BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Melihat dari kesejarahan lahirnya bangsa ini, maka tidak terlepas dari
perkembangan militer itu sendri bahkan sebelum pecahnya Revolusi 1945 militer
sudah ada dan selalu bermetamarposa dalam perubahanya yang di sesuaikan
dengan perkembangan politik. Pada masa penjajahan belanda kita mengenal
KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) atau kita kenal angkatan
bersenjata kerajaan belanda yang para personelnya merupakan orang-orang
pribumi. Pada era jepang mereka membentuk PETA (Pembela Tanah Air) dan
ketiga mereka atau kelompok yang berasal dari laskar-laskar yang bergabung
langsung dengan tentara regular.
Dengan memiliki pemahaman bahwa militerlah yang paling berjasa dalam
melakukan perjuangan kemardekaan 1945, yang mengangap bahwa mereka
terlahir bukan dari sistem
politik maupun pemerintahan yang pada saat itu
berkuasa, melainkan terlahir dari hirup pikuk situasi revolusi. Yang membuat
mereka merasa bertanggung jawab dan lebih-lebih merekalah yang paling berjasa
dengan kemardekaan, maka mereka lebih tunduk secara langsung kepada bangsa
dan Negara dari pada harus patuh terhadap politisi yang sedang berkuasa.
Pada era orde lama sendiri yang dipimpin oleh Soekarno, militer sendiri
secara internal sudah mulai mengalami pergulatan terhadap perpecahan
~ 1 ~ pandangan. Sampai dengan era demokrasi terpimpin (1959-1965) belum pernah
ada usaha pimpinan negara untuk menyatukan tentara, bahkan cenderung memilih
fragmentasi dan persaingan dalam tentara, terutama antar matra, demi
kelangsungan kekuasaan Presiden Soekarno.1Adanya barisan yang setia pada
soekarno dan ada yang tidak setia, yang menjadikan mereka terkotak-kotak dan
memiiki perwira yang berbeda-beda kepentinganya, sampai pada puncaknya
adalah bagaimana militer melakukan penumpasan pemberontakan G30S. kejadian
ini masih menjadi tanda Tanya besar bagi rakyat hingga sekarang siapakah
sebenarnya yang ada di balik pertikaian ini apakah PKI ataukah militer sendiri
yang ingin merebut kekuasaan.
Pasca kejadian G30S militer melakukan penyisiran dan pembersihan
orang-orang PKI atau Komunis, baik mereka yang kader maupun simpatisan
sampai ke akar-akar dan menjadi pembantaian yang besar-besaran yang dilakukan
dalam sejarah Indonesia pasca kemardekaan. Isu komunis dan PKI menjadi
central dan kekuatan bagi militer sendiri untuk menumpas kekuatan pesaingnya
yang menjadi ancaman bagi militer di parlemen maupun di perpolitikan, sejak
dekade 1960-an yang mana di cabutnya SOB yang berarti hilangnya secara
langsung legitimasi konstitusi tentara angkatan darat dalam menjalankan aktivitas
nonmiliter.
Pada masa Demokrasi Terpimpin era Soekarno tentara khususnya
Angkatan Darat sudah ada landasan yang sangat kuat bagi tentara untuk terjun di
1
Dwi Pratomo, Yulianto ,Militer dan Kekuasaan;Puncak-puncak krisis hubungan sipil-militer di
Indonesia,Narasi,Yogyakarta,2005.
~ 2 ~ non militer, yang kemudian ini pada saat era Orde Baru menjadi kekuatan yang
sangat besar bagi presiden soeharto dalam mempertahankan kekuasaanya di
pemerintahan. Pertama, bidang politik. Dalam bidang politik sendiri ada dua hal:
pertama, pembentukan doktrin yang membenarkan keterlibatan tentara dalam
urusan non kemiletiran yang kemudian diikuti dengan pelibatan personilpersonilnya dalam lembaga-lembaga politik, serta keterwakilanya dalam posisiposisi puncak pemerintah. Upaya ini dilakukan tentara dengan mengintroduksi
konsep dwifungsi yang diyakini sebagai ‘jalan tengah’,_sebagaimana yang
dikatakan oleh penggagasnya, Jend. Nasution_,antara doktrin liberal: dimana
tentara adalah alat mati politisi sipil dalam tradisi civilian supremacy dan konsep
militeristik; dimana militer hadir sebagai sebuah pemerintah(junta militer)
sebagaimana dinegara Amerika Latin waktu itu. Dalam konsep ini disebutkan
militer Indonesia harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan atas
dasar individu dan membiarkan keahlian non militernya di manfaatkan guna
perkembangan
bangsa.
Pada
pemerintahan
pusat
para
perwira
harus
diperbolehkan berpartisipasi didalam menentukan politik Negara,baik ekonomi,
keuangan, lapangan internasional dan lain-lain bidang.2
Dengan adanya doktrin kuat dan penerapanya yang sangat masif serta di
tunjang dengan kekuatan militer yang ada di pemerintahan, ini menjadi doktrin
bagi tentara dalam mengambil posisi-posisi di politik. Menjadi aplikasi yang
sangat riil mendudukan perwira-perwira tentara dalam lembaga-lembaga politik
2
Muhaimin, yahya., Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1965,BP FISIPOL
UGM,1971. Dalam Dwi Pratomo, Yulianto,.,Militer dan Kekuasaan;Puncak-puncak krisis
hubungan sipil-militer di Indonesia,Narasi,Yogyakarta,2005.
~ 3 ~ dan jabatatan-jabatan puncak di pemerintahan: Dewan Nasional, kabinet(sudah
dilaksanakan sejak sebelum konsep Dwifungsi diperkenalkan)korps diplomatik,
Dewan
Perancang
Nasional,
parlemen
dan
jabatan-jabatan
pemerintah
lainya,3serta jabatan-jabatan pada bidang ekonomi-pimpinan perusahaan Negara
yang diambil alih dari Belanda melalui kebijakan nasionalisasi.4
Kedua, dalam langkah selanjutnya adalah pengumpulan berbagai potensi
fungsional non partisan yang di organisasikan dalam sekretariatan bersama
Golongan Karya(Sekber Golkar).5 Namun karena berbagai permasalahan,Sekber
Golkar tidak efektif di tahun pertamanya: bukan saja tak memiliki anggaran
dasar,tetapi juga tidak di laksanakanya musyawarah nasional. Oleh karena itu
kegiatan kekuatan ini dilakukan oleh berbagai komponen Sekber Golkar, yaitu
tentara dan tiga ‘organisasi massa’ mereka disponsori; Soksi(Sarekat Organisasi
Karyawan Sosialis Indonesia), Kosgoro (Koperasi Simpan Tabung Gotong
Royong), dan MKGR(Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Disamping
itu juga di terbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, pada
tahun 1965 untuk mendukung kekuatan anti komunis.
Kedua, bidang ekonomi. Sebenarnya aktifitas ekonomi tentara telah ada
semenjak awal kelahiranya, di mana setiap kesatuan berupaya mencukupi
kebutuhanya karena tidak ada suplai perlengkapan maupun keuangan dari markas
besar. Pencarian danapun dilakukan oleh setiap kesatuan dan hasilnya di tukar
3
Lihat Muhaimin dalam Dwi Pratomo Yulianto, Op cit. Hal. 30. Lihat Muhaimin dalam Dwi Pratomo Yulianto, Loc cit. Hal. 30 5
Lihat Pandiangan Adreas dalam Dwi Pratomo Yulianto, Op cit. Hal. 31. 4
~ 4 ~ dengan senjata.6 Hal tersebut tetap saja berlangsung pada masa pasca
kemardekaan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh kesatuan-kesatuan di berbagai
daerah untuk mendanai diri mereka karena anggaran pemerintah tidak cukup.
Masih rapuhnya organisasi TNI yang belum mapu mengontrol kesatuan-kesatuan
di daerah telah mengakibatkan para panglima mendapatkan kekuasaan politik dan
kekuasaan ekonomi secara bersamaan. Kekuasaan tersebut mengalami akumulasi
karena lamanya para panglima dan perwira kesatuan di bawahnya menetap di
suatu wilayah.7 Kemudian pada saat rezim orde baru bisnis-bisnis militer semakin
banyak dan besar, bahkan militer sendiri memiliki yayasan yang dinaungi di
bawah militer. Bisnis ini juga di kuasai oleh para perwira bukan hanya untuk
kepentingan kesatuan mereka tapi menjadi bisnis bagi para purnawiran.
Ketika jatuhnya Presiden Soekarno yang di gantikan oleh Presiden
Soeharto akibat gagalnya kudeta 1965 dan berakhirnya juga pertarungan antara
tiga kekuatan (Soekarno, Angkatan Darat, PKI), hancurnya PKI membuat
kekuatan dan kewibawaan Soekarno semakin merosot dan TNI yang diwakili oleh
Angkatan Darat menjadi pemenang dalam pergejolakan perebutan kekuasaan
politik. Semakin kuatnya kekuatan militer di perpolitikan Indonesia pasca
jatuhnya Soekarno yang mendorong dilakukanya berbagai upaya untuk
memperkuat legitimasi posisi tentara di perpolitikan Indonesia. Dan kemudian
diambillah berbagai langkah politik strategis:
6
Lihat pandiangan, Adreas, Menggugat Kemandirian Golkar, dalam buku Dwi Pratomo
Yulianto,.,Militer dan Kekuasaan;Puncak-puncak krisis hubungan sipil-militer di
Indonesia,Narasi,Yogyakarta,2005. Hal 32. 7
Samego,indria.,et.al., Bila ABRI Berbisnis,penerbit Mizan,Jakarta,1998. ~ 5 ~ Pertama, pelembagaan ideologi dwifungsi ABRI. Secara historis
keterlibatan tentara dalam urusan non kemiliteran sebenarnya telah dimulai sejak
awal kemardekaan. Situasi dan kondisi pada saat itulah yang menyebabkanya dan
kecendrungan ini berlanjut terus sampai pada masa-masa sesudahnya. Namun
dengan demikian militer hanya memiliki legitimasi historis yang belum
terlembagakan secara lebih baku baik dalam bentuk doktrin maupun peraturan
perundang-undangan karena hanya berbentuk pernyataan ataupun pidato petinggi
tentara tentang perlunya keterlibatan tentara dalam urusan non kemiliteran.
Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi tentara.
Pengembangan mekanisme control internal ini terutama di maksudkan untuk
mengendalikan prilaku para personel militer oleh markas besar baik secara
kelembagaan maupun perorangan. Hal ini dilakukan pada penghujung decade
1960an dengan reorganisasi besar-besaran dengan menempatkan markas besar
sebagai pemegang kendali utama kekuatan militer dan mengikat seluruh personel.
Reorganisasi sebelumnya sudah dilakukan oleh Nasution pada angkatan darat
pada era 1950-an dan 1960-an, hanya saja reorganisasi yang di lakukan oleh orde
baru lebih luas: Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian,
yang semuanya di bawah kendali oleh markas besar dan Panglima Angkatan
Bersenjata(Pangab) sebagai pemegang kewenangan tunggal atas operasi dan
administrasi.8
Dengan demikian kepemimpinan militer semakin solid dan kuat karena
mereka mulai tersentralisasikan dalam hal kepemimpinan organisasi, setiap
8
.Op cit Dwi Pratomo Yulianto. Hal. 35-38. ~ 6 ~ komando masing-masing angkatan sudah tidak bisa lagi mengeluarkan kebijakan,
panglima di setiap matra ini kemudian berubah menjadi kepala staf angkatan.
Setiap kebijakan di bawah kendali Pangab, yang membuat militer semakin
terpusat.
Ketiga, dilakukanya kontrol terhadap lembaga dan kekuatan politik yang
dimiliki oleh sipil. Kontrol yang di lakukan berbagai macam melihat lembaga
tersebut bisa bersifat interfensi kepemimpinan, sampai pada pembubaran dan
refresif fisik. Ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan prilaku setiap
entitas masyarakat, dengan satu alasan demi kepentingan keamanan dan
kestabilan politik yang membuat pembangunan bisa berjalan dengan lancar sesuai
yang di harapkan pemerintah. Sturktur TNI yang sampai pada level desa
(BABINSA) menjadi pengontrol bagi masyrakat setiap tingkah laku entitas,
dengan alasan keamanan setiap kegiatan yang ada di masyarakat harus
melaporkan setiap kegiatan. Membuat kontrol TNI terhadap masyarakat sipil
semakin kuat dan dalam pelaksananya mereka juga melakukan transformasi
ideologi militerisme, selain itu juga nantinya institusi ini di gunakan sebagai alat
salah satu partai politik dalam mengontrol masyarakat.
Dengan kekuasaan serta kekuatan yang dimiliki oleh tentara mereka juga
melakukan pelemahan terhadap partai politik,lembaga termasuk parlemen. Golkar
pada masa orde baru bukan partai politik tapi merupakan golongan, instrumen ini
juga di jadikan kekuatan yang besar oleh soeharto dalam mempertahankan status
quonya. Partai politik awalnya ada 10 buah kemudian dipaksakan untuk “fusi”
partai yang mengakibatkan menjadi tiga. Partai Islam semuanya dijadikan satu
~ 7 ~ menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai Nasionalis di fusi
dan berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta dari Golongan
(Golkar).
Contoh mutakhir dari intervensi militer ke dalam wilayah politik adalah
manipulasi proses pemilihan kepemimpinan di tubuh PDI yang berbuntut menjadi
apa yang kita kenal dengan pristiwa 27 Juli 1996. Sekalipun mengorbankan
banyak jiwa, militer merasa lebih aman jika ketua PDI yang sah bukan tokoh yang
berpotensi menjadi kekuatan tandingan. Peristiwa serupa terjadi beberapa tahun
sebelumnya dalam proses pemilihan ketua PPP. Berkat kesigapannya militer
kembali mampu memanipulasi proses pemilihan agar menghasilkan pemimpin
partai yang tidak berpotensi sebagai ancaman terhadap pemerintah.9
Pada tahun 1985 diberlakukan azas tunggal Pancasila terhadap seluruh
partai dan mengharuskan semua partai mencabut ideologi yang melekat pada
semua lembaga. Dengan disahkanya undang-undang kepartaian (UU No.3/1975
dan diperbaharui dengan UU No.3/1985) yang berakibat fatal bagi partai politik.
Di parlemen ABRI/TNI memiliki fraksi tersendiri, yang mana kompisisi yang
terdapat di dalam parlemen merupakan orang yang pro terhadap Soeharto dan di
dominasi oleh Golkar dan TNI.
Dengan adanya Dwifungsi ABRI menjamin perwira aktif untuk masuk
kedalam struktur pemerintahan, mereka menjabat sebagai kepala pemerintahan di
daerah seperti gubernur dan bupati yang di angkat secara langsung oleh presiden.
9
Terpilihnya Ismail Hasan Metareum diyakini berkat dukungan ABRI. Pasalnya Hasan Matereum
tidak memiliki kemampuan memobilisasi masa PPP. Lihat Robert Lowry, hal.204. ~ 8 ~ Parlemen sendiri memiliki fraksi ABRI dan organisasi kemasyarakatan yang
sengaja di bentuk oleh ABRI, selain itu juga ABRI memiliki bisnis yang sangat
besar. Perwira militer menduduki jabatan strategis dalam setiap perusahaan negara
maupun swasta, disisi lain bisnis dan yayasan ABRI mendapat bantuan dana yang
melimpah dari pemerintah.
Tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter sehingga menyebabkan
krisis ekonomi berkepanjangan dan berkembang menjadi krisis multidimensi di
segala bidang kehidupan masyarakat. Hal inilah menjadi pemicu pergolakan
dimana-mana, terutama yang berasal dari kaum mahasiswa. Puncaknya 21 mei
1998 menjadi hari keruntuhan bagi presiden Soeharto yang mendatangkan
pukulan telak bagi ABRI, yang mana menjadi pilar utama pada masa orde baru
kini mengalami krisis legitimasi dari masyarakat. Dengan manuver yang
dilakukan kepala staf Angkatan Bersenjata, Jendral Wiranto, dengan keterampilan
yang tinggi sepanjang 1998, tidak saja pada masa transisi Habibie, tetapi juga
mempersatukan Angkatan Darat yang mengalami keretakan internal. Wiranto
telah menunjukan kemauan yang tulus untuk mendengarkan aspisari masyarakat
akan perlunya reformasi politik; ia memahami betul barapa besarnya taruhanya
bagi ABRI dalam membantu kearah sistem Indonesia yang lebih pluralistis.
Reformasi menjadi tahap baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia pasca
pemerintahan otoriter dan militeristik, besar harapan masyarakat dengan reformasi
pembenahan secara ekonomi, hak azasi, sosial serta politik berjalan dengan baik.
Di adakanya pemilu tahun 1999 yang sangat cepat karena tahun 1997 sudah
terjadi pemilu dan harus berakhir 2002, dengan pemilu 1999 menjadi tonggak
~ 9 ~ pertama sejarah reformasi melakukan pemilu. Secara tidak langsung dengan
adanya pemilu 1999 merupakan suatu penolakan terhadap status quo dari orde
baru yang seharusnya berakhir 2002.
Penarikan diri TNI dari proses perpolitikin menjadi satu langkah awal
memulai profesionalisme dalam tubuh TNI, Pada 2000, dalam laporannya kepada
Presiden Abdurrahman Wahid, Panglima TNI Laksamana Widodo AS
melaporkan tujuh butir kesimpulan Rapim TNI 19-20 April. Dari sinilah tercatat
bahwa TNI melepaskan Dwifungsinya, sebagaimana disimak dalam butir pertama,
melepaskan dwifungsi yang selama ini memungkinkan TNI menggunakan
kekuasaan selama lebih dari tiga puluh tahun dengan segala ekses yang tidak
dapat dibenarkan. Pernyataan yang tegas ini, sayangnya, tidak segera dibarengi
dengan keluarnya TNI/Polri dari DPR dan MPR. Dalam sidang di Komisi A,
Fraksi TNI/ Polri bahkan memilih alternatif penghapusan Fraksi Utusan Golongan
di MPR yang sekaligus menutup peluang bagi TNI/ Polri untuk tetap memiliki
wakil di MPR. Ketua Fraksi TNI/Polri Slamet Supriyadi bahkan mendapatkan
aplaus yang meriahdari Komisi A ketika menyatakan komitmennya bahwa TNI/
Polri tidak akan lagi berpolitik.
Penarikan Dwifungsi ABRI serta besarnya desakan dari masyarakat yang
menuntut TNI ‘kembali ke barak’ mengharuskan TNI secara internal menarik diri,
karena tidak mau tejadinya lagi sejarah kelam dalam TNI pada masa orde baru.
Militer bagian dari institusi negara yang menjalanakan keputusan dari presiden
yang di kuasai oleh sipil, kedudukan militer di negara modern sekarang ini
dibawah supremasi sipil. Militerisasi merupakan proses masuknya militer secara
~ 10 ~ instititusi kedalam sisitem politik higga tampil sebagai kekuatan yang dominan
dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan.
Di negara yang menggunakan demokratis seperti Indonesia posisi militer
atau TNI kembali ke barak sesuai dengan fungsinya, jika keterlibatan TNI dalam
sisitem politik ini akan mencedrai sistem demokrasi. Pada zaman orde baru fungsi
militer yang ditetapkan sebagai dinamisator pembangunan termasuk penetralisiran
dalam perpolitikan, salah satu bagian penguatan peran militer dalam politik.
Dalam tindakan militer selalu mengedepankan sistem struktur komando yang
tegas serta menuntut kepatuhan kepada pemimpin, kondisi ini sangat berbeda
ketika didalam sistem politik demokrasi.
Reformasi dan profesionalisme militer sangat menentukan keberhasilan
dan kelangsungan demokrasi, dengan lepasnya dari peran non-militer dari bidang
ekonomi dan politik, karena jika tidak akan mengikis profesionalisme militer.
Reformasi dalam tubuh TNI harus dilakukan baik secar internal maupun
eksternal, dan reformasi TNI merupakan tuntutan sistem politik yang harus di
sikapi secara sadar oleh institusi maupun individu prajurit untuk melakukan
penyesuaian baik stuktural, doktrin, sikap dan pribadi.
Prasyarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi itu adalah
menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI dan
struktur teritorial militer. Secara resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu
tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI
dan Polri yang menyatakan bahwa:“peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI
~ 11 ~ menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang
berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”
Perlahan profesionalisme militer berjalan dalam perpolitikan, walaupun
setengah hati perwira aktif meninggalkan posisi empuknya. Partai politik menjadi
satu-satunya alat bagi mereka yang ingin berkuasa, dengan alat partai seorang
individu bisa menempatkan dirinya mewakili golongan untuk duduk di parlemen
dan menjadi presiden. Banyaknya perwira yang melakukan pensiunan dini karena
mereka sudah di posisi jabatan strategis, sedangkan purnawirawan TNI harus
melakukan konsolidasi untuk membangun satu kekuatan menguasai perpolitikan
dan ikut dalam proses pemilu.
Beragam pendapat mengemuka menanggapi kondisi ini diantaranya
pendapat dari kalangan politisi dan pendapat dari kalangan kritis. Bagi kalangan
politisi seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai
Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum mengatakan : ”Kehadiran
purnawirawan memperluas basis pengalaman organisasi dan kedisiplinan dalam
pengembangan partai. Kehadiran mereka juga menambah variasi kekuatan kader
dan variasi latar belakang calon anggota legislatif. Kiprah purnawirawan
disejumlah partai adalah bagian dari kebebasan warga sipil karena status mereka
sudah menjadi warga sipil. Masuknya purnawirawan ke sejumlah partai termasuk
~ 12 ~ mendirikan partai adalah kewajaran karena terjadi juga di semua negara
demokratis”.10
Pasca reformasi terjadinya perpecahan dalam diri purnawirawan TNI
walaupun dengan adanya oraganisasi tersebut ternyata hanya menjadi wadah tukar
pendapat dan kurang berperan. Sebagian purnawirawan yang memiliki ambisi
merebut kekuasaan, mereka akan mengkonsolidasikan beberapa purnawirawan
untuk membentuk partai politik. Edy Sudrajat misalnya setelah kekalahanya
dalam pemilihan ketua Golkar yang dimenangi Akbar Tandjung, Edy Sudrajat
keluar dan mendirikan partai politik bersama Tri Sutrisno yang terkenal dengan
PKP. Banyak kasus lain dan hampir setiap purnawirawan militer yang dulunya di
Golkar keluar dan mendirikan partai politik masing-masing, dan setiap partai
politik selalu ada wajah-wajah purnawirawan militer yang begitu kuat memagang
kendali.
Melalui sidang MPR Oktober 1999 Keberadaan anggota F-ABRI
dihapuskan di DPR dan hanya ada di MPR sebanyak 38 wakil sampai dengan
tahun 2004. Berakhirnya keberadaan ABRI di MPR dengan disahkannya UU
No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD11 yang
menegaskan bahwa yang duduk diparlemen merupakan perwakilan dari setiap
partai yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Ini membuat fraksi
golongan TNI/Polri yang berada di MPR/DPR secara spontan menarik diri dan
kemudian banyaknya purnawirawan yang terjun ke politik praktis dengan
10
11
Kompas, 4 Agustus 2008. Artikel Tjahyo Rawinarno Dominasi Militer Dalam Perpolitikan Indonesia http://New Blue
Print.htm tanggal 18 Mei 2008 ~ 13 ~ memasuki partai politik, mereka ada yang bergabung dan ada juga yang
mendirikan partai sendiri.
Menjelang pemilu 2004 banyaknya tokoh-tokoh militer yang masuk ke
partai untuk mendongkrak suara partai misalnya, misalnya mantan Kepala Staf
Sosial Politik ABRI Letjen (Purn) Yunus Yosfiah menjadi Sekjen Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Ketua Fraksi TNI/Polri MPR/DPR dan mantan Asisten
Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik ABRI Mayjen (Purn) Budi Harsono
masuk Partai Golkar menjadi sekretaris jenderal. Mantan anggota Fraksi
TNI/Polri dan mantan Kepala Staf Komando Pertahanan Udara Nasional TNI AU
Marsekal Muda (Purn) Ronggo Soenarso menjadi Sekjen Partai Persatuan Daerah
(PPD) pimpinan Oesman Sapta. Mantan Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom)
ABRI Mayjen (Purn) Syamsu Djalal masuk Partai Bintang Reformasi menjadi
salah satu ketua. Demikian pula mantan perwira tinggi TNI AD Mayjen (Purn)
Cholid Ghozali dan mantan Asisten Personalia. Mabes ABRI Mayjen (Purn)
Djalal Bachtiar, juga menjadi Ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) pimpinan
kiai sejuta umat KH Zainuddin MZ. Mantan Panglima Armada Republik
Indonesia Kawasan Timur (Armatim) Laksamana Madya (Purn) Sumitro juga
menjadi Sekjen Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB) pimpinan Sjahrir.
Mantan Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal (Purn) R Hartono bahkan menjadi
Ketua Umum Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang menyatakan mendukung
Orde Baru. Demikian pula mantan Panglima ABRI/Menteri Pertahanan
~ 14 ~ Keamanan Jenderal (Purn) Edi Sudrajat menjadi Ketua Umum Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKP Indonesia).12
Tabel 1.1
Purnawirawan Militer yang masuk partai politik
Tahun
1977
1982
1986
1991
1998
Nama
Brigjen TNI Purn. H. Hassan Basry
Brigjen TNI Purn. Josef Mthius Miloa
Brigjen Pol. Purn. K. H. Hasbullah Bakry
Mayjen TNI Purn. Soedarmo, bersama 40
purnawirawan
Mayjen TNI Purn. Theo Syafei
Mayjen TNI Purn. RK Sembiring Meliala
Brigjen TNI Purn. Sunarso Djajusman
Brigjen TNI Purn.. Djoko Supriadi,
bersama 160 purnawirawan Marinir
1999
Mayjen TNI Purn. Soewarno Adiwidjojo
Mayjen TNI Purn. R. Suprapto
Jenderal TNI Purn. Edi Sudrajat
Letjen TNI Purn. GH Mantik
Jenderal TNI Purn. Rudini
2002
Letjen TNI Purn. Yunus Yosfiah
Letjen TNI Purn. Andi M. Ghalib
Mayjen TNI Purn. Amir Syarifuddin
Mayjen TNI Purn. Muchlis Anwar
Marsda TNI Purn. Gandhi Natasupatma
Jenderal TNI Purn. R. Hartono
Sumber : Litbang Kompas 2002.
Partai Politik
PPP
PDI
PDI
PDI
PDI Perjuangan
PDI Perjuangan
PDI Perjuangan
PDI Perjuangan
PAN
Partai IPKI
PKP
Krisna
MKGR
PPP
PPP
PPP
PPP
PPP
PKPB
Pemilu 2004 di ikuti 24 partai politik dan yang menjadi calon presiden ada
5 pasang, 3 dari 5 kandidat tersebut merupakan purnawirawan TNI antara lain
Wiranto-Salahudin, SBY-Kalla dan Hamzah-Agum Gumelar. Dengan ikut
terlibatnya purnawirawan tersebut membuat satu paradigma besar bagi kita,
ternyata setelah menguasai pemerintahan kurang lebih 32 tahun pada masa Orce
baru militer masih belum puas. Memang ketika menjadi purnawirawan mantan
12
http//google.com/csis/militer dan politik/05/02/04/feature_view.asp.htm ~ 15 ~ TNI ini berubah menjadi sipil dan mempunyai hak yang sama dengan masyarakat
sipil dipilih maupun memilih. Pada masa Orde baru militer merupakan kekuatan
super dan tonggak keberhasilan Soeharto dalam mempertahankan status quo,
bahkan organisasi purnawirawan militer memiliki kekuatan dan legitimasi dalam
mengkonsolidasikan kekuatan militer merebut kekuasaan.
Secara makro, kata Indra Piliang13, kehadiran politisi mantan TNI dan
Polri sebetulnya di negara-negara lain tidak menjadi persoalan. Di Amerika
Serikat veteran perang banyak yang langsung masuk ke calon anggota parlemen.
"Itu tidak menjadi persoalan, karena mereka sudah menjadi politisi sipil. Cuma
kita sedang transisi menjadi supremasi sipil, sehingga sedikit bermasalah". Indra
Paliang juga mempermasalahkan walaupun para purnawirawan itu mempunyai
organisasi (Pepabri) yang secara tidak langsung tetap menjalin komunikasi
dengan Mabes TNI/Polri. Toh nanti mitra kerja Panglima TNI atau Kepala Polri
itu dalam bentuk aspirasi bisa disterilkan ketika Panglima TNI atau Kapolri
bertemu dengan anggota legislatif.
Kekuatan
yang
sangat
terstruktur
dalam
jajaran
purnawirawan
memudahkan konsolidasi, dengan menggunakan sentimen korps dan pangkat ini
memudahkan. Banyaknya yang terjun kedunia perpolitikan pasca dinas dari
tingkatan pusat sampai daerah dan menjadi kekuatan disetiap masing-masing
partai politik dalam mendulang suara partai. Pada akhirnya akan mengarahkan
perjolakan perpolitikan pasca Orde Baru khusunya purnawirawan dengan
13
http://TNIAD./310504dikotomi_militer.htm ~ 16 ~ perubahan iklim politik yang demokrasi berbeda dengan militer yang otoriter dan
tersentral.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat di ambil perumusan
masalah,
sebagai
berikut:
Bagaimanakah
Keterlibatan
Purnawirawan
TNI/ABRI, Dalam Partai Politik Indonesia Masa Reformasi ?.
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejarah perkembangan militer
didalam perpolitikan Indonesia.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan strategi politik yang di
lakukan purnawiran TNI dalam merebut kekuasaan setelah terjadinya
reformasi politik yang besar di Indonesia.
3. Pada akhirnya penelitian ini akan menyimpulkan apakah dengan partai politik
kemudian menjadi kendaraan politik bagi purnawirawan TNI untuk merebut
kekuasaan, dengan mengikuti pemilu tanpa membawa unifrom militer.
~ 17 ~ D. Kerangka Dasar Teori
1. Militer
Militer adalah seorang ahli perang atau ahli menggunakan kekerasan.
Dalam sejarah, perang adalah satu jalan cepat untuk mencapai kekuasaan yang
lebih besar, pokoknya untuk naik dalam status. Perang menjadi kata kunci karena
militer dalam masyarakat primitif sampai dalam sebuah negara-bangsa modern
merupakan kekuatan perang untuk pertahanan dan keamanan. Perang secara
konvensional dimaknai sebagai penggunaan sarana kekerasan secara sistematis
dan ekstensif sebagai perangkat kebijakan kelompok sosial terorganisir yang
mengklaim mempunyai kontrol yang absah atas wilayah untuk melawan
kelompok lain. Disini perang tidak terbatas antara sebuah negara melawan negara
lain, tetapi bisa berupa perang yang terjadi didalam negara.14Mereka yang di
lengkapi
persenjataan
dan
memiliki
tanggung
jawab
serta
bertugas
mempertahankan kedaulatan suatu negara dari serangan musuh baik dari luar
maupun dalam negara.
Selain dari itu militer juga disebut sebagai raison d’entre untuk menghadapi
dan mengatasi keadaan darurat (emergency organization) yang bercirikan
organisasi keras, ketat, hirarkhis sentralistis, berdisiplin keras, dan bergerak atas
komando. Yang dimaksud dengan emergency organization adalah sebagai
alat/kekuatan pertahanan keamanan untuk menghadapi, mengendalikan dan
mengatasi keadaan gawat yang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan bersenjata
14
Lihat AAGN Dwipayan Ari,et. Al.,”masyarakat Pascamiliter Tantangan dan Peluang
Demiliterisme di Indonesia, IRE, Yogyakarta, 2000. Hal.16. ~ 18 ~ dari pihak-pihak lain yang mengancam negara, kedaulatan, integrasi wilayah, dan
nilai-nilai hidup bangsa. Sedangkan habit formation dimaksudkan untuk
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang mutlak perlu agar tugas dapat terlaksana
dalam keadaan bagaimanapun.15
Militer dalam konsep politik Yunani kuno ditempatkan dalam ranah oicos
yang diasosiasikan sebagai suatu yang 'tidak mulia atau kotor' dan tidak memiliki
otoritas apa pun. Sementara senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas
yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk
kejayaan bangsa dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer,
melainkan sepenuhnya di tangan senat. Peran militer dalam politik sangat
dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegangan kelas yang sedang
bertarung memperebutkan kekuasaan.16
Militerisasi adalah proses masuknya militer kedalam sistem politik hingga
tampil sebagai kekuatan utama dan dominan dalam proses pengambilan kebijakan
negara. Derajat militerisasi versi ini bisa diukur dengan menghitung jumlah
perwira yang menduduki jabatan-jabatan politik, kemiripan sisitem administrasi
dan organisasi sipil dengan militer, atau jumlah intervensi militer dalam peristiwaperistiwa politik.17 Dengan membentuk regulasi yang mendukung kekuatan
militerisasi membuat ABRI/TNI bisa menguasai jabatan-jabatan strategis non-
15
Lihat Hasnan Habib ,ABRI dan Demokratisasi Politik, dalam Cholisin,Militer dan Gerakan
Prodemokrasi Studi Analisis Tentang Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi di
Indonesia,Tiara Wacana,Yogyakarta,2002. 16
http://www.vhrmedia.com artikel,Militer-Dalam-Suprastruktur-Ideologi 17
Eric Hiariej,”Mengeluarkan Militer dari Politik”Unisia No.37/XVIII/I/1998. ~ 19 ~ militer, sehingga kiprah militer dalam ranah sipil semakin kuat dan dianggap
sebagai suatu hal yang wajar.
Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan
militer dalam politik. Perlmutter ( 1980 ), Huntington ( 1959 ), dan Welch ( 1970 )
melihat faktor eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer
keranah sosial-politik, sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger ( 1994 ) melihat
faktor internal militer ( kepentingan militer ) sebagai penyebab terjadinya
intervensi militer kedomain sipil.18 Kelompok pertama melihat campur tangan itu
lebih disebabkan oleh faktor eksternal ( struktur politik dan Institusional
masyarakatnya ), menandakan bahwa keterlibatan itu sebagai akibat rapuhnya
struktur politik dan institusi masyarakat. Lembaga militer tidak akan mengambil
kekuasaan dari rezim sipil yang berhasil dan memiliki legitimasi. Mereka
melakukan intervensi kedalam politik ketika politisi sipil dan partai politik lemah
dan terpecah, dan ketika pemerintahan yang tidak utuh dan memanifestasikan
kegagalan telah melahirkan kevakuman kekuasaan.19
Dorongan keterlibatan militer Indonesia dalam peran diluar peran aslinya
secara sederhana dapat dilihat ditabel berikut :
18
19
A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer dan Politik, LKis, Jogyakarta, 2004, halaman 29 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Raja
Grafindo, Jakarta, 2001, Hal pendahuluan. ~ 20 ~ Tabel : 1.2
Faktor
Internal ABRI
Eksternal ABRI
Penjelasan
• Perwira – perwira Intervensionis terutama
didorong oleh motivasi untuk membela atau
memajukan kepentingan militer yang berlawanan
dengan norma konstitusional
• Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas
untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas
menengah yang darinya mereka berasal.
• Kemahiran profesional di kalangan militer
menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa
mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan
nasional dibandingkan dengan kepemimpinan
sipil.
• Intervensi militer dalam politik sebagai sebab
ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa
dan kuasa
•
Intervensi militer dalam politik akibat sebagai
akibat dari struktur politik masyarakat yang masih
rendah dan rentan.
Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang
memerintah ( untuk kasus Indonesia terjadi pada
masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1965 )
atau kelompok sipil dipandang tidak mampu
memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas
politik.
Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam
melakukan modernisasi ekonomi.
Terjadinya disintegrasi nasional.
•
•
•
Sumber : DPW-LIPI20
Claude E. Welch mencatat delapan faktor yang memancing militer
cenderung melakukan intervensi. Faktor-faktor itu adalah (1) merosotnya prestise
partai politik utama, (2) perpecahan dikalangan politisi-politisi terkemuka, (3)
usaha untuk mencegah serangan dari luar, (4) pengaruh buruk dari kudeta di
20
Peneliti PPW LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Mizan, Bandung , 1999 hlm 40 ~ 21 ~ negara tetangga, (5) pertentangan dalam negeri khususnya masalah etnis dan
sosial, (6) malaise ekonomi, (7) korupsi dan inefisiensi pemerintahan sipil dan
(meningkatnya kesadaran di kalangan elite militer akan kekuasaan militer akan
kekuasaan mereka dan kemampuan untuk mempengaruhi atau menggantikan para
pemimpin politik sipil.21
Militer Asia telah menampilkan berbagai peran di era modern, meskipun
banyak yang diorganisasikan atau dimodernisasikan oleh penguasa kolonial,
beberapa diantaranya, seperti militer Indonesia, kemudian berbalik melawan
kekuasaan kolonial pada masa perang kemerdekaan. Tindakan ini membuat
militer memperoleh legitimasi rakyat yang begitu besar, dan kemudian
dikombinasikan dengan variabel institusional dan beberapa faktor lain yang
mendukung militer di dalam masyarakat luas akan keterlibatan militer di dalam
politik. Walaupun banyak pihak mengatakan ada hegemoni sejarah yang
dilakukan oleh pemerintahan orde baru melalui berbagai media massa, seperti
film kolosal untuk menggambarkan sisi kepahlawanan militer dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, dan sangat kontra dengan para politisi sipil yang
cenderung ragu-ragu, oportunis, kooporatif terhadap penjajah.22
Militer Indonesia atau TNI/ABRI lahir dari sejarah yang panjang, hasil
gabungan dari komponen KNIL, PETA dan laskar-laskar bersenjata. Setiap
komponen yang ada dalam tentara memiliki karakter serta konsep masing-masing
dalam pembentukanya sampai fungsinya, pola perjuanganya berbeda-beda dalam
21
22
Op. cit, lihat A. Malik Arrahman… hal 24-25 Budi Susanto SJ dan A. Made Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 - 1995.
Kanisius, Jogyakarta, 1995 ~ 22 ~ mempertahankan kemardekaa. Berawal dari masa penjajahan Belanda, kemudian
mendirikan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) atau kita kenal
angkatan bersenjata kerajaan belanda yang para personelnya merupakan orangorang pribumi. KNIL sengaja di bentuk oleh kerajaan belanda untuk menjaga
perusahaan Kerajaan Belanda serta menangkis dan mempertahankan dari amukan
massa yang senantiasa memberontak terhadap pemerintah pada saat itu.
Tentara bentukan selanjutnya adalah Pembela Tanah Air (PETA)
merupakan sebuah organisasi bersenjata yang dibentuk oleh pemerintahan
pendudukan Jepang menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Tidak jauh dengan
KNIL yang menjadi serdadu diambil dari pemuda setempat yang dilatih dan diberi
perlengkapan perang seperti tentara Jepang lainya. Gemblengan yang dilakukan
kepada PETA lebih bersifat semangat dari pada taktis, yang kemudian ini
membentuk watak terhadap tentara terutama pada perwiranya ketika pengambilan
sikap politik.
Pasca Perang Dunia II Belanda sendiri mengalami kebingungan mencari
jalan bagaimana caranya bisa kembali ke tanah jajahanya, kondisi dalam negeri
sendiri (Indonesia) mengalamai revolusi kemardekaan setelah beberapa hari
Jepang menyatakan menyerah kepada Amerika dan sekutu. Kemardekaan yang di
Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan sang proklamator yang terkenal
dengan Dwitunggal Soekarno dan Hatta, membawa suasana revolusioner kesetiap
penjuru daerah. Secara politis dengan terjadinya pergeseran pimpinan politis dari
pemerintahan militer jepang kepada pemerintahan pertama yang dipegang oleh
~ 23 ~ Putra Indonesia, Sebagai Presiden pertama Soekarno dan Wakil Presiden M.
Hatta.
Terjadinya gejolak revolusi di setiap daerah sehingga mengarahkan kepada
revolusi sosial di setiap daerah, misalnya terkenal dengan “Pristiwa Tiga Daerah”.
Proses perebutan jabatan politik daerah yang dipelopori oleh kaum terpandang di
masing-masing daerah, perebutan yang mengarahkan tindakan anarkis. Merebut
dengan paksaan jabatan Bupati sampai ke Desa, karena selama penjajahan
Belanda sampai Jepang mereka menjadi pemeras dan menyiksa bagi warganya
sendiri. Dengan semangat kemardekaan pemberontakanpun terjadi, dan pejabat
lama yang bandel langsung dibunuh dan di asingkan.
Pada masa awal-awal kemardekaan terjadinya perdebatan yang sengit
antara kelompok tua dan kelompok muda, perselisihan pandangan dalam
mempertahankan kemardekaan. Kelompok tua yang ingin mempertahankan
kemardekaan dengan cara perundingan terhadap pihak musuh, pandangan ini
diwakili oleh Hatta yang menggambarkan kondisi politik internasional pasca
Perang Dunia II, yang mana Indonesia masih dibawah kedaulatan Belanda dalam
pandangan internasional, terutama sekutu yang notabanenya Belanda kawannya
dalam menaklukan Jepang. Kelompok muda diwakili A.H Nasution yang ingin
mempertahankan kemardekaan denga cara perjuangan kekerasan atau militer (
kemudian
bermetamarfosa
menjadi
militer
kelaknya).
Perbedaan
yang
dipengaruhi oleh latar belakang kaum muda yang sebelum kemardekaan telah
mendapatkan pelatihan militer dari Belanda dan Jepang, usia muda yang
emosional ditambah wawasan politik internasional yang kurang.
~ 24 ~ Di masyarakat sendiri berdiri satu kekuatan tentara yang didirikan secara
kolektif dan otonom di daerah masing-masing, badan perjuangan ini atau laskar
membiayai perjuangan dengan bantuan dari masyarakat sekitar baik senjata,
logistik dan sebagainya. Laskar sendiri merupakan hasil dari individu-individu
yang pernah dididik oleh Belanda maupun Jepang tentang perang, pasca
kemardekaan kemudian membentuk barisan sendiri-sendiri dan bersifat lokal
dalam mempertahankan kemardekaan. Kedepanya laskar menjadi persoalan yang
tersendiri dalam pembentukan tentara.
Pemerintah akhirnya hanya membentuk sebuah Badan Penolong Keluarga
Korban Perang (BPKKP) yang salah satu bagiannya bernama Badan Keamanan
Rakyat (BKR), pada tanggal 22 Agustus 1945.23 BPKKP itu sendiri dari tiga
bagian, yakni: Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia
(PNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pengumuman pembentukan BKR sendiri
dikeluarkan oleh PPKI. PPKI sendiri kemudian berubah menjadi Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) sebagai sebuah badan pembentukan pemerintah dan
kemudian berubah fungsi menjadi badan legislatif24.
BKR yang menjadi wadah dalam mempertahankan kemardekaan ternyata
tidak efektif dalam melakukan koordinasi di setiap daerah, pembentukan ini
seolah hanya ingin menyenangkan hati para pemuda yang berapi-api. Akibat dari
kurangnya kontrol dan koordinasi antara pusat-daerah dan daerah-pusat, laskar
dan gerakan disetiap daerah yang dipimpin oleh pemuda melakukan perjuang
23
24
Lihat Dwi Pratomo Yulianto, Op. Cit. Hal 73. Lihat Said dalam Dwi Pratomo Yulianto, Loc Cit. Hal 73. ~ 25 ~ melawan Inggris dan Belanda dengan cara seporadis yang mengakibatkan
banyaknya korban dari pihak pemuda. Tidak mengindahkan kordinasi dan
instruksi dari pusat seringkali kesatuan bersenjata melakukan tindakan-tindakan
dengan sendirinya. Apalagi diperparah dengan aksi provokasi yang dilakukan oleh
pihak-pihak sekutu, yang berujung pada pertempuran. Contohnya di Surabaya
sendiri yang menjadi kekuatan bagi pemuda yang dipimpin oleh Pesindo
melakukan perlwanan terhadap Belanda, yang dikenal dengan tragedi penyobekan
bendera Belanda menjadi Merah Putih di hotel Orange.
Akibat sikap perlawanan yang dilakukan oleh pemuda di Surabaya
mengharuskan Presiden Soekarno turun ke Surabaya untuk memberikan instruksi
kepada pejuang daerah agar peperangan dihentikan, sikap ini ditanggapi oleh
pemuda dengan dingin dan mengatakan kalau pemerintahan bersifat kompromi
terhadap musuh. Melihat perkembangan disetiap daerah yang tanpa kordinasi
melakukan perlawanan terhadap sekutu maupun terhadap pejabat daerah yang
dianggap antek-antek sekutu membuat resah bagi pemerintahan pusat. Keadaan
yang kacau inilah akhirnya menyadarkan pemerintahan pusat pentingnya untuk
membentuk satu Organisasi tentara yang sentralistik dan terkoordinasi dalam
menjalankan tugas serta fungsinya.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 barulah pemerintah mendekritkan secara
resmi adanya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pemerintah kemudian
memanggil Urip Sumohardjo untuk diserahi tugas mengorganisasi tentara
nasional. Diserukanya agar para pemuda, bekas prajurit PETA, Heiho, Kaigun
Heiho, Barisan Pelopor, dan lainya untuk memasuki TKR. Pada tanggal 20
~ 26 ~ Oktober 1945 oleh Kementerian Keamanan Rakyat diumumkan susunan
pimpinannya:
Pertama,
Menteri
Keamanan
Rakyat
interim:
Moh.
Suljohadikusumo. Kedua, Pimpinan Tetinggi TKR: Supriyadi. Ketiga, Kepala
Staf Umum: Urip Sumohardjo (kemudian diangkat menjadi Letnan Jendral).25
Perubahan sistem politik dari presidensiil ke parlementerian mengandung
konflik ketika Sutan Sjahrir yang interprestasinya dari Partai Sosialis, diangkat
menjadi pimpinan pemerintahan yaitu Perdana Menteri dalam sistem ini. Pada
masa ini Sjahrir ingin menempatkan tentara dibawah supremasi sipil. Sjahrir juga
enggan menerima hasil dari rapat tentara di Yogyakarta November 1945 yang
memutuskan
Soedirman
sebagai
Panglima
Perang
dan
Sri
Sultan
Hamingkubuwono IX sebagai mentri pertahanan. Justru Sjahrir mengangkat Amir
Syarifuddin sebagai Mentri Pertahanan karena berasal dari Partai Sosialis dan
Menteri Penerangan dikabinet Soekarno. Tapi akhirnya Lima minggu kemudian
Sjahrir mengakui bahwa Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.
Selang beberapa waktu setelah pengangkatan sebagai Menteri Pertahanan,
Amir kemudian merubah dari TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI)
pada 24 Januari 1946. Dalam deklarasi yang di tandatangani oleh Presiden
Soekarno dan Menteri Pertahan Amir Syarifuddin berisikan: Pertama, Nama
Tentara Keselamatan Rakyat, dahulu Tentara Keamanan Rakyat, diubah menjadi
Tentara Republik Indonesia. Kedua, Tentara Republik Indonesia adalah satu
satunya organisasi militer Negara Republik Indonesia. Ketiga, Tentara
Keselamatan Rakyat, yang mulai hari pengumuman maklumat ini disebut Tentara
25
Ibid. Dwi Pratomo Yulianto. Hal 76 ~ 27 ~ Republik Indonesia, akan diperbaiki susunanya atas dasar dan bentuk ketentaraan
yang sempurna. Keempat, Untuk melaksanakan pekerjaaan tersebut dalam pasal 3,
maka pemerintah akan mengangkat sebuah panitia yang terdiri dari para ahli
militer dan ahli lainya yang dianggap perlu.26
Untuk melaksanakan keputusan diatas maka dibentuklah kepanitiaan yang
dinamakan ‘Panitia Besar Reorganisasi’. Tujuan panitia Reorganisasi ini
menertibkan atas banyaknya kesatuan-kesatuan yang ada, dan pembenahan
struktur staf dan komando-komando operasional dalam rangka meningkatkan
koordinasi agar terciptanya sentralisasi tentara.
Kerja kepanitian Reorganisasi mengahasilkan rekomendasi-rekomendasi
dan pemerintahpun menjalankan rekomendasi tersebut. Mei 1946 Soedirman
kemudian dilantik menjadi Penglima Besar dengan pangkat Jendral penuh,
sementara Urip tetap menjabat sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan
Jendral. Panitia tersebut juga menciutkan jumlah devisi dan jumlah resimenya
juga dikurangi. Resimen-resimen kemudian dikelompokan kedalam brigadebrigade. Tiap devisi dan brigade diberi nomor dan nama yang berkaitan dengan
sejarah prakolonial serta mitologi Indonesia (misalnya Brawijaya, Diponegoro,
Siliwangi dan sebagainya) dan para panglima serta kepala stafnya dipilih oleh
sidang perwira senior.27
26
27
Ibid. Dwi Pratomo Yulianto. Hal 87. Sundhaussen, Ulf., Politik Militer Indonesia 1945-1966: Menuju Dwifungsi ABRI, ter. Hasan
Basari, LP3ES, Jakarta, 1988. ~ 28 ~ Dalam hal ini terjadi perpecahan sendiri antara tentara regular (TRI) dan
nonreguler/tentara masyarakat. Kepanitiaan yang bertugas dalam hal ini
mengalami kegagalan dalam penerapanya, karena laskar yang ada enggan
bergabung dan tunduk terhadap tentara reguler walaupun mereka mau
bekerjasama. Akibat dari inilah kemudian pemerintah membentuk ‘Biro
Perjuangan’ yang menjadi wadah untuk mengumpulkan laskar-laskar yang ada.
Biro perjuangan yang berada dibawah koordinasi kementrian pertahanan yang
berada di Jakarta, yang interprestasinya merupakan orang-orang Partai Sosialis.
Sedangkan TRI dibawah Markas Besar yang berpusat di Yogyakarta. Jarak jauh
juga mengganggu komunikasi yang akhirnya terjadinya dualisme kepemimpinan
ketentaraan. Selain masalah ini terjadi juga pertentangan antara mantan KNIL dan
PETA dalam TRI, yang memiliki basis berbeda-beda. Mantan perwira KNIL yang
banyak duduk di markas besar sedangkan PETA banyak dilapangan, ini terjadi
saling mencurigai satu sama lain dalam kerja. Sering apa yang menjadi keputusan
dari markas besar yang di tanda tangani oleh Urip diabaykan oleh perwira
lapangan, baru ketika mendapatkan instruksi atau mandat dari Jendral Soedirman
baru melaksanakan perintah.
Banyaknya permasalahan yang belum terselesaikan dalam tubuh TRI yang
sangat urgen mengganggu kinerja dalam mempertahankan kemardekaan.
Berangkat dari semua masalah yang ada dalam TRI, pada tanggal 3 Juni 1947,
dengan sebuah dekrit presiden semua organisasi bersenjata harus melebur
kedalam satu organisasi yaitu ‘Tentara Nasional Indonesia’(TNI). Dekrit Presiden
tidak lepas dari kerjasama antara kementrian pertahanan dan para perwira mantan
~ 29 ~ KNIL yang ingin menggabungkan tentara reguler dengan laskar. Dalam
reorganisasi Mei 1947 Soedirman menyetujui bahwa TNI masyarakat ini
ditempatkan sebagai salah satu cabang tentara dalam formasi lama Organisasi
kelaskaran tersebut. Dalam reorganisasi tersebut TNI masyarakat secara formal
dihapuskan dan kemudian dimasukkan kedalam tubuh TNI dalam sebuah brigade
khusus.28
Perkembangan militer tidak lepas dari situasi politik pasca kemardekaan,
memang pada masa ini hal yang wajar dalam pemerintahan baru mengkonsep
sistem yang baru. Perjanjian renvill sendiri sangat merugikan bagi indonesia, lagilagi belanda diuntungkan dengan sikap kompromi pemerintah. Dan hal ini
mendapat respon yang kuat ditataran parlemen yang menumbangkan kabinet
Amir, karena banyaknya partai yang mendukung kemudian menarik diri dari
koalisi. Dikalangan militer sendiri ini memicu terjadinya pemberontakan disetiap
daerah, yang pada akhirnya membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Walaupun
sebenarnya NII adalah sikap kecewa dan ketidak puasan dari laskar-laskar yang
tidak masuk kedalam TNI karena ketatnya reorganisasi.
Terjadinya reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) versi Hatta tidak lepas
dari perjanjian Renvill itu sendiri yang mengharuskan Hatta membangun kabinet
baru, yang program kerjanya salah satnya adalah Re-Ra. Re-Ra sendiri dilakukan
akibat dari lemahnya pertahanan yang tidak terorganisir dalam menahan agresi
militer Belanda I, dan tentara sendiri di persalahkan dalam hal ini. Berangkat dari
masalah diatas terjadilah kesepakatan kerjasama antara sayap kiri di KNIP atau
28
Lihat said dalam Dwi Pratomo Yulianto. Op. Cit. Hal, 95. ~ 30 ~ Amir dengan para perwira bekas KNIL, yang menghasilkan sebuah perundangan
baru menuntut adanya rasionalisasi. Pada tanggal 27 Desember 1947
menghasilkan perundangan yang memuat beberapa pokok tentang ketentaraan 29:
Pertama, bahwa organisasi dan kekuatan TNI harus dibuat kecil dan lebih
sederhana agar ia sesuai dengan kedudukan Republik pada waktu itu. Alasan lain
hal ini berkaitan dengan makin sempitnya wilayah serta beban sosial-ekonomi
Republik: Negara dan masyarakat tak lagi bisa membiayai 350 ribu personil
Angkatan Darat, Laut dan Udara, serta 470 ribu personel laskar. Kedua, berkaitan
dengan pembentukan Negara Indonesia Serikat: Agar dapat bersaing dengan
perwira KNIL yang akan ditransfer ke dalam TNI, maka harus memilih perwiraperwira yang memiliki pengetahuan yang sepadan dengan mereka.
Akibat dari rasionalisasi ini banyaknya kesatuan bersenjata akan
dibekukan serta personel-personel tentara akan dikeluarkan dengan alasan
kecakapan dalam TNI. Jendaral Soedirman sendiri menentang hasil rasionalisasi
ini karena beliau mengganggap ditengah pertempuran seperti ini membutuhkan
personil tentara yang banyak, dan Soedirman mengingatkan apabila tetap
menjalankan rasionalisasi akan menyebabkan perang saudara. Perdebatan ini tidak
lebih dari penggusuran kepemimpinan elite tentara antar senior dan junior KNIL,
termasuk bekas PETA dan laskar dalam pembagian kekuasaan kepemimpinan
tentara. Ini digunakan untuk menyenangkan dan meredam konflik yang semakin
tajam di tubuh tentara sendiri.
29
Ibid. Dwi Pratomo Yulianto. Hal 116. ~ 31 ~ Masa demokrasi terpimpin adalah masa terburuk yang dirasakan oleh TNI,
dan awal keterlibatan TNI kedalam ranah sipil. TNI mengalamai perpecahan
didalam tubuhnya pada tahun 1950-1966, diakibatkanya adanya persaingan antar
perwira militer sendiri yang ingin mengusai panggung politik serta campur tangan
sipil dalam intern militer.
2. Orientasi Militer
Ada tiga jenis organisasi militer yang timbul didalam Negara bangsa
modern, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil
yang di lembagakan. Prajurit profesional klasik menonjol di dalam system-sistem
politik yang stabil. Prajurit pretorian berkemabang subur dalam lingkungan
ketidak stabilan politik. Sedang prajurit revolusioner manunggal dengan suatu
orde politik yang stabil sekalipun asal-usulnya datang dari suatu sistem politik
yang tidak stabil, yang kebetulan sedang mengalami kemunduran.30
a) Prajurit Profesional
Sebelum lebih jauh membahas tentang prajurit profesional, ada tiga hal
yang membedakan antara sikap profesi dengan yang lainya yang dianggap jenis
pekerjaan antara lain keahlian, tanggung jawab dan kesatuan31. Pertama.
Keahlian, orang profesional adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan khusus dalam suatu bidang yang penting yang merupakan kerja
30
Amos Perlmutter, Militer Dan Politik, terjemahan Sahat Simamora, CV Rajawali, Jakarta 1984.
Samuel P. Huntington, “ Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil”,
Grasindo, Jakarta 2003. Hal. 4-7.
31
~ 32 ~ keras manusia. Keahlianya diperoleh hanya dari pendidikan yang tinggi dan
pengalaman. Kedua. Tanggung jawab, orang yang profesional adalah seorang
yang ahli dalam praktek profesinya, bekerja dalam sebuah konteks sosial, dan
melakukan suatu pelayanan, seperti meningkatkan kesehatan, pendidikan, atau
keadilan, yang sifatnya penting bagi fungsi masyarakat. Kliean dari setiap profesi
adalah masyarakat, baik secara individu maupun secara bersama-sama. Ketiga.
Kesatuan, para anggota dari suatu profesi saling berbagi rasa persatuan dan
kesadaran akan keberadaan mereka sebagai sebuah kelompok yang berbeda dari
orang awam. Rasa kebersamaan ini bersumber dari kedisiplinan dan pelatihan
kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung
jawab sosial yang unik.
Dalam pandangan Huntington melihat prajurit profesional adalah
berubahnya korps perwira militer dari bentuk “penakluk” (warrior) menjadi
kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini di tandai oleh perubahan
dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara karena panggilan suci,
misalnya mengabdi Negara”.32
Ketiga ciri militer profesional tadi melahirkan apa yang oleh Huntington di
sebut the military mind yang menjadi dasar bagi hubungan antara militer dan
Negara. Etik militer menekankan sifat permanen, irasional, dan kelemahan
manusia, serta supremasi masyarakat terhadap individu. Etik ini juga
mementingkan ketertiban, hirarki dan pembagian tugas serta pengakuan akan
“Negara kebangsaan” (nation state) sebagai bentuk tertinggi organisasi politik.
32
Op. cit. Amos Perlmutter. Kata pengantar. ~ 33 ~ Negara yang kuat hanya mungkin jika ada kekuatan militer yang kuat, tapi
kekuatan militer ini abdi Negara.33 Inti the military mind adalah suatu ideology
yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil.
Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi, kecuali kepatuhan
kepada negarawan sipil.34
Sekularisasi masyarakat dan rasionalisasi hukum kapitalisme pasar adalah
lingkungan yang sesuai bagi organisasi militer profesional maupun untuk struktur
Negara birokrasi moderen dengan norma-norma tata tertibnya yang bersifat
memaksa, sah, dan rasional. Kapten ekonomi industrilah, yang berani, dan justru
bukan prajurit; perwira karier, bukan pemimpin feodal tradisional; pemimpin
otoriter yang rasional, bukan kesatria feudal- inilah yang menjadi model-model
engkatan bersenjata modern. Mereka bersifat loyal kepada patrimony. System
hirarki membedakan militer dari kegiatan ekonomi dimana promosi karir dan
wewenang lebih sering di tentukan oleh jasa senioritas.35
Berbeda dengan profesional lainya, perwira militer hanya beroperasi di
tengah-tengah kepentingan klienya yang “terpilih”. Ia tunduk kepada Negara,
patriamoni, propinsi, partai, gerakan, dan terhadap kekuasaan politik yang pada
satu ketika begitu perkasa.
33
Loc cit. Amos Perlmutter. Kata pengantar. Op cit , Huntington. Hal 79.
35
Op cit. Amos Perlmutter, hal. 16. 34
~ 34 ~ b) Prajurit Pretorian
Walaupun hanya sedikit para perwira militer memilih lapangan politik
sebagai pekerjaanya, namun profesi militer dapat bertindak sebagai suatu landasan
politik. Semakin tinggi kedudukan seorang perwira, semakin ia bersifat politisterutama pada situasi-situasi pretorian dan revolusioner, yang melibatkan seluruh
organisasi militer dalam aksi politik. Didalam situasi politik yang stabil, hanya
sedikit perwira yang bersedia menggantikan profesi mereka dengan politik, akan
tetapi dengan peranan kelompok kecil yang berbuat demikian itu sangat vital
terhadap setiap penjajakan hubungan sipil-militer dan peranan militer moderen.
Pretorianisme militer timbul bersamaan dengan sistem-sistem pengendalian
politik subyektif dari Huntington, yakni kegagalan revolusi sosial, politik, atau
revolusi modernisasi. Kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakatmasyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecahpecah. Baik secara potensial maupun faktual, tentara selalu bersifat intervensionis;
kecendrungan untuk melakukan campur tangan bersifat permanen; dan merasa
memiliki kekuatan untuk mewujudkan perubahan konstitusi. Sifat para klien
militer bergeser ketika tentara “memutuskan” siapa mewakili bangsa dan tertib
politik.36
Kekuatan rezim pretorian tentara justru bukan berasal dari kecakapan
professional-penggunaan
kekerasan-melainkan
juga
kecendrungan
untuk
menghubungkan rezim yang membiayai tentara tersebut dengan rezim yang
melindungi integritasnya. Tentara pretorian adalah pembela utama otonomi
36
Op cit. Amos Perlmutter, hal. 18-19. ~ 35 ~ korporasi. Mesir misalnya, mengetahui bahwa ia berdiri sendiri tanpa adanya
sukungan “Negara” atau “masyarakat” yang dapat membela kemardekaanya atau
menentang eksistensinya. Lembaga militer pretorian menyamakan aspirasi
korporasi dengan kepentingan nasional.37
c) Prajurit Revolusioner
Sebagai alat revolusi, terutama sebelum dan selama “perang revolusioner”,
tentara revolusioner menunjukan kecendrungan kuat untuk takluk kebawah
pengaruh politik. Ketika revolusi berangsur-angsur melembaga, gerakan partai
menjadi kekuasaan tertinggi dalam Negara. Kemudian ia menentang peranan
tentara sebagai alternative di dalam politik dan menerima jenis organisasi militer
yang dikendalikan oleh para perwira tinggi rasional (profesional). Akan tetapi, ia
menolak dalil korporatisme tentara serta intervensi militer dalam politik. Dengan
demikian, pada tahap awal revolusi, tentara kehilangan otonominya dan
mengubah sebagian ciri profesionalnya demi pertumbuhan partai atau gerakan
yang sedang berlaku; tentara tampil sebagai alat mobilisasi partai yang
revolusioner. Akan tetapi pada kebanyakan persoalan kecendrungan tentara
revolusioner untuk melakukan intervensi politik tidak pernah hilang seluruhnya;
angkatan bersenjata tetap mempunyai, setidak-tidaknya, suatu peranan politik
yang laten, sekalipun ia menganut orientasi profesional.38
Tipe tentara revolisioner jelas dapat dibedakan dari tipe pretorian dalam
sikapnya masing-masing terhadap korporatisme militer dan dalam hubungan 37
38
Op cit. Amos Perlmutter, hal. 20-21.
Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 21-22
~ 36 ~ hubngan sipil-militer. Berbeda dengan korporasi yang diharapkan dari para
prajurit profesioanl dan praetorian, tipe pretorian lebigh menyukai pola-pola
hubungan non-hirarkis yang bersifat bersahabat antara para perwira dan prajurit.
Mobilitas ke atas bagi prajurit revolusioner bukanlah hasil dari keahlian militer,
melainkan pengabdian kepada revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Suatu
praktek elementer dari angkatan bersenjata revolusioner adalah pembentukan
kader-kader. Para kandidat militer ini merupakan kelompok yang mendapat
indoktrinasi politik dan bersifat mengabdi yang harapan-harapanya melambung di
luar harapan-harapan lembaga militer profesional. Jadi, pembatasan tegas antara
militer dan politik, yang begitu jelas pada angkatan bersenjata profesional pada
tertib politik yang dikendalikan secara obyektif, tidak wujud dalam angkatan
bersenjata dan Negara yang revolusioner.39
Tentar revolusiner sebenarnya adalah pasukan profesional yang di jejali
dengan sejumlah faktor tambahan seperti komitmen, dedikasi dan tujuan.
Organisasinya
mengikuti
tipe
profesionalnya.
Apabila
militer
hendak
mempertahankan dan melindungi agresivitas dan integritasnya serta memenuhi
harapan-harapan
revolusionernya
untuk
tetap
mampu
berfungsi
secara
profesioanal, ia harus mengikuti azas-azas berikut :40
1. Revolusi hanya dapat dimenangkan dengan cara menaklukan kekuatan
politik dengan mendayagunakan kekuatan organisasi militer terlatih
baik secar efektif.
39
Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 22
Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 347-348
40
~ 37 ~ 2. Konsolidasi kekuatan politik dan pelembagaan politik menuntut
adanya jenis kontrol subyektif atas hubungan sipil-milter. Hubungan
ini dilanjutkan hingga pasca revolusi ketika tentara secar gradual
dikaitkan kepada rezim.
3. Tentara
tidak
dibenarkan
untuk
“di-Jacobinasasi”,
atau
“diideologikan”; namun tidak pula dapat diisolir,. Untuk dapat
berfungsi efektif dan wajar tentara harus mempunyai komitmen dan
dilatih secara prima.
4. Promosi perwira kepada jabatan-jabatan penting harus didasarkan pada
obyektivitas keahlian prestasi.
5. Panglima tinggi harus dianggap sebagai sekutu rezim revolusioner dan
partner aktif dalam masalah-masalah pertahanan dan politik luar negri.
6. Prosedur, praktek dan tingkah laku profesional harus dilembagakan,
sekalipun dengan mengorbankan sesuatu bentuk munculnya giditas
pada tahun-tahun kemudian.
7. Berbagai standar rekruitmen, promosi, dan kenaikan pangkat harus
tetap bersifat universal.
8. Unit militer berukuran besar tidak boleh merupakan suatu gerakan
massa, melainkan suatu mesin yang berdisipilin tinggi.
9. Pergesaran jabatan perwira tinggi dalam tempo cepat dan peralihan hal
yang sama secara wajar dikalangan para perwira menengah (mayor
hingga kolonel) harus dilembagakan sebagai sebuah kebijaksanaan
umum organisasi.
~ 38 ~ 10. Dinas militer harus dapat tampil sebagai sumber prestise sosial,
pengaruh politik dan kebanggaan profesional bagi para anggotanya.
Secara singkat perbedaan tipe-tipe tentara profesional, pretorian dan
revolusioner, dapat dilihat dalam table berikut:
Tabel: 1.3
Tipe-tipe dan Orientasi Militer41
Ciri-ciri
Keahlian
Klien
Profesional
Pengetahuan
khusus
yang didasarkan diatas
standar obyektif dari
kompetensi
professional:tinggi.
Negara
Pretorian
Pengetahuan
professional
diperhatikan
ketat sekali
Revolusioner
Pengetahuan
tidak professional diarahkan
nilai-nilai
dengan kepada
social politik.
Salah satu dari yang
berikut:
bangsa
kelompok
suku,
suku/puak,militer dan
Negara.
Sifat
lembaga Hirarki,
kohensif, Hirarki tidak kohensif,
(tipe kekuasaan)
organik,
kolektif, mengubah-ubah
subordinasi, otomatik/ kepatuhan, sempit.
manipulative sempit.
Penerimaan
Terbatas
hanya Terbatas.
universal pada masa.
perang
Ideology
Konservatif
Tradisional materialis,
anti sosialis, praetorian.
Rendah.
Permanen/berkelanjutan.
Kecendrungan
untuk
campur
tangan
41
Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 25 ~ 39 ~ Gerakan partai
Sebelum dan sesudah
revolusi: egalitarian,
sangat mobile, kader
manipulative, luas.
Universal.
Revolusioner: gerakan
partai.
Tinggi sebelum dan
selama
revolusi;
rendah
sebelum
revolusi.
3. Relasi Militer Dan Politik
Militer
merupakan
institusi
yang
professional
dan
eksklusif.
Profesionalisme militer yaitu memiliki keahlian dengan cara kekerasan baik
secara langsung maupun tidak. Profesionalisme dalam pandangan Huntington
harus mencakup keahlian, tanggung jawab dan kesatuan. Menurut Huntington,
semakin tinggi profesionalisme perwira militer, semakin berkurang kecendrungan
mereka melakukan intervensi diluar non-militer. Sebaliknya, bila kecakapan itu
tidak dihargai, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh perwira militer
untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam mempertahankan Negara,
sementara cita-cita pribadi tidak mempunyai jalan keluar untuk mendapatkan
keahlian sebagai satu cara untuk kenaikan pangkat. Perwira seperti ini cenderung
melibatkan dirinya dalam politik sebagai satu kegiatan sampingan.42Sedangkan
eksklusif, karena hanya mereka satu-satunya yang berhak memikul senjata untuk
mempertahankan Negara dari serangan musuh. Kedua aspek tersebut merupakan
menjadi kebanggaan militer.
Faktor lain menurut Finer yang menimbulkan kecendrungan intervensi
akibat proses profesionalisme militer adalah timbulnya sindikalisme militer. Hal
ini timbul jika pemerintahan sipil merasa dirinya paling tau tentang ukuran,
organisasi, jenis peralatan dan pola rekruitmen militer. Sebab lain adalah
keenganan pihak militer untuk selalu menjadi “pemadam kebakaran”, yakni
bertindak terhadap oponen domestik dari pemerintahan yang sedang berkuasa.
Pada dasarnya, kaum meliter melihat tugasnya sebagai penjaga bangsa terhadap
42
Eric A. Nordlinger, “Militer Dalam Politik”, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Hal 73.
~ 40 ~ serangan luar, sedang tugas keamanan domestik dianggapnya tugas polisi.
Akibatnya, lama kelamaan kaum militer merasa bosan terhadap pemerintahan
yang opresif dan refresif terhadap lawan politiknya, sehingga intervensi politik
dilakukannya untuk menyelamatkan persatuan bangsa.43
Jhonson menekankan kegunaan intervensi militer terutama dari segi
pembangunan ekonomi dan modernisasi. Dibandingkan lembaga-lembaga lainya
di Negara-negara dunia ketiga, kaum militer merupakan elit yang paling moderen,
baik dalam orientasi nilai maupun organisasi. Karena perkembangan teknologi
kesenjataan yang cepat, maka kaum militer dianggap mengetahui hal-hal baru
lebih banyak dari kaum sipil. Sebagai “ the modernizing elite” kaum militer juga
melihat jauh kedepan dalam kepentingan korporasinya untuk mendorong
modernisasi dinegaranya.
Beberapa ilmuwan melihat bahwa sebagian besar perwira militer berasal
dari golongan menengah(middle class). Dinegara-negara dunia ketiga, lapisan
menengah ini sangat kecil jumlahnya dan selalu merupakan ujung tombak kejalan
modernisasi bangsanya. Mereka melihat kekuatan militer sebagai lemabaga
integrative yang tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat, misalnya
karena pertentangan idiologis partai politik. Sebagai apa yang oleh Edward Feit
disebut “birokrat bersenjata” (armed bureaucrat), kaum militer lebiuh mampu
mencapai golongan terbesar masyarakat dari pada kelompok lainya, sehingga
lebih mudah memobilisir massa untuk pembangunan ekonomi.44
43
Op cit. Amos Perlmutter. Kata Pengantar. Ibid. Amus Perlmuter. Kata Pengantar 44
~ 41 ~ Ketika sipil mengancam otonomi dan eksklusifitas militer biasanya akan
mencetuskan motif-motif intervensi yang kuat. Dengan demikian tindakan
pemimpin sipil dan tingkat profesionalisme akan menentukan munculnya
kecendrungan intervensi militer atau sebaliknya. Yang berbeda bukanlah nilai
yang ditentukan terhadap profesionalisme dan eksklusifitas yang memang cukup
besar, tetapi kekerapan dan sejauh mana nilai tersebut ditentang oleh sipil.45
Samuel E. Finner dalam bukunya The Man On Horseback: The Role of
Military in Politics, mengemukakan bahwa disamping mempertanyakan mengapa
militer masuk kedalam politik, kita seharusnya juga bertanya mengapa mereka
mau melakukanya. Tampaknya keuntungan politik dari militer lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok sipil dan kelompok lainya. Militer memiliki
organisasi yang lebih unggul dan mereka memiliki senjata.46 Samuel E. Finner
mengindentifikasikan enam model intervensi militer yaitu: 1) melalui saluran
konstitusional yang resmi;2) kolusi atau kompetisi dengan otorita sipil;3)
intimidasi terhadap otoritas sipil;4) ancaman nonkooperasi dengan, atau kekerasan
terhadap otoritas sipil;5) kegagalan untuk mempertahankan otoritas sipil
menentang kekerasan;dan 6) penggunaan kekerasan terhadap otoritas sipil.47
Pola hubungan sipil-militer diberbagai Negara berbeda-beda tergantung
dari sistem rezim pemerintah yang dianut oleh suatu Negara. Secara umum dalam
sistem pemerintahan demokratik liberal, hubungan sipil-militer menganut pola
supremasi sipil. Sedangkan pada sistem rezim otoritarian, pola hubungan sipil 45
Ibid. Amus Perlmuter. hal 72.
Samuel E. Finner,”The Man On Horseback: The Role of Military in Politics”, dalam Op. chit.
Arif Yulianto. Hal. 78.
47
Ibid. hal 79.
46
~ 42 ~ militer bervariasi derajat perbedaanya dengan penekanan peran militer lebih
dominan. Menurut Bagus A. Hardito, pola hubungan sipil-militer dapat berupa
dominasi sipil atas militer atau sebaliknya maupun kesejajaran antara keduanya
dalam mencapai tujuan politik suatu Negara.48 Kemudian Susilo Bambang
Yudhoyono dengan mengacu teori dan pandangan klasik tentang pola hubungan
sipil-militer, menekankan pada dua kutub yang berbeda, yaitu, kutub pertama:1)
supremasi sipil,2) campur tangan militer dalam politik tidak sah; sedangkan kutub
kedua:1) tidak ada supremasi sipil,2) campur tangan militer dalam politik demi
kepentingan bangsa dibenarkan.49
Elliot A.Cohen mengklasifikasikan pola (patterns) hubungan sipil-militer,
ke dalam empat model:
1. The Tradisional Model. Militer dibangun menjadi kelompok
professional, secara social terisolasi, memusatkan perhatian pada
masalah-masalah teknis, dan hanya berorientasi kepada ancaman dari
luar.
2. The “Constabulary” Model. Pada dasarnya tentara berfungsi sebagai
kekuatan kepolisian dimana para pemimpinanya lebih bertindak
sebagai “managers” dari pada “warriors”, dengan orientasi baik luar
maupun dalam Negeri, dan lebih melihat pada pentingnya ketertiban
(order) daripada berperang menghadapi musuh.
3. The Military as Reflection of Society. Sebuah system nasional dimana
militer memainkan peran yang penting dalam membangun civil society
48
49
Bagus A. Hardito dalam Arif Yuianto. Ibid Hal 39.
Susilo Bambang Yudhoyono dalam Arif Yulianto. Ibid Hal 40.
~ 43 ~ yang dilaksanakan melalui dinas militer secara luas dengan pendidikan
dan indoktrinasi yang positif (conscious).
4. The Guardian Military. Sebuah sintesa, dimana militer berfungsi
melindungi orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam
politik praktis (day to day intervention in politics).50
4. Partai Politik
Dalam teori demokrasi modern, partai politik dipandang sebagai sarana
kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat dan
pemerintah. Menurut pengertian Giovanni Sartori partai politik dapat diartikan
sebagai Setiap kelompok politik yang teridentifikasi melalui label yang
dimilikinya yang muncul pada saat pemilu, dan mampu menempatkan kandidatkandidatnya melalui pemilu tersebut untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Sedangkan menurut R.H. Soltau partai politik merupakan sekelompok
warga negara yang sedikit banyak mengorganisir, yang bertindak sebagai suatu
kesatuan politik dan yang – dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih –
bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka. (A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by
the use of their voting power, aim to control the government and carry out their
general policies)51 50
51
Elliot dalam Arif Yulianto. Ibid, Hal 40-41. R.H. Soltau dalam buku Miriam, Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta ,1977. ~ 44 ~ Partai-partai dianggap memainkan peranan menyeluruh, sebelum, selama
dan sesudah pemilu sendiri. Sangat berbeda sekali dengan kelompok kepentingan
atau penekan serta lembaga lainya, partai politik menjangkau suatu lingkup
kepentingan manusia secara luas. Partai politik mengidentifikasi, memilah,
menentukan, dan mengarahkan pelbagai macam kepentingan dikelola menjadi
isu-isu politik dengan jalan menyusun sejumlah alternatif kebijakan dengan
didasarkan pada prisnsip-prisnsip umum yang menjadi landasan masing-masing
partai, yang nantinya diajukan dan dipilih oleh para pemilih dan pemerintah.
Selain itu juga yang sangat membedakan partai politik dengan kelompok lainya
adalah partai politik terlibat serta dalam proses pemilihan umum.
Secara historis partai-partai terlahir dari beragamnya kepentingan yang
saling bertentangan-kepentingan-kepentingan yang baru muncul melawan
kepentingan-kepentingan yang merasa terancam oleh kekuatan perubahan.
Adanya perbedaan diantara partai politik modern itu bisa dilacak kembali asalusulnya pada adanya pelbagai pertentangan sosial yang dominan di masa
pembentukan partai itu. Pertentangan-pertentangan itu dibentuk oleh suatu pola
umum disepanjang wilayah yang kini di tempati oleh negara-negar demokratis
modern. Berdasarkan kenyataan itu, Lipset dan Rokkan (1967) mengembangkan
sebuah teori yang menjelaskan bagaimanakah konflik-konflik kemasyarakatan
yang menonjol lantas diubah menjadi sistem kepartaian. Konflik abad 19 antara
para tuan tanah dan kepentingan-kepentingan industrial yang baru muncul di picu
oleh persoalan tingkat tarif produk-produk pertanian dan isu tentang kebebasan
~ 45 ~ atau kontrol atas usaha-usaha industrial. Partai-partai agrarian, liberal dan
konservatif dapat dilacak kembali asal-usulnya pada konflik-konflik ini.52
Untuk mengelompokan partai politik Joseph La Palombara & Weyner
mengemukakan Teori Asal Mula Partai Politik, ada tiga teori yang digunakan53;
pertama, Teori kelembagaan. Melihat ada hubungan antara parlemen awal dan
timbulnya partai politik Muncul dua tipe partai politik dalam teori ini:
intraparliamentary party dan extraparliamentary party. Partai politik dibentuk
oleh kalangan legislative (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para anggota
parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak
dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Ini kemudian
disebut sebagai Intraparliamentary party, karena muncul dari dalam parlemen.
Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai
politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai tipe ini biasanya
dibentuk oleh kelompok kecil pimpinan masyarakat yang sadar politik
berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak
mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka. Karena muncul
dari luar parlemen, maka partai tipe ini disebut sebagai extraparliamentary party.
Cikal bakal partai ini bukan berasal dari anggota parlemen, namun dari orangorang yang tidak senang pada parlemen, bahkan ingin menghapus parlemen.
Kedua; Melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik
untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara
52
53
Klingemann,Hans-Dieter (Ed), Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Jentera, Yogyakarta, 1999. Lihat Tunjung Sulaksono, “Materi Kuliah Study Partai Politik” UMY ~ 46 ~ luas. Krisis yang dimaksudkan di sini adalah manakala suatu sistem politik
mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional
yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur
kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti pertambahan
penduduk, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan
industri, partisipasi media, dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahanperubahan ini mengakibatkan munculnya tiga macam krisis, yakni legitimasi,
integrasi dan partisipasi.
Ketiga; Melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi
Teori ini melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti teknologi komunikasi
berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, dan peningkatan kemampuan individu melahirkan suatu kebutuhan
akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan
berbagai aspirasi tersebut. Jadi partai politik merupakan produk logis dari
modernisasi sosial ekonomi. Teori ketiga memiliki kesamaan dengan teori kedua,
bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan yang ditimbulkan modernisasi.
Perbedaan kedua teori ini terletak pada proses pembentukannya. Teori kedua
mengatakan bahwa perubahan menimbulkan tiga krisis dan partai politik dibentuk
untuk mengatasi tiga krisis tersebut. Sedangkan teori ketiga mengatakan bahwa
perubahan-perubahan itulah yang melahirkan kebutuhan akan adanya partai
politik.
~ 47 ~ 5. Demokrasi
Demokrasi pada awal pertumbuhanya mencakup beberapa azas dan nilainilai yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lainya, munculnya demokrasi
merupakan gagasan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama
yang dihasilkan oleh kaum reformasi. Demokrasi pertama kali didapatkan dan
diterapkan di negara kota (city-state) Yunani Kuno sekitar abad 6 sampai 3 SM,
model yang digunakan adalah demokrasi secara langsung yaitu bentuk
pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur
mayoritas54.
Makna demokrasi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari demos
(rakyat) dan kratos (memerintah) yang termaknai pemerintahan dari rakyat dari
rakya, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan
yang dikuasai oleh rakyat terwakili di parlemen, sejalan dengan itu menurut
Abraham Lincolin mantan Presiden Amerika Sarikat mendefinisaikan Demokrasi
ialah suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik tertinggi (supreme
political authority) dan kedaulatan (sovereignty) ada ditangan rakyat. Rakyat yang
memiliki ”sovereignty” berhak untuk memerintah. Karena itu, pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang dapat persetujuan rakyat atau pemerintah
yang sudah memiliki mandat untuk memerintah dari rakyat (democratic
goverment by and with the consent of the people). Dalam sistem pemerintahan
modern, pemerintahan rakyat atau yang oleh Linclon disebut sebagai ”goverment
54
Budiardjo, op,cit. Hal 54 ~ 48 ~ by people” tersebut terrepresentasi dalam bentuk lembaga perwakilan yang
mengatasnamakan rakyat.55 Dalam demokrasi sendiri ada beberapa syarat
demokrasi
itu
sendiri
diantaranya
kebebasaan
berorganisasi,
kebebasan
berekspresi, hak memilih pemilu yang bebas dan adil, sumber-sumber informasi
alternatif, lembaga-lembaga yang membuta semua keputusan pemerintah
tergantung pada suara atau ekspresi kepentingan masyarakat lainya, dan hak
pemimpin politik untuk bersaing memperebut pendukung dan suara.56
Demokrasi pada era modern memiliki perbedaan masing-masing disetiap
negara dalam sistem pemerintahanya, di Indonesia sendiri dalam melaksanakan
demokrasi semenjak pasca kemardekaan mulai dari demokrasi terpimpin sampai
demokrasi pancasila pada era Soeharto dan tidak lebih dari otoritarianisme
mengalami berbagai macam perubahan. Yang paling penting dari demokrasi
adalah adanya keterwakilan dari rakyat dalam pemerintahan yang diwakili oleh
legislatif menjadi refresentatif dari rakyat, eksekutif sendiri pemilihan seorang
Presiden mulai secara langsung dipilih oleh rakyat.
Ciri khas yang fundamental dari setiap demokrasi, sesuai dengan
karakteristiknya ialah pandangan bahwa warga negara (rakyat) harus dilibatkan
dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak melalui
perwakilan yang mereka pilih. Kedua pendekatan ini dapat dicirikan sebagai
berikut. Pertama, demokrasi langsung (direct democration) rakyat ambil bagian
55
Lihat Gregorius , Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi,
Yogyakarta, 2004. 56
Lihat Georg Sorensen lebih detail, dalam AAGN Ari Dwipayan,dkk,”masyarakat Pascamiliter
Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesia, IRE, Yogyakarta, 2000. Hal 112 ~ 49 ~ secara pribadi didalam tindakan-tindakan sengaja dan memberikan suara atas
masalah. Seluruh ikut serta dan mensahkan semua undang-undang. Kedua,
demokrasi perwakilan (inderect democration) rakyat memilih warga lainya untuk
membahas dan mensahkan undang-undang.57
Dalam menentukan pilihan rakyat tersebut maka dalam sistem demokrasi
sendiri dikenal dengan namanya Pemilihan Umum (Pemilu), menjadi salah satu
ruang bagi rakyat untuk berkompetisi secara sehat dalam merebut kekuasaan.
Selain itu pemilu menjadi jaminan atas hak-hak individu, kebebasan berpolitik,
kesadaran berpolitik dan partisipasi publik untuk memilih wakil-wakil mereka
duduk di jabatan parlemen. Ini merupakan salah satu demokrasi prosedural yang
mengharuskan adannya pemilihan umum.
6. Transisi Demokrasi
Transisi berasala dari bahasa Latin yaitu ”trans” dan ”cendo”. Trans
sendiri berarti disebelah, seberang sedangkan cendo melangkah dari satu tempat
ke tempat lain dengan kata lain berpindah.
Sedangkan apabila kata ”transition” itu dipadukan dengan kata
”democraticy” akan menjadi ”transition to democracy” yang berarti perubahan
ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. Yang berubah dan beralih disini adalah
suatu masa atau periode sebelum terjadinya transisi. Periode itu adalah periode
sebelum beralih ke demokrasi. Nama dari periode itu adalah periode nondemokrasi, entah itu periode kekuasaan monarki absolut, kekaisareran sultanistik,
57
Firdaus, Syam, Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap
Dunia Ke-3, Bumi Aksara, Jakarta, 2007. ~ 50 ~ patrimonial, kedikdatoran pribadi, kediktatoran militer, kediktatoran partai atau
model-model lain dari rezim otoritarian.58 Ketika adanaya rezim otoriter dalam
pemerintahan dengan kekuatan masyarakat menggulingkan rezim tersebut,
terjadinya masa peralihan dan disinilah masa transisi tersebut.
Berbeda dengan pendapat Huntington dan J.Linz dalam definisinya
mengkategorikan tarnsisi kedalam tiga bentuk: Pertama adalalah transformasi
yang mana ketika elite politik mengambil alih kekuasaaan politik dan
mengarahkanya ke demokrasi. Kedua adalah Replasementasi yaitu ketika
kekuatan oposisi merebut atau mengambil alih kekuasaan politik dari otoriter ke
demokrasi dan rezim otoritarian mengalami penggulingan. Ketiga adalah
transplasementasi yakni terjadinya demokratisasi dikarenakan oleh adanya
beragam aksi secara bersama (bisa negosiasi, demonstrasi, dialog) antara kedua
kelompok yaitu oposisi dengan pemerintah.
Transisi rezim suatu negara dari non-demokratik ke demokratik terjadi di
dalam beberapa negara dengan beberapa sistem kekuasaan59: pertama, monarki
absolut (absolute monarchies), aristokrasi feodal (feudal aristocracies), dan
kekaisaran negara-negara kontinental. Rezim-rezim yang berkuasa dalam sistem
ini mengalami gelombang pertama transisi menuju demokrasi yang terjadi pada
tahun 1828 – 1926 (gelombang panjang pertama Amerika, Prancis, Italia dan
Argentina sebelum PD I) dan 1922 – 1942 (gelombang pendek pertama:
Kekaisaran Romawi, Spanyol, Hopsburg dan Chile).
58
59
Gregorius Sahdan, op.cit., Hal 32 Ibid. Sahdan. Hal 36 ~ 51 ~ Kedua, gelombang transisi demokrasi kedua terjadi pada tahun 1943-1962
(gelombang pendek kedua) dan 1950-1975 (gelombang panjang kedua),
menghantam negara yang berpola fasis (Fasicist State), negara bekas koloni
(colonies) dan rezim kediktatoran militer pribadi. Dan beberapa yang lainya
terjadi pada negara yang sedang mempraktekan demokrasi, seperti Jerman Barat
yang sedang menjalankan proyek pelmbagaan demokrasi Italia, Jepang, Austria
dan Korea.
Ketiga, transisi menuju demokrasi yang ketiga, terjadi pada negara-negar
dengan pola: satu partai (one-party system), negara yang dikuasai oleh rezim
militer (militery system), dan negar yang di perintahkan oleh rezim kediktatoran
pribadi. Negara yang dalam kelompok ini Yunani, Turki, Pakistan, Nigeria, Korea
Selatan dll.
Peralihan otoritarian ke demokrasi membentuk suatu Negara mengalami
perjolakan politik yang sangat dahsat, terjadinya huru-hara dimana-mana karena
masih mendesak perubahan sistem. Dari asumsi melihat peralihan tersebut ada
beberapa alasan mengapa terjadinya transisi demokrasi60:
Pertama, sistem otoritarian tidak memiliki konstruksi institusi yang kuat
sebagai mekanisme untuk mengatasi krisis. Pukulan krisis ekonomi menjadikan
rezim yang bertahta dalam payung otoritarian bersikap panik. Kedua, rezim
otoritarian tidak mampu melakukan institusionalisasi krisis sebagaimana dalam
sistem demokrasi yang mampu mengelola krisis menjadi kepentingan publik.
60
Ibid. Sahdan. Hal. 30 ~ 52 ~ Ketiga, Sifat dan watak otoritarian yang terlalu kaku dan rigit tidak kondusif
untuk peradaban masyarakat modern yang banyak dikendalikan oleh teknologi
dan ilmu pengetahuan.
Keempat, tidak mampu menjawab setiap dinamika yang terjadi dalam
masyarakat, terutama terpengaruh formasi sosial untuk berpartisipasi dan sistem
otoritarian tidak menghendaki partisipasi itu. Kelima, rezim otoritarian tidak
memiliki rasionalisasi legitimasi, tidak mampu mengkonstruk legitimasi baru
untuk mengatasi kemerosotan legitimasi.
Keenam, kehilanganya mekanisme
mempertahankan diri dari berbagai gesekan eksternal, terutama ekspansi
komunikasi global yang dengar gencar menyuarakan demokratisasi.
Ketujuh, difirensiasi penataan politik dalam rezim otoriter sangat tidak
jelas dan lebih menonjolkan unifikasi kebijakan yang sentralistis termasuk
penguasaan rezim untuk memegang kendali atas seluruh komponen penopang
sistem, seperti birokrasi, Angkatan Bersenjata, dan regionalisai aparatus-aparatus
pemerintah untuk kepentingan loyalitas kekuasaan. Kedelapan, pada akhirnya kita
bisa mengatakan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang lebih baik dari
sistem otoritarian.
E. Definisi Konsepsional
Konsep atau penjelasan adalah sebuah hal yang sangat urgen dan vital
dalam sebuah penelitian. Biasanya jika masalah dan kerangka teori sudah jelas
maka fakta atau fenomena mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian
atau penelitian akan jelas, sebuah konsep sebenarnya adalah merupakan definisi
~ 53 ~ secara singkat dari kelompok fakta atau fenomena-fenomena yang akan
dipaparkan dalam penelitian tersebut.
1. Purnawirawan adalah individu yang sudah pensiunan dari tugas militer
dan tidak ada lagi hubungan jenjang hirarki kemiliteran.
2. Militer adalah lembaga atau organisasi yang dipersenjatai untuk bertugas
mempertahankan kedaulatan suatu negara dari serangan musuh.
3. Partai politik adalah lembaga yang dibentuk oleh kelompok masyarakat
untuk menjembatani kepentingan antara rakyat dengan pemerintah.
4. Demokrasi merupakan Sistem yang menempatkan wakil rakyat duduk di
parlemen untuk mengaspirasikan dan mewakili kepentingan rakyat, untuk
dijadikan kebijakan publik.
5. Transisi demokrasi adalah proses peralihan dari sistem otoritarian atau
non-demokrasi menuju sistem demokratis.
F. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih
menitik beratkan untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya
mencari sebab akibat yang di teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari
pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan pada
~ 54 ~ penelitian sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan dalam bentuk nilai
relatif dan hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat.61
Maka metodologi yang dipakai adalah metode deskriptif, seperti yang
dikemukakan oleh Sumadi Surya Brata (1983), metode diskriftip adalah penelitian
yang bermaksud mengadakan deskripsi mengenai situasi dan kejadian populasi
atau kelompok tertentu.62
Menurut Hadari Nawawi (1987), metode deskriptif adalah dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan
melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian seperti individu, lembaga,
kelompok dan masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagainya.63
Selanjutnya Winarno Surachmad mengatakan bahwa-ciri-ciri yang
terdapat pada penelitian deskriptif ialah:64 Pertama , memusatkan pada
pemecahan, masalah-masalah yang ada pada masa sekarang atau masalah-masalah
aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan
kemudian dianalisa.
61
62
63
64
Prof. Ir. Suklandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk praktis Untuk peneliti Pemula,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002. Hal 117 Suryabrata, Sumadi: Metodologi Penelitian, Rajawali Press, Jakarta, 1983. Hal 13 Hadari, Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, 1987. Hal 63 Suracmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik, Tersito,
Bandung, 1982. Hal 132 ~ 55 ~ 2. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini mendasarkan pada data sekunder, yaitu data
yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat authentik. Karena sudah di
peroleh dari tangan ke dua, ketiga, dan seterusnya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan dokumentasi yaitu menggunakan bahan-bahan
referensi yang diperoleh penulis melalui study pustaka di beberapa perpustakaan.
Adapun data tersebut memiliki sumber sebagai berikut : Buku-buku mengenai
militer dan politik, Jurnal ilmiah, Koran, Majalah dan data dari internet yang
semuanya sesuai dengan tujuan penelitian.
Data-data yang didapatkan akan dianalisa secara sistematis mendalam,
kemudian akan diambil kesimpulan dari data-data tersebut dan dijadikan referensi
atau acuan sebagai sebuah fakta pendukung untuk mendukung dan membuktikan
kerangka masalah yang diteliti oleh penulis.
3. Unit Analisis
Didalam penelitian ini penulis akan menjelaskan unit analisanya adalah:
a. Militer Indonesia (TNI) sebagai institusi
b. Peran purnawirawan di dalam partai politik dan perpolitikan
Indonesia masa reformasi.
~ 56 ~ 4. Teknik Analisis Data
Teknik yang dipakai adalah teknik kualitatif, yaitu menganalisa data dengan
cara analisis dan interpretasi terhadap temuan-temuan agar mendapat jawaban
yang ilmiah, logis dan mampu dipertanggung jawabkan. Teknik kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau bisa dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Bebarapa langkah yang akan dilakukan dalam menganalisa data:
Mereduksi data, yaitu data yang didapatkan oleh penulis melalui studi pustaka
dengan memilih dan menseleksi sesuai dengan permasalahan yang di teliti.
Menampilkan data, adalah data yang di hasilkan melalui reduksi kemudian di
sajikan untuk memperkuat penegasan penelitian. Kesimpulan yang ambil
merupakan hasil dari penelitian dengan data sekunder.
~ 57 ~ 
Download