Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 PENDEKATAN BUDAYA LOKAL TRI KAYA PARISUDHA DALAM MEMBENTUK MENTAL DAN KARAKTER Ni Kadek Yuliandari, Sunita Devi, Dewa Putu Rida Sastrawan I Kadek Restu Wiradnya STIE Satya Dharma Singaraja [email protected] ABSTRAK Kegelisahan terjadi ditengah masyarakat ketika teknologi informasi tengah melaju dengan begitu pesat. Degradasi moral menjadi salah satu pemicu kegelisahan tersebut, disamping faktor-faktor lainnya. Kian maraknya kasus demoralisasi belakangan ini menunjukkan belum tercapainya tujuan pendidikan sebagai upaya menjadikan manusia yang berakhlak mulia (berkarakter). Kegagalan tersebut diduga bahwa dalam tataran praksis, pengajaran yang berlangsung selama ini belum sampai kepada pendidikan yang berkarakter. Pendidikan yang berkarakter baru hanya sebatas wacana saja, belum mampu menyentuh tatanan moral suatu individu. Kesenjangan pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action) diduga karena pembelajaran selama ini lebih berorientasi pada intelektualitas tanpa diimbangi pembentukan mentalitas. Hal ini memperkuat alasan pentingnya dilakukan pendidikan karakter berdasarkan budaya lokal setempat. Pendidikan karakter hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai universal yang mengakar dalam budaya dimana nilai-nilai itu dibangun (berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal). Salah satu kearifan lokal yang sesuai dengan nilai-nilai universal adalah nilai-nilai kearifan yang bersumber pada konsep ajaran Hindu yakni Tri Kaya Parisudha. Berdasarkan konsep Tri Kaya Parisudha ada tiga jenis aktivitas yang harus dikendalikan dan diselaraskan satu sama lainnya, yaitu gerak pikiran, perkataan, dan gerak perbuatan. Keselarasan antara gerak pikiran, perkataan dan perbuatan merupakan indikator kualitas karakter manusia. 1. Pendahuluan Pendidikan karakter telah lama digaungkan demi membenahi mental bangsa. Berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk membangun karakter bangsa agar menjadi bangsa yang bermartabat. Cara yang paling mudah dan dekat untuk dijadikan alat pembentuk karakter yaitu lewat dunia pendidikan. Namun, bukan berarti ketika seseorang tidak menempuh dunia pendidikan berarti Ia tidak memiliki karakter, aspek lingkungan pun turut membantu sebagai media pembentuk karakter. Pada dasarnya, prinsip-prinsip pokok penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diyakini tokoh pendidikan terkemuka John Dewey adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pribadi (baca: dharma, artha, kama, moksa) dan persiapan menjalani siklus kehidupan (baca: proses Punarbhawa, Moksa). Berdasarkan atas penjabaran tersebut, makna yang terkandung yaitu prinsip ini mencakup yang sangat luas dalam perspektif pendidikan baik sebagai proses pembelajaran, makna filosofis, religiusitas, serta psikologis. Pendidikan seharusnya mencakup pengetahuan (kognitif), emosi, rohani, toleransi, kebersamaan, keterbukaan, kemanuasiaan, dan aspek-aspek lainnya yang bersinggungan dengan dimensi spiritualitas, moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis, dan fisik (Ainurrofiq Dawam, 2003: 91). Namun sayangnya, dewasa ini pendidikan di Indonesia masih terlalu menekankan pada pembentukan akal untuk menguasai scientia yang belum sepenuhnya sesuai kebutuhan bangsa (Sofian Effendi, 2009: 141) hal ini secara tidak langsung mengenyampingkan pembentukan moral yang berakar pada kebudayaan dan nilai-nilai lokal atau kearifan lokal yang syarat akan karakter mulia dan luhur. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Beberapa tahun terakhir, dampak dari globalisasi yang didengung-dengungkan, serta kemajuan akan teknologi informasi mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma pendidikan. Berikut ini pergeseran paradigma yang sangat signifikan dalam konteks pendidikan, tujuan pendidikan, arah pembelajaran serta pengajaran, dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Pergeseran Paradigma Pendidikan PARADIGMA TRADISIONAL PARADIGMA BARU KONTEKS PENDIDIKAN Berubah secara lambat. Berubah secara cepat. Perkembangan parsial terbatas. Perkembangan sistemik berkelanjutan. Life Skill, Career Skill Penguasaan informasi, teknologi, multi media TUJUAN PENDIDIKAN Melengkapi peserta didik dengan Mendukung tumbuhnya peserta didik kebutuhan skill dan pengetahuan untuk menjadi pemimpin dan anggota bertahan hidup dalam komunitas lokal. masyarakat pembelajar yang kritis serta kreatif berkontribusi pada pembangunan masyarakat berkelanjutan. PEMBELAJARAN Menyerap pengetahuan dengan cara Proses aktualisasi diri, menghargai diri mengikuti perintah-perintah sendiri dengan fokus pada belajar guru/dosen. mandiri, belajar bagaimana belajar Fokus pada test dan penilaian kognitif dengan baik. dengan peluang sangat terbatas. Belajar dari berbagai sumber yang Waktu pembelajaran terpola transaksi tidak terbatas isi, ruang, tempat, dan dalam jam-jam perkuliahan/kelas. waktu melalui jaringan komputer. Kecerdasan belajar mengarah pada pengembangan skills tingkat tinggi: berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi, berkolaborasi. PENGAJARAN Gaya pengajaran standar dengan Dosen/guru sebagai fasilitator atau transfer pengetahuan melalui proses mentor pendukung pembelajaran delivering. mahasiswa. Guru/Dosen sebagai pusat pendidikan Pengajaran dari berbagai sumber tidak dan pengajaran. terbatas melalui jaringan pengajaran berkelas dunia. Membangun kepedulian terhadap pembangunan berkelanjutan. Sumber: Cheng, 2005 Berdasarkan pada tabel 1 di atas, maka dapat dilihat bahwa pergeseran paradigma pendidikan ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya memberi bekal hand on skills tetapi harus secara bersama-sama memiliki mind on skills dan juga heart on skills dalam memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupan. Kompleksnya permasalah dalam kehidupan mengajarkan kita untuk lebih memahami falsafah-falsafah kehidupan. Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak dibangun di atas berbagia kebajikan (virtues) hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya dimana nilia-nilai itu dibangun. Hal ini dilakukan guna menghindari timbulnya ketidakcocokan (clash) dan konflik internal Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 pada diri siswa, penumbuhkembangan nilai-nilai karakter perlu didasari pada nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku sesuai dengan budaya setempat. Salah satu falsafah kehidupan untuk membuat kehidupan ini harmonis menurut ajaran agama hindu yaitu dengan pembelajaran Tri Kaya Parisudha. Nilai-nilai kearifan lokal yang akan diangkat dalam penulisan ini adalah melalui pendekatan Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha merupakan salah satu kearifan lokal yang memiliki nilainilai yang bersumber pada konsep ajaran Hindu. Berdasarkan konsep Tri Kaya Parisudha ada tiga jenis aktivitas yang harus dikendalikan dan diselaraskan satu sama lainnya, yaitu gerak pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan gerak perbuatan (kayika). Keselarasan antara gerak pikiran, perkataan dan perbuatan merupakan indikator kualitas karakter manusia. Menurut perspektif Hindu, watak atau karakter seseorang sangat ditentu kan oleh Budhi, Manas, Ahamkara (Tri Antah Karana). Tri Antah Karana merupakan alat batin manusia yang menentukan watak atau karakter seseorang, sebab Tri Antah Karana inilah yang meng endalikan indera (indriya) manusia. Indera merupakan alat yang menghubungkan manusia dengan objek alam. Sentuhan indera dengan objek alam menimbulkan guncangan-guncangan pribadi yang akhirnya mempengaruhi karakter manusia. Dengan demikian, pembentukan karakter dapat dilakukan dengan melatih dan mengendalikan indera sehingga terbentuk karakter yang baik. Berdasarkan ajaran Kitab Suci Weda, mengajarkan agar umat manusia menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan dosa serta menyingkirkan kedengkian. Umat manusia agar selalu berbuat dharma atau kebaikan, dengan ucapan yang manis dan selalu berbuat kebaikan. Manusia semestinya juga selalu menyucikan pikiran dan budhinya (Suhardana, 2007: 107). Pernyataan tersebut selaras dengan yang diajarkan dalam ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik. Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi umat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya, sehingga kerukunan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya. Pendidikan kedepan menurut Sudira (2011) diharapkan mampu menumbuhkan sembilan kecerdasan (Wiweka Sanga) yaitu: kecerdasan belajar sebagai titik sentral untuk mengembangkan kecerdasan emosional-spiritual, kecerdasan sosial-ekologis, kecerdasan intelektual, kecerdasan kinestetis, kecerdasan ekonomika, kecerdasan politik, kecerdasan teknologi, dan kecerdasan seni-budaya. Oleh sebab itu, pendidikan karakter diharapkan tidak hanya menjadi sekedar wacana dan dilaksanakan hanya sebatas di atas kertas. Namun, bagaimana pendidikan karakter mampu membentuk kepribadian seseorang. Harapannya, melalui pendidikan karakter dengan pendekatan Tri Kaya Parisudha, para generasi memiliki fondasi yang kokoh dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. 2. Analisis 2.1 Hakikat Pendidikan Karakter Tri pusat pendidikan merupakan wahana dimana peserta didik belajar dan mengaplikasikan hasil belajarnya. Adapun yang termasuk tri pusat pendidikan adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ini merupakan pemikiran Ki Hajar Dewantara pada tahun 1920an yang saat ini kurang disinergikan. Ki Hajar Dewantara telah mengembangkan pola asah, asih, dan asuh dalam tiga pusat pendidikan tersebut. Sinergisme itulah yang saat ini luntur, bahkan telah hancur, lebur, dan kabur ditelan umur. Istilah karakter berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola (Bohlin, Karen. 2001). Pendidikan karakter tidak serta merta dimiliki oleh seseorang. Mendidik seseorang agar menjadi Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 berkarakter tentu memerlukan proses yang sangat panjang. Oleh karena itu pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik (habit), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil (Megawangi, R. 2009). Berdasarkan ajaran agama hindu, pendidikan karakter telah dituangkan dalam ajaran Tri Kaya Parisudha. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Tri Kaya Parisudha serta implikasinya dalam kehidupan nyata tersaji dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Nilai-nilai Karakter yang Dilandasi Ajaran Tri Kaya Parisudha Aspek Nilai-nilai Tri Kaya Parisudha Implikasi dalam kehidupan Manacika Tidak prasangka, curiga, dan Berpikir positif (Pikiran) berpikir buruk. Berpikir induktif-deduktif Berpikir Kausalitas. Ketahanan mental, sabar, ulet Menghargai pandangan orang Disiplin lain. Berfikir Analitis, Nalar dan Tangguh menghadapi cobaan Sistematis dan tantang permasalahan Menghargai orang lain Berpikiran maju dengan berakar nilai-nilai luhur bangsa Wacika Tidak berkata kasar dan Mengemukakan pendapat (Perkatan) menyakiti hati orang lain (lisan/tertulis) dengan kaidah Tidak memfitnah dan bahasa yang benar berbohong. Jujur, objektif, sesuai fakta. Berani, sopan dan santun dalam Berkata yang baik dan benar sesuai mengajukan pandangan, ajaran agama pertanyaan, serta argumentasi. Tidak membuat orang lain tersinggung dengan perkataan kita Kayika (Perbuatan) Tidak melakukan kekerasan fisik dan psikis Tidak mendapat sesuatu dengan jalan yang curang Hemat uang, waktu, dan tenaga Bekerja sama Adaptif Bertanggung jawab Peduli lingkungan Selalu menolong sesama Menghormati sesama Berbuat yang baik dan benar Menjaga kebersihan lingkungan Berbat jujur Peduli lingkungan (tidak membuang limbah sembarang) Bertanggung jawab Bekerja sama Peduli dengan sesame Berdasarkan atas Tabel 2 diatas, sesungguhnya sangat baik apabila kita mengimplementasikan ajaran Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita mampu mengontrol pikiran, perkataan dan perbuatan kita, niscaya harmoni dalam kehidupan akan dapat terwujud. Pendidikan karakter dengan ajaran Tri Kaya Parisudha tidak hanya diimplementasikan dalam bentuk tulisan. Salah satu musisi yaitu Dewa Budjana menuangkan ajaran ini ke dalam lagu, dengan album “Nyanyian Dharma” dengan judul lagu Tri Kaya Parisudha. Lagu yang dinyanyikan oleh Trie Utami ini memiliki makna yang sangat dalam. Mendidik seseorang agar berkarakter tidak hanya lewat kata dan perbuatan, namun dapat pula melalui music atau instrument lainnya. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 2.2 Pendidikan Karakter di Dunia Pendidikan Dunia pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat dijadikan sebagai pembentuk karakter anak. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Dalam prakteknya merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilainilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Selain hal tersebut di atas, pendidikan karakter memiliki tujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu berlandaskan atas Pancasila, yang meliputi (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Adanya pikiran yang baik akan mendasari perkataan yang baik, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik pula ( Sukartha dalam Suhardana, 2007: 26). Jadi pada dasarnya perkataandan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran. Pikiran yang baik akan menuntun manusia berkata atau berbuat yang baik pula. berdasarkan prinsip tersebut, maka yang paling awal harus dikendalikan oleh manusia adalah pikirannya. Hal-hal yang mempengaruhi pikiran harus selalu terjaga, terlatih sehingga membentuk pola pikir yang baik dan benar. Pola pikir yang baik akhirnya akan dicetuskan dalam bentuk perkataan yang baik dan perbuatan yang baik. Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi umat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya, sehingga harmonisasi dalam kehidupan yang mencangkup kerukunan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya. Pendidikan karakter di dunia pendidikan memang hal termudah untuk dilakukan, dibandingkan dengan dilingkungan keluarga maupun masyarakat. Pendidikan sebagai lembaga formal sangat membantu melancarkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkarakter dan berbudaya. Harapannya adalah agar pendidikan karakter tidak hana menjadi sebatas wacana saja yang minim akan contoh nyata. Melalui pendekatan Tri Kaya Parisudha, diharapkan pengimplementasian pendidikan karakter lebih mudah diwujudkan karena ajaran tersebut telah mendarah daging ditubuh masyarakat hindu di Bali. 2.3 Pendidikan karakter melalui pendekatan Tri Kaya Parisudha Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki kelebihan berupa manas atau manah yang berarti pikiran. Pikiran adalah inti dari segala tindakan dan ucapan manusia. Dari ketiga unsur Tri Kaya Parisudha, pikiran adalah paling pokok, yang dapat menimbulkan adanya Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 perkataan maupun perbuatan. Karena itulah pikiran merupakan paling penting untuk dikendalikan. Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang aktif dalam berpikir. Dari kenyataan tersebut, manusia memiliki dua karakter atau sifat pikiran yaitu pikiran baik dan pikiran buruk. Pikiran yang baik menjadi pedoman untuk berkata dan berbuat yang baik, sebaliknya pikiran yang buruk akan menggiring seseorang untuk berkata dan berbuat yang tidak baik pula. Runtuhnya karakter suatu bangsa dapat dilihat dari beberapa aspek, menurut Lickona. T. (2003), mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai, sebab jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama. Berdasarkan atas tanda-tanda tersebut di atas, maka pendekatana ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik, hendaknya dapat diterapkan dengan sebaik mungkin. Secara empiris kenyataan hidup manusia, sering kita jumpai dua sifat manusia yaitu manusia yang berperilaku baik dan manusia yang berperilaku buruk. Hal ini juga sering dijumpai di dunia pendidikan, yaitu peserta didik yang berperilaku baik dan peserta didik yang berperilaku tidak baik atau kurang baik. Perilaku peserta didik yang baik maupun tidak baik sama-sama berpeluang dapat berubah. Perilaku baik bisa lebih baik lagi atau bisa menjadi tidak baik, sebaliknya perilaku yang tidak baik dapat berubah menjadi baik atau menjadi lebih buruk lagi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mendukung dan menghambat dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam implementasi Tri Kaya Parisudha. Seseorang yang memiliki karakter baik, terbentuk melalui sebuah pembiasaan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation). Hal ini artinya, anak harus sesering mungkin dihadapkan pada aktivitas maupun lingkungan yang sengaja maupun tidak sengaja akan membentuk kebiasaan-kebiasaan baik. Anak seharusnya lebih banyak dihadapkan pada aktivitas-aktivitas yang mendidik, melatih dan membina indria, manah dan budhi. Oleh karena itu, aktivitas pembelajaran hendaknya lebih diarahkan untuk melatih penggunaan instrument indriya dengan baik dan benar. Selanjutnya dari kebiasaan-kebiasaan inilah terbentuk karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter yang selama ini digaungkan, hendaknya mengacu pada kearifan lokal budaya setempat. Seperti, di Bali dengan penduduknya yang mayoritas beragama hindu, ajaran Tri Kaya Parisudha dapat dijadikan fondasi pembentukan karakter generasi mendatang. Dengan fondasi pembentukan karakter yang kokoh, tentu generasi penerus akan mampu memagari dirinya dengan berbuat baik, jujur serta mengamalkan nilai-nilai luhur bangsa untuk menciptakan bangsa yang berbudaya dan berkarakter. 3. Simpulan Berdasarkan pemaparan yang tersebut di atas, maka dapat diperoleh simpulan bahwa pendidikan karakter dengan pendekatan budaya lokal Tri Kaya Parisudha, yaitu dengan mengamalkan berpikir, berkata serta berbuat yang baik sangat perlu dilaksanakan. Tri Kaya Parisudha dapat dijadikan fondasi dalam pembentukan Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 karakter generasi penerus bangsa agar menjadi Negara yang berbudaya dan berkarakter sehingga dimata dunia Negara Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat. Daftar Pustaka Ainurrofiq Dawam. 2003. “Emoh” Sekolah: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press Indonesia. Bohlin, K. D. Farmer & K. Ryan. 2001. Building Character in Schools. Resource Guide. California: Jossey-Bass. Cheng, Y.C. 2005. New paradigm for re-engineering education, globalization, localization and individualization.Dordrecht: Springer. Lickona, T., E. Schaps, and C. Lewis. 2003. Eleven Principles of Effective Character Education.Washington, D.C: Character Education Partnership Megawangi, Ratna. 2009. Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. Suhardana, K.M. 2007. Upawasa, Tapa dan Brata Berdasarkan Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Sudira P. 2011.Praksis tri hita karana dalam struktur dan kultur pendidikan karakter kejuruan pada SMK di Bali: Jurnal Pendidikan Karakter, Universitas Negeri Yogyakarta. Sofian effendi. 2009. Reposisi pendidikan nasional. Di dalam A. Ferry Indratno (Ed.). Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. T.Ramli.2003. Esensi dan Makna Pendidikan Karakter: Jakarta