1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan
peningkatan pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka
harapan hidup. Pada tahun 2000 terdapat 35 juta geriatri di Amerika Serikat.
Jumlah ini diproyeksikan mencapai 53,7 juta pada tahun 2020 dan 70,33 juta pada
tahun 2030. Walaupun populasi ini hanya 12% dari total populasi di Amerika
Serikat, namun terhitung sekitar 30% obat diresepkan untuk populasi tersebut, dan
diproyeksikan meningkat mencapai 40% pada tahun 2030 (Santell & Hicks,
2005). Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah lansia di
Indonesia 17.717.800 jiwa atau 7,90% dan jumlahnya pada tahun 2010
diperkirakan 23.992.552 (9,77%) dan pada tahun 2020 28.822.879 (11,34%)
(Martono, 2008).
Masalah kesehatan usia lanjut adalah khas yang timbul akibat interaksi
proses menua dan penyakit pada satu individu. Perubahan fisiologik akibat proses
menua, multipatologik, presentasi penyakit tidak spesifik, dan penurunan status
fungsional dapat berpengaruh terhadap terapi obat yang berujung pada masalah
yang berkaitan dengan obat. Masalah medis yang kompleks (complex medicine)
yang umumnya ditemui pada pasien lanjut usia, menyebabkan golongan usia ini
rentan terhadap timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (Drug
Related Problems) (Pramantara, 2007).
1
2
Drug Related Problems (DRPs) merupakan masalah kesehatan yang serius
yang dapat terjadi pada semua tingkat umur, dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien serta menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Journal of the
American Medical Association (JAMA) melaporkan bahwa berdasarkan sebuah
meta analisis dari 39 studi perspektif pada bulan April 1998, dalam satu tahun
terdapat sekitar 2.216.000 pasien yang dirawat di rumah sakit akibat mengalami
Adverse Drug Reactions (ADRs) yang serius dan 106.000 pasien meninggal
karena masalah-masalah terkait obat. Dilihat dari segi ekonomi, DRPs merupakan
permasalahan yang memiliki dampak ekonomi sangat besar. Dampak ekonomi
terkait DRPs yang terjadi pada semua umur baik di rumah sakit, rumah perawatan
(nursing home), maupun komunitas mencapai $85 milyar per tahun, dengan
jumlah terbesar ($76,6 milyar) terjadi pada komunitas, sementara biaya langsung
terkait DRPs di rumah sakit dan rumah perawatan masing-masing sebesar $4
milyar (Besdine et al., 2003).
Menurut United States Pharmacopeia’s (USP) MEDMARX (sebuah
program nasional pelaporan medication error) terdapat 80.168 kasus medication
error yang terjadi pada pasien usia lanjut (65 tahun atau lebih). Jumlah tersebut
hampir mencapai 40% dari 202.476 kasus medication error yang terjadi dan
dilaporkan pada USP MEDMARX sejak 1 Januari 2002 hingga 31 Desember
2003. Diantara kasus tersebut, tipe yang paling sering muncul yaitu gagal
menerima obat (42%), dosis tidak tepat (18%), dan obat salah (10%) (Santell &
Hicks, 2005). Retrospective Analysis Mortalities Associated with Medication
Error melaporkan bahwa dari 5366 medication errors, tipe yang paling banyak
3
menyebabkan kematian pada pasien geriatri adalah pemberian obat yang tidak
tepat, yaitu 40,9% dari seluruh kejadian medication errors, dan 30,4% berupa
pemberian dengan dosis berlebih (Phillips et al., 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian
ke-4 di Amerika Serikat, dibawah penyakit kanker, penyakit jantung, dan penyakit
serebrovaskuler. Pada tahun 2000, lebih dari 119.000 kematian di Amerika
Serikat dan sekitar 2,74 juta kematian di seluruh dunia disebabkan oleh PPOK.
Penyakit ini merupakan satu-satunya penyebab kematian yang terus meningkat
dalam 30 tahun terakhir dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ketiga
pada tahun 2020. Menurut NHLBI, dampak ekonomi dari PPOK $23 milyar pada
tahun 2000 dan $32 milyar pada tahun 2002, yang terdiri dari $18 milyar biaya
langsung dan $14 milyar biaya tidak langsung (Bourdet & Williams, 2005). Di
Uni Eropa, total biaya langsung dari penyakit pernafasan adalah 6% dari total
anggaran dana kesehatan, dengan PPOK 56% dari biaya tersebut yaitu 38,6 juta
Euro (GOLD, 2007).
Sementara di Indonesia, belum ada data yang akurat tentang kekerapan
PPOK. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI tahun 1992
menyebutkan bahwa angka kematian karena penyakit bronkitis kronis, emfisema
paru, serta asma bronkiale menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian
terbanyak di Indonesia. Peningkatan penderita PPOK di Indonesia terkait dengan
beberapa faktor risiko yang meningkat di Indonesia, seperti kebiasaan merokok
yang masih tinggi, serta polusi udara terutama di kota-kota besar, daerah industri,
4
pertambangan, dan sebagainya, sehingga diperkirakan jumlah kasus PPOK akan
meningkat tajam di masa-masa yang akan datang (Anonim, 2003).
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Sardjito karena rumah sakit
tersebut merupakan rumah sakit tipe A pendidikan yang menjadi rujukan tertinggi
bagi rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian
Selatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hisyam dan Nurohman (2001)
dengan mengambil data dari rekam medis Rumah Sakit Dr. Sardjito antara tahun
1996 sampai dengan 1999, terdapat 55 pasien dengan PPOK eksaserbasi akut.
Sementara menurut penelitian Damayanti (2006) terdapat 59 pasien dengan
diagnosis PPOK yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Sardjito selama bulan Januari
sampai dengan Desember 2004, dan 76,27 % diantaranya berusia > 60 tahun.
Mengingat PPOK merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi,
morbiditas, dan mortalitas yang terus meningkat, serta risiko terjadinya DRPs
pada pasien usia lanjut besar, sedangkan jumlah populasi usia lanjut di Indonesia
terus meningkat, maka perlu dilakukan penelitian tentang kejadian DRPs pada
penatalaksanaan terapi PPOK terutama pada pasien usia lanjut. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada rumah sakit maupun
tenaga kesehatan terkait dengan tujuan meminimalisasi terjadinya DRPs sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pasien.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
5
1. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan
ketepatan indikasi meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak
diterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007?
2. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan
keefektifan terapi meliputi obat salah dan dosis subterapi pada pengobatan
pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta tahun 2007?
3. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan
keamanan terapi meliputi dosis obat berlebih dan interaksi obat pada
pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta tahun 2007?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan ketepatan indikasi
meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi pada pengobatan
pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta tahun 2007.
2. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keefektifan terapi
meliputi obat salah dan dosis subterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri
yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007.
6
3. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keamanan terapi
meliputi dosis obat berlebih dan interaksi obat pada pengobatan pasien PPOK
geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai salah satu bahan masukan bagi RS Dr. Sardjito Yogyakarta untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit terhadap masyarakat
luas khususnya bagi pasien geriatri.
2. Sebagai bahan acuan dalam penelitian identifikasi DRPs pada pasien geriatri
selanjutnya.
E.
Tinjauan Pustaka
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
a. Definisi
PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas kronis yang bersifat
progresif yang disebabkan oleh bronkitis kronis, emfisema, atau keduanya. Dalam
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2007,
definisi PPOK adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai
dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan
aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi yang
abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya (GOLD, 2007).
7
Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau
emfisema. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini, dengan salah
satunya dominan. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai terjadinya pengeluaran
mukus secara berlebihan ke batang bronkhial secara kronis atau berulang dengan
disertai batuk yang terjadi hampir setiap hari selama sekurang-kurangnya 3 bulan
dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut, dimana tidak terdapat penyebab
batuk kronis lain. Ciri khas dari bronkitis kronis adalah adanya pengeluaran
mukus yang berlebihan pada batang bronkus yang menyebabkan pasien
mengalami sesak nafas (Bourdet & Williams, 2005).
Emfisema
merupakan
kelainan
paru-paru
yang
ditandai
dengan
pembesaran jalan nafas yang sifatnya permanen mulai dari ujung bronkial sampai
bagian distal. Dilatasi atau pembesaran tersebut disertai dengan kerusakan pada
dinding alveolus sehingga terjadi gangguan pada transfer gas (Goldsmith &
Weber, 2000). Ada dua bentuk emfisema yaitu: (1) Sentrilobular dan (2)
Panlobular. Emfisema sentrilobular ditandai oleh kerusakan pada saluran napas
bronkhial yaitu pembengkakan, peradangan dan penebalan dinding bronkhioli.
Emfisema panlobular berupa pembesaran yang bersifat merusak dari distal alveoli
ke terminal bronkhiale (Yunus, 1997).
PPOK dikarakterisasi dengan eksaserbasi berulang yang terjadi karena
peningkatan lebih jauh respon inflamasi pada jalan nafas, kemungkinan besar
dipicu adanya infeksi oleh bakteri atau virus atau polutan dari lingkungan.
Definisi dari eksaserbasi sendiri adalah perburukan kondisi pasien jika
dibandingkan dengan keadaan stabil, hal ini terjadi di luar variasi yang biasanya
8
terjadi, terjadi secara akut dan membutuhkan perubahan pengobatan dari yang
biasanya secepat mungkin. Eksaserbasi akut ditandai dengan peningkatan sesak
nafas, peningkatan produksi sputum, serta perubahan warna sputum. Eksaserbasi
akut dibedakan menjadi 3 tipe yaitu :
1). Tipe I (eksaserbasi berat), bila pasien memiliki 3 gejala diatas
2). Tipe II (eksaserbasi sedang), bila pasien memiliki 2 gejala diatas
3). Tipe III (eksaserbasi ringan), bila pasien memiliki 1 gejala diatas ditambah
infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan
>20% baseline, atau frekuensi nadi >20% baseline (Bourdet & Williams,
2005; Anonim, 2003).
b. Klasifikasi
Menurut GOLD 2007, PPOK diklasifikasikan dalam 4 derajat seperti yang
terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Derajat Keparahan PPOK GOLD 2007
Tingkat
I
Ringan
II
Sedang
III
Berat
IV
Sangat
berat
Nilai FEV1 dan Gejala
Ditandai dengan keterbatasan aliran udara ringan (FEV1/ FVC < 70%,
FEV1 > 80%). Umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan
produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa
bahwa paru-parunya bermasalah.
Ditandai dengan semakin memburuknya hambatan aliran udara
(FEV1/FVC <70%; 50%<FEV1<80%), disertai dengan adanya
pemendekan dalam bernafas. Pada tahap ini pasien mulai mencari
pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.
Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (FEV1/FVC <70%; 30%<FEV1<50%). Terjadi sesak nafas
yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi
yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang berat
(FEV1/FVC <70%; FEV1<30% atau <50%) ditambah dengan adanya
gagal nafas kronik.
(GOLD, 2007)
9
c. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang
dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor
paparan lingkungan antara lain adalah :
1). Merokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronis dan emfisema paru.
Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan FEV1. Secara
patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan
metaplasia epitel skuamosa saluran pernafasan, juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi akut (Soemantri & Uyainah, 2001).
2). Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja
ditempat selain yang disebutkan tadi (Ikawati, 2007). Secara epidemiologi
didapatkan penurunan fungsi paru pada pekerja pabrik plastik yang terpejan
toluene diisocyanate, pabrik katun, dan lain-lain (Soemantri & Uyainah, 2001).
3). Polusi udara
a). Polusi udara dalam rumah
Pembakaran pada tungku dan kompor yang tidak berfungsi dengan baik
dapat menyebabkan polusi udara dalam ruangan. Polusi udara dalam ruangan
10
menyebabkan fraksi PPOK yang lebih besar dari SO2 atau partikel dari emisi
kendaraan bermotor (GOLD, 2007).
b). Polusi udara diluar rumah
Polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil, terutama dari emisi
kendaraan bermotor dikota-kota besar, menyebabkan penurunan fungsi respirasi
(GOLD, 2007). Zat-zat kimia juga dapat menyebabkan bronkitis seperti zat-zat
pereduksi (misalnya oksigen), zat-zat pengoksidasi seperti hidrokarbon, aldehid,
ozon yang banyak terdapat dalam polutan (Bourdet & Williams, 2005).
Sedangkan faktor yang berasal dari host atau pasiennya antara lain adalah :
1). Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin (Ikawati, 2007).
2). Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada laki-laki. Namun ada kecenderungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok (Ikawati, 2007).
3). Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru merupakan faktor risiko, misalnya
defisiensi imunoglobin A (Ig A/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa
kanak-kanak seperti TBC dan bronchiectasis. Individu dengan gangguan fungsi
paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan
11
waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap
berkembangnya PPOK (Ikawati, 2007).
4). Predisposisi genetik, yaitu defisiensi α1 antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan
oleh hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru secara progresif karena
adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada
keadaan normal faktor protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga
mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya
faktor proteksi terhadap kerusakan paru (Ikawati, 2007).
c. Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit
PPOK dikarakterisir adanya inflamasi kronik yang menyebabkan
kerusakan dan mempersempit saluran nafas. Proses tersebut tidak hanya terjadi
pada saluran pernafasan, tetapi juga meluas ke sistem pembuluh pulmonar dan
parenkim paru. Sel inflamasi yang berperan tidak hanya neutrofil, tetapi juga
makrofag dan limfosit CD 8+. Sel-sel inflamasi tersebut akan melepaskan
berbagai mediator kimia, meliputi leukotrien B4 (LTB4), interleukin 8 (IL-8), dan
tumor necrosis faktor α (TNF-α) yang dapat merusak struktur paru. Proses lain
yang ikut berperan penting dalam patogenesis PPOK, yaitu adanya stress oksidatif
dan ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase dalam paru-paru (Bourdet &
Williams, 2005).
Bronkitis kronik umumnya disebabkan oleh paparan polutan udara seperti
asap rokok. Di permukaan epitelial bronkus terdapat silia yang berfungsi untuk
membersihkan bronkus dari mukus dan iritan. Asap rokok dan polutan yang
12
terhirup menghambat pembersihan mukus oleh silia di permukaan epitelial
(mucociliary clearance), mengakibatkan iritan tidak dapat dikeluarkan dari
bronkus. Hal ini menyebabkan bronkiolitis, yang selanjutnya menyebabkan
hiperplasia, hipertrofi, proliferasi kelenjar mukus. Akibatnya terjadi hipersekresi
mukus dan lebih lanjut menyebabkan obstruksi pada bronkus. Karena adanya
mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia membersihkan mukus maka
pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (Ingram, 2002; Ikawati,
2007).
Perubahan pada saluran nafas kecil yang terjadi pada bronkitis kronik
menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga
terjadi
ketidakseimbangan
V/Q
dan
hipoksemia.
Hipoksemia
dapat
mengakibatkan hipertensi pulmonary yang dapat diikuti dengan terjadinya gagal
jantung kanan (cor pulmonale) (Ikawati, 2007).
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang
bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Pada emfisema terjadi kerusakan
dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang.
Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada
hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hilangnya dinding alveolar berakibat
pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup.
Akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q
dipertahankan dengan lebih baik daripada pada bronkitis kronik. Oleh karena itu,
13
pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dispnea (sesak nafas) daripada
pasien bronkitis (Ikawati, 2007).
d. Gambaran Klinis Penyakit
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Adapun gejala klinik PPOK yaitu:
1). “Smoker’s cough”, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin,
kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.
2). Sputum, biasanya banyak dan lengket, berwarna kuning, hijau atau
kekuningan bila terjadi infeksi.
3). Dispnea, ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasan.
Gejala-gejala tersebut mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak
nafas menjadi semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medis
(Ikawati, 2007).
Sedangkan gejala eksaserbasi akut adalah : (1) peningkatan volume
sputum; (2) perburukan pernafasan secara akut; (3) dada terasa berat (Chest
tightness); (4) peningkatan kebutuhan bronkodilator; (5) lelah, lesu; dan (6)
penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah dan terengah-engah)
(Ikawati, 2007).
e. Diagnosis
Diagnosis klinis PPOK sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien
yang mengalami gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, dan
riwayat paparan suatu faktor risiko. Namun, adanya obstruksi saluran pernafasan
harus dikonfirmasi dengan spirometri. Spirometri memberikan penilaian yang
14
komprehensif terhadap volume dan kapasitas paru. Tanda terjadinya PPOK yaitu
nilai rasio FEV1/FVC <70% yang mengindikasikan terjadinya obstruksi saluran
nafas dan nilai FEV1 <80% prediksi yang menunjukkan bahwa obstruksi tersebut
bersifat irreversible (Bourdet & Williams, 2005).
FVC (Forced Vital Capacity) atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran
kapasitas vital yang didapat dari ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin.
Sedangkan FEV (Forced Expiratory Volume) atau volume ekspirasi paksa yaitu
volume udara yang dapat diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. Biasanya
FEV diukur selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan dan disebut FEV1.
Pada umumnya, orang dewasa muda yang sehat akan memiliki FVC sebanyak 4-5
liter dan FEV1 sedikitnya 75% dari volume tersebut. Pada kondisi normal
tersebut, perbandingan antara FEV1/FVC (disebut forced expiratory ratio) akan
bernilai sedikitnya 0,75. Pada penyakit obstruktif, terjadi pengurangan nilai FEV1
yang lebih besar dibanding FVC-nya sehingga rasio FEV1/FVC bisa kurang dari
0,75 (Ikawati, 2007).
Beberapa pemeriksaan penunjang lain juga bisa dilakukan, antara lain
pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto thoraks, analisis gas darah (terutama untuk
menilai adanya gagal nafas), pemeriksaan darah rutin (Hb, Hmt, leukosit),
mikrobiologi sputum untuk melihat ada tidaknya infeksi, serta pemeriksaan kadar
α1-antitripsin (untuk pasien <40 tahun) (Anonim, 2003).
f. Penatalaksanaan PPOK
Sasaran penatalaksanaan terapi PPOK ini adalah mencegah progresifitas
penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi aktivitas, meningkatkan
15
status kesehatan, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mencegah dan mengobati
komplikasi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas. Menurut WHO,
penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen utama, yaitu : (1) pemantauan dan
assessment penyakit, (2) mengurangi faktor risiko, (3) penatalaksanaan PPOK
stabil, dan (4) penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terapi
PPOK dilakukan dengan tindakan non farmakologi maupun farmakologi.
Komponen (1) dan (2) termasuk dalam penatalaksanaan non farmakologi
sedangkan komponen (3) dan (4) termasuk dalam penatalaksaan farmakologi
(Bourdet & Williams, 2005; Ikawati, 2007).
Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil menurut Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007 ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Algoritme Terapi PPOK Stabil Menurut GOLD 2007
I:Mild
II:Moderate
III:Severe
 FEV1/FVC
<0.70
 FEV1≥80%
prediksi
 FEV1/FVC<0.70
 50%≤FEV1<80%
prediksi
 FEV1/FVC<0.70
 30%≤FEV1<50%
prediksi
IV:Very Severe
 FEV1/FVC< 0.70
 FEV1 < 30%
prediksi atau
FEV1 <50%
prediksi plus
gagal nafas kronik
Penghindaran faktor risiko; vaksinasi influenza
Tambahkan bronkodilator aksi pendek (jika diperlukan)
Tambahkan pengobatan reguler dengan satu atau lebih
bronkodilator aksi panjang (jika diperlukan); tambahkan terapi
rehabilitasi
Tambahkan inhalasi kortikosteroid jika
terjadi eksaserbasi berulang
Tambahkan oksigen
jangka panjang jika
terjadi kegagalan
pernafasan kronis;
Pertimbangkan
pembedahan jika
perlu
(GOLD, 2007)
16
1). Terapi Non Farmakologi
a). Berhenti merokok
Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat
memperlambat memburuknya fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan
meningkatkan kualitas hidup pasien (Ikawati, 2007). Selain dengan usaha
penerangan dan penyuluhan, dapat dilakukan dengan farmakoterapi yaitu terapi
penggantian nikotin (nicotine replacement therapy). Terapi penggantian nikotin
berupa pemberian nikotin dalam berbagai bentuk seperti gum, inhaler, spray,
transdermal patch, tablet sublingual, atau lozenges. Bupropion dan nortriptilin
juga dapat digunakan untuk mengatasi ketergantungan merokok (GOLD, 2007).
b). Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya (Anonim, 2003).
Pemberian long term oksigen (>15 jam sehari) pada pasien dengan
kegagalan respirasi kronik menunjukkan peningkatan harapan hidup, selain itu
juga memberikan keuntungan pada status hemodinamik, hematologik, kapasitas
latihan, mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen jangka panjang ini
ditujukan untuk pasien PPOK stage IV (sangat parah) terutama jika : (1) PaO2 ≤
7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia; atau (2)
PaO2 7,3 kPa-8,0 kPa (55-60 mmHg) atau SaO2 88% tetapi terdapat tanda
17
hipertensi pulmonar, edema periferal yang menunjukkan gagal jantung kongestif,
atau polisitemia (hematokrit > 55%) (GOLD, 2007).
Cara pemberian oksigen adalah dengan kanula hidung yang menyalurkan
24-28% oksigen (1-2 liter/menit). Tujuannya adalah mencapai PaO2 diatas 60
mmHg. Pada pasien yang diketahui menahan CO2 harus hati-hati dalam
menaikkan PaO2 terlalu tinggi karena akan menekan pernafasan (Ikawati, 2007).
c). Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Gangguan keseimbangan elektrolit juga sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan
ventilasi. Gangguan elektrolit yang sering terjadi adalah hipofosfatemia,
hiperkalemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia (Anonim, 2003).
d). Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi gejala, memperbaiki
kualitas hidup, meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam aktivitas seharihari (GOLD, 2007). Program rehabilitasi paru merupakan komponen integral
dalam penatalaksanaan PPOK dan termasuk di dalamnya fisioterapi bersamaan
dengan program berhenti merokok, latihan pernafasan, perawatan medis yang
optimal, dukungan psikososial, dan pemberian edukasi kesehatan (Bourdet &
Williams, 2005).
18
e). Vaksinasi
Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin
pneumococcal dari vaksinasi influenza pertahun. Vaksin influenza terbukti dapat
mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Bila pasien
terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan amantadin
dan rimantadin (Ikawati, 2007).
f). Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan mekanik
paru, meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi, serta memperbaiki kualitas
hidup pasien. Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu: (1) bulektomi; (2) Bedah
Reduksi Volume Paru (BRVP)/Lung Volume Reduction Surgery (LVRS); atau (3)
transplantasi paru (Anonim, 2003).
2). Terapi Farmakologi
Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK stabil, dan terapi untuk
eksaserbasi akut. Pada PPOK stabil, terapi farmakologi ditujukan untuk
mengurangi gejala dan komplikasi, termasuk mengurangi frekuensi dan keparahan
eksaserbasi serta memperbaiki status kesehatan dan toleransi latihan pasien.
Sedangkan pada eksaserbasi akut, terapi farmakologi ditujukan untuk mencegah
hospitalisasi atau menurunkan lama tinggal di rumah sakit, mencegah gagal nafas
akut, mengurangi gejala dan mengembalikan status klinis pasien (Bourdet &
Williams, 2005).
Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana
gejala PPOK, bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada
19
kondisi pasien. Bronkodilator utama adalah β2 agonis, antikolinergik, teofilin,
atau kombinasinya. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya
boleh diberikan pada pasien yang telah tercatat (dari hasil spirometri) memang
berespon terhadap steroid, atau pasien yang FEV1 <50%. Penatalaksanaan terapi
untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan intervensi medis dan obat-obatan.
Bronkodilator inhalasi (terutama β2 agonis atau antikolinergik), teofilin, dan
kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti
peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya diberi antibiotik
(Ikawati, 2007).
Obat-obat yang digunakan untuk terapi farmakologi PPOK yaitu :
a). Bronkodilator
Bronkodilator diberikan sebagai kebutuhan dasar untuk menghilangkan
gejala yang menetap atau memburuk. Yang termasuk bronkodilator dalam terapi
PPOK adalah β2 agonis, antikolinergik, dan metilksantin.
Secara umum, bronkodilator bekerja dengan mengurangi tahanan otot
polos bronkus saluran pernafasan sehingga meminimalkan keterbatasan aliran
udara. Pada pasien PPOK, manfaat klinis penggunaan bronkodilator meliputi:
peningkatan kemampuan beraktivitas, menurunkan air trapping pada paru-paru,
dan mengurangi gejala seperti dispnea. Namun demikian, penggunaan
bronkodilator tidak signifikan terhadap perbaikan fungsi paru, seperti FEV1. Efek
samping penggunaan bronkodilator adalah terkait dengan efek farmakologinya,
serta ketergantungan dosis (Bourdet & Williams, 2005).
20
(1). Antikolinergik
Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan
atropine menyebabkan efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan secara
kompetitif terhadap reseptor kolinergik yang ada di otot polos bronkus. Aktivitas
tersebut akan
menghambat
asetilkolin,
yang
selanjutnya
berefek
pada
pengurangan cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP), dimana cGMP ini
secara normal berperan pada konstriksi otot polos bronkus (Bourdet & Williams,
2005).
Terapi dengan antikolinergik merupakan terapi lini pertama pada penyakit
PPOK stabil. Antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih besar daripada
β2 agonis saat dilakukan tes fungsi paru-parunya. Dengan demikian terdapat
hubungan penting antara sistem kolinergik sebagai mediator tonus bronchial pada
pasien PPOK. Antikolinergik dapat mempertahankan keefektifannya selama
bertahun-tahun dalam penggunaan yang teratur terus-menerus (Ikawati, 2007).
Ipratropium bromida dan tiotropium bromida merupakan golongan
antikolinergik yang dapat memberikan manfaat paling besar serta efek samping
yang paling kecil. Ipratropium tersedia dalam bentuk Metered Dose Inhaler
(MDI) dan larutan inhalasi yang menunjukkan puncak efek pada 1,5-2 jam dan
durasi kerja 4-6 jam (Bourdet & Williams, 2005).
Ipratropium bromida diberikan dengan dosis 2 inhalasi 4x sehari dan dapat
ditingkatkan sampai 12 inhalasi per hari jika perlu. Efek sampingnya jarang
terjadi dan biasanya berupa mulut kering, rasa pahit, batuk, dan mual (Goldsmith
& Weber, 2000).
21
(2). Simpatomimetik
Golongan β2 agonis bekerja dengan mengaktivasi adenilat siklase
sehingga meningkatkan pembentukan cyclic Adenosine Mono Phosphate (cAMP)
yang bertanggung jawab memperantarai terjadinya relaksasi otot polos bronkus.
Juga memperbaiki pembersihan mukosiliar. Terdapat beberapa evidence bahwa
obat
simpatomimetik
dapat
meningkatkan
kontraktilitas
diafragma
dan
memperbaiki cor pulmonale (Bourdet, dan Williams, 2005; Goldsmith & Weber,
2000).
Pada pasien dengan PPOK yang stabil, simpatomimetik direkomendasikan
sebagai terapi lini kedua, sebagai tambahan atau menggantikan ipratropium untuk
pasien yang tidak menunjukkan keuntungan klinik yang memuaskan dengan
menggunakan ipratropium saja. Sedangkan penggunaan β2 agonis pada
eksaserbasi akut merupakan pilihan pertama karena onset kerjanya yang cepat
(Ikawati, 2007).
Golongan β2 agonis ada yang mempunyai masa kerja pendek, misalnya
salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Dan ada juga yang mempunyai masa kerja
yang panjang seperti formoterol dan salmeterol. Meskipun pemberian β2 agonis
masa kerja pendek inhalasi hanya memberikan sedikit perbaikan pada FEV1
secara akut, namun dapat memperbaiki gejala dan toleransi latihan. Durasi β2
agonis masa kerja pendek sekitar 4-6 jam. Inhalasi β2 agonis masa kerja panjang
memberikan keuntungan durasi yang lebih panjang (sampai dengan 12 jam) tanpa
mengurangi efektifitas. Albuterol, tersedia dalam sediaan oral dan inhalasi,
22
merupakan golongan β2 agonis yang paling sering digunakan (Bourdet &
Williams, 2005).
Efek samping dari obat-obat golongan β2 agonis dapat berupa rasa gugup,
tremor, takikardi, palpitasi, mengantuk, nyeri kepala, mual, muntah, dan
berkeringat. Namun, efek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian
secara inhalasi. Penggunaan beta-2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati
pada penderita dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, hipertiroid, atau diabetes (Setiawatia, 1995).
(3). Kombinasi simpatomimetik dengan antikolinergik
Kombinasi antara golongan bronkodilator itu sendiri telah banyak
digunakan dalam terapi PPOK, khususnya yang perkembangan penyakitnya
memburuk. Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme aksi yang berbeda
memberikan kemungkinan efektifitas dalam penggunaan dosis dan menurunkan
potensial efek samping dari masing-masing obat. Kombinasi dari β2 agonis masa
kerja pendek dan panjang dengan ipratropium menunjukkan adanya pengurangan
gejala dan peningkatan fungsi jantung (Bourdet & Williams, 2005).
(4). Metilksantin
Golongan metilksantin seperti teofilin dan amonifilin, sudah cukup lama
digunakan sebagai lini pertama terapi PPOK. Namun dengan makin banyaknya
golongan β2 agonis dan antikolinergik inhalasi, serta banyaknya potensi interaksi
obat antara teofilin/aminofilin serta variabilitas respon antar dan inter pasien,
golongan metilksantin ini bergeser menjadi terapi lini ketiga (Ikawati, 2007).
23
Metilksantin
menghasilkan
efek
bronkodilatasi
melalui
beberapa
mekanisme, yaitu: (1) penghambatan fosfodiesterase sehingga meningkatkan level
cAMP, (2) penghambatan influx ion kalsium ke dalam sel otot polos, (3)
antagonis prostaglandin, (4) stimulasi katekolamin endogen, (5) antagonis
reseptor adenosin, serta (6) penghambatan pelepasan mediator dari sel mast dan
leukosit (Bourdet & Williams, 2005).
Bentuk sediaan lepas lambat merupakan bentuk yang paling tepat untuk
terapi pemeliharaan PPOK, karena menghasilkan kadar serum yang lebih
konsisten. Penggunaan golongan metilksantin sendiri tidak banyak memberikan
perbaikan atau pemburukan pada perkembangan penyakit PPOK. Namun jika
diberikan sebagai terapi tambahan bagi bronkodilator lain yang mendukung
hipotesis bahwa terdapat efek sinergistik pada bronkodilatasi (Ikawati,2007).
Untuk terapi pemeliharaan, dosis awal teofilin yaitu 200 mg 2x sehari, dan
dapat dititrasi setiap 3-5 hari, sampai tercapai dosis targetnya. Sebagian besar
pasien memerlukan dosis antara 400-900 mg sehari. Penyesuaian dosis seharusnya
dilakukan berdasarkan kadar serum teofilin. Kadar terapetik teofilin adalah 10-20
mcg/mL, namun karena efek sampingnya yang tergantung dosis dan tidak
memberikan keuntungan tambahan pada kadar yang lebih tinggi, maka kadar
terapetik yang lebih umum digunakan yaitu 8-15 mcg/mL (terutama pada usia
lanjut (Bourdet & Williams, 2005).
Efek samping teofilin yang paling umum terkait dengan sistem
gastrointestinal, kardiovaskuler, dan sistem saraf pusat. Efek samping minor
berupa dispepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan takikardi.
24
Toksisitas lebih serius yang terjadi pada kadar toksik dapat berupa aritmia dan
kejang (Bourdet & Williams, 2005).
b). Kortikosteroid
Pada penatalaksanaan terapi PPOK, penggunaan kortikosteroid sebagai
antiinflamasi memberikan keuntungan antara lain: (1) mereduksi permeabilitas
kapiler untuk mengurangi mukus; (2) menghambat pelepasan enzim proteolitik
dari leukosit; dan (3) menghambat prostaglandin. Penggunaan kortikosteroid
sistemik jangka pendek diberikan untuk penderita PPOK eksaserbasi akut,
sedangkan terapi inhalasi untuk penderita PPOK stabil derajat III atau IV
(FEV<50%) yang berulang kali mengalami eksaserbasi (Bourdet & Williams,
2005).
Beberapa produk kortikosteroid inhalasi tersedia di pasaran, namun
flutikason dan budesonid memberikan potensi dan bentuk sediaan yang lebih
nyaman bagi pasien karena membutuhkan inhalasi yang lebih sedikit dibanding
yang lain. Dosis tinggi budesonid berada pada kisaran 600-1000 µg/hari (3-5
inhalasi), sedangkan dosis pemeliharaan yang rendah antara 200-400 µg/hari (1-2
inhalasi). Flutikason memiliki potensi 220 µg/puff, dengan dosis pemeliharaannya
berada pada kisaran 220-440 µg/hari (Goldsmith & Weber, 2000).
Terapi untuk pasien eksaserbasi akut dimulai dengan metilprednisolon 0,51 mg/kg setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah membaik dapat diganti dengan
prednison 40-60 mg sehari. Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering untuk
meminimalisasi penekanan hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Bila
25
diperlukan terapi lebih lama, digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan
pada pagi hari atau selang hari (Ikawati, 2007).
Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan
terkait efek samping miopati steroid yang dapat mengakibatkan lemah otot,
penurunan fungsi pernafasan, dan kegagalan pernafasan pada pasien dengan
PPOK berat (GOLD, 2007). Efek samping kortikosteroid inhalasi relatif ringan
dibanding penggunaan secara sistemik. Sakit tenggorokan, suara parau,
candidiasis oral, dan kulit memar pernah dilaporkan terjadi. Efek samping
sistemik yang berat diantaranya supresi adrenal, osteoporosis, dan katarak
(Bourdet & Williams, 2005).
c). Kombinasi bronkodilator dan inhalasi kortikosteroid
Terapi kombinasi antara bronkodilator masa kerja panjang dengan inhalasi
kortikosteroid menunjukkan manfaat yang lebih besar dibanding pemberian
obatnya dalam bentuk tunggal. Misalnya kombinasi salmeterol dan flutikason atau
formoterol dan budesonid yang menunjukkan peningkatan outcome klinis seperti
FEV1, status kesehatan, dan frekuensi eksaserbasi. Kombinasi ini juga lebih
nyaman bagi pasien dan menurunkan kebutuhan jumlah inhalasi per hari (Bourdet
& Williams, 2005).
d). Antibiotik
Data menunjukkan bahwa sedikitnya 80% eksaserbasi akut PPOK
disebabkan oleh infeksi. Dari infeksi ini, 40-50%nya disebabkan oleh bakteri,
30% oleh virus, dan 5-10% tidak diketahui bakteri penyebabnya. Karena itu
26
antibiotik
merupakan
salah
satu
obat
yang
sering
digunakan
dalam
penatalaksanaan PPOK (Ikawati, 2007).
Sebuah studi metaanalisis menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan
harus dimulai jika pasien memperlihatkan minimal 2 dari 3 gejala berikut:
peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi
sputum (Bourdet & Williams, 2005).
Terapi antibiotik dimulai dalam 24 jam setelah gejala terlihat untuk
mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena iritasi dan sumbatan
karena adanya proses infeksi. Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk
PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada PPOK Eksaserbasi Akut
Karakteristik pasien
Eksaserbasi tanpa
komplikasi
 <4x eksaserbasi
setahun
 Tidak ada penyakit
penyerta
 FEV1 >50%
Eksaserbasi kompleks
 Umur >65 tahun
 >4x eksaserbasi
pertahun
 Tidak ada penyakit
penyerta
 FEV1 <50% tapi
>35%
Eksaserbasi kompleks
dengan risiko
Pseudomonas
aeruginosa
Pathogen penyebab
yang mungkin
S. pneumonia, H.
influenza, H.
parainfluenzae, dan
M. catarrhalis
Umumnya tidak
resisten
Terapi yang direkomendasikan
 Makrolida (azitromisin,
klaritromisin)
 Sefalosporin generasi 2 atau
3
 Doksisiklin
Seperti diatas,
 Amoksisilin/klavulanat
ditambah H.
 Fluorokuinolon
influenzae dan M.
(levofloksasin, gatifloksasin,
catarrhalis penghasil
moksifloksasin)
beta laktamase
Seperti diatas,
ditambah P.
aeruginosa
 Fluorokuinolon
(levofloksasin, gatifloksasin,
moksifloksasin)
 Terapi I.V. jika diperlukan :
sefalosporin generasi 3 atau 4
(Bourdet & Williams, 2005)
27
e). Terapi pengganti AAT (α1 antitripsin)
Pasien dengan defisiensi α1 antitripsin secara genetik, selain dilakukan
terapi yang terfokus pada pengurangan faktor risiko dan gejala dengan pemberian
bronkodilator, dapat juga ditambahkan terapi untuk penggantian AAT. Terapi
pengganti AAT ini berupa infus pooled human AAT yang diberikan tiap minggu
untuk menjaga kadar AAT plasma berada diatas 10 mikromolar. Namun terapi ini
masih banyak menimbulkan masalah, kaitannya dengan harga yang mahal dan
ketersediaan produk yang memenuhi syarat. Saat ini ada 3 produk yang sudah
tersedia yaitu Prolastin, Aralast, dan Zemaira (Bourdet & Williams, 2005).
2. Drug Related Problems (DRPs)
DRPs merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman
pasien akibat terapi obat, sehingga secara aktual maupun potensial dapat
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan (Cipolle et al., 1998).
DRPs dapat berupa masalah aktual maupun potensial. DRPs aktual adalah
problem atau masalah yang sudah terjadi pada pasien, dan farmasis harus
berusaha menyelesaikannya. Sedangkan DRPs potensial adalah suatu problem
atau masalah yang mungkin terjadi, suatu risiko yang dapat berkembang pada
pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk mencegahnya (Rovers
et al., 2003).
Tabel 3 menunjukkan hubungan antara Drug Related Needs dan Drug
Related Problems. Sementara tabel 4 menunjukkan klasifikasi DRPs yang dibuat
berdasarkan masalah yang dialami pasien.
28
Tabel 3. Drug Related Needs dan Drug Related Problems
Drug Related Needs
Ketepatan indikasi
Efektivitas
Keamanan
Kepatuhan pasien
Drug Related Problems (DRPs)
Terapi obat yang tidak perlu
Membutuhkan obat
Obat salah
Dosis terlalu rendah
Adverse Drug Reaction
Dosis terlalu tinggi
Gagal menerima obat
(Rovers et al., 2003)
Tabel 4. Kategori DRP dan Penyebabnya
Jenis DRPs
Terapi obat yang
tidak perlu
Penyebab DRPs
Pasien menerima obat tanpa ada indikasi yang jelas
Pasien menerima lebih dari satu macam obat yang sebenarnya
tidak perlu (duplikasi terapi)
Terapi non obat lebih sesuai bagi pasien
Pasien menerima terapi obat untuk mencegah efek samping obat
lain yang sebenarnya dapat dicegah
Penggunaan obat adiktif
Indikasi yang
Pasien membutuhkan terapi obat baru
tidak diterapi
Pasien menderita penyakit kronis sehingga membutuhkan terapi
obat lanjutan
Kondisi pasien membutuhkan kombinasi obat
Pasien berisiko mengalami komplikasi yang dapat dicegah
dengan terapi profilaksis
Obat salah
Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat
Obat yang diberikan kepada pasien bukan merupakan obat yang
paling efektif untuk penyakitnya
Obat efektif tetapi bukan yang paling murah
Obat efektif tetapi bukan yang paling aman
Bakteri bersifat resisten terhadap obat
Dosis subterapi
Dosis obat terlalu rendah untuk mencapai respon
Kadar obat dalam darah berada di bawah kisaran terapi
Frekuensi pemberian obat tidak tepat
Cara pemberian obat tidak tepat
Adverse Drug
Pasien mengalami reaksi alergi terhadap obat
Reaction (ADRs) Pasien mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap obat
Bioavailabilitas obat berubah karena terjadi interaksi dengan
obat lain
Efek obat berubah karena adanya induksi/inhibisi enzim oleh
obat lain
Efek obat berubah karena terjadi interaksi dengan makanan
Efek obat berubah karena pendesakan ikatan obat-protein oleh
obat lain
29
Tabel 4. (..Lanjutan)
Jenis DRPs
Dosis terlalu
tinggi
Gagal menerima
obat
Penyebab DRPs
Dosis obat terlalu tinggi
Kadar obat dalam darah melebihi kisaran terapi
Frekuensi pemberian obat tidak tepat
Durasi pemberian obat tidak tepat
Pasien tidak menerima obat yang tepat karena terjadi medication
error (kesalahan peresepan, peracikan, atau pemberian obat)
Pasien tidak mematuhi petunjuk penggunaan obat
Pasien tidak mampu membeli obat
Pasien kurang memahami petunjuk penggunaan obat
Pasien tidak minum obat karena alasan pribadi
(Cipolle et al., 1998)
a. Terapi obat yang tidak perlu
Terapi obat yang tidak perlu, selain menempatkan pasien pada risiko efek
samping atau toksisitas obat, juga meningkatkan biaya dari terapi itu sendiri.
Terapi obat dianggap tidak perlu untuk pasien jika tidak terdapat indikasi yang
jelas untuk obat tersebut. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa obat
digunakan untuk beberapa alasan, tidak hanya untuk mengobati penyakit maupun
mengurangi gejala, namun juga untuk profilaksis dan pencegahan dan untuk
proses diagnosis (Cipolle et al., 1998).
Jika seorang pasien menerima kombinasi terapi dimana penggunaan satu
obat sudah cukup efektif, maka pasien dianggap mendapatkan terapi obat yang
tidak perlu. Duplikasi seperti ini seringkali terjadi misalnya pada pasien yang
menerima lebih dari satu macam analgesik, antidiare, atau laksatif untuk indikasi
yang sama (Cipolle et al., 1998).
Terapi obat yang tidak perlu terjadi karena beberapa sebab, antara lain: (1)
tidak ada indikasi medis; (2) penggunaan obat adiktif/rekreasional; (3) terapi non
30
obat lebih sesuai untuk pasien; (4) duplikasi terapi; serta (5) penggunaan obat
untuk mencegah efek samping obat lain yang dapat dicegah (Cipolle et al., 1998).
b. Indikasi yang tidak diterapi
DRPs tipe ini terjadi apabila pasien memerlukan terapi obat baru untuk
penyakitnya, pasien memerlukan terapi tambahan untuk mendapatkan pengobatan
yang optimal, atau pasien berisiko untuk mengalami komplikasi sehingga
memerlukan terapi untuk mencegah penyakit tersebut (Cipolle et al., 1998).
Kontinuitas dalam terapi obat penting untuk diperhatikan, terutama pada
kasus penyakit dan gangguan kronis yang memerlukan terapi jangka panjang
untuk mengurangi simtom, misalnya nyeri pada pasien dengan rheumatoid
arthritis. DRPs kemungkinan dapat terjadi jika pasien tersebut pindah dari satu
rumah sakit ke rumah sakit lain, dari satu dokter ke dokter lain, atau dari satu
farmasis ke farmasis lain yang menyebabkan terapi mereka tidak dilanjutkan.
Dalam situasi ini, kontinuitas terapi obat akan terputus dan berdampak pada
terjadinya DRPs (Cipolle et al., 1998).
Contoh lain adalah pasien yang membutuhkan terapi kombinasi obat,
misalnya pada individu dengan Hodgin’s disease stage III yang memerlukan
kemoterapi kombinasi untuk memperoleh efek cell killer yang lebih besar. Hal
yang sama juga terjadi pada pasien tuberculosis yang membutuhkan minimal 2
antibakteri untuk eradikasi bakteri. Hal tersebut terkait risiko resistensi dan infeksi
yang berlanjut jika hanya menggunakan monoterapi (Cipolle et al., 1998).
Penyebab utama pasien membutuhkan terapi obat baru atau tambahan
yaitu: (1) untuk terapi kondisi sebelumnya yang belum diterapi; (2) untuk
31
memperoleh efek sinergis atau potensiasi; dan (3) untuk terapi pencegahan atau
profilaksis (Cipolle et al., 1998).
c. Obat salah
Suatu terapi dapat dikatakan tidak tepat atau salah apabila pasien tidak
memperoleh atau kemungkinan besar tidak akan memperoleh outcome terapi
yang diinginkan. Efektifitas dan toksisitas obat harus menjadi pertimbangan
farmasis pada saat menentukan terapi yang tepat untuk pasien. Adanya
keseimbangan antara keduanya akan meningkatkan kenyamanan dan kualitas
hidup pasien. Terapi obat bersifat individual untuk masing-masing pasien. Suatu
regimen dikatakan sebagai obat yang salah untuk pasien tertentu belum tentu
halnya demikian untuk pasien yang lainnya. Secara garis besar, pemilihan terapi
obat jarang yang bersifat 100% benar, namun juga jarang 100% salah (Cipolle et
al., 1998).
Keberhasilan dan keefektifan terapi obat tergantung pada identifikasi dan
diagnosis terhadap problem pasien. Faktor-faktor yang menentukan ketepatan
pemilihan terapi obat diantaranya kondisi medis pasien, keparahan penyakit,
penyakit infeksi dan organisme penyebab, usia, dan status kesehatan pasien
termasuk keadaan ginjal, hepatik, kardiovaskuler, neurologis, kognitif, dan
imunitas (Cipolle et al., 1998).
Beberapa penyebab ketidaktepatan pemilihan obat antara lain:
1). Pasien mengalami masalah klinis karena obat yang diberikan tidak efektif
2). Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat yang diterima
3). Obat yang diterima oleh pasien bukan merupakan obat yang paling efektif
32
4). Pasien menerima obat yang efektif tapi bukan yang paling murah
5). Pasien mempunyai kontra indikasi terhadap obat yang diterima
6). Obat yang diterima pasien tidak efektif terhadap bakteri penyebab infeksi
7). Pasien menerima kombinasi yang tidak diperlukan (Cipolle et al., 1998).
d. Dosis subterapi
Secara garis besar, regimen dosis obat yang dianggap sebagai dosis
subterapi apabila pasien telah diterapi sesuai dengan indikasinya, tidak mengalami
efek samping akibat obat, akan tetapi tidak memperoleh manfaat terapi yang
diinginkan (Cipolle et al., 1998).
Dikatakan dosis kurang atau dosis terlalu rendah adalah apabila dosis yang
diterima pasien berada dibawah 20% dari rentang dosis terapi yang seharusnya
diterima pasien. FDA menetapkan kriteria bioekuivalensi obat adalah sebesar 80125% pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam
darah maksimum (Cmax). Kriteria ini digunakan pada obat baik yang
variabilitasnya rendah maupun tinggi (Food and Drug Administration, 2004).
Faktor penyebab dosis subterapi diantaranya: (1) dosis obat salah (terlalu
rendah); (2) frekuensi pemberian obat tidak tepat; (3) durasi terapi tidak tepat; (4)
penyimpanan obat tidak tepat; dan (5) cara pemberian obat tidak tepat (Cipolle et
al., 1998).
e. Dosis berlebih
Perubahan paling berarti dalam menapaki usia lanjut ialah berkurangnya
fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat
penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi
33
obat sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya.
Dalam setiap keadaan perlu memakai dosis kecil bila dijumpai penurunan fungsi
ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang
sempit (Darmansjah, 2006). Pasien yang memiliki disfungsi ginjal akan
mengalami akumulasi obat atau metabolit obat yang eliminasinya tergantung pada
kerja sistem ginjal (Cipolle et al., 1998).
Menurut FDA, dikatakan dosis berlebih atau dosis terlalu tinggi adalah
apabila dosis yang diterima pasien berada 25% di atas dosis standar yang
seharusnya diterima (Food and Drug Administration, 2004). Apabila seorang
pasien telah mengalami efek abnormal potensial maupun aktual dari pengobatan,
seharusnya dosis obat atau interval pengobatan diturunkan berdasarkan pada level
obat tersebut terakumulasi dalam tubuh (Cipolle et al., 1998).
DRP jenis dosis berlebih ini dapat terjadi karena peningkatan level obat
dalam tubuh akibat beberapa hal berikut ini: (1) dosis obat salah (terlalu tinggi);
(2) frekuensi pemberian obat yang tidak tepat; (3) durasi pengobatan yang tidak
tepat (Cipolle et al., 1998).
Penyesuaian dosis untuk pasien lanjut usia biasanya berdasarkan nilai
klirens kreatininnya. Pengukuran klirens kreatinin, meskipun tidak sepenuhnya
akurat pada tiap individu, namun dapat digunakan untuk memperkirakan
penurunan fungsi ginjal. Banyak rumus yang dapat digunakan untuk memprediksi
nilai klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin dan variabel lain seperti umur,
jenis kelamin, ras, dan ukuran tubuh. Perhitungan klirens kreatinin yang paling
umum adalah menggunakan rumus Cockcroft dan Gault (Lindblad et al., 2005).
34
Namun pada penelitian ini klirens kreatinin pasien dihitung dengan rumus Jellife,
karena tidak semua berat badan pasien tercantum dalam rekam medis. Metode
Jellife memperhitungkan umur penderita dan pada umumnya dapat dipakai untuk
penderita dewasa yang berumur 20-80 tahun. Dengan metode ini makin tua
penderita makin kecil klirens kreatinin untuk konsentrasi kreatinin serum yang
sama. Untuk penderita wanita hendaknya menggunakan 90% dari klirens kreatinin
yang diperoleh untuk penderita pria (Shargel & Yu, 2005).
Keterangan :
ClCr = klirens kreatinin (ml/menit)
SeCr = serum kreatinin (mg/dL)
f. Interaksi Obat
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua
atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas
satu obat atau lebih berubah. Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan
meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya (Fradgley,
2003).
Menurut jenisnya, interaksi obat dibedakan menjadi :
1). Interaksi Farmasetik/Inkompatibilitas
Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang
tidak dapat campur (inkompatibel). Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat
(Setiawatib, 1995).
35
2). Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi (Fradgley, 2003). Interaksi
farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan
dengan obat yang berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar
obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi
sifat-sifat farmakokinetiknya (Setiawatib, 1995).
a). Interaksi pada proses absorpsi
Apabila obat diberikan secara per oral, absorpsinya di saluran pencernaan
kompleks dan bervariasi, sehingga menyebabkan interaksi obat tipe ini sulit
diperkirakan. Absorpsi saluran cerna obat dapat dipengaruhi oleh penggunaan
bersama bahan-bahan lain yang: (1) memiliki area permukaan tempat absorpsi
yang luas; (2) mengikat atau meng-khelasi; (3) mengubah pH lambung; (4)
mengubah motilitas gastrointestinal; atau (5) mempengaruhi transport protein
seperti p-glycoprotein. Interaksi yang mengurangi kecepatan absorpsi dan
interaksi yang mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi perlu dibedakan.
Penurunan hanya pada laju absorpsi obat secara klinis tidak begitu penting,
sedangkan penurunan tingkat absorpsi akan secara klinis penting jika
menimbulkan kadar serum subterapetik (Hansten, 2004).
b). Interaksi pada proses distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat
ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari
ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan sementara
36
konsentrasi obat bebas (aktif). Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya
dengan protein tinggi (Fradgley, 2003).
c). Interaksi pada proses metabolisme
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom
P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan
kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek.
Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan
toksisitas obat lain (Fradgley, 2003).
d). Interaksi pada proses eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerolus dan sekresi
tubular aktif. Ekskresi ginjal dari beberapa obat asam lemah atau basa lemah
dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempengaruhi pH urin. Untuk beberapa
obat yang eliminasinya melalui sekresi aktif ke dalam tubulus ginjal dapat
dipengaruhi oleh terapi obat yang menyertainya, sehingga mengubah kadar obat
dalam serum dan mengubah respon farmakologis (Hansten, 2004).
3). Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau
antagonistik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik
seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan lamanya efek
farmakodinamik
(Setiawatib,
1995).
Efek
yang
terjadi
pada
interaksi
37
farmakodinamik dapat berupa: (1) sinergisme, (2) antagonisme, (3) efek reseptor
tidak langsung, serta (4) gangguan cairan dan elektrolit (Fradgley, 2003).
Selain ketiga jenis interaksi diatas, interaksi obat juga dapat dibedakan
menjadi:
1). Berdasarkan level kejadiannya, interaksi obat terdiri dari establish (sangat
mantap terjadi), probable (interaksi obat bisa terjadi), suspected (interaksi
obat diduga terjadi), possible (interaksi obat mungkin terjadi, belum pasti
terjadi), serta unlikely (interaksi obat tidak terjadi) (Tatro, 2001).
2). Berdasarkan onsetnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
interaksi dengan onset cepat (efek interaksi terlihat dalam 24 jam) dan
interaksi dengan onset lambat (efek interaksi terlihat alam beberapa hari
sampai minggu) (Tatro, 2001).
3). Berdasarkan keparahannya, interaksi obat dibagi menjadi 3 tipe yaitu mayor
(dapat menyebabkan kematian), moderat (sedang), dan minor (tidak begitu
masalah, dapat diatasi dengan baik) (Tatro, 2001).
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada
terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi
dengan obat lain. Kemudian perlu untuk dinilai apakah interaksi yang terjadi
bermakna klinis dan ditemukan kelompok pasien yang berisiko mengalami
interaksi
obat.
Langkah
berikutnya
adalah
memberitahu
dokter
dan
mendiskusikan berbagai langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan
berbagai efek samping obat yang mungkin terjadi. Beberapa strategi dalam
penatalaksanaan interaksi obat antara lain :
38
1). Hindari kombinasi obat yang berinteraksi
Jika risiko interaksi obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti
tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang
berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik
(Fradgley, 2003).
2). Penyesuaian dosis
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka
perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut (Fradgley, 2003).
3). Memantau pasien
Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan
diperlukan, yang meliputi pemantauan klinis, pengukuran kadar obat dalam darah,
dan pengukuran indikator interaksi (Fradgley, 2003).
4). Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien
dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003).
g. Potentially Inappropriate Medications (PIMs)
Pasien usia lanjut sangat identik dengan adanya banyak penyakit pada
waktu yang bersamaan sehingga diresepkan banyak obat. Hal tersebut
meningkatkan risiko kejadian Adverse Drug Events (ADEs) serta interaksi obatobat atau obat-penyakit. Beberapa obat memberikan risiko khusus pada pasien
39
usia lanjut sebagai hasil dari perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada
kelompok usia tersebut. Sehingga peresepan beberapa obat dinilai kurang tepat,
terutama jika terdapat alternatif obat yang lebih aman (Gallagher & O’Mahony,
2008).
Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
PIMs pada geriatri, diantaranya kriteria Beers, STOPP (Screening Tool of Older
People’s Potentially Inappropriate Prescriptions), dan kriteria Laroche (French
list). Kriteria-kriteria tersebut merupakan hasil konsensus para ahli yang
dilakukan melalui studi literatur dan kuesioner yang dievaluasi oleh para ahli di
bidang geriatrik, farmakologi klinik, dan psikofarmakologi menggunakan teknik
Delphi yang dimodifikasi. Metode Delphi adalah suatu prosedur dan metode
untuk merumuskan satu kesimpulan mengenai sesuatu hal dimana informasi yang
akurat kurang mencukupi. Kriteria Beers merupakan kriteria yang pertama dan
paling sering digunakan. Kriteria Beers pertama kali dipublikasikan pada tahun
1991 dan diperbarui pada tahun 1997 dan 2003, dimana ada 48 obat yang
seharusnya dihindari pada pasien geriatri (independent diagnosis) dan 20 penyakit
atau kondisi medis dimana penggunaan obat-obat tertentu sebaiknya dihindari
(considering diagnosis) (Fick et al., 2003).
Meskipun kriteria Beers paling sering digunakan untuk mendeteksi PIMs
dalam studi epidemiologi skala besar, namun beberapa kriteria Beers masih
kontroversial. Beberapa obat dalam daftar kriteria Beers merupakan obat lama dan
sudah tidak tersedia di Eropa. Selain itu, beberapa obat dalam kriteria Beers
sebenarnya tidak dikontraindikasikan untuk pasien geriatri menurut beberapa
40
formularium terkini seperti British National Formulary. Kriteria Beers juga tidak
memasukkan sejumlah obat ke dalam PIMs misalnya interaksi obat-obat, atau
duplikasi kelas obat pada geriatri. Adanya kesalahan/kelalaian peresepan juga
tidak dipertimbangkan dalam kriteria ini, dan belum ada RCT prospektif yang
secara khusus menggunakan kriteria Beers sebagai intervensi untuk memperbaiki
ketidaktepatan pengobatan atau meminimalkan ADEs (O’Mahony et al., 2010).
Kriteria STOPP dipublikasikan pada tahun 2006, dimana di dalamnya
terdapat 65 obat yang termasuk PIMs dengan mempertimbangkan keadaan klinis
pasien. Sementara French list memasukkan 36 kriteria yang dapat dipakai pada
pasien berusia ≥75 tahun, 29 kriteria digunakan pada semua pasien (independent
diagnosis) dan 5 kriteria merupakan obat yang seharusnya dihindari pada kondisi
medis tertentu. Dua puluh lima kriteria obat dengan rasio manfaat-risiko yang
tidak menguntungkan, satu obat dengan efikasi yang dipertanyakan, dan 8 obat
yang termasuk keduanya (O’Mahony et al., 2010 ; Laroche et al., 2007).
3. Geriatri
Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan
kemampuan
jaringan
untuk
memperbaiki
diri
dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Kriteria kelompok lanjut usia menurut Departemen Kesehatan RI yaitu kelompok
usia lebih dari 60 tahun. Sedangkan menurut WHO, usia yang termasuk kelompok
geriatri adalah lebih dari 65 tahun (Boedhi-Darmojo & Martono, 2006).
41
Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk
anatomi, fisiologi, psikologi, dan juga sosiologi. Perubahan fisiologi yang terkait
lanjut usia akan memberikan efek serius pada banyak proses yang terlibat dalam
penatalaksanaan obat (Prest, 2003).
a. Perubahan farmakokinetika
1). Absorpsi
Perubahan fisiologis yang terjadi pada fase ini antara lain penundaan
pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah jaringan,
serta perubahan motilitas gastrointestinal. Perubahan tersebut secara teori
berpengaruh terhadap absorpsi obat, namun sebagian besar obat diabsorbsi
melalui difusi pasif sehingga perubahan fisiologi terkait usia tidak berpengaruh
secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang terabsorpsi. Beberapa
pengecualian termasuk digoksin maupun obat dan substansi lain dengan
mekanisme aktif yang absorpsinya berkurang, contohnya adalah tiamin, kalsium,
besi, dan beberapa jenis gula (Prest, 2003; Linblad et al., 2005).
2). Distribusi
Dibandingkan dengan orang dewasa muda, orang lanjut usia mengalami
penurunan massa tubuh tanpa lemak, penurunan jumlah total dan presentasi kadar
air dalam tubuh, dan peningkatan lemak sebagai persentase dari massa tubuh.
Biasanya terdapat penurunan albumin serum yang mengikat berbagai jenis obat,
terutama asam lemah. Dapat pula terjadi peningkatan secara bersamaan α-acid
glycoprotein. Dengan demikian, rasio obat yang terikat terhadap obat bebas dapat
berubah secara bermakna. Perubahan aliran darah organ akan mengakibatkan
42
penurunan perfusi pada anggota gerak, hati, mesenterium, otot jantung, dan otak.
Perfusi menurun sampai dengan 45% pada pasien usia lanjut jika dibandingkan
dengan pasien usia 25 tahun (Katzung, 2004; Prest, 2003).
3). Metabolisme hati
Terdapat reduksi massa hati 35% mulai usia 30 tahun sampai dengan 90
tahun sehingga menurunkan kapasitas metabolisme intrinsik hati pada pasien usia
lanjut. Keadaan tersebut bersama-sama dengan penurunan aliran darah hati,
menjadi penyebab utama dalam peningkatan bioavailabilitas obat yang mengalami
metabolisme lintas pertama. Faktor lain yang berpengaruh pada metabolisme obat
oleh hati terkait dengan perubahan enzimatik yang muncul dengan bertambahnya
usia. Pada obat-obat dengan indeks terapetik sempit, perubahan-perubahan
tersebut dapat bermakna klinis (Prest, 2003).
4). Ekskresi ginjal
Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomeruler dan fungsi
tubuler, semuanya merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang
berbeda pada usia lanjut. Kecepatan filtrasi gromeruler menurun sekitar 1% per
tahun dimulai pada usia 40 tahun. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan
beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada usia lanjut (Prest, 2003).
b. Perubahan farmakodinamika
Perubahan-perubahan farmakodinamik pada pasien usia lanjut dapat
merubah respon terhadap obat. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan
kemampuan dalam menjaga keseimbangan homeostatik serta perubahan pada
reseptor-reseptor spesifik dan sasaran.
43
1). Penurunan kemampuan dalam menjaga keseimbangan homeostatik
Endokrin, transmisi neuromuskular dan respon organ semuanya akan
menurun dengan bertambahnya usia, yang berakibat pada ketidakmampuan untuk
menjaga keseimbangan homeostatik. Sistem yang biasanya mengalami gangguan
antara lain pengaturan temperatur, fungsi usus dan kandung kemih, pengaturan
tekanan darah, keseimbangan cairan/elektrolit, dan fungsi kognitif (Prest, 2003).
2). Perubahan pada reseptor-reseptor spesifik dan tempat sasaran
Perubahan densitas reseptor atau afinitas molekul obat pada reseptor akan
merubah responnya terhadap obat. Gangguan aktivasi enzim atau perubahan
respon jaringan sasaran dapat menyebabkan perubahan respon terhadap obat.
Beberapa reseptor yang mengalami perubahan respon pada usia lanjut antara lain
adrenoreseptor alfa, adrenoreseptor beta, dan reseptor benzodiazepin (Prest,
2003).
4. Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang komplek menggunakan
gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan
personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medis
modern yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik
(Siregar & Amalia, 2003).
Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan
menyelenggarakan 2 jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan
dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medis,
44
rehabilitasi medis, dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan
melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap. Dalam
perkembangannya, terjadi perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada awalnya
hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien
melalui rawat inap, saat ini pelayanan rumah sakit tidak saja bersifat
penyembuhan (kuratif), tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif). Kedua
dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan
pencegahan (preventif) (Muninjaya, 1999).
Menurut SK Menteri Kesehatan RI Nomor 983/MENKES/SK/XI/1992
tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya
guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan
pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan (Siregar & Amalia,
2003).
Guna melaksanakan tugasnya rumah sakit mempunyai berbagai fungsi,
yaitu menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medik dan non
medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan
pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi umum dan keuangan
(Siregar & Amalia, 2003).
Berdasarkan jenis pelayanan dan kelasnya, rumah sakit dibedakan menjadi
4, yaitu :
a. Rumah Sakit kelas A, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik spesialistik luas dan subspesialistik luas.
45
b. Rumah Sakit kelas B, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas.
c. Rumah Sakit kelas C, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik spesialistik dasar.
d. Rumah Sakit kelas D, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik dasar (Siregar & Amalia, 2003).
Rumah Sakit Dr. Sardjito adalah rumah sakit umum kelas A yang
merupakan rujukan untuk daerah Propinsi DIY dan Jawa Tengah bagian selatan.
Hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1174/MENKES/SK/2004 pada tanggal 18 Oktober 2004 tentang Penetapan Kelas
RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Rujukan yang diberikan adalah rujukan pelayanan
medis, rujukan pengetahuan maupun ketrampilan medis dan non medis (Anonim,
2009).
5. Rekam Medis
Definisi rekam medis menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat di rumah
sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar & Amalia, 2003).
Rekam medis dianggap informatif apabila memuat informasi sebagai
berikut (Gitawati, 1996):
46
a. Karakteristik/demografi penderita (identitas, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan sebagainya).
b. Tanggal kunjungan, tanggal rawat/selesai rawat.
c. Penyakit dan pengobatan sebelumnya.
d. Catatan anamnesis, gejala klinis yang diobservasi, hasil pemeriksaan
penunjang medis (laboratorium, EKG, dan sebagainya).
e. Catatan penatalaksanaan penderita, tindakan terapi obat, tindakan terapi non
obat.
f. Nama/paraf dokter yang menangani (diagnosis, penunjang, pengobatan) dan
petugas perekam data.
Rekam medis mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya (Siregar &
Amalia, 2003):
a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.
b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang
berkontribusi pada perawatan penderita.
c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan penderita dan
penanganan atau pengobatan selama di rumah sakit.
d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang
diberikan kepada penderita.
e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan
praktisi yang bertanggung jawab.
f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.
47
g. Sebagai dasar perhitungan biaya dengan menggunakan data dalam rekam
medis, bagi keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang
penderita.
F.
Keterangan Empiris
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui jenis dan persentase
kejadian Drug Related Problems (DRPs) baik yang terkait ketepatan indikasi
meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi, keefektifan terapi
meliputi obat salah dan dosis subterapi, maupun keamanan terapi meliputi dosis
berlebih dan interaksi obat pada pasien PPOK geriatri di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2007.
Download