BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Belajar Bagian kajian ini membahas mengenai pengertian belajar. Djamarah (2010:25) berpendapat bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk dapat mengembangkan semua potensi dalam diri seseorang itu. Oleh karena itu, belajar merupakan bentuk kegiatan manusia yang sadar sehingga dengan adanya kegiatan belajar tersebut dapat membawa suatu perubahan dalam diri manusia itu sendiri. Selanjutnya Nasution (2013 : 9) juga mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu hasil dari aktivitas belajar itu sendiri yang membawa perubahan positif bagi setiap orang atau individu sehingga belajar yang di lakukan akan lebih bermakna bagi kehidupan yang terus berkelangsungan. Oleh karena itu upaya yang dilakukan seseorang untuk belajar ialah melalui pendidikan yang terintegral. Hamalik (2012:45) juga menyatakan bahwa belajar merupakan serangkaian aktivitas dan kreativitas yang dilakukan seseorang sehingga menghasilkan suatu perubahan yang diperoleh, selain itu juga belajar bukan hanya terpaku pada mata pelajaran saja, tetapi pada seluruh aspek yang ada, baik itu aspek penguasaan, kebiasaan, presepsi, kesenangan, minat, penyesusaian sosial, bermacam-macam ketrampilan-ketrampilan, cita-cita, sehingga belajar mengandung pengertian yang luas seperti terjadinya perubahan tingkah laku dan perubahan prilaku termasuk juga perbaikan prilaku misalnya, pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap. Majid (2014:33) juga menambahkan bahwa belajar adalah di mulai dengan adanya dorongan dan keingintahuan seseorang untuk belajar. Dengan adanya dorongan dan keingintahuan seseorang tersebut dapat menumbuhkembangkan semangat dan motivasi untuk belajar sehingga dengan semangat dan motivasi belajar tersebut maka akan dapat mencapai 7 8 tujuan belajar dan hasil belajar yang baik pula. Upaya yang timbul dalam diri seseorang itu untuk melakukan kegiatan belajar adalah merupakan suatu dorongan dan keingintahuan dari diri seseorang tersebut untuk mengetahui sesuatu yang dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang banyak seperti yang telah dilakukan para ahli pendidikan di dalam segala bidang keilmuan. Maka belajar yang dilakukan haruslah menyesuaikan dengan tingkah lakunya dalam upaya meningkatkan kemampuan dan potensi atau keterampilan-keterampilan dalam diri orang atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar. Lain halnya dengan Yaumi (2014:148) yang mengatakan bahwa belajar memiliki tujuan dimana setiap tujuan-tujuan tersebut dapat dicapaikan melalui kegiatan belajar itu sendiri. Tujuan belajar dikembangkan melalui aktivitas belajar yang dilaksanakan dengan terintrgasi dan berkesinambungan pada pendidikan tingkat bawah, menengah, sampai pendidikan tertinggi. Berkaitan dengan pendapat diatas maka, belajar adalah merupakan kegiatan mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah laku. Dengan kata lain seseorang dapat mengalami belajar dari lingkungan dan pengalamannya yang dapat memotivasi sehingga menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi belajar tidak hanya dilakukan di lingkungan formal atau sekolah, belajar juga dapat dilakukan diluar lingkungan tersebut. Misalnya, melalui permainan lompatan dan pengalaman bermainnya seseorang tersebut tidak secara langsung telah belajar berhitung atau belajar matematika dari angka satu dan seterusnya. Pengalaman bermaian menghitung tersebut dapat diterapkan di lingkungan formal atau di sebut lingkungan sekolah pada saat belajar berhitung di kelas. pada bagian berikutnya akan membahas mengenai pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dan karakteristik anak Sekolah Dasar pada anak Usia 9-11 tahun. Beberapa definisi diatas ini dapat disimpulkan bahwa belajar adalah merupakan suatu aktivitas manusia yang mengarah pada perubahan positif baik itu perubahan tingkah laku dan prilaku seseorang itu sendiri. Pada 9 dasarnya pembelajaran IPA lebih ditekaankan pada kegiatan yang menunjang pengalaman belajar siswa pada pembelajaran IPA agar peserta didik tersebut lebih memahami makna dan manfaat belajar IPA di sekolah dasar. Oleh karena itu pembelajarannya di kemas dengan semenarik mungkin agar peserta didik lebih termotivasi untuk belajar dengan adanya kegiatan-kegitan belajar pratikum. 2.2. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar disajikan karena dianggap pelajaran IPA tersebut sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar seseorang dapat mengembangkan potensi alam di sekitar dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut dengan sebaik-baiknya. Hal ini senada dengan beberapa pendapat para ahli yang menyatakan pembelajaran IPA di sekolah dasar diantaranya ialah Sanoto, H dan Pulungan (2014-20-22) mengatakan bahwa Belajar IPA tidak hanya pada konsep tetapi lebih ditekankan pada pratikum dengan adanya kegiatan pratikum tersebut diharapkan dapat mendorong siswa untuk lebih semangat dan lebih percaya diri dalam belajar IPA sehingga dapat diterapkan dikehidupan nyata peserta didik itu sendiri. Selain itu juga, Sanoto, H dan Pulungan (2014:22) mengatakan bahwa IPA adalah sebagai displin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA menjadi penting, tetapi pengajaran IPA harus terstruktur. Oleh karena struktur kognitif anak-anak tidak dapat dibandingkan dengan struktur ilmuan, pada hal mereka perlu diberikan kesempatan untuk berlatih keterampilan-keterampilan proses IPA yang perlu dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu pembelajaran IPA harus dimodifikasi, keterampilan-keteremapilan proses IPA yang akan di latih juga harus sesuai dengan perkembangan anak. Trianto (2010:151-153) juga mengatakan bahwa pembelajaran IPA di sekolah sebaiknya memberikan pengalaman pada peserta didik untuk belajar menguji suatu pernyataan yang didapat dari pengamatan terhadap kejadian 10 sehari-hari, sehingga dari hasil pengujian tersebut mereka dapat memperoleh jawaban sementara dari yang dilakukan. Adanya jawaban sementara yang dibuat dapat membantu peserta didik untuk berpikir logis terhadap suatu bentuk peristiwa alam yang terjadi karena pembelajaran IPA itu dapat membantu menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam yang terjadi. Samatowa (2010:2) menyatakan bahwa belajar IPA di SD hendaknya membuka kesempatan untuk memupuk mereka mengembangkan rasa ingin tahu anak didik secara alamiah. Hal ini akan membantu akan membantu mereka mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban atas berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berpikir ilmiah. Fokus pembelajaran IPA di SD hendaknya ditujukkan untuk memupuk minat dan pengembangan anak didik terhadap dunia mereka dimana mereka hidup. Jadi pembelajaran IPA di SD hendaknya melibatkan keaktifan anak secara penuh dan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mencari, menemukan, menyimpulkan dan mengkomunikasikan sendiri berbagai pengetahuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dibutuhkan serta membuka kesempatan kepada anak didik untuk memperoleh pemahaman secara mendalam dan pengalaman secara langsung untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar secara alamiah. Oleh karena itu pembelajaran IPA harus memperhatikan karakteristik siswa pada siswa kelas 3 sekolah dasar, sama halnya dengan Piaget dalam Yaumi (2014:122) yang mengatakan, perkembangan intelektual anak menunjukkan bahwa perbedaan umur menentukan adanya perbedaan perkembangan intelektual. Pada umur 0-2 tahun di sebut sebagai tahap perkembangan motor indrawi ( sensory-motor stage), sedangkan umur 2-7 tahun di sebut sebagai masa perkembangan praoperasional (preoperational), untuk itu umur 7-11 tahun di sebut tahap operasional konkret (concrete operations), dan umur 11-17 tahun disebut tahap operasi formal 11 2.1.2. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Tujuan mata pelajaran IPA menurut Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan dan ciptaan Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan dan teknologi, masyarakat. 4. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memilihara, menjaga dan melestarikan lingkungan. 6. Menigkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturan sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa belajar IPA di sekolah dasar merupakan suatu kegiatan belajar yang mendorong peserta didik untuk memahami dan mengamati, sehingga apa yang di pahami dan apa yang di lakukan melalui kegitan pratikum atau dalam kegiatan pengamatan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu juga melatih ketrampilan-kerampilan siswa sehingga dapat melahirkan sesuatu yang baru dalam mempelajari IPA di sekolah. Oleh karena itu pembelajaran IPA tidak hanya terfokus pada materi saja, tetapi pembelajaran IPA lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa untuk dapat memahami materi-materi yang telah diajarkan, sehingga apa yang dipelajari dapat diterapkan dengan melalui kegiatankegiatan seperti, mencoba memahami, mengamati, dan melakukan kegiatan pratikum. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut maka pembelajaran IPA 12 sangat berguna bagi kehidupan, dalam hal ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa sesuai yang diharapkan dalam pencapaian hasil belajar yang baik pula. Pembelajaran IPA di SD haruslah mengacu pada kebutuhan perserta didik. Untuk itu, pembelajaran haruslah dikemas dengan semenarik mungkin menggunakan model belajar yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak pada rentan usia 7-11 tahun. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan model pembelajaran yang tapat, salah satunya adalah model pembelajaran kooperatiif. 2.3 Pembelajaran Kooperatif Definisi tentang pembelajaran kooperatif, bahwa pembelajaran kooperatif adalah model belajar yang mengutamakan kerja sama antar siswa dalam masing-masing kelompok kecil, sama halnya dengan Majid (2014 : 174) juga menekankan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model belajar yang mengutamakan adanya kerja sama yang baik dalam belajar. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut maka para peserta didik dapat belajar dengan adanya kerja sama yang baik pula dengan teman sebayanya, sehingga pembelajaran yang mengutamakan kerjasama dapat membawa perubahan yang positif bagi peserta didik, baik aspek sosial anak itu sendiri dan aspek pengetahuannya. Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompol kecil secara kolaboratif, yang anggotanya terdiri dari 4 orang sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Isjoni (2011:12) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif berasal dari kata “kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu dan yang lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Sedangkan menurut Agus Suprijono (2013:54) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. 13 2.3.1. Pembelajaran Kooperatif Tipe Kontekstual Pembelajaran kontekstual adalah model belajar yang secara nyata dan juga belajar secara kelompok antar sesama peserta didik. Dalam hal ini pengajar dapat menghubungkan materi ajar dengan kehidupan nyata siswa sehingga belajar tersebut akan lebih bermakna, dan diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu merujuk pada pengertian model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya kedalam kehidupan mereka sebgai anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja (Al-Tabany 2014:138). Selanjutnya menurut Trianto (2012:105) Pembelajaran kontekstual bukan merupakan sesuatu yang baru. Penerapan pembelajaran kontekstual di kelaskelas pertama di usulkan oleh John Dewey dan Pada tahun 1916, Dewey mengusulkan kurikulum dan metodologi pengajaran yang di kaitkan dengan minat dan pengalaman siswa dalam buku Trianto. Perkembangan pemahaman yang di peroleh selama mengadakan telaah pustaka menjadi semakin jelas bahwa pembelajaran kontekstual merupakan satuan perpaduan dari banyak “ pratikum yang baik” dan beberapa pendekatan reformasi pendidikan yang di maksud untuk memperkaya relevansi dan penggunaan fungsional pendidikan untuk semua siswa. Sardiman (2011:222) mengatakan bahwa model pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru untuk menghubungkan antara materi ajar dengan situasi dunia nyata si-siswa, yang dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerepannya dalam kehidupan para siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sedangkan menurut Majid (2014:228-229) mengatakan strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan untuk memotivasi siswa untuk 14 memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan/ yang secara fleksibel yang dapat diterapkan dan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks permasalahan/konteks lainnya. Menurut beberapa ahli yang menyatakan, bahwa Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sebagai anggota keluarga dan masyarakat. yang dikutip pada buku Rusaman yang berjudul model-model pembelajaran (189). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa berkerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa oleh karena itu penerapan pembelajaran kontekstual di dalam kelas, tugas guru adalah membantu siswa untuk mencapai tujuannya dan guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberikan informasi. Selain itu guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang berkerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa yang dikatakan guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan model pembelajaran kontekstual. Definisi yang mengatakan bahwa model belajar kontekstual adalah model belajar yang membantu guru untuk menghubungkan materi ajar dengan kehidupan nyata siswa sehingga belajar tersebut dapat bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model belajar kontekstual tersebut adalah merupakan model belajar yang di tekankan secara nyata dalam pembelajaran, maka dengan ini pengajar dapat menghubungkan materi ajar tersebut dengan berbagai kondisi yang ada pada lingkungan kehidupan siswa, 15 agar parasiswa dapat memahamai antara materi yang dipelajari dan menghubungkannya dalam kehidupan mereka sehingga belajar tersebut tidak terpaku pada pokok bahasan saja, atau pada konteks bacaan, tetapi lebih menekankan pada belajar yang secara nyata dan bermakna. 2.3.2.Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual Penekanan pada pembelajaran kontekstual terletak pada cara belajar yang menggunakan benda nyata. Lebih lanjut dinyatakan oleh Aqib (2014 : 6) yang mengatakan bahwa pembelajaran konteksttual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Hal ini senada dengan Depdiknas, 2002 yang mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pembelajaran kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar langkah-langkahnya sebagai berikut ini: (a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara berkerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya, (b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, (c) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (d) Ciptakan masyarakat belajar, (e) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, (f) Lakukan refleksi di akhir pembelajaran, (g) Lakukan penilian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Langkah-langkah model pembelajaran kontekstual juga dinyatakan Trianto (2012: 111) adalah sebagai berikut: Pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivisme), inkuiri (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflecting), penilaian sebenarnya (authentic assessment). Atas dasar defenisi tersebut maka langkah pembelajaran yang diterapkan adalah sebagai berikut; (1) mengamati; (2) memahami; (3) berkerja sama; (4) mengkontruksi pengetahuan baru sisiswa. Suatu kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika 16 menerapakan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya. Secara garis besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual atau yang dalam kelas adalah sebagai berikut: (1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara berkerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya, (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) Ciptakan masyrakat belajar ( belajar dalam kelompok), (5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, (6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan, (7) Lakukan penilian yang sebenarnya dengan berbagai cara. 2.4. Media Konkret Pengertian media menurut Daryanto (2013:147) mengatakan kata media berasal dari bahasa latin yang bentuk jamak dari medium batasan mengenai sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran. Secara umu dapat dikatakan media mempunyai kegunaan, natara lain: 1. Memperjelaskan pesan agar tidak terlalu verbalistis. 2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra. 3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar. 4. Meningkatkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan keinstitknya. 5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama. 6. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran siswa, (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga 17 merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. 2.4.1. Manfaat Media Konkret Penggunaan media konkret dalam proses pembelajaran membawa dampak yang positif terhadap pola pembelajaran tingkat sekolah dasar. Sebagaian besar materi pembelajaran SD bersifat imajinatif baik rasional maupun tidak, baik yang menyankut saintifik dan non sains. Hal tersebut berbeda dengan pola pembelajaran sekolah kejuruan yang mutlak harus menampilkan media asli ke dalam ruang belajar. Akan tetapi dengan luasnya bidang pembelajaran di SD yang meliputi IPA, IPS, Matematika, Bahasa hingga ketrampilan sehingga menyulitkan kita apabila semua pembelajaran harus dilengkapi dengan media asli. Sehingga timbul gagasan untuk memanipulasi benda asli agar menjadi media yang mendekati asli. Hal tersebut akan memudahkan siswa untuk membangun struktur konsepnya di otak. Secara rinci berikut manfaat dari media konkret: 1. Memudahkan siswa dalam membangun struktur kognitif dalam membentuk konsep. 2. Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan program yang sudah ditetapkan. 3. Mengefektifkan proses pembelajaran. 4. Meningkatkan interaksi komponen pembelajaran. Seperti yang dikutip oleh Arsyad (2006:25), merinci manfaat media pendidikan sebagai berikut: a. Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme. b. Memperbesar perhatian siswa. c. Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap. 18 d. Memberi pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri dikalangan siswa. e. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama melalui gambar hidup. f. Membantu tumbuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan kemampuan berbahaya. g. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih banyak. Keunggualan media konkret antara lain: memudahkan siswa dalam belajar, mudah dipahami, siswa dapat belajar secara nyata. 2.5. Hasil Belajar Hasil belajar menurut (Dimyati dan Mudjiono 2009:40-41) mengatakan bahwa hasil merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu siswa dan dari sisi guru. Dari siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selanjutnya Sukmadinata (2009:102-103) mengatakan bahwa hasil belajar atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecapakan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar seseorang dapat dilihat dari prilakunya, baik prilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, ketrampilan berpikir maupun ketrampilan motorik. Sedangkan menurut Suprijono (2013:5) juga menyatakan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikapsikap, apresisasi dan ketrampilan. Selanjutnya Purwanto (2011:46) mengatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan prilaku peserta didik akibat belajar. Perubahan prilaku disebabkan karena peserta didik mencapai penguasaan atas jumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjutnya lagi ia mengatakan bahwa hasil belajar dapat berupa 19 perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah butiran tes yang diberikan kepada peserta didik untuk mengetahui sejauh mana peserta didik itu menguasai pengetahuan yang dimilikinya secara akademik, selain penguasaan pengetahuan, juga ketrampilan-ketrampilan, baik sikap dan ketrampilan proses belajarnya. 2.6. Kerangka Berpikir Keterangan kerangka pikir, terjadi peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan suatu tindakan yang dilakukan guru selaku pengajar di sekolah yang menerapkan model pembelajaran kontekstual dengan berbantuan media benda konkret. Model pembelajaran kontekstual dengan berbantuan media benda konkret adalah model belajar yang membantu guru untuk mengaitkan materi ajar dengan kehidupan siswa yang nyata, sehingga materi ajar tersebut dapat diserap atau diterima oleh siswa dengan mudah, serta mengaktifkan siswa dalam belajar mandiri, dan kerja kelompok. Tindakan dilakukan secara siklus, maksud dari tindakan siklus setelah dilakukan tindakan pertama selesai dilakukan dapat dilakukan evaluasi, bila hasilnya belum sesuai dengan yang diinginkan maka dapat disusun rencana untuk melakukan tindakan yang kedua, dan seterusnya. Adapun langkah-langkah pembelajaran kontekstual menggunakan media konkret yang telah penulis susun dengan melakukan penyesuaian dengan situasi subyek penelitian dan akan dipakai dalam kegiatan pembelajaran pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Guru mengarahkan siswa untuk dapat mengembangkan pemikiran mereka dalam kegiatan belajar mengajar, belajar lebih bermakna, mengkonstruksi pengetahuan mereka, melakukan inquiri, dan menemukan sendiri, menfasilitas siswa dalam belajar 20 2. Guru membimbing siswa dalam belajar pada saat siswa belajar secara kelompok, dan siswa diajak untuk menemukan suatu fakta pada gambar atau video pembelajaran yang disajikan guru. 3. Guru membentuk kelas dalam beberapa kelompok untuk melakukan diskusi untuk menemukan jawaban atas pertanyaanpertantaan pada lembar kerja siswa yang dibagikan oleh guru, dan setelah itu setiap kelompok mempersentasikan hasil kerja mereka di depan kelas, dan kelompok yang lainnya menanggapi 4. Guru memancing siswa untuk bertanya mengenai materi yang dipelajari bersama apa bila materi tersebut belum jelas dengan tujuan mengembangkan pengetahuan mereka 5. Guru mengkonstruksikan dan mengilustrasi/menggambarkan bahan ajar dengan model yang diterapkan atau denagn media yang sebenarnya 6. Guru bersama dengan siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang dilakukan sebelum belajar mengajar berakhir 7. Guru melakukan kegiatan evaluasi, yaitu menilai kemampuan siswa yang sebenarnya 21 Gambar 2.2 Kerangka Pikir Kondisi Awal Tindakan Guru belum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe kontekstual berbantuan media benda konkret. Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kontekstual dengan berbantuan media benda konkret. Hasil belajar siswa belum mencapai KKM, karena siswa merasa jenuh dengan pembelajaran yang diretapkan oleh guru dikelas Siklus 1 menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kontekstual dengan berbantuan media benda konkret. Siklus 2 menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kontekstual dengan berbantuan media benda konkret. Kondisi Akhir Melalui model pembelajaran kooperatif tipe kontekstual dengan berbantuan media benda konkret hasil belajar IPA siswa dengan menggunakan ter formatif mengingkat mencapai KKM yang di tentukan ialah 65 22 2.7. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Tati Hendrawati (2011) dalam penelitiannya yang berjudul: peningkatan hasil belajar IPA tentang energi panas melalui model pembelajaran kontextual teaching and learning dan benda nyata bagi siswa kelas IV SDN 1 Purwasari pada semester II tahun ajaran 2010/2011. Hasil belajar siswa kelas IV tentang energi panas masih rendah dibawah kriteria menimal (KKM) 70 karena guru dalam penyajian pembelajaran masih konvensional dan aktivitas siswa kurang dominan. Tujuan dilakukan penelitian untuk menigkatkan hasil belajar siswa dengan memaksimalkan siswa melalui percobaan. Caranya peningkatan hasil belajar siswa dilakukan dengan menerapakan model belajar kontekstual teaching and learning dan benda nyata. Nilai hasil belajar siswa sebelum dilakukan tindakan penelitina adalah dari jumlah siswa 33 yang mencapai KKM 70 sebanyak 21 siswa sedangkan yang masih dibawah KKM 12 orang siswa, setelah di lakukan penelitian tindakan pada siklus I diperoleh 29 siswa yang tuntas dan yang belum tuntas 4 orang siswa, sedangkan hasil tindakan siklus II diperoleh 31 siswa yang tuntas, dan 2 siswa yang tidak tuntas. Jemikem (2010) dalam judul skripsi penelitiannya adalah: meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia dalam menuis puisi melalui pendekatan konstruktivime dalam CTL (contextual teaching and learning) siswa kelas VI SDN Blengorkulum Kebumen semester II Tahun Ajaran 2010/2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI. Hasil itu ditunjukan adanya peningkatan jumlah siswa yang sudah tuntas setelah pembelajaran. Nilai siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia kondisi awal dengan kriteria menimal (KKM) 65,9 siswa, 26 belum tuntas, pada siklus I, 31 siswa tuntas, 4 siswa 23 yang belum tuntas. Peningkatan itu terjadi karena saat pembelajaran bahasa Indonesia dengan memanfaatkan lingkungan siswa lebih senang, materi mudah dipahami, siswa termotivasi sehingga siswa mudah berpikir untuk menemukan berbagai macam tema untuk dijadikan puisi. 2.8. Hipotesis Tindakan Hasil refleksi landasan teori dan kerangka pikir sebagaimana telah di uraikan di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah melalui penggunaan model pembelajaran Kontekstual berbantuan media benda konkret meningkatkan hasil belajar siswa kelas III SD Negeri Sidorejo Kidul 03 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun Ajaran 2016/2017?