BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan peningkatan pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka harapan hidup. Pada tahun 2000 terdapat 35 juta geriatri di Amerika Serikat. Jumlah ini diproyeksikan mencapai 53,7 juta pada tahun 2020 dan 70,33 juta pada tahun 2030. Walaupun populasi ini hanya 12% dari total populasi di Amerika Serikat, namun terhitung sekitar 30% obat diresepkan untuk populasi tersebut, dan diproyeksikan meningkat mencapai 40% pada tahun 2030 (Santell & Hicks, 2005). Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah lansia di Indonesia 17.717.800 jiwa atau 7,90% dan jumlahnya pada tahun 2010 diperkirakan 23.992.552 (9,77%) dan pada tahun 2020 28.822.879 (11,34%) (Martono, 2008). Masalah kesehatan usia lanjut adalah khas yang timbul akibat interaksi proses menua dan penyakit pada satu individu. Perubahan fisiologik akibat proses menua, multipatologik, presentasi penyakit tidak spesifik, dan penurunan status fungsional dapat berpengaruh terhadap terapi obat yang berujung pada masalah yang berkaitan dengan obat. Masalah medis yang kompleks (complex medicine) yang umumnya ditemui pada pasien lanjut usia, menyebabkan golongan usia ini rentan terhadap timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problems) (Pramantara, 2007). 1 2 Drug Related Problems (DRPs) merupakan masalah kesehatan yang serius yang dapat terjadi pada semua tingkat umur, dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien serta menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Journal of the American Medical Association (JAMA) melaporkan bahwa berdasarkan sebuah meta analisis dari 39 studi perspektif pada bulan April 1998, dalam satu tahun terdapat sekitar 2.216.000 pasien yang dirawat di rumah sakit akibat mengalami Adverse Drug Reactions (ADRs) yang serius dan 106.000 pasien meninggal karena masalah-masalah terkait obat. Dilihat dari segi ekonomi, DRPs merupakan permasalahan yang memiliki dampak ekonomi sangat besar. Dampak ekonomi terkait DRPs yang terjadi pada semua umur baik di rumah sakit, rumah perawatan (nursing home), maupun komunitas mencapai $85 milyar per tahun, dengan jumlah terbesar ($76,6 milyar) terjadi pada komunitas, sementara biaya langsung terkait DRPs di rumah sakit dan rumah perawatan masing-masing sebesar $4 milyar (Besdine et al., 2003). Menurut United States Pharmacopeia’s (USP) MEDMARX (sebuah program nasional pelaporan medication error) terdapat 80.168 kasus medication error yang terjadi pada pasien usia lanjut (65 tahun atau lebih). Jumlah tersebut hampir mencapai 40% dari 202.476 kasus medication error yang terjadi dan dilaporkan pada USP MEDMARX sejak 1 Januari 2002 hingga 31 Desember 2003. Diantara kasus tersebut, tipe yang paling sering muncul yaitu gagal menerima obat (42%), dosis tidak tepat (18%), dan obat salah (10%) (Santell & Hicks, 2005). Retrospective Analysis Mortalities Associated with Medication Error melaporkan bahwa dari 5366 medication errors, tipe yang paling banyak 3 menyebabkan kematian pada pasien geriatri adalah pemberian obat yang tidak tepat, yaitu 40,9% dari seluruh kejadian medication errors, dan 30,4% berupa pemberian dengan dosis berlebih (Phillips et al., 2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian ke-4 di Amerika Serikat, dibawah penyakit kanker, penyakit jantung, dan penyakit serebrovaskuler. Pada tahun 2000, lebih dari 119.000 kematian di Amerika Serikat dan sekitar 2,74 juta kematian di seluruh dunia disebabkan oleh PPOK. Penyakit ini merupakan satu-satunya penyebab kematian yang terus meningkat dalam 30 tahun terakhir dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020. Menurut NHLBI, dampak ekonomi dari PPOK $23 milyar pada tahun 2000 dan $32 milyar pada tahun 2002, yang terdiri dari $18 milyar biaya langsung dan $14 milyar biaya tidak langsung (Bourdet & Williams, 2005). Di Uni Eropa, total biaya langsung dari penyakit pernafasan adalah 6% dari total anggaran dana kesehatan, dengan PPOK 56% dari biaya tersebut yaitu 38,6 juta Euro (GOLD, 2007). Sementara di Indonesia, belum ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI tahun 1992 menyebutkan bahwa angka kematian karena penyakit bronkitis kronis, emfisema paru, serta asma bronkiale menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Peningkatan penderita PPOK di Indonesia terkait dengan beberapa faktor risiko yang meningkat di Indonesia, seperti kebiasaan merokok yang masih tinggi, serta polusi udara terutama di kota-kota besar, daerah industri, 4 pertambangan, dan sebagainya, sehingga diperkirakan jumlah kasus PPOK akan meningkat tajam di masa-masa yang akan datang (Anonim, 2003). Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Sardjito karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit tipe A pendidikan yang menjadi rujukan tertinggi bagi rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian Selatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hisyam dan Nurohman (2001) dengan mengambil data dari rekam medis Rumah Sakit Dr. Sardjito antara tahun 1996 sampai dengan 1999, terdapat 55 pasien dengan PPOK eksaserbasi akut. Sementara menurut penelitian Damayanti (2006) terdapat 59 pasien dengan diagnosis PPOK yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Sardjito selama bulan Januari sampai dengan Desember 2004, dan 76,27 % diantaranya berusia > 60 tahun. Mengingat PPOK merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi, morbiditas, dan mortalitas yang terus meningkat, serta risiko terjadinya DRPs pada pasien usia lanjut besar, sedangkan jumlah populasi usia lanjut di Indonesia terus meningkat, maka perlu dilakukan penelitian tentang kejadian DRPs pada penatalaksanaan terapi PPOK terutama pada pasien usia lanjut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada rumah sakit maupun tenaga kesehatan terkait dengan tujuan meminimalisasi terjadinya DRPs sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pasien. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 5 1. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan ketepatan indikasi meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007? 2. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keefektifan terapi meliputi obat salah dan dosis subterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007? 3. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keamanan terapi meliputi dosis obat berlebih dan interaksi obat pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan ketepatan indikasi meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007. 2. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keefektifan terapi meliputi obat salah dan dosis subterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007. 6 3. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keamanan terapi meliputi dosis obat berlebih dan interaksi obat pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai salah satu bahan masukan bagi RS Dr. Sardjito Yogyakarta untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit terhadap masyarakat luas khususnya bagi pasien geriatri. 2. Sebagai bahan acuan dalam penelitian identifikasi DRPs pada pasien geriatri selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) a. Definisi PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas kronis yang bersifat progresif yang disebabkan oleh bronkitis kronis, emfisema, atau keduanya. Dalam Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2007, definisi PPOK adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya (GOLD, 2007). 7 Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau emfisema. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini, dengan salah satunya dominan. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai terjadinya pengeluaran mukus secara berlebihan ke batang bronkhial secara kronis atau berulang dengan disertai batuk yang terjadi hampir setiap hari selama sekurang-kurangnya 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut, dimana tidak terdapat penyebab batuk kronis lain. Ciri khas dari bronkitis kronis adalah adanya pengeluaran mukus yang berlebihan pada batang bronkus yang menyebabkan pasien mengalami sesak nafas (Bourdet & Williams, 2005). Emfisema merupakan kelainan paru-paru yang ditandai dengan pembesaran jalan nafas yang sifatnya permanen mulai dari ujung bronkial sampai bagian distal. Dilatasi atau pembesaran tersebut disertai dengan kerusakan pada dinding alveolus sehingga terjadi gangguan pada transfer gas (Goldsmith & Weber, 2000). Ada dua bentuk emfisema yaitu: (1) Sentrilobular dan (2) Panlobular. Emfisema sentrilobular ditandai oleh kerusakan pada saluran napas bronkhial yaitu pembengkakan, peradangan dan penebalan dinding bronkhioli. Emfisema panlobular berupa pembesaran yang bersifat merusak dari distal alveoli ke terminal bronkhiale (Yunus, 1997). PPOK dikarakterisasi dengan eksaserbasi berulang yang terjadi karena peningkatan lebih jauh respon inflamasi pada jalan nafas, kemungkinan besar dipicu adanya infeksi oleh bakteri atau virus atau polutan dari lingkungan. Definisi dari eksaserbasi sendiri adalah perburukan kondisi pasien jika dibandingkan dengan keadaan stabil, hal ini terjadi di luar variasi yang biasanya 8 terjadi, terjadi secara akut dan membutuhkan perubahan pengobatan dari yang biasanya secepat mungkin. Eksaserbasi akut ditandai dengan peningkatan sesak nafas, peningkatan produksi sputum, serta perubahan warna sputum. Eksaserbasi akut dibedakan menjadi 3 tipe yaitu : 1). Tipe I (eksaserbasi berat), bila pasien memiliki 3 gejala diatas 2). Tipe II (eksaserbasi sedang), bila pasien memiliki 2 gejala diatas 3). Tipe III (eksaserbasi ringan), bila pasien memiliki 1 gejala diatas ditambah infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan >20% baseline, atau frekuensi nadi >20% baseline (Bourdet & Williams, 2005; Anonim, 2003). b. Klasifikasi Menurut GOLD 2007, PPOK diklasifikasikan dalam 4 derajat seperti yang terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Derajat Keparahan PPOK GOLD 2007 Tingkat I Ringan II Sedang III Berat IV Sangat berat Nilai FEV1 dan Gejala Ditandai dengan keterbatasan aliran udara ringan (FEV1/ FVC < 70%, FEV1 > 80%). Umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah. Ditandai dengan semakin memburuknya hambatan aliran udara (FEV1/FVC <70%; 50%<FEV1<80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit. Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang semakin memburuk (FEV1/FVC <70%; 30%<FEV1<50%). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang berat (FEV1/FVC <70%; FEV1<30% atau <50%) ditambah dengan adanya gagal nafas kronik. (GOLD, 2007) 9 c. Faktor Risiko Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah : 1). Merokok Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronis dan emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan FEV1. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamosa saluran pernafasan, juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut (Soemantri & Uyainah, 2001). 2). Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja ditempat selain yang disebutkan tadi (Ikawati, 2007). Secara epidemiologi didapatkan penurunan fungsi paru pada pekerja pabrik plastik yang terpejan toluene diisocyanate, pabrik katun, dan lain-lain (Soemantri & Uyainah, 2001). 3). Polusi udara a). Polusi udara dalam rumah Pembakaran pada tungku dan kompor yang tidak berfungsi dengan baik dapat menyebabkan polusi udara dalam ruangan. Polusi udara dalam ruangan 10 menyebabkan fraksi PPOK yang lebih besar dari SO2 atau partikel dari emisi kendaraan bermotor (GOLD, 2007). b). Polusi udara diluar rumah Polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil, terutama dari emisi kendaraan bermotor dikota-kota besar, menyebabkan penurunan fungsi respirasi (GOLD, 2007). Zat-zat kimia juga dapat menyebabkan bronkitis seperti zat-zat pereduksi (misalnya oksigen), zat-zat pengoksidasi seperti hidrokarbon, aldehid, ozon yang banyak terdapat dalam polutan (Bourdet & Williams, 2005). Sedangkan faktor yang berasal dari host atau pasiennya antara lain adalah : 1). Usia Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin (Ikawati, 2007). 2). Jenis kelamin Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada laki-laki. Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok (Ikawati, 2007). 3). Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi Adanya gangguan fungsi paru merupakan faktor risiko, misalnya defisiensi imunoglobin A (Ig A/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronchiectasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan 11 waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK (Ikawati, 2007). 4). Predisposisi genetik, yaitu defisiensi α1 antitripsin (AAT) Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal faktor protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap kerusakan paru (Ikawati, 2007). c. Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit PPOK dikarakterisir adanya inflamasi kronik yang menyebabkan kerusakan dan mempersempit saluran nafas. Proses tersebut tidak hanya terjadi pada saluran pernafasan, tetapi juga meluas ke sistem pembuluh pulmonar dan parenkim paru. Sel inflamasi yang berperan tidak hanya neutrofil, tetapi juga makrofag dan limfosit CD 8+. Sel-sel inflamasi tersebut akan melepaskan berbagai mediator kimia, meliputi leukotrien B4 (LTB4), interleukin 8 (IL-8), dan tumor necrosis faktor α (TNF-α) yang dapat merusak struktur paru. Proses lain yang ikut berperan penting dalam patogenesis PPOK, yaitu adanya stress oksidatif dan ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase dalam paru-paru (Bourdet & Williams, 2005). Bronkitis kronik umumnya disebabkan oleh paparan polutan udara seperti asap rokok. Di permukaan epitelial bronkus terdapat silia yang berfungsi untuk membersihkan bronkus dari mukus dan iritan. Asap rokok dan polutan yang 12 terhirup menghambat pembersihan mukus oleh silia di permukaan epitelial (mucociliary clearance), mengakibatkan iritan tidak dapat dikeluarkan dari bronkus. Hal ini menyebabkan bronkiolitis, yang selanjutnya menyebabkan hiperplasia, hipertrofi, proliferasi kelenjar mukus. Akibatnya terjadi hipersekresi mukus dan lebih lanjut menyebabkan obstruksi pada bronkus. Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (Ingram, 2002; Ikawati, 2007). Perubahan pada saluran nafas kecil yang terjadi pada bronkitis kronik menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia dapat mengakibatkan hipertensi pulmonary yang dapat diikuti dengan terjadinya gagal jantung kanan (cor pulmonale) (Ikawati, 2007). Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hilangnya dinding alveolar berakibat pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik daripada pada bronkitis kronik. Oleh karena itu, 13 pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dispnea (sesak nafas) daripada pasien bronkitis (Ikawati, 2007). d. Gambaran Klinis Penyakit Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Adapun gejala klinik PPOK yaitu: 1). “Smoker’s cough”, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin, kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun. 2). Sputum, biasanya banyak dan lengket, berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila terjadi infeksi. 3). Dispnea, ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasan. Gejala-gejala tersebut mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak nafas menjadi semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medis (Ikawati, 2007). Sedangkan gejala eksaserbasi akut adalah : (1) peningkatan volume sputum; (2) perburukan pernafasan secara akut; (3) dada terasa berat (Chest tightness); (4) peningkatan kebutuhan bronkodilator; (5) lelah, lesu; dan (6) penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah dan terengah-engah) (Ikawati, 2007). e. Diagnosis Diagnosis klinis PPOK sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu faktor risiko. Namun, adanya obstruksi saluran pernafasan harus dikonfirmasi dengan spirometri. Spirometri memberikan penilaian yang 14 komprehensif terhadap volume dan kapasitas paru. Tanda terjadinya PPOK yaitu nilai rasio FEV1/FVC <70% yang mengindikasikan terjadinya obstruksi saluran nafas dan nilai FEV1 <80% prediksi yang menunjukkan bahwa obstruksi tersebut bersifat irreversible (Bourdet & Williams, 2005). FVC (Forced Vital Capacity) atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat dari ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin. Sedangkan FEV (Forced Expiratory Volume) atau volume ekspirasi paksa yaitu volume udara yang dapat diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. Biasanya FEV diukur selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan dan disebut FEV1. Pada umumnya, orang dewasa muda yang sehat akan memiliki FVC sebanyak 4-5 liter dan FEV1 sedikitnya 75% dari volume tersebut. Pada kondisi normal tersebut, perbandingan antara FEV1/FVC (disebut forced expiratory ratio) akan bernilai sedikitnya 0,75. Pada penyakit obstruktif, terjadi pengurangan nilai FEV1 yang lebih besar dibanding FVC-nya sehingga rasio FEV1/FVC bisa kurang dari 0,75 (Ikawati, 2007). Beberapa pemeriksaan penunjang lain juga bisa dilakukan, antara lain pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto thoraks, analisis gas darah (terutama untuk menilai adanya gagal nafas), pemeriksaan darah rutin (Hb, Hmt, leukosit), mikrobiologi sputum untuk melihat ada tidaknya infeksi, serta pemeriksaan kadar α1-antitripsin (untuk pasien <40 tahun) (Anonim, 2003). f. Penatalaksanaan PPOK Sasaran penatalaksanaan terapi PPOK ini adalah mencegah progresifitas penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi aktivitas, meningkatkan 15 status kesehatan, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mencegah dan mengobati komplikasi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas. Menurut WHO, penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen utama, yaitu : (1) pemantauan dan assessment penyakit, (2) mengurangi faktor risiko, (3) penatalaksanaan PPOK stabil, dan (4) penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terapi PPOK dilakukan dengan tindakan non farmakologi maupun farmakologi. Komponen (1) dan (2) termasuk dalam penatalaksanaan non farmakologi sedangkan komponen (3) dan (4) termasuk dalam penatalaksaan farmakologi (Bourdet & Williams, 2005; Ikawati, 2007). Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007 ditunjukkan pada gambar 1. Gambar 1. Algoritme Terapi PPOK Stabil Menurut GOLD 2007 I:Mild II:Moderate III:Severe FEV1/FVC <0.70 FEV1≥80% prediksi FEV1/FVC<0.70 50%≤FEV1<80% prediksi FEV1/FVC<0.70 30%≤FEV1<50% prediksi IV:Very Severe FEV1/FVC< 0.70 FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 <50% prediksi plus gagal nafas kronik Penghindaran faktor risiko; vaksinasi influenza Tambahkan bronkodilator aksi pendek (jika diperlukan) Tambahkan pengobatan reguler dengan satu atau lebih bronkodilator aksi panjang (jika diperlukan); tambahkan terapi rehabilitasi Tambahkan inhalasi kortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang Tambahkan oksigen jangka panjang jika terjadi kegagalan pernafasan kronis; Pertimbangkan pembedahan jika perlu (GOLD, 2007) 16 1). Terapi Non Farmakologi a). Berhenti merokok Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat memperlambat memburuknya fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Ikawati, 2007). Selain dengan usaha penerangan dan penyuluhan, dapat dilakukan dengan farmakoterapi yaitu terapi penggantian nikotin (nicotine replacement therapy). Terapi penggantian nikotin berupa pemberian nikotin dalam berbagai bentuk seperti gum, inhaler, spray, transdermal patch, tablet sublingual, atau lozenges. Bupropion dan nortriptilin juga dapat digunakan untuk mengatasi ketergantungan merokok (GOLD, 2007). b). Oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya (Anonim, 2003). Pemberian long term oksigen (>15 jam sehari) pada pasien dengan kegagalan respirasi kronik menunjukkan peningkatan harapan hidup, selain itu juga memberikan keuntungan pada status hemodinamik, hematologik, kapasitas latihan, mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen jangka panjang ini ditujukan untuk pasien PPOK stage IV (sangat parah) terutama jika : (1) PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia; atau (2) PaO2 7,3 kPa-8,0 kPa (55-60 mmHg) atau SaO2 88% tetapi terdapat tanda 17 hipertensi pulmonar, edema periferal yang menunjukkan gagal jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit > 55%) (GOLD, 2007). Cara pemberian oksigen adalah dengan kanula hidung yang menyalurkan 24-28% oksigen (1-2 liter/menit). Tujuannya adalah mencapai PaO2 diatas 60 mmHg. Pada pasien yang diketahui menahan CO2 harus hati-hati dalam menaikkan PaO2 terlalu tinggi karena akan menekan pernafasan (Ikawati, 2007). c). Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Gangguan keseimbangan elektrolit juga sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang sering terjadi adalah hipofosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia (Anonim, 2003). d). Rehabilitasi Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi gejala, memperbaiki kualitas hidup, meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam aktivitas seharihari (GOLD, 2007). Program rehabilitasi paru merupakan komponen integral dalam penatalaksanaan PPOK dan termasuk di dalamnya fisioterapi bersamaan dengan program berhenti merokok, latihan pernafasan, perawatan medis yang optimal, dukungan psikososial, dan pemberian edukasi kesehatan (Bourdet & Williams, 2005). 18 e). Vaksinasi Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dari vaksinasi influenza pertahun. Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan amantadin dan rimantadin (Ikawati, 2007). f). Pembedahan Terapi pembedahan bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan mekanik paru, meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi, serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu: (1) bulektomi; (2) Bedah Reduksi Volume Paru (BRVP)/Lung Volume Reduction Surgery (LVRS); atau (3) transplantasi paru (Anonim, 2003). 2). Terapi Farmakologi Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK stabil, dan terapi untuk eksaserbasi akut. Pada PPOK stabil, terapi farmakologi ditujukan untuk mengurangi gejala dan komplikasi, termasuk mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi serta memperbaiki status kesehatan dan toleransi latihan pasien. Sedangkan pada eksaserbasi akut, terapi farmakologi ditujukan untuk mencegah hospitalisasi atau menurunkan lama tinggal di rumah sakit, mencegah gagal nafas akut, mengurangi gejala dan mengembalikan status klinis pasien (Bourdet & Williams, 2005). Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana gejala PPOK, bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada 19 kondisi pasien. Bronkodilator utama adalah β2 agonis, antikolinergik, teofilin, atau kombinasinya. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya boleh diberikan pada pasien yang telah tercatat (dari hasil spirometri) memang berespon terhadap steroid, atau pasien yang FEV1 <50%. Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan intervensi medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi (terutama β2 agonis atau antikolinergik), teofilin, dan kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi eksaserbasi akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya diberi antibiotik (Ikawati, 2007). Obat-obat yang digunakan untuk terapi farmakologi PPOK yaitu : a). Bronkodilator Bronkodilator diberikan sebagai kebutuhan dasar untuk menghilangkan gejala yang menetap atau memburuk. Yang termasuk bronkodilator dalam terapi PPOK adalah β2 agonis, antikolinergik, dan metilksantin. Secara umum, bronkodilator bekerja dengan mengurangi tahanan otot polos bronkus saluran pernafasan sehingga meminimalkan keterbatasan aliran udara. Pada pasien PPOK, manfaat klinis penggunaan bronkodilator meliputi: peningkatan kemampuan beraktivitas, menurunkan air trapping pada paru-paru, dan mengurangi gejala seperti dispnea. Namun demikian, penggunaan bronkodilator tidak signifikan terhadap perbaikan fungsi paru, seperti FEV1. Efek samping penggunaan bronkodilator adalah terkait dengan efek farmakologinya, serta ketergantungan dosis (Bourdet & Williams, 2005). 20 (1). Antikolinergik Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan atropine menyebabkan efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan secara kompetitif terhadap reseptor kolinergik yang ada di otot polos bronkus. Aktivitas tersebut akan menghambat asetilkolin, yang selanjutnya berefek pada pengurangan cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP), dimana cGMP ini secara normal berperan pada konstriksi otot polos bronkus (Bourdet & Williams, 2005). Terapi dengan antikolinergik merupakan terapi lini pertama pada penyakit PPOK stabil. Antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih besar daripada β2 agonis saat dilakukan tes fungsi paru-parunya. Dengan demikian terdapat hubungan penting antara sistem kolinergik sebagai mediator tonus bronchial pada pasien PPOK. Antikolinergik dapat mempertahankan keefektifannya selama bertahun-tahun dalam penggunaan yang teratur terus-menerus (Ikawati, 2007). Ipratropium bromida dan tiotropium bromida merupakan golongan antikolinergik yang dapat memberikan manfaat paling besar serta efek samping yang paling kecil. Ipratropium tersedia dalam bentuk Metered Dose Inhaler (MDI) dan larutan inhalasi yang menunjukkan puncak efek pada 1,5-2 jam dan durasi kerja 4-6 jam (Bourdet & Williams, 2005). Ipratropium bromida diberikan dengan dosis 2 inhalasi 4x sehari dan dapat ditingkatkan sampai 12 inhalasi per hari jika perlu. Efek sampingnya jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering, rasa pahit, batuk, dan mual (Goldsmith & Weber, 2000). 21 (2). Simpatomimetik Golongan β2 agonis bekerja dengan mengaktivasi adenilat siklase sehingga meningkatkan pembentukan cyclic Adenosine Mono Phosphate (cAMP) yang bertanggung jawab memperantarai terjadinya relaksasi otot polos bronkus. Juga memperbaiki pembersihan mukosiliar. Terdapat beberapa evidence bahwa obat simpatomimetik dapat meningkatkan kontraktilitas diafragma dan memperbaiki cor pulmonale (Bourdet, dan Williams, 2005; Goldsmith & Weber, 2000). Pada pasien dengan PPOK yang stabil, simpatomimetik direkomendasikan sebagai terapi lini kedua, sebagai tambahan atau menggantikan ipratropium untuk pasien yang tidak menunjukkan keuntungan klinik yang memuaskan dengan menggunakan ipratropium saja. Sedangkan penggunaan β2 agonis pada eksaserbasi akut merupakan pilihan pertama karena onset kerjanya yang cepat (Ikawati, 2007). Golongan β2 agonis ada yang mempunyai masa kerja pendek, misalnya salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Dan ada juga yang mempunyai masa kerja yang panjang seperti formoterol dan salmeterol. Meskipun pemberian β2 agonis masa kerja pendek inhalasi hanya memberikan sedikit perbaikan pada FEV1 secara akut, namun dapat memperbaiki gejala dan toleransi latihan. Durasi β2 agonis masa kerja pendek sekitar 4-6 jam. Inhalasi β2 agonis masa kerja panjang memberikan keuntungan durasi yang lebih panjang (sampai dengan 12 jam) tanpa mengurangi efektifitas. Albuterol, tersedia dalam sediaan oral dan inhalasi, 22 merupakan golongan β2 agonis yang paling sering digunakan (Bourdet & Williams, 2005). Efek samping dari obat-obat golongan β2 agonis dapat berupa rasa gugup, tremor, takikardi, palpitasi, mengantuk, nyeri kepala, mual, muntah, dan berkeringat. Namun, efek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian secara inhalasi. Penggunaan beta-2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati pada penderita dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, hipertiroid, atau diabetes (Setiawatia, 1995). (3). Kombinasi simpatomimetik dengan antikolinergik Kombinasi antara golongan bronkodilator itu sendiri telah banyak digunakan dalam terapi PPOK, khususnya yang perkembangan penyakitnya memburuk. Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme aksi yang berbeda memberikan kemungkinan efektifitas dalam penggunaan dosis dan menurunkan potensial efek samping dari masing-masing obat. Kombinasi dari β2 agonis masa kerja pendek dan panjang dengan ipratropium menunjukkan adanya pengurangan gejala dan peningkatan fungsi jantung (Bourdet & Williams, 2005). (4). Metilksantin Golongan metilksantin seperti teofilin dan amonifilin, sudah cukup lama digunakan sebagai lini pertama terapi PPOK. Namun dengan makin banyaknya golongan β2 agonis dan antikolinergik inhalasi, serta banyaknya potensi interaksi obat antara teofilin/aminofilin serta variabilitas respon antar dan inter pasien, golongan metilksantin ini bergeser menjadi terapi lini ketiga (Ikawati, 2007). 23 Metilksantin menghasilkan efek bronkodilatasi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) penghambatan fosfodiesterase sehingga meningkatkan level cAMP, (2) penghambatan influx ion kalsium ke dalam sel otot polos, (3) antagonis prostaglandin, (4) stimulasi katekolamin endogen, (5) antagonis reseptor adenosin, serta (6) penghambatan pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit (Bourdet & Williams, 2005). Bentuk sediaan lepas lambat merupakan bentuk yang paling tepat untuk terapi pemeliharaan PPOK, karena menghasilkan kadar serum yang lebih konsisten. Penggunaan golongan metilksantin sendiri tidak banyak memberikan perbaikan atau pemburukan pada perkembangan penyakit PPOK. Namun jika diberikan sebagai terapi tambahan bagi bronkodilator lain yang mendukung hipotesis bahwa terdapat efek sinergistik pada bronkodilatasi (Ikawati,2007). Untuk terapi pemeliharaan, dosis awal teofilin yaitu 200 mg 2x sehari, dan dapat dititrasi setiap 3-5 hari, sampai tercapai dosis targetnya. Sebagian besar pasien memerlukan dosis antara 400-900 mg sehari. Penyesuaian dosis seharusnya dilakukan berdasarkan kadar serum teofilin. Kadar terapetik teofilin adalah 10-20 mcg/mL, namun karena efek sampingnya yang tergantung dosis dan tidak memberikan keuntungan tambahan pada kadar yang lebih tinggi, maka kadar terapetik yang lebih umum digunakan yaitu 8-15 mcg/mL (terutama pada usia lanjut (Bourdet & Williams, 2005). Efek samping teofilin yang paling umum terkait dengan sistem gastrointestinal, kardiovaskuler, dan sistem saraf pusat. Efek samping minor berupa dispepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan takikardi. 24 Toksisitas lebih serius yang terjadi pada kadar toksik dapat berupa aritmia dan kejang (Bourdet & Williams, 2005). b). Kortikosteroid Pada penatalaksanaan terapi PPOK, penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi memberikan keuntungan antara lain: (1) mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus; (2) menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit; dan (3) menghambat prostaglandin. Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek diberikan untuk penderita PPOK eksaserbasi akut, sedangkan terapi inhalasi untuk penderita PPOK stabil derajat III atau IV (FEV<50%) yang berulang kali mengalami eksaserbasi (Bourdet & Williams, 2005). Beberapa produk kortikosteroid inhalasi tersedia di pasaran, namun flutikason dan budesonid memberikan potensi dan bentuk sediaan yang lebih nyaman bagi pasien karena membutuhkan inhalasi yang lebih sedikit dibanding yang lain. Dosis tinggi budesonid berada pada kisaran 600-1000 µg/hari (3-5 inhalasi), sedangkan dosis pemeliharaan yang rendah antara 200-400 µg/hari (1-2 inhalasi). Flutikason memiliki potensi 220 µg/puff, dengan dosis pemeliharaannya berada pada kisaran 220-440 µg/hari (Goldsmith & Weber, 2000). Terapi untuk pasien eksaserbasi akut dimulai dengan metilprednisolon 0,51 mg/kg setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah membaik dapat diganti dengan prednison 40-60 mg sehari. Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering untuk meminimalisasi penekanan hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Bila 25 diperlukan terapi lebih lama, digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan pada pagi hari atau selang hari (Ikawati, 2007). Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan terkait efek samping miopati steroid yang dapat mengakibatkan lemah otot, penurunan fungsi pernafasan, dan kegagalan pernafasan pada pasien dengan PPOK berat (GOLD, 2007). Efek samping kortikosteroid inhalasi relatif ringan dibanding penggunaan secara sistemik. Sakit tenggorokan, suara parau, candidiasis oral, dan kulit memar pernah dilaporkan terjadi. Efek samping sistemik yang berat diantaranya supresi adrenal, osteoporosis, dan katarak (Bourdet & Williams, 2005). c). Kombinasi bronkodilator dan inhalasi kortikosteroid Terapi kombinasi antara bronkodilator masa kerja panjang dengan inhalasi kortikosteroid menunjukkan manfaat yang lebih besar dibanding pemberian obatnya dalam bentuk tunggal. Misalnya kombinasi salmeterol dan flutikason atau formoterol dan budesonid yang menunjukkan peningkatan outcome klinis seperti FEV1, status kesehatan, dan frekuensi eksaserbasi. Kombinasi ini juga lebih nyaman bagi pasien dan menurunkan kebutuhan jumlah inhalasi per hari (Bourdet & Williams, 2005). d). Antibiotik Data menunjukkan bahwa sedikitnya 80% eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi. Dari infeksi ini, 40-50%nya disebabkan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% tidak diketahui bakteri penyebabnya. Karena itu 26 antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam penatalaksanaan PPOK (Ikawati, 2007). Sebuah studi metaanalisis menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan harus dimulai jika pasien memperlihatkan minimal 2 dari 3 gejala berikut: peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum (Bourdet & Williams, 2005). Terapi antibiotik dimulai dalam 24 jam setelah gejala terlihat untuk mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena iritasi dan sumbatan karena adanya proses infeksi. Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada PPOK Eksaserbasi Akut Karakteristik pasien Eksaserbasi tanpa komplikasi <4x eksaserbasi setahun Tidak ada penyakit penyerta FEV1 >50% Eksaserbasi kompleks Umur >65 tahun >4x eksaserbasi pertahun Tidak ada penyakit penyerta FEV1 <50% tapi >35% Eksaserbasi kompleks dengan risiko Pseudomonas aeruginosa Pathogen penyebab yang mungkin S. pneumonia, H. influenza, H. parainfluenzae, dan M. catarrhalis Umumnya tidak resisten Terapi yang direkomendasikan Makrolida (azitromisin, klaritromisin) Sefalosporin generasi 2 atau 3 Doksisiklin Seperti diatas, Amoksisilin/klavulanat ditambah H. Fluorokuinolon influenzae dan M. (levofloksasin, gatifloksasin, catarrhalis penghasil moksifloksasin) beta laktamase Seperti diatas, ditambah P. aeruginosa Fluorokuinolon (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin) Terapi I.V. jika diperlukan : sefalosporin generasi 3 atau 4 (Bourdet & Williams, 2005) 27 e). Terapi pengganti AAT (α1 antitripsin) Pasien dengan defisiensi α1 antitripsin secara genetik, selain dilakukan terapi yang terfokus pada pengurangan faktor risiko dan gejala dengan pemberian bronkodilator, dapat juga ditambahkan terapi untuk penggantian AAT. Terapi pengganti AAT ini berupa infus pooled human AAT yang diberikan tiap minggu untuk menjaga kadar AAT plasma berada diatas 10 mikromolar. Namun terapi ini masih banyak menimbulkan masalah, kaitannya dengan harga yang mahal dan ketersediaan produk yang memenuhi syarat. Saat ini ada 3 produk yang sudah tersedia yaitu Prolastin, Aralast, dan Zemaira (Bourdet & Williams, 2005). 2. Drug Related Problems (DRPs) DRPs merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat, sehingga secara aktual maupun potensial dapat mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan (Cipolle et al., 1998). DRPs dapat berupa masalah aktual maupun potensial. DRPs aktual adalah problem atau masalah yang sudah terjadi pada pasien, dan farmasis harus berusaha menyelesaikannya. Sedangkan DRPs potensial adalah suatu problem atau masalah yang mungkin terjadi, suatu risiko yang dapat berkembang pada pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk mencegahnya (Rovers et al., 2003). Tabel 3 menunjukkan hubungan antara Drug Related Needs dan Drug Related Problems. Sementara tabel 4 menunjukkan klasifikasi DRPs yang dibuat berdasarkan masalah yang dialami pasien. 28 Tabel 3. Drug Related Needs dan Drug Related Problems Drug Related Needs Ketepatan indikasi Efektivitas Keamanan Kepatuhan pasien Drug Related Problems (DRPs) Terapi obat yang tidak perlu Membutuhkan obat Obat salah Dosis terlalu rendah Adverse Drug Reaction Dosis terlalu tinggi Gagal menerima obat (Rovers et al., 2003) Tabel 4. Kategori DRP dan Penyebabnya Jenis DRPs Terapi obat yang tidak perlu Penyebab DRPs Pasien menerima obat tanpa ada indikasi yang jelas Pasien menerima lebih dari satu macam obat yang sebenarnya tidak perlu (duplikasi terapi) Terapi non obat lebih sesuai bagi pasien Pasien menerima terapi obat untuk mencegah efek samping obat lain yang sebenarnya dapat dicegah Penggunaan obat adiktif Indikasi yang Pasien membutuhkan terapi obat baru tidak diterapi Pasien menderita penyakit kronis sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan Kondisi pasien membutuhkan kombinasi obat Pasien berisiko mengalami komplikasi yang dapat dicegah dengan terapi profilaksis Obat salah Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat Obat yang diberikan kepada pasien bukan merupakan obat yang paling efektif untuk penyakitnya Obat efektif tetapi bukan yang paling murah Obat efektif tetapi bukan yang paling aman Bakteri bersifat resisten terhadap obat Dosis subterapi Dosis obat terlalu rendah untuk mencapai respon Kadar obat dalam darah berada di bawah kisaran terapi Frekuensi pemberian obat tidak tepat Cara pemberian obat tidak tepat Adverse Drug Pasien mengalami reaksi alergi terhadap obat Reaction (ADRs) Pasien mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap obat Bioavailabilitas obat berubah karena terjadi interaksi dengan obat lain Efek obat berubah karena adanya induksi/inhibisi enzim oleh obat lain Efek obat berubah karena terjadi interaksi dengan makanan Efek obat berubah karena pendesakan ikatan obat-protein oleh obat lain 29 Tabel 4. (..Lanjutan) Jenis DRPs Dosis terlalu tinggi Gagal menerima obat Penyebab DRPs Dosis obat terlalu tinggi Kadar obat dalam darah melebihi kisaran terapi Frekuensi pemberian obat tidak tepat Durasi pemberian obat tidak tepat Pasien tidak menerima obat yang tepat karena terjadi medication error (kesalahan peresepan, peracikan, atau pemberian obat) Pasien tidak mematuhi petunjuk penggunaan obat Pasien tidak mampu membeli obat Pasien kurang memahami petunjuk penggunaan obat Pasien tidak minum obat karena alasan pribadi (Cipolle et al., 1998) a. Terapi obat yang tidak perlu Terapi obat yang tidak perlu, selain menempatkan pasien pada risiko efek samping atau toksisitas obat, juga meningkatkan biaya dari terapi itu sendiri. Terapi obat dianggap tidak perlu untuk pasien jika tidak terdapat indikasi yang jelas untuk obat tersebut. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa obat digunakan untuk beberapa alasan, tidak hanya untuk mengobati penyakit maupun mengurangi gejala, namun juga untuk profilaksis dan pencegahan dan untuk proses diagnosis (Cipolle et al., 1998). Jika seorang pasien menerima kombinasi terapi dimana penggunaan satu obat sudah cukup efektif, maka pasien dianggap mendapatkan terapi obat yang tidak perlu. Duplikasi seperti ini seringkali terjadi misalnya pada pasien yang menerima lebih dari satu macam analgesik, antidiare, atau laksatif untuk indikasi yang sama (Cipolle et al., 1998). Terapi obat yang tidak perlu terjadi karena beberapa sebab, antara lain: (1) tidak ada indikasi medis; (2) penggunaan obat adiktif/rekreasional; (3) terapi non 30 obat lebih sesuai untuk pasien; (4) duplikasi terapi; serta (5) penggunaan obat untuk mencegah efek samping obat lain yang dapat dicegah (Cipolle et al., 1998). b. Indikasi yang tidak diterapi DRPs tipe ini terjadi apabila pasien memerlukan terapi obat baru untuk penyakitnya, pasien memerlukan terapi tambahan untuk mendapatkan pengobatan yang optimal, atau pasien berisiko untuk mengalami komplikasi sehingga memerlukan terapi untuk mencegah penyakit tersebut (Cipolle et al., 1998). Kontinuitas dalam terapi obat penting untuk diperhatikan, terutama pada kasus penyakit dan gangguan kronis yang memerlukan terapi jangka panjang untuk mengurangi simtom, misalnya nyeri pada pasien dengan rheumatoid arthritis. DRPs kemungkinan dapat terjadi jika pasien tersebut pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dari satu dokter ke dokter lain, atau dari satu farmasis ke farmasis lain yang menyebabkan terapi mereka tidak dilanjutkan. Dalam situasi ini, kontinuitas terapi obat akan terputus dan berdampak pada terjadinya DRPs (Cipolle et al., 1998). Contoh lain adalah pasien yang membutuhkan terapi kombinasi obat, misalnya pada individu dengan Hodgin’s disease stage III yang memerlukan kemoterapi kombinasi untuk memperoleh efek cell killer yang lebih besar. Hal yang sama juga terjadi pada pasien tuberculosis yang membutuhkan minimal 2 antibakteri untuk eradikasi bakteri. Hal tersebut terkait risiko resistensi dan infeksi yang berlanjut jika hanya menggunakan monoterapi (Cipolle et al., 1998). Penyebab utama pasien membutuhkan terapi obat baru atau tambahan yaitu: (1) untuk terapi kondisi sebelumnya yang belum diterapi; (2) untuk 31 memperoleh efek sinergis atau potensiasi; dan (3) untuk terapi pencegahan atau profilaksis (Cipolle et al., 1998). c. Obat salah Suatu terapi dapat dikatakan tidak tepat atau salah apabila pasien tidak memperoleh atau kemungkinan besar tidak akan memperoleh outcome terapi yang diinginkan. Efektifitas dan toksisitas obat harus menjadi pertimbangan farmasis pada saat menentukan terapi yang tepat untuk pasien. Adanya keseimbangan antara keduanya akan meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Terapi obat bersifat individual untuk masing-masing pasien. Suatu regimen dikatakan sebagai obat yang salah untuk pasien tertentu belum tentu halnya demikian untuk pasien yang lainnya. Secara garis besar, pemilihan terapi obat jarang yang bersifat 100% benar, namun juga jarang 100% salah (Cipolle et al., 1998). Keberhasilan dan keefektifan terapi obat tergantung pada identifikasi dan diagnosis terhadap problem pasien. Faktor-faktor yang menentukan ketepatan pemilihan terapi obat diantaranya kondisi medis pasien, keparahan penyakit, penyakit infeksi dan organisme penyebab, usia, dan status kesehatan pasien termasuk keadaan ginjal, hepatik, kardiovaskuler, neurologis, kognitif, dan imunitas (Cipolle et al., 1998). Beberapa penyebab ketidaktepatan pemilihan obat antara lain: 1). Pasien mengalami masalah klinis karena obat yang diberikan tidak efektif 2). Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat yang diterima 3). Obat yang diterima oleh pasien bukan merupakan obat yang paling efektif 32 4). Pasien menerima obat yang efektif tapi bukan yang paling murah 5). Pasien mempunyai kontra indikasi terhadap obat yang diterima 6). Obat yang diterima pasien tidak efektif terhadap bakteri penyebab infeksi 7). Pasien menerima kombinasi yang tidak diperlukan (Cipolle et al., 1998). d. Dosis subterapi Secara garis besar, regimen dosis obat yang dianggap sebagai dosis subterapi apabila pasien telah diterapi sesuai dengan indikasinya, tidak mengalami efek samping akibat obat, akan tetapi tidak memperoleh manfaat terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 1998). Dikatakan dosis kurang atau dosis terlalu rendah adalah apabila dosis yang diterima pasien berada dibawah 20% dari rentang dosis terapi yang seharusnya diterima pasien. FDA menetapkan kriteria bioekuivalensi obat adalah sebesar 80125% pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam darah maksimum (Cmax). Kriteria ini digunakan pada obat baik yang variabilitasnya rendah maupun tinggi (Food and Drug Administration, 2004). Faktor penyebab dosis subterapi diantaranya: (1) dosis obat salah (terlalu rendah); (2) frekuensi pemberian obat tidak tepat; (3) durasi terapi tidak tepat; (4) penyimpanan obat tidak tepat; dan (5) cara pemberian obat tidak tepat (Cipolle et al., 1998). e. Dosis berlebih Perubahan paling berarti dalam menapaki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi 33 obat sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya. Dalam setiap keadaan perlu memakai dosis kecil bila dijumpai penurunan fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit (Darmansjah, 2006). Pasien yang memiliki disfungsi ginjal akan mengalami akumulasi obat atau metabolit obat yang eliminasinya tergantung pada kerja sistem ginjal (Cipolle et al., 1998). Menurut FDA, dikatakan dosis berlebih atau dosis terlalu tinggi adalah apabila dosis yang diterima pasien berada 25% di atas dosis standar yang seharusnya diterima (Food and Drug Administration, 2004). Apabila seorang pasien telah mengalami efek abnormal potensial maupun aktual dari pengobatan, seharusnya dosis obat atau interval pengobatan diturunkan berdasarkan pada level obat tersebut terakumulasi dalam tubuh (Cipolle et al., 1998). DRP jenis dosis berlebih ini dapat terjadi karena peningkatan level obat dalam tubuh akibat beberapa hal berikut ini: (1) dosis obat salah (terlalu tinggi); (2) frekuensi pemberian obat yang tidak tepat; (3) durasi pengobatan yang tidak tepat (Cipolle et al., 1998). Penyesuaian dosis untuk pasien lanjut usia biasanya berdasarkan nilai klirens kreatininnya. Pengukuran klirens kreatinin, meskipun tidak sepenuhnya akurat pada tiap individu, namun dapat digunakan untuk memperkirakan penurunan fungsi ginjal. Banyak rumus yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin dan variabel lain seperti umur, jenis kelamin, ras, dan ukuran tubuh. Perhitungan klirens kreatinin yang paling umum adalah menggunakan rumus Cockcroft dan Gault (Lindblad et al., 2005). 34 Namun pada penelitian ini klirens kreatinin pasien dihitung dengan rumus Jellife, karena tidak semua berat badan pasien tercantum dalam rekam medis. Metode Jellife memperhitungkan umur penderita dan pada umumnya dapat dipakai untuk penderita dewasa yang berumur 20-80 tahun. Dengan metode ini makin tua penderita makin kecil klirens kreatinin untuk konsentrasi kreatinin serum yang sama. Untuk penderita wanita hendaknya menggunakan 90% dari klirens kreatinin yang diperoleh untuk penderita pria (Shargel & Yu, 2005). Keterangan : ClCr = klirens kreatinin (ml/menit) SeCr = serum kreatinin (mg/dL) f. Interaksi Obat Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya (Fradgley, 2003). Menurut jenisnya, interaksi obat dibedakan menjadi : 1). Interaksi Farmasetik/Inkompatibilitas Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat campur (inkompatibel). Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Setiawatib, 1995). 35 2). Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi (Fradgley, 2003). Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya (Setiawatib, 1995). a). Interaksi pada proses absorpsi Apabila obat diberikan secara per oral, absorpsinya di saluran pencernaan kompleks dan bervariasi, sehingga menyebabkan interaksi obat tipe ini sulit diperkirakan. Absorpsi saluran cerna obat dapat dipengaruhi oleh penggunaan bersama bahan-bahan lain yang: (1) memiliki area permukaan tempat absorpsi yang luas; (2) mengikat atau meng-khelasi; (3) mengubah pH lambung; (4) mengubah motilitas gastrointestinal; atau (5) mempengaruhi transport protein seperti p-glycoprotein. Interaksi yang mengurangi kecepatan absorpsi dan interaksi yang mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi perlu dibedakan. Penurunan hanya pada laju absorpsi obat secara klinis tidak begitu penting, sedangkan penurunan tingkat absorpsi akan secara klinis penting jika menimbulkan kadar serum subterapetik (Hansten, 2004). b). Interaksi pada proses distribusi Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan sementara 36 konsentrasi obat bebas (aktif). Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya dengan protein tinggi (Fradgley, 2003). c). Interaksi pada proses metabolisme Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain (Fradgley, 2003). d). Interaksi pada proses eliminasi Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerolus dan sekresi tubular aktif. Ekskresi ginjal dari beberapa obat asam lemah atau basa lemah dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempengaruhi pH urin. Untuk beberapa obat yang eliminasinya melalui sekresi aktif ke dalam tubulus ginjal dapat dipengaruhi oleh terapi obat yang menyertainya, sehingga mengubah kadar obat dalam serum dan mengubah respon farmakologis (Hansten, 2004). 3). Interaksi farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan lamanya efek farmakodinamik (Setiawatib, 1995). Efek yang terjadi pada interaksi 37 farmakodinamik dapat berupa: (1) sinergisme, (2) antagonisme, (3) efek reseptor tidak langsung, serta (4) gangguan cairan dan elektrolit (Fradgley, 2003). Selain ketiga jenis interaksi diatas, interaksi obat juga dapat dibedakan menjadi: 1). Berdasarkan level kejadiannya, interaksi obat terdiri dari establish (sangat mantap terjadi), probable (interaksi obat bisa terjadi), suspected (interaksi obat diduga terjadi), possible (interaksi obat mungkin terjadi, belum pasti terjadi), serta unlikely (interaksi obat tidak terjadi) (Tatro, 2001). 2). Berdasarkan onsetnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu interaksi dengan onset cepat (efek interaksi terlihat dalam 24 jam) dan interaksi dengan onset lambat (efek interaksi terlihat alam beberapa hari sampai minggu) (Tatro, 2001). 3). Berdasarkan keparahannya, interaksi obat dibagi menjadi 3 tipe yaitu mayor (dapat menyebabkan kematian), moderat (sedang), dan minor (tidak begitu masalah, dapat diatasi dengan baik) (Tatro, 2001). Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi dengan obat lain. Kemudian perlu untuk dinilai apakah interaksi yang terjadi bermakna klinis dan ditemukan kelompok pasien yang berisiko mengalami interaksi obat. Langkah berikutnya adalah memberitahu dokter dan mendiskusikan berbagai langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan berbagai efek samping obat yang mungkin terjadi. Beberapa strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat antara lain : 38 1). Hindari kombinasi obat yang berinteraksi Jika risiko interaksi obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik (Fradgley, 2003). 2). Penyesuaian dosis Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut (Fradgley, 2003). 3). Memantau pasien Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan diperlukan, yang meliputi pemantauan klinis, pengukuran kadar obat dalam darah, dan pengukuran indikator interaksi (Fradgley, 2003). 4). Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003). g. Potentially Inappropriate Medications (PIMs) Pasien usia lanjut sangat identik dengan adanya banyak penyakit pada waktu yang bersamaan sehingga diresepkan banyak obat. Hal tersebut meningkatkan risiko kejadian Adverse Drug Events (ADEs) serta interaksi obatobat atau obat-penyakit. Beberapa obat memberikan risiko khusus pada pasien 39 usia lanjut sebagai hasil dari perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada kelompok usia tersebut. Sehingga peresepan beberapa obat dinilai kurang tepat, terutama jika terdapat alternatif obat yang lebih aman (Gallagher & O’Mahony, 2008). Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi PIMs pada geriatri, diantaranya kriteria Beers, STOPP (Screening Tool of Older People’s Potentially Inappropriate Prescriptions), dan kriteria Laroche (French list). Kriteria-kriteria tersebut merupakan hasil konsensus para ahli yang dilakukan melalui studi literatur dan kuesioner yang dievaluasi oleh para ahli di bidang geriatrik, farmakologi klinik, dan psikofarmakologi menggunakan teknik Delphi yang dimodifikasi. Metode Delphi adalah suatu prosedur dan metode untuk merumuskan satu kesimpulan mengenai sesuatu hal dimana informasi yang akurat kurang mencukupi. Kriteria Beers merupakan kriteria yang pertama dan paling sering digunakan. Kriteria Beers pertama kali dipublikasikan pada tahun 1991 dan diperbarui pada tahun 1997 dan 2003, dimana ada 48 obat yang seharusnya dihindari pada pasien geriatri (independent diagnosis) dan 20 penyakit atau kondisi medis dimana penggunaan obat-obat tertentu sebaiknya dihindari (considering diagnosis) (Fick et al., 2003). Meskipun kriteria Beers paling sering digunakan untuk mendeteksi PIMs dalam studi epidemiologi skala besar, namun beberapa kriteria Beers masih kontroversial. Beberapa obat dalam daftar kriteria Beers merupakan obat lama dan sudah tidak tersedia di Eropa. Selain itu, beberapa obat dalam kriteria Beers sebenarnya tidak dikontraindikasikan untuk pasien geriatri menurut beberapa 40 formularium terkini seperti British National Formulary. Kriteria Beers juga tidak memasukkan sejumlah obat ke dalam PIMs misalnya interaksi obat-obat, atau duplikasi kelas obat pada geriatri. Adanya kesalahan/kelalaian peresepan juga tidak dipertimbangkan dalam kriteria ini, dan belum ada RCT prospektif yang secara khusus menggunakan kriteria Beers sebagai intervensi untuk memperbaiki ketidaktepatan pengobatan atau meminimalkan ADEs (O’Mahony et al., 2010). Kriteria STOPP dipublikasikan pada tahun 2006, dimana di dalamnya terdapat 65 obat yang termasuk PIMs dengan mempertimbangkan keadaan klinis pasien. Sementara French list memasukkan 36 kriteria yang dapat dipakai pada pasien berusia ≥75 tahun, 29 kriteria digunakan pada semua pasien (independent diagnosis) dan 5 kriteria merupakan obat yang seharusnya dihindari pada kondisi medis tertentu. Dua puluh lima kriteria obat dengan rasio manfaat-risiko yang tidak menguntungkan, satu obat dengan efikasi yang dipertanyakan, dan 8 obat yang termasuk keduanya (O’Mahony et al., 2010 ; Laroche et al., 2007). 3. Geriatri Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Kriteria kelompok lanjut usia menurut Departemen Kesehatan RI yaitu kelompok usia lebih dari 60 tahun. Sedangkan menurut WHO, usia yang termasuk kelompok geriatri adalah lebih dari 65 tahun (Boedhi-Darmojo & Martono, 2006). 41 Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi, fisiologi, psikologi, dan juga sosiologi. Perubahan fisiologi yang terkait lanjut usia akan memberikan efek serius pada banyak proses yang terlibat dalam penatalaksanaan obat (Prest, 2003). a. Perubahan farmakokinetika 1). Absorpsi Perubahan fisiologis yang terjadi pada fase ini antara lain penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah jaringan, serta perubahan motilitas gastrointestinal. Perubahan tersebut secara teori berpengaruh terhadap absorpsi obat, namun sebagian besar obat diabsorbsi melalui difusi pasif sehingga perubahan fisiologi terkait usia tidak berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang terabsorpsi. Beberapa pengecualian termasuk digoksin maupun obat dan substansi lain dengan mekanisme aktif yang absorpsinya berkurang, contohnya adalah tiamin, kalsium, besi, dan beberapa jenis gula (Prest, 2003; Linblad et al., 2005). 2). Distribusi Dibandingkan dengan orang dewasa muda, orang lanjut usia mengalami penurunan massa tubuh tanpa lemak, penurunan jumlah total dan presentasi kadar air dalam tubuh, dan peningkatan lemak sebagai persentase dari massa tubuh. Biasanya terdapat penurunan albumin serum yang mengikat berbagai jenis obat, terutama asam lemah. Dapat pula terjadi peningkatan secara bersamaan α-acid glycoprotein. Dengan demikian, rasio obat yang terikat terhadap obat bebas dapat berubah secara bermakna. Perubahan aliran darah organ akan mengakibatkan 42 penurunan perfusi pada anggota gerak, hati, mesenterium, otot jantung, dan otak. Perfusi menurun sampai dengan 45% pada pasien usia lanjut jika dibandingkan dengan pasien usia 25 tahun (Katzung, 2004; Prest, 2003). 3). Metabolisme hati Terdapat reduksi massa hati 35% mulai usia 30 tahun sampai dengan 90 tahun sehingga menurunkan kapasitas metabolisme intrinsik hati pada pasien usia lanjut. Keadaan tersebut bersama-sama dengan penurunan aliran darah hati, menjadi penyebab utama dalam peningkatan bioavailabilitas obat yang mengalami metabolisme lintas pertama. Faktor lain yang berpengaruh pada metabolisme obat oleh hati terkait dengan perubahan enzimatik yang muncul dengan bertambahnya usia. Pada obat-obat dengan indeks terapetik sempit, perubahan-perubahan tersebut dapat bermakna klinis (Prest, 2003). 4). Ekskresi ginjal Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomeruler dan fungsi tubuler, semuanya merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda pada usia lanjut. Kecepatan filtrasi gromeruler menurun sekitar 1% per tahun dimulai pada usia 40 tahun. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada usia lanjut (Prest, 2003). b. Perubahan farmakodinamika Perubahan-perubahan farmakodinamik pada pasien usia lanjut dapat merubah respon terhadap obat. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan kemampuan dalam menjaga keseimbangan homeostatik serta perubahan pada reseptor-reseptor spesifik dan sasaran. 43 1). Penurunan kemampuan dalam menjaga keseimbangan homeostatik Endokrin, transmisi neuromuskular dan respon organ semuanya akan menurun dengan bertambahnya usia, yang berakibat pada ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan homeostatik. Sistem yang biasanya mengalami gangguan antara lain pengaturan temperatur, fungsi usus dan kandung kemih, pengaturan tekanan darah, keseimbangan cairan/elektrolit, dan fungsi kognitif (Prest, 2003). 2). Perubahan pada reseptor-reseptor spesifik dan tempat sasaran Perubahan densitas reseptor atau afinitas molekul obat pada reseptor akan merubah responnya terhadap obat. Gangguan aktivasi enzim atau perubahan respon jaringan sasaran dapat menyebabkan perubahan respon terhadap obat. Beberapa reseptor yang mengalami perubahan respon pada usia lanjut antara lain adrenoreseptor alfa, adrenoreseptor beta, dan reseptor benzodiazepin (Prest, 2003). 4. Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang komplek menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medis modern yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar & Amalia, 2003). Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan menyelenggarakan 2 jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medis, 44 rehabilitasi medis, dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap, saat ini pelayanan rumah sakit tidak saja bersifat penyembuhan (kuratif), tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif). Kedua dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif) (Muninjaya, 1999). Menurut SK Menteri Kesehatan RI Nomor 983/MENKES/SK/XI/1992 tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan (Siregar & Amalia, 2003). Guna melaksanakan tugasnya rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medik dan non medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi umum dan keuangan (Siregar & Amalia, 2003). Berdasarkan jenis pelayanan dan kelasnya, rumah sakit dibedakan menjadi 4, yaitu : a. Rumah Sakit kelas A, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. 45 b. Rumah Sakit kelas B, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas. c. Rumah Sakit kelas C, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar. d. Rumah Sakit kelas D, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar (Siregar & Amalia, 2003). Rumah Sakit Dr. Sardjito adalah rumah sakit umum kelas A yang merupakan rujukan untuk daerah Propinsi DIY dan Jawa Tengah bagian selatan. Hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1174/MENKES/SK/2004 pada tanggal 18 Oktober 2004 tentang Penetapan Kelas RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Rujukan yang diberikan adalah rujukan pelayanan medis, rujukan pengetahuan maupun ketrampilan medis dan non medis (Anonim, 2009). 5. Rekam Medis Definisi rekam medis menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar & Amalia, 2003). Rekam medis dianggap informatif apabila memuat informasi sebagai berikut (Gitawati, 1996): 46 a. Karakteristik/demografi penderita (identitas, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya). b. Tanggal kunjungan, tanggal rawat/selesai rawat. c. Penyakit dan pengobatan sebelumnya. d. Catatan anamnesis, gejala klinis yang diobservasi, hasil pemeriksaan penunjang medis (laboratorium, EKG, dan sebagainya). e. Catatan penatalaksanaan penderita, tindakan terapi obat, tindakan terapi non obat. f. Nama/paraf dokter yang menangani (diagnosis, penunjang, pengobatan) dan petugas perekam data. Rekam medis mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya (Siregar & Amalia, 2003): a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita. b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang berkontribusi pada perawatan penderita. c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan penderita dan penanganan atau pengobatan selama di rumah sakit. d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita. e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab. f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. 47 g. Sebagai dasar perhitungan biaya dengan menggunakan data dalam rekam medis, bagi keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita. F. Keterangan Empiris Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui jenis dan persentase kejadian Drug Related Problems (DRPs) baik yang terkait ketepatan indikasi meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi, keefektifan terapi meliputi obat salah dan dosis subterapi, maupun keamanan terapi meliputi dosis berlebih dan interaksi obat pada pasien PPOK geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2007.