Medan”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai,
Ayahanda tercinta Fona Atulo Zai dan Ibunda Rida br. Purba. Terimakasih buat
segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga saya bisa seperti sekarang,
terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya selama
pengerjaan skripsi ini, terimakasih buat motivasi-motivasi yang kalian berikan
sehingga saya tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih buat
doa-doa yang kalian panjatkan sehingga saya mendapatkan kekuatan dan
penghiburan dari Tuhan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada adik-adik
yang saya sayangi Emilia Zai dan Enika Zai. Terimakasih buat doa dan semangat
yang telah kalian berikan kepada saya.
vii
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak
Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs.
M. Takari, M.Hum sebagai Ketua Jurusan Etnomusikologi dan dosen pembimbing
I yang telah telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Terimakasih untuk nasehat-nasehat, ilmu serta pengalaman yang telah
bapak berikan selama saya berkuliah. Kiranya Tuhan selalu membalaskan semua
kebaikan yang bapak berikan.
Kepada yang terhormat Ibu Drs. Heristina Dewi, M.Pd selaku sekretaris
Jurusan Etnomusikologi. Terimakasih untuk nasehat-nasehat, ilmu serta
pengalaman yang telah ibu berikan selama saya berkuliah. Kiranya Tuhan selalu
membalaskan semua kebaikan yang ibu berikan.
Kepada yang terhormat bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., dosen
pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk perhatian, ilmu dan semua
kebaikan yang bapak berikan. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan bapak.
Kepada seluruh dosen di etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba,
M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A.,
Bapak Drs. Fadlin, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Ibu Arifni Netrirosa,
SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si, Bapak
Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu
sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian.
Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar
dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang penulis
dapatkan dari bapak-ibu sekalian bisa saya aplikasikan dalam kehidupan dan
viii
pendidikan selanjutnya. Biarlah Tuhan membalaskan semua jasa-jasa bapak-ibu
sekalian.
Terimakasih penulis sampaikan kepada bapak Ama Hennie Zega dan
keluarga yang telah memberikan banyak informasi kepada saya sehingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga data yang diperoleh mendukung
penulisan skripsi ini.
Kepada saudara-saudara penulis Etno 2008, buat Nielson Sihombing dan
Pardon Simbolon terimakasih atas bantuan transkripnya. Andro Mahardika
Hutabarat, Agus Tafonao, Brian Harefa, Daniel Sianturi, Mahyar Sopyan Pane,
Marini Pratiwi Sinaga, Mario King Sianipar, Marliana Manik, Medina Hutasoit,
Rudi Silitonga, Sandro Batubara, Sudarsono Malau, dan Yudhistira Siahaan,
terimakasih buat beberapa tahun kebersamaan yang telah kita miliki. Bangga bisa
menjadi bagian orang-orang hebat seperti kalian. Sungguh pengalaman yang tidak
terlupakan bisa menjadi bagian hidup kalian. Hal tersebut merupakan kenangan
yang tidak bisa penulis lupakan. penulis percaya kita semua akan menjadi orangorang yang hebat. Biarlah jalinan kasih kita tidak terputus dan bisa berlanjut di
masa yang mendatang. Kepada Senior dan junior di Etnomusikologi terutama
stambuk 2004-2013 terimakasih buat hari-hari saya di perkuliahan yang begitu
bersemangat karena kalian semua.
Kepada
saudara-saudara
penulis
yang
terkasih
yang
berada
di
IMPERATIF. Buat teman-teman di MPO, Era Dabukke, Yanti Simanullang, Ira
Saragih, Stefanus Tobing, dan juga Leli Silalahi. Terimakasih buat saat-saat yang
telah kita lalui bersama, kalian orang-orang luarbiasa yang selalu mendukungku
dalam susah maupun senang. Bangga bisa berada disamping kalian sampai saat
ix
ini. Terimakasih juga buat BK Medan dan BK Jakarta yang terus mendukung saya
selama penulisan skripsi ini. Terimakasih juga buat murid saya Indra dan Iswanto;
anak KTB saya Denata, Samuel, Bincar, dan Daniel; Afryna, Lia, Ingrid, Ayu,
Josua, dan seluruh anak I’ers yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih buat semangat dan dukungan yang telah kalian salurkan kepadaku.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi.
Medan,
Penulis,
Maret 2014
Daniel Zai
080707021
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ........................................................................................
ABSTRAKSI .............................................................................................
KATA PENGANTAR ..............................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
BAB I
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
BAB II
MEDAN
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
BAB III
3.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah ....................................................
Pokok Permasalahan .........................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................
1.3.1 Tujuan Penelitian ...................................................
1.3.2 Manfaat Penelitian .................................................
Konsep dan Teori ..............................................................
1.4.1 Konsep ...................................................................
1.4.2 KerangkaTeori .........................................................
Metode Penelitian ..............................................................
1.5.1 Studi Kepustakaan .................................................
1.5.2 Kerja Lapangan ......................................................
1.5.2.1 Wawancara .................................................
1.5.3 Kerja Laboratorium ................................................
Lokasi Penelitian ...............................................................
v
vi
vii
xi
1
5
5
5
6
6
6
7
9
10
10
11
11
12
ETNOGRAFI KEADAAN MASYARAKAT NIAS DI KOTA
Keadaan Geografis Kota Medan ........................................
2.1.1 Demografi .............................................................
2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan ......................
2.1.3 Kecamatan Medan Tuntungan ................................
Gambaran Umum Masyarakat Nias Termasuk di Kota Medan
Masyarakat Nias di Kota Medan..........................................
Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan .........................
Mata Pencaharian ..............................................................
Agama dan Sistem Kepercayaan ........................................
Organisasi Sosial ...............................................................
Sistem Kekerabatan ...........................................................
Kesenian
...................................................................
13
13
16
17
18
19
21
22
22
25
26
27
FUNGSI KEYBOARD SEBAGAI MUSIK PENGIRING TARI
MAENA PADA PESTA PERNIKAHAN MASYARAKAT
NIAS DI KOTA MEDAN
Gambaran Umum Upacara Pernikahan Adat Nias .............
31
3.1.1 Tata Cara Upacara Pernikahan Adat Nias .................
32
3.1.2 Mahar (Jujuran) Menurut Adat Nias .........................
32
3.1.3 Sistem Pernikahan Pada Masyarakat Nias ................
34
3.1.3.1 Kawin Sedarah .............................................
34
3.1.3.2 Perkawinan Ganti Tikar ................................
34
3.1.4 Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga .................
35
xi
3.2
BAB IV
4.1
4.2
4.3
4.4
3.1.5 Tata Urutan Pelaksanaan Pesta Pernikahan ..............
3.1.5.1 Famaigi Niha ( Memilih Gadis ) ...................
3.1.5.2 Famaigi Tödö Manu Silatao .........................
3.1.5.3 Fame’e Laeduru (Menyerahkan Cincin) .......
3.1.5.4 Fanunu Manu (Upacara Resmi Peminangan)
3.1.5.5 Famalua Li (Pertanyaan Melangsungkan
Perkawinan) .................................................
3.1.5.6 Folohe Fakhe Toho (Penyerahan Padi Keperluan
Pesta Kawin) ...............................................
3.1.5.7 Famaigi Bawi ( Menengok Babi Adat Pesta
Kawin).........................................................
3.1.5.8 Folau Bawi (Upacara Membawa Babi Bawi
Walöwa) ......................................................
3.1.5.9 Falöwa (Pesta Perkawinan) ..........................
3.1.6 Pertunjukan Tari Maena pada Pesta Pernikahan .......
Fungsi Keyboard Pada Pesta Pernikahan Masyarakat Nias ..
3.2.1 Fungsi Hiburan ........................................................
3.2.2 Fungsi Kesinambungan Budaya .............................
3.2.3 Fungsi Perlambangan .............................................
3.2.4 Fungsi Reaksi Jasmani ...........................................
3.2.5 Fungsi Penghayatan Estetis .....................................
ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL
Teknik Transkripsi ............................................................
Simbol-Simbol dalam Notasi .............................................
Transkripsi Keseluruhan ......................................................
Analisis Musikal ...............................................................
4.4.1 Tangga Nada (Scale) ..............................................
4.4.2 Nada Dasar (Pitch Center) .....................................
4.4.3 Wilayah Nada (Range) ...........................................
4.4.4 Jumlah Nada (Frequency of Note) ..........................
4.4.5 Jumlah Interval ......................................................
4.4.6 Pola Kadensa (Cadence Patterns) ..........................
4.4.7 Formula Melodik (Melody Formula) ......................
4.4.7.1 Analisis Bentuk, Frasa dan Motif Pada Musik
Pengiring Tari Maena....................................
4.4.8 Kontur (Contour) ...................................................
4.5
Jumlah Nada Yang Digunakan .................................
36
36
37
38
39
41
43
44
44
45
49
55
56
57
57
57
58
59
60
62
66
66
66
67
67
68
69
69
71
72
74
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .......................................................................
5.2 Saran ................................................................................
75
76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
DAFTAR INFORMAN ..........................................................................
78
80
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keyboard adalah instrumen dengan susunan kunci yang ditata secara
horizontal dan menghasilkan berbagai bunyi antara lain: piano, organ, klavikord,
harpsikord, dan lain-lain. Alat musik ini karena penghasil utamanya adalah
sinyal-sinyal elektrik maka lazim diklasifikasikan sebagai alat musik elektrofon.
Dikatakan bahwa perkembangan baru
sekarang keadaannya telah berubah
menjadi sangat sempurna, bukan saja hanya sebagai instrumen tapi dilengkapi
dengan pelbagai irama bunyi dan semua dapat diprogram secara komputerisasi.
Keyboard dapat menghasilkan berbagai bunyi atau suara alat musik,
meter, ritem, jenis musik, dengan menggunakan program-program yang ada.
Adapun contoh jenis meter (tanda birama) yang ada pada keyboard, seperti 4/4,
3/4, 2/4. Sedangkan contoh jenis pola ritem dapat kita lihat pada keyboard,
seperti: Rhumba, Jazz, Waltz, Pop, Bosanova, Rock (Ensiklopedia Musik, Jilid I,
1992: 285 dalam Dermawan Purba, 2003:80).
Pada zaman sekarang, keyboard sudah banyak digunakan untuk
mengiringi upacara-upacara adat yang setempat. Contohnya peran keyboard
pada kebudayaan masyarakat Batak Karo. Keyboard pada awalnya digabungkan
dengan gendang lima sedalanen dengan cara memanfaatkan unsur-unsur ritmis
yang terdapat di program musik (style musik dalam keyboard) untuk menambah
nuansa musikal. Akulturasi dalam aspek seni musik ini direspon positif oleh
1
banyak kalangan terutama generasi muda yang sering melaksanakan gendang
guro-guro aron.1
Hal yang hampir sama juga terjadi pada masyarakat Simalungun. Salah
satu unsur asing yang masuk atau diadopsi oleh masyarakat Simalungun adalah
musik keyboard. Genre musik ini menggunakan alat musik utamanya adalah
keyboard ditambah drum, cymbal, dan gitar. Musik keyboard ini kemudian
dikolaborasikan dengan gonrang sehingga mereka mulai gunakan dalam
berbagai upacara adat mereka seperti upacara sayur matua. Secara umum
mereka menerima karena lagu-lagu yang dimainkan hampir sama dengan
ensambel musik tiup dan jenis-jenis repertoar gonrang sipitu-pitu. Selain itu
musik keyboard ini mampu membawakan lagu-lagu rakyat Simalungun dan lagu
dari daerah-daerah lain seperti lagu-lagu dari daerah Tapanuli, Karo,
Mandailing, Melayu, Ambon, lagu-lagu Barat, dan lagu-lagu Gerejawi.2
Di dalam kebudayaan masyarakat Nias, khususnya di Kota Medan,
keyboard juga digunakan pada upacara adat, salah satunya upacara pernikahan
masyarakat Nias sekarang ini. Pada upacara pernikahan tersebut, keyboard
digunakan sebagai pengiring tari dan nyanyian.
Masyarakat Nias yang ada di Kota Medan pada awalnya berasal dari
orang-orang yang merantau untuk mencari pekerjaan. Sama juga dengan orang
Nias seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang
1
Baca skripsi Agus Tarigan yang berjudul “Penggunaan dan Fungsi
Gendang Keyboard dalam Gendang Guro-Guro Aron di Desa Sukadame
Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo.”
2
Baca skripsi Roseflin Manurung yang berjudul “Pengaruh Musik
Keyboard Terhadap Gonrang Sipitu-pitu dalam Upacara Kematian Sayur Matua
di desa Sarimatondang Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun.”
2
Nias pergi dari pulau Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi
keberbagai daerah dengan tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam dan
menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan
bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Pulau Pinang),
India, dan Madagaskan. Migrasi ataupun perpindahan yang dilakukan oleh orang
Nias sudah berlangsung lama dan diperkirakan sudah terjadi dari abad ke-17
yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa
Cina serta Hindia belakang (Usman Pelly 1990:80).
Masyarakat Nias yang datang ke Kota Medan beradaptasi dengan cara
berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di Kota Medan. Suku Nias merupakan
salah satu suku pendatang yang menetap di Kota Medan. Suku bangsa lain juga
merupakan suku yang menetap di Medan terbagi, (1) suku bangsa tempatan
(natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly 1990 : 84), dengan alasan bahwa suku
Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku
pendatang antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,
Pesisir Sibolga, dan Mandailing. Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal
menetap dan melakukan aktivitas budaya dengan berbagai cara. Sistem
pemerintahan di Nias saat ini berbentuk kabupaten dan kota, yang sebelumnya
pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja namun saat ini pulau Nias telah
menajdi empat kabupaten satu kota, sehingga semakin memudahkan untuk
dipahami bagi dari segi kebudayaannya maupun segi dialek bahasanya.
Dari migrasi tersebut suku Nias juga membawa adat istiadat yang ada di
daerah mereka, antara lain sistem garis keturunan patrialisme (mengikuti garis
keturunan ayah), dibuktikan dengan adanya marga(klen), membawa kesenian
3
tari seperti tari maena dan tari faluaya ( tari perang), serta upacara adat seperti
upacara pernikahan masyarakat Nias.
Upacara pernikahan pada masyarakat Nias yang dilakukan merupakan
salah satu dari bosi (tingkat kebudayaan hidup pada masyarakat Nias) yang
disebut fangowalu atau pesta pernikahan. Di dalam pesta perkawinan ini ada
tahap-tahap yang harus ditempuh namun ketika dilangsungkannya pesta
perkawinan ada sebuah tarian yang dipertunjukan pada urutan perkawinan ini
yaitu Maena. Pada upacara pernikahan ini, tari Maena dipertunjukkan dengan
menggunakan musik pengiring dan keyboard merupakan alat musik yang
mengiringi tarian Maena tersebut.
Tari Maena adalah tarian yang dipolakan dengan gerakan yang
membentuk pola lantai segi empat dan dalam pertunjukannya bermakna
kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Maena tidak
terlepas dari tari yang saling mempengaruhi antara musik vokal dengan tari. Di
dalam pertunjukannya
maena dahulunya tidak menggunakan alat musik
pengiring tetapi karena perubahan zaman atau karena dalam pertunjukannya
bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga digunakan ensambel
pengiring yang terdiri dari gong, gondra (gendang Nias), faritia (gong kecil ),
dan ukulele (lute). Namun demikian, karena dilihat bahwa dengan menggunakan
alat-alat tersebut sangat repot penyediaannya dan keyboard tersebut juga bias
digunakan untukpara tamu untuk menyanyi menyumbangkan lagu untuk kedua
mempelai, maka berubah dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard
(wawancara dengan A. Hendrik Zega, 20 Januari 20133).
3
Seorang aktivis budaya Nias di kota Medan.
4
Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk mengangkat judul
Analisis Struktur Musik dan Fungsi Keyboard Sebagai Alat Musik Pengiring
Tari Maena Pada Upacara Pernikahan Masyarakat Nias di Kota Medan untuk
melihat peranan alat msik keyboard baik berupa penggunaan style maupun
timbre pada upacara pernikahan masyarakat Nias di kota Medan.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam
tulisan ini adalah :
1. Bagaimana struktur musik keyboard yang mencakup melodi, dan akord
yang mengiringi tari Maena di Kota Medan?
2. Sejauh apa fungsi keyboard sebagai musik pengiring tari Maena pada
pesta pernikahan masyarakat Nias di Kota Medan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui struktur musik keyboard sebagai alat musik pengiring
dalam pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan
2. Untuk mengetahui fungsi keyboard sebagai alat musik pengiring dalam
pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan
5
3. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan masyarakat Nias
yang dapat menjadi masukan bagi Departemen Etnomusikologi dimana
referensi tentang kesenian tradisional Nias sangat minim.
1.3.2 Manfaat penelitian
1. Mengetahui struktur musik keyboard sebagai alat musik pengiring dalam
pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan.
2. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar bagi para peneliti, terutama
etnomusikolog untuk dikembangkan berikutnya.
3. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar dan pelestarian kesenian di
Nias.
1.4. Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:43), analisa adalah
penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu
sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat
dan pemahaman arti keseluruhan.. Kata analisis mempunyai arti penelitian suatu
masalah, atau penelitian terhadap suatu peristiwa sehingga dapat diketahui latar
belakang dan duduk permasalahannya atau proses kejadiannya. Analisis yang
penulis maksud di sini adalah menelaah dan menguraikan struktur musikal
musik pengiring tari Maena, seperti pola ritme, meter, intensitas suara (keras
lembutnya suara).
6
Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal.
Sosial merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat. Fungsi sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun
kegunaan keyboard sebagai alat musik pengiring dalam pesta perkawinan
masyarakat Nias di Kota Medan.
1.4.2 Kerangka Teori
Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu
peristiwa. (Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995:1041). Dalam
tulisan ini unsur utama yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah
pola melodi yang dipakai dalam musik pengiring tari Maena.
Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk
melakukan kerja-kerja penelitian. Teori hanya sebagai acuan sementara, agar
penelitian tidak melebar ke mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada
pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun
terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan digunakan (Suwardi,
2006:107).
Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony
adalah: sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai
macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
(Koentjaraningrat, 1990: 190).
7
Untuk melihat fungsi dan kegunaannya penulis juga menggunakan teori
use and function Alan P. Merriam (1964:223-226).
Menurut Merriam
penggunaan (uses) dan fungsi (function) merupakan salah satu masalah yang
terpenting didalam Etnomusikologi. Penggunaan
musik meliputi pemakaian
musik dalam konteksnya atau bagaimana musik itu digunakan, sedangkan fungsi
musik berkaitan dengan tujuan pemakaian musik tersebut.
Di dalam buku Allan P. Merriam juga disebutkan bahwa terdapat sepuluh
fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu:
1. Fungsi pengungkapan emosional,
2. Fungsi pengungkapan estetika,
3. Fungsi hiburan,
4. Fungsi komunikasi,
5. Fungsi perlambangan,
6. Fungsi reaksi jasmani,
7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial,
8. Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan,
9. Fungsi kesinambungan kebudayaan, dan
10.
Fungsi pengintregasian masyarakat.
Untuk menganalisis aspek struktur musik keyboard sebagai alat musik
pengiring tari Maena pada pesta pernikahan masyarakat Nias di kota Medan,
penulis mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh William P. Malm yang
dikenal dengan teori weighted scale dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam
mendeskripsikan melodi, yaitu (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch
8
center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5)
jumlah interval, (6) pola kadensa (cadence patterns), (7) formula melodik
(melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari
1993: 13) . Penulis tertarik untuk menganalisis melodi pada keyboard sebagai
alat musik pengiring tari Maena pada pesta pernikahan masyarakat Nias di kota
Medan.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu prosedur atau urutan pekerjaan yang akan
dilaksanakan dalam rangka penyelidikan dari suatu bidang yang dijalankan
untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati serta
sistematis, dimana pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran
fakta-fakta, termasuk di dalamnya, pemilihan lokasi penelitian, pengumpulan
data, pengolahan data, memformulasikan hipotesa, penentuan model dalam
pengujian hipotesa, studi kepustakaan dan kerja labolatorium.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menghasilkan
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan
dan Taylor dalam Moleong, 1989:3).
Penelitian kualitatif ini, dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap ke
lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan (skripsi). Adapun
teknik pengumpulan data yang dipakai adalah sebagai berikut.
9
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan
sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan
untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber
bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan
penelitian dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan
mendapat cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan
penyusunan skripsi ini.
Hal pertama yang dilakukan penulis adalah melakukan studi kepustakaan
dengan cara mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek
pembahasan. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah
ditulis oleh sarjana dari Etnomusikologi. Penulis juga mengumpulkan data
dengan menggunakan teknologi internet, seperti dari www.google.com, dan
catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.
Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatakan konsep-konsep dan
teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada
saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Kerja Lapangan
Menurut Harja W. Bachtiar (1985:108), bahwa pengumpulan data
dilakukan melalui kerja lapangan (fied work) dengan menggunakan teknik
observasi
untuk
melihat,
mengamati objek
mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.
10
penelitian dengan tujuan
1.5.2.1 Wawancara
Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan metode wawancara.
Menurut Harja W. Bachtiar (1985:155), wawancara adalah untuk mencatat
keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau
keterangan tidak ada yang hilang.
Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode
wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985:139), yaitu:
wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview),
wawancara sambil lalu (casual interview).
Langkah awal yang penulis lakukan adalah menyiapkan dan menyusun
sejumlah pertanyaan yang terperinci sebelum bertemu dengan informan. Dalam
hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan
ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari
satu topik ke topik lain secara bebas.
Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan
kamera dan handycam untuk mempermudah perekaman dan penyimpanan data,
dan juga dalam bentuk tulisan.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya
diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun
dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman
diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis
11
seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan
hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995:85).
Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai
dalam analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya
suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap
proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data,
dan proses suatu fenomena sosial tersebut.
Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari
studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan
penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian
dan selanjutnya dianalisis.
1.5.4 Lokasi Penelitian
Penulis mengambil sumber penelitian dari pesta pernikahan anak dari
bapak A. Besty Telaumbanua, yang merupakan budayawan dan sekaligus Ev.
BNKP Hilisawato yang berada di kota Medan Kecamatan Medan Tuntungan.
12
BAB II
ETNOGRAFI KEADAAN MASYARAKAT
NIAS DI KOTA MEDAN
2.1 Keadaan Geografis Kota Medan
Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota
ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Kota Medan merupakan pintu
gerbang wilayah Indonesia bagian barat dan juga sebagai pintu gerbang bagi
para wisatawan untuk menuju objek wisata Brastagi di daerah dataran
tinggi Karo, objek wisata Orangutan di Bukit Lawang,
Danau Toba. Secara
geografis, Kota Medan terletak pada 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98 44'
Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara
dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,537,5 m di atas permukaan laut. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10
km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian,
dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang
relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar (www.wikipedia.com).
2.1.1 Demografi
Berdasarkan data sensus kependudukan pada tahun 2010 yang dilakukan
oleh pemerintah kota Medan, penduduk kota Medan diperkirakan telah
mencapai 2.097.610 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.060.684
jiwa > 1.036.926 jiwa). Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah
13
perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis, dengan latar belakang yang berbeda
pula.
Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa
dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Sebagian besar penduduk
Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun (masing-masing 41%
dan 37,8% dari total penduduk).
Dilihat dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang
1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat
pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan
demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja
pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri
manufaktur.
Populasi masyarakat Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku
seperti: Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola),
Nias dan Tionghoa. Mayoritas kependudukan di kota Medan sekarang
ialah Suku Jawa, dan suku-suku dari tapanauli (Batak, Mandailing, Karo).
Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah mesjid, gereja, dan vihara
Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jl. Zainul
Arifin dikenal sebagai Kampung Keling, yang merupakan daerah pemukiman
orang keturunan India.
Secara historis, pada tahun 1918 tercatat bahwa Medan dihuni 43.826
jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropa, 35.009 berketurunan
Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras Timur
lainnya.
14
Tabel 2.1: Perbandingan Etnis di Kota Medan pada
Tahun 1930, 1980, dan 2000.
Etnis
Tahun 1930
Tahun 1980
Tahun 2000
Jawa
24,89%
29,41%
33,03%
Batak
2,93%
14,11%
20,93%*
Tionghoa
35,63%
12,8%
10,65%
Mandailing
6,12%
11,91%
9,36%
Minangkabau
7,29%
10,93%
8,6%
Melayu
7,06%
8,57%
6,59%
Karo
0,19%
3,99%
4,10%
Aceh
--
2,19%
2,78%
Sunda
1,58%
1,90%
--
Lain-lain
14,31%
4,13%
3,95%
Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun (0,69%),
Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Bangsa Punjabi dan lainnya(3,95%)
Tabel 2.2: Penduduk Kota Medan Menurut Kecamatan
dan Jenis Kelamin Tahun 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kecamatan
Medan Tuntungan
Medan Selayang
Medan Johor
Medan Amplas
Medan Denai
Medan Tembung
Medan Kota
Medan Area
Medan Baru
Medan Polonia
Medan Malmun
Medan Sunggal
Medan Helvetia
Medan Barat
Laki-laki
39 414
48 293
61 085
56 175
71 181
65 391
35 239
47 813
17 576
25 989
19 411
55 403
70 705
34 733
15
Perempuan
41 528
50 024
62 766
56 968
70 214
68 188
37 341
48 731
21 490
26 805
20 170
57 341
73 552
36 038
Jumlah
80 942
98 317
123 851
113 143
141 395
133 579
72 580
96 544
39 516
52 794
39 581
112 744
144 257
70 771
15
16
17
18
19
20
21
Medan Petisah
Medan Timur
Medan Perjuangan
Medan Deli
Medan Labuhan
Medan Marelan
Medan Belawan
TOTAL
29 367
52 635
45 144
84 520
56 676
71 287
48 889
1 036 926
32 382
55 998
48 184
82 273
54 497
69 127
46 617
1 060 684
61 749
108 633
93 328
166 793
111 179
140 414
95 506
2 097 610
Sumber : Sensus Penduduk 2010, BPS Kota Medan
2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan
Adapun beberapa kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu antara
lain: Kecamatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan
Petisah,
Kecamatan Medan Perjuangan,
Kecamatan Medan Tembung,
Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan
Polonia,
Kecamatan Medan Selayang,
Kecamatan
Medan Tuntungan,
Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai,
Bandar Udara Polonia.
Kota medan terdiri dari dua puluh satu kecamatan, yaitu seperti yang
terurai di dalam Tabel 2.3 sebagai berikut.
Tabel 2.3: Kecamatan-kecamatan dan Luasnya dalam Kilometer
Di Kota Medan Tahun 2013
No
1
2
3
4
Luas (Km2)
20,68
12,81
14,58
11,19
Kecamatan
Medan Tuntungan
Medan Selayang
Medan Johor
Medan Amplas
16
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Medan Denai
Medan Tembung
Medan Kota
Medan Area
Medan Baru
Medan Polonia
Medan Malmun
Medan Sunggal
Medan Helvetia
Medan Barat
Medan Petisah
Medan Timur
Medan Perjuangan
Medan Deli
Medan Labuhan
Medan Marelan
Medan Belawan
TOTAL
Sumber : BPS Kota Medan, 2013
9,05
7,99
5,27
5,52
5,84
9,01
2,98
15,44
13,16
6,82
5,33
7,76
4,09
20,84
36,67
23,82
26,25
265,1
2.1.3 Kecamatan Medan Tuntungan
Kecamatan Medan Tuntungan adalah daerah tempat penelitian yang
dipilih oleh penulis, terkhusus daerah Simalingkar Perumnas. Di daerah ini telah
lama bermukim orang-orang Nias. Hal itu bisa kita lihat dari adanya gereja suku
Nias yang telah berdiri dan adanya STM (serikat tolong menolong) khusus suku
Nias. Kecamatan Medan Tuntungan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota
Medan Sumatera Utara, Indonesia . secara wilayah geografis, kecamatan Medan
Tuntungan berbatasan dengan:
- Sebelah utara berbatasan dengan Medan Selayang,
- Sebelah timur berbatasan dengan Medan Johor,
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.
17
Sensus pada tahun 2010 mengatakan kecamatan ini mempunyai penduduk
sebesar 69.447 jiwa. Luasnya adalah 20,68 km² dan kepadatan penduduknya
adalah 3.174,32 jiwa/km². Sebagaian besar penduduk di kecamatan ini adalah
suku-suku pendatang seperti: Tionghoa, Minang, Batak, Aceh dan Jawa
sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja.
2.2 Gambaran Umum Adat Nias Termasuk di Kota Medan
Nias merupakan salah satu pulau besar yang ada di Sumatera Utara. Nias
memiliki luas sebesar 5.625 km2 atau 7,26% dari seluruh luas pulau Sumatera.
Pulau Nias terletak di antara 0,120LU – 1,32o LU dan 90o BT - 98o BT. Pulau
Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau
Murshala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) kepulauan banyak
(Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) kepulauan Mentawai
(Sumatera barat) disebelah selatan.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö
yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Kemudian bagi siapa saja yang melanggar hukum tersebut akan di kenakan
sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya, bahkan ada sanksi yang sampai
kepada kematian.
Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan kasta). Dimana tingkatan
kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang
harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. telah memberi. Ada 3
18
jenis pesta dari berbagai varian yang sedemikian banyak. Integrasi individu ke
dalam komunitas (lahir, menikah, meninggal, naiknya status sosial), pesta antar
desa seketurunan untuk menghormat leluhur, dan fondrakö yaitu perayaan
peneguhan norma-norma adat yang dirayakan 7 tahun sekali. Pesta yang
pertamalah yang paling meriah dirayakan, paling banyak babi yang dimasak.
Pada perayaan naiknya status seseorang batu-batu megalith dibuat dan
ditegakkan di halaman rumah balugu sebagai tanda dari status sosialnya. Tanpa
adanya pesta, megalith tidak punya alasan untuk didirikan.
2.3 Masyarakat Nias di Kota Medan
Masyarakat Nias yang ada di kota Medan pada awalnya berasal dari
orang-orang yang merantau untuk mencari pekerjaan. Sama juga dengan orang
Nias seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang
Nias pergi dari pulau Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi
keberbagai daerah dengan tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam dan
menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan
bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka, Negeri Sembilan, pulau Pinang),
India, dan Madagaskan. Migras ataupun perpindahan yang dilakukan oleh orang
Nias sudah berlangsung lama dan diperkirakan sudah terjadi dari abad ke-17
yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa
Cina serta Hindia belakang. Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan
menuju Baros. Tanö Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan
bahan bahan untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros.
Nias merupakan daerah terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal
19
dagang dari berbagai daerah sehingga orang Nias mempunyai peran penting
dalam kelangsungan perdagangan waktu itu seperti menyediakan tenaga kerja
yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter orang Nias ialah menghormati
dan patuh pada pemimpinnya. Menjadikannya mudah diorganisir sebagai pelaku
perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang Nias mulai
mengunjugi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja
Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran
tahun tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit
perang dan ada juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita di
jadikan istri.
Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu
itu) banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah
perkebunan di luar pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah
tersebut hinga sekarang. Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan
(dahulunya
Sumatera
Timur)
diperkirakan
dimulai
sejak
dibukanya
onderneming perkebunan tembakau dan perkebunan karet yang dikenal dengan
HVA. Banyak orang Nias bekerja di perkebunan-perkebunan, pada waktu itu
karet menjadi “primadona” oleh orang Belanda. Sehingga pohon karet oleh
orang Nias disebut hafea, yang tak lain adalah penyebutan lain untuk HVA yang
berada di Sumatera Timur. Inilah awalnya dan sejarahnya masyarakat suku Nias
tinggal dan menetap di Kota Medan. Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur
kemudian berkembang menjadi Kota Medan. Orang Nias terus melakukan
proses perpindahan atau urbanisasi yang dahulunya hanya kelompok kecil,
semakin lama terbentuk sebuah masyarakat suku Nias. Hidup berdampingan
20
dengan suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam keterlibatan dalam
berbagi dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan aktifitas budaya
masing-masing suku.
2.4 Adaptasi Masyarakat Nias Di Kota Medan
Masyarakat Nias yang datang ke kota Medan beradaptasi dengan cara
berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di kota Medan. Suku Nias merupakan
salah satu suku pendatang yang menetap di kota Medan. Suku bangsa lain juga
merupakan suku yang menetap di Medan terbagi, (1) suku bangsa tempatan
(natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly, 1990:84), dengan alas an bahwa suku
Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku
pendatang antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,
Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah
teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur
pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya.
Juga etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis
Nusantara lainnya serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang
dari Cina, India, dan yang lain dalam jumlah kecil. Tibanya orang Nias di Kota
Medan dan tinggal menetap dan melakukan aktifitas budaya dengan berbagai
cara. Sistem pemerintahan di Nias saat ini berbentuk kabupaten dan Kotamadya
dimana sebelumnya pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja namun saat
ini pulau Nias telah menajdi empat kabupaten satu Kotamadya sehingga semakin
memudahkan untuk dipahami bagi dari segi kebudayaannya maupun segi dialek
bahasanya.
21
2.5 Mata Pencaharian
Kedatangan orang Nias di Kota Medan berlangsung secara berkelompok
dan juga secara individual. Para pemuda Nias melakukan perjalanan (merantau)
bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota Medan dengan tujuan untuk
mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar keberbagai wilayah Kota Medan,
bekerja di Pabrik, petani, nelayan, tukang becak, karyawan swasta, bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau TNI / POLRI, buruh lepas juga ada
yang berbaur lewat perkawinan antara orang Nias dengan orang dari etnis lain.
Dengan bertambahnya jumlah orang Nias yang menetap di Kota Medan
menimbulkan keinginan untuk bersatu dalam satu ikatan organisasi dan
perkumpulan orang Nias dalam bentuk organisasi sosial, pendidikan, dan
kepemudaan. Pada saat ini diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan
menetap di Kota Medan sekitar 25.000. yang tersebar dalam wilayah Medan
seperti, Daerah Belawan, Perumnas Mandala, daerah Perumnas Simalingkar,
daerah Padang Bulan, daerah Helvetia, serta daerah lainnya dalam jumlah kecil
namun khusus didaerah objek penelitian penulis diperkirakan berdasarkan hasil
yang di kumpulkan penulis dari Kecamatan Medan Tuntungan sekitar 8.743 jiwa
(BPS Kota Medan 2013).
2.6 Agama Dan Sistem Kepercayaan
Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang
bebas dari pengaruh Hindu-Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami
banyak perubahan dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan
orang Nias percaya pada sistem yang bersumber pada kekuatan alam dan roh
22
leluhur. Juga dua kekuatan supernatural di kosmos, yang menampakkan diri
sebagai gejala-gejala alam dan arwah leluhur mereka. Kekuatan adikodrati
(supernatural) bersumber pada gejala-gejala alam yang memiliki nama sesuai
dengan tempat atau sistem kekuatannya. Para leluhur Nias kuno menganut
kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak
kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lowalangi, Laturadanö, Zihi,
Nadoya, Luluö, dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi
yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak
dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam
di dalam berbagai benda berwujud. Misalnya berbagai jenis patung, (Adu Nama,
Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lain-lain)
yang dibuat dari bahan batu atau kayu. Mereka juga percaya pada leluatan
supernatural pada pohon tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dan lain-lain.
Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering
disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan
politeisme.
Dalam sistem religi terutama sebelum masuknya ajaran agama Islam dan
Kristen, masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut dengan
Sanomba Adu. Kata-kata ini secara etimologis sanomba berarti menyembah, dan
adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu yang dipercayai
sebagai media roh bersemayam. Adu atau patung di tempatkan di Osali
bȍrȍnadu, yaitu bagunan tempat ibadah untuk penyembah patung (sonomba
adu). Pada abad-19 masuklah ajaran agama kristen di Pulau Nias yang pertama
kali dibawa oleh Denninger tahun 1865 tepatnya di Kota Gunungsitoli.
23
Sebelumnya ia sudah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang
ada di Padang. Orang Nias yang berjumlah kurang lebih 3000 jiwa ini
merupakan pendatang. Dari mereka inilah Denninger banyak mempelajari
kebiasaankebiasaan orang Nias, adat istiadatnya sehingga ia tertarik untuk
datang ke Nias untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kristen yang
ternyata berhasil dengan baik ia sebarkan. Misi selanjutnya dilanjutkan oleh
Thomas yang datang ke Nias pada tahun1873. Masa terpenting pada penyebaran
agama Kristen tersebut terjadi antara tahun 1915-1930 dan tahun ini disebut
sebagai tahun pertobatan (fangesa dȍdȍ sebua).
Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam
pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa SebuaFangesa Sebua
(Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak
peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patungpatung perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan
benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen
di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi
ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah
diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso
dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).
Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias,
yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau
menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan
sebagai dewa. Sangsi-sangsi hukum adat dengan hukum badan, poligami,
penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui dukun sudah semakin
24
berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragam kristen (S. Zebua
1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen
tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias yang berada di
pulau Nis maupun di kota Medan menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu
dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan
1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63).
2.7 Organisasi Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerjasama sangat
menonjol pada masyarakat Nias di kota Medan, walaupun terdapat perbedaan
dalam kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan
sosial bahwa orang-orang Nias yang ada di kota Medan sangat baik dalam
menjalin keakraban walaupun berbeda keyakinan. Organisasi sosial sangat
penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan dan kerja sama sangat
menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan yang saling berbeda.
Orang Nias memakai satu bahasa tunggal, akan tetapi dialeknya agak berbeda
disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Nias adalah huruf vocal
yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat, dan selalu ditandai dengan
akhiran huruf vokal. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi adaptasi sosial
antara sesame orang Nias dengan daerah budaya yang berbeda.
Walaupun sudah berpindah ke tempat yang jauh, tetapi orang-orang Nias
yang datang ke kota Medan tetap berusaha untuk mempertahankan sistem
keakraban yang telah dibangun oleh para leluhur terdahulu. Kebudayaan Nias
dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau perkumpulanperkumpulan
25
masyarakat Nias yang ada di Kota Medan. Ada yang membentuk perkumpulan
berdasarkan wilayah dimana asal mereka di pulau Nias seperti Persatuan
Masyarakat Gomo (PERMASGOM), Lahewa, Sirombu, Gidö, Pulau Batu,
Teluk Dalam. Ada juga berdasarkan marga (mado) seperti Persatuan Marga
Harefa, Persatuan Marga Mendröfa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga
Telaumbanua, Persatuan Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan
Marga Nazara. Selain itu juga masyarakat Nias juga membentuk perkumpulan
berdasarkan dimana mereka tinggal di Kota Medan berupa Serikat Tolong
Menolong (STM), seperti STM Sehati, STM Faomakhöda, STM Kasih Karunia,
STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang bersifat kepemudaan, gerejawi,
pendidikan dan pembanguan juga berdiri di Kota Medan, seperti Gerakan
Mahasiswa Nias (GMN), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias (FORMANISPE),
KMN, FORMAN, Komisi pemuda BNKP Hilisawatö.
2.8 Sistem Kekerabatan
Suku Nias memiliki sistem kekerabatan dan sistem kekerabatan tersebut
menurut garis keturunan ayah (patrineal) dengan menurunkan marga (mado)
kepada anak-anak mereka yang menjadi perlambangan pada keluarga tersebut
dan selalu maarga (mado) ayah yang ditempatkan dibelakang nama lahir untuk
generasi dibawahnya. Marga-marga yang ada pada masyarakat Nias adalah
Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali,
Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya,
Bulolo, Baewa Ba'i menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare,
Dohona, Duha, Duho, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu,
26
Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae,
Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura,
Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa,
Lase,
Lawölö,
Lo'i,
Lawolo,Lawelu, Laweni,
Lömbu,
Lamölö,
Lature,
Luahambowo,
lazira,
Lasara, Laeru, Löndu go'o, lase, larosa, Maduwu,
Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya,
Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya,
Nduru, Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö,
Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö,
Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili,
Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö,
Zamago zamauze.
2.9 Kesenian
Masyarakat Nias memiliki beberapa kesenian yang menarik dan menjadi
ciri khasnya. Salah satunya adalah lompat batu (hombo batu) merupakan contoh
budaya yang paling terkenal dan unik, di mana seorang pria melompat di atas
sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk
menunjukkan kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan
lompat batu tersebut di Desa Bawomatolua, Hilisimaetano, atau di desa-desa
sekitarnya. Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang
pria. Masyarakat Nias juga memiliki seni musik Adapun alat-alat musik Nias
sebagai berikut : (a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat
pemukul dari rotan. Alat pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu
27
digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik
mengiringi tarian atau lagu. (b) Aramba (gong), alat musik jenis gong berpencu,
teridiri dari gua gong yaitu aramba dan faritia. Aramba lebih besar dari
faritia.fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang terjadi di Medan
perang, misalnya ada yang meninggal. (c) Tamburu, gendang yang ukurannya
lebih kecil dari göndra dan bagianluarnya tidak diikat oleh rotan tetapi luarnya
dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi
pengantin, laug dan tarian. (d) doli-doli adalah xilophon kayu laore berupa
bilahan bilahan yang diletakkan diatas kaki pemainnya dan dipukul dengan
pemukul terbuat dari kayu. Alat musik ini kadang juga dikatakan gambang. (e)
Suling adalah alat musik tiup terbuat dari bambu (lewuö mbanua). (f) Ndruri
dana adalah alat musik jew’s harp, memiliki satu lidah yang disebut lela.
Masyarakat Nias juga memiliki beberapa tarian tradisional, antara lain
sebagai berikut: 1. Faluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di
bahagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria,
dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang,
gerakannya sangat kuat. Maluaya ini di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah
Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para wanita juga turut menari. Para wanita
menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan
pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan, dan pesta
untuk menyambut pendatang baru. 2. Tari maena yaitu tari yang biasa
dipertunjukkkan dalam acara pesta pernikahan, pesta owasa, dan juga dilakukan
untuk menyambut tetamu terhormat. Tari maena biasanya dilaksanakan
dilapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak sulit
28
untuk diikuti. Tari ini dilakukan oleh masyarakat umum, tidak terbatas usia dan
bebas (siapapun bisa melakukannya). Gerakan yang utama dalam tari-tarian ini
adalah gerakan kaki yang diayunkan. Variasi gerakan yang umum dilakukan
yaitu kaki membentuk segi tiga (tölu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi
empat (öfa sagi). Tari ini dipedomani oleh beberapa orang sambil melantunkan
syair dalam bahasa Nias dan di respon oleh yang ikut melakukan tari tersebut.3.
Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan
dan Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan
oleh penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai
dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan.
Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak
dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang. 4. Tari
Ya’ahowu merupakan sebuah tari kreasi baru yang biasanya di pertunjukan pada
acara penyambutan tamu adat, pesta-pesta adat seperti pernikahan, penyambutan
tamu pemerintahan atau daerah. Tarian ini merupakan tari kreasi baru dan sudah
disahkan menjadi salah satu tarian kesenian Nias. Dan tarian ini selalu di
pertunjukan setiap kali ada penyambutan tamu di pulau Nias.
Orang Nias juga mengenal seni rupa yang termasuk di dalamnya seni
lukis, seni ornamentasi, seni arsitektur tradisional, seni kerajinan, seni patung,
dan lain-lainnya. Masyarakat Nias juga mengenal seni patung dan kerajinan
angan. Kedua kegiatan ini dilakukan umumnya mengambil tempat di mbelembele atau emper depan rumah adat. Kegiatan ornamen, untuk mengisi bagian
penting rumah, sebagai pencerminan penghormatan kepada nenek moyang. Pada
megalith tersebut dipahat berbagai ukiran sehingga menjadi ornamen yang
29
merupakan simbol-simbol. Contoh dari seni patung itu antara lain, seperti
pembuatan patung (nadu) yang menjadi simbol kekuasan, patung yang menjadi
simbol marga, dan lain-lain.
30
BAB III
FUNGSI KEYBOARD SEBAGAI MUSIK PENGIRING TARI
MAENA PADA PESTA PERNIKAHAN MASYARAKAT NIAS
DI KOTA MEDAN
3.1 Gambaran Umum Upacara Pernikahan Adat Nias
Pada masyarakat Nias perkawinan (falöwa [falΣwa]) merupakan
pembentukan keluarga baru untuk menghasilkan generasi baru. Dalam
pelaksanaannya harus sesuai dengan adat yang berlaku dan disahkan oleh agama
(pihak gereja bagi yang beragama Kristen), serta memenuhi persyaratan hukum
negara atau pemerintahan.
Seorang laki-laki yang telah dianggap dewasa atau sudah berumur 18
tahun dapat dikawinkan dengan seorang gadis yang telah berusia 17 tahun, jika
beragama Kristen terlebih dahulu di baptis dan telah disidik. Kemudian pihak
laki-laki menyelesaikan segala persyaratan adat yang diminta oleh keluarga
pengantin wanita (balaki). Dengan masuknya agama Kristen di Pulau Nias
tampak bahwa aturan agama yang masuk ke pulau Nias sangat mengambil peran
penting dalam upacara adat perkawinan suku Nias. Jika calon pengantin adalah
pemeluk agama Kristen, terlebih dahulu menjalani proses pemberkatan di gereja
yang dipimpin oleh seorang Pendeta sebagai syarat syah menurut agama
kemudian dilanjutkan dengan melangsungkan upacara adat dilokasi yang telah
ditentukan. Kedua hal ini menurut orang Nias harus dilaksanakan sebaga
pertanda bahwa perkawinan dilangsungkan dengan baik. Sebelum agama
Kristen masuk ke pulau Nias, pengesahan lebih menitiberatkan pada persyaratan
31
adat yang dilakukan di depan ere (datuk atau pengetua adat) namun rangkain
pelaksanaan pesta perkawinannya sama dengan keadaan setelah Kristen masuk
di Nias.
3.1.1 Tata Cara Upacara Pernikahan Adat Nias
Upacara adat pernikahan masyarakat Nias memiliki struktur hierarki
(tingkatan) yang yang dalam mekanisme perencanaan dan pelaksanaanya
tergantung pada bagian daerah tempat upacara itu dilaksanakan. Mekanisme dan
aturan adat Nias bagian utara berbedan dengan Nias bagian selatan dan bagian
barat atau tengah. Masing-masing mempunyai karakter yang tersendiri. Namun
pada masyarakat Nias memiliki kesamana sesuatu yang umum dilakukan dalam
pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Nias salah satunya yaitu jujuran
(böwö) yang dilakukan dalam ritual penentuan yang disebut fondrako.
3.1.2 Mahar (Jujuran) Menurut Adat Nias
Mahar (jujuran ) adalah keseluruhan prosedur pernyerahan yang oleh
adat telah ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan
kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi
mengambil seorang perempuan
Nias, Hans Daeng (dalam Lola Utama
Sitompul, 2009 : 81), sedangkan menurut Ariyono jujuran merupakan bendabenda berharga yang diberikan kepada orang tua mempelai perempuan oleh
mempelai laki-laki atau kerabatnya. Secara khusus, menurut adat istiadat
pernikahan Nias jujuran (böwö) dalam arti sebenarnya
adalah kasih atau
perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Secara umum
32
menurut adat Nias, mahar (jujuran) dalam masyarakat Nias terdiri dari kefe
(uang kertas), bawi (babi),böra [bΣra] (beras), firö (uang perak), dan ana’a
(emas). Kelima jenis mahar (jujuran) ini menunjukkan lambang kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang. Oleh kaarena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar
(jujuran) pada masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama
dalam berlangsungnya suatu proses pernikahan. Pada pelaksanaan pesta
perkawinan, besarnya mahar yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan
berkisar antara 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung dan babi 30 ekor.
Besar kecilnya mahar yang diberika kepada pihak perempuan juga dipengaruhi
beberapa faktor, diantaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta pekerjaan
seorang perempuan. Jika seorang perempuan mempunyai pekerjaan atau berasal
dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp 70 juta
sampai Rp 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi
perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengeruhi jumlah mahar yang
diberikan. Hal terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan
pekerjaan seorang perempuan. Di beberapa daerah, dikenal istilah sumange
(memberikan sesuatu dengan penuh rasa hormat) yaitu “salam tangan” yang
dilakukan oleh mempelai pria kepada orangorang tertentu, yaitu orang-orang
yang memilki wewenang untuk memutuskan apakah pada saat upacara
dilangsungkan, mempelai wanitanya boleh diturunkan ke halaman untuk
diserahkan atau tidak. Tak jarang, upacara perkawinan berlangsung lama (dari
pagi hingga malam) hanya karena persoalan sumange tadi dan sumange ini yang
paling menonjol dalam mempersoalkan ini ialah pihak paman dari mempelai
33
wanita. Jika uang salam tangan tersebut sesuai dengan keinginan penerima,
maka serahterima dapat dilangsungkan.
3.1.3 Sistem Pernikahan Pada Masyarakat Nias
3.1.3.1 Kawin Sedarah
Kawin sedarah ini dilakukan antara saudara sepupu jauh (setelah
Sembilan generasi) sebagai hasil keputusan fondrako bonio dan fondrako laraga
yaitu, (1) seorang calon pengantin pria dapat mengawini saudara sepupu jauh
setelah Sembilan generasi, hal ini dimungkinkan agar putra-putri keturunan
bangsawan (si ulu atau balugu) jangan sampai jatuh kepada pihak lain yang
derajat bosi berbeda agar hubungan kekeluargaan yang sudah mulai menjauh
dapat menjadi lebih dekat kembali. Namun sesuai dengan pengalaman penulis
perkawinan sedarah juga bukan hanya dilkukan oleh pihak balugu saja namun
orang yang bosinya saling berbeda juga bisa dilakukan jikalau kedua belah pihak
memiliki kecocokan dan sebagaimana pesta perkawinan pada umumny, (2)
seorang pria menikahi putri pamannya dari pihak kerabat ibunya, yang lazim
disebut sibaya atau uwu. Perkawinan seperti ini disebut sangawuli ba zibaya
atau sangawuli ba nuwu, (3) perkawinan antara sepupu dengan ketentuan ibu
calon pengantin pria bersaudara kandung dengan ibu calon pengantin wanita,
yang disebut dusanai atau gasiwa (pariban dalam istilah lain).
3.1.3.2 Perkawinan Ganti Tikar
Pada masyarakat Nias perkawinan ganti tikar disebut sama lali tufo,
terjadi bila seorang istri yang suaminya telah meninggal dunia, maka saudara
34
kandung dari mendiang suaminya berhak mengawininya. Demikian sebaliknya,
jika seorang suami yang istrinya sudah meninggal dunia dapat menikhai saudara
kandung mendiang istrinya. Hal ini bertujuan agar hubungan kekerabatan yang
terjalin karena perkawinan sebelumnya tetap terjalin erat.
3.1.4 Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga
Dahulunya wilayah adat suku Nias hanya terdiri dari dua bagian, yakni
Nias selatan dan Nias utara. Namun sekarang dengan terbaginya beberapa
kabupaten di pulau Nias maka semakin nampaklah bagian-bagian budaya pada
masing-masing kabupaten. Tetapi secara umum yang menjadi patokan dalam
pelaksanaan upacara perkawinan baik masyarakat Nias yang ada di Kota Medan
maupun masyarakat di Nias itu sendiri. Böwö laraga ini merupakan acuan yang
mempunyai pengaruh yang paling luas dalam pelaksanaan upacara adat
masyarakat Nias. Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di Kota Medan,
dengan berbaurnya masyarakat dari daerah teritorial dan budaya yang berlainan
sistem atau tata cara menurut böwö laraga ini menjadi acuan yang kemudian
disesuaikan lagi dengan situasi dan kondisi oleh pihak yang malangsungkan
upacara perkawinan. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, dahulunya
perkawinan masyarakat Nias adalah kemauan dari kedua belah pihak atau di
jodohkan dan sebagai anak harus tunduk dan taat kepada orang tuanya. Dalam
penentuan mahar perkawinan seluruhnya di atur oleh orang tua.
35
3.1.5 Tata Urutan Pelaksanaan Pesta Pernikahan
Ada beberapa tata urutan pelaksanaan pesta pernikahan pada masyarakat
Nias, adalah tahap memilih pasangan, peminangan, dan pesta pernikahan.
Selengkapnya secara terperinci dijabarkan sebagai berikut.
3.1.5.1 Famaigi Niha ( Memilih Gadis )
Tahap famaigi niha merupakan tahap awal yang dilakukan oleh orang
tua ayah/ibu mempelai laki-laki atau sese datang kerumah barasi (calon
pengantin wanita) untuk melihat dan menanyakan gadis calon dari istri anak
laki-lakinya. Kemudian setelah melihat maka orang tua sese menemui salah satu
keluarga yang dekat dengan keluarga barasi untuk mengutarakan niat mereka
untuk datang kerumah barasi.
Selama dari perjalanan, ibu sese harus memperhatikan segala sesuatu
yang terjadi di perjalanannya, siapa yang berjumpa dan apa-apa yang
dijumpainya sampai kerumah tujuannya misalnya jika di tengah jalan dia
berjumpa dengan seekor anjing atau anjing sedang menyalak maka maknanya
bahwa tujuannya gagal dan tidak baik seperti kelakuan anjing, tetapi kalau ia
berjumpa dengan orang atau gadis yang sedang pulang mengambil air artinya
hal ini baik dan kalau selama ia berada dirumah tujuannya saat membicarakan
hal itu dan ada seorang yang bersin (bohö) artinya hal itu hendaknya
ditangguhkan saja yaitu berbahaya, tanda-tanda lain seperti apabila berjumpa
dengan ular, anjing sedang berkelahi, jumpa dengan orang membawa api. Jika
ibu sese tadi mempunyai tanda yang baik maka dilangsungkan niatnya untuk
membicarakan tujuannya, setelah putus persetujuan keluarga dapat dia
36
sampaikan kepada ibu gadis-ayah gadis atau barasi baru dia pulang, tinggal
menunggu balasan apakah berterima atau tidak sehingga hasil pembicaraan
keluarga (barasi). Bersetuju baru dikabarkan kepada orang tua sese.
Setelah orang tua sese mendapat balasan bahwa bersetuju orang tua
(barasi) barulah keluarga-keluarga terdekat sese berkumpul dan menanyakan
kepada arwah orang tua (malaika zatua) dengan perantaraan seorang Ere untuk
menyatukan jiwa kedua anak-anak tersebtu agar kelak menjadi satu keluarga
(fonambatö) dan merestui pekerjaan pelaksanaan proses perkawinan dengan
selamat.
3.1.5.2 Famaigi Tödö Manu Silatao ( Memeriksa Guratan Jantung Ayam
Jantan )
Pelaksanaan pemeriksaan guratan jantung ayam jantan ini dilaksanakan
di rumah sese (laki-laki) yang dihadiri oleh keluarga dan orang tua sese dengan
menyediakan seekor ayam jantan yang sedang besarnya. Oleh pelakasanaan Ere.
Memukul fondahi (alat gendang yang berupa tabuh) dimuka adu zatua (patung
berhala) sambil menuturkan sanjak mantra untuk mencintai petunjuk dari arwah
orang tua yang telah meninggal. Setelah selesai Ere memukul fondahi dan
berantara kemudian ayam disembelih pada lehernya dan darahnya di ambil oleh
Ere lalu dipoleskannya pada bibir adu zatua tadi sebagai penghormatan bagi
arwah nenek moyang tersebut. Selanjutnya Ere membelah dada ayam tadi lalu
mengambil jantung dan memeriksa guratannya; jika terdapat guratannya seperti
susunan kaki lipan (ahe galifa) dari ulunnya sampai kepuncak jantung dan lurus
letaknya maka ini menandakan bahwa suami istri itu (sese dan balaki) serasi dan
37
bahagia, panjang umur, dan mempunyai keturunan. Apabila telah ternyata
demikian maka orang tua sese segera mengangkat seseorang (pengantara,
penyampai bicara, telangkai).
Yang akan menghubungi penunjuk jalan (samatörö) dipihak orang tua
barasi (gadis). Seandainya dalam penglihatan Ere guratan jantung ayam tidak
baik maka lanjutan peminangan dibatalkan. Apabila pembicaraan untuk
peminangan jadi maka “SI’O” (pengantar; telangkai) dengan samatoro
(penunjuk jalan) yang tetap berunding segala sesuatu hasil perundingan mereka
tentang
lanjutan pelaksanaan perkawinan tetap
mereka
berdua
yang
menyampaikan kepada kedua belah pihak orang tua sese dan barasi. (Catatan):
Tentang tata cara memeriksa guratan jantung ayam jantan ini pada masa
sekarang telah punah karena desakan agama.
3.1.5.3 Fame’e Laeduru (Menyerahkan Cincin)
Fame’e laeduru disebut juga fanunu manu zamatörö. Upacara
pelaksanaan fame;e laeduru ini boleh di laksanakan dirumah samatörö
(penunjuk jalan) dengan segala keperluan ditanggung oleh keluarga antara lain
biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan famae’e laeduru ini ialah: (1) cincin
yang terbuat dari kuningan atau emas atau perak. Bentuk cincin ini seperti
belahan rotan. Cincin ini dibungkus pada saputangan dan didampingi
diikutsertakan sepulu saga, sepuluh gram emas balaki (perada), dan ½ tambali
ziwalu (paun emas muda). Penyerahan emas pendampingan cincin ini adalah
menurut derajat (bosi) orang tua balaki (gadis): berderajat. (2) Fanema laeduru
= menerima cincin (köla). Fanema laeduru ini dilaksanakan dengan pemberian
38
jujuran tanda terima kepada si’o dan samatörö beserta keluarga sebesar ½
tambali siwalu paun emas muda.(3). Afo (sekapur sirih) selengkapnya.(4).
Sakhozi ziwalu (peleburan emas muda) artinya keperluan babi hidup untuk
dimakan bersama sebesar 2 s/d 4 alisi = 20 kg s/d 40 kg, babi hidup. Setelah
lengkap keperluan tersebut diatas dan berlangsung pertemuan kedua belah pihak
orang tua maka oleh salawa hada (tokoh adat) pada desa si barasi (gadis)
menyerahkan dimuka siraha afasi (patung buat kapas) sebagai penghormatan
dan pemberitahuan pada arwah nenek moyang / leluhur. Pada masa sekarang ini
hal itu diganti dengan acara doa pemberkatan dan pemaduan hidup antar sese
(laki-laki) dan barasi (gadis) agar selamat. Selamat sebelum berlangsungacara
perkawinan kelak. Segala keperluan dalam acara ini ditanggung oleh orang tua
sese / laki-laki. (Catatan: dahulu dilaksanakan hal ini oleh Ere tetapi setelah
agama berkembang Ere diganti dengan pengetua adapt (salawa hada) atau
pengetua agama dengan berdoa kepada Tuhan yang maha Esa. Setelah
berlangsung hal tersebut diatas maka orang tua barasi atau gadis menolak
pinangan dari orang lain yang datang.
3.1.5.4 Fanunu Manu (Upacara Resmi Peminangan)
Pelaksanaan upacara fanunu manu ini adalah salah satu upacara adapt
resmi yang sangat menentukan pelaksanaan peralatan upacara pesta perkawinan
kelak, karena pada saat ini dapat ditentukan berapa besar jujuran yang harus
disediakan oeh pihak sese (laki-laki). Upacara fanunu manu ini dilaksanakan
oleh si’o dari pihak laki-laki dan oleh samatörö dari pihak barasi. Upacara ini
dilaksanakan dirumah barasi yang dihadiri oleh masyarakat kedua belah pihak,
39
tokoh adat, uwu (paman), ibu-ibu isteri tokoh-tokoh adat. Tujuan upacara fanunu
manu: (1) untuk memperkenalkan si sese (lelaki) kepada seluruh keluarga barasi
(gadis), (2) untuk memperkenalkan si sese (laki-laki) kepada seluruh penduduk
desa si barasi baik anak-anak, orang tua dan pemuda-pemudinya serta dengan
tokoh-tokoh adapt, (3) untuk memperkenalkan si sese kepada paman barasi,(4)
mengesahkan bahwa si sese dan si barasi telah bertunangan da orang tua sese
dan barasi telah berbesan syah, (5) membicarakan besarnya jujuran yang harus
dibayar oleh pihak sese kelak menurut tingkat bosi orang tua barasi dalam
masyarakat, (6) menentukan waktu pelaksanaan pesta perkawinan kelak, disebut
bongi zalawa. Keperluan-keperluan yang diperlukan pada upacara fanunu manu
(1)Yang disediakan oleh pihak sese (laki-laki), (2) Afo dibawa oleh pihak sese
beberapa kembut sirih (bola nafo) yang disebut bola nafo mböwö artinya bola
nafo yang diberi berkatan bola nafo ni diserhkan sese melalui ibu barasi yang
selanjutnya diserahkan kepada : (a) bola nafo untuk nina (soboto yaitu ibu)
diterima oleh ibu barasi, (b) Bola nafo untuk umu (paman) barasi diterima oleh
barasi (c) bola nafo untuk iwa (diterima oleh saudara Ayah barasi), (d) Bola
nafo untuk awe (diterima oleh nenek barasi ) (d) bola nafo untuk huwa (diterima
oleh saudara kakak barasi ), (e) bola nafo untuk si’o/ sanatö rö/ sameli (diterima
oleh pengantar dan telangkai baik dari pihak sese maupun barasi ) (f) bola nafo
untuk banua (diterima oleh isteri tokoh adapt di desa si barasi) (g) satu
bungkusan besar himpunan jenis nafo yang diserahkan ditengah-tengah ibu-ibu
untuk dimasak sebagai afo biasa, (1) Satu ekor babi hidup 4 alisi (40 kg) untuk
keperluan adapt fanunu manu (diserahkan satu hari sebelum hari fanunu manu),
(2) Emas disediakan sara balaki atau sara siwalu ini ditentukan dengan tingkat
40
derajat (bosi) kedudukan orang tua barasi pada masyarakat, emas jujuran ini
disebut lambae daroma, yaitu emas penghormatan pendahuluan dari pada
jujuran. Emas ini diterima oleh soboto, yaitu orang tua barasi, (3) olöwöta
(bungkusan daging anak babi) yang sudah dimasak. Bungkusannya mowawino
(seludang pelepah pinang) yang diisi dengan simbi dan daging rusuk, daging
paha anak alakhaö selengkapnya. Daging babi olöwöta ini disebut “föfö
wangandrö dome” (pihak sese) waktu berangkat dari rumahnya kadangkala juga
daging ini diletakkan dalam so’u-so’u (keranjang yang dibuat dari susulur atau
tutura).
3.1.5.5 Famalua Li (Pertanyaan Melangsungkan Perkawinan)
Setelah ketentuan bongi zalawa atau bongi nama berangsung beberapa
minggu atau bulan maka oleh orang tua pihak sese memperkirakan kemampuan
pembiayaan sudah ada dan cukup maka si’o dari pihaknya disuruh mengadakan
kontak bicara dengan sanemali dipihak gadis meminta persetujuan dan
menanyakan perkiraan besarnya jujuran yang harus dibawa dan bagaimana
rencana selanjutnya mengenai waktu dan persiapan mereka. Ini disebut
famangelama (mengingatkan). Pada waktu si’o sese pergi menanyakan ini ia
ditemani oleh menantu laki-laki dengan membawa bola nafoi dan olöwöta yang
disebut bungkusan daging anak babi mengingatkan. Pada pembicaraan
pertemuan ini dihadiri oleh keluarga dari ayah gadis yang berhak menerima
bagian dari jujuran. Pada wakktu inilah si’o dari pihak laki-laki dengan gigih
berbicara meminta belas kasihan penurunan dari jumlah jujuran yang sewajarnya
kepada yang berhak menerima yang akhirnya diminta berapa besar jujuran
41
keperluan saekhu bazimaöchö (jujuran yang harus dibayar sampai pada
peralatan pesta perkawinan) yaitu böwö soguna maöchö (dalam hal ini besar
jujuran menurut bosi tidak terlepas yang tetap sebagai jujuran yaitu böwö
nisitaigö yawa) yang kemudian dibayar. Setelah sepakat dengan keperluan
saekhu bazimaökhö/ böwö soguna maökhö maka beberapa hari kemudian oleh
salawa hada (pengetua adat) dan si’o dari pihak sese datang sebanyak ± 5 orang
tanpa wanita/ ibu-ibu mengadakan upacara famua li di pihak gadis dihadiri oleh
keluarga gads, dan salawa hada dan ibu-ibu keluarga. Untuk mengesahkan
besarnya jujuran yang diminta untuk pesta sehari. Keperluan-keperluan yang
disediakan oleh pihak laki-laki, (1) Afo selengkapnya, (2) Babi untuk
famangelama yaitu daging babi mentah (yang sudah di asini) sebanyak dua hia
s/d öfa hie gunua suguhan pada para salawa sebagai ganti famangelama
terdahulu, (3) Seekor babi hidup sebesar öfa alisi, (4) Emas jujuran (sebagai
angsuran ) besarnya diserahkan pada kesanggupan pihak laki-laki yang nantinya
dikurangi dari jumlah keseluruhan jujuran. Pihak gadis menyediakan:
1. Seekor anak babi sebesar sara alisi untuk dibawa tome yaitu pihak laki-laki
2. Beras secukupnya untuk dipergunakan hari itu.
Dalam pelaksanaan ini dapat juga berlaku acara fangowai dan untuk
mempersingkat waktu bisa saja dimulai dengan acara biasa yang mulai oleh si’o
dan seterusnya dengan penyerahan daging babi famangelama tersebut diatas
sambil meyatakan apa maksud dan tujuan mereka. Setelah berselang
pembicaraan kedua belah pihak maka oleh salawa kedua belah pihak pertamatama salawa dari pihak gadis mengambil daun kelapa muda mengeja besarnya
42
jujuran yang harus dibayar menurut bosi ayah si gadis, perhitungan ini disebut
era-era mbulu nohi safusi.
3.1.5.6 Folohe Fakhe Toho (Penyerahan Padi Keperluan Pesta Kawin)
Setelah berselang beberapa hari sesudah pertemuan fangandrö li nina
maka penduduk warga desa atau keluarga dari pihak sese datang membawa dan
menyerahkan padi untuk keperluan pesta kawin yang disebut fakhe toho.
Rombongan yang membawa padi tersebut diktahui oleh si’o dari pihak sese dan
menyertakan membawa su’a wakhe ( sukatan atau takaran padi ) yaitu daging
babi mentah yang sudah dibungkus pada upin pinang besarnya atau beratnya dua
hie s/d tölu hie (3 kilogram s/d 6 kilogram). Banyaknya fakhe toho yang dibawa
adalah berdasakan ketentuan yang diinta pihak barasi menurut rembukkan pada
waktu femanga manu yang disesuaikan dengan jenjang bosi orang tua barasi :
Banyaknya fakhe toho tersebut berdasarkan bosi:
1. bosi si fitu: Fakhe toho sebanyak 1 zo’e
2. bosi si walu: Fakhe toho sebanyak 2 zo’e
3. bosi si siwa: Fakhe toho sebanyak 4 zo’e
4. bosi si fulu: Fakhe toho sebanyak 6 zo’e
5. bosi si felendrua: Fakhe toho sebanyak 8 zo’e
Catatan:
1. 1 zo’e daerah Laraga = 15 Lauru 4 Jumba (120 liter)
2. 1 zo’e daerah Moro’ö = 10 Lauru 5 Jumba (100 liter)
3. 1 zo’e daerah Lahömi = 10 Lauru 5 Jumba (100 liter)
4. 1 zo’e daerah Raya = 6 Lauru 5 Jumba (60 liter)
43
5. 1 zo’e daerah Yöu = 10 Lauru 4 Jumba (80 liter)
Sesudah siap diukur atau disukat dan ditukar padi tersebut dan
rombongan yang terlah juga siap makan maka mereka pulang. Sesudah itu padi
tadi dibersihkan, ditumbuk oleh wanita pihak barasi secara beramai-ramai,
untuk dijadikan beras yang selanjutnya dipergunakan pada peralatan pesta kawin
berlangsung.
3.1.5.7 Famaigi Bawi ( Menengok Babi Adat Pesta Kawin)
Menjelang beberapa hari lagi sebelum pesta kawim berlangsung maka
dilaksanakan
upacara
famaigi
bawi
walöwa
yang
telah
disiapkan
pemeliharaannya oleh sese. Bawi walöwa ini ada dua ekor yaiut, (1) satu ekor
yang disebut bawi zo’ono, yaitu untuk orang tua barasi dan pamannya,(2) satu
ekor yang disebut bawi mbanua yaitu untuk warga desa kedua belah pihak.
3.1.5.8 Folau Bawi (Upacara Membawa Babi Bawi Walöwa)
Upacara membawa babi adat (bawi walöwa) ini dilaksanakan dengan tata
cara sebagai berikut yaitu (1) Fesu ( tali pengikat ) kaki dan alogo ditali dulu
yang terdiri dari bahan ono gahalu ( kulit kayu), (2) seluruh warga desa sese
berkumpul dirumah sese baik saawa , tokoh adapt dan ono matua dipilih untuk
membawa babi adat tersebut, (3) sebelum berangkat maka oleh tokoh adat,
salawa mendoakan pada arwah leluhur agar memberkati babi tersebut dan
menjauhkan segal mara bahaya di jalan dan selamat sampai di desa barasi.
44
3.1.5.9 Falöwa (Pesta Perkawinan)
Pihak sese ( laki-laki ) mempersiapkan segala keperluan untuk datang ke
pesta kawin antara lain yang dipersiapkan ialah, (1) segala keperuan pakaian dan
peralatan sese (laki-laki) atau mempelai, (2) uang emas untuk pelunasn utang
pada jujuran, (3) alat musik yang dibunyikan disepanjang perjalan dari rumah
sese kerumah barasi seperti fariti, cucu, (4) pakaian adat para ibu-ibu seperti
ni’ohulaya, ni’otalakhoi baju dan sarung serta perhiasan emas umpamanya
balahögö, saerudalinga,nifato-fato. Baju adat yang dipersiapkan itu adalah
berwarna dasar merah hati, kuning dan hitam yang telah di motif dengan
ni’ohulaya dan ni’otalakhoi. Sesudah segala persiapan langkah dan keperluan
lain maka rombongan sese berangkat dengan terdiri dari: (1) seluruh warga desa
sese, wanita, orangtua dan anak-anak, (2) seluruh tokoh-tokoh adapt dan
salawa,(3) Seluruh besan jiran ipar dan menantu di pihak sese, (4) semua
keluarga paman sese, (5) semua kenalan dari desa sekitar desa sese. Setelah
diperkirakan lengkap seluruh para rombongan zangowalu baru berangkat dengan
mengatur letak seperti, (1) dimuka ibu-ibu istri tokoh-tokoh adat dan salawa, (2)
sesudah itu böli gana’a (menantu-menantu yang baru) dan wanita,(3) setelah itu
tokohtokoh adat laki-laki dan salawa, (4) sesudah itu regu marafule (mempelai)
dengan didampingin oleh beberapa orang pemuda sebagai pendampingnya dan
menjaganya, (5) sesudah itu regu pemuda-pemudi, (6) sesudah itu regu yang
membawa alat musik seperti faritia dan tambur yang terdiri dari anak-anak
setengah baya. Sepanjang jalan alat musik ini tetap dimainkan atau di bunyikan.
Sebelum berangkat rombongan menyerahkan diri dahulu kepada Tuhan,setelah
itu baru höli-höli dan menyusul böli hae yang dilaksanakan sepanjang perjalanan
45
sampai tiba di halaman tujuan atau di halaman rumah tempat pesta kawin di
selenggarakan. (a) Fanema’ö uwu (pihak paman), pihak uwu/ sibaya datang
lebih awal dan tiba dipintu gerbang halaman di jemput oleh pihak perempuan
serta salawa hada dan kemudian uwu dipersilahkan mengambil tempat di sinata
(tempat yang paling terhormat).
(b) Tome tiba di lokasi pesta juga disambut oleh keluarga pihak
pengantin perempuan. Pada saat kedatang tome ini, mereka melakukan bolihae
(syair hoho yang isinya menyanjung atau mengagungkan pihak perempuan dan
juga menyanyikan lagulagu
dan doa yang terkandung dalam ajaran agama
Kristen).
(c) Fangowai ba fame’e afo (penghormatan dan pemberian sirih), ini
dilaksanakan oleh satua mbanua / salawa hada (laki-laki maupun perempuan)
yang dimulai oleh pihak perempuan dengan syair yang merendah, dan kemudian
dilanjutkan oleh pihak laki-laki atau tamu dengan mengagunggungkan pihak
perempuan.
(d) Famasao bola zangowalu, disini dengan sangat hati-hati serta
hormat, memberikan seperengkat sirih yang di masukkan kedalam sebuah
kantong (bola nafo) kepada pihak yang berhak yaitu, ina (ibu dari pengantin
perempuan), iwa (istri dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin
perempuan), uwu (istri dari pihak paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah
seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar dan mempunyai hubungan keluarga
dengan pengantin dan Si’o atau penghubung yang terdiri dari Si’o narö gosali
dan Si’o sanöröra lala).
46
(e) Fanetu huhuo dan fanika gera-era mböwö, ini dilaksanakan oleh para
raja adat atau satua mbanua setelah membicarakan tentang hal böwö, maka
diputuskan oleh fangetua huhuo dengan acara pengukuhan berupa höli-höli yang
kemudian dilanjutkan dengan fanotoli mbosi dan berdasarkan ini dijelaskan
jumlah jujuran (böwö) yang wajib dilunasi. Böwö yang sisa ini sesuai dengan
falsafah suku Nias yaitu, hönö mböwö no awai, hönö mböwö so nasa, nila’a
yawa bambuatö gosali (bila kelak orang tua dari pihak pentin perempuan
meninggal dunia (ahele nasi) atau mendirikan rumah, atau mengawinkan anak,
atau mendirikan satu kampung maka disitulah pengantin laki-laki ini membayar
sisa böwö yang dimaksud). Fanika gera-era mböwö sebagian materinya yakni
nasehat bagi pengantin pria (famotu sangowalu). Juga dijelaskan bagi sanak
keluarga dan para sitenga bö’ö memberitahukan kepadapengantin laki-laki agar
menghormati dan menghargai mereka seumur hidup. Pada saat ini dipergunakan
alat berupa daun kelapa muda (lehe nohi) dan satu tempat air (fanefe idanö)
yang dilakukan oleh seorang satua mbanua (pengetua adat). Dewasa ini
pembayaran böwö pada acara fanika gera-era mböwö sudah mulai langka
ditemukan dan dilaksanakan hanya pada pesta besar yang melakukannya seperti
ono duha / ono mbawali (orang yang berada).
(f) Femanga yaitu makan bersama dengan pemberian sumange kepada
uwu, tome, iwa, huwa, banua, sitenga bö’ö undangan, ono alawe atau fedono
yang mendapatkan bagian berupa kaki depan babi lengkap sampai kuku (ta’io).
(g) Fametou bene’ö, pada acara ini uwu bertindak untuk menggendong
pengantin perempuan (bene’ö) kemudian didudukkan pada tempat yang sudah
disediakan. Dilanjut dengan penyerahan pengantin perempuan dari orang tua
47
atau sanak keluarga kepada pihak tome yang diteirma oleh böli gana’a dan
kemudian disambut oleh orang tua dari pengantin laki-laki (satua mbanua)
sebagai perwakilandari seluruh tamu. Ada kalanya acara juga diselingi dengan
upacara kebaktian pengukuhan perkawinan oleh pendeta setempat. (h) Fame töi
mbene’ö, merupakan acara pemberian gelar kepada pengantin perempuan oleh
keluarga laki-laki dengan persetujuan dari pihak uwu. Setelah mendapat kata
sepakat baru lahuhugö sebagai tanda pengesahan, mulai saat ini sebutan atau
panggilan terhadap pengantin perempuan adalah gelar yang baru diberikan
kepadanya. Selesai acara ini maka pihak pengantin laki-laki bersama pengantin
perempuan berangkat kerumah pihak laki-laki. (i) Fame gö mbene’ö atau fame
gö nono nihalö Kegiatan ini dilakukan setelah dua atau tiga hari pesta
perkawinan. Pada acara ini pihak perempuan (ibu, saudarasaudara dan kerabat
dekat) pergi kerumah laki-laki untuk melihat keadaan pengantin peremppuan
dengan membawa makanan berupa seekor anak babi, dan makanan lainnya.
Setelah tiba dirumah pihak laki-laki maka pihak perempuan dijamu makan
dengan seekor babi, dan sewaktu berangkat pulang diberikan lagi seekor babi
untuk ibu Orifitö nina biasanya babi tersebut seberat 60 – 70 kg (sazilo) dan
kemudian diberikan uang dengan jumlah tidak ditentukan jumlahnya untuk
dibagikan kepada orang yang ikut pada waktu itu (awö zamasao’ö).
(j) Femanga gahe (famuli nucha), pada kegiatan ini kedua pengantin
bersama keluarga pihak laki-laki datang kerumah orang tua perempuan dengan
membawa seekor babi seberat 25-40 kg, serta membawa sebagian pakaian
wanita yang tadinya hanya dipakai pada pesta bukan menjadi milik sendiri.
Setibanya di rumah pihak perempuan mereka disambut dengan diberi makan
48
soko köli. Pada kesempatan ini kedua
pengantin dan saudara-saudaranya
mengunjungi rumah demi rumah dari setiap keluarganya untuk menerima anak
babi maupun ayam untuk dipelihara sebagai bakal dihari yang akan datang
nantinya.
3.1.6 Pertunjukan Tari Maena pada Pesta Pernikahan
Untuk melihat fungsi maena dalam konteks upacara perkawinan pada
masyakarakat Nias di Kota Medan, akan lebih mudah mengetahui terlebih
dahulu bagaimana proses dan tahap-tahap upacara adat perkawinan tersebut
namun sebelum melihat bagaimana pertunjukannya maena pada pesta
perkawinan, penulis menjelaskan bahwa biasanya di Nias sendiri upacara adat
dilaksanakan di rumah pengantin perempuan dan tidak dengan menggunakan
gedung khusus seperti wisma (bagi suku Batak Toba), jambur (Karo).
Hal ini pesta adat perkawinan masyarakat Nias yang tinggal di Kota
Medan bisa juga dilakukan seperti halnya di daerah Nias sendiri namun dengan
dilihat kondisi lingkungan dimana pelaksana upacara adat itu tinggal sangat
tidak memungkikan untuk dilaksanakan upacara adat karena faktor seperti
sarana tempat tinggal kurang memadai (tinggal di cost), sehingga pada pesta
adat perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan yang penulis teliti
diselenggarakan di gedung serba guna atau wisma.
Tata cara jalannya upacara pesta adat perkawinan masyarakakat Nias
yakni setelah pemberkatan yang dilangsungkan di gereja, kedua mempelai,
kelompok kerabat, berikut rombongan pengiring tiba dilokasi pesta. Setibanya di
lokasi pesta,seorang protokol atau MC membacakan tata cara saat memasuki
49
Gambar: Pemimpin dalam nyanyian Maena
gedung. Namun bagi masyarakat Nias di Kota Medan sebelum masuk, pihak
tome (tamu) menyanyikan lagu-lagu gerejawi dalam bahasa Nias ataupun
dengan bahasa Indonesia. Mulai dari pemberkatan hingga nyanyian gerejawi
terasa nilai-nilai ajaran Kristen begitu mempengeruhi bentuk upacara
perkawinan ini, dimana ada fungsi adat yang digantikan dengan fungsi gereja,
yaitu pengesahan oleh kelompok adat yaitu ere digantin dengan pemberkatan
oleh pendeta.
50
Gambar: Para tamu yang menarikan Maena
(a) Fora’u tanga (salama-salaman). Setibanya di lokasi pesta pihak lakilaki, para ibu-ibu dan kerabat keluarga pihak mempelai wanita menyambut
mereka dengan saling bersalam-salaman dengan tujuan menyambut para tamu
karena sudah datang. Pada acara salam-salaman ini kedua mempelai berjalan
kedepan dengan ditemi oleh kedua pendamping mempelai laki-laki dan
perempuan, kemudian disusul oleh keluarga, family dan kerabat mempelai lakilaki. Pada saat pihak tamu sampai di lokasi pesta, pihak pengantin wanita
51
Gambar: Para tamu yang menarikan Maena
(sowatö) berada di depan menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Kemudian
setelah selesai salam-salaman, maka kedua mempelai wanita dan mempelai lakilaki dipersilah untuk duduk dipelaminan. Setelah dipersilahkan untuk duduk,
pihak tome dan pihak sowatö berpisah tempatnya dimana mempelai wanita
berada di posisi sebelah kiri dan mempelai laki-laki berada di sebelah kanan.
Masing-masing elemen upacara terdiri dari: kedua mempelai berada di depan
52
para kerabat dan tamu undangan. Setelah duduk ditempat masing-masing
dilangsungkan tarian faluaya yang bersifat sebagai hiburan (bukan unsur wajib,
sesuai dengan keinginan dan kondisi). Pada setiap prosesnya dipandu oleh
seorang protokol yang menyampaikan tata tertib upacara dengan menggunakan
alat pengeras suara.
(b) Fanunö (nyanyian gereja). Setelah kedua pihak telah dipersilahkan
duduk dan semua kerabat maka diadakan nyanyian pembukaan berupa nyanyian
gerejawi dimana bertujuan bahwa acara akan segera dimulai maka kedua belah
pihak menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pelaksanaan acara
ini dapat berjalan dengan baikyang dipimpin oleh pendeta setempat. setelah
acara ini selesai maka seorang protokal membacakan acara selanjutnya. Pada
susunan acara perkawinan yang penulis teliti ini dilangsungkan berdasarkan
kesepakatan kedua pihak. Kemudian acara fangowai dome dan fangowai zowatö.
Pada acara fangowai dome dan faongawi zowatö ini tidak menggunakan alat
musik pengiring dan bukan dalam konteks maena.
(c) Fame’e bola nafo. Pada acara ini pengantin laki-laki dengan sangat
berhatihati menyerahkan bola nafo kepada ibu-ibu yang telah duduk dibagian
depan ditempat yang telah disediakan yang terdiri dari: ina (ibu dari pengantin
perempuan), iwa (istiri dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin
perempuan), uwu (istri dari pihak paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah
seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar dan mempunyai hubungan keluarga
dengan pengantin dan Si’o atau penghubung yang terdiri dari Si’o narö gosali
dan Si’o samatörö lala). Pada acara fame’e afo pengantin laki-laki dalam
pemberiannya harus tunduk dan tidak boleh berdiri karena dalam filsafah orang
53
Nia, pengantin laki-laki merupakan orang yang datang dari bawah (sanörö tou).
Setelah penyerahan bola nafo, maka dipertunjukan maena yang merupakan
bagian dari susunan acara pesta perkawinan. Pada pelaksanaan maena yang
menjadi pembuka pertama ialah pihak perempuan. Dalam pertunjukan maena
oleh pihak perempuan ini, maena yang dibawakan ialah maena wangowai dome.
Pada maena ini seluruh pihak mempelai perempuan melakukan maena. Biasanya
dalam pertunjukan budaya peserta maena adalah orang yang di panggil dari
sanggar-sanggar budaya, namun dalam pesta adat perkawinwan masyarakat Nias
ini tidak demikan tetapi yang menjadi peserta maena ialah orang-orang yang
menjadi pelaksana daripada pesta adat tersebut. Setelah dipertunjukannya maena
wangowai dome maka disusul dengan maena wangowai zowatö yang
dilaksanakan oleh pihak laki-laki. Pada pertunjukanya tidak membatasi seberapa
orang yang ikut dalam tarian ini namun tergantung daya tampung gedung atau
halaman lokasi pesta tersebut dilangsungkan.
(d) Femanga (jedah). Pada acara ini pihak paman (uwu/sibaya)
merupakan orang yang paling diharmati dan diberikan kepadanya daging babi
yang berupa simbi dimana menandakan bahwa simbi ini merupakan bagian
terhormat yang diberikan kepada seseorang pada suatu acara. Setelah
berakhirnya jedah menjelang beberapa saat kemudian diteruskan dengan acara
maena wangandrö sokono yang bertujuan meminta saweran atau pemberian
pihak laki-laki kepada peserta maena yang dilaksanakan oleh pihak perempuan.
54
3.2 Fungsi Keyboard Pada Pesta Pernikahan Masyarakat Nias
Keyboard adalah instrumen dengan satu susunan kunci yang di tata
secara horizontal dan menghasilkan bunyi antara lain: piano, organ, klavikord,
dan harpsikord. Dikatakan bahwa perkembangan baru sekarang keadaannya
telah berubah menjadi sangat sempurna, bukan saja hanya sebagai instrumen
tapi dilengkapi dengan pelbagai irama bunyi dan semua dapat diprogramkan
secara komputerisasi. Keyboard dapat menghasilkan berbagai bunyi atau suara
alat musik, meter, ritem, jenis musik, dengan menggunakan program-program
yang ada. Adapun contoh jenis meter yang ada pada keyboard, seperti ritem 4/4,
3/4, 2/4. Sedangkan contoh jenis pola ritem dapat kita lihat pada keyboard,
seperti: Rhumba, Jazz, Waltz, Pop, Bosanova, Rock (Ensiklopedia Musik, Jilid I,
1992: 285 dalam Dermawan Purba, 2003:80).
Pada zaman sekarang, keyboard sudah banyak digunakan untuk
mengiringi upacara-upacara adat yang menggantikan peranan musik tradisional
setempat, contohnya peran keyboard di masyarakat Batak Karo. Keyboard pada
awalnya
digabungkan
dengan
gendang
lima
sedalanen
dengan
cara
memanfaatkan unsur-unsur ritmis yang terdapat di program musik (style musik
dalam keyboard) untuk menambah nuansa musikal. Akulturasi dalam aspek seni
musik ini direspon positif oleh banyak kalangan terutama generasi muda yang
sering melaksanakan gendang guro-guro aron. Hal ini juga terjadi pada
masyarakat Simalungun, salah satu unsur asing yang masuk atau diadopsi oleh
masyarakat Simalungun adalah musik keyboard. Genre musik ini menggunakan
alat musik utamanya adalah keyboard ditambah drum, cymbal, dan gitar. Musik
keyboard ini kemudian dikolaborasikan dengan gonrang sehingga mereka mulai
55
gunakan dalam berbagai upacara adat mereka seperti upacara sayur matua.
Secara umum mereka menerima karena lagu-lagu yang dimainkan hampir sama
dengan ensambel musik tiup dan jenis-jenis repertoar gonrang sipitu-pitu. Selain
itu musik keyboard ini mampu membawakan lagu-lagu rakyat Simalungun dan
lagu dari daerah-daerah lain seperti lagu-lagu dari daerah Tapanuli, Karo,
Mandailing, Melayu, Ambon, lagu-lagu Barat, dan lagu-lagu Gerejawi.
Dimasyarakat Nias, keyboard juga digunakan pada upacara adat, salah satunya
upacara pernikahan masyarakat Nias sekarang ini. Pada upacara pernikahan
tersebut, keyboard digunakan sebagai pengiring tari dan nyanyian.
Menurut Alan P. Merriam, yaitu
... use then refers to the situation in which is employed in
human action: function concern the reason for its
employment and particulary the brodader purpose which is
serves... (1964:210)
Dapat diartikan bahwa use (penggunaan) menitikberatkan pada masalah
situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function
(fungsi) yang menitikberatkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan
pemakain musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Sebagai
tujuan dan akibat yang timbul dari penggunaan yang telah disebutkan di atas,
maka dapat ditelusuri melalui fungsi-fungsi antara lain sebagai berikut.
3.2.1 Fungsi Hiburan
Menurut A. Hennie Zega (narasumber, seniman Nias di Kota Medan),
suku Nias menggunakan instrumen keyboard sebagai alat musik pada pesta
pernikahannya dikarenakan penyewaan keyboard lebih gampang dicari dan
56
keyboard juga bisa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pop dalam bahasa
Nias ataupun bahasa Indonesia jika ada dari tamu-tamu yang hadir yang ingin
menyanyi. Dari sini bisa dikatakan bahwa keyboard pada masyarakat Nias
memiliki fungsi hiburan.
3.2.2 Fungsi Kesinambungan Budaya
Keyboard pada upacara pernikahan merupakan kesenian
masyarakat
Nias yang ada di kota Medan yang sampau saat ini tetap dipertahankan
penggunaannya dan terpelihara ditengah-tengah masyarakat pemiliknya.
Menurut A. Hennie Zega,
musik keyboard pada tari Maena di upacara
pernikahan masyarakat Nias merupakan salah satu bagian penting dalam proses
pernikahan tersebut. Dengan demikian maka masyarakat tersebut dengan
sendirinya telah turut melestarikan kebudayaan uang telah diwariskan oleh
leluhurnya.
3.2.3 Fungsi Perlambangan
Musik
menggunakan
keyboard
pada
upacara
pernikahan
masyarakat
Nias
timbre (warna suara) yang ada pada keyboard untuk
menggantikan suara alat musik faritia. Dengan kata lain ketika orang-orang Nias
mendengar musik keyboard tersebut maka mereka akan merasakan bahwa
kebudayaan mereka sudah dilestarikan.
3.2.4 Fungsi Reaksi Jasmani
Ketika musik pengiring tari maena pada upacara pernikahan tersebut
dimainkan maka para undangan dan kerabat yang datang akan melakukan tarian
maena secara beramai-ramai.
57
3.2.5 Fungsi Penghayatan Estetis
Suatu keindahan dapat dituangkan dalam bunyi-bunyian yang dihasilkan
dari perpaduan instrumen-instrumen musik dalam keyboard yang tertuang
melalui permainan ritem maupun melodi yang dapat dinikmati oleh pemusik itu
sendiri maupun pendengarnya.
58
BAB IV
ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL
4.1 Teknik Transkripsi
Untuk menganalisa bagaimana bentuk dari musik, tentu yang harus
dilakukan adalah melakukan transkripsi. Transkripsi dilakukan untuk mengubah
bunyi yang didengar menjadi simbol-simbol yang dapat dibaca.
Sebagai tahap awal dalam dalam transkripsi ini adalah perekaman
langsung musik keyboard
pada pesta pernikahan masyarakat Nias dengan
menggunakan kamera digital sebagai media rekam. Adapun spesifikasi kamera
digital yang digunakan adalah merk Canon DSLR 1100.
Setelah hasil rekaman didapat, selanjutnya penulis mendengarkan melodi
dari musik keyboard pengiring tari maena pada upacara pernikahan masyarakat
Nias. Selanjutnya adalah menentukan mana saja yang akan ditranskripsikan.
Untuk transkripsi musik keyboard pengiring tari maena, penulis hanya
mengambil melodi dan ritem yang dimainkan pada musik keyboard tersebut.
Setelah menentukan apa saja yang akan ditranskripsikan, tahap
selanjutnya adalah mendengarkan muysik keyboard yang akan ditranskripsikan.
Kemudian penulis mencari nada-nada apa saja yang terkandung di dalam
nyanyian tersebut dan menentukan nada dasar dengan menggunakan keyboard.
Setelah mendapatkan nada apa saja yang ada dalam nyanyian, penulis
menuliskannya ke dalam garis para nada yang menggunakan notasi Barat atau
notasi balok. Penulis memakai notasi Barat karena notasi tersebut paling umum
digunakan dan dikenal dalam informasi sebuah musik.
59
4.2 Simbol-simbol Dalam Notasi
Dalam transkripsi musik keyboard
pengiring tari maena yang
menggunakan notasi Barat, ada beberapa simbol yang digunakan, yaitu:
1.
= Merupakan garis paranada yang memiliki lima buah
garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda
kunci G.
2.
= Merupakan birama 4/4 dalam kunci G.
3.
= Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi
satu ketuk.
4.
= Merupakan empat buah not 1/16 yang di gabung
menjadi satu ketuk.
5.
= Merupakan sebuah not 1/8 dan tanda diam 1/8 digabung
menjadi satu ketuk.
6.
= Merupakan dua buah not 1/16 dan sebuah not 1/8
digabung menjadi satu ketuk.
7.
= Merupakan tanda mol (flat) yang berarti nada yang
diturunkan ½ dari nada sebelumnya.
8.
= Merupakan tanda kres (sharp) yang berarti nada yang
dinaikkan ½ dari nada sebelumnya.
60
9.
= Merupakan tanda pugar (natural) yang berfungi untuk
mengembalikan
atau
menaturalkan
nada
yang
dinaikkan atau diturunkan ½ dari nada sebelumnya.
hihat cymbal
10.
beat drum snare drum
= simbol drum yang ada dalam transkripsi music
pengiring tari Maena
Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam
lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami maknamaknanya.
61
4.3
Transkripsi Keseluruhan
62
63
64
65
4.4 Analisis Struktur Musikal
Dalam menganalisis struktur musik pada musik pengiring tari
maena upacara pernilahan masyarakat nias, penulis berpedoman kepada teori
yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengan teori weighted
scale dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu
(1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range),
(4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola kadensa
(cadence patterns), (7) formula melodik (melody formula), dan (8) kontur
(contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 13).
4.4.1 Tangga Nada (Scale)
Dalam mendeskripsikan tangga nada, penulis akan mengurutkan
nada-nada yang terdapat dalam melodi musik pengiring tari maena tersebut yang
dimulai dari nada terendah sampai nada yang tertinggi. Nada-nada musik
pengiring tari maena tersebut sebanyak 7 nada ditambah 3 nada oktaf dan
dimulai dari nada Bes sampai nada Es.
4.4.2 Nada Dasar (Pitch Center)
Dalam menentukan nada dasar dalam melodi tari maena tersebut, penulis
beracuan pada hasil rekaman audio yang di dapat pada saat pelaksaan upacara
66
pernikahan yang telah ditranskripsikan kedalam notasi Barat. Maka nada dasar
yang terdapat pada music pengiring tari maena tersebut adalah E mol = do
4.4.3 Wilayah Nada (Range)
Wilayah nada adalah jarak antara nada yang terendah dengan nada yang
tertinggi. Wilayah nada musik pengiring tari maena jika diurutkan dari yang
terendah adalah:
4.4.4 Jumlah Nada (Frequency of Note)
Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam suatu musik
atau nyanyian. Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam musik pengiring
tari maena dapat dilihat dari garis paranada di bawah ini:
Bes
C
D
Es
F
G
As
14
2
19
63
80
97
10
Dari gambaran di atas terlihat bahwa jumlah nada Bes dengan jumlah 14
buah nada, nada C berjumlah 2 buah nada, nada D berjumlah 19 buah nada, nada
67
Es berjumlah 63 buah nada, nada F berjumlah 80 buah nada, nada G berjumlah
97 buah nada, nada As berjumlah 10 buah nada. Nada yang paling banyak/sering
digunakan adalah nada G dengan jumlah 97 buah nada dan nada ang paling
sedikit digunakan adalah nada C dengan jumlah 2 buah nada.
4.4.5 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri
dari interval naik maupun turun. Berikut ini adalah jumlah interval dari musik
pengiring tari maena yang digunakan pada pesta pernikahan masyarakat Nias di
kota Medan. Berikut adalah interval dari music pengiring yang digunakan pada
upacara pernikahan masyarakat Nias di Kota Medan.
Interval
1P
2M
2m
3M
3m
4P
5P
6M
Posisi
↑
↓
↑
↓
↑
↓
↑
↓
↑
↓
↑
↓
↑
↓
Jumlah
122
17
51
7
19
13
7
3
2
1
6
1
7
6
68
Total
122
68
26
20
5
7
1
13
4.4.6
Pola Kadensa (Cadence Patterns)
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai penutup
pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna
melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut. Berikut ini
adalah pola kadensa yang terdapat pada musik pengiring tari maena:
1.
2.
3.
4.
4.4.7 Formula Melodik (Melody Formula)
Formula melodik yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk, frasa
dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi
satu pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Dan motif
adalah ide melodi sebagai dasar pembentukkan melodi.
69
William P. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam
menganalisis bentuk, yaitu:
1. Repetitive yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang.
2. Iteratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil
dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan
nyanyian.
3. Stropic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian yang baru atau berbeda.
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan
pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi.
5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Melihat kepada apa yang dikemukakan
Malm mengenai bentuk
nyanyian, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa melodi Stropic pada
melodi yang dimainkan pada keyboard yang digunakan sebagai alat musik
pengiring tari maena.
Melodi yang dimainkan keyboard pada tulisan ini meternya 4/4. Untuk
itu penulis berpedoman dengan pendapat Nettle yang mengungkapkan: dalam
menentukan bentuk dari suatu komposisi yang harus diperhatikan adalah
pengulangan frasa, tanda diam, pola ritem, transposisi dan kesatuan teks yang
terdapat dalam musik vokal (Nettle dalam Irawan Zulhidayat 1997: 76).
70
4.4.7.1 Analisis Bentuk, Frasa dan Motif pada Musik Pengiring Tari
Maena
Secara garis besar, bentuk frasa dan motif yang terdapat dalam melodi
tari maena adalah sebagai berikut:
1. Bentuk pada musik pengiring tari maena memiliki 3 bentuk, yang tediri
dari dari bentuk A, B, C, dan D.
2. Pada musik pengiring tari maena ini terdapat 21 frasa didalamnya.
3. Motif yang terdapat dalam melodi tari maena tersebut adalah:
Motif-motif yang terdapat dalam music pengiring tari maena ini
digolongkan sebagai motif repetitive atau motif yang diulang. Pada dasarnya,
kebanyakan melodi yang digunakan pada music pengiring ini bersifat
pengulangan.
71
4.4.8 Kontur (Contour)
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam Irawan
1997: 85) membedakan beberapa jenis kontur, yaitu:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari
nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi
ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu
nada ke nada yang lain baik naik maupun turun.
5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada
yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang
lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke
nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor
maupun minor.
7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai
batas-batasan.
Garis kontur yang terdapat pada melodi harmonium pada umumnya
adalah ascending, descending, conjuct dan juga static.
72
Mengacu pada jenis-jenis kontur yang sudah dijelaskan di atas, maka
penulis berpendapat bahwa kontur musik pengiring yang digunakan dalam tari
maena adalah Ascending, descending, conjunct dan static. Pergerakan
melodinya bergerak melangkah baik naik maupun turun, yang diikuti dengan
bentuk static. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
Garis kontur Ascending
Garis kontur Descending
Garis kontur Conjunt
Garis kontur Static
73
4.5
Jumlah Akord Yang Digunakan
Musik pengiring tari Maena yang dipakai dalam pesta pernikahan ini
mempunyai nada dasar Eb=do (tiga mol). Dalam musik pengiring tari Maena
yang menggunakan keyboard ini ada tiga kunci (akord) yang digunakan dari
awal lagu dimainkan, yaitu Eb (Es), F Mayor, dan Bb (Bes).
74
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Masyarakat Nias yang ada di kota Medan membawa kebudayaan dari
kampung halamannya dan mengaplikasikan di setiap upacara yang berhubungan
dengan adat istiadat. Begitu juga dengan salah satu upacara adat, yakni upacara
pernikahan yang ada di masyarakat Nias yang ada di kota Medan. Dalam pesta
adat perkawinan yang dilakukan masyarakat Nias di Kota Medan, tari Maena
yang disajikan pada saat pesta pernikahan menggunakan Keyboard sebagai alat
musik pengiring didalamnya.
Peran Keyboard pada upacara ini tidak hanya sebagai alat musik
pengiring tari, tetapi juga sebagai hiburan ketika didalam pesta pernikahan
tersebut. Suku Nias menggunakan instrumen keyboard sebagai alat musik pada
pesta pernikahannya dikarenakan penyewaan keyboard lebih gampang dicari dan
keyboard juga bisa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pop daerah ataupun
lagu pop Indonesia jika ada dari tamu-tamu yang hadir yang ingin menyanyi.
Musik keyboard pada tari Maena di upacara pernikahan masyarakat Nias
merupakan salah satu bagian penting dalam proses pernikahan tersebut.
Musik
menggunakan
keyboard
pada
upacara
pernikahan
masyarakat
Nias
timbre (warna suara) yang ada pada keyboard untuk
menggantikan suara alat musik faritia. Dengan kata lain ketika orang-orang Nias
mendengar musik keyboard tersebut maka mereka akan serasa seperti
dikampung.
75
Dengan demikian maka masyarakat tersebut dengan sendirinya telah
turut melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan oleh leluhurnya. Suatu
keindahan dapat dituangkan dalam bunyi-bunyian yang dihasilkan dari
perpaduan instrumen-instrumen musik dalam keyboard yang tertuang melalui
permainan ritem maupun melodi yang dapat dinikmati oleh pemusik itu sendiri
maupun pendengarnya. Ketika musik pengiring tari maena pada upacara
pernikahan tersebut dimainkan maka para undangan dan kerabat yang datang
akan melakukan tarian maena secara beramai-ramai.
5.2
Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam membuat tulisan
analisis struktur musik dan fungsi keyboard sebagai music pengiring tari maena
pada upacara pernikahan masyarakat
Nias di Medan. Untuk itu, bagi para
peneliti selanjutnya diharapkan untuk semakin menyempurnakan bahasan
tentang upacara ini.
Bagi para peneliti selanjutnya, peneliti juga berharap supaya mengkaji
upacara-upacara lainnya yang dilaksanakan oleh suku Nias yang ad di kota
Medan. Karena dalam bidang ilmu etnomusikologi masih sangat sedikit yang
membahas tentang kebudayaan dari masyarakat Nias. Penulis mempunyai
beberapa saran kepada pembaca lainnya diluar dari etnis Nias, yaitu
menyarankan agar tarian maena ini tetap dipertahankan eksistensinya dan
merasakan bahwa hal ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dijadikan
milik bersama, sehingga setiap etnis yang ada di seluruh Indonesia tetap hidup
dan terus berkembang.
76
Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap
apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan
bidang etnomusikologi secara khusus.
77
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gulö, W. 1997. Nias : Injili – Budaya – SDM. Salatiga.Universitas Kristen
Salatiga.Kamus Dewan, 2002. Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan
Pustaka.
Harefa, Brian. 2012. Analisis Fungsional dan Musikal Ensambel Mamözi
Aramba Dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli. Skripsi Sarjana
Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
PT. Gramedia, Indonesia.
Laia, Bamböwö.1983. Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu
Masyarakat Desa di Nias:Jakarta. Gadjah Mada University Press.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia.
New Jersey,Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropologi of Music. Chicago: Northwestern
UniversityPress.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and method in ethnomusicology. New York.
Perwadarminta (ed.), 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Purba, Dermawan. 1992. Ensiklopedia Musik, Jilid I. Medan
Sedyawati, Edy, 1981. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Soehartono, 1995. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.
78
Taföna’o, Agusman.2012. Analisis Musik Vokal Pada Pertunjukan Maena
Dalam Pesta Adat Falowa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota
Medan. Skripsi Sarjana Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Takari, Muhammad. Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni
Netriroza, dan Heristina Dewi. 2008. Masyarakat Kesenian di
Indonesia. Medan: Studi Kultura, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara.
Zebua, HS.1985.Kumpulan Catatan Upacara Perkawinan Daerah Nias.
Gunungsitloli: Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan kabupaten Nias Sumatera Utara.
79
DAFTAR INFORMAN
1. Nama:
Ama Hennie Zega
Usia:
59 tahun
Pekerjaaan:
Wiraswasta (seniman Nias di Medan)
Alamat:
Jalan Sagu 8 No. 26 Perumnas Simalingkar Kec. Medan
Tuntungan
2. Nama:
Ama Gunawan Halawa
Usia:
48 tahun
Pekerjaan:
Budayawan/Pemain Keyboard Gereja BNKP Hilisawato
Alamat:
Jalan Pala Perumnas Simalingkar Kec. Medan
Tuntungan
3. Nama:
Hubari Gulö, S.Sn., M.Sn
Usia:
38 tahun
Pekerjaan:
Guru/Dosen
Alamat:
Jalan Hos Cokro Aminoto No. 66 Medan
4. Nama
: Ama Ester Zebua
Umur
: 32 tahun
Pekerjaan
: Budayawan
Alamat
: Jl. Pintu air, Gg. Dame No. 7
80
Download