BAB III TRADISI MITONI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Tentang tradisi mitoni dalam budaya jawa tradisi adalah selametan sebagai bentuk aktifitas ritual keagamaan disebabkan karena penyebaran agama Islam di Indonesia khususnya di Jawa dilakukan dengan cara damai dan toleransi. Metode penyebaran agama Islam seperti itulah yang memudahkan agama Islam cepat berkembang. Budaya yang sudah berkembang dimasyarakat tidak dihapus begitu saja, namun ditransformasikan dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak heran apabila dalam kehidupan masyarakat, antara Islam dengan kebudayaan pra Islam, Hindu-Budha, berjalan beriringan. Misalnya masih dilaksanakannya tradisi dalam upacara-upacara dengan berbagai sesajen (sesaji) yang sebenarnya merupakan praktik ritus kepercayaan lama yang kemudian di dalamnya diisi dengan do'a-do'a yang bernuansa Islami. Pada bab III berisi tradisi mitoni dalam perspektif Al-Qur’an yang berisi tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tradisi mitoni dan tujuan dilaksanakannya tradisi mitoni. Pada bab ini pula akan dijelaskan mengenai nilainilai Qur’ani tradisi mitoni. Tujuan dilaksanakannya mitoni agar kedua calon ibu dan bayi agar selamat jika kelak akan lahir nanti menjadi anak saleh dan bernasib baik, sekaligus sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diamanati untuk mengasuh 54 55 anak dan untuk melestarikan tradisi mitoni tersebut yang sudah ada sejak dulu agar kita tidak melupakannya.1 Nilai-nilai Qur’ani yang terdapat dalam tradisi mitoni, antara lain: 1. Keselamatan Tradisi mitoni boleh dilaksanakan oleh masyarakat karena di dalam pelaksanaan upacara tradisi mitoni mengandung unsur kebaikan bagi calon ibu dan calon bayi yang akan lahir nanti, tidak ada salahnya tradisi mitoni dilaksanakan oleh masyarakat karena dalam tradisi mitoni tersebut niatnya agar calon ibu dan bayi akan selamat jika bayinya lahir nanti, dan kelak akan menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara. Perintah untuk menjaga keselamatan terdapat dalam QS. Luqman ayat 22: Artinya: “Dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan”. (QS. Luqman: 22). Pada ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kita sebagai umat manusia diwajibkan untuk menyerahkan diri atau tawakal kepada Allah SWT dan diperintahkan pula untuk berpegang teguh kepada agama Islam agar selamat di kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. 1 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 267. 56 Perintah untuk menjaga keselamatan diri ini juga dituangkan dalam QS. At-Tahrim ayat 6: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim : 6). Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk menjaga dan memelihara diri kita, keluarga kita dari api neraka dengan cara mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT dan meninggakan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Tradisi mitoni merupakan adat atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat ketika ada seorang ibu yang hamil dan usia kandungannya berusia tujuh bulan, maka si ibu tadi di rumahnya diadakan selametan yang di dalamnya berisi do’a-do’a, dan slamatan tadi dipandang baik oleh masyarakat muslim karena di dalam selametan tadi banyak mengandung nilai-nilai yang positif dan tidak merugikan orang lain. Malaikat yang bertugas di dalam rahim-seperti yang secara jelas disebutkan-tidak bertanya tentang takdir manusia kecuali setelah melampaui fase ketiga; air mani, segumpal darah dan segumpal daging. Adapun waktu yang diperlukan untuk membentuk segumpal daging itu adalah empat blan seperti yang dijelaskan pada hadits pertama. Setelah malaikat tahu bahwa 57 Allah SWT hendak menciptakan seorang manusia dari janin yang telah melewati beberapa fase itu, maka dia menetapkan takdirnya-seperti yang diajarkan Allah kepadanya-yang berkaitan dengan ajal, sifat, rezeki, nasib dan sebagainya. QS. Ali Imran ayat 6 menjelaskan bahwa: Artinya: “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran: 6). Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah menciptakan kita dari rahim seorang ibu, maka untuk itu kita diwajibkan untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua. Pembentukan manusia dari janin hingga tumbuh menjadi seorang bayi dijelaskan dalam QS. Al-Hajj ayat 5: Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna 58 kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”. (QS. Al-Hajj: 5). Ayat di atas menjelaskan tentang proses kejadian asal-usul manusia mulai dari setetes air mani hingga tumbuh menjadi bayi. Karena itu pada usia wanita hamil empat bulan, seyogyanya keluarga muslim memohon doa kepada Allah agar si janin berada dalam hidup sempurna dan selamat lahir batin di dunia dan di akhirat.2 Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud di atas adalah sperma laki-laki dan wanita lalu keduanya itu diciptakan anak. Ada juga kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah disatukannya seluruh badan. Ada juga kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah disatukannya seluruh badan. Seperti dikatakasn pada fase pertama nutfah itu berjalan di dalam tubuh (rahim) wanita selama empat puluh hari, yaitu masa mengidam. Sesudah itu, terjadi penyatuan dan tertanam padanya dari terjadinya pembuahan itu sehingga menjadi alaqoh (semacam segumpal darah). ini berlanjut ke periode kedua, dimana ia terus membesar sehingga menjadi mudhgah (semacam sepotong atau sesuap daging), dinamakan mudhgah karena ia hanya sebesar suapan yang bisa 2 161. Badrudin Subky, Bid’ah-Bid’ah Di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 59 dikunyah. Pada fese ketiga, Allah SWT membentuk mudhgah itu, membuatkan telinga, mata, hidung dan mulut. Sedangkan pada bagian dalamnya Allah SWT membuatkan usus dan lambung. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran : 6 Artinya : Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali Imran : 6).3 Mengenai terjadinya janin hingga menjadi manusia yang sempurna Rasulullah SAW menyatakan proses yang terjadi pada kandungan dalam rahim, juga ditentukan kepastian (takdir) hidupnya, baik yang berkaitan dengan rizki, masa hidup (ajal) hingga perilakunya nanti di dunia. Semua telah ditetapkan dalam rahim sebelum menusia dilahirkan. Rasulullah SAW bersabda :4 3 Imam Nawawi, Syarah Hadits Arba’in, (Solo : Pustaka Arafah, 2007), hlm. 55-56 Aminah Abdul Dahlan, Hadits Arba’in An-Nahwiyah, (Bandung : Al-Ma’arif, 2006), hlm. 17-20 4 60 Artinya : Dari Abi Abdirrahman Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata, telah bersabda Rasulullah SAW yang selalu benar dan yang dibenarkan. Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan pembentukannya (kejadiannya) pada rahim ibumu dalam 40 hari berupa “nuthfah” (air yang kental / mani). Dalam usia 40 hari kemudian menjadi segumpal darah, dan 40 hari berikutnya menjadi gumpalan seperti sekerat daging. Lalu diutuslah kepadanya malaikat untuk meniupkan roh padanya dan ditetapkan dengan empat perkara, ditentukan : Rezekinya, Ajalnya (umurnya), Amalnya (pekerjaannya), Celaka / Bahagia. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT keluarga calon ibu mengadakan upacara selametan tingkeban yang dilaksanakan dengan sederhana mungkin yaitu dengan membuat makanan, setelah itu memberitahukan kepada sanak famili, tetangga, sesepuh dan lain sebagainya untuk ikut serta mendoakan si calon ibu dan bayinya selamat, di dalam slameten tadi biasanya membaca Surat Maryam ataupun membaca berzanji. Upacara selametan tingkeban hukumnya haram jika dalam upacara selametan itu tidak didasarkan pasa niat yang lurus serta dilaksanakan secara berlebihan dan tidak mengandung unsur yang islami. Umat Islam senantiasa diperintahkan untuk menjaga keselamatan, hal ini sebagaimana tercantum dalam QS. Luqman ayat 34: 61 Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok]. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman: 34). Ayat di atas memiliki makna bahwa manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha. Tradisi mitoni merupakan salah satu cara manusia untuk meminta keselamatan kepada Allah SWT tentang apa yang belum dan akan terjadi nantinya. Diharapkan dengan melaksanakan tradisi mitoni ini maka janin yang dikandung ibu dapat lahir dengan selamat tanpa ada kekurangan dan halangan apapun. 2. Silaturahmi Nilai lain yang terdapat dalam tradisi mitoni adalah silahturahmi. Perintah untuk melakukan silaturahmi terdapat dalam firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 1: 62 Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. Ayat di atas sebagai pendahuluan untuk mengantar lahirnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, serta bantu membantu dan saling menyayangi karena semua manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, kecil dan besar, kaya atau miskin. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak-hak asasi manusia. Perintah untuk memperkuat tali silaturahmi juga tercantum di dalam QS. Ali Imran ayat 103: Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah 63 kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran: 103). Ayat di atas menerangkan bahwa kita sebagai umat manusia diwajibkan untuk saling berpegang teguh kepada agama Allah yakni agama Islam, dan diperintahkan untuk tidak bercerai berai. Selain itu kita juga diwajibkan untuk selalu mengingat akan nikmat Allah yang telah menjadikan umat manusia bersatu padu, bersaudara dan menyelamatkan dari kehancuran. Salah satu tujuan dari tradisi mitoni adalah menjaga tali silaturahmi, baik antar keluarga, antar tetangga maupun antar masyarakat. Dengan adanya tradisi mitoni ini maka akan banyak orang-orang yang berkumpul dan membantu untuk melaksanakannya sehingga dengan demikian orang-orang tersebut akan berada dalam satu kegiatan yang sama yang pada akhirnya akan menciptakan suasana kekeluargaan dan menghilangkan perbedaan. Inilah yang disebut dengan menjaga tali silaturahmi. Seseorang yang miliki hubungan kerabat denganmu, seperti saudara lelaki, paman, dan anak-anak mereka, serta semua orang yang memiliki kekerabatan denganmu, mereka mempunyai hak kekerabatan sesuai dengan kedekatannya kepadamu. Allah SWT berfirman : Artinya : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan 64 janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. Al-Isra’ : 26). Maka wajib bagi setiap orang untuk menyambung hubungan dengan kerabatnya secara ma’ruf, yaitu dengan membantu mereka baik berupa tenaga maupun harta sesuai dengan kedekatan dan kebutuhan mereka. Hal inilah yang telah dituntunkan oleh syarat, akal sehat dan fitrah yang bersih. Sebagai orang menyambung kekerabatan apabila mereka (para kerabat) menyambungnya, dan memutus kekerabatan jika mereka memutusnya. Orang seperti ini hakikatnyak bukanlah orang yang menyambung tali persaudaraan. Hal ini berarti hanya membalas kebaikan dengan perbuatan serupa, dan ini berlaku bagi kerabat dekat dan juga orang lain. Cukuplah faedah di dalam silaturahim bahwa Allah SWT akan menyambung orang yang mau menyambung silaturahim di dunia dan akherat. Yaitu Allah SWT akan membentangkan rahmat-Nya kepadanya akan memudahkan urusannya, dan akan memberikan jalan keluar dari kesulitannya. Dan dengan silaturahim, keluarga akan semakin dekat, saling mencintai dan menyayangi, akan saling tolong menolong satu dengan yang lain dalam suka dan duka, dan akan terjadi keserasian sebagaimana hal itu sudah sering kali kita saksikan. Semua manfaat di atas akan sirna ketika terjadi pemutusan hubungan kerabat dan saling menjauhi. 3. Tasyakuran atau perwujudan rasa syukur Nilai Qur’ani dalam tradisi mitoni yang lain adalah tasyakuran atau perwujudan rasa syukur. Tradisi upacara mitoni merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat dan juga sudah menjadi kebiasaan 65 masyarakat yang sering dilakukan berulang-ulang ketika seorang ibu telah mengandung anak yang pertama, upacara mitoni itu dilaksanakan karena sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah sudah dipercayai untuk mengasuh anak, dan juga Allah telah memerintahkan agar seseorang berbuat baik dan meninggalkan yang mungkar, jadi dalam hal ini upacara mitoni boleh dilakukan asalkan tidak melanggar ajaran-ajaran Islam. Dalam tradisi mitoni ini di samping sebagai perwujudan rasa syukur juga diisi pembacaan do’a, dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia. Firman Allah: Artinya: Dia-lah yang menciptakan kalian dari seorang (Adam), dan dari padanya dia menciptakan isterinya (Hawa) untuk merasakan senang bersamanya. Setelah disetubuhi, maka sang istri mengandung kandungan yang ringan, maka dia meneruskan demikian (merasa ringan) ketika dia merasakan kandungannya berbobot berat, maka berdua (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata: “Sungguh jika engkau memberi kami anak yang utuh, tentulah kami termasuk orang-orang yang lebih bersyukur”. (QS. Al-A’raf: 189). Setiap orang tua pasti mengharapkan anak yang bakal lahir kelak menjadi anak yang baik dan dapat memenuhi harapan mereka terhadapnya. Apalagi sebagai seorang muslim dan muslimah, harapan ditanamkan setinggi-tinggi 66 agar anak yang bakal lahir akan menjadi hamba Allah yang shalih dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang beragama Islam di atas juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Tidaklah mereka melakukan upacara tersebut melainkan untuk tujuan kebaikan dan keselamatan, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa. Suatu tujuan yang mulia sebenarnya, yang andai ditimbang dengan perasaan.5 Perwujudan rasa syukur juga sebagaimana dijelaskan dalam QS. AlAhqaaf ayat 15: Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orangorang yang berserah diri". (QS. Al-Ahqaaf: 15). 5 M. Afnan Chafidh, Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian, (Surabaya: Djembatan, 2005), hlm. 8. 67 Ayat di atas menerangkan bahwa kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, karena ibunya yang sudah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Setelah mengandungnya maka ibunya menyusuinya. Pada ayat tersebut juga terkandung do’a tentang rasa syukur kepada Allah SWT tentang nikmat yang telah diberikan. Ayat di atas juga menunjukkan nilai-nilai do’a tentang rasa syukur yang berbunyi : "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri". Do’a yang dibaca ini merupakan do’a rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan kepada hambanya yang telah diberikan kenikmatan dan kebaikan. Perintah untuk bersyukur juga terdapat dalam QS. Luqman ayat 14: Artinya: “dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman: 14). 68 Pada ayat di atas kita diperintahkan untuk senantiasa beruat baik kepada kedua orang tua yang telah mengandung dalam keadaan lemah dan telah menyusui kita hingga dua tahun. Ayat di atas juga menyuruh kita untuk bersyukur kepada Allah SWT dan kepada kedua orang tua atas nikmat yang telah diberikan. Hal ini sejalan dengan perintah untuk besyukur dengan mengadakan mitoni atau tingkeban sebagai perwujudan rasa syukur karena telah diberikan nikmat oleh Allah SWT. Buku karangan Alfani Daud yang berjudul Islam dan Masyarakat Banjar, menyebutkan bahwa tujuan dilaksanakannya mitoni agar kedua calon ibu dan bayi agar selamat jika kelak akan lahir nanti menjadi anak saleh dan bernasib baik, sekaligus sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diamanati untuk mengasuh anak dan untuk melestarikan tradisi mitoni tersebut yang sudah ada sejak dulu agar kita tidak melupakannya. 6 Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang. Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut istilah-istilah, seperti selametan yang bernuansa bukan kesedihan, berubah menjadi tasyakuran, misalnya selametan kelahiran, pindah rumah, dan mendapatkan kenikmatan lainnnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi selametan tetapi syukuran. Upacara memperingati tasyakuran kehamilan dulu disebut Mitoni, sekarang diubah dengan ungkapan Walimatul Hamli. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara 6 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 267. 69 tasyakuran kehamilan selalu diikuti dengan tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam. 7 Dalam ajaran agama Islam, konsep ibadah selalu dilandasi oleh keberadaan rasa syukur. Dasar utama pelaksanaan tradisi mitoni adalah dengan ikhlas dan syukur yang merupakan wujud terimakasih kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Sehingga menurut konsep ajaran agama Islam, bahwa keadaan pengamalan ibadah masyarakat merupakan wujud pemahaman mereka atas rasa terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan dan rizki kepada mereka, sehingga rasa terimakasih tersebut disampaikan dengan rasa syukur sebagai landasan dalam menjalankan tradisi mitoni. Itulah beberapa nilai-nilai Qur’ani yang terkandung di dalam tradisi mitoni. Melihat kebaikan yang ditimbulkan dari tradisi mitoni tersebut maka dapat dipahami bahwa tradisi mitoni dapat dilakukan asalkan sesuai dengan syari’at Islam. Tradisi mitoni hukumnya haram jika dalam upacara selametan itu tidak didasarkan pasa niat yang lurus serta dilaksanakan secara berlebihan dan tidak mengandung unsur yang islami. 7 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKIS, 2005),, hlm. 282