diabetes melitus tipe 2 dengan kadar hba1c tinggi sebagai faktor

advertisement
TESIS
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR
HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO
NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
SRI YENNI TRISNAWATI, GS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR
HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO
NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
SRI YENNI TRISNAWATI, GS
NIM 101468202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR
HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO
NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
SRI YENNI TRISNAWATI, GS
NIM 101468202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 2 OKTOBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)
NIP.195404201982111001
dr. IGN. Purna Putra, Sp.S(K)
NIP.195403301983031001
Mengetahui,
Plt. Ketua Program Studi Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
NIP 196304031988032003
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
NIP 194612131971071001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP 195902151985102001
iii
Tesis ini telah diuji pada
tanggal 2 Oktober 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No: 3592/UNI4.4/HK/2014
Tertanggal: 30 September 2014
Penguji :
1. Dr. dr. Thomas Eko Purwata, SpS (K)
2. dr. IGN Purna Putra, SpS (K)
3. dr. AABN Nuartha, Sp.S(K)
4. Dr. dr. AAA Putri Laksmidewi, Sp.S (K)
5. dr. Anna MG Sinardja, SpS (K)
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara
nugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan sebagai persyaratan untuk
mendapatkan gelar dokter spesialis saraf.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis
dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir
ini.
Kepada Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) dan dr. I.G.N. Purna Putra,
Sp.S(K) selaku pembimbing Tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis
mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada dr. I
Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S selaku pembimbing akademik dan
pembimbing statistik yang telah banyak memberikan perbaikan dalam
penyusunan tesis ini.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Rektor
Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan mantan
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK
UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Dekan
vi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,
M.Kes, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan
Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS atas izin
dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program
Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih
kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati,
MARS dan mantan Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, dr. Wayan Sutarga,
MPHM atas ijin, kesempatan, dan fasilitas yang diberikan. Terimakasih sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP
Sanglah, dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan Ketua TKP PPDS I FK
UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K), Ketua Litbang Bagian/
SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. Thomas Eko
Purwata, Sp.S(K), atas segala dorongan, bimbingan dan saran yang sangat berarti
bagi penulis selama mengikuti pendidikan ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya
juga penulis haturkan kepada Kepala Divisi Endokrinologi Metabolisme Diabetes
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, Prof. Dr.
dr. A.A. Gede Budiartha, Sp.PD-KEMD, yang telah memberikan ijin dan
vii
kesempatan untuk dilaksanakannya penelitian ini di poliklinik Diabetes RSUP
Sanglah Denpasar.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
penguji, dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K),
dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), dr.
I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna
M.G. Sinardja, Sp.S(K) yang telah membantu, memberi dorongan semangat,
saran, dan koreksi dari tahap praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian,
ujian hasil penelitian hingga ujian akhir tesis.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) dan Dr. dr.
D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK UNUD/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai PPDS Neurologi atas
kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini.
Kepada Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi,
Sp.S(K) dan dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah
pada saat penulis diterima, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada supervisor di
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. I Wayan
viii
Kondra, Sp.S(K), dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G Purwa Samatra,
Sp.S(K), dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, Prof. Dr.
dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas
Eko Purwata, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna M.G.
Sinardja, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. I
Komang Arimbawa, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka
Widyadharma, M.Sc, Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. Ketut Widyastuti,
Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. I.A Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu
Witari, Sp.S yang telah memberikan segala arahan, dorongan, bimbingan, dan
saran selama penulis mengikuti pendidikan ini.
Terima kasih penulis tujukan kepada semua teman sejawat PPDS Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat, dan
pengertian teman-teman selama mengikuti pendidikan ini, khususnya dr. Yoanes
Gondowardaja, Sp.S, dr. I Made Domy Astika, Sp.S, dr. Ni Md. Yuli Artini, Sp.S,
dr. Ernesta P. Ginting, Sp.S, dr. Khristi Handayani, dr. Octavianus. Terimakasih
kepada teman-teman seperjuangan penulis dr. Widyantara, dr. I.A Sri Wijayanti,
dr. Agus Antara, dr. Bhaskoro, dr. Darsana atas kerjasama dan dorongan selama
penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini.
Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada seluruh tenaga paramedis
dan non medis di bangsal dan poliklinik penyakit Saraf RSUP Sanglah, tenaga
paramedis dan non medis di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah atas jalinan
kerjasama, bantuan, dan dorongan semangat selama penulis melaksanakan
ix
penelitian ini. Terimakasih pula kepada tenaga administrasi di bagian/SMF
Neurologi FK UNUD RSUP Sanglah.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
disertai penghargaan kepada seluruh pasien DM dan keluarganya atas bantuan dan
kerjasamanya selama melaksanakan penelitian ini.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua yang
penulis cintai dan teriring doa yang tulus kepada ayahanda terhormat, (Alm) DR
(HC) I Made Geriawan, S.Sos, MBA dan Ni Made Sukerti, BA yang telah
mengasuh dan memberikan dasar etika dan pendidikan pada penulis, serta
memberikan wawasan luas intelektual yang tidak ternilai; ayah dan ibu mertua
yang penulis hormati, Drs. I Ketut Mudra Arjaya, MM dan A.A.M. Armayanthi,
SH yang telah memberikan semangat dan dorongan baik material maupun moral
dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk
lebih berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih yang sebesarbesarnya dari lubuk hati terdalam juga penulis sampaikan kepada suami tercinta
dan anak-anakku terkasih, Agus Darma Yudha, ST, MM, Masayu Adithi
Shivadevi, Chesta Anindya Radharani, Dalem Khastara Vinajagar, dan Advesta
Mirahdhivya Priyaharsani yang dengan penuh pengertian, kerelaan, pengorbanan,
cinta, dan kasih yang telah mengikhlaskan perhatian dan waktu keluarga, sehingga
ibu bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini untuk mewujudkan cita-cita.
Penulis telah membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis
menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan
x
penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
demi perbaikan tesis ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa akan selalu
melimpahkan karunia-NYA kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, 30 September 2014
Sri Yenni Trisnawati,GS
xi
“It always seems impossible until it’s done”
(Nelson Mandela)
xii
ABSTRAK
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR HBA1C TINGGI
SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan
Diabetes Melitus (DM) dan Neuropati Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk
paling umum dari Neuropati Diabetik (ND) yang berhubungan dengan morbiditas
dan disabilitas yang signifikan menurunkan kualitas hidup. Prevalensi NDP
diperkirakan bervariasi, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien
dengan diabetes terkena NDP. NDP juga sering terlihat pada penderita DM yang
memiliki masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya
dapat dinilai dari kadar Glycocylated Haemoglobin (HbA1c). Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko
NDP di RSUP Sanglah.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol terhadap 86 penderita DM
tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Diabetes dan Saraf RSUP Sanglah
selama bulan April hingga Agustus 2014. Subyek yang memenuhi kriteria
eligibilitas dikelompokkan sebagai kasus dan kontrol masing-masing berjumlah
43 orang. NDP diperiksa dengan menggunakan MDNS. Seluruh data dianalisis
dengan analisis statistik. Data karakteristik dianalisis secara deskriptif.Analisis
bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala
nominal dengan metode Chi-Square.Tingkat hubungan antar variabel dinilai
dengan Odds Ratio dan tingkat kemaknaan dengan α = 5%.
Hasil analisis data didapatkan penderita DM tipe2 dengan kadar HbA1c
tinggi yang menderita NDP terbanyak pada jenis kelamin laki-laki (51,2%)
dengan rerata umur 56 tahun. Stadium NDP terbanyak yang dialami penderita
adalah NDP stadium 2 (53,5%). Pada analisis bivariat didapatkan hubungan
bermakna antara kadar HbA1c tinggi dengan NDP pada penderita DM tipe 2
(p=0,001) dengan OR 4,82; IK 95% (1,931-12,041).
Dapat disimpulkan bahwa DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai
faktor risiko NDP di RSUP Sanglah.
Kata Kunci : DM tipe 2, HbA1c, Neuropati Diabetik Perifer
xiii
ABSTRACT
DIABETES MELITUS TYPE 2 WITH A HIGH HBA1C LEVEL IS
A RISK FACTOR OF PERIPHERAL DIABETIC NEUROPATHY AT
SANGLAH GENERAL HOSPITAL
Neuropathy is a common complication of DM (Diabetes Melitus). Diabetic
Peripheral Neuropathy (DPN), the most common type of it, is confined to
disability and morbidity of DM patient. This condition is decreasing patient’s
Quality of Life significantly. Prevalence of DPN is vary, approximately 50% of
DM patient suffer from DPN, especially those with uncontrolled blood glycemic
index. This condition determined from the HbA1C level in blood. This study is
aim to know that DM Type 2 with a high HbA1C level is a risk factor of DPN at
Sanglah General Hospital.
This was a case control study enrolled for 86 patients with DM type 2 that
came to Diabetic Outpatient Ward and Neurology Outpatient Ward during April
unto August 2014. Eligible subjects were grouped as a case and a control one, in
which there was 43 subjects for each group. DPN was evaluated by MDNS.
Characteristic data analyzed with descriptive method. Chi square, one of bivariate
analyze method, was held to test the independent nominal variable and dependent
one. Level of relationship between both variables was tested with Odds Ratio with
level of significance is α = 5%.
The result revealed that DPN in DM type 2 patient with high HbA1c level
occurred in greater number in men (51,2%). The average age is 56 years old. The
most stage of DPN found was stage 2 (53,5%). In bivariate test, there was a
significant relationship between high level HbA1C in DM type 2 and DPN with
OR 4,82 (CI 95%; 1,931-12,041).
The study conclude that DM type 2 with a high level of HbA1C is a risk
factor of DPN at Sanglah General Hospital.
Keyword : DM type 2, HbA1C, Diabetic Peripheral Neuropathy
xiv
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN …………………………………………………………
SAMPUL DALAM ………………………………………………..……… i
PRASYARAT GELAR …………………………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….… iii
LEMBAR PANITIA PENGUJI TESIS....................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………… vi
ABSTRAK ……………………………………………………………...… xiii
ABSTRACT ……………………………………………………………… xiv
DAFTAR ISI……………………………………………………………… xv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xvii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xviii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………… xix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xx
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
1.1
Latar Belakang …………………………………………...… 1
1.2
Rumusan Masalah ………………………….........………… 5
1.3
Tujuan Penelitian ………………………………..........…… 5
1.4
Manfaat Penelitian ……………………………........……… 5
1.4.1
Manfaat Ilmiah ……………………….……… 5
1.4.2
Manfaat Praktis ……………………….……… 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………….......................…….. 7
2.1
Tinjauan Umum Diabetes Melitus………………..........….. 7
2.2
Glycocylated Haemoglobin (HbA1c)…………..........…..... 9
2.3
Neuropati Diabetik …..…..…………..........……….…........ 10
2.3.1
Definisi................................................................... 11
2.3.2
Klasifikasi Neuropati Diabetik............................... 11
2.4
Neuropati Diabetik Perifer.......…………………................. 13
2.4.1
Patofisiologi NDP................................................... 14
2.4.2
Gejala Klinis NDP.................................................. 23
2.4.3
Histopatologi.......................................................... 33
2.5
Hubungan Hiperglikemi dengan NDP ………….........…… 35
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DANHIPOTESIS
PENELITIAN............................................................................................. 39
3.1
Kerangka Berpikir ................................................................. 39
3.2
Kerangka Konsep ................................................................. 41
3.3
Hipotesis Penelitian ............................................................. 42
BAB IV METODE PENELITIAN............................................................... 43
4.1
Rancangan Penelitian ........................................................... 43
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 44
4.3
Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 44
4.4
Populasi dan sampel Penelitian ............................................ 44
xv
4.4.1
4.4.2
4.4.3
Populasi Target ................................................ 44
Populasi Terjangkau ......................................... 44
Kriteria Sampel ................................................. 44
4.4.3.1 Kriteria Kasus ................................ 44
4.4.3.2 Kriteria Kontrol .............................. 45
4.4.3.3 Kriteria Eksklusi Kasus dan Kontrol 45
4.4.4
Besar Sampel ................................................. 46
4.4.5
Teknik Pengambilan sampel .......................... 46
4.5
Variabel Penelitian................................................................ 47
4.6
Definisi Operasional Variabel.............................................. 47
4.7
Alat Pengumpulan Data ....................................................... 51
4.8
Prosedur Penelitian .............................................................. 51
4.9
Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 54
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 55
5.1
Karakteristik Subjek Penelitian .......................................... 55
5.2
Analisis Bivariat Kadar HbA1c Tinggi dengan NDP pada
Penderita DM Tipe 2............................................................ 57
5.3
Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2……………….. 58
5.4
Faktor Risiko Independen Terhadap NDP.......................... 61
BAB VI PEMBAHASAN ……………………………….......................... 63
6.1
Karakteristik Subjek Penelitian .......................................... 63
6.2
Hubungan antara Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita
DM Tipe 2........................................................................... 66
6.3
Hubungan Faktor-faktor Lain Terhadap Kejadian NDP pada
Penderita DM Tipe 2........................................................... 70
6.4
Faktor Risiko Independen Terhadap NDP.......................... 74
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………............................. 76
7.1 Simpulan......................................................................... 76
7.2 Saran .............................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 77
LAMPIRAN ................................................................................................ 82
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Jalur Polyol............................................................………
Jalur AGE..........................................................................
Jalur PKC..........................................................................
Jalur Hexosamine..............................................................
Distribusi Stocking and Glove pada Neuropati Diabetik
Perifer...............................................................................
Biopsi Nervus Suralis pada Pasien Diabetes dengan dan
Tanpa NDP.......................................................................
Defek Mirovaskular Pembuluh Darah Endoneurial pada
Penderita Diabetes dengan dan Tanpa NDP.....................
Abnormalitas Mikrovaskular Pembuluh Darah Epineural
pada Penderita Diabetes dengan dan Tanpa NDP............
Mekanisme Hiperglikemi menimbulkan Degenerasi
Neuron.............................................................................
Bagan Kerangka Berpikir...…………..……………….....
Konsep Penelitian..............................................………….
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol...................
Bagan Alur Penelitian.......................................................
xvii
16
18
20
21
24
34
34
35
38
40
41
43
53
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Klasifikasi Neuropati Diabetik.............................………
Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic
Peripheral Neuropathy......................................................
Toronto Clinical Scoring System......................................
The Modified Neuropathy Disability Score…………….
Stadium NDP Berdasarkan MDNS..................................
Karakteristik Subjek Penelitian .......................................
Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP..................
Analisis Bivariat Faktor Lain dengan NDP......................
Analisis Multivariat Regersi Logistik...............................
xviii
12
25
26
27
28
56
58
59
61
DAFTAR SINGKATAN
AGEs
: Advanced Glycation End Products
cAFT
: Cardiovascular Autonomic Function
DAG
: Diacylglycerol
DM
: Diabetes Mellitus
DPN
: Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy
GFAT
: Glutamine Fructose-6 Phosphateamidotransferase
IGT
: gangguan toleransi glukosa
GLA
: Gamma-Linolenic Acid
KAD
: Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetik
KHONK
: Koma Hiperosmolar Non-Ketotik
MAP kinase
: Mitogen Activated Protein Kinase
MRI
: Magnetic Resonance Imaging
MDNS
: Michigan Diabetic Neuropathy Score
NADPH
: Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen
ND
: Neuropati Diabetik
NDP
: Neuropati Diabetik Perifer
NND
: Nyeri Neuropati Diabetik
NGF
: Nerve Growth Factor
NO
: Nitric Oxide
PI-3 kinase
: Phosphatidylinositol-3 Kinase
QST
: Quantitative Sensory Testing
ROS
: Reactive Oxygen Species
TTGO
: Tes toleransi glukosa oral
OAD
: Oral Anti Diabetik
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Keterangan Kelaikan Etik…………………………....
Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian.……........
Kuisioner Penelitian................................…………..…
MDNS…………………………..................................
Surat Ijin dari RSUP Sanglah Denpasar......................
Data Subjek Penelitian.................................................
Analisis Statistik ..........................................................
xx
82
84
85
89
90
91
95
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan Diabetes
Melitus (DM) dan Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy atau Neuropati
Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati Diabetik
(ND) yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan
menurunkan kualitas hidup.
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan,
hal ini sangat terkait dengan jumlah populasi penduduk yang meningkat, angka
harapan hidup bertambah, urbanisasi yang mengubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas yang meningkat, dan kegiatan fisik yang
cenderung berkurang. DM perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif,
jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan
(Lopez, 2011).
Berdasarkan penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan prevalensi DM
sebesar 1,5-2,3% pada penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun, bahkan di daerah
urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi
tersebut meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara maju, sehingga DM
merupakan masalah yang sangat serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
1
2
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah
rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk
diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas
20 tahun. Dari 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun, diperkirakan terdapat
penderita DM sebesar 12 juta untuk daerah perkotaan, dan 8,1 juta di daerah pedesaan
(PERKENI, 2011).
NDP merupakan ND yang paling sering ditemukan, yang bermanifestasi
progresif lambat, simetris dengan pola gloves and stocking. Prevalensi NDP
diperkirakan bervariasi berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis
NDP, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena
NDP. Konsensus San Antonio merekomendasikan bahwa diagnosis ND paling sedikit
memenuhi satu dari lima kategori yang diukur yaitu skor gejala, skor pemeriksaan
fisik, quantitative sensory testing (QST), cardiovascular autonomic function (cAFT)
dan elektrodiagnostik. Berdasarkan uraian diatas, maka deteksi dini NDP sangat
penting pada pasien dengan diabetes karena pencegahan bisa menurunkan morbiditas
dan mortalitas, tetapi tidak ada baku emas untuk mendiagnosis polineuropati
(Dobretsov dkk, 2007).
Penderita DM akan memiliki masalah dengan saraf perifer yang dapat terjadi
kapan saja, tetapi risiko NDP akan meningkat berhubungan dengan umur dan
lamanya menderita DM. Jumlah terjadinya NDP tertinggi terjadi pada penderita yang
menderita DM sekurangnya 25 tahun. NDP juga sering terlihat pada penderita DM
3
yang memiliki masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya
dapat dinilai dari kadar Glycocylated Haemoglobin (HbA1c) (Tesfaye, 2004).
Penelitian-penelitian pada penderita DM tipe 1 dan DM tipe 2 memperlihatkan
bahwa buruknya kontrol glukosa darah yang dapat dinilai dari tingginya nilai HbA1c,
walaupun belum ada korelasi yang berlangsung antara beratnya peninggian HbA1c
dengan beratnya ND (Kolegium, 2009).
Tomic dkk. (2003) melakukan penelitian obesitas sebagai faktor risiko untuk
komplikasi mikrovaskular dan neuropati pada penderita diabetes, didapatkan hasil
bahwa obesitas sendiri atau kombinasi dengan kualitas dari kontrol metabolik
(HbA1c), tekanan darah sistolik dan diastolik dan kolesterol LDL sebagai faktor
risiko komplikasi mikrovaskular dan neuropati.
Tamer dkk. (2006) dalam penelitiannya mendapatkan adanya hubungan yang
signifikan antara level HbA1c, durasi menderita DM, merokok, jenis kelamin lakilaki, dan penggunaan insulin dengan ND pada pasien DM. Dalam penelitian ini tidak
didapatkan adanya hubungan antara umur, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan
hipertrigliseridemia dengan terjadinya ND.
Penelitian yang dilakukan EURODIAB IDDM Complications Study yang
meneliti 3250 pasien dengan DM tipe 1 dari 31 pusat kesehatan pada 16 negara di
Eropa menyimpulkan bahwa ND berhubungan dengan kontrol glukosa darah dan
durasi penyakitnya. Dikatakan pula bahwa rendahnya nilai HbA1c berhubungan
dengan rendahnya prevalensi ND. Walau demikian, baiknya kontrol glukosa darah
(HbA1c < 5,4%) tetap dapat menimbulkan berkembangnya komplikasi mikrovaskular
4
termasuk ND. Hal ini memperkirakan bahwa terdapat faktor lain yang juga ikut
berperan selain kontrol glukosa darah dan durasi penyakit (Tesfaye, 2004).
Keparahan dan durasi hiperglikemia memainkan peranan penting dalam
patogenesis ND. Tetapi pada praktek klinis didapatkan bahwa penderita DM dengan
nyeri neuropati atau berkembangnya neuropati berbeda pada orang-orang yang
memiliki nilai HbA1c dan durasi menderita DM yang hampir mirip. Dari hal ini,
diperoleh suatu gagasan bahwa hiperglikemia saja tidak cukup untuk perkembangan
proses neuropati (Erdoğan, 2012).
Erdoğan (2012), pada penelitiannya mendapatkan adanya perbedaan eksitabilitas
yang signifikan pada dua kelompok diabetes yang memiliki nilai gula darah yang
sama. Hasil ini memperkirakan bahwa hiperglikemia tidak cukup berperan dalam
perkembangan NDP. Respon personal dari masing-masing pasien terhadap
hiperglikemia dan fungsi saluran ion diperkirakan juga memainkan peranan penting
dalam perkembangan NDP.
Penelitian atau studi kasus kontrol oleh Purwata (2010) pada 59 kasus Nyeri
Neuropati Diabetik (NND) di RSUP Sanglah didapatkan 11 orang dengan kadar
HbA1c yang rendah dan 48 orang dengan kadar yang tinggi, sedangkan pada
kelompok kontrol dari 51 orang didapatkan 18 orang dengan kadar HbA1c rendah
dan 33 orang dengan kadar yang tinggi dengan OR = 2.380 dengan CI 95% (0.9965.688) dan p > 0,05. Hubungan ini secara statistik tidak bermakna, jadi kadar HbA1c
yang tinggi tidak terbukti meningkatkan risiko NND.
5
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini masih
terdapat pendapat bahwa nilai HbA1c normal atau rendah masih memiliki risiko
untuk terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2. Sehingga penelitian ini mencoba
mencari DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP
Sanglah.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di
RSUP Sanglah?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko
NDP pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai pasien DM tipe 2
yang menderita NDP dan membuktikan bahwa kadar HbA1c tinggi sebagai faktor
risiko NDP pada komunitas penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar
sehingga dapat digunakan untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang.
6
1.4.2 Manfaat praktis
Dengan mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor
risiko NDP diharapkan dapat dilakukan upaya deteksi dini dan penatalaksanaan
optimal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita DM tipe 2.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. DM merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pelayanan
kesehatan dan edukasi pada pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan
menurunkan risiko komplikasi jangka panjang. Hiperglikemia kronis yang terjadi
pada penderita DM berkaitan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan dari berbagai fungsi organ terutama mata, ginjal, sistem saraf, jantung, dan
pembuluh darah (ADA, 2012).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Dapat
pula disertai keluhan lain yang berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat
ditegakkan melalui tiga cara, yaitu (PERKENI, 2011):
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
7
8
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit
untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
karena membutuhkan persiapan khusus.
Penderita DM bila tidak dikelola dengan baik akan berpotensi mengalami
penyulit, baik penyulit yang bersifat akut maupun kronik. Menurut PERKENI, 2011,
penyulit akut DM dapat berupa:
a. Hipoglikemia, diagnosis ditegakkan apabila terdapat gejala klinis seperti lapar,
gemetar, keringat dingin, pusing, gelisah, hingga koma dan disertai kadar
glukosa darah <30-60 mg/dL.
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD), merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan
adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
c. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH), pada keadaan ini terjadi peningkatan
glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.
Penyulit kronik dapat berupa:
1. Makroangiopati, dapat mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
dan pembuluh darah otak.
9
2. Mikroangiopati, dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik.
3. Neuropati
Untuk dapat mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga
mencapai kadar yang diharapkan, demikian pula status gizi dan tekanan darah
(Cheung dkk, 2009; PERKENI, 2011).
2.2 Glycocylated Haemoglobin (HbA1c)
HbA1c telah digunakan dalam monitor kontrol gula darah pada penderita DM
selama tiga dekade. HbA1c didefinisikan sebagai hemoglobin yang terglikosilasi
secara ireversibel pada satu atau kedua N-terminal valines dari rantai beta. Definisi
ini tidak mengekslusi hemoglobin yang terglikasi pada tempat lain, seperti rantai
alpha atau beta (Ginis dkk, 2012).
HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang
normal terpapar oleh kadar glukosa yang tingi dalam plasma. Keluaran produksi dari
produk-produk glikasi pada awalnya bersifat akut dan reversibel yang dipengaruhi
oleh hiperglikemia. Produk glikasi tersebut dibentuk di intraselular dan ekstraselular
membentuk suatu gugus kombinasi glukosa dan asam amino. Gugus ini merupakan
hasil reaksi non enzimatik, yaitu proses penambahan rantai nukleofilik membentuk
gugus “shiff base adduct”. Kemudian gugus adduct ini mencapai keseimbangan
dalam hitungan jam dan perlahan-lahan mengalami perubahan bentuk menjadi suatu
10
bentuk yang lebih stabil daripada produk awalnya. Hal ini akan mencapai
keseimbangan dalam periode beberapa minggu. Salah satu jenis protein terglikasi
yang dimaksud adalah HbA1c (Sultanpur dkk, 2010; Murugan dkk, 2010).
Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari
hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata dari
glukosa dimana sel tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya. Penilaian
HbA1c dapat menilai efektifitas terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah
dalam jangka panjang (Sultanpur dkk, 2010).
HbA1c pertama kali dikenal pada tahun 1960 sebagai bentuk glikosilasi dari
hemoglobin dan pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator
dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada DM. Sejak tahun 1980-an, HbA1c
telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko
dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Tes
hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga HbA1c merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8 hingga 12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak
dapat dipergunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan
HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun
(PERKENI, 2011., Herman dan Cohen, 2012).
2.3 Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering
terjadi pada penderita DM, yang terjadi sekitar 50% dari seluruh pasien. Diagnosis
11
ND pertama kali diperkenalkan oleh Rollo tahun 1798 yang menggambarkan ND
sebagai adanya nyeri dan parestesi pada tungkai bawah penderita DM, dimana
diagnosis ini ditegakkan setelah mengeksklusi berbagai kondisi lainnya, seperti
trauma atau adanya tekanan pada jaringan saraf, defisiensi vitamin B1, B6, B12, E,
dan Niasin, alkohol, infeksi (Lyme disease, varicella zoster, Epstein-Barr, Hepatitis
C, dan HIV/AIDS), penyakit autoimun (Systemic lupus erythematosus, Rheumatoid
arthritis dan Guillain-Barre syndrome), inherited disorder (Charcot Marie-Tooth
disease dan Amyloid polyneuropathy), tumor, dan paparan zat beracun (Guerrero dkk,
2012).
2.3.1 Definisi
ND merupakan komplikasi tersering pada DM tipe I dan tipe II ND merupakan
suatu kerusakan saraf akibat adanya gangguan metabolisme kadar glukosa darah
(Hoogwerf, 2005). Menurut Boulton dkk (2005), ND merupakan kondisi disfungsi
saraf perifer yang disebabkan oleh DM bukan karena penyebab lain.
2.3.2 Klasifikasi Neuropati Diabetik
ND dapat diklasifikasi sebagai berikut (Kolegium, 2009):
1.
Neuropati perifer yang menyebabkan nyeri atau kehilangan rasa pada jari-jari
kaki, kaki, tungkai, tangan, dan lengan.
2.
Neuropati otonom yang menyebabkan perubahan pada pencernaan, usus, fungsi
kandung kemih, respon seksual dan perspirasi. Neuropati ini juga dapat
12
mempengaruhi saraf-saraf yang mengurus jantung dan tekanan darah, saluran
pencernaan, traktus urinarius, organ seks, kelenjar keringat, dan mata.
3.
Neuropati proksimal menyebabkan nyeri di paha, panggul, atau pada bokong
dan bisa menyebabkan kelemahan pada tungkai.
4.
Neuropati fokal menyebabkan kelemahan mendadak dari suatu saraf atau
kumpulan saraf yang menyebabkan kelemahan otot atau rasa nyeri dan setiap
saraf di badan dapat terkena dan bisa mengenai mata, otot muka, telinga, pelvis,
panggul bawah, paha, dan abdomen.
Tabel 2.1
Klasifikasi Neuropati Diabetika (Bhadada dkk, 2001)
______________________________________________________________
A. Diffuse
1. Distal symmetric sensori-motor polyneuropathy
2. Autonomic neuropathy
a. Sudomotor
b. Cardiovascular
c. Gastrointestinal
d. Genitourinary
3. Symmetric
proximal
lower
limb
motor
neuropathy
(amyotrophy)
B. Focal
1. Cranial neuropathy
2. Radiculopathy/plexopathy
3. Entrapment neuropathy
4. Asymmetric lower limb motor neuropathy (amyotrophy)
13
2.4. Neuropati Diabetik Perifer (NDP)
Neuropati merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang berhubungan
dengan Diabetes dan NDP merupakan bentuk paling umum dari ND. Kelainan ini
ditandai oleh nyeri, parestesi, dan berkurangnya gejala sensorik, yang dapat mengenai
lebih dari 50% penderita diabetes dengan adanya peningkatan insiden kasus baru
sebesar 2% tiap tahunnya. Walaupun prevalensi NDP diperkirakan bervariasi
berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis NDP, secara umum
diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP dan sekitar 3050% pasien dengan prediabetes juga memiliki gejala neuropati (Kaur, 2013).
Keparahan NDP tergantung dari lamanya menderita DM dan level kontrol
glukosa darah. Individu dengan NDP memiliki keluhan awal berupa hilangnya
sensasi pada bagian distal kaki, dimana 80% berikutnya akan menimbulkan rasa tebal
dan tidak sensitif pada kaki tanpa rasa nyeri. Saat hilangnya sensasi ini mencapai
pertengahan betis maka penderita akan mulai merasakan hilangnya sensorik dibagian
distal ujung-ujung jari tangan (Tesfaye dkk, 2010).
Pada penelitian Pirart yang mengikuti 4400 pasien selama 25 tahun, dimulai dari
penegakan diagnosis awal, ditemukan 12% pasien dengan NDP. Peningkatan untuk
terjadinya NDP mencapai lebih dari 50% setelah 25 tahun menderita DM. Di
Amerika Serikat, NDP dievaluasi pada 6487 pasien DM dengan menilai reflek
pergelangan kaki, vibrasi, pinprick, dan sensasi temperatur yang digabungkan dengan
skor gejala 9 poin. Diperoleh bahwa 5% dari individu berusia 20-29 tahun menderita
NDP. Dalam peningkatan umur, 44,2% pada subjek antara 70-79 tahun. Demikian
14
pula pada penelitian kohort dengan 8757 pasien DM berusia 18-70 tahun, diperoleh
33% dari populasi dengan neuropati dan terjadi peningkatan sebesar 50% pada subjek
dengan umur yang lebih lanjut. Peningkatan pasien NDP berhubungan dengan
lamanya menderita DM, didapatkan pula bahwa NDP juga terjadi pada 10-18% saat
diagnosis awal dimana pasien dengan gangguan toleransi glukosa yang dikenal
sebagai prediabetes. Skrining prospektif pada pasien denngan oral glucose tolerance
test menghasilkan 30-50% pasien dengan “idiopathic” painful sensory neuropathy
dengan IGT yang memiliki gejala hampir sama dengan NDP awal dengan
predominan gangguan gejala dan tanda sensorik (Feldman dan Vincent, 2004).
2.4.1 Patofisiologi NDP
Gejala dan tanda NDP berdasarkan perubahan patologis pada sistem saraf
penderita DM, didapatkan hilangnya serabut saraf besar dan kecil bermielin, kejadian
remielinisasi segmental, dan degenerasi aksonal. Perubahan pada struktur serabut
saraf terjadi pararel dengan perubahan pada pembuluh darah sekitarnya, seperti
menebalnya dinding pembuluh darah kapiler, hiperplasi endotel yang berperan dalam
menurunkan tekanan oksigen dan hipoksia, dan penyempitan kapiler yang meliputi
serabut saraf kecil bermielin dan serabut saraf C yang tidak bermielin (Kaur, 2013).
Saat Diabetes Control and Complication Trial mengungkapkan bahwa
hiperglikemia mendasari perkembangan NDP, maka 10 tahun terakhir ini banyak
dilakukan penelitian yang memfokuskan dalam pengertian dan kerusakan vaskular
pada NDP. Penelitian pada hewan dan invitro menyatakan bahwa terdapat empat jalur
15
utama dalam metabolisme glukosa untuk terjadinya NDP, yaitu (Feldman dan
Vincent, 2004):
1.
Peningkatan aktivitas jalur polyol yang menimbulkan akumulasi sorbitol dan
fruktosa, NADP (P)- Redox imbalance, dan perubahan pada sinyal transduksi.
Glikasi protein non enzimatik yang membentuk “advanced glycation end
2.
products” (AGEs)
3.
Aktivasi protein Kinase C (PKC) yang menginisiasi respon kaskade stres.
4.
Peningkatan Hexosamine pathway flux.
Walaupun secara inisial mekanisme tersebut terlihat berbeda, beberapa bukti
penelitian memperkirakan bahwa defek ini saling berhubungan dan secara kolektif
bertanggung jawab untuk terjadinya dan perburukan NDP. Berikut akan dijelaskan
masing-masing jalur untuk terjadinya NDP, yaitu:
a.
Jalur Polyol
Kecenderungan pada jaringan yang mengalami komplikasi, kelebihan glukosa tidak
dimetabolisme melalui glikolisis yang melewati jalur polyol. Pada jalur polyol,
glukosa diubah menjadi sorbitol, kemudian menjadi fruktosa, dan hal ini berperan
dalam proses oksidasi dari nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen
(NADPH) menjadi NADP+. Peningkatan aktivitas jalur metabolik ini selanjutnya
akan
menghabiskan
NADPH sehingga
memerlukan
regenerasi
antioksidan
gluthathione. Tanpa gluthatione yang mencukupi, kemampuan sistem saraf akan
menurun dan berubah menjadi Reactive Oxygen Species (ROS), menimbulkan stres
oksidatif. Sebagai tambahan, dinyatakan bahwa saat glukosa dimetabolisme melalui
16
jalur polyol, akan menyebabkan akumulasi sorbitol yang nantinya akan menimbulkan
stres osmotik yang mengubah potensial antioksidan dalam sel, dan nantinya akan
meningkatkan akumulasi ROS. Pengeluaran produksi fruktosa pada jalur polyol juga
menimbulkan pembentukan nonenzymatic glycation / glycoxidation yang dapat
meningkatkan ROS yang memediasi kerusakan selular protein dan lipid (Feldman
dan Vincent, 2004).
Gambar 2.1
Jalur Polyol (Feldman dan Vincent, 2004)
b.
Jalur AGE
Hiperglikemia intraseluler terlihat sebagai kejadian primer yang menginisiasi formasi
AGEs melalui advanced glycation end product pathway. Glycation atau glycosilation
merupakan kombinasi glukosa dengan protein (Schiff bases) membentuk produk
glycation awal pada suatu nilai proporsional konsentrasi glukosa. Schift basses
17
mengalami perbaikan yang baru menjadi produk glycation awal tipe amadori yang
lebih stabil. Reaksi ini bersifat reversibel dan tidak ada bukti yang menggambarkan
bahwa produk-produk awal ini berhubungan dengan komplikasi diabetes. Dikatakan
pula bahwa beberapa produk glycation awal ini berjalan lambat, yang merupakan
reaksi kimiawi dari serial komplek menjadi AGEs. Karena AGEs ini bersifat
ireversibel, AGEs ini tidak akan kembali menjadi normal walau hiperglikemia telah
dikoreksi tetapi dikatakan bahwa AGEs ini akan terakumulasi dalam perjalanan
waktu. Bentuk AGEs di dalam sel akan menimbulkan intra dan ekstraselular cross
linking dari agregasi protein dengan protein yang menghasilkan struktur-struktur
tersier yang merusak fungsi sel tersebut. Hiperglikemia dan tingginya aliran polyol
akan meningkatkan proses ini. AGEs dapat menimbulkan kerusakan neuronal spesifik
dengan menghambat transport aksonal yang menimbulkan degenerasi akson. Proses
ini berhubungan dengan formasi AGE yang memerlukan transisi metal yang
menghasilkan makin banyak formasi AGE
(Singh, 2001; Feldman dan Vincent,
2004).
AGEs yang berikatan dengan protein reseptor seperti reseptor untuk advanced
glycation end product (RAGE). Pada mesangial dan sel endotel, aktivasi RAGE oleh
AGEs menghasilkan suatu produk ROS. Mekanisme yang pasti belum diketahui,
tetapi diperkirakan ada peranan NADPH oksidase. Kejadian ini sendiri dapat
berkontribusi dalam stres oksidatif selular dan disfungsi. Sebagai tambahan,
dikatakan pula bahwa sinyal RAGE melalui phosphatidylinositol-3 kinase (PI-3
kinase), ki-Ras dan mitogen activated protein kinase (MAP kinase) yang berinisiasi
18
dan memelihara translokasi dari NF-KB dari sitoplasma ke nukleus pada beberapa
tipe sel termasuk monosit sirkulasi dan sel endotel (Casellini dan Vinik, 2006).
Reseptor RAGE terdiri dari 2 NF-KB yang berikatan dengan regio promotornya
sehingga aktivitasi RAGE menimbulkan translokasi NF-KB yang menghasilkan
amplifikasi RAGE dan menimbulkan lingkaran keusakan dan oksidatif stres
berkelanjutan (Feldman dan Vincent, 2004).
Gambar 2.2
Jalur AGE (Feldman dan Vincent, 2004)
c.
Jalur PKC
Efek dari diabetes pada jalur PKC dikatakan sangat komplek, PKC bertanggung
jawab terhadap aktivasi dari protein esensial dan lipid di dalam sel yang berguna
untuk ketahanan hidup selular. Keseimbangan fisiologis abnormal oleh karena
diabetes akan meningkatkan stres osmotik ekstrasel. Sel yang normal berkompensasi
19
untuk stres dengan meningkatkan osmolaritas intrasel, seperti mengakumulasi
nonpertubing organic osmolytes, seperti sorbitol, mioinositol, dan taurine. Proses ini
menurunkan taurine dan mio-inositol. Penurunan dari taurine akan mengurangi
ketahanan antioksidan, sedangkan penurunan mio-inositol mempengaruhi sinyal
intraselular phosphoinositide, penurunan aktivitas PKC (Rajbhandari dan Piya,
2005).
Peningkatan aktivitas jalur polyol mengaktivasi PKC sebagai stimulasi osmotik
dari stress-activated protein kinase. Aktivasi PKC hampir mendekati suatu status
redox sel. Pengikatan antioksidan terhadap dopamin katalitik dari aktivitas inhibisi
PKC, saat PKC berinteraksi dengan prooksidan, dimana proses ini menjadi
teraktivasi. Aktivasi PKC akan menimbulkan aktivasi MAP-kinase dan faktor-faktor
transkripsi phosphorylasi yang akan meningkatkan ekspresi gen dan multiple stressrelated gen (C-jun kinase dan Heat shock protein) yang nantinya akan merusak sel.
Walaupun aktivitas PKC lebih baik terjadi pada retina, ginjal, dan mikrovaskular
dibanding saraf, dalam pathogenesis NDP dipercaya sebagai hasil dari efek pada
aliran darah vaskular (Kaur, 2013).
Peranan PKC kedepannya sebagai komplikasi diabetes yang diperoleh dari faktafakta, dikatakan bahwa aktivasi PKC vaskular menimbulkan vasokontriksi dan
iskhemi jaringan. Aktivasi PKC memiliki bifungsional efek pada NDP. Rendahnya
aktivitas PKC dapat mengganggu aliran darah pada saraf dan konduksi saraf pada
NDP. Dimana aktivitas yang tinggi akan mengurangi fungsi saraf yang kemungkinan
melibatkan regulasi neurokimiawi (Feldman dan Vincent, 2004) .
20
Gambar 2.3
Jalur PKC (Feldman dan Vincent, 2004)
d.
Jalur Hexosamine
Jalur Hexosamine diaktivasi saat keluaran metabolisme glikolisis terakumulasi. Jalur
ini menimbulkan perubahan pada ekspresi gen dan fungsi protein yang berkontribusi
dalam
patogenis
komplikasi
diabetes.
Sebagai
contoh,
beberapa
protein
acylglycosilated yang diproduksi pada jalur ini merupakan faktor transkripsi yang
meningkatkan protein yang berhubungan dengan komplikasi diabetes. Protein-protein
ini sering merupakan inflamatory intermediates dan meliputi transformasi growth
factor B1 yang berperan dalam nephropati dan plasminogen-activator inhibitor yang
menghambat pembekuan darah normal, peningkatan komplikasi vaskular. Aktivasi
dari jalur ini akan meningkatkan stres oksidatif saraf pada penyakit vaskular yang
21
menimbulkan oklusi mikrovaskular dan memproduksi ROS (Feldman dan Vincent,
2004).
Jalur hexosamine berperan penting dalam DM tipe 2 melalui 2 mekanisme
mayor. Nilai batas enzyme glutamine fructose-6 phosphateamidotransferase (GFAT)
secara spesifik meningkat secara spontan pada otot binatang tikus dengan DM.
Overekspresi dari GFAT ini menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia.
Sebagai tambahan, aktivasi dari jalur hexosamine yang menginduksi stres oksidatif
melalui generasi dari
hidrogen peroksidasi intrasel. Beberapa jalur hexosamine
disupresi dengan terapi antioksidan (Kaur, 2013).
Gambar 2.4
Jalur Hexosamine (Feldman dan Vincent, 2004)
22
e.
Stres Oksidatif
Masing-masing dari keempat jalur diatas memiliki kontribusi untuk pembentukan
formasi ROS. Reaksi-reaksi ini terjadi melalui jalur polyol yang meningkatkan stres
oksidatif dengan menurunkan kofaktor yang berperan dalam ketahanan antioksidan.
Melalui produk ROS dari formasi AGEs akan meningkatkan stres oksidatif. Aktivasi
PKC menghasilkan penurunan aliran darah, angiogenesis, oklusi kapiler, inflamasi,
dan ROS. Jalur hexosamine menimbulkan oklusi makro dan mikrovaskular, iskhemia,
dan ROS. Pada neuron yang normal, produk ROS dikontrol, radikal bebas dari
superoxide dan hidrogen peroksidase penting dalam fungsi sel normal. Superoxide
diproduksi oleh rantai transfer elektron mithocondrial saat nicotinamide adenine
dinucleotide (NADH) dioksidasi menjadi NAD+ (Kaur, 2013).
Saat jumlah glukosa berlebihan, terjadi kerusakan pada rantai transfer elektron
mithokondria dengan menghambat sintesis adenosine
triphosphatase. Hal ini
menimbulkan lambatnya transfer elektron mitokondria, meningkatnya pelepasan
elektron yang berperan untuk kombinasi dengan molekular oksigen untuk
memproduksi superoxide serta menimbulkan aktivasi NADH yang menghasilkan
superoxide sebagai produknya. Superoxide dimetabolisme menjadi hidrogen
peroksidase dan air dengan bantuan enzim superoxide dismutase. Hidrogen
peroksidase dapat dioksidasi dengan mudah menjadi komponen selular multipel dan
secara difus menembus membran. Saat hidrogen peroksidase bereaksi dengan iron
bebas, akan menghasilkan Hydroksill Radikal yang bereaksi dengan lipid. Lipid
peroksidase bersifat toksik terhadap sel dan memediasi kematian sel. Sehingga
23
keluaran superoxide dan hidrogen peroksidase bersifat mematikan atau menimbulkan
kerusakan pada saraf-saraf (Feldman dan Vincent, 2004).
Peningkatan aktivitas pada jalur-jalur ini menimbulkan disfungsi endotel yang
nantinya akan menimbulkan perubahan mikroangiopati dan selanjutnya akan
menimbulkan hipoksia jaringan. Hasil selanjutnya pada kerusakan struktur saraf dan
neuropati reversibel atau penurunan kecepatan hantar saraf (Tesfaye, 2004).
2.4.2 Gejala Klinis NDP
NDP juga disebut sebagai distal symetrical polineuropathy yamg merupakan
sindrom neuropati yang paling sering terlihat pada pasien DM. Sindrom yang lebih
jarang terlihat yaitu cranial mononeuropathies dan focal neuropathies seperti
proximal motor neuropathy. NDP dimulai dari jari-jari kaki dan secara gradual
menjalar keatas. Saat mengenai ekstremitas bawah, NDP juga mulai mengenai
ekstremitas atas dengan gejala menghilangnya gejala sensorik yang mengikuti bentuk
distribusi tipikal “glove and stocking”. Defisit motorik yang signifikan secara umum
tidak terjadi pada stadium awal NDP, walau pada pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) memperlihatkan atrofi otot-otot kecil bagian bawah pada kaki sebagai
gejala awal. Kelemahan otot simptomatik terlihat pada perkembangan penyakit
selanjutnya (Tesfaye, 2004).
24
Gambar 2.5
Distribusi Stocking and Glove pada Neuropati Diabetik Perifer (Tanenberg, 2009).
Gejala nyeri seperti rasa terbakar, kesemutan dan parestesi terlihat awal pada
30% pasien. Penting diingat bahwa gejala-gejala tersebut tidak sebagai indikator yang
reliabel terhadap keparahan atau beratnya kerusakan saraf. Pasien dengan gejala nyeri
yang berat memiliki defisit sensorik yang lebih sedikit dibandingkan pasien dengan
gejala tanpa nyeri yang memiliki keluhan rasa tebal pada kaki (Llewelyn, 2003).
Nyeri dan insensitif merupakan dua tanda klinis NDP. Gejala nyeri meliputi
rasa terbakar, paresthesia (pins and needle’s), hiperesthesia, dan allodynia (nyeri
kontak) dapat menimbulkan rasa stres dan biasanya memburuk pada malam hari.
Nyeri ini dapat berkisar dari rasa kesemutan pada satu atau lebih jari-jari kaki hingga
nyeri berat dan nyeri neuropati yang persisten. Pasien sering mendiskripsikan gejala
mereka seperti terkena sengatan listrik yang mengenai kaki atau seperti berjalan pada
pecahan kaca (Corblath, 2004., Tesfaye, 2004).
25
Diagnosis NDP biasanya tergantung dari gejala subjektif. Ekslusi penyebab
neuropati diabetik seperti alkoholisme, defisiensi vitamin B12, endokrinopati,
vaskulitis, paparan logam berat, penggunaan obat-obatan, dan keganasan merupakan
hal penting karena penyebab-penyebab ini 10% terjadi pada kasus-kasus neuropati
pada penderita DM. Saat gejala tanpa tanda, keparahan dan gejala nyeri dapat dinilai
dengan visual analogue scale atau numerical rating scale (0, tidak nyeri; 10 nyeri
paling hebat) (Dobretsov dkk, 2007).
Tabel 2.2
Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic Peripheral Neuropathy
(Tanenberg, 2009)
26
Deteksi awal NDP sangat penting untuk mendapatkan pengobatan lebih awal
dan sebagai pencegahan untuk kerusakan selanjutnya. Pada praktek klinisnya, deteksi
awal dimulai dengan anamnesis riwayat penyakit dan evaluasi gejala sensorik dan
motorik. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi pada kaki, evaluasi reflek pergelangan
kaki dan lutut, pemeriksaan sensorik meliputi pemeriksaan vibrasi, rasa raba, dan pin
prick sensation. Sistem skoring klinis dapat digunakan untuk menilai derajat
keparahan neuropati dengan menggunakan gejala dasar, reflek, dan skor sensorik,
seperti Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004).
Tabel 2.3
Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004).
Symptom Scores
Reflex Scores
Sensory Scores
0-6
0-8
0-5
Foot pain
Knee reflexes
Pinprick
Numbness
Ankle reflexes
Temperature
Tingling
(both sides)
Light touch
Weakness
Vibration
Ataxia
Position sense
Upper limb symptoms
Maximum score = 19
0-6 = no neuropathy; 6-8 = mild neuropathy: 9-11 = moderate neuropathy
≥ 12 = severe neuropathy
Dalam diagnosis klinis, terdapat beberapa kuisioner gejala untuk menskrining
kelainan ini. Michigan Neuropathy Screening Instrument dengan menggunakan 15
pertanyaan dapat menilai gejala dan defisit serta efeknya terhadap kualitas hidup
pasien. Hal yang sama juga dapat dinilai dengan suatu skor yang menilai tanda klinis,
27
yaitu Neuropathy Disability Score (NDS). Penilaian ini sangat mudah dikerjakan dan
hanya memerlukan waktu 1 hingga 2 menit. Skor maksimal untuk defisit neuropati
adalah 10 yang mengindikasikan hilangnya seluruh modalitas sensorik dan tidak
adanya reflek (Boulton, 2005).
Tabel 2.4
The Modified Neuropathy Disability Score (Boulton, 2005)
Salah satu modifikasi dari NDS adalah Michigan Diabetic Neuropathy Score
(MDNS). NDP dan stadium NDP ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik kuantitas
disertai pemeriksaan hantaran saraf. Parameter klinis yang dipilih dalam MDNS
28
memiliki prediksi yang tinggi terjadinya neuropati diabetika dan berkorelasi dengan
NDS, seperti tes vibrasi, fungsi otonom dan konduksi saraf (Feldman,1994).
Tabel 2.5
Stadium NDP Berdasarkan MDNS (Feldman, 1994)
Stadium 0
:
Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaran
saraf abnormal < 2, atau tidak ada neuropati.
Stadium 1
:
Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas pemeriksaan
hantaran saraf (neuropati ringan).
Stadium 2
:
Skor MDNS <
29,
dan 3-4
abnormalitas dari
pemeriksaan hantaran saraf (neuropati sedang).
Stadium 3
:
Skor MDNS < 46, dan 5 atau lebih abnormalitas hantaran
saraf (neuropati berat).
Alat lainnya yang mudah dikerjakan untuk skrining adalah Semmes-Weinstein
monofilament (SWMF). Pemeriksaan ini menggunakan monofilamen yang terdiri dari
filamen nilon yang dapat menilai tekanan persepsi saat dilakukan tekanan yang
gentle. SWMF merupakan suatu tes yang mudah digunakan sebagai skrining dalam
mengidentifikasi pasien NDP. Pemeriksaan ini dikatakan abnormal bila pasien tidak
dapat merasakan 5,07/10 g SWMF pada lebih dari 4 tempat dari 10 tempat yang
diperiksa (Boulton, 2005).
Quantitative Sensory Testing (QST) menggunakan suatu respon terhadap
stimuli seperti tekanan, vibrasi, dan suhu untuk memeriksa ada tidaknya neuropati.
29
QST ini makin sering digunakan untuk mengenal kehilangan sensasi dan iritabilitas
pada saraf yang berlebihan (Kolegium, 2009)
Pemeriksaan elektrodiagnostik merupakan pemeriksaan yang sensitif, spesifik,
dan
tervalidasi
dalam
menegakkan
diagnosis
polineuropati.
Evaluasi
elektrodiagnostik pada umunya meliputi pemeriksaan konduksi saraf atau
pemeriksaan kecepatan hantar saraf dan Electro Myo Graphy (EMG) jarum. Dalam
mendiagnosis polineuropati, pemeriksaan kecepatan hantar saraf dapat memberikan
informasi yang penting. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf ini tidak invasif,
terstandarisasi, dan merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk pemeriksaan
fungsional jaringan saraf sensoris dan motoris (Dobretsov dkk, 2007).
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik merupakan pemeriksaan konduksi
saraf yang paling sensitif untuk NDP. Pada pasien asimptomatik dengan DM,
diperoleh 50% pasien dengan penurunan amplitudo Sensory Nerve Action Potential
(SNAP) dan kecepatan hantar saraf dan lebih dari 80% pasien asimptomatik memiliki
abnormalitas konduksi sensorik. Abnormalitas biasanya pertama kali terlihat pada
bagian distal ekstremitas bawah (seperti saraf suralis dan plantaris). Pada pasien
dengan neuropati dengan gangguan pada SNAP, terlihat adanya latensi distal yang
memanjang dan kecepatan hantar saraf lambat. Hilangnya
H-reflex atau
memanjangnya latensi dapat diperkirakan sebagai tanda awal dari penyakit ini.
Abnormalitas pada konduksi sensorik sentral dapat terlihat pada beberapa pasien
yang terlihat dari adanya pemanjangan konduksi sentral dari brainstem dan jalur
30
somatosensorik. Quantitative sensory testing memperlihatkan adanya penurunan
persepsi vibrasi dan termal (Tesfaye, 2004).
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik memperlihatkan hal yang serupa
pada jaringan saraf sensorik, walaupun saraf motorik jarang telibat. Reduksi pada
kecepatan hantar saraf juga terlihat serupa pada jaringan sensorik. Latensi distal
motorik terlihat adanya sedikit pemanjangan, terutama pada ekstremitas bawah.
Demielinisasi segmental yang ditandai dengan adanya blok konduksi dan atau
temporal dispersion terjadi kurang dari 10% pasien NDP. Pemeriksaan F-Wave
memperlihatkan perlambatan difus saraf motorik. Parameter F-Wave standar dari
latensi minimal dan kronodispersi merupakan parameter yang paling sensitif dan
bernilai pada pasien dengan subclinical peripheral neuropathy (Tesfaye, 2004).
Secara umum, derajat abnormalitas konduksi saraf motorik dan sensorik secara
proporsional berhubungan dengan derajat keparahan dari penyakit dan buruknya
kontrol gula darah pasien. Pemeriksaan konduksi saraf peronealis dan medianus
biasanya berkorelasi dengan derajat keparahan status klinis (Tesfaye, 2004).
Pemeriksaan Elektromiografi jarum pada pasien NDP memperlihatkan derajat
potensial fibrilasi yang bervariasi dan positive sharp wave pada bagian distal otot
ekstremitas bawah, dan pada pasien NDP yang telah berlangsung lama terlihat hal
yang sama pada ektremitas atas. Terlihat pula adanya abnormalitas dari penurunan
Motor Unit Action Potential (MUAP) recruitment dan peningkatan potensial
amplitudo dan durasi. Pada single-fiber electro myo graphy
pada pasien NDP
31
memperlihatkan adanya penurunan jitter dan densitas fiber yang konsisten dengan
kerusakan aksonal (Moscu dan Pereanu, 2010)
Pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium yang harus diperiksa
untuk menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati, dimana semua hasil
laboratorium harus normal kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak
terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui (undiagnosed diabetes).
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan seperti: eritrosit, leukosit, dan hitung
jenis, elektrolit, gula darah puasa dan HbA1c, vitamin B-12 dan kadar asam folat,
thyroid-stimulating hormone dan tiroksin, Laju Endap Darah (Kolegium, 2009).
Pemeriksaan Imajing juga dilakukan untuk menyingkirkan kausa neuropati
lainnya, seperti MRI servikal, torakal, dan/ atau lumbal untuk menyingkirkan kausa
sekunder dari neuropati, CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternatif untuk
menyingkirkan lesi kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada
radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal. MRI kepala dapat
dilakukan untuk menyingkirkan aneurisma intrakranial, lesi kompresi dan infark
pada kelumpuhan nervus okulomotorius (Tesfaye dkk, 2010).
Penilaian keparahan pada NDP dinilai dengan pemeriksaan kwantitatif dan
obyektif sebagai kriteria minimal dalam diagnosis NDP . Jika nilai kecepatan hantar
saraf tidak dapat dinilai, sebaiknya dilakukan konfirmasi diagnosis NDP
hanya
diagnosis posible atau probable. Stadium NDP berdasarkan Derajat keparahan
menurut Dyck adalah (Tesyafe dkk, 2010):
1. Stadium 0 : tidak ada abnormalitas pada kecepatan hantar saraf
32
2. Stadium1a: Kecepatan hantar saraf abnormal tanpa ada gejala dan tanda
3. Stadium 1b: Kecepatan hantar saraf abnormal seperti pada grade 1a dengan
tanda neurologis tipikal untuk NDP tipikal tanpa gejala neuropati
4. Stadium 2a : Kecepatan hantar saraf abnormal dengan atau tanpa tanda dan
dengan gejala neuropati tipikal
5. Stadium 2b: Kecepatan hantar saraf abnormal, seperti grade 1a, dengan derajat
kelemahan ankle dorsofleksi sedang (50%) dengan atau tanpa tanda neuropati.
Definisi kriteria minimal NDP , yaitu (Tesfaye dkk, 2010):
1.
Possible NDP. Adanya tanda atau gejala dari NDP, meliputi beberapa gejala,
seperti penurunan sensasi, adanya gejala positif neuropati sensorik (contoh:
asleep numbness, prickling atau stabbing, rasa terbakar atau aching pain) yang
predominan pada jari-jari kaki, kaki, atau tungkai; atau tanda adanya penurunan
sensasi yang simetris pada bagian distal atau penurunan atau tidak adanya
reflek pergelangan kaki.
2.
Probable NDP. Terlihat adanya kombinasi dari tanda dan gejala dari neuropati
meliputi dua atau lebih gejala-gejala neuropati seperti penurunan sensasi bagian
distal, atau penurunan atau tidak adanya reflek pergelangan kaki.
3.
Confirmed NDP. Terlihat adanya abnormalitas pada kecepatan hantar saraf dan
suatu tanda atau gejala atau tanda dari NDP. Jika kecepatan hantar saraf normal,
dapat dilakukan pemeriksaan small fiber neuropathy yang telah tervalidasi.
33
4.
Subclinical NDP. Tidak terlihat adanya tanda dan gejala neuropati yang
dikonfirmasi dengan adanya abnormalitas dari kecepatan hantar saraf atau
pemeriksaan Small fiber neuropathy yang telah tervalidasi
2.4.3 Histopatologi
Biopsi kulit/saraf terutama untuk penelitian (research). Biopsi saraf suralis
pada saat ini jarang dilakukan lagi, karena dianggap prosedur yang invasif dan tidak
menyenangkan bagi pasien dan mahal serta adanya masalah bila dilakukan berulang
kali dan juga karena tidak ada patokan untuk prediksi dari abnormalitas yang
ditemukan. Pada saat ini juga ditemukan cara pemeriksaan baru seperti Skin Punch
Biopsy dan Immunohistochemical Staining dari saraf perifer, namun belum diketahui
hasilnya secara pasti (Tesfaye dkk, 2010).
Biopsi saraf memperlihatkan suatu degenerasi aksonal dan demyelinisasi
segmental. Degenerasi aksonal lebih sering terjadi pada bagian distal. Mikroangiopati
juga sering terlihat yang ditandai dengan hiperplasia epineural dan endoneural arteriol
serta kapiler. Sel-sel inflamasi terkadang terlihat pada biopsi yang predominan sel T
CD8+. Biopsi kulit memperlihatkan adanya suatu reduksi dari small myelinated
epidermal jaringan saraf (Moscu dan Pereanu, 2010)
34
Gambar 2.6
Biopsi Nervus Suralis pada Pasien Diabetes dengan dan Tanpa NDP
(Tesfaye, 2004)
Gambar 2.7
Defek Mikrovaskular Pembuluh Darah Endoneurial pada Penderita Diabetes
dengan dan tanpa NDP (Tesfaye, 2004).
35
Gambar 2.8
Abnormalitas Mikrovaskular Pembuluh Darah Epineural pada Penderita
Diabetes dengan dan tanpa NDP (Tesfaye, 2004).
2.5 Hubungan Hiperglikemi dengan NDP
Hiperglikemi yang berkepanjangan merupakan dasar terjadinya perkembangan
ND. Hal ini terlihat dari hasil penelitian prospektif randomisasi yang dilakukan oleh
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yaitu adanya penurunan yang
signifikan dari perkembangan dan progresifitas dari klinis neuropati, kecepatan hantar
saraf motorik, dan disfungsi otonom pada pasien diabetes tipe 1 dengan kontrol gula
darah yang optimal (Tesfaye, 2004).
Glukosa uptake pada jaringan saraf perifer terjadi secara insulin independen
sehingga pelepasan atau hasil akhir glukosa dihubungkan dengan jalur polyol yang
nantinya akan diubah menjadi sorbitol dan fruktose oleh enzim aldose reductase dan
sorbitol dehidrogenase. Sel membran saraf dikatakan relatif impermeabel terhadap
sorbitol dan fruktose, yang nantinya akan berakumulasi pada jaringan saraf. Fruktose
36
dan sorbitol secara osmotik aktif menimbulkan peningkatan konsentrasi air pada
jaringan saraf. Kedepannya akan terjadi oksidasi atau reduksi sel dengan penurunan
kadar nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dan gluthatione.
Proses ini akan menimbulkan kaskade seperti penurunan aktivitas membran Na-K
ATPase, akumulasi sodium intra aksonal yang menyebabkan penurunan kecepatan
hantar saraf dan perubahan struktural dari jaringan saraf. Kadar mioinositol menurun
karena peningkatan dari glukosa dan sorbitol untuk uptake mioinositol pada jaringan
dan sel-sel. Penurunan NADPH yaitu suatu kofaktor untuk enzyme nitric oxide
synthase, penurunan formasi
nitric oxide
menimbulkan vasodilatasi
yang
menyebabkan kegagalan suply darah ke jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2004).
Pada keadaan hiperglikemia, glukosa dapat incorporated non-enzymatically
menjadi protein dengan suatu unregulated glycation reaction. Reaksi glycation ini
terjadi melalui dua langkah untuk formasi HbA1c. Langkah pertama adalah formasi
PreA1c yang merupakan reaksi yang cepat dan reversibel. Langkah kedua lebih pelan
dan bersifat ireversibel dengan formasi HbA1c. Formasi Advanced Glycation End
Products (AGEs) meningkat oleh karena konsentrasi glukosa yang tinggi dan umur.
Pasien dengan diabetes lama memiliki kadar minimal dua kali lebih tinggi dari
individu normal. Nilai glycation dengan fruktosa dikatakan tujuh atau delapan kali
dari dengan glukose. Glycation dari protein mielin juga berkontribusi dalam
kerusakan kecepatan hantar saraf. AGEs juga terlihat pada jaringan saraf perifer yang
juga mempengaruhi transport aksonal. AGEs juga dipercaya sebagai penyebab
kerusakan jaringan karena reaktivitas dan protein cross linking (Reddy dkk, 2001).
37
Radikal Bebas dapat merusak jaringan saraf melalui efek toksik langsung atau
mungkin disebabkan oleh penghambatan produksi Nitric Oxide (NO) oleh endotel,
yang pada akhirnya menurunkan aliran darah ke jaringan saraf. Pada jaringan pasien
Diabetes, generasi radikal bebas dapat dibentuk melalui proses non enzymatic
glycation dan jalur polyol, dimana kemampuan untuk menetralisir radikal bebas akan
menurun karena penggunaan NADPH sehingga meningkatkan aktivitas aldose
reductase (Head, 2006).
Kadar gamma-linolenic acid (GLA) pada jaringan saraf akan menurun akibat
dari defisiensi insulin dan hiperglikemia menghambat aktivitas d-6-desaturase
enzyme. GLA merupakan prekusor prostanoid meliputi prostasiklin yaitu suatu
vasodilator yang poten. Defisiensi dari GLA ini akan menimbulkan penurunan aliran
darah saraf penderita diabetes (Feldman dan Vincent, 2004).
Endoneural pembuluh darah tersumbat karena adanya hiperplasia dan
pembengkakan pada sel endotel, penebalan dinding pembuluh darah dengan debris
dari degenerative pericytes seperti suatu basement membrane material, dan oklusi
lumen kapiler oleh fibrin atau agregasi platelet. Beberapa defek lainnya pada
produksi NO, peningkatan “quenching” NO oleh AGE pada dinding pembuluh darah,
defisiensi prostasiklin, dan peningkatan produksi endothelin-1 yaitu suatu peptida
vasokonstriktor poten bertanggung jawab dalam peningkatan vasokonstriksi yang
dapat menimbulkan iskhemia jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2024).
Jaringan saraf perifer memiliki reseptor untuk Nerve Growth Factor (NGF),
dimana NGF ini bertanggung jawab dalam regenerasi saraf. Konsentrasi NGF
38
sirkulasi menurun pada pasien DM. Pengobatan dengan NGF dapat meningkatkan
fungsi jaringan saraf perifer. Insulin like growth factor dan neurotrophin -3 juga dapat
membantu dalam regenerasi jaringan saraf (Bhadada dkk, 2001).
Gambar 2.9
Mekanisme Hiperglikemia menimbulkan Degenerasi Neuron
(Feldman dan Vincent, 2004)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
HbA1c tinggi (≥ 7%) merupakan salah satu parameter untuk menilai tidak
terkontrolnya DM tipe 2 yang akan menimbulkan kondisi hiperglikemia kronik.
Kondisi ini akan menstimulasi 4 jalur, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yaitu melalui: formasi glycation end product (interaksi AGE-RAGE), jalur
hiperaktivitas polyol, stres oksidatif, dan aktivasi protein kinase C (PKC).
Peningkatan aktivitas jalur-jalur ini akan menurunkan pembentukan NO dan
meniadakan efek NO yang berakibat terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel
selanjutnya akan menimbulkan keadaan mikroangiopati yang menimbulkan hipoksia
saraf. Kondisi mikroangiopati juga diperberat oleh DM itu sendiri yang menimbulkan
rigiditas Red Blood Cell (RBC), peningkatan koagulabilitas, dan peningkatan
reaktivitas platelet. Hasil akhirnya akan menimbulkan kerusakan struktural yang
berdampak menurunkan kecepatan hantar saraf (KHS) dan sebagai penyebab
terjadinya NDP.
Bagan di bawah ini menunjukkan mekanisme yang mungkin terjadi dan menjadi
landasan berpikir mengenai terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2.
39
40
DM
(Durasi)
Hiperglikemia
(HbA1C ≥ 7%)
Peningkatan
AGE-RAGE
Peningkatan
Aktivitas Jalur polyol
Meniadakan
Efek NO
Genetik
DAG
Peningkatan Formasi
Radikal Bebas
Peningkatan
Aktivitas PKC
Penurunan Pembentukan NO
Disfungsi endotel
Rigiditas RBC
Peningkatan
Koagulabilitas
Mikroangiopati
DM
Peningkatan
Reaktivitas
Platelet
Hipoksia Saraf
Kerusakan Struktural
Neuropati Diabetik Perifer
Keterangan:
AGEs: Advanced Glycation End Products
DAG: Diacylglycerol
DM: Diabetes Melitus
HbA1c : Glycocylated Hemoglobin
NO: Nitric Oxide
RBC: Red Blood Cell
PKC: Protein Kinase C
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Berpikir
Penurunan Kecepatan Hantar
Saraf
41
3.2 Konsep
Atas dasar rumusan masalah dan kerangka berpikir maka disusun suatu konsep
penelitian sebagai berikut:
DM tipe 2
HbA1c ≥ 7%
Infeksi
Keganasan
Penyakit hati kronik
Usia
Obesitas
Penyakit ginjal kronik
Neuropati Diabetik
Perifer (NDP)
Dislipidemia
Lama menderita
DM
Toksik
Jenis Pengobatan
DM
Neuropati jebakan
Penggunaan alkohol
Obat-obatan
Gambar 3.2
Konsep penelitian
Keterangan:
= dikendalikan pada tahap analisis data
= dikendalikan pada tahap rancangan penelitian
= variabel yang akan diteliti
42
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusunlah konsep penelitian
sebagai berikut:
1. Neuropati Diabetik Perifer (NDP) dapat terjadi pada penderita DM tipe 2. Perlu
diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi NDP pada penderita DM. DM tipe 2
dengan kadar HbA1c yang tinggi merupakan faktor risiko NDP pada penderita
DM tipe 2.
2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya NDP pada
penderita DM, antara lain usia, obesitas, lama menderita DM, dan jenis
pengobatan DM selanjutnya dikendalikan pada tahap analisis data. Faktor risiko
lainnya yaitu: infeksi, keganasan, penyakit hati kronik, penyakit ginjal kronik,
toksik, penggunaan alkohol, obat-obatan, dan neuropati jebakan dikendalikan
pada tahap rancangan penelitian.
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka disusun
hipotesis penelitian yaitu: DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko
Neuropati Diabetik Perifer di RSUP Sanglah Denpasar.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk
mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko Neuropati
Diabetik Perifer (NDP) di RSUP Sanglah.
HbA1c Normal
NDP (+)
(Kasus)
HbA1c Tinggi
DMtipe 2
HbA1c Normal
NDP (-)
(Kontrol)
HbA1c Tinggi
Keterangan:
HbA1c: Glycosylated Hemoglobin Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol
NDP: Neuropati Diabetik Perifer
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol
43
44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP
Sanglah. Penelitian dimulai dari April hingga Agustus 2014, mulai dari persiapan,
pengumpulan data hingga penelitian selesai.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian terhadap faktor risiko dalam
lingkup neurologi, khususnya bidang saraf tepi.
4.4
Populasi dan Sampel Penelitian
4.4.1 Populasi target
Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 yang
mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUP Sanglah.
4.4.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 yang
menjalani pengobatan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah
Denpasar antara periode April - Agustus2014.
4.4.3 Kriteria sampel
Semua penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Saraf
dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
4.4.3.1 Kriteria kasus
Kriteria inklusi pada kelompok kasus dalam penelitian ini adalah:
45
1.
Penderita yang telah terbukti menderita DM tipe 2 dan NDP.
2.
Penderita berusia 20-65 tahun.
3.
Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel penelitian
(informed consent).
4.4.3.2 Kriteria kontrol
Kriteria inklusi pada kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah:
1. Penderita DM tipe 2 tanpa NDP.
2. Penderita berusia 20-65 tahun.
3. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini
dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel
penelitian (informed consent).
4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol
Kriteria eksklusi pada kelompok kasus dan kontrol dalam penelitian ini
adalah:
1.
Penderita dengan riwayat penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis,
dislipidemia.
2.
Penderita dengan infeksi HIV,Morbus Hansen.
3.
Penderita dengan keganasan yang dapat menyebabkan neuropati
4.
Penderita neuropati yang sedang mengkonsumsi obat-obatan seperti anti
retroviral, obat-obat kemoterapi, dan estrogen.
5.
Penderita dengan riwayat paparan toksin termasuk penggunaan alkohol,
pestisida, merkuri, organofosfat, dan timbal.
6.
Penderita dengan kemungkinan gangguan pada sistem saraf tepi lainnya,
seperti penyakit neuropati jebakan (Carpal Tunnel Syndrome, Cervical
Root Syndrome)
46
4.4.4 Besar sampel
Penghitungan besar sampel (n) pada penelitian ini ditetapkan berdasarkan
rumus (Dahlan, 2009):
n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)²
(P1-P2)²
α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96
 : kesalahan tipe II, ditetapkan 10% sehingga Z= 1,28
P : proporsi total = ½ (P1+P2)
P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti
Q1 : 1- P1
Q2 : 1- P2
Proporsi NDP pada penderita DM dengan kadar HbA1c tinggi adalah 0,38
(Purwata, 2010). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1 = n2 =
42,78. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan
kelompok kontrol adalah 43 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 86
orang.
4.4.5 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non
random jenis consecutive yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria
eligibilitas dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi.
47
4.5 Variabel Penelitian
1. Variabel tergantung adalah NDP.
2. Variabel bebas adalah DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi.
3. Variabel kendali adalah usia, obesitas, lamanya menderita DM dan jenis
pengobatan DM.
4.6.1 Definisi Operasional Variabel
1. Diabetes Melitus tipe 2 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Diagnosis DM dapat ditegakkan jika ada
keluhan klasik, yaitu: poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, dan
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau adanya gejala klasik
disertai pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (PERKENI,2011).
Data didapatkan dari rekam medis pasien. Dikelompokkan menjadi ya dan
tidak sesuai skala nominal dikotomi
2. Neuropati Diabetik Perifer
ditegakkan dengan pemeriksaan
MDNS
(Lampiran 4). Data disajikan berskala nominal dikotomi:
a. Ya: MDNS memenuhi kriteria stadium 1, 2, 3
b. Tidak: MDNS memenuhi kriteria stadium 0 (Feldman,1994).
3.
HbA1c merupakan bentuk glikosilasi dari hemoglobin yang dapat
digunakan sebagai indikator dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa
pada penderita DM. Kadar HbA1c digunakan sebagai indek rata-rata kadar
glukosa pada pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM,
dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Kadar HbA1c merupakan
48
konsentrasi glukosa plasma yang proporsional dalam waktu 4 minggu
hingga tiga bulan (PERKENI,2011). HbA1c diperiksa menggunakan metode
Turbidimetri, alat automatic autoanalyzer (Cobas Integra 400 Plus analyzer
dari Roche). Data disajikan berskala kategorikal nominal dikotomi, menjadi:
a. Normal: HbA1c <7%
b. Tinggi : HbA1c ≥ 7%
4.
Umur adalah umur penderita pada saat dilakukan wawancara sesuai dengan
yang tercatat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Data disajikan berskala
numerik.
5.
Umur sampel yang dipilih adalah memenuhi kriteria inklusi 20-65 tahun
dengan pertimbangan sebagian besar pasien DM tipe 2 berumur > 20 tahun
dan menghindari sampel pasien DM tipe 1 yang biasanya berumur < 20
tahun dan bila umur pasien < 20 tahun, lamanya menderita sakit belum
cukup untuk menimbulkan gejala-gejala NDP. Sedangkan bila umur pasien
> 65 tahun kemungkinan pasien sudah menderita beberapa penyakit lain
yang akan berperan sebagai perancu (confounding factor).
6.
Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita berdasarkan yang tercatat pada
KTP, yaitu laki-laki dan perempuan. Data berskala kategorikal nominal
dikotomi.
7.
Obesitas dihitung berdasarkan Indeks massa tubuh yang dapat dihitung
dengan rumus : IMT = Berat Badan (kilogram)/Tinggi Badan (meter2)
(PERKENI, 2011). Data disajikan berskala nominal dikotomi.
a. Obesitas: IMT ≥ 25,0
49
b. Tidak Obesitas : IMT < 25,0
8. Lama menderita DM adalah waktu dalam hitungan tahun sejak penderita
didiagnosis menderita DM yang diketahui dari rekam medis atau keterangan
keluarga hingga saat ini. Data disajikan berskala nominal dikotomi dan
dibagi menjadi:
a. Lama menderita DM < 5 tahun
b. Lama menderita DM ≥ 5 tahun(Wheeler dkk, 2007)
9. Jenis pengobatan DM adalah nama obat anti diabetik yang digunakan saat
ini. Data disajikan berskala nominal dikotomi dan dibagi menjadi:
a. Insulin
b. Oral anti diabetik (OAD)
10. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai penderita yang sudah
terdiagnosis gagal ginjal kronis (GGK) atau diduga GGK; mengalami
abnormalitas struktural atau fungsional ginjal yang menetap dalam minimal
3 bulan dan dimanifestasikan oleh kerusakan ginjal, yang terdeteksi sebagai
ekskresi
albumin urin abnormal
atau nilai
GFR di
bawah 60
ml/menit/1,73m2 (Bakris dan Bomback, 2011). Data diperoleh dari
wawancara, pemeriksaan penunjang, dan catatan medis.
11. Penyakit hati kronis didefinisikan sebagai suatu kondisi medis yang ditandai
dengan pengrusakan jaringan hati yang bertahap seiring dengan perjalanan
penyakit, yang dapat menyebabkan fibrosis dan sirosis hati. Data diperoleh
dari klinis dan catatan medis.
12. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak yang ditandai oleh
peningkatan atau penurunan lemak plasma. Kelainan fraksi lemak yang
50
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total > 200mgdL dan atau kolesterol
LDL > 130 mg/dL dan atau penurunan HDL < 35 mg/dL dan atau kenaikan
trigliserida > 200 mg/dL (Soegondo dan Gustaviani, 2006). Data diperoleh
dari wawancara, pemeriksaan penunjang, dan catatan medis.
13. Penderita HIV adalah penderita dengan gejala klinis infeksi HIV dan hasil
pemeriksaan serologis HIV menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan HIV
dilakukan dengan rapid test dan penderita dinyatakan menderita HIV bila
didapatkan hasil reaktif pada pemeriksaan rapid test tersebut (Depkes,
2009). Data diperoleh dari wawancara, pemeriksaan penunjang, dan catatan
medis.
14. Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi yang ditandai
dengan hipestesi atau anestesi, setelah itu menyerang kulit yang ditandai
oleh gambaran makula hipopigmentasi yang kurang atau tidak rasa, dan
organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Data diperoleh dari
klinis dan catatan medis.
15. Neuropati karena keganasan adalah penderita dengan keganasan yang dapat
menyebabkan
neuropati
ditentukan
berdasarkan
anamnesis,
heteroanamnesis, dan catatan medis.
16. Neuropati karena obat-obatan adalah penderita neuropati yang sedang
mengkonsumsi obat-obatan seperti anti retroviral, obat kemoterapi,
danestrogen, setidaknya selama 3 bulan. Data diperoleh dari anamnesis dan
catatan medis.
51
17. Neuropati karena paparan toksin adalah penderita dengan riwayat paparan
toksin termasuk paparan bahan- bahan yang mengandung pestisida, merkuri,
organofosfat, dan timbal. Data diperoleh dari anamnesis.
18. Neuropati jebakan, seperti CTS, CRS ditentukan berdasarkan klinis dan
catatan medis.
19. Peminum alkohol adalah subyek yang minum minuman mengandung
alkohol >1 gelas/hari untuk perempuan dan >2 gelas/hari untuk laki-laki
secara regular selama lebih dari 1 tahun terakhir (Van Horn dkk., 2010).
Data diperoleh dari wawancara dari pasien dan keluarga.
20. Individu DM tipe 2 tanpa neuropati diabetik perifer yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah individu yang menderita DM tipe 2 tapi tidak
mempunyai tanda, gejala, dan pemeriksaan yang menunjukkan neuropati
diabetik perifer.
4.7 Alat Pengumpul Data
Data primer diperoleh dari penderita melalui wawancara menggunakan
kuesioner dan lembar pengumpulan data yang digunakan untuk mencatat data
dasar karakteristik penderita dari catatan medis. Alat diagnostik yang digunakan
untuk menunjang diagnosis suatu NDP adalah kuisioner MDNS dan ENMG yang
terdapat di poliklinik saraf RSUP Sanglah merek Dantec keluaran tahun 1992
dengan perangkat lunak ENMG Medtronic. Penderita dilakukan pemeriksaan
NCV, yang terdiri dari pemeriksaan amplitudo dan KHS sensorik serta motorik
pada saraf medianus, ulnaris, peroneus, dan suralis.
52
Kadar HbA1c diperiksa memakai metode Turbidimetri, alat automatic
autoanalyzer (Cobas Integra 400 Plus analyzer dari Roche). Pemeriksaan HbA1c
yang digunakan adalah HbA1c dalam 3 bulan terakhir.
4.8 Prosedur Penelitian
Penderita DM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya
bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, maka
dilakukan wawancara terstruktur dengan kuesioner. Data yang diperoleh
ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan hasil penelitian.
53
Populasi target: penderita DM tipe 2
Populasi terjangkau: penderita DM tipe 2 yang rawat jalan di poliklinik Saraf
dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah
Kriteria inklusi dan eksklusi
MDNS
NDP (-)
NDP (+)
HbA1c normal
HbA1c tinggi
HbA1c normal
Analisis Data
Laporan Hasil
Keterangan:
HbA1c: Glycosylated Hemoglobin
MDNS: Michigan Diabetic Neuropathy Score
NDP: Neuropati Diabetik Perifer
Gambar 4.2
Bagan Alur Penelitian
HbA1c tinggi
54
4.9 Pengolahan dan Analisis Data
Analisis dan penyajian data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif untuk melihat sebaran usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, obesitas, lama menderita DM, jenis pengobatan DM,
dan stadium NDP pada kelompok kasus dan kontrol.
2. Uji normalitas pada data yang berskala numerik meliputi usia.
3. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung
berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat kemaknaan dengan p
dan hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio (OR) dengan
confidence interval (CI) 95%.
4. Analisis multivariat regresi logistik untuk mencari faktor independen.
Seluruh data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan analisis statistik.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 86 orang penderita DM tipe 2 yang
diperiksa di Poliklinik Saraf dan Poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar
mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2014. Penelitian ini menggunakan
rancangan studi potong lintang kasus kontrol untuk mengetahui kadar HbA1c
sebagai faktor risiko NDP dengan uji Chi-Square sebagai uji hipotesis.
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Total 86 orang dijadikan sampel dalam penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kasus
dan kontrol. Kelompok kasus adalah 43 pasien DM dengan NDP dan kelompok
kontrol adalah 43 pasien DM tanpa NDP. Seluruh subjek penelitian telah
menandatangani informed consent. Subjek penelitian kemudian dilakukan
pemeriksaan MDNS dan HbA1c. Karakteristik subjek penelitian meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, obesitas, lama menderita DM, jenis
pengobatan anti diabetik, dan stadium NDP.
Karakteristik
subjek penelitian berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, dan stadium NDP dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
55
56
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
NDP (+)
NDP (-)
N
%
N
%
56,05
±6,34
51,6
±8,56
-Laki-laki
22
51,2
22
51,2
-Perempuan
21
48,8
21
48,8
-SD
12
27,9
9
21,0
-SMP
6
14,0
4
9,3
-SMA
15
34,9
20
46,5
-Diploma/Perguruan Tinggi
10
23,3
10
23,3
-PNS
10
23,3
9
20,9
-Pegawai Swasta
7
16,3
6
14,0
-Wiraswasta
6
14,0
10
23,3
-Buruh/Tani
8
18,6
2
4,7
-Lain-lain
12
27,9
16
37,2
-Stadium 0
0
0
43
100
-Stadium 1
5
11,6
0
0
-Stadium 2
23
53,5
0
0
-Stadium 3
15
34,9
0
0
Umur (rerata±SD)
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Stadium NDP
Hasil analisis tabel 5.1 didapatkan rerata umur pada kelompok kasus adalah
56,05 (SD±6,34) tahun, dimana umur terendah 43 tahun dan tertinggi 65 tahun
dengan tingkat kepercayaan 95% berada diantara 54,1-57,9 tahun. Pada kelompok
57
kontrol diperoleh rerata umur 51,60 (SD±8,56) tahun, dimana umur terendah 33
tahun dan tertinggi 65 tahun dengan tingkat kepercayaan 95% berada diantara
48,9 sampai 54,2 tahun.
Pada penelitian ini diperoleh subjek penelitian terdiri dari 44 laki-laki dan 42
perempuan. Persentase laki-laki pada kelompok kasus dan kontrol sebesar 51,2%.
Seluruh subjek menjalani pendidikan formal mulai dari tingkat SD hingga
perguruan tinggi dengan persentase tertinggi adalah tingkat pendidikan SMA
pada kelompok kasus sebesar 34,9% dan pada kelompok kontrol sebesar 46,5%.
Latar belakang pekerjaan subjek penelitian bervariasi, yaitu pegawai negeri sipil,
pegawai swasta, wiraswasta, buruh/tani. Subjek penelitian terbanyak tidak bekerja
yang terdiri dari pensiunan dan ibu rumah tangga dengan persentase kelompok
kasus 37,2% dan kelompok kontrol 27,9%. Penderita DM dengan NDP dibagi
menjadi 3 stadium dan pada penelitian ini didapatkan persentase terbanyak
menderita DM dengan NDP stadium 2 sebesar 53,5%.
5.2 Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2
Hubungan kadar HbA1c sebagai variabel bebas dengan NDP sebagai variabel
tergantung dinilai dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis yang
digunakan adalah uji Chi-Square. Didapatkan nilai Odds ratio (OR) dengan
interval kepercayaan 95%. Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai
probabilitas (p) < 0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.2 berikut.
58
Tabel 5.2
Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2
Kadar HbA1c
NDP (+)
NDP (-)
OR
n (%)
n (%)
IK 95%
Normal
12 (27,9%)
28(65,1%)
4,82
Tinggi
31 (72,1%)
15(34,9%)
(1,931-12,041)
P
0,001*
__________________________________________________________________
*bermakna secara statistik
Penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi yang mengalami NDP
didapatkan sebanyak 31 orang (72,1%) dan tanpa NDP sebanyak 15 orang
(34,9%) dengan OR 4,82; IK 95% (1,931-12,041). Pada penelitian ini diperoleh
bahwa DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi secara signifikan meningkatkan
risiko 4,82 kali untuk terjadinya NDP dibandingkan DM dengan kadar HbA1c
normal.
5.3
Analisis Bivariat Faktor-faktor
Lain yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2
Faktor- faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian NDP adalah
umur, obesitas, lama menderita DM dan jenis pengobatan DM. Hubungan
keempat variabel tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis
bivariat. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Didapatkan nilai
Odds Ratio (OR) dengan interval kepercayaan 95%. Kemaknaan penelitian ini
59
ditetapkan pada nilai probabilitas (p) < 0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel
5.3 berikut.
Tabel 5.3
Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain dengan NDP pada Penderita DM tipe 2
Umur
Obesitas
Lama
Menderita
DM
Jenis
Pengobatan
DM
NDP (+)
NDP (-)
OR
n (%)
n (%)
IK 95%
<54 tahun
13 (30,2%)
27 (62,8%)
3,89
≥54 tahun
30 (69,8%)
16 (37,2%)
(1,587-9,557)
Ya
15 (48,4%)
16 (51,6%)
1,10
Tidak
28 (51%)
27 (49%)
(0,458-2,669)
<5 tahun
12 (31,6%)
26 (68,4%)
3,95
≥5 tahun
31 (64,6%)
17 (35,4%)
(1,599-9,76)
Insulin
34 (79,1%)
27 (62,8%)
0,44
OAD
9 (20,9%)
16 (37,2%)
(0,171-1,167)
P
0,002*
0,822
0,002*
0,96
*bermakna secara statistik
Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan rerata umur
seluruh subjek penelitian yaitu 53,9 (SD±7,95) tahun. Penderita DM berusia ≥54
tahun yang menderita NDP sebanyak 30 orang (30,2%) dan tanpa NDP sebanyak
16 orang (37,2%) dengan OR 3,89; IK 95% (1,587-9,557). Pada penelitian ini
didapatkan bahwa penderita DM tipe 2 dengan umur ≥54 tahun secara signifikan
60
meningkatkan risiko 3,89 kali untuk terjadinya NDP dibandingkan penderita DM
tipe 2 dengan umur <54 tahun.
Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan pada subjek penelitian
untuk mendapatkan nilai BMI sebagai penentu obesitas. Penderita DM dengan
obesitas
yang menderita NDP sebanyak 15 orang (48,4%) dan tanpa NDP
sebanyak 16 orang (51,6%) dengan OR 1,1; IK 95% (0,458-2,669). Secara klinis
didapatkan bahwa obesitas meningkatkan risiko 1,1 kali untuk terjadinya NDP
dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 tanpa obesitas tetapi tidak terdapat
hubungan bermakna secara statistik antara obesitas dengan NDP.
Lama menderita DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NDP.
Pada penelitian ini didapatkan 48 orang (55,8%) menderita DM ≥5 tahun, 31
orang (64,6%) diantaranya menderita NDP dan 17 orang (35,4%) tanpa NDP
dengan OR 3,95; IK 95% (1,599-9,76). Pada penelitian ini diperoleh bahwa lama
menderita DM ≥5 tahun secara statistik meningkatkan risiko 3,95 kali untuk
terjadinya NDP dibanding lama menderita DM <5 tahun.
Seluruh subjek penelitian mendapatkan pengobatan DM, baik dengan insulin
atau
OAD. Pada penelitian ini didapatkan 61 orang (70,9%) menggunakan
insulin. Pada kelompok penderita DM dengan NDP diperoleh 34 orang (79,1%)
menggunakan insulin dan 27 orang (62,8%) tanpa NDP dengan OR 0,44; IK 95%
(0,171-1,167). Pada penelitian ini diperoleh bahwa secara klinis insulin memiliki
efek protektif 25 kali untuk terjadinya NDP dibanding OAD tetapi hubungan ini
secara statistik tidak bermakna.
61
5.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP
Faktor risiko independen terhadap kejadian NDP pada penderita DM tipe 2
diketahui dengan melakukan analisis multivariat dengan metode regresi logistik.
Metode ini digunakan karena variabel terikatnya merupakan variabel nominal
dengan desain kasus kontrol tidak berpasangan. Sedangkan kerangka konsep
etiologik diterapkan karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan
murni antara suatu variabel bebas dengan variabel terikat, dalam hal ini DM tipe 2
dengan kadar HbA1c dengan NDP. Analisis multivariat disajikan pada tabel 5.4
berikut.
Tabel 5.4
Analisis Multivariat Regresi Logistik
Langkah 1
Variabel
Koefisien
p
OR (IK 95%)
HbA1c tinggi
2,059
0,000
7,84 (2,50-24,54)
Umur ≥54 tahun
1,739
0,002
5,69 (1,87-17,29)
Lama menderita
1,766
0,002
5,85 (1,90-17,95)
-3,059
0,000
DM ≥5 tahun
Konstanta
Variabel- variabel yang dimasukkan pada analisi multivariat adalah kadar
HbA1c, kelompok umur dan lama menderita DM yang pada analisis bivariat
mempunyai nilai p<0,25. Pada perhitungan statistik didapatkan bahwa faktor
risiko independen terhadap kejadian NDP pada penderita DM tipe 2 adalah kadar
HbA1c tinggi sebesar 7,84 (IK 95% 2,50-24,54); p=0,000, Umur ≥ 54 tahun
62
sebesar 5,69 (IK 95% 1,87-17,29); p=0,001, dan lama menderita DM ≥ 5 tahun
sebesar 5,85 (IK 95% 1,90-17,95); p=0,001.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini didapatkan dari Poliklinik Diabetes dan Poliklinik
Saraf RSUP Sanglah Denpasar dengan pemilihan sampel secara consecutive
terhadap seluruh penderita DM tipe 2. Didapatkan total 86 orang penderita DM
tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu penderita DM tipe 2 dengan NDP sebagai kelompok kasus dan
penderita DM tipe 2 tanpa NDP sebagai kelompok kontrol.
Pada penelitian ini diperoleh 86 orang subjek penelitian yang terdiri atas 44
laki-laki dan 42 perempuan. Pada kelompok kasus dan kelompok kontrol
didapatkan jumlah jenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan
dengan persentase 51,2% laki-laki dan 48,8% perempuan. Hasil yang hampir
sama juga didapatkan pada penelitian kasus kontrol San Luis Valley pada
penderita DM Tipe 2 di Kolorado yaitu NDP lebih banyak terjadi pada laki-laki
(54,4%) dibanding perempuan (45,6%) (Wheeler dkk., 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Tamer dkk. (2006) yang meneliti prevalensi
dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM di Turki memperoleh hasil
bahwa jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian
NDP (p<0,05) dan merupakan faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya NDP
(OR=2,330, 95% CI 0,09-0,500).
63
64
Secara umum diperoleh prevalensi NDP sebesar 34%, dimana 18% terjadi
pada usia 19-29 tahun dan meningkat menjadi 58% pada usia diatas 30 tahun
(Wheeler dkk, 2007).
Rerata umur pada kelompok penderita DM tipe 2 yang mengalami NDP pada
penelitian ini yaitu 56,05 (SD±6,34) tahun lebih tinggi dibandingkan rerata umur
pada kelompok kontrol 51,60 (SD±8,56) tahun. Pada penelitian potong lintang
pada 303 penderita DM di Dhaka, Bangladesh oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh
rerata umur penderita DM tipe 2 dengan NDP adalah 50,8 (SD±10,6) tahun,
dengan usia perempuan lebih muda 48,7 (SD±10,7) tahun dibandingkan laki-laki
53,1 (SD±9,9). Pada penelitian potong lintang oleh Soheilykhah dkk. (2013) pada
352 penderita DM tipe 2 diperoleh rerata umur penderita DM tipe 2 dengan NDP
adalah 57±10,3 tahun. Prevalensi NDP meningkat sesuai umur dari 5,6% pada
penderita DM berusia kurang dari 40 tahun menjadi 51,8% pada penderita DM
berusia diatas 60 tahun.
Seluruh subjek menjalani pendidikan formal mulai dari tingkat SD hingga
perguruan tinggi dengan persentase tertinggi pada tingkat pendidikan SMA yaitu
pada kelompok kasus sebesar 34,9% dan pada kelompok kontrol sebesar 46,5% .
Latar belakang pekerjaan subjek penelitian bervariasi, yaitu pegawai negeri sipil,
pegawai swasta, wiraswasta, buruh/tani. Subjek penelitian terbanyak tidak bekerja
yang terdiri dari pensiunan dan ibu rumah tangga dengan persentase kelompok
kasus 37,2% dan kelompok kontrol 27,9%. Pada penelitian potong lintang dengan
294 penderita DM di Dhaka, Bangladesh oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh
65
penderita DM dengan NDP memiliki pekerjaan: ibu rumah tangga (49,7%),
pekerja kantor (13,3%), pekerja kasar/buruh (8,2%), dan wiraswasta (11,2%).
Stadium
NDP dapat ditegakkan dengan berbagai sistem skoring. Pada
penelitian ini stadium NDP dinilai dengan MDNS, diperoleh penderita DM
dengan NDP terbanyak pada stadium 2, yaitu 53,5%. Sedangkan persentase NDP
stadium 1 sebesar 11,6% dan NDP stadium 3 sebesar 34,9%. Rerata HbA1c pada
NDP stadium 1 sebesar 7,82 ± 1,76%, pada stadium 2 sebesar 8,88 ± 1,92%, dan
pada stadium 3 sebesar 9,89 ±2,68%. Secara klinis diperoleh korelasi yang sangat
lemah antara HbA1c dengan stadium NDP (r=0,07) namun tidak bermakna secara
statistik. Cut off point kadar HbA1c yang dapat menimbulkan kejadian NDP pada
penelitian ini diperoleh sebesar 7,29%.
Hasil yang serupa didapatkan oleh Tamer dkk. (2006) dalam penelitiannya
pada 191 penderita DM di Turki diperoleh derajat NDP terbanyak adalah NDP
derajat sedang (49,4%), sedangkan derajat ringan sebesar 42,2% dan derajat berat
sebesar 8,4%, tetapi penegakan diagnosis NDP pada penelitian ini menggunakan
Neuropathy Disability Score (NDS).
Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Boya dkk. (2005) pada 110
penderita DM tipe 2 diperoleh kontrol gula darah yang buruk (≥ 7,5%)
meningkatkan kejadian NDP yang didiagnosis dengan MDNS sebesar 0,3 kali
dibandingkan kontrol gula darah yang baik
66
6.2 Hubungan antara Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2
Hasil pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat
akurat untuk menilai status glikemia jangka panjang dan beguna pada semua tipe
penyandang DM. Pemeriksaan ini bermanfaatbagi pasien yang membutuhkan
kendali glikemia (Soewondo, 2009).
Pada penelitian ini diperoleh kadar HbA1c terendah 5,34% dan tertinggi
14,92% dengan median 8,61% pada penderita DM tipe 2 dengan NDP. Penderita
DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi yang mengalami NDP didapatkan
sebanyak 31 orang (72,1%) dan tanpa NDP sebanyak 15 orang (34,9%). Pada
penelitian ini didapatkan bahwa kadar HbA1c tinggi secara signifikan
meningkatkan risiko terjadinya NDP 4,82 kali dibandingkan penderita DM
dengan HbA1c normal.
Pada penelitian Nuho dkk. (2004) didapatkan rerata kadar HbA1c pada
kelompok NDP (7,4) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa
NDP (6,5) (p= 0,037). Efek kontrol glukosa darah dalam perkembangan
komplikasi DM telah diteliti oleh The United Kingdom Prospective Diabetes
Study (UKPDS). Penelitian ini memperkuat teori hiperglikemia sebagai penyebab
komplikasi mikrovaskular, dan dari penelitian ini didapatkan bahwa kontrol
glukosa darah (HbA1c dibawah 7%) akan menurunkan risiko komplikasi NDP
(Nuho dkk, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Tamer dkk. (2006) di Turki yang meneliti
prevalensi dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM memperoleh hasil
rerata
kadar HbA1c 8,2±2,1% pada kelompok NDP. Penelitian ini juga
67
mendapatkan hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kejadian
NDP (p<0,05).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shekharappa dkk. (2011) pada 45
penderita DM dengan kadar HbA1c normal (< 7%) dan 45 penderita DM dengan
kadar HbA1c tinggi (≥7%) diperoleh hasil bahwa pemeriksaan Nerve Conduction
Velocity (NCV) secara progresif menurun pada penderita DM dengan kadar
HbA1c tinggi (45,3±3,1) dibandingkan dengan kelompok penderita DM dengan
kadar HbA1c normal (47,2±2,8) (p=0,01). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh
Bansal
dkk,
(2006)
yang
memperkirakan
bahwa
perlambatan
NCV
mengindikasikan adanya kerusakan selubung mielin yang terus berjalan dan juga
terdapat opini lainnya bahwa amplitudo menurun seiring dengan peningkatan
kadar HbA1c yang menggambarkan sebagai onset dari aksonopati.
Penelitian di Inggris (United Kingdom Prospective Diabetic Study)
membuktikan terjadi penurunan kadar HbA1c dari 7,9% menjadi 7,1% dengan
pengelolaan intensif pada pasien DM tipe 2. Penurunan ini bermakna untuk
menurunkan komplikasi mikrovaskuler pada DM, sedangkan terjadi penurunan
14% tetapi tidak bermakna untuk komplikasi makrovaskuler. Hal ini diperkirakan
banyak faktor lain yang mempengaruhi, disamping kadar glukosa darah
(Waspadji, 2009).
Kadar HbA1c yang terkontrol (< 7%) dapat menurunkan komplikasi mikro
dan makrovaskuler (Perkeni, 2011). Glukosa dapat bereaksi dengan hemoglobin
untuk membentuk HbA1c, yang peningkatan konsentrasinya di dalam darah
menunjukkan keadaan hiperglikemia kronis atau telah berlangsung lama. HbA1c
68
memiliki afinitas oksigen lebih tinggi sehingga sukar melepaskan oksigen di
perifer. Hasil pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal paling akurat
untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe DM.
Kadar HbA1c merupakan faktor pemicu terhadap kemungkinan timbulnya
komplikasi DM (Soewondo, 2009). Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk
dilakukan secara rutin pada pasien DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui
keadaan glikemia pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya
merupakan
pemantauan
terhadap
keberhasilan
pengendalian
glikemia.
Pemeriksaan kadar HbA1c memiliki berbagai kelebihan, seperti rendahnya
preanalitik dan variasi biologis, konsentrasi HbA1c berkorelasi dengan
perkembangan komplikasi mikrovaskuler, nilai HbA1c mencerminkan paparan
glukosa darah seluruhnya, dan tidak memerlukan puasa sebelum dilakukan
pemeriksaan (Sacks, 2009).
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengemukakan bahwa terdapat hubungan
antara kontrol glukosa darah dan progresifitas dari penyakit mikrovaskuler pada
DM. Dyck dkk. Juga memperlihatkan bahwa glukosa darah puasa, HbA1c, dan
durasi DM berkorelasi dengan perkembangan dan progresivitas NDP. Gula darah
yang terkontrol secara optimal dapat menurunkan perkembangan terjadinya NDP
30 hingga 40% (Wheeler dkk, 2007).
NDP digambarkan sebagai
suatu proses dinamis antara degenerasi dan
regenerasi neuronal. Mekanisme patogenesis mayor meliputi: hiperglikemia
kronik, defisiensi insulin, akumulasi osmolit, stres oksidatif, iskhemia, defisiensi
69
faktor-faktor neurotropik, dan molekuler imunologi juga berperan. Hiperglikemia
menginduksi perubahan jalur polyol yang menyebabkan akumulasi osmolit,
seperti sorbitol, taurin, glycerophosphoryl choline, aldose reductase, yang
menimbulkan penurunan aktivitas Na+/K+ adenosine triphosphatase, hingga
terjadinya retensi natrium, edema seluler, dan lisis sel. Iskemia saraf lokal
mengiduksi terjadinya penebalan membran basal, proliferasi sel endotel, anomali
kontraktilitas pembuluh darah, hipoksia, dan oklusi. Status redox dari sel juga
mengalami penurunan, seperti NADPH dan glutathione sehingga menimbulkan
peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) sebagai stres oksidatif. Advanced
Glycation End (AGE) product memicu proses auto oksidasi glukosa, perubahan
endotel, pengurangan makrofag, meniadakan efek Nitric Oxide (NO) dan
selanjutnya meningkatkan pembentukan radikal bebas. Hiperglikemia juga
meningkatkan pembentukan diacylglycerol (DAG) dengan aktivasi dari Protein
Kinase C (PKC). Aktivasi PKC akan memodulasi ekspresi genetik mRNA dari
matrik protein basal membran, enzim glikosilasi (CORE 2G1 cNAc transterase),
protein kontraktil (aktin, miosin, caldsman), dan meningkatkan stres oksidatif
(Kannan, 2000). Faktor genetik juga merupakan faktor penting untuk terjadinya
NDP, hal ini terlihat pada penderita dengan kontrol glikemia yang baik tetapi
memiliki komplikasi mikrovaskular sedangkan penderita dengan kontrol glikemia
yang buruk tidak menderita NDP (Rampello dkk, 2012)
Terdapat investigasi pada manusia dalam jumlah yang terbatas mengenai
mikroangiopati sistem saraf penderita diabetes. Data terbaru menunjukkan pada
biopsi saraf suralis diidentifikasi adanya mikrotrombosis dan oklusi pembuluh
70
darah mikro pada saraf penderita diabetes, duplikasi endotel, proliferasi otot
polos, penutupan endotel kapiler, penebalan basal membran, degenerasi pericyte,
dan perubahan lainnya. Hilangnya akson pada bentukan multifokal dari beberapa
biopsi juga diperkirakan suatu iskemik dengan etiologi mikrovaskular. Malik dkk
memperlihatkan bahwa perubahan mikrovaskular dapat berkembang lebih awal
pada pasien dengan NDP ringan, dan hal ini diperkirakan memiliki peran dalam
menimbulkan kerusakan akson. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh
Tesfaye dkk yang menunjukkan adanya hubungan antara perkembangan NDP
dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini mengisyaratkan adanya
hubungan yang erat antara pembuluh darah besar dan NDP (Zochodne, 2007).
6.3 Hubungan Faktor-faktor Lain terhadap Kejadian NDP pada Penderita
DM Tipe 2
Faktor- faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian NDP diantaranya
adalah umur, obesitas, lama menderita DM, dan jenis pengobatan DM.
Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan rerata umur
seluruh subjek penelitian yaitu 53,9 (SD±7,95) tahun. Penderita DM berusia ≥ 54
tahun yang menderita NDP sebanyak 30 orang (30,2%) dan tanpa NDP sebanyak
16 orang (37,2%). Dari penelitian ini didapatkan bahwa umur ≥ 54 tahun secara
signifikan meningkatkan risiko 3,89 kali terjadinya NDP pada penderita DM tipe
2 dibanding usia < 54 tahun. Penelitian potong lintang oleh Rahimdel dkk. (2009)
pada 2350 penderita DM tipe 2 di Iran memperoleh rerata umur penderita 55,93 ±
10,08 tahun. Prevalensi NDP pada penderita berusia 26-39 tahun didapatkan
71
sebesar 44,6%, penderita berusia 40-54 tahun sebesar 49,9%, penderita berusia
55-69 tahun sebesar 50,6%, dan penderita berusia lebih dari 70 tahun sebesar
66,5%. Prevalensi NDP meningkat sesuai umur (p=0,001). Penderita DM berusia
diatas 50 tahun memiliki risiko 2,94 kali menderita NDP dibandingkan penderita
DM berusia dibawah 50 tahun.
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya NDP. Subjek
penelitian dilakukan pemeriksaan berat badan dan tinggi badan untuk
mendapatkan nilai BMI sebagai penentu obesitas. Penderita DM dengan obesitas
yang menderita NDP sebanyak 15 orang (48,4%) dan tanpa NDP sebanyak 16
orang (51,6%). Pada penelitian ini diperoleh bahwa secara klinis obesitas
meningkatkan risiko 1,1 kali terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2
dibandingkan dengan penderita DM yang tidak obese. Tidak terdapat hubungan
bermakna secara statistik antara obesitas dengan NDP (p=0.822). Hal yang serupa
juga diperoleh pada penelitian potong lintang oleh Rahimdel dkk. (2009) pada
2350 penderita DM tipe 2 di Iran memperoleh prevalensi NDP pada pasien
dengan BMI dibawah 20 kg/m2 sebesar 66,7%, pada penderita dengan BMI 2024,9 kg/m2 sebesar 47,5%, dan diatas 30kg/m2 sebsesar 60,5%. Secara statistik
didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan BMI dengan
kejadian NDP (p=0,352).
Penelitian oleh Al-Kaabi, dkk. (2014) yang dilakukan di Arab Saudi pada 394
penderita DM tipe 2 didapatkan jenis kelamin wanita sebesar 67%. Hubungan
BMI dengan NDP adalah sindrom metabolik dan obesitas merupakan faktor risiko
terjadinya NDP. Diperkirakan mekanisme terjadinya kerusakan saraf meliputi
72
penumpukan lemak, glikasi protein ekstraseluler, disfungsi mitokondria, stres
oksidatif, dan aktivasi counter-regulatory signaling pathway yang menimbulkan
inflamasi metabolik kronis.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan mungkin
disebabkan oleh sebaran subjek penelitian yang hampir sama antara penderita DM
tipe 2 dengan obesitas dan tanpa obesitas, baik pada kelompok kasus dan kontrol.
Neuropati Diabetik Perifer merupakan komplikasi yang paling sering dialami
oleh penderita DM tipe 2, insidennya meningkat sesuai dengan lamanya menderita
DM khususnya setelah menderita selama 5 tahun (Rampello dkk, 2012).
Pada penelitian ini didapatkan 48 orang (55,8%) menderita DM ≥ 5 tahun, 31
orang (64,6%) diantaranya menderita NDP dan 17 orang (35,4%) tanpa NDP.
Lama menderita DM ≥ 5 tahun secara signifikan mempunyai risiko terjadinya
NDP 3,95 kali lebih tinggi dibandingkan penderita DM dengan lama menderita
DM < 5 tahun.
Penelitian Tamer dkk. (2006) di Turki yang meneliti prevalensi dan faktor
risiko neuropati pada 191 penderita DM mendapatkan hubungan yang signifikan
antara lama menderita DM dengan NDP (OR= 1,010, IK 95% (1,004-1,015). Pada
San Luis Valley cross-sectional study didapatkan bahwa durasi DM dengan
peningkatan 5 tahun merupakan faktor independen yang berhubungan dengan
NDP (OR 1,3, IK 95%, (1-1,6) (Wheeler dkk, 2007). Pada penelitian potong
lintang pada 294 penderita DM di Dhaka, Bangladesh oleh Morkrid dkk. (2010)
diperoleh prevalensi NDP meningkat sejalan dengan durasi DM tiap tahunnya
(OR 1,2, IK 95% (1,0-1,4). Prevalensi NDP juga meningkat setelah 5 tahun
73
didiagnosis DM dari 14,1% menjadi 29,2% pada penderita dengan durasi DM 911 tahun.
Seluruh subjek penelitian mendapatkan pengobatan DM, baik dengan insulin
atau OAD. Pada penelitian ini didapatkan 61 orang (70,9%) menggunakan insulin.
Pada kelompok penderita DM dengan NDP diperoleh 34 orang (79,1%)
menggunakan insulin dan 27 orang (62,8%) tanpa NDP. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa insulin mempunyai efek protektif sebesar 25 kali terhadap
kejadian NDP dibandingkan pemakaian OAD. Hubungan ini secara statistik tidak
bermakna dengan p=0,96. Hal yang berbeda diperoleh dari Penelitian potong
lintang yang dilakukan oleh Morkrid dkk. (2010) pada 294 penderita DM tipe 2 di
Bangladesh memperoleh prevalensi NDP sebesar 13,7% pada kelompok dengan
terapi oral antidiabetik dibanding dengan kelompok pengobatan insulin sebesar
29,2% (OR 2,6, IK 95%, (1,4-4,7). Pada San Luis Valley cross-sectional study
didapatkan bahwa penggunaan insulin merupakan faktor independen yang
berhubungan dengan NDP (OR 2, IK 95%, (0,9-4,4) (Wheeler dkk., 2007). Hasil
yang berbeda ini mungkin disebabkan karena sebagian besar subjek penelitian
menggunakan insulin.
Insulin merupakan salah satu anti diabetik yang aman, dimana dosis dari
insulin ini hanya dibatasi oleh kaeadaan hipoglikemia. Insulin juga aman pada
penyakit ginjal, hepar, dan jantung serta dalam masa kehamilan. Efek keuntungan
lainnya pada faktor risiko kardiovaskular, seperti kolesterol dan trigliserida.
Insulin juga dapat memperbaiki fungsi endotel, mencetuskan kondisi vasodilatasi,
dan
profil
fibrinolitik.
Terapi
insulin
memiliki
kemampuan
melawan
74
glukotoksisitas akibat dari kegagalan temporer fungsi sel betakarena paparan
kronis konsentrasi tinggi glukosa (Unnikrishnan dkk, 2011).
6.4
Faktor Risiko Independen Terhadap NDP
Berbagai faktor risiko untuk terjadinya NDP didapatkan pada penelitian
ini. Setelah dilakukan analisis multivariat diperoleh bahwa DM tipe 2 dengan
kadar HbA1c tinggi, lamanya menderita DM, dan usia merupakan faktor risiko
independen untuk terjadinya NDP. Hasil ini serupa dengan penelitian yang
dilakukan oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh bahwa usia dan lamanya menderita
DM
signifikan secara statistik untuk terjadinya NDP berdasarkan analisis
multivariat regresi logistik.
Penelitian yang dilakukan oleh Tamer dkk. (2006) di Turki yang meneliti
prevalensi dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM memperoleh hasil
rerata
kadar HbA1c 8,2±2,1% pada kelompok NDP. Penelitian ini juga
mendapatkan hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kejadian
NDP (p<0,05). Analisis multivariat logistik pada kelompok NDP memperlihatkan
peningkatan kadar HbA1c memiliki hubungan yang bermakna untuk terjadinya
NDP (OR=1,034, 95% CI 1,014-1,054).
Kelemahan pada penelitian ini adalah sulit membedakan apakah neuropati
pada penderita DM ini murni disebabkan oleh DM itu sendiri atau terdapat
kondisi komorbid yang berkontribusi untuk terjadinya Neuropati Perifer seperti
dislipidemia serta defisiensi vitamin B1, B6 dan B12. Pada penelitian ini telah
dilakukan eksklusi untuk penderita dislipidemia. Sedangkan defisiensi vitamin
75
B1, B6 dan B12 belum dapat disingkirkan karena tidak dilakukan pemeriksaan
kadar vitamin B1, B6 dan B12.
Kelemahan yang lainnya adalah penilaian NDP untuk penelitian idealnya
menggunakan pemeriksaan biopsi kulit/saraf. Biopsi saraf suralis pada saat ini
jarang dilakukan lagi, karena dianggap prosedur yang invasif dan tidak
menyenangkan bagi pasien dan mahal (Tesfaye dkk, 2010). Pada penelitian ini
digunakan MDNS untuk menilai NDP yang lebih mudah dan aman.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut :
Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi (≥ 7%) sebagai faktor risiko
NDP di RSUP Sanglah Denpasar. Penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c
tinggi mempunyai risiko terjadinya NDP 4,8 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c normal (OR 4.82, IK 95%
1,931-12,041, p =0.001).
7.2 Saran
Sebagai saran dari hasil penelitian ini:
1. Perlu dilakukan pemeriksaan HbA1c secara teratur untuk mengevaluasi
terkontrol tidaknya gula darah pada penderita DM tipe 2.
2. Perlu evaluasi fungsi saraf yang komprehensip dan teratur sebagai deteksi
dini adanya NDP pada penderita DM tipe 2.
3. Penderita DM dengan NDP perlu diberikan manajemen terapi yang lebih baik
sehingga mencapai kadar HbA1c normal serta mencegah komplikasi DM
lebih lanjut.
76
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association (ADA). 2012. Diagnosis
Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35(1): S5-S10
and
Al-Kaabi, J.M., Maskari, F.A., Zoubbeidi, T., Abdulle,A., Shah, S.M.,
Cragg, P., dkk. 2014. Prevalence and Determinants of Peripheral Neuropathy in
Patients with Type 2 Diabetes Attanding a Tertiary Care Centre in the United
Arab Emirates. Journal Diabetes & Metabolism, 5(3): 1-7
Al-Shamma, Y.M.H., Khudhair, S.A., Al-Aridie, M.A.K. Prevalence of
Peripheral Neuropathy in Type 2 Diabetic Patients. Kufa Med. Journal, 14(2): 5164
Bakris, G. L., Bomback, A. S. 2011. Chronic Kidney Disease and
Hypertension Essentials. New York: Jones and Bartlett Learning. p.23-28.
Bhadada, S.K., Sahay, R.K., Jyotsna, V.P., Agrawal, J.K. 2001. Diabetic
Neuropathy: Current Concepts. Journal Indian academy of Clinical Medicine,
2(4): 305-318
Booya, F., Bandarian, F., Larijani, B., Pajouhi, M., Nooraei, M., Lotfi, J.
2005. Potential Risk Factors for Diabetic Neuropathy: A Case Control Study.
BMC Neurology, 5(24): 1-5
Boulton, A.J.M. 2005. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy.
Clinical Diabetes, 23(1): 9-15
Boulton, A.J.M., Vinik, A.I., Arezzo, J.C., Bril, V., Feldman, E.L.,
Freeman, R., dkk. 2005. Diabetic Neuropathies. Diabetes Care, 28 (4): 956-962
Casellini, C.M., Vinik, A.I. 2006. Recent advances in the treatment of
Diabetic Neuropathy. Current Opinion in Endocrinology & Diabetes, 13: 147-153
Cheung, N.W., Conn, J.J., d’Emden, M.C., Gunton, J.E., Jenkins, A.J.,
Ross, G.P., dkk. 2009. Australian Diabetes Society Position Statement:
Individualization of HbA1c Targets for Adults with Diabetes Melitus. ADS
Position Statement Individualisation of HbA1c Targets
Cornblath, D.R. 2004. Diabetic Neuropathy: Diagnostic Methods.
Advanced Studies in Medicine, 4(8A): 650-661
Dobretsov, M., Romanovsky, D., Stimers, J. 2007. Early Diabetic
Neuropathy: Triggers and Mechanisms. World J Gastroenterol, 13(2): 175-191
77
78
Erdogan, C. 2012. Comparement of Nerve Excitability among Diabetics
with or without Polyneuropathy wit Same HbA1c Levels and Diabetes Duration.
Open Access Scientific Reports, 1: 1-2
Feldman, E.L., Vincent, A. 2004. The Prevalence, Impact, and
Multifactorial pathogenesis of Diabetic Peripheral Neuropathy. Advanced Studies
in Medicine, 4(8A): S 642-649
Feldmen, E.L., Steven, M.J., Thomas,P.K., dkk. 1994. A Practical TwoStep Quantitative Clinical and Electrophysiological Assessment for the Diagnosis
and staging of Diabetic Neuropathy. Diabetes care; 17(11): 1281-1289.
Guerrero, R.M., Hernandez, B.T., Millan, S.I., Chavez, E.P.D., Vasquez,
C., Hoyos, JR.C., dkk. 2012. H-Reflex and clinical Examination in the Diagnosis
of Diabetic Polyneuropathy. The Journal of International Medical Research, 40:
694-700
Ginis, Z., Ozturk, G., Sirmali, R., Yalcindag, A., Dulgeroglu,Y.,
Delibasi,T., dkk. 2012. The Role of HbA1c as a screening and Diagnostic Test for
Diabetes Mellitus in Ankara. Turk j Med Sci, 42(2): 1430-1436
Head, K.A. 2006. Peripheral Neuropathy: Pathogenic Mechanisms and
Alternative Therapies. Alternative Medicine Review, 11(4): 1-7
Herman, W.H., Cohen, R.M. 2012. Racial and Ethnic Differences in the
Relationship between HbA1c and Blood Glucose: implications for the Diagnosis
of Diabetes. J Clin Endrocrinol Metab; 97: 1067-1072
Husten, C. G. 2009. How Should We Define Light or Intermittent
Smoking? Does It Matter? Nicotine & Tobacco Research; 11(2):111–121.
Hoogwerf, B.J. 2005.
Int.J.Diab.Countries, 25: 5-24
Complications
of
Diabetes
Mellitus.
Kannan, V. 2000. Molecular Mechanism of Diabetic Neuropathy.
Int.J.Diab.Dev.Countries, 20: 101-103
Kaur, J. 2013. An Overview of Diabetic Neuropathy. Annual Review &
Research in Biology, 3(4): 994-1012
KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA. 2009. Gangguan Saraf Tepi,
Gangguan Saraf Otonom, Gangguan Paut Saraf Otot. Perhimpunan dokter
spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI)
79
Lind, M., Oden, A., Fahlen, M., Eliasson, B. 2008. A Systematic review of
HbA1c variables used in The Study of Diabetic complications. Diabetes &
Metabolic Syndrome: Clinical Research & Reviews, 2: 282-293
Llewelyn, J.G. 2003. The diabetic Neuropathies: Types, diagnosis and
Management. Jneurol Neurosurg Psychiatry, 74(II): ii15-19
Lopez, M. 2011. Diabetic Peripheral Neuropathy. Dynamic Chiropractic,
29: 1-7
Murugan, K., Shrivastava, D.K., Patil, S.K.B., Sweety, L., Debapriya, G.,
Bharti, A., dkk. 2010. Biochemical Investigation of Glycosylated haemoglobin in
Diabetes Assosiated Nephropathy in Chhattisgarh Population. Adv. Appl. Sci. Res,
1(2): 106-113
Morkrid, K., Ali, L., Hussain, A. 2010. Risk Factors and Prevalence of
Diabetic Peripheral Neuropathy: A Study of Type 2 Diabetic Outpatients in
Bangladesh. Int J Diab Dev Ctries, 30: 11-17
Moscu, B., Pereanu, M. 2010. Pathological Features of Diabetic
Neuropathy. AMT, 2(4): 262-264
Nuho, A., Subekti, I., Ismail, D., Sitompul, R. Correlation of Neuropathy
with Corneal Sensitivity and Lacrimal Gland Secretion in Type 2 Diabetes
Mellitus Patient. Acta Med Indones Indones J Intern Med, 36 (3): 130-135
Parkhad, S., Palve, S. 2014. Early Diagnosis of Neuropathy in Diabetic
Patient Using Nerve Conduction Studies. National Journal of Physiology,
Pharmacy & Pharmacology, 4: 158-160
Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni. Jakarta
Preston, D.C., Shapiro, B.E. 2005. Electromyography and Neuromuscular
Disorders. Second edition. Philadelphia: Elsevier Buttenworth heinemann.
Purwata, T.E. 2010. Kadar TNF-α, Ekspresi ιNOS, dan TNF-α yang
Tinggi sebagai Faktor Risiko Nyeri Neuropati Diabetik. Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar
Rahimdel, A., Ardekani, M.A., Souzani, A., Modaresi, M., Mashahiri,
M.R. 2009. Prevalence of Sensory Neuropathy in Type 2 Diabetic Patients in
Iranian Population (Yazd Province). Iranian Journal of Diabetes and Obesity.
1(1): 30-35
80
Rajbhandari, S.M., Piya, M.K. 2005. A Brief Review on the Pathogenesis
of Human Diabetic Neuropathy: Observations and Postulations. Int J Diabetes &
Metabolism, 13: 135-140
Rampello, L., Vecchio, I., Bataglia, G., Malaguarnera, G., Rampello, L.
2012. Diabetic Neuropathy, Elements of Epidemiology and Pathophysiology.
Acta Medica Mediterranea, 28: 219-223
Reddy, S.A., Sachan, A., Rao, P.V.L.N,S., Mohan, A. 2012. Clinical
Applications of Glycosilated Haemoglobin. J Clin Sci Res, 2: 22-33
Sacks, D.B. 2009. The Diagnosis of Diabetes is Changing: How
Implementation of Hemoglobin A1c will Impact Clinical Laboratories. Clinical
Chemistry, 55(9): 1612-1614
Shekhharappa, K.R., Srinivas, A.K., Vedavathi, K.J., Venkatesh, G.A.
2011. Study on the Utility of Nerve Conduction Studies in Type 2 Diabetes
Mellitus. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 5(3): 529-531
Singh, R., Barden, A., Mori, T., Beilin, L. 2001. Advanced Glycation EndProducts: A Review. Diabetologia Springer- Verlag, 44: 129-146
Skljarevski, V., Malik, R.A. 2007. Clinical Diagnosis of Diabetic
Neuropathy. In: Veves, A., Malik, R.A., editors. Diabetic Neuropathy Clinical
Management. New jersey: Humana Press Inc. pp 275-291
Sultanpur, C.M., Deepa, K., Kumar, S.V. 2010. Comprehensive Review
on HbA1c in Diagnosis of Diabetes Mellitus. International Journal of
Pharmaceutical Sciences Review and Research, 3(2): 119-122
Soegondo, S., Gustaviani, R. 2006. Sindroma metabolik. In : Sudoyo, A.
W. dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University
Press. pp 1871-1874.
Soewondo, P. 2009. Pemantauan Kendali Diabetes Melitus, dalam
Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I, editors. Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu. Jakarta FK UI. pp 111-133
Tamer, A., Yildiz, S., Yildiz, N., Kanat, M., Gunduz, H., Tahtaci, M., dkk.
2006. The Prevalence of Neuropathy and Relationship with Risk Factors in
Diabetic Patients: A Single-Center Experience. Medical principles and Practice,
15: 190-194
Tanenberg, R.J. 2009. Diabetic Peripheral Neuropathy: Painful or
Painless. Hospital Physician ; 1: 1-8
81
Tesfaye, S. 2004. Epidemiology and Etiology of Diabetic Peripheral
Neuropathies. Advanced Studies in Medicine, 4(10G): 1014-1021
Tesfaye, S., Bulton, A.J.M., Dyck, P.J. Freeman, R., Horowitz, M.,
Kempler, P., dkk. 2010. Diabetic Neuropathies: Update on Definitions, Diagnostic
Criteria, Estimation of Severity, and Treatments. Diabetes Care, 33(10): 22852293
Tomic, M., Poljicanin, T., Renar, I.P., Metelko, Z. 2003. Obesity- A Risk
Factor for Microvascular and Neuropathic Complications in Diabetes?.
Diabetologia Croatica, 32-34
Unnikrishnan, I.R., Anjana, R.M., Mohan, V. 2011. Importance of
Controlling Diabetes Early-The Concept of Metabolic Memory, Legacy Effect
and the Case for Early Insulinisation. Supplement To JAPI, 59: 8-12
Waspadji, S. 2009. Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan
Pengelolaannya yang Rasional, dalam Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I,
editors. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. pp 31-45
Wheeler, S., Singh, N., Boyko, E,J. 2007. The Epidemiology of Diabetic
Neuropathy. In: Veves, A., Malik, R.A, editors. Diabetic Neuropathy Clinical
Management, 2nd ed, New Jersey: Human Press. pp 7-30
WHO. 2011. Use of Glycated Haemoglobin (HbA1c) in the Diagnosis of
Diabetes Mellitus. WHO/NMH/CHP/CPM/11.1
Van Horn, L., Fukagawa, N. K., Achterberg, C., Appel, L. J., Clemens, R.
A., Nelson, M. E., Pearson, T. A., Rimm, E. B., Slavin, J. L., Williams, C. L.
2010. Dietary Guidelines for Americans 2010. Washington DC: U.S. Department
of Agriculture Economic Research Service. pp. 30-31
Vinik. A.I. 2004. Diabetic Neuropathy: Emerging Data on A New
Therapeutic Class. Advanced Studies in Medicine, 4(6A): 421-427
Zochodne, D.W. 2007. Microangiopathy, Diabetes, and the Peripheral
Nervous System. In Veves, A., Malik, R.A. (eds). Diabetic Neuropathy Clinical
Management, 2nd ed, Human Press, New Jersey. pp 207-229
82
Lampiran 2
PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN
Judul :
Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Kadar HbA1c Tinggi sebagai Faktor Risiko
Neuropati Diabetik Perifer di RSUP Sanglah Denpasar
Peneliti Utama :
dr. Sri Yenni Trisnawati, GS
Latar Belakang Penelitian
Neuropati diabetik perifer (NDP) merupakan bentuk komplikasi neurologis tersering
dari DM tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar HbA1c tinggi
sebagai Faktor Risiko Neuropati Diabetik Perifer pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di
RSUP Sanglah Denpasar dan apabila ditemukan adanya kelainan dapat dilakukan upayaupaya preventif untuk mencegah perburukan NDP dan dapat meningkatkan kewaspadaan
terhadap risiko terjadinya NDP.
Secara keseluruhan 86 pasien DM tipe 2 yang kontrol ke poli Diabetes dan Saraf
RSUP Sanglah akan berperan serta dalam penelitian ini termasuk bapak/ibu/saudara.
Dengarkan secara seksama informasi ini sebelum bapak/ibu/saudara turut serta berpartisipasi
dalam penelitian ini, jangan ragu-ragu untuk bertanya jika ada hal-hal yang belum
dimengerti.
Dalam penelitian ini, peneliti dan petugas yang terlatih secara professional akan
mewawancarai dan memeriksa bapak/ibu/saudara secara klinis umum, klinis saraf dan
pemeriksaan dengan mempergunakan MDNS dan ENMG untuk mengetahui adanya NDP.
Pemeriksaan ENMG dengan cara meletakkan suatu elektrode perekam pada otot (untuk KHS
motoris) dan saraf (untuk KHS Sensoris) dan menggunakan stimulasi dengan intensitas
supramaksimal sehingga didapatkan potensial aksi, yaitu CMAP dan SNAP.Efek samping
yang mungkin terjadi adalah rasa nyeri yang ringan, terkadang juga dapat timbul infeksi dan
atau bengkak serta warna biru yang akan sembuh setelah beberapa hari. Bapak/Ibu/saudara
diharapkan untuk melaporkan kepada dokter peneliti bila terjadi efek samping yang tidak
diharapkan dalam penelitian ini agar mendapatkan penanganan selanjutnya Selama penelitian
ini bapak/ibu/saudara tidak dikenai biaya.
83
Data-data dalam penelitian ini akan dikumpulkan dan disimpan dalam data komputer
tanpa nama bapak/ibu/saudara, hanya peneliti yang mengetahui data-data bapak/ibu/saudara.
Hasil penelitian akan dipublikasikan di forum ilmiah tanpa menampilkan identitas
bapak/ibu/saudara. Sehubungan dengan penelitian ini, bila timbul pertanyaan mengenai
penelitian ini diharapkan menghubungi:
dr. Sri Yenni Trisnawati, GS (081236223000)
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
DM Tipe 2 dengan Kadar HbA1c Tinggi sebagai Faktor Risiko
Neuropati Diabetik Perifer di RSUP Sanglah
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Jenis Kelamin
: Laki-laki/Perempuan
Tanggal Lahir
:
Umur
:
Alamat
:
Bersedia dan mau berpartisipasi menjadi sampel penelitian yang akan dilaksanakan oleh
peneliti dari Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah/FK-UNUD dari awal hingga
akhir penelitian dan akan dijalankan dengan sebaik-baiknya, tanpa ada paksaan dari pihak
manapun.
Denpasar, ............................
Peneliti
(dr. Sri Yenni Trisnawati, GS)
Subjek Penelitian
(
)
84
Lampiran 3
LEMBAR PENGUMPULAN DATA
KADAR HbA1c TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIKA
PERIFER PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
APRIL-AGUSTUS 2014
No.
1.
Tanggal Pemeriksaan
Pemeriksa
2.
3.
4.
5.
6.
No. Rekam Medik
Nama
Umur
Alamat
Jenis Kelamin
7.
Pendidikan
8.
Pekerjaan
9
11
12
Lama Menderita DM
Jenis OAD
Pemeriksaan Laboratorium
Kadar HbA1c
Kadar HbA1c
13
Pemeriksaan Fisik
Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Suhu
Berat Badan
Tinggi Badan
BMI
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Akademi/Diploma/PT
Pegawai Negeri
Pegawai Swasta
Wiraswasta
Buruh/Tani
Lain-lain
Tahun
% (tgl
<7%
≥7%
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
[ ]
(1)
(2)
[ ]
[ ]
[ ]
)
mmHG
x/menit
x/menit
°C
Kg
cm
(Obese/tidak
)
85
Lampiran 4
Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS)
1. Pemeriksaan neurologis
Kerusakan Sensoris
Kanan
1. Vibrasi ibu jari kaki
2. Filament 10-g
3. Nyeri dorsum manus ibu
jari kaki
Kiri
1. Vibrasi ibu jari kaki
2. Filament 10-g
3. Nyeri dorsum manus ibu
jari kaki
Tes Kekuatan Otot
Kanan
1. Abduksi jari
2. Ekstensi ibu jari
3. Dorsofleksi ankle
Kiri
1. Abduksi jari
2. Ekstensi ibu jari kaki
3. Dorsofleksi ankle
Refleks
Kanan
1. Bisep brakii
2. Trisep brakii
3. Quadrisep
4. Akiles
Kiri
1. Bisep brakii
2. Trisep brakii
3. Quadrisep
4. Akiles
Total
Skor
Normal
Menurun
Tidak ada
0
1
2
0
1
2
Nyeri
Tidak nyeri
0
2
0
0
1
1
Nyeri
0
Normal
2
2
Tidak nyeri
2
Berat
0
0
0
Ringansedang
1
1
1
0
0
0
1
1
1
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
2
2
2
Tidak
ada
3
3
3
[ ]
[ ]
[ ]
2
2
2
3
3
3
[ ]
[ ]
[ ]
0
0
0
0
1
1
1
1
2
2
2
2
[
[
[
[
]
]
]
]
0
0
0
0
1
1
1
1
2
2
2
2
[
[
[
[
]
]
]
]
86
2. Pemeriksaan ENMG
Pemeriksaan NCS dikerjakan pada ekstremitas non dominan.
a.
Nervus medianus
SNAP : latensi distal :
mm/s, amplitudo :
mv,
KHS
m/s
CMAP : latensi distal :
mm/s, amplitudo :
mv,
KHS
m/s
mm/s, amplitudo :
mv, KHS
m/s
mm/s, amplitudo :
mv, KHS
m/s
mm/s, amplitudo :
mv,
m/s
b.
Nervus ulnaris
SNAP : latensi distal :
c.
Nervus suralis
SNAP : latensi distal :
d.
Nervus peroneus
SNAP : latensi distal :
KHS
Interpretasi:
Nilai abnormal adalah nilai latensi distal menurun, amplitudo menurun, KHS menurun diluar
nilai normal pada rentang first and 99th percentiles .
Kesimpulan:
MDNS:
1. Skor Pemeriksaan Neurologis: .......
2. ENMG: Saraf yang abnormal: .......
3. Stadium NDP: ..............
Keterangan Cara Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan sensoris:
a. Rangsang vibrasi. Pemeriksaan menggunakan garputala 128 Hz. Pemeriksa
memegang garpu tala dengan telunjuk dan ibu jari tangan. pemeriksaan dengan cara
menempatkan garpu tala diatas penonjolan tulang interphalang distal dorsum jari kaki
pertama. Dikerjakan pada penderita secara bilateral dengan mata tertutup.
Interpretasi setelah penderita tidak merasakan lagi vibrasi :
-
Normal (skor 0) bila pemeriksa merasakan vibrasi pada telunjuk distal kurang
dari 10 detik.
-
Skor 1: pemeriksa merasakan > 10 detik.
-
Skor 2, penderita tidak merasakan rangsangan.
b. Pemeriksaan 10-g filament dikerjakan pada dorsum manus jari kaki pertama, diantara
nail fold dan interphalang distal. Penekanan 10-g filament secara tegak lurus, singkat
87
< 1 detik secara konsisten. Penekanan 10-g terjadi saat alat melengkung. Ditanyakan
respon penderita ya/tidak pada saat mata tertutup. Pemeriksaan dikerjakan secara
bilateral sebanyak 10 kali.
Interpretasi
-
Normal (nilai 0) : 8-10 respon “ya”
-
Nilai 1 : 1-7 respon “ya”
-
Nilai 2 : tidak ada jawaban benar.
c. Pemeriksaan nyeri. diperiksa dengan jarum pentul.
Nyeri : pemeriksaan dengan jarum pentul di dorsum manus ibu jari kaki pertama.
Interpretasi :
-
Nilai 0 : respon penderita :tidak nyeri”.
-
Nilai 2 : respon penderita “nyeri”.
2. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan menggunakan palu reflek. Pemeriksaan dilakukan pada tendon Bisep,
Trisep, Patela, dan Achilles.
Interpretasi :
-
Skor 0 (normal): bila sendi ada gerakan sendi dan kontraksi otot,
-
Skor 1 bila reflek menurun. Hanya kontraksi otot.
-
Skor 2. Tidak ada reflek
3. Pemeriksaan kekuatan otot
Interpretasi
-
Nilai 0 (normal)
: kekuatan otot normal, mampu melawan
tahanan maksimal pemeriksa
-
Nilai 1 (ringan-sedang)
: mempu melawan tahanan ringan dan sedang
pemeriksa
-
Nilai 2 (berat)
: penderita tidak mampu melawan gaya berat,
tahanan ringan pemeriksa
-
Nilai 3 (tidak ada)
: tidak ada kontraksi otot maupun gerakan
sendi.
2. Pemeriksaan studi hantaran saraf/Nerve conduction study (NCS)
1) Pemeriksaan SNAP
a. Nervus medianus
b. Nervus ulnaris
c. Nervus suralis
88
2) Pemeriksaan CMAP
d. Nervus medianus
e. Nervus peroneus
Interpretasi Stadium NDP
Stadium 0
:
Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaran
saraf abnormal < 2, atau tidak ada neuropati.
Stadium 1
:
Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas pemeriksaan
hantaran saraf (neuropati ringan).
Stadium 2
:
Skor MDNS <
29,
dan 3-4
abnormalitas dari
pemeriksaan hantaran saraf (neuropati sedang).
Stadium 3
:
Skor MDNS < 46, dan 5 atau lebih abnormalitas hantaran
saraf (neuropati berat).
89
Lampiran 4
Surat Kelaikan Etik
90
Lampiran 5
Surat Ijin RSUP Sanglah
91
Lampiran 6
Tabel Kasus Penelitian
No
Nama
Umur
Jenis
Kelamin
Pendi
dikan
Pekerjaan
1
AS
56
Laki-laki
PT
Lain-lain
2
DMS
63
Perempuan
SMP
Buruh/Tani
3
WSA
50
Laki-laki
SMA
Pegawai
Swasta
4
TTL
59
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
5
NKA
44
Perempuan
SMP
Lain-lain
6
NMS
65
Perempuan
SMP
Lain-lain
7
H SF
59
Perempuan
SMA
Wiraswasta
8
I NR
59
Perempuan
SD
Wiraswasta
9
MY
56
Perempuan
SMP
Wiraswasta
10
I MS
52
Laki-laki
SD
Buruh/Tani
11
I
GKM
59
Laki-laki
SMA
Lain-lain
12
I GPR
46
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
13
MHS
62
Perempuan
SD
Lain-lain
14
PTH
58
Perempuan
SD
Wiraswasta
Obese
15
KR
46
Laki-laki
SMA
Pegawai
Negeri
Obese
16
NML
49
Perempuan
SD
Lain-lain
17
I MSD
43
Laki-laki
PT
Wiraswasta
18
I WS
59
Laki-laki
Diplo
ma
Lain-lain
19
I WL
51
Laki-laki
SMA
Pegawai
Negeri
20
I NS
65
Laki-laki
SD
Lain-lain
21
I
MRM
65
Laki-laki
SMA
Lain-lain
22
BIO
56
Laki-laki
SD
Wiraswasta
23
SYL
55
Perempuan
SMA
Pegawai
Swasta
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
24
BBH
65
Laki-laki
SMA
Lain-lain
Obese
Obesitas
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
Lama
DM
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
HbA
1c
Terapi
DM
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
92
Pegawai
Negeri
Pegawai
Negeri
Pegawai
Negeri
Pegawai
Negeri
Tidak
obese
Tidak
obese
25
WSA
55
Laki-laki
PT
26
NML
53
Perempuan
Diplo
ma
27
SWA
64
Perempuan
PT
28
WYS
55
Perempuan
SD
29
I KS
65
Laki-laki
SD
Wiraswasta
30
I WYS
51
Laki-laki
SMA
Pegawai
Swasta
31
SUM
55
Perempuan
SMP
Lain-lain
32
NWS
50
Perempuan
SD
Lain-lain
Obese
33
RNA
43
Perempuan
SMA
Lain-lain
Obese
34
I WSR
58
Laki-laki
PT
Pegawai
Negeri
35
WDW
65
Laki-laki
Diplo
ma
Lain-lain
Tidak
obese
Tidak
obese
36
KS
54
Perempuan
SMP
37
SWD
64
Perempuan
SMA
38
I NRP
56
Laki-laki
SMA
Lain-lain
Tidak
obese
39
I GAS
54
Laki-laki
SMA
Pegawai
Negeri
Obese
40
FTH
65
Perempuan
SD
Lain-lain
41
MM
51
Perempuan
PT
Pegawai
Swasta
Tidak
obese
Tidak
obese
42
I KW
65
Laki-laki
SD
Wiraswasta
Obese
43
WBR
57
Perempuan
PT
Pegawai
Negeri
Obese
Pekerjaan
Obesitas
Pegawai
Negeri
Pegawai
Negeri
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Pegawai
Swasta
Pegawai
Swasta
Obese
Obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
Obese
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
> 7%
> 7%
Non
Insulin
Non
Insulin
Non
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
HbA
1c
Terapi
DM
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
Tabel Kontrol Penelitian
No
Nama
Umur
Jenis
Kelamin
Pendi
dikan
1
RL F
42
Perempuan
PT
2
G NJ
50
Laki-laki
PT
3
LEW
40
Perempuan
SMA
Wiraswasta
4
AM
60
Laki-laki
SMA
Lain-lain
Lama
DM
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
93
5
I
WSM
49
Laki-laki
PT
Pegawai
Negeri
Obese
6
I MDS
51
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
Tidak
obese
7
NKTS
50
Perempuan
Diplo
ma
Pegawai
Negeri
Obese
8
I WNS
41
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
Obese
9
GAS
48
Laki-laki
SMA
10
NKK
39
Perempuan
SMA
Pegawai
Swasta
Pegawai
Swasta
Tidak
obese
Tidak
obese
11
DNAS
35
Laki-laki
SMP
Buruh/Tani
Obese
59
Perempuan
SD
Buruh/Tani
Obese
33
Laki-laki
PT
Pegawai
Negeri
Obese
Lain-lain
Tidak
obese
12
13
NWW
N
I
WWY
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
Tidak
obese
>5
tahun
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
>5
tahun
>5
tahun
>5
14
H US
62
Laki-laki
SMP
15
I MST
48
Laki-laki
SMA
16
DM
50
Perempuan
SMA
17
I WR
52
Laki-laki
SD
Buruh/Tani
18
NWB
47
Perempuan
PT
Pegawai
Negeri
19
RSY
62
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
20
NNYS
63
Perempuan
SD
Buruh/Tani
21
IM
45
Laki-laki
PT
Pegawai
Swasta
Obese
22
WA
56
Laki-laki
SD
Buruh/Tani
Obese
23
GAK
M
65
Perempuan
SMA
Lain-lain
Obese
24
INS
54
Laki-laki
SMA
Pegawai
Swasta
Obese
25
ST M
57
Perempuan
SMA
Lain-lain
26
AT A
65
Perempuan
SMA
Lain-lain
27
AAA
55
Perempuan
SMA
Pegawai
Negeri
Tidak
sekola
h
Diplo
ma
Pegawai
Swasta
Pegawai
Negeri
28
NMH
61
Laki-laki
Lain-lain
29
I MM
55
Laki-laki
30
I WW
46
Laki-laki
SMP
Wiraswasta
31
HI
55
Perempuan
SMA
Wiraswasta
Pegawai
Negeri
Obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
> 7%
Non
Insulin
Non
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Non
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
> 7%
< 7%
< 7%
Non
Insulin
Non
Insulin
Non
Insulin
Non
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
> 7%
Non
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Non
94
32
NK R
51
Perempuan
SMA
Lain-lain
Obese
33
NW D
45
Perempuan
SMA
Buruh/Tani
Obese
34
NKM
34
Perempuan
SMP
Buruh/Tani
35
NWJ
50
Perempuan
SD
Lain-lain
36
VTH
56
Laki-laki
SMA
Pegawai
Swasta
37
EHI
63
Perempuan
SD
Lain-lain
38
GA
47
Perempuan
SMA
Lain-lain
39
YBRI
61
Laki-laki
PT
Lain-lain
40
MDW
48
Laki-laki
SMA
41
INSB
53
Laki-laki
Diplo
ma
Pegawai
Swasta
Pegawai
Negeri
42
NWST
51
Perempuan
SD
Buruh/Tani
43
NKG
65
Perempuan
SD
Lain-lain
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Tidak
obese
Obese
Tidak
obese
Tidak
obese
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
>5
tahun
>5
tahun
<5
tahun
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
> 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Non
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
< 7%
Non
Insulin
Non
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
< 7%
Insulin
95
Lampiran 7
Hasil Analisis Statistik
7.1 Statistik Kasus
Jenis_Kelamin
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
Laki-laki
29
67.4
67.4
67.4
Perempuan
14
32.6
32.6
100.0
Total
43
100.0
100.0
Pendidikan
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
SD
Valid
12
27.9
27.9
27.9
SMP
6
14.0
14.0
41.9
SMA
15
34.9
34.9
76.7
Akademi/Diploma/PT
10
23.3
23.3
100.0
Total
43
100.0
100.0
Pekerjaan
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Pegawai Negeri
9
20.9
20.9
20.9
Pegawai Swasta
6
14.0
14.0
34.9
Wiraswasta
10
23.3
23.3
58.1
Buruh/Tani
2
4.7
4.7
62.8
Lain-lain
16
37.2
37.2
100.0
Total
43
100.0
100.0
Valid
96
BMI
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
Obese
15
34.9
34.9
34.9
Tidak obese
28
65.1
65.1
100.0
Total
43
100.0
100.0
Jenis_OAD
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Insulin
Valid
Non Insulin
Total
34
79.1
79.1
79.1
9
20.9
20.9
100.0
43
100.0
100.0
Durasi_DM
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
> 5 tahun
12
27.9
27.9
27.9
< 5 tahun
31
72.1
72.1
100.0
Total
43
100.0
100.0
HbA1C
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
> 7%
31
72.1
72.1
72.1
< 7%
12
27.9
27.9
100.0
Total
43
100.0
100.0
97
7.2 Statistik Kontrol
Statistics
Jenis_Kelamin
Valid
Pendidikan
Pekerjaan
BMI
Jenis_OAD
HbA1C
43
43
43
43
43
43
0
0
0
0
0
0
N
Missing
Jenis_Kelamin
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
Laki-laki
22
51.2
51.2
51.2
Perempuan
21
48.8
48.8
100.0
Total
43
100.0
100.0
Pendidikan
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Tidak sekolah
2
4.7
4.7
4.7
SD
7
16.3
16.3
20.9
SMP
4
9.3
9.3
30.2
SMA
20
46.5
46.5
76.7
Akademi/Diploma/PT
10
23.3
23.3
100.0
Total
43
100.0
100.0
Valid
Pekerjaan
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Pegawai Negeri
10
23.3
23.3
23.3
Pegawai Swasta
7
16.3
16.3
39.5
Wiraswasta
6
14.0
14.0
53.5
Buruh/Tani
8
18.6
18.6
72.1
Lain-lain
12
27.9
27.9
100.0
Total
43
100.0
100.0
Valid
98
BMI
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
Obese
16
37.2
37.2
37.2
Tidak obese
27
62.8
62.8
100.0
Total
43
100.0
100.0
Jenis_OAD
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
Insulin
27
62.8
62.8
62.8
Non Insulin
16
37.2
37.2
100.0
Total
43
100.0
100.0
Durasi_DM
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
< 5 tahun
26
60.5
60.5
60.5
> 5 tahun
17
39.5
39.5
100.0
Total
43
100.0
100.0
HbA1C
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
< 7%
15
34.9
34.9
34.9
>7%
28
65.1
65.1
100.0
Total
43
100.0
100.0
99
7.3 Umur Kasus dan Kontrol serta Uji Normalitas
Descriptives
Polineuropati
Statistic
Mean
Ya
Umur
56.0465
95% Confidence Interval for
Lower Bound
54.0955
Mean
Upper Bound
57.9975
5% Trimmed Mean
56.2700
Median
56.0000
Variance
40.188
Std. Deviation
Minimum
43.00
Maximum
65.00
Range
22.00
9.00
Skewness
-.337
.361
Kurtosis
-.545
.709
51.6047
1.30471
Mean
Umur
.96675
6.33942
Interquartile Range
Tidak
Std. Error
95% Confidence Interval for
Lower Bound
48.9716
Mean
Upper Bound
54.2377
5% Trimmed Mean
51.8605
Median
51.0000
Variance
73.197
Std. Deviation
8.55553
Minimum
33.00
Maximum
65.00
Range
32.00
Interquartile Range
12.00
Skewness
-.307
.361
Kurtosis
-.449
.709
100
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Polineuropati
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Ya
Umur
.086
43
.200*
.948
43
.052
Tidak
Umur
.073
43
.200*
.966
43
.222
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Umur Total
Descriptives
Statistic
Mean
Umur
Std. Error
53.9651
95% Confidence Interval for
Lower Bound
52.2596
Mean
Upper Bound
55.6707
5% Trimmed Mean
54.3734
Median
55.0000
Variance
63.281
Std. Deviation
.85780
7.95494
Minimum
33.00
Maximum
65.00
Range
32.00
Interquartile Range
11.25
Skewness
-.482
.260
Kurtosis
-.206
.514
7.4 Bivariat HbA1c
HbA1C * Polineuropati Crosstabulation
Polineuropati
Ya
Count
Total
Tidak
31
15
46
72.1%
34.9%
53.5%
12
28
40
27.9%
65.1%
46.5%
43
43
86
100.0%
100.0%
100.0%
> 7%
% within Polineuropati
HbA1C
Count
< 7%
% within Polineuropati
Count
Total
% within Polineuropati
101
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
11.965a
1
.001
Continuity Correctionb
10.516
1
.001
Likelihood Ratio
12.266
1
.000
Fisher's Exact Test
.001
Linear-by-Linear Association
11.826
N of Valid Cases
1
.001
.001
86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower
Odds Ratio for HbA1C (> 7% /
< 7%)
For cohort Polineuropati = Ya
Upper
4.822
1.931
12.041
2.246
1.343
3.757
.466
.293
.740
For cohort Polineuropati =
Tidak
N of Valid Cases
86
7.5 Bivariat Umur
Umur_nominal * Polineuropati Crosstabulation
Polineuropati
Ya
Count
Total
Tidak
30
16
46
69.8%
37.2%
53.5%
13
27
40
30.2%
62.8%
46.5%
43
43
86
100.0%
100.0%
100.0%
> 54 thn
% within Polineuropati
Umur_nominal
Count
< 54 thn
% within Polineuropati
Count
Total
% within Polineuropati
102
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
9.161a
1
.002
7.899
1
.005
9.335
1
.002
Fisher's Exact Test
.005
Linear-by-Linear Association
9.054
N of Valid Cases
1
.003
86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower
Odds Ratio for Umur_nominal
(> 54 thn / < 54 thn)
For cohort Polineuropati = Ya
For cohort Polineuropati =
Tidak
N of Valid Cases
Upper
3.894
1.587
9.557
2.007
1.224
3.289
.515
.328
.808
86
7.6 Bivariat Obesitas
BMI * Polineuropati Crosstabulation
Polineuropati
Tidak
Count
Total
Ya
16
15
31
37.2%
34.9%
36.0%
27
28
55
62.8%
65.1%
64.0%
43
43
86
100.0%
100.0%
100.0%
Obese
% within Polineuropati
BMI
Count
Tidak obese
% within Polineuropati
Count
Total
% within Polineuropati
.002
103
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.050a
1
.822
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.050
1
.822
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.050
N of Valid Cases
1
.823
86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower
Odds Ratio for BMI (Obese /
Tidak obese)
For cohort Polineuropati =
Tidak
For cohort Polineuropati = Ya
N of Valid Cases
Upper
1.106
.458
2.669
1.051
.681
1.623
.950
.608
1.486
86
7.7 Bivariat Lama Menderita DM
Durasi_DM * Polineuropati Crosstabulation
Polineuropati
Tidak
Count
Total
Ya
26
12
38
60.5%
27.9%
44.2%
17
31
48
39.5%
72.1%
55.8%
43
43
86
100.0%
100.0%
100.0%
< 5 tahun
% within Polineuropati
Durasi_DM
Count
> 5 tahun
% within Polineuropati
Count
Total
% within Polineuropati
.500
104
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
9.241a
1
.002
Continuity Correctionb
7.968
1
.005
Likelihood Ratio
9.425
1
.002
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.004
Linear-by-Linear Association
9.134
N of Valid Cases
1
.002
.003
86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower
Odds Ratio for Durasi_DM (<
5 tahun / > 5 tahun)
For cohort Polineuropati =
Tidak
For cohort Polineuropati = Ya
N of Valid Cases
Upper
3.951
1.599
9.760
1.932
1.246
2.996
.489
.293
.817
86
7.8 Bivariat Jenis Pengobatan DM
Jenis_OAD * Polineuropati Crosstabulation
Polineuropati
Tidak
Count
Total
Ya
27
34
61
62.8%
79.1%
70.9%
16
9
25
37.2%
20.9%
29.1%
43
43
86
100.0%
100.0%
100.0%
Insulin
% within Polineuropati
Jenis_OAD
Count
Non Insulin
% within Polineuropati
Count
Total
% within Polineuropati
105
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
2.763a
1
.096
Continuity Correctionb
2.030
1
.154
Likelihood Ratio
2.792
1
.095
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.153
Linear-by-Linear Association
2.731
N of Valid Cases
1
.098
86
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower
Odds Ratio for Jenis_OAD
.447
.171
1.167
.692
.460
1.039
1.548
.877
2.734
(Insulin / Non Insulin)
For cohort Polineuropati =
Tidak
For cohort Polineuropati = Ya
Upper
N of Valid Cases
86
7.9 Multivariat
Classification Table a
Observed
Predicted
Polineuropati_reg
Tidak
Tidak
Percentage
Correct
Ya
29
14
67.4
7
36
83.7
Polineuropati_reg
Step 1
Ya
Overall Percentage
a. The cut value is ,500
75.6
.077
106
Variables in the Equation
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower
Step 1a
HbA1C(1)
2.059
.582
12.494
1
.000
7.837
2.502
24.542
Umur_nominal(1)
1.739
.567
9.402
1
.002
5.690
1.873
17.291
Durasi_DM(1)
1.766
.572
9.522
1
.002
5.848
1.905
17.954
-3.059
.744
16.901
1
.000
.047
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: HbA1C, Umur_nominal, Durasi_DM.
Model if Term Removed
Variable
Step 1
Upper
Model Log
Change in -2 Log
Likelihood
Likelihood
df
Sig. of the
Change
HbA1C
-50.289
15.092
1
.000
Umur_nominal
-48.120
10.753
1
.001
Durasi_DM
-48.214
10.943
1
.001
Kurva ROC
Case Processing Summary
Polineuropati_reg
Valid N (listwise)
Positivea
43
Negative
43
Larger values of the test result variable(s)
indicate stronger evidence for a positive
actual state.
a. The positive actual state is Ya.
107
Area Under the Curve
Test Result Variable(s): Predicted probability
Area
Std. Errora
Asymptotic Sig.b
Asymptotic 95% Confidence Interval
Lower Bound
.829
.044
.000
Upper Bound
.742
.915
The test result variable(s): Predicted probability has at least one tie between the positive
actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
108
7.10 Stadium NDP
Case Processing Summary
Stadium NDP
Cases
Valid
N
Kadar_HbA1C
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
NDP Ringan
5
100,0%
0
0,0%
5
100,0%
NDP sedang
22
100,0%
0
0,0%
22
100,0%
NDP Berat
16
100,0%
0
0,0%
16
100,0%
7.11 Deskripsi Kadar HbA1c dengan Stadium NDP
Descriptives
Stadium NDP
Statistic
Mean
NDP Ringan
7,8220
95% Confidence Interval for
Lower Bound
5,6403
Mean
Upper Bound
10,0037
5% Trimmed Mean
7,8394
Median
8,1000
Variance
3,087
Std. Deviation
Std. Error
,78580
1,75711
Minimum
5,34
Maximum
9,99
Range
4,65
Interquartile Range
3,17
Skewness
-,384
,913
Kurtosis
,005
2,000
8,8791
,40833
Kadar_HbA1C
Mean
NDP sedang
95% Confidence Interval for
Lower Bound
8,0299
Mean
Upper Bound
9,7283
5% Trimmed Mean
8,7017
Median
8,5050
Variance
3,668
Std. Deviation
1,91525
Minimum
6,90
Maximum
14,15
Range
7,25
Interquartile Range
2,86
109
Skewness
1,402
,491
Kurtosis
1,809
,953
9,8963
,67217
Mean
NDP Berat
95% Confidence Interval for
Lower Bound
8,4636
Mean
Upper Bound
11,3289
5% Trimmed Mean
9,8003
Median
8,9050
Variance
7,229
Std. Deviation
2,68868
Minimum
6,60
Maximum
14,92
Range
8,32
Interquartile Range
4,54
Skewness
,618
,564
Kurtosis
-,845
1,091
7.10 Korelasi Kadar HbA1c dengan Stadium NDP
HbA1C * Stadium NDP Crosstabulation
Count
Stadium NDP
NDP Ringan
Total
NDP sedang
NDP Berat
> 7%
3
18
10
31
< 7%
2
4
6
12
5
22
16
43
HbA1C
Total
Directional Measures
Value
Asymp. Std.
Approx. Tb
Approx. Sig.
Errora
Ordinal by Ordinal
Somers' d
Symmetric
,092
,158
,583
,560
HbA1C Dependent
,077
,134
,583
,560
Stadium NDP Dependent
,113
,193
,583
,560
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
110
7.12 Cut off point HbA1c
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s): Kadar_HbA1C
Positive if Greater Than or Equal
Toa
Sensitivity specificity
3,8
1
0
4,835
1
0,023
5,02
1
0,047
5,24
1
0,07
5,325
1
0,093
5,465
0,977
0,093
5,595
0,977
0,116
5,64
0,977
0,14
5,74
0,977
0,163
5,86
0,977
0,186
5,97
0,977
0,209
6,035
0,977
0,233
6,12
0,977
0,279
6,245
0,977
0,302
6,36
0,977
0,326
6,43
0,977
0,349
6,445
0,977
0,372
6,46
0,977
0,395
6,475
0,977
0,419
6,49
0,977
0,442
6,54
0,977
0,465
6,585
0,977
0,488
6,595
0,977
0,512
6,635
0,953
0,512
6,685
0,93
0,512
6,72
0,93
0,558
6,79
0,93
0,605
6,87
0,93
0,651
6,925
0,907
0,674
6,96
0,907
0,698
6,975
0,907
0,721
6,99
0,907
0,744
7,03
0,884
0,744
7,08
0,86
0,744
7,13
0,837
0,744
7,195
0,814
0,744
7,295
0,767
0,744
7,38
0,744
0,744
7,465
0,721
0,744
7,69
0,698
0,744
7,86
0,674
0,744
111
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
7,875
7,89
8
8,185
8,295
8,36
8,45
8,505
8,56
8,645
8,69
8,73
8,78
8,805
8,905
9,2
9,425
9,465
9,56
9,705
9,85
9,95
9,98
10,08
10,215
10,275
10,55
10,96
11,155
11,42
12,22
12,85
13
13,625
14,2
14,585
15,92
0,674
0,674
0,651
0,605
0,605
0,581
0,558
0,535
0,512
0,488
0,465
0,442
0,419
0,395
0,372
0,349
0,349
0,326
0,326
0,326
0,302
0,302
0,302
0,279
0,256
0,233
0,209
0,186
0,163
0,14
0,14
0,116
0,093
0,07
0,047
0,023
0
0,767
0,791
0,791
0,791
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,814
0,837
0,86
0,86
0,884
0,907
0,907
0,93
0,977
0,977
0,977
0,977
0,977
0,977
0,977
0,977
1
1
1
1
1
1
1
112
1.2
1
Axis Title
0.8
0.6
Sensitivity
specificity
0.4
0.2
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76
Axis Title
Download