ni kadek yuliandari, sunita devi, dewa putu rida sastrawan, i kadek

advertisement
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
PENDEKATAN BUDAYA LOKAL TRI KAYA PARISUDHA DALAM
MEMBENTUK MENTAL DAN KARAKTER
Ni Kadek Yuliandari, Sunita Devi, Dewa Putu Rida Sastrawan
I Kadek Restu Wiradnya
STIE Satya Dharma Singaraja
[email protected]
ABSTRAK
Kegelisahan terjadi ditengah masyarakat ketika teknologi informasi tengah melaju dengan
begitu pesat. Degradasi moral menjadi salah satu pemicu kegelisahan tersebut, disamping
faktor-faktor lainnya. Kian maraknya kasus demoralisasi belakangan ini menunjukkan
belum tercapainya tujuan pendidikan sebagai upaya menjadikan manusia yang berakhlak
mulia (berkarakter). Kegagalan tersebut diduga bahwa dalam tataran praksis, pengajaran
yang berlangsung selama ini belum sampai kepada pendidikan yang berkarakter.
Pendidikan yang berkarakter baru hanya sebatas wacana saja, belum mampu menyentuh
tatanan moral suatu individu. Kesenjangan pengetahuan moral (cognition) dan perilaku
(action) diduga karena pembelajaran selama ini lebih berorientasi pada intelektualitas
tanpa diimbangi pembentukan mentalitas. Hal ini memperkuat alasan pentingnya
dilakukan pendidikan karakter berdasarkan budaya lokal setempat. Pendidikan karakter
hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai universal yang mengakar dalam
budaya dimana nilai-nilai itu dibangun (berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal). Salah
satu kearifan lokal yang sesuai dengan nilai-nilai universal adalah nilai-nilai kearifan
yang bersumber pada konsep ajaran Hindu yakni Tri Kaya Parisudha. Berdasarkan
konsep Tri Kaya Parisudha ada tiga jenis aktivitas yang harus dikendalikan dan
diselaraskan satu sama lainnya, yaitu gerak pikiran, perkataan, dan gerak perbuatan.
Keselarasan antara gerak pikiran, perkataan dan perbuatan merupakan indikator kualitas
karakter manusia.
1. Pendahuluan
Pendidikan karakter telah lama digaungkan demi membenahi mental bangsa.
Berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk membangun karakter bangsa agar menjadi
bangsa yang bermartabat. Cara yang paling mudah dan dekat untuk dijadikan alat
pembentuk karakter yaitu lewat dunia pendidikan. Namun, bukan berarti ketika
seseorang tidak menempuh dunia pendidikan berarti Ia tidak memiliki karakter, aspek
lingkungan pun turut membantu sebagai media pembentuk karakter.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip pokok penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
diyakini tokoh pendidikan terkemuka John Dewey adalah untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan individu dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pribadi
(baca: dharma, artha, kama, moksa) dan persiapan menjalani siklus kehidupan (baca:
proses Punarbhawa, Moksa). Berdasarkan atas penjabaran tersebut, makna yang
terkandung yaitu prinsip ini mencakup yang sangat luas dalam perspektif pendidikan
baik sebagai proses pembelajaran, makna filosofis, religiusitas, serta psikologis.
Pendidikan seharusnya mencakup pengetahuan (kognitif), emosi, rohani,
toleransi, kebersamaan, keterbukaan, kemanuasiaan, dan aspek-aspek lainnya yang
bersinggungan dengan dimensi spiritualitas, moralitas, sosialitas, emosionalitas,
rasionalitas (intelektualitas), estetis, dan fisik (Ainurrofiq Dawam, 2003: 91). Namun
sayangnya, dewasa ini pendidikan di Indonesia masih terlalu menekankan pada
pembentukan akal untuk menguasai scientia yang belum sepenuhnya sesuai kebutuhan
bangsa (Sofian Effendi, 2009: 141) hal ini secara tidak langsung mengenyampingkan
pembentukan moral yang berakar pada kebudayaan dan nilai-nilai lokal atau kearifan
lokal yang syarat akan karakter mulia dan luhur.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Beberapa tahun terakhir, dampak dari globalisasi yang didengung-dengungkan,
serta kemajuan akan teknologi informasi mengakibatkan terjadinya pergeseran
paradigma pendidikan. Berikut ini pergeseran paradigma yang sangat signifikan dalam
konteks pendidikan, tujuan pendidikan, arah pembelajaran serta pengajaran, dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Pergeseran Paradigma Pendidikan
PARADIGMA TRADISIONAL
PARADIGMA BARU
KONTEKS PENDIDIKAN
 Berubah secara lambat.
 Berubah secara cepat.
 Perkembangan parsial terbatas.
 Perkembangan sistemik berkelanjutan.
 Life Skill, Career Skill
 Penguasaan informasi, teknologi, multi
media
TUJUAN PENDIDIKAN
Melengkapi peserta didik dengan
Mendukung tumbuhnya peserta didik
kebutuhan skill dan pengetahuan untuk
menjadi pemimpin dan anggota
bertahan hidup dalam komunitas lokal.
masyarakat pembelajar yang kritis serta
kreatif berkontribusi pada pembangunan
masyarakat berkelanjutan.
PEMBELAJARAN
 Menyerap pengetahuan dengan cara
 Proses aktualisasi diri, menghargai diri
mengikuti perintah-perintah
sendiri dengan fokus pada belajar
guru/dosen.
mandiri, belajar bagaimana belajar
 Fokus pada test dan penilaian kognitif
dengan baik.
dengan peluang sangat terbatas.
 Belajar dari berbagai sumber yang
 Waktu pembelajaran terpola transaksi
tidak terbatas isi, ruang, tempat, dan
dalam jam-jam perkuliahan/kelas.
waktu melalui jaringan komputer.
 Kecerdasan belajar mengarah pada
pengembangan skills tingkat tinggi:
berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi,
berkolaborasi.
PENGAJARAN
 Gaya pengajaran standar dengan
 Dosen/guru sebagai fasilitator atau
transfer pengetahuan melalui proses
mentor pendukung pembelajaran
delivering.
mahasiswa.
 Guru/Dosen sebagai pusat pendidikan
 Pengajaran dari berbagai sumber tidak
dan pengajaran.
terbatas melalui jaringan pengajaran
berkelas dunia.
 Membangun kepedulian terhadap
pembangunan berkelanjutan.
Sumber: Cheng, 2005
Berdasarkan pada tabel 1 di atas, maka dapat dilihat bahwa pergeseran
paradigma pendidikan ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya memberi
bekal hand on skills tetapi harus secara bersama-sama memiliki mind on skills dan juga
heart on skills dalam memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupan.
Kompleksnya permasalah dalam kehidupan mengajarkan kita untuk lebih memahami
falsafah-falsafah kehidupan. Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak
dibangun di atas berbagia kebajikan (virtues) hanya memiliki makna ketika dilandasi
atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya dimana nilia-nilai itu dibangun. Hal ini
dilakukan guna menghindari timbulnya ketidakcocokan (clash) dan konflik internal
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
pada diri siswa, penumbuhkembangan nilai-nilai karakter perlu didasari pada nilai-nilai
kearifan lokal yang berlaku sesuai dengan budaya setempat. Salah satu falsafah
kehidupan untuk membuat kehidupan ini harmonis menurut ajaran agama hindu yaitu
dengan pembelajaran Tri Kaya Parisudha. Nilai-nilai kearifan lokal yang akan
diangkat dalam penulisan ini adalah melalui pendekatan Tri Kaya Parisudha.
Tri Kaya Parisudha merupakan salah satu kearifan lokal yang memiliki nilainilai yang bersumber pada konsep ajaran Hindu. Berdasarkan konsep Tri Kaya
Parisudha ada tiga jenis aktivitas yang harus dikendalikan dan diselaraskan satu sama
lainnya, yaitu gerak pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan gerak perbuatan
(kayika). Keselarasan antara gerak pikiran, perkataan dan perbuatan merupakan
indikator kualitas karakter manusia. Menurut perspektif Hindu, watak atau karakter
seseorang sangat ditentu kan oleh Budhi, Manas, Ahamkara (Tri Antah Karana). Tri
Antah Karana merupakan alat batin manusia yang menentukan watak atau karakter
seseorang, sebab Tri Antah Karana inilah yang meng endalikan indera (indriya)
manusia. Indera merupakan alat yang menghubungkan manusia dengan objek alam.
Sentuhan indera dengan objek alam menimbulkan guncangan-guncangan pribadi yang
akhirnya mempengaruhi karakter manusia. Dengan demikian, pembentukan karakter
dapat dilakukan dengan melatih dan mengendalikan indera sehingga terbentuk karakter
yang baik.
Berdasarkan ajaran Kitab Suci Weda, mengajarkan agar umat manusia
menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan dosa serta menyingkirkan kedengkian.
Umat manusia agar selalu berbuat dharma atau kebaikan, dengan ucapan yang manis
dan selalu berbuat kebaikan. Manusia semestinya juga selalu menyucikan pikiran dan
budhinya (Suhardana, 2007: 107). Pernyataan tersebut selaras dengan yang diajarkan
dalam ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik.
Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi
umat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya, sehingga kerukunan, ketentraman
dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan
agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya.
Pendidikan kedepan menurut Sudira (2011) diharapkan mampu menumbuhkan
sembilan kecerdasan (Wiweka Sanga) yaitu: kecerdasan belajar sebagai titik sentral
untuk mengembangkan kecerdasan emosional-spiritual, kecerdasan sosial-ekologis,
kecerdasan intelektual, kecerdasan kinestetis, kecerdasan ekonomika, kecerdasan
politik, kecerdasan teknologi, dan kecerdasan seni-budaya.
Oleh sebab itu, pendidikan karakter diharapkan tidak hanya menjadi sekedar
wacana dan dilaksanakan hanya sebatas di atas kertas. Namun, bagaimana pendidikan
karakter mampu membentuk kepribadian seseorang. Harapannya, melalui pendidikan
karakter dengan pendekatan Tri Kaya Parisudha, para generasi memiliki fondasi yang
kokoh dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
2. Analisis
2.1 Hakikat Pendidikan Karakter
Tri pusat pendidikan merupakan wahana dimana peserta didik belajar dan
mengaplikasikan hasil belajarnya. Adapun yang termasuk tri pusat pendidikan
adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ini merupakan pemikiran Ki Hajar
Dewantara pada tahun 1920an yang saat ini kurang disinergikan. Ki Hajar
Dewantara telah mengembangkan pola asah, asih, dan asuh dalam tiga pusat
pendidikan tersebut. Sinergisme itulah yang saat ini luntur, bahkan telah hancur,
lebur, dan kabur ditelan umur.
Istilah karakter berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti mengukir
sehingga terbentuk sebuah pola (Bohlin, Karen. 2001). Pendidikan karakter tidak
serta merta dimiliki oleh seseorang. Mendidik seseorang agar menjadi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
berkarakter tentu memerlukan proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik (habit),
sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil (Megawangi, R. 2009). Berdasarkan
ajaran agama hindu, pendidikan karakter telah dituangkan dalam ajaran Tri Kaya
Parisudha.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Tri Kaya Parisudha serta
implikasinya dalam kehidupan nyata tersaji dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Nilai-nilai Karakter yang Dilandasi Ajaran Tri Kaya Parisudha
Aspek
Nilai-nilai Tri Kaya Parisudha
Implikasi dalam kehidupan
Manacika
 Tidak prasangka, curiga, dan
 Berpikir positif
(Pikiran)
berpikir buruk.
 Berpikir induktif-deduktif
 Berpikir Kausalitas.
 Ketahanan mental, sabar, ulet
 Menghargai pandangan orang
 Disiplin
lain.
 Berfikir Analitis, Nalar dan
 Tangguh menghadapi cobaan
Sistematis
dan tantang permasalahan
 Menghargai orang lain
 Berpikiran maju dengan
berakar nilai-nilai luhur bangsa
Wacika
 Tidak berkata kasar dan
 Mengemukakan pendapat
(Perkatan)
menyakiti hati orang lain
(lisan/tertulis) dengan kaidah
 Tidak memfitnah dan
bahasa yang benar
berbohong.
 Jujur, objektif, sesuai fakta.
 Berani, sopan dan santun dalam  Berkata yang baik dan benar sesuai
mengajukan pandangan,
ajaran agama
pertanyaan, serta argumentasi.
 Tidak membuat orang lain
tersinggung dengan perkataan kita
Kayika
(Perbuatan)
 Tidak melakukan kekerasan
fisik dan psikis
 Tidak mendapat sesuatu dengan
jalan yang curang
 Hemat uang, waktu, dan tenaga
 Bekerja sama
 Adaptif
 Bertanggung jawab
 Peduli lingkungan
 Selalu menolong sesama
 Menghormati sesama




Berbuat yang baik dan benar
Menjaga kebersihan lingkungan
Berbat jujur
Peduli lingkungan (tidak
membuang limbah sembarang)
 Bertanggung jawab
 Bekerja sama
 Peduli dengan sesame
Berdasarkan atas Tabel 2 diatas, sesungguhnya sangat baik apabila kita
mengimplementasikan ajaran Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kita mampu mengontrol pikiran, perkataan dan perbuatan kita, niscaya
harmoni dalam kehidupan akan dapat terwujud.
Pendidikan karakter dengan ajaran Tri Kaya Parisudha tidak hanya
diimplementasikan dalam bentuk tulisan. Salah satu musisi yaitu Dewa Budjana
menuangkan ajaran ini ke dalam lagu, dengan album “Nyanyian Dharma” dengan
judul lagu Tri Kaya Parisudha. Lagu yang dinyanyikan oleh Trie Utami ini
memiliki makna yang sangat dalam. Mendidik seseorang agar berkarakter tidak
hanya lewat kata dan perbuatan, namun dapat pula melalui music atau instrument
lainnya.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
2.2 Pendidikan Karakter di Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat dijadikan sebagai
pembentuk karakter anak. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia
yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter
berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal
(bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the
golden rule. Dalam prakteknya merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilainilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Selain hal tersebut di atas, pendidikan karakter memiliki tujuan
mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu
berlandaskan atas Pancasila, yang meliputi (1) mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik (2)
membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi
warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan
negaranya serta mencintai umat manusia.
Adanya pikiran yang baik akan mendasari perkataan yang baik, sehingga
terwujudlah perbuatan yang baik pula ( Sukartha dalam Suhardana, 2007: 26).
Jadi pada dasarnya perkataandan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran.
Pikiran yang baik akan menuntun manusia berkata atau berbuat yang baik pula.
berdasarkan prinsip tersebut, maka yang paling awal harus dikendalikan oleh
manusia adalah pikirannya. Hal-hal yang mempengaruhi pikiran harus selalu
terjaga, terlatih sehingga membentuk pola pikir yang baik dan benar. Pola pikir
yang baik akhirnya akan dicetuskan dalam bentuk perkataan yang baik dan
perbuatan yang baik. Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar
dan pedoman hidup bagi umat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya,
sehingga harmonisasi dalam kehidupan yang mencangkup kerukunan,
ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai
dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya.
Pendidikan karakter di dunia pendidikan memang hal termudah untuk
dilakukan, dibandingkan dengan dilingkungan keluarga maupun masyarakat.
Pendidikan sebagai lembaga formal sangat membantu melancarkan terwujudnya
masyarakat Indonesia yang berkarakter dan berbudaya. Harapannya adalah agar
pendidikan karakter tidak hana menjadi sebatas wacana saja yang minim akan
contoh nyata. Melalui pendekatan Tri Kaya Parisudha, diharapkan
pengimplementasian pendidikan karakter lebih mudah diwujudkan karena ajaran
tersebut telah mendarah daging ditubuh masyarakat hindu di Bali.
2.3 Pendidikan karakter melalui pendekatan Tri Kaya Parisudha
Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia
memiliki kelebihan berupa manas atau manah yang berarti pikiran. Pikiran adalah
inti dari segala tindakan dan ucapan manusia. Dari ketiga unsur Tri Kaya
Parisudha, pikiran adalah paling pokok, yang dapat menimbulkan adanya
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
perkataan maupun perbuatan. Karena itulah pikiran merupakan paling penting
untuk dikendalikan. Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang aktif
dalam berpikir. Dari kenyataan tersebut, manusia memiliki dua karakter atau sifat
pikiran yaitu pikiran baik dan pikiran buruk. Pikiran yang baik menjadi pedoman
untuk berkata dan berbuat yang baik, sebaliknya pikiran yang buruk akan
menggiring seseorang untuk berkata dan berbuat yang tidak baik pula.
Runtuhnya karakter suatu bangsa dapat dilihat dari beberapa aspek,
menurut Lickona. T. (2003), mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda
jaman yang harus diwaspadai, sebab jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu
berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda
yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2)
penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang
kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman
moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa
hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu
dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling
curiga dan kebencian diantara sesama.
Berdasarkan atas tanda-tanda tersebut di atas, maka pendekatana ajaran Tri
Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik, hendaknya
dapat diterapkan dengan sebaik mungkin. Secara empiris kenyataan hidup
manusia, sering kita jumpai dua sifat manusia yaitu manusia yang berperilaku
baik dan manusia yang berperilaku buruk. Hal ini juga sering dijumpai di dunia
pendidikan, yaitu peserta didik yang berperilaku baik dan peserta didik yang
berperilaku tidak baik atau kurang baik. Perilaku peserta didik yang baik maupun
tidak baik sama-sama berpeluang dapat berubah. Perilaku baik bisa lebih baik
lagi atau bisa menjadi tidak baik, sebaliknya perilaku yang tidak baik dapat
berubah menjadi baik atau menjadi lebih buruk lagi. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yang dapat mendukung dan menghambat dalam penanaman
nilai-nilai etika yang terkandung dalam implementasi Tri Kaya Parisudha.
Seseorang yang memiliki karakter baik, terbentuk melalui sebuah
pembiasaan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation). Hal ini artinya, anak
harus sesering mungkin dihadapkan pada aktivitas maupun lingkungan yang
sengaja maupun tidak sengaja akan membentuk kebiasaan-kebiasaan baik. Anak
seharusnya lebih banyak dihadapkan pada aktivitas-aktivitas yang mendidik,
melatih dan membina indria, manah dan budhi. Oleh karena itu, aktivitas
pembelajaran hendaknya lebih diarahkan untuk melatih penggunaan instrument
indriya dengan baik dan benar. Selanjutnya dari kebiasaan-kebiasaan inilah
terbentuk karakter.
Dengan demikian, pendidikan karakter yang selama ini digaungkan,
hendaknya mengacu pada kearifan lokal budaya setempat. Seperti, di Bali dengan
penduduknya yang mayoritas beragama hindu, ajaran Tri Kaya Parisudha dapat
dijadikan fondasi pembentukan karakter generasi mendatang. Dengan fondasi
pembentukan karakter yang kokoh, tentu generasi penerus akan mampu
memagari dirinya dengan berbuat baik, jujur serta mengamalkan nilai-nilai luhur
bangsa untuk menciptakan bangsa yang berbudaya dan berkarakter.
3. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang tersebut di atas, maka dapat diperoleh simpulan
bahwa pendidikan karakter dengan pendekatan budaya lokal Tri Kaya Parisudha,
yaitu dengan mengamalkan berpikir, berkata serta berbuat yang baik sangat perlu
dilaksanakan. Tri Kaya Parisudha dapat dijadikan fondasi dalam pembentukan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
karakter generasi penerus bangsa agar menjadi Negara yang berbudaya dan
berkarakter sehingga dimata dunia Negara Indonesia menjadi bangsa yang
bermartabat.
Daftar Pustaka
Ainurrofiq Dawam. 2003. “Emoh” Sekolah: Menolak “Komersialisasi Pendidikan”
dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Inspeal Ahimsakarya Press Indonesia.
Bohlin, K. D. Farmer & K. Ryan. 2001. Building Character in Schools. Resource
Guide. California: Jossey-Bass.
Cheng, Y.C. 2005. New paradigm for re-engineering education, globalization,
localization and individualization.Dordrecht: Springer.
Lickona, T., E. Schaps, and C. Lewis. 2003. Eleven Principles of Effective Character
Education.Washington, D.C: Character Education Partnership
Megawangi, Ratna. 2009. Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Suhardana, K.M. 2007. Upawasa, Tapa dan Brata Berdasarkan Agama Hindu.
Surabaya : Paramita.
Sudira P. 2011.Praksis tri hita karana dalam struktur dan kultur pendidikan karakter
kejuruan pada SMK di Bali: Jurnal Pendidikan Karakter, Universitas Negeri
Yogyakarta.
Sofian effendi. 2009. Reposisi pendidikan nasional. Di dalam A. Ferry Indratno (Ed.).
Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
T.Ramli.2003. Esensi dan Makna Pendidikan Karakter: Jakarta
Download