Ini Dia Wajah Orang Mesir Kuno Potret-potret yang dilukis di atas panel penutup peti mati berisi mumi orang-orang Mesir kuno ditampilkan di kota Manchester, Inggris. Panel peti mati yang jarang dipamerkan ke publik tersebut dipajang di Perpustakaan John Rylands. Benda langka tersebut dihibahkan untuk Museum Manchester oleh pengusaha kapas Jesse Haworth pada tahun 1921. Menurut kurator museum Campbell Price, wajah-wajah dalam lukisan yang dikenal sebagai potret Fayum itu tampak sangat modern. “Yang mengagumkan adalah orang-orang yang dilukis oleh para seniman itu terlihat seolah mereka berkebangsaan Yunani dan Romawi, dan bukan Mesir kuno, mengindikasikan betapa beragamnya kebudayaan di Mesir 2.000 tahun lalu,” kata Price. “Potret-potret itu bisa ditentukan umurnya dari gaya rambut atau perhiasan, menunjukkan betapa mode sangat cepat berganti hampir dua ribu tahun silam. Mereka tampak sangat modern dan mencuri perhatian Anda dalam cara yang berbeda dengan topeng mumi Mesir.” Artefak-artefak itu memberikan “jendela langka ke kehidupan manusia di poin-poin kunci dalam sejarah Mesir, ketika Mesir adalah sebuah dunia Mediterania luas yang didominasi oleh Kekaisaran Romawi,” kata Dr Robert Maza, kurator pembantu dalam pameran itu yang berasal dari Universitas Manchester. Lukisan itu dibuat pada tahun 150 Masehi ketika Mesir menjadi bagian kekaisaran Romawi. Ditemukan di Fayum dekat Kairo saat penggalian arkeologi tahun 1888 dan 1911 oleh arkeolog zaman Victoria William Flinders Petrie. Haworth adalah penyandang dana dari penggalian arkeologi yang dilakukan Petrie, dan banyak hasil temuannya kemudian menjadi koleksi pribadi Haworth. Papirus berisi Injil Maria yang asli, yang oleh beberapa ahli dikatakan ditulis oleh Maria Magdalena, serta dokumen sensus juga dipamerkan dalam eksibisi itu. Papirus itu dikoleksi oleh pendiri Perpustakaan John Rylands Enriqueta Rylands di awal abad ke 20. Kurator pendamping dalam pameran itu, Professor Kate Cooper, mengatakan kertas-kertas tersebut menunjukkan “sisi sejarah yang terlupakan.” "Misalnya bagian-bagian Injil Maria yang mengatakan bahwa wanita harus memiliki peran pemimpin di gereja Kristen, pandangan yang berusaha ditekan oleh Gereja [pada abad] pertengahan," kata Cooper. Demikian dilansir BBC (19/7/2012). Hidayatullah Bendera Merah Putih Pertama Terbuat dari Kain Tenda Warung Soto! Untuk pertama kalinya, bendera merah putih berkibar sebagai bendera kebangsaan Indonesia, pada 17 Agutus 1945 di pekarangan rumah Soekarno di Jl Pegangsaan Timur no 56, Jakarta. Namun sejarah asal mula sang saka cukup unik. Sebagai istri tokoh pergerakan nasional paling populer ketika itu, Ny Fatmawati membantu menjahitkan bendera merah putih yang idenya diambil dari panji kebesaran Majapahit. Ny Fatmawati tidak membuat bendera merah putih sekali jadi. Sebelum 16 Agustus 1945, ia sudah menyelesaikan sebuah bendera merah putih. Namun ketika diperlihatkan ke beberapa orang, bendera tersebut dinilai terlalu kecil. Panjang bendera itu hanya sekitar 50 cm. Bendera merah putih yang baru dan lebih besar harus segera dibuat. Malam itu juga, usai sampai di rumah, Ny Fatmawati membuka lemari pakaiannya. Ia menemukan selembar kain putih bersih bahan seprai. Namun ia tak punya kain merah sama sekali. Dan beruntung ketika itu, ada seorang pemuda bernama Lukas Kastaryo (Di kemudian hari masuk militer dengan pangkat terakhir brigjen) yang berada di kediaman Soekarno. Hingga akhirnya seperti dituturkan Lukas Kastaryo pada majalah Intisari edisi Agustus 1991, ia lantas berkeliling dimana akhirnya ia menemukan kain merah yang tengah dipakai sebagai tenda sebuah warung soto. Ditebusnya kemudian dengan harga 500 sen (harga yang cukup mahal kala itu), dan menyerahkannya ke ibu Fatmawati. Ny Fatmawati akhirnya menyelesaikan bendera merah putih yang baru, malam itu juga. Ukurannya 276 x 200 cm. Bendera baru ini akhirnya dikibarkan tepat 17 Agustus 1945, dan menjadi bendera pusaka negara di tahun-tahun sesudahnya. Karena usia tuanya, sang Saka terakhir kali berkibar pada tahun 1969 untuk kemudian diistirahatkan di Museum Nasional. Untuk selanjutnya, pemerintah membuat bendera duplikat dengan ukuran 300 x 200 cm. Tor-Tor Bukan Milik Orang Indonesia Tari tor-tor adalah milik orang mandailing, bukan milik orang Indonesia atau Malaysia. Orang Mandailing walaupun mereka warga negara Cina, India, Jepang, Malaysia, Singapura tetap berhak atas budaya mereka. Status kewarganegaraan tidak menghalang seseorang mengamalkan adat budayanya karena adat budaya telah ada ratusan tahun sebelum kelahiran negara Indonesia dan Malaysia. Orang Mandailing warganegara Malaysia atau Singapura berhak atas adat budaya mereka. Karena negara Indonesia dan Malaysia baru lahir kemaren sore, yaitu 1945 dan 1957. Orang Mandailing, Minang, Bugis, Batak dll berhak mengamalkan adat budaya mereka walaupun mereka warganegara Malaysia, Singapura, Brunei dll. Ia sama saja dengan orang Cina warganegara Indonesia yang berhak mengamalkan barongsai, tari naga dll di Indonesia. Ia lebih kurang sama dengan orang Jawa transmigran yang mengamalkan adat budaya Jawa di daerah transmigran yang bukan termasuk dalam wilayah kekuasaan dan daerah Jawa lagi. Adat budaya Mandailing, Minang, Bugis dll. Telah ada sebelum lahirnya negara Indonesia dan Malaysia lagi. Penghijrahan masyarakat melayu di kepulauan Nusantara ini telah berlaku sebelum lahirnya negara Indonesia pada 17 Agus 1945 dan sebelum 31 Agus 1957. Ribuan tahun sebelum kelahiran negara kesatuan republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia, adat dan budaya Minang, Mandailing, Bugis, Riau dll telah eksis dan wujud di kepulauan ini. Menurut UNESCO; Budaya bukan hak milik negara, tapi milik bangsa.. Artinya bangsa cina, mandailing, minang, batak dll. berhak mengamalkan adat budayanya sendiri walaupun mereka warga negara Malaysia, Brunei atau Singapura. Cina juga tidak pernah protes ke Indonesia walaupun budaya mereka diamalkan oleh orang cina Indonesia.. Orang mandailing, minang, batak Malaysia berhak mengamalkan adat budayanya sendiri walaupun mereka bukan warga negara Indonesia, karena adat budaya bukan milik negara – Indonesia/MalaysiaSetahu saya Malaysia atau Singapura tidak pernah mengatakan bahwa tor-tor, taring piring dll milik mereka. Tetapi mereka mengatakan itu “bagian” dari budaya masyarakat mereka dan memang sebagian besar masyarakat mereka terdiri dari orang Mandailing, Minang, Aceh, Bugis dll. Dan mereka serta dunia juga tahu dimana itu asal mandailing, minang, bugis, barongsai dll itu. Tari Tor-Tor, Gordang Sembilan adalah hak milik orang Mandailing, bukan hak milik orang Indonesia, bukan milik orang Malaysia, Krn budaya itu telah wujud ribuan tahun sebelum kelahiran negara Indonesia dan Malaysia. Orang Mandailing, Minang, Bugis dll yg mengamalkan budaya nenek moyang mereka sendiri adalah bagian dari hak asasi yang di akui dalam deklarasi human rights 1948. Jadi status orang Mandailing yang menjadi warganegara Malaysia, Brunei, Singapura dll tidak menghilangkan haknya untuk mengamalkan adat budaya mereka sendiri. Sebagai seorang WNI saya merasa terpanggil menulis ini karena berita antah berantah spt ini sering dimanfaatkan untuk mengalihkan isu dari Tsunami KKN & Penyalahgunaan kuasa di negara ini. Saya sudah jijik dengan pengalihan isu seperti ini yang sering berlaku dan berakhir dengan memalukan. Ia memperlihatkan betapa rendahnya kualitas intelektual masyarakat Indonesia yang bisa dibaca dari berita media dan pandangan orang-orang yang bukan ahli dibidangnya. Lihat saja isu Manohara, Pencaplokan perbatasan, isu budaya dan banyak lagi yang berakhir memalukan dan sayangnya kita tidak bisa minta maaf atas kesalahan yg kita lakukan sendiri. Saat ini satu persatu petinggi SBY-Demokrat masuk penjara karena korupsi. Bukan hanya isu Budaya, sebentar lagi akan ada isu teroris, bom buku, artis ****o dll untuk mengalihkan isu oleh rejim yang identik dengan pembohong, pencitraan, pengalihan isu, korup dan menyalahgunakan kuasa ini Orang yang mengamalkan adat budaya tor-tor di Malaysia adalah orang Mandailing, yang mengaamalkan budaya minang adalah orang minang, yang mengamalkan budaya Bugis adalah orang Bugis dll. Bedanya mereka bukan warganegara Indonesia karena adat budaya mereka jauh lebih tua dari usia negara Indonesia itu sendiri.