TESIS DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR SRI YENNI TRISNAWATI, GS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR SRI YENNI TRISNAWATI, GS NIM 101468202 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana SRI YENNI TRISNAWATI, GS NIM 101468202 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 2 OKTOBER 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) NIP.195404201982111001 dr. IGN. Purna Putra, Sp.S(K) NIP.195403301983031001 Mengetahui, Plt. Ketua Program Studi Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) NIP 196304031988032003 Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP 194612131971071001 Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001 iii Tesis ini telah diuji pada tanggal 2 Oktober 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 3592/UNI4.4/HK/2014 Tertanggal: 30 September 2014 Penguji : 1. Dr. dr. Thomas Eko Purwata, SpS (K) 2. dr. IGN Purna Putra, SpS (K) 3. dr. AABN Nuartha, Sp.S(K) 4. Dr. dr. AAA Putri Laksmidewi, Sp.S (K) 5. dr. Anna MG Sinardja, SpS (K) iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara nugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar dokter spesialis saraf. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir ini. Kepada Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) dan dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K) selaku pembimbing Tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S selaku pembimbing akademik dan pembimbing statistik yang telah banyak memberikan perbaikan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan mantan Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Dekan vi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, M.Kes, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MARS dan mantan Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, dr. Wayan Sutarga, MPHM atas ijin, kesempatan, dan fasilitas yang diberikan. Terimakasih sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K), Ketua Litbang Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), atas segala dorongan, bimbingan dan saran yang sangat berarti bagi penulis selama mengikuti pendidikan ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada Kepala Divisi Endokrinologi Metabolisme Diabetes Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budiartha, Sp.PD-KEMD, yang telah memberikan ijin dan vii kesempatan untuk dilaksanakannya penelitian ini di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji, dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna M.G. Sinardja, Sp.S(K) yang telah membantu, memberi dorongan semangat, saran, dan koreksi dari tahap praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian, ujian hasil penelitian hingga ujian akhir tesis. Terimakasih penulis ucapkan kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) dan Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai PPDS Neurologi atas kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini. Kepada Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) dan dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah pada saat penulis diterima, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada supervisor di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. I Wayan viii Kondra, Sp.S(K), dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G Purwa Samatra, Sp.S(K), dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna M.G. Sinardja, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. I.A Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu Witari, Sp.S yang telah memberikan segala arahan, dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti pendidikan ini. Terima kasih penulis tujukan kepada semua teman sejawat PPDS Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat, dan pengertian teman-teman selama mengikuti pendidikan ini, khususnya dr. Yoanes Gondowardaja, Sp.S, dr. I Made Domy Astika, Sp.S, dr. Ni Md. Yuli Artini, Sp.S, dr. Ernesta P. Ginting, Sp.S, dr. Khristi Handayani, dr. Octavianus. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan penulis dr. Widyantara, dr. I.A Sri Wijayanti, dr. Agus Antara, dr. Bhaskoro, dr. Darsana atas kerjasama dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada seluruh tenaga paramedis dan non medis di bangsal dan poliklinik penyakit Saraf RSUP Sanglah, tenaga paramedis dan non medis di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah atas jalinan kerjasama, bantuan, dan dorongan semangat selama penulis melaksanakan ix penelitian ini. Terimakasih pula kepada tenaga administrasi di bagian/SMF Neurologi FK UNUD RSUP Sanglah. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh pasien DM dan keluarganya atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan penelitian ini. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua yang penulis cintai dan teriring doa yang tulus kepada ayahanda terhormat, (Alm) DR (HC) I Made Geriawan, S.Sos, MBA dan Ni Made Sukerti, BA yang telah mengasuh dan memberikan dasar etika dan pendidikan pada penulis, serta memberikan wawasan luas intelektual yang tidak ternilai; ayah dan ibu mertua yang penulis hormati, Drs. I Ketut Mudra Arjaya, MM dan A.A.M. Armayanthi, SH yang telah memberikan semangat dan dorongan baik material maupun moral dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih yang sebesarbesarnya dari lubuk hati terdalam juga penulis sampaikan kepada suami tercinta dan anak-anakku terkasih, Agus Darma Yudha, ST, MM, Masayu Adithi Shivadevi, Chesta Anindya Radharani, Dalem Khastara Vinajagar, dan Advesta Mirahdhivya Priyaharsani yang dengan penuh pengertian, kerelaan, pengorbanan, cinta, dan kasih yang telah mengikhlaskan perhatian dan waktu keluarga, sehingga ibu bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini untuk mewujudkan cita-cita. Penulis telah membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan x penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa akan selalu melimpahkan karunia-NYA kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, 30 September 2014 Sri Yenni Trisnawati,GS xi “It always seems impossible until it’s done” (Nelson Mandela) xii ABSTRAK DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan Diabetes Melitus (DM) dan Neuropati Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati Diabetik (ND) yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan menurunkan kualitas hidup. Prevalensi NDP diperkirakan bervariasi, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP. NDP juga sering terlihat pada penderita DM yang memiliki masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya dapat dinilai dari kadar Glycocylated Haemoglobin (HbA1c). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah. Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol terhadap 86 penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Diabetes dan Saraf RSUP Sanglah selama bulan April hingga Agustus 2014. Subyek yang memenuhi kriteria eligibilitas dikelompokkan sebagai kasus dan kontrol masing-masing berjumlah 43 orang. NDP diperiksa dengan menggunakan MDNS. Seluruh data dianalisis dengan analisis statistik. Data karakteristik dianalisis secara deskriptif.Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala nominal dengan metode Chi-Square.Tingkat hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio dan tingkat kemaknaan dengan α = 5%. Hasil analisis data didapatkan penderita DM tipe2 dengan kadar HbA1c tinggi yang menderita NDP terbanyak pada jenis kelamin laki-laki (51,2%) dengan rerata umur 56 tahun. Stadium NDP terbanyak yang dialami penderita adalah NDP stadium 2 (53,5%). Pada analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara kadar HbA1c tinggi dengan NDP pada penderita DM tipe 2 (p=0,001) dengan OR 4,82; IK 95% (1,931-12,041). Dapat disimpulkan bahwa DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah. Kata Kunci : DM tipe 2, HbA1c, Neuropati Diabetik Perifer xiii ABSTRACT DIABETES MELITUS TYPE 2 WITH A HIGH HBA1C LEVEL IS A RISK FACTOR OF PERIPHERAL DIABETIC NEUROPATHY AT SANGLAH GENERAL HOSPITAL Neuropathy is a common complication of DM (Diabetes Melitus). Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN), the most common type of it, is confined to disability and morbidity of DM patient. This condition is decreasing patient’s Quality of Life significantly. Prevalence of DPN is vary, approximately 50% of DM patient suffer from DPN, especially those with uncontrolled blood glycemic index. This condition determined from the HbA1C level in blood. This study is aim to know that DM Type 2 with a high HbA1C level is a risk factor of DPN at Sanglah General Hospital. This was a case control study enrolled for 86 patients with DM type 2 that came to Diabetic Outpatient Ward and Neurology Outpatient Ward during April unto August 2014. Eligible subjects were grouped as a case and a control one, in which there was 43 subjects for each group. DPN was evaluated by MDNS. Characteristic data analyzed with descriptive method. Chi square, one of bivariate analyze method, was held to test the independent nominal variable and dependent one. Level of relationship between both variables was tested with Odds Ratio with level of significance is α = 5%. The result revealed that DPN in DM type 2 patient with high HbA1c level occurred in greater number in men (51,2%). The average age is 56 years old. The most stage of DPN found was stage 2 (53,5%). In bivariate test, there was a significant relationship between high level HbA1C in DM type 2 and DPN with OR 4,82 (CI 95%; 1,931-12,041). The study conclude that DM type 2 with a high level of HbA1C is a risk factor of DPN at Sanglah General Hospital. Keyword : DM type 2, HbA1C, Diabetic Peripheral Neuropathy xiv DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN ………………………………………………………… SAMPUL DALAM ………………………………………………..……… i PRASYARAT GELAR …………………………………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….… iii LEMBAR PANITIA PENGUJI TESIS....................................................... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................ v UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………… vi ABSTRAK ……………………………………………………………...… xiii ABSTRACT ……………………………………………………………… xiv DAFTAR ISI……………………………………………………………… xv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xvii DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xviii DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………… xix DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xx BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang …………………………………………...… 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………….........………… 5 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………..........…… 5 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………........……… 5 1.4.1 Manfaat Ilmiah ……………………….……… 5 1.4.2 Manfaat Praktis ……………………….……… 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………….......................…….. 7 2.1 Tinjauan Umum Diabetes Melitus………………..........….. 7 2.2 Glycocylated Haemoglobin (HbA1c)…………..........…..... 9 2.3 Neuropati Diabetik …..…..…………..........……….…........ 10 2.3.1 Definisi................................................................... 11 2.3.2 Klasifikasi Neuropati Diabetik............................... 11 2.4 Neuropati Diabetik Perifer.......…………………................. 13 2.4.1 Patofisiologi NDP................................................... 14 2.4.2 Gejala Klinis NDP.................................................. 23 2.4.3 Histopatologi.......................................................... 33 2.5 Hubungan Hiperglikemi dengan NDP ………….........…… 35 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DANHIPOTESIS PENELITIAN............................................................................................. 39 3.1 Kerangka Berpikir ................................................................. 39 3.2 Kerangka Konsep ................................................................. 41 3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................. 42 BAB IV METODE PENELITIAN............................................................... 43 4.1 Rancangan Penelitian ........................................................... 43 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 44 4.3 Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 44 4.4 Populasi dan sampel Penelitian ............................................ 44 xv 4.4.1 4.4.2 4.4.3 Populasi Target ................................................ 44 Populasi Terjangkau ......................................... 44 Kriteria Sampel ................................................. 44 4.4.3.1 Kriteria Kasus ................................ 44 4.4.3.2 Kriteria Kontrol .............................. 45 4.4.3.3 Kriteria Eksklusi Kasus dan Kontrol 45 4.4.4 Besar Sampel ................................................. 46 4.4.5 Teknik Pengambilan sampel .......................... 46 4.5 Variabel Penelitian................................................................ 47 4.6 Definisi Operasional Variabel.............................................. 47 4.7 Alat Pengumpulan Data ....................................................... 51 4.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 51 4.9 Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 54 BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 55 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian .......................................... 55 5.2 Analisis Bivariat Kadar HbA1c Tinggi dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2............................................................ 57 5.3 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2……………….. 58 5.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP.......................... 61 BAB VI PEMBAHASAN ……………………………….......................... 63 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian .......................................... 63 6.2 Hubungan antara Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2........................................................................... 66 6.3 Hubungan Faktor-faktor Lain Terhadap Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2........................................................... 70 6.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP.......................... 74 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………............................. 76 7.1 Simpulan......................................................................... 76 7.2 Saran .............................................................................. 76 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 77 LAMPIRAN ................................................................................................ 82 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Jalur Polyol............................................................……… Jalur AGE.......................................................................... Jalur PKC.......................................................................... Jalur Hexosamine.............................................................. Distribusi Stocking and Glove pada Neuropati Diabetik Perifer............................................................................... Biopsi Nervus Suralis pada Pasien Diabetes dengan dan Tanpa NDP....................................................................... Defek Mirovaskular Pembuluh Darah Endoneurial pada Penderita Diabetes dengan dan Tanpa NDP..................... Abnormalitas Mikrovaskular Pembuluh Darah Epineural pada Penderita Diabetes dengan dan Tanpa NDP............ Mekanisme Hiperglikemi menimbulkan Degenerasi Neuron............................................................................. Bagan Kerangka Berpikir...…………..………………..... Konsep Penelitian..............................................…………. Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol................... Bagan Alur Penelitian....................................................... xvii 16 18 20 21 24 34 34 35 38 40 41 43 53 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Klasifikasi Neuropati Diabetik.............................……… Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic Peripheral Neuropathy...................................................... Toronto Clinical Scoring System...................................... The Modified Neuropathy Disability Score……………. Stadium NDP Berdasarkan MDNS.................................. Karakteristik Subjek Penelitian ....................................... Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP.................. Analisis Bivariat Faktor Lain dengan NDP...................... Analisis Multivariat Regersi Logistik............................... xviii 12 25 26 27 28 56 58 59 61 DAFTAR SINGKATAN AGEs : Advanced Glycation End Products cAFT : Cardiovascular Autonomic Function DAG : Diacylglycerol DM : Diabetes Mellitus DPN : Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy GFAT : Glutamine Fructose-6 Phosphateamidotransferase IGT : gangguan toleransi glukosa GLA : Gamma-Linolenic Acid KAD : Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetik KHONK : Koma Hiperosmolar Non-Ketotik MAP kinase : Mitogen Activated Protein Kinase MRI : Magnetic Resonance Imaging MDNS : Michigan Diabetic Neuropathy Score NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen ND : Neuropati Diabetik NDP : Neuropati Diabetik Perifer NND : Nyeri Neuropati Diabetik NGF : Nerve Growth Factor NO : Nitric Oxide PI-3 kinase : Phosphatidylinositol-3 Kinase QST : Quantitative Sensory Testing ROS : Reactive Oxygen Species TTGO : Tes toleransi glukosa oral OAD : Oral Anti Diabetik xix DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Keterangan Kelaikan Etik………………………….... Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian.……........ Kuisioner Penelitian................................…………..… MDNS………………………….................................. Surat Ijin dari RSUP Sanglah Denpasar...................... Data Subjek Penelitian................................................. Analisis Statistik .......................................................... xx 82 84 85 89 90 91 95 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan Diabetes Melitus (DM) dan Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy atau Neuropati Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati Diabetik (ND) yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan menurunkan kualitas hidup. Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini sangat terkait dengan jumlah populasi penduduk yang meningkat, angka harapan hidup bertambah, urbanisasi yang mengubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas yang meningkat, dan kegiatan fisik yang cenderung berkurang. DM perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan (Lopez, 2011). Berdasarkan penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% pada penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun, bahkan di daerah urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara maju, sehingga DM merupakan masalah yang sangat serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia 1 2 yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun. Dari 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun, diperkirakan terdapat penderita DM sebesar 12 juta untuk daerah perkotaan, dan 8,1 juta di daerah pedesaan (PERKENI, 2011). NDP merupakan ND yang paling sering ditemukan, yang bermanifestasi progresif lambat, simetris dengan pola gloves and stocking. Prevalensi NDP diperkirakan bervariasi berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis NDP, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP. Konsensus San Antonio merekomendasikan bahwa diagnosis ND paling sedikit memenuhi satu dari lima kategori yang diukur yaitu skor gejala, skor pemeriksaan fisik, quantitative sensory testing (QST), cardiovascular autonomic function (cAFT) dan elektrodiagnostik. Berdasarkan uraian diatas, maka deteksi dini NDP sangat penting pada pasien dengan diabetes karena pencegahan bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas, tetapi tidak ada baku emas untuk mendiagnosis polineuropati (Dobretsov dkk, 2007). Penderita DM akan memiliki masalah dengan saraf perifer yang dapat terjadi kapan saja, tetapi risiko NDP akan meningkat berhubungan dengan umur dan lamanya menderita DM. Jumlah terjadinya NDP tertinggi terjadi pada penderita yang menderita DM sekurangnya 25 tahun. NDP juga sering terlihat pada penderita DM 3 yang memiliki masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya dapat dinilai dari kadar Glycocylated Haemoglobin (HbA1c) (Tesfaye, 2004). Penelitian-penelitian pada penderita DM tipe 1 dan DM tipe 2 memperlihatkan bahwa buruknya kontrol glukosa darah yang dapat dinilai dari tingginya nilai HbA1c, walaupun belum ada korelasi yang berlangsung antara beratnya peninggian HbA1c dengan beratnya ND (Kolegium, 2009). Tomic dkk. (2003) melakukan penelitian obesitas sebagai faktor risiko untuk komplikasi mikrovaskular dan neuropati pada penderita diabetes, didapatkan hasil bahwa obesitas sendiri atau kombinasi dengan kualitas dari kontrol metabolik (HbA1c), tekanan darah sistolik dan diastolik dan kolesterol LDL sebagai faktor risiko komplikasi mikrovaskular dan neuropati. Tamer dkk. (2006) dalam penelitiannya mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara level HbA1c, durasi menderita DM, merokok, jenis kelamin lakilaki, dan penggunaan insulin dengan ND pada pasien DM. Dalam penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan antara umur, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia dengan terjadinya ND. Penelitian yang dilakukan EURODIAB IDDM Complications Study yang meneliti 3250 pasien dengan DM tipe 1 dari 31 pusat kesehatan pada 16 negara di Eropa menyimpulkan bahwa ND berhubungan dengan kontrol glukosa darah dan durasi penyakitnya. Dikatakan pula bahwa rendahnya nilai HbA1c berhubungan dengan rendahnya prevalensi ND. Walau demikian, baiknya kontrol glukosa darah (HbA1c < 5,4%) tetap dapat menimbulkan berkembangnya komplikasi mikrovaskular 4 termasuk ND. Hal ini memperkirakan bahwa terdapat faktor lain yang juga ikut berperan selain kontrol glukosa darah dan durasi penyakit (Tesfaye, 2004). Keparahan dan durasi hiperglikemia memainkan peranan penting dalam patogenesis ND. Tetapi pada praktek klinis didapatkan bahwa penderita DM dengan nyeri neuropati atau berkembangnya neuropati berbeda pada orang-orang yang memiliki nilai HbA1c dan durasi menderita DM yang hampir mirip. Dari hal ini, diperoleh suatu gagasan bahwa hiperglikemia saja tidak cukup untuk perkembangan proses neuropati (Erdoğan, 2012). Erdoğan (2012), pada penelitiannya mendapatkan adanya perbedaan eksitabilitas yang signifikan pada dua kelompok diabetes yang memiliki nilai gula darah yang sama. Hasil ini memperkirakan bahwa hiperglikemia tidak cukup berperan dalam perkembangan NDP. Respon personal dari masing-masing pasien terhadap hiperglikemia dan fungsi saluran ion diperkirakan juga memainkan peranan penting dalam perkembangan NDP. Penelitian atau studi kasus kontrol oleh Purwata (2010) pada 59 kasus Nyeri Neuropati Diabetik (NND) di RSUP Sanglah didapatkan 11 orang dengan kadar HbA1c yang rendah dan 48 orang dengan kadar yang tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol dari 51 orang didapatkan 18 orang dengan kadar HbA1c rendah dan 33 orang dengan kadar yang tinggi dengan OR = 2.380 dengan CI 95% (0.9965.688) dan p > 0,05. Hubungan ini secara statistik tidak bermakna, jadi kadar HbA1c yang tinggi tidak terbukti meningkatkan risiko NND. 5 Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini masih terdapat pendapat bahwa nilai HbA1c normal atau rendah masih memiliki risiko untuk terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2. Sehingga penelitian ini mencoba mencari DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah. 1.2 Rumusan Masalah Apakah DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai pasien DM tipe 2 yang menderita NDP dan membuktikan bahwa kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP pada komunitas penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar sehingga dapat digunakan untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang. 6 1.4.2 Manfaat praktis Dengan mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP diharapkan dapat dilakukan upaya deteksi dini dan penatalaksanaan optimal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita DM tipe 2. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. DM merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pelayanan kesehatan dan edukasi pada pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan menurunkan risiko komplikasi jangka panjang. Hiperglikemia kronis yang terjadi pada penderita DM berkaitan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan dari berbagai fungsi organ terutama mata, ginjal, sistem saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Dapat pula disertai keluhan lain yang berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu (PERKENI, 2011): 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 7 8 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Penderita DM bila tidak dikelola dengan baik akan berpotensi mengalami penyulit, baik penyulit yang bersifat akut maupun kronik. Menurut PERKENI, 2011, penyulit akut DM dapat berupa: a. Hipoglikemia, diagnosis ditegakkan apabila terdapat gejala klinis seperti lapar, gemetar, keringat dingin, pusing, gelisah, hingga koma dan disertai kadar glukosa darah <30-60 mg/dL. b. Ketoasidosis Diabetik (KAD), merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. c. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH), pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Penyulit kronik dapat berupa: 1. Makroangiopati, dapat mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. 9 2. Mikroangiopati, dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik. 3. Neuropati Untuk dapat mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang diharapkan, demikian pula status gizi dan tekanan darah (Cheung dkk, 2009; PERKENI, 2011). 2.2 Glycocylated Haemoglobin (HbA1c) HbA1c telah digunakan dalam monitor kontrol gula darah pada penderita DM selama tiga dekade. HbA1c didefinisikan sebagai hemoglobin yang terglikosilasi secara ireversibel pada satu atau kedua N-terminal valines dari rantai beta. Definisi ini tidak mengekslusi hemoglobin yang terglikasi pada tempat lain, seperti rantai alpha atau beta (Ginis dkk, 2012). HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang normal terpapar oleh kadar glukosa yang tingi dalam plasma. Keluaran produksi dari produk-produk glikasi pada awalnya bersifat akut dan reversibel yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Produk glikasi tersebut dibentuk di intraselular dan ekstraselular membentuk suatu gugus kombinasi glukosa dan asam amino. Gugus ini merupakan hasil reaksi non enzimatik, yaitu proses penambahan rantai nukleofilik membentuk gugus “shiff base adduct”. Kemudian gugus adduct ini mencapai keseimbangan dalam hitungan jam dan perlahan-lahan mengalami perubahan bentuk menjadi suatu 10 bentuk yang lebih stabil daripada produk awalnya. Hal ini akan mencapai keseimbangan dalam periode beberapa minggu. Salah satu jenis protein terglikasi yang dimaksud adalah HbA1c (Sultanpur dkk, 2010; Murugan dkk, 2010). Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata dari glukosa dimana sel tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya. Penilaian HbA1c dapat menilai efektifitas terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah dalam jangka panjang (Sultanpur dkk, 2010). HbA1c pertama kali dikenal pada tahun 1960 sebagai bentuk glikosilasi dari hemoglobin dan pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada DM. Sejak tahun 1980-an, HbA1c telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga HbA1c merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 hingga 12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun (PERKENI, 2011., Herman dan Cohen, 2012). 2.3 Neuropati Diabetik Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita DM, yang terjadi sekitar 50% dari seluruh pasien. Diagnosis 11 ND pertama kali diperkenalkan oleh Rollo tahun 1798 yang menggambarkan ND sebagai adanya nyeri dan parestesi pada tungkai bawah penderita DM, dimana diagnosis ini ditegakkan setelah mengeksklusi berbagai kondisi lainnya, seperti trauma atau adanya tekanan pada jaringan saraf, defisiensi vitamin B1, B6, B12, E, dan Niasin, alkohol, infeksi (Lyme disease, varicella zoster, Epstein-Barr, Hepatitis C, dan HIV/AIDS), penyakit autoimun (Systemic lupus erythematosus, Rheumatoid arthritis dan Guillain-Barre syndrome), inherited disorder (Charcot Marie-Tooth disease dan Amyloid polyneuropathy), tumor, dan paparan zat beracun (Guerrero dkk, 2012). 2.3.1 Definisi ND merupakan komplikasi tersering pada DM tipe I dan tipe II ND merupakan suatu kerusakan saraf akibat adanya gangguan metabolisme kadar glukosa darah (Hoogwerf, 2005). Menurut Boulton dkk (2005), ND merupakan kondisi disfungsi saraf perifer yang disebabkan oleh DM bukan karena penyebab lain. 2.3.2 Klasifikasi Neuropati Diabetik ND dapat diklasifikasi sebagai berikut (Kolegium, 2009): 1. Neuropati perifer yang menyebabkan nyeri atau kehilangan rasa pada jari-jari kaki, kaki, tungkai, tangan, dan lengan. 2. Neuropati otonom yang menyebabkan perubahan pada pencernaan, usus, fungsi kandung kemih, respon seksual dan perspirasi. Neuropati ini juga dapat 12 mempengaruhi saraf-saraf yang mengurus jantung dan tekanan darah, saluran pencernaan, traktus urinarius, organ seks, kelenjar keringat, dan mata. 3. Neuropati proksimal menyebabkan nyeri di paha, panggul, atau pada bokong dan bisa menyebabkan kelemahan pada tungkai. 4. Neuropati fokal menyebabkan kelemahan mendadak dari suatu saraf atau kumpulan saraf yang menyebabkan kelemahan otot atau rasa nyeri dan setiap saraf di badan dapat terkena dan bisa mengenai mata, otot muka, telinga, pelvis, panggul bawah, paha, dan abdomen. Tabel 2.1 Klasifikasi Neuropati Diabetika (Bhadada dkk, 2001) ______________________________________________________________ A. Diffuse 1. Distal symmetric sensori-motor polyneuropathy 2. Autonomic neuropathy a. Sudomotor b. Cardiovascular c. Gastrointestinal d. Genitourinary 3. Symmetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy) B. Focal 1. Cranial neuropathy 2. Radiculopathy/plexopathy 3. Entrapment neuropathy 4. Asymmetric lower limb motor neuropathy (amyotrophy) 13 2.4. Neuropati Diabetik Perifer (NDP) Neuropati merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang berhubungan dengan Diabetes dan NDP merupakan bentuk paling umum dari ND. Kelainan ini ditandai oleh nyeri, parestesi, dan berkurangnya gejala sensorik, yang dapat mengenai lebih dari 50% penderita diabetes dengan adanya peningkatan insiden kasus baru sebesar 2% tiap tahunnya. Walaupun prevalensi NDP diperkirakan bervariasi berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis NDP, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP dan sekitar 3050% pasien dengan prediabetes juga memiliki gejala neuropati (Kaur, 2013). Keparahan NDP tergantung dari lamanya menderita DM dan level kontrol glukosa darah. Individu dengan NDP memiliki keluhan awal berupa hilangnya sensasi pada bagian distal kaki, dimana 80% berikutnya akan menimbulkan rasa tebal dan tidak sensitif pada kaki tanpa rasa nyeri. Saat hilangnya sensasi ini mencapai pertengahan betis maka penderita akan mulai merasakan hilangnya sensorik dibagian distal ujung-ujung jari tangan (Tesfaye dkk, 2010). Pada penelitian Pirart yang mengikuti 4400 pasien selama 25 tahun, dimulai dari penegakan diagnosis awal, ditemukan 12% pasien dengan NDP. Peningkatan untuk terjadinya NDP mencapai lebih dari 50% setelah 25 tahun menderita DM. Di Amerika Serikat, NDP dievaluasi pada 6487 pasien DM dengan menilai reflek pergelangan kaki, vibrasi, pinprick, dan sensasi temperatur yang digabungkan dengan skor gejala 9 poin. Diperoleh bahwa 5% dari individu berusia 20-29 tahun menderita NDP. Dalam peningkatan umur, 44,2% pada subjek antara 70-79 tahun. Demikian 14 pula pada penelitian kohort dengan 8757 pasien DM berusia 18-70 tahun, diperoleh 33% dari populasi dengan neuropati dan terjadi peningkatan sebesar 50% pada subjek dengan umur yang lebih lanjut. Peningkatan pasien NDP berhubungan dengan lamanya menderita DM, didapatkan pula bahwa NDP juga terjadi pada 10-18% saat diagnosis awal dimana pasien dengan gangguan toleransi glukosa yang dikenal sebagai prediabetes. Skrining prospektif pada pasien denngan oral glucose tolerance test menghasilkan 30-50% pasien dengan “idiopathic” painful sensory neuropathy dengan IGT yang memiliki gejala hampir sama dengan NDP awal dengan predominan gangguan gejala dan tanda sensorik (Feldman dan Vincent, 2004). 2.4.1 Patofisiologi NDP Gejala dan tanda NDP berdasarkan perubahan patologis pada sistem saraf penderita DM, didapatkan hilangnya serabut saraf besar dan kecil bermielin, kejadian remielinisasi segmental, dan degenerasi aksonal. Perubahan pada struktur serabut saraf terjadi pararel dengan perubahan pada pembuluh darah sekitarnya, seperti menebalnya dinding pembuluh darah kapiler, hiperplasi endotel yang berperan dalam menurunkan tekanan oksigen dan hipoksia, dan penyempitan kapiler yang meliputi serabut saraf kecil bermielin dan serabut saraf C yang tidak bermielin (Kaur, 2013). Saat Diabetes Control and Complication Trial mengungkapkan bahwa hiperglikemia mendasari perkembangan NDP, maka 10 tahun terakhir ini banyak dilakukan penelitian yang memfokuskan dalam pengertian dan kerusakan vaskular pada NDP. Penelitian pada hewan dan invitro menyatakan bahwa terdapat empat jalur 15 utama dalam metabolisme glukosa untuk terjadinya NDP, yaitu (Feldman dan Vincent, 2004): 1. Peningkatan aktivitas jalur polyol yang menimbulkan akumulasi sorbitol dan fruktosa, NADP (P)- Redox imbalance, dan perubahan pada sinyal transduksi. Glikasi protein non enzimatik yang membentuk “advanced glycation end 2. products” (AGEs) 3. Aktivasi protein Kinase C (PKC) yang menginisiasi respon kaskade stres. 4. Peningkatan Hexosamine pathway flux. Walaupun secara inisial mekanisme tersebut terlihat berbeda, beberapa bukti penelitian memperkirakan bahwa defek ini saling berhubungan dan secara kolektif bertanggung jawab untuk terjadinya dan perburukan NDP. Berikut akan dijelaskan masing-masing jalur untuk terjadinya NDP, yaitu: a. Jalur Polyol Kecenderungan pada jaringan yang mengalami komplikasi, kelebihan glukosa tidak dimetabolisme melalui glikolisis yang melewati jalur polyol. Pada jalur polyol, glukosa diubah menjadi sorbitol, kemudian menjadi fruktosa, dan hal ini berperan dalam proses oksidasi dari nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) menjadi NADP+. Peningkatan aktivitas jalur metabolik ini selanjutnya akan menghabiskan NADPH sehingga memerlukan regenerasi antioksidan gluthathione. Tanpa gluthatione yang mencukupi, kemampuan sistem saraf akan menurun dan berubah menjadi Reactive Oxygen Species (ROS), menimbulkan stres oksidatif. Sebagai tambahan, dinyatakan bahwa saat glukosa dimetabolisme melalui 16 jalur polyol, akan menyebabkan akumulasi sorbitol yang nantinya akan menimbulkan stres osmotik yang mengubah potensial antioksidan dalam sel, dan nantinya akan meningkatkan akumulasi ROS. Pengeluaran produksi fruktosa pada jalur polyol juga menimbulkan pembentukan nonenzymatic glycation / glycoxidation yang dapat meningkatkan ROS yang memediasi kerusakan selular protein dan lipid (Feldman dan Vincent, 2004). Gambar 2.1 Jalur Polyol (Feldman dan Vincent, 2004) b. Jalur AGE Hiperglikemia intraseluler terlihat sebagai kejadian primer yang menginisiasi formasi AGEs melalui advanced glycation end product pathway. Glycation atau glycosilation merupakan kombinasi glukosa dengan protein (Schiff bases) membentuk produk glycation awal pada suatu nilai proporsional konsentrasi glukosa. Schift basses 17 mengalami perbaikan yang baru menjadi produk glycation awal tipe amadori yang lebih stabil. Reaksi ini bersifat reversibel dan tidak ada bukti yang menggambarkan bahwa produk-produk awal ini berhubungan dengan komplikasi diabetes. Dikatakan pula bahwa beberapa produk glycation awal ini berjalan lambat, yang merupakan reaksi kimiawi dari serial komplek menjadi AGEs. Karena AGEs ini bersifat ireversibel, AGEs ini tidak akan kembali menjadi normal walau hiperglikemia telah dikoreksi tetapi dikatakan bahwa AGEs ini akan terakumulasi dalam perjalanan waktu. Bentuk AGEs di dalam sel akan menimbulkan intra dan ekstraselular cross linking dari agregasi protein dengan protein yang menghasilkan struktur-struktur tersier yang merusak fungsi sel tersebut. Hiperglikemia dan tingginya aliran polyol akan meningkatkan proses ini. AGEs dapat menimbulkan kerusakan neuronal spesifik dengan menghambat transport aksonal yang menimbulkan degenerasi akson. Proses ini berhubungan dengan formasi AGE yang memerlukan transisi metal yang menghasilkan makin banyak formasi AGE (Singh, 2001; Feldman dan Vincent, 2004). AGEs yang berikatan dengan protein reseptor seperti reseptor untuk advanced glycation end product (RAGE). Pada mesangial dan sel endotel, aktivasi RAGE oleh AGEs menghasilkan suatu produk ROS. Mekanisme yang pasti belum diketahui, tetapi diperkirakan ada peranan NADPH oksidase. Kejadian ini sendiri dapat berkontribusi dalam stres oksidatif selular dan disfungsi. Sebagai tambahan, dikatakan pula bahwa sinyal RAGE melalui phosphatidylinositol-3 kinase (PI-3 kinase), ki-Ras dan mitogen activated protein kinase (MAP kinase) yang berinisiasi 18 dan memelihara translokasi dari NF-KB dari sitoplasma ke nukleus pada beberapa tipe sel termasuk monosit sirkulasi dan sel endotel (Casellini dan Vinik, 2006). Reseptor RAGE terdiri dari 2 NF-KB yang berikatan dengan regio promotornya sehingga aktivitasi RAGE menimbulkan translokasi NF-KB yang menghasilkan amplifikasi RAGE dan menimbulkan lingkaran keusakan dan oksidatif stres berkelanjutan (Feldman dan Vincent, 2004). Gambar 2.2 Jalur AGE (Feldman dan Vincent, 2004) c. Jalur PKC Efek dari diabetes pada jalur PKC dikatakan sangat komplek, PKC bertanggung jawab terhadap aktivasi dari protein esensial dan lipid di dalam sel yang berguna untuk ketahanan hidup selular. Keseimbangan fisiologis abnormal oleh karena diabetes akan meningkatkan stres osmotik ekstrasel. Sel yang normal berkompensasi 19 untuk stres dengan meningkatkan osmolaritas intrasel, seperti mengakumulasi nonpertubing organic osmolytes, seperti sorbitol, mioinositol, dan taurine. Proses ini menurunkan taurine dan mio-inositol. Penurunan dari taurine akan mengurangi ketahanan antioksidan, sedangkan penurunan mio-inositol mempengaruhi sinyal intraselular phosphoinositide, penurunan aktivitas PKC (Rajbhandari dan Piya, 2005). Peningkatan aktivitas jalur polyol mengaktivasi PKC sebagai stimulasi osmotik dari stress-activated protein kinase. Aktivasi PKC hampir mendekati suatu status redox sel. Pengikatan antioksidan terhadap dopamin katalitik dari aktivitas inhibisi PKC, saat PKC berinteraksi dengan prooksidan, dimana proses ini menjadi teraktivasi. Aktivasi PKC akan menimbulkan aktivasi MAP-kinase dan faktor-faktor transkripsi phosphorylasi yang akan meningkatkan ekspresi gen dan multiple stressrelated gen (C-jun kinase dan Heat shock protein) yang nantinya akan merusak sel. Walaupun aktivitas PKC lebih baik terjadi pada retina, ginjal, dan mikrovaskular dibanding saraf, dalam pathogenesis NDP dipercaya sebagai hasil dari efek pada aliran darah vaskular (Kaur, 2013). Peranan PKC kedepannya sebagai komplikasi diabetes yang diperoleh dari faktafakta, dikatakan bahwa aktivasi PKC vaskular menimbulkan vasokontriksi dan iskhemi jaringan. Aktivasi PKC memiliki bifungsional efek pada NDP. Rendahnya aktivitas PKC dapat mengganggu aliran darah pada saraf dan konduksi saraf pada NDP. Dimana aktivitas yang tinggi akan mengurangi fungsi saraf yang kemungkinan melibatkan regulasi neurokimiawi (Feldman dan Vincent, 2004) . 20 Gambar 2.3 Jalur PKC (Feldman dan Vincent, 2004) d. Jalur Hexosamine Jalur Hexosamine diaktivasi saat keluaran metabolisme glikolisis terakumulasi. Jalur ini menimbulkan perubahan pada ekspresi gen dan fungsi protein yang berkontribusi dalam patogenis komplikasi diabetes. Sebagai contoh, beberapa protein acylglycosilated yang diproduksi pada jalur ini merupakan faktor transkripsi yang meningkatkan protein yang berhubungan dengan komplikasi diabetes. Protein-protein ini sering merupakan inflamatory intermediates dan meliputi transformasi growth factor B1 yang berperan dalam nephropati dan plasminogen-activator inhibitor yang menghambat pembekuan darah normal, peningkatan komplikasi vaskular. Aktivasi dari jalur ini akan meningkatkan stres oksidatif saraf pada penyakit vaskular yang 21 menimbulkan oklusi mikrovaskular dan memproduksi ROS (Feldman dan Vincent, 2004). Jalur hexosamine berperan penting dalam DM tipe 2 melalui 2 mekanisme mayor. Nilai batas enzyme glutamine fructose-6 phosphateamidotransferase (GFAT) secara spesifik meningkat secara spontan pada otot binatang tikus dengan DM. Overekspresi dari GFAT ini menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Sebagai tambahan, aktivasi dari jalur hexosamine yang menginduksi stres oksidatif melalui generasi dari hidrogen peroksidasi intrasel. Beberapa jalur hexosamine disupresi dengan terapi antioksidan (Kaur, 2013). Gambar 2.4 Jalur Hexosamine (Feldman dan Vincent, 2004) 22 e. Stres Oksidatif Masing-masing dari keempat jalur diatas memiliki kontribusi untuk pembentukan formasi ROS. Reaksi-reaksi ini terjadi melalui jalur polyol yang meningkatkan stres oksidatif dengan menurunkan kofaktor yang berperan dalam ketahanan antioksidan. Melalui produk ROS dari formasi AGEs akan meningkatkan stres oksidatif. Aktivasi PKC menghasilkan penurunan aliran darah, angiogenesis, oklusi kapiler, inflamasi, dan ROS. Jalur hexosamine menimbulkan oklusi makro dan mikrovaskular, iskhemia, dan ROS. Pada neuron yang normal, produk ROS dikontrol, radikal bebas dari superoxide dan hidrogen peroksidase penting dalam fungsi sel normal. Superoxide diproduksi oleh rantai transfer elektron mithocondrial saat nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) dioksidasi menjadi NAD+ (Kaur, 2013). Saat jumlah glukosa berlebihan, terjadi kerusakan pada rantai transfer elektron mithokondria dengan menghambat sintesis adenosine triphosphatase. Hal ini menimbulkan lambatnya transfer elektron mitokondria, meningkatnya pelepasan elektron yang berperan untuk kombinasi dengan molekular oksigen untuk memproduksi superoxide serta menimbulkan aktivasi NADH yang menghasilkan superoxide sebagai produknya. Superoxide dimetabolisme menjadi hidrogen peroksidase dan air dengan bantuan enzim superoxide dismutase. Hidrogen peroksidase dapat dioksidasi dengan mudah menjadi komponen selular multipel dan secara difus menembus membran. Saat hidrogen peroksidase bereaksi dengan iron bebas, akan menghasilkan Hydroksill Radikal yang bereaksi dengan lipid. Lipid peroksidase bersifat toksik terhadap sel dan memediasi kematian sel. Sehingga 23 keluaran superoxide dan hidrogen peroksidase bersifat mematikan atau menimbulkan kerusakan pada saraf-saraf (Feldman dan Vincent, 2004). Peningkatan aktivitas pada jalur-jalur ini menimbulkan disfungsi endotel yang nantinya akan menimbulkan perubahan mikroangiopati dan selanjutnya akan menimbulkan hipoksia jaringan. Hasil selanjutnya pada kerusakan struktur saraf dan neuropati reversibel atau penurunan kecepatan hantar saraf (Tesfaye, 2004). 2.4.2 Gejala Klinis NDP NDP juga disebut sebagai distal symetrical polineuropathy yamg merupakan sindrom neuropati yang paling sering terlihat pada pasien DM. Sindrom yang lebih jarang terlihat yaitu cranial mononeuropathies dan focal neuropathies seperti proximal motor neuropathy. NDP dimulai dari jari-jari kaki dan secara gradual menjalar keatas. Saat mengenai ekstremitas bawah, NDP juga mulai mengenai ekstremitas atas dengan gejala menghilangnya gejala sensorik yang mengikuti bentuk distribusi tipikal “glove and stocking”. Defisit motorik yang signifikan secara umum tidak terjadi pada stadium awal NDP, walau pada pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memperlihatkan atrofi otot-otot kecil bagian bawah pada kaki sebagai gejala awal. Kelemahan otot simptomatik terlihat pada perkembangan penyakit selanjutnya (Tesfaye, 2004). 24 Gambar 2.5 Distribusi Stocking and Glove pada Neuropati Diabetik Perifer (Tanenberg, 2009). Gejala nyeri seperti rasa terbakar, kesemutan dan parestesi terlihat awal pada 30% pasien. Penting diingat bahwa gejala-gejala tersebut tidak sebagai indikator yang reliabel terhadap keparahan atau beratnya kerusakan saraf. Pasien dengan gejala nyeri yang berat memiliki defisit sensorik yang lebih sedikit dibandingkan pasien dengan gejala tanpa nyeri yang memiliki keluhan rasa tebal pada kaki (Llewelyn, 2003). Nyeri dan insensitif merupakan dua tanda klinis NDP. Gejala nyeri meliputi rasa terbakar, paresthesia (pins and needle’s), hiperesthesia, dan allodynia (nyeri kontak) dapat menimbulkan rasa stres dan biasanya memburuk pada malam hari. Nyeri ini dapat berkisar dari rasa kesemutan pada satu atau lebih jari-jari kaki hingga nyeri berat dan nyeri neuropati yang persisten. Pasien sering mendiskripsikan gejala mereka seperti terkena sengatan listrik yang mengenai kaki atau seperti berjalan pada pecahan kaca (Corblath, 2004., Tesfaye, 2004). 25 Diagnosis NDP biasanya tergantung dari gejala subjektif. Ekslusi penyebab neuropati diabetik seperti alkoholisme, defisiensi vitamin B12, endokrinopati, vaskulitis, paparan logam berat, penggunaan obat-obatan, dan keganasan merupakan hal penting karena penyebab-penyebab ini 10% terjadi pada kasus-kasus neuropati pada penderita DM. Saat gejala tanpa tanda, keparahan dan gejala nyeri dapat dinilai dengan visual analogue scale atau numerical rating scale (0, tidak nyeri; 10 nyeri paling hebat) (Dobretsov dkk, 2007). Tabel 2.2 Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic Peripheral Neuropathy (Tanenberg, 2009) 26 Deteksi awal NDP sangat penting untuk mendapatkan pengobatan lebih awal dan sebagai pencegahan untuk kerusakan selanjutnya. Pada praktek klinisnya, deteksi awal dimulai dengan anamnesis riwayat penyakit dan evaluasi gejala sensorik dan motorik. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi pada kaki, evaluasi reflek pergelangan kaki dan lutut, pemeriksaan sensorik meliputi pemeriksaan vibrasi, rasa raba, dan pin prick sensation. Sistem skoring klinis dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan neuropati dengan menggunakan gejala dasar, reflek, dan skor sensorik, seperti Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004). Tabel 2.3 Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004). Symptom Scores Reflex Scores Sensory Scores 0-6 0-8 0-5 Foot pain Knee reflexes Pinprick Numbness Ankle reflexes Temperature Tingling (both sides) Light touch Weakness Vibration Ataxia Position sense Upper limb symptoms Maximum score = 19 0-6 = no neuropathy; 6-8 = mild neuropathy: 9-11 = moderate neuropathy ≥ 12 = severe neuropathy Dalam diagnosis klinis, terdapat beberapa kuisioner gejala untuk menskrining kelainan ini. Michigan Neuropathy Screening Instrument dengan menggunakan 15 pertanyaan dapat menilai gejala dan defisit serta efeknya terhadap kualitas hidup pasien. Hal yang sama juga dapat dinilai dengan suatu skor yang menilai tanda klinis, 27 yaitu Neuropathy Disability Score (NDS). Penilaian ini sangat mudah dikerjakan dan hanya memerlukan waktu 1 hingga 2 menit. Skor maksimal untuk defisit neuropati adalah 10 yang mengindikasikan hilangnya seluruh modalitas sensorik dan tidak adanya reflek (Boulton, 2005). Tabel 2.4 The Modified Neuropathy Disability Score (Boulton, 2005) Salah satu modifikasi dari NDS adalah Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS). NDP dan stadium NDP ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik kuantitas disertai pemeriksaan hantaran saraf. Parameter klinis yang dipilih dalam MDNS 28 memiliki prediksi yang tinggi terjadinya neuropati diabetika dan berkorelasi dengan NDS, seperti tes vibrasi, fungsi otonom dan konduksi saraf (Feldman,1994). Tabel 2.5 Stadium NDP Berdasarkan MDNS (Feldman, 1994) Stadium 0 : Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaran saraf abnormal < 2, atau tidak ada neuropati. Stadium 1 : Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas pemeriksaan hantaran saraf (neuropati ringan). Stadium 2 : Skor MDNS < 29, dan 3-4 abnormalitas dari pemeriksaan hantaran saraf (neuropati sedang). Stadium 3 : Skor MDNS < 46, dan 5 atau lebih abnormalitas hantaran saraf (neuropati berat). Alat lainnya yang mudah dikerjakan untuk skrining adalah Semmes-Weinstein monofilament (SWMF). Pemeriksaan ini menggunakan monofilamen yang terdiri dari filamen nilon yang dapat menilai tekanan persepsi saat dilakukan tekanan yang gentle. SWMF merupakan suatu tes yang mudah digunakan sebagai skrining dalam mengidentifikasi pasien NDP. Pemeriksaan ini dikatakan abnormal bila pasien tidak dapat merasakan 5,07/10 g SWMF pada lebih dari 4 tempat dari 10 tempat yang diperiksa (Boulton, 2005). Quantitative Sensory Testing (QST) menggunakan suatu respon terhadap stimuli seperti tekanan, vibrasi, dan suhu untuk memeriksa ada tidaknya neuropati. 29 QST ini makin sering digunakan untuk mengenal kehilangan sensasi dan iritabilitas pada saraf yang berlebihan (Kolegium, 2009) Pemeriksaan elektrodiagnostik merupakan pemeriksaan yang sensitif, spesifik, dan tervalidasi dalam menegakkan diagnosis polineuropati. Evaluasi elektrodiagnostik pada umunya meliputi pemeriksaan konduksi saraf atau pemeriksaan kecepatan hantar saraf dan Electro Myo Graphy (EMG) jarum. Dalam mendiagnosis polineuropati, pemeriksaan kecepatan hantar saraf dapat memberikan informasi yang penting. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf ini tidak invasif, terstandarisasi, dan merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk pemeriksaan fungsional jaringan saraf sensoris dan motoris (Dobretsov dkk, 2007). Pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik merupakan pemeriksaan konduksi saraf yang paling sensitif untuk NDP. Pada pasien asimptomatik dengan DM, diperoleh 50% pasien dengan penurunan amplitudo Sensory Nerve Action Potential (SNAP) dan kecepatan hantar saraf dan lebih dari 80% pasien asimptomatik memiliki abnormalitas konduksi sensorik. Abnormalitas biasanya pertama kali terlihat pada bagian distal ekstremitas bawah (seperti saraf suralis dan plantaris). Pada pasien dengan neuropati dengan gangguan pada SNAP, terlihat adanya latensi distal yang memanjang dan kecepatan hantar saraf lambat. Hilangnya H-reflex atau memanjangnya latensi dapat diperkirakan sebagai tanda awal dari penyakit ini. Abnormalitas pada konduksi sensorik sentral dapat terlihat pada beberapa pasien yang terlihat dari adanya pemanjangan konduksi sentral dari brainstem dan jalur 30 somatosensorik. Quantitative sensory testing memperlihatkan adanya penurunan persepsi vibrasi dan termal (Tesfaye, 2004). Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik memperlihatkan hal yang serupa pada jaringan saraf sensorik, walaupun saraf motorik jarang telibat. Reduksi pada kecepatan hantar saraf juga terlihat serupa pada jaringan sensorik. Latensi distal motorik terlihat adanya sedikit pemanjangan, terutama pada ekstremitas bawah. Demielinisasi segmental yang ditandai dengan adanya blok konduksi dan atau temporal dispersion terjadi kurang dari 10% pasien NDP. Pemeriksaan F-Wave memperlihatkan perlambatan difus saraf motorik. Parameter F-Wave standar dari latensi minimal dan kronodispersi merupakan parameter yang paling sensitif dan bernilai pada pasien dengan subclinical peripheral neuropathy (Tesfaye, 2004). Secara umum, derajat abnormalitas konduksi saraf motorik dan sensorik secara proporsional berhubungan dengan derajat keparahan dari penyakit dan buruknya kontrol gula darah pasien. Pemeriksaan konduksi saraf peronealis dan medianus biasanya berkorelasi dengan derajat keparahan status klinis (Tesfaye, 2004). Pemeriksaan Elektromiografi jarum pada pasien NDP memperlihatkan derajat potensial fibrilasi yang bervariasi dan positive sharp wave pada bagian distal otot ekstremitas bawah, dan pada pasien NDP yang telah berlangsung lama terlihat hal yang sama pada ektremitas atas. Terlihat pula adanya abnormalitas dari penurunan Motor Unit Action Potential (MUAP) recruitment dan peningkatan potensial amplitudo dan durasi. Pada single-fiber electro myo graphy pada pasien NDP 31 memperlihatkan adanya penurunan jitter dan densitas fiber yang konsisten dengan kerusakan aksonal (Moscu dan Pereanu, 2010) Pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium yang harus diperiksa untuk menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati, dimana semua hasil laboratorium harus normal kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui (undiagnosed diabetes). Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan seperti: eritrosit, leukosit, dan hitung jenis, elektrolit, gula darah puasa dan HbA1c, vitamin B-12 dan kadar asam folat, thyroid-stimulating hormone dan tiroksin, Laju Endap Darah (Kolegium, 2009). Pemeriksaan Imajing juga dilakukan untuk menyingkirkan kausa neuropati lainnya, seperti MRI servikal, torakal, dan/ atau lumbal untuk menyingkirkan kausa sekunder dari neuropati, CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternatif untuk menyingkirkan lesi kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal. MRI kepala dapat dilakukan untuk menyingkirkan aneurisma intrakranial, lesi kompresi dan infark pada kelumpuhan nervus okulomotorius (Tesfaye dkk, 2010). Penilaian keparahan pada NDP dinilai dengan pemeriksaan kwantitatif dan obyektif sebagai kriteria minimal dalam diagnosis NDP . Jika nilai kecepatan hantar saraf tidak dapat dinilai, sebaiknya dilakukan konfirmasi diagnosis NDP hanya diagnosis posible atau probable. Stadium NDP berdasarkan Derajat keparahan menurut Dyck adalah (Tesyafe dkk, 2010): 1. Stadium 0 : tidak ada abnormalitas pada kecepatan hantar saraf 32 2. Stadium1a: Kecepatan hantar saraf abnormal tanpa ada gejala dan tanda 3. Stadium 1b: Kecepatan hantar saraf abnormal seperti pada grade 1a dengan tanda neurologis tipikal untuk NDP tipikal tanpa gejala neuropati 4. Stadium 2a : Kecepatan hantar saraf abnormal dengan atau tanpa tanda dan dengan gejala neuropati tipikal 5. Stadium 2b: Kecepatan hantar saraf abnormal, seperti grade 1a, dengan derajat kelemahan ankle dorsofleksi sedang (50%) dengan atau tanpa tanda neuropati. Definisi kriteria minimal NDP , yaitu (Tesfaye dkk, 2010): 1. Possible NDP. Adanya tanda atau gejala dari NDP, meliputi beberapa gejala, seperti penurunan sensasi, adanya gejala positif neuropati sensorik (contoh: asleep numbness, prickling atau stabbing, rasa terbakar atau aching pain) yang predominan pada jari-jari kaki, kaki, atau tungkai; atau tanda adanya penurunan sensasi yang simetris pada bagian distal atau penurunan atau tidak adanya reflek pergelangan kaki. 2. Probable NDP. Terlihat adanya kombinasi dari tanda dan gejala dari neuropati meliputi dua atau lebih gejala-gejala neuropati seperti penurunan sensasi bagian distal, atau penurunan atau tidak adanya reflek pergelangan kaki. 3. Confirmed NDP. Terlihat adanya abnormalitas pada kecepatan hantar saraf dan suatu tanda atau gejala atau tanda dari NDP. Jika kecepatan hantar saraf normal, dapat dilakukan pemeriksaan small fiber neuropathy yang telah tervalidasi. 33 4. Subclinical NDP. Tidak terlihat adanya tanda dan gejala neuropati yang dikonfirmasi dengan adanya abnormalitas dari kecepatan hantar saraf atau pemeriksaan Small fiber neuropathy yang telah tervalidasi 2.4.3 Histopatologi Biopsi kulit/saraf terutama untuk penelitian (research). Biopsi saraf suralis pada saat ini jarang dilakukan lagi, karena dianggap prosedur yang invasif dan tidak menyenangkan bagi pasien dan mahal serta adanya masalah bila dilakukan berulang kali dan juga karena tidak ada patokan untuk prediksi dari abnormalitas yang ditemukan. Pada saat ini juga ditemukan cara pemeriksaan baru seperti Skin Punch Biopsy dan Immunohistochemical Staining dari saraf perifer, namun belum diketahui hasilnya secara pasti (Tesfaye dkk, 2010). Biopsi saraf memperlihatkan suatu degenerasi aksonal dan demyelinisasi segmental. Degenerasi aksonal lebih sering terjadi pada bagian distal. Mikroangiopati juga sering terlihat yang ditandai dengan hiperplasia epineural dan endoneural arteriol serta kapiler. Sel-sel inflamasi terkadang terlihat pada biopsi yang predominan sel T CD8+. Biopsi kulit memperlihatkan adanya suatu reduksi dari small myelinated epidermal jaringan saraf (Moscu dan Pereanu, 2010) 34 Gambar 2.6 Biopsi Nervus Suralis pada Pasien Diabetes dengan dan Tanpa NDP (Tesfaye, 2004) Gambar 2.7 Defek Mikrovaskular Pembuluh Darah Endoneurial pada Penderita Diabetes dengan dan tanpa NDP (Tesfaye, 2004). 35 Gambar 2.8 Abnormalitas Mikrovaskular Pembuluh Darah Epineural pada Penderita Diabetes dengan dan tanpa NDP (Tesfaye, 2004). 2.5 Hubungan Hiperglikemi dengan NDP Hiperglikemi yang berkepanjangan merupakan dasar terjadinya perkembangan ND. Hal ini terlihat dari hasil penelitian prospektif randomisasi yang dilakukan oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yaitu adanya penurunan yang signifikan dari perkembangan dan progresifitas dari klinis neuropati, kecepatan hantar saraf motorik, dan disfungsi otonom pada pasien diabetes tipe 1 dengan kontrol gula darah yang optimal (Tesfaye, 2004). Glukosa uptake pada jaringan saraf perifer terjadi secara insulin independen sehingga pelepasan atau hasil akhir glukosa dihubungkan dengan jalur polyol yang nantinya akan diubah menjadi sorbitol dan fruktose oleh enzim aldose reductase dan sorbitol dehidrogenase. Sel membran saraf dikatakan relatif impermeabel terhadap sorbitol dan fruktose, yang nantinya akan berakumulasi pada jaringan saraf. Fruktose 36 dan sorbitol secara osmotik aktif menimbulkan peningkatan konsentrasi air pada jaringan saraf. Kedepannya akan terjadi oksidasi atau reduksi sel dengan penurunan kadar nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dan gluthatione. Proses ini akan menimbulkan kaskade seperti penurunan aktivitas membran Na-K ATPase, akumulasi sodium intra aksonal yang menyebabkan penurunan kecepatan hantar saraf dan perubahan struktural dari jaringan saraf. Kadar mioinositol menurun karena peningkatan dari glukosa dan sorbitol untuk uptake mioinositol pada jaringan dan sel-sel. Penurunan NADPH yaitu suatu kofaktor untuk enzyme nitric oxide synthase, penurunan formasi nitric oxide menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan kegagalan suply darah ke jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2004). Pada keadaan hiperglikemia, glukosa dapat incorporated non-enzymatically menjadi protein dengan suatu unregulated glycation reaction. Reaksi glycation ini terjadi melalui dua langkah untuk formasi HbA1c. Langkah pertama adalah formasi PreA1c yang merupakan reaksi yang cepat dan reversibel. Langkah kedua lebih pelan dan bersifat ireversibel dengan formasi HbA1c. Formasi Advanced Glycation End Products (AGEs) meningkat oleh karena konsentrasi glukosa yang tinggi dan umur. Pasien dengan diabetes lama memiliki kadar minimal dua kali lebih tinggi dari individu normal. Nilai glycation dengan fruktosa dikatakan tujuh atau delapan kali dari dengan glukose. Glycation dari protein mielin juga berkontribusi dalam kerusakan kecepatan hantar saraf. AGEs juga terlihat pada jaringan saraf perifer yang juga mempengaruhi transport aksonal. AGEs juga dipercaya sebagai penyebab kerusakan jaringan karena reaktivitas dan protein cross linking (Reddy dkk, 2001). 37 Radikal Bebas dapat merusak jaringan saraf melalui efek toksik langsung atau mungkin disebabkan oleh penghambatan produksi Nitric Oxide (NO) oleh endotel, yang pada akhirnya menurunkan aliran darah ke jaringan saraf. Pada jaringan pasien Diabetes, generasi radikal bebas dapat dibentuk melalui proses non enzymatic glycation dan jalur polyol, dimana kemampuan untuk menetralisir radikal bebas akan menurun karena penggunaan NADPH sehingga meningkatkan aktivitas aldose reductase (Head, 2006). Kadar gamma-linolenic acid (GLA) pada jaringan saraf akan menurun akibat dari defisiensi insulin dan hiperglikemia menghambat aktivitas d-6-desaturase enzyme. GLA merupakan prekusor prostanoid meliputi prostasiklin yaitu suatu vasodilator yang poten. Defisiensi dari GLA ini akan menimbulkan penurunan aliran darah saraf penderita diabetes (Feldman dan Vincent, 2004). Endoneural pembuluh darah tersumbat karena adanya hiperplasia dan pembengkakan pada sel endotel, penebalan dinding pembuluh darah dengan debris dari degenerative pericytes seperti suatu basement membrane material, dan oklusi lumen kapiler oleh fibrin atau agregasi platelet. Beberapa defek lainnya pada produksi NO, peningkatan “quenching” NO oleh AGE pada dinding pembuluh darah, defisiensi prostasiklin, dan peningkatan produksi endothelin-1 yaitu suatu peptida vasokonstriktor poten bertanggung jawab dalam peningkatan vasokonstriksi yang dapat menimbulkan iskhemia jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2024). Jaringan saraf perifer memiliki reseptor untuk Nerve Growth Factor (NGF), dimana NGF ini bertanggung jawab dalam regenerasi saraf. Konsentrasi NGF 38 sirkulasi menurun pada pasien DM. Pengobatan dengan NGF dapat meningkatkan fungsi jaringan saraf perifer. Insulin like growth factor dan neurotrophin -3 juga dapat membantu dalam regenerasi jaringan saraf (Bhadada dkk, 2001). Gambar 2.9 Mekanisme Hiperglikemia menimbulkan Degenerasi Neuron (Feldman dan Vincent, 2004) BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir HbA1c tinggi (≥ 7%) merupakan salah satu parameter untuk menilai tidak terkontrolnya DM tipe 2 yang akan menimbulkan kondisi hiperglikemia kronik. Kondisi ini akan menstimulasi 4 jalur, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui: formasi glycation end product (interaksi AGE-RAGE), jalur hiperaktivitas polyol, stres oksidatif, dan aktivasi protein kinase C (PKC). Peningkatan aktivitas jalur-jalur ini akan menurunkan pembentukan NO dan meniadakan efek NO yang berakibat terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel selanjutnya akan menimbulkan keadaan mikroangiopati yang menimbulkan hipoksia saraf. Kondisi mikroangiopati juga diperberat oleh DM itu sendiri yang menimbulkan rigiditas Red Blood Cell (RBC), peningkatan koagulabilitas, dan peningkatan reaktivitas platelet. Hasil akhirnya akan menimbulkan kerusakan struktural yang berdampak menurunkan kecepatan hantar saraf (KHS) dan sebagai penyebab terjadinya NDP. Bagan di bawah ini menunjukkan mekanisme yang mungkin terjadi dan menjadi landasan berpikir mengenai terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2. 39 40 DM (Durasi) Hiperglikemia (HbA1C ≥ 7%) Peningkatan AGE-RAGE Peningkatan Aktivitas Jalur polyol Meniadakan Efek NO Genetik DAG Peningkatan Formasi Radikal Bebas Peningkatan Aktivitas PKC Penurunan Pembentukan NO Disfungsi endotel Rigiditas RBC Peningkatan Koagulabilitas Mikroangiopati DM Peningkatan Reaktivitas Platelet Hipoksia Saraf Kerusakan Struktural Neuropati Diabetik Perifer Keterangan: AGEs: Advanced Glycation End Products DAG: Diacylglycerol DM: Diabetes Melitus HbA1c : Glycocylated Hemoglobin NO: Nitric Oxide RBC: Red Blood Cell PKC: Protein Kinase C Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir Penurunan Kecepatan Hantar Saraf 41 3.2 Konsep Atas dasar rumusan masalah dan kerangka berpikir maka disusun suatu konsep penelitian sebagai berikut: DM tipe 2 HbA1c ≥ 7% Infeksi Keganasan Penyakit hati kronik Usia Obesitas Penyakit ginjal kronik Neuropati Diabetik Perifer (NDP) Dislipidemia Lama menderita DM Toksik Jenis Pengobatan DM Neuropati jebakan Penggunaan alkohol Obat-obatan Gambar 3.2 Konsep penelitian Keterangan: = dikendalikan pada tahap analisis data = dikendalikan pada tahap rancangan penelitian = variabel yang akan diteliti 42 Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusunlah konsep penelitian sebagai berikut: 1. Neuropati Diabetik Perifer (NDP) dapat terjadi pada penderita DM tipe 2. Perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi NDP pada penderita DM. DM tipe 2 dengan kadar HbA1c yang tinggi merupakan faktor risiko NDP pada penderita DM tipe 2. 2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya NDP pada penderita DM, antara lain usia, obesitas, lama menderita DM, dan jenis pengobatan DM selanjutnya dikendalikan pada tahap analisis data. Faktor risiko lainnya yaitu: infeksi, keganasan, penyakit hati kronik, penyakit ginjal kronik, toksik, penggunaan alkohol, obat-obatan, dan neuropati jebakan dikendalikan pada tahap rancangan penelitian. 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka disusun hipotesis penelitian yaitu: DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko Neuropati Diabetik Perifer di RSUP Sanglah Denpasar. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko Neuropati Diabetik Perifer (NDP) di RSUP Sanglah. HbA1c Normal NDP (+) (Kasus) HbA1c Tinggi DMtipe 2 HbA1c Normal NDP (-) (Kontrol) HbA1c Tinggi Keterangan: HbA1c: Glycosylated Hemoglobin Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol NDP: Neuropati Diabetik Perifer Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol 43 44 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah. Penelitian dimulai dari April hingga Agustus 2014, mulai dari persiapan, pengumpulan data hingga penelitian selesai. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian terhadap faktor risiko dalam lingkup neurologi, khususnya bidang saraf tepi. 4.4 Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.1 Populasi target Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 yang mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUP Sanglah. 4.4.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar antara periode April - Agustus2014. 4.4.3 Kriteria sampel Semua penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.4.3.1 Kriteria kasus Kriteria inklusi pada kelompok kasus dalam penelitian ini adalah: 45 1. Penderita yang telah terbukti menderita DM tipe 2 dan NDP. 2. Penderita berusia 20-65 tahun. 3. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel penelitian (informed consent). 4.4.3.2 Kriteria kontrol Kriteria inklusi pada kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah: 1. Penderita DM tipe 2 tanpa NDP. 2. Penderita berusia 20-65 tahun. 3. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel penelitian (informed consent). 4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol Kriteria eksklusi pada kelompok kasus dan kontrol dalam penelitian ini adalah: 1. Penderita dengan riwayat penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, dislipidemia. 2. Penderita dengan infeksi HIV,Morbus Hansen. 3. Penderita dengan keganasan yang dapat menyebabkan neuropati 4. Penderita neuropati yang sedang mengkonsumsi obat-obatan seperti anti retroviral, obat-obat kemoterapi, dan estrogen. 5. Penderita dengan riwayat paparan toksin termasuk penggunaan alkohol, pestisida, merkuri, organofosfat, dan timbal. 6. Penderita dengan kemungkinan gangguan pada sistem saraf tepi lainnya, seperti penyakit neuropati jebakan (Carpal Tunnel Syndrome, Cervical Root Syndrome) 46 4.4.4 Besar sampel Penghitungan besar sampel (n) pada penelitian ini ditetapkan berdasarkan rumus (Dahlan, 2009): n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)² (P1-P2)² α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96 : kesalahan tipe II, ditetapkan 10% sehingga Z= 1,28 P : proporsi total = ½ (P1+P2) P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti Q1 : 1- P1 Q2 : 1- P2 Proporsi NDP pada penderita DM dengan kadar HbA1c tinggi adalah 0,38 (Purwata, 2010). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1 = n2 = 42,78. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 43 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 86 orang. 4.4.5 Teknik pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non random jenis consecutive yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria eligibilitas dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. 47 4.5 Variabel Penelitian 1. Variabel tergantung adalah NDP. 2. Variabel bebas adalah DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi. 3. Variabel kendali adalah usia, obesitas, lamanya menderita DM dan jenis pengobatan DM. 4.6.1 Definisi Operasional Variabel 1. Diabetes Melitus tipe 2 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diagnosis DM dapat ditegakkan jika ada keluhan klasik, yaitu: poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau adanya gejala klasik disertai pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (PERKENI,2011). Data didapatkan dari rekam medis pasien. Dikelompokkan menjadi ya dan tidak sesuai skala nominal dikotomi 2. Neuropati Diabetik Perifer ditegakkan dengan pemeriksaan MDNS (Lampiran 4). Data disajikan berskala nominal dikotomi: a. Ya: MDNS memenuhi kriteria stadium 1, 2, 3 b. Tidak: MDNS memenuhi kriteria stadium 0 (Feldman,1994). 3. HbA1c merupakan bentuk glikosilasi dari hemoglobin yang dapat digunakan sebagai indikator dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada penderita DM. Kadar HbA1c digunakan sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Kadar HbA1c merupakan 48 konsentrasi glukosa plasma yang proporsional dalam waktu 4 minggu hingga tiga bulan (PERKENI,2011). HbA1c diperiksa menggunakan metode Turbidimetri, alat automatic autoanalyzer (Cobas Integra 400 Plus analyzer dari Roche). Data disajikan berskala kategorikal nominal dikotomi, menjadi: a. Normal: HbA1c <7% b. Tinggi : HbA1c ≥ 7% 4. Umur adalah umur penderita pada saat dilakukan wawancara sesuai dengan yang tercatat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Data disajikan berskala numerik. 5. Umur sampel yang dipilih adalah memenuhi kriteria inklusi 20-65 tahun dengan pertimbangan sebagian besar pasien DM tipe 2 berumur > 20 tahun dan menghindari sampel pasien DM tipe 1 yang biasanya berumur < 20 tahun dan bila umur pasien < 20 tahun, lamanya menderita sakit belum cukup untuk menimbulkan gejala-gejala NDP. Sedangkan bila umur pasien > 65 tahun kemungkinan pasien sudah menderita beberapa penyakit lain yang akan berperan sebagai perancu (confounding factor). 6. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita berdasarkan yang tercatat pada KTP, yaitu laki-laki dan perempuan. Data berskala kategorikal nominal dikotomi. 7. Obesitas dihitung berdasarkan Indeks massa tubuh yang dapat dihitung dengan rumus : IMT = Berat Badan (kilogram)/Tinggi Badan (meter2) (PERKENI, 2011). Data disajikan berskala nominal dikotomi. a. Obesitas: IMT ≥ 25,0 49 b. Tidak Obesitas : IMT < 25,0 8. Lama menderita DM adalah waktu dalam hitungan tahun sejak penderita didiagnosis menderita DM yang diketahui dari rekam medis atau keterangan keluarga hingga saat ini. Data disajikan berskala nominal dikotomi dan dibagi menjadi: a. Lama menderita DM < 5 tahun b. Lama menderita DM ≥ 5 tahun(Wheeler dkk, 2007) 9. Jenis pengobatan DM adalah nama obat anti diabetik yang digunakan saat ini. Data disajikan berskala nominal dikotomi dan dibagi menjadi: a. Insulin b. Oral anti diabetik (OAD) 10. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai penderita yang sudah terdiagnosis gagal ginjal kronis (GGK) atau diduga GGK; mengalami abnormalitas struktural atau fungsional ginjal yang menetap dalam minimal 3 bulan dan dimanifestasikan oleh kerusakan ginjal, yang terdeteksi sebagai ekskresi albumin urin abnormal atau nilai GFR di bawah 60 ml/menit/1,73m2 (Bakris dan Bomback, 2011). Data diperoleh dari wawancara, pemeriksaan penunjang, dan catatan medis. 11. Penyakit hati kronis didefinisikan sebagai suatu kondisi medis yang ditandai dengan pengrusakan jaringan hati yang bertahap seiring dengan perjalanan penyakit, yang dapat menyebabkan fibrosis dan sirosis hati. Data diperoleh dari klinis dan catatan medis. 12. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak yang ditandai oleh peningkatan atau penurunan lemak plasma. Kelainan fraksi lemak yang 50 utama adalah kenaikan kadar kolesterol total > 200mgdL dan atau kolesterol LDL > 130 mg/dL dan atau penurunan HDL < 35 mg/dL dan atau kenaikan trigliserida > 200 mg/dL (Soegondo dan Gustaviani, 2006). Data diperoleh dari wawancara, pemeriksaan penunjang, dan catatan medis. 13. Penderita HIV adalah penderita dengan gejala klinis infeksi HIV dan hasil pemeriksaan serologis HIV menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan HIV dilakukan dengan rapid test dan penderita dinyatakan menderita HIV bila didapatkan hasil reaktif pada pemeriksaan rapid test tersebut (Depkes, 2009). Data diperoleh dari wawancara, pemeriksaan penunjang, dan catatan medis. 14. Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi yang ditandai dengan hipestesi atau anestesi, setelah itu menyerang kulit yang ditandai oleh gambaran makula hipopigmentasi yang kurang atau tidak rasa, dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Data diperoleh dari klinis dan catatan medis. 15. Neuropati karena keganasan adalah penderita dengan keganasan yang dapat menyebabkan neuropati ditentukan berdasarkan anamnesis, heteroanamnesis, dan catatan medis. 16. Neuropati karena obat-obatan adalah penderita neuropati yang sedang mengkonsumsi obat-obatan seperti anti retroviral, obat kemoterapi, danestrogen, setidaknya selama 3 bulan. Data diperoleh dari anamnesis dan catatan medis. 51 17. Neuropati karena paparan toksin adalah penderita dengan riwayat paparan toksin termasuk paparan bahan- bahan yang mengandung pestisida, merkuri, organofosfat, dan timbal. Data diperoleh dari anamnesis. 18. Neuropati jebakan, seperti CTS, CRS ditentukan berdasarkan klinis dan catatan medis. 19. Peminum alkohol adalah subyek yang minum minuman mengandung alkohol >1 gelas/hari untuk perempuan dan >2 gelas/hari untuk laki-laki secara regular selama lebih dari 1 tahun terakhir (Van Horn dkk., 2010). Data diperoleh dari wawancara dari pasien dan keluarga. 20. Individu DM tipe 2 tanpa neuropati diabetik perifer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang menderita DM tipe 2 tapi tidak mempunyai tanda, gejala, dan pemeriksaan yang menunjukkan neuropati diabetik perifer. 4.7 Alat Pengumpul Data Data primer diperoleh dari penderita melalui wawancara menggunakan kuesioner dan lembar pengumpulan data yang digunakan untuk mencatat data dasar karakteristik penderita dari catatan medis. Alat diagnostik yang digunakan untuk menunjang diagnosis suatu NDP adalah kuisioner MDNS dan ENMG yang terdapat di poliklinik saraf RSUP Sanglah merek Dantec keluaran tahun 1992 dengan perangkat lunak ENMG Medtronic. Penderita dilakukan pemeriksaan NCV, yang terdiri dari pemeriksaan amplitudo dan KHS sensorik serta motorik pada saraf medianus, ulnaris, peroneus, dan suralis. 52 Kadar HbA1c diperiksa memakai metode Turbidimetri, alat automatic autoanalyzer (Cobas Integra 400 Plus analyzer dari Roche). Pemeriksaan HbA1c yang digunakan adalah HbA1c dalam 3 bulan terakhir. 4.8 Prosedur Penelitian Penderita DM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, maka dilakukan wawancara terstruktur dengan kuesioner. Data yang diperoleh ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan hasil penelitian. 53 Populasi target: penderita DM tipe 2 Populasi terjangkau: penderita DM tipe 2 yang rawat jalan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Kriteria inklusi dan eksklusi MDNS NDP (-) NDP (+) HbA1c normal HbA1c tinggi HbA1c normal Analisis Data Laporan Hasil Keterangan: HbA1c: Glycosylated Hemoglobin MDNS: Michigan Diabetic Neuropathy Score NDP: Neuropati Diabetik Perifer Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian HbA1c tinggi 54 4.9 Pengolahan dan Analisis Data Analisis dan penyajian data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif untuk melihat sebaran usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, obesitas, lama menderita DM, jenis pengobatan DM, dan stadium NDP pada kelompok kasus dan kontrol. 2. Uji normalitas pada data yang berskala numerik meliputi usia. 3. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat kemaknaan dengan p dan hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio (OR) dengan confidence interval (CI) 95%. 4. Analisis multivariat regresi logistik untuk mencari faktor independen. Seluruh data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan analisis statistik. BAB V HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 86 orang penderita DM tipe 2 yang diperiksa di Poliklinik Saraf dan Poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2014. Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang kasus kontrol untuk mengetahui kadar HbA1c sebagai faktor risiko NDP dengan uji Chi-Square sebagai uji hipotesis. 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Total 86 orang dijadikan sampel dalam penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah 43 pasien DM dengan NDP dan kelompok kontrol adalah 43 pasien DM tanpa NDP. Seluruh subjek penelitian telah menandatangani informed consent. Subjek penelitian kemudian dilakukan pemeriksaan MDNS dan HbA1c. Karakteristik subjek penelitian meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, obesitas, lama menderita DM, jenis pengobatan anti diabetik, dan stadium NDP. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan stadium NDP dapat dilihat pada tabel dibawah ini: 55 56 Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Variabel NDP (+) NDP (-) N % N % 56,05 ±6,34 51,6 ±8,56 -Laki-laki 22 51,2 22 51,2 -Perempuan 21 48,8 21 48,8 -SD 12 27,9 9 21,0 -SMP 6 14,0 4 9,3 -SMA 15 34,9 20 46,5 -Diploma/Perguruan Tinggi 10 23,3 10 23,3 -PNS 10 23,3 9 20,9 -Pegawai Swasta 7 16,3 6 14,0 -Wiraswasta 6 14,0 10 23,3 -Buruh/Tani 8 18,6 2 4,7 -Lain-lain 12 27,9 16 37,2 -Stadium 0 0 0 43 100 -Stadium 1 5 11,6 0 0 -Stadium 2 23 53,5 0 0 -Stadium 3 15 34,9 0 0 Umur (rerata±SD) Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Stadium NDP Hasil analisis tabel 5.1 didapatkan rerata umur pada kelompok kasus adalah 56,05 (SD±6,34) tahun, dimana umur terendah 43 tahun dan tertinggi 65 tahun dengan tingkat kepercayaan 95% berada diantara 54,1-57,9 tahun. Pada kelompok 57 kontrol diperoleh rerata umur 51,60 (SD±8,56) tahun, dimana umur terendah 33 tahun dan tertinggi 65 tahun dengan tingkat kepercayaan 95% berada diantara 48,9 sampai 54,2 tahun. Pada penelitian ini diperoleh subjek penelitian terdiri dari 44 laki-laki dan 42 perempuan. Persentase laki-laki pada kelompok kasus dan kontrol sebesar 51,2%. Seluruh subjek menjalani pendidikan formal mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi dengan persentase tertinggi adalah tingkat pendidikan SMA pada kelompok kasus sebesar 34,9% dan pada kelompok kontrol sebesar 46,5%. Latar belakang pekerjaan subjek penelitian bervariasi, yaitu pegawai negeri sipil, pegawai swasta, wiraswasta, buruh/tani. Subjek penelitian terbanyak tidak bekerja yang terdiri dari pensiunan dan ibu rumah tangga dengan persentase kelompok kasus 37,2% dan kelompok kontrol 27,9%. Penderita DM dengan NDP dibagi menjadi 3 stadium dan pada penelitian ini didapatkan persentase terbanyak menderita DM dengan NDP stadium 2 sebesar 53,5%. 5.2 Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2 Hubungan kadar HbA1c sebagai variabel bebas dengan NDP sebagai variabel tergantung dinilai dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Didapatkan nilai Odds ratio (OR) dengan interval kepercayaan 95%. Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas (p) < 0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.2 berikut. 58 Tabel 5.2 Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2 Kadar HbA1c NDP (+) NDP (-) OR n (%) n (%) IK 95% Normal 12 (27,9%) 28(65,1%) 4,82 Tinggi 31 (72,1%) 15(34,9%) (1,931-12,041) P 0,001* __________________________________________________________________ *bermakna secara statistik Penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi yang mengalami NDP didapatkan sebanyak 31 orang (72,1%) dan tanpa NDP sebanyak 15 orang (34,9%) dengan OR 4,82; IK 95% (1,931-12,041). Pada penelitian ini diperoleh bahwa DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi secara signifikan meningkatkan risiko 4,82 kali untuk terjadinya NDP dibandingkan DM dengan kadar HbA1c normal. 5.3 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2 Faktor- faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian NDP adalah umur, obesitas, lama menderita DM dan jenis pengobatan DM. Hubungan keempat variabel tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Didapatkan nilai Odds Ratio (OR) dengan interval kepercayaan 95%. Kemaknaan penelitian ini 59 ditetapkan pada nilai probabilitas (p) < 0,05. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain dengan NDP pada Penderita DM tipe 2 Umur Obesitas Lama Menderita DM Jenis Pengobatan DM NDP (+) NDP (-) OR n (%) n (%) IK 95% <54 tahun 13 (30,2%) 27 (62,8%) 3,89 ≥54 tahun 30 (69,8%) 16 (37,2%) (1,587-9,557) Ya 15 (48,4%) 16 (51,6%) 1,10 Tidak 28 (51%) 27 (49%) (0,458-2,669) <5 tahun 12 (31,6%) 26 (68,4%) 3,95 ≥5 tahun 31 (64,6%) 17 (35,4%) (1,599-9,76) Insulin 34 (79,1%) 27 (62,8%) 0,44 OAD 9 (20,9%) 16 (37,2%) (0,171-1,167) P 0,002* 0,822 0,002* 0,96 *bermakna secara statistik Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan rerata umur seluruh subjek penelitian yaitu 53,9 (SD±7,95) tahun. Penderita DM berusia ≥54 tahun yang menderita NDP sebanyak 30 orang (30,2%) dan tanpa NDP sebanyak 16 orang (37,2%) dengan OR 3,89; IK 95% (1,587-9,557). Pada penelitian ini didapatkan bahwa penderita DM tipe 2 dengan umur ≥54 tahun secara signifikan 60 meningkatkan risiko 3,89 kali untuk terjadinya NDP dibandingkan penderita DM tipe 2 dengan umur <54 tahun. Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan pada subjek penelitian untuk mendapatkan nilai BMI sebagai penentu obesitas. Penderita DM dengan obesitas yang menderita NDP sebanyak 15 orang (48,4%) dan tanpa NDP sebanyak 16 orang (51,6%) dengan OR 1,1; IK 95% (0,458-2,669). Secara klinis didapatkan bahwa obesitas meningkatkan risiko 1,1 kali untuk terjadinya NDP dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 tanpa obesitas tetapi tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara obesitas dengan NDP. Lama menderita DM merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NDP. Pada penelitian ini didapatkan 48 orang (55,8%) menderita DM ≥5 tahun, 31 orang (64,6%) diantaranya menderita NDP dan 17 orang (35,4%) tanpa NDP dengan OR 3,95; IK 95% (1,599-9,76). Pada penelitian ini diperoleh bahwa lama menderita DM ≥5 tahun secara statistik meningkatkan risiko 3,95 kali untuk terjadinya NDP dibanding lama menderita DM <5 tahun. Seluruh subjek penelitian mendapatkan pengobatan DM, baik dengan insulin atau OAD. Pada penelitian ini didapatkan 61 orang (70,9%) menggunakan insulin. Pada kelompok penderita DM dengan NDP diperoleh 34 orang (79,1%) menggunakan insulin dan 27 orang (62,8%) tanpa NDP dengan OR 0,44; IK 95% (0,171-1,167). Pada penelitian ini diperoleh bahwa secara klinis insulin memiliki efek protektif 25 kali untuk terjadinya NDP dibanding OAD tetapi hubungan ini secara statistik tidak bermakna. 61 5.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP Faktor risiko independen terhadap kejadian NDP pada penderita DM tipe 2 diketahui dengan melakukan analisis multivariat dengan metode regresi logistik. Metode ini digunakan karena variabel terikatnya merupakan variabel nominal dengan desain kasus kontrol tidak berpasangan. Sedangkan kerangka konsep etiologik diterapkan karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan murni antara suatu variabel bebas dengan variabel terikat, dalam hal ini DM tipe 2 dengan kadar HbA1c dengan NDP. Analisis multivariat disajikan pada tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Analisis Multivariat Regresi Logistik Langkah 1 Variabel Koefisien p OR (IK 95%) HbA1c tinggi 2,059 0,000 7,84 (2,50-24,54) Umur ≥54 tahun 1,739 0,002 5,69 (1,87-17,29) Lama menderita 1,766 0,002 5,85 (1,90-17,95) -3,059 0,000 DM ≥5 tahun Konstanta Variabel- variabel yang dimasukkan pada analisi multivariat adalah kadar HbA1c, kelompok umur dan lama menderita DM yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25. Pada perhitungan statistik didapatkan bahwa faktor risiko independen terhadap kejadian NDP pada penderita DM tipe 2 adalah kadar HbA1c tinggi sebesar 7,84 (IK 95% 2,50-24,54); p=0,000, Umur ≥ 54 tahun 62 sebesar 5,69 (IK 95% 1,87-17,29); p=0,001, dan lama menderita DM ≥ 5 tahun sebesar 5,85 (IK 95% 1,90-17,95); p=0,001. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini didapatkan dari Poliklinik Diabetes dan Poliklinik Saraf RSUP Sanglah Denpasar dengan pemilihan sampel secara consecutive terhadap seluruh penderita DM tipe 2. Didapatkan total 86 orang penderita DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penderita DM tipe 2 dengan NDP sebagai kelompok kasus dan penderita DM tipe 2 tanpa NDP sebagai kelompok kontrol. Pada penelitian ini diperoleh 86 orang subjek penelitian yang terdiri atas 44 laki-laki dan 42 perempuan. Pada kelompok kasus dan kelompok kontrol didapatkan jumlah jenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan persentase 51,2% laki-laki dan 48,8% perempuan. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada penelitian kasus kontrol San Luis Valley pada penderita DM Tipe 2 di Kolorado yaitu NDP lebih banyak terjadi pada laki-laki (54,4%) dibanding perempuan (45,6%) (Wheeler dkk., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Tamer dkk. (2006) yang meneliti prevalensi dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM di Turki memperoleh hasil bahwa jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian NDP (p<0,05) dan merupakan faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya NDP (OR=2,330, 95% CI 0,09-0,500). 63 64 Secara umum diperoleh prevalensi NDP sebesar 34%, dimana 18% terjadi pada usia 19-29 tahun dan meningkat menjadi 58% pada usia diatas 30 tahun (Wheeler dkk, 2007). Rerata umur pada kelompok penderita DM tipe 2 yang mengalami NDP pada penelitian ini yaitu 56,05 (SD±6,34) tahun lebih tinggi dibandingkan rerata umur pada kelompok kontrol 51,60 (SD±8,56) tahun. Pada penelitian potong lintang pada 303 penderita DM di Dhaka, Bangladesh oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh rerata umur penderita DM tipe 2 dengan NDP adalah 50,8 (SD±10,6) tahun, dengan usia perempuan lebih muda 48,7 (SD±10,7) tahun dibandingkan laki-laki 53,1 (SD±9,9). Pada penelitian potong lintang oleh Soheilykhah dkk. (2013) pada 352 penderita DM tipe 2 diperoleh rerata umur penderita DM tipe 2 dengan NDP adalah 57±10,3 tahun. Prevalensi NDP meningkat sesuai umur dari 5,6% pada penderita DM berusia kurang dari 40 tahun menjadi 51,8% pada penderita DM berusia diatas 60 tahun. Seluruh subjek menjalani pendidikan formal mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi dengan persentase tertinggi pada tingkat pendidikan SMA yaitu pada kelompok kasus sebesar 34,9% dan pada kelompok kontrol sebesar 46,5% . Latar belakang pekerjaan subjek penelitian bervariasi, yaitu pegawai negeri sipil, pegawai swasta, wiraswasta, buruh/tani. Subjek penelitian terbanyak tidak bekerja yang terdiri dari pensiunan dan ibu rumah tangga dengan persentase kelompok kasus 37,2% dan kelompok kontrol 27,9%. Pada penelitian potong lintang dengan 294 penderita DM di Dhaka, Bangladesh oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh 65 penderita DM dengan NDP memiliki pekerjaan: ibu rumah tangga (49,7%), pekerja kantor (13,3%), pekerja kasar/buruh (8,2%), dan wiraswasta (11,2%). Stadium NDP dapat ditegakkan dengan berbagai sistem skoring. Pada penelitian ini stadium NDP dinilai dengan MDNS, diperoleh penderita DM dengan NDP terbanyak pada stadium 2, yaitu 53,5%. Sedangkan persentase NDP stadium 1 sebesar 11,6% dan NDP stadium 3 sebesar 34,9%. Rerata HbA1c pada NDP stadium 1 sebesar 7,82 ± 1,76%, pada stadium 2 sebesar 8,88 ± 1,92%, dan pada stadium 3 sebesar 9,89 ±2,68%. Secara klinis diperoleh korelasi yang sangat lemah antara HbA1c dengan stadium NDP (r=0,07) namun tidak bermakna secara statistik. Cut off point kadar HbA1c yang dapat menimbulkan kejadian NDP pada penelitian ini diperoleh sebesar 7,29%. Hasil yang serupa didapatkan oleh Tamer dkk. (2006) dalam penelitiannya pada 191 penderita DM di Turki diperoleh derajat NDP terbanyak adalah NDP derajat sedang (49,4%), sedangkan derajat ringan sebesar 42,2% dan derajat berat sebesar 8,4%, tetapi penegakan diagnosis NDP pada penelitian ini menggunakan Neuropathy Disability Score (NDS). Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Boya dkk. (2005) pada 110 penderita DM tipe 2 diperoleh kontrol gula darah yang buruk (≥ 7,5%) meningkatkan kejadian NDP yang didiagnosis dengan MDNS sebesar 0,3 kali dibandingkan kontrol gula darah yang baik 66 6.2 Hubungan antara Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2 Hasil pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemia jangka panjang dan beguna pada semua tipe penyandang DM. Pemeriksaan ini bermanfaatbagi pasien yang membutuhkan kendali glikemia (Soewondo, 2009). Pada penelitian ini diperoleh kadar HbA1c terendah 5,34% dan tertinggi 14,92% dengan median 8,61% pada penderita DM tipe 2 dengan NDP. Penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi yang mengalami NDP didapatkan sebanyak 31 orang (72,1%) dan tanpa NDP sebanyak 15 orang (34,9%). Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar HbA1c tinggi secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya NDP 4,82 kali dibandingkan penderita DM dengan HbA1c normal. Pada penelitian Nuho dkk. (2004) didapatkan rerata kadar HbA1c pada kelompok NDP (7,4) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa NDP (6,5) (p= 0,037). Efek kontrol glukosa darah dalam perkembangan komplikasi DM telah diteliti oleh The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS). Penelitian ini memperkuat teori hiperglikemia sebagai penyebab komplikasi mikrovaskular, dan dari penelitian ini didapatkan bahwa kontrol glukosa darah (HbA1c dibawah 7%) akan menurunkan risiko komplikasi NDP (Nuho dkk, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Tamer dkk. (2006) di Turki yang meneliti prevalensi dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM memperoleh hasil rerata kadar HbA1c 8,2±2,1% pada kelompok NDP. Penelitian ini juga 67 mendapatkan hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kejadian NDP (p<0,05). Pada penelitian yang dilakukan oleh Shekharappa dkk. (2011) pada 45 penderita DM dengan kadar HbA1c normal (< 7%) dan 45 penderita DM dengan kadar HbA1c tinggi (≥7%) diperoleh hasil bahwa pemeriksaan Nerve Conduction Velocity (NCV) secara progresif menurun pada penderita DM dengan kadar HbA1c tinggi (45,3±3,1) dibandingkan dengan kelompok penderita DM dengan kadar HbA1c normal (47,2±2,8) (p=0,01). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Bansal dkk, (2006) yang memperkirakan bahwa perlambatan NCV mengindikasikan adanya kerusakan selubung mielin yang terus berjalan dan juga terdapat opini lainnya bahwa amplitudo menurun seiring dengan peningkatan kadar HbA1c yang menggambarkan sebagai onset dari aksonopati. Penelitian di Inggris (United Kingdom Prospective Diabetic Study) membuktikan terjadi penurunan kadar HbA1c dari 7,9% menjadi 7,1% dengan pengelolaan intensif pada pasien DM tipe 2. Penurunan ini bermakna untuk menurunkan komplikasi mikrovaskuler pada DM, sedangkan terjadi penurunan 14% tetapi tidak bermakna untuk komplikasi makrovaskuler. Hal ini diperkirakan banyak faktor lain yang mempengaruhi, disamping kadar glukosa darah (Waspadji, 2009). Kadar HbA1c yang terkontrol (< 7%) dapat menurunkan komplikasi mikro dan makrovaskuler (Perkeni, 2011). Glukosa dapat bereaksi dengan hemoglobin untuk membentuk HbA1c, yang peningkatan konsentrasinya di dalam darah menunjukkan keadaan hiperglikemia kronis atau telah berlangsung lama. HbA1c 68 memiliki afinitas oksigen lebih tinggi sehingga sukar melepaskan oksigen di perifer. Hasil pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal paling akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe DM. Kadar HbA1c merupakan faktor pemicu terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi DM (Soewondo, 2009). Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemia pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian glikemia. Pemeriksaan kadar HbA1c memiliki berbagai kelebihan, seperti rendahnya preanalitik dan variasi biologis, konsentrasi HbA1c berkorelasi dengan perkembangan komplikasi mikrovaskuler, nilai HbA1c mencerminkan paparan glukosa darah seluruhnya, dan tidak memerlukan puasa sebelum dilakukan pemeriksaan (Sacks, 2009). Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kontrol glukosa darah dan progresifitas dari penyakit mikrovaskuler pada DM. Dyck dkk. Juga memperlihatkan bahwa glukosa darah puasa, HbA1c, dan durasi DM berkorelasi dengan perkembangan dan progresivitas NDP. Gula darah yang terkontrol secara optimal dapat menurunkan perkembangan terjadinya NDP 30 hingga 40% (Wheeler dkk, 2007). NDP digambarkan sebagai suatu proses dinamis antara degenerasi dan regenerasi neuronal. Mekanisme patogenesis mayor meliputi: hiperglikemia kronik, defisiensi insulin, akumulasi osmolit, stres oksidatif, iskhemia, defisiensi 69 faktor-faktor neurotropik, dan molekuler imunologi juga berperan. Hiperglikemia menginduksi perubahan jalur polyol yang menyebabkan akumulasi osmolit, seperti sorbitol, taurin, glycerophosphoryl choline, aldose reductase, yang menimbulkan penurunan aktivitas Na+/K+ adenosine triphosphatase, hingga terjadinya retensi natrium, edema seluler, dan lisis sel. Iskemia saraf lokal mengiduksi terjadinya penebalan membran basal, proliferasi sel endotel, anomali kontraktilitas pembuluh darah, hipoksia, dan oklusi. Status redox dari sel juga mengalami penurunan, seperti NADPH dan glutathione sehingga menimbulkan peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) sebagai stres oksidatif. Advanced Glycation End (AGE) product memicu proses auto oksidasi glukosa, perubahan endotel, pengurangan makrofag, meniadakan efek Nitric Oxide (NO) dan selanjutnya meningkatkan pembentukan radikal bebas. Hiperglikemia juga meningkatkan pembentukan diacylglycerol (DAG) dengan aktivasi dari Protein Kinase C (PKC). Aktivasi PKC akan memodulasi ekspresi genetik mRNA dari matrik protein basal membran, enzim glikosilasi (CORE 2G1 cNAc transterase), protein kontraktil (aktin, miosin, caldsman), dan meningkatkan stres oksidatif (Kannan, 2000). Faktor genetik juga merupakan faktor penting untuk terjadinya NDP, hal ini terlihat pada penderita dengan kontrol glikemia yang baik tetapi memiliki komplikasi mikrovaskular sedangkan penderita dengan kontrol glikemia yang buruk tidak menderita NDP (Rampello dkk, 2012) Terdapat investigasi pada manusia dalam jumlah yang terbatas mengenai mikroangiopati sistem saraf penderita diabetes. Data terbaru menunjukkan pada biopsi saraf suralis diidentifikasi adanya mikrotrombosis dan oklusi pembuluh 70 darah mikro pada saraf penderita diabetes, duplikasi endotel, proliferasi otot polos, penutupan endotel kapiler, penebalan basal membran, degenerasi pericyte, dan perubahan lainnya. Hilangnya akson pada bentukan multifokal dari beberapa biopsi juga diperkirakan suatu iskemik dengan etiologi mikrovaskular. Malik dkk memperlihatkan bahwa perubahan mikrovaskular dapat berkembang lebih awal pada pasien dengan NDP ringan, dan hal ini diperkirakan memiliki peran dalam menimbulkan kerusakan akson. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Tesfaye dkk yang menunjukkan adanya hubungan antara perkembangan NDP dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini mengisyaratkan adanya hubungan yang erat antara pembuluh darah besar dan NDP (Zochodne, 2007). 6.3 Hubungan Faktor-faktor Lain terhadap Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2 Faktor- faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian NDP diantaranya adalah umur, obesitas, lama menderita DM, dan jenis pengobatan DM. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan rerata umur seluruh subjek penelitian yaitu 53,9 (SD±7,95) tahun. Penderita DM berusia ≥ 54 tahun yang menderita NDP sebanyak 30 orang (30,2%) dan tanpa NDP sebanyak 16 orang (37,2%). Dari penelitian ini didapatkan bahwa umur ≥ 54 tahun secara signifikan meningkatkan risiko 3,89 kali terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2 dibanding usia < 54 tahun. Penelitian potong lintang oleh Rahimdel dkk. (2009) pada 2350 penderita DM tipe 2 di Iran memperoleh rerata umur penderita 55,93 ± 10,08 tahun. Prevalensi NDP pada penderita berusia 26-39 tahun didapatkan 71 sebesar 44,6%, penderita berusia 40-54 tahun sebesar 49,9%, penderita berusia 55-69 tahun sebesar 50,6%, dan penderita berusia lebih dari 70 tahun sebesar 66,5%. Prevalensi NDP meningkat sesuai umur (p=0,001). Penderita DM berusia diatas 50 tahun memiliki risiko 2,94 kali menderita NDP dibandingkan penderita DM berusia dibawah 50 tahun. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya NDP. Subjek penelitian dilakukan pemeriksaan berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan nilai BMI sebagai penentu obesitas. Penderita DM dengan obesitas yang menderita NDP sebanyak 15 orang (48,4%) dan tanpa NDP sebanyak 16 orang (51,6%). Pada penelitian ini diperoleh bahwa secara klinis obesitas meningkatkan risiko 1,1 kali terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2 dibandingkan dengan penderita DM yang tidak obese. Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara obesitas dengan NDP (p=0.822). Hal yang serupa juga diperoleh pada penelitian potong lintang oleh Rahimdel dkk. (2009) pada 2350 penderita DM tipe 2 di Iran memperoleh prevalensi NDP pada pasien dengan BMI dibawah 20 kg/m2 sebesar 66,7%, pada penderita dengan BMI 2024,9 kg/m2 sebesar 47,5%, dan diatas 30kg/m2 sebsesar 60,5%. Secara statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan BMI dengan kejadian NDP (p=0,352). Penelitian oleh Al-Kaabi, dkk. (2014) yang dilakukan di Arab Saudi pada 394 penderita DM tipe 2 didapatkan jenis kelamin wanita sebesar 67%. Hubungan BMI dengan NDP adalah sindrom metabolik dan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya NDP. Diperkirakan mekanisme terjadinya kerusakan saraf meliputi 72 penumpukan lemak, glikasi protein ekstraseluler, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, dan aktivasi counter-regulatory signaling pathway yang menimbulkan inflamasi metabolik kronis. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan mungkin disebabkan oleh sebaran subjek penelitian yang hampir sama antara penderita DM tipe 2 dengan obesitas dan tanpa obesitas, baik pada kelompok kasus dan kontrol. Neuropati Diabetik Perifer merupakan komplikasi yang paling sering dialami oleh penderita DM tipe 2, insidennya meningkat sesuai dengan lamanya menderita DM khususnya setelah menderita selama 5 tahun (Rampello dkk, 2012). Pada penelitian ini didapatkan 48 orang (55,8%) menderita DM ≥ 5 tahun, 31 orang (64,6%) diantaranya menderita NDP dan 17 orang (35,4%) tanpa NDP. Lama menderita DM ≥ 5 tahun secara signifikan mempunyai risiko terjadinya NDP 3,95 kali lebih tinggi dibandingkan penderita DM dengan lama menderita DM < 5 tahun. Penelitian Tamer dkk. (2006) di Turki yang meneliti prevalensi dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM mendapatkan hubungan yang signifikan antara lama menderita DM dengan NDP (OR= 1,010, IK 95% (1,004-1,015). Pada San Luis Valley cross-sectional study didapatkan bahwa durasi DM dengan peningkatan 5 tahun merupakan faktor independen yang berhubungan dengan NDP (OR 1,3, IK 95%, (1-1,6) (Wheeler dkk, 2007). Pada penelitian potong lintang pada 294 penderita DM di Dhaka, Bangladesh oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh prevalensi NDP meningkat sejalan dengan durasi DM tiap tahunnya (OR 1,2, IK 95% (1,0-1,4). Prevalensi NDP juga meningkat setelah 5 tahun 73 didiagnosis DM dari 14,1% menjadi 29,2% pada penderita dengan durasi DM 911 tahun. Seluruh subjek penelitian mendapatkan pengobatan DM, baik dengan insulin atau OAD. Pada penelitian ini didapatkan 61 orang (70,9%) menggunakan insulin. Pada kelompok penderita DM dengan NDP diperoleh 34 orang (79,1%) menggunakan insulin dan 27 orang (62,8%) tanpa NDP. Pada penelitian ini didapatkan bahwa insulin mempunyai efek protektif sebesar 25 kali terhadap kejadian NDP dibandingkan pemakaian OAD. Hubungan ini secara statistik tidak bermakna dengan p=0,96. Hal yang berbeda diperoleh dari Penelitian potong lintang yang dilakukan oleh Morkrid dkk. (2010) pada 294 penderita DM tipe 2 di Bangladesh memperoleh prevalensi NDP sebesar 13,7% pada kelompok dengan terapi oral antidiabetik dibanding dengan kelompok pengobatan insulin sebesar 29,2% (OR 2,6, IK 95%, (1,4-4,7). Pada San Luis Valley cross-sectional study didapatkan bahwa penggunaan insulin merupakan faktor independen yang berhubungan dengan NDP (OR 2, IK 95%, (0,9-4,4) (Wheeler dkk., 2007). Hasil yang berbeda ini mungkin disebabkan karena sebagian besar subjek penelitian menggunakan insulin. Insulin merupakan salah satu anti diabetik yang aman, dimana dosis dari insulin ini hanya dibatasi oleh kaeadaan hipoglikemia. Insulin juga aman pada penyakit ginjal, hepar, dan jantung serta dalam masa kehamilan. Efek keuntungan lainnya pada faktor risiko kardiovaskular, seperti kolesterol dan trigliserida. Insulin juga dapat memperbaiki fungsi endotel, mencetuskan kondisi vasodilatasi, dan profil fibrinolitik. Terapi insulin memiliki kemampuan melawan 74 glukotoksisitas akibat dari kegagalan temporer fungsi sel betakarena paparan kronis konsentrasi tinggi glukosa (Unnikrishnan dkk, 2011). 6.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP Berbagai faktor risiko untuk terjadinya NDP didapatkan pada penelitian ini. Setelah dilakukan analisis multivariat diperoleh bahwa DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi, lamanya menderita DM, dan usia merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya NDP. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Morkrid dkk. (2010) diperoleh bahwa usia dan lamanya menderita DM signifikan secara statistik untuk terjadinya NDP berdasarkan analisis multivariat regresi logistik. Penelitian yang dilakukan oleh Tamer dkk. (2006) di Turki yang meneliti prevalensi dan faktor risiko neuropati pada 191 penderita DM memperoleh hasil rerata kadar HbA1c 8,2±2,1% pada kelompok NDP. Penelitian ini juga mendapatkan hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kejadian NDP (p<0,05). Analisis multivariat logistik pada kelompok NDP memperlihatkan peningkatan kadar HbA1c memiliki hubungan yang bermakna untuk terjadinya NDP (OR=1,034, 95% CI 1,014-1,054). Kelemahan pada penelitian ini adalah sulit membedakan apakah neuropati pada penderita DM ini murni disebabkan oleh DM itu sendiri atau terdapat kondisi komorbid yang berkontribusi untuk terjadinya Neuropati Perifer seperti dislipidemia serta defisiensi vitamin B1, B6 dan B12. Pada penelitian ini telah dilakukan eksklusi untuk penderita dislipidemia. Sedangkan defisiensi vitamin 75 B1, B6 dan B12 belum dapat disingkirkan karena tidak dilakukan pemeriksaan kadar vitamin B1, B6 dan B12. Kelemahan yang lainnya adalah penilaian NDP untuk penelitian idealnya menggunakan pemeriksaan biopsi kulit/saraf. Biopsi saraf suralis pada saat ini jarang dilakukan lagi, karena dianggap prosedur yang invasif dan tidak menyenangkan bagi pasien dan mahal (Tesfaye dkk, 2010). Pada penelitian ini digunakan MDNS untuk menilai NDP yang lebih mudah dan aman. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut : Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi (≥ 7%) sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah Denpasar. Penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi mempunyai risiko terjadinya NDP 4,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 dengan kadar HbA1c normal (OR 4.82, IK 95% 1,931-12,041, p =0.001). 7.2 Saran Sebagai saran dari hasil penelitian ini: 1. Perlu dilakukan pemeriksaan HbA1c secara teratur untuk mengevaluasi terkontrol tidaknya gula darah pada penderita DM tipe 2. 2. Perlu evaluasi fungsi saraf yang komprehensip dan teratur sebagai deteksi dini adanya NDP pada penderita DM tipe 2. 3. Penderita DM dengan NDP perlu diberikan manajemen terapi yang lebih baik sehingga mencapai kadar HbA1c normal serta mencegah komplikasi DM lebih lanjut. 76 DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association (ADA). 2012. Diagnosis Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35(1): S5-S10 and Al-Kaabi, J.M., Maskari, F.A., Zoubbeidi, T., Abdulle,A., Shah, S.M., Cragg, P., dkk. 2014. Prevalence and Determinants of Peripheral Neuropathy in Patients with Type 2 Diabetes Attanding a Tertiary Care Centre in the United Arab Emirates. Journal Diabetes & Metabolism, 5(3): 1-7 Al-Shamma, Y.M.H., Khudhair, S.A., Al-Aridie, M.A.K. Prevalence of Peripheral Neuropathy in Type 2 Diabetic Patients. Kufa Med. Journal, 14(2): 5164 Bakris, G. L., Bomback, A. S. 2011. Chronic Kidney Disease and Hypertension Essentials. New York: Jones and Bartlett Learning. p.23-28. Bhadada, S.K., Sahay, R.K., Jyotsna, V.P., Agrawal, J.K. 2001. Diabetic Neuropathy: Current Concepts. Journal Indian academy of Clinical Medicine, 2(4): 305-318 Booya, F., Bandarian, F., Larijani, B., Pajouhi, M., Nooraei, M., Lotfi, J. 2005. Potential Risk Factors for Diabetic Neuropathy: A Case Control Study. BMC Neurology, 5(24): 1-5 Boulton, A.J.M. 2005. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy. Clinical Diabetes, 23(1): 9-15 Boulton, A.J.M., Vinik, A.I., Arezzo, J.C., Bril, V., Feldman, E.L., Freeman, R., dkk. 2005. Diabetic Neuropathies. Diabetes Care, 28 (4): 956-962 Casellini, C.M., Vinik, A.I. 2006. Recent advances in the treatment of Diabetic Neuropathy. Current Opinion in Endocrinology & Diabetes, 13: 147-153 Cheung, N.W., Conn, J.J., d’Emden, M.C., Gunton, J.E., Jenkins, A.J., Ross, G.P., dkk. 2009. Australian Diabetes Society Position Statement: Individualization of HbA1c Targets for Adults with Diabetes Melitus. ADS Position Statement Individualisation of HbA1c Targets Cornblath, D.R. 2004. Diabetic Neuropathy: Diagnostic Methods. Advanced Studies in Medicine, 4(8A): 650-661 Dobretsov, M., Romanovsky, D., Stimers, J. 2007. Early Diabetic Neuropathy: Triggers and Mechanisms. World J Gastroenterol, 13(2): 175-191 77 78 Erdogan, C. 2012. Comparement of Nerve Excitability among Diabetics with or without Polyneuropathy wit Same HbA1c Levels and Diabetes Duration. Open Access Scientific Reports, 1: 1-2 Feldman, E.L., Vincent, A. 2004. The Prevalence, Impact, and Multifactorial pathogenesis of Diabetic Peripheral Neuropathy. Advanced Studies in Medicine, 4(8A): S 642-649 Feldmen, E.L., Steven, M.J., Thomas,P.K., dkk. 1994. A Practical TwoStep Quantitative Clinical and Electrophysiological Assessment for the Diagnosis and staging of Diabetic Neuropathy. Diabetes care; 17(11): 1281-1289. Guerrero, R.M., Hernandez, B.T., Millan, S.I., Chavez, E.P.D., Vasquez, C., Hoyos, JR.C., dkk. 2012. H-Reflex and clinical Examination in the Diagnosis of Diabetic Polyneuropathy. The Journal of International Medical Research, 40: 694-700 Ginis, Z., Ozturk, G., Sirmali, R., Yalcindag, A., Dulgeroglu,Y., Delibasi,T., dkk. 2012. The Role of HbA1c as a screening and Diagnostic Test for Diabetes Mellitus in Ankara. Turk j Med Sci, 42(2): 1430-1436 Head, K.A. 2006. Peripheral Neuropathy: Pathogenic Mechanisms and Alternative Therapies. Alternative Medicine Review, 11(4): 1-7 Herman, W.H., Cohen, R.M. 2012. Racial and Ethnic Differences in the Relationship between HbA1c and Blood Glucose: implications for the Diagnosis of Diabetes. J Clin Endrocrinol Metab; 97: 1067-1072 Husten, C. G. 2009. How Should We Define Light or Intermittent Smoking? Does It Matter? Nicotine & Tobacco Research; 11(2):111–121. Hoogwerf, B.J. 2005. Int.J.Diab.Countries, 25: 5-24 Complications of Diabetes Mellitus. Kannan, V. 2000. Molecular Mechanism of Diabetic Neuropathy. Int.J.Diab.Dev.Countries, 20: 101-103 Kaur, J. 2013. An Overview of Diabetic Neuropathy. Annual Review & Research in Biology, 3(4): 994-1012 KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA. 2009. Gangguan Saraf Tepi, Gangguan Saraf Otonom, Gangguan Paut Saraf Otot. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI) 79 Lind, M., Oden, A., Fahlen, M., Eliasson, B. 2008. A Systematic review of HbA1c variables used in The Study of Diabetic complications. Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical Research & Reviews, 2: 282-293 Llewelyn, J.G. 2003. The diabetic Neuropathies: Types, diagnosis and Management. Jneurol Neurosurg Psychiatry, 74(II): ii15-19 Lopez, M. 2011. Diabetic Peripheral Neuropathy. Dynamic Chiropractic, 29: 1-7 Murugan, K., Shrivastava, D.K., Patil, S.K.B., Sweety, L., Debapriya, G., Bharti, A., dkk. 2010. Biochemical Investigation of Glycosylated haemoglobin in Diabetes Assosiated Nephropathy in Chhattisgarh Population. Adv. Appl. Sci. Res, 1(2): 106-113 Morkrid, K., Ali, L., Hussain, A. 2010. Risk Factors and Prevalence of Diabetic Peripheral Neuropathy: A Study of Type 2 Diabetic Outpatients in Bangladesh. Int J Diab Dev Ctries, 30: 11-17 Moscu, B., Pereanu, M. 2010. Pathological Features of Diabetic Neuropathy. AMT, 2(4): 262-264 Nuho, A., Subekti, I., Ismail, D., Sitompul, R. Correlation of Neuropathy with Corneal Sensitivity and Lacrimal Gland Secretion in Type 2 Diabetes Mellitus Patient. Acta Med Indones Indones J Intern Med, 36 (3): 130-135 Parkhad, S., Palve, S. 2014. Early Diagnosis of Neuropathy in Diabetic Patient Using Nerve Conduction Studies. National Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology, 4: 158-160 Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni. Jakarta Preston, D.C., Shapiro, B.E. 2005. Electromyography and Neuromuscular Disorders. Second edition. Philadelphia: Elsevier Buttenworth heinemann. Purwata, T.E. 2010. Kadar TNF-α, Ekspresi ιNOS, dan TNF-α yang Tinggi sebagai Faktor Risiko Nyeri Neuropati Diabetik. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar Rahimdel, A., Ardekani, M.A., Souzani, A., Modaresi, M., Mashahiri, M.R. 2009. Prevalence of Sensory Neuropathy in Type 2 Diabetic Patients in Iranian Population (Yazd Province). Iranian Journal of Diabetes and Obesity. 1(1): 30-35 80 Rajbhandari, S.M., Piya, M.K. 2005. A Brief Review on the Pathogenesis of Human Diabetic Neuropathy: Observations and Postulations. Int J Diabetes & Metabolism, 13: 135-140 Rampello, L., Vecchio, I., Bataglia, G., Malaguarnera, G., Rampello, L. 2012. Diabetic Neuropathy, Elements of Epidemiology and Pathophysiology. Acta Medica Mediterranea, 28: 219-223 Reddy, S.A., Sachan, A., Rao, P.V.L.N,S., Mohan, A. 2012. Clinical Applications of Glycosilated Haemoglobin. J Clin Sci Res, 2: 22-33 Sacks, D.B. 2009. The Diagnosis of Diabetes is Changing: How Implementation of Hemoglobin A1c will Impact Clinical Laboratories. Clinical Chemistry, 55(9): 1612-1614 Shekhharappa, K.R., Srinivas, A.K., Vedavathi, K.J., Venkatesh, G.A. 2011. Study on the Utility of Nerve Conduction Studies in Type 2 Diabetes Mellitus. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 5(3): 529-531 Singh, R., Barden, A., Mori, T., Beilin, L. 2001. Advanced Glycation EndProducts: A Review. Diabetologia Springer- Verlag, 44: 129-146 Skljarevski, V., Malik, R.A. 2007. Clinical Diagnosis of Diabetic Neuropathy. In: Veves, A., Malik, R.A., editors. Diabetic Neuropathy Clinical Management. New jersey: Humana Press Inc. pp 275-291 Sultanpur, C.M., Deepa, K., Kumar, S.V. 2010. Comprehensive Review on HbA1c in Diagnosis of Diabetes Mellitus. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research, 3(2): 119-122 Soegondo, S., Gustaviani, R. 2006. Sindroma metabolik. In : Sudoyo, A. W. dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press. pp 1871-1874. Soewondo, P. 2009. Pemantauan Kendali Diabetes Melitus, dalam Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I, editors. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta FK UI. pp 111-133 Tamer, A., Yildiz, S., Yildiz, N., Kanat, M., Gunduz, H., Tahtaci, M., dkk. 2006. The Prevalence of Neuropathy and Relationship with Risk Factors in Diabetic Patients: A Single-Center Experience. Medical principles and Practice, 15: 190-194 Tanenberg, R.J. 2009. Diabetic Peripheral Neuropathy: Painful or Painless. Hospital Physician ; 1: 1-8 81 Tesfaye, S. 2004. Epidemiology and Etiology of Diabetic Peripheral Neuropathies. Advanced Studies in Medicine, 4(10G): 1014-1021 Tesfaye, S., Bulton, A.J.M., Dyck, P.J. Freeman, R., Horowitz, M., Kempler, P., dkk. 2010. Diabetic Neuropathies: Update on Definitions, Diagnostic Criteria, Estimation of Severity, and Treatments. Diabetes Care, 33(10): 22852293 Tomic, M., Poljicanin, T., Renar, I.P., Metelko, Z. 2003. Obesity- A Risk Factor for Microvascular and Neuropathic Complications in Diabetes?. Diabetologia Croatica, 32-34 Unnikrishnan, I.R., Anjana, R.M., Mohan, V. 2011. Importance of Controlling Diabetes Early-The Concept of Metabolic Memory, Legacy Effect and the Case for Early Insulinisation. Supplement To JAPI, 59: 8-12 Waspadji, S. 2009. Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang Rasional, dalam Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I, editors. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. pp 31-45 Wheeler, S., Singh, N., Boyko, E,J. 2007. The Epidemiology of Diabetic Neuropathy. In: Veves, A., Malik, R.A, editors. Diabetic Neuropathy Clinical Management, 2nd ed, New Jersey: Human Press. pp 7-30 WHO. 2011. Use of Glycated Haemoglobin (HbA1c) in the Diagnosis of Diabetes Mellitus. WHO/NMH/CHP/CPM/11.1 Van Horn, L., Fukagawa, N. K., Achterberg, C., Appel, L. J., Clemens, R. A., Nelson, M. E., Pearson, T. A., Rimm, E. B., Slavin, J. L., Williams, C. L. 2010. Dietary Guidelines for Americans 2010. Washington DC: U.S. Department of Agriculture Economic Research Service. pp. 30-31 Vinik. A.I. 2004. Diabetic Neuropathy: Emerging Data on A New Therapeutic Class. Advanced Studies in Medicine, 4(6A): 421-427 Zochodne, D.W. 2007. Microangiopathy, Diabetes, and the Peripheral Nervous System. In Veves, A., Malik, R.A. (eds). Diabetic Neuropathy Clinical Management, 2nd ed, Human Press, New Jersey. pp 207-229 82 Lampiran 2 PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN Judul : Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Kadar HbA1c Tinggi sebagai Faktor Risiko Neuropati Diabetik Perifer di RSUP Sanglah Denpasar Peneliti Utama : dr. Sri Yenni Trisnawati, GS Latar Belakang Penelitian Neuropati diabetik perifer (NDP) merupakan bentuk komplikasi neurologis tersering dari DM tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar HbA1c tinggi sebagai Faktor Risiko Neuropati Diabetik Perifer pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar dan apabila ditemukan adanya kelainan dapat dilakukan upayaupaya preventif untuk mencegah perburukan NDP dan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko terjadinya NDP. Secara keseluruhan 86 pasien DM tipe 2 yang kontrol ke poli Diabetes dan Saraf RSUP Sanglah akan berperan serta dalam penelitian ini termasuk bapak/ibu/saudara. Dengarkan secara seksama informasi ini sebelum bapak/ibu/saudara turut serta berpartisipasi dalam penelitian ini, jangan ragu-ragu untuk bertanya jika ada hal-hal yang belum dimengerti. Dalam penelitian ini, peneliti dan petugas yang terlatih secara professional akan mewawancarai dan memeriksa bapak/ibu/saudara secara klinis umum, klinis saraf dan pemeriksaan dengan mempergunakan MDNS dan ENMG untuk mengetahui adanya NDP. Pemeriksaan ENMG dengan cara meletakkan suatu elektrode perekam pada otot (untuk KHS motoris) dan saraf (untuk KHS Sensoris) dan menggunakan stimulasi dengan intensitas supramaksimal sehingga didapatkan potensial aksi, yaitu CMAP dan SNAP.Efek samping yang mungkin terjadi adalah rasa nyeri yang ringan, terkadang juga dapat timbul infeksi dan atau bengkak serta warna biru yang akan sembuh setelah beberapa hari. Bapak/Ibu/saudara diharapkan untuk melaporkan kepada dokter peneliti bila terjadi efek samping yang tidak diharapkan dalam penelitian ini agar mendapatkan penanganan selanjutnya Selama penelitian ini bapak/ibu/saudara tidak dikenai biaya. 83 Data-data dalam penelitian ini akan dikumpulkan dan disimpan dalam data komputer tanpa nama bapak/ibu/saudara, hanya peneliti yang mengetahui data-data bapak/ibu/saudara. Hasil penelitian akan dipublikasikan di forum ilmiah tanpa menampilkan identitas bapak/ibu/saudara. Sehubungan dengan penelitian ini, bila timbul pertanyaan mengenai penelitian ini diharapkan menghubungi: dr. Sri Yenni Trisnawati, GS (081236223000) PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN DM Tipe 2 dengan Kadar HbA1c Tinggi sebagai Faktor Risiko Neuropati Diabetik Perifer di RSUP Sanglah Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan Tanggal Lahir : Umur : Alamat : Bersedia dan mau berpartisipasi menjadi sampel penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti dari Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah/FK-UNUD dari awal hingga akhir penelitian dan akan dijalankan dengan sebaik-baiknya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Denpasar, ............................ Peneliti (dr. Sri Yenni Trisnawati, GS) Subjek Penelitian ( ) 84 Lampiran 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA KADAR HbA1c TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIKA PERIFER PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUP SANGLAH DENPASAR APRIL-AGUSTUS 2014 No. 1. Tanggal Pemeriksaan Pemeriksa 2. 3. 4. 5. 6. No. Rekam Medik Nama Umur Alamat Jenis Kelamin 7. Pendidikan 8. Pekerjaan 9 11 12 Lama Menderita DM Jenis OAD Pemeriksaan Laboratorium Kadar HbA1c Kadar HbA1c 13 Pemeriksaan Fisik Tekanan Darah Nadi Respirasi Suhu Berat Badan Tinggi Badan BMI 1. 2. Laki-laki Perempuan Tidak Sekolah SD SMP SMA Akademi/Diploma/PT Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Buruh/Tani Lain-lain Tahun % (tgl <7% ≥7% (1) (2) (1) (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) (5) [ ] (1) (2) [ ] [ ] [ ] ) mmHG x/menit x/menit °C Kg cm (Obese/tidak ) 85 Lampiran 4 Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS) 1. Pemeriksaan neurologis Kerusakan Sensoris Kanan 1. Vibrasi ibu jari kaki 2. Filament 10-g 3. Nyeri dorsum manus ibu jari kaki Kiri 1. Vibrasi ibu jari kaki 2. Filament 10-g 3. Nyeri dorsum manus ibu jari kaki Tes Kekuatan Otot Kanan 1. Abduksi jari 2. Ekstensi ibu jari 3. Dorsofleksi ankle Kiri 1. Abduksi jari 2. Ekstensi ibu jari kaki 3. Dorsofleksi ankle Refleks Kanan 1. Bisep brakii 2. Trisep brakii 3. Quadrisep 4. Akiles Kiri 1. Bisep brakii 2. Trisep brakii 3. Quadrisep 4. Akiles Total Skor Normal Menurun Tidak ada 0 1 2 0 1 2 Nyeri Tidak nyeri 0 2 0 0 1 1 Nyeri 0 Normal 2 2 Tidak nyeri 2 Berat 0 0 0 Ringansedang 1 1 1 0 0 0 1 1 1 [ ] [ ] [ ] [ ] [ ] [ ] 2 2 2 Tidak ada 3 3 3 [ ] [ ] [ ] 2 2 2 3 3 3 [ ] [ ] [ ] 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2 2 2 [ [ [ [ ] ] ] ] 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2 2 2 [ [ [ [ ] ] ] ] 86 2. Pemeriksaan ENMG Pemeriksaan NCS dikerjakan pada ekstremitas non dominan. a. Nervus medianus SNAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s CMAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s mm/s, amplitudo : mv, m/s b. Nervus ulnaris SNAP : latensi distal : c. Nervus suralis SNAP : latensi distal : d. Nervus peroneus SNAP : latensi distal : KHS Interpretasi: Nilai abnormal adalah nilai latensi distal menurun, amplitudo menurun, KHS menurun diluar nilai normal pada rentang first and 99th percentiles . Kesimpulan: MDNS: 1. Skor Pemeriksaan Neurologis: ....... 2. ENMG: Saraf yang abnormal: ....... 3. Stadium NDP: .............. Keterangan Cara Pemeriksaan: 1. Pemeriksaan sensoris: a. Rangsang vibrasi. Pemeriksaan menggunakan garputala 128 Hz. Pemeriksa memegang garpu tala dengan telunjuk dan ibu jari tangan. pemeriksaan dengan cara menempatkan garpu tala diatas penonjolan tulang interphalang distal dorsum jari kaki pertama. Dikerjakan pada penderita secara bilateral dengan mata tertutup. Interpretasi setelah penderita tidak merasakan lagi vibrasi : - Normal (skor 0) bila pemeriksa merasakan vibrasi pada telunjuk distal kurang dari 10 detik. - Skor 1: pemeriksa merasakan > 10 detik. - Skor 2, penderita tidak merasakan rangsangan. b. Pemeriksaan 10-g filament dikerjakan pada dorsum manus jari kaki pertama, diantara nail fold dan interphalang distal. Penekanan 10-g filament secara tegak lurus, singkat 87 < 1 detik secara konsisten. Penekanan 10-g terjadi saat alat melengkung. Ditanyakan respon penderita ya/tidak pada saat mata tertutup. Pemeriksaan dikerjakan secara bilateral sebanyak 10 kali. Interpretasi - Normal (nilai 0) : 8-10 respon “ya” - Nilai 1 : 1-7 respon “ya” - Nilai 2 : tidak ada jawaban benar. c. Pemeriksaan nyeri. diperiksa dengan jarum pentul. Nyeri : pemeriksaan dengan jarum pentul di dorsum manus ibu jari kaki pertama. Interpretasi : - Nilai 0 : respon penderita :tidak nyeri”. - Nilai 2 : respon penderita “nyeri”. 2. Pemeriksaan refleks Pemeriksaan menggunakan palu reflek. Pemeriksaan dilakukan pada tendon Bisep, Trisep, Patela, dan Achilles. Interpretasi : - Skor 0 (normal): bila sendi ada gerakan sendi dan kontraksi otot, - Skor 1 bila reflek menurun. Hanya kontraksi otot. - Skor 2. Tidak ada reflek 3. Pemeriksaan kekuatan otot Interpretasi - Nilai 0 (normal) : kekuatan otot normal, mampu melawan tahanan maksimal pemeriksa - Nilai 1 (ringan-sedang) : mempu melawan tahanan ringan dan sedang pemeriksa - Nilai 2 (berat) : penderita tidak mampu melawan gaya berat, tahanan ringan pemeriksa - Nilai 3 (tidak ada) : tidak ada kontraksi otot maupun gerakan sendi. 2. Pemeriksaan studi hantaran saraf/Nerve conduction study (NCS) 1) Pemeriksaan SNAP a. Nervus medianus b. Nervus ulnaris c. Nervus suralis 88 2) Pemeriksaan CMAP d. Nervus medianus e. Nervus peroneus Interpretasi Stadium NDP Stadium 0 : Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaran saraf abnormal < 2, atau tidak ada neuropati. Stadium 1 : Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas pemeriksaan hantaran saraf (neuropati ringan). Stadium 2 : Skor MDNS < 29, dan 3-4 abnormalitas dari pemeriksaan hantaran saraf (neuropati sedang). Stadium 3 : Skor MDNS < 46, dan 5 atau lebih abnormalitas hantaran saraf (neuropati berat). 89 Lampiran 4 Surat Kelaikan Etik 90 Lampiran 5 Surat Ijin RSUP Sanglah 91 Lampiran 6 Tabel Kasus Penelitian No Nama Umur Jenis Kelamin Pendi dikan Pekerjaan 1 AS 56 Laki-laki PT Lain-lain 2 DMS 63 Perempuan SMP Buruh/Tani 3 WSA 50 Laki-laki SMA Pegawai Swasta 4 TTL 59 Laki-laki SMA Wiraswasta 5 NKA 44 Perempuan SMP Lain-lain 6 NMS 65 Perempuan SMP Lain-lain 7 H SF 59 Perempuan SMA Wiraswasta 8 I NR 59 Perempuan SD Wiraswasta 9 MY 56 Perempuan SMP Wiraswasta 10 I MS 52 Laki-laki SD Buruh/Tani 11 I GKM 59 Laki-laki SMA Lain-lain 12 I GPR 46 Laki-laki SMA Wiraswasta 13 MHS 62 Perempuan SD Lain-lain 14 PTH 58 Perempuan SD Wiraswasta Obese 15 KR 46 Laki-laki SMA Pegawai Negeri Obese 16 NML 49 Perempuan SD Lain-lain 17 I MSD 43 Laki-laki PT Wiraswasta 18 I WS 59 Laki-laki Diplo ma Lain-lain 19 I WL 51 Laki-laki SMA Pegawai Negeri 20 I NS 65 Laki-laki SD Lain-lain 21 I MRM 65 Laki-laki SMA Lain-lain 22 BIO 56 Laki-laki SD Wiraswasta 23 SYL 55 Perempuan SMA Pegawai Swasta Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese 24 BBH 65 Laki-laki SMA Lain-lain Obese Obesitas Tidak obese Tidak obese Obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Obese Lama DM <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun HbA 1c Terapi DM > 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Insulin > 7% Non Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin 92 Pegawai Negeri Pegawai Negeri Pegawai Negeri Pegawai Negeri Tidak obese Tidak obese 25 WSA 55 Laki-laki PT 26 NML 53 Perempuan Diplo ma 27 SWA 64 Perempuan PT 28 WYS 55 Perempuan SD 29 I KS 65 Laki-laki SD Wiraswasta 30 I WYS 51 Laki-laki SMA Pegawai Swasta 31 SUM 55 Perempuan SMP Lain-lain 32 NWS 50 Perempuan SD Lain-lain Obese 33 RNA 43 Perempuan SMA Lain-lain Obese 34 I WSR 58 Laki-laki PT Pegawai Negeri 35 WDW 65 Laki-laki Diplo ma Lain-lain Tidak obese Tidak obese 36 KS 54 Perempuan SMP 37 SWD 64 Perempuan SMA 38 I NRP 56 Laki-laki SMA Lain-lain Tidak obese 39 I GAS 54 Laki-laki SMA Pegawai Negeri Obese 40 FTH 65 Perempuan SD Lain-lain 41 MM 51 Perempuan PT Pegawai Swasta Tidak obese Tidak obese 42 I KW 65 Laki-laki SD Wiraswasta Obese 43 WBR 57 Perempuan PT Pegawai Negeri Obese Pekerjaan Obesitas Pegawai Negeri Pegawai Negeri Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Pegawai Swasta Pegawai Swasta Obese Obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Obese Obese <5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% > 7% > 7% Non Insulin Non Insulin Non Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin HbA 1c Terapi DM > 7% Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin Tabel Kontrol Penelitian No Nama Umur Jenis Kelamin Pendi dikan 1 RL F 42 Perempuan PT 2 G NJ 50 Laki-laki PT 3 LEW 40 Perempuan SMA Wiraswasta 4 AM 60 Laki-laki SMA Lain-lain Lama DM <5 tahun <5 tahun <5 tahun <5 tahun 93 5 I WSM 49 Laki-laki PT Pegawai Negeri Obese 6 I MDS 51 Laki-laki SMA Wiraswasta Tidak obese 7 NKTS 50 Perempuan Diplo ma Pegawai Negeri Obese 8 I WNS 41 Laki-laki SMA Wiraswasta Obese 9 GAS 48 Laki-laki SMA 10 NKK 39 Perempuan SMA Pegawai Swasta Pegawai Swasta Tidak obese Tidak obese 11 DNAS 35 Laki-laki SMP Buruh/Tani Obese 59 Perempuan SD Buruh/Tani Obese 33 Laki-laki PT Pegawai Negeri Obese Lain-lain Tidak obese 12 13 NWW N I WWY Tidak obese Tidak obese Tidak obese <5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun Tidak obese >5 tahun Tidak obese Tidak obese Obese >5 tahun >5 tahun >5 14 H US 62 Laki-laki SMP 15 I MST 48 Laki-laki SMA 16 DM 50 Perempuan SMA 17 I WR 52 Laki-laki SD Buruh/Tani 18 NWB 47 Perempuan PT Pegawai Negeri 19 RSY 62 Laki-laki SMA Wiraswasta 20 NNYS 63 Perempuan SD Buruh/Tani 21 IM 45 Laki-laki PT Pegawai Swasta Obese 22 WA 56 Laki-laki SD Buruh/Tani Obese 23 GAK M 65 Perempuan SMA Lain-lain Obese 24 INS 54 Laki-laki SMA Pegawai Swasta Obese 25 ST M 57 Perempuan SMA Lain-lain 26 AT A 65 Perempuan SMA Lain-lain 27 AAA 55 Perempuan SMA Pegawai Negeri Tidak sekola h Diplo ma Pegawai Swasta Pegawai Negeri 28 NMH 61 Laki-laki Lain-lain 29 I MM 55 Laki-laki 30 I WW 46 Laki-laki SMP Wiraswasta 31 HI 55 Perempuan SMA Wiraswasta Pegawai Negeri Obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese < 7% Insulin < 7% Insulin < 7% > 7% Non Insulin Non Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin > 7% Non Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Non Insulin < 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Insulin > 7% Insulin < 7% > 7% < 7% < 7% Non Insulin Non Insulin Non Insulin Non Insulin > 7% Insulin < 7% Non Insulin > 7% Non Insulin < 7% Insulin < 7% Non 94 32 NK R 51 Perempuan SMA Lain-lain Obese 33 NW D 45 Perempuan SMA Buruh/Tani Obese 34 NKM 34 Perempuan SMP Buruh/Tani 35 NWJ 50 Perempuan SD Lain-lain 36 VTH 56 Laki-laki SMA Pegawai Swasta 37 EHI 63 Perempuan SD Lain-lain 38 GA 47 Perempuan SMA Lain-lain 39 YBRI 61 Laki-laki PT Lain-lain 40 MDW 48 Laki-laki SMA 41 INSB 53 Laki-laki Diplo ma Pegawai Swasta Pegawai Negeri 42 NWST 51 Perempuan SD Buruh/Tani 43 NKG 65 Perempuan SD Lain-lain Tidak obese Tidak obese Obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Tidak obese Obese Tidak obese Tidak obese tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun <5 tahun >5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun >5 tahun >5 tahun <5 tahun Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin > 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Non Insulin < 7% Insulin < 7% < 7% Non Insulin Non Insulin < 7% Insulin < 7% Insulin < 7% Insulin 95 Lampiran 7 Hasil Analisis Statistik 7.1 Statistik Kasus Jenis_Kelamin Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Laki-laki 29 67.4 67.4 67.4 Perempuan 14 32.6 32.6 100.0 Total 43 100.0 100.0 Pendidikan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent SD Valid 12 27.9 27.9 27.9 SMP 6 14.0 14.0 41.9 SMA 15 34.9 34.9 76.7 Akademi/Diploma/PT 10 23.3 23.3 100.0 Total 43 100.0 100.0 Pekerjaan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Pegawai Negeri 9 20.9 20.9 20.9 Pegawai Swasta 6 14.0 14.0 34.9 Wiraswasta 10 23.3 23.3 58.1 Buruh/Tani 2 4.7 4.7 62.8 Lain-lain 16 37.2 37.2 100.0 Total 43 100.0 100.0 Valid 96 BMI Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Obese 15 34.9 34.9 34.9 Tidak obese 28 65.1 65.1 100.0 Total 43 100.0 100.0 Jenis_OAD Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Insulin Valid Non Insulin Total 34 79.1 79.1 79.1 9 20.9 20.9 100.0 43 100.0 100.0 Durasi_DM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid > 5 tahun 12 27.9 27.9 27.9 < 5 tahun 31 72.1 72.1 100.0 Total 43 100.0 100.0 HbA1C Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid > 7% 31 72.1 72.1 72.1 < 7% 12 27.9 27.9 100.0 Total 43 100.0 100.0 97 7.2 Statistik Kontrol Statistics Jenis_Kelamin Valid Pendidikan Pekerjaan BMI Jenis_OAD HbA1C 43 43 43 43 43 43 0 0 0 0 0 0 N Missing Jenis_Kelamin Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Laki-laki 22 51.2 51.2 51.2 Perempuan 21 48.8 48.8 100.0 Total 43 100.0 100.0 Pendidikan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Tidak sekolah 2 4.7 4.7 4.7 SD 7 16.3 16.3 20.9 SMP 4 9.3 9.3 30.2 SMA 20 46.5 46.5 76.7 Akademi/Diploma/PT 10 23.3 23.3 100.0 Total 43 100.0 100.0 Valid Pekerjaan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Pegawai Negeri 10 23.3 23.3 23.3 Pegawai Swasta 7 16.3 16.3 39.5 Wiraswasta 6 14.0 14.0 53.5 Buruh/Tani 8 18.6 18.6 72.1 Lain-lain 12 27.9 27.9 100.0 Total 43 100.0 100.0 Valid 98 BMI Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Obese 16 37.2 37.2 37.2 Tidak obese 27 62.8 62.8 100.0 Total 43 100.0 100.0 Jenis_OAD Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Insulin 27 62.8 62.8 62.8 Non Insulin 16 37.2 37.2 100.0 Total 43 100.0 100.0 Durasi_DM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid < 5 tahun 26 60.5 60.5 60.5 > 5 tahun 17 39.5 39.5 100.0 Total 43 100.0 100.0 HbA1C Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid < 7% 15 34.9 34.9 34.9 >7% 28 65.1 65.1 100.0 Total 43 100.0 100.0 99 7.3 Umur Kasus dan Kontrol serta Uji Normalitas Descriptives Polineuropati Statistic Mean Ya Umur 56.0465 95% Confidence Interval for Lower Bound 54.0955 Mean Upper Bound 57.9975 5% Trimmed Mean 56.2700 Median 56.0000 Variance 40.188 Std. Deviation Minimum 43.00 Maximum 65.00 Range 22.00 9.00 Skewness -.337 .361 Kurtosis -.545 .709 51.6047 1.30471 Mean Umur .96675 6.33942 Interquartile Range Tidak Std. Error 95% Confidence Interval for Lower Bound 48.9716 Mean Upper Bound 54.2377 5% Trimmed Mean 51.8605 Median 51.0000 Variance 73.197 Std. Deviation 8.55553 Minimum 33.00 Maximum 65.00 Range 32.00 Interquartile Range 12.00 Skewness -.307 .361 Kurtosis -.449 .709 100 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Polineuropati Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Ya Umur .086 43 .200* .948 43 .052 Tidak Umur .073 43 .200* .966 43 .222 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction Umur Total Descriptives Statistic Mean Umur Std. Error 53.9651 95% Confidence Interval for Lower Bound 52.2596 Mean Upper Bound 55.6707 5% Trimmed Mean 54.3734 Median 55.0000 Variance 63.281 Std. Deviation .85780 7.95494 Minimum 33.00 Maximum 65.00 Range 32.00 Interquartile Range 11.25 Skewness -.482 .260 Kurtosis -.206 .514 7.4 Bivariat HbA1c HbA1C * Polineuropati Crosstabulation Polineuropati Ya Count Total Tidak 31 15 46 72.1% 34.9% 53.5% 12 28 40 27.9% 65.1% 46.5% 43 43 86 100.0% 100.0% 100.0% > 7% % within Polineuropati HbA1C Count < 7% % within Polineuropati Count Total % within Polineuropati 101 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) Pearson Chi-Square 11.965a 1 .001 Continuity Correctionb 10.516 1 .001 Likelihood Ratio 12.266 1 .000 Fisher's Exact Test .001 Linear-by-Linear Association 11.826 N of Valid Cases 1 .001 .001 86 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Value 95% Confidence Interval Lower Odds Ratio for HbA1C (> 7% / < 7%) For cohort Polineuropati = Ya Upper 4.822 1.931 12.041 2.246 1.343 3.757 .466 .293 .740 For cohort Polineuropati = Tidak N of Valid Cases 86 7.5 Bivariat Umur Umur_nominal * Polineuropati Crosstabulation Polineuropati Ya Count Total Tidak 30 16 46 69.8% 37.2% 53.5% 13 27 40 30.2% 62.8% 46.5% 43 43 86 100.0% 100.0% 100.0% > 54 thn % within Polineuropati Umur_nominal Count < 54 thn % within Polineuropati Count Total % within Polineuropati 102 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) 9.161a 1 .002 7.899 1 .005 9.335 1 .002 Fisher's Exact Test .005 Linear-by-Linear Association 9.054 N of Valid Cases 1 .003 86 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Value 95% Confidence Interval Lower Odds Ratio for Umur_nominal (> 54 thn / < 54 thn) For cohort Polineuropati = Ya For cohort Polineuropati = Tidak N of Valid Cases Upper 3.894 1.587 9.557 2.007 1.224 3.289 .515 .328 .808 86 7.6 Bivariat Obesitas BMI * Polineuropati Crosstabulation Polineuropati Tidak Count Total Ya 16 15 31 37.2% 34.9% 36.0% 27 28 55 62.8% 65.1% 64.0% 43 43 86 100.0% 100.0% 100.0% Obese % within Polineuropati BMI Count Tidak obese % within Polineuropati Count Total % within Polineuropati .002 103 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) Pearson Chi-Square .050a 1 .822 Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .050 1 .822 Fisher's Exact Test 1.000 Linear-by-Linear Association .050 N of Valid Cases 1 .823 86 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,50. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Value 95% Confidence Interval Lower Odds Ratio for BMI (Obese / Tidak obese) For cohort Polineuropati = Tidak For cohort Polineuropati = Ya N of Valid Cases Upper 1.106 .458 2.669 1.051 .681 1.623 .950 .608 1.486 86 7.7 Bivariat Lama Menderita DM Durasi_DM * Polineuropati Crosstabulation Polineuropati Tidak Count Total Ya 26 12 38 60.5% 27.9% 44.2% 17 31 48 39.5% 72.1% 55.8% 43 43 86 100.0% 100.0% 100.0% < 5 tahun % within Polineuropati Durasi_DM Count > 5 tahun % within Polineuropati Count Total % within Polineuropati .500 104 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) 9.241a 1 .002 Continuity Correctionb 7.968 1 .005 Likelihood Ratio 9.425 1 .002 Pearson Chi-Square Fisher's Exact Test .004 Linear-by-Linear Association 9.134 N of Valid Cases 1 .002 .003 86 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Value 95% Confidence Interval Lower Odds Ratio for Durasi_DM (< 5 tahun / > 5 tahun) For cohort Polineuropati = Tidak For cohort Polineuropati = Ya N of Valid Cases Upper 3.951 1.599 9.760 1.932 1.246 2.996 .489 .293 .817 86 7.8 Bivariat Jenis Pengobatan DM Jenis_OAD * Polineuropati Crosstabulation Polineuropati Tidak Count Total Ya 27 34 61 62.8% 79.1% 70.9% 16 9 25 37.2% 20.9% 29.1% 43 43 86 100.0% 100.0% 100.0% Insulin % within Polineuropati Jenis_OAD Count Non Insulin % within Polineuropati Count Total % within Polineuropati 105 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) 2.763a 1 .096 Continuity Correctionb 2.030 1 .154 Likelihood Ratio 2.792 1 .095 Pearson Chi-Square Fisher's Exact Test .153 Linear-by-Linear Association 2.731 N of Valid Cases 1 .098 86 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,50. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Value 95% Confidence Interval Lower Odds Ratio for Jenis_OAD .447 .171 1.167 .692 .460 1.039 1.548 .877 2.734 (Insulin / Non Insulin) For cohort Polineuropati = Tidak For cohort Polineuropati = Ya Upper N of Valid Cases 86 7.9 Multivariat Classification Table a Observed Predicted Polineuropati_reg Tidak Tidak Percentage Correct Ya 29 14 67.4 7 36 83.7 Polineuropati_reg Step 1 Ya Overall Percentage a. The cut value is ,500 75.6 .077 106 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B) Lower Step 1a HbA1C(1) 2.059 .582 12.494 1 .000 7.837 2.502 24.542 Umur_nominal(1) 1.739 .567 9.402 1 .002 5.690 1.873 17.291 Durasi_DM(1) 1.766 .572 9.522 1 .002 5.848 1.905 17.954 -3.059 .744 16.901 1 .000 .047 Constant a. Variable(s) entered on step 1: HbA1C, Umur_nominal, Durasi_DM. Model if Term Removed Variable Step 1 Upper Model Log Change in -2 Log Likelihood Likelihood df Sig. of the Change HbA1C -50.289 15.092 1 .000 Umur_nominal -48.120 10.753 1 .001 Durasi_DM -48.214 10.943 1 .001 Kurva ROC Case Processing Summary Polineuropati_reg Valid N (listwise) Positivea 43 Negative 43 Larger values of the test result variable(s) indicate stronger evidence for a positive actual state. a. The positive actual state is Ya. 107 Area Under the Curve Test Result Variable(s): Predicted probability Area Std. Errora Asymptotic Sig.b Asymptotic 95% Confidence Interval Lower Bound .829 .044 .000 Upper Bound .742 .915 The test result variable(s): Predicted probability has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis: true area = 0.5 108 7.10 Stadium NDP Case Processing Summary Stadium NDP Cases Valid N Kadar_HbA1C Missing Percent N Total Percent N Percent NDP Ringan 5 100,0% 0 0,0% 5 100,0% NDP sedang 22 100,0% 0 0,0% 22 100,0% NDP Berat 16 100,0% 0 0,0% 16 100,0% 7.11 Deskripsi Kadar HbA1c dengan Stadium NDP Descriptives Stadium NDP Statistic Mean NDP Ringan 7,8220 95% Confidence Interval for Lower Bound 5,6403 Mean Upper Bound 10,0037 5% Trimmed Mean 7,8394 Median 8,1000 Variance 3,087 Std. Deviation Std. Error ,78580 1,75711 Minimum 5,34 Maximum 9,99 Range 4,65 Interquartile Range 3,17 Skewness -,384 ,913 Kurtosis ,005 2,000 8,8791 ,40833 Kadar_HbA1C Mean NDP sedang 95% Confidence Interval for Lower Bound 8,0299 Mean Upper Bound 9,7283 5% Trimmed Mean 8,7017 Median 8,5050 Variance 3,668 Std. Deviation 1,91525 Minimum 6,90 Maximum 14,15 Range 7,25 Interquartile Range 2,86 109 Skewness 1,402 ,491 Kurtosis 1,809 ,953 9,8963 ,67217 Mean NDP Berat 95% Confidence Interval for Lower Bound 8,4636 Mean Upper Bound 11,3289 5% Trimmed Mean 9,8003 Median 8,9050 Variance 7,229 Std. Deviation 2,68868 Minimum 6,60 Maximum 14,92 Range 8,32 Interquartile Range 4,54 Skewness ,618 ,564 Kurtosis -,845 1,091 7.10 Korelasi Kadar HbA1c dengan Stadium NDP HbA1C * Stadium NDP Crosstabulation Count Stadium NDP NDP Ringan Total NDP sedang NDP Berat > 7% 3 18 10 31 < 7% 2 4 6 12 5 22 16 43 HbA1C Total Directional Measures Value Asymp. Std. Approx. Tb Approx. Sig. Errora Ordinal by Ordinal Somers' d Symmetric ,092 ,158 ,583 ,560 HbA1C Dependent ,077 ,134 ,583 ,560 Stadium NDP Dependent ,113 ,193 ,583 ,560 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. 110 7.12 Cut off point HbA1c No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Coordinates of the Curve Test Result Variable(s): Kadar_HbA1C Positive if Greater Than or Equal Toa Sensitivity specificity 3,8 1 0 4,835 1 0,023 5,02 1 0,047 5,24 1 0,07 5,325 1 0,093 5,465 0,977 0,093 5,595 0,977 0,116 5,64 0,977 0,14 5,74 0,977 0,163 5,86 0,977 0,186 5,97 0,977 0,209 6,035 0,977 0,233 6,12 0,977 0,279 6,245 0,977 0,302 6,36 0,977 0,326 6,43 0,977 0,349 6,445 0,977 0,372 6,46 0,977 0,395 6,475 0,977 0,419 6,49 0,977 0,442 6,54 0,977 0,465 6,585 0,977 0,488 6,595 0,977 0,512 6,635 0,953 0,512 6,685 0,93 0,512 6,72 0,93 0,558 6,79 0,93 0,605 6,87 0,93 0,651 6,925 0,907 0,674 6,96 0,907 0,698 6,975 0,907 0,721 6,99 0,907 0,744 7,03 0,884 0,744 7,08 0,86 0,744 7,13 0,837 0,744 7,195 0,814 0,744 7,295 0,767 0,744 7,38 0,744 0,744 7,465 0,721 0,744 7,69 0,698 0,744 7,86 0,674 0,744 111 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 7,875 7,89 8 8,185 8,295 8,36 8,45 8,505 8,56 8,645 8,69 8,73 8,78 8,805 8,905 9,2 9,425 9,465 9,56 9,705 9,85 9,95 9,98 10,08 10,215 10,275 10,55 10,96 11,155 11,42 12,22 12,85 13 13,625 14,2 14,585 15,92 0,674 0,674 0,651 0,605 0,605 0,581 0,558 0,535 0,512 0,488 0,465 0,442 0,419 0,395 0,372 0,349 0,349 0,326 0,326 0,326 0,302 0,302 0,302 0,279 0,256 0,233 0,209 0,186 0,163 0,14 0,14 0,116 0,093 0,07 0,047 0,023 0 0,767 0,791 0,791 0,791 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,814 0,837 0,86 0,86 0,884 0,907 0,907 0,93 0,977 0,977 0,977 0,977 0,977 0,977 0,977 0,977 1 1 1 1 1 1 1 112 1.2 1 Axis Title 0.8 0.6 Sensitivity specificity 0.4 0.2 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 Axis Title