7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Belajar Bagian kajian ini

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Belajar
Bagian kajian ini membahas mengenai pengertian belajar. Djamarah
(2010:25) berpendapat bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan oleh
seseorang untuk dapat mengembangkan semua potensi dalam diri seseorang
itu. Oleh karena itu, belajar merupakan bentuk kegiatan manusia yang sadar
sehingga dengan adanya kegiatan belajar tersebut dapat membawa suatu
perubahan dalam diri manusia itu sendiri. Selanjutnya Nasution (2013 : 9)
juga mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu hasil dari aktivitas
belajar itu sendiri yang membawa perubahan positif bagi setiap orang atau
individu sehingga belajar yang di lakukan akan lebih bermakna bagi
kehidupan yang terus berkelangsungan. Oleh karena itu upaya yang dilakukan
seseorang untuk belajar ialah melalui pendidikan yang terintegral.
Hamalik (2012:45) juga menyatakan bahwa belajar merupakan
serangkaian aktivitas dan kreativitas yang dilakukan seseorang sehingga
menghasilkan suatu perubahan yang diperoleh, selain itu juga belajar bukan
hanya terpaku pada mata pelajaran saja, tetapi pada seluruh aspek yang ada,
baik itu aspek penguasaan, kebiasaan, presepsi, kesenangan, minat,
penyesusaian sosial, bermacam-macam ketrampilan-ketrampilan, cita-cita,
sehingga belajar mengandung pengertian yang luas seperti terjadinya
perubahan tingkah laku dan perubahan prilaku termasuk juga perbaikan
prilaku misalnya, pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih
lengkap. Majid (2014:33) juga menambahkan bahwa belajar adalah di mulai
dengan adanya dorongan dan keingintahuan seseorang untuk belajar. Dengan
adanya
dorongan
dan
keingintahuan
seseorang
tersebut
dapat
menumbuhkembangkan semangat dan motivasi untuk belajar sehingga
dengan semangat dan motivasi belajar tersebut maka akan dapat mencapai
7
8
tujuan belajar dan hasil belajar yang baik pula. Upaya yang timbul dalam diri
seseorang itu untuk melakukan kegiatan belajar adalah merupakan suatu
dorongan dan keingintahuan dari diri seseorang tersebut untuk mengetahui
sesuatu yang dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang banyak seperti yang
telah dilakukan para ahli pendidikan di dalam segala bidang keilmuan. Maka
belajar yang dilakukan haruslah menyesuaikan dengan tingkah lakunya dalam
upaya meningkatkan kemampuan dan potensi atau keterampilan-keterampilan
dalam diri orang atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar. Lain
halnya dengan Yaumi (2014:148) yang mengatakan bahwa belajar memiliki
tujuan dimana setiap tujuan-tujuan tersebut dapat dicapaikan melalui kegiatan
belajar itu sendiri. Tujuan belajar dikembangkan melalui aktivitas belajar
yang dilaksanakan dengan terintrgasi dan berkesinambungan pada pendidikan
tingkat bawah, menengah, sampai pendidikan tertinggi.
Berkaitan dengan pendapat diatas maka, belajar adalah merupakan
kegiatan mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah laku.
Dengan kata lain seseorang dapat mengalami belajar dari lingkungan dan
pengalamannya yang dapat memotivasi sehingga menumbuhkan rasa ingin
tahu yang tinggi. Jadi belajar tidak hanya dilakukan di lingkungan formal atau
sekolah, belajar juga dapat dilakukan diluar lingkungan tersebut. Misalnya,
melalui permainan lompatan dan pengalaman bermainnya seseorang tersebut
tidak secara langsung telah belajar berhitung atau belajar matematika dari
angka satu dan seterusnya. Pengalaman bermaian menghitung tersebut dapat
diterapkan di lingkungan formal atau di sebut lingkungan sekolah pada saat
belajar berhitung di kelas. pada bagian berikutnya akan membahas mengenai
pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dan karakteristik anak Sekolah Dasar
pada anak Usia 9-11 tahun.
Beberapa definisi diatas ini dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
merupakan suatu aktivitas manusia yang mengarah pada perubahan positif
baik itu perubahan tingkah laku dan prilaku seseorang itu sendiri. Pada
9
dasarnya pembelajaran IPA lebih ditekaankan pada kegiatan yang menunjang
pengalaman belajar siswa pada pembelajaran IPA agar peserta didik tersebut
lebih memahami makna dan manfaat belajar IPA di sekolah dasar. Oleh
karena itu pembelajarannya di kemas dengan semenarik mungkin agar peserta
didik lebih termotivasi untuk belajar dengan adanya kegiatan-kegitan belajar
pratikum.
2.2. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar disajikan karena dianggap
pelajaran IPA tersebut sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar seseorang
dapat mengembangkan potensi alam di sekitar dan memanfaatkan sumber
daya alam tersebut dengan sebaik-baiknya. Hal ini senada dengan beberapa
pendapat para ahli yang menyatakan pembelajaran IPA di sekolah dasar
diantaranya ialah Sanoto, H dan Pulungan (2014-20-22) mengatakan bahwa
Belajar IPA tidak hanya pada konsep tetapi lebih ditekankan pada pratikum
dengan adanya kegiatan pratikum tersebut diharapkan dapat mendorong siswa
untuk lebih semangat dan lebih percaya diri dalam belajar IPA sehingga dapat
diterapkan dikehidupan nyata peserta didik itu sendiri.
Selain itu juga,
Sanoto, H dan Pulungan (2014:22) mengatakan bahwa IPA adalah sebagai
displin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA
menjadi penting, tetapi pengajaran IPA harus terstruktur. Oleh karena struktur
kognitif anak-anak tidak dapat dibandingkan dengan struktur ilmuan, pada hal
mereka perlu diberikan kesempatan untuk berlatih keterampilan-keterampilan
proses IPA yang perlu dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan
kognitifnya. Oleh karena itu pembelajaran IPA harus dimodifikasi,
keterampilan-keteremapilan proses IPA yang akan di latih juga harus sesuai
dengan perkembangan anak.
Trianto (2010:151-153) juga mengatakan bahwa pembelajaran IPA di
sekolah sebaiknya memberikan pengalaman pada peserta didik untuk belajar
menguji suatu pernyataan yang didapat dari pengamatan terhadap kejadian
10
sehari-hari, sehingga dari hasil pengujian tersebut mereka dapat memperoleh
jawaban sementara dari yang dilakukan. Adanya jawaban sementara yang
dibuat dapat membantu peserta didik untuk berpikir logis terhadap suatu
bentuk peristiwa alam yang terjadi karena pembelajaran IPA itu dapat
membantu menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam
yang terjadi.
Samatowa (2010:2) menyatakan bahwa belajar IPA di SD hendaknya
membuka kesempatan untuk memupuk mereka mengembangkan rasa ingin
tahu anak didik secara alamiah. Hal ini akan membantu akan membantu
mereka mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban atas
berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berpikir ilmiah. Fokus
pembelajaran IPA di SD hendaknya ditujukkan untuk memupuk minat dan
pengembangan anak didik terhadap dunia mereka dimana mereka hidup.
Jadi pembelajaran IPA di SD hendaknya melibatkan keaktifan anak
secara penuh dan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mencari,
menemukan, menyimpulkan dan mengkomunikasikan sendiri berbagai
pengetahuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dibutuhkan serta membuka
kesempatan kepada anak didik untuk memperoleh pemahaman secara
mendalam dan pengalaman secara langsung untuk mempelajari diri sendiri
dan alam sekitar secara alamiah. Oleh karena itu pembelajaran IPA harus
memperhatikan karakteristik siswa pada siswa kelas 3 sekolah dasar, sama
halnya dengan Piaget dalam Yaumi (2014:122) yang mengatakan,
perkembangan intelektual anak menunjukkan bahwa perbedaan umur
menentukan adanya perbedaan perkembangan intelektual. Pada umur 0-2
tahun di sebut sebagai tahap perkembangan motor indrawi ( sensory-motor
stage), sedangkan umur 2-7 tahun di sebut sebagai masa perkembangan praoperasional (preoperational), untuk itu umur 7-11 tahun di sebut tahap
operasional konkret (concrete operations), dan umur 11-17 tahun disebut
tahap operasi formal
11
2.1.2. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Tujuan mata pelajaran IPA menurut Permendiknas Nomor 22 tahun
2006 adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan dan keteraturan dan ciptaan Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan dan teknologi,
masyarakat.
4. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memilihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan.
6. Menigkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturan
sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Dapat disimpulkan bahwa belajar IPA di sekolah dasar merupakan
suatu kegiatan belajar yang mendorong peserta didik untuk memahami dan
mengamati, sehingga apa yang di pahami dan apa yang di lakukan melalui
kegitan pratikum atau dalam kegiatan pengamatan tersebut dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, selain itu juga melatih ketrampilan-kerampilan
siswa sehingga dapat melahirkan sesuatu yang baru dalam mempelajari IPA di
sekolah. Oleh karena itu pembelajaran IPA tidak hanya terfokus pada materi
saja, tetapi pembelajaran IPA lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan yang
mendorong siswa untuk dapat memahami materi-materi yang telah diajarkan,
sehingga apa yang dipelajari dapat diterapkan dengan melalui kegiatankegiatan seperti, mencoba memahami, mengamati, dan melakukan kegiatan
pratikum. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut maka pembelajaran IPA
12
sangat berguna bagi kehidupan, dalam hal ini dapat meningkatkan hasil
belajar siswa sesuai yang diharapkan dalam pencapaian hasil belajar yang
baik pula. Pembelajaran IPA di SD haruslah mengacu pada kebutuhan
perserta didik. Untuk itu, pembelajaran haruslah dikemas dengan semenarik
mungkin menggunakan model belajar yang sesuai dengan perkembangan
kognitif anak pada rentan usia 7-11 tahun. Untuk mencapai hal tersebut
diperlukan model pembelajaran yang tapat, salah satunya adalah model
pembelajaran kooperatiif.
2.3 Pembelajaran Kooperatif
Definisi tentang pembelajaran kooperatif, bahwa pembelajaran
kooperatif adalah model belajar yang mengutamakan kerja sama antar siswa
dalam masing-masing kelompok kecil, sama halnya dengan Majid (2014 :
174) juga menekankan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model
belajar yang mengutamakan adanya kerja sama yang baik dalam belajar. Oleh
karena itu untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut maka para peserta
didik dapat belajar dengan adanya kerja sama yang baik pula dengan teman
sebayanya, sehingga pembelajaran yang mengutamakan kerjasama dapat
membawa perubahan yang positif bagi peserta didik, baik aspek sosial anak
itu sendiri dan aspek pengetahuannya. Pembelajaran kooperatif merupakan
bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompol kecil secara kolaboratif, yang anggotanya terdiri dari 4 orang
sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Isjoni (2011:12) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif berasal
dari kata “kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama
dengan saling membantu satu dan yang lainnya sebagai satu kelompok atau
satu tim. Sedangkan menurut Agus Suprijono (2013:54) menyatakan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah konsep lebih luas meliputi semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh
guru.
13
2.3.1. Pembelajaran Kooperatif Tipe Kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah model belajar yang secara nyata dan
juga belajar secara kelompok antar sesama peserta didik. Dalam hal ini
pengajar dapat menghubungkan materi ajar dengan kehidupan nyata siswa
sehingga belajar tersebut akan lebih bermakna, dan diharapkan dapat
diterapkan dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu merujuk pada
pengertian model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontekstual
merupakan suatu konsepsi yang membantu guru menghubungkan
mata
pelajaran dengan situasi nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan
antara pengetahuan dan penerapannya kedalam kehidupan mereka sebgai
anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja (Al-Tabany 2014:138).
Selanjutnya menurut Trianto (2012:105) Pembelajaran kontekstual bukan
merupakan sesuatu yang baru. Penerapan pembelajaran kontekstual di kelaskelas pertama di usulkan oleh John Dewey dan Pada tahun 1916, Dewey
mengusulkan kurikulum dan metodologi pengajaran yang di kaitkan dengan
minat dan pengalaman siswa dalam buku Trianto. Perkembangan pemahaman
yang di peroleh selama mengadakan telaah pustaka menjadi semakin jelas
bahwa pembelajaran kontekstual merupakan satuan perpaduan dari banyak “
pratikum yang baik” dan beberapa pendekatan reformasi pendidikan yang di
maksud untuk memperkaya relevansi dan penggunaan fungsional pendidikan
untuk semua siswa.
Sardiman (2011:222) mengatakan bahwa model pembelajaran
kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru untuk
menghubungkan antara materi ajar dengan situasi dunia nyata si-siswa, yang
dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dipelajari dengan penerepannya dalam kehidupan para siswa sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Sedangkan menurut Majid (2014:228-229)
mengatakan strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses
pendidikan yang holistik dan bertujuan untuk memotivasi siswa untuk
14
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan
materi tersebut terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks
pribadi,
sosial,
dan
kultural)
sehingga
siswa
memiliki
pengetahuan/keterampilan/ yang secara fleksibel yang dapat diterapkan dan
(ditransfer) dari satu permasalahan/konteks permasalahan/konteks lainnya.
Menurut beberapa ahli yang menyatakan, bahwa Pembelajaran
kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
yang dikutip pada buku Rusaman yang berjudul model-model pembelajaran
(189). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
berkerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa
oleh karena itu penerapan pembelajaran kontekstual di dalam kelas, tugas
guru adalah membantu siswa untuk mencapai tujuannya dan guru lebih
banyak berurusan dengan strategi dari pada memberikan informasi. Selain itu
guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang berkerja sama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru
datang dari menemukan sendiri bukan dari apa yang dikatakan guru.
Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan model pembelajaran
kontekstual.
Definisi yang mengatakan bahwa model belajar kontekstual adalah
model belajar yang membantu guru untuk menghubungkan materi ajar dengan
kehidupan nyata siswa sehingga belajar tersebut dapat bermakna bagi peserta
didik. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model belajar kontekstual
tersebut adalah merupakan model belajar yang di tekankan secara nyata dalam
pembelajaran, maka dengan ini pengajar dapat menghubungkan materi ajar
tersebut dengan berbagai kondisi yang ada pada lingkungan kehidupan siswa,
15
agar parasiswa dapat memahamai antara materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dalam kehidupan mereka sehingga belajar tersebut tidak
terpaku pada pokok bahasan saja, atau pada konteks bacaan, tetapi lebih
menekankan pada belajar yang secara nyata dan bermakna.
2.3.2.Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual
Penekanan pada pembelajaran kontekstual terletak pada cara belajar
yang menggunakan benda nyata. Lebih lanjut dinyatakan oleh Aqib (2014 : 6)
yang mengatakan bahwa pembelajaran konteksttual dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun
keadaannya. Hal ini senada dengan Depdiknas, 2002 yang mengatakan bahwa
pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang
studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pembelajaran
kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar langkah-langkahnya
sebagai berikut ini: (a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara berkerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan ketrampilan barunya, (b) Laksanakan sejauh mungkin
kegiatan inkuiri untuk semua topik, (c) Kembangkan sifat ingin tahu siswa
dengan bertanya, (d) Ciptakan masyarakat belajar, (e) Hadirkan model sebagai
contoh pembelajaran, (f) Lakukan refleksi di akhir pembelajaran, (g) Lakukan
penilian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Langkah-langkah model pembelajaran kontekstual juga dinyatakan
Trianto (2012: 111) adalah sebagai berikut: Pembelajaran kontekstual
memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivisme),
inkuiri (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflecting), penilaian sebenarnya
(authentic assessment). Atas dasar defenisi tersebut maka langkah
pembelajaran yang diterapkan adalah sebagai berikut; (1) mengamati; (2)
memahami; (3) berkerja sama; (4) mengkontruksi pengetahuan baru sisiswa.
Suatu
kelas
dikatakan
menggunakan
pembelajaran
kontekstual
jika
16
menerapakan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya. Secara garis
besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual atau yang dalam
kelas adalah sebagai berikut: (1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara berkerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuan
dan
ketrampilan
barunya,
(2)
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, (3)
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) Ciptakan masyrakat
belajar ( belajar dalam
kelompok), (5) Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran, (6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan, (7) Lakukan penilian
yang sebenarnya dengan berbagai cara.
2.4. Media Konkret
Pengertian media menurut Daryanto (2013:147) mengatakan kata
media berasal dari bahasa latin yang bentuk jamak dari medium batasan
mengenai sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja
yakni yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran. Secara
umu dapat dikatakan media mempunyai kegunaan, natara lain:
1. Memperjelaskan pesan agar tidak terlalu verbalistis.
2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.
3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan
sumber belajar.
4. Meningkatkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan
visual, auditori dan keinstitknya.
5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama.
6. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, guru
(komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran siswa, (komunikan),
dan tujuan pembelajaran. Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga
17
merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan
belajar untuk mencapai tujuan belajar.
2.4.1. Manfaat Media Konkret
Penggunaan media konkret dalam proses pembelajaran membawa
dampak yang positif terhadap pola pembelajaran tingkat sekolah dasar.
Sebagaian besar materi pembelajaran SD bersifat imajinatif baik rasional
maupun tidak, baik yang menyankut saintifik dan non sains. Hal tersebut
berbeda dengan pola pembelajaran sekolah kejuruan yang mutlak harus
menampilkan media asli ke dalam ruang belajar. Akan tetapi dengan luasnya
bidang pembelajaran di SD yang meliputi IPA, IPS, Matematika, Bahasa
hingga ketrampilan sehingga menyulitkan kita apabila semua pembelajaran
harus dilengkapi dengan media asli. Sehingga timbul gagasan untuk
memanipulasi benda asli agar menjadi media yang mendekati asli. Hal
tersebut akan memudahkan siswa untuk membangun struktur konsepnya di
otak. Secara rinci berikut manfaat dari media konkret:
1. Memudahkan
siswa
dalam
membangun
struktur
kognitif
dalam
membentuk konsep.
2. Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan
program yang sudah ditetapkan.
3. Mengefektifkan proses pembelajaran.
4. Meningkatkan interaksi komponen pembelajaran.
Seperti yang dikutip oleh Arsyad (2006:25), merinci manfaat media
pendidikan sebagai berikut:
a. Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir, oleh karena itu
mengurangi verbalisme.
b. Memperbesar perhatian siswa.
c. Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh
karena itu membuat pelajaran lebih mantap.
18
d. Memberi pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha
sendiri dikalangan siswa.
e. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama melalui
gambar hidup.
f. Membantu tumbuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan
kemampuan berbahaya.
g. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain
dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih banyak.
Keunggualan media konkret antara lain: memudahkan siswa dalam
belajar, mudah dipahami, siswa dapat belajar secara nyata.
2.5. Hasil Belajar
Hasil
belajar
menurut
(Dimyati
dan
Mudjiono
2009:40-41)
mengatakan bahwa hasil merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi
yaitu siswa dan dari sisi guru. Dari siswa, hasil belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum
belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Selanjutnya Sukmadinata
(2009:102-103) mengatakan bahwa hasil belajar atau achievement merupakan
realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecapakan potensial atau kapasitas
yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar seseorang dapat dilihat dari
prilakunya, baik prilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, ketrampilan
berpikir maupun ketrampilan motorik.
Sedangkan menurut Suprijono (2013:5) juga menyatakan bahwa hasil
belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikapsikap,
apresisasi
dan
ketrampilan.
Selanjutnya
Purwanto
(2011:46)
mengatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan prilaku peserta didik akibat
belajar. Perubahan prilaku disebabkan karena peserta didik mencapai
penguasaan atas jumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar.
Lebih lanjutnya lagi ia mengatakan bahwa hasil belajar dapat berupa
19
perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah butiran tes yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengetahui sejauh mana peserta didik
itu menguasai pengetahuan yang dimilikinya secara akademik, selain
penguasaan pengetahuan, juga ketrampilan-ketrampilan, baik sikap dan
ketrampilan proses belajarnya.
2.6.
Kerangka Berpikir
Keterangan kerangka pikir, terjadi peningkatan hasil belajar siswa
dengan menggunakan suatu tindakan yang dilakukan guru selaku pengajar di
sekolah yang menerapkan model pembelajaran kontekstual dengan berbantuan
media benda konkret. Model pembelajaran kontekstual dengan berbantuan
media benda konkret adalah model belajar yang membantu guru untuk
mengaitkan materi ajar dengan kehidupan siswa yang nyata, sehingga materi
ajar tersebut dapat diserap atau diterima oleh siswa dengan mudah, serta
mengaktifkan siswa dalam belajar mandiri, dan kerja kelompok. Tindakan
dilakukan secara siklus, maksud dari tindakan siklus setelah dilakukan
tindakan pertama selesai dilakukan dapat dilakukan evaluasi, bila hasilnya
belum sesuai dengan yang diinginkan maka dapat disusun rencana untuk
melakukan tindakan yang kedua, dan seterusnya.
Adapun langkah-langkah pembelajaran kontekstual menggunakan
media konkret yang telah penulis susun dengan melakukan penyesuaian
dengan situasi subyek penelitian dan akan dipakai dalam kegiatan
pembelajaran pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Guru mengarahkan siswa untuk dapat mengembangkan pemikiran
mereka dalam kegiatan belajar mengajar, belajar lebih bermakna,
mengkonstruksi pengetahuan mereka, melakukan inquiri, dan
menemukan sendiri, menfasilitas siswa dalam belajar
20
2.
Guru membimbing siswa dalam belajar pada saat siswa belajar
secara kelompok, dan siswa diajak untuk menemukan suatu fakta
pada gambar atau video pembelajaran yang disajikan guru.
3. Guru membentuk kelas dalam beberapa kelompok untuk
melakukan diskusi untuk menemukan jawaban atas pertanyaanpertantaan pada lembar kerja siswa yang dibagikan oleh guru, dan
setelah itu setiap kelompok mempersentasikan hasil kerja mereka
di depan kelas, dan kelompok yang lainnya menanggapi
4. Guru memancing siswa untuk bertanya mengenai materi yang
dipelajari bersama apa bila materi tersebut belum jelas dengan
tujuan mengembangkan pengetahuan mereka
5. Guru
mengkonstruksikan
dan
mengilustrasi/menggambarkan
bahan ajar dengan model yang diterapkan atau denagn media yang
sebenarnya
6. Guru bersama dengan siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang
dilakukan sebelum belajar mengajar berakhir
7. Guru melakukan kegiatan evaluasi, yaitu menilai kemampuan
siswa yang sebenarnya
21
Gambar 2.2
Kerangka Pikir
Kondisi Awal
Tindakan
Guru
belum
menggunakan
model
pembelajaran
kooperatif
tipe
kontekstual
berbantuan media
benda konkret.
Menggunakan
Model
Pembelajaran
Kooperatif Tipe
Kontekstual
dengan
berbantuan media
benda konkret.
Hasil belajar siswa
belum mencapai
KKM, karena siswa
merasa jenuh dengan
pembelajaran yang
diretapkan oleh guru
dikelas
Siklus 1
menggunakan Model
Pembelajaran
Kooperatif Tipe
Kontekstual dengan
berbantuan media
benda konkret.
Siklus 2
menggunakan Model
Pembelajaran
Kooperatif Tipe
Kontekstual dengan
berbantuan media
benda konkret.
Kondisi Akhir
Melalui model pembelajaran
kooperatif tipe kontekstual dengan
berbantuan media benda konkret hasil
belajar IPA siswa dengan
menggunakan ter formatif mengingkat
mencapai KKM yang di tentukan ialah
65
22
2.7.
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Tati Hendrawati (2011) dalam penelitiannya yang berjudul:
peningkatan hasil belajar IPA tentang energi panas melalui model
pembelajaran kontextual teaching and learning dan benda nyata bagi siswa
kelas IV SDN 1 Purwasari pada semester II tahun ajaran 2010/2011. Hasil
belajar siswa kelas IV tentang energi panas masih rendah dibawah kriteria
menimal (KKM) 70 karena guru dalam penyajian pembelajaran masih
konvensional dan aktivitas siswa kurang dominan. Tujuan dilakukan
penelitian untuk menigkatkan hasil belajar siswa dengan memaksimalkan
siswa melalui percobaan. Caranya peningkatan hasil belajar siswa dilakukan
dengan menerapakan model belajar kontekstual teaching and learning dan
benda nyata. Nilai hasil belajar siswa sebelum dilakukan tindakan penelitina
adalah dari jumlah siswa 33 yang mencapai KKM 70 sebanyak 21 siswa
sedangkan yang masih dibawah KKM 12 orang siswa, setelah di lakukan
penelitian tindakan pada siklus I diperoleh 29 siswa yang tuntas dan yang
belum tuntas 4 orang siswa, sedangkan hasil tindakan siklus II diperoleh 31
siswa yang tuntas, dan 2 siswa yang tidak tuntas.
Jemikem
(2010)
dalam
judul
skripsi
penelitiannya
adalah:
meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia dalam menuis puisi melalui
pendekatan konstruktivime dalam CTL (contextual teaching and learning)
siswa kelas VI SDN Blengorkulum Kebumen semester II Tahun Ajaran
2010/2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa
Indonesia dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam CTL
dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI. Hasil itu ditunjukan adanya
peningkatan jumlah siswa yang sudah tuntas setelah pembelajaran. Nilai siswa
pada pembelajaran bahasa Indonesia kondisi awal dengan kriteria menimal
(KKM) 65,9 siswa, 26 belum tuntas, pada siklus I, 31 siswa tuntas, 4 siswa
23
yang belum tuntas. Peningkatan itu terjadi karena saat pembelajaran bahasa
Indonesia dengan memanfaatkan lingkungan siswa lebih senang, materi
mudah dipahami, siswa termotivasi sehingga siswa mudah berpikir untuk
menemukan berbagai macam tema untuk dijadikan puisi.
2.8.
Hipotesis Tindakan
Hasil refleksi landasan teori dan kerangka pikir sebagaimana telah di
uraikan di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah melalui
penggunaan model pembelajaran Kontekstual berbantuan media benda
konkret meningkatkan hasil belajar siswa kelas III SD Negeri Sidorejo Kidul
03 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun Ajaran 2016/2017?
Download