BAB 'STRESS ' DAN PRODUKSI METABOLIT III SEKUNDER DALAM KULTUR SEL TANAMAN A. Pendahuluan Pengaruh 'stress' terhadap produksi metabolit sekunder telah banyak diteliti. Secara garis besar banyak kondisi 'stress' yang menguntungkan produksi metabolit sekunder. Seperti diketahui pada fase pertumbuhan biosintesis metabolit sekunder berjalan amat lambat bahkan seringkali belum dimulai, tetapi setelah fasa pertumbuhan berakhir maka produksi metabolit sekunder segera mulai. Menurut Grime (1984) yang dimaksud dengan istilah 'stress’ dalam tumbuhan adalah suatu keadaan hambatan ekstemal yang membatasi kecepatan produksi bahan kering dari semua bagian tumbuhan, misalnya kekurangan air, cahaya, mineral, dan suhu di atas atau di bawah optimal. Di alam kekurangan tersebut sangat erat hubungannya dengan lingkungan. Batasan menurut Grime tersebut dapat diambl alih dan berlaku untuk sel atau jaringan dalam kulturdalam hal ini 'stress' adalah segala hambatan yang menurunkan bahan kering dari biomassa. Kebanyakan para ahli fitokimia tidak tertarik kepada bahan kering melainkan metabolit sekunder. Dalam hal ini yang dimasukkan dalam kategori 'stress' adalah nutrien, cahaya, suhu, pengaruh bahan kimia tertentu, mikroba serta penggarapan genetik. Pengubahan metabolit dalam kultur sel tumbuhan dengan mengingat produksi metabolit sekunder dipertahankan dalam kondisi optimal dapat dicapai dengan cara memberikan keadaan 'stress' dalam sistem tersebut. Periu diperhatikan bahwa keadaan 'stress' yang berlebihan dapat menghentikan produksi metabolit sekunder. Produksi metabolit sekunder dapat berlangsung lagi dengan pengubahan segi nutrien, hormonal, cahaya, suhu, atau teknik lain yang tidak dapat dlakukan terhadap tumbuhan asal. Dengan cara penggarapan yang diteliti mengenai seleksi genetik dan faktor lingkungan, kemungkinan akan didapatkan keadaan yang dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan asal. Kadang-kadang senyawa baru yang tidak didapatkan dalam tumbuhan asal akan muncul didalam kultur sel (de novo synthesis). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh banyak peneliti temyata kadar metabolit sekunder dalam kultur sel lebih rendah daripada tumbuhan asal, hal ini sesuai dengan dinamika sel. Selanjutnya akan diuraikan berbagai macam 'stress’ dan pengaruhnya terhadap produksi metabolit sekunder dalam kultur kalus atau kultur suspensi sel beberapa jenis tumbuhan yang diperoleh dari pustaka. Uraian ini tidak terlalu rinci karena terbatasnya sarana untuk memperoleh pustaka yang aseli. B. Pengaruh 'Stress' Nutrisi terhadap Biosintesis Metabolit Sekunder Dalam kultur sel keperluan nutrisinya dipenuhi oleh pemberian mineral esensial, vitamin, sumber karbon berupa karbohidrat, yang diperlukan untuk pertumbuhan dan metabolisme primer maupun sekunder. Setiap sel memiliki kemampuan untuk melakukan reaksi biokimia yang berasal dari tumbuhan asalnya. 1. Pengaruh ' stress' karbohidrat terhadap sintesis fitokimia Dalam kultur sel sumber karbon utama berupa sukrosa dengan kadar 2-3 %. Selain sukrosa, juga digunakan glukosa, fruktosa, galaktosa, dan laktosa sebagai sumber karbon yang lain. Dengan membuat variasi kadar sukrosa diluar kisaran tersebut dapat diperkirakan akan menimbulkan ' stress' pada biosintesis metabolit sekunder, di sini juga akan terjadi perubahan tekanan osmosis. Sebagai contoh dapat dikemukakan hasil penelitian Zenk dkk.(1977) bahwa pada variasi kadar sukrosa akan mengakibatkan naik-turun pertumbuhan sel pada kultur sel Catharanthus roseus. Contoh yang lain, penelitian yang dilaporkan oleh Knoblock dkk. (1984) bahwa kenaikan kadar sukrosa 4-10% akan menaikkan produksi antosianin dan alkaloid indol pada kultur suspensi sel Catharanthus roseus. Kemudian dilaporkan oleh Tal dkk. (1982) bahwa pemberian sukrosa 1,5 % pada kultur sel Dioscorea deltoidea akan menaikkan kadar diosgenin paling tinggi bila dibandingkan dengan pemberian fruktosa, galaktosa, laktosa, atau larutan amilum pada media. Biosintesis senyawa fenolik juga dipengaaihi oleh kenaikan kadar sukrosa, sebagai contoh bahwa kenaikan kadar sukrosa menjadi 2 - 4% dalam kultur sel mawar 'Paul Scarlet' akan menaikkan kadar polifenol. Demikian pula, kadar fenolik dalam Acer pseudoplantus akan naik tiga kali lipat bila kadar karbohidrat 2 - 4%. Dilaporkan oleh Discomo dan Towers (1984) bahwa kadar tanin dalam kultur jaringan Juniperus communis akan menaik bila kadar sukrosa dinaikkan menjadi 5%. Dalam kultur sel LJthospermum erythrorhizon senyawa sikonin akan menaik bila kadar sukrosa dinaikkan dan 1 % samapi 5 % dan mencapai kadar yang tetap bila kadar sukrosa dalam kisaran 7-10 %, akan tetapi pertumbuhan sel akan menurun pada kadar sukrosa 3 sampai 5 % akan merangsang aktivrtas enzim PAL (Phenylalanine Ammonia Lyase) dan produksi antosianin pada kalus Populus sp. akan menaik tetapi pertumbuhan sel tidak terpengaruh. Dilaporkan oleh Discomo dan Towers (1984) bahwa sukrosa akan menghambat sintesis klorofil pada sel Daucus carota, sedangkan glukosa dan fruktosa sendiri atau bersama tidak memiliki efek penghambatan Sintesis klorofil. Dilaporkan pula bahwa sukrosa juga menurunkan kadar karotenoid. Untuk pertumbuhan bertaku konsensus bahwa sukrosa lebih baik daripada sumber karbohidrat yang lainnya. Kadar di atas 3 % sering mengakibatkan kenaikan biosintesis metabolit sekunder yang diproduksi oleh sel heterotropik. Memang pada beberapa sistem nampak bahwa kenaikan kadar sukrosa akan menaikkan pertumbuhan sel, tetapi tidak diikuti kenaikan kadar metabolit sekunder. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengaruh 'stress'.karbohidrat terhadap biosintesis metabolit sekunder dalam kultur sel tumbuhan adalah rumit. Suatu terobosan dalam studi mengenai hal ini akan sangat berguna untuk menguak pengaturan biosintesis metabolrt sekunder oteh karbohidrat. 2. Pengaruh 'stress' nitrogen pada sintesis fotokimia Dalam media baku pada kultur sel tumbuhan sebagai sumber nitrogen digunakan kalium nitrat dan amonium nitrat. Namun demikian, beberapa kultur sel tidak tahan terhadap kadar amonium yang berlebihan. Sebagai contoh, dilaporkan oleh Dicosmo dan Towers (1984) bahwa biosintesis 1,4-naftokinon ditingkatkan bila kadar nitrogen total dinaikkan dari 67 sampai 104 mM dalam kultur sel Uthospermum erythrorhizon. Dilaporkan oleh Zenk dkk. (1975) bahwa produksi antrakinon pada kultur sel Morinda citrifolia menurun bila kadar kalium nitrat bervariasi di bawah atau di atas kisaran 2,0 - 4,5g per liter. Dilaporkan pula oleh Dicosmo dan Towers (1984) bahwa produksi ubikinon total dalam kultur suspensi sel Nicotians tabacum akan berubah bila perbandingan amonium-nitrat dari 3:1 dijadikan 1:3, tetapi nitrogen total dibuat tetap. Selanjutnya biosintesis alkaloid indol dalam kultur sel Peganum harmala akan menurun bila amonia atau glutamin digunakan sebagai pengganti nitrat. Selanjutnya, biosintesisi alkaloid indol dalam kultur Peganum harmala akan menurun bila amonia atau glutamin digunakan sebagai pengganti nitrat. Sebaliknya pada kultur sel Camelia sinesis kandungan kafeinnya akan menaik sampai empat kali iipat bila amonium digunakan mengganti nitrat. Dilaporkan oleh Chandler dan Dods (1983), bahwa kultur kalus Solanum laciniatum akan memproduksi solasodina naik menjadi hampir dua kali Iipat bila kadar nitrogen diturunkan menjadi seperdelapan normal atau 12,5 % dari normal.:dalam percobaan ini digunakan media KD, yaitu media Murashige Skoog yang ditambah dengan kinetin dan 2,4-D masing-masing 1 bagian perjuta (bpj). Hasil yang berlawanan dilaporkan oleh Zenk dkk .(1975) bahwa penambahan fenilalanina pada kultur sel Coleus blumei akan menaikkan kadar asam rosmarinat, sedangkan peneliti lain mendapatkan kenyataan yang sebaliknya. Penambahan triptofan dalam kultur sel Catharahtus roseus yang berumur tiga minggu akan menaikkan biosintesis alkaloid, sedangkan penambahan triptamina pada inokulasi akan menekan biosintesis alkaloid. Jadi perlu diperhatikan pula saat pembenan prekusor yang tepat agar diperoleh hasil produksi metabolit sekunder yang diharapkan. Penambahan sumber nitrogen lain seperti bahan majemuk antara lain hidrosilat kasein, pepton, eksrak ragi baik sendiri maupun bersama dengan asam amino yang lain memberikan hasil yang tidak konsisten. Sebagai contoh, dapat dikemukakan di sini bahwa pembenan hidrolisat kasein pada kultur sel Uthospermum erythromizon akan menurunkan sintesis 1,4-naftokinon. Sebaliknya pembenan asam kasamino dalam kultur sel Nicotiana tabacum akan menaikkan kadar senyawa golongan kumarin, yaitu skopoletin dan skopolin. 3. Pengaruh kadar fosfat pada sintesis fitokimia Fosfat organik berperan sebagai suatu regulator dalam sel tumbuhan. Fosfat organik sangat penting dalam proses metabolisme, termasuk proses fotosintesis, glikolisis, respirasi, dan sangat penting pada proses biosintesis asam nukleat dan fosfolipid. Banyak metabolit sekunder yang dibiosintesis lewat zat antara (intermediat) terfosforilasi, misalnya pada biosintesis senyawa gobngan terpena, terpenoid, steroid, dan fenil propanoid, yang kemudian diikuti dengna proses defosforilasi. Jadi tahap pemutusan fostat harus terjadi pada bisintesis golongan senyawa tersebut. Hambatan pembentukan metabolit sekunder seperti skopoletin dan sinamoil putresin diduga melibatkan hambatan fosfatase oleh fosfat organik. Tingkatan kadar fosfat menunjukkan suatu pengubahan yang dramatis baik biosintesis metabolit sekunder maupun akumulasinya. Catharanthus Sebagai roseus contoh, dan dapat Nicotiana dikemukakan tabacum tanpa dalam fosfat kultur sel anorganik menunjukkan kenaikan biosintesis alkaloid indoi dan kumarin. Sebaliknya kenaikan kadar fosfat anorganik akan menaikkan produksi antrakinon pada kultur sel Morinda citrifolia (Zenk dkk.,1975) dan juga menaikkan biosintesis alkaloid indol pada kultur sel Ipomoea violancea. Masih banyak hal yang belum dipahami mengenai pengaruh tingkatan kadar fosfat anorganik dalam kultur sel tumbuhan, walaupun berdasarkan laporan di atas bahwa penurunan kadar fosfat anorganik akan menaikkan produksi metabolit sekunder tertentu. 4. Pengaruh mineral selain nitrat dan fosfat dalam biosintesisi metabolit Sekunder Sangat sedikrt penelitian yang mempelajari pengaaih mineral selain nitrat dan fosfat terhadap biosintesis metabolit sekunder. Namun demikian, ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan di sini, misalnya produksi alkaloid dalam kultur sel Argyreia nervosa menaik apabila kadar ion kaiium dtturunkan. Seperti diketahui bahwa biosintesis glutation memerlukan ion magnesium dan distimulasi oleh ion kaiium. Biosintesis monoterpen, misalnya kamfor dan bomeol memeriukan ion magnesium. Biosintesisi diterpen atau triterpen memeriukan ion bivalensi, misalnya magnesium, mangan, nikel, dan besi (Towers dan Dicosmo, 1984) Belerang juga diperiukan untuk metabolisme dalam kultur sel. Dalam media, sulfur diberikan dalam bentuk sulfat dan diperiukan untuk biosintesiss asam amino yang mengandung belerang, misalnya S-trans-propemil-L-sistein dalam Allium cepa. Fungsi S- adenosil-metionin dalam metilasi banyak senyawa, misanlnya sebagai N-metilasi pada alkaloid ergolina dan alkilasi pada C-24 sterol dalam biosintesis senyawa steroid. Data lain yang didapat dalam pustaka, temyata masih bersifat emperis, jadi belum ada aturan umum yang dapat ditarik dari laporan tersebut secara umum mengenai pengaruh mineral, selain nitrat dan fosfat pada produksi metabolit sekuder. 5. Pengaruh fitohormon pada biosintesis fitokimia Berdasarkan penelitian terdahulu temyata bahwa biosintesis metabolit sekuder meningkat bila sel mengalami diferensiasi atau organogenesis. Dalam budidaya set tumbuhan ada dua tipe fitohormon yang di gunakan, yaitu auksin dan sitokinin. Sebagai contoh auksin yang paling banyak digunakan adalah 2,4D, sedangkan anggota lainya IAA, IBA, NAA. Sebagai contoh sitokinin, misalnya kinetin dan BA (bensiladenina) yang kadang-kadang digunakan untuk mempercepat pertumbuhan sel. Banyak penelitian yang mempelajari pengaaih kedua tipe fitohormon tersebut terhadap biosintesis metabolit sekuder. Secara umum, telah diketahui bahwa IAA dan BA dapat menaikkan aktivitas enzim RNAase sehingga tingkat pembentukan RNA menurun dan ini berpengaruh terhadap pembentukan metabolit sekuder. Dilaporan oleh Carew dan Krueger (1977) bahwa kenaikan 2,4-D pada kultur sel Catharanthus roseus akan sedikit menaikkan produksi alkaloid indol. Sebaliknya, penurunan kadar 2,4-D uga akan menurunkan pertumbuhan dan produksi alkaloid indol serta perolehan alkaloid indol dalam media. Kadar 2,4-D yang optimal untuk produksi alkaloid adalah 1 bpj. Penambahan IAA dalam media akan mengubah baik secara kualitatif maupun kuantrtatif profil alkaloid daiam kultur sel tersebut. Dilaporkan pula oleh Dicosmo dan Towers (1984) bahwa 2,4-D akan menekan produksi alkaloid (ajmaiisina dan serpentina) pada kultur suspensi sel Catharanthus roseus, tetapi dengan penambahan (AAproduksi alkaloid tersebut akan meningkat. Penambahan BA dan auksin, produksi akan dinaikkan namun pertumbuhan akan turun. Biosintesis metabolit sekunder akan drtekan oleh GA (giberelin) (Zenk et a/., 1977). Produksi alkaloid yang tinggi pada kultur sel Cinchona pubescens terjadi pada penambahan IBA, zeatin, atau 2,4-D; kadar zeatin optimum sebanyak 1 |xM. Pada kultur kalus Stephanie cepharantha ditemukan alkaloid biskolaurina, yaitu berbamina dan aromolina bila dalam media ditambah IAA dan kinetin; kombinasi NAA dan kinetin juga dapat menghasilkan alkaloid tersebut namun kadamya rendah, sedangkan penambahan IAA dan kinetin akan dihasilkan alkaloid lebih tinggi dari pada tanaman asal. Biosintesis alkaloid fenantrena , misalnya papaverina, morfina, kodeina, dan tebaina dalam kultur suspensi sel Papaver bracteatum ditekan oleh 2,4-D pada kadar 0,1 bpj. Sebaliknya dilaporkan oleh peneliti lain bahwa produksi tebaina, morfina, dan kodeina dalam kalus Papaver somn'rferum berbeda-beda bila media ditambah 2,4-D, NAA, 6-N-(2-isopentenil) aminopurina, dan kinetin. Bila media ditambah 2,4-D dan kinetin maka alkaloid utama adalah kodeina, sedangkan morfina dan tebaina hanya diproduksi dalam kadar yang rendah. Dilaporkan pula bahwa pada subkultur, produksi alkaloid menurun atau tidak mantap. Kalus Nicotiana tabacum setelah disubkulturkan selama lima tahun temyata tidak mengandung alkaloid lag!, apabila media ditambah 2,4-D, sedangkan bila ditambah IAA maka akan diproduksi anabasina, anatabina, dan nikotina. Dilaporkan pula oleh Dicosmo dan Towers (1984), bahwa produksi alkaloid dalam kultur Nicotiana tabacum akan optimal bila media ditambah 0,15 dan 0,20 bpj NAA, di luar kisaran tersebut kadar nikotina akan lebih rendah. Secara umum dapat drtarik kesimpulan bahwa kenaikan kadar 2,4-D, IAA atau NAA maka kadar nikotina akan menurun pada kultur sel Nicotiana tabacum. Pada kadar 1 bpj, penambahan 2,4-D, 10 bpj untuk NAA, 100 bpj untuk IAA, dan 5 bpj untuk kinetin akan menghambat biosintesis nikotina. Apabila dalam media hanya ditambah 6-N-(2-isopentenil) aminopurin temyata yang diakumulasi hanya tebaina. Dalam Dicosmo dan Tower (1984) dilaporkan lebih lanjut bahwa biosintesis antosianin dalam kultur suspensi sel Daucus carota Terjadi bila tidak diberi 2,4-D. Penambahan 2,4-D akan menghambat biosintesis antosianin; pada kadar 10 ^M biosintesis antosianin akan dihambat dengan sempuma. Akan tetapi, pada kultur sel Haplopappus gracilis akan terjadi sebaliknya, yattu penimbunan antosianin akan terjadi bila medianya ditambah 2,4-D sebanyak 4,5x10 \iM; pemindahan pada media tanpa auksin, tetapi diganti dengan kinetin atau BA maka biosintesis antosianin akan dirangsang. Pada penambahan GA3 pada kedua macam kultur suspensi sel tersebut maka biosintesis antosianin akan ditekan. Hal in! merupakan akibat dari dihambatnya pembentukan enzim PAL. Dilaporkan oleh peneliti lain, bahwa 2,4-D, IAA, dan BA akan mengakibatkan peningkatan biosintesis kumarin, misalnya skopoletin dan skopolin. IAA dan BA mengakibatkan kadar kedua senyawa kumarin tersebut meningkat baik di dalam media maupun di dalam biomassa. Dilain pihak penambahan 2,4-D mengakibatkan meningkat-nya penimbunan glikosida dalam biomassa tetapi aglikon dalam media akan turun. Senyawa etilena, asam absisat, dan GA bila ditambahkan dalam media maka biosintesis senyawa tersebut tidak dipengaruhi. Produksi sterol dalam kalus Euphorbia tirucalli akan naik bila dalam media pertumbuhan ditambah IAA dan akan turun bila ditambah BA. Dilaporkan oleh Kaul dan Staba (1968) serta Kaul (1969) bahwa produksi diosgenin dalam kultur kalus Dioscorea deltoidea akan meningkat bila dalam media ditambah 2,4D dengan kisaran kadar 0,1 - 1 bpj; tanpa penambahan 2,4-D akan terjadi diferensiasi dan kadar diosgenin turun. Penelitian tentang pengaruh fitohormon dan optimasi produksi metabolit sekunder dapat disimpulkan bahwa penambahan auksin dengan kadar tinggi akan menekan produksi metabolit sekunder, sedangkan pada kadar rendah akan mengakibatkan produksi metabolit sekunder meningkat, walaupun dari beberapa hasil penelitian diperoleh hasil yang berlawanan dengan kesimpulan ini. 6. Pengaruh Cahaya pencahayaan terhadap jelas ada biosintesis pengaruhnya metabolit sekunder terhadap pertumbuhan dan perkembangan set dalam kultur, juga termasuk pembentukan metabolit sekunder. Sebagai contoh, dalam pembentukan antosianin pada kultur sel Haplopappus gracilis akan dipengaruhi oleh cahaya biru. Contoh lain, yaitu pembentukan antosianin dalam kultur sel Catharanthus roseus dan Populus sp. akan dipengaruhi oleh cahaya putih. Sebaliknya pembentukan 1,4-naftokinon dalam kultur sel LJthospermum erythrorhizon akan dihambat total oleh cahaya biru maupun putih (Dicosmo dan Towers, 1984). Pembentukan glikosida flavon dalam kultur uspensi sel Petroselinum hortense akan dipacu oleh cahaya ultraviolet (X 280-320 nm). Pembentukan glikosida flavon akan ditingkatkan bila cahaya uv disertai dengan cahaya merah (lampu pijar), akan tetapi sinar jauh akan mengurangi pengaruh sinar uv tadi. Dalam kultur suspensi sel Ruta graveolens akan diproduksi beberapa senyawa kumarin dan alkaloid bila disinari dengan cahaya putih secara berkesinambungan. Biosintesis nikotina dalam kultur sel Nocotiana tabacum akan turun apabila diberi pencahayaan, pengaruh hambatan akan menaik bila intensitas pencahayaan dinaikkan, sedangkan biosintesis nikotina tidak berbeda bila disinari dengan cahaya biru atau merah. Pembentukan suatu flavon, yaitu apigenin ditemukan dalam kultur suspensi sel Glycine max yang diberi pencahayaan; terdapat korelasi positif antara pembentukan apigenin dengan kenaikan aktivitas enzim PAL dan pkumarat KoA-ligase. Sinensetin, nobiletin, dan flavon lain yang termetoksilasi didapatkan pada kultur kalus Citrus aurantiorum dan Citrus medica yang diberi pencahayaan tetapi senyawa tersebut tidak diproduksi pada keadaan gelap. Biosintesis senyawa flavonoid selalu didahului dengan kenaikan aktivitas enzim PAL (Dicosmo dan Towers, 1984). Meskipun berbagai aspek mengenai pengaturan enzim dengan perantara cahaya dalam hubungannya dengan fotosintesis dan perkembangan kloroplas telah dirangkum, temyata informasi tentang hubungan antara pencahayaan dengan produksi metabolit sekunder sangat sedikit diperoleh. Hubungan antara enzim dengan produksi metabolit sekunder masih merupakan bidang yang perlu diteliti. 7. Pengaruh pH terhadap biosintesis metabolit sekunder Sel tumbuhan biasanya dikulturkan dalam media yang mempunyai pH berkisar antara 5-6. Dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa pH media pertumbuhan secara nyata berpengaruh terhadap produksi metabolit sekunder, misalnya pada biosintesis antosianin, antrakinon, dan alkaloid. Sebagai salah satu contoh misalnya produksi antosianin dalam kultur sel Daucus carota yang dikulturkan pada pH 5,5 akan dihasilkan antosianin yang lebih rendah dari pada pada pH 4,5. 8. Pengaruh penghawaan (aerasi) terhadap produksi metabolit sekunder Komposisi metabolit sekunder dalam kultur suspensi sel dipengaruhi oleh pemberian oksigen, tetapi sangat sedikit publikasi mengenai 'stress' oksigen terhadap produksi metabolit sekunder. Dalam bidang lain , yaitu pada produksi metabolit sekunder oleh khamir pada kondisi kekurangan oksigen (anaerobik) telah dirangkum dalam berbagai laporan. Aktivitas alkohol dehidrogenase, malat dan nitrat reduktase akan meningkat dalam kondisi anoksia (kekurangan oksigen). Peniadaan oksigen akan terlihat j'elas pada kenaikan aktivitas glikolisis yang akan mendorong akumulasi etanol. Kadar asam amino bebas meningkat dalam kultur sel Acer pseudoplatanus bila kadar karbon dioksida dinaikkan dan penyediaan udara diturunkan. Contoh lain, pada suspensi sel "mungbean" akan terjadi glikosilasi isoflavon (daidzein) dengan lancar bila ditumbuhkan tanpa oksigen. 9. Pengaruh antibiotika terhadap biosintesis metabolit sekunder Ada beberapa laporan bahwa antibiotika, termasuk senyawa yang menghambat biosintesis asam amino, sehingga akan mengubah pola biosintesis metabolit sekunder dalam kultur sel tumbuhan. Sebagai contoh, misalnya streptomisin sutfat yang menghambat biosintesis protein dapat meningkatkan biosintesis naftokinon dalam kalus LJthospermum erythrorhizon. Contoh lain, yaitu produksi daidzein (isoflavon) dalam kultur suspensi sel Glycine max akan dihambat dengan adanya sikloheksimida atau puromisin. Akan tetapi, biosintesis daidzein dan senyawa lignan akan dirangsang oleh aktinomisin D. Beberapa penghambat biosintesis RNA akan menurunkan produksi daidzein (Dicosmo dan Towers, 1984). Penimbunan alkaloid fenantrena daalam kultur suspensi sel Papaver somniferum akan ditingkatkan dengan penambahan puromisin atau aktinomisin. Apabila penambahan puromisin diberikan pada waktu inokulasi maka bisintesis kodeina akan meningkat, sedangkan bila ditambahkan pada hari ketiga maka produksi kodeina akan turun; sedangkan produksi alkaloid secara keseluruhan akan turun bila ditambah aktinomisin, akan tetapi bila ditambah puromisin akan naik (Dicosmo dan Towers, 1984). Pengaruh yang berbeda paadaa pemberian antibiotika sejenis bahkan kadang-kadang berlawanan sehingga akan mengakibatkan sukamya dalam menarik kesimpulan secara umum. 10. Pengaruh mikroorganisme dan virus terhadap biosintesis metabolit sekunder Dalam alam tumbuhan sering ditemukan senyawa baru yang disintesis oleh tumbuhan yang diserang mikroba; senyawa baru tersebut tidak ditemukan dalam tanamaan yang sehat. Senyawa tersebut dinamai fitoaleksin yang bersifat mirip dengan antibiotika. Efek Ti-plasmid (Tumor inducing plasmid), yaitu suatu DNA mikroba terhadap biosintesis metaboli sekunder dalam kultur sel telah banyak diamati oleh para peneliti, misalnya kalus tembakau (Nicotiana tabacum) yang normal menghasilkan kumarin, yaitu skopoletin, eskuletin, umbeliferon, dan bergapten, sedangkan kalus yang telah diinduksi Agrobactehum tumefaciens pola produksi kumarin berubah, yaitu hanya memproduksi skopoletin dan eskuletin. Pada kultur suspensi sel Catharanthus roseus yang diturunkan dari sel yang diinduksi dengan Ti-plasmid akan menghasilkan vindolina, sedangkan pada kultur sel Stewa rebaudiana akan menghasilkan steviosida yang manis rasanya (Dicosmo dan Towers, 1984). Dari hasil penelitian temyata ditunjukkan bahwa sel tumbuhan yang ditransformasi oleh Ti-plasmid secara fisiologi akan berbeda dengan sel normal. Sebagai contoh, sel yang telah mengalami transformasi akan berubah pola metabolisme sitokinin, mengalami perubahan dalam aras enzim adenil siklase serta terjadi perubahan membran sel dan berakibat mengubah konsentrasi kation dalam sel. Akan tetapi, bila ditinjau secara molekular yang bertanggungjawab terhadap perubahan metabolisme sekunder dalam sel diimbas oleh Ti-plasmid masih dalam penelitian untuk diidentifikasi. Pengaruh kapang terhadap sel tumbuhan telah banyak diteliti, misalnya timbulnya pertumbuhan dan metabolit sekunder yang disebut fitoaleksin. sedangkan yang menimbulkannya disebut elistor. Perlakuan pada kultur dengan penambahan elisitor untuk meningkatkan metabolisme sekunder disebut elisitasi. Elisitor yang berasal dari kapang disebut elisitor-kapang. Belum lama ini telah ditemukan alkaloid-steroid yang bersifat sebagai antifungi dalam daun Solatium aviculare yang diresapi air dengan cara dihampakan (Dicosmo dan Towers,1984). Suatu senyawa glukan yang dimumikan berasal dari dinding sel Phytopthora megasperma var. sojae dapat mengimbas metabolisme fenilpropanoid dan meningkatkan aktivitas enzim PAL dalam suspensi sel Gycine max. Dalam sel kedelai tersebut juga diakumulasi suatu antibiotika yang disebut gliseolin sebagai respon terhadap senyawa glukan tersebut. Aktivitas spesifik enzim PAL biasanya rendah pada kultur suspensi sel, tetapi akan meningkat secara dramatis oleh penghilangan nitrat dalam media. Aktivitas glukan temyata berbeda dengan aktivitas 'stress' karena nitrat. Pada penghilangan nitrat tidak terjadi pembentukan gliseolin atau senyawa lain yang sejenis (Dicosmo dan Towers, 1984). Dilaporkan oleh Rokem dkk. (1984) bahwa berbagai ekstrak kapang telah dicoba untuk meningkatkan produksi diosgenin dalam kultur sel Dioscorea deltoidea. Adapun yang digunakan sebagai sumber elisitor adalah ekstrak miselia steril yang dibubuhkan ke dalam kultur suspensi sel tersebut. Telah dicoba pula beberapa senyawa yang diduga terdapat dalam miselia tersebut, misalnya laminarin, asam arakidonat, dan kitin. Adapun hasilnya adalah bahwa kadar diosgenin dalam kultur suspensi sel tersebut dapat ditingkatkan oleh ekstrak miselia steril dari Aspergilus niger, Giberella fuikuroi, Fusarium oxysporum melonis, Sclerotina sclerotiorum, dan yang paling tinggi adalah Rhizopus arrhizus , yattu sekitar 72% lebih tinggi bila dibanding dengan kontrol. Di samping itu juga dilaporkan pula bahwa beberapa ekstrak kapang bahkan menurunkan produksi diosgenin, yartu Fusarium oxysporum, Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, dan Macrophomina phaseolina. Selain ekstrak miselia, beberapa peneliti menggunakan filtrat media pertumbuhan kapang untuk diketahui pengaaihnya terhadap biosintesis metabolit sekunder atau fitoaleksin pada kultur suspensi sel. Salah satu tujuan dalam pengkajian metabolisme sekunder yang dipengaruhi oleh beberapa faktor adalah untuk meneliti sejauh manaperan enzim tertentu terhadap pembentukan metabolit sekunder yang diinginkan. Untuk meneliti lebih lanjut dalam bidang tersebut perlu kerja interdisipliner antara ahli biokimia, biosintesis, biologi molekuler, seta kimia bahan alami. Kimia analisis, baik kualitattf maupun kuantitatif juga merupakan ilmu pendukung yang penting dalam kaitannya dengan penelitian ini. Sebagai penutup uraian ini, perlu ditekankan bahwa sampai saat ini salah satu tujuan utama dalam kajian metabolisme sekunder dan pengubahan pola fitokimia dalam kultur sel adalah untuk mengarahkan pembentukan metabolit spesifik, yang bemilai ekonomi tinggi, baik untuk keperluan pengobatan maupun industri lainnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penunjang dalam pembangunan dalam bidang pengadaan metabolit sekunder. Masih banyak peluang untuk diteliti, karena kadar metabolit sekunder dari hasil yang diperoleh dalam kultur suspensi sel masih jauh di bawah tanaman asal. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi para peneliti yang berkecimpung dalam bidang bioteknologi sel tanaman. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa kerja sama antar disiplin ilmuyang terkait perlu dibentuk dan dibina untuk mencapai tujuan tersebut. PUSTAKA ACUAN Carew.D.P. and Krueger.R.J., 1977, Catharathus roseus tissue culture: The effects of medium modifications on growth and alkaloid production, L/oyd/a, 40: 326-336. Chandler.S.F. and Dodds.J.H., 1983, The Effects of phosphate, nitrogen, and sucrose on the production of phenolic and solasodine in callus cultures of Solanum laciniatum, Plant Cell Rep.: 2:205-208. Dicosmo.F. and Towers,G.H.N.,1984, Stress and Secondary Metabolism in Cultured Plant Cells, in: Phytochemical Adaptation to Stress (Timmermann et a/., editors), 97-150, Plenum Publishing Co., Toronto. Grime,J.P., 1981, Plant strategies in shade, in: Plants and Daylight Spectrum (H.Smith, editor), 159-186, Academic Press, New York. Kaul.B. and Staba, E.J., 1968, Dioscorea tissue culture. I. Biosynthesis and isolation of diosgenin from Dioscorea deltoidea callus and suspended cells, Uoydia, 31:171-179. Knobloch,K.H. and Berlin,J., 1983, Influence of phasphate on the formation of the indole alkaloids and phenolic compounds in cell suspension cultures of Catharanthus roseus. I. Comparation of enzim activities in product accumulation, Plant Cell Tissue Organ Cultures, 2:337-340. Rokem.J.S., Schwarzberg.J., Goldberg,!., 1984, Autoclaved fungal mycelia increase diosgenin production in cell suspension cultures of Dioscorea deltoidea, Plant Cell Rep.,3:159-160. Tal.B. and Goldberg,!., 1984, Growth and production by Dioscorea deltoidea in batch and continuous cultures, Planta Med., 44:107-110. Tal,B.,Gressel,J., Goldberg,!., 1982, The effect of medium constituents on growth and diosgenin production by Dioscorea deltoidea cell grown in batch culture, Planta Med., 44:111-115. Wagner.F, and Vogelmann.K, 1977, Cultivation of plant tissue culture in bioreactor and formation of secondary metabolites, in: Plant Tissue Culture and its Biotechnological Application (Barz et al. .Editors), 245-250, Springer-Verlag, Berlin. Zenk,M.H, EI-Shagi,M., Schulte.U., 1977, Anthraquinon production by cell suspension cultures of Morinda citrifolia, Planta Med.Suppl., 79-101. Zenk,M.H., EI-Shagi,M., Arens.H., Stockigt.J., Weiler.E.W, Deus.B., 1977, Formation of indole alkaloids serpentine and ajmalicine in cell suspension cultures of Catharanthus roseus, in: Plant Tissue Culture and its Biotechnological Application, (Barz et a/.,editors), 37-43, Springer-Verlag, Berlin. Zenk,M.H., EI-Shagi,M., Ulbrich,B.,1977, Production of rosmarinic acid by cell suspension culture of Coleus blumei, Naturwissen-schaften, 64:585-586.