BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan sumberdaya alam yang unik. Keberadaannya di masingmasing tempat memiliki karakteristik berbeda. Karakteristik tanah tergantung pada faktor pembentuk tanah yang dominan dan keterkaitan di antaranya. Faktor pembentuk tanah meliputi: bahan induk tanah, iklim, organisme, manusia, waktu dan faktor lokal. Tanah juga dapat merekam jejak proses geomorfologi yang telah berlalu. Tanah merupakan sumberdaya alam yang terbatas. Keberadaannya dapat dinilai sebagai unsur produksi yang menetukan keberhasilan usaha pertanian. Tanah juga berperan dalam media tata air (fungsi hidrologi), media perlindungan alam dan lingkungan dan media tumbuh vegetasi (pedosfer). Oleh karena itu, keberadaannya harus dilestarikan. Sebaran tanah ada yang sudah berkembang lanjut dan berkembang muda. Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Secara umum fungsi utama tanah yang berkembang lanjut maupun muda tidak berubah. Kemampuan tanah yang dapat dimanfaatkan secara terus-menerus harus diimbangi dengan pengetahuan untuk memperoleh kebijakan dalam mengelola tanah secara lebih baik. Pengelolaan tanah / lahan tergantung dari karakteristik tanah itu sendiri. Oleh karena itu, Informasi mengenai tanah dapat digunakan dalam perencanaan tataguna lahan dan pemanfaatannya agar sesuai kebutuhan. Sehingga, memberikan gambaran umum potensi sumberdaya fisik dalam mendukung semua aspek kebutuhan manusia. Lingkungan gunungapi memiliki karakter tanah yang kuat. Lingkungan gunungapi mengondisikan tanah menjadi subur dan mampu menopang kehidupan yang tinggal di atasnya. Bahkan menurut beberapa penelitan diketahui bahwa tanah vulkanik menyumbang dalam penyerapan karbon terbesar kedua setelah jenis tanah organik. Tanah yang berasal dari material vulkanik merupakan tanah yang paling produktif di dunia (Miller & Danohue, 1992). Permasalahan mengenai pengelolaan tanah di wilayah vulkanik adalah tanah-tanah di lingkungan vulkanik (terutama di Pulau Jawa) kurang dimanfaatkan secara konservatif. Akibat kegiatan manusia mulai dari alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif, lahan terbangun, hingga area wisata sebagian besar tidak memperhatikan karakteristik tanah vulkanik sehingga pemanfaatannya tidak memberikan hasil yang optimal. Kajian mengenai perkembangan tanah di lingkungan gunungapi menarik untuk diteliti. Menurut Sedov, dkk ( 2010) material vulkanik khususnya abu vulkanik bersifat amorf (mudah lapuk). Material mudah lapuk inilah yang kemudian membentuk tanah. Lingkungan gunungapi sendiri terdiri dari berbagai material vulkanik dengan berbagai jenis, ukuran, sifat dan struktur. Genesis dan kandungan tanah vulkanik tergantung dari umur, komposisi dan persentase material vulkanik, dan kondisi bioklimatiknya (Inavov, dkk, 2014). Menurut Yerima, dkk (1987), perkembangan tanah salah satunya dipengaruhi oleh bahan induk tanah di lingkungan pengendapannya. Beberapa peneliti tanah berasumsi bahwa jenis tanah vulkanik yang pertama terbentuk adalah Andosol, kemudian tanah berkembang menjadi jenis tanah lain seiring dengan berjalannya waktu (Poudel & West, 1999). Pedogeomorfologi merupakan kajian yang menekankan proses pembentukan tanah berdasarkan konsep geomorfologi. Tanah terbentuk dari bahan induk yang berasal dari proses lapukan batuan induk atau material yang terpindahkan oleh proses geomorfologis. Proses geomorfologis mempengaruhi batuan induk sehingga menghasilkan relief yang berbeda. Perbedaan resistensi batuan dan relief membentuk bentuklahan tertentu. Pola distribusi tanah mengikuti pola distribusi bentuklahan yang ada. Pendekatan pedogeomorfologi dapat digunakan untuk memahami lingkungan perkembangan tanah didasarkan pada interpretasi horison tanah. Keragaman tanah adalah gambaran interaksi dari faktor-faktor pembentuk tanah, baik itu sebagian mendominasi maupun saling mempengaruhi sehingga tampak dari ciri-ciri atau sifat fisik, kimia, biologi, dan morfologi tanahnya. Proses yang bekerja di dalam bentanglahan adalah proses geomorfik. Proses geomorfik menghasilkan bentuklahan khas, sedangkan yang terjadi pada tanah adalah pedogenesis yang menghasilkan profil tanah yang khas. Keduanya saling terkait satu sama lain. Karakteristik lithologi, relief dan proses yang tercermin oleh bentuklahan di gunungapi mempengaruhi perkembangan tanah. Faktor bioklimatik juga menentukan jenis tanah yang diteliti. Karakteristik horison tanah dalam setiap profil tanah adalah hasil biokimia dan kimia-fisika tanah (Duchaufour,1982). Berbagai faktor lingkungan menentukan perjalanan perkembangan tanah di lingkungan gunungapi. Lingkungan Proses pedogenik Karakteristik profil tanah Lokasi penelitian berada di lereng gunungapi Ijen dengan ketinggian rerata yaitu 2145 mdpal. Lereng Gunungapi Ijen berada di perbatasan antara Kabupaten Banyuwangi dengan Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur. Gunungapi Ijen merupakan gunungapi paling muda diantara gunungapi-gunungapi yang menginduk di Kaldera Ijen tua yang memiliki danau kawah asam (Sartohadi, dkk, 2014). Umur Gunungapi Merapi relatif lebih muda daripada gunungapi lainnya. Morfologi yang relatif halus menandakan proses denudasional pada gunungapi belum intensif. Identifikasi tanah ditujukan pada tanah di sekuen lereng Gunungapi Ijen, sehingga faktor topografi sangat berpengaruh terhadap proses transformasi dan translokasi material pembentuk tanah, berpengaruh langsung terhadap tingkat erosi tanah, dan karakteristik tumbuhan serta iklim yang berpengaruh terhadap bahan induk tanahnya. Penelitian mengenai perkembangan tanah di Gunungapi Ijen belum pernah ada. Penelitian pedogeomorfik bermaksud untuk meyelidiki perkembangan tanah di bentanglahan vulkanik. Penelitian dilakukanan dengan cara kegiatan lapangan dan analisis laboratorium. Satuan unit analisisnya adalah toposekuen. Penelitian pedogeomorfik terbatas pada tanah yang terbentuk di lereng Gunungapi Ijen. Pendekatannya adalah pedogeomorfologi, tanpa mengesampingkan aspek ekologisnya. Perkembangan tanah dapat mencerminkan keterkaitan antara komponen lingkungan di sekitarnya. Obyek penelitian ini sama halnya dengan menyelidiki potensi tanah yang dapat dimanfaatkan di masa depan. 1.2. Rumusan Masalah Lereng Gunungapi Ijen tersusun atas material lepas-lepas yang berasal dari erupsi magmatik dan erupsi freatik Gunungapi Ijen. Di lereng gunungapi proses yang mempengaruhi tidak hanya proses vulkanik, proses yang bersifat kontinya seperti erosi dan longsoran juga mempengaruhi perkembangan tanah di beberapa bagian dari permukaan gunungapi. Proses vulkanisme hanyalah proses aksidental yang merubah susunan material yang terendapkan karena material yang bersifat baru muncul. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik pedogeomorfik di lereng Gunungapi Ijen? 2. Apa tingkat perkembangan tanah di sekuen lereng Gunungapi Ijen? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian PERKEMBANGAN yang akan TANAH dilakukan DI ini LERENG berjudul “PENILAIAN GUNUNGAPI IJEN BERDASARKAN PENDEKATAN PEDOGEOMORFOLOGI.” 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diungkapkan untuk menjawab pertanyaan penelitian dirumuskan tujuan-tujuan penelitaian sebagai berikut: 1. mengidentifikasi karakteristik morfologi tanah; 2. mengidentifikasi karakteristik fisik tanah; 3. mengidentifikasi karakteristik kimia tanah; 4. menilai tingkat perkembangan tanah di sekuen lereng Gunungapi Ijen. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari suatu kegiatan penelitian pedogeomofik mencakup 2 hal yaitu: a. Manfaat secara akademis Hasil penelitian berupa diskripsi tanah dan material penyusun permukaan di lereng Gunungapi Ijen dapat menjadi referensi pengembangan ilmu dan kegiatan penelitian lain yang serupa ataupun yang tidak serupa. b. Manfaat secara praktis Kegunaan hasil penelitian adalah untuk menyediakan informasi ilmiah mengenai genesis dan karakteristik tanah di lokasi tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai data dasar dalam melakukan pengelolaan berkelanjutan dari lingkungan, dan penataan ruang yang disesuaikan dengan karakteristik tanah di lokasi kajian. 1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Bentuklahan Vulkanik Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan sebagai penyusun permukaan bumi, baik yang di daratan maupun yang di bawah permukaan laut (Verstappen, 1983). Sejumlah 13% dari seluruh jumlah gunungapi di dunia berada di Indonesia. Terdapat 129 gunungapi aktif di Indonesia yang terbentuk akibat tumbukan lempeng-lempeng besar (subduksi) yaitu antara lempeng Eurasia-IndoAustralia-Pasifik. Di pulau Jawa sendiri terdapat 35 buah gunungapi aktif, beberapa di antaranya berada di Kompleks Gunungapi Ijen. Gunungapi merupakan suatu bentuk timbulan di muka bumi berupa kerucut raksasa yang diakibatkan penerobosan magma ke permukaan bumi. Kerucut vulkan terbentuk dari endapan-endapan vulkanik yang prosesnya berulang. Gunungapi tersusun atas bentuklahan-bentuklahan vulkanik yang secara umum meliputi: kepundan gunungapi, lereng atas, lereng tengah, lereng bawah, kaki gunungapi, dan dataran fluviovulkan. Secara lebih khusus dan terperinci terdapat bentukan-bentukan lainnya yang menyusun lereng yang ada. Semua bentuklahan yang terdapat dilereng gunungapi terpengaruh oleh 3 proses geomorfologi utama yaitu vulkanisme, fluvial, dan denudasional. Proses vulkanisme menghasilkan endapan piroklastik sedangkan proses fluvial dan denudasional menghasilkan endapan epiklastik. Proses geomorfologi berupa gerak massa dan perpindahan sedimen menunjukan bahwa proses geomorfik dikontrol oleh orde sungai, kemiringan alur sungai, panjang sungai, luas DAS, gradien DAS, sumber sedimen, sebaran ukuran sedimen, dan komposisi susunan material sedimen (lithofasies) (Beersing, Sawatska, & Ade, 1996). Lingkungan pengendapan merupakan tempat material sedimen terakumulasi dengan keseluruhan dari kondisi fisik, kimia dan biologi-nya serta mencerminkan mekanisme pengendapan yang terjadi (Krumbein & Sloss, 1963). Geomorfologi dapat menjelaskan kondisi fisik, kimia dan biologi dari lingkungan pengendapan. Lingkungan pengendapan adalah karakteristik dari suatu tatanan atau sistem geomorfik dengan proses fisik, kimia dan biologi berlangsung akan menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu (Boggs, 2006). Karakteristik material sedimen yang terbentuk akan dipengaruhi oleh intensitas proses pengendapan serta durasi atau lama pengendapan terjadi (Pettijohn, 1957). Menurut Boggs (2006) suatu tatanan dari sistem geomorfik dengan proses fisik, kimia dan biologi berlangsung akan menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu. Karakteristik dari endapan sedimen tersebut secara fisik akan dipengaruhi oleh mekanisme dan intensitas pengendapan serta kondisi lingkungan pengendapan. Ciri unik dan perkembangan tanah di lingkungan gunungapi adalah adanya usikan pedogenesis karena adanya material baru yang berasal dari aktivitas vulkanik. Perubahan tanah adalah efek sekunder dari aktivitas vulkanik. Perubahan tanah pada lingkungan vulkanik adalah hal yang dramatik dan berdampak panjang akibat dari erupsi vulkanik. Material dalam bentuk lava, hancuran batuan, lumpur, atau tepra menutupi permukaan tanah sebagai material baru (rejuvenasi). Akibatnya terjadi perubahan-perubahan permukaan (morfologi) dan tekstur batuan induk (Dale, dkk., 2005). Kemudian tanah mengalami pengayaan secara alami. Proses alam ini sebagai pertanda pemulihan kondisi daya dukung lahan di lingkungan gunungapi. Adanya proses geomorfologi yang bekerja menandakan adanya material yang terpindahkan (deposisi). Material deposisi nantinya menjadi batuan induk. Perbedaan antara bahan induk tanah yang berasal dari material vulkanik dengan bahan induk tanah yang berasal dari material redeposisi adalah kandungan mineral gelasan yang membentuknya. Material vulkanik bersifat rejuvenisasi atau bersifat baru sedangkan material redeposisi berasal dari material yang sudah ada dan terpindahkan oleh tenaga geomorfik (air dan gravitasi). Formasi dari material vulkanik bersifat gelasan (nonkristalin) lebih mudah lapuk untuk membentuk bahan induk tanah. Pelapukan yang cepat dari material vulkanik melepaskan unsur-unsur seperti Si, Al, dan Fe lebih cepat dibandingkan dengan mineral-mineral yang mengristal (Ugolini & Dahlgren, 2002). 1.5.2. Tanah Vulkanik Tanah adalah tubuh alam gembur yang menyelimuti sebagian besar permukaan bumi dan mempunyai sifat dan karakteristik fisik, kimia, biologi serta morfologi yang khas sebagai akibat dari serangkaian panjang berbagai proses yang membentuknya. Pemahaman mengenai tanah dan karakteristiknya penting guna mendasari pemanfaatan tanah secara lestari (Sartohadi, dkk., 2012). Peneliti tanah seperti Shoji (1993) dan Kimble (2000) dalam Zahetner, dkk. (2003) mengungkapkan keunikan dari tanah vulkanik sebagai berikut: ‘Soils derived from volcanic deposit exhibit unique physical and chemical properties, such as low bulk density, high water retention, variable charge characteristics, and strong phosphate sorption which have been largely ascribed to active amorphous weathering products, such as allophane, imogolite, and Al-humus complexes.’ Tanah vulkanik sering ditemui dengan tipikal yang tebal, berwarna gelap, KTK (Kapasitas Tukar Kation) tinggi, KB (Kejenuhan Basa) rendah, dan horizon C yang berasal dari endapan piroklastik (Sartohadi, dkk., 2012). 1.5.3. Toposekuen Toposekuen adalah rangkaian tanah yang berbeda, namun berhubungan satu dengan yang lain karena masih dikontrol oleh pengaruh topografi sebagai faktor pembentuk tanah (Buckman dan Brady, 1982). Graham (1990) menuliskan bahwa toposekuen adalah faktor pembentuk tanah yang mempengaruhi sifat tanah melalui kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk permukaan lereng, arah hadap lereng dan perbedaan tinggi tempat. Relief/topografi mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap dalam tanah, besar erosi, dan perpindahan bahan-bahan mineral/organik yang terlarut dalam air dari satu tempat ke tempat lain (Notohadiprawiro, 1994). Toposekuen daerah penelitian terdiri atas pegunungan dengan karakteristik kemiringan lereng berkisar 5 % - 45 % dan memiliki sifat permeabilitas tanah yang baik. Identifikasi tanah pada toposekuen pada titik yang berbeda dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan informasi tentang karakteristik tanah yang sedang berkembang di tempat tersebut. Perkembangan tanah dikaji dari sifat-sifat tanah meliputi: sifat fisik, sifat kimia, sifat biologi dan sifat morfologi tanahnya. Cara lebih lanjut adalah dengan membandingkan masing-masing horison dalam satu profil maupun antar profil. Kemudian ditarik penalaran melalui perbandingan waktu pengendapan karena sifat tanah yang berasal dari endapan gunungapi. Identifikasi perkembangan tanah diwakili semua profil yang terekam dalam satu sekuen utuh dari lereng Gunungapi Ijen. Masing-masing profil tanah diambil dari lembah antar pegunungan hingga puncak Ijen dengan penomoran profil tanah dari nomor profil tanah 1 hingga profil tanah 7. Persamaan dan perbedaan dari masing-masing profil tanah dari ke-7 titik diharapkan dapat memberikan gambaran sifat dan karakteristik tanah dan tingkat perkembangan tanahnya. Profil tanah merupakan susunan horizon-horison tanah. Ciri-ciri morfologi pada profil tanah memberikan petunjuk mengenai proses-proses yang dialami suatu tanah dari pelapukan hingga proses selanjutnya. Pengaruh faktor perkembangan tanah yang tidak satu sama lain secara kompleks akan meninggalkan ciri-ciri pada profil tanah. Interpretasi morfologi tanah yang didapatkan dari profil tanah dapat menunjukan kejadian ekstrim yang dialami tanah pada masa lampau seperti adanya endapan banjir, endapan longsor, maupun endapan gunungapi (Sartohadi, dkk., 2012). Gambar 1.1. Ilustrasi Distribusi Tanah Mengikuti Fisiografi Medan dengan Proses Geomorfik yang Dominan (Wysocki, 2011). Toposekuen atau fisografis medan berpengaruh terhadap distribusi tanah sebagai fungsi adanya fungsi pelapukan terhadap batuan induk dan adanya proses geomorfologi (Gambar 1.1). 1.5.4 Banjar Litologi (Lithosekuen) Lithosekuen adalah kualitas sebidang tanah dan hubungannya dengan bahan induk aslinya (Jenny 1980). Selanjutnya di buku yang sama menurut Foth (1984) dalam Hardjowigeno (1993) mengemukakan bahwa lithosekuen adalah keseragaman tanah pada satu banjar karena pengaruh bahan induk. Lithosekuen adalah keseragaman tanah yang dibangun dari faktor-faktor pembentuk tanah yang mempengaruhi bahan induk tanahnya. Jenny dalam Hardjowigeno (1993) menjelaskan adanya saling pengaruh faktor-faktor pembentuk tanah dan di beberapa tempat salah satunya dapat menjadi faktor yang dominan mempengaruhi. 1.5.5. Faktor-Faktor Pembentuk Tanah Menurut Darmawijaya (1997) bahan induk adalah syarat utama terbentuknya tanah kemudian adanya faktor yang mempengaruhinya. Bahan induk tanah berwujud batuan, mineral dan zat organik, kemudian faktor lain yang mempengaruhi adalah iklim, organisme, topografi dan waktu. Fitzpatrick (1980) mengatakan bahwa empat faktor yaitu iklim, jasad hidup,, bahan induk, dan relief merupakan faktor nyata yang saling berinteraksi dan menjalani kurun waktu untuk menciptakan proses khusus yang mengendalikan diferensisasi horison dan pembentukan tanah. Jenny (1941) dalam Sartohadi, dkk. (2012), meruuskan faktor pembentuk tanah sebagai berikut: S = f (C,O,P,R,T,.....).................................................. Dimana: S = Tanah P = Bahan Induk tanah F = fungsi R = Relief C = Iklim T = Waktu O = Organisme ... = faktor lokal Faktor lokal tidak berlaku secara umum, namun faktor lokal berupa aktivitas manusia adalah faktor lokal paling sering ditemui. Beberapa ahli memasukkannya sebagai faktor pembentuk tanah ke-6. Berikut penjelasan mengenai faktor pembentuk tanah: a. Bahan Induk Tanah Bahan induk tanah yang basa akan menghasilkan tanah yang lebih basa dibanding tanah yang miskin unsur basa. Bahan induk yang bersifat basa akan terlapuk lebih cepat dibandingkan dengan bahan induk tanah yang bersifat masam. Bahan induk adalah faktor pasif. Proses pelapukan adalah proses yang menghasilkan mineral tanah. Bahan induk yang sejenis dapat membentuk tanah yang berbeda apabila iklim dan vegetasi berbeda. Sehingga dapat dikatakan organisme dan iklim adalah faktor aktif yang mempengaruhi faktor pasif (Joff, 1949) dalam Notohadiprawiro (1994). Hardjowigeno (1993) mengemukakan beberapa pengaruh bahan induk terhadap sifat-sifat tanah antara lain: 1. Tektur bahan induk mempunyai pengaruh langsung terhadap tekstur tanah muda. 2. Tekstur yang dipengaruhi mineral yang sukar lapuk tetap terlihat pada tanah tua. 3. Bahan induk dengan tektur halus membentuk tanah dengam bahan organik yang lebih tinggi dari pada bahan bahan induk bertekstur kasar, karena ketersediaan air lebih tinggi dan tanaman tumbuh dengan baik. 4. Tektur bahan induk yang terlalu halus maka permeabilitasnya menjadi sangat lambat, menghambat pelindian sehingga solum tanah tipis. Bila terdapat dilereng dengan kemiringan besar maka menimbulkan erosi besar pada solum tanah yang tipis. 5. Perkembangan tanah lambat pada tanah bertekstur kasar karena proses pelapukan berjalan lambat meskipun permeabilitasnya tinggi. 6. Mudah tidaknya bahan induknya lapuk tergantuk jenis mineral yang dikandungnya. 7. Bahan induk yang banyak mengandung basa-basa membentuk mineral lempung non montmorilonit. Mineral yang terbentuk adalah Ilit. Besarnya curah hujan memperngaruhi kandungan mineral ilit.. 8. Cadangan unsur hara tergantung jenis mineral yang terkandung dalam bahan induk tanah. Menurut Jenny (1980) yang dimaksud dengan bahan induk tanah adalah kondisi tanah sejak ia diendapkan. Kemudian proses pelapukan menghancurkan bahan induk tanah menjadi tanah. Kemudian yang dimaksud dengan Tanah menurut Schroeder (1984) dalam Notohadiprawiro (2000) adalah hasil pengalihragaman bahan mineral dan organik yang berlangsung di muka daratan bumi di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bekerja selama kurun waktu yang panjang dan berbentuk tubuh dengan organisasi dan morfologi tertakrifkan. Morfologi tanah terbentuk dari horison-horison tanah. Boel dkk. (1980) mengatakan bahwa proses pembentukan horison melibatkan proses-proses sebagai berikut: 1) penambahan bahan organik, dan bahan mineral ke dalam tubuh tanah dam bentuk cairan atau gas, 2) penghilangan bahan-bahan dari dalam tanah, 3) perpindahan bahan-bahan antar lapisan tanah dan 4) perubahan (transformasi) mineral serta bahan organik dalam tanah. b. Topografi/Relief Hardjowigeno (1993) menuliskan bahwa topografi adalah faktor pasif pembentuk tanah yang mendorong proses erosi dan perpindahan materian dari satu tempat ke tempat lain. Topografi mempengaruhi proses hidrologi. Semakin besar kemiringan lereng maka limpasan permukaan juga semakin besar. Limpasan yang besar juga berarti proses erosi semakin kuat memindahkan material tanah permukaan dari suatu tempat ke tempat lain. Relief juga berpengaruh terhadap iklim dan organisme akibat arah lereng, ketinggian, besar kemiringan, dan lain-lain. Topografi dipandang oleh Hale (1976) dalam Gerrard (1981) sebagai sekelompok tanah yang berkembang dari bahan yang pada awalnya sama dan tidak menutup kemungkinan berbeda pada singkapan berlereng tunggal karena perbedaan geologi. Asosiasi sekuen lereng sangat sesuai dengan kelas yaitu: 1) bahan induk tidak berubah-ubah, topografi adalah urutan dari arah tinggi ke rendah, 2) topografi terbentuk oleh 2 formasi yang tumpang tindih, bagian atas terekspos lebih banyak dibandingkan bagian bawah. Bentuk lereng berasosiasi dengan banjar tanah. Tanah dalam suatu sekuen lereng memperlihatkan morfologi, perbedaan intensitas erosi, serta perpindahan material tanah dan proses kimia tanah (Hall, 1993). c. Iklim Curah hujan dan suhu udara adalah faktor iklim yang menurut Buckman dan Brady (1982) paling berpengaruh terhadap pembentukan tanah. Pengaruhi ketiga unsur cuaca/iklim itu dapat dijelaskan secara terpisah. Pengaruh curah hujan dinyatakan dalam efektifitas curah hujan, meliputi besarnya infiltrasi, limpasan permukaan dan evaporasi. Besarnya infiltrasi dilanjutkan dengan perkolasi berperan dalam pelapukan bahan induk tanah dan pemindahan material halus dalm tanah dari satu horison ke horison lainnya. Efektifitas curah hujanyang tinggi akan mengalami proses feralisasi (meningkatnya kandungan Al da Fe akibat pelindian basa akibat mineralisasi bahan organik yang sempurna) lebih cepat. Menurut Jenny (1980) kenaikan curah hujan akan diikuti oleh: - Kenaikan konsentrasi ion H+ di dalam tanah dan menurunkan pH tanah - Bertambahnya kedalaman tanah - Kandungan N dalam tanah juga meningkat - Kandungan solum tanah juga semakin tinggi - Proses pelapukan yang bersifat kimiameningkat serta erosi meningkat Suhu udara mempengaruhi jenis tanah dengan mempengaruhi suhu badan tanah. Tanah bersifat konduktor. Akibatnya tanah lebih panas dibandingkan udara di atasnya. Variasi suhu juga berpengaruh pada proses pelapukan. Pada variasi suhu yang ekstrim, pengaruhnya pada disintegrasi batuan sangat nyata. Pemanasan dan pendinginan yang silih berganti pada bahan yang memiliki koefisien muai yang berbeda menyebabkan terbentuknya retakan dan pecahan dari permukaan bahan induknya. d. Organisme Pedogenesis sangat erat kaitannya dengan makhluk hidup, terutama vegetasi. Vegetasi memiliki kedudukan tetap dalam waktu yang lama. Meskipun demikian, vegetasi juga dipengaruhi iklim dan sifat tanah. Sehingga ada keterkaitan erat antara organisme, tanah, dan iklim. Menurut Darmawijaya (1980), kehadiran vegetasi di atas tanah akan diikuti sigat tanah sebagai berikut: - Suhu tanah menjadi lebih rendah, kelembaban tanah lebih tinggi (iklim mikro) - Daya tampung air lebih tinggi, permeabilitas tanah permukaan semakinrendah - Kadar lempung meningkat - Kadar bahan organik meningkat dan unsur hara meningkat e. Waktu Genesa tanah memiliki berbagai keragaman dalam intensitas dan lamanya berperan. Umur tanah dapat digolongkan atas dasar tataran pelapukan atau pembentukan tanah yaitu tataran purwa (initial age), tataran awal (juvenil stage), tataran dewasa (viril age), umur tanah dapat berkisar 45 tahun pada tanah entisol dan 75.000 tahun pada pembentukan tanah oksisol (Hardjowigeno, 1993). Tanda-tanda tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut antara lain: horisonisasi lebih jelas, fraksi halus makin tinggi, frakti kasar makin rendah, pH tanah semakin turun,, kadar mineral promer semakinrendah, warna tanah semakin cerah, kadar Al dan Fe bebas semakin tinggi, agregasi bahan kasar semakin meningkat, batas tertentu kadar bahan organik dan N meningkat, dan kadar CaCO3 dan garam-garam mudah larut menurun (Darmawijaya, 1980). 1.5.6. Sifat-sifat Tanah Sifat –sifat tanah yang digunakan dalam kajian perkembangan tanah meliputi: a. Sifat-sifat Fisik Tanah Tanah merupakan tubuh alam yang kompleks. Tanah terdiri dari 3 fase yaitu padat, cair dan gas. Komposisi fase padat menempati 50% atau lebih dari volume tanah. Fase padat terdiri dari bahan mineral dan bahan organik. Sisanya ditempati oleh fase cair dan gas. Komposisi dari fase tanah tergantung dari jenis tanah, musim dan pengelolaan tanah (Hakim, 1986). Tanah membentuk agregat-agregat yang mempengaruhi pergerakan air dan udara di dalam tanah. Sifat fisik tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Sifat fisik tanah mempengaruhi penetrasi perakaran di dalam tanah, retensi air, drainase, aerasi, dan ketersediaan nutrisi bagi tanaman. Berikut sifat fisik tanah yang diuraikan meliputi: 1. Warna tanah Warna tanah adalah sifat fisik tanah yang pertama kali dapat langsung diidentifikasi. Warna tanah menunjukan kandungan organik, komposisi mineral, dan kelembaban tanah secaa relatif. Semakin banyak bahan organiknya maka tanah semakin gelap. Warna-warna lain bisa berasal dari kandungan mineral yang dikandung dalam tanah (Sartohadi, 2012). 2. Tekstur Tanah Menurut Notohadisuwarno (2003) yang dimaksud dengan tekstur tanah adalah perbandingan relatif tiga golongan besar partikel tanah/fraksi tanah (pasir, debu, lempung) dalam massa tanah. Ketiga ukuran tersebut kemudian dikelompokkan dan didapatkan jenis tekstur tanah berdasarkan komposisi fraksi tanah tersebut. Tekstur tanah sangat berkaitan erat dengan plastisitas, permeabilitas, kekerasan, kemudahan olah, kesuburan, dan produktivitas tanah di suatu tempat (Hakim, 1986). Tata air dalam tanah di tentukan oleh takstur tanah. Tata air meliputi: infiltrasi, penetrasi akar, dan kemampuan pengikatan air oleh tanah. 3. Struktur Tanah Struktur tanah adalah penyusunan partikel-partikel tanah primer seperti pasir, debu, dan lempung membentuk agregat-agregat yang satu dengan agregat lainnya dibatasi oleh bidang alami dan lemah. Struktur berkembang dari butir tunggal sampai struktur yang padu denga bentuk tertentu dengan perekat atau bahan pengikat lempung agar struktur tetap bertahan. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya struktur dalam tanah antara lain: a) kelembaban tanah, keberadaan organisme dalam tanah dan perakaran tanaman, bahan organik, koloid tanah, jenis mineral lempung, dan pengolahan tanah (Yulius, dkk., 1987). Struktur sangat dipengaruhi sifat dan keadaan tanah seperti gerakan air, lalu lintas panas, dan aerasi. Struktur tanah menentukan perakaran, dan drainase tanah.Tanah dengan struktur yang pejal dan masif bersifat buruk drainasenya. 4. Konsistensi Konsistensi tanah adalah sifat yang melukiskan kekuatan rekat butiran tanah satu dengan yang lain. Konsistensi terlihat ketika perlakuan dengan manipulasi mekanik. Konsistensi timbul oleh gaya kohesi-adhesi dalam tanah pada berbagai kondisi kandungan air. Konsistensi tanah adalah kombinasi sifat yang dipengaruhi oleh kekuatan mengikat antara butir-butir tanah (Buckman dan Brady, 1996). Konsistensi dalam keadaan basah dinilai dari plastisitas dan kelekatan. Plastisitas merupakan kemampuan tanah mengambil bentuk dan bertahan dalam bentuk baru. Pada kondisi basah penilaian konsistensi tanah dinyatakan dalam: tidak lekat, agak lekat, lekat, sangat lekat, tidak plastis, magak plastis, plastis, dam sangat plastis. 5. Bahan Kasar b. Sifat-sifat Kimia Tanah Sifat-sifat kimia tanah adalah sifat yang dicermin akibat interaksi kima dari unsur atau senyawa dalam tanah. Sifat kimia meliputi: 1. Bahan Organik Salah satu proses penting dalam pembentukan tanah adalah penimbunan bahan organik yang cenderung mencapai keseimbangan dalam tanah mencakup proses penambahan residu oleh sisa tanaman dan binatang, dan perombakan bahanbahan organik oleh jasad renik (Yulius, 1987). Sumber bahan organik primer adalah jaringan tanaman yang mati, baik itu dari akr, batang, ranting, daun, bunga, maupun buah. Kemudian terdekomposisi dan tercampur dalam lapisan tanah. Pada tanah vulkanik terbentuk allofan yang berasosiasi dengan humus, sehingga bahan organiknya cukup banyak (Munir 1996). 2. pH tanah pH tanah menunjukan ion H+ di dalam larutan tanah, dinyatakan dalam logaritma negatif dari konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah. Distribusi ion H+ dalam tanah tidak homogen. Ion H+ lebih banyak dijerap daripada ion OH-. Maka ion H+ lebih pekat di permukaan koloid tanah, sedangkan ion OH- sebaliknya (Hakim,1986). 1.5.7. Tahap Pembentukan dan Tingkat Perkembangan Tanah a. Pelapukan Batuan Berdasarkan penelitian di berbagai wilayah tropis, diketahui bahwa koloid pertama hasil pelapukan adalah alofan amorf yang mempunyai sifat lebih labil dibandingkan dengan kristal kaolinit dan halloysit, kemudian pelapukan tanah dari abu vulkan memperlihatkan tahap-tahap yang jelas (Marshall, 1977). Pada wilayah dengan curah hujan dan temperatur yang tinggi menghasilkan lapukan berupa laterit dengan oksida besi dan alumunium yang mendominasi. Kemudian di wilayah dengan curah hujan rendah dengan didelingi periode kering, menghasilkan tanah hitam dengan mineral lempung montmorilonit yang mendominasi. Abu vulkan adalah material piroklastik jatuhan (Yamada, 1977). Abu vulkanik juga dapat diendapkan melalui proses aliran membentuk endapan piroklastik aliran. Gelas vulkanik adalah penyusun utama bahan abu vulkanik. Menurut Shouji (1986) dalam Indra (2005), kandungan SiO2 pada gelasan vulkanik beragam berkisar < 60%, sisanya adalah mineral lain seperti P, Ca, Mg, dan K, dll. Kemudian komposisi tekstur dan kimia dari abu-vulkan bisa berubah dari satu sumber gunungapi. Kerentanannya terhadap lapukan tergantung oleh komposisi mineralnya (Mohr, dkk., 1972) Berdasarkan perkembangannya, tanah yang melapuk dari abu vulkanik pada wilayah yang basah membentuk jenis tanah Andisol (Soil Survey Staff, 2014) yang terdiri dari campuran alofan dengan bahan organik. Kemudian proses lebih lanjut, alofan akan membentuk kaolinit atau halloysit bila drainase baik, dan menjadi montmorilonit bila kondisi drainase buruk (Sanchez,1976) b. Pedogenesis Proses pembentukan tanah (pedogenesis) berbeda dengan proses pengendapan batuan (geogenesis). Pembentukan tanah merupakan hasil interaksi yang kompleks antara 5 faktor pembentuk tanah. Lima faktor pembentuk tanah antara lain: bahan induk tanah, iklim, relief, organisme, dan waktu. Proses di dalam pembentukan tanah meliputi: (1) penambahan, (2) pengurangan, (3) translokasi, dan (4) transformasi (perubahan). Tenaga pembentuk tanah (air) memindahkan sedimen berukuran halus dan mineral tanah terpindahkan keluar dari suatu horizon dan masuk ke horizon lainnya. Pedogenesis merupakan proses perkembangan tanah yang ditandai dengan peningkatan tebal tanah dan suksesi lapisan tanah atau yang disebut sebagai horison tanah yang terdiferensiasi dalam warna, tekstur, dan struktur sehingga terbentuklah profil tanah (Sartohadi, dkk., 2012). Gambar 1.2. Diagram Alir Proses yang Mempengaruhi Perkembangan Profil Tanah (Birkeland,1984) Menurut Birkeland (1984) formasi profil tanah dibentuk dari kombinasi proses penambahan dari atas tanah, transformasi dalam tanah itu sendiri, transfer material secara vertical dalam tanah, dan keluarnya material dari profil tanah (lihat Gambar 1.2). Derajat perkembangan tanah diukur secara kualitatif dari sejumlah perubahan yang terjadi pada tanah terhadap bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada waktu yang sama dapat berkembang dengan tingkat yang berbeda di setiap tempatnya karena variasi dari faktor pembentuk tanahnya. Menurut Birkeland (1984), secara relatif perkembangan tanah dapat diketahui berdasarkan profil tanahnya. Ciriciri yang ditunjukan dari tiap derajat perkembangan tanah ditunjukan oleh Tabel 1.1. Variasi dari tekstur tanah (terutama lempung) dari masing-masing horison dapat menjelaskan pedogenesis dan sejarah geologi tanah (lihat Gambar 1.3). Gambar 1.3 Persentase Kandungan Lempung Terhadap Kedalaman Tanah Pada Perkembangan Tanah di Endapan dan Litologinya (Birkeland,1984) Proses yang mempengaruhi pembentukan tanah antara lain: a) elluviasi dan illuviasi (pencucian dan penimbunan), penimbunan dan pencucian koloid organik dan koloid mineral dari horison di atasnya, b) pelapukan dan pembentukan mineral, c) pembentukan dan penimbunan bahan organik, d) pertukaran dan pergerakan ion-ion dalam tanah, e) pengendapan garam-garam yang mudah larut, dan f) percampuran secara mekanik atau organik dari bahan bahan pembentuk tanah (Buol dkk, 1980). Perkembangan tanah dapat diidentifikasi dari sifat-sifat morfologi, fisik kimia dan biologi tanahnya, kemudian membandingkan antar horison dalam satu profil tanah atau dengan membandingkan profil tanah satu dengan profil tanah lainnya. Notohadiprawiro (1993) mengatakan bahwa tahapan pembentukan tanah dibagi 3 yaitu: a) mengubah batuan induk menjadi bahan induk tanah, b) mengubah bahan induk tanah menjadi bahan tanah, dan c) menata bahan penyusun tanah menjadi tubuh tanah. Proses pembentukan tanah dapat dinilai dari ciri dan sifat horison yang menyusun profil tanah. Horison adalah kenampakan hasil proses pedogenesis. Secara umum tiap tanah dibentuk oleh 2 atau lebih horison. Tiap horison dibedakan berdasarkan warna, tekstur, struktur, dan sifat morfologi lainnya. Tingkat perkembangan tanah dapat dilihat dari hasil analisis mineraloginya dan dikelompokkan menjadi sebagai berikut: 1. Tahap awal (recent stage), dicirikan dengan fraksi lempung yang dirajai oleh lempung 2:1 dan kapasitas tukat kation (KPK) > 25 cmol/kg. Fragmen mineral ditemukan pada kedalaman 50 cm. 2. Tahap transisi (intermediete stage) dicirikan dengan fraksi lempung dengan KPK > 25 cmol/kg, dengan salah satu fenomena sebagai berikut: Terdapat mineral lapuk > 5 % pada fraksi pasir Nisbah debi/lempung > 0,2 % untuk batuan sedimen dan 0,15 > % untuk batuan malihan atau eruptif Terdapat cutant lempung (selimut lempung) 3. Tahap lanjut (ultimate stage), dicirikan dengan KPK lempung < 25 cmol/kg dan fenomena sebagai berikut: Mineral mudah lapuk pada fraksi pasir < 5% Nisbah debu/lempung <0,2% Tidak terdapat cutant lempung Tabel 1.1. Derajat Perkembangan Tanah secara Kualitatif No. Derajat Perkembangan Ciri-ciri Tanah 1. Lemah Profil tanah terdiri dari sekuen horison sebagai berikut: ACox, atau A-Bk, atau A-Bw-Cox, dan/atau A-Bk-Cox. 2. Sedang Profil tanah terdiri dari sekuen horison sebagai berikut: AE-B-Cox, dan/atau A-E-B-Bk. Warna tanah 10 YR (Hue) 3. Kuat Profil tanah terdiri dari sekuen horison sebagai berikut: AE-B-Cox, dan/atau A-E-B-Bk. Namun dengan horison B yang lebih tebar dan lebih berwarna merah, mengandung lebih banyak lempung, memiliki unsur diagnostic lain, dan memiliki struktur yang lebih berkembang. Sumber: Birkeland, 1984 Menurut Sherman (1953) dalam Anjas dkk. (1988), kemajuan pedogenesis dapat diukur dengan indikator sebagai berikut: 1. Kedalaman tanah terbentuk semakin tebal 2. Nisbah debu/lempung kurang, yang menunjukan nisbah mineral primer/sekunder. Mineral primer dari debu dan mineral sekunder dari lempung 3. Kandungan mineral sekunder dari lapukan berkurang 4. Nisbah KPK dan lempung berkurang 5. Nisbah C/N semakin kecil yang menunjukan tingkat mineralisasi besar dan perkembangan tanah lanjut, dan Nisbah Fe bertambah 1.6. Penelitian Terdahulu Penelitian menggunakan konsep pedogeomorfologi belum banyak dilakukan untuk mengkaji potensi sumberdaya tanah di suatu wilayah di Indonesia. Kebanyakan penelitian mengenai tanah selalu disinggungkan dengan tujuan praktis misalmya: pertanian. Penelitian perkembangan tanah dengan pedogeomorfologi lebih difokuskan pada penelitan perkembangan tanah, terutama tanah vulkanik. Penelitian ini juga mengaitkan perkembangan tanah dengan aspek geomorfologi. Penelitian-penelitian acuan berlokasi di berbagai tempat (lihat Tabel 1.2). Acuan literatur lokal banyak menggunakan konsep dan metode dari penelitian perkembangan tanah yang kebanyakan berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Literatur-literatur asing yang diacu oleh penelitian ini banyak membahas tentang karakteristik tanah vulkanik dan proses pembentukannya. Penelitian ini secara tidak langsung juga melanjutkan penelitian dari Ratdomopurbo, dkk. (2006) yang meneliti umur endapan Gunungapi Ijen di sepanjang lereng Paltuding-Pondok Bunder. Tabel 1.2 Penelitian Lain yang Menjadi Acuan Penelitian No Peneliti Lokasi (tahun) Judul Penelitian Simona Vingiani, Mengetahui proses Fabio Scarciglia, 1 Florindo Antonio Calabria, Italia Mileti, Paola Selatan (2014) Donato, Fabio Occurrence and Origin of Soils pedogenetik dari tanah with Andic Properties in mirip andik atau Andosol Calabria pada daerah non vulkanik Terribile Anton Ivanov, 2 Serghei Shoba, Pavel Krasilkinov Tujuan Penelitian Metode Hasil Deskripsi tanah, analisis mineralogi, pada skala 1: 50.000 analisis kemagnetan, diketahui jenis tanah yang dan analisis optik berkembang yaitu Vertik dan menggunakan Andik mikroskop A Pedogeographical View of Mengidentifikasi Deskripsi tanah di Pulau Comander Volcanic Soils Under Cold karakteristik kimia dan lapangan, dan analisis (2014) Humid Conditions: The morfologi tanah yang laboratorium dengan Commander Islands terpengaruh abu vulkanik panduan dari Rusia Semua profil tanah terbentuk pada material gunungapi bertekstur geluh dengan jenis tanah yang tergolong Andosol dan Podzol. Terdapat perbedaan C. Colombo, V.M. 3 Clay Formation and Pedogenic Sellito, G. Palumbo, Wilayah selatan Processes in Tephra-derived E. Di Lorio, F. Apeninnes, Italy Soils and Buried Soils from Terribile, & D.G. (2014) Central-Southern Apennines Schulze (Italy) Mengidentifikasi karakteristik tanah andik pada endapan piroklastik di selatan Appenines signifikan pada lingkungan Observasi tanah di gunung dan karst walaupun lapangan dan keduanya terpengaruh analsisis kimia tanah material piroklastik akibat letusan gunungapi di selatan Apennines Karakteristikr Tanah yang Berkembang dari batuan Diorit 4 Ahmad Yunan Godean, Sleman Gunung Wungkal dan (2005) BatuanAndesit Gunung Butak di Kecamatan Godean Kabupaten Sleman Memahami katakteristik tanah pada di batuan diorit dan batuan andesit Observasi tanah di Bahaninduk dan pedogenesis serta mengetahui lapangan, uji berpengaruh terhadap jenis pengaruhnya dbagi laboratorium tanah yang berkembang dataran sekitarnya Kajian Sifat Fisik, Kimia dan Beberapa Aspek Pengelolaan 5. Rusman Indra Sleman (2005) Tanah pada Toposekuen Lereng Selatan Tanah Abu Volkan Merapi Kabupaten Sleman Mengkaji sifat fisika dan kimia tanah yang Observasi lapangan, Tekstur tanah pasiran dengan berkembang di abu dan uji laboratorium kondisi masam volkan Tanah berkembang di atas Genesis Beberapa Jenis Tanah di 6. Erwin Sleman (2009) Lereng Selatan Gunung Merapi, Kecamatan Cangkringan, Sleman DIY Mengidentifikasi dan mendeskripsikan profil tanah dan morfologi tanah dan mempelajari batuan andesitik dan jenis Observasi lapangan, dan uji laboratorium pedogenesisnya tanah yang berkembang adalah Vertic Eutrudepts, Andic Eutrudepts, Vitrandic Odorthens, dan Typic Fragiaquepts Perkembangan tanah 7. Kuswaji Priyono Kulonprogo (2012) Tipologi Pedogeomorfik Kejadian Longsor Lahan di Pegunungan Kulonprogo, DIY Mengetahui karakteristik bervariasi danri berkembang tanah di daerah rawan Observasi lapangan muda sampai berkembang longsor dan jenis dan uji laboratorium lanjut, Jenis tanah yang tanahnya berkembang beragam pada formasi yang juga berbeda Sumber: Berbagai literatur 1.7. Kerangka Pikir Teoretik Salah satu faktor terpenting dalam pembentukan tanah adalah bahan induk tanah. Bahan induk tanah di lingkungan vulkanik berasal dari endapan vulkanik, endapan alluvial, dan endapan koluvial. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi proses pedogenesis di permukaan material yang sudah lapuk (bahan induk tanah). Bahan induk tanah yang mengalami pedogenesis dapat yang bersifat insitu dan/atau eksitu tergantung dari topografi dan proses geomorfologi yang bekerja. Fenomena unik dari lingkungan gunungapi yang aktif adalah adanya suplai material baru yang mudah lapuk dan berasal dari aktivitas gunungapi yang menyebabkan gangguan pedogenesis tanah. Faktor penting pembentuk tanah lainnya adalah faktor bioklimatik. Secara sederhana faktor bioklimatik adalah vegetasi dan iklim. Vegetasi merupakan faktor makhluk hidup yang pengaruhnya signifikan dan berlangsung lama terhadap tanah. Proses pelapukan hingga terbentuknya lingkungan pembentuk tanah adalah pengaruh karakteristik iklim. Pedogenesis meliputi proses penambahan, pengurangan, turbulensi, translokasi, dan kapilarisasi dari mineral maupun komponen lain dalam tanah. Tanah yang berkembang membentuk profil tanah yang mana bila diidentifikasi dan diklasifikasikan termasuk jenis tanah tertentu. Tanah vulkanik yang berasal dari endapan vulkanik memiliki ciri mineral gelasan (amorf) yang cepat lapuk menjadi tanah. Keberadaan tekstur lempungan dan indeks warna tanah dijadikan petunjuk perkembangan tanah. Semakin banyak partikel lempung yang terpindahkan dari suatu horison tanah dan mengumpul di horison lainnya maka tanah semakin berkembang. Identifikasinya dilakukan dengan cara visual di lapangan dan juga uji laboratorium terhadap sampel tanah. Faktor-faktor pembentuk tanah meliputi bahan induk tanah, relief, iklim, vegetasi dan waktu adalah penentu karakter tanah dan potensi kesuburan tanah nantinya. Proses kegunungapian merejuvenisasi tanah permukaan untuk berproses kembali membentuk tanah. Bersamaan dengan pembentukan tanah, fungsi-fungsi tanah vulkanikpun terbarukan seperti penyerap karbon, kesuburan tanah meningkat kembali, sebagai akuifer yang baik, dan lainlain. Hasilnya kehidupan dan aktivitas diatasnyapun berkembang baik. Oleh karena itu, untuk membantu memahami kedua fenomena ini dibuatlah kerangka pemikiran teoretik seperti yang ditunjukan oleh Gambar 1.4. Pedogeomorfik Lingkungan gunungapi Geogenesis Proses Geomorfologi Vulkanik Fluvial Litologi Susunan Perlapisan Jenis Umur Denudasional Struktur Beda Resistensi Batuan Bentuklahan Sumber Arah hadap lereng Relief Panjang lereng Kemiringan lereng Bioklimatik Waktu Pedogenesis Manusia Elevasi Warna Tekstur Tanah Struktur Kedalaman Vegetasi Insitu Konsistensi Jenis Kerapatan Peggunaan lahan Gambar 1.4. Kerangka Pikir Teoretik Penelitian Eksitu