BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Tradisi Mitoni sebagai Kebudayaan Perkumpulan manusia dalam sebuah masyarakat, akan melahirkan banyak hal baru didalamnya. Baik bersifat sementara atau berkelanjutan. Sama halnya dengan kebudayaan yang dibentuk dari dan utuk masyarakat itu sendiri. Kebudayaan akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman yang dibentuk manusia seirig berjalannya waktu. Kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddayah, bentuk jamak dari budhi atau akal. Lalu berkembang menjadi kata budaya adalah hasil perkembangan majemuk budhi-daya yang dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Koentjaraningrat, 2009: 146). Beberapa pendapat lain mengenai definisi kebudayaan juga dipaparkan oleh beberapa tokoh, antara lain Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi yang memberikan definisi kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh mansia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat (Soerjono, 2006: 151). Sedangkan kebudayaan menurut Ralp Linton adalah sebagai berikut : Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup seperti itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, karena tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayan kita (Soyomukti, 2010: 428). Kebudayaan berhubungan erat dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan “kebudayaan sebagai pola untuk perilaku yang mengacu pada pola kehidupan suatu masyarakat, yaitu berupa berbagai kegiatan atau bentuk-bentuk pengaturan sosial dan material. Selain itu, kebudayaan dapat berupa gagasan yang mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan masyarakat” (Hari Poerwanto, 2006: 57). Dengan demikian maka jelas bahwa tingkah laku sosial anggota suatu masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan yang merupakan kompleks nilai-nilai, gagasan dan keyakinan yang hanya dapat dilihat melalui perwujudannya. Menurut P. Hariyono (1994: 31), “kebudayaan memiliki tiga unsur wujud, yang pertama adalah sistem budaya, yaitu kompleks ide-ide dan gagasan manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi masalah kehidupan manusia. Kedua adalah sistem sosial, yaitu tindakan berpola habit of doing dari sekelompok masyarakat. Sistem sosial ini terdiri dari pola aktivitasaktivitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta saling bergaul satu dengan yang lain dari waktu ke waktu, selalu membentuk dan mengikuti pola-pola tertentu yang kemudian menetap dalam bentuk adat tata perilaku. Sistem ini dapat diobservasi, difoto, didokumentasi dan diamati, tetapi tidak bisa diraba. Ketiga yaitu kebudayaan fisik, merupakan keseluruhan hasil fisik, perbuatan dan karya manusia dalam sekelompok masyarakat. Oleh karena itu sifatnya paling kongkret, dapat berupa bendabenda atau hal-hal yang dapat diraba. Betuk dan wujud dari karya fisik ini biasanya memiliki corak yang mencerminkan pola pikir nilai budaya dan pola tindakan sekelompok masyarakat.” Manusia dan kebudayaan adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan manusia merupakan pendukung kebudayaan. Meskipun manusia telah mati, akan tetapi kebudayaan tetap hidup dengan mewariskannya kepada keturunan, begitupun selanjutnya (Hari Poerwanto,2006: 87). Oleh karena itu, kedua hal tersebut memiliki hubungan yang saling berkaitan dan saling mendukung dalam masyarakat. Karena dapat dikatakan bahwa salah satu dari kedua hal tersebut merupakan bagian dari terciptanya keutuhan kebudayaan serta manusia. Unsur yang menonjol dari kebudayaan Jawa meliputi bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusastraan, keyakinan, keagamaan, ritus, ilmu gaib dan beberapa pranata dalam organisasi sosial. Kebudaaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum kemauannya, cita-citanya, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin. Yang menunjukkan identitas suatu kebudayaan adalah unsur-unsur yang menonjol dari kebudayaan itu. Sedangkan yang menjadi identitas kebudayaan Jawa adalah unsur yang menonjol dari kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1990: 203). Suatu kebudayaan dalam masyarakat dapat tercipta melalui tangan dan pikiran masnusia. Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan yang nantinya akan dipertahankan oleh generasi-generasi selanjutnya yang selalu mengalami perubahan. Meskipun di kemudian hari terdapat perbedaan dalam kebudayaan, tidak ada manusia yang bisa menyalahkan, karena memang segala hal di dunia ini pasti mengalami perubahan. Perwujudan dari kesatuan antara manusia dengan kebudayaan adalah ketika pelaksanaan sebuah tradisi misalnya. Pada saat dimulainya sebuah tradisi, tidak akan terlepas dari seorang manusia yang memimpin dari awal hingga berakhirnya pelaksanaan tradisi. Salah satu contoh pelaksanaan tradisi yang tidak terlepas dari peran manusia adalah upacara selametan. Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan dagang (Jamil, 2002: 22). Selamatan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguangangguan apapun. Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewajiban mengucapkan ajan. Upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam enam macam sesuai peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, diantaranya yakni : (1) Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat setelah kematian; (2) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi; (3) Selamatan berhubung dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam dan; (4) Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain (Koentjaraningrat, 2010: 347-348) Berkaitan dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara, antara lain adalah upacara tingkeban atau mitoni, upacara kelahiran, upacara sunatan (Jamil, 2002: 132). Peneliti terfokus pada upacara tingkeban atau mitoni yaitu upacara yang dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu. Masyarakat Jawa meyakini bahwa pada usia kandungan tujuh bulan, bayi dalam kandungan telah memiliki organ yang lengkap sehingga siap untuk dilahirkan. Dengan melaksanakan mitoni, masyarakat berharap persalinan dapat berlangsung dengan lancar dengan ibu dan bayi diberi kesehatan dan keselamatan sampai proses persalinan. Mitoni merupakan upacara adat yang dilaksanakan menjelang persalinan, biasanya disiapkan juga sesajen sebagai pelengkap dalam pelaksanaan tradisi mitoni. Interpretasi terhadap simbol dan makna yang terkandung dalam upacara mitoni menunjukkan adanya hubungan secara vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal merujuk kepada hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai tempat meminta keselamatan. Hubungan horizontal mengacu kepada hubungan antar sesama manusia, saling menjaga keharmonisan dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hakikat hubungan manusia dengan sesamanya terdapat orientasi horizontal yaitu rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong), dan untuk orientasi vertikal yaitu rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat (Koentjaraningrat, 2009: 157). Dalam setiap pelaksanaan prosesi mitoni tidak akan terlepas dari seorang tokoh adat (orientasi vertikal) yang menjadi pemimpin atau pranata cara. Tokoh adat dalam tradisi mitoni ini harus seorang perempuan, tidak diperkenankan seorang laki-laki untuk memimpin prosesi mitoni dari awal hingga berakhirnya do’a bersama untuk ibu dan bayi dalam kandungan. Dalam tradisi mitoni terdapat beberapa ketentuan, diantaranya adalah pada saat penentuan hari pelaksanaan. Biasanya telah ada tokoh adat yang menentukan hari dengan perhitungan yang telah turun-temurun dilakukan sejak dahulu. Tokoh adat merupakan seorang pemimpin dan juga pengatur jalannya sebuah prosesi dalam suatu tradisi yang dilaksanakan untuk memperingati peristiwa tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa tokoh adat adalah seorang pemimpin yang menjaga dan mengetahui banyak hal tentang adat setempat. Tokoh adat dalam suatu masyarakat pasti akan diakui keberadaannya, dan akan lebih dipandang dari pada masyarakat lain pada umumnya. Hal ini dapat diartikan bahwa seorang tokoh adat itu akan eksis dalam lingkup wilayah setempat yang ia tinggali. Beberapa ahli mengemukakan pengertian mengenai eksistensi, diantaranya adalah menurut Zaenal (2007: 16), “Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”. Dari pemaparan tersebut eksistensi dapat diartikan sebagai gerak hidup manusia yang nyata dan pasti. Termasuk eksistensi seorang tokoh adat, eksis yang ditunjukkan mereka bersifat nyata dan tidak dibuat-buat, asli keluar dari dalam diri mereka masing-masing. Banyak hal yang mereka lakukan untuk menjaga keeksisan mereka atau keberadaan mereka ditengah masyarakat yang selalu berganti generasi. Dalam penelitian ini juga tidak terlepas dari pentingnya peran dari tokoh adat dalam tradisi mitoni khususnya pada tokoh adat perempuan. Tokoh adat perempuan dalam sebuah tradisi akan menjadi sentral, karena dalam adat Jawa beliau dipercaya untuk memberikan pengarahan dan diharapkan dapat memperlancar segala prosesi di dalam prosesinya. Dalam hal ini, tokoh adat perempuan juga mengupayakan agar eksistensinya dalam memimpin sebuah tradisi tidak larut ditengah arus modernisasi. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi mitoni merupakan salah satu kebudayaan yang masih dilestarikan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Dalam pelaksanaan tradisi mitoni, didalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur yaitu bersyukur dan memohon perlindungan kepada Tuhan untuk keselamatan bayi dan ibu yang sedang mengandung. Tradisi mitoni juga merupakan salah satu upacara selamatan yang dipimpin oleh salah satu tokoh adat yaitu seorang tokoh adat perempuan yang memiliki keahlian dalam memimpin pelaksanaan tradisi tersebut. 2. Strukturasi Sosial Eksistensi yang dialami oleh tokoh adat dapat dikaitan dengan teori strukturasi sosial Anthony Giddens. Teori strukturasi mengarah pada konsep tentang individu yang dikatakan sebagai aktor (agency) yang memiliki peran untuk memproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan sosial yang mapan. Semua konsep keberlangsungan kehidupan sehari-hari mengacu pada agen (Anthony Giddens, 2010: 12). Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa manusia ketika hidup dalam sebuah masyarakat, siapa saja berhak untuk menjadi seorang agen. Tentu agen yang dimaksud adalah seorang manusia yang mempunyai kemampuan dan peranan dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari sesuai dengan status dan peranannya. Sesuai dengan status dan peran yang dimiliki, seorang agen akan mampu merubah dan menghasilkan tatanan atau struktur baru dalam masyarakat. setiap individu yang menjadi agen pasti memiliki kekuasaan dan akan bertanggung jawab untuk mengikuti perkembangan zaman. Dalam sebuah masyarakat, pasti akan ada tatanan atau struktur yang mengatur segala kegiatan di dalam masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya sebuah struktur, masyarakat tidak akan bisa berjalan dengan kondusif dan teratur. ”Struktur adalah aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial” (B. Herry-Priyono, 2002: 19). Sebuah struktur dalam masyarakat merupakan hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari yaitu dari tindakan sosial yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat itu sendiri. Dalam teori strukturasi, struktur selalu dikonsepkan sebagai sifat dari sistem sosial, yang terdapat di dalam praktik-praktik hasil reproduksi sosial yang dilekatkan ke dalam ruang dan waktu. Sistem sosial diorganisasikan secara hierarkies dan menyamping di dalam kehidupan masyarakat yang institusinya juga terbentuk dari sistem sosial yang membentuk aturan-aturan menjadi nilai dan norma yang berlaku di masyarakat (Anthony Giddens, 2010: 261). Dari pemaparan Anthony Giddens tersebut dapat dikatakan bahwa struktur merupakan hasil dari sistem sosial yang berulang hingga membentuk sebuah aturan yang dijalankan oleh masyarakat dan berakhir menjadi sebuah nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, perulangan sistem tersebut bukan berasal dengan sendirinya, melainkan terdapat agen atau individu yang melakukan kegiatan atau praktik sosial tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh George Ritzer, ”tidak diciptakan oleh aktor-aktor sosial, tetapi senantiasa diciptakan kembali oleh mereka melalui cara-cara yang sama yang mereka gunakan untuk mengungkapkan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui kegiatan-kegiatan mereka para agen menghasilkan kondisi-kondisi yang memungkinkan kegiatan-kegiatan itu” (2012: 889). Setiap masyarakat mempunyai aturan main yang berbeda-beda. Aturan tersebut akan menjadi dasar masyarakat untuk melakukan kegiatan dalam waktu dan tempat yang berulang-ulang. Kegiatan yang dilakukan masyarakat secara berulang tersebut dinamakan praktik sosial. Praktik sosial dalam masyarakat meskipun telah dilakukan secara berulang, namun masih tetap bisa berubah karena menyesuaikan dengan keadaan setempat yang selalu mengalami perubahan. Dalam pelaksanaan praktik sosial di masyarakat, tidak terlepas dari adanya peran seorang pemimpin. Pemimpin adalah salah seorang agen yang dapat menggunakan kekuasaan (power) sebagai suatu wahana untuk melakukan suatu tindakan. Arti agen itu sendiri adalah kekuasaan merdeka yang dimiliki manusia (individu) untuk turut ikut campur dalam suatu arus peristiwa yang berlangsung secara terus-menerus dan membuat perubahan didalamnya (George Ritzer dan Barry Smart, 2012: 693). Agen dapat diartikan sebagai seseorang yang mampu melakukan campur tangan di dunia, atau menarik intervensi itu, dengan efek mempengauhi proses atau keadaan khusus. Suatu tindakan tergantung pada kemampuan individu dalam mempengaruhi keadaan atau peristiwa yang sebelumnya (Anthony Giddens, 2010: 23). Dari penjelasan Anthony Giddens dapat diartikan bahwa seorang individu dalam masyarakat yang menjadi agen dapat mempengaruhi sesuatu yang telah ada sebelumnya. Seorang agen akan memiliki kekuatan untuk menjalankan rutinitasnya dalam masyarakat. Kekuatan tersebut didapatkan agen melalui sistem sosial, dimana posisi agen dalam sebuah sistem sosial harus menempati posisi atas agar mampu mempengaruhi tatanan pada posisi bawah. ”Rutinitas tidak terpisahkan dengan kesinambungan kepribadian agen, ketika dia bergerak di sepanjang jalur aktifitas keseharian, dan dengan institusiinstitusi masyarakat, yang merupakan satu-satunya sarana aktifitas itu diproduksi secara terus-menerus” (Anthony Giddens, 2010: 93). Dapat dipahami bahwa agen yang paling berpengaruh di dalam masyarakat adalah seorang pemimpin atau dalam penelitian ini adalah seorang tokoh adat yang memiliki status sosial sebagai ketua RW. Dalam sebuah struktur sosial, akan ada seseorang yang menduduki jabatan tinggi diantara warga yang lain. Jabatan tersebut mempunyai kekuasaan atas struktur dalam organisasi yang dijalankan. Sebuah struktur dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik memerlukan seorang aktor yang mampu membuat masyarakat ikut menjalankan kegiatan dalam struktur tersebut secara rutin. Seorang aktor dituntut untuk selalu memiliki karakter atau kepribadian yang positif, agar dapat mengendalikan segala kegiatan dalam struktur yang dikuasai. Strukturasi sosial merupakan suatu serangkaian aturan yang dimiliki dan dijalankan oleh seorang tokoh adat yang berperan sebagai agen untuk menekan individu lain. Status dan peran yang dimiliki tokoh adat perempuan dalam sebuah tradisi dalam masyarakat berkaitan dengan teori Giddens mengenai konsep dualitas struktur. Tindakan individu dibentuk oleh struktur sosial, tetapi pola-pola sistematis adalah hasil dari tindakan-tindakan individual ini. Struktur harus dikonsepkan kembali sebagai sarana dihasilkannya tindakan-tindakan dan juga sebagai hasil dari tindakan semacam itu sebagai medium dan juga sebagai hasil (Jhon Scoot, 2012: 187). Anthony Gidden juga berpendapat bahwa, rangkaian struktur juga membentuk pembagian tenaga kerja di dalam masyarakat yang berelasi antara satu dengan yang lain (2010: 294-295). Dapat diartikan bahwa dalam sebuah struktur sosial di masyarakat pasti terdapat pembagian kerja. Pembagian kerja ini bertujuan untuk memudahkan atasan untuk bekerja sama dengan bawahan. Dapat disimpulkan bahwa strukturasi sosial adalah segala aturan yang berlaku dalam sebuah struktur organisasi di masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut dilakukan secara terus-menerus dan berulang, sehingga menjadi sebuah rutinitas yang dijalankan dalam masyarakat. Dalam sebuah struktur terdapat status dan peran yang dimiliki dan dijalankan seorang individu yang menjadi seorang agen yang memiliki status dan peran yang mampu untuk menekan individu lain. Kekuatan (power) yang digunakan agen tersebut bertujuan untuk memprtahankan keberadaannya dan dapat menciptakan praktik-praktik sosial dalam masyarakat. B. Kerangka Berpikir Negara Indonesia memiliki kebudayaan yang melimpah, membuat masyarakatnya merasa bangga dan memiliki kesadaran untuk tetap menjaga warisan yang diberikan oleh nenek moyang. Kebudayaan yang ada pada zaman modern seperti ini memang telah mengalami banyak perubahan karena telah terakulturasi dengan budaya baru yang lebih menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Terlepas dari perubahan yang terjadi pada sebuah kebudayaan atau tradisi, sebenarnya masih banyak yang melaksanakan tradisi baik dalam bentuk tradisional maupun yang telah berpadu dengan budaya baru. Salah satu tradisi yang hingga kini masih dilaksanakan adalah tradisi mitoni. Masyarakat Jawa tepatnya di Desa Palur termasuk salah satu daerah yang masih mempertahankan tradisi tersebut. Mitoni sendiri merupakan salah satu adat atau tradisi yang bertujuan luhur yaitu bersyukur kepada Tuhan atas adanya nyawa baru dengan karunia-Nya dan memohon keselamatan serta kelancaran untuk ibu yang sedang mengandung anak pertamanya beserta anak yang dikandungnya hingga nanti proses persalinan. Di dalam tradisi mitoni, peran tokoh adat perempuan sangat penting dan dapat dikatakan sentral. Karena melalui tokoh adat, setiap prosesi yang berlangsung dalam mitoni akan berjalan dengan lancar dan tetap terjaga secara turun temurun kepada generasi penerus. Pada era modernisasi seperti sekarang ini, berdampak pada banyaknya perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, tidak terkecuali pada tradisi mitoni. Proses pelaksanaan mitoni yang selalu menggunakan adat Jawa sekarang mengalami perubahan, yaitu menggunakan tata cara keagamaan, atau kebiasaan di masyarakat. Akan tetapi, keberadaan tokoh adat membuat tradisi ini tetap masih dilestarikan. Beberapa strategi digunakan oleh tokoh adat untuk mengupayakan tradisi mitoni masih dilestarikan hingga sekarang. Dalam struktur masyarakat, peran dari tokoh adat sangat ditonjolkan dalam memimpin pelaksanaan tradisi. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Anthony Giddens bahwa seorang agen akan berperan aktif dalam sebuah struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam pemaparan teori Anthony Giddens hal tersebut dinamakan strukturasi sosial. Strukturasi sosial akan melahirkan sebuah praktik-praktik sosial dari kebiasaan agen dalam memimpin sebuah struktur dalam masyarakat. Dalam hal ini, praktik tersebut adalah berupa tradisi mitoni yang masih dijalankan oleh salah satu agen di masyarakat yakni tokoh adat perempuan. Agen atau tokoh adat tersebut selalu eksis dalam setiap pelaksanaan sebuah tradisi di masyarakat. Guna memberikan jawaban atas pertanyaan peneliti di atas maka penulis mengkaitkan permasalahan yang penulis angkat dengan konsep teori dualitas strukturasi oleh Anthony Giddens. Dengan mendasarkan pada asumsi konsep teori ini maka peneliti dapat memberikan analisis atas konteks permasalahan yang peneliti angkat. Adapun kerangka berpikir secara sistematis dapat dilihat pada gambar 2.1. Kebudayaan Tradisional Jawa Melimpah salah satunya Tidak terlepas dari Tradisi Mitoni (Praktik Sosial) Peran Tokoh Adat (Agen) Perubahan Sosial (dampak modernisasi) membentuk Eksistensi Tokoh Adat Perempuan dalam Tradisi Mitoni (Strukturasi Strategi Sosial) Tokoh Adat Untuk mempertahankan Gambar 2.1 Kerangka berpikir