Peran Allograft Inflammatory Factor-1 Terhadap

advertisement
Referat III
ALLOGRAFT INFLAMMATORY FACTOR-1
SEBAGAI KEMUNGKINAN ADANYA
ENDOMETRIOSIS
Penyaji:
Dr. Farah Dina
Pembimbing:
Dr. Adnan Abadi, SpOG(K)
Pemandu
Prof. Dr. Mgs. H. Usman Said, SpOG(K)
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RS Dr. MOHAMMAD HOESIN – PALEMBANG
Dipresentasikan hari Senin 16 Oktober 2006, pkl 12.30 WIB
1
I.
PENDAHULUAN
Endometriosis adalah penyakit ginekologik jinak yang bersifat invasif ditandai secara
histologi oleh adanya stroma dan kelenjar endometrium diluar rongga uterus dengan
atau tanpa reaksi peradangan1,2,3
Endometriosis diperkirakan 10-20% terjadi pada wanita usia reproduksi dan
cenderung meningkat sampai 50% pada pasien endometriosis dengan infertilitas.
Penyebab pasti penyakit ini tidak begitu jelas. Endometriosis mempunyai distribusi
penyebaran yang luas sehingga etiologi penyakit ini masih sulit untuk diterangkan.
Sampai saat ini terdapat 3 teori utama yang disampaikan yaitu: regurgitasi darah haid
dan implantasi, penyebaran secara limfatik dan hematogen, serta transformasi epitel
coelomic. Dari beberapa teori yang disampaikan sebagai patogenesis endometriosis,
teori yang paling luas diterima adalah regurgitasi darah haid dan implantasi kelenjar
endometrium pada permukaan rongga abdomen dari Sampson (1925) berdasarkan
laparoskopi observasi selama menstruasi. Teori ini menyatakan bahwa endometriosis
timbul karena fragmen endometrium saat menstruasi keluar melalui tuba ke dalam
rongga peritoneum. Di rongga peritoneum jaringan tersebut berimplantasi pada
permukaan peritoneum dan tumbuh menjadi lesi endometriosis. Selama regurgitasi
darah
haid
terjadi
maka
endometriosis
dapat
terjadi
sebagai
konsekuensi
ketidakseimbangan antara jumlah darah menstruasi dan kapasitas sistim clearance
dalam lingkungan peritoneum.
Pada wanita dengan polimenorea atau pada wanita yang darah haidnya tidak
dapat keluar melalui vagina (stenosis vagina), angka kejadian endometriosis relatif
tinggi. Endometriosis dapat tumbuh hampir di setiap organ tubuh seperti di organ
genitalia interna, peritoneum, vesika urinaria, usus, paru-paru, umbilikus atau bahkan
dapat dijumpai di mata dan di otak. Endometriosis yang jauh dari pelvis dapat terjadi
melalui transport fragmen endometrial melalui sistim vaskular atau sistim limfatik.
Pertumbuhan
jaringan
endometriosis
dipengaruhi
oleh
estrogen
dan
progesteron, dan dapat mengalami perubahan secara siklik yang mengakibatkan
timbulnya proses inflamasi lokal yang menimbulkan keluhan umum endometriosis.
Regurgitasi darah haid merupakan suatu hal yang fisiologik namun yang sampai
2
sekarang masih belum jelas adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan fragmen
endometrium yang terdapat dalam darah haid dapat melekat dan tumbuh dengan cepat.
Sel endometrium sering terdapat pada cairan peritoneum wanita saat
menstruasi. Endometriosis timbul bila fragmen endometrium menempel pada struktur
pelvis dan tumbuh. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh faktor genetik,
autoimun dan supresi imunologi terhadap timbulnya penyakit ini. Ditemukan
penurunan imunitas seluler pada jaringan endometrium wanita yang menderita
endometriosis. Pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis ditemukan
aktivitas makrofag yang meningkat, penurunan aktifitas natural killer cell dan
penurunan aktifitas sel limfosit. Makrofag akan mengaktifkan jaringan endometriosis
dan penurunan sistim imunologi tubuh akan menyebabkan jaringan endometriosis terus
tumbuh.
Allograft Inflammatory Factor-1 (AIF-1) merupakan sitokin yang awalnya
ditemukan dan di klon dari allograft jantung tikus dengan cara chronic rejection; AIF1 merupakan protein asam amino 1471. AIF-1 terlibat dalam respon inflamasi yang
berhubungan dengan rejeksi transplantasi jantung manusia2 dan telah dilaporkan peran
AIF-1 ini pada beberapa jaringan dan sel pada tubuh manusia, sama seperti peran
makrofag pada allograft jantung, tepi sel makrofag2, limpa, leokusot darah perifer,
timus, hati, paru-paru dan plasenta3,4. AIF-1 juga telah ditemukan pada lesi inflamasi
penyakit autoimun pada tikus percobaan5. AIF-1 diperkirakan memainkan peran
penting dalam respon inflamasi dan aktivasi imun dan makrofag. Berdasarkan adanya
AIF-1 pada plasenta manusia3,4, embrio sapi6 dan uterus tikus7, mungkin saja AIF-1
juga berperan dalam fungsi reproduksi. Sitokin juga berperan pada menstruasi dan
implantasi8, dan proses implantasi hampir mirip seperti reaksi pada inflamasi9.
Sampai saat ini karena penyebab endometriosis masih sulit untuk dijelaskan,
dicari faktor lain yang kemungkinan juga berperan dalam perkembangan
endometriosis, salah satunya adalah peran AIF-1.
3
II.
ENDOMETRIOSIS
Endometriosis didefinisikan sebagai adanya kelenjar endometrium dan stroma diluar
rongga uterus, dan biasanya terjadi pada wanita dalam usia reproduksi. Patogenesis
endometriosis yang pasti sampai saat ini masih belum jelas; banyak faktor yang diduga
berpengaruh, termasuk estrogen dan inflamasi, dan respon imun
10,11
. Pasien dengan
endometriosis memperlihatkan peningkatan makrofag yang teraktivasi, limfosit dan
sitokin pada cairan peritoneumnya 12,13
Lokasi tersering terjadinya perkembangan endometriosis adalah pada panggul,
yang akan berpengaruh pada ovarium, tuba falopii, ligamen-ligamen yang menyangga
uterus, permukaan luar uterus dan garis batas rongga panggul. Empat puluh sampai
50% endometriosis terdapat di ovarium dan tuba falopii. Kadang endometriosis
ditemukan di bekas parut operasi abdomen, usus, rektum, buli-buli, vagina, servik dan
vulva. Lokasi lain termasuk paru-paru, tetapi ini sangat jarang.
Siklus hormonal akan mempengaruhi endometriosis. Endometriosis bersifat
seperti endometrium. Ini menjadi masalah selama menstruasi; jaringan endometriosis
akan berkembang dan mulai melepaskan sel-selnya. Berbeda dengan jaringan
4
endometrium normal yang melepaskan sel-sel yang ke vagina sehingga timbul
menstruasi, pada jaringan endometriosis sel-sel tidak mempunyai jalan untuk
melepaskan diri sehingga timbul perdarahan internal.
Patogenesis endometriosis yang pasti sampai saat ini masih belum jelas; banyak
faktor yang diduga berpengaruh, termasuk estrogen dan inflamasi, dan respon imun
10,11
. Pasien dengan endometriosis memperlihatkan peningkatan makrofag yang
teraktivasi, limfosit dan sitokin pada cairan peritoneumnya 12,13
Banyak teori yang disebut ikut berperan dalam patogenesis endometriosis.
Tidak satupun dari teori tersebut dapat menjelaskan secara jelas, mengapa jaringan
endometrium sampai berada diluar kavum uteri. Secara umum patogenesis ini telah
dikelompokkan atas dua pendapat yaitu terjadi secara in situ dengan metaplasia dan
terjadi sebagai konsekuensi dari penyebaran endometrium.
III.
ENDOMETRIOSIS SEBAGAI GANGGUAN IMUN
Mekanisme imunitas memainkan peranan dalam terjadinya endometriosis karena
terdapatnya berbagai bukti adanya kelainan fungsi imun pada penyakit ini. Kelainan
imunitas alamiah dan imunitas adaptif disampaikan untuk menerangkan terjadinya
endometriosis. Pada penderita endometriosis ditemukan penurunan aktivitas natural
killer cell dan terdapatnya peningkatan komplemen sebagai komponen sistim imun.
Hipotesis bahwa endometrosis merupakan suatu penyakit autoimun disampaikan pada
tahun 1980.
Koninckx dkk berpendapat bahwa endometriosis bila dalam keadaan minimal
atau timbul secara mikroskopis merupakan suatu kondisi yang alami yang muncul
secara intermiten pada semua wanita dan bukan merupakan suatu penyakit.
Endometriosis minimal yang muncul secara fisiologis tidak diindikasikan sebagai
patologis kecuali kemudian menjadi progresif. Endometriosis yang menjadi progresif
ini oleh beberapa peneliti diyakini muncul pada wanita dengan kelainan pertahanan
sistim imun.
Dmowski dkk menduga faktor genetik dan imunologi sangat berperan terhadap
timbulnya endometriosis. Ditemukan penurunan imunitas seluler, peningkatan aktivitas
5
makrofag dan penurunan aktivitas natural killer cell, serta penurunan aktivitas sel
limfosit. Keadaan ini mengakibatkan kegagalan dalam clearance cell. Menurut teori ini
pertahanan
imunologik
yang
abnormal
mengakibatkan
ketidaksanggupan
membersihkan debris regurgitasi darah haid dari lingkungan peritoneum sehingga
respon inflamasi menjadi lebih panjang. Makrofag dan sel-sel imunokompeten lainnya
mengelilingi lesi endometriosisdan mengeluarkan berbagai jenis sitokin katabolik yang
bertujuan untuk menimbulkan reaksi inflamasi kronik dan merangsang terbentuknya
jaringan fibrosis. Kadar lisozim pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis
dan peningkatan jumlah dan konsentrasi mediator inflamasi seperti makrofag, sitokin,
growth factor dan oksigen radikal, menunjukkan bahwa respon inflamasi intrapelvik
lokal timbul pada wanita dengan endomteriosis dibandingkan dengan wanita tanpa
penyakit ini. Endometrium ektopik diyakini berkembang oleh aktivasi makrofag dan
dipresentasikan secara antigenik terhadap sel limfosit T yang akan mengalami
proliferasi dan diferensiasi ke dalam sel T fungsional yang terdiri dari helper, supresor
dan sitotoksik.
Penurunan aktivitas natural killer cell berperan dalam clearance endometrium
ektopik yang berasal dari tumpahan regurgitasi darah haid selama menstruasi. Natural
killer cell merupakan sel efektor yang umumnya menghancurkan sel tumor, sel induk
yang terinfeksi virus dan bentuk transplantasi sel asing. Oosterlynck dkk adalah yang
pertama menunjukkan penurunan aktivitas natural killer cell dan sitotoksisitas
terhadap sel endometrium autolog p;ada wanita yang mengalami endometriosis.
Peneliti lain memperkuat temuan ini dalam serum dan cairan pelvis penderita
endometriosis. Ketidaksanggupan membersihkan sel endometrium ektopik ini akan
memperpanjang respon inflamasi yang mengarah pada pertumbuhan dan faktor sitokin
yang
berkompeten
lainnya
memudahkan
implantasi
endometrial
ektopik,
mempertahankannya dan tumbuh. Selain itu protein adhesi ditemukan tinggi pada lesi
endometriosis, dimana ini sangat berperan pada proses implantasi embrio.
Sitokin diproduksi sebagai respon terhadap aktivasi antigen endometrial
ektopik yang diyakini akan mengaktifkan sel B resting yang akan memudahkan
diferensiasinya menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Antibodi kemudian
6
juga diproduksi terhadap fosfolipid sel endometrium. Penyimpangan respon secara
imunologi akan menimbulkan sekuel endometriosis termasuk pembentukan formasi
adhesi, infertilitas dan nyeri pelvik.
Selama dekade terakhir bukti yang telah dikumpulkan menunjukkan hubungan
antara endometriosis dengan perubahan humoral dan cell mediated immunity. Kelainan
fungsi imun ini mengakibatkan kegagalan dalam clearance sel endometrium ektopik
yang mengakibatkan sel endometrium mudah untuk mengalami implantasi.
Makrofag adalah sel predominan dan komponen kunci dalam imunitas alami.
Sel ini terlibat dalam pengenalan sel asing. Di rongga peritoneum makrifag terlibat
dalam removal benda asing dan menghancurkannya. Hiperaktivitas makrofag dalam
cairan peritoneum memberikan kontribusi dalam patogenesis endometriosis dengan
mensekresikan growth factor dan sitokin. Halme dkk telah memperlihatkan
peningkatan sekresi makrofag yang menghasilkan growth factor pada wanita
endometriosis dibandingkan dengan wanita dengan pelvis yang normal.
Makrofag adalah sumber utama IL-1 dan TNFα. Sitokin ini adalah
proinflamatori dan mempunyai kerja yang sama dengan berbagai jenis sel imun. TNFα
mengaktifkan leukosit inflamasi dan merangsang makrofag untuk memproduksi sitokin
seperti IL-1, IL-6 dan lebih banyak TNFα.
Pada penelitian terakhir dipercayai adanya keterlibatan AIF-1 pada menstruasi
dan patofisiologi terjadinya endometriosis melalui pemeriksaan adanya AIF-1 pada
endometrium manusia normal dan endometriosis. Juga telah ditemukan adanya kadar
AIF-1 pada cairan peritoneum pasien dengan endometriosis maupun tanpa
endometriosis.
Ada beberapa cara untuk mengetahui adanya kadar AIF-1 pada perkembangan
endometriosis:
1. Isolasi RNA dan RT-PCR
2. Sintesis peptida dan preparat antihuman AIF-153-71 dan antibodi AIF-1113-129
3. Kadar AIF-1 rekombinan dan antibodi AIF-1 antirekombinan
4. Analasis Western blot
7
5. Imunohistokemistri
6. ELISA
7. Kultur makrofag peritoneum dan sel endometriosis
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Koshiba dkk di Universitas Kyoto Jepang
tahun 2005, AIF-1 ditemukan pada endometrium eutopik, endometriosis, dan cairan
peritoneum.
a.
Keberadaan AIF-1 pada sampel endometrium eutopik
Endometrium eutopik yang diperiksa dengan analisis semikuantitatif RT-PCR
ditemukan adanya mRNA AIF-1 yang secara signifikan lebih besar pada fase
menstruasi dan fase sekretoris lambat dibandingkan fase-fase lain pada siklus
menstruasi. Meskipun demikian adanya mRNA-AIF-1 tidak memperlihatkan
perbedaan
yang
jelas
diantara
pasien-pasien
dengan
endometriosis,
adenomiosis/leiomioma maupun tanpa penyakit.
Pada analisis secara Western blot protein AIF-1 dapat dideteksi pada single
band ekstrak protein yang berasal dari spesimen endometrium yang eutopik. Adanya
protein paling besar adalah pada fase menstruasi, menurun pada fase sekretorik awal
dan kemudian meningkat pada fase sekretorik lambat, sama seperti kadar mRNA-AIF1, kadar protein pada endometrium eutopik tidak memperlihatkan perbedaan pada
pasien dengan endometriosis maupun pasien lainnya.
Immunostaining AIF-1 dapat dideteksi pada sitoplasma dan nukleus sel-sel
glandular dan pada sel nukleus dari stroma spesimen endometrium yang eutopik.
Intensitas imunostaining lebih besar pada sel glandular dibandingkan pada sel stroma.
b.
Keberadaan AIF-1 pada endometriosis
Dengan
penggunaan
RT-PCR
semikuantitatif
adanya
mRNA
AIF-1
tidak
memperlihatkan perbedaan bermakna selama siklus menstruasi, juga tidak ada
hubungan yang jelas antara adanya jumlah mRNA AIF-1 dengan skor r-ASRM
(Revised American Society for Reproductive Medicine). Dengan analisis Western blot
8
protein AIF-1 dapat dideteksi pada ekstrak protein dari spesimen endometrioma.
Adanya protein tidak memperlihatkan perbedaan bermakna selama siklus menstruasi,
juga tidak ada hubungan yang jelas antara jumlah protein dengan skor r-ASRM.
Immunostaining AIF-1 dapat dideteksi pada sitoplasma dan nukleus sel glandular dan
pada nukleus sel stroma pada spesimen endometrioma. Intensitas immunostaining lebih
besar pada sel glandular dibandingkan pada sel stroma. Meski demikian tidak terdapat
perbedaan yang jelas intensitasnya selama siklus menstruasi.
c.
Konsentrasi AIF-1 pada cairan peritoneum
Konsentrasi AIF-1 pada cairan peritoneum meningkat pada pasien endometriosis
(dengan rata-rata 222 pg/ml) dibandingkan pada pasien sehat (105-120 pg/ml). Pada
pasien endometriosis, konsentrasi AIF-1 pada cairan peritoneum berhubungan dengan
peningkatan tingkatan r-ASRM. Konsentrasi AIF-1 pada cairan peritoneum berkorelasi
dengan progresivitas skor r-ASRM. Kadar IL-1ß
(20,21)
dan IL-6
22,23
diketahui
meningkat pada pasien dengan endometriosis.
Pada penelitian terbaru, konsentrasi IL-1ß dan IL-6 cairan peritoneum
meningkat pada pasien endometriosis. Meskipun demikian tidak terdapat perbedaan
bermakna kadar AIF-1 pada cairan peritoneum pada fase siklus menstruasi. Sebagai
perbandingan, konsentrasi serum AIF-1 tidak memperlihatkan perbedaan bermakna
diantara 3 grup pasien (bebas penyakit : 16,0 pg/ml, 12,0-19,0 pg/ml : adenomiosis
dan atau leiomioma 20,5 pg/ml, 12,7-23,0 pg/ml; endometriosis 15,0 pg/ml, 8,222,7pg/ml) atau selama fase-fase lainnya pada siklus menstruasi.
d.
Pelepasan AIF-1 dari kultur makrofag peritoneum dan sekresi sitokin oleh sel-sel
endometrium yang distimulasi oleh AIF-1
Diteliti adanya mRNA AIF-1 dan protein pada makrofag peritoneum. Ketika makrofag
peritoneum diisolasi dan dikultur, sekresi basal dari AIF-1 lebih besar pada wanita
dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Kadar AIF-1
pada kultur meningkat kurang lebih 8 kali lipat dari kadar basal setelah stimulasi 24
jam dengan IL-1ß. Stimulasi pelepasan AIF-1 juga diperkirakan diproduksi oleh
9
penambahan IFNγ (interferon-γ). Meskipun demikian, sekresi AIF-1 tidak distimulasi
oleh adanya penambahan LPS (lipopolisakarida). Derajat stimulasi IL-1ß sama dengan
kadar makrofag peritoneum yang ditemukan pada pasien sehat dan pasien dengan
endometriosis.
Sebaliknya transkrip AIF-1 dan protein AIF-1 tidak terdeteksi pada sel
endometriotik yang dikultur. Penambahan IL-1ß dan IFNγ gagal menginduksi AIF-1
pada kadar yang dapat dideteksi. Sekresi IL-1ß, IL-6 dan IL-8 dari sel endometriotik
yang dikultur juga tidak berubah dengan penambahan AIF-1 human recombinant.
Penambahan AIF-1 tidak secara jelas merubah jumlah sel endometriotik yang dikultur.
III.
AIF-1 DAN ENDOMETRIOSIS
Penelitian yang dilakukan Koshiba dkk memperlihatkan bahwa mRNA AIF-1 dan
protein dapat ditemukan pada endometrium eutopik dan jaringan endometriosis. AIF-1
pada endometrium eutopik dapat terlihat pada siklus menstruasi, dengan puncaknya
selama fase sekretorik lambat dan fase menstruasi. Protein AIF-1 ditemukan pada sel
glandular dan sel stroma; karena kadarnya meningkat pada sel glandular pada siklus
menstruasi dimana kadar sel stroma tidak ada perubahan, peningkatan kadar pada sel
glandular dapat mencapai puncaknya pada saat menstruasi. Lebih jauh, karena kadar
AIF-1 pada sel stroma tidak berubah meskipun terdapat peningkatan jumlah lekosit
selama fase menstruasi, terlihat adanya perubahan relatif kadar AIF-1 tergantung pada
perubahan populasi lekosit yang terdapat pada endometrium.
Penelitian-penelitian lain menyebutkan bahwa sitokin lokal pada endometrium
eutopik mengatur proliferasi selular dan menstruasi. Sebagai contoh IL-1ß
menstimulasi sekresi IL-6 melalui sel endometrium24,25. IL-626 dan vascular
endothelial growth factor (VEGF)27 meningkat pada saat mendekati fase menstruasi
dan berperan pada onset menstruasi. Progesteron withdrawal dapat diperlihatkan
dengan adannya peningkatan lokal dari mediator inflamasi dan enzim-enzim yang
berperan pada pelepasan jaringan; disini dapat dimengerti bahwa awal terjadinya
proses menstruasi adalah vasokonstriksi dan pengaturan sitokin yang meningkat28.
Timbul kemungkinan bahwa AIF-1 merupakan anggota baru dari sitokin yang
10
terlibat pada onset menstruasi. Sebagai tambahan meskipun beberapa gen dan protein
memperlihatkan perubahan pola gambaran endometrium eutopik pada wanita dengan
endometriosis dibandingkan dengan wanita dengan pelvis normal17,29, hasil penelitian
memperlihatkan bahwa angka jumlah AIF-1 tidak berbeda antara jaringan
endometrium yang ditemukan pada uterus normal dibandingkan dengan uterus dengan
penyakit jinak, termasuk endometriosis, adenomiosis dan atau leiomioma.
AIF-1 baru-baru ini ditemukan pada plasenta manusia
3,4
, embrio sapi6, dan
uterus tikus7. Dikarenakan bermacam sitokin diketahui terlibat pada proses implantasi,
adanya AIF-1 diperkirakan memainkan peranan seperti halnya sitokin yang lain.
Sitokin merupakan salah satu faktor kunci yang terlibat dalam patogenesis,
patofisiologi dan perkembangan endometriosis. Cairan peritoneum yang ditemukan
dari wanita dengan endometriosis mengandung leukosit(±85% adalah makrofag)30.
Lebih jauh lagi, jumlah sel dan aktivitas untuk mengeluarkan sitokin meningkat pada
endometriosis. Dalam cairan peritoneum wanita dengan endometriosis, kadar sitokin,
termasuk IL-1ß20,21, IL-622,23, IL-831,32, IL-1033,34, TNFα21,35, dan VEGF36, meningkat,
dan sedikitnya beberapa dari sitokin diatas berhubungan dengan derajat beratnya
tingkat endometriosis. Makrofag yang teraktivasi diyakini sebagai sumber sitokin yang
dominan pada cairan peritoneum. Sitokin-sitokin ini diperhitungkan terlibat pada
aktivasi makrofag, perubahan inflamasi dan meningkatkan angiogenesis. Makrofag
peritoneum yang ditemukan pada wanita dengan endometriosis mensekresikan lebih
banyak IL-1ß, IL-6, IL-8, IL-10, dan TNFα daripada makrofag yang berasal dari
wnaita tanpa endometriosis32,37,38, dan sekresi IL-6, IL-8, IL-10, IL-12 dan TNFα
distimulasi oleh LPS32,39. Studi terkini memperlihatkan bahwa konsentrasi AIF-1
dalam cairan peritoneum meningkat pada pasien dengan endometriosis, dan
konsentrasi AIF-1 berkorelasi dengan derajat beratnya endometriosis, suatu pola
paralel dengan penelitian konsentrasi IL-1ß dan IL-6 pada peritoneum. Studi terkini
memperlihatkan bahwa AIF-1 dikeluarkan dari makrofag peritoneum dan jumlahnya
lebih tinggi dari makrofag yang ditemukan dari pasien dengan endometriosis
dibandingkan makrofag yang ditemukan dari pasien tanpa endometriosis. Pengeluaran
AIF-1 distimulasi oleh IL-1ß dan IFNγ. Bersamaan dengan itu, IL-1ß dapat
11
menstimulasi sekresi AIF-1 dari makrofag peritoneum. Peningkatan primer sekresi IL1ß dapat menghasilkan peningkatan konsentrasi AIF-1 dan IL-6 pada cairan
peritoneum wanita dengan endometriosis. Dikarenakan tidak adanya perbedaan
signifikan konsentrasi AIF-1 cairan peritoneum selama fase siklus menstruasi,
sepertinya diperkirakan bahwa sumber utama adanya AIF-1 pada cairan peritoneum
adalah fragmen endometrium yang mencapai rongga peritoneum melalui menstruasi
retrograde.
Jaringan endometrium juga mensekresikan bermacam sitokin. Sel endometrium
ektopik dan eutopik dari wanita dengan endometriosis menghasilkan lebih banyak IL-6
daripada sel endometrium dari wanita tanpa endometriosis24. Pada kultur sel
endometirum, IL-1ß menstimulasi produksi IL-624,40, VEGF41 dan IL-842. TNFα
meningkatkan proliferasi sel stroma endometrium dengan menginduksi gen !L-8 dan
protein43. Sitokin-sitokin ini dipikirkan terkait dengan neovaskularisasi yang
mengelilingi lesi endometriotik41. Studi terkini memperlihatkan transkrip AIF-1 dan
protein ditemukan terdapat pada sel glandular dan stroma jaringan endometriotik.
Kebalikan dari pola tersebut, dapat terlihat dalam endometrium eutopik untuk sitokinsitokin lainnya dan marker yang berhubungan dengan steroid, angka AIF-1 pada
jaringan endometriotik tidak memperlihatkan perbedaan berarti selama siklus
menstruasi juga tidak ada hubungan bermakna antara jumlah mRNA AIF-1 dengan
derajat beratnya endometriosis secara klinis (sebagai contoh:skor r-ASRM). AIF-1
tidak berpengaruh pada proliferasi kultur sel endometriotik. Meskipun demikian, tidak
seperti pola pada sitokin-sitokin lainnya, tidak ditemukan adanya pengeluaran AIF-1
dari kultur sel endometriotik meskipun setelah stimulasi oleh sitokin-sitokin lain.
Penjelasan mengenai hal kemungkinan adalah bahwa kerja AIF-1 berada pada tingkat
transkripsional dan tidak disekresikan keluar sel1. Meski demikian karena tidak
ditemukannya transkrip AIF-1 pada kultur sel endometriotik meski ditemukannya
sekresi dari sitokin-sitokin yang lain, kemungkinan lainnya adalah kemampuan untuk
mensekresikan AIF-1 hilang selama proses kultur.
Yang menarik, Brauner dkk44 melaporkan adanya peningkatan konsentrasi
AIF-1 dalam cairan peritoneum pada pasien dengan peritonitis, yang meningkat selama
12
tindakan CAPD(continuous ambulatory peritoneal dialysis). Ini dapat menerangkan
bahwa AIF-1 disekresikan dari makrofag peritoneum pada keadaan inflamasi
nonspesifik, termasuk didalamnya adalah peritonitis dan endometriosis. Meskipun
demikian,
makrofag
peritoneum
dari
wanita
dengan
endometriosis
telah
memperlihatkan adanya karakteristik spesifik dibandingkan dari wanita tanpa
endometriosis, seperti yang telah dikemukakan diatas. Sebagai tambahan, makrofag
peritomeum berbeda dengan makrofag di daerah perifer. Meski studi terkini
memperlihatkan bahwa AIF-1 yang dikeluarkan dari kultur makrofag peritoneum
distimulasi oleh IL-1ß dan IFNγ, sekresi dari tepi sel makrofag yang berasal dari darah
perifer diinduksi oleh bakteri hidup, bukan dari IL-1ß atau IFNγ44. AIF-1 diinduksi
oleh IL-1ß pada sel vaskular otot polos manusia pada tingkat transkripsional3 dan
diinduksi oleh IFNγ dalam tepi sel makrofag tikus dan sumsum tulang tikus1. Lebih
jauh lagi, AIF-1 tidak ditemukan pada ekstrak dari sel yang distimulasi oleh IFNγ1.
Alasan untuk menjelaskan hal ini sampai sekarang masih belum ditemukan.
Sebagai kesimpulan, ditemukan adanya AIF-1 pada endometrium eutopik
manusia dengan peningkatan jumlahnya disekitar siklus menstruasi, mengindikasikan
bahwa AIF-1 berperan pada onset menstruasi. AIF-1 ditemukan pada jaringan
endometriotik manusia, dan konsentrasi AIF-1 pada cairan peritoneum pasien
endometriosis meningkat dan berkorelasi dengan derajat klinis beratnya endometriosis.
Makrofag
peritoneum
yang
ditemukan
pada
pasien
dengan
endometriosis
mensekresikan lebih banyak AIF-1 daripada makrofag yang ditemukan pada pasien
tanpa endometriosis. Pengeluaran AIF-1 distimulasi oleh IL-1ß dan IFNγ. Hasil
penelitian menduga bahwa AIF-1 merupakan anggota baru dari sitokin yang terlibat
pada patofisiologi dan perkembangan dari endometriosis. Meskipun demikian, reseptor
membran AIF-1 sampai sekarang belum dapat diidentifikasi. Membutuhkan penelitian
lebih jauh lagi, karena sampai sejauh ini masih sebagian kecil mekanisme aktivitas
biomolekular AIF-1 yang diketahui.
13
RUJUKAN
1. Speroff L, Glass RH : Endometriosis in clinical gynecologic endocrinology and
infertility, edisi VI, William & Wilkins, Baltimore, 1999; 1057-73
2. Muse NM, Fox MD : Endometriosis in Current obstetrics & gynecologic diagnosis &
treatment, edisi VIII, Appleton & Lange, 1994; 801
3. Hooghe MT, Hill JA : Endometriosis in Novak’s gynecology edisi XII, William &
Wilkins, Baltimore USA, 1996; 887-905
4. Utans U, Arceci RJ 1995 Cloning and characterization of allograft inflammatory
factor-1; a novel macrophage factor identified in rat cardiac allograft with chronic
rejection. J Clin Invest 95: 2954-62
5. Utans U, Quist WC 1996 Allograft inflammatory factor-1. A cytokine-responsive
macrophage molecule expressed in transplant human hearts. Transplantation 61: 138792
6. Hara H, Ohta M 1999 Isolation of two novel alternative splicing variants of allograft
inflammatory factor-1. Biol chem. 380: 1333-36
7. Kelly RW, King AE 2001 Cytokine control in human endometrium. Reproduction
121:3-19
8. Berkkanoglu M, Arici A 2003 Immunology and endometriosis. Am J Reprod Immunol
50:48-59
9. Harada T, Awabe T 2001 Role of cytokines in endometriosis. Fertil steril 76:1-10
10. Wu MY, Ho HN 2003 The role of cytokines in endometriosis. Am J Reprod Immunol
49:285-96
11. Vandermolen DT, Gu Y 2001 Human endometrial interleukin-6 (IL-6): in vivo
messenger ribonucleic acid expression, in vitro protein production, and stimulation
thereof by IL-1ß. Fertil steril 66:741-47
Download