Studi regenerasi tanaman jeruk keprok batu 55

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jeruk Keprok Batu 55
Tanaman jeruk keprok (citrus reticulata. L) varietas Batu 55 merupakan
tanaman subtropik yang dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal pada suhu
optimum 25 - 30 °C. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan dan produksi
adalah 1.900 -2.400 mm/tahun dengan rata-rata 2 - 4 bulan basah dan 3 - 5 bulan
kering. Tanah yang cocok bertekstur gembur, berpasir, hingga lempung berliat
dengan kedalaman efektif lebih dari 60 cm. Tingkat keasaman tanah (pH) yang
optimum sekitar 5 - 7, cocok adalah ditanam di daerah dengan ketinggian 700 1300 m dpl. Untuk dataran rendah tanaman jeruk keprok dapat tumbuh pada
ketinggian 100 – 400 m dari permukaan laut (dpl). Jeruk keprok menghendaki
iklim relatif kering dengan lama masa kering sekitar 3 bulan untuk proses
pembungan dan berada di tempat terbuka. Klasifikasi Citrus reticulata L. dalam
sistematika tumbuhan (Van Steenis 1975) adalah sebagai berikut:
Divisi
:
Spermatophyta
Subdivisio
:
Angiospermae
Class
:
Dicotyledonae
Ordo
:
Rutales
Familia
:
Rutaceae
Subfamili
:
Aurantioidae
Genus
:
Citrus
Spesies
:
Citrus reticulata L
Tumbuhan ini merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 5 meter. Tajuknya
tidak beraturan, dahan kecil, cabangnya banyak, dan tajuknya rindang. Daun
berbentuk tunggal, kecil, helaian daun berbentuk bulat telur memanjang, elliptic
atau berbentuk lanset dengan ujung tumpul, sedikit melekuk ke dalam. Tepi daun
bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3,5 - 8 cm bertangkai pendek.
Daun berwarna hijau tua, pada permukaan atas daun mengkilat. Tangkai daun
bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap, dengan panjang 0,5 - 1,5 cm.
6
Tanaman ini berbunga majemuk dimana bunga keluar dari ketiak daun atau
pada ujung. Daun berbentuk cawan bulat telur dan tajuk bunga umumnya
berjumlah lima lembar. Bekal buah berbentuk seperti bola dengan diameter
rata-rata 0,1 - 0,2 cm. Buah yang sudah jadi bentuknya agak besar hampir
seragam menyerupai bentuk bola tertekan dengan diameter cabang, bentuk bunga
bulat telur panjang ke arah pangkal seragam dan berbau harum. Tangkai bunga
pendek dengan bunga pelindungnya kecil, kelopak 5 - 8 cm dengan ruang buah
(septa buah) 9 - 19. Tebal kulitnya 0,2 - 0,3 cm mudah dikupas, penuh pori-pori
dan daging buahnya berwarna oranye dan sedikit berbau harum. Daging buah
banyak mengandung air, tiap sapta mengandung banyak biji lebih kurang 10 - 30
biji (Badan Litbang Departement Pertanian 2006).
Perkembangan Jeruk Keprok
Karakter tanpa biji, muda dikupas, penampilan yang menarik, dan rasa
yang manis merupakan karakteristik utama untuk pasar buah jeruk segar pada saat
ini (Ladaniya 2008). Selain untuk dikonsumsi sebagai buah segar, karakter unggul
tersebut sangat diharapkan oleh industri yang bergerak dibidang pembuatan jus,
suplemen vitamin, dan senyawa aromatik. Masalah yang dijumpai pada buah
jeruk sering dikaitkan dengan senyawa aromatik yang tidak menguntungkan,
tingkat kepahitan akibat jumlah biji yang banyak dan tampilan yang kurang
menarik (Singh & Rajam 2009).
Perkembangan jeruk keprok di Indonesia mengalami ketidakstabilan
bahkan cenderung mengalami penurunan, hal tersebut ditandai dengan masih
tinginya angka impor jeruk keprok tersebut. Penurunan produksi jeruk keprok
tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti serangan hama dan penyakit
yang ditimbulkan akibat perubahan iklim. Gencarnya impor buah khususnya jenis
keprok juga mengakibatkan konsumen jeruk keprok lokal beralih untuk
mengkonsimsi jeruk keprok impor yang memiliki karakter-karakter unggul atau
beralih ke jeruk jenis Siam.
Perbaikan sifat genetik sangat penting dilakukan untuk perbaikan mutu
buah jeruk terutama untuk perakitan buah unggul. Program pemuliaan tersebut
dilakukan melalui pemuliaan konvensional (hibridisasi), pemuliaan, mutasi dan
teknik bioteknologi. Namun, pemuliaan untuk jeruk keprok masih dihadapkan
7
dengan beberapa tingkat kesulitan seperti inkompatibilitas dan heterosigositas
yang tinggi. Karakter unggul pada jeruk sangat dipengaruhi oleh aksesi jeruk dan
faktor lingkungan (Mayer et al. 2009) Jeruk Mukaku Kishiu merupakan salah satu
jenis jeruk yang benar-benar tanpa biji walau dalam kondisi lingkungan apapun,
sementara pada Navel orange dan Mandarin Satsuma pada umumnya tanpa biji,
namun jika dilakukan penyerbukan pada lingkungan yang berbeda akan
menghasilkan biji (Olitrault et al. 2007).
Perbaikan sifat secara konvensional telah lama dikembangkan untuk
perbaikan karakter akan tetapi masih terkendala oleh beberapa faktor seperti sifat
inkompatibilitas pada tanaman. Selain itu, waktu yang digunakan untuk
persilangan secara konvensional masih tergolong lama. Persilangan konvensianal
pada intergeneric antara jeruk kultivar Kiyomi Tangor dengan jeruk Meiwa
Kumquat untuk membentuk triploid dibutuhkan waktu ± 6 tahun (Yasuda et al.
2010). Sulitnya mendapatkan tanaman bebas virus juga menjadi kendala dalam
perbaikan sifat tanaman. Terlepas dari teknik pemuliaan yang digunakan,
beberapa varietas komersial penting jeruk keprok seperti Batu 55, Garut, SoE, dan
Konde telah dikembangan melalui teknik induksi mutasi. Teknik induksi seperti
iradiasi atau mutagen kimia dapat meningkatkan keragaman dalam spesies
tanaman. Sifat acak yang dimiliki induksi mutasi yang menyebabkan arah mutasi
tidak bisa diatur sehingga sulit dalam memperbaiki sifat genetik secara khusus
(Sutarto 2009). Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pemuliaan jeruk keprok
di atas maka perlu adanya sentuhan bioteknologi melalui teknik kultur jaringan.
Perbaikan sifat melalui teknik kultur jaringan pada jeruk khususnya embrio
somatik telah lama dikembangkan dan terbuki memberikan hasil yang baik (Husni
2010).
Perkembangan Jeruk Keprok Batu 55
Jeruk keprok Batu 55 banyak disukai karena beberapa sifat unggul yang
secara alami telah dimiliki seperti aroma dan rasa yang khas yang tidak terdapat
pada jeruk manis pada umumnya. Manfaat lain dari jeruk keprok tidak hanya
terfokus pada daging buah saja akan tetapi pada bagian kulit juga terkandung
beberapa senyawa metabolit sekunder (Copriady et al.2005). Kulit jeruk jenis
keprok mempunyai berbagai macam senyawa diantaranya tangeraxanthin,
8
tangeritin, terpinen-4-ol, terpineolene, tetradecanal, threonine, thymol, thymylmethyl-ether, tryptophan, tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, citricacid, citronellal, citronellic-acid, citronellyl-acetate, cystine, decanal, decanoicacid, decanol. Senyawa dalam kulit jeruk keprok yang memiliki aktivitas
antikanker adalah tangeritin dan nobiletin. Tangeritin merupakan senyawa
methoxyflavone yang mempunyai potensi sebagai agen antikanker (Ardiani et al.
2008).
Gambar 2. Jeruk keprok Batu 55 (sumber dokumen pribadi)
Gambar 2 menunjukkan bahwa jeruk keprok batu 55 memiliki penampilan
yang menarik dengan karakter warna kulit orange dengan daging berwarna kuning
kemerahan. Selain rasa yang manis dan tanpa biji karakter panampilan yang
menarik merupakan syarat untuk pasar buah segar.
Perkembangan jeruk keprok Batu 55 masih mengalami hambatan, terutama
dalam memproduksi bibit yang bebas penyakit. Sulitnya mendapatkan bibit yang
bebas virus dan seragam menjadi kendala dalam usaha peningkatan produksi jeruk
keprok Batu 55. Menurut Deptan (2010) luas area pertanaman jeruk keprok Batu
55 di kota Batu mencapai 25 Ha. Dari 25 Ha area pertanaman hanya 5 Ha area
terluas ditanami jeruk keprok Batu 55 yang terletak di dusun Dresel kecamatan
Batu. Selain itu ada juga yang ditanam di area tempat tinggal penduduk. Tidak
tersedianya bibit yang bebas penyakit menjadikan para petani jeruk keprok tidak
optimum dalam usaha peningkatkan produksi jeruk tersebut.
9
Penyediaan bibit secara seperti: okulasi, cangkok, stek, dan perbanyakan
melalui biji masih memiliki kelemahan sehingga perlu adanya peran teknik
bioteknologi untuk mengatasi kelemahan tersebut. Teknik ES sangat membantu
program peerbaikan sifat pada tanaman jeruk. Melalui teknik ES banyak kegiatan
pemuliaan yang bisa dilakukan seperti mendapatkan tanaman bebas dari penyakit
yang disebabkan oleh virus (D'Onghia et al. 2001), ketahanan terhadap salinitas
(Carimi 2007), micro grafting (Germana et al. 2000), bahan fusi protoplas (Husni
2010), bahan transformasi gen (Bond et al. 1998) dan mutasi (Ling et al. 2000).
Perbanyakan bibit secara massal dan bebas dari virus dan seragam juga dapat
diusahakan melalui jalur embrio somatik (Sutanto & Azzis 2006).
Kultur Jaringan Tanaman Jeruk
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dikembangkan berdasarkan
teori sel yang pertama kali dikemukakan oleh Scheleiden dan Schawn, yaitu
totipotensi sel. Namun kemudian pada perkembangannya teknik kultur jaringan
menjadi sarana penting dalam bidang fisiologi tumbuhan dan dalam aspek
biokimia tumbuh-tumbuhan serta pemuliaan tanaman (zulkarnain 2009).
Totipotensi didefinisikan sebagai kemampuan setiap sel yang dari manapun
sumbernya untuk berdeferensiasi dan tumbuh membentuk individu yang
sempurna apabila sel tersebut ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhannya dan terkendali (Doyle & Griffiths 1999).
Teknik kultur jaringan pada tanaman jeruk berguna dalam mendapatkan
tanamanan atau bibit dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, mendapatkan
tanaman yang bebas penyakit terutama virus, preservasi plasma nutfah yang
bebas penyakit, terutama yang digunakan untuk pemuliaan (Alkhyari &
Albahrany 2001). Selain itu perbaikan sifat juga dapat dilakukan dengan seleksi,
transfer gen dan produksi senyawa–senyawa kimia yang bernilai ekonomi tinggi.
Copriady et al. (2005) menyatakan bahwa pada jeruk mengandung senyawa
metabolit skunder kumarin yang berfungsi sebagai antikoagulan darah dan dapat
menghambat efek karsinogenik. Sedangkan kandungan flavanoid dan limbonoid
juga ditemukan pada berbagai fase pertumbuhan jeruk Kalamondin dan purut
(Devy et al. 2010). Keberhasilan teknik kultur jaringan pada tanaman berkayu
khususnya tanaman jeruk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti
10
bahan tanaman (eksplan), medium pertumbuhan, zat pengatur tumbuh yang
digunakan (auksin, sitokinin, giberelin, zat inhibitor) dan asam amino (Carimi
2005).
Ladaniya (2008) menyatakan bahwa kultur jaringan pada jeruk telah lama
dipergunakan sebagai metode untuk propagasi dan perbaikan sifat. Perbaikan sifat
jeruk melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti teknik
ES, induksi mutasi, fusi protoplas, variasi somaklonal, dan seleksi in vitro
(Yuwono 2008).
Eksplan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu
teknik kultur jaringan. Penggunaan eksplan dalam teknik kultur jaringan pada
dasarnya adalah pemanfaatan sifat totipotensi sel yang terdapat pada eksplan
(Wetter & Constabel 1992). Sifat tersebut mungkin terdapat pada semua jaringan
tanaman akan tetapi ekspresinya terbatas pada kondisi tertentu yaitu sel yang
meristematik. Ada lima faktor yang harus diperhatikan dalam regenerasi in vitro
dari eksplan, yaitu: organ yang digunakan, umur fisiologis, musim pada saat
pengambilan eksplan, ukuran eksplan dan kualitas tanaman asal. Hampir semua
jaringan tanaman dapat dijadikan eksplan akan tetapi memerlukan kajian khusus
untuk mempelajari sistem perkembangan sel hingga menjadi jaringan. Daun,
kotiledon, hipokotil, bagian dari embrio, struktur repoduktif, tunas aksilar dan
tunas lateral merupakan organ yang umum untuk regenerasi secara in vitro.
Media tanam yang digunakan dalam teknik kultur jaringan berperan sangat
penting. Media kultur pada prinsipnya harus dapat menyediakan unsur–unsur hara
untuk pertumbuhan seperti tanaman di lapang. Umumnya media pada teknik
kultur jaringan terdiri dari campuran garam-garam anorganik, karbon, vitamin,
asam amino, dan zat pengatur tumbuh. Beberapa kasus tertentu penggunaan arang
aktif biasa digunakan pada media tanam. Dalam kultur jaringan dikenal beberapa
jenis media yang umum digunakan diantaranya media solid dan cair. Pemilihan
jenis media tergantung pada jenis tanaman, faktor aerasi, bentuk pertumbuhan dan
diferensiaisi yang diinginkan.
Sukrosa merupakan persenyawaan yang paling sering digunakan sebagai
sumber energi dalam media kultur. Ammirato (1983) menyatakan embriogenesis
somatik in vitro tanaman dikotil menggunakan sukrosa pada konsentrasi 2-4 %.
11
Persenyawaan lain yang dapat digunakan adalah glukosa, maltosa dan fruktosa
(Altaf et al. 2009). Tomaz et al. (2001) menyatakan bahwa jenis dan konsentrasi
gula sebagai sumber energi sangat mempengaruhi inisiasi kalus embriogenik jeruk
keprok. Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan
tanaman adalah thiamin, niacin, dan pyridoxine (Gunawan 1992). Beberapa
media juga mengandung pantotenat dan biotin (Gamborg & Shyluk 1981).
Penambahan myoinositol pada media kultur dapat memperbaiki pertumbuhan dan
morfogenesis, sehingga sering dipandang sebagai golongan vitamin untuk
tanaman (George & Sherrington 1984).
Asam-asam amino merupakan sumber nitrogen organik yang lebih cepat
tersedia dari pada nitrogen yang terdapat dalam bentuk nitrogen anorganik media
(shiaty et al. 2004). Asam amino yang umum digunakan pada media kultur adalah
sistein, L-glutamin, asparagin, L-arigin, l-tirosin, glisin serta campuran glutamin
dan asparagin serta campuran asam amino kompleks seperti kasein hidrolisat,
ekstak mal dan yeast ekstrak. Konsentrasi glutamin dan asparagin yang umum
digunakan 100 mg/l, L-argini dan sistein 10 mg/l, L-tirosin 100 mg/l, glisin 2 mg/l
dan asam amino kompleks 0.05% - 0.1% (Wattimena 1999).
Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan faktor yang menentukan arah
perkembangan eksplan. ZPT memainkan peranan yang sangat penting terhadap
pertumbuhan dan perkembangan, pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel
(Zulkarnain 2009; Davies 2004). Tanpa ZPT pertumbuhan dan perkembangan
tanaman dapat terganggu sebab untuk pembelahan sel dan pembesaran volume sel
suatu jaringan memerlukan ZPT tertentu terutama dari golongan auksin dan
sitokinin (Wattimena 1998). Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang
diberikan dalam media dan yang diproduksi secara endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur. Pemberian auksin yang lebih tinggi dari sitokinin
akan menyebabkan diferensiasi mengarah kepada pertumbuhan akar, sebaliknya
jika sitokinin lebih tinggi dari auksin, diferensiaisi akan mengarah kepada
pertumbuhan tunas (Santoso dan Nursandi 2001). ZPT merupakan senyawa
organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah dapat bersifat mendorong,
menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Watimena
1992).
ZPT
dapat
menstimulasi
pembelahan dan
12
perkembangan sel, terkadang jaringan atau eksplan dapat memproduksi ZPT
sendiri (endogen). Menurut Gunawan (1992) pemberian ZPT dari luar adalah
untuk mengubah nisbah
ZPT yang ada pada tanaman. Perubahan nisbah
selanjutnya dapat mengubah laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Penggunaan konsentrasi ZPT yang tepat dapat menghasilkan perkembangan sel ke
arah yang dikehendaki.
Berdasarkan kegunanya ZPT digolongkan kedalam lima golongan yaitu:
auksin, sitokinin, asam absisik (ABA), giberelin dan etilen. Menurut Wattimena
(1998) 2,4-D merupakan salah satu auksin yang mempunyai aktivitas tinggi jika
dibandingkan dengan auksin alami seperti IAA. Senyawa 2,4-D digunakan secara
luas dalam kultur jaringan terutama untuk merangsang pembentukan kalus yang
bersifat embriogenik. Hal tersebut disebabkan karena 2,4-D merupakan auksin
sintesis yang sangat aktif dan kuat, cukup resisten terhadap degradasi ensimatik
dan proses konjungasi dengan senyawa lain (Moore 1979). Sedangkan kelompok
sitokinin yang sering digunakan untuk membantu penginduksian kalus yaitu BAP
dan kinetin. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel pada jaringan yang
digunakan sebagai eksplan. Menurut Wattimena (1992) pada beberapa tanaman
sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Husni (2010) menyatakan
bahwa pemberian BAP dapat digunakan untuk proliferasi kalus embriogenik jeruk
Siam.
Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman dapat berfungsi antara lain
untuk proses pembelahan sel. Selain meningkatkan pembelahan sel dan inisiasi
tunas, sitokinin terlibat pula di dalam kontrol perkecambahan biji, mempengaruhi
absisi daun dan transpor auksin (Davies 2004). Terdapat kisaran interaksi yang
luas antara kelompok auksin dan sitokinin. Keduanya berinteraksi pula dengan
senyawa-senyawa kimia lainnya yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu dan cahaya (Gunawan 2002). Auksin pada kondisi tertentu dapat bersifat
seperti sitokinin
ataupun sebaliknya. Meskipun demikian, baik auksin dan
sitokinin keduanya seringkali digunakan secara bersamaan pada media kultur
untuk
menginduksi
pola
morfogenesis
tertentu,
walaupun rasio
untuk
menginduksi perakaran maupun tunas tidak selalu bersamaan (Zulkarnain 2009).
13
Kelompok ZPT GA3 merupakan kelompok ZPT yang paling banyak
dijumpai di dalam tanaman. Hampir pada setiap perkembangan tanaman GA3
berperan aktif termasuk pada proses perkecambahan benih, pembentukan trikoma
pada daun, pemanjangan batang dan daun, induksi pembungaan, perkembangan
anter dan buah serta perkembangan benih (Acar et al 2010). Penggunaan GA3
pada kultur jaringan khususnya untuk elongasi tunas. GA3 akan mendorong
percepatan pertumbuhan dari setiap sel jaringan sehingga perkembangan tanaman
menjadi optimal. Ricci et al. 2001 menyatakan bahwa penambahan GA3 pada
media kultur dapat memperbesar peluang jeruk untuk melakukan proses elongasi
tunas.
Embriogenesis Somatik
Perkembangan media kultur jaringan dalam perbanyakan sel dan jaringan
vegetatif telah sampai pada level yang memungkinkan untuk melakukan
industrialisasi perbenihan dan penyediaan bahan dasar industri. Selain mampu
menghasilkan tanaman yang sama dengan induknya, menghasilkan tanaman yang
bebas patogen sistemik, memungkinkan untuk propagasi tanaman secara masal,
dan mengatasi perbanyakan tanaman yang tidak dapat diperbanyak secara
konvensional (zulkarnain 2009). Teknologi ini kemudian dikenal dengan istilah
teknologi embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan teknologi
yang sangat efisien dan memiliki potensi propagasi secara massa yang komersil
dengan biaya yang relatif murah. Embrio somatik berpotensi dikembangkan
dalam sistem regenerasi tanaman karena kapasitas proliferasi yang tinggi,
memungkinkan untuk mendapatkan sel tunggal yang dapat menghindarkan dari
resiko kimera pada pemuliaan mutasi dan teknologi rekombinan DNA ( Lou et al.
1999)
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses berkembangnya sel somatik
menjadi suatu jaringan tanpa melalui adanya fusi gamet. Selama fase awal
embriogenesis, sel-sel somatik harus memulai beberapa fase perkembangan
seperti dediferensiasi, induksi dan arah perkembangan . Pierk (1987) menyatakan
bahwa embrio somatik bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung yaitu proses terbentuknya embrio tanpa melalui proses kalus sedangkan
tidak langsung dimana proses pembentukan embrio melalui proses pembentukan
14
kalus. Proses
embrio somatik dimulai dengan terbentuknya sel-sel yang
embriogenik berukuran kecil dengan isi sitoplasma yang penuh, nukleus yang
besar, vakuola yang kecil dan kaya akan butiran-butiran pati yang padat,
kemudian sel-sel tersebut berubah menjadi pre embrio yang bekembang menjadi
fase globular, jantung, dan kotiledon. Tahapan perkembangan dari embrio somatik
sama dengan perkembangan sel pada embrio zigotik dimana pada embrio somatik
terdapat ciri struktur bipolar yaitu mempunyai dua calon meristem yaitu meristem
akar dan meristem tunas (Husni et al.2010).
Embrio somatik juga bermanfaat sebagai model untuk mempelajari fungsi
gen yang terlibat dalam embriogenesis karena ada persamaan antara regenerasi
tanaman secara in vitro ataupun in vivo. Secara umum perkembangan embrio
somatik terjadi pada dua tahapan, tahap pertama disebut morfogenetik yaitu
pembentukan stuktur dasar sel yang mengarah ke arah pembentukan bipolar dan
pembentukan jaringan-jaringan primer yang meristem (Husni et al. 2010). Tahap
kedua yaitu perkembangan embrio pada fase ini terjadi pematangan sel yang
ditandai dengan
adanya aktifitas perkembangan jaringan menjadi organ dan
penyimpanan makro molekul seperti protein dan karbohidrat yang diperlukan
selama proses perkecambahan dan pertumbuhan (Carimi 2005). Embrio somatik
merupakan salah satu teknik in vitro yang dapat membantu konservasi tanaman
dengan penyediaan bibit yang cepat. Kunitake et al. (2005) menyatakan bahwa
penelitian embrio somatik pada jeruk sangat penting dalam aplikasi teknik
rekayasa sel untuk meningkatkan hasil produksi.
Embriogenesis Somatik pada Jeruk
Teknik embriogenesis somatik pada tanaman jeruk telah banyak diteliti baik
digunakan untuk mendapatkan tanaman yang seragam dan bebas virus ataupun
sebagai bahan untuk perbaikan sifat genetik. Pentingnya mendapatkan bibit
tanaman jeruk yang bebas penyakit terutama virus menjadikan embrio somatik
pada jeruk terus berkembang (Sawi et al. 2005). Selain mendapatkan tanaman
bebas virus teknologi embrio somatik juga dimafaatkan untuk memproduksi jeruk
untuk batang bawah. Ricci et al. (2001) melaporkan bahwa penggunaan embrio
somatik pada jeruk dengan menggunakan eksplan embrio
nuselus dapat
memproduksi secara masal untuk jenis jeruk batang bawah yang seragam.
15
Perbaikan
sifat tanaman
melalui embrio somatik juga telah banyak
dilakukan pada tanaman jeruk salah satu metode yang dapat dilakukan dengan
hibrida somatik (Saito et al. 1994 ; Guo & Deng 1998 ; Guo & Grosser 2005;
Husni 2010), studi protoplas (Kunitake et al. 2005), serta uji ketahan (Gmiter &
Moore 2005; Carimi et al. 2007). Konsep regenerasi tanaman melalui embrio
somatik pada tanaman jeruk tidak berbeda halnya pada tanaman dikotil lainya.
Keberhasilan regenerasi dari embrio somatik juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu: eksplan, ZPT, media tanam serta arah tujuan perkembangan yang
diinginkan (Yujin & Xiuyin 2002).
Nuselus pada tanam jeruk merupakan eksplan yang mempunyai peluang
lebih besar dalam mengiduksi sel yang embriogenik (Saito et al. 1994;
Ricci et al 2001; Altaf et al. 2009; Husni 2010). Adapun beberapa keuntungan
menggunakan jaringan nuselus sebagai eksplan antara lain: memiliki struktur
genetik identik dengan tanaman induk (true to type), tingkat keberhasilan
menghasilkan kalus yang embrionik lebih tinggi jika dibandingkan dengan organ
vegetatif lainnya, tidak dipengaruhi oleh mutasi secara alami sebagai mana yang
dialami oleh kebanyakan embrio zigotik (Krueger & Navarro 2007).
Jaringan nuselus berkembang dari jaringan ovul yang mengelilingi atau
menyelimuti kantung embrio seksual (embryo sac) dan mempunyai materi genetik
yang sama dengan indukya (Kepiro & Roose 2007). Jaringan nuselus umumnya
terdapat pada bji yang diperoleh dari buah yang muda.
Gambar 3. Bagian nuselus dan embrio pada jeruk (sumber Carimi F 2005)
Gambar 3 menunjukan bahwa perkembangan jaringan nuselus tidak terlalu
berbeda dengan perkembangan embrio zigotik. Perkembangan nuselus akan
terhenti jika buah telah memasuki fase masak. Nuselus yang terdapat pada buah
muda lebih mudah untuk diinduksi karena pada fase ini jaringan memiliki sel-sel
16
yang aktif membelah (Obukosia & Waithaka 2000). Embrio yang dihasilkan dari
jaringan nuselus mempunyai vigor yang tinggi (Iwamasa et al. 2007). Donghia
et al. (2001) dan Carimi (2007) menambahkan bahwa embrio yang dihasilkan dari
jaringan nuselus sebagai bahan eksplan sering dimanfaatkan pada teknik kultur
jaringan khususnya untuk perbanyakan tanaman jeruk bebas dari virus (Obukosia
& Waithaka 2000).
Penggunaan eksplan nuselus pada jeruk pertama kali digunakan pada kultur
jaringan untuk mengembangkan tanaman yang bebas virus (Tomaz et al. 2000).
Nuselus yang digunakan sebagai sumber eksplan haruslah dari tanaman yang
sehat dan tidak dalam keadaan stress atau mengalami mutasi secara spontan, dan
umur buah saat diisolasi. Hal tersebut penting diperhatikan karena pembentukan
kalus sangat tergantung pada status jaringan. Inisiasi kalus lebih mudah terjadi
pada jaringan yang masih muda karena eksplan masih mengandung sel-sel yang
aktif membelah (Carimi 2007). Nuselus merupakan eksplan yang sangat baik
untuk penginduksian kalus embriogenik (Ricci et al. 2007). Christopani (1991)
menyatakan bahwa nuselus sangat baik digunakan sebagai eksplan karena
memiliki peluang yang lebih besar dalam menghasilkan jumlah sel yang
embriogenik. Faktor
lingkungan tumbuh, genotipe, umur eksplan, komposisi
media tanam juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam induksi
kalus embriogenik pada eksplan nuselus (Grosser & Gmiter 1990).
Selain faktor eksplan ZPT juga merupakan hal yang penting dimana ZPT
berperan penting dalam proses induksi kalus embriogenik. Setelah terbentuk kalus
embriogenik peran ZPT selanjutnya adalah mendewasakan serta menumbuhkan
embrio tersebut. Selama proses pendewasaan embrio akan menyimpan cadangan
protein dan karbon untuk selanjutnya memasuki fase perkecambahan pada media
perkecambahan. Ricci et al. (2007) dan Tomaz et al. (2001) menggunakan
konsentrasi gula yang berbeda-beda untuk proses pendewsaan embrio somatik
jeruk. Pendewasaan embrio somatik dengan menggunakan ABA pada tanaman
berkayu telah banyak diteliti seperti: Husni (2010) pada hasil fusi Siam Simadu
dengan Mandarin Satsuma; Husni et al. (2011) pada Siam Pontianak; George et
al. (2008) dengan eksplan daun pada jeruk; Gutman et al. (2006) pada pinus;
Kong et al. (1994) pada cemara.
Download