pencegahan korupsi pada birokrasi

advertisement
PENCEGAHAN KORUPSI PADA BIROKRASI 1
Oleh
Drs. Faris Ihsan, M.Si 2
Abstraksi
Birokrasi pada hakikatnya adalah pengorganisasian yang tertib, tertata,
dan teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai
prosedur kerja yang tersusun jelas dalam suatu tatanan organisasi.
Namun kini seringkali dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran
buram mengenai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan
yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien dan kurang efektif,
sumber korupsi dan penyalahgunaan wewenan.Tindakan korupsi
menimbulkan banyak kerugian kepada negara, baik itu dari sisi
keuangan negara, perekonomian negara, serta menghambat
pembangunan nasional bahkan lebih dari itu bahwa korupsi di birokrasi
telah membuat rakyat menjadi sengsara dan tidak terciptanya
kesejahteraan rakya. Praktik KKN telah melahirkan pelayanan publik
yang bersifat diskriminatif, karena pelayanan hanya diberikan kepada
mereka yang mampu membayar. Penyebab terjadinya korupsi adalah
gaji yang rendah,budaya, kurangnya manajemen, arus modernisasi,
faktor mental. Pencegahan korupsi pada birokrasi dapat tercapai
dengan cara meminimalisir penyebab terjadinya korupsi.
Kata kunci : Birokrasi, KKN, Diskriminasi
A. Pendahuluan
Korupsi terdiri atas berbagai jenis bentuk suap, pemerasan, nepotisme,
penggelapan, dan sebagainya. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di
dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek
korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat – syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB
2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB
1
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan administrasi
dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran
pemerintah. Para pejabat sesungguhnya bukan warga negara biasa, mereka
memiliki kekuasaan atas warga negara, dan bagaimanapun mereka merupakan
representasi dari warga negara. Media massa baik lokal maupun nasional saat ini
banyak memberitakan masalah korupsi yang
sedang hangat-hangatnya
dibicarakan publik. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang
masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan
tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak
sendi-sendi kebersamaan bangsa. Survei yang dilakukan oleh perusahaan
konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di
Hong Kong, menyebutkan Indonesia merupakan negara paling korup dari 14
negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Hasil survei
PERC ini menyebutkan Indonesia mencetak
nilai 8,83 dari angka 10 sebagai
negara paling korup pada tahun 2013.
Dari data PERC 2013, maka dalam kurun 2010 sampai dengan 2013, peringkat
korupsi Indonesia nomor 2 terparah setelah India, hal ini terlihat dari index
korupsi berfluktuasi dari 9,07 (2010); 9,25 (2011); 8,50 (2012); 8,83 (2013)
dibanding dengan 14 negara Asia Pasifik lainnya. Dari data tersebut bisa dilihat
bahwa korupsi sudah menjadi gaya hidup di Indonesia. Banyak orang yang begitu
menikmati tindakan korupsi ini. Sedemikian banyak manusia yang melakukan
korupsi dari pusat sampai daerah. Koruptor-koruptor ini terutama adalah pihakpihak yang menduduki jabatan strategis dalam berbagai institusi negara dan
administrasi, dari lapisan bawah sampai atas. Korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus /politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan
2
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Atau dengan kata lain, korupsi merupakan penggunaan jabatan untuk tujuan
pribadi diluar kepentingan resmi. Dengan posisi strategis sebagai pejabat publik,
para pejabat harus profesional dibidang mereka dengan terus menjaga etika
profesi sebagai pejabat negara, dengan memperhatikan berbagai sisi etis dalam
seluruh tindakan dan kebijakan mereka. Seorang pejabat negara profesional yang
mencintai profesi dan jabatannya, yang melakukan tugas mulia dalam mengemban
misi kenegaraan, akan selalu menjunjung tinggi etika profesi jabatan yang jauh
dari segala tindakan atau praktek korupsi. Hal itu amat penting, karena apa pun
yang dilakukan pejabat publik akan berpengaruh bagi kehidupan warga negara.
Karena pengaruh tersebut, tidak ada jalan lain, yakni para pejabat harus menjaga
agar perilaku dan kebijakan mereka selalu baik serta tetap berpijak di jalur etika.
B. Konsep Etika
Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha)
berarti adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkatian dengan kebiasaan
hidup yang baik, baik dari seseorang maupun pada suatu masyarakat atau
kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup
yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianur dan
diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi
yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus
berulang sebagai suatu kebiasaan. Hal ini diungkapkan Bertens (2000) yang
juga menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya
dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
3
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa etika dirumuskan
sebagai
ilmu
pengetahuan
tentang
asas-asas
akhlak
(moral). Dengan
memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga
arti penting etika, yaitu (1) etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) etika sebagai kumpulan
asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Tedapat dua
teori etika yang disebutkan oleh Keraf dalam Darmawan (2006) yang dikenal
sebagai etika deontologi dan etika teleologi. Pertama, etika deontologi, istilah
tersebut berasal dari bahasa Yunani yang berarti kewajiban. Karena itu etika
deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut
etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan
akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu
sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu
dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas
dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan
motivasi kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku. Kedua, etika teleologi,
etika ini justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang
mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan untuk mencapai sesuatu
yang baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan
4
dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Karena itu, setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam
setiap situasi sebagaimana dimkasud Keraf.
C. Konsep Birokrasi
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang
kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai
konsekuensi logis dari tugas utama negara (administrasi) untuk menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam
memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and
services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu
negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara
mernbangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan
rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi. Ada beberapa indikator yang
biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yang disebutkan
oleh Darmawan (2006), yaitu sebagai berikut :
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio
antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan
kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar
pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu
indikator kinerja yang penting.
5
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif
yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan
masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik.
Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat terhadap Layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan
masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan
masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai
kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan media
massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan
masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi
satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan.
Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi
publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan
antara program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan aspirasi. Bentuk
ideal Birokrasi Max Weber seperti yang dijelaskan diatas, dalam realitanya
tidak mudah untuk diimplementasikan. Hal ini disebabkan beberapa faktor,
yaitu: (1) Manusia Birokrasi tidak selalu ada (exist) hanya untuk organisasi; (2)
Birokrasi sendiri tidak peka terhadap perubahan sosial; (3) Birokrasi dirancang
6
untuk semua orang sehingga menjadi lebih sulit. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia birokrasi berbeda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan
sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan
fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi. Karakter Birokrasi semacam ini
dapat disebut sebagai Organizational Slack, yakni organisasi birokrasi yang
cenderung bersifat patrimonialistik seperti berikut ini: (1) Tidak efisien, tidak
efektif (over consuming and under producing), tidak objektif; (2) Menjadi
pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik; (3) Tidak mengabdi pada
kepentingan umum; (4) Tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi
instrumen
penguasa
dan
sering
tampil
menjadi
‘penguasa’
yang
sangat otoritatif dan represif.
Ciri-ciri Birokrasi yang mengalami penyakit Organizational Slackdapat
ditandai dengan kondisi:

Menurunnya kualitas pelayanan yang diberikan.

Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya
penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka
telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah responsif
terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat
segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya
D. Konsep Korupsi
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara.. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau
7
perusahaan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat diartikan
sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan
manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan
kepentingan rakyat. Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang
jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi
pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Jadi korupsi merupakan gejala
salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata)
untuk
memperkaya
diri
sendiri.
Korupsi
terjadi
disebabkan
adanya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai
demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak
saudara dan teman. Wertheim dalam Lubis (2007) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari
seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang
menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.Kadang-kadang orang yang
menawarkan
hadiahdalam
bentuk
balas
jasa
juga
termasuk
dalam
korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga
yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam
keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi
adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan
8
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan
masyarakat.
E. Konsep Penyalahgunaan Wewenang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian penyalahgunaan wewenang
adalah perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
menyalahagunakan kekuasaan untuk membuat keputusan. Perbuatan penyalahgunaan
wewenang merupakan perbuatan tercela, karena amanah yang diberikan kepada
pejabat yang bersangkutan disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Perbuatan
tidak amanah tersebut didasarkan kepada misalnya Surat Perintah (SP) yang
merupakan wewenang dan amanah yang diberikan kepadanya disalahgunakan.
Korupsi dan komersialisasi jabatan disinyalir telah menjalar di segala bidang, dan
dilkaukan baik dikalangan atas maupun bawahan, sehingga merupakan perbuatan
kolektif. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline dalam
Darmawan (2006),
pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi negara
dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu: Penyalahgunaan kewenangan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum
atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah
benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan - peraturan lain;
Penyalahgunaan
kewenangan
dalam
arti
menyalahgunakan
prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Dalam praktek, untuk
rnengetahui adanya unsur "penyalahgunaan kewenangan" harus diketahui
9
terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan wewenang serta tanggung jawab
tersangka/terdakwa
Selanjutnya
sesuai
dilihat
dengan
apakah
ketentuan hukum
dalam
yang
mengatumya.
kenyataannyatersangka/terdakwa
melakukan atau tidak apa yang menjadi tugas dan wewenangnya tersebut,
dan apakah ada prosedur yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Menyalahgunakan kekuasaan, sewenang-wenang menggerakkan kekuasaan
dengan cara memaksa orang lain untuk memberi sesuatu, untuk membayar dan
menerima pernbayaran dan untuk mengerjakan sesuatu.
F. Penyebab Terjadinya Tindakan Korupsi Di Birokrasi
Birokrasi menurut Max Weber yang dikutip oleh Darmawan (2006) menyebutkan
bahwa birokrasi pada hakikatnya adalah pengorganisasian yang tertib, tertata, dan
teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai prosedur kerja
yang tersusun jelas dalam suatu tatanan organisasi. Namun, kata “birokrasi,” kini
seringkali dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran buram mengenai prosedur
kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang
tidak efisien dan kurang efektif, sumber korupsi dan penyalahgunaan wewenang
dan
semacamnya. Tingginya
angka
korupsi
di
Indonesia
dapat
dilihat
dalam Tranparency Corruption Index Perception 2013 yang dikeluarkan
oleh Tranparency International baru-baru ini, Indonesia berada dalam peringkat
ke lima di Asia atau peringkat 137 dari 146 di antara negara terkorup di dunia. Jika di
masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang
telah menyalahgunakan keuangan negara maka dalam perkembangan
nya
saat
ini
masalah
administrasi. Saat
ini,
korupsi
fakta yang
juga
telah
ditampilkan
melibatkan
melalui
birokrat
berbagai
di
media
10
massa menunjukkan masih banyak ditemukan fenomena atau gejala yang
menggambarkan
praktek korupsi
di birokrasiyang
semakin luas. Indonesia
mengalami krisis kepercayaan masyarakat pada birokrasi dalam memberikan
pelayanan publik yang bersih dari berbagai macam tindakan korupsi. Meluasnya
praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam tubuh birokrasi publik
semakin memudarkan upaya perbaikan birokrasi itu sendiri. Praktik KKN telah
melahirkan pelayanan publik yang bersifat diskriminatif, karena pelayanan hanya
diberikan kepada mereka yang mampu membayar. Dapat dikatakan bahwa dalam
bertindak para birokrat tidak berdasarkan kaidah etis yang ada. Tindakan korupsi
paling banyak dijumpai di tingkat lokal, di pemerintah daerah dan BUMN.
Berbagai jenis korupsi yang dijumpai dalam lingkungan pemerintah daerah, antara lain;
1.
Suap menyebabkan dana untuk pembangunan murah jatuh ke tangan yang
tidak berhak;
2.
Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi
pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang
tidak memenuhi syarat;
3. Kepolisian sering kali berpura-pura tidak tahu bila ada tindak pidana yang
seharusnya diusut karena telah disuap;
4.
Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana masyarakat untuk
kepentingan pribadi;
5.
Untuk mendapat surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus member uang
pelican kepada petugas bahkan kadang-kadang harus memberi suap agar surat
izin atau lisensi bisa terbit;
11
6. Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati
melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan atau peraturan
lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi anggota masyarakat yang lain;
7. Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar
sejumlah uang tambahan di luar biaya yang resmi.
8. Petugas pajak memeras warga, atau lebih sering lagi, bersekongkol
dengan wajib pajak, memberikan keringanan pajak pada wajib pajak dengan
imbalan uang suap,
9. Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi
oleh korupsi.
Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh dalam Buyung (2010)
menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India
adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur
administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican
dalam Darmawan (2006) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah
sebagai berikut :
1.
Peninggalan administrasi kolonial.
2.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
3.
Gaji yang rendah.
4.
Persepsi yang populer.
5.
Pengaturan yang bertele-tele.
6.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain Ainan dalam Kartono (1983) menyebutkan beberapa sebab
terjadinya korupsi yaitu :
1.
Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
12
2.
Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
3.
Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah
dengan upeti atau suap.
4.
Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap
bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
5.
Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat
dihindarkan.
6.
Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan
korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
7.
Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan
organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1.
Gaji
yang
rendah,
kurang
sempurnanya
peraturan
perundang-
undangan,administrasi yang lamban dan sebagainya. Pada umumnya orang
menghubungkan tumbuh subumya korupsi disebabkan karena kurangnya
gaji,
buruknya
perekonomian,
mental pejabat yang
kurang baik,
administrasi dan managemen yang kacau.
2.
Kultur (budaya), korupsi karena kultur adalah dalam hubungan meluasnya
korupsi di Indonesia. Budaya pemberian hadiah, ucapan terima kasih yang
sudah menjadi budaya rakyat Indonesia mengakibatkan semakin
suburnya budaya korupsi di Indonesia. Korupsi di lingkungan birokrasi saat
ini dianggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari praktek kehidupan masyarakat sehari-hari.
13
3.
Kurangnya manajemen. Manajemen yang kurang baik dapat menimbulkan
kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat mempermudah
orang melakukan korupsi.
4.
Arus modernisasi. Korupsi terdapat lebih banyak dijumpai dalam
masyarakat yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa
luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan
ekonomi yang cepat.
5.
Faktor mentalitas. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan
cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada
pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah.
Sebenarnya, penyebab terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa
"kesempatan dan jabatan/kekuasaan" sebagai sumber utama dari korupsi.
Semua orang
yang
mempunyai
kedua
faktor
tersebut
akan
cenderung
menyalahgunakan jabatan dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri
sendiri. Korupsi di dalam tubuh birokrasi bila telah mencapai tingkat hyper
corruption, akan membawa dampak yang mematikan, ironisnya, korupsi jenis inilah
yang biasanya kita jumpai dalam tubuh administrasi daerah dan badan usaha milik
negara di berbagai negara di dunia. Korupsi sistematis menimbulkan kerugian
ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik, karena meremehkan lembagalembaga administrasi; kerugian social, karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan
orang yang tidak berhak. Bila korupsi berkembang di birokrasi maka dapat
menyebabkan pembangunan ekonomi dan politik menjadi kacau. Masalah korupsi
terkait dengan kompleksitas masalah moral/sikap mental birokrat di administrasi.
Dalam kaitannya dengan etika, maka akan sengat erat kaitannya dengan masalah
14
moral, akhlak, dan baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari hukum positif yang
berlaku di masyarakat. Kaitannya dengan sosok pejabat publik atau
penyelenggara negara, maka etika akan menggambarkan sejauh mana kualitas
mental dan moral pejabat tersebut. Perilaku korupsi, penyalahgunaan wewenang,
dan setumpuk perilaku lainnya yang meresahkan masyarakat dapat dikategorikan
sebagai hilangnya nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat
publik. Apalagi jika hal tersebut telah menjadi sebuah kultur, maka tentunya akan
sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa, dimana maju tidaknya
bangsa tersebut sangat bergantung kepada kualitas mental dan moral serta
kemampuan para pemimpinnya.
G. Upaya-Upaya Dalam Mengatasi Tindakan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang
selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end
justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditangani secara tuntas dan
bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan
para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden dalam Panji (2008) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi
korupsi sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan
sejumlah pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
15
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
Wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas
diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi. Dorongan untuk korupsi
dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman. Korupsi adalah persoalan
nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang
harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun
korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural,
barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi
dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas
membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi
menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celahcelah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu
halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi,
misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat,
dengan
tidak
lupa
pelakunya. Selanjutnya,
meningkatkan
Myrdal
ancaman
dalam
Lubis
hukuman
(1987)
kepada
memberi
pelakusaran
penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusankeputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih
disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh
mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi
harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi
16
dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus
ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu
cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari
segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai
melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang
menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan
korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan
aspirasi
nasional
yang
positif,
yaitu
mengutamakan
kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan
menindak korupsi.
4. Adanya
sanksi
dan
kekuatan
untuk
menindak,
memberantas
dan
menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi
dan
rasionalisasi
dari
organisasi
pemerintah,
melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan achievement dan bukan
berdasarkan sistem ascription.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung
jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
17
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang
mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Indonesia dalam hal memberantas tindakan korupsi dapat belajar dari Negara
Asia seperti Korea Selatan yang sukses mengurangi angka tindakan korupsi di
negaranya. Di Korea Selatan ada budaya Arirang yang semangatnya mematai dan
mengkritik tetangga yang memiliki kekayaan yang melampaui batas kewajaran
penghasilan yang bersangkutan. Belajar dari budaya Arirrang, Indonesia juga
sangat perlu menciptakan sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan
wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap
sebagai hal yang memalukan lagi. Selanjutnya iklan layanan masyarakat lebih
banyak untuk membangun watak baik dan etos kerja bangsa ini yang bersih dari
segala tindakan korupsi. Satu hal yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam
menangani maraknya tindakan korupsi di lingkungan birokrasi yaitu menerapkan
konsep etika administrasi dalam lingkungan birokrasi. Etika administrasi menjadi
semakin penting ketika sistem administrasi sendiri memberikan tempat bagi
adanya korupsi, campur tangan politik atas birokrasi dan sebagainya. Dalam
bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak
secara otonom dan bukan secara heteronom. Rendahnya etika para birokrat
terjadi karena rendahnya pemahaman dari norma–norma umum yang sangat
mendasar tersebut. Sehubungan dengan korupsi, etika kemudian lahir sebagai alat
kontrol dalam menjalankan administrasi. Hal ini dikarenakan ada seperangkat
nilai yang kemudian diyakini bahkan diamanahkan kepada pemerintah untuk
dipegang teguh dalam setiap tingkah laku administrasi. Jika etika yang kemudian
dilembagakan dalam kode etik dipegang dengan teguh, maka penyimpangan
seperti korupsi tidak akan terjadi. Misalnya kode etik birokrat yang merupakan
18
norma-norma sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan birokrat yang
diharapkan
dan
dipertangung
jawabkan
dalam
melaksanakan
tugas
pengabdiannya kepada bangsa, negara dan masyarakat dan tugas-tugas
kedinasan, organisasinya serta pergaulan hidup sehari-hari sesama birokrat dan
individu-individu di dalam masyarakat. Keseluruhan nilai etis di atas pada
umumnya berisi mengenai petunjuk dalam tingkah laku administrasi baik sejak
disumpah hingga kewajiban dan larangan. Sejak disumpah seorang birokrat telah
mendapatkan amanah dari publik dan oleh karenanya harus bertanggung jawab
kepada publik. Bahkan, ketika hal itu dipegang teguh dan diyakini sebagai suatu
amanah, maka pertanggungjawabannya bukan hanya pada publik melainkan juga
kepada Tuhan dan pribadi. Oleh karena itu, jika etika dipegang teguh maka
tindakan penyalahgunaan wewenang seperti korupsi tidak akan terjadi dan
sebagai suatu konsekuensi logis maka setiap tindakan korupsi dalam bentuk
apapun/ alasan apapun tidak dapat dibenarkan/ menyalahi etika. Jadi dapat
dismpulkan bahwa penerapan etika dalam lingkungan birokrasi sangat penting
peranannya dalam menangani tindakan korupsi ini. Berikut adalah tindakan
preventif dan represif yang dapat diaplikasikan terkait dalam membangun etika
birokrat yang baik:
1. Preventif.

Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam
antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.

mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai
negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar
pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas
19
jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang
diberikan oleh wewenangnya.

Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri
setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah
bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena
jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.

Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.

Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka
untukkontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan
itu cenderung disalahgunakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan
“sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga
mereka merasa institusi tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu
korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
2.
Represif.

Perlu penayangan wajah koruptor di berbagai media massa.

Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
H. Kesimpulan
Korupsi yang menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak
sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa dapat
ditangani dengan cara melaksanakan tindakan yang bersifat Preventif dan Represif
yang dalam tujuannya untuk membangun etika birokrat yang baik. Pencegahan
(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun
20
etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik
negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan
penghasilan
(gaji),
menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan
dan
atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau
atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan,
terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial. Menumbuhkan rasa
“sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan
yang bersifat represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan
penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)
kekayaan pejabat dan pegawai.
Daftar Pustaka
Bertens, K, 2000, Etika, , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Buyung, Bulizuar, 2010, Manajemen Pelayanan Publik, FISIP UI, Jakarta
Darmawan, Cecep, 2006, Transparansi Birokrasi Menuju Birokrasi yang Sehat,
PKPPW Univ. Padjadjaran, Bandung
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Effendi, Sofian, 2008, Alternatif Kebijaksanaan Perencanaan Administrasi, Fisipol
UGM, Yogyakarta.
GAO, www.books.google.co.id (diakses 8 Mei 2014)
Kartono, Kartini, 1983, Pathologi Sosial, Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta
Lubis, Mochtar,2007, Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri, Bhratara Karya Aksara,
Jakarta
Miftah Thoha, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Media
Prenada Group, Jakarta
Pandji Santosa, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good
Governance, Refika Aditama, Jakarta
PERC, www.asiarisk.com/subscribe/dataindex.html (diakses 8 Mei 2014)
Weber, Max, www.academia.edu (diakses 8 Mei 2014)
Akses Internet :
Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov.go.id (diserahkan
ke Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB tanggal 29 Mei 2014).
21
Download